Ceritasilat Novel Online

Kapas Kapas Di Langit 3

Kapas Kapas Di Langit Karya Pipiet Senja Bagian 3


"Ya, bagaimana pun sibuk dan kerasnya jadwal perkuliahan. Kita harus tetap mengingat syiar dakwah kita di mana pun berada!" janji Garsini yang segera disanggupi pula oleh Haliza dengan lebih serius lagi.
Beberapa saat lamanya perihal itu memang menjadi perenungan mendalam bagi Garsini dan Haliza. Sejak awal Ramadhan, Garsini pun berusaha meluangkan waktu bersilaturahim dengan komunitas Ayyesha.
Meskipun untuk itu ia harus menempuh perjalanan ke Sendai dalam dingin dan badai yang sering menghajarnya amat dahsyat.
Ia pun harus sering jalan sendirian, karena Haliza tak selalu bisa menemaninya mengingat jadwal perkuliahannya lebih ketat. Memang dibutuhkan pengorbanan waktu, enerji dan perhatian khusus. Tapi berkah dan nikmatnya sungguh tak terkira.
Berkat hubungan baik dengan komunitas Ayyesha, ia bisa lebih banyak menambah wawasan keislaman, meningkatkan jumlah bacaan Al-Qurannya. Seperti sering dinasihatkan oleh seniornya, Selly, di masa lalu.
"Kita akan menyelenggarakan shalat Idhul Fitri nanti di Okinawa," kata Ayyesha suatu kali. "Aku harap, kamu bisa bergabung dengan kami, ya ukhti""
"Insya Allah," janji Garsini yang belum tahu bagaimana mengisi hari raya Idhul Fitri di Negeri Sakura. "Boleh tahu, kenapa harus di Okinawa dan tidak di sini saja"" tanyanya pula hati-hati.
Saat itu Garsini mulai menangkap gerakan rahasia komunitas Ayyesha.
"Ini masih top secret..." Meskipun demikian, Ayyesha sudah mempercayai Garsini. Maka, meluncurkan berbagai penjelasan mengenai perjuangan warga Filistin yang tersebar di beberapa kota besar Negeri Sakura.
Garsini ikut merasakan semangat jihad yang senantiasa berkobar-kobar di mata Ayyesha dan rekan-rekan lainnya. Ia juga bisa memahami perjuangan mereka, bangsa Palestina yang selalu didzalimi dan ditindas oleh bangsa Israel.
"Ingatlah, kamu harus selalu waspada dan hati-hati menjaga diri di tengah komunitas Ayyesha itu, Garsini," tanggap Haliza kala menyimak laporannya.
"Apakah menurutmu komunitas itu berbahaya""
"Ngng. entahlah," elak Haliza enggan. "Maksudku begini, kewajiban kita di sini yang utama adalah belajar. Menyelesaikan kuliah yang dibiayai pemerintah Jepang ini dengan sebaik-baiknya, tanpa cela."
"Hal ini tak perlu selalu kamu ingatkan, Haliza," protes Garsini agak tak enak hati.
"Jangan salah paham. Pendeknya, hati-hatilah di mana pun kamu berada. Kudengar nama komunitas itu suka dikait-kaitkan dengan teroris.""
"Naaah! Kamu sudah terpengaruh propaganda Amerika!" tuding Garsini.
Haliza memutuskan percakapan itu dengan menguap. Sepanjang malam ia berkutat dengan literatur berbahasa latin dan Inggris. "Apa yang ingin kamu katakan lagi"" desak Garsini. Haliza menggeleng lelah.
"Sekarang apa yang sudah kamu lakukan untuk syiar dakwah itu"" pancing Garsini ingin tahu.
"Kupikir, aku akan lebih fokus dakwah di lingkunganku, kalangan paramedis di rumah sakit," Haliza merebahkan diri di samping Garsini dalam keadaan kisruh-misuh, tapi semangat jihadnya tetap menyala-nyala dalam dadanya.
Garsini menghela napas panjang. Agaknya baru sebeginilah yang mampu mereka perbuat saat ini.
*** Garsini selesai dengan belanjaannya. Ia bermaksud menuju ke bassemen, Mayumi akan menemuinya di situ. Seketika matanya bersirobok dengan dua pasangan yang bergandengan mesra. Cristal menggelendot manja di lengan Jay Bachan. Sedangkan Anjeli dengan kekasih sejatinya, entah siapa pula namanya. Beberapa pria lagi tampak mirip para pesolek maskulin, penggembira belaka dalam rombongan kecil itu.
Di mata Garsini para pria itu sama saja. Tampang badak, menjijikkan!
"Nah, itu dia salah satu dari duo penyihir Melayu!" si lidah beracun, Cristal sambil terkikik menyindir Garsini, tepat di belakangnya. Wajah Garsini memerah padam. Penyihir Melayu, jadi dialah biang gosip yang menyebarkan isu picisan itu. Sehingga Garsini dan Haliza sempat menjadi bahan olok-olok rekan seasrama. Sebelumnya Cristal tak berhasil memecah persahabatan kedua gadis Melayu ini.
Belakangan Garsini mengetahui perihal kedekatan Haliza dengan trio African-girls itu. Haliza berusaha menolong Gweeny yang sedang dalam kesulitan, hamil di luar nikah. Bukan buka praktek sihir, guna-guna seperti dituduhkan Cristal kepadanya. Bahkan Garsini sempat sedikit terpengaruh karenanya.
Haliza telah mengingatkan Gweeny agar tidak mengkonsumsi pil-pil sembarangan. Tapi gadis itu masih juga mengkonsumsinya secara diam-diam. Padahal, kekasihnya sudah bersedia bertanggung jawab dan ingin menikahinya secepatnya.
"Semuanya akan hancur begitu aku hamil!" keluhnya bersikeras.
"Kamu tidak tahu, Haliza. Kami akan dikucilkan oleh keluarga kalau hal itu terjadi." Haliza tak paham
dengan pikiran ketiga gadis itu. Kalau mereka mencemaskan reaksi keluarga dan bangsanya, mengapa hal ini sama sekali tak terpikir saat akan diperbuat"
"Kita kan anak muda, sekali waktu merasa kesepian. ingin cari kesenangan." Ah, pembenaran-pembenaran itu!
Ketika proses aborsi itu mulai berlangsung, kedua rekannya ketakutan. Mereka membawa Gweeny agar berkonsultasi dengan Haliza. Telanjur, semuanya telah terlambat. Haliza sungguh menyesalinya, ia tak dapat berbuat banyak untuk menolong Gweeny selain menyarankannya untuk secepatnya pergi ke rumah sakit.
Konon, di perjalanan itulah Gweeny mengalami pendarahan hebat. Beberapa hari kemudian, Haliza diberi tahu oleh seniornya di rumah sakit tentang berita dukacita itu. Gweeny meninggal karena kehabisan darah tanpa sempat diangkut ke rumah sakit. Kedua rekannya meninggalkannya begitu saja di apartemen mereka. Pemilik apartemen menemukan jenazah Gweeny keesokan harinya dalam keadaan sangat memilukan.
Sejak itulah, mereka tak pernah lagi melihat sosok African-girls melakukan semacam ritual jalan bareng ke mana-mana.
Audzubillahi min dzalik, adakah contoh dampak gaul bebas setragis itu belum juga menggugah nurani mereka"
"Pssst, be careful... kabarnya dia jago taekwondo tuh!" kata pasangan Anjeli, tertawa mengejek.
"Aku ingin tahu kehebatannya di tempat tidd." Jay Bachan tak sempat melanjutkan kalimatnya. Sebab tiba-tiba ada bayangan kilat menyambar tepat di depan hidungnya.
"Jangan ganggu gadis suci ini, brengseeek! Cukuplah kamu sudah berhasil melecehkan diriku... Lelaki tak bertanggung jawab, playboy picisan. Tak tahu malu, cuiiih!" Plaaak, plaaak!
Dua tamparan telak mendarat di pipi macho yang tak menduga dapat serangan kilat itu. Hanya sedetik Jay Bachan kaget, tapi sedetik berikutnya ia siap membalas perlakuan yang dirasakannya amat mempermalukan harga dirinya.
"Ha, Mayumi-san!" ejeknya sinis sekali. "Kamu pikir dirimu itu siapa, perempuan murahan"" dengusnya pula dingin. Wajahnya gantengnya telah berubah mirip tokoh Rahwana di mata Garsini.
Mayumi sama sekali tak gentar. Ia telah berhasil melewati masa-masa kritis itu rupanya. Tragedi yang menimpa Gweeny telah sampai ke telinganya, dan ia tak sudi mengikuti jejak gadis Afrika itu. Apalagi karena ibunya dengan sangat bijak dan penuh kasih sayang, berusaha keras memahami kesulitannya dan menyemangatinya.
Yap, kini Mayumi siap menumpahkan benci dan dendamnya.
"Perempuan murahan, katamu"" dengus Mayumi sambil mendongakkan dagunya."Baiklah, inilah perempuan murahan yang pernah kamu bujuk rayu hingga menyerah total kepadamu. Inilah perempuan murahan yang sebentar lagi bakal melahirkan anakmu, Jay Bachaaan!" Mayumi berteriak-teriak histeris.
Insiden itu tak pelak telah mengundang perhatian orang-orang di sekitar situ. Dalam sekejap mereka segera merubungi anak-anak muda yang sedang beradu mulut, bahkan sudah menjurus ke adu kekerasan itu.
Wajah Jay Bachan berubah-ubah, merah padam, pucat pasi. Lalu bak Rahwana, ia pun segera memperlihatkan kepengecutannya yang keji dan sangat memalukan. Tangannya yang kekar sudah terangkat dengan tinju terkepal. Siap dihantamkan ke wajah Mayumi.
Sedetik Garsini teringat akan penglihatannya, suatu malam Mayumi mendatanginya di kamarnya dengan wajah biru lebam. Adakah saat itu pun ia habis diperlakukan keji oleh si Rahwana" Karena ia telah bolak-balik, memaksanya agar mempertanggung jawabkan perbuatannya"
Kala itu Mayumi tak mengatakan apa-apa selain menangis perlahan. Garsini tak paham, hanya bisa mengusap-usap rambut gadis itu dengan simpati dan hati turut mengharu biru.
Kini mata Garsini terbuka lebar. Ia cepat melihat reaksi lelaki yang telah berhadapan secara frontal dengan Mayumi itu.
"Hupsss... Sopan sedikit kepada kaum wanita, Bung!"
Tangannya yang mungil, senantiasa menyimpan suatu kekuatan dahsyat dampak latihan bertahun-tahun di dojo. Bahkan sampai kini pun masih dilakukannya secara diam-diam tiap punya kesempatan. Dan entah dari mana hasrat itu muncul, tahu-tahu telah menguasai sekujur tubuhnya yang menyalurkan seluruh kekuatan melalui tangannya.
"Ini hadiah dari Mayumi, haaaik!" Gar
sini melepaskan kekuatan yang menguasai dirinya itu melalui jurus handalannya. Bruuuaak.!
"Aduuuhhh.!" jerit kesakitan bagai menyapu pelosok supermal itu. Tubuh tinggi tegap itu seperti melayang sesaat, sebelum kemudian berguling-guling meluncur di antara undakan tangga menuju ke luar. Kepalanya pasti bakal mengalami gegar otak ringan bila seorang petugas tak berhasil mencegah daya luncurnya.
Anehnya, petugas itu membiarkannya begitu saja. Bahkan saat Garsini masih memburunya, ia berlagak tak melihat apa-apa. Cepat-cepat ia menjauhinya. Agaknya rombongan pria macho dan maskulin itu, sebelumnya pernah melakukan aksi yang dinilai atraktif di supermalnya. Hingga sang petugas merasa muak dan bosan berurusan dengan mereka.
"Dan ini dari calon putramu, hei Rahwana! Haaa. ugh, Mayumi"!"
"Jangan lakukan itu kepada ayah calon bayiku, Garsini-san, please ampunilah dia..." Mayumi telah mencegah pukulan telak di wajah si playboy picisan itu. Hingga wajah gantengnya terhindar dari kehancuran fatal.
Garsini terpaksa menghentikan serangannya, napasnya memburu dan tersengal-sengal. Ia menatap wajah sahabat Nippon-nya dengan tatapan tak mengerti. Namun, ia mematuhinya saat Mayumi mengisyaratkan untuk meninggalkan tempat itu.
Mayumi cepat-cepat menyeret lengan sahabatnya, melewati kerumunan orang-orang. Sementara erang kesakitan Jay Bachan segera menyibukkan Anjeli dan rekan-rekannya. Cristal sendiri tampak shock dan hanya terperangah, tak beranjak dari tempatnya berdiri. Apa yang dilakukan si penyihir Melayu itu"
Beberapa orang di pelataran parkir yang telah terhipnotis dan bergabung, serentak riuh memberikan aplus kepada Garsini.
"Begitulah seharusnya menjadi seorang gadis!"
"Tadi itu jurus taekwondo, ya"
"Pantasnya stuntgirl dari Hongkong..."
"Bagaimana kalau Yakuza yang lagi menyamar."
"Pssst. diamlah! Dia melihat ke arahmu!"
Digelandang oleh Mayumi keluar supermal, diam-diam Garsini menyesali tindakannya dalam hati. Kenapa angkara itu masih juga sulit terelakkan, ya" Ia kembali teringat insiden yang menghebohkan di kampus UI dengan kelompok kiri, Donald. Itu pun terjadi di saat bulan suci bulan Ramadhan setahun yang silam.
"Sudahlah, kamu tak usah merasa bersalah," hibur Mayumi salah paham, mengira Garsini menyesali telah melukai Jay Bachan.
Kalau kuasa aku ingin, ugh... Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang selalu khilaf ini. Mayumi kelihatannya sudah cukup puas berhasil mempermalukan Jay Bachan di depan orang banyak. Hanya sampai di situ saja, tak perlu lebih.
"Sungguh, kamu sedang mengandung anaknya, Mayumi"" Garsini menanyainya serius, ketika mereka telah berada di atas taksi. Rumah Mayumi dan asrama masih satu arah.
Mayumi mengangguk dengan wajah memerah. Tapi Garsini merasa tak keliru, bisa melihat kemerlip bintang di sepasang mata indah itu. Mayumi pun memberi tahu perihal sikap ibunya menerima kenyataan ini.
"Syukurlah, kalau Okusan sudah tahu semuanya," Garsini menghela napas lega. "Jadi, sekarang kalian tinggal serumah lagi kan""
"Okusan yang pindah ke tempatku. Oya, aku belum cerita kepadamu tentang Bosku yang baru. Kamu harus tahu, aku sudah pindah kerja ke tempat lebih baik dan aman," suaranya terdengar sarat semangat baru.
"Kamu lenyap dari peredaran dalam sebulan terakhir," protes Garsini.
"Begitulah," Mayumi tertawa riang. "Kami sibuk pindah dan mengecat ulang tempat tinggal. Bosku yang baru adalah pemilik ryokan di ujung jalan sana. Itu lho yang pernah ditinggali oleh sepupumu dulu."
"Ya, aku ingat itu. Coba ceritakan, bagaimana reaksi kakakmu""
"Kakakku," desis Mayumi seketika muram kembali. "Apa kamu tidak pernah baca pemberitaan di koran-koran, tentang kakakku."
"Hmm, mereka bilang Akira-san kini menjadi gembong Yakuza. Pernah juga kubaca berita tentang sepak terjang mereka di bawah pimpinan kakakmu. Membuat keributan di istana seorang pejabat penting Jepang" Ugh, itu pasti hanya gosip murahan saja, ya kan""
"Sayangnya itu benar. Kakakku sudah berhenti dari kuliahnya. Dia kemudian bergabung dengan Yakuza, entahlah. Konon, dia melakukan itu hanya untuk menarik perhatian ayah kami."
"Oh, jadi Menteri itu ayah kalian"" G
arsini tertegun-tegun. "Ya. Dan berkat pengaruhnya juga akhirnya kakakku dibebaskan begitu saja. Kasusnya dipetieskan. Kamu tahu, dia menyuruh kawanannya untuk menghabisi Jay!"
Percakapan sekitar Akira-san dengan Yakuzanya terputus. Taksi telah sampai di ryokan Etsuko. Garsini meluangkan waktu untuk mampir. Wanita sebaya ibunya itu masih saja santun, ramah dan hangat menyambut kedatangannya.
"Wah, sutekina fuku desu ne!" sambut Etsuko-san.
"Anata wa kirei desu ne!" tambah Mayuko-san. Betapa sering Garsini mendengar dua kalimat di atas. Wah, bajunya bagus ya. Kamu cantik ya. Bahkan tak jarang diucapkan oleh nenek-nenek yang baru pertama kali dijumpainya di gerbong keiosen.
Masyarakat Jepang senang sekali memuji orang, keluhnya suatu saat kepada Mayumi. Ya, tapi itu belum tentu dari lubuk hatinya terdlam. Hanya basa-basi saja. Jadi, kamu jangan kegeeran kalau lagi dipuji...
Namun, Garsini merasakan aura kehangatan dan ketulusan memancar dari kedua wanita ini. Keduanya segera sibuk menyiapkan makanan pembuka. Segalanya disediakan demi menyenangkan hati sang tamu. Hingga Garsini tak sampai hati untuk menolak. Akhirnya ia buka di ryokan yang sedang sepi itu.
"Bagaimana kabarmu sekarang, Nak"" tanya Mayuko sambil menemaninya makan di samping Etsuko. Garsini terharu sekali akan kehangatan dan kasih sayang yang ditawarkan kedua wanita itu kepada dirinya. Untuk beberapa saat ia merasa mendapat limpahan pemanjaan.
"Alhamdulillah. baik-baik saja."
"Hei, apa itu"" tanya kedua wanita itu serempak, menatapnya ingin tahu.
Mayumi yang menjawabkannya."Thank's God, puji syukur kepada Tuhan. Itu namanya hamdalah, bacaannya orang Islam."
Garsini terbengong mendengar kepasihan sahabatnya menerangkan kalimat spontan tadi. Etsuko dan Mayuko sesaat berpandangan, tapi kemudian memutuskan untuk mengindahkan hal itu.
Garsini sangat sibuk mengejar prestasi gemilangnya, hingga nyaris tak memiliki waktu untuk urusan pribadi. Bahkan Ucok sampai marah-marah melalui emailnya, karena kakaknya tak sempat membalas surat-surat dari keluarganya.
"Apalagi sekarang dia menjadi asisten pribadi Profesor Charles del Pierro. Huu, pasti dia semakin sibuk, Bu!" Mayumi mengadu kepada ibunya.
"Saya hanya membantunya membuatkan program. menyusun semacam katalog, ensiklopedia mini tentang perbandingan budaya bangsa Asia," kata Garsini merendah.
"Tapi itulah yang telah membuatnya melesat dari rekan-rekan gakusei lainnya. Dia ini salah satu pengecualian gakusei berasal dari Indonesia yang sangat kreatif, inovatif... pendeknya jeniuslah!" Mayumi habis-habisan memuji.
"Tuluskah"" goda Garsini menatap wajah sahabatnya.
Mayumi maklum dan tertawa geli."Iya, kali ini aku lagi tulus pahaaam""
Suasananya menjadi semakin hangat dan riang. Etsuko dan Mayuko sangat senang dan menikmati keriangan anak muda ini. Mereka jarang bisa berkumpul seperti ini. Apalagi sejak putri Etsuko terpaksa masuk ke rehabilitasi mental di luar kota. Kesenyapan dan kesedihan terasa menggayut di pelosok ryokan.
Mayuko-san menatap wajah jelita itu dengan iba. "Kamu jauh lebih kurus dari saat kita terakhir bertemu. Malam ini kamu harus menginap di sini, ya""
"Iya, Nak!" dukung Etsuko berseri-seri. "Kami akan menyiapkan apa itu... makan pagi sekali""
"Namanya makan sahur," lagi-lagi Mayumi yang menjelaskan. Hingga Garsini baru menyadari, betapa cukup banyak pengetahuan Mayumi mengenai Islam. Adakah hidayah-Nya mulai mengelus kalbu Mayumi"
Sayang sekali, Garsini dengan sangat menyesal terpaksa menolaknya. Ia sudah janji untuk itikaf bersama Ayyesha dan komunitas muslimnya di Sendai.
"Kamu harus sering-sering mampir ke sini, ya"" pinta Mayuko.
"Ya, biar kami bisa menjamu kamu sepuasnya!" janji Etsuko.
Kedua ibu itu melepas Garsini dengan wajah berseri-seri, penuh harapan baru dan pencerahan agaknya. Mereka pengecualian, pikir Garsini. Tak sekadar basa-basi melainkan keluar dari hati yang ikhlas. Ini membuatnya sukacita. Ternyata ia telah berhasil memikat dua orang ibu. Mereka menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Dan penemuan itu membuatnya bertambah tegar dalam melangkah hari-harinya di Negeri Sakura.
Bab 12 Malam tahun baru yang diharapkan para gadis di asrama itu akan bertabur cinta dan kasih. Haekal duduk dengan rikuh di ruang tamu di bawah tatapan kagum makhluk bernama gadis yang berseliweran. Mereka entah sengaja atau tidak, pamer kemolekan di sekitarnya. Bak para supermodel bergaya di atas catwalk. Sehingga membuat Haekal semakin rikuh dan jengah sendiri.
Beberapa kali Mayumi memergoki pemuda itu bangkit, kemudian jalan mondar-mandir dengan gelisah. Karena tak dipedulikan, akhirnya para makhluk molek itu jemu juga, raib entah ke mana. Sebagian telah pergi dijemput pasangannya, atau memperoleh kencan dadakan.
Namun, masih ada seorang gadis yang tampaknya amat tertarik kepada pemuda itu. Cristal ekstra keras bergaya dan beberapa saat secara serius melakukan atraksi pribadinya, menggoda Haekal.
Baru kali inilah Mayumi punya kesempatan mengamati pemuda Indonesia itu dari jarak dekat. Haekal tampaknya bersikap acuh tak acuh, sama sekali tak mempedulikan kerling genit, senyum menantang dari bibir menyala milik Cristal. Ia menundukkan kepalanya, tepekur menatap ubin di kakinya, mungkin juga ujung sepatunya yang masih dinodai percikan salju.
Ah, ke mana Garsini" Kenapa dia begitu lama membiarkannya sendirian di sarang macan betina ini" Masihkah dia belum bisa memaafkannya"
Mayumi terus mengamati Haekal dari tempatnya duduk di sofa sudut ruang tamu lantai bawah. Tak terlalu pendiam, tapi tampaknya suka merenung dan menyendiri. Tampangnya itu, very-very cool!
Hmm. pantasnya perawakan atletis dan tampang keren begini, aktorlah, gumamnya membatin. Inilah untuk ketiga kalinya memergoki Haekal tengah menanti Garsini dengan segala kesabaran dan kesetiaan nan mengagumkan. Namun, ia tak pernah berani mendekatinya apalagi menyapanya.
Ia telah punya komitmen tinggi dengan Garsini akan hal ini. Meskipun Garsini hanya tertawa kecil mendengar tekadnya itu. Kan menurut Islam, kita harus memelihara kehormatan. Harus menutup hijab antara wanita dan pria. Ah, tapi kamu kan bukan orang Islam. Iya, tapi mana tahu kan suatu saat nanti.
Lagi-lagi Garsini hanya tertawa kecil. Mayumi cemberut dibuatnya. Dari mana perubahan pemikiran itu muncul, Garsini membatin. Adakah itu terimbas dari perubahan total yang terjadi pada diri Jay Bachan"
Sesungguhnya dari Jay Bachan, Mayumi serasa telah mengenal begitu baik makhluk alim ini. Jay Bachan yang telah berubah total berkat kedekatannya dengan Haekal, sangat mengaguminya. Hampir tak henti-hentinya Jay menceritakan kebaikan Haekal. Bermula dari insiden pengeroyokan teman-teman kakak Mayumi, mereka yang mengaku anggota Yakuza.
Sejak saat itu Jay sangat menghormati Haekal dan ingin selalu berdekatan. Meskipun kemudian rekan-rekannya mengucilkannya, Jay tak peduli. Ada semacam magnit, daya tarik yang amat kuat melalui tali ukhuwah Islam yang diulurkan Haekal kepadanya.
Ada beberapa kali Haekal memintanya mendampinginya untuk menemui gadis itu. Baik di kampus maupun di asramanya. Dari situlah Jay mengetahui "kelainan" hubungan kedua anak muda itu. Garsini tak pernah mau jalan bareng, bila hanya berduaan. Begitu pula bila bercakap-cakap singkat, keduanya memilih tempat yang terbuka dari pandangan umum. Jay tak pernah melihat wajah ganteng itu kesal atau kecewa, bila Garsini menolak kedatangannya.
Haekal hanya akan tersenyum bijak, melepas Garsini kembali ke kamarnya di lantai dua. Sedang ia sendiri akan pulang ke asramanya, menempuh hujan badai, salju tebal. Jay bersungut-sungut di belakangnya, tak
paham akan bentuk hubungan kedua manusia berlainan jenis itu.
*** Suatu hari Jay Bachan memergoki mereka lagi berbantahan keras di kampusnya. Diakhiri dengan kepergian Haekal, wajah yang merah padam dan terluka. Sedang Garsini berlari-lari sambil membawa isak tangisnya yang terdengar menyayat di telinga Jay Bachan.
Jay mengira hubungan mereka takkan bisa dipertahankan lagi. Ada masalah, something wrong di antara mereka, pikirnya. Padahal, saat itu sosok Haekal sudah sangat mempengaruhi perubahan yang terjadi atas dirinya. Bahkan Jay Bachan hampir mengidolakannya sebagai sosok orang suci, bagaikan Dewa laiknya.
"Jangan, jangan pernah pandang aku seperti itu," tegur Haekal keras."Aku hanya seorang manusia biasa, manusia yang banyak kelemahan, banyak melakukan kekhilafan. Kamu sudah lihat buktinya beberapa menit yang lalu. Aku sudah menyakiti gadis suci itu, menyakiti hatinya secara telak!"
Jay Bachan menggelengkan kepala, kebingungan. Mereka mampir di caffee-house dekat kampus. Hujan badai menghambat perjalanan mereka untuk sementara waktu. Musim dingin terasa menggigit di akhir bulan Nopember.
"Kopi saja rasanya takkan mampu mengusir hawa dingin ini. Boleh aku pesan minuman beralkohol"" tanya Jay meminta pendapat Haekal.
"Karena kamu bukan seorang Muslim, silakan saja, terserah kamu."
"Ooh, jadi kalau aku Muslim, tak boleh minum minuman beralkohol, ya""
Haekal mengangguk dan ia tak mempedulikan tatapan keheranan orang-orang sekitarnya. Karena ia sama sekali tak memesan apa-apa. Ia sedang berpuasa. Jay amat mengagumi kekuatan hati orang Islam melalui sosok Haekal, bershaum selama satu bulan tanpa meninggalkan aktivitas kesehariannya.
Haekal baru tugas jaga malam, paginya sengaja mampir ke kampus Garsini. Seharusnya gadis itu sangat senang dan berbahagia memiliki kekasih sesetia Haekal, pikir Jay. Kenapa malah tadi seperti mengusir-usirnya"
"Puasaku sudah batal karena sempat marah-marah tadi," keluh Haekal. Inilah untuk pertama kalinya Jay melihatnya begitu kisruh-misuh.
"Aku tidak paham dengan kelakuan kalian," protes Jay. "Bukankah kalian pasangan kekasih yang saling mengasihi" Tapi kenapa kalian tak pernah bisa jalan bareng berduaan, memadu kasih seperti lazimnya pasangan kasmaran lainnya""
Haekal menghela napas berat. Gelisah duduk di antara para pelanggan kafe, ia menyilakan Jay untuk memesan minuman dan penganan. Meskipun ia merasa puasanya sudah batal, tapi tak punya niat untuk makan dan minum di siang hari.
Jay akhirnya memutuskan untuk mengikuti jejak Haekal, tak memesan apa-apa. Walaupun harus dipelototi pemilik kafe, ia lebih suka mengeluarkan beberapa puluh yen sebagai kompensasi tempat mereka berteduh.
"Kami memang berniat untuk menjadi suami-istri, suatu hari nanti," ungkap Haekal kemudian.
"Aku sudah menduganya!" tukas Jay tak sabar."Tapi kenapa kalian begitu asing kelihatannya" Maksudku, aku tak pernah melihat kalian kencan apalagi bermesraan""
Wajah Haekal merona. Ia menjelaskan secara singkat tentang makna mahram dan non mahram, tentang halal dan haram, tentang khalwat, hijab... Sehingga Jay mengangguk-angguk paham.
"Dalam agama Hindu pun ada banyak aturan dan disiplin, tapi aku sudah lama tak mempedulikannya. Mungkin sejak mereka membuangku ke luar negeri. Mula-mula ke Amerika, Inggris dan sekarang aku terdampar di Negeri Sakura. tanpa masa depan!"
"Jangan pesimis begitu, aku kan sudah berulang kali mengingatkanmu," tegur Haekal tak enak."Masa depan itu tetap ada dan terletak di tanganmu sendiri. Semuanya tergantung bagaimana kamu memperlakukannya... Hei, katamu tempo hari utusan keluargamu sudah datang untuk menjemputmu""
Jay mengangguk. Pamannya, Vijay untuk ke sekian kalinya diutus oleh keluarga besarnya di New Delhi. Paman Vijay mengingatkannya agar segera merubah gaya hidupnya yang amburadul. Ayahnya konon sudah tak sabar lagi menanti perubahannya.
"Katanya, kapan kamu akan merasa siap untuk mengambil alih kekuasaannya" Dia merasa sudah semakin tua dan lelah. Kedua kakakmu tak bisa diandalkan lagi, karena mereka lebih suka dengan karier politiknya. Ingatlah, Jay, perusahaan kita semakin melebar ke pelosok dunia, tak sabar lagi menantikan Sang Pangeran untuk mengembangkannya."
Jay hanya terdiam seribu basa. Harapan itu terlalu tinggi, terlalu berat diletakkan ayahnya ke atas bahu-bahunya yang ringkih. Lemah dan ringkih karena kepengecutan dirinya untuk tampil sebagai pemenang. Trauma masa silam itu sangat dalam memasung jiwanya. Bayang-bayang kedua kakak lelakinya yang sukses sebagai politikus, rasanya terlalu beban untuk disaingi.
Jay terkucilkan, lebih suka hidup di mancanegara sebagaimana dulu orang tuanya mengkondisikannya demikian. Jay pun kembara ke mana saja dia suka. Tualang ke sana ke mari, bahkan
dari satu pelukan wanita ke pelukan wanita lainnya. Menghamburkan setiap rupee yang ditranfer keluarganya, hidup foya-foya dan hura-hura sebagai pelarian.
Namun, pelarian itu ternyata nol belaka! Bahkan memberinya dampak yang sangat menjijikkan, dosa tak terampunkan. Beberapa minggu setelah insiden di supermal yang memberinya kabar mengejutkan, kehamilan Mayumi, Jay jatuh sakit. Dokter kemudian memvonis dirinya dengan suatu penyakit memalukan; gonorhea!
Kali ini paman Vijay baru pulang setelah memberi ultimatum,"Kalau dalam tempo dua bulan kamu masih begini saja, jangan harapkan lagi sokongan fasilitas dan kemudahan dari keluarga besarmu di India!"
Itu berarti, dia akan hidup sengsara di negeri orang untuk selama-lamanya. Nehiiii!
"Baik, Paman Vijay, lantas apa saranmu"" seru Jay ketika melepas keberangkatan pamannya di bandaran Narita.
"Berubahlah secara total, Jay Bachan! Carilah seorang gadis untuk mendampingi hidupmu, mengarahkan jalanmu. Paham kamu, Jay, paham"" mata Paman Vijay berkaca-kaca.
"Siapapun gadis itu, ya Paman""
"Siapapun dia asalkan bisa membuatmu menjadi orang lagi, Jay Bachan!"
Sekarang aku telah menemukan gadis itu, jerit Jay bachan. Bahkan dia sudah mengandung putraku, tapi bagaimana kalau... Anak itu terlahir cacat" Mayumi dengan bijak dan pasrah tetap menyemangatinya, setelah Jay mengungkapkan kondisinya secara jujur. Tak ada yang disembunyikan lagi.
"Kita lihat saja kenyataannya nanti, Jay. Bukankah kita harus selalu memiliki keyakinan itu, kepercayaan akan takdir-Nya"" Inilah saatnya Jay merasa dirinya telah mengalami perubahan total. Siapapun pemicunya, apakah itu berkat kedekatannya dengan Haekal atau kehamilan Mayumi. Tak usah diperdebatkan lagi, sebab yang jelas ini akan sangat menyenangkan.
"Peganglah keyakinan itu, Jay. Kamu kuat, kamu akan sanggup melewati masa-masa kritis hidupmu. Selain ada Mayumi, ada keturunanmu, harapan keluarga besarmu. Nah, apalagi yang kamu harapkan" Semuanya itu menjadi karunia dalam sisa hidupmu kelak," semangat Haekal seperti biasa menggebu-gebu, mengalahkan kisruh-misuh di wajahnya dan persoalan pribadinya.
"Aku ingin minta sesuatu darimu, Aa Haekal," cetus Jay Bachan sebelum meninggalkan kafe itu.
"Apa itu"" Haekal tengadah, menatap paras pemuda India yang menatapnya dengan mimik serius itu.
"Ajaklah aku. maksudku kami berdua, aku dan Mayumi untuk memeluk agamamu Islam."
Haekal melengak, sesaat kemudian ia tersenyum bijak. "Itu tak sesederhana perkiraanmu, Jay. Mayumi sendiri harus meyakininya, jangan sampai merasa terpaksa. Pertimbangkanlah kembali matang-matang!"
Tapi Jay telah merasa mantap agaknya. "Baiklah, kalau begitu dimulai dari diriku dulu, ya Ustaz"" katanya. "Bagaimana caranya aku bisa memeluk Islam""
Menghabiskan hari itu, mereka menuju Wisma Nusantara. Haekal memperkenalkan Jay kepada taklimnya, dan mengungkapkan niatnya. Mereka sangat hangat dan menyambut gembira keinginan Jay.
Maka, Jay pun dibimbing melafalkan dua kalimah syahadat oleh Cak Wahid, seorang guru agama yang sedang bertugas sebagai staf pengajar di sekolah internasional.
Haekal kemudian melimpahinya dengan sejumlah buku tuntunan Islam. Jay pun mempelajarinya dengan sangat serius dan istiqomah. Ia sungguh ingin menjadi sosok yang baru, manusia baru dalam perubahan total, dalam kepasrahan seorang Muslim.
*** "Tolong, katakan terus teranglah, Garsini-san. Kita kan bersahabat, sudah seperti saudara malah... Apa sebenarnya yang kalian pertengkarkan"" tanya Mayumi beberapa hari yang lalu.
"Hanya salah paham saja," elak Garsini, tapi jauh di lubuk hatinya ia meragukan; adakah itu sekadar salah paham belaka" Ataukah lebih dari sekadar itu" Benih-benih perbedaan di antara mereka"
Garsini masih juga menyembunyikan masalah yang terjadi antara dirinya dengan pemuda itu. Bahwa ia sudah banyak memberi kesempatan, tetapi Haekal selalu mengulangi kesalahan yang sama. Mencemburui, mencurigai. habis-habisan!
Sungguh tak masuk akal. Kenapa sikapnya jadi berubah begitu mengesalkan, ya" Itu mengingatkan Garsini akan sikap ayahnya. Ia masih trauma dengan masa lalunya, kekerasan yang kerap terjadi dal
am rumah tangga orang tuanya. Semua diakibatkan oleh ketakpercayaan Papa terhadap cinta Mama.
Aduuuh... demi Allah! Aku tak ingin hal yang sama terjadi dalam keluargaku kelak!
"Nah, kalau begitu maafkanlah dia, temuilah dia sana!" Garsini bersikeras tak mau menemuinya. Sehingga terpaksa Mayumi ke bawah. Melalui Jay yang selalu jalan bareng dengan Haekal dalam beberapa pekan itu, ia menyarankan mereka agar sebaiknya pulang saja.
Pertengkaran itu sungguh melukai hati Garsini yang murni dan mungil.
"Betulkah si De Broer itu sepupumu" Dan kalian berduaan saja bepergian ke Hisroshima"" cecar Haekal, ketika Garsini menceritakan semuanya secara terus-terang. Tak ada yang dirahasiakan.
Aduuh, kenapa Aa Haekal menyangsikan kejujuranku, pekik Garsini sakit hati sekali kala itu. Apalagi ketika sampai beberapa waktu Haekal secara terus-menerus mencecarnya, berbagai pertanyaan, melalui telepon dan mail-mail.
Seribu luka pun turut merajam sukma Garsini!
"Bagaimana tidak ngambek, sikapmu itu terlalu dingin kepadanya. Tak seperti seorang kekasih... Lama-lama dia akan cari pacar baru, Garsini!" tegur Mayumi pada malam lebaran yang lalu, menyesalkan sikap sahabat Indonesu-nya yang dinilai aneh.
Haekal tak berhasil mengajak Garsini pergi ke KBRI, meskipun sudah susah payah mengajak serta Jay Bachan. Garsini memilih tinggal di kamarnya dengan dalih untuk melakukan tafakur, itikaf dan bertakbir sendirian. Sebab ia pun tak bisa ikut bersama kajian Ayyesha, terlalu riskan untuk menempuh badai salju menuju Sendai. Apalagi seorang diri.
Ketika itu Mayumi amat surprise dan mulai membuka hati untuk memaafkan Jay Bachan. Haekal telah berhasil melakukan pendekatan, bahkan sanggup mempengaruhi pikiran Jay Bachan. Luar biasa!
"Bagaimana kalau dia sudah dimanfaatkan oleh Aa Haekal, ayo""
"Apapun itu. aku tak peduli! Bagiku yang penting, Jay sudah berubah dan itu sangat menakjubkan!"
"Bagaimana kalau perubahannya hanya sementara" Hanya untuk membuatmu kembali ke dalam pelukannya" Setelah kalian menikah dia akan."
"Itulah yang paling kuinginkan, menikah! Setelah itu aku sungguh tak ingin apa-apa lagi!" Garsini geleng-geleng kepala. Ia tak bisa membayangkan seandainya Mayumi kembali dikecewakan. Bagaimana kalau dia sampai harakiri, duuuh.!
"Jawablah dengan jujur, apa betul kalian pasangan kekasih"" Mayumi kembali mendesaknya soal status Haekal bagi gadis itu. Garsini hanya akan tersenyum lembut. Membuat Mayumi geleng kepala.
"Kami tidak pacaran, Mayumi-san. Dia ingin menjadikanku istrinya, tapi tidak sekarang, suatu hari nanti. Jadi, kami harus memelihara hubungan suci ini, Jangan sampai terkontaminasi oleh hasrat, nafsu atau nikmat sesaat belaka... Aku percaya, dia takkan macam-macam, insya Allah!"
Gadis satu ini memang luar biasa! Islam, itukah berkahnya iman dalam Islam" Semakin kagum Mayumi terhadap Garsini, semakin tinggi pula rasa ingin tahu dan penasarannya akan agama yang dipeluk gadis itu. Agama yang telah
sangat memperngaruhi jalan hidup Jay Bachan.
*** Ketika untuk ke sekian kalinya Cristal yang mengenakan gaun seronok, melenggang-lenggok secara atraktif di sekitar ruang tamu itu, Mayumi merasa tak tahan lagi untuk menegurnya. Ia pun bangkit dari sofa, tempatnya duduk berdiam diri dalam lima belas menit terakhir, menunggu kedatangan Jay Bachan yang telah janji menjemputnya di asrama malam itu.
"Jaga sikapmu, Cristal, please," bisiknya mendesir di telinga gadis Swedia yang pernah melecehkannya, bersombong-ria mengklaim sebagai penakluk semua penghuni apartemen Hindustan di Shinjuku itu.
Cristal menjengek sambil mencibir sinis, terang-terangan menghina Mayumi. "Apa urusanmu di tempat terhormat ini, he perempuan murah"" dengusnya tajam menikam, langsung mengenai ulu hati Mayumi.
Mayumi tidak tampak marah. Bibirnya malah melepas sesungging senyum, dalam satu keyakinan janji orang terkasih, seperti kemarin didengarnya melalui telepon. Jay Bachan entah untuk ke berapa kalinya mengungkapkan, kesediaannya bertanggung jawab sebab telah menyadari semua dosa-dosanya. Ia bertekad menebusnya dalam wujud satu ikatan pernikahan resmi. Bahkan ia rela melakuka
n apapun demi mewujudkan niat baiknya itu.
Sejak insiden di supermal itu, Jay Bachan mengalami perubahan total. Mayumi takkan pernah menanyakan detailnya perihal perubahan itu. Ia sangat surprise dan sungguh berbahagia menerima kenyataan seindah ini. Bukan mimpi, sungguh kenyataan. Jay telah berkali-kali mendatangi tempat tinggalnya. Menemui ibunya dan menyampaikan penyesalan sekaligus keinginan baiknya, mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap Mayumi.
Ampuni aku, berilah kesempatan kepadaku untuk menjadi ayah yang baik bagi bayi kita kelak. Kamu mau menjadi istriku bukan"
Hati Mayumi kini dilumuri kehangatan cinta, kelembutan janji yang terpancar melalui mata Jay Bachan. Dia telah berubah total, aku percaya kini!
"Sudah tuli, ya" Apa tidak malu masih keluyuran dengan perut buncitmu itu" Sudah berapa bulan, lima-enam.""
"Aku memenuhi janjiku kepada sahabatku, Garsini," ujar Mayumi datar tanpa mempedulikan semburan hinaannya. "Kami akan pergi ke KBRI untuk."
Tidak juga, bantahnya cepat dalam hati. Garsini sudah sejak kemarin menyatakan keberatannya pergi malam ini. Kecuali jika ada sesuatu yang luar biasa, katanya tegas.
"Ahaaaa" Apa kupingku tak salah dengar nih"" ejek Cristal sambil mendengungkan tawa yang terasa kejam menikam di telinga Mayumi."Kamu sudah semakin parah jadi pemimpi ulung, ya" Kamu pikir, Jay akan datang ke sini" Bareng kalian untuk malam tahun baru. hemm""
Mayumi tak bereaksi lagi, memilih kembali ke sofanya di sudut ruang tamu. Dalam beberapa bukan terakhir, setelah secara berkala berdiskusi panjang-lebar mengenai keyakinan, kepercayaan diri dengan Garsini.
Mayumi ingin menjadi seorang yang istiqomah terhadap Tuhan sahabat baiknya itu. Allah... Allah Sang Pengasih! Apakah itu hidayah, tanyanya suatu saat kepada Garsini. Hidayah itu sesuatu nikmat, berkah yang menghinggapi dan bersemayam secara kokoh di kalbu seorang manusia. Maaf, aku juga bukan guru agama, bukan pakarnya, tetapi itulah yang pernah kupelajari, kata Garsini.
Betapa aku menginginkan hidayah itu menghinggapi dan bersemayam dengan kokoh di kalbuku ini!
Sementara Haekal baru kembali dari teras dan aksi mondar-mandirnya. Begitu dilihatnya pemuda itu kembali masuk, Cristal terpaksa melepaskan kesempatan untuk melukai hati Mayumi. Cepat-cepat ia stel habis gaya dengan segala percaya dirinya, menghampiri Haekal.
Kali ini Cristal sengaja menghadangnya, berdiri menantang di depan hidungnya. Tentu saja berikut gaun seronok, berleher rendah dan berbelah panjang di kedua pinggir pahanya.
Mayumi mengamati semua gerak-gerik kedua makhluk itu dari sudutnya, beberapa meter dari mereka. Entah apa yang dikatakan oleh Haekal kepada Cristal. Pasti sesuatu yang sangat mengguncang jiwa Cristal. Dampaknya kentara sekali dari mimik dan gerak-gerik gadis Swedia itu. Sebuah tragedikah"
Namun, Cristal masih juga berlagak pilon, berlenggok menghampiri sudut Mayumi.
"Ugh, jangan bilang kalau kamu masih mengharapkan Jay," cetus Cristal begitu berdiri di depan hidung gadis Jepun itu. Pacar si Garsini itu pasti sudah sinting! Mana mungkin Jay sudi menikahi gadis murahan ini, desisnya sebal.
Mayumi merasa jemu dan muak meladeni keangkuhannya. Ia memutuskan untuk bungkam seribu basa. Seketika ekor matanya menangkap dua sosok baru muncul di ambang pintu. Mayumi bangkit kembali dan perlahan mengamati orang-orang itu.
My God, itulah mereka, persis seperti janji Jay tempo hari. Dia tak pernah ingkar janji lagi, pekiknya hampir histeris. Jay berdua Paman Vijay, sangat apik dengan tuksedonya, tapi Jay dengan kemeja. Muslimnya!
Bab 13 Haekal pun bergegas menyongsong kedua orang yang sejak tadi dinantikannya dengan harap-harap cemas. Agaknya Jay berhasil meyakinkan pamannya, bahkan mendatangkannya dari India untuk merestui keputusan penting dalam hidupnya.
"Assalamualaikum." sapa Jay mendahului.
"Wa alaikumussalam..." sahut Haekal tertawa senang, dijabatnya tangan Paman Vijay. Kemudian ia memeluk Jay erat-erat."Kamu sudah mantap, ya""
Jay mengangguk tegas. "Tentu saja, insya Allah, malam ini aku ingin memperistri Mayumi. Menikahinya secara Islam seperti yang telah kuja
njikan kepadamu tempo hari itu. Paman Vijay bisa memahami keputusanku, tanyakan sendiri kepadanya."
Mayumi yang diam-diam menguping percakapan mereka menghela napas dalam-dalam. Adakah ini sepotong mimpi dari seluruh impian dan harapan yang ingin disampirkannya ke bahu Jay Bachan" Cristal mencoba berusaha memahami apa yang tengah terjadi.
"Hei, apa betul kalian akan menikah malam ini di."" Mayumi tak menggubrisnya, sebab Jay telah menghampirinya dengan wajah bersinar-sinar. Paman Vijay dan Haekal mengikutinya dari belakang.
"Kamu mau menjadi istriku malam ini, ya kan Mayumi-san""
Mayumi tegak berdiri dengan perut lima bulannya, kali ini mulai bisa mengembangkan seulas senyum lembutnya. Setelah melewati malam-malam yang terasa sangat menakutkan dan sarat kebimbangan. Hari-hari yang meresahkan di bawah sorot mata hinaan, menanggung aib tak terampunkan. Seandainya tanpa dukungan ibunya dan majikannya, Etsuko-san.
Mungkin ia pun sudah melakukan harakiri!
"Tentu saja, tapi. aku ingin mengikuti jejakmu dulu. Bisakah"" Suaranya sama sekali tidak gugup, kepercayaan dirinya sudah kembali dan sangat kokoh!
"Maksudmu.""
"Bimbinglah aku ke dalam keyakinanmu, agama barumu yang telah membuat dirimu sangat berubah, banyak diberkati Tuhan." kata-katanya terdengar amat indah di telinga Jay dan Haekal.
Kemudian katanya pula kepada Haekal yang masih terperangah. "Haekal-san, apakah aku bisa melakukannya""
"Insya Allah bisa, nanti akan diatur sesuai keinginanmu," janji Haekal.
Paman Vijay giliran menyampaikan restunya secara resmi. "Kami sudah menerima keputusan Jay. Semuanya sangat sukacita. Mereka ingin segera melihatmu, Nona Mayumi. Minggu depan bisakah kita pulang ke New Delhi""
Jay menengahi "Jangan terlalu memaksakan kehendak, Paman Vijay, please. Biarlah Mayumi rembukan dulu dengan keluarganya."
Agaknya hal itu memang sudah dipertimbangkan masak-masak oleh Mayumi. Bahkan restu ibunya telah diperoleh jauh-jauh hari. Termasuk restu Akira yang sempat mendekam di balik terali besi, belakangan segera dikeluarkan oleh ayah kandungnya yang tak mau karier politiknya lebih hancur.
Konon, Sang Menteri telah berjanji untuk selalu menjamin keuangan Akira dan adiknya sejak saat ini. Asalkan Akira mau melepaskan diri dari Yakuza, meskipun menurut Mayumi hal itu sama saja seperti menganyam awan alias muskil. Artinya, kalau bukan ayah mereka yang ingkar janji, maka Akira yang tak sudi diatur-atur.
*** Cristal bagai kambing congek, tak tahan lagi dengan segala sukacita dan kasih sayang yang melumuri wajah Mayumi. Ia berlari kecil kembali ke kamarnya. Namun, di koridor lantai dua ia berpapasan dengan tiga wanita yang mengenakan kimono Jepang. Cristal mendengar percakapan mereka yang menurut perasaannya tak menggubris keberadaannya.
"Sungguh, kamu cantik sekali dengan kimono dan kerudungmu itu. Iya kan, serasi sekali, Etsuko""
"Haik... Anata wa kirei desune!" sahut Etsuko sambil tertawa riang dan menjawil pipi porselin itu. "Ini pujian tulus, Miss Indonesu."
Wajah Garsini memerah, apalagi ketika Mayumi menambahkan. "Kapan kalian meresmikan hubungan. dengan dokter Haekal itu"!"
Garsini tak menjawab malah cepat mengalihkan percakapan. "Percayalah, ini akan menjadi kejutan menyenangkan buat Mayumi."
Betapa ia telah berjuang meyakinkan kedua wanita itu untuk merestui pernikahan putrinya dengan Jay Bachan. Ia juga telah berusaha keras menahan Mayumi, agar tidak mengetahui keberadaan kedua wanita yang mengasihinya itu di kamarnya.
"Etsuko, tolong cubit aku! Apa aku bermimpi" Bayangkan, sebentar lagi aku akan dipanggil Ibu Mertua."!" seru ibu Mayumi.
"Niiih, rasakan cubitanku!" gemas Etsuko mencubit tangan sahabatnya.
"Aduuuh.!" pekik Mayuko. Kedua wanita Jepang itu terus jua bersenda-gurau. Sedang Garsini menatap prihatin ke arah Cristal yang nyaris menabraknya. Tapi Cristal cepat-cepat berlari menghindarinya. Kasihan juga dia, apakah koleksi pacar yang selalu dibanggakannya itu sudah habis" Tak sepotong pun tersisa yang sudi mengajaknya kencan malam ini" Ataukah mereka sudah mengetahui bagaimana gaya hidup liar gadis itu"
"Ada apa dengan si pirang itu"" May
uko ingin tahu. "Kelihatannya dia tak dapat ajakan kencan malam tahun baru ini," Etsuko asal tebak.
"Kasihan sekali. Coba sebelumnya dia datang ke ryokanmu, Etsuko. Kita kan bisa mencarikannya pasangan"" komentar Mayuko.
"Memangnya ryokanku tempat apa"" sergah Etsuko.
"Bukan begitu, maafkan... jangan tersinggung dulu. Aku hanya ingin membantunya saja," nada Mayuko terdengar tulus hingga sahabatnya turut merasa simpati.
Seandainya Mayuko tahu, bagaimana Cristal memperlakukan putrinya dengan segala sindiran tajam dan penghinaannya, pikir Garsini. Sudahlah, semuanya akan berakhir dalam kebahagiaan, sebentar lagi.
"Kamu ini selalu memikirkan orang lain. Lebih baik pikirkan kebahagiaan dirimu sendiri," tegur Etsuko selang kemudian. "Bagaimana kalau hubunganmu dengan Matsua-san juga segera diresmikan seperti mereka" Bukankah pacaran itu dosa, ya Miss Indonesu.""
Dan pertanyaan itu diulang kali ini oleh Mayuko kepada Garsini, ketika mereka telah selesai menyaksikan akad nikah pasangan berbahagia di Islamic Centre. Beberapa saat sebelumnya mereka pun menyaksikan mempelai wanita mengucapkan dua kalimah syahadat. Air mata haru menitik membasahi pipi Mayuko, tangannya digenggam erat oleh Etsuko.
Garsini tak segera menyahut. Kedua mempelai baru saja diantarkan menaiki limousin milik keluarga besar Paman Vijay. Mereka akan langsung menuju bandara Narita, naik pesawat terakhir ke Paris untuk berbulan madu. Semuanya telah disiapkan oleh Paman Vijay dan istrinya yang asli Pakistan, seorang muslimah yang lembut dan anggun. Dalam tempo relatif singkat, Mayumi sudah tampak sangat akrab dan bisa bermanja-manja kepadanya.
Haekal berdiri tertegun-tegun di sebelah Cak Wahid, keduanya melambai-lambaikan tangan ke arah pengantin baru. Entah apa yang sedang dipikirkannya, pikir Garsini. Haekal pernah menawarkan pernikahan itu kepadanya, tapi ia menganggapnya sebagai gurauan belaka. Sebab bila pernikahan itu dilaksanakan saat ini, rasanya itu hal yang tak mungkin!
Bagaimana kalau itu serius" Ugh, seketika Garsini merasakan hatinya menggigil. Ia merasa takut sekali, bila dirinya tak mampu menolak tawaran itu. Bukankah tawaran menikah dari seorang pria yang baik adalah suatu kesempatan emas, yang bila kita menolaknya Allah akan melaknat"
Tapi bagaimana dengan masa depannya, kuliahnya, beasiswanya tentu akan dicabut. Kepalanya mendadak pening!


Kapas Kapas Di Langit Karya Pipiet Senja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa denganmu, Nak"" tanya Mayuko menatapnya cemas, tangan Garsini terasa gemetar dalam genggamannya. "Kamu sakit" Kata Mayumi, kamu pernah dua kali mendadak jatuh sakit.""
"Jangan menakutinya," kata Etsuko. "Itu penyakit biasa, rindu rumah yang lazim dialami oleh para gakusei asing. Lagi pula, kalaupun dia punya kelainan pasti dokter Haekal cepat mengobatinya. Aha! Kukira, kalian sebentar lagi juga akan meresmikan pertunangan barangkali""
"Tidak, Etsuko. Tidak akan ada pertunangan sebab hal itu tak lazim dalam Islam, keyakinan mereka. Begitu kan, Sayang"" bantah Mayuko.
"Kalau untuk menikah, bukankah usia Garsini masih delapan belas" Terlalu muda, Lagi pula dia tak sama dengan Mayumi. Maaf, maksudku kasusnya berbeda!"
"Aku paham," Mayuko tak tersinggung. "Antara Garsini dengan putriku memang sangat berbeda watak. Tapi sekarang ada yang mengikat keduanya yaitu simpul kasih, eeh, apa namanya" Ehem, ukhuwah Islamiyah, begitu kan, Garsini-san"" Ibu Mayumi ini, kadang resmi-resmian, kadang begitu hangat kekeluargaan. Garsini terdiam dalam kebingungan.
Tiba-tiba kedua ibu itu beradu argumen, mempercakapkan masa depan gadis yang sudah mereka anggap sebagai putri sendiri. Terutama tentang pernikahannya, baik-buruknya bila tidak atau akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Begitu heboh, seakan-akan tengah membincangkan nasib seseorang yang sama sekali tak memiliki hak bicara dan privasi lagi...
"Hei, mau ke mana, Sayang" Aaah, kita sudah membuatnya tersinggung nih, Etsuko!" sungut Mayuko menyesalinya.
"Tapi kamu yang memulai!" Etsuko tak mau disalahkan. Kedua wanita itu terpana memandangi bayangan Garsini yang secepat kilat menjauhi mereka.
Gadis itu tampak menyeberang jalan kemudian menyusuri jembatan layang yang su
dah ramai oleh orang-orang. Mereka hendak merayakan malam tahun baru dan Garsini baru menyadari hal itu kembali. Suatu kebiasaan Barat yang tak pernah digubrisnya seumur hidupnya.
Bayangan Cak Wahid telah lenyap dalam sebuah taksi. Haekal baru bisa menghampiri kedua wanita yang masih kebingungan mengawasi tingkah Garsini.
"Naaah, kebetulan sekali kamu datang!" sambut Mayuko girang. "Cepat, katakan kepada kami, Haekal-san."
"Ya, apakah kalian punya rencana menikah dalam waktu dekat ini" Kalau menurutku, kalian belum siap, maksudku usia Garsini masih terlalu muda."
"Tidak apa-apa, dokter! Jangan hiraukan dia! Garsini dengan putriku itu sebaya, hanya beda beberapa bulan. Kurasa Garsini sama saja sudah siap bila kamu ajak menikah.""
Haekal geleng-geleng kepala melihat perdebatan yang seolah takkan usai dalam waktu singkat itu. Sementara matanya menangkap sosok dalam kimono Jepang tengah berusaha keras membebaskan diri dari kehiruk-pikukan massa.
"Sumimasen ga...(Maafkan saya, maaf...) Saya permisi dulu, kelihatannya Garsini butuh pertolongan," ujar Haekal bak bisa memaklumi kesulitan gadis itu dari kejauhan.
Seperti mendapat mainan baru, Mayuko dan Etsuko seketika menyemangatinya, bertepuk tangan-ria sambil mengikik geli.
"Kamu haruuuus, haruuus mampu mendapatkannya, Haekal-saaan!"
"Ayooo, ayooo, jangan pernah menyeraaah!"
Pada kenyataannya, Haekal tak berani menawarkan pernikahan itu secara serius saat itu. Sehingga Garsini bisa menarik napas lega dan tanpa beban lagi. Ia pun mau memaafkan segala kehilafan, kecemburuan membuta dan kecurigaan tak beralasan Haekal. Tawaran itu baru diulurkan kepadanya tiga tahun kemudian, secara sungguh-sungguh bahkan terdengar seperti mendesak dan menyudutkannya.
*** Semester demi semester terus berpacu dalam jadwal perkuliahan kian padat dan tugas-tugas yang semakin ketat. Algoritma dan Pemrograman, Analisa Algoritma, StrukturData, Logika Matematika, Praktikum... Rekayasa Perangkat Lunak, Artificial Intelligence, Database System, Organisasi Komputer, semuanya berujung pada teknologi inovatif.
Semuanya berseliweran dari menit ke menit, hari demi hari, minggu demi minggu. Musim semi, musim panas, musim gugur, musim dingin dan begitu selanjutnya silih berganti. Akhirnya empat tahun pun berlalu sudah, bersamaan dengan secarik ijazah dan gelar sarjana teknik informatika dalam genggamannya.
Ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya, Garsini menyadari hal itu. Rasa bangga akan keberhasilan yang telah diraihnya, ternyata tak memberinya kepuasan seperti yang diperkirakannya dulu. Ia merasa kini dirinya dalam suatu persimpangan jalan.
Siang itu, musim semi yang lembut dan Garsini baru menuruni tangga menuju ruang tamu. Ia akan melakukan semacam menapak tilas untuk terakhir kalinya sebelum memutuskan sikap. Adakah ia akan menerima tawaran beasiswa yang diupayakan Profesor del Pierro di Universitas Sorbone, Perancis" Ataukan kembali ke Indonesia, menerima khitbah Haekal yang ditawarkan kepadanya tadi malam"
Asramanya tampak telah lengang ditinggalkan para penghuni. Kali ini ia seorang diri. Haliza telah mendahuluinya pulang ke Malaysia beberapa pekan yang lalu. Sayang sekali, hubungannya dengan Rashid tak berlangsung seperti harapannya.
Haliza sempat frustasi mengetahui Rashid akhirnya memilih menyerah, menikah dengan wanita pilihan keluarganya. Namun, seiring dengan berlalunya waktu, gadis Muslimah itu pun mampu menjalani hari-harinya dengan istiqomah. Sekarang Haliza telah menjadi seorang dokter, sebuah klinik kecil telah menantinya di Selangor. Konon, ia bertekad mengabdikan ilmunya demi kesejahteraan umat dan rakyat jelata di lingkungannya.
"Suatu saat, bila ada pria yang baik dan saleh meminangku, barulah aku akan berubah pikiran, menjadi seorang istri dan ibu. Tapi kalau tak ada juga, mungkin aku akan kembali ke bangku kuliah, ambil spesialisasi bedah jantung di Amerika," tekad Haliza sebelum berpisah.
Garsini teringat lagi akan keberduaan mereka di musim semi sekitar empat tahun yang silam. Rasanya seperti saat ini, di langit tampak awan putih, langit bening dan bersih. Di matanya mirip kapa
s-kapas yang berarak lembut. Bunga-bunga Sakura berguguran berserak di pekarangan, sebagian masih segar, bahkan ada yang belum kuncup sama sekali.
Nuansanya tentu saja sudah sangat berbeda. Dulu ia masih tergagap-gagap dalam kecanggihan dan fasilitas super modern yang dimiliki Negeri Sakura. Kini ia merasa sudah sangat terbiasa, mungkin pula telah menyatu dalam derap kecanggihan dan teknologi super modern bangsa Jepang.
Berbagai penghargaan yang telah diperolehnya dalam usia yang sangat belia, kadang melambungkan dirinya ke awang-awang. Seakan-akan tak ada satu pun yang tak mampu diraihnya!
Garsini berhasil sebagai mahasiswa cemerlang, sukses pula dalam beberapa klub elite masyarakat cendekia dunia yang dimasukinya. Namanya populer di berbagai kalangan dan lapisan masyarakat Jepang. Di kalangan almamaternya, Garsini banyak disebut-sebut sebagai cendekia muda brilian. Hingga digelari Einsten-girl oleh para senior, disegani kakak kelas dan dikagumi adik kelas.
Ia juga sukses menjalin komunikasi yang sangat luwes di kalangan dosen dan staf pengajar. Hingga ia memperoleh berbagai limpahan kemudahan, pengaguman dan respek tinggi dari para guru besarnya. Bermula dari rekomendasi Profesor Charles del Pierro, yang telah memberinya pekerjaan paruh waktu dengan imbalan sangat menggiurkan.
Adalah berkat program inovatifnya yang sesungguhnya teknik dasarnya diwariskan dari mendiang profesor Nakajima. Ia berhasil mengembangkannya, hingga menjadi "ensiklopedi perbandingan budaya bangsa Asia" karya Garsini Siregar.
Garsini memperoleh ribuan yen dari penjualan VCD ensiklopedia uniknya itu. Hingga ia bisa mengirimkan berbagai bingkisan untuk kedua adiknya dan ibunya di Depok. Garsini tak berani lagi mengirimkan sesuatu untuk ayahnya. Oleh-olehnya sama sekali tak mendapat perhatian dari lelaki itu ketika ia pulang dua tahun yang lalu. Ucok tak berhasil meyakinkannya, sesungguhnya Papa sangat menyukai bingkisannya berupa eksiklopedia itu. hanya dengan caranya sendiri, persis seperti dulu!
Aneh sekali punya ayah seperti Papa, pikir Garsini. Untuk menyayangi, memperlihatkan perasaan suka saja kok mesti dengan caranya sendiri, sesuatu yang justru tak dipahami dan disukai oleh orang yang disayanginya.
Profesor Yamanaka, dosen pembimbing yang mengantarkan garsini meraih predikat summa cum laude, rupanya telah menduga maksud kedatangannya untuk mengucapkan sayonara. Ia menerima gadis itu dengan hangat di ruang kerjanya.
Suasana kampus pun lengang, karena sebagian besar mahasiswa dan dosen sudah mengambil kesempatan untuk menikmati liburannya tiga hari yang lalu. Garsini tak pernah memahami gaya hidup wanita cantik ini.
Yamanaka acapkali mengeluh kepadanya, bahwa ia selalu merasa kekurangan waktu untuk bekerja. Kalau boleh sehari itu lebih dari 24 jam, katanya. Ia termasuk orang Jepang yang work-cholik.
"Baiklah, aku akan mentraktirmu, jangan tolak lagi ya!" akhirnya ia mengalah, mengikuti saran Garsini untuk sedikit bersantai. Ia mengunci ruang kerjanya dengan sikap yang merasa sayang sekali untuk meninggalkannya.
Garsini geleng-geleng kepala. Apa yang dikejar oleh semua orang Jepang, hingga mereka begitu terperangkap oleh kecanduannya bekerja, melakukan sesuatu"
Mereka naik sedan bagus yang dikendarai oleh sang Profesor. Garsini duduk di sebelahnya dengan perasaan aneh. Empat tahun yang silam, ia pernah melintasi jalan ini dengan taksi bersama Mayumi. Kala itu pun mereka melewati jalan-jalan di kampus yang senyap. Ya, di mana-mana lengang dan senyap!
"Apalagi yang kamu pikirkan, Garsini-san"" tanya sang Profesor melirik Garsini yang terdiam, sementara sepasang matanya menerawang ke luar jendela kaca di sebelahnya.
"Ah." Garsini menghela napas dalam-dalam.
"Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan, bukan" Gelar sarjana, tawaran kerja sambil melanjutkan program S2 dari Universitas Sorbone. Atau kamu memilih menerima pinangan dokter Haekal dan pulang ke Indonesia""
"Ah, jangan mendesak, Prof," elak Garsini. Matanya cepat mencari-cari sesuatu yang bisa disetel di tape-deck, agar mengusir rasa sepi dan lengang yang terasa aneh merayapi sisi-si
si kalbunya. "Mencari kaset dan VCD, ya" Jangan harap, tak ada apa-apa di sini." Yamanaka tertawa kecil, seolah bisa menebak pikiran gadis itu.
"Oya"" Mata Garsini cepat menyusuri semua kekayaan di hadapannya. "Begitu lengkapnya! Apa Anda selalu membawa serta peralatan kerja ke mana-mana" Lihatlah, apa ini" Ada mail-boks, laptop, fax, pesawat televisi mungil... Kenapa nggak sekalian saja mengangkut kulkas, microwave ke sini""
Profesor Yamanaka tergelak melihat Garsini langsung merengut.
"Masih ada radio, nah. ini siaran lokal."
Garsini menoleh dan tersenyum kembali. "Arigato gozaimasu... Ternyata Anda cukup perhatian, Prof."
"Sejak saat ini jangan panggil aku demikian," tegurnya. "Lho" Tapi saya harus panggil apa""
"Entahlah, mungkin Ibu, Kakak, Bibi, asal jangan yang berbau hirarki akademislah."
"Baiklah, Ibu Yamanaka."
"Hei, bukankah ini lagu favoritmu"" Sedan melaju tenang keluar dari kawasan kampus. Tak ada yang berbicara lagi. Garsini menyimak lagu pop dari penyanyi Mayumi Itsuwa, Amayadori. Sesungguhnya itu bukan lagu favoritnya, bahkan ia sama sekali tak pernah menyimaknya dengan seksama. Hingga ia tak pernah mengetahui apa makna liriknya. Sebab ia pun tak pernah punya waktu untuk memahami hal-hal sepele seperti itu.
Jadi, apa saja yang menurutmu tidak sepele" Lagu itu kan bahasa, kesenian, budaya, menyangkut kulturat, adat kebiasaan suatu bangsa... Ups!
"Nama penyanyinya sama dengan nama sahabatmu yang diboyong ke Hindustan itu, ya kan"" usik Yamanaka.
Itu rupanya yang membuatnya menyimpulkan demikian. Hanya karena beberapa kali Garsini dipergoki Yamanaka sedang menyetel lagu-lagu Mayumi Itsuwa, ketika mereka sedang berada di laboratorium. Saat Yamanaka iseng mempertanyakannya, Garsini sambil lalu menjawab bahwa nama penyanyinya sama dengan sahabatnya.
Agaknya Yamanaka merasa terpikat, ia terus memancingnya tentang Mayumi. Tanpa sadar Garsini pun menceritakan sekilas perihal love-story sahabatnya.
"Bagaimana kabarnya dia sekarang""
"Oh, ya." Garsini tertawa kecil mengingat pertemuan terakhir mereka seminggu yang lalu. Mereka sedang berada di Jepang. Mayumi mampir ke asramanya membawa serta dua jagoan ciliknya yang ganteng-ganteng dan sehat. Wajahnya begitu berseri-seri dan ia tengah mengandung buah cinta kasihnya dengan Jay.
"Setelah ini, aku masih ingin melahirkan enam anak lagi!" katanya tanpa tedemng aling-aling membuat Garsini terlongong.
"Bagaimana dengan penyakit."" tanyanya hati-hati.
"Tidak ada!" Mayumi tertawa geli. "Penyakitnya ternyata tidak berat," Mutiara kehidupan bertemperasan dari sepasang matanya.
"Jadi, mereka bisa hidup berbahagia," komentar Yamanaka ketika mereka menikmati makan siang di sebuah rumah makan mewah di kawasan Ginza.
Mereka berpisah sambil tertawa riang seolah sepakat, suatu saat pasti akan bertemu kembali. Yamanaka menawarinya kesempatan untuk menjadi asistennya, berjanji merekomendasikannya untuk mendapatkan beasiswa lagi.
Bab 14 Jelas sekali, wanita itu sangat menyayangimu, Garsini-san!
Garsini takkan melupakan kebaikan hati Profesor Yamanaka. Betapa ia sering membangga-banggakan dirinya di depan para mahasiswa. Hingga acapkali Garsini merasa risih dibuatnya. Meskipun belakangan kedekatannya dengan sang Profesor malah menimbulkan kabar burung tak mengenakkan. Ada beberapa orang yang merasa iri, kemudian menyebarkan gosip murahan.
"Tentu saja mereka dekat, sebab mereka pasangan lesbian!" tuding mereka telak. Tapi Garsini sudah kebal dengan hantaman gosip. Bahkan sejak ia semester satu di Universitas Indonesia dulu, gosip murahan seperti itu telah sering menghantam dirinya.
Keluwesannya pun telah mengantarkan Garsini untuk menjadi anggota, bahkan kemudian mendapat kesempatan mengetuai beberapa komunitas sosial, budaya dan spiritual.
Garsini melanjutkan upaya menapak tilasnya. Masih dalam kebimbangan.
"Kamu ini sosok istimewa, memiliki perpaduan yang sangat langka," puji seniornya, Annisa di klub elite bentukan Profesor Charles del Pierro.
"Ah." Garsini mulai lelah dan jemu dengan kebimbangan yang membelenggu dirinya.
"Apa sih kiatmu hingga kamu bisa bergaul dengan baik di berb
agai kalangan masyarakat Jepang" Aku tahu, kamu juga memiliki komunitas kajian Islam di Sendai. Bahkan kudengar belakangan ini kamu dikandidatkan untuk menggantikan Ayyesha"" cecar Annisa suatu kali, penasaran sekali.
Itu ada benarnya, Ayyesha dinilai lebih banyak melakukan manuver-manuver politisnya daripada syiar dakwahnya. Sangat tidak menguntungkan keberadaan komunitas mereka. Apalagi sejak peristiwa runtuhnya gedung WTC di New York, Islam diidentikkan dengan teroris.
Sepak terjangnya yang gagah berani, gerakan unjuk rasanya yang menggebu-gebu, menghujat sejumlah kebijaksanaan Amerika yang dinilai sangat merugikan perjuangan bangsa Palestina, terlalu mendukung Israel dengan segala arogansi adidayanya... Sungguh, sering membuat bulu kuduk Garsini meremang hebat bahna pengagumannya!
Ayyesha hampir tiap saat memprovokasi massa dan jamaahnya agar turun ke jalan, berdemo-ria. Hal itu tak urung membuat pemerintah Jepang merasa gerah. Karena mendapat tekanan dari pihak Amerika, akhirnya pemerintah Jepang yang selalu membanggakan kenetralannya, terpaksa menindak gerakan bawah tanah itu.
*** Pada malam takbir yang lalu, lebaran keempat di Negeri Sakura bagi Garsini, dalam tayangan siaran langsung di layar kaca; tampaklah Ayyesha sedang meneriakkan yel-yel anti Amerika di Okinawa, dekat pangkalan militer Amerika. Di antara massa itu, terlihat sosok imut-imut berjilbab hitam... Kagume!
Air mata Garsini tumpah ruah menyaksikan bagaimana para petugas dengan tak berperasaan, menyeret Sang Ketua yang gagah berani itu dan terus jua meneriakkan yel-yel anti Amerikanya. Melemparkan sosok imut-imut yang tampak ringkih dan pucat pasi itu ke atas truk!
"Damn'it!" jerit geram Haliza terlonjak dari tataminya, duduk di samping Garsini ikut menonton siaran langsung. "Mereka memperlakukan rekan-rekanmu itu tak ubahnya seperti para kriminal saja. Sungguh keji, biadaaab, dajaaal!"
"Aduuh, sumpah serapahmu itu, Haliza," keluh Garsini pedih dan tersentak kaget. Seingatnya, itulah untuk pertama kalinya ia mendengar Haliza bersumpah serapah. Haliza yang baru tersadar pun segera mengucap istigfar berulang kali.
"Tidak, itu bukan salahmu. Jangan terlalu terpengaruh, Garsini, ingatlah selalu akan takdir-Nya," hibur Haliza tersendat-sendat menahan tangis kepedihannya sendiri. Beberapa lama keduanya menangis sambil berpelukan erat. Hanya itulah yang mampu mereka lakukan sepanjang malam takbiran.
Hingga beberapa waktu lamanya Garsini hampir tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Dirinyalah yang telah menjadi pemicu pengenalan Kagume dengan iman Islamnya dan makna ukhuwah Islamiyah. Dia pulalah yang tahun silam didatangi oleh Kagume, agar mendampinginya saat mengucapkan dua kalimah syahadat di Islamic Centre.
Ketika Garsini merasa terlalu sibuk dengan urusannya, terpaksa dengan menyesal tak bisa selalu mendampingi Kagume. tahu-tahu remaja itu telah bergabung dengan komunitas Ayyesha di Sendai!
"Biarkan aku di sini," ujar Kagume baru terdengar tegas.
Wajahnya yang belia tampak dilumuri pendar-pendar kehidupan, sesuatu yang tak mungkin dimiliki oleh remaja awam. Apa yang telah dijanjikan oleh Ayyesha kepadanya, pikir Garsini. Nikmat Ilahiyah dan sorgakah" Sosok bingung, ragu-ragu dan manja yang dikenalnya di kota kecil Hiroshima tiga tahun silam, telah sirna entah ke mana.
"Aku mau ikut berjihad bersama rekan-rekan demi kemerdekaan bangsa Palestina," kata Kagume yang mengaku kini sangat mengidolakan Ayyesha.
"Tapi Kagume, di sini akan sangat riskan bagi remaja belia seperti dirimu." Garsini sungguh tak berani mengatakan "berbahaya".
Di bawah tatapan mata rasa ingin tahu para akhwat jamaah Ayesha, mana mungkin ia berani menentang kebijaksanaan Sang Ketua Ayyesha" Kagume pasti tak paham hal itu. Yang Kagume inginkan hanyalah menjadi seorang Muslimah yang istiqomah.
Betapa sederhana cita-cita Kagume, tapi pada kenyataannya tak ada yang sesederhana seperti harapan dan keinginannya. Garsini merasa sangat tak berdaya dan semakin menyesali dirinya, tatkala ia tak bisa berbuat apa-apa untuk mengeluarkan Ayyesha, Kagume dan beberapa jamaah lainnya dari balik terali bes
i. Lagi pula, memangnya siapa dirinya" Hanya seorang mahasiswa asing di Negeri Sakura. Sungguh, ia tak memiliki wewenang apa-apa. Ia hanya bisa menangis dan berdoa panjang di atas hamparan sajadahnya.
Bahkan ketika rekan-rekan di komunitas Sendai mendaulatnya untuk gantikan posisi Ayyesha sementara waktu, ia memutuskan untuk menolaknya.
"Tidak, maafkan. itu bukan wewenangku. Hanya pantas untuk seorang Ayyesha," dalihnya menahan pedih di bawah tatapan kecewa dan harapan sirna atas dirinya.
Sejak itulah, Garsini menjaga jarak dengan komunitas Sendai. Rasanya sangat menyakitkan menyadari ketakberdayaan dirinya, kebimbangan dan kepengecutan. Pecundang, julukannya yang paling pas saat itu!
Sebuah julukan yang selama hidupnya selalu ingin dihindarinya.
*** Beberapa pekan kemudian, dari pemberitaan koran-koran lokal, Garsini mengetahui pembebasan mereka. Dikabarkan setelah melalui nego-nego yang alot, menurunkan para diplomat dari sejumlah negara, barulah mereka bisa dibebaskan. Ada syarat yang mesti ditanda-tangani hitam di atas putih. Bahwa mereka tidak akan melakukan hal serupa, ditambah harus melapor sampai waktu tertentu. tak boleh bepergian ke luar kota, apalagi mancanegara!
Ah, itukah pengaruh negara adidaya terhadap dunia internasional"
Sejak menjauhi komunitas Sendai, Garsini kemudian akrab dengan Annisa. Meskipun agak menyesalinya, mengapa Annisa baru terbuka terhadap dirinya belakangan itu.
Ada yang berubah pada diri Annisa. Ia mulai memperlihatkan secara terang-terangan tentang identitas dirinya. Aneh sekali, pikir Garsini. Begitu berhati-hati Annisa tentang jatidiri kemuslimahannya selama ini. Betapa kaget Garsini mengetahui bagaimana Annisa sesungguhnya. Ternyata Annisa pernah mengenyam pendidikan pesantren.
Baik di ujung, bukankah namanya khusnul khotimah" Mungkin itulah yang tepat bagi Annisa. Sejak kedekatannya dengan Garsini, perubahan itu secara bertahap terus diperlihatkan Annisa. Hijrahnya justru dilakukan pada saat banyak orang ketakutan oleh hal berbau Islam. Apapun itu, Garsini merasa sangat beruntung bisa memiliki sahabat seunik Annisa. Dari kedekatan singkat itu pun Garsini bisa menarik banyak pelajaran. Annisa mengajarinya tilawah yang benar, memperbaiki bacaan Al-Qurannya, memperkuat keimanan dan ketakwaannya.
Saat inilah Garsini baru menyadari satu hal. Agaknya hanya sosialisasi, kehebatan berorganisasi belaka yang diperolehnya dari komunitas Ayyesha. Lantas, bagaimana kabarnya Kagume" Terakhir mereka bertemu, kelihatannya Kagume baik-baik saja. Tetap nyaman dan merasa cocok sekali setelah bergabung dengan Islamic Centre. Kagume bahkan punya kesempatan untuk melanjutkan kuliahnya, mendapat dana pendidikan dari Arab Saudi.
"Hei... Kamu belum jawab pertanyaanku, Ukhti," tegur Annisa. Garsini malah jadi bingung untuk menjawabnya secara serius.
Maka, ia memutuskan untuk menjawab ringan tanpa nada bangga berlebihan, "Ah, itu kan hanya karena namaku yang terdengar pas di telinga orang Jepang. Garusiniiii, hihihi."
Annisa menjentik bangir hidungnya dan tertawa gemas. "Dasar. tukang ngocol kamu!"
Perpisahan itu di balkon klub diskusi bentukan Profesor Charles del Pierro yang mungkin sudah terlupakan oleh pemakarsanya. Buktinya, guru besar itu sudah lama tak menjenguknya apalagi mencari tahu, apakah kuicuran dananya sampai dengan selamat untuk melanjutkan proyeknya ini" Ia telah menyerahkan pengembangannya kepada para murid kepercayaannya, seperti Annisa.
Bila Annisa telah selesai urusannya di sini, lantas siapa pula yang bakal melanjutkannya" Tuan Congkak Andrew, Bu Lantang Akiko, Nona Cerewet Mandu, Miss Vietnam Lien Ang yang selalu tertawa keras itu... Aduh, Garsini merasa sayang sekali kalau penggantinya kelak bukan orang Asia!
Ah, aah, kenapa mesti kupikirkan, itu bukan masalahku, jerit Garsini kesal dengan pemikirannya sendiri. Annisa pasti sudah menyiapkan kaderisasi yang baik. Meskipun harapannya tak bisa terkabulkan melalui dirinya.
"Jangan lupa balas setiap mailku, ya Dik," pinta Annisa serius.
"Insya Allah, Mbak."
"Aku ingin tahu bagaimana perkembangan politik negeri kita dalam lima tahun terakhi
r. Kemungkinan besar aku masih akan tingal di sini dalam lima-enam tahun mendatang," cetusnya terdengar datar.
Kali ini Garsini setengah memekik kaget. "Masya Allah, selama itukah"!"
Garsini menatap keheranan wajah ayu di hadapannya. Berapa usianya sekarang" Annisa merahasiakannya, tapi Garsini menaksirnya sudah kepala tiga. Sampai kapankah dia ingin menghabiskan usianya di negeri orang" Dan untuk apa semuanya itu dilakukannya"
Di awal pertemuan mereka, Garsini tahu Annisa penganut feminisme. Biasanya ia tak peduli dengan penampilannya, celana jeans alakadarnya, tanpa polesan wajah sedikit pun. Namun, belakanagan Annisa mengenakan kulot dengan blazer cantik dan sedikit riasan wajah, ditambah... kerudung gaul!
"Jangan pandangi Mbak begitu, Dik," Annisa melengos. "Aku tahu apa yang ingin kamu tanyakan sama Mbak."
"Nah, kalau begitu jawablah, Mbak!" desak Garsini. Inilah kesempatan terakhir mereka untuk saling terbuka.
"Sudahlah, jangan desak Mbak terus," elaknya seperti biasa.
"Kenapa Mbak memutuskan untuk bertahan selama lima-enam tahun lagi di sini" Apa Mbak nggak kangen keluarga di Solo"" cecar Garsini tak peduli.
Garsini telah mendengar cerita masa silamnya. Annisa terlahir sebagai anak penengah dari sembilan bersaudara. Ibunya garwo ampil, seorang bangsawan trah Keraton Ngayogyakarta. Adakah konflik, intrik atau konspirasi seperti dalam keluarga kerajaan di film-film Mandarin yang pernah ditontonnya"
Kini siapa yang pernah mengira anak yang tersisihkan, sering dilecehkan bahkan oleh saudara-saudaranya seayah itu, mendapat kedudukan terhormat di Universitas Tokyo" Belum lama Annisa mendapat kontrak kerja sebagai guru besar tetap, membawahi suatu tim untuk mengembangkan program-program kemanusiaan di fakultasnya.
"Romo dan Ibu sudah meninggal, kakang-kakangmasku tak ada lagi di sana. Empat adik perempuan sudah melangkahiku, tapi bukan itu masalahnya," katanya agak tersendat.
Garsini tak keliru, ia menangkap kepedihan dan luka di bening mata gadis ayu itu. Sedetik ia menyesal telah memaksanya untuk menyingkap luka lama, mungkin trauma masa lalu. entahlah!
Digenggamnya jari-jemari Annisa. "Sudah, Mbak, jangan dipikirkan lagi. Lupakan pertanyaanku. dan maafkan kelancanganku, ya Mbak""
Annisa menghapus air mata yang menggantung di sudut-sudut matanya.
"Baiklah. Semoga sukses di negerimu yang selalu kamu banggakan dan kami cintai itu, ya Dik""
"Yah, semoga saja ada lowongan pekerjaan untukku di sana."
"Pokoknya selalu berjuang, okey"" kata Annisa menyemangati.
"Kudoakan juga Mbak sukses sebagai guru besar di sini. tapi jangan terlalu lama melanglang buananya, ya Mbak"" Betapa banyak yang ingin disampaikannya, tapi tenggorokannya mendadak tersekat.
Saat memeluknya hampir loncat air mata Garsini. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana sosok Annisa pada lima-enam tahun mendatang. Apakah masih tetap melajang, hidup kesepian di negeri orang, aduuuh. Tunjukkanlah jalan lurus untuk gadis ini, Ya Robb, jeritnya dalam hati.
Setiap perpisahan selalu menaburkan keharuan mendalam di dadanya. Beberapa saat keduanya masih saling berpelukan erat. Sampai kemudian Garsini merenggangkan dirinya, cepat-cepat menjauhi gadis Solo itu. Ia takut dirinya tak sanggup melepaskan lagi rangkulan hangat di bahu-bahunya.
Akhirnya, sosok tinggi ramping, stelan apik dan kerudung gaul itu membalikkan tubuhnya. Kemudian kakinya melangkah tegas-tegas menyusuri koridor, hingga lenyap di ujung gang menuju gedung lain. Sebuah bangunan baru yang kelak akan menggantikan gedung tua, tempatnya kelak berkiprah dalam bidangnya.
Berapa banyak lagikah perenungan, filosofi dan buah pemikiran para cendekia dunia yang bakal ditemuinya nun di sana" Mbak Annisa, kenapa dia baru menyadarinya sekarang" Mbak Annisa adalah Kartini masa kini, harapan bangsanya yang sedang carut-marut, diguncang amuk prahara. Sayang sekali, Kartini itu dibelenggu keraguan untuk pulang ke negerinya.
Beberapa saat lamanya Garsini masih memandangi gedung tua di sudut kampusnya itu. Betapapun, di tempat inilah dirinya pernah mengenal berbagai gagasan, ide, pemikiran dan perenungan dari belasan, puluhan k
epala antarbangsa. Di sinilah proses pendewasaan intelektualnya berkembang leluasa, disimbahi makna demokrasi yang dijunjung tinggi.
Di sini ia bisa mendengar, menyimak, kalau perlu mendebatnya habis-habisan untuk kemudian menyodorkan, bahkan memaksakan buah pemikiran dan gagasannya sendiri. Klub elit paramuda cendekia antarbangsa ini sungguh mengasyikkan. Senantiasa riuh oleh diskusi-diskusi dan debat-debat seru.
Kadang Garsini merasa heran, betapa kokohnya gedung tua ini hingga tak goyah setapak pun oleh suara-suara lantang, teriakan kesal, pekik geram, gebrakan kepalan tangan dan tinju di meja dari para angotanya. Bahkan oleh guncangan gempa, entah tak terbilang lagi.
Bermula dari saran Profesor del Pierro yang menilainya sangat berpotensi dalam bidang studi perbandingan budaya antarbangsa. Itu terjadi sepulangnya berlibur musim semi semester dua, manakala Profesor Charles harus berkeliling Jepang. Ia telah menerima tawaran kerja paruh waktu, membuatkan program ensiklopedia ala Garsini Siregar.
"Datanglah ke klub. Kamu akan mendapatkan banyak pengetahuan di sana. Itu akan sangat bermanfaat untukmu, kaitannya dengan materi untuk program yang ingin kamu ciptakan. Nah, ini kartu anggota kehormatan untukmu," kata Profesor del Pierro.
"Tapi Prof, saya tak kenal siapa pun di sana."
"Kamu juga tak kenal aku waktu malam-malam datang ke sini," sindirnya sambil tertawa gelak, membuat paras Garsini memerah dadu.
Selama menjadi asistennya, mereka tak pernah berada dalam satu ruangan berduaan, selalu ada beberapa asisten lainnya. Hubungannya dengan pria paro baya warganegara Perancis itu hanyalah sebatas bawahan dengan atasan. Garsini merasa nyaman-nyaman saja, terutama karena sikap Profesor sangat kebapakan dan bijak.
Ada beberapa kali Profesor membawa serta Marie Jane, istrinya yang perancang busana terkenal. Marie Jane, seorang wanita cantik, bergaya hidup sebagaimana galibnya kaum selebritis. Namun, ia bisa bersikap ramah dan tulus terhadap Garsini. Pernah suami-istri itu membawa serta Charlotte, putri bungsu mereka yang sebaya dengan Garsini.
Sayang sekali, Garsini tak bisa menemaninya ajakan wisatanya ketika itu, karena kesibukannya dengan tugas-tugas yang harus dikerjakan selama liburan.
"Oh, jadi ini Garsini Siregar yang terkenal itu"" kata gadis itu bersikap dingin, memandang wajah Garsini sekilas. "Mooom, tanyakan kepadanya busana apa yang dikenakannya itu"" cetusnya pula sambil lalu. Garsini merasakan tubhnya sesaat bagai mengejang. Sungguhkah gadis seapatis dan sesinis itu terlahir dari sepasang suami-istri yang baik hati"
"Maafkan dia, ya Nak," Marie Jane menghibur Garsini dan menyesali sikap putrinya yang cepat lenyap di balik pintu suite-room. "Maklumlah, dia anak bungsu. Mungkin juga dia merasa iri kepadamu. Karena ayahnya sering membicarakanmu, memuji-muji kamu," bisiknya pula di telinga Garsini.
"Itulah akibatnya kalau kita terlalu memanjakannya," tukas Profesor yang telah siap bepergian, menghadiri pagelaran adibusana istri tercinta. "Betul, kamu tidak bisa ikut kami malam ini, Garsini"" tanyanya pula menatap sekilas kepada gadis itu.
"Maafkan, Prof, menyesal sekali. Banyak tugas yang harus saya kerjakan," kata Garsini menyesal.
"Ya, sudahlah, lain kali kalau istriku mengadakan pagelaran busana di Tokyo, tak ada alasan! Kamu harus melihatnya, iya kan, Sayang"" katanya pula sambil menggandeng mesra istrinya. Garsini jengah dan menunduk tersipu-sipu.
"Ya, kamu harus melihat pagelaran karyaku, Nak," Marie Jane terdengar memohon dengan tulus, hingga Garsini merasa trenyuh.
Namun, sampai lebih dari selusin kali Marie Jane mengadakan pagelaran karya-karyanya dalam tiga tahun terakhir di pelosok Jepang, Garsini tak pernah punya kesempatan melihatnya. Selalu ada seribu dalih yang pada akhirnya Garsini menyimpulkan; dirinya tak pernah merasa nyaman dengan gaya hidup hura-hura yang disemburatkan oleh aura Marie Jane.
"Jadi harus nekad saja, ya Prof"" Garsini akhirnya mengangap ayah dari dua orang anak yang telah dewasa itu sebagai sesepuhnya. Mengingatkannya kepada Profesor Kosasih, ayah Gilang, seniornya di Universitas I
ndonesia dulu. "Ya, begitulah kira-kira... Kamu ini gadis yang sangat mandiri dan dikaruniai Tuhanmu banyak talenta, Garsini. Itu anugerah terindah yang tak
mungkin diberikan kepada semua orang," ujarnya segera berpetatah-petitih.
*** Di balkon inilah tiga tahun yang silam, Garsini berpapasan dengan Annisa yang membawa tumpukan buku tebal-tebal di tangannya. Annisa mengenakan celana jeans belel, kaos lengan pendek dan sleyer yang disampirkan seenaknya di bahunya. Sebuah penampilan yang cukup nyentrik, mengingatkannya akan penampilan dirinya semasa di SMU.
"Saya sudah dengar dari Profesor Charles. Mari, silakan ikuti saya," sambutnya ramah dan hangat. "Profesor sangat memuji talentamu, Dik!"
"Ah, Profesor memang suka begitu kan" Nama Mbak Annisa juga sering disebut-sebut," balas Garsini memujinya tulus.
"Terima kasih," sahutnya pendek. Mereka menyusuri koridor untuk mencapai ruangan yang juga suka disebut sebagai "markas para turunan Aristoteles".
Tatapan Annisa agak keheranan melihat penampilannya yang serba tertutup. Ini musim panas, bagaimana mungkin anak ini bisa tahan dalam busana Muslimahnya itu, pikirnya. Apalagi kala mengetahui Garsini adalah mahasiswa teknik informatika.
"Waah, kamu masih sangat belia... belum dua puluh umurmu, ya"" komentarnya saat membaca curiculum vitae yang diserahkan Garsini. "Baru delapan belas," Garsini menegaskan.
"Luar biasa!" decak Annisa memandanginya, kini bukan hanya terheran-heran melainkan juga sorot pengaguman dan penghormatan. "Pantaslah Profesor memujimu, Dik," gumamnya geleng-geleng kepala.
Awalnya pandangan rekan-rekannya atas keberadaan Garsini tak ubahnya sebagai "gangguan teknis" belaka. Namun, kemudian mereka harus mengakui kelebihan yang dimiliki si anak bawang ini. Garsini dengan latar belakang ilmu eksak, teknik informatika ternyata sangat banyak membantu kelancaran operasional program-program mereka.
"Ssst, tapi harus diakui, dia cantik dan unik sekali kan"" kata Akiko.
"Apa dia tidak kepanasan dengan busananya yang aneh itu, ya"" cetus Josephine.
"Yeah... cantik wajahnya, tapi kita tidak tahu bagaimana isi batok kepalanya," komentar Andrew tajam dan tanpa tedeng aling-aling.
Anehnya, segera disambut derai tawa selusin kepala yang saat itu hadir. Kecuali Annisa yang memperlihatkan ketaksetujuannya dalam diam.
"Kenapa Profesor kita merekomendasikanmu, Nona."" tanya gadis Vietnam, Lien Ang.
"Tentu saja Profesor del Pierro merekomendasikan adik ini dengan alasan kuat. Nah, silakan kalian saling berkenalan," Annisa cepat menengahi komentar-komentar sumbang yang begitu deras berseliweran dari mulut-mulut usil itu.
"Kamu pasti membelanya!" cetus Andrew di telinga Garsini terdengar sinis dan arogan sekali. "Karena kalian sebangsa dan setanah air, Indonesia. Nah, Miss Garsini, apa sekarang di negerimu sudah ada komputer" Sebab ketika sekitar tiga tahun yang lalu Miss Annisa datang ke sini, di sana komputer belum
ada"" "Kamu salah menafsirkan, Andrew," bantah Annisa berwibawa dan tenang sekali. "Yang kukatakan kepadamu ketika itu, komputer belum dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia."
"Itu benar!" tanggap Lien Ang sambil tertawa keras, hingga Garsini terbengong. Apa sih yang membuatnya tertawa macam gadis binal begitu"
Penutup Ternyata yang nikmat itu adalah saat-saat menjalani proses pembelajaran, meraih kesuksesan yang masih dalam angan-angan, pikir Garsini. Manakala angan-angan itu telah mewujud dalam suatu kenyataan, nikmatnya sudah hambar dan bisa dikatakan itu bukan suatu kenikmatan lagi.
Demikian hasil perenungan Garsini seusai melakukan upaya menapak tilas dalam kebimbangan hatinya. Ia turun dari taksi tepat di depan asrama dan dilihatnya tiga orang yang tak asing lagi tengah menantinya. Agak jauh dari mereka tampak sebuah limousine dengan seorang sopir berpakaian necis. Dan sebuah taksi, tentu saja itu taksi Mitzui-san!
Jay Bachan dan Mayumi kali ini tanpa kedua jagoan ciliknya. Mereka hanya mampir sebentar sebelum kembali ke India petang itu. Kedua anak yang sempat amat menggemaskan Garsini, ditinggal di hotel bersama istri Paman Vijay yang sangat mengasihi
mereka. "Kalian sudah lama menunggu di sini"" Garsini menyalami suami-istri itu, kemudian menerima salam selamat dari Pak Mitzui. Sopir taksi langganannya yang paling loyal dalam tiga tahun terakhir mengaku baru mengetahui hal itu sekarang. Mereka telah lama tak saling berjumpa.
"Mereka mengatakan bahwa kamu sudah tak punya urusan lagi di sini," Mitzui-san terdengar seperti menegur. Garsini mengiyakannya dengan terspipu.
"Kami kebetulan saja bertemu di sini," jelas Mayumi.
"Kami mau pamitan kepadamu," Jay Bachan sukses sebagai pebisnis, baru meresmikan kantor cabang perusahaannya di beberapa kota besar Jepang. "Mayumi katanya masih ingin bicara serius denganmu. Maaf, ya Pak Mitzui, biasalah urusan perempuan," katanya pula sambil meminta dengan santun pengertian lelaki tua itu.
"Oh, tidak apa-apa, saya juga tidak akan lama. Hanya ingin mengucapkan selamat tinggal saja kepadanya." Ditatapnya wajah Garsini dengan hangat kebapakan. "Seperti yang pernah kukatakan kepadamu beberapa waktu lalu.
Sejak mereka mengoperasi mataku... Yeah, kurasa memang sudah waktunya aku pensiun, ya kan Tuan Jay"" Ada kepiluan dalam kepasrahan yang mengapung di antara kalimat-kalimat pendeknya.
"Pak Mitzui berencana ke mana"" Hati Garsini seketika dirayapi rasa dingin, teringat percakapan terakhir mereka. Mitzui-san, Nakajima-san dan Matsua-san... Entah berapa banyak lagi lansia tak beruntung yang pernah dikenalnya selama mukim di Jepang. Mereka yang harus mengisi sisa-sisa harinya tanpa keluarga, kesepian, kehilangan rasa percaya diri, tanpa semangat, apatis. Kecuali Mayuko menjadi istri Matsua, sementara Etsuko tampak sudah merasa bahagia menjadi bagian keluarga sahabatnya itu.
Mitzui mencoba berusaha keras menyembunyikan kepiluan. Tapi Garsini bisa merasakannya dalam senyum kebapakannya yang tulus. Uluran persahabatan, rangkaian nasihat, kata-kata bijak yang pernah dipompakan ke telinganya. Manakala dirinya dalam kelelahan, kejemuan, ketakpastian, kerinduan terhadap keluarga.
Mitzui menghindari tatapan iba dari ketiga anak muda itu, membalikkan tubuhnya yang masih tampak kuat dan mulai melangkah menjauhi mereka. "Jangan pandangi aku dengan tatapan iba begitu. Kelak, kalian akan merasakannya sendiri. Ugh, sudahlah, aku benci dikasihani," ia bersungut-sungut tak jelas.
"Tidak mungkin!" Garsini tersentak menyadari masa depan lelaki tua itu. Ia berseru dengan pilu, air matanya mulai berloncatan. "Pak Mitzui, Bapak jangan berpikir untuk menjadi penghuni panti jompo itu. Pak, tunggu sebentar! Jangan pernah menyerah, Paaak!"
Garsini mencoba mengejarnya, tapi lelaki tua itu seolah-olah tak mendengarnya teriakannya. Ia terus jua melangkah tergesa-gesa menuju taksinya. Garsini sekilas melihat seorang anak muda di belakang taksi itu. Oh, dialah rupanya pengganti Pak Mitzui!
Mayumi menahan upayanya untuk mengejar lelaki tua itu. "Biarkan dia dengan urusannya, Garsini. Lagi pula, jangan pernah coba mengasihaninya.
Dia akan menganggapmu sebagai anak muda yang sombong, tak tahu sopan santun... sudahlah, kendalikan dirimu!"
*** Garsini memahami betul makna teguran Mayumi. Ia pun menyadari ketakberdayaannya, akhirnya hanya bisa tertegun-tegun memandangi taksi yang mulai bergerak meninggalkan tempat itu. Sekilas terngiang kembali percakapan terakhir mereka. Pak Mitzui mengeluhkan perihal dampak operasi matanya dan rencana masa depannya.
Beberapa bulan sebelumnya Garsini membagi sebagian rezekinya dengan Pak Tua itu. Meskipun ia harus susah payah membujuknya agar mau menerimanya.
"Anggaplah ini sebagai ongkos taksi yang sering Bapak gratiskan kepada saya dan rekan-rekan, ya Pak"" Akhirnya dia setuju, tersipu-sipu menerimanya tapi tanpa kehilangan harga dirinya yang tinggi.
"Apa kamu kerasan tinggal di Jepang"" tanya Mitzui tiba-tiba sambil menoleh ke jok belakang.
"Hm... bagaimana ya..." Garsini tengah sibuk dengan sidang yang akan dihadapinya, kelelahan dan kejemuan malah melahirkan ketakpastian. Sesungguhnya ia merasa kerasan tinggal di Jepang, tapi ia juga sangat merindukan keluarganya, tanah airnya.
Kira-kira masa depan apa yang menantinya di Indonesia"
Dala m gonjang-ganjing politik, carut-marut perekonomian dan keparahan stabilitas keamanan. Bom-bom yang semakin sering berledakan di mana-mana. Adakah secuil saja kesempatan untuk dirinya, sebuah prospek masa depan" Ooooh... Bahkan rekan-rekannya banyak yang merasa malu menjadi orang Indonesia!
"Hujan emas di negeri orang masih lebih baik hujan peluru di negeri sendiri... Ah, itu peribahasa yang sudah ketinggalan zaman!" Tasya acapkali mencemooh rasa kebangsaan Garsini, yang dianggapnya terlalu meledak-ledak.
Garsini sesungguhnya hanya tak suka ada orang yang melecehkan bangsanya, negerinya tercinta. Ia tak pernah setuju dengan mereka yang bukan saja merasa malu menjadi anak Indonesia, melainkan juga menjelek-jelekkannya dan ikut gencar menyudutkan Indonesia. Meskipun ia tak suka juga dengan sistem pemerintahan Indonesia, tapi itu adalah hal lain.
"Ugh, mentang-mentang cucu seorang pejuang empat lima!" ejek Tasya, entah dari mana dia mengetahui silsilah keluarganya. "Kalau sudah kembali ke Indonesia dan kamu menemukan banyak kesengsaraan, pengkhianatan. Baru rasa kamu!"
Garsini tak menggubris provokasinya. Di penghujung kebersamaan mereka, Tasya semakin gencar melakukan propagandanya. Rekan-rekan di klub pun tak pernah menggubrisnya.
"Komunisme, bahkan di belahan dunia mana pun sudah tak laku!" sergah Josephine, penganut Katolik teguh.
"Indonesia itu bukan hanya Bung Karno, Bung Hatta, Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati atau Amien Rais!" ucapnya menggebu-gebu. "Indonesia adalah dari Sabang sampai Merauke, seluruh lapisan masyarakat. Meskipun berbeda-beda suku bangsa, keyakinan, mereka senantiasa berjuang keras. Untuk hidup rukun dan damai."
"Nyatanya tidak bisa juga kan" Kekacauan terjadi di mana-mana!" cecar Tasya geram dan benci sekali. "Itu karena sistem yang salah sejak awal telah dijalankan oleh para pemimpin Indonesia."
Aduuuh, dia lebih suka menerima tekanan dari si Congkak Andrew atau lainnya ketimbang dari rekan senegaranya. Namun begitulah, Tasya paling sering melakukannya. Tasya yang selalu menyatakan sangat malu terlahir sebagai anak Indonesia.
"Kalian jangan menilai bangsaku dari sikap dan ucapan satu orang Indonesia saja. Karena itu sama sekali tidak fair! Apalagi itu hanya perkataan seorang artis. siapa namanya itu"" ia agak tergagap mesti dusta, sebab sangat malu dan jengkel bangsanya memiliki artis seperti itu.
"Kalau nggak salah Nafa Urbach," sahut Tasya yang latah masuk klub awalnya hanya karena iri terhadap kecemerlangan Garsini. Belakangan entah dari mana ia tergerak untuk mempropagandakan paham komunisme. Ia sering dijadikan bulan-bulanan. Dianggap sebagai "tong kosong nyaring bunyinya".
"Kalau nggak salah" Artinya ini baru kabar burung"" Garsini sengit.
"Tidak juga, ada beritanya di harian lokal, sorry aku tak membawa korannya. Ketika dia disodori pertanyaan, maukah kamu menjadi Britney Spears. Dia spontan menjawab, maaaau!" Josephine menengahi debat mereka.
Lien Ang menambahkan, "Padahal, saat pertanyaan serupa diajukan kepada Siti Nurhaliza di tempat yang sama, hanya selang sehari." gadis Vietnam itu seperti sengaja mendadak mengapungkan ujung kalimatnya.
"Apa jawaban penyanyi Malaysia itu"" Garsini jadi ingin tahu. Benaknya seketika membayangkan dua penampilan artis yang bak bumi dan langit. Nafa Urbach dengan penampilan seronok, pusar diumbar murah ke mana-mana, meniru-niru Britney Spears. Sedangkan Siti Nurhaliza dengan segala kehalusan dan keanggunan wanita Timur, bersendandung jauh lebih merdu dan berkharismatik. Aura keindahan wanita Melayu menyebar dari sosoknya.
"Siti Nurhaliza mengatakan dengan jernih dan penuh percaya diri; tidak mau, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Kira-kira begitulah!" berkata Mandu, gadis Hindustan yang belakangan suka mengenakan atribut kehindustanannya. Mungkin dia tergetar juga oleh rasa percaya diri yang tinggi dari artis Malaysia yang memang patut diacungi jempol itu.
Tiba-tiba Garsini tersentak dari lamunannya oleh teguran keras Pak Mitzui, "Jangan terjebak dalam arus teknologi tinggi Jepang, Nak."
"Kenapa, Pak"" Garsini tergagap.
"Ketahuilah, di sini sud
ah tak ada hati lagi. Sementara kutahu kamu memiliki nurani, sepotong hati yang murni, Nona. Nah, sebelum kamu kehilangan hatimu, pulanglah secepatnya begitu urusanmu di sini selesai!" nasihatnya diulang untuk beberapa kali, hingga Garsini tergetar.
Apakah ia pun mulai kehilangan sedikit nurani, karena belakangan mulai suka dusta kecil-kecilan" Kenapa ia tak berani terus terang, pernah melihat
penampilan Nafa Urbach di layarkaca Indonesia dulu" Kok berlagak pilon"
*** Mayumi masih menanti keputusannya. Ia dan Jay tahu bahwa Haekal sudah datang meminta Garsini sebagai istrinya. Beberapa waktu sebelumnya Haekal menemui keduanya di hotel dan mengungkapkan niatnya itu. Semalam Haekal pun menelepon mereka dan mengabarkan tentang ketakpastian Garsini. Suaranya terdengar lelah dan putus asa.
Pemuda itu mengaku kepada Jay bahwa mereka sempat bertengkar dan dirinya merasa tak berdaya untuk terus mendesak Garsini. Kemungkinan besar ia akan pulang ke Indonesia seorang diri petang nanti. Padahal seluruh harapan keluarga besarnya disampirkan ke bahunya, agar menarik pulang Garsini, sekaligus memperistrinya.
"Mengapa kamu tak pernah bisa memaafkannya secara tulus, Garsini" Hanya karena dia pernah mencurigaimu"" cecar Mayumi kecewa. "Bukankah kamu pernah mengajariku tentang kekuatan dari memaafkan, menyambung silaturakhim, ukhuwah Islamiyah.""
"Bukan hanya curiga!" tukas Garsini miris. "Dia pernah menanyakan apakah diriku masih suci" Hanya karena aku dinilainya telah bersikap agak bebas dalam pergaulan. Dia jelas sekali selalu menyangsikan diriku, setiap kali kuberi kesempatan dan memaafkannya, dia menyiakannya, melanggarnya. Sungguh mengecewakan sekaligus menakutkan." Garsini mulai berurai air mata.
Mayumi bisa memahami perasaannya. Garsini mempunyai ketakutan dan trauma masa kanak-kanak yang parah akibat kekasaran ayahnya yang pencuriga berat. Garsini tak ingin mendapatkan suami yang mirip ayahnya. Ia tak sudi mengalami penderitaan ibunya di masa lalu, bahkan mungkin masih dialaminya hingga kini.
"Bukankah kita harus selalu berprasangka baik terhadap Allah, Garsini"" Mayumi hati-hati mengingatkannya. "Istiqomah terhadap Allah, itu sering kau yakinkan kepadaku dulu. Hingga aku terpengaruh dan sangat terpikat untuk lebih mengetahui keislaman. Oh, maaf, ini memang tentang hidayah-Nya, tapi jelas sekali kamulah pemicunya."
Garsini merasa sangat trenyuh mendengar pengakuannya yang tulus. Dipandanginya wajah Mayumi yang sarat kebahagiaan. Penampilannya yang anggun dalam busana Pakistan. Tentu Mayumi telah mendapat polesan lebih bermakna dan sarat ibrah tentang indahnya Islam dari istri Paman Vijay, Bibi Haznah.
"Biar bagaimana pun dokter Haekal itu seorang pria yang baik," lanjut Mayumi. "Dia telah mengkhitbahmu tadi malam. Apa kamu tak takut akan laknatNya bila menolak khitbah dokter Haekal""
Garsini terdiam. Ia tidak menyatakan penolakan, hanya tak bisa memberi kepastian seketika itu juga. Sehingga Haekal meninggalkan tiket pulang begitu saja di atas meja, berlalu dalam kekecewaan dan ketakberdayaan. Lelaki itu, usianya hampir tiga puluh, pikir Garsini. Seharusnya telah matang dalam segala hal, baik dalam sikap perilaku maupun perkataan dan tindakannya. Haekal telah melewati proses pendewasaan itu sejak mereka pertama kali berkenalan.
Namun, mengapa rasanya, setidaknya demikian menurut anggapan Garsini; dirinya berhasil menyamai tingkat pendewasaan itu secara utuh. Di sisi lain Haekal justru mandek, tak mengembangkan tingkat pendewasaannya ke tingkat lebih tinggi" Terbukti dari sikap, perkataan dan tindakannya yang kerap tak bijak dan kekanak-kanakan. melamarnya tiba-tiba, memaksanya pergi berduaan dengan dalih sebagai refreshing, menanyakan kesucian dirinya, mencurigainya, menyangsikan kejujurannya.
"Apakah aku harus selalu memahaminya seumur hidupku kelak" Selalu memberinya kesempatan tiap saat dari waktu ke waktu" Berbakti dan mengabdi kepadanya, melahirkan anak-anaknya dalam ketakpastian."" Air mata Garsini kini berderaian hebat. Ia tak bisa membayangkan, kehidupan pahit ibunya harus dijalaninya pula kelak dengan pria yang pernah di
khianati kekasihnya itu. "Cobalah kamu berdiri di posisinya," Mayumi melirik arloji indah yang membelit pergelangan tangannya. Jay Bachan sudah mengisyaratkan bahwa sudah tiba saatnya mereka meninggalkan tempat itu.
"Sudahlah, jangan pikirkan lagi diriku," Garsini memahaminya. "Jangan khawatirkan aku, Mayumi, pergilah. Nanti akan kuberi tahu keputusanku melalui telepon."
Mayumi pun tak punya pilihan lain. Dirangkulnya Garsini dan dipeluknya erat-erat. "Apapun keputusanmu, aku akan mendukungmu, tetapi selalulah bersandar kepada-Nya. ehm, shalat lail, istikharah, ya Sayang""
"Insya Allah," kata Garsini dan semalam pun ia telah melakukannya.
Tatkala limousine itu telah bergerak meninggalkan pekarangan, Garsini merasakan kesenyapan yang menyakitkan. Bunga-bunga sakura berguguran di hadapannya pertanda musim semi akan segera berakhir. Ia mendongakkan kepalanya ke langit, memandangi lanskap Negeri Sakura. Awan-awan putih berarak, di matanya masih terlukis sebagai arakan kapas yang lembut, senantiasa menjanjikan sejuta harapan.
Tapi di sini urusanku memang telah selesai!
"Aku telah mengemasi barang. Hmm, masih ada waktu menuju Bandara Narita," gumamnya sendiri sambil membalikkan tubuhnya. Di bibirnya tiba-tiba tersungging seulas senyum, merasa telah berhasil mengecoh Mayumi. Tentu saja, ia tak ingin merepotkan suami-istri itu, bahkan sekadar untuk menumpang limousine mereka.
Sejurus kemudian tampak gadis itu telah siap berangkat dengan koper alakadarnya. Ia telah menentukan pilihan, kembali ke Tanah Air dengan pesawat sama yang ditumpangi Haekal. Persis seperti empat tahun silam mereka pernah melakukannya.
Depok, Syawal 1423 Hijriyah


Kapas Kapas Di Langit Karya Pipiet Senja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

-SELESAI Biodata Pipiet Senja adalah nama pena Etty Hadiwati Arief, lahir di Sumedang, 16 Mei 1957 dari pasangan Hj. Siti Hadijah-SM. Arief (alm) seorang pejuang '45. Putri sulung dari tujuh bersaudara ini mulai menulis sejak remaja. Novel yang telah dibukukan 55 buah. Sejak tahun 2000 bergabung dengan FLP, ia merasa terlecut balapan dengan paramuda penulis Islami, menulis fiksi bernuansakan Islami.
Novel-novel teranyarnya adalah; Namaku May Sarah, Riak Hati Garsini, Dan Senja Pun Begitu Indah (novelet bareng Mariam Arianto, Asy-Syaamil), Serpihan Hati, Menggapai Kasih-Mu, memoarnya Cahaya di Kalbuku, Lukisan Rembulan, Triloginya; Kalbu, Nurani dan Cahaya (Mizan), Kidung Kembara, Rumah Idaman, Tembang Lara, Rembulan Sepasi (Gema Insani Press). Kisi Hati Bulan (kumcer bareng Nurul F. Huda, FBA Press)
Kumcer bareng penulis FLP; Suatu Petang di Kafe Kuningan, Merah di Jenin, Cermin dan Malam Ganjil, Luka Telah Menyapa Cinta (FBA Press), Kado Pernikahan (Asy-Syaamil), Semua Atas Nama Cinta (Ghalia)
Profilnya ada pada buku Profil Perempuan Pengarang Peneliti Penerbit di Indonesia, Korrie Layun Rampan. Sebuah karyanya nyasar juga di buku Penulis Perempuan Indonesia, Korrie Layun Rampan. Bunga Rampai cerpen Wanita Penulis Indonesia, Rumah Tanpa Cinta.
Penulis prolifik, julukannya dari Helvy Tiana Rosa, menulis pula dalam bahasa Sunda. Karya-karyanya mengalir bagai air bah di majalah Mangle, harian Gala dan tabloid Galura. Wanita Sunda ini pasien klinik Haemotologi dengan thallassaemia, harus ditransfusi darah secara berkala seumur hidupnya.
Istri Drs. HE.Yassin Siregar, memiliki dua orang anak yakni; MK. Haekal Siregar (21) dan Adzimattinur KN. Siregar (12). Kini dia menetap di Depok dan aktivis Forum Lingkar Pena. Kritik dan saran demi perbaikan ditunggu di email; pipiet_senja@myquran.com
Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Bulan Jatuh Dilereng Gunung 15 Pendekar Slebor 34 Bunga Neraka Kemelut Rimba Hijau 2

Cari Blog Ini