sekolah, bahkan kehilangan sahabat, dan anggota keluarga.
Kami tidak tahu bagaimana caranya agar membuat teman-teman tidak bersedih. Kami tahu semua itu pasti
menyakitkan. Sehari setelah melihat berita itu, kami mengumpulkan
uang saku masing-masing. Ibu Guru yang menyimpannya.
Lantas mengirimkannya. Lewat transfer bank ke lembaga
sosial. Semoga itu membantu teman-teman.
Hanya itu yang dapat kami lakukan. Selain berdoa.
Semoga teman-teman selalu diberkahi Tuhan. Kami ingin
menjadi sahabat baru bagi teman-teman. Menjadi keluarga
baru bagi teman-teman. Meskipun kami tahu, kami tidak
akan pernah bisa menggantikan teman-teman lama kalian.
Menggantikan keluarga kalian yang sudah pergi selamanya.
Kami hanya ingin ikut merasakan. Ikut berbagi.
Salam hangat dari kami. Teman jauh kalian. Michelle,
Margareth, dan anak-anak kelas 1 Elementary School Rose
The Elizabeth. London. Inggris.
NB: Bersama surat ini kami sertakan foto-foto dan
prakarya dari kami tentang Aceh. Oh-ya, kami ingin sekali
melihat foto-foto dan prakarya kalian-"
Ibu Guru Ani sambil tersenyum melipat surat tersebut.
Mengeluarkan banyak kertas lagi dari amplop cokelat besar
di tangannya. Anak-anak sudah maju ke depan.
Mengerubungi Ibu Guru Ani. Berebut melihat kertas-kertas
tersebut. Ada foto-foto mereka di kelas yang bercat cerah. Wajah-wajah b
ule. Delisa teringat anak ibu-ibu yang dulu pernah
menangis di kuburan massal itu. Ada banyak kertas
bertuliskan puisi-puisi. Gambar-gambar dengan crayon 12
warna (Delisa ingat kak Zahra yang pintar menggambar).
Menyenangkan sekali melihat itu semua. Ibu Guru Ani
tersenyum menatap anak-anak yang masih riuh melihat
kertas-kertas itu. "Kata Abi kita harus membalas surat orang-" Delisa
mendekati Ibu Guru Ani. Memikirkan sesuatu.
Ibu Guru Ani menoleh. "Apakah kita akan membalas surat itu""
Ibu Guru Ani tersenyum. "Tentu Delisa. Kita akan
membalasnya. Bagaimana kalau Delisa yang balas""
"Yeee.... Delisa kan tadi cuma nanya, kenapa Delisa
yang malah disuruh," Delisa menyeringai. Memprotes. Ibu
Guru Ani hanya tertawa. Sekali lagi menunjuk Delisa.
Delisa nyengir, meski akhirnya mengangguk.
Sore selepas bermain bola di pantai. Delisa mulai
menulis surat balasan itu. Abi membantunya men-terjemahkan. Suratnya tidak panjang. Tidak juga pendek.
Hanya mengabarkan keadaan d i Lhok Nga. Menceritakan
kelas mereka di tenda darurat. Menceritakan betapa
indahnya senja hari di pantai.
Ibu Guru Ani menyuruh Delisa mampir ke posko PMI
selepas pulang sekolah, tempat kak Ubai. Meminta
beberapa lembar foto anak-anak di depan tenda sekolah
darurat untuk disertakan dalam surat. Kak Ubai menyuruh
Delisa menunggu di meja, sementara dia mencetak foto-foto
itu dari komputer. Delisa baru tahu kalau kamera kak Ubai
beda dengan kamera Abi dulu. Tidak ada "klise"-nya. Kata
kak Ubai itu namanya kamera digital. Ah, entahlah. Delisa
hanya asyik melihat kak Ubai mencetak foto-foto itu. Keren
sekali melihat kertas yang sudah berwarna-warni keluar dari
sprinter namanya mirip dengan posisi bermain bolanya
dulu. Teman-teman kelasnya tadi siang juga menyertakan
beberapa gambar dan prakarya lainnya. Riuh sekali.
Ah, urusan ini benar-benar tidak mengenal batas lagi.
Semuanya ikut membantu menyiapkan balasan surat
tersebut dengan riang. Padahal mereka kan tidak mengenal
siapa Margareth dan Michelle" Senang saja melakukan
semuanya. Dan itu tidak membutuhkan lagi penjelasan
mengapa. 16. Ibu k embali! Minggu pagi. Selepas shalat shubuh bersama Abi, Delisa
menyalin ulang surat tersebut ke kertas yang lebih bagus.
Sesore dan semalam kemarin Delisa baru
menyelesaikannya di atas kertas coretan. Sekarang baru
dipindahkan. Biar rapi. Tidak keli ru Ibu Guru Ani menunjuk Delisa yang
membalas surat Michelle dan Margaretha. Tulisan Delisa
memang bagus. Itu juga dipuji oleh kak Ubai beberapa
minggu lalu saat mereka belajar kaligrafi di meunasah.
Delisa berbakat menulis indah. Kata kak Ubai waktu itu,
Allah cinta sesuatu yang indah, "dan hal-hal yang indah
hanya bisa dihasilkan oleh cinta". Ah, Delisa tidak mengerti
betul kalimat terakhirnya. Kak Ubai terkadang mirip kak
Fatimah, suka ngomong yang aneh-aneh.
"Jangan-jangan malah bagusan tulisan-nya daripada isi-nya, Delisa!" Abi yang sedang membaca buku tebal di kursi
sebelah tertawa menegur Delisa yang amat serius
menggurat huruf-demi-huruf di atas kertas.
Delisa menoleh. Nyengir. Mengusap ujung hidungnya
yang gatal. Melanjutkan menyalin.
"Eh, Bi, nanti Delisa mengirimkannya lewat apa ya""
Delisa mengangkat kepalanya, bertanya.
"Kamu serahkan saja ke Ibu Guru Ani, biar Ibu Guru
yang mengirimkan-" Abi menjawab seadanya.
"Nanti Ibu Guru Ani juga mengirimkannya lewat apa
ya" Kan kantor pos belum buka.... Tenda tentara kapal itu
juga sudah pergi" Kan repot sekali sekarang-"
"Bisa dititipkan dengan kakak-kakak sukarelawan yang
kembali ke Banda Aceh kan, atau helikopter tentara sini....
Dari sana pasti banyak cara mengirimkannya-" Abi
menjelaskan lebih serius.
Delisa manggut-manggut sok-mengerti. Meneruskan
pekerjaannya. Hening. Hanya suara pensilnya yang
terdengar. "Eh, Bi, nanti Delisa habis mengantarkan surat ini,
Delisa boleh main ya"" Delisa menyeringai. Mengangkat
kepalanya lagi. Teringat sesuatu. Jadwal rutin minggu
paginya. Abi menoleh. "Memangnya kamu mau main ke mana""
"Ada deh.... Delisa hanya main sekitaran sini kok!"
Delisa memasang wajah polosnya. Buru-buru menggeleng
saat ditatap mata menyelidik Abi.
Abi hanya tersen yum. Dia tahu, setiap minggu pagi
selama sebulan terakhir, Delisa selalu pergi sendirian ke
pemakaman massal itu. Berdiri di sana sendirian.
Meletakkan tiga tangkai bunga mawar biru. Menggurat
nama-nama kakak-kakaknya. Berbicara dengan kakak-kakaknya.
Abi menghela nafas panjang. Kebiasaan "ganjil" itu
sejauh ini belum jadi masalah. Setidaknya kebiasaan itu
belum terasa mengganggu. Nanti seiring berjalannya waktu
semoga Delisa akan mengerti. Biarkan saja. Bukankah Abi
juga sering datang ke sana sendirian tanpa diketahui Delisa.
"B-o-l-e-h kan"" Delisa bertanya lagi.
Abi mengangguk. Kembali membaca. Delisa tersenyum
senang. Melanjutkan tulisannya. Hening.
Dan selepas menyerahkan surat ke Ibu Guru Ani di
barak penampungan (Ibu Guru Ani masih tinggal di sana),
Delisa melangkah riang menuju pemakaman massal
tersebut. Letaknya lumayan jauh. Delisa harus berjalan kurang-lebih dua kilometer. Berjalan lurus ke arah mercu suar Lhok
Nga. Melewati puing-puing rumah. Melewati beberapa
rumah yang sedang dibangun seadanya. Melewati patokpatok kayu p embatas tanah yang sekarang banyak
bertebaran. Delisa melangkah dengan hati senang. Meski kurk di
lengan kanan tidak bisa membuatnya berjalan lebih cepat
dari yang ia inginkan. Pagi ini cuaca menyenangkan.
Burung camar melenguh dari kejauhan. Udara terasa segar
dan hangat. Angin berhembus memainkan anak rambut
Delisa (lagi-lagi kerudung itu ia sampirkan di leher, rambut
Delisa yang sudah tumbuh empat senti terasa gatal). Langit
dipenuhi awan putih laksana tumpukan kapas. Pagi yang
menyenangkan. Delisa bersenandung kecil. "Aisyah Adinda
Kita!" Lagu favorit kak Aisyah.
"Ada sepuluh aisyah/ berbusana muslimah ada seratus
aisyah berbusana muslimah ada seribu aisyah/ berbusana
muslimah ada sejuta aisyah/ aisyah adinda kita"
Satu jam kemudian Delisa tiba di hamparan gundukan
tanah tersebut. Lapangan luas kuburan massal. Sepi di sini!
Hanya desau angin pagi yang mengisi langit-langit
hamparan gundukan tanah kosong nan luas. Di
sekelilingnya semak belukar yang dulu hampir separuhnya
tercerabut atau terbenam lumpur gelombang tsunami
kembali menghijau. Beberapa ekor capung dan kupu-kupu
berter-bangan. Satu dua suara burung berkicau menambah
syahdu suasana. Tetapi secara keseluruhan tetap terasa sepi
di sini! Delisa melangkah pelan menuju salah satu sisi lapangan.
Ia tidak tahu di mana letak kuburan kak Fatimah, kak
Zahra, dan kak Aisyah. Abi juga tidak tahu. Jadi Delisa
menganggap tempat ia dulu pertama kali menggurat nama
mereka-lah sebagai lokasi kuburan kakak-kakaknya. Di
sanalah nisan mereka. Nisan yang selalu hilang setiap
minggu pagi Delisa berkunjung. Dan ia harus
menuliskannya lagi. Delisa menyeringai meraih sebatang ranting di atas
semak. Jongkok. Baju putih berendanya terkena butiran
tanah. Delisa tidak memperhatikan. Sambil tangan
kanannya menyeka dahi yang berkeringat, Delisa menulis
nama kak Fatimah, kak Zahra dan kak Aisyah di atas tanah. Pelan-pelan.
Sepenuh hati. Membuatkan nisan yang baru. Kemudian
meletakkan tiga tangkai mawar biru itu bersisian di dekat
nama masing-masing. Berdiri. Menatap tulisan dan bunga tersebut. Tersenyum
lebar. Delisa menepuk-nepuk bajunya yang terkena debu.
Menatap lagi kuburan kak Fatimah, kak Zahra dan kak
Aisyah. Menghela nafas panjang.
Siap mengajak mereka berbincang.
"Kak Aisyah, kemarin Delisa dapat cokelat dari kak
Cofi-" Delisa berkata riang. Mengeluarkan cokelat yang
masih utuh dari saku celananya.
"Delisa belum makan.... Belum ada teman untuk berbagi.
Kalau Delisa makan sendiri pasti nggak habis! Kan sayang
kalau di makan separuh, separuhnya disimpan lagi.... Coba
ada kak Aisyah, Delisa pasti kasih potongan yang paling
besar...." Diam lagi. "Ah ya, kak Cofi sudah kembali. Juga Om Ahmad....
Om Salam. Kata Abi mereka pulang ke negaranya yang
jauuuuh! Ameraka, eh apa ya nama negaranya" Delisa
lupa-" Delisa manyun sebentar. Nama negara kok seperti
neraka" "Ah ya, Delisa juga tadi pagi baru menulis surat untuk
teman kelas satu dari negara yang jauuuh juga. Inggris, nah
kalau yang ini Delisa ingat.... Abi yang membantu
mengartikannya. Ternyata bahas
a Inggris itu susah.... Delisa mesti nulisnya satu persatu. Susah dieja...."
Diam lagi. Lebih lama. "Kak Fatimah, tadi pagi Delisa bangun shubuh-nya cepat
sekali.... Langsung kebangun. Kak Aisyah kalau tadi ada di
rumah, pasti kalah deh bangunnya sama Delisa.... T-e-t-a-p-i, tetapi Delisa bingung-"
Diam. Udara pagi bertiup semakin kencang. Beberapa
ekor capung dan kupu-kupu terbang di sekitar Delisa.
"Delisa, D-e-l-i-s-a lagi-lagi lupa bacaan shalatnya....
Benar-benar lupa. Delisa tidak tahu kenapa.
Padahal kemarin Delisa sudah hafal doa i f t i t a h____
Tadi pagi lupa lagi. Padahal kemarin Delisa juga sudah
hafal bacaan sujud. Tadi pagi lupa lagi. Delisa bingung.
Kenapa ya"" Delisa menyeringai. Mengusap ujung hidungnya yang
tidak gatal. Menghela nafas. Diam lama sekali. Urusan ini
pelan-pelan mulai mengganggunya. Semuanya terasa ganjil.
Delisa kan bukan anak bodoh. Menarik nafasnya sekali lagi.
Memikirkan hal lain yang juga tidak kalah penting.
"Kak Fatimah, maafkan Delisa, Delisa juga belum tahu
Ummi ada di mana, Abi juga belum-" Delisa berkata pelan.
"Apakah kak Fatimah, kak Zahra, kak Aisyah tahu di
mana Ummi"" Delisa bertanya lemah. Menghela nafas.
Memainkan kurknya di atas gundukan tanah. Menggurat-gurat entahlah.
Diam lagi. Urusan ini juga amat mengganggu Delisa. Ia
memang tidak banyak bertanya pada Abi tentang Ummi.
Tetapi ia rindu sekali dengan Ummi. Ya Allah, Delisa rindu
sekali dengan Ummi. Delisa ingin bertemu. Delisa bukan
sekadar ingin mengaku soal cokelat itu. Delisa benar-benar
ingin memeluk Ummi. Bercerita banyak hal. Menarik-narik
baju dan kerudung Ummi. Delisa rindu melihat Ummi yang
sedang menjahit. Delisa bahkan rindu cubitan Ummi kalau
ia lagi-lagi bandel pulang main kesorean. Ya Allah, Delisa
rindu semuanya. Delisa rindu sekali....
Mata Delisa mulai basah. Ia menangis. Kurk-nya
bergetar. Tubuhnya berguncang pelan. Kerudung birunya
yang tersangkut di leher melambai pelan di tiup angin pagi.
Lama sekali Delisa menangis tanpa suara.
Delisa rindu menatap beningnya wajah Ummi.
Semua ini benar-benar membuatnya "dewasa" lebih
cepat. Membuatnya tumbuh lebih awal. Semua ini sungguh
terlalu dini baginya. Memaksanya untuk berusaha mengerti
dan memahami lebih cepat. **
Delisa tergugu lebih lama lagi. Ia seperti bisa melihat
gurat wajah Ummi, wajah kak Fatimah, kak Zahra dan kak
Aisyah di atas gundukan tanah. Ia bisa melihat mereka
tersenyum manis. Seandainya ada Ummi di sini.
Seandainya ada Ummi yang membantu menjelaskan.
Semua urusan akan terasa lebih ringan. Delisa mengusap
matanya. Membuang ingus dengan kerudungnya (tuh kan,
Delisa itu juga jorok, tapi bisanya cuma menegur orang
lain). Ternyata bukan hanya Delisa yang menangis di
Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemakaman tersebut. Saat Delisa membuang ingus, ia
mendengar suara isak tertahan lain di dekatnya. Delisa
mengangkat kepala. Mengusap matanya sekali lagi.
Menoleh ke sumber suara tangisan itu.
** Tetapi Ya Allah, Delisa haru 6 tahun. Kanak-kanak
yang kesehariannya seharusnya lebih banyak diisi dengan
bermain. Bukan masa-masa untuk bertanya. Pertanyaan
yang entah kapan ia akan mampu menjawabnya. Jikapun
ada jawaban entah kapan ia akan mampu memahaminya.
Jikapun ia bisa menerimanya, entah kapan ia bisa
menerimanya. Teuku Umam! Ada Umam berdiri sepelemparan batu darinya. Sama
seperti Delisa. Umam sedang menangis sendiri di ujung
lapangan. Sepertinya Umam tidak menyadari di sana ada
Delisa. Terus saja terisak. Delisa setelah memandang
sejenak, berpikir beberapa saat, menimbang-nimbang,
akhirnya memutuskan melangkah mendekat.
Suara kurk Delisa terdengar oleh Umam. Dia menoleh.
Amat terkejut. Buru-buru menghentikan tangisannya.
Mengusap matanya. Mereka berdua bersitatap. Delisa
nyengir, sudah ketahuan ini Umam nangis, cuek melangkah
semakin dekat. Lantas berdiri di sebelah Umam.
Umam hanya diam. Mukanya mengeras. Dia tidak suka
Delisa tahu dia baru saja menangis. Apalagi kalau besok-besok Delisa sampai cerita dengan teman-temannya.
Delisa juga diam. Sedikitpun tidak memikirkan apa yang
dikhawatirkan Umam. Hanya menyeringai datar. Seekor
capung hinggap di kurk Delisa. Delisa tertarik
memperhatikan. Capung itu berwarna cokelat.
Delisa ingat sesuatu. Mengeluarkan batang cokelat dari
saku celananya. Membuka bungkusnya. Umam melirik
memperhatikan. Dia masih terkejut dengan kehadiran
Delisa, dan tidak tahu harus melakukan apa, meskipun baru
saja berpikir untuk mengancam Delisa agar tidak bercerita
ke siapa-siapa. Tadi Umam kesiangan. Seharusnya dia
datang lebih pagi. Umam sama seperti Delisa, rajin
berkunjung ke pemakaman massal ini. Ah, siapa saja di
Lhok Nga sama seperti mereka, mengadu di pemakaman
ini. Meski tidak se-rutin yang Delisa lakukan.
"Untuk Umam!" Delisa menyerahkan separuh
cokelatnya ke Umam. Umam tetap menatap tak bergerak.
Menyeringai. "Ambillah!" Delisa balas menyeringai.
Bersitatap sejenak. Akhirnya pelan tangan Umam
mengambilnya. Cokelat itu besar, dan terlihat lezat sekali.
Umam mengatakan terima kasih dengan suara lemah.
Delisa mengangguk kecil. Mereka berdua menggigit potongan cokelat tersebut
hampir bersamaan. Delisa nyengir. Cokelat hadiah kak
Sophi selalu lebih enak dibandingkan cokelat hadiah ustadz
Rahman. Apalagi dibandingkan cokelat hadiah kakak-kakak di pos barak penampungan. Tetapi di kapal perang
itu, semuanya memang terasa jauh lebih enak. Delisa tanpa
merasa bersalah tega membandingkan hadiah-hadiah itu.
Lupa kalau dulu Ummi pernah berkata: Jangan pernah lihat
hadiah dari bentuknya. Lihat dari niatnya. Insya Allah
hadiahnya terasa lebih indah....
Mereka diam menghabiskan cokelat tersebut. Matahari
mulai meninggi, meski udara tetap terasa menyenangkan.
Cahaya matahari terhalang oleh awan putih tipis yang
memenuhi langit-langit Lhok Nga. Kicau burung mulai
terdengar ramai. Terbang menyelisip di antara semak-semak. Delisa memasukkan kertas pembungkus cokelat ke
saku celana, nanti akan ia buang kalau ketemu kotak
sampah. Kembali menatap ke gundukan tanah di hadapan
Umam. "Kenapa tidak ada nama di sana"" Delisa bertanya.
Umam menoleh, tak mengerti. Nama apa"
Delisa tidak menunggu jawaban. Langsung menyambar
sebilah ranting. Jongkok. Kemudian seperti ia menulis
nama kakak-kakaknya tadi, Delisa menulis nama-nama
kakak Umam yang dikubur di sana. Delisa tahu, Umam
senasib dengannya. Lima kakak Umam meninggal karena
bencana air bah itu. Kata Abi kelima-limanya dikubur di
sini. Hanya Ummi Umam yang tidak tahu di mana
sekarang, sama seperti Ummi Delisa. Maka Delisa
menggurat kelima kakak cowok Umam.
Kelima nama itu tergurat rapi.
Delisa bangkit berdiri. Tersenyum senang melihat
pekerjaannya. Umam menatapnya. Bergantian menatap
nama-nama yang tergurat di tanah. Dia akhirnya mengerti
maksud Delisa tadi. Kenapa tidak ada nama di sana" Raut
muka Umam tiba-tiba berubah sedikit lebih menyenangkan.
Menyeringai datar. "T-e-r-i-m-a kasih-" Umam berkata pelan. Memaksakan
untuk tersenyum lebih lebar. Delisa hanya balas
menyeringai. Menepuk-nepuk lututnya yang kotor oleh
tanah. "Umam sering kesini"" Delisa bertanya.
Umam mengangguk. "Kamu""
Delisa nyengir. Mengangguk.
"Delisa setiap minggu pagi ke sini. Delisa harus banyak
bercerita ke kak Fatimah, kak Zahra, dan kak Aisyah-"
"B-e-r-c-e-r-i-t-a""
"Ya.... Bercerita apa saja agar mereka tahu apa yang Abi
dan Delisa kerjakan sekarang...." Delisa sok-tahu sokpaham menjelaskan. Kepalanya mengangguk-angguk lucu.
Mukanya yang serius terlihat menggemaskan.
Meskipun begitu Teuku Umam tidak menter-tawakan
seperti biasanya. Umam mencatat penjelasan Delisa dengan
baik. Bercerita" Bukankah itu menarik sekali" Kenapa dia
tidak melakukan hal yang sama seperti Delisa. Bercerita"
Mengaku ke kakak-kakaknya soal uang belanja Ummi
yang dia curi hari Sabtu sebelum kejadian itu. Yang
membuat mereka ber-enam akhirnya dimarahi semalaman.
Mengaku ke kakak-kakaknya soal kenakalan Umam selama
ini. Dia yang merobek buku kak Tiro. Sengaja memecahkan
tugas keramik kak Umar. Menggembosi ban motor kak
Ubai. Ya, dia bisa mengaku banyak hal di sini. Dan kakak-kakaknya pasti akan mendengar. Memaafkan.
Teuku Umam menghela nafas lega. Dia juga bisa berjanji
kepada kakak-kakaknya kalau dia akan menurut dengan
Ummi sekarang. Berjanji tidak akan melawan lagi. Berjanji
sungguh-sun gguh kalau diberikan kesempatan bertemu
dengan Ummi, Umam tidak akan nakal lagi. Umam akan
jadi anak yang baik. Umam menelan ludahnya. Berikrar
singkat. Delisa tidak memperhatikan Umam yang sedang sibuk
berpikir. Umam yang menyeringai senang atas "de Delisa.
Delisa duduk lagi di gundukan tanah, sibuk menggurat
bingkai di nama-nama kakak Umam. Memberinya lukisan
lima tangkai bunga mawar.
"Kamu nanti sore main bola"" Umam bertanya.
Memecah keheningan. Delisa mengangkat kepalanya.
Menghentikan tangannya. Mengangguk.
"Aku boleh ikut""
Delisa berseru senang. Berdiri.
"Asyik.... Umam mau main bola lagi!"
Umam tersenyum lebih lebar. Mengangguk. Ah, ternyata
sederhana sekali pemecahan masalahnya selama ini. Dan
semuanya tiba-tiba terasa melegakan.
Sejenak mereka sudah serius membicarakan main bola.
Melupakan banyak kesedihan itu. Mengingat-ingat Om
Salam yang dulu suka ikut bermain dalam tim Delisa.
Teman-teman Om Salam yang juga sering ikut main.
Teuku Umam sama sekali lupa, bukankah dia selama ini
benci sekali berbicara dengan anak cewek. Bukankah dia
selama ini lebih suka menjahili mereka. Menarik-narik
kerudung mereka. Menyembunyikan tas mereka di kelas.
Atau melempari mereka dengan pasir saat bermain di
pantai, seperti yang sering dia lakukan kepada Delisa.
Ah, orang selalu berubah setelah berbagai kejadian.
Pembicaraan mereka baru terhenti ketika tiba-tiba Teuku
Dien (Abinya Umam) muncul ter-gopoh di ujung jalan
menuju pemakaman massal tersebut.
"UMAM!" Teuku Dien berteriak kencang. Delisa dan
Umam menoleh. "U-M-A-M!"
Susah sekali melukiskan bagaimana raut muka Teuku
Dien. Muka itu bercahaya, muka itu sembab, muka itu
tertawa, muka itu menangis. Entahlah! Ada seribu perasaan
yang bercampur dari paras muka Teuku Dien. Delisa
menatap tidak mengerti. "Umam!" Teuku Dien langsung memeluk Umam.
Umam menggeliat bingung dalam pelukan Abinya. Dia
sebenarnya risih dipeluk Abi di depan Delisa. Kan malu!
"Umam, U m-mi sudah ketemu...." terbata Teuku Dien
berkata. Matanya basah lagi. Teuku Dien melihat Delisa.
Saking harunya dia juga memeluk Delisa.
"Delisa, Um-mi sudah ketemu...." Teuku Dien berbisik
lemah. Lemah tapi amat bertenaga. Suara yang bahagia.
"Um-mi.... Ummi s-i-a-p-a"" Delisa keburu memotong
sebelum Teuku Dien atau Umam berbicara. Ikut menggeliat
dalam pelukan Teuku Dien. Tiba-tiba jantung Delisa
berdetak lebih kencang. Ummi"
"Ummi.... Ummi.... Sudah.... Ketemu, Delisa!"
Teuku Dien hanya bisa menyebutkan kalimat patah-patah itu. Hatinya masih buncah oleh perasaan senang.
Berusaha mengendalikan nafasnya.
Hati Delisa juga buncah oleh perasaan. Nafasnya
memburu kencang. Mata hijaunya membulat. Muka
menggemaskan itu berbinar-binar.
"Ummi" U-m-m-i D-e-l-i-s-a" Sudah ketemu"" Delisa
bertanya serak. Akhirnya ia berhasil melepaskan pelukan
Teuku Dien. U-m-m-i-n-y-a U-m-a-m sudah ketemu, Delisa.... Sudah
ketemu!" Teuku Dien menyambung kalimatnya, setelah ia
menghela nafas panjang mengendalikan diri beberapa detik.
Menjelaskan. Delisa yang tadi buncah oleh perasaan senang,
jantungnya berdebar oleh pengharapan, tetap tidak
menyerah begitu saja oleh informasi itu. Memegang lengan
baju Teuku Dien kencang-kencang.
"Ummi.... U-m-m-i-n-y-a D-e-l-i-s-a bagaimana"" Mata
itu bertanya sejuta harap. Mata itu bertanya sejuta asa.
Teuku Dien tiba-tiba terdiam. Gagu oleh kesadaran yang
datang tiba-tiba. Bukankah semua ini terasa kontras sekali"
Ya Allah, Teuku Dien terpana menatap mata hijau Delisa
yang memandangnya sejuta harapan. Seolah-olah
kegembiraan yang baru saja dibawanya itu juga membawa
kegembiraan lainnya. Seolah-olah kegembiraannya tadi
menjanjikan kegembiraan pula buat Delisa.
"Ummi Delisa juga ketemu, kan"" Delisa bertanya sekali
lagi. Suaranya mendadak mencicit setelah melihat Teuku
Dien hanya terdiam. Diamnya Teuku
Dien jelas-jelas bukan pertanda baik. Jantung Delisa
berdetak lebih kencang. Sinar mata itu bersiap meredup.
Paras muka itu bersiap menegang.
Teuku Dien menggeleng lemah. "H-a-n-y-a.... Hanya
Um-mi Umam yang ketemu, sayang!"
Dan Delisa kaku seketika.
Serunai kesedihan mulai erdengar. Denting kebencian
mulai dipukul. Dupa pembangkangan mulai menyala.
Bukankah sudah dikatakan sebelumnya. Kecemburuan
itu bagai api yang membakar semak kering. Cepat sekali
menyala. Melalap apa saja di sekitarnya. Dan itulah yang
terjadi sesaat setelah Teuku Dien dengan wajah berbinar
mengajak Umam bersegera pulang dari pemakaman massal
tersebut menemui Umminya.
Ummi Umam ternyata di rawat di Medan. Beberapa hari
setelah terseret gelombang tsunami, Ummi Umam
diselamatkan oleh kelompok sukarelawan dari Medan. Di
bawa ke rumah sakit Medan. Dirawat di sana. Lama sekali
baru ketahuan karena Ummi Umam trauma
berkepanjangan. Tidak bisa bicara menjelaskan. Hanya
diam menatap kosong di atas ranjang rumah sakit.
Ya Allah, Delisa juga hanya diam menatap kosong gurat
nama kak Fatimah, kak Zahra, kak Aisyah. Hatinya tiba-tiba berubah kelam sekali.
Sekelam gelapnya malam. Ya Allah, hati itu berubah
menjadi mengerikan sekali. Hati Delisa mulai mengukir
kebencian. Hati Delisa mulai menggurat tifa
pembangkangan. Delisa mencabut begitu saja semua
kebaikan dalam hatinya, lantas menanam tinggi-tinggi
pohon permusuhan. Ada sejuta guntur dan halilintar dalam
kelam hati Delisa. Ada awan hitam yang mengambang
menakutkan di sana. Bukankah Delisa sudah sabar ya Allah. Sabar untuk
tidak bertanya kepada Abi. Bukankah Delisa sudah sabar ya
Allah. Sabar untuk melewati ini sama seperti hari-hari
sebelumnya. Delisa sudah mencoba melakukan semua
seperti yang dulu sering dikatakan ustadz Rahman: anak
yang baik, adalah anak yang bisa membantu Abi dan
Umminya di kala susah. Ingatlah, anak yang baik doanya
selalu terkabul. Apa yang tidak Delisa lakukan coba" Delisa tidak pernah
bertanya soal kenapa kakinya harus pincang" Delisa tidak
pernah bertanya kenapa ia harus cacat" Delisa tidak pernah
mengeluh. Delisa tidak pernah berkeberatan. Delisa tidak
pernah merajuk. Sedikitpun tidak!
Delisa juga tidak pernah bertanya tentang Ummi kepada
Abi, karena Delisa tidak ingin membuat Abi bersedih.
Delisa ingin jadi anak yang baik. Delisa membantu banyak
Abi. Membersihkan rumah. Mencuci pakaian. Dengan
menjadi anak yang baik, Delisa ingin agar doanya terkabul.
Delisa ingin agar bertemu lagi dengan Ummi. Bahkan
Delisa sama sekali tidak berkeberatan memakan masakan
Abi. Apa yang tidak dilakukan Delisa" Apa lagi"
Tetapi lihatlah yang Delisa terima" Apa coba" Kau
malah mendatangkan Ummi Umam. Tidak Ummi Delisa.
Bukankah Umam tidak cacat sepertinya" Umam tidak
pincang sepertinya. Bukankah Umam anak yang nakal
Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selama ini" Jahil kepada Tiur" Jahil kepada teman-teman
yang lain" Bukankah Umam tak pernah mau membagi
makanannya" Malah sering melempari Delisa dengan pasir"
Semua ini sama sekali tidak adil! Delisa benci! Delisa
benci semuanya. Kenapa Umam yang kau berikan
Umminya" Kenapa bukan Delisa"
BENCI. DELISA BENCI SEKALI!!!
Semua ini bohong. Kata-kata ustadz Rahman bohong!
Kata-kata Abi bohong! Kata-kata Ummi bohong! Ibu Guru
Nur bohong! SEMUANYA BOHONG! Delisa sudah
berusaha jadi anak yang baik. Tetapi apa yang Kau berikan.
Kenapa Umam yang dapat" Kenapa tidak Delisa"
BOHONG! BOHONG!! BOHONG!!!
Delisa tergugu oleh kesedihan. Delisa terlempar-kan
dalam lingkaran mengerikan itu. Ketika perasaan
mengkungkung akal sehat. Ketika akal bermufakat dengan
hati. Ketika kebencian mengambil alih semua kendali
bagian tubuh Delisa untuk membangkang. Pengkhianatan
dari pasukan hatinya. Maka Delisa menginjak-injak begitu saja guratan nama
kak Fatimah, kak Zahra, dan kak Aisyah. Delisa
menginjak-injak tiga tangkai bunga mawar biru itu hingga
lebur. Delisa jongkong. Meninju-ninju gundukan tanah itu.
Kalap oleh luka yang tiba-tiba menganga di hatinya.
Hati Delisa berubah kelam. Mutiara itu mengutuk
semuanya. Lihatlah, ya Allah, gadis kecil itu baru enam
tahun. Tidak mengerti tentang semua perasaan itu. Tidak
paham tentang semua keputus-anMu. Gadis kecil itu hanya
mengerti satu hal. Mengapa Ummi Umam kembali!
Sedangkan mmi-nya tidak! Mengapa" Dan pertanyaan itu
cukup sudah untuk meruntuhkan seluruh tembok kebaikan
Delisa. Berguguran. Membuat hatinya mendidih.
Delisa menyambar kurknya. Lantas berlari menangis
dari pemakaman massal. Menjauh dari tempat
menyebalkan itu. Ingin hilang begitu saja dari semua
kutukan ini. Ingin lenyap dari semua kendengkian hatinya.
Baru sepuluh langkah. Ya Allah, tubuhnya yang limbung
berdebam jatuh. Sempurna menghantam gundukan tanah
merah. Kurknya bahkan memukul kepala Delisa.
Delisa menangis semakin keras. Bangkit tertatih-tatih.
Kakinya sakit sekali. Juga lengan tangannya. Badan dan
rambut ikalnya kotor oleh tanah. Kepalanya bengkak oleh
hantaman kurk. Teramat sakit. Tetapi lebih sakit lagi
hatinya. Lebih kotor lagi hatinya.
Delisa tertatih sambil menangis meneruskan larinya. **
Ya Allah, di mana rasa adilMu" Itu pertanyaan ke
sepuluh hamba 17. Ajarkan kam i arti ikhlas!
Dan urusan pembangkangan ini berkembang di-luar
kendali Delisa. Langit mengambil alih semuanya. Pulang
dari pema kaman massal itu Delisa jatuh sakit. Sakit
mendadak begitu saja. Awalnya hanya meriang, menjelang
sore badan Delisa terasa amat panas. Demam. Bengkak di
kepalanya membesar. Delisa terkapar tak berdaya di atas
ranjang. ** Abi panik. Tidak ada angin, tidak ada hujan,
bagaimanalah bungsunya tiba-tiba demam seperti
"Engkau langsung menghukumnya. Delisa langsung
''direndam'' dalam panasnya bara pengampunan. Entahlah!
Baik alau tidak bagi Delisa.
Sedangkan banyak sekali orang-orang jahat yang kau
tunda penghukumannya. Orang-orang jahat yang kau
biarkan terta wa-ia wa. Bahkan kau ''berikan'' jalan untuk
dengan mudah melanjutkan bejat perangai mereka. Tengik
prilaku mereka. Kau berikan jalan agar apa yang mereka
lakukan malah terlihat baik di mata dunia. Ukuran
kehidupan yang kami optakan memang keterlaluan sekali
ya AHah. Kami malu jika berjalan ke tempat-tempat umum
tanpa alas kaki. Padahal apa salahnya" Kami justeru tidak
malu jika berdusta, kami tidak malu setelah melakukan
maksiat. Ukuran pemahaman yang kami buat memang
keterlaluan sekali ya A/lah. Kami takut tidak memiliki
harta, kami cemas bila esok tak ada harapan menambah
pundi-pundi, sementara teman-teman kami sudah
sedemikian menterengnya. Padahal apa salahnya" Kami
justeru tidak malu membenarkan hal-hal keliru. Berkata, ah!
Bukankah itu sudah demikian peraturannya. Lump-sum.
Setrap perjalanan diberikan ongkos sekian. Habis tidak
habis ya segitu! Kami lupa, kalau ''peraturan manusia''
bilang demikian, apa lantas peraturanMu bilang sama"
Kami lupa, ukuran yang benar adalah ukuranMu. Bukan
ukuran yang sengaja kami ciptakan untuk menelikungMu.
Bukan permufakatan yang kami lakukan untuk membuat
peraturan-peraturan tersebut.
ini. Rusuh sepanjang sore mengompres kepala Delisa.
Melakukan apa saja yang bisa dia lakukan. Kacau. Abi
lebih banyak bingungnya daripada berpikir benar.
Andaikata ada Ummi, tentu Ummi tahu harus melakukan
apa sekarang. Mengeluh. "Bagaimana, sayang. Apakah Delisa sudah merasa
baikan"" Abi bertanya cemas. Meraih kain kompres di atas
kepala Delisa. Panas. Kain itu panas sekali. Gemetar
telapak tangan Abi menyentuh dahi bungsunya.
Lebih panas dari satu jam lalu. Delisa hanya diam.
Nafasnya tersengal. Sebenarnya Delisa bisa "menjawab
pertanyaan Abi dengan anggukan atau gelengan seperti
yang sering ia lakukan kalau dulu sakit dan Ummi bertanya.
Tetapi Delisa sedang benci hatinya. Hanya diam membisu.
Mengunci rapat bibirnya yang mengelupas.
"Apa sebaiknya Abi memanggil dokter ya"" Abi bertanya
ke langit-langit ruangan sambil mencelupkan kain kompres
ke dalam baskom air dingin.
"Tetapi malam-malam begini-" Abi memeras kain
tersebut. Bertanya lagi dalam sepi.
"Mungkin dokter posko PMI masih jaga, mungkin dr
Peter masih ada-" Abi meletakkan kain dingin tersebut di
dahi panas Delisa. Bertanya sendiri, menjawabnya sendiri.
Dan lima belas menit kemudian, akhirnya tergo-poh Abi
menuju tenda sukarelawan PMI. Delisa ia titipkan dengan
tetangga sebelah rumah. Panik! Abi amat panik. Delisa
mulai kejang-kejang. Mencera-cau tak sadarkan diri. Mata
hijau Delisa mulai mendelik tinggal putihnya saja. Sungguh
mencemaskan melihatnya. Setengah jam kemudian, dr Peter bersama Ubai datang.
Delisa terbaring kaku di atas ranjang. Matanya masih
mendelik menatap langit-langit ruangan. Na
fasnya semakin tersengal. Detak jantungnya mengencang. Delisa tidak
menjawab saat ditanya kak Ubai. Apalagi oleh dr Peter.
Bukan karena Delisa tidak mau menjawab. Tetapi karena
kesadarannya menurun, hampir habis. Delisa setengah
pingsan. Tubuhnya panas sekali. Seperti dibakar tungku
penggosongan. "Bagaimana ceritanya bisa demam seperti ini, USMAN""
dr Peter memeriksa panik kondisi Delisa. Ini serius sekali.
Abi menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak tahu.
Benar-benar tidak tahu. Sementara Ubai menyeringai,
menatap cemas tubuh Delisa yang sekali lagi kejang-kejang.
Tubuh mungil itu menggelinjang. Bibirnya membiru. Ya
Allah- "Kita harus membawanya ke rumah sakit, Usman!
SEGERA!!" dr Peter berkata amat tegas. Dan tanpa
menunggu jawaban Abi, langsung meneriaki Ubai agar
menggendong tubuh Delisa.
Level kepanikan meningkat tajam. Abi mengeluh
menggigit bibirnya. Ya Allah, apa yang terjadi pada
bungsunya. Ubai sudah melangkah cepat membawa tubuh
lemah Delisa menuju mobil yang diparkir di halaman, dr
Peter sigap meraih stir kemudi. Menghidupkan mesin jeep
tuanya. Abi buru-buru masuk.
Dan tanpa ba-bi-bu dr Peter melajukan mobilnya.
Ngebut di jalanan sepi Lhok Nga.
Delisa semakin kejang dalam pangkuan Ubai. Matanya
mendelik tinggal putihnya. Ubai serasa memeluk sebongkah
batu yang baru diambil dari bara api.
Mobil itu melesat menuju rumah sakit darurat Lhok
Nga. Delisa langsung dibawa ke unit gawat darurat.
Beruntung, rumah sakit Lhok Nga, meski kondisi bangunan
masih menyedihkan, peralatannya memadai sekali.
Bantuan dari kapal induk.
Rusuh beberapa perawat menyambut Delisa.
Menyiapkan ruang UGD secepat mungkin, dr Peter
mengambil alih urusan sepenuhnya. Abi dan Ubai terpaksa
hanya berdiri diam menunggu cemas di lorong rumah sakit.
Urusan ini amat mengkhawatirkan.
Abi berkali-kali mendesah menyebut. Istighfar. Ubai
berusaha memegang bahu Abi, berkata-kata kalimat
bijak.Menenangkan. Tetapi bagaimanalah akan bijak dan
menenangkan kalimat itu, jika yang mengatakannya ikutan
cemas. Ikutan menelan ludah teramat khawatir.
Satu jam berlalu tanpa kabar dari ruang UGD.
Satu jam yang panjang pula buat Abi. Satu jam yang
setara dengan puluhan desah tertahan, duduk-berdiri-duduk-berdiri lagi, mengusap wajah, dan berkali-kali
mengeluh panjang mengharap kebaikanMu.
"Kalau Kau baik saat itu kepada Delisa ya Allah, maka
tak ada sulitnya Engkau akan baik pula saat ini-" Abi
mendesahkan doa. ** Satu jam kemudian dr Peter keluar dari ruangan UGD.
Melangkah pelan, mendekati Abi dan Ubai yang terduduk
kuyu di atas kursi panjang. Tersenyum mem egang bahu Abi
yang tepekur diam. Abi mengangkat kepalanya.
"B-a-g-a-i-m-a-n-a"" entahlah erangan itu lebih terdengar
cemas atau apa. Abi gemetar memegang lengan dr Peter.
Bertanya dengan mata amat gentar.
"Puji Tuhan, panasnya sudah mereda, Demamnya sudah
turun, Usman! Tuhan memang selalu bersama anak-anak."
dr Peter menyeringai riang.
** Bagaimanalah jadinya kalau Delisa tidak
terselamatkan" Ya Allah, apakah hukuman untuk
pembangkangannya seberat itu" Bukankah banyak mahkluk
ciptaanMu yang sepanjang hidupnya tak pernah menurut
ayat-ayatMu, tidak pernah melakukan kebaikan-kebaikan,
tetapi Kau biarkan mereka hidup dalam semua kenikmatan"
Bukankah banyak seka/i hambaMu yang culas, durhaka,
dan zalim. Sepanjang hidupnya begitu. Tak pernah Kau
hukum. Dan ketika di penghujung hidupnya mereka sedetik
saja insyaf dan bertobat, seketika Kau maafkan dosa-dosa
mereka. Ya Allah, bukankah Delisa sebaliknya. Di penghujung
semua kebaikannya, ia membangkang kepadaMu. Hanya
sekali ini saja. Dan Kau langsung menghukumnya.
Bagaimanalah kalau ia tidak terselamatkan lagi" Bagaimana
mungkin berguguran semua kebaikan itu. Bukankah
pembangkangan ini bisa diterima.
Ya Allah, kami bodoh'. Kami sering tidak mengerti apa
maksud takdirMu. Lantas apakah itu sebuah
pembangkangan jika kami berkata TIDAK'. Apakah salah
jika Delisa juga berkata TIDAK'. Kau-lah yang
menciptakan bongkah perasaan itu. Dan kami lemah untuk
memahami berbagai perasaan tersebut. Teramat lemah.
Bantulah kami'. Abi jatuh terduduk. MemujiMu. Matanya basah. Abi
tad i takut sekali. Semua kenangan itu kembali saat dia
duduk berdiam di lorong sepi ini. Abi gentar sekali.
Sedikitpun tidak bisa membayangkan apa yang akan
dilakukannya jika Delisa juga pergi. Pergi setelah semua hal
menyakitkan ini. Bukankah semua kehilangan ini sudah
amat menyakitkan. Sungguh akan semakin menyakitkan
jika bungsunya juga pergi.
Abi lirih mengucap syukur. Ubai tersenyum tipis meraih
bahu Abi. Membantunya berdiri.
"Kondisi tubuhnya sudah terkendali, tetapi Delisa masih
pingsan. Kalau kau ingin, kau bisa melihatnya sekarang,
Usman." dr Peter menyilahkan Abi masuk ke dalam
ruangan UGD. Tanpa diminta dua kali, Abi beranjak
melangkah pelan, diikuti Ubai.
Gemetar mendekati ranjang Delisa.
Lihatlah! Bungsunya terbaring lemah di atas ranjang
rumah sakit. Rambut ikal pirangnya yang sudah panjang
rebah di dahi. Muka itu pucat. Tubuh itu seperti habis
berkeringat banyak. Tubuh itu seperti baru keluar dari
tungku panas. Diperas. Salah seorang perawat tadi
mengganti baju Delisa. Sekarang gadis bungsunya tergolek
tak berdaya. Tetapi dr Peter benar, Delisa sudah bernafas
normal kembali. Detak jantungnya pelan berirama.
Abi menelan ludah, berdiri di samping ranjang. Gemetar
tangannya menyentuh kening Delisa. Dingin. Suhu tubuh
Delisa sudah normal kembali. Bungsunya terlihat begitu
tenang dan takjim tertidur. Malaikat kecilnya tidur
nyenyak. Ubai akhirnya melepaskan senyum riang, dr Peter
entah menuliskan apa di atas kertas, menyerahkannya pada
perawat. Abi hanya membelai pipi bungsunya. Lama
mereka terdiam. Sibuk dengan berbagai pikiran.
Dan Delisa juga sedang "sibuk".
Delisa sibuk mengejar kupu-kupu di taman indah
tersebut. Berlari kesana-kemari. Kupu-kupu itu indah sekali.
Jutaan warnanya. Taman ini juga indah sekali. Jutaan
bunganya. Ada pelangi yang silang-menyilang di langit-langit.
Jutaan warnanya. Delisa tertawa-tawa menyibak bebungaan. Kupu-kupu
itu lincah. Susah ditangkap. Padahal Delisa hanya ingin
melihat mereka dari jarak dekat saja. Nanti-nanti pasti
dilepaskan. Delisa tiba di depan gerbang taman tersebut beberapa
saat yang lalu. Tiba begitu saja. Dan kali ini Delisa bisa
Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melangkah. Bisa bergerak. Delisa bisa masuk ke dalam
taman. Maka masuklah Delisa. Masuk dengan riang.
Langsung disambut oleh pemandangan berjuta warna ini.
Lama sekali Delisa mengejar kupu-kupu tersebut. Tak
satu pun yang berhasil ia tangkap. Delisa sambil tertawa-tawa akhirnya jatuh terduduk. Lelah. Kupu-kupu itu jauh
lebih gesit darinya. Bagaimana mungkin" Kalau begitu tidak
akan ada anak lain yang mampu menangkapnya.
Delisa nyengir memikirkannya sambil duduk men-jeplak
di atas rumput hijau yang lembut. Rambut pirangnya ditiup
angin lembut. Segar sekali. Apalagi Delisa habis keringatan
ini. Terasa sejuk. Delisa melepas kerudung dari lehernya.
Menyeka keringat di dahi dan leher. Dengan kerudung itu.
Semua ini menyenangkan. Semua ini terasa berbeda.
Tempat ini indah sekali. Di manakah"
Ketika Delisa masih sibuk melepas lelahnya, sibuk
berpikir menatap sekitar. Sibuk menghirup bersihnya udara.
Ada yang menyentuh bahunya. Lembut. Delisa sontak
menoleh. U-m-m-i! Ya Allah, Ummi yang menyentuh bahunya.
Ummi duduk jongkok di belakang Delisa. Mata Ummi
bening menatap bercahaya. Muka teduh Ummi mengukir
sejuta rasa sayang, sejuta kerinduan, sejuta perasaan.
"U-M-M-I! UMMI!!" Delisa buncah oleh rasa gembira.
Delisa tersengal oleh rasa senang. Delisa bangkit berdiri.
Lantas loncat keras sekali ke dalam pelukan Ummi. Saking
kerasnya loncatan itu, Ummi jadi jatuh terjengkang.
Ummi dan Delisa berpelukan sambil jatuh ke tanah.
Bergulingan di atas permadani rumput hijau. Ummi
tertawa. Delisa lebih keras lagi tawanya. Menyeringai. Bangkit
dari atas tubuh Ummi. Membantu Ummi duduk kembali.
Ya Allah, Ummi! Ummi menemuinya.
Lama Delisa menatap wajah Ummi. Terdiam.
Seolah-olah tak percaya. Ummi juga ikutan memandang
wajah bungsunya. Jemari tangan kanan Delisa terjulur. Lama Delisa
menyentuh pipi Ummi dengan jemarinya. Ummi yang
selalu ia rindukan. Ummi yang selalu terkenang. Sekarang
bertemu di sini. Lihatlah! Delisa bisa membelai lembut pipi
Ummi seperti du lu. Delisa bisa melakukannya. Delisa bisa
memandang wajah teduh Ummi. Delisa bisa menatap
beningnya mata Ummi. Semua ini sungguh nyata. Dan
demi kesadaran itu, Delisa tiba-tiba menangis. Tersedan.
"Ada apa, sayang"" Ummi bertanya lembut, memegang
lengan Delisa yang terhenti menyentuh pipinya.
"Ummi.... U-m-m-i, Delisa rindu Ummi.... Delisa
rinduuuu sekali.... U-m-m-i, Delisa cinta Ummi karena
Allah!" Delisa berkata lemah. Delisa menguntai kata di
tengah sedu-sedannya. Ummi tersenyum amat indah. Lantas sekali lagi
merengkuh Delisa erat-erat dalam pelukannya. Sungguh ya
Allah, kalimat bungsunya kali ini tidak dusta. Sungguh
kalimat ini teramat indah. Kalimat yang ihklas tanpa
pengharapan. Maka terimalah.... Gugurkanlah semuanya....
Gugurkan dosa sebatang cokelat itu! **
Sulit terbaca ** Mdldikdl AUl-sang pencdldl kebuiukdn, "leinbukd
buku idksdsdnyd. Me"ge|ud" kdn penghdpus 'dksdsdnyd.
Buluh Oud tetas hdii untuk "icnghdpus Oasd "lu. Dud belas
i*d " I ld"9>l, seldid Oud belas <>bu Id h u" bu ini.
Mdkd be i p"<( Id i*, wdhdi pdid pembudi
" pikulan, wdhdi pd
Ydng dengdn 'o "g be i *d Id i Ah, sepd"jd"g kdini be "
bud I bdik, bekeijd bdik, sungguh-sungguh, "idkd udng saga
k
sendng beikdldi Ah, sepdnjdng kd
"ldkd seniud Z>nd Idngdn, indld, ddn hdli 'n! dkdn
leidinpuni. Ydng ffiuadh sekdli 'niencuii* Hdklu keijd.
'Mencuii* hdk aidng Id'n. Aid u ddn d Id u Id in nyd.
Bdgd inid nd Id h kdfan dkdn beihdidp dffipundn,
seadngkdn Oasd sebdldng cakeldl Delsd "ie "1 bu lu h kd n
dud beldS libu Idh un untuk "ie ng hd pusnyd. Sungguh
seniud utusan in i se hd i usnyd membudi kild mdlu. Mdlu ddn
beipikii! Mdlu! Beipikii!
"Ummi, Ummi kemana saja selama ini"" Delisa
mensejajari langkah Ummi. Mereka berdua sekarang
berjalan bersebelahan mengelilingi taman sejuta warna
tersebut. "Delisa rindu berat Ummi, ya"" Ummi mengelus rambut
pirang Delisa. Tersenyum menggoda. Delisa mengangguk-angguk mantap menggemaskan, kan tadi sudah Delisa
bilang. Mata hijaunya berkerjap-kerjap.
"Delisa rinduuuuuuu sekali!" Delisa nyengir, berkata
riang dan keras sekali lagi. Memasang wajah sok-serius.
Ummi tertawa kecil. "Ummi, Ummi apakah kak Fatimah, kak Zahra kak
Aisyah juga ada di sini""
Ummi mengangguk riang. "T-i-u-r.... Tiur juga ada di sini, Mi""
"Ya.... Kakak-kakaknya Tiur, Ummi Tiur...."
"Wah ramai sekali ya, Mi." Delisa manyun berpikir
tentang sesuatu. Ummi hanya tersenyum. Terus melangkah.
Sekarang mereka melewati sebuah jembatan kayu.
Jembatan kecil yang melewati sebuah sungai.
Delisa melongokkan kepala melihat sungai tersebut.
"Ya ampun.... Itu airnya kenapa putih seperti susu, Mi""
Delisa berseru norak, sambil berpegangan tubir jembatan.
"Itu memang susu, sayang!" Ummi menjelaskan
sambil untuk kesekian kalinya mengusap rambut pirang
Delisa. Delisa terpana menatapnya. Nyengir semakin norak.
Delisa serasa ingin loncat saja dari sini. Akan
menyenangkan sekali mandi sekaligus minum dalam inang
air susu ini, Delisa menyimpul senyum bersiap loncat.
Tetapi urung karena Ummi memegang bahunya. Menunjuk
arah kejauhan. Delisa menatap jauh ke ujung muasal sungai. Mata
hijaunya membulat. Di hulu, mungkin dua kali lemparan
batu Abi jaraknya, di sisi sungai susu tersebut, seseorang
melambaikan tangan. Delisa terkesiap.
"Mi.... Ummi, itu kan Ibu Guru Nur!"
Ummi mengangguk. Membalas melambai. Delisa
berseru senang. Ibu Guru Nur! Ibu Guru Nur membalas
lambaian Ummi. Delisa ikut-ikutan melambai ke arahnya.
"IBU GURU NUR!" Delisa kemudian malah berteriak
kencang-kencang. Mengagetkan burung-burung, kupu-kupu
yang ada di taman itu. Berter-bangan. Ah, Delisa kan tidak
tahu. Di sini kalian bisa mendengar suara orang meski
hanya berbisik. Di sini kalian bisa berpergian jarak jauh
walau hanya sekejap. Tidak ada jarak. Tidak ada waktu.
Tidak ada bentuk. Ummi tertawa kecil. Melanjutkan
langkahnya. Delisa buru-buru ngintil mengikuti.
"Ummi, Ummi.... Delisa ingin tinggal di si
ni!" Delisa mengatakan kalimat itu riang sekali. Mukanya bercahaya.
Tangannya menggenggam baju Ummi kencang-kencang.
Dan entah mengapa, Ummi mendadak menghentikan
langkahnya. Diam. Menatap wajah Delisa dengan tatapan
amat serius. Kalimat barusan Delisa membuat gurat muka
Ummi berubah sekali. Ummi menggeleng tegas. Delisa mengeluh dalam. Gelengan itu.
"Delisa mau tinggal di sini...." Delisa ngotot sekali lagi.
Lupa, bukankah selama ini kalau Ummi sudah menggeleng,
maka ia tidak akan pernah bisa tawar-menawar lagi.
"TIDAK! Delisa tidak bisa tinggal di sini!"
"TAPI DELISA INGIN! DELISA I-N-G-I-NM" Delisa
bandel mencengkeram baju Ummi.
"Delisa harus kembali, sayang, Delisa harus
menyelesaikannya!" Ummi tersenyum tipis menyentuh
bahunya. Sentuhan itu sugestif sekali. Membunuh semua
kengototan di hati Delisa. Seketika.
"Menyelesaikan apa"" Delisa sekarang terbata bingung.
"Delisa harus menyelesaikan hafalan bacaan shalat itu,
sayang. Delisa harus menyelesaikannya!"
Dan kalimat itu menutup pertemuan tersebut. Begitu
saja. Mata Delisa tiba-tiba silau. Perih. Delisa seketika
menutup matanya. Lampu ruangan UGD menyilaukan mata Delisa. Lemah
Delisa mulai siuman. Tangannya juga lemah bergerak
menutupi matanya. Perih. Sekarang sudah pagi di Lhok
Nga. Itu berarti semalaman Delisa tidak sadarkan diri di
ruang UGD rumah sakit. "Delisa-"
Itu bukan suara Ummi. Itu suara Abi. Delisa membuka
matanya. Mulai terbiasa dengan cahaya lampu. Abi berdiri
di sebelah ranjang, bersama kak Ubai. Wajah Abi amat
kusut. Wajah kak Ubai juga kusut.
"D-i-m-a-n-a"" Delisa lemah bertanya.
"Delisa ada di rumah sakit-" Abi menyentuh jemari
Delisa. Pelan Delisa bisa mengingat apa yang terjadi padanya.
Rumah sakit" Ah-ya ia tiba-tiba merasa tidak enak selepas
pulang dari pemakaman massal itu. Panas. Badannya terasa
panas sekali waktu itu. Abi kemudian repot mengompres
dahinya. Panas sekali. Hanya itu yang Delisa bisa ingat
kemudian. Sisanya terlupakan.
Kak Ubai mengambilkan segelas air buat Delisa.
Membantu meninumkannya. Delisa menyeringai saat air
itu membasahi kerongkongannya. Terasa menyenangkan,
dr Peter masuk dengan seragam putih. Tersenyum senang
melihat Delisa yang sudah siuman. Memeriksa tubuh
Delisa. Mengangguk-angguk. Bengkak di kepala Delisa juga
sudah menipis. "Sudah sembuh, kemarin hanya demam biasa anak-anak.
Tetapi harus kuakui, panasnya memang keterlaluan sekali,
Usman. Kalau sudah lewat masa kritisnya semalaman,
Delisa sudah bisa dikatakan sembuh, meski beberapa hari
ini harus banyak istirahat." dr Peter menjelaskan. Abi
mengangguk mendengarkan. Siang itu Delisa dipindahkan ke ruang rawat biasa. Abi
menemaninya sepanjang hari. Menyuapi Delisa makan.
Menceritakan potongan kejadian malam-malam saat Delisa
dibawa ke rumah sakit. Menghiburnya.
Kak Ubai sudah kembali ke tenda PMI tadi pagi. Delisa
masih banyak berdiam diri. Tidak, kebencian di hatinya
sudah jauh berkurang. Kebencian itu sudah dipanggang
oleh bara pengampunan. Bahkan Engkau menukarnya
dengan mimpi indah tersebut. Meskipun Delisa lupa kalau
ia baru saja bersua dengan Ummi dalam mimpinya. Karena
semua mimpi-mimpi itu selama ini langsung terhapus dari
memorinya. Mimpi itu seperti obat yang berlalu membasuh
hati Delisa. Masuk kemudian keluar lagi. Tidak
menyisakan apapun, selain ketenangan.
Delisa tentu saja masih ingat kejadian di pemakaman
massal kemarin. Wajah Umam yang amat senang saat tahu
Umminya kembali. Delisa juga ingat tabiatnya kemarin, Ia
yang malah sebaliknya amat benci saat tahu ternyata hanya
Ummi Umam yang ditemukan. Kebencian yang sekarang
Delisa malu mengingatnya. Bagaimana mungkin ia
menyimpan perasaan dengki seperti itu kepada Umam" Ah,
sekarang perasaan itu benar-benar sudah meleleh.
Bukankah ia seharusnya ikut senang. Ikut bergembira.
Umam kan temannya juga. Umminya Umam berarti
Umminya juga. Delisa menghela nafas panjang. Ia semakin rindu Ummi.
Rindu ingin bertemu. Delisa rinduIbu Guru Ani dan anak-anak sekolah tenda darurat
datang menjenguk. Ruangan itu jadi ramai. Semua hadir
kecuali Umam. "Umam sedang ke Medan, Delisa!" Ibu
Guru Ani menjelaskan singkat tanp
a diminta. Hati-hati untuk tidak menyebut soal Ummi-nya Umam. Ke anak-anak lain, yang Umminya juga belum ditemukan, Ibu Guru
Ani hanya menjelaskan seperti itu kalau ada yang bertanya.
Penjelasan itu sensitif sekali, kan" Bukan hanya untuk
Delisa. Tetapi Delisa sudah tahu kenapa Umam ke Medan. Dan
ia tidak ingin bertanya lebih lanjut. Ah, sekali lagi,
bukankah Delisa harusnya senang dengan kabar itu. Ummi
Umam kan baik sekali kepadanya. Sering mengirimi Ummi
masakan rendang. Bahkan sudah menganggap Delisa anak
sendiri, karena anak-anaknya cowok semua. Delisa sering
diajak main lama sekali di rumah Umam (meski terkadang
Umam suka mengusir Delisa kalau Delisa masuk ke
kamarnya). Koh Acan datang lebih sore lagi. Membawa martabak
Aceh. Sayang martabak itu langsung di sita oleh perawat
rumah sakit. Makanan sejenis itu belum boleh di makan
oleh Delisa. "Haiya, tapi Delisa bisa kan icip-icip dikit""
Koh Acan ngotot kepada suster yang mengambil bungkusan
martabaknya, orang sudah susah-susah ini bawanya. Abi
hanya menyeringai dari kursinya. Delisa tertawa kecil.
Beberapa kakak-kakak sukarelawan lainnya juga datang
berkunjung ke kamar Delisa. Delisa senang sekali. Senang
mereka semua membawa hadiah.
Makanan. Buku-buku. Kakak-kakak yang di pos depan
barak penampungan itu malah datang dengan dua batang
cokelat. Dan Delisa buru-buru menyembunyikannya. Takut
di sita oleh perawat galak itu.
Bukankah sudah dikatakan sebelumnya, Delisa memang
ngetop di Lhok Nga. Kebiasaannya berkeliling dari satu
tenda ke tenda lain membuatnya dikenal. Apalagi melihat
tampangnya yang amat berbeda. Semua orang seperti
berkepentingan untuk menjenguknya. "Kabar sakitnya
Delisa menjadi headline kota Lhok Nga, Usman." itu
becandaan Wak Burhan. Delisa nyengir tidak mengerti apa
maksudnya.
Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka sepanjang hari hingga menjelang isya, Delisa jauh
lebih sehat. Semua kunjungan ini menyenangkan. Membuat
kelam di hatinya berguguran satu persatu. Mutiara itu
kembali terbasuh oleh air. Kembali cemerlang. Delisa
malah membenci gurat pembangkangannya kemarin.
Bingung kenapa ia begitu tega menyumpahi semunya.
Menginjak-injak guratan nama kak Fatimah, kak Zahra dan
kak Aisyah. Menginjak-injak tiga tangkai bunga mawar
birunya (yang padahal itulah bunga terakhir yang tersisa
dari pohonnya). Delisa tidak mengerti kenapa berbagai "kutukan" itu
harus terucap dari bibirnya" **
"" Ah, bahkan nabi-nabi dan orang-orang terbaik
piUhanMu pan sering bertanya. Menuntut penjelasan.
Meminta pemahaman. Masalahnya mereka orang-orang
yang rstigamah. Orang-orang yang mampu membersihkan
hati dari bercak-bercak kemunafikan.
Sedangkan hamba ya AHah" rtamba jauh dari memadai
untuk berhak bertanya padaMu. Tetapi terimalah berbagai
pertanyaan, pengaduan, dan keluh-kesah ini. Ampunkan
jika terlalu dan tak pantas. Dan semoga dengan itu hamba
bisa berkesempatan mendapatkan remah-remah penjelasan.
Dan semoga dengan itu hamba bisa ikut merasakan sisa-sisa
pemahaman. Selepas isya, kak Ubai datang lagi. Abi pulang sebentar
untuk mengambil pakaian ganti dan membenahi rumah
yang sudah ditinggal 24 jam. Abi menitipkan Delisa kepada
kak Ubai. Kak Ubai tersenyum mengangguk mengantar Abi hingga
lorong rumah sakit, masuk kembali sambil terus menenteng
kameranya. Dan sejurus kemudian, kak Ubai lebih sibuk
memoto-moto Delisa yang terbaring lemah. "Biar Delisa
ada kenang-kenangan.... Kan tampang Delisa lucu sekali
kalau lagi sakit ini!" Kak Ubai hanya nyengir lebar saat
Delisa protes. Sakit-sakit gini malah dipotret. Pas sehat-walafiat kak Ubai malah sibuk moto dedaunan. Meskipun
demikian, Delisa tetap menyeringai (maksudnya pasang
wajah action, sayangnya lebih mirip menyeringai).
Puas memoto Delisa, Kak Ubai sambil nyengir lebar
menyeret kursi mendekati ranjang Delisa. Lantas
mengeluarkan selembar kertas dari balik rompinya.
"Ada surat buat Delisa-"
Surat" Mata Delisa langsung membesar. Tetapi kok tidak
ada amplopnya" Hanya selembar kertas" Kak Ubai
menjelaskan, surat itu datang lewat internet. Namanya
email. Mengirimkannya lewat komputer. Sama seperti
orang menelepon. Surat ini dikirimkan lewat kabel-kabel.
Sa telit. Sampai seketika saat yang mengirimkannya
menekan tombol send. Lantas orang yang menerimanya bisa men-sprinter-nya seperti foto-foto itu.
Kak Ubai menghela nafas panjang menjelaskan. Lima
belas menit. Bukan! Bukan karena Delisa susah mengerti.
Pertanyaan Delisa yang uniklah yang membuat urusan
jelas-menjelaskan ini menjadi /Aibet.
"Eh, kalau begitu asyik dong.... Delisa bisa kirim
makanan seketika. Misalnya kirim martabak ke Inggris....
Lewat eternet-" Kak Ubai nyengir memutus penjelasan.
Buru-buru kembali ke topik permasalahan. Surat yang
sedang dipegangnya. "Dari siapa"" Delisa bertanya. Pertanyaan normal.
Ubai tersenyum. "Dari Sophia!"
"K-a-k C-o-f-i"" Delisa bertanya riang. Ubai
mengangguk. "Eh, kenapa kak Cofi titip-titip surat lewat kak Ahar""
Delisa menghentikan keriangannya. Bertanya serius sekali.
Ubai melipat dahinya tidak mengerti.
"Kak Ubai pacaran ya sama kak Cofi"" Delisa manyun,
ringan sekali mengatakan itu. Kemudian tertawa-tawa kecil
atas ide yang baru saja dipikirkannya. Hanya becandaan
kecil standar Delisa. Tetapi tidak bagi Ubai. Mukanya langsung memerah.
Lipatan dahinya musnah, berganti semu tersipu. Tiga bulan
terakhir, dia memang pernah bertemu dengan Sophi.
Sebenarnya hanya dua kali di Lhok Nga. Saat Sophi datang
menjenguk Delisa, dan saat Sophi berpamitan. Meski dua
kali, progress pertemuan itu cepat sekali. Ah sudahlah,
urusan ini kan urusan Delisa. Bukan cerita tentang Ubai.
"Eh.... Delisa jangan ngaco, deh!" kak Ubai buru-buru
menatap tajam Delisa yang duduk berbaring di atas bantal-bantal. Delisa yang terus-terusan nyengir malah semakin
manyun menggodanya. Setelah beberapa saat membahas urusan "tak-penting"
itu, menjelaskan (yang sayangnya malah membuat Delisa
semakin banyak nyeletuk), kak Ubai akhirnya membacakan
surat itu. Kak Cofi bertanya apa kabar. Delisa mengangguk, kabar
baik. Kak Cofi bertanya bagaimana sekolahnya. Delisa
bilang nilainya bagus-bagus. Main bolanya, tetap jadi kiper.
Surat itu panjaaang sekali.
Kak Cofi bahkan titip salam dari mam & dad
kak Cofi dari Virginia. Bilang mereka akan senang sekali
menjadi Ummi dan Abi buat Delisa. Bilang mereka ingin
sekali menyempatkan datang berkunjung ke Lhok Nga.
Mata Delisa langsung berbinar-binar. Itu berarti cokelat
yang banyak! Dan yang lebih penting lagi, surat kak Cofi menyuruh
Delisa belajar menggunakan komputer. Belajar
menggunakan eternet. Agar Delisa bisa berhubungan
dengan kak Cofi-ceting, ah Delisa lupa namanya.
Delisa mengangguk-angguk senang. Ia akan belajar. Kan di
dalam suratnya, kak Cofi menyuruh kak Ubai untuk
mengajarinya. Nanti setelah ia pulang dari rumah sakit ini
Delisa akan sering main ke posko kak Ubai.
Selesai. Surat itu selesai dibaca kak Ubai.
Meski panjang, hanya butuh sepuluh menit untuk
membacanya. Yang lama setengah jam berikutnya
dihabiskan oleh Delisa yang sibuk mendaftar isi surat
balasannya. Kak Cofi kan menyuruh kak Ubai untuk
membuatkan balasannya. Jadi Delisa mulai mendaftar apa
saja yang ingin diceritakannya. Kak Ubai menyeringai tipis.
Diam mendengarkan Delisa yang berbicara banyak.
Mendaftar kabar dan ceritanya.
Lima menit kemudian. Tanpa disadari Delisa, ia
memulai pembicaraan super-penting itu. Ia mulai
memasuki wilayah penjelasan yang selama ini ia cari.
Semua keriangan ini tanpa disadarinya membawa Delisa ke
persoalan yang selama ini disembunyikannya.
Jawaban atas pertanyaannya!
Jawaban atas urusan hafalan bacaan shalatnya. Yang
sebenarnya sederhana, tetapi terkadang karena
kesederhanaannya itulah banyak orang yang alpa.
"Bilang.... Eh.... Apalagi ya" Ah-iya, kak Ubai bilang ke
kak Cofi, Delisa belum hafal juga bacaan shalatnya....
Susah sekali... Su-" Kalimat Delisa terputus. Keceriaannya
hilang seketika. Hei! Ia tak sengaja mengungkapkan gumpal
permasalahan tersebut. Kak Ubai yang tidak menyadari kalau permasalahan itu
serius bagi Delisa masih mengangguk-angguk saja.
Menunggu kelanjutan ucapan Delisa. Mengabaikan
ekspresi kelu Delisa di hadapannya.
Tetapi Delisa masih terdiam. Ya Allah, bukankah
sudah tiga bulan lebih ia berusaha untuk menghafal
kembali bacaan shalatnya. Tiga bulan
lamanya! Dan sedikitpun ia tidak mengalami kemajuan. Susaaaaah sekali.
Bacaan shalat itu menolaknya mentah-mentah.
Melemparkan semua yang telah ia "afal tanpa ampun keluar
lagi dari memori otaknya.
Delisa diam semakin kelu. Berpikir. Sekarang masalah
ini benar-benar mengganggunya. Delisa harus bertanya. Ia
harus menemukan jawabannya. Bertanya"K-a-k A-z-h-a-r...." Delisa menelan ludahnya. Baiklah,
ia akan bertanya dengan kak Ubai. Tetapi kenapa pula
susah sekali untuk mengeluarkan pertanyaan ini.
Kak Ubai yang bahkan sampai pura-pura terkantuk
menunggu Delisa melanjutkan daftar pesanannya untuk
surat balasan ke Shopia menoleh. Tersenyum. Ya, ada apa"
"Kenapa susaaaah sekali"" Delisa bertanya datar.
Memasang raut muka sebiasa mungkin. Kak Ubai malah
menjadi "tidak biasa". Pertanyaan Delisa aneh. Sejak kapan
kalimat Delisa menggantung seperti ini.
"Susah apanya, Delisa""
Delisa diam. Aduh, kan Delisa tidak mau kak Ubai tahu
semuanya. "Kenapa Delisa sekarang susah sekali mengerjakan
seuatu!" Delisa nyengir senang dengan idenya. Sesuatu. Ia
kan tidak mesti menyebutkan hafalan bacaan shalat kan.
"Hm.... Memangnya Delisa lagi susah mengerjakan
apa"" kak Ubai bertanya santai. Menyelidik.
"Ada deh.... Poko knya Delisa susaaah sekali
melakukannya!" Ah, kak Ubai kadang sama dengan kak
Aisyah nggak sensitif. Pokoknya jawab saja napa.
Beruntung sebelum Delisa semakin manyun, kak Ubai
menjawab pertanyaan itu dengan serius.
"Orang-orang yang kesulitan melakukan kebaikan itu,
mungkin karena hatinya Delisa.... Hatinya tidak ihklas!
Hatinya jauh dari ketulusan...."
"Tidak ihklas" Tidak ihklas bagaimana maksud kak
Ubai!" Delisa menelan ludahnya.
"Ya, misalnya kalau orang tersebut merasa terpaksa
melakukan sesuatu itu. Misalnya seperti Delisa yang
terpaksa disuruh Abi membersihkan rumah, atau apalah!"
"Nggak.... Delisa nggak pernah ngerasa terpaksa, kok!"
Delisa kencang menggelengkan kepalanya. Terpaksa
menghafal bacaan shalat"
"Kan tadi misal, sayang.... Atau bisa juga misalnya
seperti mengharap hadiah.... Mengharap imbalan... Orang
itu melakukannya bukan karena sesuatu yang lebih hakiki,
hmm maksud kak Ubai bukan karena sesuatu yang lebih
mulia. Bukan karena Allah. Orang itu tidak ihklas. Tidak
tulus. Hanya berharap hadiah, hadiah, dan hadiah! Dan
Allah menutup pintu-pintu kebaikan dari orang-orang
seperti itu." Delisa tercenung seketika. Terdiam membatu.
Sungguh Delisa tidak mengerti apa maksud penjelasan
kak Ubai. Bukankah Delisa sudah ihklas menghafal bacaan
shalatnya. Tidak ada paksaan sama sekali. Delisa juga
sudah tulus menghafal bacaan shalat itu. Kan sama sekali
tidak ada hadiah yang dijanjikan" Tidak ada" Kecuali janji
sepeda dari Abi. Tetapi itu kan baru Abi bilang setelah ia
berhasil menghafalnya dulu. Janji hadiah sepeda itu baru
dikatakan Abi setelah ia banyak menghafal dulu.
Lantas di mana masalahnya" Delisa mengeluh kelu. **
** Urusan kalung itu benar-benar terlupakan. Terhapus
dari kepala Delisa hingga beberapa jam kemudian.
Terhapus dari memorinya hingga beberapa saat kemudian.
Terhapus hingga ketika Engkau akhirnya berbaik hati
mengirimkan penjelasan lewat cara yang paling disukai
Delisa. Ya Allah, apakah semua hambaMu pernah
mendapatkan kesempatan seperti itu" Apakah semua
hambaMu berhak atas sebuah penjelasan" Penjelasan yang
Kau kirimkan langsung dari aras y Mu. Bukan penjelasan
lewat buku-buku. Bukan penjelasan lewat orang-orang
/ainnya. Tsetapi penjelasan yang tiba di hati secara
langsung. Tercerna begitu saja, kemudian mengalir bersama
merahnya darah kami. Penjelasan tentang semua hidup dan
kehidupan ini.... Penjelasan atas semua pertanyaan-pertanyaan kami....
18. Ajarkan kam i arti memahami!
Malam datang menjelang. Kak Ubai sudah lama pulang.
Abi datang menggantikannya berjaga. Dari rumah sakit ini
suara debur ombak tidak terdengar. Maka malam benar-benar sempurna sepi. Lhok Nga jatuh lelap dalam mimpi.
Abi juga sudah lama tertidur. Di atas kursi dengan kepala di
atas ranjang, tergolek lemah di sebelah Delisa. Delisa juga
terlelap. Dua-pertiga malam. Waktu yang mulia. Waktu yang
dijanjikan dalam ayat-ayat
Mu. Dan Delisa sekali lagi
berkesempatan mendapatkan penjelasan dari langit.
Penjelasan tentang urusan hafalan bacaan shalatnya.
Penjelasan itu datang lewat mimpi. Mimpi terakhirnya
dalam semua urusan ini. Mimpi yang kali ini Delisa
diijinkan untuk mengingatnya. Mimpi yang sebenarnya
akan ia ingat selalu. Delisa sibuk mengejar kupu-kupu di taman indah
tersebut. Berlari kesana-kemari. Kupu-kupu itu indah sekali.
Jutaan warnanya. Taman ini juga indah sekali. Jutaan
bunganya. Ada pelangi yang silang-menyilang di langit-langit.
Jutaan warnanya. Delisa tertawa-tawa menyibak bebungaan. Kupu-kupu
itu lincah. Susah ditangkap. Padahal Delisa hanya ingin
melihat mereka dari jarak dekat saja. Nanti-nanti pasti
dilepaskan. Delisa tiba di depan gerbang taman tersebut beberapa
saat yang lalu. Tiba begitu saja. Dan kali ini Delisa bisa
melangkah. Bisa bergerak. Delisa bisa masuk ke dalam
taman. Maka masuklah Delisa. Masuk dengan riang.
Langsung disambut oleh pemandangan berjuta warna ini.
Lama sekali Delisa mengejar kupu-kupu tersebut. Tak
satu pun yang berhasil ia tangkap. Delisa sambil tertawa-tawa akhirnya jatuh terduduk. Lelah. Kupu-kupu itu jauh
lebih gesit darinya. Bagaimana mungkin" Kalau begitu tidak
akan ada anak lain yang mampu menangkapnya.
Delisa nyengir memikirkannya sambil duduk men-jeplak
di atas rumput hijau yang lembut. Rambut pirangnya ditiup
angin lembut. Segar sekali. Apalagi Delisa habis keringatan
ini. Terasa sejuk. Delisa melepas kerudung dari lehernya.
Menyeka keringat di dahi dan leher. Dengan kerudung itu.
Semua ini menyenangkan. Semua ini terasa berbeda.
Tempat ini indah sekali. Di manakah"
Ketika Delisa masih sibuk melepas lelahnya, sibuk
berpikir menatap sekitar. Sibuk menghirup bersihnya udara.
Ada yang menyentuh bahunya. Lembut. Delisa sontak
Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menoleh. U-m-m-i! Ya Allah, Ummi yang menyentuh bahunya.
Ummi duduk jongkok di belakang Delisa. Mata Ummi
bening menatap bercahaya. Muka teduh Ummi mengukir
sejuta rasa sayang, sejuta kerinduan, sejuta perasaan.
"U-M-M-I! UMMI!!" Delisa buncah oleh rasa gembira.
Delisa tersengal oleh rasa senang. Delisa bangkit berdiri.
Lantas loncat keras sekali ke dalam pelukan Ummi. Saking
kerasnya loncatan itu, Ummi jadi jatuh terjengkang.
Ummi dan Delisa berpelukan sambil jatuh ke tanah.
Bergulingan di atas permadani rumput hijau. Ummi
tertawa. Delisa lebih keras lagi tawanya. Menyeringai.
Bangkit dari atas tubuh Ummi. Membantu Ummi duduk
kembali. Ya Allah, Ummi! Ummi menemuinya.
Lama Delisa menatap wajah Ummi. Terdiam. Seolah-olah tak percaya. Ummi juga ikutan memandang wajah
bungsunya. Jemari tangan kanan Delisa terjulur. Lama Delisa
menyentuh pipi Ummi dengan jemarinya. Ummi yang
selalu ia rindukan. Ummi yang selalu terkenang. Sekarang
bertemu di sini. Lihatlah! Delisa bisa membelai lembut pipi
Ummi seperti dulu. Delisa bisa melakukannya. Delisa bisa
memandang wajah teduh Ummi. Delisa bisa menatap
beningnya mata Ummi. Semua ini sungguh nyata. Dan
demi kesadaran itu, Delisa tiba-tiba menangis. Tersedan.
"Ada apa, sayang"" Ummi bertanya lembut, memegang
lengan Delisa yang terhenti menyentuh pipinya.
"Ummi.... U-m-m-i, Delisa rindu Ummi.... Delisa
rinduuuu sekali.... U-m-m-i, Delisa cinta Ummi karena
Allah!" Delisa berkata lemah. Delisa menguntai kata di
tengah sedu-sedannya. Ummi tersenyum amat indah. Lantas sekali lagi
merengkuh Delisa erat-erat dalam pelukannya. Sungguh ya
Allah, kalimat bungsunya kali ini tidak dusta. Sungguh
kalimat ini teramat indah. Kalimat yang ihklas tanpa
pengharapan. Maka terimalah.... Gugurkanlah semuanya....
Gugurkan dosa sebatang cokelat itu!
Ummi dan Delisa lantas berjalan berkeliling taman indah
itu. Sama seperti mimpi semalam. Amat norak menatap
sungai berairkan susu, bahkan hendak loncat. Delisa
bertemu dengan Ibu Guru Nur. Lantas ketika Delisa bilang
ingin tinggal di sana, Ummi seketika menghardiknya.
"TIDAK! Delisa tidak bisa tinggal di sini!"
"TAPI DELISA INGIN! DELISA I-N-G-I-NM" Delisa
bandel mencengkeram baju Ummi.
"Delisa harus kembali, sayang, Delisa harus
menyelesaikannya!" Ummi tersenyum tipis menyentuh
bahunya. Sentuhan itu sugest
if sekali. Membunuh semua
kengototan di hati Delisa. Seketika.
"Menyelesaikan apa"" Delisa sekarang terbata bingung.
"Delisa harus menyelesaikan hafalan bacaan shalat itu,
sayang. Delisa harus menyelesaikannya!"
Delisa terdiam. Hafalan bacaan shalatnya" Ah-iya Tetapi
Delisa kan bisa menghafalnya di sini. Apa bedanya. Di sana
dan di sini! Sekali lagi Delisa bandel berpikir. Bersiap
menumpahkan pertanyaan berikutnya.
Tetapi, hei! Ummi mengambil sesuatu dari langit-langit
di antara mereka berdiri. Ummi meraih lembut udara
kosong di hadapan mereka dengan tangan kanannya.
Seperti sedang meraih seekor nyamuk yang terbang. Ummi
menggenggam udara itu, lantas pelan menyerahkan kepalan
tangannya ke arah Delisa. Delisa menatap bingung. Ummi
tersenyum. Menunjukkan kepalan tangannya. Lantas
membukanya pelan-pelan. Dalam sebuah gerakan lambat
yang mempesona- Kemilau indah berwarna kuning menjuntai dari tangan
Ummi. Delisa menatap takjub. Cahaya itu amat
menggentarkan. Lebih indah dari senja di pantai Lhok Nga.
Dan ketika kepalan tangan Ummi sempurna terbuka, Delisa
mengenali benda tersebut. Sehelai kalung. Kalung yang
elok. Ada huruf D. D untuk Delisa.
Seketika Delisa ingat. Seketika Delisa paham. Seketika Delisa menyadarinya.
Ya Allah, apa yang telah ia lakukan selama ini. Ya Allah
apa yang telah ia perbuat selama ini. Ya Allah Delisa
sungguh tak tahu. Delisa sungguh tak paham sebelumnya.
Sungguh Delisa tidak mengerti sebelumnya. Dan sekarang"
Delisa tiba-tiba jatuh terduduk. Ia menangis. Semua
keburukan itu mengiang di kepalanya. Semua kemunafikan
yang dilakukan olehnya selama ini ... menghantam kuat-kuat hatinya.
Ya Allah, Delisa jahat sekali.
J-a-h-a-t! Delisa tergugu mengakui.
Ia menipu Ummi hanya demi sebatang cokelat. Ia juga
dulu pernah menipu Abi. Menipu kak Fatimah. Kak Zahra.
Juga kak Aisyah. Ya Allah, Delisa juga sering menipu
Tiur.... Ustadz Rahman.... Ibu Guru Nur.... Delisa-lah yang
lebih jahat dibandingkan siapapun, juga dibandingkan
Umam. Dan sekarang! Lihatlah! Delisa menipu Engkau ya
Allah. Berani sekali Delisa hanya menghafal bacaan shalat
itu demi seuntai kalung ini. Delisa menangis tergugu.
Kesadaran itu datang. Benar! Kak Ubai benar sekali! Pintu-pintu kebaikan itu tertutup bagi orang-orang yang tidak
tulus. Terkunci bagi orang-orang yang tidak ihklas. Dan
Delisa benar-benar tidak ihklas. Tidak tulus. Semata-mata
hanya berharap hadiah. Lama Delisa tertunduk. Tersedan.
Ummi duduk di hadapan Delisa. Menyentuh dagu
bungsunya. Lembut mengangkat kepala Delisa. Mata
Ummi bening menyapu bungsunya yang bersedih. Muka
Ummi teduh menatap bungsunya yang merasa amat
bersalah. Lihatlah, penyesalan yang belum terlambat selalu
terasa "indah"! Tidak mengenal batas. Tidak mengenal
ukuran. Dan Ummi tersenyum amat elok.
"Tidak, sayang.... Kalung ini tetap akan menjadi hadiah
hafalan bacaan shalat dari Ummi.... Tetap akan menjadi
hadiah dari Ummi.... Sementara dari langit, Allah akan
menyiapkan hadiah yang lebih indah.... Hadiah yang lebih
baik dari bumi dan seisinya." Ummi mengelus lembut pipi
Delisa. Menghapus lemah bilur air mata di pipi kanak-kanak yang halus. Menghibur kesedihan di hati bungsunya.
Delisa menggeleng kuat-kuat. Saking kuatnya, bulir air
mata di pelepah mata Delisa terpercik ke tanah. Rambut
ikal pirangnya bergoyang-goyang.
"Delisa tidak ingin lagi kalung ini.... Delisa tidak ingin
lagi!" Delisa menangis tersedu.
"Delisa hanya ingin bisa shalat dengan baik... Delisa
hanya ingin mendoakan kak Aisyah. Mendoakan kak
Zahra. Mendoakan kak Fatimah. Delisa hanya ingin
mendoakan mereka dalam shalat....
"DELISA TIDAK INGIN LAGI KALUNG ITU!"
Delisa berteriak parau. "Delisa hanya ingin hafal shalatnya! Delisa hanya ingin
berdoa agar Delisa selalu bersama Ummi dalam shalat....
Delisa hanya ingin itu.... Delisa hanya ingin shalat! Delisa
hanya ingin berdoa agar bisa bertemu Ummi...." Mata hijau
Delisa buncah oleh penyesalan. Buncah oleh pemahaman
yang tiba-tiba ditumbuhkan dalam hatinya.
Ummi tersenyum takjim. Mencium kening bungsunya.
"Dan Delisa akan mendapatkannya sayang," Ummi
berbisik seperti mengabarkan sebuah kabar
baik, "Allah akan menjadikan semua itu hadiah untuk Delisa.... Hadiah
hafalan bacaan shalat untuk Delisa. Delisa akan bertemu
dengan Ummi.... Suatu saat nanti!"
Ummi membelai rambut ikal-pirang Delisa.
"Oleh karena itu, Delisa harus kembali. Delisa harus
menyelesaikannya, sayang.... Delisa harus
menyelesaikannya di sana! Bukan di sini!"
Ummi beranjak berd iri. Menuntun Delisa berdiri. Lantas
dengan anggun, membimbing Delisa melangkah menuju
gerbang taman indah tersebut. Mengajak Delisa ke jalan
setapak di luar taman. Tempat dulu Delisa terbaring lemah
tak bisa bergerak. Ummi mengajak Delisa kembali!
Delisa terbangun! Terbangun sambil menangis. Mimpi itu nyata sekali.
Mimpi itu dekat sekali. Delisa mengeluh tertahan. Ummi"
Delisa mendesis lemah. Kalung itu! D untuk Delisa!
Ia sekarang bisa merangkaikan semua kejadian itu
menjadi sebuah penjelasan yang indah. Sebuah pemahaman
yang baik. Jawaban atas masalahnya. Menggabungkannya
dengan kata- kata kak Ubai tadi sore. Kata-kata Abi dulu.
Kata-kata ustadz Rahman di meunasah. Kata-kata Ibu
Guru Nur di kelas. Kata-kata Ummi barusan. Tidak!
Semuanya tidak bohong! Semuanya benar. Hanya Delisa-lah yang tidak pernah mengerti. Hanya Delisa-lah yang
belum tahu selama ini. Karena Delisa lalai untuk
melihatnya. Ia menyesal ya Allah. Delisa tersungkur di atas
ranjangnya. Penuh penyesalan. **
** Itu cemburuku yang ke-sekian. Gadis kecil itu baru 6
tahun. Tak mengerti hidup dan kehidupan. Tak paham mati
dan kematian. Umurku saat ini 26 tahun. Bergelimang
bangga dengan ilmu yang kudapatkan dari bangku
universitas ternama. Bergelimang bangga dengan berbagai
tulisan yang mungkin dibaca juta orang. Bergelimang
bangga atas semua pemahaman dangkal. Bergelimang
bangga atas semu itu. Tetapi setelah sekian lama, tak pernah kudapatkan
hakikat penjelasan itu ya Allah" Tak pernah kudapatkan
hakikat jawaban itu" Sementara Delisa, gadis kecil enam
tahun itu kau berikan kesempatan yang luar biasa" Apakah
hati ini terlalu kotor ya Allah" Apa hati ini amat munafik"
Apa hati ini terlalu dangkal untuk menangkap
penjelasanMu. Semua penjelasanMu yang tergurat di bumi.
Terlukis di langit. Apakah hati ini terlalu lemah untuk
mengerti. Untuk memahami....
Bahkan setelah sekian lama, hati ini masih kuyu
bertanya: apa arti hidup dan kehidupan" Apa makna mati
dan kematian" Catatan Penalist kisah ini secara konseptual berakhir
hingga di sini. Ketika sebuah pemahaman muncul. Ketika
sebuah pengertian datang. Tidak penting akan berakhir
seperti apa sebuah cerita. Tidak penting seberbeda apapun
jalan kehidupan yang kita pilih. Tidak peduli seberapa jauh
kalian dengan standar hidup yang diciptakan oleh manusia.
Semuanya sudah "selesai".
19. Hadiah hafalan shalat Delisa
Bacaan shalat itu seperti berbicara kepada Delisa.
Esok sorenya, dr Peter mengijinkan Delisa pulang. Di
antar oleh kak Ubai menumpang jeep tua. Abi tersenyum
riang sepanjang perjalanan. Meski tidak banyak bercerita
dan tertawa. Delisa sedikit bingung melihat perangai Abi.
Pasti ada yang disembunyikannya. Ternyata Abi
menyiapkan kejutan di rumah. Ada "pesta" penyambutan
kecil untuknya. Ibu Guru Ani, teman-teman sekelasnya, Koh Acan, Wak
Burhan, kakak-kakak sukarelawan itu berkumpul di rumah.
Delisa nyengir senang. Ia sehat. Jauh dari cukup untuk
menghabiskan kue-kue dan manisan yang banyak terhidang
di atas meja kalau Kak Ubai tidak sibuk mengingatkannya.
Memang tidak ada uang receh yang dilempar, tetapi ini
sudah lebih dari menyenangkan.
Seorang kakak-kakak sukarelawan teman kak Ubai
menyerahkan sesuatu kepadanya. Bungkusan yang besar.
Yang lain berseru senang meneriaki Delisa agar
membukanya. Delisa tidak perlu dibilang dua kali.
Tangannya sudah merobek bungkus kotak besar tersebut.
Kaki palsu! Kaki palsu dari dr Eli. Baru tiba di posko PMI tadi sore.
Seisi ruangan berseru senang sekali lagi. Beramai-ramai
menyemangati Delisa saat kakak-kakak perawat tadi
memasangkan kaki palsu tersebut ke kakinya. Delisa
nyengir senang sekali. Ah, kalau begini urusannya, ia bisa
lari lebih cepat. Posisi striker itu akan kembali jadi
miliknya. Delisa manyun sendiri m
embayangkan banyak hal. Dan sisa malam itu, esok paginya, hari-hari berikutnya
berjalan amat cepat bagi Delisa.
Bacaan shalat itu seperti berbicara kepada Delisa.
Delisa sibuk kembali ke sekolah. Sibuk membiasakan diri
berjalan dengan kaki palsunya, yang tidak sulit. Sibuk
mengaji TPA dengan kak Ubai. Sibuk bermain bola di
pantai Lhok Nga yang sudah bersih seperti sedia kala.
Berbagai tumpukan sampah itu sudah diangkut. Delisa
tetap menjadi kiper. "Kami tidak pernah punya kiper
sehebat Delisa!" itu bujuk teman-temannya. Delisa mengkal
sekali, mesti akhirnya mengalah. Ia kan juga menikmati
posisi tersebut. Meneriaki teman-temannya yang lamban di
depan. Delisa juga sibuk belajar menggunakan eternet di posko
PMI kak Ubai, sekarang mereka pindah ke salah satu
gedung yang sudah selesai dibangun kembali. Juga
beberapa posko sukarelawan lainnya. Bekas sekolah Delisa
dulu juga sedang sibuk dibangun. Lebih besar dan lebih
bagus. Lhok Nga menggeliat pulih dengan berbagai
bangunan yang menyeruak dari petak-petak tanah kosong.
Lhok Nga menjemput perbaikan fisik yang akan
memulihkan keindahan kotanya.
Ternyata asyik sekali ceting itu! Delisa tidak hanya
"ngobrol" dengan kak Cofi, tetapi juga dengan dr Eli, juga
dengan mam & dad kak Cofi, Om Ahmed dan Om Salam,
meskipun yang terakhir disebut lebih banyak Delisa yang
"bicara" di layar komputer, Om Salam tetap sependiam
dulu. Dan Delisa juga ceting dengan Michelle &
Margaretha. Seru sekali! Apalagi saat kak Ubai memasang
kamera kecil di atas layar komputer. Web, apalah! Aduh,
Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Delisa nggak ingat namanya. Yang penting semuanya seru
dan keren. Bacaan shalat itu seperti berbicara kepada Delisa.
Ini yang jauh lebih penting dari semuanya. Setelah
pulang dari rumah sakit tersebut, ketika Delisa kembali
membuka buku hafalan bacaan shalatnya. Kalimat-kalimat
bacaan shalat itu seperti berbicara kepadanya.
Cepat sekali Delisa menghafalnya. Delisa bahkan
mendapatkan hadiah terindah dari semua penyesalan atas
tabiatnya selama ini. Delisa tidak menyadarinya sekarang.
Nanti! Suatu saat baru ia akan tahu. Pemahaman atas
berbagai bacaan shalat tersebut. Mengapa bacaan tersebut
harus demikian. Mengapa kalimatnya meski demikian.
Pemahaman yang ditanamkan langsung dalam hatinya.
Lepas satu minggu, Delisa sudah nyaris hafal
seluruhnya. Shalatnya jauh lebih nyaman. Shalatnya jauh
lebih khusuk. Delisa bisa berdoa lebih baik. Mendoakan kak
Fatimah, mendoakan kak Zahra, mendoakan kak Aisyah.
Mendoakan Ummi, di mana pun Ummi sekarang berada.
Sabtu sore, 21 Mei 2005. Kak Ubai mengajak kelas
mengaji TPA-nya belajar di luar. Mereka semenjak pulang
sekolah sudah berkumpul senang di depan meunasah. Kak
Ubai meminjam dua mobil dari posko PMI. Beramai-ramai
Delisa dan teman-temannya naik ke atas mobil tersebut.
Berdesak-desakan. Tetapi tetap bernyanyi senang sepanjang
perjalanan. Hari ini kak Ubai mengajak mereka ke salah satu bukit
yang banyak terdapat di Lhok Nga. Enam kilo meter dari
sekolah Delisa. Di salah satu lapangan yang terdapat di
lereng bukit tersebut, mereka membuat lingkaran besar. Di
sanalah tempat mengaji TPA mereka hari itu.
Kak Ubai meminta mereka mengeluarkan ember berisi
pasir yang mereka bawa tadi siang. Delisa dan teman-temannya akan belajar menggurat kaligrafi di atas pasir
tersebut. Ember plastik ukuran biasa. Di dalamnya dipenuhi
pasir. Kak Ubai lebih suka mengajarkan kaligrafi di atas
pasir. Lebih mudah dihapus kalau terlihat jelek. Maka
ramai mereka menulis-menghapus-menulis lagi sepanjang
siang itu. Masing-masing sibuk membandingkan guratan
kaligrafi satu sama lain. Kak Ubai berkeliling membantu
anak-anak. Hari ini amat menyenangkan bagi Delisa. Rambut
pirangnya bergoyang-goyang saat telunjuknya menggurat
huruf di atas pasir embernya. Gigi tanggal Delisa sudah
tumbuh. Hanya semili. Putih. Membuat wajahnya yang
sedang serius menulis dengan mulut terbuka sedikit terlihat
menggemaskan. Urusan tulis-menulis beginian, Delisa
nomor satu. Kak Ubai saja hanya melewatinya. Tidak
berkomentar banyak melihat kaligrafi Delisa.
Satu jam setelah begitu banyak hapus-menghapus di atas
pasir tersebut, kak Ubai menghentikan pelajaran kaligrafi.
Adzan ashar terdengar dari kejauhan. Kak Ubai menyuruh
mereka mengambil wudhu. Didekat lapangan luas di kaki
bukit tersebut ada sebuah anak sungai kecil yang bening
airnya. Ke sanalah Delisa dan teman-temannya mengambil
wudhu. Menggulung lengan dan celana seragam TPA mereka.
Kerudung Delisa sih sudah dari tadi dilepas. Kak Ubai
membentangkan tikar-tikar yang sudah disiapkan di atas
lapangan. Mereka akan shalat berjamaah. Kak Ubai
menjadi imamnya. Delisa shalat. Semesta alam bersiap.
Itulah! Tanpa Delisa sadari, itulah shalat pertamanya
yang akan sempurna. Itulah shalat pertamanya yang
lengkap. Utuh. Tak lupa satu bacaan-pun. Tak lalai satu
gerakan-pun. Ustadz Rahman dulu pernah berkata, jangan tinggalkan
shalat yang lima, terutama shalat yang itu! Ashar" Tidak
ada yang tahu shalat yang mana itu!
Dan Delisa bersiap menjemput shalat itu.
Ketika kak Ubai di depan bersuara mantap mengangkat
tangan untuk takbir pertama. Delisa di belakang bergetar
mengikuti mengangkat tangannya. Bibir Delisa lembut
mendesahkan takbiratul-ihram.
"Allaahu-akbar."
Seribu malaikat turun dari arasy-Mu. Melesat
mengungkung bukit kecil tersebut. Seribu malaikat bersiap
menjadi saksi agung semua urusan ini. Jikalau kalian bisa
melihat malaikat-malaikat tersebut. Satu sayap-sayap
mereka saja niscaya sudah cukup membentang memenuhi
langit-langit. Menutup sempurna cahaya matahari.
Delisa takjim membaca doa iftitah. "Innashalati,
wanusuki, wa-ma-... wa-ma-... wa-ma-yah-ya, wa-ma-ma-ti....
Tiba bibir Delisa di kata wa-ma-ma-ti, lautan bergolak
lembut. Angin bertiup mempesona. Gunung-gunung
bergetar lemah. Ujung-ujung pohon meliuk menunduk.
Dedaunan semilisik menyebut salam.
Delisa membaca al-fatihah. Delisa membaca surat
pendek. "Ar-ro-ai-tal-la-zi yu-kad-di-bu-bid-din. Pa-dja-li-kal-la-ji ya-du'ul ya-tim...."
Tidak. Sungguh Delisa tidak pernah sendirian. Ia punya
teman lebih banyak dari dunia dan seluruh isinya. Juga
kanak-kanak lainnya di muka bumi ini! Mereka tidak
pernah sendirian. Delisa turun untuk ruku. Delisa bangkit untuk i'tidal.
Kemudian tubuh Delisa meluncur untuk sujud. "Allaahu-akbar". Muka basahnya menyentuh tikar pandan. Telapak
tangan basahnya menyentuh tikar pandan. Delisa sujud
dengan sempurna untuk pertama kalinya. Delisa
menyambung sujud yang terputus oleh gelombang tsunami
itu. Delisa sujud- Sungguh sebuah tahan penghambaan yang sempurna.
Delisa tidak ingat siapapun lagi saat sujud. Pikiran Delisa
satu! Delisa ingin khusuk. Maka arasy Allah bergetar.
Semburat cahaya indah itu membuncah langit. Selaksa
cahaya menakjubkan itu menggentarkan semesta alam.
Ya Allah, sungguh, kami tidak pernah memiliki! Kami
tidak pernah mempunyai! Engkau-lah yang maha memiliki.
Engkau-lah yang maha mempunyai. Ya Allah, bahkan diri
kami sendiri bukan milik kami!
Delisa bangkit dari sujudnya. Duduk di antara dua sujud.
Doa-doa keluar dari bibir mungilnya.
Delisa tidak terbolak-balik. Delisa bahkan membaca doa
itu dengan sempurna. Kalimat itu seperti berbicara
padanya. Delisa beranjak berdiri. Rakaat kedua. Membaca
al-fatihah. Membaca alam-nasrah! Tiba di janjiMu.
Takbir-. Tiba di gerakan-gerakan shalat berikutnya. Tiba di
bacaan-bacaan shalat berikutnya. Hingga akhirnya lemah
suara Delisa menyebut salam. Syahdu salam itu terucap.
Seribu malaikat di atas bukit membalas ucapan salam
tersebut. Semesta alam ramai membalas ucapan salam
tersebut. Dan Delisa entah mengapa terisak pelan. Delisa
menangis. Matanya basah. Ya Allah, Delisa akhirnya
menyadari kalau ia baru saja bisa mengerjakan shalatnya
dengan lengkap. Gadis kecil itu bahagia sekali. Untuk
pertama kalinya ia menyelesaikan shalatnya dengan baik.
Shalat yang indah. Delisa membaca dari awal hingga akhir
bacaan shalatnya. Tidak lupa! Tidak tertukar-tukar.
Delisa terisak. Lihatlah! Di sini tidak ada Ibu Guru Nur
yang akan memberikan piagam kelulusan. Di sini tidak ada
ustadz Rahman yang akan memujinya, lantas memberikan
sebatang cokelat. Tidak ada kak Fatimah yang akan
membanggakannya. Tidak ada kak Zahra yang akan
menyeringai senang menatapnya, kemudian entah
m enempelkan apa di kamar mereka. Tidak ada kak Aisyah,
yang meskipun entah Delisa tidak tahu kak Aisyah akan
melakukan apa. Dan di sini, tidak ada Ummi. Ya Allah di sini tidak ada
Ummi. Yang akan tersenyum senang melihat Delisa
menyelesaikan hafalan bacaan shalatnya. Yang akan
membelai kerudung birunya. Ya Allah, Delisa ingin Ummi.
Delisa ingin jumpa Ummi. Delisa rindu sekali. Teramat
rindu! Delisa ingin memeluknya!
Tidak! Delisa tidak ingin kalung itu. Delisa tidak ingin
semuanya. Delisa hanya ingin di saat pertama kalinya ia
baru saja menyelesaikan hafalan bacaan shalatnya, Delisa
ingin ada Ummi yang melihatnya. Delisa hanya ingin
memeluk Ummi. Kemudian berbisik di telinga Ummi.
Menyampaikan kabar bahagia ini. Ya AllahKak Ubai merengkuh Delisa yang terisak. Teman-teman
lainnya memandang tak mengerti. Sibuk membenahi
pakaian shalat masing-masing. Kak Ubai juga tidak tahu
kenapa Delisa menangis. Yang kak Ubai tahu, muka Delisa
bercahaya. Kerudung Delisa bercahaya. Kerudung Delisa
bagai terbuat dari air. Mengalir ketika disentuh. Menembus
ujung-ujung jari. Semua ini sungguh terasa mengharukan. Indah! Hari itu,
sore itu, waktu itu, penduduk langit mencatatnya dengan
baik. Maha suci Engkau, ya Allah! Yang selalu menepati janji.
Cukuplah percaya dengan satu janjiMu, Maka kehidupan di
dunia ini akan terasa jauh lebih indah.... Semua akan terasa
jauh lebih indah. Epilog: Sore itu, 21 Mei 2005. Delisa melanjutkan belajar menggurat kaligrafi di atas
pasir di dalam ember plastik. Kak Ubai mengajarkan
mereka menulis kata-kata Ummi! Dan Delisa menggurat
"wajah" Ummi di atas pasirnya.
Sore datang menjelang. Matahari senja pelan
menghujam bumi di ujung cakrawala. Dari atas lereng bukit
ini Delisa dan teman-temannya bisa melihat matahari
tenggelam di laut Lhok Nga di kejauhan. Jingga.
Saat mereka akan pulang. Delisa ingin mencuci kedua
tangannya yang kotor oleh pasir ke sungai kecil di dekat
lapangan tersebut. Kak Ubai membiarkan saja, meskipun
anak-anak yang lain cukup mengibas-ngibaskan tangannya.
Mereka bersiap-siap pulang. Memasukkan ember-ember
plastik ke dalam mobil. Melipat tikar. Membersihkan
sampah-sampah. Delisa sedang menuju tempat pertemuannya. Ketika
Delisa patah-patah menuruni sungai kecil tersebut. Ketika
Delisa menyibak rambut ikal pirangnya yang menutupi
dahi. Ketika ujung jemari Delisa menyentuh sejuknya air
sungai. Ketika itulah. Seekor burung belibis terbang di atas
kepalanya. Memercikkan air di mukanya. Delisa
terperanjat. Mengangkat kepalanya. Menatap burung
tersebut yang terbang menjauh. Ketika itulah, Delisa
menatap sesuatu di seberang sungai yang lebarnya hanya
berbilang dua-tiga meter tersebut. Sesuatu di seberang.
Kemilau kuning. Indah menakjubkan memantulkan
cahaya matahari senja. Sesuatu itu terjuntai. Terjuntai di
sebuah semak belukar. Semak belukar itu juga indah.
Semak belukar liar itu sedang berbuah. Buahnya kecil-kecil.
Berwarna merah-ranum. Memenuhi seluruh
permukaannya. Delisa gementar menyeberangi sungai. Celananya basah
hingga sepaha. Delisa gentar sekali. Ya Allah! Seuntai
kalung tersangkut. Seuntai kalung yang indah. Delisa serasa
mengenalinya. Ya Allah, ada huruf D di sana.
D untuk Delisa. Delisa terkesiap. Tidak! Bukan karena menatap kalung tersebut. Di sana.
Di atas semak belukar yang merah oleh buahnya. Di sana!
Delisa tidak terkesiap oleh kalung tersebut!
Kalung itu bukan tersangkut di dedahanan. Tidak
tersangkut di dedaunan. Kalung itu tersangkut di tangan.
Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka
manusia. Putih. Tulang-belulang. Utuh. Bersandarkan
semak belukar tersebut. "U-m-m-i!" Delisa jatuh terjerambab ke dalam sejuknya
air sungai. Delisa buncah oleh sejuta perasaan itu. DelisaUmmi.... Dan seribu malaikat yang mengungkung bukit mengucap
namaMu.... Seribu malaikat yang mengungkung bukit
melesat ke atas langit.... Kembali!
Semua urusan sudah usai. tamat Membuat Kapal Selam 3 Pendekar Rajawali Sakti 51 Tumbal Penguasa Samudera Pendekar Elang Salju 8