Cowok Karya Kinoysan Bagian 1
cowok1 Katakan saja dengan cinta
COWOK #1 Penulis: Kinoysan Ilustrator: Ade Prihatna Penyunting naskah: Benny Rhamdani Penyunting ilustrasi: Andi Yudha Asfandiyar Desain sampul dan isi: Andi Y. A. dan Bunga Melati Layout sampul dan seting isi: KemasBuku Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Cetakan I, Maret 2DD6 Diterbitkan oleh Penerbit Cinta Jin. Cinambo No. 137 Cisaranten Wetan, Bandung 4D294
Telp. (022) 7834315-Faks. (022) 7834316 e-mail: penerbitcinta@yahoo.com
PENERBIT CTNTA Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Kinoysan
Cowok #l/Kinoysan; penyunting, Benny Rhamdani. Cet. 1. Bandung: Cinta, 2DD6. 172 him.: ilus.; 17 cm. ISBN 979-38DD-27-5 I. Judul. II. Rhamdani, Benny. 813
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU) Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujungberung, Bandung 4D294 Telp. (022) 7815500-Faks. (022) 78D2288 e-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id
Cowok #i Kinoysan P E N 5 * 8 l T Cinta Isi Buku Cowok #1 ... 13 Aku kangen, Wang! ... 23 Ternyata Dia ... 31 Sebuah Keputusan ... 43 Kayak Kerbau ... 55 Setangkai Edelweis ... 61 Jangan Jauh Dariku ... 67 Kawan lama ... 77 Putus ... 87
Ketika Dia Datang ... 95 Saat Berjumpa ... 105 Gara-gara Ramalan ... 113 Penjual Kartu ... 123 Nggak Semuanya Tiga Dara ... 139
Lembut bahasamu, Membuatku lara hati, Tutur kata ini beium sepadan, Senyum hanya menggantung di awan.
Santun tingkah lakumu, Membuatku gundah gufana, Menentang derai kemiiauan bintang-bintang, Menerpa ujung-ujung kalbuku, Menata waktu yang terasa lambat, Menunggu esok untuk melihatmu kembali riang.
Elok parasmu dengan akhlak menawan, Membuatku tak sanggup berpijak, Ternyata langit tetap mengangkasa, Biru tetap biru, Bening tetap bening, Putih tetap putih, Tak tergores, tak tersentuh.
Bijak putusanmu, Serasa membuat langkah ini gemetar, Damai turut mengiringi, Karena hanya ikhlas yang bisa, Membalas cinta dan cinta ...
Semoga cowok beruntung itu ... Cepat sadar akan keberuntungannya ...
Ataukah aku yang beruntung" Merengkuh sayang padamu ... COWOK NOMOR SATU ... di ruang hatiku.
Ucapan Terima Kasih Alhamdulillah .... Setelah lama banget nggak peduli sama naskah cerpen-cerpen yang dimuat di media, sampe sebagian besar hilang entah ke mana, akhirnya ada juga yang masih bisa diselametin dan diterbitin jadi kumpulan cerpen ini.
Puji syukur pada Allah atas limpahan rahmat dan karunia-Nya padaku.Terima kasih tak terhingga buat ayah dan ibuku, Bapak Suparni dan Ibu Ratmiatun, yang kuhormati dan kukasihi,atas segalanya yang telah diberikan pada= ku,termasuk doa-doa tulusnya.Buat adik-adikku tersayang yang selalu ngasih dukungan dan bantuan; Ety "Heng Hong" Diah Kartikawati, Cahyo "Broto" Subroto,Moko "Smokey" Nugroho, Rubung "Popeye" Tanggara, dan Siti "Sweet" Yuana Sari.
Terima kasih banyak buat Mas Benny Rhamdani yang pasti udah capek ngedit dan nyesuain tulisanku sama karakter en style CINTA, termasuk larangan-larangannya masih suka ditabrak @ waduh ... jangan kapok ya, Mas. Soalnya
sekarang lagi nulis buat CINTA, penginnya sih, terbit dari naskah yang fresh langsung dari komputer. Hehehe .... Buat Mas Ali Muakhir, makasih banyak sharing pengalamannya. Juga, buat aii kru Redaksi CINTA en tim Pracetak CINTA, makasih kerja samanya. Terima kasih kepada semua teman di milis PENERBIT CINTA, darinya aku belajar banyak hal.
Nggak lupa, terima kasih buat Mas Yanusa, Mas Adi, Mas Bayu, Denny Baonk, Mbak Ajeng, dan semua temen serta sobat yang nggak bisa disebutin satu per satu, di mana pun berada.
Nggak ketinggalan terima kasih buat
............................. "'(tuliskan nama kamu di sini)
yang udah beli buku ini. Kritik, saran, dan masukannya ditunggu lho, di e-maih kinoysan" yahoo.com.
Salam hangat, Kinoysan Cowok # i GALUH!" Tiba-tiba seseorang menghentikan langkahku. Aku belum berani menoleh.Siapa tau yang dipanggilnya orang lain. Nama bisa saja sama.
"Galuuuh ...!" seru suara itu kini membuatku menoleh.
Kulihat Rey berlari ke arahku.Kalau saja aku bisa, aku ingin menghindar. Namun terlambat, Rey udah menjangkauku. Dia udah ada di hadapanku.
"Galuh, apa kabar"" tanyanya pelan. Aku
tak tahu harus mengatakan apa. Kondisiku sangat baik, tapi pasti akan menjadi nggak baik dengan pertemuan ini.
"Baik," kataku sambil mengulurkan tangan.
"Kamu sendiri gimana""
"Syukurlah. Bisa kita ngobrol dulu sambil minum barangkali"" tanyanya terdengar hati-hati. Mungkin melihat penerimaanku yang nggak terlalu baik.
"Maaf, Rey.Aku lagi buru-buru.Mungkin lain waktu aja.Aku minta kartu namamu,nanti aku
nelepon kamu," kataku pelan. Dia mengangguk mengerti dan memberikan kartu namanya.
"Kartu nama kamu"" tanyanya.
"Aku nggak punya kartu nama, tapi janji deh, nanti nelepon kamu!" seruku meyakinkan.
Dia mengangguk mengerti. "Udah ya, ntar keburu telat ke kursusnya!" seruku langsung melambaikan tangan ke arah taksi yang kebetulan melintas.
"Ke belakang Roxy, Pak. Cepet, ya! seruku pelan. Tanpa banyak bicara, sopir taksi itu langsung membawaku ke tempat tujuan. Untung saja Tante Lin belum pulang, hingga aku bisa langsung ke kamar tanpa perlu basa-basi.
Sejenak aku memandangi kartu nama yang bertuliskan nomor telepon dan alamat Rey. Kemudian aku meremasnya, merobek dan mem-buangnya ke tempat sampah. Dia tak perlu lagi hadir dalam kehidupanku. Tak perlu lagi aku berpura-pura ramah padanya.
Bagaimanapun, luka yang ditinggalkannya masih terasa. Aku udah maafin dia, namun mungkin nggak gampang melupakannya. Entah sampai kapan.
"TUNGGU, Galuh! Tunggu! Aku bisa kasih penjelasan!" seru Rey ketika itu.
Aku menemukannya sedang jalan mesra bareng Winda, sahabatku sejak kecil.
"Penjelasan apa lagi, Rey"Semuanya udah jelas. Di depanku kamu berani selingkuh kayak gitu! Kalau udah nggak suka, kita bisa kok, putus baik-baik! Nggak perlu kucing-kucingan!" seruku emosi.
"Ini nggak seperti yang kamu kira, Galuh. Dengerin dulu!"
"Lepasin!" "Aku ...!" seru Rey tertahan.
"Simpan semua keteranganmu itu, Rey. Kita putus. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku!" seruku getir dan langsung berlari meninggalkannya. Air mataku menitik satu per satu. Tak kuhiraukan pandangan orang-orang yang menatapku dengan heran dan tak mengerti.
Ternyata, saat itu aku masih bisa menangis. Menangisi kebodohanku. Menangisi kenapa aku mencintainya. Menangisi kenapa aku merasa kehilangan dia berminggu-minggu kemudian. Menangisi betapa aku merindukannya di malam-malam Minggu yang terlewat. Menangisi kenapa dia melakukannya dengan sahabatku sendiri. Menangisi bahwa aku tak cuma kehilangan seorang pacar, tapi juga seorang sahabat.
Dan akhirnya, keputusan mama semakin bulat. Aku harus pindah sekolah. Mama menitipkanku pada Tante Lin di Jakarta agar aku bisa memiliki kembali hari-hari yang ceria.
Aku memang menemukan duniaku kembali, ketemu sama temen-temen baru dan kegiatan baru yang membuatku nggak sempat lagi mengingatnya. Aku nggak sempat lagi menengok ke masa lalu di Surabaya sejenak saja. Nggak sempat lagi berpikir kalo aku akan ketemu lagi dengan-nya.
Kemarin aku bertemu dengannya dan dia memanggilku. Masih dengan panggilan yang hanya dilakukan olehnya. Masih dengan sosoknya yang tinggi jangkung dan menawan. Masih dengan tatapan matanya yang teduh.
Tuhan, untuk apa Kau pertemukan kami lagi" Untuk membuatku ingat bahwa dia pernah menjadi warna dalam hidupku"
Entahlah. Aku bingung. Tok-tok-tok! "Y aaa ..." sahutku dari dalam.
"Ada temanmu.Tante udah suruh masuk,"kata Tante Lin dari luar.
"Iya Tante. Makasih. Sebentar Galuh turun," kataku pelan. Terdengar suara langkah kaki men-jauh. Aku segera merapikan rambut dan menya-pu-kan bedak tipis ke muka. Siapa yang datang" Hari ini, aku merasa nggak punya janji sama siapa-siapa!
"Galuh ..."" Rey kembali datang.
"Maaf, aku datang nggak ngasih kabar, "katanya pelan.
"Siapa yang ngasih tahu aku tinggal di sini"" tanyaku datar.
"Mamamu." "Mama""
"Aku meneleponnya kemarin."
"Untuk apa kamu datang""
"Untuk banyak hal."
"Nggak ada lagi urusannya denganku."
"Galuh, jangan begitu!"
"Bukankah itu benar""
"Maksudmu soal Winda""
"Kenapa kamu nggak ngurusin dia aja dan bisa jalan-jalan sama dia tanpa gangguan. Bukankah kamu mencintainya""
"Biarkan aku cerita, Luh. Baru kamu boleh menghakimiku!"
"Aku nggak menghakimimu. Kamu sendiri yang membu
atku bersikap kayak gini. Rasanya masih sakit," kataku pelan.
"Aku tau, tapi aku seperti makan buah simala-kama. Winda sahabatmu, dia mencintai-ku."
"Lalu, dengan begitu kamu berhak jalan sama dia dan nggak peduli perasaanku""
"Aku mencintaimu,Luh.Dan itu sungguhiBahkan sampai sekarang."
Aku tersenyum sinis."Simpan aja omong kosong ituiJangan ngobral kata cinta, nggak ngaruh!"
"Winda mencintaiku. Dia ngomong padaku dan ingin sekali dalam hidupnya sempat jalan denganku."
"Dengan nggak peduli padaku""
"Aku ingin jelasin semua sama kamu,tapi kamu nggak mau dengar!"
Aku terdiam."Kamu egois,hanya peduli diri sendiri!"
"Winda terkena leukimia. Hidupnya nggak lama lagi. Dia hanya ingin jalan denganku. Aku menurutinya dengan anggapan, kalau kujelasin sama kamu, kamu bakalan ngerti. Tapi kamu nggak mau denger dan nggak peduli.Kamu langsung ninggalin kami begitu saja. Bahkan, kamu nggak dateng di pemakaman Winda. Sebenarnya yang egois siapa" Apa kamu tau, gimana pera-saan Winda" Bukan salahnya mencintaiku. Aku hanya ingin membahagiakan dia di akhir hidupnya."
Aku bingung harus ngomong apa. "Itu pun karena aku nganggap dia sahabat kamu, bagian dari diri kamu. Tapi, kamu malah nggak mau tau. Berbulan-bulan aku mencarimu, tapi orangtuamu nggak mau ngasih alamat. Baru setelah aku jelasin semuanya, mamamu ngasih alamat. Liburan ini aku bisa ke sini, ketemu kamu di jalan, tapi kamu nggak peduli. Sekarang terserah kamu. Aku udah jelasin semuanya ke kamu."
Hah"! "Kamu bisa baca diari Winda yang dititipin ke-aku untukmu kalau mau tau yang sebenernya.
Aku cuman ingin ngomong soal itu. Mungkin aku salah, tapi tak apa. Demi orang yang ku-cintai, kupikir nggak masalah selama ini aku menanggung kangen sendirian," ucap Rey pelan.
Aku masih terdiam dan nggak nyangka itu yang terjadi. Winda emang udah meninggal. Karena sakit hati yang masih bersarang di dadaku, aku nggak mau menghadiri pemakamannya waktu itu.
"Aku pulang, Luh. Aku sangat ngehargain apa pun keputusan kamu. Namun satu hal yang perlu kamu tahu, aku tetep mencintaimu dan sayang padamu," kata Rey pelan. Sosoknya langsung berdiri, kemudian beranjak meninggalkanku.
"Rey ...!" seruku tiba-tiba. Dia berhenti melangkah.
"Apa yang kamu bilang semuanya benar"" Dia berbalik dan menatapku. "Jadi kamu pikir, aku bela-belain dari Surabaya ke Jakarta ini sia-sia"" dia balik bertanya. "Keterlaluan kamu, Luh!" serunya langsung berbalik meninggalkanku.
"Rey ...!" seruku sambil menarik tangannya."A-ku ...minta maaf," kataku pelan. Hanya itu yang bisa kuucapkan.
Rey tersenyum. "Kamu nggak perlu minta maaf.Udah aku maafin sejak dulu. Aku juga salah. Keadaan juga salah, Luh. Tapi sekarang aku udah lega, meskipun mungkin aku harus sakit hati."
"Kenapa"" tanyaku tak mengerti. "Aku akan ziarah ke makam Winda. Aku akan temui keluarganya dan minta maaf." Rey menggeleng.
"Bukan itu. Mereka juga ngerti, kok."
"Lalu"" tanyaku bingung.Entah kenapa,kurasakan jantungku berdetak lebih kencang.Aku masih memujanya.Aku masih kagum padanya.Aku masih mencintainya.
"Hm,mungkin aku udah benar-benar kehilangan kamu. Mungkin kamu udah nemuin orang yang lebih
ngertiin kamu di sini"!" serunya pelan, tak ada harapan.
"Kamu salah," kataku pelan.
"Nyatanya , kemarin kamu nggak menghiraukanku. Tak apa," katanya. "Aku pergi dulu!"
"Rey ...!" seruku lebih keras. "Sama siapa kamu ke sini"" "Maksudmu""
"Kenapa pacarmu nggak kamu bawa"" "Hm, nggak cukupkah penjelasanku"" "Masih untukku"" "Aku nggak tahu."
"Kalau begitu,kenapa nggak kamu perjuang-kan cintamu""
"Untuk terluka dan terpisah lagi" Nggak,Luh.Aku nggak ingin nyakitin kamu lagi. Aku cukup senang kamu udah maafin aku."
"Kalau cinta itu masih untukmu, apa yang kamu lakukan"" tanyaku.
Aku akan mengambilnya." Nggak kamu kembalikan"" Tentu aja." Jangan pergi!"
Dasar anak tengil!" serunya sambil tertawa.
Tiba-tiba, aku merasa sangat kangen padanya. Tiba-tiba, aku merasa sangat mengenalnya. Ya, dialah cowok nomor satu di hatiku.
"Kapan kamu mau ke makam Winda"" tanyanya.
"Besok juga bisa," kataku. "Kamu mau neme-nin aku""
Aku Kangen , Wang ! ENTAH mengapa, tiba-tiba aku merasa kangen
sama Awang. Aku kangen sama tatapannya. Aku pengin ketemu kamu, Wang. Masih adakah kesempatan bagiku untuk ketemu kamu" Aku nggak tau, Wang. Sekarang kamu lagi ngapain, Wang" Apakah kamu tau, aku selalu memikirkanmu"
Mudah-mudahan kamu pun tau.Aku benar-benar kangen sama kamu, Wang.Boleh kan,Wang"
Boleh..... pasti boleh.Va.kan" Kalo
aku nggak kangen, nanti kamu ngambek lagi, ya" Ah, kamu, Wang! Siapa yang nggak kangen sama cowok yang ulahnya kayak kamu"Ufp! Nyaris aku tertawa.Kamu memang selalu membuatku tertawa....
"Karcis ... karcis seru kondektur waktu itu. Aku mengambil uang dari saku. "Ke Malang, Pak," kataku sambil tersenyum.
Kemudian kamu datang, Wang. Tersenyum dan duduk di sampingku. Mau nggak mau, aku membalas senyummu yang menawan itu. "Sendirian aja" Ke Malang, ya"" tanyamu. Bego dan konyol, batinku. Kamu udah tau, tapi masih nanya juga. Tapi untuk mengatakan semua itu, mulutku serasa bungkam. Barangkali pesonamu terlalu kuat. "Kok, diam aja, sih" Lagi patah hati"" "Kalau aku patah hati, nggak bakalan tersenyum sama kamu."
"Eee, maksudku ... aku juga mau ngegantiin pacarmu," katanya sambil tertawa.
"Sialan! Kamu pikir, aku mau sama kamu"" Padahal, aku seneng sama keceriaannya. Ramah dan keren lagi!
"Lha, kenapa nggak mau" Aku ganteng, lho!" ujarnya seperti serius.
"Yang bilang kamu ganteng itu siapa"" Dia garuk-garuk kepala dengan mimik lucu, setengah mikir-mikir.
"Siapa, ya" Ngngng nggak ada tuh! Eeeh,aku sendiri. Nggak boleh""
"Boleh, sih. Tapi lihat sikon! Itu namanya kamu ge-er."
"Ah, daripada nggak ada yang muji." "Makanya, cepet cari pacar" "Kamu mau jadi pacarku"" Sungguh pertanyaan paling konyol yang pernah kudengar. Bayangkan, ketemu di bus, ngobrol baru sebentar, eh ... udah nanya kayak
gitu. Padahal, hei ... namanya pun aku belum tahu.
"Nah, ini! Oma bilang, kalau cewek diam itu artinya iya. Tul, kan" Hahaha ... oma pasti senang ngelihat cewek seperti kamu."
"Ah, kamu konyol ! Nama kamu siapa, sih"" tanyaku menetralkan perasaanku.
"Sampai lupa. Kamu sih, ngajak ngomong terus!"
"Memang kamu konyol."
"Yang penting kan, keren...."
"Keren kalo nggak kenal, buat apa""
"Namaku Adit. Awang Rahaditya. Jelas""
"Adit" Orangnya pasti pelit."
"Biarin !" "Makanya, susah nyari pacar."
"Gara-gara kamu, sih."
"Aku laporin pacarku kamu pasti ditonjok."
"Salah sendiri ngebiarin pacar cantik pergi sendiri. Naik bus lagi."
"Ya kamu yang mundur. Aku kan, udah ada yang punya."
"Oh, ya" Bener"" tanyanya sambil celingukan.
"Hei,nama kamu siapa, sih"Kamu belum nye-butin, curang!"
"Makanya jangan ngoceh aja. Namaku Ryu," kataku pelan.
Dia tertawa meledak-ledak. Lepas."Pantas mata kamu sipit. Kamu dilahirin di Negeri Matahari Terbit, ya" Ryu artinya kaya, kan" Ntar kalo kaya, jangan lupain daku-lah yauw!"
Aku malah bingung mendengarnya. "Kamu ngomong apaan, sih" Dengar, aku bukan orang Jepang. Orang Indonesia asli. Ryu tuh panggilanku. Singkatan dari namaku. R-I-W. Ryu!" terangku mencoba menghentikan tawanya.
"Lho, mata kamu sipit" Hidung kamu mancung" Terus kulit kamu kok, putih""
"Emangnya orang Indonesia nggak boleh putih" Kamu perlu belajar genetika la-gi. Ntar nggak heran ngeliat gadis Indonesia ber-kulit sangat putih."
"Sayang sekali aku nggak minat."
"Ya udah. Siapa suruh kamu"" tanyaku terus memandang keluar jendela. Mengacuhkan cowok keren yang rada "aneh" itu.
"Eh, kamu mikirin pacar di rumah, ya"" tanyanya.
"Nggak. Mikirin kamu."
"Wah, aku bangga dong, kamu pikirin. Memangnya kenapa""
"Karena kamu 'aneh' !"
"Oh, ya"" "He-eh." Terus sunyi. Diam. Aku tiba-tiba merasa kehilangan.
"Kok, diam, Dit"" Untuk pertama kalinya aku memanggil namanya. Kurasakan sejuta perasaan di hatiku.
"Lagi pengin aja."
"Kalau aku pengin kamu jadi badut"" "Astaga, Ryu! Aku ini bukan badut, tahu"!"
"Kamu malah seperti badut kalo begitu," timpalku dengan tertawa. Dia hanya mengelenggelengkan kepalanya.
"Senang ketemu sama kamu Ryu. Boleh aku mampir ke rumahmu""
"Oh, ya" Ndak boleh, dong.Ntar kalo pacarku ngamuk gimana, dong"MIIBiar aku hadapi. Toh dia juga nggak nyakar, kan""
"Emangnya macan""
"Ya nggak tau,"katanya."Tapi,aku boleh mampir, k
an"" "Nggaklah. Kalo emang jodoh, pasti ketemu lagi,kan""
Aku enggan memberikan alamat. Aku takut perasaan itu kembali hadir di hatiku, tetapi kemudian kandas dan menyisakan luka. Aku nggak ingin mengulangi kisahku dengan Hendra. Biar aja kayak gini, sendirian yang penting happy.
"Kalo jodoh pasti ketemu.Oke, kalo gitu aku turun sini. Kita pisah di sini."
"Lho, tapi tujuan kamu ke mana"" tanyaku khawatir. Sampai aku teringat dia belum bayar karcis. "Wang, kamu belum bayar karcis!"
Tapi, dia cuma tersenyum dan benar-benar turun meninggalkan diriku. Terasa sebagian hatiku dibawanya serta. Ah ... Awang.
KU CARI alamat rumah teman papaku, Pak Hertanto pemilik perusahaan jasa angkutan bus di Malang. Sudah berkali-kali Pak Hertanto nelepon agar aku ke rumahnya. Dan baru kali ini kupenuhi permintaannya itu.
Bel rumah megah itu kutekan keras-keras.
"Nyari siapa,Mbak""tanya yang membuka pintu dengan ramah.
"Apa benar ini rumah Pak Hertanto" Saya Ryu dan mau ketemu b eliau."
"Oh, benar. Mari silakan masuk!" katanya dan terus kuikuti langkahnya. Di ruang tamu, aku bertemu Pak Hertanto.
"Selamat siang, Pak," sapaku. Pak Hertanto menoleh. Sejenak Pak Hertanto tampak terkejut. "Kamu ... Ryu. Kok, nggak nelepon biar dijemput Irawan."
"Ah, nanti malah merepotkan, Pak. Ibu di mana"" tanyaku kemudian.
"Di belakang.Ayo!" katanya sambil bangkit berdiri.
"Bapak ibumu baik-baik saja"" "Alhamdulillah baik, Pak."
"Oh ya, Irawan nggak di rumah sejak kemarin, tadi Bapak lupa. Tapi, kamu nginap beberapa hari, kan""
"Ah nggak, besok masih sekolah," jawabku dengan mengagumi segala macam lukisan yang ada di situ.
"Waduh, ya sayang kalau begitu." Aku diam saja.
"Bu, ini Ryu udah datang!" seru Pak Hertanto.
"Eee kok, nggak ngasih kabar dulu" Naik apa tadi" Gimana bapak dan ibumu" Apa kamu tadi nggak kesasar, Yu"" tanyanya beruntun nggak memberi kesempatan aku ngomong.
Ngobrol dengan mereka memang menyenangkan. Sampai tak terasa udah pukul dua siang. Waktu aku mau mengambil wudhu untuk shalat Zuhur, langkahku serasa terhenti di muka pintu ruang makan.
"Kamu"!" seruku tak percaya melihat sosok A-wang ada di ruang makan.
"Halo Ryu. Kalau begitu, kita berjodoh, ya"" tanyanya nggak peduli ada mama dan papanya. Karena yang dimaksud Irawan adalah Awang. Awang Rahaditya Irawan. Dan tentu saja perkata-annya itu membuatku malu. Aku merasakan pipiku merah merona karena ....
Pak Hertanto menyela, "Lha, kamu udah kenal, Wan""
"Iya, Pap. Dia itu calon aku lho, Pap," katanya santai sambil tetap melanjutkan makannya.
"Apa kamu bilang"Aku ... aku nggak mau!"seruku menahan luapan perasaan yang bergejolak dalam hati. Tanpa menghiraukan Awang lagi, kutinggalkan mereka dan berlari ke kamar mandi. Kudengar Awang tertawa ngakak. Dia benar-benar "aneh".
"Mau pulang sekarang"" Awang menghadang tepat di tengah pintu musala. "Ya," jawabku singkat.
"Aku akan antar," tawar Awang.
"Nggak perlu."Kamu masih capek. Jadi,maksudku
Ternyata Dia ARU saja aku meletakkan tas
Bsekolah,mataku menumbuk sehelai surat di meja belajar. Aku meraih surat tanpa perangko dan tanpa pengirim, tetapi jelas ditujukan padaku
Buat Mbak Rin tersayang (iiih nggak ngerayu lho, ya!).
Mbak Rin, maaf ya mungkin aku terlalu lancang ngirim surat ini pada Mbak Rin. Tapi bener deh, swear, aku nggak bisa nyimpen lama-lama semuanya ini sendirian. Tiap hari selalu kebayang wajah Mbak Rin yang manis. Mau ngapa-ngapain rasanya jadi males, habis enakan ngebayangin Mbak Rin lagi ngapain. Kalo malem, aku nyetel tape keras-keras sampai mamaku ngamuk-ngamuk buat ngilangin wajah bak Rin. Tapi nggak bisa. Mama bilang, ulahku aneh-aneh ini pasti gara-gara aku lagi jatuh cinta. Dan bener aja, aku jatuh cinta sejak aku melihat Mbak Rin pertama kali. Salam sayang,
"Aku bisa pulang sendiri. Aku nggak suka sama omongan-omongan kamu!"
"Baiklah, ...aku minta maaf semuanya. Oke" Aku antar kamu sekarang. Mau maafin aku, kan""
"Aku pikir-pikir dulu."
"Aku beneran, nih!"
"Aku juga serius, nih!"
"Oke, kita jalan sekarang."
"Nggak mau. Kamu pikir, kamu itu siapa""tanya-ku meninggi.
Dia menatapku sejenak. "Baiklah, kita teman," katanya kemudi
an. Tetapi ya Tuhan, ada luka di bening matanya. Aku sungguh nggak mengerti dengan perasaanku sendiri. Ternyata ada juga nyeri di hatiku.
ii Hans Aku tertawa. Kupikir,suratnya itu terlalu berani. Bay angin!
Hans, anak kelas satu menulis surat cinta untukku, anak kelas tiga, kakak kelasnya. Nah, apa ini namanya bukan nekat"
Tiba-tiba,ingatanku melayang pada sosok Hans. Tinggi jangkung, berkulit putih, berwajah tampan dengan mata yang begitu jernih. Senyumnya yang menawan nggak mahal diberikan pada siapa pun yang ditemuinya. Dia juga ramah. Bener-bener sosok yang menyenangkan.
Aku mengenal Hans belum lama, kira-kira tiga bulan lalu. Waktu itu aku ada di perpustakaan, menyusul ulangan Kimia yang tertinggal karena sakit. Yang jaga cuma guru piket perpustakaan. Belum sepuluh menit aku mengerjakan soal-soal itu, sosok jangkung itu masuk. Dia tersenyum padaku. Rupanya, dia juga sedang ulangan susulan. Dia mengerjakan Fisika. Aku hanya mengangguk dan tersenyum, kembali mengerjakan soal-soalku. Tapi kok, rasanya tuh anak ngeliatin aku terus sambil menahan senyum.
Tiba-tiba,dia berseru, "Mbak Rin tiga IPA, ya"!"
Aku mendongak. "Ya, ada apa"" tanyaku. "Bisa nggak, aku minta tolong dibantu ngerjain soal Fisika nanti sepulang sekolah"" tanyanya. Aku melirik arloji. Pukul dua aku harus stand by di tempat les. Berarti, cuma ada waktu sepuluh menit
kalau nggak mau terlambat. Jadi"
"Aku cuma punya waktu sepuluh menit Aku belum tahu namanya.
"Hans," katanya sambil mengulurkan tangan.
"Karin," ucapku tanpa membalas jabatan tangannya. Hanya secuil senyum yang kuberikan. Matanya yang jernih menatapku lembut.
"Nggak apa-apa. Soalnya juga cuma satu,kok," katanya. Kemudian, aku bener-bener membantunya. Aku juga nggak tau dari mana dia mengenalku. Mungkin karena aku pelajar teladan, dia mengenalku.
Kemudian, seterusnya aku jadi selalu membantu Hans menyelesaikan tugas-tugasnya. Aku juga nggak keberatan. Toh dengan demikian, berarti aku juga udah mengulangi pelajaranku kelas satu untuk ujian nasional.
Berulang kali pula Hans ngajak makan, nonton, jalan-jalan, nyari kaset, atau apalah untuk nyenengin hatiku kayaknya, tapi aku selalu menolak dengan halus. Bukannya aku nggak suka, cuma memang jadwalku udah penuh kalo sekadar santai. Ya, mungkin aku mengecewakannya.Tapi, aku bener-bener nggak enak dilihat teman-temanku. Apalagi Hans juga sering muncul menemuiku di kelas waktu istirahat. Nah, apa lagi yang muncul kalau bukan gosip"
Aku sih, no problem1. Tapi eh, kayaknya cewek-cewek kelas satu kok, jadi sirik kalo ngeliat aku. Iiih, makanya aku jadi agak ngurangi frekuensiku ketemu sama Hans, setengah
menghindar. Akhirnya, suratnya datang hari ini. Tuuut ... tut ... tuuut ....
Telepon kamarku berbunyi. Kuletakkan surat Hans dan kumasukkan ke tempat surat. Aku udah tahu jawabannya kalau Hans meminta jawabannya.
"Halo, Mbak Rin! Pasti belum ganti baju, ya"" tanya Hans dari seberang sana.
"Oh, ya" Kok, tahu"" tanyaku datar.
"Iya, dong. Mbak Rin pasti udah baca suratku, kan" Uh, tadi mau kuberikan langsung ke Mbak Rin, tapi Mbak Rin udah pulang. Gimana Mbak Rin" Aku jadi deg-degan gini," katanya bersemangat. Aku diam beberapa saat.
"Hans, makasih ya, suratnya. Tapi, apa bisa kita seperti itu" Sebaiknya kamu cari aja yang usianya sebaya denganmu, atau malah lebih di bawah kamu, Hans."
"Wah, aku cuma suka Mbak Rin," katanya lagi.
"Kenapa Hans" Kan, banyak yang suka kamu" Lagian, Yeni Si Primadona itu udah naksir kamu. Jadian aja, Hans!" seruku memberi semangat.
"Mereka nggak seperti Mbak Rin," kata Hans.
"Sama-sama cewek!" kataku. Hans tertawa ngakak.
"Okelah, tapi pertemanan kita nggak berubah kan, Mbak""
"No, everything is okay, kecuali permintaanmu itu. Udah ya, aku mau fitness"1."
"Perlu diantar, Mbak Rin"" tanyanya.
"Nggak. Mendingan kamu nganterin Yeni atau Si Cantik Dina."
Cowok Karya Kinoysan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Never!" serunya tegas.
Aku menutup telepon. Ah, Hans. Mestinya u-dah selesai masalah ini. Tetapi entahlah. Mengapa aku merasa ada sesuatu yang hilang dari sisiku. Hans, sosok yang menyenangkan. Kalau sebenarnya jauh dalam hatiku sendiri, aku menyukai Hans. Tapi, Hans dua tahun leb
ih muda dariku. Kukira ini nggak sesuai dengan prinsipku. Kalo aja Hans seumur denganku, mungkin aku akan mempertimbangkan surat Hans.
HANS nggak pernah berubah, tapi malah tambah nekat. Ada-ada saja ulahnya buat mencoba menarik hatiku. Dia emang sungguh-sungguh. Tiba-tiba saja aku jadi sebal dan mangkel sama dia.
"Ayo, Mbak Rin! Ayo nonton! Jangan lewatin kesempatan ini! Aku udah beli tiketnya! Ayo!" serunya sambil memberikan tiket itu padaku, sore ini di rumahku.
"Sori Hans, besok aku ulangan Fisika. Lain kali
aja." "Ayolah, Mbak Rin!" katanya memelas. "Besok ulangan, Hans," kataku lagi. Mbak Rin pasti udah belajar. Ayolah, Mbak!" serunya sambil menarik tanganku.
Aku mengibaskan tangannya dengan kasar. "Hans! Kenapa sih, kamu selalu mak-sa" Kenapa Hans"!"seruku ketus sekali. Soalnya, nggak kali ini aja dia memperlakukanku kayak pacarnya.
Duh, kemarin udah ngajak makan di Bee Plaza, kemarinnya lagi nyari kaset dan beli disket sama CD. Huh, aku sebel mengingat kemarin-kemarinnya lagi yang banyak menyita waktu belajarku. Dan sekarang"
"Hans,apa kamu nggak tau banyak yang nak-sir kamu""
"Tau, Mbak Rin." "Kenapa kamu nggak jalan sama mereka" Pilih salah satu...."
"Aku cuma suka Mbak Rin,"katanya agak pelan.
"Trus, yang kamu cari dari aku itu apa" Aku nggak cantik dan jelas nggak bisa dibandingin sama Yeni."
"Aku suka pribadi Mbak Rin. Aku suka semua yang ada pada Mbak Rin."
"Kamu bisa mencarinya pada gadis yang sebaya sama kamu, Hans. Sekarang pulanglah,aku pengin sendirian!" seruku sambil melangkah meninggalkan ruang tamu.
Hans belum beranjak. "Mbak Rin," panggilnya menghentikan langkahku. "Apa sebenarnya yang bikin Mbak Rin nggak mau menerimaku" Aku tau, sebenarnya Mbak Rin nyoba nipu diri sendiri. Apa bener Mbak Rin nggak suka sama aku" Kenapa,
Mbak Rin"" Entah kenapa, aku merasakan wajahku memanas.Hans udah menelanjangi hatiku. Untunglah tadi aku nggak berbalik hingga aku bisa langsung masuk tanpa harus Hans tau wajahku yang mungkin udah nggak keruan lagi warnanya ....
SEJAK hari itu, total aku menghindari Hans. Telepon kamar pun kumatikan.Tapi, aku merasa sangat berdosa. Diam-diam,aku juga merasa kangen dan kehilangan Hans. Kangen omongannya yang lucu-lucu, senyumnya, dan segala macam. Kayaknya, aku mulai goyah dengan standar usia pacarku kelak.
Tepat dua minggu sejak aku menghindari Hans.Hari Minggu ini terasa sepi. Biasanya Hans datang. Entah nanti cuma kuacuhkan, tapi dia ada di rumahku. Mencari kesibukan sendiri. Kalo nggak ikut papa berkebun, paling main game di ruang sebelah. Tapi, sekarang dia nggak ada. Kayaknya dia juga tau diri, dan nggak lagi usil terhadapku. Usil" Eh, benarkah selama ini dia usil kepadaku" Atau aku yang terlalu acuh dan angkuh" Nggak taulah ....
Aku mengambil sepeda. Ngapain aja kalo di
rumah gini" Bosen! Niatku main ke rumah Vera, udah lama aku nggak ke rumahnya.
"Hei Rin, tumben kamu maen"! Angin apa yang membawamu ke sini"" tanya Vera begitu melihatku masuk lewat pintu samping.
Aku tersenyum aja. "Nggak ada apa-apa, Ver. Di rumah sepi. Makanya aku pengin ke sini. Eh, sekarang si Pus udah gendut, ya"" tanyaku ketika melihat kucingnya itu.
"Ya, namanya juga binatang kesayangan!" serunya girang.
"Hei, masih tetap sama Dani juga ya, Ver"" tanyaku kaget. Habis, dulu Vera sama Dani hanya dijodoh-jodohin teman-teman. Eh, nggak tahunya malah jadi beneran.Langgeng lagi! Vera hanya tersenyum mendengar pertanyaanku.
"Kamu sendiri gimana, Rin" Sama siapa sekarang" Sama Erwin ogah, Dika nggak, Indra ditolak. Lha, terus maumu itu yang gimana"" tanyanya sambil menepuk kucingnya yang sudah selesai dimandiin.
"Nggak tahulah, Ver. Kayaknya besok aja kalo udah kuliah."
"Non, masa SMA itu nggak balik dua kali, lho! Ntar nyesel!" seru Vera sambil ketawa. "Eh Rin, aku punya temen cakep, lho. Apalagi dia juga baik. Bener, aku mengenalnya dengan baik. Dia temanku waktu di SD dulu."
"Eh, promosi, ya"" sahutku.
Dia menggeleng. "Nggak, kok. Dia itu memang baik, dan yang jelas dia masih single. Kalo nggak
ada Dani, eh kali aja aku juga mau jadi pacarnya."
"Dasar kamu! Udah punya pacar ganteng masih juga ngelirik ya
ng lain. Emang, namanya siapa""
"Hei, komisinya mana dulu" Emangnya ada yang gratis"" tanyanya sambil menjauhiku.
"Udahlah Ver, siapa nama temenmu" Ntar aku pulang, lho!"
"Yeee ... kok, ngancam, sih" Dengar Non, namanya Hans. Johansyah."
Aku yang kaget. "Hans" Anak kelas satu SMANSA itu""
"Lho, kamu kenal juga Rin"" Aku mengangguk, tapi masih bingung sama omonganVera.
"Dia teman SD, Ver" Gimana bisa" Wong kita dua tahun di atasnya. Hans kan, masih kelas satu""
"Eh, aku curiga, Rin! Jangan-jangan, kamu malah udah tahu segalanya soal Hans"" Aku menggeleng.
"Nggak. Kamu pasti bohong kalo bilang dia temanmu!"
"Kamu memang ngeyel kok, Rin. Hans itu memang temanku waktu SD, pernah sekelas. Dia itu setingkat sama kita, tapi pernah tinggal di kelas dua dan kelas empat gara-gara sakit."
"Ooo, gitu, Ver"!" seruku sambil
mengangguk-angguk. Entah mengapa, aku begitu lega mendengarnya.
SEBENARNYA, aku mau ketemu atau nelepon Hans agar datang ke rumah. Tapi, gengsi juga! Apalagi aku juga males kalo harus nyari Hans di kelas satu, yang letaknya jauh banget dari kelas tiga ....
Minggu ini, genap satu bulan aku nggak ketemu sama Hans. Di sekolah pun, kadang-kadang aku menunggunya. Tapi, aku nggak juga ngeliat sosok Hans. Aku hanya bisa menyimpan kangen dalam hati.
Aku cepat berlari ke ruang tamu ketika mendengar bel berbunyi. Mudah-mudahan Hans yang datang. Ternyata yang datang memang Hans. Tapi
"Hei, Mbak Rin! Hari Minggu gini, lagi belajar"" tanyanya tetap ceria seperti biasanya. "Oh ya, Mbak Rin, tadi aku sama Yeni," katanya kemudian.
Aku bener-bener kaget, seolah nggak percaya sama omongan Hans. Apakah mereka pacaran" Oh Tuhan, kalau benar begitu, ini semua salah siapa "
Hans tetap bercanda seperti biasanya. Aku hanya bisa menyimpan semuanya dalam hati. Hatiku sedih, sakit, mangkel, kecewa dan entah apalagi .... Oh Hans, kalau saja aku tau segalanya tentang kamu dari dulu. Kalo aja Vera cerita sejak dulu, tentu nggak bakal begini jadinya. Tapi, aku masih ingin semuanya jelas.
SETELAH menguatkan hati, akhirnya kutelepon juga Hans. Aku ingin tau semuanya. "Halo Hans."
"Oh, Mbak Rin. Ada apa""
"Kamu ... pacaran sama Yeni"" tanyaku memberanikan diri.
"Kok, pertanyaan Mbak Rin aneh""
"Jawab aja, iya atau nggak!" seruku tegas,tapi menyimpan tangis yang akan meledak. Aku pasti akan menangis kalau semuanya benar. Lama tak terdengar suara.
"Nggak ... Mbak Rin. Maaf, kalo tadi aku ajak Yeni, kebetulan dia minta ditemenin beli snack buat rapat OSIS. Aku kangen banget sama Mbak Rin, tapi nggak ada a/asan untuk datang. Mbak Rin sepertinya bener-bener nggak mau ketemu denganku. Aku masih menyimpan semuanya buat Mbak Rin," katanya pelan dan lirih, tapi masih terdengar jelas di telingaku. Dan, itu laksana air es yang begitu mendinginkan kepalaku.
"Datanglah Hans, aku nggak akan ingkar lagi. Aku ... sayang sama kamu, Hans," kataku sambil menutup telepon.
Sebuah Keputusan SENIN, entah tanggal berapa, aku udah lupa. Yang jelas barengan sama penataran hari pertama di sekolah baruku, SMP 1. Aku datang masih begitu pagi,takut terlambat. Yang datang pun masih satu-dua. Sekolah masih begitu sepi.
Di tempat parkir, aku ketemu sama seorang cowok. Dia tampan dan terlihat begitu manis. Sejenak aku terpesona, tanpa sadar aku memandangnya. Dan, senyum yang begitu sempurna pun pecah.
Aku baru menyadari kalau dia masih di hadapanku. Rasanya, aku begitu malu ketika menyadarinya. Ah, aku seperti merasakan sesuatu yang aneh dalam hatiku ketika itu. Tapi, aku nggak menyadari apa artinya.
Ketika aku masuk kelas dan berniat meletakkan tas, astaga! Aku ketemu dia lagi. Dia mengangguk dan tersenyum padaku. Aduh, pasti wajahku memerah waktu itu ....
Kemudian, kutahu cowok itu bernama Didot. Didot Kristiawan. Pagi itu dia terpilih sebagai peserta simbolis pembukaan masa orientasi sekolah (MOS), dengan seorang cewek imut bernama Karla Vidia. Wah, kelihatannya mereka serasi banget.
Tapi ketika aku melihatnya, duh, rasanya aku jadi nggak suka sama cewek itu. Aku juga jadi nggak senang sama Didot. Kekanakan banget, deh.
Seterusnya, tanpa kusadari aku telah menunjukkan antipatiku
sama Didot. Ketika teman-teman ikut berebut pengin kenalan dengannya, aku malah menghindar keluar kelas dan pura-pura nggak mengetahuinya.
Dan antipatiku sama Didot semakin menggunung ... ketika entah dengan sengaja atau nggak, dia telah menyebabkan aku kecebur got di depan kelas. Aku marah-marah, walaupun aku nggak apa-apa karena kebetulan got itu kering.
Aku nggak peduli dia minta maaf. Aku sama sekali nggak mau mendengarnya. Mungkin saja dia emang nggak salah. Sorot matanya waktu itu begitu jujur dan menyesal. Lagi pula, waktu itu banyak cowok lain yang di dekatnya tertawa-tawa mengetahui aku kecebur got!
Melihatnya waktu itu, ya ampun! Hampir saja aku tersenyum. Toh, aku memang nggak apa-apa. Namun, antipatiku kembali membaja. Padahal semua itu karena aku tak ingin dia mengetahui dan membaca isi hatiku.
Tertarikkah aku padanya" Aku nggak tahu.
Aku sadar, kadang-kadang dia merhatiin aku dari jauh. Tapi kalo aku menoleh, dia pura-pura
memalingkan muka dan berlagak cuek. Ah, ternyata Didot pun nggak mau membuka kebekuan di antara kami. Didot nggak pernah peduli keberadaanku. Ataukah aku yang terlalu angkuh" Entahlah ....
Didot emang manis, reputasinya juga baik. Dia punya banyak kelebihan yang bikin cewek-cewek merasa nggak rugi untuk berebut. Dan waktu itu, gosip Didot pacaran sama Sinta lagi santer-santernya. Aku sendiri nggak tahu itu benar atau nggak. Aku ingin cuek dan nggak peduli dengan semua itu, tapi aku nggak bisa. Dia selalu mengganggu tidurku dan membayangi di mana-mana setiap kali aku mencoba menepis bayangnya. Dia membuatku begitu bersemangat belajar, walaupun aku hanya bisa melihatnya setiap hari.
Walaupun begitu, bukannya hubunganku sama Didot makin baik, eh malah serasa jauh. Satu tahun satu kelas, ngomong pun nggak pernah. Jangankan ngomong, kenalan pun nggak! Aku sendiri merasa heran. Kok, bisa ya, aku yang selalu ramah sama siapa saja tiba-tiba jadi begitu angkuh di hadapan Didot. Va Tuhan, sebenarnya apa yang aku kehendaki dari semua itu"
Ketika kelas dua, hubunganku sama Didot berubah. Berubah karena terpaksa. Ketika itu kenaikan kelas. Seperti biasa, setelah kenaikan kelas disambung dengan libur panjang. Kemudian, masuk lagi pertengahan Juli. Entah apa sebabnya, pertama kali masuk, aku datang terlambat. Otomatis, aku nggak bisa milih tempat duduk karena
bangku-bangku udah pada penuh. Aku kebagian tempat paling depan, berhadapan de-ngan meja guru. Bener-bener nggak menguntungkan. Lalu, aku mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Siapa yang beium dapet tempat du-duk, dan bakai jadi teman sebangkuku"
Lama kutunggu, bangku di sampingku tetap belum ada yang mengisi. Akhirnya, aku keluar dan gabung sama teman-teman yang lain. Bercerita dan bercanda melepas kangen setelah sekian lama nggak ketemu. Ya, karena aku sendiri meng-habiskan waktu liburan di rumah nenek, di Malang.
Jam tanganku menunjukkan pukul tujuh lebih. Tetapi, pelajaran tetap belum dimulai. Sampai kemudian, Bu Yekti yang jadi wali kelasku datang dan mulai mengabsen.
Waktu pengabsenan itulah, Didot datang. Celoteh teman-teman udah macem-macem. Maklum, dia idola, sih. Kulihat dia celingukan mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas yang udah penuh, kecuali satu bangku di sebelahku.
Ya Tuhan! Apakah aku harus sebangku dengannya" Dan .... Oh, Tuhan! Akhirnya dia benar-benar duduk di sebelahku, setelah teman-teman pada menggodanya.
Aku berusaha nggak menunjukkan antipatiku. Matilah aku, kalau dia benar-benar jadi teman sebangkuku selama setahun.
"Sori Rin, kalo kamu keberatan, nanti aku akan tukar dengan lainnya," katanya sambil menatapku
tajam. Ya Tuhan, aku nggak bisa meng-gam-bar-kan rupa wajahku yang ditatapnya sedemikian rupa. Dan tanpa kutahu, desir-desir halus menyentuh keheningan nuraniku. Apa artinya semua ini"
"Eh, nggak. Kamu jangan pindah," kataku meluncur tanpa sadar. Tetapi ... kesalahan apakah ini" Ya Tuhan!
Dia tersenyum begitu manis, "Baiklah, aku juga senang sebangku sama juara kelas," katanya ringan.
Sejak itu, hubunganku sama Didot berubah total. Hubunganku sama Didot deket banget. Aku sih, senang aja. Ternyata, dia memang
anak yang menyenangkan. Dan nilai-nilaiku semakin baik saja setelah belajar bareng dia.
Aku kagum sama kepintarannya, yang sekaligus juga rival beratku dalam perebutan juara kelas. Sifatnya yang ramah dan ceria menambah kekagumanku. Tetapi, aku tetap temannya. Aku nggak boleh merusak kalimat itu dengan yang lainnya.
Siapa yang nggak kenal Didot" Siapa yang nggak tahu anak putih jangkung yang pulang pergi sekolah diantar mobil itu" Ketampanannya" Brengsek! Diam-diam, aku memikirkannya!
Hubunganku dengan Didot memang terasa janggal kalo dikatakan sebagai sahabat saja. Entahlah. Sampai gosip aku pacaran sama Didot juga sempat kudengar. Ya, apa saja yang telah aku lakukan selama ini dengan Didot" Berangkat pulang bareng" Nyari buku berdua" Belajar berdua" Nyari
kaset berdua" Nonton berdua" Benarkah kalau Didot kukatakan hanya sebagai teman" Ya ampuun ....
Pernah kupikir pula untuk menjauhi Didot, tetapi Didot marah-marah.
"Ngapain sih, kamu pedulikan omongan yang nggak keruan itu"" tanyanya ketika itu.
"Tapi, Dot"" tanyaku tertahan.
"Kenapa, Rin" Kenapa emangnya kalo kita pacaran beneran" Iya nggak" Cuek aja deh, ntar kalo mereka bosen, berhenti sendiri!" serunya tegas.
Didot nggak pernah tau kalo wajahku saat itu sempat menghangat. Didot nggak tau, sejuta getar perasaan memenuhi hatiku. Rasanya, bahagia banget mendengarnya. Tetapi, mungkin bagi Didot sendiri itu nggak ada artinya.
Sampai suatu saat .... "Rin, sori kalo aku menyinggungmu, tapi Rin ... rasanya aku selalu kangen sama kamu. Aku nggak betah kalo lama-lama jauh dari kamu," kata Didot pelan, sore itu di rumahku.
"Bener, Dot"" tanyaku pelan. Kulihat Didot tersenyum manis banget. Ah, kurasa akulah cewek yang paling bahagia hari itu.
Tetapi ... ah, ternyata kebahagiaan itu nggak lama. Menjelang kenaikan ke kelas tiga, Didot jadi lain. Lain sekali. Dia berubah dan jadi berantakan. Dia nggak pernah lagi memerhatikanku seperti sebelumnya. Didot sering bolos dan sering kutemukan pula merokok di kantin belakang.
Menurutku, dia juga dingin, tapi gampang emosian. Dan, aku pernah dapet informasi kalo
Didot suka mabuk-mabukan.
Tuhan, apa sebenarnya yang mengubah Didot seperti itu" Belum lagi hobinya di motorcross yang makin gila-gilaan. Meskipun udah berulang kali jatuh dan tabrakan, ternyata Didot nggak pernah jera. Aku sangat sedih mengetahuinya, sementara Didot nggak pernah mau jujur padaku apa yang udah terjadi, meski dia masih sebangku denganku. Ketika kucoba menanyakan secara hati-hati, Didot malah marah.
"Sudah kubilang, jangan urusi aku!" sentaknya keras.Aku terlonjak saking kagetnya.
"Sori Rin, aku nggak bermaksud membentakmu. Dan, sepertinya mulai sekarang aku memintamu untuk melupakanku. Didot yang dulu udah mati, Rin!" serunya kemudian meninggalkan bangkuku.
Hatiku sedih banget. Rasanya kalau nggak malu, saat itu aku pengin memaki Didot dan menangis. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan sosok itu" Dia masih di sisiku setiap hari" Dan dia adalah cinta pertamaku. Bagaimana mungkin aku akan melupakannya"
Kemudian kutahu, Didot begitu lantaran orangtuanya bercerai. Rumah tangga orangtuanya berantakan. Jelasnya, Didot menjadi anak broken home.
Ya, mungkin Didot nggak bisa nerima semua itu.Tetapi, aku sendiri nggak pernah mendengar pengakuan Didot.
Didot berubah menjadi apatis.Terhadap cewek, aduh sombongnya! Tatapannya bisa bikin
cewek tergila-gila, tetapi sinis sekali.
Kurasakan semua itu, walaupun Didot nggak pernah menunjukkan hal itu padaku. Kasihan Didot. Tetapi, aku nggak tau cara membuatnya sadar dan kembali menjadi Didot yang manis dan ceria.
Sampai di kelas tiga pun, Didot nggak berubah. Dia masih berantakan. Masih sering bolos, dan semuanya. Didot juga masih sebangku denganku. Didot nggak pernah tau pilunya hatiku menatap ulahnya.Bahkan sampai ujian nasional, sampai perpisahan SMP pun, Didot nggak berubah. Seperti cintaku padanya.
Sampai siang tadi kutahu, seorang cewek cantik bernama Amalia bersamanya. Dia memang anggun. Didot nggak salah memilihnya. Walaupun tentu itu semua menghancurkan hatiku, mengeluarkan impian-impian biru di hatiku.
Aku harus menerima semuanya dengan hati ikhlas. Merelakan kepergian Didot. Biarlah aku mengalah demi kebahagiaan Didot. Bukankah pada hakikatnya cinta itu akan membiarkan orang yang kita cintai bahagia"
Aku memang merelakan semuanya. Walaupun hari ini, hatiku sakit dan sedih sekali. Tetapi apa dayaku" Apakah karena Didot aku harus menangis" Sementara sudah banyak hal menyedihkan yang kulalui tanpa tangisan. Aku bener-bener mangkel dan kecewa. Aku marah dan benci sama Didot. Namun, apa hakku"
Didot emang nggak salah. Rasanya, memang hatiku ini yang egois. Aku sering nggak sadar kalo
Didot sudah bukan Didotku dulu. Rasanya, aku masih nggak rela Didot menjadi pacar siapa pun. Duh, egoisnya.
Hari ini di sebuah gedung, seorang yang selama ini menghiasi bunga tidurku, lewat di hadapanku, tetapi menyapa pun tidak. Apalagi dengan keakrabannya dengan Amalia. Oh Tuhan ... rasanya aku ingin pingsan.
Ya, mungkin Didot nggak mengerti. Dia nggak lagi mengenaliku. Karena sekarang aku menjadi seorang yang cacat. Seringkah aku menyesali kecerobohan orang yang telah menyebabkan kakiku hilang satu ini. Inikah takdir" Entahlah ....
Aku harus merelakannya. Terlebih selama ini, aku memang sengaja menghindari Didot. Aku telah pindah dan melanjutkan SMA di Malang tanpa ngasih tau Didot. Rasanya, nggak salah pula kalo Didot kemudian berubah manis dan me-nemukan cewek lain yang baik. Aku nggak akan mengusikmu, Dot. Aku rela kamu jadi pacar siapa aja. Aku nggak akan menjadi onak duri dalam perjalananmu, Dot!
Aku tau keputusan ini berat. Tapi, aku janji akan menepati janjiku sendiri. Suatu saat, Tuhan pasti memberikanku seseorang yang lebih baik dan mau menerimaku apa adanya.
Aku hanya bisa mendoakanmu, Dot. Semoga kau temukan kebahagiaanmu. Biarlah kenangan kita sirna. Kembalilah pada pribadimu, pada Didot yang manis dan baik. Tatapilah langkah dan jalanmu. Mengejar masa depanmu. Gapailah angan dan citamu. Biarlah kutersenyum kelak melihatmu
bahagia MATAKU basah oleh air mata. Semua itu kutulis ketika aku sudah menjadi mahasiswi tingkat pertama di Unair. Aku memang sudah hampir melupakan semuanya soal Didot. Tiga tahun bukan waktu yang singkat bagiku untuk melupakan sosok itu.
Tetapi hari ini, tiga tahun kemudian, aku membuka diariku yang sudah usang. Karena hari ini pula, Nina temanku mengantarkan undangan reuni anak-anak SMP dulu. Ah, aku masih nggak tahu apakah aku akan datang atau nggak ke acara Minggu lusa itu.
Bagaimanapun, tentu nggak mudah bagiku untuk membendung emosi ketika bertemu Didot. Terlebih selama ini, Didot nggak pernah ketemu denganku setelah hampir enam tahun lulus dari SMP. Mudah-mudahan aja Didot nggak datang sendirian, batinku. Ya, agar aku lebih mudah menghindar dari sosok yang masih membawa cintaku itu.
Tetapi pada Minggu pagi, ketika aku sampai di rumahku, tanpa tahu sebabnya kubakar diari usang itu.
Ya, aku akan mengingat semua masa laluku
sebagai sesuatu yang wajar. Semua itu sekarang nggak ada pengaruhnya bagi masa depanku. Aku ingin berhasil seperti orang lain. Nggak juga dihalangi oleh kakiku yang cacat ini. Aku nggak boleh menyerah begitu saja.
Tuhan pasti telah memberikan yang terbaik buatku. Dan, mungkin Didot bukan di antara yang terbaik itu. Semua ini pasti ujian agar aku dapat mengambil hikmahnya.
Rasanya, hari ini juga aku bisa tersenyum begitu bebas. Hari ini kurasakan begitu cerah dan bersemangat. Bahkan, orangtuaku pun sampai heran melihatku begitu ceria.
Semuanya itu masih kubawa pula dalam acara reuni dengan teman-temanku dulu. Nggak hilang pula ketika aku berjabat tangan dengan Didot dan Amalia ....
Nggak ada pula perasaan yang menjatuhkanku. Meskipun aku sempat menangkap keterkejutan Didot."Semua udah lama terjadinya, Dot. Well, kuharap kamu sekarang udah baik. Langgeng juga nih, hubunganmu dengan Amalia" Kalo nggak salah, udah tiga tahun ya, Dot"" tanyaku spontan di depan Amalia.
Didot tertawa. "Wah, heran aku Rin.Rasanya aku nggak pernah ketemu kamu, tapi kok, kamu tau"" tanyanya.
"Iya Rin, kalo aku nggak sabar, aku udah minggat nih," sahut Amalia. "Habis, dia suka ngomongin yang baik-baik soal kamu, sih."
Didot tertawa ngakak. Aku tersenyum. "Awas, kalo kamu macem-macem, Dot!" seruku mengancam.
Didot malah tertawa lagi. Aku dan Amalia ikut tertawa.
Kayak Kerbau Cha panggil Ary. Aku menoleh sekilas, sekaligus mengerutkan kening. Sementara aku, belum mengerti maksud Ary, dia langsung meninggalkan aku. Aku hanya bisa angkat bahu. Kutatap punggung Ary yang semakin menjauh.Langkah pasti, seolah nggak ada yang terjadi.
Aku sungguh nggak mengerti dengan sikapnya itu. Tetapi, apa urusanku dengannya" Biar saja dia menyelesaikannya sendiri.
Dua hari setelah itu, Ary nggak pernah masuk ke kelasku. Waktu kucari di kelasnya, entah udah ngabur ke mana lagi.
"Ng ... kamu tahu Ary di mana"" tanyaku sama Enggar, teman sebangku Ary.
"Tahu tuh Cha, barusan keluar," kata Enggar datar.
"Oh ya, tolong nanti bilangin dicari Icha. Soalnya, buku Kimia ku belum dibalikin. Besok ulangan," seruku agak jengkel.
"Iya, nanti aku sampaikan, Cha. Tapi eh, apa
kamu lagi ada masalah sama Ary""
Aku mengerutkan kening. Makin nggak mengerti."Memangnya, kenapa""
Enggar hanya angkat bahu. Langkahku menuju kelas tak lagi semantap tadi. Pikiranku terpaut pada seraut wajah Ary.
"HEH, kenapa kamu menatap aku terus""
"Nggak pa-pa," jawabnya santai. Kontan aku mendelik.
"Aku seneng lihat wajah kamu saja," katanya datar. Aku ikut tersenyum ketika dia tersenyum.
Aku memang dekat ama Ary, anak baru yang pelajar teladan itu. Aku sih, suka aja. Apa salahnya aku dekat sama dia" Dan yang jelas, nilai-nilaiku makin baik sejak belajar sama dia. Aku kagum sama kepintarannya. Sifatnya yang ramah dan ceria menambah kekagumanku. Tapi, toh aku tetap temannya. Aku nggak boleh menodai kalimat itu dengan yang lain.
Siapa yang nggak kenal Ary" Siapa yang nggak tau anak baru yang pulang pergi sekolah pakai sedan biru" Ketampanannya" Brengsek! Diam-diam, aku memikirkannya!
Cha, ingat! Ingat! Icha, apa yang kamu /akukan selama ini" Pulang-pergi berdua" Belajar berdua" Jalan-jalan berdua" Nonton berdua"
Beginikah yang namanya berteman" Kata Ary hanya sebatas teman" Ya ampuun ... Cha!
Bel membuyarkan lamunanku. Meskipun aku ingin cepat pulang dan melupakan semuanya, tapi ... kelebat bayang Ary lagi berdiri tepat di depan pintu kelasku. Tatapannya yang bening itu seakan membuatku tak berdaya. Kini, tak ada senyum di garis bibirnya.
"Tadi kamu nyari aku, ya"" tanyanya tanpa ekspresi.
"Ya. Buku Kimia aku belum kamu balikin. Besok ulangan," jawabku setenang mungkin. Padahal, gemuruh di dadaku tak terampunkan lagi. Diam-diam, aku mencintainya" Hah, ini sih, gila!
"Cha, sori, ya! Baru aku balikin sekarang," katanya sambil membuka tas. Aku menerima buku itu, kemudian membisu. Entah mengapa, kemudian kekakuan begitu nyata di depan kami. Kemudian Ary menghela napas.
"Cha, kenapa kamu nggak pernah cerita tentang semua ini"" tanyanya lirih hampir tak terdengar.
"Cerita apa"" tanyanya heran.
"Kalo kamu pacar Indra! Kenapa" Sengajakah kamu mempermainkan aku" Apa kamu nggak ngerti kalo aku sayang sama kamu"" tanya Ary lirih, tapi sungguh pedih.
Aku langsung menunduk dalam-dalam. Ary, kamu nggak tahu, kalutnya hatiku mengetahui semua tentang kita. Terlebih perasaanku sendiri, Ary! Untung, aku masih bisa menegakkan kepala
kembali. "Kamu tahu dari mana, Ary"" tanyaku pelan.
"Dia kakakku,"lirih jawabnya, tapi bagai geledek di telingaku. Aku sampai melonjak saking kagetku.
"Aku nggak pengin kamu mempermainkan Indra, Cha! Kalo memang kamu milih dia, lupakan aku. Oke"" tanyanya seperti menantang.
Aku memandang matanya. Mudah sekali dia berkata seperti itu. Dipikirnya aku ini apa, heh" Boneka" Mainan" Ingin sekali aku nangis dan berteriak mengatakan semuanya pada Ary. Semuanya! Tentang perasaanku. Tentang Indra dengan segala kebaikannya ... tetapi mulutku rasanya seperti dikunci. Aku menjadi begitu tolol dan nggak berdaya di hadapan Ary. Benarkah" Heh" Nggak. Aku nggak boleh seperti itu. Aku harus tegas.
"Antarkan aku ke rumah Indra, Ry!" kataku mantap.
Ary terbeliak heran. "Buat apa"" tanyanya tak percaya.
"Buat apa ya, Ry" Aku mau jujur sama perasaan sendiri. Aku pengin sama kamu," kataku lirih, terus mendahului pergi.
Ke bisuan menguasai selama perjalanan kami ke rumah Indra. Aku sendiri nggak tau apa yang mesti diomongin. Aku tengok Ary yang menoleh ke arahku dan tersenyum.
"Kenapa kamu mandang aku kayak gitu, Cha"" tanyanya pelan. "Aku bener nggak apa-apa lho,
kalo kamu milih Indra. Aku nggak mau Indra kecewa, Cha. Indra itu sangat baik dan sayang padaku."
Aku hanya diam. AKU sangat terkejut waktu kulihat sosok berwajah imut-imut di ruang tamu rumah Ary. Mbak Dhea, anak Om Dhanu.
"Lho,Rin" Kok, ke sini" Sama siapa"" tanyanya
heran. "Sama Ary. Lha, Mbak Dhea sendiri di sini nyari siapa"" tanyaku yang merasa kalo Mbak Dhea nggak kenal sama keluarga Ary.
"Ehm, ehm Kudengar suara batuk-batuk dari dalam. "Dia calon kakakmu, Cha," kata seseorang. Indra! Aku benar-benar nggak mengerti.
"Ke sini sama siapa"" tanyanya kemudian. Mungkin melihat aku sendirian saja. Awang tadi langsung ke garasi, terus aku nggak tahu ke mana perginya.
Mendengar pertanyaan Indra itu, aku merasa dipermainkan. Enak saja dia ngomong kayak gitu! Mengatakan Mbak Dhea calon kakakku. Jadi, seiama ini dia menganggapku tak iebih dari seorang adik" Huh, sampai aku nyaris membuat kesalahan
fatal terhadap Ary. Tapi ... lho" Indra itu bukan apa-apaku" Kenapa aku harus marah-marah sama dia" Salahku sendiri yang mengartikan lain perhatian Indra!
"Sama Ary," jawabku pasti. Indra melotot.
"Oh, iya. Kamu sekolah di SMASA!" serunya.
"Kemarin waktu cerita sama Ary, aku lupa. Tapi kebetulan sekali. Aku mau jodohin kamu sama Ary. Gimana, Cha""
Bantal kursi yang ada di dekatku kulemparkan keras-keras ke mukanya.
"Kamu gila! Kamu pikir,aku ini mainan" Enak aja ngejodohin orang!" Aku merasakan mukaku merah karena malu.
Indra tertawa ngakak. "Bilang iya aja kenapa, sih"
Mukamu udah merah kayak gitu!" serunya dengan tertawa. Begitu juga dengan Mbak Dhea. Aku pun ikut tertawa.
"Lho, jadi ikut tertawa" Jadinya mau, ya"" tanyanya lagi.
Aku nggak menjawab. Tanpa peduli sama Mbak Dhea, kulemparkan lagi bantal kursi pada Indra. Tawa kami bertiga begitu lepas sehingga nggak menyadari hadirnya Ary di ruang itu.
"Ry, selamat, ya!" seru Indra, kemudian menjabat tangan Ary erat-erat dan merangkulnya.Aku dan Mbak Dhea tertawa. Sementara itu, Ary yang nggak tahu apa-apa hanya bisa bengong. Kapan-kapan aja aku ceritain ya, Ry ....
Setangkai Edelweis YU, Yu ... aku pinjem bukunya!" kata Igo di hadapan Narita, Gian, dan Luna. Gian terus menyela. "Wah,wah Sekarang dia manggilnya Yu," kata Gian menggoda. Entah karena apa, Igo si ketua Osis itu cuma memandangku sejurus. Aku pun memandangnya sejurus, nggak ada yang lain memang. Namun ... panggilan itu sanggup membuat mataku terasa pedih.
"Eh, iya. Iya, Go. Sori, aku lupa," kataku buru-buru dan memberikan buku bahasa yang kubawa. Luna malah tertawa bareng Gian dan Narita.
"Habis, yang pinjem aneh! Kagak biasanya, ya"" seru Narita masih dengan tawanya. Aku ikut tersenyum.
Bel tanda pulang berbunyi sejak tadi, tapi aku masih belum ingin beranjak dari bangkuku. Sampai akhirnya aku harus pergi ketika Pak Karmin, penjaga sekolah menyuruhku untuk segera meninggalkan kelas yang akan dikuncinya. Aku
tersenyum sambil meninggalkan kelas
"YU ...! Yu ...!"
Menggema lagi panggilan Igo padaku. Ah sendu sekali suara itu kudengar. Bagai dari alam jauh yang senantiasa bergema dalam renunganku. Panggilan seseorang yang sudah lama hilang dari dalam kalbuku. Dan aku menyukai panggilan itu.
Ah ... andai saja waktu bisa kubalik, pasti aku akan minta Tuhan membalik lembaran hitam yang pernah terjadi empat tahun silam. Kalau saja aku turut dalam tragedi itu, mungkin sekarang aku tak kembali mengenang kepedihan ini.
Bayang-bayang yang pernah hampir sirna dari angan ku, kini mencuat kembali. Ceria senyumnya. Tatapannya yang lembut dan penuh kasih. Canda-candanya yang kocak dan kebandelan-kebandelannya yang masih sering ngangenin. Ah ... serasa kemarin aku mendengarnya. Semua yang lekat dalam anganku. Sementara waktu bukan lagi berselang satu hari. Semuanya sudah berlalu empat tahun yang lalu. Oh, betapa cepatnya waktu meninggalkanku.
Sebagai anggota Mapala, dia memang cukup andal. Kiprah
nya di arena penjelajahan, lintas alam, naik turun gunung udah banyak. Sering pula aku
mengikutinya apabila sekolah libur. Mungkin itu pula sebabnya aku jadi tertarik menjadi pencinta alam. Dia pun sering bepergian. Tapi di manapun tempatnya, dia selalu nyempetin menghubungiku. Ya, memang kadang-kadang aku juga mengkhawatirkan keselamatannya.
Hari itu ... semuanya masih lekat dalam ingatanku.
"Yu,aku dengan tim akan menjelajah Mahameru," katanya sore itu.
"Oh, ya" Kapan"" tanyaku biasa. Entahlah, saat itu aku tak berminat mendengarkan ceritanya.
"Hei, Yumi! Kamu kenapa" Dari tadi kamu ogah-ogahan gitu, sih" Memangnya, Mas Andi punya salah apa sama kamu"" tanyanya sambil mendekat.
Aku menggeleng. "Nggak apa-apa.Mas Andi kapan mau ke Mahameru""
"Hari Minggu lusa. Kamu mau ikut" Sekolah lagi libur, kan"" tanyanya kemudian.
"Wah, mendadak banget, Mas Andi. Aku nggak bisa kalo Minggu. Apa Mas Andi harus ikut pendakian kali ini" Rasanya Yumi nggak sreg kalo Mas Andi ikut pendakian kali ini," kataku ragu-ragu.
"Ah, tentu saja nggak bisa, Yu! Semua udah dipersiapkan matang. Nggak enak kan, kalo ketuanya ngundurkan diri. Lagi pula, aku pengin ke sana, Yu."
"Tapi, rasanya nggak sreg, Mas An. Bener deh, perasaan Yumi nggak enak. Mas Andi
batalin aja!" seruku agak keras
"Kamu gila, Yumi!" serunya pun agak keras. Aku diam saja.
"Sori, bukan aku mau membentakmu. Tapi pikir dong, pakai rasio! Persiapannya nggak cukup sehari dua hari. Sudah repot waktu, minta izin ke sana sini, eh sekarang dibatalin begitu aja. Ah, itu benar-benar pekerjaan percuma."
"Jadi, Mas Andi tetap berangkat"" tanyaku.
"Yaa jawabnya ragu-ragu.
"Kalo Yumi nggak ngizinin""
"Please ...! Jangan buat semuanya kacau! Aku diam membisu. Membiarkan dirinya tepekur.
"Yu,Mas Andi harus berangkat. Nggak keberatan, kan" Yumi tau ini udah jadi kehidupan Mas Andi sejak dulu. Jadi ... kenapa Yumi mesti nggak ngizinin segala""
Mata bening itu menatapku. Kesungguhan ada di mata itu. Dan aku selalu tak ingin membuat mata bening itu kecewa. Aku nggak ingin melihatnya.
"Boleh kan, Yu" Ayo!" katanya setengah membujuk.
"Baiklah, tapi pulangnya bawa edelweis, ya"" Dia mengangguk mantap. "Thanks a lot," ujarnya dengan tawa lepas.
DUA hari kemudian, Mas Andi benar-benar berangkat bareng teman-temannya. Aku hanya mengantarkannya sampai batas kota.
Sebenarnya bukan maksudku menuntut setangkai bunga edelweis. Aku hanya pengin dia tetap mengingatku meskipun nggak pulang ke rumah. Kupikir dengan permintaanku, dia akan selalu mengingatku. Rasanya, aku ikut berdosa pada Mas Andi. Begitu besar rasa kasihnya kepadaku. Demi setangkai edelweis, dia rela mengorbankan dirinya. Ya, tebing terjal itu akhirnya menghempaskan dirinya. Mas Andi meninggal dengan setangkai edelweis di tangannya.
Aku sering menyesal kenapa harus minta bunga edelweis" Tetapi, siapa yang bisa menduga jalannya takdir" Mungkin kalo aku diberi tahu secara langsung dan terus terang, aku pun akan menerimanya walaupun berat. Kutangisi pun, Mas Andi nggak akan kembali.
Tetapi yang membuatku serasa hampir gila adalah ulah keluargaku dan keluarga Mas Andi. Mereka sengaja menyembunyikan kematian Mas Andi dariku. Aku tak sempat melihat wajahnya terakhir kali. Bahkan, aku nggak hadir saat pemakamannya.
Dan, aku tahu segalanya setelah Mas Inung, sahabat Mas Andi kupaksa ngomong semuanya. Karena hampir dua minggu Mas Andi nggak pernah muncul, dan juga selalu nggak ada kalo kuhubungi ke rumahnya. Padahal, temen-temennya udah pada pulang. Sepertinya,
mereka semua sengaja menyembunyikan kematian Mas Andi. Keterlaluan memang. Namun, itu karena mereka menyayangiku. Mungkin mereka nggak tega melihatku dirundung duka.
Sampai kini, aku nggak sanggup mencari penggantinya. Mungkin benar kata pepatah, "First iove never die". Nyatanya, empat tahun pun aku nggak pernah bisa melupakan segala tentang Mas Andi. Terlebih rasa bersalahku karena permintaan setangkai edelweis. Mungkin kalau aku nggak minta, tragedi itu nggak akan terjadi. Aku nggak akan mengenangnya seperti ini, karena mungkin kini dia lagi bercanda denganku di tengah-tengah keluarga yang bahagi
a. Ah ... ternyata, itu hanya lamunanku. Kutatap pusara yang bertuliskan namanya. Aku menatapnya lurus ke bawah, seolah pandanganku menembus tanah pembatas. Kulihat di sana Mas Andi seperti tersenyum padaku. Seolah dia mengerti kata hatiku yang paling dalam dan memaafkan salahku dengan mengukirkan senyum tulusnya.
Hanya Tuhan yang tahu kalau aku nggak pernah menghendaki perpisahan sama Mas Andi. Flamboyan jatuh satu per satu. Selamat tinggal Mas Andi .... Aku akan selalu mendoakanmu.
Jangan Jauh Dari ku PINDAH sana! Cepetan! Ini tempat duduk gue!" seru Bondan sambil menggebrak meja di depan Irma. Irma tetap membaca novelnya tanpa menghiraukan teriakan Bondan.
"Bondan, apa-apaan, sih"! Kan, bisa cari tempat lain!" sanggah Nila. "Elo kan, kemarin nggak masuk. Nggak salah dong, Irma duduk di sini"!" "Nggak usah ikut campur, Nil!" seru Bondan. "Heh, gue ngomong sama elo!" teriak Bondan langsung, di dekat telinga Irma.
Irma berdiri dan berkacak pinggang."Gue nggak budek, tau"! Lagian, wali kelas nyuruh gue duduk di sini! Elo udah dianggap ilang dari kelas. Sekarang, cari empat duduk lagi dan jangan ganggu gue!" seru irma.
Cowok Karya Kinoysan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurang ajar! Anak baru belagu amat, sih!" seru Bondan hampir menampar pipi Irma, tapi diurungkannya. Tiba-tiba, ia ingat
almarhum papanya. Papanya selalu mengajarinya bersikap santun sama cewek. Cewek harus
dijaga dan dilindungi. "Dasar, cuma bisa ngomong doang! Nggak berani tampar gue, kan"" bentak Irma sengit.
Bondan meninggalkan meja itu dengan tergesa. Hatinya jengkel luar biasa. Baru kali ini ada orang nggak nurut padanya. Dan yang membuatnya lebih jengkel, itu dilakukan oleh murid baru. Cewek lagi!
Huh, awas aja! Tunggu pembalasan gue!
HARI itu, jadwal pelajaran olahraga di kelas Irma. Karena mendadak ada urusan ke luar, guru olahraga nggak bisa mengajar. Guru piket mengatakan anak-anak di kelas Irma tetap boleh olahraga dan boleh menggunakan seluruh peralatan olahraga yang ada di sekolah.
Tentu saja murid-murid merasa gembira luar biasa. Mereka langsung pergi ke lapangan olahraga dan sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang main basket, ada yang badminton, ada yang senam dengan matras, ada yang main vo-li. Ada yang cuma lari ke sana kemari. Ada yang duduk-duduk, ngobrol. Pokoknya suka-suka mereka, deh!
Di kelas, Irma masih kebingungan mencari sepatu kets birunya. Ia merasa udah
membawanya dan meletakkan di laci tadi pagi.Namun sekarang, sepatu itu nggak ada di tempatnya. Padahal, ia yakin sekali nggak memindahkannya.
"Duh, siapa yang ngumpetin sepatu gue, sih"" tanya Irma sibuk sendiri sambil membongkar lacinya. Nyatanya, sepatu itu memang nggak ada. Nggak mungkin terselip karena sepatu itu cukup besar. Beberapa orang yang memilih tetap asyik membaca di kelas, terlihat menatap Irma yang sibuk kebingungan.
"Ketinggalan kali, I r," kata Yana.
"Nggak mungkin. Gue udah bawa tadi."
"Atau elo udah pindahin ke tas lagi""sahut
Imel. Irma langsung membuka tasnya. Namun, sepatu itu juga nggak ada di sana. Teman-temannya hanya memandangnya dengan tatapan nggak tahu. Irma melihat teman-temannya yang asyik berlarian ke sana kemari sambil mengoper bola basket. Irma jadi pengin cepet-cepet gabung, tapi kayaknya nggak mungkin kalo tanpa sepatu ketsnya.
Irma menggeleng sedih dan mencoba keluar. Siapa tau, ia bisa minjem sepatu Nina. Soalnya, tinggi mereka hampir sama. Siapa tau, ukuran sepatunya juga sama. Langkah Irma langsung terhenti di sebelah mading. Siapa pun berhak memasang iklan di situ. Di pinggir mading bertengger sepatu kets birunya yang dicari-cari setengah mati dengan kalimat iklan yang
membuatnya langsung naik pitam.
Diobral...! Murah meriah! Sepatu kets asii Amerika, dijamin awet & bau. Pemiiiknya jorok & nggak tahu maiu! sekaii cuci langsung luntur .... Cuma goceng ...!
Hubungi: Irma, murid baru yang bego kelas I-A 08179912345.
Irma langsung ke lapangan basket tempat Bondan dan teman-teman segengnya maen basket. Dia langsung menarik Bondan.
"Heh, apa-apaan elo" Gue nggak ada urusan sama elo!" seru Bondan sambil mencoba menarik tangannya dari cengkeraman Irma.
Sementara itu, saat Irma pergi, ada
kelas lain yang ternyata kosong dan mereka berhamburan ke luar kelas, melihat ke arah mading. Mereka langsung tertawa saat ada iklan nyasar yang mempermalukan Irma.
"Ngomong sekali lagi kalo ini bukan kerjaan elo!" bentak Irma berani. Beberapa anak terlihat melirik takut sekaligus setengah geli dan kasihan sama Irma.
"Apa liat-liat"!" seru Irma sama anak-anak yang berbisik-bisik ngomongin iklan itu.
"Angkat sepatu gue dan tulis permintaan maaf elo gede-gede!" seru Irma lagi.
Bondan tertawa terkekeh. "Gue" Heh, cewek bego!
Gue nggak akan minta maaf! Itu bukan kerjaan gue! Buat apa gue ngangkat sepatu elo yang bau itu" Hah, dasar tolol!" serunya langsung ninggalin Irma.
Emosi Irma langsung naik ke ubun-ubun, ia langsung menendang Bondan hingga jatuh terjengkang.
"Dasar pengecut!" bentak Irma keras.
"Beraninya di belakang doang!"
Bondan naik pitam. Ia ingat nasihat papanya, tapi kini nggak bisa nahan emosinya lagi. "Ngomong apa elo barusan" Belum tau apa, rasanya digampar"!11 seru Bondan sambil melayangkan tamparan pada pipi Irma. "Elo yang bikin gara-gara. Nangis, nangis lo sekarang!" seru Bondan sambil meninggalkannya.
Beberapa murid melihat adegan itu, nggak berani ikut campur. Mereka nggak ingin tersangkut masalah.
Irma terduduk sambil menangis. Hatinya sakit sekali. Sakit tamparannya Bondan nggak terlalu terasa dibandingkan dengan sakit hatinya. Terlebih saat kelas istirahat dan iklan nyasar itu belum diangkat.
Akhirnya, Nila teman sebangku Irma terpaksa menyuruh teman-temannya memindahkan iklan itu. Tak ada seorang pun yang berani membantah.
DUA hari Irma nggak masuk kelas buat nyembuhin rasa malunya. Pengin rasanya ia kembali ke sekolah lamanya di Surabaya, namun itu mustahil. Orangtuanya udah mindahin Irma ke Jakarta. Sebenarnya, ia nggak merasa memiliki masalah, sampai cowok sialan itu mengganggu hidupnya. Ia nggak bersalah. Bukankah bangku itu ditentuin wali kelasnya"
Siang itu, Irma pulang bareng
temen-temennya.Ia sengaja jalan karena mereka mau pergi ke mal. Ada beberapa keperluan keterampilan yang harus dibeli. Mungkin karena terlalu asyik ngobrol, Irma nggak sadar berjalan terlalu tengah. Tanpa disadari, sebuah jeep melintas dengan kecepatan tinggi.
Saat itu, Bondan yang melihatnya langsung berlari dan mendorong Irma menjauh. Irma hanya terjatuh, tapi Bondan tertabrak dan berlumuran darah. Bondan pingsan! Beberapa siswa yang masih ada di situ, langsung mengerumuninya dan sebagian memanggilkan ambulans.
Irma benar-benar terguncang, mungkin saja kalau Bondan nggak mendorongnya, pasti dialah yang jadi korban. Acara ke mal pun jadi gagal total. Irma dan teman-temannya memilih mengantar Bondan ke rumah sakit.
MESKIPUN masih kesal dengan semua ulah Bondan, Irma terpaksa harus menungguinya. Bagaimanapun, Bondan telah menyelamatkan nyawanya.
"Nggak usah resah, Ir! Kata dokter, masa kritisnya sudah lewat. Tinggal nungguin dia sadar," kata Nila.
Irma mengangguk."Gue nyesel, Nil. Gue kira,dia orang jahat."
"Bondan emang jahil. Semua orang pernah dijahilin dia. Tapi, pada dasarnya dia baik banget."
Irma mengangguk. Dalam hati, ia janji mau minta maaf dan jadi temen Bondan.
Sore harinya, dokter ngasih tau kalau Bondan udah siuman. Mereka yang nungguin boleh nengok, tapi dokter melarang supaya nggak banyak diajak ngomong
"Maafin gue, Ndan. Gara-gara gue, elo kayak gini," kata Irma.
Bondan tersenyum. "Nggak apa-apa. Gue juga minta maaf. Gue udah jahat sama elo! Gue yang bikin iklan itu."
Irma mengangguk. "Gue udah tau dan udah maafin."
"Kita friend-an, ya"" tanya Bondan.
Irma kembali mengangguk. "Gue punya permintaan," kata Bondan lagi. "Gue akan turuti permintaan elo." "Apa aja""
Irma kembali mengangguk. "Kembaliin bangku gue! Elo ngerti nggak sih,
kalau gue cinta banget sama Nila"!" serunya. Irma shock, Nila nggak percaya.
"Apa elo bilang, Ndan"" tanya Nila.
"Gue ngotot ngebelain bangku itu demi elo, Nil! Gue pengin duduk di samping elo terus!" seru Bondan.
"Tapi, itu nggak mungkin, Ndan."
"Kenapa nggak mungkin""
"Gue nggak sayang sama elo." "Kalau gitu, gue mau mati aja!" seru Bondan langsung pingsan kembali.
Nila dan Irm a panik. Mereka langsung manggil dokter. Dokter dan suster datang ngurus Bondan.
"Duh, kenapa dia harus pingsan lagi"" tanya dokter terlihat heran saat memeriksa Bondan.
"Apa dia akan sadar, Dok"" tanya Nila cemas.
"Belum tau. Sepertinya, dia udah mau mati! Liat tuh di monitor, garis detak jantungnya mulai lurus!" kata dokter itu terlihat cuek.
"Selamatkan dia, Dok! Oh Tuhan, selamatkan Bondan!" seru Nila.
Irma menguatkan hati Nila. "Sabar Nil, sabar! Bondan pasti sembuh!"
"Iya, kalau sembuh, gue akan terima cintanya, Ir. Elo mau tukeran bangku sama dia, kan""
Irma mengangguk. "Tapi, tadi elo bilang nggak sayang sama dia""
"Gue sayang. Cuma, gue males pacaran. Jadi gue pikir, sekarang biarin aja sobatan, ntar kalau udah siap dan cocok, ya langsung nikah."
"Gitu, ya" Tapi, kalo gini keadaannya"
"Iya, deh. Kalau dia sembuh, gue terima!"seru Nila yakin.
"Sungguh, Nil"" tiba-tiba Bondan bangun dan mengagetkan dokter yang sedang memeriksanya. "Elo"" seru Nila kaget.
"Elo lupa kalau gue pemain drama ulung" Sekarang yang penting, cinta gue udah diterima Nila tersayang!" seru Bondan sambil tertawa.
Dokter dan suster bingung. Irma masih terbengong-bengong.
"Damn it!" Nila meninggalkan ruangan dengan marah.
Kawan Lama Sore hari ... aku lelah menyiram halaman rumah yang luas. Ternyata, ngurus taman itu nggak gampang. Aku sekarang tau,pekerjaan Pak M u n itu nggak gampang. Melelahkan. Aku udah nggak mikirin itu lagi. Bersandar di sofa, terus ... leeesss. Aku tertidur, dan baru sadar waktu dibangunin seseorang.
"Rhein...! Masa tidur di kursi" Pindah ke kamar, gih\" katanya halus sekali. Mulanya kupikir Bik Inah, tapi suaranya jadi lain. Aku membuka mata.
Seseorang yang nggak kukenal tersenyum padaku. Tapi kok, dia mengenalku"
"Siapa, ya" Kalau nyari papa atau mama nggak ada. Lagi ke undangan," jawabku setengah takut.
Dia tersenyum lagi. "Rhein, kamu sama sekali nggak mengenali ku"" tanyanya lagi.
Aku berpikir keras untuk mengingatnya. Tapi, tetap aja nggak kukenali siapa cowok itu.
Dia tertawa keras. "Rhein yang udah pikun
atau aku yang kelewat banyak berubah, ya"" tanyanya lagi. "Ingat Kinoy, kan" Ini Kinoy!"
Aku menepuk jidatku. "Astaga! Ini Kinoy" Kamu udah segini gagah, Noy" Aku sampai pangling," kataku pelan. Nggak nyangka akan ketemu lagi sama tetangga sebelah di Medan, yang belasan tahun lalu pernah akrab denganku. Sampai aku berumur tujuh tahun, aku harus pindah ke Jawa mengikuti orangtua. Sejak itu, aku nggak pernah ketemu Kinoy yang tiga tahun lebih tua daripada aku. Selama itu, aku nggak pernah kirim kabar berita.
"Heh, malah ngelamun! Kenapa sih, kamu"" tanyanya memutuskan lamunanku.
"Oh ya, aku benar-benar pangling. Kok, kamu bisa mengenaliku, apa wajahku nggak berubah, Noy""
"Berubah, tapi mata kamu tetap sipit. Kayak dulu!" serunya.
"Ya, gini-gini bisa untuk lihat apa saja, kan"" seruku pula. "Gimana kabar Medan""
"Nggak tahu, Rhein. Aku juga pindah sebulan setelah kamu pindah. Sekarang, kamu kelas dua SMA, ya"" tanyanya.
"Kok, kamu tau, Noy""
"Tau, dong. Habis ngitung, kok."
"Sialan kamu!" seruku sambil menjitak kepalanya. Dia terkekeh.
"Kamu masih ingat kesukaan kita, kan"" tanyanya dengan memandangku lurus. Tanpa berkedip. Aku merasa nggak enak dipandang seperti itu.
Apalagi dia ngucapin kata "kita" dengan tekanan nada tertentu.
"Ah ya, tentu. Kamu mau minum es jeruk" Tunggu sebentar, ya!" kataku terus meninggalkan Kinoy.
Tak lama kemudian, Bik Nah datang membawa segelas es jeruk.
"Silakan, Noy! Sori Noy, aku agak flu. Jadi nggak minum es."
"Thanks/" katanya sambil meminum seteguk.
"Nanti malam kamu ada acara tidak, Rhein" Mau kan, nemenin aku jalan-jalan melihat kotamu""
"Oh, ya" Berapa hari kamu akan tinggal di Tulungagung" Kamu dari Medan pindah ke mana""
Ke Bandung. Terus, di Tulungagung dua minggu. Di Pondok Indah A-7, rumah omku," jelasnya.
"Wah, lama juga kalo gitu."
"Kamu nggak suka aku lama di sini""
Aku heran juga. "Oh, bukan begitu. Maksudku cukup untuk melihat seluruh sudut Tulungagung. Kamu pikir, Tulungagung itu sempit"" Lantas, dia tergelak. "Kupikir, kamu nggak mau nemanin aku. Kan, mungkin aja. Apal
agi kalo pacarmu ngelarang."
"Ah, nggak, deh. Kamu kan, sobatku. Lagian, nggak setiap waktu bisa ketemu, kan"" tanyaku.
"Nanti jalan-jalan, mau"" tanyanya kemudian.
"Nanti"" tanyaku tak percaya. "Oke, tapi kita tunggu mama dan papa dulu. Aku juga belum mandi, nih."
"Cepet, mandi sana!" serunya.
"Terus, kamu""
"Biar kutunggu di sini."
"Mending kamu main game atau baca-baca, ayo kutunjukkan tempatnya," kataku terus mendahului pergi.
Dia mengikutiku,kebetulan dia mau. Kalau nggak"
Terus, Dion datang dan Kinoy bilang yang nggak-nggak, bisa kacau semuanya. "Kutinggal dulu, ya"" tanyaku. Dia tersenyum lagi.
Kenangan belasan tahun lalu sebenarnya masih tersimpan dalam hatiku. Pulang-pergi sekolah dibonceng Kinoy.Terus, nyari jangkrik bareng. Sampai-sampai, Kinoy ngamuk-ngamuk kalo aku nangis gara-gara jangkrikku dicuri anak lain. Kinoy juga yang ngelindungi, kalau aku diusilin anak-anak cowok. Padahal, dia itu dulu jelek dan dekil. Nggak nyangka deh, kini dia ada di sini. Gagah dan lebih handsome. Pasti Dion nggak akan percaya kalo kubilang dia sahabatku.
The Chronos Sapphire 2 Wiro Sableng 163 Cinta Tiga Ratu Tangan Geledek 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama