Ceritasilat Novel Online

Matahari Di Batas Cakrawala 1

Matahari Di Batas Cakrawala Karya Mira W Bagian 1


1. Tentang Hak Cipta Baran-siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Baranasiapa dengan sengaja menyiarkan, THemamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (IX dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Bma) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah).
Mira W. MATAHARI DI BATAS J C A. ICR. A^VA.L Al
Om Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2004
MATAHARI DI BATAS CAKRAWALA Oleh Mi ra W. GM 401 99 235 Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Barat 33 37. Jakarta 10270 Foto Cover oleh T. Hcrmaya Sampul dikerjakan oleh Stephanus H.
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta. Juli 1999
Cetakan ketiga: November 2001 Cetakan keempat: Oktober 2004
Pernah diterbitkan Oleh kur t in i Group 1980
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) MKA W.
Matahari Di Batas Cakrawala/ oleh Mira W. Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 1999 208 him.; 18 cm
ISBN 979 - 655 - 235 - 3 I. Judul 813 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
1 POLIO! Ya Tuhan! Anakku polio" * L-u-m-p-u-h..." Seperti petir kata-kata dokter itu menyambar telingaku. Tidak keras. Tidak keras memang. Malah pelan. Terlalu pelan. Hampir-hampir tidak terdengar. Tapi ketika mendiagnosis penyakit anakku, ketika memvonis Nike, kata-katanya seperti ledakan halilintar di telingaku. Polio!
Sejenak aku tidak mampu berkata apa-apa. Sejenak otakku terasa kosong. Hanya suara sepotong kata itu yang selalu memantul kembali di otakku. Polio. Polio. Gemanya seakan-akan terasa sampai ke ujung jari kakiku.
Aku bukan dokter. Aku cuma seorang ibu yang malang. Ibu dari seorang anak perempuan kecil yang sedang lucu-lucunya yang harus kehilangan kelincahannya karena penyakit terkutuk itu! Polio. Bagi orang awam macam aku, sama saja artinya dengan kelumpuhan. Seperti anak tetanggaku. Yang
5 r kakinya kecil sebelah itu. Yang timpang. O, aku tak pernah menertawakannya. Sungguh. Aku malah selalu menaruh belas kasihan padanya. Kenapa Tuhan, kenapa kini harus anakku sendiri"
Anakku hanya seorang. Satu-satunya. Mengapa mesti anakku" Mengapa bukan orang lain, yang punya anak selusin... ah, aku tak boleh punya pikiran seperti itu! Aku tak berhak mencampuri kodrat yang telah digariskan Tuhan.
Lebih baik mengharapkan yang lain. Misalnya saja. barangkali dokter salah diagnosis. Bisa saja terjadi. Oh. mudah-mudahan demikian. Dokter ini masih muda. Baru lulu% barangkali. Lalu ditempatkan di sini. Bisa saja dia yang salah.
Ah, seandainya ada Mas Irwan! Dia pasti lebih tahu. Dia pasti lebih pandai dari dokter ini.' ""
Mas Irwan! Tidak sengaja air mataku menitik. Perempuan memang selalu merasa lebih aman bila didampingi suaminya. Apalagi pada saat-saat seperti ini. Saat anaknya sakit. Tetapi Mas Irwan tidak mungkin kemari. Tidak dapat!
"Saya anjurkan supaya Nike masuk rumah sakit saja," kata dokter itu lagi. 'Tapi tentu saja Ibu boleh berunding dulu dengan Bapak."
Itu berarti menempuh kembali empat puluh kilometer dari kota ini ke pedalaman. Itu berarti terlambat satu hari lagi. Satu hari yang sangat berarti untuk Nike! Dan bukan itu saja. Bagaimana aku dapat menemui suamiku"
0, seandainya aku dapat berunding dulu dengan Mas Irwan. Seandainya bisa... aku tak perlu kemari!
Tak perlu membawa Nike jauh-jauh menempuh perjalanan yang sulit ini!
Mas Irwan sendiri dokter. Sudah hampir empat tahun praktek di puskesmas kecamatan yang penduduknya cuma tiga puluh ribu orang itu. Tapi dia pasti tahu bagaimana caranya menangani kasus polio!
O, kalau kukatakan suamiku dokter, maukah dokter muda ini memeriksa Nike sekali lagi" Me* meriksa dengan lebih teliti barangkali" Siapa tahu...
ya, siapa tahu bukan polio"
Pikiran yang tak pantas bersarang di kepalaku. Di kepala seorang wanita yang selama empat tahun dengan set
ia mendampingi suaminya bertugas di pedalaman.
Mas Irwan tidak pernah membeda-bedakan pasien. Anak lurah atau anak pengangguran sama saja baginya. Sama-sama diperiksa dan diobati dan diteliti. Tapi pada saat-saat seperti ini, siapa yang dapat mencegah pikiran-pikiran semacam itu tercetus begitu saja di otakku"
"Suami saya tak ada di rumah, Dokter," kataku menahan tangis.
"Dia seorang dokter yang sedang bertugas..."
Ketika mengucapkan kata yang terakhir itu, aku harus menggigit bibirku kuat-kuat. Ah, kalau benar dia hanya sedang bertugas!
"O"" Ada perubahan memang di paras yang belia itu. Tapi cuma sekejap. "Kalau begitu, lebih baik lagi. Bapak pasti tahu, istirahat yang baik bagi penderita
polio dapat menolong banyak sekali. Dan istirahat yang paling baik adalah di rumah sakit."
"Po.Juo..." Susah sekali rasanya mencetuskan kata itu dari celah-celah bibirku. "Dokter... yakin...""
Aku tak dapat lagi mengatur kata-kataku. Kutatap wajahnya dengan sejuta permohonan. Berharap semoga dia akan menggelengkan kepalanya. Tapi dia tidak menggeleng. Tidak menumbuhkan harapan yang hampir mati di hatiku.
"Untuk sementara, saya rasa tak ada diagnosis yang lebih tepat dari polio. Karena itu, Nike akan saya terapi dengan terapi polio. Tapi tentu saja selama itu dia akan saya awasi terus. Saya tidak menutup kemungkinan terhadap timbulnya gejala-gejala baru yang akan membawa kita ke diagnosa yang lain."
Jadi habislah sudah. Nike kena polio. Dan dia harus masuk rumah sakit O, alangkah tipisnya batas antara kebahagiaan dan penderitaan!
Sampai dua bulan yang lalu kami adalah pasangan yang paling bahagia. Keluarga yang paling harmonis. Meskipun Mas Irwan belum ditarik juga ke Jakarta, padahal sudah empat tahun dia bertugas di pedalaman sini, dia tidak pernah mengeluh. Hidup yang sulit dalam pengabdiannya sebagai dokter yang ditempatkan di daerah terpencil, tidak mematahkan semangatnya.
Aku sendiri sudah pasrah. Lama-lama jadi betah juga tinggal di kampung yang sepi ini. Walaupun mula-mula aku hampir mati didera kesepian, walaupun sudah dua kali aku lari kembali ke rumah
orangtuaku di Jakarta karena tidak tahan hidup
terasing begini. Sekarang tidak lagi.
Tetapi sebulan yang lalu, musibah datang menimpa Mas Irwan. Dan selagi kemelut yang satu belum berlalu, datang lagi musibah berikutnya.
Nike sakit. Nike yang sehat. Nike yang lincah. Nike yang tak pernah menyusahkan. Jangankan sakit berat, pilek saja jarang.
Barangkali udara desa yang segar membuatnya sehat. Atau mungkin juga makanannya. Maklum anak dokter.
Kalau soal makanan Nike, Mas Irwan cerewetnya bukan main. Semua mesti yang paling baik. Yang bergizi tinggi. Supaya pintar katanya. Supaya jadi juara kelas terus.
Aku masih ingat bagaimana cermatnya Mas Irwan mengatur jadwal Nike menyusu waktu bayi dulu. Kadang-kadang aku jadi jengkel sendiri.
Nah, bayangkan saja, tengah malam pun ketika aku dan Nike sedang enak-enak tidur, dibangunkan-nya semata-mata karena sudah waktunya Nike menyusu lagi! Padahal Nike sama sekali tidak lapar. Jangankan menangis, bergerak saja tidak! Keterlaluan. Dan celakanya, Mas Irwan tahu sekali bagaimana caranya membangunkan aku!
Mula-mula dia cuma menggerak-gerakan ujung bibirnya di telinga. Walaupun merinding kegelian, sampai berdiri bulu romaku, aku tetap berpura-pura tidur. Berlagak tidak mendengar bisikannya.
"Bangun, Manis. Sudah jam sebelas. Habis ini baru restoranmu boleh tutup."
Restoran.1 Kurang ajar. Dan melihat senyum tertahan yang tersembul di bibirku. Mas Irwan tambah konyol lagi. Bibirnya menjalar makin jauh ke balik telingaku. Sementara jari-jemarinya meremas buah dadaku dengan lembut. Kalau sudah sampai di sana. Tak ampun lagi. Terpaksa aku bangun. Tak bisa berpura-pura tidur lagi.
Sambil menggelinjang bangun, melepaskan diri dari rangkulannya kupukul tangannya Tentu saja cuma pukulan sayang. "Abut!" Biasanya Mas Irwan pura-pura menjerit "Sakit"" kutanya juga. Walau jawabannya sudah tahu. Konyol. Tapi tidak konyol untuk pasangan yang sedang dilanda cinta. Malah mesra. Bikin ke-tagihan saja. "Sangat," sahutnya manja. "Lagi, ah." Matanya menatapku dengan
penuh gairah. Ada gelepar-gelepar cinta yang membuat mata itu bersinar-sinar dalam kegelapan.
Kalau sudah begitu, biasanya aku tak tahan lagi. Kucium matanya. Ingin kuisap kenikmatan yang bersorot di mata itu. Kubiarkan kehangatan menjalar dari matanya ke bibirku. Dan hangatnya terasa sampai di dalam sini.
Lalu Mas Irwan akan mencumbuku sebentar. ' Tapi begitu kantukku hilang, ia akan menyerahkan Nike ke dalam gendonganku.
"Ayah yang paling baik," katanya sambil tersenyum. "Anak dulu baru bapak."
*** Atas kebijaksanaan dokter itu, aku diizinkan menemani Nike ke kamarnya. Repot sekali kalau mesti bolak-balik kemari. Rumahku jauhnya empat puluh kilometer dari tempat ini. Dan perjalanan ke sana,
aduhai susahnya! Entah mengapa didirikan puskesmas di tempat itu. Jangankan orang sakit, orang sehat pun sulit sekali mencapainya. Tapi heran. Semakin hari, semakin banyak saja orang yang datang berobat ke sana.
"Mama! Nggak! Nggak mau tuntik!"
Tiba-tiba saja tangis.Nike meledak membuyarkan lamunanku. Dan aku baru sadar. Seorang perawat memasuki kamar dengan membawa sebuah kotak
kecil. "Jangan, Tante tutel! Jangan tuntik Nike, ya!"
Nike memang lucu. Dengan suaranya yang masih cadel, dia sudah bisa merayu perawat!
"Tidak, Nike. Tidak suntik, ya," bujuk perawat itu sambil tersenyum. "Cuma Tante ukur sebentar panas badan Nike. Terus minum obat supaya panasnya turun, ya" Aduh manisnya!"
Nike memang disukai di rumah sakit itu. Semua dokter dan perawat di sana sayang padanya. Dia lucu. Pintar merayu agar jangan disuntik. Kadang-kadang malah terlalu bawel menawar, tidak mau minum obat ini, tidak mau minum obat itu. Tapi dalam bawelnya pun dia tetap lucu.
Ah, Nike manis, kalau sedang sakit panas begini, matamu yang bulat bening itu demikian sayu menatapku. O, kalau saja dapat kuambil sedikit
penderitaamu, Sayang! Kalau saja bisa, biarlah Mama saja yang sakit. Jangan engkau, Nike sayang!
Kubelai-belai kepalanya yang lembut. Alangkah panasnya. Kompres es di kepalanya dan kasa basah yang dicelup alkohol di sela-sela ketiak dan pangkal pahanya seolah-olah tidak berhasil memadamkan api yang sedang membakar seluruh tubuhnyasvj Duh, kalau kutahu bakal sakit begini, takkan kubiarkan dia bermain-main seorang diri di hutan bambu di belakang rumah.
Biasanya aku begitu cermat menjaga Nike. Kula-yani sendiri makananannya. Kujaga sendiri waktu ia tidur. Kutemani kalaku bermain. Baru akhir-akhir ini, kuakui, aku memang agak kurang memperhatikannya. .
Aku sedang pusing. Bingung. Kacau memikirkan Mas Irwan. Dan begitu lepas dari pengamatanku, Nike langsung jatuh sakit! Polio, lagi! Penyakit yang tidak tanggung-tanggung kejamnya.
Oh, tidak Jiabis-habisnya sesal menggerogoti hati- J ku. Tak pernah kubayangkan begini trenyuhnya perasaan seorang ibu melihat anaknya sakit.
Mula-nmla memang hanya seperti flu biasa. Panas. Lesu. Ditambah sakit kepala. Tidak mau makan. Tidak mau main. Lalu Nike mulai muntah-muntah. Sakit perut. Diare.
Terus terang saat itu aku belum begitu kuatir. Empat tahun menjadi perawat tidak resmi yang mendampingi Mas Irwan praktek, aku tahu sekali obat apa saja yang mesti kuberikan. Tapi kali ini,
diarenya tidak mau berhenti juga. Jangankan berhenti, berkurang pun tidak.
Sepanjang malam, suhu badannya semakin meninggi. Dan kepanikanku mencapai puncaknya ke--tika keesokan paginya Nike mengeluh kaki kirinya sakit. Dia sama sekali tidak dapat menggerakkan kaki itu.
Sudah kugosok dengan bermacam-macam obat gosok. Kuminumi segala macam obat panas yang kuketahui. Tapi tak ada tanda-tanda penyakitnya akan mereda. Malah ketika panasnya mulai menurun, kaki kiri Nike sudah benar-benar lumpuh....
Aku menangis sejadi-jadinya. Kalau Nike mesti sakit, kalau dia harus lumpuh, mengapa justru pada saat ayahnya tidak ada di rumah" Bagaimana harus kusampaikan musibah ini padanya" Bagaimana harus kukatakan kepada seorang ayah yang demikian cintanya bahwa gadis kecilnya yang lucu dan manis itu akan lumpuh, akan pincang untuk selama-lamanya"
Mas Irwan sangat menyayangi Nike. Belum dapat kulupakan bagaimana masa-masa penantian yang telah kami lewati bersama itu.
Menantikan datangnya seorang anak....
2 Pertama kali aku bertemu dengan Mas Irwan ketika ia masih menjadi koasisten. Koasisten adalah mahasiswa fakultas kedokteran yang sedang menjalankan kuliah klinik di rumah sakit.
Saat itu, jangankan jatuh cinta pada pandangan pertama, tertarik saja tidak. Ada dua alasan yang menyebabkannya Aku sedang dalam keadaan gawat. Dan sikap Mas Irwan yang sangat tidak simpatik.
"Bunuh diri, Dok." Sayup-sayup kudengar perawat yang mendorong usunganku melapor pada seorang pemuda yang berseragam dokter. "Menelan I sampo kira-kira sejam yang lalu."
"Lain kali jangan pakai sampo." Mula-mula kukira dia cuma main-main. Sungguh mati. Saat itu kupikir Mas Irwan betul-betul dokter. Tahunya cuma koas! "Suruh dia telan obat nyamuk!"
Kurang ajar! Mana ada dokter seperti ini" Brengsek. Seenaknya saja bicara. Kubuka mataku lebar-lebar. Kutatap dia separo membelalak. Tetapi dia sedang tertawa bersama perawat-perawatnya. Lucu barangkali. "Kok sadis betul, Dok""
"Habis bikin susah orang saja. Menolong yang
betul-betul kecelakaan saja kita sudah repot. Nah, buat apa kita tolong lagi orang yang sudah tidak ingin hidup""
Ingin aku menjerit. Berteriak. Memaki. Dalam keadaan biasa, pasti sudah kuludahi dia. Tapi saat ini, jangankan menggerakkan lidah, menelan ludah saja sulit.
Lalu tanpa mengacuhkan belalakanku, dia me-me-rintahk*an perawat-perawatnya memegangi diriku. Aku masih mencoba meronta sekuat tenaga ketika dengan sikap yang sangat tidak simpatik, Mas Irwan memompa keluar seluruh isi lambungku. Dipaksanya aku memuntahkan kembali sampo yang telah kutelan.
Beberapa kali bajunya yang putih bersih itu kecipratan muntahanku. Beberapa kali kudengar mulutnya menggumamkan gumaman yang tidak jelas. Barangkali dia menggerutu. Mengomel. Mengutuk. Tapi takut kedengaran perawat. Bukankah dokter tidak boleh jijik" Tapi melihat sikapnya, malah sengaja kusemprotkan muntahanku yang terakhir ke bajunya!
*** Malam itu aku tidur di rumah sakit ditunggui Ibu. Takut aku mencoba bunuh diri lagi barangkali.
Padahal aku sendiri takut mati.
Uh, kalau saja Ibu tahu bagaimana aku cepat-cepat memuntahkan kembali obat-obat tidur yang telah separo ku telan!
Sebagai gantinya aku menelan sampo. Barangkali saja obat ini tidak membunuhku. Barangkali saja sampo hanya mematikan benih yang sedang bertunas di rahimku!
Ah, aku memang tolol! Tolol! Kalau tidak, masakan begitu gampang kuserahkan mahkotaku yang paling mahal kepada seorang pemuda seperti Darius!
Darius. Selalu harus kugertakkan gigiku kuat-kuat kalau ingat kepadanya. Semua gara-gara dia. Hidupku yang tenang jadi kacau. Duniaku yang cerah jadi berantakan. Masa remajaku tiba-tiba kelam dilanda badai. Semua gara-gara Darius. Dan... karena ulahku juga. Salahku juga.
Hari-hari sekolahku di SMA memang menyenangkan. Piknik. Nonton. Ke disko. Kabur dari sekolah. Bolos. Wah, pendeknya asyik. Mau kesenangan macam apa saja, pasti kudapat. Dengan mudah pula. Dan... gratis.
Orang bilang, aku cantik. Menarik. Merangsang. Dan ah, entah apa lagi. Dalam usia yang baru tujuh belas ini pemuda mana pun yang kuinginkan, ku-peroleh semudah menjentikkan jari. Erik, Rinaldi, Darius, siapa saja Tinggal pilih.
Bosan sama Erik, Rinaldi sudah menunggu. Hari ini Rinaldi, besok Darius. Darius lagi "bokek", panggil Harjo. Harjo konyol sedikit saja, tendang. Ganti Effendi. Pendeknya dari Sabang sampai Merauke. Kelas II Pas sampai II Sos. Tinggal pilih.
Kalau kemudian kupilih Darius, aku sendiri tahu apa sebabnya. Mungkin karena dia yang paling baik. Tidak brengsek. Tidak pernah keluyuran ke disko. Jarang keluar malam. Apalagi ngebut.
Tentu saja. Mau ngebut pakai apa" Soalnya dia tidak punya motor. Lebih-lebih mobil. Kalau nonton dia mesti bonceng motor teman. Lha, kalau bawa aku, mau taruh di mana"
Ke disko naik helicak kan tidak lucu. Malu sama teman-teman. Nebeng anak lain lebih tidak lucu lagi. Orang mau pacaran. Bertiga kan terlalu banyak. Tapi itulah anehnya. Aku kok memilih Darius. Dan itulah kesalahanku yang pertama. Kukira pemuda yang alim seperti dia tidak berbahaya. Tahu-tahu musang berbulu ayam.
Ah, buka n musang. Barangkali dia benar-benar ayam. Tapi ayam sekali-sekali juga bisa khilaf kan" Apalagi kalau sama-sama didesak rasa ingin tahu.
Pada suatu hari Sabtu yang panas, kami pulang nonton. Pukul dua siang. Darius mengantarku sampai ke rumah. Seperti biasa, cuma sampai di ruang tamu. Tapi hari itu, orangtuaku tidak ada di rumah. Mbok Piah juga sedang pulang ke kampung. Tidak heran, rumahku sangat sepi. Dan entah siapa yang mulai duluan... ah, tentu saja Darius! Masa aku yang mulai lebih dulu"
Tapi kau yang merangsangku. Wita!" protes Darius ketika dalam keadaan sama-sama panik ku-tuduh dia.
Ah. sudahlah. Entah siapa yang mulai lebih dulu. Pokoknya siang itu, di sofa mang tamu rumahku, Darius merampas kegadisanku.
"Bukan merampas!" protes Darius pula. "Kau yang menyerahkannya padaku, Wita! Kita sama-sama menginginkannya!**
Dan kini kami sama-sama kebingungan! Sama-sama tidak tahu mesti berbuat apa. Sama-sama takut. Lebih-lebih ketika sampai sebulan kemudian, haidku tidak keluar-keluar. Klasik! Persis cerita-cerita yang pernah kubaca. Tetapi sekarang, terjadi pada diriku sendiri!
Kalau ada panik, inilah kepanikan yang paling hebat dalam hidupku yang baru tujuh belas tahun itu! Ke mana aku mesti mengadu" Ayah pasti membunuhku! Ibu pasti bunuh diri! Dan Darius" Dia sendiri sudah hampir mati ketakutan. Bukannya mencarikan jalan keluar, dia malah mencari selamat sendiri. Dia pulang ke Medan. Dan percuma mengharapkannya kembali.
Terpaksa kutempuh jalan yang kuketahui saja. Berolahraga sampai tulang-tulangku hampir remuk. Bekerja mati-matian sampai ibuku sendiri jadi heran. Kenapa si Wita yang pemalas itu mendadak jadi luar biasa rajin mengepel lantai" Tapi kandunganku tetap juga bertumbuh. Akhirnya kutelan segala macam jamu-jamuan peluntur. Ketika obat-obatan pun tidak menolong, aku nekat menelan sampo!
IX "Jika seorang gadis menelan sampo, pasti ada alasannya," masih sempat kutangkap kata-kata Dokter
Rizal kepada Ibu, sesaat sebelum aku diizinkan meninggalkan rumah sakit. "Wita cukup waras untuk mengerti bahwa obat itu untuk mencuci rambut. Bukan perut. Ibu benar-benar tidak tahu apa alasannya""
"Saya benar-benar tidak tahu, Dokter," sahut Ibu bingung.
Entah mengapa, saat itu bayangan profil Dokter Rizal melintas begitu saja di depan mataku. Baru tadi pagi aku melihatnya. Dia datang untuk memeriksaku. Dia juga yang memutuskan kapan aku boleh pulang. Sikapnya sangat berbeda dengan sikap Irwan. Dia sabar. Tidak banyak omong. Tapi murah senyum. Caranya memeriksa pun amat berbeda. Dan dia tidak kasar. Tidak sinis. Tidak sok. Pendeknya tiba-tiba saja aku merasa aman dalam tangannya.
Heran. Padahal kenal juga baru tadi pagi. Tapi aku kok begitu percaya padanya. Dia seorang dokter. Pasti ia tahu apa yang mesti kulakukan. Lebih baik mengadu padanya daripada kepada Ibu. Tapi kapan" Dokter Rizal selalu disertai empat orang koasisten dan seorang perawat. Kapan aku punya kesempatan untuk menemuinya seorang diri"
Aku masih termenung-menung menunggu Ibu menyelesaikan ongkos-ongkos perawatanku di kantor rumah sakit, ketika seorang dokter muda lewat di depanku. Dan aku hampir tidak mengenalinya lagi.
Penampilannya jauh berbeda dengan tadi malam.
Rambutnya yang acak-acakan itu sudah tersisir rapi Tampangnya yang semrawut telah licin kembali. Dan baju putihnya yang tepercik noda-noda muntahanku telah ditukarnya 'dengan baju yang putih bersih. Yang paling mengejutkan sikapnya pun berubah!
"Selamat pagi," tegurnya ramah, sesaat sebelum aku sempat membuang muka. "Pulang""
Aku cuma mengangguk sedikit. Masih terpesona oleh perubahan sikapnya. Dan masih mengkal atas perlakuannya semalam. "Nunggu Ibu""
Sekali lagi aku mengangguk. Eh, bukannya pergi, dia malah menepi menghampiriku.
"Wita," katanya sungguh-sungguh. Begitu seriusnya sampai jantungku sendiri melonjak lebih cepat. "Jangan coba lagi, ya."
Untuk pertama kalinya kutatap matanya. Dan kebetulan, dia justru sedang menatap langsung ke bola mataku.
Sesaat, kami jadi sama-sama menghindar. Dan sama salah tingkah. Jantungku, entah mengapa, berdebar dua kali lebih keras.
Uh, kalau dia berdiri lebih
dekat lagi aku kuaur < dia dapat mendengar debar jantungku tanpa stetoskop!
"Kalau ada rjersoalad"" katanya lagi setelah berhasil mengatasi kegugupannya, "lebih baik kamu berterus terang pada ibumu."
Sekali lagi aku berpaling. Kali ini, aku bisa
mengamati wajahnya dengan lebih cermat. Tidak
ada yang istimewa di sana.
Dagunya yang persegi, maupun hidungnya yang
tinggi, tidak menampilkan kesan terlalu tampan.
Apalagi matanya yang separo tertutup oleh daging berlebih yang tersembul di bawah kelopak matanya
Bulu matanya yang terlalu panjang dan lentik untuk seorang lelaki, menghapuskan kesan maskulin
yang dibentuk oleh rahangnya yang persegi. Sorot matanya terlalu redup. Kurang jantan di mataku. Lebih-lebih kalau dia sedang menatap dengan sinis seperti tadi malam! Dan rambu toy a... ah. Rambut tebal yang dipotong pendek, disisir rapi seperti gambaran klasik dokter-dokter pada umumnya... aduhai! Sepuluh tahun lagi barangkali aku baru tertarik pada profil pria seperti ini! Terlalu rapi. Terlalu mulus. Kurang urakan. Dan kurang jantan! Tapi... astaga. Siapa yang bicara soal tertarik atau tidak" Kenapa aku melantur sejauh ini"
Tersipu-sipu kutundukkan pandanganku. Dia sedang menatapku dengan heran. Dan untung, dia
' tidak tahu aku sedang menilainya! Ah, dia sama saja dengan dokter-dokter lain yang cuma tahu kuman dan penyakit! Tahu apa dia tentang wanita!
"Sampai ketemu lagi," katanya sambil berlalu. "Kalau Wita perlu apa-apa, cari saja saya." Ada senyum yang sulit kulupakan tersungging di
bibirnya. Senyum itu begitu magisnya sampai untuk
sesaat, aku melupakan rasa maluku. "Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi. Tapi
jangan sebagai pasien dong."
"Dokter," cetusku tiba-tiba.
Dia berbalik kembali dengan terkejut. Entah terkejut oleh panggilanku. Entah oleh caraku memanggilnya. Pokoknya dia terkejut. Dan melihat dia terkejut
begitu, aku sendiri tersentak kaget. Hilang semua kata-kata yang telah tersembul di ujung lidahku.
Sejenak kami cuma saling tatap dengan bingung. Dan ditatap demikian rupa, aku jadi semakin gelagapan.
"Maaf," desisku gugup. Dengan ekor mataku, aku sudah melihat Ibu keluar dari pintu sana. "Bagaimana saya dapat menemui Dokter Rizal... sendiri saja"
Tak ada waktu lagi. Irwan masih tertegun heran memandangku. Sementara Ibu telah tiba di samping kami.
"Mari, Wita," katanya padaku. Lalu pada Irwan, kata Ibu ramah, "Terima kasih, Dokter. Permisi, kami pulang dulu.""
Sudahlah, pikirku putus asa. Kutundukkan kepala-1 ku dengan sedih* Tak ada harapan lagi menemui Dokter Rizal. Tetapi sesaat sebelum tangan Ibu meraih lenganku, Irwan masih sempat mengedipkan S sebelah matanya padaku. Dan sampai di rumah pun aku masih berpikir-pikir, benarkah kulihat bibirnya membentuk kata "besc**"
Hanya naluri yang membawaku ke sana. Ke tempat
Irwan telah menungguku. Tempat yang sama. Tempat
kami bertemu kemarin. Dan aku hampir melonjak
gembira melihat dia telah menunggu di sana. Untung
aku masih sempat mengerem mulutku. Kalau tidak,
pasti dia kaget lagi mendengar teriakanku.
"Selamat pagi," sambut Irwan gembira. Dia tidak menanti sampai aku menghampiri tempatnya. Begitu melihatku, dia langsung menghambur men-dapatiku.
"Kukira tidak datang."
"Dokter Rizal...," kataku tanpa dapat mengatur kata-kataku lagi. Beberapa pasien melirikku dengan heran. Tapi persetan. Masa bodoh amat dengan mereka. "Dokter Rizal mau menemuiku""
"Katakan dulu, ada apa""
"Soal penting."
"Belum kamu ceritakan pada ibumu"" "Apa"" Tidak sengaja memang. Tapi ketika mengucapkan kata itu, entah kenapa nada suaraku
jadi tajam. "Soal yang akan kamu ceritakan pada Dokter Rizal ini."
"Kalau sudah, tak perlu kucari dia."
Sekarang Irwan menatapku dengan sungguh-sungguh. Dan heran. Matanya yang redup itu bisa juga tajam bagai silet kalau sedang serius. Ditatap begitu rupa, aku jadi gelagapan.
"Soal kandunganmu""
Hampir lepas tas yang sedang kupegang. Entahlah apa warna mukaku saat itu. Entah seperti apa tampangku. Kalau ada kejutan, inilah kejutan paling hebat yang hampir merontokkan jantungku. Dan melihat sikapku, Irwan tidak memerlukan jawaban lagi.
"Sudah kuduga," gumamnya mu
ram. "Berapa bulan""
"Dari mana kau tahu"** geramku gemas menahan tangis. Semudah itukah rahasiaku dibaca orang"
"Waktu memeriksamu kemarin malam, aku sudah curiga. Jadi kuperiksa sendiri air senimu."
"Tapi itu bukan air seniku!" protesku spontan. "Kutukar dengan air seni pasien di sebelahku!"
"Pantas." Dia menatapku separo marah. "Tesnya negatif." "Aku takut ketahuan Ibu." "Lalu mau apa kau menemui Dokter Rizal"" "AktL.." Tak tahu mesti omong apa lagi. Ya, mau apa aku menemuinya"" Aku... aku tidak tahu...."
"Lebih baik kuperiksa dulu urinemu. Kalau positif, biar aku bicara dengan ibumu."
"Kau"" belalakku kaget. Sesudah membelalak, aku baru menyesal. Pasti ada sorot merendahkan dalam mataku. Dan ia pasti merasa terhina.
"Aku bisa minta Dokter Rizal bicara dengan ibumu," katanya tersinggung.
Ah, kalau sedang marah, matanya bisa bersinar dingin juga Seperti Henri Silva. Dan aneh. Kalau begitu, ia justru tambah menarik. "Aku justru tidak ingin ibuku tahu." Kalau ingat Ibu, mataku selalu terasa panas kembali. Ibu begitu mengasihiku. Begitu membanggakan
aku. Apa katanya kalau beliau tahu apa yang telah
kulakukan" "Kalau kamu tidak ingin ibumu tahu, dokter pun tidak berhak memberitahu. Sumpah jabatan seorang dokter menjamin kasus-kasus seperti ini sebagai rahasia jabatan. Kamu tidak perlu kuatir, Wita. Biarkan kami memeriksamu dulu."
Hasilnya positif. Tak ada keraguan lagi. Ada bayi di rahimku. Bayi Darius. Bayi tanpa ayah. Anak haram!
Duh, lebih baik aku mati dari pada menanggung malu begini. Aku belum ingin punya anak. Apalagi anak haram. Harus dikemanakan muka ini" Harus kukemanakah kebanggaan orangtuaku" Mereka begitu mengasihi aku. Inikah yang kulakukan untuk membalas kasih sayang mereka"
"Saya tidak menginginkan bayi ini," tangisku di depan Dokter Rizal. "Tolong, Dokter! Tolong saya. Singkirkan anak ini"
"Dia anakmu, Wita. Buah cintamu dengan ayahnya."
"Saya tidak mencintainya," ratapku jengkel. "Ini cuma kecelakaan! Saya tidak tahu apa yang saya
lakukan!" "Tapi sekarang anak itu telah ada dalam rahimmu, Wita. Kau telah menjadi ibu."
25 "Saya tidak mau!"
"Dia ada di sana karena kesalahanmu, Wita. Mengapa dia yang mesti menanggung hukumannya" Kalau kau berdosa. Wita, kenapa anakmu yang harus kauhukum""
Sia-sia Dokter Rizal mencoba menerbitkan cinta I di hatiku. Aku belum pernah melihat seperti apa anakku. Merasakan kehadirannya saja tidak. Bagaimana aku dapat mencintainya" Aku tidak kenal pada makhluk yang sekarang katanya berada dalam perutku. Kalaupun benar ada, dia lahir dari benih Darius! Darius yang kubenci! Mengingatnya saja aku sudah jijik. Apalagi mengandung anaknya!
Oh, sungguh sial jadi wanita! Seorang laki-laki boleh berbuat kesalahan seratus kali. Tidak ada yang menuntutnya. Tidak ada yang bisa menghukumnya. Tapi wanita" Sekali salah saja langsung dihukum! Tidak adil. Curang. Tetapi memang percuma marah-marah sendiri. Sama sia-sianya seperti memohon-mohon belas Dokter Rizal. Dia tetap tidak mau menggugurkan kandunganku.
"Dokter dididik untuk menyambung kehidupan manusia, Wita. Bukan memusnahkannya. Maaf, saya tidak dapat."
Percuma juga mengharapkan bantuan Irwan. Begitu gurunya, begitu juga dia. Begini kata Dokter Rizal, begini pula katanya.
"Jadi terpaksa kucari jalanku sendiri," kataku melampiaskan kemarahanku. Entah mengapa, enak rasanya melihat Irwan kebingungan begitu. Gelisah. Dan mencemaskan keadaanku.
"Jangan nekat, Wita," katanya sambil memegangi tanganku. Dibimbingnya aku keluar dari kamar
periksa Dokter Rizal. "Kita cari jalan lain, ya""
Kita" Kita katanya" Apa yang dapat dilakukan oleh mahasiswa kepalang tanggung macam kau" Menunjukkan tempat yang biasa melakukan abortus saja dia tidak berani!
"Jangan, Wita," katanya ketika kuminta mengantarkanku ke sana. "Dosa."
"Tidak berdosakah menghancurkan hidupku" Meremukkan masa depanku""
"Aku bersedia menemanimu mencari Darius."
"Ke mana""
"Dia toh tidak pindah ke planet lain" Kita masih bisa mencarinya."
"Lalu apa" Memaksanya mengawiniku""
"Itu tanggung jawabnya!"
"Kau tahu sebesar apa si Darius itu""
"Sebesar apa pun, dia kini sudah jadi bapak!"
"Dia baru delapan belas tahun. Belum punya pekerjaan. Saudaranya sembilan orang. Ayahnya hanya punya bengkel kecil di Medan. Bagaimana dia sanggup menghidupi istri dan anaknya" Beli rokok saja masih pakai duit bapaknya! Buat apa anak ini lahir kalau dia mesti menderita" Buat apa lahir kalau tidak diinginkan" Buat apa lahir kalau harus menghancurkan hidupku""
Memang bukan salah Irwan. Kebetulan saja dia terlibat dalam persoalanku. Dia toh tidak punya kesalahan apa-apa. Tapi karena tidak ada orang lagi tempat menumpahkan perasaan, dialah yang
habis ku bentak-bentak. Dan herannya, dia tidak
marah. Tidak kesal. Dia sangat bersimpati padaku. Tapi "simpati saja buat apa" Aku perlu bantuan. Bukan cuma simpati. Bukan hanya nasihat!
Dan karena bantuan itu tak dapat kuperoleh dari tempat lain lagi, terpaksa aku pergi ke tempat satu-satunya yang mau menolongku.
Entah setan mana yang membisikkan nama tempat itu padaku. Entah iblis apa yang menunjukkan jalannya. Tanpa diminta dua kali, dukun itu melakukan apa yang kuinginkan.
*** Sesampainya di rumah, darah masih terus keluar. Terpaksa kupakai pembalut haid. Sebetulnya badanku lemas. Lemas sekali. Perasaanku tidak keruan,. Tidak enak. Sakit Tapi kukuat-kuatkan diriku.
Ibu tidak boleh tahu apa yang barusan kukerjakan. Dia bisa pingsan. Maka sambil menahan sakit, kupaksakan diriku berlaku sebiasa mungkin.
Juga ketika menerima kedatangan Irwan. Aku bersikap seperti biasa. Setiap hari dia datang ke tempatku. Kadang-kadang aku kasihan melihatnya. Dia begitu memperhatikan aku. Wajahnya langsung: bersinar cerah begitu melihat aku muncul di am,-; bang pintu.
"Lega melihatmu masih hidup," guraunya menyambutku. "Tapi kok pucat amat. Sakit, ya""
28 "Cuma nggak enak badan," sahutku sambil me- " nguat-nguatkan badan. Padahal sakit sekali rasanya kalau duduk begini. Dan... seerrr... makin banyak bergerak, makin banyak juga darah yang keluar....
Lemas rasanya seluruh tubuhku. Pusing, Makin lama badanku terasa makin tidak keruan. Panas-dingin. Dan ketika tidak sengaja aku menggigil sedikit, langsung saja Irwan menghentikan pembicaraannya.
"Wita". Diawasinya aku dengan tajam. Suaranya bergetar dalam kecemasan. "Kamu tidak berbuat yang tidak-tidak lagi, bukan""
Tapi aku sudah tidak mampu menjawab lagi. Aku hanya menggelengkan kepala. Tetapi kepalaku bergeleng atau tidak, aku sendiri sudah tak tahu lagi.
Tempat dudukku terasa panas. Aku masih bisa merasakan cairan hangat membanjiri tempat dudukku sebelum tiba-tiba seluruh dunia jadi gelap gulita.
Aku masih sempat merasakan lengan Irwan menyambar tubuhku sebelum aku tersungkur lemas ke lantai. Lalu kudengar teriakannya. Tidak jelas lagi apa katanya. Kemudian semuanya menjadi benar-benar gelap dan sepi.
"Kalau dulu kita tolong dia, Wita pasti tidak senekat


Matahari Di Batas Cakrawala Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini." 29 Samar-samar kudengar suara orang. Tidak tahu cJa vang bicara. Malaikatkah" Atau setan"
Ah pasti setan. Malaikat ada di surga. Dan sekarang aku pasti sudah di neraka. Aku telah mem. bunuh anakku sendiri- dengan paksa dukun itu telah mengeluarkannya....
Apa katamu kalau ibumu sendiri tidak menginginkanmu" Ibumu sendiri membunuhmu! Oh.
"Maksudmu..." Ada suara lain yang dingin, amat dingin di dekatku. "Menggugurkan kandungannya""
bagaimanapun dia toh akan ke sana juga. Daripada dia nekat mencari tempat yang berbahaya, bukankah lebih baik seorang dokter ahli yang melakukannya""
"Lalu siapa dokter itu" Siapa dokter yang mau membunuh janin yang tidak berdosa""
"Berdosakah membunuh anaknya untuk menyelamatkan ibunya""
"Belum ada undang-undang yang mengaturnya, Irwan."
Suara itu sekarang terdengar lebih sabar. Ah, aku ingat sekarang. Suara itu pasti suara Dokter Rizal! Dan suara yang satunya lagi... pasti suara Irwan!
"Kalau Dokter mau menolongnya dulu, dia tidak akan, jadi begini! Hampir kehilangan nyawa dan kehilangan satu-satunya harapan untuk menjadi ibu! Kalau Wita mati, kitalah yang membunuhnya! Kalau dia hidup, kitalah yang membuatnya mandul!"
Mandul! Ya Tuhan! Itulah hukuman yang Kaujatuhkan padaku" Aku tak pernah jadi ibu lagi"
30 Aku tak Kauperkenankan mempunyai anak lagi karena telah kusia-siakan ana
k yang Kaupercayakan padaku"
Kubuka mataku lebar-lebar. Kubuka mulutku dan kucoba menjerit. Menjerit sekuat-kuatnya. Aku pasti mimpi. Mimpi buruk. Atau mati. Sudah mati.
Tapi aku tidak mati. Kematian tidak pernah datang pada saat yang kita inginkan. Pada saat kita mau mati, kematian malah menjauh.
Bayangkan. Dengan perdarahan yang begitu hebat, ditambah infeksi rahim yang luar biasa ganas, aku toh masih hidup juga.
3 Tersentak aku dari tidurku. Ada cairan hangat
membasahi tanganku. Merembes ke dalam seprai. Cepat-cepat kutengok Nike.
Ah, dia masih tidur. Lelap. Kuraba dahinya. Hangat Tapi tidak sepanas tadi. Lalu cairan apa yang membasahi tanganku"
Hati-hati kusentuh celananya. Basah. Tidak l sengaja dahinya berkerut.
Nike ngompol" Sudah lama dia tidak pernah ngompol lagi. Dalam usia empat tahun. Nike memang patut dibanggakan. Bicaranya sudah lancar. Walaupun masih cadel. Makan sendiri sudah bisa. Meskipun:4 masih berantakan di meja dan di lantai. Buang air pun sudah terkontrol Tidak pernah ngompol lagi. Tapi malam ini untuk pertama kalinya dia kencing lagi tanpa terasa. Apakah karena sedang sakit"
Kutatap wajahnya dengan mesra. Wajah yang mungil itu. Wajah yang ajaib. Wajah dengan mata dan hidung Mas Irwan! Nah, apakah tidak ajaib namanya" Tidak habis32
habisnya aku heran bagaimana wajahku dan wajah
suamiku bisa melebur dalam wajah Nike"
Oh, tak tahan rasanya kalau tidak menyentuh pipinya. Mengecup dahinya. Pelan-pelan saja..
Mudah-mudahan dia tidak terjaga.
Selalu timbul kerinduan di hatiku tiap kali melihat wajahnya. Kerinduan untuk membelai Nike.
Dari kerinduan untuk membelai ayahnya....
Ah, Mas Irwan... sedang apa dia sekarang" Tahukah dia malapetaka apa yang sedang menimpa
anak kesayangannya" *** Masih jelas terpeta dalam ingatanku tahun-tahun pertama perkawinan kami yang sulit. Tapi justru kesulitan itu yang membuat perkawian kami tambah manis.
Orangtuaku tidak menyetujui perkawinanku dengan Mas Irwan. Saat itu dia masih kuliah. Untuk membiayai dirinya sendiri saja, gajinya sebagai salesman sudah pas-pasan. Bagaimana mau mengongkosi sebuah rumah tangga"
"Kamu sudah berbuat kesalahan satu kali, Wita," ayahku memperingatkan dengan pedas. "Masih mau bikin kesalahan yang kedua""
"Salahkah mengawini seorang laki-laki seperti Irwan, Ayah"" bantahku tegas. Dari dulu, aku memang tidak bisa dilarang. Melarangku sama sia"
33 sianya seperti melarang matahari terbit. "Dia tahu perempuan macam apa aku ini, tapi dia toh melamarku!" \vV
Cinta memang aneh. Dari dulu sampai sekarang, cinta tetap aneh. Tapi justru karena anehlah dia menjadi indah.
Bayangkan. Irwan yang calon dokter itu. Irwan yang masih bersih. Apa yang dicarinya dalam diriku"
Aku bukan perawan lagi. Dan tidak bisa jadi ibu anak-anaknya. Lantas apa yang diharapkannya dari aku"
"Cintamu," bisiknya mesra, ketika kuajukan pertanyaan itu pada saat ia melamarku. "Buat apa cinta tanpa anak"" Masih^kupancing dia sekali lagi. Kucoba mempelajari hatinya. Tapi dia membalas dengan penuh semangat. "Buat apa anak tanpa cinta"" Sekali lagi aku mati langkah. Menyindir atau tidak, dia toh telah berhasil menyudutkan aku dengan pertanyaan itu.
Dia benar. Anak yang lahir tanpa cinta seperti bunga tumbuh di atas batu. Kering. Gersang. Tapi aku pun benar. Perkawinan tanpa anak, ibarat pohon tanpa bunga. Sia-sia. Dan membosankan.
"Bersamaku, akan kubuat kau tidak mengerti : artinya bosan," katanya sambil meraihku ke dalam pelukannya.
Kalau ada sesuatu yang paling kukagumi dalam . diri Mas Irwan, itulah keyakinannya. Keteguhannya. Dan kepercayaannya kepada dirinya sendiri.
Apa yang dikehendaki, diperjuangkannya mati-matian sampai menjadi miliknya. Dan sesudah
menjadi miliknya, dia akan membuatmu tidak pernah bosan dimiliki dan dimiliki lagi.
Seperti malam ini. Ketika untuk kesekian kalinya, dia memiliki seluruh diriku. Menaklukkan ke-akuan kami dan meleburnya dalam kebersamaan yang nikmat. Menyalurkan getaran-getaran cinta yang mengajarkan betapa bahagianya dimiliki dan memiliki orang yang engkau kasihi.
Lalu aku akan terdampar dalam pulau kepuasan bersama-sama. Akan kusandarkan kepalaku
di dadanya yang masih bersimbah peluh.
Tak ada bulu-bulu hitam yang menyemak di sana seperti yang selalu kuidam-idamkan dalam diri pria idolaku. Tapi nyamannya meletakkan kepalaku di atas dadanya, hanya aku yang dapat menikmatinya!
Segala terasa aman. Damai. Tenteram setiap kali dia merangkulku dengan lengannya yang kuat. Sementara tangan yang lain menyulut sebatang
rokok. Mas Irwan memang selalu merokok. Dalam setiap kesempatan. Bangun tidur merokok. Habis makan merokok. Bahkan sampai-sampai di WC pun dia merokok! Terhadap kebiasaan yang satu ini, omelanku pun tidak mempan.
"Aku selalu merokok kalau puas."
"Ah, alasan!" gerutuku pura-pura marah. Tentu saja. Mana bisa sungguh-sungguh marah pada Mas Irwan.
"Lagi ngambek pun Mas Irwan merokok! Seharusnya lubang hidungmu itu menghadap ke atas, supaya persis cerobong asap!" "Ha-ha-ha," dia tertawa geli. Ketika tertawa, dadanya berguncang-guncang. Membuat seluruh tubuhku ikut bergoyang. Lalu dengan jailnya, tangannya akan menggelitik tubuhku. " "Jangan ah!" Aku menggelinjang kegelian. "Iseng amatsfer
Kupukul tangannya. Tentu saja dengan pukulan sayang. Kalau sudah begitu, biasanya dia sendiri akan memadamkan rokoknya di dasar asbak. Lalu memelukku dengan mesra.
"Katamu dulu, aku lebih keren kalau merokok, kan" Kau selalu mengagumi gayaku kalau sedang merokok!"
Tapi tidak terus-terusan! Nanti paru-parumu bisa bolong!"
"Kalau paru-paruku bolong, kau masih mau padaku""
"Mh! Jangan ngomong begitu ah! Dikasih tahu betul-betul malah main-main. Mas Ir kan dokter. Mestinya lebih tahu bahayanya rokok!"
"Cuma sedikit kok."
"Satu pak sehari sedikit""
"Nanti akan kukurangi."
"lapan"" "Kapan"" Dia berlagak berpikir. Menyeringai separo bergurau. "Kalau sudah punya anak."
"Kalau sudah punya anak, kau tidak akan kuberikan kesempatan merokok lagi."
"Kalau begitu, harus kuajarkan anak kita mencuri
rokok dari lacimu. Begitu dia bisa memegang, permainannya yang pertama adalah rokok! Supaya bisa menyelundupkan rokok padaku kalau kau
sedang marah-marah!"
"Heh!" Kupukul pahanya dengan gemas. "Masih kecil sudah diajari yang bukan-bukan! Mas Ir mau anak kita serusak bapaknya""
Lalu kami sama-sama tertawa geli. Membayangkan betapa lucunya anak kami nanti. Betapa nakalnya dia. Dan kami terus tertawa sampai kesadaran yang menyakitkan itu menghentikan tawa kami.
Sekejap kami saling pandang. Kemudian senyum memudar di bibir kami. Dan tak tahan lagi tangisku meledak. Mas Irwan mendekap kepalaku erat-erat di dadanya.
"Jangan nangis, Sayang," bisiknya lembut. "Jangan robek-robek hatiku. Tahu bagaimana sakitnya melihatmu menangis""
"Kapan, Mas"" isakku di sela-sela tangis yang tertahan. "Kapan semua itu bisa terjadi""
"Percayalah pada Tuhan, Wita. Segalanya mungkin terjadi kalau dikehendaki Tuhan. Marilah kita minta pada-Nya. Tuhan mengasihi umat-Nya yang sabar dan tawakal."
*** Dan memang. Pada tahun perkawinan kami yang
kedua, mukjizat itu pun terjadilah. Aku hamil. Hampir tak dapat kupercaya. Haidku telah terlambat setengah bulan. Aku menunggu dengan berdebar-debar. Tapi harapan itu kupendam sendiri dalam hati.
Sudah beberapa kali aku mengecewakan Mas Irwan. Beberapa kali haidku terlambat. Ia sudah gembira setengah mati. Tahu-tahu aku dapat haid lagi. Dan hanya dapat menangis di bahunya.
Oh. kalau kau pernah merindukan kehadiran seorang bayi seperti yang kualami, kau baru tahu kecewanya mendapat haid.
Tapi kali ini tampaknya berbeda. Barangkali Tuhan sudah mengampuni dosaku dan memberiku kesempatan sekali lagi untuk menjadi ibu.
Saat itu Mas Irwan sudah lulus menjadi dokter. Dia sedang sibuk mengurus penempatannya di sebuah puskesmas terpencil di salah satu pelosok Sumatera.
Supaya tidak tambah merepotkan dia, diam-diam aku pergi sendiri memeriksakan air seniku. Dan hasilnya benar-benar mengejutkan.
Aku hamil! Ya Tuhan! Aku hamil! Ada seorang bayi lagi dalam rahimku. Persis seperti tiga tahun yang lalu. Tapi kali ini, bayi yang sangat kudambakan. Buah kasih sayangku dengan Mas Irwan. Benih laki-laki yang kucintai! Oh, hampir saja kucium tangan dokter yang memeriksa itu! j
Aku pulang dengan selengah berlar
i. Tak sabar menunggu sampai Mas Irwan pulang. Ingin membagi kebahagiaan ini bersamanya. Kalau dia belum pulang, lebih baik kususul ke Depkes.
38 Tapi ketika tak disangka-sangka aku menjumpai Mas Irwan di ruang makan rumah kami, aku mendadak tidak tahu mesti mulai dari mana. Dan melihatku tertegun begitu rupa di ambang pintu, Mas
Irwan langsung menegur. "Wita," sapanya heran. "Ada apa""
"Mas... Mas Ir su... sudah pulang"" balasku gugup.
Melihatku menggagap begitu, senyum segera merekah di bibirnya. Kurang ajar. Orang sedang bingung malah ditertawakan.
"Kok kayaknya kaget amat melihatku," sindirnya separo bergurau. "Orang pulang buru-buru bukannya disambut malah dipelototi."
"Kok siang begini sudah pulang, Mas""
"Lho, kenapa" Kalau siang, ini rumahku juga, kan""
"Iya, siang-malam rumahmu," sahutku gemas. Orang sedang serius begini tetap saja diajak
bercanda Dasar Mas Irwan!
"Cuma kok tumben begini hari sudah pulang."
"Surprise" Dia masih tetap bercanda. "Kepingin tahu, sedang apa kau di rumah."
"Atau Mas yang sudah bosan nongkrong di Depkes. Tidak ada barang baru lagi""
"Aku malah curiga sama tetangga baru di sebelah. Orang Medan. Bukan Darius""
"Ah!" Dengan gemas kupukul. punggungnya. Tetapi dia malah menangkap lenganku. Dan sambil tertawa, memaksaku duduk di pangkuannya.
"Dengar, Manis," bisiknya lembut. "Aku punya kabar jelek untukmu."
"Kenapa" Ijazahmu palsu""
"Aku ditempatkan di Sumatera. Di sebuah tempat terpencil yang tidak terdapat dalam peta. Kusebut-kan namanya pun percuma. Kau pasti tidak tahu di mana letaknya."
Tetapi hari itu aku sedang gembira. Ditempatkan di mana pun aku tidak peduli. Ke mana pun dia pergi, aku pasti ikut.
"Puskesmasnya pun belum jadi. Apalagi rumah dokternya. Barangkali kita harus menunggu enam bulan lagi." "Jadi""
"Ada tambahan info lagi. Penduduk kecamatan itu cuma tiga puluh ribu orang. Tidak kenal dokter. Dan tidak ada listrik."
"Jadi"" Mas Irwan menghela napas. Senyumnya mulai mengembang.
"Aku tidak tega membawamu ke sana, Wita. Kau tahu, istri si Joko baru saja kabur kembali ke rumah orangtuanya. Tidak tahan mendampingi Joko di daerah." "Jadir
"Tempatku lebih jelek lagi dari tempat Joko." . "Jadir
"Kalau kau mau tetap tinggal di Jakarta selama aku bertugas..."
"Akan kaukembalikan aku ke rumah orangtua-kur
"Tidak," potongnya tegas. "Kau istriku. Aku tetap akan membiayai hidupmu di sini,"
40 "Dari mana" Kau tahu berapa gaji seorang dokter inpres" Dan berapa bulan sekali gaji itu baru Mas terima""
"Wita," keluh Mas Irwan putus asa. Diremas-remasnya kedua belah tanganku dalam genggamannya. "Aku tidak mungkin memulangkanmu pada
orangtuamu. Aku malu." "Kalau begitu, bawalah aku." "Bawa kau"" belalak Mas Irwan kaget. "Ke
mana"" "Ke tempat pertapaanmu itu." "Tapi, Wita... mustahil kau tahan!" "Aku istrimu, Mas."
Dia menatapku dengan tatapan tidak percaya, kubalas tatapannya sambil tersenyum. Sekarang giliranku mempermainkannya.
"Mas tidak percaya aku istrimu""
"Bukan itu! Aku tidak percaya kau tahan hidup di sana!"
"Tapi itu risikoku sebagai istrimu, Mas!" "Jadi""
"Jadi"" Kutatap matanya sambil menahan tawa. "Aku ikut kau!"
"Wita!" Mas Irwan memelukku dengan mesra. Ada kelegaan dalam suaranya. "Kau tahu. hidup macam apa yang akan kita jumpai di sana""..
"Pasti bukan hidup yang gampang."
"Mereka belum menghargai seorang dokter sebagaimana yang kita harapkan, Wita."
"Tidak disuntik berarti tidak bayar," gurauku "tik. "Apa boleh buat. Aku akan belajar jadi asistenmu. Mengisikan obat ke dalam jarum suntik. Menggerus pil jadi bubuk. Membalut luka... asal jangan borok saja Mas. Wita jijik..!1*.
"Mereka belum tentu membayar dengan uang, Wita. Daerah itu termasuk minus. Barangkali mereka akan membayarku dengan ayam...."
"Kalau begini kita akan beternak ayam. Dan aku harus belajar membuat rupa-rupa masakan ayam." "Kita akan kekurangan uang, Wita...." "Aku akan memberi les Inggris. Taruhan, di sana pasti tidak ada guru yang lebih pintar dari aku." Tentu saja aku hanya bergurau.
'Tapi janji dulu!" Senyum Mas Irwan mulai mengembang lagi. "Apa""
"Muridmu cuma anak-anak di bawah umur s"*, puluh tahun dan
kakek-kakek di atas tujuh puluh." "Astaga! Yang sudah pikun semua"" "Ya" Mas Irwan tertawa geli. "Kalau tidak, aku tidak bisa tenang memeriksa pasienku."
"Apa boleh buat." Kuangkat tangan kananku memberi hormat "Kau yang bos."
Lalu kami sama-sama tertawa lebar dan saling berpelukan. Desah napas Mas Irwan terasa hangat menggelitik leherku. Memberi kehangatan yang membelai-belai hatiku. "Wita...," bisiknya sungguh-sungguh. "Kau se"Sama seriusnya seperti berita yang akan kusiar-kan ini, Mas." "Berita apa""
Mas Irwan menahan kepalaku dengan tangannya
dan menatap tajam langsung ke bola mataku. Ah, asyiknya mempermainkan lelaki yang sedang
serius ini! "Coba terka."
Dia berpikir sebentar. Matanya berkedip-kedip
menatapku. "Kau dapat beasiswa ke Amerika."
"Dari mana"" Aku menahan tawa. "Dari nenekmu""
"Kau lulus sarjana muda IKIP bahasa Ingggris."
"Ngaco!" "Jadi apa dong""
"Terka lagi." "Kau hamil." Dia menatapku dengan mesra dan mencium telingaku.
Dari caranya menatap, aku tahu Mas Irwan tidak sungguh-sungguh. Dia cuma main-main. Tapi kubalas ciumannya dengan suatu pelukan yang hangat dan lama.
Kulekatkan bibirku di telinganya. Kemudian dengan lembut kubisikkan kata-kata yang telah lama kurindukan, "Mas benar. Aku hamil.'* .
Mas Irwan tersentak kaget. Begitu kerasnya dia menyentakkan tubuhku sampai aku menjerit tertahan. Ah, seharusnya aku tidak perlu begini terkejut. Bukankah sudah kuduga, Mas Irwan bakal terkejut setengah mati"
"Wita..." Mas Irwan mencengkeram bahuku kuat-kuat. Seakan-akan hendak meremukkan bahuku dengan kedua belah tangannya. "Kau..."
Kubalas tatapannya dengan mesra. Heran. Kenapa tidak ada rasa sakit di bahuku" Yang terasa hanya gelepar-gelepar kemesraan dan kebahagiaan yang hampir meledak di dada sini. Hampir tak kuat rasanya menahan kebahagiaan ini seorang diri.
Tetapi Mas Irwan masih terpaku menatapku. Dengan tatapan yang itu-itu juga. Tatapan tidak percaya yang sangat menegangkan sekujur otot-otot wajahnya.
"Wita... Wita...," rintihnya berulang-ulang. "Kau hamil...""
Pelan-pelan kuanggukan kepalaku. Tanpa melepaskan tatapanku sekejap pun dari matanya.
"Dokter bilang positif, Mas," kataku menahan tangis keharuan yang hampir meledak. "Kita akan punya anak...."
"WitaP Kali ini Mas Irwan meraihku ke dalam pelukannya Dan mendekapkan tubuhku kuat-kuat ke dadanya. "Wita! O, Wita! Aku ingin menjerit, Wka! Ingin melompat. Ingin berteriak! Aku cinta padamuv Wita! Aku cinta padamu!" Dan entah apa lagi yang diserukannya. Mas Irwan begitu gembira sampai lupa aku bukan boneka yang bisa diangkat-angkat dan digendong-gendong semaunya. Dia merangkulku. Menciumku. Menggendongku sampai aku kewalahan sendiri. "Mas, sudah, Mas! Turunkan aku," pintaku manja.
Seperti baru sadar dari pukau yang membius j dirinya, Mas Irwan menurunkanku dengan hati-hati dari gendongannya.
44 "Sakit, Wita"" tanyanya cemas. "Perutmu sakit"" Dibelai-belainya perutku dengan hati-hati. Begitu hati-hatinya sampai aku tak dapat lagi menahan tawa.
"Aku tidak apa-apa," sahutku geli. "Cuma takut jatuh."
Hati-hati Mas Irwan membimbingku ke kursi. Tangannya masih mebSlai-belai perutku sampai aku menggeliat-geliat kegelian.
"Sudah, ah!" Kusingkirkan tangannya dengan mesra. "Geli."
"Mulai sekarang kau tidak boleh terlalu capek."
Nah, mulailah dia mengaturku. Dasar dokter. Istri mau disamakan dengan pasien.
"Biar aku yang ngepel kamar. Memompa air..."
"Dan berhenti merokok," potongku cepat.
"Akan kukurangi sedikit demi sedikit. Buat beli popok."
Aku tersenyum haru. Trenyuh melihat sikapnya.
"Tidak usah, Mas. Aku masih punya simpanan kalau cuma buat beli popok sih."
"Ke pasar tidak perlu jauh-jauh. Yang dekat saja. Biar mahalan sedikit. Masak tidak perlu yang repot-repot. Untukku cukup kalau ada daging dan sayur."
"Masak sih tidak berat, Mas. Kalau diam saja juga tidak baik, kan."
"Setiap sore kita jalan-jalan," katanya tanpa mengacuhkan protesku.
Ah, sudahlah. Atur saja terus. Percuma mencegahnya.
45 mesti banyak makan vitamin. Prenatal care-mu harus teratur. Besok kita ke dokter." "> "Lho, aku baru saja pulang dari dokter!"
"Besok kita ke Dokter Siregar. Dok
ter kebidanan." Dia mengacungkan ibu jarinya. "Bekas dosenku. Prenatal care-mu mesti sama dia."
"Ah, dokter di mana juga sama, Mas. Asal kandunganku beres." * "Justru kita tidak tahu sampai di mana beresnyaif Akibat manipulasi dukunmu tiga tahun yang lalu itu kan rahimmu tidak normal lagi. Mesti diawasi baik-baik" "Ah, Mas. Jangan nakut-nakuti dong!" "Siapa bilang aku menakut-nakutimu" Kalau kandunganmu ternyata membahayakan jiwamu, aku lebih baik tidak punya anak!"
"Mas"" teriakku sedih. "Jangan ngomong begitu, Mas! Aku tidak mau kehilangan bayiku lagi! Yang ini bayi kita, Mas. Anakmu. Anak kita."
'Tapi aku lebih tak mau lagi kehilanganmu, Wita Kau adalah segala-galanya bagiku."
Direngkuhnya tubuhku ke dalam pelukannya. Kemudian dengan lembut dikecupnya leherku.
"Besok aku ke Depkes," katanya tegas. "Minta ikatan dinasku ditunda sampai tahun depan." "Jangan, Mas! Nanti diskors." "Lebih baik aku tidak jadi dokter daripada tidak punya anak." 'Tapi lebih baik dapat kedua-duanya, Mas." "Di sana tidak ada dokter ahli. Kalau ada apa-apa
dengan dirimu di tempat terpencil itu, ke mana aku mesti membawamu""
"Mas sendiri kan dokter," rajukku manja. "Masa menolong istri sendiri tidak bisa" Menolong orang lain mau."
, "Dokter yang paling pintar pun tidak tega menolong istrinya sendiri kalau masih ada dokter lain. Apalagi dokter yang masih plonco macam aku!"
"Ah, sebegitu kecilnya hati lelaki""
"Keliru kalau kauanggap lelaki itu makhluk yang tak punya perasaan, Wita. Mereka juga manusia. Dalam hal-hal tertentu, sama lemahnya dengan perempuan."
"Misalnya dalam hal apa, Mas""
Mas Irwan menatapku sekejap. Ada kemesraan yang sangat lembut di matanya. Lebih-lebih ketika tatapannya bertemu dengan tatapanku. Dan ia membaca keinginan yang mulai menggelepar-gelepar di dalam mataku.
"Misalnya dalam hal ini, Wita," bisiknya lembut.
Hati-hati direbahkannya tubuhku ke atas sofa. Kemudian hanya kehangatan yang melingkupi seluruh ruangan itu.
Bak Dokter Mochtar. dokter spesialis anak-anak yang merawat Nike, maupun Dokter Wiratno, dokter muda yang menerima kami pertama kali, begitu memperhatikan Nike. Keinginanku untuk membawa Nike kembali ke Jakarta segera punah setelah melihat cara kerja mereka.
Di daerah, dengan fasilitas rumah sakit yang serbakurang, mereka masih sanggup memperlihatkan cara perawatan yang mengagumkan. Hampir tak ada hari yang mereka lewati tanpa menjenguk Nike, betapapun sibuknya mereka.
Di kota itu memang baru ada seorang tenaga dokter spesialis anak-anak. Dapat dibayangkan bagaimana repotnya Dokter Mochtar. Tetapi bagaimanapun repotnya dia, selalu ada waktu untuk Nike. Untuk memeriksanya. Untuk menegurnya. Untuk bergurau dan membesarkan hatinya.
Ah, beginilah terhiburnya hati seorang ibu yang anaknya sedang sakit, kalau dokternya begitu simpatik seperti Dokter Mochtar!
"Nike sudah boleh belajar jalan, ya," katanya pagi itu. "Nanti Tante Rina akan membantumu."
Perempuan muda yang bernama Marina itu seorang fisioterapis. Untung dia sama ramahnya dengan Dokter Mochtar, sehingga Nike tidak takut
kepadanya. Demikian ramahnya tenaga-tenaga medis dan paramedis di rumah sakit itu, sampai Nike merasa betah tinggal di sana. Tetapi bagaimana pun betahnya dia di sana, toh masih tetap merindukan rumahnya. Ayahnya.
Aku dibuat tertegun ketika sore itu kujumpai Nike sedang memberesi boneka-bonekanya.
"Kok diberesi" Memangnya Nike mau ke mana"" tegurku sambil meraihnya ke dalam gendonganku.
"Mau pulang, Ma." Matanya yang bulat dan bening itu, mata yang membuatku serasa tenggelam dalam sebuah telaga yang sejuk setiap kali memandangnya, menatapku dengan penuh permohonan. "Pulang yuk."
"Pulang" Nanti Nike tidak ketemu lagi sama Oom Dokter Mochtar, Oom Dokter Atmo, Tante Suster Ida, Tante Rina...."
"Bial." "Tidak kangen sama mereka""
"Nanti Nike datang lagi."
"Kan Mama ada di sini. Kok mau pulang""
"Mau lihat Papa."
"Papa tidak ada di rumah."
"Di mana""
Di mana" Aku tertegun bingung. Ya, di mana harus kukatakan ayahnya" Di dalam tahanan" Ah, semuanya terasa kacau. Otakku seperti buntu. Hba-tiba saja mereka menahan Mas Irwan. Tuduhan yang hampir t
ak mungkin dilakukan old) seorang seperti suamiku.
Pengguguran kandungan. Mustahil. Tujuh tahun yang lalu pun tangisku tidak berhasil membawanya ke sana. Jangankan melakukannya sendiri, menunjukkan tempatnya saja dia tidak mau. Mustahil setelah menjadi dokter dia sampai hati membunuh janin yang tidak berdosa!
Mas Irwan pasti menolaknya. Dan gadis itu sakit hati padanya Dia mengadu yang bukan-bukan pada bapaknya. Tidak heran. Gadis itu anak camat. Dan sudah lama menaruh hati pada Mas Irwan.
Aku masih ingat bagaiman cemburunya aku tiap kali Mas Irwan pulang dari rumah camat itu. Sepulangnya dari sana, kami pasti bertengkar.
'Tidak ada hubungan apa-apa dengan Aisah," bantahnya marah. "Aku cuma bicara dengan ayahnya. Urusan WC umum."
"Hari ini WC umum. Kemarin vaksinasi. Besok apa lagi""
Istri mana yang tidak panas kalau ada perempuan muda secantik Aisah yang menaruh hati pada suaminya" Apalagi suami macam Mas Irwan. Sudah ganteng, dokter lagi.
"Simpatik," komentar Aisah dulu.
Entah dari mana ditemukannya istilah itu. Padahal SD juga dia tidak lulus.
Ttu memang tugasku, Wita. Kau kan -tahu, jadi dokter di daerah bukan hanya mengobati orang sakit,"
50 "Tapi tidak termasuk mengurusi anak camat, kan""
"Siapa yang mengurusi Aisah"" "Jadi dia yang mengurusimu" Menyuguhimu makanan, melayani rigobrol...." "Wita!"
Ah, kalau sedang marah begini, entah ke mana terbangnya cinta kami. Yang terasa cuma panas. Mengkal. Kesal. Semuanya terasa serba salah.
Makan sama-sama tidak enak. Tidur bareng pun tidak nyenyak. Kamar terasa dingin. Ranjang pun membeku.
Mas Irwan membalik ke sana. Aku menghadap ke dinding. Dia masih membaca buku. Aku sudah menarik selimut. Pura-pura memejamkan mata. Padahal tidak bisa tidur. Ah, mana bisa tidur kalau hati panas begini.
Lama-lama diam-diaman begitu, sebenarnya aku sudah tidak tahan. Di tempat yang terpencil ini, kami seakan-akan diasingkan berdua saja.
Tidak ada hiburan sama sekali kalau malam. Tidak ada TV. Apalagi bioskop. Bila Nike sudah tidur, kami seperti dua awak kapal yang terdampar di pulau kesepian.
Hanya bunyi jangkrik memecah kesunyian malam. Sekali-sekali ada suara burung malam. Hanya itu. Selebihnya sepi.
Alangkah tersiksanya kalau dalam kesunyian begini, kami masih harus saling berdiam diri. Tapi aku perempuan. Bagaimanapun inginnya aku mengobrol, aku tidak mau menegur duluan. Bagaimana
rindunya pun aku akan belaian kasihnya, pantang
minta lebih dahulu. Dan menunggu! Ya Tuhan! Alangkah sengsaranya!
Malam ini, sudah dua kali aku bolak-balik ke kamar mandi. Bukan karena kepingin kencing. Cuma sekadar memberitahu Mas Irwan bahwa aku belum tidur. Tapi dia tetap asyik dengan bukunya. Jangankan menegur. Menoleh saja tidak. Terpaksa kubaringkan lagi diriku di ranjang. Menarik selimut. Dan membalik ke dinding.
Uh. Pegal rasanya miring ke satu sisi teruSs Tapi harus bagaimana lagi" Menghadap ke arahnya" Tidak usah ya! Lebih baik pinggangku pegal sebelah daripada berpaling kepadanya. Tetapi sampai kapan aku tahan begini"
Tidak terasa air mata meleleh ke pipiku. Bosan menunggu, letih berpura-pura tidur, aku jadi kesal sendiri. Dan kalau perempuan kesal, dia tidak punya cara lain yang lebih efektif untuk melampiaskan kejengkelannya selain menangis. . Hati-hati kuangkat tanganku. Kuusap air mataku dengan ujung jariku. Kubersihkan hidungku yang mulai membasah dengan saputangan. Perlahan sekali, Kuatir dilihat Mas Irwan.
Ah, tak perlu sebenarnya kekuatiran itu. Orang yang sedang asyik membaca, apalagi yang sedang tidak mau mengacuhkan istrinya, pasti tidak mendengar apa-apa. lidak melihat apa-apa. Dan tidak peduli apa-apa.
Tetapi rupanya yang berpura-pura bukan hanya aku! Mas Irwan juga. Cuma bedanya, kalau aku
52 berpura-pura tidur, dia berlagak membaca. .Padahal, dia juga sedang menungguku. Karena begitu dia sudah yakin aku sedang menangis, dia langsung melempar bukunya dan memelukku dari belakang.
"Wita", bisiknya dengan suara tertekan, "maafkan aku."
Aku menutup mukaku menahan tangis. Tapi air mata ini! Ah, makin kutahan, makin banyak keluarnya! Makin deras membanjiri wajahku.


Matahari Di Batas Cakrawala Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wita..." Mas Irwan coba membalikkan badanku. Kutahan sekuat tenaga. Malu menghadapnya sambil menangis begini. Oh, aku yang bodoh! Aku yang lemah! Kenapa mesti menangis" Kenapa...
"Wita..." Sekali lagi dipaksanya aku menghadap ke arahnya. Kali ini, aku tidak mampu bertahan. Tentu saja. Dia jauh lebih kuat. Seperti membalikkan sebuah boneka, dia memaksaku berpaling kepadanya. Dan aku tidak punya pilihan lain kecuali menyerah.
Kemudian dia memegang kedua belah tanganku. Sia-sia aku coba bertahan menutupi mukaku. Mas Irwan menurunkan tanganku. Menggenggamnya erat-erat. Dan dengan tangannya yang lain, diangkatnya wajahku dengan lembut tapi kuat. Sekarang aku tak punya pilihan lain. Terpaksa kutatap matanya.
Ah, mata itu telah kembali selembut dulu. Tak kuasa lagi kupaksa mataku menatap benci kepadanya.
"Wita..." Sorot matanya berbicara lebih mesra dari suaranya. "Maafkan aku, ya."
Dipeluknya aku dengan penuh kerinduan. Dan tak tahan lagi, tangisku pecah dalam pelukannya. Kemudian tak perlu kata-kata lagi. Malam berlalu dengan penuh kemesraan. Sampai jangkrik pun tidak sempat bernyanyi.
Mas Irwan begitu kurus. Begitu lesu. Tetapi ketika melihatku datang bersama Nike, matanya yang cekung itu langsung bersinar. Dipeluknya kami dengan penuh kerinduan
"Papa pulang yuk," rajuk Nike dalam pangkuan ayahnya. "Ngapain tin di tini""
"Papa belum bisa pulang sekarang, Nike," ujar Mas Irwan sambil menyembunyikan kesedihannya. "Nanti ya, kalau urusan Papa di sini sudah beres."
"Nanti kapan, Papa" Betok""
"Besok belum bisa...."
"Jadi kapan" Kalau Nike yaleh""
Ada benturan halus yang menyakitkan di jantungku. Cepat-cepat kupalingkan wajahku. Menyembunyikan air mata yang hampir menyembul keluar.
"Kapan Nike jarig ya"" Mas Irwan memaksakan sepotong senyum di bibirnya. Dikecupkannya pipi Nike kiri dan kanan.
"Bulan depan" O, Papa pasti sudah pulang. Nike minta apa nanti" Boneka lagi""
"Yang bita ngompol"" Nike tertawa manja. "Se-pelti Nike."
"Nike ngompol" Anak Papa masih ngompol"" I Mas Irwan tertawa lunak. "Sudah sebesar ini Nike
I pasti tidak ngompol lagi."
"Tapi di lumah takit Nike ngompol lagi, Pa. Kata I Oomdoktel..."
"Di rumah sakit"" Mas Irwan berpaling kaget ke . arahku. "Nike masuk rumah sakit""
"Sudah sembuh," kataku sambil menunduk. Tidak [ tahan membalas tatapannya.
"Sakit apa""
"Kata dokter... polio...."
Tiba-tiba saja wajah Mas Irwan memucat. Tak sampai hati kubiarkan dia seperti itu.
"Sudah sembuh, Mas," kataku cepat-cepat. "Kaki t kirinya yang lumpuh sudah mendapat fisioterapi."
"Kenapa aku tidak diberitahu""
"Aku kuatir Mas Irwan cemas. Mas kan sudah t cukup pusing di sini. Bagaimana urusannya, Mas""
"Entahlah." Mas Irwan membuang mukanya ke l' tempat lain. Dan sekilas, aku merasa dia sedang menyembunyikan sesuatu. Entah apa. Aku tidak tahu. f Tapi ada sesuatu yang lain di matanya. "Mereka masih terus memeriksaku."
"Tapi Mas tidak bersalah! Mas Ir tidak melakukan pengguguran kandungan, bukan""
Sejenak dia membisu. Dan diamnya itu membuat i tambah tidak enak.
"Katakanlah, Mas. Katakan padaku. Biar orang I lain tak percaya, aku tetap yakin Mas tidak bersalah."
"Hanya Tuhan yang berhak menentukan kesalah-! anku, Wita."
i Mas tidak melakukannya, bukan"" "Melakukan apa"" desisnya kaku. "Menggugurkan kandungan perempuan itu"" "Aku cuma ingin menolongnya."-"Tapi, Mas..."
"Aku melakukan apa yang terbaik baginya, Wita. Siang-malam aku bertempur dengan perasaan sendiri. Aku berdoa. Bertanya. Berpikir. Akhirnya kuputuskan cara yang terbaik menurut keyakinaku sendiri. Aku rela mempertanggungjawabkan perbuatanku di depan manusia dan Tuhan, Wita."
"Mas!" "Aisah benar. Akulah yang menolong mengeluarkan anak itu."
"Tidak!" teriakku kalap. Seribu iblis menari-nari di sekililingku. Seribu setan menyeringai ke arahku. "Perempuan itu berdusta! Mas tidak melakukannya! Kau tidak berani!"
"Tapi aku telah melakukannya, Wita. Kau tidak akan. mengerti. Aku tak dapat menceritakannya padamu__"
"Tidak!" teriakku histeris. "Tidak!"
Entah terkejut entah takut. Nike langsung menghambur dan menangis ketakutan dalam pelukanku.
56 Semalam aku tak dapat memejamkan mata. Sekarang pengaku
an itu kudengar dari mulut suamiku sendiri. Kalau Mas Irwan belum gila, pengakuan itu pasti benar. Dia telah menggugurkan kandungan Aisah. Tapi kenapa" Kenapa dia melakukan sesuatu yang bahkan kepadaku pun dia tidak berani melakukannya"
Berbagai pikiran buruk datang ke kepalaku. Berbagai kecurigaan silih berganti mampir di otakku. Anaknyakah anak itu" Adakah alasan lain yang lebih kuat"
Oh, Mas Irwan! Mas Irwan yang lembut! Mas Irwan yang polos! Mungkinkah dia sekotor itu"
"Membunuh bayi yang tidak bersalah itu dosa, Wita," katanya tujuh tahun yang lalu, ketika aku berniat menggugurkan bayi Darius. Tapi sekarang" Mungkinkah dia membunuh bayi Aisah, apa pun alasannya" Membunuh dengan tangannya sendiri, siapa pun ayah anak itu"
Dan aku tidak sabar lagi. Aku bisa gila kalau terus-menerus begini. Kalau Mas Irwan tidak mau
57 berteras terang. Aisah-lah yang harus bicara. Dialah
satu-satunya kunci dalam kegelapan ini. Bagaimanapun, aku harus menemuinya. Dan aku tidak sabar menunggu matahari besok pagi.
Aisah memang manis. Dengan kesederhanaan dan I keluguannnya sebagai gadis desa, dia malah ber- I tambah menarik. Lebih-lebih buat lelaki muda seperti Mas Irwan.
Tidak heran sejak hari pertama diperkenalkan I padanya, aku sudah merasa tidak enak. Lho, bukan I cemburu buta! Bukan! Bukan pula karena tidak I percaya pada Mas Irwan.
Aku percaya suamiku lelaki baik-baik. Setia. Sayang pada istri. Dokter pula. Orang terhormat I di desa ini. Mesti menjaga nama. Tapi di mana I pun, gadis cantik adalah anugerah Tuhan. Sekaligus | umpan setan. Apalagi kalau gadis itu adalah Aisah. I Perawan yang lagi mekar-mekarnya. Bunga desa. J Anak camat pula. Hampir tiap hari dia bertemu I dengan Mas Irwan di rumahnya ayahnya. Sampai j kapan Mas Irwan tidak tergoda melihat senyumnya j yang ayu itu"
Memang hampir sepanjang hari Mas Irwan sibuk 1 dengan pasien-pasiennya. Kalau tidak repot di puskes-masnya, dia tentu berkeliling desa bersama beberapa I orang pemuka desa itu. Mengajari membuat WC j
sehat. Memberi ceramah tentang gizi. Atau melayani
vaksinasi keliling. Hampir tidak ada waktu luang untukku. Malam
pun dia kadang-kadang mesti menghadiri rapat di kantor kecamatan. Atau sekadar omong-omong di
rumah Pak Camat. Larut malam, Mas Irwan baru pulang dalam ke-adaaan sangat letih. Nah, mana ada lagi tenaga
dan perhatian yang masih tersisa untukku"
Tambah lagi keadaan di kampung ini jauh berbeda dengan Jakarta. Jangankan dapat hiburan, tidak mati kesepian saja sudah bagus.
Tidak tahan hidup di tempat terpencil ini, pada bulan yang kedua aku kabur ke Jakarta. Kubawa Nike mengungsi ke rumah orangtuaku. Apa boleh buat. Terpaksa menebalkan muka. Lebih baik malu pada orangtua daripada gila sendirian di pelosok sana.
Tentu saja aku tidak bermaksud meninggalkan Mas Irwan untuk selama-lamanya. Aku cinta padanya. Aku tidak sampai hati meninggalkannya seorang diri di sana. Siapa yang mengurus keperluannya sehari-hari kalau bukan aku"
Mas Irwan sudah terlalu letih bekerja. Kasihan kalau mesti mengurus dirinya sendiri. Aku hanya ingin bertukar suasana di sini. Katakanlah, semacam hiburan. Santai barang sebulan-dua bulan di rumah orangtuaku. Tak ada salahnya toh"
Lebih-lebih perkawinan di ambang tahun ketiga memang sudah mulai membosankan. Sekali-sekali ada selingan kan boleh. Apa salahnya berlibur 4y
rumah orangtua" Nanti toh aku pulang juga ke sisi suamiku.
Syukur kalau Mas Irwan mau menjemputku. Tanda cintanya padaku. Rindu pada istri dan anaknya. Tapi ketika sampai hampir dua bulan Mas Irwan tidak juga menjemputku, aku masih dapat menghibur diri. Dia pasti repot. Tidak bisa meninggalkan tegasnya. Jadi aku kembali tanpa prasangka apa-apa.
Mas Irwan menyambut kedatangan kami dengan gembira. Dia sudah rindu sekali padaku. Lebih-lebih pada Nike. Tapi dia tak dapat menghindarkan diri dari keterkejutan yang amat sangat waktu malam itu, sepulangnya ke rumah, dia menemukan aku di kamar.
"Wita!" desisnya kaget. Matanya terbelalak heran. "Kau... sudah... pulang""
"Sst!" Kuletakkan telunjukku di mulut sambil melirik Nike yang sudah tidur pulas di sisiku. "Dari tadi Nike men
unggumu! Dia sudah kangen."
"Aku...aku tidak tahu kalian pulang," katanya gugup.
."Dari mana"" tanyaku tanpa curiga apa-apa. Meskipun dari tempatku, sudah tercium betapa wanginya parfum yang dipakai Mas Irwan. "Keterlaluan. Mentang-mentang istri nggak di rumah, begini malam baru pulang."
Tentu saja aku hanya bergurau. Tapi reaksi Mas Irwan benar-benar tidak wajar.
"Ada pesta kawin di rumah Pak Lurah," sahutnya menggagap.
"Hm." Aku tersenyum mengejek. "Bukan di rumah Pak Camat""
Saat itu aku betul-betul hanya main-main. Biasanya Mas Irwan senang bergurau. Jadi tidak kuacuhkan sikapnya yang aneh itu.
"Enak makanannya"" tanyaku setelah memindahkan Nike ke kamarnya sendiri.
Sudah dua bulan aku tidur dengan Nike. Malam ini aku ingin tidur dengan suamiku. Hanya dengan suamiku. Tapi Mas Irwan bukannya menyambut kerinduanku itu. Dia malah duduk di pojok sana sambil menyeka keringatnya dengan gelisah.
"Tak ada sendok," katanya gugup. "Kikuk makan dengan tangan saja. Nasinya jatuh lagi jatuh lagi ke piring."
Aku tertawa geli. Betul-betul tertawa. Bukan menyindir.
"Rasakan," godaku. "Siapa suruh tidak mau belajar dulu."
Malam itu Mas Irwan tidak menyentuhku. Beberapa kali kucoba menarik perhatiannya. Mencoba merangsang gairahnya. Sekali-sekali dia memang terangsang. Tapi tidak mampu membangkitkan gairahnya. Sekali lagi aku tetap tidak bercuriga apa-apa. Kupikir dia lelah. Kecurigaan baru tumbuh ketika keesokan paginya
kutemui Mas Irwan di tempat tidurku. Tidak biasanya dia bangun sepagi ini. Biasanya dia tidak pernah bangun lebih dulu daripadaku. Apa yang telah membangunkannya"
Cepat-cepat aku merayap turun dari tempat tidur. Aku harus membuatkan kopi untuknya. Barangkali Mas Irwan sedang mandi. Jadi aku mesti buru-buru ke dapur. Barangkali ada urusan yang harus dikerjakannya sepagi mungkin.
Sambil membetulkan rambutku yaang masih acak-acakan, kuseret sandalku ke dapur. Dan mataku yang masih separo mengantuk jadi terbelalak melihat Mas Irwan sedang bicara cepat-cepat dengan seseorang.
"Pagi ini kau tidak perlu masak di sini lagi. Wita sudah pulang."
Orang yang diajaknya bicara itu tertutup tubuh Mas Irwan, sehingga aku tak dapat melihatnya Tetapi ketika mendengar suara sandalku, Mas Irwan membalik. Dan sekarang, tak ada lagi yang menghalangi pandanganku. Aku tidak perlu melihat dua kali untuk memastikan siapa dia. Orang yang sedang cepat-cepat menyelinap keluar itu adalah Aisah.
"Wita," tegur Mas Irwan gelagapan. "Kok sudah bangun""
"Pertanyaan yang sama bisa kuajukan padamu," sahutku dingin. "Dan tambah satu pertanyaan lagi, kenapa dia buru-buru pulang" Tidak mau mengucapkan selamat datang padaku""
"Wita," kata Mas Irwan tanpa ditanya. "Aisah cuma datang untuk memasakkan makananku."
"O, ya"" Entah seperti apa rupanya senyumku. Yang jelas, melihat senyum itu, Mas Irwan jadi tambah salah tingkah. "Kalau begitu, aku mesti mengucapkan terima kasih padanya."
Sesudah itu, aku tidak bertanya apa-apa lagi. Kubiarkan Mas Irwan dengan pikirannya sendiri. Dan rupanya caraku itu tepat. Semakin kudiamkan, semakin tersiksa dia didera perasaan bersalahnya.
Malamnya, sesudah Nike tidur, dia langsung menghampiriku di tempat tidur.
"Kami tidak berbuat apa-apa, Wita," katanya tanpa kata pendahuluan lagi. "Dia cuma datang untuk masak."
Aku diam saja. Tetap berpura-pura membaca majalah yang kubawa dari Jakarta. Padahal jangankan membaca, melihat gambarnya saja tidak.
Lambat-lambat Mas Irwan duduk di tepi pembaringanku. Begitu hati-hatinya sampai dia tidak berani menyingkirkan kakiku yang hampir didudukinya. Dia cuma duduk tepekur di ujung tempat tidur. Menunggu aku menoleh padanya. Tapi aku masih tetap asyik dengan majalahku.
"Baru tadi malam aku berani pergi bersama-sama dengannya."
Tidak kusahuti, Mas Irwan melirikku sekilas. Lalu menunduk kembali.
"Sumpah, Wita! Itu baru yang pertama kali."
Sepi. Dia masih menunggu. Ketika tak ada jawaban juga, pelan-pelan dia mengangkat wajahnya. Ditatapnya aku dengan marah.
"Kami cuma bergandengan tangan."
Kugigit bibirku menahan perasaan. Suamiku bergandengan tangan dengan perempuan lain" Astaga!
Kalau tahu, tid ak bakal kutinggalkan dia sendirian di sini! Salahku juga. Salahku. Siapa suruh kutinggalkan dia di tempat sepi ini"
Tapi aku tetap menutup mulut. Dan ketegangan saraf Mas Irwan meledaklah sudah.
"Bicaralah!'' bentaknya kesal. "Katakan sesuara!"
Kulemparkan majalah itu ke samping. Kutatap dia dengan berang.
"Apa yang mesti kukatakan"" balasku sama sengitnya "Terima kasih pada Nona Aisah yang telah bermurah hati mau menemani suamiku""
"Paling tidak kau bisa menanyakan apa yang telah kami lakukan!"
"Perlukah itu" Kau sendiri sudah bilang, dia cuma masak!"
"Tapi kau tidak percaya!"
"Syukur kalau kau merasa!"
"Wita!" tiba-tiba saja Mas Irwan menyambar lenganku. Kucoba menepis tangannya. Sia-sia. Dia malah menggenggam lenganku erat-erat. Dihelanya tubuhku lebih dekat. Lalu dicondongkannya badannya ke hadapanku. Wajah kami jadi hanya berjarak beberapa senti saja. "Tanyakanlah, Wita. Supaya dapat kujelaskan padamu."
"Tidak perlu!" sahutku ketus. Kuempaskan tangannya. Tapi tangan itu masih melekat erat di lenganku.
"Kau tidak percaya padaku."
"Nah, buatlah aku percaya." '
"Aku menciumnya, Wita."
Hampir tidak percaya aku pada telingaku sendiri. Kutatap Mas Irwan dengan nanar. Berharap semoga
dia cuma bergurau. Atau menggertak. Atau mengejek. Atau membuatku cemburu. Atau... persetan! Apa saja! Pokoknya dia berdusta! Dia tidak mencium Aisah. Tidak!
Tetapi Mas Irwan menatapku dengan rasa bersalah. Suaranya demikian tertekan ketika mengaku terus terang.
"Tadi malam, Wita. Hanya satu kali."
"Tidaaaak!!" teriakku histeris.
Dadaku meledak-ledak hendak pecah. Sakit sekali rasanya. Sakit!
Kubanting diriku ke tempat tidur. Ketika cengkeraman Mas Irwan terlepas, kubuang tubuhku ke lantai. Aku ingin lantai di bawah sana terbuka dan menelan lenyap tubuhku. Aku ingin mati.
"Wita!" Panik dan gugup Mas Irwan coba meraih bahuku.
Tapi aku mengelak dengan kasar. Sambil menangis menjerit-jerit, aku berguling-guling di lantai.
Suamiku mencium perempuan lain! Alangkah jijiknya! Bibirnya telah dicicipi perempuan lain! Oh, aku ingin mati saja!
Misteri Rimba Keramat 1 Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah Suling Emas 6

Cari Blog Ini