Ceritasilat Novel Online

Kugapai Cintamu 2

Kugapai Cintamu Karya Ashadi Siregar Bagian 2


ingan. Atau seruling yang
semayup di hutan bambu. Dia adalah lubuk yang dinaungi pohon beringin, bukan sungai berarus deras.
Maka Widuri duduk diam-diam di samping temannya sekuliah. Sesekali mengiyakan ucapan temannya itu, lalu kembali menatap lurus ke depan. Sekali, walau tak diinginkan, matanya singgah pada gadis langsing yang ber-longdress itu. Irawati tertawa-tawa bercanda dengan teman-temannya.
Acara-acara telah dimulai. Widuri tak tertarik pada pidato-pidato. Jika dia menatap ke depan, dia melayangkan pandang ke dekorasi di dinding. Menikmati hasil kerjanya. Ide-ide untuk elemen dekorasi itu berasal darinya. Janur di sudut aula, juga bergantungan di berbagai tempat. Di aula itulah bergabung keindahan mode-mode mutakhir pakaian para mahasiswa dengan keindahan anyaman bunga dan daun hijau yang tetap klasik.
Faraitody berpidato. Mata Widuri ingin beralih, dan berpindah pada teman yang menyenggolnya dan berkata, "Nampak-nampaknya ketua kita ini jadi dengan gadis itu."
Widuri tak menjawab. "Anak mana dia""
"Sastra," kata Widuri.
"Ekonomi dengan sastra, itu tak cocok."
"Kenapa tidak""
"Pasti banyak perbedaan cara berpikir. Sastra lebih cocok dengan psikologi atau filsafat."
"Ah, siapa bilang!" kata Widuri. "Nyatanya, itu Kamal dari kedokteran dengan anak sospol. Ya akur. Tak ada apa-apa. Atau hukum dengan teknik, ya bisa juga. Atau seperti itu, Peter dari sastra dengan Jenny dari biologi. Harmonis."
Temannya diam. Widuri pun diam. Di depan sana, di bawah sorotan lampu, Tody masih berpidato.
*** Ada kerusuhan mahasiswa di depan papan pengumuman. Siang itu baru saja pegawai tata usaha menempelkan pengumuman di situ. Beberapa mahasiswa kecewa karena pengumuman itu tidak menyangkut hasil ujian. Mereka mundur dengan murung. Ada yang menggerutu. Tetapi, Widuri tetap asyik membaca pengumuman itu. Memang tidak menyangkut kepentingan tingkatnya. Pengumuman itu mengenai pengiriman mahasiswa untuk ikut BIMAS ke desa-desa.
Kemudian Widuri meninggalkan tempat itu. Dadanya berdebaran. Dia mengedarkan pandang. Di situ hanya nampak mahasiswa-mahasiswa bergerombol. Maka dia meneruskan langkahnya. Pelan-pelan menuruni tangga yang melengkung dari lantai tiga itu. Di lantai dua juga banyak mahasiswa bergerombol. Widuri menajamkan pandangan. Beberapa temannya melambai. Dia membalas tak antusias. Tak berniat berhenti. Dia terus menuruni tangga.
Tody berdiri di dekat pilar besar penyangga atap teritisan gedung universitas. Widuri mendekati.
"Pengumuman untuk BIMAS sudah keluar," katanya. "Ya. Aku sudah tahu," kata Tody. "Mas Tody ditempatkan di desa saya," kata Widuri. "Eh, itu desamu""
"Ya." "Bagaimana keadaan di sana"" "Tentu saja sepi." "Kebanyakan desa 'kan sepi."
"Tapi, di sana lebih-lebih lagi. Selama enam bulan Mas Tody harus hidup di tengah-tengah kesepian itu."
"Ah, tak jadi soal. Aku juga berasal dari desa yang sepi."
Mata gadis itu berkedip-kedip terkena asap rokok Tody. Dan lelaki itu melihat bibir yang kemerahan tanpa lipstik itu juga berkedip-kedip. Gadis itu menggigit bibir.
"Andainya sekarang libur," kata gadis itu pelahan.
"Lantas"" tanya Tody.
Gadis itu tersentak. "Eh, tidak. Tak apa-apa," katanya cepat-cepat. Keduanya lalu diam. Tody mengetuk-ngetuknya sepatunya untuk merontokkan tanah yang melekat pada solnya.
"Enam bulan itu lama," kata Widuri lambat-lambat.
"Yah, lumayan lama."
"Bagaimana kegiatan-kegiatan di sini""
"Yah, ditinggal."
Gadis tu merasakan sesuatu mengganjal di lekuk hatinya.
"Bagaimana ujianmu"" tanya Tody.
"Belum diumumkan."
"Rasa-rasanya bagaimana""
"Saya kira, paling tidak jatuh tiga vak."
"Kenapa begitu""
"Waktu ujian itu saya tidak siap."
"Terlalu sibuk""
"Ya. Sebenarnya saya mau mengurangi kesibukan saya, tapi belum juga ada pengganti. Terutama untuk mengasuh majalah fakultas. Sungguh-sungguh memusingkan kepala."
"Kenapa tidak merekrut anak-anak BKS-Pers Mahasiswa""
"Kebanyakan memikirkan aktif di luar kampus. Soalnya, mengurusi penerbitan kampus ini sama sekali tak mendapat imbalan. Bahkan sering harus mengeluarkan duit sendiri."
Tody mengangguk-angguk. Dan, begitulah percakapan mereka selama menyang
kut kehidupan di kampus. "Seperti untuk penerbitan bulan depan," kata Widuri, "naskah-naskah belum terkumpul." "Minta pada Peter, Glady, atau teman-teman yang biasa menulis di koran-koran."
"Sudah saya minta, tapi mereka janji melulu. Kalau Mas Tody punya tulisan....""
"Wah, aku tak sempat menulis."
Keduanya tertarik akan suara deruman sepeda motor. Seorang gadis baru menstandarkan motor bebeknya, dan tersenyum ke arah mereka.
"Miss Universitykita," kata Widuri pelan.
"Memang cantik dia," kata Tody. Matanya melekat sebentar pada wajah miss university itu. Tetapi, kemudian pikirannya melayang padamiss university -nya sendiri: Irawati. Ingat bahwa dia harus menunggu gadis itu. Lalu katanya, "Kau mau ke atas""
"Barusan." "Kalau begitu, aku pergi dulu. Mau ketemu Pak Dekan."
Widuri bergumam. Sebelum Tody melangkah, gadis itu berkata, "Kalau ke desa saya, datanglah ke rumah."
"Yah." "Akan saya surati ayah saya, biar dia membantu Mas." "Bagus sekali kalau bisa."
Widuri masih tegak sendiri sementara Tody menanjaki tangga pelan-pelan, sampai lelaki itu lenyap di lantai dua.
Widuri berjalan tanpa menggerakkan tas di tangannya.
Dia keluar dari naungan atap Gedung Induk Universitas Gadjah Mada. Tubuhnya diterkam cahaya matahari. Tetapi, dia tetap melangkah pelahan. Bayangan tubuhnya di tanah berada di sebelah kanannya. Panjangnya hanya sepertiga tubuhnya. Bayangan itu setia mengikutinya.
Begitu puluhan kemurungan setia mengikutinya. Dia tak tahu kenapa dirinya gampang murung. Dia takut pada kesepian sebab kesepian gampang sekali menghunjamkan panah-panah kemurungan. Itulah sebabnya kenapa dia mengisi hidupnya dengan kesibukan-kesibukan yang
tak henti-hentinya. Dia mengikuti setiap kegiatan di kampus itu. Jadilah dia seorang aktivis kampus. Tetapi, jika sedang sendirian, dia merasa bahwa segala kegiatannya hanyalah pelarian. Semacam kompensasi. Dia takut sendirian. Dia takut terlalu luas waktu untuk memikirkan diri sendiri. Sebab, sekali dia berpikir, yang datang hanyalah gambaran-gambaran kemurungan.
Sejak SMP, Widuri mengalami pindah dari pemondokan ke pemondokan. Di desa kabupaten, Di Wonosobo. Dan, kini, di Yogya ini, manakala liburan tiba, dia tidak tahu apa yang harus diperbuat. Kembali ke desa" Apa yang dikerjakannya di sana"
Rumahnya tergolong besar dan berhalaman luas. Di antara rumah-rumah di desa itu, rumah orang tua Widuri gampang dicari. Sebuah rumah yang bersih, dengan pohon-pohon sawo di pekarangan. Teriakan-teriakan gembira mereka bisa didengar hingga jauh. Tetapi, sejak kecil, itu semua tak punya arti bagi Widuri.
Bahkan rumah itu tidak mampu mengusir kemurungannya yang berkepanjangan. Bahkan rumah, lebih melecut-lecut perasaannya.
Di rumah itu tak ada seorang ibu. Ibunya sudah lama meninggal. Jika pun dia ingin merawat ayahnya yang kian tua itu, itu pun tak akan kesampaian. Lelaki tua itu lebih suka berada di dekat penggilingan padinya. Lelaki tua itu merasa nyaman merasakan getaranhuller -nya dan membaui aroma sekam.
Tody akan ke desa itu. Dia akan berbicara dengan penduduk desa, dengan bahasa Jawa yang kadang tersendat-sendat. Dia akan bergaul dengan penduduk desa. Andainya aku berada di desa itu, pikir Widuri. Aku bisa membantunya. Kami bisa sering bersama-sama. Bisa ke sendang bersama. Atau ke pancuran. Atau ke mana saja.
Kami akan berjalan di pematang sawah, menyeberang kali lewat titian bambu, dan dia akan memegangi aku sebab takut jika aku terpeleset. Andainya terpeleset dan jatuh, tak akan sakit jika jatuhnya ke tumpukan jerami. Berdua. Aih!
Widuri menghela napas dalam-dalam, dan merasakan matahari yang membakar. Apa gunanya memikirkan itu" Andainya aku pulang, lalu bagaimana" Apakah akan bersamanya galang-gulung" Padahal aku tahu dia sudah punya kekasih yang dicintainya. Padahal aku tahu dia sama sekali tak membutuhkan aku.
Cuma, dengan bergaul, dia akan beperhatian kepadaku. Bukankah pepatah lama bilang: witing tresna jalaran saka kulina" Cinta datang karena kebiasaan. Apalagi didukung suasana desa yang sepi. Suasana yang akan memacu bentukan cinta. Tapi, itu berarti aku merebutnya. Merampas dari sisi Ira
wati. Apakah aku akan jadi perampas" Perampas" Perampas" Ah!
Widuri merasa sesuatu menyamak di ulu hatinya. Tidak! Tidak! Tidak! Teriaknya dalam dada. Membuat dadanya bertambah sesak. Di bawah matahari yang terik, di atas aspal yang menyengat, dia merasa sulit bernapas.
Jika ada yang harus disesali, itu adalah diriku sendiri. Kenapa tidak sejak dulu-dulu aku menunjukkan gejala bahwa aku mencintainya" Padahal kami sering ketemu. Jauh lebih dulu dan jauh lebih sering dari Irawati. Kenapa Irawati yang baru dikenal bisa menimbulkan cintanya" Kenapa" Apakah aku terlalu pasif" Tapi, apakah pantas seorang perempuan agresif terhadap lelaki" Dengan berpasif, kapan cinta seorang lelaki bisa diduga datangnya" Maut dan cinta barangkali segolongan: takdir. Lalu, menunggu takdir" Ah, ah, ah!
Setumpuk keluh berberaian dalam dada Widuri. Dia sudah lama kukenal, pikir Widuri. Kami lama bergaul. Tetapi, kenapa hanya menjadi pergaulan formal saja" Kenapa kalau bertemu
kami hanya bicara soal kampus saja" Kenapa Irawati yang baru dikenalnya bisa menarik hatinya" Lantaran dia lebih cantik" Apakah Faraitody lebih terpana pada kecantikan rupa saja" Apakah dia lelaki macam itu" Dan, lebih jelekkah rupaku dibandingkan dengan Irawati" Ah, bagaimana bisa membandingkan kecantikan yang berbeda" Bisakah membandingkan mawar dengan melati, atau dahlia dengan anyelir"
Pertanyaan demi pertanyaan beruntutan, dan tak akan terjawab oleh Widuri. Dia hanya bisa terus berjalan, menekuri tanah. Tak mempedulikan dering becak dan klakson motor.
*** Mesin skuter berderum derum. Tuternya berbunyi empat-lima kali panjang-panjang. Tody menjenguk lewat jendela warung. Lalu cepat-cepat membayar minuman dan keluar.
Irawati menggoyang-goyang stir skuternya.
"Jadi, kita pergi"" tanyanya.
"Oke." Lalu gadis itu turun dari sadel. Tody menggantikan tempatnya, dan mereka beranjak.
"Tak ambil jaket dulu"" kata Irawati di sela redanya mesin antara persneling satu dengan dua.
"Tak usah," jawab Tody sembari menancap gas.
"Nanti dingin...."
"Ada kau 'kan hangat."
"Aha, mulai pandai merayu. Kenapa tak sejak dulu-dulu begitu"" "Ah, diamlah."
Dan, kecepatan skuter bertambah lagi. Angin berkesiur. Mereka semakin jauh dari Kampus Gadjah Mada. Meninggalkan jajaran pohon cemara dan pohon flamboyan.
Hari kesembilan dalam pergaulan mereka. Kini mereka disambut naungan pohon mahoni sepanjang jalan ke luar kota. Angin pun mulai terasa kemurniannya. Jalan kian menanjak. Semakin tertinggal bau kota yang hiruk dan tengik. Mereka melaju menuju Kaliurang.
Di jalan yang berkelok-kelok, Irawati mendempel ketat ke punggung Tody. Lelaki itu menaksir-naksir jalan di depannya, dan merasakan getaran mesin lewat tangannya yang mencengkeram gas.
Tubuh gadis itu lunak. Pipinya menempel di bahu Tody. Anak-anak rambutnya mengelus pipi Tody.
Keluarga gadis itu mempunyai rumah peristirahatan di Kaliurang. Rumah yang halamannya berumput halus dan ditumbuhi bunga-bunga. Dan, sepi. Hanya ada pelayan - suami-istri - yang selamanya bersikap hamba terhadap majikannya. Kedua orang itu, dari tahun ke tahun mengabdikan diri untuk kesenangan majikan mereka, orang-orang kota itu. Dari tahun ke tahun
mereka hidup di daerah gunung yang sepi pada hari-hari bukan hari libur. Tak pernah memikirkan lain, kecuali memikirkan tugas-tugas di lingkaran bungalow itu.
Ke situlah sekarang tujuan skuter itu. Irawati mengomando apakah skuter harus belok kiri, terus, lewati pertigatan, terus, belok kanan, menanjak lagi, terus, dan hop! Tody memijak rem.
"Bunyikan tuternya," kata Irawati.
Mendengar tuter panjang-panjang memanggil, sepotong kepala muncul dari balik gerumbul bunga. Lalu tubuhnya keluar bergegas, dan berlari ke pintu pagar. Pintu pagar dibukanya lebar-lebar.
"Ayo, masuk," kata Irawati.
Tody mendorong skuter memasuki halaman sembari mengawasi rumah yang pintunya berbingkai merah itu.
Berjuta-juta menusia harus hidup di rumah-rumah gedek yang pengap. Tetapi, di gunung didirikan rumah sebagus ini hanya untuk dihuni sesekali, pikir Tody. Dia membisu. Tak memperhatikan pembicaraan Irawati dengan pelayan yang membungkuk-bungkuk meng
iringkan langkah majikannya itu. Pelayan itu, tak putus-putusnya melaporkan keadaan bungalow. Katanya, dia telah menanam sepuluh batang pohon bunga matahari di halaman belakang. Sebulan lagi tempat ini akan menguning oleh cemerlangnya bunga. Di dekat jendela kamar tidur, sudah ditanamnya bunga sedap malam sebagaimana dipesankan oleh Ndoro Putri. Dia berbicara terus, tetapi masih sempat melayangkan mata pada Tody.
Siapa lelaki ini" Dia bukan yang dulu. Kelihatannya dia ini sopan. Tidak gondrong. Pakaiannya rapi. Tidak pakai jean biru. Dan, tidak kurang ajar. Bukan seperti yang dulu, yang berani merangkul-rangkul Den Ayu Ira. Bukan pula seperti pemuda yang pakai Yamaha besar yang suara Yamahanya diderum-derumkan tempo hari.
Berkilasan wajah-wajah pemuda di benak lelaki tua itu untuk dibandingkan dengan Tody. Dia ingat bahwa pemuda ini tak ada di antara rombongan yang datang tempo hari.
"Kita minum dulu. Haus, 'kan"" kata Irawati.
"Yah," kata Tody sembari duduk di kursi plastik di teras.
"Masih kuat naik ke hutan""
"Kenapa tidak" Ke bulan pun jadi," kata Tody.
Hutan yang dimaksud adalah cemara dan pinus yang menyelimuti perbukitan. Di situ burung-burung bercericit dengan bebas. Berlompatan dari ranting ke ranting. Dan, di dahan-dahan pohon banyak bergayutan anggrek liar. Bunga-bunganya putih kontras dengan coklatnya batang pohon serta kehijauan daun-daunan. Tanah disemaki oleh belukar. Di antara belukar itu ada yang berbunga kecil-kecil. Tempat yang tak ditumbuhi belukar, adalah hamparan rumput yang empuk. Hawa tempat itu sejuk dan hening. Angin yang bertiup dingin akan menimbulkan gesekan berkepanjangan di daun-daun.
Irawati melangkah merambah-rambah semak. Betisnya tersangkut-sangkut ranting. Tetapi, dia tak mengurangi langkahnya. Dia tetap merendengi Tody yang memegang tangannya. Jalanan setapak itu biasa dilalui oleh para pencari kayu. Tetapi, hari itu tak ada tanda-tanda bekas dilalui seseorang. Rumput dan semak masih sesegar pagi tadi.
"Capek"" tanya Tody.
"Tjdak," jawab Irawati walau napasnya terengah. "Kalau capek kita berhenti dulu." "Tidak. Terus saja."
Mereka menyusuri jalan kecil yang mendaki. Irawati bergayut di lengan Tody. Sesaat gadis itu mengedarkan pandang, dan kemudian berkata, "Itu anggrek yang kelihatan dari bawah tadi."
Lalu mereka menyimpang, keluar dari jalan rintisan pencari kayu. Langkah mereka menembus semak yang ranting-rantingnya mengait-ngait. Gerumbul demi gerumbul mereka lalui, sampai akhirnya tiba di bawah anggrek itu.
"Pohonnya terlalu besar. Dan licin lagi. Sulit memanjatnya," kata Tody. "Angkat saya, Mas," kata Irawati. "Bagaimana caranya""
Irawati mempertemukan jari-jari kedua tangan Tody. "Pegang kuat-kuat. Biar saya berpijakan di sini," katanya.
Irawati menanggalkan sepatunya, bersitumpu ke bahu Tody, dan berpijak pada telapak tangan Tody yang bertautan. Dia berdiri hingga perutnya ditentang kepada lelaki itu. Namun begitu, anggrek yang bergayut di dahan pohon belum terjangkau.
"Angkat lebih tinggi, Mas Tody!"
Tody lebih meninggikan telapak tangannya.
Gadis itu meraup batang-batang anggrek. Tubuhnya bergoyangan. Tody menatap betis yang rapat ke mukanya. Betapa mulus. Betapa kuning. Seperti gading terpahat.
Irawati merentakkan gerumbulan anggrek itu.
Keseimbangannya goyah. Tak tertahankan, dia memberosot di badan Tody, terus ke bawah, dan membuat Tody pun goyah. Dan, ah, mereka berdua terjatuh. Dan, ah, ah, ah, mereka bergulingan di rerumputan yang lunak. Tubuh gadis itu terangkul oleh Tody. Gadis itu tertawa bagai burung nuri. Dia merangkul Tody. Muka mereka bersentuhan. Tak tahu siapa yang mendahului, bibir mereka sudah bertautan.
Di tanah tergeletak gerumbul anggrek. Bunganya yang putih mekar mengintaikan benang sari. Angin memberisikkan daun-daun. Ranting-ranting bergesekan, dan ada yang berbunyi berciutan. Kicau burung meningkah suara pepohonan, berpadu dengan kesejukan daerah pegunungan itu. Dari bawah, semayup terdengar lebuh sapi. Sapi yang kesepian di tengah padang. Batu-batu gunung yang sebesar gajah bertonjolan diam-diam di tanah.
Anggrek yang tadi bergayut di cabang pohon ki
ni menggeletak tak diurus, di dekat dua orang yang masih bergulungan. Dua orang yang lidahnya berpilin. Tubuh mereka bagai saling melilit. Rambut gadis itu berberaian. Sebagian menutupi wajah Tody. Sementara itu, sisa anggrek yang
masih tergantung di cabang bergoyang-goyang. Tetapi, kini tinggal sulur yang kurus dengan bunga-bunga kecil.
Matahari tak berdaya di balik rerimbunan pohon serta lindungan belukar. Siang selamanya sejuk di situ. Matahari hanya merupakan berkas-berkas sinar lewat celah dauh dan ranting. Tanah yang lembab, rumput yang tebal, itulah yang paling terasa.
Irawati menelentang menatap celah-celah dedaunan. Kepalanya tertaruh di dada Tody yang beraturan turun-naik oleh napas. Sementara itu, Tody asyik dengan pikirannya sendiri.
Alangkah aneh hidup ini. Untuk berciuman saja, harus berkendaraan sekian jauh, naik bukit, dan segala macam. Berciuman saja harus melalui prosedur bertele-tele. Tidak ekonomis untuk enersi.
Tetapi, Irawati berpikir lain. Dia masih merasa-rasakan sensasi yang baru saja dialaminya. Bergulingan di atas rumput dengan lelaki yang sangat sopan. Alangkah hebat! Tidak di kamar, tidak di rumah, tidak di teras, tetapi di hutan! Di hutan! Di atas kelembutan rumput yang lembab. Di balik semak-semak yang rimbun. Alangkah hebat! Jika ini dilakukannya dengan Robby atau Yanuar, itu biasa. Tetapi, kali ini dilakukannya dengan seorang lelaki yang necis, lelaki yang pernah berpidato di depan ribuan mahasiswa, dosen, dan profesor! Bukan main! Sensasi mana yang bisa menandingi" Tinneke tidak akan pernah mengalaminya. Juga tidak Lucky. Alangkah hebat kau, Ira!
Lalu dia menggeser kepalanya hingga menghadap muka Tody. Lelaki itu mengelus onggokan rambut yang terletak di dadanya. Gadis ini selembut anak kelinci, pikir lelaki itu. Cuma, agresivitasnya kayak macan. Bagaimana masa depan yang dimungkinkan oleh kelinci yang sekaligus macan ini"
Tetapi, pikiran itu diputus oleh mulut Irawati yang mulai lagi mengulum bibirnya.
*** Berkata dalam Diam MAHASISWA peserta BIMAS telah disebarkan ke berbagai desa. Tiba di perbatasan desa, seorang lelaki telah berdiri di situ.
"Saudara Faraitody"" katanya sembari mengulurkan tangannya. "Ya," jawab Tody.
"Saya Hermanu, ayah Widuri. Saya menerima surat Widuri yang mengabarkan perihal kedatangan Saudara. Saya akan membantu tugas-tugas Saudara selama di sini."
"Terima kasih, Pak. Tetapi, sebaiknya jangan panggil saya begitu resmi. Sebut saja nama saya. Atau 'berkau'saja. Itu lebih enak buat telinga saya."
Pak Hermanu mengangguk-angguk. Mereka berjalan pelan-pelan menuju pusat desa. Sesekali Tody mengawasi wajah berwarna tembaga serta urat-urat di lengan lelaki tua itu. Mata lelaki tua itu bersinar ramah.
Mereka pun terlibat pembicaraan hilir-mudik.
Memenuhi keinginan lelaki tua itu maka Tody terpaksa menceritakan Padang Mautenda di daerahnya. Padang yang luas dengan rumput-rumput setinggi manusia.
Adapun lelaki tua itu menceritakan pengalamannya ketika pertempuran masa revolusi. Juga tentang teman-temannya yang diantaranya sekarang sudah menjadi jenderal. Yang paling dibanggakan lelaki tua itu adalahhuller -nya yang jarang macet.
"Cuma, untuk mengangkat solarnya kemari yang sulit," katanya menambahkan.
"Kalau rusak"" tanya Tody.
"Saya reparasi sendiri. Tanpa sekolah teknik, saya bisa mengetahui seluk-beluk mesin itu."
Dari jalan desa itu, Tody menatap perbukitan tandus yang melingkari desa. Jika saja bukit-bukit itu ditanami tumbuhan yang bisa dimanfaatkan, akan menguntungkan sekali. Tanahnya masih luas, tetapi sayang kering-kerontang.
"Menginap di rumah saya saja," kata Pak Hermanu.
"Saya akan senang sekali. Tapi, saya sudah ditetapkan menginap di rumah Pak Lurah."
Batu-batu berserakan di sepanjang jalan. Dan, mereka tiba di rumah yang mereka tuju. Sebuah rumah dengan pendopo yang luas. Rumah beton yang di depannya ada regol dan kentongan besar. Tody melihat anak-anak kecil telah banyak mengiringkan langkahnya. Dan, di rumah itu pun telah banyak orang yang menunggunya.
Seketika ingatannya melayang ke kampungnya. Sebuah kampung kecil yang penduduknya akan berkumpul jika di
a pulang pada waktu liburan SMA dulu. Dia sekolah di kota kabupaten, tinggal di sebuah asrama yang kehidupannya sangatlah teratur. Dia ingat siapa saja pengawas di asrama itu. Mereka adalah pastor-pastor berkulit bule. Kehidupan di astama itu sangat kontras dengan keadaan di kampungnya. Di asrama, pada jam tertentu harus tidur. Tetapi, di kampung, sampai pukul berapa pun orang masih duduk-duduk mengobrol.
Di desa ini pun tak banyak bedanya dengan di kampung Tody. Pada mata anak-anak kecil yang duduk diam-diam di pendopo, itulah Tody melihat anak-anak kampungnya. Dan, pada gurat wajah orang-orang tua di desa itu, dia melihat wajah Pak Tuanya, Kakek, atau kerabat-kerabatnya di kampung.
Pak Kasmat, lurah desa itu, adalah lelaki sederhana. Wajahnya bisa dicarikan kemiripannya di mana saja di Indonesia. Wajah yang berwarna coklat tembaga, mata yang hitam, dan mulut yang ramah. Dia antusias terhadap kemajuan desanya juga terhadap kemajuan desa-desa lain di Indonesia. Sekalipun dia tak bisa membayangkan di mana Flores itu berada. Dia mengira, Flores berada di Ambon sebab nama Ambon lebih dikenalnya.
Ketika matahari mulai memerah di balik bukit barulah pendopo itu sepi. Anak-anak berlarian ke padang-padang. Mereka ingat kambing-kambing mereka yang harus segera digiring pulang.
Ketika lampu-lampu minyak sudah mulai menyala, seorang gadis melintasi di ruang tengah. Gerak-geriknya kikuk sehingga Tody mengira gadis ini pun seorang tamu. Tetapi, Pak Kasmat memanggil gadis itu. Makin kikuk gadis itu dibuatnya.
"Anak saya," kata Pak Kasmat, "Tamat SKKA tahun ini di Magelang. Sekarang ikut membantu mengajar baca-tulis anak-anak di desa ini."
Sekilas Tody memperhatikan wajah gadis itu. Profilnya tak jauh berbeda dari saudara lelakinya yang tadi ikut ngobrol. Kulitnya hitam manis, dan matanya hitam jernih. Dan, gampang sekali dia tersipu-sipu. Sewaktu bersalaman dengan Tody pun gadis itu tak mau mengangkat mukanya.
Dia bahkan tak mengucap apa pun. Padahal Tody ingin sekali mendengarkan vokalnya. Gadis itu kembali masuk ke ruang dalam dan tak keluar-keluar lagi.
Malam yang beringsut adalah suara jangkerik dan kodok yang bersimfoni tak henti-hentinya. Sejuta kunang-kunang bertebaran di kegelapan. Sesekali burung-burung malam berdeguk-deguk. Selebihnya, sepi.
*** Tody berlari-lari di sepanjang jalan desa. Setiap pagi, jika berangkat mandi, dia sengaja berlari. Dia menuju pancuran. Matahari yang masih merah di balik bukit, merupakan pemandangan yang memikat di desa itu. Bayang-bayang pohon memanjang di tanah.
Tody bersamplokan dengan Murtini, anak lurah desa itu. Gadis betul-betul pemalu. Maka selama beberapa hari Tody berada di rumah gadis itu, baru sekitar sepuluh kalimat yang mereka ucap dalam perbincangan. Karena Tody pun merasa tak ada gunanya berbincang-bincang, gadis itu lebih-lebih lagi pendiamnya. Mereka tinggal di bawah satu atap, tetapi hanya anggukan yang terjadi sebagai ganti tegur-sapa.
Sekarang pun mereka hanya saling mengangguk. Tody tetap berlari-lari. Suatu kebiasaan sewaktu dia masih di kampungnya. Ke mana saja berlari-lari. Ingin ke tengah padang, berlari. Ke rumah, berlari. Mandi, berlari. Bahkan mau berak pun, berlari-lari menuju sungai.
Gadis itu berhenti. Dia menjinjing kendi berisi air. Dia menatap tubuh lelaki yang semakin jauh
itu. "Sombong!" cibirnya. "Mentang-mentang orang kota, sombongnya bukan main!"
Tapi, pikirnya, betulkah dia sombong" Terhadap orang-orang di desa sini dia tidak sombong. Tak ada orang di desa sini yang mengatakan bahwa dia sombong. Bahkan saudaraku sendiri membantah ketika aku katakan bahwa dia angkuh.
"Cuma, dia memang pendiam," kata Partono. "Dia tidak mau bicara kalau tidak ada keperluan. Di kopernya banyak buku. Jika sedang tak ada urusan, dia selamanya membaca. Membaca terus."
Memang, Tody tak punya keperluan langsung dengan Murtini. Murtini bukan petani. Tody hanya berurusan dengan para petani yang akan dibimbingnya meningkatkan cara kerja. Murtini hanya diam di dapur kalau sedang di rumah. Atau di depan kelas kalau di sekolah. Itu jelas di luar urusan Tody. Tody hanya berpikir, bagaiman
a meningkatkan produksi pertanian di desa itu. Lain itu tidak.
Maka Murtini melangkah pelan-pelan. Air dalam kendinya berdecik-decik setiap kali langkahnya terayun. Batu-batu di jalanan menggeletak diam saat dipijaknya. Dan, diam-diam pula Murtini menaruh kendinya di dapur.
Tody mencuci pakaiannya di pancuran. Hari itu dia tidak mengunjungi petani-petani. Kemarin dia baru saja meninjau dukuh yang letaknya di balik bukit. Jalan menuju ke situ buruk sekali. Hanya kuda yang cocok melintasi jalan itu. Perumahan hanya terdiri atas kurang-lebih lima
belas rumah. Tanahnya tandus berbatu-batu. Orang-orang di situ hanya menanam ketela pohon. Lain dari ketela pohon tak mau hidup dan tak menghasilkan. Anak-anak kecil setempat tidak bersekolah. Mereka mengikuti setiap langkah Tody dengan wajah mereka yang dungu serta tubuh telanjang. Tody murung melihat perut anak-anak kecil itu. Dibandingkan dengan rusuk, perut itu kelihatan menonjol. Tanda-tanda bahwa mereka kurang gizi.
Apa yang bisa di-BIMAS-kan di dukuh yang miskin itu" Sawah tak ada. Bimas ketela pohon barangkali, tulis Tody di dalam buku hariannya.
Sekarang dia menikmati gemerisik air yang jatuh dari pancuran. Tempat itu sejuk. Dan, sepi. Maka dia bersiul-siul.
Ketika Tody menjemur cuciannya di samping rumah, Murtini sedang mengiris bawang. Dari celah pintu dapur, gadis ini memperhatikan lelaki yang sedang menjemur pakaian itu. Tody masih tetap bersiul-siul sambil mengibaskan pakaian-pakaian yang basah sebelum di-sampir-kan di tali jemuran. Rumah itu sepi. Pak Lurah Kasmat sedang ke kantor kecamatan.
Jeritan dari balik pintu dapur membuat Tody kebingungan. Tetapi, desah dan keluh dari pintu dapur itu cepat menyadarkannya. Dia berlari memasuki dapur.
Murfini menekap jarinya. Darah merembes dari jari yang tersekap itu.
"Kenapa"" "Kena pisau," sendat gadis itu.
Tody memeriksa jari gadis itu. Darah masih menetes.
"Oh, tunggu sebentar!" Dia berlari ke kamarnya mengambil obat.
Gadis itu meringis menahan perih. Tetapi, matanya terus memperhatikan profil lelaki di depannya.
"Sakit"" Murtini menggeleng. Tody membalut luka itu. "Sebaiknya dibawa ke poliklinik," katanya.
"Ah, tidak perlu."
Jari-jari gadis itu masih dalam genggaman tangan Tody. Selesai mengikatkan simpul balutan, Tody melepaskan pegangannya.
Lalu gadis itu memijit balutan itu.
"Masih sakit""
"Tidak." "Kalau terasa berdenyutan, bilang. Itu perlu ke poliklinik." Poliklinik hanya ada di kota kecamatan.
Tody meneruskan menjemur pakaian-pakaian basahnya. Murtini kembali menatapnya. Ternyata dia baik, pikirnya. Penuh perhatian. Matanya yang gugup melihat lukaku, bisa dijadikan tanda bahwa dia bukan seorang yang sombong. Dan, melihat balutannya yang rapi, bisa diduga bahwa dia seorang yang baik.
Pendopo rumah itu senyap. Tody membaca di sudut ruangan. Murtini menating kopi dan meletakkan hati-hati di depan lelaki itu.
"Eh, tak mengajar""
"Libur," kata gadis itu.
"Enak ya di sini""
"Ah, tentunya lebih enak di kota." "Waktu kau di Magelang, bagaimana"" "Ya, senang. Banyak teman." "Sering nonton film tentunya."
"Ah, enggak." Sesaat gadis itu memperhatikan sampul buku yang sedang dipegang Tody. "Tak bertugas hari ini""
"Tidak. Masih capek," kata Tody.
"Sudah melihat sendang""
"Sendang" Di mana""
"Di balik bukit. Airnya jernih. Banyak ikannya." Kapan-kapan aku kepingin ke sana."
*** Matahari masih seperti hari-hari sebelumnya. Bersinar cerah. Tanah yang ditimpanya masih menyimpan sisa embun tadi malam. Tetapi, nanti akan cepat sekali menjadi kering-kerontang.
Hari ini dia akan mencuci lagi, pikir Murtini. Biasanya setiap empat hari sekali dia mencuci. Lalu Murtini mengintai-intai lewat pintu dapur yang separo terbuka.
Tody masih bergurau dengan anak-anak tetangga. Dia mengajarkan beberapa patah kata bahasa Indonesia kepada anak-anak. Yang sempat tertangkap oleh telinga Murtini adalah perkataan 'kerja keras' yang diartikan'nyambut gawe sing kuat' . Terjemahan itu kurang tepat, pikir Murtini. Tetapi, bagaimana yang tepat" 'kerja' dalam bahawa Jawanya adalah 'gawe', 'keras' adalah 'atos'. Jadi, 'gawe atos'" Wah, lucu!
Anak-anak kecil i tu tertawa-tawa senang jika mengetahui kata-kata Indonesia yang mirip dengan bahasa daerah mereka. Semakin anak-anak kecil itu gembira, semakin tak sabar Murtini menunggu di dapur.
Jangan-jangan dia tidak mencuci hari ini, keluhnya dalam hati. Bayang-bayang pohon di tanah tinggal sepanjang sepertiga panjang benda aslinya.
Akhirnya anak-anak kecil itu bubar setelah Tody menyuruhnya bubaran. Mereka pergi berpencaran. Ada yang ke padang, ada pula yang ke huma.
Nah, akhirnya pergi juga, pikir Murtini. Dia menunggu sampai lelaki itu lenyap di pengkolan jalan. Lalu dia pun mengumpulkan pakaian ayahnya yang sudah kotor, memasukkannya ke dalam ember. Kemudian, dia pun keluar menyusul langkah Tody.
Tody bersiul-siul sembari menyabuni pakaiannya di sebuah batu besar, sebesar kepala kerbau. Di bawah pancuran persis, air membuih dan bersuara parau. Air di situ setinggi betis, dan mengalir pelahan ke selokan yang memanjang melingkari desa. Air itu sejuk. Nyaman. Apalagi pada waktu siang hari. Rerumputan tumbuh subur di sekitar kubangan. Sesekali kaki Tody menendang-nendang permukaan air.
Dan, Murtini tiba di situ.
"Hai!" sapa Tody.
Gadis itu senyum tersipu. Dan, meletakkan embernya ke batu di samping Tody.
"Mari saya cucikan," kata Murtini. Lalu dia menarik pakaian yang sedang disabuni oleh Tody.
"Ah, tak usah. Biar aku cuci sendiri."
Tetapi, gadis itu tetap menarik pakaian itu, dan berpindahlah pakaian yang berbusa-busa itu ke batunya. Bahkan pakaian lain yang belum disabuni.
Tody berpindah pula ke batu di depan gadis itu.
"Lalu, apa yang kukerjakan"" kata Tody bingung.
Gadis itu hanya tersenyum.
"Kemarikan satu biar kucuci," kata Tody. "Izinkanlah saya mencuci semua," kata Murtini.
Bah, minta izin segala, pikir Tody. Maka dia diam seraya memandangi gadis itu menyabuni pakaian-pakaian itu dengan cepat.
"Kaupelajari juga cara-cara mencuci pakaian waktu di SKKA dulu"" tanya Tody.
Gadis itu mengangguk. "Bukan main!" "Apanya yang bukan main""
"Sekolah itu. Memang, nyata benar bedanya antara hasil cucianmu dengan cucianku. Cucianmu jauh lebih bersih dan cepat."
Gadis itu tak menjawab. Tetap tersenyum-senyum.
Anak-anak rambut gadis itu bergoyang-goyang saat dia membilas pakaian. Telapak tangannya berwarna kemerahan. Lengannya yang mengintai dari balik kebaya yang tergulung hingga siku itu nampak lebih kuning dari wajah pemiliknya.
Matahari kelihatan dari celah-celah daun dan ranting pohon mangga yang menaungi tempat itu. Murtini masih asyik membilas-bilas pakaian. Sementara itu, Tody hanya bisa menciduk-ciduk air dengan telapak tangannya, dan mempermainkan air itu.
"Di kampung Mas Tody ada pancuran seperti ini"" tanya Murtini tiba-tiba.
"Ada." "Orang-orang mandi di pancuran juga""
"Ada yang di situ, ada pula yang di rumah kalau mereka punya sumur. Tapi, aku lebih suka mandi di pancuran sebab airnya lebih nyaman."
Gadis itu tetap menunduk. Tody melihat rambut yang tak tersanggul rapi itu. Rambut itu hanya digelungkan agar tak tergerai sehingga ada helai-helai rambut yang jatuh di keningnya. Sesekali gadis itu berusaha mengembalikan rambut yang jatuh di dahi ke atas, berkumpul kembali dengan yang lain. Alis gadis itu hitam tebal, dan bulu matanya menekuk menaungi matanya yang selamanya malu-malu menatap.
"Mas Tody sudah jadi ke sendang""
"Belum." "Kapan ke sana""
"Belum pasti." "Nanti"" "Aku belum tahu tempatnya. Aku masih menunggu Mas Partono. Dia janji akan mengantarku ke sendang."
"Saya mau mengantar," kata gadis itu tanpa mengangkat kepala.
"Kau"" Murtini mengangguk. "Kau 'kan banyak kerja di rumah""
"Ah, tidak apa-apa. Saya juga kepingin ke tempat itu. Lama sekali saya tidak ke sana. Ada kira-kira dua tahun."
"Begitu lama""
"Walaupun masih di lingkungan desa ini, tetapi banyak tempat yang jarang saya kunjungi." Gadis itu melirik sekejap. Sangat sekejap. Sebelum sempat bertatapan dengan Tody, dia telah menekuni pekerjaannya kembali.
"Tempat itu jauh, 'kan"" kata Tody.
"Saya bisa berjalan jauh."


Kugapai Cintamu Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tody mengawasi tumit dan betis gadis itu yang penuh serta terendam air.
"Menurut cerita orang-orang tua, sendang itu berasal dari tongkat yang d
itancapkan ke dalam tanah oleh seorang sakti," kata Murtini.
"Eh, di daerahku pun ada dongeng semacam itu."
"Mungkin orang sakti itu juga pergi ke tempat Mas Tody."
"Merenangi Lautan Hindia"" Tody tertawa.
Mendengar tawa itu, Murtini mengangkat kepalanya. Dia ikut tersenyum.
Sementara itu, sepasang mata yang sejak tadi mengintai dari rerimbunan semak, menatap sirik. Dia menggemeretakkan geraham menahan kejengkelan yang meluncas-luncas. Sepasang mata itu milik seorang lelaki muda.
Lama dia mengintai. Semakin lama, semakin kejengkelan itu merayapi seluruh jaringan tubuhnya. Maka akhirnya dia merentak, meninggalkan tempat itu. Dan, di sepanjang jalan dia mengutuki kenyataan yang baru saja dilihatnya.
"Bajingan lelaki itu!" kutuknya berkepanjangan.
"Mentang-mentang orang kota, dia merayu gadis itu! Terkutuk dia! Disambar geledek!"
*** Lelaki itu adalah Maryoto. Seorang dengan bahu bidang dan mata tajam. Dia drop-out-an sebuah universitas, lalu kembali ke desa itu. Kebetulan orang tuanya mempunyai tanah yang luas di desa itu. Melihat keakraban gadis itu dengan Tody, hatinya terbakar. Dia menginginkan gadis itu menjadi istrinya.
Sekarang dia menyaksikan Murtini berjalan berdampingan dengan lelaki kota itu, mendekati bukit. Entah apa yang dibicarakan lelaki terkutuk itu hingga Murtini tertawa-tawa. Bajingan kota itu! Dia membuat dada Maryoto mau meledak. Maryoto terengah berjalan merambahi belukar.
Rimbunan demi rimbunan belukar dilalui Maryoto. Dia bagaikan pemburu yang menguntit mangsa. Sepasang rusa berjalan tanpa menyadari bahwa ada sepasang mata yang memancarkan kebencian tak lepas mengikuti mereka.
O, Murtini, kenapa kau sebaik itu padanya" Pada lelaki yang baru beberapa minggu kaukenal! Pada lelaki yang bukan mustahil akan meninggalkan desa ini tanpa sepercik pun kenangan! Ah, kau membuat prahara di dadaku, Murtini! Murtini! Murtini!
Dan, Maryoto lebih terengah. Jalan yang dilaluinya sungguh tak pernah dilalui manusia. Bahkan kuda pun tidak. Kaki lelaki muda itu terkait-kait akar-belukar.
Kedua orang itu, Murtini dan Tody, ditimpa sinar matahari keemasan dari langit. Keringat berlelehan dari leher mereka. Tetapi, tak terasakan oleh mereka. Lebih-lebih oleh gadis itu. Dia memang sedang melangkah di jalan setapak itu, tetapi ingatannya berkelebat-kelebat ke
kota tempatnya sekolah dulu. Itulah yang mereka sedang bicarakan sekarang. Murtini menceritakan bagaimana sewaktu indekos di Magelang. Menceritakan bagaimana dia permisi kepada pemilik rumah jika ingin menonton film, bagaimana dia panik jika kiriman dari desa terlambat, dan semacamnya dan sejenisnya.
Tetapi, ketika Tody bertanya, "Kau sudah punya pacar waktu itu"", wajah gadis itu, berubah murung. Mendung menyaputi wajahnya. Dia hanya menatap tonjolan batu-batu besar di bukit. Maka cepat-cepat Tody mengalihkan pembicaraan, "Capek""
"Tidak." 'Tapi, kau sudah keringatan." "Ya," jawab Murtini. "Kita istirahat""
"Di sini" Ah, sudah tanggung. Lebih baik kita teruskan saja. Tinggal dekat. Di balik pengkolan itu, kita sudah sampai."
Jalanan agak menurun kini. Mereka memijak kerikil yang mudah sekali menggelincirkan tubuh. Gadis itu tanpa sadar berpegangan lengan Tody. Mereka sudah semakin dekat sendang.
Permukaan sendang bagai cermin besar yang menantang matahari. Permukaan air itu sangat tenang. Selapis goyangan pun tak nampak. Air di situ bagai sedang menahan napas.
Dan, kedua orang itu pun menahan napas. Sebab, jalan semakin terjal. Tetapi, keinginan mereka untuk tiba di pinggir sendang yang sejuk itu semakin kuat. Kerikil bertaburan di jalan setapak sehingga mereka harus semakin berhati-hati. Namun, bagaimanapun hati-hatinya, gadis itu tetap saja tergelincir. Tody berusaha menahan tubuh gadis itu. Gadis itu memang tak sampai terguling. Cuma, kakinya terbenam ke dalam kerikil.
Murtini terduduk. Tody membongkar timbunan kerikil untuk mengeluarkan sandal gadis itu. Murtini memijiti kakinya dengan wajah keruh. Keringat tambah ramai menghiasi wajahnya.
"Keseleo"" tanya Tody.
"Tak tahu. Tapi, sakit."
"Mungkin keseleo. Sebab, kakimu terpelecok tadi."
Murtini masih mengurut-urut m
ata kakinya. "Ke tempat teduh dulu. Ke bawah pohon itu," kata Tody.
Gadis itu tegak, tetapi meringis menahan sakit. Tody menuntunnya ke bawah kerindangan pohon di pinggir sendang. Gadis itu tak bisa lagi merasakan keindahan sendang itu. Persendian kakinya sangat nyeri.
Tody menimbang-nimbang, haruskah dia mengurut persendian kaki gadis itu. Dia pernah ikut latihan kempo. Soal urut-mengurut sedikit banyak diketahuinya. Cuma, benarkah gadis ini betul-betul keseleo" Kalau hanya sekadar sakit biasa, bukankah riskan memegang-megang kaki seorang gadis" Lebih-lebih memegang-megang betis yang penuh dan kuning seperti itu.
Mata gadis itu semakin panik. Keringat yang menetes di jidatnya tak kunjung berhenti. Bahkan dia telah mulai mengeluh. Maka Tody pelan-pelan menjamah pergelangan kaki gadis itu.
Gadis itu menjerit seraya menahan tangan Tody.
"Tahankan saja dulu. Tak apa-apa. Gigit ujung saputanganmu kuat-kuat," kata Tody seraya mengulangi mengurut pergelangan kaki gadis itu. Dengan indra perasa di jarinya, dia bisa menemukan sendi yang keseleo.
Di lereng bukit, di balik semak-semak, Maryoto menahan gelepar-gelepar di dadanya. Kebencian berkembang-biak tanpa batas. Terkutuk bajingan kota itu! Berani dia memegang-megang kaki Murtini! Terkutuk dia!
Tetapi, Maryoto tetap diam di tempat persembunyiannya. Cuma menggemeretakkan geraham, itu yang bisa dilakukannya. Sementara itu, Murtini menahan nyeri yang tak alang-kepalang rasanya. Tekanan jari lelaki itu hampir tak tertanggungkan. Bagaikan jepitan kakaktua. Tangan yang kelihatan halus, dengan jari-jari kurus itu ternyata menyimpan tenaga yang kuat.
Berkali-kali Tody berkata pelahan, "Tahankan sebentar saja. Nanti akan baik, akan baik. Nyerinya akan makin berkurang." Dia terus menekan-nekan, mengembalikan letak sendi itu pada kedudukan semula.
Mereka tak memperhatikan lagi burung-burung yang datang-pergi ke sendang itu. Tak melihat pula ikan-ikan yang sesekali meletik ke permukaan air. Ini yang menyebabkan permukaan air bergoyang sesaat. Angin yang bertiup memang terasa sepoi, tetapi mereka tak tahu bagaimana bunga-bunga liar di pinggir sendang bergoyang. Bunga-bunga berwarna merah, ungu, kuning, dan putih. Bunga yang besarnya maksimal setutup botol.
Memang betul nyeri semakin berkurang. Murtini tak perlu lagi menggigit saputangan. Dia telah menghapus keringat di keningnya. Bernapas pun tidak setersengal tadi.
"Di mana Mas Tody belajar memijit"" tanyanya.
"Well" Masih sakit""
"Masih agak terasa, tapi sudah jauh berkurang sakitnya."
"Nah, bagus! Tak sia-sia pengetahuan kempo itu. Aku dulu sering latihan beladiri kempo. Sering jatuh-bangun. Akibatnya sering keseleo. Lalu, aku serius mempelajari urut-mengurut ini. Nah, persendian kakimu sudah baik. Agak linu-linu sedikit, tapi itu akan hilang dengan sendirinya. Atau, masih sakit""
Murtini mengangguk. Maka Tody tak jadi melepaskan kaki gadis itu.
Angin mengibaskan rambut gadis itu. Sejuk. Tak lagi terasa nyeri. Juga tidak sakit. Yang dirasakan gadis itu hanyalah tekanan jari lelaki itu. Nyaman. Dan, dia memperhatikan tangan lelaki itu. Lalu berpindah ke matanya yang lunak. Mata yang bersinar tulus. Lalu ke dagunya yang berwarna kehijau-hijauan bekas cukuran. Ke bahunya yang tak terlalu bidang. Ke dadanya yang agak tipis. Dada orang yang terlalu banyak menghadapi meja tulis dan buku. Kemudian Murtini menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya panjang-panjang.
Tody mengangkat kepala. "Tak sakit lagi, 'kan"" tanyanya.
"Tidak. Terima kasih," kata Murtini.
Lalu Tody melepaskan pegangan tangannya pada kaki itu, dan Murtini merasakan sesuatu terlepas dari dirinya.
Untuk sesaat hanya angin yang berdesau. Kemudian, tanpa saling memandang, mereka bersamaan berkata, "Tempat.... "
Keduanya saling menatap. Lalu tertawa bersama.
"Eh, teruskanlah. Apa yang mau kaubilang""
"Ah, Mas Tody saja."
"Tempat ini bagus," kata Tody.
"Eh, saya juga mau bilang begitu, tadi."
"Kalau aku penduduk di desa ini, aku akan membuat rumah di sini."
"Jalan ke sini sulit. Kendaraan tak bisa masuk. Minimal gerobak sapi baru bisa lewat. Tetapi, dengan keadaan jalan sepert
i yang kita lewati tadi, tempat ini justru akan tetap begini selamanya. Lereng bukit itu terlalu terjal."
"Ya, memang sulit dilalui."
Murtini mengedarkan pandangan. Angin menyebabkan permukaan sendang bagaikan sutera yang bergerak selapis demi selapis.
"Aih, nanti saya akan bawa pohon bunga itu. Untuk ditanam di halaman," kata Murtini. Tody menatap matahari yang telah menggelincirkan diri. "Ambillah sekarang. Biar kita cepat pulang." "Pulang" Kenapa begitu buru-buru"" "Jalan pulang akan lebih sulit terasa." "Kita baru sebentar di sini." "Sebentar" Hampir sejam sudah." "Sejam" Ah, kok cepat sekali waktu berjalan."
Murtini mengangkat tasnya. "Eh, ya, hampir lupa," katanya seraya mengeluarkan bungkusan dari tasnya. Isinya lemper.
Lelaki di balik semak itu berkali-kali menepuk nyamuk yang mengganggunya sedari tadi. Sejuta kutuk tak berkeputusan berloncatan di dadanya. Di sana, bajingan dari kota itu enak-enakan makan lemper. Berduaan lagi. Terkutuk! Tertawa-tawa! Terkutuk!
Dan, agas yang beterbangan di dekat telinga semakin menyebalkan hati Maryoto yang pepat. Dia mengusir serangga-serangga halus yang mengganggunya itu. Di sana, lelaki itu enak-enakan
makan. Bah, dikupaskan oleh Murtini pula. Bajingan terkutuk! Bajingan! Bajingan! Bajingan! Terkutuk! Terkutuk! Disambar geledek dia!
*** Sikap beherapa orang desa hari-hari belakangan ini agak mengherankan Tody. Termasuk Pak Hermanu, ayah Widuri. Lelaki itu tidak mau lagi bercerita-cerita seperti waktu yang lalu.
Apakah yang terjadi" Pemuda di desa itu pun ada yang tak lagi antusias mendengarkan uraian-uraian dari Tody. Hanya Pak Lurah dan Partono yang tidak menunjukkan perubahan sikap. Juga Murtini serta anak-anak kecil. Anak-anak kecil masih bergerombol di halaman jika Tody memanggil mereka.
Maka ketika bertemu dengan Pak Hermanu, Tody sengaja menjejeri langkah lelaki tua itu. Dia bisa merasakan bahwa lelaki tua itu seakan tidak mau didekati. Tak lagi ditemukan oleh Tody mata Pak Hermanu yang bersinar ramah. Yang ada hanya dinginnya sambutan.
"Kapan berakhir BIMAS-nya"" tanya Pak Hermanu datar.
"Ya" Tiga bulan lagi," tanya Tody. Dia melirik, menaksir-naksir bahwa di balik pertanyaan lelaki tua itu tersimpan makna: kenapa belum juga meninggalkan desa ini"
"Kalau kembali ke Yogya, akan menyelesaikan studi""
"Ya," kata Tody.
"Lalu"" "Lalu, bagaimana ya" Maksud Bapak""
"Selesai studi, tentunya berumah tangga. Iya toh""
"Oh, itu belum saya rencanakan."
"Masak"" Jidat Tody berkerut. "Di kota tentunya sudah ada calon," kata lelaki tua itu.
Tody tak menimpali. Dia melangkah diam-diam. Seperti elang, Pak Hermanu melirik. Berusaha menangkap kesan di wajah lelaki muda itu. Tetapi, wajah Tody tetap beku.
Mereka melewati sawah. Padi baru setinggi lutut anak kecil. Sawah itu salah satunya yang mendapat BIMAS. Tody merasa bungah melihat padi yang subur itu. Tetapi, kegembiraan itu cepat hilang manakala menyadari langkah-langkah yang menjejerinya. Dia kembali ingat sikap orang-orang di desa itu terhadap dirinya. Terutama sikap lelaki tua ini. Dulu dia sangat antusias membantu. Dengan wibawa yang dipunyainya, dia begitu gampang mempengaruhi orang-orang desa agar mengikuti nasihat-nasihat Tody. Tetapi, sekarang sikapnya sedingin pemilik restoran yang mencurigai tamunya bakal nganglap.
"Kalau Widuri, kira-kira berapa lama lagi kuliahnya ya"" tanya Pak Hermanu tiba-tiba.
"Dia" Kalau tidak salah, kira-kira dua atau tiga tahun lagi. Biasanya agak lambat waktu membuat skripsi."
"Kalian sering ketemu di sana""
"Ya, sering. Kami sama-sama pengurus Dewan Mahasiswa."
"Sering juga omong-omong dengan dia""
"Sering juga. Tapi, biasanya soal urusan universitas."
Untuk beberapa saat keduanya diam. Sandal lelaki tua itu terdepak-depak. Sepatu Tody berkeresek di pasir. Kemudian Pak Hermanu berkata lambat, "Sebenarnya anak perempuan tak perlu sekolah terlalu tinggi. Toh akhirnya dia harus jadi istri. Tapi, apa mau dibilang" Dia ingin meneruskan sekolah. Bagaimana melarangnya, sedangkan orang yang kehidupannya lebih sederhana saja mau menyekolahkan anaknya. Dan, saya cukup mampu. Cuma, sayangnya dia anak satu-s
atunya. Perempuan lagi. Kalau dia lelaki, tak perlu dirusuhkan."
Tody diam-diam menyimak. Lelaki tua itu menatap daun-daun padi yang gemerisik.
"Saya merasa diri saya tambah tua. Padahal dia belum menampakkan tanda-tanda mau kembali. Apa sesungguhnya yang dicarinya di kota itu, saya tak bisa paham. Titel" Ah, buat apa" Dia ingin jadi orang berpangkat" Ah, buat apa" Bagaimanapun, kebahagiaan yang patut untuknya adalah menjadi seorang istri. Sebagai ibu anak-anaknya. Saya lebih senang melihat dia jadi ibu rumah tangga yang bahagia daripada jadi pejabat tinggi."
"Ya," kata Tody.
Lelaki tua itu menghentikan langkahnya, dan menatap Tody lekat-lekat. "Apakah nampak tanda-tanda dia akan kawin"" tanyanya mendadak. Tody terperangah.
"Itu.... itu.... "
"Apakah dia sudah punya teman lelaki yang akrab""
Ludah mengumpul di kerongkongan Tody.
Dengan susah-payah dia menjawab, "Itu.... saya kurang tahu."
Pak Hermanu menunduk. Kemudian kembali melangkah. Tody meredakan debur-debur jantungnya. Dia ngeri menerima tatapan mata lelaki tua itu. Tatapan yang menikam.
Hingga mereka berpisah, Tody masih merasakan sisa deburan di dadanya. Adapun lelaki tua itu melangkah dengan kepala menekuri tanah. Makin jauh, makin jauh.
Tody merasa makin lepas dari hunjaman yang menikam. Dia memandangi punggung lelaki tua itu hingga lenyap di balik pepohonan. Dia membiarkan kesenyapan tempat itu menyungkupnya. Itu jauh lebih menyenangkan.
Ah, Widuri! Gadis yang berkulit sawo, bermata teduh, dan berapi-api jika mengikuti rapat Dewan Mahasiswa. Tetapi, selalu tersipu di luar sidang. Gadis yang selalu serius, yang anggun, yang segan jika lelaki menggurauinya. Itulah dia, Widuri. Widuri! Widuri!
Tody tersentak. Sentuhan di bahunya mengagetkannya. Partono tersenyum. "Ngapain"" katanya. Tody hanya menggeleng.
"Nampak-nampaknya memang lebih subur dari padi jenis biasa," kata Partono sembari mengedarkan pandang matanya ke sawah di samping mereka.
"Yah," kata Tody.
"Kalau seluruh sawah bisa di-BIMAS-kan, alangkah baiknya." "Ya," kata Tody lagi.
"Berapa bagian lagi yang harus di-BIMAS-kan"" "Kira-kira empat puluh persen lagi." "Bisa mencapai target"" "Mudah-mudahan saja bisa."
Partono diam. Mereka berdiri menatap sawah hijau yang terbentang. "Selesai BIMAS, kau akan kembali ke Yogya"" tanya Partono. Tody diam.
"Dan, melupakan desa ini," lanjut Partono. "Ah, masak dilupakan."
"Ya, biasanya begitu. Kau akan jadi sarjana, jadi orang berpangkat, kawin, dan sibuk di kota." "Ah, masak begitu," kata Tody diiringi tawa kecil. "Kau sudah punya rencana kawin"" Tody cuma menggeleng. "Calon tentunya sudah ada""
Bah, kenapa pembicaraan hari ini hanya mengenai kawin melulu! Tetapi, bayangan Irawati menyelinap diam-diam di pelupuk mata Tody. Bisakah gadis itu kujadikan calon istri" Ah!
Keberdiaman Tody membuat Partono melangkah maju dan berdiri di pinggir jurang. Dia menatap kedalaman jurang yang gelap. Dasar jurang itu tak bisa terduga berapa meter. Dia melemparkan batu ke dalam jurang, tetapi tak terdengar suara batu itu menyentuh dasar jurang.
"Kau merasa adanya perubahan di desa ini"" tanya Partono. "Ya!" sahut Tody cepat. "Apa yang terjadi""
"Bagaimana kau bisa merasakan perubahan itu""
"Ada beberapa penduduk desa ini yang seperti membenciku."
"Yah, begitulah tinggal di daerah kecil. Orang-orang gampang sekali berubah sikap. Aku sendiri sebenarnya tak suka tinggal di desa ini. Tapi, orang tuaku meminta agar aku mengusahakan tanah kami. Lagi pula, aku sudah beristri, punya anak, dan harus bekerja. Apa yang sudah kudapat dari sekolah, sebenarnya tak ada manfaatnya di sini. Aku menyesal terlalu buru-buru meninggalkan sekolah dan kawin." Sesaat Partono diam. Dia ingin menanamkan ucapannya lebih dalam. "Kau merasa ada orang yang tidak menyukaimu. Ya, memang. Kenyatatan itu akan menimpamu. Desa ini sebenarnya terbagi dua. Sebagian di bawah pengaruh Ayah, sebagian lain di bawah pengaruh Pak Tarmiji. Tetapi, dalam pemilihan lurah, ayahku menang. Hanya saja, bekasnya masih ada sampai sekarang. Oleh karena kau tinggal di rumah Ayah, otomatis kelompok Pak Tarmiji menganggap kau masuk golong
an Ayah." "Tapi, mula-mula mereka tidak memusuhiku," kata Tody.
"Yah. Cuma, belakangan ini, Maryoto.... kaukenal dia" Dia anak Pak Tarmiji, mulai menghasut penduduk desa. Dia bahkan berhasil menarik Pak Hermanu ke pihaknya. Padahal selama ini orang tua itu tak pernah berpihak. Entah kenapa dia mau dipengaruhi Maryoto."
"Kenapa Maryoto memusuhiku"" tanya Tody.
Partono mengangkat bahu. "Aku tidak pernah menyakiti hatinya," kata Tody perlahan.
"Tak pernah menyakiti hatinya"" ulang Partono sepatah-sepatah. Dia melekatkan tatapan ke mata Tody.
"Apa alasannya memusuhiku""
"Kau akan mengetahuinya nantinya."
"Kenapa" Kenapa" Kenapa""
Partono cuma menggeleng, lalu kembali menatap kejauhan. "Aku datang ke sini untuk kebaikan penduduk desa ini," kata Tody.
"Ya, begitulah memang. Tapi, tidak selamanya kebaikan akan menghadapi kebaikan. Tapi, percayalah bahwa tidak seluruh penduduk desa ini membencimu. Hanya sebagian kecil saja. Jadi, tak perlu terlalu kaupikirkan."
*** Dari celah ventilasi, sinar matahari memanjang lurus ke lantai. Matahari pagi. Tody masih berbaring-baring di divannya. Dia menyimak nyanyian yang didendangkan Murtini dari dapur. Belakangan ini gadis itu sangat penggembira. Sesebentar dia menyanyi. Dan, dia juga sudah berani menyapa, "Hai, Mas Tody! Mandi dong!" Atau, "Nanti Mas Tody mau ke kecamatan" Saya ikut ya"" Senyumnya yang semula selalu tersipu, kini telah mekar dalam lekukan yang lebih kentara. Begitu pula matanya. Mata yang dulu tak pernah berani bertatapan lebih dari dua
sekon, kini berani lekat-lekat menatap. Bahkan sampai membuat Tody harus menelan ludah berkali-kali. Tatapan gadis itu seakan mengandung sejuta misteri.
Tody menghitung hari-hari yang telah dilaluinya di desa itu. Telah banyak perubahan. Bibit unggul yang di-BIMAS-kan telah mulai tumbuh. Tetapi, suasana lain ikut pula tumbuh. Kebencian yang tersekap, dan cinta yang tersekap pula. Segalanya serba tersekap di desa ini.
KAU tak akan tahu seseorang membencimu, kecuali dari intuisimu yang menangkapnya lewat pancaran matanya. Dan, kau tak akan tahu seseorang mencintaimu, kecuali intuisimu pula yang memberitahu.
Begitulah Tody mencatat dalam buku hariannya.
Tiga bulan lebih aku di desa ini. Kemarin aku bertemu dengan Maryoto, dan aku melihat keculasan di mata lelaki itu. Lelaki yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di universitas itu, jauh lebih berbahaya dari bajingan desa yang biasa. Ayahnya kaya, dan dia merasa menjadi separo raja di desa ini. Apa yang kurang" Dia tampan. Jauh lebih pintar dari pemuda desa yang lainnya. Andainya merayu, dia tentu lebih pintar dari bintang-bintang film Indonesia atau India. Pastilah gadis-gadis di desa ini dan sekitarnya akan bertekuk lutut. Bahkan istri-istri yang tak kuat iman pun bisa dibujuknya. Ini menurut cerita Partono.
Padahal yang kulihat, tulis Tody dalam buku hariannya, tak lebih dari tatapan ular berbisa yang menyimpan sejuta dendam. Apa penyebabnya, aku tak bisa mengetahuinya. Sebab, bibir lelaki itu selamanya terkunci rapat. Atau barangkali dia menganggap aku merebut popularitasnya di desa ini" Tapi, itu jelas tak beralasan. Aku selamanya diam-diam saja di rumah. Kalau keluar pun, selamanya untuk urusan para petani. Tak pernah dengan gadis-gadis. Aku selamanya menghormati dia seperti halnya aku menghormati penduduk terhormat lainnya.
Ah, peduli setan dengan lelaki itu. Biar dia membenciku. Peduli apa" Aku hanya menjalankan tugasku. Ya, dia lebih baik dipersetankan saja. Biar dia tertimbun kebenciannya yang melingkar-lingkar itu.
Cuma, soal mata Murtini yang makin lain maknanya. Tiap hari ketemu, kian sering pancaran itu menelan masuk ke dalam kemisterian. Mata yang hitam jernih itu bersorot lunak, dan kelunakan itu tambah merusuhkan hatiku. Bibirnya yang mungil, adalah pesona yang diam-diam melilit.
Berjalan di bawah matahari desa yang terik. Disungkup angin sepoi. Di atas tanah yang bergeronjalan. Dan, berbicara, gadis itu kian dekat jua. Kalau tak salah, gadis itu telah melepaskan jarum-jarum cinta lewat matanya. Di desa ini, segalanya dimulai dari mata. Sebelum bibir terkuak bicara, mata tela
h lebih dulu menyampaikan pesan. Bibir bisa saja mengatakan, 'Pak Polan sudah panen'. Tetapi, matanya ternyata menyimpan cinta. Atau bibir mengucapkan, 'Gadis anu yang dilamar pemuda anu'. Padahal matanya menyorotkan harapan, 'Aku pun ingin kaulamar!' Ah, ah, ah!
Lalu Tody menutup buku hariannya dan menyimpannya ke dalam kopor.
*** Sekarang mereka pulang dari kecamatan. Di depan mereka tadi ada orang, tetapi orang itu telah jauh melampaui mereka sebab mereka berjalan pelan-pelan. Jalanan lengang. Batu-batu bergeletak ditimpa panas matahari. Pohon petai cina berjejeran di sepanjang jalan.
Tody malas berbicara. Sungkupan terik menyebabkan bibirnya kering. Sementara itu, Murtini menenteng tasnya, juga tak berbicara. Butir-butir keringat menyembul di ujung hidungnya.
Tody menatap langit seraya berkata, "Kita harus buru-buru."
Mendung begitu cepat meredam panas matahari. Murtini ikut memandang ke atas. Maka mereka bergegas melangkah. Angin menerbangkan debu-debu jalanan. Murtini terbatuk. Cepat sekali keterikan itu: digantikan angin yang giris. Angin yang membawa uap air.
Tody mengedarkan pandangan berkeliling. Lengang. Hanya pohon petai cina dan jambu mete yang terlihat. Jika hujan turun, ke mana harus berlindung" Ah, tetes-tetesnya mulai terasa.
Mereka semakin bergegas sehingga napas Murtini terengah. Tetesan hujan semakin kerap. Dan, akhirnya merupakan rintik-rintik.
"Eh, wah, gawat!" kata Tody.
"Ya, gawat," kata Murtini, tetapi tangannya memegang Tody agar tidak berlari. "Ayo," kata Tody seraya menarik tangan Murtini. "Percuma. Toh kita akan basah juga."
Hujan tumpah dari langit. Pakaian gadis itu lekat ke badannya. Rambut basah. Lalu dia mengambil saputangan yang tadi menutupi kepalanya. Sembari tertawa dia meremas saputangan itu.
"Mandi," katanya. Suaranya yang penuh kegembiraan itu menjengkelkan Tody. Lelaki itu merasa risi sebab air hujan masuk ke dalam sepatunya. Akan halnya Murtini, tenang-tenang saja bergayut di lengannya. Gadis ini melangkah bagaikan menuju ke pesta. Tak ada lagi bagian pakaian maupun badan yang kering. Seperti sengaja mandi di pancuran.
"Waktu kecil saya pernah mandi di bawah teritisan atap kalau hujan," kata gadis itu.
"Tapi, kalau ketahuan Ayah, saya dimarahi. 'Anak perempuan tak boleh begitu,' katanya. Padahal saya kepingin sekali mandi waktu hujan."
Tody tak menimpali. Dia mendan tetesan hujan mengalir di bibirnya. Terasa asin. Mungkin bercampur dengan keringat dari wajahnya tadi. Namun, rasa haus toh lenyap pula.
"Waktu kecil, di kampung, Mas Tody sering mandi hujan""
"Sering." "Enak ya""
"Ya." "Mandi di teritisan juga"" "Tidak. Di tengah padang."
"Wah, apa tak bahaya" Orang bilang, mandi hujan di tengah lapangan terbuka sangat berbahaya. Bisa disambir petir."
"Ya. Tapi, kami tahu kapan saat-saat harus tiarap kalau kilat menyambar. Walaupun memang ada juga yang tersambar kilat dan mati terbakar."
Kilat menyambar. Murtini lebih bergayut lagi. Ketika petir menggelegar, gadis itu semakin rapat ke tubuh Tody.
"Kenapa harus ke padang"" tanya gadis itu meneruskan.
"Di situ lebih menyenangkan. Kerbau dan kuda-kuda ada di situ."
"Tapi, berbahaya. Seharusnya waktu hujan jangan ke padang."
"Seharusnya. Tapi, siapa yang takut hidup di tengah padang" Sama saja dengan nelayan. Orang menganggap lautan berbahaya. Tapi, nelayan mana takut turun ke laut""
Kilat menyambar lagi. Pemandangan terhalang oleh tirai hujan. Tody berusaha menatap berkeliling.
"Ayo, kita ke sana!" Dia menyeret gadis itu ke pondok di tengah tegalan. Mereka melalui tanah yang becek. Semakin jauh dari jalan desa, tanah semakin beriumpur. Mereka masuk ke pondok
itu. Murtini bersedekap sambil mengedarkan pandangan ke seputar tempat di bawah atap. Tody mengeluarkan rokok dari kantongnya. Namun, seluruhnya kuyup. Tak mungkin bisa disulut.
Di luar, hujan masih menderu. Atap ilalang pondok itu melindungi mereka, tetapi rasa dingin tetap merayap-rayap.
Baju Murtini yang lengket ke tubuhnya menyebabkan bayangan lekukan tubuhnya semakin kentara. Dia berdiri canggung. Terus-menerus menggigil kedinginan. Tody mencoba menyalakan geretan gasnya. Berh
asil. Di situ ada jerami dan ranting kering. Maka dia membuat perapian. Kehangatan merambat perlahan.
"Ke sini, Tini."
Gadis itu melangkah hati-hati.
Tody mencangkung di dekat api, memanasi telapak tangannya. Di dekatnya, Murtini pun memanasi telapak tangannya. Tody kepingin merokok. Maka dia melirik rokoknya yang basah. Gadis itu tetap menggigil. Pakaiannya yang basah menghalangi kehangatan yang diberikan oleh api. Bibir yang menggigil itu telah berwarna kebiruan. Air menetes dari rambut gadis itu.
"Siang yang brengsek!" ujar Tody.
Gadis itu mengangkat kepalanya sekejap. Dia merasa BH-nya yang basah lebih sempit dari biasanya. Giginya gemeletuk. Rasa iba merayapi hati Tody.
"Dingin"" tanyanya sambil menyentuh bahu gadis itu. Dia tahu bahwa pertanyaan itu sebenarnya tak perlu dilontarkan. Cuma, pertanyaan itu membuat Murtini menatapnya. O, wajah yang pucat, bibir yang kebiruan, dan gigi yang gemeletuk. Kesemuanya membuat gadis itu seperti bayi yang meminta perlindungan. Dan, matanya, matanya yang meminta perlindungan itu kian merasukkan iba ke lekuk hati Tody.
Maka bahu Murtini dipeluknya. Kepala gadis itu dekat sekali dengan kepala Tody. Wajah yang tengadah itu telah rapat ke wajah Tody. Keinginan untuk merokok membuat bibir Tody gatal. Lalu, dia mencium gadis itu. Dia mengulum bibir yang menggigil itu.
Gadis itu merasakan kehangatan diperolehnya dari badan lelaki itu. Maka dia memeluknya kuat-kuat sehingga mereka terguling ke atas jerami kering. Air menetes dari baju mereka. Tetapi, mana mereka menyadari"
Murtini menyerudukkan wajahnya serapat-rapatnya ke muka lelaki itu. Rambutnya yang basah melilit leher Tody. Dan, gadis itu tergial manakala lehernya diseruduk ciuman Tody.
Air yang jatuh dari atap bagaikan tirai. Di luar pohon jambu mete hanya tinggal bayangan kabur. Murtini tak kedinginan lagi. Mereka masih berguling di jerami kering. Badan mereka telah menghangat.
Api gemeratak membakar ranting kering. Sepercik api melayang, hinggap di badan Tody. Nyeri. Dia tersadar dan mencoba melepaskan pelukan. Murtini tak mau melepaskan pelukannya. Matanya terpejam sehingga dia tak tahu api telah membakar jerami tempat mereka berguling. Mendengar detas-detas jerami terkabar, Tody mendorong tubuh gadis itu dan bangkit buru-buru.
Murtini merasa sesuatu lepas dari dirinya. Bagaikan terbangun dari mimpi mendapatkan barang berharga, dia membuka matanya untuk siap mengeluh. Maka dia melihat Tody yang sibuk mematikan api yang menjalar di jerami. Lalu dia pun ikut mematikan api. Api di jerami mati. Ranting-ranting tetap menyala.
Tody duduk. Murtini mendekatinya, dan ingin memeluknya lagi. Tetapi, lelaki itu berkata, "Wah, pakaianmu jadi kotor."
"Biarlah." Tatapan mata gadis itu mengatakan bahwa dia masih ingin dicium, atau mencium
lagi. Maka Tody terombang-ambing perasaannya. Di pondok yang sepi ini, ada seorang gadis yang punya bibir mengulum basah, punya mata yang meminta. Lalu, apa lagi yang dicari"
Tody merasakan debur-debur di dadanya. Jika itu terjadi, jjka ajakan mata yang meminta itu dituruti, bagaimana" Dan, Tody menarik napas sepenuh dada, untuk meredakan debur-debur yang tak menentu itu.
Murtini, setelah menunggu sekian lama dan pelukan tak kunjung terjadi, meraih tangan lelaki itu, memegang jari-jari lelaki itu. Lalu dia mengaitkan jari-jari lelaki itu pada jari-jari tangannya sendiri. Kemudian dia memuntirnya sambil matanya menatap lekat-lekat. Debur-debur jantung Tody kembali bergolak. Dia seorang gadis yang punya sinar cinta di matanya. Tetapi, aku tidak mencintainya. Jika itu kulakukan, ya, apa sulitnya membuka pakaian gadis ini" Itu namanya keisengan. Itu noda. Suatu waktu aku akan meninggalkannya. Jika keisengan semacam ini menimpa adikku, bisakah aku menerima" Jika anakku kelak mengalaminya, bisakah aku mengutuk lelaki yang melakukannya"
"Aku tidak mencintamu, Tini," kata Tody dalam hati. "Karena itu aku tak berniat menjadikan kau istriku. Karena itu aku tak mau menodaimu. Andainya aku mencintaimu, akan lain lagi soalnya. Walaupun ujudnya serupa: persetubuhan, tapi bagiku maknanya sangat berbeda. Jika aku melakukann
ya pada dirimu, itu namanya penodaan. Tapi, jika kulakukan pada orang yang kucintai, ya, bagiku itu baru percintaan. Cuma, bagaimana membedakannya" Kau tak akan tahu. Orang lain tak akan tahu. Yang tahu hanya aku. Sebab, aku merasakan cinta itu dalam denyut-denyut darahku. Aku bisa membedakan mana keisengan, mana cinta."
Jari-jari gadis itu masih meremas-remas jari-jari Tody. Hujan tinggal rintik-rintik. "Ayo, kita pulang," kata Tody. Murtini tersentak.
"Pulang"" Dia menatap ke luar. "Tapi, masih hujan." "Tak apa-apa. Kita jalani saja." "Mas Tody...," keluh gadis itu.
Tody tak menjawab. Dia bangkit, tetapi Murtini menahan tangannya. Lalu memeluknya, dan menciumnya. Tody membalas sesaat. Menggigit pelahan bibir gadis itu. Kemudian mendorong tubuh gadis itu pelahan pula.
"Sudah pengalaman kau rupanya," kata Tody disertai tawa.
Murtini tersentak. Kemudian terpana. Pelahan wajahnya yang bergairah berubah menjadi layu.
Tody tak memperhatikan hal itu. Dia nekat berdiri, dan Murtini bangkit mengikutinya. Wajah gadis itu menekuri tanah. Dia mengiggit bibirnya. Hatinya rusuh.
"Sudah pengalaman kau rupanya." Ucapan ini menghujam berkali-kali ke telinganya. Dia melirik lelaki itu. Tetapi, Tody asyik memilih tanah yang akan dipijaknya.
Sudah pengalaman kau rupanya. Kalimat ini berputaran tak henti-hentinya, mengguncang-guncang seluruh lekuk hati Murtini.
*** Sisa hujan kemarin masih nampak di tanah. Becek. Dan, jalanan ke dukuh di bukit adalah tanah liat licin. Tetapi, Tody tak membatalkan niatnya ke dukuh itu.
Baru beberapa tanjakan dilaluinya. Masih jauh. Tanah merah menempel di sol sepatunya. Berat untuk melangkah. Dia lepas dari jalan menurun yang satu, dan di depannya tegak Maryoto.
"Selamat pagi," sapa Tody.
Maryoto cuma berguman. "Mau ke dukuh sana"" tanya Tody.
Maryoto tak menjawab. Matanya menyelidik-nyelidik.
"Ada apa"" tanya Tody curiga.
"Ada yang mau saya bicarakan," kata Maryoto sepatah-sepatah.
"Ya" Ah, kebetulan sekali. Saya juga kepingin sekali bicara dengan Bung."
Kening Maryoto berkerut. Dia melirik gerumbul semak di sampingnya. Terdengar suara berkeresek di semak itu.
"Saya dengar Bung melarang petani-petani menerima bibit unggul. Bahkan sawah Bung sendiri tidak boleh di-BIMAS-kan."
"Oh, ya"" kata Maryoto dingin.
"Saya ingin tahu alasan Bung."
"O, itu urusan saya sendiri. Itu sawah saya. Hak saya."
"Ya. Tapi, pemerintah mengharapkan sawah-sawah di sini di-BIMAS-kan."
"Tanpa BIMAS hasilnya sudah berlebih untuk kami sekeluarga."
"Peningkatan produksi bukan hanya untuk kepentingan pemilik sawah saja. Ini menyangkut program pemerintah. Untuk kepentingan bersama."
"Hm," guman lelaki itu. "Saya tidak peduli segala macam program. Yang saya tahu, sawah-sawah itu milik keluarga kami. Kami berhak sepenuhnya. Mau ditanami, mau dibiarkan saja, itu hak kami. Tak ada yang bisa mengganggu gugat."
Tody terdiam. "Sekarang saya mau bicara, tidak menyangkut BIMAS segala macam. Saya tidak peduli produksi naik atau merosot."
"Ya"" "Ini urusan pribadi. Pribadi saya dan pribadi Bung." "Maksudmu""
"Saya harap Bung meninggalkan desa ini." "Bah! Tugas saya masih lama di sini!" "Saya tak suka melihat Bung di sini." "Bah." Tody tertawa kecil. "Kenapa""
Maryoto diam sesaat. Sikapnya sudah seperti koboi yang siap duel. Maka Tody menghentikan tawanya.
"Saya tidak suka melihatmu, karena kau merayu Murtini!" Jantung Tody berdetak lebih kencang.
"Saya lama hidup di kota. Karena itu saya tahu bagaimana kehidupan di kota. Saya tahu bagaimana orang-orang di sana diperbudak nafsu. Pikiran orang-orang kota cuma seks! Saya tahu betul itu. Empat tahun saya di universitas. Walaupun tidak mendapatkan apa-apa, tapi saya tahu bagaimana kehidupan mahasiswa-mahasiswanya. Pacaran, lalu ditinggalkan. Setiap lelaki ingin menyetubuhi pacarnya!"
"Hm, kau menyamaratakan dengan pengalaman sendiri," kata Tody datar.
"Begitulah kehidupan di kota. Karena itu, aku tidak ingin kau mempermainkan Murtini!"
Tody mengejek. "Apa urusanmu" Ayah dan saudaranya tidak bilang apa-apa." Kemarahan membakar wajah Maryoto pula. "Karena mereka tidak tahu kebajingananmu!"
Tody melekukkan senyuman sinis. Dia mendengus. Dia muak melihat cara tegak lelaki di depannya. Mirip bintang film Indonesia. Overacting.
"Bung, apa yang kauketahui tentang hubungan kami"" tanya Tody tawar.
"Kau merayunya!"
"Begitu" Nah, di sini kubilang bahwa aku tak pernah merayunya!" Lalu Tody membalik dan melangkah.
"Tunggu!" bentak Maryoto.
Pelan-pelan. Tody membalik badan.
"Merayu atau tidak, kau tidak boleh mencintainya!"
Tody tertawa kecil. Ini menyakitkan telinga Maryoto.
"Mencintai atau tidak, itu bukan urusan Bung!"
Maryoto menahan gelepar kebencian di dadanya.
"Aku tidak ingin bermusuhan dengan kau," kata Tody, "tapi sikapmu selalu menantang. Apa sebenarnya maksudmu""


Kugapai Cintamu Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maryoto mengigit-gigit bibir.
"Atau kau mencintai gadis itu"" kata Tody.
Darah Maryoto bergemuruh. Lebih-lebih melihat mata yang mengejeknya itu. Dia menaksir-naksir tubuh langsing yang tegak di depannya.
"Kau tak boleh mencintainya!" kata Maryoto dengan suara gemetar.
Tody kembali tertawa. Lalu melangkah lagi.
"Kau harus meninggalkan desa ini!"
Tody hanya menjawab dengan tawa kecil, dan terus melangkah.
Maryoto memburu dan mencengkeram bahunya hingga Tody berhenti. Tody menatap tangan yang mencengkeram bahunya.
"Aku tidak suka kekerasan," katanya lunak.
"Persetan! Kau perlu dihajar!" Dan, pukulan Maryoto hinggap di dagu Tody. Tody terbanting ke tanah. Lalu bangkit pelan-pelan sembari mengusap dagunya. Maryoto tegak di depannya dengan kaki terpentang.
"Kalau kau mencintai gadis itu, caranya bukan dengan memusuhiku," kata Tody.
Wajah Maryoto tambah menyala. Manakala bergabung dengan warna kulitnya yang sawo, jadilah warna padam dan gelap. Dia menghunjamkan tinju. Tody mengelak.
"Jangan," kata Tody sembari mundur, tetapi, Maryoto tambah kalap. Dia menerjang, dan tanpa diketahui bagaimana kejadiannya, tiba-tiba dia merasa tubuhnya terbanting ke tanah.
Sesaat dia terheran-heran. Tody tegak di depannya sambil berkata pelan, "Sudah kubilang, jangan.... "
"Terkutuk!" teriak Maryoto. Dia bangkit dan kembali menerjang. Hanya sedikit kelitan, lalu pukulan Tody hinggap di rusuk lelaki itu. Maryoto tersedak. Kenyerian yang amat sangat dia rasakan ketika dia jatuh lagi ke tanah.
Dia berdiri pelan-pelan, lalu maju dengan hati-hati. Dia bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin kepalan yang tak begitu besar itu bisa menjatuhkannya. Kemudian dia maklum ketika melihat sikap kaki dan pertahanan Tody dalam kuda-kuda kempo.
Lalu Maryoto berteriak, "Kalian kemari!"
Semak-semak tersibak. Muncul dua orang pemuda desa. Tody mengawasi bahu mereka yang kukuh serta tangan mereka yang tegap. Tody menghela napas dalam-dalam. Tak terelakkan, pikirnya.
Ketiga orang itu serentak menyerang. Tody mengelak dan kakinya masuk ke perut salah seorang, dan kepalan tangannya menimpa wajah Maryoto. Kedua orang itu terbanting. Tinggal seorang lagi berdiri melongong-longong. Yang tadi terkena terjangan di perut masih mengerang-ngerang. Maryoto mengusap wajahnya. Sakit. Tetapi, lebih sakit lagi hatinya. Maka dia menerjang lagi. Tanpa perhitungan. Tody berkelit, tetapi yang seorang lagi memukulkan pentungan ke bahunya. Tody terjajar di tanah. Maryoto mau menerkam, tetapi dengan telak tumit Tody masuk ke perutnya. Maryoto terbanting ke tanah. Pemuda yang satu lagi menerjang dengan pentungan. Beberapa pukulan tiba di tubuh Tody yang masih menggeletak di tanah. Namun, akhirnya Tody berhasil merebut pentungan itu dan langsung menerjang pemiliknya.
Tody bangkit sembari memijit-mijit bahunya. Linu. Untuk beberapa saat dia memperhatikan ketiga orang yang mengerang-ngerang di tanah itu. Lalu dia meninggalkan tempat itu. Tak jadi dia ke dukuh di bukit itu. Pakaiannya berlepotan tanah, dan bahunya terasa sakit.
Dia kembali ke tempatnya tinggal.
Murtini sedang menjemur padi ketika Tody tiba.
"Kenapa" Kenapa, Mas Tody"" tanyanya resah.
"Jatuh," kata Tody. Dia membasuh lengannya yang kotor dengan air dari gentong. Setelah menanggalkan sepatunya, dia langsung masuk ke kamarnya.
Murtini mengikutinya. "Jatuh di mana, Mas Tody"" "Di bukit."
"Jalan licin. Ngapain ke sana"" Tody tak menjawab.
Murtini berdiri di mulut pint
u. Tody canggung menghadapinya. Sebab, sebetulnya dia mau membuka bajunya.
"Ada luka"" tanya gadis itu.
Tody menggeleng. Dia cuma berharap, cepat-cepatlah gadis itu berlalu dari pintu itu. Tetapi, gadis itu malah masuk.
Terpaksa Tody berkata, "Aku mau ganti pakaian, Tini. Keluarlah sebentar." "Ah, tak apa-apa. Ganti saja."
Gadis itu duduk di kursi, dan membuka-buka buku di meja. "Sudah"" tanya gadis itu kemudian. "Ya," jawab Tody.
Gadis itu berdiri, lalu mendekat dan merapikan baju Tody.
Tubuh mereka berhadapan rapat. Tinggi gadis itu hanya sebahu Tody. Murtini berharap lelaki itu akan merangkulnya. Lalu, juga menghimpitnya dalam ciuman. Tetapi, Tody tetap beku. Malahan menjauhi gadis itu.
Murtini menghembuskan napas yang sejak tadi tertahan. "Mas Tody," desah gadis itu.
Tody tak bereaksi. Dia tetap melangkah dan keluar dari kamar itu. Masih juga memijit-mijit bahunya yang pegal.
Dan, Murtini pun keluar. Gadis itu melihat Tody berdiri di depan rumah. Ingin sekali dia memanggilnya. Rumah kebetulan sedang sepi. Dia ingin sekali mendesahkan kepada lelaki itu kata-kata, "Aku mencintai kau, Mas Tody."
Tetapi, lelaki itu begitu dingin. Dia tak mencintaiku. Aku sama sekali tak masuk hitungan dalam hatinya. Ah! Murtini mengeluh tanpa suara, dan tegak diam-diam di sudut ruangan tengah. Sementara itu, jam dinding berdetik-detik di tengah ruangan yang hening.
*** Semakin berbahaya. Semakin dekat ke pinggir jurang. Binar-binar di mata gadis itu, bagaimana menanggulanginya" Tody kian hari kian tersudut dalam kemelut. Hatinya rapuh sebab orang-orang di rumah itu teramat baik terhadapnya. Bahkan seperti membukakan kesempatan baginya untuk mencintai gadis itu. Peluang-peluang telah terbuka. Tetapi, Tody tidak berani meraih dan masuk ke dalam peluang itu.
Tiap kali muncul keinginannya merangkul Murtini, bayangan Irawati melintas. Gadis mungil bermata sayu itu! Senyumnya seolah memperolok dunia. Bibir yang pernah dikulumnya di atas rerumputan dan di bawah kerindangan pohon-pohon pinus di Kaliurang itu senantiasa menghambat pikiran Tody. Pikiran untuk memasukkan gadis lain ke dalam hatinya.
Maka dia menjadi rusuh manakala Pak Kasmat dan Partono mengajaknya omong-omong. Pembicaraan itu serius sebab keadaan di desa itu juga sedang serius.
"Orang-orang mulai memusuhimu," kata Pak Kasmat. "Ini kenyataan yang buruk. Memang bukan seluruh penduduk desa membencimu. Tapi, ini bisa menghambat kelancaran tugas-tugasmu."
"Pokok pangkalnya dari Maryoto," kata Partono menimpali.
"Yah," desah Pak Kasmat. Keduanya lalu menatap Tody dalam-dalam. Maka Tody canggung dibuatnya. Dia mengisap rokoknya kuat-kuat, memenuhi paru-parunya dengan asap, dan dia hampir batuk.
Keadaan memang semrawut. Absurd. Tody sendiri sudah tak betah tinggal di desa itu. Dia ingin cepat-cepat meninggalkan desa itu. Meninggalkan segala kemelut.
"Aku sendiri tidak tahu apa yang sedang mereka rencanakan," kata Partono. "Mereka sering membuat pertemuan di rumah Maryoto."
"Di sini, sudah bercampur antara dendam lama dengan kebencian baru," kata Pak Kasmat.
"Tapi, kenapa Pak Hermanu bisa mereka pengaruhi" Orang tua itu selama ini cukup bijaksana dalam menilai persoalan," kata Partono.
Tody tetap membisu. Lurah dan anaknya itu menatapnya lagi.
"Tentunya ini membingungkan kau," kata Partono. "Baiklah, kujelaskan. Di desa ini ada tiga orang yang dihormati penduduk. Pak Tarmiji, Pak Hermanu, dan Ayah sendiri. Antara Ayah dan Pak Tarmiji pernah timbul persaingan waktu pemilihan lurah. Waktu itu Pak Hermanu berpihak pada Ayah. Pak Hermanu seorang yang berpengalaman. Dia pernah jadi polisi di zaman Belanda. Dia pernah tinggal di banyak negeri. Ketika dia kembali ke desa ini, tujuan dia memang mencari hidup yang tenteram. Itu sejak istrinya meninggal. Selamanya dia sangat bijaksana. Penduduk desa yang mengalami kesulitan, selalu datang padanya untuk meminta nasihat. Andainya dia ikut pemilihan lurah tempo hari, bukan mustahil dia yang menang. Tapi, dia tak tertarlk. Dia hanya mau mendukung Ayah. Cuma, sekarang, entah kenapa berpihak pada Maryoto. Maryoto sendiri sudah jelas, dia anak Pak Tarmiji.
Dan, dia memang punya ganjalan pribadi dengan keluarga kami." Partono menatap keluar lewat pintu. Di luar, kelam membatasi pemandangan. Suara jengkerik berderik-derik. Terdengar pula suara kodok dari selokan.
Tody memperhatikan wajah Partono. Profil yang manis, dengan kulit warna sawo serta mata lunak. Sebagai pemuda desa, dia terlalu halus. Andainya terus kuliah, pikir Tody, dia akan jadi sarjana yang jujur. Pikiran itu terputus oleh suara Partono, "Sejak Murtini pulang dari Magelang, Maryoto menginginkan jadi istrinya. Tapi, Murtini tak mengacuhkannya."
Dada Tody berdebaran. Dia ingat perkelahian di atas bukit. Mungkinkah orang-orang ini mengetahui hal itu"
"Dan, sejak kau tinggal di rumah ini, Maryoto tentunya tambah panik. Tak diacuhkan Murtini saja membuat dia blingsatan, apalagi melihat Murtini pergi berduaan dengan kau."
Tody memainkan geretannya untuk mengurangi kecanggungan yang menghimpit. Lampu gas berdesah di atas mereka. Tentunya Murtini sedang berbaring di kamarnya. Mungkin dia tahu pembicaraan ini. Tody mengeluh dalam dada.
"Nah, itulah soalnya," kata Partono.
Pak Kasmat menggulung rokok, lalu pelan-pelan membakarnya. Dan, pelan-pelan pula mengisapnya. Segalanya berjalan pelan-pelan. Cuma, mata orang tua itu tak lepas dari wajah Tody.
"Apakah kau sudah ada rencana untuk kawin"" tanya lelaki tua itu. Tody gelagapan. Napasnya sesak.
"Maaf, Tody," kata Partono. "Kami akan berterus terang saja. Ini memang tidak sesuai dengan adat kami, tapi keadaan mendesak. Kami ingin mengetahui, apakah kau mencintai Murtini""
Segumpal napas menyekat tenggorokan Tody. Dadanya bagai disesaki oleh tekanan yang keras. Kedua lelaki di depannya memperhatikan kerisauan di wajahnya.
Lalu Partono berkata lagi, "Apakah kau sudah mencintai seseorang di Yogya""
Jantung Tody terperangah. Seandainya dia ikan, tentu sudah menggelepar.
"Ya," desahnya.
Partono dan ayahnya saling menatap, lalu keduanya menunduk. Mereka melepaskan keluhan pula.
Ruangan itu sepi. Detak-detak jam terdengar dari sudut ruangan. Suara kentongan dari luar berirama memecah kesenyapan.
"Kalau begitu, kami terlalu gegabah menduga," kata Partono pelahan. Tody tetap membisu.
"Tapi, waktu kutanya apakah kau sudah punya calon, kau membisu. Kenapa""
"Ah," keluh Tody. Matanya menghunjam ke lantai. Di lantai itu bayangan Murtini membias. Rambutnya yang diekor kuda, kuduknya yang bersih, serta lehernya yang jenjang. Leher yang telah dicium Tody, di pondok waktu hujan turun dengan derasnya. Mungkinkah dia mengira aku mencintainya" Berulang-ulang Tody berpikir.
Aku tak pernah merayunya. Aku bukan termasuk tipe perayu. Aku bukan semacam Anton, Udin, atau teman-teman yang lihai berpacaran. Tetapi, kenapa aku dihadapkan pada kenyataan yang seabsurd ini"
"Yah, kami terlalu gegabah menganggap kau mencintai Murtini," kata Partono lesu.
"Aku.... aku.... aku...." Namun, Tody tak mampu mengucapkan apa-apa. Dan, memang tak ada perkataan yang siap dibukanya. Dia bingung.
"Kalau begitu, hanya kesalahpahaman. Maryoto mengira kau merebut Murtini," kata Pak Kasmat. "Kalau dia tahu bahwa kau tidak mencintai Murtini, dia tidak akan memusuhimu lagi."
"Iya kalau Murtini mencintai dia. Kalau malah mencintai Tody"" keluh Partono.
Tody mengikuti tatapan mata Partono ke arah kelamnya malam. Partono lebih mengetahui isi hati adiknya sebab gadis itu berkali-kali menanyakan keadaan Tody. Dan, Partono ikut menghancurkan hati adiknya sebab mengatakan bahwa ada peluang untuk cinta. Maka Murtini membakar dirinya dengan api cinta.
Sekarang dia akan terbakar hangus. Ah, Murtini. Partono mengeluh diam-diam. Mereka dibesarkan berdua di rumah itu. Baru kemarin rasanya Partono melihat gadis itu berangkat sekolah ke kota. Masih tampil sebagai gadis tanggung. Lalu, setiap pulang dari kota, dia telah begitu cepat menjadi gadis dewasa.
Ah, ternyata lelaki itu tak mencintainya. Bahkan sudah punya calon di kota. Ah! Partono termangu-mangu. Dia tak mendengar ketika ayahnya berkata, "Andainya kau belum punya seseorang yang kaucintai, kami senang sekali menerimamu di rumah ini sebagai bagian dari kami, Nak Tody."
Ludah me nyekat kerongkongan Tody.
"Tapi, begitupun janganlah berubah. Tetap jalankan tugasmu. Kami akan tetapi membantumu."
*** Burung berkicau di pohon dekat jendela. Tody merasa ludahnya getir. Terlalu banyak merokok tadi malam. Matahari mengirimkan sinarnya lewat celah jendela. Tidak seperti biasanya, Tody malas bangun. Tubuhnya lunglai. Dia malas untuk melakukan apa pun. Dia ingin tiduran saja -kalau bisa - seharian di kamar yang tertutup itu. Tetapi, itu tak mungkin dilakukannya. Dia tetap harus bangkit.
Cahaya pagi menyergap pupil matanya. Silau. Ternyata dia terlambat bangun. Rumah sudah sepi. Dia tak lagi berlari ke pancuran.
Dia tak ingin berkeliling. Dia tak ingin melihat-lihat sawah hasil BIMAS. Persetan BIMAS. Tubuhnya letih. Dia berbaring-baring di kamar. Matahari bergeser di langit. Bayangan-bayangan benda kian memendek.
Berbagai wajah memintas dalam kepala Tody. Irawati, Widuri, Murtini, ibu Irawati, ibu Murtini, ibunya sendiri di Flores sana. Lalu Partono, Margriet, Maryoto, Pak Kasmat, Pak Hermanu, Widuri, Irawati, Irawati, Irawati.
Pintu depan berderit. Murtini pulang dari mengajar. Tody tak ingin bertemu dengan gadis itu. Terdengar suara langkah di ruang tengah. Lalu pintu kamar Tody tersibak sedikit, dan terdengar suara pelahan, "Mas Tody""
Tody pura-pura tidur. Tetapi, Murtini menguakkan pintu dan masuk.
"Mas Tody," kata gadis itu lagi.
"Ya"" Tody bangkit.
Murtini tegak di depannya dengan matanya yang murung bagai mata kucing sakit. Maka kemelut kembali melilit hati Tody.
"Saya sudah mengetahui pembicaraan Mas Tody dengan Ayah dan Mas Tono tadi malam." Tody duduk di pinggiran divan. Gadis itu menjejerinya.
"Saya pun sadar bahwa saya terlalu berani mencintaimu," kata Murtini dalam suara tersekap. Tody masik juga diam.
"Tapi, bagaimanapun saya tidak akan melupakanmu, sekalipun saya sadari bahwa saya tidak cukup berharga untuk mendampingimu." Gadis itu gemetar menahan isak.
Tody luluh mendengar suara yang murung itu.
"Saya memang tak berhak mendapatkan cintamu," kata gadis itu. Lalu dia menengadah memandang wajah Tody. "Tapi, saya tetap akan mencintaimu walau saya tak berharga sama sekali."
"Ah, jangan begitu, Tini," kata Tody cepat-cepat untuk mengatasi gemuruh di dadanya.
"Ya, saya tak berharga sama sekali. Sebab, sebab..." Gadis itu menangis.
Tody memegang bahu gadis itu. Maka gadis itu tambah terisak.
"Sebab, di kota.... saya.... telah.... telah kehilangan kesucian saya....," kata gadis itu tersendat. Lalu dia bangkit dan meninggalkan tempat itu. Hampir berlari dia berlalu.
Tody terpaku. Pintu masih terbentang, tetapi dia menatap kekosongan. Di luar, anak-anak ramai memanjati pohon sawo. Tetapi, yang terdengar oleh telinga Tody hanyalah isak tertahan seorang gadis.
*** Yang Terhempas POHON asam jawa di sepanjang jalan di depan Perpustakaan Universitas Gadjah Mada meluruhkan daun-daun majemuknya. Ada yang melayang-layang sebelum tiba di tanah. Terkadang buah asam yang sudah tua mengelotok menimbulkan detasan yang agak keras. Biji-biji asam bertebaran, disusul oleh kulit asam jawa yang coklat.
Lalu angin yang ditimbulkan oleh knalpot motor dan mobil menerbangkan daun-daun halus dan kulit asam itu. Lebih bertebaran lagi. Lebih tersingkir dari jalan aspal. Kemudian tercampak ke rerumputan di pinggir jalan.
Sepasang kaki menapaki rerumputan itu. Pemilik kaki itu berjalan dengan menekap buku-bukunya di dada. Membisu. Menekuri kehijauan. Tiba di gerbang perpustakaan, dia membelok. Masih menunduk. Menatap buku-buku di dadanya. Menekankan agak kuat buku-buku itu ke atas
tonjolan di dada, dan berpikir, sesungguhnya sudah sepantasnya ini digumuli mulut seorang bayi.
Widuri masuk ke perpustakaan. Di dalam, hening dan sejuk. Beberapa mahasiswa duduk tanpa suara di kursi-kursi yang berderet.
Di kampus, tak ada lagi kegiatan setelah Mapram berakhir. Yang ada tinggal kuliah-kuliah. Dan, Widuri ingin mengejar ketinggalannya dalam studi. Tiap hari dia membenamkan diri di perpustakaan itu. Dia bertekat, harus bisa menyelesaikan sarjana mudanya tahun ini. Setelah itu, ke doktoral! Lalu, dotoranda! Lalu apa" Menjadi pegawai di
salah satu perusahaan. Lalu"
Lalu" Lalu" Dan, dia menghela napas dalam-dalam, merasakan kesepian yang mencekik. Inikah hidup yang harus dilaluinya" Karir" Kembali dalam kesendirian yang menerkam-nerkam.
Widuri membuka-buka halaman bukunya tanpa semangat. Deretan huruf dan gambar grafik di situ tambah meruwetkan pikiran. Di kamar asrama, buku ini pun menimbulkan kejengkelan. Di sini juga. Sebaris kalimat pertama hanya merupakan kata-kata bahasa Inggris cetak. Otak Widuri malas untuk mengolahnya menjadi sebuah makna. Dia benci pada buku itu. Benci! Benci!
Tetapi, ujian ulangan tinggal dekat hari. Dia tak ingin jatuh dalam ujian nanti. Harus lulus. Ya, lulus. Tapi, setelah itu, apa" Buat apa cepat-cepat lulus" Setelah lulus toh tak punya lagi kegiatan-kegiatan di kampus. Yang ada cuma pekerjaan. Lalu, kesepian yang pasti melilit. Lebih-lebih lagi penilaian masyarakat: ah, perawan tua itu!
Jika kegiatan di kampus berakhir, maka mulailah himpitan ini. Ah, jika saja Faraitody berada di kota ini. Dari Asrama Syantikara ke Asrama Realino taklah jauh. Akan kudekati dia. Takkan kubiarkan kesepian ini menikam lebih lama lagi. Takkan kubiarkan malam-malam penuh keseganan yang tak berujung pangkal ini. Akan kuhilangkan malu-malu yang menimbulkan kesepian ini. Akan kumulai agresivitas yang pasti akan mengagetkannya.
Tapi, mungkinkah" Mungkinkah" Mungkinkah aku dapat mendekatinya" Sanggupkah aku, padahal aku telah tahu bahwa dia bercintaan dengan gadis lain" Sanggupkah aku jadi perusak cinta milik dua orang yang berkasihan" Oh, alangkah terkutuknya perbuatan itu! Aku tidak sanggup. Biarlah dia dengan gadis yang dicintainya bahagia.
Dan, Widuri tersentak lantaran suara di dekatnya, "Hai, jangan melamun, Mbak!"
Dia mengangkat kepala. Oh, Irawati tegak di situ. Tersenyum-senyum. Matanya yang hitam seperti menertawakannya.
"Kok melamun sih" Ayo, kita jalan-jalan."
"Duh, aku mau ujian, Dik Ira."
"Alaaa, tinggalkan sesekali buku-buku itu."
Mereka bertatapan. Widuri memperhatikan pakaian mini gadis itu, yang membalut tubuh yang mungil. Maka Widuri menarik napas dalam-dalam.
"Ayolah, Mbak. Aku lihat Mbak tadi masuk ke sini. Aku panggil-panggil nggak nyahut. Sewaktu berjalan pun Mbak melamun. Mikirin apa sih""
"Tidak, tidak ada," kata Widuri cepat-cepat.
"Kalau begitu, ayolah jalan-jalan." "Ke mana""
"Ke mana saja. Nonton kek, lihat-lihat ke Malioboro kek." "Ah, dengan membawa buku-buku begini""
"Apa salahnya"" Lalu Irawati merapikan buku-buku Widuri, dan sekalian memasukkan ke dalam tas. Kemudian menarik tangan Widuri dan menyodorkan tas itu.
"Ah, aku mau ujian, Dik Ira," kata Widuri separo mengeluh. Tetapi, Irawati tetap menarik tangannya sehingga gadis itu terpaksa berdiri.
"Nah, gitu dong."
Mereka keluar dari perpustakaan. Sampai keluar dari halaman, belum ada yang memulai bicara. Irawati berjalan dengan langkah berayun. Rambutnya tergerai hingga bahu. Sepatunya berwarna putih, tinggi hingga betis. Widuri melangkah seperti biasa: pelahan dan menunduk.
Kini mereka di kerindangan pohon asam jawa.
"Lama juga Mas Tody pergi," kata Irawati. Dan, dia melihat ketersentakan wajah Widuri. Irawati tersenyum.
"Panas ya, Mbak Wid"" tanyanya kemudian.
"Ya, panas," jawab Widuri dalam desah.
"Di desa, Mas Tody tentunya kepanasan juga," kata Irawati.
Sebongkah duri mengganjal di lekuk hati Widuri sehingga dia sukar bernapas. Apa sebenarnya yang dimaui gadis ini" Kenapa dia menyindir-nyindir begini"
"Mbak sudah lama mengenal Mas Tody ya""
"Yah." "Bagaimana sebenarnya dia"" "Aku tak tahu."
"Tabiatnya, bagaimana sebenarnya"" "Aku tak tahu."
"Selama bergaul dengan dia, tentunya Mbak tahu, apakah dia pemarah, gampang tersinggung, penggembira, atau bagaimana."
"Aku tak terlalu akrab dengan dia. Aku tak tahu tabiatnya." "Ah, masak iya"" kata Irawati diiringi tawa renyah.
Widuri diam. Matanya terhunjam ke tanah, ke sampah yang bertebaran di tanah. Di sampingnya, Irawati tertawa-tawa. Oh, orang macam apakah sebenarnya gadis ini" Widuri mengeluh. Belum pernah dalam pergaulannya dia bertemu dengan gadis macam Irawati ini.
"Mas Tody itu kelihatannya diam, tapi sebenar
nya ganas. Nafsunya, wah!"
Jantung Widuri terperangah. Oh, gadis macam apakah dia ini"
Irawati meliriknya. Dia tersenyum melihat kekecutan wajah Widuri. Langkah mereka masih tetap beraturan.
"Kami pernah ke Kaliurang," kata Irawati. "Di situ baru kelihatan belangnya. Selama ini dia kelihatan soleh sekali. Padahal, wah!"
Widuri menelan ludah yang menggumpal di tenggorokannya.
"Tapi, aku mencintainya," kata Irawati. Lalu dia mengintai lagi reaksi Widuri. Namun, yang terlihat hanya kebekuan di matanya dan di bibirnya yang bertaut dingin. Padahal yang sedang bergolak di dalam adalah kekacaubalauan. Nyeri segenap relung hatinya.
Irawati mencari-cari kata-kata yang lebih efektif.
"Dia tidak sama dengan lelaki yang pernah kukenal," katanya kemudian.
Sama atau tidak, apa peduliku" Tetapi, ucapan itu hanya ada dalam dada Widuri yang bergelora.
"Mbak tahu bagaimana aku menaklukkannya"" Widuri tetap diam.
"Agak lama prosesnya. Dia kerap lewat di depan rumahku. Pura-pura bertamu di rumah tetanggaku. Tetapi, matanya selalu terarah padaku jika kebetulan aku duduk di teras. Waktu Mapram itu, aku tidak menyangka dia jadi ketua panitia. Kebetulan sekali aku pingsan. Kemudian, setelah itu dia menyuruhku datang ke kantor. 'Kau tak usah ikut Mapram,' katanya.
'Tapi, saya kepingin dapat ijasah,' kataku.
'Ah, ijasah soal gampang,' katanya.
Begitulah makanya terpaksa aku menemaninya di kantor panitia. Waktu pulang, sebenarnya aku sudah punya pengawal. Tapi, dia bilang, 'Aku yang mengantarmu.'
'Ah,' kataku. 'Nanti pengawal saya marah.'
'Akan kuhadapi,' katanya.
Aku masih keberatan, tapi dia bilang, 'Kau butuh ijasah tidak"' Ya, terpaksa aku mengalah."
Widuri membisu, Irawati tersenyum-senyum.
"Lalu, ketika tiba di rumah, ketika aku memijit bel, dia memegang tanganku. Kemudian memutar badanku hingga menghadapnya. Kemudian, kemudian, dia menciumku."
Benci, muak, dongkol berbauran jadi satu di dada Widuri. Tetapi, dia tetap diam. Tidak mungkin Mas Tody akan berlaku seperti itu! Aku mengenalnya bertahun-tahun. Dia tak pernah sebiadab itu! Widuri membantah dalam hati. Tak tersuarakan.
"Aku marah-marah. Tapi, katanya, 'Sorry, soalnya aku tak tahan. Lama sekali aku menunggu kesempatan seperti ini. Lama sekali aku memendam rasa. Sejak lama aku mencintaimu, Ira.' itu katanya. Dan, hatiku pun jadi lemah. Kalau dia memang sudah sejak lama mencintaiku, kenyataan itu memang tak terelakkan. Dan, sejak saat itu, aku pun ingin mengenalnya lebih dalam."
Widuri membisu sekalipun di dadanya bertimbun sejuta kata. Dia ingin membantah cerita itu.
Itu semua bohong! Bohong! Bohong!
"Boleh nggak ya, datang ke desa tempat tugas Mas Tody""
Widuri tak menjawab. "Boleh nggak ya"" ulang Irawati.
"Kenapa tidak"" kata Widuri tanpa mengangkat kepala.
"Aku kepingin menemuinya. Aku rindu."
Widuri menatap langit. Biru dan bersih. Matahari di timur semakin merambati kaki langit. "Aaah, panas sekali," kata Widuri. "Kepalaku Pusing. Aku mau pulang saja, Dik Ira." "Eeeh, kok pulang"" "Pusing. Padahal aku harus ujian,"
Tanpa menunggu jawaban Widuri membelok ke kiri. Ini tidak sopan. Sangat tidak sopan, pikirnya. Tapi, persetan dengan kesopanan! Gadis itu membuat kepalaku pening. Bukan hanya pening. Bahkan nyeri! Nyeri! Nyeri! Widuri melangkah cepat-cepat.
Irawati kepingin tertawa. Dia berhenti melangkah untuk mengawasi tubuh dengan blus hijau muda itu semakin menjauh. Ternyata betul yang kuduga, pikirnya. Dia mencintai Mas Tody. Ah-ha, ternyata betul. Dia marah mendengar ceritaku. Cerita bohong. Ah-ha! Lalu Irawati berjalan pelan-pelan dengan mengayun-ayunkan tasnya.
*** Kenapa dia selembut itu" Tentunya dia masih suci. Tentunya dia diinginkan banyak lelaki. Tentunya Faraitody pun menyukainya. Wajahnya yang melankolis itu, wajah yang keibuan itu, tentunya menimbulkan simpati di hati banyak lelaki. Cuma, dia pura-pura tak menyadari. Tetapi, dengan sikapnya itu, dia tambah anggun. Bagai dewi-dewi yang memandang kesibukan manusia. Dengan matanya yang jernih, dia menatap manusia-manusia.
Itulah dia: Widuri. Dan, Irawati berusaha mengusir bayangan gadis itu. Tetapi, tatapan mata gadis itu
terus melekat dalam pikirannya. Tatapan yang seakan berkata, "Aku selamanya bersikap baik padamu. Aku selamanya melindungimu waktu Mapram. Kenapa kau membalas dengan tuba" Sikapmu, Dik Ira, membuat aku menelan racun yang kausodorkan. Hatiku sakit, Dik Ira. Sakit sekali!"
Irawati mengedikkan kepala, mengembalikan jurai-jurai rambutnya yang jatuh di kening. Ya, dia baik sekali. Tapi, kenapa begitu baik" Apa maksudnya" Karena dia berwajah melankolis" Karena dia punya senyum sentimentil" Karena tiap mahasiswa respek padanya" Itukah penyebabnya" Ya, itulah. Dia ingin memperlihatkan kelebihannya dan keistimewaannya. Dia ingin menunjukkan bahwa dia seorang gadis yang sempurna. Dan, aku hanyalah gadis liar. Murah.
Nah, itulah. Dia ingin menyodorkan susu sebab khawatir menerima tuba dalam kehidupannya. Dia baik padaku karena khawatir aku merebut pacarnya. Tapi, tunggu dulu! Dia baik padaku sebelum aku mengenal Tody. Ya, sebelum aku kenal Mas Tody, dia sudah melindungiku dari gojlogan para senioren.
Kalau begitu, kebaikan-kebaikannya adalah untuk menyempurnakan image dirinya sebagai gadis yang lembut, suci, dan berhati mulus. Lantas aku ini apa" Seorang gadis liar. Berhati culas. Bernoda. Jahat. Kejam. Dibandingkan dengan dia, apalah artinya aku! Masuk Gadjah Mada dengan sogok. Baca buku bahasa Inggris tak becus. Bergaul dengan anak-anak yang kebanyakan bukan mahasiswa, kebanyakan jebolan sekolah. Padahal, dia aktivis kampus. Mulai rektor sampai dengan profesor, juga mahasiswa-mahasiswa mengenalnya. Apakah aku ini dibanding
dia" Irawati menatap bunga-bunga yang bermekaran di halaman rumahnya. Pilar teras tegak diam-diam menyangga atap. Di pilar itu, melilit jalaran anggur. Di tengah halaman, tumbuh seonggokan perdu mawar. Bunganya menyala. Bunga melati menghiasi teritisan. Putih. Lalu, bunga anyelir yang bergoyang-goyang ditiup angin. Tangkainya yang panjang meliuk-liuk.
Gadis itu meneliti kukunya. Warna jambonnya masih menyala. Dan, dia ingat kuku-kuku Widuri yang tidak berwarna, tetapi menarik. Segala perujudan gadis itu mencerminkan kehalusan jiwa, pikir Irawati. Kenapa dia bisa begitu" Kenapa dia bisa menjaga kesucian" Orang semacam itu, tentulah akan mendapatkan jodoh orang yang suci pula. Seorang lelaki yang berhati tulus.
Lelaki semacam.... ya, Faraitodylah. Lelaki yang mencintainya tanpa cabang di hatinya. Dan,
ya, tentunya Faraitody pun mencari perempuan yang keibuan.
Faraitody akan mengabaikan aku kalau dia lebih mengenal diriku. Dan, tentunya dia akan berpaling pada Widuri kembali. Setinggi-tinggi burung, dia akan mencari tempat bertengger yang dirasa paling sesuai. Burung merpati tidak alan bertengger di rumpun bambu yang meliuk-liuk ditiup angin. Maka Irawati menghembuskan napas panjang-panjang, lalu memandang kamarnya lewat jendela yang terpentang. Terlihat sebagian wajah Mick Jagger yang melekat di dinding. Wajah lusuh tetapi menyimpan pesona.
Irawati bangkit. Dia ingat telah berjanji dengan teman-temannya. Kemudian dia tersenyum-senyum. Sewaktu berjalan ke kamarnya, tiba-tiba muncul ide yang cemerlang. Dia ingin membuat surprise untuk teman-temannya. Bukankah surprise jika dia bisa datang dengan seorang gadis baik-baik, seorang mahasiswa hampir doktoral, dan diduga keras masih perawan"
Maka Irawati menggelinding ke kamarnya dan berganti pakaian. Tak lama kemudian dia telah meluncur dengan skuternya di jalan raya. Angin menerpa wajahnya dan mengibar-ngibarkan rambutnya. Dia merengut ketika seorang pemuda memacu Yamahanya dan menjejerinya. Dan, dia mencibir ketika pemuda itu menyapanya, "Hai."
Siang seperti ini, tentunya Widuri berada di perpustakaan lagi. Ke sana tujuan Irawati. Dan, memang gadis itu sedang melamun menghadapi bukunya.
Dari pintu Irawati telah memasang senyumnya.
Widuri mengeluh dalam dada. Irawati duduk mendampinginya.
"Ayo, jalan-jalan, Mbak," kata Irawati. "Aku harus belajar, Dik Ita."
"Alaaa, tiap kali aku ajak jalan-jalan, Mbak nggak mau. Kenapa sih""
Widuri tak menjawab. "Ayolah kita jalan-jalan. Berdua saja."
Widuri tetap diam. "Mbak Wid kenapa sih kok kayak memusuhi aku""
"Kapan aku memusuhi mu"" kata Widuri gugup.
"Ya, buktinya tak pernah mau bergaul dengan aku."
Widuri mengeluh. "Apa sih salahku"" tanya Irawati.
Widuri menyusut-nyusut halaman bukunya.
"Mbak kayak mendendam padaku," kata Irawati.
Napas Widuri terasa sesak. Mereka berbicara dengan suara berbisik. Tetapi, ucapan-ucapan gadis itu menghunjam sekuat-kuatnya ke hati Widuri. Irawati memegang pergelangan tangan Widuri, dan memijitnya.
"Ayo, dong." "Lusa aku ujian, Dik Ira."
"Malah kebetulan. Hitung-hitung rekreasi, biar pikiran jadi tenang, Mbak." Widuri menimbang-nimbang.
"Ayo, dong, Mbak. Biar orang melihat bahwa sebenarnya kita ini akur." "Akur""
"Ya, soalnya banyak orang mengira kita ini bersaing." Dada Widuri kembali sesak. Bahkan lebih terhimpit. "Ada yang bilang, aku merebut pacar Mbak." "Ah," keluh Widuri dengan napas serabutan.
"Padahal aku tidak merasa begitu. Atau, apakah memang benar, Mbak Wid"" Mata Irawati menghunjam pada wajah Widuri, membuat gadis ini merasa giris. "Betul, Mbak Wid"" ulang Irawati.
Widuri mencoba tertawa, tapi sumbang. Lalu katanya, "Ah, siapa bilang""
"Ada. Hatiku sakit. Orang-orang menuduhku menyakiti hati Mbak Wid. Padahal aku sama sekali tak merasa begitu. Aku tak pernah mengetahui bahwa Mas Tody pacar Mbak Wid. Kalau itu betul, aku bersedia mundur. Aku akan menarik diri."
"Ah," keluh Widuri lagi. Lebih tersendat.
"Apakah yang dibilang orang-orang itu benar, Mbak Wid""
Widuri menggeleng. "Tidak," katanya.
Irawati melepaskan napas lega.
"Ah, syukurlah," katanya.
Widuri pun melepaskan napas, tetapi bukan napas lega. Napas murung.
"Kalau begitu, ayolah jalan-jalan, Mbak. Biar orang melihat bahwa di antara kita sebenarnya tidak pernah ada permusuhan."
"Jalan-jalan ke mana"" tanya Widuri tanpa semangat.
Irawati tersenyum. "Kita ke Kaliurang. Aku punya bungalow di sana. Kita omong-omong. Kalau Mbak Wid tidak mau omong, ya belaiar di situ. Aku juga mau membaca."
Widuri menyusun buku-bukunya pelan-pelan, dan memasukkan ke dalam tasnya. Seulas senyum tak pernah lepas dari bibir Irawati. Lalu dia menggandeng lengan Widuri dan menariknya cepat-cepat meninggalkan perpustakaan.
Mereka melaju di jalan menanjak. Sepanjang jalan dinaungi pohon-pohon mahoni. Pepohonan berlari ke belakang, berlawanaan dengan arah mereka.
Musik keras yang hingar-bingar terdengar dari bungalow itu.
"Lho, kok ramai"" kata Widuri.
"Wah, rupanya teman-temanku ke sini. Kok mereka nggak bilang ya"" Wajah Irawati keruh, "Bagaimana cara mengusir mereka""
"Kenapa diusir""
"Mereka akan mengganggu ketenangan kita." "Kita duduk di luar saja."
Lalu mereka berdua melangkah pelan-pelan. Telinga Widuri sakit mendengar lagu-lagu yang hingar dari tape stereo.
Kisah Sepasang Rajawali 1 Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi Pusaka Tombak Maut 1

Cari Blog Ini