Negara Kelima Karya Es Ito Bagian 3
"Lantas bagaimana dengan benda yang sering Anda sebut-sebut itu, Serat Ilmu""
Profesor Budi Sasmito tersenyum bangga. Se-menjak tadi pertanyaan ini yang ia tunggu-tunggu.
"Pada setiap masa benda itu boleh bernama apa saja. Pada masa Ken Arok, benda itulah yang disebut-sebut sebagai sumber petaka, Keris Mpu Gandring."
"Bagaimana bisa"" seru Riantono, kaget.
"Keris yang telah membunuh tujuh orang yang konon kabarnya akibat kutukan sang pembuatnya sen-diri itulah sumber kekuatan magis untuk kekuasaan. Siapa yang menguasai keris Mpu Gandring maka ia akan menjadi penguasa. Keris Mpu Gandring itu bukan senjata. Lebih dahsyat daripada dongengan selama ini, sesungguhnya benda itu adalah serat ilmu."
"Bagaimana dengan musuh dari arah barat yang mereka maksud""
"Ada dua kemungkinan. Pertama Jayakatwang, sisa-sisa keturunan raja Kediri yang menyerang Kertanegara. Atau, justru bala tentara Mongol yang datang ingin
menghukum Kertanegara akibat penghinaannya pada utusan Khubilai Khan."
Pelan tapi pasti Riantono mulai bisa menerima penjelasan Profesor Budi Sasmito. Melvin memberi tanda pada setiap jawaban teka-teki pada lembaran kertas yang tengah mereka bahas.
"Bagaimana dengan Negara Ketiga"" Riantono semakin tidak sabar.
Para Penjemput masa pertama tidak menyerah. Pada dataran setelah celah puncak-puncak kedua mereka bersimaharaja, angin telah menjemput mereka untuk Negara Ke-tiga. Ketika dua orang dara Para Penjemput menuai janji mereka. Dari rahim dua dara lahir dua raja. Satu selalu dituai ben-cana, satu mencari asalnya. Para Penjemput mengawal negara hingga mereka dilupa. Lalu datanglah bencana. Dari dalam musuh-musuh itu masuk mencari serat pemberi.
Untuk menjawab pertanyaan itu, Profesor Budi Sasmito tidak merasa perlu membaca lembaran kertas catatan yang disodorkan oleh Melvin. Ia memperbaiki posisi kaca matanya yang melorot hingga ujung hidung.
"Jawabannya sudah pasti, Majapahit. Imperium terbesar di Nusantara setelah keruntuhan Atlantis. Dua dara itu tentu saja metafora dari penggabungan utara dan selatan, barat dan timur yang menghasilkan dua kekuatan, kebahagiaan dan malapetaka. Majapahit tidak hanya cerita tentang kebahagiaan tetapi juga malapetaka. Anda ingat peristiwa Bubat pada masa Hayam Wuruk"" ia melirik Riantono.
Perwira polisi itu mengangguk-angguk. Bubat ada-lah cerita tentang pembunuhan terhadap Raja Padjajaran, Sri
Paduga Maharaja beserta semua pengikutnya. Pada saat akan dilangsungkannya pernikahan antara puterinya, Dyah Pitaloka, dengan Raja Majapahit, Hayam Wuruk. Kisah yang telah menimbulkan dendam masa lalu bagi masyarakat Sunda. Hingga saat ini, tidak satu pun nama jalan di daerah Bandung yang dinama-kan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Majapahit.
"Bubat adalah malapetaka pada masa Majapahit. Sisi lain dari imperium yang membutuhkan sikap takluk dari daerah-daerah sekitarnya," Profesor Budi Sasmito melanjutkan penjelasannya. "Bencana dan musuh-musuh yang lebih parah adalah perang saudara yang lebih dikenal dengan istilah perang Paregreg, perang saudara untuk memperebutkan ke-kuasaan."
"Bagaimana dengan Serat Ilmu atau keris Mpu Gandring, Prof"" Melvin memotong.
"Benda itu telah berganti nama lagi pada masa kejayaan Majapahit."
Kedua orang perwira polisi itu kembali ter-pe-rangah. Mereka seperti tengah mendengarkan suatu narasi penuh kejutan tidak terduga dari Profesor gaek berkaca mata tebal ini. Setiap bagian cerita ber-hubung-an dengan bagian lainnya, tetapi memiliki ciri sendiri.
"Benda itu disebut Tiang Majapahit. Anda berdua pernah mendengarnya""
Baik Riantono maupun Melvin tidak begitu kenal dengan istilah itu. Mereka menggelengkan kepala dengan ragu. Profesor Budi Sasmito melanjutkan penuturannya. Tiang Majapahit adalah benda yang akhirnya jatuh ke tangan Raden Patah ketika ia me
ndirikan Demak pada awal abad ke enam belas. Raden Patah sendiri, menurut sebagian sumber, anak dari raja terakhir Majapahit,
Brawijaya. Pada 1546 Tiang itu dipindahkan lagi ke pedalaman Pajang oleh Adiwijaya atau Jaka Tingkir ketika ia mendirikan Kerajaan Pajang. Pada 1582 ia terbunuh dan pada 1586 Sutawijaya mendirikan Mataram dan memindahkan tiang Majapahit ke pusat Kerajaan Mataram. Ketika Belanda menguasai Mataram setelah memecah belahnya, tidak terdengar kabar ten-tang Tiang Majapahit.
"Bagaimana semua logika itu bisa dipercaya, Prof"" Riantono ternyata belum terlalu yakin dengan semua penjelasan Profesor Budi Sasmito.
"Apa kita punya pilihan lain untuk tidak meyakini narasi ini"" Profesor Budi Sasmito mengajukan per-tanyaan balik yang membuat Riantono terdiam.
Hari telah berembang petang. Profesor Budi Sasmito tidak ingin berlama-lama. Tanpa ditanya ia langsung masuk pada pembahasan berikutnya. Lembaran kertas yang berisi teka-teki itu ia ambil dari tangan Melvin.
Ketika matahari memberi siang kepada selatan, utara ditimpa malam yang panjang. Para Penjemput menyambung nyawa dari negara yang sekarat. Tempo ketika waktu lama mencari asal kedatangan para Penjemput Pertama. Tempat yang dijanjikan tetapi terlupa. Perjalanan panjang me-nyusuri masa silam dari para Penjemput Pertama. Puncak-puncak kedua menjadi pelindung. Hingga orang-orang menyeberangi berhala meng-hantam impian menyebar ke-rusakan dalam janji dan runding. negara Keempat hilang terpendam, orang-orang yang tidak ingin kehilangan muka. Hereka terlupa tetapi sejarah akan mencari asalnya...sejarah akan mencari asalnya.
"Anda berdua tentu bisa menyimpulkan sendiri. Apa itu Negara Keempat versi kelompok ini"" ia me-mancing. "Indonesia, Prof"" duga Melvin.
"Tepat! Matahari memberi siang kepada selatan, utara ditimpa kemalangan adalah simbolisasi dari Pe-rang Dunia yang membuat negara-negara yang terletak pada bagian utara bumi, Eropa dan Jepang, hancur oleh perang. Sementara selatan diberi siang, tentu yang dimaksud adalah gelombang kemerdekaan dari pen-jajahan yang didapatkan oleh bangsa-bangsa yang ter-letak pada belahan bumi selatan. Tetapi mereka menye-sali Indonesia karena lemah dalam posisi dunia. Para pemilik modal asing menyeberangi selat dan meng-hantam Indonesia dengan krisis. Mereka berani katakan Negara Keempat, Indonesia, tinggal menunggu waktu kehancuran," Profesor Budi Sasmito menarik nafas. "Serat Ilmu telah berubah menjadi misteri baru ber-nama harta revolusi. Benda yang terus menerus dicari hingga saat ini."
"Jadi apa kesimpulannya Prof"" Riantono kembali memotong tidak sabar.
"Ada pada teka-teki Negara Kelima mereka."
Negara Kelima adalah kebangkitan masa silam. Ketika matahari hadir tanpa bayangan, keputusan diambil pada puncak yang terlupakan. Para Penjemput menuai janji kejayaan masa silam. Itu adalah saat penentuan, ketika Para Penjemput tidak lagi ingat akan masa lalu berbilang tahun tetapi mendamba masa lalu berbilang ribuan tahun.
"Mereka akan menggerakkan revolusi. Dimulai dari tem pat di mana Arok dilahirkan. Mungkin seperti itu, tetapi entahlah."
"Lho, kenapa Anda tiba-tiba jadi pesimis""
"Teka-teki ini tidak lebih dari kekonyolan saja. Ketidakjelasan asal usul Ken Arok mereka jadikan alat untuk mengalihkan perhatian kita. Lalu mereka berharap kita akan memfokuskan perhatian pada asal usul Arok sementara mereka terus menyiapkan revolusi, entah di mana. Mungkin juga Serat Ilmu, keris Mpu Gandring, Tiang Majapahit, harta revolusi telah mereka kuasai dan sekarang telah diubah namanya."
Kalimat tersebut menutup pembicaraan mereka. Raut wajah Riantono kembali muram. Padahal be-berapa menit yang lalu, harapannya baru saja muncul. Tiga iring-iringan mobil yang mereka tumpangi kembali masuk ke halaman Mapolda. Melvin menyiapkan pasukan untuk melakukan penggeledahan ke rumah Profesor Duani Abdullah di kawasan Depok.#
25 Genta tersentak melihat ekspresi Timur Mangkuto.
Buru-buru ia mengejar perwira muda polisi itu. Tepat ketika Timur Mangkuto memegang gagang pintu, Genta menahannya.
"Tunggu, Inspektur!"
Timur Mangkuto mengibaskan tangan
Genta. "Aku tidak mau dipermainkan oleh kertas sialan."
"Tetapi penjelasan itu belum semuanya. Percayalah, kita butuh cerita itu."
"Biarkan dia pergi!" Eva Duani ikut menyusul ke depan pintu.
Ia menyilangkan tangan di depan dada, menatap Timur Mangkuto dengan sinis. Timur Mangkuto membalas tatapannya, ketiganya terdiam.
"Ayo, pergi! Temukan pembunuh Rudi dengan caramu, Inspektur," lanjut Eva Duani.
Bukannya langsung beranjak dari tempat itu, Timur Mangkuto malah dilanda ragu. Ia mulai menyesali dirinya yang terlalu cepat mengambil kesimpulan. Tetapi ia juga malu untuk kembali duduk dan meminta Profesor Duani Abdullah melanjutkan ceritanya.
"Aku hanya tidak ingin berlama-lama..." Timur Mangkuto mencari-cari alasan.
"Semua juga tidak ingin lama Inspektur, tetapi bukankah itu butuh kesabaran""
Timur Mangkuto masuk lagi ke dalam rumah dengan perasaan canggung dan sedikit malu mengingat apa yang baru saja ia lakukan.
"Maaf Pak, tadi aku..." ia coba mengoreksi diri.
"Kalian para polisi memang sama saja, jarang mau menggunakan otak."
Profesor Duani Abdullah tertawa sinis. Tetapi getaran bibirnya ketika berbicara tidak bisa menyem-bunyikan kesan bahwa ia juga kesal dengan apa yang telah dilakukan oleh Timur Mangkuto.
"Baik, aku akan mengikuti alur cerita ini," Timur Mangkuto menyerah. Ia edarkan pandangan pada ketiga orang lainnya.
"Ceritakan pada kami tentang gambaran alam Atlantis kuno, Prof," Genta coba mengarahkan.
"Baiklah, Criteas dalam dialog itu menceritakannya seperti ini."
Keseluruhan negeri, sebagaimana cerita Solon, sangat tinggi dan terjal pada bagian sisi dekat laut. Negeri-negeri yang mengelilingi kota adalah dataran yang juga dikelilingi oleh gunung-gunung yang terus menurun ke arah laut. Terlihat halus dan datar. Satu bujur tajam memanjang menuju satu arah sejauh tiga ribu stadia. Tetapi jika melintasi bagian tengah pulau hanya berjarak sejauh dua ribu stadia. Bagian dari pulau ini terlihat mengarah ke selatan. Dari arah utara tempat itu tidak terlihat.
Gunung-gunung yang melingkupi dataran itu dipuja karena keindahan, ukuran, dan jumlah mereka. Di
luar itu, terdapat pedesaan dengan penduduk yang sejahtera. Sungai, danau, dan padang rumput menyediakan makanan yang cukup untuk hewan ternak dan hewan liar. Kayu-kayu beragam jenisnya melimpah ruah bisa digunakan untuk berbagai macam keperluan
Kemudian, dataran yang dibentuk oleh alam dan para pekerja yang diperintahkan oleh raja setiap generasinya pada masa yang sangat lama. Sebagian besar membentuk persegi dan bujur yang mengikuti garis lurus pada parit melingkar. Dalam dan panjang parit ini sangat mengagumkan. Sehingga memberi kesan itu sebuah pekerjaan yang besar. Sebagai bukti untuk banyak orang bahwa ini bukanlah buatan.
Parit itu digali dengan kedalaman ratusan kaki dengan luas satu stadium pada tiap bagiannya. Membentang ke seluruh dataran dengan panjang sepuluh ribu stadia. Parit itu menerima aliran dari sungai-sungai kecil yang berasal dari pegunungan yang kemudian menyatu dan mengalir ke arah kota. Kemudian bermuara ke laut.
Jauh ke pedalaman, kanal lurus dengan lebar ratusan kaki yang mengalir dan memotong dataran itu kemudian mengalir bersama dengan parit menuju laut. Kanal-kanal itu berjarak seratus stadia. Melalui kanal kayu-kayu dikirimkan dari pegunungan menuju kota. Buah-buahan diangkut dengan kapal melalui daratan yang terpotong antara satu kanal dengan kanal lainnya dan kemu-dian sampai di kota.
Dua kali dalam setahun mereka memanen buah-buahan. Pada musim dingin mereka mendapatkan keuntungan dari hujan yang turun dari langit. Dan pada musim panas, air mereka dapatkan dari tanah dengan membuat saluran pada kanal.
Kecuali gunung-gunung yang banyak, adanya dua mu sim tanam, dan parit-parit yang digali, tidak ada hal luar biasa yang didapatkan oleh Timur Mangkuto dari cerita itu. Tetapi kali ini ia mencoba untuk bersabar, membiarkan cerita menuntunnya pada suatu sikap dan pendapat tertentu.
"Kenapa cerita mengenai Atlantis begitu berkesan bagi seorang Plato, Pak"" Timur Mangkuto bertanya dengan hati-hati.
Profesor Duani Abdullah menyunggingkan sen
yum. Setelah dilanda ketegangan dan emosi sejak kali per-tama bertemu dengan Genta dan Timur Mangkuto, baru kali ini senyum mengembang di bibirnya.
"Aku menunggu pertanyaan itu dari tadi. Sebenar-nya itulah inti dari peradaban dunia lama itu, Atlantis."
"Inti" Maksudnya"" Genta ikut penasaran.
"Plato menceritakan kembali Atlantis bukan karena ia terkesan dengan mitologinya. Bukan pula karena ia terkesan dengan kemajuan peradaban fisik dan kekayaan alamnya. Tetapi karena Plato terkesan dengan transformasi hukum dan masyarakat Atlantis yang ia sebut sebagai masyarakat ideal. Atlantis sebelum kehancurannya adalah negara idealnya Plato!" Profesor Duani Abdullah mengetuk-ngetukkan jarinya pada kedua sisi kursi roda. "Pada awalnya berlaku kekuasaan absolut dan mutlak di Atlantis dengan tatanan militer tetapi kemudian berubah..."
Perintah militer berlaku di kota kerajaan. Sementara di sembilan kota lainnya bervariasi.
Mengenai jabatan dan penghormatan, pada awalnya diatur sebagai berikut. Tiap raja dari sepuluh raja pada wilayah mereka masing-masing memiliki kekuasaan yang absolut terhadap rakyat. Pada beberapa kasus, di luar ketentuan hukum, mereka bisa menghukum dan membunuh siapa saja.
Sekarang dibuat hukum dan ketentuan yang lebih tinggi atas mereka. Dan hubungan timbal balik antara mereka diatur oleh Poseidon yang menguasai setiap hukum dan ketentuan. Semua ini dituliskan oleh raja pertama pada Pillar Orichalcum yang terletak di tengah-tengah pulau pada kuil Poseidon. Tempat para raja berkumpul setiap enam tahun sekali. Memberi penghormatan yang sama untuk urutan ganjil dan genap.
Ketika mereka berkumpul mereka mendiskusikan tentang keinginan mereka masing-masing. Saling menanyakan siapa di antara mereka yang telah melanggar segala sesuatunya kemudian memberikan pertimbangan dan keputusan. Sebelum mereka menjatuhkan keputusan, mereka saling berjanji dengan cara seperti ini; terdapat banyak sapi yang berada di sekitar kuil Poseidon, dan sepuluh raja dibiarkan tinggal sendiri di dalam kuil Poseidon. Setelah mereka me-manjatkan doa kepada dewa sehingga mereka bisa menangkap korban yang bisa diterima Dewa. Mereka memburu banteng-banteng tidak dengan senjata, tetapi dengan menggunakan helaian papan yang diikat dengan besi dan jeratan. Banteng yang berhasil mereka tangkap dibawa ke Pillar. Di atas Pillar itu mereka memotong kerongkongannya sehing-ga darah menetes di atas tulisan suci.
Pada Pillar, selain undang-undang, juga terdapat tulisan sumpah untuk kutukan hebat bagi yang melanggar. Setelah mengorbankan banteng dengan cara tertentu, me-reka kemudian membakar sisanya. Mereka menuangkan satu mangkuk anggur kemudian memberikan satu gumpal darah untuk masing-masing dari mereka.
Sisa dari korban mereka bakar setelah dibersihkan terlebih dahulu. Mereka menuangkan persembahan untuk dewa pada api yang diambil dari mangkuk pada piala emas. Mereka bersumpah bahwa mereka akan mengam-bil keputusan berdasarkan ketentuan hukum yang terdapat pada Pillar. Menghukum siapa saja di antara mereka yang telah melanggar janji mereka. Dan sebisa mungkin, pada masa yang akan datang, mereka tidak akan melakukan kesalahan terhadap apa yang telah tertulis pada Pillar. Tidak akan memberi perintah atau menerima perintah dari siapa saja untuk melanggarnya. Mereka akan ber-tindak sesuai dengan hukum-hukum yang ditetapkan oleh ayah mereka, Poseidon.
Ini adalah doa yang mereka panjatkan untuk diri mereka dan keturunannya. Pada saat yang sama mereka minum dan mem-persembahkan piala tempat minum mereka dikuil dewa. Mereka meneguk dan memuaskan kebutuhan. Waktunya, ketika gelap sudah datang dan api pengorbanan menjadi dingin. Mereka semua mengenakan jubah biru langit yang sangat indah. Mereka duduk di bekas bara api pengorbanan, tempat di mana mereka telah bersumpah. Mereka memadamkan semua api yang ada di dalam kuil. Mereka akan memberi dan menerima hukuman jika ada dari mereka yang memiliki tuduhan pada yang lainnya. Ketika malamnya mem-berikan hukum-an, maka pada saat fajar mereka menuliskan hukuman itu di atas catatan berwarna keemasan bersama dengan juba
h mereka se-bagai tanda peringatan
Terdapat banyak hukum dan ketentuan tertulis pada kuil yang memengaruhi raja. Tetapi yang terpenting di antaranya adalah mereka tidak akan berperang satu sama lain. Dan mereka akan saling membantu bila salah seorang di antara mereka hendak
dijatuhkan. Seperti nenek moyang mereka, mereka akan bersama-sama dalam menghadapi perang dan berbagai masalah lainnya. Mem-beri kekuasaan tertinggi untuk ke-turunan Atlas.
Dan para raja tidak memiliki kekuasaan atas hidup dan matinya rakyat, kecuali ia mendapat persetujuan mayoritas dari sepuluh orang raja. Itu adalah kekuasaan sangat besar yang diberikan oleh dewa pada pulau yang hilang. Atlantis.
Selama sekian generasi, segala sifat kedewaan ber tahan pada mereka. Mereka patuh pada hukum-hukum dengan penuh pera-saan cinta pada dewa yang telah mencip-takan mereka, untuk setiap kebenaran yang mereka miliki dan jalan untuk ruh agung. Bersatu dengan segenap kebajikan dalam hidup. Mereka mengenyampingkan semua hal kecuali kebaikan. Menerima sedikit untuk kehidupan mereka dan tidak terlalu memi-kirkan ke-pemilikan terhadap emas dan barang-barang lainnya yang mereka lihat kelak akan terkubur. Mereka juga tidak dimabukkan oleh kemewahan. Kekayaan juga tidak mencabut kontrol mereka atas diri sendiri. Tetapi mereka adalah orang-orang yang bijak dan melihat dengan jelas bahwa kenikmatan dari benda-benda itu bisa dida-patkan dalam kebaikan dan per-sa-habatan. Walaupun mereka telah tiada, tetapi per-sahabatan selalu ada di antara mereka.
"Tetapi peradaban itu harus hancur karena sebuah sebab klasik yang selalu menimpa setiap peradaban sebagaiman juga terjadi di zaman modern ini," lanjut Profesor Duani Abdullah.
Masa berganti, kualitas hidup mereka meningkat
tetapi sifat kedewaan mereka mulai pudar. Sifat itu semakin tipis dan mulai bercampur baur dengan kekerasan. Sifat dasar manusia telah di angkat dari mereka. Mereka kemudian tidak lagi men-dapatkan keberuntungan. Mereka tidak lagi berjalan bersama dan saling memandang secara sederajat. Mereka telah kehilangan rasa adil sebagai hadiah berharga bagi mereka. Tetapi bagi mereka yang tidak mampu melihat kegembiraan yang se-sungguh-nya, mereka merasa menang dan diberkati setiap kali mereka menunjukkan ketamakan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Zeus, pemimpin para dewa yang me-me r intan berdasarkan undang-undang dan mengetahui segala sesuatunya, menyadari rasa terhormat berada dalam keadaan menyedihkan. Ia ingin memberikan hukuman pada mereka. Sehingga mereka berhati-hati dan memperbaiki diri. Ia mengumpulkan semua dewa di tempat mereka yang paling suci, yang terletak di pusat dunia tempat segala sesuatu diciptakan. Dan ketika ia me-manggil mereka semua, dia berbicara...
"Dialog Timaeus and Critias berakhir sampai di situ. Tetapi dari awal cerita, Pendeta Sais kepada Solon, sudah bisa disimpulkan bahwa apa yang menimpa mereka adalah banjir dan gempa besar yang me-nenggelamkan peradaban itu," kata Profesor Duani Abdullah.
Profesor Duani Abdullah menutup bukunya. Ia seolah ingin membiarkan Timur Mangkuto terjebak dalam kebingungan. Timur Mangkuto melirik Genta dan Eva Duani bergantian seperti ingin mencari pem-benaran bahwa apa yang baru ia dengar sangat sulit untuk dihubungkan dengan apa yang tengah ia hadapi saat ini.
"Apa itu cukup untuk menjelaskan bahwa Atlantis berada di lautan Nusantara kuno dan bukan tenggelam di
lautan Atlantik yang kita kenal saat ini""
"Tanpa interpretasi, jelas belum cukup sama sekali," Profesor Duani Abdullah tanpa bermaksud menertawa-kan Timur Mangkuto. "Tempat-tempat lain tentu akan lebih meyakinkan dibanding lautan Nusantara kalau kamu tidak menggunakan interpretasi."
"Tempat-tempat lain""
"Lautan Atlantik, Kepulauan Bahama, Pulau Thera, Kepulauan Karibia, lautan sekitar Cyprus atau bahkan danau di dekat Pegunungan Andes, Amerika Selatan, adalah tempat-tempat yang selama ini diduga sebagai bekas-bekas peradaban Atlantis yang tenggelam," Eva Duani menjelaskan.
"Rasanya tempat-tempat itu lebih meyakinkan," Timur Mangkuto menanggapi dengan cepat.
"Ha...ha...ha..." tawa Profesor Duani Ab
dullah menggema di ruangan. Suasana perlahan benar-benar cair di antara mereka. Sifat ingin tahu Timur Mangkuto mengingatkan Profesor Duani Abdullah pada mahasiswa-mahasiswanya yang tidak tahu apa-apa tetapi ingin tahu segala hal.
"Baik, coba kita bahas kemungkinan Atlantis di Nusan-ara. Ada yang bisa memulai""
Ia menawarkan, tetapi matanya jelas mengarah pada Timur Mangkuto dan Genta. Eva Duani tampak-nya tidak dilibatkan dalam diskusi ini.
"Gambaran fisik Atlantis jelas menunjukkan pulau itu adalah pulau tropis. Hanya mengenal dua musim dengan gambaran panen buah-buahan dua kali dalam setahun serta musim dingin dan panas. Terdapat ba-nyak kayu-kayuan dan kaya akan buah-buahan. Ini sekaligus mementahkan teori-teori selama ini yang mengatakan
Atlantis terletak di belahan bumi utara terutama Eropa. Eropa beriklim subtropis," Genta buka suara. "Selain itu""
"Tanah yang subur jelas menggambarkan Nusan-tara."
"Bagaimana kau yakin"" Timur Mangkuto menyela.
"Poseidon dengan mudah mendapatkan bahan makan an melimpah ruah dari tanah di pulau Atlantis. Tentu saja, itu menjelaskan tentang tanah yang subur."
"Tidak hanya Nusantara yang beriklim tropis. Bagaimana dengan sebagian Amerika Selatan""
"Apa gajah terdapat di sana"" Genta membalikkan per tanyaan
"Bagian tengah Afrika"" Timur tidak kehabisan argumen.
"Bagaimana dengan kesuburan tanah dan varietas tumbuhan di sana" Apakah sesuai dengan gambaran tentang Atlantis" Dan bagaimana pula dengan gunung-gunung yang mengitari Atlantis yang justru sangat identik dengan pegunungan yang membujur sepanjang wilayah Nusantara""
Profesor Duani Abdullah tersenyum melihat perdebatan itu. Ia seperti sudah lupa bahwa dua orang tamunya ini baru saja ia maki-maki.
"Plato mendapatkan cerita Atlantis dari Solon. Solon mendapatkannya dari pendeta di Kota Sais. Lalu dari mana pendeta itu mendapatkan cerita tentang Atlantis"" Baik Timur Mangkuto maupun Genta tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Tinggal Eva Duani yang mereka harapkan.
"Dari orang-orang Punt, sebutan untuk orang-orang dari dunia lama. Mereka yang selamat dari bencana besar dan terus-menerus berlayar. Orang-orang Punt berasal
dari daerah bagian barat menurut peta Mesir kuno," Eva Duani sebenarnya hanya me-nam-bahkan penjelasan dari ayahnya.
"Apakah orang-orang Punt identik dengan manusia Atlantis yang selamat""
"Kemungkinan besar seperti itu."
"Bagian barat dari Mesir kuno" Tentu itu sesuai dengan letak lautan Atlantik saat ini," Timur Mangkuto menemukan celah untuk menegasikan semua teori keberadaan Atlantis di lautan Nusantara.
Tidak terdengar tanggapan langsung atas pertanyaan Timur Mangkuto. Genta melirik Eva Duani, berharap jawaban keluar dari mulut perempuan itu. Sementara Eva Duani melirik ayahnya, ia merasa tidak mampu untuk merangkaikan kata-kata menjadi suatu kalimat yang argumentatif. Profesor Duani Abdullah membuka mulutnya. Tetapi yang keluar kemudian adalah suara batuk, seperti ada bibit penyakit yang tengah dipompakan dari rongga dadanya. Batuk itu tidak berhenti. Eva Duani kalang kabut mencari obat ke kotak obat yang berada di dapur. Timur Mangkuto dan Genta mengangkat laki-laki tua itu dan menidurkannya di atas sofa panjang. Profesor Duani Abdullah terkulai lemah.#
26 Pencarian yang melelahkan telah berakhir. Dino Tjakra
dan Ilham Tegas sekarang telah berada di dalam kabin pesawat yang siap membawa mereka kembali ke Jakarta. Ilham Tegas masih sempat menyentuh benda hitam yang mereka temukan di Bidar Alam sebelum me-masukkannya ke dalam bagasi pesawat. Ketika per-lahan-lahan pesawat meninggalkan Padang, ia masih sempat melihat ke bawah. Deburan ombak pantai Padang. Pulau-pulau kecil di lepas pantai Pesisir Selatan.
Melihat lautan luas membentang di bawah, pikiran keduanya melayang-layang pada masa tidak terhitung waktu. Mungkin ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu. Entah seperti apa bentuk lepas pantai itu. Mereka juga tidak bisa membayangkan seperti apa dulunya bentuk Pulau Cingkuk sebelah barat Pesisir Selatan yang menjadi tempat pendaratan tentara Belanda sebelum masuk ke daratan Minangkabau.
Tidak lama sete lah pramugari memberikan makanan ringan dan satu gelas air mineral, pesawat masuk awan dan sedikit terjadi goncangan. Ilham Tegas terlihat risau. Sesekali ia memandang ke langit-langit pesawat. Khawatir suatu hal terjadi pada benda hitam yang ia masukkan ke dalam tas ransel berlapis tiga. Dino Tjakra tidak
memerdulikan temannya itu. Pan-dangannya lepas keluar pesawat. Awan tersibak. Se-karang yang tampak hanyalah deretan bukit dan pegu-nungan membentang menuju selatan. Tidak ada habis-habisnya barisan pegunungan itu, mungkin ujungnya di dasar lautan. Senja datang merekah, langit mulai berubah menjadi Jingga.
"Masa yang dijanjikan itu sudah semakin dekat."
Ada satu kekuatan dari deretan pegunungan itu yang membuat Dino Tjakra akhirnya membuka mulut.
"Kalau semuanya lancar, maka kita tidak perlu menunggu setengah perjalanan bumi terhadap matahari lagi."
"Kau yakin Genta bisa menunaikan tugasnya""
"Kalau kita bisa, kenapa dia tidak""
"Ohhh para penjemput," Dino Tjakra bergumam sambil memejamkan matanya. "Sejarah akan mengingat kita."
"Iya. Dua dari ribuan penjemput yang berhasil menunaikan janji ribuan tahun."
Wanita yang duduk di samping Ilham Tegas mengernyitkan dahinya mendengar pembicaraan dua pemuda itu. Merasa terganggu dengan dialog aneh itu, ia memasang earphone di telinganya. Mendengarkan musik jelas pilihan yang lebih baik dibandingkan men-dengarkan ceracauan dua orang yang tidak jelas ujung pangkalnya.
"Kau bisa bayangkan jika semuanya berjalan lancar"" Ilham Tegas masih memejamkan matanya.
"Iya, aku sering membayangkannya. Setiap kali aku membayangkan, selalu terdengar suara seolah memanggil-manggil kita dari masa ribuan tahun."
"Indonesia yang bodoh. Sebentar lagi kita akan membuat orang lupa pada negeri ini."
"Tetapi apa kau tidak merasakan sedikit ganjalan di hati""
Ilham Tegas sedikit kaget dengan pertanyaan kawannya. Ia membuka mata seperti melepaskan semua khayalan indah yang tadi menguasai seluruh alam pikirannya.
"Ganjalan apa maksudmu""
"Ganjalan sejarah."
"Kita berhutang pada pendiri bangsa ini. Hatta, Syah-rir, Sudirman, Sukarno, Agus Salim, Subardjo, Supomo, Yamin, Sjafrudin...terlalu banyak untuk di-sebutkan."
"Kita justru menunaikan apa yang mereka cita-citakan," Ilham Tegas tidak terlalu setuju.
"Tetapi kita akan mengakhiri Republik yang telah mereka bangun dengan tebusan darah, penjara, dan air mata."
Ilham Tegas menelan ludah. Ia melirik pada wanita muda di sampingnya. Perempuan itu tengah menggoyang-goyangkan kaki mengikuti irama dari musik yang disumbatkan ke telinganya.
"Orang-orang hebat itu tidak mencita-citakan republik ini untuk segelintir pecundang seperti pe-rempuan bodoh di samping kita ini."
"Kenyataannya seperti itu, bukan""
"Indonesia yang mereka cita-citakan cuma bertahan sebelas tahun. Setelah itu Indonesia hanyalah istilah untuk integrasi wilayah bukan integrasi ide dan gagasan. Sejak Bung Hatta mundur pada 1 Desember 1956, sebagian ruh republik ini telah diangkat, terbang tinggi, mati!"
Pengumuman dari pilot pesawat membuat pembicaraan dua pemuda itu terhenti. Tetapi tidak lama kemudian mereka mengumpat tertahan. Sebab apa yang diumumkan itu tidak lebih dari bagian promosi maskapai penerbangan
yang tengah mereka tumpangi. Ilham Tegas melanjutkan penuturannya.
"Kau harus ingat, Para Pembuka selalu menanam-kan kepada kita Para Pengawal tentang satu hal, Indonesia sejati telah mati sebelas tahun setelah proklamasi. Yang ada setelah itu hanyalah Indonesia yang dipaksakan. Bangsa dan tanah air tidak lagi satu. Tentara memegang kendali sebab pemahaman negara sebagai sebuah integrasi wilayah harus dibarengi dengan represifitas tentara terhadap rakyat. Pemahaman mereka bukan integrasi ide dan gagasan," lanjut Ilham Tegas.
"Baik, Para Pembuka jelas lebih tahu realitas itu dibanding kita."
"Sekarang ini kita hidup dalam keterasingan. Orang-orang tua yang rapuh dan menyerah kemudian mati. Anak-anak muda gamang tidak punya identitas seperti janin yang kehilangan plasenta dalam kandungan. Hanya kita, Para Penjemput, yang mengerti sejarah Nusantara. Hanya kita, sebagaimana kata-kata Para Pemb
uka, yang akan mampu mengakhiri derita Republik cacat dan rapuh ini," Ilham Tegas masih terus melanjutkan omongannya. "Oh Para Pembuka, cakrawala berpikir mereka memang luas. Aku sangat ingin duduk satu meja dengan mereka."
"Tetapi sebelum tanggal yang dijanjikan, kita, Para Pengawal, belum bisa bertatap muka langsung dengan Para Pembuka," Dino Tjakra memalingkan wajahnya kembali keluar jendela. Mereka kembali terbang di atas lautan. Tampak selat Sunda. Jantungnya berdegup kencang ketika melewati tempat itu. Ada semacam desiran-desiran aneh dalam dadanya ketika pesawat melintas lautan yang memisahkan Jawa dan Sumatera. Ia kemudian menghela nafas panjang. Memalingkan lagi
wajahnya ke arah Ilham Tegas.
"Para Pembuka, satu-satunya rahasia terbesar. Bahkan kita Para Pengawal tidak ketahui sama sekali. Siapa saja mereka, berapa banyak mereka, dan ada dimana mereka""
Ilham Tegas tidak menanggapi. Pikirannya menerawang jauh, mencoba mengingat-ingat perkenalannya dengan Kelompok Patriotik. Sebuah email dengan setumpuk gagasan, satu tahun yang silam, ia terima. Pengirimnya tanpa identitas, kecuali menyebut diri sebagai Para Pembuka dari Para Penjemput dari dunia yang dilupa. Gagasan-gagasan itu terus mengalir. Ten-tang masa silam yang hilang, masa lalu yang ter-lupa, abad demi abad yang tenggelam, hingga masa berpuluh tahun sebelum masa sekarang yang telah dilupa.
"Kami adalah murid langsung Profesor Sunanto Arifin. Orang yang telah membuka rahasia dan cakrawala terlupa tentang Nusantara."
Pernyataan itu singkat, tetapi menimbulkan banyak tanda tanya. Orang-orang yang mengaku sebagai Para Pembuka itu seperti sudah mengenal dirinya. Men-jadikan dirinya sebagai sasaran untuk dijadikan sebagai bagian dari kelompok terdepan untuk mewujudkan ambisi mereka. Lima jenis teka-teki ia pecahkan dengan cepat. Kepercayaan kelompok ia dapatkan.
Akhirnya ia bersama dengan beberapa orang lain-nya duduk dalam kelompok lapis dua dalam jenjang hirarki keanggotaan, Para Pengawal. Mereka beragam latar belakang dan dihubungi dengan cara berbeda oleh Para Pembuka. Tetapi memiliki satu kesamaan penting. Mereka tidak pernah berhubungan langsung dengan Para Pembuka. Ide dan gagasan mengenai Negara Kelima telah
membuat mereka lupa untuk menuntut lebih banyak kepada Para Pembuka, bahkan untuk sekadar bersua langsung.
Ilham Tegas meniupkan semua lamunan itu. Ia meyakinkan diri bahwa tanggal yang sudah dijanjikan tinggal hitungan jari. Tidak lama lagi, ia dan Para Pengawal lainnya dari Para Penjemput, akan bertemu dengan Para Pembuka yang selama ini membimbing mereka. Ia coba mengalihkan topik pembicaraan.
"Kau yakin, kita Para Penjemput keempat, bisa tunaikan janji ribuan tahun""
"Kita harus yakin. Tidak ada senjata yang bisa mematikan keyakinan," Dino Tjakra terlihat tegar.
"Kau percaya benda itu bisa memberikan kekuatan sebagaimana cerita dari tiap generasi para penjemput""
"Ia memberi kekuatan pada hati dan jiwa kita. Revolusi ini bukan keajaiban sehari dua hari. Kita baru akan mengobarkannya. Butuh waktu, butuh nyawa, butuh kehancuran. Sebab tidak ada kebangkitan tanpa kehancuran."
Perasaan Ilham Tegas kembali tenang mendengarkan jawaban Dino Tjakra. Api revolusi kembali membakar jiwanya. Jakarta akan berubah jadi api, dibakar oleh rakyat sendiri.
"Ah, Negara Kelima," Ilham Tegas kembali memejamkan mata.#
27 Komplikasi akut berbagai penyakit mendera tubuh
kurus Profesor Duani Abdullah. Diabetes telah melumpuhkan kakinya. Paru-parunya pun sudah berlubang. Penyakit yang tidak mungkin disembuhkan. Laki-laki tua itu memang keras kepala, tidak mau diatur bahkan untuk kesehatannya sendiri. Ia baru berhenti merokok setelah dokter memvonis paru-parunya tidak lagi bisa diselamatkan. Sekarang, sisa hidupnya harus dijalani dengan segala pembatasan.
Eva Duani membelai-belai kepala ayahnya. Batuk parahnya sudah berhenti. Beberapa bungkus obat beda jenis tergeletak di sisi ranjangnya. Pada kondisi seperti ini, hati Eva Duani luluh. Segala kemarahan dan kekesalannya pada sang ayah, sirna. Yang ada hanya kesedihan yang terungkap dalam belaian sayang.
"Mana dua orang l aki-laki tadi"" Profesor Duani Abdullah berusaha bangkit dari ranjang. Eva Duani reflek menahannya.
"Ada di luar." "Suruh mereka masuk."
"Ayah butuh istirahat," Eva Duani menahan.
Tetapi Profesor Duani Abdullah merengut. Ia tetap
bersikeras untuk melanjutkan pembicaraan dengan dua orang anak muda tadi. Tampaknya hatinya sudah luluh, kecurigaannya perlahan hilang dan ia tidak ingin anak muda itu sendirian menghadapi ketidakpastian. Eva Duani tidak bisa menolak permintaan ayahnya.
Timur Mangkuto dan Genta agak enggan masuk kamar laki-laki tua itu. Dua kursi dari meja makan dipindahkan ke dalam, sementara Eva Duani duduk di samping ayahnya.
"Sampai di mana pembahasan kalian tadi"" Profesor Duani Abdullah membuka pembicaraan.
"Posisi Lautan Atlantis, Pak," Timur menjawab.
"Jadi, kesimpulannya""
"Belum ada, Prof. Bagaimana menjelaskan posisi Atlantis di bagian barat Mesir Kuno" Orang-orang Punt dianggap berasal dari sana..." Genta menimpali.
"Artinya Atlantis adalah lautan yang terletak di bagian barat mesir kuno""
"Seharusnya begitu Prof," Genta mengernyitkan dahi.
"Tolong ambilkan bola dunia itu!" Bola dunia kecil yang diletakkan pada bagian atas rak buku diambil oleh Timur Mangkuto. Profesor Duani Abdullah memutar-mutar bola dunia sebentar, lalu membalikkan posisinya.
"Bagaimana biasanya kalian melihat peta""
"Arah utara pada bagian atas," Timur Mangkuto menanggapi.
"Apa saya boleh melanggar aturan dengan membalikkan bola dunia sehingga selatan berada pada bagian atas""
"Tetapi akan sulit untuk membaca peta itu." "Tetapi boleh kan""
"Tentu saja boleh, Prof. Sebab itu tidak akan merubah substansi peta."
Profesor Duani Abdullah bangkit dari ranjang dan bersandar pada dindingnya. Ia mengarahkan telunjuk pada bola dunia yang ia pegang terbalik. Dunia lama menurut Profesor Duani Abdullah identik dengan peradaban bagian selatan bumi. Itu sebabnya orang-orang Mesir kuno menggambarkan peta mereka dengan selatan sebagai atasnya bukan utara seperti yang dikenal sekarang. Munculnya peradaban dunia baru yang sebagian besar terletak pada bagian utara bumi seperti Yunani, Romawi, dan Cina telah merubah posisi utara dan selatan pada peta. Sampai saat ini orang-orang mengenal utara selalu pada posisi atas.
"Walaupun peta yang dibuat oleh orang-orang Mesir Kuno sangat jauh dari gambaran peta se-sung-guh-nya, mereka sudah bisa mereka-reka dan memberi nama pada tempat-tempat yang cukup jauh untuk dilayari. Kalian sudah mengerti apa konsekuensinya kalau selatan berada pada bagian atas peta""
"Bagian barat akan pindah dari sebelah kanan Mesir menjadi sebelah kiri Mesir," Timur Mangkuto menjawab mantap.
"Lalu"" "Lautan Atlantik kuno adalah Laut Arab dan Lautan Hindia bukan Atlantik yang kita kenal sekarang," Genta melanjutkan dengan takjub.
"Dan Atlantis itu muncul di Lautan Atlantik yang kita kenal sekarang dengan nama Samudera Hindia," Eva Duani mempertegas.
Keyakinan Timur Mangkuto pada kemungkinan tenggelamnya Atlantis di lautan Nusantara mulai terbangun. Apalagi kemudian Profesor Duani Abdullah kembali
mempermainkan bola dunia yang ada di tangannya.
"Pada dasarnya dunia hanya punya satu lautan. Semua bagian dari lautan dunia ini bisa disebut dengan Atlantik."
Penjelasan baru ini terdengar aneh. Tetapi sebelum muncul pertanyaan, Profesor Duani Abdullah buru-buru melanjutkan penjelasannya sambil menyusuri bola dunia dengan telunjuk kanannya.
"Laut dunia satu. Tiap tetes air laut bisa berakhir pada tepian samudera mana pun di permukaan bumi ini. Aristoteles dalam bukunya De Coelo menjelaskan dengan lebih gamblang, bahwa nama Atlantik mengacu pada semua lautan yang mengitari bumi."
Ketiganya ikut memerhatikan bola dunia. Pen-jelasan Profesor Duani Abdullah memang tidak salah. Tidak ada daratan yang bisa menghalangi pertemuan semua lautan yang terdapat di dunia ini. Atlantik bertemu pasifik di ujung Amerika Selatan. Pasifik sudah bercampur baur dengan Lautan Hindia di perairan Indonesia sedangkan di ujung selatan Afrika, Lautan Hindia bercampur baur dengan lautan Atlantik. Begitu juga dengan Lautan Antartika dan Artik bercampur tanpa sekat dara
tan dengan lautan dunia lainnya.
"Apakah Nusantara Kuno seluas Libya dan Asia Minor"" Timur Mangkuto masih belum kehabisan argumen.
"Ingat Asia Minor adalah wilayah yang kenal dengan sebutan Turki saat ini. Tentu akan sama luasnya. Bahkan mungkin bisa jadi lebih luas. Coba perhatikan lagi peta ini," Genta menanggapi sambil menunjuk titik-titik tertentu pada peta Indonesia. Untuk masalah ini, ia tampaknya sudah sangat mengerti. "Coba bayangkan seandainya Atlantis yang tenggelam itu mem-bentang dari Laut Cina
selatan hingga perairan Samudera Indonesia. Lalu dari barat ke timur membentang dari ujung Sumatera hingga pulau-pulau kecil yang kita kenal sebagai Oceania saat ini dan semuanya tenggelam kecuali bagian tinggi yang tidak pernah dihuni pada masa lampau. Bayangkan betapa luasnya."
"Benua luas yang tenggelam itu disebut Lemuria. Atlantis adalah negeri terbesar di atas benua tersebut," tambah Profesor Duani Abdullah.
Profesor Duani Abdullah tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak bercerita. Biasanya ia selalu enggan bercerita lengkap tentang kemungkinan keberadaan Atlantis di lautan Nusantara. Kalaupun ada yang ber-tanya biasanya penjelasan yang ia berikan hanya sebatas bahasan mengenai dialog Tirnaues and Critias karangan Plato. Berhadapan dengan dua orang anak muda de-ngan rasa ingin tahu menggebu-gebu, ia melanggar janji pada dirinya sendiri untuk menghentikan mimpi mencari Atlantis yang tenggelam di lautan Nusantara.
Peradaban manusia menurut Profesor Duani Abdullah tidak muncul begitu saja pada tiap titik tempat tertentu di dunia. Semua peradaban manusia yang kemudian muncul pada titik-titik tertentu itu berasal dari satu tempat yang sama. Surga purba manusia setelah terjadinya migrasi kelompok pertama manusia dari Afrika yang iklimnya tidak bersahabat adalah Benua Lemuria, Nusantara Kuno. Di situlah manusia untuk pertama kalinya membangun peradaban mereka. Koloni terbesar dari manusia-manusia itu adalah mereka yang mendiami Atlantis. Lemuria adalah padang rumput luas dengan pohon-pohon kecil. Orang-orang Yunani menyebutnya dengan sebutan Elysian, sedang-kan orang-orang Mesir
Kuno menyebutnya dengan istilah Sekhet Aaru.
Nusantara Kuno atau Benua Lemuria juga disebut To-Wer atau tanah asal oleh orang-orang Mesir Kuno. Dari orang-orang Punt yang berasal dari To-Wer inilah kemudian para pendeta di Kota Sais mendapatkan cerita tentang Atlantis. Orang-orang Dravida, penduduk asli India sebelum kedatangan orang-orang Arya, me-nyebut tanah asal itu dengan istilah Taphropane. Suatu nama yang kemudian bisa diinterpretasikan sebagai Pulau Sumatera yang mereka anggap sebagai surga asal nenek moyang. Sedangkan orang-orang Indian Tupi Guarani menyebut tanah asal mereka dengan sebutan Yvymaraney. Sementara orang-orang Maya menyebut Aztlan untuk tanah leluhur mereka.
Profesor Duani Abdullah melanjutkan ceritanya dengan kembali memainkan bola dunia. Ia memperlihatkan wilayah yang sekarang dikenal sebagai Laut Cina Selatan.
"Lebih dari sebelas ribu tahun yang lalu tempat itu merupakan daratan dan bagian dari Benua Lemuria. Tetapi kemudian dengan berakhirnya jaman es, se-bagian besar dari daratan Lemuria tenggelam. Yang tersisa adalah apa yang sekarang dikenal sebagai pulau-pulau Nusantara yang terbentang luas dengan batas laut antara tiap pulau. Tumpahan air dari es yang mencair telah menenggelamkan bagian dari benua itu sedalam 100-150 meter. Itu sebabnya kedalaman Laut Cina Selatan pada bagian yang dekat dengan ke-pulauan Nusantara, yaitu di atas Kalimantan, tidak lebih dari 300 meter. Sedangkan pada bagian utara dekat Pulau Luzon yang bukan bagian dari Nusantara Kuno ke-dalamannya lebih dari 3960 meter," ujarnya diikuti jeda sebentar. "Tetapi Timaeus and Critias sebenarnya belum memberikan bukti yang kuat
mengenai ke-beradaan Atlantis di Nusantara Kuno. Aku punya teori yang lebih meyakinkan."
"Bagaimana teorinya, Pak"" tanya Timur Mangkuto penuh minat.
"Bukti bahwa Atlantis tenggelam di lautan Nusantara Kuno justru bisa ditelusuri dari pembentukan peradaban awal dunia baru."
"Peradaban awal dunia baru, maksudnya""
"Peradaban Ind ia, Mesopotamia, dan Mesir sebagai peradaban pertama dunia baru yang tercatat dalam sejarah manusia modern."
"Bagaimana dengan peradaban Cina, Yunani, dan Romawi""
Profesor Duani Abdullah menggelengkan kepala. Ia menjelaskan bahwa peradaban Cina, Yunani, dan Romawi tidak bisa disebut peradaban awal dunia baru, sebab baru berkembang setelah tiga peradaban se-belumnya.
Peradaban India, Mesopotamia, dan Mesir dalam catatan sejarah yang ditemukan memiliki umur rata-rata 35 abad sebelum masehi. Sedangkan peradaban Cina dan Yunani umurnya berkisar angka sepuluh hingga dua puluh abad sebelum masehi. Romawi bahkan tidak bisa dianggap sebagai peradaban awal dunia baru. Karena berkembang hanya beberapa abad sebelum masehi.
"Satu lagi peradaban awal dunia baru yang jarang disebut adalah Maya. Dalam skala waktu terletak pada masa antara kebudayaan dunia baru pertama dengan kedua," jelas Profesor Duani Abdullah.
"Lalu bagaimana kita bisa mengaitkan peradaban itu dengan Atlantis yang tenggelam"" Timur Mangkuto masih bingung.
Profesor Duani Abdullah kembali menggunakan bola
dunia sebagai alat bantu penjelasannya. Telunjuk-nya mengarah pada lautan yang terbentang dari Nu-santara menuju arah barat.
"Tiga peradaban tertua itu persis berada pada garis yang dilalui oleh Lautan Hindia. Ini akan menjelaskan arah yang di tempuh sisa-sisa menusia Atlantis yang selamat setelah banjir besar itu. Mereka mengarungi lautan menuju arah barat. Itu sebabnya peradaban awal dunia baru terbentuk di sepanjang bentangan Lautan Hindia bukan di tempat lainnya."
Penjelasan itu memang tepat dan benar. Peradaban India Kuno yang terletak di lembah Hindus persis menghadap pada Lautan Hindia. Mesopotamia Kuno yang terletak di Lembah Eufrat dan Tigris juga terhubung dengan lautan Hindia oleh Teluk Persia. Sedangkan peradaban Mesir Kuno jelas terhubung dengan Lautan Hindia oleh Laut Merah. Peradaban India paling tua, kemudian disusul Mesopotamia, terakhir Mesir. Sesuai dengan hirarki jarak yang ditempuh dari arah Kepulauan Nusantara Kuno.
"Jadi tiga peradaban besar itu dibentuk oleh orang-orang Atlantis yang selamat"" Timur Mangkuto seperti ternganga.
"Empat bukan tiga," jelas Profesor Duani Abdullah
"Peradaban Maya kemudian menyusul dalam tempo belakangan. Sebab manusia Atlantis membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai Amerika Tengah, tepatnya Semenanjung Vucatan dari Kepulauan Nusantara."
"Dan mereka mengarungi Lautan Pasifik untuk mencapai tempat itu," Timur Mangkuto mulai mengerti jalinan ceritanya. "Aku mulai bisa mengerti. Itu semua bisa
dibuktikan dengan letak Kepulauan Nusantara yang terletak antara Lautan Pasifik dan Hindia. Ke arah barat Lautan Hindia membentuk tiga peradaban awal dan ke arah timur Lautan Pasifik membentuk satu peradaban." Profesor Duani Abdullah mengangguk-anggukkan kepala. Perwira polisi itu tidak sebodoh yang ia kira.
"Teori ini akan menghancurkan teori yang menyatakan bahwa orang-orang Maya datang dari Asia ke Amerika melalui Selat Bering. Sebab mereka datang dari arah Nusantara kuno, Atlantis yang tenggelam dengan menggunakan kapal sebagaimana rombongan yang bergerak ke arah barat. Empat peradaban itu mungkin lebih tua dari yang tercatat sejarah."
"Kapal"" "Tentu! Bukankah dalam Tirnaues and Criteas diceritakan bagaimana pelabuhan, dok, dan kapal-kapal yang berlabuh di Atlantis," Profesor Duani Abdullah mengulum senyum. "Itu sebabnya piramid bisa di-temukan baik pada kebudayaan Maya maupun Mesir Kuno. Seperti juga sistem kalender bisa ditemukan pada kebudayaan Mesopotamia dan Maya. Dan yang terpenting adalah gambaran tentang kota kuno Mohenjo Daro dan Harappa di Lembah Hindus yang hampir sama dengan gambaran Plato dalam Timaeus and Critias tentang Kota Atlantis."
"Jadi peradaban dunia baru juga dibentuk oleh orang-orang dunia lama, Atlantis pada Nusantara Kuno""
"Betul! Tetapi ketika peradaban sudah berpindah ke dunia utara, Yunani, Cina, dan Romawi perlahan dunia lama dilupakan hingga saat ini. Orang-orang dunia utara tidak pernah ingin dunia selatan yang miskin dan terbelakang bangkit karena mengenal se-jarah kebesaran mereka
."* 28 Profesor Duani Abdullah batuk-batuk kecil. Tetapi ia
masih berusaha untuk melanjutkan cerita. Eva Duani menyodorkan satu gelas air putih pada ayahnya.
"Tenggelamnya Lemuria dan Atlantis adalah akhir dari era dunia lama. Nusantara kuno kemudian disebut sebagai Ultima Thule, batas yang tidak boleh dilewati. Nusantara kuno adalah tempat yang disebut-sebut orang Yunani sebagai Hades, neraka yang berada di dasar bumi. Tidak ada yang akan pernah kembali ketika melewati Ultima Thule. Lautan ganas dengan tonjolan-tonjolan karang, sisa dari benua yang tenggelam."
"Bagaimana dengan Serat Ilmu, benda berbentuk piramid hitam dengan belahan diagonal pada bagian alasnya"" Genta memotong.
Pertanyaan itu tidak langsung dijawab oleh Profesor Duani Abdullah. Ia memandang tajam pada Genta, kurang senang mendengar pertanyaan itu.
"Kenapa kamu menanyakannya""
Giliran Genta yang diam. Ia memandang Timur Mangkuto, berharap perwira pertama polisi yang tengah menjadi buronan itu untuk berbicara.
"Simbolisasi benda itu terdapat pada tubuh dua orang korban pembunuhan," jawaban singkat Timur Mangkuto
menyelamatkan Genta.
Negara Kelima Karya Es Ito di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ohhhh..." Profesor Duani Abdullah mengeluh tertahan. "Nanto gila! Anak-anak muda itu ia jejali dengan dongeng purba mengenai kekuatan benda itu."
"Jadi, Serat Ilmu itu sebenarnya tidak ada Prof"" Genta tidak sabar menyela lagi.
"Entahlah, tetapi menurut cerita, beberapa orang yang selamat dari Atlantis bisa menyelamatkan benda yang dulu diletakkan di tengah-tengah Kota Atlantis. Jalanan di Atlantis dibuat melingkar mulai dari sisi paling luar hingga sisi paling dalam. Pada jantung kota itulah diletakkan benda itu. Benda tersebut adalah simbol bersatunya alam-manusia dalam harmoni dan stabilitas. Sebagian ahli menginterpretasikan benda itu adalah sumber kekuatan Atlantis. Kekuatan yang telah membuat Atlantis besar dan berjaya."
Buku Tirnaes and Critias kembali dibolak-balik oleh Profesor Duani Abdullah hingga ia menemukan paragraf yang hendak ia perlihatkan.
Sekarang dibuat hukum dan ketentuan yang lebih tinggi di atas mereka. Dan hubungan timbal balik antara mereka diatur oleh Poseidon yang menguasai setiap hukum dan ketentuan. Semua ini dituliskan oleh raja pertama pada Pillar Orichalcum yang terletak di tengah-tengah pulau pada kuil Poseidon. Tempat para raja berkumpul setiap enam tahun sekali. Memberi penghormatan yang sama untuk urutan ganjil dan genap.
"Jadi tepatnya"" sela Genta.
"Benda itu adalah Pillar Orichalcum sebagaimana disebutkan Plato. Terbuat dari material orichalcum yang
nilainya hanya kalah dari emas. Tetapi pada akhirnya ketika Atlantis ditimpa kemorosotan, benda sialan itu hanya menjadi sumber malapetaka dan ke-serakahan," ujar Profesor Duani Abdullah terlihat kesal.
Karena pencarian benda itulah, ia bertiga dengan temannya harus cekcok dan akhirnya berpisah. Benda itu telah memikat Profesor Sunanto Arifin untuk meng-gelontorkan keinginan mengadakan perubahan politik di Indonesia. Juga memikat Profesor Budi Sasmito untuk mengeruk keuntungan dari penemuan benda itu. Tetapi sampai saat ini tidak ada satu pun dari mereka yang menyatakan telah menemukan benda itu. Bahkan setelah salah satu dari mereka meninggal dunia.
"Bagaimana dengan lempeng emas Tataghata" Apakah artinya Prof"" raut wajah Genta terlihat serius ketika menanyakan hal itu.
"Kamu tahu banyak rupanya""
"Cuma sedikit, Prof. Kebetulan gambaran benda itu juga ditemukan polisi dari sisa-sisa dokumen KePaRad. Profesor Budi Sasmito menjelaskan bahwa gambar yang ditemukan itu menunjukkan lempeng emas Tataghata."
"Lempeng emas itu sekarang terdapat di Museum Nasional dengan kode 785b. Benda itu ditemukan di dekat Desa Tanjung Medan, Lubuk Sikapiang, Sumatera Barat."
"Apa hubungannya dengan Serat Ilmu Atlantis, Prof""
"Hubungannya seperti baut dan mur. Saling melengkapi."
Genta terlonjak kaget mendengar jawaban tersebut. Ekspresi wajahnya berubah seperti menunjukkan ke-gembiraan yang tertahan.
"Bagaimana bisa""
Untuk sesaat Profesor Duani Abdullah memerhatikan
perubahan raut wajah anak muda bertubuh tambun itu. yang ia tangkap dari anak muda itu adal
ah keingintahuan yang menggebu-gebu. Semangat yang membuat banyak orang tua ingin kembali pada gairah muda mereka. Lempeng emas Tataghata memang muncul ribuan tahun setelah tenggelamnya Atlantis. Tidak ada yang tahu persis untuk apa benda itu dibuat dengan kelopak mahkota yang menunjukkan delapan arah dengan empat tulisan pada tiap ujung utamanya dan satu tulisan pada bagian tengah. Tetapi ketika isu tentang kemungkinan tenggelamnya Atlantis di Lautan Nusantara Kuno, bebeberapa orang menghubungkan benda itu dengan kemungkinan reinkarnasi Atlantis.
Lempeng emas Tataghata menurut Profesor Duani Abdullah dibuat sebagai alat bantu Serat Ilmu. Keretak-an diagonal pada bagian alas Serat Ilmu telah meng-hilangkan kemampuan benda itu. Beberapa orang pada awal abad Masehi yang percaya telah menemukan Serat Ilmu di Kepulauan Nusantara. Percaya lempeng emas yang mereka buat itu bisa mengatasi keretakan diagonal pada bagian alas Serat Ilmu. Tanpa lempeng emas Tataghata maka Serat Ilmu tidak akan ada artinya. Keretakan pada bagian alas telah mengurangi sebagian kekuatan Serat Ilmu. Hanya saja tidak ada bukti-bukti tertulis yang menunjukkan bahwa benda itu memang dimaksudkan untuk hal itu. Hanya rumor, demikian Profesor Duani Abdullah menjelaskan.
"Bagaimana kalau cerita itu benar"" Genta masih bersemangat. Profesor Duani Abdullah Cuma angkat bahu.
"Maksud kamu"" Timur Mangkuto mencari ke-jelasan.
"Bagaimana kalau kelompok radikal itu sampai mendapatkan lempeng emas Tataghata dan Serat Ilmu""
"KePaRad, maksud kamu"" "Ya!"
Dugaan Genta seperti menyadarkan Timur Mangkuto akan beratnya tugas yang harus ia tuntaskan. Kalau benda itu sampai jatuh ke tangan KePaRad, maka akan semakin sulit bagi dirinya untuk me-nemukan pembunuh Rudi.
"Kita berangkat sekarang," Timur Mangkuto mengambil keputusan.
"Ke mana"" Eva Duani menyela. "Museum Nasional!"
"Terlalu riskan. Apa kamu tidak bisa bersabar"" Eva Duani tidak setuju dengan rencana Genta. Sementara Profesor Duani Abdullah tidak berkomentar.
"Harus malam ini atau seumur hidup aku tidak akan pernah bisa menemukan pembunuh Rudi. Genta kita berangkat sekarang juga!"
Keinginan Timur Mangkuto tidak bisa diubah lagi. Dalam gelap malam, bersama dengan Genta, ia keluar mencari taksi. Eva Duani tidak bisa menghentikan Timur Mangkuto. Ia hanya bisa menunggu janji Timur Mangkuto bahwa lewat tengah malam ia akan kembali. Profesor Duani Abdullah diam saja. Ia mengambil lembaran kertas berisi teka-teki hasil interogasi dari tangan Timur Mangkuto.*
29 Sepuluh menit menjelang pukul sebelas malam.
Suasana semakin sepi kecuali beberapa pedagang keliling yang menjajakan makanan. Hampir tidak ada lagi penduduk yang berkeliaran di jalanan. Rumah ukuran menengah itu tampak sunyi senyap. Lampu di ruangan tengah lantai bawah dan lantai atas telah padam. Cahaya hanya berasal dari lampu teras dan lampu pada beberapa kamar yang terdapat pada bagian sayap rumah. Eva Duani akan masuk kamar ketika ia mendengar suara mobil berhenti di depan pagar rumah.
Ia berjalan kearah pintu. Dari balik korden ia mengintip. Tidak mungkin Timur Mangkuto dan Genta balik begitu cepat. Kalaupun betul mereka, tidak mungkin begitu mencolok membawa mobil hingga depan rumahnya. Tiba-tiba ia menangkap kelebatan orang-orang berpakaian gelap meloncat masuk ke halaman rumahnya. Lampu luar yang redup membuat ia sulit mengidentifikasi orang-orang itu. Tetapi sekilas ia bisa melihat empat orang dengan senapan semi otomatis berpencar menuju sisi-sisi rumahnya. Satu orang lain-nya di depan pagar tampaknya menunggu konfirmasi dari empat orang yang bergerak itu.
Eva Duani bergidik ngeri. Ia tidak bisa membayangkan
siapa orang-orang yang tengah mengepung rumahnya. Ia lihat lagi ke arah luar. Laki-laki berpakaian gelap yang tadi berdiri di depan pagar tengah berjalan ke teras rumah dengan menggenggam satu pucuk pistol. Eva Duani kalut tidak tahu harus berbuat apa. Sementara itu, ayahnya sudah tidur. Kecuali mereka tidak ada lagi orang yang berada di dalam rumah. Ia hanya bisa bersandar di depan pintu. Tidak tahu harus berbuat apa.
"Tok...Tok...Tok..." terden
gar suara pintu utama diketuk.
Tidak terdengar sahutan dari dalam rumah. Laki-laki itu mengetuk pintu dengan ketukan yang lebih keras. Tetapi belum juga terdengar ada suara menyahut dari dalam.
"Tolong buka pintu..." laki-laki itu semakin tidak sabar. Eva Duani semakin dilanda rasa takut. Ia ingin lari dan sembunyi, tetapi kakinya terasa seperti terpaku di balik pintu.
"Buka pintunya!" laki-laki itu seolah mengetahui ada orang yang berada di balik pintu rumah. "Kami polisi!" Dari balik korden jendela panjang, sosok wajah cantik bermata sipit itu akhirnya memperlihatkan diri. Laki-laki berpakaian gelap mengerti kepastian apa yang dibutuhkan oleh perempuan itu. Dari balik jaketnya ia memperlihatkan lencana polisi. Pintu utama rumah itu akhirnya dibuka.
"Maaf, ada apa"" Eva Duani bertanya dengan ragu.
"Perkenalkan, saya Komisaris Polisi Melvin dari Detsus Antiteror Polda Metro Jaya," laki-laki itu mem-perkenalkan diri sambil memberi isyarat pada anak buahnya untuk bergerak ke arah pintu. "Apa benar Anda bernama Eva Duani""
"Iya, saya. Ada apa""
"Kami mencari dua orang ini."
Foto dua orang buronan yang tengah dicari oleh polisi, Timur Mangkuto dan Genta, diperlihatkan oleh Melvin pada Eva Duani. Perempuan itu menggeleng. Ia mengaku tidak kenal dengan dua orang tersebut apalagi sampai menyembunyikan mereka di dalam rumahnya. Melvin tidak begitu saja percaya pada Eva Duani.
"Maaf, kami harus menggeledah rumah Anda."
"Apa Anda punya bukti saya menyembunyikan mereka"" Eva Duani menantang.
"Salah seorang petugas kami melihat Anda bersama mereka. Maaf kami harus menggeledah rumah ini.
Tidak ada lagi yang bisa menghalangi Melvin. Ia memberikan isyarat pada anak buahnya untuk masuk dan mulai menggeledah rumah itu. Seorang petugas patroli Jalan raya Polres Depok yang berjaga di se-panjang Jalan Margonda Raya mengaku melihat Timur Mangkuto bersama dengan seorang wanita dan laki-laki dengan tubuh agak tambun. Tetapi penjelasan dari petugas itu sebenarnya masih diliputi keraguan. Sebab ia belum bisa terlalu memastikan bahwa sosok itu adalah Timur Mangkuto.
Para polisi itu mulai menggeledah bagian tengah rumah, tetapi mereka tidak menemukan apa-apa. Mereka terus masuk ke bagian dalam rumah yang telah disulap menjadi perpustakaan pribadi. Dua orang naik ke lantai dua rumah yang gelap tidak terpakai. Sementara dua orang lagi bersiap untuk memeriksa dua kamar yang menyayap terhadap bagian tengah rumah.
"Mana surat tugas kalian!"
Bunyi kursi roda yang berderit-derit terdengar dari a-rah pintu kamar yang akan dimasuki oleh polisi. Profesor
Duani Abdullah ternyata belum bisa me-mejamkan matanya. Ia mendekati Melvin.
"Mana surat tugas kalian! Atau, saya bisa menuntut kalian telah mengganggu ketentraman saya"" ia me-minta lagi bukti perintah itu.
Melvin gelagapan. Ia mendatangi rumah ini me-mang tidak dibekali dengan surat tugas. Yang ia dapat-kan hanyalah perintah lisan dari Riantono untuk me-lakukan penggeledahan ditambah dengan persetujuan lisan yang diberikan oleh Kapolda. Tidak dalam bentuk tertulis.
"Mana"" Profesor Duani Abdullah mendesak.
"Maaf Pak, kami terpaksa melakukan ini semua karena kondisinya sangat darurat," Melvin coba meng-elak.
"Aku tanya mana surat tugas kalian"" laki-laki gaek itu masih bersikeras.
"Saya tidak bawa dalam bentuk tulisan. Tetapi Bapak bisa konfirmasikan pada komandan saya lewat telepon bahwa operasi ini telah disetujui oleh Kapolda."
"Peduli setan!"
"Maaf..." Pencarian yang tadi terhenti akibat kemunculan Profesor Duani Abdullah, kembali dilanjutkan. Melvin mengambil risiko. Ia memberi isyarat pada anak buah-nya untuk melakukan penggeledahan dengan atau tanpa seijin dari pemilik rumah. Profesor Duani Abdullah dan Eva Duani pasrah.
Dua puluh menit penggeledahan rumah dan pekarangan sekitarnya. Hasilnya nihil. Tidak ada yang mereka temukan bahkan sekadar petunjuk keberadaan dua orang buronan itu. Melvin memutuskan untuk menghentikan operasi pencarian.
"Maaf sudah mengganggu ketentraman Anda, Prof.
Tetapi kalau dua orang ini datang kesini tolong beri-tahu kami. Mereka sangat berbahaya," Melvin meng-akhiri pengge
ledahan dengan kepasrahan.
Sebelum meninggalkan rumah hanya kata-kata itu yang terucap dari mulut Melvin. Kata-kata yang sama sekali tidak ditanggapi oleh dua orang penghuni rumah. Deru mobil perlahan meninggalkan jalanan depan rumah. Eva Duani menarik nafas lega.
"Untung mereka dari tadi sudah berangkat," gumamnya.*
30 Museum bagi orang Indonesia tidak ubahnya
gubuk-gubuk kotor pelacuran. Kotor, enggan untuk dimasuki kecuali untuk orang-orang yang memiliki selera tertentu. Museum di Jakarta seperti gudang tidak berpenghuni. Jarang dikunjungi. Sementara di ujung jalan, plaza dan mail menjadi mu-seum kedigdayaan kapitalisme Barat."
Sepanjang perjalanannya menuju Museum Nasional yang terletak di daerah Medan Merdeka dekat Monas, Genta terus berbicara. Laki-laki tambun itu benar-benar membenci orang Indonesia, tepatnya mental kotor dari orang Indonesia.
"Setiap tahun ibu-ibu Indonesia melahirkan pe-lacur baru dari rahimnya dan juga menghasilkan bayi laki-laki yang kelak menjadi sampah peradaban."
Demikian Genta melanjutkan orasinya sendiri, semen tara Timur Mangkuto mengikuti saja semua ocehannya.
Dari Depok keduanya menumpang taksi. Keadaan yang cukup gelap menguntungkan sebab tidak ada yang mengenali mereka. Sebenarnya Timur Mangkuto agak sangsi mereka akan dengan mudah memasuki museum itu. Tetapi menurut Genta yang pernah beberapa kali masuk Museum Nasional, pengamanan dalam gedung itu tidak
terlalu ketat. Bahkan dibanding beberapa tempat seperti pusat perbelanjaan, pengamanan museum tidak ada apa-apanya. Menghargai masa lalu bagi orang Indonesia adalah omong kosong.
Itu pun, menurut Genta, kalau mereka beruntung benda itu belum dicuri oleh pihak lain. Sebab di Jakarta, perkara hilangnya benda museum tidak pernah diberitakan oleh media massa. Tentu saja media massa Indonesia lebih senang memberitakan gonjang-ganjing para artis yang tidak pernah mendunia dibanding hal semacam ini.
Akhirnya bangunan putih itu terlihat dalam temaram malam. Lalu lalang kendaraan sudah mulai sepi. Tidak jauh dari situ, satu unit mobil polisi buatan Korea parkir. Keduanya memilih turun di seberang jalan gedung, tempat beberapa pasangan berasyik-masyuk. Dari arah seberang jalan, terlihat penjagaan Museum Nasional sama sekali tidak ketat. Selain tiga orang petugas yang berdiri pada pos penjagaan depan, tidak terlihat lagi penjagaan yang mencolok. Penjelasan Timur bahwa pemerintah dan orang Indonesia sama sekali tidak peduli pada saksi masa lalu, sedikit banyak terbukti. Setelah mereka berdua jalan berkeliling se-panjang sisi museum, tidak tampak lagi pengamanan berarti pada lingkungan museum itu.
Dengan mengenakan tutup wajah berwarna hitam dan jaket kulit hitamnya, Timur Mangkuto memanjat pagar samping gedung yang berhadapan dengan gang sempit. Sementara itu, Genta berjaga di luar. Di sam- ping untuk memastikan keadaan sekitar aman, tubuh tambun Genta memang tidak memungkinkannya untuk ikut loncat masuk ke dalam. Sesampainya di dalam pekarangan museum, Timur Mangkuto mencari celah untuk masuk ke dalam gedung. Akhirnya, pandangan matanya tertuju pada
kamar kecil yang terdapat me-nyudut pada bagian belakang tetapi menyatu dengan bangunan. Ia masuk ke dalam kamar kecil. Benar saja pada bagian lotengnya terdapat celah untuk masuk. Perwira muda polisi itu naik ke atas loteng. Persis seperti modus pencurian yang beberapa kali pernah ia selidiki. Terdengar beberapa kali suara berderak ketika ia salah menginjak bagian triplek dari loteng.
Tidak sampai sepuluh meter, loteng triplek itu tertutup. Loteng bangunan itu meninggi hampir me-nyatu dengan atap. Tampaknya kamar mandi dan bangunan bagian belakang itu adalah bangunan tambahan, sebab lotengnya berbeda dengan ruangan inti museum. Dari balik pinggangnya Timur Mangkuto mengeluarkan pisau lipat cukup besar. Ia mulai melubangi loteng itu. Badannya bersimbah peluh ketika akhirnya loteng itu bisa ia bobol. Ia mengulurkan tali ke bawah setelah mengikatkan pada kayu, lalu turun dengan mulus.
Benda-benda yang terdapat di dalam museum itu beragam. Semuanya diberi nomer urut. Mulai dari arca, berbagai lempeng
prasasti dan tulisan, hingga diorama. Ia mulai mencari benda dengan nomor seri 785b itu. Lorong tengah museum itu sunyi tanpa suara, kecuali beberapa kali sahutan suara cicak yang berkeliaran di dinding-dindingnya. Tidak ada tanda-tanda penjaga akan berkeliling di dalamnya. Sebab para penjaga itu sudah terbiasa menerima kenyataan bahwa sekadar berkunjung saja orang Indonesia enggan ke museum apalagi mencuri benda-bendanya.
Pada bagian kanan arah depan bangunan itu, mulai terlihat berderet benda-benda dengan penomeran seri 78, dari ujung kanan nomor 781a, b, c, 782a, b, 783, a, b...
Perasaan Timur Mangkuto mulai khawatir ketika mendekati nomor yang ia cari. Ia takut mem-bayangkan seandainya benda itu tidak lagi berada di tempat itu. Ia membuka penutup wajahnya untuk memastikan.
785b lempeng emas tataghata tahun penemuan... aksara pallawa kuno
Benda yang terdapat dalam etalase kaca itu ber-bentuk lempeng pipih. Warnanya kuning mengilat seperti emas baru disepuh. Sepanjang sisi-sisinya tidak rata. Pada bagian tengah gambarannya persis seperti penjelasan Genta dan juga penjelasan yang pernah disampaikan Profesor Budi Sasmito dan Profesor Duani Abdullah. Timur Mangkuto membuka etalase kaca pelindung benda itu dengan penuh kehati-hatian. Tanpa kesulitan benda itu berhasil ia ambil. Lempeng tersebut seperti terbuat dari batu atau mungkin logam yang sangat keras dan berat. Ketika dalam pegangannya terasa dingin. Ia memandang ke atas loteng siap untuk naik menggunakan tali. Tetapi ia merasa tidak mungkin untuk naik sambil membawa benda itu. Ia melihat sekeliling ruangan. Pandangannya tertumpuk pada pintu kayu yang terdapat di ujung belakang ruangan. Tampaknya posisi pintu itu menyudut terhadap kamar kecil. Ia menertawakan dirinya sendiri, kenapa dari tadi tidak memerhatikan pintu model lama itu.
Tidak susah untuk membuka kunci pintu dari dalam. Selain pasak kayu pada bagian tengah dan kunci standar, tidak ada lagi pengamanan berarti pada pintu kayu itu. Namun ketika ia membuka pintu, terdengar suara alarm
meraung-raung. Pintu kayu rapuh itu seperti jebakan pada setiap penyusup yang masuk pada gedung museum.
Terdengar beberapa langkah cepat ke arah dalam museum dari bagian depan. Ia cepat lari dari pintu itu langsung menuju tembok samping. Tetapi satu langkah berat telah mendahuluinya ke arahnya. Timur Mangkuto terkepung. Dari belakang terdengar teriakan.
"Angkat tangan!"
Timur Mangkuto diam, ia memandang sekilas ke belakang. Penjaga yang bersenjatakan pistol itu tampak gugup dan cemas. Tampaknya baru kali ini ia menghadapi penyusup yang masuk ke dalam gedung museum.
"Angkat tangan!" ulangnya. Dua orang rekannya muncul hampir bersamaan.
Tidak ada pilihan bagi Timur Mangkuto selain mengikuti kemauan penjaga. Ia menurunkan satu kaki-nya yang sudah terlanjur naik ke atas tembok. Lalu meletakkan tangannya ke belakang kepala berjalan ke arah dinding samping museum. Penjaga yang gugup itu menendang tumit Timur Mangkuto. Memerintah-kannya untuk merenggangkan kaki. Tidak lama dua orang rekannya muncul.
"Kita apakan orang ini"" salah seorang bertanya ragu.
"Tangkap dan serahkan kepada polisi," temannya menyahut.
"Tetapi kita tidak akan dapat apa-apa, kalau polisi yang menangani. Mereka tamak!" jawab penjaga yang tadi bertanya.
Asyik berdiskusi tampaknya mereka lupa bahwa tahanan itu belum diikat dan digeledah sama sekali. Mendapat kesempatan Timur Mangkuto bergerak cepat. Tanpa membalikkan badan terlebih dahulu, ia mem-berikan
tendangan melingkar pada penjaga yang menodongkan pistol padanya. Tendangan melingkar itu tepat mengenai rahang penjaga muda. Timur Mangkuto cepat bergerak sebelum dua orang lainnya bereaksi. Pistol yang jatuh dari genggaman penjaga, ia tendang menjauh dari dua orang lainnya. Tetapi penjaga lainnya cepat bereaksi. Dengan cepat ia menerkam pistol yang tengah meluncur. Ia mendapatkannya. Tetapi aksinya itu sudah terlambat.
"Siapa di antara kalian yang ingin mati lebih dahulu"" Timur Mangkuto mengancam terlebih dulu.
Dari balik pinggangnya Timur Mangkuto ternyata lebih cepat mengeluarkan pistol. Para penjaga itu tida
k punya pilihan selain mengikuti perintah Timur Mangkuto.
"Merapat!!" Tali panjang yang tadi ia gunakan untuk turun dari lo teng museum, mengikat erat tiga orang satpam tidak berdaya itu. Timur Mangkuto cepat berlalu me-lompati tembok. Tiga orang satpam memandang penuh sesal. Baru kali ini museum mereka dibobol oleh maling.
Ketika muncul dari balik tembok museum, Timur Mang kuto melihat sebuah mobil Panther berwarna gelap terlihat parkir di seberang museum. Persis di tempat Timur Mangkuto dan Genta tadi turun dari taksi. Timur Mangkuto memerhatikan mobil itu. Matanya juga berusaha mencari Genta, tetapi ia tidak melihat laki-laki tambun itu. Perasaan tidak enak mulai menghinggapi hatinya.
"Buukk!" Sebelum Timur Mangkuto sempat berpikir lebih lanjut, sebuah pukulan tepat mengenai tengkuknya. Ia terhuyung, limbung, dan jatuh. Dari arah samping, muncul dua orang laki-laki.
Di belakang mereka Genta menyeringai puas.
Ke-mudian ia menggeledah pakaian Timur Mangkuto. Dari balik jaket, ia berhasil menemukan benda itu, lempeng emas Tataghata.
"Negara Kelima akan segera lahir!"
31 Pukul lima subuh. Eva Duani mendapati Timur
Mangkuto tengah merebahkan diri di sela jendela beton Stasiun Djuanda. Tempat yang biasanya digunakan istirahat kaum gelandangan. Tidak jauh dari Masjid Istiqlal.
Satu jam sebelumnya, ia dikagetkan telepon Timur Mangkuto. Perwira polisi yang tengah menjadi buron itu mengatakan dirinya dipukul hingga pingsan ketika baru keluar dari Museum Nasional. Lempeng emas Tataghata lenyap, begitu juga dengan Genta. Yang ia ingat hanyalah sebuah Panther berwarna gelap yang tiba-tiba muncul ketika ia keluar dari museum. Baru menjelang subuh ia siuman. Orang yang memukulnya hingga pingsan rupanya cukup berbaik hati dengan menaruh tubuh Timur Mangkuto di dalam got kering seberang jalan museum, sehingga tidak ada yang me-nemukan tubuhnya. Setelah siuman, ia mencari tempat yang lebih aman untuk menyembunyikan diri, di sela-sela jendela beton Stasiun Djuanda, yang terletak tidak jauh dari Medan Merdeka.
Kijang yang dikendarai Eva Duani kembali melaju kencang menuju arah Depok. Terlalu banyak hal yang harus
mereka selesaikan hari ini.
"Aku yakin Genta bagian dari KePaRad itu!" kata Timur Mangkuto mengungkapkan kekesalannya sesampainya di rumah Eva Duani. Ia merasa dipencudangi oleh Genta.
"Mungkin saja," Eva Duani menanggapi ringan.
"Artinya mereka sudah mendapatkan Serat Ilmu itu""
"Mungkin juga. Tetapi kenapa mereka harus menggu-nakanmu" Kenapa pula Genta harus datang ke rumah ini""
"Aku yang mengajaknya ke sini. Karena kartu nama
itu." "Tidak. Ia memang sudah mengatur semuanya. Genta memang telah berniat kesini," dugaan itu muncul begitu saja dari Eva Duani.
"Lalu untuk apa""
"Ia ingin mencari sebuah kepastian!" terdengar suara berat Profesor Duani Abdullah.
Kursi rodanya ia gerakkan mendekati Timur Mangkuto. Wajah Profesor Duani Abdullah pagi ini tampak lebih sehat dibandingkan tadi malam.
"Kepastian apa, Pak""
"Dari diriku, ia ingin memastikan bahwa lempeng emas Tataghata memang berhubungan dengan Serat Ilmu. Itu sebabnya tadi malam ia memancing-mancing pertanyaan seputar lempeng emas. Kau terpancing. Ia tidak menduga dan sama sekali tidak berencana untuk memanfaatkanmu mengambil benda itu," Profesor Duani Abdullah menggeleng-gelengkan kepalanya. "Anak muda itu memang licin. Nanto benar-benar menyiapkan mereka dengan baik untuk revolusi."
Timur Mangkuto terdiam seperti tengah menyesali semua kekeliruan dan kebodohannya yang justru bersumber dari sikap tidak sabarnya. Ia mulai sadar, Genta
telah lama mengamati hubungannya dengan Rudi. Dari perkenalan dengan Eva Duani, Genta se-benarnya juga telah mengetahui hubungan perempuan itu dengan Rudi. Tampaknya Genta tinggal menunggu momen yang tepat untuk menjalankan permainannya. Dan ia berhasil dengan kelicinan.
"KePaRad itu telah berhasil mengawinkan dua benda itu," gumam Timur Mangkuto bernada sesal.
"Mungkin kau benar! Aku baru sadar Nanto telah memecahkan teka-teki Atlantis dan Serat Ilmu."
"Bagaimana Ayah sampai pada kesimpulan itu""
"Kertas ini." Kertas catatan interogasi yan
g dibawa oleh Timur Mangkuto rupanya telah diteliti oleh Profesor Duani Abdullah.
"Maksud Ayah""
"Teka-teki ini adalah sejarah kembalinya orang-orang Atlantis ke Nusantara! Nanto telah memecahkan rahasia itu dan menjadikannya teka-teki untuk menyaring anak-anak muda yang bisa ia siapkan untuk revolusi."
"Apa Bapak sudah bisa memecahkan teka-teki itu"" Timur Mangkuto memandang penuh harap.
"Entahlah. Tetapi aku yakin dugaanku tidak akan terlalu berbeda dengan kesimpulan yang dipikirkan oleh almarhum Nanto."
Bibir merah kehitaman Profesor Duani Abdullah terangkat seperti ingin bicara tetapi ia tampak ragu-ragu untuk mengutarakan. Tetapi waktu tampaknya tidak akan berpihak pada dirinya jika ia masih ragu-ragu. Profesor Duani Abdullah memutuskan untuk buka mulut.
"Sebenarnya ada satu simpul Atlantis yang aku temu kan dengan Nanto tetapi tidak diketahui oleh Budi
Sasmito. Simpul yang seharusnya sudah bisa dijalin menjadi tali sejarah oleh almarhum Nanto. Sehingga teka-teki ini bisa ia munculkan dan sekarang digunakan oleh anak-anak muda untuk menggerakkan revolusi."
"Apa Ayah pernah menceritakannya padaku"" Eva Duani memastikan.
Profesor Duani Abdullah menggeleng. Ia mendekatkan kursi rodanya pada tempat duduk dua orang itu. Raut wajah Eva Duani menunjukkan kekecewaan karena masih ada rahasia yang disimpan sang ayah dari dirinya.
"Analisa tertutup antara aku dan Nanto yang kami rahasiakan adalah kembalinya orang-orang Atlantis ter-kait erat dengan penaklukan terbesar sepanjang sejarah yang dilakukan oleh Alexander the Great."
"Iskandar Yang Agung""
"Anggap itu dua nama yang sama."
"Tetapi bagaimana Ayah bisa sampai pada kesimpulan
itu"" "Dibalik keinginan orang-orang utara untuk mengubur sejarah dunia lama, ternyata Plato memiliki obsesi untuk mencari kembali benua yang hilang itu. Serat Ilmu mungkin telah terbawa ke Yunani oleh orang-orang Atlantis yang selamat. Tetapi mereka tidak lagi berani pulang. Tidak berani melewati Ulthima Thule. Plato ingin menemukan benua yang hilang itu sekaligus mengembalikan Serat Ilmu pada dunia lama yang terlupakan. Tetapi ia tidak punya kekuatan untuk pen-carian dan perjalanan itu. Hanya satu orang yang bisa melakukannya, Iskandar Yang Agung..."
"Tetapi Yah, bukankah Iskandar melakukan penaklukan itu jauh setelah Plato meninggal""
"Betul. Tetapi kita akan berbicara tentang hubungan
antara Aristoteles dengan Plato dan hubungan antara Aristoteles dengan Iskandar Yang Agung. Bagai-mana kalau kamu biarkan Ayah bercerita dulu."
Sebenarnya Eva Duani mulai bisa menangkap logika berpikir ayahnya. Tetapi ia tahu, kalau ayahnya sudah meminta seperti itu artinya ia untuk sementara tidak boleh menyela. Profesor Duani Abdullah me-mulai ceritanya dari Plato.
Plato lahir pada 428 Sebelum Masehi. Ibunya, Perioc-tone, yang masih keturunan dari Solon, hidup pada 638 sampai 559 Sebelum Masehi. Tampaknya dari garis keturunan inilah kemudian Plato men-dapatkan cerita mengenai Atlantis yang tiga abad se-belum-nya dibawa oleh Solon dari cerita para pendeta di Kota Sais, Mesir kuno. Pada masa mudanya Plato berambisi untuk terlibat dalam peran politik di Athena, tetapi ia kemudian mundur setelah kecewa melihat perilaku para politisi di kota Athena. Ia kemudian menjadi murid terkemuka dari Socrates. Pada sekitar 360 Sebelum Masehi Plato mulai menuliskan cerita Solon dan memberi nama peradaban yang hilang itu dengan Atlantis. Diperkirakan pada kisaran tahun yang sama, Aristoteles menjadi murid dari Plato dan ber-diam cukup lama bersama Plato. Rahasia Atlantis ini sangat mungkin diceritakan oleh Plato kepada Aristoteles.
Ketika Plato meninggal pada 347 Sebelum Masehi, Aristoteles berpindah-pindah. Ia sampai di Asia Minor kemudian pindah lagi ke Pella, ibukota Kerajaan Macedonia. Ia kemudian menjadi guru sekaligus men-tor untuk Alexander, nama yang kemudian identik dengan Alexander the Great atau Iskandar Yang Agung. Besar kemungkinan Aristoteles juga menceritakan be-nua yang hilang pada Iskandar. Ia ceritakan semua rahasianya,
termasuk tentang Serat Ilmu. Sehingga menjadi obsesi anak muda itu dalam upayanya me-nemukanny
a sekaligus mewujudkan mimpi Plato untuk melewati Ulthima Thule.
Pada 335 Sebelum Masehi Iskandar naik tahta. Ia mu lai melakukan ekspansi militernya pada 334 Sebelum Masehi. Setelah menyeberangi Selat Dardanella, pasukannya bertempur dengan tentara Persia dengan kekuatan 35.000 orang tentara, gabungan antara Macedonia dan daerah-daerah Yunani. Di dekat kota kuno Troy, ia menaklukkan 40.000 tentara gabungan Persia. Melanjutkan ekspansinya hingga kemudian ter-jadi pertempuran lagi di daerah Issus. Tentara Iskandar mengalahkan 500.000 tentara Persia pimpinan Darius III. Pada 332 Sebelum Masehi, Iskandar memasuki Mesir setelah sebelumnya menaklukkan Gaza dan mendirikan Kota Iskandariyah di sana. Setelah me-naklukkan Karthago, ia melintasi Eufrat dan Tigris. Untuk kedua kalinya ia menaklukkan Darius III pada 331 Sebelum Masehi. Sepanjang 330 hingga 327 Se-belum Masehi Iskandar telah menguasai seluruh Asia Tengah. Pada 326 Sebelum Masehi, Iskandar melintasi sungai Indus berusaha masuk ke India. Tentara Iskandar menaklukkan Punjab termasuk beberapa pulau yang berada di dekat delta Sungai Indus. Iskandar masih ingin melanjutkan penaklukan tetapi tentaranya me-nolak hingga mereka harus kembali.
"Mesir, Eufrat, Tigris, dan Hindus. Tempat-tempat itulah yang dilewati oleh Iskandar Yang Agung," Profesor Duani Abdullah menekankan pada nama-nama tempat itu.
"Semacam napak tilas sejarah sebelum ia sampai pada pertanyaan yang sesungguhnya dari ekspedisi itu."
Eva Duani bisa menangkap ke mana arah pembicaraan sang ayah sekaligus penjelasannya kenapa justru rute itu yang ditempuh oleh Iskandar dalam penaklukannya, bukan rute utara atau rute lainnya. Perjalanan Iskandar Yang Agung melalui Mesir, bekas Mesopotamia di Eufrat, Tigris, dan India adalah napak tilas terbalik dari kedatangan orang-orang Atlantis. Tetapi ia masih menunggu penjelasan yang lebih ter-arah dari ayahnya.*
32 Profesor Duani Abdullah mengakhiri ceritanya dengan
satu pertanyaan, "Kenapa para prajurit Iskandar menolak untuk melanjutkan perjalanan""
"Mereka terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan dan penaklukan. Hampir sembilan tahun perjalanan dan penaklukan telah membuat moral mereka merosot. Belum lagi berbagai penyakit yang ditimbulkan selama perjalanan. Sejarah juga bercerita bahwa di India mereka mengalami perlawanan yang sangat sengit," Eva Duani menanggapi dengan yakin.
"Ah...itu versi sejarah yang diketahui oleh banyak orang. Tanpa analisa sama sekali!"
"Bagaimana dengan analisa, Bapak"" Timur Mangkuto yang sedari tadi diam, akhirnya buka suara.
"Tidak ada yang ditakutkan oleh prajurit-prajurit perkasa dari dunia barat dan utara waktu itu selain satu tempat, Ulthima Thule."
"Maksud Ayah, Iskandar memerintahkan mereka untuk melanjutkan perjalanan menuju Nusantara Kuno""
"Tepat. Itu sebabnya mereka menolak. Bayangkan betapa besar ketakutan mereka sehingga berani menolak perintah raja yang selama ini mereka agung-agungkan. Tentu itu ketakutan yang sulit untuk ditandingi oleh
ketakutan karena moral yang merosot. Ulthima Thule, batas yang tidak boleh dilewati, adalah Nusantara Kuno bekas reruntuhan Atlantis yang tenggelam. Mereka sudah mendapatkan cerita turun temurun bahwa tidak ada yang pernah kembali ketika sudah melewati lautan itu."
Dua orang itu manggut-manggut mendengarkan penjelasan Profesor Duani Abdullah. Analisa yang terdengar sangat mengejutkan bagi Eva Duani yang selama sekian tahun mengikuti jejak ayahnya, men-dalami ilmu sejarah. Penaklukan separuh bagian dunia oleh Iskandar Yang Agung itu, tidak lebih dari napak tilas terbalik dari kisah eksodus orang-orang Atlantis, Mesir, Mesopotamia, dan India. Seharusnya ia melanjutkan perjalanan menuju tempat tenggelamnya Atlantis, Kepulauan Nusantara. Suatu warisan tugas sejarah tidak langsung yang ia terima dari Plato melalui mentornya, Aristoteles.
"Tetapi Iskandar tidak menyerah dalam pencariannya," lanjut Profesor Duani Abdullah.
"Maksud Ayah""
"Ia mewariskan Serat Ilmu dan pencarian benua yang hilang itu kepada keturunannya."
"Lho, keturunan Iskandar"" Eva Duani tidak percaya.
"Satu-satunya cara mewujudka
n obsesinya adalah de ngan mewariskan pencarian pada keturunannya. Iskandar sempat menikah dengan seorang perempuan Hindustan. Punya tiga orang anak. Salah satu dari mereka akan menemukan bagian dari benua yang hilang itu. Pulau yang masih tersisa dari bagian besar Benua Lemuria yang tenggelam."
Penjelasan itu lebih mengejutkan dari semua teori yang sudah dipaparkan Profesor Duani Abdullah sebelumnya. Ekspresi wajah Timur Mangkuto tiba-tiba berubah. Ia
seperti menangkap sesuatu dari bagian akhir teori Profesor Duani Abdullah. Laki-laki gaek itu menangkap perubahan pada roman wajah Timur Mangkuto.
"Timur, kamu orang mana""
"Minang, Pak!" "Sudah kuduga dari namamu. Minangkabaunya daerah mana kamu""
"Kamang, Pak. Dua belas kilometer arah utara Bukittinggi."
"Hee...hee..." Profesor Duani Abdullah tergelak mendengar nama tempat itu. "Kamang! Negeri para pemberontak yang justru dilupakan sejarah bukan""
Kepahitan dan kebanggaan bercampur baur dalam senyum Timur Mangkuto. Profesor Duani Abdullah tidak salah menyebut daerahnya itu sebagai negeri kaum pemberontak yang terlupakan. Kamang, salah satu pusat pergerakan Paderi di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh. Daerah itu baru bisa ditaklukan Belanda setelah benteng Kamang, salah satu benteng terkuat Paderi diserbu dari empat jurusan pada 9 Juli 1833. Ketika banyak daerah lain di Minangkabau dan Hindia Belanda sudah merasa tenang dengan pendudukan Belanda, Kamang berontak lagi pada 15 Juni 1908. Perang Kamang yang terkenal dengan Pemberontakan Belesting. Pada masa revolusi fisik dan PDRI, daerah ini menjadi basis tentara untuk Bukittinggi di bawah pimpinan Dahlan Djambek. Hal yang sama terulang ketika daerah ini menjadi basis perlawanan kaum reformis PRRI sejak 1958.
"Sejarah tidak adil, bukan"" lanjut Profesor Duani Abdullah. "Sebagian daerah diagung-agungkan, sebagian besar malah dilupakan. Semua untuk kepentingan politik dan penguasa. Aku bisa membayangkan sekarang
Kamangmu itu tidak lebih dari daerah yang diisi oleh manusia kerdil yang dilupakan dari sejarah pemberontakannya."
"Ayah, apa kita bisa kembali pada topik yang tadi""
Eva Duani mengingatkan. "Iya. Aku tengah membahas topik itu."
"Topik itu""
"Timur harusnya sudah bisa menangkap apa yang i-ngin aku katakan," Profesor Duani Abdullah menguji.
"Sisa cerita tadi berkaitan dengan sejarah asal usul nenek moyang kami, orang Minang!" Timur Mangkuto tidak ragu untuk menjawab.
Tetapi jawaban itu semakin membingungkan Eva Duani.
"Wah, jangan katakan bahwa Atlantis itu adalah Minangkabau."
"Memang bukan!" ujar Profesor Duani Abdullah "Jadi""
"Menurut Tambo yang diceritakan turun-temurun oleh tukang kaba, nenek moyang orang Minangkabau berasal dari Hindustan. Menurut cerita turun-temurun itu, salah satu dari tiga anak Iskandar Yang Agung dengan puteri Hindustan berlayar bersama dengan ini menjadi basis tentara untuk Bukittinggi di bawah pimpinan Dahlan Djambek. Hal yang sama terulang ketika daerah ini menjadi basis perlawanan kaum reformis PRRI sejak 1958.
"Sejarah tidak adil, bukan"" lanjut Profesor Duani Abdullah. "Sebagian daerah diagung-agungkan, sebagian besar malah dilupakan. Semua untuk kepentingan politik dan penguasa. Aku bisa membayangkan se-karang Kamangrnu itu tidak lebih dari daerah yang diisi oleh manusia kerdil yang dilupakan dari sejarah pemberontakannya."
"Ayah, apa kita bisa kembali pada topik yang tadi"" Eva Duani mengingatkan.
"Iya. Aku tengah membahas topik itu."
"Topik itu""
"Timur harusnya sudah bisa menangkap apa yang i-ngin aku katakan," Profesor Duani Abdullah menguji.
"Sisa cerita tadi berkaitan dengan sejarah asal usul nenek moyang kami, orang Minang!" Timur Mangkuto tidak ragu untuk menjawab.
Tetapi jawaban itu semakin membingungkan Eva Duani.
"Wah, jangan katakan bahwa Atlantis itu adalah Minangkabau."
"Memang bukan!" ujar Profesor Duani Abdullah "Jadi""
"Menurut Tambo yang diceritakan turun-temurun oleh tukang kaba, nenek moyang orang Minangkabau berasal dari Hindustan. Menurut cerita turun-temurun itu, salah satu dari tiga anak Iskandar Yang Agung dengan puteri Hindustan berlayar bersama dengan rombon
gannya menuju daerah Tenggara, sebuah tempat belum bernama. Hingga perahu mereka berlabuh di pesisir daerah yang kita kenal sebagai wilayah Minangkabau. Dari rombongan anak bungsu Iskandar Yang Agung yang bernama Sri Maharajo Dirajo inilah kemudian orang Minang diturunkan. Sri Maharajo Dirajo menjadi raja pertama," urai Profesor Duani Abdullah. Ia melirik Timur Mangkuto dengan sudut matanya. "Bukan begitu Timur""
"Kurang lebih begitu, Pak. Saya juga tidak terlalu mendalami cerita tambo."
"Ah, bukankah itu mitos yang sangat bisa diragukan"" Eva Duani memotong dengan ketus.
"Apa Plato juga tidak mencampur adukkan fakta dan mitos dalam dialog Timaeus and Critias-nya"" Profesor Duani Abdullah mendebat.
"Jadi orang Minang adalah keturunan Iskandar Yang Agung"" Eva Duani tergelak.
"Tidak semua tentunya. Mungkin masih ada orang-orang yang merupakan keturunan langsung Sri Maharajo Dirajo, sebagian lainnya mungkin keturunan para pengikutnya. Sama seperti pertanyaan apakah semua orang-orang Punt keturunan Atlantis. Tentu tidak semua, sebagian besar mungkin berasal dari bagian lain dari Benua Lemuria."
Eva Duani terdiam. Ia menyeruput teh hangatnya yang sudah mulai dingin. Keterkaitan-keterkaitan ini agak sulit untuk ia terima.
"Apa ada dokumen tentang Tambo""
"Orang-orang Minang dahulu kala tidak terlalu senang dengan budaya tulisan. Mereka lebih senang mengabarkan sesuatu dengan cara bercerita biasa yang disebut kaba. Tetapi sempat ada yang menuliskan Tambo tetapi berjarak ratusan tahun dari munculnya cerita itu. Satu-satunya dokumen Tambo yang ditemukan ditulis dengan huruf Arab Pegon berbahasa Melayu. Tetapi sesungguhnya cerita Tambo yang dituturkan oleh Tukang Kaba jauh lebih mengesankan daripada dokumen itu," jelas Profesor Duani Abdullah. "Kenapa, Yah""
"Sebab mereka bercerita dengan hati. Tukang kaba menyelami tiap kalimat dan kata. Suatu pengalaman yang tidak akan dirasakan ketika kita membaca teks."
"Jadi"" "Kalian harus menemukan orang-orang yang kem-bali itu, salah satu kuncinya ada pada Tambo."
"Apa Ayah menguasai Tambo itu""
Profesor Duani Abdullah menggeleng. Dulu ketika teo ri demi teori telah berhasil ia tautkan, sempat ia berniat mempelajari Tambo. Tetapi semua itu be-rantakan, ketika ia memilih mundur dari penelitian tentang Atlantis. Tekadnya untuk melupakan benua yang hilang itu telah membunuh keinginannya untuk mempelajari Tambo.
"Aku rasa kita bisa menemukan seseorang yang mungkin bisa membantu," Timur Mangkuto me-mecah-kan kebuntuan.
"Siapa"" "Makwo Katik. Orang tua itu pasti bisa mem-bantu."
"Kita harus ke Padang"" Eva Duani mem-per-lihatkan rasa enggannya.
"Tidak! Beliau tengah berada di Bekasi. Di rumah salah satu anaknya."
Eva Duani cepat berkemas. Profesor Duani Abdullah memandang mereka penuh keraguan. Tam-pak-nya masih ada hal yang ia sembunyikan. Sebelum keduanya berangkat, Profesor Duani Abdullah mengem-balikan kertas catatan teka-teki Negara Kelima milik Timur Mangkuto.
"Lho, Ayah tidak memerlukan lagi"" Eva Duani memandang heran.
"Kalau semua asumsiku benar, maka jawaban dari tiap negara itu sudah kudapatkan."
"Lalu buat apa kami harus pergi mencari lagi Yah"" Eva Duani tampak kecewa.
"Kalian harus mencari kejelasan dari semua asumsi itu. Nanti kita akan bandingkan kesimpulanku yang penuh
asumsi dengan hasil pencarian kalian. Tambo Adat Alam Minangkabau adalah kunci kembalinya orang-orang Atlantis lewat keturunan Iskandar Yang Agung," Profesor Duani memandang anaknya dengan raut muka cemas. "Aku takut Nanto dalam me-mecah-kan dan membuat teka-teki ini tidak sendiri."
"Maksud ayah"" Eva Duani kembali dibuat bingung.
"Ah entahlah, mungkin pikiranku saja," Profesor Duani Abdullah menepuk-nepuk dahinya. "Tidak...tidak mungkin dia!"
"Ayah..." Eva Duani merajut manja seperti merayu ayahnya untuk buka mulut. "Dia itu siapa, Yah""
"Sudahlah, lupakan saja. Yang penting kalian harus memecahkan teka-teki ini dulu untuk bisa menemukandi mana KePaRad berniat mendeklarasikan Negara Kelima mereka."
Profesor Duani Abdullah masuk ke dalam ruang perpustakaan pribadi. Ia membawa buku tua Tirnaues and Critias. Buku i
tu ia berikan pada Eva Duani. Halaman tertentu yang sudah ditandai, ia perlihatkan pada dua orang itu.
"Inilah kunci misteri Atlantis yang ingin di-per-lihatkan oleh Plato sebagai seorang filosof. Bawa buku ini lalu bandingkan dengan apa yang akan kalian temukan di Tambo. Tambo seharusnya tidak berkisah tentang kemegahan raja, tetapi berkisah tentang aturan kemasyarakatan sebagaimana transformasi hukum dan masyarakat dalam Timaeus and Critias. Kalau nanti kalian temukan kisah Tambo tidak ubahnya kisah kitab raja-raja, artinya semua analisa tentang kembalinya Serat Ilmu lewat Minangkabau salah."#
33 Mobil Panther berwarna gelap bergerak menyisiri
pantai. Matahari sudah mulai mendaki naik. Sesekali mobil terguncang-guncang melewati jalan aspal berlubang. Guncangan itu cukup untuk membangunkan Genta yang duduk di jok tengah mobil. Ia kucak-kucak matanya sebelum meraih botol plastik berisi air dan meneguknya hingga tandas.
"Skenario yang sempurna!" laki-laki yang duduk di jok depan mobil sebelah sopir, membalikkan badan ke belakang. Memandang puas kepada Genta.
Genta terkekeh mendengar kata-kata itu. Pencurian lempeng emas Tataghata memang sebuah skenario besar yang berjalan sejak serangan online pertama me-reka luncurkan.
Negara Kelima Karya Es Ito di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi semuanya nyaris berantakan. Untung saja aku bisa menyelamatkan polisi muda itu dari pe-nangkapan polisi. Kalau tidak, bisa berantakan semua rencana kita, Lumban."
"Negara Kelima kita akan segera terwujud. Revolusi akan berkobar!" laki-laki di jok depan menanggapi. "Kau sangat yakin""
Laki-laki muda yang dipanggil Lumban membuka jaketnya. Ia sekilas memandang sopir berusia sekitar lima
puluh tahunan yang membawa Panther.
"Tiga puluh persen kekuatan pasukan TNI di Pulau Jawa sudah kita kuasai," lanjut Lumban.
"Dari mana kamu dapat keyakinan itu""
"Para Pembuka menyatakan hal itu dalam surat kaleng mereka beberapa hari yang lalu."
"Kekuatan yang sangat tidak cukup jika kita melakukan konfrontasi terbuka."
"Tetapi kita punya apa yang mereka tidak punya."
"Maksudmu Serat Ilmu""
"Tentu, apalagi""
"Bagaimana kalau benda ini tidak bekerja sebagaimana mestinya."
"Setidaknya kita mendapatkan spirit dari kejayaan ma sa lampau. Tali sejarah yang sama sekali tidak dimiliki oleh tentara nasional pro status quo saat ini. Tentara yang berpihak pada kita akan berjuang untuk kejayaan yang pernah ada. Sementara tentara pro status quo berjuang tidak untuk apa-apa kecuali gaji dan tunjangan yang mencekik mereka," Lumban sangat yakin dengan kata-katanya.
Dari dashboard mobil, Genta mengeluarkan sebuah bungkusan hitam. Ia membukanya untuk memastikan tidak ada yang terjadi dengan benda itu selama per-jalanan beberapa jam.
"Kau yakin Timur Mangkuto tidak mengenali mobil kita dan melaporkannya pada polisi"" Lumban masih ingin mendapatkan kejelasan.
"Tidak mungkin, sebab ia tengah menjadi buronan yang paling dicari saat ini oleh polisi."
Lumban menarik nafas lega. Kemudian tersenyum
lepas. "Pembunuhan itu benar-benar melancarkan semua yang kita rencanakan. Polisi tidak memiliki fokus yang jelas dalam mengejar kita."
"Jangan katakan kelompok kita terlibat dalam pembunuhan itu," Genta coba mencari kepastian.
"Entahlah, kalau pun terlibat, aku rasa itu tidak lebih dari ongkos dan biaya revolusi yang harus kita tunaikan."
Genta terperanjat mendengar kata-kata itu. Ia bangkit dari tempat duduknya. Ia merasa tidak senang mendengar kata-kata Lumban.
"Ongkos revolusi""
"Ya, mungkin saja. Tetapi memang belum ada bukti bahwa salah satu dari Para Pengawal terlibat dalam pembunuhan tersebut. Aku sendiri tidak yakin Para Pengawal yang melakukannya""
"Kenapa"" Genta mengendurkan emosinya.
"Bukankah Para Pembuka sudah memberi perintah bahwa tidak ada kekerasan sebelum satu hari setelah tanggal yang sudah dijanjikan," Lumban coba meyakinkan Genta.
"Tetapi tidak ada yang bisa menjamin bahwa salah satu dari kita, Para Pengawal, tidak terlibat dalam pembunuhan itu. Sebab Para Pengawal sendiri seperti kau tahu terbelah dua. Satu faksi garis keras, satu faksi moderat."
Pembicaraan itu membuat pikiran Genta mengawang pada cerita yang ia dapatka
n tentang keruntuhan Atlantis. Tidak hanya bencana alam, tidak hanya banjir besar yang menghancurkan Atlantis, tetapi juga per-tentangan antara kelompok sepuluh raja mereka. Ketika mendekati masa akhir kejayaan kepemimpinan sepuluh raja terbelah. Sebagian menghendaki perluasan
imperium pada titik terjauh yang bisa mereka capai. Sebagian lagi ingin mempertahankan negara apa adanya dengan mengutamakan kesejahteraan rakyat. Kelompok garis keras memaksakan kehendak untuk menegakkan imperium, hingga mereka menyeberangi Asia dan Eropa menundukkan negara-negara purba yang juga memiliki titik asal yang sama dengan mereka, Lemuria. Seperti cerita para pendeta di Kota Sais kepada Solon, tentara Atlantis ini baru bisa dihentikan oleh orang-orang Athena. Pillar Orichalcum atau Serat Ilmu tidak lagi dihormati. Perlahan tapi pasti kelompok yang meng-idam-idamkan ketenangan tanpa peperangan tersingkir atau menyingkirkan diri. Hingga kemudian banjir besar itu datang. Dan seperti dituturkan oleh Plato, banjir itu telah menenggelamkan para prajurit ke dasar bumi.
"Aku takut Para Pembuka tidak bisa mengontrol faksi garis keras Para Pengawal," Genta melanjutkan kecurigaannya.
"Kenapa"" "Mereka memiliki apa yang tidak dimiliki semua orang." "Apa""
"Semangat untuk menemui ajal."
"Ah, tetapi aku tetap yakin Para Pembuka bisa mengontrol mereka. Bukankah setiap Para Pengawal hanya memiliki satu ketundukan, yaitu kepada Para Pembuka."
Mobil mulai berjalan pelan ketika memasuki jalan berpasir. Gundukan-gundukan kecil pasir beberapa kali membuat mobil terguncang-guncang. Beberapa puluh meter di depan, lautan luas terhampar. Satu buah perahu kecil tertambat pada dermaga kayu tua. Dari dalam perahu satu orang memberi tanda.
"Maaf Gen, aku cuma bisa antar sampai sini. Sampai jumpa nanti."
"Kau mau ke mana"" Genta memandang bingung.
"Ada tugas tambahan dari Para Pembuka."
Dari dalam dashboard mobil, Lumban mengeluarkan sebuah benda. Benda itu berbentuk kaleng tipis. Dari dalamnya Genta menarik satu lembar kertas berisi tulisan-tulisan seperti instruksi. Menerima perintah dari Para Pembuka dengan cara seperti ini sudah biasa mereka dapatkan. Para Pengawal menyebutnya surat kaleng. Bukan saja karena surat itu tidak jelas pe-ngirimnya kecuali atas nama Para Pembuka. Tetapi juga karena secara fisik, surat itu memang dimasukkan ke dalam kaleng yang sudah dipipihkan. Biasanya surat kaleng itu ditemukan di bawah jok depan mobil, di samping jok sopir. Terselip begitu saja, entah kapan dimasukkan.
"Benar ini surat dari Para Pembuka, Pak Udin""
Genta melirik sopir Panther. Laki-laki tua itu menganggukkan kepala. Ia sendiri tidak tahu bagaimana Para Pembuka bisa memasukkan surat itu ke bawah jok tanpa setahunya. Melihat anggukan kepala Pak Udin, Genta tidak mau berkomentar lagi. Lelaki tua itu terlalu jujur.
Pak Udin adalah bekas sopir Profesor Sunanto Arifin. Setelah kematian Profesor, Para Pembuka mengirimnya untuk membantu Para Pengawal. Ia memang tidak selalu bersama dengan Para Pengawal. Hanya muncul jika dibutuhkan, atau jika sekonyong-konyong ia menemukan surat kaleng dari Para Pembuka yang perlu dibaca oleh Para Pengawal. Ia sendiri mengaku tidak kenal siapa Para Pembuka yang telah mengi-rimnya itu. Yang ia kenal hanya Profesor Sunanto Arifin.
Mobil itu dengan cepat berbalik arah, meninggalkan
debu yang cukup tebal. Genta mengibas-ngibaskan tangannya. Kemudian cepat masuk ke dalam perahu motor yang sudah menunggu.*
34 Eva Duani masih punya cukup uang kas untuk menyewa mobil pada sebuah tempat rental mobil di daerah Kelapa Dua, Depok, tidak jauh dari kesatuan Brigade Mobil. Dari daerah Kelapa Dua menuju Bekasi mereka harus menghabiskan waktu satu jam melintasi jalan tol. Timur Mangkuto mengambil-alih setir mobil dari Eva Duani.
Di tengah perjalanan menuju Bekasi, Eva Duani kembali membuka pembicaraan mengenai dialog Tirnaues and Critias. Ia langsung membuka halaman yang tadi ditandai oleh ayahnya. Setelah membaca ia minta pendapat Timur Mangkut.
"Menurutmu, kenapa Ayah menyuruh kita memerhatikan teks tentang aturan dan hukum masyarakat Atlantis ini""
"Ka rena ia berbicara tentang masyarakat sejahtera yang hancur karena ketamakan yang menjadi penyakit," Timur Mangkuto menjawab sekenanya.
"Welfare state, negara kesejahteraan," Eva Duani bergumam. "Aku mengerti. Atlantis pada awalnya adalah negara ideal-nya Plato. Sebuah negara yang berorientasi membangun masyarakat ke dalam, sebuah negara kesejahteraan. Tetapi kemudian ketamakan untuk mendapatkan lebih banyak dari apa yang terdapat di dunia telah menghancurkan peradaban besar itu. Salah satu ketamakan itu mungkin dalam bentuk orientasi politik keluar. Peradaban yang pernah ada di Nusantara Kuno itu hancur pada akhirnya."
Lalu diam dan sepi. Tidak terdengar tanggapan dari Timur Mangkuto. Eva Duani juga diam tidak melanjutkan analisanya. Ketika mobil masuk pintu tol, baru Timur Mangkuto angkat bicara.
"Apa yang terjadi dengan hubungan kamu bersama Rudi""
Wajah Eva Duani langsung berubah menjadi pias merah. Ia diam tidak menanggapi. Pita suaranya seperti lepas dari tempatnya, bisu. Eva Duani memandang lepas ke jalanan. Ia seperti baru tersadar Rudi telah tiada. Kemarin seharusnya ia ikut datang ke pe-ma-kaman Rudi. Kedatangan Timur Mangkuto telah me-rubah semuanya. Teka-teki Atlantis telah membuat ia sejenak lupa bahwa Rudi telah tiada. Sekarang Timur Mangkuto mengungkit-ungkitnya lagi.
"Eva..." "Bukan urusanmu!" Eva Duani menjawab sinis.
Timur Mangkuto terpancing, "Apa yang menjadi urusan Rudi, juga menjadi urusanku"
"Jangan mengada-ada. Lupakanlah..."
Eva Duani kembali memandang ke jalanan. Pertanyaan itu benar-benar mengganggu suasana hatinya. Seperti membenamkannya pada masa lalu penuh cam-pur aduk. Antara bahagia dengan duka, gembira dan sedih, cinta dan benci. Dua tahun lamanya ia menjalin hubungan dengan Rudi hingga akhirnya harus kandas. Putus tetapi bukan disebabkan oleh salah satu dari mereka.
"Seberapa dekat kamu dengan Rudi"" Eva Duani seperti ingin membuka cerita.
"Seperti kancing dan lubangnya. Kalau disatukan a-kan mampu menutup apa yang harus ditutupi. Kalau dibuka, mampu membebaskan apa yang harus dibuka. Kami sangat dekat, bahkan sejak pertama kali kenal di Akpol."
Eva Duani tersenyum mendengar pengandaian itu. "Tetapi kenapa Rudi tidak pernah menceritakanku padamu""
"Wanita hampir tidak pernah menjadi topik pembicaraan kami."
"Kamu yakin""
"Ya, seingatku seperti itu. Topik itu sepertinya selalu luput dari pembicaraan kami. Sebab kami terlalu banyak mengumbar kegelisahan hidup. Korupsi di tubuh polisi dan bekingan untuk pengusaha hiburan malam sudah terlalu banyak. Akhirnya kami lelah menanggungkan beban pendahulu kami yang gagal membuat polisi dipercaya oleh masyarakat."
Sulit bagi Eva Duani untuk tidak percaya pada apa yang dikatakan oleh Timur Mangkuto. Perwira muda polisi itu berbicara dengan lugas dan tak berusaha menutup-nutupi. Raut wajahnya memang memperlihatkan keteguhan sikap. Dan sedikit sifat keras kepala tergambar dari tulang rahangnya yang menonjol
"Dua tahun kami membina hubungan. Pada akhir-nya semua juga harus berakhir," Eva Duani akhirnya tidak bisa menahan diri
"Maaf, apa karena kematian Rudi""
"Bukan. Sama sekali bukan karena itu. Kita sudah putus sejak sekitar setengah tahun yang lalu."
"Oh, kenapa"" "Ayahku tidak setuju!"
Kalimat itu menyadarkan Timur Mangkuto pada sikap apriori Profesor Duani Abdullah pada polisi ketika ia pertama kali masuk ke dalam rumahnya. Tampaknya orang tua itu lebih membenci status polisi Timur Mangkuto dibandingkan dengan status barunya sebagai buronan.
"Karena Rudi seorang polisi""
"Salah satunya."
"Apa ada alasan yang lebih kuat dari itu""
Eva Duani menelan senyum. Kejadian enam bulan yang lalu seperti baru saja berlalu dari pelupuk mata-nya.
"Alasan paling kuat karena Rudi bukan orang Minang!"
Timur Mangkuto tersentak mendengar jawaban itu. Suatu alasan yang menurut dia sangat tidak masuk akal. Ia pandangi gadis berwajah putih bersih, bermata sipit, berambut lurus hingga bahu.
"Minang" Apa hubungannya"" gumamnya.
Rentetan analisa konyol tiba-tiba muncul begitu saja dalam benak Timur Mangkuto. Profesor Duani Abdullah sudah jelas bukan orang Minang, apalagi Pu
terinya. Kalau bukan keturunan Cina dari garis bapaknya, pastilah gadis itu campuran Palembang atau Manado. Ia curiga jangan-jangan Profesor Duani Abdullah ditelan oleh kegilaannya sendiri. Menganggap semua orang Minang keturunan Iskandar Yang Agung. Ingin mendapatkan cucu dari perkawinan puterinya dengan orang Minang.
"Almarhum ibuku orang Minang!" jawab Eva Duani membuyarkan analisa konyol Timur Mangkuto. Timur Mangkuto merasa tidak perlu bertanya lagi. Eva Duani lepas berbicara seperti jalan tol yang lancar tanpa hambatan. Ibunya meninggal sembilan tahun yang lalu.
Seorang wanita yang sangat dicintai oleh anak apa- lagi suaminya. Kanker hati telah merenggut jiwa wanita itu ketika Eva Duani kelas tiga SMA. Dua orang kakak laki-lakinya waktu itu sudah kuliah. Salah satu permintaan almarhum pada suaminya adalah kelak jika anak laki-lakinya menikah kalau bisa dengan orang Minang. Singkat begitu saja, tanpa paksaan.
Celakanya kata-kata "kalau bisa" itu, berubah menjadi kata "harus" bagi Profesor Duani Abdullah. Me-mang setelah kematian istrinya, emosi Profesor Duani Abdullah labil. Sering meledak-ledak. Kecintaan pada istrinya sehingga berikrar tidak lagi akan menikah, ia tunjukkan dengan memegang teguh pesan istrinya demi dua anak laki-lakinya.
Tetapi kenyataan juga pada akhirnya yang berbicara. Tidak ada satu pun dari dua orang anak laki-lakinya itu yang mengakhiri masa lajangnya dengan perempuan berdarah Minang. Anak pertama menikah dengan pe-rempuan campuran Sunda-Jawa. Karena tidak tahan dengan kemarahan ayahnya, ia memilih pergi dari Jakarta. Menetap dan bekerja di Timika, Papua. Anak kedua jauh lebih ekstrem, ia menikah dengan seorang perempuan Amerika ketika melanjutkan studi S-2 di sana. Hingga saat ini tidak sekali pun pernah kembali ke Indonesia. Kemarahan sang ayah juga menjadi alasannya.
Eva Duani, puteri bungsu yang tidak mengerti apa-apa, akhirnya menjadi korban. Kegagalan Profesor Duani Abdullah memenuhi pesan istrinya, ia tumpahkan pada anak gadis satu-satunya itu. Walaupun tidak pernah berbicara langsung, tetapi Eva Duani sudah mengerti apa yang diinginkan oleh ayahnya. Sayangnya hati manusia tidak bisa dipenjarakan oleh berbagai batasan dan aturan.
Eva Duani jatuh cinta pada Rudi dan laki-laki itu jelas bukan orang Minang.
"Aku bisa memahami kemarahan ayahmu pada kedua saudara laki-lakimu. Tetapi kenapa kamu harus dengan orang Minang juga""
"Tentu kamu berpikir tentang faktor budaya matrilineal""
"Iya. Itu yang aku maksud. Secara garis darah kamu adalah orang Minang sebab ibu kamu Minang. Kelak jika kamu menikah, dari suku mana pun suami kamu, anak kamu juga akan tetap Minang sebab ibu-nya Minang. Lain dengan laki-laki, kami tidak me-nurunkan suku pada anak, hilang, lepas begitu saja..."
"Iya aku mengerti. Itu sebabnya ibu hanya memesankan itu untuk kedua kakak laki-lakiku."
"Kijang lepas ke rimba...he...he...he..."
"Apa itu""
"Istilah untuk laki-laki Minang yang menikah dengan wanita luar Minang."
Eva Duani ikut tertawa. Ia mulai menikmati perbincangan dengan Timur Mangkuto.
"Ayah merasa berdos karena merasa gagal memenuhi harapan ibu. Itu sebabnya beliau berharap aku bisa mengurangi rasa bersalah itu."
"Tumbal yang tidak penting," Timur Mangkuto menyela. "Lalu, kenapa kamu tidak pergi saja dengan Rudi seperti kakak-kakakmu""
Eva Duani menarik nafas, tatapannya lurus ke depan seperti tengah menahan haru.
"Entahlah. Aku mungkin terlalu sayang pada ayah. Sejak kematian ibu dan kakak-kakakku pergi semua, ayah sering merenung sendiri. Aku tidak mau semakin membuat ayah sedih dan membiarkan beliau sendiri."
Timur Mangkuto mulai menyesali semua keluh kesahnya selama ini. Ia selalu merasa hidup dalam ketidakadilan masa lalu. Setiap kali berselisih pendapat dengan Rudi, ia selalu menyindir Rudi dilahirkan enak di ranjang emas dari keluarga kaya. Tetapi memang bahagia bukan melulu masalah materi. Kegetiran yang dialami oleh Rudi dan Eva Duani mungkin tidak jauh berbeda dengan kegetiran hidup yang pernah ia alami.#
35 Ceritakan padaku tentang dirimu!" Eva Duani memutar posisi duduknya menghadap Timur Mangkuto d
engan sungguh-sungguh. "Ah, mungkin kisah hidupku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang kamu alami." "Coba ceritakan." "Tidak ada yang menarik." Eva memandang Timur Mangkuto lekat-lekat. Lalu ia tersenyum.
"Timur, aku kemarin bohong tidak mengenalmu. Aku mengenalmu sejak Rudi menjadi bagian dari hidupku." "Bagaimana bisa""
Pandangan Eva Duani menerawang jauh. Matanya kembali berkaca-kaca. Ia ingat lagi pada Rudi. Pada apa yang pernah mereka alami. Pada setiap kata yang keluar dari mulut kekasihnya itu.
"Kamu tahu, aku dan Rudi sering berbagi pikiran terkadang untuk hal yang ringan-ringan. Ia pernah menanyakan siapa tokoh yang aku kagumi. Aku menjawabnya dengan menyebut nama beberapa tokoh, mulai dari Homerus, Ibnu Khaldun, Arnold Toynbee hingga Onghokham. Ia tidak heran sebab semua tokoh itu terkait dengan ilmu sejarah yang aku tekuni dan gemari," Eva
tersenyum persis ketika bulir pertama air mata jatuh di pipinya. "Aku tanya balik, siapa tokoh yang ia kagumi. Jawabannya aku anggap konyol. Kamu tahu jawabannya"" Timur Mangkuto mengangkat bahunya. Tetapi ia mulai ketakutan kalau jawaban itu akan membuat emosinya terlibat.
"Inspektur Dua Timur Mangkuto. Itu jawabannya!" suara Eva Duani terdengar berat penuh emosi.
Tangan Timur Mangkuto langsung menggigil mendengar jawaban itu. Ia tahu tidak mungkin gadis ini tengah bercanda. Beberapa meter di depan, ia melihat jalan lebar yang dibuat untuk tempat istirahat di tengah jalan tol. Ia cepat membelokkan mobil, berhenti. Timur Mangkuto menarik nafas dalam-dalam. Tangannya berkeringat. Ia tidak tahu kenapa harus melakukan tindakan tersebut. Tetapi yang pasti kata-kata itu begitu memukul dirinya. Dua tahun lalu pangkatnya masih Inspektur Dua.
"Rudi memang sering bercanda. Kamu tidak harus menanggapinya dengan serius," Timur Mangkuto ter-tawa kecil berusaha mengatasi beban berat di dasar hatinya.
"Seorang anak desa yang bekerja keras di usia muda. Menggapai cita-cita dengan keringat. Pem-bang-kang yang tidak pernah setia pada hirarki. Pem-berani yang terkadang harus menanggung risiko menyendiri, tersingkir, sepi. Apa dia bercanda ketika sering kali menceritakan hal itu. Sahabat yang terkadang susah ia bedakan dengan saudara sedarah. Sahabat yang setiap kali ia bercerita membuat aku cemburu. Seolah-olah aku tidak ada apa-apanya dibanding dia," Eva Duani menyeka air matanya. "Timur, kenapa kamu dari tadi tidak bertanya bahwa aku bisa begitu percaya pada orang yang dituduh telah membunuh salah satu orang yang paling kusayangi""
Manusia Siluman 2 Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo Geger Di Lembah Tengkorak 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama