3200 Miles Away From Home Karya Valerossi86 Bagian 3
Yup! Aku belum mengucapkan selamat kepada mereka. Mengucapkan selamat via facebook" Mainstream dan cenderung tidak berkelas! Aku harus mengucapkannya secara langsung!
Segera saja kuambil telepon genggamku dan juga sebuah calling card. Aku tekan shortcut ke menu contact dan kusorot nama Wulan. Dan aku tekan tombol panggil.
Sedetik... dua detik... tiga detik... dan setelah beberapa detik nada sambung diangkat di ujung sana. "Halo...", terdengar suara seorang pria di ujung sana.
"Tora"" "Iyah, ini siapa yah" Kalo mau nawarin ob*t pe*angsang gua ga butuh! Kasian bini gua yang udah kelojotan tanpa pake pe*angsang"
"Cucu Mak E**t, Tor. Kali ajah istri kamuh biarpun kelojotan tapi masih kurang puas sama ukuran kamuh." "Sianjir! Aing apal lah ieu mah... Ti*it aing teh teu leutik, jurig! Kumaha kabarna Korea teh"*"
Spoiler for translation: *Sianjir! Aku tahu lah ini siapa... Ti*itku ga kecil, setan! Gimana kabarnya Korea"
"Hyahahahaha... Alhamdulillah sae Kang Tor. Tiis pisan di dieu teh. Bawaanna hoyong ningali nu haneuthaneut.*"
Spoiler for translation: *Hyahahaha... Alhamdulillah baik, Kang Tor. Dingin sekali di sini. Bawaannya ingin mencari yang hangathangat.
"Ari cewena kumaha"*" Spoiler for translation:
*Kalau ceweknya bagaimana"
"Gareulis atuh lah Kang*"
Spoiler for translation: *Cantik-cantik lah Kang "Jadi hoyong ka ditu aing teh Jo"
Spoiler for translation: *Jadi ingin ke sana aku Jo
"Baleg siah! Piraku anu baru kimpoi teh hoyong ningali cewena batur"!*"
Spoiler for translation: *Yang benar saja! Masa baru kimpoi udah pingin melihat-lihat cewek lain"!
"Namina ge pameugeut Jo. Sarua lah kabeh.*"
Spoiler for translation: *namanya juga cowok, Jo. Sama lah semuanya.
"Hyahahaha! Wulan kumaha kabarna Kang"*"
Spoiler for translation: *Hyahahaha! Wulan gimana kabarnya Kang"
"Alhamdulillah, sae. Jelemana aya di kamar mandi euy. Muntah wae ti isuk euy. Tokcer aing sigana mah.*"
Spoiler for translation: *Alhamdulillah, baik. Orangnya lagi di kamar mandi. Muntah-muntah terus dari pagi. Sepertinya aku tokcer.
"Wuiiiihhhh! Salut euy! Selamat nya!"
"Muhun Jo. Eh... Tiasa ditutup heula teu" Ieu sigana Wulan manggil euy.*"
Spoiler for translation: *Terima kasih Jo. Eh... bisa ditutup dulu" Sepertinya Wulan memanggil nih.
"Mangga Kang. Engke abdi telpon deui lah.*"
Spoiler for translation: *Silakan Kang. Nanti aku telpon lagi lah.
"Sip lah Jo." Segera panggilan kuakhiri dan aku kembali melanjutkan berselancar di facebook dan juga beberapa situs lainnya. Sampai 15 menit kemudian, telepon genggamku berbunyi. Dan kali ini caller ID menunjukkan nama Wulan. Ternyata Tora yang menghubungiku kembali.
"Halo, Assalamualaikum Kang Tor!"
"Waalaikum salam... Kang Tor, Kang Tor... Aku ini Wulan, Jo!" "Eh, Wulan toh. Apa kabar" Tora mana""
"Tora lagi mandi. Tadi tuh dia baru sampe rumah dari kerja langsung ngejawab telpon kamu tau. Jadi blom mandi gitu."
"Oh gitu. BTW, selamat ya. Aku kan belum nguncapin selamat atas nikahan kamu. Trus gimana bulan madu" Seger ya""
"Alhamdulillah... Makasih ya Jo. Terus terang bulan madu mah ga terlalu berkesan lah. Kan kita kan bukan pertama kalinya bulan madu."
"Eeeeaaaaaaa.... Dasar anak muda metropolitan masa kini..." "Kayak kamu ga gitu aja Jo"
"Hehehehe... iya juga sih. Trus tadi aku denger dari Tora katanya kamu udah muntah-muntah ya" Langsung tokcer nih ceritanya""
"..." "Lan"" "..."
"Kok ga ada jawaban Lan"" "Udah sebulan lebih Jo" "Maksudnya Lan""
"Iya Jo. Usia kandunganku udah sebulan lebih Jo." "Lah kamu baru nikah bukannya baru dua minggu Lan"" "Emang Jo. Waktu aku nikah aku sudah hamil" "wah..."
"Dan yang kukandung ini anak kamu, Jo. Gara-gara malam itu." Dan lukisan The Scream dari Edvard Munch kembali mengisi pikiranku.
Side Story: Astro 11 Mei 2013. Jakarta
Saat itu aku sedang menghadiri undangan pernikahan salah satu teman lamaku di sebuah gedung pertemuan di Jakarta Timur. Aku memang datang sendirian pada saat itu karena pasanganku sedang tidak enak badan dan memilih untuk beristirahat di rumah. Tia, teman lamaku tersebut, berdiri dengan anggunnya dalam kebaya putih bersama dengan pasangannya yang mengenakan setelan jas putih di pelaminan. Segera saja aku mengantri untuk memberikan selamat kepada pasangan tersebut.
"Selamat ya Tia, semoga langgeng lho."
"Eh Jojo... Udah di sini lagi toh... makasih ya... nanti jangan lupa foto bareng ya!" "Siaaaaappp!"
Kemudian aku menuruni pelaminan dan bersiap untuk berburu makanan di gubuk-gubuk yang terdapat di ruangan tersebut. Tujuan pertamaku tentu saja gubuk sate padang yang terdapat di pojok ruangan ini. Dan untungnya gubuk tersebut sedang tidak panjang antriannya. Sepuluh menit kemudian, sepiring kecil sate padang yang terlihat cukup lezat tersebut sudah berada di tanganku. Aku pun segera menuju sudut ruangan agar dapat menikmati sate padang dengan seminimal mungkin usikan dari luar.
Di sudut ruangan itu aku melihat anak kecil yang kutaksir usianya belum sampai dua tahun sedang berlari-lari dengan riangnya. Pasti orang tuanya kerepotan dengan tingkah polah anak ini. Aku hanya tersenyum kecil saja melihat tingkah polah anak tersebut.
"Astroooo... Trooo... jangan lari-larian gitu ah di sini! Mama capek ngejar kamu pake kebaya & heels gini", terdengar suara seorang perempuan tidak jauh dari arah belakangku. Suara yang sepertinya cukup familiar. "Lagi lucu-lucunya ya Mbak" Udah berapa bulan"", iseng kutanya perempuan itu.
"Iya nih Mas. Maklumlah udah hampir 18 bulan.", jawab perempuan itu sambil menoleh ke arahku. "Lho! Kamu toh Jo! Ya ampun, gemukan kamu sekarang!"
"Iya nih Lan, Alhamdulillah."
"Mas! Mas Tora, sini. Ada Jojo nih!"
Sejurus kemudian terlihat Tora dengan agak tergopoh-gopoh berjalan ke arahku. "Wuiiihhhh... Bos Jojo! Gemukan euy sigana mah.*"
Spoiler for translation: *Wuiiihhhh... Bos Jojo! Kayaknya gemukan ya"
"Hehehe... Muhun Kang, kumaha kabarna""
Spoiler for translation: *Hehehe... Terima kasih Kang, gimana kabarnya"
"Alhamdulillah Jo. Tumben yeuh di Jakarta, biasana mah melanglang buana wae."
"Ieu ge baru sampe tadi pagi. Aya proyekan di Tokyo tea.*"
Spoiler for translation: *Ini juga baru tiba tadi pagi. Ada proyekan di Tokyo.
"Anjiiiiirrrr! Tokyo euy lepelna. Lewatlah aing mah." "Hyahahahaha! Ulah kitu atuh lah Kang*"
Spoiler for translation: *Hyahahahaha! Jangan begitu lah Kang
"Nah, ketangkep juga ini anak! Ayo salaman dulu sama Om Jojo!", kata Wulan sambil menggendong anak yang tadi dipanggilnya Astro.
Bocah yang tadinya sedikit meronta-ronta di gendongan Wulan mendadak kalem begitu melihatku. Aku segera memberikan tanganku untuk disalaminya. Dan Astro memegang tanganku dan menciumnya sambil melihat ke arah wajahku. Bahkan ia kemudian seolah meminta agar aku menggendongnya. Segera saja kuletakkan piring sate padangku yang sudah setengah kosong di meja terdekat dan kusambut Astro dengan hangat. Dan terlihat wajah Astro tersenyum gembira ketika aku sudah berhasil memegangnya dengan baik.
"Wah... Tumbenan nih, Astro mau sama orang lain. Jo, maneh tos cocok lah jadi Bapa. Nitip heula sakedap nya! Bade nyari makanan deui yeuh.*", kata Tora begitu Astro sudah dalam gendonganku.
Spoiler for translation: *Wah... tumbenan nih, Astro mau sama orang lain. Jo, kamu sudah cocok lah jadi Bapak. Nitip sebentar ya! mau cari makanan dulu nih.
"Nanti aku nyusul ya Mas", kata Wulan kepada Tora. Nampaknya ia masih mau berbicara denganku. "Siiiippp!"
Begitu Tora sudah agak jauh, "Itu anakmu, Jo."
"Iya Lan. Aku tau. Dia pasti seneng digendong-gendong gini sama aku. Dan namanya..."
"Astro. Aku sengaja menamai dia seperti itu. Kamu kan pernah cerita waktu SMP kalo anak pertamamu mau dikasih nama Astro sebagai bentuk kekagumanmu sama Osamu Tezuka."
"Kamu masih inget rupanya, Lan."
Beberapa jurus kami hanya terdiam. Tidak, hanya Wulan saja yang terdiam karena aku bercanda-canda dengan Astro yang sedang kugendong.
"Jo, aku ambil makanan dulu ya. Ga papa kan Astro kamu pegang dulu"" "Ga papa Lan. Aku pingin quality time sama anakku dulu."
Wulan hanya tersenyum sambil menahan mukanya yang bersemu merah dan tidak lama Ia pun berlalu. Yah dalam gendonganku kini ada anak yang aku yakin akan tumbuh menjadi anak yang tampan. Aku sangat senang saat itu. Saking senangnya, aku rela menunda menghabiskan sate padang yang kuambil demi menggendong anakku yang baru pertama kali ini kutemui.
Kembali Ceria Hari itu hari Selasa tepat seminggu setelah aku menelepon Tora dan Wulan. Telepon yang begitu mengejutkanku. Tetapi melegakan juga di sisi lain. Yah, aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan menjadi ayah biologis sesosok manusia dalam waktu dekat ini. Aku merencanakan bahwa seharusnya aku memiliki keturunan setidaknya baru dua tahun lagi. Namun aku lega bahwa anakku nanti akan dibesarkan oleh orangorang yang sangat kukenal sebagai orang baik seperti Tora dan Wulan. Semoga mereka berdua dapat membesarkan anakku itu menjadi orang yang baik.
Di samping itu aku juga merasa sedih karena posisiku di depan anak itu hanyalah sebatas ayah biologis. Statusku itu pun tidak dapat aku umbar begitu saja mengingat status tersebut akan menjadi sangat sensitif dan juga akan berpengaruh terhadap kehidupan rumah tangga orang lain. Aku sangat ingin bisa menjadi ayah yang tidak hanya berkontribusi secara biologis namun juga secara emosional dalam proses pertumbuhan penerusku tersebut. Tetapi apa mau dikata" Beginilah yang terjadi. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Mungkin di masa depan aku bisa berbuat lebih banyak untuk anakku itu.
Dan selama seminggu itu moodku berubah menjadi kelabu. Aku lebih banyak diam dan melamun. Senyum jadi hal yang sangat mahal dalam seminggu terakhir ini. Selesai kuliah, aku hanya keluar sebentar mencari makanan yang bisa dibungkus dan dimakan sendirian di dalam kamar. Ajakan teman-temanku untuk makan bareng pun lebih banyak kutampik. Termasuk ajakan Rara dan teman-teman mahasiswa Indonesia untuk berpiknik di taman World Cup Stadium di akhir pekan. Ajakan empat betina untuk menghabiskan senin malam" Well, bahkan kemarin mereka pun sepertinya enggan mengajakku setelah melihat moodku yang kelabu selama seminggu belakangan. Mungkin hanya ajakan Saddam untuk shalat berjamaah saja yang tidak selalu kutampik.
Tentunya banyak teman-temanku yang mempertanyakan perubahan diriku tersebut. Mulai dari Mas Ari, Saddam, Khali, Jen, Achi, Rara, bahkan Riani yang rela meneleponku dari Jakarta.
"Jojo Sayang, kamu kenapa" Aku denger dari Rara kamu belakangan ini berubah jadi terlalu diem... Lagi ada masalah""
Tentunya aku tidak bisa menjawab terus terang jika Wulan saat ini sedang mengandung anakku kecuali aku memang berniat untuk mengakhiri hubunganku dengan Riani yang sudah berjalan lebih dari lima tahun ini. Jadi yang aku lakukan saat itu adalah jurus standar jika diinterogasi pacar: denial.
"Aku gak kenapa-kenapa kok sayang. Emang agak kurang sehat aja. Mungkin karena di sini dingin kali ya" Lagian juga mulai banyak tugas bikin paper juga nih sekarang."
"Masak sih sayang" Biasanya kamu kalo sakit juga paling kayak gitu selama dua hari paling lama. Itu juga socmed kamu masih tetep aktif lho... Tapi seminggu ini kamu kayak ga ada kehidupan sama sekali... Apalagi Rara kasih tau aku kalo kamu ga mau diajak ke mana-mana termasuk makan bareng. That was so not you, Jo!"
"Yah, mulai banyak pikiran sih sayang. Apalagi kamu juga jauh jadi bikin kangen dan nambah beban pikiran aja."
"Nah, sekarang apa sih yang lagi jadi masalah buat kamu" Ayok dong dishare sama aku..."
"Well, maaf ya sayang... Aku belum siap buka masalah ini ke orang lain... termasuk kamu... Aku masih perlu waktu buat mikirin hal ini sendirian aja... Please ya sayang hormatin aku buat hal yang satu ini... Aku janji akan buka hal ini suatu saat sama kamu kok..."
"..." "Ri..." "Iya deh kalo gitu... Aku akan menunggu hal itu... Tapi kamu mbok ya balik ceria lagi gitu... kasian dunia sekitar kamu yang udah terbiasa dengan keceriaanmu tau-tau dihadapkan dengan kamu yang gak berwarna kayak sekarang ini... Aku yakin mereka kangen sama kamu yang ceria..."
Yup. Menohok juga omongan Riani barusan. Yah, mungkin ia benar. Teman-temanku mungkin agak kehilangan diriku yang ceria.
"Iya sayang. Aku akan coba jadi ceria lagi."
"Ya udah. Aku mau balik kerja lagi ya. Lebih mau siap-siap sih soalnya sebentar lagi bubaran kantor. Oh iya satu hal lagi nih..."
"Apa lagi sayang"", tanyaku dengan hati agak deg-degan takut ia menanyakan sesuatu hal yang tidak terduga. "Kamu gak ngerokok lagi kan""
"Nggak lah... terakhir ngerokok udah beberapa bulan lalu kok waktu di Jakarta"
Terus terang aku lega ketika menjawab hal itu. Aku takut jika ia mencium hal lain yang mencurigakan seperti hubunganku dengan Khali dan tiga betina lainnya.
"ya udah... Aku percaya kok sama kamu... Aku balik kerja dulu ya" Luv You! Wassalamualaikum!"
"Waalaikum salam... Luv you too sayang..."
Well, sepertinya aku perlu menindaklanjuti panggilan telepon tadi. Aku harus kembali lagi menjadi orang yang ceria sebagaimana diminta oleh Riani. Dan aku akan mencoba memulainya dengan mengambil sebotol makgeolli yang kusembunyikan di kolong meja belajarku. Botol tersebut masih tersisa setengah sisa kegiatan senin malam pekan lalu. Botol itu memang sengaja kusembunyikan karena dorm ini memang melarang ada minuman beralkohol masuk ke dalam seluruh area dorm ini.
Baru saja botol makgeolli itu kubuka dan kucekik leher botolnya untuk diarahkan menuju mulutku, tiba-tiba pintu kamarku diketuk dari luar. Apa mungkin ada yang mengetahui aku menyembunyikan makgeolli di kamarku" Kubuka saja pintu kamarku setelah menyembunyikan botol itu kembali di kolong meja. Dan ternyata Saddam yang dibalik pintu tersebut.
"Jo, it's already maghrib time. Join me and Hasyim to take the prayer together""
"Sure, ya akhi. Please wait for me", jawabku sembari tersenyum dan diikuti dengan mengambil sarung dan sajadah untuk bergabung dengan Saddam menuju musholla di basement. Sekilas kulirik botol makgeolli yang masih terlihat sedikit dari arah pintu kamarku dan aku sedikit tersenyum ke arah botol tersebut. Well, sepertinya aku memang tidak butuh alkohol untuk kembali ceria.
Destination: Ansan Banyak cara yang kulakukan untuk mengembalikan keceriaan pada diriku setelah kabar yang mengejutkan itu. Yang termudah adalah makan dan kembali nongkrong bersama teman-teman. Well, sehari setelah aku menerima telepon dari Riani salah satu orang pertama kuhubungi adalah Rara. Mungkin bisa ditebak jika aku menghubungi Rara kemungkinan besar alasan hanya satu: makanan. Celakanya, Rara pada hari itu sedang malas memasak. Namun ia menawarkan ide brilian yang akan mempengaruhi kehidupanku selama setahun ke depan di Korea.
"Lagi males nih Jo masak. Kita ke Ansan aja yuk! Gimana"" "Ansan" Di mana tuh" Emang ada apaan di sana"" "Mau batagor gak lu""
Berhubung batagor ada di list kedua dalam makanan yang kuanggap diturunkan dari surga, tanpa banyak tanya dan tanpa keraguan aku jawab tawaran tersebut dengan:
"Let's go! Yuk cabut skarang!"
"Yeee... ntaran dulu! Gua masih ada kelas sampe jam 11..." "Kampret..."
"Udah... Mending lu kumpulin dulu pasukan buat diajak ke sana..." "Siap Jenderal!"
"Okeh Kopral, nanti kita rendezvous di anam-yok* pintu 4-2!"
Spoiler for terjemahan: *yok dalam bahasa korea berarti stasiun kereta. Bisa bermakna stasiun kereta jarak jauh maupun stasiun subway.
"Siap laksanakan!"
Dan segera saja kuhubungi teman-temanku yang aku ketahui tidak ada kelas hari rabu tersebut ataupun hanya kuliah sampai dengan jam 11 seperti Rara. Walhasil, total pasukan yang akan berangkat ke Ansan terkumpul 7 orang termasuk aku dan Rara. Sisanya antara lain Carolina, Khali, Huda, Calvin dan seorang mahasiswa dari Jerman teman sekelas Rara yang bernama Frank.
"So everyone's here! Let's get aboard the next train!", seru Rara kepada rombongan. Di sini aku melihat bakat lain Rara selain memasak: tour leader.
Sekitar satu menit menunggu, kami menaiki kereta yang berhenti di anam-yok untuk menuju Ansan. Subway yang kami naiki merupakan subway jalur 6 yang menuju ke daerah Eungam. Namun kami tidak menaiki subway tersebut sampai ke ujung. Untuk menuju Ansan kami harus berganti ke subway jalur 4 yang mana juga kami harus transit di Samgakji-yok atau sekitar 11 stasiun dari Anam-yok. Dari Samgakji, kami menempuh perjalanan ke arah Barat Daya selama sekitar 75 menit atau sejauh 25 stasiun.
Perjalanan menuju Ansan sendiri termasuk menarik karena terlihat jelas transisi pemandangan di mana kami bergerak dari wilayah kota Seoul yang memaksa subway bergerak di bawah tanah. Kemudian melewati daerah Gwacheon yang merupakan kompleks pemerintahan, serta makin ke arah luar kota kami melihat mulai dari wilayah pemukiman dan juga beberapa areal pertanian. Namun mendekati daerah Ansan, kami menemui lagi wilayah industri di mana banyak pabrik dengan berbagai ukuran terlihat.
Dan kami akhirnya tiba di Ansan. Stasiun di sini termasuk kecil jika dibandingkan stasiun di Seoul. Dan begitu keluar dari area stasiun, sangat terasa atmosfir yang berbeda dari atmosfer kota besar macam Seoul. Atmosfir yang terasa adalah atmosfer wilayah suburban. Dan juga atmosfir pasar tradisional. Yup! Pasar tradisional karena tidak jauh dari pintu stasiun, mulai berjejer banyak pedagang kaki lima menjajakan sajian khas berselera.. orang duduk bersila... terhanyut aku akan nostalji...
Eh, maaf... yang barusan itu potongan lagu Yogyakarta dari Kla Project. Beginilah jika aku mengetik cerita ini sembari mendengarkan lagu yang luar biasa enak di telinga. Sering terbawa liriknya gitu.
Jadi balik lagi ke suasana depan stasiun Ansan, di depannya banyak pedagang kaki lima menjajakan dagangannya yang beraneka macam mulai dari makanan siap santap seperti waffle, pakaian, perkakas ringan, sayur dan buah, sampai dengan makanan yang agak aneh seperti beondegi. Tetapi hal itu masih belum cukup mengagetkanku mengingat apa yang aku temukan ketika aku keluar dari terowongan bawah tanah yang digunakan untuk menyeberangi jalan besar di depan Ansan-yok.
Aku baru melangkahkan kakiku keluar dari terowongan penyeberangan dan sayup-sayup terdengar lagu yang cukup familiar di telingaku. Kucoba lagi kusimak lagi lagu tersebut sembari melangkahkan kakiku mendekat ke pusat kota Ansan dan ternyata lagu itu...
"Ibu Ibu Bapak Bapak siapa yang punya anak tolong aku aku yang sedang malu...."
Damn! Wali aja bisa go international sampe sejauh ini!
Huda dan Rara yang melihatku terkesima dengan dikumandangkannya lagu wali di tengah kota kecil di Korea ini hanya tertawa kecil saja.
"Welcome to Ansan City, Jo! Yang kayak gitu udah biasa di sini. Jadi lu ga perlu heran kalo misalnya denger ada beberapa artis Indonesia yang notabene fansnya agak kalangan bawah di Indonesia tapi bisa konser sampe ke negeri ginseng ini. Yah, di kota inilah mereka konser.", terang Huda.
Sementara itu Rara menjelaskan sedikit tentang kota ini kepada para legiun asing di pasukan kami.
Ansan, sebuah kota dengan luas tidak lebih dari 150km persegi di sebelah Barat Daya Seoul. Kota ini memiliki populasi sekitar 700000 orang di mana pekerja asing memiliki porsi yang cukup signifikan dari keseluruhan populasi di kota tersebut. Hal ini bisa terjadi karena memang di kota ini terdapat kawasan industri besar yang banyak mempekerjakan pekerja asing sebagai pekerja level blue collar. Dari keseluruhan pekerja asing di Ansan, pekerja Indonesia merupakan yang terbanyak ketiga setelah pekerja dari Tiongkok dan Vietnam. Maka tidaklah mengherankan jika restoran dan kedai yang menjual makanan Indonesia cukup umum di kota ini.
Mengingat waktu saat itu sudah menunjukkan waktu makan siang, Rara menggiring kami ke sebuah restoran Indonesia bernama Sederhana yang terletak di dekat pusat kota Ansan. Restoran itu dijaga oleh seorang Wanita Sunda bernama Ibu Sari dan sudah kenal cukup baik dengan Huda. Melihat kedatangan Huda, terlihat Bu Sari sangat sumringah apalagi ketika mengetahui Huda membawa rombongan yang jumlahnya tidak sedikit.
Segera saja kami memesan makanan Indonesia. Aku langsung saja memesan batagor dan juga pecel ayam ke Ibu Sari. Adapun Rara dan Huda menjelaskan mengenai menu-menu yang tersedia di restoran tersebut kepada para legiun asing. Sekitar setengah jam kemudian, semua makanan pesanan kami telah terhidang dan kami segera menyantap hidangan tersebut dengan semangat. Terlihat wajah-wajah puas dari para legiun asing tersebut. Aku juga merasa puas dengan hidangan yang disediakan terutama batagornya. Sudah terlalu lama aku tidak merasakan batagor sehingga aku sangat merasakan kepuasan yang mengarah kepada ekstase dari batagor tersebut.
Halo... Perkenalkan Nama Saya...
Singkat kata, hariku di Ansan saat itu selesai. Makanan Indonesia yang kami nikmati di restoran Sederhana seolah menjawab kerinduanku akan makanan di tanah air. Terutama batagor yang dengan ajaib bisa kutemukan di tanah sejauh 3200 mil dari rumah. Memang dari segi kekenyalan dan rasa bumbu agak sedikit kurang nikmat dibandingkan dengan batagor yang biasa kunikmati di rumah. Namun setidaknya ada sedikit lubang kerinduan di dalam hati yang bisa tertambal dengan berpindahnya batagor dari piring ke dalam perutku.
Tapi kusadari juga sedikit tertambalnya rasa kerinduan tadi di sisi lain justru memperbesar lubang kerinduan lain yang ada di hati ini. Ya, aku jadi tambah teringat dengan Riani. Riani mungkin orang terbaik yang mengerti sedalam apa tingkat kefanatikanku terhadap sate padang dan batagor. Bukan sekali dua kali ia menyuguhiku dengan salah satu dari kedua makan tersebut ketika aku bertandang ke rumahnya. Sering juga ia mengajakku berkencan ke tempat-tempat di seluruh penjuru jabotabek hanya untuk menemukan tempat mana yang menjual dua jenis makanan tersebut dengan kualitas terbaik. Dan mengingat hal tersebut hatiku jadi kembali sedikit kelabu seiring dengan perut yang mulai terasa penuh.
Perubahan suasana hati tersebut nampaknya terlihat dari tatapan mataku. Khali yang duduk di sebelahku seperti menyadari hal tersebut.
"What's wrong Jo" You look like having some kind of memories with this food." "Riani, Khal. I have lots of memories about her while I enjoyed this food. I do miss her too much." "It's alright Jo. It's alright. I can understand that."
Khali segera memelukku dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Kemudian dielus-elusnya rambutku. Jujur saja aku merasa nyaman diperlakukan seperti itu. Sampai kemudian aku sadar pada satu hal.
Rara. Dia duduk di seberangku. Melihatku dimanjakan oleh Khali. Dengan mata kepalanya secara langsung. Dan seringai iblis mulai terlihat dari bibirnya. Mungkin jika aku memiliki mata batin aku juga akan melihat bagaimana tanduk iblis juga sedang tumbuh di kepalanya saat itu.
F*ck! Another awkward moment. Pasti Rara akan memerasku lagi nanti. Entah apa yang akan dimintanya
nanti. Segera setelah kami menyelesaikan makan dan pembayaran, kami beranjak dari Restoran Sederhana. Begitu melihat jam tangan,aku menyadari bahwa sudah waktunya untuk ibadah. Segera kuajak Rara dan Huda untuk bergerak menuju musholla yang katanya terdapat di kota ini. Huda yang memang sudah sering ke kota ini segera memimpin rombongan sembari sedikit menjelaskan kepada rombongan mengenai tujuan berikutnya. Nampaknya rombongan kami mengerti maksud Huda dan sama sekali tidak keberatan untuk menunggu sebentar di depan musholla selama kami beribadah.
Belum jauh bergerak dari Sederhana, Khali meminta rombongan berhenti sebentar karena ia seperti melihat sesuatu. Segera ia bergerak menuju sebuah toko daging dan tidak beberapa lama ia kembali dengan membawa sebungkus plastik hitam.
"Dao asked me to get this for her", terang Khali kepada kami yang menunggunya.
"So what is inside that plastic bag", Khal"", tanya Calvin. "It's called Gaegogi in Korean. It means..."
"Impossible, Khal! I can't believe a cute girl like Dao love eat that kind of food!", seru Frank tidak percaya.
"But she does, Frank! I also quite surprised when she asked me to get some dog meat for her!", jawab Khali yang membuat aku dan beberapa anggota rombongan terbelalak.
Yup! Membayangkan gadis seimut Dao memakan daging anjing mungkin dapat dianalogikan dengan seorang kelinci yang terlihat lucu namun suka memakan singa.
Well, kami kemudian menyimpan keterkejutan kami dan melanjutkan perjalanan kami menuju musholla yang berjarak hanya beberapa blok dari Restoran Sederhana. Musholla itu sendiri tidak seperti musholla yang umum ditemukan di Indonesia. Musholla tersebut berlokasi di sebuah kompleks ruko. Musholla itu sendiri memang pada dasarnya adalah sebuah ruko yang layoutnya disulap untuk memungkinkan muslim untuk beribadah di dalamnya. Segera Aku, Rara dan Huda menjalankan kewajiban kami. Setelah terlewati sepuluh menit, kami kembali bertemu dengan rombongan untuk melanjutkan tour kami di Ansan dengan berbelanja.
Kami memasuki sebuah toko cukup besar yang mengidentifikasi dirinya sebagai Asian Market mirip dengan yang biasa kutemui di Itaewon. Namun toko ini lebih besar, lebih lengkap, dan ketika kulihat harganya memang jauh lebih murah ketimbang di Itaewon. Pantas saja Huda dan juga Rara jadi sering berjalan-jalan ke kota ini. Dan memang perlu aku akui setelah perjalanan ini, setidaknya satu bulan sekali aku rela menempuh perjalanan dari daerah Anam menuju Ansan untuk makan dan berbelanja di kota ini.
"Jo, sini jangan jauh-jauh dari gua! Pegangin belanjaan gua!", sahut Rara ketika kami berada dalam toko tersebut.
Aku sangat mengerti maksudnya. Ini merupakan kode. Ini pasti bentuk pemerasan setelah ia tadi melihatku dimanjakan oleh Khali di restoran! Dan aku yakin, hal ini tidak akan berhenti sebatas membawakan belanjaan saja namun juga akan berlanjut sampai membayari belanjaannya! Huda yang juga ikut mengerti maksud Rara
terlihat cekikian sembari menahan tawa.
Sekitar empat puluh menit kemudian, kami sudah berada dalam kereta api menuju ke arah Ansan karena tour Ansan hari ini telah selesai. Singkat kata perut dan lidah kami cukup terpuaskan dengan tur ini. Khusus
kasusku, dompetku juga bertambah tipis 50000 won setelah membayari makan dan belanja Rara.
Terlihat wajah-wajah kelelahan namun puas dari anggota rombongan. Carolina mungkin pengecualian karena ia tidak terlihat lelah. Ia yang sengaja duduk di sebelah Rara terlihat seperti menginterogasi Rara mengenai makanan yang tadi kami nikmati. Rara yang terlihat lelah ternyata masih kuat meladeni pertanyaan-pertanyaan cewek Latina itu dengan cukup sabar. Adapun Huda terlihat masih bisa bercanda dengan Calvin dan Frank.
Dan Khali" Well, lagi-lagi dia menempel di sebelahku. Wajahnya terlihat sangat lelah. Dan dia tertidur dengan kepala tersandar di bahuku. Tidak hanya itu, kedua lengannya juga memeluk lenganku. Aku hanya berharap Khali jadi tidak terlalu bawa perasaan lebih jauh mengenai hubungan kami. Dan jika boleh jujur, aku lebih berharap lagi jika Rara tidak melihat lagi kedekatan kami yang terlalu dekat ini. Namun hal itu rasanya tidak mungkin. Aku masih ingat seringai iblis dari bibir Rara merupakan hal terakhir yang kulihat sebelum mataku yang terasa sangat berat menutup.
Dan malam itu ketika kubuka email, kulihat ada email masuk dari Rara.
Quote: Title: Ciiiieeeeeeee Attachment: img42.jpg
ciiiieeeeee.. besok traktiran nih... :P
Dan file gambar itu ternyata foto aku dan Khali yang tertidur di kereta tadi dan terlihat sangat mesra di mana kepala kami terlihat saling bersandar.
Brengsek. Kena blackmail lagi. Besok siangnya
Aku baru saja menghabiskan 25000 won untuk makan berdua dengan Rara siang ini. Rara meminta aku menraktirnya makan sushi di sebuah restoran di dekat Anam Junction sebagai jaminan dirinya akan tutup
mulut atas kejadian kemarin. Oh Dewaaaaaaa!
Segera setelah makan aku menuju kelas hari Kamis siang ini: Special topic on ASEAN. Kelas saat itu masih kosong. Aku segera mencari kursi paling strategis di kelas itu: kursi terdekat dengan colokan listrik. Segera kunyalakan laptop dan sedikit membaca bahan untuk kuliah hari ini. Tidak terlalu lama aku melihat ada seorang mahasiswa Korean yang aku ketahui bukan mahasiswa di GSIS ini masuk ke kelas ini. Ia terlihat menuju kursi yang ada di sebelahku.
"Hallo... Sellamat Siaaannnggg... Bolleh saya duduk di siniii"", tanyanya dengan sopan. Sangat sopan. Dalam Bahasa Indonesia. Walaupun dengan aksen Korea yang masih sangat kental.
"Eh iya... boleh... boleh...", jawabku dengan kaget.
"Perrekenalkan... nama saya Andy..."
"Oh... Jo... Jojo... panggil saja aku Jojo"
"Saya sebenarrenya mahasiswa Business School. Saya sangatte tertarik dengan Asia Tenggara terutama Indonesia. Ole kerana itu saya ikut kelasse ini..."
"Hoooo... Ngomong-ngomong Bahasa Indonesia kamu lumayan bagus. Belajar di mana""
"Hahahaha... terima kasi. Saya liburan ke Bali palling tidak setahun sekali. Selain itu juga saya perrena ambil kelas Bahasa di kampusse ini. Selain itu juga sahabat saya di sini sangat membantu saya" "Sahabat kamu orang Indonesia""
"Bukan... bukan... Dia dari Malaysia. Dia juga ikut kelasse ini. Mungkin akan hadirre sebenta lagi." Dan memang tidak lama kemudian datang seorang mahasiswi berwajah oriental yang
penampilannya... "Wah... sude akrab rupanye... Hallo! Kamu Jojo kan" Name saye Aileen. Saye tak berbeza dengan Andy, dari Business School juge"
Dan kubalas saja juluran tangan dari gadis Chinese-Malaysian yang cantik itu.
Urgent Call to Daejeon Seminggu setelah perkenalanku dengan dua orang mahasiswa dari Business School tersebut, banyak hal menarik yang aku ketahui dari mereka. Aileen misalnya. Si cantik dari Malaysia ini ternyata sudah menghabiskan hampir enam tahun di Negeri Ginseng ini. Ia mungkin bisa disebut sebagai pelanggan setia dari Anam University karena ia ternyata sudah menyelesaikan pendidikan tingkat bachelornya di bidang chemical engineering di kampus ini. Dengan latar belakang yang demikian, tidaklah mengherankan jika Bahasa Koreanya sudah sangat mendekati level native.
Namun demikian, ada hal yang sangat menarik dari latar belakangnya. Sebagaimana umumnya mahasiswa beretnis Tionghoa yang kutemui, Aileen mengaku keluarganya mengirimnya sekolah setinggi mungkin agar kembali ke rumah keluarganya di Kelantan dan meneruskan salah satu usaha yang sudah dirintis. Terdengar familiar bukan" Keluarganya sendiri menurut pengakuan Aileen memiliki cukup banyak usaha mulai dari pabrik pengolahan karet, restoran, toko kelontong, sampai dengan rumah judi yang beroperasi secara ilegal di Batam.
"So your family's running a gambling house in Batam"", tanyaku tidak percaya ketika Aileen memberitahukan hal tersebut.
"Ssssshhhh.... benar, tapi jangan gaduh begitu lah... Tidak elok terdengar orang ramai..."
"Wah... Boleh beri tahu the name of the gambling house and the address as well" Nampaknye boleh saye singgah when I visit Batam someday"
"Looks like you're seeking a chance to try your luck without putting any bet ye"" "Hahahaha! Guilty as charged!"
Spoiler for Aileen Today:
Well, sampai dengan cerita ini ditulis, aku belum sempat sekalipun berkesempatan mengunjungi rumah judi milik keluarga Aileen di Batam. Terus terang aku jadi merasa agak tidak enak karena beberapa kali Aileen yang kini berdomisili di Singapura menanyakan kapan aku akan bermain-main ke tempat judi tersebut. Dua tahun lalu saat terakhir kali aku bertemu dengan Aileen pun aku hanya sempat makan malam sambil mengobrol di apartemennya yang cukup mewah di wilayah Utara Negeri Singa tersebut.
Andy pun memiliki sisi lain yang tidak kalah menarik ketimbang Aileen. Dari segi penampilan, Andy termasuk sederhana untuk ukuran pria Korea berumur 20an. Ia biasa hadir ke kelas dengan menggunakan pakaian yang biasa-biasa saja. Gadget yang digunakannya juga bukan gadget yang tergolong high end. Perilakunya juga menunjukkan bahwa Ia sama seperti mahasiswa pada umumnya. Yang mungkin sedikit nyentrik mungkin gaya rambutnya yang gondrong sebahu dan bagaimana Ia cenderung membiarkan janggut tipis tumbuh di dagunya. Untuk ukuran pria berumur 20an di Korea, jujur saja saat itu penampilan tersebut bisa dibilang di luar mainstream.
Lantas apa sisi menarik dari Andy" Terus terang aku tidak sengaja menemukan sisi menariknya tepatnya ketika Ia sedang membereskan koleksi gambar-gambar di komputernya. Tepat ketika Ia sedang membuka sebuah gambar Chevrolet Camaro warna kuning yang mirip dengan bumblebee di film transformer. "So Andy, you do like muscle cars like that Camaro, eh""
"Yup! I do love this car very much! It's quite smooth when I ride it compared to the other muscle cars." "What" You've experienced riding a Camaro""
"Yes of course. Especially after my parents gave it to me for my last birthday presents last year. I use that car about once or twice a week."
Dan aku pun hanya bisa Jujur aku tak pernah menyangka jika Andy adalah orang dari keluarga kelas atas di Korea, terutama jika melihat penampilan sehari-harinya. Kemudian Andy pun akhirnya menceritakan tentang keluarganya, khususnya orang tuanya yang merupakan pekerja tingkat atas di sebuah chaebol raksasa. Dan untuk chapter ini, Andy dan Chevy Camaro-nya akan berperan sangat penting.
Saat itu adalah hari pertama di bulan April pada tahun 2011. Sore itu kami baru saja menyelesaikan kelas Research Design dan akan berjalan kembali menuju dorm. Aku keluar dari kelas itu agak terlambat karena masih menunggu laptopku menginstall update software terbarunya. Ketika aku akan melangkah ke luar kelas, aku baru menyadari di bangku belakang masih ada seseorang yang terduduk diam dengan wajah pucat. "What's wrong Khal" You don't look fine", tanyaku sembari menghampirinya.
Khali hanya melihat ke arahku tanpa menjawab. Dan ketika aku sudah cukup dekat dengannya, Ia berdiri dan segera mendekapku. Kemudian menangis.
Aku sedikit kaget dan kemudian mencoba menenangkannya dengan mengelus-elus dari rambut sampai punggungnya. Setelah agak tenang, akhirnya Khali mau membuka suaranya.
"I have to go to Daejeon tonight, Jo. My sister... my sister..."
Dan Khali kembali menangis di pelukanku tanpa meneruskan kalimatnya. Aku sendiri tidak terlalu mengerti maksudnya dan hanya bisa menebak-nebak apa yang terjadi dengan kakaknya. Yup! Khali memang memiliki seorang kakak perempuan yang juga berkuliah di Negeri Ginseng ini tepatnya di Daejeon University of Advanced Technology. Namun sedikit berbeda dengan Khali, kondisi fisik kakaknya memang agak lemah ketimbang Khali sehingga perlu check up dan juga mengkonsumsi obat secara rutin. Mungkin kali ini kondisi kakaknya agak luar biasa. Dan pikiranku sekarang hanya terfokus pada bagaimana aku bisa mengirimkan gadis ini ke Daejeon sesegera mungkin.
Segera aku mengecek jadwal kereta ke arah Daejeon malam itu dan mencoba memesan tiket, namun ternyata kereta malam itu sudah penuh. Aku jadi mulai pusing memikirkan solusi alternatifnya. Aku kemudian mencoba mencari-cari orang di sekitar kampus GSIS yang mungkin bisa dimintai tolong. Dan ketika aku baru melangkah mendekati lobby GSIS, aku berpapasan dengan seorang malaikat penolong pada malam itu, Andy. "Hi, Jo. Selamat Sore. What's wrong with you""
"Andy, what makes you here mate""
"Just checking up the schedule for kursus Bahasa Indonesia on the next term. You look so screwed up. Ayo sini cerita pada saya"
Dan aku pun menggiringnya ke dalam kelas untuk memperkenalkannya dengan Khali serta bercerita tentang masalah yang sedang dihadapinya. Andy segera mengerti duduk persoalannya dan langsung menawarkan solusi yang terus terang aku tidak pernah menyangkanya: mengantarkan Khali dengan menggunakan Camaro.
Ya, Andy saat itu memang kebetulan sedang membawa mobil kerennya itu ke kampus.
Tanpa pikir panjang, aku dan Khali menyetujui tawarannya dan kami pun segera meluncur ke tempat parkir mobil. Sambil berjalan ke tempat mobil diparkir, Andy terlihat menelepon seseorang dengan menggunakan Bahasa Korea. Dan panggilannya diakhiri setelah kami tiba tepat di mobil kesayangannya tersebut. Aku tidak sempat berlama-lama mengagumi mobil tersebut dan membukakan pintu untuk Khali. Setelah masuk, Khali langsung duduk di bangku belakang. Well, itu artinya aku memang harus ikut mengantarnya juga ke Daejeon. Aku ikut segera masuk dan duduk di bangku depan di sebelah Andy.
"Ready for the ride guys" Here we go!"
Segera Andy melajukan mobilnya dari lahan parkir menuju jalan raya. Selama di jalan raya, Andy masih terlihat kalem membawa mobilnya tersebut. Namun ketika sudah mencapai jalan tol luar kota, tidak perlu diceritakan. Intinya jarak Seoul-Daejeon yang seharusnya ditempuh dalam 90-120 menit, dapat diselesaikan dalam 70 menit.
Sesampainya di tempat tinggal kakaknya Khali, kami melihat Kakaknya sudah sangat lemas dan pucat. Tanpa pikir panjang, kami membawa gadis itu ke atas mobil dan hendak merujuknya ke rumah sakit terdekat. Namun ketika hendak bergerak, kakak Khali menyebutkan nama sebuah rumah sakit besar di Seoul. Andy tampak mengerti dengan hal tersebut dan kembali melajukan mobilnya menuju Seoul.
Segera kami menuju Emergency Unit ketika kami tiba di rumah sakit tersebut. Khali ikut ke dalam untuk menjelaskan masalah yang diderita kakaknya kepada dokter jaga. Aku sendiri memilih untuk menunggu di depan pintu emergency unit sembari berjaga-jaga jika Andy juga menuju ke sini. Dan tidak lama Andy yang baru saja memarkir mobilnya akhirnya tiba di tempat tersebut.
"Terima kasih banyak ya Andy! I can't imagine what would happen to her if I hadn't met you" "Ah, never mind! Tidak perlu dipikirkan lah. Saya sangat senang bisa membantu" "But we do owe you so much. Bagaimana saya membalasnya"" "Membalas" Ah, tidak usahlah.... eh... kecuali satu...." "Ya" Bagaimana""
"Bisa membuatkan nasi goreng" I do miss Indonesian Nasi Goreng very much!"
Aku hanya tertawa saja sebelum menyanggupi permintaannya. Lalu Aku segera mengambil ponselku dan menelepon orang yang aku percaya bisa diajak kerja sama dalam hal ini: Rara.
Confession Sudah beberapa hari berlalu setelah kakak perempuan Khali dirujuk ke rumah sakit. Dan selama itu pula Khali selalu hadir di kelas dengan wajah lelah dan cenderung mengantuk. Memang selama beberapa hari itu pula Khali selalu menghabiskan malamnya di rumah sakit menemani kakaknya. Tentu saja aku dan beberapa temanku dari program yang sama mengerti kondisinya dan mencoba menghiburnya sebisa kami. Tak kurang dari membelikan sedikit makanan dan susu untuk sarapan, menraktir makan siang, ikut menengok kakaknya dan membawakan baju ganti, membantu meng-copy bahan kuliah dan juga mengajaknya ngobrol sudah kami lakukan untuk membantunya.
Hari itu hari kamis siang di mana aku secara tidak sengaja bertemu dengan Andy dan Aileen sebelum kelas ASEAN dimulai. Pada saat itu aku memang sudah janjian dengan Khali dan Dao untuk makan siang bareng. Setelah sedikit berbasa-basi akhirnya dua mahasiswa Business School itu ikut untuk makan siang denganku. Andy sendiri ingin bertemu Khali untuk menanyakan perkembangan kondisi kakaknya. Singkatnya siang itu kami makan berlima dan Khali mengabarkan bahwa kondisi kakaknya sudah sangat membaik dan dapat keluar dari rumah sakit besok sore. Tentu saja kami cukup senang mendengarnya. Andy pun sekali lagi menawarkan untuk mengantarkan kakaknya ke Daejeon, namun ditolak Khali karena ia yakin kakaknya sudah cukup sehat untuk menggunakan kendaraan umum.
Kami berlima mengobrol dengan hangat sembari menikmati makanan yang sudah kami ambil. Aileen yang kebetulan duduk di sebelahku sering kali menimpali obrolanku dengan gayanya yang agak manja dan sesekali menepuk pundakku pelan. Terkadang ia juga menimpalinya dengan bahasa melayu yang hanya dipahami olehku dan sedikit oleh Andy. Mungkin hal yang demikian sedikit membuat Khali cemburu terlihat dari ekspresi wajahnya yang sedikit berubah begitu Aileen mulai menimpaliku.
Tidak terasa waktu menunjukkan kelas ASEAN akan dimulai dalam 10 menit. Kami pun bubar dan bergerak menuju kelas masing-masing. Dalam perjalanan menuju kelas dengan cukup demonstratif Khali memeluk erat lengan kananku dan ikut berjalan menuju kelas ASEAN. Aku terus terang merasa agak kurang nyaman dengan tindakan Khali tersebut apalagi aku juga tahu bahwa Khali tidak mengambil kelas ASEAN ini. Sepertinya yang ia lakukan ini lebih berupa penanda hak miliknya atas diriku yang perlu ditunjukkannya kepada Aileen.
Sesampainya di depan kelas, Khali melepas dekapannya di lenganku. Dan sebelum pergi ke kelasnya, tak lupa Khali memberikan kecupan di pipiku. Terus terang aku kaget dan berusaha melihat sekeliling taut ada yang melihat. Khususnya Rara. Dan untungnya tidak ada. Kecuali Andy dan Aileen. "Jadi, awek tadi tu pacar awak, Jo"", tanya Aileen sambil tersenyum simpul padaku.
"Sebenarnye bukan. I have a girlfriend back in Jakarta. Saye pun tidak terlalu mengerti kenape dia manja begitu."
"Looks like you're talented to be a Don Juan, Jo.", timpal Andy sembari nyengir. "Gimme a break! Ayo masuk sajalah dulu ke kelas"
Kemudian kami pun masuk ke kelas tersebut dan bersiap menikmati presentasi dari para peserta kelas. Well, sebenarnya tidak benar-benar menikmati sih, karena yang aku dan Andy lakukan sebenarnya adalah bermain angry bird di laptop.
Sore itu setelah selesai kelas, aku mengecek handphone dan ada satu pesan masuk. Dari Khali. Intinya besok setelah kelas Research Design ia minta ditemani untuk mengantar kakaknya kembali ke Daejeon. Berhubung aku memang tidak ada jadwal apa-apa, aku sanggupi saja permintaan tersebut.
Besoknya sebagaimana telah dijanjikan, aku mengantar Khali ke rumah sakit untuk menjemput kakaknya terlebih dulu sebelum bertolak ke Daejeon. Dan begitu keluar dari Gedung GSIS Khali menggandeng tanganku dengan manja sembari tersenyum hangat padaku. Lagi-lagi aku meresponsnya dengan melihat ke sekitar untuk mengantisipasi apakah Rara melihat hal tersebut atau tidak sebelum kami melanjutkan perjalanan.
Di dalam kereta, kami duduk bersebelahan dan lagi-lagi Khali bertingkah manja dengan menyandarkan kepalanya ke pundakku. Dan tangan kami masih bergandengan.
"Jo, your hand's so warm. I believe your heart is much warmer." "Please, Khali. Don't take it any further. I have a lover already"
"I know Jo, I know. I'm totally envy with that lucky girl Riani. I wish I had chance to know you earlier than her. I wish I had chance to have you by my side forever. I wish... I wish..."
Khali tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia mulai sesenggukan meneteskan air mata. Segera kurangkul dirinya dan membiarkan dirinya menangis di dadaku.
"Khal, I'm a pathetic liar if I tell you that I'm not interested in you. We also have shared quite a lot of time, a lot of good time together recently. Even we have experienced when our body totally connected to each other. But so sorry I cannot spare any room in my heart for you. It's fully occupied by Riani. And I always see her as my future."
Khali masih menangis. "You're so mean, Jo. If you can't love me, why did you act like love me" Why did you want to do many sweet things like taking my sister, treating lunches or even delivering my clothes to the hospital" Those are too much for me Jo!"
"I just want to be friendly to my friends, Khal. I often do that to the friends like Dao, Rara, Huda or even Atongba. Please don't let yourself get a wrong impression."
"No, Jo! I can't. I just love you more and more. I know it hurts because you cannot have chance to love me."
Khali kemudian berhenti menangis. Kami hanya terdiam sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, kami segera menuju tempat kakaknya Khali dirawat. Di sana terlihat ia sudah berganti pakaian dan bersiap untuk berangkat. Dan seperti biasa aku sedikit berbasa-basi dengannya sembari menunggu dokter yang akan tiba sebentar lagi.
Satu jam kemudian kami sudah dalam kereta mugunghwa menuju Daejeon. Khali duduk bersama kakaknya dan aku duduk sendiri. Sepanjang perjalanan aku hanya berkontemplasi mengingat apa yang Khali katakan tadi. Well, mungkin bukan hanya Khali. Riani juga pernah mengatakan aku orang yang sangat baik. Terlalu baik. Wulan juga sama-sama pernah mengatakan itu. Mungkin juga jika ada kesempatan Suni, Jen dan Dao akan mengatakan hal yang sama jika mengingat apa yang pernah aku lakukan terhadap mereka. Dan juga beberapa perempuan lain yang mungkin pernah aku tolong. Untungnya belum ada sampai saat ini laki-laki yang sampai jatuh hati padaku.
Yup, aku memang cuek, tetapi jika ada yang benar-benar butuh pertolongan, aku akan melakukan apapun. Dan ini berlaku kepada siapapun yang kebetulan sedang berada di dekatku ketika sedang mengalami kesulitan. Pernah aku dalam semalam bolak-balik Jakarta-Bogor dua kali ketika Nenek Riani sakit keras. Atau ketika di Korea ini berjalan kaki dini hari dari tempat Jen dan Suni setelah mengantarkan mereka pulang dari clubbing dan kehabisan taksi. Tapi aku sendiri tidak pernah mengharapkan balasan apapun. Aku hanya ingin menolong. Mungkin hal yang sama dengan bagaimana Andy rela bolak-balik menyetir Seoul-Daejeon minggu lalu. Dan aku pun tenggelam dalam lamunanku itu.
Malam itu aku menginap di tempat kakak Khali. Tentunya tidak terjadi hal IYKWIM malam itu. Malu dengan tuan rumah.
Besok paginya Aku dan Khali kembali ke Seoul setelah kami makan pagi. Dan lagi-lagi Khali bermanja-manja dengan memeluk lenganku serta menyenderkan kepalanya di pundakku. Sempat juga ia mengambil foto kami berdua ketika duduk di kereta. Aku yang menyadari hal tersebut memintanya agar berjanji untuk tidak menyebarkan foto itu. Kemudian aku juga menceritakan hal yang baru-baru ini terjadi ketika Rara melihat kemesraan kami serta hubungan Rara dengan Riani. Khali hanya tertawa-tawa saja begitu mengetahui hal tersebut. Ia kemudian juga meledek aku yang jadi penakut jika di depan Rara.
Dua jam kemudian, kami sudah tiba di lobby dorm kami.
"Jo, I know that I don't stand a chance to get any reply from my love to you. But I think I will keep on loving you whether it is replied or not."
Lalu Khali mengecup bibirku dengan lembut dan masuk ke dalam lift untuk kembali ke kamarnya. Tiba-tiba dari belakang terdengar pekikan.
"Gile lu Jo! Hoki bener dicipok cewek cakep begitu" Kubalik badanku dan kulihat Huda sedang menyeringai. Perkele!
Nasi Goreng and the Polyglots
3200 Miles Away From Home Karya Valerossi86 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hari itu hari minggu atau satu hari setelah aku kembali dari Daejeon. Pada hari itu juga kontrakan Rara yang biasanya sepi jadi terlihat agak penuh karena ada 7 orang di tempat itu. Hari itu merupakan hari di mana aku harus membayar utangku kepada Andy untuk memberikannya nasi goreng khas Indonesia yang ia rindukan. Namun Rara juga mengundang beberapa rekan seperti Huda, April yang merupakan teman sekamarnya serta seorang mahasiswa dari Sangwolgok University of Technology bernama Iman*. Andy sendiri mengajak Aileen untuk mengikuti pesta nasi goreng tersebut.
Spoiler for *: Tokoh Iman di sini tidak sama dengan tokoh Iman yang ada pada chapter compatriot. Nama keduanya memang sama sehingga menurut pengakuan tokoh Iman yang kuliah di Shinchon University kedua belah Iman sepakat untuk menjaga jarak mereka setidaknya radius 100 meter atau akan terjadi kerancuan nama.
Dan keduanya sama-sama orang Bandung. Atau dalam kata lain jadi partnerku berbicara dalam Bahasa Sunda
Hari itu sebenarnya kami mulai, atau tepatnya aku mulai lebih awal tepatnya pukul 8 pagi. Aku sengaja meminta Huda untuk menemaniku belanja bahan-bahan untuk membuat nasi goreng di Asian Market di dekat Masjid Itaewon. Tak kurang daging kambing, kecap manis, cabe merah keriting, dan beberapa bahan pendukung lainnya kami belanjakan demi terwujudnya pesta nasi goreng tersebut. Setelah itu kami langsung bergerak ke kontrakan Rara untuk membantu Rara dan April memasak nasi goreng. Tepat pada pukul 1130, ponselku berbunyi dan terlihat ada panggilan masuk dari Andy. Rupanya Andy mengabarkan dirinya sudah sampai di Anam University-yok. Segera aku dan Huda bergerak ke stasiun untuk menjemput Andy. Setibanya kami di stasiun, Huda cukup terkaget dengan penampakan Aileen yang tampak berkilau di hari itu. Terlihat Huda sempat terbengong sejenak sebelum kusikut sedikit pinggangnya. "Jojoooo... I can't wait to enjoy that nasi goreng you've promised me! You know when I told Aileen about our plan today she asked me to join as well!"
"No problem lah... We've made it enough to feed the whole universe! Oh, please introduce my friend Huda." "Hi guys! I'm Huda. Nice to see you!", kata Huda sembari menyalami keduanya.
"Hi, I'm Andy" "And my name is Aileen"
"Cantik betul Aileen ya, Jo.", gumam Huda kepadaku seolah ia yakin jika Aileen tidak akan mengerti gumamannya.
"Wah, terima kasih ye. Kamu juga ganteng kok.", jawab Aileen. Huda jelas kaget.
"Heh" Ngerti Bahasa""
"Sikit... Saye kan dari Malaysie..."
Dan wajah Huda pun bersemu merah. Sementara Aku dan Andy hanya bisa tertawa melihatnya.
Sepuluh menit kemudian kami sudah tiba di kontrakan Rara dan di sana sudah terlihat ada tamu lagi: Iman. Aku sendiri kemudian memperkenalkan Andy dan Aileen kepada Rara, April dan Iman. Tidak seberapa lama kemudian kami mulai menikmati nasi goreng kambing a la chef Rara yang terlihat sangat menggiurkan tersebut. Andy terlihat sudah sangat lapar sehingga ia sudah mengambil piring duluan dan dengan beringas mengisinya dengan nasi goreng tersebut. Kami hanya senyum-senyum simpul memaklumi saja melihat kelakuannya.
Aku memperhatikan bagaimana Andy menyuapi mulutnya sendiri dengan nasi goreng tersebut. Terlihat matanya sedikit berbinar ketika ia mulai mengunyah suapan nasi goreng pertamanya.
"Biarpun pedas, tapi ini adalah nasi goreng terenak yang pernah saya rasakan! Rasanya seperti sudah mencapai surga!", seru Andy dengan logat Koreanya.
Dan tawa kami pun meledak! Tapi perlu diakui jika nasi goreng kambing a la chef Rara ini memang enak dan sangat berkelas. Kombinasi kecap serta bumbu nasi goreng yang diraciknya sendiri memang sangat pas. Nyaris tidak ada rasa keasinan atau terlalu pedas sebagaimana banyak ditemui pada nasi goreng pada umumnya. Selain itu potongan daging kambing yang disebar secara merata ini juga menambah lagi keeksotisan rasa dari nasi goreng ini. Selain itu nasi goreng ini juga tidak terlalu berminyak sehingga cukup meyakinkan kami jika nasi goreng ini cukup sehat dan aman dikonsumsi.
"Anjir lah, resep pisan ieu nasi gorengna si Rara teh.", ucap Iman sembari menikmati nasi goreng tersebut. "Enya Kang. teu rugi lah aing isuk-isuk ka Itaewon belanja.", timpalku.
Kemudian kami berdua melanjutkan obrolan kami dalam Bahasa Sunda. Andy dan Aileen hanya melongo melihat kami berbicara dalam bahasa yang menurut mereka asing.
"You know guys, I don't even understand what' are they talking about. The language they use is kinda an extraterrestrial language for me.", sahut Huda kepada Andy dan Aileen.
"Yo opo tah Mas" Mosok ndak ngerti sing aku omongi karo koncoku iki"", sambungku setelah mendengar omongannya kepada Andy dan Aileen.
"Lah, sampeyan iso boso jowo tah Jo""
"Sitik Mas" "Okay guys... please let us know what the hell are you guys talking about! What languages are you using"", seru Andy.
Dan akhirnya kami, lima orang Indonesia, bergiliran menjelaskan mengenai Bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Selain itu dijelaskan juga mengenai latar belakang etnis kami yang akan jadi latar belakang mengenai bahasa daerah apa saja yang bisa kami pahami. Aku sendiri menjelaskan latar belakangku yang campuran etnis Sunda, Jawa dan Minang sehingga bisa sedikit-sedikit berbicara dengan ketiga Bahasa tersebut. April juga ikut menjelaskan latar belakangnya yang beretnis Tionghoa sehingga masih bisa berbicara dalam Bahasa Hokkian yang ternyata masih dimengerti juga oleh Aileen.
"So you guys are basically talented to be polyglot. Well, I'm kinda envy with you guys. Can you guys give me lessons on those languages someday"", tanya Andy pada kami.
"No problem mate. Just let us know when you have time.", jawabku.
Menghindari Babi Salah satu pesan dari orang tuaku ketika aku berangkat adalah untuk menjaga makananku selama aku di rantau. Hal tersebut memang masuk akal khususnya untuk aku yang muslim ini. Meskipun aku cenderung muslim yang agak sangat amat terlalu rendah kadar ketakwaannya, ada dua hal yang aku coba jaga baik-baik dalam kapasitas keimananku: ibadah dan makanan. Dalam hal ibadah, terus terang saja segila-gilanya kehidupanku di sini, aku masih mencoba untuk menjaga ibadahku secara rutin sebanyak lima kali sehari. Dan aku cenderung tidak pilih-pilih tempat untuk beribadah jika memang sudah waktunya tiba. Mulai dari parkir mobil, pojokan gang yang sepi, stasiun subway, tangga darurat, kolong jembatan, sampai sebuah gazebo di taman yang ramai pernah aku dan juga kawan-kawan seimanku gunakan untuk beribadah. Dan tidaklah mengherankan juga jika dalam tas kecil yang kubawa ke mana-mana selama di tanah rantau terdapat sebuah sajadah kain yang dapat kulipat sampai kecil untuk menunjang terlaksananya ibadahku.
Respon warga sekitar" Well, di awal pasti mereka akan merasa aneh melihat ada orang melakukan gerakangerakan yang tidak biasa di depan umum. Namun tidak begitu lama mereka akan berlalu karena toh tidak ada yang terganggu dengan kegiatan kami.
Lantas apakah dengan aku menjaga ibadahku maka tingkah-tingkah nyeleneh seperti suka mabuk dan tidur sembrangan dengan perempuan berkurang" Well, tidak juga. At least pada saat itu tidak. Pada saat itu pandanganku adalah ibadah kulakukan sebagai penyisihan waktu dari dari 24 jam waktuku dalam sehari. Masak iya kita tidak menyisihkan waktu beberapa menit dari 24 jam waktu kita dalam sehari untuk-Nya" Pelit betul!
Aku sendiri terus terang mengambil pedoman dari seorang metalhead legendaris dari Ujung Berung di Kota Kembang sana yang pernah mengatakan hal seperti ini:
Quote: Mabok mah mabok... anu lima waktu mah tetep kudu!
Pada perkembangannya aku membuat semacam self policy untuk pergi minum keluar-yang mana ujungnya seringkali berakhir di ranjang bersama empat betina-setelah pukul 2000 atau setelah waktu Isya. Yah, setidaknya sudah ada usaha untuk mengubah diri jadi-amat sangat-sedikit-banget lebih baik.
Bagaimana pandangan teman-temanku" Well, Rara dan Achi terus terang tidak pernah protes karena mereka sendiri pernah mengalami fase tersebut. Saddam dan Geng Timur Tengah" Awalnya mereka sering menanyakan hal ini dan aku sering mengakui juga bahwa pola hidupku memang tidak baik seraya menjanjikan untuk mengubah pola hidupku jadi lebih baik. Mereka juga tetap baik dengan masih sering mengajakku beribadah berjamaah. Reaksi Mas Ari" Well dia sendiri sering berbicara begini kepadaku khususnya setelah bubar kelas Research design yang memang berakhir pada sore menjelang malam:
"Jo, cepetan solat sanah, gua tungguin. Abis itu kita makan trus mabok!"
Teman-teman lain" Well, kebanyakan dari mereka cuek walaupun kadang sesekali menanyakan hal ini. Sampai mereka mengetahui adanya versi ekstrim dari diriku yaitu orang yang bernama Murod.
Yap, Murod, si mahasiswa Uzbekistan yang bertubuh tinggi kekar itu bisa dibilang versi diriku yang lebih ekstrim. Di chapter MT! Aku pernah menceritakan sedikit tentang dirinya sebagai salah satu mahasiswa yang mengobrol denganku. Kenapa aku bilang dia sebagai versi ekstrim dari diriku" Well, dari ukuran fisik sudah cukup ekstrim dengan ukuran 190/89. Suara cenderung berat namun menggelegar ditambah dengan pandangannya yang tajam. Setiap bertemu denganku dengan sangat percaya diri dia akan berkata 'Assalamualaikum my Bro!' dengan suaranya yang khas tersebut. Tidak lupa juga untuk mengingatkanku untuk beribadah jika sudah masuk waktunya. Sering juga aku bertemu dengannya secara random di daerah Itaewon tidak jauh dari Masjid Seoul.
Lantas menariknya di mana" Well, sepertinya aku belum menceritakan bahwa dirinya merupakan juara dalam permainan beerpong serta menghabiskan makgeolli ketika MT kemarin. Selain itu beberapa kali aku pernah diajaknya makan malam di sebuah restoran Uzbekistan di dekat Anam-yok dengan menu serba halal namun ditutup dengan sebotol besar vodka yang kami habiskan berdua. Dan beberapa kali si Uzbek ini ikut ritual minum di Senin malam yang biasa kulakukan bersama empat betina-walaupun nasibnya tidak begitu beruntung karena tidak pernah berakhir di ranjang.
Hal kedua yang perlu kujaga ini cenderung lebih berat: makanan. Terus terang orang Korea sangat menggemari babi. Samgyeopsal yang pernah kuceritakan pada chapter harem life merupakan salah satu all time favourite dish dari bangsa pemakan kimchi ini. Selain itu saking senangnya mereka dengan babi, harganya jauh lebih rendah daripada sapi serta peredarannya sudah sangat terlalu luas di pasar sehingga sangat menyulitkan bagi orang sepertiku. Bahkan ada semacam kepercayaan jika kita secara random meminta daging (atau dalam bahasa Korea: gogi) kemungkinan daging yang didapatkan merupakan daging yang sudah di-mix antara daging sapi dengan babi. Dan pada kasus yang ekstrim, terkadang Orang Korea malah makan daging anjing seperti yang pernah kutemukan di Ansan.
Terus terang, aku sendiri tidak memiliki standar yang tinggi di mana setiap makanan yang kumakan harus berstempel halal. Aku cukup fleksibel memakan makanan apapun selama kuketahui makanan tersebut tidak mengandung babi. Bahkan aku tidak terlalu masalah untuk mengonsumsi daging sapi yang tidak berlabel halal. Hal ini sendiri terkadang menimbulkan sedikit perdebatan khususnya dengan Geng Timur Tengah serta beberapa teman-teman Indonesia yang memang cukup keras dalam masalah standar makanan. Oh iya, dengan Murod pun aku sering berdebat karena ia sendiri cukup keras soal standar makanan halal ini.
Di awal ketibaanku, aku terus terang agak tidak peduli dengan apa yang kumakan dengan argumen aku tidak bisa mengerti dengan bahasa yang digunakan serta huruf yang tidak bisa kubaca. Namun setelah aku mulai belajar sedikit Bahasa Korea, aku mulai mengerti makanan mana saja yang mengandung babi dan mana yang tidak.
Suatu saat ketika aku berbelanja dengan Rara, aku melihat Rara yang kelaparan membeli sebuah samgakkimbab atau mungkin di Jepang dan Indonesia lebih familiar dengan nama onigiri. Rara menjelaskan bahwa makanan yang dikonsumsinya tersebut isinya adalah tuna. Dari situ aku mendapat sebuah kesimpulan yangsampai saat ini pun masih kurasakan-konyol: semua samgak-kimbab isinya adalah tuna.
Walhasil sejak kejadian itu aku pun selalu sarapan dengan menu samgak-kimbab. Dan aku tidak pernah peduli apa yang tertulis di bungkus karena apa yang ada di pikiranku adalah isinya pasti tuna. Dan "tuna" yang kurasakan setiap hari rasanya memang sangat bervariasi. Kadang sangat enak, kadang biasa saja. Well, perlu kuakui samgak-kimbab ataupun onigiri merupakan menu terbaik untuk sarapan mengingat kepraktisannya untuk dimakan sembari jalan serta kemampuannya untuk mengganjal perut.
Sampai suatu saat di hari senin ketiga di bulan April atau tepat dua minggu di mana aku berturut-turut makan samgak-kimbab untuk sarapan. Aku yang baru tiba di kelas Economic Growth and Development langsung membuka kimbab yang kubeli. Tidak begitu lama Mas Ari datang dan langsung duduk di sebelahku. "Enak bener Jo makannya"
"Iya Mas. Tapi lebih enak makanan istri lah." "Bisa aja luh."
Kemudian Mas Ari dengan iseng mengambil bungkusan samgak-kimbab yang kunikmati. Dan dengan sekejap matanya terbelalak dan melihat ke arahku.
"Enak Jo""
"Iya Mas. Enak banget. Tuna di sini enak banget ya. Ngimpor dari mana sih"" "Oooo... Tuna ya lu pikir isinya" Yo wis abisin aja dulu Jo."
"Emang kenapa Mas"", tanyaku mulai curiga. "Udah abisin aja. Telen. Terus minum." Dan aku pun segera mengikuti instruksinya. "Udah ketelen smua""
"Iya Mas, udah."
"Nih. Di bungkusnya tulisannya Jeyuk. Lu ga ngerti apa artinya"" "Jeyuk" Sejenis tuna kan""
"Lu seriusan kudu belajar nama-nama makanan dalam Bahasa Korea Jo! Jeyuk tuh artinya daging babi pedes tauk!"
"Heeeeeehhhhh"! Pantes..." "Pantes knapa""
"Pantesan enak..." Tipe-tipe Orang Korea
Tidak terasa sudah dua bulan kuhabiskan di tanah rantau ini. Sudah cukup banyak juga yang kupelajari dari para pemakan kimchi tersebut serta teman-teman multibangsa yang kutemui di dorm dan di kampus. Well, jika boleh jujur lebih banyak hal yang kupelajari dari teman-teman yang multibangsa tadi ketimbang dari pribumi tanah ini.
Terus terang saja, interaksiku dengan pribumi tanah ini cenderung sedikit jika dibandingkan dengan para ekspatriat. Ada semacam kecenderungan Orang Korea enggan bergaul dengan bangsa yang warna kulitnya lebih gelap ketimbang mereka. Mas Ari yang sehari-hari hidup dengan orang Korea pun mengakui hal tersebut.
Mas Ari pernah bercerita sewaktu dirinya masih kuliah di Brisbane, dirinya punya sahabat sama-sama orang Indonesia namun sahabatnya bukan merupakan keturunan Tionghoa seperti dirinya. Suatu ketika Mas Ari dan sahabatnya ini dekat dengan sekelompok mahasiswi Korea dan keduanya juga tertarik pada dua dari beberapa mahasiswi tersebut. Keduanya pun bahu-membahu untuk menarik perhatian mahasiswi incarannya mulai dari mengajak nongkrong dan belajar bareng, pergi ke party, sampai rela pergi ke rumah kontrakan mahasiswi tersebut untuk memberinya birthday surprise.
Namun apa yang terjadi kemudian" Mas Ari sukses mendapatkan hati gadis pujaannya yang sekarang jadi istrinya sementara sahabatnya masuk zona hitam yang dikenal dengan nama friendzone. Belakangan diketahui jika si sahabat ini apes masuk ke zona mengerikan tersebut karena gadis incarannya ini tidak siap dengan tekanan peer groupnya mengingat latar belakang rasial sahabat Mas Ari. Mas Ari sendiri 'cukup beruntung' dengan latar belakangnya yang keturunan Tionghoa serta gadis incarannya juga termasuk tidak terlalu peduli dengan tekanan peer group nya.
Teman-teman mahasiswa Indonesia di sana pun sudah cukup sering mengalami diskriminasi terkait dengan rasnya mulai dari di jalanan sampai di kelas atau lab. Dan jika boleh jujur, cukup banyak cerita mengenai diskriminasi ini menghiasi mailing list dan Facebook page PPI pada saat itu. Dan dari cerita-cerita demikian aku jadi mengetahui jika orang Indonesia tidaklah sendirian jadi korban diskriminasi karena ada orang Philippina, India, Bangladesh dan Pakistan yang juga senasib dengan kami.
Namun kami perlu sedikit bersyukur mengingat masih ada lagi korban diskriminasi yang lebih parah lagi nasibnya: orang Jepang. Orang Korea memang memiliki dendam kolektif terhadap orang Jepang karena tindakan invasinya di masa lalu terhadap negerinya yang juga menghapuskan eksistensi Kekaisaran Korea. Bahkan cukup banyak juga orang Korea yang menganggap Jepang lah yah bertanggung jawab atas terpecahnya negara tersebut menjadi dua seperti yang terjadi sampai saat ini.
Sebutlah seorang temanku yang bernama Ryu. Dia adalah mahasiswa berpaspor Jepang di GSIS yang sebenarnya merupakan seorang zanichi alias orang Jepang beretnis/keturunan Korea. Dia sendiri sebenarnya memiliki nama Korea dan bisa berbahasa Korea dengan sangat lancar. Namun secara legal namanya yang terregistrasi adalah nama Jepangnya sebagaimana tertulis di paspor dan akibat nama tersebut dirinya mendapat cukup banyak kesulitan ketika dirinya menjejakkan kakinya di tanah ini untuk belajar. Tidak kurang mulai dari proses imigrasi, di jalanan, sampai ketika proses mencari tempat tinggal dirinya mengalami proses diskriminasi maupun pelecehan.
Puncaknya terjadi pada saat peristiwa gempa bumi yang cukup besar di Jepang dan diikuti keobocoran reaktor nuklir di daerah Fukushima. Rumah keluarga Ryu di Jepang tidak terlalu jauh dari daerah tersebut. Dan tentu saja tidak lama setelah mendengar kabar itu Ia segera pulang ke rumah keluarganya untuk memastikan apakah mereka semua baik-baik saja.
Ketika ia terlihat sudah kembali dari Jepang, tentu saja banyak dari mahasiswa mendatanginya untuk bersimpati dengan keadaan keluarganya. Ryu sendiri mengatakan bahwa keluarganya tidak mendapat kerugian ataupun cedera berarti akibat gempa tersebut. Sembari memperhatikan rekan-rekan yang mengerubungi Ryu, aku menyadari satu hal... Sepertinya mahasiswa Korea yang asli, alias yang masih berpaspor Korea, hanya sedikit yang ikut bersimpati terhadap Ryu. Lebih banyak mahasiswa Korea yang tidak berpaspor Korea yang bersimpati kepadanya seperti Jen dan Calvin yang berpaspor Kanada, Chris yang berpaspor Norwegia ataupun Andrew yang berpaspor AS. Hanya Saemi dan Jongmin saja mahasiswa Korea asli yang terlihat ikut bersimpati terhadap Ryu.
Calvin terlihat menyadari air mukaku yang sedikit heran. Ia lalu mendekatiku dan membisikan sesuatu. "That sucks eh" Not givin any sympathy to our comrade simply because he's a Jap" "That's exactly what I'm thinkin bout. Have you got any idea about this""
"Simple. Koreans hate Japs. And it is socialised from the very early childhood. Don't be surprised if you go to random kindergarten around here and find some teachers spreading hatred seeds towards Japs." "That's ridiculous Calv!"
"It is... I have to admit it... But to be fair, that kind of view also contribute to the development process of this country... Park Chung Hee started the development process simply because he wants this country not to be annexated by Japan again in the future."
"But are all Koreans feel convevient with that kind of doctrine""
"Of course not, Jo. That' why my parents took me away from this country when I was an infant. They let me to stay here only when I have mature enough."
"..." "and you know something's more ridiculous" Koreans admires the white people very much. Too much, I think. It looks like Koreans think they owe very much the whites since they liberated us after the world war II. Koreans instantly think the whites are the role model and adopt their way of life without meaningful resistance. At some sense I have to admit it might look good. But somehow I feel annoyed because they look like cannot accept their fate to be born as Korean. You can see the fashion case, bread stores and the plastic surgery clinics for instance. I feel like the Koreans are against their own destiny to be born as Korean and tryin so hard to be white people."
Dari pembicaraan tersebut aku jadi sadar kenapa selama ini teman-temanku di sini sebagian besar merupakan expat. Teman-teman Korea yang dekat denganku sebagian besar bisa dibilang banana: yellow outside white inside. Atau dalam arti lain merupakan orang kulit putih yang terlahir sebagai etnis Korea.
Teman-teman Korea asli yang dekat denganku mungkin bisa dihitung jari seperti misalnya Jongmin yang memang asisten program kami serta Saemi dan Soo-im yang sudah lama sekolah di luar negeri dan mempertahankan paspor Korea mereka.
Teman-teman Korea lainnya" Well, bisa dibilang banyak dari mereka yang mendekatiku ketika ada perlu saja seperti minta file presentasi ataupun paperku yang dengan ajaib sering diberi markah sangat baik oleh para professor. Jarang ada teman-teman Korea yang bisa diajak berteman dalam artian sebatas nongkrong, jalan atau ngobrol-ngobrol bodoh.
Ada contoh lagi dari seorang temanku mengenai bagaimana orang Korea memuja orang barat secara fisik. Sebutlah seorang temanku bernama Maude yang berasal dari Perancis. Ia merupakan mahasiswi program exchange yang belajar di GSIS ini untuk satu semester saja. Dan selama program ini, ia tinggal bersama sekeluarga Korea yang bertindak sebagai host family. Host family itu sendiri terdiri atas orang tua dan dua anak gadis yang usianya 20 dan 17 tahun.
Secara fisik, Maude ini sangat cantik khas wanita Prancis dengan rambut Blonde dan bentuk wajah yang seolah terukir sempurna. Aku mengakui kecantikannya. Host family-nya juga. Namun apa yang dilakukan host familynya mungkin sudah di luar batas bagiku dan Maude yang memang bukan orang Korea.
Jadi pada suatu malam, si Ibu berbicara dalam Bahasa Korea ke anak gadisnya yang kecil sembari sesekali melihat ke Maude. Maude yang tidak terlalu mengerti hanya senyum-senyum saja ke arah mereka. Keesokan paginya Maude melihat Ibu dan anak ini pergi ke suatu tempat dan sampai siang belum kembali juga. Ketika sore harinya, Ibu dan anak itu baru kembali dengan muka si anak ditutupi masker dan terlihat beberapa perban mengintip dari balik masker. Dan setelah beberapa hari, terlihat wajah si anak gadis sudah berubah dengan cukup signifikan dengan diupayakan meniru wajah Maude. Dan ketika menceritakan hal ini kepadaku pun Maude mengaku masih sedikit shock dengan operasi plastik yang sepertinya sudah setingkat saja dengan memasang behel.
Aku masih ingat pada saat itu di musim mid test. Dan entah bagaimana ceritanya jadi banyak teman-teman Korea yang mengajakku belajar bersama. Tapi aku tidak kaget karena aku tahu yang seperti ini memang akan tiba saatnya. Dan sebagaimana biasanya, aku tidak keberatan belajar bersama mereka dan membantu mereka menjelaskan konsep-konsep abstrak dari beberapa literatur. Yang menarik adalah bagaimana mereka mencatat words by words dari penjelasanku terhadap konsep-konsep tadi. Dan setelah aku merasa cukup dengan pelajaran saat itu, aku melihat mereka masih belajar. Dan besoknya mereka mengaku masih belajar sampai tengah malam di kampus. Aku pada saat yang sama" Pacaran jarak jauh dengan Riani
tentunya. Dan bagaimana nilai ujiannya" Nilaiku masih lebih tinggi dari mereka. Well, I've got to admit that they're hard workers but not smart workers.
Sampai di sini aku jadi sedikit menyadari adanya fakta unik di mana orang Korea asli sangat berbeda dengan orang Korea perantauan seperti Calvin, Jen dan Chris. Jika ingin cari teman yang lebih terbuka dan bisa menerima, kemungkinan lebih besar bisa didapat dari Korea perantauan.
Dan ketika berkenalan dengan teman-teman Korea baru di semester berikutnya, langsung saja aku tembak mereka dengan pertanyaan:
"So, what's your nationality" " Sempitnya Duniaku
Seorang dosen waktuku mengambil studi S1 di Indonesia pernah mengatakan bahwa hubungan antara seseorang dengan orang lain di dunia ini jika diibaratkan dengan level pertemanan di friendster tidak akan lebih dari tujuh derajat. Bingung" Maksudnya begini: jika kamu punya seorang teman yang kamu kenal langsung itu artinya adalah pertemanan derajat pertama. Kemudian jika dia punya teman yang tidak kamu kenal langsung namun dia kenal si teman itu secara langsung, itu adalah pertemanan derajat kedua. Dan begitu seterusnya.
Nah si dosen ini percaya jika seseorang dengan orang lain yang secara random dipilih dari sekian milyar orang di dunia ini bertemu, mereka akan memiliki hubungan pertemanan tidak lebih dari tujuh derajat pertemanan. Jadi bisa saja kamu... iya kamu yang baca tulisan ini... sudahlah jangan tolah-toleh apalagi sampai tunjuktunjukan sama sebelah kamu... sebenarnya punya hubungan pertemanan yang tidak terlalu jauh dengan salah seorang Kepala Suku Pigmi yang doyan mengecilkan kepala turis yang tersesat sebagai souvenir di Pedalaman Afrika sana.
Percaya dengan teori tersebut" Aku sendiri sebenarnya cukup skeptis dengan kebenaran teori tersebut. Mungkin salah satu penyebab keskeptisanku itu adalah kondisiku yang pada saat kuliah belum punya banyak kesempatan untuk menjelajahi dunia ini. Begitu aku mulai bekerja dan mendapat terlalu banyak kesempatan untuk mejelajahi dunia ini, sedikit demi sedikit keskeptisanku itu mulai terkikis. Misalnya saja terakhir kali aku ke Jenewa. Secara random aku bertemu dengan seorang gadis cantik berambut blonde dan bermata biru di stasiun kereta api. Dan sebagaimana umumnya insting seorang lelaki yang rada gatel aku mulai melakukan apa yang lazim dikenal dengan istilah sepik-sepik iblis a.k.a. SSI. Dari obrolan yang kami lakukan, aku mendapat informasi mengejutkan jika si gadis yang kutemui secara random ini ternyata teman dari salah satu teman SMA-ku ketika teman SMA-ku ini ikut program pertukaran pelajar di Bassel. Dan yang lebih gila lagi, ternyata si gadis cantik ini pernah berpacaran dengan anak dari salah satu pegawai kantor perwakilan kantorku di Jenewa yang mana si pegawai ini cukup kukenal dengan baik. Mungkin kasus lainnya yang lebih simple bisa dilihat pada bagaimana hubungan antara Rara dengan Riani pada chapter Rara dan Riani.
Kemudian datanglah peristiwa ini di mana aku jadi benar-benar percaya dengan kebenaran teori yang disampaikan oleh dosenku tersebut.
Hari itu hari sabtu di pekan yang pada lima hari sebelumnya penuh terisi dengan kegiatan mid-test. Aku janjian dengan Rara serta beberapa teman lainnya untuk pergi melepaskan stress setelah dihajar mid-test. Dan tujuan kami adalah everland: sebuah theme park yang masih dimiliki oleh chaebol samsung yang terletak di sebelah selatan Seoul. Kami janjian seperti biasa di Anam-yok untuk melanjutkan perjalanan ke stasiun Gangnam. Dan sebagaimana biasanya, para betina itu ikut nimbrung dalam kegiatan ini. Namun kali ini Suni tidak ikut karena kekasihnya ternyata sedang berlibur di Seoul. Jen sendiri menceritakan hal itu dengan wajah agak bete karena ia cukup terganggu akibat suara erangan dan desahan yang keluar dari kamar Suni sehingga tidurnya semalam jadi agak terganggu.
"Why didn't you join 'em Jen"", tanya Khali.
"I've peeped 'em when they started makin' out and guess what" His size! I don't believe his thing could give me satisfaction I've been longed for... unlike...", jawab Jen sembari menyeringai ke arahku. Dan celakanya Dao dan Khali juga ikut memandangku dengan seringai yang sejenis dengan Jen.
"It looks like we need to spare our time right after this outing, Jo...", sahut Dao dengan pandangan yang sudah seperti singa lapar.
"Can't agree more Dao... There's no other choices.", sambung Khali. Dan aku hanya menelan ludah. "Hi guys! Sorry for our late coming!"
Fiuuuhhh... Untungnya Rara datang pada waktu yang tepat. Setidaknya bisa lah untuk menyelamatkanku untuk sejenak. Dan Rara datang bersama dengan April. Sembari menunggu subway Rara pun memperkenalkan April kepada Khali, Jen dan Dao.
"Segini aja nih Ra""
"Nggak Jo. Nanti kita masih ketemu lagi sama Mei dan beberapa temannya. Paling kita ketemu mereka di halte bis Gangnam. Bakal rame deh acara jalan kita kali ini."
"Temen-temen lu lucu juga ya namanya, Ra" Di sini ada April trus kita mau ketemu Mei. Juni sama Juli ga sekalian"", tanyaku cengengesan.
"Juni dapet beasiswanya ke Jepang Jo. Kalo Juli lagi ribet mau nikahan bulan depan.", jawab Rara. "Eh... seriusan Ra" Tadi gua cuma becanda"
"Beneran Jo. Kagak ngibul gua!"
Setibanya di Gangnam-yok, kami segera naik ke atas dan menuju halte bus yang mengarah ke Everland. Di dekat halte terlihat ada dua gadis pendek berjilbab, seorang laki-laki yang terlihat masih seumuranku dan seorang gadis berkulit hitam. Rara kemudian memanggil Mei dan salah satu gadis berjilbab itu menyambutnya. Sejurus kemudian kedua gadis itu berpelukan dan cipika-cipiki. Khas cewek banget!
Tidak seberapa lama, kami pun mulai saling memperkenalkan teman-teman kami dan begitu juga Mei yang memperkenalkan teman-temannya. Dari perkenalan tersebut aku jadi mengetahui siapa saja teman-teman Mei tersebut. Gadis berjilbab satu lagi bernama Jani. Dia merupakan teman Mei sewaktu kuliah S1 di Universitas Negeri Depok yang mana ternyata masih satu almamater juga denganku, namun dia satu angkatan di bawahku. Dan berhubung jurusan Mei dan Jani adalah jurusan favorit sewaktu kami kuliah dulu, dan juga cukup banyak teman-teman SMA-ku yang cukup beruntung dapat masuk jurusan favorit tersebut, maka tidaklah mengherankan jika cukup banyak mutual friends kami.
"Lu dulu jurusan itu Jo" Kenal sama si Sarah dong. Kakak kelas gua tuh dulu." "Oh, Sarah... kenal banget itu mah.. Sohib lah"
Spoiler for Siapakah Sarah":
"Saking kenal bangetnya gua sampe nyoba ngeles mulu biar dia ga terlalu ngarep sama gua Jan.", batinku. Siapakah Sarah" Well, nanti ada apdetnya sendiri di beberapa chapter ke depan.
Jani sendiri mengajak teman satu apartemennya yang bernama Jade. Ia berasal dari Rwanda dan ternyata menerima beasiswa dari BKIK juga sepertiku. Begitu tahu Jade berasal dari Rwanda, iseng saja kutanyakan apa dia kenal dengan Muhirwa. Dan responsnya...
"Muhirwa" That skinny guy" Of course I know him! He's one of my best friends during the college time. We've lost contact several years back and I am very shocked to know him here. Why didn't take him along with you here""
"Come on. You know him quite much Jade. He refused my invitation by saying that he has to read several more books."
"Hahahaha.... He's still a dork like used to be. I think I'll just have to contact him directly. Can you please pass me his number""
"Sure...", jawabku sembari mengutak-atik ponselku dan memberikan kontak Muhirwa kepada Jade. Kami pun melanjutkan obrolan kami sembari bercanda. Dan kamu tahu ada info apa yang lebih konyol lagi yang kudapat" Ternyata apartemen tempat tinggal Jani dan Jade masih satu gedung dengan apartemen sewaan Jen dan Suni. Lokasinya pun berdekatan di mana apartemen Jani terletak dua tingkat tepat di atas apartemen sewaan Jen.
Lantas siapa teman Mei yang satu lagi" Pria yang memperkenalkan dirinya dengan nama Pandu ini merupakan mahasiswa program master di Universitas Hoegi Departemen Teknik Kimia. Sembari bercanda dengan tiga betina, Pandu mengklaim dirinya sangat ahli menimbulkan chemistry karena sehari-hari dirinya memang bergulat dengan hal tersebut. Tentu saja tiga betina itu hanya tertawa geli mendengar gombalan nerd dari Pandu tadi. Pandu merupakan alumni jurusan yang sama dari Universitas Cap Gajah Duduk di Kota Kembang sana. Dan lagi-lagi karena jurusan tersebut merupakan jurusan favorit di Universitas Cap Gajah Duduk, jadi Pandu kenal cukup banyak teman-temanku sewaktu SMA. Dan ketika kusebut nama salah satu teman dekatku ketika SMA, reaksinya:
"Lah... si Andi itu temen deket lu" Wah... kalo lu dulu kuliah di Gajah Duduk juga lu pasti bakal ngira gua homoannya si Andi, Jo. Mulai dari kosan, kelas, sampe ngelab aja kita barengan terus. Terus hampir aja dia juga berangkat ke sini kalo gak ditahan pacarnya yang berat diajak LDR-an."
"Ooooo... jadi lu homo toh Ndu...", responsku dengan polos. "Ya nggak lah, tolol!", jawab Pandu sambil menjitak kepalaku.
Tidak beberapa lama, bus yang kami tunggu datang juga. Dan kami pun melanjutkan perjalanan ke Everland dari Gangnam selama 70 menit.
Setibanya di Everland, kami langsung menuju pintu gerbang utama di mana di tempat itu kami perlu membeli tiket. Di pintu tersebut ternyata seorang anggota rombongan lagi bernama Irul sudah menunggu kami. Irul merupakan teman lama Mei sewaktu di Jakarta. Irul sudah memasuki semester akhir di Universitas Asan pada jurusan teknik komputer. Sebagaimana Aku, Mei dan Jani, Irul juga merupakan alumni dari Universitas Negeri Depok dengan jurusan yang sama dengan jurusan yang diambilnya saat itu. Dan guess what" Begitu mengenalku sebagai alumni dari jurusan itu, yang ditanyakannya adalah:
"Wah... kenal Sarah dong Jo. Apa kabar doi" Makin caem ya""
"Udah masuk sohib ane Sarah mah. Doi sekarang kerja di proyeknya Inggris Rul." "Wah dari dulu tu anak gaulnya emang sama bule-bule ya Jo" Pupus dah harapan gua!"
Kemudian kami mengantri satu-satu untuk membeli tiket masuk. Kenapa mengantri satu-satu ketimbang mengumpulkan uang kepada satu orang" Jujur saja sebagian besar dari kami termasuk malas membawa uang cash terlalu banyak dan sangat mengandalkan kartu debit untuk hidup sehari-hari. Lagipula dengan membeli tiket masuk Everland dengan kartu debit, ternyata cukup banyak diskon yang kami dapat tergantung dari bank yang digunakan.
Begitu kami masuk ke sana, satu impresi yang kudapatkan: dufan jadi terasa seperti pasar malam. Theme park ini luas! Sangat luas! Bahkan untuk atraksi roller coasternya saja ada lima buah mulai dari yang paling cupu sampai yang legendaris: T-express. T-Express mendapatkan namanya dari karakternya yang sebagian besar terbuat dari kayu serta sudut kemiringannya yang mencapai 77 derajat. Tidaklah mengherankan jika T-Express digelari sebagai the steepest roller coaster in the world. Dan bagaimana rasanya ketika aku dan kawankawanku turun dari T-Express" Well, sebagian besar dari kami tidak bisa berjalan dengan benar karena kaki kami yang masih gemetaran.
Selain dari T-Express, kami juga mencoba wahana lain yang terdapat di Everland serta taman bunga indah yang terdapat di tengah-tengahnya. Sambil berjalan kami juga berfoto-foto mengabadikan momen tersebut. Tanpa aku sadari, ternyata tiga betina yang ikut secara bergantian menempel padaku. Aku tidak menyadari hal ini sampai ketika Pandu menyindirku:
"Jo.. enak bener... gantian napa digelendotin gitu""
Seketika aku sadar dengan keberadaan Khali yang saat itu sedang memeluk lengan kananku. Terlambat...
Tidak jauh dariku Rara sudah menyeringai iblis. Well, sepertinya aku harus membayari makan siang Rara.
Singkat kata, pada malam itu tepatnya pada pukul 1900 kami bertolak kembali ke Seoul setelah menyempatkan diri ibadah sejenak. Di perjalanan, sebagian besar dari kami sudah terlalu lelah dan tidak banyak mengobrol. Kami kemudian berpisah dengan Mei di Gangnam dan melanjutkan perjalanan kami menuju Anam. Sesampainya di Anam, kami semua berpisah dan terlihat yang mengikutiku adalah Khali, Dao dan... Jen"!
Sepertinya ada yang salah di sini. Begitu keluar dari stasiun Anam, Jen menyetop taksi dan Khali serta Dao dengan kompak menyeretku ke dalam taksi tersebut. Aku tidak tahu ke mana taksi ini akan menuju. Dan ketika taksi ini akhirnya berhenti, aku hanya bisa menelan ludah.
Spoiler for bebe: Tidak sampai sepuluh menit kemudian aku sudah terhempas di sebuah ranjang besar di kamar suite sebuah hotel. Tiga betina itu melihatku dengan pandangan lapar dan mulai melepas satu persatu lapisan kain yang menutupi tubuh mereka. Terlihat kulit mereka yang putih seperti memantulkan cahaya lampu di kamar tersebut. Tidak perlu menunggu lama, tiga betina itu menyerbuku dan melepaskan segala beban emosi dan juga beban birahi mereka yang tertahan selama ini.
Dan pada hari minggu sorenya aku keluar dari hotel tersebut dengan tubuh lemas dan kaki gemetaran. Lebih parah ketimbang sewaktu turun dari T-Express.
Destination: Busan Part 1
Beberapa hari terakhir sebelum aku menulis chapter ini, cukup banyak teman-teman di sosial mediaku mengutip perkataan seorang mantan walikota di sebuah kota di Amerika Selatan sana mengenai pentingnya transportasi umum. Kutipan tersebut intinya menyebutkan bahwa suatu negara akan disebut maju jika orangorang kaya di negara tersebut memilih untuk menggunakan kendaraan umum ketimbang kendaraan pribadi. Untuk konteks negara-negara Asia, Eropa dan Amerika Latin, aku sangat setuju dengan pendapat demikian mengingat semua negara maju yang pernah aku kunjungi saat ini membuktikan hal tersebut. Selain itu ketersediaan transportasi umum di negara-negara tersebut juga berbanding lurus dengan perlakuan terhadap pejalan kaki. Pengguna kendaraan pribadi yang umumnya kelas menengah ke atas dan memang memiliki kepentingan yang cukup urgent tetap memberikan prioritas kepada pejalan kaki yang juga tidak kalah tertib dibandingkan dengan para pengendara.
Seoul bukanlah pengecualian dari pendapat tersebut. Walaupun kontur tanahnya sangat berbukit-bukit, sebagian besar penduduk di sini sangat mengandalkan transportasi umum seperti subway dan bus untuk mobilisasi sehari-hari. Dampaknya secara langsung dapat terasa bagi masyarakat secara umum di mana udara jadi relatif lebih bersih mengingat tingkat kemacetan yang tidak terlalu tinggi serta tingkat kesehatan warga yang juga relatif tinggi sebagai akibat dari bersihnya udara serta jumlah langkah kaki yang ditempuh warga Seoul secara umum dalam kesehariannya. Selain itu, ada juga dampak tidak langsung terhadap penampilan fisik warga-warga di kota-kota besar khususnya di Seoul di mana umumnya warga Seoul tidak memiliki tubuh yang gendut sebagai akibat olah raga berjalan kaki yang rutin dilakukan sehari-hari. Jadi jangan heran jika kamu bertemu dengan orang Seoul dan mungkin juga Tokyo dan Singaporesecara random maka kemungkinan kamu kecil untuk bertemu orang bertubuh gendut.
Bagi diriku sendiri tersedianya transportasi umum berkualitas baik serta fasilitas bagi pejalan kaki ini berarti satu: sarana pelampiasan wanderlust pada diriku khususnya secara swalayan. Pada bagian akhir chapter wanderlust aku memang menyebutkan bagaimana aku menyukai berjalan-jalan sendiri tanpa teman dan tujuan jelas alias hanya mengikuti ke mana kaki ini melangkah. Dan pada satu titik ekstrim, aku beberapa kali pernah melakukan perjalanan sendiri dengan mematikan ponsel, membawa uang sedikit dan hanya membawa kartu atm yang juga secara sengaja kusimpan di sudut terdalam dari tasku. Aku sengaja melakukan hal tersebut untuk merasakan apa yang mungkin disebut "Like a Rolling Stone". Melangkah dan terus melangkah tanpa ada tujuan jelas dan seolah tak memiliki tempat asal dan sesuatu yang dimiliki.
Dan saat itu, tepat seminggu setelah aku mengunjungi Everland bersama teman-temanku, aku memutuskan untuk melakukan perjalanan sendirian. Tujuannya: Busan, kota terbesar kedua di Negeri Ginseng ini.
Pada Sabtu pagi itu, aku bangun pada pukul 0500 dan berjingkat-jingkat menuju kamar mandi untuk membersihkan diriku. Sengaja aku bergerak pelan-pelan dan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara agar tiga betina yang tidur di ranjang bersamaku tidak terbangun. Setelah selesai mandi aku sempatkan diriku beribadah sejenak dan dilanjutkan dengan membereskan tasku. Sebelum berangkat kusempatkan untuk menghampiri Khali yang masih tertidur di sisi luar ranjang. Tubuh indah dan mulusnya yang tidak tertutup apapun terlihat sedang memunggungiku. Kucium pelipisnya sejenak dan ia terlihat membuka matanya. "Jo, are you leaving"", tanyanya sambil mengantuk.
"Yes, Khal. Please don't wake the others." "Where""
"I'll tell you later, sweety. But I promise it won't be long.", jawabku yang diikuti dengan kecupan lembut di dahi Khali.
"Take care, Jo", sambungnya sembari melanjutkan tidurnya. "For sure, Khal."
Dan aku pun pergi meninggalkan mereka di kamar hotel tersebut. Yup, seminggu ini Jen memaksaku untuk menemaninya tinggal di hotel mengingat pacarnya Suni sedang berada di apartemen mereka. Tentunya Khali dan Dao tidak rela jika aku jadi dimonopoli oleh Jen selama seminggu tersebut sehingga mereka juga ikut tinggal di hotel tersebut. Jen jelas tidak keberatan karena mereka sepertinya sudah sepakat jika aku adalah hak milik mereka bersama.
Dan bisa ditebak, nyaris setiap malam aku lalui dengan mereka dan gairah mereka yang seolah tidak pernah padam. Termasuk tadi malam ketika aku harus melayani mereka sampai menjelang tengah malam. Bagaimana dengan Riani" Ajaibnya selama seminggu ini dia sangat sibuk dengan pekerjaannya sehingga cukup sering lembur dan tidak sempat melakukan video call denganku. Yang kami lakukan sebatas mengirim email ataupun chatting via yahoo messenger saja. Dan tentu saja aku beberapa kali terpaksa chatting dengan Riani sembari melayani tiga betina itu. Sejenis multitasking lah. Lalu Rara" Well, aku cukup sukses menghindari Rara di luar jam kuliah selama seminggu ini.
Setelah melalui malam-malam menggairahkan seperti itu, aku jadi merasa sepertinya perlu memiliki waktu untuk kunikmati sendiri. Dan hal itu kutindaklanjuti dengan mencari-cari informasi mengenai daerah-daerah di luar Seoul untuk kujelajahi. Dan sampailah pada informasi tentang Busan. Tidak seberapa lama kupelajari mengenai kota tersebut, dan segera kupastikan Busan sebagai daerah tujuanku untuk menjelajah. Simpel saja, Busan adalah kota kedua terbesar yang mana artinya sistem transportasi umum tidak akan berbeda jauh dengan Seoul sehingga akan sangat mendukungku untuk berkelana. Selain itu statusnya sebagai kota besar juga berarti akan cukup banyak orang yang mengerti Bahasa Inggris sehingga akan sangat bermanfaat bagiku jika terjadi kondisi darurat. Sebut aku cemen atau kurang bernyali karena masih memperhitungkan hal-hal tersebut. Tapi perlu diketahui juga keberadaanku di negeri ini adalah untuk belajar dan aku tidak mau tujuan utamaku terganggu hanya karena risiko dari memenuhi keinginan sekunderku tersebut.
Begitu aku melangkah keluar dari hotel, aku segera mencari di mana stasiun terdekat dari hotel yang ternyata letaknya sekitar 400m ke arah Timur. Well, lumayanlah untuk olah raga pagi ini. Matahari bulan Mei sudah mulai bersinar dengan malu-malu mengiringi langkahku ke stasiun. Aku hanya bisa tersenyum karena matahari tersebut sepertinya menjanjikan cuaca cerah yang akan sangat bersahabat dengan keinginanku menjelajahi kota Busan. Sesampainya di stasiun aku menyempatkan diri mampir di sebuah convenience store dan membeli dua buah samgak-kimbab dan sekotak susu coklat dan sebotol jus apel. Tepat ketika aku sampai di platform, tepat juga saat kereta pertama hari ini tiba. Segera kunaiki kereta tersebut dengan tujuan stasiun utama Seoul.
Di stasiun Seoul, aku segera menuju mesin penjual tiket dan memasukkan kode reservasi tiket kereta menuju Busan yang sudah kupesan sejak dua hari lalu melalui internet. Tidak lama kemudian mesin itu mencetak tiket kereta yang sudah kupesan. Dalam hitungan menit, aku sudah berada di platform di mana telihat kereta KTX yang akan kutumpangi ke Busan sudah bersiap untuk berangkat.
Yup, KTX alias Korean Bullet Train. Kereta yang banyak disebut contekan dari kereta shinkansen milik Jepang dan sama-sama dapat melaju sampai kecepatan 300km/h. Segera saja kunaiki kereta itu dan mencari di mana tempat dudukku. Sembari menunggu kereta berangkat, aku mengirim tiga pesan masing-masing kepada Riani, Khali dan Rara bahwa aku akan berjalan menuju Busan dan akan mematikan ponselku sepanjang perjalanan. Jika ingin menghubungiku harap lakukan paling cepat hari ini pada tengah malam. Setelah memastikan pesan tersebut terkirim, aku mengaktifkan mode ponselku menjadi mode flight dan segera menyalakan pemutar musik. Tidak begitu lama, KTX mulai bergerak meninggalkan Seoul-yok seiring dengan lagu milik Rocket Rockers yang berjudul Klassix mulai mengalun di ponselku dan nada-nadanya memenuhi telingaku.
Destination: Busan Part 2
Kereta bergerak menjauhi stasiun Seoul dan beberapa kali berhenti di sejumlah stasiun besar seperti Yongsan, Guro dan Suwon untuk mengambil dan menurunkan penumpang. Kursi di sebelahku yang mulanya kosong juga sudah terisi oleh seorang pria Korea berumur 30an dan berpakaian rapi semenjak berhenti sejenak di stasiun Yongsan. Pria itu tersenyum padaku ketika ia hendak duduk. Kemudian ketika sudah duduk pria itu mengajakku berbasa-basi sejenak sebelum ia membaca buku yang diambilnya dari saku dalam jas yang dikenakannya. tidak lama kemudian terlihat seorang petugas datang ke tempat duduk kami dan memeriksa karcis kami.
Sepeninggal petugas tersebut, aku mengalihkan pandanganku ke arah luar jendela dan melakukan hal yang sebagaimana umumnya kulakukan jika aku sedang sendiri: berkontemplasi. Mulailah beberapa pikiran-pikiran bersirkulasi dengan bebas ke dalam otakku sembari diiringi pemandangan yang berkelebatan di jendela. Sejenak kutatap monitor berukuran sedang yang terdapat di atas aisle di mana monitor tersebut menunjukkan angka 300. Well, begini rasanya menaiki kereta peluru. Rasanya nyaris tidak berbeda dengan naik kereta commuter line dalam keadaan kosong. Relatif minim guncangan. Hal itu tentunya membuatku merasa nyaman. Saking nyamannya aku kembali melanjutkan proses kontemplasiku dan karena memang masih tersisa rasa letih di tubuhku akibat ulah tiga betina semalam, dalam hitungan menit mataku terasa berat dan menutup dengan sendirinya. Pengumuman bahwa kereta akan tiba di stasiun Daejeon adalah hal terakhir yang kudengar sebelum kesadaranku hilang.
Aku tidak ingat berapa lama aku tertidur. Yang jelas aku terbangun tepat ketika terdengar pengumuman kereta akan segera tiba di stasiun Busan. Mendengar hal tersebut kantukku segera hilang dan aku segera menyiapkan tas bawaanku serta mengecek barang-barang agar tidak ada yang tertinggal. Dalam beberapa menit, kakiku telah menjejak dengan sempurna di stasiun Busan dan siap untuk memulai penjelajahanku di kota ini. Segera saja kulangkahkan kakiku menuju sebuah papan kecil yang terletak dekat dengan gerbang utama stasiun tersebut. Di papan tersebut terdapat peta kota ini yang tersedia gratis beserta obyek-obyek wisata yang terdapat di kota ini. Mungkin keberadaan peta ini adalah salah satu bentuk keseriusan pemerintah kota ini dalam mengurus pariwisata. Kuambil peta tersebut dan aku pun berjalan ke arah luar dari stasiun tersebut.
Di luar terlihat matahari yang, sebagaimana perkiraanku tadi pagi, memang benar cerah. Pertaruhanku untuk tidak membawa jaket dalam petualanganku kali ini agaknya berhasil. Cuaca yang menunjukkan angka 22 derajat celcius sudah kuanggap hangat sehingga aku merasa tidak perlu lagi memakai jaket. Kulangkahkan kakiku ke arah sebuah bangku taman yang terdapat di halaman Busan-yok. Akupun segera mempelajari peta yang tadi kuambil untuk memastikan rute perjalananku hari ini. Dan, setelah beberapa menit menghabiskan waktu dengan membaca peta tersebut, aku segera memastikan tujuanku yang pertama: Pantai Haeundae. Jika kamu pernah mendengar adanya disaster movie buatan Korea dengan judul sama berangka tahun 2009, tentunya kamu akan cukup familier dengan nama pantai ini.
Pantai ini merupakan salah satu pantai paling terkenal di seluruh Semenanjung Korea dan merupakan tempat yang paling ramai dikunjungi jika musim panas tiba. Pada saat itu pun di mana musim panas baru sedang dalam tahap pemanasan, terlihat suasana musim panas sudah cukup terasa dari pengunjung pantai ini. Yup. Sudah cukup banyak pengunjung pantai ini wabil khusus para wanita yang berpakaian ala musim panas seperti hanya mengenakan bikini saja atau setidaknya hot pants yang cukup baik hati memberikan gambaran yang cukup jelas atas keindahan bentuk tubuh mereka.
Untuk pengunjung pria, mohon maaf aku tidak terlalu tertarik melihat pakaian mereka.
Dan ciri khas lain dari pantai ini ketika musim panas adalah deretan tikar yang dilengkapi dengan payung dan kursi pantai yang berjejer rapi dan siap untuk disewakan kepada pengunjung pantai ini khususnya mereka yang hendak bermain air ataupun sebatas sunbathing saja. Dan terlihat beberapa tikar sudah terisi oleh penyewa yang sebagian besar datang berpasangan. Well, pemandangan tersebut membuatku jadi teringat dengan Riani. Mudah-mudahan saja aku bisa membawanya ke sini suatu saat pada musim panas. Jika terlalu berat, mungkin mengajak Khali atau Jen atau siapapun dari empat betina itu ke sini sepertinya tidak terlalu masalah.
Aku mengakhiri petualanganku di pantai ini dengan memotret APEC House yang terletak di ujung Barat pantai Haeundae dan meluncur ke stasiun terdekat untuk menuju ke tujuanku berikutnya di kota ini: Busan Asiad Main Stadium. Stadion ini terletak cukup jauh dari pantai Haeundae yaitu sekitar satu jam perjalanan dengan subway. Stadion yang berkapasitas sampai lebih dari 53000 orang ini mulai difungsikan pada tahun 2002 untuk menyambut dua event akbar pada tahun itu: Asian Games dan Piala Dunia. Sayangnya ketika aku tiba di stadion ini sedang tidak ada event apapun sehingga aku tidak dapat masuk ke dalam stadion. Akhirnya aku hanya berkeliling stadion tersebut dan mengambil foto stadion tersebut dari kejauhan.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 1300. Ini artinya aku harus segera mencari tempat untuk beribadah sejenak dan juga tempat makan siang. Beruntung taman di sekitar stadion cukup kosong sehingga cukup memudahkanku untuk melaksanakan ibadah di taman itu. Kemudian ketika kuhendak makan siang, aku melihat di dekat stasiun terdapat sebuah warung makan franchise asli Korea yang mungkin paling terkenal di seluruh penjuru negeri ini: Kimbab Cheonguk. Tanpa ragu lagi aku melangkah masuk ke restoran tersebut dan memesan menu favoritku setiap kali makan di warung tersebut: nakji deopbap.
Spoiler for nakji deopbap: ngiler-ngiler deh liat gambarnya
Perut kenyang, hati tenang, ini artinya aku perlu melanjutkan lagi perjalananku ke tujuan berikutnya: Dadaepo beach. Pantai ini terletak tidak begitu jauh dari pelabuhan utama Busan. Namun demikian pantai ini tidaklah kotor sebagaimana beberapa pantai di Jakarta yang terletak tidak jauh dari pelabuhan. Pantai ini sangat bersih. Namun tujuanku sendiri mengunjungi pantai ini bukanlah untuk bermain di pantai, melainkan untuk berjalan di sebuah pathway terbuat dari kayu yang menempel di tebing yang terdapat di pinggiran pantai tersebut.
Pathway tersebut memanjang sejauh 3 km ke arah Selatan menyusuri garis pantai dadaepo sampai dengan Morundae Cliff. Tidak kuhiraukan rasa pegal yang muncul di kakiku akibat perjalanan panjang hari ini. Hati dan mataku masih dapat memaksa kedua kakiku untuk membantu mencari kesenangan visual dan rohani dalam perjalanan ini. Dan sepertinya pegalnya kaki ini tidak ada apa-apanya dengan keindahan pemandangan pesisir Busan yang kunikmati dengan mata kepalaku sendiri. Bayangkan saja bagaimana birunya laut di sisi kiri dan tegasnya batu karang yang sesekali diselingi hijau coklat warna pohon yang tumbuh di sebelah kanan. Ditambah lagi dengan cerahnya matahari dan diimbangi dengan sejuknya hembusan angin pesisir. Bibirku sampai tak hentinya tersenyum menikmati keindahan alam ini. Aku jadi bersyukur kepada Tuhan yang sudah menciptakan segala keindahan ini dan juga kesempatan yang sudah diberikanNya kepadaku untuk menikmati keindahan ini.
Jam tanganku menunjukkan pukul 1600 ketika aku tiba di Morundae Cliff. Ini artinya aku perlu segera bergegas menuju tujuanku berikutnya: Gwangalli Beach. Segera aku menuju jalan besar dan menyetop bus untuk membawaku ke stasiun subway terdekat. Baru sekitar 10 menit bus kunaiki, bus itu tiba tiba mengerem mendadak. Kontan saja aku dan penumpang lainnya kaget. Sopir bus tersebut kemudian mengatakan sesuatu dalam Bahasa Korea dan keluar dari bus untuk melihat apa yang terjadi. Aku dan para penumpang lain juga menyusul sopir tadi dengan maksud serupa.
Terlihat banyak mobil di depan dan belakang bus kami ikut berhenti juga. Tidak begitu jauh dari bus terlihat adanya dua kendaraan yang baru saja bertabrakan dengan mengalami rusak berat. Untungnya tidak ada korban tewas dalam peristiwa tersebut. Akibat kecelakaan tadi, lalu lintas berhenti bergerak sekitar 30 menit sampai terlihat ambulans dan juga mobil derek datang. Dan tidak begitu lama, lalu lintas kembali berjalan dan artinya aku dapat meneruskan perjalananku menuju Gwangalli Beach.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 80 menit, akhirnya aku tiba juga di pantai yang terkenal dengan pemandangan jembatannya. Langit sudah terlihat gelap, dan kafe-kafe serta restoran di sekitar pantai mulai terlihat ramai. Tanpa berpikir lama, aku segera masuk ke salah satu restoran yang menjual sea food sebagai menu utamanya. Sengaja aku memilih makan di luar restoran meskipun aku tidak merokok untuk mendapatkan pemandangan indah khas Gwangalli. Gambar tersebut kira-kira dapat dilihat di gambar di bawah.
Waktu menunjukkan pukul 2100 ketika aku menyelesaikan makan dan sedikit minum-minum sembari menikmati pantai. Kugerakkan lagi kakiku untuk menuju ke titik awal ketibaanku di kota pelabuhan ini: Busanyok. Dalam waktu 50 menit, akhirnya aku tiba di stasiun dan lagi-lagi aku menuju ke mesin pencetak tiket kereta.
Aku melihat jam tanganku dan terlihat aku masih punya waktu satu jam sebelum kereta pulangku berangkat. Segera kucari sudut yang agak sepi di stasiun tersebut untuk menunaikan ibadah. Lima belas menit kemudian aku bergerak menuju platform untuk menunggu kedatangan keretaku yang dijadwalkan akan tiba dalam 10 menit.
Sembari menunggu, kuaktifkan kembali mode normal ponselku. Segera saja satu-persatu pesan masuk ke ponselku. Aku hanya tersenyum tipis dan membalas satu persatu pesan yang masuk tersebut. Aku juga menjelaskan bahwa aku akan kembali ke Seoul malam ini juga dengan kereta mugunghwa terakhir. Yup, mugunghwa si kereta kelas ekonomi. Bukan KTX. Sengaja aku pilih kereta tersebut agar aku bisa beristirahat cukup panjang di kereta dan tiba di Seoul pagi hari. Rencanaku adalah aku tiba di Seoul-yok pagi hari pukul 0430, kemudian sarapan di lotteria yang buka 24 jam sembari menunggu kereta pertama, baru pada pukul 0530 aku naik kereta menuju Anam untuk beristirahat di kamar tercinta.
Tiga puluh lima menit berlalu, dan kereta mugunghwa membawa tubuhku yang lelah kembali menuju Seoul. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk tertidur di perjalanan. Dan malam itu aku tertidur sangat nyenyak tanpa dihiasi mimpi.
Lagi-lagi aku terbangun tepat beberapa saat ketika kereta akan memasuki stasiun tujuanku. Dan sebagaimana biasa, aku membereskan barang bawaan dan mengecek untuk mencegah ada yang tertinggal. Kulihat sejenak jam tanganku dan kuperkirakan waktu Subuh sudah masuk ketika aku tiba nanti.
Dua puluh menit kemudian, aku sudah menyelesaikan ibadahku di pojokan Seoul-yok yang sepi. Segera kulangkahkan kakiku menuju pintu utama stasiun tersebut. Terlihat masih ada beberapa orang nongkrong di dekat pintu tersebut. Sebagian besar dari mereka terlihat seperti gelandangan yang memang banyak berkeliaran di sini. Sebagian lainnya terlihat seperti orang pada umumnya yang baru pulang dari karaoke atau night club. Tiba-tiba salah satu dari beberapa kelompok yang sedang nongkrong tersebut terlihat menolehkan wajah mereka ke arahku. Kemudian salah satu dari mereka melambaikan tangan mereka ke arahku. "Jooooo! Siniiiii!"
Tentu saja aku kaget mendengar ada orang yang memanggil namaku. Dalam Bahasa Indonesia pula! Segera saja kupercepat langkahku ke arah mereka. Dan begitu aku sudah cukup dekat dengan mereka... "Lho! Kalian kok ada di sini"!"
(not so) Lonely Birthday "Lho! Kalian kok ada di sini"!", tanyaku kepada mereka. Mereka yang kumaksud di sini terdiri atas Rara, Huda, Mei, Muneef dan Khali.
"Malem mingguan lah Jo. Maklumlah anak muda.", jawab Huda.
"Elo" Muda"", jawabku dengan bermaksud menyindir usianya yang sudah memasuki kepala tiga. "Hyahahahaha... Anjir lah... Brengsek juga lu Jo"
"But the real question is how you guys could end up together in this place" Are you guys waiting for me" I feel so honored if the answer is yes."
Kutukan Manusia Sekarat 2 Animorphs - 8 Ax Membalas Dendam Pedang Bintang 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama