Kugapai Cintamu Karya Ashadi Siregar Bagian 1
Kugapai Cintamu Oleh Ashadi Siregar Ketika Flamboyan Berbunga
SEPERTI rumput hidup manusia. Seperti bunga padang yang mulia, kata kitab suci. Lalu, dalam realita : rerumputan yang kuning digaring matahari akan kembali hijau di musim hujan.
Cemara tak pernah kehabisan daun kendati angin tak bosan-bosannya meluruhkannya. Flamboyan sekali tempo akan gundul, tetapi kemudian kembali rimbun berbunga molek.
Jadi, tak patut meratap jika nasib terpuruk ke dalam kekecewaan, sesekali. Ah, terlalu optimistis agaknya. Ya, walaupun mungkin berlebihan, begitulah bagi Tody. Lelaki muda ini sesungguhnya menerima rumput kering dari realita. Tetapi, dia berusaha agar di hatinya berbunga flamboyan cantik.
Bunga flamboyan mekar di kepala gadis-gadis. Oh, bukan. Cuma pita-pita berwarna merah, kuning, atau hijau mengikat kucir-kucir rambut mereka, calon-calon mahasiswi yang sedang menjalani Mapram. Mapram atau perpeloncoankah namanya, bagi Faraitody tak perlu dipersoalkan. Soal nama, itu urusan menteri PDK. Dia cuma tahu, masa itu menggembirakan. Kegembiraan sesaat, dan kemudian terkulai layu dalam realita rumput kering.
Dia menatap tubuh calon-calon mahasiswa yang duduk di lantai. Satu-satu wajah itu diamatinya. Dan, seperti tahun-tahun yang dulu di Kampus Gadjah Mada itu, dia melihat pancaran yang serupa. Pancaran wajah yang pasrah, patuh, dan penurut. Untuk beberapa hari ini, dia merasa dirinya bisa menjadi penguasa. Hitam katanya adalah hitam yang harus dikerjakan cama-cami yang diperintahnya.
Tetapi, kekuasaan yang hanya beberapa saat itu tak lagi menarik, sekarang. Tahun-tahun yang berlalu telah mengajarkan untuk jangan percaya pada kelembutan gadis-gadis mahasiswi baru itu. Selama masa penggojlogan, mereka akan semanis anak kelinci jinak. Tetapi, serentak mereka mendadak jadi putri kahyangan begitu perpeloncoan berakhir. Putri kahyangan yang senyumnya aduhai sinis, yang sombongnyaallahurabbi .
Memang ada satu-dua mahasiswa senior berhasil memetik mawar baru di kampus ini. Tetapi, yang dialami Tody: dia selamanya salah pilih. Dia mendekati gadis yang ternyata pura-pura melayani. Jadi sambutan untuk sekuriti saja.
Seperti tahun yang lalu misalnya. Dia menerima ucapan. "Maaf, Mas Tody. Malam Inaugurasi nanti saya dijemput teman."
Atau tahun sebelumnya, "Perkenalkan, Mas Tody, ini Mas...." dan seterusnya, dan seterusnya. Itulah realita rumput kering.
Maka sekarang tak lagi ada niat mendekati seorang gadis pun. Dia mengikuti Mapram itu hanya sebagai panitia tak lebih. Dia bekerja dengan kerutinan yang pernah dialaminya selama bertahun-tahun menjadi aktivis di kampus itu. Dia mengawasi acara olah raga, perlombaan seni, mengawasi ini-itu tanpa ambisi bercinta.
Pengalaman membuat dia sebagai introvert jera. Dia lebih banyak merenungi dirinya sendiri. Lebih banyak berbicara dengan diri sendiri. Apakah yang salah dalam diriku" Kenapa aku selalu mengalami kepahitan dalam berhubungan dengan gadis-gadis"
Dia membandingkan dirinya dengan teman-temannya. Dengan Daniel, sebenarnya aku tidak kalah, pikirnya. Tapi, kenapa Daniel bisa memperoleh seorang gadis yang setia mendampinginya"
Atau Fauzi. Dia juga punya pacar yang sangat manis. Kenapa dia bisa" Kenapa aku tidak"
Secara fisik, aku tak terlalu buruk. Dan, Tody mengawasi bayangan dirinya di kaca jendela. Dia bertemu dengan mata yang lunak, dan profil yang lunak pula. Dagunya tidak sekasar dagu lelaki-lelaki yang lahir di daerahnya, di Nusatenggara Timur sana. Malahan terlalu halus. Maka dia ingat waktu kecil dulu. Kerap sekali dia diganggu teman-temannya hanya karena kehalusan wajah dan tubuhnya. Oleh karena itu dia kerap berkelahi, dan kerap dikucilkan teman-temannya.
Sekarang, dia tidak dikucilkan oleh siapa pun. Tetapi, realita rumput keringlah yang dihadapinya dari hari ke hari. Cuma, tak seorang pun tahu. Tiap orang tetap mengenal dia sebagai aktivis mahasiswa yang ramah, yang selalu hadir dalam setiap kegiatan di kampus.
Dalam kegiatan sekarang, dia lebih berhati-hati. Terutama dalam menghadapi gadis-gadis cantik. Dia tak mau sekali lagi terkecoh. Terkecoh oleh kejinakan gadis yang hanya sek
adar mencari pelindung selama penggojlogan.
Boleh jadi lantaran hatinya kelewat lunak maka dulu gampang tertipu. Dan, itu tak boleh terulang lagi. Keledai pun akan malu tersandung berkali-kali. Apakah aku harus mengalami peristiwa serupa sampai tiga kali" Bah, konyolnya!
Tody melirik lewat pintu yang terbuka. Seorang cami dibopong ke kantor panitia itu.
"Semaput," kata Sartono, mahasiswa senior yang mengantar. Tody tak bergerak dari kursinya. Mukanya bereaksi pun tidak.
Cami itu dibaringkan di divan yang memang tersedia di kantor itu. "Mana seksi kesehatan"" "Mungkin di WC," kata Tody datar.
Sartono berlari keluar. Tody tersenyum. Dia ingat, tahun-tahun yang lalu dia pun akan sesigap senioren itu kalau menghadapi gadis-gadis yang mengalami kesulitan. Siapa tahu bisa memetik kelapa. Padahal, tak tahunya yang tertanam cuma mumbang.
Tak lama kemudian Sartono muncul.
"Tak ada di situ," katanya dalam napas terengah.
"Katanya tadi mau buang air." Masih datar suara Tody. "Atau dia sedang makan di kantin. Bagi anak-anak kedokteran, makan dan buang air memang sama maknanya."
"Bagaimana ini, Mas Tody""
Tody memperhatikan tanda "K" yang berarti keamanan di baju Sartono. "Apanya bagaimana"" "Cami ini.... "
"Tak apa-apa. Dia cuma kelenger karena panas matahari. Sebentar lagi dia akan bangun." Tody mengalihkan pandang ke tubuh yang terbaring itu. Seorang mahasiswi senior mengipasi cami
itu. Dengan rambut yang dikuncir kecil-kecil dan mata terpejam, cami itu seperti anak kecil. Atau mungkin karena wajahnya yang mungil seperti boneka kurus itu" Tulang pipinya samar
menonjol. Bibirnya pias, tetapi bentuknya bagus. Lekukan yang sering ngambek naga-naganya. Dan, hidungnya harmonis dengan wajah dan bibir itu. Bulu matanya yang lentik membuat kelopak matanya indah. Gadis yang mengipasinya, Widuri, anak tingkat tiga atau dua, Tody kurang tahu. Dia cuma pasti bahwa gadis itu sefakultas dengannya. Pernah dia pelonco.
Wajah gadis itu rusuh. Mungkin dia mengkhawatirkan cami yang pingsan itu. Sesekali dia menatap Tody. Dan, Tody tak suka menerima tatapan yang menuntut itu.
"Kipasi saja. Nanti dia akan sadar," kata Tody. Dia kembali membaca bukunya.
"Mas Tody," kata Widuri takut-takut, "sebaiknya seksi kesehatan dipanggil."
Tody mengangkat kepala. Sekejap mata mereka bersamplokan.
"Dia tidak akan apa-apa. Aku sudah berpuluh-puluh kali menghadapi orang semaput."
"Tapi, cami ini kelihatannya sangat lemah."
Tody menggerakkan tangannya, dan Widuri tahu bahwa lelaki ini tak ingin diganggu. Gadis itu menghela napas dalam-dalam, dan mengalihkan pandangan kepada Sartono.
"Apa yang kautunggu lagi, Ton""
Sartono mengangkat alisnya.
"Carilah seksi kesehatan," lanjut Widuri.
"Ke mana harus kucari""
Widuri menghembuskan napas kuat-kuat.
"Ke mana harus kaucari"" ulangnya dengan bibir melekuk.
"Cari ke mana saja."
Sartono keluar. Lewat jendela gerutunya tertinggal. "Seksi kesehatan sialan! Enak-enak meninggalkan posnya. Tak punya tanggung jawab! Bangsat! Ini perlu dirapatkan. Ini skandal tugas!"
"Jangan mengomel lagi, Ton!" Hampir berteriak Widuri.
"Ya, Tuan, Putriii!" balas Sartono tak kalah kerasnya. Akibat teriakan-teriakan itu, cami itu menggeliat. Kemudian matanya terbuka.
"Eh, dia sudah sadar," kata Widuri.
Bola mata cami itu mengitar-ngitar di balik bulu matanya yang lentik. "Beri dia minum," kata Tody tanpa memandang.
Cami itu duduk dengan bertumpu pada rangkulan Widuri. Dia minum sementara matanya takut-takut menatap seluruh ruangan.
"Agak segar"" tanya Widuri.
Cami itu mengangguk. "Istirahatiah."
"Dia sudah cukup istirahat. Dia harus kembali ke barisannya," kata Tody dari sudut ruangan itu. Matanya tetap pada bukunya.
"Dia masih lemah," kata Widuri.
"Dia sudah kuat untuk bergabung dengan teman-temannya." "Nanti dia sakit."
"Dia sudah cukup beristirahat waktu tidur tadi." "Dia pingsan tadi."
"Di lapangan tadi mungkin dia pingsan. Tapi, di sini dia tidur." "Saya tahu pasti, dia pingsan."
"Apakah orang pingsan terbangun mendengar teriakan"" kata Tody tajam. Widuri menatap cami itu.
"Aku sudah berpengalaman menghadapi akal bulus cami-cami yang malas mengiku
ti acara-acara. Mapram ini untuk menanamkan disiplin. Setiap calon mahasiswa harus mengikutinya. Tak ada tempat untuk mereka yang bermanja-manja."
"Adik sudah bisa bangun"" tanya Widuri.
Cami itu mengangguk. Lalu dia bangkit. Dan, pemandangannya gelap. Seribu kunang-kunang mengerjap di matanya. Dia terduduk kembali di divan.
"Dia masih lemah," kata Widuri. Nada protes pada suara itu menyebabkan Tody memandangnya. Widuri menunduk.
"Dia belum bisa mengikuti acara-acara," katanya pelahan. "Apamu dia rupanya, Widuri" Makanya kaulindungi begitu"" "Saya tidak melindunginya. Saya cuma melihat kenyataannya."
"Kau memang lemah! Teman-teman bilang, kau membuat cami-cami menjadi manja. Membuat mereka berani membangkang."
"Anggota panitia banyak yang sewenang-wenang. Sudah tahu sakit, cami-cami masih dipaksa ikut," ujar Widuri sengit.
"Mereka semua sudah pernah mengalami sendiri." "Karena itu seharusnya punyateposeliro . Jangan memaksa."
"Tahun-tahun dahulu, masa perpeloncoan kami jauh lebih berat lagi. Sekarang sudah lebih enak, tapi masih mau bermanja-manja," kata Tody tak acuh.
Cami itu menatap berganti-ganti, dari Widuri beralih ke Tody.
"Jadi, lantaran dulu lebih berat maka sekarang orang sakit harus disuruh lari-lari di siang bolong begini" Coba diri sendiri, bagaimana rasanya lari di bawah matahari."
"Itu 'kan perlu untuk menggembleng."
"Menggembleng bukan begitu caranya."
"Dulu jauh lebih berat. Kami harus berjalan jongkok atau merangkak dengan mata tertutup. Ditendangi senioren. Disuruh minum kastroli. Disiram kencing. Dibanding dulu.... "
"Dulu, dulu, dulu!" tambah sengit suara Widuri. "Tapi, sekarang dia sakit. Dia tak bisa mengikuti acara-acara!"
Tody terheran-heran melihat kemarahan gadis itu. Lebih heran lagi melihat matanya yang merah, hampir membanjirkan air mata.
O, mungkin karena terlalu letih maka dia jadi pemarah, pikir Tody. Lalu dia bangkit.
"Jangan melindungi orang-orang yang melanggar disiplin. Aku tahu pasti, cami ini tadi tidur. Dibandingkan dengan teman-temannya, dia masih beruntung. Sebab, dia bisa beristirahat beberapa menit sementara yang lain harus berpanggang hampir jadi sate." Tody mendekati cami itu. "Ayo, Nona, kembali ke kelompokmu!"
Cami itu berusaha berdiri, tetapi baru tegak beberapa centi, kunang-kunang kembali menyergap matanya. Dia sempoyongan, dan Widuri merangkul kembali.
"Lihat, dia sakit. Dia sakit!" kata Widuri.
Cami itu merasa denyutan di kepalanya tak kepalang tanggung, dan udara yang menyungkupnya betapa pengab. Bibirnya yang mungil gemetaran. Dan, sesungguhnya, bukan udara pengab itu yang menggeletarkan bibirnya, melainkan kesakithatian di dadanyalah yang lebih terasa. Dia belum pernah diperlakukan sekasar itu. Belum pernah disewenang-wenangi seperti sekarang ini. Maka dia ingat rumahnya yang sejuk. Ingat pepohonan yang menaungi rumah itu. Ingat tempat tidurnya yang empuk. Ingat ibunya yang selalu membujuknya jika dia merajuk. Ingat sopir mereka yang akan patuh mengantar ke mana pun dia perintahkan.
Adapun di sini, dalam keadaan pening begini masih juga dipaksa mengikuti acara di lapangan yang terik itu. Masih dipaksa menerima terkaman matahari yang tak kenal ampun di kulminasi langit itu. Kalau tahu begini, lebih baik tak usah jadi mahasiswa. Buat apa" Lulus universitas toh belum tentu senang.
Cami itu terisak. Dia menekap mukanya. Widuri melontarkan pandang protes lagi. Ah, bukan sekadar protes. Dari mata itu mengalir air. Wah!
Tody terbengong-bengong. "Kok jadi nangis""
"Tak punya perikemanusiaan!" gumam Widuri.
Isak cami itu semakin keras.
Tak punya perikemanusiaan" Bah, parah ini, pikir Tody. "Sudahlah. Cami ini boleh istirahat di sini."
Widuri mengusap matanya dengan saputangan. Tetapi, cami itu masih terisak. Mata Widuri memerah. Lalu, ia berkata, "Istirahatlah dulu. Kalau Adik mau minum, ini minumanmu."
"Terima kasih, Mbak, terima kasih," desah cami itu.
Widuri melangkah ke pintu.
"Kau pun perlu istirahat agaknya, Widuri," kata Tody.
Gadis itu berhenti di pintu. Membalik. Maka Tody bisa melihat wajahnya yang bulat telur, dan kulitnya yang antara warna kuning ke sawo matang.
Bibirnya yang bagus itu kemudian mencibir, "Huh!" katanya.
"Wah," kata Tody.
Widuri keluar. Tody termangu. Widuri, gadis yang waktu pelonco dulu bukan main patuhnya, bahkan bisa digolongkan penakut. Orang tuanya tinggal di desa. Selain cantik dan bisa melanjutkan ke universitas, ini berarti orang tuanya termasuk terpandang di desa itu. Tetapi, berada di tengah-tengah Kampus Gadjah Mada, gadis itu seperti rusa masuk kampung. Bingung. Takut. Waswas. Akibatnya, patuh pada perintah setiap senioren.
Sekarang gadis itu tak sepenakut dulu. Dia ikut dalam kepanitiaan Mapram. Dia tak canggung mengatur acara-acara. Tetapi, rupanya dia tak kehilangan kelembutannya. Dan, tak kehilangan kesabarannya.
Isak cami itu masih terdengar. Tody tak lagi melihat Widuri yang telah lenyap di balik gedung. Cami itu menekap mukanya. Dia duduk di pinggir divan seksi kesehatan.
"Hei, berhenti menangis!" kata Tody.
Gadis itu berusaha menyekap suara isaknya menyebabkan dadanya turun-naik. "Duduklah di kursi plastik itu. Kau bisa lebih santai."
Gadis itu mengangkat wajahnya. Wajah yang basah. Entah keringat atau air mata. Cuma, matanya yang merah menandakan bahwa dia betul-betul sedang parah menangis.
Tody menunjuk kursi plastik di dekat divan. Gadis itu bangkit dan duduk di situ.
"Nah, sekarang, siapa namamu""
"Centil," kata gadis itu hampir dalam bisik.
"Bah, itu aku sudah tahu. Sudah kulihat atributmu itu. Nama aslimu, kumaksud." "Irawati."
"Fakultas""
"Sastra." "Jurusan"" "Inggris."
"Inggris" Coba omong Inggris." "Belum bisa." "Tapi, jurusan Inggris." "Belum belajar."
"Di SMA 'kan sudah pernah belajar" Bisa masuk jurusan itu tentu karena Inggrisnya lumayan." Cami itu diam. "Ayo, ngomonglah."
Gadis itu tetap membisu dengan kepala tertunduk. Karena tetap seperti itu, Tody pun kembali menghadapi buku-bukunya. Dia membiarkan ruangan itu sepi. Di luar, matahari membuat tanah berpasir garing menguapkan sari-sari panas kemarau. Angin bertiup sesekali menerbangkan debu. Teriakan-teriakan senioren yang membentak-bentak cama-cami merayap masuk kantor panitia.
Mapram sekarang jauh lebih ringan dari perpeloncoan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi, orang-orang sudah mengeluh. Lantaran terjadi kemunduran generasi" Karena mahasiswa-mahasiswa baru sekarang lebih lemah mentalnya dibandingkan dengan mahasiswa sebelumnya" Atau karena mereka terbiasa hidup manja"
Seperti cami ini. Tody mengangkat matanya. Rupa-rupanya gadis itu mengawasi Tody sejak tadi. Maka sekarang dia bagai kucing yang ketahuan mencuri ikan asin. Matanya ketakutan mengelak dari tatapan Tody.
"Masih pening""
Gadis itu mengangguk cepat-cepat. "Minumlah dulu. Itu minumanmu di meja."
Gadis itu minum seteguk demi seteguk. Sesekali matanya melirik Tody. "Kau sering sakit"" Gadis itu mengangguk.
"Tapi, kau sering begadang, 'kan"" kata Tody.
Mata gadis itu terbelalak. Dan, mata yang berbulu lentik itu aduhai indah.
"Aku tahu kau suka pesta. Betul tidak""
Gadis itu membisu. Tangannya mengusap-usap gelas.
"Biarpun kuliahku di ekonomi, aku tahu psikologi. Dengan melihat kemanjaanmu, aku tahu kesukaan-kesukaanmu. Kau suka kehidupan yang selalu gembira, tapi kurang bertanggung jawab. Kau termasuk tipe orang yang mau bunuh diri kalau menghadapi badai kehidupan."
Gadis itu - Irawati - tercengang. Dia sendiri tak pernah memikirkan: orang macam apakah dia. Dia hanya tahu menjalani kehidupan ini. Itu saja. Dia hidup dengan ayah-ibunya yang mencintainya. Itulah segalanya. Lalu sekarang seseorang mengatakan bahwa dia akan bunuh diri kalau menghadapi badai kehidupan. Ah, badai bagaimana yang dimaksudkannya"
Irawati ingin melirik lelaki itu, tetapi dia ingat betapa dingin mata lelaki itu. Mata yang tak acuh. Alangkah tak nyaman berbenturan pandang mata yang tak bersahabat!
Tody memperhatikan lima pita yang mengikat kucir kecil rambut gadis itu. Rambut yang legam mengkilat. Gadis itu memijit-mijit pelipisnya. Lewat jendela dia memandangi pucuk cemara yang melambai-lambai mengikuti terpaan angin. Langit biru bersih, gumpalan awan putih seputih kapas. Di Kaliurang, pada siang ini, pinus juga bergoyangan, dan langit pun membir
u. Tetapi, udara pastilah sejuk. Di bungalow, dengan halaman dipenuhi bunga bermekaran dengan warna merah, kuning, putih, ungu, betapa nyaman. Tidak seperti di ruangan ini. Alangkah panas. Alangkah pengab. Karena matahari tak kenal ampun. Atau mungkin karena tatapan tawar lelaki itu"
Lelaki itu, kenapa setawar itu memandang perempuan" Tidak kayak anggota panitia lainnya. Mereka berlomba-lomba memberikan perhatian. Ada yang pura-pura membentak, tetapi sebenarnya menunggu senyuman. Dan, lelaki ini" Memang tidak membentak-bentak. Cuma, dingin tatapannya membuat takut orang yang memandangnya. Siapa dia" Siapa dia" Mas Sartono, anggota keamanan tadi, takut kepadanya. Mbak bagian keputrian tadi pun segan-segan nampaknya di depan lelaki ini.
Kursi berderit, Tody berdiri. Sekejap dia meliukkan pinggang untuk menghilangkan rasa pegal. Tanpa memandang, dia berkata, "Istirahat saja di sini. Kalau ada yang bertanya, bilang sudah aku izinkan."
Irawati mengawasi punggung lelaki itu melalui lubang pintu. Kerikil di halaman terasa panas menembus sol sepatu. Tody berjalan tergegas melintasi halaman terbuka agar secepatnya tiba di bawah kerindangan pohon penaung.
"Kalau ada yang bertanya, bilang saja sudah aku izinkan." Siapa "aku" itu" Apakah dia kira setiap orang sudah mengenalnya" Atau dia memang terkenal di kampus ini" Ya, mungkin aku yang tak mengetahuinya. Tentunya dia punya kedudukan penting dalam kepanitiaan sekarang.
*** Penting atau tidak, sekarang tak jadi soal. Kesulitan mulai muncul. Biang penyakit itu datang.
Seorang mahasiswa senior terlihat makin dekat oleh Irawati. Johan, mahasiswa tahun kelima. Lelaki ini sangat getol mendekati cami-cami. Boleh jadi, dia sangat percaya bahwa gadis-gadis akan takluk memandang senyumnya yang mirip senyum Omar Sharif.
Irawati mengenalnya sebab pacar Johan dulu indekos di seberang rumahnya, Dan, Irawati juga tahu putusnya hubungan Johan dengan pacarnya. Apa penyebabnya, dia kurang jelas, Cuma, tindak-tanduk lelaki itu membuat Irawati mual. Ada kesan bahwa Johan tak segan-segan menggunakan kekuasaannya untuk mencapai maksud hati. Lelaki itu agresif sekali. Nampak sekali tanda-tanda bahwa dia memang berniat mendekati Irawati.
Irawati berusaha membalas senyuman lelaki itu.
Johan berdiri di pintu. "Kau sakit"" tanyanya. Irawati mengangguk.
Johan meneliti seluruh ruangan. Ketika matanya singgah di meja Tody, dia bertanya. "Mana
Tody"" O, kalau begitu si Dingin itu bernama Tody, pikir Irawati. "Mana ketua panitia itu"" tanya Johan sembari mengembalikan tatapannya pada Irawati.
Irawati mengangkat bahu. Aduh, ulangi lagi gerak macam itu, kata hati Johan. Alangkah indah gerak bahu yang kemanja-manjaan itu. Dan, matanya yang hitam bersorot-sorot seperti akan merajuk; bibirnya yang siap-siap melekuk memiliki magnit, membuat siapa saja kepingin memeluknya, membujuknya dan menciumnya. Wah!
"Ada apa dengan Mas Tody"" kata Irawati. Sekejap tadi dia mendapat cara untuk menghadapi Johan.
"Kau kenal dia"" tanya lelaki itu.
Irawati mengangguk. Lalu senyum. Senyum itu dibuat malu-malu. Maka Johan merasa dagunya gatal, dan dia mengusap-usapnya. "Kenal baik"" tanyanya lagi.
Irawati menunduk lebih dalam, dan senyumnya lebih samar.
Ah! Johan menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. Lalu dia bersiul. Lagunya tak menentu. Dari sepotong lagu Beatles ke lagu Melayu. Dia mondar-mandir di seputar ruangan. Membuka spanduk yang tergulung, membacanya, lalu menggulungnya kembali.
"Kalau sakit, kau boleh pulang, Ira."
Irawati diam. "Biar kuantar," lanjut Johan. Tak ada reaksi.
Johan melongok melalui jendela.
"Hei!" teriaknya membelah panas.
Seorang cama berhenti dan menoleh takut-takut.
"Mana atributmu, he""
Cama itu gelagapan. Dalam hati dia mengutuki dirinya sendiri lantaran telah lewat di dekat kantor itu.
"Kau tahu atributmu itu tidak boleh pisah dari badanmu" Itu lebih berharga dari nyawamu. Mengerti""
Cama itu mengangguk dengan takzim.
"Sekarang jelaskan kenapa kautanggalkan atributmu itu!"
"Saya.... jatuh ke selokan tadi, lalu diizinkan mandi sebentar."
"Hm." Johan seperti kucing yang mengawasi tikus yang mengg
igil di depannya. "Sekarang ambil nyawamu itu. Cepaaat! Kuhitung sampai lima kali!"
Cama itu lari terpontang-panting. Johan mengurut-urut lehernya. Berteriak-teriak di bawah sungkupan udara yang panas sesungguhnya telah membuat tenggorokan mau pecah. Dia tersenyum menyaksikan kepala plontos yang berlari di lapangan itu.
Dia berbalik, dan merasa dirinya he-man. John Wayne, Richard Burton, atau siapa saja yang hebat-hebat, itulah dia! Tetapi, matanya terbentur ke meja Tody. Dan, berkisar sedikit kepada Irawati yang sedang memperhatikannya. Gadis itu menatapnya hambar. Seorang gadis melihat Richard Burton atau Omar Sharif selayaknya mengagumi. Tetapi, gadis yang berpakaian lusuh dengan atribut Mapram ini sama sekali tak mengaguminya. Sialan!
"Sudah lama kau kenal Tody"" katanya kemudian.
"Ya, lumayan lama."
"Sejak kapan""
"Entahlah. Pokoknya sebelum Mapram ini." "Pacarmu""
"Ah!" Irawati mengusahakan agar ketersipu-sipuan lebih kentara di wajahnya.
Johan mengetok-ngetok meja dengan irama gendang lagu Melayu.
Irawati membuka-buka halaman "buku suci" miliknya. Dari luar semayup terdengar suara
nyanyian cama-cami. "Ayolah, kuantar kau pulang, Ira."
"Waaah," Irawati melirik meja Tody.
Johan mempergendang meja lagi.
"Selama ini dia yang mengantarmu pulang"" Irawati tak menjawab. Dia cuma tersenyum simpul.
"Pantas kau menolak terus." Johan menggaruk-garuk kepala lagi.
"I'm sorry," kata Irawati.
"Kok nggak dari dulu kaubilang""
Irawati mengipas-ngipaskan buku sucinya. Terdengar cericit burung gereja di bawah atap, serta gelepar-gelepar sayapnya yang menerjang-nerjang pinggiran atap. Bahkan burung gereja pun merasakan teriknya matahari sekarang, merasakan kepengapan udara.
Maka Johan beranjak dan berkata. "Ah, panas sekali. Aku pergi dulu."
Irawati menahan senyumnya. Sementara lelaki itu melintasi halaman yang panas, Irawati hampir tak bisa menahan keinginannya untuk tertawa.
*** Johan merambahi semak setinggi betis. Dia berjalan melintasi di bawah perlindungan pohon cemara. Diam-diam Tody rupanya sudah menggarap bunga itu, pikirnya. Tapi, kapan dilakukannya" Selamanya dia sibuk mengurus jalannya Mapram ini. Bersaingan dengan lelaki itu tak terlalu berat agaknya. Orang yang selalu murung, bahkan ada yang bilang hatinya rapuh. Siapa yang bilang ya" Edu, Hasan, Zul, atau Fauzi" Ya, pokok ada yang bilang. Tody terlalu lemah sebagai lelaki. Sebagai pejuang mahasiswa, bolehlah. Tetapi, sebagai lelaki yang harus bertarung dengan seseorang dalam memperebutkan seorang gadis, nanti dulu. Berkali-kali dia sudah terpuruk. Sewaktu perpeloncoan dulu, dia berdekatan rumah dengan seorang pelonci. Mereka selalu datang dan pulang bersama. Karena persamaan nasib mungkin, mereka menjadi akrab. Tetapi, di akhir penggojlogan, pelonci itu digaet seorang senioren. Dan, Tody termangu.
Lalu setelah dia menjadi senioren pula. Beberapa kali merasa tertarik pada seorang cami. Tetapi, reda begitu saja setelah perpeloncoan selesai. Tak tahu apakah memang Tody yang tak bisa membina hubungan yang diharapkan, atau memang gadis itu sudah punya pacar selama ini. Jadi, melayani Tody cuma sebagai teknik pengaman saja. Biar tak kena gojlok. Kalau begitulah keadaannya, betapa malang.
Soal Irawati ini, setahu Johan, gadis itu memang tak punya pacar tetap selama ini. Cuma, betulkan dia sedang ada hubungan dengan Tody" Gadis semacam itu, bagaimana bisa ketemu hati dengan Tody yang murung berkepanjangan begitu"
Irawati! Siapa yang tak kenal nama itu. Gadis yang berdunia ceria. Tak kenal duka. Ya, bagaimana bisa berduka! Dia punya orang tua yang menjadikan dia bunga di rumah mereka. Dia pantang mendengarkan kata 'tidak' di rumah itu. Sejak dia duduk di bangku SMA Stella Duce dulu, peminat-peminat pesta sudah mengenalnya. Dari kuku-kuku jarinya yang terawat bagus itu sebenarnya sudah bisa diduga, dia biasa hidup dalam kemanjaan.
Mungkinkah gadis itu bisa terikat pada seorang macam Tody" Dia hanya mungkin ditaklukkan seseorang yang lengkap kehidupannya. Brilian, suka pesta, tampan, dan kalau perlu: kaya.
Lalu, apa yang dipenuhi Tody" Di fakultasnya mungkin dia brilian. Tetapi,
dia tak suka pesta. Waktu ada pesta yang diselenggarakan Imayo atau PMKRI, dia memang mau juga melantai, tetapi dansanya serius. Kayak dansa pastor saja. Entah dia belajar di mana, tapi dansa serius begitu sulit cari pasangan dalam pesta-pesta mahasiswa. Ballroom begitu perlu kursus khusus. Payah.
Soal kemampuan, yah sebenarnya Tody sudah lumayan. Profilnya mendekati Rendra. Cuma, Tody lebih hitam. Bisalah dia dibilang berprofil manis.
Mungkinkah Irawati - gadis yang seceria burung parkit, melompat dari dahan bunga yang satu ke bunga yang lain - diikat Tody" Kalau mungkin, itu namanya bukan main. Keraguan masih ada. Tetapi, Irawati sendiri sudah mengatakannya. Lalu apa lagi" Ah, siapa tahu itu cuma akal licik gadis itu!
Johan menepuk-nepuk pahanya sembari berjalan. Di sela-sela rumpun bunga dia bersiul. Entah kenapa, sehari itu dia senang menyiulkan lagu Melayu.
Dia melihat Tody meninggalkan lapangan tempat acara Mapram dilangsungkan. Dia menantinya di dekat batang pohon petai cina yang rindang.
Tody mengusap tengkuknya yang dibasahi keringat.
"Semua lancar"" tanya Johan.
"Yah." Mereka berdiri berendeng mengawasi gerombolan cama-cami di lapangan. "Kau sudah dapat cewek," kata Johan. Tody mengernyitkan kening.
"Hebat kau," lanjut Johan tanpa mengalihkan matanya dari cama-cami. "Sudah lama kaudapatkan dia""
Tody mengemyitkan kening lebih dalam lagi.
Malahan kini menatap Johan dengan pandangan bertanya.
Johan masih mengawasi perlombaan olah raga di kejauhan.
"Dia bilang, kalian berkenalan sebelum Mapram ini. Di mana kaukenal dia""
Tody cuma menggumamkan kata yang tidak jelas.
Akhirnya Johan menatapnya. Dia melihat kerutan kening Tody.
"Aku ketemu dia di kantor panitia," kata Johan. "Kenapa selama ini kau tak pernah cerita" Banyak yang mengincar cewek itu. Kau mesti hati-hati menjaganya."
Tody membisu. Lamat-lamat dia bisa menduga siapa yang dimaksudkan Johan. Tetapi, dia tetap diam. Cuma, hatinya menduga-duga. "Bagaimana Johan bisa mengira begitu""
Mereka bertatapan agak lama. Tody merasa permen karet yang dikunyahnya mulai terasa hambar. Lalu dia ludahkan, dan katanya. "Bagaimana rencana program antarkampus itu""
"Sedang kontak dengan lima universitas besar."
"Hm." Tody kembali memperhatikan cama-cami di bawah matahari.
"Kabarnya kau sudah mengikuticoaching untuk Bimas"" kata, Johan.
"Ya." "Kapan berangkat""
"Entah. Tergantung program universitas."
"Wah, enak. Aku kepingin sekali ikut-ikut turun ke desa."
"Kau 'kan sastra Inggris. Mau mengajar orang-orang desa berbahasa Inggris" Bimbingan masal bahasa Inggris" Wah, bukan main! Untuk meningkatkan turisme...."
"Jangan sinis dong."
Tody menyusut daun petai cina dari rantingnya, lalu menaburkan daun-daun halus itu ke tanah. Daun-daun itu berserakan di semak.
"Masih lama acara universitas ini"" Johan bertanya.
"Sehabis pertandingan olah raga itu, mereka akan kembali ke fakultas masing-masing."
"Good. Aku mau pulang dulu. Lapar. Makanan yang disediakan panitia tak bisa memancing seleraku."
"Ah, borjuis kau!"
Johan berialan ke timur melompati sebuah selokan, berjalan di aspal panas sebentar, melewati celah pagar kawat agar lebih dekat ke penitipan sepeda. Dia mengambil sepeda motornya.
*** Apel sore itu di bawah matahari yang menyisakan panasnya dari siang. Johan memeriksa barisan cama-cami. Dia terkenal sebagai senior yang galak. Maka seluruh barisan menjadi hening. Hanya sepatu Johan terdengar bersentuhan dengan kerikil. Dan, tiba-tiba. "Hei, kau! Maju!"
Cama yang ditunjuk Johan maju takut-takut. "Cepat!"
Cama itu melangkah tergesa. "Kau berani berdiri di depanku!""
Seluruh cama-cami berdesak dalam resah yang tersekap. Sementara itu, cama yang tadi ditunjuk oleh Tuan Besar Johan duduk di pasir dalam ketakutan.
"Kau tahu apa dosamu""
Cama itu terdiam memikir-mikir.
"Jangan pakai otakmu. Kau belum berhak menggunakan itu. Pakai matamu! Periksa seluruh hartamu!"
Cama itu tambah gemetar. Dia lupa membawa kaleng susunya yang biasa dipukul-pukul dengan irus.
"Seluruh regu orang berdosa ini maju!"
Irawati ada di antara regu yang melangkah pelahan itu. Johan berdiri seperti koboi yang m
enunggu lawan duel. Mata separo terpicing menatap barisan kecil yang berjalan bagai prosesi ke pemakaman. Cama-cami itu menapak dengan perasaan mendekati pintu kesengsaraan.
"Inilah contoh regu yang buruk!" teriak Johan.
"Tidak punya solidaritas regu. Membiarkan rekannya berbuat dosa." Mata Johan menyambar-nyambar setiap anggota regu. Dan, Irawati menggigil menerima sambaran mata yang mirip mata anjing jahat itu.
Suara sepatu Johan berderik-derik di kerikil. Hening. Maka Irawati ingat film-film koboi. Persis suara sepatu yang berderik-derik di jalan yang lengang, di tengah kota yang mati akibat teror sang bandit. Tangan agak renggang, waspada untuk menembak kapan saja ada gerak yang mencurigakan.
Di sini tak ada yang mencurigakan. Yang ada hanyalah ketakutan cama-cami. Lalu Johan berkata keras. "Untuk memupuk solidaritas, kalian harus menerima hukuman secara kolektif!"
Regu cama-cami itu berdesah. Satu-dua orang mengeluh.
"Diam!" teriakan Johan membahana.
Irawati melihat garis kejam di sudut bibir lelaki itu. "Push-updua puluh kali!"
Push-up" Sungguhkah ini" Irawati berpandangan dengan teman-teman seregunya. Kesemuanya murung. Irawati ingin menangis. Inilah hukuman yang paling kejam.Push-up dua puluh kali, betul-betul tak terbayangkan.
"Tunggu apa lagi" Ayo, mulai!"
Anggota regu itu mulai bertiarap. Dan, Irawati bingung sebab dia masih berdiri di tengah-tengah rekan-rekannya yang sudah tengkurap. Kini seluruh mata tertuju padanya.
"Saya.... saya.... tidak bisapush-up ," katanya terbata-bata.
"Well." Suara Johan sinis.
"Saya.... saya.... "
"Lalu, hukuman apa yang Anda inginkan"" "Apa saja, asal bukanpush-up ." "Lari mengelilingi lapangan tiga kali"" "Oh!" Jantung Irawati terperangah.
Kugapai Cintamu Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayo! Jangan sampai teman-temanmu capek tengkurap begitu." "Saya tak bisa.... Saya tak bisa.... "
"Kenapa yang lain bisa"" Johan menunggu kalau-kalau gadis itu minta dispensasi. Lalu akan dipertimbangkan nanti.
Adapun Irawati, dia melihat kekejaman seorang pengecut di mata lelaki itu. Maka dia muak untuk meminta-minta belas kasihan. Belas kasihan dari seorang pengecut" Phuih! Kalau tetap membangkang, apa sih yang bisa diperbuatnya"
Irawati tetap berdiri. Malahan kini dengan sikap menantang.
Johan tersenyum, lalu beranjak dari tempatnya dan kembali memeriksa barisan. Dia biarkan regu cama-cami yang tengkurap itu tetap dalam posisi semula.
Irawati menatap kepala-kepala plontos dan pita kucir rekan-rekannya.
Dari jauh Johan berteriak. "Sebelum hukuman dilaksanakan, cama-cami tidak boleh bergerak!"
Suara itu bergema oleh pantulan dinding fakultas. Irawati mengitarkan matanya ke seluruh tempat. Dan, pandangannya membentur dengan mata yang menuntut. Gadis itu merasa seluruh jaringan tubuhnya menjadi dingin. Dia merasa setiap orang mempersalahkannya.
Oh, apakah yang sedang terjadi di sini" Kenapa semua manusia di sini menganggap kesewenang-wenangan sebagai sesuatu yang wajar" Tak sekelumit pun nampak tanda-tanda mereka menolak hukuman yang tidak adil itu. Malahan mereka mempersalahkan orang yang menentang kesewenang-wenangan itu.
Mereka mempersalahkan Irawati. Mempersalahkan gadis yang berdiri tegak sementara rekan-rekan yang lain tengkurap. Beberapa di antara mereka yang tengkurap itu mulai mengeluh. Mereka kejang dalam sikap seperti itu berlama-lama. Keluhan mereka terdengar oleh Irawati.
Tetapi, kenapa mereka justru mengutukku" Kenapa mereka tidak mengutuk senioren yang menjatuhkan hukuman tidak adil itu" Oh, apakah yang sedang terjadi di sini, di tengah-tengah orang-orang yang bakal menjadi mahasiswa ini" Mereka menerima hukuman apa pun yang dijatuhkan terhadap mereka tanpa perlawanan.
Irawati menelan ludahnya yang seret. Pahit. Mual. Kepala plontos dan rambut terkucir yang tiarap di kiri-kanannya bagaikan melekat di ujung batang pohon pisang. Dan, wajah-wajah yang menatapnya, wajah-wajah yang berkeringat, bukan lagi berkulit sebagaimana lazimnya manusia. Dia melihat wajah-wajah yang berkulit tegang seperti topeng-topeng Bali. Menyeringai. Dan, udara menguapkan sari-sari kemualan. Yang terlihat oleh Irawati hanya topeng-topeng Bali, warna-warna
kuning, kuning, kuning, merah, merah, merah, campur-aduk. Pijar-pijar lampu seribu watt menyergap-nyergap ke matanya dari biasan matahari yang bergeser ke barat.
Dia merasa tanah kian labil. Seratus sekian pasang mata yang melotot ke arahnya, juga topeng Bali yang menyeringai itu, semakin mengelabukan pandangan gadis itu.
"Ayo!" Teriakan menggelegar dari mulut senioren Johan. Tanah bergoyang. Pening. Gelap. Lebih gelap, dan Irawati jatuh.
Untuk kedua kalinya hari itu mahasiswa-mahasiswi senior kalang-kabut. Apalagi melihat piasnya wajah gadis itu. Bibir mungil serta hidung yang bangir itu mau tak mau menimbulkan rasa iba. Wajah yang kurus menimbulkan kesan betapa berat penderitaan gadis itu sekarang.
Johan berjalan mondar-mandir. Kenapa dia tidak minta dispensasi, pikirnya. Kenapa dia tidak merengek-rengek sebagaimana laiknya gadis-gadis manja"
Johan suka melihat kemanjaan gadis itu. Gerakaleman selamanya menyenangkan untuk dipandang. Malahan menimbulkan keinginan untuk menggodanya, biar dia terus merengek.
Tapi, dia membangkang lantaran pacarnya ketua panitia! Bah! Pacar tinggal pacar. Tetapi, penegakan disiplin itulah soalnya.
Irawati dibopong beberapa senioren ke kantor panitia. Johan kembali menghadapi regu yang tetap tengkurap.
"Sekarang mulai!"
Di kantor panitia, Widuri sedang menyelesaikan laporan-laporan seksinya. Dia separo melamun menatap nanap lewat jendela yang terbentang. Tanpa sadar dia menggigit-gigit pangkal ballpoint-nya. Suatu kebiasaan - yang kalau dia sadar - dia ketahui kurang baik. Konon kebiasaan itu menunjukkan gejala jiwa yang tidak kokoh. Entah siapa yang bilang, sarjana atau dukun, dia kurang ingat. Tetapi, pokoknya dia selalu berusaha menghilangkan kebiasaan itu.
Giginya yang rata mengintai-intai dari balik bibirnya. Bibir tanpa lipstik, tetapi agak kemerahan.
Sesungguhnya gadis yang sedang melamun itu cantik juga, pikir Tody yang sejak tadi diam-diam mengawasi dari sudut ruangan.
Dan, sesungguhnya pula gadis itu sedang memikirkan Tody. Lelaki yang tahan membisu itu, kenapa begitu kaku" Tahun-tahun yang lalu, dia masih mau mendekati cama-cami. Tetapi, sekarang dia seperti dewa yang jauh dari kebisingan Mapram.
Barangkali dia ingin membentuk image-nya sebagai pemimpin mahasiswa yang angker. Pemimpin besar yang tidak terlibat dalam urusan-urusan kecil. Atau, barangkali dia sudah punya pacar" Ya, siapa tahu!
Widuri menghela napas panjang-panjang. Tody meliriknya. Widuri mengemasi berkas-berkas kertasnya, dan katanya, "Juri untuk perlombaan nyanyi masih belum lengkap."
"Ooo." Datar suara Tody.
Widuri mengangkat kepala seraya berkata. "Kapan itu diurus"" "Ya" 'Kan sudah ada yang bertanggung jawab" Seksi perlombaan." "Entah di mana dia. Mungkin ngurusi cewek-cewek."
"Nanti akan diselesaikannya. Biasa, langgam kerja mahasiswa memang sering begitu. Rileks saja."
"Tapi, kalau sampai saat terakhir jurinya tidak lengkap"" "Aaah, mesti lengkap. Dia akan mengurusnya." "Mas Tody terlalu optimis."
"Pengalaman mengajarkan padaku, tak perlu terlalu serius. Makin serius, makin gampang panik. Apalagi menghadapi mahasiswa. Mereka suka kerja seenaknya. Kayak seniman. Tapi, percayalah, pada titik terakhirnya mereka akan menyelesaikannya."
"Tapi, biasanya acak-acakan," kata Widuri.
"Kalau mau rapi, pegawai atau tukanglah yang harus mengerjakannya."
Widuri menghembuskan napas keras-keras. Tody tetap duduk melengut seperti sapi kekenyangan. Matanya tak acuh, malahan setengah mengantuk. Cahaya merah dari barat menerobos lewat celah pohon cemara.
Dan, gadis yang pingsan itu dibopong ke kantor itu. Widuri bangkit tergesa-gesa, merapikan divan untuk pembaringan gadis itu.
Mahasiswa-mahasiswa senior yang membopong keluar. Kini tinggal seksi kesehatan yang mangusap-usapkan wewangian, entah apa namanya. Widuri mengipasi gadis itu.
Tody membenamkan tubuhnya ke dalam kursi plastik. Kepingin tidur. Tetapi, tunggu dulu! Gadis yang pingsan tadi siang" Tody bangkit. Ya, dia.
Kalau dua kali pingsan dalam satu hari, ini sudah patut menjadi urusan dokter. Bisa-bisa pingsan yang ketiga kalinya terus koit. Berabe! Urusan polisi jadinya
. Maka Tody lebih beperhatian.
Gadis itu nampak langsing dengan slack-nya. Wajahnya yang pucat-lesi serta bibirnya yang menggurat dalam garis tipis itu cuma menggambarkan kesakithatian. Manusia semacam dia ini, bisalah dikategorikan mungil. Wajahnya kecil. Mungkin lantaran rambut yang disisir terbelah di kepalanya, juga pita-pita kecil itu. Senja kian temaram. Irawati mengeluh halus. Manakala kelopak matanya terangkat, wajah Widurilah yang terpandang olehnya. Dan, senyum lunak gadis yang berkulit sawo matang itu menyejukkan.
"Mbak," keluh cami itu.
Widuri mengelus kening gadis itu, dan Irawati menangis.
Seperti film India, pikir Tody. Lalu dia kembali duduk.
"Dia perlu istirahat," kata Kamal, mahasiswa kedokteran yang sedangkoskap .
"Perlu tonikum agaknya dia," kata Tody.
"Jantungnya agak lemah."
"Wow! Sebaiknya dia tidak ikut Mapram."
"Nggak apa-apa. Dia bisa mengikuti terus. Bukan sakit jantung."
"Yang benar aja, Mal. Sudah bab jantung pelajaranmu""
"Asu!Tentu saja sudah."
"Yah, asal diagnosamu benar saja. Kalau ada apa-apa, 'kan aku yang diangkut polisi. Malah mungkin dilaksuskopkamtibkan."
"Tak apa-apa. Tak apa-apa."
"Hm, gayamu sudahmemper dokter."
"Dan, kau" Gayamu sudah mirip pencatut lisensi."
Widuri tak sabar mengikuti pembicaraan itu.
"Tak diberi obat dia, Mas Kamal""
"Obat apa" 'Kan dia sudah sadar""
"Jadi, cuma begitu""
"Lha bagaimana lagi" Dia cuma capek. Ya, kasih tablet vitamin C saja. Biarmarem ." Kamal beranjak ke pintu keluar. Widuri cuma bisa menggeleng-geleng.
"Tak perlu disuntik""
"Suntik apa" Dia 'kan sehat" Atau, kau mautetrasiklin "" "Apa itu""
"Tanya Tody. Dia tentunya sering pakai kalau habis____"
Tody terheran-heran. Kamal terbahak terus keluar. "Gila kau!Bajingan !" seru Tody.
Bayangan pohon cemara telah samar dalam senja. Burung gereja ramai mencericit di pinggir-pinggir atap. Di sana, Gedung Induk Universitas Gadjah Mada yang bertingkat tiga terpacak diam-diam. Lampu-lampu sepanjang Bulaksumur Boulevard yang membelah kampus telah menyala. Sinarnya redup. Pohon flamboyan di pinggir jalan tak kentara lagi sebagai pohon yang berbunga indah. Hanya nampak sebagai onggokan dedaunan hitam, sekarang.
Ruang kantor panitia itu sepi. Widuri kembali melamun. Irawati duduk diam-diam di dekatnya. Tody menatap ujung kakinya yang terletak di atas meja. Lama.
Sampai akhirnya seorang mahasiswa senior memanggil Widuri. Urusan kepanitiaan. Irawati melihat kelamnya malam kian kentara di luar.
Ruangan itu tetap sepi. Tody tetap sebungkam batu gunung. Maka Irawati yang biasa berkicau bagai burung itu kini harus mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
Bagaimana menggeser batu gunung yang dingin itu" Irawati menaksir-naksir. Aku, pikirnya, yang punya senyum sebagus senyum Widyawati ini, masakan tidak menggoyahkannya" Masakan dia sekokoh batu cadas yang bagian besarnya tertanam di tanah! Atau kelihatan jelekkah aku selama Mapram ini" Ya, mungkin. Aku kelihatan lusuh. Mukaku berkeringat. Seandainya dia melihatku sebelum Mapram ini, potong telingaku: dia pasti tertegun. Dia akan melihat wajah yang melankolis. Ya, wajah aristokratik. Yanuar atau Bobby, pokoknya salah satu dari mereka, pernah bilang bahwa aku adalah Cleopatra yang muncul diam-diam pada abad modern ini. Cuma, barangkali aku lebih kurus. Liz Taylor jadi Cleopatra dengan tubuh yang lebih berisi. Tapi, itu tak jadi soal. Tubuh-tubuh ceking malah lebih feminis sejak Twiggy muncul. Kubaca itu di majalah Aktuil.
Seandainya dia melihatku dalam pakaian biasa, bukan dalam pakaian Mapram yang terkutuk ini! Masakan matanya tak bergerak hidup" Masakan matanya tetap sedingin itu" Kayak mata Peter Moole atau Robert Mitchum. Orang bilang: mata pengisap ganja. Atau barangkali dia pengisap ganja" Tapi, kenapa tidak pernah kukenal" Barangkali dia masuk groupies lain" Tapi, ah, tak mungkin. Dia tokoh mahasiswa. Tak mungkin ikut-ikut groupies. Andaikan dia masuk groupies-ku, bukan main.
Dia bisa jadi pemimpin. Ah, Bob Mitchum itu! Pasti groupies kami terkenal. Apalagi kalau dia suka lagu-lagu Bob Dylan. Bukan main!
Irawati menggigit-gigit ujung kukunya sambil menaksir-naksir terus
. Bagaimana cara menggoyahkan batu gunung ini" Bagaimana cara menggesernya" Biar dia tahu siapa Irawati sebenarnya. Biar dia tahu bahwa Irawati bukan seorang yang tidak bernilai. Irawati adalah kumpulan api yang membakar. Irawati adalah gadis yang pada usia 13 tahun sudah pacaran. Bahkan waktu SMP pernah membuat mata gurunya blingsatan sebab jatuh cinta kepadanya. Dua tahun yang lalu dia pernah menjadi penyebab perang antara SMA III melawan SMA-Bopkri. Irawati pun pernah membakar api perang pada banyak hati lelaki.
Lantas sekarang, apakah harus terbentur pada batu ini"
"Rumah Mas Tody di mana""
Jidat Tody berkerut. Makin mirip Peter O'Toole, pikir Irawati, sedangkan Tody berpikir, "Apa-apaan ini""
Tadi sambil lalu ia menanyakan siapa teman gadis itu pulang. Tetapi, jawabnya, pertanyaan itulah. Maka Tody terdiam. Kenapa anak ini seberani itu" Cama-cami memandangku seperti dewa. Gadis ini, lain yang ditanyakan, lain pula jawabannya.
Kalau ada senioren lain, pastilah cami ini dibentak-bentak disuruh meminta maaf.
Tody keluar tanpa memandang gadis itu. Jaringan urat-urat tubuh Irawati mengejang. Marah. Diperlakukan seperti itu, dadanya menjadi sesak. Tetapi, oleh karena udara yang dihirupnya berasal dari malam yang dingin, maka kemarahan itupun mengendap. Surut.
"Mas!" Tody berhenti. "Saya tak punya teman pulang." "Oh, ya""
Irawati mengangguk kuat-kuat. Khawatir anggukannya tak terlihat dalam kelam. "Biasanya, siapa temanmu pulang""
"Tadi.... tadi dia tidak datang," kata gadis itu. Dan, dalam hati dia berdoa, "Janganlah diusut
siapa yang tak datang itu." Lalu lanjutnya, "Dia sakit sejak kemarin."
"Hm." Gumaman lelaki itu membuat jantung Irawati takut berdenyut.
"Kautunggu di sini. Akan kusuruh salah seorang temanmu mengantarmu pulang."
Bahu Irawati tertekuk. Tolol kau! Tolol kau! Tolol! Goblok! Bego! Dan, gadis itu mengumpulkan sumpah serapah dalam hatinya. Lalu menyebut-nyebut Tuhan. Ya, kenapa ada lelaki setolol ini" Apakah aku sudah menjadi begitu buruk" Apakah aku sudah tak bisa lagi menarik hati lelaki" Ya, Tuhan, alangkah terkutuknya Mapram ini. Jika sampai merusak diriku, jika membuat diriku kehilangan pesona yang selama ini ada, nerakalah Mapram ini.
"Saya tak mau diantar cama!" Suara Irawati tinggi.
"Eh"" Tody berbalik.
"Saya tak mau diantar cama!" ulang gadis itu lebih keras.
"Mau pulang sendiri" Itu tak baik Non."
"Mas Tody... " Hampir dalam rengekan suara gadis itu, "Saya tak mau diantar cama. Mereka suka ambil kesempatan dalam kesempitan."
"Eh"" "Saya tidak mau!" Lebih merengek gadis itu.
"Kalau begitu, akan diantar salah seorang anggota keamanan."
"Tidak, tidak, tidak!" Lebih histeris gadis itu.
Apa-apaan ini, pikir Tody. Apa gerangan yang telah dialami gadis ini sesiang tadi" Dia sampai dua kali pingsan. Barangkali dia mengalami kejadian-kejadian gawat selama Mapram ini. Barangkali ada yang menakutkan dirinya. Soal apa"
"Kenapa kau tak mau juga diantar keamanan""
"Saya takut! Saya takut!"
Dan, menghadapi rengekan ini, terbersit ingatan Tody pada adiknya di Nusa Tenggara Timur. Yang jauh di sana. Gadis kecil yang telah lima tahun ditinggalkannya. Tentunya dia sudah sebesar cami ini. Surat terakhir dia mengatakan bahwa dia masuk Universitas Hasanudin. Tentunya dia sedang di-Mapram sekarang. Barangkali dia juga pingsan.
Barangkali dia juga mengalami ketakutan.
Tody lebih memperhatikan cami itu. Oh, dia merasa sedang melihat adiknya. Margriet, adiknya, weta-nya sayang. Masih SMP waktu ditinggalkannya dulu. Sebagai seorang kakak dia menyesal tidak bisa mengikuti perkembangan gadis kecil itu. Margriet juga kurus. Rambutnya sering dikepang. Berkulit hitam manis. Pastilah sekarang langsing dan punya senyum yang menawan. Pastilah dia diganggu senior-senior di universitasnya.
Gadis mungil yang di depannya masih menatap penuh harap. Tody mengingat-ingat tindakannya selama menjadi senioren di Gadjah Mada. Maka terbayang gojlogan rekan-rekannya terhadap cama-cami. Memang ada yang keterlaluan kerasnya.
Ah, Faraitody, adikmu di universitas yang jauh di sana juga sedang digojlog. Di sini kau memang ketua, dewa yang dipertuan
cama-cami. Tetapi, adikmu...." Ah!
Tody menghela napas dalam-dalam, dan menatap lekat-lekat gadis itu. Gadis itu membalas menatap, dengan matanya yang mirip mata kelinci.
"Akan kuantar kau nanti," kata Tody. Kemudian dia melangkah meninggalkan kantor itu. Setelah belasan langkah, dia berkata lagi, "Tunggu saja di situ!"
Dan, dia lenyap dalam kelamnya malam.
Sementara itu, Irawati hampir tertawa terkekeh-kekeh. Ternyata batu itu kayak tanah liat, kata hatinya. Ini rintisan pertama. Berikutnya, akan kubuat dia bertekuk lutut di kakiku. Harus kubuat dia menyatakan, "Ira Sayang, aku mencintaimu."
Lalu, aku harus mempertimbangkan. Harus melengos atau menerima tangannya yang terulur itu. Nah!
*** Jalanan lengang. Di becak yang meluncur, Tody tetap ingat adiknya. Margriet, yang merajuk jika tak dituruti keinginannya. Sering dulu - waktu Tody masih di bangku SMA - gadis kecil itu ditempelengnya. Kadang hanya karena kesalahan kecil. Gadis itu membongkar susunan buku-buku Tody sebab dia senang melihat potret-potret kota di Jerman, India, atau kota besar lainnya. Betapa kejam dia terhadap gadis yang masih murni itu. Lima tahun tak melihatnya, entah bagaimana sudah perujudannya. Setahun yang lalu Tody menerima potret keluarga mereka. Di situ Margriet telah nampak dewasa. Dia cantik. Pastilah dia jadi rebutan para pemuda di sana.
Seperti gadis yang duduk di sampingku ini, mungkin Margriet juga jadi rebutan para senioren. Akibatnya, dia akan mengalami perlakuan overacting dari para senioren. Akibatnya, dia pingsan. Sampai dua kali dalam sehari. Ah! Kenapa tak kuperhatikan dari siang tadi" Ah!
Irawati merasakan roda becak beberapa kalikejeglong di lobang. Lelaki di sampingnya tetap sebisu arca. Lalu, seolah tak disengaja, di-sikut-nya lelaki itu.
Tody tersentak. "Eh, maaf. Maaf, Mas Tody, maaf."
"Hm. Tak apa-apa."
"Mas Tody kok pendiam banget sih""
"Aku pendiam""
"Iya, Membikin orang takut."
"Kenapa takut""
"Angker." "Kayak hantu kuburan""
"Ah!" Siku Irawati masuk lagi ke rusuk Tody.
Tody membiarkan siku yang kecil itu bersarang di pinggangnya.
"Kenapa sih kau gampang pingsan"" tanyanya.
"Habis, Kakak-kakak Mahasiswa mengerikan."
"Siapa"" "Semua." "Ah, masak. 'Kan ada yang baik."
"Tidak ada yang baik. Semuanya kejam!" "Mungkin kau yang banyak tingkah." "Banyak tingkah bagaimana"" "Aleman. Manja." "Siapa bilang""
Tody diam. Rantai becak berderit-derit. Irawati juga diam. Desah napas tukang becak bercampur dengan suara ban yang bersentuhan dengan pasir.
"Siapa bilang"" ulang gadis itu.
Tody cuma menggumam. "Kakak-kakak Senior yang sewenang-wenang. Memerintah seenaknya. Menghukum semaunya. Masak putri-putri disuruh lari keliling lapangan. Disuruhpush-up ," kata Irawati getir.
"Itu biasa. Melatih mental. 'Kan kaum wanita sendiri yang menuntut emansipasi! Diberi perlakuan yang serupa dengan lelaki, terus ribut. Lalu, maunya cuma persamaan yang enak saja" Kedudukan yang enak mau sama, tapi yang sulit-sulit ditolak. Emansipasi apa itu""
Irawati diam. Siku tangannya masih bertengger di pinggang lelaki itu. Membuat Tody tersudut ke pinggiran becak. Dan, ketika kejeglong lobang besar. Tody merasa pinggangnya tersodok.
"Wah, sikumu kayak tombak," katanya seraya memegang siku tangan gadis itu.
"Habis, saya kurus sih."
"Kurus juga cakep."
"Ah!" Siku Irawati masuk lagi, tetapi ditahan oleh Tody.
"Orang-orang muda zaman sekarang 'kan suka model ceking," kata Tody.
Irawati meliriknya. Mereka tiba di depan rumah yang dinaungi pohon mahoni.
"Di sini rumah saya, Mas. Hooop! Stop, Cak!" kata gadis itu. Rem becak berderit, dan gadis itu melompat.
Eh, seliar itu gerakannya. Tadi seperti ayam sakit, pikir Tody. Irawati membuka pintu pagar. "Bagus sekali taman ini," kata Tody.
Bulan bersinar penuh menimpakan cahaya pada bunga-bunga di halaman rumah itu.
"Siapa yang merawat bunga-bunga itu""
"Mama," jawab gadis itu. Dia menekan bel. Panjang sekali.
*** Batu Gunung yang Goyah PAGI itu matahari di atas Kota Yogya serupa dengan matahari kemarin. Kuning, tanpa tanda-tanda mendung. Cepat sekali mengeringkan embun-embun yang melekat di ujung-ujung daun dan rumput. P
ertanda matahari akan memanggang bumi sesiang nanti.
Tody disambut Sartono di dekat selokan.
"Ada cami bilang, Mas Tody menyuruh dia menunggu di kantor."
"Siapa"" tanya Tody.
Sartono mengangkat bahu ke arah kantor panitia. Irawati! Gadis itu memegang topi kerucutnya. Ah!
"Katanya Mas menyuruh dia mengerjakan sesuatu di kantor," kata Sartono lagi.
Sebenarnya Tody sudah ingin menggeleng-geleng. Dia heran memikirkan keberanian gadis itu. Entah bagaimana bisa timbul inisiatif gadis itu untuk mengarang kibulan macam itu.
Dada Irawati berdebar-debar manakala melihat kerutan di kening Tody. Sartono merendengi langkah Tody. Gadis itu tertunduk di bawah tatapan mata kedua lelaki di depannya.
Tody masih menimbang-nimbang. Jika dia mentolerir tindakan ugal-ugalan gadis ini, berarti dia melanggar prinsip yang harus ditegakkan. Tetapi, untuk menghukum gadis ini, sampai hatikah dia" Menghukum gadis yang bermata hitam dan berpipi agak cekung ini" Gadis yang memiliki mata yang minta ampun ini"
Tody menghela napas dalam-dalam. Lalu katanya. "Nanti saja kemari. Sekarang, antarkan dia, Ton. Biar diabsen dulu."
Irawati membungkuk hormat, kemudian berjalan meninggalkan kantor itu. Setelah gadis itu beberapa langkah jauhnya, Sartono bertanya. "Siapa dia, Mas"" "Adiknya teman," kata Tody datar.
Langkah gadis itu berayun, dan goyangan bahunya seperti goyangan bahu anak lelaki. Gaya gadis-gadis manja sekarang. Yang gadis melelaki. Kecenderungan uniseks barangkali.
Tody mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu masuk ke kantornya. Widuri di ruangan itu. Dalam kombinasi pakaian biru dan putih itu, dia terlihat rapi. Seperti Bu Guru. Bu Guru yang tak cerewet tentunya. Wajahnya yang bertipe kejawaan, lembut dan anggun, sangat serasi dengan sikapnya yang tidak berbicara.
Dia tahu, tidak akan ada ucapan selamat pagi dari mulut Tody. Dan, dia pun tak mengucapkan apa-apa. Mereka berdiam-diaman. Tody menempati mejanya, dan Widuri di sudut lain ruangan
itu. "Mas Tody," kata seorang anggota panitia, "ini rencana anggaran pengeluaran seksi saya."
"Oh, ya" Sudah disesuaikan dengan pesan bendahara"" "Ya. Tinggal disposisi, Mas."
Tody menandatangani konsep yang disodorkan. Anggota panitia itu keluar.
Widuri mengawasi punggung lelaki itu hingga jauh. Kemudian dia mengalihkan pandangan ke Tody. Mereka bertemu pandang. "Kenapa begitu gampang Mas Tody tanda tangani"" kata Widuri.
"Apa salahnya""
"Angka-angkanya belum diteliti." "Aku percaya padanya."
"Kalau tiap orang seperti Mas, memang tak jadi soal." "Maksudmu""
Widuri tak menjawab. Dia kembali menekuni berkas-berkas di mejanya. "Masakan dia mau selingkuh"" gerutu Tody. "Siapa tahu""
"Kalau sesama mahasiswa saja sudah mau main duit, apa jadinya kelak""
"Tiap terbuka kesempatan, seseorang akan mengambil keuntungan untuk dirinya."
Itulah bibit korupsi, pikir Tody. Bibit telah tersemai di perguruan tinggi. Tentu saja sebab pendidikan universitas tak pernah diarahkan untuk menumpas bibit buruk itu.
Tody termangu. Dan, ketermanguan itu berakhir ketika Widuri berkata, "Eh, Adik sakit lagi""
Irawati berdiri di pintu.
"Tidak," katanya.
"Masuklah," kata Widuri.
Segan-segan Irawati melangkah.
"Ada apa"" tanya Widuri.
"Saya.... saya.... "
"Dia disuruh Mas Tody!" sahut Sartono. "Disuruh"" Mata Widuri melebar.
Tody menggaruk-garuk dagunya yang tidak gatal. Tatapan mata Widuri tajam menyeruak. Tatapan yang menuduh. Tatapan yang meremehkan. Ah, ternyata kau serupa dengan mahasiswa lainnya. Kau bukan dewa. Kau tak lebih dari senioren yang mau memanfaatkan kekuasaan yang secuil itu. Tak lebih! Tak lebih!
"Ooo," kata Widuri. Dan, "Ooo" itu lebih menikam lagi. Seluruh perbawa yang dibina Tody selama akhir-akhir ini rasanya runtuh. Buyar sama sekali. Luluh.
Tody menatap orang-orang yang berada di ruangan itu. Sartono tersenyum kecil. Ah, apa pula yang berputaran di kepala yang gondrong itu" Irawati duduk menunduk. Kehadiran gadis itu telah menghapuskan segala image yang dipunyai Tody, pemimpin mahasiswa yang giat tanpa pamrih. Ah, aktivis mahasiswa yang berjuang dengan melupakan kepentingan diri sendiri, tetapi ternyata mau menggunakan
kesempatan "mumpung berkuasa" untuk kepentingan diri sendiri. Pemimpin macam apa itu" Masih mahasiswa saja sudah bermental seperti itu. Nanti, setelah terjun ke masyarakat, pastilah dia akan ber-aji mumpung dalam porsi yang lebih besar lagi. Bah!
Terkutuklah gadis ini! Terkutuk! Membikin gara-gara saja! Tapi, tunggu dulu. Kenapa repot-repot" Bukankah gampang sekali untuk membantahnya" Bukankah gampang sekali untuk bilang, "Aku tidak pernah menyuruhnya!"
Cuma, bantahan itu apakah efektif" Malahan mungkin akan jadi bumerang. Sartono atau Widuri akan menganggap diriku pengecut. Mereka tak akan percaya andai kubilang bahwa gadis ini membikin gara-gara. Tak akan percaya. Mereka akan menuduhku munafik nomor wahid. Berlagak sempurna sebagai pemimpin. Berlagak bersih, bahkan kalau perlu dengan mengorbankan gadis itu. Bah, bah, bah!
Lantaran Tody hanya bicara dengan dirinya sendiri, orang-orang di ruangan itu tak mendengarkan sepotong pun bantahan.
Widuri menatapnya sekali lagi, lalu keluar. Adapun Sartono berkata, "Wah, rokokku habis, Mas."
Dan, tanpa menunggu jawaban, sembari melangkah keluar dia menjumput rokok Tody di meja.
Nah, dia pun telah berperan sebagai antek yang mengurus kepentingan pemimpinnya, pikir Tody. Dan, perutnya mual. Lalu dia ingin marah. Yang tinggal di ruangan itu cuma Irawati. Dia ingin menempeleng gadis itu.
Menempeleng" Ah, lihatlah wajahnya yang kurus. Wajah yang innocent. Murni. Rambutnya yang disisir terbelah dengan kucir-kucir itu, dan mata yang takut-takut seperti mata sapi yang digiring ke penjagalan.
Maka Tody terdiam lama, memikirkan kalimat pertama yang bisa digunakan untuk mendamprat gadis itu tanpa terlalu menyakiti hatinya.
Irawati tetap menunduk, memperhatikan ujung sepatunya yang mengais-ngais lantai. "Hei, kapan aku suruh kau kemari"" kata Tody kemudian. "Saya.... saya.... "
"Siapa yang mengajarimu berbohong begitu"" "Saya.... saya.... "
"Bah, jawab! Kapan aku suruh kau kemari"" ulang Tody lebih keras.
"Tidak pernah."
"Lalu, kenapa kau berani berbohong"" "Saya takut ikut Mapram."
"Kau bisa minta surat dokter. Boleh tidak ikut Mapram."
"Saya ingin tetap di sini."
"Ngapain""
"Tak apa-apa. Saya ingin di sini. Melihat-lihat." "Tak ada tontonan di sini." Irawati diam.
Tody menekan-nekan tuts mesin tik di meja. Gadis itu menarik-narik rambutnya, kemudian bibirnya mengeluarkan suara yang hampir tanpa gerak, "Saya ingin di sini."
"Ngapain di sini""
'Membantu Mas." "Aku sudah punya banyak pembantu." "Tapi, saya ingin di sini."
"Gila! Apa fungsimu di sini" Pajangan" Bah, kalau kau agak rapi kayak peragawati, bolehlah. Boleh jadi hiasan kantor ini."
"Jadi, karena saya jelek maka saya tak boleh di ruangan ini"" Mata gadis itu menantang. "Eh, bukan begitu. Kau tidak jelek. Kau cakep." "Jadi, kenapa saya tidak boleh tinggal di kantor ini"" "Karena tidak boleh!" "Iya, tapi kenapa""
"Eh, mendesak-desak pula. Kau tak boleh di sini, habis perkara! Kembali ke kelompokmu!" "Saya tidak mau! Saya tidak mau!" Rengekan gadis itu terdengar separo tangisan. "Bah, menyebalkan!" kata Tody.
"Ya, saya memang menyebalkan! Semua orang membenci saya! Semua orang mau menyiksa saya!" Dan, gadis itu mulai menangis.
Edan, pikir Tody. Dia tak tahu cara yang paling efektif untuk menghadapi tangisan. "Lebih baik mati, lebih baik mati!"
Antara geli dan kasihan berbaur dalam dada Tody. Masak soal Mapram saja sampai memilih: lebih baik mati, lebih baik mati"
Tetapi, melihat isak dan segruk-segruk ingus di hidung yang bangir itu, iba juga Tody dibuatnya.
"Jangan menangis. Nanti dikira orang aku memaksamu yang tidak-tidak," kata Tody. Irawati masih terisak.
"He, mau diam tidak" Kalau tidak, kulemparkan kau keluar nanti!" "Lemparkan! Biar mati, biar mati."
"Eh, edan!" Tody melihat sekeliling. Khawatir kalau ada yang menyaksikan kekonyolan itu.
"Memang edan. Mau apa"" Tambah menantang gadis itu dalam isaknya.
"Sudahlah, berhentilah menangis. Eh, siapa namamu""
"Tak perlu nama! Tak perlu nama! Saya tak punya harga! Oh...."
Tody tambah blingsatan. Jangan-jangan orang yang menyaksikan ini mengira aku berbuat yang tidak-tidak. Atau, akan
menuduhku memaksakan kekuasaanku pada cami ini untuk kepentingan pribadiku. Jangan-jangan ada yang mengira aku memaksakan cinta. Berabe!
"Diamlah, diamlah."
Untuk pertama kali dalam hidupnya di kampus itu, pertama dalam pengalamannya sebagai aktivis kampus, dia menghadapi peristiwa sekonyol itu. Padahal dia merasa tidak berbuat sesuatu yang buruk terhadap gadis itu. Sekarang, gadis itu menangis bertubi-tubi. Edan!
Gadis ini barangkali terganggu keseimbangan jiwanya. Perlu dikonsultasikan pada psikiater. Ah, tak usah psikiater. Cukup psikolog saja. Di kampus ini banyak calon psikolog.
Tody ingat Anton, mahasiswa Fakultas Psikologi tingkat terakhir. Dia sudah mulai praktek menghadapi kesintingan-kesintingan orang di biro-biro konsultasi jiwa fakultasnya.
Maka Tody keluar. Lebih aman. Lebih baik menghadapkan gadis itu pada psikolog. Ya, daripada pusing. Sulit memang menghadapi gadis centil. O, pantaslah julukan gadis itu "Centil" dalam Mapram ini. Tody tak mampu menghadapi kecentilan. Dia lebih suka dihadapkan dengan polisi yang melarang demonstrasi daripada dengan gadis-gadis yang menangis. Gadis-gadis memang selalu memusingkan kepala.
Irawati berhenti menangis. Dari celah-celah jari tangannya dia melihat tubuh Tody yang makin menjauh. Dan, dia tersenyum. Lalu dia memperenak duduknya. Bersantai.
Sementara itu, Tody bergegas ke Fakultas Psikologi. Di langit, matahari mulai menyebarkan panasnya. Sembari berjalan, Tody berpikir, ah, kenapa aku sendiri yang menemui Anton Sinting itu" Kenapa tak kusuruh saja seorang mahasiswa atau cama memanggilnya" Ah, rupa-rupanya aku tadi panik. Ingin cepat-cepat melepaskan diri dari kebisingan tangis itu. Bah, tangisan memang lebih mengganggu keseimbangan pikiran. Mendengar tembakan-tembakan peringatan waktu demonstrasi aku tidak terganggu. Tetapi, menghadapi gadis menangis.... wah, parah!
Dari kaca jendela, Tody melihat Anton duduk. Baru saja seorang pemuda berkonsultasi padanya. Lalu Tody memberi isyarat, tetapi Anton malah mempersilakannya masuk dan menyuruhnya duduk.
"Nah, apa kesulitan Anda"" tanya Anton.
"Asu!Jangan berlagak kau!"
"Eh, nampak-nampaknya Anda agak parah!"
Tody memaki dalam bahasa daerahnya, Flores. Dan, Anton tertawa mengakak. Lalu berdiri dan mengajak Tody keluar.
"Well"" kata Anton.
"Aku perlu bantuanmu."
"Soal"" Mereka berjalan menyusuri gang di gedung universitas.
"Ada cami yang agak aneh. Dia menangis terus. Aku kira dia mengalamishock selama Mapram ini."
"Hm. Lalu""
"Cobalah periksa dia." Lalu, secara kronologis Tody menceritakan kelakuan Irawati. Dari pingsannya sampai pada kebohongannya tadi.
"Eh, kasus yang menarik," kata Anton.
"Makanya kupanggil kau, biar tambah pengalamanmu sebagai dukun jiwa."
*** Anton menemui gadis itu, sedang Tody terus berjalan ke selatan, menyimpang ke kiri dan ke Fakultas Sastra. Cama-cami fakultas itu sedang menghadapi gojlogan dari senior-senior mereka. Johan berkacak pinggang di sudut aula. Di depannya duduk seorang cami. Bersimpuh. Barangkali Johan mengira dirinya maharaja. Bentakannya menggelegar hingga cami itu tersentak.
"Kenapa tidak dibawa" Mau membangkang""
Kugapai Cintamu Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya lupa," kata cami itu. Kepalanya tertekuk. Lehernya bagai tak bertulang. "Nanti sore harus kaubawa. Mengerti""
Gadis itu mengangguk dalam-dalam, dan Johan meninggalkannya. Lalu mendekati Tody. Tody memperhatikan cami itu. Dugaannya, gadis itu tentulah calon mahasiswi jurusan Sastra Prancis. Wajahnya mirip gambar-gambar reklame parfum buatan Prancis. Lembut dan lonjong, dengan mata selembut mata Liz Taylor. Bibirnya punya lekukan yang bagus.
Johan tertawa. "Disuruh bawa cacing saja sudah sulit. Belum lagi mencari fosil," katanya.
Tody mengalihkan matanya. Cami itu masih duduk di tempatnya. "Tak kausuruh dia kembali ke kelompoknya"" kata Tody.
"Oh, ya. Hei, Cami Goblok! Kembali ke regumu!" Suara Johan mengatasi bentakan senior lain di ruangan itu.
"Cantik," kata Tody.
"Tapi, belum menandingi Irawati," kata Johan.
"Sudah ada pacarnya""
"Ah, ente berlagak pula."
"Hei...." Maksudmu""
"Bukan kau yang sudah memetiknya""
"Bah, gila kau! Siapa maksudmu""
"Itu.... yang kausimp
an di kantor." Tody tiba-tiba merasa dadanya menyenak. Lebih-lebih setelah bertatapan dengan mata Johan yang memperoloknya. Dalam beberapa helaan napas, dia bisa menstabilkan diri. Lalu katanya, "Gadis itu yang kumaksud."
Gadis yang barusan digojlog Johan duduk di tengah-tengah kelompoknya. Di celah pakaian-pakaian yang lusuh dan kotor itu, kelunakan matanya tak berkurang sama sekali.
"O, dia. Sudah."
"Siapa"" "Anak AKABRI," kata Johan. "Bagaimana kau tahu"" "Pernah kulihat."
"Kalau begitu, sejak lama kau mengincarnya."
"Ah, tiap cewek aku incar. Mereka mau atau tidak, itulah soalnya."
Untuk beberapa saat mereka diam. Mereka memperhatikan gadis-gadis di aula itu. Bentakan-bentakan senioren berbauran dalam paduan yang membisingkan.
"Eh, omong-omong," kata Tody, sesaat dia melirik Johan, dan sebelum bertemu pandang dia melanjutkan, "kau kenal Irawati""
Johan tertawa kecil. Dia mempermainkan geretannya lima enam kali, memperhatikan pijar-pijar batunya.
Tody maklum. Dia mengeluarkan kreteknya, dan mereka merokok.
"Kukenal," kata Johan tak acuh. Dia lebih asyik dengan asap rokoknya. Dan, dia puas bisa membuat lingkaran-lingkaran bulat dari asap rokoknya. "Pacarku dulu dekat rumahnya," lanjutnya.
"Bagaimana keadaan lingkungannya"" "Hm, biasa saja." "Bagaimana yang biasa itu"" "Ah, kau tentunya lebih tahu."
"Tidak. Aku tidak tahu. Cuma, aku merasa ada sedikit kelainan pada gadis itu." "Abnormal""
"Mau dibilang 'abnormal', ya tidak. Tapi, yah, semacam kelainan dari gadis-gadis lain." Johan menggigit-gigit ujung rokoknya.
"Kehidupan mewah," katanya. "Ayahnya punya perusahaan yang lumayan besarnya. Kabarnya punya hubungan dengan salah seorang Aspri presiden."
"Hm. Itu saja""
"Dia suka pesta-pesta. Teman-temannya banyak. Boleh dibilang, dia pusat sentrifugal remaja-remaja elite di kota ini."
"Aktivisyouth centre ""
"Uh, apayouth centre " Mana mau mereka masukyouth centre atau Pramuka segala macam" Semacam peradaban bebas, begitulah."
"Peradaban bebas, atau liar""
"Tak tahulah. Pokoknya mereka sering kumpul-kumpul dari rumah ke rumah." "Hm, morfinis""
"Ah, itu aku tak tahu," kata Johan.
Tody terdiam, sedang Johan mengedarkan mata ke seputar aula, mencari sasaran bentakan. Tetapi, cama-cami berlaku tertib. Johan kehilangan alasan untuk membentak. Maka dia mengalihkan perhatiannya kepada Tody. Masih termangu dia.
"Terus terang," kata Johan, "aku heran, bagaimana kau bisa kenal cewek itu. Dia bilang, kalian berkenalan sebelum Mapram ini""
Tody tetap membisu. Johan masih menunggu beberapa saat. Lantaran Tody tetap seperti semula, maka katanya, "Oke, aku pergi dulu."
Dari merasakan lintasan angin yang ditimbulkan tubuh Johan, barulah Tody menyadari kesendiriannya. Lalu dia melangkah pelan-pelan keluar dari aula Fakultas Sastra itu. Berjalan terus memijak rerumputan, membelah halaman, dan pergi ke fakultas lain.
"Terus terang, aku heran bagaimana kau bisa kenal cewek itu." Kalimat ini berputaran terus di benak Tody. Ya, bagaimana aku bisa mengenalnya" Tody menghela napas dalam-dalam. Gadis itu datang membawa problem baru dalam hidup ini. Tindakannya mengacaukan image yang kupelihara selama ini. Sebagai aktivis mahasiswa, ya, memang tak ada salahnya pacaran. Tetapi, pacaran dengan menggunakan kekuasaan sungguh-sungguh buruk. Memanfaatkan ketakutan seorang gadis untuk memulai pacaran, sungguh-sungguh buruk. Dan, itulah anggapan setiap orang sekarang di kampus ini. Padahal, padahal, padahal, ah! Sepatu Tody tersandung kerikil.
Siapa gadis itu, dan bagaimana dia sampai berani ke kantor panitia, tak seorang pun tahu pasti. Bahkan aku pun tidak. Jika saja orang punya alat untuk mencek isi dadaku, ya, jika saja! Biar orang tahu bahwa aku sama sekali tidak memanfaatkan situasi Mapram ini untuk kepentingan pribadiku. Peristiwa ini teramat kecil sebenarnya dibandingkan dengan rangkaian kehidupan yang harus kujalani. Tetapi, kekonyolan membuatku bingung.
Atau, barangkali aku terlalu lemah" Atau, barangkali lantaran gadis itu cantik" Di dasar hatiku, sebenarnya aku menginginkannya. Cuma, aku tidak menginginkan situasi semacam sekarang ini. Jika saja
bisa berkenalan dengannya bukan dalam posisi sebagai ketua panitia Mapram! Ya, jika saja. Tetapi, bagaimana bisa" Lingkungan kehidupan gadis itu bukan lingkungan kehidupanku.
Akan berkepanjangan pembicaraan dengan diri sendiri itu seandainya Tody tidak melihat Anton berjalan bergegas. Begitu matanya menangkap Tody, Anton mengacungkan ibu jarinya. Gondrongnya melambai-lambai diterpa angin. Dan, Tody melihat keceriaan pemuda itu. Alangkah bedanya kami, pikir Tody. Dia begitu bergairah dalam setiap keadaan.
"Ayo, minum dulu. Ada informasi gawat!" kata Anton. Tanpa menunggu jawaban Tody, dia berjalan terus. Tody terpaksa mengekorinya. "Minum di mana kita""
"Di mana saja, asal kau tak terlalu lincah," kata Tody.
"Ke warung itu saja. Wah, cewek-mu itu membuat perutku lapar."
"Cewek-ku" Apa-apaan kau""
"Nantilah kuceritakan. Sekarang, aku perlu sepiring nasi rames dan beberapa potong tempe goreng. Kalau kondisi mengizinkan, yah, aku juga memerlukan telor dan ikan seadanya."
Mereka masuk ke warung. Begitu duduk, Anton menyambar peyek.
"Bukan main, bukan main," katanya.
"Apanya bukan main""
"Kau," ujar Anton dengan mata tersenyum-senyum. "Ah, mulailah."
"Nanti dulu! Sembari makan akan lebih puitis." "Aku tak perlu puitis-puitisan."
"Nah, itulah. Kau terlalu kaku. Kau tidak melihat kehidupan ini dalam seluruh fasetnya. Kau kelewat serius. Makanya kau tak tahu, cewek itu, siapa namanya" Irawati. Ya, Ira, cinta sama kau."
Tody tersedak, dan cepat-cepat meletakkan gelasnya.
"Jangan main-main kau," katanya kemudian.
"Siapa yang main-main" 'Kan kubilang, bukan main, bukan main."
"Ya, ya, ya. Lalu, bagaimana""
"Ini berdasarkan penelitian ilmiah psikologis. Kesimpulannya, dia mencintai kau! Hebat nggak"" "Kau biasa omong kosong."
"Bah! Kau meragukan ilmuku" Aku sudah gunakan teknik-teknik interviu yang berdasarkan metodologi."
"Aaah, itu urusanmu. Aku cuma ingin tahu bagaimana hasil pemeriksaan. Sebab, sebagai ketua panitia, aku bertanggung jawab kalau ada cama-cami yang mengalami gangguan jiwa selama Mapram ini."
"Lebih-lebih menyangkut dia. Nah, aku mulai saja." Anton menyemba telor mata sapi.
"Waktu aku masuk ke ruangan yang pengap itu, ah, ya, kau perlu minta fan pada pengurus universitas. Dia menatapku nanap. Matanya yang bagus seperti mata cincin itu berketap-ketip. Aku jadi ingat kijang minta kacang di kebun binatang. Itu yang namanya mata redup-redup memanggil bak bintang kesepian di kangit kelam."
"Ah, kau bertele-tele!" bentak Tody.
"Uraian ilmiah tak harus kaku. Perlu juga bahasa indah. Kuteruskan. Aku pun membalas menatapnya lekat-lekat. Seraya mengirimkan hipnoseku, aku berkata, 'Hello, Nona.' Bibirnya hampir terkuak. Tak jadi. Tak kuketahui kenapa. Aku duduk di depannya. Sesaat kupandangi dia. Dan, terasa ada kepinding di kursi yang kududuki." Mulut Anton berdecap-decap mengunyah.
Tody pelahan menggigit kerupuk. Takut gemeretak kerupuk itu mengganggu Anton.
"Kemudian kataku, 'Namaku Antonius. Mudah-mudahan nama itu tidak menakutkan Anda.' Dia tersenyum. Kupikir, senyumnya layak ditampilkan di teve untuk reklame apa saja. 'Aku juga panitia Mapram,' kataku. 'Tapi, ketahuilah aku adalah senior yang paling baik di antero kampus ini.'
"Ah, masak"" katanya. Senyumnya tambah mekar.
"Kalau tak percaya, tanyakan rektor kita," kataku. "Rektor dan beberapa profesor di kampus ini pernah kumapram."
Dia tertawa. Dan, melihat tawanya itu, aku berpikir. Andainya aku belum punya pacar, dia patut dicintai. Lalu kutanya, "Kabarnya kau membenci semua senior di kampus ini""
"Siapa bilang"" katanya.
"Ada. Kabarnya kau membangkang setiap perintah senioren."
"Tidak, tidak. Saya tidak membangkang. Saya cuma tidak mampu melaksanakan perintah-perintah yang kelewat di luar batas saja."
"Perintah bagaimana yang di dalam batas""
"Ah," katanya. Dan, dia mengedikkan bahunya, kayak marah.
"Kau bisa cerita setiap perlakuan senioren yang tidak sepantasnya. Sebab, memang tugasku untuk menampung info-info tentang mereka. Aku bertugas di bidang pengawasan senioren. Semacamprovoost -nya mahasiswa, begitulah," kataku.
"Apa-apaan itu"" pintas Tody.
"Diam sajalah. Itu teknik biasa. Menghadapi pasien, kita harus menempatkan diri satu front dengan mereka. Nah, kulanjutkan ya" Kulihat pancaran matanya kian bersahabat. Sedikit mesra. 'Ceritakanlah kalau ada kesulitanmu,' kataku.
"Betul Mas pengawas Kakak-kakak Senior"" tanyanya.
"Ya. Itu bisa kaucek nanti sama ketua panitia. Kau sudah kenal, 'kan""
Dia mengangguk. Kemudian matanya kelihatan terhujam ke lantai. Istilah populernya, dia tersipu-sipu. Pada hematku, dia menyimpan sesuatu di hatinya.
Lalu kejarku, "Atau kau takut padanya""
"Tidak, tidak, tidak," katanya cepat. Dan aku pun mengambil pangkal tolak bahwa dari titik inilah aku harus memulai.
"Yah, dia memang tak patut ditakuti. Sebab, setahuku, dia sangat baik. Atau, tidak"" kataku. "Tidak, tidak, tidak," katanya. "Tidak bagaimana""
"Ah, tak tahu," katanya. Nampak-nampaknya dia memendam rasa. Di ruangan sebelah ramai anggota panitia yang bekerja. Di antara mereka ada yang menjenguk lewat pintu, dan berseru, "Hop, Anton mulai main film lagi""
Kurang ajar sekali. Tapi, tak kupedulikan. Gadis itu makin menarik perhatianku. Perhatian dalam arti ilmiah tentunya. Jadi obyek studi. Dari ruangan itu aku melihat lewat jendela, ke arah bangunan fakultasmu. Mencari-cari kau. Tapi, terang saja kau tak kelihatan. Lalu interviu kulanjutkan, "Kudengar kau pingsan beberapa kali. Betul" Kenapa""
Dia agak gugup. "Kalau kau pingsan lantaran perlakuan senioren, kau boleh melaporkan sekarang padaku. Senioren mana dan bagaimana perlakuannya."
Pada mulanya dia tak mau menjelaskan. Tapi, dengan teknik interviuku yang brilian, akhirnya lamat-lamat dia menceritakan persoalannya. Rupa-rupanya Johan punya perhatian padanya. Kau tahu sendiri tabiat Johan. Agak punya badakisme. Dia sangat offensive. Gadis itu jadi bulan-bulanan terus-menurus. Gadis itu merasa tak aman.
"Saya bosan dikejar-kejar," katanya.
"Dikejar bagaimana""
"Terlalu banyak lelaki yang agresif. Sejak SMA, saya sering pusing dibuat oleh lelaki-lelaki yang tak tahu malu."
"Barangkali karena kau primadona di SMA-mu""
"Bukan itu. Tapi, memang lelaki selamanya mau jadi penakluk. Mereka akan bangga kalau dapat menaklukkan seorang perempuan. Semakin kita mengelak, semakin dia ngotot. Dan, begitu kita jauh, dia akan meninggalkan kita."
"Wah, hebat pandanganmu. Naga-naganya kau sudah berpengalaman nih," kataku. "Pengalaman" Ah, entahlah," katanya.
Omong punya omong, dia kelepasan bicara. Dan, aku pun tahu tentang cintanya padamu." "Uf, bagaimana mungkin!" kata Tody.
"Apa yang tak mungkin di kolong langit ini" Selama bumi masih berputar, segala macam kemungkinan bisa terjadi. Dia mencintaimu."
"Apa dia bilang""
"Katanya, karena kau diam bagai gunung, kau kukuh dalam pendirian. Dia merasa, kau seorang lelaki yang setia."
"Antooon, Anton. Dia baru dua atau tiga hari mengenalku. Bagaimana bisa dia membuat kesimpulan begitu"" kata Tody.
"Sewaktu Onassis ketemu Jaqueline...."
"Bah! Aku bukan Onassis! Kau mengada-ada!"
"Mengada-adakan yang ada, apa salahnya"" kata Anton. Tody tersenyum pahit. Dia melayangkan pandang ke luar. Bangku-bangku di warung itu kosong. Stofles berisi emping melompong di depannya.
"Kau belum pernah mengalami kegagalan, Anton. Makanya kau bisa percaya pada gadis-gadis. Kalau harus ada yang tidak kau percayai di muka bumi ini, kupikir itu adalah dirimu sendiri. Bukan gadis-gadis."
"Bah!" gerutu Anton.
"Sebab, kau selamanya mendapatkan gadis yang kau inginkan, Anton. Dan, kautinggalkan jika kau tertarik pada gadis lain. Aku tidak seperti kau. Kau ingat Werdaningsih pada pelonco dua tahun yang lalu" Aku cuma menjadi penjemput dan pengantar, ternyata. Di akhir perpeloncoan, orang tuanya mengucapkan terima kasih. Lalu Werdaningsih memberikan tanda mata, fulpen Parker satu set. Katanya itu kiriman tunangannya di luar negeri, untukku sebagai tanda terima kasihnya sebab aku telah menjaga Werda. Memangnya aku ini buldog mereka""
"Itu karena kau tak hati-hati. Kau terlalu berharap."
"Berharap, katamu" Apakah ada yang tidak berharap kalau seorang lelaki menjemput dan mengantar seorang gadis yang bukan adik, bukan apa-apanya" Apakah ada" Tunjuk
kan orangnya, siapa di antara teman-teman kita yang tanpa pretensi dalam mengawal gadis-gadis.
Kecuali.... ya, kecuali jika memang dia bertugas dalam kepanitiaan untuk menjemput dan mengantar. Bahkan itu pun bukan mustahil punya harapan-harapan tertentu."
"Anggap sajalah pengalaman pahit itu kecelakaan."
"Lalu dengan Lidia. Polanya sama. Kekonyolan yang kualami sama. Kepahitannya juga sama." "Habis, kau mendekati cewek-cewek yang sudah bertunangan," kata Anton. "Bagaimana aku tahu dia sudah bertunangan" Selama pelonco dia seperti seorang kekasih." "Sempat kaucium""
"Ah!" "Kalau sempat kaucium, itu sudah sangat memadai. Tak perlu susah-susah."
"Apakah kaupikir hubungan lelaki dan wanita hanya cium-cium dan dekap-dekap saja""
"Untuk permulaannya, tak apalah. Nanti kalau sudah cocok betul, baru dipikirkan lebih lanjut."
"Bagiku tidak sesederhana itu. Lebih luhur."
"Boleh luhur. Tapi, harus punya reserve."
"Reserve tinggal reserve. Tapi, kalau diperlakukan seperti buldog pengawal, tentu saja sakit.
Pahit." "Mulailah dari sekarang."
"Sekarang lebih sulit, Anton. Dulu aku cuma anggota panitia. Sekarang ketua. Mau tidak mau banyak sekali bedanya. Aku harus hati-hati."
Anton diam. Tody pun membisu. Dia mengawasi muka Anton. Memperhatikan dagu Anton yang kukuh. Matanya yang hitam jernih dan selalu bagaikan tersenyum. Mata yang ramah. Di botol limun, Tody melihat mukanya sendiri. Tak terang. Cuma, dia bisa membayangkan matanya yang selalu murung.
"Soalnya, Anton, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa selama Mapram ini seorang gadis betul-betul mau bercinta, bukan hanya sekadar mencari perlindungan"" tanya Tody lambat-lambat.
"Kenapa harus dipersoalkan" Pokoknya, selama dia mau, manfaatkan!" "Ah, aku tak bisa begitu." "Kau mau bercinta kayak Nabi-Nabi" Hah!" "Aku bukan Nabi. Cuma, aku tak suka keisengan."
"Kalau kau terlalu serius, sebelum umur tiga puluh jidatmu sudah berkerut tujuh dan kepalamu botak. Maka kau pun digolongkan barang tua. Kalau barang antik, masih lumayan. Ada
harganya. Mungkin disenangi oma-oma pengumpul barang antik. Tapi, kalau rongsokan" Wah, wah, minta ampun."
"Jadi, bagaimana harus kubuat""
"Nah, kembali ke soal gadis yang bernama Irawati itu. Mumpung dia bilang sedang tertarik pada kau, ya, jadikanlah dia kekasihmu."
"Kalau hanya untuk keamanan saja""
"Ya, kapan-kapan cari yang lain."
"Artinya, aku harus mengalami kekonyolan yang sama""
"Jangan lihat tindakannya menipu kau. Lihat saja tindakan kau yang memanfaatkan dia. Aman. Tenteram. Senang. Itu akan membahagiakan jiwa."
Tody menggeleng-geleng. "Kukira kau bisa memberi advis yang ilmiah berdasarkan ilmu psikologimu," keluhnya.
"Yah, itu berdasarkan ilmu."
"Ilmuplayboy !"
"Kau mau mencari cinta yang sejati, sekali nemplok langsung pada kau" Wah, itu payah. Kalau kau ngotot, akhirnya kau jadi pastor. Daripada begitu, lebih baik sekarang kau masuk seminari. Belum terlambat. Orang tuamu di Flores sana akan senang sekali."
Tody mengeluh. Anton mengipas-ngipaskan buku ke lehernya. Hawa di warung itu semakin pengap.
"Oke, bayarlah. Kita omong-omong di bawah pohon cemara itu," kata Anton. Lalu dia mendahului keluar.
*** Cukup lama Widuri membiarkan ruangan itu hening. Cuma suara mesin tik dari ruangan sebelah terdengar. Di sudut ruangan, duduk Irawati. Dia pun dibalut senyap.
Matahari mencorong di langit. Kemudian Widuri merasa bosan membaca. Pori-pori kulit menganga dalam sungkupan hawa siang yang terik.
Widuri mengangkat kepala, dan tersenyum kepada Irawati yang menatapnya. "Panas ya"" kata Widuri. Irawati mengangguk.
"Konstruksi bangunan ini memang kurang baik. Angin tidak bebas bertiup dari luar." Di kejauhan, pucuk cemara bergoyang diterpa angin. Menimbulkan imaji sejuk.
"Mari, kita keluar," kata Widuri kemudian. Irawati mengikutinya.
Kedua gadis itu berendengan di sepanjang jalan di kampus. Cemara menderaikan daunnya. Seperti sajak Chairil Anwar. Rambut Widuri yang tergerai hingga bahu berberaian dalam hembusan angin dari selatan.
Jalan yang mereka susuri memanjang ke depan. Matahari menimpakan sari-sari panasnya ke aspal yang tak terlindung pepohonan. Uap p
anas menari-nari di permukaan aspal.
"Kau disuruh apa sama Mas Tody." Tiba-tiba Widuri bertanya membuat Irawati gelagapan.
"Eh, tidak, tidak apa-apa," jawabnya kemudian.
Dan, keduanya diam lagi. Celepak sepatu masing-masing berdesir-desir di pasir. Mereka berjalan dari kelindungan pohon yang satu ke kelindungan pohon yang lain. Gedung Induk Universitas Gadjah Mada megah dalam balutan cat putihnya. Langit biru dan awan mengapas putih. Jantung Kampus Gadjah Mada itu dari kejauhan terlihat anggun.
Teriakan-teriakan senior yang membentak cama-cami semayup dibawa angin. Widuri menatap ke arah teriakan-teriakan itu, sedang Irawati melangkah dengan kepala tertunduk.
"Kau sering sakit, Dik Ira""
"Saya" Ah, tidak. Kenapa""
"Kenapa kau gampang pingsan""
"Saya pun tak tahu. Cuma, saya kepingin pingsan kalau hati saya jengkel."
"Waktu Mapram dulu, saya pun pernah pingsan. Tapi, memang karena badan saya lemah. Dulu saya sakit-sakitan. Dan, penakut. Saya takut pada semua senior."
"Kabarnya Mapram dulu lebih berat""
"Yah, lebih berat. Dulu tak pernah pulang di bawah jam dua belas malam. Bahkan sampai jam satu, jam dua. Apel pagi jam lima. Siang terbakar panas, malam kedinginan. Betul-betul sengsara. Tapi, yah, bisa juga dilalui. Solidaritas antarteman sangat tebal. Mereka, para cama, akan mengantar teman-teman putri pulang. Kadang-kadang ada juga Kakak Senior yang mengantar."
Langkah mereka tetap beraturan. Irawati memperhatikan seekor burung yang menyambar-nyambar pucuk pohon cemara.
"Dik Ira dengan siapa biasa pulang""
Irawati gelagapan lagi. Burung yang diperhatikannya tadi membubung tinggi ke angkasa. Tinggal titik hitam di langit.
"Dengan teman," katanya pelahan sekali.
"Teman se-Mapram""
"Ya, eh.... " Widuri meliriknya. Dan, dia melihat kecanggungan di wajah Irawati. Sementara itu, Irawati sendiri sedang berpikir, kenapa harus takut" Kenapa harus ragu-ragu"
"Dengan Mas Tody," katanya tuntas, dan melirik Widuri.
Akan halnya Widuri, gadis ini hanya menatap kerikil di jalanan.
Pacarnyakah lelaki itu" Pacarnyakah" Kalau bukan, pikir Irawati, kenapa dia mendadak menatap ke tanah" Kenapa dia tak berani membalas tatapanku"
"Rumah kalian berdekatan"" tanya Widuri.
"Tidak," jawab Irawati.
"Ooo," kata Widuri pelahan.
Maka Widuri - mahasiswa ekonomi tingkat tiga itu - menapaki jalan dengan membisu. Cemara tak bosan-bosannya bergoyang. Gerumbul semak di pinggir jalan tetap berbunga cantik walau tak terpelihara. Rumput-rumput ada yang berbunga kecil-kecil sebesar pentol korek api, berwarna putih dan ungu. Seekor kumbang menggeremet di bunga liar itu.
"Haus"" kata Widuri.
"Ya," kata Irawati.
"Mari kita ke kafetaria sana."
Mereka melintasi jalan setapak yang dihampiri kerikil dan pecahan genteng. Batu yang terinjak berbunyi berderik-derik. Jalan berkerikil itu melintang dalam ujud perempatan.
Dan, suara dari samping, "Hai, Ira!" Anton dan Tody.
"Hai, Wiwik!" tambah Anton.
"Dari mana, Mas Anton"" tanya Widuri.
Anton menunjuk warung di luar kampus. Tody bertatapan dengan Irawati. Dan, ah, ah, ah! Memang lain. Mata gadis itu tersipu-sipu, pikir Tody. Kemudian dia berabh memandang Widuri. Cepat sekali Widuri meloncatkan pandangan ke tempat lain.
"Kami mau minum," kata Widuri. "Ikut""
Anton menggeleng. Dia lantas menepuk-nepuk perutnya. Widuri mengangkat bahu, lalu menarik tangan Irawati. Dan, sebelum melangkah, Irawati melontarkan pandang lagi, membuat Tody menelan ludah yang agak tersekat. Berjalan beberapa langkah, Tody menoleh lagi. Lalu menoleh kepada Anton sebab terdengar Anton tertawa kecil.
Kedua gadis itu lenyap di pintu kafetaria. Anton tertawa lagi. Lebih keras dari sebelumnya. "Ngetawain apa"" Tody dongkol. "Ngetawain cinta!"
"Hah, gila!" *** Mereka kembali melangkah. Ujung sepatu sandal Anton menendang-nendang kerikil sehingga beberapa butir kerikil bertemperasan ke rerumputan di pinggir jalan.
"Kelihatannya mereka akrab," kata Anton.
Tody tak menimpali. "Widuri kesepian," lanjut Anton.
"Oh, ya" Kenapa tak kaupacari""
"Mana dia mau""
"Kenapa tidak""
"Karena dia tahu aku sudah punya pacar."
"Kan ada gadis-gadis yang bangga sebab bisa mer
ebut pacar gadis lain."
"Tapi, dia bukan tipe itu."
"Bah! Sejauh mana sudah kaukenal dia"" "Berdasarkan analisa, Bung."
"Ah, analisamu sering ngawur."
"Eh, jangan meremehkan. Sudah berapa orang yang terganggu jiwanya berhasil kusembuhkan."
"Iya, menghadapi orang senewen kau memang bisa. Tapi, yang waras tunggu dulu."
"Lebih mudah menghadapi orang normal daripada yang mengalami gangguan jiwa."
"Tapi, kau tak bisa menyembuhkan dirimu sendiri."
"Bajingan!" "Ya, kau pun perlu menyembuhkan diri sendiri. Kenapa kau tak pernah puas pacaran""
"Siapa bilang tak pernah puas" 'Kan aku sudah stop untuk yang sekarang. Setelah dia, tidak akan pindah lagi. Dia betul bakal jadi ibu anak-anakku."
"Betul nih""
"Tunggu saja tanggal mainnya."
"Wah, hebat." "Ya, memang hebat." Anton tertawa mengakak.
"Jadi, kita tak perlu melihat cewek cantik di Fakultas Sastra itu"" "Kenapa tidak"" kata Anton cepat. "Katamu tak bakal pindah lagi""
"Tukar pacar memang tidak. Tapi, melihat-lihat 'kan boleh saja" Setiap keindahan, di mana pun tempatnya, harus dinikmati. Ibarat melihat lukisan, aku senang lukisan Rusli. Tapi, itu 'kan tidak menutup kemungkinan untuk melihat pameran Nashar, Zaini, atau Affandi. Nah, mari kita lihat cewek yang seperti bintang film Prancis itu."
"Pacarmu tidak bakal cemburu""
"Wah! Ini bukan ngecap. Tapi, dia memang orang yang paling sempurna. Dia memahamiku dan mempercayaiku. Itulah sebabnya aku tak akan mencari yang lain sampai kapan pun. Sebab, aku tak akan bisa mendapat gadis yang melebihi dia."
Mereka melangkah lebih bergegas. Tetapi, baru kira-kira sepuluh langkah, Anton memperlambat langkahnya.
"Eh, omong-omong soal Widuri lagi. Berdasarkan analisaku, dia mencintai kau, Tody."
Tody berhenti, dan katanya, "Antooon, Anton. Tiap gadis mencintaiku. Aduh, aku bisa bunuh diri nanti."
"Ini sungguh-sungguh. Soalnya, waktu kita rapat pembentukan panitia Mapram ini tempo hari, waktu kau dipilih jadi ketua, dua bulan yang lalu ya....""
"Hm." "Sehabis rapat malam itu, kami, aku dan Widuri, pulang bersama." "Wow! Kaucium dia""
"Ah, diam dulu! Sepanjang jalan, dia banyak sekali menanyakan kau." "Seberapa banyak" Berikan angka-angka statistik. Jangan mengada-ada." "Hampir sembilan puluh dua persen percakapan mengenai kau." "Apa saja yang kalian bicarakan""
"Dia yang bertanya. Aku cuma berfungsi menjawab kayak komputer." "Apa yang ditanyakannya""
"Apakah kau sudah punya pacar.... "
"Hah! Tidak mungkin!" "Kenapa""
"Tidak mungkin. Tidak mungkin gadis Jawa seterus terang itu. Tak mungkin se-blak-blak-an itu."
"Ya, memang bukan pertanyaan langsung sepersis kalimat itu. Dari pembicaraan hilir-mudik sepanjang jalan itu, maksudnya kutangkap, itulah kira-kira."
"Lalu, apa jawabmu""
"Kubilang, kau tak punya pacar. Belum punya pacar."
"Terus"" "Dia diam." "Terus"" "Kucubit tangannya."
"Terus"" Tody tambah antusias.
"Kutanya dia, apakah dia mau jadi pacarmu."
"Terus"" "Mau"" desakku.
"Terus"" "Ah, mungkin dia sudah ada yang punya," katanya." "Terus"" Tody lebih bersemangat.
"Terus, terus, terus becak kami masuk lobang di dekat rumahnya, lalu tamat." "Ah, brengsek!" keluh Tody sembari menghembuskan napas jengkel. "Ini sungguh-sungguh, Tody."
"Bagaimana bisa membedakan imajinasimu dengan fakta-fakta" Kau sudah ketularan pasien-pasienmu!"
"Kalau tak percaya, apa boleh buat""
"Andainya betul, kenapa baru sekarang kauceritakan""
"'Kan baru sekarang kita ketemu sejak rapat itu" 'Kan aku riset ke luar daerah selama ini" Lalu sibuk di biro konsultasi itu. Bagaimana bisa menceritakannya""
Kugapai Cintamu Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, kau memang pikun!"
"Kau pun, ketemu-ketemu terus mengajukan persoalan!" Anton bersiul-siul. LaguBlowing in The Wind baru sepotong, dia memutus dengan siulan yang panjang ke arah seorang gadis yang mereka papasi.
Tody mengangguk menyalami gadis itu.
"Gila kau! Itu asisten di fakultasku," kata Tody dengan suara tersekap.
"Oh, ya" Lumayan juga pinggulnya."
"Jangan kurang ajar kau!"
"'Kan di tingkatmu tidak ada asistensi-asistensian"" "Walaupun begitu, dia asisten di fakultasku!"
"Ho, aku juga asisten di fakultasku. Malah kalau perlu, dia kujadikan pasienku."
"Ah," kata Tod y. Mereka kembali melangkah.
"Nah, ternyata ada dua gadis mencintai kau. Widuri dan Irawati," kata Anton. "Itu semua dugaan-dugaanmu."
"Selain itu, mungkin masih ada gadis lain. Siapa tahu" Ya, kita harus punya kepercayaan pada diri sendiri. Setiap gadis mungkin saja mencintai kita. Yang jadi soal cuma kesempatan. Moment! kita harus menciptakan moment yang tepat."
Tody membisu, menekuri tanah yang akan dipijaknya.
Anton meliriknya, mengawasi tubuh lampai yang berjalan diam-diam itu. Meneliti rambut Tody yang tersisir rapi. Rambut yang hitam, dan - paling tidak - sekali dalam dua puluh hari dipangkas. Sempat pula Anton menatap baju tetoron Tody yang rapi dan dimasukkan ke celananya yang berwarna gelap itu. Sepatunya yang mengkilat itu, pikir Anton, setiap pagi minimal memerlukan waktu dua puluh menit untuk mempersiapkan itu semua.
Anton tersenyum seraya memandang kulit sepatu sandalnya. Lalu dia menendang kerikil lagi. Dan, keduanya tiba di jalan beraspal yang membelah kampus.
"Jangan terlalu ragu-ragu. Punyailah keberanian," kata Anton. "Pilih satu di antara kedua gadis
itu." "Ah, kau membuat aku bingung," kata Tody. "Kenapa harus bingung""
"Urusan dengan cami itu saja sudah memusingkan kepala. Kau tambah lagi dengan soal Widuri. Itu membuat aku canggung menghadapinya. Padahal kami harus sering bertemu dalam kegiatan-kegiatan di kampus ini."
"Untuk sementara, urus dulu cami itu. Sedikit agresiflah. Dan, andainya kau jatuh cinta, jangan cinta tanpa reserve. Kalau dia banyak tingkah, kau tidak terlalu kecewa."
Tody menggeleng-geleng. "Tak sanggup"" kata Anton.
Tody membisu. "Jadi, masih mau bercinta kayak Nabi-Nabi""
Tody tetap memperhatikan batu-batu di jalan.
"Kalau kau mau bercinta kayak Nabi-Nabi, kau harus baca lebih teliti kitab-kitab suci. Perempuan kayak apa yang bisa merebut hati Nabi-Nabi, dan perempuan kayak apa yang menjadi istri mereka. Setahuku, dalam kitab suci tak ada disebut-sebut wanita yang jadi nyonya Nabi karena keistimewaan dirinya. Oh, ya, ada. Nabi Ibrahim. Dia punya istri dua orang, dan keduanya tak banyak cingcong. Nah, kau bisa meniru jejak Nabi Ibrahim."
"Uf, kau tambah sinting!" keluh Tody.
"Itu hanya sekadar advis. Boleh diturut, boleh tidak. "
Tody berdecak jengkel. "Kau tak pernah serius," katanya.
"Kau kelewat serius," kata Anton.
"Hidup ini singkat, Anton. Kalau tidak serius, bagaimana jadinya""
"Karena hidup ini singkatlah makanya kita harus menikmatinya dengan humor. Kau tak tahu kenapa kau harus lahir, dan kapan kau mati. Jangka hidup kita sama sekali tak terduga. Kita datang dari misteri, dan akan kembali ke alam misteri yang tak seorang pun mengetahuinya bagaimana keadaan di situ. Lalu, apakah selama jangka waktu yang tak bisa diduga lamanya ini kita harus berkerut kening terus-menerus" Alangkah sia-sianya hidup."
Tody diam-diam mencerna ucapan itu.
"Hei, jangan termenung!" kata Anton. "Termenung sambil berjalan itu betul-betul buruk untuk peradaban."
Tody membisu. Mereka berjalan ke selatan.
Angin berdesah di gerumbul semak di pinggir jalan. Rambut Anton berkibaran.
"Kau ada persoalan, cepat datang ke tempatku. Cuma, tunggu sampai aku berada lagi di kota ini. Soalnya, besok aku ke luar daerah lagi, melanjutkan riset tempo hari. Selama aku tak di sini, kau harus easy going. Paham""
Tanpa sadar Tody mengangguk.
"Tak peduli apa motif cami itu. Kalau dia bilang menyukai kau, sukai pula dia. Jangan pikir-pikir terlalu dalam kenapa dia menyukai kau. Apakah karena kau ketua, karena kau hampir dokterandus, karena segala macam, jangan pedulikan. Pokoknya bercinta. Kalau dia cuma iseng-iseng atau mempermainkan kau, kau pun harus siap menganggap pengalaman itu sebagai keisengan pula. Itu namanya bercinta dengan reserve. Paham""
Seperti robot, Tody mengangguk.
*** Cemara Sepi DI SUDUT yang gelap, Gedung Gadjah Mada, Widuri tegak diam-diam. Cama-cami sudah bersiap-siap untuk pulang. Tinggal apel malam. Lampu-lampu di kantor panitia menyala terang. Anggota panitia masih banyak yang bekerja. Lalu, dari pintu, keluar Tody. Di sudut yang gelap itu, mata Widuri tak berkedip. Kemudian keluar pula Irawa
ti. Dia tersenyum. Dari kejauhan, Widuri melihat senyum itu samar-samar. Maka dia menghela napas dalam-dalam sepenuh dada.
Keduanya, Tody dan Irawati, meninggalkan kantor itu. Lalu Widuri pun meninggalkan sudutnya yang gelap. Dia berjalan pelahan ke kantor panitia.
Tak ada bulan di langit. Makin kelam. Pohon cemara yang tegak hanyalah berupa bayangan kehitaman, bayangan yang menuding bintang-bintang.
Tody berjalan membisu dengan tangan di saku celana. Langkah Irawati berayun di sampingnya. Gadis itu melirik lelaki berpakaian necis yang berjalan di sampingnya. Lalu dia membandingkan dengan pakaiannya yang lusuh. Pakaian untuk Mapram. Andainya bukan sedang Mapram, dia bisa melihatku dalam pakaian apik, pikir Irawati. Dan, dia ingat fashion baru di Majalah Femina. Dan, dia ingat pula bagaimana teman-temannya selalu menertawakan lelaki-lelaki yang terlalu necis. Lelaki abad pertengahan, kata mereka. Pemuda-pemuda modern lebih suka pakaian yang sedikit acak-acakan, tetapi tetap mengikuti mode.
Jalan memanjang di depan Tody dan Irawati.
"Kok diam saja sih"" kata gadis itu.
"Hm"" gumam Tody dan mencabut tangannya dari saku.
Irawati mengayun-ayunkan tasnya. Topi Mapramnya yang berbentuk kerucut didekap di dadanya. Atribut-atribut Mapram lainnya ada di dalam tasnya.
"Tinggal dua hari lagi," katanya.
"Lalu mulai kuliah," kata Tody.
"Bagaimana biar bisa naik tingkat tiap tahun ya""
"Belajar." "Bagaimana cara belajar""
"Belajar ya belajar."
Gadis itu tertawa halus. Tody mendongkol. Merasa diejek.
"Baca saja buku 'Bagaimana Belajar Efisien'!" katanya.
"Bagaimana caranya mempelajari buku itu""
Tody menghembuskan napasnya keras-keras. Jengkel. Merasa dipermainkan. Memang gadis itu sengaja mempermainkannya.
Terbukti, dia tersenyum-senyum.
"Kita naik becak saja," kata Tody.
"Tapi, tadi sudah janji mau jalan," kata gadis itu.
"Sekarang naik becak," kata Tody tandas.
"Nggak mau, ah!"
"Kalau begitu, kau pulang sendiri." "Alaaa, Mas Tody. Begitu saja marah." "Siapa marah"" "Ooo, nggak marah to""
Dan, gadis itu memegang tangan Tody. Dan, lelaki itu mengherani keagresifan itu. Belum pernah dia menemukan gadis seberani ini. Belum pernah. Lebih-lebih gadis yang berasal dari lingkungan Keluarga Jawa. Maka Tody semakin bertanya-tanya. Gadis macam apa sebenarnya yang berjalan merendenginya ini!
Jari-jari gadis itu halus dan hangat. Lunak, tetapi mencekam. Lalu Tody membalasnya. Dan, keduanya terus berjalan.
Dingin merambat dari malam yang kian tua. Angin yang bertiup, giris mengenai kulit. Tetapi, telapak tangan keduanya tetap hangat. Dan, semakin hangat. Dering bel semayup.
Mereka melintasi Bioskop Royal, yang memajang poster film silat. Nama Wang Yu tertulis besar, berhadapan dengan poster film dengan nama peran utama Chen Chen.
"Mas Tody suka film silat"" tanya gadis itu.
"Suka." "Apa sih bagusnya""
"Tak tahu. Pokoknya suka."
"Lha iya, tapi 'kan ada sebabnya. Ceritanya, aksinya, atau apa...."
"Ah, entah!" Tody berdecak.
"Selain film silat"" tanya gadis itu lagi, mengusik.
"Koboi." "Kok senang""
"Senang melihat pemandangan-pemandangan padang rumput. Itu mengingatkan pada daerahku."
"Di mana""
"Nusa Tenggara."
"O, jauh." Tody diam. Sepatunya berdetuk-detuk di aspal. Lampu-lampu jalan bersinar redup. Tiga tiang listrik mereka lalui dengan membisu.
Alangkah kakunya lelaki ini, pikir Irawati. Alangkah angkernya. Tapi, masakan tak bisa ditaklukkan"
Alangkah agresifnya gadis ini, pikir Tody. Bagaimana latar belakang kehidupannya sehingga sikapnya sebebas ini" Apakah dia semacam gadis yang pernah diceritakan Anton" Gadis yang bisa ditemui di depan bioskop lalu diajak nonton dan minum-minum di restoran, diantar pulang, kemudian dicium di bawah kerindangan pohon di depan rumahnya" Semacam gadis itukah dia ini"
Mereka saling menaksir-naksir. Berbincang-bincang, tetapi masing-masing dengan dirinya sendiri.
Lelaki ini, kata hati Irawati, barangkali tipe anak sekolahan. Yang dunianya cuma di balik dinding sekolah. Yang gemetar bila mencium seorang gadis. Cuma, sekarang telapak tangannya hangat.
Lalu Irawati mempererat cekalan jarinya. Tody merasa jarinya dire
mas. Dia melirik. Gadis itu menyandarkan kepalanya ke bahunya. Rambutnya beberapa helai lepas dari kucirnya dan menyenggol-nyenggol leher Tody. Geli. Tody menatap sekilas.... berkeliling. Lengang. Maka dia membiarkan kepala gadis itu tersandar di situ. Adapun Irawati, selesai meremas jari Tody tadi lantas mengendorkannya. Dia mengira lelaki itu akan melepaskan pegangan tangannya, lalu memindahkan tangan itu ke bahunya. Dan, Irawati bersiap-siap merangkul pinggang lelaki itu. Tetapi, itu semua tidak terjadi. Tidak terjadi. Tidak terjadi. Dan, mereka terus berjalan.
"Sehabis Mapram ini Mas Tody harus datang ke rumah, ya""
Tody cuma menggumam. "Mau"" kata gadis itu sembari menggeser kepalanya sehingga wajahnya menghadap wajah Tody. Begitu dekat. Sampai terasa tiupan udara dari hidung gadis itu oleh Tody.
Tody mengangguk. "Betul"" Suara gadis itu mengajuk.
"Ya." "Janji"" Lebih mengajuk lagi.
"Ya." Betul-betul anak sekolahan, pikir Irawati. Andainya dia berpengalaman dengan gadis-gadis, dia tentunya akan melihat bahwa ketika "Janji"" itu diucapkan mereka berada di bawah keremangan rindangnya pohon mahoni. Di situ, seharusnya dia berkata, "Ini janji." Dan, mencium. Tetapi, itu tak terjadi. Tak terjadi. Tak terjadi.
*** LONGDRESS-kah namanya" Dan, pakaian itu membuat Irawati bagaikan dewi yang melangkah hati-hati menginjak bumi. Pakaian itu berwarna putih. Lunak-mengkilat. Tiap kali gerakan, walau bagaimanapun halusnya, menguar keharuman dari tubuh pamakainya. Keharuman yang menyejukkan.
Sepanjang jalan yang dilintasi becak, Tody menikmati keajaiban itu. Menikmati keharuman yang mengambang serta kelunakan kulit gadis itu manakala mereka bersentuhan lengan.Eyeshadow membuat mata gadis itu tambah redup mempesona. Tanpa itu pun sebenarnya alisnya yang lancip dan bulu matanya yang lentik telah menjadi mata itu menawan.
Mereka ke Malam Inaugurasi. Sementara tangannya ditindih tangan gadis itu, Tody melayangkan pikirannya ke rumah gadis itu. Pada ibu gadis itu. Seorang perempuan berkulit kuning, halus, dan bersih. Matanya lunak dan senyumnya lembut. Suaranya juga lunak. Dalam bayangan Tody, perempuan tua itu belum pernah marah seumur hidupnya. Betapa beda dengan gadis ini. Maka Tody kian bertanya, bagaimana mungkin dari rahim seorang ibu yang selembut itu muncul gadis sebinal Irawati" Perempuan tua itu setidaknya akan mewariskan sedikit kelembutan kepada anak gadisnya ini. Bukan kebinalan. Tetapi, gadis ini sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda sifat ibunya.
Secara fisik, dia memang lembut, sekarang. Dengan pakaian putihnya yang panjang menutup kaki, lengan telanjang mulus, dia nampak setulus Malaikat. Gerak-geriknya pun tak seliar hari-hari sebelumnya. Boleh jadi, sedemikian besar pengaruh pakaian itu pada perujudannya.
Rambut gadis itu tersanggul rapi ke atas kepala sehingga lehernya yang jenjang nampak indah. Membuat dia nampak anggun. Boleh jadi, dia sengaja menyesuaikan diri dengan dandanannya. Maka langkahnya tak lagi binal. Di pintu rumah tadi, ibunya mencium kening gadis itu. Lembut.
"Aku tak pernah melihat ayahmu. Di mana dia selama ini"" tanya Tody tiba-tiba.
"Sering bepergian," jawab Irawati.
Lalu sepi lagi. Cuma lalulintas yang ramai.
"Kau tak punya saudara"" usik Tody.
"Ada beberapa orang. Tapi, semua sudah berumah tangga. Tinggal di kota lain. Jakarta, Bandung, Duesseldorf, New York."
"Hm. Jadi kau paling kecil""
"Ya." "Satu-satunya perempuan""
"Ya." Mahasiswa-mahasiswa telah memenuhi aula yang luas. Di antara kepala-kepala hitam, mencuat kepala-kepala plontos. Kebanyakan mahasiswa baru mengenakan peci universitas, dengan kebanggaan sebab pertama kali berhak memakai peci itu. Widuri menatap kedatangan Tody, dan melihat betapa cantiknya Irawati. Widuri merasa sanggulnya berat. Maka gadis berkebaya itu meraba sanggulnya. Ternyata masih rapi. Dia berkebaya warna hijau pupus. Dengan wajahnya yang hitam manis, mata yang teduh, dan profil bulat telur, dia sungguh-sungguh mewakili tipe gadis Jawa. Imaji Jawa yang menyimpan misteri dalam ketenangan, kepasrahan, dan ketulusan. Dia adalah denting-denting gamelan di tengah kehen
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 10 Fear Street - Cewek Kaya The Rich Girl Petualangan Manusia Harimau 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama