Cinta Di Awal Tiga Puluh Karya Mira W Bagian 4
Dokter Surjadi memeriksa bekas luka di dada dan ketiak kiri Anggraini. Lalu dia memerintahkan perawatnya untuk menutup kembali bagian yang sudah dijahit itu.
"Antibiotiknya diteruskan," instruksinya kepada perawat. "Ada obat yang habis""
"Kalau malam tidak bisa tidur, Dok," sela Anggraini. "Boleh minta obat tidur""
Dokter Surjadi menandatangani selembar resep. Sementara perawatnya mencatat obat-obatan-yang diinstruksikannya.
"Kapan saya boleh pulang, Dok"" sergah Anggraini lagi.
"Memangnya kau sudah kuat"" Dokter Su
tersenyum pahit "Sudahlah, jangan pikirkan Isog!"
"Anak-anak membutuhkan saya, Dok. M" masih kecil-kecih'*
Dan makin lama saya di sini, biayanya maki* besar/
Anggraini tidak berani m engucapkan kalinw yang terakhir itu. Tetapi Dokter Surjadi sepe^ dapat menerkanya walaupun tidak mendengar.
Tunggulah seminggu lagi. Sampai kondisimu benar-benar stabil. Dan luka operasimu mengering. Kalau penyembuhannya prima, jaringan parutnya tidak terlalu jelek."
Apa bedanya Iagi pikir Anggraini getir. Biar kuJJtnya tidak terlalu berkerut sekalipun, payudaranya tetap telah kehilangan keindahannya! Biarpun Dokter Surjadi masih menyisakan jaringan payudaranya, buah dadanya tidak lagi sepadat dan semontok dulu.'
* Semuanya tinggal kenangan. Dan meskipun di mulut dia mengatakan tidak peduli lagi, hati kecilnya tetap menangisi bagian tubuhnya yang hilang. Bagian terindah yang menjadi kebanggaannya! ii
Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun di depan Anggraini Semuanya membisu. Semuanya menunduk dengan wajah muram. "Ada apa"" desak Anmaini cemas. Tin sakit""
"Nggak ada apa-apa, Ma," cuma Rimba yang mampu membuka mulut. "Iin sehat."
"Tapi Mama pasti tidak salah lihat. Kalian sedang sedih. Ada apa"" Lagi-lagi cuma Rimba yang mampu menjawab. "Kita nggak dapat uang, Ma." Anggraini kecewa. Sekaligus lega. Dia memaksakan sepotong senyum lembut di bibirnya walaupun hatinya sedih.
"Mama kira ada yang sakit. Mama lega kalau soalnya cuma uang. Tidak apa-apa. Ika nggak bisa shooting hari ini""
Ika merayap ke atas tempat tidur. Rimba sudah bergerak untuk menurunkan adiknya, tetapi Anggraini mencegahnya. "Biar saja. Ada apa, Sayang"" "Ma." Ika menatap ibunya dengan bimbang. Matanya bersorot sedih sekali. "Ika ompong!"
Diperlihatkannya giginya kepada ibunya. Dan Anggraini mengawasi gigi yang, tinggal sepotong itu antara geli dan iba. "Ika jatuh, ya""
"Ika lari-lari, Ma! Mama marah, nggak"" ^| "Mama kan sudah bilang, Ika nggak boleh lari-lari!"
"Lain kali nggak, Ma.... Bea mau jalan saja. | Pelan-pelan. Mama jangan marah, ya""
-Suluhlah." Anggraini membelai mulut anaknya dengan lembut. Hati-hati. Dan penuh kasth sayang.
"Sakit, Ika""
"Sakit, Ma. Ika sampai nangis. Tapi sekarat) sih udah nggak sakit lagi."
"Nanti kalau Mama sudah sembuh, kita jje dokter gigi, ya"" "Ke Dokter Yanuar aja ya, Ma"" "Dokter gigi yang cakep itu" Ika senang sama dia""
"Abis dia baik sih, Ma!"
"Nanti kita ke sana, ya. Tapi di sana nanti flea nggak boleh cerewet."
Anggraini menoleh ke arah Sinta. Tepat pada saat Sinta sedang menatapnya dengan sedih. Dan Anggraini langsung memahami apa yang terjadi. "Jka nggak bisa shooting"" Sinta mengangguk. Dan air matanya berlinang. "Dian yang salah, Ma!" cetus Dian tiba-tiba. 'Tidak, Dian." Anggraini membelai rambut anaknya yang ketiga itu dengan lembut. "Dian sudah berusaha."
Tetapi di mata Dian, Anggraini melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang hanya dapat dilihat oleh seorang ibu.
Karena ini ketika Dian hendak membuka mulutnya, Anggraini meletakkan tangannya di bibir gadis kecil itu.,
"Mama tahu," bisiknya penuh pengertian. "Dian menyesal."
262 bab xxii "Kamu lagi!" gerutu Budi Sukoco gemas. "Mau apa lagi""
"Maaf, Oom," desah Sinta gugup. "Oom bilang, nggak boleh datang ke rumah, kan" Jadi saya
datang ke kantor...." "Ada apa lagi" Saudaramu ditahan lagi""
"Saya perlu uang, Oom...." "Uang lagi"" "Buat Mama." "Berapa""
"Satu juta setengah, Oom." "Satu juta lima ratus ribu" Astaga, Sinta! Kapan kamu bisa bayar utangmu" Kamu baru saja pinjam *
sejuta'!" Sinta tidak menyahut. Dia menunduk sedih.
Diam-diam dua tetes air mata mengalir ke pipinya. Dan diam-diam, Budi merasa iba
"Kamu sudah makan""
Sinta menggeleng. Makan! Siapa yang ingat
makan" " Pagi-pagi dia sudah dimarahi petugas administrasi yang judes itu.
"Katanya hari ini mau bayar dua setengah juf3j Mana" Ini kan cuma sejuta!"
"Minta waktu beberapa hari lagi, Mbak." "Tagihan sudah begini banyak. Mana bisa mundur-mundur lagi" Kalau tidak dilunasi jug^ pengobatan ibumu tidak bisa dilanjutkan!"
"Kalau ada uang, pasti saya bayar, Mbak." . "Semua pasien juga inginnya begitu. Tapi rumah sakit tidak bisa bekerja kalau tidak ada uang!"
"Mau ikut makan siang"" tanya Budi sambil menyambar tas kantornya. "Oom mau pergi makan di luar."
Akhirnya Heri dijatuhi hukuman kurungan dua
tahun dipotong masa tahanan. Rimba yang mengikuti persidangan itu langsung melaporkannya kepada ibunya di rumah sakit.
Terima kasih, Tuhan," bisik Anggraini lega. Dua tahun! Tidak terlalu lama. Jika Tuhan menghendaki, barangkali dm masih sempat melihat Heri keluar dari penjara.... Masih dapatkah mereka berkumpul kembali"
Rimba melihat pijaoMpijai gempita di mata ibunya. Dan dia merasa gelitik yang tidak menyenangkan itu kembali mengusik nuraninya. Masihkah Mama mengharapkan Oom Heri"
Jika boleh memilih, Rimba tidak menghendaki;-ibunya menikah lagi. Tetapi kalau menikah dapat |
membahagiakan sisa hidup Mama... masih tegakah dia melarang"
"Ada apa, Rimba"" Biarpun sedang tenggelam dalam kegembiraan, sikap Rimba tetap tak luput dari perhatian Anggraini. "Kamu masih kerja""
"Masih, Ma." Rimba mengosongkan tatapannya supaya ibunya tidak dapat membaca dustanya. "Tapi minggu depan mau pindah. Kerja di situ nggak enak."
"Sebetulnya Mama ingin Rimba sekolah lagi." "Lihat nanti deh, Ma. Sekarang Rimba mm cari duit dulu." Anggraini menghela napas berat. "Bagaimana Dian""
"Masih merasa bersalah. Nggak bisa cari duit buat Mama." rJM
Aku merasa dia mempunyai persoalan lain, pikir Anggraini gundah. Perasaan bersalahnya jauh lebih besar daripada itu! Apakah Dian yang menyebabkan Ika jatuh" "Ika bagaimana""
"Oh, si bawel itu sih sudah berkicau lagi!"
"Iin"" "Ngomongnya sudah tambah satu."
"Apa"" "Mmam."
"Makan"" Anggraini tersenyum lebar. Dan lupa menanyakan keadaan anaknya yang satu lagi. Yang justru dianggapnya tidak mempunyai masalah.
"Jangan bilang ibumu uang itu dari Oom,' Budi kepada Sinta ketika mereka sedang siang berdua untuk kesekian kalinya.
Sejak Sinta sering datang untuk minta toW bubungan mereka perlahan-lahan menjadi akrafo -"" .Sinta membutuhkan laki-laki itu sebagai tempat meminta tolong.
Sebaliknya Budi tiba-tiba- merasa dibutuhkan kembali Dan perasaan dibutuhkan itu membuat dia merasa berkuasa kembali sebagai pria.
Di rumah, Hera seperti sudah tidak membutuhkannya Dia memang tidak ingin diceraikan. Tetapi itu untuk mempertahankan status. Bukan karena membutuhkan suaminya.
Dan kehadiran Sinta yang mula-mula tidak disukainya itu kini malah membangkitkan kembali gairahnya. Budi seperti menemukan kembali pengganti AnggrainL Meskipun lebih muda dan lugu.
Kalau sudah didandani dan dibelikan pakaian yang bagus-bagus, ternyata Sinta mirip ibunya. Kecuali dia baru berumur empat belas tahun. Dan pincang.
" "Besok Mama pulang, Oom," cetus Sinta di dalam mobil yang membawa mereka pergi dari rumah makan itu. "Oom mau ikut jemput Mama""
"Besok Oom mesti ke Bandung," tentu saja Budi berdusta.
"Oom mau kan Mama"" "Oom usahakan." "Kapan""
datang ke rumah nengok \ "Ya kapan-kapan." "Oom masih kesal sama Mama"** "Sedikit."
"Masih ingin menikah""
"Dengan ibumu" Tentu saja tidak! Oom pikir ibumu juga sudah tidak memikirkan perkawinan lagi."
"Kenapa" Kalau perkawinan bisa membahagiakan Mama..." "Sinta mau ikut nonton shooting"" "Oom mau ngajak Sinta nonton shooting"" ulang Sinta tidak percaya. Matanya bersinar sekejap. "Mau, nggak"" "Boleh""
"Tentu saja boleh. Asal nggak dicari nenekmu yang bawel itu!"
"Hari ini bagian Rimba jemput Dian dan Ika. Dulu mereka ikut mobil antar-jemput. Tapi sekarang terpaksa pulang sendiri." "Karena tidak ada uang"" "Kami mesti betul-betul berhemat." "Sinta tidak mau cari uang"" "Sinta laku kerja apa, Oom"" "Mau coba-coba main film seperti Mama"" "Sinta"" Paras gadis remaja itu langsung memerah. "Apa laku gadis pincang kayak Sinta ini main film, Oom"" "Yang disorot kan bukan kakimu"" ffi "Betul Oom mau ngajak Sinta main film"**-i tanva Sinta dengan dada berdebar-debar. Mukanya terasa panas. Tetapi tangan-kakinya justru dingin.
"Siapa tahu kamu berbakat. Pincangmu kan ditutupi"* "Tahunya Sinta berbakat."" "Kan bisa dites." "Apanya""
"Ya aktingnya dong." "Kapan ditesnya, Oom""
Terserah kamu. Sekarang juga boleh, kamu mau."
"Di mana" Di studio" Seperti Dian dan Ika""
Tetapi Budi tidak membawa Sinta ke studio Dia membawanya ke sebuah cottage yang banyak bertebaran di pantai utara Jakarta. Di sanalah ku. tanya Sinta
akan dites. Ketika Sinta menyadari apa yang diinginkan Budi, sudah terlambat untuk mencegahnya. Dia hanya dapat menangis tersedu-sedu di atas tempat tidur setelah semuanya terjadi:
"Sudah, jangan nangis," hibur Budi lemah lembut Seolah-olah Sinta cuma kehilangan sepatunya. "Nggak apa-apa kok. Tidak ada yang tahu. Dan aku akan menepati janjiku. Akan kujadikan kamu seorang bintang. Bintangyangjebih hebat dari ibumu."
Ketika teringat Mama, Sinta malah menangis makin sedih. Apa yang harus dikatakannya kepada Mama" Atau... lebih baik jika tidak dikatakannya" Mama pasti sakit hati. Padahal tubuhnya masih demikian lemah,...
"Sudah, Sinta. Hapus air matamu!" tukas Budi sambil bangkit dari tempat tidur. "Jangan sampai Mama tahu. Sebentar lagi kamu harus pergi ke rumah sakit, kan" Ayo, Oom antar ke sana."
Tetapi Sinta tidak mau menemui ibunya Dia takut Mama dapat membaca kesedihannya. Mama sulit dibohongi. Lebih baik dia pura-pura tidak enak badan... atau bukan pura-pura. Badannya memang terasa amat tidak nyaman! Pikirannya juga. Lebih baik sore ini tidak usah mengunjungi Mama....
Budi mengantarkannya pulang ke rumah. Sesaat sebelum Sinta turun dari mobilnya, dia menyodor" kan seratus ribu rupiah.
"Buat jajan," katanya lunak. "Kalau perlu uang, datang saja ke kantor."
Betapa dermawannya Oom Budi sekarang! Tiba-tiba saja begitu mudah bagi Sinta untuk mendapatkan uang!
"Sinta sakit"" Anggraini mengangkat alisnya" dengan cemas.
"Katanya nggak enak badan," sahut Nenek tawar. "Habis saban hari pergi melulu!"
"Sinta cari uang buat biaya rumah sakit, Nek!" ralat Rimba kesal. "Kalau dia di rumah teru^| bagaimana kita bisa bayar tagihan besok""
"Sinta cari uang"" Dahi Anggraini tambah berkerut. "Ke mana""
"Katanya pinjam sana-sini." Uang sebesar itu" Siapa yang mau memin-kannya pada Sinta" Aneh. Jan>
"Besok Mama pulang ya, Ma"" sela Ika ]jn "Udah lama banget Mama di sini. Udah ber^' lama ya, Ma" Sebulan"" apa
Anggraini- tersenyum pahit. | "Belum sampai tiga minggu, Sayang. Bea sud^ kepengin tidur sama Mama""
"Dan kepengin-Mama antar Bea ke studio. Seb rang bibir Bea udah nggak sakit lagi, Ma. fl^ udah bisa shooting. Nanti Ika bawa uang banyak buat Mama, ya." ^'rl|j
'Tentu, Manis." Anggraini mencubit pipi ika dengan gemas. Masalahnya, kesempatan langka itu tidak datang dua kali! Pak Hamid sudah menemukan calon bintang lain. Dan lowongan itu telah tertutup.'
"Jangan khawatir, Ma," sela Rimba ketika melihat pembahan wajah ibunya. "Kata Sinta, sisa tagihan besok bisa dilunasi."
Aku justru bertambah khawatir, pikir Anggraini bingung. Dari mana Sinta mendapat uang sebanyak itu"
"Dari mana kamu dapat uang sebanyak itu, Sinta"" tanya Anggraini keesokan harinya, ketika Sinta dan Rimba menjemputnya ke rumah sakit. Hari ini Anggraini sudah diperbolehkan pulang.
Dokter Surjadi sudah melakukan visite terakhir ke kamarnya. Dan Anggraini hanya diminta kontrol kembali ke rumah sakit sebelum menjalani seri pertama terapi radiasinya. "Pinjam, Ma."
"Pinjam dari mana" Siapa yang mau meminjamkan uang sebanyak itu""
"Dari Oom Budi, Ma," sahut Sinta ketika dia merasa tidak dapat membohongi ibunya lagi. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Tidak berani membalas tatapan ibunya.
"Oom Budi"" Anggraini bukan hanya terkejut. Dia heran. Sekaligus bingung. Tidak percaya. Curiga.
Budi mau meminjamkan uang sebanyak itu" Bukan main! Sudah punahkah kemarahannya" Tetapi kalau dia sudah tidak marah lagi... mengapa
dia tidak pernah datang mengunjunginya" "Barusan Sinta datang ke kantornya, Ma. Pinjam
uang." "Kamu berani datang kepadanya tanpa setahu
Mama"" "Habis Sinta mesti pergi ke mana lagi, Ma"" potong Rimba, tidak tega melihat pucatnya wajah adiknya. Mata Sinta menggelepar dalam ketakutan. Dan dia seperti tidak berani memandang ibunya.
"Jadi Rimba juga setuju Sinta pinjam uang dari Oom Budi"" Anggraini menofeh heran kepada putri sulungnya. "Biasanya Rimba paling alergi sama Oom Budi, kan""
"Kalau dia mau kasih pinjam, peduli amat!"
balas Rimba datar. "Masa bodoh siapa yg mau ngutangin pokoknya dapat duit
kamu tidak berpikir apa mungkin dia mengharapkan
sesuatu dari ke baikannya"" "Apa yang mau diharapkan dari Rimba seenaknya. "Biar saja dia berharap sampai
tua "Oom Budi tidak tanya kapan kita bisa mengem
balikan uang sebanyak itu, Sinta"
Sinta menggeleng tanpa berani me palanya ngangkat k
"Maafkan Sinta, Ma," desahnya lirih sinta bingung. Tidak tahu lagi ke mana harus mencari uang
"Maafkan Mama juga, Sinta " lembut "Mama tahu Betapa berat usahamu mencari uane "
Tap, Mama tidak tahu betapa besar n. J* amuk memperoleh uang itu, tan^fT^^ hati. b "ngu Sinta dalam
27" bab xxra Anggraini mengucap syukur kepada Tuhan ketika dia menginjak rumahnya kembali. Dia bersyukur masih hidup walaupun harus kehilangan sebagian dari tubuhnya.
Ketika maut sudah terasa begitu dekat, kadang-kadang manusia baru menyadari betapa indah se-. benarnya hidup ini. Dan merupakan suatu karunia yang besar jika kita masih boleh menikmati hidup.
Sekarang Anggraini menyadari benar, berkumpul bersama anak-anaknya merupakan anugerah Tuhan yang terindah. Sebaliknya anak-anaknya pun kini menyadari betapa mereka merasa kehilangan jika Mama tidak ada di rumah.
Karena Anggraini masih lemah, dia belum dapat naik ke atas. Dia terpaksa tidur di kamar bawah. Dan anak-anaknya berbondong-bondong memindah- " kan kasur mereka ke kamar itu.
Mereka begitu memperhatikan Anggraini. Hampir tidak pernah berhenti melayaninya dan menemaninya. Sampai Anggraini pernah berpikir, jika kanker ini tidak singgah di tubuhnya, pernahkan
cfia merasakan kasih dan perhatian yang begj^ besar dari anak-anaknya"
Lama Anggraini mengawasi tabuhnya- di depan cermin. Dan air mata periahari-Jahan mengalir menuruni pipinya.
Parut bekas jahitan meninggalkan garis linier yang mengerikan di kulit payudaranya. Payudara kirinya yang menjadi jauh lebih kecil dari payudara sebelahnya tampak kempis dan menggantung. Sungguh tidak menyenangkan untuk dipandang.
Nyeri bahu dan punggung masih sering menyerangnya. Lebih-lebih jika dia mengangkat lengan kirinya. Dan untuk mengurangi sakit, sering secara tak sadar Anggraini mengerutkan bahunya. Akibatnya tinggi bahunya menjadi kurang simetris.
"Jangan terlalu sedih," hibur Dokter Surjadi ketika Anggraini datang kontrol ke tempat praktek-, nya. "Kalau terafi radiasi telah lengkap kaujalani, akan kita lakukan pembedahan rekonstruktif. Supaya payudara kirimu tidak terlalu menyedihkan bila dipandang."
Pembedahan lagi/ Dan itu berarti biaya tambahan.' Dari mana dia memperoleh uangnya"
Sekarang saja rumah tangganya sudah hampir kolaps. Tadi siang, hanya ada nasi, lalap, dan sambal di meja makan. Dan Anggraini segera, tahu apa yang terjadi. "Nggak apa-apa, Sinta," hiburnya ketika Sintt^
menyatakan penyesalannya karena hanya ito yang dapat dihidangkan. "Makanan seperti ini justru baik bagi Mama. Sayur-mayur mengandung banyak serat. Dan direbus begini malah tidak mengandung minyak."
"Tapi Ika nggak doyan, Ma!" protes Dca yang baru pulang sekolah, 'k M
Tetapi sebelum mulutnya mengoceh lebih banyak lagi, Dian telah menyepak kakinya.
"Makanan begini sehat kata Mama!" Dian me- i melototi adiknya dengan galak. "Udah, makan aja! Nih, colek sama sambal!" "Tapi Dca nggak doyan sambel! Pedes!" "Ya jangan pakai sambal!" "Dca mau kerupuk"" Sinta mengambil: kaleng bekas biskuit dari lemari. Masih ada dua lembar kerupuk di dalamnya. "Ini bisa buat teman nasi."
Dca mengambil kerupuk itu dan menggigitnya. Tapi langsung diludahkannya kembali. "Dca!" tegur Dian judes. "Kenapa dibuang lagi"" . "Kerupuknya melempem!" "Mungkin terlalu lama disimpan." Sinta menutup . kembali kaleng biskuitnya baik-baik, seolah-olah dia menyimpan segenggam emas. "Atau tutupnya kurang rapat. Makan saja deh, Dca."
Anggraini tidak tahan lagi. Diletakkannya sendoknya. Ditinggalkannya meja makan. Anak-anaknya saling pandang dengan perasaan bersalah.^
"Gara-gara kamu sih!" gerutu Dian kesal. "Lihat tuh, Mama jadi sedih!" Lambat-lambat Dca menggigit kerupuknya. Menyendok sesuap nasi. Dan mengunyahnya sambi meram melek seakan-akan dia sedang menyantap nasi goreng istimewa yang amat lezat.
*** "Mama...," bisik Bea di samping ranjang ibunya. "Mama udah bobo" Kalau udah, biar aja, ja
ngan bangun." Anggraini menyeka air matanya. Membalikkan tubuhnya di tempat tidur. Dan menghadap ke arah Bea:
"Belum, Sayang. Ada apa"" "Mama marah sama Bea, ya"" "Tentu saja tidak,- Sayang." "Kok Mama nangis" Nggak mau makan"" 1 "Mama sedih."
."Karena Bea nggak man makan kerupuk melempem""
"Karena Mama tidak dapat menyediakan makanan yang lebih enak buat Bea."
"Jangan nangis, Ma, Kerupuknya udah habis. Nasinya juga. Piring Bea udah bersih, Ma."
"Bea pintar sekali." Anggraini memeluk anaknya dengan terharu.
Saat itu Dian melangkah masuk dengan hati-haU
"Kenapa, Ma"" tanyanya cemas. "Tangan Mama sakit lagi" Kesemutan" Dian gosok-gosok tangan Mama, ya" Mau dipijat, Ma"" Anggraini tidak menjawab. Dia hanya merengkuh Dian ke dalam pelukannya. Dan mencium pipinya dengan penuh kasih sayang.
"Terima kasih telah meminjamkan uang kepada Sinta, Bud," kata Anggraini ketika dia menelepon Budi di kantornya.
Kebetulan ada telepon umum di seberang tempat praktek Dokter Surjadi. Dan biasanya, pukul lima sore, Budi masih berada di kantor. Apa salahnya menelepon mengucapkan terima kasih"
"Oh, lupakan saja," sahut Budi gugup. "Bagaimana keadaanmu""
. "Baik." Ada secercah perasaan tidak enak menjalari hati Anggraini ketika mendengar suara laki-laki itu.
Anggraini tidak tahu apa sebabnya. Tetapi kegugupan Budi membuatnya merasa aneh. Mengapa jus tru Budi yang gugup" Bukankah dia yang sudah ber murah hati meminjamkan uang" Mengapa Anggraini seperti mendengar perasaan bersalah dalam suaranya"
"Kalau sudah memperoleh pekerjaan, akan ku-cicil utangku."
"Ah, tidak usah terlalu dipikirkan. Tidak seberapa kok."
Tidak seberapa, pikir Anggraini makin heran.
Uang sebanyak itu" "Bagaimana keadaanmu""
"Baik." Mengapa Budi mengulangi per. yang sama"
in heran. > "Anak-anak baik""
'Terima kasih. Semua sehat." "Kapan-kapan aku menengokmu."
Jadi dia tidak berniat mengunjungiku, .pikjj. Anggraini resah. Lalu untuk apa dia menolongku"
'Ibumu," tukas Budi murung sambil meletakkan telepon. "Dia tahu kamu di sini"" Sinta menggeleng panik.
"Mama pergi ke dokter dengan Rimba. Mama tahu saya di kantor Oom""
"Entahlah. Suaranya kedengaran curiga. Lebih baik kamu jangan sering-sering kemari. Ibumu susah dibohongi" "Katanya Oom mau ngajak Sinta main fllm."v Iya Tapi tidak sekarang" "Habis kapan dong, Oom" Sinta perlu duit " Hama belum bekerja lagi. Rimba sudah dipecat." "Kamu kan tahu, film Indonesia sedang sekarat.'" gerutu Budi kesal. Lagi pula siapa yang mau memakai gadis pincang seperti kamu" Apa tidak i ada cermin di rumahmu" "Sudahlah, lebih baik I kamu cepat-cepat pulang, sebelum ibumu sampai I di ramah dan ribut mencarimu."
Jadi sebenarnya dia tidak ingin menjadikan aku bintang, pikir Sinta kecewa. Gombali Dia meni- J puku mentah-mentah.' 1
"Siata perlu uang, Oom," katanya menahan ta-neis, _ "*
"Uang lagi""
"Oom bilang, datang saja ke kantor kalau perlu."
"Tapi jangan terus-terusan. Aku kan bukan ayahmu!" Budi melemparkan dua lembar lima puluh ribuan ke atas meja tulisnya. "Itu yang terakhir!"
*** Lama Heri menatap Anggraini dengan penuh
keharuan. "Rini...," bisiknya lirih. "Terima kasih, Tuhan, aku masih bisa melihatmu lagi! Rasanya seperti
mimpi*.." "Aku sering datang dalam mimpimu"'' Anggraini
tersenyum lembut. "Sfhap malam." Heri menghampiri wanita itu. Dan memeluknya dengan penuh kerinduan.
Ketika Anggraini agak menggelinjang, buru-buru
Heri melepaskan pelukannya. "Sakit"" tanyanya cemas. "Sedikit."
"Bekas operasimu"" Anggraini mengangguk sambil tersenyum pahit.
"Duduklah." Bergegas Heri membimbing Anggraini kembali ke bangkunya. "Dengan siapa kau kemari""
"Rimba. Dia menunggu di luar."
"Luka operasimu masih sering sakit""
"Hanya kadang-kadang."
"Ada keluhan lain""
"n"fc,. H*n Dunjrgung sering sakit.
juga sering kesemutan. Dokter Surjadi bilang gc/aj8 itu sering ditemukan pada pasien pascabedah. fx memberiku macam-macam obat" 'Tidak ada komplikasi lain"" "Kata Dokter Surjadi, sampai sekarang semuanya bait*
" "Syukurlah.'' Heri tegak di depan wanita itu Menatapnya dengan tatapan yang membuat paras Anggraini memerah. "Kau tidak berubah."
"Kau tidak pandai be
rdusta." Anggraini tersenyum pahit. "Atau kau cuma ingin menghiburku"" ' "Kau memang tidak berubah sedikit pun." "Kalau begitu cermin di rumahku pasti berdusta."
"Kau masih tetap Rini yang kukenal."
"Aku telah kehilangan sebagian tubuhku.' "Vang
"Aku tidak peduli. Bagiku kau tetap tidak berubah.*'
"Aku juga berharap penjara tidak mengubahmu." "Kau mau menungguku, RiniT bisik Heri lembut.
"Aku mau, Her," balas Anggraini terharu. "Jika Tuhan masih memberiku kesempatan."
"Gigi Ika yang patah ini memerlukan perawatan pulpa," kata Dokter Gigi Yanuar kepada Anggraini.
"Kalau sudah dirawat, gigi Ika bisa tumbuh lagi nggak, DokterT tela Ika ingin tahu.
"Tumbuh lagi sih tidak bisa, Ika. Karena gigi yang patah ini sudah gigi tetap. Paling-paling ditambal sinar. Mungkin Ika mesti menunggu lebih
lama sampai gigi Ika ini bisa dijaket." |
"Dibeliin jaket"" Ika melotot lucu. '
"Diselongsong, Ika. Tapi tidak sekarang. Mesti tunggu sampai Ika lebih besar."
"Tapi Dca mesti cepat dapat gigi baru, Dokter! Karena Dca mau main film iklan. Nggak boleh ompong!"
"Ddan apa" Pasta gigi""
"Susu." "Jadi anak ompong nggak boleh minum susu"" Kalau nggak boleh minum susu, minum apa dong""
"Nah, kenapa Dca tidak boleh main. film iklan susu kalau ompong""
"Nggak tahu. Tapi Pak Hamid bilang, Dca nggak boleh ompong."
"Nanti Dokter kenal i n Dca sama teman yang biasa bikin iklan, ya. Siapa tahu dia mau pakai Ika."
"Tapi mesti buruan, Dokter!"
"Kenapa mesti buru-buru""
"Ika perlu duit!"
"Ika!" potong Anggraini cemas. "Maal, Dok, Ika memang bawel!"
'Tidak apa-apa, Bu. Saya suka Ika. Dia lucu dan spontan!"
"Tapi dia makin cerewet kalau dilayani. Dok!
Dokter Gigi Yanuar cuma tersenyum i
"Ika perlu duit buat beli sepeda""
"Buat Mama berobat" sahut Ika Jantang, -ragu sedikit pun. P"
""Bea"" tegur Anggraini sekali lagi.
Tetapi Dokter Yanuar malah bertanya lagi Se telah melirik Anggraini sekilas. "Mama Bea sakit"" "Kanker."
"Maaf...." Sekarang Dokter Yanuar menoleh ke arah Anggraini dengan terkejut. 'Tidak apa, Dok. Bea memang cerewet."
'Tolong ya, Dok, kenalin Bea sama teman Dokter," sela Bea bersemangat. 'Tanya dia, Bea dapat duit berapa kalau main iklan."
"Pasti, Bea," sahut Dokter Yanuar mantap. "Sekarang buka mulut Bea, ya."
*** "Sinta!" Anggraini memandang putrinya yang baru keluar dari kamar mandi dengan cemas. "Kamu sakjrF
Wajah Sinta yang pucat bertambah putih ketika melihat ibunya.
"Cuma masuk angin, Ma...," suaranya gemetar ketakutan. "Mama mau kopi" Sinta bikin kopi dulu, ya"'
"Tidak usah, kamu istirahat saja."
Anggraini membimbing anaknya ke kamar. Memaksanya berbaring di tempat tidur. Disentuhnya dahi Sinta. Aneh. Tidak panas. Tetapi mengapa dia muntah-muntah begitu hebat"
Tangan-kaki Sinta terasa dingin. Keringat mem banjiri sekujur tubuhnya. Mukanya pucat pasi. Dan matanya berkeliaran dengan gelisah.
"Masih mual, Sinta" Mama ambilkan teh panas,
Cinta Di Awal Tiga Puluh Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ya"" "Mungkin maag Sinta kambuh, Ma."
"Sejak kapan kamu punya sakit maag""
"Dari kemarin dia muntah-muntah," kata Nenek yang baru masuk ke'kamar membawa secangkir teh panas. "Nenek keroki tidak mau."
"Ah, paling-paling masuk angin, Nek!" "Masa masuk angin tiap pagi"" gerutu Nenek sambil menyodorkan teh panasnya. "Nih, minum dulu."
Sinta bangkit dari tempat tidur. Dan menghirup teh panasnya. Rasa mualnya berkurang sedikit.
Tetapi tidak hilang. "Barangkali kamu terlalu capek, Sinta. Hari ini
tidak usah ke pasar. Tidur saja di sini, di ranjang Mama, ya."
"Ah, Sinta nggak apa-apa, Ma," gumam Sinta lirih. "Mama nggak usah khawatir." "
Padahal dalam hati, Sinta justru sedang khawatir sekali. Sudah dua hari dia muntah-muntah setiap pagi. Dan haidnya sudah terlambat setengah bulan....
Dan sorot ketakutan di mata Sinta memacu kecurigaan yang lebih besar di benak Anggraini. Empat belas tahun dia telah membesarkan putrinya. Menemaninya di kala sakit. Belum pernah dia
melihat Sinta ketakutan seperti mi....
bab XXIV Mula-mula Anggraini hampir tidak mengenali dokter gigi in. Dalam T-shirt santai, Dokter Yanuar tampil beda. Dia tampak lebih muda. Lebih rileks. Dan lebih bersahabat.
Teman saya ingin melihat Oca. Kebetulan dia
sedang memerlukan pemain bocah untuk film iklani Terima kasih. Dokter." Anggraini merasa amat terharu. Tidak menyangka Dokter Yanuar masih ingat janjinya kepada seorang anak kecil! "Saya boleh menjemput Ika besok"" "Dokter... menjemput Ika"" "Kalau Ibu tidak keberatan." Tapi..."
"Ibu boleh ikut jika khawatir." "Maksud saya.,," 'Ijjfl
"Merepotkan saya" Tentu saja tidak. Saya menyukai Ika. Saya yakin, pemirsa TV-pun akan menyukainya." "Dan giginya yang..," j.' Ompong" Tidak apa. Teman saya malah menguapnya lucu. Apa salahnya anak-anak ompong" Mereka bukan mau ikut kontes kecantikan, kan"
Ketika Anggraini menyampaikan berita itu pada Dca sepulangnya dari sekolah, si bawel itu bersorak
kegirangan. "Berapa dapat duitnya, Ma"" tanyanya bernafsu
sekali. "Mama belum tahu, Ika. Kan Bea juga belum
tentu diterima. Masa sudah tanya honor""
'Mestinya Mama tanya dulu," bantah Dca seperti menyesali ibunya. "Kalau nggak cukup buat beli obat Mama, buat apa Dca ke sana""
Anggraini mencubit pipi anaknya dengai gemas. Dan ketika itulah dia melihat Dian. Meletakkan tasnya dengan lesu. Tanpa berkata apa-apa Dian meninggalkan mereka dengan wajah muram.
Sekarang Anggraini yakin, firasatnya benar. Dian-lah yang menyebabkan Dca jatuh. Karena dia iri pada adiknya!
*** Anggraini menunggu sampai dia memperoleh kesempatan berdua saja dengan Dian. Sengaja dia berpura-pura sakit. Dan Dian menawarkan diri Untuk memijati lengan ibunya.
"Dian nggak capek"" tanya Anggraini sambil berbaring di tempat tidurnya.
Dian menggeleng sambil terus memijat.
"Kok Dian merengut saja""
tidak menjawab. Dia berusaha menghindari tatapan ibunya. "Karena Dca""
Dian menggigit bibitnya. Mencoba menahan tangis. Tetapi sia-sia. Air matanya bergulir juga. Dan menetes ke lengan Mama.
TVfama tahu Dian berbakat. Pintar akting. Punya suara bagus. Tapi kadang-kadang peran yang kita mginkan, diberikan kepada orang lain. Bukan karena orang itu lebih berbakat. Tapi karena dia dianggap lebih cocok untuk peran itu. Jadi Dian tidak boleh putus asa. Suatu hari, pasti ada peran yang sesuai untuk Dian. Dan Dian bisa muncul di TV."
"Nggak mau!" Suara Dian berbaur antara malu, kesal dan putus asa.
'Tidak usah kalau Dian tidak mau. Tapi kalau flca yang muncul duluan, Dian nggak marah, kan" flca juga ingin cari uang untuk beli obat Mama. Jadi jangan dimusuhi, ya""
Dian tidak menjawab. Tetapi Anggraini tahu dia sedang kesal. Bukan karena Ika bisa mencari uang. Tapi karena dia yang terpilih.
Mengapa orang-orang lebih menyukai adiknya" Padahal apa sih kelebihannya" Sudah gembrot, ompong, lagi.'
"Dian." Anggraini membelai-belai kepala anaknya dengan lembut. "Iri hati itu perbuatan yang sangat burak. Lebih-lebih kepada adik sendiri."
Lama Dian berdiam diri. Ketika dia membuka mulutnya lagi, suaranya kental dibalut geram.
"Kenapa orang-orang lebih menyukai Dca, Ma"
Dca lebih cantik dari Dian""
"Tidak, Dian. Bukan karena itu. Kamu sama cantiknya. Sama berbakatnya. Bedanya, Dca lebih cocok untuk peran itu. Suatu hari nanti, kalau ada peran yang cocok untukmu, pasti Dian yang terpilih."
"Diskotek"" belalak Anggraini kaget. "Tidak, Rimba! Mama tidak setuju kamu kerja di tempat
seperti itu!" "Apa salahnya kerja jadi DJ"" "Mama khawatir, Rimba. Di sana kan kerjanya.
malam!" "Habis Rimba harus" kerja apa, Ma" Hams ada yang cari uang di rumah ini, kan" Kata Mama, nasi tidak datang sendiri ke rumah kita!"
Ya Tuhan, keluh Anggraini sedih. Beri aku kekuatan! Supaya aku dapat mengayomi keluargaku!
Ketika melihat paras ibunya berubah duka, Rimba tidak berkata apa-apa lagi. Dia menyingkir ke atas. Langsung masuk ke kamarnya. Dan tidak keluar lagi dari sana.
Sementara Anggraini masih tepekur seorang diri di depan meja makan. Pekerjaan apa yang dapat dilakukannya sekarang" Tubuhnya masih, lemah. Dada, bahu, dan punggungnya masih .sering sakit. Lengan kirinya sering kesemutan. Dan dia masih harus menjalani radiasi.
Tetapi keluarganya tidak dapat menunggu. reka membutuhkan uang untuk makan. Untuj, membayar kontrak rumah. Dan untuk membiaya,-uang sekolah Dian dan Ika. Dari mana dia harus memperoleh uang sebanyak itu kala
u tidak bekerja" *#* Dokter Gigi Yanuar begitu sopan. Begitu ramah. Begitu penuh perhatian. Sampai Anggraini merasa rikuh.
Terima kasih untuk segalanya, Dok," katanya ketika Dokter Yanuar mengantarkannya ke rumah sore itu. "Mengapa sebaik ini pada Ika"" "Ika lucu dan berbakat. Lagi pula dia ingin tampil di TV bukan karena ingin jadi bintang. Tapi karena ingin mencari uang untuk pengobatan ibunya Coba katakan, tidak bolehkah saya bersimpati kepada bocah berumur tujuh tahun yang begitu luar biasa""
Ika jangan dipuji terus, Dok. Nanti hidungnya panjangF Anggraini tersenyum tipis sambil mencubit ujung hidung putrinya dengan lembut. "Bilang terima kasih kepada Dokter Yanuar, Ikal"
Trims berat, Dokter!" seru Ika sambil membuka pintu mobil. Ika pasti diterima, kan"" "Pasti," sahut Dokter Yanuar mantap. "Biar gigi Ika ompong""
"Nggak ada masalah. Ika malah jadi tambah menggemaskan!" flca melompat turun dari mobil Dan berlari-lari i
ke dalam rumah dengan riang. Di depan pintu
saja dia sudah berteriak-teriak memanggil neneknya.
"Ika memang lucu." Dokter Yanuar tersenyum geli. "Saya kepengin sekali punya anak seperti
dia." "Dokter sudah punya anak""
"Oh, saya belum menikah!"
"Maaf...." "Nggak apa-apa."
"Saya permisi dulu, Dokter."
"Nanti kalau sudah ada kabar dari teman saya, Ika akan saya jemput lagi untuk shooting."
"Aduh, jangan merepotkan, Dokter! Biar kami saja yang ke sana!"
"Tidak apa-apa. Hari Rabu dan Sabtu memang saya tidak praktek. Kalau Ibu tidak keberatan, Dca saya jemput."
"Tentu saja tidak. Tapi..."
"Boleh tanya sesuatu yang lain"" "Tentang apa"" tanya Anggraini, agak terkejut mendengar nada suara dokter gigi itu. "Tentang Ibu." "Saya""
"Benar Ibu mengidap kanker"" Sejenak napas Anggraini tertahan. "Payudara," Anggraini mengembuskan kata i
bersama napasnya. "Maafkan kelancangan saya...." "Tidak apa."
"Boleh tahu sudah stadium berapa""
"Dua." "Sudah dioperasi""
"Sudah. Tapi saya masih harus menjalani ra. diasi."
"Karena itu Bea perlu uang." Dokter Yanuar menghela napas panjang. "Dia benar-benar anak yang hebat" "Terima kasih sekali lagi. Dok. Selamat sore." "Selamat sore. Senang dapat mengenal Anda lebih dekat"
Alangkah baiknya dia, pikir Anggraini ketika mobil dokter gigi itu meluncur pergi. Seorang dokter muda yang sibuk. Tetapi masih mau meluangkan waktu untuk menolong pasiennya.
"Benar Ika pasti diterima, Angga"" tanya Nenek begitu Anggraini masuk.
"Pasti ya, Ma"" potong Ika bersemangat. "Huu, Nenek! Nggak percaya melulu kalau Bea ngo-mong!"
"Betul, Angga"" desak Nenek penasaran. "Betul, Bu."
Anggraini duduk di kursi dengan letih. Akhir-,* akhir ini tenaganya mudah sekali terkuras habis. 1
Tuh, betuL kan, NekT sorak Ika bangga. "Nenek percaya, nggak""
"Astaga, Rimba!" Nenek memekik tertahan begitu membuka pintu depan. "Ada apa sih"" "Sst! Jangan ribut, Nek!" Rimba menyelia**
masuk dan buru-buru menutup pintu. "Nanti Mama bangun!"
"Kenapa, Rimba"" tegur Sinta yang sudah muncul di belakang Neitek. "Siapa yang mengejarmu""
"Ada penggerebekan di diskotek." Rimba menyusut peluhnya sambil mengatur napasnya. "Untung aku masih sempat kabur!"
"Kenapa digerebek"" desak Nenek curiga.
"Ah, Nenek! Tahu apa sih" Jangan ribut deh!"
Buru-buru Rimba menyelinap ke belakang. Tetapi Sinta terus mengikutinya.
"Kenapa polisi merazia diskotekmu" Ada penari bugil di sana""
"Obat terlarang," sahut Rimba sambil meneguk dua gelas air. "Untung aku masih sempat lolos."
"Kamu terlibat"" cetus Sinta kaget. "Minum obat-obat begituan""
"Ya, nggak dong!" Rimba meletakkan gelasnya dengan kesal. "Duit saja nggak punya, gimana bisa beli obat sih!"
"Nah, buat apa kabur kalau begitu""
"Kalau aku masih di sana, aku bisa ikut digiring ke polres!"
"Tapi kamu salah apa" Kamu kan cuma -DJ! Bukan pengedar obat!"
"Ala, sudahlah! Kamu sama cerewetnya dengan Nenekl Sebentar lagi rambutmu beruban!" |
BAB XXV Sinta tertegun kaget ketika melihat ibunya tegak di depan pintu kamar mandi. Tatapan mata ibunya yang setajam silet menoreh tirai tebal yang menutupi rahasia hatinya. Mencabik semua yang dicoba untuk disembunyikannya.
Saat ku juga Sinta sudah merasa, tidak m
ungkin menyembunyikannya lagi. Mama sudah mengetahui semuanya/
Tanpa dapat menahan tangisnya lagi, Sinta menubruk ibunya.
"Maafkan Sinta, Ma!" Cuma itu yang dapat dikatakannya di sela-sela tangisnya.
Anggraini memeluk anaknya dengan gemetar. Air mata meleleh ke pipinya.
Ketika mendengar Sinta muntah-muntah di kamar mandi, dia sudah menduga apa yang terjadi. Anggraini sudah .lima kali hamil. Dia dapat mengira-ngira apa yang menyebabkan seorang wanita merasa mual setiap pagi.
Anggraini hanya tidak percaya, musibah itu dapat menimpa anaknya! Tetapi ketika Sinta merangkulnya sambil menangis, semua keraguan di
had Anggraini langsung punah. Semuanya menjadi
jelas seperti sebuah buku yang terbuka:"
"Siapa yang melakukannya, Sinta"" desah
Anggraini pedih. Tiba-tiba saja luka bekas operasinya terasa nyeri
menggigit. Dia langsung mencari tempat duduk
sambil menebah dadanya. Kakinya terasa lemas.
Kepalanya kosong, Dunianya serasa kiamat. Sinta hamil... anaknya hamil! Padahal umurnya
baru empat belas tahun! Anggraini duduk tepekur seorang diri di kamarnya. Menatap ke luar jendela yang terbuka tanpa melihat apa-apa. Air mata terus mengalir ke pipinya. Seperti tidak akan ada habis-habisnya.
Mengapa penderitaan terus-menerus mengejar . dirinya" Mengapa kemalangan tak bosan-bosannya mengunj unginy a"
Rasanya dia sudah hampir tidak kuat lagi ihe- " nanggungnya. Sesaat dia sudah berpikir untuk membunuh diri saja. Biar lenyap semua penderitaan. ," ini! Tetapi... kalau dia tidak ada, siapa yang akan,_, 'melindungi anak-anaknya"
Pintu kamarnya perlahan-lahan terbuka. Nenek melangkah menghampirinya. Duduk diam-diam di samping tempat tidur..
Lama dia mengawasi*ttnggraini tanpa membuka-mulurnya. Seluruh kerewelannya seakan-akan ikut
lenyap digulung kabut derita yang demikian tebal melingkupi keluarganya. "Dia tidak bilang siapa yang melakukannya""
gumam Nenek pahit setelah lama berdiam diri. Anggraini menggeleng sedih. "Selama kamu tidak ada, dia memang sering keluar. Kadang-kadang sampai malam. Tapi Ibu tidak sangka...." Nenek tidak mampu melanjutkan kata-katanya Air matanya berlinang-Iinang.
Sinta memang merasa bersalah. Tetapi dia tetap tidak mau mengatakan siapa ayah anaknya. Anggraini sudah putus asa mendesaknya. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa.
"Mwgkmkah si... Heri"" bisik Nenek hati-hati. Seolah-olah takut Anggraini bertambah sakit hati.
Tidak mungkin! Siidah sepuluh kali Anggraini meneriakkan kata itu di hatinya. Tidak mungkin/ Tidak mungkin Heri sampai hati melakukannya.'
"Apa yang haru" kita lakukan, Angga"" desah Nenek getir.
Anggraini cuma menggeleng sambil menyusut air matanya. Dunia di hadapannya tampak gelap. Amat gelap.
Anggraini termenung dalam ruang radioterapi yang dingin membeku itu. Sementara sinar rontgen sebesar empat riba lima ratus rad menjelajahi dada kirinya untuk membi/nuh sel-sel kanker yang mungkin masih misa, pikirannya merambah ke
tempat lain. Ke sebuah sel dingin dan sempit
dalam penjara. Seorang laki-laki muda dan ganteng meringkuk di sana. Pikirannya mungkin juga'sedang mengembara ke mana-mana. Sementara tubuhnya terkurung dalam keterbatasan.
Seorang laki-laki yang tiba-tiba saja datang dalam kehidupannya. Tiba-tiba saja datang dalam kehidupan anak-anaknya. Kedatangannya seperti angin yang terasa sejuk dan semilir membelai hati mereka; Tetapi sekaligus badai yang memorakpo-randakan keremajaan anak-anaknya.
Untuk-pertama kalinya Rimba dan Sinta mengagumi kejantanan seorang laki-laki. Figur yang tak pernah hadir dalam diri tokoh ayah yang mereka kenal. Karena itukah Sinta terjebak"
Tidak mungkin, pekik Anggraini untuk keseratus, kalinya. Tetapi kini, gema pekikannya semakin melemah. Mungkin Heri tidak sampai hati melakukannya. Tetapi... mungkin saja dia juga terjebak! Heri tidak sengaja melakukannya... dia khilaf.
Mereka sering berada berdua di rumah. Sementara Rimba bekerja, Dian dan Bea pergi ke sekolah, siapa lagi yang sempat memperhatikan mereka" Nenek sibuk dengan Intan. Dan Anggraini. ingat, ibunya pernah memergoki mereka berc saja di kamarnya. :>:$M
Ah, ternyata kecurigaan ibunya semakin dipikfe kan
semakin besar pula kemungkinannya. Siapa 1 yang mungkin menodai Sinta" Sejak sakit r berhenti sekolah, Sinta hampir tak punya teman.Anggraini merasa hatinya begitu sakit, sampai menarik napas pun terasa nyeri. Barangkali jjjfg orang lain yang melakukannya, sakitnya tak akan terasa sepedih ini. Tetapi Her i! Lelaki yang telah menarik simpatinya. Lelaki yang membangkitkan semangat hidupnya. Lelaki yang mengembalikan anak-anaknya. Dan lelaki yang diam-diam dicintainya....
Biasanya Anggraini selalu mampir menengok fieri sepulangnya dari rumah sakit. Berdesakan dan 'terguncang-guncang dalam bus hampir tidak dirasakannya asal bisa menemui Heri.
Tetapi hari ini Anggraini langsung pulang ke rumah. Dia tidak mampu menjumpai lelaki itu. Tidak mampu mengajukan pertanyaan yang menyayat hatinya,
"Benarkah km yang melakukannya, Her"" Anggraini tidak akan tahan melihat lelaki itu menganggukkan kepalanya dengan sedih. Atau sekadar menundukkan kepala dengan perasaan bersalah.
Dia akan merasa hatinya yang sudah tercabik-cabik itu akan terkoyak menjadi serpihan kecil* kecil yang tak mungkin disempurnakan kembali. . Seorang wanita bisa patah hati karena dikhianati , kekasihnya. Tetapi bila kekasihnya menodai putrinya, hatinya bukan hanya patah, hati itu lebur dalam kehancuran....
Anggraini tiba di rumah dengan lesu. Tanpa f semangat. Sementara di dalam .selnya yang sempit, '" Heri dengan sia-sia menantikan kedatangannya.
Pikirannya kacau. Hatinya resah. Mungkinkah
Anggraini sakit" Atau... g|
Ingin rasanya dia kabur. Lari ke rumah Anggraini. Melihat apa yang menimpa wanita yang dikasihinya. Heri ingin berbagi penderitaan dengannya. Mengambil sebagian beban berat yang harus dipikulnya seorang diri....
Rimba menampar adiknya sekuat tenaga. Begitu kerasnya sampai Sinta terhuyung mundur.
"Nggak tahu diri!" dampratnya geram. "Dalam keadaan susah begini, bukannya bantu cari duit malah bunting!"
"Bunuh saja aku!" jerit Sinta histeris. "Memang " cuma kamu yang bisa cari duit!"
Rimba sudah mengangkat tangannya untuk memukul adiknya sekali lagi ketika Anggraini dan Nenek datang berlari-lari mencegahnya. *
"Apa-apaan kamu ini, Rimba"" bentak Anggraini pahit. "Kamu tidak berhak mengadili adikmu!"
"Jadi siapa yang berhak"" balas Rimba berang. "Rimba yang membeli nasi yang dia makan!"
Ya Tuhan! Anggraini menebah dadanya yang terasa sesak. Sekonyong-konyong dia menyesal telah membiarkan dokter mengangkat tumornya,. Jika dia tidak dioperasi,. semua prahara ini tidak terjadi!
Anggraini belum sempat mengatur napasnya. Belum keburu menarik napas dalam untuk mengusir kepengapan di paru-parunya. Sinta sudah menghambur lari ke dapur.
Hanya Nenek yang sempat mengejarnya. Dan tiba tepat pada saat Sinta meraih pisau dapur untuk mengiris pergelangan tangannya.
"Astaga, Sintal Jangan!" Nenek menjerit ngeri sambil menubruk cucunya. Mencoba merebut pisau di tangannya.
"Biar, Nek!" Sinta mempertahankan pisaunya dengan gigih. "Biar Sinta mati saja! Sinta memang anak yang tidak berguna. Tidak tahu diri! Cuma bikin Mama sedih!"
Anggraini memekik histeris ketika dari ambang pintu dapur dia melihat Nenek sedang bergulat dengan Sinta yang mencoba mengiris pergelangan. tangannya. '-^fl
Rimba mendorong ibunya dengan gesit. Melompat ke dekat Sinta. Dan merampas pisaunya dengan sekali sentak saja.
Ketika* Sinta dengan kalap menyerangnya untuk merebut pisaunya kembali, Rimba menamparnya sekali lagi Dan melemparkan pisau itu jauh-jauh.
Sinta jatuh terduduk. Dia menutupi wajahnya. Dan menangis tersedu-sedu.
Nenek terkulai di bangku dapur sambil mengatur napasnya. Wajahnya pucat pasi. Keringat membanjiri sekujur tabuhnya. Seolah-olah dia baru saja ikut pertandingan sepak bola untuk orang-orang gaek.
*** 1 "Siapa yang melakukannya, Sinta"" desak Rimba 7 penasaran. "Si Harun" Cowok kerempeng "ujung
gang itu" Biar kuhajar dia supaya mengakui" " "Bukan!" sergah Sinta sambil menangis. "Kamu
jangan sok tahu!" "Habis siapa lagi" Cuma dia yang nempel terus
kalau kamu ke pasar!" "Pokoknya bukan dia!"
"Oom Heri"" Mata Rimba menyipit. Pancaran berbahaya bersorot di matanya yang dingin. "Jangan
sembarangan menuduh orang!" "Sudahlah, Rimba," potong Anggraini lirih. "Jika Sinta tidak mau mengatakannya, buat apa dipaksa"'
"Buat apa"" dengus Rimba sengit. "Seseorang harus bertanggung jawab, Ma! Masa Mama diam saja Sinta bunting nggak ketahuan siapa bapaknya""
"Jangan kasar begitu, Rimba," keluh Anggraini
pilu. "Sakit telinga Mama mendengarnya."
"Lebih sakit lagi kalau Sinta punya anak haram,
Ma!" "Akan kita cari jalan keluarnya bersama-sama,
Rimba." "Tapi abortus perlu duit, Ma! Siapa yang bayar""
"Nggak mau!" jerit Sinta kalap. "Apa hakmu. "Kamu mau anakmu lahir nggak ada bap; nya"!'
"Rimba! Sudah!" sela Anggraini getir. "Sinta sedang bingung. Jangan ditambah lagi..." "Jadi cuma dia yang bingung'"
*SiBta nggak mau dioperasi, Ma.'" tangis Sinta etakutan.
"Dikuret, Tolol! Bukan dioperasi!" "Rimba/" Anggraini membelalak gusar ke arah putri sulungnya. "Dari mana kamu belajar mengucapkan kata-kata sekasar itu""
"Mana yang lebih baik, ngomong jorok atau bunting""
"Jangan sekasar ini di depan Mama, Rimba!" "Aaahh"" Dengan gemas Rimba meninggalkan
fibu dan adiknya. "Mama nggak bisa didik anak! Dia kelewat dimanja, jadi rusaki" "Memang Mama yang salah! Mama yang tidak dapat memberi kehidupan yang cukup baik untuk kalian. Jika Mama tidak dioperasi, Mama masih bisa cari uang. Dan hidup kalian tidak akan begini menderitaf
"Mama!" Sinta merangkul ibunya dengan sedih. "Bukan salah Mama. Sinta yang bodoh. Sinta yang salah, Ma""
Anggraini mendekap anaknya erat-erat. Di balik tubuh Sinta dia seperti melihat bayangan Heri. Tatapannya begitu sedih.
"Tangan Sinta digandeng sama si Heri," dalam kesendirian di ruang radioterapi, Anggraini seperti dapat mendengar kembali cerita ibunya. "Malam
itu muka Sinta sumringah sekak' seperti pengantin
baru.'" Benarkah di sana mulainya" Pada saat mereka bersama-sama menonton operet Bawang Merah
Bawang Putih" "Sinta seperti tidak mau lepas dari Heri. Lengket
sekali! Mereka sering berbisik-bisik berdua sambil bertukar senyum. Kan bangkunya juga sebelahan"
Si Heri membukakan pintu mobil buat Sinta. Menggandengnya turun. Membelikan minuman.
Wah, pendeknya persis orang pacaran!"
Barangkali Heri memang keterlaluan. Memperlakukan Sinta seperti wanita dewasa. Seperti pacarnya. Tapi... itu tidak sama dengan menodainya!
Nenek memang sudah demikian yakin, Heri-lah yang bersalah. Kalau bukan dia, siapa lagi" Hanya dengan dia Sinta pernah tampak begitu dekat. Tetapi... bolehkah sembarangan menuduh orang"
Heri mungkin bersimpati kepada Sinta. Ingat memberinya rasa percaya diri. Mungkinkah dia merusak apa yang telah ia coba perbaiki"
Anggraini ingin sekali mampir ke penjara. Ingin minta Heri berterus terang. Tetapi mampukah dia mendengar pengakuan laki-laki itu"
Akhirnya Anggraini memutuskan antuk pulang ke rumah. Dia belum cukup tegar untuk mengakui kenyataan yang meremukkan harinya itu. Lelaki yang dicintainya menodai putrinya!
Dan di depan rumah, telah menanti Dokter gigi Yanuar Husodo.
"Ibu Anggraini, selamat siang! Saya datang untuk menjemput Ika."
Hati yang sedang gundah dan kemunculan yang
tiba-tiba-dari seseorang yang dihormatinya membuat Anggraini tertegun sesaat.
Dan Dokter Yanuar mengawasi wanita yang diam-diam dikaguminya itu dengan heran. "Anda baik-baik saja"" tanyanya khawatir. Anggraini cuma mampu menganggukkan kepalanya.
"Pulang dari rumah sakit" Sendirian"" Sekali lagi Anggraini mengangguk. Wajahnya yang pucat dan tatapan matanya yang kosong membuat Dokter Yanuar tambah cemas.
"Saya datang untuk menjemput Jka." : "Dia belum pulang sekolah."
"Ika mendapat panggilan. Jika Ibu sempat, kita bisa pergi bersama-sama ke sana untuk menandatangani kontrak. Tetapi saya lihat hari ini Anda kurang sehat...." "Oh, saya tidak apa-apa!" "Saya pikir lebih baik saya bawa saja kontraknya kemari. Ibu dapat menandatanganinya di rumah...."
"Oh, tidak usah, Dok!" cetus Anggraini seperti 'i bara bangun tidur. "Jangan repot-repot...."
"Apakah tidak sebaiknya Ibu duduk dulu beristirahat"" sela Dokter Yanuar penuh perhatian. I "Anda kelihatannya tidak sehat. Saya boleh tunggu di sini" Atau sebaiknya saya datang kembali"
" "Silakan tunggu di dalam, Dok! Sebentar lagi. Jka pulang."
'Terima kasih. Mudah-mudahan saya tidak merepotkan."
. "Kami yang merepotkan. Dokter mau minum
apa"" Anggraini membuka pintu dan mendahului
masuk ke dalam. Dokter Yanuar Husbdo mengikutinya. Dan mengawasi wanita yang sedang tertatih-tatih melangkah itu dari belakang.
"Silakan duduk, Dok." Ketika Anggraini berbalik untuk mengucapkan kata-kata itu, matanya berpapasan dengan mata dokter Yanuar. Dan tidak sengaja, paras Anggraini memerah tatkala melihat bagaimana cara dokter itu memandangnya.
"Oh, terima kasih." Buru-buru Dokter Yanuar mengosongkan tatapannya. Dia tampak gugup ketika meletakkan panggulnya di kursi tamu.
"Mau minum apa, Dok" Cuma ada air dan teh."
"Air dingin saja. Hari ini panas sekali."
Ketika Anggraini membungkuk menghidangkan segelas air, Dokter Yanuar tidak dapat mengusir pesona yang ditampilkan wanita itu.
Gila, pikirnya resah. Perempuan ini mengidap kanker. Dan payudaranya tinggal sebelah! Mengapa daya tariknya masih demikian menyengat"
"Silakan diminum, Dok." Anggraini mundur ke sofa. Dan duduk dengan sopan di sana.
Tanpa disuruh dua kali, Dokter Yanuar meneguk air di gelas itu sampai habis.
"Lagi, Dok""
"Terima kasih. Cukup segelas dulu."
"Di luar memang panas sekali."
Di dalam juga, keluh Dokter Yanuar. Lebih"
lebih di dalam hatiku! 303 Sejak saat itu dokter yanuar husodo semakin sering datang kerumah anggraini mula mula dg alas an menjemput ika shoting lama kelamaan di muncul begitu saja,tanpa alas an apa apa dan anggranini menjadi semakin resah.mengapa dokter yanuar mau meluangkan waktu datang kerumahnya!DAN KALAU SUDAH DATANG dia dapat mengobrol begitu santai dengan ika,tidak sibukkah dia"kadand2 dokter yanuar mengajak ika pergi,dan dia selalu mengudang anggraini untuk ikut,meskipun anggraini lebih sering menolak daripada menerima.dia merasa tidak pantas pergi dengan dokter muda itu,dokter yanuar berhak mendapat kan gadis yg lebih muda dan sempurna,bukan janda pengidap kanker seperti dirinya.
Mengapa selalu menolak pergi bersama saya"tanya dokter yanuar saat menunggu ika menukar baju tidak apa apa saya hanya merasa tidak pantas
Karena saya dokter giginya ika" Lama anggraini menatap dokter muda itu sebelum memutuskan untuk berterus terang
Karena saya seorang janda dan tak seorangpun tahu berapa lama lagi saya hidup siapa yg tahu"saya juga tidak tahu kapan saya mati
Tapi dokter masih muda dan sehat dokter tidak mengidap kanker ganas seperti saya anggraini!dokter yanuar memandangnya dengan sungguh sungguh.saya boleh memanggil namamu saja kan"panggil saya yanuar,tapi"rasanya terlalu kaku kalu masih membiasakan memanggil dok,dan bu,tapi itu karena saya sangat menghormati anda,dok.
Saya lebih suka dipanggil yanuar karena saya ingin menjadi teman anda bukan hanya menjadi dokter giginya ika,saya merasa amat tersanjung tapi"
Saya tidak ingin memaksa tapi jika ada sedikit saja perasaan suka terhadap saya tolong jangan menutup dirimu biarkan segalanya berkembang dengan sendirinya kearah mana piker anggraini bingung tentu saja aku menyukaimu,menghormatimu,menghargaimu tetapi tidak mungkin lebih dari itu
Heri meninju dinding di hadapannya dengan E kesal. Sudah seminggu lebih Anggraini tidak pernah mengunjunginya lagi. Anak-anaknya juga tidak ada yang muncul. Ada apa" Apakah dia sakit" Mengapa tidak ada seorang pun yang ingat untuk mengabarinya"
Seandainya saja ada telepon di rumahnya... Heri pasti sudah meneleponnya.' Dia hampir tak tahan lagi didera perasaan bingung dan khawatir.
Mengapa Anggraini sampai hati membiarkannya dalam kegelisahan begini" Begitu cepatkah dia terlupakan"
Tentu saja Heri tidak tahu, betapa sulitnya bagi Anggraini untuk melupakannya. Betapa sulitnya mencegah keinginannya untuk menjumpai laki-laki itu.
Untuk pertama kalinya setelah belasan tahun berlalu, Anggraini merasakan kembali perasaan rindu yang menyengat. Dia merasa pedih. Merasa kesepian. Merasa hampa. Tetapi dia tetap belum berani mengunjungi Heri!
Anggraini sudah membawa Sinta ke dokter. Dan dokter itu sudah memastikan, Sinta hamil. Tak ada yang dapat disangkal lag
i. Bayang-bayang kelabu itu kini telah-menjelma menjadi kenyataan pahit. Anaknya hamil! Dan Sinta tetap menutup mulurnya rapat-rapat.
Cinta Di Awal Tiga Puluh Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anggraini pun tidak ingin memaksanya bicara. Karena dia semakin yakin, Sinta membisu supaya tidak menambah penderitaan ibunya....
*** 1AZ Anggraini panik. Malam itu, Rimba tidak pulang.
Keesokan paginya, dia juga tidak muncul.
Dalam keadaan bingung, Anggraini mengajak Sinta mencari Rimba di tempat kerjanya. Tetapi Sinta juga tidak tahu di diskotek mana Rimba bekerja.
Akhirnya Sinta terpaksa menghubungi Budi Su-koco. Satu-satunya orang yang dianggapnya dapat
menolong Rimba. Seperti dulu.
"Di polsek lagi"" gerutu Budi jengkel. "Tidak tahu, Oom." Sinta berusaha menekan perasaannya baik-baik. Demi Rimba. Padahal mendengar suara lelaki itu saja dia sudah ingin muntah. "Tapi Rimba tidak pulang tadi malam. Dan saya tidak tahu di diskotek mana dia bekerja."
"Lalu kamu suruh aku mencarinya di mana" Di setiap diskotek di Jakarta""
"Tolonglah, Oom! Temani Sinta mencari Rimba!"
"Tapi kenapa mesti aku"" "Siapa lagi dong, Oom" Mama masih lemah." Budi menghela napas kesal. Mengapa dia teras yang dikejar-kejar dimintai tolong" Rimba bukan anaknya! Bukan keponakan! Bukan apa-apanya! Mengapa anak brengsek itu selalu bikin susah saja"
"Paling-paling dia ada di hotel," gerutu Budi gemas. "Atau di losmen! Mana ada diskotek yang buka pagi-pagi begini!"
"Seminggu yang lalu, diskoteknya digerebek polisi, Oom. Razia obat terlarang."
"Jadi dia minum obat juga" Tidak tahu diri!"
*** "Jangan, Sinta. Biar Mama saja yang pergi mencari Rimba." "Mama masih lemah. Biar Sinta saja, Ma." "Kamu gadis remaja, Sinta. Tidak baik keluar-masuk diskotek sendirian!" "Sinta nggak sendirian, Ma." "Kamu pergi dengan siapa"" "Ada Oom Budi di luar. Sinta minta tolong Oom Budi. Dia sudah menghubungi temannya. Mencari tahu diskotek mana saja yang dirazia minggu lalu."
Budi" Anggraini tertegun sesaat. Budi ada di luar"
"Mengapa tidak kamu ajak masuk"" "Nggak mau, Ma. Katanya biar tunggu di mobil saja."
Dia tidak mau menemuiku, pikir Anggraini sedih. Masih, marahkah dia" Atau... dia memang sudah tidak ingin melihatku lagi"
Ada perasaan sedih menjalari hati kecil Anggraini. Ah, sebenarnya bukan hanya sedih. Tapi sekaligus terhina.
Perasaan seorang wanita yang merasa terbuang karena lelaki yang suatu waktu dulu pernah mengaguminya kini menjauhinya seperti seonggok sampah! Sudah begitu tidak berharganyakah dia" Kalau bukan demi anaknya, Anggraini sudah
tidak ingin menjumpainya lagi. Tapi demi Rimba...
ditindasnya perasaannya. Anggraini melangkah gontai keluar. Dan melihat lelaki itu di balik kemudi. Masih mobilnya yang dulu juga. Yang sering dipakai menjemput Anggraini. Dan membawanya ke mana-mana.
Tidak ada yang berubah pada penampilan Budi. Dia masih tetap segagah dulu. Dan sekali lagi, segurat perasaan nyeri mengiris hati Anggraini. Lelaki tampan ini dulu pernah hampir menjadi miliknya! Sekarang... melihat pun dia enggan!
"Selamat pagi, Bud," sapa Anggraini di samping mobil. "Nggak masuk""
Budi menoleh kaget seperti ditegur pocong. Wajahnya memucat sedikit. Matanya menyipit melihat Anggraini.
Dan untuk ketiga kalinya, Anggraini merasa ngilu. Mata lelaki itu pasti tidak berdusta. Mata itu menyorotkan kekagetan. Yang kemudian perlahan-lahan berubah menjadi perasaan iba.
Anggraini benci melihatnya. Rasanya lebih baik jika dia tidak usah membalas tatapan Budi lagi. Supaya matanya tidak usah menceritakan betapa berubahnya Anggraini sekarang!
Heri pasti sangat mencintainya. Begitu mengasihinya sampai matanya tidak pernah menyorotkan tatapan seperti ini.... Bagi Heri, Anggraini tak pernah berubah. Tetapi bagi Budi, Anggraini seperti sudah berubah menjadi sesosok monster! "Kaget melihatku"" tanya Anggraini tenang.
309 untai senyum pahit dipaksakannya tersungging di bibirnya. "Aku sudah jauh berubah""
g "Angga!" Bergegas Budi membuka pintu mobilnya. Begitu gugupnya dia sampai hampir tersuruk ketika keluar dari mobil itu. "Apa kabar""
Kalau Anggraini mengharapkan Budi akan memeluknya seperti duta, dia pasti kecewa. Tetapi Anggraini memang sudah tidak
mengharapkannya lagi. Begitu gugupnya Budi sampai dia lupa mengulurkan tangannya - untuk memberi salam. Atau... dia bukan lupa. Dia memang tidak mau....
"Tidak pernah ada kabar baik lagi. Kenapa tidak masuk"" "Oh, takut mengganggumu." "Sesudah semua pertolongan yang kauberikan""' "Ah, pertolongan apa!"
"Tanpa uangmu, aku mungkin masih disandera di ramah sakit! Tidak bisa bayar tagihan."
"Oh." Wajah Bodi .bertambah pucat. Dan sikapnya bertambah serba salah. "Lupakan saja!"
Lupakan saja" Mengapa dia sebaik itu" Dan mengapa... dia begini gugup" Bukankah justru dia yang menjadi dewa penolong"
"Terima kasih mau melayani permintaan-permintaan Sinta. Dia selalu merepotkanmu."
Budi tidak mampu menjawab. Dia kelihatan sangat gelisah sampai Anggraini bertambah bingung.
Sudah begitu mengerikankah penampilanku sampai Budi tidak berani menatapku, pikir Anggraini sedih.
Saat itu Sinta muncul di belakang ibunya.
"Sinta pergi, Ma," katanya dengan suara tertekan.
"Jangan, Sinta. Biar Mama saja!" "Kan ada Oom Budi, Ma!" "Jangan. Biar Mama yang pergi dengan Oom Budi."
"Tapi Mama masih lemah!" "Kamu juga tidak sehat. Masih mual"" "Sedikit. Mama istirahat saja." "Kamu saja yang istirahat. Mama pergi, Sinta," "Sinta saja, Ma!" "Masuk, Sinta." "Mama nggak bakal kuat!" "Biar Sinta saja yang ikut, Angga," potong Budi resah. "Kamu masih lemah..."
"Jangan mengasihani aku!" potong Anggraini sengit. "Aku yang paling tahu kondisi tubuhku sendiri!"
"Tapi Sinta lebih kuat..."
"Siapa bilang" Kau tidak tahu apa-apa!"
"Mama..." "Masuk, Sinta. Jangan membantah lagi!"
"Seharusnya kaubiarkan Sinta menemaniku mencari Rimba," keluh Budi sambil mengemudikan mobilnya.
"Mengapa kau begini takut kepadaku"" sergah Anggraini gemas. "Apa penampilanku sudah begitu mengerikan""
"Bukan begitu! Aku hanya tidak ingin kau sakit lagi..,."
"Aku sudah tidak apa-apa! Operasiku sudah Jewat. Dan aku masih tetap manusia. Bukan separo mayat!" "Kau tidak mengerti...." "Aku mengerti sekali! Kau takut melihatku!" "Kau keliru...."
"Karena aku sudah berubah total! Penampilanku telah jauh berbeda!" 'Tapi bukan itu maksudku!" "Kau tidak usah khawatir, Bud. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku tidak akan menagih janji-janjimu!"
"Kau salah mengerti, Angga! Aku tidak mau kau ikut karena kasihan kepadamu. Kau masih lemah. Sinta masih muda dan kuat...." 'Tapi dia hamil!"
#** Mobil Budi terlonjak berhenti. Mobil di belakangnya mengerem mendadak. Bunyi klaksonnya yang panjang menyakitkan telinga. . EpJ". Tetapi Budi seperti tidak mendengar apa-apa. Dia terenyak bengong.
Hamil" Sinta... hamil" Anaknyakah yang berada dalam kandungan gadis itu" Anak yang selama ini diharapkannya"
Tentu saja Budi pantas terkejut Tetapi menurut Anggraini, kekagetannya berlebihan. Dia menepikan mobilnya seperti habis menelan lima butir luminal.
"Katamu... Sinta hamil"" Budi menggagap sambil menyeka keringatnya. "Siapa... siapa yang...""<
"Dia tidak mau mengatakannya."
"Anaknya..: sehat""
"Apa maksudmu"" dengus Anggraini tersinggung.
"Sinta... tidak... tidak... menggugurkannya..."" "Aku tidak mau membunuh cucuku siapa pun
ayahnya!" "Jangan, Angga! Kumohon kepadamu, jangan
bunuh anak itu!" Sekarang Anggraini mengawasi Budi dengan curiga.
"Mengapa kau menaruh perhatian begitu besar
kepada cucuku""
"Kau tahu sudah berapa lama aku mendambakan
anak!" "Apa hubungannya denganmu""
"Berikan anak itu kepadaku, Angga!"
"Kepadamu"" Anggraini- mengerutkan dahinya dengan perasaan tidak enak. "Tapi kau tidak pernah menginginkan anak orang lain, kan" Kau menginginkan anak kandung!" - H
"Kalau anak kandung tak bisa kuperoleh, apa salahnya mengangkat anak""
"Kau benar-benar sudah berubah!" Anggraini menatap Budi dengan tajam sampai yang ditatap jadi bertambah salah tingkah.
"Berikan anak itu kepadaku, Angga!" pinta Budi memelas sekali. "Aku rela memberikan apa saja yang kauminta!"
^B^kM^m maksudku. Aku "h An Dun kiu tuiik perlu mc lihat "eperti 4i\t .t:!
3" ;^"'Kju "311" NJan" aku "udah Srruhuh'
-].mnm tidak keber; : -' Tidak perlu Uny " pcn.
I CUVUkl "Du n tidak kchi "'r! ifea peduli Mu cucuku txMt tnrmfernfaj yang
Dan Sintj masih j nak Jfk U "o* an (fa hcii "k c Angga" mu m aku avrthnvrt. )C"" A memilik" amk itu'
\ku BAB XXVII "Anak Ibu kami tangkap dalajji razia obat terlarang di diskotek tadi malam," kata Kapten Polisi Bahar. "Di sakunya ditemukan lima butir pil ecstasy." "Ya Tuhan!" desah Anggraini getir. "Rimba menolak memberitahu alamatnya. Ka-. rena itu kami tidak dapat menghubungi orangtua-nya."
"Anak itu masih di bawah umur," sela Budi. "Tidak dapatkah Bapak membebaskannya" Dia pasti cuma ikut-ikutan teman."
"Tidak segampang itu, Pak. Kami harus menyelidiki dulu, Rimba memiliki pil itu untuk diedarkan atau untuk konsumsi sendiri."
"Maksud Bapak, anak itu terlibat jaringan pengedar obat terlarang""
"Tidak mungkin!" cetus Anggraini kecut. "Rimba bekerja sebagai DJ di diskotek itu!" . "Ibu telah dibohongi. Dia tidak bekerja. Tetapi hampir setiap malam dia berkeliaran di diskotek itu." . -4i*t Anggraini terenyak lemas. Musibah beruntun
yang menimpa keluarganya seperti- langit yang perlahan-lahan runtuh mengubur dirinya.
"Kami akui akhir-akhir ini dia memang kurang
pengawasan, Pak,'" dengan gigih Budi masih mencoba membebaskan Rimba. "Ibunya baru saja operasi kanker. Tetapi kalau Bapak sudi membebaskannya, kami berjanji akan mendidiknya baik-baik
dan mengawasinya lebih ketat."
"Sudah saya katakan, tidak semudah itu, Pak. Semua ada prosedurnya. Kami sedang menekan Rimba supaya dia mengatakan siapa pemasoknya. Tetapi dia tetap menutup mulutnya rapat-rapat."
*** "Aku tidak percaya Rimba sekejam ini kepadaku," keluh Anggraini ketika sedang menunggu untuk bertemu dengan anaknya. "Apalagi pada saat ibunya dalam keadaan seperti ini!"
"Dia mencari uang untuk pengobatanmu," sahut Budi datar. "Dulu dia pernah mencuri waktu kau masih di rumah sakit. Aku yakin sekarang pun dia mengedarkan " ecstasy dengan alasan yang sama."
"Ya Tuhan." Anggraini menyusut air matanya dengan sedih. "Lebih baik aku tidak usah dioperasi, daripada anak-anakku menderita begini!"
"Bukan salahmu, Angga," gumam Budi lirih. Trenyuh melihat penderitaan wanita yang pernah dikasihinya. "Hanya nasibmu yang buruk..,^| Ketika Rimba dibawa ke hadapannya, Anggraini
tidak mampu, mengucapkan sepatah kata pun karena sedihnya.
Wajah putri sulungnya kusut masai. Merah. Agak sembap. Rambutnya acak-acakan. Pakaiannya jf lusuh. Dia tampak kotor. Letih. Dan kurang tidur. Tetapi matanya tetap mata Rimba. Mata yang tidak pernah bersinar takut. Mata yang nyaris dingin. Bp-v
Dia menatap ibunya dengan tegar. Tanpa perasaan bersalah.
"Kenapa ke sini, Ma"" tanyanya datar. "Rimba tidak mau melibatkan Mama!"
Tanpa dapat menahan keharuannya lagi, Anggraini merangkul anaknya. Sesaat tubuh Rimba terasa membeku dalam pelukannya.
"Mama tahu apa yang Rimba lakukan untuk Mama," bisik Anggraini getir. "Bertalianlah, Rimba. Mama akan berjuang sekuat tenaga untuk membebaskanmu."
"Lebih baik kauceritakan siapa bandarmu," sela Budi datar. "Supaya hukumanmu lebih ringan."
Rimba melepaskan pelukan ibunya. Dan. menatap Budi dengan dingin. "Lebih baik jangan ikut campur," katanya tawar. "Rimba, jangan begitu. Oom Budi hanya ingin menolong...."
"Rimba tidak perlu ditolong. Lebih baik Mama pulang. Di sini bukan tempat untuk Mama."
"Mari pulang, Anggai" potong Budi tandas. "Biar dia selesaikan sendiri persoalannya. Kita "at saja sampai di mana kehebatan anakmu."
Rimba menatap Budi dengan geram. Anggraini sampai terkesiap melihat sorot mata Rimba yang begitu penuh kebencian.
*** Anggraini membuka pintu mobil Budi dengan letih. Sesaat sebelum turun, Budi masih memburunya dengan pertanyaan.
"Janji ya, Angga" Akan kaubicarakan dengan
Sinta"" Anggraini hanya mengangguk lesu. Dia keluar dari mobil. Dan menutup pintunya. Dulu, Budi-lah yang selalu membukakan pintu mobil untuknya. Tetapi sekarang, tampaknya dia tidak merasa perlu lagi. Dia lebih tertarik membicarakan anak Sinta.
"Besok aku datang lagi," katanya sebelum pergi. "Kuharap sudah ada jawaban pasti."
Anggraini tidak menjawab. Dia melangkah ter-I tatih-tatih ke pintu rumah. Dan seorang laki-laki bertampang menyeramkan dengan tato yang cukup mencolok di lengannya, menghampiriny
a dengan cepat. Sesaat Anggraini mengira dia akan dirampok. Barangkali kemalangan belum puas juga mengusiknya.
Refleks dia berbalik untuk minta tolong kepada Budi. Tetapi mobil lelaki itu telah pergi. Sudah terlalu jauh untuk dikejar Terlalu jauh pula bagi Budi untuk mendengar jeritan Anggraini.>:i
"Ibu Anggraini"" sapa lelaki bertato itu segera, begitu melihat Anggraini mundur dengan ketakutan.
Anggraini terpaku di tempatnya. Menahan napas tanpa berani bergerak. "Jangan takut. Saya teman Hen Jangkung." . Heri... Jangkung"
"Heri teman saya satu sel. Kemarin saya dibebaskan dari penjara. Dia yang minta saya datang kemari."
"Heri sakit"" Sekejap Anggraini melupakan rasa takutnya. Rasa khawatir dan penyesalan berkecamuk di hatinya. Sudah lama dia tidak menengok Heri. Sampai Heri mengirim temannya kemari.... "Selamat siang, Anggraini." Anggraini menoleh dengan terperanjat. Dan belum pernah merasa begitu lega ketika melihat Dokter Gigi Yanuar Husodo tegak di dekatnya. "Dokter Yanuar...." W&''
"Ada apa"" Dengan sikap waspada Dokter Yanuar mengawasi teman Heri yang bertampang kriminal itu. "Dia mengganggumu""
"Oh, tidak!" cetus Anggraini setelah dapat menguasai dirinya kembali. "Dia teman Heri...."
'Temanmu"" Dokter Yanuar mengangkat alisnya. Ditatapnya lelaki itu dengan tatapan tidak percaya.
"Heri mengirim saya untuk melihat keadaanmu," dengus pria bertato itu tanpa mengacuhkan Dokter Yanuar. "Seharusnya dia tidak perlu khawatir!"
Tanpa berkata apa-apa lagi, dia melangkah pergi meninggalkan mereka. "Siapa Heri itu"" desak Dokter Yanuar curiga. 'Temanku," sahut Anggraini letih. "Temanmu punya teman seperti itu""
Nada suara Yanuar hampir membuat kemarahan Anggraini meledak. Apa haknya mengatur siapa yang boleh menjadi teman Heri" Untung dia masih
mampu menguasai emosinya.
"Maaf, saya letih sekali hari ini," gumam Anggraini tanpa berniat menyilakan Dokter Yanuar
masuk. "Sayang sekali." Paras dokter gigi itu berubah. "Tadinya saya berniat mengajakmu dan Ika me--ttonton tayangan perdana film iklan Tka."
"Terima kasih. Tapi hari ini, rasanya mengangkat kaki pun saya sudah tidak kuat lagi."
"Ada yang Mama ingin bicarakan denganmu, Sinta," kata Anggraini perlahan-lahan setelah selesai menceritakan keadaan Rimba.
Sinta yang sedang menangis mendengar cerita ibunya tentang Rimba, mengangkat kepalanya. Matanya yang berlinang air mata memandang ibunya dengan getir.
"Oom Budi menginginkan anakmu...." Dan Anggraini terkesiap. Mata Sinta menggelepar panik. Sorot ketakutan memancar dari matanya. Membuat Anggraini tertegun bingung.
Ada apa" Mengapa Sinta tampak begitu ketakutan" I
"Semua terserah kamu," sambung Anggraini hati-hati. "Kalau kamu tidak mau anakmu diadopsi-"
Sinta meraung dan menangis sejadi-jadinya sampai Anggraini kewalahan meredakan tangisnya.
"Ada apa"" Nenek yang masih menggendong Intan tergopoh-gopoh menghampiri.
"Budi Sufcoco ingin mengadopsi anak Sinta." Anggraini menghela napas berat. "Katanya dia bersedia membiayai semua kebutuhan Sinta, sejak hamil sampai melahirkan."
"Rasanya ito jalan terbaik," tukas Nenek mantap. "Sinta belum sanggup memelihara anaknya. Lebih baik anak itu diberikan kepada keluarga yang memang menginginkan anak. Aku yakin, cucumu lebih terurus di tangan mereka, Angga. Mereka keluarga berada, kan" Nah, anak Sinta pasti mempunyai masa depan yang lebih cerah di tangan mereka."
Diam-diam Anggraini menyetujui pendapat ibunya Tetapi dia tetap menyerahkan keputusan terakhir di tangan Sinta. Dan saat ini, Sinta belum dapat ditanya, dia masih menangis tersedu-sedu.
"Kan tidak usah khawatir," terngiang kembali di ;! telinga Heri kata-kata temannya.'"Perempuanmu f&9 dak kurang suatu apa.' Dia baru saja diantar pulang oleh seorang lelaki naik mobil mewah. Besok dia janji datang lagi, dan minta jawaban pasti!"
Merah padam muka Heri ketika membayangkannya Siapa lelaki yang mengantarkan Anggraini pulang dengan mobil mewah itu" "Pantas saja dia nggak sempat kemari! Baru
saja pulang, ada lelaki lain yang datang menjemputnya. Seorang dokter!"
Mula-mula Heri mengira Dokter Suriadi. Tetapi temannya berkeras mengatakan d
okter itu masih muda dan ganteng. "Lupakan saja dia, Her! Dia bukannya sakit. Dia terlalu sibuk untuk menengok pacarnya di penjara!"
Benarkah Anggraini telah melupakannya" Benarkah dia tidak sempat lagi meluangkan waktu untuk datang menjenguknya"
Tentu saja Heri merasa sakit hati. Meskipun sebagian hatinya belum mau mempercayainya. Benarkah sudah ada lelaki baru dalam kehidupan Anggraini" Kalau benar demikian, perempuan itu benar-benar sakit!
Tidak heran sambutan Heri begitu dingin ketika petang itu Anggraini datang menjenguknya. Dan api cemburu yang sedang menghanguskan benaknya mengaburkan ketajaman intuisinya. Heri tidak mampu mencium perubahan sikap Anggraini. "Siapa dokter itu""
Dinginnya suara Heri menyentakkan kesadaran Anggraini. Meletupkan kegusaran di hatinya,
Dia masih berani mencemburai diriku setelah apa yang dilakukannya kepada anakku, geram Anggraini dalam hati. Munafik!
"Dokter siapa"" balas Anggraini sama dinginnya. ,
"Yang tadi siang datang ke rumahmu."
"Dokter Yanuar Husodo," sahut Anggraini tawar. "Dokter giginya Ika."
""Dia melayani jaga panggilan rumah"" : Sinisnya suara Heri memerahkan paras Anggraini.
"Jka berhasil jadi bintang iklan karena jasanya." "Dan dia menagih balas jasa"" Sekarang ambang kesabaran Anggraini terlampaui. "Apa maksudmu, Her"" desisnya agak sengit. "Kau tidak sempat mengunjungiku karena dua. orang lelaki itu"" sergah Heri sama sengitnya. "Padahal aku begitu mencemaskanmu! Kukira kau ' salat!"
"Lelaki siapa""
"Kau yang harus menjawabnya! Siapa lelaki yang mengantarkanmu pulang dengan mobil mewah itu." Yang berjanji akan datang lagi besok untuk minta kepastian jawabanmu""
Astaga, Anggraini menghela napas panjang. Rupanya mata-mata Heri sudah menceritakan hasil pengintaiannya dengan lengkap!
"Budi." Anggraini mengembuskan nama itu bersama napasnya. "Budi Sukoco. Bekas produserku."
"Oh, dia lagi rupanya!" Anggraini tidak tahu Heri sedang mengejek atau marah. "Dewa penolong yang meminjamkan, uang untuk operasimu! Dia masih mengejar-ngejarmu" Sekarang anak-anakmu pasti tidak keberatan! Dia datang untuk mendesakmu menikah""
"Dia datang untuk menemaniku mencari Rimba!" dengus Anggraini marah. Air mata berlinang di matanya meskipun dia sudah berusaha menahannya. "Rimba ditahan. Ada lima butir, pil ecstasy di sakunya...."
Sesaat Heri terenyak. Kemarahannya memudar.
Matanya mengawasi Anggraini dengan tegang. "Kapan dia dibebaskan"" tanyanya kaku. "Apa
yang dikatakan polisi""
Anggraini menggeleng sedih. Ketika dirasanya air matanya hampir runtuh, dia berbalik untuk menyembunyikannya.
Lama mereka sama-sama terdiam. Sebelum suara Heri terdengar lirih membelai telinga Anggraini.
"Maafkan aku, Rim. Tak pantas aku mencem-buruimu."
Memang tak pantas! Kalau benar kau yang menghamili Sinta!
"Aku begitu mengkhawatirkanmo. Seminggu le-bih kau tidak datang. Tidak ada kabar berita. Kukira kau sakit. Sampai kuutus temanku yang baru dibebaskan kemarin. Dan laporannya tentangmu tadi membuatku hampir meledak dibakar cer buru."
"Kau masih bisa mencemburaiku"" gumam Ar graini lirih. "Pada saat-saat seperti ini""
"Apa maksudmu" Kau masih tetap perempu yang menarik. Tidak heran kalau' Budi Suk masih mengejarmu."
"Dia bahkan sudah tidak mau lagi meliha kalau tidak terpaksa!"
"Tidak mau melihatmu tapi masih melamarmu
"Siapa yang melamarku""
"Dia datang lagi besok untuk minta kepastis
kan"" , M "Dia ingin mengadopsi anak Sinta."
Lama Anggraini tidak mendengar jawaban Heri. Ketika dia memutar rubuhnya, dilihatnya Heri sedang memandangnya dengan wajah pucat. Tatapan
matanya begitu sedihnya sampai Anggraini hampir tidak kuat membalas tatapannya. Tetapi di mata itu, Anggraini tidak menemukan perasaan bersalah sedikit pun!
"Siapa yang melakukannya, Rim"" tanyanya getir setelah mampu membuka mulurnya lagi. Anggraini menggeleng putus asa. "Sinta. tidak pernah mau mengatakannya. Barangkah' dia takut tambah menyiksa ibunya."
"Maksudmn..." Heri menghampiri Anggraini dengan tegang. "Salah seorang kenalanmu" Temanmu"" "Seseorang yang dekat dengan aku dan dia." Tatapan mata Anggraini begitu ganjil. Lama Heri berusaha mengan
alisis arti tatapan itu sebelum tiba-tiba dia sadar, Anggraini mencurigainya!
"Ya Tuhan.'" desis Heri antara terkejut, sedih, dan kecewa. "Kau menuduhku"" Anggraini menunduk dengan perasaan bersalah. "Maafkan aku. Tetapi Sinta tidak punya teman. Dan dia sangat mengagumimu...."
'Teganya kau menuduhku berbuat sekeji itu kepada anakmu!"
'Tahukah kau mengapa aku tidak mengunjungimu seminggu ini"" tanya Anggraini sedih. Diangkatnya wajahnya. Ditatapnya Heri dengan getir. "Karena kau jijik kepadaku"" "Karena aku takut tidak kuat mendengar pengakuanmu!"
"Dengar, Rini. Kau sudah membawanya ke dokter""
"Tak ada keraguan lagi. Dokter bilang, dia hamil."
"Berapa usia kandungannya""
"Kira-kira enam minggu. Apa bedanya""
"Dokter mengatakan kapan taksiran partusnya""
"Lima belas September. Kalau aku tidak salah."
"Ada metode untuk menghitung taksiran partus, dihitung sejak tanggal haid terakhir. Jika dokter mengatakan tanggal lima belas bulan sembilan, itu berarti haid terakhir Sinta jatuh tanggal delapan bulan dua belas. Benar""
Anggraini tidak menjawab. Dahinya berkerut.
"Berarti Sinta masih mendapat haid setelah aku ditahan!"
Anggraini menatap bengong. Kebingungannya perlahan-lahan mencair. Berganti dengan kelegaan.
"Mengapa aku tak pernah memikirkannya"" desahnya dengan perasaan bersalah. "Aku telah sembarangan menuduhmu,..."
"Kau sedang bingung. Tidak dapat berpikir jernih. Lupakan saja. Sekarang yang. penting, memikirkan siapa yang menghamili Sinta."
"Apa bedanya lagi" Asal bukan kau...."
"Katamu tadi, Budi Sukoco ingin mengadopsi anak Sinta""
Anggraini tertegun menatap Heri. Ketika perlahan-lahan tatapannya berubah nanar, wajahnya memucat.
BAB XXVIII Sebenarnya Sinta tidak mau menemui Heri. Dia malu. Tetapi ketika sampai gelap ibunya belum pulang juga, dia panik.
Tadi Mama bilang mau mengunjungi Oom Heri. Mengapa sampai sekarang belum pulang juga" Mustahil Mama pergi selama itu. Dia masih lemah. Cepat lelah. Dan dia sudah meninggalkan rumah sejak sore.
Akhirnya Sinta memberanikan diri mengunjungi rumah tahanan Heri. Waktu berkunjung memang sudah habis. Sinta hams mengiba-iba supaya diizinkan menemui Heri.
"Tolonglah, Pak," pintanya memelas sekali kepada petugas yang melarangnya masuk. "Sebentar saja. Ibu saya belum pulang. Padahal baru saja dioperasi. Saya takut ada apa-apa,'Pak. Barangkali Oom Heri tahu ke mana ibu saya pergi."
Heri terkejut sekali ketika petugas penjara menjemputnya di sel. Lebih-lebih ketika melihat siapa yang datang. "Sinta!" cetusnya kaget. "Ada apa" Ibumu baik"" Sinta tidak mampu mengucapkan sepatah kata
pun. Air matanya langsung mengalir membasahi pipinya. Heri trenyuh sekali melihatnya. Dia harus
menahan dirinya agar tidak memeluk gadis itu untuk menghiburnya.
"Jangan nangis, Sinta," gumam Heri lembut. "Oom tahu mengapa Sinta melakukannya."
Sesaat Sinta menatap Heri dengan nanar. Sudah tahukah Oom Heri" Dari mana dia tahu"
"Bajingan itulah yang seharusnya dihajar. Dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Kalau Oom sudah bebas nanti, Oom akan membuat perhitungan atas apa yang dilakukannya pada Sinta."
Sekarang Sinta yakin. Oom Heri sudah tahu! Artinya... Mama juga sudah tahu!
Ya Tuhan! Ke mana Mama pergi sekarang" Ke tempat Oom Budi"
"Oom..." Sinta rdenggigit bibirnya menahan tangis. "Tadi Mama kemari" Mama bilang mau pergi ke mana"".
"Tumben." Hera mengawasi suaminya dengan heran. "Angin apa yang membawamu ke sini""
Selama menjadi suaminya, Budi memang baru dua kali mengunjungi istrinya di tempat kerjanya. Biasanya dia paling malas datang ke sana.
Hera mempunyai sebuah butik yang dikelolanya sendiri. Tidak besar. Tapi cukup eksklusif. Di tempat inilah dia dapat mengusir kesepiannya. Melupakan kebosanannya berkurung di rumah.
Dia sedang menata sebuah gaun baru ketika Budi tiba-tiba muncul. Dan Hera sudah merasa, bahkan sebelum Budi membuka mulutnya, ada kabar teramat penting yang dibawanya.
"Ada hal penting yang ingin kubicarakan," kata. Budi sambi/ melangkah masuk ke dalam kamar kena Hera.
"Soal apaT' Hera mengikuti suaminya masuk ke ruang kecU di belakang toko yang dipergunakannya sebagai kantor. "
Begitu pentingnyakah sampai tidak dapat menungguku pulang ke rumah"" "Aku ingin minta sesuatu kepadamu." Seriusnya suara Budi membuat Hera semakin penasaran. Dan semakin berdebar-debar menunggu kelanjutan kata-katanya.
"Soal apa" Kalau soal perempuan, aku tidak mau dengar!" "Aku ingin punya anak." Wfe
Wajah Hera memerah sampai ke telinga. Bibirnya terkatup rapat menahan geram. "Lagu lama," desisnya kering. "Sekarang keinginanku sudah tak tertahankan lagi."
"Kau ingin mengawini temanmu yang hampir mati itu" Dia masih sanggup memberimu anak"" "Aku ingin mengadopsi cucunya." "Cucu siapa"' desak Hera bingung. "Ingat anak perempuan pincang yang pernah datang ke rumah kita"" "Anak teman baikmu yang sakit kanker itu"" "Dia hamil Aku ingin mengadopsi anaknya."
Sekarang Hera menatap suaminya dengan tajam.
Begitu tajamnya sampai Budi merasa resah.
Cinta Di Awal Tiga Puluh Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa harus anaknya"" sergah Hera curiga.
"Mengapa tidak" Dia tidak bisa memelihara anak itu."
"Siapa ayahnya""
"Mana aku tahu""
"Kau mau mengambil anak haram yang tidak ketahuan siapa bapaknya""
"Apa bedanya" Aku mau mengadopsi anaknya, bukan bapaknya!"
"Mengapa tiba-tiba begitu berminat hendak mengadopsi anak ini""
"Mengapa tidak" Kita sudah lama ingin punya
anak!" "Tapi kau selalu menolak anak angkat! Katamu, kau ingin anak kandung! Mengapa sekarang tiba-tiba berubah""
"Aku sudah putus asa."
Tetapi cara Budi menjawab membuat Hera bertambah gelisah. Ada sesuatu yang disembunyikannya. Hera merasa, suaminya berdusta.
Mungkinkah... anak itu... anaknya sendiri" Gadis pincang itu perlu uang. Dan dia masih hijau. Belum berpengalaman. Mungkinkah Budi..."
"Aku ingin bicara dengan gadis itu dulu."
"Buat apa"" Budi separo membentak.
"Buat apa"" Hera membelalak kesal. "Kau mau mengangkat anak yang tidak ketahuan siapa bapak- , nya tanpa menyelidiki dulu asal-usulnya""
'^Asal'osal apa lagi" Aku kenal neneknya. Dia perempuan baik-baik."
"Tapi kau tidak kenal kakeknya! 'Tidak kenal ayahnya.'"
"Kalau kau mau mengadopsi anak, kau harus kenal semua nenek moyangnya""
"Paling tidak, aku tahu dari comberan mana mereka berasal.'"
"Dengar, Hera." Suara Budi berubah dingin. Wajahnya membeku. "Aku akan mengambil anak itu. Jika kau masih menginginkan rumah tangga kita utuh, jangan bantah kehendakku.'"
Heri merasa resah. Dia menyesal. Merasa bersalah. Dia yang telah membangkitkan kecurigaan itu di hati Anggraini.'
Tadi Anggraini pergi dengan marah. Matanya memendam dendam dan sakit hati yang tak terperikan.
Anggraini mungkin sudah tidak mengharapkan lagi dapat mempersuami Bodi. Tetapi bagaimanapun, lelaki itu bekas pacarnya. Hubungan mereka pernah telanjur intim. Dan kini... Budi menghamili putrinya!
Sekarang Anggraini belum pulang ke rumah. Padahal dia sudah begitu lelah. Ke mana dia pergi" Mencari Budi" Mendesaknya mempertanggungjawabkan perbuatannya" Bagaimana kalau Budi menyangkal" Dan bagai-... kalau dia... mengaku"
*** Budi turun dari mobilnya dengan marah.
Dibantingnya pintu mobil dengan sengit.
Perempuan bertingkah! Tidak diceraikan saja sudah bagus! Mengapa Hera begitu konyol" Tidak tahu diri! Perempuan mandul, masih banyak lagak! Apa pedulinya anak siapa pun yang mereka adopsi"
Budi masuk ke kantornya dengan kesal. Pak Randu, satpam di kantornya, langsung membukakan pintu begitu mengenali majikannya.
"Selamat malam, Pak," sapanya hormat. "Ada yang ketinggalan, Pak""
Budi hanya mendengus. Dia tidak merasa perlu menjawab.
Apa pedulimu mau apa aku kemari" Ini kantorku! Aku mau tidur di sini pun bukan umsanmu!
Melihat suramnya wajah majikannya, Pak Randu tidak berani membuka mulurnya lagi. Diam-diam dia mengundurkan diri ke posnya.
Budi langsung masuk ke kantor. Menyalakan lampu. Dan mengambil arsip surat-surat perjanjian.
Dia harus bertindak cepat. Sebelum Sinta sempat menggugurkan kandungannya. Anaknya sudah datang! Anak yang sangat didambakannya. Dia sudah bertekad untuk memiliki anak itu, apa pun taruhannya!
Budi mengambil sebuah contoh kontrak. Dia akan mendesak Sinta dan ibunya untuk menandatangani surat perjanjian. Mereka akan menyerahkan
anak itu kepadanya sesudah lahir nanti. Apa pun permintaa
n mereka akan diturutinya....
Budi duduk di depan meja tulisnya. Menyalakan komputernya. Dan baru hendak mengetik ketika pintu kamar kerjanya terbuka....
"Serangan jantung"" Kepala sipir penjara yang bertugas jaga itu mengeratkan dahinya. "Bagaimana keadaannya"" "Sangat kesakitan, Pak.' Napasnya sesak." "Sudah hubungi Dokter Amin"" "Dokter Amin sudah memeriksanya, Pak." "Apa katanya""
"Dia ragu, Pak. Katanya sebaiknya pasien dikonsultasikan kepada dokter ahli jantung." "Dia tidak pura-pura sakit"" "Kata Dokter Amin, gejalanya persis serangan jantang, Pak."
"Dia tidak minum obat apa-apa" Ada sejenis obat yang dapat memberi efek seperti serangan jantung."
"Tidak ada yang tahu, Pak. Tapi kalau Bapak mengizinkan, saya- akan mengawalnya ke dokter jantung. Dan membawanya pulang kembali jika dia tidak perlu dirawat di rumah sakit"
*** || "Anggraini"' sapa Budi heran. "Ada apa""
Belum pernah Budi melihat Anggraini dalam
keadaan seperti itu. Wajahnya yang kurus tampak
pucat seperti mayat. Matanya yang sayu dan letih menatap dingin. Begitu dinginnya sampai Budi merasa bulu ramanya meremang.
Anggraini-kah yang datang" Atau... hantunya"
Tubuhnya yang kurus dan lemah tegak dalam keremangan cahaya di ambang pinta. Latar belakang yang gelap menimbulkan kesan yang lebih menyeramkan lagi.
Mendadak sekerat perasaan tidak nyaman menyelinap ke hati Budi. Mengusik kewaspadaannya. Dia sudah merasa, kedatangan Anggraini pasti bukan membawa kabar gembira. Dia seperti hendak menuntut sesuatu... menggugat... menuduh....
Lambat-lambat Budi bangkit dari kursinya. Dan menghampiri wanita itu.
"Duduk, Angga," tukasnya hati-hati. "Kau tampak lelah...."
Budi mengulurkan tangannya untuk membimbing Anggraini ke kursi. Tetapi wanita itu spontan mengelak.
"Jangan sentuh, aku lagi!" Suaranya tawar dan kering. Tapi matanya tetap menatap sedingin es.
Budi terpaku. Alarm tanda bahaya berdering mengirimkan sinyalnya ke seluruh tubuh Budi. Membangkitkan kewaspadaannya.
"Ada apa"" tanyanya hati-hati. "Kau datang seperti hantu!"
"Jawab saja pertanyaanku.' Kaukah ayah anak Sinta""
### Hera tidak dapat lagi berkonsentrasi pada pekerjaannya. Bayangan wajah suaminya yang sangat f . gusar mengusiknya terus.
Mengapa Budi begitu marah" Mengapa dia begitu ngotot ingin mengadopsi anak itu" Hera kena/ sekali sifat suaminya. Budi lebih I baik menceraikan istrinya daripada mengangkat [ anak/
Hera-lah yang selama ini menolak perceraian. Bukan karena dia masih mencintai suaminya. Tetapi karena ingin mempertahankan status.
Mengapa sekarang tiba-tiba Budi berubah" Benarkah anak itu... anaknya sendiri"
"Apa bedanya* bagimu"" geram Budi sesaat sebelum pergi tadi. "Anak siapa pun yang kuambil, anak itu tetap anak angkatmu.' Karena kau tidak bisa memberikan anak kandung kepadaku/"
Memang menyakitkan. Tetapi itulah selalu yang dikatakan Budi selama ini.
"Jika kau masih menginginkan rumah tangga kita utuh," ancamnya dingin. "Jangan bantah ke-hendakku.'"
Dan Hera tahu, Budi bersungguh-sungguh. Kalau Hera masih menginginkan menjadi .istrinya, dia tidak punya pilihan lain. Dia harus menerima anak itu, tidak peduli siapa ayahnya/
Bergegas Hera berkemas. Dia harus menyusul
suaminya. Tapi... ke mana dia pergi"
Budi tidak menjawab. Tetapi ketika melihat air muka laki-laki itu, Anggraini tidak memerlukan jawaban lagi.
Kesedihan, sakit hati, dan kemarahan yang ditahannya sejak tadi, menggumpal menyesakkan dada. Stres demi stres yang silih berganti menyapanya sejak beberapa bulan terakhir ini seperti menemu* ' kan tempat pelampiasan.
Budi menggauli Sinta... menghamili putrinya yang baru berumur empat belas tahun! Sungguh ^menjijikkan!
"Kau bajingan!" Dengan kalap Anggraini menyerang dan menerkam Budi. Dicakarnya wajahnya. Dipukulinya dadanya. JjB
Budi yang tidak menyangka Anggraini dapat bertindak histeris seperti itu, tidak sempat mengelak.
Torehan kuku Anggraini meninggalkan goresan panjang berdarah dan menyakitkan di wajahnya. Refleks Budi memukul wanita itu. Agak terlalu keras sampai Anggraini yang masih lemah dan dalam keadaan letih serta shock, terjajar ke dinding di belakangnya.
Kepalanya membentur tembok. Dan tubuhnya merosot lemas ke lantai.
"Angga!" teriak Budi bingung.
333 Saat itu seorang laki-laki muncul di pintu. Begitu melihat keadaan Anggraini, Heri meraung marah. Dia menerkam Budi. Dan menjotos rahangnya.
Begitu kuatnya sampai Budi merasa miang rahang bawahnya berderak dan giginya goyah. Tetapi lelaki itu tidak memberinya kesempatan untuk membela diri. Pukulannya datang beruntun. Dia baru berhenti memukul setelah Budi ambruk ke lantai. Dan Pak Randu berlari-lari mendatangi.
Melihat keadaan majikannya, satpam itu langsung menghunus pisaunya. Dan dia sudah bergerak untuk menikam Heri ketika seman Hera membatalkan niatnya.
Heri menggendong Anggraini keluar dari kantor Budi. Anggraini sudah siuman. Tetapi dia belum mampu mengucapkan sepatah kata pun. Seolah-olah dia masih berada di dunia lain.
Matanya menatap Heri dengan tatapan yang amat memilukan hati.
Tatapan yang membuat Heri merasa hatinya tercabik menjadi serpihan kecil-kecil.
"Kita akan mengatasinya bersama-sama. Sayang," bisik Heri lembut. "Kuatkanlah hatimu. Tetaplah tegak seperti batu karang di tengah laut kehidupan,"
Heri membawa Anggraini pulang ke rumah. Sama seperti malam pertama pertemuan mereka dulu. Bedanya, kali ini Anggraini yang sakit, Dan
kali ini, anak-anak Anggraini masih belum tidur.
Mereka masih menunggu Mama pulang.
Dian dan Ika menyambut kedatangan Heri dengan gembira. Heri merangkul mereka dengan
terharu setelah membaringkan Anggraini di sofa. Sinta membawakan handuk dingin untuk mengompres kepala Anggraini atas perintah Heri. Sementara
Nenek menyuguhkan segelas air.
Malam itu, Heri melewatkan waktunya bersama Anggraini dan anak-anaknya. Hanya malam itu. Karena keesokan paginya, dia harus meninggalkan rumah. Menyerahkan dirinya kembali ke ramah tahanan.
Heri memang harus membayar pelariannya dari pengawalan penjaga yang sedang membawanya ke rumah sakit. Tetapi dia tidak menyesal. Dia telah berhasil membalaskan sakit hati Anggraini dan
Sinta. Malam itu Budi harus dirawat di rumah sakit karena gegar otak ringan. Tulang mandibulanya patah. Empat buah giginya rontok. Dan dia tetap tidak berhasil mengadopsi anak Sinta. "
Sinta telah bertekad untuk merawat sendiri anaknya. Anggraini memboyong keluarganya pindah ke rumah sederhana yang sedang dicicilnya. Dia tinggal di sana sambil menunggu Heri dan Rimba dibebaskan dari tahanan.
Sementara karier Ika sebagai bintang iklan terus melangit. Permintaan demi permintaan terus mengejarnya sampai Anggraini kewalahan mengatur jadwalnya agar Ika tidak ketinggalan pelajaran di sekolah.
Intan terus bertumbuh sebagai anak imbesil yan sulit dididik. Tetapi Anggraini bertekad untuk mJ" latihnya sekaat tenaga agar Iin kelak dapat hidup Mandiri. Dan Anggraini bersyukur Tuhan masi" memberinya waktu untuk membesarkan anak-anaknya.
JOIN THE MIRAW. FAN CLUB Isilah kupon di bawah ini, kirimkan kembali kepada kami, dan
Anda akan menerima informasi setiap kali ada buku barn Mira W. yang kami terbitkan. Lampirkan prangko Rp 600,PT Gramedia Pustaka Utama Bagian Promosi
Jl. Palmerah Selatan 24-26, Lt 6 Jakarta 10270
Ya, catat nama saya sebagai anggota Mira W. FAN CLUB.
Nama :..........................................................................."".
Usia, :......"... tahun Pria /Wanita*
Jabatan : Pelajar/mahasiswa/karyawan/wiraswastawan/ibu
rumah tangga*) Alamat : .........""....................... "------ " "> "" " " .........................
tamat Tongkat Delapan Naga 2 Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Pedang Kiri Pedang Kanan 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama