"Aku menabrak seorang pengendara motor ugal-ugalan yang melintas di depan mobilku. Ketika aku turun dari mobil untuk menolongnya, teman-temannya datang mengeroyokku. Aku harus lari kalau tidak mau mati konyol!"
"Tapi kau harus lari ke polsek terdekat!" desis Anggraini nana
r. "Memang. Tapi malam itu, aku keburu menubruk mobilmu!"
- "Kalau kau berterus terang, aku bisa mengantarmu ke polsek!"
"Tapi aku tidak bersalah, Rim! Motor itu tiba-tiba saja memotong di depanku. Aku tidak keburu mengelakT
"Kalau kau tidak bersalah, hukumanmu pasti lebih ringan. Tetapi sekarang, kau dianggap pelaku tabrak lari!"
"Kita sama-sama pengecut, bukan"" Heri menyeringai pahit. "Kau takut pada meja operasi. Aku takut pada penjara. Kau mencoba lari dari kankermu. Aku pun melarikan diri dari korbanku, f Lucu, ya" Tiba-tiba saja aku merasa senasib denganmu!"
"Tetapi sekarang aku tidak takut lagi," sahut Anggraini lirih. "Kau telah menyadarkan diriku, I lari dari meja operasi bukan jalan yang terbaik."^
"Ketika membaca catatan harianmu, begitu saja timbul keinginanku untuk menyerahkan diri. Jika hukum menganggapku bersalah, aku rela masuk
penjara. Asal bisa kembali secepatnya ke sisinfttfew
Sekonyong-konyong Anggraini merasa matanya panas. Dan sebelum dia sempat memalingkan wajahnya, air mata telah menggenangi matanya.
"Aku ingin menolongmu." Dengan lembut Heri menarik wanita itu ke pangkuannya.
Dipeluknya bahu Anggraini dengan lengan kirinya. Sementara tangan kanannya memegang dagu wanita itu. Dan menghadapkannya perlahan-lahan ke wajahnya.
Sejenak mereka saling tatap. Dan dalam sejenak itu, Anggraini telah dapat menangkap getaran-getaran perasaan yang disalurkan melalui mata Heri.
"Aku ingin berbuat apa saja untuk menyelamatkanmu. Aku ingin melindungi anak-anakmu. Menjadi ayah mereka."
Anggraini ingin menangis. Sekaligus ingin tersenyum. Akhirnya dia tidak tahu harus menangis atau tersenyum. Atau kedua-duanya.
Dia merasa bahagia. Sekaligus terharu. Akhirnya dia menemukan laki-laki ini. Laki-laki yang telah lama dicarinya. Lelaki yang mencintainya. Mengerti dirinya. Mengetahui kelemahan-kelemahannya.
Lelaki yang menyayangi anak-anaknya. Mengerti mereka. Dan diterima pula oleh anak-anaknya,^
"Terima kasih," bisik Anggraini getir. "Aku tidak punya kata yang lebih baik dan itu."
"Ada kata yang lebih baik.
D Heri mencium bibir Anggraini. "AkiT^"8311 lei!",
Anggraim memejamkan matanya T ^u-. Heri menyentuh bibirnya. Mula-mula w"3 bibj hati. Kemudian lebih berani. Lebih bergai ^ati! hangat. Dan Anggraim pun membalasnya^"
BAB XIV "Tehmu, sudah Mama beri gula, Sinta," kata Anggraini cepat-cepat. "Jangan ditambah lagi. Cicipi dulu. Nanti kemanisan."
"Biarin," sahut Sinta dingin. Tanpa menoleh.
Anggraini menajamkan telinganya. Khawatir salah dengar. Kapan pernah didengarnya Sinta berani menjawab sedingin ini"
Diawasinya gadis itu dengan cermat. Matanya bengkak. Dia pasti habis menangis.
"Kenapa, Sinta"" desak Anggraini penasaran. "Sakit""
"Nggak apa-apa."
"Sinta." Anggraini meletakkan sendoknya. Ditatapnya anaknya dengan sungguh-sungguh. "Mudah-mudahan Mama salah lihat. Tapi sejak kemarin kamu sengaja menjauhi Mama, kan" Sikapmu dingin sekali. Ada apa, Sinta" Mama salah apa""
Heri yang sedang mengangkat sendoknya, tidak jadi menyuapkan sendok itu ke mulurnya. Dia ikut mengawasi Sinta.
Merasa sedang diawasi, Sinta langsung meletakkan sendoknya dan lari ke kamar.
Sekejap Heri dan Anggraini saling Dan sebelum Anggraini sempat memalingkan j!^' kanya, setetes air mata telah bergulir ke pipinya Tanpa berkata apa-apa Heri naik ke atas.
Itiknya pintu kamar Sinta. Dia sedang menangj seorang diri di tempat tidur. Perlahan-lahan }w membuka pintu kamar.
"Mengapa harus membuat Mama sedih, Sinta"" tegur Heri dari ambang pintu. "Mama sudah begin, menderita. Mengapa harus ditambah lagi""
"Cuma orang dewasa yang bisa menderita, kan"' tangis Sinta sengit. "Anak-anak tahu apa!">*,i "Mama membuatmu menderita"" "Sinta malu punya mama seperti imY"M BEJ" "Sinta!" desis Heri antara kaget dan marah. Sekarang Sinta membalikkan tubuhnya. Meng-angkat mukanya. Dan menatap Heri dengan penuh kebencian.
"Kenapa Mama tidak henti-hentinya kawin-cerai""
"Mama punya alasan untuk melakukannya." - /'Alasan apa sampai Mama mau kawin dengan- j : mur M
Sejenak Heri tertegun. Ditatapnya Sinta dengan tatapan tidak percaya Tetapi gadis itu malah mem- I balas tatapanny
a dengan pandangan berapi-api. " "Sinta," gumam Heri hati-hati. "Kau benci Oom"" "Aku benci sekali padamu!" teriak Sinta separo menangis. "Benci" Benci.'"
Lalu dia membanting dirinya ke tempat tidur. Dan menangis tersedu-sedu.
Rimba yang baru habis mandi dan menukar baju, muncul dari kamar sebelah. Tanpa berkata apa-apa
. dia melewati kamar adiknya dan turun ke bawah. Ketika dilihatnya ibunya sedang menangis seorang diri di meja makan, dia tidak jadi mengambil sarapan paginya. Dengan wajah muram, Rimba
langsung meninggalkan rumah.
Heri menunggu sampai tangis Sinta mereda. Dibiarkannya gadis itu menumpahkan perasaannya
Baru dia bertairya dengan suara lunak. * "Kamu tidak mau Oom menikah dengan
Mama"" "Persetan!" geram Sinta sengit.
Dadanya terasa sakit. Panas. Pedih. Dicabik-cabik oleh rasa kecewa dan putus asa.
Pemuda yang didambakannya. Pemuda yang diam-diam dipujanya. Ternyata milik Mama juga! Simpanan Mama! Justru pada saat dia hampir percaya, Mama tidak punya maksud apa-apa dengan lelaki ini. Mama cuma mau menolong!
Mama tidak mau kawin lagi, bukan". Itu kata Mama sendiri! Ternyata Mama berdusta. Mama bohong!
Mama memang serakah! Diambilnya juga pemuda ini. Pemuda yang hampir membuatnya per-caya cinta tidak memandang jelek-bagusnya seseorang Percaya dia masih punya harapan memiliki
Ternyata dia keliru! Lelaki di mana-mana ^ saja. Lebih tertarik kepada tubuh yang mo]U Dada yang padat. Dan tungkai yang indah. SepJ. yang dimiliki Mama" 1
Bukan kaki yang timpang dan kecil sebelah seperti yang dimilikinya.... Atau dada yang rata seperti papan setrika"
Percuma dia mengharapkan pemuda ini. Dja tidak ada bedanya dengan /elaki lain. Penipu!
"Sinta," cetus Heri setelah terdiam sesaat. "Oom mengerti' mengapa Sinta tidak mau Mama kawin lagi. Tetapi tidak adil menyamakan setiap lelaki seperti itu. Banyak di antara mereka yang benar-benar ingin membahagiakan Mama...."
"Kamu bisa membahagiakan Mama"" ejek Sinta pedas. "Untuk berapa lama""
"Kalau Oom tidak bisa, belum tentu yang lain juga tidak mampu!"
'Jadi perkawinan itu cuma percobaan" Bercerai lagi kalau tidak bahagia""
"Kenapa mesti menipu diri sendiri" Lelaki yang selama ini Mama temui, bukan ayah yang baik I bagi kalian."
"Lalu di mana ayah yang baik itu" Dalam diri tiap lelaki yang tidur bersama Mama""
"Jangan menuduh ibumu sekotor itu, Sinta!" geram Heri berang. "Jangan latah meniru apa yang dikatakan oleh tetangga. Siapa pun yang menjadi ayahmu kelak, dia harus bisa mengajarmu membedakan apa yang kamu dengar dari orang Jain. Jangan asal telan saja!"
"Baik Oom Budi apalagi kamu, tidak akan pernah menjadi ayahku!" sergah Sinta judes dan mantap. "Kali ini Mama boleh pilih, anak-anaknya atau suaminya!"
"Tidak perlu menyudutkan ibumu dengan pilihan seperti itu. Walaupun Mama mencintai Oom Budi, dia tidak akan kawin dengan lelaki itu kalau Oom Budi tidak dapat menjadi ayah yang baik bagi kalian. Dan kalau kalian tidak mau Mama kawin lagi, dia tidak akan kawin seumur hidupnya!"
"Mama tahu anak-anaknya tidak mau punya ayah lagi. Ngapain dia masih pacaran""
"Mama tidak tega meninggalkan kalian tanpa pelindung! Karena itu dia berusaha mencarikan seorang ayah bagi kalian! Mengapa kalian tidak dapat menghargai ibu seperti itu" Ibu yang hanya memikirkan anak-anaknya sepeninggal dirinya!" . "Kamu cinta Mama"" tanya Sinta dingin. "Siapa yang tidak mencintai perempuan seperti ibumu" Kecuali anak-anaknya sendiri barangkali!"
"Aku sayang Mama!" bentak Sinta gusar. "Aku hanya kesal karena Mama mau kawin dengan lelaki seperti kamu!" "Kata siapa Mama mau kawin dengan Oom"" Sinta terdiam. Dia memang baru tadi malam mencuri dengar pembicaraan ibunya dengan Oom Heri.
Ketika Mama mengintai ke dalam kamarnya, dia belum tidur. Tiba-tiba saja dia ingin tahu mengapa Mania mengintai mereka. Lalu dia melihat Oom Heri di sofa.
tapanya merek" sudah berjanji. Bertemu $ bawah kaiau anak-anak sudah tidur. Dan Sm memang tidak dapat mendengar semua yang me. reka katakan. Tetapi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Oom Heri mencium Mama/
Tak tahan lagi Sinta untuk mengintai terus. Dia menghambur
ke kamarnya dan menangis tersedu-sedu.
"Oom mau bicara denganmu, Sinta," suara Heri berubah tegas.
"Aku sudah bosan.'" bentak Sinta ketus. "Ceritakan saja dongengmu pada Dian dan Bea.' Mereka masih bisa dibohongi!" "Kapan Oom pernah membohongimu, Sinta"" Kapan" Sinta tertegun. Ya, kapan" Kapan lelaki ini membohongnya"
Waktu dia mengatakan dirinya punya keistimewaan yang membuat dia tampak menarik walaupun pincang" Atau waktu mengatakan dia punya kelebihan yang ddak dimiliki gadis-gadis lain yang tidak cacat sekalipun"
Berdustakah Oom Heri kalau kemudian ternyata dia lebih tertarik pada Mama yang punya kaki mulus dan dada montok" Bukankah Mama datang j lebih dulu darinya"
Mama tidak merampas, Oom Heri memang miliknya! Dan Oom Heri tidak berkhianat. Dia tidak pernah menjanjikan apa-apa pada Sinta....
Kalau Maki itu memuji kecantikannya, pujian itu bukan karena Oom Heri tertarik kepadanya.
jWa lainlah yang diharapkannya akan tertarik I pada Sinta. Bukan dia! Karena dia lebih tertarik kepada ibunya! Dia lebih suka menjadi ayahnya daripada kekasihnya!
"Sebenarnya sudah lama Oom ingin mengatakannya padamu. Tapi Mama melarang. Mama tidak mau Oom menceritakan penyakitnya pada kalian." "Penyakit apa"" potong Sinta curiga. Tiba-tiba saja dia teringat pada ocehan Ika tadi malam. Apa katanya" Mama sakit" Sakit apa"
Menyesal juga dia tidak memperhatikannya. Mula-mula dikiranya si bawel itu cuma main-, main. Lagi pula dua hari ini Sinta memang sedang uring-uringan. "Pernah dengar tentang kanker payudara"" "Kanker"!" jerit Sinta histeris. "Mama"! O, Tuhan! Tidak mungkin!"
Mendadak saja tangis Sinta meledak. Kali ini lebih hebat lagi.
"Mama tidak mau kalian ikut menderita. Dia ingin menanggung derita itu seorang diri. Tapi sebelum meninggalkan kalian, dia ingin mencari , seorang pelindung bagi anak-anaknya. Karena itu dia mencarikan ayah untuk kalian...." "Tidak!" ratap Sinta di sela-sela tangisnya. "Tahu kenapa Mama bekerja begitu keras" Kadang-kadang sampai larut malam" Dia ingin membeli sebuah rumah untuk kalian!"
"Oh, Mama!" tangis Sinta getir. "Mengapa Mama tidak berobat" Tidak ke dokter"" "Dokter .menyuruhnya operasi."
"Operasi"" Mata Sinta membelalak ketakutan * Sekonyong-konyong lututnya terasa lemas. Ham pir tidak kuat lagi menyangga tubuhnya.
"Dua tahun yang lalu," sabut Heri pahit. "Mama tidak mau dioperasi karena tidak mau melepaskan pekerjaannya. Dia ingin mengumpulkan uang untuk membeli rumah."
"Oom..." Sekarang Sinta menatap Heri dengan berlinang air mata. Seluruh bekas-bekas kemarahan telah lenyap dari matanya. Berganti dengan kesedihan dan ketakutan. "Mama masih bisa sembuh, kan. Oom""
"Mintalah agar Mama mau dioperasi, Sinta," sahut Heri lunak. "Dan bersikaplah lebih manis. Lebih penuh pengertian. Supaya kalian bisa menghadapi hari-hari yang sulit ini bersama-sama Dan..." "Dan apa, Oom""
Heri menghela napas berat. Dia seperti enggan mengatakannya.
"Sinta tidak terlalu menyesal seandainya operasi ita gagal...."
"Sinta harus minta maaf pada Mama!"
'Tidak penting, Sinta. Yang penting, jangan sakiti lagi hatinya"
Tanpa dapat ditahan lagi, Sinta menghambur ke j luar. Mencari ibunya. Heri mengikuti dari belakang. Tetapi di anak tangga yang paling bawah, mereka sama-sama tertegun.
Rimba tegak di ambang pintu. Di belakangnya, bersiaga dua orang polisi. Ketika melihat mereka, J
Anggraini menghambur dari meja makan. Merangkul Heri sambil menangis.
*** Hen ditahan dalam kasus tabrak lari. Sementara rumah yang ditinggalkannya, belum luput dari gejolak. Sinta menampar Rimba dengan gemas setelah Heri dibawa pergi.'
"Kamu yang melaporkannya, kan"" desisnya marah. "Kamu mencuri dengar pembicaraan Mama tadi malam! Kamu lapor polisi ada buronan tabrak lari di rumah ini""
"Aku tidak sudi punya ayah seperti, ini, tahu"!" bentak Rimba sengit. "Kamu juga tidak, kan" Kamu nggak rela pacarmu jadi ayahmu! Nah, kenapa mesti pura-pura""
"Kamu keliru!" teriak Sinta separo menangis. "Mama tidak akan kawin dengan siapa pun! Mama sakit! Kanker!"
Rimba tersentak kaget Saat ku Sinta melihat ibunya. Dja berlari memeluk Anggraini sambil menangis.
"Amp uni Sinta, Ma!" tangis Sinta getir. "Sinta nggak tahu! Sinta selalu bikin Mama sedih!"
Anggraini mendekapkan kepala putrinya erat-erat di dadanya. Diletakkannya dagunya di atas_ rambut Sinta. Dan air mata berlinang-linang di
matanya. ... , , Jadi Sinta juga mencintai Hen! Itu sebabnya.
dia memusuhi ibunya! Lalu matanya beradu dengan mata Rj masih tegak terpaku di tempatnya. Tetapi ^ nya Anggraini melihat sesuatu yang i . tiba-tiba saja dia sadar. mn. Rimba melakukannya bukan hanya kare tidak mau punya ayah lagi. Ada alasan lain"3 dia
Rimba tidak rela Heri menjadi ayahnya, k dia juga sudah jatuh hati pada pemuda itu! j2* laki pertama yang membuatnya merasa me^J seorang wanita:...
Ketika melihat cara ibunya menatapnya, Rimb, merasa, Mama sudah tahu perasaannya. Dan untuk pertama kalinya, air mata menggenangi matanya.
BAB XV Untuk pertama kalinya setelah sepuluh hari terakhir ini, Anggraini melewatkan malam tanpa Heri. Tidak terasa air mata mengalir ke pipinya setiap kali dia melihat sofa yang kosong itu. Di sanalah biasanya Heri berbaring.
Aneh memang. Baru sepuluh hari dia di rumah ini. Tidak seorang pun tahu siapa dia dan dari mana dia datang. Tetapi kenangan yang ditinggalkannya di rumah ini demikian mengesankan.
Dian dan Ika juga merasa amat kehilangan ketika pulang sekolah mereka tidak menemukan Oom Heri.
"Oom Heri udah pergi, Ma"" tanya Dian hampir menangis. "Tapi Oom udah janji mau ngantar Dian ke sekolah! Oom bilang, nggak percaya Dian yang bakal kepilihl" ti
Anggraini tidak mampu menjawab. Karena begitu dia membuka mulutnya, tangisnya tak dapat ditahan lagi. Betapa pandainya Heri memacu semangat Dian untuk berlatih!
"Betul Oom Heri pergi, Ma"" desak -tidak percaya, "Kok nggak bilang sama Ika dulu, Ma/
"Sudah, jangan ganggu Mama!" potong Sinta sambil menahan tangis. "Mama lagi sakit!"
"Kankernya belum sembuh, Ma"" gumam lka penasaran. "Padahal Ika sudah doa sama Tuhan!"
"Kanker apa, Angga"" sela Nenek dengan suara bergetar. "Mengapa kamu nggak pernah cerita""
"Payudara, Nek," Sinta yang menyahut dengan air mata berlinang. "Mama mesti dioperasi."
"Operasi"" Nenek hampir semaput di kursi. "Aduh, jangan, Angga! Jangan! Lebih baik ikut Ibu ke kampung "
"Belum tentu ganas, Bu," hibur Anggraini tabah. Padahal dia sendiri sudah pesimis. "Ibu jangan terialu khawatir...."
Malam itu sengaja Anggraini memilih tetap tidur di kamar atas bersama anak-anaknya. Dia tidak mau tidur di bawah, meskipun kamar itu sudah kosong. Tidak tahan dia dalam kesendirian di bawah sana.
Anak-anaknya juga tidak banyak tingkah hari ini. Dian dan Ika tidak bertengkar lagi. Mereka menyikat gigi dan mencuci kaki dengan diam. Lalu masuk ke kamar Nenek setelah mengucapkan selamat malam kepada ibunya.
Bahkan Nenek malam ini kehilangan semangatnya untuk membuka mulut. Dia tampak sedih dan ketakutan. Walaupun berusaha keras untuk menyembunyikan perasaannya,
190 Dan Intan yang dianggap tidak tahu apa-apa itu, ternyata memahami benar kesedihan ibunya. Barangkali nalurinya membisikkan, Mama sedang berduka. Dia hanya menatap ibunya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lalu memejamkan matanya. Dan tertidur tanpa banyak rewel lagi.
Anggraini tidak dapat tidur sebelum Rimba pulang. Anak itu pergi dalam keadaan stres. Penuh sesal dan perasaan bersalah. Rimba hanya tidak mengungkapkannya. Tetapi kalau dia sampai mengeluarkan air mata, Anggraini memahami benar perasaannya.
Dan seseorang memasuki kamarnya. Langsung
berlutut di sisi tempat tidurnya. "Sinta"" bisik Anggraini dalam kegelapan.
"Rimba sudah pulang"" "Belum, Ma." "Sinta belum tidur""
"Nggak bisa tidur, Ma," suara Sinta terdengar
basah. "Sinta merasa berdosa kepada Mama..." Dengan lembut Anggraim membelai-belai kepala
anaknya. "Bukan salah Sinta," katanya lembut. "Kalau Mama jadi Sinta, mungkin Mama akan berbuat
begitu juga." "Ma." Hati-hati Sinta menyentuh payudara ibunya. Begitu hati-hati seolah-olah takut menyakiti ibunya. "Sakit nggak, Ma""
Anggraini memaksakan sepotong senyum. "Tidak terasa apa-apa, Sinta." "Sinta takut, Ma...."
Mama juga takut, Sinta. Kita berdoa saja, y Minta kekuatan dari Tuhan."
"D ari sore Sinta sudah berdoa, Ma. Tapi Sint tetap takut.'" Kini Sinta sudah benar-benar mena, " ngis. "Sinta takut Mama dioperasi. Takut Oonj Heri masuk penjara.'" "Sinta sayang sama Oom Heri"" ''Mama juga" Mama sayang Oom Heri" Maria mau menikah dengan dia""
"Mama tidak mau memikirkan perkawinan lagi, Sinta," sahut Anggraini sabar. "Mulai sekarang Mama hanya hidup bagi kaiian." "Tapi Mama ingin mencarikan ayah bagi kami!" "Sekarang Mama sadar, Mama keliru. Mama hendak mendahului kehendak Tuhan. Mencari seorang pelindung bagi kalian setelah Mama tidak ada. Padahal hanya Tuhan-lah pelindung kita."
"Mama tidak salah. Kamilah yang salah mengerti maksud Mama. Rimba dan Sinta selalu berprasangka jelek. Untung ada Oom Heri. Dia yang mem-. bukakan mata kami.'"
"Mama juga salah, Sinta. Sekarang baru Mama insaf, hidup-mati seseorang di tangan Tuhan. Apa yang akan terjadi dengan anak-anak setelah Mama meninggal nanti, bukan hak Mama untuk mengaturnya. Mama serahkan saja kalian berlima ke j dalam pemeliharaan Tuhan. Mama percaya, Dia takkan pernah meninggalkan kalian."
"Tapi, Ma," Sinta merangkul ibunya dengan terharu, "Mama membutuhkan seorang laki-laki
f seperti Oom Heri! Sinta mau Mama bahagia, j Mama sudah terlalu lama menderita!"
"Apa artinya kebahagiaan kalau anak-anak Mama menderita" Kalian sudah tidak ingin punya ayah lagi, kan""
"Kalau Oom Heri yang bakal jadi ayah kami, rasanya kami semua tidak keberatan, Ma. Dia baik. Dan penuh pengertian."
"Sinta malu punya ayah lagi, kah" Apalagi yang sudah pernah masuk penjara!"
"Sinta tidak peduli lagi omongan orang! Pokoknya Sinta mau Mama hepi! Berilah Sinta kesempatan untuk menebus kesalahan Sinta!"
Anggraini mendekap kepala anaknya erat-erat...
"Kamu tahu, Sayang" Sekarang pun Sinta telah membahagiakan Mama!"
*** Ketika mendengar suara pintu depan terbuka, perlahan-lahan Anggraini keluar dari kamarnya. Sinta sudah lama tertidur di Panjang Rimba. Dia tidak mau lagi meninggalkan ibunya.
Hati-hati Anggraini menuruni tangga. Ruang bawah gelap. Tidak ada lampu yang dinyalakan, kecuali lampu di atas tangga. .
Anggraini duduk di Sofa. Menunggu Rimba yang sedang mengambil minuman di dapur. Ketika melihat ibunya, Rimba hanya menunduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. " . " "Rimba," panggil Anggraim ketika putri sulungnya itu hendak naik ke atas. "Boleh Mama biCar sebentar"" a
Rimba tidak menjawab. Tetapi dia membatalkan langkahnya. Tegak menanti kata-kata ibunya dengan kepala tunduk.
"Rimba nggak mau duduk di sini, dekat Mama"" tanya Anggraini sedih.
Tetap membisu, Rimba melangkah menghampiri ibunya. Dan duduk di kursi dengan patuh. Wajahnya amat muram.
"Mama tahu kenapa Rimba melaporkan Oom Beri," kata Anggraim lirih. "Tentu saja Mama sedih. Tapi Rimba harus tahu, Mama tidak marah."
Kepala gadis itu semakin menunduk. Dia tampak resah.
"Sebenarnya Oom Heri juga sudah lama ingin menyerahkan diri. Dia hanya tidak tega meninggalkan Mama dalam keadaan begini."
Anggraini diam sesaat. Keheningan menyelimuti mereka.
"Oom Heri tidak menyesali apa yang Rimba lakukan. Mama yakin dia memahami alasan Rimba. Yang Mama minta, jangan membencinya. Rimba keliru jika mengira Mama akan menikah dengan Oom Heri. Jika kalian sudah tidak ingin mempunyai ayah lagi; buat apa Mama menikah""
Lama Rimba membisu. Sebelum perlahan-lahan dia bertanya, tanpa mengangkat wajahnya.
"Berapa lama lagi, Ma""
"Apanya, Rimba"'
"Umur Mama." "Hanya Tuhan yang tahu, Rimba."
"Mama mau dioperasi""
"Kata Oom Heri, lebih cepat lebih baik. Tapi Mama harus menjalani beberapa pemeriksaan lebih dulu. Dokter Surjadi tidak tahu apakah tumor ini masih dapat dioperasi atau tidak."
"Tidak ada jalan lain" Disinar" Minum obat"" "Apa pun yang disuruh dokter akan Mama turuti. Asal dapat hidup lebih lama mendampingi kalian."
"Besarkah biayanya, Ma"" "Tentu, Rimba." "Mama punya uang""
"Sampai sekarang Mama tidak tahu dari mana biayanya, Rimba. Mungkin kita harus menjual mobil."
"Mama tidak punya tabungan"" "Ada, Rimba. Tapi..."
"Kalau Mama sayang kami," kata Rimba tegas, "pakailah uang itu untuk berobat, Ma."
Anggraini menggigit bibirnya menahan haru
. Rimba memang tidak pernah mengumbar emosinya. Dia bukan Sinta. Bukan: Dian. Rimba adalah Rimba. Tetapi kata-katanya sudah cukup melukiskan kekhawatirannya.
"Terima kasih, Rimba." Anggraini tidak sampai hati mengatakan, baru saja beberapa hari yang lalu, dipakainya uang itu untuk membayar uang muka sebuah rumah sederhana!
14 War masuk ke daJam ruangan dengan kewaspada seekor binatang yang curiga terhadap perangka^ Matanya memandang bergerak-gerak dengan cepaj dari satu sisi ke sisi lain. Dia tidak terlalu kelihatan takut tetapi curiga. .
Kolonel Johnson berdiri dan menarik kursi untuknya. Kemudian berkata,
"Anda mengerti bahasa Inggris saya rasa, Nona Estravados"" Mata Pilar terbuka lebar. Dia berkata, "Tentu saja. Ibu saya orang Inggris. Tentu saja. saya juga Inggris."
Senyum menghias bibir Kolonel Johnson ketika matanya melihat rambut yang hitam dan mata yang gelap dan angkuh, serta bibirnya yang melengkung. Juga Inggris! Kata-kata yang tidak tepat untuk Pilar Estravados. Dia berkata,
"Tuan Lee adalah kakek Anda. Dia menyuruh Anda datang dari Spanyol. Dan Anda datang beberapa hari yang lalu. Betulkah""
Pilar mengangguk. "Itu betul. Saya oh! Mengalami bermacam-macam kejadian keluar dari Spanyol ada bom jatuh dari udara dan sopirnya terbunuh kepalanya berlumur darah. Dan saya tidak bisa menyetir mobil, jadi saya harus berjalan jauh sekali dan saya tidak suka berjalan. Saya tidak pernah berjalan. Kaki saya sakit sakit...."
Kolonel Johnson tersenyum.
Dia berkata, "Tetapi Anda sudah datang di sini. Apakah ibu Anda banyak bercerita tentang kakek Anda"" Pilar mengangguk gembira. "Oh ya. Dia bilang kakek saya setan tua." HercUle Poirot tersenyum. Dia berkata,
"Dan apa pendapat Anda tentang dia ketika Anda datang, Nona"" Pilar berkata,
"Tentu saja dia sangat tua sekali. Dia harus duduk di kursi dan wajahnya keriput. Tetapi saya suka kepadanya. Saya kira pada waktu dia muda dia pasti seorang laki-laki yang tampan sangat tampan, seperti Anda," kata Pilar kepada Inspektur Sugden. Matanya memandang laki-laki itu dengan rasa senang seorang kanak-kanak. Muka inspektur itu menjadi merah karena pujian.
Kolonel Johnson menahan geli. Itu adalah salah satu dari beberapa kejadian di mana Inspektur yang pendiam itu dibuat terkejut.
"Tetapi tentu saja," kata Pilar menyesal, "dia tidak sebesar Anda." Herculc Poirot menarik napas. "Kalau begitu Anda senang laki-laki yang besar, Nona"" tanyanya. .. Pilar mengiakan dengan antusias. "Oh ya, saya senang laki-laki yang sangat besar, tinggi, dan berbahu bidang, dan sangat kuat." Kolonel Johnson berkata dengan tajam, "Apakah Anda sering bertemu dengan kakek Anda selama di sini"" Pilar berkata,
"Oh ya. Saya sering duduk dengan dia. Dia
147 " BAB XVI "Hasil pemeriksaan rontgen dan CT scan-mu baik, Angga," kata Dokter Surjadi ketika sore itu Ang. graini mengunjunginya. "Artinya belum ada metastasis jauh. Tapi hasil biopsimu menguatkan dugaan saya bahwa kankermu ganas."
Ganas. Kanker ganas. Anggraini terpuruk dalam ketakutan dan kesedihan. Rasanya seperti perlahan-lahan sedang tersedot ke dalam "kubangan lumpur. Makin lama makin dalam. Perlahan tapi pasti. Tak ada jalan untuk lolos.
Sinta yang sejak hari itu tidak mau jauh dari ibunya, memaksa ikut mendampingi Anggraini. Meskipun sebenarnya Anggraini lebih suka pergi seorang diri ke tempat praktek Dokter Surjadi. Dia takut Sinta tidak sanggup mendengar vonis dokter atas penyakit ibunya.
Dan sekarang Sinta yang sejak tadi menanti dengan tegang, menggenggam tangan ibunya erat-erat. Tangisnya meledak tanpa dapat ditahan-tahan ] .lagi: Anggraini berusaha menenangkannya. Dan j memintanya menunggu di luar. Tetapi Dokter f Surjadi mencegahnya.
"Biarkan saja," katanya bijaksana. "Saya mengerti. Mulai sekarang anak-anakmu memang sebaiknya dilibatkan dengan penyakitmu. Mereka harus tahu semuanya. Diagnosis. Terapi. Sampai prognosisnya. Kehadiran mereka dapat menguatkah-mu, Angga."
"Seberapa parahnya penyakit saya, Dokter"" tanya Anggraini getir. Sinta masih terisak dalam pelukan ibunya.
"Sudah stadium Hb. Karena tumor payudaramu sudah berukuran tiga
sentimeter. Dan sudah ada penjalaran ke kelenjar limfe ketiak sesisi."
"Berapa lama lagi, Dok"" tanya Anggraini antara sedih dan takut. Dia hampir tidak berani menanyakannya. Tetapi bukankah lebih baik mengetahui berapa lama lagi kesempatannya untuk berkumpul bersama .anak-anaknya"
Sinta mendekap ibunya makin erat. Menyembunyikan kepalanya makin dalam di dada ibunya. Seolah-olah tidak berani mendengar jawaban Dokter Surjadi.
Anggraini membelai-belai kepala anaknya dengan lembut. Menggenggam tangannya erat-erat. Seakan ingin menabahkan putrinya. Padahal dia sendiri sudah membeku, dalam ketakutan.
"Jangan tanya begitu." Dokter Surjadi menghela napas berat. Barangkali dia tidak sampai hati mengatakannya. "Yang penting tumormu masih dapat dioperasi. Karena belum ada metastasis jauh, jika kau mau dioperasi sekarang, kans hidupmu untuk lima tahun mendatang masih cukup besar."
"Dokter yakin belum ada sebaran jauh kanke ini di rubuh ,saya" Percuma saja dioperasi kalau' seperti teman saya itu. Dok. Dioperasi mati juga Malah lebih cepat, kata orang."
"Paru-parumu bersih. Demikian juga hati, tulang, dan organ-organ lain yang sering kena. Belum ada anak sebar di kelenjar getah bening leher maupun di payudara kanan dan ketiak kanan."
"Operasinya sendiri berbahaya, Dok"" tanya Anggraim dengan air mata berlinang. "Saya masin ingin hidup lebih lama lagi bersama anak-anak ""saya " Bi"v
Tentu saja setiap operasi ada risikonya. Tetapi dewasa ini angka kematian operasi mastektomi tidak besar."
"Selain payudara, apa lagi yang harus dibuang, Dokr
"Sebenarnya operasi bertujuan memberantas keganasan lokal- di payudara dan regional di ketiakmu. Jadi baik payudara maupun kelenjar limfe ketiak seluruhnya harus diangkat Karena sering kambuh, dan kekambuhan ini biasanya^ma-lah bukan di tempat pengobatan awal, dalam sepuluh tahun terakhir ini telah dilakukan modifikasi pada operasi mastektomi radikal." "Artinya""
"Otot-otot dada yang diangkat hanya sebagian, Pengangkatan kelenjar ketiak sesisi pun tidak seluas , dulu lagi"
"Tetapi payudara tetap diangkat seluruhnya"" J "Jika beton ada penjalaran ke kelenjar limfe
ketiak sesisi, saya cenderung melakukan Pembedahan Konservasi Payudara. Jadi hanya tumor payudaramu yang diangkat. Sesudah itu dilakukan radiasi atau penyinaran di payudara dan ketiak." "Sekarang""
"Saya masih mempertimbangkannya. Karena tumor primer di payudaramu masih lebih kecil dari empat sentimeter, anak sebar di kelenjar getah bening ketiakmu juga hanya satu dan masih kecil, pembedahan Konservasi Payudara masih dapat dipertimbangkan. Karena akhir-akhir ini ternyata menurut statistik, angka survival rate atau ketahanan hidup penderita yang menjalani Pembedahan Konservasi Payudara sama saja dengan penderita yang dioperasi mastektomi radikal." "Apa keuntungannya, Dok"" "Payudaramu tidak diangkat seluruhnya. Otot dada tidak dipotong. Kelenjar ketiak diangkat secara terpisah atau hanya.disinari. Kerusakan tubuh yang lebih sedikit dengan sendirinya meringankan stres sesudah operasi. Syaratnya, sesudah operasi, kamu harus diradiasi kurang-lebih tiga puluh lima kali. Itu mutlak untuk mencegah.kekambuhan."
"Saya serahkan saja seluruhnya pada pertimbangan Dokter," gumam Anggraini lirih. 'Tolong pilihkan yang terbaik, Dok. Supaya saya dapat hidup lebih lama bersama anak-anak saya."
"Bukan hanya hidup yang lebih lama yang menjadi pertimbangan saya. Sekaligus bagaimana Uli dapat lebih menikmati sisa hidupmu. Kau masih muda. Sebenarnya kanker payudara jarang
ditemukan pada wanita berumur tiga puluhan, jf banyakan ditemukan pada usia yang lebih tu empat puluh sampai hma puluh tahun ke .a(^ Umurmu itu juga menjadi bahan pertimban^ . saya."
"Berapa biaya operasinya, Dok"" "Untuk saya tidak usah kaupikirkan. Biaya pastj. nya nanti akan saya tanyakan lagi ke bagian administrasi rumah sakit. Tapi untuk perawatan selama dua minggu di kelas dua, itu kalau tidak ada komplikasi, kau harus menyiapkan kira-kira lima juta. Itu sudah termasuk biays operasi tanpa jasa dokter, pemeriksaan laboratorium, dan obat-obatan."
Lima juta/ Hampir pingsan Anggraim mendengar
nya. Dari mana dia harus memperoleh uang sebanyak itu"
"Untuk radiasi sebanyak tiga puluh lima kali, j biayanya kira-kira lima ratus sampai tujuh ratus ribu."
Anggraini mengatupkan rahangnya erat-erat. J Menahan kesedihannya agar air mata yang sudah f menggenangi matanya tidak meleleh ke pipi. Sakit ternyata bukan hanya menakutkan, sekaligus mahal! Berbahagialah mereka yang sehat!
"Saya bisa minta keringanan kepada pihak rumah sakit. Agar kau tidak usah membayar uang muka. Yang penting, kau dapat dioperasi secepatnya."
"Saya ingin membicarakannya dulu dengan anak- i anak saya, Dok," kata Anggraini getir. "Dua tahun yang lalu kau bilang begitu juga. 1
pan tidak muncul-muncul lagi di depan saya. Padahal kalau operasinya dilakukan dua tahun yang lalu, five years survival rate-nya jauh lebih besar!"
Anggraini hampir tidak dapat menahan kesedihannya ketika melihat ibu dan ketiga anaknya telah menanti di depan pintu. Air muka mereka tegang menyimpan kecemasan.
Bagaimana aku harus mengatakannya, tangis Anggraini dalam hati. Kankerku ganas. Aku hams dioperasi. Dan hidupku entah tinggal berapa lama lagi!
Tetapi Anggraini memang tidak perlu mengatakan apa-apa. Tangis Sinta sudah keburu pecah. Dan kecuali Intan, mereka semua mengerti apa artinya tangis itu.
Untuk pertama kalinya setelah dua puluh lima tahun berlalu, ibunya merangkulnya. Dan Nenek terisak-isak dalam rangkulan Anggraini.
Dian meraung marah. Membanting tabuhnya di sofa.
"Tuhan nggak adil!" protesnya sambil menangis. "Mama begitu baik! Kenapa mesti dikasih penyakit yang nggak bisa sembuh"" .
"Mama pasti semhuh, Kak," Ika membelai-belait iambut Dian dengan air mata berlinang. "Kata Bu ros kita harus berdoa tiap hari buat Mama. Tuhan sayang anak-anak. Doa kita pasti dikabulin."
Hanya Rimba yang tidak ada ketika Anggraim
pulang dari tempat praktek Dokter Surjadi. Tetapi f malam itu. ketika melihat neneknya membukakan
pintu dengan mata sembap dan air mata berlinang, f Rimba segera tahu apa yang terjadi.
Untuk pertama kalinya Rimba memeluk neneknya. Dan Nenek terisak dalam pelukannya.
Saat itu Rimba melihat ibunya. Menuruni tangga sambil menggendong Intan. Parasnya muram. Tetapi dia tidak menangis.
"Sudah makan, Rimba"" tanya Anggraini sambil berusaha menekan kesedihannya. Padahal begitu melihat Rimba, air matanya sudah' hampir mengalir lagi.
Rimba hanya menggeleng. Dilepaskannya pelukan neneknya.
"Cepatlah mandi. Kami menunggumu makan."
Di depan anak-anaknya, Anggraini berusaha menekan kesedihannya. Dia berusaha bersikap setegar mungkin. Meskipun anak-anaknya tidak ada yang makan dengan lahap, dia tetap melayani mereka dengan telaten.
Cinta Di Awal Tiga Puluh Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tampaknya Rimba mengikuti jejak ibunya. Dia tidak banyak bicara. Nyaris membisu terus. Tetapi dia tidak menangis. >'3B
Sinta, Dian, dan Ika berkeras tidur di kamar ibunya malam itu. Terpaksa Nenek dan Intan mengalah. Tidur di kamar sebelah. Malam ifiki Intan tidak rewel sama sekali. Anggraini hanya perlu meninabobokannya sebentar. Setelah Intan tertidur, Anggraini pindah ke kamar sebelah. Tetapi lewat tengah malam, ketika AnoorM
yang tak: dapat tidur melongok ke kamar sebelah, ranjang Rimba masih kosong. Dia masih duduk seorang diri di depan pintu rumah. Dan dia sedang menangis.
Rimba tidak mengangkat mukanya ketika pintu di belakangnya terbuka. Seolah-olah dia sudah tahu siapa yang datang. Dia hanya duduk terpaku. Menatap kosong ke langit.
Air mata berkilauan di matanya. Meleleh diam-diam ke pipi.
Dengan hati hancur Anggraini duduk di sisi Rimba. Dan merangkul bahunya. Ternyata dia keliru kalau mengira yang paling menyedihkan adalah mendengar bahwa kankernya ganas. Yang paling menyedihkan justru melihat anak-anaknya bersedih karena takut kehilangan ibunya!
"Mengapa, Ma"" Cuma itu yang mampu diucapkan Rimba dengan getir. "Mengapa""
"Hanya Tuhan yang tahu, Rimba," bisik Anggraini lirih. "Tapi percayalah, Tuhan tahu semua yang terbaik untuk kita." "Berapa lama lagi, Ma"" "Tidak penting, Rimba. Yang penting, mari kita nikmati waktu yang tersisa ini dengan sebaik-baiknya. Saling mengerti. Dan saling membahagiakan."
"Rimba menyesal, Ma." Rimba men
elan air matanya. Matanya yang basah menerawang ke
langit gelap. " t>. " K
"Tidak ada yang perlu disesali, Rimba. " I "Seandainya Rimba tahu lebih cepat....
Penuh kasiH^*- ^ " Karau.mirip Mama. Sm,n." biSayan, Man J^<<^ *,
iy8 BAB xvn yVNGGRAiNi langsung bangkit ketika melihat Heri keluar diantarkan oleh seorang petugas rumah tahanan.
"Riai," sapa Heri sambil tersenyum. "Apa kabar"" Masih senyum yang sama. Tatapan yang sama. Meskipun tubuh Heri terlihat lebih kurus. Dan matanya sayu seperti kurang tidur. "Baik," sahut Anggraini tersendat Dia ingin bersikap tenang. Tidak memperlihatkan kesedihannya. Tetapi begitu melihat Heri, air matanya berlinang tanpa dapat ditahan lagi.
Dan melihat air mata Anggraini. Heri sudah dapat menerka bagaimana hasil pemeriksaan tumor payudara wanita itu. Dia tampak begitu shock sampai tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Anggraini melepaskan genggaman umgm Heri. Dan duduk kembali di kursi. Kakinya terasa lemas "ampai rasanya dia tidak kuat .lagi berdiri. Sementara air matanya mengalir perlahan ke pipi.
Sebenarnya Anggraini tidak ingin menangis. Lebih-lebih di depan Heri. Dia tidak mau menam-bah kesedihan lelaki itu. Tempi akhir-akhir ini a matanya memang mudah sekali mengalir.
Heri membalikkan tubuhnya. Lengannya bertUn) pu ke dinding. Tangannya menutupi wajahnya.
Sesaat hanya keheningan menyakitkan ya mengisi suasana.
"Mengapa. Tuhan"" gugat Heri getir. "Mengapa perempuan sebaik dia harus menanggung penderitaan seberai ini""
"Jangan salahkan Tuhan, Her," balas Anggraini i lirih. "Tuhan tidak pernah keliru. Bantulah agar J aku tetap tabah dan pasrah."
Heri menurunkan tangannya. Memutar tubuhnya | Dan menatap Anggraini dengan sedih sambil ber- j sandar lesa ke dinding. 'Stadium berapa"" "Sb"
"Itu berarti belum ada metastasis jauh. Rim." suaranya kedengaran lebih bersemangat. "Jika anak i sebar kankermu sudah mencapai organ yang jauh J seperti paru atau hati misalnya, kankermu sudah masuk stadium empat."
'Dokter Surjadi menganjurkan operasi diikuti oleh radiatif
"Kumohon kepadamu, Rini" .suara Heri begitu memelas. Matanya menatap penuh harap, "ikuti saran dokter. Aku ingin sckcluarnya dari penjara nanti, kau masih menungguku!
"Bagatmana perkaramu. Her"" Anggraini menyusut air matanya. "Aku sudah menandatangani prose* verbal. Kata
"nyih j Kata j pengacaraku, perkaranya akan segera dilimpahkan
ke pengadilan." "Ada harapan pengadilan akan membebaskanmu""
"Rasanya tidak mungkin. Korban yang kutabrak itu tewas. Kalau aku beruntung, jaksa hanya menuntutku lima tahun."
"Aku bersedia memberikan kesaksian jika perlu. Her. Malam itu aku menubrukmu sampai kau tidak bisa melapor ke polsek terdekat."
"Aku tidak mau melibatkanmu. Rini. Menyembunyikan buronan bisa dituntut dengan pasal 221 KUHP. Kau bisa kena sembilan bulan penjara!"
"Kalau dapat meringankan hukumanmu. aku tela mengambil risiko itu."
"Aku yang tidak rela! Kesulitanmu sudah cukup banyak!"
"Waktuku tidak banyak lagi. Her. Aku ingin masih sempat melihatmu keluar dari penjara."
"Berjanjilah kau mau menungguku, Rini," pinta Heri sungguh-sungguh. "Supaya kita bisa berkumpul kembali."
Aku mau. Her, bisik Anggraini dalam hati. Aku mau! Tetapi masih maukah Tuhan menunggu" Masih sudikah Engkau mendengar doaku. Tuhan"
"Bagaimana anak-anak"" Heri menatap Anggraini dengan redup. "Mereka... sudah tahu""
"Mereka sangat sedih. Begitu sedihnya sampai rasanya lebih menyakitkan melihat mereka menangis daripada mendengar kankerku ganas." "Kami sama-sama takut kehilangan kau, Rini."
"Dan aku lebih takut meninggalkan kalian dari.
rpada menghadapi kematian itu sendiri." "Paling tidak sekarang anak-anakmu sudah dapat memahami dirimu." "Tetapi sikap mereka sangat berubah. Her!" '"Apa salahnya jika perubahan itu membawa mereka lebih dekat kepadamu""
"Mereka jadi kehilangan keceriaannya. Mereka seolah-olah takut berbuat salah. Takut membuatku sedih. Mereka sangat tertekan.'"
"Lama-lama mereka pasti dapat menyesuaikan diri. Jangan salahkan dirimu. Kau harus tetap kuat Jangan terlalu stres supaya daya tahanmu tidak menurun. On kau harus cukup makan makanan yang b
ergizi, kurangi lemak hewani dan perbanyak makanan yang mengandung serat"
Mati-matian Anggraini menahan agar air matanya tidak runtuh ketika mobil tuanya dibawa pergi dari halaman rumahnya.
Pergilah sahabatnya yang setia.' Vang telah menemaninya selama hampir atpvluh tahun.
Nilainya sebagai mobil
Sekarang Anggraini harus menjualnya. Karena
dia membutuhkan uang untuk biaya operasinya, Sinta, Dian. dan Ika tegak di ambang pintu
dengan paras sedih. Sementara Rimba memilih pergi meninggalkan rumah biarpun masih terlalu pagi untuk berangkat kerja. Dia juga pasti merasa kehilangan. Esok pagi tak ada lagi mobil yang harus dicucinya.
Anggraini membawa anak-anaknya masuk. Dan membereskan uang yang masih bertumpuk di atas meja di ruang tamu.
Dian dan Ika tegak di samping kursi Anggraini. Sementara Sinta duduk di hadapan ibunya,
"Cukup buat ongkos operasi, Ma"" tanya Dian ragu-ragu.
"Cukup dong!" sergah Ika segera. "Uang begini banyak masa nggak cukup ya, Ma""
Anggraini hanya tersenyum. Tetapi sedihnya senyum itu sudah menjawab pertanyaan Dian. Mobil mereka hanya laku satu setengah juta. Belum ada separo biaya operasi yang dibutuhkan!
Sementara Budi Sukoco sudah mencoret nama Anggraini dari daftar pemain dalam produksi filmnya. Memang tidak sulit menghilangkannya begitu saja. Dia cuma pemain pengganti. Tidak ada yang mengenali wajahnya. Diganti pun tidak ada yang * tahu. Tidak merusak kesinambungan cerita.
Sia-sia Anggraini berusaha menemui Budi. Dia sudah tidak mau menjumpainya lagi. Memprotes pun tidak ada gunanya. Tidak ada kontrak yang
mengikat mereka. Dia pemain lepas. -Dibayar han kalau main. Ke mana lagi dia harus minta tolonj
. *** ""Gajimu hanya seratus lima puluh ribu. Belum setahun bekerja. Bagaimana mungkin kau mail pinjam sampai dua juta""
Pak Primus, bagian keuangan di perusahaan farmasi tempat Rimba bekerja, sebenarnya baik hati. Orangnya kalem. Tutur bicaranya lambat, sampai kadang-kadang Rimba tidak sabar menunggu sampai dia selesai bicara.
Tetapi bagaimanapun baiknya dia, Pak Primus tidak berani menajamkan uang sebanyak itu kepada karyawan baru seperti Rimba.
"Ibu saya harus dioperasi, Pak."
Mengemis adalah hal yang paling dibenci Rimba. Tetapi kali ini, demi Mama, rasanya dia rela melakukan apa saja.
"Alasan banyak, Rimba. Tapi kebijaksanaan perusahaan tak dapat saya langgar."
Sia-sia. Percuma saja mengemis belas kasihan. Pak Primus boleh baik. Tetapi tetap tidak dapat menolong.
Padahal di ramah, ibunya sangat memerlukan ' uang. Kalau tidak, Mama tidak akan menjual mobil kesayangannya.
"Mama perlu berapa lagi"" tanya Rimba malam itu kepada adiknya. Tentu saja tanpa setahu Mama. Sinta menggeleng sedih.
"Mama nggak mau bilang. Pasti masih banyak.
Mama sampai jual mobil." "Nggak bisa pinjam sama temanmu"" Sekali lagi Sinta menggeleng. "Ajaklah aku kerja di pabrikmu, Rimba." ~';r"2 Kali ini, Rimba yang menggelengkan kepala. "Kamu nggak bakal kuat. Lagi pula berapa uang yang bisa kita kumpulkan" Kalau cuma mengandalkan gaji, sampai berapa lama kita baru bisa mengumpulkan uang buat operasi Mama"" "Jadi kita harus minta tolong ke mana"" "Nggak tahu."
"Kamu setuju kalau aku minta tolong sama
Oom Budi"" "Oom Budi" Gila! Mama bisa ngamuk!" "Tapi cuma dia yang bisa menolong!" "Belum tentu dia mau!" "Siapa tahu, demi Mama"" "Orang seperti dia cuma mau bantu kalau ada maunya!" "Apa salahnya mencoba"" .
"Angga," perlahan-lahan Nenek duduk di samping tempat tidur Intan, "lin sudah tidur"" i "Sudah, Bu. Malam ini dia nggak rewel."
"Beberapa hari ini dia memang baik Barangkali dia juga tahu, kamu lagi sakit." ^i.
"Saya ingin menyekolahkannya di Sekolah t Biasa, Bu." \
"'; "Jangan pikirkan Jin dulu, Angga. Pikirkan kesehatanmu. Tumormu tidak sakit"" lJa
- 'Tidak terasa apa-apa, Bu. Makanya orang sen tidak tahu ada pembunuh yang bersembunyi $ dadanya. Baru
tahu sesudah terlambat."'. "Kamu sudah mantap mau operasi"" "Rasanya ite jalan terbaik, Bu." "Kapan"" "Belum tahu." H "Uangmu belum cukup""
"Oh, tinggal kurang sedikit, Bu! Tidak usah khawatir. Kata Dokter Surjadi..."
"Jangan bohongi Ibk Anak-anak boleh kamu bohongi. Ibu tidak bisa."
Anggraini tidak menjawab. Percuma memang mendebat ibunya.
"Ibu tidak punya apa-apa lagi, Angga," kata j Nenek setelah lama berdiam diri. "Cuma ini."
Dalam keremangan Anggraini melihat ibunya I menyodorkan sebuah kantong kecil berwarna biru. "Apa ini, Bu"" tanya Anggraini bingung. /"Pakailah untuk menambah biaya operasimu." i Ibunya menjejalkan kantong itu ke dalam genggaman Anggraini. Ketika Anggraini menuang isinya I ke telapak tangannya, dia melihat sepasang cincin kawin. Terbuat dari emas berbentuk belah rotan. "Cuma itu peninggalan ayahmu," kata Nenek m
datar. "Rasanya dia juga setuju kalau kamu jual cincin itu untuk biaya operasimu."
Tersekat kerongkongan Anggraini oleh tangis. Ibunya, perempuan bawel yang menjengkelkan dan paranoid itu, ternyata amat menyayanginya! Dia rela mengorbankan peninggalan terakhir suaminya. Cincin kawinnya sendiri....
Saat itu pintu perlahan-lahan terbuka. Dian melongok ke dalam. Tetapi tidak berani masuk. *
"Ada apa, Dian"" tegur Anggraini lunak. "Masuklah."
"Ini tabungan Dian, Ma," ragu-ragu Dian menyodorkan dompetnya. "Dari hasil uang sewa buku."
"Dan ini celengan Ika, Ma!" Ika menerobos masuk membawa celengan ayam-ayamannya. Diko-cok-kocoknya dengan bangga. "Udah penuh, Ma! Cukup nggak buat Mama berobat""
Anggraini merangkul kedua anaknya dengan terharu.
"Tentu saja cukup, Sayang. Semuanya buat
Mama"" Berbareng Di ah dan Ika mengangguk. Anggraini .mengecup dahi anak-anaknya dengan air mata ber'linang.
Ya Tuhan, bisik Anggraini dalam hati. Jika doaku tidak Kauterima karena dosa-dosaku di masa j lalu, tolong dengarkan saja doa anak-anakku, Tuhan! Mereka masih sepolos domba, seputih kapas! Dan mereka amat mengharapkan kesembuhan ibunya!
BAB XVIII "Siapa"" Budi Sukoco menoleh dengan malas ke arah sekretarisnya.
"Katanya namanya Sinta, Pak."
Tidak kenal," sahut Budi pendek.
"Dia bilang anaknya Anggraini Darmawan, Pak."
Mata Budi yang sudah beralih kembali ke angka-angka anggaran produksi di depannya mendadak membeku. Tidak jadi melahap deretan angka-angka di hadapannya. Diangkatnya mukanya dengan kesal.
"Ada urusan apa lagi"" tanyanya separo membentak.
. Tidak tahu, Pak. Dia hanya minta ketemu Bapak." "Suruh masuk!"
Bergegas sekretaris Budi Sukoco meninggalkan ruang kena direkturnya. Ketika kembali, seorang gadis timpang mengikutinya dari belakang.
"Selamat siang, Oom Budi," sapa Sinta begitu masuk.
"Ibumu yang menyuruhmu kemari"" tanya Budi dingin.
Sinta tertegun sesaat. Bukan oleh pertanyaan Budi. Tetapi oleh dinginnya nada suara lelaki itu. Kapan pernah didengarnya Oom Budi bertanya
sedingin itu" Biasanya dia selalu ramahi Selalu
berusaha mengambil hatmya....
Hanya sekali Oom Budi marah. Waktu terakhir kali datang ke rumahnya. Pada malam ulang tahun Mama. Tetapi bagaimanapun marahnya dia saat itu, Sinta tidak menyangka begini tawar sambutannya!
Bukankah dia marah kepada Mama" Mengapa tampaknya dia kesal juga kepadaku, gerutu Sinta dalam hati. Siapa dulu yang begitu ingin menjadi ayah kami" Apakah dia kesal kepadaku karena aku tak pernah keluar melayaninya setiap kali dia datang ke rumah"' "Mama tidak tahu Sinta kemari." Sinta tidak berani duduk karena Oom Budi tidak menyilakannya. Sekretaris yang ramah itu juga sudah pergi meninggalkan mereka setelah menutup pintu. "Mau apa kau ke sini"" "Oom" Sinta mencoba menenangkan dirinya. Dibayangkannya wajah ibunya. Mama yang sakit. Yang perlu biaya untuk operasinya, Dikuatkannya hatinya. Demi Mama. Dia harus mencoba. "Sinta ingin minta lolong....'. "Kenapa datang kepadaku"". "Karena cuma Oom Budi yang bisa menolong. Budi mencibir. Menyakitkan sekaU. Kalau bukan uniuk Mama, Sinta pasti sudah lari memnggalkamtyal
"Kenapa tidak minta tolong kepada ibumu" A kepada pacarnya yang muda belia itu"" ^ "Oom Heri sudah masuk penjara...." Ketika melihat seringai di bibir Budi,
& menyesal mengatakannya. Buat apa" Sebaru^ dia tidak usah tahu/ a
"Jadi dia bukan cuma gigolo.'"' "Oom Heri bukan gigolo!" protes Sinta tersing, gung.
"O, ya" Lantas sedang apa dia di kamar ibumu"" "Oom Heri sakit!"
"Dan dia tidak bisa bayar ongkos rumah sakit"" "Oom Heri sangat baik.'" "Lalu mengapa orang baik itu masuk penjara"' "Dia tidak sengaja menabrak orang...." , lahr dia Jari ke rumah ibumu" Hm, malang sekali nasibnya!"
"Oom, saya datang untuk minta tolong." ; "Apa yang dapat kubantu" Menjenguknya di penjara"" "Mama salai, Oom."
Sesaat Budi terdiam. Ditatapnya gadis yang tegak di hadapannya itu dengan tajam. Ketika melihat air mata yang mulai menggenangi matanya, hati Budi melunak. "Sakit apa""
"Kanker." Sinta tak dapat menahan tangisnya lagi.
Budi tersentak. Kanker" Anggraini kena kanker" "Kanker apa"" tanyanya agak gugup. "Payudara, Oom. Mama mesti dioperasi.,.."
"Kenapa datang kepadaku"" desis Budi pahit. "Aku bukan dokter!" "Mama perlu uang untuk biaya operasinya...."
"Tapi di sini bukan Departemen Sosial!" Sekali lagi Sinta terenyak. Matanya menatap lelaki itu dengan tatapan tidak percaya. Bukankah Oom Budi teman Mama" Beginikah tanggapan $ seorang teman" Tidak tergugahkah hatinya mendengar Mama sakit kanker dan mesti segera dioperasi" "
"Aku tidak bisa menolongmu," gumam Budi datar. "Antara ibumu dan aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi."
'Tapi... Oom Budi teman Mama, kan"* protes Sinta kecewa.
"Dulu. Kami sudah putus. Ibumu juga sudah tidak bekerja di sini lagi. Aku tidak dapat menolongnya."
"Oom Budi tidak bisa meminjamkan uang"" desah Sinta hampir menangis.. "Apa jaminannya" Kapan dikembalikan"" "Kami sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dijaminkan, Oom. Rumah masih kontrak. Mobil sudah dijual...." "Itu sama saja dengan minta." "Saya berjanji akan mengembalikannya!" "Kapan" Kau sudah kerja apa" Di mana" Berapa J "ajimu""
rVa Tuharv! Jahatnya lelaki ini! Untung Mama tidak jadi mengambilnya sebagai suami! Temytf* dh cuma baik kalau ada maunya... kalau sedang
menginginkan Mama! Kebaikannya pais',, tik!
Rimba memasukkan itu ke bauk kemejanya. Lalu bergegas dia ~"atai> linap ke. WC.
kantong berisi obat~00a Semua sudah direncanakannya masak-masak jy sudah menjahit kantong di balik celana dalam '' Seluruh obat-obatan yang dicurinya itu dituan
tnya ke dajfam kantong. Lalu. kantong plastik bekas obat itu dilipatn^ sampai kecil sekali Dimasukkannya ke dalam mi% Kemudian dengan tenang dia keluar. Mengamoj] ranselnya. Dan- mengikuti antrean teman-temanhya melewati pxK pemeriksaan di depan pintu, M
Pemeriksaan lewat begitu saja. Sudah beberapa hari Rimba mengawasinya. Hanya tas yang diperiksa. Kalau ada yang dicurigai, baru mereka digeledah.
Tetapi sikap Rimba yang sangat tenang sama sekali tidak memancing kecurigaan. Dia dapat melewati pos dengan aman.
"Golongan Nitrazepam begini sekarang kurang j
laku," komentar Tante Gozal sambil memasukkan J
obat-obatan itu ke dalam botol plastik. "Kalau j laku, murah. Untungnya nggak banyak."
"Sementara ini cuma itu yang bisa saya peroleh, Tante. Tapi saya perlu duit."
"Biasa, remaja seumurmu! Kebutuhan banyak, duit nggak punya!"
"Mana duitnya, Tante" Saya mesti cepat pulang. Sudah malam." "Nih." Tante Gozal menyodorkan sebuah amplop. Rimba menerima amplop itu. Dan menghitung uangnya. "Cuma segini""
"Sudah aku bilang, obat-obatan begini sekarang kurang laku."
"Ah, alasan! Kalau cuma segini hasilnya, saya mundur saja. Daripada ketahuan. Dipecat. Lebih
sial lagi, ditangkap polisi!" "Mau duit banyak""
"Kalau tidak ditambah, besok saya tidak mau
datang lagi!" ",''"" ""1
"Oke. Kutambah sepuluh ribu lagi...."; "Dua lima."
"Nggak ada tawar-tawaran. Kalau tidak mau; nih ambil balik obatmu!"
Sialan, maki Rimba dalam hati. Diambilnya : uang yang disodorkan Tante Gozal. Dimasukkannya ke dalam amplop.
"Tahu yang sekarang lagi in"" Tante Gozal..4 memperlihatkan sekantong obat-obatan berwarna | merah muda, biru, kuning, dan putih. "Pern; dengar tentang Paman Gobel""
"Kalau' kau bisa jual yang model begini," Tante
Gozal mengambil salah satu obat itu, "bagian,*, lima ribu rupiah per buti
r!" "Lima ribu"" Mata Rimba melebar.
"Obat-obatan ini harganya berkisar antara tujuh puluh sampai seratus lima puluh ribu!"
'Tapi teman-teman saya cuma kuli pabrik!"
'Tapi sebelum jadi kuli, kamu kan pernah sekolah" Nah, teman-temanmu pasti masih kepal denganmu!"
"Saya tidak mau menjerumuskan teman-teman saya!"
"Menjerumuskan ke mana" Ecstasy cuma sebangsa amphetamin! Teman-temanmu tidak bakal teler. Mereka malah makin bersemangat! Makin gembira! Nih, ambil beberapa butir. Gratis!"
Kalau tidak membuat pemakainya ketagihan, masa kau begitu royal, pikir Rimba muak. Membagikan pil mahal ini secara gratis"
*** ,"Dian, bapak ini ayahnya Tati. Dia pernah non-ton- operet Bawang Merah Bawah Putih. Beliau sangat tertarik kepadamu."
Dian menggeleng lesu. Matanya tidak bercahaya Amat berbeda dengan Dian yang mereka lihat waktu memerankan Bawang Putih. Saat itu dia tampak begitu hidup. Begitu cerah. Begitu lincah.
"Pak Hamid kebetulan sedang mencari seorang bintang cilik untuk film iklannya," sambung Bu
Emi, guru Dian. "Seorang anak yang berbakat seperti kamu!"
"Tapi Dian lagi malas," sahut Dian lesu.
"Kamu tidak tertarik"" desak Bu Erni heran.
"Katanya kamu kepengin masuk TV!" Dian menggeleng malas. Matanya redup. Seperti
lampu yang turun tegangan listriknya. "Kamu kenapa, Dian" Sakit"" Dian menggeleng lagi. Tanpa gairah. Tanpa
semangat. "Bilang sama Ibu, Dian. Ada apa"" "Mama sakit."
"Anak manis." Ibu Erni menghela napas lega. Dibelai-belainya rambut Dian sambil tersenyum. "Kalau Dian muncul di televisi, pasti ibumu girang.
Dan penyakitnya langsung sembuh." "Mama nggak bisa sembuh. Mesti dioperasi." "Dian." Pak Hamid mengeluarkan sehelai kartu nama. "Ini kartu nama Bapak. Kalau ibumu sudah sembuh, kamu boleh datang ke kantor Untuk dites. Nah, ibumu pasti senang kalau Dian yang terpilih. Honornya besar sih."
Dian mengawasi laki-laki berkumis lebat itu dengan ragu-ragu. "Betui Dian bisa dapat uang banyak"" "Tapi Dian mesti minta persetujuan Mama dulu, ya" Kalau boleh kata Mama...". "Dian pasti jadi bintang iklan, Pak"" "Dian mesti dites dulu. Banyak anak-anak yang datang melamar."
"Kalau Dian nggak keputh"
"Jangan terlalu berharap dulu, Dian!" p0t0ne | Bu Erni, berbalik cemas melihat besarnya harapi muridnya- "Sainganmu banyak!"
*"** "Anak ini belum bisa apa-apa," kata petugas di lembaga yang merawat anak-anak tunamental itu I kepada Anggraini. "Kami sudah melakukan beberapa macam tes. Hasilnya jelek sekali, Bu. Kalau I Ibu setuju, lebih baik Intan dirawat di sini saja."
"Tapi saya ingin mengasuhnya sendiri di rumah, Bu," desah Anggraini sedih.
"Dalam masa perkembangan, seharusnya ada proses timbal-balik antara faktor kematangan fisik dan kesempatan untuk mempelajari fungsi-fungsi dasar kehidupan manusia. Pada anak normal, mereka dapat mempelajarinya sendiri, hanya dengan melihat, mendengar, dan meniru orang dewasa. Pada anak cacat mental, lebih-lebih yang imbesil seperti anak Ibu, hams diajarkan dengan metode khusus."
"Bolehkah-saya tahu metode khusus itu, supaya saya dapat mengajarinya sendiri di rumah"" I
'Tentu saja boleh. Tetapi terus terang, kami meragukan hasilnya. Intan bukan saja memiliki IQ yang sangat rendah, tapi koordinasi antara otot-ototnya pun lemah. Lihat saja caranya berjalan, Caranya memandang. Caranya memegang benda."
"Bolehkah saya mencoba melatihnya dulu di rumah, Bu" Saya belum ingin berpisah dengan anak bungsu saya"
"Oh, tentu saja boleh. Hanya perlu Ibu ketahui,
jika terlambat, lebih sulit lagi mengajarinya."
"Saya ingin memasukkannya .ke Sekolah Luar Biasa. Apa"* saja yang diajarkan di sana, Bu""
"Yang penting adalah latihan pengamatan dan latihan bicara. Orientasi ruang dan waktu. Kepercayaan diri. Keseimbangan tubuh. Dan yang tak kalah pentingnya, latihan keterampilan."
"Mereka tidak diajari membaca, menulis, atau berhitung""
"Tentu saja. Tetapi bukan pelajaran membaca dan berhitung seperti anak normal. Karena anak imbesil tidak mungkin dapat membaca buku atau menghitung kalkulasi yang rumit. Tapi paling tidak, Intan harus dapat membaca namanya sendiri." "Terima kasih untuk penjelasannya, Bu." "Kembali. K
ami selalu siap membantu jika Ibu butuhkan. Satu pertanyaan lagi, Bu. Apakah saudara-saudaranya dapat menerima kehadiran Intan dengan wajar""
Anggraini tertegun. Sungguh tak pernah terlintas dalam pikirannya... "A... apa... maksud Ibu"" "Saudara-saudaranya tidak melecehkannya" Tidak merasa minder karena punya "adik seperti Intan""
Anggraini tidak mampu menjawab. Dian dan
Ilka memang tidak pernah mengejek I'm. Tetapi... Anggraini tidak tahu mereka malu atau tidak punya adik yang terbelakang! .
BAB XIX Akhirnya Anggraini tak dapat mengelak lagi. Dia hams menjalani operasi. Secepatnya.
"Jangan terlalu lama," kata Dokter Surjadi tegas. "Supaya kankermu tidak semakin menyebar. Tunggu apa lagi sih"";
"Uang saya belum cukup, Dok," sahut Anggraini lirih.
"Seadanya saja dulu. Sisanya dibayar belakangan."
Dengan jaminan Dokter Surjadi, rumah sakit memang tidak berani menolak. Anggraini dapat langsung masuk walaupun belum membayar uang muka. Padahal biasanya rumah sakit menuntut uang muka untuk sepuluh hari perawatan."
Dokter Surjadi sudah menegaskan, tidak perlu memikirkan honor untuknya dan ahli anestesi. Padahal Anggraini tidak kenal sama sekali dengan dokter itu.
Entah apa yang dikatakan Dokter Surjadi kepadanya. Tanpa pertolongan dokter yang baik itu, entah ke mana Anggraini harus meminta tolong.
Biaya operasinya memang cukup besar, tambah biaya radiasi dan obat-obatan, rasanya h pir tidak mungkin memenuhinya. Anggraini hanya dapat berdoa, semoga Tuhan
memberikan mukjizat padanya. Karena dengan logika saja, semuanya tampak tidak mungkin!
"Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan," kata Anggraini pada malam terakhir dia berada di rumah. "Jangan lupa berdoa. Tuhan tidak akan menolak permintaan anak-anak-Nya kalau kita sungguh-sungguh memohon."
Malam itu mereka tidur dalam satu kamar. Karena anak-anaknya seperti tidak mau berpisah dengannya. Intan, Ika, dan Dian tidur bersama Anggraini dan Nenek di ranjang. Sementara Rimba dan Sinta memilih tidur di lantai, asal dekat ibunya.
"Kamu anak paling besar, Rimba. Selama Mama tidak ada, kamu yang harus menjaga adik-adikmu; i Jangan lupa menengok Oom Heri. Dia pasti, ingin sekali mendengar tentang operasi Mama."
Rimba tidak menjawab. Tetapi Anggraini tahu, malam ini, Rimba pasti mematuhi apa pun permintaan ibunya.
"Sinta mengurus rumah bersama Nenek, ya" Kamu yang harus mengatur keuangan. Dan merawat adik-adikmu."
"Iya, Ma," sahut Sinta sambil menahan tangis, "Dian dan Ika nggak boleh nakal, ya" Nggak boleh bertengkar. Dan harus bantu Nenek jaga ia "
"Iya, Ma," sahut Dian patuh. Parasnya menyuatkan kebingungan, kesedihan, dan jketakutan yan berbaur menjadi satu. *
"Besok Mama operasi"" tanya Ika bimbang. "Lusa,.Ika. Tapi besok sore Mama sudah hanjs masuk rumah sakit untuk persiapan."'
"Habis operasi Mama boleh pulang"" desak flca penasaran.
"Mama mesti tinggal di rumah sakit dulu, Ika Sampai luka operasinya sembuh." _ "Nanti iuka Mama ada bekasnya nggak, Ma" Kayak dengkul Ika ini" Yang bekas jatuh dari sepeda dulu""
Anggraini memeluk Bea dengan terharu. Bea memang lucu. Kadang-kadang menggemaskan. Tetapi kadang-kadang pula, pertanyaannya memancing air mata.
"Tentu bekasnya ada, Bea. Tapi Dokter Surjadi bilang, nggak terlalu jelek. Ika nggak usah takut."
"Dian boleh ikut nungguin Mama operasi, kan,. Ma""
"Tentu. Kalian semua boleh ikut nunggu. Nanti Mama bikin surat buat Bu Erni. Minta iatn supaya Dian boleh nggak masuk satu hari. Sekarang kita sama-sama berdoa, ya""
Jaksa penuntut umum menuntut Heri dengan hukuman lima tahun penjara. Dia dituduh lalai dalam mengemudi sehingga mengakibatkan matinya orang lain,
Hukuman maksimal diajukan jaksa karena sesudah menabrak, Heri melarikan diri. Padahal jika korban dibawa ke rumah sakit dan diberi pertolongan secepatnya, mungkin jiwanya masih dapat diselamatkan.
Pembelaan Heri bahwa dia terpaksa kabur karena dikeroyok teman-teman korban, tidak mempunyai bukti yang kuat. Karena teman-teman korban men**
berikan kesaksian sebaliknya.
Satu-satunya hal yang meringankan adalah ketika ditemukan sisa-sisa barbital dalam hati korban melalui autopsi. Deteksi adan
ya senyawa barbiturat dalam hati korban menguatkan keterangan Heri, korban mengendarai motornya seperti dalam keadaan mabuk.
Meskipun para saksi yang semuanya adalah teman korban menyangkal mereka baru saja minum-minum sambil menelan obat, kesaksian mereka diragukan. Karena berdasarkan penyelidikan di sekitar tempat kejadian, korban dan teman-temannya memang dikenal sebagai geng anak muda. yang sering bergadang sambil mabuk-mabukan di tempat itu.
Atas dasar bukti-bukti itu, pembela Heri minta agar kliennya dihukum seringan mungkin. Dia masih muda. Belum pernah dihukum. Dan kesa- ... lahannya belum mutlak terbukti. Kemungkinan bahwa korban yang dalam keadaan mabuklah yang melanggar lampu merah dan melintas di depan mobil Heri, sama kuatnya dengan tuduhan jaksa.
Hakim menurida sidang untuk menjatuhkan
amarnya. Dan Heri kembali ke dalam selnya daw keadaan gelisah. Bukan karena menunggu vonisnya Tetapi menunggu hasil operasi Anggraini.
Permintaannya untuk diizinkan mendamping Anggraini menjalani operasi tidak dikabulkan. Jca_ rena mereka tidak mempunyai hubungan resmi, Dan Heri terpaksa berkurung diliputi ketegangan dalam selnya yang sempit.
Dokter Surjadi sendiri yang keluar menemui anak-anak Anggraini selesai operasi.
"Jangan khawatir," katanya sambil tersenyum letih, masih mengenakan jubah dan topi kamar operasi. "Operasi berlangsung sukses. Ibu kalian tidak apa-apa."
"Boleh melihat Mama, Dokter"" Rimba adalah orang pertama yang mampu membuka mulut.
Adik-adiknya masih saling 'rangkul sambil meneteskan air mata.
Ibumu belum sadar. Masih di ruang pasca-bedah. Tunggu saja di kamarnya. Kalau keadaannya sudah stabil, ibumu akan dibawa ke sana." 'Terima kasih, Dokter."
"Apa artinya belum sadar, Kak"" tanya Ika ingin tahu. "Apa Mama bobok terus kayak Jk kalau malam""
"Punya uang logam ratusan, Ta"" tanya Rimba tanpa mengacuhkan pertanyaan adiknya.
"Buat "Telepon Oom Heri. Mama suruh kita kasih {cabar, kan""
Heri memang sedang tegang menunggu kabar. Ketika sipir penjara menyampaikan pesan Rimba, dia bersujud di tanah. Mengucap syukur kepada Tuhan.
*#* Ketika Anggraini memperoleh kesadarannya kembali, yang pertama-tama didengarnya adalah suara Rimba. Lapat-lapat menyentuh telinganya.
"Sudah selasai,. Ma," bisiknya lirih. "Mama sudah nggak apa-apa."
Lambat-lambat Anggraini membuka matanya. Dan melihat anak-anaknya. Menatap dirinya dengan wajah tegang dan air mata berlinang.
Anggraini masih merasa seperti separo melayang. Kesadarannya masih berkabut. Pengaruh obat biusnya belum punah. Tetapi rasa sakit seperti bekas tersayat sudah mulai terasa sedikit.
"Mama!" ratap Sinta begitu melihat ibunya membuka matanya.
"Masih sakit nggak, Ma"" Dian memegang tangan ibunya yang masih diinfus dengan ketakutan. ' Anggraini belum mampu menjawab. Tetapi kepastian anak-anaknya berada di dekatnya memompa semangatnya.
Cinta Di Awal Tiga Puluh Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
g Mati-matian dia bertahan agar tidak terlelap kembali. Dia takut kehilangan kesadaran akan membuatnya berpisah untuk selama-lamanya dengan mereka....
"Tadi siang aku setor dua juta ke rumah saJcjp kata Sinta kepada Rimba setelah adik-adiknya tidu' "Mereka minta dua juta lagi minggu depan. Sisany sesudah Mama boleh pulang."
'Tapi dari mana lagi dapat duit"" keluh Ri^ bingung. Dua juta.' Biaipun tiap hari mencun obat, tak mungkin melunasi dua juta dalam Se. " minggu/
"Besok Dian dites. Kalau dia berhasil, barangkali honornya cukup besar. Bisa melunasi sisa tagihan." "Berapa honornya""
"Belum tahu. Lagi pula belum tentu dia diterima, j Saingannya banyak."' "Sama siapa Dian ke sana"" "Besok kujemput dia pulang sekolah. Langsung ke sana." "Dca""
"Biar dia ikut. Daripada pulang sendiri." "Dian masih keciL Kita masih di bawah umur. j Siapa yang hams menandatangani kontrak nanti"" "Nenek dong. Siapa lagi^T
"Mengapa gayamu tidak bisa seperti Bawang Putih, Dian"' gerutu Pak Hamid kecewa. "Gayamu kurang hidupi Kurang natur! Kurang bebas.'" Dian sudah hampir menangis. Rasanya sudah lelah
sekali. Sudah dua puluh kali retake. Tetapi belum
ada adegan yang dianggap cukup bagus untuk menampilkannya dalam iklan susu bubuk itu.
"Kamu harus lebih ceria! L
ebih lincah! Lebih rileks! Jangan kaku begini! Kenapa aktingmu tidak
bisa hidup seperti waktu itu""
"Mama lagi sakit!" teriak Dca tiba-tiba dari deretan penonton. Tidak tahan melihat kakaknya dimaki-maki. "Dulu kan Mama lagi sehat!"
Pak Hamid menoleh kepada anak kecil bersuara lantang itu. Sinta buru-buru mendekap adiknya dengan ketakutan.
"Maaf, Pak," * katanya cemas. "Ika memang bawel...." Dicubitnya paha adiknya sampai Ika memekik kesakitan. "Kalau kamu tidak bisa diam, main di luar!"
"Kamu main juga waktu itu, ya"" tanya Pak Hamid tiba-tiba.
"Ika jadi ikan!" sahut Bea lantang. Tanpa rasa takut sedikit pun. "Ika ngambil cucian yang hanyut!"
"Hus, Ika! Jangan cerewet," desis Sinta kesal. "Ini bukan di rumah!"
"Kamu lucu," cetus Pak Hamid spontan. "Gemuk. Pipimu montok. Kamu mungkin lebih cocok jadi anak sehat yang minum susu ini."
"Dan kumis Bapak lucu," sambung Dca tanpa ragu-ragu. "Kayak Pak Raden!"
"Ika!" sergah Sinta kaget.
Tetapi Pak Hamid tidak marah. Dia malah makin
tertarik. "Ke sini sebentar. Kamu mau jadi bim iklan"" S
"Berapa bayarannya"" tanya Dca lantang. "Aduh, Dca/" desis Sinta cemas. "Bayarannya"" Pak Hamid tertawa geJ. "Pokoknya cukup buat beli seratus boneka/"
"Dca nggak mau."
. "Nggak mau" Kamu mau berapa dong"" "Mesti Cukup buat ongkos Mama di rumah sakit"
"Mamamu masih di rumah sakit"" Tawa Paj; Hamid memudar. Berganti senyurh simpatik. "He-eh."
"Oke/ Kalau kamu bisa main bagus, Oom janji kasih honor gede!" "Boleh, Kak"" tanya Ika bersemangat. Sinta belum sempat mengangguk. Dia mencari Dian dengan matanya. Dan baru menyadari, adiknya yang satu lagi telah lenyap.
"Ika ngambil bagian Dian!" gerutu Dian sambil menang",
"Belum tentu Ika yang terpilih, Dian f" bujuk Sinta kewalahan.
Ika masih dites. Tapi Dian sudah ribut minta pulang.
"Mbak, tolong ke dalam dulu," cetus asisten Pak Hamid. "Dicari Bapak." "Dian tunggu di sini dulu, ya. /angan ke mana- j
mana! Kak Sinta jemput Ika dulu. Kita pulang
sama-sama." Dian berjongkok dengan kesal sambil membanting-banting kakinya. Hilanglah harapannya untuk memperoleh uang. Padahal uang sangat diperlukan untuk menutup ongkos-ongkos Mama di rumah sakit!
Mengapa dia tidak dapat berakting sebagus dulu" Benarkah seperti kata Dca, karena Mama sedang sakit" Karena hatinya sedang gundah" Atau... iklan
itu memang tidak cocok untuknya"
"Dca tidak semanis Dian," kata Pak Hamid puas. "Suaranya juga tidak sebagus kakaknya. Badannya gendut. Pipinya montok. Tapi dia lucu. Spontan. Bebas. Kami memang bukan mencari penyanyi. Kami mencari bintang iklan. Dan Bca-lah yang kami cari!"
Sinta melongo kebingungan.
"Maksud... Bapak""
"Ika cocok sekali memerankan anak sehat dan lucu dalam iklan susu bubuk itu. Anak-anak akan
menyukainya. Dan ibu-ibu mereka akan membeli susu yang diminumnya!"
Sinta tertegun heran. Ika" Si bawel Dca" Diakah yang terpilih di antara begitu banyak saingan"
Bukan main! "Saya ingin wali Ika datang untuk menandatangani kontrak."
"Kapan Dca dapat duitnya pQ. sabar. '
'Sesudah walimu datang me , kamu akan dibavar otL., naQd"at;
separo "s,-kamu selesai shooting." ' Sany
"Berapa duit""
"Seluruhnya tiga juta untuk kontr u tahun. Jika tahun depan kontrak!""^ Se,ani kamu dapat uang lagi." ]P
Jka menoleh dengan segera ken^w , "Cukup nggak. Kak"" P3da k"*afc
Sinta cuma bisa mengangguk T-Siapa yang masih bisa berpikir cukZ ^
v atau tidak"" 5Xt BAB XX "Tiga juta rupiah, Nek...," suara Sinta gemetar seperti terserang malaria.
"Tiga juta"" belalak Nenek tidak percaya Cucunya yang baru berumur sepuluh tahun itu bisa mendapat tiga juta rupiah" Astaga! Sampai setua ini, dia belum pernah mendapat uang sebanyak itu!
"Asal Nenek besok datang untuk menandatangani kontrak, Nenek langsung dibayar separo!"
"Tanda tangan"" Sekarang giliran Nenek yang menggigil. "Kontrak" Ah, kenapa mesti Nenek" Kan yang main Dian..." "Dca!" potong Sinta tidak sabar. "Bukan Dian!" "Kenapa bukan Dian"" "Sudahlah, Nek. Nanti Dian tambah jengkel!" Sekarang saja Dian sudah menghilang entah ke mana. Sepanjang perjalanan pun dia diam saja. Dan sikapnya kepada adiknya bukan main judesnya!
"Nenek kan cuma ta nya, Dian yang dites kenapa
Ika yang dipilih"" " " >" i':
"Yang penting kan kita dapat duit! Ika atau
O03 Dian sama saja, Nek. Uangnya bisa untuk bav biaya ramah sakit." ^
Tapi kenapa Nenek yang mesti tanda tangan"., "Karena Ika masih kecil.'" "Suruh Rimba saja, ah J Jangan Nenek, "iakut!" "Rimba masih di bawah umur. Kalau Nenejr kan sudah di atas umur!" "Tapi Nenek takut.'" "Takut apa sih, Nek""
"Kalau cuma tiga ribu sih berani, tapi ini" Tiga jutaT
"Apa bedanya sih tanda tangan tiga juta atau tiga ribu"" "Nenek nggak bisa baca kontrak...." "Biar Sinta yang baca. Nenek tanda tangan saja." *j
"jtalau salah. Nenek yang ditangkap"" -"Ditangkap siapa" Siapa yang mau nangkap nenek-nenek ompong"" "Hus! Enak saja kamu ngomong!" "Habis Nenek norak sih.' Kalau Nenek nggak mau tanda tangan, kita nggak bisa dapat duitnya!"
Nenek menghela napas berulang-ulang. Parasnya tegang.
"Coba kalau ada si Heri," dumalnya bingung. "Biar dia saja yang tanda tangan!"
"Mana boleh, Nek" Oom Heri kan bukan apa-apanya ika!"
'Tapi dia pasti tahu apa yang mesti Nenek lakukan!"
"Apa lagi" Cuma tanda tangan!" ^
"Nenek mesti pakai baju apa"" "Siapa yang peduli"" sembur Sinta kesal. "Yang penting Nenek jangan sampai tidak pakai baju!"
*** Ternyata yang memusingkan kepala Sinta bukan hanya Nenek. Dian juga.
Setengah hari dia menghilang entah ke mana. Ketika dia pulang ke rumah, hari sudah gelap.
Bukan cUma mukanya saja yang lusuh. Bajunya pun kotor bukan main. Sinta sampai memekik tertahan melihat dekilnya baju adiknya. .
"Kecebur di comberan mana"" gerutunya jengkel. "Cuci sendiri bajumu!"
Dian tidak menjawab. Sikapnya benar-benar menjengkelkan. Dia tidak mau mandi. Tidak mau makan. Bahkan tidak mau menukar baju.
"Ada apa sih"" geram Sinta sengit "Kamu ngambek karena Dca yang terpilih" Memangnya salah siapa" Ika" Kak Sinta"" .
"Bea menyerobot bagian Dian!" Tangis Dian meledak tanpa dapat ditahan-tahan lagi.
"Tapi sama saja, kan, Dian"" bujuk Sinta antara iba dan kesal. "Pokoknya kita dapat uang buat Mama! Daripada anak lain yang dapat-' jj
"Dian malu, Kak! Teman-teman sudah tahu Dian yang dipanggil. Bu Erni "idah bilang Dian bakal muncul di TV!"
[ 'Tapi Ika kan nggak salah, Dian! "Buat apa sih dia ikut ke sana""
"Dca kan pulang sekolah! Habis dia mesti puW sama siapa"" 8
"Kalau nggak ada Dca, barangkali Dian yanB cupilih!" 8
"Barangkali juga anak lain! Dan kita nggak dapat duit!"
Tapi bagaimanapun, Dian tidak dapat menghilangkan perasaan kesal itu dari hatinya. Ika menyerobot tempatnya! Merampas haknya!
Memang Dca seperti tidak peduli. Yang penting baginya, dapat uang buat Mama. Tetapi Dian peduli! Dia juga ingin mencari uang untuk Mama. Sekaligus muncul di televisi!
Mengapa Pak Hamid berbohong" Katanya peran itu- untuk Dian! Mengapa diberikannya kepada adiknya" Dca merampas kesempatannya untuk tampil di TV!
Dan sejak saat itu, sikap Dian kepada adiknya menjadi sangat judes. Sedikit-sedikit Bea dibentak. Kadang-kadang malah dicubit. Sia-sia Sinta menegurnya. Karena sejak hari itu, Dian seperti menjadi dua kati lebih bengis. Lebih dengki. Lebih-lebih ketika Mama kelihatan begitu terharu. Begitu bangga kepada Ika.
"Dca di televisi"" gumam Anggraini antara hara dan bangga. Dia masih terbaring lemah di tempat tidur ramah sakit, tetapi keberhasilan Ika menorehkan segurat semangat di hatinya, "Anak Mami jadi bintang iklan""
"Ika dapat duit banyak, Ma," Bagi Ika, yang terpenting memang cuma itu. Uang. "Buat Mami
berobat, ya" Biar Mama cepat bisa pulang. Di
rumah sepi nggak ada Mama!"
"Terima kasih, Ika..." Tak terasa air mata Anggraini meleleh ke pipi. "Mama bangga kepadamu..."
Ketika sedang membelai pipi Ika, Anggraini baru melihat Dian. Tepekur dengan wajah cemberut di dekat kakinya.
Melihat murungnya paras gadis kecilnya, tiba-tiba saja Anggraini mengerti apa yang terjadi. Tak ada yang tersembunyi bagi seorang ibu. Dalam keadaan sakit sekalipun.
*** ' Sesudah empat kali gagal, akhirnya Nenek berhasil juga menorehkan tanda tangan yang benar. Yang mirip dengan tanda tangan di atas KTP-nya. Dan cek sebesar satu setengah juta disodorkan ke tangan Nenek.
"Cek"" g umam Nenek bingung. "Kenapa bukan uang""
"Ibu mau uang kontan" Oke, besok mu bisa datang lagi kemari. Ambil uang kontan."
"Biar diambil di bank saja, Nek," sela Sinta sambil mengambil cek dari tangan neneknya, "Kan bisa suruh Rimba temani Nenek."
"Mendingan diambil di sini saja, ah," bantah Nenek. Diambilnya lagi cek di tangan cucunya;
Lalu dikembalikannya lagi ke sekretaris Pak "
mid. "Besok Ibu datang lagi ya, Non. Ambd ua
saja di sini." "Ob, boleh saja, Bu. Tidak apa:apa." "Ah, Nenek!" gerutu Sinta waktu mereka kelu dari kantor Pak Hamid "Malu-maluin aja! fy^ hgambii uang di bank nggak bisa""
"Halo, Sintal" sapa Pak Harhid yang baru Saja datang. "Kontraknya sudah ditandatangani"" "Sudah, Pak. Terima kasih." "Uangnya baru besok, Pak," sela Nenek. "Saya tidak mau cek* "Oh, boleh saja! Mana Ika"" "Sekolah, Pak."
"Bagus. Tapi pulang sekolah besok bawa ke sini, ya Bea mesti shooting." "Pak, boleh saya bicara sebentar"" "Tentu. Soal apa, Sinta"" "Boleh ngomong di dalam, Pak"" "Silakan. Di kantor saya saja." "Nek, tunggu di sini, ya." Sinta buru-buru mengikuti Pak Hamid masuk kembali ke kantornya.
"Ada apa sih"" gerutu Nenek curiga. "Ngomong saja mesti di dalam!" t
"Pokoknya Nenek tunggu di sini sebentar deh." j "Jangan lama-lama, ya!"
*** "Ada apa, Sinta"" tanya Pak Hamid simpatik sekali. "Apa yang bisa saya bantu""
"Bapak tidak punya peran yang tersisa buat Dian""
r"Kenapa""E)ian frustrasi" Karena Ika yang ter- ^ pilih""
"Tolonglah, Pak. Peran apa saja. Asal Dian juga bisa muncul di TV."
"Tidak segampang itu, Sinta. Saingannya banyak sekali. Kami tidak boleh sembarangan membuat iklan. Untuk mempertahankan mum."
"Tapi Bapak sendiri yang bilang, Dian cukup berbakat, kan" Hanya dia sedang sedih karena Mama sakit. Berilah dia kesempatan sekali lagi^ Pak. Mungkin untuk iklan produk lain." Pak Hamid menghela napas. "Baiklah. Bawalah Dian besok kemari. Kita tes " sekali lagi. Tapi saya peringatkan Sinta, kalau Dian gagal lagi, dia bisa tambah frustrasi!" I
' *** Seperti biasa, Rimba melewati pos keamanan dengan tenang. Diletakkannya ranselnya di atas meja. Tetapi kali ini, petugas keamanan pabrik itu tidak langsung memeriksa ranselnya seperti biasa. Dia minta Rimba menepi. Keluar dari barisan.
"Ada apa, Pak"" Sebuah perasaan tidak enak menyelinap ke hati Rimba. Tetapi dia masih dapat memperlihatkan sikap santai. "Ikut Pak Oultom ke sebelah." "Buat apa" Saya dicurigai"" "Pengawas mengatakan banyak obat yang hilang di bagianmu. Disinyalir ada karyawan yang tidak jujur. Pemeriksaan harus diperketat."
"Tapi kenapa saya yang dicurigai"" "Semua dicurigai. Tapi hari ini giliran kan, "Ayo, ikut saya,"; perintah Pak Gultom s U' menunjuk ke balik tirai. ^il
-"Bapak mau menggeledah saya"" tanya ftj
balas Pak GuJtom berjn"
santai. "Kau mau apa"" "Mau membangkang
"Saya tidak mau diperiksa Bapak." . "Kau mau melawan, bah"" Tidak."
"Lantas kenapa kau tidak mau kugeledah"" "Karena saya wanita."
Pak Gultom tidak jadi membentak lagi. Temannya juga ikut menoleh. Sesaat mereka sama-sama tertegun Lahi Pak Gultom tertawa gelak-gelak.
"Bah, kautipo fa'ta semua, ya/" dengusnya ma-sam. "Tapi jangan harap kau bisa lolos! Un, kau-pangga Mbak Tttirt kemasW*.
Terpaksa Rimba mengikuti petugas wanita itu ke kamar sebelah. Dia* tidak merasa takut. Tetapi dia tahu, pekerjaannya di pabrilrjifti telah berakhir.
Tanpa menunggu sampai petugas itu menyuruhnya membuka pakaian, Rimba mengeluarkan kantong obatnya. Dan meletakkannya di atas meja. Di depan petugas itu.
"Saya menyesal melakukannya, Mbak," katanya terus terang. Suaranya tidak menyiratkan rasa takut. Membuat Mbak Titin agak terperangah. "Tapi saya perlu uang. Iba saya harus dioperasi. Kanker. Saya sudah mencoba pinjam uang. Tapi kata Pak
Primus, karyawan baru seperti saya tidak pu hak untuk meminjam uang."
Malam itu Rimba tidak pulang: Nenek bingung, Adik-adiknya panik. Sejak tahu Mama sakit, Rimba tidak pernah pulang malam lagi. Mengapa hari ini dia terlambat"
Akhirnya Sinta nekat. Memberanikan diri menyusul ke pabrik.
"Kakakmu ketahuan mencuri obat," kata petugas satpam di posnya. "Masih diinterogasi di da
lam." Ya Tuhan! Sinta terpuruk lemas. Rimba... mencuri" Apakah demi... Mama"
"Boleh saya melihatnya, Pak"" pinta Sinta menahan tangis.
"Percuma saja. Sebentar lagi dia bakal dibawa ke polsek. Lagi pula di sini kau tidak boleh masuk. Pabrik sudah tutup."
O, Tuhan! Apa yang harus kulakukan" Mama di ramah sakit. Oom Heri di penjara. Kepada siapa aku harus mengadu" Kepada siapa aku harus minta tolong" Membiarkan Rimba dibawa ke polsek" Oh, aku benar-benar tidak tega/
"Minggir, Dik," perintah satpam ku sambil bergerak untuk membuka pintu. "Mobil Bos mau
^nta menepi sedikit. Tetapi tetap tidak mau L- " |.jr Satpam buru-buru membuka pintu*, Da7memberi hormat kepada orang di dalam mobil.
"Siapa. Pak"" tanya orang di bangku belaka" mobil ita sambil menurunkan kaca mobil. 8 Sinta melihat seorang lelaki mada berkem^ putih dan berdasi merah melongok ke i uar.
"Adiknya karyawan yang mencuri itu, Minta izin masuk untuk melihat kakaknya."
Sejenak laki-laki itu menatap Sinta. Sesaat mg. tanya bersorot iba. Tetapi di detik lain, dia telah mengosongkan kembali tatapannya.
"Maaf, Dik. Kakakmu akan segera dibawa ke polsek. Dia ketabuan mencuri obat."
"Kasihanilah dia, Pak," pinta Sinta dengan suara memelas. "Dia anak sulung di keluarga kami. Ayah, kami sudah tidak punya. Ibu masih di rumah sakit Habis Operasi kanker. Tolonglah, Pak. Kalau tidak.ada dia, siapa yang harus mencari naikah untuk saya dan tiga orang adik kami yang masih kecil-kecil"" Lelaki muda itu menghela napas beraL "Maaf, saya tidak bisa menolong," katanya datar. "Kakakmu ketahuan meneuri. Kalau dia tidak dihukum, separo karyawan pabrik ini bakal ramai-ramai mencuri."
Tanpa mendengarkan permohonan Sinta lagi, dia menutup kaca mobilnya. Dan memerintahkan sopirnya untuk meninggalkan tempat itu.
Pak Satpam memberi hormat sekali lagi. Dan menutup pinta. Tetapi Sinta belum mau pergi. Dia masih melekat di luar pinta besi.
"Pulanglah kau" perintah satpam itu tegas. "Besok saja kautengok kakakmu di polsck"~
Tetapi Sinta berkeras menunggu di sana. W ingin melihat Rimba. Walaupun hanya dari jauh.
Lima menit kemudian, sebuah mobil polisi meninggalkan pabrik. Samar-samar, Sinta melihat Rimba di dalam. Dia memburu mobil itu sambil menangis. Tetapi mobil telah meluncur cepat meninggalkan pabrik.
*** "Kenapa datang kemari"" geram Budi Sukoco gemas.
Dia sudah berlagak tidak kenal. Tetapi gadis pincang ini tetap berkeras ingin bertemu. Daripada ribut-ribut dan istrinya tambah curiga, terpaksa ditemuinya juga gadis pincang yang keras kepala itu.
"Mau minta tolong, Oom," pinta Sinta-penuh harap. "Mama masih di rumah sakit...."
"Kan saya sudah bilang, ibumu sudah tidak bekerja lagi di perusahaan film saya...." Sengaja Budi mengeraskan volume suaranya supaya istrinya ikut mendengar. "Saya tidak dapat menolong meminjamkan uang!" " '^'^11
"Ibumu sakit apa, Dik"" sela Nyonya Herawati yang tiba-tiba muncul. Sekadar ingin tahu kenapa gadis ini mendatangi sUaminya malam-malam begini- ' . "Kanker, Tante. Kanker payudara.
"Kasihan." sillta tidak tahu dia benar-benar iba atau cuma bibirnya saja yang berkata demikian.
"Sudahlah, pulang sana/" sela Budi jemu. %y tidak bisa meminjamkan uang! Ibumu sudah keJuar dari prddulcsi film saya."
"Tapi Oom Budi kan bukan cuma majikan Mama." Sengaja Sinta langsung menembak ke sasaran. Apa boleh buat. Daripada sia-sia mengemis. "Oom Budi teman Mama juga/"
"Eh, jangan sembarangan ngomong! Ibumu cuma salah satu artis dalam produksi..."
"Oom Budi sering datang ke rumahmu"" potong Bera dingin.
Dia memang sudah curiga. Sudah sering didengarnya desas-desus tentang suaminya.
"Sudahlah, Hem!" geram Budi jengkel. "Anak ini cuma datang untuk pinjam uang!"
"Tapi malam ini saya datang buat Rimba, Oom. Dia dapat kesulitan. Sekarang ditahan di polsek."
"Tapi kenapa datang kepadaku"" Budi hampir berteri* saking kesalnya.
"Sinta kira Oom masih teman Mama. Sinta nggak tahu lagi ke mana harus minta tolong..."
"Aku bukan apa-apamu/ Ibumu cuma salah seorang artis yang main dalam filmku..."
"Biar Tante yang ikut kamu" potong Hem tanpa ragu sedikit pun. "Tante tukar baju dulu."
"Astaga, Hem! Apa-apaan kau" Kau tahu pukul berapa sekarang""
"Ada anak teman baikmu minta tolong kau tidak peduli"" sindir Hera sinis. "Teman apa sih kau ini!"
"Oke! Oke! Biar aku yang ikut dia. Walaupun aku tidak tahu apa yang bisa kubantul"
Buru-buru Budi membawa Sinta pergi. Sebelum istrinya keburu ikat. Dia tahu sekali apa yang diinginkan Hera. Dia bukan ingin menolong. Cuma ingin mengorek keterangan!
"Dari mana kamu tahu rumahku"" gerutu Budi di dalam mobil. "Dari buku telepon Mama," sahut Sinta santai. Entah mengapa begitu melihat betapa penakutnya lelaki ini di depan istrinya, dia jadi memandang enteng. Dan tidak merasa takut atau segan lagi.
"Apa sebenarnya yang dilakukan kakakmu" Membakar pabrik" Menghasut pekerja lain untuk mogok""
"Mencuri obat." "Ya ampun!"
"Rimba mencuri supaya dapat duit. Buat operasi
Mama." Sesaat Budi terdiam. Di luar kehendaknya, mendadak saja bayangan Anggraini melintas di depan
matanya. "Aku mencintaimu," Budi seperti mendengar suaranya sendiri.
Berapa kali dia telah mengucapkan kata-kata itu kepada Anggraini" Sekarang ketika wanita itu | sedang terkapar di rumah sakit, di manakah cinta , yang dulu demikian menggelora" Memmjamkan g uanc saja dia tidak sudi! Dia yang telah mengkhianatiku, geram Budidalam hati. Dia yang telah menyimpan lelaki
itu di kamarnya.' "Oom Heri sakit," terngiang kembali kata-kata Sinta*
Karena itukah Anggraini merawatnya" Melindunginya" Menyembunyikannya di kamarnya"
Perempuan itu memang baik. Lembut. Walaupun kadang-kadang bodoh. Mungkinkah karena kebaikan hatinya dia membiarkan laki-laki muda itu bersembunyi di rumahnya"
"Bagaimana keadaan ibumuT' tanya Budi setelah lama terdiam. Suaranya melunak. "Masih di rumah sakit." "Bagaimana kondisinya"" "Baik. Tapi masih lemah;" "Masih perlu uang""
"Buat biaya rumah sakit saja masih kurang Padahal habis ari Mama masih harus disinar." "Perlu berapa""
Sinta menoleh dengan heran. Tetapi dalam gelap dia tidak dapat membaca air muka Jaki-]aki itu.
Dia benar-benar mau menolong atau... cuma untuk menutupi dosanya di depan istrinya"
"Satu juta," sahut Sinta tanpa berpilar lagi. "Untuk sementara."
"Besok ambil di kantor. Tapi ingat, jangan pernah datang ke ramahku lagi.'" "Dan menemui istri Oom"" "Kamu tidak ingin mengacaukan rumah tanggaku, kanV
"Bukankah dulu Oom yang ingin /adi ayah kami T
"Ibumu tidak mau.""Karena Oom masih punya istri!"
"Karena anak-anaknya tidak mau punya ayah lagi!" Budi mengatupkan rahangnya dengan marah. "Dan karena dia menyimpan seorang gigolo di kamarnya!"
"Oom Heri memang tidur di kamar Mama. Tapi selama itu, Mama tidur di atas, bersama kami. Kenapa Oom marah-marah begitu""
"Kenapa ibumu tidak mau membela diri kalau udak bersalah""
"Buat apa" Oom kan bukan suami Mama! Oom juga nggak pernah bilang di mana-istri Oom tidur, kan""
"Brengsek kau!" maki Budi gemas.
Ternyata si pincang ini pintar omong seperti
ibunya! "Kata Mama, Oom Budi kepengin punya anak."
"Dan istriku mandul!" "Kenapa nggak mau angkat anak"" "Aku ingin anak kandung!" "Kalau Oom jadi menikah dengan Mama, kami juga bukan anak kandung, kan"" "Itu lain!"
. "Maksud Oom, kami bakal diperlakukan lain
dengan anak kandung Oom"" Sekali lagi Budi mati langkahi
bab xxi Dengan jaminan Budi Sukoco, Rimba akhir-dibebaskan. Dia hanya diharuskan melapor setiap hari. Dan diberhentikan dari pekerjaannya.
Sebelumnya direktur perusahaan tempatnya be-kerja juga sudah menelepon. Mereka tidak ingin memperpanjang tuntutan. Karena ternyata Rimba masih di bawah umur. Dan dia mencuri untuk mencari biaya pengobatan untuk ibunya.
Ketika mendengar kata-kata petugas itu, tiba-tiba saja Sinta teringat pada laki-laki berdasi yang melongok dari dalam mobilnya itu. Diakah yang menelepon" O, rasanya Sinta ingin datang ke pabrik besok untuk mengucapkan terima kasihi
"Rusak!" gerutu Budi ketika mengantarkan anak-anak itu pulang. "Lelaki bukan, perempuan bukan, masih nyolong lagi!"
Rimba yang duduk di bangku belakang menatap Telaki itu dengan penuh kebencian.
Dulu dia mencerca Mama, geramnya sengit. Sekarang dia menghina diriku! Sialan/ Ngapaifl Sinta minta tolong sama dia"!
"Hab is aku mesti minta tolong ke mana lagi"" balas Sinta mangkel ketika Rimba marah-marah padanya sesampainya di rumah.
"Nggak perlu minta tolong sama ular!"
"Kalau cuma ular yang bisa membebaskanmu""
"Lebih baik dibut daripada minta tolong sama ular!"
"Di mana ada ular"" sergah Nenek panik sambil
menuruni tangga. "Nggak ada," sahut Sinta kesal. "Nenek budek
sih! Salah dengar!" * * * Tergopoh-gopoh Ika berjalan keluar dari kelas. Wah, terlambat sedikit! Pasti Kak Dian marah-marah lagi!
AkWr-akbjr ini dia memang judes sekali. Salah sedikit saja, Ika pasti dimarahi. Salah lebih besar, dicubit. Dipukul.
Sekarang dia terlambat keluar dari kelas. Pasti Kak Dian sudah merengut! Waduh!
Dari jauh Ika sudah melihat Dian. Tegak menunggu di halaman sekolah. Dekat pintu gerbang.
Celaka. Kalau dia kepanasan, cubitannya pasti lebih keras!
Tergesa-gesa Ika berlari-lari kecil menghampiri kakaknya. Dan dia belum sempat membuka mulut| untuk menegur- ketika tiba-tiba seperti tidak di-sengaja Dian mengulurkan kakinya. Tidak ada yang melihat. Kejadiannya begitu cepat
Ika tidak sempat mengerem Jarinya. Kaki dian
tepat mengganjal kakinya. Dan ikaa tersandung Jatuh tersungkur ke depan. Mulutnya menghant" tanah. Cukup keras. Sakitnya bukan main.
Ika menangis kesakitan sambil menebah ^ hitnya. Ketika dia melihat tangannya berlumuran darah, dia menjerit. Dan menangis makin keras.
Gigi Ika patah," keluh Sinta panik. "Gimana nih, Nek" Siang ini kan ika mesti shooting!"
"Boro-boro shooting'." gerutu Nenek yang masih mendekap cucunya antara kesal dan gemas.
Bajunya yang paling bagus, yang sengaja dipilihnya untuk acara hari ini, sudah penuh bercak-bercak darah Ika.
"Kita mesti bilang apa sama Pak Hamid"" keluh Sinta bingung.
"Bilang saja hari ini Ika nggak bisa ke sana. Giginya ompong. Mulutnya bengkak. Matanya juga bengkak karena dia nangis terus!"
Ika memang sudah tidak bisa dibujuk lagi. Dia menangis teras sampai terpaksa Sinta membawanya pulang.
Rimba yang sedang menyuapi Intan tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun ketika melihat keadaan Ika. Tetapi yang murung bukan hanya Sinta, Dian pun membisu sejak tadi.
Jauh di dalam hati kecilnya, sebenarnya Dim juga sedang menangis. Begitu dengkinya dia pada
adiknya beberapa hari ini sampai tega mencelakakan Ika. Tetapi ketika melihat akibat perbuatannya, ketika melihat Ika menangis sehebat itu, terbit juga sesal di hatinya. Lebih-lebih ketika menyadari, mereka tidak dapat mengambil uang untuk Mama!
Cinta Di Awal Tiga Puluh Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nenek sih," gerutu Sinta setelah tidak tahu lagi ke mana harus mengumbar kekesalannya. "Kan Sinta sudah bilang kemarin, ambil saja ceknya! Kita uangkan sendiri di bank!" " "Mana Nenek tahu sih bakal begini sial"" Nenek juga tidak kalah pedasnya mendumal. "Ika kan sudah lama nggak pernah jatuh! Eh, pas mau. shooting malah ompong!"
Dan Ika menangis makin keras. Dian tepekur sambil menggigit bibirnya.
* : ": : ": "Ompong"" Pak Hamid sampai separo berteriak. "Ika belum bisa kemari, Pak. Bibirnya bengkak. Dan dia masih menangis terus...."
"Jadi bagaimana" Semua persiapan shooting sudah oke! Tinggal tunggu Ika!"
"Saya minta waktu sampai besok* Pak," Sinta menggagap kecut. Takut melihat reaksi kemarahan Pak Hamid. Hilanglah sudah semua keramahan "dan senyum simpatik di wajahnya! "Besok pasti .J bibir Ika sudah tidak begitu bengkak lagi...."
"Dan giginya" Dengar, Sinta. Bawa dia ke dokter sisi! Tanya apa yang dapat dilakukan untuk menambal " giginya yang patah itu! Dan tolong,
secepat mungkin. Atau saya harus mencari pemain baru
"Iya, Pak. Terima kasih." Dengan gugup Sinta membalikkan tubuhnya. Ingin mengangkat kah secepat mungkin, ketika tiba-tiba dia teringat se-suatu. Dan dia terpaksa memutar tubuhnya lagi - "Anu, Pak... maaf." "Apa lagi"":
"Anu, Pak... boleh saya mengambil uang honor Ika, Pak""
"Honor apa"" tanya Pak Hamid separo membentak. "Belum shooting sudah tanya honor"!" : Tang separo, Pak," sahut Sinta gugup. "Yang kemarin belum diambil..."
"Suruh nenekmu mengambilnya kalau Ika sudah bisa shooting! Kalau dia tidak bisa memperbaiki giginya, perannya akan digantikan anak lain! Kontrak batair
Ya Tuhan, tangis Sint a dalam hati. Air mata langsung menggenangi matanya. Berat benar coba-an-Ma/
Tetapi yang sedih bukan hanya Sinta. Dian yang ikut menemani juga terpuruk dalam kedukaan. " Sekarang dia baru merasakan benar akibat perbuatan jahatnya! Mereka tidak bisa memperoleh uang untuk Mama!
"Sama saja, kan, Dian"" tiba-tiba saja kata-kata Sinta seperti menggelitiki bati kecilnya. "Pokoknya kita dapat uang buat Mama! Daripada peran itu jatah ke tangan anak lain"' Dan keringat dingin tiba-tiba membanjiri sekujur
tubuh Dian ketika mendengar Pak Hamid berteriak kepada asistennya. "Cepat hubungi pemain cadangan! Siapa nama"
flya anak Kebon Jeruk itu" Telepon ibunya. Kita tes sekali lagi siang ini juga!"
"Tapi, Pak...," sela Sinta, kepanikan tidak bisa mendapat uang untuk ibunya menghapuskan rasa takutnya. "Apakah Bapak tidak bisa menunggu sampai Jka sembuh""
"Kami terikat kontrak, Sinta! Cobalah mengerti. Produksi kami ada dead line-nya! Mana bisa menunggu Ika terus""
"Pak," sekarang Dian yang memberanikan diri maju ke depan. Mukanya pucat, matanya panik. Tapi demi Mama, dia menekan rasa malunya. "Boleh Dian coba lagi""
Pak Hamid menoleh kepadanya dengan wajah masam. Tetapi ketika melihat kesungguhan anak" itu, dia berteriak kepada krunya. "San! Siapkan kamera!"
**# Dian mencoba bermain sebaik-baiknya. Tetapi perasaan hatinya yang sedang galau tidak dapat didustai. Setelah beberapa kali mengulang, akhirnya Pak Hamid menyerah. "Cut!" teriaknya putus asa. "Kita break!" "y Dibantingnya bukunya dengan sengit. Tanpa berkata apa-apa lagi kepada Dian dan Sinta, dia masuk ke kamar kerjanya.
"Hubungi anak Kebon Jeruk itu,", katanya Je5ll kepada sekretarisnya yang tergopoh-gopoh menghj. dangkan minuman dingin. "Suruh datang sekarang
Dian menangis dalam pelukan Sinta. Dia tahu, f; dia telah gagal total. Dan bukan itu saja. Kalau anak Kebon Jeruk itu berhasil, dia juga telah menggagalkan Ika. Dan itu berarti, menggagalkan uang biaya ~pefawatan Mama! . "Bagaimana aku harus mengatakannya kepada Mama"" tangis Sinta sesampainya di rumah.
"Bukan cuma Mama," sahut Rimba murung. "Bagaimana mengatakannya kepada petugas administrasi rumah sakit yang judes itu" Kamu kan sudah janji mau bayar dua setengah juta besok pagi."
- "Rasanya aku kepengin mati saja.'" keluh Sinta I getir. "Aku sudah tidak kuat lagi...."
"Kak Sinta.1": Dian menubruk kakaknya. Dan j tangisnya meledak makin hebat. "Maafkan Dian...."
"Bukan salahmu." Sinta membelai-belai kepala adiknya dengan terharu. "Kamu sudah berusaha...."
Tapi Kakak tidak tahu apa yang telah kulakukan kepada Ika.'
"Kak..." Bea menghampiri Sinta dengan ketakutan. "Kakak jangan mati dulu, ya" Ika takut! Takut lihat orang mati!"
*** "Bagaimana, Angga"' sapa Dokter Surjadi ramah begitu dia masuk ke kamar Anggraini. "Ada keluhan""
"Bekas operasinya masih sakit, Dok. Terutama yang di dada."
"Nanti kita lihat lukamu." Dokter Surjadi memberi isyarat kepada perawatnya untuk membuka plester yang menutupi jahitan luka operasi di dada Anggraini. "Sampai sebegitu jauh, kondisimu baik^ Angga. Temperaturmu normal. Tidak ada kompli-. kasi."
"Terima kasih, Dok." Anggraini berusaha melihat bekas operasinya. Tetapi Dokter Surjadi mencegahnya.
"Jangan dilihat dulu," hiburnya sambil terse/ nyum. "Nanti kau kaget. Tunggulah sampai lukanya benar-benar sembuh.""Masih sering berdenyut, Dok," keluh Anggraini lirih. "Dan lengan kiri saya sering kesemutan."
Prahara Rimba Buangan 1 Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru Persekutuan Pedang Sakti 1