Ceritasilat Novel Online

Dakwaan Dari Alam Baka 2

Dakwaan Dari Alam Baka Karya Mira W Bagian 2


"Ida kan harus membiayai sendiri kuliahnya, bu. kalau tidak menjahit, dari mana dia dapat uang""
"Benar, pak. aku juga kasihan padanya. makanya kupinjamkan mesin jahitku, tapi menolong kan ada batasnya, pak."
"Farida kan bukan orang lain, bu. dia keponakanku sendiri."
"memang, pak. dia keluarga kita. wajib ditolong. tapi jangan sampai merugikan yang menolong."
"dia tidak pernah merugikan kita, bu. hanya menumpang tinggal. kebetulan kita ada kamar kosong."
"Memang dia tidak merugikan. tapi menyusahkan."
"Kapan dia menyusahkanmu""
"Bapak tiap hari ke kantor. tidak tahu keadaan rumah. tapi aku tahu, pak. aku tahu bagaimana ramainya suasana rumah kita. makin hari makin banyak orang yang datang membuat baju."
"Kalau perlu kita bisa buat pintu keluar sendiri dari kamarnya. supaya langganan si Ida tidak masuk ke rumah kita."
"Bikin pintu kan butuh biaya, pak! sekarang kan bahan bangunan mahal!"
"Kita bisa minta si Ida membayar sebagian. dia pasti mau. nanti bapak bicarakan dengan dia."
"Kalau langganannya sudah begitu banyak, kenapa dia tidak mau menyewa kamar sendiri di luar""
Pak Is tertegun. ditatapnya istrinya dengan tajam.
"Ibu ingin mengusir Ida""
"Bukan mengusir. tapi kita sudah cukup lama memberikan tumpangan..."
"Ibu benar-benar keterlaluan! tega memperlakukan keponakanmu yang cacat seperti itu! dia harus tinggal dimana" Ida kan wanita. cacat pula. kitalah satu-satunya keluarganya di jakarta! siapa lagi yang harus melindunginya kalau bukan kita"
Tentu saja Farida tidak mendenga
r pertengkaran paman-bibinya. mereka pun tidak mengatakan apa-apa. tetapi dengan nalurinya yang tajam, Farida sudah dapat menerka, kehadirannya di rumah itu mulai tidak disukai.
Nani dan Yani sudah terang-terangan memusuhinya. mereka sudah tidak mau lagi bicara. bibi Nur masih dapat berpura-pura seolah-olah tidak ada apa-apa. tetapi sikapnya juga sudah tidak seperti biasa. dia tidak banyak bicara. dan lebih sering menyingkir.
Akhirnya Farida merasa tidak tahan lagi. dia tidak betah lagi tinggal disana. suasana dirumah itu sungguh tidak menyenangkan, lebih baik dia buru-buru menyingkir sebelum diusir.
Dan peluang itu tiba ketika paman Is mengemukakan usulnya untuk membuat pintu keluar sendiri dari kamarnya, rupanya paman juga sudah mulai terpengaruh. atau... dia sendiri juga sudah mulai terganggu" tiap hari anak-anaknya menggerutu. mungkin lama-lama dia meresa jenuh juga.
"Terima kasih, Paman," sahut Farida sambil
berusaha mengekang kesedihannya. Alangkah sulitnya memperoleh seseorang yang
sungguh-sungguh mengasihinya.
"Paman sangat baik. Saya
menghargai semua yang telah Paman berikan
pada saya. Tapi jika diizinkan, saya ingin belajar
hidup mandiri, Paman."
"Hidup mandiri bagaimana lagi, Ida" Kamu
sudah membiayai sendiri hidupmu. Paman cuma membeikan tumpangan!"
"Kalau Paman tidak keberatan, saya ingin mencoba menyewa kamar di luar.
Supaya tidak menyusahkan lagi."
"Ah, siapa bilang kamu menyusahkan" Jangan
dengarkan adik-adikmu!"
"Oh, ini bukan karena mereka! Saya
memang sudah lama ingin belajar
hidup mandiri." "Tidak, Ida! Kamu dititipkan
di sini oleh orangtuamu! Apa yang
harus Paman katakan kepada mereka kalau kamu pergi""
"Akan saya katakan ini kemauan saya sendiri, Paman."
"Tapi kamu mau tinggal di mana, Ida""
"Banyak teman kuliah yang menyewa kamar di
pondokan mahasiswi dekat kampus. Saya malah
bisa menghemat ongkos transpor Paman."
Lama Paman Ismail tepekur sebelum akhirnya
dia menghela napas panjang. Rasanya memang
percuma mencegah niat Farida. Biarpun cacat,
kalau sudah punya tekad, dia sulit dihalangi.
"Yah, kalau memang tekadmu sudah bulat, apa
boleh buat. Paman idak dapat melarang lagi.
Jaga dirimu baik-baik, Ida. Jangan kecewakan orangtuamu."
"Ya syukur, kalau dia tahu diri!" Nani mencibir
pedas. "Lebih cepat dia pergi, lebih baik. Aku
sudah bosan melihat mukanya!"
"Sebenarnya sih dia tidak
pernah membuat kita susah."
Heran. Pada saat Yani seharusnya gembira karena Fairda sudah memutuskan hendak pergi dia malah agak menyesal.
"Malah sering membantu. Disuruh apa saja mau."
"Tapi gara-gara dia, kita selalu jadi korban omelan ayah-ibu!"
"Kalau begitu yang salah ortu kita, bukan dia!"
"Yang salah kalian, karena malas!" seperti biasa, Doni selalu ikut menimpali.
"Diam! Anak kecil nimbrung melulu!"
"Doni tahu di mana jam tangan Kak Nani,"
Doni menyeringai mengejek.
"Doni juga tahu sudah berapa bulan Kak Nani nggak bayar uang
sekolah! Hihihi..." "Kurang ajar!" Dengan geram Nani mengejar adiknya.
Mulut anak kecil ini benar-benar harus dibungkam! Untung Ayah-Ibu tidak ada di rumah.
Doni kabur sambil menjerit-jerit. Nani mengejar dari belakang.
Farida baru keluar dari kamarnya. Terkejut
mendengar teriakan-teriakan Doni.
Dan dia melihat semuanya dengan jelas.
Doni sedang berlari-lari ke atas ketika tiba-tiba
dia tergelincir. Jatuh terguling-guling ke bawah tangga.
Dan belakang kepalanya membentur lantai.
Nani yang baru sampai di bawah tangga tidak
keburu menangkapnya. Dia tertegun antara terkejut dan cemas ketika melihat adiknya terkapar di lantai. Tidak bergerak lagi.
Yani memekik histeris. Memburu adiknya dan
merangkulnya dengan panik.
Nani yang ikut berjongkok dengan wajah pucat pasi mengguncang-guncang
adiknya. Tetapi Doni diam saja.
"Doni pingsan, Kak!"
desis Nani ketakutan ketika Farida berlutut di dekatnya. "Kita harus
bagaimana nih""
"Kakak akan panggil taksi,"
kata Farida sambil bergegas bangkit dan berjalan keluar. "Gendong
Doni. Kita bawa ke rumah sakit."
"Tapi Ayah belum pulang!"
"Kita tidak bisa menunggu lagi," sahut Farida
tegas. " Doni harus ditolong sekarang juga!"
Sebenarnya lima menit kemudian
Doni sudah sadar. Tetapi Farida berkeras membawanya juga ke rumah sakit.
Tidak ada salahnya minta pendapat dokter, kan"
Doni jatuh cukup tinggi. Dan kepalanya terbentur cukup keras dengan lantai.
Apalagi dia sampai tidak sadarkan diri, meskipun cuma sebentar.
Memang tidak ada muntah. Tapi dia sempat lupa pada apa yang terjadi sesaat sebelum Pingsan.
dan kepalanya Pusing sekali.
Doni didiagnosis menderita gegar otak ringan. dia harus dirawat semalam untuk observasi.
"Kata dokter keadaannya tidak mengkhawatirkan," hibur Farida pada Nani yang masih shock.
"Kamu tunggu saja di sini. kakak akan mengurus administrasinya dulu."
Paman Is dan istrinya baru tiba di rumah sakit
ketika semuanya telah beres. Administrasi telah
diselesaikan Farida. Dan Doni sudah dibaringkan
di atas ranjang di kamarnya.
Dia menangis terus minta pulang. Tetapi Farida
terus-menerus mendampingi dan menghiburnya.
"Cuma semalam, Don. Besok pagi-pagi kamu
sudah boleh pulang. Kalau kamu mau Kak Ida
temani, Kakak mau tinggal di sini."
"Kak Ida boleh tidur sama Doni""
"Ya tidak," Farida tersenyum lembut.
"Tapi Kakak boleh tidur di luar. Kalau Doni takut, panggil Kakak ya."
"Nanti Kak Ida digigit nyamuk."
Farida belum sempat menjawab ketika Paman
Is dan Bibi Nur masuk ke kamar. Ketika melihat
ibunya, Doni menangis lagi.
Farida memutuskan tidak tinggal di pondokan
mahasiswi. Dia mengontrak sebuah rumah berukuran tiga puluh enam me
ter persegi dengan dua kamar tidur. Dan mengajak Endang tinggal bersama.
"Aku ingin memperluas usaha jahitku, Dang,"
katanya ketika mengajak sahabatnya tinggal ber
sama. "Kalau kamu mau membantu membayar sewa, aku
akan berterima kasih sekali."
"Oke," sahut Endang yang selalu siap membantu sahabatnya.
"Di tempat kos memang rasanya tidak boleh buka jahitan. Aku sih oke saja.
Tapi kalau usahamu sudah maju, aku boleh tinggal grads ya, Da!"
Farida hanya tersenyum membalas canda temannya.
"Mula-mula barangkali aku cuma bisa membuatkan baju gratis untukmu, Dang."
Tapi yang modelnya keren, ya"" tawar Endang. "Jahitannya mesti rapi.
Bahannya silk..." "Tahun depan, ya"" Farida tersenyum membalas canda temannya."
"Kamu mau kan tidur sekamar denganku""
"Daripada sekamar dengan jahitan" Tapi ngomong-ngomong, mau kamu pakai buat apa kamar yang kedua""
"Kamar kerja. Kamar pas. Kamar baju...
"Kamar makan. Gudang. Asal jangan buat dapur saja."
"Dapurnya masih diluar, dang. kalu bu tri setuju, aku mau renovasi sedikit bagian belakang rumahnya. untuk dapur."
"WC nya juga, Da. kalau jongkok, aku nggak bisa b.a.b."
"Boleh saja. Tapi utang dulu, ya""
"Utang sama siapa"" Endang mengangkat sebelah alisnya.
"Sama kamu." Farida tersenyum manis.
"Sama siapa lagi""
"Tapi dihitung modal, ya" Kalau usaha jahitmu
sudah maju, aku dapat bagian""
"Lima puluh persen keuntungan."
"Hah"" Endang terbelalak kaget. "Murah hati amat kamu. Da!"
"Tidak juga. Kan kamu juga
harus kerja. Jadi asistenku." "Oke saja. Tapi aku cuma bisa pas
ang kancing!" "Tidak masalah. Asal pasangnya tidak terbalik."
ibu pemilik rumah itu sudah berumur enam puluh
tahun. Dan sampai setua itu,
dia belum pernah melihat tukang jahit
buntung. Maksudnya, tidak punya tangan. Dia mau menjahit pakai
apa" "Buka usaha jahit""
gumamnya tidak percaya. Anak-anak ini linglung atau cuma main-main"
"ibu boleh nonton kalau teman saya demonstrasi menjahit nanti,"
potong Endang jemu. "Dan kalau Ibu mau bikin baju. Ibu da
pat diskon sepuluh persen."
Ketika ibu itu masih melongo ben
gong, Endang menyentuh bahunya.
"Nanti kalau teman saya sudah jadi
sarjana hukum, Ibu juga dapat diskon dua
puluh persen kalau memakai jasanya."
"Sarjana hukum"" Ibu pemilik rumah itu tambah bingung.
Teman saya ini calon S.H., Bu!" kata Endang bangga.
"Astaga! cetus ibu itu kaget.
"Tidak salah, Nak" Yang punya tangan dua saja banyak yang gagal!"
"Betul, Bu," sahut Endang mantap.
"Karena yang punya tangan dua, tidak punya otak dan hati seperti
teman saya ini!" Bibi Nur menghadiahkan mesin jahitnya untuk Farida, tetapi Farida menolak. dia ingin membeli mesin itu.
"Kalau boleh dengan mengangsur, Bi," katanya dengan sesopan-sopannya sup
aya bibinya tidak tersinggung.
"Ah, sudah! Ambil saja!" potong Paman Is sebelum istrinya sempat menjawab.
"Mesin jahit ini tidak dipakai kok. Tidak ada yang sempat
menjahit di rumah ini!"
"Saya ingin membelinya, Paman. Sebagai modal pertama usaha jahit saya. Sudah diizinkan mengangsur saja, saya sudah berterima kasih sekali."
"Kamu memang keras kepala," keluh Paman
sambil menghela napas. "Harga mesin jahit ini
tidak seberapa kalau dibandingkan uang yang kamu keluarkan untuk membayar uang muka perawatan Doni di rumah sakit."
Farida memang memohon agar uang muka
yang dikeluarkannya tidak diganti. Dia ingin melakukan sesuatu untuk Doni. Sekaligus ingin membalas kebaikan pamannya mengizinkannya
menumpang di rumah nya. Ketika Farida hendak meninggalkan rumah itu bersama barang-barangnya.
Nani menghampirinya. "Maafkan saya, Kak," desahnya lirih.
Farida tersenyum tulus. Dia tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Tapi jauh dalam hatinya, dia
sudah lama mcmaafkan Nani.
Dari Doni, dia tahu ke mana jam tangannya. Nani memberikannya kepada Hamid. Mung
kin sebagai tambahan membayar uang kuliahnya.
Mungkin pula untuk keperluan lain.
Yani tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap
Farida dengan tatapan penuh penyesalan. Barangkali dalam hatinya, dia juga menyesal telah berlaku kejam pada sepupunya yang cacat.
Cuma Doni yang mengiringinya naik ke taksi.
Sesaat sebelum Farida menutup pintu, Doni menyelipkan sesuatu ke dalam tasnya.
Karena sibuk mengurus barang-barangnya dan
menata rumah bersama Endang, Farida melupakan hadiah itu. Baru ketika sedang duduk kecapekan di kamarnya Farida ingat kembali pada Doni.
Apa yang dimasukkan anak itu ke dalam tasnya"
Farida menumpahkan isi tasnya. Dan matanya
menjadi berkaca-kaca melihat dua kelos benang
yang dihadiahkan Doni. Hadiah yang tulus dari seorang bocah. murni, walaupun tidak berharga.
Farida tersenyum haru. akhirnya dia menemukan juga seseorang yang sungguh-sungguh menyayanginya.
"Tadi ibu yang pakai gigi emas itu datang lagi, Da,"
lapor Endang begitu Farida pulang membeli kancing.
"Katanya dia minta nanti sore bajunya sudah selesai. Mau dipakai pesta."
"Tinggal memasang kancing," sahut Farida tenang.
Dia memang tidak pernah kelihatan gugup
biarpun pekerjaannya bertumpuk-tumpuk.
"Sebentar juga selesai."
"Sini aku yang pasang. Kamu bisa mengerjakan
yang Iain. Minggu ini kamu repot sekali, kan""
Farida hanya tersenyum. "Benangnya pakai yang kuning ya. Dang.
Jangan yang putih kayak dulu. Nanti dia ngomel lagi."
"Oh, dia ngomel ya"" Endang menyeringai geli.
"Dia bawel ya. Da."
"Tapi orangnya sih baik."
"Sudah tua tapi masih perlente ya."
"Bukan yang muda saja yang harus keren, kan""
"Makanya kamu juga harus belajar dandan!"
"Ah, bagiku begini saja sudah cukup."
"Kamu tidak mau kelihatan keren""
"Apa gunanya" Tidak ada yang tertarik padaku."
"Siapa bilang" Kamu tidak merasa Sultan naksir kamu""
Farida hanya tersenyum tipis. Sekilas bayangan
pemuda itu melintas di depannya.
"Lho, kok malah tersenyum! Kamu tidak suka padanya""
"Suka. Dia kan baik. Ramah. Penuh perhatian."
"Lalu""

Dakwaan Dari Alam Baka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya sudah." "Ya sudah"" Endang pura-pura mengelus dada."
"Kamu tidak mau pacaran""
"Barangkali aku sudah di takdirkan untuk hidup sendiri, Dang."
"Ah, siapa bilang" Perkawinan kan bukan monopoli orang yang tidak cacat!"
"Siapa yang mau mengawini aku"" Farida tersenyum pahit.
"Kalau kamu jadi laki-laki, kamu tidak malu punya istri seperti aku""
"Seharusnya aku malah bangga!"
"Itu karena kamu bukan laki-laki!"
"Nggak nyangka dibalik semangatmu yang begitu besar,
kamu menyimpan rasa rendah diri yang begitu hebat!"
"Pernah seorang laki-laki buta melamarku," Farida sengaja membalikkan tubuhnya agar temannya tidak melihat wajahnya. tidak melihat kesakitan yang bersorot dimatanya. "Sesaat sebelum kami menikah, dia memperoleh kembali penglihatannya.
Dan dia menunda pernikahan kami sampai sekarang. Hanya karena dia tidak tega
membatalkan perkawinan kami.
"Tidak semua laki-laki seperti dia, Da!"
"Aku tidak menyalahkan dia. Kalau aku jadi
dia, mungkin aku juga akan melakukan hal yang
sama." "Kamu memang orang yang paling penuh penge
rtian. Cuma aku tidak mengerti, mengapa kamu tidak mengerti juga. Sultan sudah lama
naksir kamu." "Dia cuma kasihan padaku. Karena aku cacat."
"Di tingkatnya ada mahasiswi yang pincang.
Tapi Sultan tidak naksir dia."
"Sudahlah. Aku tidak ingin membicarakannya lagi."
"Kamu tidak tertarik padanya" Ya, kualitas fisik-nya memang kurang. Kurus tinggi seperti jarumpentul. Tapi hatinya baik. Da. Kalau boleh memilih, aku lebih setuju kamu dapat lelaki yang
baik dari pada yang ganteng."
Farida tersenyum getir. "Gadis cacat seperti aku tidak punya banyak
Pilihan, Dang. Tapi aku tidak mau menikah hanya karena harus punya suami."
"Jangan minder begitu. Da. Biarpun cacat. aku yakin ada lelaki yang naksir kamu karena mengagumi sifat-sifatmu. bukan fisikmu."
"Aku belum memikirkan perkawinan. ingin mengejar karier dulu."
"Boleh saja. asal jangan sesudah kamu raih cita-citamu. jodohmu malah tertinggal di belakang. susah kalau harus balik lagi, Da. umur kan tidak bisa diputar mundur!"
PALEMBANG 1981 BAB XII KETIKA Farida pulang ke rumah pada liburan
semester, orangtuanya telah menanti dengan kabar yang menyakitkan hati.
Mahmud datang menemui mereka. Dia ingin
segera menikah. tetapi tidak ingin menghambat
studi Farida. jadi dia memutuskan pertunangan
mereka. Dan memilih wanita lain sebagai calon istrinya.
ibu Mahmud memang sudah meninggal
beberapa bulan yang lalu. dan Mahmud tidak
menemukan penghalang lagi untuk melakukan
apa yang diinginkannya. ketika mendengar Farida pulang, Mahmud malah datang menemuinya
sendiri. dan menyampaikan niatnya untuk mengawini seorang perempuan lain.
"Saya tidak dapat menunggu lagi, Ida," katanya tegas.
"Umur saya sudah tiga puluh. Tapi saya tidak mau menghambat studimu. Cita-citamu begitu tinggi. Saya tidak tega menghancurkannya.
jadi saya terpaksa memutuskan pertunangan kita."
"Terima kasih karena telah memberi saya kesempatan untuk meraih cita-cita saya, Bang," sahut Farida tenang.
"Saya berjanji akan menyelesaikan kuliah saya."
Di depan Mahmud, Faida tidak mau memperlihatkan air matanya. Di hadapan orangtuanya pun dia tetap tampil tegar. Tidak seorang pun
melihat kesedihannya. Tetapi ketika semua orang sudah tidur,
dia menangis seorang diri di tempat tidurnya.
Mengapa nasibnya begitu buruk" mengapa dia tidak seperti gadis lain" tidak seperti adik-adiknya"
apa sebenarnya dosanya sampai dia memiliki cacat yang begini memalukan"
Farida belum tidur ketika pintu kamarnya perlahan-lahan terbuka. dan suara ibu terdengar lirih dalam kegelapan.
"Ida, boleh ibu masuk""
Lekas-lekas Farida menghapus air matanya sesaat
sebelum Ibu menekan tombol lampu di dekat pintu. Kamar menjadi terang. Dan Farida melihat ibunya tegak di ambang pintu.
"Belum tidur, Ida"" tanya Ibu lembut.
Farida menggelengkan kepalanya. Wajahnya
semuram mendung di luar. "Jangan putus asa, Ida." Ibu duduk di tepi pembaringan.
"Barangkali Mahmud bukan jodohmu."
"Barangkali sudah takdir saya, Bu," sahut Farida pahit.
"Kalau saya menikah, belum tentu
saya dapat menyelesaikan ku
liah." "Ibu bangga padamu. Kamu anak yang tabah,
Ida. Sejak keeil kamu selalu membuat orang-tuamu bangga. Mudah-mudahan kamu dapat meraih cita-citamu. Tapi berjanjilah pada Ibu."
"Soal apa, Bu""
"Jangan mendendam kepada laki-laki.
Tidaksemua laki-laki seperti Mahmud."
"Saya tahu, Bu. Bapak juga laki-laki."Tapi Bapak sangat baik."
"Di Jakarta, kamu belum punya pacar""
Siapa yang mau sama saya, Bu" Tetapi Farida
tidak jadi mengucapkannya. Dia tidak tega menyakiti hati Ibu.
"Kamu tidak pernah terpikat pada teman kuliahmu""
Bukan teman kuliah. Tiba-tiba saja wajah Pak
Hans melintas di depan mata Farida. Diosen. Tetapi dia sudah beristi. Dan
dia tidak tertarik pada saya. Karena saya cacat!
Pak Hans memang sangat memerhatikannya.
Tetapi itu hanya karena Farida merupakan salah
satu mahasiswinya yang istimewa. Mudah diingat.
Karena dia lain dari yang lain!
JAKARTA 1981 BAB XIII FARIDA kembali ke Jakarta dengan hati sakit.
Dan dia tidak lulus ujian. Untuk pertama kalinya
sejak tingkat satu. Salah satu ujiannya yang gagal adolah mata kuliah yang diasuh Pak Hans. Dan kegagalanny
a membuat dosennya heran.
"Ada apa, Ida"" tanyanya sambil mengawasi
mahasiswi yang tertunduk diam di hadapannya itu.
"Belum pernah hasilmu seburuk ini. Dan
bukan pada pelajaran saya saja. Tentamen Pak
Ahmad juga kamu gagal. kan""
"iya. Pak," sahut Farida lirih.
"Pasti ada yang memberatkan pikiranmu."
"Masalah ptibadi. Pak."
"Orangtuamu""
"Bukan, pak" "Pacar"" "Ah," paras Farida memerah. "saya belum punya pacar, pak."
"betul"" seuntai senyum menggoda bermain di bibir dosennya. diam-diam farida mengeluh dalam hati. alangkah tampannya dia! alangkah kerennya senyumnya! "saya dengar sultan sudah lama naksir kamu."
"ah, itu cuma gosip, pak!" cetus farida antara kaget dan malu.
dari mana pak Hans mendengar berita seperti itu" wah, telinga dosen rupanya sama tajamnya dengan telinga mahasiswa!
"masalah keuangan"" desak pak Hans simpatik.
"saya dengar kamu tidak pernah minta uang dari orangtuamu."
"bukan, pak." dari mana dia tahu" mengapa dia tahu begitu banyak tentang diriku" apa lagi yang diketahuinya"
"usaha jahitmu" saya dengar dari endang, langgananmu makin banyak sampai dia tidak kebagian tempat tidur. penuh dengan baju."
farida tersenyum pahit mendengar seloroh dosennya, endang memang kocak. tapi dia sahabat yang baik. rupanya dia yang sering membocorkan rahasia.
"Usahamu boleh maju,"
sambung Pak Hans serius. "Tapi jangan sampai mengganggu konsentrasi belajarmu. Prioritas utamamu tetap pada kuliah. Kalau sedang menghadapi ujian, kamu
harus menyingkirkan dulu jahitanmu."
"Bukan karena jahitan saya gagal, Pak."
"Dan kamu belum mau juga mengatakan masalahmu pada saya" Saya tidak bisa menolongmu kalau tidak tahu apa masalahnya."
Dia ingin menolongku, pikir Farida dengan
dada berdebar-debar. Mengapa Pak Hans begitu
penuh perhatian" Dia memang dosen pembimbingku. Tapi bukan berarti dia harus tahu semua masalah pribadiku....
Dosen pembimbing hanya membantu mahasiswa menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan akademis. Bukan yang menyangkut hal pribadi.
"Jika masalah pribadimu mengganggu kegiatan akademis,
saya harus tahu apa kesulitanmu," sambung Pak Hans tegas.
"Saya bersedia memberimu ujian perbaikan. Tapi bagaimana dengan Pak Ahmad""
"Pak Ahmad tidak mau memberikan her, Pak.
Karena nilai ujian saya sangat jelek."
"Saya tahu. Tapi kalau saya tahu masalahmu. saya bisa minta dispensasi."
Farida tidak menjawab. Dia benar-benar bingung. Haruskah dia beterus
terang" Tapi alang- kah malunya menceritakan
persoalan pribadinya! Lebih-lebih kepada Pak Hans!
"Kamu boleh datang ke rumah saya kalau pikiranmu sudah tenang. Cerirakan masalahmu. Dan saya bersedia memberikan ujian perbaikan."
"Rasanya saya mau istirahat dulu, Pak.
"Istirahat""" belalak Pak Hans kesal.
"Untuk apa" Menekuri masalahmu""
"Waktu saya pulang, guru jahit saya menawarkan kerja sama, Pak. Dia memen
angkan tender memasukkan pakaian wanita ke sebuah toko
yang cukup besar. Salah satu model
yang terpilih hasil desain saya, Pak."
"Jadi kamu memutuskan untuk jadi desainer""
"Hanya mengisi waktu, Pak Sambil menenangkan diri."
"Saya tidak setuju. Kamu harus jadi sarjana hukum!"
"Itu cita-cita saya, Pak. tidak mungkin saya tinggalkan."
"Jadi lupakan impianmu jadi desainer!"
"mendesai baju itu hobi saya, pak."
"oke. tapi minta utamamu tetap di bidang hukum. saya tidak mau kamu keenakan mendesain baju lalu kuliahmu terbengkalai!"
Farida tidak menjawab. Karena dia tidak tahu
bagaimana lagi harus membantah dosennya.
"Besok sore saya tunggu di rumah. Kamu sudah harus memutuskan ingin tetap jadi sarjana hukum atau desainer!"
"Tapi, Pak..." bantah Farida gugup.
"Saya tidak bisa membantu kalau kamu sendiri masih ragu!"
Suara Pak Hans begitu tegas. Farida jadi tambah mengaguminya. Begitu seharusnya laki-laki.
Tegas. Tidak bimbang sedikit pun. Dan karena
tidak ingin mengecewakan dosen favoritnya,
esok sorenya Farida muncul di rumah Hans Walian, S.H.
Rumah dosennya tidak semegah yang disahgkanya. Jauh dari kesan mewah. Padahal dia sarjana hukum terkenal. Istrinya juga fotomodel yang kondang.
Tetapi begitu masuk ke halamannya saja,
Farida sudah merasa nyaman. Halaman yang asri,
tanaman yang segar terawat. kebersihan yang terjaga,
membuat Farida merasa betah. Rasanya temaram sekali di sini.
Tenang, Damai. Dan seorang pembantu langsung menyilakannya masuk begitu dia mengetuk pintu.
Dia sempat terpaku sesaat. Barangkali menerka-nerka
yang datang ini pengemis atau tamu.
Baru ketika Farida menyapanya dengan sopan
dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, dia
buru-buru mengubah sikapnya.
"Silakan duduk di dalam, Mbak " katanya sopan.
"Mau minum apa""
Wah, ramah sekali pelayanannya, pikir Farida
geli. Jangan-jangan dikiranya aku salah seorang
klien majikannya. "Air es saja," sahut Faida sambil duduk di
sofa empuk di ruang tamu.
Tatapannya menyapu lukisan-lukisan repro yang tergantung di dinding.
Pemilik rumah ini pasti berselera tinggi, pikir
Farida sambil mengagumi lukisan-lukisan itu.
Mudah-mudahan aku bisa bertemu dengan istinya...
kata teman-teman, dia cantik sekali.
"Selamat sore," sapa Pak Hans ramah.
Dia muncul dari dalam. Masih men
genakan baju dan celana olahraga.
Peluh masih bercucuran di wajahnya.
Bajunya yang basah berkeringat lekat di dadanya
yang bidang. "Sore, pak," sahut Farida sambil lekas-lekas berdiri. dan cepat-cepat pula mengusir kekaguman dari matanya.
dalam balutan pakaian olahraga yang masih basah berpeluh, pak Hans justru tampak lebih sportif dan macho. wajahnya yang memerah segar
berpadu dengan tampilan otot-otot lengan dan
kakinya yang bersembulan. Membuat Farida tambah mengaguminya.
"Sori, saya belum siap,"
katanya sambil membuka lengannya menyilakan Farida duduk kembali.
"Saya mandi sebentar. Mau minum apa""
"Sudah minta air es, Pak. Teima kasih. Baru
pulang olahraga, Pak""
"Tenis. Saya tinggal dulu, ya""
"Silakan, Pak. Jangan buru-buru. Saya tidak
ada kesibukan apa-apa."
"Masa"" Pak Hans tersenyum lebar.
"Langganan jahitmu kabur semua" Ada tetangga yang pasang
tarif lebih murah""
Farida ikut tersenyum menyambut kelakar dosennya.
"Ibu ada, Pak"" tanyanya sopan. Sekadar
basa-basi. Senyum Pak Hans langsung memudar.
"Belum pulang."
Farida seperti mendengar nada kesal dalam suaranya. Tetapi buru-buru diusirnya prasangka itu.
Istri Pak Hans mungkin sedang arisan. Sedang
shopping. Sedang... Ah. peduli apa.
Pokoknya dia sedang pergi. Bekas orang terkenal seperti dia
pasti punya seribu satu macam kesibukan.
Mereka memang belum dikaruniai anak walaupun
sudah lima tahun menikah. Itu kata Endang. Dia memang Pusat Informasi Kampus. Dan infonya sembilan puluh sembilan persen benar. Bisa dipercaya.
"Maaf menunggu." tidak ada sepuluh menit kemudian, Pak Hans sudah muncul lagi. Kali ini dia mengenakan kemeja santai lengan pendek dan celana jins. Padahal kalau mengajar, dia selalu tampil rapi dengan kemeja lengan panjang dan celana pantalon.
"Oh, tidak apa-apa, Pak," sahut Farida gugup. Heran. Kalau di depan Pak Hans, mengapa dia lebih banyak gugupnya"
"Nah, saya ingin dengar kabar baik."
"Saya sudah berpikir semalaman, Pak."
"Saya tahu. Jangan bilang kamu tidak mau melanjutkan kuliah."
"Bapak mau menolong saya""
"Memberimu ujian perbaikan"" "Saya berjanji akan belajar baik-baik."
"Bagus. Itu yang saya harapkan. Saya yakin kali ini kamu pasti lulus"
"Tapi pak ahmad tidak mau memberikan her, pak. kata beliau. hasil saya jelek sekali."
"Biar saya yang bicara dengan pak Ahmad."
Farida tertegun mengawasi dosennya. apakah dia tidak salah dengar" pak Hans mau membantunya" Minta tolong pada Pak Ahmad agar mahasiswinya yang satu ini diberi ujian perbaikan"
"Betul... Bapak mau... menolong saya""
"Dengan satu syarat."
"Syarat"" Farida menggagap. Matanya menatap dosennya dengan bingung. Syarat apa"
"Saya harus tahu apa masalahmu."
Sesaat Farida tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya. Menyembunyikan rasa sakit yang bersorot di matanya. Dan Pak Hans melihat parasnya berubah kemerah-merahan.
"Tunangan saya memutuskan hubungan, Pak," desahnya perlahan. Meredam rasa malu. Matanya terasa panas.
"Katanya kamu belum punya pacar!" "Memang bukan pacar, Pak. Kami dijodohkan orangtua."
"Mengapa dia memutuskan hubungan" Karena kamu kuliah di Jakarta" Belum ingin menikah se
belum lulus"" "Itu hanya alasannya, Pak."
"Dia tertarik pada wanita lain"'
Farida mengangguk sambil menelan air matanya. Dia tidak ingin menangis. Tetapi hatinya terasa pedih tersayat. Bukan sedih karena kehilangan Mahmud. Tapi karena merasa terhina.
"Karena wanita ini lebih cantik"" "Karena saya cacat."
Pak Hans merasa hatinya tertikam nyeri. Dia merasa iba. Tapi tidak diperlihatkannya. Suatanya masih seringan biasa.
"Dari dulu pun dia tahu kamu cacat."
"Dulu dia tidak bisa melihat."


Dakwaan Dari Alam Baka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Buta maksudmu""
"Dia baru memperoleh kembali penglihatannya melalui operasi transplantasi kornea."
Sekarang Pak Hans tidak dapat berpura-pura lagi. Darahnya mendidih.
"Laki-laki seperti itu yang kamu sesali karena tidak jadi mengawinimu" Seharusnya kamu malah bersyukur dia tidak jadi suamimu! Dia tidak berharga sama sekali! Kamu mencintainya""
Farida menggeleng getir. "Kami dijodohkan orangtua."
"Kalau begitu mengapa kamu sedih""
"Saya merasa terhina."
"Karena itu ujianmu gagal." Pak Hans menghela napas panjang.
"Stres berat." Bukan hanya saya, Pak. "orangtua saya juga mendapat malu. itu yang membuat saya semakin tertekan."
"Saya mengerti, Ida. bebanmu memang berat. sekarang jangan pikirkan apa-apa lagi. konsentrasi saja pada pelajaranmu. Jika kamu jadi sarjana hukum yang hebat nanti, dia akan menyesal karena tidak meraih kesempatan untuk memiliki seorang istri yang hebat."
"Saya tidak ingin jadi istri yang hebat, Pak," sahut Farida sederhana sekali. "Saya hanya ingin jadi perempuan normal."
Kata-kata itu menyentuh hati Pak Hans. Membangkitkan sensasi yang aneh di hatinya.
Gadis cacat ini tidak ingin jadi perempuan yang hebat. Dia hanya ingin jadi perempuan normal. Bisa mencintai dan dicintai seorang pria secara normal. Terlalu mulukkah keinginannya"
"Saya lapar sekali," cetus Pak Hans setelah lama termenung.
"Mungkin karena habis olahraga."
Kalau begitu saya pamit, Pak."
"Pamit"" Pak Hans pura-pura terkejut.
"Mau ke mana""
"Pulang." Ke mana lagi, pikir Farida heran.
"Tidak mau menemani saya makan""
"Terima kasih, Pak," Farida menyembunyikan perasaan kagetnya.
"Saya tidak mau merepotkan."
"Merepotkan siapa"" Pak Hans tersenyum tipis.
"Saya mengajakmu menemani saya makan sate Pak Kumis."
Pak Hans tidak menukar bajunya lagi. Dia hanya memakai sepatu sandal. Dan makin dengan santai di pinggir jalan.
Melihat cara makannya yang begitu lahap dan rileks, kerikuhan Farida berangsur menghilang.
"Nambah lagi"" tanya Pak Hans sambil memesan seporsi sate lagi.
"Cukup, Pak. Terima kasih. Bapak sering makan di sini"
"Tidak pernah lagi sejak menikah."
"Ibu tidak suka sate""
"Suka, Cuma tidak mau nongkrong di pinggir jalan begini."
"Banyak debu ya, Pak," komentar Farida dengan perasaan tidak enak.
"Kan banyak mobil lewat."
"Banyak wartawan," sahut Pak Hans datar.
"Kan selebriti. Takut masuk koran."
Mengapa nada suaranya begitu dingin, pikir Farida bingung. Seharusnya kan dia bangga.
"Ibu cantik ya, pak." Farida mencoba mengalihkan topik.
"Tidak secantik dulu," sahut pak Hans sambil melahap satenya.
"Ah, pasti masih cantik, ibu kan fotomodel
terkenal. Sekarang Ibu masih meneruskan karier-nya, Pak""
"Masih. Tapi tawaran tidak sebanyak dulu lagi"
Itukah yang membuat Pak Hans tidak senang" Istrinya masih meniti kariernya walau sudah menikah" Karena itukah dia jarang di rumah"
"Mungkin Ibu sengaja membatasi diri."
"Itu yang saya inginkan. Saya ingin istri saya lebih banyak di rumah. Tapi dia malah lebih banyak di luar walaupun tidak ada yang dikerjakan."
Farida tertegun lagi. Rupanya rumah tangga dosen favoritnya ini sedang memasuki tahap yang berbahaya. Dan dia tidak ingin berada di tengah-tengah. Tetapi... siapa yang khawatir atas kehadirannya" Dia cuma gadis buntung yang tidak patut dicurigai! Bukan saingan fotomodel terkenal yang cantik jelita!
"Tambah lontong"" tanya Pak Hans ketika melihat mahasiswinya tertegun bengong. "Atau kamu lebih suka nasi""
"Kenyang, Pak. Belum pernah saya makan sebanyak ini."
"Betul" Biasanya kamu tidak doyan makan"
Makanya kurus." Farida hanya tersenyum. "Kalau kamu lulus nanti, saya ajak kamu makan di sini lagi." Sekali lagi F
arida tertegun. Berkat permintaan Pak Hans, Pak Ahmad bersedia memberikan ujian perbaikan. Dan seperti yang telah diduga, Farida lulus dengan hasil gemilang.
"Untung kamu tidak memalukan saya," Pak Hans tertawa riang.
"Saya bangga padamu, Ida."
"Terima kasih. Pak. Semua berkat jasa Bapak."
"Kamu tahu saya bilang apa pada Pak Ahmad""
Farida menggeleng. "Beri Farida kesempatan sekali lagi. Kalau kali ini dia gagal juga, saya yang akan menyuruhnya DO. Biar dia jadi desainer saja."
Pak Hans tertawa lebar. Farida tersenyum penuh terima kasih. Dosennya yang satu ini memang baik sekali. Penuh perhatian dan suka menolong. Biarpun repot, dia selalu ada waktu untuk membantu mahasiswanya.
"Dan ternyata kamu memang bisa dipercaya. Kamu lulus dalam ujian saya dan ujian Pak Ahmad. Pasti ada yang sangat kecewa."
"Siapa, Pak""
"Bekas guru jahitmu!"
"Ah." Farida menunduk tersipu. Parasnya memerah. Tetapi matanya berbinar. Dan entah mengapa akhir-akhir ini Pak Hans keranjingan sekali melihat pemandangan seperti itu.
"Kamu masih meneruskan usaha jahitmu""
"Itu nafkah saya, Pak."
"Saya mengerti. Kamu memang gadis hebat. Bisa membiayai sendiri hidup dan kuliahmu. Saya yakin kamu akan menjadi seorang sarjana hukum yang disegani. Tapi saya tidak mau dengar kamu gagal lagi karena masalah laki-laki."
"Saya janji, Pak."
"Oke Sekarang saya akan membayar janji saya."
"Janji apa, Pak""
"Mengajakmu makan sate Pak Kumis kalau kamu lulus ujian!"
Hati Farida berdegup gembira. tapi sekaligus berdebar cemas.
"Ibu tidak marah, Pak""
"Kenapa Ibu harus marah""
"Bapak makan dengan saya."
"Ibu tidak ada di rumah. Dia tidak tahu saya makan dengan siapa."
"Tapi kalau ada yang menyampaikan..."
"Apa salahnya kita makan bersama" Kita makan di pinggir jalan. Bukan di dalam kamar. Atau di kafe remang-remang."
"Saya tidak mau rumah tangga Bapak..."
"Rumah tangga saya memang sudah berantakan.
Farida menatap dosennya dengan getir. Sebaliknya Pak Hans membalas tatapannya dengan tenang.
"Sudah lama tidak ada persesuaian paham di
antara kami." "Tapi kenapa, Pak" Apa yang kurang dalam diri Ibu" Ibu cantik. Terkenal. Pintar...."
"Saya mendambakan istri yang selalu ada di rumah. Menunggu suami pulang kerja. Saya merindukan anak. Dua hal itu yang tidak dapat diberikan Mona."
"Maksud Bapak..." Mata Farida menatap cemas.
"Ibu tidak bisa hamil""
"Dia bisa. Tapi tidak mau."
"Tidak mau"" Di mana ada perempuan yang tidak mau hamil" Bukankah itu kodrat seorang wanita"
"Dia takut tubuhnya tidak indah lagi setelah . melahirkan." Ketika mengucapkan kata-kata itu, wajah Pak Hans mengerut seperti menahan sakit.
"Dia tidak tahu, ibu saya bahkan mengorbankan nyawanya ketika melahirkan saya."
Farida tidak menyangka rumah tangga dosen favoritnya punya masalah segawat itu. Di luar dia tampak selalu tenang. Selalu cerah. Tapi di dalam...
Dia juga tidak menyangka Pak Hans mau menceritakan masalah pribadinya kepada seorang mahasiswi. Dan lebih tidak menyangka lagi, Pak Hans memilih mahasiswinya yang cacat untuk menemaninya dalam kesepian.
Ketika suatu siang mereka sedang makan gado-gado di pasar, seorang tukang koran menawarkan majalah. Pak Hans mengambil majalah itu. Dan menunjukkan gambar di sampul depannya.
"Mona," katanya Sambil tersenyum pahit.
"Sudah tidak muda lagi, kan" Umur tiga tujuh."
""Tapi masih cantik!" puji Farida tulus.
"Saya sangat mengagumi kecantikan ibu, pak!"
"Aneh, wanita mengagumi kecantikan wanita lain,"
Pak Hans tersenyum pahit. dia memberikan selembar uang kepada tukang koran itu. dan membiarkan Farida memandangi gambar istrinya sepuas-puasnya.
"Mengagumi kecantikan wanita kan bukan monopoli kaum pria saja, Pak!"
"Tidak iri""
"Kalau saya sih tidak. Gadis cacat seperti saya tidak mungkin bersaing. Jadi buat apa iri" Semua sudah anugerah Tuhan yang harus kita syukuri."
"Di sanalah letak kecantikanmu, Ida," kata Pak Hans kagum.
"Kecantikan budi."
"Ah," paras Farida memerah. Dia tunduk tersipu dengan mata berbinar.
"Bapak pintar memuji."
"Saya mengatakan yang sebenarnya."
"Bapak belum kenal saya." "
"Kamu berbeda dengan teman-temanmu."
"Sejak lahir saya memang telah ditakdir
kan berbeda, Pak. Tapi kata ayah saya, jika Tuhan memberikan kekurangan, Dia pasti memberikan
kelebihan." "Itu yang membuatmu menarik."
"Tidak ada yang tertarik pada saya," Farida tersenyum pahit.
"Bahkan seorang pria buta mencampakkan saya setelah melihat cacat saya."
"Saya dengar Sultan naksir kamu."
"Dia cuma kasihan. Saya tidak mau dikasihani."
"Itu namanya harga diri, Ida. Kamu memang harus punya harga diri. biarpun cacat. Tapi jangan sampai harga dirimu terlalu tinggi sampai kamu menolak semua laki-laki yang mendekatimu."
Semalam-malaman Farida memikirkan kata-kata dosennya. Akhir-akhir ini hubungan mereka memang semakin erat. Begitu eratnya sampai menimbulkan gosip yang tidak sedap.
Jangan sampai harga dirimu terlalu tinggi sampai kamu menolak semua laki-laki yang mendekatimu.
Siapa laki-laki yang dimaksud Pak Hans" Sultan" Atau... dia sendiri"
Rumah tangganya sedang gonjang-ganjing. Kata Endang malah sudah di tepi jurang perceraian. Ah, sungguh mengerikan.
Dan akhir-akhir ini Farida sering sekali berada bersama dosennya. Bukan di kampus. Tapi di rumahnya. Kadang-kadang di tempat makan.
mereka sering berdiskusi bertukar pikiran. saling menghibur. saling menasihati.
saling mengagumi, tapi tidak lebih dari itu. baik pak Hans maupun Farida menjaga baik-baik batas yang tak boleh mereka langkahi.
Tetapi Iin punya pendapat lain. "Tadi malam aku lihat mereka di TIM!" Tidak mungkin!" bantah Endang, gigih seperti biasa dalam membela sahabatnya. "Aku kan teman sekamarnya! Aku yang paling tahu kalau ranjang di sebelahku kosong!"
"Ah, siapa bilang" Kamu kan kalau tidur kayak bangkai! Ada gempa juga kamu tidak bangun!"
"Pokoknya semalaman Ida tidak ke mana-mana"
"Dia sibuk bikin pola di kamar!"
"Bohong! Tadi malam aku lihat dia sama Pak Hans di TIM! Masa ada dua gadis buntung yang mukanya sama kayak dia""
"Matamu sudah harus diganjal kaca! Kebanyakan nonton BF sih!"
"Sudah, Dang. Kita pulang saja, yuk," ajak Farida sabar.
"Buat apa sih ribut-ribut""
"Katanya kamu ingin jadi sarjana hukum untuk membela orang yang tidak bersalah. Sekarang kamu sendiri dituduh orang seenaknya kok diam saja" Mana bisa membela orang lain kalau bela diri sendiri saja tidak mampu""
"Dia tidak menuduh," sahut Farida tenang.
"Dia cuma tanya, tadi malam kamu pergi sama Pak Hans" Aku bilang tidak. Selesai, kan""
"Tapi mereka tidak percaya!"
"Peduli apa" Mereka bukan istrinya."
"Kalau istrinya dengar" Katanya mereka sudah di ambang perceraian."
"Mereka sudah renggang sebelum aku muncul."
"Tapi kamu yang jadi kambing hitam!"
"Orang seperti aku"" Farida tersenyum pahit sambil melangkah keluar dari ruang kuliah.
"Yang benar saja, Dang! Pak Hans begitu ganteng. Jika dia bosan pada istrinya, dia bisa mencari gadis yang sama cantiknya. Bukan yang cacat seperti aku!"
"Iya juga sih," komentar Rita yang mendengar kata-kata Farida pada Endang.
"Pak Hans kan masih waras! Masa dia mau sama si Ida""
"Kalau tiap hari bersama, bukan tidak mungkin suatu hari Pak Hans jatuh cinta!" bantah Iin judes.
"Jangan khawatir," Farida menoleh ke belakang
dan menatap Iin dengan santai.
"Aku tidak akan pernah menjadi musuh kaumku sendiri. Itu prinsipku."
Tetapi gosip tentang hubungan mereka tidak mereda, malah bertambah santet. Endang malah mendengar desas-desus, pak Hans sudah dipanggil menghadap Rektor. barangkali Rektor bertanya tentang kebenaran desas-desus yang didengarnya.
Farida memang tidak dipanggil. Tetapi dua bulan kemudian, Pak Hans Walian berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi.
Pak Hans tidak mengatakan alasan sebenarnya dia mendadak meninggalkan kampus. Dalam pertemuannya yang tetakhir dengan Farida, dia hanya mengatakan ingin berpisah sementara dengan istrinya.
"Supaya kami masing-masing bisa introspeksi," katanya muram ketika mereka sedang makan sate di warung Pak Kumis.
"Dengan berpisah, kami juga bisa mengukur sisa cinta kami. Apakah kami masih saling membutuhkan. Atau hubungan kami sudah sampai di titik nol."
"Bukan karena saya"" tanya Farida sama murungnya.
"Saya dengar desas-desus hubungan kita sudah sampai ke meja Rektor."
"Tidak ada yang menyalahkan kamu,
" hibur Pak Hans tegas.
"Jangan terpengaruh. Kamu harus tetap tegar. Belajar yang giat supaya bisa meraih cita-citamu. Kalau saya pulang nanti, saya ingin kamu sudah menyandang gelar sarjana hukum."
"Saya merasa Bapak sengaja menyingkir untuk saya."
"Bapak tidak pandai berdusta," Farida menatap dosennya dengan sedih.
"Bapak hanya tidak mau menghancurkan studi saya."
"Kalau begitu jangan sia-siakan pengorbanan saya," desah Pak Hans lirih.
"Ingat janjimu waktu kamu gagal ujian dulu"" Farida mengangguk lemah.
"Saya tidak mau dengar kamu gagal lagi karena masalah laki-laki."
Pak Hans masih sering menulis surat dari Belanda. Farida tidak pernah membalasnya. Dia khawatir tidak dapat menyimpan rahasia hatinya lagi. Tetapi tujuh lembar surat dari Pak Hans disimpannya baik-baik
Ketika Pak Hans bercerai dengan istrinya, Farida tidak tahu. Karena setelah satu tahun berpisah, suratnya tak pernah datang lagi.
Meskipun sedih, Farida menahan perasaannya.
menyimpan kesedihannya seorang diri. bahkan Endang, sahabatnya yang terbaik, tidak mengetahuinya. dia tidak tahu mengapa setiap hari Farida melongok kotak suratnya. padahal surat siapa yang diharapkannya" surat dari orangtuanya hanya datang sebulan sekali.
Farida memang tidak pernah membalas surat Pak Hans. Dia tidak ingin kehadirannya di hati laki-laki itu menjadi ganjalan hubungannya dengan istrinya. Farida sadar, hubungan Pak Hans dan istrinya sedang berada di titik yang paling kritis. Karena itu Farida sengaja menjauhkan diri.
Tetapi tidak membalas surat bukan berarti tidak mengharapkan surat dari Pak Hans. Dan setelah suratnya tidak pernah datang lagi, Farida menyimpan surat lelaki itu seperti jimat. Dia membacanya setiap kali ada kesempatan. Setiap kali dia merasa rindu. Dan setiap kali menghadapi ujian.
Saya tidak mau dengar kamu gagal lagi karena masalah laki-laki.
Kata-kata itu selalu melecut semangat Farida. Dia tidak mau gagal. Dan memang kenyataannya, dia tidak pernah lagi- tidak lulus ujian.
Walaupun jahitannya bertambah banyak, langganannya semakin berjubel, Farida membatasi kegiatan jahit-menjahitnya agar tidak mengganggu kuliahnya. Bahkan ketika dia sibuk menempuh ujian akhir, usaha jahitnya tutup sementara.
"Saya ingin melihat kamu menjadi sarjana hukum yang hebat," kata Pak Hans di suratnya yang terakhir.
Bapak tidak akan kecewa, janji Farida dalarn hati. Jika saya tidak dapat memiliki seorang suami yang saya cintai, saya akan meraih cita-cita vang selama ini menjadi impian saya.
"Kalau saya pulang nanti, saya ingin kamu sudah menyandang gelar sarjana hukum."
Dan Pak Hans muncul pada saat Farida diwisuda. Saat itu baru Farida tahu dia sudah bercerai. Karena saat itu dia datang seorang diri.
Senyumnya masih sekeren dulu. Tatapannya masih selembut ketika pertama kali Pak Hans menatapnya di ruang kuliah. Hampir tak ada perubahan pada penampilan fisiknya. Dia masih tampak seganteng dulu, ketika menjadi dosen favorit yang dikagumi mahasiswi-mahasiswinya.
"Selamat, Ida," ketika mengucapkan kata-kata itu, Farida melihat mata Pak Hans berpendar antara bahagia dan ham. "Kamu menepati janjimu. Menyandang gelar sarjana hukum pada saat saya kembali."
"Terima kasih, Pak," gumam Farida dengan mata berkaca-kaca. Suaranya bergetar menahan kerinduan. dadanya berdebar hangat dibelai kebahagiaan. akhirnya mereka
bertemu kembali. akhirnya dia dapat melihat lagi satu-satunya lelaki yang pernah dicintainya! dan dia justru muncul pada saat yang paling membahagiakan dalam hidupnya. "Mana ibu, Pak""
Pak Hans hanya tersenyum pahit.
"Akhirnya kamu berhasil meraih cita-citamu," katanya seperti mengelak.
"Saya bangga padamu, Ida."
"Semuanya berkat jerih payah dosen-dosen yang mendidik saya," sahut Farida tulus. "Jasa Bapak takkan pernah saya lupakan."
"Masih sempatkah kita berdiskusi sambil makan sate sesudah kamu jadi sarjana hukum"" gurau Pak Hans sambil menyeringai menggoda.
"Kamu masih mau menemani saya makan di pinggir jalan""
"Tidak ada yang berubah, Pak." Sesudah mengucapkan kata-kata itu mendadak Farida menyesal. Dia takut Pak Hans salah sangka. Karena itu cepat-cepat disambungnya, "Saya
akan sering-sering mengunjungi Bapak dan Ibu di rumah. Saya masih ingat kok rumah Bapak."
"Saya sudah tidak tinggal di sana lagi."
Farida tertegun. Ditatapnya dosennya dengan bingung.
Sekali lagi senyum pahit itu bermain di bibirnya.
"Kami telah bercerai."
"Pak!" cetus Farida kaget.
"Apa sudah tidak ada jalan lain""
"Setelah berpisah, kami semakin yakin, perkawinan itu sudah tidak dapar dipertahankan lagi. Lebih baik kami berpisah sebelum ada anak."
"Saya menyesal mendengarnya. Pak," ketika mengucapkan kata-kata itu, air mata Farida berlinang lagi. Hatinya terasa sakit. Benar-benar nyeri. Dia seperti dapat merasakan penderitaan Pak Hans. Tapi... benarkah dia menderita" Benarkah perceraian itu membuatnya sedih... bukan lega"
"Mudah-mudahan masih ada jalan untuk rujuk, Pak Saya tahu Bapak dan Ibu saling mencintai." Senyum Pak Hans mengembang lebih lebar. "Dari mana kamu tahu""
"Kalau tidak cinta, Bapak tidak akan menikah, kan""
"Waktu itu, saya hanya terpikat pada kecantikannya."
Tidak salah. Tapi kalau Bapak tidak mencintainya, mustahil ada pernikahan."
Saya tidak tahu, benarkah itu cinta. Atau cuma kekaguman belaka."
"Saya yakin, Pak. dan saya yakin, ketidak cocokan bapak dan ibu cuma karena perbedaan profesi."
"Rasanya kamu cocok jadi pengacara perceraian."
"Saya memilih menjadi pembela kaum saya yang tersiksa. Perempuan miskin yang tertindas karena buta hukum dan tidak mampu membayar pengacara."
"Atau penuntut umum yang menyeret orang yang menganiaya wanita ke depan meja hijau"" Pak Hans tersenyum pahit.
"Tapi jangan harapkan imbalan yang tinggi!"
"Kalau boleh usul, Pak, mengapa Bapak tidak mencoba mendekati Ibu lagi"" Farida kembali ke topik semula.
"Rasanya sudah terlambat," sahut Pak Hans jemu.
"Kadang-kadang cinta lebih terasa sesudah berpisah, Pak." Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Farida menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia sudah kelepasan bicara lagi. Nanti Pak Hans salah paham. Mengapa hati ini seperti lancang mengungkapkan apa yang dirasakannya"
"Bagaimana kalau sesudah berpisah saya malah tidak merindukannya"" balas Pak Hans lesu.
"Cobalah sekali lagi. Pak! Bawa Ibu ke tempat-tempat yang punya kenangan manis. Kalau perlu, ajak Ibu ke Belanda! Seperti pacaran hgl Pak."
"Ida!" panggil Endang yang sedang tergopoh-gopoh mendatangi. "Lekas! Acaranya hampir mulai!" Dan matanya terbeliak lebar melihat bekas dosennya. "Eh, Pak Kapan datang, Waduh, Bapak tambah keren saja nih!"
"Baru kemarin," sahut Pak Hans sambil tersenyum cerah. Semua bekas-bekas kemuraman lenyap seketika dari parasnya.
"Khusus untuk melihat mahasiswi-mahasiswi terbaik saya diwisuda."
"Terima kasih, Pak!" Endang tertawa gembira.
"Tapi lulusan terbaik si Ida ini, Pak! Dia benar-benar tidak mengecewakan dosen-dosennya!"
"Dan membuat saya bangga," sambung Pak Hans tulus.
"Mari masuk, Pak. Acaranya hampir mulai. Ida harus memberikan kata sambutan."
"Permisi dulu, Pak," kata Farida sambil memutar tubuhnya.
"Ida," panggil Pak Hans lembut ketika Farida hampir berlalu.
Endang juga mendengar panggilan itu. Dan merasa heran mendengar lembutnya suara
Pak Hans. rasanya itu bukan panggilan seorang dosen lagi. tapi dia tidak mau menoleh. dan tidak mau berhenti melangkah.
Hanya Farida yang menoleh. dan tatapannya bertemu dengan tatapan pak Hans yang hangat dan lembut. Saat itu Farida terkenang pada pertemuan mereka yang pertama di ruang kuliah. Saat itulah mata mereka untuk pertama kali bertemu. Dan sekarang Farida sadar, saat itu juga sebenarnya dia sudah jatuh cinta.
"Terima kasih atas nasihatmu. Akan saya pertimbangkan lagi."
"Mudah-mudahan Bapak berhasil membina kembali rumah tangga yang bahagia," tukas Farida tulus walaupun hatinya terasa nyeri.
Ketika sedang melangkah tertatih-tatih akibat libatan kain yang cukup ketat di balik toga hitamnya, tak henti-hentinya Farida bertanya kepada dirinya sendiri.
Mengapa aku sanggup berkata begitu" Inikah cinta yang sesungguhnya" Cinta yang tidak ingin memiliki orang yang kucintai untuk diriku sendiri" Cinta yang hanya memikirkan kebahagiaan orang yang kucintai, meskipun aku terpaksa harus memendam rindu seumur hidup"
K epada orangtua kami dan para dosen yang telah mendukung kami meraih cita-cita." suara Farida terdengar lirih di akhir kata sambutannya, "perkenankanlah kami menghaturkan terima kasih. Jasa Bapak dan Ibu tak mungkin terlupakan.
Kami hanya dapat membalasnya dengan berjanji, kami akan menjadi abdi hukum yang menjunjung tinggi keadilan.
Tepuk tangan bergemuruh dari seluruh ruangan. Kilat blitz menyala dari sana-sini.
"Contoh terbaik yang harus diteladani oleh para penyandang cacat kata Rektor dalam kata sambutannya. "Dia yang tidak punya lengan sejak lahir, mampu membiayai sendiri kuliahnya, bahkan berhasil lulus dengan nilai terbaik!"
Di deretan kursi terdepan, ayah Farida menyusut air matanya. Istrinya menggenggam tangannya dengan terharu.
Akhirnya perjuangan mereka tidak sia-sia. Anak sulung mereka berhasil meraih gelar sarjana.
Rasanya masih terbayang jelas bayi mengenaskan tanpa lengan itu. Tergolek tak berdaya mengharapkan belas kasihan siapa pun yang melihatnya.
Masih terbayang jelas anak perempuan kecil yang pulang sambil menangis karena diejek anak-anak lain. anak perempuan malang yang bahkan tidak berani melihat cermin.
Anak yang ditolak masuk sekolah umum karena tidak punya tangan.
"Dengan apa dia mau menulis"" kata kepala sekolah itu sedih.
Ayah Farida membawa anaknya pulang dengan sebongkah tekad di hatinya.
Kamu pasti bisa menulis, Ida. Kalau bukan dengan tangan, pasti dengan mulut! Atau dengan kaki!
Dan kini anak itu tegak di depan sana. Mengenakan toga hitam seorang sarjana, yang bahkan orang yang tidak cacat pun belum tentu mampu memakainya!
Farida tidak pulang bersama orangtuanya karena masih banyak yang harus dikerjakannya di kampus. Sebagai wakil para wisudawan, dia direpotkan oleh berbagai masalah yang timbul setelah acara wisuda.
Lama sesudah teman-temannya meninggalkan kampus, Farida baru bisa pulang. Dan selagi dia melangkah keluar dari gerbang kampus, sebuah motor lewat dan berhenti di sampingnya.
"Pulang"" tanya Sultan dengan seuntai senyum ramah tersungging di bibirnya.
"Mau kuantarkan""
Sesaat Farida tertegun. Ingat masa-masa kuliahnya dulu, ketika Sultan selalu mengajukan pertanyaan yang sama.


Dakwaan Dari Alam Baka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih," Farida tersenyum lugu.
"Apa artinya terima kasihmu itu" Mau ikut atau tidak""
"Terima kasih untuk ajakannya."
"Aku bersedia menerima terima kasih yang kedua."
"Untuk apa""
"Mengantarkanmu pulang." Tidak usah. Terima kasih."
"Aku harus menunggu terima kasihmu yang ketiga""
Farida tertawa lunak mendengar rentetan jawaban yang sama itu. Sultan ikut tertawa gelak-gelak
"Kamu masih tetap tidak berubah, Ida!"
"Haruskah saya berubah""
"Jangan. Dunia akan menangis kalau kamu berubah!"
"Kalau begitu mengapa masih mengajak saya pulang""
"Karena sekarang kita teman seprofesi. Dan aku ingm menawarkan pekerjaan padamu."
"Di tempat Kak Sultan bekerja""
"Di mana lagi" Tempat yang sesuai dengan angan-anganmu. menolong orang-orang buta hukum yang tidak mampu membayar mahal seorang pengacara."
"Terima kasih untuk tawarannya, Kak. Tapi
apa tempat kerja Kak Sultan mau menerima sarjana hukum yang cacat seperti saya"" "Kenapa tidak kamu tanyakan sendiri""
"Kak Sultan mau mengajak saya ke sana""
"Kalau kamu tidak repot. Dan mau kuboncengi motor." Farida tersenyum.
"Kapan"" "Besok" Jahitanmu bisa menunggu""
Ketika Farida sedang menjahit malam itu, Endang duduk di dekatnya. Begitu dia duduk, Farida sudah merasa, ada sesuatu yang ingin ditanyakannya. Sesuatu yang serius. Yang tidak biasa.
"Kamu naksir Pak Hans, Da"" tanya Endang langsung ke sasaran. Farida tersenyum pahit.
"Siapa sih yang nggak naksir dosen seganteng dia" Kamu sendiri juga, kan""
"Aku serius, Da. Kulihat caramu bicara dengan dia tadi. Dan aku merasa, sikapmu terhadapnya berbeda dengan sikapmu pada Sultan."
"Tentu saja. Yang satu dosen. Yang satu kakak tingkat!"
"Kamu tahu persis maksudku!"
"Tidak Aku tidak mengerti."
"Pak Hans sudah bercerai. Jika kalian serius, tidak ada yang menyalahkanmu."
"Memangnya siapa aku ini, Dang"" Farida tertawa dibuat-buat.
"Gadis buntung yang mengharapkan cinta seorang pria seganteng Pak Hans" Seperti pungguk merinduka
n bulan!" "Cinta itu buta, Da! Kadang-kadang tuli, sekaligus gila!"
"Itu cinta yang irasional."
"Mana ada cinta yang rasional" Memangnya matematis Cinta itu tidak pakai logika, Da! Bisa saja lelaki secakep Pak Hans jatuh cinta padamu!"
"Itu namanya kelainan."
"Karena lain cinta jadi terasa lebih indah, kan""
"Ah, itu cuma pendapatmu! Dewi cinta yang kesasar!"
"Kamu terlalu lugu, Da. tapi aku lebih pengalaman. aku bisa merasakan kalau orang sedang jatuh cinta dengan hanya melihatnya saja!"
"Tahu! kamu memang punya bakat paranormal!"
"Tapi kalau boleh usul, aku lebih suka kamu memilih Sultan."
"Karena dia lebih sesuai untukku""
"Kalian lebih cocok. Sultan masih muda. Belum menikah...."
Dan tidak setampan Pak Hans! Farida tersenyum pedih. Bahkan sahabat karibnya memandang rendah padanya! Tapi... memandang rendahkah berkata jujur" Mungkin Endang yang benar. Sultan lebih cocok untuknya. Kalau dia
mencintainya... "Mana mau dia pacaran sama gadis cacat macam aku, Dang" Dia kan sempurna. Pria yang tadinya buta saja mencampakkanku begitu bisa melihat!"
"Itu kan dulu!"
"Apa bedanya" Sampai sekarang aku masih tetap buntung!"
"Sekarang kamu sarjana hukum!"
"Pria ingin menikah dengan seorang wanita, Dang! Bukan dengan sarjana hukum'"
"Tapi Sultan beda!"
"Kenapa sih kamu ngotot sekali menjodohkan aku dengan Kak Sultan""
"Karena aku tahu dia sudah lama naksir kamu!"
Tapi aku tidak pernah mencintainya, pikir Farida resah. Jika di hatiku pernah merekah sekuntum cinta, kuntum itu bukan untuk Sultan!
PALEMBANG 1988 BAB XV Untuk mengejar karier, setelah lulus, Farida menetap di Jakarta. Dan dia memutuskan untuk mengembangkan kariernya sebagai seorang penuntut umum.
Dia memang telah berhasil meraih cita-citanya. Menjadi sarjana hukum. Sekaligus penjahit yang desain baju-bajunya mulai dicari orang.
Beberapa majalah dan surat kabar yang memuat kisahnya ikut mempopulerkan namanya. Farida telah menjadi orang terkenal. Tetapi dia tidak pernah berubah.
Dia masih tetap Farida yang lugu. Rendah hati. Dan seorang diri. Bahkan rumahnya masih tetap rumah kontrakan yang dulu. Kumal, kecil
berkamar dua yang hampir tidak muat lagi menampung tumpukan baju.
Endang masih bersamanya, tetapi dia sekarang tidak perlu memasang kancing. Dia menjadi wakil Farida. Mengawasi enam orang buruh jahit yang membantu mereka.
Sudah berapa kali Endang mengusulkan mengontrak rumah yang lebih besar. Rumah itu sudah terlalu sempit. Tetapi Farida masih betah di sana.
"Di rumah ini kita mulai usaha kita, Dang," katanya separo bercanda.
"Rumah ini membawa rezeki!"
"Kamu cuma tidak bisa meninggalkan Bu Tri, kan"" Endang tersenyum penuh pengertian.
"Kamu tidak pernah melupakan orang-orang yang pernah berjasa padamu."
Endang benar. Tapi bukan hanya Bu Tri. Farida juga tidak melupakan Paman Ismail dan keluarganya. Dia selalu membantu kalau pamannya sedang terimpit kesulitan ekonomi. Nani dan Yani sudah menikah. mereka sudah pindah dan ikut suaminya masing-masing.
Tetapi Doni masih tinggal bersama orangtuanya. Farida lah yang membiayai kuliahnya di Fakultas Teknik sipil.
Farida juga tidak pernah melupakan orangtuanya. Setiap tahun dia selalu mengambil cuti untuk menengok mereka. Sekarang dia juga yang menanggung ekonomi keluarga. Dia melarang ayahnya bekerja lagi.
Tentu saja ayahnya merasa lega. Dia tinggal menikmati sisa hidupnya dengan tenang. Tetapi masih ada satu hal yang mengganjal hatinya.
"Sudah saatnya kamu memikirkan masa depanmu, Ida," katanya setiap kali Farida pulang.
Tentu saja Farida tahu apa maksud ayahnya. Tetapi dia selalu berlagak bodoh.
"Saya tahu, Pak. Suatu saat saya harus memilih. Jadi pengacara atau desainer."
"Bukan itu maksud Bapak." Ayahnya menghela napas panjang. "Umurmu sudah hampir terlambat untuk menikah. Adik-adikmu sudah dua orang yang mendahuluimu. Masa kamu mau menunggu sampai adik bungsumu melewatimu juga""
"Saya masih ingin meniti karier, Pak. Dan ingin menggantikan Bapak memikul beban rumah tangga. Biaya hidup sekarang kan berar, Pak."
"Bapak tahu. Dan Bapak menghargai niatmu. Kamu memang anak yang berbakti. Bapak bangga padamu. Tapi kamu juga
harus memuaikan dirimu sendiri. Karier dan kewajibanmu sebagai anak tidak berhenti sekalipun kamu sudah menikah "
Tapi dengan siapa aku harus menikah" Satu-satunya lelaki yang kucintai telah pergi entah ke mana. Mungkin dia sudah kembali kepada mantan istrinya. Mungkin pula dia sudah menemukan perempuan lain.
Aku memang sudah berhasil sebagai sarjana hukum dan penjahit. Tetapi sebagai istri"
Orang tidak akan ragu menyerahkan perkaranya atau bajunya kepada seorang wanita buntung. Tapi mengambilnya sebagai istri"
Trauma Mahmud belum dapat dilupakannya. Selalu menghantuinya seumur hidup. Mengikis kepercayaan dirinya sebagai seorang wanita.
"Sultan sudah dua kali kemari. Katanya dia ingin mengenal keluargamu. Kelihatannya dia menaruh hati padamu, Ida. Tapi kamu seperti sengaja menghindar."
"Saya hanya menganggapnya sebagai kakak dan partner kerja," sahut Farida sebelum ayahnya mengharapkan yang bukan-bukan.
"Apa salahnya memberi dia jabatan yang ketiga" sebagai suami""
Tidak ada salahnya, pikir Farida binging. kecuali aku tidak mencintainya!
Haruskah seorang wanita mengawini seorang pria yang udak dicintainya hanya supaya dia dapat menikah"
"Jangan terlalu pemilih, Ida," sambung ayahnya ketika dilihatnya anaknya diam saja.
"Nanti waktumu habis dan kamu tidak mendapat apa-apa."
"Dapatkah perempuan cacat seperti saya memilih, Pak"" Getirnya suara Farida membuat hati ayahnya ikut teriris.
"Semua orang punya hak untuk memilih, Ida. Tapi Bapak heran kenapa kamu menolak seorang pria yang sebaik Sultan""
"Saya janji akan memikirkannya lagi setelah perkara yang satu ini selesai, Pak."
"Perkara yang kamu tangani mana pernah selesai" Satu perkara selesai, perkara lain muncul.'"
"Tapi perkara ini paling menyita perhatian saya, Pak. Paling menguras tenaga pula."
"Jangan terlalu memaksakan diri, Ida. Nanti
kamu sakit!" "Jangan khawatir, Pak. Saya dapat menjaga diri."
"Kapan kamu kembali ke Jakarta""
"Saya harus ke Medan dulu. Pak.
"Medan"" Mata tua itu bercahaya sekejap.
"Mau apa kamu ke sana""
"Orang yang saya tuntut kali ini seorang guru Pak. Sebelum mengajar di Jakarta, dia pernah mengajar di Surabaya. Ketika saya bertemu dengan bekas istrinva di sana, dia bilang mantan suaminya pernah mengajar di Medan."
"Kalau sebelumnya dia pernah mengajar di Merauke, kamu akan ke sana juga" Ida! Ida! Kamu ini tidak ada capeknya!"
"Saya akan mengejarnya terus, Pak. Saya ingin tahu mengapa ada guru yang tega memerkosa anak didiknya sendiri."
"Barangkali dia khilaf."
"Atau sakit" Itu yang ingin saya ketahui. Karena itu saya harus menggali masa lalunya. Beritanya ada di kotan, Pak. Bapak tidak baca""
"Ah, akhir-akhir ini Bapak malas membaca. Pusing."
"Barangkali kacamata Bapak yang sudah harus diganti."
Ah, tidak membaca juga pusing. Maklum, orang tua!"
"Saya antar Bapak ke dokter nanti sore, ya" Jangan-jangan tekanan darah tinggi!"
"Wah tidak usah! Bapak paling takut ke dokter. suntiknya sakit, bayarannya mahal, lagi!"
"Ah, Bapak!" Farida tersenyum geli.
"Bapak kan guru! kalau gurunya saja takut ke dokter, apalagi muridnya!"
"Baru dengar mau ke dokter saja, pusing Bapak sudah sembuh!"
"Itu namanya bohong!" gurau Farida. "Idih, ada guru kok tukang bohong!"
"Memang guru tidak boleh bohong""
"Kalau tidak merugikan orang lain, boleh saja."
"Guru yang kamu tuntut itu pasti sering berbohong ya."
"Justru kata bekas murid-muridnya, dia guru teladan. Tidak genit. Tidak pernah menggoda murid perempuannya. Tidak punya affair."
Kalau begitu mungkin kamu yang keliru, Ida. Bapak rasa juga mustahil ada guru yang tega memerkosa muridnya!"
"Itu yang sedang saya selidiki, Pak. Tidak pernahkah dia melakukan hal yang sama sebelumnya" Dia cuma dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara! Itu pun dia tidak puas dan naik banding."
"Barangkali benar dia tidak jahat. Cuma khilaf."
"Kalau dia punya kelainan" Sebagai guru, dia sangat membahayakan murid-muridnya.' Berapa korban lagi yang harus jatuh" Berapa orang gadis lagi yang harus kehilangan masa depannya" Murid yang jadi korbannya itu sudah hampir membunuh diri, Pak!"
"Farida," wajah Pak Iksan tiba-tiba berubah serius, sangat ser
ius. "Siapa nama guru itu""
MEDAN 1988 BAB XVI Farida melangkah memasuki gedung sekolah tua itu. Bangunannya masih menampilkan bangunan tahun lima puluhan. Meskipun tidak tersentuh renovasi, gedung itu masih terlihat kokoh dan bersih.
Di sinilah dulu Bapak bekerja, pikir Farida sambil tersenyum. gedung ini persis menampilkan imej Bapak. Seorang guru tua vang tidak tersentuh modernisasi. tetap sederhana. tapi jujur dan bersih. Tabah menghadapi tantangan zaman yang telah berganti.
Melalui kawat kasa yang menutupi jendela kelas Farida dapat memandang ke dalam. Seorang Guru pria setengah tua sedang menulis di papan tulis. Barangkali dulu Bapak seperti itu. Mengajar di depan kelas ini juga.
Ketika sedang menyusuri deretan kelas menuju ke kantor kepala sekolah. Farida harus melewati lorong sempit yang menuju ke WC. Tidak sengaja matanya menelusuri detetan WC yang gelap di dalam sana. Meskipun terlihat bersih, tetap menyebarkan baunya yang khas.
"Selamat siang," sapa Farida ketika dia berpapasan dengan seorang guru.
"Di mana kantor kepala sekolah, Bu""
Guru itu membalas sapaannya dan menunjuk ruangan yang paling ujung.
"Kebetulan Pak Anwar ada di dalam," katanya tanpa dapat menghindarkan tatapannya dari kedua lengan Farida yang buntung. Barangkali dikiranya wanita ini datang untuk minta sumbangan untuk anak-anak cacat.
"Mari saya antarkan."
"Terima kasih," sahut Farida sopan.
Baik sekali ibu guru ini. Barangkali dia rekan Bapak. Umurnya juga hampir sebaya.
Tetapi ketika guru itu mengetuk pintu bahkan membukakan pintu untuknya, Farida baru sadar, guru itu ingin membantunya karena mengira dia tidak bisa membuka pintu. bukankah dia tidak punya tangan"
"Pak Anwar, ada yang ingin bertemu," kata guru wanita itu kepada seorang pria tua di bilik meja tulis.
Terima kasih. Bu Sauri," pria itu mengangkat wajahnya dan memandang ke pintu dari balik kacamata putihnya. "Silakan masuk."
"Terima kasih," kata Farida sekali lagi.
Lalu matanya berpapasan dengan mata tua itu. Mata seorang pendidik yang masih berjuang dengan gigih menyelesaikan baktinya pada anak didik, meskipun ketuaan dan penyakit sudah mulai menggerogoti tubuhnya yang renta.
"Selamat pagi," sapa Farida sopan.
"Pak Anwar""
Sekejap Pak Anwar mengawasi wanita cacat di hadapannya. Matanya memang sudah mulai lamur. Hampir tidak bisa melihat kalau tidak dibantu kacamata tebal. Tetapi dia masih dapat melihat dua buah lengan baju yang kosong. Dan hatinya mendadak berdebar entah kenapa.
Sudah tiga puluh tahun lebih Pak Anwar bertugas sebagai kepala sekolah. Pada umur enam Puluh lima, dia sudah bersiap-siap untuk pensiun. Jabatannya akan segera digantikan oleh tenaga yang lebih muda.
Sebenarnya dia sudah ingin mengundurkan diri sebagai kepala sekolah sejak lima tahun yang lalu. tetapi dewan guru masih memintanya untuk memimpin sekolah ini satu-dua tahun lagi. Hari ini dia baru mengerti mengapa Tuhan masih memakainya sampai sekarang.
"Saya sendiri." sahut Pak Anwar sambil menyilakan Farida duduk. Suaranya yang besar dan dalam masih menampakkan sisa-sisa kewibawaan seorang pemimpin yang disegani.
"Saya Farida Iksan. Pak. Saya membawa surat ayah saya. Teman lama Bapak. Guru yang pernah mengajar di sini."
Farida mengambil surat yang ditulis ayahnya dengan mulutnya. Lalu dengan mulutnya pula dia menyodorkan surat itu.
Sekejap Pak Anwar tertegun. Tangannya bergetar ketika menerima surat itu.
"Pak Iksan..." desisnya tidak percaya. Ditatapnya gadis cacat itu dengan nanar. "Ayahmu...""
Pak Anwar tidak menunggu sampai Farida mengangguk. Tangannya yang gemetar langsung merobek sampul surat itu. Dia seperti tidak sabar lagi hendak membaca isinya.
Dibetulkannya letak kacamatanya. Kemudian
matanya yang resah berkeliaran menelusuri tulisan tangan yang sangat dikenalnya.
"Ingatkah Pak Anwar peristiwa tiga puluh tahun yang lalu"" tulis Pak Iksan setelah berbasa-basi sekedarnya. "Seorang bayi lahir di WC sekolah ini..."
Tidak sadar Pak Anwar mengangkat wajahnya. Dan menatap gadis cacat di hadapannya dengan terkesiap.
Jadi inilah bayi cacat itu! Bayi tanpa lengan yang memilih WC sekolah sebagai tempat kel
ahirannya! Sekarang dia sudah tumbuh menjadi gadis cantik. Dewasa. Percaya diri. Tapi... tetap cacat! Tak punya lengan!
"Sampai sekarang hanya satu orang yang tahu siapa ayah anak itu. Dan orang itu telah tiada. Dia adalah Rindang. Murid kita. Ibu anak ini...."
Rindang. Nama itu melintas di benak Pak Anwar. Tiga puluh tahun telah berlalu. Ribuan anak telah menjadi muridnya. Tetapi Pak Anwar tetap tidak pernah melupakannya!
"Saya memang bersalah. Tapi saya tidak ingin membuat kesalahan yang kedua. Saya ingin merawat anak saya! Tapi tidak ada tempat untuk kami!"
Sampai sekarang Pak Anwar tidak dapat melupakan kata-kata Rindang. Yang diucapkannya dengan penuh emosi di sini. Di tempat ini.
"Rindang membunuh diri setelah menitipkan bayinya pada saya. Demi bayinya, dia rela mengorbankan diri. Supaya anaknya punya tempat untuk terteduh. Supaya saya dapat membesarkan anaknya tanpa dicela orang-orang baik di luar sana...
Ada kepedihan mengiris hati Pak Anwar. Segurat sesal menjalar di benaknya. Kalau dia lebih tegas, barangkali dia masih dapat menyelamatkan nyawa muridnya.... Dia masih begitu muda. Tidak ada orang yang membimbingnya. Semua orang meninggalkannya. Kecuali Pak Iksan. Tapi bahkan gurunya yang baik itu tidak dapat menolongnya lagi....
"Saya membawa bayi cacat itu pindah ke Palembang. Karena bayi Rindang membutuhkan seorang ibu, saya menikah. Kami menganggap Farida sebagai anak kandung kami. Dan sampai sekarang dia tidak pernah mengecewakan orang-tuanya. Kami bangga padanya. Kini dia seorang sarjana hukum! Benar, Pak Anwar, bayi cacat dan Hina yang lahir di WC sekolah kita kini telah menjadi sarjana hukum!"
Ya Tuhan, desah Pak Anwar dengan keharuan yang tiba-tiba merebak. ditatapnya gadis yang duduk didepannya, air mata langsung menggenangi matanya. membuat kacamatanya buram dan pandangannya kabur.
"Sampai sekarang Farida tidak tahu siapa orangtuanya yang sebenarnya. bagaimana cara dia lahir. Seperti apa penderitaan dan pengorbanan ibunya. Cerita tentang masa lalunya yang kelam seperti terkubur bersama pelakunya."
Pak Anwar membuka kacamatanya dan menyeka air matanya. Lalu dia melanjutkan membaca surat itu.
"Tetapi Tuhan maha adil, Pak Anwar. Tak ada keadilan yang tersembunyi untuk selamanya. Crime doesn't pay. Tiap orang harus membayar utang dosanya. Tataplah gadis yang kini duduk di depan Bapak. Dan Pak Anwar pasti mengenalnya. Dia mirip seseorang, bukan""
Sekarang bulu roma Pak Anwar meremang. Lama dia menatap Farida. Bayangan lelaki itu melintas di depan matanya. Dan dia tambah menyesali diri. Seharusnya sejak saat itu dia sudah curiga!
Bukankah sikapnya sangat mencurigakan" Sejak itu dia selalu menjauhi Rindang. Menghindari setiap percakapan tentang murid itu. Bahkan dia tidak pernah menengok murid kesayangannya di rumah sakit!
"Orang itu kini sedang diadili di Jakarta. Dia dituduh memerkosa anak didiknya yang belum dewasa. Muridnya sendiri. Seorang pelajar kelas satu SMA...."
"Ya Tuhan!" terlepas desahan getir itu dari mulut Pak Anwar. Dia benar-benar shock.
"Jika Hati nurani Pak Anwar tergubah. maukah Bapak bertindak sebagai saksi" Farida adalah penuntut umum dalam perkara itu. Sungguh, seperti sebuah dakwaan dari alam baka..."
Lama Pak Anwar mengawasi Farida dengan mata berkaca-kaca sebelum bibirnya yang gemetar bergumam,
"Katakan saja. Nak, apa yang dapat Bapak bantu""
JAKARTA 1988 BAB XVII FARIDA pulang ke Jakarta dengan penuh semangat. Dia hampir tidak sabar menemui rekannya di kantor.
"Tuhan benar-benar berada di pihak kita. Kak Sultan!"
"Kamu bertemu dengan segudang gadis yang pernah diperkosa Sabdono Lesmono"" Sultan tersenyum penuh canda.
"Ayah saya kenal kepala sekolah tempat dulu dia bekerja di Medan! Ternyata Pak Anwar masih ingat peristiwa tiga puluh tahun yang lalu! Di sekolahnya ada siswi yang melahirkan di WC sekolah, Siswi ini kemudian membunuh diri sebelum mengatakan siapa ayah anaknya!"
"Apa hubungannya dengan Sabdono lesmono" Tidak ada bukti dialah ayah anak itu!"
"Kakak tidak melihat benang merah dalam kasus ini" Selalu ada peristiwa semacam itu di tiga sekolah tempat Sabdono Lesmono meng
ajar!" "Kamu lupa. Yunisar tidak pernah mau mengakui affair-nya! Dia kini istri pejabat!"
"Saya punya kartu as lain. Pak Anwar bersedia menjadi saksi."
"Bahwa Sabdono dulu pernah mengajar di sekolahnya" Oke, hakim mungkin curiga. Tapi bukti itu terlalu lemah."
"Pak Anwar bilang, dia tahu di mana anak itu berada!"
"Kalau anak itu mau bersaksi, itu baru kartu as kita! Dengan pemeriksaan darah dan uji DNA, kita mungkin dapat membuktikan Sabdono-lah ayahnya."
"Pemeriksaan golongan darah tidak dapat membuktikan Sabdono-lah ayah anak itu. Tetapi dapat membuktikan kalau dia bukan ayahnya."
"Dia tidak dapat mungkir lagi kalau ada bukti uji DNA. dan kita dapat melakukannya kalau anak itu ditemukan!"
"dan saya sudah menghubungi Yunisar sekali lagi," sambung Farida bersemangat.
"Kali ini dengan surat. saya mencoba menggugah kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai sesama wanita."
"Rasanya percuma saja," Sultan tersenyum pahit.
"Harga diri dan nama baiknya pasti lebih penting dari semua itu."
Farida sedang melangkah terburu-buru meninggalkan kantornya ketika seseorang memanggilnya. Dia memang hampir tidak mendengarnya. Belakangan ini dia sedang sibuk sekali. Semua konsentrasinya sedang terfokus pada kasus yang ditanganinya. Tidak heran kalau panggilan itu hampir luput dari pendengarannya.
Baru ketika jarak mereka lebih dekat dan orang itu menyapanya lagi, Farida tertegun. Suara itu seperti tiba-tiba saja datang dari surga. Suara yang sangat dikenalnya. Suara yang suatu waktu dulu sangat dirindukannya....
"Pak Hans"" desahnya tidak percaya. Matanya terbuka lebar menatap laki-laki yang kini tegak di hadapannya.
Hampir tak ada perubahan dalam diri laki-laki itu. Dia masih tetap segagah dan setampan dulu. Senyumnya masih demikian magis. Tatapannya masih menghela perasaan Farida ke dalam kubangan pasir apung tak bertepi,
"Apa kabar, Ida"" sapa Pak Hans lembut.
"Baik, Pak. Bagaimana Ibu"" sahut Farida terbata-bata. Berusaha memperbaiki sikap secepat-cepatnva. Dia tidak boleh tahu....
"Ibu yang mana"" Pak Hans tersenyum pahit.
"Sampai sekarang saya masih menduda."
"Pak Hans!" desah Farida penuh penyesalan. Dia tidak bersandiwara. Dia benar-benar menyesal.
"Bapak tidak mengajak Ibu rujuk""
"Sudah saya coba mengikuti saranmu. Tapi saya gagal."
"Saya menyesal sekali, Pak."
"Saya juga. Kamu bagaimana" Masih sendiri" Sultan belum berhasil mencairkan kebekuan hatimu""
Farida tersenyum malu. "Sekarang kami mitra kerja, Pak."
"Bagus sekali. Selalu bersama memudahkan pendekatan kalian."
"Ah, tidak ada apa-apa di antara kami, Pak.
Saya hanya menganggapnya kakak dan partner kerja."
"Kalau begitu tidak ada yang marah kalau saya mengajakmu makan sate" kita ngobrol di sana. lebih enak dan santai. Boleh""
Tentu saja boleh. walaupun Farida sebenarnya sedang sangat sibuk. tetapi dia tidak mungkin melewatkan saat-saat bersama Pak Hans.
"Saya sering makan sendirian di sini," kata Pak Hans ketika mereka sedang menikmati sate berdua di warung di pinggir jalan. Persis seperti dulu.
"Setiap kali kemari, saya selalu ingat kamu."
Wajah Farida terasa panas. Dia merasa jengah. Sekaligus bahagia. Pak Hans selalu teringat padanya" Tidak berdustakah dia"
"Ceritakan kasus apa yang sedang kamu tangani sekarang. Kasus perkosaan murid sekolah itu sudah kamu menangkan, kan" Kamu benar-benar hebat. Saya bangga pernah menjadi dosen-mu.
"Masih banding, Pak. Saya sedang mengumpulkan bukti-bukti yang lebih kuat."
Dan Farida menceritakan semua masalahnya. Seolah-olah dia menemukan tempat untuk mencurahkan semua kesulitannya. Pak Hans mendengarkan dengan cermat. Mengusulkan beberapa masukan berharga. Dan mereka terlibat diskusi serius sampai lupa waktu.
Ketika Sultan keluar dari kantor, dia melihat Farida sedang berbicara dengan seseorang. Mula-mula dia tidak mengenali laki-laki itu. Dia sudah
hendak menghampiri ketika tiba-tiba dibatalkannya langkahnva.
Mendadak saja Sultan mengenali laki-laki yang sedang berbicara dengan Farida. Dan dia sudah hendak menyerukan namanya dengan gembira.
Pak Hans Walian! Dosen favoritnya. Dosen yang paling populer di kampus mereka dulu!
Tiba-tiba s aja dia muncul di sini. Sungguh gembira bisa bertemu lagi dengan bekas dosen. Apalagi yang sebaik Pak Hans!
Tetapi sekali lagi Sultan membatalkan langkahnya. Membatalkan panggilannya.
Pikiran itu sekonyong-konyong mampir di kepalanya.
Pak Hans datang untuk menemui Farida. Dan mereka mungkin tidak mau diganggu.
Dari kejauhan Sultan tidak dapat melihat wajah Farida. Tidak dapat melihat betapa berbinar sorot matanya. Tetapi dia dapat merasakannya. Dia dapat menduga betapa gembiranya Farida.
Sultan melihat mereka berjalan ke mobil Pak Hans. Bekas dosennya itu membukakan pintu dengan sopan. Menunggu sampai Farida masuk ke mobilnya perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. meninggalkan Sultan termenung seorang diri.
Farida selalu menolak dibonceng motornya. Tetapi dia mau ikut mobil Pak Hans. Apakah itu pertanda dia membalas perhatian laki-laki itu" Atau... ketegasan sikap Pak Hans-lah yang membuat wanita seperti Farida menyerah"
Pak Hans datang mencarinya sampai kemari. Apakah itu juga berarti dia masih menaruh perhatian kepada bekas mahasiswinya yang satu ini" Kalau tidak, buat apa dia datang ke sini" Dia pasti tidak datang mencari Farida untuk menyerahkan kasusnya!
Aneh, pikir Sultan sambil tersenyum pahit. Dosen favorit yang jadi rebutan di kampus. Dia justru memilih bekas mahasiswinya yang paling tidak menarik!
Atau dia keliru" Farida justru sangat menarik
karena dia berbeda" Kalau tidak, mengapa aku juga menaruh perhatian padanya" Kukejar dia sejak masih duduk di tingkat satu. Tapi sampai sekarang, Farida tidak pernah membalas perhatianku.'
Dia memang baik. Sikapnya selalu ramah dan lembut. Tetapi dia tidak pernah membuka hatinya untuk siapa pun. Tidak juga untukku, yang selalu berada di sampingnya!
Pak Hans membawa Farida mengelilingi hampir separo Jakarta dengan mobilnya. Rasanya pembicaraan mereka tidak ada habis-habisnya. Begitu banyak yang mereka bicarakan.
"Ke mana saya harus mengantarkanmu"" tanya Pak Hans ketika malam telah larut. "Sudah hampir jam sepuluh. Ada yang menunggu di rumah" Atau... balik ke kantor" Sultan masih menunggumu di sana""
"Tidak ada siapa-siapa," sahut Farida sambil tersenyum tipis.
"Saya masih tinggal di rumah yang lama, Pak. Masih ngontrak."


Dakwaan Dari Alam Baka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masih di rumah itu"" belalak Pak Hans tidak percaya.
"Rumah sekecil itu tidak meledak karena jahitan yang terlalu banyak""
"Saya sudah minta izin memperbesar rumah itu. Ibu Tri baik sekali. Dia mengabulkan apa pun permintaan saya."
"Tentu saja." Pak Hans tertawa pendek.
"Dia kan tahu siapa kamu sekarang. Dia malah heran kenapa kamu tidak beli saja rumahnya."
"Katanya dia malah senang Pak. Ada penghasilan tiap bulan. Anaknya sudah meninggal. Dia hidup sendirian, mungkin kalau Endang sudah menikah, saya akan mengajaknya tinggal bersama saya."
"Dan kamu tetap bayar kontrak! Ida Ida! Entah terbuat dari apa hatimu!"
"Saya hanya ingin membalas budi." sahut Farida sederhana.
"Saya tahu," Pak Hans menatap sekilas. Tatapannya demikian hangat. Membuat hati Farida berdebar tidak keruan.
"Kamu ingin membalas budi kepada setiap orang yang pernah menolongmu. Tapi saya harap kerelaanmu menemani saya malam ini bukan semata-mata untuk membalas budi."
"Ah," Farida tersenyum jengah.
"Saya juga suka sate, Pak. Kebetulan dari siang belum makan."
"Cuma karena itu"" Farida tertegun. Habis karena apa lagi" Ditatapnya wajah dosennya dari samping. Ah, tampannya dia! Helai-helai rambut berwarna dua yang mulai menyemak! pelipisnya malah menambah daya tariknya. Mengesankan seorang laki-laki yang sudah matang dan berwibawa.
Kebisuan yang melingkupi mobilnya membuat Pak Hans menoleh sekilas. Dan matanya berpapasan dengan mata yang sedang memandangnya dengan penuh kekaguman itu.
Tanpa berkata apa-apa Pak Hans membelokkan mobilnya. Dia mengambil remote control di laci mobilnya. Dan menekannya untuk membuka pintu gerbang.
Farida masih tertegun mengawasi rumah setengah gelap di hadapannya. Dia ingin bertanya. Tapi lidahnya tiba-tiba menjadi lumpuh.
"Tidak ada siapa-siapa di dalam," kata Pak Hans sambil memarkir mobilnya di halaman.
"Saya tinggal sendiri. Hanya ditemani seorang pembantu pr
ia Tapi malam-malam begini biasanya dia sudah tidur."
"Tidak ada yang menunggu Bapak pulang"" gumam Farida heran.
"Saya jarang makan di rumah. Tidak enak makan sendiri." Pak Hans turun dari mobilnya. Dan membukakan pintu untuk Farida.
"Kita minum sebentar. Lalu saya antarkan kamu pulang. Mau telepon Endang dulu" Supaya dia tidak menunggumu."
"Mungkin Endang juga belum pulang, Pak. Dia sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya," sahut Farida sambil turun dari mobil.
"Kapan Endang menikah""
"Bulan depan, Pak. Dia sering bilang, dia hampir terlambat menikah. Makanya mesti ngebut."
Pak Hans tertawa. "Endang masih tetap lucu ya, suka bergurau."
"Dia yang membuat dunia saya tidak sepi, Pak. Tuhan mengirimkan teman sebaik dia untuk saya."
"Kalau dia pergi mengikuti suaminya, kamu pasti kesepian." Pak Hans mendahului melangkah ke teras untuk membuka pintu.
"Sangat," sahut Farida pahit. "Tapi saya tidak boleh menghalanginya meraih masa depan. Dia punya kehidupan sendiri. Saya bahagia dia sudah menemukan seorang laki-laki yang baik. Mudah-mudahan perkawinannya langgeng."
"Bagaimana dengan kamu sendiri"" Pak Hans tidak berpaling. Dia sedang memutar kunci pintu. "Kamu tidak kesepian""
Farida tersenyum pahit. "Kesepian sudah menjadi teman hidup saya, Pak."
Sekarang Pak Hans berbalik. Di bawah cahaya lampu teras yang temaram, matanya menatap Farida dengan sungguh-sungguh.
"Sampai kapan" Kamu tidak ingin mencari Endang lain untuk menemanimu" Membuat hidupmu tidak sepi lagi""
Sesaat Farida terenyak. Langkahnya terhenti. Dan tatapannya bertemu dengan tatapan Pak Hans.
"Saya belum menemukannya. Pak," sahut Farida lirih setelah membisu sejenak.
Pak Hans membuka pintu dan menyilakannya
masuk. Dia menyalakan lampu. Dan ruang tamu langsung terang benderang di bawah sinar lampu kristal yang tergantung megah di langit-langit mangan.
"Silakan duduk. Mau minum apa""
"Air putih saja. Pak. Terima kasih."
"Saya ambilkan dulu. Silakan melihat-lihat kalau mau. Jangan sungkan. Tidak ada siapa-siapa di sini. Rileks saja."
Farida menghampiri dinding. Melihat-lihat lukisan-lukisan repro yang tergantung di sana. Ketika dia sedang menikmati karya Degas, begitu terpesona mengagumi Penari Biru-nya, Pak Hans memeluknya dari belakang.
Farida terkesiap. Tidak menyangka bekas dosen yang diam-diam dicintainya itu merangkulnya demikian hangat. Dia tidak berani bergerak. Bahkan hampir tidak berani bernapas.
Farida hanya memejamkan matanya. Menikmati kehangatan lengan-lengan yang memeluknya. Memkmati irama debar jantungnya yang mengalun merdu ibarat simfoni.
Tidak sadar dia menyandarkan kepalanya ke dada laki-laki itu. membiarkan kehangatan menyelimutinya. kemesraan membiusnya, dan kerinduan yang terpendam selama bertahun-tahun menemukan pelepasannya.
Pak Hans mengetatkan dekapannya. Dan mencium rambutnya dengan lembut.
"Jika belum ada orang lain di hatimu, Ida," bisik Pak Hans halus, "bolehkah saya menggantikan Endang, mengusir kesepian hidupmu""
Farida merasa hatinya bernyanyi dalam lantun kebahagiaan. Tapi sekaligus menangis dalam desah keharuan.
"Kenapa saya, Pak"" gumamnya lirih.
"Bapak bisa memperoleh wanita mana saja yang Bapak inginkan. Kenapa memilih perempuan cacat seperti saya""
"Karena saya mencintai dirimu. Hatimu. Jiwamu. Bukan fisikmu."
"Tapi jiwa saya tidak bisa dipisahkan dari fisik saya, Pak. Berapa lama Bapak bisa bertahan mendampingi seorang wanita buntung" Cercaan dan hinaan akan selalu mendampingi hidup Bapak."
"Kita akan bersama-sama mengatasinya, Ida. Kita akan membuat orang yang melihatmu berdesah kagum. Bukan berdesis menghina. Dan saya telah mengalaminya. Saya telah melihatmu. Mengenalmu. Dan mengagumimu.
"Bapak pernah bilang, cinta yang berawal dari kekaguman tak pernah langgeng."
"Denganmu pasti berbeda. Karena kamu me
mang beda." "Ketika saya berumur empat tahun." gumam Farida getir,
"untuk pertama kalinya saya tahu, saya berbeda. untuk pertama kalinya saya menyadari cacat saya. Hari itu anak tetangga meneriaki saya buntung. Saya pulang sambil menangis. Ketika melihat diri saya di depan cermin, sava menangis sejadi-jadinya. Dan saya tidak
ingin melihat cermin lagi. Karena saya tidak mau melihat perbedaan yang saya miliki."
"Dirimu adalah bagaimana kamu menjalani hidupmu, Ida," kata Pak Hans sabar. "Bukan bagaimana kamu melihatnya."
Farida sangat terharu mendengar kata-kata bekas dosennya.
"Dulu saya beruntung karena memiliki orang-tua yang bijaksana. Bapak selalu berkata, kalau Tuhan memberimu kekurangan, Dia pasti memberimu kelebihan. Sekarang saya tahu, Bapaklah kelebihan itu."
Tidak, Ida. Kelebihanmu adalah ketabahanmu. Kemampuanmu mengatasi kekuranganmu. Jika kamu izinkan saya mendampingimu, saya berjanji akan menjadikan hidupmu sempurna."
Malam itu, Farida sangat berbahagia, lelaki yang diam-diam dicintainya ternyata membalas cintanya. Pak Hans telah melamarnya. Dia tidak malu mempunyai istri cacat.
"Dirimu adalah bagaimana kamu menjalani hidupmu, bukan bagaimana kamu melihatnya."
Kata-kata Pak Hans begitu indah. Begitu penuh makna. Begitu bijaksana.
Tetapi... mampukah Farida mendampinginya" Mampukah dia menekan rasa rendah dirinya, mendampingi seorang pria yang setampan dan sesukses Pak Hans" Apa lagi yang kurang dalam dirinya" Mengapa dia mau merendahkan diri memiliki seorang istri yang cacat"
Bahkan seorang laki-laki buta mencampakkan dirinya ketika dia bisa melihat!
"Lupakan masa lalumu," pinta Pak Hans tadi.
"Lupakan calon suami yang tidak ada harganya kamu tangisi. Lupakan trauma yang membuatmu minder. Mulai sekarang, kamu harus mengagumi dirimu seperti orang lain mengaguminya!"
Benarkah Pak Hans mau menerimanya seperti apa adanya" Sampai berapa lama dia tahan menepis gunjingan orang"
"Kalau kamu masih ragu, kenapa tidak mencoba" Ketika kamu hendak masuk fakultas hukum dulu, berapa banyak orang yang meragukannya" Tidak pernahkah kamu sendiri merasa ragu"" Tapi perkawinan bukan tempat mencoba-coba.
Jika aku masih ragu, bukankah sebaiknya aku menolak"
Lagi pula. kata siapa aku bisa menjadi istri yang baik seperti menjadi sarjana hukum yang andal atau penjahit vang sukses"
Berapa banyak waktuku yang tersisa untuk melayani suamiku di rumah"
"Saya ingin istri saya lebih banyak di rumah." Itu kata-kata Pak Hans dulu.
Dia ingin istri yang menunggu suaminya pulang. Melayaninya di rumah. Melahirkan dan mengurus anak-anaknya. Bukan wanita karier yang repot dikejar pekerjaan!
Pak Hans bercerai karena istrinya terlalu sibuk mengejar karier. Apa bedanya dengan diriku sekarang"
"Pengalaman sudah mendewasakan saya," kilah Pak Hans ketika Farida mengemukakan kekhawatirannya.
"Dulu saya terlalu egois. Saya menuntut istri yang selalu menunggu dan melayani saya di rumah. Saya lupa, istri juga manusia. Dia punya dunianya sendiri. Punya karier. Punya cita-cita."
"Tapi tuntutan Bapak tidak terlalu salah, kodrat seorang istri memang mengurus suami dan anak-anak, itu tugas yang tak dapat digantikan."
"Tapi dapat dibagi, kalau kita tidak terlalu
egois. Bagaimanapun sibuknya, kamu kan tidak tidur di kantor atau di pengadilan" Yang penting, kamu dapat mengatur waktu. Untuk klien. Untuk keluarga. Dan untuk dirimu sendiri."
Beberapa hari itu, Farida tidak masuk kantor. Pak Hans membawanya pergi setiap hari. Ketika dia kembali ke kantor beberapa hari kemudian, dia sadar, pekerjaannya sangat membutuhkannya. Tidak mungkin ditinggalkannya begitu saja.
Tugas sudah bertumpuk di meja tulisnya. Sekretarisnya membacakan tenggat waktu yang harus dikejarnya. Farida benar-benar pusing. Rasanya dua puluh empat jam sehari tidak mungkin cukup untuk mengejar ketinggalannya.
Dan Sultan menambah kerisauannya. Dia tidak kelihatan jengkel. Tapi sikapnya agak berubah.
Tahukah dia siapa yang kutemui" Tahukah Sultan dengan siapa aku pergi beberapa hari ini"
"Ada surat dari ayahmu." katanya singkat. Nadanya datar.
"Kilat. Barangkali penting."
Sultan melemparkan sehelai surat ke atas meja
tulis Farida. "Tidak biasanya bapak mengirim surat ke kantor," gumam Farida bingung.
"Pasti ayahmu tahu kamu sekarang lebih banyak di kantor daripada di rumah," kecuali beberapa hari ini, entah kemana kamu pergi. ke mana bekas dosenmu membawamu.
"Bapak minta saya pulang segera," sergah Farida keheran-heranan. "A
da sesuatu yang ingin ditanyakannya. soal apa ya""
PALEMBANG 1988 BAB XVIII "Kalau kamu harus memilih. Ida." cetus pak Iksan muram.
"Antara memenangkan perkara ini tapi kehilangan nama baikmu, atau melepaskan nya saja. yang mana yang kamu pilih""
"Saya akan memenangkan keadilan." jawab Farida mantap tapi heran.
"Kenapa Bapak tanya begitu""
"Kamu tidak menyesal""
"Menyesali apa. Pak"
"Kalau tahu siapa dia sebenarnya""
"Dia siapa. Pak""
"Sabdono," "Sabdono Lesmono"" Farida mengerutkan dahi.
"untuk mengetahui siapa dia sebenarnya saya berjuang ke sana kemari mencari kebenaran."
"Kamu tidak mengerti." keluh Pak Iksan berat.
"Mengerti apa." Apa yang tidak saya mengerti" Bapak punya rahasia apa""
"Rahasia yang menyangkut masa lalumu."
"ceritakanlah. Pak." pinta Farida sungguh-sungguh.
"Jangan ada yang dirahasiakan lagi."
"Sebenarnya Bapak tidak ingin menceritakannya."
"Kenapa, Pak""
"Karena akan melukai hatimu."
"Apa hubungannya dengan saja" Hati Farida berdebar tidak enak.
Pak Iksan diam sesaat sebelum menjawab dengan suara lirih.
"Kamulah bayi yang lahir di WC itu. Ida."
Lama Farida termenung seperti tiba-tiba disihir jadi batu. terbayang di hadapannya lelaki yang duduk di kursi terdakwa itu.
Sabdono Lesmono! Diakah ayahnya" lelaki durjana yang menghamili ibunya, memerkosa Linda Ramelan. bahkan juga menodai Yunisar"
Duh. kalau boleh memilih, lebih baik Farida tidak punya ayah!
tetapi... sejahat jahatnya lelaki itu bukankah dia tetap ayah biologisnya" lelaki itu yang telah mewariskan benihnya sehingga dia dapat berujud manusia!
Sampai hatikah dia menuntut ayahnya sendiri, menjebloskannya ke penjara"
Farida memang telah telanjur menuntutnya. Karena perjuangannyalah ayahnya dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara.
tetapi jika dia tidak menyerahkan bukti-bukti yang diperolehnya, jika dia tidak minta Pak Anwar dan Yunisar bersaksi, jika dia sendiri tidak mau diperiksa darah dan DNA. mungkin ayahnya dapat bebas!
Dia tidak mendendam sekalipun mungkin karena ulah ayahnya dia harus kehilangan kedua belah lengannya...
tetapi berapa banyak lagi linda Ramelan yang akan menjadi korban" Berapa banyak lagi Rindang yang akan membunuh diri" Berapa banyak lagi Farida yang akan lahir cacat"
Di mana tanggung jawab moralnya sebagai Penegak keadilan jika orang sebejat itu dibiarkan bebas hanya karena dia adalah ayahnya"
Ibunya sendiri telah menjadi korban, korban seseorang yang seharusnya dihormati sebagai pengganti orangtua. Ibu pasti sangat menderita. Ibu terpaksa melahirkan di WC. Dan akhirnya nekat membunuh diri. Dari lubang kuburnyalah Ibu sekarang mendakwa Ayah!
"Bapak dan Ibu sangat mencintaimu, Ida," meleleh air mata Pak Iksan ketika mengucapkan kata-kata itu. "Kami tidak ingin membuka rahasia ini. Tidak mau kamu terluka karena mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya. Tapi kalau hari ini Bapak tidak berterus terang, Bapak khawatir kamu nanti menyesal...."
"Bapak ingin memberimu kesempatan sekali lagi untuk berpikir dan memilih, Ida," sambung ibunya sedih. "Jika kamu tahu dia ayahmu, kamu mungkin akan melepas perkara ini."
"Saya tetap akan mengejarnya," sahut Farida getir. "Apa pun taruhannya Berapa pun yang saya harus bayar. Karena malaikat keadilan harus dibangunkan. Berapa lama pun dia telah tertidur."
Lalu Farida berlutut di hadapan ayah-ibu angkatnya. Dan mencium tangan mereka.
"Kamulah bayi yang lahir di WC itu, Ida."
Semalam-malaman Farida tidak dapat memicingkan matanya. Kata-kata ayahnya terus-menerus terngiang di telinganya.
Dia anak haram. Lahir di WC. Cacat. Dan sekarang ada satu tambahan lagi. Dari ayah biologis yang punya kelainan. Senang menggauli anak didiknya sendiri. Lengkap!
Aib apa lagi yang belum disandangnya" Semua hal yang buruk dan dijauhi orang seperti berkumpul dalam dirinya. Dan perempuan seperti ini yang diinginkan Pak Hans untuk menjadi istrinya"
Tidak, desah Farida getir. Jika aku benar-benar mencintainya, takkan kubiarkan dia kecipratan noda sehitam ini! Apa pun katanya, istri sehina diriku sedikit-banyak pasti memengaruhi martabatnya!
Dan kalau kami punya anak nanti... anak-anak kami juga akan kecipratan
aib kakek-nenek-nya! Kakek yang dipenjara karena menodai muridnya. Dan nenek yang membunuh diri karena punya anak haram!
Kamu dapat menyembunyikan aibmu. Ida, kata Ibu tadi. Ibu angkatnya yang ternyata sangat baik. Tidak pernah membedakan dirinya dengan adik-adiknya. Padahal merekalah anak kandung Ibu, Kalau kamu tidak bersaksi, tidak seorang pun kecuali kita, yang tahu dia ayahmu. Bapak bisa minta Pak Anwar merahasiakannya. Demi nama baikmu. Demi nama baikku. Begitu mahalkah harga nama baikku"
Ibu angkatku mungkin ingin melindungiku. Tidak mau aku terluka. Tidak mau orang tahu sampah macam apa yang jadi ayah biologisku. Sehitam apa darah yang mengalir di tubuhku.
Tetapi aku punya seorang ibu lain. Ibu kandungku. Ibu yang tersiksa seorang diri. Menanggung beban yang seharusnya mereka tanggung berdua.
Karena kejahatan Ayah, Ibu menderita. Sampai terpaksa membunuh diri.
Sekarang saatnya aku menuntut keadilan. Bukan membalas dendam. Tetapi menghukum yang bersalah. Biarpun orang itu ayah kandungku sendiri. Biarpun dengan menuntutnya aku mencorengkan arang di keningku sendiri.
Ketika Farida bangkit dari tempat tidurnya subuh itu, tekadnya sudah bulat. Dia tetap akan menggugat ayah kandungnya. membayar lunar utang ibunya. berapa pun yang harus dibayarnya.
Setiap kali keraguan menjalar di hatinya, dia membayangkan wajah Linda Ramelan. Tidak boleh ada korban lagi dalam sisa hidup ayahnya. Farida-lah yang harus menghentikannya!
"Saya akan ke Jakarta, Pak," katanya ketika sedang sarapan berdua dengan ayah angkatnya.
"Kamu sudah mengambil keputusan"" tanya Pak Iksan hati-hati.
"Tekad saya sudah bulat, Pak. Kapan Bapak dan Pak Anwar bisa ke Jakarta""
"Sebagai saksi""
"Bapak tidak keberatan, kan""
Pak Iksan menggeleng sambil menghela napas. Wajahnya mengerut seperti menahan sakit.
"Maaf kalau saya terpaksa menyakiti hati Bapak," kata Farida lembut.
"Saya tahu Bapak enggan mengingat saat itu lagi."
"Karena Bapak tidak tega menyakitimu, Ida," keluh Pak Iksan lirih.
"Saat-saat kelahiranmu sangat tragis. Barangkali Bapak tidak dapat menahan air mata kalau harus menceritakannya lagi di depan pengadilan."
"Demi keadilan, kadang-kadang kita hams berkorban, Pak."
"Kenapa tidak kamu biarkan Bapak datang menemui Pak Sabdono""
"Untuk apa" Memaksanya mengaku""
"Demi melindungi nama baikmu."
"Percuma, Pak. Tanpa bukti, dia tidak mungkin mau mengakui perbuatannya."
SURABAYA 1988 BAB XIX FARIDA tidak langsung ke Jakarta. Dia mampir dulu ke Surabaya. Dan orang pertama yang ditemuinya adalah Halimah, bekas istri Sabdono.
Keengganan Halimah menemui Farida langsung buyar ketika Farida mendahului bicara.
Saya datang bukan untuk mendesak Ibu mengatakan alasan perceraian Ibu," katanya mantap.
"Karena sekarang saya sudah tahu. Sebenarnya sudah lama Ibu tahu perbuatan mantan suami Ibu terhadap muridnya yang bernama Rindang. Ibu juga tahu mengapa Pak Sabdono mendadak mengajak pindah dari Medan. Karena mayat muridnya yang bunuh diri itu sudah ditemukan. Dan Pak Sabdono khawatir namanya dilibatkan."
Halimah tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tetapi air mukanya menyiratkan kepahitan. Dan Farida tahu. dugaannya benar.
"Saya tidak tahu bagaimana Ibu mengetahuinya. Apakah Rindang mengirim surat kepada Pak Sabdono sebelum bunuh diri"" Halimah mengangguk.
"Dia mengirim surat dan foto." Suaranya terdengar sangat lirih.
"Foto dirinya""
"Dengan anaknya yang cacat."
"Jadi ketika Pak Sabdono mengulangi perbuatannya di Surabaya, Ibu tidak tahan lagi."
"Gadis itu sangat cantik," desah Halimah seperti menahan sakit.
"Masih sangat muda. Dia datang ke rumah kami. Suami saya mengusirnya."
"Namanya Yunisar," sambung Farida mantap.
Halimah menatap Farida dengan takjub.
"Dari mana..." Lalu tiba-tiba matanya membeliak kaget. Tatapannya berpindah ke bahu Farida seolah-olah baru pertama kali dia sadar, perempuan ini buntung! Dia tidak memiliki lengan sama sekali... sama seperti bayi dalam foto yang dikirim Rindang!
"Ibu benar," tukas Farida datar, wajahnya tanpa ekspresi.
"Sayalah bayi dalam foto itu."
"Ya Tuhan!" desis Halimah dengan paras pucat pasi. Bibirnya bergetar
hebat. "tapi saya datang bukan untuk menuntut balas kematian ibu saya," sambung Farida tegas. "Saya datang untuk melindungi gadis-gadis tak berdosa yang akan menjadi korban berikutnya, jika Pak Sabdono tetap menjadi guru."
Lama Halimah terdiam sebelum perlahan-lahan dia membuka mulutnya lagi.
"Saya harus berbuat apa""
Yunisar marah sekali ketika Farida muncul lagi di rumahnya. Lebih-lebih ketika dilihatnya dia tidak datang seorang diri. Dia datang dengan seorang perempuan separo baya.
"Saya sudah bilang, tidak ingin melihat wajah Anda lagi," sergahnya dingin.
"Ada yang ingin bertemu dengan Ibu," sahur Farida sama dinginnya.
"Ibu Halimah, mantan
istri Pak Sabdono." Mata yang congkak itu mendadak berubah terkejut. Secepat kilat dia menoleh kepada perempuan yang tadi tidak dipandangnya dengan sebelah mata sekalipun.
"Ibu.."" desahnya tergagap. Parasnya langsung memucat.
"Halimah." sahut perempuan tua itu tenang.
"Lima belas tahun yang lalu. Ibu Yunisar pernah datang ke rumah saya."
"Ibu!" Sekarang mata yang congkak itu berubah penuh permohonan. Kasihanilah saya, pinta mata itu jika bisa bicara. Tolong, jangan permalukan saya!
"Mula-mula saya juga tidak mau bersaksi," tukas Halimah datar.
"Demi anak-anak kami, saya berusaha menutupi kejahatan bekas suami saya."
"Ibu!" sergah Yunisar tertahan. Jangan! Jangan! Saya mohon....
"Belasan tahun rahasia itu saya simpan baik-baik. Ketika Ibu datang ke rumah kami, saya tahu dia melakukannya lagi. Karena itu saya minta cerai. Saya sudah tidak tahan lagi."
"Ibu Farida," sekarang Yunisar menoleh kepadanya. Sikapnya sudah berubah seratus delapan puluh derajat. "Anda seorang penegak hukum. yang
Penting bagi Anda hanyalah mencari kebenaran. Tidak peduli sekalipun kebenaran itu melukai hati orang lain..."
Kamu pikir hanya hatimu yang terluka" Hanya nama baikmu yang bakal ternoda"
"Tapi saya cuma manusia biasa! Seorang istri! Jika saya sampai duduk di kursi saksi, nama baik suami saya pasti hancur!"
"Ibu tidak memikirkan hancurnya masa depan seorang gadis seperti Linda Ramelan" Dan masih banyak lagi Linda-Linda Ramelan berikutnya jika dia tetap bercokol sebagai guru!"
"Saya sudah lama memikirkannya," sela Halimah dingin. "Rasanya kita punya tanggung jawab untuk menghentikan perbuatannya. Dia sudah keterlaluan!"
"Saya benar-benar menghadapi dilema," keluh Yunisar bingung. "Nurani saya tidak rela kalau orang seperti dia dibiarkan bebas berkeliaran mencari mangsa. Tapi di pihak lain, saya tidak tega kalau suami saya mendapat malu! Jika Ibu Farida jadi saya, pasti Ibu juga tidak berani bersaksi!"
"Ibu keliru," sahut Farida tawar. "Jika taruhannya nama baik saya sekalipun, saya akan bersaksi."
"Anda berkata begitu karena bukan Anda yang
harus bersaksi!" "Ibu keliru lagi. Karena jika dibutuhkan, saya juga akan memberikan kesaksian."
"Kesaksian apa""
"Tiga puluh tahun yang lalu, seonrng siswi melahirkan di WC sekolah tempat Pak Sabdono mengajar. Siswi itu membunuh diri tanpa mengatakan siapa ayah anak itu. ."
Yunisar menggigil sedikit. Halimah menggigit bibir menahan perasaannya.
"Tapi anak itu masih hidup sampai sekarang. Dan orang yang mengenal mereka mengatakan, mereka mirip satu sama lain. Jika perlu, pengadilan akan membuktikan hubungan mereka dengan meminta pertolongan medis."
"Di mana anak itu sekarang"" sergah Yunisar lirih. "Dia mau bersaksi""
"Dia tegak di depan Ibu," sahut Farida dramatis sekali. "Dan saya akan memberikan kesaksian. Biarpun dia ayah saya."
Yunisar terbelalak kaget. Dan dia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Yunisar memang tidak bersedia memberikan kesaksian di depan meja hijau. Dia merintih. Memohon. Mengiba-iba agar rahasianya tidak dibongkar. Demi nama baik suaminya. Demi keutuhan perkawinannya.
Tapi dia mau menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi hari itu, lima belas tahun yang lalu.
Pak Sabdono menggaulinya di rumahnya ketika istrinya sedang melahirkan. Dan dia menyuruh Yunisar minum obat sebelum digauli. Obat yang dicampur dalam minumannya.
Jadi itu sebabnya tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik pada tubuh Linda Ramelan. Dia mungkin juga sudah dibius lebih
dulu. "Kamu tidak mungkin hamil," kata Pak Sabdono pada setiap korbannya.
Dan pada kedua peristiwa terakhir itu, kedua korbannya memang tidak hamil. Mungkin sekarang Pak Sabdono sudah memakai pengaman. Atau... Yunisar menggugurkan kandungannya"
Dia menolak menjawab ketika Farida bertanya apakah dia melakukan aborsi. Dan sampai sekarang dia belum punya anak. Jadi tidak mungkin dia punya anak dari Pak Sabdono. Anak yang hidup. Anak yang cacat....
Memang. Tidak ada lagi Farida-Farida lain. Tapi berapa banyak lagi Yunisar dan Linda Ramelan yang bakal jadi korban"
"Saya punya perasaan dia melakukan perbuatan cabul itu setiap kali saya sedang melahirkan."
Itu pendapat Halimah. Kalau benar dugaannya, artinya ada tujuh kasus serupa. Karena Pak Sabdono memiliki tujuh orang anak. Dua dari istri pertama. lima dari isrri kedua.
Dan kalau itu benar, artinya ada empat orang gadis lagi yang telah menjadi korbannya!
Empat orang gadis yang kini entah berada di mana. Tidak ada yang tahu bagaimana nasib mereka.
Membunuh diri seperti ibunya. Menikah baik-baik dan berusaha melupakan masa lalunya seperti Yunisar. Dilanda depresi berat dan kehilangan masa depannya seperti Linda. Atau..." Tidak ada yang tahu. Karena mereka menutup rahasia mereka baik-baik.
Seandainya aku bisa menemukan mereka dan membujuk mereka untuk bersaksi! Tapi... maukah mereka" Kebanyakan memilih tutup mulut demi harga diri dan nama baik. Bersaksi berarti memberi malu diri sendiri.
"Kalau kamu harus memilih..." itu kata-kata ayah angkatnya. Lelaki berhati mulia yang menjunjung tinggi profesi guru. "Antara memenangkan perkara ini tapi kehilangan nama baikmu..."
"Saya akan memenangkan keadilan," jawab Farida saat itu "Apa pun yang harus saya korbankan."
Tetapi saat itu dia belum tahu, yang digugatnya ayah kandungnya sendiri! dia belum tahu, memenangkan keadilan berarti mengorbankan nama baiknya. Memberi malu dirinya sendiri karena latar belakang keluarganya yang hitam kelam!
"Saya tetap akan menuntutnya," kata Farida tegas ketika Halimah bertanya apakah dia akan meneruskan tuntutannya. "Supaya dia dihukum lebih berat dan dipecat sebagai guru. Karena tokoh pendidik seperti dia sangat berbahaya."
"Walaupun Ibu tahu dia ayah kandung Ibu"" desak Yunisar dalam nada tak percaya. "Walaupun Ibu akan diberi malu oleh kesaksian Ibu sendiri""
Saya akan mengejar keadilan. Apa pun yang harus saya korbankan."
"Saya bersedia memberikan kesaksian jika dibutuhkan," sela Halimah datar. "Dulu saya memikirkan anak-anak saya. Bagaimana perasaan mereka jika tahu orang seperti apa yang jadi ayah mereka. Tapi kalau Ibu Farida saja rela bersaksi, mengapa saya tidak""
"Terima kasih, Bu," tukas Farida tegar. "Saya mengerti perasaan anak-anak Ibu karena saya sendiri merasakannya. Mungkin suatu hari kami bisa bertemu dan bicara dari hati ke hati sebagai saudara."
"Dan terima kasih karena mau menjaga rahasia saya." sela yunisar lirih. "Jika ada yang dapat saya bantu, saya bisa minta suami saya..."
"Tidak perlu" potong Farida tegas.
"Hukumlah yang akan mengadili yang bersalah, bukan kekuasaan."
JAKARTA

Dakwaan Dari Alam Baka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

1988 BAB XX Mengapa memilih hidup sendiri"" tanya Pak Hans sabar. Suaranya menyiratkan kekecewaan. Tetapi dia masih tetap Pak Hans Walian, S.H., dosennya yang sabar dan lembut. Tidak ada kekesalan, apalagi kemarahan, dalam suaranya.
"Saya ingin membaktikan hidup saya untuk membela kaum saya yang teraniaya, Pak," sahut Farida sambil menyembunyikan kesedihannya.
"Itu memang angan-anganmu sejak masih menjadi mahasiswi, kan""
"Sekarang saatnya saya merealisasikan angan-angan saya, Pak."
"Tidak berarti kamu harus hidup sendiri. Jika ada seseorang yang mendampingimu, menyokongmu, mendorong semangatmu, mungkin kamu
akan menjadi lebih kuat. "Justru perhatian Bapak kepada saya yang membuat saya memperoleh kepercayaan diri yang lebih besar. Jika seseorang yang begitu sempurna seperti Bapak tidak memandang saya dengan hina, apa yang bisa membuat saya merasa rendah diri"
"Kalau begitu mengapa menolak saya"" tanya Pak Hans lembut "Kita punya minat yang sama. bekerja di bidang yang sama. Memiliki pandangan yang sama
pula. Kita bisa menjadi tim yang hebat. Di rumah maupun di pengadilan."
"Saya khawatir akan menelantarkan salah satu di antaranya. Seorang wanita tidak mungkin berada di dua dunia dengan sama adilnya. Kalau saya memilih menjadi istri Bapak, saya akan mengundurkan diri dari pekerjaan saya. Karena jaya yakin tidak dapat lagi mencurahkan waktu saya sepenuhnya untuk klien saya."
"Dan kamu memilih yang kedua" gumam Pak Hans perlahan.
"maafkan saya, pak." desah farida lirih.
kalau saja bapak tahu, sebentar lagi nama saya akan terpampang di surat kabar, bukan hanya sebagai penuntut umum yang menggugat seorang guru yang berbuat mesum pada anak didiknya.
Tapi sebagai anak yang menuntut ayah kandung nya sendiri karena telah menghamili ibunya. Ibu yang melahirkannya di WC sekolah dan membunuh diri!
Betapa hinanya keluarga saya! Dan saya tidak mau menyeret Bapak ke lembah kehinaan itu. Karena saya sangat mencintai Bapak!
"Kok masih murung juga"" tegur Sultan ketika melihat Farida tengah melamun di kamar kerjanya. "Kemenanganmu sudah di depan mata, Ida!"
Farida tersenyum pahit. "Jika Kak Sultan menggugat ayah kandung sendiri, membantu menjebloskannya ke penjara, Kakak tidak merasa risi""
"Itu risiko pekerjaan. Di luar sudah menanti wartawan, organisasi wanita, korban-korban pelecehan seksual, yang antre untuk menemuimu!"
"Jangan bercanda, Kak!"
"Supaya kamu tidak terlalu stres! Ke mana Pak Hans" Kok dia tidak muncul lagi""
"Saya sudah memutuskan hubungan."
"Betul" Saya kira kalian akan menikah bulan
depan!" "Tidak pantas pria semulia Pak Hans ikut terseret ke lembah kenistaan keluarga saya."
"Keluargamu boleh hina. Tapi kamu sama mulianya dengan Pak Hans! Mungkin malah lebih! Kamu mengorbankan segalanya untuk membela kebenaran, menegakkan keadilan!"
"Saya tidak mau menikah, Kak," desah Farida getir.
"Mudah-mudahan bukan karena latar belakang keluargamu. Bukan pula karena pernah ditolak tunanganmu."
"Saya ingin mengabdikan seluruh hidup saya untuk membela kaum saya yang teraniaya."
"Niat yang bagus. Tapi kenapa harus sendirian" Suatu hari, setiap orang butuh orang lain."
"Mungkin suatu hari nanti, Kak. Kalau sudah saya temukan otang yang sederajat dengan saya."
"Maksudmu, anak haram seperti kamu" Yang lahir di WC" Yang ibunya membunuh diri, ayahnya tukang perkosa"" Sultan tertawa geli. "Berat amat syaratmu, Ida! Barangkali saya harus lahir sekali lagi untuk dapat memilikimu!"
Kekagetan melintas di mata Pak Sabdono ketika dia mengenali pak Iksan, dan wajahnya langsung memucat.
Sebaliknya Pak Iksan tampak demikian tenang ketika melangkah ke kursi saksi. Tetapi ketika dia memperkenalkan dirinya, ada setitik air mata bergulir ke pipinya.
Anak angkat yang dibanggakannya duduk dengan gagah di depannya. Dia begitu mantap. Begitu dewasa. Begitu percaya diri.
Rasanya Pak Iksan hampir tidak percaya, hampir tiga puluh tahun yang lalu, anak ini pernah terbaring tak berdaya dalam gendongannya. Tangisnya begitu lirih. Seolah-olah memohon perlindungan. Memohon tempat berteduh. Memohon kasih sayang.
"Kalau Bapak sayang pada anak saya, maukah Bapak merawatnya demi saya" Jika suatu waktu dia membutuhkan saya, saya pasti akan datang menolongnya."
Sekarang anakmu membutuhkanmu. Rindang, bisik Pak Iksan dalam hati. Datanglah untuk menolongnya!
Dan ketika Farida berkata-kata, Pak Iksan seperti bukan melihat anak angkatnya lagi. Dia seperti melihat Rindang. Diakah yang datang dari alam baka untuk menggugat orang yang telah merenggut hidupnya"
"Rindang tidak pernah mengatakan siapa yang telah menodainya," kata Pak Iksan dalam kesaksiannya. "Tetapi ketika saya melihat dia mengejar-ngejar Pak Sabdono sambil menangis, saya tahu dialah bapak anak dalam kandungannya."
Lalu Pak Iksan menoleh ke arah anak angkatnya. Dan air matanva bercucuran.
Pak Sabdono mengejang di kursinya. Dia menoleh ke arah penuntut umum yang cacat itu dengan tatapan tidak percaya.
Pada saat yang sama, wanita buntung itu justru sedang menatapnya. Dengan tatapan yang tiba-tiba mengingatkannya pada seseorang... tatapan yang suatu waktu dulu sangat dikenalnya... Dan tiba-tiba saja bulu tengku
knya meremang.... Tiba-tiba saja peristiwa tiga puluh tahun yang lalu itu seperti film yang berputar kembali di depan matanya....
Seorang bayi tanpa lengan dilahirkan di WC sekolah. Bayi yang bersama ibunya dirawat di rumah Pak Iksan... Jadi diakah bayi tanpa lengan itu" Bayi Rindang" Anak..."
"Saya perlu uang, pak! untuk merawat anak kita!"
Anak kita, kata Rindang, anak kita! jadi inilah anak itu! dia tidak mati. dia hidup! dan kini dia tengah menuntutnya. seperti sedang mewakili ibunya....
"Saya cuma menuntut sebagian hak saya!"
Tiba-tiba saja Pak Sabdono merasa lemas. Seluruh pembelaannya kandas seperti cermin dibanting ke batu. Dia bukan lagi menghadapi tuntutan manusia. Dia menghadapi gugatan orang yang sudah mati! Dia melawan dakwaan dari alam baka!
Tak ada harapan lagi. Hari ini, semua saksi seperti datang mengurungnya. Tak ada jalan lagi untuk lolos. Dia sudah terjebak. Terperangkap dalam kubangan dosanya sendiri. Kalau waktu itu dia menerima saja hukumannya yang hanya tujuh bulan...
Tapi kini semua sudah terlambat! Dengan ketakutan dia menoleh ke belakang. Dan matanya terbelalak cemas.
Ada tiga orang lagi yang dikenalnya di sana. Pak Anwar. Bekas kepala sekolahnya. Dia juga datang untuk memberikan kesaksian"
Lalu... Halimah. Mantan istrinya! Apa yang hendak diungkapkannya" Foto seorang murid yang bunuh diri dengan anaknya yang cacat"
Dan... astaga! Siapa orang yang ketiga itu" Yang duduk dengan wajah beku dan tatapan dingin bagai es"
Rindang" Rindang..." RINDANG! Datang jugakah dia ke sidang ini untuk memberikan kesaksian"
Aku sudah gila! Rindang sudah mati! Dia tidak mungkin hadir di sini! Mustahil dia datang dari alam baka untuk mendakwa diriku!
Pak Sabdono mengucek-ngucek matanya dengan panik. Keringat dingin bercucuran di wajahnya.
"Aku sudah gila." erangnya berkali-kali. "Rindang tidak mungkin datang kemari! Dia sudah mati! Mati!"
Sia-sia pembelanya menenangkannya. Mental Pak Sabdono sudah ambruk! Sidang harus diskors sementara atas permintaan pembelanya.
Tetapi ketika sidang dibuka kembali, Pak Sabdono tetap belum pulih dari shocknya. Dan kesaksian demi kesaksian yang memberatkannya semakin membuat posisinya terpojok.
"Kelakuan Pak Sabdono memang mencurigakan," ungkap Pak Anwar dalam kesaksiannya. "Dia tidak pernah menjenguk Rindang di rumah sakit ketika dia melahirkan. Dia menghilang ketika mayat Rindang ditemukan. dan dia mendadak mengajukan permohonan mengundurkan diri."
"Ketika melihat foto gadis yang membunuh diri itu, saya sudah curiga," Halimah memberikan kesaksiannya dengan mantap. tanpa memandang sekilas pun kepada Pak Sabdono yang menatap
nya dengan nanar. "Mengapa gadis itu mengirim an foto dirinya dan bayinya kepada suami saya" Foto itu dikirim hanya beberapa hari sebelum mayatnya ditemukan."
Pak Sabdono mendadak menggigil seperti diserang malaria. Foto yang sudah dibakar habis itu terbayang lagi di depan matanya. Rindang menggendong anaknya yang cacat. Matanya menatap getir. Wajahnya mendung disaput penderitaan.
"Suami saya mendadak mengajak pindah ke Surabaya. Di sana kami hidup tenang. Sampai suatu hari, dua bulan sesudah saya melahirkan anak bungsu saya, salah seorang muridnya datang ke rumah kami sambil menangis...."
Halimah menolak menyebutkan identitas murid itu. Karena pengadilan juga tidak mendesaknya untuk menyebutkan namanya. Yunisar boleh menarik napas lega.
"Saat itu saya tidak tahan lagi. Saya minta cerai. Karena saya punya perasaan, dia melakukan perbuatan cabul itu setiap kali saya sedang melahirkan."
Pak Sabdono teringat kembali kepada gadis itu. Kalau tidak salah, namanya Yunisar. Dia sangat cantik. Anggun. Dari keluarga berada
Dia mengancam Yunisar agar tidak membeberkan rahasia mereka... Dan tampaknya. Yunisar
sendiri tidak mau memberi aib pada keluarganya. Menjatuhkan martabat ayahnya.
Tetapi dua bulan kemudian dia datang ke rumahnva sambil menangis. Dia hamil. Dan saat itu Halimah ada di rumah....
Untung dia bisa mengusir anak itu sebelum Diinterogasi Halimah, Untung dia keburu membawa anak itu untuk menggugurkan kandungannya. Untung saat itu tidak ada yang tahu. Tidak ada
yang mencurigainya. Kecuali istrinya. Dan untung. Halimah tetap menutup mulutnya. Menyimpan rahasianya. Mungkin demi anak-anak mereka. Sampai hari ini...
Hari ini keadilan telah datang menjenguknya meskipun telah menghilang selama tiga puluh tahun! Dan dia tidak punya tempat untuk bersembunyi lagi!
LEMBAR PENUTUP "MEMERHATIKAN pasal-pasal dari undang-undang serta peraturan lain yang bersangkutan.
Mengadili: Menerima permohonan banding dari terdakwa Sabdono Lesmono tersebut.
"Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal sekian, nomor sekian, dalam perkara yang dibanding sedemikian rupa. sehingga berbunyi:
"Menyatakan terdakwa tersebut di atas terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana,
"Perbuatau cabul berulang-ulang dengan anak didiknya yang belum dewasa,
"Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama tiga tahun, menetapkan mencabut hak terdakwa sebagai guru dan pegawai negeri, serta menghukum terdakwa membayar biaya perkara sebesar..."
Dari kursinya Farida menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Dia sedang menyeka keringatnya. Wajahnya memucat. Bibirnya bergetar.
Dan seperti merasakan tatapan Farida, dia menoleh. Matanva menatap Farida dengan dingin. Ada sebongkah kebencian bersorot di sana.
Seharusnya dulu aku membunuhmu. Kalau dapat bicara, barangkali mata itu berkata demikian. Kamu bayi laknat, anak haram jadah yang tidak punya hak hidup!
Tetapi... bukankah dia sudah berusaha mengenyahkannya ketika bayi itu masih berada dalam kandungan" Berapa banyak obat peluntur yang sudah diberikannya kepada ibunya" Tapi dia tidak mati juga! Dia hanya lahir cacat!
Di seberang sana, Farida sedang memandang ayah kandungnya dengan getir
itukah ayahku, pikir Farida sedih. hanya Ibu yang tahu.
Pengadilan memang tidak minta kesaksian medis untuk membuktikan hubungan darah mereka. kesaksian beberapa orang yang diajukan penuntut umum dianggap telah cukup. hakim menganggap dakwaan primer telah cukup untuk menjatuhkan putusan banding.
Jadi sampai saat ini pun Farida tetap tidak tahu orang itu ayahnya atau bukan. Tetapi kalau benar orang itu ayahnya, dari tempatnya yang jauh di akhirat sana, Ibu telah datang untuk menolongnya menggiring laki-laki itu ke penjara. Di sana dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Perasaan sedih dan lega berkecamuk di hati Farida. Sedih karena telah menjebloskan ayah kandungnya sendiri ke penjara. Membuat ayahnya tampak begitu benci padanya. lega karena dia telah berhasil menjalankan tugasnya. Tetapi perasaan apa pun yang mengharu biru hatinya, satu hal yang pasti, dia tidak pernah menyesali keputusannya.
Ayah angkatnya datang memeluknya ketika sidang telah selesai. Pak Iksan tidak berkata apa-apa. Tetapi Farida tahu semua yang ingin dikatakannya.
"Sudah puas"" Sambil menuntun motornya, Sultan menghampiri Farida. dia baru saja mengantarkan ayahnya ke seberang jalan. Pak Iksan dan
istrinya pulang bersama Faisal. "Mau minta kasasi" Supaya dia dihukum dua belas tahun penjara""
Hukuman seumur hidup pun tidak dapat lagi mengembalikan Ibu dan tanganku, pikir Farida sedih. Tapi paling tidak, tak ada lagi sekolah yang mau menerima Pak Sabdono sebagai guru. Dia tidak mungkin lagi mengulangi perbuatan maksiatnya.
"Pulang" Atau ke kantor dulu" Ada sebuah kasus perkosaan lagi yang sedang menunggu uluran tangan emasmu."
"Sejak lahir saya tidak punya tangan. Apalagi yang terbuat dari emas."
"Tapi apa yang kamu lakukan lebih banyak daripada orang yang punya tangan."
"Saya berjanji akan melakukan lebih banyak lagi," bisik Farida sambil menengadah, menatap puncak atap pengadilan di seberang sana. Tidak ada patung malaikat keadilan di sana. Tetapi Farida tetap membayangkan, malaikat iru berada di hatinya.
"Naik ke motorku," Sultan menunjuk boncengan motornya dengan tegas. "Kuantarkan pulang."
Farida tertegun. tidak menyangka Sultan berani menyuruhnya, biasanya dia cuma berani mengajak.
"Terima kasih," katanya menggagap. "Ucapkan terima kasihmu nanti saja," balas Sultan mantap. "Sekarang naik ke boncengan motorku. Atau kuangkat kamu ke sana."
Selagi Farida melongo keheranan, Su
ltan mengulurkan tangannya untuk meraih pinggangnya. Tergesa-gesa Farida naik ke boncengan motornya tanpa membantah lagi.
Sambil tersenyum Sultan menghidupkan mesin motornya. Dan motor itu meluncur mulus ke jalan raya.
TAMAT tamat Vertical Run 10 Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong Memanah Burung Rajawali 31

Cari Blog Ini