Ceritasilat Novel Online

Avonturir 2

Balada Si Roy 02 Avonturir Karya Gola Gong Bagian 2


"Hei, jangan pesimis, dong!" Sasha juga tertawa. "Oke, saya coba nanti!" Roy berteriak, "So long!"
Sasha hanya bisa melambaikan tangannya. Ya, so long, Roy! batinnya berbisik. Dia lama sekali memandangi lelaki yang merasa sudah gagah dengan setelan Levi's lusuhnya. Lelaki yang matanya kadangkala murung, tajam, dan nakal. Lelaki yang sukar ditebak apa maunya.
Kemudian dia mengunci pintu gerbang. Menutup gorden dan mematikan lampu. Di kamarnya, dia berdoa semoga bisa ketemu lagi dengan lelaki sableng itu, di dalam mimpinya.
Ya, semoga saja. VII. BEST FRIEND Sahabat sejati adalah orang yang mau mengerti kita di saat-saat yang sulit.
-pepatah lama *** Roy berlari-lari dengan gembiranya. Lalu di
a menahan laju larinya ketika menuruni turunan yang curam. Dia berdecak kagum begitu melihat orang-orang yang hidup di kursi roda, penuh semangat menaiki tanjakan itu.
Dia memandangi patung Dokter Soeharso yang tinggi menjulang, seorang yang berjasa besar bagi orang cacat di Indonesia, begitu akan memasuki gedung Rehabilitasi Centrum (masyarakat Solo biasa nyebut RC).
Sekali lagi dia memperhatikan sekeliling. Orang-orang cacat lalu-lalang di sini. Betapa tabah dan gembiranya mereka, batin Roy. Sebenarnya dia merasa risi dan bingung melihat begitu banyak orang cacat. Pernahkah kalian melihat orang cacat lebih dari satu, dua, tiga,... seratus, dalam waktu yang bersamaan" Bagaimana perasaan kalian"
Bagi masyarakat Solo tampaknya hal ini pengecualian. Mereka sudah terbiasa. Maka seharusnya berterimakasihlah orang-orang cacat kepada Dokter Soeharso dan masyarakat Solo, karena di kota inilah orang cacat dan non cacat bisa selaras hidup berdampingan. Bagaimana di kota lain" Atau di kota kalian"
Dengan diantar seorang petugas, Roy memasuki sebuah ruangan. Dia tersenyum begitu melihat Toni, sobatnya, dengan antusias berjalan tertatih-tatih. Dia berpegangan pada besi penyangga, mencoba kaki kirinya yang palsu. Roy sengaja tidak memanggil sobatnya, walaupun rindunya menggebu-gebu. Dia hanya memperhatikan saja, sambil sesekali hatinya berteriak, Ayo, Ton! Melangkah lebih cepat lagi! Cepat, Ton!
Begitu seorang petugas mengabarkan, Toni melihatnya dengan tidak percaya. "Roy!" serunya gembira.
Roy tersenyum lebar, Membuka kedua tangannya. .
"Sini, Roy!" dia menyuruhnya mendekat.
"Kamu yang ke sini," goda Roy. "Kalau bisa, gua traktir, deh!" .
Toni tersenyum kecut, "Jangan guyon, Roy!" tapi dia sudah melepaskan pegangannya. Semangatnya tampak begitu menggelora setelah kedatangan sobatnya, ketika masih sama-sama dengan kelompok mereka, RAT, tempo hari. "Oke, gua coba! Dan jangan lupa, bonusnya!" Dia tertawa riang.
Toni mulai melangkahkan kaki kanannya. Lalu yang kiri. Pelan-pelan dulu. Kelihatannya masih limbung. "Ah!" dia mengeluh kesal.
"Come on, Ton!" teriak Roy memberi support.
Dia sudah maju empat langkah, walaupun masih limbung dan tertatih-tatih. Instrukturnya memberi semangat juga dengan tepukan tangan. Roy ikut larut di dalamnya. T angannya terkepal. Gerahamnya beradu.
Roy berlari ke tengah ruangan. Berdiri berhadap-hadapan dengan sobatnya, "Ayo, Ton, ke sini!" serunya.
Toni meringis. Kira-kira tinggal empat langkah lagi, dia bisa memeluk sobatnya. Selangkah, dia tertawa kecut. Dua langkah, dia mengusap keringat di keningnya. Tiga langkah..., Toni mengulurkan kedua lengannya. Empat langkah...
Roy menyambutnya dengan sukacita.
"Yeaah!" mereka bersorak dan berpelukan.
"Apa kabar, Roy""
Roy malah memandangnya penuh haru.
"Gua nggak suka dipandangi begitu, Roy!" Toni meninju bahunya.
"Sori, Ton. Gua nggak bermaksud begitu. Gua cuman terharu ngeliat kamu jadi bersemangat lagi menghadapi hidup."
"Suratmu dua hari yang lalu gua terima. Kenapa kamu berhenti sekolah, Roy"" nadanya kecewa sekali.
"Sudahlah. Kita ketemu bukan untuk mempersoalkan sekolahku kan," enteng saja Roy menjawab.
"Kamu nggak berubah, Roy. Masih kacau!"
Roy tertawa, "Mungkin belum. Suatu saat, gua pasti akan nyampe ke sana. Tinggal nunggu waktu aja. Heh, mumpung masih muda, Ton!" dia merangkul pundak sobatnya. Membimbingnya ke luar ruangan. Duduk di halaman.
Lalu mereka bernostalgia tentang RAT, kelompok mereka tempo hari. Tentang sobat mereka almarhum, Andi. Tentang Borsalino yang keok ketika balapan ke Anyer.
Tentang RM, kelompok baru Roy. Dan tentang apa saja. Masyarakat Solo, misalnya. Atau tentang kalian juga.
"Gimana, Ton, kerasan di sini""
Toni merenung sebentar, "Di kota ini begitu banyak orang cacat, Roy. Nggak kehitung! Ke mana-mana selalu bergerombol. Kadangkala gua kebawa arus semacam itu.
"Di sini mereka bisa bebas berkeliaran tanpa dicemoohkan orang. Mereka bisa melampiaskan unek-uneknya. Mereka bisa berbuat apa saja. Bahkan suka ada yang lepas kontrol. Gua tahu itu kompensasi mereka, karena di kota asalnya -kampung halamannya, mereka suka diasingkan,
dikucilkan. "Lantas akhir-akhir ini, gua suka kikuk juga kalau bepergian sendiri.
"Gimana pendapatmu, Roy, kalau gue nerusin sekolah di sini""
Roy menyulut rokoknya. Toni mencomot sebatang.
"Gua khawatir kalau nanti kamu pulang, kembali ke kota asal, kembali hidup dalam lingkungan semula, justru malah tambah kikuk.
"Gua bukan bermaksud ngecilin orang cacat, Ton. Bukan! "Solo berbeda dengan kota yang lain. "Mengerti maksud gua, Ton""
Toni menarik napas, Dia menggaruk kepalanya. "Entah bagaimana perasaan masyarakat sini sesungguhnya terhadap orang cacat. Mereka kelihatannya seperti mengalah, Roy!"
"Jangan mikirin yang nggak-nggak, Ton. Tentang yang kamu omongin tadi, orang normal pun banyak yang melakukannya.
"Orang cacat, kalau dia mampu menjadi seorang Al Capone, kenapa tidak" Jadi Stevie Wonder atau Jose Feliciano, bukan masalah! Jadi apa saja, masa bodohlah, Ton!
"Kenapa kamu jadi pusing mikirin itu""
"Kamu belum pernah jadi orang cacat, Roy! Dulu, gua pun sama beranggapan seperti kamu tadi. Orang mau jungkir-balik kek, nungging kek, masa bodoh, bukan urusan gua!
"Tapi, sekarang gua berbeda, Roy. Baik secara fisik maupun psikis. "Orang normal kalau dia mencuri, paling diteriakin, 'Heh, maling, lu!' Tapi orang cacat"
Kalimatnya jadi nambah, 'Udah cacat, maling lagi! Nggak tahu diri!"
"Gimana pendapat kamu, Roy""
"Kamu mau jadi renaissance, Ton"" Roy tertawa kecil.
"Sedikitnya memberi mereka pengertian bahwa, kita ini-orang cacat-posisinya di bawah. Minoritas."
"Kamu jadi sensitif, Ton!" Roy mencabut rumput. Menggigitinya. "Gua nggak seneng ngedengernya. Kalau kamu lama-lama di sini, bisa hancur. Sebaiknya kamu cepat pulang, Ton.
"Percuma kamu ngomong banyak di sini. Siapa yang mau denger, Ton" Lain soal kalau kamu ini orang penting."
Toni menghela napas. "Ya, sebaiknya gua cepat pulang," pelan sekali suaranya.
"Tapi, bukan berarti lantas melupakan kawan-kawan senasib di sini, Ton. Setahap demi setahap, kamu harus memberikan pengertian kepada mereka. Terutama kawan-kawanmu yang nggak mau balik lagi ke kampung halamannya setelah datang ke sini.
"Katakan sama mereka bahwa, tenaga kamu lebih dibutuhkan di daerah kamu. Pulanglah. Tunjukkan kepada masyarakat bahwa, ilmu-ilmu yang diperoleh selama pendidikan di RC Solo, banyak manfaatnya.
"Buktikan kepada masyarakat, dengan ilmu-ilmu itu kalian bisa hidup mandiri. Setidaknya, imej bahwa 'orang cacat itu identik dengan rasa belaskasihan', jadi terhapus.
"Begitu kan maksudmu, Ton""
"Susah ya, Roy," nadanya pesimis. "Orang cacat adalah kelompok minoritas di sini. Dan orang-orang yang ingin maju di dalamnya juga minoritas.
"Ah, masa bodoh! Yang penting, gua nyelametin diri sendiri dulu, deh!" Toni tertawa kecut.
"Eh, ranselmu di mana""
"Gua titipin di warung. Kita makan, yuk!"
"Gua tahu restoran yang nyediain masakan Sunda. Kita ke sana! Dont't forget, you are the boss!" Toni tertawa. "Sekalian, gua mau ngelancarin kaki palsu sialan ini. Kamu harus mau menuntun gua, Roy!"
Dengan sabar dan telaten, Roy menuntun sobatnya. Kadangkala kalau Toni kecapekan dan merasa sakit pada lututnya akibat bergesekan dengan kaki palsunya, Roy tidak bosan-bosan memompa semangatnya.
"Bonusnya mesti ditambah, kalau gua bisa kuat jalan ke sana," Toni meringis menunjuk tanjakan itu.
"Otak kamu dari dulu komersil terus!" Roy meninju bahunya.
Dokter Soeharso sepertinya sengaja membuat jalan yang dimulai dengan tanjakan dan turunan untuk memasuki RC. Karena secara tidak langsung memberikan latihan kepada para penyandang cacat untuk terbiasa menghadapi rintangan. Kalian pernah membayangkan seorang yang duduk di kursi roda, yang dengan semangat mengayuh roda-rodanya menaiki sebuah tanjakan" Pernah melihatnya" Kalau belum, datanglah ke sini.
Mereka kemudian memutari kota Solo dengan becak. Sesekali mereka menyuiti cewek-cewek Solo yang cantik, gemulai, dan rada malu-malu. Mereka tampak puas dan bahagia sekali.
Ya, siapa yang tidak akan bahagia berkumpul lagi dengan seorang sahabat" Kita memang bisa bahagia dibelai oleh orang tua kita, dikecup oleh kekasih kita, dan diberi hadiah karena prestasi kita. Tapi,
perjumpaan dengan seorang sahabat pun bisa
membuat kita bahagia. Percaya, deh. Ini hukum alam.
*** "Kita ke lapangan, yuk!" Toni meraih kruknya. Celana jeansnya sebelah kirinya yang berkibar, ujungnya diselipkan di saku belakang.
Dia mengontrak kamar di sekitar RC. Banyak juga orang cacat yang mengontrak kamar di sekitar situ. Mereka berdatangan dari seluruh pelosok khatulistiwa. Beragam kepentingannya di sini. Ada yang kursus keterampilan, sehingga kalau selesai nanti, bisa kembali pulang ke daerahnya untuk mandiri. Ada yang hanya berobat. Dan bahkan yang sekadar piknik mencari kawan senasib pun ada.
Di lapangan rupanya sedang ada pertandingan atletik, di antara mereka sendiri. Mereka sedang diseleksi untuk mewakili daerahnya ke Pekan Olahraga Cacat se-Indonesia.
Di kota Solo inilah YPOC Pusat- Yayasan Pembina Olahraga Cacat, bermarkas. Sebuah wadah untuk menampung para olahragawan cacat yang berprestasi. Di mana mereka-mereka yang berprestasi dikirim ke event internasional di luar negeri. Dan karena mereka pulalah lagu kebangsaan Indonesia Raya sering dikumandangkan di negeri orang, seperti layaknya atlet-atlet non cacat kita.
Roy melihat seorang atlet amputasi kaki sedang melakukan ancang-ancang untuk meloncati mistar setinggi satu lima puluh. Gila! Batinnya keheranan. Bagaimana caranya dia bisa melompati mistar itu dengan satu kaki" Roy menantikan babak selanjutnya dengan berdebar-debar dan rasa ingin tahu.
Atlet itu membiarkan kruknya terjatuh ke tanah. Dia berdiri lurus bertumpu dengan satu kakinya. Berkonsentrasi. Berlari meloncat-loncat bagai gerakan seekor kanguru. Ketika selangkah lagi mendekati mistar, dia melakukan tolakan. Otot-otot kakinya begitu perkasa untuk menopang berat tubuhnya sehingga mampu melambung ke atas. Hup! Dengan lompatan seekor harimau, dia berhasil melewati mistar setinggi satu lima puluh itu. Ingat, satu lima puluh hanya dengan satu kaki!
Orang-orang bertepuk tangan. Roy pun secara refleks ikut bertepuk tangan. Dia berdecak kagum dan merasa terharu melihatnya.
"Dia andalan daerah sini. Sering dikirim ke luar negeri," Toni menerangkan. "Ya, cuman satu lima puluh. Tapi, apa kamu bisa, Roy, meloncati mistar setinggi itu hanya dengan satu kaki""
"Jangankan satu kaki. Dua kaki pun, gua nggak pernah bisa melewati mistar setinggi satu empat puluh."
Mereka tertawa. Lalu Roy melihat keajaiban lainnya lagi: Lomba lari! Mereka begitu cepat menggenjot tenaganya hanya dengan satu kaki. Tentunya itu hasil latihan dan kerja keras mereka. Ada satu atlet terjatuh di lintasan dua. Orang-orang malah menyoraki dan menertawakannya. Si atlet tampak berusaha bangkit dan mengejar ketinggalannya.
"Bisa nggak ya, Roy, kalau gua lari sprint hanya dengan satu kaki""
"Why not" Alah bisa karena biasa, Ton!" Roy menepuk pundak sobatnya. "Berapa tahun sekali, sih""
"Empat tahun sekali. Sama seperti PON."
"Nah, empat tahun mendatang, kamu mesti ngalahin mereka, Ton!"
"Kalau ada motocross aja," Toni tertawa.
"Maumu! Ntar yang kanan diamputasi lagi, tau rasa kamu!"
Ketawa Toni semakin keras, "Eh, besok gua mati ke Tawangmangu. Sama temen-temen nyarter Colt ke sana. Ikut, ya!"
Roy mengangguk. Sebenarnya dia pernah ke sana dulu, ketika masih bersama Spider. T api kali ini pasti berbeda. Piknik serombongan dengan orang cacat, tentu banyak hal menarik untuk bisa dipelajari nanti.
Nyatanya betul. Sepanjang perjalanan Roy banyak mendengar dari mereka. Mendengar keluhan dan semangat mereka. Terutama lelucon-lelucon mereka. Seperti,
"Kalau jalan tuh, yang bener, dong! Jalan sudah bagus-bagus dibikin pemerintah, eh, kamu malah merusaknya!" ledek yang tangan kirinya buntung kepada kawannya yang pincang. Tentunya kalau orang pincang berjalan, pasti dong, jalannya bergoyang-goyang, kayak truk masuk ke jalan kampung.
Lalu yang pincang itu membalas tidak mati kalah, "Ayo, salaman!" dia mengulurkan tangan kirinya. Maunya sih, bersalaman dengan tangan kiri kawannya yang buntung. Ya, jelas nggak bisa, dong!
Mereka tertawa sepanjang perjalanan.
"Roy, tebak ya! Berapa pasang kaki dan tangan di Colt ini" Semuanya ada dua belas orang!" kata T
oni cengar-cengir. "Dua puluh empat, dong!" enteng saja Roy menebak.
Toni tertawa ngakak. Semua yang ada di Colt juga ikut ngakak. Roy baru sadar bahwa, betul ada dua belas orang di dalam Colt. Tapi, kecuali dirinya dan sopir, yang sepuluh orang lainnya kondisi tubuhnya tidak utuh. Ada yang amputi kaki, dan amputi tangan. Roy pun jadi ikut-ikutan tertawa ngakak. Ada-ada saja.
Kereta api ekspres jurusan ke timur seperti biasanya berjejal. Orang-orang berdiri di setiap pintu, seperti tidak kapok dan risi dengan tragedi Bintaro. Yang penting buat mereka bisa sampai ke tujuan dengan membayar murah. Kereta api memang sebuah alternatif yang bagus buat orang kebanyakan, remaja-remaja yang doyan avonturir, dan jangan salah, banyak lho, turis-turis yang mengirit dolarnya dengan naik kereta api kita (turis kere kali!).
"Kamu nggak ada niat sekolah lagi, Roy" Tahun ajaran baru sebentar lagi."
"Mudah-mudahan gua bisa pulang. Bisa satu sekolah lagi sama kamu. Tentunya gua di swasta, Ton."
"Kenapa mudah-mudahan bisa, Roy""
"Biasanya gua suka kerasan kalau lagi avonturir," Roy tertawa. "Bulan depan jadi pulang" Tolong tengok Mama gua, ya! Ceritakan yang baik-baik saja tentang gua!" Peluit sudah dibunyikan. Roy memeluk Toni.
"Be careful, Roy!" Toni mencopot kalung yang berinisial namanya. "Biar kamu inget sama gua terus, Roy!" dia memakaikannya di leher sobatnya.
" So long!" Roy melompat ke atas kereta. Berimpit-impitan di pintu gerbong.
Avonturir jalanan itu melanjutkan perjalanan lagi. Menyandang ranselnya. Dia masih melambaikan tangannya. Toni juga. Di benak masing-masing, mereka selalu berharap akan tetap bersama selama-lamanya.
Semoga saja. VIII. TRILOGI 1 beribu jam kutinggalkan kotaku
ke seberang lautan, tenggelam ke dasarNya
terbang ke langit, berkunjung ke kerajaanNya
mendaki pegunungan, meraih bintang-bintang,
meraih bulan! sia-sia. ya, sia-sia. -Heri H Harris *** Roy baru saja melompat dari truk. Dia menepiskan debu yang melekat di sekujur tubuhnya. Dia membayangkan bau tubuhnya, karena sudah dua hari tidak mandi. Perjalanan dari Tengger tadi betul-betul melelahkan.
Uh, panasnya! Dia membuka kancing atas kemeja kotak-kotaknya. Menyandang ranselnya, mencari-cari warung nasi. Aha, di sudut terminal itu. Tempatnya teduh dan bisa memandang ke segala arah.
Roy memesan soto Madura. Makan dengan lahap sambil ikut nimbrung ngobrol ngalor-ngidul dengan orang-orang yang makan di situ. Lalu merokok dengan kenikmatan yang tiada taranya, sambil menawarkan rokoknya kepada orang-orang di situ.
Klak klik kluk! kameranya dibidikkan. Kebetulan tadi dia melihat ada orang terjatuh, ketika turun dari bis. Bahaya, tuh! Supir sekarang susah diatur. Maunya menang sendiri. Mengejar setoran, itu alasan mereka. Klise. Tapi, mesti bagaimana coba"
Hari gerah sekali. Tapi, di langit banyak awan lebat menggayut. Kelihatannya sebentar lagi mau hujan. Orang-orang di sekitar terminal pun mulai banyak yang pulang. Kendaraan kini juga jarang yang masuk ke terminal kecil ini.
Matahari entah sembunyi di mana. Jarum jam sudah berdetak ribuan kali. Hari bergulir semaunya. Dan rambut pun sudah gondrong tak beraturan. Lalu fajar di puncak gunung dan senja di pantai, adalah sobatnya yang lain.
Avonturir jalanan itu tidak peduli hari-hari begitu deras mengalir. Dia tidak menghitungnya. Dia biarkan bergulir saja, seperti dia biarkan blue jeansnya semakin lusuh dan tubuhnya bau jalanan. Bau alam. Bau kehidupan.
Bukunya sudah penuh oleh kejadian dan coretan sabat barunya, sambil tidak lupa menulis pesan: "Kalau singgah di kotaku, mampir ke rumah, ya.""
Angin menderu. Rintik-rintik mulai turun.
Roy membaca ada papan penunjuk penginapan. Semalam, dua ribu perak! Dia berpikir, apakah malam ini numpang tidur di pos polisi, di suatu tempat, atau malam ini pengecualian" Tubuhnya pegal-pegal dan gerah sekali. Dia ingin mengguyur tubuhnya dengan air, sepuas-puasnya. .
Baru saja Roy menyeberang jalan, hujan turun seperti dicurahkan. Dia buru-buru menuju emperan toko di depan terminal yang tampak sepi. Dia merapat ke tembok untuk menghindar dari hujan yang tiris tertiup angin. K
etika dia melirik ke sebelah kirinya, dia baru sadar kalau sejak tadi ada wanita muda yang kelelahan tengah, menggendong bayi mungilnya. Barang bawaannya, dua tas besar, menggeletak begitu saja. Yang punya seperti tidak peduli kalau koper-kopernya kecipratan air.
Roy menyapanya, "Mau ke mana, Mbak"" sambil menarik. koper-koper itu, meletakkannya di tempat yang aman.
Wanita muda itu kaget sekali. "Makasih, Dik," suaranya pelan, tidak ada gairah. Melihat ke bayi mungilnya yang meronta-ronta. Lalu tidak habis-habisnya dia menyapu pandang ke sekeliling. Kelihatannya dia sedang menunggu seseorang.
Diam-diam Roy meneliti wanita muda itu. Dan itu memang kesukaannya kalau melihat wanita cantik. Pernah dia berkelakar kepada sobat-sobatnya, "Kayaknya aku nggak bakalan bisa hidup deh, kalau sehari aja nggak ngelihat cewek cakep!" Coba, selebor nggak, tuh!
Paling-paling umur dua puluh tiga-an, bisik Roy. Kulitnya putih bersih. Terawat baik seperti umumnya gadis-gadis Jawa yang doyan merawat tubuh dengan minum jamu. Cantik wajahnya, tapi menyimpan beban hidup yang berkepanjangan. Dilihat dari dandanannya yang modis, wanita ini jelas bukan orang sini. Bukan wanita biasa-biasa. Tapi, kenapa dia terdampar di kota kecil ini" Ada apa" Mengapa"
Seorang wanita muda, bayi mungil, dan dua koper besar, tentu ada apa-apanya. Paling tidak, sebuah skenario sudah disusun dan para pemainnya tinggal menunggu aba-aha dari sutradara. Atau babak-babak awal sudah berlangsung"
"Sendirian, Mbak"" Roy bertanya lagi.
"Apa"" dia kebingungan. "Oh, ya, sendirian," keluhnya terembus lewat napasnya.
"Menunggu seseorang, Mbak""
Wanita itu tidak sempat menjawab, karena bayi mungilnya menangis. Dia menimang-nimangnya dengan penuh kasih-sayang. Bibirnya yang tipis bergerak melagukan sesuatu, sebuah tembang Jawa.
Hujan kembali rintik-rintik lagi. Roy beranjak meninggalkan tempat itu. Sejenak mereka berpandangan. Roy bisa menangkap sebersit sinar memohon di dalamnya.
Roy mengangguk, sambil tersenyum, "Mari, Mbak," katanya.
Hari hampir magrib. Roy bersuit, memanggil tukang becak. Sebelum naik ke becak, Roy masih sempat melihat wanita muda itu lagi. Sebetulnya ada rasa penasaran dan khawatir melihat kondisi wanita muda itu. Dia merasa prihatin sekali.
Menunggu siapa sih, dia" batinnya.
Roy menyebutkan nama penginapan. Tukang becak mesem-mesem mendengamya. Dia masih muda. Katanya, lulusan STM. Mau kerja, wuh, susahnya minta ampun! (Klise juga). Lho, apa narik becak bukan kerja, Mas" Maksudnya, yang, kantoran gitu, katanya tertawa.
Kemudian, "Tidak cari cewek, Dik""
Roy meringis mendengamya.
"Orang kapal atau turis, sering saya carikan cewek, Dik," katanya. "Kalau mau, nanti malam Adik saya jemput," dia menawarkan terus. "Lokalisasinya ada, Mas "" Roy iseng saja.
"Tidak ada, tuh. Kalau tempat mereka mangkal sih, ada. Di sekitar bioskop.
"Hidup sekarang memang sulit. Kalau tidak berusaha seperti begini, mengandalkan dari hasil menarik becak saja, wah, mau makan apa""
Ya, hidup memang sulit. Hidup adalah kompetisi, pertandingan. Kita tinggal menunggu apakah nanti keluar sebagai pemenang atau sebagai yang kalah" Apakah kalau kita kala, akan bangkit bertempur lagi, atau tenggelam seterusnya" Tapi, akankah kita keluar sebagai pemenangnya nanti, sementara di sekeliling kita banyak yang keluar sebagal pemenang bertanding terlebih dulu"
Roy mengguyur sekujur tubuhnya. Bau keringat dan debu jalanan larut di dalamnya. Aih, aih, sejuknya. Lalu dia bersujud. Memanjatkan doa-doa. Mensyukuri nikmatNya bahwa, sampai hari ini ia masih bisa menghirup udara bumi. Tuhan, itulah memang, yang kini selalu jadi pertanyaan dan jawabannya.
Ini malam Minggu. Roy bersiul-siul ke luar penginapan. Perutnya melilit. Dia menuju pusat keramaian kota. Ke tempat di mana biasanya laron-laron yang merubungi tempat terang, seperti halnya manusia pun begitu.
Di salah satu sudut keramaian kota, banyak mangkal warung-warung Tegal dan warung soto Madura. Pasar kaget, biasanya orang-orang mengatakan begitu.
"Cari cewek, Bos"!" seseorang menawarkan.
Roy tersenyum, tapi tidak menggubrisnya. Dia masuk ke sebuah war
ung soto Madura. Perutnya lebih penting. Kata dokter, kalau kita telat makan, suka cepat kena penyakit. Maag, misalnya. Makanya setiap waktu makan, Roy langsung tancap! Tidak ada nasi, roti pun jadi. Nggak ada roti, apa ya"
Setelah perutnya kenyang, dia menghampiri lelaki iseng tadi. "Berapa, Mas""
"Lima ribu," "Ada kamarnya""
"Nggak ada. Nyewa di losmen aja!" "Mana, ceweknya""
"Tuh!" dia menunjuk ke tiga orang cewek.
Ya, ampun! teriak Roy. Dandanannya menor dan norak. Bibimya tidak hentinya mengepulkan asap rokok. Hiih! Yang begini ditawarkan" Roy menggeleng.
"Mau yang cantik"" Dia mengerti juga. Lelaki berangasan ini disebut satpam, yang berarti menguasai dua-tiga orang perempuan. Dia dengan agresif menunjuk ke pintu sebuah tempat bilyar. Dia lalu minta rokok. Mulutnya bau alkohol murahan.
Dia memanggil perempuan itu. Yang ini tubuhnya memang sintal. Bahenol. Dengan jeans belel dan kaus kutung, jalannya sempoyongan. Wanita itu meminta rokok kepada Roy, sambil mengerling genit.
"Tapi kataku tidak, tidak!" gerutu Roy.
"Heh, mau cewek yang macem gimana, sih "" lelaki itu mulai kasar.
"Hei, sabar, Mas! Ini soal selera!"
Lelaki itu minta uang seribu perak. Katanya, buat beli anggur. "Sori, Gua lagi bokek!" Roy ngeloyor.
Dia menyusuri jalanan lagi. Lampu merkuri menyelimutinya. Bayangan tubuhnya mengekor saja. Prostitusi temyata sudah membudaya di mana-mana. Tidak peduli di kota besar ataupun kota kecil. Warisan leluhur dan sebuah sejarah yang tidak akan pemah mati dari generasi ke generasi. Mungkin suatu saat nanti, prostitusi akan ditawarkan seperti kita menerima seorang sales door to door yang menawar produknya.
Kalau betul begitu nanti, quo vadis"
Avonturir jalanan itu merasa, selama dalam perjalanan ini ada yang berkembang dalam jiwanya. Dia jadi banyak melihat dan mengalami. Rasa kesepian, kemiskinan, nasib, dan keberuntungan.
Belum lagi hilang kegelisahannya, di traffic light ada suara genit menyapa. "Mau ke mana, Dik""
"Nyari angin, Mbak," Roy menghampirinya.
Jiwa petualangnya selalu menyuruhnya untuk lebih merasuk ke dalam sebuah permasalahan.
"Nunggu saya ya, Mbak"" nakalnya kambuh. Dia memang iseng-iseng saja. Wanita itu tertawa genit. "Ada rokok""
Roy merogoh saku Levi'snya. Mencomot untuknya dulu sebatang. Lalu menyodorkannya. Zipponya menyala. Lalu mereka sama-sama mengisap rokok itu dengan nikmatnya. Mengembuskan asapnya secara bersamaan.
"Berapa, Mbak"" iseng-iseng Roy menawar.
"Sekali pake lima ribu. Semalam dua puluh!"
Oh, Gusti! teriak batinnya prihatin.
Traffic light sudah berulang-ulang berwarna merah, kuning, dan hijau. Lalu merah lagi, kuning lagi Hanya ada satu dua mobil melintas. Itu pun tidak peduli lagi, apakah lampu menyala merah, kuning, atau hijau.
"Apa tidak ada pekerjaan lain, Mbak""
Wanita itu tertawa dipaksakan. "Aku nggak butuh nasihat, Dik. Malam ini, malam selanjutnya, dan malam sebelumnya, yang aku butuhkan adalah: duit! Ya, duit! Dan pekerjaan inilah yang temyata lebih cepat mendatangkan duit.
"Kalianlah lelaki, yang sebenarnya menjerumuskan kami ke pekerjaan sesat ini! "Tapi, sudahlah! Bagaimana, mau""
Roy tertawa. "Sori deh Mbak. Saya baru tujuh belas tahun," dia berkelakar. Wanita itu juga. tertawa. Dia mencubit pipi Roy. "Kamu cah bagus!" katanya gemas. "Nggak baik kamu keluyuran macam begini. Nggak pantes buat kamu. "Pulang saja, sana," suruhnya tersenyum. "Makasih, Mbak. Saya pulang," Roy tertawa kecut. Lalu menyusuri jalanan kota lagi. Di bibimya terdengar senandung riang:
Roxane you don't have to put on the red light
those days are over you don't have to sell your body
to the night Roxane ...... Ketika Roy melewati terminal kota tadi, jiwanya berguncang! Ini sungguh tidak dimengertinya. Wanita muda, bayi mungil, dan dua koper besar itu masih membisu di sana. Persis seperti tadi.
Hati-hati Roy menghampirinya. Wanita muda itu memandangnya. Sorot matanya membersitkan pengharapan kepada Roy. Remaja bandel itu tersentuh hatinya. Tiba-tiba dia jadi ingat mamanya.
"Belum datang juga, Mbak""
Wanita muda itu tidak menjawab apa-apa. Sorot matanya betul-betul hampa. Mulai ada telaga beni
ng di sana. Dia melihat ke bayi mungilnya yang pulas tertidur. Merapatkan selimut bayinya.
"Sudah malam, Mbak. Sebaiknya ke penginapan saja."
Masih belum menjawab. Bibirnya yang tipis kelihatan bergetar menahan emosi. "Saya panggil becak, ya," Roy langsung memanggil tukang becak. Wanita muda itu tidak menolak.
Roy mengangkuti koper-kopernya. "Ayo, Mbak," dia menuntunnya. Lengannya dingin sekali. Roy menyuruh si tukang becak membawa wanita ini ke penginapan yang layak.
"Adik, mau ke mana"" suaranya mulai terdengar. Nadanya takut sekali. Roy bisa mengerti.
"Dik...," berhenti sebentar, "temani Mbak, ya." Memohon sekali suaranya.
"Saya tidur di losmen, Mbak."
"Mbak juga ke sana saja," pintanya.
"Losmen itu nggak pantas buat Mbak." Roy bingung juga.
"Mau tolong Mbak, Dik"" harapnya lagi.
Roy tidak mampu menerobos sorot matanya yang kelam. Yang tak bergairah. Hampa. Dan putus asa. Tanpa pikir panjang, dia langsung naik ke becak. Berdesak-desakan.
"Tampaknya Mbak ada kesulitan"" Wanita itu tidak bersuara lagi.
Kebetulan losmen murahan yang Roy tempati, kamar-kamarnya penuh semua. Lalu Roy membawanya ke kamar. "Di sini saja, Mbak," katanya.
Roy bersandar di tembok. Memperhatikan wanita cantik yang sedang membaringkan bayi mungilnya. Ketika bayinya menangis, tanpa sungkan-sungkan dia menyusuinya. Roy meringis menuju jendela. Memandang jalanan yang lengang.
Suasana kamar itu hening.
Kemudian ada isak-tangis.
Roy melihat wanita cantik itu menelungkupkan wajahnya. Dia bingung harus berbuat apa. Pelan-pelan dia menghampirinya. Duduk di sebelahnya. Menyentuh pundaknya. Merangkulnya. Ini dia lakukan karena perasaan iba. Perempuan, apalagi statusnya seorang ibu, haruslah kita lindungi dan kita hormati. Bukankah kita dikandung selama sembilan bulan oleh mereka"
"Mungkin besok, dia akan datang menjemput, Mbak," Roy menghiburnya.
Wanita itu tangisnya semakin menjadi-jadi. Dia membenamkan wajahnya ke pelukan Roy.
Perasaan remaja bandel itu ikut hanyut. Dia menggigit bibirnya. Menahan laju emosinya. Kini dia seperti mempunyai seorang saudara perempuan yang diidam-idamkannya.
"Tidurlah, Mbak." Roy melepaskan pelukannya. "Mbak capek sekali." Dia beranjak menuju pintu. Jalannya hati-hati, takut mengganggu tidur si mungil. "Mau ke mana, Dik"" isaknya masih kedengaran. "Saya tidur di luar, Mbak. Di depan pintu." "Di sini saja, Dik," katanya memohon.
Roy merasakan perasaannya. "Ya, Mbak. Saya tidur di bawah nanti."
Jarum jam sudah bergulir dari angka yang paling puncak. Mulai menelusuri pagi. Kokok ayam jantan yang pertama mulai kedengaran. Di luar hujan rintik-rintik memukuli bumi.
Roy masih bersandar di tembok. Memperhatikan anak-beranak itu. Apa yang sedang terjadi dengan mereka" Kenapa lagi-lagi mesti ketemu aku" Kenapa persoalan-persoalan selalu melibatkan aku di dalamnya"
Kenapa, Gusti" Dia menengadah.
IX. TRILOGI 2 ya, beribu mil beribu musim aku berjalan menyusur mata angin kujalin asa sebagai mata kupilin doa penawar duka demi sebuah peran"
-Rys Revolta *** ROY menggeliat. Sinar matahari menerobos dan menampar wajahnya. Rupanya seseorang sengaja membuka jendela kamar. Dia menyumpahinya karena hari begitu cepat bergulir dan matanya menyipit karena silau.
Tiba-tiba dia melompat kaget. Matanya menyapu seluruh ruangan. Cemas sekali. Dua koper besar itu masih di sudut. Tapi yang satu letaknya agak bergeser dan sudah dibuka. Selembar kain berwarna biru, tepatnya gaun wanita, menyembul. Dan pakaian bayi berserak begitu saja di lantai.
Wanita muda itu tidak ada.
Roy berteriak panik dan memburu ke luar. Tapi tidak menemukan siapa-siapa. Dia kembali ke kamarnya, mendapatkan bayi lelaki itu sedang bermain sendirian di tempat tidur.
Dia duduk di sisi pembaringan. Bayi itu mengulurkan tangannya dan tertawa lucu. Roy menyodorkan telunjuknya, membiarkan jari-jari mungil itu memeganginya. "Mamamu ke mana, Buyung"" tanya Roy gelisah.
Si kecil hanya tertawa kesenangan. Roy menggendongnya. Membawanya ke luar. Sehat dan menggemaskan sekali. Rupa-rupanya sudah dimandikan dan didandani oleh ibunya.
Kalau wanita muda itu mau kabur meninggalkan bayinya di si
ni, ini memang saat yang paling bagus. Hati Roy mengatakan begitu, tapi di sudut lainnya membisikkan tidak. Si kecil ini terlalu manis untuk disia-siakan. Wanita mana pun pasti akan bergetar melihatnya, dan pasti mau merawatnya. Apalagi pasangan yang telah bertahun-tahun menikah tapi belum juga mendapat keturunan, tidak akan berpikir dua kali untuk mengadopsinya.
Memang dia sering mendengar bahwa, di zaman komputer ini banyak bocah-bocah tidak berdosa jadi barang dagangan, atau ibu-ibu yang begitu tega meninggalkan bayinya di sembarang tempat. Bahkan yang sadis, membunuhnya selagi dalam kandungan.
Oh, betapa dungunya aku! Yang mau saja diperdayakan wanita sialan itu. Ke mana gerangan dia" Kalau aku mencarinya, apa yakin bakalan ketemu" Tapi mencari ke mana" Bagaimana kalau dia sekarang sudah di atas bis yang membawanya ke kota lain"
Bagaimana nih, Roy" Berbagai cara dia lakukan untuk membunuh kegelisahannya. Ada banyak pertanyaan di hatinya, tapi dia tidak bisa menjawabnya. Dan sekarang tampaknya dia malas bertanya-tanya lagi kepada Tuhannya: "Kenapa mesti melibatkan aku "" Karena kesendirian dan kesepian sudah jadi sahabatnya. Dia pasrahkan saja semuanya.
Kalau memang wanita sialan itu meninggalkan anaknya di sini, berarti sudah nasib si kecil ini. Apa boleh buat, Roy, kamu harus menanggung risikonya. Lapor ke polisi, kenapa! Atau lebih manusiawi, menitipkannya ke panti asuhan.
Roy berbaring lagi di lantai. Punggung remaja itu sudah terbiasa dengan alas keras seperti itu. Dia melirik si kecil, yang baru saja tertidur karena kecapekan menangis. Mungkin si kecil itu ingin susu ibunya tadi.
Roy pun tertidur kelelahan.
*** Wanita muda itu sedari tadi memperhatikan tubuh remaja yang tergolek pulas di lantai. Tubuh itu bagus sekali. Ketampanannya tidak bisa disembunyikan, walaupun pakaiannya lusuh dan kotor berdebu. Napas remaja itu turun naik berirama. Keringat tampak bergulir di keningnya. Mungkin kegerahan. Cuaca di sini memang panas sekali.
Dia berjongkok. Mengusap keringat itu dengan sapu tangannya.
Pelan-pelan Roy membuka kelopak matanya. Dia melihat wanita muda itu tersenyum dan beranjak ke pembaringan. Duduk di sana, memperhatikan bayi mungilnya yang masih pulas.
"Saya yakin Mbak akan kembali," kata Roy lega.
Wanita itu tersenyum, tapi terasa dipaksakan, dan getir. "Nama saya Roy, Mbak."


Balada Si Roy 02 Avonturir Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wanita itu mengangguk, "Kamu baik sekali, Roy." "Mbak sedang menunggu siapa""
Tiba-tiba sorot mata wanita itu berubah murung. Di dalamnya tersembunyi riak-riak, bahkan gelombang dahsyat yang menggempur kehidupannya.
Hening sesaat. Kain garden jendela melambai-lambai disambar angin sore.
"Sebaiknya saya pergi saja, Mbak," Roy tampak jengkel sekali, karena dari mulut nyonya muda ini, sepatah kata pun tidak terdengar. "Maafkan kalau saya terlalu mencampuri urusan Mbak," kata Roy lagi.
Mereka berpandangan. Roy bisa merasakan ada sesuatu yang menyuruhnya untuk tetap tinggal menemaninya. Sorot mata itu mengandung percik-percik yang mesti dikumpulkan menjadi sebuah nyala lampu.
"Kamu betul mau pergi, Roy"!" kalimatnya cemas sekali.
"Tergantung, Mbak. Saya tahu, Mbak sedang dalam kesulitan. Tapi kalau Mbak tetap merahasiakannya, saya tidak bisa membantu apa-apa," kata Roy sambil mengemasi ranselnya.
Wajah wanita dua puluh tiga-an itu dibenamkan di sela lututnya. Menangis terisak-isak. Ah, selalu saja begitu akhirnya. Ini memang senjata ampuh (paling ampuh), yang dimiliki wanita sejak dulu.
Roy duduk di sebelahnya. "Mbak boleh saja tidak mempercayai saya. Tapi, sungguh Mbak, saya hanya hidup berdua dengan mama saya, dan saya tidak mempunyai saudara perempuan." Suara Roy serius sekali.
Wanita itu masih tenggelam dalam kesedihannya.
"Mbak," kala Roy menerangkan. "Sekarang Mbak bisa mempercayai saya"" "Dia permataku satu-satunya," isaknya, memandang si kecil, pujaannya hatinya. "Anak Mbak ganteng. Tentu Bapaknya juga gagah," ledek Roy mengalihkan suasana.
Wanita muda itu, Nuni namanya, tersenyum hambar. "Bapaknya memang gagah, tapi, dia jahat!" Tanpa disuruh, dia membongkar sendiri rahasia penderitaannya. "Mbak menunggu dia""
"Kami berjanji akan bertemu di terminal kemarin," isaknya belum juga hilang. "Dia akan menjemput Mbak di sana, tapi... "
"Dia tidak datang," Roy menyambung kalimatnya.
Sedikit demi sedikit, dia membongkar perasaannya. Dia ingin dadanya yang sesak jadi lega. Jadi lapang. Dan dia merasa remaja ini bisa dipercaya dan diajak membantu memecahkan persoalannya.
"Seharian tadi Mbak menunggu dia lagi di terminal," ceritanya.
Roy menyulut rokoknya. "Yang datang ternyata dua orang pesuruhnya. Mereka meminta anakku, permataku satu-satunya. Oh!" dia kembali berkubang dengan ratapannya.
Memilukan. Roy hanya mendengarkan dan menggigit-gigit bibir saja.
"Mereka menawarkan dengan nilai uang, agar Mbak meninggalkan kota ini, dan anakku diserahkan kepada mereka.
"Ternyata dia pengkhianat! Pengecut! Lelaki di mana-mana sama saja. Selalu menjadikan wanita itu objeknya!" Ada rasa benci dan menyudutkan di dalam kalimatnya-terhadap kaum lelaki.
"Aku mengenalnya ketika sama-sama kuliah di Yogya. Dia arek Surabaya. Kebetulan dia kos di sebelah rumahku. Kami langsung akrab. Bahkan saling mencintai.
"Dia anak seorang pengusaha sukses. Itu tercermin dari penampilannya. Aku terbuai oleh hadiah-hadiahnya, janji-janji muluknya." Sampai di sini berhenti dulu. Matanya menerawang ke langit-langit kamar. Hampa sekali.
"Teruskan, Mbak," kata Roy menyulut lagi rokoknya yang kesekian.
"Aku memang sudah dijodohkan oleh orang tuaku. Mereka jelas menentang hubungan kami.
"Aku memang dilahirkan di dalam budaya di mana seorang anak harus manut saja apa kata orang tua. Kakak-kakakku semua sudah pada menikah dengan jodoh pilihan orang tua. Yang aku lihat, mereka begitu bahagia sekali, dan merasa sudah bisa membalas budi kepada orang tua.
"Tapi, apakah aku tidak boleh memilih jodohku sendiri"" Pernyataan ini memang sudah klise untuk zaman sekarang. Tapi kadangkala masih layak dipertanyakan lagi.
"Kami lupa dan nekat waktu itu, karena menurut kami sudah tidak ada jalan lain lagi. Yang jelas, kami memang sedang dimabuk asmara. Terlalu asyik dengan cinta kami.
"Sampai suatu ketika..., oh!" tangisnya kambuh lagi.
Roy berdiri. Dia merasa kikuk juga. Dia merasa jiwanya belum siap untuk menghadapi persoalan serius semacam ini. Dia baru tujuh belas tahun. Dia hanya seorang remaja yang sedang dalam masa puber. Yang sedang dalam masa pencarian identitas, seperti layaknya remaja-remaja lain. Seperti layaknya kalian juga.
"Kamu masih mau mendengarkan cerita Mbak, Roy""
"Masih, Mbak. Teruskan saja." Dia berjalan menuju jendela. Memandang suasana sore yang lengang. Abang-abang becak yang mangkal bermalas-malasan di sudut jalan, menambah lengangnya suasana.
Cari penumpang sekarang memang susah, karena sudah banyak orang yang punya kendaraan pribadi. Mereka lebih senang terjebak dalam kemacetan daripada berdesak-desakan naik angkutan umum. Padahal, kalau saja mereka mau memanfaatkan jasa angkutan umum, berarti mereka ikut mengurangi tingkat polusi sekian persen. Bagaimana menurut kalian"
"Kami memang sudah melangkah terlalu jauh," isaknya.
"Dan Mbak hamil," Roy sudah bisa menebak ke mana arahnya.
"Ya, Mbak hamil," dia mengiyakan. "Karena dengan cara itulah, kami bisa mendobrak tradisi keluarga. Aku tahu ini salah. Tapi aku tidak peduli.
"Kami menikah. Lalu suamiku mengontrak sebuah rumah, karena dirasakannya keluargaku masih memusuhi kami. Itu berlangsung terns sampai sekarang. Tadinya kami pikir, setelah kami mempunyai anak, keluargaku akan menerima kami. Nyatanya
tidak." Suara tangis si kecil menyita perhatian. Nuni, wanita muda itu, yang menderita lahir batin, menggendong anaknya. Tanpa sungkan-sungkan, dia membuka kancing atas gaunnya. Menyusui anaknya.
Roy melengos. "Suamiku tidak tahan dengan situasi semacam itu," dia bercerita lagi sambil menyusui anaknya.
"Dari hari ke hari, kerjanya keluyuran melulu. Marah-marah melulu. Kuliahnya mulai berantakan.
"Akhirnya dia mengkambinghitamkan keluargaku. Puncak kemarahannya, dia pulang ke Surabaya. Sebulan aku ditinggal sendirian. Dibiarkan menelan penderitaan sendirian.
"Lalu suratnya muncul. Dia menyuruhku datang ke kota ini. Dia mengusulkan agar kami
menetap di kota ini. Orang tuanya yang kaya, kata suamiku, membelikan kami sebuah rumah di sini.
"Dia berjanji akan menjemputku di depan terminal kemarin, seperti yang dikatakannya di dalam surat itu.
"Ya... , aku tinggalkan Yogya. Aku tinggalkan orang-orang yang aku cintai di sana," kalimatnya terputus. Rupanya si kecil dalam gendongannya sudah tertidur lagi. Hati-hati dia membaringkannya. Menyelimutinya. Lalu memandanginya lama-lama, seolah-olah permata hatinya akan ditelan bumi.
Dia menggigiti bibirnya. Entah apa yang sedang berkecamuk di dadanya. Yang jelas, begitu sentimentil. Seperti dalam film-film drama rumah tangga saja.
"Kemarin, seperti yang kamu lihat, Roy, seharian Mbak menunggu di depan terminal.
"Nyatanya"" kata yang terakhir ini datar-datar saja. Bahkan tanpa semangat. Dia sudah pasrah kelihatannya. Sudah tidak mengimpikan lagi sebuah rumah dan sebuah keluarga yang harmonis.
"Sekarang, seenaknya saja dia meminta anakku lewat pesuruh-pesuruh kampungan itu!" tiba-tiba amarahnya meletup. Tiba-tiba ketegarannya melawan hidup bangkit.
"Roy," katanya pasti. Dia seperti bukan wanita muda yang rapuh, yang baru saja dilihat Roy dan dikenalnya tadi. Wanita muda ini betul-betul sudah berubah.
"Ya, Mbak""
"Antar Mbak ke terminal, ya!" kalimatnya semakin pasti.
Roy mengangguk. "Mbak mau pulang ke Yogya""
Dia tidak menjawab. Tapi bergegas membereskan koper-kopernya.
"Sekalian chechk out saja." Roy pun mengemasi ranselnya.
"Tapi, Roy...," tiba-tiba dia berubah cemas .lagi. Dia berlari ke jendela. Mengintip lewat gorden. "Oh!" pekiknya.
Roy ikut mengintip juga. Dia melihat dua lelaki yang, memang, sejak tadi berdiri di seberang jalan.
Mereka sejak tadi mengamat-amati losmen.
"Siapa mereka, Mbak""
"Oh!" gelisahnya. "Mereka sengaja menguntitku, Roy! Untuk merebut anakku!" Dia meraung-raung lagi.
"Lapor polisi saja, Mbak"" Roy mengusulkan. "Jangan, Roy! Nanti bakalan runyam!" "Sekarang pun sudah runyam, Mbak."
"Aduh, bagaimana nih, Roy"" Dia berlari ke pembaringan. Memeluk permata hatinya. Si kecil menangis, karena tidur pulasnya terganggu. "Apa mereka sudah tahu tentang saya, Mbak""
"Ya. Mereka melihatmu juga kemarin, Roy." Remaja bandel itu mengeluh. Menyulut rokoknya buru-buru. Dia mengintip lagi, memperhatikan kedua orang yang bertampang kasar itu.
Runyam! Semuanya runyam! pekik hatinya. Apa yang mesti aku lakukan sekarang"
"Kita tunggu sampai magrib saja," usul Roy.
Hari mulai meredup. Kanvas raksasa mulai dipulas warna abu-abu. Wama kegelapan, yang semakin merayapi bumi. Seperti dipulas oleh kuas raksasa.
Azan magrib menari-nari di angkasa. Tapi dua orang itu masih berdiri mengamat-amati di seberang jalan. Cahaya lampu merkuri yang remang-remang, melindungi bayangan mereka.
Roy bersandar di tembok. Napasnya berdetak keras, seolah ikut berpacu dengan waktu. Hatinya tidak keruan. Ada ombak menggulung, topan menderu, dan bahkan teriakan kawan-kawannya, kalian juga, yang mencemoohkan kelakuannya. Ya, dia kebingungan harus melakukan apa, karena dia bukanlah seorang jenius yang bisa mengatur strategi dalam persoalan rumah tangga orang. Tapi, dia sudah terlanjur menceburkan diri. Sudah kepalang basah, kata pepatah.
Makanya, jangan sok jagoan, Roy!
Nuni, wanita dua puluh tiga-an itu, tergolek tidak berdaya memeluk permata hatinya. Isak-tangisnya yang semakin melemah begitu menyayat hati orang yang mendengarnya. Kalian juga pasti begitu, kalau ada di sana.
Hari semakin gelap. Dan dua orang yang mengintai di seberang jalan itu tidak ada lagi di tempatnya.
Ke mana gerangan mereka"
X. TRILOGI 3 di bumi kedap suara begini mau bilang apa" kata-kata terucap hampa atau sembunyi di batik kalbu ah, ingin aku tak acuh tapi kupingku malah jadi sakit aku meronta alam kebisingan diri
-Rys Revolta *** SI BANDEL terlonjak kaget dari lamunannya. Dia memandang ke pintu deng.an cemas. Seolah-olah ada yang menakutkan di sana. Dengan bersijingkat dia menuju pintu.
Gedoran di pintu terdengar lagi.
"Gimana, Roy"" Nuni memeluk permata hatinya dengan gelisah.
"Sssst!" Roy menempelkan telunjuk ke bibirnya.
Si kecil tiba-tiba menangis. Nuni kelabaka
n dibuatnya. Gedoran tambah keras lagi, sehingga pintu yang terbuat dari triplek seperti mau jebol saja. Orang-orang yang sedang asyik tidur di kamarnya malam itu hanya sempat menggeliat lalu meneruskan tidur lagi. Ada memang yang memasang telinga lebar-lebar atau bertanya-tanya: Ada apa" Hanya sebatas itu saja. Mereka mikir-mikir dulu kalau mesti ikut campur-tangan.
"Buka saja, Roy," Nuni pasrah sekali. Dia berdiri, membaringkan si kecil, yang tampak begitu gembira. Tangannya yang mungil bergerak-gerak. Menggemaskan bagi yang melihatnya.
Ah, tegakah kita melukai si kecil yang belum tahu apa-apa"
Baru saja Roy membuka kuncinya, kedua orang yang memata-matai tadi mendorongnya dengan kasar. Roy kecut sekali terpelanting. Pintu mereka tutup lagi.
"Ada apa lagi, heh"" berani sekali Nuni menghardik mereka.
"Tuan Bambang tetap pada tawaran semula," kata yang berkumis.
"Aku nggak peduli Tuan Bambang! Mana Tono, suamiku" Apa katanya tentang nasibku ini" Istrinya"!"
Rupanya Tuan Bambang, ayah suami Nuni, yang memegang peranan dalam kemelut rumah tangga ini. Tapi, mana Tono" Kenapa dia tidak muncul"
"Apakah Tono, suamiku, disekap ayahnya" Sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa" Atau dia pura-pura bego saja, dengan apa yang telah dilakukan ayahnya terhadap istrinya"
"Kalau mereka sama gilanya, bilang sama mereka, aku juga tetap pada pendirian semula!" napasnya turun naik saking emosi. Dia bertolak-pinggang menghadapi kacung-kacung itu.
"Nyonya!" si kumis menyerobot. Tapi kawannya yang lebih kalem menahannya.
"Maafkan kami, Nyonya. Kami hanya pesuruh. Kami paling tidak suka bertindak kasar kepada wanita. Karena itu, janganlah Nyonya mempersulit diri," katanya tenang sekali.
"Bagus itu!" Nuni tertawa hambar.
"Jadi, Nyonya setuju"" dia merogoh saku celananya. Sebuah amplop yang tebal isinya, ada di genggamannya. "Bagaimana, Nyonya"" amplop itu disodorkannya. "Siapa yang bilang aku setuju"" Nuni berang sekali.
"Ayolah, Nyonya! Jangan berbelit-belit begitu!" si kumis tambah sewot. Dia memang gampang bertindak kasar, kalau pekerjaannya dihalang-halangi orang. Roy memandang iba kepada nyonya muda itu.
"Apa Mas-mas tega, melihat seorang ibu yang kehilangan anaknya, karena dipaksa"" Roy mulai ikut campur ke dalam persoalan mereka.
"Diam!" si kumis membentak. "Kamu cah cilik, tahu apa heh"!" Roy tersenyum, "Saya, tahu apa"" pancingnya.
"Bukankah Mas disuruh Tuan Bambang, ayahnya suami Nyonya ini, untuk mengambil anaknya dengan ditukar beberapa lembar uang" "Bukan begitu"
"Ini pemaksaan, Mas! Kalau kami lapor polisi, Mas-mas bisa ditangkap! Dipenjara!" Roy mulai sok tahu.
Si bandel memang paling tidak bisa berdiam diri kalau ada ketidakadilan di depannya. lni bukannya sok jagoan. Bukan. Ini, mungkin, terdorong oleh sifat petualangannya, rasa keingintahuannya.
"Kurang ajar!" tangan si kumis sudah menampar wajah Roy. Tapi dengan gesit, Roy berkelit ke samping. "Melawan, ya"!" dengan geram si kumis menyerbu.
"Sabar, Man!" kawannya mencekalnya. "Tahan emosimu, kenapa"!"
"Aku muak dengan pekerjaan ini, Dro! Cepat bereskan!"
"Ya, ini sedang aku bereskan!" hardik Hendro.
"Kerjamu lambat!" Leman mengumpat kesal.
Mereka mulai tidak kompak dan bersitegang.
"Sebetulnya pekerjaan ini bertentangan dengan nurani Mas-mas sendiri, kan"" Roy menyindir mereka.
"Kataku, diam!" Leman sudah tidak bisa mengendalikan emosinya. Dia menghajar si bandel tanpa ampun.
Roy tersungkur. Dia mengerang. Meradang. Darah remaja dan naluri berkelahinya naik ke ubun-ubun. Dia sadar bahwa, si kumis ini memang bukan lawan yang sepadan. Tapi sebuah perlawanan harus diberikan, agar dia tidak menjadi bulan-bulanan. Tidak jadi kaum yang tertindas, di mana si lemah selalu harus kalah oleh si kuat.
"Nekat juga ini anak!" Leman mendesaknya ke tembok.
"Sudah, Man!" Hendro melerai. Dia iba juga melihat remaja nekat yang babak-belur ini.
Nuni hanya berteriak-teriak sambil menggendong si kecil.
"Mau lagi"!" Leman mengasongkan tinjunya dengan gemas. Lalu melepaskan cekalannya, sambil membalikkan badan.
Dasar si Roy memangbandel dan nekat. Ketika si kumis membalik badan tadi, dia melayangkan
tinjunya ke wajah si kumis brengsek. Sekuat tenaga dia melakukannya. Lengkap dengan amarahnya.
Yang terjadi kemudian, Leman tersungkur. Bibimya pecah berdarah. Dia mengerang geram, dan matanya nyalang dibokong begitu. Dia langsung hendak menerjang.
Hendro buru-buru menahannya. "Biar aku beresi, Le!" dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Nuni menggigit bibir. Dia mundur dua tindak, sambil mendekap erat-erat bayi mungilnya.
"Diam di situ, Mas!" hardik Roy geram.
Suaranya menggelegar, membuat semua t:erkesima, terpaku pada tempatnya. Teriakan Roy tadi bagai halilintar. Ada kekuatan dahsyat di dalamnya. "Aku tidak takut mati, Mas!" dia sudah nekat sekali.
"Sudah, sudah, Roy!" teriak Nuni melindunginya. Si kecil dalam gendongannya menangis meronta-ronta. "Maafkan Mbak sudah menyusahkan kamu, Roy." Tangisnya ikut meledak.
"Kita bicarakan baik-baik, Nyonya," Hendro menenangkan suasana.
"Kalian tega memukuli dia!" Nuni menuding mereka dengan berang.. "Di mana rasa manusiawi kalian, heh"
"Serahkanlah anak Nyonya pada kami. Kakek-neneknya akan mengurusnya baik-baik. Dia akan menjadi seorang cucu yang disayang oleh mereka," Hendro mencoba memegang kepala si kecil, tapi Nuni menghindar.
"Kasihan suami Nyonya. Dia juga sama menderitanya seperti Nyonya. Orang tuanya tidak setuju kalau dia kawin dengan Nyonya. Karena itu, jalan keluar yang terbaik, ya... seperti inilah, Nyonya," Hendro berbicara lagi.
"Tidak! Kataku tidak, tidak!" teriak Nuni terisak-isak. "Katakan pada mereka pada suamiku. Uang boleh melimpah mereka punyai! Berapa pun mereka tawarkan padaku, aku tetap pada pendirianku semula!
"Akan aku urus sendiri anak ini!"
"Apa Nyonya tidak kasihan kepada orang kecil semacam kami" Yang kalau tidak menjalankan perintah majikannya berarti akan kehilangan pekerjaannya"" Hendro melemparkan persoalannya sebagai orang kebariyakan.
"Aku lebih baik memilih dipecat, Mas, daripada memilih pekerjaan kotor begini," Roy ikut campur lagi.
"Aku tidak bicara sama kamu, Dik," tegur Hendro.
"Anak ini sok pintar!" Leman semakin berang mendengarnya. Sepertinya dia ingin menerkam si bandel.
"Tono, suamiku, mana dia""
"Dia tidak bisa berbuat apa-apa, Nyonya. Dia lelaki pengecut! Yang tidak berani menghadapi kenyataan!" Hendro memaki kesal. "Kalau dia ikuti pendirian Nyonya, dia takut akan kehilangan segala-galanya.
"Kehilangan keluarga dan harta warisannya!" sinis sekali suara Hendro barusan.
Kemudian Hendro mendekati Nuni. Berusaha membujuknya agar mau menyerahkan bayinya. Nuni mempertahankannya sambil meronta dan berteriak-teriak. Hendro tampaknya sudah kehilangan kesabarannya. Tadi dia sudah dengan cara halus tidak berhasil. Apa boleh buat, kini dia mulai dengan cara kasar.
Roy buru-buru mencegahnya. Tapi Leman mencegahnya. Menghadangnya. Roy melawan. Mereka bergumul. Beberapa pukulan si kumis itu melayang ke arahnya. Pada mulanya Roy masih bisa menangkis dan membalas dengan pukulan serta tendangannya. Tapi akhirnya, dia jadi bulan-bulanan.
Si bandel terbentur ke tembok. Tiba-tiba, akhirnya, dia merasa ada awan hitam menggayut di pelupuk matanya. Semuanya jadi berubah gelap. Berputar-putar. Dia terhuyung-huyung. Dan jatuh tergeletak.
Nuni histeris melihatnya, dan hanya bisa menyesali nasib.
*** Hujan kelihatan ganas mengguyur bumi malam itu. Suara halilintar melengkapi malam yang menyedihkan itu. Satwa-satwa liar pun menggigil kedinginan di tempat persembunyiannya.
Di sebuah hutan kecil, di !uar kota, ada sesosok tubuh tergeletak. Rata. Tldak bergerak. Basah kuyup menyatu dengan lumpur. Ada sebuah ransel tergolek menemani tubuh itu.
Roy" Roy! Masih hidupkah dia" Hei, lihat! lihatlah! Tangan itu bergerak! Mulai meremasi lumpur. Dan, oh! Matanya terbuka perlahan. Kepalanya yang terbenam di lumpur terangkat pelan-pelan. Dia mencoba bangkit, Kawan! Tapi, aduh, tersungkur lagi. Dia berusaha bangkit lagi. Tangan kanannya jadi tumpuan berat tubuhnya.
Ayo, Roy, bangkitlah! Ayo!
Suara gelegar halilintar menyentakkannya. "Hei," gumamnya perih. "Ada di mana aku""
Dia memandang ke sekeliling yang gelap gulita. Dia mencoba. duduk dengan susah-payah. Sekujur tubu
hnya terasa nyeri dan linu. Dia menggigil kedinginan. Bibirnya biru gemetar.
Terhuyung-huyung dia menyeret ranselnya.
Suasana mencekam mendera jiwanya. Beberapa kali dia terpeleset, terjerembap, dan mencium lumpur lagi. Tapi dia terus menerobos hujan dan semak-belukar, untuk mencari setitik nyala lilin.
Seseorang yang ingin mencapai tujuan dalam pergulatan hidupnya, bukan berarti dia tidak pernah jatuh. Akan tetapi, dia berusaha untuk bangkit berdiri lagi setelah jatuh. Ya, begitulah seharusnya kita melihat hidup yang serba keras dan kompetitif ini. Kalian pun, Kawan, harus begitu.
Roy berhasil mencapai jalan raya. Dia tersungkur kelelahan di pinggirnya. Dia belum berusaha berdiri, karena dadanya terasa sesak. Mulutnya megap-megap. Tubuhnya semakin menggigil dan bibirnya gemetar kebiru-biruan. Pucat-pasi. Tangannya beberapa kali mengusap air yang membasahi wajahnya.
Penderitaan jelas tergambar di wajahnya. Tapi sinar matanya memancarkan kemauan untuk terus hidup. Itulah: semangat! Yang harus tetap kita miliki. Selagi kita masih punya semangat, Kawan, janganlah takut bersaing untuk kalah melawan hidup. Harus kita camkan itu, Kawan.
Dari kejauhan, dia melihat sorot lampu menembus curah hujan yang rapat. Buru-buru dia bangkit. Melambaikan tangannya. Tapi, oh! Kendaraan sialan itu melaju terns. Tidak manusiawi! Air bercipratan menampar jiwanya.
Roy menggerutu kecewa. Tapi dia tetap mempertahankan nyala kecil api di hatinya, agar tidak padam. Dia mencoba melangkah. Tapi, harus mengambil langkah ke arah mana" Sementara langit yang menjadi patokan sedang mendung kelabu, dan jiwa yang biasanya diajak kompromi pun gundah-gulana.
Beberapa kali mobil melintas mencipratkan genangan air, dan beberapa kali pula dia sia-sia menyetopnya. Kelihatannya sopir-sopir sekarang ketakutan untuk mengangkut muatan di tengah jalan dalam cuaca buruk seperti itu.
Dia mendengar lagi suara mesin menderu di belakangnya. Truk itu melindas genangan air. Roy berusaha menepi. Saat itu dia tidak ada niat untuk menyetopnya, karena itu pasti akan sia-sia juga. Tapi, sekitar sepuluh meteran, truk itu berhenti mendadak. Suara remnya yang berderit tertelan bunyi gemuruh hujan. Truk itu mundur dan berhenti di depannya.
Pintu depannya terbuka. "Cepat, naik!" terdengar suara orang.
Suara itu menyulut semangat Roy yang mulai mengecil. Dia menyerahkan ranselnya. Mengulurkan tangannya. Tubuhnya ditarik ke atas. Dia masih lemah sekali. Ada dua orang di dalam truk itu. Sopir dan keneknya. Mereka memperhatikan Roy dengan prihatin dan keheranan.
"Ada rokok, Pak"" tanpa malu-malu dia meminta.
Tubuhnya semakin menggigil. Dia berharap, semoga dengan sebatang rokok, bisa mengusir rasa dingin yang menusuki tulang-tulangnya.
Si kenek menyodorkan sebungkus filter. Roy dengan gembira mencomotnya sebatang. Tangannya masih gemetar ketika hendak menyalakan Zipponya. Si kenek buru-buru menyalakan korek apinya. Roy terbatuk-batuk mengisapnya.
"Mau ke mana, Pak"" Roy semakin menggigil. Suaranya pelan sekali. Dia mengisap rokoknya terus-terusan.
"Ke timur," kata si sopir.
Roy menghela napas. Mengisap rokoknya dengan nikmat. Dadanya terasa lapang. Hangat. Matanya berkaca-kaca. Ternyata betul: orang baik dan orang jahat itu ada di mana-mana.
"Terima kasih, Pak," isak Roy tertahan.
Si bandel itu menatap lurus ke depan. Ke kaca mobil yang buram dipukuli hujan. Ke jalan yang suram diterobos lampu mobil.
"Habis dirampok, Nak"" si sopir menyatakan keheranannya.
Roy menggeleng, "Saya tersesat, Pak," itu saja yang keluar dari mulutnya.
Kemudian dia berusaha melawan dinginnya malam. Kepalanya disandarkan ke jok.
Matanya pelan-pelan terpejam. Dia lelah sekali.
XI. PESANTREN Orang yang tidak pernah jatuh adalah hal biasa.
Tapi orang yang tiap jatuh bangun lagi, itu baru luar biasa!
-Mirabeau *** REMAJA bandel itu merasa sedang berada di sebuah padang yang lengang. Tidak ada siapa-siapa. Sendirian dia berjalan, kedinginan dan kepanasan. Kerongkongannya kering. Dia haus sekali. Tangannya menggapai-gapai ke langit.
Tiba-tiba dia melihat papanya! Lalu mamanya. Mereka tersenyum ke arahnya. Dia menang
is menikmati senyum mereka. Dia berteriak-teriak mengejar bayangan mereka. Dia berusaha meraih mereka.
Tubuhnya tergolek memprihatinkan.
Orang-orang yang memakai peci dan sarung itu dengan telaten merawatnya. Secara bergilir mereka menjagainya. Memberinya air kalau dia kehausan. Melagukan ayat-ayat suci kalau dia kelaparan. Dan membacakannya doa-doa kalau dia gelisah.
Denyut kehidupan dilewatinya dengan penderitaan. Burung-burung gelisah beterbangan di pepohonan. Dan suara angin pun terasa sendu membelai isi alam.
Dia menggeliat. Terjaga dari tidurnya yang menggelisahkan. "Oh..., ada di manakah saya"" suaranya lirih. "Siapakah kalian""
Para santri itu mengucap syukur. Wajah mereka yang selalu dibasuh air wudhu tambah bersinar-sinar saking gembiranya. Mereka menadahkan kedua tangannya, sambil mulutnya berkomat-kamit. Menyadari itu semua, Roy merasakan ada air amrita, air kehidupan, yang menelusuri kerongkongannya. Dia meneguk sepuas-puasnya.
Manusia memang tidak akan pernah lepas dari persoalan hidup. Kadangkala manusia, kalau sudah tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, lantas lari kepada Tuhannya, dan bertanya: Kenapa mesti begini" Mesti terjadi padaku" Dan ingat, Tuhan tidak pernah ingkar janji, "Barang siapa yang mendapat penderitaan di dalam hidupnya, kebahagiaan sudah menanti di depan mata." Percayalah itu.
Remaja kesepian itu sudah bisa duduk-duduk di teras kamar. Di pesantren ini banyak terdapat blok-blok, sebuah bangunan memanjang. Setiap blok terdiri dari beberapa kamar, dihuni sekitar sepuluh orang santri, dan di setiap kamar dikepalai oleh seorang santri yang sudah lama tinggal di pesantren.
Kebetulan kamar yang Roy tempati menghadap ke lapangan. Dia bisa melihat para santri lalu-lalang. Di tengah lapangan dibangun sebuah mesjid kecil temp at para santri sholat berjamaah. Dan di sebelah timur, terdapat bangunan sekolah agama tingkatan SD, SLP, SLTA. Para santri memang dididik seperti layaknya di sekolah umum saja. Tapi penekanan terhadap agama memang dinomorsatukan.
Untuk masyarakat Jawa bagian timur, pesantren ini memang sudah menyatu dengan kehidupan mereka. Bahkan para santri yang menimba ilmu di sini berdatangan dari seluruh pelosok khatulistiwa.
"Sudah mendingan, Roy"" Rafei, anak Madura, yang pernah dikirim belajar ke AI-Azhar, Mesir, menegurnya. Dia kepala kamarnya.
Roy mengangguk lemah. "Siapakah yang membawa saya kemari, Mas ""
"Seorang sopir dan keneknya," dia tersenyum. "Mereka melihatmu di jalan ketika hujan lebat. Kata mereka, kamu tersesat."
"Saya belum mengucapkan terima kasih kepada mereka," Roy menunduk. "Di manakah saya bisa menjumpai mereka, Mas ""
"Sebulan sekali mereka datang ke sini. Mengantarkan beras yang kami pesan," katanya lagi. "Barang-barangmu ada di dalam. Kamu periksa saja, takut ada barang yang hilang.
"Untung ranselmu tahan air." Dia tersenyum tulus.
Roy mengangkat wajahnya. Dia merasakan sorot mata yang teduh di sana. Sesuatu yang lama didambakannya ada di sana. Kematangan akan makna hidup, akan sesuatu yang mana harus dilakukan dan tidak dilakukan. Tiba-tiba dia merasa kecil sekali di depannya.
"Kebahagiaan itu letaknya di sini, di dalam jiwa kita," Rafei memberinya pandangan hidup. "Remaja sekarang memang selalu bertindak aneh-aneh untuk mencari kebahagiaan. Dengan cara seperti itu, orang tidak akan pernah menemukan kebahagiaan. Sebab kebahagiaan itu bukan ditemukan, tapi diciptakan.
"Berpeganglah selalu pada Alquran dan sunnah Nabi. Insya Allah, kebahagiaan yang kamu cari itu akan datang dengan sendirinya."
Roy termenung. Dia memang belum merasa menjadi seorang muslim yang baik. Bahkan, melakukan sholat lima waktu saja masih suka belepotan.
"Mas lihat, kamu seperti sedang tidak keruan. Pergi tanpa arah dan maksud yang jelas. Dan menciptakan obsesi untuk dirimu sendiri.
"Apa sebenarnya yang sedang kamu cari" Tuhan""
"Entahlah, Mas," Roy jadi malu sendiri. "Kadangkala saya suka bertanya: Di manakah Tuhan" lalu saya jawab sendiri: Tuhan hanya ada di batik rumah-rumah mewah itu, mobil-mobil mengkilap itu, atau pada orang-orang yang tidak pernah merasakan pahit dan getirnya kehidu
pan. "Adakah Tuhan pada orang-orang yang sering saya lihat di jalan" Pada orang kebanyakan""
"Wah, ini cemburu sosial namanya!" Rafei tertawa keras. Roy jadi tersipu-sipu.
"Istirahatlah." Lelaki tiga puluhan itu meninggalkannya. "Mas!" panggilnya. "Di sini ada surat kabar"" "Di pintu gerbang, ada koran dinding!"
Roy tampak sedang mengingat-ingat sesuatu. Dia berusaha merekam gambar-gambar tempo hari. Tentang nyonya muda, bayi lelaki, dan dua orang lelaki bertampang kasar. Dia lalu teringat ketika dua lelaki itu menyingkirkannya untuk merebut si kecil. Lantas, bagaimana nasib nyonya muda itu" batinnya kecewa sekali.
Pelan-pelan Roy menuju pintu gerbang. Dia melihat tembok setinggi dua meteran mengelilingi pesantren ini. Seperti sebuah benteng saja. Para santrinya hanya boleh keluar dari lokasi pesantren ini dengan persetujuan kepala kamarnya. Itu pun kalau ada hal yang teramat penting. Ada memang jam-jam khusus (biasanya Minggu sore), di mana para santri bisa refreshing dengan masyarakat di sekitar pesantren.
Banyak juga para santri yang berkerumun membaca koran dinding. Tapi berita yang dicari-cari Roy tidak ada. Dengan rasa penasaran, dia menyelip ke depan. Dia teliti seluruh kolom-kolom koran daerah itu. Tetap tidak ada. Kemudian dia membaca berita yang hampir sama. Tapi yang ini tentang dua bayi yang tertukar, dan akan diangkat ke layar perak. Atau berita kehilangan anak lainnya.
Heh, berita tentang nyonya muda dan bayinya mana" Bagaimana penyelesaiannya" Apakah nyonya muda itu rela menyerahkan permata hatinya" Atau dia bisa berkumpul kembali dengan suaminya dan membina sebuah rumah idaman"
Ah, itu tergantung Tuhan saja! gerutunya. Bukankah Tuhan selalu memberikan sesuatu yang terbaik buat umatNya" Kalau memang si bayi jatuh ke tangan kakeknya, mungkin itulah penyelesaian yang terbaik menurut versiNya. Atau kemungkinan lain, Tuan Bambang sadar dan merelakan anaknya, Tono, membina rumah tangga dengan Nuni, nyonya muda itu. Nah, itu juga penyelesaian yang terbaik menurut versiNya.
Atau lagi, kalian punya versi sendiri"
Ah, biar saja Tuhan mengetukkan paluNya!
*** Dengan sarung yang dililitkan sebatas lutut dan peci hitam di kepala, Roy memikul bahan adukan bangunan. Beberapa hari itu, dia ikut membangun sebuah madrasah. Dia bergabung dengan kuli-kuli yang kebanyakan orang Madura.
Kalau saja mamanya melihat dia saat itu, wah, pasti akan tertawa bahagia. Betapa lucunya si bandel ketika memikul bahan adukan. Kadangkala jalannya masih kaku, karena memakai sarong. Kuli-kuli itu sangat menyukai cara kerja Roy yang cekatan dan mudah bergaul. Yang paling nikmat baginya adalah waktu makan siang. Beberapa lembar daun pisang digelarkan di tanah. Lalu nasi jagung dan kelapa yang sudah diparut ditahurkan, dicampurkan dengan nasi jagung itu. Diaduk-aduk dulu. Kemudian kuli-kuli itu duduk mengelilingi nasi jagung itu. Nongkrong rame-rame memakannya. Sambil makan mereka masih sempat mengobrol, ketawa, dan mengerjakan hal-hal kecil lainnya. Begitu nikmat.
Roy sangat merasakannya. Setelah selesai makan, secara bergilir mereka meminum air pompa dari sebuah ember plastik. Pada mulanya Roy was-was juga meminum air mentah itu. Tapi ketika dilihatnya kuli-kuli itu tenang-tenang saja meminumnya, dia pun ikut-ikutan. Kata mereka, yang penting keyakinan kita kepada Tuhan. Kalau hati kita ikhlas, janganlah ragu-ragu mengerjakan sesuatu pekerjaan. Mintalah perlindungan dan ridhoNya, setiap kali kita melakukannya.
Dan malam harinya, Roy ikut belajar mengaji. Dia memang sudah bisa menghapal surat-surat pendek saja. Tapi hanya hapal cangkem, hapal bunyinya saja.
Dan kalau disuruh membaca huruf Arabnya, aduh, mati deh! Apalagi disuruh menerjemahkannya, minta ampun!
"Kamu udah ada kemajuan, Roy," kata Indra, anak Betawi. Dia sudah dua tahun di sini. Ketika orang tuanya mengirimnya ke sini, dia merasa seperti diasingkan dan dibuang oleh keluarganya. Itu memang karena ulahnya yang sering membikin malu keluarga. Tapi menurut pengakuannya, setelah beberapa bulan di sini, dia akhimya merasa kerasan juga.
Memang bermacam-macam sebab yang membawa mereka ke
pesantren ini. Ada yang betul-betul karena kesadaran sendiri -untuk memperdalam ilmu di bidang agama, ada pula yang sengaja dikirim (jangan dibaca: dibuang, ya! terlalu kasar) oleh orang tuanya ke sini, supaya insaf.
"Roy, sini sebemar." Rafei memanggilnya.
Roy menutup Alqurannya. Menyimpannya di atas lemari.
"Ada yang ingin Mas bicarakan." Lembut dan pasti nadanya.
"Tentang apa, Mas"" Roy bersila di depannya.
"Orang tua kamu."
Roy langsung terkesiap. Dia seperti tersadar dari lamunannya. "Ada apa, Mas"" cemas sekali suaranya.
Rafei membetulkan letak duduknya. "Tanpa sepengetahuan kamu Roy, Mas mengambil inisiatif untuk memberi kabar kepada mamamu di Serang. Alamatnya Mas lihat di bukumu.
"Ketika kamu sedang sakit, Mas kirim surat ke Serang." Dia berbicara sambil memperhatikan reaksi Roy.
"Mas menceritakan tentang keadaan saya semuanya" Tentang sakit saya"" Rafei mengangguk.
"Oh!" Roy menutup wajahnya. "Mama tentu akan cemas sepanjang hari, karena memikirkan kesehatan saya, Mas!"
"Ini ada balasan dari mamamu, Roy, Mas sendiri dapat juga surat dari mamamu. Beliau menyuruh Masuntuk membujuk kamu, agar cepat pulang."
Roy menyambar surat yang disodorkan Rafei. Lalu menuju teras. Buru-buru sekali dia menyobek bagian pinggirnya. Ada kebahagiaan dan kecemasan bercampur-baur ketika membaca surat itu. Tiba-tiba muncul perasaan berdosa di dalam jiwanya, karena sudah menyia-nyiakan kasih sayang mamanya. Aku kini sedang membunuh perasaannya pelan-pelan, rintih hatinya.
Tangannya gemetar ketika mencabut secarik kertas dari dalam amplopnya. Bibirnya gemetar mengeja kalimat-kalimat itu. Surat dari mamanya tidak begitu panjang. Roy merasa ada air yang mengalir di pipinya:
Roy, anakku tersayang, Mama hanya bisa mendoakan saja agar kau lekas sembuh. Jagalah dirimu baik-baik.
Jangan terlalu mengikuti hawa nafsumu, Roy! Ingat nasib almarhum papamu!
Roy, Mama tidak akan memaksamu untuk pulang. Tapi, tidak rindukah kamu pada Mama" Dengan sekolahmu" Masa remajamu" Oh, ya,
Mama sekarang punya penggantimu. Opik, namanya. Baru 12 tahun, tapi dia cepat hapal kemana jahitan-jahitan mesti diantarkan. Opik, Mama suruh tidur di kamarmu. Mama kesepian, Roy.
Mama sering sakit-sakitan. Mungkin Mama terlalu larut bekerja. Tapi, bagaimana Mama tidak akan sakit, kalau setiap makan selalu ingat, apakah anak Mama juga sedang makan"
Atau kalau Mama mau tidur, di manakah saat ini anak Mama tidur"
Roy, Kalau Mama boleh meminta, pulanglah. Tapi, kalau kamu memang belum puas juga, Ya puaskdnlah dulu. Dan ingat ya Roy, jangan lupa sholat!
Remaja bandel yang sedang kesepian itu, menutupkan kertas putih itu ke wajahnya. Dia menangis. Kertas itu jadi basah kena air matanya. Dia sedang tercekam oleh perasaan berdosa.
Kini terbayang olehnya, wajah mamanya yang keletihan dengan mesin jahitnya. Wajah mamanya yang tabah dan bijaksana. Wajah mamanya yang selalu telaten meneliti letak jarnm yang menyusuri jahitan-jahitannya.


Balada Si Roy 02 Avonturir Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bunyi mesin jahit itu seperti menusuk-nusuk telinganya. Seolah-olah mendakwanya, kenapa meninggalkan mesin jahitnya. Kenapa menelantarkan benda itu. Biasanya setiap sore, dia selalu membersihkan mesin jahit itu. Memberinya minyak, biar tokcer terus.
Kalau sudah begini, apa yang mesti diperbuat" bisiknya gelisah. Dia sebetulnya menyesali tindakan Rafei, yang tanpa persetujuan dan sepengetahuannya, mengirim surat ke mamanya. Perlu diketahui, ada satu hal yang paling ditakuti oleh para petualang: Kabar buruk dari rumah! Daripada para petualang itu menerima kabar buruk dari rnmahnya, kabar baik sekali pun bahkan bisa berakibat burnk pula: Rindu untuk pulang!
Rencananya besok Roy mau melanjutkan perjalanan lagi. Menyandang ransel dan menghirup udara kebebasan lagi. Jadi avonturir jalanan lagi. Karena dia merasa sudah cukup segar dan sehat selama tinggal di pesantren ini.
Pelan-pelan Roy beranjak. Dia melintasi lapangan, menuju mesjid. Dia membasuh lengan, berkumur-kumur, membasuh muka, rambut, telinga, hidung, dan kakinya. Dia merasa sejuk sekali. Lalu dia bersujud. Berdoa. Tubuh dan jiwanya terasa tenteram dinaungi tempat ibadah ini.
Tuhan, lindungilah mama ku! Itu saja doa yang bisa keluar dari mulutnya. Dia tidak mampu berkata-kata lagi, karena dia hanya bisa menangis membayangkan wajah mamanya.
Ya, dia menangis, Sungguh.
XII. HOMESICK Petualang mana pun selalu ingat dan pulang ke rumahnya.
-pepatah lama *** BURUNG kuntul terbang bergerombol di langit, membentuk busur ke arab matahari tenggelam. Beberapa dari gerombolan itu melesat ke depan menjadi anak panahnya. Lalu met}yebar membentuk formasi bintang, atau menjadi kelompok-kelompok kecil, dan kemudian menyatu lagi menjadi kekuatan penuh. Mereka seperti parade pesawat tempur yang sedang memamerkan kekompakan dan kelihaian para pilotnya dalam melakukan aerobatik.
Burung-burung kuntul itu sedang pulang ke sarangnya. Ketika pesawahan diselimuti warna lembayung, bapak tani menggiring kerbaunya sambil, memikul alat bajaknya. Dia sudah terbenam di lumpur seharian tadi. Sekarang dia merindukan masakan istrinya dan tak lupa menyiapkan dongeng buat anak-anaknya.
Dia juga pulang ke rumahnya.
Dan remaja bandel itu kelihatan kebingungan di sepanjang Jalan Surabaya-Banyuwangi. Dia beberapa kali menepi sampai lebih ke pinggir, karena bis-bis meniupkan angin kencang ke tubuhnya. Sopir sekarang memang suka gila-gilaan mengemudikan kendaraannya. Seharusnya mereka diberi kesempatan untuk berpacu di Sirkuit Ancol, melawan Aswin Bahar. Pasti seru, tuh!
Roy betul-betul bingung dihadapkan pada pilihan: Terus ke timur, atau mundur lagi ke barat" Menuju matahari terbit memang dambaan hati, karena di sana kita bakal banyak melihat dan mengalami sesuatu yang baru. Ke tempat sang kehidupan muncul berarti kita bergerak dan menyongsongnya. Jangan mengekor ke mana bola merah raksasa itu menggelincir, karena di situ kita dikendalikan dan tidak punya peranan apa-apa.
Akulah anak panah yang meluncur! Batinnya berteriak menirukan Khalil Gibran. Ya, akulah putra Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri! batinnya lagi.
Sebuah bis berhenti tidak jauh darinya. Dari pintunya berhamburan anak-anak penerus bangsa. Tas menggantung di pundak mereka, seperti beban masa depan bangsa ini. Dan dari mulut mereka terdengar tawa riang, cerita-cerita lucu di sekolah tadi.
Mereka pun pulang ke rumah, Roy!
Lalu dia melihat ke dirinya sendiri. Setelan jeans lusuh membalut tubuhnya. Tangannya memegang rambutnya yang gondrong acak-acakan. Kusut! Dia meraba-raba setiap lekuk wajahnya. Seperti apa aku sekarang ini"
Dia jadi tergerak untuk mencari cermin, karena sudah lama. dia tidak mengikuti perkembangan fisiknya. Dilihatnya ada Colt parkir di seberang jalan. Dia menyeberang ke sana.
"Ikut ngaca, Mas," katanya pada seseorang di dalam Colt.
Dengan teliti dia memperhatikan garis-garis wajahnya. Sorot matanya membentur sepasang mata lain di kaca spion. Dia memelototinya. Menelanjanginya. Betapa letihnya mata itu, bisiknya lirih. Itukah aku sekarang" Lalu cepat-cepat dia membuang pandang ke arah lain. Dia merasa malu sekali.
Kembali dia menyeberang. Melompati selokan. Dia menuju pohon asam dan bersandar kelelahan pada batangnya. Kegembiraan dan tawa para pelajar tadi masih membekas dan menampar jiwanya. Dia membayangkan seragam abu-abunya yang kini tergolek kesepian di tumpukan baju-bajunya yang lain. Tiba-tiba dia merasa rindu untuk menjamah dan mengenakannya lagi.
Tahun ajaran baru memang sudah berjalan. Tentunya suasana sekolah sedang meriah dengan siswa baru. Itu adalah peristiwa yang ditunggu-tunggu siswa lama. Biasanya siswa lama suka over acting kalau ada siswa baru yang qualified. Dia jadi tersenyum sendiri membayangkan semua itu.
Roy tampak sedang mencari-cari sesuatu di kantung luar ranselnya. Diperhatikannya surat dari mamanya. Dibuka dan dibacanya lagi. Urat-urat nadinya kontan mengendur setelah membacanya. Sambil merenung dia tengadah ke atas. Ke langit biru yang terhampar tiada berpangkal dan berujung. Bukankah atas adalah tempat pusat segala harapan dan doa" Ada kerajaankah di sana" Dengan raja bijaksana di singgasana, para punggawa, dan dayang-dayang"
Mamamu sedang sakit, Roy! batinnya mengingatkan.
Pulang memang sangat membahagiakan. Berarti menemukan lagi sum
ber kasih-sayang yang tiada habisnya. Berarti menempel lagi ke busur. Walaupun aku anak panah yang belum puas meluncur dan belum mengena pada sasaran. Tapi aku harus pulang ke rumah, karena di mana-mana busur selalu bergandengan dengan anak panahnya.
Biarlah Sang Pemanah nanti membidikkannya lagi!
Berarti pulang, Roy"
Kakinya lalu terseret oleh arus Sang Kehidupan. Bayangannya mengekor saja. Apakah ini berarti aku kalah" Tidak konsekuen" Orang ideal di zaman kiwari ini sukar untuk dapat peranan dalam pawai kehidupan, Roy! Orang-orang semacam itu tempatnya di pinggir jalan. Jadi penonton dan pendengar setia, walaupun yang sophisticated menjejali mata dan bikin mual perut terus berlangsung. Tapi kompromi dululah, Roy! Asal tidak untuk prinsip saja. Oke"!
Sebuah bis berhenti menurunkan muatan. "Ke mana, Mas "" spontan Roy mendekati kenek.
"Situbondo!" Dia langsung meloncat ke bis. Mengambil tempat di kursi paling belakang. Di sebelahnya duduk lelaki setengah baya, mengenakan seragam pegawal negeri. "Ke mana, Pak"" Roy berbasa-basi. "Pulang, Nak," katanya tersenyum.
Roy merasa menyesal sekali sudah berbasa-basi, karena jawaban bapak tadi meriyiksa batinnya. Semua orang kini seperti sedang menyindirnya untuk selalu ingat rumah dan orang yang menunggunya di rumah.
Bis memasuki terminal. Dia masih duduk kebingungan, memperhatikan orang-orang yang bergegas turun.
"Sudah sampai," tegur si kenek.
"Nggak terus ke Surabaya""
"Trayeknya memang ke Surabaya. Tapi istri pak sopir baru melahirkan. Kami terpaksa harus pulang."
Ada embel-embel kata "pulang" lagi! Hatinya mangkel. Dia buru-buru melompat turun. Duduk di jejeran bangku di terminal, memperhatikan bis-bis yang keluar-masuk dan orang-orang yang bergegas.
"Ke Surabaya"" seorang calo menghampirinya. Roy menggeleng.
Ada tiga lelaki sebayanya melintas. Mereka menyandang ransel juga. Lusuh-lusuh, tapi wajah mereka berseri-seri. Tidak hentinya mereka bercanda, seperti prajurit yang pulang menang dari medan pertempuran.
"Hei, mau ke mana"" panggil Roy.
Mereka menoleh. Saling lempar senyum. "Pulang!" teriak yang menyandang ransel biru.
"Sini dulu!" ajak Roy bersahabat. "Kamu punya apa untuk kami "" "Ada sebungkus rokok!"
Mereka akhirnya melepaskan ranselnya. Selintas Roy menghirup bau tubuh yang beberapa hari tidak tersiram air. Kadangkala aku juga begitu, bisiknya. Lalu mereka berebutan menyambar rokok, tapi Roy melontarkannya ke atas. Yang menyandang ransel biru dengan gesit meloncat dan menangkapnya.
"Kena!" Yatno tertawa girang.
"Habis dari mana"" Roy menyalakan Zipponya.
"Kami baru mendaki Gunung Rinjani," Yatno mengisap rokoknya.
"Kawan-kawanmu, mana"" Rahmat menyulut rokoknya.
"Aku sendirian," Roy nyengir.
"Kamu pulang ke mana"" Priyono nimbrung.
"Ke Serang." "Serang" Mana, tuh""
"Serang-Banten," Roy menambah embel-embel kedaerahan.
Orang-orang memang lebih mengenal Banten ketimbang kota kabupatennya, Serang. Begitu juga kota kabupaten lainnya di wilayah karesidenan Banten, Pandeglang, dan Rangkasbitung. Jadinya orang-orang dari sebelah barat Jawa itu lebih praktis menyebut berasal dari Banten saja ketimbang menyebut kota asalnya.
Banten memang merupakan bagian dari sejarah bumi kita ini.
"Kami ke Semarang. Kita satu arah." Yatno sudah menyandang ranselnya lagi. Diikuti kedua kawannya.
"Kami mau cepat-cepat berangkat. Sudah sore." Yatno bergegas.
"Udah bolos sekolah seminggu lagi!" Rahmat menambahi.
Roy duduk saja memperhatikan mereka. "Kamu nggak ikut kami "" Yatno menawarkan. Roy menggeleng. "Sori, deh," katanya tersenyum.
"Nggak kangen sama orang di rumah" Sobat-sobat di sekolah "" Pertanyaan Priyono mendesaknya.
"Aku sedang nggak sekolah," Roy hanya menjawab pertanyaan kedua saja. "Oke, kalau begitu.'" Y atno mengangkat bahu. "Kami duluan!"
"Thank's, rokoknya!" Rahmat menepuk pundaknya.
"Bawa aja!" Roy melemparkannya ke arah Rahmat. "Yuk, ah!" Priyono meninju bahunya.
Roy memandangi punggung mereka yang sudah terbiasa menyandang beban. Langkah-langkah mereka tegap dan pasti. Kokoh menancapkan pijakannya ke bumi. Dibutuhkan waktu lama untuk mendapatkan rasa percaya diri yang
tinggi seperti itu. Kalian juga bisa memperolehnya, asal mau menempa diri kalian saja.
Kalaupun Roy memutuskan untuk pulang sekarang, dia akan pulang sendirian, seperti dulu dia pergi sendirian. Tapi, kalau sekarang dia bandel memutuskan untuk terus ke timur, kira-kira apa ya, yang bakalan terjadi dengan mamanya"
Dia tahu bahwa mamanya menderita sekali batinnya. Itu karena sudah didera oleh penderitaan-penderitaannya. Setelah penghinaan dari pihak keluarga papanya, lalu menyusul kematian papanya, dan kini dia sendiri ikut mendera batin mamanya.
Itu sama saja membunuh mamamu pelan-pelan, Roy! batinnya memperingatkan. Tegakah kamu membiarkan mamamu sendirian, menelan penderitaannya" Akan bahagiakah hidup kamu, jika pulang lelah setelah perjalanan jauh nanti, hanya mendapatkan pusara mamamu saja,. Roy" Kalau itu yang terjadi nanti, akan sia-sialah hidup kamu! Perjalanan hidup kamu selanjutnya niscaya akan diselimuti dosa yang tidak akan pernah ada orang yang sanggup mengobatinya. Percayalah dengan hukum alam ini, Roy!
Karena itu, pulanglah! Roy sudah berjam-jam duduk di bangku terminal. Matahari sudah lama menghilang untuk memberikan sinar kehidupannya di tempat yang lain. Langit kini dihiasi bintang gemintang yang berpesta-pora ibarat berjuta-juta kunang-kunang.
Dia mengadu ke sana! "Ke Surabaya"" lagi-lagi seorang calo menghampirinya.
BERSAMBUNG KE BALADA SI ROY 03
Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Selubung Kegelapan 3 Joko Sableng 1 Pesanggrahan Keramat Jodoh Si Mata Keranjang 7

Cari Blog Ini