Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye Bagian 3
(setelah melihat formulir isian tadi siang).
Sophi menyeret kursi ke dekat ranjang Delisa. Ia tidak
bisa menyebutkan nama Delisa dengan baik. Bukan
masalah besar. Delisa juga tidak bisa menyebutkan
namanya dengan baik kan. Bahkan ia berpikir, cara Delisa
menyebut namanya lucu sekali. Cofi" Seperti seseorang
dulu yang biasa memanggilnya. Ah!
Sophi memperlihatkan foto-foto tersebut. Delisa
mengerti, itu foto-foto keluarga kak Sophi. Delisa juga
punya foto-foto itu di rumah. Mereka dengan riang
membicarakan keluarga Sophi baru sekitar lima menit,
ketika tiba-tiba Sophi menyadari, ia sudah melakukan
kesalahan besar. Saat Delisa terdiam menatap salah satu
fotonya. Foto Sophi dengan Dad dan Mam di depan rumah
mereka, Virginia. Bukankah foto-foto ini malah membuat
Delisa teringat keluarganya.
Bagaimana mungkin ia tidak berpikir sebelumnya.
Bagaimana mungkin ia hanya berpikiran sependek itu,
semata-mata hanya ingin membuat Delisa senang. Delisa
justeru terdiam sekarang. Sophi merengkuh bahu Delisa.
"Kita pasti akan menem ukan Ummi, Abi, kak Fatimah,
kak Zahra, dan kak Aisyah sayang...." Kalimat itu
sayangnya tidak terdengar seyakin raut muka Sophi yang
tersenyum tanggung. Tangan Sophi buru-buru hendak
menyingkirkan foto-foto itu.
Delisa tetap diam. Tetap memegang foto tersebut. Sophi
menelan ludah. Menahan tangannya.
Tidak! Delisa tidak sedih teringat Ummi, Abi dan kakak-kakaknya. Delisa sedang terdiam melihat leher kak Sophi di
foto itu. Itu foto Sophi tiga tahun silam. Sebelum ia
berjilbab. Di leher kak Sophi ada kalung. Kalung yang
indah. Ada huruf S. S untuk Cofi ("). Delisa berpikir. Bukan
berpikir soal tidak sinkronnya S dengan C. Ia berpikir
tentang sesuatu. Kalung" Bukankah kosa kata itu selama ini teramat
penting baginya" Kalung" Bukankah kata itu benar-benar
penting baginya. Mengapa hilang begitu saja" Delisa lupa
apa maksudnya. Yang ia tahu, kalung milik kak Sophi
indah sekali, dan ia ingin punya yang seperti itu.
"Ada apa, Da-le-sia""
Delisa menoleh. Jari telunjuknya menyentuh leher kak
Sophi di foto. Sophi mengernyit bingung" Gadis kecil di
sampingnya jelas-jelas tidak sedih mengenang keluarganya.
Ia sedang tertarik dengan leher Sophi di foto tersebut.
Delisa membentuk bundaran d
ari jari telunjuk dan jempol tangan kirinya. "K-a-l-u-n-g...." Berkata dengan
mata hijau yang berkerja-kerjap.
Sophi mengerti. Kalung" Delisa melihat kalung di
fotonya. Sophi tersenyum. Menyingkap kerudung birunya.
Memperlihatkan lehernya. Kalung itu tergan- tung di sana.
S untuk Cofi. Indah sekali.
Gemetar tangan Delisa menyentuhnya!
Ia ingat banyak hal.... Delisa ingat hampir semua
kenangan itu. Tetapi tidak yang ini.... Ia lupa tentang
kalung itu! Kalung yang dibeli dari Koh Acan. Kalung yang
membuat kak Aisyah merajuk semalaman. Kalung emas 2
gram. Dengan huruf yang tergantung. D untuk Delisa.
Kalung hadiah hafalan bacaan shalatnya.
11. Pertem uan Dan inilah gunanya daftar isian itu. Ketika siangnya
Sophi menyerahkan data tersebut ke Sersan Ahmed. Nama
Delisa seketika bergabung dengan daftar ribuan nama
lainnya yang selamat dari bencana tsunami dan sekarang
terpisah entah kemana. Salah satu kertas itu di kirim ke barak marinir Lhok Nga.
Abi yang sekali lagi mencari informasi di tenda marinir
Kapal Induk kota Lhok Nga mendekat, mendongakkan
kepala amat tertarik saat Prajurit Salam menempelkan data
baru di papan pengumuman.
Mungkin saja ada nama Delisa di sana. Mungkin saja
ada nama Ummi di sana. Abi tidak pernah berhenti
berharap. "D-e-l-i-s-a!" dan gemetar Abi menyebut nama yang
tertera di atas kertas tersebut. Sekejap kemudian reflek
memegang lengan Prajurit Salam yang masih menempelkan
data lainnya. "Bagaimana saya bisa k-e-s-a-n-a" BAGAIMANA"" Raut
muka Abi menegang. Cemas, senang, khawatir, bersyukur
dan entahlah perasaan a pa lagi yang bercampur aduk dari
paras tegang mukanya. Prajurit Salam menoleh, sama sekali tidak mengerti apa
yang dikeluhkan bapak-bapak di sampingnya. Salam hanya
tersenyum tipis, balik bertanya lewat senyuman itu.
"Delisa! Bagaimana saya bisa kesana"" Tentu saja Abi
lebih dari memadai bahasa Inggrisnya. Bertanya sekali lagi
dengan intonasi lebih terkendali. Menggunakan bahasa
yang dimengerti oleh Prajurit Salam.
"Eh, maaf.... Siapakah bapak"" Salam menyeringai.
Akhirnya mengerti pertanyaan itu. Menatap menyelidik.
"Saya.... Abi! Maksud saya.... Saya ayah-nya Delisa!"
Abi berkata terburu-buru, terbata-bata.
Salam menatap lamat-lamat. Mencerna. Bapak-bapak ini
ayah dari gadis kecil yang bercahaya itu" Berpikir lagi.
Kalau begitu" Hatinya seketika gentar. Beberapa detik
kemudian reflek kepala Prajurit Salam menunduk,
menggapai lemah tangan Abi di hadapannya. Mencium
takjim tangan Abi. Pagi itu juga, Abi segera menumpang helikopter Super
Puma. Perjalanan satu setengah jam menuju kapal induk
yang membuang sauh di lautan Aceh terasa seperti satu
setengah abad. Hatinya buncah. Entah bagaimana dia bisa
menjelaskan semua kebahagiaan itu. Ya Allah, akhirnya
keajaiban itu ada. Sersan Ahmed menjelaskan banyak. Detail. Semuanya.
Tetapi itu tetap tidak memadamkan berjuta pertanyaan di
hati Abi. Dia ingin segera memeluk bungsunya. Lihatlah!
Bungsunya pasti melewati semua ini dengan kesedihan
mendalam. Sendirian! Sendirian di kapal perang yang
penghuninya sama sekali tidak dikenalinya. Bungsunya
terlalu kecil untuk menghadapi kenyataan yang
menyakitkan ini. Helikopter mendarat anggun di pelataran Kapal Induk.
Sersan Ahmed berjalan bergegas menuju pintu masuk di
pelataran pendaratan. Abi mengikuti setengah berlari.
Mereka berdua langsung melangkah ke lift evakuasi rumah
sakit. Delisa saat itu sedang bermain bersama suster Shopi,
duduk bersandar di ranjangnya. Memegang dua boneka
Teddy Bear (sekarang diberikan pita biru). Tertawa
manisnya (Delisa menganggap dua Teddy Bear kembar itu
seperti kak Aisyah dan kak Zahra). "Yang ini wajahnya
mirip kak Aisyah, cerewet. Nah yang ini mirip kak Zahra,
pendiam." Sophi hanya tersenyum melihat gadis kecil di
hadapannya begitu riang bercerita dengan bahasanya.
Bermain boneka-bonekaan. Pintu kaca terbuka hampir tak bersuara.
Sersan Ahmed tegap melangkah masuk.
Sophi menoleh sambil tersenyum. Berdiri menyambut.
Delisa ikutan menoleh sambil tangannya terus
memegang dua boneka tersebut.
Sersan Ahmed menyibak jalan ke samping. Abi Usman
seketika terlihat berdiri di bawah
bingkai pintu. Menatap dengan mata terbuka penuh mencari tahu. Di manakah
bungsunya" Boneka teddy bear terlepas dari tangan Delisa. Dalam
gerakan lambat yang menggentarkan, Delisa berteriak....
"A-B-IM A-B-IM" Deli sa berseru-seru riang. Ia berontak
hendak bangkit. Loncat seperti biasanya dalam pelukan Abi
saat menyambut Abi pulang. Tapi bagaimanalah"
"D-e-l-i-s-a!" Abi mendesiskan nama. Melangkah
gemetar. Matanya sontak berkaca-kaca. Lihatlah!
Bungsunya dengan muka-merah merekah berbinar-binar
saking senang menyambutnya. Lihatlah, paras itu sama
sekali tidak bersedih. Menyambutnya amat riang. Seperti
menyambut Abi yang baru pulang setelah tiga bulan
berlayar. Muka itu seperti bercahaya saking riangnya.
Abi berdiri bergetar mendekati ranjang Delisa, gemetar
menjulurkan kedua tangannya.
Delisa tanpa menunggu, beringsut memeluk.
Berguguran sejuta pertanyaan itu. Delisa bahkan lebih
tegar dibandingkan dengannya. Bungsunya bahkan lebih
tabah dibandingkan dengannya. Tidak ada rona sedih di
sana. "A-b-i____ A-b-i____" Delisa masih berseru-seru senang.
Kerudung birunya terlepas. Memperlihatkan kepala
botaknya. Abi menelan ludah. Melepas pelukan. Mengusap
lembut kepala Delisa. Memperhatikan seluruh tubuh
bungsunya. "Kaki.... Kaki Delisa dipotong, Bi!" Delisa menyeringai.
Abi mengeluh. "Gigi.... Gigi Delisa lepas dua, Bi!" Delisa membuka
mulutnya, nyengir. Abi mengeluh semakin dalam.
"Siku.... Siku Delisa dibungkus, Bi!" Delisa
menunjukkan lengan kanannya.
Ya Allah, Sersan Ahmed sudah memberitahukannya.
Namun pemandangan ini sungguh menyakitkan, teramat
menusuk hatinya. Dan yang lebih membuat hati Abi bagai
diaduk-aduk, lihatlah, Delisa ringan saja menyampaikan
semua berita itu. Tidak berkeberatan sedikitpun dengan
keputusanMu. Abi memeluk Delisa sekali lagi. Mengusap matanya
yang mulai basah. Apapun itu, bungsunya ternyata selamat.
Keajaiban itu masih ada. Abi untuk kesekian kalinya
mengusap matanya yang semakin basah.
Ada tiga orang lain yang mengusap mata di sana. Sophi,
yang menggunakan tissu di atas meja. Sersan Ahmed yang
mendongakkan kepala (ia tidak ingin terlihat menangis).
Ibu-ibu itu, yang meski matanya menatap kosong, ikut
mengurai air mata haru. "Kenapa kak Aisyah tidak ikut, Bi"" Delisa tiba-tiba
bertanya, memutus keheningan sesaat tadi. Abi terkesiap.
"Kenapa kak Zahra dan kak Fatimah juga tidak ikut
sekalian dengan Abi" Helikopternya nggak muat ya""
Abi mengelus dadanya. "Kenapa Ummi tidak ikut datang sekalian menjenguk
Delisa, Bi" Ummi menunggu di rumah ya"" Pertanyaan
Delisa muncul bagai tiga kali roket yang dihujamkan di
lokasi yang sama. Membuat lubang kesedihan menganga
semakin lebar. Abi tertunduk. Bagaimana dia harus menjelaskan
semuanya" Rumah mereka yang tak bersisa. Aisyah, Zahra
dan Fatimah yang sudah pergi selama-lamanya" Ummi
yang entah hari ini ada di mana"
Sophi dan Sersan Ahmed juga terdiam. Saling pandang.
Delisa mulai panik melihat raut muka Abi. Raut muka
itu tidak beres. Raut muka itu menimbulkan pertanyaan.
Dan Delisa siap meluncurkan puluhan pertanyaan lainnya.
"Abi.... Abi.... Ummi di mana""
Abi Usman menelan ludah. Menggeleng. Dia tidak tahu.
"Abi.... Ummi di mana, BI"" Delisa mencengkeram baju
Abi dengan tangan kirinya. Suaranya mulai terdengar
cemas. "Abi tidak tahu sayang!"
"Abi tidak tahu" Bagaimana Abi tidak tahu"" Delisa
benar-benar panik sekarang.
Abi hanya menggeleng lemah. Matanya menatap sendu.
"Ummi.... Ummi dimana, Bi"" pertanyaan Delisa
melemah demi melihat raut muka sedih Abi. Meski dengan
tatapan mata yang masih menyelidik, Delisa menelan ludah
dan menggigit bibirnya. Menunduk dalam-dalam.
Abi memaksakan tersenyum. Menggeleng sekali lagi
dalam diam. Mengelus kepala botak Delisa.
"Kak Aisyah.... Kak Aisyah di mana, Bi"" Delisa
mengganti pertanyaannya. Mengangkat kepalanya lagi.
Abi masih diam. Menghela nafas pajang. "Kak Aisyah s-u-d-a-h p-e-r-g-i, Delisa!" 'Pergi ke mana" Kan nggak ikut
Abi sekarang"" Abi terdiam. "Pergi kemana, Bi""
"Kak Aisyah sudah m-e-n-i-n-g-g-a-l!"
Kesunyian menggantung seketika di langit-langit
ruangan. Delisa menatap Abi dengan tatapan tak mengert
i. Mata hijaunya membulat. Tangan Delisa terlepas dari baju
Abi. Mukanya mengernyit menggemaskan. Meski mulai
ada denting kesedihan di sana.
"Kak Aisyah dan kak Zahra sudah dikuburkan seminggu
yang lalu, sayang.... Kak Fatimah juga sudah meninggal....
Kak Fatimah dikuburkan sehari setelah kak Aisyah dan kak
Zahra-" Lemah suara itu. Suara yang tak mengerti
bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan. Tak bisa
menemukan cara lain untuk membuat bungsunya nyaman
mendengar semua kabar menyakitkan ini.
Delisa mulai paham. Delisa mulai mengerti. Ia tidak
mengerti makna mati dan kematian yang sesungguhnya.
Belum. Tetapi ia tahu, mati berarti pergi untuk selamanya.
Seperti Abi Tiur, yang tak pernah kembali. Ya seperti Abi
Tiur. Juga seperti mayat Tiur lalu. Dingin-membeku.
Kak Aisyah pergi untuk selamanya" Delisa menggigit
bibirnya. Hatinya entah mengapa tiba-tiba bagai ditusuk
sebilah sembilu. Membuat luka yang dalam-menganga.
Mencair. Luka itu mencair seketika, mengeluarkan air asam
yang memilukan. Air itu menerabas melewati tenggorokan
Delisa. Merambat ke mata hijaunya. Berkaca-kaca.
Kak Zahra juga pergi untuk selamanya" Delisa mulai
terisak pelan. Bagaimanalah ini" Bagaimanalah semua ini"
Kak Fatimah.... Kak Fatimah juga pergi untuk
selamanya" Delisa benar-benar menangis. Terse-dan.
Bagaimanalah" Itu sama saja Delisa ditinggal sendirian....
Abi ikut terisak pelan sekali lagi demi melihat Delisa
Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis. Memeluk bungsunya erat-erat. Sungguh semua
perasaan kehilangan ini menyakitkan. Sungguh semua
perasaan ini memilukan. Sungguh! **
** Maha suci Engkau ya Allah, yang telah menciptakan
perasaan. Maha besar Engkau ya Allah, yang telah
menciptakan ada dan tiada. Hidup ini ada/ah
penghambaan. Tarian penghambaan yang sempurna. Tak
ada milik dan pemilik selain Engkau. Tak punya dan
mempunyai selain Engkau. Tetapi mengapa Kau harus
menciptakan perasaan" Mengapa kau harus memasukkan
bongkah yang disebut dengan "perasaan" itu pada mahkluk
ciptaanMu" Perasaan kehilangan.... Perasaan memiliki....
Perasaan mencintai.... Kami tak melihat, Kau berikan mata, kami tak
mendengar, Kau berikan telinga, Kami tak bergerak, Kau
berikan kaki. Kau berikan berpuluh-puluh nikmat /ainnya.
Jelas seka/i, semua itu berguna! Tetapi mengapa Kau harus
menciptakan bongkah itu" Mengapa Kau letakkan bongkah
perasaan yang seringkah menjadi pengkhianat sejati dalam
tubuh kami. Mengapa"
"Air.... Air di mana-mana!" Abi diam.
"Delisa terseret. Delisa terminum air. Delisa batuk....
Kaki Delisa terkena pagar sekolah.... Air.... Air di mana-mana, Bi."
Abi mengusap kepala bungsunya. Mencium kening yang
masih sedikit lebam. Delisa sedang menceritakan kejadian
itu. Lima belas menit setelah penjelasan Abi yang tidak
memuaskan tentang Ummi (meski kemudian Delisa tidak
bertanya lagi). Delisa terdiam. Memainkan jemarinya.
"Maafkan Delisa, seharusnya Delisa mau belajar
berenang seperti yang Abi bilang waktu pulang tiga bulan
lalu!" Delisa menatap Abi-nya menyesal dalam.
Abi hanya tersenyum. Menggeleng. Lihatlah, bungsunya
justeru berpikir tentang fakta lain dalam urusan ini.
"Maafkan Delisa, Delisa juga belum hafal bacaan
shalatnya, Bi! Delisa belum hafal-" kelu Delisa mengatakan
itu. Delisa benar-benar kelu. Tak mengerti.
Selama seminggu di rumah sakit, Delisa sebenarnya
sudah berusaha kembali untuk mengingat bacaan shalatnya.
Setiap kali melihat ibu-ibu di sebelahnya shalat, ia
memperhatikan. Tetapi ia lupa. Tidak sekata pun bacaan
yang ia ingat, kecuali takbiratulihram. Sisanya lenyap
begitu saja. "Delisa waktu itu sedang menghadap Ibu Guru Nur...."
Delisa terdiam mencoba mengingat kejadian itu kembali.
Setiap kali mengingat detail, kepala
Delisa terasa berat. "Ibu Guru Nur di mana"" ingatannya terpotong,
pertanyaan itu keluar lebih dahulu.
"Ibu Guru Nur sudah pergi!"
Delisa kelu sekali lagi. Teman-temannya" Tiur" Di mana
mayat Tiur" "Juga Tiur dan Umminya, sayang. Kata Wak Burhan
mayat Tiur sudah dikuburkan.... Kakak-kakak Tiur...."
suara Abi hilang di ujung. Kesedihan menggantung "sekali
lagi di langit-langit ruangan rumah sakit itu. Meski kali ini
tanpa air mata dan pelu kan haru. Hanya berdiam diri. Delisa sibuk memainkan jemarinya.
Abi menahan nafas. Memandang berkeliling, menyapu
lemah isi ruangan. Mencoba memikirkan hal lain.
Sophi beberapa saat kemudian kembali dari ruang jaga
depan, dengan segelas cokelat panas.
"Silahkan!" menyerahkan gelas tersebut kepada Abi. Abi
menerimanya sambil tersenyum, berterima-kasih. Sersan
Ahmed sudah dari tadi kembali ke posko tenda marinir
Lhok Nga. Sophi yang mengantarnya keluar sambil
mengambil segelas cokelat panas tersebut.
"Ah-ya, Bi. Kak Cofi memberikan hadiah boneka untuk
Delisa!" Delisa menunjukkan kedua boneka itu. Abi
mengangguk. Sophi yang berdiri di sebelah Abi tersenyum.
"Sudah Delisa beri pita biru.... Agar sama dengan warna
kerudung Delisa.... Ah-ya, kalau ada kak Aisyah.... Yang
ini akan Delisa berikan buat kak Aisyah-"
Kalimat itu terputus. Digantikan ekspresi wajah Delisa
yang terdiam. Ah sudahlah, Delisa buru-buru mengganti
bahan pembicaraan lainnya. Membicarakan semua ini tidak
menyenangkan. Apalagi melihat raut muka Abi yang sedih.
Delisa benar-benar belajar cepat dari semua kesedihan ini.
Dan hari memang berjalan lebih cepat setelah berbagai
kesedihan yang menimpa. Sudah begitu kodratnya.
Masalahnya orang-orang lebih banyak terkungkung oleh
perasaan. Perasaan yang menipu hakekat waktu.
Tiga minggu sudah Delisa berada di rumah sakit
tersebut. Luka amputasinya sudah mengering, diganti
perban yang lebih tipis. Gips di lengan kirinya sudah
dilepas. Ibu-ibu di sebelah Delisa bahkan sudah pulang ke
Medan dua hari yang lalu (hanya di sana keluarganya yang
masih tersisa). Kondisi ibu-ibu itu membaik lebih cepat
dibandingkan Delisa. Abi diijinkan menemani Delisa di rumah sakit selama
tiga minggu tersebut. Tinggal di salah satu kabin tamu.
Menemani gadis bungsunnya membaca buku. Menemani
bungsunya sepanjang hari. Bercerita banyak hal. Menebus
waktu-waktu ketika Delisa hanya terbaring sendirian. Suster
Sophi juga ikut menemani Delisa, seperti biasanya meski
ada Abi di sana. Baik sekali Sophi membawakan berbagai
buku bacaan, yang dibaca oleh Abi. Salah satunya adalah
bacaan hafalan shalat. Pertama kali Sophi menyerahkan buku-buku itu. Tangan
Delisa segera menyambar sembarangan. Kebetulan itu buku
hafalan shalat yang biasa ia tenteng-tenteng selama ini.
Dengan versi bahasa yang berbeda, meski lafal bahasa
Arab-nya sama. Delisa melipat keningnya. Hidungnya mendengus.
Nafasnya terdengar lebih berat. Huruf-huruf itu aneh sekali
baginya. Tercenung. Bukankah Delisa dulu sudah pernah
membaca dan menghafalnya dengan baik. Kenapa sekarang
menjadi asing sekali" Bacaan-bacaan itu terlihat seratus kali
lebih rumit dari biasanya. Berpilin satu sama lain. Dan
Delisa terpana oleh kenyataan itu. Mata hijaunya membulat
tak mengerti. "Ada apa sayang"" Abi bertanya lembut.
Delisa buru-buru menggeleng.
"Tentu saja Delisa bisa menghafalnya kembali.... Insya
Allah jauh lebih cepat sekarang.... Kan Delisa pernah
menghafal sebelumnya," Abi tersenyum melihat buku yang
dipegang Delisa. Delisa hanya mengangguk pelan.
Terdiam. "Nanti seperti janji Abi dulu, Abi akan belikan sepeda
untuk Delisa, kalau sudah hafal...."
Delisa tersenyum getir. Mengangguk. Ia tidak sesenang
biasanya saat mendengar janji hadiah itu. Bukan apa-apa,
Delisa sungguh sedang bingung. Dan takut! Bukankah
kalian merasa ada yang salah ketika tiba-tiba entah
bagaimana caranya, separuh memori itu hilang begitu saja.
Bukankah kalian merasa takut saat ada sepotong fakta yang
tersembunyi menyimpan tanda-tanya" Dan Delisa benar-benar kehilangan memori soal hafalan bacaan shalat
tersebut. Dua hari kemudian. Tulisan-tulisan itu tetap
memeningkan kepala Delisa. Delisa menyerah untuk
sementara waktu. Meletakkan buku tersebut di atas meja. Ia
sekarang juga sibuk dengan urusan lain. Kak Sophi
membantunya belajar berjalan menggunakan kurk. Delisa
mulai turun dari ranjang. Berjalan kesana-kemari. Patah-patah menyesuaikan diri dengan alat bantu jalan tersebut.
Mengelilingi lantai rumah sakit.
Mengelilingi Kapal Induk (bagian-bagian yang hanya
diijinkan Delisa kunjungi). Sepanjang berlatih berjalan raut
muka D elisa semakin kusut. Delisa semakin bingung
dengan hafalan bacaan shalatnya.
12. Pulang k e Lhok Nga Hari itu, enam minggu sesudah gelombang tsunami
menghantam Lhok Nga. Tiga minggu setelah Delisa
dirawat di rumah sakit Kapal Induk tersebut. Delisa
akhirnya diijinkan pulang. Ia sedang digandeng Abi
berjalan patah-patah di atas pelataran parkir menuju
helikopter Super Puma yang baling-balingnya mendesing
tajam, membuat Delisa meski memegang kokoh kurk-nya sedikit terhuyung.
Suster Sophi, dr Eliza, dan beberapa perawat lainnya ikut
melepas di atas pelataran parkir kapal induk. Wartawan
teve nasional yang ngetop itu juga berada di sana (Delisa
hafal wajahnya dari jadwal menonton teve Ummi setiap
Sabtu malam, Najwa siapalah namanya).
Sersan Ahmed menyambut dari atas helikopter.
Kesulitan menggapai tubuh Delisa. Meloncat turun, lantas
menggendong Delisa menaiki Super Puma. Vang lain
tertawa saat melihat kurk Delisa tak sengaja melibat kaki
salah satu prajurit. Prajurit itu jatuh terjerambab di kursi
helikopter. Delisa menyeringai tipis, nyengir bilang
"Sorry!". Helikopter segera melesat ke langit-langit lautan Aceh.
Delisa dan Abi kembali ke Lhok Nga. Pulang ke rumah.
Meninggalkan tempat yang tak pernah terbayangkan akan
pernah ia kunjungi dalam hidupnya. Meninggalkan Kapal
Induk tentara Amerika Serikat yang menggentarkan itu.
Kapal super-besar, super-canggih, dengan super-amunisi
yang konon bisa menaklukan sebuah negara.
Meninggalkan tempat yang meski berbeda dalam banyak
hal, sama dalam satu hal: menyimpan kebaikan.
Tergantung yang mengendalikan kebaikan dan keburukan
tempat tersebut. Delisa senang sekali sepanjang pagi. Ia sudah tahu, Lhok
Nga hancur. Abi sudah cerita. Ia juga sudah tahu rumahnya
rusak. Abi sudah cerita. Tetapi kata-kata pulang selalu
menyenangkan bagi anak-anak mana pun, tak terkecuali
bagi Delisa. Ia rindu dengan semuanya. Apapun itu
bentuknya sekarang. Delisa rindu bermain di lapangan
bolanya. Delisa rindu mengaji di meunasah. Delisa ingin
kembali bersekolah. Apapun itu yang masih tersisa. Delisa
rindu. Yang sama sekali tidak dipahami Delisa, semuanya
memang benar-benar hancur. Semuanya benar-benar
musnah. Tak ada yang tersisa. Tak secuil potongan yang
bisa memenuhi perasaan rindu Delisa. Dan itulah yang
ditemukannya saat helikopter Super Puma mendarat di
tenda marinir Lhok Nga. Menatap kosong. Kotanya tak bersisa. Hanya lapangan
luas, dengan puing bangunan di sana-sini.
Abi yang berjalan di sisinya, menggenggam jemari
tangan bungsunya kencang-kencang. Delisa mendesah
tertahan, ngintil mengikuti langkah Abi.
Delisa benar-benar terdiam saat melihat sekolahnya. Tak
ada yang tersisa, kecuali semen tiang bendera setinggi mata
kaki. Tembok sekolah tak ada. Kursi-kursi. Meja-meja.
Delisa bahkan bingung menentukan di mana bekas kelasnya
dulu. Apalagi di mana kursi-mejanya dulu.
Meunasah itu juga musnah. Hanya menyisakan sepotong
pondasi di sudut-sudutnya. Delisa menelan ludah. Di mana
rihal-rihalnya" Di mana papan tulis" Sajadah-sajadah"
Tempat ini di tempat inilah ia belajar mengaji TPA dengan
ustadz Rahman. Ustadz Rahman" Delisa ingin bertanya
kabar ustadz Rahman kepada Abi, tetapi bibirnya
mendadak kelu. Delisa memutuskan diam. Ia enggan
mendengar kemungkinan berita buruk berikutnya. Besok-lusa mungkin saat situasi hatinya membaik, ia akan
bertanya. Abi meneruskan langkah menuju bekas rumah
mereka. Delisa mengikuti. Dan rumahnya benar-benar tidak
ada lagi. Lama Delisa hanya duduk di atas ayunan. Tak bergerak.
Diam. Ya Allah, kenangan itu kembali semua di kepalanya.
Menusuk-nusuk hatinya. Ayunan itu sempurna terdiam
sekarang. Delisa tertunduk. Kurk-nya mengais-ngais
tanah di bawah ayunan. Abi sedang berbincang dengan
Koh Acan dan Teuku Dien di halaman. Tadi Koh Acan
sempat mendekatinya. Mengusap kerudungnya. Juga
Teuku Dien yang tersenyum senang melihatnya selamat.
Ikut membelai kerudung biru Delisa.
Delisa hanya tersenyum. Ia ingat Koh Acan orang yang
baik. Sering memberi Ummi separuh harga setiap belanja di
tokonya. Sayang, meski Delisa ingat banyak hal tentang
kebaikan Koh Acan, Delisa sempurna lupa
tentang ia dan Ummi membeli kalung buatnya hari Ahad itu. Delisa
benar-benar lupa kalau ia dulu paling suka berseru: D untuk
Delisa. Delisa hanya tersenyum sekali lagi saat Koh Acan dan
Teuku Dien melambaikan tangan. Pamit pergi entah ke
mana. Tadi Delisa sempat menyeringai senang saat
mendengar kabar dari Teuku Dien, kalau Umam selamat.
Hanya itu kabar yang menyenangkan sepanjang pagi ini.
Sisanya buruk. Delisa menghela nafas panjang. Ah
setidaknya ia masih bisa bermain bola bersama Umam.
Delisa menghentikan guratan kurknya. Menyeringai tipis.
"Kita malam ini tidur di tenda darurat, sayang!" Abi
mendekatinya, selepas menyertai Koh Acan dan Teuku
Dien ke jalan kecil depan rumah. Delisa hanya diam. Ia
sedang ingat jembatan keledai kak Aisyah. Mungkin nanti-nanti ia bisa minta Abi membuatkan satu untuknya.
Siang itu juga mereka mendatangi tenda darurat yang
terletak dekat tenda posko marinir. Mendapatkan selimut.
Beberapa potong pakaian ganti. Alat-alat mandi, dan
berbagai keperluan lainnya. Delisa menatap tenda-tenda
yang berjejer rapi tersebut. Ia berjalan-jalan menghabiskan
sisa sore sendirian. Sementara Abi entah mengurus apa di
posko depan bersama kakak-kakak yang mengenakan
seragam rompi. Delisa mengenali satu-dua ibu-ibu yang sedang memasak
di dapur umum. Tetangga mereka dulu. Dan ibu-ibu yang
juga mengenalinya itu satu persatu memeluknya saat Delisa
mendekat.
Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sabar... anakku! Allah akan membalas semua kesabaran
dengan pahala yang besar!"
Delisa tidak mengerti mengapa mereka melakukannya.
Meski ia tahu, kalimat itu sering diajarkan ustadz Rahman.
Delisa hanya tersenyum nyengir dalam pelukan.
Memperlihatkan giginya yang tanggal dua. Ibu-ibu itu
semakin terharu melihatnya. Delisa buru-buru meneruskan
langkahnya, sebelum badannya sakit dipeluk kencang-kencang lagi oleh mereka. Kan badan ibu-ibu ini nggak
selangsing Ummi. Delisa juga bertemu dengan beberapa temannya. Ayah-ayah mereka yang selamat di tenda-tenda lain. Tadi Delisa
juga bertemu dengan Umam di depan salah satu tenda.
Sedang duduk melamun. Delisa mendekat. Saling
bertatapan. Delisa menyeringai, tersenyum. Umam hanya
diam. Matanya keruh memandang. Parasnya keruh.
Ekspresi mukanya keruh sekali. Umam juga kehilangan
seluruh keluarga, kecuali Abinya.
"Aku boleh main kan meski pakai kurk ini"" Delisa
nyengir mendekat, berdiri di depan Umam.
Umam menatapnya tak mengerti. Delisa menyeringai
semakin lebar. Menendang-nendangkan kaki kirinya yang
masih utuh. Umam menelan ludah. Main bola.
Mengangguk lemah. Lantas berdiam diri lagi.
Delisa urung untuk melanjutkan pembicaraan. Ia
memutuskan untuk meneruskan langkah kakinya,
sepertinya Umam tidak ingin diganggukan kak Fatimah
dulu sering marah-marah kalau ia tidak mau diganggu,
Delisa malah banyak nanya-nanya.
Delisa meneruskan berkeliling. Di posko terdepan, salah
seorang penjaganya, kakak-kakak berwajah seperti Koh
Acan, berpeci putih, berompi cokelat memberikan hadiah
sebatang cokelat p adanya, batang cokelat yang kecil. Tetapi
Delisa tertawa riang menerimanya.
V/Khamsia....!" Delisa nyengir. Teman kakak-kakak
itu yang berjaga di posko tersebut bahkan ikut tertawa.
Bagi Delisa kehidupan sudah kembali. Bagi Delisa
semua ini sudah berlalu. Bagi Delisa hari lalu sudah tutup
buku. Ia siap meneruskan kehidupan. Tak ada yang perlu
dicemaskan. Tak ada yang perlu ditakutkan. Delisa siap
menyambung kehidupan, meski sedikit pun ia belum
mengerti apa itu hakikat hidup dan kehidupan.
Sore pertama Delisa di Lhok Nga. Abi Usman masih
sibuk entah mengurus apa soal bekas rumah mereka.
Berbincang banyak dengan Sersan Ahmed dan Prajurit
Salam. Dengan kakak-kakak di posko tenda darurat.
Dengan siapalah. Bertanya soal transfer rekening bank.
Delisa malas mendengarnya.
Delisa sekarang meneruskan napak tilasnya berjalan ke
lapangan bola mereka. Pasir itu masih sama. Burung-burung camar itu masih sama. Memang di sana-sini porak-poranda, banyak sampah dan puing-puing bertumpukan.
Tetapi ini tetap lapangannya yang dulu. Lapangan yang
menyenangkan. Matahari sore menghujam bumi. Jingga. Delisa berdiri
dengan kurk di tangan kanan menatap cak
rawala elok di kejauhan. Kerudung birunya dilepas, diikat di leher. Angin
sore memainkan rambutnya yang mulai tumbuh tipis.
Delisa menyeringai lebar.
Sama! Tak ada yang berbeda di sini.
Delisa menikmati sore dengan perasaan jauh lebih lega.
Abi pulang maghrib-maghrib ke tenda. Delisa sedang
menunggunya. Mereka mengambil jatah makan malam di
dapur umum. Untuk urusan logistik dan lain sebagainya,
pos tenda darurat mereka jauh lebih beruntung
dibandingkan puluhan ribu pengungsi Aceh lainnya. Tenda
mereka mendapatkan suplai yang cukup dari tentara
Amerika. Air bersih juga tidak menjadi masalah, marinir itu
membawa alat penyuling air. Obat-obatan dan berbagai
kebutuhan lainnya tersedia lebih dari cukup.
Malam itu Delisa untuk pertama kalinya merasakan tidur
beramai-ramai di tenda pengungsian. Beralaskan tikar
plastik seadanya. Abi memberikan sleeping bag kepadanya
(dipinjamkan Sersan Ahmed tadi sore). Tetapi Delisa lebih
nyaman tidur apa adanya. Biar seperti kemping waktu itu.
Mereka kan sering membuat tenda-tendaan bersama Abi
di depan rumah. Tidur di sana. Dan Delisa selalu ribut
dengan kak Aisyah. Berebut tempat di tenda kecil tersebut.
Belum lagi kak Fatimah yang entah juga ikut-ikutan
menyebalkan setiap kali mereka kemping di depan rumah.
Kalau kak Aisyah dan kak Fatimah sekarang ada, pasti
tidak akan berebut lagi. Tenda ini kan besar sekali. Meski
mereka ramai, tetap saja terasa lega.
Malam semakin beranjak matang. Delisa tidak bisa tidur.
Tadi selepas Abi shalat isya, Delisa membuka tas yang
dibawanya dari Kapal Induk. Mengambil buku hafalan
bacaan shalatnya. Mencoba mulai menghafal. Sama saja.
Tulisan-tulisan itu tetap rumit. Seolah-olah menolak
mentah-mentah otak Delisa untuk memahaminya.
Delisa menghela nafas. Lelah ia mengulang-ulang
kalimat pertama doa iftitah. Semakin diulang, semakin
lupa. Delisa kemudian memutuskan berhenti. Memasukkan
buku itu kembali dalam tas. Duduk termenung.
Abi sudah tertidur. Tadi sempat membujuk Delisa untuk
tidur. Delisa hanya menjawab iya, sebentar lagi. Lantas
meneruskan membaca. Abi memutuskan untuk
membiarkan Delisa (berpikir tidak pada tempatnya
memaksa Delisa tidur dalam kondisi seperti ini, lagi pula
Delisa sedang belajar). Delisa menatap sekitar tenda besar yang lengang. Debur
ombak di bibir pantai bahkan bisa terdengar dari sini.
Terasa menyenangkan. Berirama indah. Semua penghuni
tenda sudah tertidur. Tetapi tidak Teuku Umam. Umam
sama seperti Delisa, duduk di seberang sana. Tetap terjaga.
Melamun. Delisa menarik nafas. Memutuskan untuk tidur.
Tidak mungkin kan Umam punya masalah yang sama
dengannya" Kesulitan menghafal bacaan shalat"
Shubuh pertama kembalinya Delisa ke Lhok Nga.
Delisa terbangun pas muadzin di salah satu tenda darurat
mengucapkan takbir pertama. Bangun begitu saja kata-kata
Ummi dulu benar sekali, meski Delisa tidak menyadarinya:
nanti akan ada malaikat yang membangunkan Delisa.
Ia melihat Abi beranjak keluar dari tenda. Abi hendak
mengambil wudhu di keran air yang dibuatkan oleh
marinir. Delisa melipat selimutnya, meraih kurknya, lantas
berjalan tersuruk-suruk keluar tenda.
Entah mengapa shubuh ini Delisa ingin shalat. Ia ngintil
patah-patah berjalan dengan kurknya mengikuti Abi ke
halaman barak penampungan. Abi hanya menguap
membiarkan Delisa mengambil wudhu di keran sebelahnya.
Beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu juga meng-antri ambil
wudhu. Abi dan Delisa kembali ke tenda. Mereka akan
shalat berjamaah di tenda tersebut. Abi menjadi imam. Ada
beberapa bapak-bapak lainnya berdiri di depan, termasuk
Teuku Dien. Di barisan belakang, Delisa berdiri bersama
dua ibu-ibu dan satu kakak-kakak seumuran kak Fatimah.
Shubuh itu. Ketika sebagian besar mahklukMu masih
terlelap. Lihatlah, dengan muka basah oleh wudhu Delisa
shalat kepadaMu. Delisa hanya bisa membaca takbiratul-ihram. Itu saja. Lantas ia lupa bacaan yang lainnya.
Inilah shalat pertamanya sejak sujud yang terputus oleh
gelombang tsunami tanpa ampun itu.
"Yeee, makanya belajar! Emangnya boleh shalat nggak
pakai bacaan!" Kak Aisyah menggodanya saat Delisa mulai
ikut-ikutan shalat bersama Ummi. Delisa han
ya nyengir, menarik mukena Ummi meminta pertolongan dari tatapan
nakal kak Aisyah. "Shalatlah! Kalian tetap bisa shalat meski tak mengerti
bacaannya. Meski tak tahu bacaannya. Allah lebih dari
mengerti.... Allah mendengarkan.... Allah akan melihat!
Allah-lah yang menciptakan bahasa-bahasa, bagaimana
mungkin ia akan kesulitan untuk mengerti-" Itu kata ustadz
Rahman waktu Delisa mengadukan kak Aisyah.
Maka Delisa shalat. Shalat tanpa beban. Shalat karena
Delisa ingin shalat. Ia rindu suasana shalat yang
menyenangkan. Ia memang selalu terkantuk-kantuk dulu
saat berjamaah dengan Ummi, tetapi shalat shubuh
sebenarnya selalu menyenangkan baginya.
Maka Delisa shalat. Tanpa membaca apapun. Karena
tak ada kak Aisyah yang membaca keras-keras di
sebelahnya. Delisa hanya bergerak mengikuti Abi di depan.
Delisa hanya bisa itu. Dan Delisa tidak peduli. Ia hanya
ingin shalat. Saat Delisa tiba di sujud pertama. Saat dahinya yang
basah menyentuh sajadah. Saat telapak tangannya yang
basah menyentuh sajadah. Selarik cahaya indah menembus
tenda darurat itu. Seberkas cahaya menggentarkan
menerabas ke atas langit. Berkemilauan begitu terang,
begitu menakjubkan. Menghujam ke atas. Penduduk langit
bertasbih. Arasy-Mu bergetar. Cahaya itu keluar dari tubuh
Delisa. Siangnya Delisa sekali lagi lebih banyak menghabiskan
waktu berkeliling tenda darurat. Berkeliling di sepotong
kota Lhok Nga yang ia kenali. Memperhatikan marinir
yang bersama-sama mendirikan meunasah darurat. Sersan
Ahmed yang memimpin renovasi itu sempat mendekati
Delisa yang berdiri. Mengelus rambut Delisa, kemudian
memberikan hadiah kaca mata hitam yang sedang dipakai
Sersan Ahmed. Kaca mata itu kebesaran. Tetapi Delisa senang
memakainya. Membuat ia gagah seperti para marinir
tersebut. Prajurit dan sukarelawan lainnya tertawa melihat
Delisa yang seperti mandor bangunan berdiri mengawasi
mereka bekerja. Sersan Ahmed juga menyampaikan pesan lainnya ke Abi
yang ikut membantu mendirikan meunasah itu. dr Eliza
sedang mengusahakan kaki palsu untuk Delisa. Delisa
mendekati Abi dan Sersan Ahmed yang berbincang serius
saat istirahat dzhuhur. Delisa tidak mengerti sepatah pun,
meski ia senang saja mendengarkan Abi berbincang dengan
marinir itu dalam bahasa Inggris. Sepertinya keren sekali!
Delisa nyengir, berikrar dalam hati, nanti ia akan belajar,
biar bisa ikutan. Delisa juga memperhatikan beberapa rombongan
sukarelawan yang setiap hari bermunculan di Lhok Nga.
Wajah mereka berbeda sekali dengan penduduk Lhok Nga.
Ah, bukankah wajah Delisa juga terlihat berbeda. Delisa
sekali lagi menyeringai berpikir banyak hal.
Delisa sudah tidak terlalu kesulitan dengan kurknya,
bahkan ia sudah bisa berlari-lari kecil. Lincah. Tak pernah
merasa terbebani dengan alat bantu tersebut. Delisa setelah
lelah berjalan ke sana kemari bahkan ikut bekerja.
Membantu dapur umum. Membantu membawa barang-barang. Membantu membereskan tenda. Ia belajar banyak.
Ia sekarang mengerti tentang melipat pakaian. Semua
situasi ini mengajarkan banyak hal kepadanya. Dan Delisa
melaluinya tanpa banyak bertanya. Hanya tersenyum riang.
Meunasah itu berdiri kokoh sore harinya. Masih
seadanya. Tetapi itu jauh dari memadai di tengah-tengah
situasi darurat seperti ini. Delisa tersenyum senang
melihatnya. Meskipun setiap kali memandang meunasah
itu, Delisa ingat ustadz Rahman"
Sore harinya, Abi mengajak Delisa jalan-jalan di
sepanjang pantai. Menatap matahari yang mulai tenggelam.
Mereka berjalan bersisian. Kadang Delisa memukul-mukul
ombak yang menyentuh kakinya dengan kurk. Tertawa
senang. "Delisa ingin main bola, Bi!" Delisa memegang lengan
Abi. Mengalihkan perhatian dari tawa senangnya barusan.
Abi hanya mengangguk. Besok dia akan mencari bola
plastik, mungkin marinir itu punya.
"Kapan Delisa bisa sekolah, Bi"" Delisa bertanya lagi.
Nah yang ini pertanyaan sulit. Abi menggeleng, bahkan
saat itu pemerintahan SBY-JK saja tak bisa menjawabnya
pasti. "Abi, kenapa Umam sekarang sering berdiam diri ya"
Tidak mau Delisa ajak main"" Delisa bertanya lagi.
"Mungkin dia masih sedih!" Abi mengusap kerudung
Delisa. Menjawab seadanya.
Delisa mengangguk sok-paham, sok-mengerti.
"Memangnya sedih kenapa, Bi"" bertanya lagi.
"Mungkin Umam rindu Ummi-nya-" jawaban yang
keliru. Abi menelan ludah. Buru-buru menunjuk cakrawala
di kejauhan. Tetapi Delisa tidak bereaksi banyak. Ia hanya diam.
Delisa juga rindu sekali dengan Ummi. Tetapi entah
bagaimana ia tahu dan mengerti, Delisa merasa pertanyaan-pertanyaannya tentang Ummi justeru akan membuat Abi
semakin bersedih. Delisa tak ingin melihat kesedihan di
muka Abi lagi, seperti di Kapal Induk dulu waktu ia
menjejali Abi dengan pertanyaan tersebut. Maka Delisa
memutuskan untuk tidak banyak bertanya lagi tentang
Ummi, juga tentang kak Fatimah, kak Zahra, dan kak
Aisyah. "Bagaimana hafalan shalatMu, sayang"" Abi bertanya
setelah mereka terdiam lama.
"S-u-s-a-h, Bi!" Delisa menjawab pendek sambil
menyeringai. Sebenarnya ia ingin menjawab: benar-benar
susah, Bi! Tetapi sudah kelihatan sekali makna kata susah
tersebut dari dahi Delisa yang terlipat tiga.
Abi hanya mengusap kerudung Delisa. Menarik nafas
panjang. Hari-hari ke depan mereka juga akan susah. Abi
sudah menelepon kapal tanker itu, bilang ambil cuti tak
terbatas. Dia sama sekali tidak punya ide akan seperti apa
masa depan yang akan mereka jalani. Tidak mungkin Abi
kembali kerja di sana. Delisa akan sendirian.
Kalau dia tidak bekerja di sana, apa yang bisa
dikerjakannya di sini" Hanya meratapi semua puing-puing
masa lalu" Menangis di atas bekas-bekas kenangan yang
tersisa" Abi menarik nafas lebih dalam.
Delisa yang memperhatikan Abinya ikut menarik nafas
dalam. Orang dewasa itu rumit ya" Sering berpikiran yang
aneh-aneh. Memandang matahari tenggelam yang indah ini
Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja, Abi kok menghela nafas panjang, Delisa nyengir.
Esok sorenya. Di kuburan massal itu.
"Yang mana kuburan kak Fatimah, Bi"" Delisa
memandang lapangan tersebut. Bingung. Kuburan kok
seperti ini. Lebih besar dibandingkan lapangan bola Delisa
di pinggir pantai. Mana tidak ada nisan dan tulisan
petunjuk lainnya lagi. Abi menggeleng, menggenggam erat-erat jemari Delisa.
"Tidak tahu, sayang!"
Delisa terdiam. Tadi siang saat Abi bilang hendak
mengajaknya ke kuburan kak Fatimah, kak Zahra, dan kak
Aisyah, yang muncul dibenaknya adalah kuburan-kuburan
lazim seperti biasanya. Bukan lapangan nan luas di
hadapannya sekarang. Delisa bingung mau meletakkan di
mana tiga tangkai mawar biru di tangannya (bunga itu dulu
ditanam Ummi di halaman rumah Delisa, kembali
berbunga setelah meranggas dihajar air bah).
"Abi tidak tahu yang ma na kuburannya sayang....
Mereka menguburkan semuanya di sini.... Dalam satu
lubang yang besar.... Kak Fatimah, kak Zahra, kak
Aisyah.... Tiur, Ummi Tiur, kakak-kakak Tiur.... Ibu Guru
Nur-" Abi menelan ludah. Terhenti. Daftar itu akan panjang
sekali kalau diteruskan. Delisa menunduk. Meletakkan bunga-bunga dan
kurknya di tanah. Duduk menjeplak begitu saja.
"Kalau sebanyak itu, berarti kak Fatimah, kak Zahra,
dan kak Aisyah tidak akan kesepian di sana, Bi-"
Abi menggigit bibirnya. Tersenyum pahit mendengar
kalimat "ringan" bungsunya.
"Di sana ramai sekali, ya Bi.... Justeru Delisa yang
sendirian di sini! Tidak ada siapa-siapa, kecuali Abi...."
Abi ikut duduk di sebelah Delisa. Menghadap timbunan
tanah di lapangan luas tersebut. Memegang bahu Delisa
lembut. Bungsunya entah mengapa tiba-tiba menangis
pelan. Mata Delisa sembab dan tersedu lemah.
Delisa sungguh tidak sedih dengan kepergian mereka.
Delisa tidak sedih karena itu. Delisa sudah mengerti soal
itu. sama mengertinya saat Abi Tiur pergi dulu. Delisa tiba-tiba menangis, karena ia baru saja menyebutkan kata
sendirian. Ia mengerti benar kata tersebut. Maka mata
Delisa mulai berkaca-kaca. Delisa takut sendirian. Delisa
tidak suka dengan kata-kata tersebut. Tetapi Delisa tidak
ingin menangis di depan kak Fatimah, kak Zahra dan kak
Aisyah, maka Delisa berusaha mengusap matanya.
Berusaha tetap terkendali. Diam tertunduk.
Setelah lama terdiam, Delisa ingat sesuatu. Nisan"
Lemah jemari tangan kiri Delisa menggapai sebilah
ranting yang tergeletak di depan kakinya. Lantas pelanpelan Delisa menggurat-gurat tanah di hadapannya.
Menulis nama-nama : kak Alisa Fatimah, kak Alisa Zahra,
kak Alisa Aisyah.... Abi menghela nafas panjang melihat apa yang dilakukan
putri bungsunya. Delisa sedang menandai makam mereka.
Delisa membuatkan nisan yang indah dari guratan tangan
tersebut. Delisa kemudian menancapkan tiga bunga mawar
biru tersebut. Abi menghela nafas sekali lagi.
Dan mereka ternyata tidak sendirian di sana. Ada yang
juga tiba-tiba menghela nafas panjang.
Abi menoleh. Di samping mereka, berjarak dua puluh
langkah. Istri Michael J. Fox dengan Junior sedang berdiri
menahan tangis. Mereka mengenakan baju hitam-hitam.
Istri Michael J. Fox mengenakan kerudung putih.
Menggenggam tangan anaknya erat-erat. Ia-lah yang
menghela nafas panjang barusan. Berusaha mengusir tangis
yang siap meledak dari kerongkongannya.
Mereka baru tiba di Banda Aceh dari Helsinki, Finlandia
kemarin sore. Tadi pagi langsung kemari. Tidak seperti Abi
dan Delisa, mereka sama sekali tidak tahu di mana Michael
J Fox dikuburkan. Bahkan tidak tahu apakah suaminya
sudah meninggal atau belum. HP satelit suaminya
ditemukan prajurit marinir Kapal Induk lima minggu silam.
Mati, kehabisan baterai. Dan mereka sama sekali tidak
mengenali yang mana mayat Michael J Fox. Ada banyak
mayat yang sudah membusuk di sekitar HP tersebut.
Marinir di posko tenda hanya menyarankan mereka
datang ke pemakaman massal jika hendak berdoa. Siapapun
yang meninggal di Lhok Nga, hampir semuanya dikubur di
sini. Itu berarti kemungkinan besar Michael J Fox juga ada
di sana. Abi dan Delisa memandang istri Michael J Fox dan
anaknya. Orang-orang asing! Mereka bersedih sama seperti
Abi dan Delisa. Kalau begitu pasti ada kerabat mereka yang
tidak selamat dari bencana itu. Mereka pasti tidak tahu
yang mana kuburan orang yang mereka cari. Juga sama
seperti Abi dan Delisa. Abi menghelas nafas panjang.
Semua pemandangan ini amat menyedihkan. Semua
kesedihan ini benar-benar tidak mengenal batas.
Delisa entah mengapa berdiri. Membawa ranting yang
masih tergenggam di tangan kirinya. Mendekati istri
Michael J Fox dan anaknya patah-patah. Jemari tangan
kanannya menggamit lemah baju hitam istri J Fox saat tiba
di sebelahnya. "S-i-a-p-a yang meninggal"" Delisa bertanya dengan mata
hijaunya. Istri J Fox menoleh sambil menyeka air mata.
Tidak menyangka akan ada yang menegurnya di negeri
antah-berantah ini. Tidak menyangka akan ada yang
menyapanya saat ia sedang berdoa untuk suaminya yang
entah berada di mana. Istri J Fox memandang wajah
menggemaskan Delisa. Bekas luka yang belum hilang, gigi
tanggal dua. Tetapi wajah gadis kecil di sebelahnya
bertanya tulus meski ia sama sekali tidak mengerti apa yang
diucapkannya barusan. Abi melangkah mendekat. Tersenyum getir memandang
Delisa. Entahlah apa yang akan dilakukan Delisa dengan
menegur orang asing ini, dia tidak pernah bisa menduga apa
yang sedang direncanakan bungsunya. Membantu,
mengulang pertanyaan Delisa dalam bahasa Inggris.
Istri J Fox menatap Abi dan Delisa sesaat. Bingung
dengan pertanyaan tersebut. Ada urusan apa gadis kecil di
depannya bertanya soal siapa yang pergi"
"Michael J Fox!" akhirnya ia menjawab lemah. Tidak
mengerti apa yang sebenarnya diinginkan Delisa yang
sekarang menyeringai berjuta makna.
Delisa terbata mengeja ulang nama itu. Mengangguk-angguk. Lantas duduk begitu saja. Menggurat pelan nama
tersebut di atas timbunan tanah. Dengan huruf yang besar-besar
Maekel J Pok Delisa bangkit berdiri. Tersenyum manis ke arah istri J
Fox. Menunjuk guratan tersebut. Nisan!
"Dia sekarang bersama kak Fatimah, kak Zahra, kak
Aisyah, Tiur, Ibu Guru Nur, dan yang lainnya.... Di sana
pasti ramai sekali!" Delisa menyeringai ringan. Abi
menterjemahkannya terbata-bata, terharu. Bagi Delisa
urusan kehilangan ini sederhana sekali. Ia membuatkan
nisan untuk orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
Istri J Fox seketika juga mengerti apa maksudnya. Ia
tidak mengenal nama-nama yang diucapkan Delisa. Tetapi
ia tahu apa yang hendak disampaikan Delisa. Ia paham apa
yang telah dikerjakan Delisa. Kalimat itu sederhana, tetapi
menjelaskan semuanya. Di sana pasti ramai sekali! Istri J
Fox jatuh terduduk dengan
lututnya. Kedua tangannya
gemetar terjulur, lantas memeluk Delisa erat-erat.
Menangis. Anak ini jelas kehilangan lebih banyak dibandingkan ia.
Anak ini jelas kehilangan nama-nama itu. Kehilangan
rumah, sekolah, teman-teman, tempat bermain dan
segalanya. Tetapi lihatlah, gadis kecil ini menganggap
semua kepergian itu dengan sederhana. Benar-benar
sederhana. Tidak ada penolakan. Tidak ada
pengingkaran- Delisa hanya nyengir menerima pelukan tersebut.
13. Hari-hari berlalu cepat
Selama enam minggu kemudian Abi memutuskan untuk
membangun kembali rumah mereka. Dengan bahan
bangunan apa adanya. Hanya berdinding bata merah tanpa
diplester, beratap seng bekas reruntuhan. Abi dibantu
Sersan Ahmed dan pasukannya, serta penduduk Lhok Nga
setempat mengerjakan rumah tersebut seharian.
Ternyata itulah yang dulu dibicarakan Abi dengan
mereka. Teuku Dien, Koh Acan, dan beberapa penduduk
lain juga melakukan hal yang sama seperti Abi. Bergotong
royong. Tetapi penduduk Lhok Nga yang benar-benar
kehilangan semuanya tetap bertahan di tenda darurat. Abi
jauh lebih beruntung masih memiliki tabungan. Kapal
tanker itu juga memberikan pesangon utuh kepada Abi, plus
sumbangan rekan-rekan kabinnya.
Abi memang memutuskan pindah sesegara mungkin dari
barak penampungan. Tempat itu tidak buruk, tetapi semua
kesedihan yang menggantung di kerongkongan ini
membutuhkan banyak aktivitas agar pelan-pelan bisa
terlupakan. Kehidupan baru harus dimulai, dan menempati
rumah sendiri walau seadanya menjadi tonggak awal yang
baik. Itu penjelasan Abi ke Delisa. Delisa hanya manggut-manggut lantas bertanya, "Perasaan di rumah baru kita
nggak ada tonggak-nya, Bi""
Abi juga memutuskan berhenti dari kapal tanker.
Sekarang mengerjakan banyak hal di sini. Tidak jauh
dengan pekerjaan Abi dulu. Membantu sukarelawan yang
mengurusi gardu listrik, alat pemancar, mesin-mesin umum
dan lain sebagainya. Bahkan Abi resmi menjadi
sukarelawan di salah satu lembaga bantuan internasional
yang datang ke Lhok Nga. Mengenakan rompi kuning
mereka. Delisa juga mengerjakan banyak hal. Dua minggu
setelah kembali ke barak penampungan, sekolah, mengaji,
dan lain sebagainya memang belum pulih kembali. Delisa
lebih banyak mainnya. Lebih banyak berjalan kesana-kemari, menjadi pengamat yang baik. Pemerhati sekaligus
komentator. Atas tingkah Delisa itulah, ia ngetop sekali di
sepotong kota Lhok Nga. Siapa yang tidak mengenal
Delisa" Gadis kecil manis memakai kurk. Suka
nyeletuk dan jahil berkomentar.
Dan kabar baiknya bagi Delisa, setelah memasuki bulan
ketiga, sekolah darurat akhirnya dimulai. Di tenda-tenda.
Mereka belajar menghampar seadanya. Tidak ada
seragam sekolah. Tidak ada buku-buku pelajaran. Apalagi
bangku-bangku dan meja belajar. Yang bagus di kelas itu
hanya papan tulisnya. Kata Ibu Guru Ani papan tulis itu
namanya whiteboard. Menulisnya pun pakai spidol.
Bantuan dari tenda marinir. Prajurit Salam yang
mengantarkannya. Ibu Guru Ani adalah satu-satunya guru SD Delisa yang
selamat. Dulu Ibu Guru Ani mengajar kelas enam. Delisa
kasihan sekali melihat Ibu Guru Ani sekarang, terpaksa
mengajar semua anak-anak. Mulai dari kelas satu hingga
kelas enam. Tetapi karena anak-anak yang selamat tidak
banyak, kelas itu digabung jadi satu, meskipun kelasnya jadi
terlihat amat ganjil. Masak Delisa harus sekelas dengan
kakak-kakak yang sudah duduk di kelas enam"
Delisa mulai belajar berhitung. Belajar menulis,
menggambar, bernyanyi, dan semua kegiatan yang
menyenangkan dulu. Delisa ingat ponten matematikanya
yang sembilan. Sekarang pun Delisa tidak kesulitan
melanjutkan sekolahnya. Masih sama seperti dulu. Terasa
menyenangkan, meski dengan situasi seadanya. Delisa
tidak berkeberatan, ia riang berangkat setiap pagi menuju
sekolah darurat itu. Yang sulit dan memberatkan bagi Delisa sekarang adalah
hafalan bacaan shalatnya. Sulit sekali. Padahal pengajian
TPA mereka juga sudah dimulai. Kak Ubai, salah seorang
sukarelawan dari Jakarta mengambil inisiatif memulai
pengajian buat anak-anak di meunasah darurat. Delisa
mengaji setiap sore sekarang. Pengajian mereka juga
digabung, hanya sekali sehari. Sore se
belum Ashar! Jadi Delisa tidak perlu buru-buru pulang selepas bel sekolah. Ia
tidak akan terlambat. Kak Ubai benar-benar kakak yang baik. Kata kak Ubai,
dia sukarelawan Palang Merah Indonesia. Delisa tidak
paham benar soal nama tersebut nama PMI itu mirip seperti
kegiatan sekolah yang diikuti kak Fatimah dulu. Yang ia
tahu kak Ubai rajin memakai rompi yang ada lambang
"tambah" berwarna merah. Pokoknya keren. Kak Ubai
umurnya sama dengan ustadz Rahman. Baiknya sama.
Tingginya sama. Cakepnya sama. Apalagi jenggot-tipisnya.
Sama lucunya. Kak Ubai juga jago bercerita. Pandai bernyanyi dan
pintar menjelaskan. Yang berbeda dengan ustadz Rahman,
kak Ubai suka menenteng kamera ke mana-mana. Delisa
sering menemani kak Ubai berjalan di sepanjang kota Lhok
Nga. Di sepanjang pantai saat matahari terbenam. Di gang-gang. Di mana saja. Dan kak Ubai selalu memoto tempat-tempat, orang-orang, benda-benda dan entahlah yang
mereka temui sepanjang perjalanan.
Lucu sekali, kadang kak Ubai cuma moto daun, moto
tong sampah, moto tiang-tiang pondasi atau barang-barang
kecil lainnya. Kenapa pula kak Ubai mesti moto barang-barang "tak berguna" itu. Kan mending moto Delisa ini.
Tapi kak Ubai cuma tertawa kecil ketika Delisa
menanyakan hal tersebut. Ah, orang dewasa memang
terkadang aneh cara berpikirnya. Delisa manyun.
Dengan jadwal mengaji sore hari di meunasah, "hobi
pamungkas" Delisa bermain bola menjadi berkurang. Ia
hanya bisa bermain bola satu jam selepas mengaji. Tetapi
itu tidak jadi masalah. Lebih dari cukup. Dengan kurk di
lengan kanan, Delisa meneruskan hobi menyenangkan
tersebut. Awalnya kurk di tangan amat mengganggu. Lama-lama
ia terbiasa. Lagipula posisi Delisa sekarang berubah seratus
delapan puluh derajat. Ia tidak perlu banyak bergerak.
Delisa menjadi kiper. Pertama-tama ditunjuk teman-temannya menjadi kiper, Delisa bencinya minta ampun.
Tak pernah membayangkan posisi barunya "hanya" sebagai
kiper. "Semua pemain sama pentingnya, Delisa. Kan
pertandingan nggak jalan kalau tidak ada kiper"" Abi
Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjelaskan malam itu saat Delisa mengadu. Keberatan
saat tadi sore teman-temannya kompak memaksa ia
menjadi kiper. "Kata siapa nggak bisa jalan" Tetap bisa jalan kok, Bi.
Kita dulu pernah kok main nggak pakai kiper.... Pokoknya
Delisa nggak mau jadi kiper. Kan hanya berdiri saja, nggak
ngapa-ngapain...." Delisa ngotot, menyeringai.
Abi menelan ludah. Benar juga, siapa bilang main bola
mesti ada kipernya" Tetapi bagaimana mungkin Delisa bisa
jadi striker dengan kurk di tangan. Repot.
"Tapi siapa bilang kalau kiper kerjanya hanya berdiri
saja. Nggak ngapa-ngapain. Delisa bisa maju juga, kan....
Nggak ada yang melarang kiper maju ke depan"" Abi
tertawa kecil menjelaskan. Dia tidak punya argumen lain
untuk meredakan keberatan Delisa, jadi sembarang saja.
Memakai balik logika Delisa.
Dan penjelasan itu ternyata betul-betul di masukan ke
hati oleh Delisa. Esok sorenya, saat ia main lagi dengan
teman-temannya di lapangan pasir tersebut, Delisa dengan
"ihklas" menjadi kiper.
Dan ia berubah menjadi kiper yang nyentriknya minta
ampun. Delisa ikut-ikutan maju saat permainan dimulai.
Ribut sekali pertandingan tersebut. Teman-teman satu
timnya berteriak-teriak menyuruh Delisa kembali ke bawah
tiang bambu gawang mereka. Sedangkan teman-teman
lawan timnya ribut memprotes ulah Delisa. Kan Delisa
nggak boleh pegang-pegang bola persis di tengah-tengah
lapangan. Mentang-mentang ia kiper.
Tetapi bagi mereka, sepak bola adalah permainan.
Urusan itu selesai dengan sendirinya. Yang penting
pertandingan tetap dilanjutkan. Tak masalah Delisa mau
maju sampai ke mana pun. Paling Delisa repot sendiri pas
ada serangan balik. Dan malamnya Delisa nyengir senang
bercerita pada Abi soal pertandingan tadi sore.
"Kamu nggak sarapan"" Abi bertanya kepada Delisa
yang sudah siap berangkat sekolah.
"Delisa kenyang, Bi!" Delisa menyambar buku-buku
sekolahnya (buku-buku itu baru tiba di sekolah tenda
darurat mereka. Kak Ubai dan beberapa kakak-kakak
sukarelawan PMI lain yang mengantarnya dua hari lalu).
Abi Usman meletakkan nasi goreng itu ke atas meja
(satu-satunya benda yang ada di ruang depan). Rumah
sederhana mereka hanya terdiri dari tiga kamar. Ruang
depan, ruang tengah, dan ruang belakang. Isinya cuma
kursi, meja, kasur dan beberapa peralatan rumah sederhana
lainnya. Bukan itu! Delisa bukan tidak lapar. Tetapi masakannya!
Sudah seminggu terakhir Abi mencoba memasak sendiri.
Tidak tergantung lagi dengan makanan dapur umum "Tidak
selamanya dapur umum ada, Delisa" itu penjelasan Abi saat
dia memutuskan mulai memasak sendiri di rumah. Dan
selama tujuh hari terakhir ini, sayangnya masakan Abi
ternyata jauh dari enak. Hambar! Tak berbentuk!
"Kamu benar-benar kenyang"" Abi menyeringai.
Menyelidik. Delisa buru-buru mengangguk-angguk.
Matanya mengerjap-ngerjap menggemaskan. Delisa bahkan
mengangkat tangannya. Mengacungkan dua jari. Suer.
Memang kenyang. "Masakan Abi nggak enak ya"" Abi bertanya, tertawa.
Akhirnya menyadari kebohongan Delisa. Ikut menjawil-jawil nasi goreng di atas piring plastik tersebut.
Delisa mendekap mulutnya. Tertawa. Mengangguk.
Mereka berdua tertawa. "Ya sudah.... Abi juga kenyang, kok!" Abi menumpuk
piringnya. Delisa nyengir. Bangkit berdiri.
"Delisa berangkat, assalammualaikum!" Delisa sudah
loncat. Kebiasaan lamanya. Pamit sambil lari.
"Eh, tunggu sayang!" Abi buru-buru mengikuti.
Delisa berhenti, menoleh.
"Memangnya Abi mau kemana""
"Dapur umum, sama seperti Delisa...." Abi menjawab
rileks. Menjajari langkah Delisa. Delisa nyengir. Mereka
berdua tertawa lagi. Bagi Abi Usman, kehilangan ini tidaklah sesederhana
seperti kehilangan Delisa. Delisa cukup menjadi Delisa saja.
Tetapi Abi terpaksa sekaligus menjadi Ummi, kak Fatimah,
kak Zahra, dan kak Aisyah bagi Delisa. Abi harus
mengurusi berbagai pernak-pernik kebutuhan Delisa dan
dirinya sendiri. Dan salah satunya yang meskipun sepele
namun mendesak tentu urusan masak-memasak tadi.
Delisa sebenarnya tumbuh lebih dewasa dua bulan
terakhir. Delisa jauh lebih bertanggung-jawab. Ia membantu
Abi menyapu rumah. Mencuci piring. Bahkan sudah bisa
mencuci pakaian dan belajar menyetrika. Delisa juga tidak
banyak berseru meminta tolong. Dengan sendirinya
pengertian itu datang kepadanya. Delisa selalu mengerjakan
sendiri apa yang bisa ia kerjakan. Termasuk urusan
menyiapkan pakaian mengajinya.
Tetapi tetap saja semua ini tidak sederhana bagi Abi.
Apalagi dengan kejadian yang semuanya serba mendadak.
Membuatnya canggung bersikap. Gagap bertindak. Abi
mesti belajar semuanya dari awal. Belajar dengan hati yang
masih terbelenggu kesedihan. Belajar dengan pemandangan
sisa-sisa masa lalu menyakitkan di sekitar.
Delisa tidak tahu itu. Delisa sama sekali tidak menyadari
beban pikiran Abi. Apalagi soal Abi yang suka shalat
malam-malam mengadu kepadaMu. Delisa hanya
berpikiran sederhana. Kalau bisa dikerjakan sendiri, tidak
perlu merepotkan Abi. Dan Delisa sekarang sudah melesat
ke tenda darurat kelas sekolahnya.
Tenda darurat itu sepagi ini ramai sekali. Lebih ramai
dari biasanya. Ada kakak-kakak yang membawa kardus-kardus. Tidak ada bel masuk. Ibu Guru Ani hanya
berteriak. Dan mereka bergegas masuk ke dalam tenda.
Sekarang sudah ada bangku-bangkunya sejak seminggu
lalu. Delisa seperti biasa duduk di depan.
Dan pagi itu juga berubah menyenangkan bagi mereka.
Kakak-kakak itu ternyata membawa kardus-kardus berisi
seragam sekolah, tas, dan peralatan sekolah lainnya.
Mereka tak sabar menunggu di meja, saat kakak-kakak
tersebut mulai mengeluarkan dan membagikan barang-barang tersebut.
"Nah, sekarang baju dan celananya kalian pakai dulu....
yang kekecilan atau kebesaran bisa tukar!" Ibu Guru Ani
tersenyum di depan tenda.
Tanpa diperintah dua kali, mereka segera rusuh
membuka bungkus plastik tersebut. Menarik keluar seragam
baru. Melapis baju seadanya dengan baju merah-putih.
Hanya Teuku Umam yang tidak antusias. Umam diam saja
di pojokan kelas. Lamban membuka kantong plastiknya.
Ibu Guru Ani bahkan perlu membantunya. Delisa
menyeringai. Ia lupa mulu untuk bertanya ke Umam.
"Umam kenapa masih suka diam saja ya, Bi"" Itu
pertanyaan Delisa dua minggu yang lalu.
"Kenapa nggak Delisa tanya saja" Seperti waktu Delisa
sering bicara dengan Tiur...." Ab
i menyarankan itu, setelah
mereka berbincang beberapa saat kemudian.
Nanti-nanti ia akan bertanya, Delisa berikrar dalam hati.
Sekarang ia lagi sibuk. Sibuk dengan bungkusan plastik di
hadapannya. Delisa maju ke depan. Ia tidak membawa baju
atau roknya. Seragamnya pas. Delisa membawa tasnya.
"Ibu Guru Ani, Deli sa bisa tukar dengan warna biru""
Kakak-kakak yang berdiri di depan menoleh ke arah
Delisa. Sebelum Ibu Guru Ani menjawab, kakak-kakak itu
ringan tangan sudah menukarnya. Delisa tersenyum riang.
Khamsia!" Sorenya Delisa berjalan cepat dengan kurk di lengan.
Menuju meunasah darurat. Ia memakai seragam mengaji
TPA-nya. Tas biru baru itu sudah tersampir di punggung.
Delisa riang menuju meunasah. Sepanjang hari ini
semuanya terasa menyenangkan.
Anak-anak sudah ramai saat Delisa tiba di sana. Entah
sedang mengerubungi apa. Berteriak-teriak
riang. Bukankah seharusnya mereka duduk rapi mulai
membaca Iqra" Saat Delisa melepas sandalnya di depan, meletakkannya
berjejer rapi di halaman meunasah. Tiba di bawah bingkai
daun pintu, Delisa akhirnya tahu apa yang teman-temannya
sedang kembungi. Di sana, di sana ada ustadz Rahman.
Duduk di sebelah kak Ubai.
Delisa seketika buncah oleh rasa gembira. Mukanya
memerah. Matanya mengerjap-ngerjap. Menggemaskan.
Saking saking cepatnya berusaha melangkah mendekati
ustadz Rahman, tubuh Delisa limbung kiri-kanan.
"USTADZ!!" Delisa berseru riang. Keras sekali. Dua
langkah sebelum tiba, sayangnya ia benar-benar jatuh.
Kurknya tersangkut tikar pandan meunasah.
Utsadz Rahman sigap menyambarnya. Menahan tubuh
Delisa agar tidak jatuh benaran. Delisa nyengir. Nafasnya
sedikit tersengal. "Ups, maaf, ustadz!" Delisa menyeringai.
Ustadz Rahman tersenyum. Meskipun hatinya terharu
sekali. Lihatlah! Delisa begitu eksplosif menyambutnya.
Delisa begitu tulus memanggil namanya. Ustadz Rahman
menelan ludah. Ya Allah, gadis kecil kesayangannya
ternyata cacat sekarang. Ia memakai kurk. Dan itulah yang
membuatnya terjatuh saat tergesa mendekatinya tadi.
Gadis kecilnya tersenyum riang, sama sekali tidak
memperhatikan wajah ustadz Rahman yang terharu.
Mulutnya membuka menyeringai, memperlihatkan dua
giginya yang tanggal. Ustadz Rahman semakin tersentuh.
Lihatlah! Delisa sama sekali tidak merasa keberatan dengan
semua ini. Ia masih sama seperti dulu. Riang tak berubah.
Ustadz Rahman menghela nafas. Delisa ternyata jauh lebih
memahami semua kejadian ini dibandingkan dirinya.
Murid yang selama ini ia bimbing tentang makna menerima
jauh lebih bisa menerima kenyataan ini dibandingkan
dirinya. "Ustadz kemana saja sih"" Delisa mulai menyiapkan
rentetan pertanyaan. "Delisa bahkan mulai berpikir yang
tidak-tidak, loh, " Mata hijau Delisa berkerjap-kerjap.
Ustadz Rahman menelan ludah.
"Ustzad kemana saja"" Delisa sekali lagi bertanya sambil
menggenggam koko ustadz Rahman kencang-kencang.
"Meulaboh-" Ustadz Rahman menjelaskan pendek.
"Ah iya, pernikahan itu.... Jadinya kapan, ustadz""
Delisa menyeringai senang. Ingat dengan uang receh yang
dilempar. Ingat manisan yang akan banyak terhidang. Kue-kue.
"Kapan" Kapan, ustadz"" Delisa bertanya semakin riang.
Ustadz Rahman terdiam. Lihatlah, gadis kecilnya begitu
ringan menyikapi semua ini. Sedangkan dia hampir tiga
bulan lamanya berkutat dengan kenyataan yang
menyakitkan itu. Lelah membujuk hatinya untuk berdamai.
Lelah menghela kesedihan yang tak kunjung henti setiap
kali ia memutuskan untuk kembali ke sini.
Ustadz Rahman menggeleng.
"Nikahnya tidak jadi, Delisa""
"Kenapa" Kenapa nggak jadi ustadz""
Ustadz Rahman diam. "Kenapa ustadz""
"Kenapa nggak jadi nikahnya""
"Aduh, Delisa kan ingin lihat ustadz menikah!" Delisa
berkata tanpa jeda dalam satu tarikan nafas. Ustadz
Rahman tersenyum pahit. Menatap datar langit-langit
meunasah. Semua ini amat menyakitkan baginya. Karena
Ibu Guru Eli sudah pergi selamanya, Delisa. Pergi bersama
gelombang tsunami itu. Itu berarti tidak akan pernah ada
pernikahan. Tidak akan ada sama sekali, Delisa!
Delisa terdiam mendengar penjelasan itu. Kak Ubai yang
duduk di samping ustadz Rahman menghela nafas. Anak-anak yang tadi mengerubungi mereka
beberapa sudah mengambil rihal masing-masing. Tidak terlalu
memperhatikan pertanyaan Delisa. Sibuk mengomentari tas
baru masing-masing. "Ustadz akan ngajar kita lagi, kan"" Delisa menyeberang
ke pertanyaan lainnya. Ia sedih mendengar penjelasan
ustadz Rahman tadi, jadi malas melanjutkan bertanya
tentang Bu Guru Eli. Delisa benar-benar sedih. Meskipun
separuh kesedihan itu timbul karena prospek tidak akan ada
manisan, kue-kue dan uang receh yang dilempar dari
kendurian ustadz. Baru separuhnya lagi karena menatap
raut muka ustadz Rahman yang biasanya penuh kebaikan
sekarang terlihat tersenyum getir.
Seperti wajah Abi kalau Delisa suka nanya tentang
Ummi. Ustadz Rahman menggeleng. Dia tidak akan bisa
kembali ke Lhok Nga. Hatinya selalu kebas setiap berjalan
di sepanjang jalan kota Lhok Nga. Mengingat-ingat
kenangan masa lalu yang indah. Hatinya sakit sekali setiap
berjalan di sepanjang pantai Lhok Nga. Mengingat-ingat
kalau dia seharusnya sekarang justeru berjalan mesra-berdua dengan belahan hatinya.
"Kenapa ustadz tidak ngajar kita lagi""
Ah, Delisa tidak akan paham arti kehilangan "cinta".
"Kenapa, ustadz" Delisa kan mau bertanya banyak hal....
Delisa mau bertanya tentang hafalan bacaan shalat....
tentang cokelat itu-" Delisa mengernyit. Ia benar-benar
hendak bertanya soal itu. "
Selama ini ia tidak pernah bertanya dengan Abi, kak
Ubai atau Ibu Guru Ani. Ia tidak pernah merasa nyaman
membicarakannya. Saat melihat ustadz Rahman tadi,
Delisa segera merasa akan mendapatkan tempat bertanya
yang baik. Tetapi sekarang ustadz Rahman justeru kembali
sekaligus hendak berpamitan pergi dengan mereka.
"Ustadz akan kembali ke Banda Aceh, Delisa!" ustadz
Rahman memegang lembut bahu Delisa.
"Aduh, bagaimana jadinya...." Delisa sok-dewasa berseru
cemas. Cemas dengan masalahnya.
Kak Ubai dan ustadz Rahman tertawa melihat raut muka
Delisa yang bingung-berkeberatan dengan kalimat ustadz
barusan. Masalahnya mereka berdua memang tidak tahu
masalah itu bagi Delisa tiga bulan terakhir terasa serius
sekali.
Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Delisa bingung hendak bertanya kepada siapa" Dan
pembicaraan itu selesai tanpa kesimpulan bagi Delisa.
Ustadz Rahman akan kembali ke Banda Aceh. Keputusan
itu sudah bulat. Ustadz akan menjadi dosen diperbantukan
di sekolahnya dulu. Delisa hanya manyun masygul
mendengar penjelasan ustadz. Mendingan ngajar Delisa ini,
kan" Daripada ngajar kakak-kakak mahasiswa.
Saat ustadz Rahman keluar dari meunasah, Delisa baru
sadar ternyata ustadz juga cacat seperti ia. Ustadz Rahman
pincang. Berjalan dengan kurk. Delisa tidak ingat kalau ia
juga berjalan dengan kurk. Delisa justeru ingat Ibu Guru
Eli. "Bukankah Ibu Guru Eli calon istrinya ustadz Rahman
itu pincang, Mi"" Itu kata kak Fatimah dulu. Dan Ummi
menasehati kak Fatimah sepanjang sore.
Delisa menelan ludah. Entahlah apa semua maksudnya
ini. Sepanjang pulang dari pengajian TPA Delisa berpikir
banyak hal. Tentang pertanyaannya tadi dengan ustadz
Rahman. Delisa akan bertanya ke siapa soal hafalan shalat
dan cokelat itu" Urusan menghafal bacaan shalat itu pelik bagi Delisa.
Susah. Susaaaaaah sekali. Guratan huruf Arab itu
menolaknya mentah-mentah. Delisa sudah sebulan terakhir
selepas isya selalu menenteng buku hafalan bacaan
shalatnya. Membacanya berulang-ulang. Malam ini jika ia
berhasil hafal doa iftitah. Besoknya ia seketika lupa
begitu saja. Seperti rekaman kaset yang dihapus. Delisa
benar-benar bingung. Belum lagi penyakit bolak-baliknya
yang kembali semakin parah.
Memang tidak ada deadline ujian untuk menyetor
hafalan bacaan shalatnya seperti dengan Ibu Guru Nur
dulu. Tetapi Abi sering menanyakan tentang itu. Dan
Delisa hanya menjawab "sedikit lagi". Padahal Abi juga
sudah membuatkan jembatan keledai seperti yang dulu
dibuatkan Abi. Delisa sebenarnya sekarang tak pernah absen ikut shalat
maghrib, isya, dan shubuh bersama Abi. Bangun pagi
bukan masalah besar baginya. Tetapi shalat Delisa tidak
pernah sempurna. Tidak pernah lengkap. Bacaannya
kebolak-balik, bahkan lupa sama sekali. Abi tidak seperti
Ummi atau kak Aisyah, Abi tidak membaca bacaan
shalatnya keras-keras. Kecuali pas al-Fatihah da
n surat pendek. Jadi selama shalat, Delisa hanya melakukan
gerakannya saja. Ustadz Rahman dulu mungkin benar, kita bisa shalat
tanpa membaca bacaannya. Tetapi nggak mungkin kan
sepanjang tahun Delisa hanya bisa gerakan shalat saja.
Shalatnya tidak akan pernah sempurna. Tidak sama dengan
shalat rasul dana sahabat-sahabatnya. Tidak akan khusuk
seperti yang dulu sering diceritakan ustadz.
Urusan ini benar-benar membuat Delisa bingung.
Urusan cokelat sebenarnya tidak terlalu membebani
Delisa lagi. Ia sudah mengaku kepada kak Aisyah, kak
Zahra, dan kak Fatimah. Ia memberikan pengakuan itu
ketika sendirian datang ke pemakaman massal. Menggurat
nama-nama kakaknya. Meletakkan tiga tangkai bunga
mawar biru. Lantas terbata mengaku soal cokelat tersebut.
Itu kebiasaan Delisa belakangan ini. Setiap minggu pagi
pergi ke pemakaman massal.
Tetapi Delisa kan belum mengaku kepada Ummi.
Bagaimanalah urusannya" Sedangkan Ummi hingga hari ini
tidak tahu entah berada di mana" Ia harus mengaku ke
mana" Delisa menghela nafas. Melepas kerudung birunya.
Kerudung yang ini sama saja dengan miliknya dulu.
Membuat rambutnya panas dan gatal. Tiba di rumah, Abi
belum kembali dari gardu listrik (Abi entah memperbaiki
gardu yang mana hari ini). Delisa mencari kunci rumah di
bawah keset. Masuk ke dalam. Meletakkan tas dan kerudung. Lapar.
Perutnya lapar! Delisa memutuskan masak sebungkus mie.
Menyeringai menghidupkan kompor minyak. Ia jauh dari
pandai kalau hanya urusan memasak mie instan. Bahkan
lebih pandai dibandingkan Abi, hihi!
14. Delisa cin t a Abi karena Allah
Sore ini pantai Lhok Nga ramai. Tentara Amerika juga
banyak datang menghabiskan sore. Bercampur dengan
penduduk setempat dan sukarelawan lainnya. Sebagian
besar dari mereka hanya duduk-duduk memandang
indahnya senja. Menikmati angin laut yang mengusap
muka lembut. Sebagian lain menikmati berkejaran dengan
ombak yang menggulung tubir pantai. Busanya beriak
menjilat-jilat kaki. Tertawa bahak ketika salah seorang dari
mereka terjatuh. Membuat kuyup sekujur badan dibasuh
gulungan air. Beberapa lagi bermain lempar-lemparan buah
kelapa tua yang jatuh. Delisa seperti biasa bergabung dengan teman-temannya.
Bermain bola. Tidak ada yang berbeda dengan sore-sore
sebelumnya. Ke cuali mereka sore itu lagi-lagi kekurangan
satu orang. Delisa celingukan mencari teman yang bisa
diajak bergabung. Ada Umam di pinggir lapangan. Duduk
di atas pelepah tua pohon kelapa yang jatuh. Menggurat-gurat pasir di hadapannya.
Delisa melangkah mendekati Umam dengan
/Aurk. "Main, yuk!" Delisa mengajak.
Umam mengangkat kepalanya. Menatap Delisa sejenak.
Menggeleng. "Kita kurang satu-" Delisa menunjuk ke tengah
lapangan. Delapan temannya menatap dari sana, berharap
ia berhasil membujuk Umam.
Umam hanya diam. "Kan nggak seru kalau nggak lengkap!"
Umam tetap diam. Berpikir, bukankah dulu Delisa yang
paling sering membuat tim mereka tidak lengkap. Kabur
begitu saja pas pertandingan lagi seru-serunya.
"Tim kita kalah mulu sekarang-"
Umam tetap diam. "Meskipun kalau Umam ikut main belum tentu juga tim
kita jadi menang-" Delisa menyeringai, tertawa kecil.
Umam menyeringai. Percuma dia tetap tak bergeming
dengan becandaan Delisa. Delisa menarik nafas mengkal
kembali ke lapangan, bersiap untuk bermain tak imbang
empat-lawan-lima. Bola plastik diletakkan di tengah-tengah.
Prajurit Salam dan teman-temannya entah dari mana
melangkah mendekati tepi lapangan saat mereka bersiap
melakukan kick-off (ini istilah Delisa, ia dapat setelah
menonton siaran langsung sepak bola di teve).
Salam menawarkan diri bergabung dengan tim Delisa
biar lengkap. Ribut sejenak. Tim lawan Delisa protes, sama
sekali nggak adil, jelas-jelas Prajurit
Salam lebih besar dibandingkan mereka. Tetapi lima
menit kemudian pertandingan tetap dilangsungkan.
Sepuluh lawan sepuluh. Marinir itu bergabung semua. Dan
ramai sekali lapangan kecil tersebut.
Lebih ramai lagi saat Delisa semakin ngaco jadi
kipernya. Tentara Amerika itu tidak terlalu serius bermain. Kan
nggak mungkin seserius itu menghadapi anak-anak umur 6-7 tahunan. Tetapi pertandingan itu menyenangkan. Prajur
it Salam berkali-kali pura-pura kena tekel. Jatuh berdebam di
atas pasir. Berser-seru minta pinalti. Juga pura-pura
menendang bola ke arah yang salah padahal tinggal
selangkah di depan gawang lawan ini. Hingga iseng sekali
memindahkan tiang bambu gawang Delisa entah kemana.
Anak-anak hanya tertawa memegang perut melihat Delisa
bingung mencari gawangnya pas balik mundur dari maju
ikut menyerang. Rusuh sekali. Sore semakin matang. Derai tawa anak-anak bermain
bola ditingkahi oleh penonton yang ramai duduk di pinggir
lapangan terdengar dari kejauhan. Jingga menyemburat di
pantai Lhok Nga. Ombak semakin sering memecah bibir
pantai. Burung camar melenguh menambah indah suasana.
Tiga bulan setelah bencana tsunami itu. Tiga bulan
setelah banyak kehilangan akibat air bah itu. Lhok Nga
menjelma menjadi kota antar-bangsa. Kembali merajut
masa depannya. Tumbuh dengan bangunan-bangunan baru.
Warna-warna baru. Hingga petak-petak tanah baru.Tetapi
Lhok Nga tidak akan pernah kehilangan semangat
bersahabat, kekeluargaan dan kesederhanaannya. Lhok Nga
tidak akan pernah kehilangan spirit religiusnya. Lhok Nga
masih yang dulu! "Bi, tadi Delisa bikin satu gol-" Delisa menyeringai
senang. Duduk di meja makan.
Abi meletakkan masakannya di atas meja. "Bukannya
kamu kiper"" "Memangnya kiper nggak bisa bikin gol," Delisa nyengir.
Kan Abi dulu yang memberikan saran"
Abi tertawa. "Tapi kamu kebobolan berapa""
Delisa ikut tertawa. Tidak menjawab. Malu! Tadi tuh
benar-benar rusuh mainnya. Golnya banyak sekali. Lagian
Prajurit Salam bukannya bantuin ia jadi back bertahan,
malah menyembunyikan gawang mereka.
Makan malam yang menyenangkan. Kecuali
masakannya. Abi belum ada kemajuan sama sekali.
Hambar. Tidak berasa. Abi niatnya masak sayur cap-cai dengan lauk ikan. Tetapi rasanya seperti ketukar-tukar. Bentuknya juga. Delisa menyeringai. Setelah
beberapa sendok, mereka berdua saling bertatapan.
Abi menghela nafas. Meletakkan piring nasinya.
Tersenyum. "Kamu mau martabak""
Delisa nyengir, langsung mengangguk-angguk senang.
Mereka segera meninggalkan meja makan. Makan di
luar. Bukan di dapur umum. Koh Acan sudah membuka
toko daruratnya tidak di pasar, tetapi dekat barak
penampungan. Koh Acan tidak berjualan perhiasan
sekarang. Dia berjualan makanan. Martabak Aceh! Ke
situlah Abi dan Delisa menebus masakan hambar tadi.
Lama Abi dan Delisa menghabiskan malam di lapak
Koh Acan. Makan martabaknya sih sebentar, paling
setengah jam. Yang lama berbincangnya. Ada Sersan
Ahmed yang mengirimkan hadiah buku untuk Delisa dari
kak Sophi. Dan Abi entah membicarakan apa dengan
Sersan Ahmed. Tertawa-tawa, bilang tentang "tiga bulan",
"tentara asing harus pulang", "ada-ada saja" dan sejenisnya.
Meski tidak mengerti, Delisa asyik menyimak.
Tiba di rumah Delisa langsung tidur di kamar tengah.
Sudah ada ranjang kecil di dalamnya. Abi seperti biasa tidur
di atas kursi ruang depan. "Abi bisa tidur di mana saja,
Delisa. Namanya juga darurat, kan"" itu penjelasan Abi
dulu, saat Delisa berkeberatan tidur di ranjang, tetapi Abi
tidur di kursi atau di atas tikar pandan.
Malam sudah sempurna. Gelap, bulan menyabit hilang
ditelan awan gelap. Hening, hanya debur ombak terdengar
berirama di tubir pantai. Lhok Nga terlelap.
Dan dari sebagian hambaMu, ada yang tetap terjaga.
Mengingat Mu.... Bersimpuh mengadu kepa-daMu, wahai
yang menerima semua pengaduan. Menangis kepadaMu,
wahai yang paling berhak menerima tumpahnya air mata.
Meminta petunjuk kepadaMu, wahai yang memiliki semua
pertanda. Meminta penjelasan kepadaMu, wahai yang
memiliki rahasia langit, bumi, dan di antara kedua-duanya.
Abi! Abi masih terjaga. Abi sedang tertelungkup di ruang tengah. Abi tidak bisa
tidur selepas dari lapak Koh Acan. Itulah yang
dilakukannya saat matanya tak mau terpejam lagi di malam
hari. Shalat Tahajud. Ketika semua kenangan itu kembali.
Ketika semuanya balik menerabas deras hati yang
sebenarnya mulai tertata.
Muka Abi basah oleh wudhu dan air mata. Sajadahnya
basah. Basah oleh sebuah pengaduan. Ya Allah, berat sekali
semua urusan ini. Dia kehilangan istri yang salehah dan
anak-anak tercinta. Dia kehilangan lebih dari separuh
kehidupannya. Kehidupan yang dia pupuk begitu lama.
Kehidupan yang menjanjikan banyak kebahagiaan. Tetapi
musnah sekejap begitu saja.
Dan lihatlah, dia harus membesarkan Delisa sendirian
sekarang. Gadis kecil yang cerdas, banyak bertanya, amat
menggemaskan, namun harus tumbuh menatap masa depan
dengan melewati semua hal menyakitkan ini. Gadis kecil
yang jauh dari pantas menjalani kehidupan seperti ini.
Ya Allah, amanah itu berat sekali. Dia harus menjadi
Abi, Ummi, kakak, sekaligus teman untuk
Delisa. Jangankan untuk urusan yang lebih rumit, soal
memasakan makanan yang halal dan thayib-pun dia
tidak bisa. Masakan yang thayib ya Allah! Dan dia tak
kunjung bisa berdamai dengan semua perasaan kehilangan
ini. Tak kunjung bisa melupakan semuanya. Lemah.
Hatinya lemah sekali. Sering tertelungkup mengadu
kepadaMu. Mengadu semua penderitaan yang tak kunjung
berubah menjadi angin sejuk.
Lihatlah! setiap hari, hanya bertemu dengan wajah-wajah sisa kesedihan bencana itu. Setiap hari, hanya
menambah daftar kehilangan. Semua ini terasa berat. Berat
sekali! Abi menyeka air matanya. Berusaha menahan isak
tangis. Ia tidak ingin mengganggu Delisa yang sekarang
lelap tertidur. Hening lagi. Keheningan ini mengembalikan semua
kenangan itu. Teringat, bukankah dulu saat-saat seperti ini
dia sering tahajud bersama Ummi. Berdoa berdua bersama
Ummi. Dia dulu punya teman seiring-seperjalanan
membesarkan anak-anak. Mempunyai teman untuk berbagi
keluh kesah. Sungguh, dialah yang lebih banyak bersandar
di bahu istrinya, dibandingkan sebaliknya. Abi rindu
Ummi. Abi rindu mendengar suara menenangkan Ummi
kalau dia sedang menghadapi masalah. Rindu menatap
wajah bening Ummi. Abi benar-benar rindu. Tangisan itu
tak kuasa ditahan, mulai mengeras.
Semuanya kenangan indah bersama Ummi kembali
Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagai desing peluru. Hari-hari pertama pertemuan mereka
dulu. Janji-janji pernikahan.
Rencana-rencana merajut masa depan. Bahkan Abi
teringat kalimat-demi-kalimat nasehat pengantin barunya
dulu. Ingat wajah Ummi yang tersenyum bahagia saat ia
membaca akad. Wajah teduh istrinya pelan menggurat di
atas sajadahnya. Tersenyum. Abi tergugu.
Bukankah hari-hari seperti ini, saat Abi pulang selama
dua minggu dulu Abi sering shalat bersama Fatimah,
Zahra, dan Aisyah. Berkali-kali melotot ke arah Aisyah
yang jahil mengganggu Delisa. Abi rindu Aisyah, senakal
apapun ia. Dan Aisyah semenjak kecil memang sudah
senakal itu. Abi ingat, Aisyah paling suka menaiki
punggungnya. Pernah Aisyah naik ke punggung Abi, pas
dia sedang sujud. Maka lama sekali Abi tidak bangkit-bangkit, menunggu Aisyah yang baru berumur tiga tahun
turun dari punggungnya. Abi rindu berbincang dengan Fatimah soal buku-buku
itu. Fatimah yang akan menjadi pujangga besar! Itulah yang
berkali-kali Abi katakan kalau tak mampu lagi menjawab
pertanyaan sulungnya. Mengusap kerudung sulungnya.
Abi rindu Za hra yang pendiam. Yang mukanya teduh.
Yang selalu memiliki rencana. Pasti Zahra menyiapkan
sesuatu di pagi Delisa menyetor bacaan hafalan shalat itu.
Pasti Zahra menyiapkan sesuatu, meski Abi tak tahu. Abi
benar-benar rindu anak-anaknya. Wajah ketiga gadisnya
ikut menggurat di atas sajadah, tersenyum bersama Ummi
memandang Abi. Abi membalas tersenyum. Senyum getir
memilukan. Sekarang dia hanya bersama Delisa menyambung semua
kisah. Bungsunya yang bagai mutiara. Berat sekali dia harus
membesarkannya sendirian. Abi mengusap air mata.
Delisanya yang tidak pernah mengeluh tentang kakinya.
Tidak pernah bertanya lagi tentang di mana Ummi. Delisa
yang terus menjalani kehidupan tanpa bertanya mengapa
semua itu harus terjadi. Menghiburnya dengan banyak
celetukan. Menghela sedihnya dengan muka riang
menggemaskan. Sungguh, dialah yang banyak terbantu oleh
Delisa. Bukan sebaliknya.
Abi menangis semakin dalam. Tetapi suara tangisan Abi
tidak sendirian sekarang.
Berdua! Delisa sudah terbangun. Dia mendengar ada yang
menangis di ruang depan. Menyingkap kain selimutnya,
lantas dengan mata setengah tertutup, pipi mengukir
kepulauan, mulut menguap, melangkah malas-terhuyung
menuju ruang depan. Delisa melih at Abinya yang sedang menangis. Abinya
yang tertunduk di atas sajadah. Delisa tidak mengerti apa
yang terjadi pada Abi. Delisa tidak tahu. Yang ia tahu
hatinya meleleh seketika. Hatinya sempurna mengukir
berjuta perasaan yang tak ia pahami. Menyemburat
menembus kerongkongannya. Menerabas matanya. Delisa
ikut menangis. Delisa seolah-olah bisa merasakan apa yang
sedang Abi pikirkan. Delisa merasakan.
Delisa bergetar melangkah. Lantas memeluk leher Abi
dari belakang. Mata hijaunya yang teduh dibuliri air bening.
Mata hijaunya berkerjap-kerjap menatap basah.
Abi menoleh. Sedikit terkejut. Buru-buru mengusap air
matanya. Dia tidak ingin terlihat menangis di depan
bungsunya. Menatap raut muka Delisa. Tersenyum.
"Maafkan Abi. Kamu jadi terbangun-" Abi mengangkat-angkat pundaknya. Membuat tubuh Delisa yang memeluk
dari belakang seperti diayun-ayunkan.
"Abi sedang a-p-a"" Delisa bertanya sambil ikutan
mengusap matanya. Bertanya lemah.
Abi hanya diam. "Abi ingat U-m-m-i, ya""
Abi tersenyum. Diam. "Abi ingat kak Fatimah, ya""
Abi memainkan pundaknya, tubuh Delisa terayun pelan.
"Abi ingat kak Zahra, kak Aisyah, ya""
Abi masih memainkan pundaknya.
"A-b-i," Delisa berkata lemah. Tersendat. Ia ingin
menangis lagi. Abi menoleh, menghentikan ayunannya.
Menatap wajah bungsunya yang begitu dekat dari
mukanya. "Abi.... A-b-i.... D-e-l-i-s-a c-i-n-t-a Abi karena Allah!"
Kalimat itu meluncur saja dari mulut Delisa. Meluncur dari
hati Delisa tanpa tertahankan. Tercipta tanpa pengharapan
imbalan sebatang cokelat. Mengalir dari kemilau hati yang
tiada tara. Kalimat itu sebenarnya lemah, disertai sedusedan pula, tetapi cukup sudah untuk menghancurkan
tembok hati membeku terbesar yang pernah ada.
Abi tergagap. Ya Allah, gadis kecilnya mengatakan itu.
Abi seketika tergugu diam. Bungsunya baru saja
mengatakan kalimat indah itu. Kalimat yang diceritakan
Ummi dulu. Kalimat yang melelehkan semuanya. Gemetar
Abi meraih tubuh Delisa. Menatap mata hijau teduh itu.
Menatap Delisa yang memamerkan giginya yang tanggal
dua. Abi gentar sekali. "Abi juga cinta Delisa.... A-b-i juga cinta Delisa karena
Allah!" Bergetar bibir Abi menguntai suara.
Hanya itu yang bisa dia katakan. Hati Abi terlanjur
meleleh oleh perasaan haru. Abi memeluk Delisa erat.
Matanya basah lagi. Menangis. Semua perasaan ini. Semua
kenyataan ini. Semua kejadian-kejadian ini. Lihatlah,
bungsunya benar-benar mengajarkan hakikat cinta yang
sebenarnya. Mengajarkan hakikat perasaan yang seutuhnya.
Ketika semuanya tumbuh hanya karenaMu, ketika
semuanya terjadi hanya karenaMu. Lama Abi dan Delisa
menangis-berpelukan. ** ** Engkaulah alasan semua kehidupan ini. Engkaulah
penjelasan atas semua kehidupan ini. Perasaan itu datang
dariMu. Semua perasaan itu juga akan kembali kepadaMu.
Kami hanya menerima titipan. Dan semua itu ada sungguh
karenaMu.... Katakanlah wahai semua pecinta di dunia. Katakan/ah
ikrar cinta itu hanya karenaNya. Katakanlah semua
kerinduan itu hanya karena Allah. Katakanlah semua getar-rasa itu hanya karena Allah. Dan semoga Allah yang maha
men-cinta, yang menciptakan dunia dengan kasih-sayang
mengajarkan kita tentang cinta sejati.
Semoga Allah member ikan kesempatan kepada kita
untuk merasakan hakikatnya.
Semoga Allah sungguh memberikan kesempatan kepada
kita untuk memandang wajahNya. Wajah yang akan
membuat semua cinta dunia layu bagai kecambah yang
tidak pernah tumbuh. Layu bagai api yang
15. Negeri-negeri jauh! Tahajud Abi malam itu membuat Delisa mengerti satu
hal. Delisa memutuskan untuk memakan habis apa saja
yang Abi masak. Meski dengan muka menyeringai. Meski
dengan mata mengerjap-ngerjap. Meski dengan hidung
meringis. Lagipula, belakangan masakan Abi mulai ada
rasanya. Terlalu pedas. Terlalu asin. Dan terlalu lainnya.
Abi hanya tertawa kecil ketika Delisa mulai "memuji-muji"
masakannya. Hari berjalan tanpa terasa. Masalahnya ketika semuanya
terasa mulai nyaman dan menyenangkan, perubahan-perubahan selalu saja terjadi. Mau atau tidak, perubahan
selalu sebuah keniscayaan.
Beberapa hari kemudian saat Delisa sedang asyik
berkejaran di depan sekolah tenda daruratnya. I
bu Guru Ani sambil memegang amplop cokelat besar memanggilnya
kencang-kencang. Ada Abi di sana. Juga ada suster Sophi,
Sersan Ahmed dan Prajurit Salam di depan tenda. Mereka
bertiga tersenyum menyambut Delisa. Abi berjalan di
belakang. Delisa tidak mengenakan kerudungnya. Panas.
Rambutnya yang baru tumbuh dua senti jingkrak ke atas.
Delisa lebih mirip anak laki dengan gaya rambut seperti itu,
meski tetap terlihat menggemaskan dengan mata hijaunya.
"KAK COFI!" Delisa tersenyum senang, berlari
menghambur ke arah Sophi.
"Da-lie-sa!" Sophi jongkok memeluk Delisa. Sersan Ahmed
mengusap rambut Delisa sambil tertawa datar. Sementara
Prajurit Salam hanya tersenyum mengangguk. Muka itu
selalu bercahaya baginya. Termasuk saat sedang main bola
sekalipun. "Mereka akan pergi, sayang-" Abi tiba-tiba memecah
kesenangan pelukan Delisa dan Sophi, menjelaskan.
Sekarang atau nanti Abi mesti menjelaskan urusan ini ke
Delisa. Jadi lebih baik sekarang saja. Tidak perlu ditunda-tunda.
Delisa menatap kak Sophi mengernyit tak mengerti.
Yang ditatap mengangguk. Membenarkan perkataan Abi.
"Sudah tiga bulan, sayang. Seluruh tentara asing harus
kembali-" Sophi tersenyum. Abi membantu menjelaskan
lagi. "Pergi k-e-m-a-n-a"" Delisa bertanya bingung.
"Pulang ke negara mereka. Amerika. Jauuuh. Seperti
yang Abi pernah tunjukkan lewat peta-peta!" Abi
tersenyum. Mereka akan pulang" Kak Cofi akan pergi. Juga Sersan Ahmed dan Prajurit
Salam. Ia tidak terlalu akrab dengan Sersan
Ahmed, ia hanya tahu bapak-bapak ini sering
menjenguknya di rumah sakit dulu. Juga sering
memberinya hadiah, termasuk kaca mata hitam itu. Juga
sering menemani Abi entah bicara apa. Delisa suka
mengamati mereka bicara. Tetapi tidak suka dengan cara
Sersan Ahmed membentak-bentak anak buahnya. Galak.
Kalau Prajurit Salam ia akrab, bapak-bapak yang ini
sering menemaninya bermain bola. Meski tak banyak bicara
dengannya. Hanya menegur. Tetapi apapun bentuk
hubungan mereka, kalau mereka akan pergi itu
menyedihkan. Delisa menghela nafas panjang menatap
ketiganya bergantian. Delisa mengerjap-ngerjapkan matanya. Kata-kata pergi
selalu membuatnya tidak nyaman. Pergi dan sendirian amat
dekat maknanya. Delisa merasa perutnya mulas seketika.
"Tetapi kenapa kak Sophi harus pergi" Memangnya ada
yang melarang kak Sophi di sini-" Delisa menyeringai siap
berdebat dengan siapa saja.
Abi menghela nafas, "Tidak ada yang melarang, Delisa.
Tetapi rumah kak Sophi bukan di sini. Kak Sophi harus
melanjutkan tugasnya. Seperti Abi yang sering berpergian
tiga bulan. Nanti-nanti kak Sophi kan bisa ke sini lagi."
Berbohong. Tetapi itu bohong putih. Dusta yang diijinkan.
Delisa menyeringai ke arah kak Sophi. Mengklarifikasi.
Kak Sophi tersenyum mengangguk.
"Kak Sophi berjanji akan selalu mengirim surat, sayang-"
Sophi memegang bahu Delisa, berkata lemah
"Mengabarkan banyak hal.... Ah, lihatlah,
bahkan bekas luka di wajahmu sama sekali tidak bersisa-"
Sophi mengalihkan pembicaraan. Sibuk memeriksa bekas
jahitan di muka dan dekat leher Delisa. Delisa juga sedang
sibuk berpikir. Memikirkan kata-kata Abi dan kak Sophi
barusan. Memikirkan kenapa dunia ini harus besar
bentuknya. Orang-or ang harus terpisah oleh jarak.
Bukankah asyik sekali kalau dunia ini hanya sebesar kota
Lhok Nga" Bisa saling kunjung-mengunjung setiap hari"
"Kamu ambil ini sayang-" Sophi mengulurkan
genggaman tangan kanannya. Membuka pelan-pelan
genggaman tersebut. Sebuah benda melingkar indah
ditimpa cahaya matahari pagi ada di telapak kak Sophi.
Kalung milik kak Sophi. S untuk Cofi.
Delisa seketika menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak.
Ia tidak menginginkan kalung tersebut. Bukan karena ia
tidak menyukainya, ia amat suka, kalung kak Cofi indah
sekali. Delisa sedang sedih memikirkan kata pergi.
Memikirkan kemungkinan ia tidak akan bertemu lagi
dengan kak Cofi, meski kak Sophi sudah berjanji. Semua ini
membuat Delisa kehilangan selera dengan kalung tersebut.
Lagipula Delisa belakangan selalu merasa tidak nyaman
jika berbincang, melihat, apalagi memegang benda yang
bernama kalung. Delisa masih sempurna lupa tentang
kalung hadiah hafalan bacaan shalat
nya. Tetapi Delisa merasa ada yang aneh setiap kali ia melihat kalung. Setiap
kali ada yang menyebut-nyebut tentang kalung. Aneh saja
rasanya. Ada yang terputus dalam ingatannya! Dan itu
ganjil sekali. "Ambillah, sayang...." Sophi membujuk.
"Nggak! Delisa nggak mau," Delisa menggigit bibirnya.
Menatap Abi meminta untuk menjelaskannya pada kak
Cofi. Sophi menyentuh tangan Delisa. Memaksa memasukkan
kalung tersebut dalam genggaman Delisa. Delisa
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bukankah kok Cofi dulu bilang, kalung ini hadiah
spesial dari seseorang.... Delisa tidak mau kalung kak Cofi.
S untuk kak Cofi! Bukan untuk Delisa-" Delisa menggerak-gerakkan kepalanya. Berusaha mengepalkan tangannya
kencang-kencang. Menolak. Sersan Ahmed tertawa melihat
tingkahnya. Abi menjelaskan kalimat Delisa barusan kepada Sophi.
Sophi terdiam. Ah, kalau begitu ia tidak akan berhasil
membujuk Delisa menerima kalung tersebut. Ya, Delisa
benar, kalung ini hadiah spesial dari seseorang. Tetapi ia
ingin sekali Delisa yang mengenakannya. Seseorang itu
tidak akan kembali. Seseorang itu tidak akan keberatan jika
Delisa yang memakainya sekarang. Sophi tersenyum tipis,
memasukkan kalung tersebut ke saku bajunya. Menyeka
keringat di dahi. Mengeluarkan sesuatu yang lain dari sakunya.
"Kalau yang ini, Delisa pasti tak keberatan kan""
Sekarang Delisa berseru senang. Sebatang cokelat yang
besar untuknya. Ia tidak perlu ditawari dua kali. Segera
menyambarnya, seolah-olah ada tangan panjang kak
Aisyah yang kapan saja siap merebutnya dari belakang.
Sersan Ahmed tertawa lebih lebar.
Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah, Pak Usman, kami harus segera kembali ke
Kapal Induk-" Sersan Ahmed menjabat tangan Abi erat.
Bahkan berpelukan sejenak.
Prajurit Salam juga memeluk Abi erat.
"Sekali lagi terima kasih, Salam!" Abi berbisik. Abi tahu
dari cerita Sersan Ahmed kalau Salam-lah yang
menemukan Delisa tersangkut di semak itu. Tetapi yang
Abi tidak ketahui, cerita setelah itu. Cerita Prajurit Salam
yang mualaf. "Akulah yang harus banyak berterima kasih, Abi!"
Prajurit Salam menelan ludahnya. Dia mulai terharu.
Bagaimanapun tempat ini akan menjadi penting dalam
catatan kehidupannya. Orang-orang yang ada di
hadapannya akan menjadi penting dalam prosesnya
memahami kehidupan dan takdir. Dia tidak akan pernah
bisa melupakannya. "Tentu saja akulah yang harus berterima kasih, Salam.
Kau membantu Delisa banyak!"
"Tidak! Sungguh Delisa-lah yang membantuku banyak!"
Prajurit Salam menyeka hidungnya yang basah. Abi
membalas pelukan Salam lebih erat, meski tak mengerti apa
maksud kalimat Salam barusan.
Sophi menjabat tangan Abi. Abi mengucapkan terima
kasih. Mendoakan agar ia mendapatkan jodoh yang baik.
Sophi hanya menyeringai tersenyum. Seseorang"
Sersan Ahmed mengusap kepala Delisa untuk terakhir
kalinya. Prajurit Salam duduk dengan lututnya, memeluk
gadis kecil itu erat-erat. Saat memeluk Delisa, Salam
teringat anak semata wayangnya yang meninggal.
Meninggal dalam pelukannya. Matanya tak mampu lagi
menahan tangis. Dia mengusap matanya.
"Kenapa Om Salam menangis"" Delisa nyengir.
Salam tertawa lemah. Menyeka hidungnya sekali lagi.
"Idih, Om jorok deh!" Delisa menyeringai.
Salam tertawa kecil menerima protes Delisa.
"Om sedih karena kalau besok-lusa Delisa main bola
lagi, pasti Delisa kalah.... Kan Om nggak bisa bantu main
lagi-" Prajurit Salam pura-pura memukul lengan Delisa. Abi
menterjemahkan. "Kata siapa. Deli sa pasti tetap menang!" Delisa buru-buru memotong suara Abi, menyeringai lebar.
Mereka tertawa lagi. Sophi memeluk Delisa untuk terakhir kalinya. Lantas
beranjak pergi. Melambai. Siluet tubuh mereka hilang di
balik tenda-tenda barak penampungan.
Pagi itu, cepat sekali tenda-tenda marinir di sepanjang
pantai Lhok Nga dibongkar. Mobilisasi mereka taktis dan
efisien. Siangnya beberapa helikopter datang menjemput.
Dan sekejap, posko itu tidak bersisa apapun. Delisa tidak
mengerti soal kebijakan pemerintah yang membatasi tentara
asing di Aceh selama tiga bulan. Kalau ia paham, tentu
Delisa akan protes, karena semua itu menjauhkannya dari
orang-orang yang menyayanginya. Semua itu membuat ia
kehilangan lagi orang-orang yang memperhatikannya
selama ini. Tetapi pertemuan bukankah selalu memiliki
perpisahan. Delisa teringat kak Cofi yang selalu menanyakan kabar
lewat Sersan Ahmed, rajin mengirimkan hadiah dari kapal
perang itu untuknya. Prajurit Salam yang rajin menemani
atau sekadar menontonnya bermain bola sore-sore. Sersan
Ahmed yang selalu mengusap kerudungnya. Ah mereka
kembali ke negaranya yang jauuuh. Entah kapan akan
sempat bersua lagi. Ibu Guru Ani membunyikan lonceng masuk kelas.
Memecah lamunan Delisa. Istirahat pagi selesai. Abi juga
dari tadi sudah beranjak pergi melanjutkan pekerjaannya di
gardu listrik dekat sekolah darurat Delisa.
Delisa menarik nafas panjang. Setidaknya ia punya
cokelat besar yang membuat ia menelan ludah menatapnya.
Delisa lari buru-buru masuk tenda kelas. Hari itu, Sabtu, 26
Maret 2005. Semua tentara kembali ke negeri-negeri jauh.
Tetapi hari itu tetap menyenangkan buat Delisa.
Di dalam kelas, Ibu Guru Ani tidak buru-buru
melanjutkan pelajaran mereka tadi pagi. Pelajaran
berhitung. Ibu Guru Ani malah berdiri di depan kelas
memperlihatkan amplop cokelat besar yang dilihat Delisa
waktu berpisah dengan kak Sophi, Sersan
Ahmed dan Prajurit Salam barusan.
"Anak-anak coba lihat ke dapan. Ibu Guru baru saja
mendapatkan surat buat kalian-"
Delisa segera berpikir, amplop itu pasti sebelumnya di
bawa oleh Sersan Ahmed. Sersan Ahmed kan sering sekali
membawa titipan dari manalah. Teman-teman Delisa mulai
ribut bertanya dari siapa. Ibu Guru Ani tersenyum.
Memperlihatkan sampul depannya.
"Dari anak-anak kelas 1 Elementary School Rose The
Elizabeth, London. Inggris" Ibu Guru Ani men-terjemahkannya keras-keras. Teman-teman Delisa
bertatapan antusias. Delisa menyeringai. Pasti dari negara-negara jauh itu. Hari ini kenapa banyak sekali urusan yang
menyangkut negara-negara jauh itu.
"Untuk teman-teman kami, murid kelas 1 Sekolah Dasar
Lhok Nga dan sekitarnya." Ibu Guru membaca keras-keras.
Anak-anak tertib-diam mendengarkan. Menatap semakin
tertarik. Ibu Guru kemudian merobek bagian tepi amplop
cokelat yang memang tadi dibawa oleh Sersan Ahmed.
Surat itu tiba di Pusat Informasi Banda Aceh dua hari
lalu. Ada banyak surat serupa yang dikirimkan oleh anak-anak SD di seluruh dunia untuk korban tsunami di Aceh.
Surat-surat keprihatinan teman-teman sebaya mereka.
Surat-surat persahabatan yang tak mengenal batas geografis.
Ibu Guru Ani tersenyum mengeluarkan selembar kertas
dari amplop, lantas mulai membaca.
"Untuk teman-teman tersayangKetika kami menonton di teve \berita itu, kami sungguh
sedih. Beberapa di antara kami bahkan ikut menangis.
Kami sedih sekali, bertanya pada mam & dad
mengapa semua itu harus terjadi. Tetapi mereka juga tak
bisa menjelaskan. Kata berita, teman-teman kehilangan rumah, kehilangan
Bara Diatas Singgasana 19 Crazy Karya Emolicious Pedang Keadilan 29
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama