Bidadari Bidadari Surga Karya Tere Liye Bagian 4
dulu lebih sering datang. Tapi buat apa Kakak membuang-buang waktu memikirkan tersebut. Hidup Kakak sudah amat indah tanpa perlu memikirkan hal-hal itu. Melihat kalian tumbuh dewasa. Dengan segala kesempatan hebat. Itu sudah amat membahagiakan Kakak. Melihat anak-anak lembah berkesempatan sekolah. Kehidupan mereka yang lebih baik dengan perkebunan strawberry ini. Itu sudah lebih dari cukup. "Kau tahu, seperti yang Kakak bilang dulu, jodoh ada di tangan Allah. Mungkin dalam urusan ini, Kakak tidak seberuntung dibandingkan dengan memiliki adik-adik yang hebat seperti kalian.... Dulu memang mengganggu sekali mendengar pertanyaan tetangga, tatapan mata itu, tetapi mereka melakukannya karena mereka peduli dengan kita. Satu dua menyampaikan rasa peduli itu dengan cara yang tidak baik, namun itu bukan masalah. Kakak tidak pernah merasa kesepian, Dali. Bagaimana mungkin Kakak akan kesepian dengan kehidupan seindah ini.... Kau benar, aku juga sering memikirkan umur. Sekarang usiaku tiga puluh empat tahun. Tapi apa yang Kakak harus lakukan" Itu semua ada di tangan Allah. Yang lebih penting aku pikirkan, dengan sisa waktu yang mungkin tidak sedikit lagi, apakah masih berkesempatan melakukan banyak hal di lembah ini, berkesempatan melihat kalian melakukan hal-hal hebat di luar sana. Berkesempatan membuat Mamak dengan keseharian di perkebunan...," Kak Laisa tersenyum tulus. "Hanya itu" Sesederhana itu"" Dalimunte menelan ludah.
Kak Laisa tertawa, "Apalagi yang harus aku pikirkan, Dali" Bukankah kehidupan di lembah ini hanya sesederhana itu"" Dalimunte terdiam. Mengusap wajahnya. Dia keliru. Sungguh keliru. Bahkan Kak Laisa sedikitpun tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Apalagi memikirkan tentang sebutan gadis tua yang disandangnya, pernikahan. Ya Allah, Kak Laisa memang seringan itu menanggapi segala keterbatasan hidupnya. Bagi Kak Laisa, adik-adiknya jauh lebih penting. Pertanyaan itu, pertanyaan yang selalu dia ingin sampaikan, ternyata sederhana sekali jawabannya. Kak Laisa tidak pernah sekalipun berkeberatan dengan takdir kehidupannya.
28 ROMANTISME STRAWBERRY PEMBICARAAN dini hari itu membuat perubahan besar. Akhirnya setelah menatap begitu lama wajah Kak Laisa yang tersenyum amat tulus, Dalimunte memutuskan untuk menikah. Maka rusuhlah perkebunan sepagi itu. "Keluarga Cie Hui sudah berangkat ke kota provinsi. Mereka berangkat ke China hari ini juga " Itu jawaban dari seberang telepon saat Dalimunte bertanya ke kediaman Cie Hui di kota kecamatan. Panik sudah. Ikanuri dan Wibisana yang masih menguap diteriaki agar segera menyiapkan mobil. Yashinta bergegas menyiapkan segala sesuatu. Mereka harus segera menyusul. Hari itu, teknologi telepon genggam belum ada. Jadi tidak ada cara untuk mengontak Cie Hui yang sedang menuju bandara. Celaka. Urusan ini benar-benar celaka, jika sampai Cie Hui menaiki pesawat yang membawanya ke ibukota, lantas terus menuju ke China, maka berakhirlah semuanya. Pusara yang sama juga akan tertanam dalam- dalam di hati Dalimunte. Yashinta berteriak-teriak menyuruh Ikanuri lebih cepat lagi. "Cepat, Kak. Lebih cepat. Katanya nih mobil sudah dimodifikasi macam mobil balap. Ini mah siput saja lebih cepat!" Mereka sudah tertinggal empat jam di belakang. Ikanuri yang sialnya masih mengenakan sarung mengeluarkan gumam tak jelas. Tersinggung dengan teriakan Yashinta. Berlima mereka memadati mobil modifikasi bengkel Ikanuri dan Wibisana tersebut. Mamak menunggu di rumah. Rumah keluarga Cie Hui di kota kecamatan kosong. "Maaf, Nak Dali, justru Nona Cie Hui yang memaksa agar perjodohan itu segera dilangsungkan. Memaksa mereka berangkat segera dini hari tadi...." Pembantu rumah Cie Hui menjelaskan terbata-bata, ikut merasa sedih. Dalimunte mengeluh tertahan. Dia sungguh telah membuat kesalahan besar. Rasa putus asa yang besar karena menunggu bertahun-tahun itu berubah menjadi kebencian sekarang, Sekarang Wibisana yang mengemudikan mobil. Dari tadi Ikanuri gatal menjitak kepala Yashinta yang berisik protes. Melesat menuju kota provinsi. Melewati hampir tiga ratus kilo perjalanan. Kota-kota kabupaten. Kota-kota
kecamatan Pedesaan. Hutan-hutan lebat. Semak-belukar. Pohon bambu. Perkebunan kelapa sawit. Perkebunan karet. Padang rumput meranggas. Naik turun lembah. Melingkari bukit barisan, Sungai-sungai yang meliuk. Persawahan. Menyaksikan monyet yang berani bergelantungan di tepi-tepi hutan. Satu dua babi liar yang nekad menyeberangi jalan aspal. Itu semua sebenarnya pemandangan yang menarik, sayang tidak untuk situasi saat ini. Kak Laisa yang duduk di belakang, di tengah-tengah Yashinta dan Ikanuri malah sepanjang jalan sibuk memisahkan tangan-tangan mereka (yang sibuk bertengkar). Dalimunte mengusap wajahnya berkali-kali. Tegang.
Sial, dua puluh kilometer menjelang kota provinsi, ban mobil meletus. "Ya ampun, bagaimana mungkin Kak Ikanuri dan Wibisana bisa bikin mobil balap kalau hasil modifikasinya hanya begini"" Yashinta mengeluh setengah kecewa, setengah sebal. Ikanuri sekarang benar-benar menjitak kepala Yashinta. Terpaksalah perjalanan itu terhenti hampir setengah jam tintuk mengganti ban. Dan saat mereka akhirnya tiba di bandara, mereka benar-benar terlambat. Bertanya rusuh tentang jadwal penerbangan. Memaksa masuk pintu check-in. Dua petugas yang menjaga pintu pemeriksaan terlihat bingung menghadapi seruan-seruan memaksa Yashinta. Wajah mengeras Ikanuri dan Wibisana. Wajah tegang memohon Dalimunte. Berhasil. Kak Laisa seperti biasa dengan tatapan mata, akhirnya berhasil mcmbujuk petugas. Berlarian menuju ruang tunggu bandara. Tapi mereka tiba di bandara sudah amat terlambat. Dalimunte masih sempat melihat Cie Hui bersama Koh Acan dan istrinya berjalan di balik kaca tebal menuju garbarata prsawat. Berteriak memanggil. Percuma. Kaca itu kedap suara. Memukul-mukulnya. Sia-sia. Cie Hui sudah masuk kedalam garbarata. Kali ini Kak Laisa tidak berhasil memaksa petugas pintu boarding mengijinkan mereka menerobos masuk ke landasan pacu bandara. Itu prosedur yang tidak bisa dilanggar dengan alasan apapun. Dalimunte menatap kosong pesawat yang mulai berputar menuju runaway. Bersiap berangkat. Lima menit, Pesawat itu menderu lepas landas. Menuju langit yang membiru. Menyisakan lengang di balik kaca tebal ruang tunggu. Yashinta tertunduk, menyeka ujung-ujung matanya. Ikanuri dan Wibisana bergumam kecewa. Kak Laisa mendekap sedih pinggang Dalimunte. Lima belas menit hening. Dalimunte tetap menatap kosong langit. Mereka tidak akan bisa mengejar Cie Hui lagi. Jadwal penerbangan ke ibukota hanya ada satu kali dalam sehari. Dia juga tidak tahu nomor telepon ke sana. Memberitahukan kalau dia sudah bisa mengambil keputusan. Memberitahukan kalau dia bersedia menikah. Urusan ini ternyata berakhir menyedihkan. Kak Laisa membimbing Dalimunte. Beranjak pulang. Semua ini terasa menyakitkan. Sesak. Mereka berjalan beriringan melewati pintu masuk menuju ruang tunggu. Kembali ke perkebunan strawberry.... Sungguh sesak rasanya. Mata Dalimunte berkaca-kaca.... "Da-li " Suara itu memanggil tertahan. Dalimunte mengangkat kepalanya. Kak Laisa ikut menoleh. "Da-li " Itu suara Cie Hui. Gadis keturunan itu berlari keluar dari garbarata. Dalam gerakan lambat sepersejuta detik yang amat mengharukan. Cie Hui berseru. Menangis. Melompat memeluk Dalimunte. "Cie " Dali seketika kehabisan kata-kata. "Ia amat menyukaimu, Nak" Koh Acan, ayah Cie Hui ikut melangkah mendekat, melepas topi putih kupluk di kepalanya. Muslim keturunan itu menghela nafas panjang, "Kau tahu, meski tadi pagi ia sendiri yang meminta perjodohan itu dipercepat, tapi ta tidak kuasa untuk melangkahkan kakinya ke dalam pesawat. Tidak kuasa.... Hanya berbisik berkali-kali di dalam garbarata, 'Dali akan menyusul, Dali akan menyusul, Papa'.... Berdiri mematung di depan pintu pesawat.... Tidak bisa melakukannya. Ia sungguh amat menyukaimu, Nak!" Dalimunte dan Cie Hui sudah berpelukan, seolah dunia milik berdua. Tidak peduli sekitar. Menangis. Kak Laisa tersenyum lebar. Inilah romantisme yang (selalu) diceritakan moderator cerewet di konvensi internasional itu, juga konvensi-konvensi lainnya. Di majalah-majalah. Di koran-koran yang banyak menulis tentang Profesor Dalimunte. Inilah romantisme Strawbe
rry cinta Dalimunte dan Cie Hui.
29 PERNIKAHAN PERTAMA PERNIKAHAN Dalimunte - Cie Hui berlangsung satu bulan kemudian. Pernikahan yang meriah. Halaman luas rerumputan itu dipasang dua tenda besar. Penduduk empat desa di Lembah Lihambay ramai memenuhi kursi-kursi. Tidak terhitung kolega Dalimunte darii bukota. Saat itu dia belum mendapatkan gelar profesor, tapi berbagai penelitian yang dilakukannya telah membuat Dalimunte terkenal. Juga tamu-tamu dari kota kecamatan, kota kabupaten, hingga kota provinsi, kenalan Kak Laisa dalam bisnis perkebunan strawberry. Di salah satu kursi undangan bahkan duduk rapi Bupati setempat. Tetapi ada yang sedikit berbeda dibandingkan dengan banyak pernikahan di lembah tersebut sebelumnya. Wak Burhan beberapa hari sebelum acara berlangsung meminta penduduk kampung untuk tidak membicarakan soal melintas. Tidak sibuk menggoda Kak Laisa soal kapan ia akan menikah juga. Urusan ini tidak pantas dibicarakan. Tidak buat Laisa yang telah melakukan banyak hal untuk lembah mereka. Jadi pernikahan itu berlangsung 'sebagai mana mestinya'. Dalimunte dan Cie Hui terlihat amat bahagia, meski saat selesai ijab-kabul, Dalimunte dan Cie Hui menangis lama memeluk Kak Laisa, berbisik ribuan kata maaf (lebih lama dibanding saat bersimpuh di pangkuan Mamak). Membuat yang lain terdiam. Menghela nafas. Meski tidak ada yang jahil membicarakannya, setnua orang tahu, melintas macam ini sungguh di luar kebiasaan kampung. Dalimunte dan Cie Hui menghabiskan masa-masa bulan madu di perkebunan strawberry, baru lepas satu bulan kemudian mereka kembali ke ibukota, memulai kemball kesibukan di laboratorium. Ikanuri dan Wibisana kembali ke kota provinsi seminggu setelah pernikahan, mereka semakin sibuk dengan bengkel modifikasi mobil. Berencana membangun pabrik kecil di luar pulau, di kota yang lebih besar. Mengejar ambisi besar mereka: pembuat spare-part mobil balap. Yashinta juga segera kembali ke kota provinsi, minggu-minggu depan ia mulai menyiapkan ujian tugas akhir kuliahnya. Meninggalkan Kak Laisa dan Mamak Lainuri di perkebunan strawberry. Seperti selama ini. Bedanya, di keluarga itu sudah terjadi pernikahan pertama. Entahlah apa yang sejatinya dipikirkan Kak Laisa, tapi kenyataan ia sudah dilintas Dalimunte tetap fakta hidup yang harus diterimanya. Dan seperti biasa, semuanya terlihat baik-baik saja. Kak Laisa juga kembali menyibukkan diri dengan pembangunan pusat pengalengan baru di kota provinsi. Sering berpergian, bolak-balik. Mengurus perkebunan yang semakin luas. Mulai melibatkan penduduk kampung atas dan kampung-kampung lainnya. Menjadikan mereka petani cluster dari bisnis tersebut. Kak Laisa dan Mamak Lainuri mungkin tidak akan pernah kesepian, karena meski jadwal pulang bersama yang lain hanya dua bulan sekali, perkebunan itu tetap ramai oleh pekerja, anak-anak tetangga, juga remaja tanggung lainnya yang sibuk membantu selepas pulang sekolah. Ramai bermain-main di hamparan rumput rumah. Kak Laisa juga sering kali menghabiskan malam dengan bermain kembang api bersama mereka. Mendirikan taman bacaan. Dan memberikan berbagai kesempatan bagi anak-anak lembah lainnya untuk belajar dan bermain yang tidak pernah ia dapatkan waktu kecil. Tapi di luar seluruh kegiatan hebat tersebut, tetap tidak ada yang tahu seberapa sepi hidup Kak Laisa. Lepas pernikahan Dalimunte, penduduk setempat juga sudah jauh berkurang menggoda Laisa. Mereka sekarang lebih banyak prihatin, sebagian besar malah mulai terbiasa. Hanya Wak Burhan yang masih terus sibuk mencarikan Laisa Jodoh. Percuma. Semua itu seperti menjadi kesia-siaan besar. Dalimunte selepas pulang ke ibukota juga sibuk mencarikan jodoh buat kakaknya. Kali ini dia melakukannya dengan sungguh-sungguh, sekali dua malah mengorbankan jadwal di laboratorium. Dalimunte memutuskan untuk melibatkan diri seperti Wak Burhan. Di tengah
amat keterlaluannya warga ibukota dalam menilai tampilan fisik dan materi, kesempatan Kak Laisa untuk mendapatkan jodoh tetap lebih besar di sini. Mungkin jodoh Kak Laisa terselip di sini. Harus dijemput dengan baik. Enam bulan berlalu, di jadwal pulang
dua bulanan mereka, Dalimunte mengajak salah satu temannya. Tepatnya kakak kelas waktu dia kuliah di institut teknologi ternama dulu. Usianya sepantaran dengan Kak Laisa, tiga puluh lima tahun. Dalimunte sudah mengenalnya sejak masih tingkat pertama kuliah dulu. Kakak mentor. Aktivis masjid kampus. Fasih benar bicara soal mencari jodoh bukan dilihat dari wajah dan kecantikan pasangan, tapi dari "kecantikan hati". Sekarang calon jodoh Kak Laisa tersebut malah lebih dikenal sebagai salah-satu penceramah agama terkenal di ibukota. Statusnya duda. Istri kenalan Dalimunte tersebut meninggal tanpa anak tiga tahun lalu, dan sekarang memutuskan untuk menikah lagi. Karena Daiimunte amat yakin bahwa kakak kelasnya itu tidak akan menilai seseorang dari tampilan wajah dan fisik, sambil tersenyum lebar dan penuh penghargaan, Dalimunte menyebutkan Kak Laisa sebagai salah satu pilihan yang baik. Cepat sekali proses itu terjadi, bahkan kakak kelasnya merasa tidak perlu melihat foto-foto Kak Laisa. Hanya mendengar apa yang dilakukan Kak Laisa, tentang Lembah Lahambay, dan segalanya, dia merasa sudah menemukan pengganti mendiang istrinya yang tepat. "Kakakmu pasti secantik yang ia lakukan selama ini. Lihat, adiknya saja gagah seperti kau!" Itu jawaban yang hebat, Benar-benar kabar baik. Dalimunte tertawa riang. Tetapi Dalimunte sungguh keliru, ketika malam itu akhirnya mereka tiba di rumah panggung, ketika untuk pertama kali mantan kakak kelasnya di institut teknologi itu melihat Kak Laisa, respon yang diharapkannya sungguh jauh dari baik. Sebenamya respon yang ada tidak jauh beda dengan jodoh-jodoh yang dibawa Wak Burhan selama ini tetapi mengingat latar belakang pemahaman agama kakak kelasnya... Malam itu ruangan depan rumah panggung entah mengapa terasa gerah, meski lembah sedang menjelang musim penghujan. "Bukankah Kak Laisa 'cantik' seperti yang kau sebutkan selama ini dalam ceramah-ceramahmu. Apalagi yang kurang!" Dalimunte sedikit tersinggung, berkata ketus esok pagi saat menyuruh salah satu sopir perkebunan mengantar kenalannya tersebut kembali lebih dini ke kota provinsi. "Tapi maksudku, setidaknya cantik adalah menarik hati" Dalimunte sudah terlanjur membanting pintu mobil. Dia tidak membenci kenalannya tersebut secara personal. Tapi Dalimunte lebih membenci kenyataan bahwa: terkadang betapa munafiknya manusia dalam urusan ini. Lihatlah, kenapa pula temannya tersebut mesti berpura-pura ada jadwal acara mendadak, ceramah di manalah hari ini. Dalimunte membenci ukuran-ukuran relatif yang ada di kepala orang ketika mencari jodoh. Sungguh jika ada yang ingin menilai secara objektif, Kak Laisa masuk tiga dari empat kriteria utama yang disebutkan Nabi dalam memilih jodoh. Jelas Kak Laisa salehah. Saleh dalam hubungan dengan Allah, juga saleh dalam hubungan dengan manusia. Kak Laisa selalu pandai mensyukuri nikmat Allah dalam bentuk yang lengkap. Ritus ibadah yang baik dan ihklas, juga kesalehan memperbaiki kehidupan lembah. Dari sisi materi. Jelas Kak Laisa lebih baik dari gadis lain. Perkebunan strawberry Kak Laisa membentang nyaris dua ribu hektar. Meski Kak Laisa selalu bilang ini perkebunan Mamak, semua orang tahu, semuanya berkat kerja keras Kak Laisa. Dan dari sisi keturunan, Kak Laisa memang bukan turunan raja atau bangsawan ternama, tapi keluarga mereka terhormat, pekerja keras, tidak pernah meminta-minta, berdusta, atau melakukan hal buruk lainnya. Sejak dulu Babak mengajarkan tentang harga diri keluarga, mengajarkan tentang menjaga nama baik keluarga lebih penting dibandingkan soal kalian turunan siapa. Menjadi keluarga yang jujur meski keadaan sulit. Berbuat baik dengan
tetangga sekitar, dan sebagainya. Jadi kenapa harus mempersoalkan kecantikan" Bukankah itu hanya ada di urutan keempat" "Keluarga yang baik hanya dapat terjadi ketika suami merasa senang menatap istrinya, Dali. Merasa tenteram " Kak Laisa berkata pelan, menatap gumpalan awan tipis yang menutupi bintang-gemintang dan purnama. Dalimunte hanya diam. Seperti biasa mereka menghabiskan sepertiga malam terakhir dengan berdiri di lereng perkebunan strawberry. Kak
Laisa tidak banyak berkomentar atas kejadian semalam dan tadi pagi. Seperti biasa, menganggapnya kejadian lazim berikut. Bukankah selama ini juga perjodohan yang dilakukan Wak Burhan bernasib sama. Yang dijodohkan mundur teratur setelah melihatnya (satu dua malah kasar segera pergi dari rumah). Dalimunte saja yang terlalu naif berharap banyak atas kenalannya tersebut, tidak proporsional, tertipu tampilan mutut. Kesalehan mulut. "Kau tahu, jika suami merasa tersiksa melihat wajah dan fisik istrinya, dan juga sebaliknya, mereka tidak akan pernah menjadi keluarga yang baik. Bukankah kau juga tahu kisah tentang sahabat Nabi, yang meminta bercerai karena fisik dan wajah pasangannya tidak menenteramkan hatinya " Laisa tetap berkata ringan. Dalimunte menelan ludah, menatap lamat-lamat wajah Kak Laisa. Tahun-tahun itu, Dalimunte sudah mulai sibuk dengan berbagai penelitian tentang transkripsi religius, jadi bagaimana mungkin dia tidak tahu berbagai kisah tersebut. Dia tahu. Dia juga tahu persis kalimat bijak kalau: ketika salah satnnya justru memutuskan untuk bersabar atas pasangan yang tidak beruntung dari tampilan wajah dan fisik tersebut, maka surga menjadi balasan buatnya. Tidakkah hari ini, ada yang mengerti hakikat kisah tersebut. "Kakak tidak sakit hati"" Dalimunte berusaha melepas senyap di hatinya. "Kenapa harus sakit hati, Dali"" Kak Laisa melambaikan tangan. Dalimunte menunduk. Mengusir rasa sesalnya atas kejadian ini. "Tetapi yang membuat Kakak bingung, kenapa kenalanmu itu tetap datang meski telah melihat foto-foto, Kakak"" Kak Laisa tersenyum, mengenggam lengan Dalimunte. Dalimunte hanya diam. Itu salahnya!
30 PERJODOHAN - PERJODOHAN
"INTAN, ajak adik-adikmu!" Cie Hui berkata pelan. Intan tak perlu disuruh dua kali, menggamit tangan Juwita dan Delima. Turun dari tempat tidur. Itu kamar mereka bertiga. Kamar terluas di rumah panggung perkebunan strawberry, lantai dua. Ada tiga tempat tidur yang berjejer di dalamnya. Dulu hanya satu ranjang besar, tapi karena Intan, Juwita dan Delima sibuk bertengkar saat tidur, sibuk saling memukul guling, Wawak Laisa menggantinya dengan tiga ranjang kecil. Masing-masing satu (yang tetap saja percuma, masih tetap sibuk saling melempar bantal sebelum tidur ) Shubuh sekali lagi datang di Lembah Lahambay. Semburat jingga tipis menghias garis horizon lembah. Semalam, lepas satu jam menunggui Wawak Laisa yang tertidur, Cie Hui menyuruh mereka beranjak tidur. Satu dua tetangga juga mulai pamit. Malam beranjak semakin tinggi. Pengajian Yasin di ruang depan dan surau dihentikan, besok disambung lagi. Penduduk kampung yang duduk-duduk di kursi halaman bertahan beberapa jam lagi. Bang Jogar menyuruh mereka pulang saat menjelang tengah malam. Dalimunte menunggui Wak Laisa di kamar. Tertidur di kursi sebelah ranjang. Eyang Lainuri dibimbing Wulan dan Jasmine beranjak ke kamar. Tidur. Eyang Lainuri terlalu lelah. Sudah seminggu terakhir kurang tidur menunggui Kak Laisa bersama dokter dan perawat. Malam ini ia bisa tidur lebih baik. Dalimunte yang menggantikan berjaga. Kata dokter
selepas memeriksa seluruh status peralatan pukul sepuluh malam, Wak Laisa baik-baik saja. Semua fungsi tubuhnyn terkendali. Intan hanya menguap sok mengerti, sementara Juwita dan Delima sudah jatuh tertidur. Digendong Ummi masing-masing ke kamar besar di lantai dua. Cie Hui menyerahkan tiga mukena kecil. Ketiga gadis kecil itu sudah kembali dari kamar mandi. Wudhu. Biasanya setiap jadwal pulang, paling susah membangunkan Juwita dan Delima. Mereka selalu saja pura-pura tidur, menaruh bantal di kepala, bergelung dibalik selimut, dan trik macam Abi nya dulu. Tapi pagi ini mereka bangun tepat waktu seperti yang lain. Menurut saat diajak Intan ke kamar mandi. Dan tidak banyak bicara saat mengenakan mukena (tidak jahil saling tarik, berisik). Wajah-wajah basah. Shalat shubuh. Dalimunte, Mamak Lainuri, dan yang lain sudah duduk menunggu. Shubuh yang menyenangkan. Udara pagi terasa sejuk. Di surau entahlah siapa yang sedang mengumandangkan adzan. Tidak ada lagi suara keras Wak Burhan. Sudah sejak lama pula penduduk kampung d
an anak-anak tidak perlu lagi membawa obor ke surau. "Ummi, Wak Laisa shalatnya gimana"" Juwita bertanya pelan sambil melipat mukena, selesai shalat. Kan, biasanya Wak Laisa ikut mereka, berjejer di sebelah Eyang. Biasanya juga selepas shalat Wak Laisa suka bercerita tentang sahabat-sahabat Nabi. Bercerita apa saja. Sekarang Wak Laisa kan sakit parah" Shalatnya pasti susah. "Wak Laisa shalat sambil berbaring, sayang." " Emangnya boleh, ya"" Juwita melipat dahi. Jasmine mengangguk. Meski kemudian pelan menghela nafas. Tentu Juwita sedikit kesulitan bagaimana membayangkan shalat seperti itu. Dan akan lebih susah lagi membayangkan bagaimana sulitnya Kak Laisa shalat dengan kondisi tubuh yang amat menyedihkan. Dibalut infus dan belasan belalai plastik. Tetapi mereka benar-benar terkejut, saat beranjak ke kamar perawatan Wak Laisa. Lihatlah, Wak Laisa ternyata shalat sambil duduk. Bersandarkan bantal-bantal. Wajah itu pucat, terlihat lemah, dan sedikit gemetar, tapi matanya. Matanya terlihat begitu damai. Wak Laisa shalat shubuh sambil duduk. Selepas kejadian malam itu, Dalimunte tidak patah arang meski perjodohan dengan kakak kelasnya gagal total. Kak Laisa meski sekali dua bilang, Dali tidak perlu memaksakan diri mencarikan jodoh buatnya, mengalah. Membiarkan Dalimuinte yang justru semakin hari semakin terlihat semangat, "Kakak sendiri yang bilang jodoh itu di tangan tangan Alloh. Hanya soal waktu. Jadi biarkan Dali terus berusaha. Semoga akhimya jodoh kakak datang." Kak Laisa hanya mengangguk. Namun sepertinya semua upaya Dalimunte akan sia-sia. Kali ini Dalimunte memutuskan untuk tidak mengajak yang bersangkutan ke Lembah Lahambay sebelum memastikan banyak hal. Dalimunte memulainya dengan mencari seseorang yang dia pikir cukup baik dan memadai untut Kak Laisa. Menjelaskan Kak Laisa dengan baik dan lengkap Memperlihaikan foto. Terhenti. Proses itu diulang lagi. Mencari seseorang yang dia pikir cukup baik dan memadai untuk Kak Laisa. Menjelaskan siapa sebenarnya Kak Laisa dengan baik dan lengkap. Memperlihatkan foto. Terhenti. Mencari seseorang yang dia pikir cukup baik dan memadai untuk Kak Laisa... Enam bulan berlalu. Tetap sia-sia. Belum ada hasil Proses itu selalu terhenti. Enam bulan berlalu lagi. Sekarang giliran Yashinta yang lulus dari kuliah S1-nya. Kabar baik berikutnya di lembah indah mereka. Siang itu Mamak Lainuri, Dalimunte, Cie Hui, Ikanuri, dan Wibisana duduk di kursi baris terdepan. Berjejer. Menatap bangga Yashinta yang begitu cantik dengan toga wisudanya. Hari itu resmi sudah menjadi harinya Yashinta. Ia lulus dengan predikat cumlaude, terbaik. Menjadi wakil wisudawan saat memberikan sambutan.
"Untuk Mamak, yang setiap malam berdoa buat Yash dan kami.... Yang doanya mungkin saja telah membuat langit diaduk-aduk...." Gadis cantik itu mulai tersendat, ia tiba di penghujung sambutannya, "Untuk Kak Dalimunte yang selalu menjadi teladan, mengajarkan proses belajar, mengajar, mengajarkan tentang ketekunan.... Untuk Kak Ikanuri dan Kak Wibisana yang meski nakal, selalu dimarahi Mamak, namun memberikan pemahaman ke Yash tentang menjalani hidup dengan rileks dengan indah" Gadis itu tertawa, menyeka matanya. "Dan... dan..." Yashinta terdiam. Tersendat Dalimunte yang tahu kalimat apa yang akan disampaikan Yashinta sekarang, menggenggam tangan Kak Laisa yang duduk di sebelahnya. Menatap wajah Kak Laisa yang juga menangis tertahan melihat Yashinta berdiri di panggung Wisuda. "Dan untuk Kak Laisa...." Yashinta terbata, "Untuk Kak Laisa yang telah mengorbankan seluruh hidupnya demi kami... Yang selalu mengajarkan makna kata bekerja keras, bekerja keras.... Yang demi Yash, demi Kak Dalimunte, demi kami semua... dulu memutuskan berhenti sekolah.... Untuk Kak Laisa yang selalu menepati janji... tidak perah datang terlambat buat kami.... Kami, kami tidak akan pernah melihat Kak Laisa berdiri di sini, tapi bagi kami, Kak Laisa-lah yang selalu berdiri di sini...." Aula besar itu lengang. Tidak ada yang tahu siapa sesungguhnya Kak Laisa. Apa perannya datam cerita yang disebutkan Yashinta. Tapi ucapan itu amat tulus, dari hati
yang menjadi saksi langsung atas masa lalu tersebut. Maka sempurna sudah kalimat Yashinta membuat yang lain tersentuh. Menggantung di langit-langit ruang wisuda. Kak Laisa mengusap pipinya yang basah. "Terima kasih.... Terima kasih karena Kak Lais dulu telah mengajak Yash melihat lima anak berang-berang itu.... Sungguh...." Dan Yashinta tidak kuasa lagi melanjutkan kalimatnya. Melangkah turun. Sedikit berlari menuju kursi Mamak dan Kak Laisa. Memeluk Kak Laisa dan Mamak erat-erat. Menciumi rambut gimbal Kak Lais. Berang-berang itu selalu penting baginya. Enam bulan kenudian, Yashinta akan melanjutkan studi S2-nya di Eropa. Ia mendapatkan beasiswa penelitian konservasi ekologi, bahkan beasiswa itu ditawarkan saat Yashinta masih menulis tugas akhir kuliah Sl-nya. Kecintaannya atas alam tumbuh subur sejak melihat anak berang-berang tersebut. Dan sejak kecil Yashinta sudah belajar dari guru terbaiknya soal mengenal alam. "Kalau dulu kita yang mengajak Yash ngelihat anak harimau di Gunung Kendeng, pasti tadi juga disebut-sebut, Ikanuri nyengir, tertawa kecil melihat Yashinta yang masih mememeluk Kak Laisa. "Yap! Bisa jadi lebih lebih mengharu biru dari ini kalimat-kalimatnya. Harimau ini, kan. Lebih keren dibanding berang-berang." Wibisana menimpali, dengan wajah sok serius Mengangguk-anguk. Dalimunte menyikut dua sigung yang tidak kecil lagi itu. Tapi Mamak dan Kak Laisa ikut tertawa. Benar-benar terlupakan masa-masa delapan belas tahun silam. Hari ini, Yashinta bukan gadis kecil berkepang umur enam tahun lagi. Saat ini umurnya sudah dua puluh empat, dan Yashim tumbuh menjadi gadis yang cantik menawan. Lihatlah, lepas prosesi wisuda itu, ada banyak sekali teman lelaki Yashin yang pura-pura mengajak foto bersama, "Buat kenangan terakhir, Yash!" atau seruan ragu-ragu dari wajah merah mereka, "Ah-ya, boleh aku minta nomor teleponmu"" Yashinta hanya melotot. Saat itu tidak ada yang tahu, kalau bertahun-tahun terakhir Yashinta amat membenci kelakuan teman lelakinya sibuk mencari perhatian. Apakah mereka akan tetap sibuk mencari perhatian jika wajah dan fisiknya seperti Kak Laisa" Omong-kosong. Mereka tidak benar-benar menyukai dirinya.
Menyukai apa-adanya. Mereka hanya menyukai tampilan fisik dan wajah. Seperti seekor lebah tertarik atas indahnya kelopak bunga. Seperti seekor rubah yang tertarik pasangannya karena bau tubuhnya. Maka hewan-lah sejatinya perangai mereka. Beruntung, tidak ada yang terlalu memperhatikan tatapan benci Yashinta. Perkebunan strawberry malam itu terang benderang. Kak Laisa sama seperti saat kelulusan Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana, merayakan kelulusan Yashinta di hamparan halaman rumah pangung. Mengundang tetangga. Semua berkumpul. Meriah. Meja-meja panjang tersusun rapi. Kursi-kursi dipenuhi wajah riang. Makanan terhampar.... Hingga pukul sembilan ketika anak-anak mulai lelah berlarian, ketika malam beranjak matang, keramaian mulai berkurang. Tetangga satu persatu beranjak pulang. Menatap Mamak dan Kak Laisa dengan tatapan kagum dan hormat. Lihatlah, anak-anak di keluarga ini berhasil menyelesaikan sekolah tingginya.Sarjana, Dalimunte malah lulusan S3, doktor, sekolah luar negeri. Tidak pernah terbayangkan, anak-anak yatim, yang sejak kecil ditinggal Babak karena mati diterkam harimau sekarang sudah besar-besar, berpendidikan. Wak Burhan yang terlihat paling bahagia. Menebar senyum. Menepuk bahu Dalimunte berkali-kali, berkata lebar, " Aku sudah menduga. Aku sudah menduganya dari dulu!"
31 ISTRI KEDUA "HALLO PROFESSOR, kami sudah di Singapore. Ya. Transit sebentar. Lima belas menit lagi langsung ke Jakarta. Apa" Oh, "sudah! Tiketnya sudah diurus staf pabrik.... Kami berangkat ke Ibukota provinsi sore ini juga.... Jika tidak ada delay, bilang Mamak kami akan tiba nanti malam, mungkin menjelang tengah malam. Apa" Jemputan" Tidak usah, aku akan pakai mobil modifikasi bengkel di sana saja. Itu lebih cepat. Ya" Lebih cepat, Professor " Ikanuri tetap saja harus berteriak-teriak, meski tidak ada lagi badai seperti di Pegunungan Alpen Swiss, semalam. Ruang tunggu bandara internasional Singapore itu ramai.
Bising lalu-lalang penumpang sudah macam deru hujan deras saja, belum lagi teng-tong-teng pengumuman. Mereka ahirnya tiba setelah penerbangan non-stop dua belas jam: Perancis-Singapore. Sudah siang. Matahari tiba di garis tertingginya. Setelah hampir sehari semalam tidak menyentuh makanan, Wibisana memaksakan diri mampir ke salah satu kedai fast-food bandara. Sambil menunggu pesawat berikutnya. Wajah mereka kuyu, kurang istirahat. bit lag pula. Bolak-balik melangkahi perbedaan waktu hampir belasan jam membuat pusing kepala. Merusak bio-ritme. Rambut semrawut. Kemeja berantakan. Malah salah satu kaki celana panjang Ikanuri tergulung sembarangan. Habis shalat dhuzhur, lupa dirapikan. Meletakkan tas laptop dan barang bawaan sembarang di sekitar meja makan. "Tidak. Aku tidak tahu.... BELUM! Apa" Aku sudah puluhan kali menelepon HP satelit Yashinta. Dasar sialan. Kemana pula anak ini sekarang.... Jangan. Jangan bilang Kak Laisa kalau HP Yashinta tidak bisa dihubungi. Ya Allah, itu akan membuatnya berpikiran yang tidak-tidak. Kau tidak boleh bilang.... Tentu saja aku sekarang ikut cemas, Profesor! Ikanuri mengusap dahi. Sedikit sebal dengan intonasi suara Dalimunte. Pelayan mengantarkan kue donut besar-besar. Wibisana yang sedang menatap adiknya bicara via telepon genggam dengan Dalimunte di perkebunan strawberry mengalihkan tatapan. Aroma kue itu cukup mengundang, meski mereka tetap tidak berselera makan. Menelan ludah. Kalau saja ada Juwita, Delima, dan Intan, ketiga anak-anak nakal itu pasti bisa menghabiskan menu ini dalam sekejap, satu menit. Itu bahkan sudah termasuk waktu yang dibutuhkan untuk bertengkar. Berebutan. "Tadi aku sudah menelepon Goughsky. Dia juga kebetulan sedang di sekitar Semeru. Biar dia yang mencari kemana anak itu. Apa" Semoga tidak.... Semoga tidak, Dali. Yashinta pasti
baik-baik saja. Kau berlebihan. ANAK ITU SUDAH MENDAKI 27 GUNUNG DI SELURUH DUNIA .... SEMUA BAIK-BAIK SAJA! Baiklah, bilang Mamak dan Kak Laisa kami paling telat akan tiba malam ini...." Ikanuri meletakkan telepon genggam di atas meja. Meski wajahnya terlihat kusut dan cemas, sedetik kemudian dia akhimya bisa tersenyum. "Apa kata Dali"" Wibisana bertanya. "Kak Laisa sudah membaik. Pagi tadi sudah bisa shalat Shubuh sambil duduk. Dokter bilang, ada sedikit kemajuan." Wibisana ikut tersenyum, lega, "Apa kubilang, Kak Laisa akan baik-baik saja. la akan baik-baik saja " "Tapi kata dokter, kanker paru-parunya sudah stadium IV ," Ikanuri menelan ludah. Senyumnya terhapus.Stadium IV" Itu berarti tak ada lagi kemungkinan untuk operasi. Terdiam. Wibisana melepaskan kue donut yang dipegangnya. Bagaimana mungkin mereka selama ini tidak tahu" Umur Laisa hampir empat puluh (tepatnya tiga puluh tujuh tahun) ketika akhirnya kesempatan baik itu datang. Kesempatan baik" " Kau sungguh-sungguh"" Dalimunte bertanya sekali lagi. "Tentu saja, Dali. Istriku juga sudah melihat foto dan bio-data Laisa. Itu akan jadi pilihan yang baik dalam urusan ini " Tersenyum. Kolega riset Dalimunte di laboratorium itu tersenyum tulus. Istriku" Nah inilah yang sedikit menjadi masalah. Kolega Dalimunte tersebut, calon jodoh Kak Laisa kali ini, sudah beristri. Umurnya juga sudah empat puluh. Mereka sudah menikah lima belas tahun, dan kabar buruknya hingga hari ini belum mendapatkan anak juga. Istrinya, yang memiliki masalah dengan rahim dan kesuburan, memberikan kesempatan kepada suaminya untuk menikah lagi. Dalimunte tahu persis kalau rekan kerjanya tersebut sedang mencari istri kedua. Tapi butuh tiga bulan untuk meyakinkan, hingga akhimya menyebutkan nama Kak Laisa ke rekan kerjanya tersebut. Kak Laisa menjadi istri kedua" Sungguh awalnya Dalimunte tidak bisa membayangkan. Tetapi lihatlah, mungkin itu jalan keluar yang baik semua urusan ini. Setelah berbicara banyak dengan Cie Hui, diam-diam juga bicara dengan Wak Burhan dan Mamak saat jadwal rutin pulang dua bulan sekali. Keputusan itu diambil. "Sudah menjadi kodrat manusia hidup berkeluarga, Dali. Menjadi istri kedua, ketiga atau keempat tidak selalu pilihan yang buruk seperti yang dibayangkan banyak orang ini. Jika ad
a alasan yang baik, penjelasan yang baik, itu bisa menjadi jalan keluar yang bijak, bukan" Allah membolehkan seorang lelaki memiliki empat istri dalam waktu bersamaan jika dia bisa berlaku adil, tentu karena ada alasan baiknya Allah menyimpan banyak sekali rahasia dalam sebuah pernikahan...." Wak Burhan menghela nafas. "Kalau Kakakmu tidak berkeberatan, Mamak hanya bisa bilang ya," Mamak memperbaiki tudung kepala (setelah terdiam lama), "Kau bicarakan dulu baik-baik dengan Laisa. Sampaikan dengan baik-baik...." Maka Dalimunte segera kembali ke ibukota. Dia berfikir lebih baik berbicara dengan kolega risetnya lebih dulu. Jika semuanya baik, memastikan kolega risetnya tidakberkeberatan dulu dengan tampilan wajah dan fisik Kak Laisa, maka lebih mudah membicarakannya lebih lanjut dengati Laisa. Dan kabar baik itu benar-benar tiba. Rekan kerjanya 100% tidak keberatan meski telah melihat foto Kak Laisa. Istri pertamanya juga tidak keberatan. "Kau tahu, justru istrikulah yang menyarankan aku menikah lagi." Rekan kerja Dalimunte menatap lamat-lamat wajah istrinya yang duduk di sebelahnya. Itu kunjungan ketiga Dalimunte ke rumah mereka yang asri, sepelemparan batu dari rumah Dalimunte dan Cie Hui.
"Aku mencintai isteriku. Amat mencintainya. Jika saja ia bisa melahirkan anak-anak kami.... Aku sungguh tidak pernah bisa membayangkan harus menikah lagi " Pasangan itu saling menggenggam tangan. Dalimunte tersenyum menatapnya. Ini mungkin jalan keluar yang baik. Menyelesaikan masalah keluarga mereka, sekaligus menyelesaikan masalah Kak Laisa. Wak Burhan benar, jika ada alasan yang baik, tidak selalu poligami itu buruk. "Aku akan mencintai Laisa dengan baik, Dali. Akan menjadi suami yang adil. Meski amat susah membayangkan harus membagi cintaku.... Semoga ia tidak keberatan menjadi istri kedua.... Semoga ia memberi kesempatan padaku untuk belajar dalam proses sulit ini. Ia sungguh pilihan yang baik. Isttriku menyetujuinya, dan aku sudah berjanji kepada istriku, akan membuat pernikahan-pernikahan kami bahagia.... Bilang kepada Mamak dan Laisa, kami akan datang memperkenalkan diri minggu depan. Kami akan melamar Laisa." Maka Dalimunte, demi mendengar kalimat hebat tersebut, segera kembali ke perkebunan strawberry. Sekarang menyelesaikan bagian penting berikutnya. Menjelaskan kepada Kak Laisa tentang: posisi istri kedua.
Hamster belang itu mengangkat-angkat kepalanya. Berjinjit. Kedua kaki depannya memegang erat-erat buah strawberry matang. Menggigit. Menjilat. Lucu sekali melihatnya sibuk menaklukkan buah merah tersebut. Intan duduk di sebelah Wak Laisa, tertawa. Juga juwita dan Delima. Ranjang besar itu besar, menyisakan ruang yang cukup buat berempat. "Wawak sudah mendingan"" Sejenak Juwita menolehkan kepala, menatap Wak Laisa yang ikut tersenyum. Menonton kelakuan Rio, hamster belang Intan. Laisa mengangguk. Pagi ini ia merasa lebih kuat (seperti dulu, meski fisiknya sakit, semangat yang tinggi selalu memberikan kekuatan, kehadiran tiga sigung kecil ini juga membuat Kak Laisa kembali merasa kuat, meski entah hingga kapan). Bosan jadi pusat perhatian, dan sebal karena buah strawberry tidak mudah digigit, hamster itu melempar buah strawberry sembarangan, lantas dengan cuek loncat turun dari tempat tidur, "Wawak haus" Intan ambilin minum buat Wawak, ya"" Wak Laisa mengangguk. Gadis kecil sembilan tahuti ini turun, melangkah keluar ruangan. Eyang Lainuri duduk di kursi tengah ruangan, juga Dalimunte. Cie Hui, Wulan dan Jasmine ada di ruang belakang, mengurus dapur dan sebagainya. Tetangga masih berkumpul. Cemas menunggu kabar sakitnya Laisa. Mereka belum mengaji yasin lagi. Kabar membaiknya Laisa membuat situasi rumah sedikit riang> Cie Hui memutuskan membuat makan besar. Dibantu anak gadis tetangga lainnya. Tetangga sekitar yang berkumpul sejak dua hari lalu pasti tidak sempat masak di rumah. Mereka bahkan menghentikan aktivitas sehari-hari. "Yee, Kak Intan ngapain pula bawa gelang-gelang ini" Juwita dan Delima hampir berseru berbarengan saat Intan kembali sambil membawa nampan air minum ( dengan beberapa gelang "Safe The Planet"-nya).
"Nih, buat kalian " Intan melotot, menyerahkan dua gelang. "Mending gratis." Mulut Juwita kumur-kumur protes. Orang dibayar lima ribu saja mereka tetap tidak mau pakai. Lah, ini justru disuruh bayar lima ribu. Delima ikut-ikutan malas menerimanya. Tapi daripada nanti Kak Intan marah-marah, terus nyubit perut. Mending ngalah. Nanti kan sembunyi-sembunyi bisa dilepas. Kak Laisa yang berbaring bersandarkan bantal tertawa kecil. Juwita dan Delima benar-benar mirip kedua ayahnya. Dulu meski bandel, melihat kelakuan Ikanuri dan Wibisana sungguh memberikan semangat hidup baginya. Meski keras kepala, selalu membantah, kedua
sigung kecil itu membuat masa kecil dan remajanya yang sulit dan penuh kerja keras, menjadi berwarna dan berisik sepanjang hari. Mereka sejak dulu, selalu menjadi adik-adik yang baik. Hanya soal bagaimana mereka menunjukkannya saja yang sedikit berbeda dengan anak-anak lain. Mereka hanya menuntut perhatian. Sayangnya, Mamak setiap hari sibuk bekerja. Juga dirinya. Kebersamaan di rumah hanya ada lepas maghrib, itupun dengan wajah-wajah lelah. Maka dua sigung kecil itu juga sibuk mencari perhatian. Nakal. Ikanuri dan Wibisana sejak dulu memang beda, dan sekarang tabiat jahil mereka sempurna diwarisi oleh Juwita dan Delima.
32 KODRAT MANUSIA "JIKA ada seseorang yang tidak mempermasalahkan usia, dan apapun dari Kakak.... Jika ada seseorang yang tetap bersedia menikah walau telah melihat foto-foto Kakak.... Namun, namun...." "Katakan saja, Dali. Langsung ke pokok permasalahan." Kak Laisa memotong lembut, menatap wajah adiknya lamat-lamat. Bukan sekali dua ini mereka membicarakan urusan perjodohan. Bukan pula sekali dua ini mereka melakukan pembicaraan di lereng perkebunan strawbery saat malam tiba di penghujungnya. Ia amat mengenal intonasi, mimik muka, bahkan helaan nafas Dalimunte saat bicara. Jadi kenapa adiknya harus merasa amat sungkan. "Katakan saja, Dali. Namun kenapa"" Kak Laisa bertanya sekali lagi, memegang lengan adiknya. Tingginya hanya sedada Dalimunte. Hamparan buah strawberry terlihat remang di bawah cahaya rembulan. Jadwal pulang dua bulanan mereka. Semuanya berkumpul, kecuali Yashinta, yang masih kuliah di Belanda. Hanya menelepon saat mereka ramai duduk di beranda rumah panggung. "Dali yakin dia pilihan yang baik. Jodoh yang baik.... Dia teman riset Dali di lab. Umurnya empat puluh. Saleh. Berakhlak baik. Dari keluarga yang baik. Namun..." Dalimunte menelan ludah. Deskripsi yang penuh informasi dalam satu tarikan nafas itu terhenti. Kak Laisa tersenyum, namun apa" "Dia sudah menikah.... Maksud Dali, mereka sudah lima belas tahun menikah, dan istrinya tidak bisa mengandung. Istrinya yang meminta dia menikah lagi.... Maksud Dali, mereka sudah melihat foto dan bio-data Kakak. Istrinya juga sudah setuju.... Mereka benar-benar keluarga yang menyenangkan, keluarga yang bahagia.... Dia berjanji akan mencintai Kak Laisa dengan baik, istrinya juga berjanji akan menerima Kak Laisa dengan baik...." Dalimunte menghela nafas. Terhenti sejenak. Setelah tertahan, penjelasan itu akhirnya meluncur bagai bebat air yang jebol, Lengang, Hanya terdengar suara burung hantu di kejauhan. "Dia sudah menikah.... Maksud Dali, apakah Kak Laisa bersedia jadi istri kedua"" Dalimunte bertanya ragu-ragu. Meski dengan intonasi suara yang lebih baik. Lebih jelas. Sekali lagi hanya lengang. Dan sungguh tidak ada keputusan malam itu. Kak Laisa hanya tepekur. Tertunduk menatap ribuan polybag strawberry yang membentang luas memenuhi lereng lembah. Entahlah apa yang dipikirkan Kak Laisa. Entah apa yang sedang berkecamuk di kepalanya. Dalimunte ikutan terdiam. Tidak bertanya lagi. Urusan ini tentu saja tidak mudah. Istri kedua" Apakah ada wanita di dunia ini yang dengan mudah memutuskan menjadi istri kedua" Meski dengan banyak alasan bijak. Apakah harga diri Kak Laisa terganggu dengan pertanyaan itu" Setelah sekian lama tidak mendapatkan
jodoh, setelah sekian lama ditolak baik secara halus atau kasar sekalian, pilihan yang tersedia baginya ternyata hanya istri kedua" Ya Allah" Hanya lengang. Tidak ada keputusan malam itu. Dan juga
tidak malam-malam berikutnya saat jadwal pulang. Mamak tak kuasa membantu Dalimunte memberikan penjelasan kepada Kak Laisa. Wak Burhan juga meski dulu amat yakin bahwa solusi yang baik bagi Laisa dalam urusan ini adalah menjadi istri kedua juga tidak bisa membantu banyak. Ikanuri dan Wibisana yang akhirnya tahu masalah itu dari Dalimunte juga diam. Menelan ludah. Dalimunte sengaja tidak memberitahu Yashinta, karena pasti adik terkecil mereka akan menolak mentah-mentah pilihan tersebut. Empat bulan berlalu, Dalimunte terpaksa berbohong kepada rekan risetnya saat dia mulai meminta jawaban, "Kak Laisa membutuhkan waktu lama untuk memutuskan. Aku tidak tahu berapa lama lagi...." Kabar baiknya, rekan riset Dalimunte tidak terlalu mendesak, "Tak masalah, Dali. Laisa memang harus memikirkannya matang-matang. Tidak hanya persiapan dirinya sendiri, tapi ia juga harus mempersiapkan diri bagaimana tetangga sekitar akan menilainya... Kau tahu, untuk tiba di keputusan menikah lagi, kami berdua memerlukan waktu hampir lima tahun. Jadi aku bisa menunggu kabar baik dari Kak Laisa beberapa bulan lagi," Tersenyum. Itu kunjungan ke sekian kali Dalimunte ke keluarga itu. Kali ini bersama Cie Hui. Bagaimana tetangga sekitar akan menilainya" Dalimunte terdiam lama, menelan ludah. Urusan ini jelas-jelas tidak lazim di Lembah Lahambay. Gadis tua saja sudah menjadi aib. Dilintas adiknya menikah pula. Dan sekarang satu lagi status baru Kak Laisa: istri kedua. Itu benar-benar tidak lazim. Meski bukan jadwal rutin seharusnya, Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana pulang lagi ke lembah satu minggu kemudian. Wak Burhan meninggal. Di usia 88 tahun. Proses kematian yang indah. Tanpa sakit. Tanpa proses. Wak Burhan meninggal saat sujud shalat shubuh di surau. Membuat jamaah bingung karena imam mereka tidak kunjung bangkit untuk duduk tasyahud akhir. Ternyata Wak Burhan yang suara kerasnya selalu menghias Lembah Lahambay sudah meninggal. Yashinta yang sejak kecil dulu amat dekat dengan Wak Burhan (karena sering mengadu soal Kak Laisa) ingin memaksakan diri pulang. Tapi Dalimunte melarang, Yashinta sedang melakukan riset S2-nya. "Kata Mamak tadi sebenarnya tidak ada yang tahu berapa persis umur Wak Burhan.... Nisan itu hanya sembarang menulis tahun lahir.... Mamak pun tidak tahu." Kak Laisa memecah sunyi lereng perkebunan. Jadwal bicara mereka penghujung malam. "Bagaimana Mamak akan tahu" Mamak saja tidak tahu kapan tahun lahirnya sendiri" Juga tanggal lahir kita, bukan" " Dalimunte tertawa kecil. Bergurau. Itu benar, waktu mereka mendaftar sekolah dulu, mereka mengisi sembarang kolom tanggal lahir. Mamak dan kebiasaan penduduk lembah, selalulalai untuk mencatat tanggal lahir. Mereka hanya ingat si anu lahir saat musim tanam tahun kapan. Musim penghujan tahun kapan, musim paceklik, dan seterusnya. Tidak ada yang mencatat detail hingga hari dan bulan. "Wak Burhan terlihat senang sekali tahun-tahun terakhir meski hidup sendiri.... Dia bangga sekali dengan penghidupan pang baik di lembah. Dia juga bangga sekali denganmu, Dalimunte. Berkali-kali bilang ke anak-anak yang belajar ngaji di surau soal pentingnya sekolah, 'Biar kalian bisa jadi Oom Dalimunte yang hebat. Sering masuk tipi' " Kak Laisa tersenyum, menatap langit cerah, mengenang masa-masa lalu itu. Semua penduduk lembah tahu, Wak Burhan meski menikah dua kali, hampir menghabiskan hidupnya sendiri. Istri muda (istri kedua) Wak Burhan yang dulu menikah di
usia tujuh puluhan sudah meninggal lima tahun silam. Anak satu-satunya dari istri pertama juga meninggal di usia muda. Diterkam penguasaGunung Kendeng. "Aku ingat sekali kata-katanya, yang selalu diucapkan setiap kali bertandang ke rumah, bercakap-cakap dengan Mamak, 'Meski terlahir sendiri, sudah menjadi kodrat manusia untuk berketuarga, memiliki tempat untuk berbagi, memiliki teman hidup'..." Kak Laisa mendadak terhenti. Menghela nafas. Dalimunte yang berdiri di sebelahnya menoleh. Dia juga pernah mendengar kalimat itu dari Wak Burhan. Sudah hampir lima bulan mereka tidak membicarakan perjodohan itu. Sungkan. Dalimunte takut menyinggung perasaan Kak La
isa. Malam ini" Dalimunte ikut menghela nafas panjang. Malam ini mungkin tidak membicarakan hal itu setelah kematian Wak Burhan. "Apakah, ergh, apakah Kak Laisa enggan dengan sebutan istri kedua" Maksud Dali, apakah Kak Laisa khawatir dengan penilaian tetangga sekitar"" Setelah berdiam diri satu sama lain, Dalimunte akhirnya memutuskan untuk membicarakan hal tersebut. Mungkin ini saat yang tepat. Kak Laisa menoleh. Menatap wajah Dalimunte lamat-lamat, "Tentu tidak, Dali. Bukankah dulu Kakak pernah bilang: buat apa kau memikirkan apa yang dipikirkan orang lain, buat apa kau mencemaskan apa yang akan dinilai orang lain... Tentu saja bukan itu masalahnya." "Lantas, maksud Dali, mengapa Kak Laisa tidak kunjung mengambil keputusan" Setidaknya untuk bilang ya atau tidak.... Wak Burhan dulu pernah bilang, jika ada alasan baiknya, menjadi istri kedua tidaklah selalu buruk. Dia pilihan yang baik buat Kak Laisa. Istrinya juga mengijinkan.... Dan Dali yakin sekali, mereka juga akan menjadi bagian yang tepat bagi keluarga kita...." Kak Laisa diam sejenak. Membiarkan angin pagi menelislk rambut gimbalnya. Dingin. "Setiap kali menatap hamparan perkebunan strawberry ini, aku selalu merasa, Allah amat baik kepada kita.... Kau tahu Dali, setiap kali mendengar kabar kalian. Mendengar apa yang telah kalian lakukan. Aku merasa, Allah benar-benar baik kepada kita. Kakak sungguh merasa cukup dengan semua ini.... Umurku hampir empat puluh tahun, Dali. Setelah sekian lama jodoh itu tidak pernah datang, aku pikir itu bukan masalah besar lagi.... Mungkin benar sudah menjadi kodrat manusia untuk menikah, berkeluarga. Mungkin Wak Burhan benar. Tapi itu tidak pernah menjadi sebuah kewajiban, kan.... Sejak lama aku sudah bisa menerima kenyataan jika memang menjadi takdirku hidup sendiri, jika memang tak ada lelaki yang menyukai tampilan wajah dan fisik. Keterbatasan ini "Ah, Allah sudah amat baik dengan memberikan kalian, adik-adik yang hebat. Keluarga kita. Perkebunan ini, Kakak sungguh sudah merasa cukup dengan semua itu...." Kak Laisa menghela nafas, terdiam lagi. "Apakah Kakak tetap menginginkan menikah" Tentu saja, Dali. Namun jika perjodohan itu harus datang, Kakak tidak ingin proses itu justru mengganggu kebahagiaan yang sudah ada. Bukan karena sebutan istri kedua itu, Dali, Bukan pula karena cemas apa yang akan dipikirkan tetangga. Tetapi Kakak tidak mau pernikahan itu menganggu kebahagiaan yang telah ada...." Malam itu setelah bicara hingga shubuh. Saat adzan terdengar dari surau (entahlah siapa yang mengumandangkan adzan tersebut sekarang). Akhirnya keputusan itu diambil. Dalimunte akhirnya mengerti mengapa begitu lama keputusan itu terbelengkalai, Kak Laisa enggan menyakiti perasaan istri pertama calon perjodohan ini. Butuh berkali-kali menyakinkan Kak Laisa kalau pernikahan itu justru karena permintaan istri pertama.
Sungguh tak akan ada yang tersakiti. Tentu saja, di hati paling dalam istri pertama proses ini mungkin akan menyakitinya karena ia tetap manusia yang memiliki perasaan, tapi kasus ini amat berbeda. Mungkin inilah solusi terbaik buat dua masalah yang bersisian. Shubuh itu akhirnya keputusan penting itu berhasil diambil.
33 AKU AMAT MENCINTAINYA KAK LAISA terlihat gugup sepanjang pagi (bahkan sebenarnya sejak semalam). Meski ia berusaha menyembunyikannya dengan menyibukkan diri, memastikan semua baik-baik saja, wajahnya yang memerah tak bisa menyembunyikan perasaan Dua minggu sejak kematian Wak Burhan. Selepas pembicaraari penting shubuh itu, Dalimunte menyerahkan foto - f oto dan profile rekan risetnya. Juga foto istri pertamanya. Menceritakan banyak hal. Menjawab banyak pertanyaan. Lantas Laisa mengangguk, mempersilahkan mereka segera datang untuk saling berkenalan. Siang ini rombongan dari ibukota akan tiba. Yang lain juga pulang, Hari ini penting bagi keluarga mereka. Ikanuri dan Wibisana lebih dulu pulang. Mereka sekarang sudah memiliki bengkel besar di kota seberang pulau, bengkel yang di kota provinsi diurus orang kepercayaan Mereka. Yashinta tetap tidak bisa pulang, semakin sibuk dengan penelitian tahun terakhir S2-n
ya. Tapi ia menyempatkan menelepon berkali-kali. Telepon pertama penuh dengan rajuk keberatan. Bagaimanalah Kak Laisa akan menjadi istri kedua" Ya Allah, apakah Kak Laisa harus melemparkan harga dirinya" Merendahkan martabatnya menjadi istri kedua" Dalimunte bahkan sampai marah menjelaskan banyak alasan. Telepon kedua, ketiga dan berikutnya lebih banyak diam (meski tetap merajuk). Dan akhirnya menangis tersedu saat Kak Laisa sendiri yang menjelaskan keputusan itu. "Kalau Yash tidak suka, Kakak akan membatalkannya, sayang. Sungguh, kalau Yash tidak setuju " Yashinta yang menelepon dari apartemennya di Belanda menyeka pipi. Ia tidak akan pernah membantah Kak Lais, Dulu tidak, apalagi sekarang. Menjelang dzhuhur, dua kijang kapsul jemputan pengalengan buah strawberry itu tiba. Kak Laisa berkali-kali memperbaiki kerudungnya. Berkali-kali merapikan pakaian. Ia amat gugup. Mamak hanya tersenyum simpul. Mengenggam jemari Laisa. Menenangkan. Berbisik, semua akan baik-baik saja, Lais. Dan urusan sepanjang siang itu berjaian lancar, tidak sesulit yang dicemaskan Laisa. Rekan riset Dalimunte hanya datang seorang diri. Istrinya sakit, sudah dua hari mual dan muntah. Terlalu lemah untuk melakukan perjalanan jauh. Rekan Dalimunte pandai menempatkan diri dalam urusan tersebut. Melontarkan humor dan pujian yang baik. "Aku akhirnya mengerti bagaimana Dalimunte bisa menjadi ahli fisika yang hebat.... Tapi kau tidak lagi masih dipukul Laisa dengan rotan, bukan"" Tertawa. Membuat suasana tegang mencair dengan cepat. Cie Hui juga membantu banyak Kak Laisa. Pertemuan itu tidak semenakutkan yang dipikirkan Laisa. Justru berjalan menyenangkan. Mereka shalat dzhuhur sebelum melakukan pembicaraan. Menghabiskan makan siang. Mengelilingi perkebunan strawberry. Dalimunte benar, inilah kesempatan terbaik Kak Laisa. Rekan risetnya pilihan yang tepat. Dia sama sekali tidak mempersalahkan tampilan wajah dan fisik Kak Laisa. "Bagiku kau secantik apa yang kau kerjakan untuk lembah ini, Lais!" Menatap penuh penghargaan. Ah, dalam banyak kasus, kesalehan seseorang memang tidak bisa diukur dari tampilan mulut, tulisan dan apalagi pakaian. Dan kebersamaan sepanjang siang (bersama-sama dengan yang lain) itu sudah menjadi proses perkenalan yang baik. Memahami visi dan misi berkeluarga masing-masing. Memahami cara berpikir masing- masing. Maka memang tidak perlu lagi pembicaraan formal. Semuanya berjalan santai. Mengalir. Apa adanya. Sekali dua, Kak Laisa memberanikan diri melirik rekan kerja Dalimunte. Memerah mukanya. Bersitatap satu sama lain. Lebih tersipu lagi. Ikanuri dan Wibisana, kabar baiknya sedang alim, mereka tidak sibuk menggoda Kak Laisa yang tersipu. Dalimunte hanya tersenyum lega, Kak Laisa akhirnya berkesempatan merasakan romantisme perasaan itu. Selepas shalat isya, lepas menghabiskan makan malam di depan, sambil memandang hamparan perkebunan strawberry yang remang oleh cahaya lampu, rekan riset Dalimunte akhirnya menyampaikan maksud dan tujuannya dengan serius. Menatap wajah Kak Laisa sambil tersenyum, "Laisa mungkin sudah mendengar beberapa hal tentang aku, sudah tahu beberapa tabiat, perangai.... Hari ini aku datang memperkenalkan diri secara langsung, sekaligus ingin mengenal secara langsung. Terus terang, aku merasa amat diterima di keluarga ini.... Kalau saja istriku bisa datang, ia pasti akan lebih senang dariku...." Rekan kerja Dalimunte memberikan hadiah dari istrinya untuk Laisa. Seperangkat kain bordiran. Kak Laisa tersenyum malu. "Aku amat mencintai istriku, tidak pernah sekalipun terlintas untuk menikah lagi, tapi aku berjanji, jika urusan ini berjalan sesuai yang direncanakan, aku akan belajar banyak bagaimana membagi cinta dengan adil.... Dan aku berharap Laisa bisa memberikan kesempatan untuk melakukannya, menjalani prosesnya dengan indah dan baik.... Aku sungguh ingin meneruskan proses ini...." Malam itu sepertinya urusan benar-benar akan berjalan sesuai yang direncanakan. Meski berusaha untuk tetap terkendali seperti selama ini, muka tersipu dan memerah tidak bisa menyembunyikan perasaan Kak Laisa. Mamak Lainuri juga terseny
um bahagia. Malam itu sepertinya kabar baik itu benar-benar tiba. Tetapi Allah ternyata memiliki rencana lain. Yang sungguh membuat semua kebahagiaan sesaat itu lenyap tak berbekas. Malam itu, Kak Laisa untuk pertama kalinya tidak menghabiskan penghujung malam dengan berdiri di hamparan perkebunan. Ia tertidur lelap di kamarnya. Juga yang lain. Tapi kesunyian lembah mendadak robek oleh telepon dini hari. Dari rumah sakit ibukota. Istri rekan kerja Dalimunte yang sudah dua hari terbaring lemah dilarikan ke rumah sakit dua jam lalu. Kondisinyn memburuk. Tapi bukan soal sakitnya yang merusak rencana. Kata dokter ia hanya lelah dan terlampau banyak pikiran. Anemia, penyakit kebanyakan ibu-ibu lainnya. Hanya perlu istrirahat total selama sebulan. Yang membuat semuanya mendadak berubah haluan seratus delapan puluh derajat adalah saat dokter memeriksa secara menyeluruh, ternyata istri rekan riset Dalimunte sedang hamil muda. Gugup rekan kerja Dalimunte mendengar berita itu. Rasa senang. Rasa cemas. Entahlah. Buncah jadi satu. Kabar bahagia yang mereka tunggu selama lima belas tahun akhirnya tiba. Gugup membangunkan Dalimunte. Memutuskan pulang segera ke ibukota. Gugup menjelaskan kabar bahagia tersebut ke Mamak dan Kak Laisa. Awalnya tidak ada yang memikirkan kalau kabar bahagia itu akan memiliki banyak implikasi penting. Tidak ada. Ikanuri dan Wibisana menawarkan diri segera mengantar ke kota provinsi, agar bisa naik pesawat siang ini yang menuju ibukota. Tidak ada yang berpikir tidak-tidak. Hanya Kak Laisa yang berdiri di daun pintu, menatap kosong mobil yang dikemudikan Ikanuri membelah lengangnya shubuh Lembah Lahambay. Cahaya lampunya menghilang di tikungan Sana, seiring dengan menghilangnya cahaya mata Kak Laisa yang merekah bahagia dua puluh empat jam terakhir. Kabar baik itu, ternyata bagai pisau bermata dua.
"Sungguh maafkan, Dali " Dalimunte tertunduk lama sekali. "Tidak ada yang perlu dimaafkan " Kak Laisa menggenggam erat lengan Dalimunte, menenangkan. Meski suara itu sebenarnya sedikit berbeda dari biasanya. Serak. Bergetar. Malam ini, satu bulan sejak kunjungan rekan kerja Dalimunte ke perkebunan strawberry. Satu bulan yang berjalan menyedihkan. Apa yang dibilang berkali-kali oleh rekan kerja Dalimunte" Ia amat mencintai istrinya. Jika saja istrinya bisa mengandung anak-anaknya, maka ia tidak akan menikah lagi. Ini semua bukan salahnya. Dan jelas bukan maunya kenapa kabar baik tentang kehamilan tersebut justru tiba persis saat dia di titik serius untuk menikah lagi (dengan Kak Laisa). Rekan kerja Dalimunte amat menyesal. Meminta maaf sungguh-sungguh saat tadi siang kembali berkunjung. Mencium jemari Mamak. Menatap Kak Laisa penuh rasa sesal. Dengan hamilnya istrinya, dia tidak akan pernah tega untuk menikah lagi. Meski isterinya mendesak untuk tetap meneruskan rencana tersebut, menenggang perasaan Kak Laisa, tapi dia sungguh tidak bisa melakukannya. "Apakah Kak Laisa kecewa"" Dalimunte tertunduk. "Mungkin tidak," Laisa menjawab pelan, menggeleng, "Kakak sudah terbiasa, Dali.... Esok lusa, kesibukan dan waktu akan membuatnya terlupakan. Mungkin yang kali ini butuh waktu cukup lama. Membersihkan harapan-harapan yang terlanjur datang." Dalimunte menggigit bibir. Dia sama sekali tidak menyangka akan seperti ini jalan ceritanya. Kesempatan baik itu" Dalimunte mengusap wajah kebasnya. Perjodohan yang urung itu merubah banyak hal. Rekan kerjanya memutuskan berhenti dari lab. Mereka juga pindah dari perumahan asri yang hanya sepelemparan batu dari rumah Dalimunte "Aku merasa amat bersalah, Dali. Jadi biarkan aku pergi. Sekali lagi bilang Laisa, maafkan aku. Maafkan bila proses ini telah menyakiti hatinya." Itu kalimat terakhir saat rekan kerjanya pulang tadi sore. Diantar sopir perkebunan, Bulan sabit tergantung elok di antara bintang-gemintang. Minggu-minggu ini panen besar strawberry. Minggu-minggu ini harusnya menjadi saat yang menyenangkan bagi seluruh warga kampung. Menjadi hari berpesta bagi Lembah Lahambay. Entahlah apa yang persisnya ada di kepala Kak Laisa sekarang. Entahlah apa yang sedang berkecamuk di kepalan
ya. Ternyata kesempatan terbaiknya itu juga berakhir menyedihkan.
34 ANGGOTA BARU KELUARGA LAISA BENAR, waktu dan kesibukan perlahan akan mempu membuatnya melupakan harapan-harapan yang terlanjur tumbuh. Setahun berlalu. Usianya sekarang menjejak 39, Dalimunte 33, Wibisana hampir 31, Ikanuri 30, dan Yashinta 27. Mamak" Entahlah, tidak ada yang tahu persis berapa usia Mamak Lainuri sekarang. Mamak hanya ingat, lahir pas masa-masa pemberontakan revolusioner. Setahun berlalu, di antara berbagai proses perjodohan Kak Laisa yang berjalan menyakitkan, kabar baik tetap datang silih berganti. Cie Hui mengandung. Itu menjadi berita besar Lembah mereka. Membuat rumah panggung itu buncah oleh kebahagiaan. Sekarang sudah sembilan bulan. Dalimunte dan Cie Hui memutuskan untuk melahirkan di Lembah Lahambay, "Biar ia menjadi anak lembah ini. Biar ia bisa mencium segarnya udara lembah.... Biar ia bisa menjejakkan kakinya di embun rerumputan...." Begitu kata Cie Hui riang. Maka sudah seminggu ini mereka pulang ke perkebunan. Menunggu hari H. Sejenak melupakan berbagai riset mutakhir Dalimunte di laboratorium. Kabar baik kedua adalah: Yashinta akhirnya menyelesaikan pendidikan masternya. Cumlaude. Lulusan terbaik. Ia jelas-jelas mewarisi kecerdasan Dalimunte, meski juga
mewarisi tabiat keras-kepala Ikanuri dan Wibisana. Hari ini tiba di kota provinsi setelah penerbangan transit (Hongkong, Singapore dan Jakarta) dari Belanda. Benar-benar kebetulan yang menyenangkan. Mamak dan Dalimunte menjemput di bandara. Sementara Kak Laisa menemani Cie Hui di perkebunan. Lihatlah, gadis itu terlihat begitu cantik saat keluar dari pintu kedatangan. Wajahnya sedikit memerah di terpa matahari terik. Mengenakan sweater hijau. Dengan syal sewarna Yashinta mirip sudah dengan putri-putri negeri bersalju. Kuncir rambut panjangnya bergoyang-goyang. Sedikit berlari menghambur ke Mamak, berpelukan. Menangis. Dua tahun lebih Yashinta tidak pulang. Hanya telepon. Jadi setelah sekian lama rasa rindu itu menggumpal, pertemuan ini amat mengharukan, Dalimunte mengacak-acak rambut adiknya. Tertawa (sebenarnya menahan rasa harunya). Mereka tidak langsung berangkat meski Yashinta sudah tiba. Masih menunggu setengah jam lagi. Pesawat dari kota seberang pulau, yang membawa Ikanuri dan Wibisana. Dua sigung nakal itu juga pulang. Kejutan. Benar-benar kejutan saat dua sigung tersebut keluar dari pintu kedatangan. Karena mereka tidak datang hanya berdua. Ikanuri dan Wibisana sudah punya bengkel besar di kota seberang pulau. Malah menurut Ikanuri beberapa waktu lalu, mereka merencanakan untuk mulai membuat pabrik spare-part, suku cadang. Bisnis dan kehidupan mereka sudah amat matang. Beberapa tahun terakhir, Kak Laisa juga sudah sering bertanya kapan mereka akan menikah. Sama seperti saat menasehati Dalimunte dulu, "Kalian tidak perlu menunggu kakak, tidak perlu " Berbeda dengan Dalimunte yang kisah cintanya diketahui massal satu keluarga (juga satu lembah), Ikanuri dan Wibisana amat tertutup soal ini. Saat itu tidak ada yang tahu, dua sigung nakal itu bahkan telah membuat calon pasangan masing-masing menunggu lebih lama dibandingkan Cie Hui. Tanpa kepastian. Bahkan tanpa kesempatan sedikitpun untuk mengenal keluarga di perkebunan strawberry. Tidak ada yang pernah menyangka, dua sigung yang dulu amat bebal, keras kepala, dan selalu melawan Kak Laisa, bertahun-tahun terakhir berkutat dengan masalah: tidak akan menikah sebelum Kak Laisa menikah. Bagaimana mungkin Kak Laisa akan dilintas untuk yang kedua dan ketiga kalinya" Itu benar-benar akan menyakiti perasaan Kak Laisa. Maka mereka membuat calon pasangannya menunggu selama tujuh tahun terakhir ini. Dikenalkan pun tidak. Lebih lama dibandingkan Dalimunte dan Cie Hui. Namun sejak kejadian perjodohan yang urung itu. Calon pasangan mereka yang mulai serius memaksa. Bahkan orang tua masing-masing juga ikutan meminta kepastian, hari ini, benar-benar kejutan. Lihatlah, Ikanuri dan Wibisana datang bersama Wulan dan Jasmine. Berjalan bersisian di pintu kedatangan bandara, mendekat. Membuat Dalimunte,Mamak, dan Yashinta tercengang. D
ua sigung itu akhirnya memutuskan memperkenalkan Wulan dan Jasmine. Maka lebih tercengang lagi saat ikanuri dan Wibisana bilang mereka sudah saling mengenal sejak masih kuliah. "Kalian tidak memberitahu kami soal hubungan kalian sudah selama itu"" Dahi Dalimunte terlipat, menggelengkan kepala. "Waktu Kak Ikanuri dan Kak Wibisana wisuda dulu, kenapa Yash tidak dikenalkan sekalian"" Yashinta menyela. Wibisana hanya mengangkat bahu. Ikanuri memegang stir mobil modifikasi hanya tertawa kecil.Maka perjalanan enam jam menuju perkebunan benar-benar menjadi tidak terasa. Banyak sekali potongan romantisme Dalimunte dan Cie Hui. Wulan dan Jasmin tipikal gadis yang menyenangkan. Cantik. Berpendidikan. Dari keluarga yang terhormat. Mereka berdua masih sepupu satu sama lain. Ikanuri dan Wibisana meski bukan saudara kembar, tapi kesamaan diantara mereka melebihi kembar identik. Bukan hanya soal wajah dan tampilan
fisik yang sama (hanya dibedakan bekas luka di pelipis), cerita asmara mereka juga mirip. Mengenal Wulan dan Jasmine di hari yang sama. Menyampaikan perasaan di hari yang sama. Menghabiskan waktu bersama di hari yang sama. Di kejar orang tua Wulan dan Jasmine di hari yang sama (karena mereka jahil bergaya pemuda benua amerika latin, bermain gitar, bernyanyi keras-keras di depan pintu rumah Wulan dan Jasmine saat menyatakan perasaan). Dan berbagai kesamaan lainnya. Cerita-cerita itu membuat perjalanan menuju perkebunan strawberry ramai. Ramai oleh celetukan Yashinta. "Dulunya Yash pikir, tidak akan ada wanita di dunia ini yang menyukai Kak Ikanuri dan Kak Wibisana. Ternyata masih ada ya " Yashinta nyengir, menggoda. Dan seperti biasa, tangan Ikanuri terangkat, bersiap menjitak. Senja tiba, langit jingga, mobil balap modifikasi itu pelan memasuki hamparan perkebunan strawberry. Satu minggu berjalan meriah. Penuh seruan jahil nan menggoda Yashinta. Seruan Kak Laisa yang senang melihat Wulan dan Jasmine. Penjelasan-penjelasan. Meski di sana-sini bercampur dengan ketegangan. Cemas. Dan Rusuh. Cie Hui melahirkan di hari kelima mereka berkumpul. Lebih cepat lima hari dari jadwal. "Ini pasti gara-gara Yash terlalu banyak tertawa, anaknya jadi tak sabaran ingin keluar." Ikanuri berlarian menghidupkan mobil, Dalimunte terhuyung menggendong Cie Hui. Dibantu Wibisana. Mereka sedang makan malam, seperti biasa ramai, jadi benar-benar terperanjat saat Cie Hui merintih kesakitan. Ikanuri meneriaki Wulan dan Jasmine untuk menyiapkan peralatan bayi (yang sudah disiapkan Kak Laisa beberapa hari lalu). Dalimunte berseru jengkel, lupakan soal popok dan sebagainya itu, Cie Hui sudah amat kesakitan, bayi itu menendang-nendang kuat, meronta. Buat apa pula coba popok bayi saat ini" Maka malam itu juga mobil balap modifikasi Ikanuri dan Wibisana melesat keluar dari halaman rumah panggung. Tidak seperti waktu Yashinta dulu sakit parah, lereng itu sekarang mudah saja didaki. Dan jelas tidak seperti wakru Yashinta sakit dulu, di kampung atas (jika masih layak disebut kampung), sudah ada puskesmas, lengkap dengan dokter dan bidan. Kesanalah mereka bergegas membawa Cie Hui. Intan. Itu nama pemberian Kak Laisa. Sejak kecil Intan memang sudah terlihat bakatnya. Tidak sabaran. Keras kepala. berisik. Suka mencari perhatian. Meski cerdas dan banyak akal. Lahir setelah keras kepala tidak mau keluar-keluar juga. Setelah dua jam berkutat dengan bukaan tujuh. Hampir saja Bidan menyerah. Hampir saja menyarankan untuk dibawa ke rumah sakit di kota kabupaten untuk operasi caesar, bayi perempuan itu akhirnya nongol begitu saja. Seperti sengaja membuat yang lain bete. Panik. Langsung menangis kencang. Membuat cair seluruh ketegangan. Dalimunte tidak pernah melihat Mamak sebahagia ini. Gemas, menciumi wajah merah cucu tersayang, Intanl. Tersenyum riang sambil memperbaiki tudung kepala. Rambut Mamak sudah memutih. Tapi lihatlah, wajahnya seperti lebih muda sepuluh tahun. Intan benar-benar menguasai perhatian seluruh anggota keluarga. Dalimunte menghela nafas dalam. Kak Laisa benar, dulu dia tidak seharusnya menunggu begitu lama untuk menikah. Mamak meski tidak pernah bil
ang, selalu merindukan menimang cucu-cucunya. Intan membuat rumah panggung itu lebih ramai. Lebih hidup. Teriakannya setiap pagi (atau setiap minta susu) membuat rusuh yang lain. Berebutan menggendong. Maka seperti sudah mengerti saja, kalau lagi dicuekin, bayi kecil itu akan mulai sibuk menangis keras-keras. Sengaja benar.
35 PERNIKAHAN KEDUA DAN KETIGA
SAYANGNYA, meski dengan semua pemahaman tersebut, dengan melihat sendiri semua kenyataan itu (menyaksikan kebahagiaan Mamak saat menggendong Intan), Ikanuri dan Wibisana sempurna mengulang kejadian sebelumnya. Mereka berdua membuat Wulan dan Jasmine menunggu lebih lama lagi. Tetap tidak ada kepastian. Padahal setiap jadwal pulang dua bulanan, Wulan dan Jasmine sekarang juga ikut pulang. Ikut menghabiskan hari di perkebunan strawberry. Menjadi bagian anggota keluarga. Enam bulanberlalu. Tetap tidak ada tanda-tanda hubungan mereka akan melangkah ke tahapan yang lebih serius. Kak Laisa tidak hanya sekali mengajak bicara Ikanuri dan Wibisana, soal melintas, tentang tidak usah menunggu. Sudah berkali-kiili. Tetapi kedua sigung itu hanya mengangguk. Nyengir, lantas berkata ringan, "Siapa pula yang akan menunggu Kak Lais" Kita hanya belum siap saja, kok. Kak Lais sok ditunggu sih!!" "Usia kalian sudah lebih dari tiga puluh tahun. Sudah memiliki pekerjaan yang baik. Memiliki rumah. Sudah matang. Apa lagi yang kalian harus siapkan"" Kak Laisa ikut tertawa, kembali bertanya serius. Ikanuri dan Wibisana lagi-lagi hanya menimpali sambil bergurau. Yang justru sebenarnya malah menutupi masalah besar mereka berdua. Dulu waktu kasus Dalimunte, mereka berdua sebenarnya tidak habis pikir bagaimana mungkin Dalimunte harus menunggu begitu lama hingga akhirnya mengambil keputusan. Mereka juga dulu begitu sebal saat harus mengantar malam-malam Cie Hui yang menangis pulang ke kota kecamatan. Tidak bisa mengerti mengapa Dalimunte yang jenius dan amat rasional bisa jadi sekeras kepala itu" Seolah-olah melemparkan seluruh akal sehat yang dimilikinya. Begitu sulitkah untuk mengambil keputusan melintas Kak Laisa" Sekarang mereka sesungguhnya paham ternyata urusan itu memang tidak mudah. Setiap pulang dua bulanan, menyaksikan Kak Laisa yang tersenyum riang menggendong Intan. Membawa Intan mengelilingi perkebunan strawberry. Mengenalkannya dengan tetangga lain. Makan malam, meriah. Penuh tawa. Tapi di penghujung shubuh, menyasikan sendiri Kak Laisa yang berdiri di lereng lembah. Sendirian. Senyap. Melihat paradoks tersebut. Membuat mereka tidak pernah memiliki gambaran masalah yang utuh. Apa yang selama ini dirasakan Kak Laisa" Apakah yang sesungguhnya Kak Laisa rasakan" Ikanuri dan Wibisana tidak seberuntung Dalimunte dalam urusan ini. Mereka tidak memiliki mekanisme berbicara serius dengan Kak Laisa, seperti Dalimunte yang suka menemani berdiri di lereng perkebunan. Jadi enam bulan berlalu, yang terjadi hanya percakapan penuh gurauan, jawaban-jawaban ngarang, dan sebagainya. Tanpa kemajuan yang berarti. Enam bulan lagi berlalu. Dua sigung nakal itu tetap tidak bisa mengambil keputusan. Justru sibuk mengingat-ingat masa lalu. Segala kebaikan Kak Laisa kepada mereka. Segala keburukan mereka kepada Kak Laisa, maka dua sigung itu makin ringkih dengan keputusan. Bagaimanalah mereka ekan membuat Kak Laisa dilintas untuk yang kedua dan ketiga kalinya sekaligus" Ya Allah, meski Kak Laisa terlihat baik-baik saja, meski Kak Laisa bilang ia memang baik-baik saja tapi mereka tidak akan tega melakukannya. Tidak setelah menyadari Kak Laisa mengorbankan seluruh masa kecil dan renajanya untuk mereka. Dalimunte akhirnya melibatkan diri dalam urusan tersebut. Memberikan banyak penjelasan. Menjawab banyak pertanyaan, tapi tetap tidak ada hasilnya. Yashinta dalam satu dua pembicaraan di ruang depan, juga ikut mendesak. "Susah amat sih" Semakin lama tidak ada kepastian, nanti semakin banyak dosanya, tahu!" Nyengir. Ikanuri dan Wibisana hanya menatap datar Yashinta. Adik mereka belum merasakan sendiri betapa semua ini tidak mudah.
"Atau menunggu Kak Wulan dan Kak Jasmine dijodohkan seperti Kak Cie Hui dulu" Hati-hati
loh, sekarang saja Kak Wulan dan Kak Jasmine sudah tidak bisa ikut ke perkebunan, bukan"" Tertawa. Mamak dan Cie Hui juga ikut tertawa mendengar gurauan Yashinta. Ikanuri melotot sebal, tangannya seperti biasa terangkat. Malam itu Wulan dan Jasmine memang tidak bisa ikut pulang ke perkebunan. Ada acara keluarga. "Eh, eh, lihat, lihat!" Yashinta berseru. Menunjuk Intan yang sejak tadi duduk menatap sekitar. Perlahan mulai berdiri. Perhatian di beranda berpindah. Menoleh. " Aduh mau belajar jalan ya" Sini sayang, sini sama Tante Yash.... Kaki-kaki kecil Intan sedikit bergetar menopang tubuhnya. Muka menggemaskan itu menyeringai. Mulutnya terbuka. Mata besar beningnya menatap sekeliling. Usia Intan hamir setahun, masanya belajar berjalan. "Ayo, ayo..., Tang-ting-tung! Intan manis, ayo jalan.." Yashinta tertawa, berseru memberikan semangat Yang lain ikut tertawa. Kaki Intan bersiap melangkah. Membuat percakapan soal Ikanuri dan Wibisana terlupakan. Wajah Mamak berseri-seri. Apalagi Kak Laisa. Ikutan duduk jongkok di sebelah Yashinta. Memberikan semangat. Mata hitam besar Intan mengerjap-ngerjap. Sejenak. Dan seperti mengerti benar kalau ia sedang menjadi pusat perhatian, bayi kecil itu mendadak duduk kembali begitu saja. Nyengir lebar. Seolah-olah hendak berjalannya tadi hanya tepu-tepu. Membuat yang lain terdiam, 'kecewa' (meski kemudian tertawa). Sejak kecil Intan memang sudah begitu. Sok-jadi pusat perhatian. Intan sudah benar-benar bisa berjalan ketika akhirnya Ikanuri dan Wibisana berhasil mengambil keputusan penting tersebut. Saat usia Ikanuri dan Wibisana hampir tiga puluh lima tahun. Bukan. Tentu saja bukan karena Wulan dan Jasmine akan dijodohkan orang tua mereka masing-masing, Siang itu, Kak Laisa terbata menelepon adik-adiknya. Teknologi telepon genggam sudah tiba di lembah mereka. Dan mereka sudah memiliki enam nomor penting untuk keluarga. Waktu itu, Dalimunte terpaksa bergegas meninggalkan konvensi fisika di Kuala Lumpur, melupakan kalau presentasinya penting sekali untuk karir penelitiannya (dia baru saja mendapatkan gelar profesor). Bergegas terbang langsung ke Jakarta, Transit sebentar menjemput Cie Hui dan Intan, yang sudah pandai berlari. Ikanuri dan Wibisana juga segera meninggalkan pekerjaan di bengkel mereka. Pulang. Kabar dari Kak Laisa mengkhawatirkan. Lupakan soal tender suku cadang salah satu perusahaan otomatif lokal. Nanti-nanti bisa diurus. Mereka harus segera pulang. Yashinta yang sedang menyelam di Kepulauan Kaimana, Papua juga pulang. Membuat sebal kolega penelitiannya dari Inggris. Karena secara teknis, Yashinta yang menjadi guide riset tentang konservasi terumbu karang. Jadi kalau guide-nya pulang, siapa yang akan memandu mereka" "Mamak sakit keras.... Pulang.... Kalian harus segera pulang.... Berangkat dengan pesawat pertama." Hanya itu kalimat terbata Kak Laisa. Lebih banyak seruan tertahan, dan denting kecemasan. Maka mereka tidak perlu menunggu dua kali. Segera pulang. Bagaimanalah" Bukankah Mamak tidak pernah sakit selama ini" Mamak yang terlihat selalu kuat. Selalu sehat. Paling juga dulu-dulu hanya demam biasa. Sehari dua sudah membaik dengan sendirinya. Tetap mengerjakan banyak hal. Memasak gula aren. Menganyam anyaman rotan. Ke kebun. Membersihkan gulma. Hanya perlu di kerok dan berbekam. Sembuh. Bagaimanalah Mamak sekarang sakit keras" Itu enar-benar mencemaskan. Mereka tiba di bandara kota provinsi hampir bersamaan. Ikanuri langsung mengemudikan mobil balap modifikasi yang diantar karyawan bengkelnya. Menuju rumah sakit kota
provinsi dengan kecepatan tinggi. Mamak dirawat di sana. Berlarian sepanjang koridor. Sejenak tidak mempedulikan Intan (yang teganya) malah puf di saat-saat penting tersebut Membuat bau tidak sedap dalam mobil balap Ikanuri.l Menerobos pintu paviliun. Dan langkah-langkah mereka terhenti. Berdiri terdiam, berusaha mengendalikan nafas, di depan pintu ruang rawat Mamak. Lihatlah, Mamak terbaring lemah di atas ranjang. Pucat. Kak Laisa yang duduk menunggui berdiri melihat adik-adiknya datang. Yashinta yang pertama kali menghambur. Memeluk Kak Laisa, bertanya cem
as, berseru cemas, gemetar mendekat. Menatap wajah Mamak yang sedang tertidur. Dua belalai plastik membalut lengan. Peralatan medis yang berdesis pelan. Dalimunte ikut mendekat, menelan ludah. Ikanuri dan Wibisana kehilangan kata-kata. Hanya Cie Hui yang sibuk mengendalikan Intan (yang seperti biasa berseru-seru senang setiap kali melihat Wak Laisa dan Eyang Lainurinya, tidak peduli apakah yang dilihatnya lagi sehat atau lagi sakit) "A-pa, a-pa.... Mamak baik-baik saja"" Yashinta bertanya gugup. Gemetar berusaha meraih jemari Mamak. Kak Laisa tersenyum, menenangkan, membimbing adiknya duduk di kursi. Mengangguk, "Masa kritis Mamak sudah lewat....Kata dokter Mamak sudah terkendali, sudah mulai membaik " Terlihat sekali bagaimana ekspresi wajah empat kakak beradik itu berubah. Dalimunte langsung mendekap Ikanuri dan Wibisana. Menghela nafas panjang. Tersenyum lega. Yashinta malah menangis. Tersedu. Wahai, rasa lega dan kebahagiaan itu dekat sekali dengan tangis. Kalian akan menangis karena perasaan lega yang luar biasa. Bagaimana tidak" Yashinta harus menanggung rasa cemas sejak dua belas jam lalu. Penerbangan langsung dari Sorong. Transit sebentar di Jakarta. Wajah Mamak dengan rambut berubannya terus terbayang di jendela pesawat, saat menatap biru lautan. Membuatnya mengaduh berkali-kali dalam perjalanan. Yashinta menyeka pipinya. Menatap wajah Mamak yang tertidur pulas. Wajah itu masih pucat, tapi Kak Laisa benar, hela nafas Mamak sudah terkendali. Rona muka Mamak tenteram. Yashinta menciumi jemari Mamak. Mendekapnya ke pipi. Seperti tidak pernah bertemu bertahun-tahun lamanya, padahal mereka baru saja pulang sebulan yang lalu. Dan Yashinta menangis lagi. Ia tadinya sungguh takut. Takut kehilangan. Dalimunte mendekap kepala adiknya. Menenangkan. Ikanuri dan Wibisana ikut menyeka matanya yang berkaca-kaca. Belum pernah mereka merasa begitu dekat dalam keluarga. Begitu mencintai satu sama lain. Dan begitu takut kehilangan satu sama lain. Ya Allah, mereka sungguh saling mencintai karena Engkau. Intan mendadak menangis kencang-kencang. Terlupakan. Gadis kecil itu sibuk protes. Menggerak-gerakkan pantatnya. Apalagi kalau bukan untuk membuat bau tak sedap itu menguar di ruangan rawat Eyangnya. Sibuk mencari perhatian. Satu jam berlalu, Cie Hui membawa Intan ke pengalengan strawberry di kota provinsi. Ada penginapan karyawan di sana. Mengganti popok Intan yang super bau. Beristirahat. Yashinta meski tidak mau meninggalkan Mamak, meski memaksa tetap menunggui, menjelang malam ikut menyusul, ia terlampau lelah dengan perjalanan jarak jauh. Dan Kak Laisa menyuruhnya istirahat, "Mamak akan baik-baik saja Yash.... Kalau kau juga jatuh sakit, kau hanya akan menambah masalah " Sejak dulu Yashinta selalu menurut dengan Kak Laisa. Menyisakan Laisa, Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana di ruang rawat Mamak. Duduk di kursi plastik yang diberikan perawat. Dokter yang merawat Mamak ternyata mengenali Profesor Dalimunte, tertawa lebar, bahkan menawarkan ruang rawat terbaik di rumah sakit itu saat melakukan pemeriksaan jam sembilan tadi. Senyap.
Ruangan rawat inap itu hening. Hanya menyisakan desis suara pendingin ruangan. Meski lelah, Dalimunte tidak bisa tidur. Juga Ikanuri dan Wibisana. Kak Laisa perlahan memperbaiki selimut Mamak. Lantas menatap wajah-wajah kusut adiknya. Tersenyum. Menarik kursinya mendekati Ikanuri dan Wibisana. Dua sigung yang tidak kecil lagi itu mengangkat kepala. Menatap Kak Laisa yang sekarang persis duduk di depannya. "Ikanuri, Wibisana..." Kak Laisa berkata lembut menyentuh lengan adik-adiknya, "Kita memang tidak akan pernah tahu.... Tidak pernah bisa menebak, menduga. Tetapi suatu hari nanti, salah-satu dari anggota kelarga yang amat kita dntai pasti akan pergi. Siap atau tidak, suka atau tidak...." Dalimunte mengusap wajahnya. Menatap Kak Laisa. Tidak mengerti apa yang sebenarnya hendak disampaikan Kak Laisa. "Lihatlah.... Mamak sekarang tertidur nyenyak.... Begitu damai, begitu tenang, begitu babagia. Karena Mamak sudah amat bahagia dengan hidupnya. Memiliki kalian, sebagai anak-anaknya, adalah kebahagiaan terbes
ar yang tidak pernah dibayangkan Mamak. Mamak tahun-tahun terakhir amat bahagia nienghabiskan masa tuanya di perkebunan strawberry..." Ikanuri dan Dalimunte menahan nafas. Tertunduk. Mereka juga tidak mengerti apa yang hendak dikatakan Kak Laisa. Tapi kalimat-kalimat itu menusuk. Kepergian dari anggota keluarga yang kita cintai" "Ikanuri, Wibisana.... Kakak berkali-kali bilang, tidak baik membuat Wulan dan Jasmine menunggu terlalu lama.... Kalian tidak seharusnya menunggu Kakak. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok lusa.... Kalau kalian ingin pernikahan kalian masih sempat dilihat langsung Mamak, sempat disaksikan oleh Mamak, segeralah menikah... Dengan kebaikan Allah, tentu saja Mamak akan segera sembuh. Esok lusa Mamak akan tetap bersama kita. Menghabiskan hari tuanya di perkebunan strawberry. Tetapi kalau kalian tetapkeras kepala menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi...." Kak Laisa terdiam sejenak. Menatap tulus wajah adik-adiknya. Ruangan itu hening lagi. "Kalau kalian tetap keras kepala menunggu Kakak, maka kalian mungkin akan kehilangan kesempatan membuat Mamak semakin bahagia di masa tuanya. Apa yang dulu sering Kakak katakan" Pernikahan kalian akan membuat rumah panggung kita lebih ramai. Anak-anak kalian sungguh akan membuat suasana terlihat berbeda. Lihatlah, Intan, meski tadi membuat suster ngomel-ngomel, tetap saja wajah imutnya menggemaskan, bukan...." Kak Laisa tertawa Mengingat kejadian saat Intan nangis kencang-kencang tadi. Ikanuri dan Wibisana ikut tersenyum. Malam itu, keputusan penting tersebut akhirnya diambil Pernikahan kedua dan ketiga di keluarga itu terjadi sebulan kemudian. Mamak pulang dari rumah sakit setelah dirawat empat hari lagi. Meski masih lemah, tapi wajah Mamak sudah segar saat kembali. Sakit radang hatinya membaik dengan cepat "Bagaimana mungkin Mamak sakit" Sakit hati pula. Bukankah selama ini Mamak selalu bahagia, meski kami bandel dan nakal" Ada-ada saja." Ikanuri bergurau. Membuat yang lain tertawa. Ikanuri dan Wibisana kembali ke kota seberang pulau seminggu kemudian. Langsung meminang Wulan dan Jasmine. Mereka lagi-lagi melakukannya di saat yang bersamaan. Dengan cara yang sama pula, sama-sama hiperbolik (meski menyentuh), "Ayah, Ibu, aku tidak bisa menjanjikan banyak hal buat putri kalian. Aku tidak memiliki gunung harta seperti Kak Laisa dengan ribuan hektar kebun strawberry-nya. Aku juga tidak sepintar Profesor Dalimunte yang terkenal itu. Tetapi aku punya hati. Hati yang terlanjur mencintai Wulan (jasmine; saat Wibisana yang bicara dengan calon mertuanya).... Terima kasih banyak telah membesarkan putri kalian hingga menjadi begitu cantik, begitu menawan. Dengan segenap
rasa. Ayah, Ibu, ijinkanlah aku meminangnya...." Membuat orang tua Wulan dan Jasmine berkaca-kaca (rumah mereka hanya berjarak dua blok). Meski besoknya saat keluarga mereka saling bercerita, terpaksa manyun satu sama lain karena baru tahu kalimat indah calon menantu mereka fotokopi satu sama l.iin. Urung saling menyombong. Ikanuri dan Wibisana memutuskan untuk menikah di hari yang sama. Di Lembah Lahambay, lembah indah mereka.
36 SAKIT PERTAMA KALAU saja ada yang memperhatikan. Itulah gejala pertama sakitnya Kak Laisa yang paling terlihat. Tapi kebahagiaan yang melingkupi rumah panggung atas pernikahan 'kembar' Ikanuri dan Wibisana membuatnya seperti kejadian biasa-hiasa saja. Bang Jogar, yang setahun terakhir sudah menjadi kepala kampung, sibuk meneriaki anak muda yang sedang mendirikan tenda-tenda. Sibuk membuat gerbang janur kuning. Batang pisang disusun rapi. Bertingkat. Menyusun pot-pot bonsai, Malah Bang Jogar yang meski tampangnya serius, sempat- sempatnya menyuruh mereka membuat tiga patung harimau dari janur di depan gerbang halaman rumput. Membuat yang lain tertawa. Bang Jogar sengaja hendak mengenang masa lalu itu. Pagi-pagi di tengah semua kesibukan, Dalimunte sempat berpapasan dengan Kak Laisa di beranda rumah. Menyelak ibu-ibu dan anak gadis tetangga yang sedang duduk berbaris, menyiapkan makanan buat acara besok. Mengiris buncis. Memarut kelapa. Muka Ka
k Laisa terlihat pucat sekali, Dalimunte sebenarnya sudah hendak menegur, bertanya, tapi urung, ada rombongan pembawa panci di belakangnya, ingin lewat. Gulai opor mengepul. Membuat terlupakan. Ikanuri dan Wibisana siangnya juga mencari Kak Laisa, bertanya tentang siapa saksi pernikahan mereka besok Tidak ada, Kak Laisa tidak ada di rumah. Di cari di bawah panggung tidak ada. Di tenda-tenda juga tidak ada. Mamak yang akhirnya menjawab, dengan suara berbeda, suara yang bergetar, "Kakak kalian sedang ke kota kabupaten, membeli kekurangan bumbu dapur, ayam, dan perlengkapan lainnya " Ikanuri dan Wibisana hanya mengangguk, itu biasa terjadi. Selalu Kak Laisa yang belanja, menyiapkan keperluan pernak-pernik acara. Dalimunte akhirnya menunjuk Bang Jogar menjadi saksi. Sore harinya, saat matahari tumbang di barat sana, senja membungkus lembah, Kak Laisa baru pulang dari kota kabupaten. Tidak ada bungkusan belanjaan, tidak ada barang-barang bawaan, mukanya pucat, "Biar, biar aku berjalan sendiri " Berbisik lemah pada sopir pengalengan strawberry. Melangkah masuk ke halaman, tetap tersenyum menyapa (dan disapa yang lain). Bahkan Dalimunte yang sedang bicara soal detail acara besok lalai untuk mengenali ada yang ganjil. Kebahagiaan dan kesibukan sepanjang hari membuat semuanya terbungkus kabut. Tidak ada yang tahu kalau Kak Laisa tadi pagi terbatuk berkali-kali di kamar mandi. Bercak darah keluar bersama dahak. Tubuhnya melemah. Gemetar memanggil Mamak itulah gejala pertama sakitnya Kak Laisa yang paling terlihat. Mamak hendak memanggil Dalimunte. "Tidak, Mak.... Jangan beritahu mereka. Jangan. Ini akan mengganggu kebahagiaan Ikanuri dan Wibisana.... Bagaimana mungkin mereka harus melihat aku sakit di hari sepenting ini " Kak Laisa tersenggal menarik nafas. Mamak menatap sulungnya lamat-lamat. Menggenggam tangan Laisa erat-erat. Mata Mamak yang keriput berdenting air mata. Ia tahu persis. Sejak sulungnya masih belasan
tahun. Sejak sulungnya bersumpah untuk selalu terlihat baik-baik saja di hadapan adik-adiknya, maka Laisa bersungguh-sungguh dengan sumpahnya. Mamak tertunduk, menyeka bercak darah di baju Laisa. Urung memanggil Dalimunte. "Tapi kau harus segera ke dokter, Lais " "Tidak usah, Mak. Tidak sekarang.... Mereka akan bertanya-tanya kalau aku tidak ada di rumah...." Laisa menggeleng. Dan bukankah ia selalu ada ketika adik-adiknya perlu selama ini" "Kau harus ke dokter, Lais.... Lihatlah darah ini...." Mamak menelan ludah, menatap getir bercak darah di baju Laisa. Pagi itu Laisa mengalah, akhirnya diam-diam berangkat ke kota kabupaten. Diantar sopir pengalengan strawberry. Ke rumah sakit. Sempat pingsan di ruang ICU, karena ia terlalu lemah. Membuat sopir pabrik pengalengan yang mengantar bingung tujuh keliling, gugup, gemetar hendak menelepon Dalimunte, tapi pesan Laisa di mobil sebelum mereka turun membuat dia takut melakukannya. Dua jam dirawat di ruang Gawat darurat, dengan semangat sembuh yang sungguh mengagumkan, memaksa seluruh bagian tubuhnya menurut, Laisa mulai membaik, "Aku harus pulang, Dok. Tidak ada pilihan lain. Besok Ikanuri dan Wibisana menikah, bagaimana mungkin aku tidak di sana"" Laisa menggeleng tegas saat Dokter memaksanya untuk dirawat inap. Laisa benar-benar memaksa tubuhnya menurut. Ia pulang sore itu juga. Dengan muka masih pucat. Dengan tubuh masih lemah. Menggunakan sisa-sisa tenaganya. Berseru lirih di senyapnya mobil membelah jalanan menuju perkebunan, "Ya Allah, aku mohon, meski hamba begitu jauh dari wanita-wanita mulia pilihanmu, hamba mohon kokohkanlah kaki Laisa seperti kaki Bunda Hajra saat berlarian dari Safa- Marwa.... Kuatkanlah kaki Laisa seperti kaki Bunda Hajra demi anaknya Ismail.... Mereka tidak boleh melihat aku sakit..." Satu titik air mata mengalir di pipinya. Itu juga doa Laisa ketika menerobos hujan badai saat Yashinta sakil, ke kampung atas, ketika kakinya bengkak menghantam tungul kayu. Ketika sendi mata kakinya bergeser. Itu juga doanyna di Gunung Kendeng. Itulah doa yang paling disukai Laisa. Doa-doa itu mengukir langit. Energi pengorbanan itu sungguh luar biasa (untuk
tidak mengharukan), jika kalian bisa melihatnya seperti nyala api, maka mungkin energi itu bisa membuat terang benderang seluruh Lembah Lahambay. Malam itu Kak Laisa sudah kembali riang bersama yang lain. Duduk di beranda depan, membuat kue kecil-kecil bersama tetangga. Intan duduk manis di pangkuannya. Satu kue untuk Intan, Satu kue masuk toples. Kak Laisa tertawa lebar. Mengusir fakta kanker paru-paru stadium satu. Ikanuri dan Wibisana menghabiskan masa bulan madu mereka di perkebunan strawberry. Baru selepas itu kembali ke kota seberang pulau. Mengurus bengkel. Kak Laisa memberikan modal tambahan untuk mulai membangun pabrik suku cadang mereka. Berpesan agar mereka tidak terlalu sibuk dengan bengkelnya, hingga mengurangi perhatian ke istri masing-masing. Dalimunte kembali ke ibukota lepas satu minggu dari acara pernikahan. Intan menyeringai riang, melambaikan tangan ke Wawak dan Eyangnya, "Da-da-" Dan kemudian menangis kencang-kencang di mobil. Ia sih tidak mengerti kalau da-da itu maksudnya lambaian perpisahan. Dikiranya hanya da-da doang. Memaksa balik kembali ke perkebunan strawberry. Tapi Dalimunte dan Cie Hui hanya tertawa. Sejak kecil Intan selalu paling semangat pulang ke lembah. Di sana ia benar-benar menikmati memiliki Wawak dan Eyang yang baik hati. Yang selalu membelanya, meski ia nakal minta ampun. Yashinta pulang dua hari kemudian. Ia sudah bekerja di lembaga konservasi, Bogor. Mulai melibatkan diri di berbagai riset, program perlindungan, dan sebagainya tentang alam sekitar. Ia juga sudah menjadi koresponden foto majalah National Geographic. Sudah punya
berbagai gagdet canggih, termasuk telepon genggam satelit dan kamera dengan lensa super zoom-nya.. Hari-hari itu, usia Kak Laisa sudah 43, Dalimunte 37, Ikanuri menjelang 35, Wibisana 34, dan Yashinta 31 tahun. Sebenarnya kekhawatiran Ikanuri dan Wibisana soal melintas berlebihan. Tidak ada lagi tetangga yang sibuk bertanya kapan Kak Laisa akan menikah saat pernikahan kembar itu berlangsung. Mereka sudah terbiasa. Juga tidak ada lagi yang menilai Kak Laisa dilintas untuk kedua dan ketiga kalinya sekaligus merupakan aib besar. Tetangga kampung sudah menerima kenyataan itu. Tidak sibuk bisik-bisik. Jadi meski tak ada Wak Burhan yang mengingatkan, pernikahan kembar itu berjalan normal. Setelah yang lain kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing, rumah panggung itu kembali sepi (dalam artian yang berbeda). Menyisakan Kak Laisa dan Mamak. Entahlah apa yang sesungguhnya berkecamuk di kepala Kak Laisa di tengali sepinya malam. Di tengah senyapnya lereng perkebunan strawberry. Tidak ada yang tahu. Dengan berita kanker paru-paru stadium satu yang ia tutup rapat-rapat kecuali dengan Mamak, maka benar-benar tidak ada yang tahu apa yang selalu Laisa pikirkan saat menatap tangit penghujung malam. Menatap bulan dan gemintang di Lembah Lahambay. Apakah memang sesederhana yang selalu ia sampaikan kepada Dalimunte: Ia sudah terbiasa dengan kesendiriannya. Dalimunte tetap berusaha mencarikan jodoh buat Kak Laisa. Tapi tiga tahun terakhir intensitasnya tidak setinggi sebelumnya. Kak Laisa belakangan sepertinya tidak lagi terlalu bersemangat menanggapi pembicaraan tersebut. Hanya tersenyum. Tidak berkomentar. Dan celakanya, meski dengan konteks berbeda, lagi-lagi kejadian menyakitkan itu terulang. Perjodohan yang gagal lagi. Setahun selepas pernikahan Ikanuri dan Wibisana, Kak Laisa didekati seseorang. Seseorang yang terlihat begitu baik, warga baru lembah, mengaku pensiunan dini tentara, pindah untuk mencari ketenangan di lembah. Tinggal di kampung mereka, lantas setelah enam bulan berinteraksi dengan penduduk lembah, bilang merasa tertarik dengan Kak Laisa. Usianya sudah 55 tahun, berbeda sebelas tahun dengan Kak Laisa, penuh perhatian, seolah-olah bisa menerima keterbatasan Kak Laisa apa adanya. Dalimunte awalnya sudah tidak suka dengan orang itu. Apalagi Mamak (yang mengingatkannya pada masa lalu). Juga yang lain. Yashinta malah terus terang kasar menyatakan keberatannya di depan orang tersebut. Semua terlihat terlalu sempurna. Terlalu banyak kebetulan. Dan terlalu l
ainnya. Tapi mereka tidak bisa mencegah proses itu. Apalagi meski Kak Laisa tidak terlalu bersemangat menanggapinya, proses itu terus mengalir seperti air. Semakin hari semakin dekat. Mulai mengajak bicara Mamak. Dan pelan tapi pasti rencana pernikahan itu mulai serius. Beruntung. Kedok orang tersebut terbuka sebelum semuanya terlanjur kadung. Polisi dari kota provinsi menangkapnya. Dia penipu. Buronan. Sudah dua kali menipu di tempat lain. Menikah hanya untuk menguras harta istrinya. Pura-pura tertarik dengan Kak Laisa hanya untuk menguasai perkebunan strawberry. Entahlah apa ending seperti ini kabar baik atau kabar buruk bagi Kak Laisa. Yang pasti sejak kejadian tersebut, Kak Laisa mulai enggan menanggapi pembicaraan perjodohan dengan Dalimunte. Ia seperti sudah mengubur dalam-dalam keinginan untuk menikah. Melupakannya. Kak Laisa seolah sudah bersiap menerima kalau ia memang ditakdirkan hidup sendirian selamanya. Mungkin saja Kak Laisa sudah benar-benar terbiasa.
37 KAU ADIK TERSAYANG "ABI, Tante Yash ikut pulang, kan"" Intan yang duduk di ranjang besar menoleh, bertanya pada Dalimunte.
Dalimunte yang sedang berbicara dengan dokter tentang kondisi terakhir Kak Laisa mengangguk seadanya. "Sudah sampai di mana, sih" Kok nggak ada kabar-kabarnya seperti Oom Ikanuri dan Oom Wibisana"" Intan bertanya lagi. Lebih serius, ingin tahu. Dalimunte kali ini benar-benar menoleh ke putrinya. Terdiam. Sudah sampai di mana" Menelan ludah. Malam tiba untuk ke sekian kalinya di lembah itu. Hujan gerimis turun sejak maghrib. Mereka sudah shalat berjamaah (kecuali Juwita dan Delima yang memaksa ikut shalat gaya duduk Wawak Laisa). Sudah makan malam, meski makannya di kamar Wak Laisa. Menghampar sembarang di lantai. Yang penting tetap bersama. Kondisi Wak Laisa tidak memburuk, juga tidak membaik. Ia sepanjang pagi bisa duduk bersandarkan bantal, tapi setelah siang, karena lelah, kembali tiduran. Batuknya masih. Juga bercak darah yang ikut keluar. Intan telaten membersihkan dengan tissue. Juwita dan Delima sih dari tadi ingin ikut-ikutan, tapi Kak Intan melotot. Menyuruh mereka menyingkir. Siang itu Bang Jogar menghentikan membaca yasin di surau dan beranda rumah. Mereka masih berkumpul di bawah panggung, tapi satu dua menjelang malam kembali ke rumah masing-masing. Semoga Laisa terus membaik.... Begitu masing-masing berdoa dalam hati. "Yeee, Abi kok malah melamun"" Intan berseru, nyengir. Dalimunte mengusap wajahnya. Menelan ludah sekali lagi. "Tante Yash masih di jalan, sayang " Kak Laisa yang justru menjawab. Suaranya sedikit serak. Matanya yang tadi terpejam, perlahan terbuka. Tersengal. Menatap Intan lamat-lamat. Dalimunte yang masih berdiri di depan dokter terdiam. Apa yang hendak dikatakan Kak Laisa" Apa maksud kalimat Kak Laisa baru saja. Dia tahu persis, Kak Laisa sengaja menahan diri sejak kemarin untuk bertanya di mana Yashinta sekarang. Setelah lebih sehari semalam, tanpa kabar pasti di mana posisinya, orang yang paling ingin tahu di mana Yashinta sekarang jelas adalah Kak Laisa. "Emangnya Wak Laisa tahu" Kan Wawak sejak tadi tidur;'" Intan menyeringai. Beringsut mendekat. Laisa berusaha mengangguk. Tersenyum. Tentu saja ia tahu. Kedekatan adik-kakak itu sungguh menembus batas-batas akal sehat. Tentu saja Laisa tahu.... Itulah kenapa dia tidak bertanya ke Dalimunte di mana Yashinta, adik terkecilnya, berada sekarang. Karena Laisa tahu persis di mana Yashinta saat ini. Bagaimana tidak" Lima belas jam ]alu, tepatnya saat ia shalat shubuh sambil duduk tadi pagi, ia baru saja membangunkan adiknya. Membelai lembut dahi Yashinta yang cemerlang. "Ia bukan kakak kita!" Ikanuri berbisik kasar. Mukanya terlihat sekali sebal, "Kenapa ia harus sibuk melarang-larang. Bah!" Wibisana yang berdiri di sebelahnya hanya diam. Tidak cakap apapun. Hanya tertunduk. Malam itu Ikanuri dan Wibisana dihukum tidur di bale bambu bawah rumah panggung. Malam beberapa bulan setelah kejadian di Gunung Kendeng itu. Dua sigung nakal itu lagi-lagi bolos sekolah, padahal Mamak, Kak Laisa, dan Dalimunte sibuk mengurus kebun strawberry. Tidak hanya sibuk, tapi
Iblis Berbaju Hijau 2 Pendekar Pulau Neraka 27 Keris Kala Muyeng Memperebutkan Batu Kalimaya 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama