Ceritasilat Novel Online

Negara Kelima 1

Negara Kelima Karya Es Ito Bagian 1


NEGARA KELIMA ES Ito Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
1 Mendekati pukul satu dini hari. Pelataran parkir luar
Hotel Xabhira sepi. Jeep keluaran Eropa warna hijau lumut tampak memasuki lahan parkir bagian dalam ho-tel. Riantono, demikian nama yang tertera pada papan nama baju dinas polisi yang digantungkan di kursi belakang jeep. Tanda melati tiga buah menghias pundak baju dinas itu, komisaris besar.
Hotel Xabhira memang tidak terlalu mewah dari segi layanannya. Tetapi bagi kalangan berduit Jakarta, hotel tersebut dikenal bukan karena layanan pada umumnya. Hotel Xabhira memiliki layanan ekstra dengan wanita-wanita muda yang didatangkan dari tanah Sunda. Sebagian kecil lainnya diperuntukkan bagi mereka yang lebih mampu menikmati wanita impor dari Asia Tengah.
Seorang petugas keamanan hotel menyambutnya ketika turun dari mobil. Petugas itu mengantar Rian-tono sampai pintu lift basement parkiran. Ia memberi tahu bahwa Riantono tengah ditunggu manajer hotel. Ia langsung naik lift menuju lantai dua.
Lelaki berwajah putih bersih berparas Indo, memi-liki ukuran yang cukup tinggi untuk orang Indonesia, menyambut Riantono di pintu keluar lift. Ia me-ngenakan setelan jas dan dasi. Rapi. Mengulurkan tangan pada
Riantono. "Steve," ujarnya. Pria berumur pertengahan tiga puluh itu memperkenalkan dirinya sebagai manajer hotel. Ia berusaha bersikap ramah di depan Riantono.
"Mana Melvin"" tanya Riantono spontan.
"Bapak sudah ditunggu," si manajer hotel mencoba un tuk tetap bersikap ramah.
Melvin, perwira menengah berpangkat Komisaris Polisi, merupakan bawahannya di kesatuan. Satu se-tengah jam yang lalu, pria itulah yang telah me-mintanya untuk datang ke hotel ini. Tetapi tidak menjelaskan untuk apa. Begitu ia datang ke hotel, justru manajer hotel yang menyambut kedatangannya. Ia mulai hilang kesabaran.
"Bapak ikuti saya..."
Steve langsung berjalan tanpa menunggu tanggapan dari Riantono. Mereka melewati lorong lantai dua yang berbentuk seperti huruf L. Sesekali terdengar jeritan tertahan dari pasangan yang tidak menutup pintu kamarnya dengan sempurna. Riantono membuang lu-dahnya beberapa kali, jijik. Kenapa ia harus datang ke tempat terkutuk seperti ini" Tepat dua kamar men-jelang ujung akhir lorong lantai dua, langkah Steve terhenti. Seperti orang yang tengah menghindari ke-curigaan orang banyak, ia mengetuk pintu kamar ber-nomor 210 dengan tertahan. Pintu terkuak setengah, satu kepala melongok keluar dari balik pintu kamar.
"Komandan..." laki-laki itu setengah bersorak na-mun dalam raut mukanya jelas sedang kebingungan.
"Melvin, ada apa malam-malam begini..." kalimat Rian tono terpotong. Tangannya keburu ditarik Melvin ke dalam kamar. Manajer hotel mengikuti. Riantono hampir tergelak mendapati bawahannya itu hanya me-ngenakan
piyama. Tetapi ketika rasa geli itu nyaris menguasainya, ia terdiam. Di sudut ranjang mem-belakangi sebuah pigura bergambar mesum, berdiri seorang perempuan muda juga mengenakan pakaian yang sama. Wajahnya diliputi ketakutan. Dua tangannya merapat ke dada sambil memegangi bagian-bagian dari kain bajunya yang tidak menempel ke tubuh. Ia mulai dilanda bingung. Ia pandangi perem-puan itu dan Melvin secara bergantian. Sementara pada bagian tengah ranjang, sesosok tubuh ditutupi selimut tebal berkerumun seperti tengah tidur dalam ke-di-nginan. Tidak satu pun dari bagian tubuh itu yang tidak tertutupi selimut. "Melvin, kau..."
"Maaf, Dan. Mungkin nanti bisa kita bicarakan hal ini..." Melvin berjalan ke sisi ranjang. Langkahnya dili-puti kerisauan dan ragu. Tetapi ia merasa tidak mung-kin untuk memungkiri kenyataan yang sudah terjadi. Ia menyingkapkan selimut yang menutupi sosok di tengah ranjang. Satu sosok perempuan muda. Rok jeans pendek setengah paha dengan padanan kaos putih ketat yang menonjolkan bagian tubuh perempuan itu masih melekat.
"Lidya!" Riantono terpekik melihat putri sulungnya meringkuk kaku. Tahun ini Lidya baru saja naik kelas tiga SMA.
Ia menghambur ke tengah ranjang dengan beragam kecamuk di pikirannya. Ia mengguncang-guncang tubuh indah yang tengah ranum itu. Tetapi si sulung ti
dak kunjung bangun. "Lidya, ini Papa ..."
"Maaf, Komandan. Lidya sudah tiada ..." Kalimat pendek disertai dengan gerakan telunjuk ta ngan yang mengarah pada leher gadis itu menjadi anti
klimaks atas semua prasangka baik Riantono.
"Saya menemukannya sudah dalam keadaan tewas. Tampaknya dicekik dengan menggunakan tali, kabel atau benda-benda semacam," seru Melvin dengan nada lirih.
Penjelasan yang agak kabur itu sampai juga di telinga Riantono. Ia bersimpuh di depan mayat puterinya. Mendekap tubuh yang perlahan mulai dingin. Ia meraung tertahan. Tiba-tiba ia merasakan kehidupan tidak lebih dari lintasan waktu tidak berharga. Setelah resmi cerai dengan istrinya, Lidya ikut dengannya tinggal di Jakarta. Sementara istrinya pindah ke Surabaya bersama dua orang anak laki-laki mereka. Semenjak itu tak ada komunikasi sama sekali.
"Komandan sudahlah ..." Melvin menepuk-nepuk bahu komandannya. Per-lahan Riantono melepaskan dekapannya pada Lidya. Matanya merah, pandangannya keruh, tatapannya nanar mencari ruang harap.
"Apa yang sebenarnya telah terjadi""
"Seseorang telah membunuh puteri Anda, Koman-dan"
"Siapa bajingan pelakunya"" Riantono meng-edar-kan pandangan pada tiga orang yang berada di dalam kamar secara bergantian.
"Belum tahu," Melvin angkat bahu.
"Bagaimana kau temukan mayat ini"" Lidah Melvin yang dari tadi lincah menari tiba-tiba berubah menjadi kelu. Ia mengerti pertanyaan itu pada akhirnya akan muncul dari mulut atasannya, sebab ia satu-satunya anggota polisi yang ada sebelum kedatangan Riantono.
"Aku menginap di hotel ini Komandan," katanya agak tertahan.
"Anjing! Perwira polisi kelamin kau. Kau juga main dengan pelacur hotel ini ya""
Kalimat itu benar-benar menyengat Melvin, tetapi itu lah kenyataannya. Perempuan yang berdiri di ujung ranjang terpekur diam. Rupanya ia adalah pasangan kencan Melvin. Runtuh sudah reputasinya selama ini di depan komandannya sendiri. Pada usia 36 tahun Melvin masih melajang. Selama ini orang-orang begitu memuji sikapnya dengan memilih karir daripada ke-luarga. Cintanya pada dunia kepolisian telah meng-habiskan jatah cinta untuk hal-hal lainnya, ter-masuk wanita. Tetapi untuk urusan nafsu, ternyata ke-ingin-annya tidak sebaik prasangka banyak orang.
"Aku yang menemukannya pertama kali," ujar Melvin meyakinkan.
Penjelasan dari Melvin kemudian terasa lebih lancar daripada permulaannya. Seseorang, menjelang tengah malam, hampir saja menabrak dirinya ketika baru keluar dari lift. Ia tidak sempat memerhatikan sosok gelap itu. Pencahayaan remang-remang di sepan-jang koridor lantai dua hotel semakin membuat kabur sosok tersebut. Tetapi ia bisa memastikan sosok gelap itu baru saja keluar dari sebuah kamar yang terletak tidak jauh dari kamar yang juga ia pesan. Pintu kamar di ujung lorong tampak sedikit menganga. Melvin tidak tertarik untuk mengamati lebih jauh. Ia memilih untuk buru-buru masuk kamar.
"Tetapi bagaimana kau bisa menemukan mayat Lidya," sela Riantono.
"Aku hanya sebentar masuk kamar, Dan," Melvin menatap perempuan muda yang menjadi pasangan kencannya seakan mencari kata setuju. "Tatapan mata laki-laki di lift itu membuatku gelisah. Naluriku terus
mendesak-desak. Suatu peristiwa pasti telah terjadi di kamar yang ia tinggalkan." "Lalu""
"Naluriku tepat dan aku menemukan Lidya sudah tidak bernyawa, Dan!"
Riantono terdiam. Ia me-ngepalkan tinjunya. Tulang-tulang rahangnya menegang. Ia seperti tengah menyaksikan detik demi detik pembunuhan puterinya.
"Apa kau bisa menggambarkan sosok yang kau temui di pintu lift itu""
Sesaat Melvin terdiam. Pandangannya menerawang. Sesekali ia menatap tubuh tidak bernyawa Lidya. Ia menarik nafas panjang. Mengumpulkan energi dan ingatan untuk menjawab pertanyaan komandannya.
"Sosok itu mengenakan pakaian gelap mulai dari bawah hingga bagian atas baju yang menutup seluruh lehernya. Tingginya sedang, tidak jauh berbeda dengan tinggiku. Sorot matanya tajam. Satu hal yang tidak bisa aku lupakan ketika menatapnya terakhir kali dari arah belakang adalah garis-garis kecil dengan warna putih mengilat yang sangat kontras dengan warna gelap pakaiannya. Garis-garis
tersebut terlukis pada bagian pakaian yang menutupi tengkuknya."
"Kau bisa simpulkan, pola apa yang dibentuk oleh garis-garis mengilat itu""
"Kurang jelas sebab diameter garis-garisnya sangat ke cil. Tetapi apa yang aku temukan pada tubuh Lidya sangat mungkin digunakan untuk membuka tabir itu." Melvin bergerak naik ke atas ranjang, lalu menyibakkan kaos ketat Lidya. Tepat di atas ulu hatinya terdapat sayatan-sayatan merah tua. Darahnya sudah membeku. Sayatan itu jelas bukan dimaksudkan untuk membunuh si
gadis, sebab tidak meninggalkan bekas luka yang dalam. Pembunuhnya seperti hanya ingin meninggalkan semacam pesan. Riantono mem-er-hati-kan sayatan-sayatan itu dengan cermat. Sebuah pola akhirnya bisa ia tangkap dari goresan itu. Garis-garis yang membentuk satu gambar ruang dimensi tiga.
"Gambar piramid ..." bisik Riantono setengah tidak percaya.
"Dengan belahan diagonal pada bagian alasnya," Melvin menambahkan. "Apa itu mengingatkan Anda pada sesuatu""
Piramid dengan belahan diagonal pada bagian alasnya.
Riantono memutar otak mengingat-ingat sesuatu.
Gambar piramid itu pernah ia lihat. Terasa masih akrab dengan matanya. Matanya berbinar. Ia tidak butuh waktu lama untuk mengingat kejadian yang baru berlangsung hanya beberapa jam yang lalu.
"Kelompok Patriotik Radikal!!! KePaRad ..." teriak-nya.
"Ini tanda yang terdapat pada salah seorang tahanan. Anjing! Mereka membunuh puteriku untuk menunjukkan perlawanan mereka atas penggerebekan dan penangkapan yang kita lakukan. Tentu garis-garis meengeliat yang kau lihat pada tengkuk sosok gelap adalah gambar yang sama."
"Aku pun menduga begitu, Dan. Mereka sudah menge nal kebiasaan Lidya dan membunuhnya dengan memberi pesan kepada kita seperti ini."
"Kebiasaan Lidya" Apa maksudmu"" Riantono meradang, wajahnya memerah. Luapan kepuasannya kem-bali tersaput debu kekalutan.
Melvin memberi isyarat pada Steve untuk angkat bicara. Laki-laki itu terlihat ragu dan canggung untuk ikut
berbicara. Tetapi ia tampaknya tidak punya pilihan lain.
"Puteri Anda memang bukan wanita pelayan seks di hotel kami. Tetapi yang bersangkutan telah beberapa kali menginap di sini, mungkin empat atau lima kali ..."
"Lalu kenapa""
"Ia menginap dengan laki-laki yang berbeda!!" Steve memberi tekanan pada suaranya.
Mulut Riantono tercekat. Lidahnya kelu. Ia bi-ngung harus bicara apa. Dalam hati ia menangis. Habis sudah segala prasangka baiknya malam ini. Belasan tahun sudah hidupnya bersama Lidya, ia rasa sebagai suatu kesia-siaan.
"Itu sebabnya aku tidak menghubungi siapa-siapa malam ini, Dan, kecuali Anda," ujar Melvin.
Ia sudah mengerti ke mana arah pembicaraan Melvin. Anak buahnya itu ingin mengadakan semacam transaksi untuk saling menutupi rasa malu. Riantono berkepentingan akan citra baiknya sebagai perwira menengah paling bersinar di Polda Metro Jaya. Dan tentu saja penemuan mayat puterinya di Hotel Xabhira akan merusak reputasinya. Sementara Melvin juga ingin mempertahankan Citranya sebagai pria dan polisi baik-baik. Ia tidak ingin orang tahu petualangan seks yang ia lakukan.
"Kita pindahkan TKP, membuat seolah-olah kejadiannya tidak di hotel ini, tetapi di tempat lain entah di mana. Biar orang lain saja yang pertama kali menemukan mayatnya," Melvin membuka tawaran.
"Kau gila, bagaimana pembunuhnya bisa diketahui kalau TKP diubah" Dan bagaimana dengan dua orang itu""
Melvin mendekatkan mulutnya pada kuping Riantono. Steve, manajer hotel, sepakat untuk tutup mulut. Ia juga tidak ingin hotelnya dapat imbas buruk akibat penemuan
mayat ini. Sementara wanita muda yang terus berdiri ketakutan di ujung ranjang yang menjadi pasangan kencan Melvin, juga tidak akan bicara apa-apa.
Menyaksikan mayat saja sudah menjadi mimpi buruk bagi dirinya, apalagi memperpanjang masalah ini.
"Lagi pula kita tidak membutuhkan TKP, Dan," lanjut Melvin. "Kunci misteri pembunuhan itu terletak pada goresan yang terdapat pada ulu hati mayat Lidya!"
Piramid dengan belaha diagonal pada bagian alasnya. KePaRad, Kelompok Patriotik Radikal. Penggerebekan 17 September. Komisaris Besar Riantono. Komandan Detsus Antiteror Polda Metro Jaya.
Ri antono tidak mengeluarkan suara lagi. Tampaknya ia memilih untuk tidak kehilangan segalanya. Sedikit mengorbankan kejujuran dan fakta tampaknya tidak terlalu berharga, dibandingkan dengan resiko kehilangan kesempatan yang mungkin hanya akan ia dapatkan sekali dalam seumur hidup. Promosi untuk mendapatkan bintang di pundak pada usia pertengahan empat puluh.
Bersama dengan tiga orang lainnya, ia bungkus dengan rapi jenazah anak gadisnya. Sebuah tempat telah direncanakan untuk dijadikan TKP manipulatif dari kasus kematian gadis ini. Antara pilu dan ragu masih terbersit harap dalam hati Riantono. Ia coba menghibur diri bahwa ini hanyalah riak ujian sebelum bintang melekat di pundaknya. Bukan suatu halangan yang berarti untuk mendapatkan hal-hal yang jauh lebih besar.#
2 Raganya Indonesia. Tetapi jiwanya tidak lagi nusantara.
Satu kelompok berkuasa. Sisanya pengaya saja. Sebagian kecil kelompok kaya. Sisanya menanggung derita.
Bubarkan Indonesia. Bebaskan Nusantara. Bentuk Negara kelima. -Kelompok Patriotik
Pertama kali bait-bait provokatif ini muncul pada
tanggal delapan belas Agustus. Satu hari setelah perayaan kemerdekaan Indonesia. Muncul begitu saja mengganti seluruh tampilan halaman web situs-situs milik pemerintah. Halaman web-nya diganti, bendera merah putih digantikan oleh peta nusantara dengan lingkup yang lebih besar. Setiap kata "Indonesia" diganti dengan "Nu-santara". Selain Kelompok Patriotik tidak ada lagi pen-jelasan mengenai pelaku pembajakan situs internet ini.
20 Agustus Dalam waktu yang hampir bersamaan, jaringan data dua bank terbesar milik pemerintah berhasil dijebol oleh seseorang tidak dikenal. Setelah beberapa transaksi dalam jumlah yang besar terjadi, pihak bank baru menyadari kalau jaringan data mereka telah dijebol. Dalam sekejap, kedua bank itu mengalami kerugian milyaran rupiah. Langsung berimbas pada beberapa perusahaan menanamkan uang dalam jumlah yang sangat besar pada kedua bank. Kurang dari 24 jam, terjadi rush. Masyarakat mengambil tabungannya dalam jumlah besar dari kedua bank, takut kekacauan itu terus terjadi. Dua hari kemudian, Kelompok Patriotik mengaku bertanggung-jawab atas se-mua kekacauan yang terjadi.
23 Agustus Bandara Internasional Sukarno-Hatta jadi korban berikutnya. Selama satu hari penuh, semua jadwal penerbangan mengalami penundaan. Sistem komputerisasi Bandara berhasil dijebol Kelompok Patriotik. Mereka mengacaukan semua jadwal keberangkatan dan ke-datangan pesawat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pihak Bandara terpaksa menunda semua penerbangan pada hari itu. Tidak ada keterangan apa-apa lagi selain bait-bait provokatif yang ditinggalkan pada jaringan komputer.
1 September Giliran Plasa Senayan, Mal Taman Anggrek, dan Plaza Semanggi. Sistem peringatan dini untuk bahaya kebakaran dan bom pada ketiga pusat perbelanjaan itu telah mengacaukan suasana. Seseorang telah mengutak-atik alat tersebut sehingga menimbulkan kepanikan luar biasa. Alarm menjerit dan dari pengeras suara terdengar
peringatan bahaya born. Orang-orang lari keluar. Asap putih mengepul dari lantai atas. Pasukan Gegana datang tetapi tidak ditemukan bom kecuali asap putih seperti yang digunakan untuk pertunjukan musik. Kejadian pada tiga tempat berbeda itu terjadi pada saat ber-samaan. Kelompok Patriotik lewat emailnya menya-takan bertanggung jawab. Sekali lagi mereka menuntut.
Bubarkan Indonesia. Bebaskan Nusantara. Bentuk Negara Kelima.
Pada tanggal yang sama terjadi ledakan cukup besa di daerah Cibubur. Tepatnya pada sebuah bangunan besar yang tengah dibangun. Sebuah bangunan yang rencananya akan dijadikan pusat perbelanjaan. Ledakan itu merobohkan seperempat bagian bangunan. Pondasi pada bagian utara bangunan sebagian besar ambruk. Polisi belum bisa mengidentifikasi pelaku. Tetapi dengan berpatokan pada rentetan kejadian selama beberapa waktu belakangan, dugaan mereka mengarah kepada Kelompok Patriotik.
6 September Terjadi kekacauan jaringan telekomunikasi yang hampir melanda seluruh kawasan Divisi Regional I PT Telkom Indonesia. Setiap kali nada sambung terhubung dari telepon rumah,
terdengar jawaban persis seperti kata-kata dalam bait provokatif Kelompok Patriotik.
Bubarkan Indonesia. Bebaskan Nusantara. Bentuk Negara Kelima.
Tidak ada telepon yang tersambung pada nomor yang dituju kecuali sambutan kata-kata itu. Hampir satu hari penuh semua aktifitas telekomunikasi lumpuh.
Tindakan kriminal yang pada awalnya dianggap polisi sebagai tindakan kelompok amatiran telah menimbulkan kecemasan tingkat tinggi. Sebagaimana pengamatan dan penyelidikan polisi, semua tindakan itu dilakukan oleh satu kelompok yang menyebut diri mereka Kelompok Patriotik. Sampai dengan pengacauan terakhir, polisi sama sekali belum memiliki gagasan dan gambaran tentang kelompok yang muncul secara sporadis tersebut.
Kasus ini pada akhirnya jatuh ke tangan Deta-semen Khusus Antiteror Polda Metro Jaya. Satu unit yang baru dibentuk beberapa tahun yang lalu, dikhususkan menangani penyidikan dan eksekusi terhadap pelaku tindakan teror. Beberapa tenaga ahli direkrut untuk membantu polisi menelusuri jejak kelompok ini.
Lima hari setelah aksi terakhir Kelompok Patriotik, poli si mulai menemukan titik terang. Seorang petugas yang ditempatkan secara acak pada salah satu warung internet di kawasan Jakarta Barat mendapatkan jejak. Seorang laki-laki yang dua atau tiga hari sekali datang ke warung internet tersebut menunjukkan gerak-gerik mencurigakan. Dari kecurigaan itu telah mengantarkannya pada sebuah rumah yang terletak di kawasan Pantai Indah Kapuk. Sebuah rumah yang cukup besar, usia bangunannya kurang lebih dua tahun. Terletak tidak lebih setengah kilometer dari bibir Pantai Utara Jakarta. Disitulah jejak laki-laki itu selalu berakhir setiap kali ia diikuti.
Setelah di-selidiki lebih jauh, ternyata pemilik ru-mah
itu telah mengontrakkan rumah pada seseorang yang ia sebut telah memberi bonus sangat besar melalui pembayaran lewat internet. Rumah itu dikontrakkan untuk jangka waktu dua tahun kepada seseorang yang ia sendiri tidak terlalu ingat namanya. Tanpa dokumen, tanpa tanda tangan. Namun yang jelas rekening pemilik rumah sudah terisi sesuai dengan nominal uang yang dijanjikan.
Informasi yang didapatkan dari penduduk sekitar, dalam interval hari tertentu, rumah itu ramai di-kunjungi oleh anak-anak muda. Sebagian penduduk menduga, rumah itu telah disulap oleh anak-anak muda menjadi studio musik. Sebab pernah ada yang melihat beberapa anak muda mengangkat dan mema-sukkan berbagai alat musik ke dalam rumah itu. Tetapi tidak ada kesimpulan yang benar-benar pasti dari kete-rangan penduduk, sebab tidak satu pun dari mereka yang pernah berinteraksi langsung dengan anak-anak muda tersebut.
Pengintaian selama lima hari yang dilakukan oleh polisi telah menggiring mereka pada satu kesimpulan bahwa rumah itu memang patut untuk dicurigai. Se-buah antena parabola penerima gelombang tampak menyembul kecil dari lapis kedua atap rumah. Dengan tembok rumah yang sangat tinggi, seolah-olah tiap orang yang masuk ke pekarangan rumah tenggelam di balik tembok. Penampakan yang semakin menguatkan kecu-rigaan, ditambah dengan ekspresi aneh dari be-ragam wajah yang mereka amati masuk ke dalam rumah.
17 September, petang hari
Tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan kepastian selain melakukan penggerebekan rumah itu. Operasi disiapkan. Komisaris Polisi Melvin Donovan ditunjuk menjadi Komandan Operasi. Semua pengintai yang bertugas di sekitar komplek perumahan telah memas-tikan waktu dan tanggal penggerebekan. Harapannya, penggerebekan berlangsung pada puncak keramaian rumah itu.
Interval waktu kedatangan pengintai dan pasukan terlalu lama. Jeda waktu rupanya dimanfaatkan oleh anggota Kelompok Patriotik untuk meninggalkan ru-mah. Seseorang atau sesuatu telah memberi tahu mereka tentang operasi pihak polisi. Para pengintai yang me-mang tidak disiapkan untuk menghadang me-reka hanya bisa melongo sesaat setelah melihat deru enam mobil meninggalkan rumah. Lima belas menit berselang, pasukan operasi penggerebekan baru datang. Terlambat. Rumah itu kosong.
Melvin putus asa dan kecewa menerima kenyataan yang dihadapinya. Untunglah di luar du-gaan, anak buahnya berhasi
l menangkap dua orang yang mereka temukan tengah bersembunyi di gorong-gorong selokan belakang rumah. Dua orang itu meng-aku sebagai si pengontrak rumah. Keduanya berusaha untuk terlihat tenang, walaupun mereka ditemukan tengah bersembunyi.
Mereka tidak berbicara apa-apa sebab merasa tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Tetapi ketika salah seorang polisi dari dalam rumah membawa sebuah dokumen dengan tulisan "Negara Kelima", keduanya mulai gelisah. Apalagi kemudian polisi juga mene-mukan satu dokumen yang terbakar tidak sempurna. Seperempat dari bagian bawah dokumen itu terbakar sementara sisanya masih dapat terbaca. Pada kertas itu terdapat coretan-coretan dengan pola menyilang seperti arah empat penjuru mata angin. Tiga titik dari empat titik penjuru dan satu titik tengah dari arah mata angin itu
terdapat tulisan: Amithaba, pada bagian kiri dari petunjuk atas. Ratnasambhawa, pada bagian bawah dari bagian atas mata angin.
Akso, pada bagian tengah dua garis menyilang.
Satu lagi petunjuk yang ditemukan polisi adalah tato yang tergambar pada bagian atas urat nadi pergelangan tangan kedua orang tersebut.
Sebuah tato bergambar piramid dengan belahan diagonal pada bagian alasnya.
Kedua orang itu resmi menjadi tersangka tindak kekacauan selama beberapa pekan belakangan. Mereka tidak berusaha untuk membela diri, hanya diam seperti diamnya polisi dalam pengintaian selama beberapa hari belakangan terhadap aktifitas Kelompok Patriotik.
Polisi sudah menemukan satu nama yang cocok untuk buruan baru mereka ini.
KePaRad, Kelompok Patriotik Radikal.
Dua hari kemudian, gambar piramid dengan belahan diagonal pada bagian alasnya itu kembali ditemukan. Bukan lagi dalam bentuk tato tetapi goresan darah pada mayat Lidya, puteri Kombes Riantono, Komandan Detsus Antiteror Polda Metro Jaya.#
3 Pita kuning memanjang dengan tulisan garis polisi.
Membentang seluas empat kali enam meter dengan memotong selokan dan bahu jalan di sebelah utara parkiran luar Plaza Blok M. Dari arah seberang jalan, selokan itu memang terlihat tidak terlalu mencolok sebab bagian pinggirnya termakan oleh pagar tinggi besi bangunan megah pusat belanja.
Tidak jauh dari tempat itu, satu sosok berpakaian jeans hitam dengan jaket berwarna gelap tampak mondar-mondar di antara kerumunan polisi berseragam coklat. Sesekali ia berbicara dengan polisi yang menjaga tempat itu. Lalu berpindah lagi kepada polisi lainnya. Tidak lama ia masuk ke dalam area garis polisi dan memerhatikan dengan seksama tempat yang diberi tanda kapur putih.
"Posisi mayatnya tersandar pada dinding dalam selokan yang berbatasan dengan pagar Plaza, Inspektur," seorang anggota polisi memberikan sedikit petunjuk pada pria berpakaian gelap itu.
"Jam berapa ditemukan"" ia balik bertanya.
"Sekitar pukul empat subuh, pemulung yang mene-mukan Inspektur!"
"Lalu"" "Dua petugas piket pos polisi Bulungan langsung ke si
ni. Baru setelah itu dua orang perwira datang ke sini dari Mapolda..."
"Apa!" raut wajah pria berpakaian gelap yang dipanggil Inspektur itu tampak berubah, "Siapa mereka""
"Kombes Riantono dan Kompol Melvin"
"Sialan! Apa urusannya orang-orang Detsus Anti- teror dengan kasus kriminal seperti ini""
"Maaf Inspektur, tapi yang terbunuh itu puterinya Kombes Riantono."
Inspektur Satu Rudi Djatmiko, perwira polisi yang mengenakan pakaian preman berwarna gelap, memain-mainkan pulpen biru di tangannya. Ia tidak menyang-ka mayat yang ditemukan adalah puteri dari salah seorang perwira menengah yang tengah mencorong namanya. Tetapi ia tetap saja geram. Seharusnya per-wira yang dihubungi pertama kali terkait kasus ini adalah dirinya, perwira reserse dan kriminal umum yang tengah piket di Mapolda.
"Ke mana mayat gadis itu dibawa""
"Rencananya, pagi ini mau diotopsi di RSCM, Inspektur."
"Ohhh...sudah pasti korban pembunuhan""
"Kemungkinan besar dijerat pada lehernya." Kondisi TKP, tempat ditemukannya mayat gadis itu, cukup menyulitkan. Terletak persis di pinggir jalan. Hal itu menimbulkan dugaan kuat dalam benak Rudi bahwa anak gadis Riantono tidak dibunuh ditempat itu tetapi di tempat lain. Seseorang telah mem-bu
nuh- nya di suatu tempat, lalu tepat dini hari tadi membawa mayatnya ke daerah ini dan membuangnya begitu saja.
"Ada saksi yang melihat kejadian""
Bintara polisi yang dari tadi berdiri di samping Rudi itu
menggeleng pelan, "Kecuali dua orang pemu-lung yang menemukan mayat ini, tidak ada saksi lain yang melihat langsung kejadiannya."
"Seseorang telah membunuh gadis itu di tempat lain lalu memindahkannya ke sini," suara si perwira muda terdengar seperti igauan.
Matahari semakin meninggi sehingga tiap titik tersembunyi tidak luput dari siramannya dari balik langit Jakarta yang tidak kunjung cerah. Iptu Rudi bergegas menyelesaikan segala sesuatunya di tempat penemuan mayat si gadis. Selain menunggu hasil visum dan otopsi dari dokter, tidak banyak hal yang bisa ia lakukan untuk mulai menyelidiki kasus matinya gadis ini. Satu-satunya kepastian pada pagi ini adalah bahwa kasus tersebut akan jatuh ke tangannya. Kombes Atmakusumah, atasannya di bagian Reserse dan Kri-minal Umum, telah memberikan sinyalemen positif.
Tetapi ... dugaan dan harapannya untuk menangani kasus ini ternyata meleset. Ketika sampai di ruangan Komandan Bagian Reskrim Umum, Rudi tidak hanya bertemu dengan komandannya tetapi juga telah menunggu Kompol Melvin, perwira operasi dari Detsus Antiteror. Kombes Atmakusumah sudah bisa menang-kap gelagat tidak enak dari tatapan mata Rudi yang kurang senang dengan kehadiran perwira dari Detsus Antiteror. Tetapi ia seperti tidak berdaya berhadapan dengan perwira yang jenjang pangkatnya bahkan dua tingkat di bawahnya.
"Rudi, ini Komisaris Melvin dari Detsus Antiteror."
"Saya sudah tahu, Dan," Rudi menjawab sinis.
"Mungkin kita bisa langsung membicarakan substansi masalah."
Kombes Atmakusumah memberi isyarat pada Kompol
Melvin untuk berbicara. Sepertinya ia tidak tega untuk menyampaikan langsung kepada bawahan-nya.
"Kasus kematian Lidya kami yang ambil alih, Inspektur," Melvin berbicara dengan ringkas.
"Lalu, hubungannya dengan saya apa""
"Sekadar pemberitahuan. Sebab tadi komandan sempat memberi tahu bahwa tadi pagi beliau sudah terlanjur meminta Anda untuk menangani kasus ini."
"Kenapa kasus ini Anda harus ambil alih""
"Karena berkaitan dengan kasus yang tengah kami selidiki."
"KePaRad!" Kombes Atmakusumah menambahkan pen jelasan
Rudi tersenyum sinis. Ia sudah mendengar tentang se pak terjang kelompok yang baru saja disebutkan komandannya. Tetapi mengaitkan kelompok itu dengan kasus kematian puteri komandan Detsus Antiteror baginya masih terasa kurang masuk akal.
"Aku masih belum terlalu mengerti, kenapa kasus ini harus..."
"Inspektur!" Melvin tidak sabar memotong. "Saya pikir Anda sudah tahu mana wewenang kita masing-masing dalam menangani suatu kasus..."
"Tentu! Dan aku rasa kasus kematian ini adalah wewenang bagian kami bukan Detsus antiteror," Rudi tidak kalah sengit menimpali. "Lalu apa ada suatu hal yang bisa menjelaskan bahwa kasus ini memang wewe-nang Anda selain kenyataan korban adalah anak dari komandan Anda""
Pertanyaan ini sebenarnya yang dari tadi ditunggu-tunggu oleh Melvin. Ia tersenyum menatap perwira muda yang umurnya belum mencapai kepala tiga itu. Dari dalam
map plastik warna coklat ia mengeluarkan dua lembar foto. Satu lembar foto memperlihatkan bagian atas perut dari korban pembunuhan seperti disayat-sayat dengan pisau membentuk pola tertentu. Sedangkan satu lembar lagi memperlihatkan bagian pergelangan tangan tepat di atas urat nadi. Ia per-lihatkan foto itu kepada Kombes Atmakusumah dan Rudi.
"Anda tahu kesamaan dua foto ini"" Rudi tidak perlu berpikir untuk menjawab per-soalan itu,
"Gambar yang ter-dapat pada dua bagian tubuh itu sama persis."
Jawaban itu melegakan Melvin. "Ya, gambar piramid dengan belahan diagonal pada bagian alasnya. Anda tahu foto siapa yang pertama itu"" "Lidya!"
"Benar. Lalu foto pergelangan tangan"" Rudi menggeleng. Ia tidak mengenal pergelangan tangan itu. Hanya bisa menduga pergelangan tangan itu pasti milik orang lain yang terkait dengan pem-bunuhan.
"Pergelangan tangan dengan pola-pola membentuk piramid persis seperti sayatan pisau di atas perut Lidya itu adalah milik d
ua orang tersangka yang kami tang-kap dua hari sebelum terbunuhnya Lidya," Melvin tersenyum puas. "Tentu Anda sekarang sudah mengerti, kenapa kasus ini kami yang harus ambil alih."
"Jadi, gambar piramid yang identik itu Anda jadi-kan sebagai petunjuk primer""
"Betul." "Bagaimana dengan TKP" Bagaimana dengan latar belakang korban""
Wajah Melvin agak berubah mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia mencoba bersikap tenang dengan mengalihkan perhatian kembali pada foto-foto.
"Iya, tentu akan dijadikan petunjuk juga. Akan tetapi pada prinsipnya kami sudah menemukan jawab-an dari kasus ini."
"Pelakunya KePaRad""
"Betul, kalau kita berpatokan pada dua gambar dengan pola yang identik satu sama lain itu. Ditambah lagi dengan kenyataan jarak waktu penggerebekan yang kami lakukan terhadap kelompok itu hanya berselang 48 jam dengan kejadian pembunuhan puteri Kombes Riantono."
Rudi ter-senyum sinis seperti merendahkan perwira yang pangkatnya jauh lebih tinggi d ari dirinya. Sementara Kombes Atmakusumah agak berhati-hati dalam memberikan tanggapan. Ia sadar posisi bagian yang ia pimpin terhadap Detsus Antiteror cukup lemah. Unit yang baru dibentuk tiga tahun belakangan itu bisa dikatakan sangat dianakemaskan. Sebab Detsus Anti-teror telah menjadi semacam ikon politik bahwa Indo-nesia juga berpartisipasi dalam penanganan terorisme. Segala kemudahan dan akses, termasuk dana, bisa didapatkan oleh Detsus Antiteror dengan cepat.
"Jadi menurut Anda motif pembunuhan itu balas dendam"" Rudi belum mau menyerah dan sepertinya tidak rela kasus pembunuhan ini jatuh kepada Detsus Antiteror.
"Bisa lebih jauh dari itu. KePaRad mungkin ingin memberi pesan kepada kita semua bahwa mereka pantas untuk diperhitungkan. Buktinya dengan mudah mereka melakukan pembunuhan tanpa meninggalkan jejak sejengkal pun."
"Aku tidak per-caya anak-anak yang biasa menjebol situs internet melakukan itu semua."
"Anda meremehkan petunjuk primer, Inspektur!" kata
Melvin dengan nada suara meninggi. Tetapi ia coba menahan diri, sadar di depannya masih ada Kombes Atmakusumah.
"Maaf Komisaris, Anda sendiri meremehkan TKP dan latar belakang korban. Sepertinya Anda ingin meng-giring opini bahwa kasus ini memang mutlak harus ditangani Detsus!" Rudi menimpali.
Melvin tidak lagi menanggapi kata-kata Rudi. Dari dalam map coklatnya ia mengeluarkan satu lembar kertas dengan beberapa lampiran. Ia sepertinya tidak ingin memperpanjang perdebatan dengan Rudi. Kertas itu ia serahkan kepada Kombes Atmakusumah disertai penjelasan singkat.
"Maaf Komandan, ini surat dari Kapolda yang melimpahkan kasus itu sepenuhnya kepada kami. Di belakangnya lampiran visum yang baru saja kami te-rima. Tidak ada kekerasan lain yang melatarbelakangi pembunuhan Lidya, hanya pembunuhan dengan modus penjeratan pada leher korban. Hanya itu!" kata-kata itu seperti ingin mempertegas kenyataan bahwa tidak ada yang bermasalah dengan latar belakang Lidya.
Satu lembar surat dengan beberapa lembar keterangan hasil visum sepertinya menghentikan perdebatan antara Rudi dan Melvin. Tanpa menunggu reaksi dari dua orang tersebut, Melvin keluar dari ruangan. Rudi tiba-tiba kehabisan selera. Ia tidak menyangka dalam tempo beberapa jam saja kasus yang seharusnya ia tangani itu sudah berpindah tangan kepada Detsus Antiteror.
"Kasus ini akan dijadikan sebagai komoditas oleh Detsus Antiteror!" gerutunya.
"Kita lihat saja nanti," Kombes Atmakusumah masih be lum berani untuk menunjukkan bagaimana sikap dirinya
yang sesungguhnya. "Selain terna terorisme yang diusung Amerika, Detsus Antiteror selama ini sama sekali belum punya kasus yang independen. Itu sebabnya mereka mem-besar-besarkan kasus ini. Bisa saja pembobol internet itu anak muda yang iseng. Ingin berlaku seperti Robin Hood."
"Tetapi pesannya jelas ingin merongrong NKRI. Bagaimana kau bisa menjelaskan semua ini""
"Semua orang berhak untuk mengekspresikan ketidakpuasannya pada negara ini," Rudi terkekeh. "Kecuali kita polisi..."
"Tetapi di luar tuduhan baru pembunuhan ini, apa yang mereka lakukan tetap kriminal bukan""
"Iya, tetapi kriminal tidak harus langsung diiden-tikkan dengan a
ksi terorisme, Dan."
Berhadapan dengan perwira muda yang berapi-api ini, Kombes Atmakusumah seperti orang tua yang tidak punya tenaga melawan arus. Mata Rudi selalu berbinar-binar ketika berbicara. Seolah tiap per-kataan-nya membuka celah untuk menyingkap setiap sisi kebenaran. Suatu hal yang sulit ditemukan pada per-wira-perwira gaek di Polda Metro Jaya.
"Aku akan tetap menyelidiki kasus ini, Dan!" Rudi mem pertegas keinginannya.
"Aku tidak bisa tanggung jawab."#
4 Lewat pucuk-pucuk daun basah oleh embun, cahaya
matahari pagi menusuk. Kicauan burung menyemarakkan pagi. Ayam mulai dilepas dari kandangnya yang menyatu dengan bagian rumah panggung. Sementara itu, barisan itik berbaris dengan rapi menuju sawah-sawah yang belum ditanami. Orang-orang mulai keluar rumah menenteng cangkul, sebagian lagi masih sibuk mengo-brol di lapau-lapau yang menyediakan pisang goreng dan ketan.
Halaban, negeri kecil di Utara Payakumbuah bekas onderneming kolonial Belanda. Terletak sekitar 125 kilo-meter arah Timur Padang, Sumatera Barat. Bis kecil biasa melayani trayek Padang menuju negeri kecil itu. Melewati pemandangan indah sepanjang jalan buatan kolonial Padang-Bukittinggi yang terjal. Air terjun lem-bah Anai di sisi kiri dan aliran Batang Anai di sisi kanan tampak jurang menganga. Hawa dingin menu suk pori Padang Panjang menembus lereng Gunung Merapi hingga dekat lereng Gunung Singgalang lalu masuk Bukit-tinggi. Melalui jalan datar sejauh 33 kilo-meter dari Bukittinggi, negeri kecil itu akan ditemukan.
Dari sebuah rumah yang bagian depannya dijadi-kan lapau, dua orang anak muda terlihat begitu menik-mati kesegaran pagi. Seperti kenikmatan yang baru kali ini
mereka dapatkan. Mereka ikut menikmati hidangan pisang goreng dan ketan di lapau itu. Tetapi berbeda dengan kebanyakan orang di lapau, roman wajah mereka menunjukkan kalau mereka adalah orang asing. Mereka tidak berbicara dengan bahasa Minang, tetapi bahasa Indonesia dengan logat Jakarta. Bukan logat Pekanbaru sebagaimana selama ini sering didengar orang-orang Halaban.
"Dino Tjakra dan Ilham Tegas."
Demikian dua orang anak muda itu mengenalkan namanya pada banyak orang. Mereka mengaku sebagai peneliti sejarah dari Jakarta. Baru tadi malam sampai di Halaban setelah menempuh perjalanan dari Jakarta ke Padang naik pesawat. Dilanjutkan naik bis "Bahagia" dari Padang menuju Halaban, tiga jam lamanya. Pe-milik Lapau menyediakan tempat tinggal untuk me-reka, tanpa dipungut bayaran. Sebab jarang sekali orang dari Jakarta yang berkunjung ke negeri kecil ini, ke-cuali penduduk lokal yang merantau di sana. Itu pun tidak banyak.
"Ada keperluan apa adik-adik di negeri kami ini"" salah seorang penduduk lokal bertanya.
"Menemukan tali yang terputus," demikian jawab-an dari Ilham Tegas.
Orang-orang kampung itu tidak perlu meminta penjelasan lagi. Mereka sudah bisa menangkap apa yang dimaksud dengan kata-kata itu.
"Mencari jejak Pak Sjaf"" salah seorang menyela. Ilham tegas menganggukkan kepala. Ia senang mendapat sambutan bersahabat dari orang-orang ini.
"Tetapi bukankah itu semua percuma"" laki-laki berse-bo yang duduk di dekat jendela ikut berbicara.
"Maksud Bapak"" Dino Tjakra memandang penuh hormat.
"Setiap kali orang mencari jejak Pak Sjaf di sini. Sece pat itu pula mereka lupa. Dan negeri kami ini tetap saja, tidak ada artinya..."
Raut kecewa jelas terlihat dari wajah laki-laki itu. Tampaknya tidak sekali ini saja negeri kecil mereka dikunjungi oleh orang-orang semacam Ilham Tegas dan Dino Tjakra.
"Tidak, kali ini tidak! Kelak sejarah bumi ini tidak akan lagi melupakan negeri Bapak-Bapak. Kami pasti-kan itu," Ilham Tegas berbicara dengan berapi-api. Tetapi orang-orang tidak terlalu antusias dengan apa yang keluar dari mulutnya. Mereka sepertinya sudah terbiasa menerima keadaan negeri mereka seperti ini. Terpencil, terkucil, dan dilupakan orang.
Cerita seperti apa yang akan kalian tuliskan tentang negeri kami dan Pak Sjaf"" laki-laki bersebo kembali bertanya.
Ilham Tegas dan Dino Tjakra saling berpandangan sebelum menjawab pertanyaan itu. "Kami tidak hanya mengejar cerita tetapi juga apa yan
g ditinggalkan Pak Sjaf!" jelas Ilham Tegas.
"Pak Sjaf tidak meninggalkan apa-apa di negeri kami ini selain cerita," pemilik Lapau menyela.
"Dan juga kepedihan. Sebab negeri kami dilupa oleh sejarah," salah seorang lainnya menambahkan.
"Maaf Bapak-Bapak, apa kami bisa tahu di mana tem pat tinggal Pak Sjaf dulunya""
Orang-orang saling berpandangan mendengar pertanyaan itu. Lalu mereka tertawa kecil. Laki-laki ber-sebo mengarahkan telunjuknya ke arah utara jendela di mana terlihat hamparan sawah dan beberapa rumah.
"Di situ Pak Sjaf dulu tinggal bersama dengan beberapa orang tentara yang berjaga. Tetapi pondok itu sekarang sudah hancur. Di atas reruntuhannya sudah dibangun tempat orang menjemur dan meng-giling padi." "Apa kami bisa ke sana""
Kuri, anak muda berusia belasan tahun, akhirnya mengantarkan Dino Tjakra dan Iham Tegas ke tempat yang ditunjuk oleh laki-laki bersebo di lapau. Pagi ini belum tampak sama sekali aktivitas di tempat penggilingan padi. Tetapi jendela bangunan sudah terbuka. Sutan Pamuncak, pemilik tempat penggilingan padi, terlihat kurang terlalu senang dengan kedatangan dua orang anak muda.
"Tidak ada lagi yang tersisa di tanah ini," katanya singkat.
"Sejak kapan penggilingan ini dibangun, Pak"" tanya Dino Tjakra.
"Dua belas tahun yang lalu."
"Artinya, dua belas tahun yang lalu, pondok yang pernah dihuni Pak Sjaf masih berdiri di sini""
Sutan Pamuncak tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dahinya berkerinyit seperti berusaha untuk mengingat ingat perjalanan waktu dari tempat itu.
"Ah tidak," selanya. "Pondok itu sudah terlalu lama rubuh. Orang-orang menyebutnya pondok Kabinet. Sudah rubuh lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Setelah itu tanah ini dibiarkan kosong hingga aku membangun tempat penggilingan ini dua belas tahun silam."
Jawaban itu membuat raut muka Ilham Tegas dan Di no Tjakra berubah menjadi kecewa. Harapan mereka da tang jauh-jauh dari Jakarta seperti ditepis oleh jawaban Sutan Pamuncak. Tetapi mereka masih berusaha untuk
menautkan harapan dari keping-keping ketidakmungkinan. Sutan Pamuncak mengijinkan mereka un-tuk berkeliling di sekitar penggilingan. Dino Tjakra mengeluarkan satu alat kecil dari tas ranselnya. Keluar-masuk penggilingan, kemudian mereka berkeliling hingga halaman belakang tempat ampas padi dibuang. Tetapi keduanya tidak mendapatkan sinyal apa-apa dari alat elektronik pelacak logam itu.
"Sebenarnya apa yang kalian cari""
"Sebuah benda yang mungkin ditinggalkan Pak Sjaf." Di atas tanah yang masih basah, Dino Tjakra membuat sebuah gambar. Tiga garis ditautkan pada satu titik puncak. Dua garis sebagai alas mendatarnya, sementara satu garis lagi melintang diagonal.
Piramid dengan belahan diagonal pada bagian alasnya "Apa Bapak pernah melihat benda seperti ini"" timpal Ilham Tegas.
Sutan Pamuncak menggelengkan kepala. Gambaran benda itu terlihat aneh di matanya. Sama sekali tidak tersangkut dalam ingatannya.
"Pak Sjaf tidak pernah meninggalkan benda di tempat kami, hanya cerita!" jawab Sutan Pamuncak seperti umumnya penduduk Halaban setiap kali ada orang asing yang mendatangi kampung mereka.#
5 Waktu, detik, menit, dan bahkan hari, bukan lagi
sebuah perenungan bagi Riantono. Sore hari sebelum senja datang menerkam itu, ia telah duduk kembali memimpin rapat di Markas Detsus Antiteror. Beberapa saat sebelumnya, jenazah Lidya telah di-kuburkan. Tidak ada lagi isak, tidak ada lagi air mata.
Di samping kanannya duduk seorang laki-laki gaek, kurus, tinggi dengan rambut putih merata pada se-bagian besar rambutnya. Kaca matanya bundar besar seperti menutupi seluruh muka bagian atasnya. Laki-laki itu, Profesor Budi Sasmito, adalah seorang seja-rawan kondang. Seorang yang selama ini dianggap mampu menjadikan ilmu humaniora cukup populer di kalangan masyarakat awam. Teka-teki yang muncul setelah penggerebekan tempat yang disinyalir sebagai titik pertemuan orang-orang yang meng-atas-namakan diri mereka KePaRad, telah membawa Pro-fesor tua itu untuk hadir dalam rapat para perwira Detsus Antiteror. Di hadapannya belasan orang perwira me-nengah dan pertama duduk dengan rapi.
Piramid d engan belahan diagonal pada bagian alasnya
Dua garis menyilang seperti empat arah mata angin Tiga titik tulisan dari empat titik pada garis menyilang; amithaba, pada bagian kiri dari petunjuk atas. Ratnasambhawa, pada bagian bawah dari bagian atas mata angin Akso, pada bagian tengah dua garis menyilang.
"Apakah arti dari semua itu""
Profesor Budi Sasmito membuka pembicaraan dengan satu pertanyaan. Tetapi tidak ada yang bisa buka mulut, tidak juga Melvin yang menemukan teka-teki itu.
"Teka-teki ini tidak punya arti sama sekali," Pro-fesor Budi Sasmito menjawab pertanyaannya sendiri.
"Hah"" pandang Riantono aneh pada Profesor Budi Sasmito.


Negara Kelima Karya Es Ito di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba tawa Profesor Budi Sasmito meledak dalam keheningan itu, "Tentu saja tidak ada artinya kalau kita tidak mengerti..." Ia kemudian tertawa lagi tanpa peduli dengan keheranan belasan orang di dalam ruangan itu. Sementara Riantono sedikit menyung-gingkan senyum untuk memberi kesan bahwa ia sedikit mengerti dengan lelucon yang dilemparkan oleh Pro-fesor Budi Sasmito. Tetapi kesan sinis menanggapi lelucon Profesor segera hilang ketika ia mulai memaparkan satu persatu teorinya mengenai tanda-tanda itu. Tanda atau ikon itu, menurut Profesor Budi Sasmito, erat kaitannya dengan kepercayaan dan keyakinan akan masa silam.
Daya magis dari tanda-tanda itu lebih tergambarkan pada spirit yang dimunculkan pada tiap jiwa yang memercayainya. Itu sebabnya pada masa silam begitu banyak ikon atau tanda-tanda yang digunakan sebagai sugesti atau pembenaran beragam tindakan.
"Tolong jelaskan arti piramid itu, Prof"" Riantono
memotong di sela-sela pengantar materi yang begitu panjang. Sesuatu hal yang amat tidak disukai Profesor Budi Sasmito. Tetapi karena posisinya sebagai tamu akademik di lingkungan kepolisian, ia tidak punya pilihan lain.
"Piramid adalah lambang dari kekuasaan. Semakin ting gi semakin mengecil, tetapi daya cakup dan daya kuasa lihatnya semakin luas. Itulah kekuasaan. Semakin tinggi semakin sulit untuk digapai, lebih banyak orang yang tergelincir dibanding orang yang mampu meng-gapainya. Itulah kekuasaan. Piramid tidak hanya dite-mukan di Mesir tetapi juga di Semenanjung Yucatan di daerah Amerika Tengah tempat yang pernah dihuni oleh suku Maya ..."
"Maaf Prof, apa itu ada hubungan satu sama lain"" da ri ujung kanan, seorang perwira muda dengan ram-but tipis berjambul tampak tertarik dengan pen-jelas-annya.
Profesor Budi Sasmito tersenyum. Ia merasa se-perti tengah menghadapi mahasiswa yang sedang haus akan ilmu.
"Kalau dugaan para ahli benar bahwa piramid tidak sekadar perlambang dari kekuasaan tetapi juga perlambang dari titik asal manusia, maka keduanya berhubungan. Sebab kedua bangunan itu dibangun untuk mengenang titik asal yang sama..."
Melihat para perwira yang ada di dalam ruangan tam pak menganguk-angguk mendengar penjelasannya, Profesor Budi Sasmito tersenyum senang. Tetapi Melvin tampak kurang puas dengan jawaban dari Profesor Budi Sasmito.
"Tetapi apa hubungannya dengan tato aneh yang ter dapat di pergelangan tangan seorang tersangka dan juga pada bagian atas perut korban, Prof""
"Saya belum punya jawaban yang pasti. Tetapi kuat dugaan saya, itu tidak lebih dari ikon untuk sugesti penyatu kelompok. Semacam kepercayaan bersama sebagai pengikat persaudaraan dan kesetiaan kelompok..."
"Jadi, belum ada jawaban""
"Saya sudah jawab, Anda bagaimana sih"" suara Profesor Budi Sasmito meninggi. Tetapi buru-buru ia menyadari yang ia hadapi sekarang bukan para maha-siswa di dalam kelas. "Jawaban lengkapnya akan kita temukan bersama-sama. Ah, bukankah Kapolda sudah meminta saya untuk mendampingi Anda semua dalam memecahkan kasus ini."
Untuk meng-hindari kecacatan penjelasan, Profesor Budi Sasmito langsung mengalihkan topik pembicaraan pada masalah garis menyilang seperti mata angin. Pada papan putih yang disediakan khusus dalam ruang rapat, ia menggoreskan garis-garis sebagai dasar dari sebuah gambar. Pada tiap garis dari empat penjuru ia membuat garis melengkung kanan-kiri sehingga garis-garis itu tampak seperti kelopak membuka. Pada tiap sisi antara ia buat kelopak bayangan. Sehingga
di atas papan putih itu tergambar kelopak dengan delapan mahkota yang mengembang dengan bagian inti sebuah titik dari persimpangan garis awal. Pada sisi sebelah kiri gambar, ia menggoreskan lagi dua garis bersilangan dengan ujung mata panah pada arah atas. Nyata terlihat garis silang pembanding itu adalah sebuah mata angin de-ngan titik utara pada arah panah paling atas, lengkap digambar dengan tiga arah lainnya.
Profesor Budi Sasmito kembali pada gambar per-tama lalu memberi nama pada tiap ujung arah mata angin yang lebih mirip terlihat seperti kelopak mem-buka. Nama-nama
itu ia pararelkan dengan arah mata angin yang digambarkan pada samping kiri.
Amoghasiddhi pada bagian atas identik dengan arah utara.
Ratnasambhawa pada bagian bawah identik dengan arah selatan.
wairocana pada bagian kanan dari atas identik dengan arah barat.
Amitabha pada bagian kiri dari atas identik
dengan arah barat. Aksobhya pada bagian tengah.
Semua mata memandang dengan penuh perhatian ke arah papan putih. Profesor Budi Sasmito men-dehem tiga kali. Ia begitu puas melihat ketakjuban orang-orang pada hal-hal aneh yang selalu menjadi paparannya.
"Itu adalah bagian lengkap dari tiga tulisan yang ter dapat pada gambar garis silang seperti mata angin yang ditemukan di rumah biru itu," lanjut Profesor Budi Sasmito.
"Bagaimana Profesor yakin"" Melvin menatap he-ran sebab masalah ini seolah begitu mudah bagi Profesor Budi Sasmito.
Profesor Budi Sasmito tertawa senang. Ia tengah berada dalam puncak gairah keilmuannya melihat banyak orang takjub pada pemaparannya.
"Keempat istilah itu disebut dengan tataghata. Semacam rangkaian warna yang melekat pada arah mata angin. Tataghata itu terlukis pada lempeng emas dengan ukiran sekuntum teratai pada bagian atasnya dengan delapan mahkota emas. Tiap daun mahkota melambangkan arah mata angin yang dilekatkan dengan rangkaian warna."
"Di mana lempeng emas itu bisa ditemukan""
"Di Museum Nasional, benda temuan arkeologis itu di beri nomer seri 785b."
"Apa perlu kita pinjam sebagai materi bukti""
"Ah jangan! tidak perlu," Profesor Budi Sasmito buru-buru memotong keinginan Melvin. "Yang ter-penting sekarang adalah kita harus menemukan tujuan dari penulisan arah mata angin dengan lambang tata-ghata. Itu yang paling penting!"
Penjelasan Profesor Budi Sasmito berakhir. Selain penjelasan tersebut ia belum berani mengambil kesimpulan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan aksi KePaRad. Penjelasan itu dirasakan oleh Riantono belum begitu memuaskan. Selain bentuk pamer keilmuan Profesor Budi Sasmito, tidak ada hal lebih penting yang bisa dijadikan acuan penyidikan.
"Bagaimana mungkin kelompok radikal itu mengawinkan masa lalu dan masa sekarang"" dari arah ujung paling belakang, seorang perwira berpangkat inspektur satu, angkat bicara. Beberapa orang terlihat mengulum senyum ketika menatap perwira muda itu.
"Maksud Anda""
"Begini Prof, taruhlah kita kesampingkan dulu kemung kinan tindak pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok itu terhadap Lidya..."
"Lalu"" Profesor Budi Sasmito menyahut tidak sabar.
"Selama ini kelompok itu melakukan aksi mereka dengan menggunakan teknologi masa kini, internet misalnya. Sementara pada sisi lain dari temuan bukti yang tadi Anda jelaskan, terlihat mereka juga terikat pada masa lalu. Bukan begitu""
Profesor Budi Sasmito diam, seperti tengah berusaha
mencerna substansi dari pernyataan yang berujung pada pertanyaan.
"Maaf, saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan!"
Kontan saja semua yang hadir di dalam ruangan itu tidak bisa lagi menahan tawa mendengar jawaban pendek dari Profesor Budi Sasmito. Perwira di ujung belakang yang baru saja mengajukan pertanyaan itu, Inspektur Satu Timur Mangkuto, diam menahan kesal. Ini bukan kali pertama ia diremehkan.
Dari awal bergabung dengan Detsus Antiteror ia sudah merasa tidak nyaman. Sebuah insiden perla-wanan hirarki terhadap sang komandan telah membuat dirinya ditendang dan masuk kotak, dijadikan perwira pada bagian data dan informasi. Tugasnya tidak lebih seperti pegawai sipil biasa. Datang ke kantor pagi hari, mengumpulkan berita, mencari hal-h
al tertentu di internet kemudian membukukannya sebagai data. Tidak lebih dari itu dan harus ia jalani setiap hari. Walaupun dibekali dengan dua bintara dan dua orang sipil ho-norer sebagai staf, ia bukan siapa-siapa di detasemen. Wajar jika di kalangan perwira, ia tidak lebih dari bahan lelucon. Seorang perwira muda yang dulunya paling diproyeksikan bersinar telah berubah menjadi pelengkap belaka dari mereka yang mungkin akan bersinar.
"Sudah! Sudah!" Riantono mengetuk meja bebe-rapa kali untuk menghentikan tawa anak buahnya. "Ada lagi yang mau bertanya""
Tidak ada lagi yang mengacungkan tangan. Pro-fesor Budi Sasmito pun sepertinya tidak lagi memiliki bahan untuk disampaikan. Riantono sadar ia tidak bisa memaksa Profesor gaek itu untuk terus berbicara. Mungkin bahan
yang ia berikan belum terlalu cukup untuk melakukan identifikasi kelompok yang telah dituduh menjadi tersangka pembunuh puterinya.
Akan tetapi sore itu, satu hal telah ia pastikan, Detsus Antiteror memulai perburuan terhadap pelaku kekacauan internet. Kelompok yang telah berani secara terbuka menuntut pembubaran negara kesatuan ini. Kelompok yang telah salah langkah dengan mengambil jalan konfrontatif dengan kesatuan yang ia pimpin lewat pembunuhan puterinya. Riantono menarik nafas. Sore ini, ia merasakan energi baru merasuk dalam hidupnya. Apalagi setelah sekilas melihat tayang-an berita di televisi. Untuk kali pertama ia akan me-nangani kasus terorisme domestik, dan bukan lagi terkait dengan isu global yang digemakan Amerika.
6 Seorang gadis muda bernama Maureen ditemukan tewas di dalam kamarnya. Satu tusukan benda tajam tepat di ulu hatinya telah mengakhiri nyawa gadis itu...
Pesan singkat dari Kombes Atmakusumah menghentikan adukan Rudi pada cangkir kopi di kediamannya, asrama perwira polisi Slipi. Ia langsung menghubungi markas, mencari tahu lebih jauh tentang pembunuhan itu. Perasaannya berdesir ketika mendapatkan informasi tentang si gadis. Ia mulai khawatir pembunuhan ini tidak lebih dari sebuah skenario pembunuhan berantai. Sebab gadis yang baru saja terbunuh adalah teman satu sekolah Lidya, korban tewas dini hari kemarin. Tetapi Rudi belum berani menyimpulkan sejauh itu. Sudah dari kemarin sore ia sebenarnya menunggu reaksi KePaRad terhadap tuduhan tersangka pembunuhan yang dialamatkan pada mereka. Tapi yang ia dapatkan malah satu kasus pembunuhan baru.
Ia bergegas ganti pakaian. Kemudian melaju me-nuju kawasan Pondok Indah, rumah tempat gadis itu terbunuh. Ia datang agak terlambat. Bersamaan dengan kebe-rangkatan ambulan membawa jenazah korban dari rumah.
Beberapa orang petugas polisi masih sibuk mencatat berkait dengan matinya si gadis. Sementara Nyonya Amanda, ibu gadis yang mati, tampak terkulai lemah bersandar pada dinding ruang tengah rumah. Beberapa orang tetangga dan keluarga dekat berusaha menguatkan wanita berumur empat puluhan ini. Ketika Rudi berusaha untuk mendapatkan kete-rangan dari dirinya, Nyonya Amanda tampak kurang senang. Sikap antipati dan ketidakpercayaan pada polisi lokal jelas tergambar dari tatapannya.
Rudi berbicara dengan beberapa orang petugas yang masih melakukan penyelidikan TKP. Tidak ada keterangan berarti yang ia dapatkan. Ia mengalihkan pandangan pada pembantu dan sopir pribadi rumahnya. Walaupun masih terlihat shock, keduanya bersedia men-ceritakan apa yang mereka lihat dan saksikan.
"Biasanya Maureen bangun jam lima. Tetapi pagi tadi, ia tidak keluar dari kamar. Bahkan setelah diketuk beberapa kali, tetap tidak terdengar jawaban. Pintu kamar terkunci dari dalam," pembantu rumah memulai ceritanya.
"Lalu"" sela Rudi.
"Saya mendobrak pintu kamar Maureen," sopir pribadi menambahkan. "Sebelumnya, dari halaman depan rumah, saya melihat jendela kamar Lidya seperti bekas dicongkel. Kamar itu posisinya menyamping terhadap bagian depan halaman rumah."
"Mayat Non Maureen tersandar di pinggir ranjang. Ia sepertinya tengah berusaha menggapai pintu. Tetapi luka tusukan menganga pada bagian atas perutnya telah menghentikan usahanya. Lantai, seprei, dan pakaian tidur penuh dengan darah," kata pembantu rumah sambil me nutup wa
jahnya. Ia menangis terisak. Ke-matian anak
majikannya mungkin pengalaman ter-buruk dalam hidupnya.
"Apa dosanya Maureen, apa salahnya" Apa dosa keluarga kami hingga anak kami harus dijemput dengan cara seperti itu..." rintih Nyonya Amanda. Tatapan nanarnya mengarah pada Rudi. Tetapi Rudi men-coba untuk tidak bereaksi berlebihan. Ia biarkan wanita itu terus menceracau dengan menyebut dan menyesali semua hal. Setelah agak reda, Rudi mendekatinya dengan hati-hati.
"Anak Ibu tidak berdosa. Kalau pun ada dosa, tidak pantas dihukum dengan cara seperti itu. Ini hanyalah janji Sang Khalik dalam bentuk lain," Rudi berusaha untuk terlihat bijak.
Rudi mulai mengerti sekarang. Nyonya Amanda telah kehabisan pilihan. Ia dekati wanita itu. Ter-lihat jelas wanita itu ingin menguasai diri. Tidak mau tenggelam dalam kesedihan yang menghanyutkan.
"Apa kita bisa bicara berdua saja, Bu"" Rudi berbicara setengah berbisik.
Walaupun terlihat masih ragu, Nyonya Amanda menganggukkan kepala. Mereka masuk ke bagian da-lam rumah. Sejak penemuan mayat Lidya beberapa jam lalu, mungkin baru saat ini Nyonya Amanda berbicara serius dengan polisi. Ia menghenyakkan tu-buh-nya pada sofa empuk yang diletakkan menyudut pada pertemuan dua sisi rumah.
"Bisa ceritakan kepada saya tentang Maureen"" "Tentu!"
Tidak ada suatu hal yang luar biasa tentang puterinya. Sebagaimana remaja puteri pada umumnya, Maureen cukup manja. Kebiasaannya juga tidak ada yang aneh-aneh. Sesekali main ke mail, menginap di rumah
temannya, dan sebagian besar lagi waktunya dihabiskan di rumah.
"Apa ada keganjilan yang Ibu lihat beberapa hari belakangan dari Maureen""
Nyonya Amanda terdiam. Ia menghindari tatapan ma ta Rudi dengan mengalihkan matanya pada nama yang tertera pada dada kiri seragam Rudi. Ia meng-geleng pelan. Tetapi dari tatapan matanya, Rudi bisa menangkap kesan ada suatu hal yang disembunyikan perempuan ini.
"Ibu yakin"" desak Rudi
Pandangan mata Rudi seperti menembus isi hati Nyonya Amanda. Beberapa kali perempuan itu me-narik nafas panjang. Ia menutup muka dengan kedua tangannya.
"Sejak kemarin Maureen terlihat agak gelisah," bibir Nyonya Amanda bergetar. "Ia seperti ingin meng-ungkapkan sesuatu tetapi tampak ragu-ragu. Saya mem-biarkan saja, menunggu saat yang tepat untuk bertanya kepadanya. Tetapi..."
Perempuan setengah baya itu kembali terisak. Rudi berusaha untuk sabar menghadapinya.
"Bagaimana dengan suami Ibu""
"Saya orang tua tunggal dengan Maureen anak satu satunya. Suami saya sudah meninggal dua tahun yang lalu."
"Maaf." Rudi mencoba untuk bersimpati dan mengalihkan topik pembicaraan.
"Bagaimana dengan teman dekat atau mungkin teman spesial Maureen"" Rudi mengalihkan topik pembicaraan
"Apa Maureen punya..."
"Oh..." dahi wanita itu berkerut. "Ada. Cuma mereka sudah putus dua minggu yang lalu."
"Pacar"" "Iya, saya tidak tahu persis kenapa mereka putus. Mantan pacarnya itu sudah kuliah..."
"Bagaimana dengan teman dekat, apa Maureen di sekolah punya teman dekat atau setidaknya yang sering ia bawa ke rumah""
Kali ini Nyonya Amanda terlihat agak ragu. Ia meng-git-gigit bibirnya. Ia merasa Rudi tengah meng-giringnya menuju satu pertanyaan yang sebenarnya sudah dipersiapkan oleh polisi muda itu.
"Bagaimana, Bu"" Rudi mengulangi pertanyaan. "Apa maksudnya teman dekat"" Nyonya Amanda sepertinya tidak ingin menjawab pertanyaan itu.
"Ibu tentu lebih mengerti daripada saya. Apa Maureen punya lingkaran sahabat dekat""
Ketegangan tidak bisa disembunyikan dari raut wajah Nyonya Amanda. Dalam sekejap sikap ter-bukanya seperti berubah menjadi sikap defensif buta.
"Saya tidak tahu..."
"Sama sekali tidak tahu"" desak Rudi.
"Iya. Saya tidak tahu!" setengah membentak Nyonya Amanda berteriak.
Rudi sadar, ia tidak mungkin terus menerus mendesak wanita itu untuk berbicara. Ia merasa perlu untuk sedikit mengendurkan permainan ini.
"Baik Bu, untuk saat ini mungkin cukup itu saja..."
"Tidak ada lagi yang Anda butuhkan""
"Tidak. Kecuali Maureen memiliki teman dekat. Dan pe ngetahuan saya mengenai teman dekatnya bisa menyelamatkan nyawa yang lainnya."
Pancingan itu berhasil. Nyonya Amanda men
ahan tangannya yang hendak bergerak pergi. Rudi tahu spekulasi
dan dugaannya bisa jadi benar. Ia mencoba mendahului pernyataan Nyonya Amanda.
"Apa ada kemungkinan Lidya salah satu teman dekat Maureen""
Nyonya Amanda mengangguk pelan. Ia sepertinya pas rah pada kesimpulan itu. Dugaan Rudi tidak mele-set. Kedua gadis muda itu tidak hanya sekolah pada tempat yang sama tetapi juga teman dekat.
"Saya takut...saya takut..."
"Tenang, Bu. Kita baru saja membuka jalan untuk me menangkan pertempuran ini," ia coba menghibur dengan menggenggam telapak tangan Nyonya Amanda.
"Tetapi apa mungkin, keduanya dibunuh oleh..."
"Orang yang sama"" Rudi mengarahkan.
"Iya." "Apa Ibu melihat kemungkinan itu"" Nyonya Amanda menggeleng tidak tahu. "Tetapi Mau reen punya dua orang teman lagi selain Lidya, mungkin mereka bisa..."
Telinga Rudi lang-sung berdiri mendengar infor-masi itu, "Siapa mereka" Apa satu sekolah""
"Ovi dan Alish. Mereka satu sekolah dan satu kelas dengan Maureen dan Lidya. Mereka berempat sangat dekat."
"Apakah ada hal lain"" Rudi memastikan. Dari balik saku bawah jaket wolnya Nyonya Amanda mengeluarkan sesuatu. Satu sobekan kain hitam, panjangnya tidak lebih dari lima belas senti-meter. Pada salah satu bagian pinggir kain terlihat garis lurus putih terputus warna mengilat.
"Saya menemukannya tersangkut pada kait jendela ka mar Maureen. Mungkin bisa membantu," Nyonya Amanda
menyerahkan sobekan kain itu kepada Rudi. "Ah, satu lagi, pembunuh itu tidak mengambil benda apa pun dari dalam kamar anak saya kecuali sebuah labtop."
Percakapan pada menit-menit terakhir ini menjadi be gitu berharga bagi Rudi. Kasus ini seharusnya milik bagian Reskrim umum. Dengan menyelidiki kasus ini, ia yakin bisa menemukan pembunuh Lidya. Sangat mungkin kedua kasus ini bukan sekadar suatu kebe-tulan dan tidak ada hubungan satu sama lainnya.
Pikiran Rudi sekarang tertuju pada nama-nama lain teman dekat Lidya. Ia langsung meninggalkan rumah itu. Memacu mobilnya menuju SMU di daerah Pondok Labu.#
7 "Bagaimana""
Riantono berdiri di ujung lorong gedung Detsus Antiteror di Mapolda. Kedua tangannya menyilang di dada. Sepanjang pagi ia menunggu kabar dari Melvin. Anak buahnya akhirnya muncul juga. Raut wajah-nya tampak menahan lelah. Butiran keringat ber-cucuran dari balik topi pet yang ia kenakan.
"Positif, Dan."
"Positif, apa maksudmu""
"Gadis yang terbunuh itu tampaknya memang teman dekat puteri Anda." "Siapa namanya"" "Maureen."
"Bagaimana kau yakin kalau ia berteman dekat dengan Lidya""
Melvin menunjukkan sebuah foto pada Riantono. Empat orang gadis tampak berpose pada foto itu. Dua di antaranya sebagaimana yang ditunjukkan oleh Melvin, Lidya dan Maureen. Ia mendapatkan foto itu dari rumah Maureen. Ia ambil ketika bersama dengan petugas lainnya memeriksa kamar tempat pembunuhan terjadi.
Riantono berusaha mengingat-ingat nama dan sosok Maureen. Gadis itu pernah beberapa kali diajak oleh Lidya
bertamu ke rumahnya. Sekadar bermain, ter-kadang juga belajar kelompok. Selepas subuh ia men-dapatkan cerita dari salah seorang perwira dari bagian Reskrim tentang pembunuhan itu. Riantono merasa perlu untuk melakukan pengecekan langsung terhadap kasus ini. Ia mengutus Melvin untuk mengadakan penyidikan langsung pagi-pagi sekali ke rumah Maureen.
"Bagaimana meninggalnya""
"Ditusuk pada ulu hati."
"Ada gambar piramid dengan belahan diagonal juga""
Melvin menggeleng. Ia membakar satu batang kretek. Mereka berdua kemudian masuk ke dalam ruang kerja Riantono.
"Apa yang kau pelajari dari kasus ini"" Riantono ikut membakar kretek.
"Mungkin terkait kematian Lidya. Namun mung-kin juga kasus yang terpisah."
"Aku berharap kasus ini tidak terkait."
"Kenapa"" Riantono menarik nafas. "Kalau kasus ini terkait akan mengganggu konsentrasi kita memburu KePaRad."
Melvin tersenyum. Ia mengerti pikiran koman-dannya. Keterkaitan kedua kasus ini akan memperluas cakupan penyidikan dan itu tentu saja membutuhkan tenaga ekstra. Tetapi yang lebih mereka takutkan, tentunya, seandainya pengembangan dua kasus ini justru mengarah pada konsentrasi pencarian TKP sebe-narnya dari kasus pembunuhan
Lidya. Suatu hal yang mereka hindari.
"Tetapi Dan, sulit untuk mengelak dari kenyataan bah wa Maureen adalah teman dekat Lidya," ujar Melvin.
"Betul, aku juga tengah memikirkan kemungkinan itu. Menurutmu apa kemungkinan terburuk dari kasus ini""
"Maureen mungkin menjadi saksi kunci kematian Lidya. Itu sebabnya KePaRad ikut membunuhnya. Ia mungkin mengenali pembunuh. Tetapi Dan...."
"Kenapa"" "Ada masalah dengan asumsi itu. Pada saat kematian Lidya, Maureen berada di dalam kamar sebagaimana keterangan ibunya."
"Sial! Aku mau dua kasus ini terpisah. Jangan hubung kan kematian anakku dengan kematian gadis itu!"
Kalimat itu seperti harga mati yang sudah tidak bisa ditawar lagi. Yang bisa ia lakukan hanyalah meme-nuhi tuntutan komandannya. Tetapi ia masih coba menawar.
"Bagaimana kalau ada bukti yang bisa didapatkan dari kematian Maureen dan mungkin terkait dengan Lidya, Dan""
"Abaikan itu, tolol" ujar Riantono. "Kau harusnya mengerti. Kalau kita libatkan Maureen dalam kasus ini, maka kita terpaksa harus menggunakan TKP se-bagai salah satu penentu penyidikan. Sementara kita kan sudah memanipulasinya. Aku tidak ingin gadis itu terkait. Aku tidak ingin ada yang tahu TKP sebe-narnya dari kematian puteriku. Mengerti""
Melvin mengangguk. Tidak melibatkan kematian Maureen sebagai salah satu determinan penyidikan berarti mereka akan tetap bersandar pada satu alat bukti. Goresan darah piramid dengan belahan diagonal pada bagian alas. Keputusan ini juga memaksa Melvin untuk kembali ke rumah Nyonya Amanda. Meminta Nyonya itu untuk tidak mengungkapkan hubungan antara Lidya dan Maureen.
"Apa lagi yang kau temukan"" lanjut Riantono "Perwira muda dari Reskrim itu juga datang ke rumah
Maureen." "Iptu Rudi yang kau ceritakan itu"" "Ya."
"Mau apa dia" "Terobsesi untuk menangani kasus Lidya. Polisi muda yang belum mengerti dunia penyidikan."
"Biarkan saja dulu. Tetapi pastikan gerak-geriknya tidak mengarah pada penyidikan TKP. Kalau perlu minta Komandan Reskrim menarik dia."
Sebuah telepon masuk. Pembicaraan mereka terhenti. Riantono mengangguk-anggukkan kepala selama beberapa saat. Setelah menutup telepon, ia berseru,
"Dua orang tahanan itu sudah siap diinterogasi sekarang! Kita korek dan habisi mereka!"#
8 Tandu putih sederhana diangkat oleh empat orang
petugas polisi dari arah belakang sekolah. Satu sosok tubuh perempuan dengan seragam SMU, terkulai di atas tandu. Puluhan siswa lainnya bergerombol mengikuti arah tandu. Sebagian menangis dan berpelukan. Raut ketakutan bercampur rasa ngeri jelas tergambar dari wajah mereka. Tubuh yang tengah diangkat itu tidak lagi bernyawa. Mukanya pucat dengan lidah agak tertahan menjulur keluar. Sementara pada bagian lehernya tampak biru lebam bercampur merah darah. Seperti bekas jeratan kawat.
Rudi terlambat. Ia mendapati Ovi, salah satu teman Lidya, sudah tidak bernyawa. Mayat gadis itu ditemukan di WC sekolah. Selain bekas jeratan kawat, tidak tampak tanda-tanda penganiayaan lain. WC seko-lah itu terletak agak menyepi dari bangunan lainnya. Dari keramaian kelas dan kantin, lorong panjang harus dilewati sebelum sampai pada bangunan itu. Beberapa petugas polisi dari Polsek setempat, beberapa saat sebelumnya telah datang.
Mayat gadis sudah akan dinaikkan ke atas am-bulan. Rudi memerhatikan sekali lagi. Jari telunjuk, tengah, dan manis kiri si gadis terlihat sobek. Ia menduga pada saat dijerat dengan kawat gadis itu berusaha melepaskan diri,
tetapi gagal. Rudi meninju-ninju tembok sekolah. Kecepatan interval pembunuhan ini sama sekali berada di luar dugaannya. Kalau bukan karena sebuah ketakutan yang sangat besar, tentu interval pembunuhan tidak akan sedekat ini. Ia berjalan menuju kerumunan guru di depan kantor Kepala Sekolah.
"Siapa yang terakhir kali melihat gadis"" Rudi menanyai kerumunan guru.
"Saya, Pak," seru salah seorang guru. "Saya tengah mengajar biologi di kelas Ovi. Ia minta ijin ke bela-kang dengan membawa labtop keluar kelas."
"Menenteng labtop"" dahi Rudi berkerinyit. Ia ingat benda yang sama dicuri dari kamar Maureen.
"Saya juga lihat, bahkan sempat memerhatikannya berjalan sampai ujung l
orong dekat WC," wanita paruh baya yang mengaku petugas kantin ikut berbicara.
"Ada yang melihat pelaku"" Semua orang yang berkerumun di dekat Rudi menggelengkan kepala. Ketidaktahuan ini juga yang membuat mereka bergidik ngeri. Mereka juga tahu itu adalah pembunuhan ketiga yang menimpa siswa sekolah mereka dalam tempo dua hari terakhir. Bahkan siang ini rencananya teman sekelas Ovi akan datang melayat ke rumah Maureen.
"Kalau nggak salah saya melihatnya sekilas," wanita penjaga kantin kembali bersuara.
Pengakuannya itu tentu saja membuat suasana menjadi
riuh rendah. Tiap orang berusaha untuk mem----berikan
gambaran tentang pelaku pembunuhan.
"Tetapi saya melihatnya dari arah belakang. Ia keluar dari WC wanita," lanjut wanita penjaga kantin.
"Bagaimana gambarannya"" Rudi bertanya sambil memberi isyarat pada yang lainnya untuk tenang. Wanita itu mencoba mereka-reka tampilan orang yang ia lihat sekilas.
"Pakaiannya hitam gelap, tubuhnya cukup tinggi. Saya tidak tahu pasti tetapi pada kerah baju yang melekat pada tengkuknya seperti ada kilatan warna putih menyerupai titik-titik kecil."
"Kenapa sosok mencolok itu tidak menjadi per-hatian di lingkungan sekolah ini"" Rudi memotong penuh keheranan. Pandangannya diarahkan pada para guru.
"Tembok belakang sekolah, beberapa hari yang lalu jebol. Jaraknya tidak lebih lima meter dari WC wanita. Rupanya pembunuh itu memanfaatkan celah dari tem-bok yang jebol untuk keluar masuk lingkungan seko-lah," salah seorang guru laki-laki menjawab keheranan Rudi. "Lagi pula tanah di seberang tembok ditumbuhi semak yang cukup tinggi oleh sebab tanahnya masih dalam status sengketa."
Rudi memerhatikan lagi kondisi di sekitar seko-lah. Tiba-tiba pikirannya tertuju pada satu nama.
"Oh ya Alish," ia menepuk keningnya. "Apa saya bisa bertemu dengan salah seorang siswa bernama, Alish""
Guru biologi itu saling berpandangan dengan guru lainnya. Anggukan dari guru lain membuat ia angkat bicara.
"Sejak kemarin Alish tidak masuk!
Jantung Rudi kembali berdesir kencang. Ia mulai waswas, jangan-jangan gadis itu juga sudah tidak bernyawa lagi. Tanpa menunggu waktu lagi, usai mendapatkan alamat rumah gadis itu, ia kembali memacu mobilnya. Kasus ini semakin menakutkan. Tetapi layaknya perjudian,
semakin tinggi resiko yang dihadapi semakin besar kemungkinan kasus ini terkuak dengan cepat. Tinggal masalah siapa yang paling cepat dan paling tanggap. Untuk sementara ia kalah telak 2-0 dari pembunuh berantai itu.
Sesampainya di rumah Alish
Rudi hanya menemukan kekosongan. Rumah yang dikatakan sebagai alamat si gadis, daerah Kebayoran Baru, hanya ditinggali oleh dua orang pembantu dan satu orang sopir pribadi. Kecuali Alish, semua anggota keluarganya tinggal di salah satu negara di Eropa Barat. Bapaknya menjadi diplomat di sana. Sementara si gadis sejak kemarin tidak pulang ke rumah. Dua orang pembantu dan satu orang sopir pribadi di rumah itu tidak berani memastikan di mana gadis itu sekarang berada. Rudi mulai menemukan simpul dari kasus ini walaupun belum bisa menangkap motif pembunuhan demi pembunuhan tersebut.
Ia hanya bisa mendoakan keselamatan gadis itu. Sebab ia mungkin satu-satunya saksi kunci yang bisa membongkar kasus ini.#
9 Selain cerita, tidak ada lagi yang bisa ditemukan Dino
Tjakra dan Ilham Tegas di Halaban. Pondok tempat kabinet darurat RI pernah di-bangun telah roboh lebih dari tiga puluh tahun silam. Tidak satu pun puing bangunan yang tersisa. Bahkan setelah mereka memperluas cakupan pencarian, benda yang mereka cari tetap tidak ditemukan.
Dari Halaban mereka melanjutkan perjalanan ke Koto Tinggi, negeri yang terletak tidak jauh juga dari Paya kumbuh. Sebenarnya tempat itu tidak masuk dalam prioritas pencarian. Hanya saja karena sudah terlanjur berada di Halaban, mereka tidak mau melewatkan tempat kesempatan itu. Namun pencarian mereka tetap saja tidak ada hasilnya.
"Tidak ada pilihan lain. Kita harus segera berangkat menuju Bidar Alam," Ilham Tegas menyimpulkan pencarian mereka.
Pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat dari ru-mah lapau tempat mereka menumpang di Halaban. Masuk kota Payakumbuh, mer
eka mencari penyewaan mobil. Tetapi di kota kecil yang hanya ramai pada waktu lebaran itu, sulit untuk menemukan penyewaan mobil. Sebuah mobil bak terbuka L-300 akhirnya mereka dapatkan. Sopirnya
bersedia mengantarkan ke Bidar Alam. Mobil yang biasanya membawa kelapa dari Payakumbuh ke Bukittinggi tersebut sedang ko-song. Walaupun sedikit mahal, mereka tidak punya banyak pilihan.
Perjalanan menuju Bidar Alam seperti melintasi Suma-tera Barat secara diagonal dari titik timur laut menuju barat daya. Melewati daerah Minangkabau Pedalaman, Pagarruyung. Bergerak terus ke arah Selatan melewati Minangkabau Tengah hingga muncul di daerah Muaro Sijunjuang melintasi jalan lintas tengah Sumatera. Jalanan besar itu tidak lama mereka lalui. Masuk jalan kecil menyimpang ke arah selatan dari lintas tengah. Perjalanan lebih dari empat jam tidak terasa berlalu begitu saja.
Darmasraya, demikian nama kabupaten yang baru terbentuk beberapa tahun lampau. Dulunya bagian dari kabupaten Sawahlunto/Sijunjuang. Papan nama pada beberapa kantor pemerintahan sederhana menarik per-hatian Ilham Tegas. Ada keinginan besar untuk mena-paki daerah Darmasraya. Sayang sekali, saat ini ia tengah diburu waktu. Dari jalanan aspal kasar mereka mulai masuk jalanan tanah bercampur dengan batu-batu kecil. Sesekali mobil masuk lubang jalan yang hanya ditimbuni dengan pasir putih seadanya.
Tepat ketika matahari berada di tengah-tengah batas pemandangan, mereka sampai di Bidar Alam. Negeri itu tidak seperti yang dipikirkan oleh Ilham Tegas dan Dino Tjakra. Tidak ada bekas-bekas yang menunjukkan bahwa ada sejarah yang pernah terbentuk di negeri ini. Penduduknya jarang. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya cukup jauh. Sebagian besar masyarakatnya hidup dari bertani. Bidar Alam seperti daerah terisolir di
pedalaman selatan Sumatera Barat yang mungkin tidak pernah dikunjungi orang asing selain penduduk lokalnya.
"Negeri yang dikalahkan oleh manipulasi sejarah!" Ilham Tegas bergumam ketika mereka menjejakkan kaki di tanah Bidar Alam. Anak-anak SD bergerombol pulang sekolah. Beberapa petani juga tampak memikul cangkul kembali ke rumah. Setelah Zuhur dan mata-hari tergelincir ke barat tentu mereka akan kembali ke ladang. Mereka mendatangi lapau terdekat dan bertanya di sana.
"Oh, orang dari Jawa. Ada keperluan apa datang ke kampung kami ini""
Pemilik lapau itu takjub menyadari ada orang asing yang berkunjung ke tempatnya. Dua cangkir kopi lengkap dengan godok yang menggoda untuk dilahap dihidangkan. Beberapa orang yang lewat di jalanan depan lapau ikut duduk melihat ada tamu asing di kampung mereka.
"Kami ingin menelusuri jejak Pak Sjaf di kampung ini," ujar Ilham Tegas
"Adik-adik ini dari Jakarta ke sini mau membuka sejarah lama"" laki-laki tua berpakaian hitam dengan sarung yang dipasang melintang di badan ikut bertanya, seolah ingin mendapatkan keyakinan dari pernyataan dua orang anak muda itu. "Betul, Pak."
"Ah, aneh sekali. Sebab sebenarnya sudah tidak ada
yang peduli dengan sejarah yang pernah tergores-kan di
negeri kami ini." "Tapi kami peduli Pak," timpal Dino Tjakra
Laki-laki tua itu tertarik dengan semangat dua orang
anak muda ini. Ia memperkenalkan namanya, Inyiak Labai.
Laki-laki tua itu menggeser duduknya sehingga agak
menempel pada Dino Tjakra.
"Sejarah macam apa yang kalian ingin buka kembali"" Inyiak Labai berbicara setengah berbisik.
"Kisah yang pernah tergoreskan di kampung ini tetapi jarang dituliskan," Ilham Tegas menjawab lugas.
Inyiak Labai memilin-milin janggut tipisnya yang sudah memutih. Ia tampaknya kurang begitu yakin dengan jawaban Ilham Tegas.
"Kisah macam apa""
Pertanyaan Inyiak Labai membuat dua orang anak muda itu terdiam. Mereka saling berpandangan. Seolah saling ingin memberi keyakinan. Ilham Tegas memberi isyarat pada Dino Tjakra. Dari dalam ranselnya Dino Tjakra mengeluarkan satu lembar kertas. Pada Inyiak Labai ia perlihatkan sketsa yang terdapat pada gambar itu.
Piramid dengan belahan diagonal pada bagian alasnya
"Kami mencari benda ini," jelas Ilham Tegas.
Roman wajah laki-laki tua itu tiba-tiba berubah. Kertas yang ia pegang t
ampak bergetar. Tangannya menggigil. Buru-buru kertas itu ia serahkan kembali pada Dino Tjakra. Sontak, ia menggeser duduk, meng-ambil jarak dari dua orang anak muda itu.
"Aku tidak mengerti tentang benda itu."
Perubahan sikap Inyiak Labai membuat Ilham Tegas curiga. Ia ingin terus mendesak laki-laki tua itu. Tetapi sikap defensif Inyiak Labai boleh jadi sebagai tembok kokoh yang untuk saat ini sulit ditembus. Ia akhirnya mengambil jalan tengah.
"Baik, kalau Bapak tidak mengerti tentang benda ini, tolong tunjukkan kepada kami tempat yang per-nah ditinggali Pak Sjaf puluhan tahun silam."
Tawaran itu bisa menjadi jalan tengah yang diinginkan
Inyiak Labai. Laki-laki tua itu terkesan ingin segera melupakan semua pembicaraan mereka tadi. Ia mengantarkan dua orang anak muda itu menuju salah satu sudut kampung Bidar Alam. Telunjuknya kemu-dian mengarah pada sebuah Rumah Gadang kosong yang hampir rubuh. Semak-semak setinggi dada orang dewasa mengepung rumah tua itu.
"Di situ dulu Pak Sjaf pernah tinggal," Inyiak Labai berujar.
Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Ilham Tegas dan Dino Tjakra menerabas semak-semak seke-liling rumah yang dimaksud Inyiak Labai. Mereka mulai melakukan pencarian benda itu. Inyiak Labai memerhatikan dari jauh. Beberapa orang penduduk yang lewat, hanya memerhatikan sekilas. Menurut pikiran mereka, dua orang anak muda itu tidak lebih dari tauke barang antik dari Padang. Saban waktu masuk kampung mereka mencari dan membeli lampu-lampu dan kain tua dengan harga murah.
Setelah sekian lama mencari, peluh mulai mem-basahi tubuh keduanya. Bagi mereka Bidar Alam adalah kemungkinan terakhir. Tidak ada lagi kemungkinan tempat selain Bidar Alam. Mereka harus menemukan benda tersebut.
Dari kejauhan Inyiak Labai terus memerhatikan dua anak muda itu. Wajahnya kusut. Perasaannya ber-gejolak. Degup jantungnya lebih cepat dari biasanya. Dengan ragu-ragu ia melangkah ke arah dua orang anak muda itu.#
10 Bunyi derap langkah memecah kesunyian Blok Minus.
Dari irama derapnya, sekitar empat atau lima orang tengah berjalan dalam kegelapan Blok. Tidak lama, langkah kaki itu seperti mendaki tangga. Satu cahaya kecil masuk menembus Blok Minus, tetapi kemudian redup lagi. Yang tersisa hanya gelap, tanpa satu titik pun yang bisa dijadikan pedoman.
Lima orang itu sampai di sisi Blok yang lebih terang. Terlihat, tiga orang petugas polisi bersama dengan dua orang tahanan yang mereka giring menuju ruang sel yang telah disiapkan pada Blok itu. Kedua orang tahanan tampak menahan lelah. Tiap kilatan cahaya kecil mereka rasakan sebagai sebuah kenikmatan visual. Sebab sejak kali pertama ditangkap tiga hari yang lalu mereka langsung dijebloskan ke dalam Blok Minus.
Blok Minus adalah blok paling ditakuti oleh setiap tahanan atau pelaku kejahatan yang mengetahui ke-beradaannya. Disebut Minus karena blok tersebut terletak beberapa meter di bawah permukaan tanah. Berada persis di bawah gedung Detsus Antiteror. Blok Minus adalah mimpi buruk. Dimaksudkan sebagai selisolasi untuk tiap tersangka terorisme. Tiap sel hanya berukuran
dua kali tiga meter, sudah termasuk pancuran dan lobang untuk buang air besar dan kecil. Ruangannya lembab dan bau. Tidak ada cahaya sama sekali yang bisa masuk ke dalam blok itu. Dibiarkan gelap sehingga lama-kelamaan akan mengacaukan jam biologis tiap tahanan. Selain merusak jam biologis. Sel isolasi pada Blok Minus juga akan menghancurkan mental dari tiap tahanan kasus terorisme yang keras kepala. Beberapa kasus gangguan jiwa permanen dan temporer, pernah menimpa tahanan Blok tanpa cahaya ini.
Kedua orang tahanan itu sekarang dimasukkan ke dalam sel yang mendapat siraman cahaya. Jeruji besi kecil yang menghadap ke arah timur, melewatkan cahaya begitu hebatnya. Menyilau-kan mata yang selama tiga hari tidak pernah merasakan cahaya.
"Andhika ... Enriko!"
Terdengar satu suara memanggil. Kedua orang tahanan yang ditangkap pada saat penggerebekan rumah di Pantai Indah Kapuk tiga hari yang lalu, mengangkat pandangan. Seseorang berpakaian safari dengan pin polisi di kerah bajunya menyodorkan masing-masing satu lembar kertas
. Lembaran berisi data-data pribadi serta tuduh-an yang dilemparkan oleh polisi. Pada bagian bawahnya terdapat bagian kosong yang harus mereka isi sendiri dengan pernyataan dan tanda tangani.
"Kami tidak mengerti dengan semua tuduhan dan kait an-kaitan yang dibuat ini," Andhika angkat bicara. Dibanding Enriko, Andhika memang tampak lebih tua dan sanggup mewakili mereka berdua.
"Tanda tangani saja. Kalian tidak punya hak untuk menolak," si petugas melanjutkan. Sementara dua orang perwira polisi di belakangnya menunggu dengan tenang.
"Maaf, kami tidak bisa menandatangani suatu pernyataan yang kami sendiri tidak mengerti dan pahami." Andhika masih berusaha untuk menolak permintaan tersebut. Ia menyodorkan kembali dua lembar kertas kepada petugas yang menyerahkan. Si petugas mengibaskan tangan, lalu melempar kedua lembaran kertas itu.
"Kalian akan rasakan sendiri akibat sifat keras kepala kalian ini!"
Petugas itu mundur, memberi jalan kepada Rian-tono dan Melvin mendekati dua orang tahanan. Sebelum mereka berbicara, tiga orang petugas lainnya masuk.
Dengan setengah memaksa mereka mengangkat keduanya. Lalu mendudukkan mereka pada kursi besi yang langsung menghadap ke arah celah kecil pada jeruji besi yang menghadap ke arah timur. Keduanya meringis mendapat siksaan cahaya matahari yang menyengat mata. Setelah mata mereka dibutakan selama tiga hari, tiba-tiba sekarang harus menerima sengatan cahaya matahari langsung. Sungguh menyiksa.
"Masih bersikeras menolak pernyataan itu"" Melvin mendekatkan wajahnya pada kuping Enriko. Sementara Riantono berjalan mondar-mandir. Tiga orang bintara berjaga di depan sel. Kedua orang ta-hanan itu tidak menjawab.
"Apa itu negara kelima"" Riantono bertanya singkat. Tetapi keduanya tetap diam.
"Jawaaabbb!!!" bentak Melvin. "Kalau kalian masih memilih untuk diam, aku pastikan satu hal, kalian akan menjadi penghuni abadi Blok Minus ini!"
"Kami tidak tahu apa yang Anda bicarakan," Andhika masih berusaha untuk bersikap tenang.
Riantono mulai tidak sabar melihat dua anak muda
berusia dua puluhan tahun itu. Wajah keduanya memang sama sekali tidak menunjukkan roman kriminal sebagaimana selama ini yang ia pelajari dari tiap pelaku kejahatan. Tetapi ia sadar, justru dalam wajah tenang demikian tersimpan kekuatan menghancurkan dan mungkin membunuh. Anak-anak muda ini menurut pemikirannya telah termakan oleh ide mereka sendiri. Kalut dan nekad melakukan segala sesuatu bernama ide.
"Jadi bagaimana, masih belum mau bicara""
"Kami tidak mengerti apa yang Anda katakan."


Negara Kelima Karya Es Ito di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua orang anak muda itu masih bersikukuh dengan sikap mereka. Tidak mau buka mulut sedikit-pun. Riantono dan Melvin diam tidak menanggapi keduanya. Mereka berdua malah mundur ke arah pintu sel memberi jalan pada dua orang bintara yang berjalan menuju jeruji kecil. Pada jeruji kecil itu mereka mema-sang satu kaca bening. Kaki kedua orang tahanan itu diborgol pada kaki kursi besi. Tidak lama keduanya mulai merasakan efek dari kaca yang langsung mene-ruskan cahaya itu kepada mereka. Terasa makin perih dan menyakitkan. Kaca itu seperti menjadikan mereka sebagai titik fokus. Sorot cahaya menusuk mata itu benar-benar mengacaukan saraf mereka. Sebuah terapi interogasi yang biasanya selalu berhasil dilakukan oleh Detsus Antiteror. Kejutan ca-haya setelah be-berapa hari diberi terapi isolasi kegelapan tanpa cahaya. Enriko mulai menceracau.
Riantono dan Melvin mendekati kedua tahanan. Lalu memberi isyarat pada dua orang bintara untuk memindahkan posisi mereka pada tempat yang lebih teduh.
"Sudah mau bicara"" Melvin meya-kinkan.
"Apa yang ingin kalian tahu""
"Semua yang kalian tahu, ingin kami tahu."
"Kami sebenarnya tidak tahu apa-apa ..." Enriko tertawa.
Andhika ikut menyunggingkan bibirnya. Setengah sadar ia terlempar pada rentetan peristiwa beberapa waktu terakhir.*
11 "Anak muda adalah kegelisahan. Derap langkahnya adalah perubahan."
Sebuah pertemuan tanpa sengaja dengan teman lama
nya, dua bulan yang lalu, telah menenggelamkan Andhika dengan kelompok ini. Sebelumnya, kehidupannya berjalan seperti air tanpa riak. Berlalu begitu saja dengan tenang
. Bekerja sebagai asisten manajer pada sebuah per-usahaan swasta nasional. Gaji mencukupi untuk diri sendiri, sisanya untuk senang-senang. Ia hidup untuk diri sendiri. Pertemuan itu telah mengubah dirinya. Ia masih ingat kata-kata temannya yang berapi-api itu, "Indonesia hanya derita, tetapi Nusantara belum habis karenanya. Sebab Indonesia hanya cita-cita singkat dalam merebut merdeka untuk kemudian disalah-gunakan oleh mereka yang berkuasa demi kepentingan politik, ekonomi, dan dominasi. Nusantara tetap ada, itu tujuan sebenarnya dari hidup orang sepanjang garis pantai dari barat hingga timur, dari utara hingga selatan kepulauan ini. Indonesia adalah ruang hampa, itu sebabnya anak mudanya kehilangan cita-cita. Bahkan sekadar ber-prestasi di bidang olah raga pun tidak sanggup. Jiwa anak muda tidak lagi menyatu dengan Indonesia yang telah
menyimpang dari Nusantara. Semua orang harus bekerja untuk kejayaan Nusantara, sebab selama ini tidak ada orang yang bekerja untuk kejayaan Indo-nesia. Tidak terkecuali tentara dan polisi yang bekerja untuk mendapatkan gaji belaka."
Ia manggut-manggut. Pada awalnya kata-kata itu be lum cukup untuk membuat dirinya berkomitmen dengan kelompok itu. Namun temannya terus meya-kinkannya.
"Indonesia sudah berakhir sejak 1 Desember 1956. Ribuan anak muda sekarang tengah mempersiapkan Negara Kelima. Apa kau tidak ingin menjadi bagian dari sejarah yang akan tergores dalam tinta emas dunia""
Kemudian ia masuk dalam Kelompok Patriotik bersama ratusan anak muda yang kecewa dan tidak sabar. Kecewa pada dirinya yang tidak pernah mengerti Indonesia. Kecewa pada Indonesia yang tidak pernah mengerti kegelisahan anak muda. Eksekutif muda yang terdepak dari perusahaan terkemuka, lantaran tidak mau terlibat dalam manipulasi pajak. Perwira muda tentara yang dituduh desersi akibat menolak tugas menindas rakyat sendiri. Perwira muda polisi yang dipecat hanya karena tidak mau memberi setoran tambahan kepada komandan. Pegawai bank sentral yang tidak mau menjadi penyamun, kemudian diberhentikan secara tidak terhormat. Para hacker yang selalu dianggap sampah padahal prestasi mereka mendunia. Intelektual muda yang kecewa pada kawan-kawannya yang men-jual pikiran mereka untuk uang dan jabatan. Maha-siswa yang kecewa pada kawan-kawannya yang mela-kukan transaksi massa demonstrasi. Semua menyatu dalam kekecewaan. Dalam sebuah cita-cita tentang Nusantara yang akan kembali menjadi surga. Negara Kelima! Mereka
tidak sabar untuk mewujudkannya.
Susunan kelompok itu sangat rapi, sehingga tidak satu rahasia pun bisa terbang keluar. Penyusunannya dilakukan dengan membuat hirarki keanggotaan rahasia dan peran keanggotaan. Pola penyusunannya membentuk satu bangunan piramid. Semua anggota kelompok disebut sebagai Para Penjemput. Tetapi dalam hirarki keanggotaan, penyebutan mereka lebih spesifik, sesuai dengan jenjang pencapaian mereka dalam kelompok.
Pada bagian paling atas adalah para pemimpin utama kelompok. Mereka disebut sebagai Para Pem-buka. Para Pembuka adalah orang-orang yang men-dirikan kelompok. Mereka yang mendesain sejarah dan tujuan kelompok. Mereka mengetahui setiap anggota kelompok pada jenjang hirarki yang berbeda. Tetapi tidak ada anggota kelompok pada jenjang di bawah mereka yang tahu persis berapa orang Para Pembuka ini. Bahkan tidak ada yang tahu persis siapa orang-orang yang menjadi Para Pembuka.
Satu tingkat di bawahnya terdapat kelompok Para Pengawal. Mereka adalah orang-orang pertama yang direkrut oleh Para Pembuka untuk mewujudkan ren-cana dan misi sejarah yang mereka emban. Jumlah mereka lebih banyak dibanding Para Pembuka. Pada orang-orang yang berada pada level ini roda peng-organisiran kelompok dipercayakan. Mereka bertugas mengawal setiap ide dan gagasan dari Para Pembuka. Mereka mengetahui setiap anggota kelompok pada jenjang hirarki di bawah mereka.
Pada tingkatan ketiga, keanggotaan kelompok adalah Para Pemula. Mereka direkrut oleh Para Pemula juga dengan syarat mampu memecahkan lima teka-teki yang diajukan. Para Pemula adalah orang-orang yang mengetahui rahasia organisasi secara terbatas tetapi b
erhubungan langsung dengan orang-orang di luar kelompok. Mereka bertanggung jawab dalam pere-krutan anggota baru dan memastikan tiap anggota baru dapat memecahkan lima teka-teki sebagai persyaratan masuk lingkaran Para Pemula.
Tingkatan terakhir dan paling bawah dari keanggotaan kelompok adalah Para Pencari. Mereka adalah orang-orang yang baru direkrut dan masuk dalam kelompok. Tugas utama mereka hanya satu: memecahkan teka-teki lima negara yang diberikan oleh Para Pemula. Ketika syarat itu terpenuhi maka mereka bisa menyebut diri mereka sebagai Para Pemula. Pada tingkatan ini, pengetahuan anggota tentang kelompok masih terbatas. Hanya memiliki pengetahuan tentang abstraksi umum kelompok, jenjang dan tingkatan keanggotaan, pola keanggotaan serta tujuan. Sedangkan sejarah dan esensi kelompok harus mereka temukan sendiri dalam proses pemecahan teka-teki.
Andhika dan juga Enriko berada pada tingkatan paling bawah keanggotaan. Itu sebabnya mereka mengorbankan diri untuk ditangkap oleh polisi dan memberikan jalan pada anggota lainnya untuk meloloskan diri. Sebab Andhika merasa, dengan pengetahuan mereka yang terbatas tentang kelompok, polisi tidak akan mendapatkan apa-apa dari mereka berdua.
Andhika mencoba mengingat-ingat lagi semua prosesi yang pernah ia ikuti dalam kelompok itu. Lima orang mengenakan jubah hitam. Pada bagian jubah yang menutup tengkuk dan leher terdapat garis-garis putih membentuk piramid. Orang-orang itu duduk pada lingkaran inti pertemuan. Mereka juga mengenakan topeng berbentuk segitiga dengan kuncup yang mekar sehingga pada tiap bagian kepalanya tampak seperti bangunan piramid yang membungkus bulatan besar. Tidak lama terdengar orasi yang dikumandangkan sedemikian rupa sehingga lebih terdengar seperti tembang dengan irama Jawa tetapi dengan logat pengucapan Melayu yang kental. Suatu bentuk dialek dan intonasi yang belum pernah ia dengar, penuh daya magis dan hipnotis.
Pilihannya sudah dekat untuk semua penjemput.
Masa ahad telah berganti.
Masa waktu telah terdiami.
Tempat-tempat mulai tenggelam.
Badai dan gelombang telah menerjang.
Angkasa mulai terkuak. Cahaya matahari semakin menerkam.
Angin pun bergerak pelan menghantam.
Ooo para penjemput dari puncak yang terlupakan.
Saatnya sudah tiba. Janjinya hanya empat negara.
Sekarang negara kelima dari puncak yang terlupa.
Negara kelima puncak dari segala puncak peradaban.
Membawa dunia pada orang-orangnya.
Oooo para penjemput dari kota yang hilang.
Pesisir yang diserang. Pedalaman yang menghinakan.
Pemimpin dari segala keserakahan.
Kita telah kembali menuai janji ribuan tahun.
Tiba-tiba Andhika tersadar dari lamunannya.*
12 Satu tepukan membuat Andhika tersadar. Ia merasakan kembali kejutan-kejutan saraf mata yang menyakitkan akibat pencahayaan yang ia terima secara spontan dan begitu tiba-tiba.
"Penderitaan ini tidak akan pernah berakhir kalau kalian tetap diam!" Melvin mengancam lagi.
Ia memberi aba-aba pada dua orang bintara untuk mengembalikan posisi duduk dua orang tahanan ini. Enriko meringis pedih membayangkan siksaan dari terpaan cahaya matahari yang kembali harus mereka hadapi. Sementara Andhika mencoba untuk pasrah. Lintasan kata-kata penuh daya magis yang bergema kembali di telinganya seperti memberi sedikit keda-maian dan ketenangan pada dirinya. Sebuah cita-cita kolektif yang membuat ia paham kenapa orang harus hidup dalam komunitasnya. Tetapi tidak demikian dengan Enriko, kepercayaan dirinya perlahan terkikis oleh derita fisik yang ia alami.
Ketika dua orang bintara kembali mengangkat mereka, Enriko mengangkat tangannya.
"Baik, saya akan bicara. Tetapi tolong hentikan siksa an ini..." Ia menyerah. Andhika menatapnya dengan
penuh rasa kecewa. Sementara Riantono dan Melvin mulai tersenyum. Interogasi mulai berjalan sebagaimana yang mereka harapkan.
"Pilihan bijak akhirnya kalian ambil. Apa itu Negara Kelima""
Enriko coba mencari kepastian dari mata Andhika. Tetapi yang ia dapatkan hanyalah cemoohan dari tatap-an mata kawannya. Tidak ubahnya seperti Andhika, ia sebenarnya tidak tahu terlalu banyak. Hanya lima teka-teki itu mungkin yang bisa i
a jadikan sebagai perisai untuk menghalangi siksaan lanjutan. "Apa itu Negara Kelima""
"Negara Kelima adalah kebangkitan masa silam. Ketika matahari hadir tanpa bayangan, keputusan di-ambil pada puncak yang terlupakan. Para penjemput menuai janji kejayaan masa silam. Itu adalah saat penentuan ketika para penjemput tidak lagi ingat akan masa lalu berbilang tahun tetapi mendamba masa lalu berbilang ribuan tahun..."
"Sialan, jangan main-main!"
"Saya mengikuti keinginan Anda, menjawab pertanya an Anda sebatas yang saya tahu. Apa Anda bisa menjelaskan sesuatu yang belum ada wujudnya dan Anda belum tahu sama sekali""
Melvin bingung dengan jawaban Enriko. Dari kesungguhan laki-laki muda itu sulit untuk menarik kesimpulan bahwa ia tengah bermain-main dalam memberikan jawaban. Ia melirik Riantono. Komandannya itu memberi isyarat untuk membiarkan dialog ini berlanjut. Dalam benaknya muncul pertanyaan yang lebih bersifat naratif. Kalau saja orang-orang ingin menciptakan Negara Kelima tentu ada yang pertama, kedua, ketiga, dan
keempat. "Lalu Negara Pertama kalian"" pertanyaan itu terdengar seperti sindiran yang menghinakan.
"Solon membawa berita, Plato membuat cerita, Sejarah mencari asalnya, satu satu kosong kosong kosong terlalu lama."
"Gurauan apa ini"" Riantono sulit menerima kenyataan bahwa yang keluar dari mulut tahanan ini adalah kebenaran, walaupun ia cukup tertarik dengan kata-kata aneh yang meluncur dari mulut Enriko
"Negara Kedua""
"Negara Kedua adalah kedatangan kembali. Pada celah puncak-puncak kedua di mana tidak ada bayangan. Menyeruak ke luar daratan. Menyeberang air besar dari hulu ke hilir, mendamba sebuah negara. Taklukan tersembunyi lalu menarik diri hingga masa berganti dan orang-orang datang dan pergi. Negeri itu besar dengan para penjemput sebagai pengawal, tetapi mereka dilupakan. Lalu datanglah bencana itu, musuh barat dari keturunan musuh-musuh penjemput pertama..."
"Apa itu Negara Kedua"" bentak Melvin.
"Saya sudah mengikuti keinginan Anda. Menjawab pertanyaan Anda sebatas yang saya tahu. Apa Anda bisa menjelaskan sesuatu hal yang Anda belum pernah alami"" jawaban yang hampir persis sama dengan pertanyaan pertama Melvin.
"Negara Ketiga"" Melvin seperti terbius dengan cerita tanpa intonasi dari Enriko. Seolah jawaban-jawaban itu sesuatu yang sudah sering ia berikan.
"Para Penjemput masa pertama tidak menyerah. Pada dataran setelah celah puncak-puncak kedua mereka bersimaharaja tetapi angin telah menjemput mereka untuk
Negara Ketiga. Ketika dua orang dara Para Penjemput menuai janji mereka, dari rahim dua dara lahir dua raja. Satu selalu dituai bencana, satu mencari asalnya. Para penjemput mengawal negara hingga mereka dilupa. Lalu datanglah bencana. Dari dalam musuh-musuh itu masuk mencari serat pemberi," seperti dua penjelasan sebelumnya, Enriko bercerita tanpa ekspresi seakan penjelasan ini adalah mantra yang harus diha-pal-kan oleh tiap anggota kelompok.
"Tolong, katakan di mana itu Negara Ketiga kalian""
"Saya sudah mengikuti keinginan Anda, menjawab pertanyaan Anda sebatas yang saya tahu. Apa Anda bisa menjelaskan sesuatu hal yang Anda belum pernah alami""
"Sial!" Melvin berteriak. "Negara Keempat" Kalian masih mau main petak umpet dan tebakan, ya""
"Ketika matahari memberi siang kepada selatan, utara ditimpa malam yang panjang, Para Penjemput menyambung nyawa dari negara yang sekarat. Tempo ketika lama mencari asal kedatangan para Penjemput pertama. Tempat yang dijanjikan tetapi terlupa. Perjalanan panjang menyusuri masa silam dari para Penjemput Pertama. Puncak-puncak kedua menjadi pelindung. Hingga orang-orang menyeberangi berhala menghantam impian menyebar kerusakan dalam janji dan runding. Negara Keempat hilang terpendam orang-orang yang tidak ingin kehilangan muka. Mereka terlupa tetapi sejarah akan mencari asalnya... Sejarah akan mencari asalnya..."
"Saya sudah mengikuti keinginan Anda, menjawab pertanyaan Anda sebatas yang saya tahu. Apa Anda bisa menjelaskan sesuatu hal yang Anda belum pernah alami" Tentu kau akan menjawab itu lagi jika aku bertanya persisnya seperti apa negara keempat itu"" M
elvin mendahului penegasan standar dari Enriko seperti mengeluarkan ejekan pada dirinya sendiri.
"Sebenarnya apa yang diinginkan oleh kelompok kalian, sehingga harus sampai membunuh putriku"" Riantono akhirnya angkat bicara. Terdengar seperti penyesalan seorang bapak dibanding pertanyaan interogatif.
"Kami Para Penjemput bukan pembunuh!" teriak Andhika. Andhika akhirnya kembali angkat bicara setelah sekian lama menahan dongkol dan kekesalannya pada Enriko. Tetapi jawaban itu sendiri sebenarnya bukanlah suatu keyakinan mutlak. Ia takut sean-dainya yang membunuh puteri perwira menengah itu adalah teman-temannya sendiri. Sebab anak-anak muda itu hidup dalam dendam terhadap masa lalu. Tetapi ia coba yakinkan diri untuk satu cita-cita suci. Teman-temannya mustahil melakukan pembunuhan itu.
"Teroris macam apa kalian ini"" Riantono ber-gumam sendiri.
Ia melirik jam tangannya. Matahari telah jauh tergelincir ke arah barat. Cahayanya pun tidak lagi masuk dengan tajam dari sisi timur jeruji tahanan. Riantono memutuskan untuk menghentikan interogasi. Walaupun tidak terlalu yakin dengan yang ia dapatkan, setidaknya ia sudah memiliki bahan baru untuk didis-kusikan dengan Profesor Budi Sasmito.
"Masukkan lagi mereka ke dalam Blok Minus," demikian perintah singkat Riantono.
"Bangsaaaaaattt..." Enriko berteriak histeris, matanya nanar. Ia meronta. Dua orang petugas menahannya.
"Kalian pembohong. Aku sudah memberikan jawaban, kenapa kami harus dikembalikan ke sana lagi" Bangsaaaattttttttt..."
Riantono tidak mengindahkan teriakan itu. Ia berlalu meninggalkan sel interogasi. Kemudian ia masuk ke dalam ruang pemantau yang terdapat beberapa blok dari ruang interogasi. Di dalam ruangan itu Inspektur Satu Timur Mangkuto telah merekam dan mencatat setiap pernyataan tersangka ditemani seorang staf sipilnya yang bertubuh tambun, Genta.
Riantono ingin memastikan bahwa proses interogasi itu sudah diedit pada bagian tertentu kecuali keterangan tersangka. Timur Mangkuto menjawabnya dengan sinis dan penuh rasa jijik. Ia sulit menerima cara-cara komandannya dalam memperlakukan seorang tahanan. Mereka yang telah disingkirkan masih saja disiksa. Ia mulai gamang untuk terus bertahan di dunia kepolisian. Tetapi dari sepuluh tahun kewajiban dinas, ia baru enam tahun menunaikannya.*
13 Inyiak Labai tidak bisa menahan diri lagi. Ketika petang
benar-benar menerkam, ia mengajak dua orang anak muda itu untuk mampir ke rumahnya. Pencarian Ilham Tegas dan Dino Tjakra terhadap benda aneh terasa sia-sia.
Tepatnya bukan sebuah rumah yang mereka datangi, melainkan Dangau atau pondok di tengah-tengah kebun sayur. Inyiak Labai tinggal berdua dengan istrinya sementara anak-anak mereka merantau semua. Istri Inyiak Labai sedang tidak ada di rumah ketika dua orang anak muda itu bertamu.
Cerita tentang Pak Sjaf adalah kisah lama," Inyiak Labai membuka pembicaraan. Tampaknya ia tidak mau menyinggung tentang pencarian dua anak muda yang nyaris gagal. Matanya menerawang seolah berusaha menggambarkan masa lalu. Ia tersenyum, mata tuanya terpejam.
"Aku dulu ikut dalam barisan pemuda pengawal Pak Sjaf dan rombongan. Keramaian yang mungkin sulit terulang di kampung kami. Semua bergiat, bersekolah di tempat darurat. Berjaga dengan senjata seadanya. Ah, kami dulu merasa senang ketika negeri lain dilanda gelisah."
Ilham Tegas bersorak dalam hati. Nasib baik tengah
berpihak pada mereka. Lelaki yang mengajak mereka untuk singgah itu ternyata pelaku sejarah yang mereka cari. Tetapi ia masih menangkap kesan Inyiak Labai menghindar dari topik yang seharusnya dibicarakan.
"Berapa lama Pak Sjaf berdiam di sini, Pak""
"Yang aku tahu lebih dari empat bulan. Setelah itu tidak ada lagi cerita tentang kampung kami," Inyiak Labai tertawa perih. "Bahkan anak muda di kampung ini juga tidak tahu kisah masa lalunya."
"Tetapi sejarah negeri ini akan selalu ada pada tiap hati yang memiliki Nusantara, Pak," Dino Tjakra coba untuk menghibur.
"Dulu Jakarta tidak ada apa-apanya dibanding apa yang telah kami korbankan untuk Republik ini!" kata Inyiak Labai agak emosional. "Tetapi entahlah, kini kami cuma s
egelintir petani yang meratapi nasib dari hari ke hari." Suasana dalam dangau itu lama hening. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri. Kata-kata Inyiak Labai itu terdengar seperti bukan dari mulut seorang petani dari kampung yang sangat ter-pencil.
"Bagaimana dengan benda itu"" Dino Tjakra ang-kat bicara, memancing Inyiak Labai angkat bicara.
"Benda apa yang kalian maksudkan""
"Benda yang tengah kami cari."
"Untuk apa kalian mencari benda itu"" tatap Inyiak Labai penuh selidik.
"Untuk membangkitkan masa silam yang baru saja terungkap, Pak" jawab Ilham Tegas. "Apa Bapak pernah melihat bendanya""
"Seperti orang-orang yang berani mempertahankan Republik ini"" tanya Inyiak Labai.
Ilham Tegas menganggukkan kepala. Ia mulai bisa
tersenyum lagi. Rentetan pertanyaan dari Inyiak Labai, ia rasakan sebagai gambaran bahwa orang tua itu bisa membantu mereka dalam menemukan benda tersebut.
"Apa Bapak pernah melihat benda itu"" Dino Tjakra mengulangi pertanyaan Ilham Tegas.
Inyiak Labai batuk-batuk. Dahaknya ia telan begitu saja. Ia menggulung rokok dari daun enau lalu mengisinya dengan tembakau. Membakar di ujungnya kemudian menghisapnya dalam-dalam hingga pipinya mencekung.
"Dari mana cerita tentang batu itu kalian dapat-kan"" Inyiak Labai masih kurang yakin dengan dua orang anak muda di depannya.
"Dari pencarian kami yang tanpa ujung. Pikiran ten tang benda itu muncul dari rahim kegelisahan yang telah melahirkan generasi kami. Kami, anak-anak muda yang tidak sabar, muak melihat negeri ini. Kami ingin merubah negeri ini, juga dunia. Sekarang juga!" Dino Tjakra berkata dengan berapi-api. Ia tidak peduli apa-kah Inyiak Labai bisa mengerti dan menangkap semua yang ia katakan.
"Lalu kenapa pencarian kalian harus berakhir di kampung kami ini"" lanjut Inyiak Labai.
"Batu itu yang telah memberi cahaya kekuatan pada orang-orang yang memberi nafas Nusantara," ujar Ilham Tegas. "Kami yakin cahaya itu pula yang mem-beri kekuatan pada kampung ini untuk memper-tahan-kan Republik."
"Luar biasa pencarian kalian. Sebab sejak Pak Sjaf dan rombongan meninggalkan negeri, kami tidak ada lagi yang peduli pada semua hal yang berhubungan dengan masa-masa indah itu."
"Apa Bapak pernah melihat benda itu"" pertanyaan itu kembali terulang.
"Bagaimana aku bisa percaya pada kalian""
"Anak muda bisa dipercaya dari tekad dan usaha mereka untuk mengejar segala sesuatunya." Di hadapan dua orang anak muda ini, sulit bagi Inyiak Labai untuk menutup-nutupi apa yang ia tahu. Ia tidak lagi bisa menahan diri dalam permainan kesabaran ini.
"Benda itu seperti batu, tetapi bukan sebuah batu. Mungkin lebih mirip bongkahan logam yang sangat keras. Warnanya hitam mengilat. Tiap sisinya seperti memantulkan cahaya matahari sekuat terpaannya. Ben-da itu mengerucut ke atas. Bagian bawahnya retak membujur," Inyiak Labai menggambarkan benda itu.
Ilham Tegas dan Dino Tjakra berteriak tertahan. Sontak, mereka berdua memeluk laki-laki tua itu, meskipun belum ada kepastian di mana benda itu. Tetapi mereka merasa telah menemukan orang yang tepat untuk ditanyai. Satu senyum tipis tersungging dari bibir Inyiak Labai.
"Kami dulu menyebut benda itu dengan nama Batu Pembangkit Batang Terendam. Karena benda itu berasal dari suatu masa ketika orang belum berhitung dengan waktu. Ia bisa membangkitkan kekuatan masa silam yang terpendam," ujar Inyiak Labai tidak lagi mau menahan-nahan cerita. "Bagaimana kalian menye-but benda itu""
"Kami menyebutnya dengan nama Serat Ilmu, Pak. Sumber dari segala sumber kebajikan dan kebijakan ketika orang-orang masih belum berhitung dengan waktu. Sumber dari kekuatan yang bisa meratakan perbedaan," Ilham Tegas menjawab dengan penuh semangat. "Siapa yang membawa benda itu ke kam-pung ini, Pak""
"Rombongan kedua setelah kedatangan Pak Sjaf."
"Tetapi batu itu masih di Bidar Alam""
Laki-laki tua itu tampak ragu. Pada awalnya ia reflek menganggukkan kepala tetapi kemudian buru-buru meng-gelengkannya. Ilham Tegas memandang lurus mata laki-laki di hadapannya. Dari sorot matanya ia tahu laki-laki itu tengah menyembunyikan sesuatu. Inyiak Labai seharusnya
bukan orang biasa yang meng-ajak mereka singgah. Ia telah menunggu orang yang akan mengambil batu itu.
"Bapak yakin tidak tahu di mana batu itu sekarang berada"" Ilham tegas menatap lama.
Dino Tjakra menghembuskan nafas. Untuk bebe-rapa saat mereka semua kembali diam membisu. Inyiak Labai tidak bisa membohongi dirinya lebih lama. Ia memang selalu menunggu ada orang yang mengerti sejarah dan mencari benda itu.
"Kalian tahu kenapa aku memilih tinggal di pon-dok
ini"" "Karena benda itu..." Dino Tjakra coba menebak tapi cepat dipotong Inyiak Labai, "Bertahun lamanya aku menunggu ada orang asing datang ke sini dan bertanya tentang benda itu. Tetapi baru sekarang ada yang datang."
Inyiak Labai bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan ke sudut kanan dangaunya. Tikar dari anyaman bambu ia singkap.
"Aku tinggal di sini untuk menjaga benda itu hingga ada yang datang menjemput. Generasi dari masa kami telah hampir punah. Mungkin kalian yang bisa membangkitkan kekuatan benda ini secara sempurna."
Dari bawah tikar bambu ia menarik kotak kayu besar yang terlihat sekilas seperti lantai dangau. Dino Tjakra
menyalakan detektor elektroniknya. Lampu indi-katornya tiba-tiba menyala. Mereka telah menemukan apa yang selama ini mereka cari.
"Siapa Bapak sebenarnya"" Ilham Tegas menatap takjub.
"Aku adalah keturunan orang-orang bijak Darmasraya. Rombongan kedua kedatangan di Bidar Alam. Salah seorang yang membawa benda itu ke sini. Pak Sjaf tidak pernah tahu tentang benda ini."#
14 Asrama Perwira Polda Metro Jaya di daerah Slipi
tampak sepi. Lampu-lampu bohlam yang dibungkus dengan balon-balon kaca sepanjang taman kecil dan jalan masuk sebagian besar sudah tidak berfungsi. Sebagian pecah, sebagian besar lainnya tidak diganti dan di-rawat sebagaimana mestinya.
Koridor yang menghubungkan tiap bangunan asrama juga tampak sepi. Lampunya menyala remang. Men-jelang tengah malam tampak para penghuninya me-milih untuk cepat-cepat masuk kamar. Rintik-rintik hujan dan angin malam menggiring para penghuni untuk tidur.
Satu sosok berpakaian gelap mendaki tangga lantai dua asrama. Ia memerhatikan tiap titik yang ia lewati. Menyusuri lorong sepanjang lantai dua. Hingga di ujung lorong yang langsung berbatasan dengan balkon, ia berhenti.
Panik Di Sirkus Sarani 1 Tiga Dalam Satu 01 Seribu Hawa Kematian Perguruan Sejati 11

Cari Blog Ini