Ceritasilat Novel Online

Catatan Hati Seorang Istri 1

Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia Bagian 1


Asma Nadia Catatan Hati Seorang Istri
Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
PT. Lingkar Pena Kreatiua Jl. Keadilan Raya No. 13
Blok XVI Depok 16418 Email: lingkarpena@indo.net.id
http://lingkarpena.multiply.com Telp./Fan.: (021) 7712100
Editor: Birulaut Layout: Alia Fazrillah Desain sampul:
Dyotami Febrianti Diterbitkan pertama kali oleh PT. Lingkar Pena Kreatiua
Depok Cetakan pertama, April 2007
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
Nadia, Asma Catatan Hati Seorang Istri; Editor: Birulaut; Depok: PT.
Lingkar Pena Kreatiua, 2007. 130 hlm.; 20,5 cm.
ISBN 979-1367-I. Judul II. Nadia, Asma
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (M M U) Jl.
Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146 Ujungberung,
Bandung 40294 Telp. (022) 7815500, Fa K. (022) 7802288
Email: mizanmu@bdg.centrin.net.id
CATATAN HATI SEORANG ISTERI
Saat cinta berpaling dan hati menjelma serpihan-serpihan kecil
saat prahara terjadi saat ujian demi ujian-Nya terasa terlalu besar untuk
ditanggung sendiri kemanakah seorang istri harus mencari kekuatan agar
hati mampu terus bertasbih"
Telah lama saya meneropong; tidak hanya ke dalam hati
sendiri, melainkan mencoba masuk ke bilik hati perempuan
lain, lewat kisah-kisah yang mereka bagi kepada saya.
Selama bertahun-tahun pula saya mencatat berbagai kisah
itu dalam ruang hati, seraya berharap suatu hari bisa
menuliskannya. Catatan Hati Seorang Istri, memuat sebagian kecil
peristiwa itu. Isinya kisah-kisah yang mengharu biru dan
membuat saya ternganga. Sebab ternyata betapa dahsyat
kekuatan yang dimiliki perempuan, sosok yang seringkali
dianggap lemah, tidak berdaya, dan pada tataran tertentu
sering hanya dianggap sebagai rnahluk nomor dua.
Buku ini, meski tidak begitu banyak, merekam
perjalanan saya sebagai perempuan, istri dan ibu dari dua
orang anak. Juga pengalaman, dialog hati, pertanyaan dan
ketidakmengertian saya tentang isi kepala dan sikap laki-laki. Kekecewaan, kemarahan dan kesedihan bahkan
keputusasaan yang tergambar, mudah-mudahan dapat
sedikit mewakili potret sebagian perempuan (baca: istri).
Demi menghargai nara sumber, beberapa detil sengaja
saya samarkan, namun pada intinya tidak mengurangi
esensi cerita. Harapan saya Catatan Hati Seorang Istri, bisa membawa
pembaca pada kesiapan yang lebih baik, ketika kita (dan
bukan cuma tokoh-tokoh dalam buku ini) mendapat ujian
serupa. Bukankah ujian itu Allah pergilirkan pada tiap-tiap
hamba" Cinta yang lepas dari genggaman"
Orang tercinta yang selama bertahun-tahun selalu di sisi
kita, kemudian Allah memintanya untuk kembali ke
haribaan-Nya. Siapkah"
Ikhlaskah" Siapkah secara iman"
Pemikiran demikian membuat saya takut. Khawatir akan
iman dan keikhlasan yang tidak seberapa. Ragu akan
kemandirian, karena bertahun-tahun saya merasa
dimanjakan dan menjadi tergantung kepada pasangan
dalam banyak hal. Kesiapan menghadapi apapun takdir-Nya, sungguh bukan perkara mudah.
Mengingat hidup selalu memiliki warna yang berbeda,
saya mengajak kepada sesama perempuan untuk mulai
menulis. Catat tidak hanya kenangan indah, tetapi juga
semua pikiran, beban perasaan, kesedihan, ketakutan, apa
saja, sebelum terlambat untuk menuliskannya.
KDRT yang semakin marak, hingga tak jarang
merenggut nyawa seorang istri.
Ibu menghabisi anak kandungnya justru karena cinta...
Sungguh batin saya seperti dikoyak melihat semua
tragedi yang melibatkan perempuan. Karenanya saya ingin
kita sama-sama berjanji. Berjanji untuk mencari teman
bicara. Berjanji untuk mencoba menuliskan setiap
kegelisahan yang kita alami. Berjanji untuk menjadikan
tulisan itu cermin dan renungan, sebab mungkin itu akan
membawa kita pada jalan keluar, yang sebelumnya terasa
teramat buntu. Kaitlyn, Aliet Sartika, Nejla Humaira, mbak Ya-yu, dan
Ida Azuz. Mereka telah memulai dan mengisi ruang yang
belakangan ini selalu saya sisipkan dalam buku-buku
terbitan Lingkar Pena. Buat perempuan yang lain, sungguh
saya menunggunya. Ah. Kini waktunya berdoa dan meminta kepada-Nya
lebih sering. Sebab semakin hari, saya menyadari
kebutuhan dan ketergantungan kepada Allah sedemikian
besarnya. Semo ga Allah memberi kekuatan bagi semua
semua harnba-Nya, khususnya para perempuan. Amin.
Salam Asma Nadia Daftar Isi Catatan Hati Seorang Istri ... 7
Catatan 1 Kalau Saya Jatuh Cinta Lagi ... 15
Cinta Perempuan Paling Cantik ... 21
Catatan 2 Menikah Tanpa Memandang ... 25
Pernikahan Pertama dan Kedua ... 29
Catatan 3 Rombongan Gadis yang Melamar Suami Saya
Kebanggaan Seorang Isteri ... 39
Catatan 4 Jika saya dan Suami Bercerai " ... 47
Catatan 5 Lagi, Pertanyaan Untuk Laki-laki ... 53
Saat Cinta Berpaling Darimu ... 59
Saya Tidak Ingin Cemburu ... 61
Saat Cinta Berpaling Darimu ... 71
Catatan 6 Suami yang Menyebabkanku di Sini ... 79
Saya Ingin Dia Memilih ... 83
Terbang Dengan Satu Sayap ... 93
Lagu Kelabu ... 103 Catatan 7 Label Biru Seorang Istri ... 127
Sebab Aku Berhak Bahagia ... 131
Momen Kecil yang Meninggalkan Jejak ... 155
Catatan 8 Hal-hal Sederhana yang Dirindukan ... 157
2 x 24 Jam ... 163 Catatan 9
Dua Pasang Suami Istri ... 171
Mami ... 179 Setelah 11 Tahun ... 189 Catatan 11 Obrolan Pagi di Kereta ... 197
Cinta Tak Sempurna ... 203
Catatan 12 Hari Pertama Memandangmu ... 207
Perempuan Istimewa di Hati Aba Agil ... 211
Lembar Terima Kasih ... 221
Sekilas Asma Nadia ... 223
Bookgrafy ... 225 Catatan 1 Kalau Saya Jatuh Cinta Lagi
"Kalau saya menikah lagi, itu murni karena saya suka
dengan gadis itu. Saya jatuh cinta. Titik."
Santai, santun meski ceplas ceplos. Begitulah kesan saya
tentang Pak Haris. Pimpinan sebuah penerbitan di Solo
yang saya temui dalam satu kesempatan.
Saya lupa bagaimana awalnya hingga Pak Haris
menyinggung poligami. Kebetulan saya tertarik dengan
persoalan ini, dan sedang menulis sebuah novel bertema
poligami yang penggarapannya sangat menyita energi.
Saya ingin mendalami pikiran laki-laki. Sebenarnya apa
yang ada di kepala mereka ketika menikah lagi" Awalnya
saya kira seperti lelaki lain, Pak Haris akan mengelak atau
memberi jawaban ala kadar. Ternyata...
"Sejujurnya Mbak Asma, hanya ada satu alasan inti
kenapa lelaki menikah lagi."
Saya dan seorang teman saat itu langsung menyimak
baik-baik. "Dan itu bukan karena menolong, bukan karena kasihan,
atau alasan lain. Saya lelaki. Dan kalau saya menikah lagi
itu murni karena saya suka dengan gadis itu. Saya jatuh
cinta. Titik. " Wah, jujur sekali. Pikir saya salut.
Dialog yang berawal di rumah makan berlanjut ke dalam
mobil. Saya dan teman yang memang bekerja di penerbitan
yang dikelola Pak Haris kemudian mengunjungi penerbitan
beliau. Saya diperkenalkan kepada beberapa pegawai dan
juga produk-produk mereka.
Di sofa tamu, obrolan berlanjut lagi.
"Sebenarnya Ramadhan kemarin saya tergoda sekali
untuk menikah lagi.Sungguh keinginan itu datang begitu
dahsyatnya." "Padahal Ramadhan ya, Pak"" Lelaki itu tertawa,
mengiyakan. "Dan saya kira saya hampir saja berpoligami, kalau saja
saya tidak bertemu seorang teman. Ikhwan yang memberi
satu pernyataan yang luar biasa benar dan akhirnya berhasil
mengubah niat saya."
Dalam hati saya menebak-nebak kemana penjelasan Pak
Haris berikutnya. "Ikhwan itu berkata begini, Mbak Asma... Jika saya
menikah lagi: Pertama, kebahagiaan dengan istri kedua
belum tentu... karena tidak ada jaminan untuk itu. Apa
yang diluar kelihatan bagus, dalamnya belum tentu.
Hubungan sebelum pernikahan yang sepertinya indah,
belum tentu akan terealisasi indah. Dan sudah banyak
kejadian seperti itu."
Benar sekali, komen saya dalam hati.
"Yang kedua, Pak"" Lelaki itu terdiam, lalu menatap
saya dengan pandangan serius.
"Sementara luka hati istri pertama sudah pasti, dan itu
akan abadi." Saya melihat Pak Haris menarik napas panjang, sebelum
menuntaskan kalimatnya, "Sekarang, bagaimana saya melakukan sebuah tindakan
untuk keuntungan yang tidak pasti, dengan mengambil
resiko yang kerusakannya pasti dan permanen""
Dialog di atas terjadi bertahun-tahun lalu. Saya tidak
tahu bagaimana kabar Pak Haris sekarang, apakah masih
berpegang pada masukan si ikhwan itu atau tidak.
Saya sendiri menerima aturan poligami yang memang
ada dalam Qur'an, tetapi cenderung menyetujui pendapat
seorang ustadz muda yang mengatakan asal syari'at
poligami pada da sarnya adalah monogami. Artinya dalam
keadaan normal, monogami tetap lebih utama.
Betapa pun, sungguh saya iri terhadap para istri yang
sanggup mengikhlaskan suaminya menikah lagi. Hal yang
tentu teramat sulit. Bagaimana bisa berbagi pasangan hati
yang selama bertahun-tahun hanya menumpukan perhatian
pada kita sebagai satu-satunya istri"
Rasa iri tadi sering ditambah dengan kesedihan yang luar
biasa, saat menyadari betapa mudahnya lelaki kemudian
melalaikan tanggung jawab bahkan sampai menelantarkan
istri pertama dan anak-anak nya.
Untuk kebahagiaan yang belum pasti"
Teringat seorang teman asal Malaysia yang saya temui di
Seoul. Lelaki yang dengan lantang menerangkan statusnya,
ketika ditanyakan berapa anak yang Allah telah karuniakan
kepadanya, "Dari istri pertama ada tiga. Dari istri kedua belum
ada..." Barangkali karena merasa bertemu dengan muslim di
negeri yang sebagian besar penduduknya non muslim itu,
hingga dia menjadi terbuka kepada saya. Apalagi setelah
saya katakan bahwa saya seorang penulis.
Pernikahan kedua itu tidak pernah direncanakan.
"Ini takdir," katanya,"Saya tidak pernah sengaja mencari
istri lain." Saya diam saja. Tidak hendak berdebat soal itu.
Hanya setelah saya tanyakan kerepotan memiliki dua
istri, ceritanya semakin menarik. Terakhir saya tanyakan
apakah dia merasa lebih bahagia setelah menikah lagi"
Mendengar pertanyaan saya, lelaki bertubuh tinggi itu
tampak termenung cukup lama sebelum menjawab,
"Yang sudah terjadi, tidak bolehlah kita sesali." Menatap
senyum getir lelaki itu, seketika ingatan saya terlempar pada
kalimat terakhir Pak Haris, beberapa tahun lalu.
Seoul, 18 Agustus 2006 Cinta Perempuan Paling Cantik
"Sosok cantik itu tetap santun dan tak banyak bicara.
Meladeni suami dan anak-anak seperti hari-hari
sebelumnya." Dia adalah perempuan paling cantik yang pernah saya
kenal. Kulitnya putih, wajahnya bersih seperti bayi,
kecantikannya lengkap. Dia adalah perempuan terindah
yang pernah saya temui. Kecantikan yang tidak pudar,
meski usianya mencapai empat puluh lima.
Dua puluh lima tahun yang lalu, perempuan itu
mengejutkan semua orang dengan pernikahan yang tiba
tiba. Tidak ada yang menyangka cinta kanak-kanak sang


Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuan akan bermuara selamanya, kepada lelaki yang
sama. Pernikahan yang indah. Laki-laki yang beruntung.
Begitulah barangkali pikiran kebanyakan orang. Sebab
dengan kecantikan sang perempuan, akan sulit menemukan
lelaki yang benar-benar layak bersanding dengannya. Secara
penampilan tentu saja. Waktu bergulir. Selama itu tidak pernah sekalipun
terdengar berita tidak sedap dari pasangan, yang kini sudah
dikaruniai dua orang anak. Semua takjub dengan keutuhan
rumah tangga keduanya. Pertama, karena dibina ketika
mereka masih sangat muda, kedua mengingat kesibukan
sang istri yang kini menjadi dosen dan kerap memberi
materi seminar . Seringnya berada di depan publik tanpa
suami, yang diduga akan menimbulkan jarak diantara
suami istri itu, sama sekali tidak terbukti.
Sesekali mereka tampil berdua. Dan siapapun akan
mengagumi rumah tangga keduanya. Cukup banyak lelaki
yang meski hanya bercanda, sempat mengungkapkan
keirian terhadap nasib baik si suami.
"Istri cantik, rumah besar, anak-anak lucu. Komplit!"
Lainnya mengomentari, "Kalau punya istri secantik itu,
saya gak bakal kemana-mana. Keluar juga males deh!"
Sebagai perempuan yang hanya melihat semua dari luar,
saya pribadi mengagumi kemampuan sang istri memenej
rumah tangganya. Mengagumi betapapun kesibukannya
menggunung, perempuan itu tak pernah menelantarkan
keluarganya. Suami dan anak-anak senantiasa nomor satu.
Kekaguman saya yang lain adalah terhadap kemampuan
si perempuan mengurus dirinya. Kecantikannya tidak
pernah berkurang, malah semakin bercahaya seiring umur
yang bertambah. Dalam balutan kerudung, dan kemana-mana nyaris
tanpa rnake up, keindahannya semakin memesona. Saya
salut dengan kemampuannya menjaga diri dan menepis
gosip tentang rumah tangga mereka.
Keti ka kemudian sang suami mulai sakit-sakitan, sang
istri dengan cepat mengambil alih tanggung jawab ekonomi
keluarga. Mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga
biaya sekolah anak-anak, bahkan ongkos pengobatan sang suami
yang menghabiskan Idana dalam jumlah besar. Adakah kesombongan di
wajah cantiknya" Demi Allah, saya tidak pernah melihat
hal itu tebersit sedikit saja di wajahnya yang indah. Sosok
cantik itu tetap santun dan tak banyak bicara. Meladeni
suami dan anak-anak seperti hari-hari sebelumnya.
Menunaikan tugas-tugasnya di depan publik tanpa keluh
kesah sama sekali. Tanpa ungkapan rasa letih, karena sang
suami yang lima tahun terakhir ini nyaris tak mampu
bekerja untuk keluarga, disebabkan penyakit yang
dideritanya. Batin saya, pastilah lelaki itu demikian baik dan bakti
kepada keluarga, hingga istrinya mencintai dan membela
keluarga mereka sedemikian rupa.
Tapi kalimat yang suatu hari saya dengar dari famili
perempuan terindah itu, mengguncangkan hati saya.
"Kalau saja semua orang tahu, kasihan kakak itu.
Suaminya seringkah main perempuan di belakang dia. Dari
mulai pertama nikah. Tingkahnya benar-benar bikin makan
hati. Keluarga besar sempat menyuruh cerai, tapi sang
kakak memang luar biasa sabar!"
Hati saya berdetak. Allah, jika itu benar. Berkatilah perempuan yang setia itu
ya Allah. Perempuan yang telah menjaga kehormatan suaminya,
bahkan di atas begitu banyak luka, yang telah ditorehkan
lelaki itu padanya. Saya p ribadi tidak tahu kebenaran berita itu. Sebab saya
tak berani menanggapi. Hanya saja saya tiba-tiba mulai
menikmati, tak hanya kecantikan dan keindahan luar yang
Allah karuniakan padanya. Tapi juga sekeping hati yang
luar biasa cantiknya. Catatan 2 Menikah Tanpa Memandang "Betapa kagetnya saya. karena perempuan itu sama
sekali tidak cantik!"
Saya sunggu h tidak mengerti laki-laki, atau isi kepala
mereka. Seperti sosok di depan saya. Seorang kawan, yang
mengajak saya dalam satu proyek event orga-nizer untuk
acara parenting. Sepanjang perjalanan ke lokasi acara, di atas bis, lelaki
itu menceritakan sesuatu yang sebenarnya terbilang pribadi
dan membuat saya sungkan.
Dia dan istrinya sudah lama menikah. Dari pernikahan
itu telah lahir empat orang anak yang sungguh menghibur.
Setidaknya dia selalu tampak bahagia jika bercerita tentang
anak-anak. "Tapi pernikahan saya tidak bahagia," cetusnya tiba-tiba.
Saya kaget mendengarnya. Tetapi ternyata itu belum
apa-apa dibanding kekagetan saya saat mendengar kalimat
berikut yang meluncur dari mulut lelaki berusia 35-an itu.
"Saya tidak pernah mencintainya."
A...apa maksudnya" Saya pernah bertemu istrinya dan sekejap bisa melihat
kesalihan dan komitmen perempuan itu mengasuh anak-anak, dengan tangannya sendiri. Keluarga mereka, meski
sederhana terlihat cukup bahagia, setidaknya menurut
pengamatan sepintas saya.
Lalu meluncurlah kisah dari lisan lelaki yang awalnya
cukup saya hormati karena komitmennya dalam dakwah,
bahkan tergolong senior di kalangan ikhwan (aktifis
keislaman). "Saya ingin ikhlas ketika menikah. Karenanya..."
Saya memasang wajah tidak bersemangat, berharap
lelaki itu berhenti. Sebab rasanya tak pantas dia
menyampaikan hal yang tergolong pribadi itu kepada orang
luar dan perempuan pula. "Karenanya saya memutuskan tidak melihat wajah istri
ketika kami berproses."
Lelaki itu mengalihkan pandangan ke beberapa
penumpang yang naik dan membuat bis semakin penuh
sesak. "Saya baru melihatnya setelah di pelaminan."
Ya, saya pernah mendengar kisah dari guru mengaji saya
maupun beberapa teman, tentang trend menikah di mana
ikhwan memutuskan tidak melihat calon istri. Pernikahan
dengan guru ngaji sebagai perantara. Sama seperti mediator
yang kadang dibutuhkan dalam perjodohan.Sebenarnya
tidak ada yang salah dengan itu.
Umumnya mereka diberikan foto, jadi bisa memiliki
gambaran tentang wajah calon istri. Tetapi ada juga yang
bercerita, bahwa kebalikan dari situasi muslimah yang
kerap tidak punya banyak pilihan hingga laki-laki yang
kemudian melamar adalah satu-satunya calon yang muncul,
para ikhwan justru seringkah mendapatkan banyak
penawaran pada detik mereka memutuskan akan menikah.
Penawaran dan banyak alternatif foto, yang kemudian
membuat sebagian aktifis muda itu mungkin agak sungkan,
seperti teman di had apan saya yang lalu berusaha 'ikhlas'.
Saya pernah mendengar cerita bagaimana beberapa ikhwan
membalikkan atau menutup foto-foto muslimah yang
disodorkan kepada mereka, untuk kemudian menunjuk
salah satu, tanpa melihat lebih dulu. Awalnya, cerita ini
membuat saya salut, sungguh. Menikah tanpa melihat
wajah dan fisik.Sesuatu yang makin langka, di jaman
sekarang. "Jadi saya baru melihatnya ketika kami di pelaminan,"
lelaki itu menyambung kalimatnya dengan nada murung,
"betapa kagetnya saya... karena perempuan itu sama sekali
tidak cantik!" Tidak cantik dan karenanya tidak bisa mencintai"
Tapi mereka sudah dikaruniai empat orang anak,
bagaimana mungkin" Mudah-mudahan saya tidak subjektif ketika menilai raut
istrinya yang di mata saya tergolong manis.
Sungguh perkataannya membuat saya seketika ingin
protes. Lihat Rasulullah yang bersedia menikahi perempuan yang 25
tahun lebih tua darinya, bahkan ada yang lebih tua lagi dari itu!
Lihat para sa-habiyah... perempuan yang menerima pinangan
Bilal Bin Pabah! Tetapi saya pun mengerti, betapa berlikunya jalan
menuju keikhlasan. Betapa berat menjaga suasana hati yang
sudah terkondisi agar tidak terkotori. Karenanya, saya tetap
menghormati sikap si teman yang tidak melarikan diri, dan
tetap berusaha menjadi ayah yang bertanggung jawab bagi
anak-anaknya. Dan tentu saja siapapun tidak boleh dan tidak berhak
menghakimi. Meski jika dibenarkan, ingin sekali saya
meninjunya. Depok, September 1999 Pernikahan Pertama dan Kedua
"Bagaimanakah perasaan seorang istri bila menemukan
wanita lain, tidur di kamar kosong dirumah kami dalam
ko ndisi tak berpakaian""
Aku meni kah dua kali. Bukan prestasi cemerlang
memang. Tapi juga tak perlu kututupi. Kadang, jujur masih
lebih baik daripada munafik. Meski tentu saja tak semua
orang berpendapat sama denganku. Tapi biarlah, ini
menjadi lembaran hidupku yang mungkin bisa berguna bagi
orang lain. Kadang bila kita menghadapi masalah dan tak
siap untuk menceritakannya, membaca pengalaman orang
lain juga bisa membantu kita dalam memecahkan masalah.
Inilah yang dulu tak sempat kulakukan. Semoga
pengalaman burukku tak dialami orang lain, tapi kalaupun
ada yang mengalami, mudah-mudahan tulisan ini bisa
memberi manfaat. Pernikahanku yang pertama di tahun 1994
kulangsungkan dalam usia 21 tahun. Aku terpaksa
menikah, bukan karena dijodohkan, tapi karena terlanjur
mengandung putra pertama. Bayangan-bayangan indah
seputar pernikahan sirna di rninggu pertama setelah
pernikahan kami. Dalam kondisi mengandung 6,5 bulan,
tentu saja tak ada honeyrnoon.
Menikah dengan lelaki yang usianya sebaya denganku,
belum bekerja dan merupakan drug user tentu saja
menimbulkan kesulitan besar bagiku. Tinggal di rumah
mertua makin melengkapi buruknya situasi. Semua diatur
mertua, termasuk uang bulanan jatah dari mereka, aku tak
boleh meneruskan karirku, bahkan tak boleh lagi
melanjutkan kuliah. Tugasku hanyalah menjaga kandungan dan suamiku.
Sementara tak seorang pun penghuni rumah mewah itu
berbicara padaku. Mungkin karena kami berbeda ras.
Mungkin karena aku bukan keturunan orang kaya seperti
mereka. Sehari-hari, hanya para pembantu dan tukang
kebun sajalah teman ngobrolku. Dan harus kuakui,
merekalah teman sejati yang selalu siap membantu.
Kejenuhan segera melanda, dan harapan untuk disayang
suami sirna setelah kujalani hari demi hari. Suamiku lebih
sibuk dengan teman-teman dan narkobanya. Seringkah ia
pergi malam, bahkan tak pulang hingga matahari berada
tepat diatas kepala. Kesabaranku betul-betul diuji.
Di saat aku melahirkan, dia memang mendampingi. Tapi
malamnya, dia juga tak lupa mendampingi teman-temannya gaul dan dugern. Pernah suatu hari ia merasa
sebagai Batman, lalu lompat dari kamar kami di lantai dua,
terjun bebas ke garasi. Kakinya patah dan aku harus
merawat dua "bayi" sekaligus. Pada waktu itu usia anak
kami masih 6 bulan. Pernah juga dia cemburu dan menamparku di sebuah
rnall di kawasan Jakarta Selatan. Di saat mengemudikan
mobil, ia selalu ugal-ugalan, tak per-duli pada
keselamatanku dan anaknya. Jangan tanya apakah ia
pernah membantuku mengurus anak kami. Melihat
dia ada di rumah saja sudah merupakan kemewahan bagiku. Belum
lagi berita-berita miring yang sering mampir di telingaku
seputar perselingkuhannya. Tapi aku tak pernah mengambil
sikap apapun. Selama itu tak kulihat sendiri, biarlah gosip-gosip itu terbang kesana kemari. Aku memang pernah
beberapa kali memeriksa dompetnya dan menemukan bon-bon restoran yang tak pernah kami kunjungi bersama. Atau
memeriksa Handphonenya dan menemukan pesan-pesan
'ajaib' disana. Aku bahkan pernah mengemudikan mobil
dalam kondisi mengandung tujuh bulan, hanya untuk
membuktikan bahwa suamiku sedang berada di hotel A,
kamar sekian, dengan seorang wanita.
Dan apa yang kulihat di sana membakar rasa
cemburuku. Ternyata gosip-gosip yang selama ini rajin
mampir di telingaku benar adanya. Tapi aku tetap diam.
Aku begitu takut kehilangan dia. Kehilangan statusku
sebagai istri. Bagaimana nasib anak kami nanti"
Kondisi demikian berlangsung hingga dua tahun
pernikahan. Sebagai perempuan muda yang biasa mandiri,
harus mem inta uang sekedar untuk biaya hidup dari mertua
adalah siksaan bagiku. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan
dari mertua seputar keberadaan suamiku, yang aku sendiri
tak pernah punya jawabannya karena suami memang tak
pernah pamit kalau pergi.
Aku hanya menyabarkan diri demi buah hati kami. Tapi
kejadian di suatu hari meruntuhkan semua kesabaran,
semua akal sehatku dan menenggelamkan semua rasa cinta
yang pernah ada. Bagaimanakah seharusnya perasaan
seorang istri bila menemukan wanita lain, tidur di kamar
kosong dirumah kami dalam kondisi tak berpakaian"
Salahkah aku bila aku begitu marah dan kecewa hingga
memutuskan untuk pulang kerumah orang tua" Salahkah
aku bila aku kehilangan rasa percaya yang selama dua
tahun ini kupupuk dengan begitu susah payah"
Tak perlu ditanyakan bagaimana herannya orang tuaku


Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat aku pulang memboyong anak. Selama dua tahun
masa pernikahan kami, mereka memang tak pernah tau apa
yang sesungguhnya terjadi karena aku selalu berusaha
menutupinya. Cukuplah aku memberi mereka aib. Tak
perlu aku tambah kesedihan mereka.
Tapi aku hanyalah manusia biasa yang punya perasaan
dan batas kesabaran. Aku tak mampu diam dan terus
menerima penghinaan. Maka kuputuskan untuk bercerai.
Orang tuaku hanya mampu memberi support tanpa mampu
mencegah niatku. Masa pernikahan yang sulit, bukan berarti akan
mempermudah proses perceraian. Dengan hadirnya seorang
anak di tengah kami, maka persoalan bertambah dengan
perebutan hak asuh anak. Entah terbuat dari apa hati sang
hakim, hingga akhirnya anakku jatuh ke tangan suamiku.
Padahal selama ini dia tak pernah memperdulikan anaknya.
Setelah proses perceraian yang menghabiskan seluruh
tabunganku, mantan suamiku pindah ke luar negeri dan
membawa anak kami. Hingga kini, perceraian 9 tahun lalu
itu masih sering kusesali. Kalau saja dulu aku bersikap lebih
dewasa, mungkinkah aku kini masih mengasuh anakku"
Kalau saja dulu aku tak sedemikian cemburu, mungkin kini
aku tak perlu menahan rindu untuk hanya bisa bertemu
sulungku empat bulan sekali. Dan beribu 'kalau saja'
lainnya yang kadang menari-nari dalam kepalaku.
Tapi semua sudah terjadi, dan tak ada yang bisa
kulakukan selain menerimanya dengan ikhlas. Setidaknya,
empat bulan sekali aku masih bisa melihat sulungku yang
datang berkunjung. Kini aku sudah menikah lagi. Punya rumah tangga yang
bahagia. Punya suami yang baik, setia, bertanggung jawab,
sayang padaku dan keluarga. Dia bahkan begitu cinta pada
anak sulungku. Pernikahan kami makin indah setelah putri
kecil kami lahir. Suami begitu telaten merawat putri kami.
Mulai dari meninabobokan, memandikan, bahkan
mengganti popok pun dia ahli.
Tak ada alasan untuk cemburu karena kemana pun dia
pergi, keterangan yang jelas dia berikan. Mulai pergi
kemana, dengan siapa, rneeting dimana dan jam berapa
kira-kira akan pulang. Komunikasi kami selalu terjalin
meski hanya lewat SMS. Hingga aku betul-betul tak perlu
merasa cemburu. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya
cemburu. (Kaitlyn) Catatan 3 Rombongan Gadis Yang Melamar Suami Saya
"Apa yang bisa saya katakan, ketika melihat seorang gadis
bersama rombongan keluarganya datang dan melamar suami
saya"" Satu hal yang tak pernah lupa saya syukuri dari
rangkaian acara launching buku atau temu penulis yang
harus saya hadiri, adalah kesempatan untuk bertemu dan
belajar dari banyak orang.
Seperti pada acara launching buku Kisah Kasih dari
Negeri Pengantin (yang dicetak ulang dengan judul: Kisah
Seru Pengantin Baru), yang membawa saya ke Makassar.
Acara yang bertempat di ruang pertemuan kecil di salah
satu rumah makan terkenal itu bukanlah acara utama.
Kegiatan sebenarnya adalah diskusi kepenulisan terkait
buku baru saya saat itu, Aku Ingin Menjadi Istrimu.
Sedikit terlambat hadir pembicara lain, yang segera
mengambil tempat di sisi saya. Pada pandangan pertama,
saya sudah dibuat terkesan oleh Ustadzah yang usianya
lebih dari separuh abad itu. Saya bisa merasakan sikapnya
yang tenang, bijak dan meneduhkan.
Hanya saja saya tidak mengira, momen peluncuran buku
baru yang berisi kisah-kisah pernikahan dari proses hingga
adaptasi dan semua perniknya, menyentuh hati Ustadzah
hingga tergerak membagi satu bagian dalam hidupnya, yang
selama ini tidak pernah dibicarakannya secara terbuka.
"Apa yang bisa saya katakan, ketika melihat seorang
gadis bersama rombongan keluarganya datang dan melamar
suami saya"" Gadis baik-baik. Pertemuan si gadis dan suami Ustadzah
berlangsung di luar kota, kebetulan sang suami memang
sering bepergian dalam waktu cukup lama.
"Tentu saja saya sedih, terpukul... tetapi di sisi lain saya
juga menyadari: suami saya orang baik, pintar, saleh. Wajar
jika ada perempuan lain yang jatuh cinta, kan" Padahal
selisih usia mereka cukup jauh."
Dengan suara tertahan, Ustadzah melanjutkan kisahnya,
"Saya sempat bertanya kepada Allah, kenapa ujian ini
diturunkan sekarang" Di saat usia saya jauh dari muda.
Saya terus mencoba mencari jawaban."
Seperti audiens, saya pun tersihir untuk terus mengikuti
kisah yang dituturkan perempuan berjilbab itu.
"Lalu tiba-tiba saya melihat kejadian ini bukan sebagai
ujian, melainkan pertolongan Allah. Bagaimana pun saya
sudah tua. Mungkin karena itu Allah ingin meringankan
beban dan tanggung jawab saya sebagai istri. "
Ada air mata yang menitik. Bentuk kepasrahan
perempuan itu. Kami belum lama berjabat tangan tetapi
sikap dan upayanya berpikir positif, membuat saya dengan
cepat berempati, "Hari-hari saya setelah itu adalah doa. Saya terus
menghitung nikmat Allah yang lain.Saya sadar Allah telah
memberi saya banyak sekali kebahagiaan. Salah satunya
anak-anak. Yang hingga besar, belum pernah melukai hati
saya. Prestasi akademis mereka pun luar biasa. Satu hal
yang menggembirakan saya, untuk keputusan-keputusan
penting dalam hidup, mereka selalu menimbang perasaan
saya, menanyakan keridhaan saya."
Ada sejuk yang tiba-tiba menyapa hati.
Sebagai sesama perempuan, saya tidak bisa
membayangkan betapa kuatnya sosok yang berdiri di
samping saya. Sementara saya mungkin akan ber sikap
seperti kebanyakan perempuan yang hanya bisa menangis,
tergugu dan tiba-tiba merasa kehilangan pegangan, jika
suami harus membagi kasih, cinta dan perhatiannya pada
perempuan lain. Ketika acara selesai dan kami berjabatan tangan untuk
terakhir kali, saya menatap kedua mata Ustadzah yang
teduh, seraya diam-diam berdoa.
Semoga Allah pun menjaga mata dan hati saya, agar
selalu bisa menangkap hikmah, betapapun kesedihan
membenamkan. Amin. Kebanggaan Seorang Istri "Saya tidak punya kelebihan seperti kalian. Dan bisa
menikah dengan lelaki ini jauh melampaui impian saya!"
Kami mengenalnya sejak masa kuliah. Seorang
muslimah berjilbab yang selalu merasa dirinya biasa-biasa
saja. "Saya tak punya kelebihan seperti yang lain," kalimatnya
suatu hari, yang dengan cepat kami bantah.
"Sungguh. Kamu bisa menulis, Asma. Sedang kamu jago
memasak dan kamu pintar dalam hampir semua mata
kuliah." Ujarnya sambil menunjuk muslimah yang lain.
"Semua orang pasti punya kelebihan." Saya bersikeras.
Si Muslimah menggeleng, "kecuali saya."
Perdebatan kami berlangsung seru.
"Saya bukannya tidak bersyukur atas semua yang Allah
berikan," tukasnya lagi membela diri. "Tetapi""
"Tapi kenyatannya saya memang
tidak memiliki sebuah potensi yang bisa dibanggakan. Tidak seperti yang lain."
Sewaktu tahun-tahun kuliah berlalu, dialog itu hampir
terlupakan. Hingga saya bertemu lagi dengannya suatu sore.
Wajah muslimah tersebut sumringah.Senyumnya terus
mengembang, dan keriangan di matanya seperti kerlip
bintang yang bisa saya lihat saat menengadah dari halaman
rumah. "Saya akan menikah," katanya.
"Benarkah"" Begitu mendadak, pikir saya. Tapi mungkin
memang tidak perlu waktu banyak untuk merasakan sang
jodoh telah tiba. Seperti yang saya dan teman-teman lain
rasakan. Kami gembira, salah satu teman yang belum
menikah sebentar lagi akan menggenapkan separuh dien.
"Dengan siapa"" Pipinya yang putih segera merona
kemerahan. Lalu dengan senyum yang tak juga hilang,
muslimah tersebut menceritakan perkenalannya dengan
seorang pria berkewarganegaraan asing.
"Tidakkah terlalu cepat"" Seorang diantara kami
bertanya. Muslimah tersebut menggeleng. Lalu dengan
semangat berapi-api mengungkapkan kelebihan-kelebihan
sang calon. "Or angnya ganteng." Kami semua tertawa
mendengarnya, bukan karena tak percaya, tapi melihat
bagaimana tingkah si muslimah yang sampai
mengacungkan dua ibu jarinya.
"Terus"" "Saya bertemu dia di perpustakaan."
"Lalu"" "Lalu lelaki itu mengikuti saya, dan memberikan kartu
namanya, sambil memohon saya memberikan alamat agar
dia bisa datang dan..."
"Dan"" Kami semua menunggu. Muslimah tersebut nyaris
berteriak ketika menuntaskan kalimatnya, "Dan dia bisa
melamar saya!" Ajaib!
Seperti dongeng. Pikir teman-teman saya ketika itu.
Sejujurnya batin saya membisikkan sesuatu yang aneh.
Entah kenapa, semuanya serba too good to be true. Dan
alarm hati saya selalu menjadi lebih sensitif setiap kali
berhadap dengan segala sesuatu yang terlalu sempurna.
"Jangan tergesa-gesa dulu," ujar saya.
"Kenapa"" "Kamu harus kenal lelaki itu dengan lebih baik."
"Sudah!" jawabnya cepat.
"Dan"" "Dia pernah menikah, tapi sudah bercerai. Mantan
istrinya kini tinggal di luar negeri."
Saya dan teman-teman berpandangan. Tetapi kenyataan
bahwa calon suaminya seorang duda tampaknya tidak
menggoyahkan niat teman saya tersebut.
"Kamu harus bertemu dengan mantan istrinya, minimal
bicara." "Saya tidak harus melakukan itu," kalimatnya bersikeras,
"sebab saya percaya kepadanya."
Kami menyerah. Dan sepanjang jalan, si muslimah terus
memuji-muji calon suaminya yang warga negara asing itu.
Di sampingnya sang kakak yang mendampingi dan
cukup dekat dengan kami, ikut menasihati. Tapi
pendiriannya tak berubah.
Dia tidak hanya ganteng, tapi juga cerdas! Dia sangat
pintar bicara. Pengetahuannya begitu luas. Keislamannya
pun baik. Lalu sebelum berpisah, muslimah tersebut menutup
dengan sebuah kalimat yang dulu akrab dengan kami,
"Saya tidak punya kelebihan seperti kalian. Dan bisa
menikah dengan lelaki ini jauh melampaui impian saya!"
Kami mendadak sadar, dan tak ingin merusak
kebanggaannya. Pernikahan tetap berlangsung. Sekalipun sang kakak dan
ibu si muslimah awalnya menentang keras. Perlahan
seluruh keluarga luluh dengan pembela an-pembelaan si
muslimah. "Saya harus menikah dengan dia. Dia adalah hal terbaik
yang pernah datang dalam hidup saya!"
Saya hadir dan menikmati kegembiraan teman tersebut,
dalam pernikahan yang diadakan besar-besaran. Maklum
keluar ga mereka adalah keluarga terpandang. Kedua orang
tua si muslimah adalah pejabat teras kala itu.
Sebelas hari setelah pernikahan, kakak si muslimah
datang kepada saya, sambil menangis.
"Lelaki itu brengsek!" Lalu mengalirlah cerita demi cerita
tentang suami adiknya. "Hanya sepuluh hari setelah menikah, lelaki itu sudah
main perempuan lain, Asma!"
"Kakak yakin""
Sang kakak mengangguk. "Sepuluh hari! Ya Allah. Bukan hanya saya yang
memergoki, tapi juga om, tante, saudara-saudara kami."
"Mungkin perempuan itu rekan kerjanya, kak."
Saya mencoba berprasangka baik.
"Tidak. Saya yakin tidak." Si kakak bersikeras.
Pembicaraan putus sampai di situ. Hingga dua bulan
kemudian sang kakak datang lagi kepada saya, dengan
tangis terisak menceritakan ulah adik ipar yang tak hanya
main perempuan, tapi membawanya ke rumah.
Saya hanya bis a beristighfar. Ingin saya memeluk dan mengalirkan ketabahan kepada
si muslimah jika nanti kami bertemu. Kelakuan suaminya
sudah keterlaluan. Tapi alangkah kagetnya ketika suatu hari kami tidak
sengaja berpapasan dan si muslimah menceritakan tentang
kabarnya setelah pernikahan, suami juga anak yang kini
dikandungnya dengan nada gembira.
Saya melih at matanya yang sembab, bahkan le-bam biru
di pipinya. Tapi seolah tak menghiraukan tatapan saya, si
muslimah terus saja berbicara tentang kebaikan-kebaikan
suaminya, kejutan-kejutan manis, canda dan kelucuannya.
Dan ketika saya nyaris berbicara, muslimah tersebut
menatap saya, dan kembali mengulang kalimatnya,
"Asma, dia adalah hal terbaik yang pernah datang dalam
hidup saya!" Ingin sekali saya bisa memercayai perkataannya. Tapi
kabut di matanya, lalu bibir yang bergetar, membuat saya
tidak tahu apa yang harus saya percayai.


Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Muslimah ini lalu mengalihkan pembicaraan ke hal lain.
Persiapan-persiapan selama masa kehamilan, dan kelahiran
nanti. Saya tak sanggup bicara. Ketika teman saya itu melahirkan bayi pertamanya, saya
mampir dan bertemu dengan ibu si muslimah yang
kesehatannya jauh menurun sejak pernikahan anak
bungsunya. "Kasihan dia... kasihan. Menikah dengan lelaki yang tak
punya tanggung jawab. Malah menyakiti saja kerjanya!"
Dengan tangis yang panjang pendek, ibu si muslimah
merangkul saya dan menumpahkan semua. Lebih dari yang
bisa saya tampung. "Dia tidak pernah bekerja, Asma! Anak saya yang harus
membiayai semua. Dia jarang pulang. Bahkan tak pernah
peduli dengan darah dagingnya sendiri! Belum setiap hari
dia minum, dan memukuli bungsu saya. Kenapa dia tidak
menceraikan saja anak saya, daripada membuatnya
menderita seperti itu""
Saya tak bisa menjawab pertanyaan itu. Tidak dengan
sikap tertutup si muslimah, yang menyambut saya dengan
senyum dipaksakan. Mendadak saya ingat, dulu sekali kami
biasa bicara terbuka, bebas, kedekatan yang sudah lintas
keluarga. Kapan semuanya berubah" Sejak dia menikah,
kah" "Ini anakku, Asma."
Berkata begitu si muslimah menyodorkan seorang bayi
tampan ke hadapan saya. "Ganteng kan seperti papanya"" lanjutnya lagi sambil
mencium si bayi dalam-dalam. Lalu sederet cerita tentang
kebaikan suaminya mengalir.
"Dia membelikan ini buat anak pertama kami," tuturnya
dengan keriangan anak-anak. Pernikahan mereka masih
berlangsung hingga saat ini. Beberapa kali saya bertemu
dengan teman saya tersebut yang tampak selalu berganti
pekerjaan. Anak mereka sudah dua.
Dan sang suami tak kunjung berubah.
Di hadapan saya, si muslimah memangku bayinya yang
kedua. Seperti yang sudah-sudah, tak berhenti bercerita
tentang suami yang dia banggakan. Di kursi, saya terpaku.
Tidak tahu harus berbicara apa. Sementara sepasang mata
tua milik ibu si muslimah, menatap kami dengan
pandangan berkabut. Catatan 4 Jika Saya Dan S uami Bercerai
Kami berdua tidak bisa menebak takdir di masa depan.
Apakah pernikahan kami akan langgeng hingga kematian
memisahkan, atau tidak Saya tidak pernah memikirkan itu sebelumnya. Rumah
tangga kami bukan tanpa masalah. Sebagaimana pasangan
muda lain, satu dua pertengkaran lumrah rasanya. Lalu
kenapa saya mendadak berpikir, what if..."
Ya, bagaimana jika saya dan suami bercerai" Ini gara
gara saya tidak bisa menutup kuping terhadap berita
perceraian yang kian hangat di kalangan selebritis. Meski
nyaris tidak pernah menyengajakan diri menonton
infotaintrnent, tapi entah bagaimana info tersebut sampai
juga ke telinga. Kadang lewat headline surat kabar
infotaintrnent yang seakan disodorkan ke wajah kita, setiap
mobil berhenti di perempatan lampu merah atau pom
bensin. Terkadang saya tidak sengaja mendengarnya dari
percakapan mbak Tri yang sudah lama membantu keluarga
kami di rumah, dengan Ibu mertua, atau dari siaran tivi di
ruang tengah yang menembus pintu kamar saya.
Meski tidak terlibat, apalagi mengenal sosok artis yang
menjadi sorotan berita, saya selalu merasa sedih setiap
mendengar perceraian. Apalagi jika diikuti kemarahan.
Saya tidak mengerti. Bagaimana dua orang yang dulu
amat sangat mencintai kini sanggup saling menyakiti
Bagaimana mereka bisa saling membenci dan mengibarkan
bendera permusuhan" Begitu mudahkan cinta yang telah
mengakar tercerabut tanpa bekas"
Yang lebih membuat saya sedih adalah jika keduanya
sudah memiliki anak. Saya tidak bisa membayangkan
bagaimana jika sikap menyerang dan saling menyakiti
terbaca dan sampai ke telinga anak. Ketika suami istri mulai
memerinci kekurangan, berlomba mengatakan hal-hal
buruk satu sama lain, bahkan membongkar aib pasangan...
lantas kenangan indah apa yang akan tersisa di benak anak-anak , tentang ayah dan ibu mereka"
Soal ini terasa lebih mengganggu ketika seorang saudara
kami bercerai. Saya memaklumi kemarahan si suami karena
sang istri yang menelantarkan anak -anak, bahkan
menginap demi lelaki lain. Kemarahan yang kemudian
meluas ketika masalah ini juga diceritakan pihak suami
kepada ibunya. Gelombang amarah membesar karena
dengan cepat persoalan itu sampai ke pihak keluarga besar,
sampai detil yang tak pantas dibicarakan.
Julukan kepada si istri yang bersalah pun diberikan.
Salah seorang kerabat bahkan sempat memanggil dengan
sebutan (maaf ) 'kuntilanak' ketika anak-anak yang
kehilangan sosok ibunya, bertanya tentang keberadaan ibu
mereka. "Kuntilanak itu nggak usah ditanya-tanya. Udah pergi!"
Hati saya terluka mendengar kalimat itu. Luka yang
sama ketika saya menemukan seorang teman yang mencoba
mewariskan kemarahan dan kekecewaannya setelah sang
suami serong dengan perempuan lain.
"Pokoknya Mama nggak mau kamu terima telepon Papa.
Papa sudah tidak sayang sama kita. Papa sudah punya
keluarga lain. Ngerti""
Kejadian itu tertanam di benak saya. Kemarahan
memang kerap membuat kita kehilangan akal sehat....
kemampuan untuk berpikir jernih dan melakukan hal yang
benar. Begitu kuatnya kejadian ini hingga suatu malam saya
mengajak suami sama-sama berjanji.
"Bunda ingin ayah berjanji," ujar saya sungguh-sungguh.
Semula suami tidak terlalu menanggapi, sampai saya
melanjutkan kalimat, "Bunda ingin ayah berjanji, jika kita bercerai..."
"Ya"" Saya menyusun kalimat. Kami tidak ada masalah,
bagaimana agar saya tidak terlihat aneh sebab tiba-tiba
mengangkat persoalan serius ini dalam percakapan kami.
"Bunda ingin ayah berjanji, siapa pun yang bersalah...
maka hanya kita berdua yang tahu. Jika ayah yang salah,
hanya bunda yang tahu. Begitu-pun sebaliknya." Suami
menoleh dan memandang lembut ke arah saya,
"Kenapa bunda tiba-tiba ngomong begitu"" Kenapa"
Kemarahan, kebencian, sikap saling tuduh dan
menyerang itu mampir lagi di ingatan. Juga kejadian
perselingkuhan yang berakibat perceraian yang dialami
saudara kami baru-baru ini, seperti slideshow yang
berulang-ulang ditayangkan.
"Sebab, ketika masalah diketahui orang lain, maka akan
menyebar dan menimbulkan kemarahan yang luas. Bunda
nggak ingin kalimat-kalimat jelek nantinya sampai ke
telinga anak-anak." Suami tampak tercenung. Saya lega ketika dia akhirnya
mengangguk, "Ayah janji." "Bunda juga janji..."
Kami berdua tidak bisa menebak takdir di masa depan.
Apakah pernikahan kami akan langgeng hingga kematian
memisahkan, atau tidak. Tetapi kami samasama mengerti:
Cinta pada pasangan bisa hilang.
Suami istri bisa berpisah dan berakhir di perceraian.
Tetapi tidak ada yang bisa memutus hubungan yang
sudah terjalin di antara orang tua dan anak. Dan karenanya,
tidak ada seorang pun yang berhak merusak kenangan
indah yang dimiliki anak-anak tentang ayah bunda mereka.
Rumah, Agustus 2002 Catatan 5 Lagi, Pertanyaan Untuk Lelaki
Bagaimana lelaki bisa begitu mudah meniduri perempuan
yang tidak dikenalnya"
Pertanyaan ini meloncat-loncat di benak saya, ketika
suatu malam bersama seorang teman mengunjungi sebuah
lokalisasi pelacuran di bilangan Tanah Abang.
Negosiasi yang tidak mudah antara si teman dengan
'Papi' yang mengelola pelacuran tersebut. Permohonan saya
untuk bisa melihat komplek pelacuran dari dekat rupanya
diterima dengan curiga oleh Papi.
"Dia polisi, ya""
Teman saya menggeleng dan mencoba meyakinkan
bahwa saya hanya seorang penulis yang ingin observasi dari
dekat, terkait buku yang sedang saya tulis.
"Wartawan"" kejar salah seorang dari sekian banyak
penguas a di komplek pelacuran murahan itu lagi.
Teman saya kembali menggeleng. "Cuma penulis."
Meski begitu tetap saja si 'Papi' tampak ragu sebelum
akhirnya memberikan izin. Meski sudah di-bolehkan, laki
laki itu kembali khawatir ketika mengetahui bahwa saya
berjilbab. "Wah, apa kata para pelanggan sini"" cetus si Papi
cemas, "Apa nggak bisa dia nyamar kali ini dan buka jilbab
dulu"" Teman saya mencoba meyakinkan, bahwa saya tidak
akan menimbulkan masalah bagi bisnisnya di malam saya
datang nanti. Akhirnya dengan berat hati laki-laki gemuk itu pun
mengizinkan. Jadilah saya melakukan 'perjalanan' malam. Dan karena
ini hal baru, saya benar-benar terbilang norak. Teman yang
menyertai beberapa kali harus mengingatkan agar saya
tidak memandang lekat, atau memelototi 'pasangan-pasangan' yang mojok di sisi-sisi yang temaram.
Ada yang mengobrol berdekatan sambil berdiri. Ada
yang pangku-pangkuan. Ada tangan-tangan yang 'gerilya'
ditingkahi tawa geli di tengah suara musik yang hingar
bingar. Tempat lokalisasi yang melewati rel kereta api, bermula
dari sebuah gang kecil yang kumuh dan berakhir di sebuah
jalan raya yang dipenuhi oleh gudang-gudang penyimpanan
barang ekspedisi. Kawasan ini relatif tidak jauh berbeda di siang hari.
Namun ketika malam merangkak, kursi-kursi panjang
dile takkan melintangi jalur kereta api, setelah kereta api
terakhir berlalu Di atasnya terdapat banyak sekali botol minuman keras
dan gelas-gelas berukuran tinggi.
Lapak-lapak judi koprok dan berbagai jenis rolet dengan
hadiah uang atau beberapa bungkus rokok, dalam hitungan
menit sudah terhampar serta dikerumuni 'penggemarnya'.
Dengan cepat beberapa lelaki sudah asyik ngobrol
dengan perempuan-perempuan yang rata-rata muda usia
dan meramaikan kursi kayu panjang yang disediakan.
Sepanjang itu pula perempuan-perempuan muda berdiri,
tersenyum, tertawa dan berusaha menggaet perhatian. Daya
tarik mereka segera mendatangkan hasil. Kaum lelaki
berbagai usia, bermacam suku dalam sekejap mengerubung
seperti laron yang terpikat lampu neon.
Mereka yang ingin tempat nongkrong lebih tertutup bisa
masuk ke dalam kedai-kedai minum dan memulai kencan di
sana sebelum kemudian berlanjut ke kamar-kamar sempit
berukuran 1,5 x 2 meter, setelah harga disepakati.
Uniknya lagi, keramaian di lokalisasi itu tidak berhenti,
meski bulan Ramadhan datang.
"Tapi biasanya hanya malam, mbak... siangnya kan
puasa." Tutur seorang pelacur yang saya ajak bicara.
Selama obrolan, saya menekan kuat-kuat perasaan mual
yang tiba-tiba melanda. Membayangkan begitu banyak
lelaki yang menjadi pelanggan. Apa yang mereka lakukan
di sana sungguh membuat saya ingin muntah.
Mual dan ketidakmengertian yang panjang.
Bagaima na lelaki bisa mudah berhubungan intim dengan
perempuan yang tidak dia kenal" Saya tahu, kalimat itu bisa
saja dibalikkan, "Apa bedanya dengan para pelacur yang melakukan itu
dengan lelaki asing"" Saya juga tahu, tidak bisa membela
diri dengan: Mereka terpaksa melakukannya, dengan alasan yang
kuat. Mereka ...bekerja. Maafkan saya yang tanpa bermaksud menyoal perbedaan
perempuan dan laki-laki, tetap saja melemparkan keheranan
ini. Bagaimana lelaki bisa tergoda ke arah sana begitu
mudah" Dalam situasi normal, saya kira akan sulit bagi
perempuan untuk membangunkan hasrat mereka hingga
mampu melakukan hubungan fisik seperti itu dengan lawan
jenis, tanpa cinta. Tentu saja saya tidak mengatakan bahwa dengan cinta
hal itu menjadi benar untuk dilakukan. Tidak. Hubungan
yang halal tidak cukup hanya dilandasi cinta, melainkan
juga harus berada dalam atap pernikahan. Saya hanya
mempertanyakan pembelaan para lelaki yang ketahuan
tidur dengan perempuan lain, seperti ini:
- Ini hanya sebuah kekeliruan kecil yang manusiawi...
- Terjadi begitu saja, tanpa saya sadari!
- Hubungan itu hanya sekali dan tidak berarti apa-apa, sayang!
- Cobalah mengerti. Ini cuma seks, bukan cinta!
Bahkan seorang teman menceritakan komentar
suaminya, ketika mereka berandai-andai jika suami tidur
dengan perempuan lain, "Apa salahnya" Jika suami diibaratkan teko... isinya
boleh saja tumpah ke mana-mana, yang penting kan
tekonya balik ke rumah!" Laki-laki. Tetap saja saya tidak mengerti.


Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

31 Desember 2003 Saat Cinta Berpaling Darimu
"Suami adalah tipe lelaki serius, pendiam dan sangat
dewasa. Lalu bagaimana ada kontak bernama " Spongebob
di listnya"" Saya tidak ingin cemburu Selarna menikah, saya pikir tidak ada kamus cemburu
dalam rumah tangga kami. Seperti keluarga lain yang
berusaha menerapkan kehidupan religius da lam
keseharian, kami percaya prinsip saling jujur dan percaya
merupakan hal yang harus ada.
Apakah suami saya tidak tampan"
Tentu saja bukan karena itu. Meskipun saya memilihnya
bukan karena wajah atau penampilan luar, saya mengakui
betapa menariknya suami. Ini terbukti dari banyak gadis di
kampusnya dulu yang jatuh hati, bahkan terang-terangan
mengatakan itu ketika walirnahan. Di hadapan kami, dua
orang gadis mengatakan sempat naksir kepada suami saya,
semasa di kampus. Saya yang mendengarkan kalimat yang disampaikan
serius meski dengan nada bergurau itu hanya tersenyum.
Usia saya masih terbilang muda, hanya dua puluh dua
tahun, tetapi tidak sedikitpun rasa cemburu menyelinap.
Apakah saya terlalu percaya diri" Saya kira tidak.
Sebaliknya saya cukup tahu diri dengan wajah yang pas-pasan. Entahlah, tapi saya yakin suami mencintai saya apa
adanya. Dan caranya mengungkapkan itu selama ini jelas
memiliki andil besar dalam ketenangan saya.
Sebelum menikah saya tidak pernah berpacaran,
memang sempat dekat dengan satu dua lawan jenis, tapi
hubungan kami lebih seperti sahabat ketimbang pacar.
Sekalipun ketika itu saya belum berjilbab, tetapi kesadaran
menjaga diri saya memang cukup tinggi. Saya tidak mau
berduaan di tempat sepi, bahkan ketika dibonceng motor
pun, tangan saya bertahan hanya memegang bawah jok
motor, dan tidak pernah melingkar manis di pinggang
teman pria. Otomatis ketika menikah, maka suami menjadi lelaki
pertama di luar keluarga yang memiliki kontak fisik. Dan
saya percaya, hal inilah yang dengan cepat membangun
cinta yang sebelumnya tidak ada di antara saya dan suami.
Maklum kami menikah tidak melalui proses pacaran.
Apalagi suami benar-benar memperlakukan saya seperti
ratu. Tidak jarang dia memberi surprise dengan
menyiapkan sarapan pagi ketika dia bangun lebih awal, dan
kejutan-kejutan manis lainnya.
Dia adalah sosok suami dan ayah yang baik. Tipe family
rnan yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah
selepas pulang kerja dan tidak pernah keluyuran.
Begitulah, hingga anak keempat lahir, tidak ada cemburu
diantara kami. Rumah tangga tetap ten-tram. Demi
komitmen kepada keluarga, sejak anak pertama lahir, saya
memutuskan bekerja di rumah. Perkerjaan saya sebagai
illustrator buku anak cukup memungkinkan untuk itu.
Semua terasa sempurna. Saya kira itu jugalah yang ada
di gambaran orang luar tentang keluarga kami. Bahkan
kerap saya atau suami menjadi tempat curhat keluarga lain.
Beberapa istri yang dihantui oleh kecemburuan karena
suami mereka yang sewaktu menikah cukup baik
keislamannya, tetapi sekarang mulai tampak 'genit' selalu
saya nasehati untuk tetap berpikir positif dan tidak berburuk
sangka terhadap suami. "Barangkali pekerjaan suamimu
menuntut itu." "Lingkungan pergaulannya memang kalangan
Professional, saya kira dia hanya berusaha tampil lebih
luwes di kalangan umum."
Saran lain yang kerap lahir dari lisan saya,
"Nikm ati saja...kan bagus suami merawat diri. Istri-istri
lain banyak lho yang ngeluh karena suami mereka sama
sekali tidak memedulikan penampilan ketika keluar rumah."
Dan saya bahagia jika para istri yang cemburu dan
khawatir suami mereka diam-diam sudah menikah lagi,
kemudian bisa mengusap air mata dan pulang dengan lebih
tenang. Karir yang melesat Seiring waktu, karir suami melesat jauh lebih baik dari
yang bisa kami harapkan. Ketika menikah, penghasilan
suami hanya dua atau tiga ratus ribu rupiah perbulan, dari
pekerjaannya di bidang edu-taintment. Tetapi sekarang
meningkat berpuluh lipat, seiring bertambahnya anak kami.
Beberapa teman sesama muslimah sempat menggoda
penampilan suami yang menurut mereka makin modis. Ada
juga yang membisiki saya dengan kalimat serius,
"Hati-hati puber kedua suami l
ho, dik..." Seperti biasa saya hanya tertawa. Tentu saja mata saya
tidak luput terhadap perubahan penampilan suami. Tetapi
kepercayaan terhadap lelaki itu tidak pernah berkurang
sedikit pun. Sebab kecuali penampilan, tidak ada yang
berubah. Perhatiannya terhadap saya dan anak-anak tidak
berubah. Kejut an-kejutan manisnya masih ada. Kami
masih sering jalan dan makan malam berdua seperti
layaknya pengantin baru. Bicara soal ibadah" Alhamdulillah suami masih menjaga ibadahnya seperti
ketika dia masih aktifis rohis di kampus. Shalatnya masih
tepat waktu. Tidak hanya itu, kebiasaan shalat malamnya
tidak hilang. Pun puasa Senin Kamis. Jadi apa yang harus
saya khawatirkan" Setiap hari lelaki itu tetap pulang tepat
waktu. Memang ada beberapa kali dalam sebulan, agenda
keluar kota, biasanya ke Bogor, tetapi semua murni terkait
pekerjaan. Jadi tidak ada alasan bagi saya untuk cemburu hanya
karena dia sekarang lebih rapi, memilih baju dan sepatu
yang bermerek, atau rutin menyemprot parfum sebelum
keluar rumah. Saya tidak ingin hati mengambil alih logika. Apalagi
sejauh ini perasaan saya masih tentram dan sama sekali
tidak ada kecurigaan apa-apa. Sekalipun suami memegang
dua handphone kemana-ma na, saya merasa tidak perlu
mencurigai apalagi terdorong untuk mengecek siapa saja
yang diteleponnya seharian itu, atau mencuri-curi membaca
deretan SMS yang diterimanya.
Hanya istri-istri yang tidak percaya pada kekuatan
hubungan dengan pasangannyalah yang melakukan hal
demikian, pikir saya. Berita suami si A selingkuh. Atau suami si B dan C
berpoligami,tidak juga membuat saya menjadi istri yang
paranoid. Cemburu bagi saya hanya menyesakkan hati.
Sementara dengan hati suram, bagaimana saya bisa
maksimal merawat anak-anak dan suami" Belum lagi
mengerjakan order-order ilustrasi yang sering datang tiba-tiba"
Bisa-bisa gara-gara istri yang cemburuan suami menjadi
pusing dan jenuh berada di rumah. Dan saya menjaga betul,
agar suami senantiasa nyaman dan merasa teduh sepulang
dari kantor. Perempuan misterius Alhamdulillah logika saya sejauh ini selalu menang.
Konon diantara muslimah semasa di kampus, saya
termasuk yang porsi logikanya sering disamakan dengan
lelaki. Ketika muslimah lain menangis, ngarnbek dan
marah-marah, saya masih bisa berpikir rasional dan melihat
masalah dengan jernih. Suami tahu itu dan kerap memberi
pujian. Suatu hari ponsel suami yang CDMA tertinggal.
Kebetulan saya baru saja ganti handset karena ha-ndphone
hilang sehari sebelumnya. Karena memerlukan beberapa
kontak, tanpa ragu saya pun meraih handphone suami.
Sebab biasanya suami juga menyimpan beberapa nomor
kontak saya. Awalnya saya tidak terusik untuk membuka in-box SMS
suami. Hanya menelusuri deret huruf kontak yang saya
perlukan. Hingga kemudian saya menatap satu nama yang
menurut saya ganjil berada di sana.
Suami adalah tipe lelaki serius, pendiam dan sangat
dewasa. Lalu bagaimana ada kontak bernama "Spongebob"
di listnya" Ada sesuatu yang tiba-tiba berdetak di hati, namun saya
lawan sebisanya. Pastilah ini hanya gurauan. Bisa jadi
ketika saya buka, nomor tersebut merupakan nomor
handphone adik perempuan, sepupu atau keponakan atau
bisa jadi teman kantor. Saya bayangkan suami akan
terpingkal-pingkal ketika saya ceritakan hal ini.
Saya ingat sempat termenung beberapa lama sebelum
membuka kotak SMS. Bagi saya HP dan agenda adalah hal
yang private dan saya sangat menghormati privacy suami.
Tapi entah ada apa hari itu, firasat seorang istrikah yang
akhirnya membuat saya bereaksi berbeda"
Untuk pertama kalinya logika saya kalah. Saya akhirnya
tergoda untuk menggerakkan jari memencet keyphone
untuk membuka baris SMS yang masuk. Debaran di hati
saya bertambah kencang ketika saya menemukan empat
SMS dari si 'Sponge bob'.
Saya membaca basrnallah dan berdoa sebelum akhirnya
memutuskan membaca SMS misterius tersebut. SMS
pertama dan kedua hanyalah kalimat resmi tentang janji
temu. Tetapi menginjak SMS ketiga, saya kaget menemukan
kalimat-kalimat mesra di dalamnya. Tetapi bukankah siapa
saja bisa berkata mesra"
Bukankah yang lebih penting adalah bagaimana sikap
suami terhadap y ang bersangkutan dan bukan sebaliknya"
Nalar saya bicara. Saya tutup kotak pesan masuk, dan
mencoba menelusuri box sent item. Kepala saya mulai
berdenyut. Jari-jari saya gemetar saat menemukan empat
SMS dari suami sebagai balasan terhadap SMS si
'Spongebob' SMS pertama biasa saja. Tetapi SMS kedua"
Hari ini menemani anak-anak karate. Sayang sedang
apa" Jangan terlambat makan, ya"
Saya periksa tanggal SMS tersebut dikirimkan. Ahad
lalu, hari yang sama ketika suami menemani ketiga anak
kami latihan karate. Sementara saya seharian di rumah
menemani si bungsu yang sedang sakit.
Ketika membaca SMS-SMS balasan berikutnya,
perasaan saya semakin diremas-remas. Kedua kaki saya
seakan lump uh dan tidak bertenaga. Sementara kepala
sontak berdenyut-denyut. Ahh, bagaimana mungkin"
Suami saya lelaki yang taat beribadah. Al Ma' tsuratnya
tak pernah tertinggal setiap shalat subuh. Dia mungkin
lelaki terakhir yang akan saya curigai untuk berselingkuh.
Mungkinkah semua ini hanya guyonan"
Tidak, dia tipe pemikir dan amat menjaga pergaulan
dengan lawan jenis. Saya tidak bisa menemukan alasan
suami memanggil perempuan lain dengan sebutan 'sayang'!
Kemesraan di dalam SMS-SMS berikutnya yang dikirim
suami, semakin mengukuhkan jalinan cinta keduanya.
Betapa pun saya berusaha berprasangka baik, sia-sia bagi
saya menemukan sudut pandang yang mungkin bisa
membantah kecemasan saya.
Sesorean itu saya perpanjang shalat ashar dan
menenangkan diri dalam tilawah. Saya menangis. Lima
belas tahun pernikahan, belum pernah sekalipun suami
membuat saya menangis. Tapi hari itu saya benar-benar
terisak. Ketika suami pulang, saya mencoba menahan diri dan
melayaninya seperti biasa. Tetapi tangis yang saya tahan
akhirnya tumpah juga ketika kami sudah berada di tempat
tidur dan siap beristirahat. Dengan lembut seperti biasa
suami menanyakan apa yang membuat saya begitu sedih.
Saya tidak menjawab. Saya raih handphone, membuka
sent item dan saya sodorkan SMS yang diketik suami untuk
si 'Spongebob'. Sikap saya berubah dingin. Saya perhatikan raut wajah
suami berubah, tidak lama kemudian dia te risak-isak dan
merengkuh saya. "Aa minta maaf. Aa khilaf..." Ada air mata yang kini
juga jatuh di pipi suami. Dia pandangi saya, dia usap-usap
wajah saya seraya rnengulangulang permintaan maafnya.
"Tapi belum jauh, dik. Tidak ada yang terjadi."
Berawal di dunia maya, kedekatan mereka terjalin.
"Usianya tiga puluh tahun, belum menikah... dia tinggal
di Bogor." Gadis itu sering curhat kepada suami soal apa saja.
"Sudah berapa lama, Aa"" Suami saya diam. Matanya
tampak ragu. "Saya ingin Aa jujur...Tidak apa."
Lelaki itu terdiam, menghela napas. "Tiga tahun, dik."
Saya tercenung mendengar pengakuannya. Tiga
tahun...begitu lama. Bagaimana mata saya bisa dibutakan
selama itu" Di sisi saya, suami terisak.
Pembaca, setelah dialog malam itu, sulit bagi saya
membangun kepercayaan kepada suami. Saya terus-menerus memikirkan angka 3 tahun itu, imajinasi saya
berputar-putar. Tiga tahun waktu yang lama, apa saja yang
sudah terjadi di antara mereka" Hancur hati saya
membayangkannya. Sementara ini saya mengungsi di rumah Ibu. Sudah
enam bulan sejak pengkhianatan mereka saya ketahui
(keduanya belum menikah). Saya hanya berharap waktu
bisa memberi saya kejernihan hati, untuk melakukan hal
yang benar. (Berdasarkan kisah Mbak Safitri)
Saat Cinta Berpaling Darimu
"Dia tak mengira kalau kecantikan lugu itu akan
memorak-morandakan rumah tangga mereka."
Apakah dia merasa putus asa ketika mengetahui bahwa
gaji suaminya yang masih kuliah itu hanya 200 ribu
sebulan" Apakah dia putus asa ketika mereka harus ber pindah-pindah kontrakan dari satu rumah mungil ke rumah mungil
yang lain"

Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah perempuan itu mengeluh, ketika berbu lan-bulan
hanya makan tempe dan sayur, yang ma sing-masing dibeli
seribu rupiah di warung, ketika sang suami tak bekerja
cukup lama" Jawabannya tidak. Perempuan berwajah manis,yang saya kenal itu
sebaliknya selalu terlihat cerah, seolah permasalahan
ekonomi yang menerpa keluarga kecil mereka,tak berarti
apa-apa. Pun ketika kesulitan hidup terus berlanjut. Menjelang
kelahiran ana k pertama mereka, suami masih belum
memiliki pekerjaan yang mapan. Tapi perempuan itu tidak
putus asa.Sedikitpun tidak menyesal telah menikah dengan
lelaki pilihannya. Lelaki yang dia cintai karena kecerdasan
dan kegigihannya. Lelaki yang amat dia hormati, yang dia
tahu selalu berupaya sungguh-sungguh untuk
membahagiakan, keluarga mereka.
Dan kenyataan bahwa mereka tinggal di rumah
kontrakan yang nyaris mau runtuh, dengan kamar mandi
jelek, dan serangga di mana-mana yang kerap menimbulkan
ruam merah pada kulitnya yang putih, tidak membuatnya
mengeluh. Tidak juga ketika satu-satu perhiasan dari orang
tuanya, ludes terjual untuk keperluan rumah tangga.
Lalu anak pertama lahir. Gagah, dengan alis tebal nyaris
bertaut. Dia dan suami menerima kehadiran pangeran kecil
itu dengan hati berbunga. Meski mereka harus berhutang ke
sana ke mari agar biaya kelahiran bisa dilunasi. Sekali lagi,
perempuan itu tidak pernah mengeluh.
Hidup baginya adalah rentetan ucapan syukur kepada
yang kuasa, dari waktu ke waktu.
Ketika anak kedua mereka lahir, roda ekonomi keluarga
telah jauh lebih baik. Laki-laki yang dicintainya
mendapatkan pekerjaan yang mapan. Mereka tak lagi
bingung memikirkan kebutuhan sehari-hari, makan,
maupun susu buat anak-anak.
Perempuan yang saya kenal sejak lama itu, membantu
suaminya dengan bekerja paruh waktu bagi sebuah taman
bermain anak-anak yang cukup prestise. Seiring kehidupan
yang mulai membaik, perempuan itu tak lagi mengerjakan
semua sendiri. Apalagi setelah anak ketiga mereka lahir.
Sang suami memintanya lebih konsen kepada pekerjaan
paruh waktu yang digeluti istrinya. Tahun ke lima
pernikahan mereka mulai menyewa baby sitter, ketika itu si
bungsu belum lagi berusia sepuluh bulan.
Lalu datanglah anugerah bagi sang istri. Lembaga tempat
dia bekerja paruh waktu, menawarkan program training ke
luar negeri. Awalnya sang istri ragu, sebab dia khawatir
meninggalkan anak-anak selama beberapa pekan. Tetapi
lelaki yang dicintainya memberikan support dan
mendorongnya untuk pergi,
"Ini pengalaman bagus buat Mama," kata lelaki itu.
Dan ketika dia ingin membantah, lelaki itu
menggelengkan kepalanya, "Perempuan lain ingin mendapatkan pengalaman
berharga seperti ini. Mama harus pergi. Gak apa. Ada mbak
yang menjaga anak-anak."
Dengan setengah hati perempuan berwajah manis itu
meninggalkan keluarganya. Masa-masa berjauhan
dilaluinya dengan rindu yang menyiksa, dan perasan berat
karena selalu terbayang anak-anak.
Naluri keibuannya rupanya tidak bisa dibohongi.
Meskipun sang suami selalu berkata semua baik-ba ik saja,
perempuan itu merasakan ada sesuatu yang terjadi. Dan
perasaannya benar. Anak ketiga mereka dirawat di rumah sakit karena
demam berdarah! Suami yang takut membuatnya panik,
baru menjelaskan ketika istrinya pulang ke tanah air.
"Maafkan Papa, takut Mama bingung."
Perempuan itu menangis. Syukurlah kondisi putri
mereka membaik. Tapi ada hal lain yang terjadi. Hal yang
tak pernah diduganya, hal yang membuat jantungnya luruh.
Suaminya jatuh cinta. Perempuan itu sungguh tak percaya, ketika
mendengarkan ibu mertuanya menangis tersedu-se du
menjelaskan apa yang terjadi.
Dunia bahagia yang selama ini dibangunnya seakan
runtuh. Apalagi ketika mengetahu gadis cantik yang
membuat suaminya jatuh hati, adalah baby sitter yang
mereka sewa. Kami hanya berpegangan tangan. Tak lebih. Elak
suaminya. Tapi hati perempuan itu telanjur hancur. Hara pan-harapan yang dibangunnya seakan menguap.
Suaminya berpaling. Lelaki yang telah membuatnya
merasa seperti seorang putri, jatuh cinta lagi.
Allah... apa maksudMu dengan ini semua" Batin sang
istri yang terkoyak. Dengan hati hempas, dia memanggil baby sitter mereka.
Baru kali ini si perempuan memandang le kat-lekat gadis
berusia sembilan belas tahun itu.
Meskipun dari desa, wajahnya memang cantik dan ayu.
Kulitnya bersih, rambutnya yang panjang tampak begitu
mengilat. Dulu dia tak mengira kalau kecantikan lugu itu
akan memorak-morandakan rumah tangga mereka.
Perempuan itu duduk berhadapan dengan baby sitter yang
tertunduk salah tingkah. "Sudah sejauh apa"'
Baby sitter itu mengelak. Tak mau b
erbicara lebih jauh. "Apakah kamu menyukai Bapak""
Baby sitter itu diam. Ragu. Lalu kepalanya pelan
menggeleng. "Saya tak keberatan jika Bapak menyukaimu, dan kamu
menyukai Bapak," Saya kaget. Saya berada di sana, menemani perempuan
yang telah lama menjadi sahabat saya. Tetap saja kalimat
terakhirnya mengejutkan. Si baby sitter cantik menggeleng. Lagi-lagi salah tingkah.
Saat itu suami si perempuan sedang berada di kantor,
sehingga mereka leluasa berbicara. Tidak jauh dari mereka,
mertua sahabat saya tampak menangis sesenggukan.
Sebaliknya wajah sahabat saya tampak sangat tegar.
Ketegaran itu baru runtuh ketika kami hanya berdua.
Sahabat saya menangis. Betul-betul menangis.
"Saya sedih," bisiknya, "salahkah""
Saya menggeleng. Kesedihan adalah teman manusia.
Tak apa. "Ibu tadi cerita, bahkan ketika Andin sakit, papanya
memilih menemani perempuan itu berobat, meski hanya flu
biasa, dan meninggalkan Andin diperiksa hanya ditemani
ibu." Ah, lelaki. Begitu mudahkah larut dalam pesona"
Saya kehilangan kata-kata. Percuma mengibur, apalagi
berlagak mengerti perasaannya. Saya tak ingin berbasa-basi
yang tidak perlu. Kehidupan berlanjut. Suami perempuan itu mengakui
kesalahannya, dan berjanji tidak akan mengulangi. Lelaki
itu memohon-mohon agar sang istri mau memaafkannya.
"Bisakah"" tanya saya suatu hari. Ketika itu tahun-tahun
sudah berlalu begitu banyak.
"Saya tidak tahu," jawab sahabat saya.
Selalu dan selalu, matanya yang cerah meredup setiap
teringat kisah itu. Barangkali memang ada beberapa luka
yang tak bisa sembuh, bahkan oleh waktu.
Enam bulan setelah kejadian itu, sahabat saya bercerita
perasaannya setiap kali suaminya mendekati.
"Saya m erasa jijik," ujarnya dengan wajah bersalah.
"Tak apa, semua perlu waktu. Lagi pula yang terjadi
tidak sejauh itu. Jangan menyiksa pikiran,"
"Tapi siapa yang tahu apa yang sebenarnya terjadi""
Saya diam. Perempuan manis itu benar. Hanya
suaminya dan si baby sitter yang tahu segala. Mereka
terkadang pergi ke luar rumah berdua. Dulu terasa biasa
saja, toh mereka hanya ke warung, atau apotik. Entahlah.
Ketika saya meminta izin menuliskan cerita ini, sahabat
saya mengiyakan, meski dia masih belum lagi sembuh dari
kesedihan. Memang tidak ada perceraian. Sang suami
tampak bersungguh-sungguh menjaga keutuhan keluarga
mereka. Apalagi ada anak-anak diantara keduanya.
"Dia bapak yang baik!" papar sahabat saya suatu hari.
Kehidupan memang terus berjalan. Satu peristiwa, satu hati
yang berdarah. Satu hati yang belum juga sembuh.
"Kami masih tidak bisa bersama," jelasnya. Saya
mengerti. Peristiwa itu seolah membekukan semua
kehangatan dan keceriaannya sebagai seorang istri. Sang
suami tak memaksa. Menjalani saja kehidupan apa adanya.
Anak-anak lebih penting. Entah sampai kapan mereka bisa bertahan, saya tidak
tahu. Tak juga mau menduga-duga.
Saya senang akhirnya sahabat saya bisa mendapatkan
kepercayaan diri yang sempat hancur ketika menyadari
sosok perempuan yang telah merebut hati suaminya, tak
hanya lebih cantik tapi juga jauh lebih muda. Perlahan dia
mencoba melupakan yang terjadi. Padahal dunia sempat
terasa berhenti baginya. "Sampai saya sadar, Asma. Di luar sana, banyak
pengalaman yang jauh lebih buruk, menimpa istri-is tri lain.
Apa yang terjadi pada saya, barangkali tak seujung kuku
yang dialami perempuan-perempuan lain."
Hubungan normal layaknya suami istri memang sudah
patah, akan sulit merekatkannya kembali. Tapi saya
mengagumi semangatnya mempertahankan pernikahan,
dan tetap menjalaninya penuh syukur. Perempuan itu
bahkan pasrah jika karena ketidak- mampuannya sekarang,
dikarenakan ulah sang suami, mungkin justru
mengakibatkan sang suami menikah di belakangnya.
"Dulu hal itu perkara besar buat saya, tapi sekarang...
sahabat saya itu tertawa.
Sebenarnya banyak yang ingin saya tanyakan padanya.
Apakah dia bahagia" Apakah suaminya bahagia" Kenapa
tidak bercerai dan sama-sama memulai yang baru Sebagian
orang mungkin akan berpikir begitu. Hidup terlalu singkat
untuk larut dalam ketidakbahagiaan.
Betapapun saya menghormati komitmen keduanya. Juga
perkataannya yang akan selalu saya ingat,
"Ada hati-hati kecil yang harus dijaga, Asma. Setiap
mengingat mereka, maka luka-luka lain menjadi kalah
penting. Kebahagiaan saya sempat runtuh, tapi kebahagiaan
ketiga anak saya, tidak. Dan saya harus bisa menjaganya.
Sekuat saya." Catatan 6 Suami Yang Membuatku Disini
"Akhirnya saya malah kerja di sini, mbak. Tempat
yang dulu sering dikunjungi laki saya..."
Kamar sempit dengan penerangan yang minim.
Tempat tidur kecil memanjang adalah satu-satu nya
benda yang ada di ruangan itu. Di atasnya tampak
hamparan sprei berwarna putih yang sudah kusam dan
tampak kotor dengan noda di mana-ma na. Saya menahan
perasaan ketika mengambil posisi duduk di atasnya,agar
berhadap-hadapan dengan seorang perempuan yang
usianya barangkali sebaya saya.
Di luar pintu kami yang tertutup, terdengar gelak tawa
dan lengking suara musik dangdut. Suasana rutin malam-malam di lokalisasi. "Kalau boleh tahu, mulai kerja di sini
gimana mbak"" Saya menyodorkan pertanyaan itu kepada perempuan
yang mengenakan celana panjang hitam dan kaus berwarna
merah. Dandanannya biasa saja, jauh dari kesan menor.
Tapi yang paling mencengangkan saya adalah banyaknya
kalimat-kalimat tauhid yang keluar dari lisannya.
"Astaghfirullah... ya, saya juga tahu ini salah mbak..."
"Ya pengin berhenti juga sih kadang Mbak, malu sama
Yang Di Atas. Malu sama anak-anak kalau sampai tahu."
"Oh, setiap harinya" Kalau lagi ramai alhamdulillah bisa
empat orang, mbak!" Penampilan serta gaya bicara mbak, yang dapat saya kira
berasal dari satu daerah di Jawa Tengah itu, sungguh telah
mengubah bayangan saya tentang mereka yang
menyandang predikat pelacur di mata masyarakat.
Kembali ke pertanyaan awal saya,perempuan itu tampak
tercenung sejenak. Matanya sedikit berkabut ketika mulai
bertutur, "Awalnya karena suami saya, Mbak. Suami sering nggak
pulang. Akhirnya suatu hari saya ikuti diam-diam.Saya jadi
tahu ternyata suami suka ke tempat ini..."
Saya mendengarkan, membiarkan perempuan itu
meneruskan ceritanya kapan saja dia merasa nyaman.
"Lalu saya ribut sama suami. Sebab suami tetap nggak
mau berhenti ke sini.Soalnya di sini dia sudah punya cem-ceman. Akhirnya suami malah ninggalin saya, Mbak...
pergi dan nggak ada kabarnya."
Saya tersenyum kecil mendengar istilah yang
digunakannya barusan.Di hadapan saya, perempuan
dengan rambut pendek itu menarik napas panjang.
"Ya, ditinggal begitu saya bingung. Akhirnya saya coba
cari suami ke sini kali aja dia nemuin pacarnya lagi."
Perempuan berkulit kuning langsat itu menatap saya,
mencoba menyunggingkan senyum, ketika bibirnya yang
bergetar terbuka, "Tapi saya nggak nemuin dia. Pikiran saya pengin
pulang ke kampung tapi malu. Pulang kok sendiri, nggak
sama suami. Lagian mikir anak saya mau dikasih makan
apa" Saya nggak punya keterampilan."
Jadi" Sosok di depan saya tersenyum salah tingkah, "Akhirnya
saya malah kerja di sini, mbak. Tempat yang dulu sering
dikunjungi laki saya..." Ironis.
Tetapi bisakah saya begitu saja menyalahkan profesinya
yang kerap mengancam ketenangan setiap istri" Berkata
seharusnya perempuan itu lebih kuat, seharusnya dia


Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali saja kepada keluarganya di kampung. Bukankah
lebih baik menganggur daripada melacur"
Tetapi bukan saya yang berada di posisinya. Saya tidak
mengetahui persis situasi yang dia hadapi, latar belakang
keluarga, usia dan kondisi sebenarnya anak dari perempuan
di hadapan saya ini, dan karenanya tidak pantas
menghukum dengan alasan apapun, apalagi berdasarkan
asumsi. Saya menjabat tangannya dan mengucapkan terima
kasih, seraya menyelipkan sejumlah uang atas waktu yang
telah diberikannya. Perempuan itu tampak kaget sejenak,
kemudian memeluk saya dan mengucapkan terima kasih
berkali-kali, sambil berbisik,
"Doakan saya ya mbak, suatu hari nanti..." Kalimat itu
tidak selesai, tapi saya tahu apa yang harus saya lakukan.
Mengamininya. Tanah Abang, 31 Desember 2003
Saya Ingin Dia Memilih "Jika pergi berduaan ke hotel, aktivitas apa yang
biasanya mereka lakukan" Silahkan cek kembali."
Kalau bukan karena saya percaya kepada Mbak Asma
Nadia, penulis yang selama ini saya lihat sangat
memperhatikan idealisme dalam
karya-karya nya, dan berusaha berbagi kepada perempuan Indonesia, rasanya
tidak mungkin saya menceritakan kisah ini dan meminta
beliau menuliskannya. Menikah dengan le laki baik
Panggil saya Amini. Usia dua puluh tahun saya menikah
dengan lelaki yang dua tahun lebih tua dari saya. Arief
adalah lelaki yang sangat baik.
Kadang-kadang memang perkataannya keras dan
menyakitkan, tapi saya bisa menerima sebab biasanya ada
alasan kuat hingga dia merasa perlu menegur dengan keras.
Tetapi di luar itu tidak pernah Arief berlaku kasar apalagi
hingga main tangan. Bukti kasih sayangnya pada saya,
teruji ketika saya harus melahirkan. Kebetulan karena
penyakit asma yang akut, saya tidak bisa melahirkan
normal, hingga ketiga anak kami lahir melalui operasi
caesar. Waktu itu kondisi ekonomi memang masih minim.
Saya harus melahirkan di rumah sakit pemerintah, kelas
tiga, karena hanya itulah kesanggupan kami.
Tetapi Arief menunjukkan tanggung jawab yang besar.
Sejak konstraksi hingga akhirnya keputusan caesar, dia
tidak pernah meninggalkan saya dan selalu menemani di
rumah sakit. Bahkan rela tidur di kolong ranjang rumah
sakit dengan alas seadanya. Dia juga tidak membiarkan
saya ke kamar mandi sendiri, setelah hari kedua operasi.
Dengan sabar dan tanpa rasa jijik dia ikut masuk ke kamar
mandi, menunggui saya bahkan mengambil alih tugas
memandikan saya dari tangan suster.
Saya kira, sayalah yang paling beruntung dibandingkan
keenam perempuan lain yang sama-sa ma operasi caesar.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang ibu terpaksa
menahan nyeri dan berjalan pelan sambil menenteng infus,
ke kamar mandi, karena suami tidak bisa dibangunkan.
Malah ada yang menyuruh istrinya berjalan sendiri. Sama
sekali tidak khawatir jika istri yang membawa luka bedah
yang belum kering terpeleset dan jatuh di kamar mandi
misalnya. Hal ini saya catat betul dalam hati. Kebaikan Arief yang
membuat saya sangat terharu. Apalagi setelah itu, Arief
tidak segan-segan turun tangan untuk membantu
memandikan bayi, hingga urusan ganti diapers ketika anak-anak menjelang batita.
Satu persatu anak-anak kami tumbuh, dekat tidak hanya
kepada saya, tetapi juga kepada papa mereka. Sebagai ayah,
komitmen Arief memang luar biasa.Saya sempat membaca
buku Rumah Cinta Penuh Warna karya Mbak Nadia, dan
menemukan kemiripan sosok suami Mbak Nadia yang juga
suka ber main dengan anak-anak.
Tipe lelaki rurnahan, begitulah Arief. Sepulang dari
kantor, Arief selalu kembali ke rumah. Seperti tak sabar
untuk berkumpul dengan istri dan anak-an aknya. Jarang
lelaki itu keluar rumah kalau tidak perlu sekali. Jarang pula
menghabiskan waktu sekadar ngurnpul-ngurnpul dengan
teman lelaki lain di kantor.
Badai itu datang Ujian bagi rumah tangga kami muncul ketika usia
perkawinan mencapai angka tujuh belas tahun.
Saya tidak sengaja menekan tombol play pada video
yang direkam di hp Arief. Awalnya masih berprasangka
baik, meski heran...bagaimana Arief bisa tertarik merekam
seseorang gadis. Tidak ada adegan mesra. Hanya sosok si
gadis, berjilbab yang berbicara sambil tertawa-tawa
(sepertinya ditujukan kepada Arief yang sedang merekam).
Ada pun isi kata-katanya tidak terlalu jelas terdengar.
Gadis itu, saya tidak mengenalnya dengan dekat. Saya
hanya mengetahui sosoknya sebagai adik dari seorang
teman yang sempat menghadiri satu seminar dengan Arief,
dan kemudian beberapa kali rapat terkait bisnis. Beberapa
kali saya dan kakak si gadis bertemu dan menjadi akrab.
Meski tanpa tendensi apa-apa, video itu saya perlihatkan
kepada Arief. Saya agak kaget melihat reaksi Arief yang
luar biasa terkejut. Wajahnya berubah dan terlihat 'menarik
diri'. Dari situ saya jadi bertanya-tanya, apa yang
sebenarnya terjadi diantara mereka" Tapi percakapan kami
tertunda karena Arief harus berangkat ke kantor.
Malamnya Arief mengajak saya makan di luar. Sudah
cukup lama kami tidak berdua, karena kebersamaan
rasanya hanya lengkap jika ada anak-anak.
Saya perhatikan Arief memandang saya lama sekali.
Lalu mencium tangan saya dan menangis. Berulang kali
saya tanya kenapa Arief menangis, tapi Arief tak bisa
menjelaskan. Baru sete lah reda dia sanggup berkata-kata,
"Arief sudah menyia-nyiakan cinta Amini. Arief minta
maaf." Saya terpukul, otak saya menarik benang merah dari
sosok gadis di video itu.
"Ari ef sudah menikah dengan dia"" pertanyaan itu reflek
saja meluncur dari mulut saya.
Suami dengan cepat menggeleng.
"Sejauh apa""
"Jangan dibayangkan yang tidak-tidak, Amini."
Jawaban Arief dengan cepat meneduhkan saya.
Bagaimana pun Arief lelaki baik, suami dan ayah yang baik.
Soal salah saya kira semua manusia pasti melakukan
kesalahan, tidak ada yang sempurna.
Malam itu seperti jadi babak baru dalam kehidupan
rumah tangga, yang pada akhirnya malah menambah
kemesraan hubungan saya dan Arief.
Setelah dua bulan Saya hampir yakin semuanya baik-baik saja, hingga
suatu malam menjelang sahur di bulan puasa, saya
terbangun oleh dering SMS masuk. Setelah saya cari,
ternyata berasal dari hp suami. Saya pikir urusan biasa saja,
hingga tanpa ragu saya membuka. Membaca isinya yang
ternyata berasal dari kakak si gadis, saya sungguh
terperanjat. Kasar sekali. Banyak caci maki di dalam SMS
itu.Intinya mengancam suami saya yang dituduh tidak
bertanggung jawab. Ada kata-kata... Ibu akan melabrak ke rumah dan
membuat malu, atau kalau perlu membantai anak-anak elo!
Saya benar-benar terpukul. Jika yang mereka tuduhkan
benar, berarti hubungan Arief memang sudah jauh, hingga
mereka menuntut Arief untuk bertanggung jawab.
Saya coba berpikir tenang. Saya tidak ingin terbawa
emosi dan akhirnya terdorong untuk mengambil tindakan
impulsif, yang pada akhirnya malah membuat situasi
semakin runyam. Jujur saya tidak menyangka, si kakak yang selama ini
tampak ramah dan 'terdidik' bisa melontarkan kalimat-kalimat sedemikian kasar. Mereka mengancam juga akan
mendatangi dan membuat anak-anak malu di sekolah!
Tentu saja saya sedih dan marah dengan ketidakjujuran
Arief. Jika diturutkan mau rasanya saya meluapkan amarah
dan membangunkan dia saat itu juga. Saya juga jadi tidak
yakin apakah dengan ketidakjujuran ini, saya masih bisa
memaafkan Arief" Bahkan terlintas untuk meminta cerai,
karena bagi saya kejujuran itu penting artinya.
Keinginan untuk melindungi anak-anak yang membuat
saya kemudian memutuskan untuk mengirim SMS ke si
akak perempuan yang sudah memaki-maki Arief. Intinya
satu, saya tidak ingin mereka merasa memanfaatkan
ketidaktahuan saya terhadap hubungan terlarang itu, dan
mengancam Arief. Detik berikutnya saya sudah menyusun kata-kata dan
membalas SMS si kakak langsung melalui hp saya. Sama
sekali bukan SMS kasar atau penuh kemarahan. Saya hanya
meminta mereka untuk jernih melihat persoalan, bahwa
keduanya (suami dan perempuan itu) punya andil dalam
affair ini. Dan tidak adil menimpakan kesalahan hanya
kepada satu pihak. Tidak berapa lama SMS saya berbalas.
Intinya menurut perempuan itu saya tidak pantas menerima
perlakuan Arief. Dan bahwa ini bukan kesalahan pertama
atau kedua Arief. Saya saja yang menurutnya tidak tahu.
SMS berikutnya menyusul kemudian,
Jika p ergi berduaan ke hotel, aktivitas apa yang biasanya
mereka lakukan " Silahkan cek kembali.
Saya menggigit bibir. Menahan perih di dada dan
mencoba tetap tenang ketika merespon.
Saya sudah tahu apa yang saya perlu tahu. Arief sudah
menceritakan segalanya pada saya. Jika kamu ingin
membuat saya sakit hati dan terluka, saya sudah lama ter
luka. Tapi saya sudah memaafkan Arief dan Dian, untuk
semua pengkhianatan mereka pada saya.
Tahu" Sebenarnya apa yang saya tahu"
Tentu saja tidak banyak. Saya juga tidak tahu kalau
ternyata mereka masih berhubungan sebab gadis itu
mengancam bunuh diri jika ditinggalkan!
Sekarang apa yang bisa dilakukan"
Saya tidak tahu apakah orang-orang akan percaya atau
tidak, jika saya katakan saya sungguh bersimpati kepada
Dian, gadis itu. Memahami rasa kehilangannya. Tapi ada
satu sisi di hati saya yang ingin memercayai bahwa Arief
bersungguh-sungguh ketika meminta saya memaafkannya.
Sampai di sini, saya bangunkan Arief. Saya tunjukkan
SMS-SMS itu kepadanya. Saya minta dia berterus terang
jika dia mencintai gadis itu, jika dia ingin meninggalkan
saya dan anak-anak, saya katakan tidak akan me
ncegahnya. Saya hanya ingin dia memilih, dia yang mengambil
keputusan. Lelaki itu menggeleng. Memeluk saya dan meminta-minta maaf.
Saya tanyakan sekali lagi, apa dia yakin itu yang menjadi
keputusannya, untuk kembali kepada keluarga.Saya lihat
Arief mengangguk, matanya tampak sungguh-sungguh,
meski sebenarnya saya sulit memercayainya lagi.
Dengan jawaban dari Arief, baru saya membalas SMS.
Saya katakan, jika memang orang sudah berbuat salah, apa
yang harus kita lakukan" Apakah menjerumuskannya lebih
jauh kepada dosa, atau rnernaafkannya" Sekarang adalah
tugas bersama untuk menjaga pihak masing-masing. Saya
menjaga Arief dan keluarga mereka memberikan pondasi yang
lebih kuat hingga Dian bisa bertawakal kepada Ali ah.
Tapi SMS berikut yang saya terima masih bernada
kemarahan. Mungkin benar kak, keluarga nggak ngasih pondasi yang
kuat sampai adik saya berani bunuh diri (apalagi karakter
orang beda, kakak imannya kuat, dia nggak...) tapi berarti
ibunya Arief juga mungkin salah pondasi sampai
menghasilkan anak yang men dorong orang bunuh diri.
Lebih kasihan lagi ibunya Arief udah tahu anaknya bejat
lempang aja tuch! Saya mencoba memahami kemarahan si kakak, dan
keluarga besar mereka. Saya tahu Arief salah. Tetapi
kesalahan seperti ini hanya mungkin terjadi ketika
perempuan memberikan peluang.
Keluarga kita nggak pernah ingin Dian kawin sama
Arief, amit2!! Juga nggak ingin kk cerai dari Arief. Itu
urusan kalian. Urusan kita harga diri keluarga. Kk, ngerti
masalahnya nggak" Ini urusan nyawa. Kalau Dian nggak
sampe bunuh diri, saya nggak peduli. Coba bayangkan yang
bunuh diri adik kakak, gimana" Di luar salah siapa tapi ada
yang terluka seperti ini. Masalahnya nggak sesederhana itu.
Ini bukan sekadar affair biasa.
Ahh, luka. Siapakah yang paling terluka"
Hubungan suami saya dan Dian baru berkisar hitungan
bulan. Belum lagi mencapai tahun. Lantas bagaimana
dengan saya" Tujuh belas tahun pernikahan, dengan tiga
orang anak di belakang saya.
Tidakkah saya juga terluka, lebih terluka"
Menoleh ke belakang Setelah kejadian itu, yang kemudian terdengar ke pihak
keluarga kami entah bagaimana, saya menerima support
yang luar biasa dari pihak keluarga. Macam-macam
bentuknya. Dari mendukung meneruskan perkawinan,
hingga meyakinkan saya untuk meminta cerai.
Terus terang pemikiran cerai ini memang menghinggapi
saya. Sebab saya kehilangan kepercayaan kepada suami,
dan tidak tahu apakah tahun demi tahun yang berlalu bisa
memberikan penawar. Tapi biarlah semua berjalan mengalir
dulu seperti seharusnya. Saya dan suami sama-sama tidak pernah menyinggung
masalah ini lagi. Secara bertahap saya dorong suami untuk
mengurangi kontak dengan Dian, hingga gadis itu kuat
untuk melanjutkan hidup sendiri. Alhamdulillah, sepertinya
pihak keluarganya berusaha keras untuk itu, hingga
akhirnya Dian hilang dari kehidupan kami.


Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tulus, meski gadis itu telah menorehkan luka, saya
memaafkan dan mendoakan agar Allah memberinya
pengganti yang lebih baik. Bagi saya dia tak ubahnya adik
kecil yang ketika itu bingung dan kehilangan pegangan.
Mengingat jeda usia, saya beranggapan suamilah yang
memegang porsi kesalahan terbesar.
Sanak saudara yang tahu peristiwa ini sering bertanya,
bagaimana saya bisa melaluinya" Bagaimana saya bisa
memaafkan Arief dan melanjutkan kehidupan kami seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Saya tidak tahu darimana kekuatan dan ketenangan itu
datang. Yang saya tahu Allah Maha Penerima Taubat. Jika
Allah memaafkan, kenapa saya tidak" Meski memaafkan
juga tidak berarti melupakan.
Saya hanya tidak ingin kehilangan syukur ke pada-Nya.
Sebab di luar kesalahan-kesalahan suami yang
manusiawi, saya telah mengecap begitu banyak bilangan
hari dalam kebahagiaan. Jejak kebaikan Arif bagi saya dan
anak-anak telah amat panjang jika disebutkan satu
persatu.Dan kebaikan seseorang tidak boleh hilang dari
ingatan, hanya karena sebuah atau dua, atau tiga
kekhilafan... (Berdasarkan kisah Amini)
Terbang Dengan Satu Sayap
Seorang teman online meminta saya menuliskan
kisahnya. Semoga Allah menguatkannya.
Sebuah email kaleng Suara ketukan di pintu makin keras terden
gar. Aku diam. "Tania... Tania... please open the door!" Aku tetap tidak
bereaksi. Bukan maksudku membuat teman-teman baruku
kebingungan. Tapi bagaimana aku sanggup membuka
pintu" Bagaimana bisa membiarkan orang asing melihat
kekacauanku" "Tania, please." suara itu terdengar lagi.
Aku hanya diam. Membiarkan air mata terus menitik.
Tidak berapa lama, suara langkah kaki terdengar
menjauhi pintu. Tuhan Air mataku menderas lagi.
Satu email dan hidupku kontan terjungkal kembali,
setelah luka bertahun silam yang coba kuobati... time will
heal, begitu kata orang. Benarkah" Apakah waktu juga akan
mengobati lagi, jika luka kali ini benar dan bukan hanya
kabar burung" Mencari Jawaban Tapi kenapa sekarang"
Kenapa terjadi saat aku berada ribuan mil dari tanah air,
jauh dari orang-orang yang bisa rnengu-atkanku, kenapa"
Tapi kupikir takdir barangkali tidak memilih tempat,
apalagi waktu. Sebuah email. Awalnya kupikir hanyalah surat kaleng biasa yang
dikirimkan orang tidak bertanggung jawab.
Saya minta maaf harus menyampaikan ini,
Saya harap kamu kuat. Suamimu menjalin kasih di sini.
Meski tidak terpancing, aku membaca email tersebut
hingga tuntas. Mereka berdua sudah kemana-mana.
Bahkan mungkin sudah melakukan hal yang
terlarang itu, Berzina atau telah menikah siri,
Hanya itu kemungkinannya...
Ketenanganku belum terbang. Hingga di akhir email aku
melihat satu attachment. Foto, sepertinya diambil lewat
handphone melihat kualitas gambar. Meski begitu aku bisa
melihat jelas sosok perempuan, teman keluarga kami yang
tidak asing itu, berada dalam pelukan seorang lelaki
berbadan kurus dengan kumis tipis berbaris di atas bibir.
Lelaki itu, suamiku! Badanku bergetar hebat.
Kepalaku mendadak pening.
Tapi masih kucoba berpikir jernih.
Barangkali ini hanya rekayasa, bukankah dunia digital
rentan dimanipulasi" Barangkali ada orang-orang yang
tidak senang. Mungkin hanya peluk biasa, meski setahuku suami tidak
biasa menyentuh perempuan yang bukan mahramnya.
Tapi, suamiku bukan selebritis... begitupun perempuan
bertubuh sintal di dalam foto itu. Kenapa orang merasa
perlu merekayasa gambar keduanya"
Mungkin memang ada yang berniat mengacak-acak
perkawinanku. Untuk sementara kutahan air mata yang tiba-tiba tak
sabar hendak menerobos. Tapi tidak bisa kutahan perasaan yang tiba-tiba tidak
enak. Aku terprovokasi atau ini feeling seorang istri"
Entahlah. Tapi kuputuskan mencari jawaban.
Tentu saja banyak keterbatasan. Paling mungkin
menelepon dan menanyai keluargaku di tanah air. Tapi apa
yang menjadi landasanku"
Insting" email kaleng dan foto ini"
Aku berpikir cepat. Kubuka halaman mozilla, kuketikkan account suamiku
di yahoo, kebetulan aku memang hapal pa sswordnya,
karena dulu suami sendiri yang memintaku untuk
dibuatkan email address. Untuk hal-hal begini bisa dibilang
suami tidak begitu mengikuti.
Berhasil. Waktu terasa begitu lama ketika aku menyusuri satu
persatu email di inbox suami. Sejujurnya aku tidak merasa
nyaman melakukan ini. Tapi adakah pilihan lain"
Dan debar di jantungku bertambah keras ketika
menemukan sebuah email. Hanya satu email dari
perempuan itu. Isinya biasa saja, kecuali panggilan mesra
yang ditujukan perempuan itu untuk suamiku.
Perasaanku makin tidak enak. Dan tangis yang dari tadi
kutahan akhirnya menetes satu-satu, seiring butiran salju
yang melayang turun dari balik jendela kamar.
Ah, apa yang bisa kuperbuat dalam jarak yang terentang
begitu jauh. Bagaimana aku bisa mencari ketenangan
dengan menanyakan langsung persoalan ini sambil menatap
bulatan hitam di mata suami, seperti yang sebelumnya
kulakukan" Bagaimana aku bisa bertanya tanpa ragu dibohongi"
Di sisi yang lain, aku juga mencoba menjaga kepala agar
tetap dingin, sambil berpikir sudah cukupkah alasan bagiku
untuk merasa dikhianati"
Sejujurnya sulit menenangkan diri. Apalagi mengingat
aku akan berada jauh dari rumah selama setahun untuk
tugas belajar. Tiba-tiba aku ingat kalimat adik
perempuanku, yang kerap diulang-ulangnya sebelum
keberangkatanku, "Perhatiin suami, kak... jaga baik-baik!"
Mungkinkah adikku mengetahui sesuatu" Kalimat seperti
itu tidak pernah muncul s
ebelumnya selama pernikahanku
bertahun-tahun. Seperti kanak-kanak yang berusaha menjawab teka-teki,
inilah aku. Beberapa waktu aku hanya terdiam, sambil
berdiri di jendela, memandangi salju yang menutupi jalan
jalan. Udara terasa dingin, tapi hatiku seperti dipenuhi bara
api. Teka-teki terkuak Berjam-jam aku masih tepekur dan berpikir keras. Tetapi
hatiku terlanjur hampa. Belakangan kuraih telepon
genggam, Adikku tampak kaget mendengar pertanyaanku
yang bertubi-tubi. Tidak berapa lama, bukannya menjawab
dia malah menangis, "Ade nggak ingin kakak tahu, tidak
sekarang ini... " ujarnya disela sedu sedan.
Perasaanku makin tidak karuan. "Keluarga perempuan
itu datang ke rumah ade malam-malam, Kak...
menceritakan semuanya. Hubungan sudah terlalu jauh.
Mereka sempat bertemu di Solo dan beberapa kota lain
secara diam-diam." Tangis adikku makin keras, "Kakak
jangan hancur ya" Nggak boleh hancur. Jangan sampai
tugas-tugas berantakan."
Dadaku sesak. Kepalaku pusing. Kutanyakan lagi siapa
saja yang sudah mengetahui hal ini. Akibatnya tangis
adikku makin keras, "Tidak ada yang tahu kecuali Ibu. Sebab Ibu menginap di
rumah ade ketika keluarga besar mereka datang. Kabarnya
mereka malah mau menuntut Mas ke polisi karena
melarikan anak orang.Sekarang nggak jelas anak gadisnya
di mana." Ahhh. Kutarik napas panjang usai menelepon. Anehnya air
mataku justru tidak keluar sama sekali. Mungkin hatiku
terlalu hempas, kecewa, tidak menyangka Mas akan
mengkhianati aku seperti ini.
Selama tiga hari aku mengeram diri di dalam kamar
sempit yang beberapa bulan ini menjadi rumahku. Aku
tidak bisa tidur, tidak bisa makan, bahkan harus membolos
dari tempat tugas sebagai librarian, dengan alasan tidak
sehat. Belakangan kondisiku terus menurun karena muntah
terus menerus akibatnya berat badanku drop drastis.
Teman-teman baikku dari negara lain yang sa ma-sama
bertugas di sini mencoba menjenguk; tapi ketukan mereka
tak pernah kujawab. Pada atasan yang mengurusi karni, aku
mengirimkan sebuah email, menjelaskan kondisi fisik yang
tidak sehat. Seharian kerjaku hanya meringkuk di tempat tidur,
terkadang duduk di belakang komputer dan melihat foto
anak-anak. Melihat senyum mereka, perasaan sentimentilku
makin parah. Hhh, sejujurnya aku tidak tahu apa yang
harus kulakukan, membayangkan hari-hari di masa depan...
jika harus terbang dengan sebelah sayap.
Kucoba menenangkan hati. Kubuka I-tunes music library
kuklik shuffle untuk mendengarkan lagu secara acak, dan
apa yang kudengar makin memperparah perasaanku,
Khianati... Teganya dirimu mengkhianati
Walau kupastikan kelak kau mohon aku Pinta aku,
untuk kembali padamu, lagi... (Keris Patih, Cinta Putih)
Hatiku terasa kosong. Air mata mulai menitik. Entah
kenapa pula setelah itu semua lagu seolah mewakili
kedukaanku. Seperti sebuah lagu yang terselip di antara
email-email menghibur yang dikirimkan teman-teman
When the day is long and the night,
the night is your s alone,
When you're sure you've had enough of this life, well
hang on, don't let your self go, 'cause everybody cries and
everybody hurts sometimes
Lirik The Corrs ini malah membuatku menangis makin
keras. Selama beberapa hari itu aku mencoba melihat ke
belakang. Kepergianku, suamilah yang mendorong hingga aku
yang awalnya ragu, akhirnya mempunyai keberanian. Dia
juga yang membelikanku berbagai keperluan agar hidupku
di negeri orang tidak sepi. Benarkah itu semua agar aku
enyah dan mereka bisa berduaan sepuasnya"
Pikiran buruk itu sulit kutepis. Apalagi mengingat begitu
sulit menghubungi telepon genggamnya. Pernah sampai 16
kali aku mencoba menelpon tidak satu pun tembus. Email-email nyaris tidak pernah dibalas. Padahal banyak dari
email yang kukirimkan kutujukan untuk anak-anak, agar
mereka tetap merasa mamanya tidak pernah
meninggalkan.Aku ingat pernah menangis ketika
menyampaikan betapa aku nyaris frustrasi dengan sikapnya
yang kurang peduli. Saat itu Mas mencoba rnenenangkanku, dengan alasan
sibuk sekali. Bahkan mencek keluar masuknya dana dari
rekeningnya pun dia tak sempat lagi. Dulu aku menerima
saja jawabannya, tetapi sekarang" Kesedihan perlahan
be rganti warna menjadi kemarahan. Bagaimana bisa dia
menjawab seperti itu"
Aku kalah penting oleh rekening" Yang benar aku kalah
oleh perempuan itu! Marah, kecewa, sedih... menangis.
Hanya saat menerima telepon ibu, aku menggigit bibir
kuat-kuat agar tangis tidak tumpah. Tidak mungkin aku
menambah kesedihan Ibu yang seperti adikku sudah lebih
dulu menangis karena khawatir akan kondisiku.
Tapi aku tahu, tidak boleh membiarkan diri hanyut
dalam kesedihan. Aku harus bangkit, sebab dengan begitu
aku bisa memikirkan keputusan yang terbaik. Dan untuk
anak-anak aku harus sehat.
Hari ketujuh, meski dengan wajah sembab, aku
meninggalkan apartemen, dan berputar-putar tidak tentu
arah dengan bis hingga larut malam. Hari berikutnya aku
mengunjungi toko buku terbesar dan menghabiskan waktu
berjarnjarn sebelum pulang dengan mengantongi buku: He
's just not that into you!
Isinya membuatku berpikir, apa yang sebenarnya masih
aku dan suami miliki" Masih banyak kah yang tersisa"
Bisakah di perbaiki" Mungkin saja aku subjektif, tetapi jika
merujuk pembahasan buku dan ciri-ciri yang disebutkan,
mataku seperti terbuka... begitu banyak poin yang
digambarkan yang membuatku berpikir, barangkali sudah
cukup lama sebenarnya aku kehilangan suamiku. Sejak
pengkhianatan pertamanya" Anyway, at least he hasn't been
that into me for three years!
Apalagi suamiku, menurut penuturan keluarga si gadis
berdasarkan update dari mereka, konon akan menikah.
Bahkan berulangkah si gadis mendesak agar suami tidak
perlu menunggu kepulanganku.


Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Allah... Kutahan keinginan untuk melabrak suami di telepon,
sebab aku tidak ingin bicara dalam kemarahan. Kesedihan
kucurahkan dalam sujud-sujud shalat malam, dan mengaji.
Aku berharap dengan mendekat kepada Allah,aku bisa kuat
menerima apa pun bentuk penyambutan kepulanganku
nanti. Bahkan jika suamiku memutuskan untuk menikahi
gadis itu. Jika itu yang terjadi, aku harus siap.
Ya, selama anak-anak, sumber kebahagiaanku berada di
sisi. Sayang, Mama akan mengajak kalian terbang tinggi,
meski hanya dengan satu sayap.
(Berdasarkan kisah Tania, Japan)
Lagu Kelabu "Aku harus menjaga otakku tetap sehat, waras, sebab
dibutuhkan untuk mengatur strategi agar bisa keluar dari
situasi buruk ini! "
Dengan visa turis kami berdua, aku dan anakku, terbang
menuju Negeri Kincir Angin, tepatnya 29 Juni 1986.
Esoknya kami tiba di Bandara Schiphol, Amsterdam. Ya,
inilah negeri bangsa kolonial. Pada zaman revolusi, ayahku
bersama pasukan pejuang pernah menyabung nyawa,
melawan Belanda. Sekarang, di sinilah aku dan anakku, putri dan cucu
seorang pejuang '45. Demi mengadu nasib, demi meraih
masa depan, demi melacak jejak surga yang kudamba.
"Ya Tuhanku... kami mohon. Lindungilah kami berdua,
lindungilah," desisku mengambang di udara musim panas
negeri asing. Beberapa saat aku menghirup aroma Negeri Kincir
Angin sebanyaknya-banyaknya, seluas paru-paruku mampu
menampungnya. Berharap bahwa ini ha nya mimpi belaka
yang sege ra terbangun, kemudian kutemukan anakku
berada di ruang keluarga yang nyaman tempat favoritnya
asyik bermain-main. Namun tidak, ini adalah sepenggal
awal perjalanan me lacak jejak surga!
"Mama... dia siapa"" suara mungil anakku merenggut
seluruh khayal dan kenyataan yang sempat nyaris tak bisa
kubedakan lagi. Aku tersentak, mengikuti telunjuk mungil yang
mengarah kepada seorang lelaki bule. Sosok itu, ya,
ternyata berwajah keras, terkesan angkuh dan show-off
dalam berbusana. Ini persis sekali dengan mantan suami.
Seketika ada yang berdesiran dalam dadaku, sesuatu yang
seharusnya kumaknai sebagai pertanda buruk.
Lelaki itu, Gez, menghampiri kami diikuti oleh beberapa
orang yang diperkenalkannya sebagai keluarga besarnya.
Dia menyalamiku, tepatnya menciumi pipi-pipiku dengan
atraktif. Apabila tak kucegah dengan gerakan tegas,
bibirnya memaksa akan mencium bibirku saat itu juga.
"Yeah... inikah jagoan kecilmu, hem"" ujarnya seraya
hendak memangku anakku dengan gerakan kasar.
"Mama... gak mau!" protes Peter spontan
menghindarinya, berlari dan bersembunyi di balik tubuhku
sambil memegangi ujung blazerku.
Aku bisa melihat perubahan pada r
aut wajah Gez, perpaduan antara geram dengan hasrat menguasai. Dia
berhasil mengekang dirinya dengan bersikap santun
terhadap diriku, penyayang terhadap anakku. Empat lelaki
dan tiga perempuan, keluarganya itu, berusaha pula
menyambut kami bedua dengan ramah dan sukacita.
"Nah, kita berpisah di sini," berkata Gez saat berada di
parkiran. "Mereka akan pulang ke apartemen masingmasing dan kita... Yeah, kita harus segera menyelesaikan
urusanku!" "Urusanmu"" buruku tak paham, sedetik kemudian kami
sudah berada di dalam mobilnya dengan anakku meringkuk
di jok belakang. "Maksudku urusan kita, Darling... jangan takut,
semuanya akan membuat dirimu puas, yakinlah!" sahutnya
disertai kekehannya yang aneh. Aku berusaha keras
membunuh rasa takut yang mulai membayangi setiap
helaan napasku. Kulihat anakku sudah kelelahan dan
tertidur lelap. Sungguh, dia anak yang manis, tenang, sama
sekali tak pernah rewel. Itu bukan anakku yang biasanya
periang, banyak bertanya dan berkomentar. Namun, aku
tak bisa berpikir banyak lagi tentang perubahan sikap
anakku. Benakku dipenuhi berbagai rencana, pengharapan
dan kecemasan. "Minumlah ini, Darling," Gez menyodorkan botol
minuman, baru kusadari ada boks minuman keras di antara
kaki-kaki kami. "Bolehkah nanti saja supaya tetap segar"" Mungkin dia
mengartikannya lain, bahwa aku menjaga kesegaran selama
mendampinginya,meladeninya. Ya Tuhan, bulu kudukku
merinding mendengar tawanya yang terbahak-bahak, dan
sorot matanya yang ceriwis liar. Namun, lagi lagi semuanya
telah telanjur. Tahu-tahu kami sudah sampai di
apartemennya di Hilversurn. Dalam sekejap kami pun telah
berada di dalam ruangan yang segera dikunci dengan sigap
oleh lelaki itu. "Apaaa... mau apa kamu"!" seruku kaget saat Gez
dengan gerakan tak terduga, tiba-tiba menodongkan pistol
ke kepalaku. "Sini, anak setan, siniiii!" Gez merenggut anakku dari
tanganku, sedetik kemudian dia telah menyeret tubuh
mungil kesayanganku itu ke dalam toilet, lalu menguncinya
rapat-rapat. Mataku melotot hebat dan tubuhku lunglai, sendi-sendi
tulangku bagai berlepasan.Seketika aku merasa hanyalah
seonggok daging yang tak bernyawa. Separuh jiwaku,
belahan nyawaku telah direnggut dari dekapanku.
"Kamu diamlah! Jangan coba-coba melakukan tindakan
bodoh. Kalau tidak, aku akan bunuh anak kesayanganmu
itu!" ancamnya terdengar tidak main-main. Gez, sosok yang
tampak gentle dalam video itu, telah berubah dalam
sekejap. "Kumohon, kumohon... demi Tuhan yang kamu
sembah..." aku mulai meratap, memohon dengan segenap
jiwaku. "Jangan sakiti anakku... Dia sama sekali tak
berdosa." Hancur hatiku mendengar tangisan anakku lamat-lamat dari dalam toilet, hingga tak terdengar lagi, mungkin
kelelahan atau pingsan"
Gez terbahak-bahak, semakin gencar menenggak
minuman keras, sedang tangannya yang satu lagi mulai liar
menggerayangi tubuhku. Baru kusadari koper, tas, perhiasan, uang, paspor, semua
bawaanku dari Indonesia sudah diamankan oleh Gez.
Mengapa profilnya di video yang direkomendasi biro jodoh
internasional itu tampak begitu simpatik, ganteng dan
lembut" Belakangan baru kutahu bahwa semuanya memang
telah direkayasa. Gez adalah seorang interniran militer,
penipu, pemabuk dan... psikopat. Sejak saat itu, dia sering
menghajar tubuhku hingga babak-belur.
Sejak saat itu pula, aku dipaksa melayani kebutuhan
seksualnya secara biadab, kapan pun dan di mana pun. Bila
aku menjerit karena menahan sakit, dia akan tertawa
terbahak-bahak dan bertindak dengan lebih keji dan brutal!
Aku berusaha keras untuk tidak menjerit, menangis
apalagi meratap-ratap, memohon belas kasihnya. Dalam
ketakberdayaan sekalipun, aku sungguh ingin tetap
memberontak. Beberapa kali aku mencoba membebaskan
diri dari kungkungannya. Namun, sebanyak itu aku
mencoba lolos, sebanyak itu pula aku dipergoki, kemudian
tanpa ampun lagi dihajar habis-habisan.
Yang paling tidak tahan adalah kalau dia mengancam
akan membunuh anakku, tidak memberi makan dan
minum. Jika aku dibiarkan menemui anakku, kami
berpelukan dan kutahan sedemikian rupa air mataku agar
tidak tumpah. Kuperhatikan anakku sudah seperti robot,
sepasang mata bin tangnya yang cemerlang telah hilang,
disilih oleh dua butir mutiara hitam yang kelam, dingin dan
suwung... Suatu malam aku menemukannya dalam keadaan
mengenaskan, meringkuk di sudut kamar mandi, demam
dan menggigil. Daya tahan tubuhnya anjlok drastis,
tubuhnya seakan-akan menciut. Selain kelaparan niscaya
mentalnya pun tak tahan lagi harus sering dijauhkan dari
ibunya. "Nak, Anakku... aduuuh, demi Tuhan!" jerit tangisku
kini tak terbendung lagi. Aku sungguh panik, dan merasa
sangat berdosa karena tak mampu melindunginya.
"Bangunlah, Nak, bangunlah! Jangan tinggalkan Mama
sekarang, jangaaan..." ratapku histeris, tak peduli lagi akan
angkara Gez yang melongok di belakang tubuhku. Melihat
keadaan gawat begitu agaknya Laki-laki itu tergerak juga
hatinya. Pasti dia hanya menakutkan dampak terhadap
keselamatannya sendiri. "Diamlah, perempuan dungu! Kamu jangan berteriak-teriak terus!" sergahnya, diangkutnya sosok mungil
kesayanganku, kemudian ditaruhnya di ruangan lain
apartemen itu. Sejak malam itu anakku diperbolehkan
menempati ruangan yang layak huni, meskipun
kemungkinan cuma gudang, sebab banyak barang. Hatiku
agak lega, setidaknya anakku berangsur membaik dan tidak
selamanya dikurung di kamar mandi. Kami berdua
diperbolehkan bersama kem bali. Pada saat-saat Gez
'membutuhkanku', terpaksa kuberi pengertian anakku.
"Peter, Cinta, jangan berteriak-teriak, jangan nangis
selama Mama pergi, ya" Kalau kamu lakukan itu kita akan
dipisahkan lagi," bisikku sambil menahan bendungan air
mata yang nyaris tak tertahankan. Kubelai wajahnya, ooh,
baru kusadari tampak tirus. Tubuhnya pun tidak lagi
gemuk, pipi-pipinya yang tembam... ke mana gerangan"
"Iya... aku gak akan nangis, Mama. Gak akan jerit-jerit,
Mama. Asalkan Mama ke sini lagi, hati-hati, ya Mama...
Dia mengiyakanku sambil berlinangan air mata, di tahu,
dan tak mau mengungkitnya di kemudian hari; apakah
selama ibunya ini diperlakukan keji, anak yang malang itu
tetap tinggal di tempatnya" Ataukah dia diam-diam
mengintip" "Ya Tuhan, jangan tinggalkan kami, kumohon, jangan
tinggalkan kami," jeritku mengawang nun kelapisan
ketujuh.Apabila laki-laki itu meninggalkan rumah, kami
akan dikunci dari luar. Tiada televisi, tiada telepon, bahkan
aliran listrik pun akan dimatikan. Makanan yang diberikan
alakadarnya; sepotong roti keras, semangkuk sup krim
dingin dan segelas susu tawar. Adakalanya aku
diperbolehkan memunguti remah-remah roti atau pizza
bekas makanannya. "Aku masih lapar, Mama," pinta anakku takut-takut,
mengerling secuil roti yang baru saja akan kumasukkan ke
mulutku. "Ya, tentu saja... ini boleh buatmu, Cinta," segera
kusuapkan roti jatahku itu ke mulutnya. Tangisku pecah
jauh di dalam dada melihat hasrat dan kelahapan anakku.
Secuil roti yang hanya pantas buat mainan tikus dan kecoa
saat di Tanah Air. Namun, lihatlah, Tuhan! Hari-hari ini
begitu dibutuhkan anakku sebagai pengganjal perutnya.
Entah bagaimana reaksi kakek-neneknya jika mengetahui
hal ini. Adakalanya otakku berputar-putar dengan berbagai
kemungkinan, berbagai macam hal. Apakah ayahnya masih
peduli akan keberadaan kami, terutama anakku" Masihkah
dia bernafsu untuk menculik dan menguasai anaknya"
Mengapa aku begitu panik menghadapi ancaman-ancamannya" Bagaimana kalau itu hanya omong kosong
belaka" Bukankah sejak bercerai, dia tak peduli lagi,
terbukti kewajibannya (janji hitam di atas putih, disaksikan
pejabat KUA) untuk membiayai anaknya pun telah
diabaikan. Tak pernah memberi biaya sepeser pun lagi sejak
palu hakim diketukkan. Pikiran-pikiran itu acapkali sangat
menyiksa diriku, membuatku tak bisa memejamkan mata
sekejap pun. Sungguh, rasanya aku nyaris menjadi gila!
Namun, segera aku disadarkan akan realita yang tengah
kuhadapi. Aku tak boleh menyerah,tak boleh membiarkan
diriku stress, frustasi. Aku harus menjaga otakku tetap
sehat, waras, sebab dibutuhkan untuk mengatur strategi
agar bisa keluar dari situasi buruk ini, melawan Gez!
Setelah dua pekan dikurung di dalam apartemen sumpek
itu, akhirnya Gez mengajak kami ke luar rumah. Kami
diperkenalkan kepada beberapa kenalannya. Gez berlagak
gentle membiark anku bersosialisasi. Dia wara-wiri di antara
teman-temannya sambil menikmati makanan dan minuman
yang terhidang. Sikapnya berlagak penuh kasih sayang
terhadap anakku. "Lihatlah, Kawan! Sekarang aku punya seorang anak
yang hebat, padahal dia berasal dari negara terbelakang...
segalanya!" celotehnya kacau.
"Eeeh, apakah kamu baik-baik saja"" Paul Van Moorsel,
nama lelaki itu, memandangi wajahku lekat-lekat. Dialah
satu-satunya yang berani menghampiri dan berkomunikasi
denganku. Ia bertanya banyak hal tentang Indonesia,
tentang alasanku meninggalkan negeriku dan lain-lain.
"Aku tidak apa-apa," sahutku pelan, kurasai
sesungguhnya Gez tetap mengawasiku dari kejauhan.
"Yah... tidak apa-apa, hanya sedikit tak enak badan. Terima
kasih." Aku menundukkan kepala dalam-dalam, menatap lantai
di ujung kakiku. Cepat-cepat kulindungi pelipisku dengan
syal yang menutupi sebagian wajah dan kepalaku. Sepasang
kacamata berukuran raksasa juga menclok di wajahku.
Semuanya itu kupakai demi menyembunyikan bilur-bilur
ungu, tapak kekerasan yang kuterima selama dua pekan.
"Jangan sungkan, Nyonya, katakan kepadaku kalau
kalian butuh sesuatu," ujar Paul setengah berbisik,
kemudian diraihnya tubuh anakku, dan didudukkannya di
atas pangkuannya. Anakku berjingkrak kegirangan saat
lelaki itu memberinya seraup permen. Aku terharu sekali


Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan perhatian yang diberikannya terhadap kami berdua.
Sedangkan yang lainnya bersikap acuh tak acuh,
belakangan kutahu juga alasan mereka. Sesungguhnya
mereka malas berurusan dengan Gez, mengingat
perilakunya yang kasar. "Mama dan aku... sakit, Om Paul," gumam anakku
dalam bahasa Inggris patah-patah. Jantungku sampai
berdetak keras mendengarnya, kuatir diketahui oleh Gez.
Tapi lelaki itu tampak sedang asyik berbincang dan tertawa
keras dengan seorang perempuan berambut pirang.
"Aku sudah menduganya," desis Paul muram. "Kalian
mendapat perlakuan... Gez menyakitimu dan anakmu,
bukan"" "Mm, jangan memaksa." bisikku mencoba menghindar
"Dengar," dia menundukkan kepalanya di belakang
punggung anakku. "Kalian masih memegang dokumen
perjalanan"" Aku menggeleng. Wajah Paul seketika rnengelam.
"Carilah! Kamu harus menemukan dokumen perjalanan
kalian. Aku akan berusaha membantu kalian." Secercah
cahaya sekejap membernas dalam gulita hidupku. Titik air
mataku bahna terharu. Semula aku mengira takkan pernah
ada yang sudi memedulikan kami berdua. Bahkan aku
hampir menganggap bangsa ini identik dengan si jahanam.
"Kamu harus secepatnya pergi dari apartemennya.
Laporkan ke polisi!" Paul terus menyemangatiku.
"Yeah... terima kasih," tangisku merebak dalam dada.
Ketika Paul kemudian tampak lebih akrab dengan anakku,
monster yang mulai mabuk itu mendatangi tempat kami.
"Sudah saatnya kita pulang!" dengusnya seraya mencekal
tanganku dengan kasar. Bau alkohol meruap dari mulutnya.
Betapa sering hasratku untuk menghabisi nyawanya nyaris
tak terbendun g lagi, terutama saat menemukannya terkapar
mabuk berat. Namun, aku segera disadarkan bahwa ada
seorang anak yang menjadi tanggunganku. Bagaimana
jadinya anakku jika aku menjadi seorang pembunuh, di
negeri asing pula" "Masih sore, Gez, biarlah mereka..." Moorsel mencoba
menahan kami. "Tak ada yang menanyakan pendapatmu, Moorsel!"
sergahnya galak. Kemudian tanpa melepaskan botol mi
numannya,tangannya mencoba menggaet leher anakku
hingga minuman beralkohol itu tumpah. Paul bergerak
refleks menepiskan tangan Gez, sehingga kepala anakku
terhindar dari tumpahan minuman keras itu.
Plaaakkk! "Aduuuh!" Gez menjerit tertahan. Agaknya pergelangan
tangannya ditepis sekaligus dipelintir keras oleh Paul Van
Moorsel. Dalam sekejap keributan terjadi, suara Gez yang
lantang menghamburkan kata-kata tak senonoh. Kurasa
mereka berdua akan berbaku hantam, andaikan tak segera
dilerai oleh teman-temannya.
"Neem me niet kwaklijk... sterkte, ya Mevrouw.
(Maafkan aku... kuatkan dirimu, ya Nyonya.)
Masih kudengar suara anak bungsu aktivis gereja,
Moorsel itu, tatkala Gez menggelandangku keluar dari klub.
Simpati seorang Moorsel, meskipun hanya sebatas itu
dan nyaris tak berpengaruh apa-apa terhadap keadaan kami,
bagik u sungguh berkesan. Keberaniannya menyadarkan
diriku bahwa tak semua lelaki di negeri bekas penjajah
bangsaku ini seperti Gez. Keberadaannya pun
menyadarkan diriku akan pengharapan yang nyaris raib,
ditelan kekejian seorang manusia berhati iblis. Malam itu,
untuk kesekian kalinya Gez melampiaskan kekejiannya
terhadap diriku. Tubuhku melumbruk bagai tak bertulang,
tak bersendi, tak bernyawa. Darah berceceran di mana-mana, membasahi sekujur bagian bawah tubuhku. Kutahu
sejak itu aku takkan pernah bisa menikmati hubungan intim
lagi sepanjang hayatku! Ya Tuhaaan, kusebut nama-Mu
dalam keyakinan yang tak tahu lagi apa namanya ini.
Lamat-lamat kutangkap suara isak anakku. Ya, berkat
isak tangis belahan jiwaku itulah, diriku masih mampu
bertahan, menghabiskan sisa-sisa malam jahanam.
Tengah malam menjelang dinihari, tepatnya dua puluh
satu hari dalam cengkeraman Gez. Aku sudah bertekad
bulat, apapun yang terjadi, kami berdua harus keluar dari
tempat yang bagaikan neraka ini. Kulihat anakku sudah
terlelap tidur. Sementara Gez tengah keluar untuk mabuk-mabukan. Aku berjingkat mencari dokumen perjalanan
milik kami. Aku menyisir dengan sangat cermat setiap laci-laci, lemari pakaian, gudang, basement, seluruh penjuru
ruangan. Tidak juga kutemukan! "Ya Tuhanku, di mana paspor dan tiket milikku itu"
Kumohon, bantulah aku menyelamatkan diriku dan
anakku, Tuhan" Kumohon, bukankah Engkau Maha
Pengasih"" lolongku melindap dalam dada.
Saat aku hampir putus asa, mataku sekonyong melihat
sesuatu di sudut kamar Gez. Yup, sebuah kotak kecil yang
terkunci. Semangatku bangkit kembali, dadaku seketika
dipenuhi debar-debar asa. Adakah demikian perasaan
ayahku, ketika bersama pasukan pejuang hendak merebut
tangsi militer di Cimahi zaman revolusi dahulu" Demikian
sempat terlintas dalam benakku, membuat air mataku
menitik perlahan. Aku terus mengotak-atik kunci kotak itu sambil berdoa,
menyeru nama Tuhanku, ayahku, ibuku, ka kakku, adik-adikku, seluruh keluarga besarku. Ya, semuanya saja kuseru
dalam dadaku. Entah mengapa, seketika itu, sesuatu yang
nyaris raib dari benakku muncul kembali. Ya, ternyata aku
masih punya keyakinan, bahwa mereka niscaya masih
mengingatku, masih mendoakanku, terutama kedua orang
tuaku yang mengasihi kami berdua.
Setelah kucoba dengan berbagai nomer serabutan,
akhirnya kotak itu terbuka dengan angka-angka kelahiran
Gez. Benar saja, di sinilah agaknya pasporku
disembunyikan. Hanya pasporku, sedangkan tiket, seluruh
perhiasan dan uang milikku tidak kutemukan.
"Tidak mengapa, biarlah, ini juga sudah bagus,"
gumamku penuh sukacita. Dengan mengucap rasa syukur
untuk pertama kalinya, aku mengambil paspor dan
kusembunyikan baik-baik di dalam jaket anakku. Sejak
bentrok dengan Paul, Gez bersikap hati-hati terhadap
anakku. Mungkin karena diancam oleh Paul akan
memerkarakannya, apabila diketahuinya dia menyakiti
anakku. "Nak, bangunlah, Cinta," kuraih tubuh mungil
kesayanganku, tanpa menunggu reaksinya lagi secepatnya
kukenakan pakaiannya. "Ke mana kita, Mama"" tanyanya setengah mengantuk
saat kutuntun bocah yang malang itu menuju pintu keluar.
"Kita harus pergi dari sini, Nak. Kuatkan dirimu dan
hatimu, ya Cintaku, Buah Hatiku," bisikku meracau seraya
membungkuk, sekali lagi kubetulkan kerah jaketnya.
Udara akhir Juli mulai dingin dan aku tak tahu entah
apalagi yang bakal menghadang kami di luar sana. Ketika
ku baru saja hendak membongkar pintu depan dengan
paksa, sebelumnya berhasil kurusak, seketika pintu terkuak.
Sosok yang ingin sekali kubakar hidup-hidup itu,
terhuyung-huyung limbung dengan botol minuman keras di
tangannya. "He... kalian mau ke mana"" suaranya menandakan
sedang mabuk parah. "Dengar, kami tidak akan membuat keributan di sini.
Kami hanya ingin pergi dari sini, oke"" Sekali ini
kutegakkan tubuhku dan bicara dengan sangat tegas.
"Jadi... menyingkirlah!"
Kurasa jika memang diharuskan, diriku sudah bertekad
akan melakukan apapun demi kebebasan kami berdua. Aku
sudah tak peduli lagi jika harus menjadi seorang pembunuh,
atau menjadi mayat sekalipun. Aku tak sudi menjadi
pecundang. "Apa kamu bilang, perempuan tolol" M
emangnya siapa dirimu itu, hah"" tangannya yang bebas meng gapai-gapai
di udara,tubuhnya semakin limbung.Bagus, keadaannya
menambah keberanian dalam dadaku!
"Aku, putri seorang pejuang' 45, bangsa Indonesia!"
sergahku lantang. Dengan sisa-sisa kesadaran yang masih
dimilikinya, telunjuknya menuding-nuding wajahku.
"Jij ben niks waard en je heb niks geen pass-port en geen
tiket, dus godverdomme wegwezen juiiie!" ("Kamu tidak
punya apa-apa, tidak berarti apa-apa, tidak punya paspor
dan tiket, jadi pergilah kamu dari sini!")
Ya Tuhan, sungguhkah ini" Ternyata begini mudahkah
kami terlepas dari cengkeramannya" Mengapa tidak dari
kemari n-kemarin aku melakukannya" Mengapa ketakutan
akan kehilangan nyawa anakku begitu menghancurkan
setiap hasrat bangkang dalam diriku" Demikian aku sempat
menjeritkan kenaifanku. Ah, sudahlah, sudahlah, jerit
hatiku kemudian. Akhirnya, Tuhanku, Tuhanku, terima
kasih! Bagaikan sinting rasanya diriku mencekal kuat-kuat
tangan anakku. Setengah berlari kuseret langkah kami
berdua, bergegas pergi. Kami tak membawa apapun selain
yang melekat di tubuh dan paspor, ditambah beberapa
lembar gulden yang kutemukan di laci dapur. Aku tak
memikirkan apapun lagi. Bagiku yang terpenting pergi
sejauh mungkin. Samar-samar suaranya masih terdengar
meracau tak jelas. Udara dingin di penghujung bulan Juli pada dini-hari itu
seketika menyergap tubuh kami. Beberapa saat kupangku
anakku dan kudekap erat tubuhnya yang gemetar. Selang
kemudian anakku minta diturunkan, tentu merasa kasihan
kepadaku yang terhu yung-huyung limbung.
Kami berjalan kaki menuju stasiun terdekat selama
kurang lebih 20 menit. Tak ada pejalan kaki lainnya kecuali
kami berdua. Aku berjuang keras menahan rasa sakit yang
menusuk-nusuk di bagian bawah tubuhku. Kuyakinkan
pada diriku bahwa rasa sakit badaniah itu sungguh bukan
apa-apa, jika dibandingkan dengan kebebasan yang baru
kami dapatkan. "Mama... sakit ya"" anakku merandek, lalu
menengadahkan wajahnya, sepasang bintang mencari-cari
jawaban di wajahku. "Tidak apa-apa, Nak... Mama baik-baik saja," sahutku
seraya membelai pipi-pipinya yang putih. "Masih kuat
berjalan, Sayang""
"Ya, Mama... aku sudah kuat, kuat sekali!" dia
tersenyum manis dengan selaksa bintang yang berbi nar-binar di matanya. Itulah bintang asa dan citaku!
"Kita lanjutkan perjalanan, Cinta"" tanyaku seraya
menahan gelombang keharuan yang bagai me nggumpal-gumpal di leher, di tenggorokan, di dada terus menusuk ke
persendian tulang, ke sekujur jiwa dan ragaku.
"Siaaap!" jawab anakku bersemangat sekali, walau
kutahu itu hanya demi menghibur hatiku. Kami pun terus
berjalan, tanpa berkata-kata lagi.Aku telah memelajari peta
yang sempat kuambil begitu menginjakkan kaki di bandara
Schiphol. Tujuan yang terlintas di benakku adalah
Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag. Aku membeli tiket
kereta api senilai 25 gulden (saat itu mata uang Belanda
gulden) dari Hilversurn ke Utrecht.
Beberapa saat kurasai aura keheningan, kesenyapan yang
ajaib membalut diriku. Anakku merebahkan kepalanya di
atas pangkuanku,sesaat kemudian dia telah tertidur lelap.
Napasnya mengalun lembut melalui hidungnya.
Mencermati tubuhnya yang mungil dan kurus, tak tahan air
mataku berderaian yang segera kuhapus, khawatir
mengusik tidurnya. Kurasa inilah saat tidurnya yang terlena
sejak meninggalkan Tanah Air.
Beberapa jenak kubiarkan pula diriku menikmati udara
kebebasan, walaupun masih ada kekhawatiran si jahanam
memburu kami. Sewaktu kereta api berhenti di stasiun
Utrecht, aku tak membangunkan anakku melainkan
menggendongnya pelan-pelan. Se mangat hidupku serasa
mengalir deras, tatkala merasai detak jantung anakku yang
menyatu dengan detak jantungku sendiri.
"Ya, kita harus bertahan hidup, Anakku... Harus,
haruuus!" desisku berulang kali, tak terhitung lagi sebagai
upaya menguatkan benteng pertahanan diri yang baru
kuraih. Di sebuah bangku panjang di sudut stasiun Ut-recht,
kubiarkan waktu berjalan dengan semestinya. Penampilan
kami pasti aneh di mata mereka, tidak sesuai dengan
musim. Aku mengenakan celana jins, kaos dalam yang
dirangkap baju hangat. Anakku masih mengen
akan piyama dirangkap celana jins dan jaketnya. Tak kupedulikan orang-orang yang melintas di hadapan kami, sekilas
memandangiku ter heran-heran. Hari, apa peduliku"
Sebaliknya aku yang harus heran. Mengapa tiada
seorang pun yang meluangkan waktunya, sekadar
menanyakan keadaan karni" Bukankah kami tampak sangat
menyedihkan, wajahku amat pucat dengan bilur kebiruan di
pipi dan keningku" Sosok mungil dalam pangkuanku
tampak mengerut kecil, diliputi ketakberdayaan dan
keringkihan. Mengapa kalian tak peduli"
Di sinilah di daratan Eropa kami kini berada. Di negeri
sebuah bangsa yang konon sangat menjunjung tinggi
kesopanan, peradaban luhur,di mana para nyonya begitu
senang menata rumah, dan menyediakan makanan yang
lezat untuk keluarganya. Di mana salah seorang warganya
begitu kejam memerlakukan kami berdua, tak punya hati,
tak punya nurani, hanya nafsu iblis yang menjelma utuh
dalam dirinya... Ops, ternyata ada juga yang mau memerhatikan
keberadaan kami. Seorang gadis muda menghampiri kami,
membungkuk di samping anakku, kemudian memandangi
wajah anakku lekat-lekat. Aku menyapanya dan mencoba
berkomunikasi. Aku mengatakan bahwa kami baru datang
dari luar kota, bermaksud pergi ke Den Haag.
"Anda harus melanjutkan perjalanan dengan kereta lagi,
Mevrouw," berkata gadis yang kutaksir mahasiswa atau
karyawati itu. "Dia ini... apakah anak Anda"" selidiknya.


Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya, dia anakku, mengapa"" balik aku bertanya.
"Mmm, kasihan... tidak apa-apakah dia"" tanyanya pula
dengan sorot mata ingin tahu, kemudian sejenak lebih
mencermati keadaan anakku. Aku berusaha tersenyum.
"Tidak, Sister, dia hanya kelelahan."
Gadis itu menatap wajahku dan tersenyum simpati.
Entah apa yang ada dalam pikirannya, saat kemudian ia
mengingatkanku agar berhati-hati. Ia juga mengatakan
ingin membantuku, tapi menyesal sekali karena sudah ada
janji. Ia berpamitan dengan ramah, setelah minta izinku
untuk mengelus pipi anakku, dan meletakkan sekotak
cokelat di dekat tangan anakku.
Kupandangi tas punggungnya sambil kuhela napas
dalam-dalam. Setidaknya pengetahuanku bertambah,
pengharapanku membernas tentang peradaban bangsa ini.
Gadis itu, siapapun dia, telah membuat hatiku terharu.
Sikapnya terhadap anakku sungguh telah menggoyah
benteng kebencian dan dendam dalam dadaku. Ya, tidak
semua warga Belanda seperti si Gez!
Dan tiba-tiba benakku disergap berbagai macam pikiran.
Setan Seribu Nyawa 2 Trio Detektif 06 Misteri Pulau Tengkorak Memperebutkan Bunga Wijaya 2

Cari Blog Ini