Bidadari Bidadari Surga Karya Tere Liye Bagian 3
pilihan selain melindungi adik adiknya. Tidak sempat berpikir panjang. Hanya Dalimunte yang bisa memberikan penjelasan lebih masuk akal. Itu pun setelah Dalimunte sudah sekolah di kota provinsi, mulai tenggelam dengan kecintaannya atas buku-buku. Kata Dalimunte pada suatu kesempatan saat mereka berkumpul, berdasarkan buku-buku yang dibacanya, binatang meski tidak memiliki akal-pikiran tapi mereka memiliki insting, naluri. Perasaan. Mereka bisa menyayangi anak-anaknya, melindungi sarangnya, tahu kerabatnya sedang dalam bahaya, sakit, dan sebagainya. Sehingga mereka, meski tidak seintens manusia dalam menerjemahkan perasaannya, dalam kondisi tertentu, bisa mengerti binatang lain, bisa mengerti komunikasi perasaan dengan mahkluk yang tidak sejenis dengannya. Itulah yang terjadi malam itu. Harimau yang paling besar, yang paling menakutkan, meski selintas, meski sekejap, dari tatapan matanya ke Kak Laisa, ia akhirnya tahu betapa Kak Laisa mencintai adik-adiknya. Betapa Kak Laisa siap mengorbankan hidupnya demi adik-adiknya. Harimau itu mengerti. Lantas memutuskan pergi. Itu penjelasan Dalimunte kepada Intan yang beranjak sekolah dan sibuk bertanya saat mereka berkumpul bersama mengenang kejadian itu di perkebunan strawberry. Dan itu lebih dari cukup untuk membuat Intan, Juwita, dan Delima terdiam, lantas menatap terpesona pada Wak Laisa. Menjelang senja, saat matahari bersiap menghujam di balik puncak Gunung Kendeng, pipa-pipa bambu sudah tersambung rapi. Diperlukan 76 batang bambu untuk mencapai
ladang. Seperti tarian ular, air bening yang mengalir melewati pipa bambu membasahi ladang-ladang mereka. Bukan main, ini semua benar-benar kabar baik. Wak Burhan setelah puas menatap air tumpah membanjiri ladang-ladang mereka, beranjak mengajak penduduk kampung pulang. Lembah mulai remang. Saatnya beristirahat. Esok masih panjang, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Dan malam ini, perjalanan panjang itu telah dimulai dengan perasaan lega. Menyenangkan. Hanya Ikanuri dan Wibisana yang merasa ganjil selepas pulang dari ladang. Karena tadi siang Wak Burhan menyuruh mereka memetik habis buah mangga di ladangnya. Membagi-bagikannya ke penduduk kampung yang sedang gotong-royong. "Sayang, yang besar-besar minggu lalu rontok dimakan kelelawar harusnya itu jatah Yashinta " Wak Burhan tersenyum memberikan sekantong buah mangga ke Yashinta. Ikanuri dan Wibisana hanya saling lirik, merasa bersalah
17 YASIN YANG DIBACAKAN MOBIL KIJANG itu pelan masuk ke halaman rumah. Rumput yang terpotong rapi menghampar bagai beludru. Pohon duku, jeruk, durian, dan kakao yang dibonsai berbaris rapi. Minggu-minggu ini buahnya masih terlalu muda untuk dipetik, tapi melihatnya sudah cukup menyenangkan. Rumah panggung itu terlihat terang. Belasan lampu neon bersinar lembut. Ramai. Beberapa penduduk terlihat duduk berkerumun di kursi bambu yang tersusun di depannya. Juga di teras. Mereka serempak berdiri saat mobil jemputan kebun strawberry itu mulai memasuki halaman rumah. Tidak. Tentu saja itu bukan rumah panggung paling kecil, paling reot, paling jelek di ujung lembah. Itu masih rumah yang lama, masih di lokasi yang sama, tapi sekarang sudah bertambah tiga kali lipat ukurannya, sudah berdiri kokoh, beratap genteng. Meski masih sama dinding kayunya, sudah berdiri asri. Halamannya yang sejak dari dulu sudah luas, sekarang dipenuhi bebungaan dan pohon-pohon bonsai. Rumah panggung itu juga terlihat modern dengan instalasi listrik dan rangkaian ornamen kaca warna-warni. Kampung itu sejak dua puluh tahun silam pelan tapi pasti memang berubah jadi lebih baik. Lebih maju. Hari ini, seluruh rumah-rumah di Lembah Lahambay berjejer rapi, dengan sanitasi dan halaman yang rapi. Jika kalian sempat datang ke sana, kalian seperti melihat deretan bangunan villa-villa dari kayu di lembah yang amat indah. Itu tentu termasuk rumah tua Mamak Lainuri. Tidak ada lagi hamparan semak belukar. Juga ladang-ladang padi tadah hujan di sekitar kampung. Apalagi kebun mangga Wak Burhan. Yang ada, sejak memasuki lembah radius dua kilo meter, hanya perkebunan strawberry yang memben
tang luas. Hijau sepanjang mata memandang. Buah merah yang beranjak ranum terlihat mengundang, bergelantungan, meski senja yang beranjak malam membuat remang sekitar. Kebun-kebun itu separuhnya milik penduduk kampung, yang bentuk dan susunannya dibuat sedemikian rupa agar sama seperti separuh lainnya, milik Kak Laisa. Berbaris. Polybag pohon strawberry terlihat seperti lajur-lajur tentara yang berbaris rapi. Jalan setapak yang sudah diaspal melingkari kebun-kebun. Memudahkan untuk mengangkut buah strawberry saat panen tiba. Juga menjadi trek mengasyikkan, naik turun lembah mengelilingi perkebunan. Satu bangunan besar terlihat di tengah hamparan hijau perkebunan. Itu gua penyimpanan sementara sebelum buah strawbeery dibawa ke kota provinsi. Lampu-lampu bangunannya bersinar redup. Malam ini, lima truk milik gudang berjejer, besok pagi-truk itu berangkat ke pusat pengalengan. Orang-orang yang tadi duduk di kursi bambu beranjak mendekat. Mengerubungi mobil jemputan perkebunan. Dalimunte membuka pintu mobil. Melangkah turun. "Akhirnya kau tiba, Dali " Orang-orang berseru, memeluknya.
Dalimunte menelan ludah. Menatap wajah-wajah bersimpati itu. Balas memeluk. Dia mengenalinya. Amat mengenal. Mereka adalah tetangga-tetangga kampung. Satu dua terhitung teman sepermainan masa kecil. Mereka seperti sedang bersiap. Bukan. Bukan bersiap menyambutnya. Bersiap untuk urusan lain. Dalimunte sekali lagi menelan ludah "Ayo, kalian jangan menghalangi Dali, biarkan dia masuk " Seorang lelaki setengah baya berkata tegas, menyeringai, menyuruh kerumunan menyingkir. Itu Bang Jogar, pemuda yang paling banyak bertanya soal urusan lima kincir air dulu di balai kampung. Umurnya sekarang lima puluh. Kepala kampung (jika lembah indah itu masih layak disebut kampung). Wak Burhan sudah meninggal sepuluh tahun silam. Bang Jogar dipilih dengan suara bulat oleh penduduk menjadi penerus. Kerumunan tetangga menyibak. Memberikan jalan. "Ayo, Dali. Mamak Lainuri sudah menunggu kau dari tadi " Dalimunte mengangguk, "Apa Kak Laisa baik-baik-baik saja"" "Aku tidak tahu, Dali. Dokter lebih tahu urusan itu kan tahu, abang-abangmu ini di kampung mana pernah sekolah hingga kelas enam kecuali kau dan anak-anak kami sekarang," Bang Jogar tertawa, bergurau, mencoba menghibur Dalimunte yang cemas. "Tapi terakhir kali aku atas, lima menit lalu, Laisa sudah siuman. Kata Mamak Lainuri, Laisa sempat bicara dengan Ikanuri dan Wibisana lewat telepun, Hei! Kalian bantulah koper-koper Dalimunte dari mobil. Jangan macam anak uwa, sibuk menonton saja. Atau seperti kubilang tadi, ikut mengaji yasin di surau sana! " Bang Jogar meneriaki pemuda-pemuda tanggung di kursi bambu, Cie Hui, istri Daiimunte membantu Intan, yang baru bangun tidur, turun dari mobil. Intan menggendong ransel sekolahnya, menyeka anak rambut dari kening. Tadi sempat tertidur di mobil. Dibangunkan Abi persis masuk areal perkebunan strawberry. Si belang sudah loncat saat pintu mobil dibuka. Hamster itu amat familiar dengan areal perkebunan. Setiap dua bulan mereka pulang, si belang selalu ikut. Malah menurut Oom Ikanuri, si belang punya pacar hamster liar lembah. Ah, pasti Oom Ikanuri ngibul, kan Oom Ikanuri memang suka bohong. Dalimunte beranjak menaiki anak tangga, diikuti Cie Hui dan Intan (yang masih menguap). Menghela nafas tertahan, masuk ke ruang depan. Ruangan yang dulu menjadi tempat dia, Ikanuri dan Wibisana tidur bertiga. Dengan sarung beralaskan tikar pandan, bersama angin malam yang menembus dinding berlubang. Dalimunte menatap sekitar, beberapa ibu-ibu dan anak gadis tetangga berkerudung rapi, duduk di tepi-tepi ruangan, melingkar membaca yasin bersama-sama. Kebiasaan setempat jika ada urusan seperti ini. Di surau kampung yang sekarang berubah menjadi masjid kecil tapi megah, lelaki dewasa juga bersama-sama membaca yasin. Suara mereka terdengar hingga sini. Dalimunte menelan ludah untuk kesekian kalinya. Jika sudah sampai membaca yasin agar yang sakit dimudahkan urusannya, berarti sakit Kak Laisa serius sekali. Menghela nafas pelan. Terus melangkah menuju kamar Kak Laisa. Wajah-wajah terangkat, m
elihat rombongan. Tersenyum kepada Intan yang menoleh ke sana ke mari. Intan hanya nyengir membalas tatapan itu, berpikir pendek, ramai betul lagi ada kendurian, ya" Apa yang sebenamya terjadi" Dalimunte mengusap wajah. Bagaimana mungkin semua tiba-tiba jadi terlihat sendu seperti ini" Bukankah satu bulan lalu saat mereka pulang bersama, jadwal berkumpul rutin mereka, Kak Laisa terlihat sehat-sehat" Tertawa-tawa menggendong Intan, Juwita dan Delima bergiliran menuruni dinding cadas sungai. Berkeliling kebun strawberry dengan sepeda BMX. Mengawasi gudang penyimpanan. Bahkan Kak Laisa masih sempat-sempatnya mencari sendiri umbut (ujung rotan) di hutan untuk membuat masakan surprise bagi mereka. Menu favorit Yashinta, Ikanuri dan Wibisana, dan juga ponakannya.
Kak Laisa tak sedikitpun terlihat sakit. Riang meladeni Intan, Juwita dan Delima yang bertengkar memperebutkan foto Tante Yashinta. Galak meneriaki Ikanuri dan Wibisana yang selalu saja jahil entah melakukan apa kepada anak-anak. Meladeni Ikanuri dan Wibisana yang masih saja suka mengganggu Kak Laisa dengan celetukan-celetukan. Tertawa. Bermain kembang api bersama anak-anak kampung. Membuat langit lembah bercahaya oleh gemerlap nyala kembang api. Membakar jagung di halaman rumah bersama tetangga-tetangga. Kak Laisa tidak berubah sedikit pun, persis seperti melihat foto masa lalunya, hanya saja sekarang piguranya terlihat kecokelatan. Umurnya sekarang empat puluh tiga. Tapi ia masih sama disiplinnya, terus bekerja keras mengurus kebun, mengurus Mamak, mengurus pabrik pengalengan, mengurus sekolah di lembah, mengurus apa-saja. Melakukan banyak hal. Masih sama atletisnya, masih dengan tubuh gemuk tapi gempalnya. Padahal kalau Kak Laisa ingin duduk-duduk santai, tidak masalah. Pabrik itu punya belasan pekerja. Warga dari kampung atas dan seberang. Juga turut bekerja di perkebunan beberapa insinyur pertanian lulusan institut pertanian kota provinsi. Sekarang" Ya Allah, bagaimana mungkin seluruh rumah terlihat seperti sedang bersiap melepas kepergian seseorang. Yasin yang dibacakan" Warga yang berkumpul" Dalimunte menggigit bibir, sakit apa sebenarnya Kak Laisa" Dalimunte tidak tahan lagi, bergegas masuk ke kamar Kak Laisa. Terhenti. Langkahnya terhenti seketika persis di bawah bingkai pintu. Lihatlah! Ya Allah, apa maksud semua ini" Kamar Kak Laisa penuh dengan peralatan medis. Selang infus, belalai-belalai plastik. Layar bertuliskan garis-garis hijau. Alai-alat bantu lainnya. Tabung oksigen. Masker. Kaki Dalimunte bergetar. Matanya mencari di sela-sela peralatan medis yang pasti didatangkan dari rumah-sakit kota provinsi. Mata Dalimunte akhirnya menemukan sosok itu. Menatap nanar tubuh besar (tapi pendek) itu. Yang terbaring lemah di atas ranjang. Mamak Lainuri duduk di sebelahnya, menoleh karena mendengar seruan-seruan dari luar. Mamak bertanya lirih. Siapa yang telah tiba" Dalimunte Dalimunte justru sudah terpaku bersitatap dengan mata redup Kak Laisa.
18 MEYIMPANNYA SENDIRIAN YASHINTA mematut-matut di depan cermin. Menyeringai sendiri. Tersenyum amat lebar. Lihat. Ayo lihat, Yash pagi ini mengenakan seragam merah-putih. Mamak membelikan dari kota kecamatan. Sebenarnya baju itu dibeli di pasar loak, baju bekas, tapi itu tidak penting. Yash juga tahu, kok. Hatinya sedang senang. Semalam berkali-kali terbangun. Pukul sepuluh, sebelas, dua belas, satu, dua, tiga, sampai Kak Laisa mendengus jengkel, karena setiap kali Yashinta terbangun, ia menarik-narik baju gombyor Kak Laisa, berisik bertanya jam berapa sekarang. Menunggu pagi seperti menunggu waktu seribu bulan, tak sabaran. Maka saat akhirnya kokok ayam hutan akhimya terdengar dari kejauhan, Yashinta semangat langsung mandi di sungai. Ini hari pertama sekolahnya. Bukan main. Rasanya susah dijelaskan. Lihatlah muka imut Yashinta bersenandung riang. Memasukkan buku tipis ke dalam tas, pensil yang sudah diraut, penggaris bambu. Crayon 12 warna dari Kak Ikanuri dan Kak Wibisana. Lantas sudah duduk rapi di meja makan. Siap untuk sarapan. Ikanuri dan Wibisana hanya nyengir melihat kelakuan Yashinta. Bagi mereka tingkah Ya
shinta mirip sekali dengan mahkluk planet lain. Mana ada coba penduduk bumi yang semangat seperti adiknya berangkat sekolah. Tapi Dalimunte tidak, dia tersenyum lebar, menyeringai membesarkan hati Yashinta, yang justru saat sudah siap berangkat bersama-sama malah gugup, mendadak sakit perut.
Panen bersama sebulan lalu sukses besar, Mamak Lainuri tak kurang dapat empat puluh kaleng padi. Setelah dipotong zakat, juga padi cadangan untuk lumbung kampung, juga delapan belas kaleng untuk persediaan beras mereka selama setahun, sisanya masih lumayan, yang seluruhnya dijual ke kota kecamatan. Ditambah tabungan Mamak dari menjual damar, rotan, gula aren, dan anyaman rotan selama ini, uangnya cukup sudah untuk membayar biaya sekolah Yashinta, Ikanuri, Wibisana dan Dalimunte. Tahun ini, Dalimunte duduk di kelas enam. Sementara Ikanuri dan Wibisana kelas empat. Itu berarti setahun lagi Mamak harus memikirkan kelanjutan sekolah Dalimunte. Sekolah lanjutan di kota kecamatan. Yang berarti akan lebih banyak lagi uang yang diperlukan. Mamak meski terlihat biasa-biasa saja, tapi soal itu benar-benar penting baginya. Lepas panen, Mamak langsung menggarap lagi ladang mereka. Tidak ada istilah berleha-leha. Menanaminya dengan jagung. Lebih keras bekerja. Lebih lama menyadap damar di hutan. Begitu juga dengan Kak Laisa, tubuh gendut tapi gempalnya terlihat semakin hitam. Terlalu lama terpanggang terik matahari. Beruntung kehidupan di kampung jauh lebih baik sejak irigasi lima kincir air dibuat. Beruntung pula perangai Ikanuri dan Wibisana juga ikutan membaik sejak kasus itu. Meski masih sering membantah, masih sering melawan, masih sering kabur disuruh mengerjakan sesuatu, mereka jauh lebih menurut. Ikanuri dan Wibisana mulai mengerti arti tanggung jawab. Tidak percuma Kak Laisa saban hari mengejar-ngejar mereka dengan sapu lidi teracung dan berteriak-teriak "Kerja keras!" "Kerja keras!" "Kerja keras!" Dua sigung nakal itu sudah jarang bolos sekolah. Sudah rajin membantu Mamak di Ladang. Sekali dua malah tanpa disuruh pergi ke hutan mengumpulkan kayu bakar dan rotan. Kejadian di puncak Gunung Kendeng sedikit banyak membuat mereka sungkan dengan Kak Laisa. Lah, harimau saja ngeri lihat Kak Laisa melotot, apalagi mereka, kan" Ihhh. Siang itu panas membakar lembah. Musim kemarau tiba di minggu-minggu puncaknya. Yashinta menyeka keringat di dahi tidak hanya sekali. Berjalan pelan-pelan mengiringi Ikanuri dan Wibisana. Daun pisang yang tadi diambilkan Dalimunte percuma, perjalanan pulang dari kampung atas tetap menyiksa wajah. Ini bulan ketiga sekolahnya. Sejauh ini ponten pelajarannya bagus-bagus. Yashinta jelas mewarisi ketekunan dan kecerdasan Dalimunte, bukan tabiat iseng bin kenakalan Ikanuri dan Wibisana. Tiba di rumah panggung mereka menghabiskan makan siang yang telah disiapkan Kak Laisa sebelum berangkat ke ladang tadi pagi. Shalat dzhuhur (Dalimunte yang jadi imam), kemudian Dalimunte meneriaki Ikanuri dan Wibisana agar buruan menyusul Mamak. Yashinta sudah boleh ikut ke ladang sekarang. Meski kerjaannya di sana hanya belajar di bawah pondok, belajar membuat anyaman bambu, mengerjakan PR, apa saja. "HUUUU! HUUUU!!" "HUUUU!" Mamak membalas teriakan Dalimunte. Kempat adik-kakak itu menuruni lereng landai kebun. Di Lembah Lahambay, teriakan seperti itu lazim. Untuk saling memberitahu posisi. Dengan suara seperti pekikan burung. Mamak melambaikan tangan dari kejauhan. Kak Laisa dan Mamak sedang membersihkan gulma di pojokan ladang. Batang jagung sudah setinggi kepala. Subur, dengan air yang terus mengalir. Mereka berempat berbelok, Mendekat "Mak, tadi ada guru baru di sekolah, Yash " Yashinta yang pertama kali melapor. Menurunkan daun pisang di atas kepalanya. "Siapa"" Mamak bertanya pendek, tanpa menoleh, tangannya tetap gesit menyiangi rumput di sela-sela batang jagung. "Eh, siapa, Kak"" Yashinta nyengir, justru bertanya padii Ikanuri. "Tahu, siapa " Ikanuri melangkah tidak peduli, maksudnya dia memang tidak peduli dengan siapa guru baru tadi, bukan tidak peduli dengan pertanyaan Yashinta. Mengambil arit yang tergeletak di dekat Kak Lais
a, ikut membantu. "Ada yang KKN-" "Eh, iya, KKN, Mak. Gurunya dari KKN." Yashinta, memotong kalimat Dalimunte, "KKN itu dari mana ya, Kak"" Yashinta duduk menjeplak di sekitaran mereka. Teduh di bawah batang jagung, jadi ia tidak perlu sendirian di pondok yang terletak di tengah-tengah ladang. Menyeka keringat yang mengucur tambah deras. Gerah. Tubuhnya terlihat lekat. Mamak mengangguk, ia mengerti. Seminggu lalu Wak Burhan juga bilang soal itu. Katanya ada rombongan mahasiswa dari kota provinsi. Posko mahasiswa itu ada di kampung atas, tapi beberapa dari mereka juga akan melakukan beberapa proyek KKN di kampung bawah. Jarang-jarang ada pendatang dari kota di lembah itu. Dulu pernah ada Mahasiswa yang juga KKN, tapi program mereka kebanyakan hanya penyuluhan dan ceramah. Dulu-dulunya juga pernah ada pejabat entah dari mana yang datang ke Lembah. Lebih tak jelas lagi apa gunanya mereka, hanya nanya-nanya, membawa kertas, entahlah. Tanpa sesuatu yang benar-benar bermanfaat bagi penduduk kampung. "Ikanuri, Wibisana, menebas rumputnya yang benar!" Kak Laisa mendelik, menatap tajam Ikanuri dan Wibisana. "Sudah benar, kan"" Ikanuri nyengir. Sejak tadi dia dan Wibisana tidak medengarkan percakapan. Asyik bermain-main dengan arit. Kak Laisa melotot, benar apanya, kedua sigung nakal itu seperti membuat lajur-lajur di atas gulma. Sengaja membuat huruf nama-nama mereka, seperti bonsai berbentuk huruf di taman-taman. Membuat tulisan: Ika-Wibi Keren. "Lagian biar nyeni, Kak! Artistik " Wibisana tertawa. Kak Laisa melotot, mengancam. Ikanuri dan Wibisana menelan ludah. Yaah, kan hanya bergurau, nanti-nanti bakal dipangkas juga semuanya. Nanti-nanti maksudnya minggu depan, atau setelah panen jagung. Dengan enggan dua sigung nakal itu membersihkan huruf-huruf nama mereka. Yashinta asyik meneruskan anyaman rotannya. Ia sudah lancar.Sekali dua terdengar batuk. Keringat mengucur semakin deras dari dahinya. Musim kemarau ini entah sampai kapan. Biasanya tidak selama ini. Seminggu dua minggu, lazimnya diseling hujan deras yang sedikit mendinginkan lembah. Dua hari terakhir kenapa pula badannya terasa tidak enak. Tetapi Yashinta terlanjur asyik meneruskan anyamannya. Sambil sesekali memperhatikan Kak Laisa yang tangkas membersihkan gulma. Lihat, satu jam berlalu, luas gulma yang berhasil dibersihkan Kak Laisa, masih lebih banyak dibandingkan luas Kak Ikanuri dan Kak Wibisana dijumlahkan, dikalikan dua pula. Matahari mulai tenggelam di balik Gunung Kendeng, Mamak menyuruh Dalimunte memberesi perlengkapan. Menyimpannya di pondok. Saatnya pulang. Kak Laisa membantu berbenah-benah. Menggendong keranjang berisikan sayur-mayur. Mereka berjalan beriringan. Lembah itu hening. Langit terlihat merah. Angin bertiup pelan, menyenangkan. Rombongan burung layang-layang terbang pulang ke sarang. Kelelawar mengepak-ngepakkan sayap bersiap memulai ritual malamnya. Yashinta berkali-kali batuk lagi. "Kau baik-baik saja, Yash"" Kak Laisa bertanya. Yashinta mengangguk, sambil berusaha mensejajari langkah Kak Laisa.
"Kenapa Kak Lais tidak bilang"" Dalimunte menangis, tersendat, jemari tangannya gemetar mengusap bibir perempuan umur empat puluh tiga tahun yang terbaring lemah di atas ranjang. Ada bercak darah di sana. Keluar bersama dahak, "Tidak. Tidak boleh ada yang menangis, Dali...." Kak Laisa berkata pelan, nafasnya sedikit tersengal,
"Kau anak lelaki. Di keluarga ini anak lelaki tidak boleh menangis" "Tapi kenapa Kak Lais menyimpannya sendirian.... Kenapa Kak Laisa tidak bilang kalau selama ini sakit" Ya Allah, selama itu. Bahkan Kak Lais menyimpan semuanya sendirian selama ini.... Sejak kami kecil, sejak kami masih nakal suka membantah " Dalimunte tergugu. Mamak ikut menyeka sudut matanya. Cie hui, mendekap Intan yang entah mengapa juga ikut tertunduk. Intan menggigit bibir. Bingung. Cemas. Ia keliru, ternyata Wak Laisa sakitnya tidak sekadar mencret-mencret. Aduh, kalau kelihatannya sudah begini itu artinya serius sekali. Lihat, Wak Laisa batuk lagi, terus ada darah pula keluar dari bibirnya. "Ingat kata Kakak dulu saat kau berangkat sekolah di kota prov
insi, tidak ada yang boleh menangis, kau akan menemukan tempat-tempat baru, teman-teman baru, kau akan belajar banyak.... Hei, tidak ada yang boleh menangis dengan semua kabar baik itu. Juga hari ini.... Lihatlah, kau amat membanggakan Kakak " Kak Laisa terbatuk pelan. Dahak sekali lagi keluar bersama darah. Dalimunte menyeka darah itu dengan jemarinnya. Semakin tergugu. Bagaimana mungkin dia tidak akan menangis" Lihatlah, seseorang yang amat dihargai sepanjang hidupnya berbaring lemah di hadapannya, tetap sama seperti dulu. Memberikan perlindungan. Memberikan janji-janji yang selalu ditunaikan. Mengubur cita-citanya sendiri demi adik-adiknya. Bahkan hingga saat ini, ketika tubuhnya terlihat amat lemah, Kak Laisa tetap berusaha tersenyum menyuruhnya tidakk menangis. "Kak Lais selalu menyimpannya sendirian, demi kami.... Kak Lais selalu mengalah, demi kami " Kalimat Dalimunte terhenti, dia tak kuasa melanjutkan hanya bisa mencium jemari tangan yang terkulai lemah itu. Berbagai kenangan masa lalu berdesing memenuhi kepalanya. "Kak Lais bekerja sepanjang hari membantu Mamak demi kami, Kak Lais mempermalukan diri demi kami, Kak Lais bahkan menerobos hujan deras, tidak peduli dingin, jemari tangan menggigil demi kami..." Dalimunte tidak bisa menahan lagi perasaannya. Dulu saja, waktu kecil ia sudah mengerti. "Dali &, tidak ada yang boleh menangis " "Ta-pi, tapi Dali tidak tahan lagi. Dali tidak tahan " "Kemarilah, anakku...." Mamak berbisik lirih dari belakang. Dalimunte memeluk pinggang Mamak. Senyap. Hanya tangis tertahan di ruangan itu. Dokter perkebunan yang sejak sebulan lalu merawat Kak Laisa menatap dengan mata berkaca-kaca. Intan ikutan menyeka pipinya. Ia tidak tahu kenapa ikut menangis. Ia sedih, sedih sekali melihat Wak Laisa yang kuat menggendongnya naik turun cadas sungai, sekarang pucat pasi, bergerak saja susah di atas ranjang. Mamak mengusap rambut Dalimunte, berbisik menenangkan. Wajah keriput berumur enam puluh tahun itu terlihat amat sendu. Ia-lah yang paling tahu urusan ini. Sejak tiga puluh tahun silam. Sejak Laisa mulai mengerti arti tanggung-jawab. Umur Laisa saat itu sebelas tahun. Kelas empat Umur Dalimunte tujuh tahun. Sudah setahun Dalimunte tertunda sekolah karena Mamak tidak punya uang. Mamak ingat sekali. Hari itu. Pagi itu. Laisa mendekatinya dari belakang. Pukul empat shubuh. Saat Mamak sibuk memasak gula enau. Saat yang lain masih tertidur lelap. "Biar. Biar Lais yang berhenti sekolah, Mak..." Putri sulungnya tersenyum tulus, menatap dengan mata bercahaya. "Kau harus terus sekolah, Lais!" Mamak menatap tajam Laisa. Menggeleng, "Lais tahu Mamak tidak punya cukup uang untuk membeli seragam baru Dali. Biar Lais yang berhenti sekolah. Lagipula Lais anak perempuan. Buat apa Lais sekolah
tinggi-tinggi. Biarlah Dalimunte yang sekolah. Lais membantu Mamak mencari uang saja. Dengan begitu nanti Ikanuri dan Wibisana juga bisa sekolah.... Juga Yashinta...." Putri sulungnya menyentuh lengannya. Menatap dengan yakin dan mengerti benar apa yang telah dikatakannya. Mulai shubuh itu, Mamak tahu persis satu hal. Laisa yang bersumpah membuat adik-adiknya sekolah menjadikan sumpah itu seperti prasasti di hatinya. Tidak. Laisa tidak pernah menyesali keputusannya. Tidak mengeluh. Ia melakukannya dengan tulus. Sepanjang hari terpanggang terik matahari di ladang. Bangun jam empat membantu memasak gula aren. Menganyam rotan hingga larut malam. Tidak henti, sepanjang tahun. Mengajari adik-adiknya tentang disiplin. Mandiri. Kerja keras. Sejak kematian Babak diterkam harimau, Mamak sungguh tidak akan kuasa membesarkan anak-anaknya tanpa bantuan putri sulungnya, Laisa. Semua kesulitan hidup masa kecil itu. Laisa membantunya melaluinya dengan wajah bergeming. Wajah yang tidak banyak mengeluh. Wajah yang sekarang terlihat amat lelah.... Terbaring lemah karena kanker paru-paru stadium IV. Penyakit yang disimpannya sendiri sejak sepuluh tahun silam. Karena ia tidak ingin merepotkan adik-adiknya. Bagi Laisa, yang berhak merepotkan itu adik-adiknya, bukan dia. Setiap kali kunjungan dua bulanan, Laisa tetap riang menyambut anak
-anak. Tertawa mengajak mereka melakukan banyak hal. Itu pula yang membuatnya bisa bertahan selama ini. Sepuluh tahun kanker itu seolah tak kuasa menggerogoti fisiknya. Sayangnya, satu bulan yang lalu, seluruh energi dari penerimaan jiwa atas pilihan hidup yang hebat itu berakhir sudah. Kalah. Fisiknya tidak kuasa lagi, kanker itu sudah menjalar ke mana-mana. Meski semangat hidupnya masih tinggi, meski dengan semua spirit itu, tubuhnya tidak kuasa lagi bertahan. Maka didatangkanlah dokter dari kota provinsi (yang juga sepuluh tahun terakhir diam-diam merawatnya, hanya Mamak yang tahu). Juga peralatan medis, juga perawat-perawat Kak Laisa satu bulan terakhir bertahan tidak memberitahu adik-adiknya hingga tadi pagi. Satu bulan terbaring tidak berdaya. Setelah Mamak membujuknya. Akhirnya pesan 203 karakter itu terkirimkan. Ketika ia merasa waktunya sudah tiba. Tugasnya hampir usai. Wajah yang sekarang terlihat amat lelah. Meski tetapberusaha tersenyum didepan adiknya. Wajah yang menatap Dalimunte yang sedang memeluk pinggang Mamak, Dalimunte yang menangis
19 BIARKAN KAKAK SENDIRIAN
DUA HARI selepas Yashinta pulang batuk-batuk dari ladang, balai kampung ramai dipenuhi oleh penduduk. Sejak lepas shalat isya. Ada pertemuan di balai. Rombongan mahasiswa KKN dari kampung atas datang. Tapi yang pergi ke balai hanya Laisa, Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana. Mamak menjagai Yashinta yang gering. Batuk-batuk Yashinta dua hari lalu di ladang ternyata serius. Yashinta malah sudah tidak masuk sekolah dua hari. Tubuhnya panas. Hari pertama sakit, gadis kecil itu tetap memaksa berangkat, percuma, tiba di desa atas kakinya yang gemetar tidak bisa diajak melangkah, jatuh pingsan. Dalimunte terpaksa menggendongnya pulang. Dua hari berlalu, sakit Yashinta semakin parah. Bergantian mereka menunggui. Mengompres. Membuat ramuan dedaunan. Rebusan. Apa saja yang lazim dilakukan penduduk lembah unruk meredakan panas dan batuk. Malam ini, Mamak yang menunggui Yashinta. Udara lembah terasa dingin. Sejak sore tadi awan hitam berarak memenuhi langit. Akhirnya setelah dua bulan kemarau menggantang lembah, hujan nampaknya akan turun. Angin malam menderu kencang, pertanda bakal turun hujan lebat
"Mamak kau tidak datang, Lais"" Wak Burhan bertanya. "Yash masih wakit, Wak " Laisa menjawab pendek. Mengambil tempat duduk bersama adik-adiknya. Balai kampung itu sudah ramai. Obor-obor membuat ruangan terang-benderang. Angin yang menerobos membuat cahaya obor bergoyang, kerlap-kerlip. Di depan sana berjejer enam orang mahasiswa yang dua hari ini sibuk disebut-sebut warga kampung. Laisa menatapnya lamat-lamat. Mengesankan melihat kakak-kakak mahasiswa itu. Mengenakan jaket kuning. Mahasiswa Universitas kota besar dari seberang pulau. Yang wanita terlihat cantik dan cerdas. Yang lelaki terlihat gagah dan pintar. Tersenyum lebar, percaya diri menatap sekitar. Mengangguk. Laisa menelan ludah. Dulu ia pernah bermimpi menjadi seperti ini. Bermimpi melihat dunia luar yang lebih luas. Kesempatan yang lebih lapang, yang lebih besar dibanding Lembah Lahambay ini. Ah, itu mimpinya enam tahun silam. Usianya sudah tujuh belas sekarang, sudah amat terlambat untuk melanjutkan sekolah kelas empatnya. Ia sudah mengubur cita-cita itu dalam-dalam. Lagipula jika ia sekolah, siapa yang akan membantu Mamak mencari uang buat adik-adiknya" Wak Burhan mengetukkan palu bonggol bambu, pertemuan dimulai. Enam mahasiswa ini berbicara lantang. Tegas. Meyakinkan. Salah satu dari tiga mahasiswa lelaki bicara soal konstruksi kincir air. Memuji-muji penduduk kampung yang telah membuatnya, lantas sama seperti Dalimunte dulu, dia juga membawa kertas-kertas. Membentangkannya lebar-lebar. Bicara tentang listrik. Lampu-lampu. Kincir air itu bisa dijadikan generator listrik. Dalimunte menjadi orang yang paling tertarik atas rancangan itu. Mengangkat tangannya berkali-kali, bertanya. Penduduk kampung juga terpesona. Apalagi dijanjikan ada bantuan soal dinamo, kabel-kabel, peralatan instalasi, dan lainnya dari universitas. Wak Burhan tak butuh waktu semenit untuk mengetukkan palunya. Proyek KKN listri
k kincir air itu disetujui. Minggu depan mereka mulai bergotong-royong, Dua mahasiswa lainnya, cowok-cewek, mungkin berasal dari fakultas pertanian, bicara soal ladang-ladang mereka. Bibit yang digunakan. Pengolahan tanah. Rotasi tumbuhan. Lantas ujung-ujungnya: jadwal penyuluhan. Penduduk Lembah mengangguk-angguk. Wak Burhan mengetuk palu; dengan demikian setiap malam Kamis dan Sabtu ada penyuluhan pertanian di balai kampung. Meski program KKN yang satu ini tidak sekongkret listrik, tapi penduduk kampung bisa menerimanya. Setidaknya janji ada penganan kecil dan sekoteng hangat setiap jadwal penyuluhan sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka hadir. Dua mahasiswa berikutnya menjelaskan tentang kemandirian ekonomi. Nah, yang ini benar-benar membuat penduduk kampung pusing. Koperasi. Simpan-pinjam. Kesempatan kredit. Akses modal. Bahkan Dalimunte saja yang sejak tadi antusias mendengarnya, menguap lebar-lebar. Juga ada jadwal penyuluhan. Wak Burhan bilang cukup seminggu sekali, malam Selasa. Jadwal mereka sudah penuh. Sebenarnya sih, Wak Burhan kalau bisa malas memberikan jadwal untuk penyuluhan yang satu ini. Dua mahasiswa itu berunding. Lantas mengangguk. Malam beranjak matang. Pukul 22.00, sudah larut untuk ukuran penduduk lembah. Mereka biasanya beranjak tidur pukul sembilan. Jadi mahasiswa terakhir, demi melihat penduduk kampung sudah tidak terlalu memperhatikan, hanya sempat bicara lima belas menit. Bicara soal sanitasi. Kebersihan. Posyandu. Pemeriksaan kesehatan. Bilang ada posko kesehatan di kampung atas. Yang bisa dimanfaatkan warga setempat untuk berobat. Lima belas menit tepat, penjelasannya selesai. Kabar baik, ternyata tidak ada jadwal penyuluhan untuk yang satu ini. Wak Burhan mengetuk palu. Pertemuan usai. Lepas pertemuan, Laisa berusaha mendekati mahasiswa wanita yang bicara terakhir, ingin minta tolong periksa Yashinta yang sedang sakit. Tapi karena di luar guntur berkali-kali
menyalak, petir berkali-kali menyambar, enam mahasiswa KKN itu sudah terlanjur bergegas kembali ke kampung atas, mengenakan jas hujan besar dan payung. Lagipula Ikanuri dan Wibisana memaksa pulang buruan. Sudah mengantuk. Maka di tengah deru angin yang semakin menggila, mereka juga bergegas kembali ke rumah panggung. "Ternyata mereka tidak hanya melakukan penyuluhan-penyuluhan seperti yang KKN dulu, Mak." Laisa melapor setiba di rumah. Mengibas-ngibaskan rambut. Hujan deras turun persis mereka tiba di halaman. Mamak hanya mengangguk selintas.Terkantuk menunggui Yashinta yang tidur sambil mengerang. Panas. Kompres kain yang membungkus dahi Yashinta seperti sia-sia. Suhu badannya tidak turun-turun. Di luar hujan deras terdengar membuncah atap seng. Gemuruh. Satu dua tampias. Menetes di dalam rumah. Laisa buru-buru mengambil baskom dan kain. Menampung tetesan air. Ikanuri dan Wibisana sudah beradu punggung di ruang depan. Bergelung. Tidur. Hanya Dalimunte yang berdiri di depan pintu kamar. Memperhatikan Yashinta dengan wajah sedikit cemas. "Masih panas, Mak"" Mamak mengangguk. Terlihat amat lelah. "Mamak sebaiknya tidur, biar Lais yang jaga sekarang." Kak Laisa mengambil posisi di sebelah Yashinta. Mengganti air kompres. Mencelupkan kain. Memerasnya. Meletakkannya di dahi Yashinta lagi. "Kau juga tidur, Dali!" Laisa menyuruh Dalimunte. Dalimunte menelan ludah, beringsut ke ruangan depan. Dia tidak tega melihat Yashinta yang terus mengerang, lantas sekali dua batuk, terdengar kesakitan. Mamak bersandar di dindig, berusaha memejamkan mata. Hujan turun semakin deras. Pukul 24.00, persis tengah malam, saat Dalimunte sudah lelap tertidur. Mamak juga sudah tertidur. Kak Laisa mendadak berseru-seru. Panik. Terbangun. Mamak langsung terbangun juga Dalimunte, yang setengah terkantuk, setengah terjaga mendekat. Lihatlah, tubuh Yashinta menggelinjang. Kejang. Matanya mendelik, menyisakan putih. Kak Laisa berteriak tambah panik. "Yashinta, Mak! YASHINTA!" Mamak Lainuri berusaha memegangi tubuh Yashinta. Ikut tegang. Panik. Meski lebih banyak bingungnya. Apa yang harus ia lakukan" Tidak ada dokter di sini. Tidak ada. Mamak berusaha menyeka keri
ngat yang mengalir deras dari leher Yashinta. Berusaha memberikan ramuan. Mengompres. Apa saja yang terpikirkan olehnya. Percuma, mata Yashinta semakin mendelik. Dalimunte mencicit melihatnya. Jantungnya berdetak kencang, takut. Ya Allah, apa yang sedang terjadi. Ada apa dengan Yashinta. Berusaha mendekat, tapi setelah mendekat malah menjauh lagi, tidak mengerti harus melakukan apa. Saat Mamak semakin bingung, saat Ikanuri dan Wibisana yang terjaga ikut mendekat dan bergumam jerih, saat tubuh Yashinta semakin tidak terkendali, Kak Laisa mendadak berlari ke ruangan depan, Kak Laisa menendang pintu depan. Berdebam. Lantas diikuti oleh tatapan bingung Mamak, entah apa yang akan dilakukannya, Kak Laisa sudah berlari menghambur ke tengah derasnya hujan. Angin menderu kencang, masuk ke dalam rumah, mengirimkan bilur-bilur air, membuat perabotan berderak. Kak Laisa berlari sekuat kakinya ke kampung atas. Tidak peduli tetes air hujan bagai kerikil batu yang ditembakkan dari atas. Tidak peduli tubuhnya basah-kuyup. Tidak peduli malam yang gelap gulita. Dingin membungkus hingga ujung kaki. Musim kemarau begini, di malam hari, suhu Lembah Lahambay bisa mencapai delapan derajat celcius. Kak Laisa berlarian menaiki lembah. Terpeselet. Sekali. Dua kali. Tidak peduli. Petir menyalak. Guntur
menggelegar. Ia ingat. Ia ingat kakak-kakak mahasiswa tadi menyebut-nyebut soal obat dan dokter. Mereka pasti bisa membantu. Ia harus segera. Waktunya terbatas.
Dalimunte sudah bisa duduk lebih tenang. Duduk tertunduk. "Kemari, sayang...." Laisa memanggil pelan Intan. Intan melangkah mendekat "Wawak sakit, ya"" Laisa menggeleng, tersenyum. Wawak baik-baik saja. Intan menelan ludah. Memasang wajah tidak percaya. Wawak pasti bohong. Laisa pelan mengangkat lengannya. Memperlihatkan dua gelang karet, "Safe The Planet". Intan menyeringai, akhirnya ikut tersenyum. Tuh, kan, hanya Wak Laisa yang mau (dan benar-benar niat) pakai dua gelang. Abi saja ogah, hanya beli doang. Intan menyentuh lembut lengan Wak Laisa. Tidak panas. Menyentuh dahi Wak Laisa, juga tidak panas. Kalau tidak panas, kenapa tubuh Wak Laisa dipenuhi infus" "Yang sakit apanya"" Intan bertanya macam dokter saja. Wak Laisa tersenyum lagi, batuk. Intan meraih kotak tissue, meniru Eyang. Ikut membersihkan darah dari pipi Wak Laisa. Dalimunte menatap wajah lelah itu. Mendongak. Cahaya lampu neon bersinar lembut. Dia tahu banyak urusan ini, meski dia baru menyadarinya belasan tahun kemudian. Kak Laisa yang tidak pernah menangis di depan adik-adiknya. Tidak pernah. Sesakit apapun, sesesak apapun rasanya. Kak Laisa yang selalu berusaha terlihat semua baik-baik saja. Dia ingat sekali kejadian malam itu. Ingat. Bagai bisa melihatnya kebali dari pendaran cahaya Lampu neon. Melihat kembali tetes air dari tubuh Kak Laisa yang membuat ruangan depan tergenang. Wajahnya yang kesakitan.... "Si belang mana, sayang"" Intan menoleh ke Ummi, tuh kan, Wak Laisa pasti nanya, "Eh, tadi langsung loncat dari mobil. Pasti nyari pacarnya yang dibilang Oom Ikanuri " Tertawa kecil. Laisa berusaha tertawa mendengar celetukan Intan. Mahal sekali harganya, tubuh tambun tapi gempal itu bergerak-gerak tertahan. Membuat garis hijau di layar peralatan medis terputus-putus. Berdengking. Yang membuat Intan ikutan pias. Takut. Kenapa Wak Laisa jadi semaput" Kan, hanya tertawa" Dokter melangkah, mendekat, memeriksa peralatan, Cemas, lantas berkata ragu-ragu, "Eh, maaf Pak Dalimunte, sepertinya Ibu Laisa harus ditinggal istirahat, jangan banyak bicara dulu " Laisa yang perlahan kembali terkendali menggeleng, memberikan kode gerakan tangan ke dokter. Biar. Biarlah mereka berada di kamar ini. Ia ingin terus terjaga menunggu adik-adiknya pulang satu per satu. Ia ingin menatap wajati mereka satu persatu. Ia ingin bicara, ingin mendengar Intan bercerita. Ia ingin Intan tahu kalau Wawak-nya baik-baik saja. Dokter menelan ludah, berhitung sejenak. Berdiskusi sebentar dengan Mamak dan Dalimunte. Baiklah. Tidak banyak yang bisa dilakukannya lagi. Tidak ada salahnya.
Malam itu, Laisa untuk kesekian kalinya tiba tepat waktu. Menggedor p
intu rumah kepala kampung atas. Terbata-bata bilang tentang sakit Yashinta. Mahasiswa itu mengangguk, ia mengenali Laisa. Salah satu dari penduduk kampung bawah yang tadi dua tiga kali bertanya. Tanpa pikir panjang langsung menyambar jas hujan, sepatu bot, dan peralatan medis. Kepala kampung atas yang ikut terbangun berbaik hati meminjamkan starwagoon tuanya. Mobil itu segera meluncur. Hujan turun semakin deras. Mobil hanya bisa dipakai hingga batas ladang-ladang. Terpaksa berjalan lima ratus meter. Kakak-kakak mahasiswa itu berbaik hati menerobos
hujan. Laisa mengikuti dari belakang. Tubuhnya yang tanpa pelindung apapun menggigil. Tadi hampir satu jam ia mendaki lembah untuk tiba di kampung atas. Normalnya hanya setengah jam, tapi di tengah jalan tadi, kakinya menghantam tunggul Batang kayu yang sudah mati. Sakit sekali. Memar malah (esok lusa baru tahu kalau tulang mata kakinya bergeser). Seperti ditusuk seratus sembilu saat berusaha dijejakkan ke tanah. Tapi Laisa menggigit bibirnya kencang-kencang, terus mendaki lembah. Memaksa kakinya melupakan rasa sakit. Rasa sakit yang sebenarnya membuat Laisa menitikkan air mata. Ia mencengkeram pahanya. Mengusir rasa sakit di kaki. Yashinta menunggu pertolongan di rumah. Ia harus maju terus. Maka sama sulitnya saat ia berlari- lari kecil mengikuti langkah kakak-kakak mahasiswa didepannya menuruni lembah. Mereka datang tepat waktu, kakak-kakak mahasiswa tahun terakhir di fakultas kedokteran itu segera mengurus Yashinta. Membuka peralatan medisnya. Memeriksa Yashinta dengan cepat. Lantas menyuntikkan sesuatu. Lepas lima menit, Yashinta mulai lebih terkendali. Sementara hujan deras terus membuncah atap seng. Guntur menggelegar di luar sana. Dalimunte menatap lamat-lamat Kak Laisa. Kak Laisa yang duduk di dapur, dekat pintu belakang sejak tiba. Kak Laisa yang meringkuk memegangi kakinya. Bengkak. Mata kaki itu terlihat merah. Wajah Kak Laisa meringis, menahan rasa sakit yang teramat sangat. Bahkan jika tidak tersamarkan oleh air yang masih menetes dari rambutnya, dia sungguh bisa melihat Kak Laisa mengeluarkan air mata. Jika tidak tersamarkan oleh gigilan kedinginan, dia bisa melihat Kak Laisa yang gemetar menahan rasa nyilu di kakinya yang dipaksa terus berjalan menuruni lembah. Dalimunte menelan ludah. Air hujan dari tubuh Kak Laisa tergenang di sekitarnya. Membasahi lantai papan. Badan itu kuyup. Basah. Kedinginan. Kesakitan. Tapi Kak Laisa tidak pernah mengeluh. Tidak pernah. Laisa menyadari Dalimunte yang memperhatikannya. Ia menyeringai galak, menyuruh Dalimunte kembali ke ruang depan. Tinggalkan aku. Aku baik-baik saja. Dalimunte mengigit bibir, perlahan membalik badannya. Malam itu Dalimunte akhirnya mengerti satu hal: Kak Laisa tidak akan pernah menangis di depan adik-adiknya. Tidak akan pernah.
20 KAU HARUS TETAP SEKOLAH!
"DALIMUNTE baru saja tiba di perkebunan strawberry..." Wibisana memasukkan telepon genggamnya ke saku. Ikanuri mengangguk. Terbatuk pelan. Kerongkongannya sedikit sakit. Ini mungkin gara-gara kehujanan di Pegunungan Alpen, Swiss semalam. Atau karena kelelahan, kurang tidur, setelah belasan jam tanpa jeda melanglang buana. Atau juga karena dia terlalu banyak sesak mengenang masa kecil itu. "Jasmine dan Wulan juga sudah tiba di kota kabupaten. Lancar. Perjalanan mereka tidak banyak masalah. Kata Jasmine; Juwita dan Delima tertidur di mobil." Wibisana menghela nafas. Jelas perjalanan akan lebih lancar jika kedua putri mereka sudah tertidur. Biasanya mereka berdua sibuk minta berhenti setiap kali melihat apalah. Sibuk berteriak-teriak, bertengkar. Pernah Juwita dan Delima membuat rombongan dari kota provinsi terhenti total hanya gara-gara mereka melihat ada burung kwao yang melintas di depan mobil, lantas hinggap di pohon. Memaksa Abi mereka menangkap burung itu, tidak mau mendengarkan penjelasan kalau tinggi pohonnya saja hampir dua puluh meter. Ikanuri mengusap wajah lelahnya. Layar raksasa penunjuk jadwal dan status penerbangan di langit-langit gedung ultra-modern Paris International Airport memamerkan kecanggihannya. Tidak kurang tiga puluh
baris jad wal penerbangan terpampang otomatis di layar tersebut. Merah. Hijau. Kuning. Display yang mengagumkan. Moskow, Departure 07.30. California, Departure 07.35. Riyadh, Arrive 07.40. Singapore, Departure 07.40. Hongkong, Delay 07.45. Jakarta, Departure 07.45. Ikanuri melirik jam di pergelangan tangan, masih satu setengah jam lagi jadwal penerbangan mereka. Mengusap wajah sekali lagi. Masih lama, seharusnya mereka masih punya waktu untuk sarapan. Menikmati sepotong donut dan segelas kopi gaya Perancis. Tapi perutnya tidak lapar. Dia penat itu benar, lelah tentu saja. Tapi dia tidak mengantuk atau lapar. Tadi kereta Eurostar tiba di stasiun Gare de Nord, Paris pukul 05.30 (hanya terlambat setengah jam, meski terhenti oleh longsoran itu selama dua jam). Mereka shalat shubuh di kabin kereta. Lantas langsung meluncur menuju bandara. Menumpang subway Paris-Bandara. Segera check-in. "Kau sudah menelepon Yashinta, lagi"" Ikanuri bertanya. Wibisana mengangguk, "Tetapi, tetap tidak ada nada sambungnya &." menelan ludah. Ikanuri menghela nafas panjang. Nah, setelah nyaris sepuluh jam tidak berhasil menghubungi Yashinta, dia akhirnya ikut cemas. Tidak ada nada sambung" Selama itu kah" Kemana pula anak itu di waktu sepenting dan semendesak ini" Apa masih di puncak Semeru" Mengamati alap-alap kawah" Tidak mungkin sinyal telepon genggam satelitnya tidak menjangkau daerah tersebut. Lantas kemana anak ini hingga telepon genggamnya tidak aktif" Kehabisan baterai" Tidak mungkin. Yashinta pendaki gunung profesional. Ia selalu membawa baterai cadangan. "Kau sudah telepon Goughsky"" Ikanuri teringat Wibisana seperti tersadarkan. Kenapa tidak terpikirkan sejak tadi" Semua kepanikan ini membuat kepala mereka tumpul. Ya! Goughsky. WNI keturunan Uzbekistan itu kolega Yashinta di lembaga konservasi, Bogor. Tiga tahun terakhir, di mana ada Yashinta, di situ juga ada Goughsky. Dan sebaliknya. Mereka kompak tidak hanya urusan konservasi. Lebih dari itu.... Meski sayangnya enam bulan terakhir hubungan mereka berantakan. Bermasalah. Ah, Goughsky pasti tahu di mana Yashinta. Kalau pun tidak, anak itu rela menukarkan nyawa untuk memastikan di mana Yashinta sekarang Wibisana buru-buru menarik HP dari saku celana. Sebenarnya inilah urusan paling pelik dari hubungan kakak-adik yang mengesankan tersebut. Saat kehidupan lebih baik datang menjemput, janji-janji kesempatan lebih besar di luar Lembah Lahambay tiba, saat itulah mereka menyadari jika Kak Laisa semakin 'tertinggal' dibelakang. Bukan. Bukan soal pendidikan, toh, meski tidak sekolah Kak Laisa tetap seperti tahu segalanya. Bukan pula soal kesempatan melakukan hal-hal besar, toh meski tetap di lembah, Kak Laisa sungguh tetap bisa melakukan hal-hal besar, Kak Laisa bahkan berhasil merubah wajah seluruh lembah. Kesejahteraan penduduk, pendidikan anak-anak, akses atas kesempatan. Dan tentu saja juga bukan soal materi dan sebagainya, karena jelas Kak Laisa boleh menguasai seluruh Lembah Lahambay dengan perkebunan strawberry-nya.
Dua bulan setelah kejadian sakit Yashinta, instalasi listrik pertama akhirnya terpasang di rumah-rumah kayu. Mahasiswa KKN itu membuktikan kalau bantuan dari kampus tidak omong-kosong. Maka terang-benderanglah lembah tersebut. Bukan main. Anak-anak yang selama ini hanya terbiasa dengan lampu canting dan ribuan larik kunang-kunang mengerjap-ngerjap menatap bohlam lampu belasan watt. Berpendar-pendar. Seperti melihat pesawat UFO mendarat, dengan mahkluk angkasa di dalamnya (ini celetukan Ikanuri yang asal ngarang saat pertama kali melihat bohlam lampu di surau). Kincir air itu berfungsi ganda, dengan generator yang terpasang, sekarang sekaligus menjadi pembangkit tenaga listrik. Dalimunte belajar banyak dari kakak-kakak mahasiswa Semakin menyukai membuat sesuatu. Sesuatu yang berguna.
Tapi lebih banyak lagi yang dipelajari Kak Laisa. Selepas mahasiswa KKN itu pulang ke kota provinsi, Laisa membujuk Mamak untuk mulai menanam strawberry di kebun mereka. Laisa nyaris menghabiskan satu minggu untuk membujuk Mamak. "Aku tidak akan membiarkan Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta putus s
ekolah karena mengganti tanaman di kebun, Mak. Aku tahu, kalau aku gagal, mereka bisa putus sekolah kehabisan bayaran, tapi sungguh aku tidak ingin itu terjadi.... Aku ingin melakukannya, karena justru dengan beginilah kita akhirnya berkesempatan memiliki uang yang cukup buat sekolah Dali di kota kecamatan tahun depan.... Lais mohon, ijinkan Lais menanam buah itu." Kak Lais, menyeka wajahnya yang berkeringat, menggenggam lengan Mamak. Meyakinkan. "Kita tidak pernah menanamnya, Lais...." Mamak menatap lamat-lamat wajah sulungnya. Menghela nafas pelan. Ia selalu yakin dengan Laisa. Tetapi menanam strawberry di lembah ini" Bahkan Mamak baru kali itu mendengar ada buah yang bernama strawberry. "Laisa sudah mencatatnya, lihat, Mak! Kakak-kakak itu bilang banyak hal. Lihat. Laisa bahkan menggambar banyak petunjuk dari kakak-kakak mahasiswa..." Laisa memperlihatkan buku tulis butut sisa sekolahnya tujuh tahun silam. Tulisan-tulisan yang jelek dan kecil. Ilustrasi-ilustrasi seadanya. Tidak susah menyiapkan polybag, bibit-bibit, hingga menjualnya ke kota kecamatan. Kata kakak-kakak itu, buah strawberry mahal sekali di supermarket kota provinsi, harus didatangkan dari negara lain pula. Lembah mereka cocok untuk menanam strawberry. Iklimnya tepat. Suhunya tepat. Ketinggiannya baik. Dan tanahnya subur. Laisa berbinar-binar memperllihatkan angka-angka. Perhitungan keuntungan yang lebih besar dibanding menanam jagung, atau padi. Tubuh Laisa yang hanya setinggi dada Mamak terlihat bergerak-gerak antusias. Maka, karena Mamak tak kuasa melarang Laisa, separuh kebun akhirnya ditanami dengan strawberry setelah panen jagung berikutnya. Keputusan besar. Dan amat beresiko. Dalimunte tidak banyak berkomentar. Ikanuri dan Wibisana nyengir, sepertinya lebih mudah mengurus polybag-polybag ini daripada menyiangi gulma setiap hari, bukan" Hanya Yashinta yang berseru-seru riang, melihat gambar-gambar buah strawberry sepertinya buah merah ranum mereka akan lucu-lucu. Tetapi Laisa keliru. Tidak mudah. Sungguh tidak mudah. Meski ia memiliki pengetahuan bagaimana menanam strawberry, namun mengurus ratusan polybag bukan pekerjaan gampang. Delapan bulan berlalu, kebun strawberry itu gagal total. Separuh batangnya mati oleh musim penghujan, terendam. Separuh lagi buahnya busuk saat diangkut ke kota kecamatan untuk dibawa ke kota provinsi. Itu terjadi saat Dalimunte menjelang ujian akhir. Kabut buram menggantung di mata Kak Laisa. Bagaimanalah" Aduh, situasi jadi amat muram. Meski Mamak sekalipun tidak menyalahkannya, Kak Laisa belakangan lebih banyak menghabiskan waktu memandangi separuh kebun yang dipenuhi polybag hitam. Kosong dengan batang strawberry yang layu. Panen jagung sisa setengah lahan mereka juga ternyata buruk. Gerimis membasuh lembah. Laisa berdiri mematung. Sendirian di tepi ladang. Tubuh gempal dan pendek itu basah. Senja membungkus ladang. Langit mulai gelap, lembayung jingga tenggelam di balik Gunung Kendeng. Satu dua burung layang-layang terbang menerobos bilur air hujan. Melenguh. yang justru menambah senyap suasana. "Mamak menyuruh Kakak pulang." Laisa menoleh. Dalimunte melangkah mendekat. Amat pelan. Tertunduk. Lantas sedikit ragu-ragu menyerahknn daun pisang. Laisa menggeleng. Sudah basah. Biarkan saja.
Dari tadi siang ia di kebun. Menatap kegagalannya. Sengaja belum pulang meski adzan maghrib sebentar lagi terdengar. Ia amat enggan pulang. Hari ini Dalimunte menerima hasil ujian sekolahnya. Mamak minggu lalu sudah bilang, mereka hanya punya uang buat Yashinta yang mulai masuk kelas dua, dan Ikanuri serta Wibisana yang menginjak kelas lima. Tapi tidak untuk Dalimunte yang akan melanjutkan sekolah di kecamatan. Senyap. Dalimunte ikut melepas daun pisang dikepalanya. Membiarkan tubuhnya basah seperti Kak Laisa. Berdiri di sebelah Kak Laisa, ikut menatap kebun mereka. Onggokan kantong-kantong plastik hitam. Seekor elang melintas rendah. Begitu anggun di garis horizon lembah. Lengang tiga menit. Hanya gerimis yang terus membasuh dinginnya tanah. "Kata Mamak, kakak bisa mencobanya lagi tahun depan...." Dalimunte berkata pelan, antara te
rdengar dan tidak. Menunduk, menggigit bibirnya. Laisa menoleh. Dalimunte sudah lebih tinggi darinya sekarang. Setahun berlalu sejak kincir air dibuat, bahkan Ikanuri dan Wibisana sudah lebih tinggi dari Laisa. Mereka berdiam diri lagi. "Sebenamya... sebenarnya, Dali juga tidak senang sekolah. Sungguh " Dalimunte berkata serak. Dia membuang ingus. Dari lima bersaudara, Dalimunte-lah yang paling mudah terharu. "Kakak tahu, Dali bahkan lebih suka bekerja di kebun membantu Mamak, membantu Kakak. Dali tidak suka sekolah. Jadi Kakak tidak usah sedih...." Laisa menelan ludah. Menggigit bibirnya. "Dali kan bisa belajar dari mana saja. Pinjam buku. Tidak mesti sekolah. Dali tidak harus membuat Kakak susah " "kau bicara apa, Dali!" Laisa memotong suara adiknya. "Dali tidak ingin sekolah. Dali tidak ingin membuat Kak Lais sedih. Tak ingin lihat Mamak kerja keras dipanggang matahari. Dali tidak ingin sekolah " "kau harus tetap sekolah!" Laisa memotong sekali lagi kalimat adiknya, berkata dengan suara serak. Tapi kalimat itu terdengar hambar, tidak setegas seperti biasanya. Bagaimanalah" Untuk membayar uang pangkal saja tidak ada. Apalagi ongkos Dalimunte bolak-balik ke kota kecamatan. Bagaimana mungkin ia bisa menjanjikan itu" "Dali tidak ingin sekolah. SUNGGUH " "DIAM!" Suara Kak Laisa bergetar. "Kau tetap sekolah Dali!" Dalimunte terisak, mengusap matanya. Tertunduk dalam-dalam. Lihatlah, gara-gara dia harus sekolah Kak Laisa harus bekerja sepanjang hari di ladang. Kenapa hanya Kak Laisa yang bekerja keras. Dali juga bisa. Dali juga mau, agar Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta terus sekolah. Rinai air hujan tumpah bersama rinai kesedihan di hati Dalimunte. "Tidak tahun ini, tidak sekarang.... Tapi kau harus terus sekolah, Dali...." Laisa berbisik pelan memecah sedan. "Jika Mamak tidak punya uang tahun ini, maka Mamak akan punya tahun depan... paling lambat tahun depan kau harus kembali sekolah... Kau dengar kakak... kau dengar kakak, Dali" Kakak, kakak berjanji akan melakukannya Sungguh " Laisa mengenggam lengan adiknya. Berusaha menahan serak di kerongkongan. Ia tidak ingin menangis di depan Dalimunte. Lihattah, sebenarnya kalau kalian tidak terbiasa dengan pemandangan ini, maka kalian akan menduga, justru Laisa lah yang menjadi adik dari Dalimunte. Padahal mereka hanya berjarak enam tahun satu sama lain. Tubuh Laisa tidak akan tumbuh lagi. Dalimunte membuang ingusnya.
"Ayo, kita pulang " Kak Laisa pelan menarik tangan Dalimunte, tersenyum tulus. Tadi sepanjang hari ia benar- benar bersalah atas keputusannya mengganti tanaman di ladang delapan bulan silam. Seharian Laisa pergi ke kebun karena tidak kuasa menunggu Dalimunte di rumah membawa kabar kelulusannya seperti Mamak dan yang lain. Tetapi gerimis ini menumbuhkan satu pemahaman baru baginya. Pembicaran senja ini menanamkan semangat baru. Tidak. Tentu saja urusan ini berbeda dengan dirinya dulu. Dalimunte selalu memiliki kesempatan untuk kembali sekolah. Tidak sekarang, tahun depan dia akan kembali melanjutkan sekolah di kota kecamatan. Sepanjang ia terus bekerja keras demi adik-adiknya. Kesempatan itu pasti akan datang. "Berapa nilai rata-rata ujian akhirmu"" Laisa bertanya, samil berjalan menyusuri jalan setapak yang sekarang licak oleh lumpur. Dalimunte pelan menyebutkan angka, berusaha mengimbangi langkah gesit kakaknya di depan. Ujung-ujung semak bergoyang terkena gerakan mereka. Memercikkan bulir air yang menggelayut di ujung-ujung daunnya. Benang sari bunga belukar luruh, menerpa anak rambut. Laisa tersenyum lebar mendengarnya. Jika ada yang bertanya siapa paling pintar di dunia ini, siapa paling pandai, maka ia akan menjawabnya dengan bangga itulah Dalimunte, adiknya.
21 PERKEBUNAN STRAWBERRY SEBENARNYA dengan segala keterbatasan Mamak, ada solusi yang lebih baik agar Dalimunte tetap bisa melanjutkan sekolah di kota kecamatan. Ikanuri dan Wibisana yang memang malas sekolah dengan sukarela menawarkan diri berhenti. Tapi demi mendengar kalimat itu, Kak Laisa langsung melotot galak. Sekali dua sigung nakal itu berhenti sekolah, maka mereka tidak akan pemah kembali lagi
. Ikanuri dan Wibisana ber-yaa kecewa. Yashinta yang masih kecil, malam itu juga menawarkan diri berhenti, berkata pelan sambil memainkan crayon 12 warnanya, "Biar Kak Dali saja yang sekolahh, anak laki kan harus sekolah. Yash, kan... Yash kan anak perempuan. Biar Yash yang berhenti...." Membuat ruang depan rumah kayu butut itu lengang. Mamak pelan mengusap wajahnya. Kak Laisa menelan ludah. Senyap. Tidak. Solusi terbaik, tetap Dalimunte yang menunda sebentar sekolahnya. Mamak membiarkan Laisa kembali menanami ladang mereka dengan strawberry, kali ini malah membiarkan seluruhnya ditanami. "Belajar dari kesalahan, Mak. Laisa tahu apa yang harus Laisa lakukan sekarang." Mamak tidak kuasa mencegah niat bulat sulungnya, apalagi Dalimunte ikut mendukung. Jadi kepalang tanggung, sukses atau gagal seluruhnya. Kak Laisa menanami kembali seluruh kebun mereka dengan strawberry. Wak Burhan yang mencoba menasehati Laisa juga mengalah. Laisa tetap keukeuh memesan bibit strawberry ke universitas tempat kakak-kakak KKN dulu. Kebun mereka terlihat amat berbeda dibandingkan yang lain. Satu dua tetangga menatap ganjil. Ikut prihatin, bagaimana mungkin lembah ini ditanami stober" Stowber" Beri-beri" Ah, menyebut namanya saja mereka susah. Laisa benar, ia belajar banyak dari kesalahannya. Empat bulan berlalu, setelah hari-hari terpanggang matahari saat menyiapkan polybag-polybag baru; mengejar-ngejar Ikanuri dan Wibisana yang masih saja bandel bolos sekolah; memasukkan pupuk kandang ke dalam polybag, meneriaki Ikanuri dan Wibisana yang sibuk mencuri mangga, membersihkan gulma dan hama, (dan lagi-lagi mengejar-ngejar Ikanuri dan Wibisana yang tidak kapok-kapoknya bolos sekolah) lepas musim penghujan yang dulu
menggenangi polybag, kabar baik itu akhirnya tiba. Empat ratus pohon strawberry merekah subur dari kantong-kantong plastik hitam. Bukan main. Empat bulan berlalu lagi, hari-hari dihabiskan dengan kerja keras, pagi-sore di kebun, bahkan Kak Laisa baru pulang saat adzan magrhib terdengar, telaten merawat satu demi satu batangnya. Mencurahkan seluruh perhatian ke kebun satu hektar itu. Dan Mamak akhirnya tersenyum lebar, buah-buah merah ranum mulai bermunculan dari batang-batangnya. Membuat seluruh penduduk kampung tercengang. Belum pernah mereka melihat buah seindah itu. Yashinta yang paling girang. Menghabiskan sore selepas sekolah dengan menghitungi satu demi satu buahnya. Malah membawa-bawa kertas. Dicatat satu persatu perpohon. Ikanuri dan Wibisana" Standarlah, mereka juga sibuk mencuri buah-buah strawberry yang mulai matang... Dalimunte yang sekarang punya waktu lebih banyak membantu Mamak dan Kak Laisa, mengambil perannya saat buah merah ranum strawberry siap dipanen. Ia menyiapkan teknologi pengalengan sederhana. Dengan gentong-gentong besar dari tanah yang banyak dijual di kota kecamatan. Jadi tak ada lagi buah yang busuk ketika tiba di kota provinsi. Sukses besar. Meski Ikanuri dan Wibisana mencuri buah-buah itu hingga sepuluh kilo setiap hari selama dua tahun, tetap tidak akan habis saking bagusnya panen kebun mereka. Kakak-kakak dari kota provinsi berbaik hati mengirimkan truk pengangkut, seminggu setelah menerima surat dari Laisa. Kabar baik itu akhirnya tiba di Lembah Lahambay. Satu tahun berlalu. Usia Kak Laisa sekarang sudah menjelang dua puluh tahun. Dalimunte empat belas, Ikanuri sebelas (hampir dua belas), Wibisana sebelas (baru lewat sepuluh), dan Yashinta sembilan tahun. Satu tahun penuh kerja keras, kerja keras, kerja keras, dan pengharapan. Senja itu, gerimis kembali membasuh lembah indah tersebut. "Mamak menyuruh Kakak pulang." Laisa menoleh, tersenyum lebar melihat Dalimunte melangkah mendekat. Adiknya mengulurkan payung. Ikut tersenyum. Seekor elang terbang berputar di tengah larik bulir hujan. Langit mulai gelap. Batang-batang strawberry bergoyang lembut oleh hujan. Satu dua buah sisa panen seminggu lalu masih menggelantung. Terlihat merah ranum. Kemilau kristal air menambahi kesan indahnya. "Kau sudah pulang dari kota kecamatan"" Dalimunte mengangguk mantap. Tadi dia dan Mamak mendaftar sekolah. Sekalian membel
i banyak barang keperluan. Seragam baru buat Yashinta. Sepatu baru buat Ikanuri dan Wibisana. Juga baju baru buat Mamak dan Kak Laisa. Sudah lama sekali Mamak tidak punya baju baru. Kak Laisa juga, selama ini membeli barang loakan, yang selalu gombyor, kebesaran buatnya. "Kalau Dali sekolah minggu depan, berarti Dali tidak bisa bantu Mamak dan Kak Lais lagi...." Dali menunduk, berdiri di sebelah Kak Laisa, berpegangan ke pagar kebun. "Kau tetap bisa membantu." Kak Laisa berkata ringan. "Tapi, Dali setiap shubuh harus menumpang starwagoon, baru pulang lepas magrhib. Bagaimanalah Dali bisa membantu"" "Kau tetap bisa membantu, Dali. Dengan belajar sungguh-sungguh. Dengan nilai-nilai yang baik. Kau akan membantu banyak Mamak dengan semua itu." Kak Laisa menggenggam lengan adiknya. Menatap wajah Dalimunte yang sekarang lima belas senti lebih tinggi darinya. Dalimunte terdiam, menggigit bibir. "Berjanjilah " Dalimunte mengangguk. Mengusap ujung-ujung matanya.
"Kemarilah, Dali.... Kemari...." Kak Laisa berkata lirih. Mamak melepas dekapan kepala Dalimunte.
Dalimunte beranjak mendekat ke ranjang Kak Laisa. "Kau, kau sungguh adik yang amat membanggakan...." Kak Laisa menatap Dalimunte lamat-lamat. Tersenyum. Bercak darah mengalir lagi. Intan lembut menghapusnya. "Lihatlah.... Siapa yang paling pandai di keluarga kita" Siapa yang paling pintar" Kau, Dalimunte. Babak pasti bangga padamu. Dan kau, kau selalu menepati janjimu.... Belajar, bekerja keras, bersungguh-sungguh." Kak Laisa mengenggam lengan "Kau punya istri yang cantik. Anak yang manis dan juga pandai seperti ayahnya. Semua itu. Semua itu seharusnya membuat kau tersenyum, Dali. Bukan menangis seperti ini " Kak Laisa tertawa kecil, lantas terbatuk. "....Itu semua karena Kakak... itu semua sungguh karena kakak." Dalimunte mengusap ujung-ujung matanya. Kak Laisa tersenyum tulus. Terus menggenggam lengan Dalimunte dengan sisa-sisa tenaga, "Maukah kau menceritakan penelitian terbarumu pada Kakak" Biar Kakak mendengarkan... Yang tentang apa" " Kak Laisa terbatuk. Bersitatap satu sama lain. Lima belas detik. Dalimunte mengangguk perlahan. Pelan menarik nafas. Berusaha mengendalikan emosi. Bahkan dalam kondisi yang menyedihkan, Kak Laisa tetap tidak berubah. Selalu ingin mendengar apa yang sedang dikerjakannya. Apa yang sedang dilakukannya. Cie Hui, membantu Mamak kembali duduk di kursi. Intan beringsut naik ke atas ranjang besar. Biar lebih leluasa membersihkan setiap kali bercak darah keluar dari bibir. Meski Kak Laisa tidak mengerti, karena semakin ke sini apa yang dikerjakan Dalimunte semakin rumit baginya. Meski Kak Laisa tidak paham sedikitpun, tapi ia selalu ingin mendengar apa yang sedang dilakukan Dalimunte. Menatap wajah Dalimunte yang selalu antusias menjelaskan penelitiannya. Penuh penghargaan. Tetap sama seperti dua puluh tahun silam. Masa-masa ketika akhirnya Dalimunte menyadari satu hal. Kak Laisa yang semakin tertinggal di belakang.
22 GADIS TUA TIGA TAHUN berlalu sejak panen pertama kebun strawberry yang sukses besar. Luas kebun itu mekar menjadi lima kali lipat. Mamak dan Kak Laisa dengan keleluasaan uang yang ada mulai membeli lahan-lahan di dekat kebun mereka. Mulai memperkerjakan remaja tanggung tetangga rumah untuk merawat batang-batang strwaberry. Wak Burhan dan tetangga lainnya, satu dua juga mulai menanami kebun mereka dengan strawberry, mencoba peruntungan, tapi mereka tidak setelaten Kak Laisa. Tiga tahun berlalu sejak panen pertama. Usia Kak Laisa dua puluh tiga tahun. Dalimunte tujuh belas, menjelang ujian akhir di sekolah lanjutan pertamanya. Beranjak melewati masa-masa remaja tanggung. Dan seperti halnya remaja tanggung, Dalimunte mulai mengenal kata cinta dan romantisme. Serba tanggung. Ikanuri dan Wibisana juga beranjak remaja, sudah sekolah di kota kecamatan. Kelas satu. Umur mereka empat belas. Prospek sekolah di kota kecamatan benar-benar membuat perangai Ikanuri dan Wibisana berubah banyak. Itu artinya mereka bisa naik starwagoon setiap hari tanpa perlu diteriaki Mamak lagi. Dan yang lebih penting, tidak perlu disuruh-suruh kerja di kebun
karena mereka baru pulang saat starwagoon itu kembali ke lembah menjelang senja. Sementara Yashinta sudah menjejak kelas enam sekolah dasar.
Tubuhnya bongsor, sekarang lebih tinggi dibandingkan Kak Laisa. Yashinta tumbuh menjadi gadis kecil yang amat manis. Rambut panjangnya dikuncir rapi. Kulitnya kuning langsat. Ia terlihat amat berbeda di rumah panggung yang mulai diperbaiki di sana sini. Sementara Mamak rambutnya sudah mulai beruban. Kulit Mamak legam seperti Kak Laisa, karena terpanggang matahari saat mengurus kebun strawberry. Tiga tahun berlalu, hari itu Mamak, Kak Laisa bersama-sama yang lain berangkat ke kota provinsi. Melihat Dalimunte mengikuti lomba karya ilmiah. Gedung serba guna universitas kota provinsi itu ramai oleh pengunjung. Dipadati oleh berbagai peralatan hasil rakitan. Ikanuri dan Wibisana entah dari tadi pagi menghilang kemanalah. Yashinta menggandeng Mamak, beserta Kak Laisa berjalan mengelilingi gedung. Melihat satu demi satu stand yang dipenuhi peralatan peserta lomba. Mereka berdiri lama di depan rakitan Dalimunte. Kak Laisa mengerjap-ngerjap terpesona, "Bisakah kau menjelaskan ini sebenarnya apa, Dali"" Dalimunte tersenyum, Kak Laisa selalu peduli dengan apa yang dikerjakannya. Selalu bertanya. Ingin tahu, meski kadang tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya Dalimunte jelaskan. Yashinta dan Mamak berdiri mendekat. Ikut mendengarkan. Tapi sebelum Dali sempat menjelaskannya, Ikanuri dan Wibisana mendadak masuk ke dalam stand. Berseru sambil menarik kuncir rambut Yashinta. Tangan Yashinta yang berusaha memukul tangan jahil Ikanuri malah menghantam rakitan Dalimunte. Pyar! Rakitan alat fermentasi buah strawberry itu roboh seketika. Berserakan. "IKANURI, WIBISANA, bisa nggak sih kalian sehari saja tidak nakal"" Kak Laisa mendesis marah. Wajah-wajah pengunjung lainnya tertoleh. Ingin tahu keributan yang sedang terjadi. Dalimunte pias melihat rakitannya roboh. Berusaha membenahi. Dibantu Yashinta setelah mengaduh kaget dan menimpuk Ikanuri dan Wibisana dengan gumpalan tisu. Seorang gadis remaja tanggung dari kerumunan pengunjung ikut jongkok. Ikut membantu membenahi serakan logam dan kayu. Seketika muka Dalimunte yang pias memerah. Amat merah. "Cie Hui" Kau... kau juga datang"" Berkata terbata. Gadis tanggung berbilang enam belas tahun itu tersenyum manis. Wajah keturunannya juga merekah merah, tersipu, mengangguk. Dan Dalimunte sontak kehabisan kata. Cie Hui teman sekelasnya di kota kecamatan. Lihatlah, Dalimunte seperti anak-anak lain, tidak peduli sepintar apapun dia, tetap tumbuh menjadi remaja tanggung dengan segala dunianya. Setahun terakhir, Dalimunte mulai merasakan cinta monyet itu. Dengan segala perasaan-perasaan itu. Kerusakan akibat kenakalan Ikanuri dan Wibisana tidak berakibat fatal. Rakitan Dalimunte toh sudah selesai dinilai. Ia kalah sebelas poin dari juara ketiga (yang berasal dari sekolah lanjutan atas). Tapi sepanjang perjalanan pulang, Ikanuri dan Wibisana yang jahil terus menggodanya soal Cie Hui. Dasar Dalimunte, semakin digoda, semakin terbukalah semuanya. Mukanya merah padam. Berkali-kali berusaha menghindar. Percuma. Bahkan Yashinta yang selama ini tidak pernah jahil, ikut-ikutan nyeletuk, "Emangnya kakak sudah boleh pacaran, ya"" Membuat Mamak ikut tertawa. "Apa kau menyukainya"" Kak Laisa bertanya saat mereko berdua di kebun strawberry beberapa hari kemudian. Muka Dalimunte langsung merah padam. "Kakak hanya memastikan, kau tidak perlu menjawabnya" Kak Laisa tersenyum simpul. Meneruskan memotong ranting-ranting batang strawberry yang menguning. Hari-hari itu Dalimunte menyadari sesuatu. Dia memang menyukai Cie Hui sejak pertama kali mengenalnya. Cinta pertamanya. Tapi kesadaran itu mendatangkan pemahaman yang lebih besar, lebih penting: Kak Laisa.
Apakah Kak Laisa pernah jatuh-cinta sepertinya" Kesadaran itu mencungkil berbagai potongan dialog yang dulu dianggap Dalimunte biasa-biasa saja. Berbagai percakapan tetangga. Amat tidak lazim, Kak Laisa yang sekarang sudah berumur dua puluh tiga tahun tapi belum menikah. Di lembah itu, rata-rata anak gadis menikah di usia d
elapan belas. Mamak dulu juga menikah di umur segitu. Tetapi Kak Laisa sudah dua puluh tiga, dan nampaknya belum ada tanda-tanda akan segara menikah. Gadis tua. Itu istilah yang disematkan ke perempuan yang lepas dua puluh belum juga menikah di Lembah Lahambay. Dalimunte menatap lamat-lamat punggung Kak Laisa. Hamparan kebun strawberry itu lengang. Beberapa pekerja sibuk mengurus batang-batang strawberry Beberapa menyusun polybag baru. Memasukkan pupuk kandang. Menyiapkan bibit. Gadis tua. Itulah isi percakapan tetangga selama ini. Dalimunte menelan ludah. Apakah Kak Laisa pernah jatuh cinta sepertinya" Apakah Kak Laisa tidak terganggu dengan bisik-bisik itu" Inilah sebenarnya urusan paling pelik yang menyergap hubungan mengesankan kakak-adik di lembah indah itu. Gadis tua.
23 JANGAN HINA KAKAKU "KAK LAIS bilang aku bisa sekolah di mana saja. Aku tidak mau sekolah di sini. TIDAK MAU!" Yashinta merajuk. Matanya melotot. Laisa mencengkeram lengannya. Bersitatap satu sama "YASH TIDAK MAU SEKOLAH DI SINI!" Laisa tidak mengendurkan cengkeramarmya. "Yash tidak mau sekolah di sini... Yash mohon, jangan paksa Yash..." Yashinta mulai menangis. Tertunduk. Laisa menelan ludah. Lembut menatap wajah adiknya. Ia baru saja mengantar Yashinta mendaftar sekolah di kota kecamatan. Setahun lagi berlalu. Sekarang giliran Yashinta. Tadi semangat sekali berangkat menumpang truk angkutan strawberry. Semangat melihat hamparan luas halaman sekolah lanjutan pertama itu. Di sini pula Ikanuri dan Wibisana sekolah. Kelas tiga. Sedangkan Dalimunte sudah melanjutkan sekolah di kota provinsi. Meski tidak juara, lomba karya ilmiah, itu memberikan kesempatan meneruskan sekolah di sekolah lanjutan atas terbaik kota provinsi. Beasiswa. "Yashinta marah dengan orang di dalam tadi"" Yashinta diam, Menggigit bibimya. "Yash marah"" Yashinta mengangguk. Pelan. Bagaimanalah ia tidak akan marah. Ketika formulir pendaftarannya akan ditandatangani Kak Laisa, petugas itu kasar menegur, "Harus orang tua atau wali murid yang menandatangani, bukan pembantu yang mengantar " "Ia kakakku " Yashinta yang menjawab. "Bagaimana mungkin ia kakakmu"" Petugas itu menatap keheranan. Lihatlah, Yashinta yang bongsor sejengkal lebih tinggi dibanding Kak Laisa. Apalagi wajah Yashinta yang amat manis. Dibandingkan dengan adiknya, Kak Laisa memang lebih mirip seseorang yang disuruh mengantar. "Ia kakakku " Yashinta menjawab ketus, tersinggung dengan tatapan petugas. Meski umurnya baru dua belas tahun, Yashinta mengerti benar soal beginian. Soal tatapan mata seperti ini. Kalimat-kalimat seperti ini. Ia berkali-kali mengalaminya. "Kakakmu" Kalian sungguh berbeda. Ia lebih pend... Baiklah-" Maka Yashinta merajuk, berlari ke luar ruangan pendaftaran. Melempar formulir pendaftarannya. Tidak. Tidak ada yang boleh menghina kakaknya. Ia tidak akan sekolah di sini. la bisa sekolah di mana saja ia mau, tapi bukan di sini.
"Yash seharusnya tidak marah. Yash seharusnya terbiasa" Kak Laisa duduk di sebelah. Ikut bersandarkan kursi panjang. Menghela nafas. Mendekap bahu adiknya. Yashinta hanya diam. Meletakkan tas barunya. Minggu lalu, dan juga minggu-minggu lalunya, waktu ia bermain-main bersama anak tetangga di lembah, beberapa remaja tanggung juga seringkali menunjuk-nunjuknya. Berbisik. Tertawa. Yash tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka pasti senang membanding-bandingkan ia dengan Kak Laisa. Maka marahlah Yashinta. Melempar mereka dengan butiran tanah. Berteriak-teriak. Membuat Wak Burhan yang kebetulan lewat terpaksa turun tangan. "Mereka menghina Kak Lais, Wak!" Yashinta mengadu marah. Wak Burhan mengusap rambut panjang Yashinta. Tersenyum bijak. Sejak dulu, anak-anak kampung memang suka memperolok-olok Laisa. Hanya saja karena Yashinta masih terlalu kecil sajalah, hingga Yashinta tidak menyadarinya. Remaja-remaja tanggung itu sedang senang-senangnya rumpi. Mengolok-olok. Laisa yang berbeda dengan anak-anak Mamak Lainuri lainnya. Laisa yang berbeda dengan penduduk kampung lainnya. Bahkan sekali-dua meski dengan intonasi berbeda orang dewasa di lembah itu juga suka membicarakan Laisa
yang belum menikah-menikah juga, Wak Burhan malah juga pernah berkunjung, berbicara dengan Mamak Lainuri soal kenapa Laisa belum menikah. "Yash seharusnya terbiasa. Lihat, Ikanuri dan Wibisana terbiasa. Dalimunte juga terbiasa " "Tapi mereka menghina Kak Lais!" Yashinta memotong. " Mereka hanya merasa heran " "Mereka menghina. Yash tidak suka. Pokoknya Yash tidak suka. Yash tidak mau sekolah di sini!" Yashinta menjawab ketus. Laisa tersenyum. Suka atau tidak, mau atau tidak, Yashinta harus membiasakan diri. Seperti Ikanuri dan Wibisana yang tidak peduli dengan olok-olok itu. Atau seperti Dalimunte yang memang tidak pernah mendengarkan sedikitpun olok-olok tersebut. Karena tidak ada gunanya. Tidak ada manfaatnya. Adiknya Yashinta harus (segera) terbiasa....
24 PERNIKAHAN SEPUH MALAM ITU, rumah panggung mereka ramai. Kak Laisa baru saja menyelesaikan renovasi rumah. Sekarang rumah panggung reot seadanya itu berubah menjadi bak villa indah. Masih berlapis kayu, tapi sekarang tanpa lubang-lubang. Atapnya digantikan genteng, sudah tak tampias lagi. Hamparan halaman ditanami beludru rumput dan bonsai pepohonan. Perkebunan strawberry mereka sekarang sudah puluhan hektar, memenuhi separuh lembah hingga cadas lima meter sungai. Tidak ada lagi lima kincir bambu di sana. Sekarang digantikan dua pasang kincir bertingkat-tingkat dari batangan aluminium dan pondasi beton yang lebih kokoh. Ada banyak hal besar yang dikerjakan Kak Laisa tiga tahun terakhir. Seiring majunya perkebunan strawberry, Kak Laisa juga merenovasi sekolah seadanya di kampung atas. Jalanan selebar tiga meter itu juga sudah di aspal tipis. Memudahkan truk-truk pengangkut buah strawberry berlalu-lalang. Malam itu, Dalimunte yang sudah kuliah di institut teknologi ternama luar pulau, mudik. Kejutan. Benar-benar kejutann, Dalimunte pulang bersam Cie Hui. Gadis keturunan yang dulu mereka lihat di kota provinsi. Umur Dalimunte sudah dua puluh satu tahun, sudah bukan remaja tanggung lagi. Ikanuri dan Wibisana beranjak delapan belas, sudah di tahun terakhir sekolah lanjutan atas kota kabupaten. Mereka masih suka menggoda Dalimunte soal Cie Hui, tapi konteksnya jauh berbeda. Bukan lagi gurauan remaja tanggung atau anak-anak. Lagipula
Ikanuri dan Wibisana lebih asyik menghabiskan waktu di bengkel. Mereka memang menyukai mengotak-atik mesin. Cinta sekali dengan mobil. Beruntung Kak Laisa berbaik hati membelikan starwagoon tua, dengan janji mereka tetap akan meneruskan kuliah di kota provinsi tahun depan. Yashinta tumbuh menawan. Gadis kecil itu sekarang sudah lima belas. Setahun lagi harus melanjutkan sekolah di kota kabupaten. Ia tetap sekolah di kota kecamatan yang dulu pernah dibencinya. Meski tidak kunjung terbiasa, Yashinta mengalah. Bisik-bisik tetangga soal fisik Laisa juga sebenarnya jauh berkurang karena meski dengan segala keterbatasannya, fakta Laisa melakukan banyak hal untuk lembah, anak-anak yang bersekolah, bantuan menanam strawberry di kebun-kebun, membuat kehidupan lembah jauh lebih baik. Jadi penduduk kampung walau tetap membicarakan Laisa yang hingga usia dua puluh tujuh tahun tetap belum menikah, intonasinya lebih karena prihatin. Ingin membantu mencari jalan keluar. "Cepat atau lambat juga akan datang, Mak!" Itu jawaban ringan Kak Laisa setiap kali Mamak mengajak membicarakannya (atau jika ada tetangga yang berbaik hati bertanya). "Lihat, Wak Burhan besok akan menikah untuk kedua kalinya. Padahal umurnya sudah delapan puluh! Cepat atau lambat giliran Laisa pasti akan tiba pula, bukan"" Kak Laisa tertawa. Itu benar, besok Wak Burhan akan menikah dengan janda tua dari desa atas. Umur calon istri Wak Burhan berbilang enam puluh tahun, sudah bercucu sebelas. Malam itu, mereka ramai-ramai berkumpul di rumah untuk menyiapkan keperluan acara besok. Wak Burhan masih terhitung kakak sepupu Mamak. Jadi rumah panggung mereka jadi tempat 'mempelai perempuan' bersiap-siap. Yashinta ditemani Cie Hui memasang hiasan-hiasan janur. Penduduk kampung itu sibuk. Minggu-minggu selepas lebaran, memang waktu yang tepat melangsungkan hajat besar. Pernikahan. Mamak dan ibu-i
bu lainnya menyiapkan hidangan besok. Dalimunte dan pemuda lainnya menyiapkan panggung acara. Kak Laisa ikut mengerjakan banyak hal. Jelas ia sudah terbiasa menangani tatapan ingin tahu. Menanggapi ibu-ibu tetangga yang menggodanya, "Jadi kapan Lais akan menyusul"" Laisa hanya tersenyum simpul. Setiap kali ada pernikahan di lembah itu, Laisa selalu membantu mengerjakan banyak hal. Terbiasa dengan kalimat prihatin, gurauan, bahkan bisik-bisik tetangga. Menjawab dengan senyuman, kalimat ringan, atau ikut tertawa. Tapi apakah Laisa seringan itu menghadapi fakta bahwa ia belum menikah-menikah juga" Dalimunte tahu persis jawabannya. Seperti malam itu, saat semua jatuh tertidur kelelahan lepas menyiapkan keperluan acara besok. Larut malam. Bintang Indah bertebaran di angkasa. Cerah. Lembah itu berpendar-pendar oleh cahaya bohlam lampu di bawah dan cahaya bintang di langit. "Kak Lais belum tidur"" Laisa menoleh, tersenyum. Dalimunte melangkah, mendekat. Laisa berdiri di depan bingkai jendela yang dibuka lebar-lebar. "Bulan yang indah, bukan"" Kak Lais menunjuk ke atas. Dalimunte mengangguk. Menelan ludah. Dia tahu, Kak Laisa tidak menghabiskan waktu setengah jam dini hari seperti ini hanya untuk menikmati menatap rembulan. Bersenyap seorang diri pukul dua pagi. Tentu ada banyak hal yang sedang dipikirkannya. Kalimat-kalimat tetatngga. Usianya yang sebentar lagi tiga puluh. Entahlah. Tapi Kak Laisa selalu ingin terlihat semua baik-baik saja di depan adik-adiknya. Sejak setahun lalu, Dalimunte ingin sekali menanyakan hal tersebut. "Apakah kau menyukai Cie Hui"" Kak Laisa justru yang mendahuluinya bertanya. Muka Dalimunte memerah. Tersipu. "Ergh, maksud Kak Lais"" "Kata Yashinta tadi, Cie Hui bilang kalian tidak pacaran. Hanya teman dekat "
Kak Laisa tertawa kecil. "Aneh, bukan" Bagaimana mungkin gadis itu mau bermalam di sini tanpa hubungan penting di antara kalian"" Dalimunte nyengir, mengusap wajahnya yang semakin memerah. Benar. Mereka belum sekalipun bilang soal perasaan itu. Mereka amat dekat, itu benar. Tapi ikrar saling suka itu belum terucap. Bagaimana dia akan melakukannya jika Kak Laisa belum" "Cie Hui gadis yang cantik. Ia juga baik. Ia mudah sekali akrab dengan Mamak dan Yashinta." Kak Laisa bergumam, menatap wajah Dalimunte yang salah-tingkah, "Dali, kau seharusnya tidak membuat Cie Hui menunggu lama "
25 KAU TIDAK HARUS MENUNGGU
TETAPI DALIMUNTE kali ini memutuskan untuk bebal. Dalimunte tidak mendengarkan kata-kata Kak Laisa. Dalimunte benar-benar membuat Cie Hui menunggu lama, terlalu lama malah. Tujuh tahun berlalu. Dan dia belum juga mengatakan perasaan itu. Meski hampir setiap pulang ke Lembah Lahambay, Cie Hui ikut serta. Bahkan gadis keturunan yang sekarang sudah berkerudung itu sudah dianggap Mamak menjadi anggota keluarga. Lulus dari institut teknologi ternama itu, Dalimunte melanjutkan sekolah di universitas terbaik di Amerika. Mendapatkan beasiswa selama tiga tahun untuk menyelesaikan jenjang doktor ilmu fisikanya. Masa-masa itu bahkan Cie Hui lebih banyak lagi menghabiskan waktu di perkebunan strawberry. Menginap lama di sana. Ikut membantu Kak Laisa dan Mamak mengurus kebun. Dua tahun sejak pulang dari Amerika, dan memutuskan bekerja di laboratorium institut teknologi ternama, Dalimunte tetap tak kunjung mengatakan perasaannya. Cie Hui hanya bilang, "Kami hanya teman biasa, Mak!" setiap kali Mamak atau Yashinta bertanya kapan. "Apa sebenarnya yang kau tunggu, Dali"" Itu juga pertanyaan berkali-kali yang disampaikan Kak Laisa setiap dua bulan jadwal Dalimunte dan yang lain pulang ke lembah. Dan Dalimunte hanya diam, tidak menjawab. Tentu saja Dalimunte amat menyukai Cie Hui. Cinta pertamanya. Tetapi urusan ini tidak mudah. Pelik. Dia sungguh tidak akan pernah bisa mengambil keputusan sepenting itu sebelum Kak Laisa menikah. Tabu sekali di lembah itu jika ada adik yang mendahului kakaknya menikah. Melintas. Akan menjadi gunjingan seumur hidup. "Kau tidak harus menunggu aku, Dali!" Laisa menggenggam erat lengan Dalimunte. Malam itu, malam yang kesekian mereka berdiri di lereng lembah, menatap bintang-ge
mintang. Di antara ribuan polybag strawberry. Malam itu, umur Kak Laisa sudah tiga puluh tiga tahun, Dalimunte dua puluh tujuh. Janji kehidupan yang lebih baik di luar lembah sudah sepenuhnya tiba. Dan kehidupan di lembah sendiri sudah jauh lebih baik dibandingkan masa kanak-kanak mereka. Mereka selepas isya tadi, habis melakukan syukuran besar di rumah. Lulusnya Ikanuri dan Wibisana. Akhirnya, dua sigung nakal itu menyelesaikan kuliahnya. Warga kampung berkumpul. Tidak ada lagi wajah-wajah suram habis bekerja seharian, pakaian seadanya, dan semacam itu seperti mereka sering berkumpul di balai kampung dulu. Kehidupan di lembah jauh lebih baik sekarang. "Kami lulus sarjana saja itu sudah menjadi keajaiban dunia ke delapan dan ke sembilan. Jadi jangan paksa kami untuk ambil S2 seperti Dalimunte " Ikanuri tertawa saat Kak Laisa menyuruh mereka melanjutkan sekolah lagi. Dan itu benar, beberapa minggu kemudian dari kelulusan universitas kota provinsi, dua sigung itu lebih memilih sibuk dengan hobi kecil mereka dulu. Membongkar-bongkar mesin mobil. Mereka sekarang punya bengkel besar di kota provinsi. Kak Laisa yang memberikan modal.
Sementara Yashinta benar-benar tumbuh menjadi gadis yang menawan. Cantik luar biasa. Umurnya sekarang dua puluh. Tahun kedua di jurusan Biologi universitas ibukota. Malam ini ia jug a pulang. Lihatlah, Yashinta, dengan rambut tergerai panjang, mata hitam indah dan tubuh tinggi semampai, terlihat seperti bidadari di rumah panggung itu. Amat kontras dengan Kak Laisa. Gadis itu juga tumbuh dengan pemahaman yang baik atas hidup. Mencintai kehidupan sekitar.Menghabiskan waktu dengan kegiatan mendaki gunung, menyelami lautan, konservasi alam. Setiap kali ia pulang, itu saja dengan berhari-hari menghabiskan waktu di hutan rimba dekat lembah. Menginventarisir satwa di dalamnya. Hasil jepretan kameranya sudah ribuan lembar. Yashinta amat atletis untuk urusan ini. Ia bahkan dua kali lebih atletis dibanding Kak Laisa. "Kau tidak harus menunggu aku, Dali " Kak Laisa menghela nafas panjang. Mengulang kalimatnya. Memecah lenyap. Mendekap pinggang Dalimunte yang tiga jengkal lebih tinggi darinya. Dalimunte hanya menunduk, menelan ludah. Bagaimanalah" Dulu Kak Laisa bahkan tega mempermalukan diri sendiri agar adik-adiknya tidak mendapat malu. Kak Laisa bekerja-keras di masa kecilnya demi adik-adiknya. Bagaimanalah dia sekarang sampai hati mendahului Kak Laisa" Justru mempermalukan Kak Laisa" Itu akan jadi aib besar di lembah. Belum menikah di usia tiga puluh tiga tahun saja cukup sudah membuat tetangga banyak bertanya, apalagi jika adik-adiknya melintas. "Kau sudah cukup umur Dali. Punya pekerjaan hebat di ibukota. Cie Hui amat menyukaimu. Kau tahu, selama ini ia bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di sini dibandingkan di rumah orang tuanya di kota kecamatan, bukan"" Tertawa. Dalimunte ikut tertawa kecil. Semerbak wangi perkebunan di malam hari menyergap ujung hidung. Malam sudah amat larut. Pukul dua pagi. Dia selalu menemani Kak Laisa menghabiskan malam setiap kali pulang ke lembah. Menatap pemandangan lembah yang indah. Dulu waktu mereka kecil, Kak Laisa juga suka melakukannya. Dan Dalimunte tahu persis itu. Dulu Kak Laisa menghabiskan malam dengan berpikir tentang sekolah adik-adiknya. Bagaimana mencari uang agar adik-adiknya tidak putus sekolah. Membantu Mamak yang setiap hari terpanggang matahari di ladang. Sekarang" Dalimunte menghela nafas pelan, Kak Laisa tidak pernah sekalipun mendapat bagian untuk merasakan bahagia dalam hidupnya. Apa yang sekarang Kak Laisa pikirkan" Usianya" Kesendiriannya" "Berjanjilah kau tidak akan membuat Cie Hui menunggu lebih lama lagi. Berjanjilah, Dali " Suara Kak Laisa kembali memecah sepi.Dalimunte hanya menatap senyap hamparan kebun strawberry. Urung menanyakan hal penting tersebut.
Mobil jemputan kedua tiba di Lembah Lahambay. Juwita dan Delima berteriak-teriak ribut saat turun. Bertengkar soal sepeda BMX mereka. Ummi mereka berdua menghela nafas, berusaha melerai. Kehabisan akal. Gara-garanya sepele, mereka bertengkar soal sepeda siapa yang duluan harus diturunkan
. Tetangga yang sedang berkumpul di beranda rumah panggung berkerumun, ikut bingung mencari solusinya. "Lihat, lihat, Bak Wo Jogar turunkan dua-duanya serempak. Satu-dua-tiga-..." Bang Jogar tertawa, tangan kekarnya mengangkat kedua sepeda itu sekaligus dari atas mobil, ikut berseru meningkahi seruan kedua sigung kecil tersebut. "Nah, adil, kan"" Juwita dan Delima hanya nyengir. Bilang terima kasih (setelah dicubit Ummi masing-masing). Mendorong masuk sepeda mereka ke garasi, sebelah rumah. Mereka lagi-lagi berisik saat naik ke rumah panggung. Ribut soal siapa yang duluan salaman dengan Eyang Lainuri dan Wawak Laisa. Saling dorong saat masuk kamar. Tidak mempedulikan tatapan tetangga yang sedang mengaji yasin. Tetapi dua sigung kecil itu seketika terdiam saat melihat ke dalam kamar. Melihat infus, belalai, dan peralatan medis
lainnya. Menelan ludah. Benar-benar terdiam. Juwita dan Delima malah takut-takut melangkah masuk. Menatap sekitar penuh tanda-tanya. Aduh, kenapa jadi begini" Kalau begini mana ada coba acara keliling perkebunan pakai sepeda BMX. Balapan dengan Wawak Laisa" Lupa dengan pertengkaran mereka barusan. Siapa yang lebih dulu menyalami Wak Laisa" Wak Laisa sedang tidur. Jatuh tertidur saat Dalimunte menceritakan penelitian Elektromagnetik Antar Galaksi satu jam lalu. Ia awalnya berusaha mendengarkan dengan sungguh-sungguh, berusaha untuk mengerti apa yang sedang dijelaskan Dalimunte, tapi fisiknya semakin lemah, konsentrasinya menghilang, Laisa akhirnya jatuh tertidur. Sementara Cie Hui memijat kaki Mamak yang juga rebahan di kursi panjang dekat ranjang. Mamak juga lelah setelah hampir seminggu senantiasa terjaga menemani Kak Laisa. Intan masih duduk di atas ranjang, sebelah Wak Laisa. Menatap wajah wawak-nya yang meski pucat pasi, begitu tenang dalam tidumya. Dalimunte menyalami Jasmine dan Wulan. Menyilahkan mereka mendekat ke ranjang besar tersebut. Bang Jogar menyuruh beberapa pemuda tanggung membawa plastik tambahan masuk. Dokter memeriksa ulang panel panel peralatan. Suster menyiapkan beberapa suntikan dan obat. "Apakah Kak Lais akan baik-baik saja"" Wulan sambll mendekap kepala Juwita (yang mendadak alim) bertanya lirih. "Aku tidak tahu " Dalimunte menelan ludah. "Apakah Kak Lais akan baik-baik saja"" Jasmine mengulang pertanyaan serupa. Lebih lirih. Menggigit bibir. Dalimunte menggeleng. Hening sejenak. "Ikanuri dan Wibisana sudah di Paris, tadi sempat telepon " Dalimunte mengangguk. Memberikan kursi. Sementara Intan pelan melambaikan tangannya ke Juwita dan Delima agar mendekat, duduk bertiga di atas ranjang besar Wak Laisa. Ketiga gadis kecil itu, malam ini untuk pertama kalinya rukun. Mana pernah coba Intan mau memberikan posisi duduk ke adik-adiknya, selama ini yang ada juga Intan galak mengusir mereka jauh-jauh!
26 MELINTAS WAKTU BERLALU. Dan urusan Dalimunte-Cie Hui berubah serius sekali. Jika Dalimunte bisa keukeuh bertahan menunggu Kak Laisa menikah bertahun-tahun lagi, tapi ada yang tidak bisa. Cie Hui. Enam bulan selepas syukuran syukuran Ikanuri dan Wibisana, Cie Hui datang ke perkebunan strawberry sambil menangis. Bersimpuh di pangkuan Mamak dan Kak Laisa. Perjodohan. Keluarga Cie Hui di kota kecamatan memutuskan untuk menjodohkan Cie Hui dengan kerabat mereka di China. Benar-benar rusuh perkebunan itu. "Aku sudah bilang, Kak Lais.... Aku sudah bilang ke Dalimunte. Tapi, tapi ia tetap tidak bisa mengambil keputusan...." Gadis manis berkerudung lembut itu menangis di pangkuan Kak Laisa. "Ayah memaksaku menikah segera. Kak Lais tahu, di keluarga kami tidak ada anak gadis yang belum menikah hingga usiaku. Ayah memaksaku memilih.... Jika Dalimunte tidak ingin menikah denganku.... Jika Dalimunte tidak " Cie Hui terisak mengadu.
Siang itu juga Kak Laisa menyuruh Dalimunte pulang ke Lembah Lahambay. Meneleponnya langsungke laboratorium, "Kau naik pesawat pertama dari sana, DALI! Malam ini juga kau sudah harus tiba di perkebunan strawberry! KAU DENGAR"" Sudah lama Kak Laisa tidak berkata setegas itu di hadapan adik-adiknya. Apalagi kepada Dalimunte yang sejak kecil menurut. Perintah itu jug
a menyebar ke yang lain. Karena Cie Hui sudah dianggap seperti anggota keluarga di rumah panggung itu, Yashinta juga ikut pulang dari kota provinsi. Juga Ikanuri dan Wibisana. Semua berkumpul. Ruang depan yang dulunya dipakai Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana tidur beralaskan tikar pandan itu senyap. Malam itu, hujan gerimis membasuh lembah. Dalimunte yang terakhir tiba di rumah, dan langsung diajak bicara. Yang lain sudah menunggu sejak sore tadi. Cie Hui masih menenangkan diri di kamar. Tadi sore, utusan keluarganya dari kota kecamatan memaksa pulang. Hanya karena Kak Laisa bilang, "Semua akan baik-baik saja! Bilang ke Kokoh, tunggu hingga malam ini berakhir." Kerabat Cie Hui mengalah. Mereka tertunduk. Pelan menghela nafas. Kak Laisa menatap wajah adik-adiknya satu persatu. Lamat-lamat. "Kakak tidak pernah meminta kalian menunggu. Tidak pernah," Kak Laisa memecah senyap. Ini kali pertama mereka membicarakan masalah yang super-sensitif tersebut bersama-sama. "Dalimunte, kau sudah dua puluh delapan. Wibisana hampir duapuluh enam, Ikanuri dua puluh lima, dan Yashinta dua puluh dua. Kalian sudah tumbuh begitu dewasa. Tampan dan cantik. Seperti yang Kakak impi-impikan, kalian tumbuh dan memiliki kesempatan lebih besar dibandingkan lembah ini. Tidak menghabiskan hidup hanya menjadi pencari kumbang dan damar di rimba" Suara Kak Laisa bergetar, membuat yang lain semakin tertunduk. Di luar gerimis mulai menderas. Suara bilur air hujan membasuh rumput, genteng, bebatuan terdengar sakral menyenangkan. " Kalian sudah cukup umur untuk mengambil kesempatan berikutnya. Sudah lebih dari cukup umur untuk menikah. Apa lagi yang kalian tunggu" Dali, bahkan Kakak sudah bilang enam tahun lalu agar kau tidak membuat Cie Hui menunggu terlalu lama " Dalimunte menelan ludah. "Kau tidak perlu menunggu Kakak.... Sungguh. Sama sekali tidak perlu. Kelahiran, kematian, jodoh semua sudah ditentukan. Masing-masing memiliki jadwal. Giliran " "Aku tidak akan menikah sebelum Kakak menikah." Dalimunte memotong, dengan suara pelan tertahan. "Kau tidak perlu menunggu Kakak Dali!" Kak Laisa Berkata tegas. Menatap tajam Dalimunte. "Aku tidak akan menikah " "Dengarkan Kakak bicara, Dali!" Kak Laisa menatap tajam. Dalimunte tertunduk dalam-dalam. Ikanuri dan Wibisana mengusap wajahnya. Yashinta memeluk Mamak, matanya mulai berair. "Buat apa kau memikirkan apa yang dipikirkan orang atas pernikahan kau. Buat apa kau memikirkan apa yang dipikirkan orang atas Kakak-mu. Buat apa kau memikirkan kekhawatiran, rasa cemas, yang sejatinya mungkin tidak pernah ada. Hanya perasan-perasaan. Lihatlah, Kakak baik-baik saja." Dalimunte menyeka ujung-ujung mata. Itulah masalahnya, semua terlihat baik-baik saja. Bahkan sejak kecil dulu Kak Laisa selalu berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan adik-adiknya. Memutuskan berhenti sekolah demi mereka sekolah. Bekerja keras. Dan semuanya tetap baik-baik saja.
"Jangan paksa Dali menikah.... Jangan paksa Dali...." "Tidak ada yang memaksamu! TIDAK ADA! Tapi jika kau tetap keras kepala, kau akan kehilangan Cie Hui selamanya. Kau mencintainya, Cie Hui juga amat mencintai kau dan keluarga kita! Kau akan membuat semuanya binasa dengan segala kekeras-kepalaan dan omong-kosong melintas itu..." Kak Laisa berkata serak. "Dali tidak akan menikah sebelum " "Kau jangan membantah kakak, DALI!" Suara Laisa yang meninggi tersedak diujungnya. Bergetar. Tubuhnya menggigil menahan sesak perasaan. Ya Allah, ia sungguh tidak pernah sampai hati membentak adik-adiknya,... Yashinta sudah menangis sambil memeluk Mamak. Malam itu pembicaraan tersebut berakhir sia-sia. Dalimunte tetap tak kuasa mengambil keputusan. Dia terlalu menghargai Kak Laisa. Mengalahkan akal sehat atas pendidikan hebat yang diterimanya selama ini Kak Laisa sudah melakukan banyak hal untuk mereka, jadi amat tidak adil jika dia mempermalukan Kak Laisa dengan melintas. Malam itu, saat hujan menderas, Cie Hui menangis menuruni anak tangga. Keluar dari kamamya. Berlari menerabas hujan. Amat mengharukan melihatnya. Sementara Dalimunte hanya tertunduk diam seribu bahasa. Ikanuri dan Wibisan
a mengantar Cie Hui pulang ke kota kecamatan. Tidak ada. Harapan itu benar-benar sirna. Perjodohan itu akan terjadi. Malam itu, di antara suara guntur menggelegar, Cie Hui kembali ke kota kecamatan membawa pusara hatinya. Menyisakan senyap di ruang depan rumah panggung. Mamak akhirnya tak kuasa menahan tangis. Itu tangisan pertama sejak Babak dulu meninggal. Memeluk Kak Laisa dan Yashinta erat-erat. Mamak tahu. Tahu betapa Kak Laisa menanggung separuh beban keluarga ini sejak kecil. Menciumi wajah Kak Laisa (yang matanya juga berkaca-kaca).
27 SESEDERHANA ITU PUKUL EMPAT dini hari. Laisa sendirian berdiri di lereng kebun strawberry. Menatap gemerlap cahaya bintang dan bulan separuh. Akhirnya setelah nyaris enam jam hujan deras itu terhenti. Awan hitam menggumpalnya habis sudah menumpahkan air. Yang lain sudah jatuh tertidur di kamar. Ikanuri dan Wibisana tidak bicara banyak selepas pulang dari kota kecamatan. Kalau dua sigung nakal itu saja ikut tersentuh secara emosional dalam urusan ini, apalagi yang lain, Yashinta, enam jam lalu di ruang tengah rumah, malah berseru tertahan soal betapa keras kepalanya Dalimunte. Betapa Dalimunte tega membuat Mamak dan Kak Laisa menangis. Lantas lari masuk kamar. Membanting pintu keras-keras. "Boleh aku bergabung " Laisa menoleh. Menatap datar Dalimunte yang mendekat. Sejenak diam. Lantas tersenyum. Mengangguk. Dua kakak adik itu berdiri bersisian. Tubuh gempal Laisa hanya sedada tinggi Dalimunte. Menatap hamparan pohon strowberry yang sedang berbuah. Merah ranum. Minggu-minggu ini panen besar. "Maafkan Dali yang keras kepala " Dalimunte berkata pelan. Laisa menoleh. Mengangguk. Tidak. Ia tidak ingin membicarakan keributan enam jam lalu. Ia tidak bisa memaksa Dalimunte. Mereka bukan kanak-kanak lagi seperti dulu. "Apakah Kak Laisa marah"" Laisa menggeleng. Menggenggam erat lengan Dalimunte. "Aku tidak akan memukulmu dengan rotan, Dali " Tertawa kecil. Senyap sejenak. "Boleh. Bolehkah Dali bertanya sesuatu""
Laisa mengangguk. "Apa... apa yang sebenarnya Kak Lais pikirkan setiap kali berdiri di sini menatap langit dan lembah"" Dalimunte bertanya pelan. Laisa tersenyum, "Banyak hal " "Banyak"" "Ya, tentang masa lalu kita. Tentang hari ini, Tentang masa depan kita. Kau tahu, kalian sejak kecil dulu sudah amat membanggakan Mamak dan Kakak. Lihat, kincir air itu, Dali yang buat. Tanpa itu, tidak akan ada perkebunan strowberry sekarang. Tidak akan ada lampu-lampu.... kehidupan warga kampung yang lebih baik... Kakak juga mengenang Ikanuri dan Wibisana yang suka bolos. Kabur naik starwagoon tua, Yashinta yang selalu memaksa minta diantar melihat sesuatu di hutan. Ladang jagung kita. Semua kejadian-kejadian itu. Tiga harimau itu. Masa lalu yang indah Kakak juga memikirkan tentang hari ini. Perkebunan strowberry Mamak. Penduduk lembah yang semakin makmur. Fasilitas sekolah yang semakin baik. Pengalengan buah di kota provinsi. Kau yang sudah jadi peneliti fisika hebat di Ibukota. Ikanuri dan Wibisana yang ambisius sekali dengan bengkel mobilnya. Yashinta yang amat mencintai lingkungandan konservasi entahlah. Dan Mamak yang terlihat bahagia menghabiskan waktu di kebun kita. Mamak yang tidak pernah mrmbayangkan kehidupan kita akan sebaik ini..... Kakak juga memikirkan tentang masa depan.... Ah, kalau kau menikah, maka rumah panggung ini akan segera ramai, Dali. Anak-anak yang pintar. Ayahnya pintar, pasti anaknya jauh lebih pintar.... Kau tahu, aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa anak-anak Ikanuri dan Wibisana nanti.... Kalau Yashinta itu jelas sudah. Anak-anaknya akan tampan dan cantik... Ia saja sekarang pasti telah membuat puluhan teman mahasiswanyajatuh hati.... Kalau kalian satu persatu mulai berkeluarga, perkebunan ini akan ramai oleh celoteh anak-anak " Hening lagi sejenak. "Apakah, apakah Kak Lais tidak pernah memikirkan yentang itu saat berdiri sendirian di sini"" Dalimunte menelan ludah. "Memikirkan apa"" "Umur Kak Lais" Pemikahan" Kesendirian" Pernahkah Kak Lais memikirkan diri sendiri...." Laisa tertawa, melambaikan tangannya, "Dali, tentu saja sekali dua datang. Sebenarnya
Suling Pusaka Kumala 13 Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara Pendekar Bloon 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama