Ceritasilat Novel Online

Joe 1

Balada Si Roy Joe Karya Gola Gong Bagian 1


BALADA SI ROY 01 - JOE PENULIS: GOLA GONG Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
I. JOE Laki-laki artinya mempunyai keberanian. Mempunyai martabat. Itu artinya percaya pada kemanusiaan. Itu artinya mencintai tanpa mengizinkan cinta itu menjadi jangkar. Itu artinya berjuang untuk menang.
-Alexandros Panagoulis BUMI di kota kecil di Karesidenan Banten, 91 km barat Jakarta, masih basah oleh hujan semalam. Butiran air pun masih menempel di dedaunan, gemerlap ibarat lampu pohon Natal yang disentuh matahari pagi. Kota yang terkenal dengan hal-hal mistik, debus, dan jawaranya. Juga tercatat dalam sejarah ketika kapal dagang para petualang Portugis merapat di Bandar Karang Hantu, legenda 1883 ketika Krakatau mengguncang dunia dengan meratakan 163 desa dan melumat 36.000 jiwa, dan si penjagal Hermann Daendels yang memulai kerja rodi pembuatan jalan tanah Jawa dari desa Anyer.
Orang-orang yang memulai rutinitasnya di pagi yang basah di bulan September ini menyemarakkan kota. Orang-orang dengan seragam kantor, putih abu-abu, putih biru, putih merah, tawa cerah, dan sorot mata cemerlang bagai baris-baris yang menghiasai bait-bait puisi pagi ini.
Semua bergembira menyambut air hujan setelah musim kemarau yang panjang. Becak-becak dengan lonceng bersahutan, berseliweran menyibak genangan air. Sopir-sopir yang mengantar anak majikan pun memencet klakson dengan meriah. Atau untuk golongan yang suka pamer dan sok aksi, merayakan kegembiraannya dengan caranya sendiri, yang kadang tidak bertanggung jawab. Mereka menggilaskan roda motor-mobilnya ke genangan air, sehingga bercipratan mengotori baju orang-orang. Akibat
ulah itu memang bisa tercipta kegembiraan lain, tapi juga sekaligus merusak keindahan bait-bait puisi pagi ini.
Remaja Roy mengayuh sepeda balapnya pelan-pelan.
"Ayo, Joe!" serunya.
Anjing herder itu menyalak kegirangan. Bulunya yang coklat kehitam-hitaman mengkilat. Gerak-geriknya melindungi majikannya dari marabahaya.
lni adalah hari pertama bagi Roy sekolah di kota leluhurnya. Dia memang masih merasa risi dan sering mendengar dari mulut ke mulut tentang hal-hal aneh dan ganjil yang terjadi di sini. Orang yang lidahnya dipotong tapi bisa disambung lagi, yang dibacok golok tapi tidak mempan, dan, hiih... yang muntah-muntah mengeluarkan benda tajam! Untuk yang terakhir tadi, itu pekerjaan dukun-dukun aliran hitam yang diupah seseorang untuk mencelakakan orang lain. Teluh, namanya. Sukar untuk dipercaya oleh akal sehat kita. Itu sama ketika Roy kecil pertama kali terheran-heran melihat reog Ponorogo dan tusuk keris pada pertunjukan barong di Bali.
Remaja Roy memang jadi pusat perhatian. Ke sekolah dengan sepeda balap dan anjing herder" Itu absurd. Sebuah objek sensasi. Dia tersenyum-senyum saja. Bukankah senyum itu bahasa dunia"
Dia menyimpan sepeda balapnya. Ada empat koboi sombong dan angkuh sedang nangkring dengan Hardtop-nya. Di bodi mobil itu tertulis sembilan huruf besar-besar. Borsalino, bisik Roy mengeja huruf-huruf itu. Sorot mata mereka sinis dan tidak bersahabat. Dia mesti hati-hati dengan kelompok itu. Persaingan sudah dimulai saat itu juga. Itulah remaja. Dunia lelaki. Keras dan kadang kala tidak bertanggung jawab. Dia menyadari dan berani menghadapi risikonya. Di mana-mana, kalau dia sudah berhadapan dengan orang-orang semacam mereka, kehadirannya suka menimbulkan perang. Dan dia selalu memandang musuhnya seorang demi seorang sebelum memulai perkelahian. Kebiasaannya, dia tidak akan menyodorkan pipinya dulu, tapi langsung tinjunya! Sebenarnya dia paling senang berkawan dan menolong orang. Tapi itu tergantung bagaimana permulaannya ketika mereka menghargai seseorang. Bukankah kalau kita ingin dihargai, harus juga menghargai dulu orang lain"
Lain waktu telinganya mulai mendengar suara-suara kecil, manja, dan genit menggemaskan. Roy tahu itu untuknya. Dia memang keren. Badannya jangkung atletis. Tampan tapi tidak kolokan. Berbeda dengan orang kebanyakan. Alis matanya tebal memayungi mata hitam berkilat ibarat menikam buruannya. Tapi kadang juga teduh seperti telaga di rimba belantara. Dan senyum
nya memang memabukkan, nakal, dan khas berandalan.
Dia menuju kios cukur. Joe melonjak-lonjak manja. Dia berusaha agar Joe mau tinggal di situ, menemani si kakek tukang cukur. Sementara itu seorang gadis baru turun dari DX putih. Mata kejoranya bersinar-sinar dan merah mungil bibirnya terbuka.
Lelaki dan anjing herder! Gadis itu terpesona merekam gambar-gambar hidup menakjubkan di benaknya.
Roy mengangkat muka. Tersenyum nakal ke arahnya. O, Dewa Kamajaya! Senyum itu melesat menembus dadanya dan persis menancap di titik sasarannya. Ibarat Gandiwa Arjuna yang menghujani pasukan Kurawa dengan panah - dalam perang Bharatayudha.
Gadis itu bergegas menuju gedung peninggalan kolonial. Dadanya berdebar tidak keruan. Ledakan-ledakan itu muncul bersahutan.
"Hai," sapa Roy bandel sambil menjajari langkahnya.
Gadis itu tersenyum sedikit. Mahal sekali harga senyumnya, seperti senyum putri-putri kerajaan. Ada tahi lalat di dagu sebelah kirinya. Amat manis. Sungguh. Dan bagi Roy, manis itu indah serta tidak membosankan.
Sebenarnya tindakan Roy tadi seperti meniup terompet peperangan, karena salah seorang dari Borsalino menyikut kawannya yang memakai gelang emas. Lelaki sombong dan angkuh itu meringis gelisah dan marah. Rokok filternya sudah lumat diinjaknya.
"Kayaknya anak baru," kata yang memakai gelang bahar. "Bertingkah, tuh anak!" "Kita kerjain, Dul!"
Dulah menyeringai kepada tiga cecunguknya.
Besi tua dipukul nyaring. Mereka dengan malas beranjak, menuju 3 IPS satu. Seperti kebiasaannya dari dulu, Dulah selalu menghampiri bangku gadis itu, untuk mengagumi kecantikan dan tahi lalat di dagu sebelah kirinya.
"Selamat pagi, Ani," sapa Dulah selalu ramah dan hormat. Kesombongan dan keangkuhannya sebagai anak jawara selalu mencair di depan gadis ini. Itu sudah dilakukannya sejak di kelas satu.
Dia tidak akan pernah lelah untuk.mengucapkan kalimat seperti tadi, karena di situlah dia mendapatkan kebahagiaan. Walaupun berkali-kali sudah cintanya ditolak, dia tidak peduli. Karenanya, betapa darahnya bergolak begitu dilihatnya seseorang yang belum dikenalnya, berani-beraninya, mendekati dewi pujaannya.
Ani memang ibarat gadis desa keturunan dewi-dewi. Dia adalah Venus. Kecantikan alamiah yang sempuma. Sorot matanya bening, seperti mata air memancar dari pegunungan. Senyumnya wangi semerbak. Segala yang indah-indah ada padanya dan tidak akan ada habisnya.
Kelas baru Roy, 2 IPS dua, bergemuruh menyambutnya. Begitu menyenangkan hatinya. Di mana-mana sesuatu yang baru selalu cepat jadi pusat perhatian. Apalagi qualified begini. Dia kebagian duduk di bangku belakang. Di mana-mana bangku belakang disinyalir sebagai tempat duduknya siswa-siswa malas dan nakal.
"Akhirnya bangku ini terisi juga," Toni, si hitam manis, sangat gembira menyambutnya. Dia tersenyum mengulurkan tangan. Bola matanya jenaka kalau berbicara. Manis kalau tersenyum. Baby face.
"Senang banget punya kawan macem kamu," Roy menjabat erat.
"Nambah satu lagi," Andi yang duduk di depannya nimbrung. Rambutnya lurus diponi. Ganteng tapi kurang terurus. Gayanya kusut ala seniman saja. Tapi matanya lincah kalau melihat gadis cantik. Ada gaya khasnya, sukar ditiru, yaitu suka menyelipkan rokok di bibimya. Lalu memainkannya dari ujung kiri ke ujung kanan bergantian, tanpa pernah mau menyulutnya. Merokok itu merusak kesehatan, begitu prinsipnya. Boleh juga.
Sepanjang pelajaran, Toni selalu melirik ke sebelahnya. Menebak-nebak kemungkinan yang bakal terjadi dengan kawan barunya. Siapa tidak kenaI Borsalino" Si Dulah" Lelaki yang bangga terlahir sebagai anak jawara dan tidak pernah senang
kalau merasa ada seseorang yang seperti akan menyainginya.
*** Remaja Roy membanting sepeda balapnya. Seragamnya kotor dan sikutnya lecet-lecet. Joe menyalak. "Diam!" hardik Roy kesal. Joe melengos, sembunyi di bawah kursi.
"Kenapa, Roy"" mamanya memolesi lukanya dengan obat merah. "Diserempet orang, Ma," dia meringis perih. Menuju meja makan.
Kejadian barusan semakin menambah penilaian minusnya pada kota ini. Masih terbayang ketika dia sedang asyik berkejaran dengan Joe, tiba-tiba Hardtop sialan itu senga
ja menyerempetnya. Seperti itukah tradisi remaja di sini" Merasa dirinya paling jago" Di sini perkelahian kecil saja bisa merembet jadi perkelahian antar kampung. Jangan kaget kalau melihat ada orang digebuki orang sekampung hanya gara-gara menabrak seekor ayam, atau mendengar sekelompok remaja memproklamirkan dirinya Sadigo-salah dikit golok!
"Kamu mirip papamu, Roy," kata wanita 40-an itu penuh kenangan dan kesedihan, melihat cara makan anaknya yang tergesa-gesa tapi gesit itu. Dia pun ikut makan menemaninya.
"Kan anaknya, Ma," Roy mengecup pipi mamanya yang masih saja cantik. Kadangkala dia terenyuh apabila mendengar mamanya mengingat-ingat dan membanding-bandingkan dirinya dengan almarhum papanya.
Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu malam sedang hujan. Mamanya menghampiri dan memeluk dengan bersimbah air mata. "Papamu lelaki sejati, Roy," isaknya, "alam adalah sahabat sekaligus musuhnya."
Papanya tewas dalam pendakian. Bermula dari sifat petualangannya yang ingin membuat jalan terobosan. Lalu dua hari kemudian papanya diketemukan tewas di dasar jurang. Seseorang menemukan secarik kertas di saku jaketnya. Sampai sekarang surat itu masih disimpan Roy, untuk kenangannya kalau dia sedang merindukan papanya. Setiap malam dia selalu membacanya lagi:
"Roy, anjing herder itu Papa
beri nama 'Joe'. Joe adalah pengganti Papa.
Jadilah lelaki. Jaga mamamu!" Roy baru betul-betul bisa mengerti dan memahami isi surat itu beberapa tahun kemudian.
Tentang betapa beratnya kehilangan seseorang yang sangat dicintainya.
Lalu Joe, anjing herdernya, itu adalah hadiah dari papanya ketika dia masuk ke kelas satu di bangku SD. Dan itu hanya beberapa hari sebelum papanya berangkat dengan pendakiannya, kematiannya. Jadi, Roy dan Joe, memang tidak bisa dipisahkan. Mereka tumbuh bersama. Sudah banyak petualangan kecil dilewati bersama. Di mana ada Roy, di situ pasti ada Joe!
Kemudian Roy mulai banyak belajar tentang hidup dari figur papanya. Lewat
foto-fotonya, tulisan-tulisannya, cerita mamanya, dan perpustakaan mini warisannya.
*** Agak pagian Roy datang ke sekolah. Menuju kios cukur untuk menitipkan Joe. Dia memberikan bungkusan kepada si kakek tukang cukur. "Ini untuk cucu Kakek," kata Roy hormat. "Yah, hanya baju-baju bekas, Kek."
Si kakek begitu terharu. Dia memang pernah bercerita tentang ketiga cucunya yang masih duduk di SMP. Ternyata tidak semua remaja hanya memikirkan sebatang rokok dan rencana malam mingguan, bisik hatinya.
DX putih itu berhenti. Dewi Venus tampak rambutnya dihiasi bando merah. Jalannya begitu cermat dan berirama, seperti penari balet pada pertunjukan operet. Joe menyalak. Berlari mencegatnya. Dan duduk dengan genitnya. Mengibas-ngibaskan ekornya.
"Mana majikanmu"" Ani berjongkok. Meneliti kalung yang menggantung di leher Joe.
Roy berdehem. Joe menyalak kegirangan.
"Anjing kamu gagah," katanya biasa-biasa saja.
"Nama saya Roy," dia memulai dengan cengiran nakalnya.
Ani mengangguk, tapi melihat ke arah lain. Kelihatannya dia hati-hati dan penuh perhitungan menghadapi lelaki model beginian. Awas, jangan beri lampu kuning, nanti suka nyelonong keenakan!
Tampak Hardtop itu sudah diparkir.
"Kamu nggak punya nama""
"Untuk apa""
"Hei, anjingku saja punya nama," ledek Roy.
"Aku bukan anjing," katanya bergegas. Dia masih sempat menoleh. Tampak Borsalino sedang mengikuti Roy. Mereka sengaja menyenggolnya. Ani menghentikan langkah di pintu gerbang. Menunggu babak selanjutnya.
Roy masih bisa mengontrol letupan kawahnya. Tapi ketika kaki Dulah menggaetnya, sehingga dia terhuyung-huyung, kawahnya pun meletus!
"Jangan dikira aku nggak berani sama kalian!" Roy mencekal kerah baju Dulah, sambil menuding wajahnya. Gerahamnya dikatupkan pada yang lain. Dia cepat-cepat menyudahi drama menegangkan itu. Terlalu demonstratif dilihat orang. Borsalino hanya saling pandang, tidak menyangka sama sekali kalau Roy akan begitu nekat.
Ani hanya tersenyum dan menggelengkan kepala melihatnya.
*** Malam Minggu. Roy bergaya di muka cermin. Rambutnya yang basah dikeramas disisir ke belakang. Dia mengenakan setelan jeans Levi'snya. Baginya jea
ns ibarat 'hidup'. Semakin dia lusuh, semakin dia enak untuk dinikmati. Kerah jaketnya diberdirikan. Dan dia kemudian membayangkan dirinya menjadi seorang James Dean!
Di bibirnya tersiul Be bop a lula-nya John Lennon. Dia mengayuh sepeda balapnya dengan santai. Joe meloncat ke sana kemari. Dia mesti mengantarkan beberapa jahitan ke langganan baru mamanya dulu, sebelum menepati undangan Wiwik, si sexy, untuk wakuncar ke rumahnya. Dia sebenarnya masih risi, karena pernah mendengar tentang tradisi di sini bahwa, apabila ada lelaki dari luar lingkungan setempat mengapeli wanita di situ, nanti pulangnya, apalagi lewat jam sepuluh malam, biasanya dicegat atau ban kendaraannya dikempesi.
Roy membuka pagar spanyola itu. Ini di kawasan elite di sini. Agak di luar kota. Ada satu jahitan pakaian lagi di setang sepedanya.
Setelah papanya meninggal, mamanya menghidupinya dengan keahliannya sebagai perancang mode. Keahliannya memang hanya dikenal dari mulut ke mulut saja. Mamanya membatasi pada lima potong pakaian dalam sebulannya. Mamanya dulu pernah memenangkan salah satu nomor kontes perancang mode di Bandung.
Wiwik yang gelisah menunggu di teras, menyongsong pangerannya. Rok jeans ketat membungkus pinggulnya, sehingga lututnya yang bulat putih kelihatan. Dikombinasikan dengan T-shirt merah nyala dan gincu tipis-tipis, amboi... !
"Hai," Roy mengagumi lukisan sensual itu.
"Sori, rada ngaret. Nganterin jahitan dulu. Rupanya mama kamu juga langganan baru mamaku," dia tersenyum menyerahkan bungkusan.
Wiwik memberengut manja. Berlari kecil ke dalam.
Kemudian mereka memilih tempat kencan di sudut taman, terlindung oleh temaramnya lampu dan daun-daun bougenvile. Begitu romantis. Roy menikmati keindahan yang bergelora dan memabukkan di depannya. Bibirnya ibarat anggur ranum yang siap dipetik. Merah dan lezat.
Roy ingin mencicipi anggur itu!
"Malam ini kamu cantik dan menggairahkan," Roy tersenyum nakal, "terutama bibir kamu," dia menyentuh bibirnya dengan telunjuk.
Wiwik mempermainkan bibirnya dengan ujung lidahnya. Joe pun melengos malu.
*** Pantai Anyer, hari Minggu yang cerah. Banyak orang melepas lelah di sini, setelah penat dengan rutinitasnya.
Di sepanjang Pantai Banten kini sudah jarang kita jumpai tempat di mana kita bisa santai tidur-tiduran meresapi deburan ombak, menikmati nyiur melambai, dan warna senja. Karena kini sudah banyak tumbuh cottage menyaingi pohon kelapa. Pantai-pantai sudah diklaim orang-orang tertentu, bos-bos dari Jakarta, dan Bukan.Tempat Untuk Umum begitu bunyi papan pengumuman yang ditancapkan di setiap tanah kosong di sepanjang pantai. Beberapa tahun lagi di situ pasti akan tumbuh cottage baru.
O, Pantai Banten, akan ke manakah nanti wajahmu"
Ani, si Dewi Venus, berlari ke darat. Butir-butir air laut yang. menempel di putih kulitnya gemerlapan. Tubuhnya yang dibungkus bikini biru mengkilap penuh pesona. Dia merasa tertarik ketika melihat seekor anjing herder sedang bermalas-malasan di muka sebuah tenda kecil.
"Joe!" serunya girang. "Mana majikanmu""
Joe menyalak. Berlari menyelusupkan tubuhnya. Menggosok-gosokkan bulunya. Ani kegelian. Dia hati-hati mengintip ke dalam tenda. Lelaki bandel itu masih asyik meringkuk dengan mimpinya.
"Ayo, Joe!" Ani berkejaran ke pantai dengan Joe.
Roy memang paling gemar kemping, ke mana saja dia mau. Karena baginya tidak ada yang lebih menyenangkan selain berada di alam terbuka, menikmati keagungan Tuhan. Kalau sedang liburan sekolah, biasanya dengan Joe dia ber-liften. Dengan petualangan kecil itu dia jadi bisa belajar banyak tentang hakikat hidup. Bisa belajar mengambil keputusan ketika terjepit dalam kesulitan dan mencari jalan keluarnya. Juga tentang berbagi kasih dan saling tolong-menolong sesama insan.
Roy memang seorang pengembara khayal. Pikirannya selalu penuh dengan angan-angan petualangan dan menulis roman. Dia selalu menggabungkan khayalan dengan dunia kenyataannya. Itu memang akibat dari terlalu banyaknya membaca buku-buku petualangan dan nonton film seri.
Ketika kawan-kawan kecilnya gemar membaca HC Andersen, Roy kecil malah berangan-angan menjadi seorang Tom Saw
yer. Bahkan dia pernah membikin repot mamanya ketika seluruh tembok rumah di kampungnya dicoreti inisial Z. Rupanya Roy kecil sedang membayangkan dirinya menjadi seorang Zorro. Ada-ada saja.
Roy menggeliat. Uh! panasnya. Mengintip ke luar. Mana Joe" Dia berteriak, "Joeee!" Di kejauhan ada anjing menyalak. Itu Joe. Dia membuka kausnya, berlari ke laut. Dilihatnya Joe sedang asyik bermain ombak dengan gadis berbikini biru.
Venus itu melambaikan tangannya.
"Hai!" Roy menandingi ombak Selat Sunda. Matanya meloncat ke luar begitu melihat butir-butir air laut yang gemerlapan menempel di kulit Venus itu. Satu-dua menetes di ujung dagunya.
"Matamu!" Venus tersipu-sipu menyemburkan air laut.
Roy gelagapan. Malu juga dia kepergok seperti tadi.
Mereka lantas merasa begitu cepat akrab, walaupun tetap berusaha menjaga jarak. Ada yang membuat Roy segan terhadap gadis ini. Gerakan-gerakannya yang sempurna dan ada keharmonisan satu sama lain. Kalau dia tertawa, merah mungil bibirnya terbuka dan keindahan lain muncul, berupa gigi-gigi putih cemerlang. Atau kalau dia menyisir sebagian rambutnya yang jatuh ke kening dengan jari-jarinya, keindahan lain pun muncul lagi, berupa dada bulat yang bergerak-gerak, berirama.
Saking begitu asyiknya mereka berendam, bercerita, dan menyembur-nyemburkan air laut, Roy tidak menyadari kalau ada tiga orang secara diam-diam mendekati. Salah seorang menggepitnya dari belakang. Roy betul-betul tidak menyadari.
Borsalino! makinya geram. Dia meronta-ronta dan meradang ketika ditimbul-tenggelamkan. Ani ketakutan berlari ke pantai. Berteriak-teriak. Joe pun menyalak garang dan gelisah mondar-mandir di bibir pantai.
Orang-orang hanya menonton saja, memuaskan rasa ingin tahu mereka. Lumayan buat cerita di rumah. Sebenarnya mereka kurang percaya dan ada yang tidak menggubris dengan pergumulan di laut itu. Pikir mereka, ini gaya terbaru remaja sekarang untuk mencari perhatian. Ada-ada saja mereka.
Tidak ada jalan lain, Roy meremas kemaluan mereka. Secepat kilat, begitu ada kesempatan, dia melayangkan tinjunya ke segala penjuru angin. Membabi buta. Pergumulan terjadi lagi. Kadangkala cipratan air yang berhamburan melindungi mereka dari tontonan.
Joe dengan gagah berani menerjang ombak ke garis pertempuran. Nalurinya mengatakan, majikannya dalam bahaya. Salah seorang berusaha menghalaunya. Joe menggigit lengannya. Yang digigit menjerit. Mereka jadi panik dan melepaskan perhatiannya pada Roy. Kini mereka mengurung Joe. Mengepung dan mendesaknya.
Roy berhasil menghimpun tenaganya lagi. Dihirupnya udara sebebas-bebasnya. Dia hampir kehabisan napas tadi. Beberapa kali dia mengusap-usap matanya agar tidak perih dan kabur pandangannya.
Tiba-tiba lengkingan Joe menikamnya. Menyayat seperti akan hilang ditelan ombak. Mereka berhasil mencekik dan membenamkan Joe ke laut!
Joeee! Roy begitu kalap, gelisah, dan gusar. Dia menerjang ke arah mereka. Ketiga cecunguk Borsalino itu berlarian menuju pantai. Dilihatnya Hardtop itu diparkir di sebelah selatan.
Dulah tersenyum sinis dan menang menggigiti batang korek api. Amarahnya sudah tersalurkan kini. Hatinya puas. Pokoknya, siapa saja yang mau coba-coba mendekati dewi pujaannya, harus berurusan dulu dengan dia!
Roy meraung-raung. Ekspresinya sulit dilukiskan. Hancur. Geram. Linglung. Dendam. Seperti seorang raja yang baru kalah perang dan kehilangan kerajaannya.
Joe terapung-apung bagai kayu lapuk dipermainkan ombak. Roy membopongnya. Air matanya menetes menimpa wajah Joe. Suara tangisnya memilukan. Direbahkannya di pasir. Ayo bangun, Joe! Berulang-ulang dia menekan perutnya. Dipeluknya ibarat memeluk boneka kesayangannya. Air matanya terus meleleh.
Rasa kehilangan itu untuk kedua kalinya menyergapnya. Melemparkannya ke sudut-sudut keputusasaan. Sesuatu yang pernah lama digenggamnya kini terlepas jauh. Segalanya jadi sia-sia.
Setelah mamanya dan Joe, dia memang tidak pernah merasa memiliki siapa-siapa lagi yang tersisa di bumi ini. O, Gusti, lantas setelah ini aku mau ke mana"
Tidak, tidaak, tidaaak! Ani hanya bisa mematung. Kaki-kakinya terbenam di pasir. Drama tragis tadi begitu me
robek jiwanya. Bibirnya kering gemetar. Kerongkongannya tercekat. Dan matanya basah berair.
Sorot mata remaja bandel itu kini tidak lagi hitam berkilat bagai menikam buruannya. Tapi hampa dan sangat putus asa. Senyum nakalnya tertelan Selat Sunda. Juga tubuh kokoh itu keropos ibarat batang nyiur kena sengat halilintar.
Roy berjalan membopong Joe.
Menangis meraung-raung. Menyayat dan penuh amarah.
"Joeeeeeeeeee!"
II. BAD BOYS Mesti selalu mabuk. Terang sudah, itulah masalah satu-satunya. Agar tidak merasakan beban ngeri Sang Waktu yang meremukkan bahu serta merundukkan tubuhmu ke bumi, mestilah kau bermabuk-mabuk terus-terusan. Tetapi dengan apa" Dengan anggur, dengan puisi, dengan kebajikan, sesuka hatimu. Tetapi mabuklah!
-Kahlil Gibran Roy kini banyak merenung memandangi kuburan Joe, anjing herder kesayangannya, di belakang rumahnya. Sepuluh tahun itu bukan waktu yang sedikit untuk mengikat satu sama lain.
Oh, Joe-ku sayang Joe-ku malang.
Lantas dia berandai-andai. Seperti, andai saja bedebah Borsalino tidak membunuh Joe, andai saja Dewi Venus tidak mengajak Joe bermain ombak di laut, andai saja aku tidak terbius oleh keindahan Venus, dan andai saja mamaku tidak mudik ke sini. Andai saja...
Tapi Roy tidak bisa menyalahkan siapa-siapa.
Setelah mbahnya meninggal, mamanya sebagai bungsu dari tiga bersaudara, mendapat warisan sebuah rumah tua di sini. Daripada mengontrak terus di Bandung, selain boros, karena mengandalkan dari hasil jahitan mamanya saja, juga atas saran kedua kakak lelakinya, maka diambil keputusan untuk kembali berkumpul di kota leluhur.
Sebenarnya Roy tidak setuju dengan keputusan mamanya. Tadinya dia bersikeras mau mengontrak kamar saja di Bandung. Di sana dia bisa leluasa mengirimkan naskah-naskahnya ke koran daerah, menikmati Braga malam-malam, menghirup udara Maribaya, nonton teater, dan pagelaran musik rock.
"Ini bukan soal Braga malam-malam, Roy! Atau Maribaya, teater, dan musik rock! Bukan! lni soal mama dan kamu!" mamanya terisak-isak.
"Tegakah kamu meninggalkan mama sendirian" Sedangkan yang mama miliki satu-satunya tinggal kamu, Roy"" mamanya menangis.
O, Gusti! "Siapa nanti yang akan mengantarkan jahitan-jahitan ke para langganan, Roy"" kalimat mamanya menusuk perasaannya. Roy memeluknya erat-erat.
Kini, di kota leluhurnya ini, mulailah dia dengan petualangannya. Kota kecil ini dijelajahinya. Hari-harinya lebih banyak dihabiskannya di jalan. Dia lalu jadi akrab dengan segala jenis perkeliruan. Dia merasa dengan melakukannya bisa mententeramkan dan meredam kegelisahan, kemarahan, keputusasaan, dan kesedihannya.
Joe memang sudah mengubah segalanya.
"Dengan matinya Joe, itu tidak berarti dunia sudah berakhir, Roy," nasihat mamanya sambil mengusap rambutnya yang gondrong.
RAT adalah nama kelompok mereka. Untuk menandingi Borsalino, kata Andi si empunya gagasan. Macam-macam saja. RAT adalah kependekan nama mereka: Roy, Andi, dan Toni.
Ini memang gejala baru remaja di kota ini. Ibarat cendawan di musim hujan, bermunculan kelompok lainnya. Ada yang mengumumkan kelompok mereka dengan nama bandit Prancis, Papillon, ada yang mencomot super grup band lnggris, 7es, bahkan kefanatikan terhadap suatu aliran musik pun mereka proklamirkan dengan Jazz
Me. Remaja sekarang memang terlalu banyak nonton film Amerika. Tapi bukankah sebuah kota akan meriah karena tingkah remajanya" Seperti Jakarta dengan anak Pegangsaan, Bulungan, dan Blok M-nya. Juga Bandung punya koboi Supratman, anak Dago, dan Gerlong-nya.
Roy jadi banyak mengabaikan kewajibannya sebagai pelajar. Dia tidak lagi mengindahkan peraturan tata tertib sekolahnya. Seperti kalau baju seragam itu harus dimasukkan, dia tidak menggubrisnya. Rambut tidak boleh gondrong, dia masa bodoh. Setiap hari Jumat-Sabtu harus memakai seragam pramuka, dia cuek saja. Dan sepuluh menit setelah pelajaran dimulai siswa dilarang masuk, eh, dia malah suka-suka saja.
Roy tidak peduli dengan semuanya! Karenanya tidak heran kalau setiap upacara bendera hari Senin, Roy selalu menjadi langganan tetap untuk berdiri di depan peserta upacara.
Roy sedang nangkring di seberang seko
lah. Dia mbolos sampai jam istirahat pertama nanti. Ada Corona biru berplat B berhenti. Seorang gadis membuka pintu belakang. Dandanannya modis, umumnya remaja kota besar. Rambutnya pendek. Wajah gadis itu terlalu gagah untuk sejenisnya, dan terlalu tampan kalau untuk seorang lelaki. Bagai Stephanie, Putri Monaco!
"Tomboy! bisik Roy kegirangan.
"Dewi," terdengar suara ibunya dari dalam mobil. "Hati-hati, ya," pesannya khawatir. "Turuti apa kata kakekmu." Si Tomboy mengangguk. Mengusap matanya. Anak-beranak itu kelopak matanya berkaca-kaca. "Mama pergi, ya," kalimat itu hampir tertelan.
Dewi berdiri mematung. Meremas tangannya. Melambaikan tangannya. Dia seperti tidak mau kehilangan Corona biru yang mulai menjauh. Aku memang pantas dibuang! batinnya sedih. O, betapa beratnya perpisahan ini.
"Udah nih, ngedadahinnya," Roy mulai iseng. Senyum nakalnya tidak ketinggalan.
Dewi merasa ada garis merah melintang di wajahnya. Dia buru-buru menguasai emosinya. Ditelitinya lelaki menyebalkan yang mesem-mesem ini. "Gimana, memenuhi syarat"" bandel Roy kambuh. Ternyata lelaki sableng ada di mana-mana! gerutunya. "Di bawah standar, lu!" makinya mangkel, menuju pintu gerbang. "Hei, Tomboy!" Roy keki membuntutinya. "Ngapain"! Siapa suruh manggil begitu"!"
Roy nyengir. Ini cewek kalau ngomong kenceng bener. "See you, Tomboy!" dia mengedipkan matanya.
Roy kembali nangkring. Tiba-tiba berkelebat ide jail di benaknya, begitu melihat Hardtop diparkir agak memisah di bawah pohon beringin. Dia meneliti sekeliling. Aman, pikirnya. Dengan bersiul-siul dia menuju ke sana. Berjongkok di ban depan. Menusukkan kawat ke pentilnya.
Bel istirahat berbunyi nyaring.
RAT sudah nangkring di persimpangan. Strategis untuk lelaki yang doyan cuci mata, karena banyak cewek yang jajan bakso di sekitar situ.
"Mang, rotinya masih banyak"" Toni berlagak mau beli. "Masih," tukang roti menghentikan gerobaknya. "Awet, dong!" Toni tertawa ngakak.
Sialan! gerutu Andi yang mau memilih-milih. Roy tersenyum geli melihatnya. Dia lalu menyulut rokok.
"Halo cewek, godain tukang becak, dong!" Roy bersiut, ketika ada tiga cewek centil melintas. Mereka cewek-cewek Rose. Satu-satunya kelompok yang personilnya cewek semua. Anak orang berada. Ke mana-mana selalu bertiga dan tak pernah lepas dari Civic warna rose-nya. Rose memang banyak mengandung alternatif. Bau mereka semerbak ke hidung lelaki. Dan kalau tak hati-hati, duri-durinya menusuk!
Roy menimpuk mereka dengan kulit kacang. Mereka balas menimpuk dengan bungkusan kuaci.
"Rasanya enak deh, kalau ditimpuk sama cewek," selorohnya.
"Sama batu, mau"" yang hitam manis menawarkan.
"Aduh, ampun deh!"
Dari mulai timpuk-menimpuk, akhirnya mereka janjian untuk weekend ke pantai. Begitulah remaja. Bahwa hidup ini jangan dilewatkan dan bersenang-senanglah selagi muda, bagi mereka boleh jadi.
Toni menyikut Roy. Rupanya Borsalino tergesa-gesa menuju mereka. Dulah bertolak pinggang paling depan di antara ketiga cecunguknya.
"Mobilnya aku kempesi tadi," bisik Roy kalem.
Toni mengutukinya. Andi malah tertawa senang. Jauh hari dia pernah terlibat persoalan Dulah. Apalagi kalau bukan soal perempuan" Bagi Andi, Dulah memang lelaki paling norak yang pernah dikenalnya. Sebenarnya di hati mereka masih tersisa perselisihan itu.
"Ada apa, Dul"" sapa Andi seenaknya, sambil mempermainkan filter di bibirnya.
"Aku nggak ada urusan sama kamu!" hardiknya angkuh sekali. Dia langsung menyerobot, mencekal kerah baju Roy. Tanpa dia duga, Roy memegang kukuh tangannya.
"Ban mobilku kempes!" Dulah mendakwanya. "Aku yang ngempesi. Lantas mau apa"" Roy tertawa. "Hajar saja, Dul!" kata yang lengan kirinya diperban.
Begitu Roy melihat tangan diperban, ingatannya melambung ke perkelahian di Anyer tempo hari. Amarahnya langsung memuncak. Dia tidak bisa mengendalikan pistolnya. Langsung meledak!
"Ini dari Joe!" teriaknya nyaring mengibaskan kaki kanannya, persis membentur rahang orang malang itu.
Suara erangannya ibarat aba-aba untuk memukul gong perkelahian. Masing-masing berusaha mengelak dan menyarangkan tinjunya. Dalam sekejap persimpangan itu jadi ramai oleh kerumu
nan yang nonton hiburan gratis. Perkelahian brutal dan memalukan. Mereka lupa bahwa hari itu sedang memakai atribut yang juga dikenakan oleh hampir seluruh remaja Indonesia. Rasanya sama sekali tidak lucu kalau terlontar kalimat, "Berkelahi sudah masuk ke pelajaran ekstra kurikuler di setiap sekolah."
Mereka baru mau berhenti setelah pihak keamanan dan staf guru turun tangan. Mereka langsung digiring ke sekolah. Diberi wejangan tentang arti kemerdekaan, UUD 45, dan Pancasila. Lalu dikenakan sanksi sekolah. Karena banyak saksi mata yang mengatakan Roy-lah penyebab perkelahian, maka sanksi untuknya lebih berat: dijemur di lapangan basket sampai bubaran sekolah! Sementara itu yang lainnya hanya sampai jam istirahat kedua. Berarti dia harus menekan perasaannya yang tercabik-cabik satu pelajaran lagi, sendirian. Ditonton. berpuluh-puluh pasang mata dan ditertawakan.
Roy tidak berani mengangkat mukanya. Apalagi tadi dia memergoki Dewi Venus tersenyum memberinya semangat. Belum lagi si Tomboy sialan yang tertawa kesenangan. Lalu Wiwik yang mencibir karena tidak pernah diapelinya lagi. Dan cewek-cewek Rose yang bertepuk riuh meledeknya.
Roy ingin berteriak menembus langit dan berlari meninggalkan tempat terkutuk ini. Aku bukan ondel-ondel! Kemarahannya yang timbul dari rasa ketercerabutan dan kesia-siaan kembali memuncak. Lalu orang-orang jadi segan mengolok-oloknya, karena sorot mata Roy jadi begitu menakutkan.
*** Jakarta dengan Blok M, Bandung boleh bangga punya Dalem Kaum, Yogya punya Malioboro, dan Serang pun nggak mau kalab, walau kecil-kecilan, punya Royal.
Menurut cerita yang disampaikan dari orang ke orang tentang Royal pada zaman opa-oma, zaman kolonial dulu, adalah sebuah pertokoan yang berjejer di ruas Jalan Anyer-Panarukan. Di mana para borjuis dan sinyo-sinyo menghambur-hamburkan gulden-nya, mengadakan pesta dansa-dansi di situ. Entah bagaimana permulaannya, atau mungkin karena mulut kita suka latah, jadilah pertokoan itu bernama Royal sampai sekarang.
Royal kebetulan juga menyimpan kisah lama tentang scbuah kampung bernama Pegantungan. Di kampung itulah lurah dan masyarakatnya dihabisi di tiang gantungan oleh bule-bule serakah, karena menyatakan perang terhadap penjajah. Tragis!
Pada dasarnya setiap orang senang jadi pusat perhatian. Jangan heran kalau setiap malam orang-orang di sini selalu menyisihkan waktunya untuk melongok Royal. Apalagi malam Minggu, Royal bergolak oleh lautan manusia, becak, dan pedagang kagetan.
Royal memang sebuah cat walk di sini. Sebuah legenda.
"Hei, Tomboy!" Roy lagi nangkring di sadel Enduro menimpuk gadis ber-jeans ketat dan berkemeja gombrong itu.
"Elu lagi"!" makinya geregetan.
"He-eh, gua. Kenapa gitu "" Roy tertawa. Suaranya belel, tidak jelas artikulasinya.
"Teler, ya"!" Dewi kurang senang. Lalu bersama kawannya menuju bioskop, nonton film The Deer Hunter.
Dewi memang terkenal kenceng kalau bicara. Ceplas-ceplos. Remaja sekarang harus realistis, begitu pidatonya. Dia malah lebih akrab dengan lelaki ketimbang kaumnya. Cewek itu cerewet, sukanya ngomongin orang. Otakku tidak akan bertambah karenanya, pidatonya lagi.
Ketika orang tua dan kedua adik perempuannya pergi ke Bandung menengok kakek dari pihak papanya, Dewi sengaja tidak ikut, karena akan ada ulangan harian. Dia lalu meng-calling Iwan untuk studi bersama. Iwan datang malam itu bersama Dodi dan pasangannya, Susi.
Sebenarnya Iwan dan Dodi sudah merencanakan sesuatu terhadap mereka. Ini tidak disadari Dewi ketika Dodi berlagak jadi tuan rumah dengan membuatkan minuman jeruk.
Dewi waktu itu masih mampu meronta-ronta. Dia terpekik kaget dan buru-buru membereskan pakaiannya yang serba terbuka. Apalagi setelah dia melihat Dodi dan Susi sudah saling menyatukan tubuhnya.
Gila! Dia tidak akan pernah menyangka kalau Iwan dan Dodi akan sejauh itu menjebak mereka. Untung Dewi hanya meminum air jeruk sepertiganya tadi.
O, Gusti! Dewi berteriak-teriak.
Akhirnya tradisi kawin hansip harus mereka lakukan. Tapi Dewi bersikeras membantah tidak melakukan perbuatan asusila itu. Visum dokter memang membuktikannya.
Betapa remuk-redam hati ora
ng tuanya. Tadinya mereka selalu mengelus dada setiap kali habis membaca di koran tentang kerusakan moral remaja sekarang. Atau memperbincangkan anak-nya tante dan om anu menikah karena kecelakaan. Tapi sekarang justru menimpa putri mereka. Tidak ada jalan lain, daripada putrinya digunjingkan terus, lebih baik diungsikan ke kakeknya di Banten.
Roy asyik menikmati Royal malam-malam. Toko-toko sudah mengunci pintu-pintunya, dan pedagang kagetan pun mulai mengemasi dagangannya. Kelopak matanya sebentar-sebentar turun dan pandangannya jadi mendua. Dia melihat ada seekor anjing sedang mengais-ngais bak sampah, mencari tulang impiannya. Roy mengendap-endap hendak menyergap anjing itu. Di benaknya memang terlintas sesuatu yang sangat dirindukannya.
"Joe"" gumamnya. "Apa kabar, Joe"" dia bergumam lagi.
Anjing itu gelisah dan terbirit-birit ketika Roy menubruknya.
"Joeeeee!" teriak Roy merasa kehilangan.
Toni menghampirinya, "Kita pulang, Roy," dia membimbingnya untuk berdiri. Mereka mendudukkannya di tengah. Andi menjalankan Enduronya pelan-pelan. Kedua sobatnya begitu prihatin melihat Roy yang tergolek menyandarkan kepalanya ke punggung Andi.
Perasaan wanita 40-an itu diiris-iris sembilu. Susah-payah dia membesarkannya sendirian, tapi setelah besar hasilnya nihil begini" "Bangun, Roy!" mamanya terisak-isak.
Roy membuka kelopak matanya. Dilihatnya mamanya seperti jadi lebih tua ketimbang umurnya. Dia hanya bisa mengutuki dirinya. Dia luluh dan sujud di telapak kaki mamanya. Bukankah surga ada di situ" Roy ingin mencarinya!
"Apa-apaan ini, Roy""
Roy semakin luluh bersimpuh.
" Apakah setelah meminum obat-obat ini, kamu berarti sanggup menghidupkan
lagi Joe"!" Roy merasa air matanya meleleh.
"Kalau saja papamu tahu, Roy. Oh, betapa kecewanya dia!" Bangunlah, Roy!
*** Suara Enduro itu meraung-raung. Andi melompat dan tergesa-gesa menyerahkan sabuk dari kain putih. Orang-orang sini menyebutnya isyim. Remaja di sini percaya kalau kita mengenakan benda itu, insya Allah, kita akan dilindungi Tuhan dari bahaya. Ini memang sebuah tradisi. Isyim adalah sekumpulan ayat-ayat Alquran pilihan. Lalu dibungkus dengan kain membentuk sabuk atau dompet. Untuk memperoleh isyim berkualitas tinggi memang tidak seperti kita membeli barang di toko. Tapi harus lewat cara-cara rohaniah dan religius.
Sekarang disinyalir sudah banyak oknum yang memperjual-belikan isyim kepada orang-orang kota besar yang bodoh dan percaya pada takhyul. Kata mereka sih, untuk obat awet muda, bisa naik pangkat, dan usahanya maju! Isyim sekarang memang ibarat barang kodian.
Toni hati-hati sekali melilitkan isyim itu ke pinggang Roy. Rupanya mereka sore ini akan melayani tantangan Borsalino untuk menyelesaikan utang perkelahian tempo hari. Sebenarnya Roy tidak merasa perlu benar memakai benda ini. Baginya fight is fight! Tapi dia tidak ingin mengecewakan kedua kawannya yang begitu bersemangat membantunya.
"Kalau ke WC, harus dibuka," Andi memperingatkan. Pantangannya memang tidak boleh dibawa ke tempat kotor.
Toni menjalankan VW Combi-nya pelan-pelan. Mereka memasuki jalan tanah berdebu di sebuah perkampungan di sepanjang Kali Banten. Hardtop itu sudah terparkir di lapangan. Mereka mesti berjalan beberapa ratus meter lagi, menerobos semak-semak dan menyeberangi Kali Banten.
Borsalino sudah lengkap hadir di sana.
Tiba-tiba Roy merasa menjadi seorang Jim Bowie! Mereka duduk melingkar. Seseorang berbaju serba hitam, berdiri di pusat lingkaran. Dia adalah orang yang sudah disepakati untuk menengahi perkelahian.
Mata orang itu terpejam. Berdiri lurus. Kedua tangannya berputar ibarat baling-baling. Mulutnya komat-kamit. Ini adalah proses nyambat, di mana seseorang yang sudah mencapai tingkatan tertentu. bisa mengosongkan jiwanya dan memanggil roh orang yang sudah mati untuk mengganti kedudukannya. Ilmu semacam ini biasanya suka dipakai untuk main-main kalau tidak ada kerjaan.
Jalangkungan, namanya. Biasanya dilakukan dengan seorang patner di tempat yang berdekatan dengan kuburan. Ini untuk memudahkan mengembalikan roh ke tempat semula. Karena pernah terjadi ketika patner yang sudah d
imasuki roh itu diinterogasi identitasnya, ternyata berasal dari seberang. Mau tidak mau kita mesti mengantarkannya ke seberang. Kecuali kalau ada seseorang yang bisa mengusirnya. Kalau tidak" Risikonya berat. Patner itu akan sakit berkepanjangan.
Dengan permainan jalangkungan, kita bisa bermain-main dengan roh itu. Semua yang hadir bisa menyatakan kepentingannya. Misalnya menanyakan nomor buntut, soal pacar, jodoh, dan yang konyol-konyol lainnya. Kalian berminat"
Orang berseragam hitam itu terjatuh. Menggelepar di tanah. Debu-debu menyelimutinya. Semua orang mundur memasang kuda-kuda. Permainan apa ini" bisik Roy keheranan.
Dia baru bisa melihat keanehannya ketika semua orang melancarkan serangan kepada orang berseragam hitam itu. Tidak satu pun serangan yang bisa menyentuh tubuhnya. Orang itu tidak menghindar, tapi semua serangan yang diarahkan kepadanya seperti tidak pernah sampai. Ibarat memukul angin!
Roy melihat ada kesempatan bagus untuk mencoba satu dua tendangannya. Persis mengarah ke rahang dan perutnya. Wuss! Luput! Hanya terasa bunyi angin saja.
Gila! Permainan pun usai. Orang serba hitam itu kembali ke pusat lingkaran. Dan melakukan gerakan-gerakan seperti permulaan tadi. Pelan-pelan matanya terbuka lagi. Dia tersenyum puas.
"Ingat! Kalau ada yang terdesak, berarti perkelahian selesai!" suaranya lantang berwibawa. "Tidak akan pernah ada lagi perkelahian berikutnya dan saling musuhan!"
"Ayo, maju!" dia memberi isyarat kepada Roy dan Dulah. Dipegangnya kuat-kuat kedua tangan yang bersengketa itu. Disatukannya. "Siap!" aba-abanya.
Dulah mengambil posisi ke samping. Mengatur kuda-kuda. Meluruskan tubuhnya. Tangan kanannya diacungkan ke langit, dan tangan kirinya disilangkan di dada. Kaki-kakinya bergeser cepat sekali. Otot-ototnya mengeras. Napasnya mendengus ibarat banteng ketaton. Mulutnya tidak berhenti komat-kamit.
Roy mundur beberapa langkah. Bergerak lincah bagai seorang taekwondo-in. Dia merasa ngeri juga melihat lawannya menggunakan jurus yang aneh. Orang-orang berteriak menghangatkan pertempuran. Roy memandangi mereka untuk mencari ketenangan dan keyakinan. Bukan karena takut atau menyerah kalah sebelum bertempur, sebab perkelahian bukan hal yang baru baginya. Sejak di Bandung dulu, bersama kelompoknya, sedikitnya seminggu sekali dia melayangkan tinjunya kepada lawannya.
Dia mempelajari setiap gerakan terkecil dari Dulah. Lalu dilihatnya sesuatu yang janggal, yaitu pertahanannya. Sepertinya Dulah sengaja membiarkan perisainya terbuka dan menunggu diserang lawan terlebih dulu.
Roy secepat kilat menyengatkan tinjunya. Dulah menangkisnya. Uh! Roy meringis. Dia merasa lengannya kesemutan dan nyeri. Seperti membentur besi! Sekali lagi dia mengibaskan kakinya. Persis membentur rahangnya. Oh! lagi-lagi dia mengerang kesakitan. Mencoba lagi dengan beberapa sodokan. Semuanya masuk! Tapi justru serangannya berbalik jadi bumerang baginya.
Roy berguling-guling menahan nyeri di sekujur tulangnya. Yang membuatnya keheranan, Dulah seperti membiarkan tubuhnya dipukuli lawan. Dia seperti ingin memamerkan tulang-tulangnya yang berubah jadi besi!
Dulah menyeringai sinis. Roy dipapah kedua kawannya.
"Tendang kemaluannya," bisik Andi.
Roy mengambil ancang-ancang ibarat singa lapar. Rasa kelaki-lakiannya menyentak untuk terus bertempur. Baginya kalah dan menang bukan persoalan. Yang terpenting, maju bertempur. Kalah bertempur baginya lebih berharga ketimbang lari dari pertempuran.
Dia tiba-tiba melakukan hentakan yang cukup keras. Kakinya persis menyodok bagian amat vital. Dulah terhuyung-huyung. Mengerang. Memegangi selangkangannya. Konsentrasinya buyar. Lalu beberapa tinju Roy menyengat. Disusul satu tendangan
menusuk ulu hatinya. Mereka berguling-guling. Menghilang diselimuti debu.
*** Bola merah raksasa itu sudah condong. Debu-debu membubung ke langit dan sebagian sudah menyatu lagi dengan bumi. Tradisi lelaki sore itu usai sudah.
Bumi mulai temaram. Ada semburat merah membekas di langit timur.


Balada Si Roy Joe Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Roy merasa seluruh tulangnya nyeri dan linu. Tidak kuat menyangga bobot tubuhnya. Dia dipapah kedua kawannya. Dulah sendiri ter
huyung-huyung menahan nyeri di selangkangannya. Wajahnya bengap dan bibirnya berdarah.
Tidak ada yang jagoan di bumi ini, sekalipun dia seorang Bruce Lee atau Old Shatterhand. Lelaki memang harus keras, tapi bukan berarti kekerasan. Keras dalam arti menghadapi hidup dan menggeluti hidup yang serba susah ini.
Lelaki memang harus begitu.
III. TOMBOY SURPRISE 1 Cinta tak memberikan apa-apa kecuali keseluruhan dirinya, utuh-penuh Pun tidak mengambil apa-apa, kecuali dari dirinya sendiri
-Kahlil Gibran LANGIT Serang malam itu sedikit berbintang. Bulan yang setengah pun tampak pucat. Jalanan lengang. Tapi di akhir bulan November di sudut Royal setiap malam, akan kita lihat banyak tumpukan durian berjejer di pinggir jalan. Kalau di kota besar umumnya harga bisa mencapai ribuan, di sini cuma ratusan. Orang-orang yang jenuh di rumah biasanya melewatkan waktunya di sini, nongkrong sambil ramai-ramai makan durian.
Roy di sepanjang jalan malam itu. Sendirian dan gelisah. Dia berjalan karena ingin berjalan saja. Alun-alun kota yang dipagari pohon asam temaram oleh lampu merkuri. Sepi. Betapa bedanya dengan alun-alun Bandung yang selalu ramai oleh ketawa genit perempuan "lima ribuan". Belum yang berjejer di Jalan Naripan dan Tamblong, menjajakan tubuhnya yang bau parfum murahan, ibarat sedang jualan pisang goreng saja. Lantas kita jadi diombang-ambingkan kenyataan bahwa, harga kehormatan perempuan untuk zaman sekarang sudah kalah bersaing dengan harga satu gram emas.
Dia memandang gedung kabupaten dan karesidenan peninggalan kaum kolonial, yang batanya diampil dari puing-puing Keraton Banten. Halamannya ditumbuhi pohon besar-besar, umurnya mungkin sudah puluhan tahun, semakin melengkapkan kesan angker dan lukisan menyedihkan tentang masyarakat Banten waktu itu.
Monumen perjuangan yang berdiri persis di tengah alun-alun memberi hiburan tersendiri di hati masyarakat sini. Empat patung pejuang rakyat menggenggam senjata tradisional. Tangan yang satu lagi terkepal diacungkan ke langit. Sorot mata mereka menggelorakan pekik merdeka. Di punggung mereka dengan anggunnya terpampang burung Garuda mengepakkan sayapnya. Bulu-bulunya memayungi mereka dari deru mortir.
Roy di sepanjang jalan malam itu. Ada sepeda mini memotong jalannya. Roy melompat kaget.
Ada tawa kegirangan dari bibir perempuan.
Sepeda mini itu berputar, membalik, dan berhenti. Penunggangnya dengan gesit melompat. Senyum gelinya masih terlukis manis. Tomboy! Roy meringis. "Hai!" sapanya riang.
"Hai," Roy terpana keheranan. Sungguh berbeda ketika pertama ketemu, pikirnya. Beginilah rupanya figur remaja kota besar, fair. Semuanya tercetus langsung. Dia lalu meneliti tubuh yang dibalut ala militer itu. Boyish! decaknya kagum.
"Gimana, memenuhi syarat"" ledeknya menyindir ke perjumpaan pertama mereka tempo hari.
Roy tertawa kecil, "Di bawah standar, lu!"
Begitu mereka mengulanginya lagi. Ada sensasi.
Roy menyulut rokok filternya.
Dewi memperhatikan gerakan-gerakan lelaki yang mulai mengganggu mimpi-mimpinya. Mulai dari gerakan ketika dia merogoh saku jaket Levi's, mengeluarkan sebatang filter, menyelipkan di bibir, dan menyulut dengan geretan Zippo-nya. Mengagumkan. Macho!
"Roy Boy Harris, nama sara. Call me Roy, oke!" senyum nakalnya mulai kelihatan, sambil menyodorkan lengannya.
"Dewi Puspa Sari, nama gua. Call me Tomboy, oke!"
Mereka tertawa. Berjabat tangan. Konyol sekali.
"Nggak belajar"" Roy duduk di trotoar.
"Ngapain" Ini kan minggu tenang. Kalau mau pinter, jangan belajar cuman pas mau ulangan umum doang."
"Elu sendiri, ngapain keluyuran kayak orang linglung""
"Cari ilham." "Bikin sajak"'"
"Bikin apa saja," Roy mengembuskan asap filternya.
"Ah!" "Kenapa"" Roy kurang bisa menerima. Masalahnya menulis sajak dan cerita sudah kebutuhannya. Dari honorarium ala kadarnya, dia bisa ikut bantu-bantu meringankan beban mamanya.
"Sajak kini sudah jadi barang obralan, barang rongsokan. Para penyair ibarat pabrik, mencetak sajak-sajak kodian! Sajak kini sudah kehilangan makna!"
"Tapi tidak semua penyair seperti dugaan kamu."
"Untuk golongan itu, kita bisa menghitungnya."
Wajar saja. M ereka toh, butuh makanan bergizi untuk menghasilkan karya berikutnya, dan butuh mobil Jepang untuk transportasi di semrawutnya lalu-lintas Jakarta. Jadi soal.honor, itu sebab-akibat.
Roy" Ah, dia belum apa-apa. Baginya, sudah dipublikasikan karyanya di media massa saja, uh, bukan main girangnya. Seperti saat Berkemah, ceritanya, pertama kali dimuat di majalah anak-anak, olala! Bukan kepalang senangnya. Dia berlari keliling kampung sambil mengacung-acungkan majalahnya. Lantas dia bisa membeli tas baru untuk sekolahnya dan mentraktir kawan-kawan kecilnya beli es cendol.
Mereka berbicara apa saja. Tentang penyair yang mau hidup seribu tahun lagi, kematian John Lennon, dan keunikan-keunikan kota ini. Seperti kenapa Selat Sunda, kan pulau ini bernama Pulau Jawa. Juga tentang beragamnya bahasa daerah di sini. Ada bahasa Sunda dan Jawa. Tapi kedua bahasa itu jelas berbeda dengan Sunda Parahiyangan dan Jawa Tengah-Timur. Orang sini lebih bangga menyebutnya dengan Sunda Banten dan Jawa Banten. Satu lagi, kalau masyarakat sini bepergian ke mana saja, coba tanya: orang mana" Mereka tidak akan menjawab: Orang Sunda atau orang Jawa. Tapi orang Banten!
"Mau nemenin gua"" tanya Dewi menyikutnya.
"Dengan senang hati."
"Gua kepingin durian!"
"Elu jadi bos ""
"Cowok, dong!" "Sampai mabok""
"Sampai mabok!"
"Yang mabok duluan, dia jadi bos!" usul Roy. "Nggak! Kita suit. Yang menang, dia jadi bos!"
Oke. Mereka mengangkat tangan. Suit! Telunjuk dengan telunjuk. Seri. Kemudian Dewi kelingking dan Roy dengan jari manis. Si Tomboy memberengut. Padahal jari manis sulit sekali buat suit. Ibu jari dan kelingking! Dewi melonjak girang.
"Elu jadi bos!" soraknya.
Roy meringis. Mengayuh sepeda mini pelan-pelan. Dewi duduk dengan santainya di boncengan. Sepintas orang tidak akan pernah menyangka kalau yang dibonceng itu bukan laki-laki.
Papa Dewi memang sangat mendambakan bayi lelaki. Manusia boleh berencana, tapi Tuhan jualah yang berkehendak. Maka mohon dimaklum saja kenapa Dewi tumbuh menjadi seorang tomboy, dikarenakan papanyalah yang mendidiknya begitu. Apalagi setelah kedua adiknya terlahir sebagai perempuan. Dia masih ingat ketika papanya mendandaninya untuk karnaval dengan seragam koboi idolanya.
"Ini dia, Lone Ranger!" papanya kegirangan.
Kini. mereka sudah asyik nongkrong melomoti biji durian. Roy terheran-heran melihat si Tomboy begitu anteng. Dia sudah minta dikupaskan situ lagi.
Sudah empat. Roy merasa perutnya berontak. Dia menuang air ke kulit durian. Meminumnya. Biar nggak mabok, kata orang. "Gua nyerah, deh!" kata Roy nyengir, mengusap mulutnya.
Dewi minta satu lagi. Lima!
Tiba-tiba Roy melihat Ani di antara kerumunan, sedang memilih-milih durian bersama seorang lelaki. Mereka berpandangan. Venus itu tersenyum ke arahnya. Kerinduan itu menjebol kebekuannya, tapi dia cepat-cepat membunuhnya. Selalu, ya selalu saja dia teringat Joe, anjing herdernya, setiap kali. melihat Venus.
Roy memandang ke arah lain. Matanya murung lagi.
"Bekas cewek lu"" tanya Dewi biasa-biasa saja.
Roy menggeleng. Membayar untuk sembilan buah durian. Lantas mengajak Dewi meninggalkan tempat itu.
Ani merasa perih sekali hatinya. O, Gusti, betapa dia begitu membenciku. Apakah memang aku harus disalahkan dengan kematian anjing herdernya itu" Aku memang mengajak Joe bermain-main di laut. Tapi siapa pernah tahu bahwa, anak-anak Borsalino bermaksud membunuh Joe"
"Katanya mau duren, kok malah ngelamun," suara Dede, kakaknya yang nomor dua, mengagetkannya.
Ani memberengut manja. Berlari ke mobilnya.
Adikku manis, pasti ada apa-apanya, bisiknya. Dia juga tadi sempat melihat drama satu babak itu. Lucu. Remaja tadi memang gagah. Dia menyadari adiknya cantik dan menawan. Senapan para pemburu selalu dibidikkan ke arahnya. Tapi sekarang, tanpa dibidik pun ada satu peluru yang menembus jantung adiknya.
"Cemburu, ya"" pancing kakaknya yang baru datang dari Bandung, liburan tentamen.
"Cemburu" Sama siapa""
"Kalau milih cowok, jangan yang model tadi, deh."
"Kakak ngelihat" Kenapa gitu""
"Tuh, cemburu kan!"
Ani tersipu-sipu, merasa dijebak.
"Tampangnya buaya."
"Siapa yang bilang begi
tu"" Dede menyadari kalimat adiknya tadi sebagai protes. Bahaya. Adiknya sudah kena panah asmara.
Roy dan si Tomboy sudah meluncur menyusuri jalan lagi. Roy kelihatan tidak begitu gembira seperti tadi. Pikirannya tertinggal, melekat di wajah Venus itu. Dia mulai menyadari bahwa sudah ada sesuatu yang menjalari perasaannya.
O, keindahan abadi, kau mengikatku!
"Cakep, ya," Dewi berkata tidak pada siapa-siapa.
"Siapa yang cakep ""
"Cewek tadi." "Kamu juga cakep."
"Langsung pulang deh!" Dewi tampak gugup sekali. "Gua anter, ya""
"Nggak usah. Stop di monumen saja, di tempat tadi."
Sebelum berhenti, keisengan Roy muncul begitu melihat pipi mulus itu berada dekat dengan mukanya. Dengan nakal dia mengecupnya. Cup! Roy tertawa kecil. Meloncat dari sepeda.
Dewi terpekik kaget. Menggerutu, gemes, dan geregetan. "Thank's a lot!" seru Roy girang.
Tahukah kamu, Roy" Semenjak kamu menyapanya, "Hei, Tomboy!" dan senyum nakalmu, mimpinya jadi menggelisahkan. Sebenarnya dia ingin menikmati lebih lama lagi keberduaan tadi. Tahukah kamu, Roy, tentang ini"
Sulit untuk membicarakan soal cinta dengan Roy. Perempuan memang bukan persoalan baginya. Hanya masalahnya sampai sekarang dia baru bisa memahami seorang perempuan saja, mamanya, wanita yang sabar, setia, bijaksana, dan penuh kasih sayang.
Jangan percaya terhadap cinta, karena itu akan menjajah hidup kamu! begitu kata Roy. Seorang petualang jiwanya tidak bisa dimiliki, karena dia butuh inspirasi. Kalau jiwanya sudah diikat, berarti dia akan beku dan mati. Baginya cinta bukan berarti harus menjadi jangkar dalam hidupnya. Coba tanya para pelaut, kenapa mau jadi pelaut" Jawabnya pasti, gadis-gadis di pelabuhan!
Di kamarnya Dewi tidak langsung tidur. Dia menatap wajahnya di cermin. Meraba-raba di bagian mana tadi Roy mengecupnya. Dewi membuka lembaran kesekian buku hariannya:
Roy nama yang mengandung kekuatan Lelaki bandel, norak, tengil, menyebalkan. Jantan, lembut, juga punya pengertian. Ibarat legenda.
Dia memang penuh imajinasi dan sensasi. Aku harus jujur bahwa, hari-hariku akan sepi tanpa dia!
Begitu Dewi menulisnya. Lalu dia tertidur. Mimpi pipinya dikecup seorang pangeran.
*** Bunyi besi tua di depan ruangan guru itu begitu riang memecah kepenatan, setelah mengikuti baris-baris soal selama enam hari yang melelahkan.
Musim ulangan usai sudah.
Di lorong antara perpustakaan dan laboratorium, Roy memepet ke dinding, memberi jalan kepada empat orang gadis yang riang. Mereka asyik bercakap-cakap tentang basil ulangan nanti dan rencana liburan akhir tahun. Mereka tidak mempedulikan Roy yang sudah mengalah memberi mereka jalan. Tapi walaupun kelihatannya begitu, Roy melihat gadis yang ada tahi lalat di dagu sebelah kirinya melirik secara sembunyi-sembunyi ke arahnya.
Dewi Venus lagi! Roy mengikuti tubuh itu dengan kerinduan yang memuncak. Rambutnya yang diekor kuda meloncat-loncat. Begitu ritmis berirama jalannya, ibarat peragawati di atas cat walk.
Venus itu memabukkan. Menyelimutinya! Si Tomboy yang datang tergesa-gesa, mengalihkan perhatiannya. Mereka sudah janjian tadi. Rencananya mau ke pantai Selat Sunda, untuk melepas penat setelah otak mereka diperas oleh soal-soal ulangan.
"Pake apa ke sana""
"Gua pinjem Enduro si Andi."
Setelah mengganti seragam putih abu-abu dengan jeans dan T-shirt, mereka melaju. Angin menerpa wajah dan menggeraikan ram but mereka. Matahari siang yang hangat memanjakan kulit mereka. Pada saat begini, setiap orang tidak akan mempedulikan sekelilingnya. Kebahagiaan sudah memisahkan mereka dart bumi ini. Dunia hanya milik kami dan orang lain ngontrak, pepatah seperti ini boleh jadi buat mereka.
Ombak pantai Selat Sunda menjilati kaki mereka. Ikan-ikan berenang di antara kaki mereka. Beriari-lari menyemburkan air laut, dan saling mengotori tubuh dengan pasir putih.
Mereka berendam di laut. Roy merapatkan tubuh si Tomboy.
*** Roy duduk di jendela kamarnya, memandangi lampu tempeI yang bergoyang-goyang kedinginan di kios rokok Mang Amat. Katanya sudah sepuluh tahun mangkal di situ. Tidak ada perubahan dalam segi ekonomi selain kiosnya yang semakin reyot, juga orangnya
yang suka sakit-sakitan. Ini jelas puisi kehidqpan. Menyedihkan. Di bumi kita ini, yang kaya memang semakin kenyang dan yang miskin semakin tenggelam.
Bunyi mesin jahit di ruang tengah berirama menyentuh perasaannya. Roy melihat mamanya begitu asyik dengan pekerjaannya.
Selembar batik merah marun dengan motif bunga sudah berubah jadi gaun terusan berlengan dolman. Dilengkapi dengan ikat pinggang lebar yang diikatkan membentuk pita besar agak ke bawah, berkesan langsing. Kalau dipakai gadis kuning langsat, akan tampak ibarat putri lembut dari keraton.
"Sudah malam, Ma," Roy memijiti pundaknya.
Mamanya dulu kawin lari dengan papanya. Keputusan itu diambil papanya karena akandijodohkan oleh orang tuanya. Papanya memang terlahir dari lingkungan bangsawan Sunda. Budaya feodal yang begitu mengagungkan keningratan dan garis keturunan memang masih menyelimuti keluarga papanya.
Karenanya, papanya lebih baik memilih dibuang dari keluarganya ketimbang mesti kehilangan mamanya. Mereka melangsungkan pernikahan ala kadarnya. Hanya dihadiri kawan-kawan kuliah dan grup pencinta alamnya.
Papanya menghidupi asap dapurnya dengan bekerja di sebuah koran terkemuka di Bandung. Tulisan-tulisannya tentang alam dan kehidupan terpencil sangat disukai para pembaca.
Roy kini becermin tentang dirinya, manusia yang kesepian. Cerminnya hancur dan wajahnya berceceran. Dipunguti dan diaturnya seperti permainan puzzle. Ada sesuatu yang dirindukannya sebuah keluarga utuh seperti saat ini. Senda-gurau dan tertawa bersama. Dia suka berbisik-bisik iri dengan Andi, setiap melihat kerukunan Toni bersama keluarganya.
Hidup mamanya memang sudah ditakdirkan penuh liku untuk mencapai kebahagiaan. Tidak sedikit duda yang datang melamar mamanya untuk dijadikan istri. Roy pun mendukungnya. Dia butuh seseorang untuk bisa diajak merencanakan petualangannya. Tapi sedikit pun mamanya tidak goyah dengan cinta sejatinya. Roy tahu bahwa di lubuk hati mamanya hanya terukir satu nama saja, Romi, papanya.
Ada satu kekayaan yang tidak ternilai yang dimiliki mamanya atau wanita umumnya, di mana lelaki tidak memilikinya. Yaitu, kesabaran, ketabahan, dan kesetiaan. Oleh sebab itu mengapa Tuhan berfirman, Surga itu ada di telapak kaki ibu, bukan di telapak kaki bapak.
Kebahagiaan itu harus diperjuangkan, bukan dengan cara mengemis minta betas kasihan, rendah diri, dan pasrah nasib! Begitu nasihat mamanya.
Roy memeluk mamanya. Mencium keningnya.
*** Lapangan basket sudah penuh oleh seragam putih abu-abu. Hari ini adalah pembagian hadiah untuk para bintang kelas. Sudah menjadi tradisi di setiap sekolah di mana-mana bahwa, satu semester sekali selalu diumumkan orang-orang terpintar di setiap kelas. Maksudnya untuk memompa semangat yang lain agar ikut berpacu mengejar prestasi.
Roy mengikuti upacara dengan tidak bergairah. Rapornya menyebalkan! Hanya guru kesusastraannya saja yang memberikan angka delapan di rapomya. Selebihnya, kebakaran!
Ah! Bagaimana nanti aku harus mempertanggungjawabkan kepada mamaku" Betapa akan kecewanya dia. Aku sudah menyia-nyiakan kepercayaannya.
Kedua kawannya biasanya selalu berada di barisan yang berdekatan dengan perempuan.
Mereka bol.eh bergembira karena rapornya terbebas dari hama. Pengeras suara mulai menyebut satu per satu nama para bintang. Roy mendengarkan saja.
Dia meringis ketika mendengar nama si Tomboy disebut-sebut sebagai bintang untuk 2 IPS dan Dewi Venus untuk 3 IPS. Dia melihat di sela-sela kerumunan, si Tomboy dan Venus saling berjabatan tangan. Erat dan hangat. Sorot mata mereka berbinar.
Mereka begitu bahagia berdiri berendengan sambil memegang piagam dan bungkusan kado.
Roy menengadah ke langit. Hatinya gelisah. Sepi.
IV. TOMBOY SURPRISE 2 GAWE KUTA BALUWARTI BATA KALAWAN KAWIS membangun kota dan pertahanannya
dari bata dan batu karang
-Babad Banten, pupuh XXII
SERANG siang hari di ujung tahun yang menggelisahkan. Orang-orang biasanya betah berangin-angin di alun-alun yang rimbun dipagari pohon asam, atau di karesidenan yang dinaungi pohon kenari dan pohon ambon.
Dewi, si Tomboy, jiwanya bagai sampan digulung badai Pasifik di malam
buta. Kalut. Bantalnya sudah basah oleh hujan air matanya. Kenyataan ini harus dipikulnya. Ah! Haruskah dia meratakan lagi tunas-tunas dan menghancurkan akar yang mulai tumbuh dan mencengkeramnya"
O, Roy! Orang tuanya beserta familinya sedang melepas rindu untuk jangka waktu yang lama di ruang tengah. Mereka sengaja menjemputnya lagi untuk berkumpul seperti dulu. Bedanya sekarang tidak di Jakarta, tapi di kota seribu pulau, Ambon. Papanya dimutasikan untuk membuka cabang perusahaannya di sana.
"Dewi nggak mau ikut!" rengeknya.
"Siapa nanti yang menemani adik-adikmu, Dewi "" kata mamanya. "Anakmu sedang jatuh cinta," goda kakeknya terkekeh-kekeh. "Ah, Kakek ngaco!" Dewi memukul kakeknya kesal.
"Ayo, Dewi," papanya merangkulnya. "Katanya kepingin lihat taman laut" Kita bisa menyelam nanti di sana," papanya mengingatkan keinginannya yang terpendam. "Tapi, jangan sekarang dong, Pa!" "Semuanya serba mendadak." "Ah!" Dewi terisak-isak berlari ke kamarnya. Ya, kenapa mesti sekarang"
Dewi mencabik-cabik seprai kasurnya. Melemparkan bantal ke tembok. Lalu tergesa-gesa merapikan diri di cermin. Dengan gesit dia melompati jendela kamarnya.
Siang itu juga, RAT sedang berkumpul di kamar Andi. Toni sedari tadi asyik menirukan Peter Gabriel dengan Broadway Melody of 1974. Andi dengan hening mengiringi lewat dentingan gitar akustiknya. Sejak tadi dia murung sekali. Perasaannya seolah terhanyut mengikuti lagu itu.
Roy dan Toni merasakannya.
Kemudian Andi memisahkan diri. Dia duduk di sudut kamarnya. Jari-jarinya menari-nari, memetik Senar gitar. Melantunkan Stair-way to Heavens sendirian. Begitu merintih. Ada sesuatu yang disembunyikan di balik matanya.
Hidup Andi memang terdiri dari banyak kisah. Sejak dia menghirup udara bumi dan belum sempat menikmati susu ibunya, dia sudah dititipkan ke neneknya di sini. Kedua orang tuanya bercerai dan tertelan belantara Jakarta. Setiap lebaran, ibunya, wanita 35-an yang mahir memanfaatkan kemolekan tubuhnya, selalu menengoknya ke sini dengan setumpuk oleh-oleh.
"Aku nggak pernah merasa bahwa, wanita menor itu adalah ibuku," katanya
lirih. Ayahnya" Justru inilah kenapa dia sekarang begitu menderita duduk bersimpuh di sudut kamarnya.
"Nenekku dapat surat dari Jakarta," pelan suaranya. "Kabar buruk"" Toni mematikan tape. "Bapakku mati." Roy terhenyak mendengarnya.
"Bapakku kabur dari penjara. Polisi menembaknya. Bapakku melawan." Kedua kawannya mendengarkan saja. "Bapakku penjahat. Tukang rampok." Hening.
"Tapi dia bapakmu," kata Roy hati-hati.
"Ya, dia tetap bapakku."
"Kamu membencinya"" tanya Toni.
"Tidak," Andi menggeleng. "Aku hanya kecewa saja. Tadinya aku pikir bapakku adalah salah seorang di antara orang-orang yang sukses menaklukkan Jakarta.
"Nyatanya""
"Tapi aku bangga terhadapnya. Setidak-tidaknya dia sudah berani memilih mati menjadi orang yang bebas."
"Bapakmu ketularan Papillon," ledek Roy. "Ibumu tabu ""
"Entahlah. Kini aku pun jadi ragu tentang ibuku. Tadinya aku mengira, wanita menor itu bekerja di perusahaan swasta atau kawin lagi dengan orang kaya. Setiap lebaran, dia selalu membawakan oleh-oleh yang aku minta."
"Aku jadi ragu kini. Bapakku nyatanya penjahat. Jangan-jangan ibuku seorang pelacur."
"lbuku seorang pelacur."
"Pernahkah itu terlintas di benak kalian""
Mereka mendengarkan saja.
Satu lagi kisah pahit melengkapi hidup Andi.
*** Si Tomboy menendang kaleng dengan kesal. Orang-orang yang sedang mencari angin di alun-alun memperhatikan tingkahnya. Dia duduk di trotoar, di bawah teduhnya pohon asam. Beberapa butir keringat menempel di keningnya.
Anak-anak kecil yang gembira dan nakal berlari-lari mengejar bola di lapangan. Dia mendengar keluhan mang-mang becak tentang rencana angkutan kota yang sudah santer akan menggantikan fungsi becak di sini. Kalau isu itu betul, entah bagaimana kita bisa turut memikirkan tentang nasib periuk mereka.
"Ke mana sih kamu, Roy!" gerutunya. Dia tadi sudah ke rumahnya. Kata mamanya, ke rumah Andi. Dicari ke sana, rumah itu sepi. Huh! dia menggigit ujung kukunya.
Matahari mulai bergulir. Dewi masih duduk di situ.
"Heh, Tomboy!" Dewi kenal suara itu. Roy memarkir Enduronya. Tersenyum nakal. Duduk di sampingnya. Dia melihat di sudut mata si Tomboy ada sebutir air jatuh. Roy mengusap dengan punggung jari-jarinya.
"Kenapa" Gua ke terminal tadi. Nganterin si Andi ke Jakarta. Bapaknya mati."
"Bawa gua kabur, Roy!"
"Siapa yang mau kabur"" Roy tertawa. "Lagian kabur ke mana"" Si Tomboy menelungkupkan kepalanya di sela lututnya. "Oke. Kita cabut, yuk!" Roy menarik lengannya. "Ke mana"" Dewi sudah nangkring di sadel Enduro. "Gua ke pingin lihat Banten Lama!"
Banten Lama, 10 km utara Serang, adalah bukti sejarah tentang kejayaan putra-putra Banten di masa kolonial. Puing-puing keraton yang dibumihanguskan Jenderal Daendels tinggal kenangan. Batu bata yang membentuk benteng itu seolah bercerita lewat angin tentang bunyi bom dan penderitaan rakyat.
Adalah seorang Sultan Maulana Hasanudin, putra Sunan Gunung Jati, yang menyulap daerah pesisir utara yang gersang menjadi sebuah kota impian pada abad keenam belas. Bermula dari sebuah kota Kadipaten Padjadjaran, Wahanten Girang. Kemudian sang pelopor memindahkan cikal-bakal kota Serang itu ke sebelah utara.
Di dekat jembatan (ibarat pintu gerbang untuk memasuki kota yang pernah jaya itu), Roy memarkir Enduro-nya. Para nelayan dengan kain sarung dililitkan dan kaus oblong pada bolong, serta kopiah yang selalu menempel di kepala, tampak sedang rame-rame menarik perahu ke darat. Tubuh mereka hitam berotot seperti umumnya nelayan. Lusuh dan menggambarkan pahitnya kemiskinan. Tapi mereka begitu bersahaja dan gembira.
Sebenarnya mereka, masyarakat pesisir ini, pernah mengecap kehidupan modern ala Barat beberapa abad yang lalu. Di bandar kecil itu, Bandar Karanghantu, ketika sang inovator Sultan Ageng Tirtayasa menampuk pimpinan, pernah terucap kisah sebuah bandar internasional. Berpuluh-puluh kapal dagang dari seantero jagad berlabuh di bandar itu, membawa rupa kebudayaan dan keindahan, menjadikan kota ini sebagai kota metropolitan dengan 31.848 jiwa pada zamannya. Bahkan pernah ada dua orang putra Banten tercatat sebagai Duta Besar Luar Biasa Kerajaan Banten ke Inggris, pada tahun 1682!
Dewi turun mendekati sungai. Beberapa orang melemparkan senyum ke arahnya. Roy sendiri sedang asyik ikut menarik perahu ke darat.
Siapa bilang mereka kasar-kasar" Begitu familiar malah. Ya, mereka akan menyambut para tamunya ibarat seorang raja. Seperti dulu mereka menyambut bule-bule serakah itu. Tapi lalu berbalik begitu menyadari buminya diinjak-injak penjajah itu. Jadi, jangan mengasali mereka. Golok urusannya! Sebuah lukisan indah tentang kota itu!
Tapi ketika kapal-kapal petualang Portugis merapat merobek lukisan indah itu, dan tidak ketinggalan bule-bule serakah dari negeri kincir angin ikut menggoreskan warna hitam pada lukisan itu, lengkap sudah kemarahan mereka.
Perang. Ya, perang! Bumi pun berguncang. Golok-golok diacungkan. Bumihanguskan! teriak biadab Daendels.
Itu lebih baik bagi mereka, daripada jadi kacung di bumi sendiri.
Di sinilah mulanya kenapa orang Banten dikenal kasar dan gemar menggunakan cara-cara aneh untuk melawan musuhnya. Siapa orang yang tidak akan panik, gusar, dan marah begitu melihat rumahnya dibakar orang" Goblok orang itu! Begitulah mereka, kenapa jadi bertemperamen keras dan panas. Setelah menyadari kotanya hancur rata, sebagian ada yang lari ke hutan-hutan membawa dendam kesumatnya, dan untuk mencari keselamatan ada yang mencari jalan kompromi saja.
Berbagai cara mereka pergunakan untuk menyalurkan dendam mereka terhadap kaum penjajah. Tapi kadangkala di antara mereka sendiri suka terjadi perselisihan. Mereka cepat sekali menghunuskan goloknya atau lewat cara "halus" untuk menyelesaikan sebuah perkara.
Semuanya untuk hidup. Lalu muncul jawara ke permukaan, yang pada masa itu belum disalahkaprahkan sebagai pemeras rakyat. Jawara pada masa itu adalah simbol keadilan dan penolong si lemah.
Semua kisah pada lukisan indah itu sudah tenggelam bagai Benua Atlantis. Musnah, rata, dan tinggal kenangan.
Mereka singgah di mesjid Banten yang berarsitek meru. Dibuat pada masa Sultan Maulana Yusuf. Masih megah dan kokoh. Saban salat
Jumat dan Muludan, mesjid ini selalu ramai dikunjungi orang dari berbagai kota.
Seperti juga mesjid Sunan Gunung Jati, ayah Sultan Maulana Hasanudin, di Cirebon, di pintu gerbangnya banyak pengemis mengasongkan kalengnya. Si Tomboy merogoh saku jeans-nya. Membagi-bagikan beberapa logam lima puluhan. Roy mesem-mesem saja melihat tingkahnya.
Selain mesjid, di sudut lain ada reruntuhan, kastil dan sebuah wihara yang megah dan terawat baik. Betapa pada masa itu pun, jauh sebelum digembar-gemborkan orang, toleransi beragama sudah dijunjung tinggi oleh masyarakat sini yang jelas-jelas fanatik terhadap Islam.
Mereka mendengar lelucon dari orang-orang tentang wihara ini. Ketika Sunan Gunung Jati menyiarkan Islam, sebuah kapal dari Cina merapat, membawa putri cantik jelita. Putri Cina itu sengaja didandani seperti wanita hamil tua. Mereka bermaksud mencoba Sunan yang kabarnya sakti mandraguna.
Berapa bulankah putri jelita ini hamil, Sunan" Sembilan bulan, jawab Sunan. Nyatanya betul. Sang putri pun kena kutukan. Mereka jadi malu untuk kembali pulang ke negerinya. Sunan yang bijaksana pun mengawininya, lalu menyuruh rakyat untuk membangun istana tempat tinggal sang putri. Jadilah wihara itu, yang sampai sekarang, umat Budha dari seluruh penjuru tanah air berdatangan berziarah kemari.
Roy menghentikan Enduro-nya di Tasik Kardi, sebuah danau kecil yang dibuat Sultan Ageng Tirtayasa untuk penyimpanan air di musim kemarau. Mereka mengaso di sebuah gubuk.
"Fantastik!" Roy terkagum-kagum.
Ya, fantastik. Kalau saja ada seorang Rockefeller dan Ciputra berkongsi untuk kembali membangun puing-puing ini, wah, indah sekali.
Sebuah kota masa lalu bangkit kembali dari reruntuhannya! "Gua yakin, kota ini akan jadi objek wisata nomor satu!" "Jangan ngelamun!"
"Ini nyata, Dewi!" Roy berdiri seperti seorang raja yang terkagum-kagum menyaksikan kemakmuran kerajaannya.
"Gua ikut ke sini, bukan untuk memperdebatkan sebuah sejarah, Roy!" Dewi tampak kesal sekali.
"Kenapa, Dewi ""
"Gua cinta kamu, Roy!"
Matahari semakin bergulir ke barat.
"Bukan gua yang mesti kamu cintai, Dewi. Gua nggak layak untuk itu. Masih ada orang-orang lain yang layak dan harus kamu cintai. "Keluargamu, misalnya."
"Roy!" Kalimat Roy tadi bagi Dewi ibarat batu yang langsung dimuntahkan dari Krakatau, menimpa jiwanya. Dia kini berada pada dilema yang membingungkan antara mengatakan dan tidak mengatakan tentang rencana kepindahannya ke Ambon.
Kebersamaan, kebahagiaan, kenapa selalu berumur pendek"
"Liburan ini, elu nggak balik ke Jakarta""
"Roy, aku... " "Omongin aja, Dewi," Roy memegang bahunya. Dewi terisak-isak.
"Apakah air mata bisa jadi jalan keluarnya"" "Aku tidak ingin kehilangan kamu, Roy!"
Dewi tidak bergua-gua lagi. Dia memeluk erat tubuh Roy. Membenamkan kepalanya.
"Kita masih muda, Dewi. Kadangkala kita harus siap untuk menerima suatu kehilangan.
Aku sendiri sudah banyak mengalami kehilangan itu.
"Yang aku cintai, yang aku sayangi.
"Bahkan aku pernah merasa kehilangan diriku sendiri.
"Kita harus siap menghadapinya.
"Berat memang."
Matahari semakin condong. Kegelapan hampir menyelimuti pesawahan. Berpuluh-puluh burung kumul bergerombol di langit. Terbang begitu gemulainya membentuk anak panah.
"Kita pulang, Dewi."
"Aku ingin selalu berada di dekatmu, Roy."
Kalau saja si Tomboy ini menyadari bahwa, di dalam jiwa lelaki ini tidak ada tersemi sebuah kata yang diagung-agungkan, cinta, betapa akan nelangsanya dia. Roy memang tidak akan pernah merusak anak gadis orang. Dia tidak diajarkan untuk itu.
Tapi dia hanya akan meninggalkan gadis itu apabila gadis itu sudah mencintainya setengah mati. Karena di situlah dia bisa menikmati kepuasan akan sebuah dendam. Luka lama. Dan itu membekas.
"Kamu pernah patah hati, Roy"" pernah suatu kali Andi menebak. "Bukan patah hati," Roy menggeleng penuh misteri. "Bagaimana ceritanya"" Toni memancing. "Itu tidak akan pernah aku ceritakan. Tidak akan!"
Jiwa Roy memang pernah disayat. Kebetulan yang menyayatnya dan menyebabkannya sakit sampai sekarang (baca: biang keladinya) adalah makhluk yang bernama perempuan. Kalau saja waktu itu biang kela
dinya lelaki, mungkin Roy akan jadi banci, atau juga membenci kaumnya dan dirinya sendiri.
Roy sendiri tidak yakin apakah bisa mengobati lukanya. Sampai kapan" Kata orang, waktu bisa mengubah segalanya. Kitalihat saja perkembangannya nanti.
Roy menjalankan Enduronya pelan-pelan. Jarum di spedometer tidak pernah melebihi angka tiga lima. Dia seperti mengerti perasaan seseorang yang ingin menikmati keberduaan lebih lama lagi.
"Rumah kamu ramai sekali."
"Masuk, yuk!" Dewi menarik lengannya. Roy, menurut saja.
Orang-orang yang sedang berkumpul di ruang tengah tampak begitu gembira melihat tuan putrinya kembali ke kerajaannya.
"Dari mana saja, Dewi"" mamanya cemas memeluknya.
"Selamat malam," Roy mengangguk kikuk diperhatikan mereka.
"Rupanya arjuna ini yang membuat anak kita berat meninggalkan kota ini, Ma," papanya menggoda, mengerling pada istrinya.
Dewi tersipu-sipu. Menggelayut manja di bahu papanya.
Roy tambah kikuk dan salah-tingkah.
Dia melihat tas-tas dikemas dan orang-orang yang seperti akan melepas keberangkatan ke tempat yang jauh. Ada apa ini" Roy meminta penjelasan lewat matanya.
"Pa, Dewi mau bicara sebentar sarna Roy," rajuknya.
"Bagaimana kamu ini, Dewi" Apa yang tadi belum cukup"" kata mamanya, meminta bantuan suaminya.
"Ada yang belum Dewi bicarakan, Ma," dia merajuk lagi.
Papanya mengangguk, tersenyum penuh arti pada istrinya.
Dewi mengajak Roy ke halaman samping. Roy semakin tidak keruan diperlakukan istimewa begitu. Mereka duduk di bangku kayu di bawah pohon jambu air. Cahaya lampu taman melindungi mereka.
"Apa artinya ini, Dewi""
"Malam ini kami berangkat, Roy," suaranya serak. "Maksudmu ""
"Papaku dimutasikan ke Ambon, membuka cabang perusahaan di sana," Dewi menunduk.
Meremas-remas saputangannya.


Balada Si Roy Joe Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu tidak cerita tadi."
"Aku tidak diberi kesempatan untuk itu."
Semua berakhir dengan sendirinya. Tidak ada pemeran utama dalam lakon mereka. Hukum alam mengetukkan palunya. Semuanya sudah diputuskan oleh yang empunya hajat. Ada perjumpaan dan ada perpisahan. Ini juga hukum alam. Mutlak. Ibarat hidup dan mati.
Roy menengadah ke langit. Bulan yang setengah hampir digerogoti awan. Langit memang menyimpan misteri, seperti juga hidup.
"Roy." Roy menatap matanya. "Ciumlah aku," Dewi memejamkan matanya.
Roy menciumnya. "Aku cinta kamu Roy"
Roy hanya mendengarkan. Dia pun merasakan perpisahan ini. Berat. Tapi nanti dia berusaha untuk tidak menjadi beban dalam hidupnya. "Rencana kita ke Baduy tinggal rencana, Dewi." Dewi menggigit bibirnya. "Kamu mau menulis surat untukku, Roy"" Roy mengangguk.
Ada selembar daun jatuh dari dahannya, menempel di rambut Dewi. Roy mengambilnya. Melontarkannya ke udara. Meliuk-liuk di temaramnya lampu taman. Kemudian menggelosor di tanah.
Roy mengecup bibirnya sekali lagi. Hangat.
Dia masih bisa melihat telaga bening yang mengembang pada bola mata itu di batik kaca- mobilnya. Dan tangan yang melambai-lambai seolah ingin meraih sesuatu. Semuanya hilang di tikungan jalan. Hatinya kembali sepi. Sepi sekali.
V. EPITAPH Cukup tanah merah batu nisan
dan kendi berisi air saja itulah rumahku peristirahatan abadi! -Heri H Harris
LANGIT Serang kelabu tua. Awan yang bergulung tampak ujungnya bagai mencakar-cakar langit sebelah timur.. Angin menerbangkan daun-daun di pekuburan. Upacara pemakaman yang sederhana.
Ketiga remaja itu memisah. Tidak berkata-kata. Yang di tengah, yang gemar mempermainkan rokok di bibirnya, menatap lekat-lekat. Sampai timbunan tanah terakhir.
Hening dan tidak ada hujan air mata.
Tapi itu tidak lama, karena ada jerit tangis wanita yang menghambur pada gundukan tanah itu. Dia mengais-ngais gundukan yang masih basah itu. Membalurkan pada tubuhnya yang molek.
"Kenapa kaulakukan semua ini, Mad "" isaknya memelas.
Roy menyikut perut Andi, "Ibumu ""
"Wanita itu hanya mencintai suaminya setelah dia mati," suara Andi serak dan lirih. Tiba-tiba dia meminta api, di luar kebiasaannya.
Ragu-ragu Roy menyalakan Zippo-nya, "Kamu merokok""
"Ya, aku merokok sekarang," Andi mengisap pelan. Terbatuk.. Dia mengisap
lagi. "Bukankah nggak baik buat kesehatan"" Toni berseloroh.
"Aku tahu it u," Andi mengisap terus. Masih kaku memang.
Tampak neneknya dan beberapa kerabatnya meraih lengan wania malang itu. Membimbing dan menghiburnya.
"Istigfar, Nyai." Nenek itu membelai anaknya yang sudah dianggapnya hilang tertelan belantara Jakarta.
Wanita tua itu hidup sendirian membesarkan putrinya, nyai geulis-nya. Suaminya gugur ketika revolusi dulu. Dia menyadari nyai geulis-nya mewarisi kecantikannya. Sampai ketika seorang lelaki memberi nyai-nya impian muluk tentang Jakarta. Lalu lelaki bajingan itu membawa kabur putrinya. Dan setahun kemudian, putrinya pulang menggendong bayi montok. Menitipkap bayi lelaki itu kepada neneknya.
Andi memandang ke arah lain. "Wanita itu datang bukan untuk anaknya. Dia tidak pernah merasa memiliki dan mencintai anaknya," suaranya merintih. "Atau mungkin sebaliknya"" Roy menyindir.
"Ya. Mungkin kamu yang tidak mengakui wanita itu sebagai ibumu," Tony juga ikut menyudutkan perasaannya.
"Kenapa kalian seenaknya saja main tebak tentang aku "" Andi terusik. "Lantas bagaimana kamu bisa beranggapan begitu"" Roy tidak mau kalah. Andi gelisah. Menengadah ke langit. Angin menderu-deru dan langit bergolak. Hujan mulai jatuh satu-satu.
*** Andi kini jadi sering menyulut rokok. Gaya khasnya hilang. Dia yang selalu jelalatan melihat gadis cantik jadi acuh tak acuh. Tambah kusut semrawut. Sentimentil dan senang menyendiri.
Dia memetik senar gitarnya.
Roy melihat ada sebuah lukisan di meja. Baru setengah jadi. Sebuah kuburan dan pohon kering yang ranting-rantingnya menuding langit. Latar belakangnya disapu warna kemerah-merahan. Warna senja. Ada selembar daun jatuh. Begitu sepi. Sebuah kuburan di saat senja. Ada epitaph di kuburan itu.
"Indah sekali lukisan ini. Kuburan bapakmu""
Toni ikut melihat lukisan itu. Mengerikan! Hatinya bergidik.
"Itu kuburanku," Andi memeluk gitarnya.
Mereka berpandangan. "Kalian percaya tentang adanya kehidupan lain" Kehidupan orang-orang mati"" "Kenapa kamu tanyakan itu""
"Kata guru ngajiku, kehidupan yang kamu tanyakan itu ada," Toni menimpali.
"Juga siksa kubur"" Toni mengangguk.
"Aku ingin menyusul bapakku. Menolongnya dari siksa kubur." "Kamu yakin bapakmu kena siksa kubur"" tanya Roy. "Bapakku penjahat."
"Bukan begitu caranya, Andi," Toni bermaksud memberikan ilmu yang didapatnya dari guru ngajinya. "Ada cara lain yang terbaik untuk menolong orang yang kita cintai dari siksa kubur. Ini kata Alquran, bukan kataku. Yaitu, doa anak yang saleh, amal jariah, dan ilmu yang diamalkan."
Andi menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya. "Kalau aku mati, berarti aku akan berkumpul lagi dengan bapakku," dia berbicara sendiri. "Akan aku tanyakan kepadanya, kenapa dulu menelantarkan aku dan meninggalkan ibuku," dia berkata lagi tidak kepada siapa-siapa. Juga tidak kepada Tuhannya.
Mereka memandangnya cemas.
*** Liburan usai sudah. Kota Serang kembali meriah oleh tawa renyah. Jalanan mulai memantulkan sinar matahari dengan segala harapannya.
Remaja Roy bersandar pada tiang dekat aula. Memandangi orang-orang yang main basket. Sesekali dia tersenyum nakal kalau ada gadis cantik lewat. Itulah hiburannya sekarang, selagi jam-jam pelajaran masih bebas.
Kedua sobatnya belum pulang dari Bandung. Toni sengaja mengajak Andi berlibur di rumah saudaranya. Untuk melupakan. kepusingannya, kata Toni.
Siapa bisa menduga hati seseorang" Andi yang sehari-harinya begitu riang ternyata menyimpan banyak persoalan. Betapa rapi dia menyimpan rahasia hidupnya. Entah, apa yang dilakukannya bila sedang sendirian di kamarnya"
Tidak jauh beda denganku, bisik hati Roy. Aku yang pernah mengecap kasih sayang dari seorang ayah beberapa saat saja, lalu terputus di tengah jalan. Bagiku lebih baik tidak mengalami sama sekali. Seorang Stevie Wonder pun masih bermimpi melek lagi, karena di matanya masih terbayang ketika melek dulu, wajah orang tuanya. Maka wajar saja kalau ada pepatah, Berbahagialah wahai orang yang buta sejak pertama dilahirkan.
Tiba-tiba dia jadi teringat masa kecilnya.
Oke, aku ceritakan saja sedikit kisah hidupku pada kalian, yang betul-betul mencintai kehidupan. Dan semoga kalian bisa becermin l
ewat kisahku, atau untuk sekadar tahu saja, itu pun tidak apa.
Aku kecil memang selalu nakal dan .gembira. Aku selalu memonopoli permainan. Tidak ada permainan tanpa aku sebagai jenderal kancilnya. Lalu kebahagiaanku terenggut. Papaku, si petualang gunung, tewas oleh gunung itu sendiri. Dan mamaku untuk beberapa saat lupa dengan keahlian menjahitnya. Lupa bagaimana caranya menghidupi aku setelah ditinggal suaminya.
Ketika penguburan papaku, di pekuburan keluarganya, aku ketemu orang tua papaku. Opa dan Oma. Saudara-saudaranya. Mereka orang-orang yang angkuh. Sedikit pun tidak memandang kepada mamaku. Bahkan mengulurkan tangan turut berduka cita pun tidak.
Kemudian mamaku membawaku lagi kepada mereka ketika Lebaran. Maksudnya bersilaturahmi, tapi hinaan yang kami peroleh. Yang paling menyakitkan adalah perlakuan gadis kecil sebayaku yang cantik dan sombong, karena darah biru dan kekayaan sudah membutakan jiwanya dari sekeliling. Tubuh kami disemprotnya dengan air ledeng yang biasa dipakai untuk menyiram tanaman.
"Biar bersih dan nggak bau," suaranya yang manja bagi kami, terutama aku, sangat menusuk dan menyakitkan.
Semua orang tertawa. Mamaku menitikkan air mata.
Hatiku tergores! Di waktu luangku, aku membantu Mama cari uang. Jualan kue-kue, pagi dan siang, bergiliran, karena sekolahku kadangkala pagi, dan siang. Mamaku tidak melarang, karena dia sendiri sedang tidak bergairah menerima banyak jahitan. Bukankah hidup ini perjuangan"
Sialnya aku ketemu gadis cantik yang sombang itu. Aku jualan di depan sekalah yang kebanyakan anak-anak gedean. Ketika salah seorang memuntahkan kue-kue daganganku, kawan-kawannya pun mengikuti memuntahkan kue-kue yang sedang dimakannya. Sepertinya kue-kueku itu mengandung racun. Lalu aku jambak rambut gadis angkuh itu. Aku tampar mukanya. Aku tak peduli ketika tahu bahwa gadis brengsek itu saudaraku.
Dia meraung-raung. Aku berlari. Aku juga menangis meraung-raung. Seharusnya gadis cantik itu menjadi saudaraku yang menyenangkan. Tapi aku benci
dia! Remaja Ray menyeret kisah kecilnya ke perpustakaan. Hanya ada seorang gadis di pojok, sedang menekuni bukunya. Ray tidak memperhatikannya. Dia asyik membaca judul-judul buku di rak. Diambilnya Max Havelaar. Ketika dia menarik bangku dan bunyinya berderit memecah kesunyian, dia baru menyadari siapa gadis yang duduk di pojok itu.
Mereka saling pandang. Inilah pertemuan mereka untuk yang kesekian kalinya, dan kali ini tidak mungkin mereka hindari lagi. Mereka terperangkap situasi.
Kerinduan, kegembiraan, dan kebingungan berseliweran di benak mereka. Dewi Venus hadir lagi! "Hai," suara Roy bergetar. "Hai," Ani juga merasakan begitu. "Apa kabar"" kaku sekali suaranya.
"Baik. Kamu, Roy""
Roy menggeleng pelan. "Lagi berkabung. Bapak si Andi meninggal dunia." "Ya, aku juga mendengar. Poor boy." "Juga tentang drama di pemakaman itu""
"Ya." Serang kota kecil. Kalau ada kejadian-kejadian yang kira-kiranya bakal enak digunjingkan, dengan cepat beredar dari mulut ke mulut. Seperti air sungai yang meluncur deras dari bukit! Misalnya skandal. Wah, itu tidak akan bisa disembunyikan. Seperti si A menikah sama si B karena terpaksa, kecelakaan.
" Congratulations atas juara kelasnya," puji Roy.
"You too," kata Ani.
"Lho, kok aku""
"Your girlfriend," Dewi Venus tersenyum penuh arti. Roy meringis, "Dia udah pindah ke Maluku."
Venus itu pura-pura sibuk membaca Arjuna Mencari Cinta-nya Yudhistira. Tapi dia merasakan di hatinya ada kehangatan sebatang lilin yang menyala tiba-tiba. Walaupun kecil dan bergoyang-goyang.
"Nice girl. Tapi bukan untuk pacar."
"Lelaki selalu mengatakan begitu sesudahnya," Ani kurang senang mendengar kalimat Roy tadi.
"Malam tahun baru, ada acara"" Roy mengalihkan pembicaraan. "Kamu selalu punya acara"" "Menyesuaikan diri dengan zaman."
"Kami sekeluarga memang selalu menutup akhir tahun dengan berkumpul di rumah. Merenungkan kesalahan pada tahun yang akan lewat dan memperbaikinya pada tahun yang akan datang.
"Kami mensyukuri nikmat karena masih diberi kesempatan untuk menghirup udara di tahun berikutnya."
"Keluarga yang bahagia. Aku iri mendengar
nya." "Ya, begitulah kenyataannya. Kamu tidak bahagia""
"Aku bahagia. Tapi banyak persoalan."
"Aku rasa semua orang punya persoalan. Namanya saja hidup. Apa kamu kira aku nggak punya persoalan, Roy""
"O, ya"" "Sebagai anak bungsu, misalnya."
Roy tertawa. Ani suka sekali melihatnya.
"Aku dimanja. Terlalu berlebihan malah. Kedua kakakku lelaki semuanya. Mereka sangat khawatir kalau aku, boneka mainannya, mendapat celaka. Aku memang jadi tidak merasa bebas, tidak pernah merasa dewasa. Mereka selalu menganggapku anak bau kencur.
"Tapi aku berusaha agar persoalan ini nggak nenjadi beban hidupku. Semuanya aku jalani santai saja. Mereka toh, nggak bermaksud mencelakakanku. Mereka menyayangiku.
"Sekarang, nggak keberatankah kalau aku meniengar persoalan kamu, Roy" Tentang kematian Joe itu, misalnya. Aku memang terlibat. Okelah, aku minta maaf setulus-tulusnya.
"Apakah ini salah satu persoalan yang membuat kamu selalu menghindar dan membenci aku, Roy""
Kata-kata yang mengalir deras seperti pancuran di pedesaan itu begitu enak kedengarannya. Irama dan gerakan bibirnya teratur rapi bagai air yang meliuk-liuk di bebatuan.
"Maafkan aku juga, Ani," suara Roy pelan.
"Aku tidak membencimu. Sungguh. Tapi Joe adalah segala-galanya bagiku. Dia ibarat reinkarnasi papaku.
"Berat rasanya mengalami kehilangan itu lagi."
Perjumpaan di perpustakaan itu sampai terbawa ke kamar mereka. Saling merenungi dan merindukan lagi perjumpaan seperti itu.
Mereka berbaring di tempai tidur. Gelisah. Rindu. Cahaya bulan yang penuh menerobos lewat jendela.
Mereka membawanya ke dalam mimpi.
*** Mereka berjumpa lagi di sebuah toko buku. Ani rupanya sedang memborong alat-alat tulis. Sorot mata mereka berbinar. "Aku mau beli kertas," kata Roy.
"Cerpenmu yang dimuat di Hai kemarin, bagus sekali. Aku seperti mengenali tokoh-tokohnya."
"Kamu membacanya"" Roy tersipu-sipu, tapi senang sekali.
"Aku langganan majalahnya. Tadinya aku nggak tahu bahwa, cerpen-cerpeh menarik yang sering aku baca itu, pengarangnya ada di hadapanku. Bahkan sering menggodaku," Ani tersenyum.
Roy jadi salah-tingkah. "Sekarang aku ja.di bisa memahami, sedikitnya, tentang kamu." Roy memang seorang pemimpi. Bukankah segala sesuatu itu bermula dari impian" Camkanlah dalam diri kalian bahwa, suatu saat akan sukses! Ini bukan sekadar kalimat mutiara yang cuma dibaca doang. Tapi di dalamnya harus dibarengi dengan usaha, karya, dan doa!
John Lennon juga seorang pemimpi. You may say I am a dreamer! kata salah satu baris lagunya. Sayang, impian kemanusiaannya kandas di pistol pengagumnya sendiri, seorang David Chapman!
Kalian mau memilih yang mana" Sebagai pemimpi atau sebagai orang yang membuyarlantakkan mimpi orang lain" Terserah kalian.
"Kedua sobatmu belum pulang juga dari liburannya" Rupanya mereka kecantol mojang priangan."
"Aku rasa keluyuran dulu. Mereka pake motor ke sana."
"Gila! Serang-Bandung pake motor""
"Nggak ada yang gila buat lelaki."
Ani tersenyum sedikit. Dari dulu juga kalau tersenyum pasti sedikit. Memang mahal senyumnya.
"Besok malem aku ke rumah, boleh"'" Venus itu kelihatan salah-tingkah.
"O, aku lupa. Besok kan malem Minggu!" Roy menggerutu sendiri. Maksudnya sih, nyindir.
"Kalau mau dateng, dateng saja," kalimat Ani ini mengandung teka-teki.
Roy harus mendapatkan jawabannya besok!
*** Remaja Roy menyandarkan sepeda balapnya di pohon jambu. Halaman ini luas dan banyak iitumbuhi pohon mangga dan jambu. Betapa sejuk dan nyaman. Ada sepasang suami-istri sedang duduk menyeruput kopi dan kue di teras.
Mereka sedang menikmati nostalgia beberapa tahun yang silam.
"Selamat malam," salam Roy hormat.
"Malam. Cari siapa"!" kata si suami. Suaranya penuh disiplin militer.
"Saya kawannya Ani, Pak."
"Bapak tidak tanya itu! Mau ketemu siapa"!"
"Ani, Pak." "Ada perlu apa"!"
"Hanya ketemu saja, Pak. Saya sudah janji mau datang."
"Hanya ketemu saja"! Datang bertamu ke rumah orang tanpa tahu perlu apa"
"Hmm, ini memang sudah gaya remaja sekarang!"
Roy tersipu-sipu. Rupanya inilah teka-teki itu!
Wanita di sebelahnya hanya tersenyum saja mendengar percakapari lelaki dua generasi ini. Dia mempersilaka
n Roy duduk. Remaja ganteng ini bandel, persis dengan suaminya setiap mengapelinya dulu, hatinya bernostalgia.
"Saya lupa tidak memikirkannya tadi, Pak," Roy mulai gambling. "Saya belum tabu kalau bertemu ke rumah Bapak, harus melewati jalur birokrasi juga," kata Roy lagi. Dia berani bersikap begitu, karena dia sudah memperhitungkan karakter lelaki 60-an yang masih tegap dan cekatan ini. Dia sudah siap dengan permainan selanjutnya.
Lelaki pensiunan kapten itu menaikkan alisnya. Memandang istrinya yang tersenyum penuh arti.
"Aku ke dalam dulu, Pak," kata, wanita itu.
"Bawa papan catur kemari, Bu."
Ani sedari tadi tidur-tiduran di sofa. Dia sebelumnya sudah mengatakan bahwa, Roy akan datang berkunjung malam ini. Bapaknya memang keras juga dalam soal yang satu ini.
"Bapak tidak melarang kamu bergaul dengan siapa saja. Tapi kalau ada lelaki bertamu pada malam Minggu, Bapak tidak suka itu!" "Cuman nemuin aja kok, Pak,"Ani merengek.
"Baik." Ani bersorak karena tidak biasanya bapaknya begini. "Tapi ada syaratnya!"
"Mesti ngalahin Bapak main catur!" kata bapaknya tersenyum. Ani menggerutu. Tidak fair, bisiknya kesal.
Pensiunan militer itu kini sudah menekuni bidak-bidak caturnya. Mereka kan bermain lima babak saja. Roy mendapatkan kehormatan memegang putih. Dia mengawali dengan C2-C4, pembukaan lnggris. Pensiunan itu melayani dengan C7-C5, varian simetris. Setelah langkah kelima belas, permainan jadi rumit. Penyusupan Benteng Hitam secara lincah dan Menteri Hitam meloncat ke sayap Raja, membuat pertahanan putih berantakan. Roy merobohkan rajanya.
Memegang hitam, Roy semakin kewalahan. Sekali lagi dia merobohkan rajanya. Dua kosong!
Ani mengintip lewat celah garden.
Sekarang KG l-G2, pembukaan gambit menteri. Dia tampak berhati-hati.. Hitam membela dengan varian tartakower, D7-D5. Lalu putih lebih suka menukarkan perwira-perwiranya untuk menuju permainan remis.
"Remis, Pak," putih melakukan sekak bolak-.balik.
Babak keempat Roy merobohkan rajanya lagi. Tiga setengah lawan setengah. Pensiunan kapten itu tertawa senang.
Ani meninggalkan tempatnya. Duduk lagi di sofa.
Di luar dugaan, pada babak akhir, Roy bermain kesetanan. Tangannya seperti gelombang dahsyat Pacific ketika memindahkan bidak-bidaknya. Semuanya punya mata dan mengerti bagaimana caranya menggempur kubu musuh. Ibarat seorang Bonaparte dan Ahmad Yani yang mahir siasat perang.
"Sekak mat!" Roy berseru girang.
Hitam meneliti keruntuhan bidak-bidaknya.
"Kalian tega meninggalkan aku lebih dulu! Aku mencintai kalian!" dia menghambur ke pelukan ibunya. "Maafkan, Nyai, Mak. Nyai pulang sekarang. Mau bersama Emak selamanya," tangisnya.
"Oh, betapa nistanya hidup Nyai selama ini, Mak. Nyai memang sudah terbuai oleh kenikmatan dan harta."
"Kita pulang, Nyai," suara nenek itu pelan dan menyejukkan. Mereka saling berpelukan. Menyeret langkah dan penderitaan mereka.
Hari mulai gelap dan malam seperti mau basah.
Orang-orang mulai beranjak.
Roy masih terpaku di tempatnya. Ingatannya masih segar tentang sobatnya ini. Ketika dia mencetuskan nama RAT, kelompok mereka. Masa-masa indah dan singkat sudah mereka isi dengan rasa persaudaraan, tolong-menolong, kini musnah ditelan bumi.
"Aku nggak nyangka Andi akan pergi secepat itu," Ani berdiri di belakangnya. "Hampir malam, Roy," katanya.
"Kamu pulang duluan aja. Di sini banyak hantu," Roy tersenyum getir. . "Mau hujan, Roy."
"Biarin. Aku ingin menangis sendirian di sini."
Ani menyeret langkahnya. Menengok dulu sosok yang diselimuti kesedihan itu. Dua kali sudah dia menyaksikan rasa kehilangan lewat sorot matanya. Tapi sekarang lelaki ini jadi lebih dewasa, lebih bisa menguasai emosinya. Tidak meledak-ledak seperti dulu.
Pepohonan mulai menyelinap di kegelapan.
Kunang-kunang berlompatan di batu nisan.
Roy menyiramkan beberapa percik air dari kendi yang sengaja dibawa. Berlutut, meremasi tanah merah itu.
"Kalau saja kamu bisa mendengar suara ibumu tadi, betapa lengkap sudah kebahagiaanmu, Sobat.
"Betapa ibumu sangat mencintaimu setulus hati."
Azan magrib sayup-sayup menghilang di angkasa.
Roy meletakkan kendi itu di dekat batu nisan. Di ben
aknya jelas tergambar sebuah lukisan di saat senja. Bibirnya bergerak pelan:
Cukup tanah merah batu nisan
dan kendi berisi air saja itulah rumahku. ."peristirahatan abadi!
Angin di langit bergolak. Hujan mulai jatuh satu-satu-memukuli hatinya. Sepi. Sepi sekali.
VI. NEW YEAR'S DAY "Manusia hanya bisa berencana, tapi Tuhan jualah yang menentukan," -pepatah lama
JAKARTA malam di penghujung tahun bergolak. Segala jenis orang tumplek ke jalan. Terompet seharga dua ratus lima puluhan dan klakson jutaan bersahut-sahutan. Orang yang di kantongnya hanya cukup uang buat beli rokok, meramaikannya dengan duduk-duduk di pinggir jalan. Sedang yang kantongnya tebal lebih asyik menikmati suasana di bar dengan cognac atau dansa-dansi. Dan untuk golongan yang. sederhana, cukup nonton acara TV saja, walaupun membosankan.
Rumah sakit CBZ (sekarang RSCM).
Remaja Roy duduk di sisi pembaringan. Menemani Toni yang berbaring meratapi nasibnya. Betapa putus asanya kawannya itu. Dia sengaja menemaninya malam itu. Orang tua Toni sendiri sedang menghadiri resepsi di instansi tempat bapaknya bekerja.
"Andi bilang, kalau tabrakan biasanya yang mati yang dibonceng. Lantas dia menghentikan Enduronya. Menyuruhku memegang setir," Toni memulai tentang tragedi itu.
"Ayolah, aku capek, Ton, katanya. Sebenarnya aku juga capek. Tapi kelihatannya dia ngantuk sekali.
"Aku jalankan motor pelan-pelan saja. Paling-paling lima puluh.
"Kamu kayak banci saja, Ton! Andi mengejekku. Masa ngejalanin motor kayak gerobak sapi saja, ejeknya lagi. Aku diam saja. Tiba-tiba, Roy, ada ketakutan yang mencekam perasaanku. Mungkin firasat.
"Lalu ada motor bebek menyusul.
"Wah, sama bebek saja, kok kalah! Dia memanas-manasi. Aku susul saja motor bebek itu. Kebetulan juga ada motor GL dan RX sedang kejar-kejaran; Lengkap sudah emosiku tersulut. Apalagi si Andi nggak mau diam-memanas-manasiku terus.
"Aku angkat roda depan, Roy! Aku kencangkan gas. Aku melesat! Aku salip mereka. Lantas Andi bersorak memberi semangat. Aku jadi lupa diri, Roy. Mulai dari Tangerang, kami selalu saling kejar. Dan aku selalu unggul di depan.
"Lalu... Oh, Roy!" Toni memejamkan matanya. Dia seperti melihat tabrakan maut itu lagi.
"Aku masih sempat meloncat, Roy. Aku nggak nyangka kalau di tikungan itu ada truk yang melaju kencang.
"Aku sudah membunuh Andi, Roy," Toni menangis. Meratapi nasib sobatnya. Kemudian dia memegangi kepalanya yang dibalut perban, dan paha kirinya yang diamputasi. Dia meringis kesakitan. Botol yang berisi cairan merah itu menetes satu-satu, mengaliri slang dan masuk ke urat nadinya.
"Jangan terlalu dipikirkan, Toni. Siapa pernah tahu tentang nasib seseorang"" Roy menenangkannya.
"Oh, God! Kenapa ini musti terjadi" Aku cacat, Roy! Jalanku akan terseok-seok. Diperhatikan orang dan dicemoohkan!
"Mengerikan! Aku rasa, lebih baik mati ketimbang begini."
Roy bisa menangkap kalimat yang mengalir tersendat-sendat dari sobatnya ini. Begitu putus asa. Seolah-olah hidup sebagai penyandang cacat itu adalah sesuatu. yang hina. Padahal Tuhan berfirman, "Wahai umatku keturunan Adam dan Siti Hawa!" Bukan, "Wahai umatku yang normal atau umatku yang cacat. "
Padahal Napoleon adalah seorang pria cebol untuk ukuran sana, si jelita Marlee Matlin seorang bisu tuli, dan Stevie Wonder pun seorang buta. Tapi Tuhan selalu memberikan hal-hal yang terbaik buat umatnya. Percayalah ini! Sejarah sudah membuktikannya!
"Kamu mau mendengar ceritaku, Ton""
Toni diam saja. Memejamkan matanya.
"Oke, aku cerita saja. Terserah kamu mau mendengarkan atau tidak. Ini tidak lain, karena aku tidak ingin punya sobat yang cengeng dan banci macem kamu," Roy menyulut rokoknya dulu.
"Di Bandung aku punya sobat. Hendra, namanya, Ganteng, pinter, jujur, dan kreatif. Kami satu sekolah. Kami sudah diibaratkan tidur seranjang, makan sepiring. dan minum segelas. Apa yang dia punya, juga punyaku. Begitu sebaliknya.
"Ngeceng dan ngegombalin cewek adalah bumbu hidup kami. Juga dengan jeans pun rasanya hidup kami sudah komplet. Kami memang bandel. Karena itu, kami juga bersaing sehat untuk menyeimbangkan antara kebandelan dengan prestasi.
Ini untuk menghindari selentingan negatif pada kami. Kedengarannya enak kan, kalau ada yang ngomong, 'biar bandel, tuh anak pinter juga'. Jangan deh macem begini, 'udah bandel, goblok lagi!'
"Hidup kami memang selalu diisi dengan petualangan dan yang segala hal berbau sensasi. Tapi ada kelebihan kami masing-masing yang bertolak belakang. Aku dengan puisi dan cerita-ceritaku. Dia dengan kepiawaiannya menepuk bulu angsa.
"Kami bersaing secara sehat. Biasanya, apabila puisi atau ceritaku dimuat, dia akan membalas kesombonganku dengan piala kejuaraan bulutangkis.
"Betapa bahagianya kami waktu itu. Punya banyak kawan. Semua orang menyukai kami."
Sampai di sini Roy berhenti. Menyulut rokoknya lagi-yang kesekian. Dia melihat Toni sedang memperhatikan seekor cecak di langit-langit bangsal. "Teruskan, Roy." Temyata dia mengikuti cerita itu.
"Waktu itu kami sedang jalan di persimpangan Asia Afrika-Braga, ketika ada dua cewek centil di seberang jalan. Cewek Bandung kan sudah terkenal gareulis"" Roy tertawa kecil.
"Biasa, kami gombalin. Hendra, kalau sudah masalah cewek, sukar dikendalikan. 'Aku cinta keindahan!' begitu katanya. Sedangkan yang indah-indah itu ada pada wanita cantik. 'Ini bukan diskriminasi,' alasannya. Hanya selektif saja,"
Roy berhenti lagi. Menarik napas. Dia betul-betul ingin menghibur Toni agar bisa melupakan kegetirannya. Dan dia. hanya bisa melakukannya dengan bercerita apa saja. Pokoknya cerita saja.
Ngomong apa saja. "Ya, itu tadi. Siapa pemah tahu nasib seseorang"" kalimat terakhir ini begitu berat dan penuh teka-teki. Roy memandang ke luar lewat jendela.
"Kenapa temanmu, Roy"" Nyatanya Toni sudah melupakan nasibnya sendiri-untuk sementara. Ini baik buat dia.
"Aku nggak sempat mencegahnya ketika dia berlari menyeberang. Padahal waktu itu lampu menyala hijau buat pengendara kendaraan bermotor. Hendra memang ceroboh.
"Aku hanya bisa berteriak menutup wajah!"
"Kenapa, Roy""
"Ada sebuah mobil menerjangnya. Aku nggak bisa berbuat apa-apa. Shock! Masih terbayang ketika tubuh Hendra terseret beberapa meter oleh mobil jahanam itu. Aku pikir dia mati.
"Kamu tahu apa yang dikatakannya ketika siuman dari pingsan selama satu malam!"
Toni menggeleng cepat. Dia seperti menanti kelanjutan ceritanya. Roy memang paling ahli kalau sudah mendramatisir sebuah cerita, sehingga orang-orang yang mendengarnya akan larut terbawa arus cerita..
" 'Di mana ini" Di surga"' katanya sambil menahan sakit. Aku bilang, 'Di neraka! Nggak bakalan deh, surga mati nampung orang macem kamu!' ledekku lagi. Dia hanya meringis ketika mendengar suaraku.
" 'Kamu licik, Roy!' makinya padaku. 'Kenapa nggak ngasih tabu ada mobil waktu itu" Cewek sialan!' makinya lagi kepada cewek-cewek yang kami gombalin waktu itu.
" 'Heh, mereka ada di sini,' bisikku sambil menunjuk ke arah pintu. Cewek-cewek itu loyalitasnya tinggi juga. Padahal kenaI aja belum. Baru maen mata di jalan doang. Tapi cewek-cewek itu memang sangat menyesal karena merasa terlibat dengan kecelakaan itu.
"Lalu ketika dia menyadari ada sesuatu yang ganjil dengan kondisi tubuhnya, sedikit pun kami tidak mendengar suara tangis, penyesalan, atau keputusasaannya. " "Kenapa dia, Roy""
"Tangan kirinya diamputasi sampai ke sikut. Semua orang yang sedang menunggunya begitu tegang dan bingung harus berbicara apa kepadanya nanti. Tapi apa katanya ketika melihat tangan kirinya yang sudah buntung"
" 'Cuman ini"' katanya memegangi tangan kirinya. Sedikit pun tidak terlukis pada wajahnya rasa keputusasaan! Lalu apa komentarnya lagi" 'Ah, ini aku anggap seperti kehilangan daging beberapa kilo saja. Malahan aku bersyukur, karena aku hanya bisa berbuat dosa dengan satu tangan saja.'
"Kami hanya tertawa. Sense of humor-nya tidak hilang.
"Seharusnya kamu pun begitu, Ton! Apalah artinya tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya, kalau jiwa kita sendiri cacat." Rupanya inilah maksud Roy bercerita itu. Secara tidak langsung menyindir sobatnya agar tidak cengeng dan putus asa.
"Yang paling penting ini," Roy menunjuk dadanya, "jiwa kita! Jasmani boleh cacat, tapi tidak jiwa kita.
"Kita ini hanya titipan Tuhan. Semuan
ya akan dikembalikan pada-Nya."
Roy memperhatikan Toni yang menerawang entah ke mana. Dia berharap, semoga dengan cerita karangannya ini bisa menggugah semangat sobatnya, yang dulu begitu riang dan konyol.
"Bulutangkisnya"" Toni memang sudah tertarik.
Roy bersinar-sinar matanya, "Hendra nggak kehabisan akal. Setelah sembuh, dia berlatih serve dengan satu tangan. Katanya, hanya serve-nya saja yang mesti dilatih. Itu nggak gampang. Kalau nggak dibiasakan, akan mudah di-smash lawan. Tapi pada prinsipnya main bulutangkis itu kan yang dominan kaki. Bola kalau sudah di atas, tinggal dipukul-pukul saja.
"Nggak lama Hendra turun lagi ke gelanggang. Ikut event-event yunior. Memang nggak pernah juara. Dia hanya ingin menularkan semangat kepada pemain bulutangkis yang nggak cacat.
"Jadi yang dibicarakan di sini adalah semangat, rasa optimis, dan motivasi. Juga belajar menghargai diri sendiri, apa yang kita punyai. Kalau kita sudah tidak bisa menghargai diri kita sendiri, bagaimana kita akan bisa hidup" Mau ke mana kita hidup"
"Nggak kayak kamu, Ton, pengecut! Banci! Nggak berani menghadapi hidup hanya karena satu kaki!"
"Kamu bilang aku banci, Roy"" suaranya mulai ada tekanan. Pada sorot matanya ada sebersit kilatan. Roy memang sengaja bermaksud menyulut emosinya. Semangat kelaki-lakiannya.
Sudah hampir jam 00.00. Saat yang paling ditunggu-tunggu. Di sekitar Monas-Thamrin-Sudirman, sudah berderet mobil produk Jepang keluaran terakhir. Itu tidak membuat iri orang-orang yang membludak dengan modal dengkul. Yang penting sekarang adalah, membunyikan terompet sekeras-kerasnya dan melupakan hal yang pahit di tahun kemarin. Lalu merangkai sesuatu yang manis di tahun yang baru.
Di langit Jakarta. malam ini kembang api banyak dilontarkan. Cahayanya pecah berbinar-binar. Aneka warni. Menghibur beribu pasang mata untuk melupakan sejenak ancaman resesi dunia. Sehingga bintang yang gemilang pun malam ini jadi malu untuk bersaing.
"Teruskan cerita Hendra tadi, Roy."
"Menyadari dia nggak mampu lagi menyaingi pemain non cacat, akhirnya dia banting setir. Di Indonesia ini ada sebuah wadah yang menampung para olahragawan cacat yang berprestasi. YPOC, namanya. Yayasan Pembina Olah Raga Cacat..
"Setiap empat tahun sekali, YPOC mengadakan pekan olahraga, seperti umumnya atlet non cacat dengan PON, SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Dengan mengadakan pekan olahraga, diseleksi para atlet cacat yang kira-kira mampu menyumbangkan medali untuk dikirim ke event-event internasional.
"Di sini memang belum dibicarakan soal prestasi. Tapi untuk saling memupuk rasa persaudaraan sesama orang cacat. Saling bertukar pengalaman dan berbagi rasa."
Roy menyulut rokoknya entah untuk yang keberapa. Toni meminta sebatang. Tapi Roy melarangnya.
"Pernah suatu kali kami ngegombalin cewek lagi. Tapi ternyata cewek-cewek itu kampungan, juga. Sudah hidup di zaman nuklir, kok masih ngebedain orang cacat dan non cacat. Aku marah sekali begitu mereka menghina Hendra.
"Tapi apa reaksi Hendra"
" 'Kalian anak SMA"' katanya kalem saja. 'Diajari Undang-undang 45 dan GBHN, nggak" Coba deh cari, apa ada gitu pasal dan ayat berapa, yang melarang orang cacat ngegombalin cewek"' begitu katanya. Malah sambil senyum.
"Jadi yang aku pelajari dari sobatku itu adalah, dia selalu berusaha untuk masuk ke dalam dunia orang lain, orang non cacat umumnya. Dia ingin menghapus imej masyarakat tentang orang cacat yang disinyalir cepat tersinggung dan selalu ingin dibelaskasihani.


Balada Si Roy Joe Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Contohnya, kalau kita melihat ada seseorang yang menyentuh nurani kita, akan terasa toh, betapa perasaan kita tersentuh, ingin menolong, dan ingin berbincang-bincang tentang kesedihannya. Tapi kita paling-paling memendamnya saja. Mau nanya, 'Kenapa tuh, tangannya buntung" Kecelakaan, ya"' Atau, 'Kamu buta sejak lahir"'
"Semua pertanyaan-pertanyaan seperti itu nggak pernah spontan terlontar. Semua orang memendamnya dalam hati. Mereka takut menyinggung perasaannya!
"Itu nggak betul. "Hendra bilang, 'Aku ingin tampil seutuhnya di depan masyarakat. Aku akan melayani keingintahuan mereka tentang perasaan orang cacat. Dan yang p
aling penting, aku ingin orang-orang pulang ke rumah dengan membawa kesan yang bagus tentang orang cacat.'
" 'Ini memang, impian,' kat a Hendra optimis. 'Tapi aku akan mewujudkannya.' "Nah, sekarang aku pingin nanya sama kamu." "Tentang apa""
"Setelah sembuh, tentunya kamu harus berjalan menggunakan kruk. Dan ini cuma satu-satunya di sekolah kita bahwa, kamulah yang buntung kaki.
"Ketika kamu turun dari Combimu, memasuki sekolah, dengan diikuti berpuluh-puluh pasang mata, apa yang akan kamu lakukan dengan situasi itu" Bermacam-macam toh, karakter seseorang. Siapa tahu waktu itu ada yang mencemooh atau merasa iba sama kamu."
Toni terhenyak di pembaringan. Tangan kanannya meremas-remas seprai. Pertanyaan seperti itulah yang paling menakutkannya. Ya, apa yang akan aku lakukan ketika aku kembali masuk sekolah" Hatinya merintih.
"Itulah yang aku pikirkan sekararig, Roy," Toni menangis. .
"Dengan menangis, kita tidak akan bisa menemukan jalan keluarnya, Ton."
"Lantas apa yang mesti aku lakukan""
"Bicaralah semaumu, seperti dulu kamu bicara, Ton! Berusahalah agar orang-orang tetap menganggap bahwa, Toni itu,tidak berubah! Masih tetap konyol.
"Carilah hal-hal yang bisa menetralisir suasana kaku. Biasanya yang lucu-lucu itu paling manjur untuk penyegar suasana. Ah, kamu kan ahlinya dalam melucu, Ton!
"Kenapa sih mesti pusing hanya karena soal invalid" Sekarang kan ada kaki palsu. Kamu bisa pasang itu! Masih banyak, Ton, yang lebih menderita dibandingkan dengan kamu. Yang tidak punya kedua tangan, kedua kaki, seluruh anggota tubuhnya, yang lumpuh, dan ada malah yang hanya bisa berbaring saja di tempat tidur."
Mereka berpandangan. Tangan mereka saling bergenggaman. Roy kini baru bisa melihat lagi sorot mata jenaka dan cemerlang itu.
"Besok kawan-kawan mau nengok ke sini. Sekarang mereka sedang ngerayain tahun baru di Monas."
Tiba-tiba wajah Toni berubah tegang.
"Siapa -siapa ""
"Cuman kawan-kawan sekelas." "Plus Titin ""
"Ya." "Oh, God!" Toni menutup wajahnya. "Aku nggak mau nemuin mereka, Roy! Mau apa mereka ke sini""
" Come on, Ton! Besok kan tahun baru. Apa salahnya kalau mereka dateng ke sini, ngucapin Happy New Year sama kamu""
"Ah! Tapi kenapa mesti Titin" Aku nggak mau ngelihat sorot mata yang sedih dan mengasihani aku nanti! Katakan sama mereka, Roy! Aku nggak ingin diganggu!"
Roy menggeleng, "Kenapa kamu jadi cengeng begini, Ton" Cobalah belajar bersikap realistis, Ton!"
"Apa yang harus. aku katakan sama mereka""
"Say, Hello, misalnya. Atau, Happy New Year, friend! Nggak susah kan"! Yang penting, berusahalah agar mereka melihatmu tetap gembira seperti dulu."
Malam semakin larut. Terompet dan klakson sudah mulai menghilang. Tangan-tangan mereka juga sudah kelelahan berjabatan tangan. Tapi mungkin masih ada di salah satu sudut atau beberapa sudut belantara Jakarta, yang masih belum puas menghabiskan sisa malam tahun ini.
Happy New Year! *** Toni kelihatan necis dengan baju kotak-kotak krem. Wajahnya bersinar memantulkan rasa percaya diri. Rupanya dia ingin tampil maksimal di hari pertama tahun ini.
"Bagaimana, Roy"" Toni membusungkan dadanya. "Look like a movie star!" Roy bahagia melihatnya.
Sekitar jam tujuh, kedua orang tua Toni datang bersama kedua adik perempuannya. Heni, masih di SMP kelas dua, memasang seikat kembang di meja. Sedangkan Ina memberikan nasi bungkus kepada Roy. Gadis kecil yang baru kelas enam itu, tertawa lucu melihat Roy begitu lahap dan kelaparan dengan nasi bungkusnya.
Tidak lama kemudian muncul suara gaduh, suara tawa remaja yang selalu energik dan optimis memandang hidup ini. Pakaian mereka memang kusut sehabis pesta semalam suntuk. Tapi wajah mereka bersinar cemerlang.
" Happy New Year, friend!" seru Toni menyambut kawan-kawannya dengan gembira.
Mereka saling pandang. Keheranan dan sangat gembira melihat Toni masih gembira seperti dulu. Mereka mengelilingi temp at tidur. Mereka bercerita apa saja. Saling melemparkan dan membagi-bagikan senyum bahagia hari itu.
"Gimana, Ton, masih sakit kakinya"" suara Titin pelan.
"Nggak ada masalah, Tin," Toni tersenyum konyol. "Ini aku anggap seperti kehilangan
beberapa kilo daging saja.
"Bukan begitu, Roy!" Semua orang tersenyum dan tertawa.
Betapa tabah dan gembiranya suara Toni. Yang paling bahagia melihat perkembangan baik ini, ya siapa lagi kalau bukan kedua orang tuanya. Anak kita sudah kembali, bisik mereka. Jiwanya. Semangatnya.
Sedangkan remaja bandel itu hanya berdiri di sudut. Tubuhnya yang penat disandarkan di tembok. Sesekali dia menguap dan matanya terpejam. Temyata cerita karangannya ada manfaatnya juga. Manjur juga buat obat.
Sebenarnya kita tidak usah merasa minder menjalani hidup ini hanya karena kondisi tubuh kita cacat. Cobalah renungkan dan berusahalah untuk memanfaatkan potensi yang ada pada kita. Janganlah kekurangan itu kita jadikan alasan untuk dibelaskasihani orang. Itu salah. Keliru.
Tuhan menciptakan manusia bukan untuk bersedih-sedih, atau meratapi nasib. Tapi berusaha dan berdoalah!
Sinar matahari pagi yang sejak tadi terhalang awan, mulai membebaskan diri. Menerobos lewat dedaunan, dan masuk ke dalam ruangan. Kehangatan sudah menyelimuti seluruh ruangan.
Orang-orang dan pasien-pasien saling berjabatan tangan.
Betapa bahagianya Roy hari ini.
VII. NIGHTMARE Pabila cinta memanggilmu, ikutilah dia
Walau jalannya terjal berliku-liku.
Dan pabila sayapnya merangkummu, pasrahlah
serta menyerah, walau pedang yang tersembunyi di sela
sayap itu melukaimu.. -Kahlil Gibran SERANG di awal tahun sedang berbenah bagai remaja puber. Jalan-jalan yang berlubang mulai dilapisi aspal dan trotoar pun dirapikan menghiasi jalan. Angkutan kota kini mulai ramai memeriahkan jalan-jalan yang ruasnya sedikit, sehingga mang-mang becak mulai tersisih untuk mencari muatan. Mereka semakin morat-marit memikirkan bagaimana caranya agar dapur tetap berasap. Juga tentang sebuah plaza yang hampir selesai di tempat pasar lama. Sedangkan pasarnya sendiri dipindahkan ke pinggiran kota, untuk pelebaran wilayah, yang tadinya berupa pesawahan.
Serang memang sedang bersolek.
Tiang listrik sudah dipukul orang dua belas kali. Suaranya melengking hening memecah hawadingin hujan rintik-rintik. Bunyi hujan, tik tik tik..., begitu melodius ibarat denting harpa. Orang-orang semakin merapatkan selimutnya dan tidur mendengkur saja.
Remaja Roy sedari tadi memandangi mesin tik warisan almarhum papanya. Kertas-kertas yang diremasnya berserakan. Dia gelisah sekali, sehingga satu lembar saja tidak mampu dia wujudkan khayalannya.
Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi gedebuk di belakang rumahnya. Dia mengambil senter dan pemungan. Hati-hati dia mengendap ke belakang, mengintip lewat celah garden. Kalau orang jahat, mau tidak mau dia harus mempertahankan diri.
Dia membuka pintu pelan-pelan. Udara dingin menyergapnya. Dia merapatkan sarungnya. Disenternya seluruh halaman belakang rumahnya. Tidak terlihat adanya hal-hal yang mencurigakan.
Tapi ketika hidungnya mencium bau sesuatu, bulu kuduknya kontan berdiri. Terbayang di pikirannya hal-hal seram dan ganjil yang sering terjadi di sini. Semuanya bermula dari bau itu. Cepat-cepat dia mengunci pintu. Berlari tergopoh-gopoh. Diketuknya pintu kamar mamanya.
"Ada apa, Roy"" mamanya merapikan rambutnya yang kusut. Betapa cantik mamanya dalam kondisi alamiah itu. Hatinya pun sedikit terhibur.
"Nggak ada apa-apa, Ma."
"Ya, sudah. Tidur sana."
Wanita 40-an itu masih memandangi punggung anaknya yang kelihatan begitu ketakutan. Naluri seorang ibu yang sudah mengecap hidup hampir setengah abad itu, bisa meraba kemungkinan yang sedang terjadi pada anaknya.
Roy ke kamar mandi. Mengambil air wudhu. Lalu dia tepekur sujud di selembar sajadah bergambar pohon palem dan beberapa musafir yang berteduh dari teriknya matahari gurun.
Roy kini nyenyak dengan tidurnya.
Tiba-tiba dia melihat begitu banyak monyet bergelantungan di langit-langit kamarnya. Binatang-binatang menakutkan itu berlompatan. Menerjang dan mencakarnya. Lalu muncul ular-ular hitam, merayap, dan mengurung di sudut kamarnya. Lidah ular-ular itu menjulur menjilatinya.
Roy meronta-ronta. Berteriak dan meraung kesakitan.
"Roy, Roy!" mamanya mengguncang-guncang tubuhnya yang banjir keringat.
Roy tersentak bangun. N apasnya megap-megap. Dia meneliti seluruh isi kamar. Ke mana binatang-binatang jahanam itu" Dia cepat-cepat meminum segelas air putih yang disodorkan mamanya. Dia menenggaknya sekali teguk. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Kemudian membenamkan wajahnya ke pelukan mamanya.
"Mimpi buruk, Roy"" belai mamanya.
"Binatang-binatang itu, Ma," Roy ketakutan sekali. "Monyet, ular, dan kalajengking. Di kamar ini, Ma. Binatang-binatang itu seperti mau membunuh Roy." "Ah, itu kan bunga tidur saja, Roy." "Tapi seperti bukan mimpi, Ma. Mereka betul-betul ada." "Kamu terlalu banyak pikiran, Roy."
"Kita pulang, Ma."
"Pulang" Pulang ke mana"" mamanya tersenyum geli.
"Ke Bandung lagi, Ma."
"Kenapa kamu, Roy"" suaranya khawatir.
"Begitu sentimentil. Lagian di Bandung, kita tidak punya siapa-siapa." "Ada Opa-Oma, kan""
"Bukankah mereka sudah tidak mengakui kita lagi, Roy"" "Roy takut di sini, Ma."
"Sudah gede, kok takut" Katanya kepingin jadi seorang avonturir" Lagian takut apa, sih""
"Roy takut..., Mama percaya dengan ilmu hitam"
Suara azan subuh yang sekarang cukup dikasetkan saja sayup-sayup membelah angkasa, sedangkan bilalnya malah masih asyik mendengkur.
Orang-orang yang beriman dengan ikhlas menyingkapkan selimut, meninggalkan tidurnya yang belum lengkap.
"Berjamaah ke musola, sana!" kata mamanya. "Tenangkan pikiranmu."
Sejak kecil orang tuanya memang tidak mendidiknya untuk. mempercayai takhyul. Musyrik! kata orang tuanya. T api di sini" Dia begitu sering mendengar obrolan dari mulut ke mulut bahwa si anu kena teluh dan si anti juga kena pelet. Lalu debus! Di mana tubuh seseorang dihunjam benda-benda tajam, tapi segores pun tidak terluka!
*** Roy tampak begitu tergesa-gesa mengayuh sepeda balapnya. Ada yang melecut dan menyentak ke udara. Bunyinya "tar!" bagai celetar cemeti. Kerinduan!
"Wiwik!" suara Roy penuh getaran. Sorot matanya begitu berharap.
Gadis sensual itu menarik bibir bagian atasnya. Membuat lukisan yang tidak sedap dipandang. Betapa hancur perasaan Roy! Hatinya jadi merana bagai pangeran yang mengasingkan diri bertapa di rimba belantara, karena putri idamannya direbut para dewa.
"Wik!" geloranya sekali lagi tidak terkendali. Si sensual itu menoleh. Tersenyum dibuat-buat. Roy menyandar lemas di tembok. Orang-orang menertawakannya.
Roy menyeret lamunannya ke perpustakaan. Dia merasa tidak bergairah untuk mengikuti sisa pelajaran berikutnya. Apalagi matematika! Angka-angka yang dibolak-balikkan itu menyebalkan!
Dia duduk di sudut. Hanya duduk saja. Sorot matanya hampa melayang ke suatu tempat yang jauh, yang hanya bisa dijangkau olehnya saja. Penjaga perpustakaan sedari tadi menggelengkan kepalanya saja melihat murid bandel ini. Siapa tidak kenal dia" Yang jadi langganan dihukum di depan setiap upacara bendera hari Senin.
Bel ganti pelajaran berbunyi. Beberapa orang mulai keluar-masuk perpustakaan untuk mengembalikan buku. Tapi Roy masih tetap tidak bergeming di sudut, menikmati lamunannya. Kadangkala dia tersenyum kalau wajah si sensual itu mampir di benaknya.
"Heh, ngelamun!" suara Venus membuyarkan lamunannya.
"Oh, kamu," Roy gelagapan dan salah-tingkah. Tapi kembali dia asyik menerawang lagi. Kali ini lebih jauh, entah ke mana.
"How about Toni"" Ani duduk berhadapan. Dia tampak geregetan sekali melihat Roy tidak menggubrisnya. Dia memukul lengan Roy dengan pulpennya. "Roy!" katanya lagi agak keras.
"Oh, kamu," kata Roy seperti tadi, bahkan cenderung linglung. "Maaf, aku kira siapa," dia tersipu-ipu. "Apa katamu tadi, Ani"" "Toni, kabarnya bagaimana""
"Oh, Toni" Lumayan, ada kemajuan. Gairah hidupnya berkobar lagi. Mungkin dua atau tiga bulan lagi baru sembuh." "Kapan ke rumah lagi""
"Ke rumah siapa"" Roy betul-betul sudah linglung. Dia sudah tercerabut dari alam sadarnya. Ada sesuatu yang menyelimuti dan membutakan jiwanya.
Ani memperhatikannya dengan teliti. Dia bisa meraba perubahan aneh dan ganjil yang terjadi pada Roy. Ini gejala kurang beres!
"Bapakku nantang main catur lagi. Beliau ingin melunasi hutang partai terakhir
itu. "Besok malem ke rumah, ya! Jangan nggak, lho!" Ani langsung beranjak ta
npa meminta persetujuan Roy lebih dulu.
"Ani, aku..." Roy belum sempat melengkapi kalimatnya, karena Ani keburu berlari gembira ke luar.
Lalu dia membayangkan kejadian-kejadian semalam. Tentang bunyi gedebuk, bau kemenyan, dan mimpi menyeramkan itu. Pertanda apa ini"
Anehnya, kenapa sekarang dia jadi tergila-gila kepada si sensual itu" Kenapa tiba-tiba si sensual berubah bagai peri, penuh magnet dengan sinar keperakannya" Mengisap dan menyeretnya ke sebuah penantian yang misterius!
Kisah Cinta 3 Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut Kisah Si Rase Terbang 9

Cari Blog Ini