Ceritasilat Novel Online

Dakwaan Dari Alam Baka 1

Dakwaan Dari Alam Baka Karya Mira W Bagian 1


Mira W. Dakwaan Dari Alam Baka Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
LEMBAR PEMBUKA "MENYATAKAN bahwa terdakwa Sabdono
Lesmono, terbukti dengan sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana, perbuatan
cabul dengan anak didiknya yang belum dewasa.
Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama tujuh bulan, dan menghukum terdakwa
untuk membayar ongkos perkara sebesar..."
Farida menghela napas panjang. Sebaglan tuntutannya memang berhasil. Lakilaki itu telah di-jatuhi hukuman. Tetapi hukumar yang tidak se-timpal atas dosanya.
Tujuh bulan penjara untuk perbuatan yang demikian menjijikkan! Memerkosa anak didiknya
yang masih di bawah umur. Seorang pelajar kelas
satu SMA yang baru berumur lima belas tahun!
Dan lelaki biadab itu hanya dihukum tujuh bulan!
PAdahal Farida menuntut hukuman dua belas
tahun penjara. Hukuman maksimal untuk kasus perkosaan menurut KUHP Pasal 285.
Tetapi hakim menganggap kasus ini bukan perkosaan. Hanya perbuatan cabul atas dasar mau sama mau. Bukan paksaan.
Karena itu terdakwa hanya divonis tujuh bulan
penjara. Tujuh bulan untuk perbuatan menghancurkan masa depan seorang gadis remaja berumur lima belas tahun!
Ah, haruskah anak perempuan Pak Hakim itu
sendiri yang jadi korban baru dia dapat ikut
merasakan pendeitaan seorang korban perkosaan"
Saat itu barangkali dia baru dapat menjatuhkan
hukuman yang lebih berat kepada si pelaku!
MEDAN 1958 SELURUH sekolah gempar. Seorang siswi kelas dua SMA ditemukan melahirkan di WC sekolah!
Kepala sekolah yang mendapat laporan dari
murid-murid yang melihat genangan air bercampur darah mengalir keluar dari celah-celah bawah pintu WC, langsung mendobrak pintu bersama
Pak Iksan, guru bahasa Indonesia.
Dan mereka menemukan Rindang meringkuk
ketakutan. Roknya yang putih berlumuran darah.
Wajahnya pucat pasi. Bibirnya gemetar. Lebih
banyak karena takut daripada karena menahan
sakit. Tetapi bukan pemandangan itu yang membuat
Ibu Guru Santi mendadak terkulai lemas dengan
perasaan mual. Seonggok daging berlumuran darah... Ya Tuhan! Daging itu... seorang bayi! Bayi kurus kecil tanpa lengan... terkapar tak berdosa di lantai wc...
Hanya Pak Iksan yang cukup tegar bertindak.
Sementara Pak Anwar dan Bu Santi hanya bisa termangu dilibat shock
Daya tahan bayi perempuan tanpa lengan yang
hanya memiliki bobot satu kilo lebih itu ternyata luar biasa.
Setelah mendapat pertolongan darurat di rumah sakit terdekat,
dia mulai memperlihat-kan tanda-tanda kehidupan.
Tangisnya yang lemah seolah-olah mengabarkan kehadirannya di tempat yang hampir menolak-nya.
"Dia selamat," Dokter Toyib berdesah kagum.
"Bayi ini hidup! Dia mampu bertahan! "
Tetapi sambutan keluarganya sungguh mengecewakan.
"Untuk apa dia dibiarkan hidup""
keluh ibu Rindang pahit. "Untuk apa Dokter menolongnya""
Dia hidup hanya untuk memberi aib keluarga!
Bayi tanpa lengan! Tanpa ayah!
"Kita harus memaksa Rindang mengatakan
siapa bapaknya!" geram ayah Rindang sengit. "Lelaki itu harus bertanggung jawab!"
"Apa gunanya" Aib ini takkan terhapus sekalipun ada lelaki yang menga
ku! Anak itu bukan cuma haram! Dia cacat! Buat apa dia dibiarkan
hidup kalau hanya untuk menyiksa kita""
"Keterlaluan," desis Dokter Toyib kepada perawatnya setelah orangtua Rindang berlalu.
"Kitaberjuang untuk menyelamatkan bayi itu. Bukannya berterima kasih mereka malah menggerutu!"
"Bukan hanya menggerutu, Dok," dumal Suster Tiar kesal.
"Mereka menyumpahi cucunya sendiri! Berharap agar anak itu mati!"
"Sekarang mereka pasti sedang memaksa anaknya mengatakan siapa bapak bayi itu!"
Tetapi Rindang tidak berani mengatakan siapa
ayah anaknya. Lagi pula... siapa yang percaya"
Pak Sabdono guru olahraga yang disegani. Terkenal ganteng. Simpatik. Ramah. Tapi tidak genit. Berwibawa. Namun tidak galak.
Umurnya dua puluh empat tahun. Baru satu
setengah tahun menikah. Dan mempunyai seorang anak perempuan berumur tujuh bulan.
Nah, siapa yang percaya" Siapa yang percaya kalau suami dan bapak yang berbahagia itu masihtega menodai muridnya"
Teman-temannya memang tahu Rindang merupakan anak emas Pak Sabdono. Nilai olahra
gan ya selalu delapan, meskipun dia boleh tidak ikut
pelajaran olahraga kapan saja dia mau. Tetapi
siapa yang tahu betapa intimnya hubungan mereka akhir-akhir ini"
Di sekolah, sikap Pak Sabdono selalu wajar.
Kepada siapa pun dia memang selalu ramah.
Bukan hanya kepada Rindang.
Sebaliknya sikap Rindang pun tidak berlebihan.
Dia memang agak manja. Tetapi kemanjaan itu
diperlihatkannya kepada semua guru dan teman.
Laki-laki ataupun perempuan. Tua ataupun muda.
Dan Rindang memang punya modal untukitu. Dia cantik.
Pintar pula. Tidak heran kalau dia terpilih menjadi ketua kelas.
Dan hubungannya dengan Pak Sabdono tentu saja bertambah dekat.
Mereka sering terlihat bersama-sama mendekorasi aula kalau ada perayaan di sekolah. Sering bersama pula sebagai panitia bila ada perlombaan
olahraga di sekolah. Pak Sabdono juga sering mengantarkan Rindang pulang kalau kegiatan itu menyita waktu
mereka sampai malam. Dia punya motor. Dan
rumah mereka searah. Jadi apa salahnya kalau
Rindang membonceng motor gurunya" Tidak ada
yang curiga, kan" "Kamu tidak mungkin hamil,"
kata Pak Sab-dono mantap ketika Rindang akhirnya memberanikan diri untuk mengadu.
Sudah dua bulan Rindang tidak mendapat
haid. Padahal biasanya haidnya selalu lancar. Tidak pernah terlambat datang. Apalagi absen. Dan ingatannya kembali ke rumah gurunya.
Ketika suatu malam dia diantarkan pulang.
Malam itu, berbeda dengan malam-malam sebelumnya, Pak Sabdono tidak langsung mengantarkannya pulang. Katanya dia harus menengok rumahnya dulu. Saat itu istrinya tidak ada di rumah karena sedang melahirkan. Jadi dia khawatir kalau
ada pencuri masuk ke rumahnya yang kosong.
Tentu saja itu hanya alasan. Karena sesampainya di rumah,
Pak Sabdono tidak memeriksa pintu maupun jendela. Dia langsung mengajak
Rindang mengobrol di ruang tamu. Dan bertambah malam,
obrolan mereka bertambah hangat.
Akhimya bukan hanya kata-katanya saja yang semakin hangat. Belaian tangannya pun semakin hangat.
Saat iru Rindang merasa sangat bahagia. Dia
merasa tersanjung. Merasa dimanja. Merasa dikasihi. Tetapi sekarang... apa tanggapan Pak Sab-dono"
"Kamu tidak mungkin hamil. Kita tidak melakukan apa-apa."
Rindang jadi bingung. Apa sebenarnya yang
harus dilakukan oleh seorang laki-Iaki dan seorang perempuan supaya hamil" Tidak cukupkah seperti apa yang mereka lakukan malam itu"
Mengapa gurunya begitu mantap" Begitu yakin"
Tapi Pak Sabdono seorang guru. Seorang
suami. Seorang bapak Dia pasti serba tahu. Pengetahuannya jauh di atas muridnya.
Jadi dia pasti benar. Rindang tidak bakal hamil!
Tetapi... mengapa perut ini kian hari kian membesar juga" Dan menstruasinya tak kunjung datang"
Pak Sabdono tidak menyuruhnya berobat. Tidak menganjurkan memeriksakan diri ke dokter.
Kelihatannya dia menganggap enteng saja.
Dia hanya memberikan dua macam obat.
Tablet-tablet yang dikatakannya vitamin.
"Supaya haidmu lancar,"
katanya tenang. Tetapi menjelang bulan kelima, perutnya semakin
membukit. Dan haidnya belum datang juga.
Rindang semakin gelisah. Dia mulai panik. Bingung menyembunyikan perutnya.
Di rumah, dia dapat memakai daster longgar.
Orangtuanya terlalu sibuk untuk memerhatikan-nya. Ayah dan ibunya sama-sama sibuk berdagang di pasar.
Saudara dia tidak punya. jadi di rumah dia aman.
Tetapi di sekolah" Bagaimana menyembunyikan
perutnya dari tatapan curiga gurunya"
Teman-temannya" Rindang sudah melakukan apa saja untuk me-ngeluarkan haidnya. Dia melompat-Iompat.
Me-ngayuh sepeda. Mencangkul. Memompa.
Mengangkat benda-benda berat. Itu semua atas nasihat
Pak Sabdono. Tetapi haidnya tidak muncul juga,Akhirnya Rindang putus asa. Dia mencari seorang dokter. Yang jauh dari rumah dan sekolahnya. Tentu saja dengan harapan dokter itu tidak mengenalnya.
Dan kata-kata dokter itu hampir membuatnya pingsan.
"Adik hamil," katanya mantap. "Dua puluh empat minggu.
Hamil! Ya Tuhan! Dia mengandung bayi Pak
Sabdono! Dan gurunya yang biasanya selalu bersikap ramah dan baik itu pasti tidak mau bertanggung jawab!
"Kamu tidak mungkin hamil," katanya mantap.
"Kita tidak melakukan apa-apa."
Jadi tidak mungkin memaksanya untuk mengakui anaknya. Bukankah
menurut pendapatnya mereka tidak melakukan apa-apa" Padahal umur
kehamilannya cocok dengan saat mereka melakukan hubungan intim di rumah Pak Sabdono....
Dengan panik Rindang memohon agar kandungannya digugurkan.
Tetapi dokter itu menolak
"Kandunganmu memang kelihatan kecil. Tidak
sesuai dengan umur kehamilan. Tapi sudah terlambat untuk di
gugurkan." Sejak itu Rindang tidak berani lagi muncul di sekolah.
Dari rumah dia memang pergi setiaphari.
Tetapi bukan ke sekolah. Kalaupun dia nekat ke sana pagi ini,
dia hanya berani menunggu di kejauhan. Mencari kesempatan untuk menemui Pak Sabdono.
Ketika melihat motornya datang dari kejauhan,
Rindang melompat untuk menghadangnya.
Tetapi melihat Rindang, Pak Sabdono malah membelokkan motornya. Dan cepat-cepat memiiih jalan lain untuk menghindar.
Dengan putus asa Rindang mengejarnya dan memanggil-manggil gurunya. Tetapi Pak Sabdono
malah makin cepat memacu motornya.
Dia tidak mau menoleh. Apalagi berhenti.
Seorang pengemudi mobil yang melihat seorang gadis berlari-lari mengejar se
buah motor, sempat memburu Pak Sabdono. Dan memaksanya
untuk berhenti. "Bapak nabrak anak itu, ya"" bentak penge-mudi itu jengkel.
"Jangan lari! Bapak harus bertanggung jawab!"
"Dia murid saya!" balas Pak Sabdono sama kesalnya.
"Tidak usah ikut campur!"
Ketika mobil itu telah berlalu, baru Pak Sabdono menoleh ke arah Rindang yang sudah tiba di dekatnya dengan napas tersengal-sengal dan keringat bercucuran.
"Dari mana saja kamu"" tegurnya marah.
"Mengapa sudah sebulan tidak sekolah""
"Bagaimana saya harus sekolah dengan membawa perut ini"" balas Rindang separo menangis.
"Saya sudah hamil tujuh bulan, Pak! Bapak jahat!
Bapak bilang saya pasti tidak hamil!"
Karena mereka mulai menarik perhatian orang-orang
di jalan kecil itu, terpaksa Pak Sabdono memboncengkan Rindang meninggalkan tempat
itu. "Orangtuamu belum tahu"" tanya Pak Sabdono
datar Nada suaranya kering. Berbeda sekali dengan dulu. Dulu dia selalu ramah.
"Bagaimana saya harus memberitahu mereka""
"Obat-obat yang saya berikan selalu diminum"
Tiap hari"" Saat itu barulah Rindang sadar, obat apa yang
dibeikan Pak Sabdono. Obat itu pasti bukan
vitamin! "Bagaimana, Pak"" tangis Rindang ketakutan.
"Saya harus berbuat apa""
Tetapi Pak Sabdono juga sama takutnya.
Belum pernah Rindang melihat guru yang sangat
dikaguminya itu bersikap seperti ini.
Sekarang mereka tidak ada bedanya dengan
sepasang ikan yang terperangkap dalam jaia.
Tidak ada guru, tidak ada murid. Tidak ada
suami, tidak ada gadis. Tidak ada bapak, tidak ada anak.
Meeka sama bingungnya. Sama takutnya. Saat
itu hancurlah respek Rindang terhadap gurunya.
Ternyata dia cuma manusia biasa! Tidak ada bedanya dengan dirinya!
"Bapak punya anak. Dang," suara Pak Sabdono
sudah sampai ke nada memohon. Mengiba-iba.
"Punya istri. Tak mungkin mengawinimu. Cobalah mengerti keadaan Bapak."
Tetapi mengapa hanya aku yang harus me-ngerti keadaannya, pikir Rindang getir ketika dia sedang melangkah gundah ke sekolah. Tidakkah
dia juga harus mengerti kesulitanku"
Kepala sekolah telah mengirim surat kepada
ayahnya. Rindang sudah sebulan tidak masuk sekolah. Dan Ayah sangat marah.
"Awas kalau kau berani bolos lagi!" geram ayah
Rindang gusar. "Kuusir kau dari rumah ini!"
Rindang takut sekali. Diusir dari rumah sung-guh malapetaka yang mengerikan! Ke mana dia harus pergi"
Tetapi datang ke sekolah sama menakutkannya.
Apa yang harus dijawabnya kalau teman-teman
menanyakan perutnya"
"Besok Bapak bawa kamu ke dokter," bujuk
Pak Sabdono kewalahan. Sekadar supaya Rindang
mau melepaskannya pergi. Dan tidak membuntutinya lagi. Aduh, anak ini benar-benar merepot-kan!
"Dokter tidak mau menggugurkan kandungan
saya, Pak!" rintih Rindang putus asa. "Katanya
kehamilan saya sudah terlalu besar. Buat apa Bapak bawa saya ke dokter lagi""
"Bapak punya kenalan" Rindang tidak tahu Pak Sabdono berbohong atau tidak. Apa bedanya
jagi" Kalaupun dia berkata benar, Rindang sudah tidak memercayainya!
"Dia pasti bisa menolongmu. Sekarang biarkan Bapak pergi. Jangan mengikuti Bapak lagi. Nanti orang-orang curiga."
Nanti orang-orang curiga.
Hanya itu yang penting baginya sekarang.
Nama baiknya. Kehormatannya. Keluarganya.
Yang lain tidak penting! Persetan dengan Rindang! Persetan dengan kehamiiannya!
Begitu Rindang turun dari motornya, cepat-cepat Pak Sabdono kabur ke tempat lain. Supayamereka idak terlihat bersama-sama ke sekolah.
Kalau perlu, hari ini dia bolos saja. Tidak usah mengajar. Supaya tidak usah menyaksikan kegaduhan di sekolah....
Kehamilan Rindang sudah tidak mungkin ditutupi lagi.
Teman-temannya pasti tahu. Guru-gurunya tahu. Kepala sekolah tahu.
Dan kalau Rindang dipanggil menghadap, Pak Sabdono tidak ingin berada di sana...
Dengan sedih Rindang melangkah gontai memasuki
pintu gerbang sekolahnya.
Hari masih Pagi Tetapi Nindya sudah datang. Sahabatnya
yang cerewet itu sudah menunggu di depan kelas.
Dan mulutnya Pasti tidak bisa disumbat!
Tiba-tiba saja Rindang merasa perutnya mulas
didera rasa takut. Bagaimana menyembunyikan
kehamiiannya dari mata Nindya yang tajam"
Tas yang didekapnya erat-erat di depan perutnya tidak mungkin lagi menyembunyikan perutnya yang sudah membukit. Sebentar lagi Nindya
pasti tahu. Sebentar lagi teman-temannya tahu.
Semua orang tahu... dia hamil!
Bergegas Rindang berlari ke WC. Karena ter-buru-buru menghindari pandangan Nindya, dia
menjadi kurang hati-hati. Tidak melihat lantai
yang belum kering bekas dipel. Dia tergelincir
dan jatuh terduduk. Rasa sakit menikam pinggulnya. Perutnya te-rasa lebih sakit lagi seperti hendak buang air besar. Pasti akibat rasa takutnya. Pasti


Dakwaan Dari Alam Baka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tergopoh-gopoh Rindang merayap bangun.
Berdiri dengan limbung dan masuk ke dalam WC,
Tetapi yang dikeluarkannya di sana benar-benar sesuatu yang di luar dugaan...
darah! Da-rah! Dan bukan cuma itu saja... bukan cuma darah...
BAB II "TIDAK ingin melihat anaknya, Dik"" tegur
Suster Ani, satu-satunya perawat yang selalu bersikap ramah terhadap Rindang.
Perawat yang lain kesal pada sikap orangtuanya.
Ada juga yang jijik kepada Rindang karena melahirkan anak gelap.
Tapi Suster Ani berbeda. Baginya setiap pasien sama berharganya.
Harus dirawat dan dilayani dengan baik.
Rindang menatap Suster Ani dengan tatapan
ngeri. "Kenapa"" tanya Suster Ani lembut. "Takut
melihat anakmu sendiri" Dia manis kok.
Meskipun cacat. Sekarang masih di dalam inkubator.
Kan lahir prematur."
Rindang memejamkan matanya rapat-rapat
Seperti ingin mengusir bayangan anaknya. Anak
yang hanya sekali pernah dilihatnya. Anak tanpa
lengan.... Itukah hasil perbuatannya" Dia ingin mengenyahkan anak itu. Ingin membunuhnya! Tapi
dia tidak mati! Dia hidup... meski cacat!
Ibunyalah yang membuatnya cacat. Ibunya
yang ingin mengenyahkannya. Membunuhnya!
Bayi itu telah diteror. Diusik. Diganggu. Diusir. Tapi dia tidak mau pergi juga. Dia bertahan dalam rahim ibunya. Meski harus lahir tanpa lengan, Itukah akibat ulah ibunya" Akibat obat-obatan yang diberikan ayahnya"
Ya Tuhan, betapa mahal harga yang harus dibayarnya untuk sebuah kehidupan yang tak pernah dimintanya. Betapa mahal harga helaan napas yang harus ditebusnya!
"Daya tahannya luar biasa," komentar Dokter Toyib kagum. "Kelak dia akan menjadi gadis penyandang cacat yang hebat!"
Tapi... apa hebatnya seorang penyandang cacat
bagaimanapun kuatnya dia"
"Kenapa dia tidak dibiarkan mati saja"" kata-kata ibunya kembali menikam telinga dan hati Rindang. "Buat apa dia hidup kalau hanya untuk
memberi malu keluarganya" Tidak punya lengan!
Tidak punya ayah!" Tidak punya lengan. Tidak punya ayah.
Kata-kara itu terus-menerus menggedor gendang telinganya. Tidak punya lengan. Tidak punya ayah. Tapi dia masih punya ibu! Dia masih
punya seseorang.... Tiba-iba saja ada keinginan yang mahakuat di
hati Rindang untuk melindungi anaknya.
"Kenapa dia tidak dibiarkan mati saja""
Tapi... mengapa anaknya tidak boleh hidup"
Dia cacat. Dia haram. Tapi bukan berarti dia tidak boleh hidup!
Jika Tuhan sudah memberinya kehidupan, kata
siapa manusia boleh mencabutnya" Tidak seorang
pun berhak melarangnya hidup!
Dia telah kehilangan kedua belah lengannya.
Tetapi dia tidak kehilangan semangatnya untuk
bertahan dan hidup! Rindang harus membantu anaknya untuk tetap
hidup. Barangkal i dengan begitu dia dapat menebus dosanya.
Menebus kesalahannya karena telah berusaha membunuhnya.
Telah menyebabkan anaknya cacat!
"Membawanya pulang"" geram ayah Rindang gusar. Belum cukup kau beri malu orangtuamu"
"Tapi dia harus dikemanakan, Ayah"" keluh Rindang getir.
"Dia sudah ada! Dan dia ada karena perbuatan saya! Dia harus disingkirkan ke
mana lagi"" "Barangkali ada orang yang mau mengadopsi anakmu."
"Siapa yang mau mengadopsi anak cacat""
"Kalau begitu buat apa kau bawa pulang dia""
"Sepanjang hidupnya saya telah berusaha menyingkirkannya. Ayah. Sekarang saya ingin memilikinya. Karena di dunia ini, dia hanya punya
saya. Ibu kandungnya!"
"Memiliki seorang anak haram"" belalak ibunya
kesal. "Anak yang tak punya ayah" Cacat pula!
Tidak, Rindang. Sudah cukup kau corengkan
arang di kening orangtuamu!"
"Harus saya buang ke mana anak saya, Bu""
desah Rindang putus asa. "Kau boleh memiliki anak itu kalau ayahnya
mau mengawinimu. Kalau tidak, kau boleh pilih.
Tinggalkan anak itu. Atau orangtuamu."
"Bapak punya istri. Punya anak." Terbayang
kembali wajah Pak Sabdono yang mengerut ketakutan. "Cobalah mengerti keadaan Bapak...."
"Kenapa menemui saya di sini""
keluh Pak Sab-dono gelisah. Matanya berkeliaran resah ke sekeliling mereka.
Tempat parkir motor di samping gedung sekolah sudah mulai sepi. Tapi masih ada beberapa orang guru yang belum mengambil motor atau
sepeda mereka. Sebentar lagi mereka pasti kemari.
Apa kata mereka kalau melihat rekannya berbincang-bincang dengan Rindang di tempat sepi ini"
Akhir-akhir ini nama Rindang memang sudah
rusak berat. Dia dijauhi semua orang seperi wabah.
"Saya perlu uang, Pak."
"Uang"" "Untuk merawat anak kita."
"Rindang!" cetus Pak Sabdono antara kaget dan ngeri,
seolah-oiah dia baru saja mengucapkan kata-kata berbahaya yang akan menggiringnya ke
penjara. "Jangan bicara seperti itu!"
"Bukan cuma Bapak yang takut" geram Rindang gemas.
"Saya juga takut. Tapi saya tidak bisa sembunyi seperti Bapak! Saya harus merawat
anak kita! Dan saya perlu uang!"
"Kembalilah pada orangtuamu!" pinta Pak Sabdono memelas. Separo memohon.
"Saya ingin kembali, Pak," desah Rindang menahan tangis.
"Tapi jalan untuk kembali telah tertutup!" Air mata Rindang mengalir ke pipinya.
"Dan semua itu gara-gara Bapak!"
"Mari kita bicara di tempat lain, Rindang,"
pinta Pak Sabdono resah sambil lekas-lekas mendorong motornya. Ekor matanya sudah menangkap bayangan Pak Iksan di kejauhan. Dia pasti
kemari untuk mengambil sepedanya.
"Saya sudah tidak ingin bicara, Pak. Tidak ada
gunanya lagi. Saya sudah tahu apa yang ingin
Bapak katakan." "Kita jangan kelihatan orang berduaan di sini. Nanti mereka curiga."
"Karena itu Bapak tidak pernah menengok saya di rumah sakit" Tidak mau melihat anak
Bapak"" "Kamu tidak mau mengacaukan rumah tangga saya, kan""
desis Pak Sabdono jengkel. "Menghancurkan perkawinan saya""
"Bapak tidak merasa sudah menghancurkan hidup saya""
"Jadi apa maumu""
"Saya cuma minta uang."
"Kamu mau memeras saya""
"Memeraskah namanya minta uang untuk membesarkan anak Bapak sendiri""
"Bapak tidak bisa memberimu uang. Lebih baik kamu pulang saja."
"Saya bukan pengemis, Pak! Saya bisa merusak
nama Bapak! Tapi saya tidak mau. Saya cuma
menuntut sedikit tanggung jawab Bapak!"
"Jangan mendesak saya, Rindang! Saya tidak
bisa diancam!" Bergegas Pak Sabdono meninggalkan Rindang.
Tetapi Rindang masih berjuang untuk memperoleh sisa-sisa haknya yang terakhir.
Sambil berteriak-teriak dia mengejar gurunya.
Tapi karena terlalu tergesa-gesa, dia tergelincir
dan jatuh terduduk. Seseorang mengulurkan tangannya. Ketika Rindang mengangkat mukanya,
dia melihat Pak Iksan tegak di hadapannya.
Saat itu motor Pak Sabdono telah jauh meninggalkannya.
BAB III PAK IKSAN cuma seorang guru SMA.
Lelaki berpenampilan sederhana berumur tiga puluh
lima tahun yang ditugasi mengajar bahasa Indonesia. Dia cuma lulusan sekolah pendidikan guru. Bukan lulusan fakultas. Tidak punya gelar sarjana.
Tetapi dia seorang guru yang baik. Sikapnya tegas. Disiplinnya tinggi.
Tidak pernah memanjakan murid. Tetapi tidak termasuk guru yang galak. Dan selalu si
ap mendengarkan keluhan murid-muridnya.
Cara mengajarnya enak Sistematis. Tapi tidak membosankan.
Jadi biarpun dia tidak menarik secara isik,
murid-muridnya menyukainya. Karena di balik penampilannya yang sederhana,
mereka menemukan sepotong hati yang bersih dan tulus.
Pak Iksan jarang datang terlambat. Tidak pernah membolos
untuk alasan apa pun. Dan tidak
pernah terlibat hubungan mencurigakan dengan
murid wanitanya, kendati istinya sudah meninggal enam tahun yang lalu.
Setelah menduda, Pak Iksan tinggal seorang
diri, karena dia tidak dikaruniai anak. Tidak seorang pun menyangkal, Pak Iksan sering tampak kesepian. Rekan-rekannya malah menganggap dia
sengaja menyibukkan diri dengan pekerjaan untuk mengusir kesepiannya. Tidak heran kalau dia terkenal sebagai guru yang paling rajin di sekolahnya.
Pak Iksan tidak pernah memanjakan Rindang.
Tidak pernah menganakemaskannya. Tetapi ketika Rindang tertimpa musibah. dialah guru yang paling menaruh perhatian.
Ketika melihat Rindang mengejar-ngejar Pak Sabdono,
sebuah perasaan aneh menyelinap ke hatinya.
Dan perasaan itu tidak mau hilang juga
meskipun Rindang tetap tidak mau mengaku
mengapa dia justru mengejar-ngejar Pak Sabdono.
Bukan guru yang lain. Pak Iksan tahu bagaimana dekatnya hubungan anak didiknya yang satu ini dengan guru olahraganya. Karena itu dia merasa heran ketika Pak
Sabdono tidak pernah menengok Rindang di rumah sakit.
Mengapa Pak Sabdono enggan menjenguk murid kesayangannya" Mengapa dia seolah-olah malah menyingkir" Menjauhkan diri" Apakah...ada
hubungannya dengan bayi itu" Diakah yang harus bertanggung jawab"
"Kamu tidak usah mengatakan siapa laki-laki
itu kalau kamu tidak mau mengatakannya, Rindang," kata Pak Iksan sambil menghela napas
panjang ketika dia membawa Rindang ke rumahnya.
"Bapak tidak akan memaksa. Tidak ada
orang yang berhak memaksamu."
"Ayah selalu mendesak saya untuk mengatakan
siapa laki-laki itu, Pak," desah Rindang lirih.
"Jika kamu tidak mau mengatakan siapa laki-laki itu, kamu harus siap mempertanggungjawabkan sendiri perbuatanmu. Anak itu akan menjadi
bebanmu. Sanggupkah kamu menanggungnya seorang diri""
"Saya ingin merawatnya, Pak," air mata Rindang meleleh tak tertahankan lagi. "Tapi Ayah malah mengusir saya!"
"Jangan menyalahkan ayahmu. Anak itu memang bukan tanggung jawabnya."
"Ayah saya ingin mengenyahkan anak itu! Tapi kemana saya
harus membuangnya" Seumur hidupnya saya telah berusaha melenyapkannya.
Tapi dia menempel terus pada saya!"
"Dia anakmu, Rindang! Dia ada karena perbuatanmu!"
"Saya merasa berdosa padanya, Pak Sayalah yang telah
membuat dia cacat! Saya ingin menebus dosa saya
dengan merawatnya. Melindunginya. Tapi saya tidak punya rumah. Tidak punya
uang. Tidak punya pekerjaan."
"Di mana sekarang bayimu""
"Masih di rumah sakit, Pak. Dokter melarang
saya membawanya pulang sampai dia cukup kuat
untuk hidup di luar inkubator."
"Jika kamu mau, bawalah dia nanti ke rumah
Bapak Untuk sementara, kamu dan anakmu
dapat tinggal di sini. Bapak juga punya sedikit
tabungan untuk melunasi biaya perawatan anakmu.
Rindang menatap Pak Iksan dengan tatapan
tidak percaya. Dia seperti mendengar sesuatu
yang tidak disangka-sangka. Yang tidak masuk akal!
"Semuanya terserah kamu," sambung Pak Iksan
sabar keika dilihatnya Rindang hanya tertegun bengong.
"Pikirkan saja dulu."
"Bapak sudi menolong orang seperti saya""
desis Rindang bingung. "Pada saat semua orang
menjauhi saya seperti sampah""
"Bapak cuma ingin menolongmu. Memberi
kamu dan anakmu yang malang itu tempat berteduh. Tapi kamu juga harus tahu risikonya."
"Risiko apa, Pak""
"Bapak seorang duda. Tidak punya anak. Tidak
punya siapa-siapa. Mungkin kita bakal memancing gunjingan orang. Apa kamu tahan""
"Apa Bapak tahan""
Pak Iksan tersenyum lugu. Dalam senyum itu,
Rindang membaca ketulusan hati yang tidak ter-nilai. Dan dia merasa sangat terharu.
"Untuk menolong orang, kadang-kadang kita perlu berkorban,"
sahut Pak Iksan tulus. "Tuhan
tahu Bapak benar-benar hanya ingin menolongmu. Kepada-Nya-lah kita wajib mempertanggung-jawabkan perbuatan kita di dunia."
Ternyata gunjingan orang muncul lebih
hebat dan lebih kejam dari yang mereka sangka.
Pak Iksan bukan hanya digunjingkan karena
menampung seorang wanita yang bukan istrinya
di rumahnya. Dia malah dituduh sebagai bapak
anak haram muridnya! "Tadi Pak Iksan dipanggil Pak Anwar,"
kata Nindya ketika kebetulan mereka bertemu di warung dekat
rumah. "Katanya dia ditanya-tanya soal kamu."
"Pak Iksan tahu apa" Dia hanya ingin menolong saya pada saat semua orang sudah memalingkan muka karena menganggap saya sampah busuk!"
"Kasihan Pak Iksan. Gara-gara kamu, dia jadi
korban. Semua orang bertanya padanya."
"Bertanya apa" Dia tidak tahu apa-apa! Mereka
harus bertanya pada saya!"
"Kamu kan tidak mau bilang siapa bapak anakmu! Gara-gara kamu, Pak Iksan jadi korban! Dia yang dituduh menghamili kamu."
Ya Tuhan, keluh Rindang getir. Mengapa manusia sekejam itu" Mereka tidak mau menolong sesamanya yang mendapat kesusahan. Mengapa
mereka masih sampai hati mencerca orang yang
dengan tulus ikhlas ingin menolong"
"Bapak ingin tahu siapa ayah anak saya""
tanya Rindang gemas ketika keesokan paginya dia muncul di sekolah dan minta izin menemui kepala sekolah.
Dia tidak menghiraukan tatapan penuh penghinaan dan ejekan menyakitkan yang dialamatkan teman-temannya kepadanya. Rasa malunya sudah
hilang. Berganti dengan rasa marah atas ketidak adilan yang menimpa Pak Iksan.
Pak Anwar terkejut sekali melihat kedatangannya. Tetapi dia tidak menolak permintaan Rindang untuk bertemu. Dia memang sudah menantikan pengakuan Rindang. Ingin tahu siapa
yang berani merusak nama baik sekolah mereka.
"Kamu sudah siap mengatakannya"" tanya Pak
Anwar dingin. "Mengapa baru sekarang""
"Karena seorang guru yang tidak bersalah telah
menjadi korban" sahut Rindang kesal. "Saya
ingin membersihkan nama Pak Iksan. Beliau tidak bersalah!"
"Tidak perlu, Rindang."
Pak Anwar dan Rindang sama-sama menoleh
ke pintu. Pak Iksan tegak di sana. Menatap Rindang dengan tenang.
Sekali lihat saja, Pak Iksan tahu, Rindang serius. Dia benar-benar akan mengatakan siapa ayah anaknya. Untuk membersihkan nama orang
yang telah menolongnya. Pak Iksan juga tahu nama siapa yang akan disebut Rindang. Meskipun Rindang belum pernah mengatakannya. naluri Pak Iksan telah dapat
menduga siapa laki-laki itu.
"Kamu tidak perlu menyebut nama laki-laki itu untuk membela Bapak."
"Tapi tidak adil, Pak!" protes Rindang gemas.
"Bapak idak bersalah! Ketika saya dalam kesusahan, cuma Bapak yang mau menolong saya! Apa hak mereka menuduh Bapak sekejam itu""
"Tidak ada yang menuduh Bapak,"
sahut Pak Iksan sabar. Dia menarik sebuah kursi dan duduk di samping Rindang.
"Pak Anwar hanya bertanya."
"Kenapa Bapak sudi menampung saya" Apa
hubungan Bapak dengan anak gelap saya" Itu
yang ditanyakan Pak Anwar, kan""
"Bapak ingin bicara dengan kamu," sela Pak Anwar datar.
"Kenapa baru sekarang Bapak mau bicara dengan saya""
"Karena kamu tidak pernah mau membicarakannya."


Dakwaan Dari Alam Baka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Buat apa saya bicara dengan orang yang menghina saya""
"Itu hanya perasaanmu. Karena kamu merasa bersalah."
"Saya memang bersalah! Tapi saya tidak mau
membuat kesalahan yang kedua! Saya ingin merawat anak saya. Tapi tidak ada tempat
untuk kami!" "Rumah saya selalu terbuka untuk kalian berdua, Rindang," cetus Pak Iksan lembut.
"Apapun pendapat orang, saya tidak akan pernah jera menolongmu."
Dua hari kemudian, Pak Anwar memerlukan
datang ke rumah Pak Iksan. Ketika melihat bayi
tanpa lengan itu terlelap dalam gendongan ibunya, Pak Anwar tidak dapat mengusir rasa iba-nya.
"Jika kamu mau, saya bersedia menampung kalian berdua di rumah saya,"
katanya setelah menghela napas panjang."
Istri dan anak-anak saya sudah setuju. Kamu boleh tinggal sementara
waktu sampai kamu mampu hidup sendiri."
"Tidak," bantah Rindang tegas. "Saya mau tetap tinggal di sini.
Di sinilah pertama kalinya anak saya merasa punya tempat yang tidak menolaknya.
"Orangtua Rindang sendiri tidak mau menerima anak itu.
Ayah Rindang tetap pada ancamannya.Jika Rindang berkeras membawa anaknya puiang,
dia boleh mencari tempat tinggal lain. Tidak boleh pulang ke rumah ayahnya.
Rindang sudah berlutut di depan orangtuanya
sambil menggendong anakny
a yang cacat. Memohon belas kasihan mereka. Tetapi rupanya
martabat lebih inggi harganya dari kasih sayang.
Bahkan dari sepercik rasa iba melihat anak yang
tidak diinginkan itu terlelap tak berdaya dalam
gendongan ibunya. "Saya harus pergi ke mana""
tangis Rindang pilu. Dia benar-benar sudah putus asa. Umurnya
belum genap delapan belas tahun. Tidak punya
keluarga. Tidak punya pekerjaan. Tidak punya
tempat tinggal. Dan dia punya seorang bayi cacat. Ke mana dia harus pergi"
Sudah terlintas di benaknya untuk membawa
bayinya membunuh diri. Tetapi Pak Iksan muncul pada saat yang tepat. Hatinya yang mulia tersentuh melihat nasib muridnya yang malang itu.
Rindang memang bersalah. Tetapi tak adakah
jalan kembali bagi seorang pendosa"
Dan bukan cuma Rindang. Dia punya seorang
bayi yang tidak berdosa. Bayi malang yang
sudah ditolak sejak masih dalam kandungan ibunya.
Pak Iksan membawa mereka ke rumahnya
yang sempit. Rumah sederhana yang untuk pertama kalinya menawarkan pada bayi itu sebuah tempat yang disebut rumah. Dan pada saat kedamaian mulai menjamahnya, badai menerpa dari luar.
Gunjingan demi gunjingan melanda ketenangan
mereka. Pak Iksan dapat tidak mengacuhkan gunjingan itu. Kecuali ketika kepala sekolah memanggilnya. Sekarang bukan hanya nama baiknya yang
dipertaruhkan. Sekaligus pekerjaannya.
Pak Iksan menghela napas berat. Ditatapnya
bayi dalam gendongan Rindang.
Sembilan bulan mereka tinggal bersama. Selama itu, mereka telah menjadi bagian dari hidupnya.
Tangis bayi cacat itu telah menyemarakkan rumahnya yang sepi. Tawanya yang lucu mengusir kekosongan hidup Pak Iksan. Dia tidak merasa
bosan lagi hidup sendirian di rumah.
Sekarang dia harus kehilangan mereka. Harus
kembali ke dunianya yang sepi. Hanya karena dia
seorang duda dan mereka bukan keluarganya!
"Pak Anwar menawarkan yang terbaik untukmu, Rindang,"
kata Pak Iksan berat. "Jangan salah mengerti. Beliau hanya ingin menolong."
"Tapi kami ingin tetap di sini, Pak! Biarlah saya
jadi pembantu, asal tetap boleh tinggal di sini!"
"Untuk tinggal di sini kamu tidak perlu jadi pembantu.
Bapak tidak keberatan kamu dan anakmu
tetap tinggal di rumah ini. Sampai kapanpun."
"Kalau begitu jangan usir saya, Pak!"
"Pikirkan baik-baik tawaran saya, Rindang,"
potong Pak Anwar tawar. "Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali."
Dengan agak tersinggung Pak Anwar meninggalkan rumah Pak Iksan. Dia menyimpan kekesalannya. Bekas muridnya itu benar-benar tidak
tahu diri! Anugerah apa lagi yang diharapkannya"
Dia boleh tinggal di rumahnya sampai kapan
pun. Bersama anak haramnya yang cacat itu. Tapi tawarannya ditolak mentah-mentah!
"Kita tidak mungkin tinggal bersama, Rindang," desah Pak Iksan murung.
"Orang baik-baik di luar sana keberatan kalau seorang duda
seperti Bapak tinggal serumah dengan seorang
wanita yang bukan istrinya...."
"Apa yang dilakukan orang baik-baik itu ketika saya membutuhkan atap untuk berteduh bersama bayi saya, Pak""
"Jangan sesinis itu, Rindang. Tidak baik. Masyarakat kita memang masih kuat terikat oleh adat-istiadat.
Mau tidak mau kita harus patuh kalau ingin menjadi anggota masyarakat yang baik."
"Saya memang bukan orang baik-baik, Pak.
Saya orang hina. Punya anak gelap. Kalau saya
keluar dari rumah ini pun, mereka tetap menganggap saya bukan perempuan baik-baik. Apa
bedanya lagi bagi saya" Ke mana pun saya pergi,
cap itu sudah melekat pada saya. Dan semua
oang tetap menghina saya."
"Setiap orang sekali dalam hidupnya bisa berbuat salah. Tapi itu tidak berarti kita harus terus berbuat salah."
"Bapak anggap kita bersalah karena tinggal serumah""
"Kita memang salah karena belum menikah."
"Bapak ingin saya pergi""
"Kalau boleh memilih, Bapak ingin kamu dan anakmu tetap tinggal di sini."
"Bapak akan kehilangan pekerjaan kalau saya tetap di sini""
"Pak Anwar tidak membicarakan pekerjaan."
"Tapi Bapak tidak tahan mendengar cercaan orang, kan""
"Kamu tahan""
"Apa bedanya lagi bagi saya""
"Suatu hari anakmu akan menjadi besar, Rindang. Dia akan ikut merasakan hinaan itu."
"Dia sudah merasakannya sejak masih dalam kandungan, Pak."
"Tapi kamu tidak mau dia terus-menerus
dihina, kan"" "Dia akan menjadi seorang gadis yang tabah.
Penghinaan tidak akan menghancurkannya."
"Tapi Bapak tidak rela dia dihina terus."
"Bapak sayang padanya""
"Bapak sudah menganggapnya anak sendiri."
"Kalau begitu, saya mohon, jangan usir kami, Pak!"
"Bapak idak pemah mengusir kalian. Kamu
dan anakmu boleh tinggal di sini sampai kapan
pun. Bapak hanya ingin memberimu kesempatan
untuk memilih. Jika kamu ingin bebas dari gunjingan orang, Pak Anwar sudah membuka pinturumahnya."
"Pernahkah seorang gadis yang hamil sebelum
menikah terbebas dari gunjingan orang, Pak" Yang
saya pikirkan cuma Bapak. Bapak orang yang sangat baik.
Dan Bapak tidak bersalah. Bapak tidak pantas dihukum karena kesalahan saya!"
"Bagamaimana, Pak"" tanya pak Anwar keesokan harinya.
"Sudah ada keputusan""
"Rindang masih memikirkannya," sahut Pak Iksan lirih.
"Jangan terlalu lama. Nanti istri saya keburu
mengubah pendiriannya. Tadi pagi dia bilang,
tetangga sebelah menyebutnya bodoh karena mau
membiarkan perempuan macam Rindang tinggal
serumah dengan suaminya."
Dan prasangka seperti itu pasti akan terus mengejar Rindang, ke mana pun dia pergi, pikir Pak Iksan sedih. Kasihan dia. Berapa lama dia
tahan didera kecurigaan istri Pak Anwar" Sampai kapan dia sanggup bertahan hidup di rumah mereka"
"Saya tidak bisa memaksanya pergi, Pak," keluh Pak Iksan sedih.
"Pak Iksan harus memaksanya. Kalau perlu
mengusirnya! Demi kebaikan Pak Iksan sendiri."
"Saya tidak sampai hati."
"Nama Pak Iksan akan rusak karena menolongnya."
"Apa arti sebuah nama dibandingkan nyawa
dua orang manusia""
"Dulu Pak Iksan berdalih menampung mereka
karena tidak ada orang yang mau membeikan
tumpangan. Sekarang sudah ada orang yang mau
menolong mereka. Apa lagi alasan Pak Iksan menahan mereka""
"Pak Anwar," suara Pak Iksan berubah dingin. Bapak tidak mencurigai saya, kan""
Saya kenal Pak Iksan seperti saya kenal diri saya sendiri! Tapi orang-orang di luar sana tidak!"
"Begitu pentingkah pendapat mereka""
"Tidak kalau Pak Iksan bukan seorang guru,
Seorang tokoh yang harus dihormati dan ditiru!"
"Justru karena saya seorang guru, saya wajib
menolong muid saya! Sebagai guru, kitalah pengganti orangtua
mereka! Ke mana lagi mereka harus minta tolong kalau bukan kepada kita, Pak""
"Pak Iksan boleh menolong semua murid Bapak Tapi bukan tinggal bersama mereka! Masyarakat akan mencela seorang guru pria yang tinggal bersama murid wanitanya!"
"Kecuali saya mengambilnya sebagai istri."
Terlepas begitu saja kata-kata itu dari mulut Pak Iksan.
"Jangan, Pak!" cetus Pak Anwar kaget. "Tindakan itu malah tambah merusak nama Bapak.
Orang-orang akan mengira Pak Iksan benar-benar
ayah bayi itu! Siapa lagi yang mau menikahi ibu
seorang bayi haram kecuali ayah bayi itu sendiri""
"Ya Tuhan!" Pak Iksan menebah dadanya yang tiba-tiba terasa sakit.
"Mengapa niat baik saya selalu dicurigai""
"Demi kebaikan Pak Iksan sendiri, saya keberatan dengan niat baik Bapak."
Suara Pak Anwar terdengar sangat tegas dan berwibawa.
"Jika Bapak berkeras melakukannya juga, saya tidak dapat menolong Bapak lagi."
"Dan mempersilakan saya mencari pekerjaan di sekolah lain""
sambung Pak Iksan tawar. "Saya jamin tidak ada sekolah yang mau menerima guru yang menikah dengan muridnya
yang punya anak gelap."
"Kalau begitu dunia benar-benar kejam terhadap Rindang," desah Pak Iksan pilu.
"Dia sudah berbuat salah. Dia harus menanggung akibatnya. Menerima hukumannya."
"Dan anaknya yang tidak bersalah itu juga harus menanggung hukuman atas dosa yang tidak pernah dilakukannya""
"Saya tidak ingin berdebat lagi, Pak,"
sahut Pak Anwar jemu. "Jika Bapak menolak tawaran
saya, rasanya tidak ada kesempatan kedua untuk
Rindang.." Pak Iksan pulang ke rumah dalam keadaan lesu.
Bukan hanya karena penat. Tapi karena pusing, bingung.
Mengapa sulit sekali menolong orang yang sedang berada dalam kesusahan" Mengapa niat
baiknya selalu dicurigai"
Dan kemuramannya langsung hilang begitu
melihat Rindang menyongsongnya di depan pintu. Bayi mungil dalam gendongannya tiba-tiba menyeringai lebar seperti mengenali siapa yang datang.
"Pa... pa... pa...." Bibir mungil
bayi itu berkecap-kecap lucu.
"Hei, dia memanggil Bapak!" sorak Rindang gembira.
"Betul"" Kelesuan Pak Iksan langsung sirna.
Matanya yang letih bersinar cemerlang.
"Dia memanggil Bapak""
Diambilnya anak itu dari gendongan Rindang.
Dan bayi itu bukan saja tidak menolak. Dia malah seperti melonjak ke dalam rangkulan Pak Iksan.
Bibirnya merekah. Menyunggingkan senyum lucu yang menggemaskan.
Pak Iksan menyodorkan mainan yang baru saja
dibelinya. Dengan gesit bayi itu menangkapnya
dengan mulutnya. "Dia sudah mulai belajar memanfaatkan mulutnya sebagai pengganti tangan," desah Pak Iksan terharu.
Diciumnya pipinya. Digendongnya anak itu
sambil bersenandung. Diajaknya bercanda sambil
menunggu Rindang menyiapkan makanan.
Dia begitu menyayangi anakku, pikir Rindang
terharu. Bagaimana aku harus memisahkan me-reka" Pak Iksan pasti sangat kehilangan. Kasihan sekali kalau dia harus kembali ke dunianya yang sepi....
Ketika Pak Iksan belum muncul juga di meja
makan setelah makanan siap, Rindang mencarinya
ke kamar. Dan dia melihat bayinya sedang ter-lelap dalam pelukan Pak Iksan yang juga sedang tertidur.
Tak terasa menitik air mata Rindang melihat
pemandangan itu. Dengan lembut disentuhnya
bahu Pak Iksan. Digoyangkannya dengan hati-hati.
Pak Iksan membuka matanya. Dan dia terse-nyum ketika menyadari telah ketiduran bersama
bayi Rindang. "Bapak pasti bukan perawat bayi yang baik,"
guraunya sambil meletakkan bayi itu dengan
hati-hati agar tidak terjaga.
"Tapi Bapak guru yang baik," sahut Rindang menahan haru.
"Dan manusia paling baik yang
pernah saya kenal." "Itu karena kamu belum banyak mengenal
orang. Kamu masih sangat muda."
"Penderitaan sudah mendewasakan saya. Pak."
"Tiap penderitaan pasti ada hikmahnya, Dang."
Rindang berbalik untuk menyembunyikan
air matanya. "Mari makan, Pak. Nanti makanannya keburu dingin."
Mereka melangkah bersama-sama ke meja makan. Dan mata Pak Iksan terbuka lebar ketika
melihat hidangan yang tersaji di atas meja.
"Wah, hebat nian makanan hari ini. Dang!"
cetus Pak Iksan heran. "Anggap saja sebagai perpisahan kita, Pak," sahut Rindang menahan haru.
"Perpisahan"" belalak Pak Iksan bingung.
Dia tidak jadi duduk di depan meja makan.
Matanya mengawasi Rindang dengan cemas.
"Barangkall ini kesempatan terakhir saya dapat
memasak untuk Bapak."
Rindang memalingkan wajahnya yang telah penuh berlinang air mata.
"Kamu mau ke mana" Ke rumah Pak Anwar""
"Saya sudah memutuskan untuk pergi, Pak.
Tapi bukan ke rumah Pak Anwar. Saya ingin merantau."
"Merantau bersama seorang bayi" Kamu pasti mimpi"
"Saya tidak mau menyusahkan Bapak lagi."
"Kata siapa kamu menyusahkan""
"Karena saya Bapak dihina orang."
"Pak Anwar tidak menghina."
"Bukan Pak Anwar."
"Beliau ingin menolongmu..."
"Sebenamya Pak Anwar hanya ingin menolong Bapak."
"Bagaimanapun lebih balk tinggal di rumahnya
daripada merantau entah ke mana!"
"Saya tidak mau tinggal di rumah Pak Anwar!"
"Kalau begitu kamu tidak boleh pergi!"
Rindang menoleh. Matanya yang berlinang air
mata menatap Pak Iksan dengan pilu.
"Kalau boleh memilih, saya juga ingin tetap
tinggal di sini sambil membesarkan anak saya,
Pak. Tapi masyarakat beradab di luar sana tidak
mengizinkannya. Karena itu saya terpaksa pergi."
"Kamu mau pergi ke mana. Dang"" gumam Pak Iksan cemas."
"Ke mana kamu mau membawa bayimu""
"Kalau Bapak sayang pada anak saya,
maukah Bapak merawatnya demi saya" Jika suatu waktu
dia membutuhkan saya, saya pasti akan datang
menolongnya." JAKARTA 1988

Dakwaan Dari Alam Baka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BAB IV MUNGKINKAH gadis berumur lima betas tahun yang manis tapi lugu itu merayu gurunya,
pikir Farida ketika dia sedang termenung menekuni berkas-berkas perkara Linda Ramelan.
Farida masih ingat pertemuannya yang pertama
dengan gadis itu. Dia datang diantar oleh seorang
polisi wanita. Terbenam dalam ketakutan dalam
rangkulan ibunya. Wajahnya yang polos menyiratkan rasa malu.
Takut. Sekaligus bingung.
Sejak peristiwa yang membuatnya shock itu.
dia terus-menerus ditanya-tanya. Dibentak-bentak. Diperiksa. Mula-mula di rumahnya. Ayahnya memaksanya mengakui siapa yang melakukan hal itu.
Ketika Linda masih menangis kebingungan,
Ayah sudah membentak-bentaknya dengan
Begitu pengakuan keluar dari mulutnya. Ayah
langsung membawanya ke polsek. Di sana dia
dipaksa menceritakan lagi pengalaman pahitnya.
Kali ini pengakuannya dicatat oleh seorang polisi.
Lalu dia dibawa ke seorang dokter, yang memperlakukan tubuhnya seperti sebuah barang bukti. Tidak kasar. Tapi tidak berperasaan.
Meskipun terus-menerus didampingi ibunya,
pemeriksaan yang sangat tidak menyenangkan itu
sangat menusuk perasaannya sebagai seorang gadis yang baru berumur lima belas tahun.
Lalu pengakuannya yang telah diceritakannya
entah berapa kali itu harus diulanginya lagi. Kali
ini di depan seorang petugas yang mencatat pengakuannya dengan lebih cermat. Setelah dibacakan, pengakuan itu harus ditandatanganinya.
Dalam keadaan takut dan lemah, dia diperbolehkan
pulang setelah disuntik dan dibekali beberapa macam obat.
"Kasus Linda Ramelan lagi""
tegur Sultan, salah seorang rekannya yang baru masuk ke kamar
kerjanya. Farida hanya mengagguk. "Kamu sudah berhasil menjebloskan pemerkosa
nya ke dalam penjara. Mau apa lagi" Masih penasaran""
"Cuma tujuh bulan," sahut Farida tanpa mengangkat wajahnya. Diembuskannya napasnya dengan jengkel. Dadanya terasa panas. Dan tetap pengap sekalipun dia telah menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya lagi.
"Ingin dia dihukum sesuai tuntutanmu"" Sultan tersenyum tipis.
"Barangkali hakimnya harus wanita."
"Coba bayangkan," desis Farida kesal.
"Tujuh bulan untuk perbuatan sekeji itu! Merusak masa
depan seorang gadis. Muridnya sendiri! Bahkan
sesudah dia keluar dari penjara nanti, gadis itu
belum pulih dari shocknya!"
"Ya, memang kelihatannya trauma psikisnya
cukup berat. Di persidangan dia selalu gemetaran
dan pucat pasi seperti orang ketakutan."
"Menurut dokter, sindroma trauma perkosaan
yang menimpa Linda cukup berat. Sampai sekarang dia tidak bisa tidur kalau tidak minum
obat. Tidak berani ditinggal sendirian di rumah.
Sekaligus tidak berani meninggalkan rumah. Sudah dua kali mencoba membunuh diri pula.
"Ya, tujuh bulan memang hukuman yang terlalu ringan. Seharusnya mereka naik banding."
"Yang naik banding justru pihak terdakwa!"
"Keterlaluan, ya" Tujuh bulan pun mereka keberatan!"
"Itu yang membuat saya gemas! Terdakwa menyatakan dia tidak bersalah. Mereka melakukannya atas dasar suka sama suka. Bahkan dia menuduh
korbanlah yang merayunya. Bukankah Linda yang
datang ke rumahnya" Seorang diri pula. Dan
Linda tahu, saat itu istri gurunya sedang melahir-kan. Jadi tidak ada siapa-siapa di rumah."
"Kamu takut pengadilan tinggi akan membebaskannya""
Terus terang saya khawatir. Pembelanya sangat
ulet. Pertanyaan-pertanyaannya kepada Linda sangat memojokkan. Sementara orang tua Linda sudah menyerah. Tidak mau naik banding."
"Apa alasannya" Mereka juga tidak puas kalau
bajingan itu dibebaskan, kan""
"Ayah Linda bilang, mereka tidak ingin memperpanjang perkara. Mereka sudah sangat tersiksa sebelum dan selama persidangan. Mereka sudah letih."
"Bujuk lagi saja mereka. Bilang bajingan itu
punya kesempatan untuk lolos. Tapi kamu juga
harus mengumpulkan bukti lebih banyak lagi,Da! Kamu harus dapat meyakinkan hakim,
lelaki seperti dia sangat berbahaya kalau dibiarkan berkeliaran bebas.
Apalagi dia seorang guru!"
"Saya memang ingin tahu lebih banyak tentang
dia. Guru macam apa yang sampai hati merusak
muridnya sendiri""
Dan konsentrasi Farida kembali tercurah ke
pengakuan Linda Ramelan. "Kok sepi, Pak"" tanya Linda heran. "Ibu ke mana""
"Belum pulang," sahut Pak Sabdono sambil
melebarkan pintu rumahnya.
"Kata dokter besok baru boleh pulang."
"Bayinya juga besok pulang, Pak""
"Belum. Perlu dirawat beberapa hari lagi.
Badannya kuning semua. Perlu disinar. Ayo, masuk."
Linda melangkah masuk ke dalam ruang tamu.
Pak Sabdono menutup pintu.
Dan menguncinya sekalian.
"Duduklah," Pak Sabdono menunjuk ke arah sofa.
"Mau minum apa"""
Tidak usah repot-repot, Pak. Anak-anak Bapak yang lain pada ke mana""
Sedang menengok ibunya. Kata mereka ingin
melihat adiknya." "Adiknya perempuan lagi ya, Pak""
"Iya Sudah lima, perempuan semua."
"Tanggung. Pak! Bikin saja setengah lusin!"
"Hus! Enak saja kamu bicara! Memangnya gelas, pakai setengah
lusin segala!" "Selamat ya, Pak!"
Linda mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis. Pak Sabdono sangat
menikmati kehangatan senyum muridnya. Tangannya juga.
"Mudah-mudahan tahun depan dapat koboi!"
"Tidak ada tahun depan."
Pak Sabdono seperti tidak mau melepaskan tangan Linda dari genggamannya.
"Tahun ini pabriknya tutup."
"KB ya, Pak"" Linda menarik tangannya iepas.
Senyumnya masih menggoda.
"Sudah tua." "Ah, Bapak kan belum tua," gurau Linda ceria.
"Masih balita, kan, Pak""
"Apanya yang balita""
"Bawah lima puluh tahun!" Linda tertawa renyah.
Pak Sabdono menikmati tawa muridnya. Mengagumi wajahnya yang manis. Giginya yang
putih rata. Matanya yang bersinar cemerlang.
"Bapak sudah lima empat! Sebentar lagi pensiun!"
"Ah, kata teman-teman, Bapak baru empat lima! Awet muda dan penuh semangat empat lima!"
Pak Sabdono tersenyum bangga. Dalam usia
lima empat, dia memang masih terlihat energik.
Badannya masih tegap. Belum bungkuk. Mungkin karena rajin berolahraga. Mungkin pula karena selalu menyantap makanan sehat bergizi.
Mungkin pula karena selalu dikelilingi gadis-gadis
remaja yang cantik. Seperti muridnya yang satu
ini. "Bapak mandi dulu ya," kata Pak Sabdono
sambil melangkah ke kamarnya.
"Nanti kita sama-sama pergi ke sekolah. Itu minumannya di
meja. Jangan tidak diminum."
"Bapak belum mandi"" belalak Linda pura-pura terkejut."
"Kenapa"" tantang Pak Sabdono separo bergurau.
"Masih bau keringat""
Linda menutup mulutnya menahan tawa.
"Bukan latihannya jam lima, Pak" Kalau nunggu Bapak mandi dulu, latihannya keburu bubar!"
Mereka memang berniat pergi ke sekolah untuk latihan basket.
Karena sopir Linda sakit, Pak
Sabdono menawarkan diri untuk memboncengi
Linda ke sekolah dengan motornya.
"Tapi kamu yang ke rumah saya ya," kata Pak
Sabdono di sekolah siang tadi.
"Saya tidak sempat menjemput kamu lagi."
Tentu saja Linda tidak curiga. Orangtuanya juga tidak.
Mereka mengizinkan putrinya latihan
basket di sekolah. Meskipun sopir mereka hari
itu sakit dan Linda harus naik taksi. Yang
tidak tahu, putrinya tidak naik taksi ke sekolah.
Dia naik taksi ke rumah gurunya. Justru
padasaat Pak Guru sedang berada seorang diri di rumah karena istrinya masih dirawat di klinik bersain.
Linda juga tidak curiga ketika Pak Sabdono
menyuruhnya menghabiskan minuman yang sudah tersedia di atas meja. Tidak curiga ketika gurunya memanggilnya ke kamar. Ketika dia
membuka pintu kamar, dilihatnya Pak Sabdono
sedang tegak di sisi tempat tidur.
Setumpuk pakaian yang kelihatannya baru selesai dicuci teronggok di atas kasur.
Mau tolong saya"" tanyanya dengan suara tak berdosa.
"Memilihkan baju untuk Bapak"" sahut Linda
tanpa curiga sedikit pun.
"Sekalian tolong disetrika ya""
"Baju sebanyak itu"" Linda menahan tawa.
Kapan kita sampai di sekolah, Pak" Teman-teman pasti
sudah bubar jalan!" "Satu saja." Pak Sabdono tersenyum sambil
membuka lengannya pura-pura mengeluh.
"Istri tak ada repot juga."
Dan dia tidak menutup lengannya lagi sampai
Linda tiba di dekatnya. "Tiba-tiba dia menarik saya ke pelukannya,"
Farida masih dapat mengingat cerita Linda dengan jelas.
Gadis itu menceritakannya sambil menangis.
"Lalu... lalu... dia memaksa saya-"
Dia memaksa saya. Artinya Linda dipaksa melakukan persetubuhan.
Dia diperkosa. Tetapi mengapa dalam visum et
repertum dokter tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan"
Dokter memang menyatakan ada persetubuhan.
Tapi tidak ada kekerasan. Karena itu pembela
menyimpulkan persetubuhan itu dilakukan atas
dasar suka sama suka. Bahkan karena korban
yang datang ke rumah tersangka pada saat dia
sendirian di rumah, korbanlah yang dituduh memulai perbuatan cabul itu.
"Karena itu kita kalah," kata Farida ketika dia
datang ke rumah Linda untuk membujuknya
mengajukan banding. "Kamu harus menceritakannya dengan terus terang, Linda. Katakan pada
saya apa yang sebenamya terjadi. Mengapa kamu tidak melawan kalau gurumu memaksa kamu melakukan perbuatan yang tidak kamu inginkan""
Linda menatap Farida dengan ketakutan.
Bibirnya bergetar hebat. "Saya tahu kamu tidak ingin mengingat-ingat
lagi peristiwa it u," bujuk Farida sabar. "Tapi kamu tidak rela guru sekeji itu di
biarkan bebas. kan" Kamu tidak puas
kalau orang yang sudah berbuat jahat kepadamu
dibebaskan dari hukuman""
Barangkali hukumannya memang ringan, Bu
Farida," cetus ibu Linda yang selalu mendampingi
putrinya. Tapi masuk penjara saja sudah merusak nama baiknya sebagai guru. Saya rasa itu hukuman yang paling berat untuknya."
"Kalau dia tidak dibebaskan, Bu," sahut Farida
muram. "Pembelanya sedang mengajukan banding. Dan mereka punya sederet saksi yang berani bersumpah, Pak Sabdono adalah guru yang baik Tidak genit.
Tidak pemah terlibat afair dengan murid-muridnya. Tidak pemah berselingkuh,
Perceraian dengan istri pertamanya juga bukan
karena kesalahan Pak Sabdono. Ada saksi yang
mengatakan, perempuan itu yang minta cerai karena tidak tahan lagi hidup sebagai istri guru yang pendapatannya pas-pasan."
"Barangkali PeremPuan itu sudah mengendus
kebejatan suaminya," geram ibu Linda muak.
"hanya saja belum ada bukti!"
"dan tidak ada yang berani bersaksi."
sambung Farida dingin. "Saya berjanji akan mencari bukti
dan saksi untuk memberatkannya, Bu. Tapi tolong bujuk Linda untuk membantu saya."
"Apa lagi yang harus dilakukannya""
"Jujurlah pada saya. Mengapa dia tidak melawan kalau dipaksa""
Tetapi Linda hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan ketakutan.
"Kamu diancam""
Linda merebahkan dirinya ke pelukan ibunya.
Tangisnya pecah tanpa dapat ditahan-tahan lagi.
"Sudahlah, Bu Farida," pinta ibu Linda lirih.
"Kasihan Linda. Dia sudah tidak kuat menanggung beban seberat ini. Dia sudah dua kali mencoba bunuh diri..."
"Kamu tidak boleh mati, Linda!" geram Farida gemas.
"Kamu harus tegar! Tidak boleh menyerah pada nasib!"
"Dia merasa sudah tidak ada gunanya lagi hidup,"
keluh ibu Linda sedih. "Masa depannya sudah hancur. Linda sudah tidak mau sekolah
lagi. Malu pada teman-temannya. Keluar rumah
saja dia takut. Tidak berani ketemu orang yang akan menghina dirinya. Mereka semua menganggap Linda-lah yang merayu gurunya."
Kamu harus melawan ketidakadilan itu. Linda! Bukan
malah larut dalam keputusasaan. Dunia harus
tahu. bukan kamu yang salah! Dan
cuma kamu yang dapat membuktikannya!"
"Tidak ada yang percaya pada Linda,Bu. Bahkan guru-guru dan teman
temannya percaya, Linda-lah yang menggoda Pak Sabdono!"
"Saya percaya kamu tidak bersalah, Linda"
kata Farida tegas. "Saya hanya heran mengapa kamu tidak melawan....
Tetapi Linda sudah tidak dapat ditanya lagi.
Ibunyalah yang memohon agar Farida meninggalkan mereka.
"Kami sudah putus asa, Bu," katanya lirih.
"Biarlah Tuhan yang menghukum orang yang
bersalah. Dia Hakim Yang Maha adil."
Tetapi Tuhan tidak akan membantu jika kita
tidak berusaha, geram Farida dalam hati. Hanya
manusia lemah yang menyerah pada nasib!
Seluruh penghuni sekolah tempat Pak Sabdono
mengajar menyambut kedatangan Farida dengan
dingin. Guru-guru menyingkir. Tata usaha membuang muka.
Murid-murid memasang wajah bermusuhan.
Semua yang ditanya malas menjawab.
Hanya kepala sekolah yang terpaksa melayani.
"Perkara ini sudah di tangan pengadilan"
tukaskepala sekolah datar. Vonis sudah dijatuhkan.
Mau apa lagi" Kami tidak bersedia ditanya-tanya
lagi. Kasus telah ditutup."
"Ibu keliru," bantah Farida tegas. "Perkara ini
masih dalam tingkat banding."
"Kami tidak mau terlibat lagi. Sudah cukup kami disorot."
"Saya datang bukan sebagai penuntut umum,
Bu. Saya hanya ingin mengenal lebih dekat pribadi Pak Sabdono."


Dakwaan Dari Alam Baka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk apa"" gerutu kepala sekolah ketus. "Lima belas tahun mengajar sebagai guru olahraga di sekolah ini, tidak pernah ada keluhan tentang diri-nya. Sikapnya selalu baik. Santun. Terhormat."
"Bagaimana dengan keluarganya""
"Tanyakan saja sendiri ke rumahnya. Dia punya seorang istri dengan lima orang anak.
Tidak pernah terlibat skandal atau perselingkuhan. Tidak punya istri muda atau simpanan."
"Bagaimana dengan istri pertamanya""
Alis kepala sekolah terangkat naik. Matanya
bersorot marah ketika menatap Farida.
"Mereka bercerai baik-baik."
Bukan karena ulah Pak Sabdono istrinya minta cerai""
"Kalau guru yang tidak bisa ngobjek dianggap
ulah!" "Ibu tahu di mana m antan istrinya sekarang""
Mengapa saya harus tahu""
"Di mana Pak Sabdono mengajar se
belum menjadi guru di sini""
"Saya tidak tahu apakah Anda masih berwenang menanya
kannya. Terus terang saya keberatan
menjawabnya." "Baiklah. Saya tidak akan mendesak Ibu lagi.
Saya datang ke sini bukan sebagai seorang jaksa.
Saya darang sebagai seorang wanita yang merasa
tersentuh melihat nasib sesama saya, yang kehilangan masa depannya karena ulah seseorang yang sudah dianggap sebagai pengganti orangtua-nya. Sebagai seorang guru.
dan seorang wanita, seharusnya Ibu juga ikut tergugah!"
"Bagaimana kalau sebaliknya""
protes kepala sekolah berang.
"Linda yang menggoda gurunya
sehingga dia khilaf" Dia telah merusak nama baik
guru dan sekolahnya!"
"Mengapa Ibu be gitu yakin bukan Pak Sabdono yang memaksa Linda karena dia kesepian""
"Mengapa baru Sekarang dia merasa kesepian"
pak Sabdono sudah lima belas tahun mengajar di
sekolah ini. Muridnya sudah ratusan. Tak pernah
ada Peristiwa yang memalukan seperti ini!"
Ketika Farida sedang meninggalkan sekolah itu,
seseorang hampir menubruknya di kaki lima.
Mereka sama-sama terkejut. Dan sama-sama terperangah.
"Ida!" cetus laki-laki muda itu dengan tatapan
tak percaya- "Bang Mahmud," gumam Farida dengan napas tertahan.
Laki-laki itu masih tetap seganteng dulu.
Lebih-lebih bila dia mengenakan kacamata hitam
yang menutupi sebelah matanya yang cacat.
"Sedang apa di sini, Ida" Oh, pasti sehubungan
dengan kasus Linda Ramelan itu, ya" Saya baca
beritanya di koran. Hebat kamu sekarang! Sarjana
hukum! Wah, saya benar-benar bangga padamu!"
Benarkah kamu merasa bangga, pikir Farida
getir. Suatu saat dulu, kamu malah merasa malu!
PALEMBANG 1977 BAB V FARIDA duduk di depan cermin di kamarnya.
Ditatapnya bayangan dalam cermin itu. Sebentuk
wajah yang manis. Yang selalu tampil sederhana
dan sendu. Dengan rambut panjang tergerai. Dan
sepasang mata yang bersorot pahit.
Kemudian perlahan-lahan tatapannya turun ke
bahu. Bahu tanpa lengan yang menyajikan pemandangan yang mengenaskan.
Hampir tiap hari dipandanginya cacatnya dengan tatapan nanar dan getir. Tetapi hari ini, ditatapnya cacatnya lebih lama.
Bang Mahmud memang buta. Dia tidak dapat
melihat betapa mengiris hati melihat tubuh tanpa
lengan itu. Bagaimanapun Farida ingin mengenyahkan
pikiran itu dari kepalanya. pikiran itu datang dan
datang lagi seperti sebuah obsesi.
Bang Mahmud memilihnya sebagai istri karena
dia buta. Karena dia cacat. Dan karena cacatnya
dia tidak dapat melihat kekurangan calon istri-nya. Atau...
karena dia tidak mampu memilih
istri yang lebih prima"
Perasaan rendah diri seperti itu memang sudah
dimilikinya sejak masa kanak-kanak Lumrah memang bagi seseorang yang dilahirkan cacat. Tanpa lengan.
Sejak kecil dia sudah biasa menerima tatapan
iba orang-orang yang melihatnya. Telah terbiasa
pula menerima ejekan anak-anak yang memanggil-nya si buntung.
Cacat itu memang sudah melekat dengan dirinya. Telah menjadi sebagian hidupnya. Tak dapat dipisahkan lagi.
Farida harus belajar menyesuaikan diri dengan
kekurangannya. Dan dia belajar dengan baik. Dia
tidak canggung lagi mengerjakan semua tugas dengan kaki atau mulutnya.
Mula-mula dia ditolak di sekolah umum. Dia
dimasukkan ke sekolah untuk anak-anak cacat.
Ketika akhirnya dia mampu membuktikan, dia
mampu bersaing dengan anak-anak yang tidak
cacat, dia dapat melanjutkan ke SMA umum.
Karena memang di tempatnya, tidak ada SMA
khusus untuk penyandang cacat.
Lulus SMA dia malah bertekad melanjutkan
pelajaran ke Jakarta. Ke sebuah fakultas hukum.
Tetapi ayahnya keberatan.
"Bapak sudah tua, Ida. Adik-adikmu banyak.
Kamu anak sulung. Berikan kesempatan kepada
mereka untuk menyelesaikan sekolah nya."
Ketika melihat Farida tertunduk dengan wajah
sendu, ayahnya langsung menyadari, kata-katanya
telah melukai hati putrinya.
"Bukan maksud Bapak membatasi kesempatanmu, Ida. Jangan salah mengerti.
Bapak bangga padamu. Dengan kekuranganmu, kamu masih
dapat menyamai teman-temanmu yang sempurna.
Kamu berhasil menamatkan SMA-mu dengan
baik. Bapak pikir, itu sudah cukup."
"Karena saya cacat"" desis Farida getir.
"K arena Bapak tidak mampu lagi membiayaimu. Bapak harus memikirkan adik-adikmu Terutama si Faisal. Dia laki-laki.
Dia harus menyelesaikan sekolahnya."
Karena dia laki-laki, pikir Farida jemu. Faisal
wajib menyelesaikan sekolahnya! Dan karena aku
Perempuan. tidak buta huruf saja sudah cukup!
"Kamu sudah harus memikirkan masa depanmu. Ida.
Sebagai seorang wanita, keluargalah
yang paling penting."
Jika disuruh mengalah untuk adik-adiknya,
Farida akan mematuhinya. Tetapi menikah" Nanti dulu.!
"Ida belum ingin menikah, Pak!" protesnya segera.
"Jika Ida tidak boleh melanjutkan sekolah, ya sudah. Ida ambil les jahit saja."
Tentu saja Bapak tidak menyuruhmu menikah
minggu depan. Les jahit, kursus masak, itu baik
untuk persiapanmu sebagai ibu rumah tangga."
Ibu rumah tangga. Memang itu yang paling
penting untuk Bapak. Karena menurut ayahnya,
sepandai-pandainya wanita, dia tidak akan pernah
dianggap sempurna sebelum menjadi seorang istri.
"Bapak bangga padamu, Ida. Dan kebanggaan
Bapak lebih sempurna lagi kalau sudah melihat
kamu mendapat jodoh."
Tidak salah kalau ayahnya bangga. Sebagai penyandang cacat
, Farida tidak pernah menyusahkan siapa pun.
Dia menerbitkan belas kasihan bagi siapa pun yang melihatnya. Tetapi sekaligus membangkitkan kekaguman.
Dia memang pasrah menerima takdirnya. Tapi
dia pantang menyetah. Tidak mau mengemis belas kasihan seumur hidupnya.
Sejak kecil orangtuanya telah mendidiknya agar
dapat hidup mandiri. Dia dilatih untuk tidak tergantung pada orang lain. Semua harus dapat dikerjakannya sendiri.
"Jika Tuhan memberimu kekurangan," kata-kata itu yang selalu didengungkan ayahnya, "Dia pasti memberimu kelebihan."
Dan Farida tumbuh menjadi seorang gadis cacat yang tegar. Dia hampir tidak pernah mengeluh. Jarang minta tolong. Dia memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya. Sepasang kaki yang kuat. Dengan jari-jari yang dapat berfungsi sebagai jari tangan. Seperangkat otak yang brilian. Hati yang tabah. Dan sebongkah tekad yang sering menimbulkan decak kagum.
Ya, Ayah memang patut bangga. Tapi kebanggaannya belum sempurna sebelum Farida mendapat jodoh. Dan Ayah tidak berhenti berusaha sampai
dia mendapatkan Mahmud. Hanya tiga bulan sesudah Farida lulus SMA
Mahmud memiliki wajah yang tampan. Tubuh
yang tegap. Dan sepasang mata yang buta karena
kecelakaan yang merenggut penglihatannya. Kornea matanya rusak. Dan dokter tidak dapat mengembalikan penglihatannya kecuali melalui
transplantasi kornea. Farida melihatnya untuk pertama kali ketika
dia datang bersama ibunya. Untuk melamarnya.
Meskipun Mahmud tidak dapat melihatnya,
Farida memerlukan waktu lebih lama untuk berhias. Dan memerlukan waktu lebih lama pula untuk memandangi cacatnya.
Seandainya saja aku tidak cacat, pikirnya pedih. Aku tidak usah khawatir menemui pria macam apa pun yang dipilih Ayah.Tetapi karena dia cacat, dia memerlukan kompensasi. Dia harus terlihat lebih cantik. Karena
itu dia berhias lebih lama. Dia menggunakan
jari-jari kakinya untuk mengolesi bibirnya dengan
lipstik Membedaki wajahnya dengan pupur.
"Aduh, yang hampir jadi pengantin!" goda
Winda di ambang pintu kamar.
"Lama amat dandannya! Tuh,
camermu sudah datang! Masa aku
yang mesti keluar" Nanti dikiranya aku yang mau
dilamar!" "Hus! Jangan berisik!"
gerutu Farida jengah. "Mereka kan tidak tuli!"
"Aduh, cakepnya... yang mau dilamar!" Satu
lagi adiknya menerobos masuk, "lekas keluar,
Kak Ida! Keburu karatan mereka menunggumu!"
"Buat apa capek-capek dandan""
sambar Faisal dalam nada bercanda.
"Dia kan buta!"
Winda menyikut rusuk adiknya. Tapi terlambat. Farida sudah mendengarnya. Dan
dia merasa pedih. Selama pertemuan itu, Farida dan Mahmud ham
pir tidak kebagian waktu untuk bicara. Ibu me
rekalah yang terus mendominasi percakapan.
Tetapi Farida tidak dapat mengusir perasaan itu
dari hatinya. Sambil bicara pun, calon ibu mertua
nya terus-menerus mengawasinya dengan tatapan
menilai. Matanya seolah-olah bertanya, mampukah
gadis buntung ini mengurus anaknya nanti"
Di pihak lain, ibu Farida seperti tidak mau
kalah. Dia sengaja menyuruh Farida melayani ta
munya. Menghidangkan teh. Bahkan memasa
k. Seolah-olah dia ingin berkata,
nah, lihat sendiri anakku! Tidak mengecewakan, kan" Pekerjaan apa
pun dia bisa! Farida seperti sedang dites. Tetapi hasilnya me
mang memuaskan. Ibu Mahmud melihat dengan
mata kepalanya sendiri betapa gesitnya Farida.
Betapa terampilnya dia memasak dan menghidangkan makanan
meskipun hanya dengan mulut dan kaki.
Dengan kagum ibu Mahmud menyadari, calon menantunya
tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurus rumah tangga.
Ketika dia kembali ke ruang tamu dengan perasaan puas,
dia melihat anaknya sedang tersenyum-senyum.
Rupanya dia sedang bergurau dengan Winda.
"Jangan cerita sama Ibu!" ancam Winda dengan suara ringan seperti sedang bercanda dengan teman akrab.
"Awas ya!" "Memang kenapa"" balas Mahmud dengan
suara yang membuat dahi ibunya berkerut.
Kapan pernah didengarnya suara anaknya seriang itu sejak kecelakaan yang merenggut penglihatannya"
"Dosa!" cibir Winda galak.
Mahmud tertawa geli. "Boleh coba"" tantangnya lembut.
"Coba saja kalau berani!"
"Ada apa"" Ibu Mahmud duduk di samping
anaknya sambil meredam rasa herannya.
Dia menyunggingkan seuntai senyum terpaksa ke arah Winda.
"Mahmud jail, ya""
"Ih, Ibu!" protes Mahmud riang. "Winda yang menggoda saya, Bu!"
"Bohong!" bantah Winda separo berteiak.
"Ngng... Bang Mahmud jahat!"
"Winda!" tegur ibunya yang baru muncul dari dapur.
"Jangan kurang ajar sama tamu! Sana bantu kakakmu menutup meja!"
Seperti ibu Mahmud juga, secercah perasaan
tidak enak merambat ke hati ibu Farida.
Winda memang lincah. Pintar bergaul. Dan...
tidak cacat. Mereka takut... pilihan Mahmud
akan beralih padanya! "Huu, Ibu!" dengung Winda meradang seperti
tawon digebah. "Yang mau dilamar kan Kak Ida!
Dia yang harus dites! Bukan saya!"
Kata-kata yang dimaksudkan bergurau itu sempat memerahkan paras ibu Mahmud karena tepat mengenai sasaran.
"Dasar pemalas!" sambar Faisal yang baru mencuri sepotong tempe goreng dari dapur.
"tiap kali ada tamu, kerjamu cuma cuap-cuap kayak humas!"
"Apa bedanya dengan kamu" Katanya seksi keamanan! Tidak tahunya pagar makan tanaman!"
"Siapa bilang aku makan tanaman" Memangnya
kambing"" "Sudah, jangan ribut" sela Farida yang selalu
merasa bising mendengar canda adik-adiknya.
Tolong bawa tempe ini ke meja makan.
"Jangan suruh dia, Kak!" Winda merebut piring yang
hampir diambil Faisal. "Sampai meja tinggal piringnya!"
Dan karena Faisal mempertahankannya, piring
itu jatuh ke lantai. Hancur berderai dengan menerbitkan suara berisik. Tempenya berserakan kemana-mana diiringi pekikan Nurida, adik mereka yang bungsu.
"Bu! Ibu! Tempenya kabur!"
"Aduh!" gerutu Ibu yang bergegas pergi ke
dapur ketika mendengar hiruk-pikuk di sana.
"Bukannya bantu kakakmu malah bikin repot"
"Memang konyol tuh si rakus!" desis Winda kesal.
"Siapa yang konyol"" balas Faisal sambil menjulurkan lidahnya.
"Siapa yang merampas piringku""
"Sudah!" bentak Ibu tidak sabar.
"Faisal, ambil kain pel! Winda, bersihkan pecahan piringnya!"


Dakwaan Dari Alam Baka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sukur!" Nurida menahan tawa.
"Kerja bakti! "Nur, kamu ambil sapu!"
Lho, kok saya juga, Bu"" sergah Nurida kecewa "Saya kan tidak bersalah!"
Jangan cerewet! Kecil-kecil sudah pintar membantah! Ambil sapu!"
Nurida terpaksa pergi mengambil sapu ketika
kembali dan dilihatnya Ibu sudah tidak ada.
dilemparkannya sapu itu ke dekat Winda yang
sedang memunguti pecahan piring.
"Tuh, sapunya!"
"Eh, enak saja!" belalak Winda jengkel. "Siapa
yang tadi disuruh Ibu nyapu""
"Kak Faisal!" sahut Nurida yang melihat kakak-nya datang
membawa ember. "Nur kan cuma disuruh ngambil sapu!"
Lalu dia kabur sebelum Faisal sempat mengomel.
"Nih, nyapu!" Winda memungut sapu dan menyodorkannya kepada adiknya.
"Enak saja! Tugasku ngepel!"
"Nyapu dan ngepel satu paket! Tidak bisa dicicil!"
"Sudah, biar Kakak saja," Farida meraih sapu
dari tangan adiknya. "Tinggalkan saja. Biar aku
yang nyapu dan ngepel. Nih, antarkan saja gulai
ini ke meja makan." "Tidak bisa, Kak!" protes Winda keras. "Yang
mau dilamar kan Kak Ida! Masa aku terus yang
disuruh melayani tamu! Nanti kalau Bang Mahmud naksir sama Winda, bagaimana coba""
"Huu, ge-er!" sambar Faisal sambil menimpuk
pinggul Wi nda dengan sepotong tempe goreng
yang tercecer di lantai. "Tuh, makan tempe biar otakmu jalan!"
Ketika Winda memungut tempe itu dengan
gemas dan hendak menimpuk Faisal. Farida merebutnya.
"Sudah! Jangan bercanda terus!"
"Memang konyol tuh!" dumal Winda jengkel.
"Eh, ngomong-ngomong. calon suamimu ganteng
juga ya. Kak"" Winda memang benar, pikir Farida ketika beberapa kali dia mencuri-curi lihat ke arah Mahmud waktu meeka makan bersama.
Pemuda itu memang tampan. Perawakannya
pun tegap. Sayang, dia buta.
Tetapi... seandainya dia tidak buta, maukah
dia melamar seorang gadis buntung"
Dalam usia dua puluh enam tahun, Mahmud
hidup berkecukupan sebagai anak tunggal seorang
janda pemilik toko kelontong.
Dia bisa memilih sendiri seorang gadis cantik untuk menjadi istri-nya... kalau saja dia bisa melihat...
"Wah, yang bam dilamar, meiamun terus!" goda
Winda ketika malam itu dia menemukan kakak-nya sedang termenung di tempat tidur.
"Masih lama, Kak! Dua bulan lagi!"
"Win," desah Farida tanpa menoleh.
"Kamu punya pacar""
"Pacar"" Winda menyeringai jenaka. "Banyak, Kak! Ada beberapa
biji! Mau pinjam" Mau bikin Bang Mahmud cemburu""
"Hus! Kakak serius!"
"Kapan Kak Ida pernah tidak serius" Ayo, santai saja, Kak! Biar awet muda!"
"Kamu punya seseorang yang kamu sayangi""
"Bukan seorang!" gurau Winda riang. "Tiga! Yang dua cadangan!"
"Masa pacar ada cadangannya""
"Kalau pacar utama sakit" Cuti" Lagi ngambek""
"Tapi kamu punya satu kan yang benar-benar
kamu sayangi"" Winda tersenyum manis. "Kenapa Kak Ida tanya begitu""
Dengan dia kamu ingin menikah, kan""
"Ya, kalau dia belum bosan!"
"Pernahkah kamu bayangkan, menikah dengan
seorang laki-laki yang tidak kamu cintai" Yang
baru satu kali ketemu""
Tiba-tiba senyum Winda mengambang.
Di tatapnya kakaknya dengan iba.
"Maksud Kakak... Bang Mahmud""
Farida tidak menjawab. Karena dia memang
tidak perlu menjawab. Winda sudah tahu jawabannya.
"Kalau Kak Ida tidak menyukainya, kenapa tidak bilang sama
Bapak"" "Kakak bukan tidak suka. Win. Bang Mahmud
baik. Sopan. Ganteng pula, seperti katamu. Tapi
Kakak sebenarnya belum ingin menikah. Masih
ingin sekolah." "Ya. Winda tahu," air muka Winda berubah
serius. "Mestinya Kak Ida saja yang melanjutkan
studi. Winda yang berhenti sekolah. Sudah bosan!"
"Kamu kan baru kelas dua SMA, Win. Paling
tidak kamu hams menyelesaikan SMA-mu."
"Untuk apa" Punya ijazah SMA laku kerja apa"
Mendingan aku berheni sekolah. Ambil les jahit.
Lalu tunggu dilamar!"
"Jangan ngomong sembarangan!"
"Serius, Kak! Faisal juga bilang begitu. Dia bilang sudah bosan sekolah.
Dia ingin merantau. Belajar dagang, katanya." .
"Tapi kalian harus menyelesaikan SMA dulu!"
"Itu kan maunya Bapak! Tidak adil! Kak
Ida yang mau sekolah disuruh kawin. Winda dan
Faisal yang sudah bosan, malah disuruh sekolah terus!"
"Kamu belum ingin menikah kan, Win""
"Kalau sudah ada yang melamar seperti Bang
Mahmud sih..." Winda melirik jenaka.
Si bandel itu sudah kembali bergurau lagi.
memang sulit mengajaknya serius. Tapi untuk Winda, hidup memang
murah hati. Sejak kecil, hidupnya tak pernah susah. Sesudah meningkat
remaja, dunia pun selalu tersenyum kepadanya.
Dia cantik, Lincah. Pintar bergaul. Disukai pria.
Dan... tidak cacat. Bahkan giginya pun tidak ada
yang gingsul. Semua oke. Semua sempurna.
Alangkah berbeda dengan diriku, sering Farida
membandingkan nasibnya dengan nasib adiknya.
Bukan dengan rasa iri. Tetapi dengan rasa pilu.
"Kamu mau menikah dengan pria yang tidak
kamu cintai"" "Apa susahnya mencintai laki-laki seperti Bang
Mahmud" Sayang dia buta.
Kalau tidak, pasti sudah jadi rebutan!"
Semalam-malaman Farida memikirkan kata-kata adiknya.
Seandainya Mahmud tidak buta...
dia pasti jadi rebutan gadis-gadis! Tetapi karena
dia buta, dia terpaksa menerima nasib menikah
dengan seorang gadis buntung! Ah, harga diri Farida sungguh terlukai.
Tetapi. bagaimana menentang kehendak Bapak"
Bukankah Bapak telah mengusahakan
yang baik untuknya" ungkin Bapak merasa tugasnya telah
Rampung bila anak-anaknya telah menda
pat pendidikan yang cukup. Menikah. Dan memiliki keluarga.
Dari antara keempat anaknya, Faridalah ya
ng paling membebani pikirannya. Karena cuma dia-lah satu-satunva yang cacat.
Bapak merasa lega meninggalkannya jika dia
sudah mendapat seorang suami.
Seorang pelindung yang akan menggantikannya bila dia telah tiada.
Tentu saja Farida dapat memahami keinginan
ayahnya. Tetapi... menikah dengan seorang laki-laki yang tidak dicintainya"
Dia memang cacat. Tapi dia tetap seorang wanita. Yang mendambakan cinta sama seperti seorang wanita normal.
"Cinta dapat tumbuh setelah perkawinan, Ida,"
hibur ibunya tadi. "Apa susahnya mencintai laki-laki seperti Bang
Mahmud"" Ya, mungkin Winda benar. Tidak sulit bagi
Farida mencintai suaminya setelah menikah nanti
Tetapi... dapatkah Mahmud mencintainya"
BAB VI HANYA sebulan sebelum pernikahan mereka,
Mahmud tiba-tiba membatalkannya.
"Dia ke Jakarta untuk mengoperasi matanya,"
kata ibunya setelah berulang-ulang minta maaf.
"Mahmud mendapat panggilan mendadak. Kornea donor dari Srilangka telah tiba. Kalau Mahmud menolak, entah berapa lama lagi dia harus menunggu."
Tetapi ternyata pernikahan mereka bukan hanya ditunda.
Begitu memperoleh penglihatannya kembali,
meskipun hanya sebelah, Mahmud segera dapat membedakan Farida dengan Winda.
Dan dia mulai memilih. "Kalau harus menikah juga, lebih baik dengan
adiknya, Bu," kata Mahmud setelah hampir setengah
tahun pernikahan mereka ditunda dan
ibunya mendesak terus. "Saya merasa lebih cocok."
"Bagaimana kau ini!" gerutu ibunya jengkel.
"Sengaja membuat Ibu malu" Yang Ibu lamar
kan Farida! Bagaimana kau mau menikah dengan
adiknya!" "Tapi Winda lebih menarik, Bu."
"Gadis itu masih kekanak-kanakan! Belum dewasa!
"Tapi saya lebih tertarik padanya."
"Cobalah Ibu bicarakan dengan mereka...."
"Tidak! Mau ditaruh di mana muka Ibu""
"Saya rasa mereka juga mengerti, Bu."
"Apanya yang mengerti" Kaukira perempuan
itu barang" Sudah diambil dapat ditukar lagi""
"Belum diambil, Bu. Baru ditawar!"
"Tapi sudah Ibu lamar!"
"Buat apa saya dipaksa menikahinya kalau kemudian saya ingin menceraikannya lagi""
"Farida itu gadis baik. Berpendidikan. Sopan.
Keturunan orang baik-baik pula..."
"Tapi dia cacat!"
"Dari dulu juga kau tahu dia cacat!"
"Tapi dulu saya tidak melihatnya!"
"Ibu sudah melihatnya.
Dan Ibu tetap mengaguminya walaupun dia cacat."
"Tapi yang mau kawin kan saya, bukan Ibu!"
Ketika Mahmud datang kembali enam bulan se
sudah pernikahan mereka ditunda, Farida sadar,
perkawinan itu bukan hanya ditunda. Tapi sudah
hampir dibatalkan. Walaupun Mahmud tidak berkata apa-apa dan
dia bersikap sangat sopan, Farida dapat merasa
kan keengganan calon suaminya untuk mengambilnya sebagai istri.
Caranya menatap dirinya sangat menyakitkan.
Benar Mahmud tidak memandangnya dengan
jijik. Tatapannya pun lebih banyak diliputi perasaan iba daripada menghina.
Tetapi ditatap seperti itu oleh orang yang hampir menjadi suaminya,
justru membuat Farida tambah merasa direndahkan.
Dan meskipun hatinya sakit, harga dirinya terlukai,
Farida tidak mau memperpanjang penderitaan mereka.
Untuk apa menanti sebuah kepalsuan" Kalaupun Mahmud terpaksa menikahinya, berapa lama mereka mampu mempertahankannya"
"Bagaimana matanya, Nak Mahmud"" tanya
lbu Farida, pasti sebagai pembuka jalan untuk
megajukan pertanyaan berikutnya.
Pertanyaan yang telah enam bulan mengganjal benaknya.
"Lumayan, Bu," cepat-cepat disambungnya
kata-katanya seolah-olah takut terlambat.
"Tapi saya masih harus sering bolak-balik ke Jakarta
untuk kontrol." Itu tentu alasan untuk menunda lagi pernikahan mereka.
Mengapa tidak berterus terang saja" Untuk apa
semua kepura-puraan ini"
Katakan saja kamu tidak mau menikahi calon
istimu karena dia cacat, desah Farida dalam hati.
Karena setelah dapat melihat, kamu merasa tidak
sepadan. Kamu merasa dapat memilih isti yang
lebih sempurna. Yang tidak cacat! Tidak buntung!
Farida tidak ingin memperlihatkan air matanya
walaupun hatinya terasa sangat sakit. Dia tidak
ingin dikasihani. Oleh siapa pun. Apalagi oleh
laki-laki seperti Mahmud!
Tetapi bagaimana menahan butir-butir air mata
yang sudah hampir menjebol keluar ini" Lebih-lebih Ibu tam
paknya belum ingin menyudahi pembicaraan mereka.
Ibu masih mendesak Mahmud menentukan hari pernikahannya.
"Maafkan saya, Bu," jawab Mahmud sopan tapi menyakitkan.
"Bukannya saya ingin menunda-nunda terus pernikahan kami. Tapi saya harus
mendahulukan yang terpenting. Mata ini sangat
penting untuk masa depan saya."
"Ibu tahu. Tapi kalau cuma untuk kontrol,
kan bisa dilakukan sesudah menikah""
"Benar, Bu. Tapi saya belum ingin menikah
sebelum mata saya benar-benar sembuh. Ida kan
masih muda. Saya kira dia tidak keberatan menunggu setahun lagi. Bukan begitu, Ida""
Mahmud menoleh sambil tersenyum kaku ke
arah Farida. Dan di mata yang hanya sebelah itu
Farida dapat membaca keengganan yang tersirat
di baliknya. Tiba-tiba saja Farida merasa sangat tersinggung.
Begitu rendahkah harga diri seorang wanita cacat
sampai seorang laki-laki didesak-desak begitu rupa untuk menikahinya"
"Dia sudah tidak menginginkan pernikahan kami, Bu," kata Farida terus terang ketika Mahmud telah meninggalkan rumah mereka.
"Dia hanya tidak sampai hati mengatakannya."
"Biar Faisal menjotos matanya yang cuma satu itu, Kak," geram Faisal sengit. "Sukur-sukur kalau dia buta lagi!"
"Kalau dia berani datang lagi, Winda siram
mukanya pakai air comberan!" sambung Winda
sama gemasnya. "Baru juga melek. sudah berani colak-colek!"
Winda memang pantas geram. Sesudah memperlakukan kakaknya seperti penjual barang tidak laku. sebelum pulang Mahmud berani mencolek
pipinya. Tentu saja saat tidak ada yang melihat.
Kurang ajar! Dia dan Faisal tahu sekali apa alasan Mahmud
menunda perkawinannya. Dan mereka trenyuh
sekali melihat penderitaan kakak sulungnya.
Mereka bisa merasakan penghinaan yang dialami


Dakwaan Dari Alam Baka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Farida. "Tidak perlu," sahut Farida tawar. "Setiap
orang berhak menikah dengan pasangan yang dipilihnya sendiri. Kita tidak bisa memaksa Bang Mahmud menikahi saya kalau memang dia tidak mau.
"Tapi kamu sudah dilamar, Ida!"
sela Ibu murung. "Mau ditaruh di mana muka kita" Semua
tetangga dan handai tolan sudah tahu kamu akan
menjadi isti Mahmud!"
"Kalau Bapak dan Ibu mengizinkan, saya ingin
membatalkan pernikahan ini," cetus Farida tegas.
"Tidak mungkin!" sergah ayahnya terperanjat.
"Bagaimana dapat membatalkan pernikahanmu
tanpa alasan yang jelas""
"Bang Mahmud sebenarnya juga sudah tidak
ingin menikahi saya, Pak. Dia hanya tidak tega
membatalkannya. Kalau saya tidak berani mengambil keputusan, sampai kapan saya harus menunggu""
"Jadi kita harus bagaimana, Ida"" keluh ibunya pahit.
"Meskipun cacat, saya masih punya harga diri,
Bu. Saya tidak mau mengemis minta dinikahi oleh
seorang pria yang tidak menginginkan saya."
Ibunya tidak mampu lagi mengucapkan sepatah kata pun. Hanya air matanya yang meleleh membasahi pipinya.
"Lelaki macam Bang Mahmud tidak berharga
untuk ditangisi, Bu!" sergah Winda jengkel.
"Lepas dia, Kak Ida masih sanggup mendapat suami
yang tujuh kali lebih baik!"
"Dan punya dua mata!" sambung Faisal bersemangat.
"Kalau Bapak dan Ibu tidak keberatan," tukas Farida getir,
"saya ingin membatalkan pernikahan
kami dan melanjutkan studi ke Jakarta."
"Ida!" sergah ayah-ibunya berbareng
"Saya pikir ini jalan yang paling baik. Yang tidak memalukan kedua
belah pihak. Pernikahan dibatalkan karena saya ingin melanjutkan pelajaran
ke fakultas hukum. Saya yakin mereka tidak
akan menolak keinginan saya. Karena mereka juga sama bingungnya dengan kita.
Tetapi ibu Mahmud terkejut sekali ketika mendengar rencana Farida.
"Ke Jakarta" Masuk fakultas hukum" Berapa
lama lagi pemikahan kalian harus ditunda, Ida""
"Saya pikir cita-cita Ida baik sekali, Bu!" sela
Mahmud gembira seperti mendapat durian runtuh. Tatapannya bersorot sangat lega, seolah-olah sebuah beban yang teramat berat tiba-tiba saja
tersingkir. "Kita tidak boleh menghalangi tekad-nya! Buat wanita zaman sekarang, pernikahan
bukan lagi yang paling penting!"
"Buat saya, pemikahan masih tetap yang paling
penting. Bang," cetus Farida tegas.
"Saya hanya ingin memiliki sesuatu yang dapat menambah
rasa percaya diri saya sebagai orang cacat. Saya
juga ingin belajar lebih baik lagi agar kelak dapat
menjadi istri yang tidak mengecewakan jika kesempatan itu masih ada."
Saat it u mata mereka bertemu. Dan di dalam
mata yang selalu bersorot pahit itu, Mahmud menemukan
sinar yang amat dingin seperti sebuah
bongkah es. Tapi sekaligus tekad yang sangat
kuat laksana baja. Dan melihat tatapan gadis itu, senyum lenyap
dari bibir Mahmud. JAKARTA 1988 BAB VII "SUDAH lama sekali kita tidak bertemu ya,
Ida"" kata Mahmud ketika mereka sedang melangkah bersama ke mobilnya.
Mahmud berkeras hendak mengantarkan Farida. Dan Farida harus membuang jauh-jauh pikiran itu. Mahmud menawarkan jasa untuk menyilih rasa bersalahnya.
"Terakhir melihatmu waktu kamu pulang berlibur. Saat itu kamu masih kuliah di Jakarta. Tahun delapan satu, kalau tidak salah, ya""
Tentu saja tidak salah. Kamu pasti masih ingat.
Waktu itu kamu sudah hampir menikah dengan
gadis lain. Alasanmu tepat sekali. Kamu sudah
hampir terlambat menikah. Umurmu sudah tiga
Puluh. Tidak dapat menunggu lagi sampai aku
menyelesaikan kuliah. Tetapi tidak ingin menghancurkan masa depanku. Cita-citaku. Karierku.
Karena itu kamu terpaksa memilih calon lain.
"Dia cuma tidak ingin menikahi saya, Bu" kata Farida pahit. "Dia sudah punya calon lain. Yang tidak cacat. Yang tidak memalukan sebagai istrinya."
Putusnya pertunangan mereka memang memberi aib pada keluarganya. Ayah-ibunya merasa sangat malu. Farida juga merasa sedih. Terhina.
Tetapi sampai sekarang dia tidak menyesali keputusannya. Kalau untuk mempertahankan harga
dirinya dia harus berkorban, dia tidak akan ragu
memilih cara itu. Dan heran. Ketika bertemu iagi dengan pria
yang hampir menjadi suaminya ini, dia malah
bersyukur tidak jadi menikah. Kalau dulu dia salah melangkah, barangkali justru sekarang dia menyesali pilihannya.
"Bapak-Ibu baik, Ida"" tanya Mahmud untuk
memecahkan kesunyian. Sejak duduk di sampingnya di dalam mobil, Farida lebih banyak membisu. Dan keheningan di antara mereka entah
mengapa, membuat Mahmud resah.
"Baik, Bang. Terima kasih." Suara Farida begitu
tenang. Begitu mantap. Begitu dewasa.
Dia sudah banyak berubah, pikir Mahmud kagum
Tak ada lagi gadis cacat yang pendiam
dan rendah diri itu. Dia kini tampil penuh percaya
diri sebagai seorang sarjana hukum yang disegani.
"Istri Abang juga sehat" Kapan-kapan saya
ingin berkenalan. "Nada suara Farida begitu wajar. Tidak ada nada cemburu. Tidak ada maksud
ingin tahu seperti apa perempuan yang telah
menyingkirkannya. "Oh, dia pasti senang sekali! Kalau ketemu koran, yang dicarinya pasti perkara Linda Ramelan! Kamu tahu tidak, Pak Sabdono itu kan bekas
gurunya di Surabaya!"
"Di Surabaya"" bergetar suara Farida.
"Dia pernah mengajar di sana""
"Katanya sebelum mengajar di Jakarta."
"Saya ingin sekali bertemu istri Abang," cetus
Farida bersemangat. "Bagaimana kalau sekarang"
Dia ada di rumah""
Yuniarti lumayan cantik. Tubuhnya ramping.
tinggi semampai. Rambutnya yang hitam, ikal berombak.
tergerai sampai sebatas bahu.
Sekali lihat penampilannya mirip Farida. Bedanya, dia
tidak cacat. Yuniarti begitu terkesan melihat Farida. Dan
dengan perasaan heran Farida melihat bagaimana
bangganya Mahmud ketika memperkenalkan tamunya.
"Jaksa yang menuntut Pak Sabdono,"
kata Mahmud tanpa menyembunyikan perasaan bangganya, berhasil membawa figur terkenal itu ke rumah mereka.
"Yang berhasil menjebloskan gurumu ke penjara!"
"Saya sampai tidak percaya Pak Sabdono sebejat itu," keluh Yuniarti terus terang. "Dia sama
sekali tidak genit! Tidak berbahaya. Tampangnya
sih oke. Tapi waktu itu pun dia sudah menikah.
Sudah punya anak. Sudah tidak menarik lagi."
"Tidak tahu mengapa Pak Sabdono pindah""
"Sampai saya lulus, dia masih mengajar di
SMA itu. Adik saya masih sempat jadi murid-nya."
"Di mana adik Kak Yun sekarang" Saya boleh
minta alamat rumahnya""
"Ada apa sebenarnya"" sergah Yuniarti bingung.
"Perkaranya telah selesai, kan" Pak Sabdono telah
dihukum tujuh bulan""
"Dia mengajukan banding. Saya ingin menyelidiki masa lalunya."
"Jangan libatkan Yunisar!" potong Mahmud tegas.
"Dia sudah menikah. Suaminya orang terpandang.
Mereka pasti tidak mau terlibat perkara seperti ini!"
"Saya hanya ingin mencari keterangan tentang Pak Sabdono,"
sahut Farida sama tegasnya.
" Bukan tentang mereka."
SURABAYA 1988 BAB VIII TETAPI seperti yang telah diduga Farida, tidak
mudah menemui istri seorang pejabat. Apalagi
jika dia sendiri memang enggan ditemui.
Berkali-kali Farida datang ke rumahnya. Jawaban yang diperolehnya hanyalah,
"ibu tidak ada di rumah."
Kegigihan Farida dan nasib baiknyalah yang
akhirnya menolongnya. Ketika dia sedang berkunjung untuk kesekian kalinya, suami Yunisar kebetulan pulang ke rumah.
Ketika melihat seorang wanita buntung sedang
berbicara dengan satpamnya, dia membuka kaca
jendela mobilnya dan melongokkan kepalanya keluar.
"Ada yang bisa saya bantu""
tanyanya dengan suaranya yang besar berwibawa.
"Selamat siang, Pak" sahur Farida sopan tapi
sama berwibawanya. Dia memperkenalkan dirinya. Sekaligus menyata
kan maksud kedatangannya.
Sikap suami Yunisar langsung berubah ketika
mengenali siapa yang datang.
"Silakan masuk," katanya ramah. Dia menyuruh satpamnya mengantarkan Farida ke ruang tamu rumahnya yang besar dan megah.
Dia sendiri memanggil istrinya untuk menemui Farida.
"Kakak saya telah memberitahukan keinginan
Anda," kata Yunisar dingin begitu mereka duduk
bethadapan. "Sayang sekali, tidak ada yang dapat saya bantu."
Farida mengawasi wanita berbusana mahal
yang duduk di depannya. Dibandingkan dengan kakaknya yang berpenampilan sederhana, mereka
memang jauh berbeda. Yunisar jauh lebih cantik.
Lebih anggun. Sayangnya, parasnya yang selalu tegang, tatapannya yang congkak, senyumnya yang langka, penampilannya yang judes, membuat dia tampak
lebih tua dari usianya yang baru tiga puluh dua
tahun. Jika direndengkan dengan kakaknya yang
umurnya berbeda dua tahun, Yunisar malah ke
lihatan lebih tua. "ibu tidak ingat sama sekali pada seseorang
yang dulu pernah menjadi guru Ibu""
"Tidak ada yang perlu diingat," sahut Yunisar ketus.
"Tidak ada yang istimewa."
Tetapi kalau begitu, mengapa suaramu begitu
kering" Mengapa kamu tampak begitu enggan
membicarakannya" Jika benar tidak ada apa-apa,
mengapa sikapmu sangat berbeda dengan kakakmu"
Sikap Yuniarti sangat wajar.
Tetapi sikap adik-nya sangat mencurigakan. Naluri Farida sebagai
seorang penuntut umum membisikkan,
wanita ini menyembunyikan sesuatu.
Sesuatu yang tidak menyenangkan dari masa lalunya.
Dan masa lalu itu rasanya berhubungan
dengan tokoh yang satu inii. Sabdono Lesmono. Bekas gurunya di SMA.
"Kalau tidak salah, Ibu meninggalkan sekolah
itu sebelum menyelesaikan SMA"" desak Farida gigih.
"Saya menikah,"
sahut Yunisar singkat. Pada tahun yang sama,
Pak Sabdono pindah ke jakarta bukan" kalau tidak keliru, saat itu tahun tujuh puluh tiga""
"Mengapa tidak anda tanyakan saja ke sekolah""
"Saya mendapat keterangan itu dari sana."
"Kalau begitu, buat apa tanya saya lagi""
"Saya pikir Ibu tahu mengapa Pak Sabdono mendadak pindah."
"Mengapa saya harus tahu""
dengus Yunisar dingin. "Saya idak suka cara Anda bertanya.
Anda seperti sedang menyelidiki masa lalu saya.
"Ibu merasa begitu""
tanya Faida berlagak bodoh. "Padahal saya hanya ingin menyelidiki masa
lalu Pak Sabdono, yang kebetulan guru Ibu."
"Banyak muridnya yang lain. Mengapa harus
bertanya kepada saya""
"Ibu bisa memberikan nama dan alamat murid
lain yang dekat dengan Pak Sabdono""
"Saya tidak tahu!" tukas Yunisar sambil bangkit
dari kursinya. "Rasanya sudah cukup pertemuan
kita. Saya tidak ingin bertemu Anda lagi. Selamat
siang." Untuk kedua kali nya Farida datang ke bekas sekolah Yunisar.
Kegigihan memang sudah menjadi
ciri khasnya. Dia pantang menyerah meskipun
kedatangannya selalu dicurigai.
kali ini dia tidak menanyakan tentang Yunisar.
Dia mencari alamat terakhir bekas istri Sabdono
Lesmono. "Buat apa lagi mencari Ibu Halimah"" dengus
kepala sekolah pedas. "Mereka sudah bercerai sejak tahun tujuh puluh tiga.
Ibu jangan mencari-cari masalah."
"Saya hanya ingin tahu mengapa mereka bercerai. Dan apakah karena perceraian itu Pak Sabdono pindah ke Jakarta""
"Ibu Halimah punya dua orang anak perempuan. Lebih baik kalau mereka tidak tahu ayahnya terlibat masalah yang memalukan seperti
ini." Saya hanya ingin bicara dengan ibunya. Saya
janji anak-anak mereka tidak akan di
libatkan." Tetapi Halimah pun tidak mau membuka mulut.
"tidak ada yang dapat saya ceritakan." katanya
datar. "Kami bercerai baik-baik. Bapaknya anak-anak masih terus mengirim tunjangan sampai saya menikah lagi."
"Saya dengar Ibu minta cerai karena tidak sanggup lagi hidup sebagai istri guru yang gajinya pas-pasan""
Mata Halimah melebar sedikit. Parasnya berubah jengkel.
"Saya sudah belasan tahun menjadi istrinya!
Masa sesudah hidup bersama begitu lama
baru minta cerai karena gajinya tidak cukup""
"Jadi mengapa Ibu tiba-tiba minta cerai""
"Saya tidak ingin mengatakannya,"
suara Halimah terdengar amat tertekan. "Masalahnya terlalu
pibadi." "Ibu tahu perkara yang menimpa Pak Sabdono" Ibu mengikuti beritanya""
"Saya sengaja tidak membaca koran."
"Tapi Ibu dengar juga, kan" Pak Sabdono dihukum tujuh bulan karena dituduh berbuat tidak senonoh dengan muridnya."
"Saya tidak mau dengar," potong Halimah datar.
"Ibu tidak kelihatan kaget."
"Haruskah saya kaget""
"Mengapa" Karena Ibu sudah pernah mengalaminya."
"Mengalami apa"" bantah Halimah marah. "Lebih baik Ibu pergi sebelum anak bungsu saya pulang. Saya tidak mau dia mendengar hal yang
bukan-bukan tentang ayahnya!"
"Saya berjanji anak-anak Ibu tidak akan mendengar hal-hal buruk tentang ayah mereka. Tapi Ibu juga harus membantu saya."
"Tidak ada yang bisa saya bantu! Kami sudah
lima belas tahun bercerai! Saya tidak tahu
apa-apa lagi tentang dia!"
"Saya percaya. Yang ingin saya tanyakan hanya
satu. Apa alasan perceraian Ibu" Mengapa Ibu


Dakwaan Dari Alam Baka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minta cerai"" "Kenapa Ibu menanyakan itu terus""
"Karena saya merasa bukan karena gaji suami
Ibu sebagai guru tidak cukup maka Ibu minta
cerai. Ketika melihat Ibu tadi, saya yakin, Pak
Sabdono berbohong." "Dia bilang itu alasan saya minta cerai"" suara
Halimah mulai meninggi. "Dia mengatakannya kepada seiap orang.
Kepala sekolah dan rekan-rekan gurunya di Jakarta
sangat bersimpati padanya."
Halimah tampak sangat marah. Dia tersinggung sekaligus sakit hati. Tetapi dia tetap tidak mau mengatakan alasannya bercerai.
"Kalau karena gaji, saya sudah minta cerai sejak di Medan!"
"Ibu pernah tinggal di Medan""
"Saya lahir di sana."
"Mantan suami Ibu mengajar juga di Medan""
"Di sebuah SMA."
"Sebagai guru olahraga" Tidak ada pekerjaan
sampingan lain""
"Dari dulu juga dia guru! Gajinya kecil. Tidak
bisa ngobjek. Tapi saya tidak pernah minta cerai!
Berpikir ke sana saja tidak!"
"Jadi apa alasan Ibu yang sebenarnya""
"Sudah saya bilang, saya tidak ingin mengatakannya! Apa hubungannya perkara dia dengan alasan saya bercerai""
"Saya yakin alasan Ibu sangat penting bagi
saya untuk memahami karakter dan kebiasaan
mantan suami Ibu. Jika Ibu sudah mau menceritakannya, tolong hubungi saya."
Farida meletakkan kertas berisi nama hotelnya beserta nomor teleponnya di atas meja.
"Ada satu hal lagi yang ingin saya katakan sebelum saya pergi. Apa yang
Ibu katakan kepada saya, mungkin dapat menolong murid perempuan lain terhindar dari nasib yang menimpa Linda Ramelan."
Farida masih ringgal beberapa hari lagi di Surabaya. Dia mengharapkan salah satu pancingnya mengena. Tapi harapannya sia-sia. Baik Yunisar
maupun Halimah tidak pernah menghubunginya lagi.
Kedatangannya ke bekas sekolah Yunisar pun
sudah tidak banyak gunanya lagi. Makin banyak
orang yang tidak mau bicara kepadanya. Bahkan
melihat saja pun mereka sudah enggan.
Jadi dia guru yang sangar disukai, pikir Farida
jengkel. Begitu pintarnya dia menutupi wajahnya
dengan topeng sampai orang tidak bisa melihat
wajahnya yang sebenarnya. Wajah di balik topeng. Wajah iblis.
"Mau apa jaksa buntung itu datang terus-terusan ke sekolah kita""
gerutu seorang guru kepada rekannya.
"Belum cukup dia menjebloskan Pak
Sabdono ke penjara""
"Buat dia, tujuh bulan tidak cukup. Dia ingin
orang lain menderita lebih berat. Yah, wajarlah
untuk orang cacat seperti dia. Pasti penderitaan-nya tidak sedikit."
"Saya boleh bicara dengan Bapak dan Ibu""
tanya Farida sambil menghampiri mereka tanpa
ragu. Kedua orang guru itu tampak rerkejut. Mereka
tidak menyangka Farida langsung datang menegur.
Tetapi guru yang wanira segera menjawab
dengan jude s. "Kami tidak ingin bicara dengan Ibu. Tidak
ada yang perlu dibicarakan."
"Mengapa Ibu yakin sekali Pak Sabdono tidak
bersalah"" "Karena kami kenal teman sejawat kami. Pak
Sabdono bukan orang macam itu! "Tidak ada
guru yang tega merusak muridnya sendiri! Ibu
telah mencoreng profesi guru!"
"Saya kenal banyak guru yang baik. Saya hanya ingin me
lindungi mereka yang mungkin
akan menjadi korban Pak Sabdono yang berikutnya! Menjauhkan mereka dari nasib yang menimpa Linda Ramelan!"
"Jika Pak Sabdono memang seperti yang Ibu
tuduhkan," sela guru yang laki-laki, "berapa banyak murid sekolah kami yang sudah jadi korban" Kenyataannya selama dia mengajar di sini
,tidak ada masalah yang demikian menjijikkan!"
"Bagaimana kalau korban tidak mengadu"
Bagaimana kalau mereka terpaksa menyimpan
rahasia karena malu""
"Tidak mungkin! Masa dari sekian ratus murid
tidak ada yang mengadu""
Percuma, pikir Farida ketika dia sedang meninggalkan sekolah itu dengan gemas. Tidak ada yang memercayai kecurigaanku. Semuanya memihak guru yang baik itu! Yang dari luar tampak begitu suci seperti malaikat!
Tapi aku belum putus asa. Aku yakin akan menemukan lubang itu, betapapun tersembunyinya dalam gelap!
Lubang yang akan membawaku menemui
Sabdono Lesmono yang sesungguhnya! Saat itu, dia
takkan dapat mengenakan topengnya
lagi! Aku akan melucuti topengnya. Menarik wajah iblis itu
keluar dari balik dinding sekolah!
JAKARTA 1988 BAB IX "SAYA punya kesan. Ibu Yunisar tidak ingin
terlibat bukan karena dia istri pejabat."
kata Farida pada rekannya.
"Ada yang lain. Saya merasa
dia menyembunyikan sesuatu."
"Maksudmu." Sultan tersenyum tipis, dia pu
nya affair dengan gurunya""
"Sikapnya sangat misterius. Dia seperti tidak
ingin ada yang mengungkit masa lalunya di SMA
Ketika dia jadi murid Sabdono Lesmono."
"Mungkin dia malu punya guru sebejat itu.
dia kan sekarang istri pejabat. Tokoh masyarakat."
"Bukan malah sebaliknya" Seharusnya dia membantu
penegak hukum yang hendak melindungi
anak didik dari guru yang sebejat itu."
Guru juga manusia. da, sekali-sekali mereka dapat juga berbuat salah."
"Karena itu saya ingin mengetahui masa lalunya. saya ingin tahu mengapa dia sampai hati berbuat demikian. padahal saya kenal benyak guru yang baik. yang rela berkorban demi anak didiknya."
"kan tadi saya sudah bilang. guru juga manusia, bia khilaf."
"Itu yang ingin saya ketahui, dia cuma khilaf, atau dia memang berbeda. kalau dia punya kelainan, berbahaya sekali membiarkannya tetap jadi guru, kan"
"Ida," Sultan menatapnya dengan sungguh sungguh. "Sudah lama saya mengagumimu, kamu gadis yang hebat. tapi jangan mencoba untuk menjadi terlalu hebat."
"Terlalu hebatkah mencoba melindungi anak-anak yang tidak bersalah dari kekejaman perkosaan""
"Saya tahu kamu membenci perkosaan seperti bibit penyakit. kamu merasa tidak adil kalau pemerkosa hanya dihukum sekian bulan, tapi jangan sampai obsesimu itu mengorbankan orang lain."
"Itu bukan obsesi," bantah Farida tegas. "Saya memang ingin agar pemerkosa dihukum seberat-beratnya. yang saya heran, justru kaum wanita yang saya bela, yang setiap saat punya risiko untuk menjadi korban perkosaan, tidak berada di pihak saya."
"Maksudmu Ibu Yunisar yang terhormat""
"Mengapa dia seperti melindungi Sbdono Lesmono""
"Mungkin dia melindungi dirinya sendiri."
"Kakaknya punya seorang anak perempuan yang bersekolah di sana. memang masih SD. tapi tidak takutkah dia beberapa tahun lagi nasib Linda Ramelan menimpa keponakannya juga""
"Kira-kira, Da! Sabdono Lesmono kan bukan seks maniak!" meledak tawa Sultan. "Masa semua anak perempuan satu sekolahan mau dilahap semua""
"Tapi kemungkinan itu selalu ada kalau dia sakit!"
"Kepalamu yang bisa sakit kalau kamu ngotot begini!"
"Saya memang tidak bisa menghilangkan pikiran itu dari kepala saya, saya bingumg mengapa semua orang yang saya temui seperti melindungi dia teman sejawatnya. okelah, tapi bekas istrinya" mengapa perempuan itu juga tidak mau mengatakan mengapa dia minta cerai" saya benar-benar tidak mengerti. pusing!"
"Saya tahu cara menghilangkannya," sultan tersenyum lembut. sudah lama kamu ti
dak bersantai. bagaimana kalau hari minggu besok saya bawa kamu rekreasi""
Farida mengangkat mukanya dari tumpukan berkas di hadapannya. menengadah dan menatap Sultan seperti baru dibangunkan dari tidur yang lelap.
Sultan mengajaknya rekreasi" apakah semacam kencan" masih menaruh hatikah sultan kepadanya"
Hampir di sepanjang masa kuliahnya di fakultas hukum Sultan berusaha mendekatinya. Tetapi
hubungan mereka tidak pernah lebih dek at dari
hubungan dua orang sahabat. Karena Farida tidak
pernah melayani hubungan yang lebih intim.
Farida masih ingat pertemuan mereka yang
pertama sepuluh tahun yang lalu. Ketika dia pertama kali datang ke kampus untuk mengambil formulir pendaftaran.
JAKARTA 1978 BAB X Ibu Farida sudah mengontak adiknya di Jakarta.
Minta tolong agar Farida boleh menumpang
tinggal di rumah mereka. Dan karena Paman
Ismail tidak keberatan, Farida berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan studinya di fakultas
hukum. Paman Ismail dan istrinya mempunyai tiga
orang anak. Nani, delapan belas tahun. masih
duduk di kelas tiga SMA. Yani, dua tahun lebih
muda. Dan si bungsu Doni. baru sebelas tahun.
Kalau Paman Is dan Bibi Nur tidak dapat
menyembunyikan rasa kagumnya melihat tekad
Farida yang demikian besar. anak anaknya malah
mengira dia gila. "Tidak jadi gembel saja sudah bagus," menyeringai Nani. "Mau jadi sarjana Hukum! Ge-er!"
Tentu saja dia kesal. baru hari pertama saja ayahnya sudah membanding-bandingkan Farida dengan dirinya.
"Yang cacat saja punya tekad begitu besar untuk jadi orang," kata ayahnya kagum. "Berjuang untuk meraih gelar sarjana! tidak seperti kamu, Nani, tubuhmu sempurna tapi malas! tidak punya semangat!"
tentu saja ayah bilang begitu. soalnya Nani sudah bertekad tidak akan melanjutkan studinya ke bangku kuliah. lulus SMA dia mau kerja sambil menunggu pacarnya lulus dari fakultas ekonomi. dan karena kuliah Hamid tinggal setahun lagi, tanggung kan kalau Nani masuk perguruan tinggi"
Yani lain lagi. umurnya sudah enam belas. tapi dia baru duduk di kelas dua SMP. kata Doni, otaknya titipan kerbau. makanya dia dua kali tidak naik kelas.
"Tidak malu sama sepupumu"" ibu ikut menjadi nyinyir sejak kedatangan Farida. "Dia tidak punya tangan, tapi otaknya jalan! kamu punya tangan, tapi tidak punya otak!"
Terang saja Yani juga jadi ikut merasa gerah. dan dia sudah tidak menyukai sepupunya sejak pertama kali datang. karena itu dia tidak mau membantu Farida membersihkan kamarnya biarpun disuruh ibunya.
Farida diberi sebuah kamar yang tidak terlalu besar. bekas gudang yang sudah tidak terpakai lagi. dia membersihkan sendiri kamarnya, tanpa minta bantuan orang lain.
pekerjaan sehari-haripun dilakukannya sendiri. mencuci baju, menjemur. menyetrika. bahkan membantu bibinya menyiapkan makanan di dapur. bibi Nur sampai terlongong-longong melihat kemampuan keponakannya.
kalau selama ini dia hanya mendengar kebolehan Farida dari kakak iparnya, sekarang dia melihat sendiri kemampuannya. dan semua itu membuatnya semakin takjub. dan semakin rewel menyuruh anak-anaknya mencontoh kerajinan dan keuletan Farida.
mula-mula anak-anaknya memang tidak menggubris. ibu memang cerewet. kalau tidak mengomel, bukan ibu namanya. tetapi lama-kelamaan mereka bosan juga. hampir tiap hari ibu memuji-muji si buntung. seperti tidak ada kerjaan lain saja!
"dia kan numpang!" gerutu Yani. "Pantas saja disuruh bantu-bantu! hitung-hitung bayar uang pondokan!"
"Tahu tuh! Saban hari dipuji-puji! bosan! padahal apasih hebatnya masak" semua orang juga bisa!"
Tidak salah kalau mereka kesal. karena semakin rajin Farida, semakin sering juga mereka ditegur ibu.
lebih-lebih ketika Farida mulai menerima jahitan dari para tetangga. dia memanfaatkan mesin jahit tua milik bibi Nur. melihat kerajinannya, sekarang ayah mereka juga ikut-ikutan jadi cerewet.
Contoh kakakmu tuh! sudah rajin, pintar, ulet, lagi! jangan seperti kalian. malasnya setengah mati!"
"Jangan kelewat rajin deh, Kak!" tegur Nani malam itu, ketika dia sudah bosan digerutui ayah-ibunya. "Nanti kita yang jadi korban!"
Farida yang sedang sibuk menjahit mengangkat mukanya de
ngan heran. tapi Nani sudah masuk ke kamarnya sambil membanting pintu.
ketika Farida masih tertegun bengong, Doni menyelinap ke dekatnya, dia menyeringai jenaka. memang cuma dia anak pak Is yang tidak memusuhinya.
"Biasa," cetusnya riang. "Dapat cepek!"
"Kakakmu dimarahi lagi"" tanya Farida bingung. lalu mengapa dia marah padaku"
"Gara-gara Kak Ida kelewat rajin! jadi Kak Nani kelihatan malasnya!" Doni tertawa geli.
"Oh, begitu," gumam Farida dengan perasaan tidak enak. jadi aku harus bagaimana" susah juga menumpang di rumah orang. tidak seenak di rumah sendiri.
ketika dia sedang memasukkan benang dengan mulutnya, Doni mengawasinya dengan penuh perhatian.
"Boleh Doni bantu, kak"" cetusnya spontan.
Farida menoleh. dan melihat betapa seriusnya Doni memandangnya, seuntai senyum manis tersungging di bibirnya.
"Apa yang Doni bisa bantu""
"Apa saja. memasukkan benang. menggunting kain. menyulam juga bisa kalau diajari."
Mau tak mau Farida tertawa. Doni memang lucu. dialah satu-satunya penghibur di rumah ini.
"Doni mau belajar menyulam""
"Mau." "Nanti kak Ida ajari."
"Anak laki boleh nyulam""
"Kenapa tidak""
"Nanti jadi banci."
"Bukan gara-gara nyulam orang jadi banci."
"Kak Ida nyulam pakai apa""
"Pakai kaki. tapi Doni boleh pakai tangan."
"Sekarang""
"Sekarang kak Ida masih repot. Doni tolong masukkan jarum saja, ya""
Dengan bersemangat Doni mengambil benang dan membungkuk di samping mesin jahit.
Ketika tiba di kampus untuk mendaftar saja, farida telah menarik perhatian. semua orang menoleh dan memandangnya dengan heran.
"Si buntung itu mau daftar"" cetus seorang calon mahasiswi bingung. "Bukan mau minta-minta""
"Kira-kira, In," temannya memukul bahunya.
"Bajunya kan bukan potongan pengemis!"
Tentu saja beberapa patah kata-kata mereka menusuk telinga Farida. tetapi dia tidak peduli. sudah biasa baginya menerima gunjingan orang.
sejak kecil dia sudah biasa menyaksikan reaksi orang yang melihatnya. ada yang iba. ada yang menghina. semua itu sudah menjadi bagian dari hidupnya.
"Ambil formulir, Dik" sapa seorang mahasiswa.
"Iyalah," menimpali temannya. "Masa mulung sampah""
"Buat adiknya"" sambung mahasiswa yang pertama, tanpa mengacuhkan seloroh rekannya. Suaranya tidak bernada menghina.
"Buat saya, Kak," sahut Farida tenang, tanpa
mengacuhkan tatapan terperanjat pemuda itu.
"Buat kamu"" belalak temannya sambil menahan tawa. "Mau mengumpulkan kertas bekas
atau ikut pendaftaran""
"Diam kamu!" Mahasiswa yang pertama menyodok pinggang temannya dengan sikunya. Begitu
kerasnya sampai temannya mengaduh kesakitan.
Cepat-cepat dia mengumpulkan formulir-formulir
yang dibutuhkan. "Bagaimana kamu mau ikut tes"" sela temannya penasaran. "Akan saya coba, Kak" sahut Farida tanpa
emosi. "Kamu bisa nulis""
"Saya punya ijazah SMA, Kak."
"Pertanyaan goblok!" Mahasiswa yang pertama
sekali lagi hendak menggebuk bahu temannya.
Tetapi kali ini pemuda itu sempat mengelak. "Ja
ngan ladeni si Aji! Otaknya memang bengkok
seperti hidungnya! Jadi IQ-nya juga jongkok! Kenalkan, saya Sultan...."
"bohong!" sambar Aji sambil tertawa terbahak-bahak. "dia bukan sultan! Abunawas!"
Calon-calon mahasiswa yang sedang berdesakan mengambil formulir ikut tertawa.
"Saya Farida," sahut gadis tanpa lengan itu sederhana.
"Saya Aji." dengan gesit Aji mendahului rekannya mengulurkan tangan mengajak bersalaman.
Sultan menepiskan tangannya dengan gemas.
"Sori," katanya sambil tersenyum masam kepada Farida. "Dia memang mengidap retardasi mental. tingkahnya suka aneh-aneh."
"apanya yang aneh"" Aji membeliak pura-pura kesal. "Aku ngajak kenalan, kan" mana ada orang kenalan pakai kaki" semua juga pakai tangan! atau mesti pakai mulut""
"Idih! ejek gadis-gadis remaja yang sedang antre di sana. "Maunya tuh!"
"Boleh saya minta formulirnya, kak"" tanya Farida tanpa merasa tersinggung.
"Oh tentu! tapi kamu mau nulis pakai apa" pakai mulut" atau... kaki""
"Bukan urusanmu!" sekali lagi Sultan menyodok rusuk temannya. lalu cepat-cepat dia memberikan seberkas formulir kepada Farida.
sesaat sebelum menyerahkan kertas-kertas itu, dia baru ingat. dengan apa gadis ini he
ndak menerima formulirnya"
Tapi tanpa ragu-ragu Farida mengambil kertas-kertas itu dengan mulutnya. lalu memasukannya ke dalam tas terbuka yang tergantung di bahunya. Tali tas itu disilangkan ke dada
supaya tidak jatuh. "Terima kasih," katanya sambil tersenyum.
Kemudian tanpa menghiraukan bisik-bisik di
belakangnya, ditinggalkannya tempat itu.
"Bukan main!" cetus Sultan kagum. "Semangatnya luar biasa!" "Itu bukan semangat, tapi gila!" sambar Aji.
"Tidak tahu diri," komentar temannya yang
Iain. "Nekat!" "Kasihan " desis seorang gadis cantik yang sedang mengambil formulir. "Dia lebih mirip pengemis daripada calon sarjana hukum!"
"Yang kayak apa sih yang mirip sarjana hukum, Neng"" sindir Sultan sambil tersenyum
sinis. "Yang penting ini nih. tahu nggak"" potong
seorang gadis yang tubuhnya subur makmur sambil menunjuk kepalanya. "Ada isinya tidak""
"Jangan sok!" balas gadis yang pertama. "Kamu


Dakwaan Dari Alam Baka Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga masih harus membuktikan, isi kepalamu sama nggak padatnya dengan isi perutmu!"
Mereka hampir saja ribut mulut jika tidak dicegah Sultan. Dan keributan itu berlanjut terus
sampai mereka sama-sama duduk di bangku kuliah. hampir tiap hari si genit Lin Sekaryani dan si subur Endang Puspita bertengkar. ada-ada saja topiknya.
Tetapi hari ini mereka ribut gara-gara berebut bangku di depan. maklum, yang memberi kuliah hari ini dosen favorit.
Hans Walian. S.H., dosen ganteng bertampang Indo, berperawakan tinggi atletis yang terkenal keren dan simpatik.
Tidak peduli umurnya sudah empat puluh. tidak peduli dia sudah menikah. tidak peduli istrinya fotomodel top yang gambarnya sering menghiasi cover majalah.
Pokoknya kalau giliran dia mengajar, ruang kuliah penuh sesak. dan deretan bangku depan laris seperti nonton peragaan busana.
Lin jengkel sekali ketika melihat tiga baris bangku paling depan sudah fully booked. padahal dia sudah datang pagi-pagi. dan yang membuat hatinya tambah panas, Endang sudah berhasil menduduki dua kursi yang paling depan.
"Dang, aku tahu badanmu ukuran King size. tapi nggak etis duduk di dua bangku, kan""
"Bodo amat," sahut Endang pedas. "Nggak ada yang larang kok!"
dia memang sedang menunggu Farida. untuk dialah kursi di sampingnya disediakan. dalam beberapa bulan ini mereka memang sudah menjadi kawan akrab.
Endang sangat mengagumi semangat temannya. dialah yang selalu dengan gigih membela Farida kalau ada orang yang mengejek atau meragukan kemampuannya.
seperti ketika diadakan pemilihan ketua tingkat dulu. ketika Farida yang terpilih, beberapa orang mehasiswa mengajukan protes. semakin lama jumlah yang memprotes semakin banyak sehingga yang pro dan kontra berimbang.
Karena perdebatan mereka tidak ada habis-habisnya dan sudah mulai memancing kekerasan fisik, masalah itu dibawa ke senat mahasiswa.
"Ida mampu melakukannya," kata Endang yang menjadi pemimpin pihak yang menyokong Farida menjadi ketua Tingkat. "Kita sudah melihat kemampuannya, apa yang tidak bisa dilakukannya" lagipula dia sudah terpilih secara demokratis!"
"Yang punya tangan saja banyak, buat apa memilih yang tidak punya tangan"" sanggah Lin yang berada di kutub yang berbeda. "Buat apa lagi menambah beban Ida" mengganti tangan dengan kaki kan tidak gampang. ibarat ban, kalau bebannya terlalu berat, bisa meletus!"
"Yang serius kamu!" tegur Sultan yang menjadi ketua senat dengan suara berwibawa. "Kalau kalian tidak punya alasan yang rasional, lebih baik tidak usah memprotes!"
"Dia hanya tidak mampu mengemukakan keberatannya dengan bahasa indonesia yang baik dan benar!" sela Rita yang berada satu kutub dengan Lin. "Maksudnya sebenarnya baik. kami tidak mau menambah berat beban Farida. menjadi ketua tingkat kan tidak ringan."
"Kenapa tidak kita tanyakan saja pada Ida""
sambar Endang tidak mau kalah. "Dia sanggup tidak jadi ketua tingkat""
Sekarang Sultan menoleh ke arah Farida. gadis itu sedang duduk dengan tenang di kursinya. wajahnya tidak menampilkan perasaan apa-apa. tetapi di matanya yang selalu bersorot pahit itu, sultan menemukan kekerasan hati yang mengagumkan.
sudah lama sultan menaruh iba kepadanya. sejak pertama kal
i bertemu. sebenarnya bukan hanya iba. sekaligus kagum. semangatnya begitu besar. kemampuannya menakjubkan.
dia tidak pernah minta tolong. apapun yang dikerjakan teman-temannya mampu dilakukannya.
dari endang, sultan juga tahu, farida tidak pernah menerima kiriman uang dari orangtuanya di palembang. dia menumpang di rumah pamannya. dan dia emcari uang sendiri, dengan menerima jahitan.
langganan-langganan pertamanya adalah para tetangga. ketika dia sudah kuliah, teman-temannya mulai ikut meramaikan usaha jahitnya. sponsornya siapa lagi kalau bukan endang.
semakin lama usaha jahitnya semakin maju. langganannya semakin banyak.
"dia punya gaya," komentar endang seperti sedang berpromosi. "modelnya oke, jahitannya rapi."
semakin lama bukan hanya endang dan teman-temannya yang mengaguminya. sultan juga. dia mulai berusaha mendekati farida, tetapi gadis itu sendiri tampaknya sengaja menghindar.
apakah dia merasa rendah diri karena cacat" atau... dia pernah trauma karena mendambakan seseorang yang menolaknya"
"Saya ingin minta pendapatmu, ida," kata sultan tegas. "kamu sanggup menerima tugas yang dibebankan oleh teman-temanmu" apakah menjadi ketua tingkat tidak menambah berat bebanmu""
"Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada saya." sahut farida tenang dan lugu seperti biasa. "tugas apapun pasti terasa berat, lebih-lebih pada permulaannya. tetapi dengan bantuan teman-teman, saya akan berusaha mengemban tugas yang dipercayakan kepada saya."
sejenak ruangan itu sunyi seperti kuburan. semua sedang terpukau mendengar untaian kata-kata yang demikian memikat dari seorang penyandang cacat yang lebih banyak diragukan kemampuannya. lalu endang dan teman-temannya mulai bertepuk tangan. akhirnya tepukan mereka diikuti oleh pihak Lin.
"masih ada pertanyaan"" Pak Hans menebarkan pandangannya ke seluruh ruang kuliah. dan tatapannya berhenti pada farida. satu-satunya mahasiswanya yang tidak menulis dengan tangan.
sejak pertama kali melihatnya, Hans Walian, S.H. sudah merasa sangat tertarik. apalagi ketika menyadari, kemampuan mahasiswinya yang cacat ini tidak di bawah rekan-rekannya.
farida merasa hatinya berdebar aneh ketika tatapan mereka bertemu. mata yang cokelat itu seperti pasir apung yang menyedotnya dalam-dalam... terperosok makin jauh ke lubuk ta berdasar...
tidak tahan farida membalas tatapannya lebih lama lagi. dia merasa pipinya panas. tatapan magis itu, senyum memikat di bibirnya, serasa mengguncang sukma, menerbangkan fantasinya ke awang-awang...
dia ingin menunduk. ingin menyembunyikan tatapannya. tapi bahkan menunduk pun farida tidak mampu lagi.
tatapannya seperti terperangkap. terjerat pada sepasang mata yang membuai angan-angan. terkunci pada seulas bibir yang selalu menyuguhkan seuntai senyum memesona...
bahkan lama sesudah dosen favoritnya meninggalkan ruangan, farida masih terpukau pada bayangan di benaknya, tatapan tang mendebarkan dada. senyum yang mengguncang sukma.
Ya, Tuhan, keluhnya dalam hati. apa artinya perasaan ini"
"makin lama dia makin ganteng saja," keluh Endang di sampingnya. rupanya dia juga sedang diaduk perasaan tak menentu.
"Sayang ya, dia sudah punya istri!"
cetus Rita pahit. jadi bukan hanya aku, pikir farida menenangkan diri. semua temanku juga mengaguminya.
Jadi masih wajarkah perasaan ini" perasaan kagum seorang wanita pada seorang pria ganteng seperti pak Hans"
"Kalau dia belum punya istri juga kamu nggak bakal kebagian!" gurau Endang. "Antreannya sudah sampai Bogor!"
"Sudah punya istri pun aku tidak peduli!" sambar Lin bersemangat. "cowok cakep kayak dia mestinya nggak boleh dimiliki satu cewek saja! iya kan, Rit""
"Maksudmu, kamu mau ikut antre kalau dia buka istana harem""
mereka tertawa geli. Farida hanya tersenyum. tapi sambil tersenyum pun dia masih membayangkan pak Hans.
Ah, farida sepat-cepat menggebah bayangan itu dari benaknya.
sudah sakitkah dia" untuk apa membayangkan Pak Hans terus" dia sudah menikah!
Tapi... seandainya dia belum menikah sekalipun... tidak mungkin merebut perhatiannya! tidak mungkin selama masih banyak gadis-gadis cantik dan... tid
ak cacat seperti Lin! Ingatan Farida mau tak mau kembali kepada mahmud. bahkan seorang pemuda yang matanya hanya satu seperti dia tidak sudi menjadi suaminya! apalagi seorang sarjana hukum terkenal yang seganteng Pak Hans...
Ya Tuhan! Pikiran apa pula ini" apa-apaan membandingkan pak Hans dengan Mahmud"
"Pulang, da""
Farida mengangkat kepalanya dengan terkejut. karena sedang melamun, dia hampir tidak melihat sebuah motor yang mengikutinya dari belakang dan berhenti disampingnya.
"Mau kuantar pulang"" tanya Sultan ramah.
"Terima kasih." farida tersenyum lugu.
"Apa artinya terma kasihmu itu"" gurau Sultan. "Mau ikut tidak""
"Terima kasih untuk ajakannya."
"Aku bersedia menerima terima kasih yang kedua."
"Untul apa""
"Mengantarmu pulang."
"Tidak usah. terima kasih."
"Aku harus menunggu terima kasih yang ketiga""
"Sultan! jangan ganggu Ida ya!" seru Aji dari jauh.
"Heran, dia selalu muncul pada saat yang tidak tepat! dasar tikus got!"
"duluan ya," pamit farida sambil tersenyum. lalu dia cepat-cepat melangkah ke hakte bus.
Sultan menggeleng-gelengkan kepalanya. di tatapnya gadis yang sedang bergegas naik ke dalam bus itu.
"Aku heran kenapa dia selalu menolak bantuanku," dumal Sultan ketika Aji sudah tiba di dekatnya.
"Aku juga heran kenapa seksi repot macam kamu masih sempat-sempatnya mengejar-ngejar cewek cacat."
"Aku hanya kasihan padanya."
"Itu yang tidak disukainya!" tanpa diundang Aji langsung duduk di boncengan motor Sultan. "Seumur hidup dia sudah bosan dikasihani! dia ingin yang lain!"
"Aku juga mengagumi semangatnya."
"Perempuan ingin dikagumi kecantikannya, bukan semangatnya. memangnya atlet!"
"Aku tidak berani memuji kecantikannya. takut dia tersinggung."
"makanya dia selalu menolak tawaranmu!"
"Maksudmu karena dia cacat, dia tidak boleh menerima perhatian seorang laki-laki" dia juga perempuan, Ji! sama seperti cewek lain. butuh perhatian!"
"tapi tidak dalam bentuk belas kasihan! kalau tiap hari kamu kejar-kejar dia untuk menolongnya, dia malah bakal lari makin jauh!"
"aku mulai berpikir kamu salah masuk, Ji," Sultan tersenyum pahit. "Mestinya kamu masuk fakultas psikologi!"
Di dalam bus, Farida masih membayangkan Sultan. pemuda itu memang sangat baik. sejak pertama kali berkenalan, selalu berniat menolongnya. perhatiannya sangat besar. tetapi Farida tidak berani mengharapkan lebih.
Trauma penolakan Mahmud masih terus menghantuinya, mungkin trauma psikis itu akan mengejarnya seumur hidup.
Dia tidak percaya lagi ada pria yang menginginkannya lebih dari teman. mungkin kalau pria itu cacat, timpang. buntung, atau buta seperti Mahmud dulu. mungkin laki-laki cacat seperti itu yang sesuai dengan dirinya. yang sempurna seperti Sultan terlalu tinggi untuk diharapkan.
Farida tidak mau dikecewakan lagi, sudah cukup penghinaan yang dialaminya dengan mahmud dulu.
lagipula... kalau boleh berterus terang, farida juga tidak tertarik pada sultan. dia memang baik, ramah. selalu ingin membantu. tetapi mengapa tidak ada debar di hatinya kalau berdekatan" kalau bersua pandang" tidak seperti kalau matanya bertemu dengan mata pak Hans...
Ah, farida merasa wajahnya panas terbakar. mengapa harus teringat pada pak Hans lagi"
jika dengan sultan saja dia sudah merasa tidak setara, apalagi dengan pak Hans Walian! dan lelaki itu sudah punya istri!
"Mak," cetus anak laki-laki yang duduk di pangkuan seorang wanita di sampingnya. sudah lama dia mengawasi farida. "Kenapa tante buntung""
"Hus!" ibu anak itu berusaha mencegah celoteh anaknya, dia melirik sambil tersenyum minta maaf.
Tetapi Farida tidak tersinggung.
"Saya buntung dari lahir, Dik," sahutnya tanpa nada marah.
"Maafkan anak saya, mbak," kata perempuan itu dengan perasaan tidak enak.
"Tidak apa, anak kecil adalah mahluk yang paling jujur."
Saat itu kondektur lewat menagih ongkos bus, perempuan itu buru-buru menyodorkan uang.
"Ini saja sama-sama," katanya sambil mendahului menyodorkan uangnya.
"Tidak usah, bu. terima kasih." Farida mengambil selembar uang yang ditaruh di alas sepatunya. dijepitnya uang itu dengan jari-jari kakinya. lalu disodorkannya kepada si kondektur,
"Maaf, bang. pakai kaki."
anak laki-laki di pangkian perempuan di sampingnya itu sampai menjerit kaget. ibunya mencubit pahanya. tetapi Farida hanya tersenyum.
"Saya melakukan semuanya dengan kaki," katanya tenang.
"Mbak masih sekolah"" tanya ibu itu penasaran.
"Kuliah." sekarang mulut si ibu yang ternganga. dan Farida tetap tersenyum meskipun hatinya mendesah pedih.
BAB XI Sejak sore Nani sudah ribut, jam tangan yang diletakkannya di meja makan lenyap tanpa bekas. sasaran kecurigaan pertama tentu saja Farida.
Begitu memang nasib orang baru, numpang, lagi. bagaimanapun jujurnya dia, pastilah kamarnya yang mendapat prioritas pertama untuk digeledah.
ketika hasilnya nihil, Nani mulai mengambing hitamkan langganan-langganan jahit Farida.
"Tadi memang banyak orang yang datang," gerutunya jengkel. "ada yang ngepas, ada yang ngukur, ada yang ngambil baju. pasti salah satu dari mereka!"
"Sejak Kak Ida buka jahitan, rumah kita memang jadi tidak aman!" Yani buru-buru menimpali. "Tidak ada privasi lagi! semua orang keluar masuk seenaknya!"
"Pasti nggak semuanya jujur!" sambung Nani sengit. "Satu dua punya bakat maling! tidak boleh meluhat barang nganggur. main sambar saja!"
"Jangan menyalahkan orang lain!" potong Pak Is tegas. "Itu kan salahmu sendiri! mengapa sembarangan saja menaruh barang berharga""
"Tapi ini kan rumah kita sendiri!" prote Nani seperti melampiaskan kekesalan yang telah berbulan-bulan dipendam. "masa tidak boleh menaruh barang sebentar saja di meja" di rumah ini tidak ada maling, kan" yang membuat rumah kita tidak aman, karena ada orang luar seenaknya saja masuk kemari!"
"Nanti akan saya tanyakan pada langganan-langganan saya, Nan" sela Farida dengan perasaan tidak enak.
"Hhh!" sungut Nani dengan wajah cemberut.
"Mana ada maling yang ngaku" penuh tuh penjara!"
"Nani!" tegur ayahnya tajam. "jangan sembarangan menuduh orang! belum tentu mereka yang mencuri jammu!"
"Habis siapa lagi" kucing""
"coba cari lagi di kamar. barangkali kamu lupa menaruhnya."
"Nani kan belum pikun, yah!"
"Ah, kamu memang selalu sembarangan meletakkan barang-barangmu. gampang saja, kalau hilang, beli lagi!"
Saat itu Bibi Nur memang tidak ikut memberikan komentar. tetapi setelah berada di kamar tidur bersama suaminya, dia baru membuka mulut.
"Kata-kata anak-anak ada benarnya juga, pak."
"Maksud ibu, langganan si Ida yang mencuri jam si Nani""
"Bukan. kalau itu sih ibu juga tidak tahu. tapi apa yang dikatakan anak-anak memang benar. sejak langganan jahit si Ida bertambah banyak, rumah kita jadi ramai seperti pasar. orang keluar masuk seenaknya."
Rahasia Ciok Kwan Im 8 Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam Dewa Lautan Timur 2

Cari Blog Ini