Perempuan Paris Karya Motinggo Busye Bagian 1
Perempuan Paris Oleh Motinggo Busye Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Episode 1 Aku masih berdiri di Avenue De l 'Opera. gila rasanya, berdiri ditepi jalan itu, lebih satu jam lamanya, hanya sendirian, tanpa bisa berfikir apa-apa! Hanya mata ini yang masih menolongku me-mandangi lalu lintas yang begitu ramai disore itu. Aku merasa seperti kehilangan gairah untuk berbuat sesuatu yang lebih baik dan hanya ber-diri saja. Tetapi kakiku sudah enggan untuk melangkah lebih jauh lagi. Dan Faubourg Mont-martre sampai ke Avenue de l 'Opera ini, yang kulihat hanya orang-orang yang keluar toko dan masuk toko. Begitu juga di jalan ini! Dan toko "Ceremonia" itu saja dari tadi mataku melihat sudah lebih dari sepuluh orang perempuan yang keluar masuk toko itu dengan langkah tergesa--gesa seperti ada yang dikejarnya. Tetapi yang paling menarikku dan sebanyak perempuan itu, hanya satu perempuan saja. Perempuan itu berjalan tergesa tadi menuju ke arahku, seperti seseorang yang pernah kenal lama denganku. Dituntunnya sepedanya, dan, kulihat, memang dia benar-benar menuju ke arahku. Dan begitu dekat kepadaku, perempuan itu rupanya merasa malu. Wajahnya merah padam, gerak-geriknya menjadi canggung, dan aku pun menolong pe-rasaan malunya itu dengan bertanya:
"Anda mencari siapa""
Episode 2 Dan aku langsung menuju kamarku. Dalam kamarku aku menerima kutuk. Yakni kutuk dari diri sendiri ini: Kenapa tak kau kejar perempuan itu! Kau goblok! Kau pengecut! Kau berlagak tidak kesepian, tetapi nyatanya kau kesepian, karena kau berdiri lagi di jalan itu. Mengaku kau apa tidak" Dan hatiku menjawab pula, benar, benar, benar. Semuanya itu benar.
Kurebahkan diriku pada sebuah sofa.
Kucoba melihat loteng kamarku untuk kembali menghayati apa yang menyebabkan bela-kangan ini aku merasa enggan. Enggan untuk berfikir apapun dan berbuat apapun. Ya, kehi-langan gairah untuk melakukan apapun. Dan mungkin saja semuanya ini dikarenakan kebo-sanan : Dua tahun di Paris tanpa kemajuan apa-apa. Biarpun di kota besar ini aku bisa meme-nuhi kebutuhan hidup termasuk sewa hotel tanpa mengganggu Duta Besar Indonesia di kota ini seperti kebanyakan orang Indonesia yang jadi omelan orang-orang kedutaan, namun, aku me-rasa seperti seorang yang sedang kehilangan arah di tengah-tengah simpang tujuan hidup.
Apa salahnya kalau aku kawin saja semen-tara, dikota ini, seperti dinasehatkan Henri sa-habatku. Henri lelaki Perancis, dan melihat keadaan keuanganku ia meyakinkanku bahwa aku bisa memperisteri perempuan Perancis. Kata Henri, jika aku kawin dengan gadis Paris, ma-lahan itu lebih baik lagi. Gadis itu bisa mencari nafkah sendiri dan takkan menjadi beban buat-ku. Dan, kata Henri, perempuan Paris ini pada umumnya senang dengan lelaki asing. Menurut Henri, aku harus menemukan seorang gadis yang suka kepada pulau-pulau yang jauh. Kata Henri, gadis demikian itu banyak sekali di Paris. Kata Henri lagi, rata-rata gadis Paris memburu ilmu pengetahuan disamping gila mode juga, dan aku pasti menemukan gadis semacam itu ditoko-toko buku. Lebih baik lagi, kata Henri, bila aku rajin mengunjungi Museum, Art galle-ry, dan, kata Henri, dengan gampang aku bisa memikat salah seorang dari gadis-gadis yang me-nyenangi lukisan-lukisan pelukis Gauguin yang pernah mengembara ke Pulau Tahiti.
"Memang aku mengerti saran-saranmu, Henri", kataku kepada sahabatku itu, "Tepat seperti katamu itu. Dua tahun telah kupelajari selama aku di Paris. Kau benar. Dan memang benar bahwa rata-rata gadis-gadis itu ditimbuni oleh impian. Tetapi kalau telah kawin bagai-mana"", tanyaku kemudian.
Henri gampang menjawab: "Itu tak perlu difikirkan dari sekarang. Kami beranggapan bahwa cinta lebih penting daripada kawin. Pu-puklah cintamu dulu dengan seorang gadis Paris ini, dan pada waktunya kawinlah. Jika kawin nanti mengganggu percintaan, putuskan perka-winan itu, dan pupuklah cinta itu selanjutnya. Dikota ini banyak perempuan yang sudah ber-cerai dari suaminya, tetapi terus saja bercinta dengan suaminya itu pula setelah bercerai".
Kutertawakan Henri. "Aku orang Indonesia, Henri", kataku.
"Ya sekalipun kau ini makhluk dari langit, tak peduli. Yang jelas kau sekarang ini berada di Paris. Mau betah" Mengalahlah sedikit, mon petit", kata Henri ketawa
juga. "Memang beruntung kalau bisa segampang fikiranmu, Henri. Kau menganggap perempuan di art-gallery seperti ikan-ikan betina di kolam ikan saja, tinggal pasang umpan, lalu kena gaet pancing", kataku.
"Na, tepat! Memang begitu. Perempuan seperti ikan-ikan betina. Dan justru tukang pan-cing yang ditunggunya. Malah ikan-ikan itu akan membuat kutukan andaikata tidak datang tukang pancingnya", kata Henri.
Kuhela nafasku dalam-dalam.
Aku masih duduk menyandarkan diri di sofa kamarku. Mau merokok, tetapi kubatalkan. Tetapi kemudian kuambil juga rokok Newport dari atas meja tulisku. Memang menghemat be-gini sudah kubiasakan, karena biarpun harga rokok Newport ini cuma F 2.90 sebungkusnya, tetapi kebiasaan menghemat sudah terbiasa se-menjak aku masih sekolah di negeri Belanda. Berbeda dari sewaktu masih di Indonesia, gigiku terkadang berkarat oleh nikotin dan sekali dua bulan harus dikikis di poliklinik gigi Universitas Indonesia.
Sambil menghisap rokok Newport, kini ku-coba mengalahkan keangkuhan yang dibuat--buat dalam diriku semenjak berada dikota besar ini. Kucoba membenarkan pendapat Henri, bahwa perempuan ibarat ikan-ikan di kolam yang menunggu tukang pancing datang meman-cing. Dan kukawinkan pendapat sahabatku Hen-ri tadi dengan perempuan yang dua kali kutemui di avenue sore ini dan kemarin sore. Dan aku pun berniat, bahwa besok sore aku akan berdiri lagi di avenue itu kembali, dan lalu bertemu muka dengan dia, dan tentu dia akan menoleh lagi, masuk toko, kukejar, kubuang perasaan ang-kuh, kutegur dia dengan selamat sore yang lembut, kutolong dia membawa apa-apa. Tiba--tiba: "Watak pelayan! Diperbudak perem-puan!", hati kecilku yang angkuh berseru dari dalam, membuat aku meloncat dari sofa, dan hampir saja rokok Newport kulempar ke dalam asbak kalau tak ingat harganya sebungkus F 2,90. Kuhisap lagi rokok itu dengan tenang. Dan aku melihat sofa yang baru kutinggalkan. Tim-bul perasaan benci pada diri sendiri jika meng-ingat, enam bulan yang lalu seorang perempuan rebah disofaku yang baru kutinggalkan. Timbul perasaan benci pada diri sendiri jika mengingat, enam bulan
yang lalu seorang perempuan rebah disofaku itu dalam keadaan menggairahkan, tetapi aku tak mau menyerahkan diriku seluruh-nya untuk memuaskannya. Kalau dia perempuan lacur, bolehlah aku tak menyesal sekarang ini. Tetapi dia itu perempuan baik-baik dan baik hati dan mahasiswi l'Ecole de Paris jurusan sejarah, sekolah dimana lebih satu abad yang silam pe-ngarang Honore de Balzac pernah pula sekolah disitu, pengarang yang kukagumi dengan buku-nya La Comedie Humaine, buku yang memikat-ku hingga sampai di kota ini pula!
Pintu kamarku tiba-tiba diketuk. Sahabat-ku Henri masuk.
Ketika Henri masuk, betapa senangnya hati-ku. Selain kuharap nasihatnya iapun seorang lelaki yang lincah, tidak pesimis, dan berterus-terang kepadaku dalam segala hal.
Maka karena itu aku merasa tak rugi bila kutawarkan sebatang rokok Newport, sekalipun harganya sebungkus adalah F 2,90. Tetapi Henri menolak tawaran yang telah kuperhitungkan itu. Ia sendiri mengeluarkan dari kantongnya rokok Newport juga, dan menghisapnya. Ia duduk sementara otakku mengingat-ingat, bahwa me-mang selama aku berada di luar negeri jarang sekali melihat orang yang kutawarkan rokok yang menerima tawaran itu, sekalipun di Indo-nesia terkadang bukan ditawarkan melainkan malah ada yang minta dengan isyarat dua jari ditempel di bibir! Selain itu, kutandai, di luar negeri jarang sekali seseorang menawarkan ro-kok kepadaku, dan jika ada, kebanyakan itu cuma dalam film-film saja!
Episode 3 "Jengkel sekali aku", kata Henri sambil duduk di kursi berukir itu. "Kenapa"" tanyaku.
"Aku telah tilpon kau dua kali. Telah ku-tinggal pula nomor tilponku kepada pelayan- tilpon, tetapi engkau tidak menelpon saya di kampus", menggerutu Henri.
"Sudah kuduga kamu akan datang kesini", kataku.
"Begini, Ating", kata Henri. "Ada seorang temanku sekuliah yang kepingin mempelajari kebudayaan In
donesia". "Lalu"" "Kau bisa menimbun perasaan murungmu dengan dia. Dia gadis lincah, namanya Simone Lundi. Sebuah nama yang puitis bukan" Dan, sekali-sekali kau bisa meneruskan romance ke kampung halamannya di Nancy! Dan, ini akan menolong bebanmu bila kau kawin dengan Si-mone. He, dengar sahabatku Ating! Simone Lundi ini termasuk orang kaya pula di kota Nan-cy. Aku bersama teman-teman pernah berlibur di kota dia ini, dan, Simone Lundi pun punya sebuah toko yang baik di Rue Gambetta dikota tersebut. Kenapa kau diam, sahabatku " Kenapa wajahmu itu seperti setumpuk boeuf gros sel, ha"", sengaja Henri membandingkan wajahku seperti boeuf gros sel, sejenis menu makan ma-lam yang selalu kupuji-puji kepada Henri.
"Aku mempunyai Simone Lundi yang lain", kataku teringat perempuan di avenue de l'Opera.
"Suatu kemajuan, mon petit, suatu kema-juan. Siapa namanya, he, apa sudah kau cium gadis itu"" tanya Henri.
"Belum", sahutku.
"Kau ini tidak romantis sedikitpun. Kau sendiri pernah menterjemahkan kepadaku sajak penyair bangsamu yang bernama Cerryl Anwar yang berkata: Peluk kecup perempuan, tinggal-kan kalau merayu, kau ingat"", tanyanya me-nepuk bahuku.
"Untuk kesekian kalinya, Henri, bukan Cerryl Anwar, tetapi Chairil Anwar. Dan me-mang, Simoneku yang belum pula kukenal na-manya ini akan kupeluk kukecup dan kutinggal kalau merayu", kataku.
Henri tertawa besar mendengar lagak lucu-ku.
"Hari ini ada kemajuan", katanya. "Apa yang hari ini lebih maju dari kemarin adalah kemajuan. O, Simone yang malang", kemudian Henri mengeluh.
"Kenapa kau berkata Simone yang malang, he"" tanyaku.
"Maksudku Simone Lundi yang malang. Itu adalah calon yang kedua yang kuajukan kepadamu, dan yang kali inipun mengalami malang buatku sendiri sebagai perantara. Ku-coba mengingat sekarang, sahabatku Ating, ba-gaimana merah kupingku sewaktu Nina Papan-dreou, mahasiswi dari kampus Paris yang cantik itu, memaki-makiku".
Henri menoleh kepadaku. "Kau menyesal, Henri, karena kau mengu-lurkan kebaikan memperkenalkanku dengan Nina Papandreou dulu itu" Enam bulan yang lalu itu", tanyaku.
"Menyesal sekali", kata Henri. "Bahkan Nina. berkata, bahwa kau seorang Cassanova! Kau marah""
"Tidak", kataku, "Karena........", tak kuteruskan, sebab keadaan sebenarnya
bukan-lah demikian. "Untunglah kau berdarah dingin. Maka sore ini aku perlu mengucapkan selamat karena hatimu telah terbuka dengan kota kami ini", kata Henri lalu ia pun pergi setelah meminjam kamus Bahasa Indonesia-Belanda dari perpusta-kaanku.
Setelah Henri pergi, aku merasa sunyi seke-tika.
Bukan aku marah. Dan akupun tak tepat bila marah kepada Henri yang begitu berterus-terang. Juga kepada Nina Papandreou yang memaki-maki Henri yang mengatakan bahwa aku ini seorang Cassanova.
Dan sehabis makan malam di restoran de-ngan menu yang lain dari menu kemarin malam, aku kembali ke hotelku. Seperti tak sengaja saja aku tidak langsung ke tempat tidur untuk tidur, melainkan membaring-baring di sofa dengan hati yang surut-maju. Dan hati yang surut-maju ini terhenti dari goncangannya seketika itu
juga, bila kutahu kemudian bahwa aku lagi berbaring--baring di sofa ini. Sofa ini memang selalu mem-buat aku ingat kepada Nina Papandreou.
Apabila kucoba ingat Nina Papandreou, terkadang aku harus rela dan merela-kan diri dikutuki nenekmoyangku, bahwa buatku gadis kulit putih sebenarnya me-mang lebih menarik dari gadis bangsaku sendiri. Mungkin karena anggapan yang tertanam aki-bat angan-angan sehabis menonton film, atau, karena selama di Indonesia dulu aku tak berun-tung mendapatkan teman dekat seorang gadis Indonesia yang berwajah menarik dan jelita. Atau mungkin karena perasaan seorang lelaki yang ingin tahu belaka. Namun, sewaktu masih bersekolah di Akademi Grafika di Nederland, aku tak menaruh minat kepada perempuan-pe-rempuan Belanda. Tak tahu aku apakah karena sentimen kebangsaan, yang pernah dijajah, atau karena aku seorang pemuda bekas Tentara Pe-lajar, tidak kumengerti. Tetapi perkenalan de-ngan Nina Papandreou memang agak aneh. Henri membawa gadis itu ke kamarku. Di kamar-ku aku memiliki alat gimnastik yang bernama "Adams
Trainer", seperti veldbed, untuk meng-kuruskan tubuh. Dan Nina rupa-rupanya ter-tarik dengan alat pengkurusan tubuh itu. De-ngan lebih dahulu minta ijin daripadaku, gadis Paris itu mau mencoba "Adams-trainer". Dia minta ijin untuk membuka bajunya. Kemudian, dengan hanya menggunakan bh dan celana pendek, Nina berbaring di atas kasur alat pengkurusan tubuh itu.
Aku sadar benar, bahwa aku ini lelaki nor-mal. Dan sebagai lelaki normal tentu saja aku gelisah bila melihat keadaan Nina itu. Dan ba-gaimanapun normalnya aku, bagaimanapun ber-kali-kalinya aku melihat perempuan dalam pa-kaian mandi sewaktu di Cilincing, Amsterdam atau Rotterdam atau Paris, tetapi lelaki normal adalah lelaki normal. Dan kini, didepan mataku, kulihat Nina Papandreou menelentangkan tu-buhnya pada alat pengkurusan tubuh itu. Kedua telapak tangannya memegang besi pinggiran ram dari alat itu, dan telapak kakinya masuk ke tempat telapak kaki seperti pada pelana kuda itu, dan kemudian kaki itu mengayuh-ngayuh turun naik dan turun naik.
"Bukan", katanya seperti berusaha me-nutupi perasaan geli sendiri.
"Non, tidak, tidak. Kukira seorang teman-ku yang di Aljazair".
Dituntunnya sepedanya, tetapi aku kemu-dian memanggilnya "Viens, toi" sehingga dia tak jadi menaiki sepedanya, "Comme ca, ou allez-vous"", dengan ramah aku bertanya ke -manakah dia akan pergi, dalam dialek yang baik.
Karena pertanyaanku ini, perempuan itu semakin gugup.
"Tidak", katanya, "Tidak. Saya hanya pulang".
"Maafkan saya", kataku dengan menun-duk hormat, "Janganlah nona salah sangka bahwa saya akan mengganggu anda".
Oleh sikapku itu malahan dia tambah gu-gup lagi. Didayungnya sepeda, tetapi kemudian berhenti di depan sebuah toko. Dan toko itu ada-lah toko "Ceremonia" tadi juga, toko tempat perempuan bersepeda itu keluar tadi. Ketika dia menoleh lagi kepadaku, kucoba menghi-langkan perasaan yang bukan-bukan. Kutekan perasaan yang sudah selayaknya dipunyai se-orang lelaki, perasaan aktif, ingin memburu kesempatan baik ini, perasaan ingin mendapat teman perempuan baru.
Namun aku masih berdiri jua. Biarpun me-nekan perasaan, tetapi goncangan hati ini belum juga kukalahkan lagi. Dan goncangan hati ini semakin bergoncang lagi apabila mataku melihat perempuan tadi keluar lagi dari toko itu, dan menoleh lagi kearahku. Kucoba menunduk. Dan biarpun keinginan masih menderas untuk melihat dia lagi, kutundukkan juga kepalaku dengan terpaksa. Dan kemudian kepalaku ku-angkat lagi. Usahaku menekan perasaan ini berhasil, karena perempuan bersepeda itu telah lenyap dan pandangan mataku. Baru kemudian aku merasa diriku kuat untuk melawan setiap cobaan pada hari-hari akhir ini.
Kuhela nafas lega panjang-panjang.
Kemudian kakiku melangkah lagi, melang-kah diatas jalanan ini, diatas Avenue de l' Opera ini.
Hari telah jadi malam begitu aku sampai ke hotelku. Aku bersalin pakaian di kamar hotel-ku. Tetapi sewaktu aku berkaca di depan kaca, ingatanku kembali kepada perempuan berse-peda itu lagi! Kuteliti wajahku, apakah wajahku ini bukan wajah Indonesia tulen. Tetapi ku-anggap saja ingatan demikian adalah ingatan se-orang gila di tanah asing, suatu perasaan kese-pian yang terkadang membikin seseorang ma-buk pada persoalan dirinya sendiri. Tetapi me-mang selama di kota Paris begini lama, aku tak bisa menyangkal bahwa perasaan mabuk ter-hadap pergulatan dengan diri sendiri itu belum juga selesai. Bila kuanggap perasaan mabuk itu karena rindu kepada tanah air, segera kutekan anggapan demikian itu! Tidak, kata hatiku, eng-kau tidak termasuk seorang yang gampang rindu kepada tanah air. Tidak, kata hati sendiri ini, engkau bukan seorang yang sentimentil!
Kepada pelayan restoran kupesan makan malamku. Aku mencoba membiasakan diri un-tuk mengatur menu pada hari- hari belakangan ini. Dan malam ini pun demikian. Kupesan bis-qe de hormad, haricots, verts, buah-buahan dan truite aux amandes, dengan logat bahasa Perancisku yang angkuh menyebutkan satu per-satu pesanan itu. Memang pada mulanya agak canggung juga membuat diri ini menjadi ang-kuh. Tetapi semenjak di Paris aku telah melatih diriku secara tak sengaja menjadi seoran
g aris-tokrat. Tak perduli kulitku berwarna. Karena disini tak ada persoalan kulit berwarna. Bahkan dari mulut sahabat-sahabatku yang terkadang mengunjungiku ke hotelku, mereka mengatakan bahwa mereka setuju dengan usaha pemerintah-nya untuk membantu Aljazair yang barusan merdeka agar menjadi sebuah negeri yang kuat. Sahabat-sahabatku ini bukan politikus dan se-benarnya tak ada kepentingan apapun dengan Aljazair. Mereka semua mahasiswa. Tetapi istimewanya mereka mendapatkan simpatiku, karena mereka itu orang Perancis, suatu bangsa yang pernah selama bertahun-tahun menjajah negeri di benua Afrika itu.
Aneh, bila aku akan tidur, melintas lagi dalam ingatan ini perempuan bersepeda pada sore hari itu kulawan fikiran gila itu lagi! Aku ini bukan orang yang kesunyian! Aku tak bu-tuh perempuan! Aku bukan orang sentimentil, - hatiku memaki fikiran yang berangan-angan itu. Tapi yang kurasa lebih aneh lagi, pada be-sok sore itu, aku berada lagi di avenue de l'Ope-ra, dan berdiri ditempat aku berdiri kemarinnya.
Dan, anehnya, perempuan yang kemarin kutegur itu, lewat lagi di depanku naik sepeda, kemudian berhenti di depan toko "Ceremonia", toko yang kemarin juga, dan perempuan itu menoleh lagi kepadaku, dan dia malu karena aku memergoki dia menoleh itu, dan, kemudian dia masuk ke toko itu, kemudian keluar toko lagi
mengambil sesuatu yang mungkin terlupa dalam tas dibagasi sepedanya, tetapi kemudian : Dia menoleh lagi. Dan akupun berbuat lebih gila! Sewaktu perempuan itu masuk lagi ke toko mode itu, memang mulanya aku berfikir harus meng-gunakan kesempatan in karena, kalau dua kali sebuah kesempatan dilewatkan, aku akan kehi-langan nasib baik! Tetapi hatiku sudah beku untuk tunduk kepada berbagai logika pada hari-hari akhir ini. Dan aku bukannya pergi menemui perempuan itu didalam toko itu, melainkan ber-jalan terbirit-birit menyeberang, lalu pulang ke
hotel. Pelayan hotel mengatakan kepadaku, bah-wa ada seseorang yang menelpon untukku se-waktu aku berjalan-jalan tadi.
"Biarlah",.kataku, "Nanti orang itu akan menelpon lagi".
"Dan ini nomor tilponnya disuruh catat-nya, Monsieur", pelayan hotel memberikan sehelai catatan nomor tilpon.
"Merci, petit", kataku berterima kasih.
Episode 4 O, terutama betisnya itu.
Bulu-bulu yang pirang pada betis itu mulai dibasahi keringatnya, dan kini tubuh Nina mulai bermandi keringat dan sempurnalah ia seperti patung Venus yang bisa bergerak-gerak, sewaktu kakinya bergerak-gerak mengayuh-ngayuh per spiral alat
itu. Aku malu sewaktu Henri menepuk bahuku. "Menarik juga", kata Henri.
Dan Henri yang selalu mengaku berani ber-gurau terang-terangan di hadapan jenis gadis se-kalipun, kali itu membuktikan. Henri berkata keras sekeras sopir-sopir taksi Paris meneriak-kan penumpang yang akan pergi ke Bordeaux, kata Henri: "Adduh! Yang menarik bukan alat itu, tetapi tubuh yang bergerak-gerak itu, Mon-sieur Ating! O, benar-benar mirip Sophia Loren dalam film!"
Nina Papandreou rupa-rupanya kenal de-ngan watak Henri.
Gadis itu tertawa mendengar gurau bergaya sopir Bordeaux tadi itu sehingga akupun memberanikan diri untuk berkata:
"Bukan mirip Brigitte Bardot""
"Aku adalah paduan Sophia Loren dan Bardot", kata Nina Papandreou yang membikin aku merasa terkejut mendengarnya. Dan, setiap lelaki memang pantang dikasih hati, lalu akupun menyempurnakan sifat-sifat lelakiku, melebihi sopir taksi, kataku:
"Penuh daya magnit gerakan-gerakanmu itu, Nina". Dan Henri tak urung menyeletuk saja:
"Bilang saja kepada Nina bahwa engkau kepingin memeluknya sekarang dalam keadaan begitu".
Kurasa, aku memang kalah cepat untuk memilih gaya bahasa sopir taksi di Paris ini, taksi pelabuhan yang biasanya imigrant-imigrant dari Itali. Setelah Henri berkata begitu, aku tak bicara lagi, sekalipun bibir ini rasanya kepingin sekali untuk mengatasi kata-kata Henri. Baru kemudian kami berkenalan secara baik, setelah Nina Papandreou puas mempermainkan alat pengkurus badan, "Adam Trainer"-ku
itu. Kulihat pembukuan sisa uangku pada buku- catatanku dan kemudian aku berkata kepada Henri dan Nina:
"Aku akan traktir kalian makan malam di restoran seben
tar lagi. Apakah kalian berdua bersedia"", tanyaku.
"Tentu saja, bukan, Henri"" kata Nina. "Tadi jam tiga aku sport bersepeda karena takut kehabisan musim panas. Dan setelah jam yang lalu ini aku main Adams-Trainer. Perutku memang lapar tentu".
Aku gembira terutama karena Nina Papan-dreou menerima ajakanku itu. Dan tak pusing aku lagi pada jumlah angka-angka sisa uang pada buku keuanganku yang sudah kubiasakan semenjak di negeri Belanda.
"Apakah kalian berdua bersedia menunggu aku sebentar"" tanyaku.
"Mau kemana lagi kau"" tanya Henri.
"Sudah terbiasa dari tanah air bahwa aku harus mandi pagi dan sore hari, sahabat!" kata-ku, "Dan kalau kalian bersedia, sementara aku mandi kalian berdua kupersilahkan membong-kar buku-buku dalam perpustakaan di ruang se-belah kamarku ini. Aku hanya sebentar saja".
"Silahkan", kata Nina dalam suara lembut.
Dan, direstoran, kuperiksa menu sejenak, lantas aku berkata, terutama kepada Nina Pa-pandreou:
'Sekalipun kalian boleh memilih menu yang kalian sukai", kataku dalam bahasa Pe-rancis berlagak tuan besar, "Tetapi diantara yang tertera di sini akan kuperkenalkan menu yang sangat lezat, yaitu: Boeff gros sel dengan Salade de Cresson, Potage campagnard. Mousse au chocolat, apakah kalian setuju" Atau boleh juga kalau Nina mau pilih: Soupe gratinee dan lain-lain itu, dengan kombinasi Champignons de Paris, he"
"Bagaimana Henri""
"Aku memilih what your choice", katanya mencampur dengan bahasa Inggeris setelah tadi dalam obrolan Henri mengatakan bahwa aku lebih bisa dengan tepat berbahasa Inggeris se-kalipun dua tahun mati-matian belajar bahasa Perancis dengan Henri.
Aku gembira pada saat makan-makan itu. Tetapi bukan pada saat dinner itu saja yang membikin aku gembira. Pada hari-hari benikut-nya Nina papandreou menjadi simpatik dalam pandanganku, terutama kalau gadis Paris ini membuat lelucon berbahasa Perancis dicampur Inggeris dalam logat Perancis yang tak bisa di-hapusnya.
Hampir-hampir semua ajakanku tak pernah ditolaknya. Makin hari makin kukenal dia gadis Paris yang gemar kepada humor. Dan ini kuke-tahui sewaktu kami melihat-lihat acara film di surat kabar, yang dikota ini selalu dijelaskan apakah film itu film adventure atau film lucu atau detektif atau film music atau romance bia-sa, maka Nina menunjuk:
"Ini! Film de comedie policiere!", serunya. "Kau suka sungguh-sungguh kepada film humor tegang ginian""
"Suka sekali", katanya.
Dan kami mengunjungi cinema. Memang film itu film lucu sekali, menceritakan aktor Paul Meurissc yang memerankan peranan bandit Al Capone, berhadapan dengan aktor Alex Jof-fe. Sepanjang pertunjukan Nina Papandreou tak henti-hentinya ketawa. Pada waktu pulang, kutanyakan kepadanya: "Aktor Perancis mana kesayanganmu""
"Aku suka dengan auteur Alex Joffe. Kami di kampus mahasiswi semua menyukainya. Pernah kami menonton auteur itu sebagai pahlawan dalam film Pas question le samedi", katanya seraya melengketkan pegangannya pada lengan-ku.
Belum pernah menara Eifel kulihat seindah pada malam itu.
Sambil berjalan kaki begitu, darahku ber-debar sekali memikirkan apakah yang mesti du-luan kubilang. Seakan-akan aku akan membuat sejarah penting di bawah menara bersejarah ini. Kemudian kupegang kedua bahunya, dan de-ngan gementar kutanya "Boleh kucium bibir-mu disini""
Mendengar caraku meminta jim untuk men-cium bibirnya dengan suara gugup begitu, gadis Paris ini tersenyum dan jari-jarinya meraba bulu-bulu pendek pada daguku yang kulupa untuk dicukur, dan, bisiknya:
"Boleh saja". "Kau tidak marah""
"Kenapa harus marah. Berhari-hari kita bersama, kita saling menyenangi", kata Nina Papandreou. Kupandangi rambut pirangnya terjurai-jurai ditiup angin musim panas.
Gementar telunjuk-telunjukku menyelusupi rambutnya yang pirang. Kuketahui kancing baju atasku dua buah dibukanya, dan jari-jarinya menyelusupi bagai akan menghitung tiap helai bulu dadaku yang bertumbuh lebat dan rajin kuminyaki saban hari dengan mentega. Nafas-nya berdesah sewaktu bibirnya seakan-akan ku-remas dengan keberahian penuh, ibarat kuda jantan yang lepas dari kandang, tanganku me-nyelusup memasuki blousenya, dan
Nina Papan-dreou merengek dengan nafasnya mengalun--alun, tetapi kemudian dia tersentak melepaskan pelukannya.
"Man kita menyewa gondola", katanya, menyeret lenganku.
Pcrkataan "sewa" berarti harus mengeluar-kan uang! Tetapi kebiasaanku yang terpimpin semenjak diam dua tahun di Negeri Belanda pada malam itu lenyap, tak sedikitpun tertinggal di otakku. Dalam taksi disebelahnya aku duduk.
Gadis Paris ini meremas-remas jari-jariku, dan jari-jariku bergelut dengan jari-jarinya, sedang-kan otakku masih saja memikirkan perkataan "gondola" itu. Ingin bertanya kepadanya, aku khawatir nanti Nina tersinggung. Melihat gela-gatnya sewaktu kuciumi dan kuremas-remas ba-hagian dari dirinya itu, aku menduga aku akan dibawanya kesebuah tempat semacam villa di tepi pantai, dan menyewa tempat itu, lalu tidur ber-sama dia hingga pagi. Baik dari cerita-cerita Henri ataupun karangan-karangan Henri Miller yang laris dikota Paris in sudah biasa lelaki dan perempuan yang saling menyenangi untuk menyewa villa, atau rumah biasa, atau dirumah-nya sendiri, dan melepaskan birahinya masing--masing sepuas-puasnya. Apakah gondola ini semacam demikian itu" Dan otakku tiba-tiba ber-kelahi. Perasaan takut memburu dan mengan-cam hari-hariku yang lampau, yang senantiasa bisa bertahan terhadap perasaan suci, yang entah benar-benar suci entah tidak, yang selalu ku-anggap menang dan moral buruk yang seperti setan selalu menggoda otak semenjak aku meng-injak tanah asing meninggalkan tanah air.
"Apa itu gondola"" tanyaku pada Nina memberanikan diri, tak perduli apakah Nina Papandreou ini akan tersinggung ataukah tidak.
Dia tersenyum. Tangannya menggenggam telapak tanganku. Tangan kanannya memper-mainkan ujung hidungku.
"Kita ke Canal", katanya.
"Sungai Seine"" tanyaku.
"Ya. Kita menyewa gondola disitu. Sebaik-nya kita pulang pagi. Kau setuju""
Bah! Perasaan suci yang tak kuketahui sampai dimana kesuciannya, mulai luntur Se-waktu telingaku mendengar bisiknya yang lem-but, yang menyatakan aku ini lelaki romantis, dan dalam bisikan itu nafasnya mendera-dera lubang telingaku ketika itu, melunturkan apa yang selama ini kuanggap agung, sekalipun se-lama ini aku menyadari perasaan suci itu yang selama in.i kuanggap suci aseli tetapi lama kela-maan kuanggap kesucian palsu, palsu karena ke-sucian ini bersandar atas perhitungan laba-rugi, seakan-akan hati ini melakukan jual beli dengan hati sendiri seperti ini : Jika kulakukan ini, nanti risikonya bagaimana.
"Alangkah indahnya malam musim panas yang terang begini. Apalagi bersama-samamu di gondola, sayang", kata Nina, dan kata-kata itu pelahan sekali, lebih banyak kurasakan na-fasnya di telingaku daripada suaranya.
"Apakah di negerimu ada gondola"" tanya-nya kemudian.
Karena membayangkan gondola itupun aku sendiri belum bisa saat di atas taksi yang melun-cur pelahan itu, maka akupun ketika itu mem-bayangkan saja Villa di Puncak, Cipayung atau dimana saja, atau, lebih rendah lagi rumah sewa pelacur elite, atau lebih rendah lagi daerah pela-curan Planet dari Tanjungpriok.
Sopir taksi ini sopir celaka juga! Jalannya mobil semakin lambat, apakah ia mau memperlama jam perjalanan supaya ongkos taksi yang diperhitungkan jamnya nanti bisa dikeruk lebih banyak" Heran, akupun mulai membuat kalku-lasi lagi seperti bekas kebiasaanku di Nederland. Dan kebiasaan itu pudar lagi sewaktu kurasa hangatnya tubuh Nina yang kurasakan nafas-nya menyelusup sela- sela bulu dadaku, seakan nafas itu menerjang pula pusar-pusarku saat itu, membuat aku mengamuk, memeluknya ke-tat-ketat dan dia merintih dan tak kuperdulikan lagi gondola itu apa dan dimana dan bagaimana dan tak kuperdulikan lagi perbedaan nilai antara suci palsu dan suci aseli atau suci sejati, apakah nafsu dalam berpeluk ini akan terdampar di sorga atau neraka - semua lenyap - batas itu hilang dalam liuk tubuhnya yang merontakan kegairahan yang meluap itu, kulihat matanya nyalang berbinar-binar, dan dalam binar itu kutemui keindahan dalam nikmat dan ketakutanku akan ditimpa sengsara, dan begitupun rengek suaranya bagai menghilangkan batas apa-kah itu rayuan setan ataukah nikmat sorga
yang akan dia berikan padaku - semua hilang bentuk hilang batas - dan kenyataan meme-nangkan semua nilai-nilai itu pada akhirnya sewaktu telapak tanganku kutarik cepat dari dalam blousenya dan yang kurasakan mobil kami bergoncang karena sopir menekan rem de-ngan mendadak.
Sopir taksi ini berbahasa Perancis dengan lembut pada kami: "Maaf tuan dan nona, saya telah mengejutkan anda berdua. Anak kecil ke-parat itu, lihatlah, ia masih sempat tertawa".
Kubuka kaca jendela, kulihat seorang anak memandang kami.
"Hampir ia mati kalau tidak saya tekan rem", kata sopir lagi. Tidak, tidak, janganlah kau berkata demikian itu, -kata hatiku seperti kepada sopir. Melihat anak kecil berumur lima tahun itu, sekonyong aku teringat kepada tanah air. Hatiku melelehkan airmata, tapi mataku me-nahan arus pedih bagai kena listrik pada pelupuk mata ini, mencegah jatuhnya airmata.
Episode 6 Sedan taksi ini berjalan lagi.
Selera jantanku berkurang untuk mencum-bu, sekalipun Nina makin bertambah galak. Bahasa nafas, bahasa rintih, rengek perempuan dalam puncak gairah pada akhirnya sama saja di dunia ini: Kutahu, yang dia nafaskan, yang dia rintihkan, yang dia rengekkan adalah ke-butuhan terakhir dari semua yang semua.
"Itu gondola, kekasihku!", seru Nina. Ku-lihat cepat ke sana itu, mau tahu macam apakah gondola itu.
Mataku seakan meloncat mau mengetahui bagaimana mesranya menyewa gondola bersama gadis Paris berambut pirang yang meruntuhkan imanku ini. Tetapi ternyata tidak ada manusia yang paling bodoh di dunia jika tidak menge-tahui arti perkataan gondola. Percuma beberapa mil keluar dari kota Paris menuju canal ini untuk membayangkan yang bukan-bukan, mulai dari villa sewaan termahal di Puncak untuk menyeret perempuan sampai rumah sewa yang paling ren-dah di Planet Jakarta, O, betapa tololnya diriku ini membayangkan yang bukan-bukan
karena otak sudah dikangkangi oleh setan-setan yang mengaku akan membawa nikmat.
Kalau itu gondola, kataku dalam hati, ribu-an ada di tanah airku Indonesia!
Gondola ternyata hanya sebuah perahu de-ngan seorang tukang dayung! Aku sudah biasa menyewa yang beginian di Cilincing, di Sampur Tanjung Priok bersama Sutijah di Jakarta se-masa masih diombang-ambingkan masa muda yang romantis. Bahkan setelah perang berakhir dan kulanjutkan lagi sekolahku di SMA Jogya, gondola beginian pun ada di Jogya di Taman Rekreasi Gembira Loka, sekalipun tak ada canal dan lautnya.
Timbul perasaan hambarku setelah melihat apa itu gondola. Tetapi kubayar juga sewa taksi, sedangkan Nina Papandreou kudengar bercek-cok dengan sopir soal jam-sewa-taksi tadi itu.
"Sudah. Tak perlu bertengkar dengan so-pir", kataku. 'Kenapa""
"Dimana-mana sopir sama saja di dunia. Mau benar sendiri", kataku.
"Tetapi nanti kau rugi. Uangmu mau dikeruknya karena sopir ini tahu bahwa kau bukan orang Paris", kata Nina, dalam bahasa Inggeris berbisik.
"Ah, di negeri saya juga sopir taksi naikkan harga kalau melihat orang kulit putih yang me-nawar. Sedang Negro juga dinaikkan harga, itu jamak, dimana-mana sama", kataku men-jawab dalam bahasa Inggeris yang agak keras.
Pada kaca perahu sewaan yang bernama gondola ini, aku melihat tarif yang tertulis ada-lah F 3, - Kalau sebatang rokok Newport dihi-sap tiga menit, maka dua puluh batangnya enam- puluh menit, maka tarif ini cukup memadai. Menghisap rokok nikmatnya tersendiri, menye-wa gondola dengan berduaan gadis Paris, juga nanti nikmatnya tersendiri pula. Tapi F 3,- satu jam sampai pagi" Kufikir ini tidak main-main.
Rupanya otakku yang mulai berhitung itu diketahui juga pada akhirnya oleh gadis Paris berambut pirang ini. Dia menyeretku, katanya:
"Jangan takut. Tadi aku menerima uang via bank dari bapak tiriku di Luxembourg". "Bapak tiri"" tanyaku.
"Ya. Apa kau tidak mendengar dari teman kita Henri perihalku" Aku pernah bercerita me-ngenai bapak tiriku ini kepada Henri, tentulah Henri telah menceritakan hal itu kepadamu", katanya.
"Nina. Aku belum mendengar", kataku naik ke gondola.
Gondola mulai berlayar diatas sungai Seine itu.
"Nanti akan kuceritakan sekali waktu", katanya kemudian dengan mengeluh, "Tetapi sekedar unt
uk tidak mengkhawatirkan keuang-anmu menyewa gondola ini sampai pagi, baiklah kukatakan bahwa bapak tiriku adalah seorang milyuner".
Nina Papandreou, gadis Paris ini mungkin mengira bahwa aku akan kaget mendengar ba-pak tirinya seorang milyuner. Tidak. Perancis telah ditimpa bencana inflasi sehabis Perang Dunia Kedua, dan milyuner orang Perancis adalah berbeda dengan milyuner Amerika atau Inggeris misalnya. Tapi kemudian kusadari wa-jah dinginku, makanya aku berkata:
"Tentu bapak tirimu seorang jempolan".
"Ya. Tentu saja. Jempolan. Surat ibuku yang terakhir kuterima menyatakan, bahwa pabrik pisau cukur suaminya mengalami kepe-satan dan bersaing dengan milik perusahaan orang Belanda disana itu. Seharusnya ibu berbahagia setelah menderita", kata Nina kemudian.
"Peperangan telah membikin ummat ma-nusia kehilangan wataknya", kata Nina Papan-droeu.
Perkataannya sangat berharga pada saat perahu mulai oleng. Kubiarkan saja ia menciumi dadaku sewaktu aku menelentangkan diri di atas perahu ini, karena aku tertarik kepada ucapan-nya tadi, bahwa peperangan telah membikin ummat manusia kehilangan wataknya Negeri kami pun telah ditimpa bencana peperangan, kataku dalam hati. Tetapi apakah yang dimak-sud dengan hilangnya watak ummat manusia ini karena manusia semakin manja dengan ma-teri, perempuan sering merongrong suaminya karena tidak bisa menaikkan dari demands tiap individu, aku tak mengerti.
"Akan kuceritakan kepadamu, mon Ating, bagaimana dahsyatnya peperangan yang men-jadikan manusia menjadi kepingan-kepingan manusia, sekalipun tubuhnya memakai baju, sepatu, dan dipandang sempurna dari luar", kata Nina lagi dengan menindihkan kepalanya pada dadaku yang terbuka. Angin yang mulai terasa ketika berhembus begini, menyebabkan lembaran-lembaran rambutnya menyapu-nyapu ujung hidungku ketika itu, sehingga terasa oleh hidungku saat itu paduan antara eau de cologne dengan bau keringat aselinya: keringat kulit putih yang mengganggu pernafasanku.
Episode 7 "Ceritalah tentang dirimu", katanya dengan suara aleman.
"Aku orang Indonesia", kataku.
"Aku telah tau dari Henri. Apalagi"" ta-nyanya.
"Aku sadar bahwa aku sekarang berada di tanah asing".
"Apalagi ""
"Aku sadar bahwa aku meninggalkan ne-geriku untuk menambah pengetahuanku, untuk kemudian bisa mempertinggi taraf hidupku bila pulang".
"Apalagi, katakanlah!"
"Negeriku menderita sakit setelah perang kemerdekaan membebaskan diri dari penjajah-an. Ekonomi kami collapse. Kau baca surat ka-bar, kau bisa tau hal itu", kataku.
"Dan kau" Sampai ke Paris sini. Apa se-bab"", tanya Nina.
"Mungkin karena takut kepada diriku sen-diri. Takut memikul penderitaan dan beban hi-dup lagi. Dan kota ini menjadi pelarian", kata-ku.
Nina Papandreou mengeluh amat dalam.
Ketika kuelus pipinya sekedar melupakan ketakutanku sendiri setelah banyak berterus terang, kulihat ia membuka kancing blouse ber-bentuk kemeja itu. Mataku pada bagian dada-nya yang terbuka. Darahku mendenyutkan selu-ruh syarafku.
"Udara panas sekali. Kubutuhkan angin Iaut. Makanya kancing kemejaku kubuka", kata Nina Papandreou sebagai excuse padaku.
Mataku terpesona memandangi gadis Paris ini. Dia seolah-olah tidak tahu bahwa aku se-dang memperhatikan dua kancing blouse ke-mejanya itu. Dia pun seolah-olah terapung de-ngan angan-angannya sendiri. Dan aku: akupun oleng seperti olengnya perahu yang membawa kami ke tengah pada malam benderang begini!
Otakku membayangkan, apakah Nina Pa-pandreou ini masih perawan! O, alangkah jeleknya aku sampai berfikir begitu. Kenapa aku ha-rus pula memperhitungkan hal ini. Jangankan di kota universal seperti Paris, di Jakarta saja sulit untuk mempercayai diri masih ada gadis--gadis berpergaulan bebas yang masih perawan. Bah! Kenapa aku harus memikir ini!
"Nina", kataku.
Rupanya Nina hanya memejamkan mata. Dia tak tidur dalam pangkuan itu. Dia duduk. Dan sambil duduk dalam pangkuanku itu ke-palanya disandarkannya pada leherku. Rambut-nya menyapu-nyapu leherku.
"Aku berpendapat, Nina, bahwa ada hal-hal yang menyebabkan kau tadi berkata, bahwa peperangan telah membikin ummat manusia kehilangan wataknya"", tanyaku.
"Suatu sebab yang sederhana. Bapakku tewas dalam perang dunia yang lalu. Lalu ibuku kawin dengan lelaki Luxembourg itu. Dan aku -pun menjadi seseorang yang kesepian", kata Nina Papandreou.
"Ah. Karena itu saja kau membenci pe-rang"", tanyaku.
"Banyak yang lain yang tak usah kucerita-kan kepadamu", katanya. Karena dia tak mau menceritakan yang lain itu, aku menjadi kepi-ngin tahu siapa Nina Papandreou ini sebenar-nya. Aku telah banyak kenal dengan gadis-gadis Paris ini. Dua tiga gadis bahkan kukenal di cafe Les Deux Magots, cafe yang mengingatkanku pada seniman-seniman Senen, karena di cafe inilah berkumpulnya seniman seniwati sampai larut malam. Gadis-gadis seniwati itu berbicara dengan sangat terbuka, tentang apa saja! Tetapi selama berkenalan dengan Nina papandreou belakangan ini, Nina Papandreou begitu lincah, seakan-akan gatal kepingin dijamah terus, na-mun selalu
ada suatu rahasia yang disembunyi-kannya begini, seperti di malam ini dalam perahu gondola di sungai Seine.
Jauh nun disana, aku melihat menara Eifel yang benderang terang, symbol kota Paris. Nina Papandreou masih membungkam sementara aku berkhayal apa sebab Nina Papandreou kali ini tak mau berterus terang tentang satu hal. Atau-kah hal itu karena suatu noda dalam dirinya, aku tak tahu. Tetapi karena pertanyaanku itu, Nina Papandreou kulihat jadi murung. Belum pernah pula dia semurung ini.
Rambut-rambut pirangnya menyapu-nyapu hidungku, menyebar paduan bau shampoo de-cologne dan bau keringat aseli perempuan kulit putih. ini membuat aku tak berpikir panjang. Kuturunkan keningnya pelan-pelan, kuciumi le-hernya, kuciumi bawah telinganya, kemudian terus kuciumi belahan dimana dua kancing blouse kemejanya terbuka itu, dan Nina menjerit senang, tertawa-tawa.
'Kenapa"" tanyaku dengan malu.
"Kau lelaki agresif", katanya menutup blousenya.
"Aku jengkel sebab kau tak mau menceri-takan sesuatu rahasia", kataku. "Ah kau! ", dikerumasnya rambutku.
Memang baru pada malam itulah aku me-rasa betapa indahnya menara Eifel, sebab pada malam itu aku lebur dalam olengan muara su-ngai Seine, pandanganku kabur mnyambut dini -hari, dan siangnya aku tak bisa mengantuk di -kamar hotelku karena mengingat Nina Papandreou.
Aku belum mau menamakan malam itu malam dimana aku jatuh cinta pertama kali de-ngan gadis Paris. Malahan aku meragukan diri-ku sendiri. Dan meragukan Nina. Dan meragu-kan pandangan hidup manusia zaman sekarang. Malam dalam perahu oleng dengan hembusan angin itu hanya sekedar memenuhi seleraku se-bagai lelaki. Segala yang berbau romantis, sifat pura-pura, dibuat-buat, akal bulus, berdusta, semua rasanya bersatu dalam gerak tangan yang membelai, gerak tubuh Nina yang menggeliat dan kukira semua itu hanya akan menambah kosongnya keyakinanku, bahwa dunia ini masih ada.
Episode 8 Malamnya Nina Papandreou datang kembali. Kali ini dikuncinya pintu kamar hotel. "Kenapa kau kunci"" tanyaku.
"Aku khawatir bila bercumbu ditontoni kucing. Aku melihat kucing Turki di corridor Se-belum masuk kamarmu ini tadi", kata Nina.
"Bagaimana kalau kita lewatkan semalam suntuk ini". kataku.
'Membosankan di gondola", kata Nina.
'Kenapa"" tanyaku.
"Pendayung gondola itu terkadang mengin-tip kita", katanya.
"Bagaimana kalau kita hanya jalan-jalan saja malam ini, Minum-minum di cafe Les Deux Magots""
Karena Nina Papandreou membelakangiku saat itu, aku tak bisa menerka bagaimana pero-bahan wajahnya. Kulihat hanya anggukannya yang perlahan. Tetapi aku pantang merobah ajakanku. Aku harus tunjukkan caraku yang tegas dan tak hanya suka mengikuti kehendak kaum perempuan saja. Sekalipun dia tampaknya menghendaki semalam penuh ini ada di kamar-ku, tetapi aku menghendaki lain! Aku kehen-daki agar dia lebih banyak membuka diri ten-tang masa lampaunya. Aku bukan orang Penan-cis. Aku orang Indonesia di negeri asing ini. Yang kubutuhkan kepastian hati.
Taksi berhenti dipinggir jalan, tepat dide-pan cafe. Cafe ini terletak di sebelah trotoir, dan satu-satunya cafe yang masih antik di Saint -Germaindes-pres quarter. Kursi-kursi tempat duduk meluber ke trotoir. Kulihat banyak seni-man dan seniwati yang itu-it
u juga. Ketika kami duduk berhadapan dan kusuruh Nina meminta minuman dan makanan apa yang akan dipesan-nya, teringat aku pada tahun 1955 dahulu, di Senen Jakarta, di warung Ismail Merapi, dimana duduk para seniman seperti Sukarno M. Noor, Wahyu Sihombing, Ardan, Ajip Rosidi dan Syumanjaya, Wahid Chan selaku walinya, me-ngobrol minum bier sampai pagi. Kini mereka itu bagaikan kutemui di Paris, dipojokan buncu Senennya Paris, di Cafe Les Deux Magots, wa-rung Ismail Merapinya Paris.
Jauh malam baru kami berdua kembali ke hotelku. Dia membuka jasnya. Lalu menghela nafas panjang. Dan berbaring pada sofa dipojok kamarku.
Tetapi malam ini bukan Nina Papan-dreou yang berbaring disofa ini. Melainkan aku. Aku yang diliputi ke-nangan terhadapnya. Nina Papandreou takkan mungkin lagi berbaring di sofa yang kubaring-kan diriku disini ini. Nina Papandreou telah lama lenyap dari hinggapnya dalam hidupku. Itu telah menghilang enam bulan yang lalu. Dan kepergiannya memang memedihkan sekali. - Bu-kan saja memedihkan dia, tetapi juga memedih-kan buatku. Tidak heran jika sahabatku Henri mengutuki, yang menganggapku sebagai lelaki tidak berpendirian.
Tetapi memang persoalannya sangat seder-hana. Aku kepingin banyak tahu tentang dia. Dan dia pun bercerita tentang dirinya, tentang masa kecilnya sewaktu Jerman menduduki kampung-nya. Kemudian, dalam keadaan masih bayi Nina dibawa ibunya ke Paris.
"Kau tahu, Ating. siapa diriku" Bukan anak seorang ayah yang ditembak Jerman, te-tapi mungkin ayahku seorang tentara Nazi yang membutuhkan hiburan pada suatu malam. Dan dicarinya seorang perempuan yang membutuh-kan sepotong roti. Dan perempuan itu adalah ibuku. Jadi jelas olehmu, aku ini kira-kira anak tentara
Nazi"" Itu dikatakannya enam bulan yang lalu sambil berbaring diatas sofa ini. Aku yang begitu bersemangat mau mencumbunya malam itu, dalam kamar terkunci, sekonyong merasa lutut-ku goyang, hatiku direnggut oleh takut. Anak haram! Anak haram tentara Nazi yang sedang berada di kamarku. Tubuhnya yang montok pa-dat, rambut pirangnya yang menimbulkan se-lera, rengek-tangisnya yang aturannya menim-bulkan hiba, dalam diriku semuanya ketika itu berobah menjadi benci. Entah kepada siapa ke-bencian ini harus kulemparkan. Kepada diriku sendiri" Kepada ibu Nina" Kepada tentara Nazi" O, baru kuingat kini. Nina Papandreou dulu
pernah bercerita kepadaku, bahwa peperangan telah membuat manusia kehilangan wataknya. Kepada itulah harus kulemparkan benciku.
"Telah kau dengar"" kata Nina kemudian, sambil bangkit berdiri, berdiri dari sofa itu, ke-mudian mengambil jasnya, siap untuk berang-kat. "Jadi setelah engkau mendengar siapa diri-ku ini, engkau pun menjadi hambar. Kau melihat diriku kini dan selanjutnya sebagai najis. Aku anak selokan. Tetapi aku telah ada. Dan aku tak mau diombang-ambingkan oleh zaman ini lagi. Ketika kutemui kau dan kita berhari-harii dan siang malam bersama, kukira engkau benar--benar orang Timur yang berbudi tinggi, seperti aku mengagumi India, Tagore, Muangthai, dan Borobudur, Ating! Nyatanya: Semua ma-nusia sama. Tak lebih dari kesenangan yang kepingin dipetik manusia. Sesudah itu, bahkan biji buah appel pun manusia tak mau mengu-nyahnya. Dan sekarang aku akan pulang, pulang dengan perasaan puas, bahwa aku telah berke-nalan dengan Timur. Timur kukira masih aseli, dan nyatanya telah berobah. Tentulah yang merobahnya adalah peperangan juga, seperti eng-kau ceritakan, bahwa negerimu pun ikut ambruk akibat perang itu. Apakah kau dan aku sama--sama kehilangan watak"", tanyanya dipintu.
"Sama. Kita sama kehilangan watak", kataku menekan perasaan.
Mata Nina Papandreou melinangkan air-mata.
"Terimakasih karena kau mengakuinya, Ating", kata Nina Papandreou.
"Yang penting manusia mengakui kedirian-nya. Keindahan, kata-kata manis dan cumbu mesra, sudah kita lewatkan dalam hari-hari yang indah belakangan ini di dalam gondola, di bawah menara Eifel, di bawah patung di Place de la Concorde, dan di kamarmu ini. Semua kemes-raan telah kita lalui semesra-mesranya dengan segala kepalsuan. Bukan begitu""
"Ya", sahutku terperangah.
"Tetapi satu hal, Ating mo
n ami, ingatlah. Semua kemesraan itu kita perbuat hanya untuk mengisi sepi. Sebentar lagi kita berpisah. Dan aku tak ingin jumpa lagi dengan kau. Kaupun tak perlu lagi jumpa dengan diriku. Setelah perpisahan ini percayalah, mon ami, kita akan masuk ke jurang yang lebih sepi lagi".
Episode 9 Lalu Nina Papandreou tak berkata lagi. Dia telah pergi.
Dia telah pergi! Pergi untuk selama-lama-nya tanpa ketemu lagi denganku. Tetapi benar seperti yang dikatakannya: Aku dicekik sepi, berada di jurang sepi dalam kamarku ini, atau apabila aku melangkahi jalan-jalan rue, boule-vard, avenue, cafe, semua Kota besar Paris seperti menghimpit lagi kesepianku ini!
Dan kini di kamar hotelku, di sebuah sofa, aku harus mengakui, bahwa aku kesepian se-kali, butuh teman dan ditemani. Makanya aku berniat, besok sore aku harus berada di tempat kemarin dan kemarinnya lagi. Di avenue de l' Opera tak jauh dari toko "Ceremonia".
Dan memang besok sorenya aku telah ber-diri di sudut avenue de l'Opera, memandang ke toko mode itu, kalau-kalau berjumpa dengan perempuan bersepeda yang menyangka aku pe-muda Aljazairia.
Satu jam telah membikin lututku pegal ber-diri.
Kufikir perempuan yang kemarin itu takkan lagi datang. Aku berniat untuk pulang saja ke hotel. Biarlah mampus dikoyak-koyak sepi. Aku mulai melangkah lesu dengan putus asa, bahwa memang amat gila untuk menunggu pe-rempuan bersepeda kemarin itu. Sebaiknya aku menganggap angan-angan ini sebagai kegilaan seseorang yang kesepian ditanah asing. Lebih baik aku pulang dan menilpon Henri. Akan ku-katakan kepada Henri bahwa aku bersedia ber-kenalan dengan Simone Lundi. Lalu aku pacar--pacaran saja dengan Simone Lundi tanpa meng-hiraukan apa-apa, dan juga tanpa cinta, kecuali kepuasan dan kesenangan. Dan memang sebaiknya aku menuruti nasehat Henri bahwa perem-puan ibarat ikan betina dikolam tanpa menghargai lebih dari itu.
Tiba-tiba telingaku serasa mendengar suara di belakangku:
"Monsieur!" Aku menoleh. Seorang perempuan melang-kah ke arahku. Tanpa sepeda. Rambutnya pun lain dengan perempuan bersepeda kemarin dan kemarinnya. Gaun sorenya begitu indah, menari-nari ditiup angin. Dia melangkah pasti ke arahku.
"Nona yang memanggil saya"" tanyaku. "Benar, Monsieur", sahutnya canggung. Wajah gadis ini pucat sewaktu aku menentang pandangan matanya ketika aku menyalami-nya dan memperkenalkan namaku. Gerak-gerik-nya tidak lincah, sekalipun dia mencoba me-lincahkan diri dengan canggungnya. Dan aku sendiripun agak canggung memasukkan kedua tanganku ke dalam kantong jasku.
Seperti sudah bersetuju lebih dahulu, kaki-ku bersama-sama kakinya sama menapak melangkahi trotoir.
"Aku lupa namamu", kataku dalam bahasa Perancis. "Loraine", katanya ketawa kecil, "Loraine Debussy".
"O, ya. Loraine Debussy. Mirip sekali de-ngan nama seorang komponis. Apa aku
salah"" "Banyak yang berkata begitu memang. Seakan-akan kami semua keturunan komponis Debussy", katanya.
Kelincahannya yang semula dibuat-buat dengan canggung, kini berobah menjadi kelin-cahan yang sebenarnya.
"Mana sepedamu"" tanyaku.
"Sepeda"" "Ya. Sepeda. Bukankah kau kemarin dan kemarin dulu naik sepeda lalu masuk toko Ce-remonia di avenue de l'Opera, he""
Dia tercengang. Aku juga terheran-heran. Namun aku terus juga berjalan mendampingi-nya, dan menyeberang pada zebra-cross ke bou-levard seberang sana itu, lalu sekali-sekali mata-ku melirik lagi kepada Loraine, merasa seperti mengimpi. Fikirku, bukankah Loraine yang kemarin tiap sebentar menoleh dan kemarin dulu menyangka aku ini orang Aljazair adalah gadis yang disebelahku sekarang ini"
"Monsieur Ating", kata Loraine kemudian, sehingga aku menoleh.
"Ya"" "Kenapa anda bendiri saja di pojokan ave-nue itu selama sebulan ini"" tanyanya. "Sebulan"" tanyaku kaget.
"Ya" Anda telah kutandai selama sebulan berdiri di pojokan avenue de l'opera. Pada jam yang sama seperti tadi, pada sore hari, seperti ada yang engkau tunggu", katanya.
"Dan kau"" tanyaku menyelidik, "Dimana kau memperhatikan hal itu""
"Hanya beberapa langkah saja dibelakang tuan" kata Loraine.
"Beberapa langkah dibelakangku" Ha" Se-bulan lamanya kau melihatku b
Perempuan Paris Karya Motinggo Busye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
erdiri di situ tiap sore""
"Ya. Sebulan lamanya, seperti ada yang anda tunggu. Siapa yang anda tunggu"" tanya-nya sungguh-sungguh.
Aku masih merasa seperti mengimpi. Bu-kankah aku baru tiga hari berdiri di pojokan itu, dan bukan sebulan" Menurut pengakuan-nya tadi, sudah jelas bagiku sekarang gadis ini bukanlah yang naik bersepeda dan menyangka aku ini pemuda Aljazair. Tetapi memang betul juga, dalam berdiri dipojokan itu aku tidak memperhatikan siapa yang di belakangku, ter-masuk gadis ini, yang katanya beberapa langkah berdiri dibelakangku.
"Sebenarnya, sebelum di avenue de l'opera tadi, kita sudah pernah bertemu", kata Loraine.
"Kapan"" tanyaku ingin tahu lagi.
Episode 10 "Yang terakhir enam bulan yang lalu", katanya. "Dimana"" tanyaku.
"Di cafe seniman-seniman di Les Deux Magots. Ingat, monsieur" Ketika itu tengah malam, anda bersama gadis Paris berambut blonde itu, yang bernama Nina Papandreou""
"Benar. Benar. Nina Papandreou. Aku me-mang ada bersama Nina Papandreou enam bulan yang lalu di cafe Les Deux Magots pada malam hari. Coba anda teruskan, miss Loraine", kataku.
"Gadis itu menjadi pujaan setiap penyair muda di kota Paris ini sekarang", kata Loraine.
"Kenapa begitu" Apakah dia sekarang ini sudah menjadi aktris film" Atau primadona teater seperti yang pernah diangan-angankan-nya kepadaku""
Loraine Debussy tersenyum saja tak men-jawab.
Akupun tak ingin terlalu banyak mendesak kepadanya, karena sudah kapok terlalu banyak ingin tahu, akhirnya membosankan diri sendiri. Apalagi jika aku mengingat kembali, bahwa aku harus, harus, harus melupakan Nina Papan-dreou.
Ternyata jalan kaki bersama gadis Paris yang satu ini tak membosankan, sekalipun dari Avenue de l'Opera ini telah kami lewati Boulevard Haussmann Faubourg-Saint-Honore, masuk ke avenue Franklin Roosevelt.
Akhirnya, aku dan Loraine Debussy sudah terdampar di l'avenue des Champs-Elysees.
"Bagaimana kalau kita minum-minum dulu di restourant itu"" tanyaku kepada Lo-raine.
"Kau punya cukup uang"" tanya Loraine. Aku jadi tersinggung, lalu segera menja-wab: "Kau boleh memesan apa saja". Dan aku ketawa kecut.
Disini ada sebuah restaurant, Restaurant Brasserie di tepi trotoir. Bedanya dengan cafe Deux Magots karena dari restaurant ini kita bisa memandang panorama kota seluas mungkin. Dan meja serta korsi restaurant ini pun artistik sekali. Mejanya bundar-bundar, dan kalau ma-kan dan minum berdua, dua buah meja dirapat-kan. Tiap orang yang makan minum disini selalu menghadap jalanan. tidak ada yang me-munggunginya.
Dan aku dan Loraine sekarang sudah duduk bersama menghadapi dua meja bundar, meng-hadapi dua meja bundar, menghadapi jalan besar dan pohon-pohon yang sedang bermusim semi di di sepanjang avenue des Champs-Elysees. Banyak sekali mobil=mobil sedan diparkir di sepanjang avenue ini. Orang-orang berlalu lalang menghabiskan jam-jam sore.
"Nah", kataku mulai lagi, "Coba kau te-rangkan tentang Nina Papandreou. Melihat ge-lagatmu, kau tentu kenal dengan dia".
"Dia pujaan setiap penyair. Dia jadi gadis model para pelukis muda langganan cafe itu. Tentu tuan tahu apa pekerjaan dia yang sebe-narnya", kata Loraine meneguk minuman.
"Apa -", kataku dengan darah berdenyut, "Apa dia seorang pelacur barangkali"".
"Benar. Nina Papandreou seorang pelacur terhormat", kata Loraine. Wajahku berobah jadi pucat-pasi mendengarnya. Kupandang lagi Loraine.
Serwaktu memandangi Loraine itu, hatiku gemetar. Tetapi Loraine Debussy kelihatannya tenang-tenang saja sambil seteguk demi seteguk terus minum melihat hari mulai malam meng-gelapi avenue dan orang-orang berlalu-lalang masih tak jemu-jemunya lewat didepan kami. Namun aku masih ingin tahu banyak tentang Nina Papandreou seperti yang Loraine cerita-kan.
"Apa memang benar, Nina Papandreou pelacur terhormat"", tanyaku.
"Tidak banyak yang tahu tentang itu. Ha-nya tenman-temanku pclukis, penyair. pengarang nouvelle dan permahat patung menceritakan Nina seperti menceritakan seorang ratu", kata Loraine.
"Mengapa mereka memuja Nina setinggi itu""
"Dari Nina mereka seakan-akan menemu-kan hidup dan ilham", kata Loraine. Loraine menoleh kepadak
u yang masih ter-cengang.
"Pablo Picasso akan ketinggalan jaman apabila seorang mendengar Nina bercerita", kata Loraine.
Aku mulai bimbang, apakah Nina Papan-dreou yang diceritakan Loraine Debussy ini ada-kah Nina Papandreou yang pernah hinggap dalam hidupku beberapa hari, enam bulan yang silam itu!
"Kukira engkau salah lihat, Loraine! Nina Papandreou temanku itu barangkali bukanlah seperti yang kau sebut tadi, apalagi pujaan para penyair!"
"Ah, kau tak percaya, Monsieur Ating!", mengeluh Loraine, "Pernahkah tuan melihat majalah seni yang memuat sajak yang berjudul NINA PAPANDREOU, KESAYANGAN KRISTUS - pernah""
"Tidak", kataku.
"Rugi anda tidak membacanya!" seru Lo-raine, "Seseorang yang pernah bergaul dekat dengan Nina tak membaca sajak yang meng-gemparkan kota Paris itu""
"Memang rugi", kataku membenarkan
"Sungguh Nina gadis Paris yang ajaib. Pe-nyair Baudelaire pernah bersajak begini: Le vieux Paris n'est plus, La forme d'une ville change plus vite, helas! que le coeur d'un mortel- anda membaca Baudelaire, monsieur Ating""
Episode 11 "Pernah", kataku, "Justru karena karya-karya Baudelaire dan Honore de Balzac saya pergi dari Nederland ke Paris ini. Saya pernah membaca cerita pendek
Baudelaire tentang Pe-lawak Tua, Mainan Kanak-kanak dan..................apa lagi""
tanyaku menguji Loraine. Loraine menyahut: "Cerita pendek La Cor-de!"
"Benar. Kupuji kau begitu hafal dengan karya-karya besar seniman negerimu. Di negeri-ku jarang sekali ada gadis sebesarmu ini yang tahu karya-karya besar seniman mereka", kata-ku.
"Dimana negerimu, monsiuer Ating"" ta-nya Loraine. "Indonesia", kataku.
"Ou, Indonesia! Kukira anda seorang Cam-bodge!", kata Loraine.
"Memang ada juga nenek moyang kami berasal dan Kamboja. Dan orang Perancis tentu saja ingat kepada Kamboja, Vietnam, daripada Indonesia. Kaki serdadu Perancis tak pernah menginjak Indonesia", kataku.
"Memang peperangan dan penjajahan ha-rus diakhiri", kata Loraine.
Aku selalu heran selama dua tahun di Pa-ris ini. Di negeriku orang masih berbicara tentang seliter beras, pakaian pembagian dan kan-tor, uang masuk universitas, tanpa habis-habis-nya, tetapi di Paris ini kaum intelektuil pada umumnya berbicara tentang kemungkinan me-nyetop peperangan, mengakhiri penjajahan, juga tanpa habis-habisnya. Dalam bus kota mereka berbicara itu, di resturant universitaire orang berbicara itu, di Sorbone University juga orang berbicara itu, juga diteater, dan bahkan sewaktu aku duduk-duduk di ruang tamu kantor redaksi majalah Paris Matdh, di sinipun orang-orang berbicara tentang hal itu.
"Dimana kau sekolah, Loraine"", tanyaku. "Aku kuliah di Universite de Paris, di Fa-culte de Medicine. Kenapa anda bertanya tentang sekolahku"" tanya Loraine heran.
'Engkau mahasiswi fakultas kedokteran yang tahu segala soal", kataku sekedar untuk membuat senang, sekalipun memang aku kagum padanya yang terlalu banyak tahu tentang segala hal.
"Jadi apa yang kau tunggu selama ini di-pojokan avenue de l'opera itu, Loraine"" tanya-ku..
"Yang kutunggu adalah suatu keajaiban", kata Loraine.
"Keajaiban"" tanyaku heran, "Keajaiban yang bagaimana""
"Keajaiban mengenai sesuatu yang hilang, yang tak mungkin kita dapatkan lagi, namun masih kutunggu sepenuh harapan", kata Lo-raine.
Aku tak mengerti. "Seseorang"" tanyaku gementar. "Ya", kata Loraine.
"Seorang lelaki atau wanita"" tanyaku le-bih gemetar.
"Seorang lelaki", kata Loraine. "Oh", keluhku hambar. Loraine memandang kepadaku dengan se-nyumnya yang penuh kekanak-kanakan. Mata-nya yang biru itu seperti digenangi airmata yang takkan kunjung jatuh dari pematang-pelupuk matanya, dan, gadis Paris ini mengeluh:
"Buat apa juga kuharapkan Ron Saragat kembali kepadaku". "Ron Saragat lelaki yang kau cintai itu"" tanyaku. "Ya. Kucintai sepenuhnya". kata Loraine. "Apakah kekasihmu itu telah pergi dengan gadis lain" tanyaku. "Bukan", katanya. Nafasku menyentak kembali mendengar kebukanan ini. "Musim semi selalu indah buatku", kata Loraine tiba-tiba. 'Kenapa"" tanyaku.
"Karena musim semi macam begini dua tahun yang lalu aku dan Ron Saragat berjumpa pertama kali sebelum aku kuliah di
Faculte de Medicine. Ron adalah seorang penyair. Sebulan yang lalu ia datang kepadaku, dan berkata : Loraine, cinta kita putus hingga disini. Aku telah memikirkannya seribu kali, kemudian baru pasti, bahwa antara kita tidak ada cinta. Yang kita punyai hanyalah satu sama lain saling mau mengisi sepi, setelah itu kita tak membutuhkan lagi, dan kita sepi lagi, mencari teman lagi, kemudian bosan lagi. Dan seterusnya. Cinta itu absurd untuk dita'ati, demikian kata Ron Sara-gat kepadaku, monsieur Ating. Lama-lama ku-fikir benar. Dan kufikir anda berdiri di avenue juga menunggu seseorang untuk mengisi kesepi-an anda", kata Loraine, dan: "Bukannya be-gitu"". Pertanyaan itu seperti mengandung ke-benaran. Aku tersenyum mendengar pertanyaan Loraine, bahwa memang benar aku berdiri di avenue de I'opera itu menunggu perempuan ber-sepeda selama tiga sore, yang pada malam ini jelaslah buatku soalnya. Soalnya memang aku kepingin mengisi sepi di hati ini dengan berkenal-an dengan perempuan itu. Tetapi fikiranku yang sudah terlanjur kejeblos dengan penuh simpati tentu saja kecewa: Loraine mengharapkan Ron Saragat datang kembali kepadanya, dan dilihat-nya ada aku yang sudah sebulan berdiri tiap sore di situ, dan dipanggilnya aku, lalu kami berke-nalan, lalu kami sama-sama duduk di Restaurant Brasserieini. Bukankah Loraine hanya memper-alat diriku belaka untuk kebutuhan mengisi sepinya".
Kini kualihkan pertanyaan kepada Loraine:
"Sejak kapan Nina Papandreou itu menjadi pelacur""
Episode 12 "Kukira semenjak dia masih remaja", kata Loraine, yang membikin aku mendengus kaget.
"Zaman begini sudah jamak, monsieur. Nina Papandreou berkuliah, untuk mengisi pe-ngetahuannya, agar dia bisa bergaul dengan orang-orang elite. Tetapi Nina Papandreou ma-nusia ajaib. Dia melacur, kuliah, dan menemu-kan dirinya sebagai dewi fortuna di tengah-te-ngah seniman besar yang memujanya ibarat ratu", kata Loraine.
Loraine tersenyum hambar.
"Anda sudah membaca suratkabar pagi ini"" tanya Loraine.
"Belum", kataku, "Aku sejak pagi-pagi telah berjalan-jalan berkeliling kota menikmati pemandangan kota Paris, melihat-lihat L'arc de Triomphe de I'Etoile, La Tour Eiffel, La Cathe-drale Notre-Dame, L' Hotel des Inyalides, Se-perti turist yang baru datang layaknya, dan ke-mudian berjumpa dengan kau di avenue de I' Opera", kataku ketawa pahit.
"Kalau begitu anda belum mendengar, bahwa pagi tadi Nina Papandreou tewas secara absurd!"
"Dia tewas"" tanyaku sambil mau berdiri dari kursi.
"Ya. Kemarin orang-orang berbicara di cafe Les Deux Magots, bahwa Nina Papandreou diberi hadiah oleh seorang pengarang nouvelle, sebuah mobil balap Matra Sports, dan mobil balap itu kata orang dijalankannya terlalu ken-cang ke Fontainebleau. Tahu kau dimana Fon-tainebleau""
"Tahu", jawabku, "Sekira tigapuluh mil dari sini''.
"Ya. Tigapuluh mil dari sini Nina Papan-dreou menemui ajalnya, menubruk sebuah pohon, sewaktu dia akan melihat sebuah rumah yang dihadiahkan pengarang itu untuknya di-sana. Mati secara absurd, seperti matinya penga-rang Albert Camus, bukan"", tanya Loraine. Kepalaku puyeng. Terbayang olehku saat--saat yang mesra dengan Nina Papandreou serta akhir yang pahit yang telah kuperbuat, karena aku menolak kawin dengan dia. Kukatakan ke-pada Loraine:
"Mari kita jalan-jalan ke lain tempat. Atau kau ada keperluan lain untuk pulang"" tanya-ku.
"Aku membutuhkan teman saat ini, mon-sieur Ating", kata Loraine. "Kalau anda tak keberatan temanilah aku pada saat-saat begini".
Kami meninggalkan Restaurant Brasserie. Aku tak tahu lagi kemana kaki ini akan kulangkahkan setelah mendengar berita sedih ini.
Sambil melangkah terus pada malam musim semi yang berudara sejuk itu, dengan Loraine melangkah pula di sebelahku, aku hampir belum yakin, bahwa kematian Nina Papandreou begitu tragis. Kota Paris pernah heboh di bulan Juli sewaktu aku datang ke kota ini karena kematian bintang film Marilyn Monroe yang meminum obat tidur. Memang Nina papandreou bukanlah apa-apa untuk dibandingkan dengan miss Mon-roe, tetapi perasaan terkejut kota Paris adalah sama. Bagi pengunjung menara Eiffel selalu diawasi setia
p detik, kalau-kalau ada yang bu-nuh diri. Terutama bila telah diumumkan hasil ujian akhir sekolah-sekolah menengah, menara Eiffel mendapat penjagaan polisi yang lebih kuat, seperti juga dipantai-pantai dan jembatan--jembatan.
Aku pun tetap beranggapan, bahwa Nina Papandreou matinya bunuh diri. Karena itu, waktu kami duduk-duduk di tepi kolam Le Centre Jean-Saraih pada akhirnya, akupun bertanya kepada gadis Paris ini yang sedang me-rendam-rendam kakinya pada kolam: "Loraine, menurut hematmu, Nina Papandreou mati bu-nuh diri dengan sengaja menubruk pohon""
"Kukira begitu", kata Loraine.
"Apa sebabnya""
"Kata teman-teman yang tadi siang mema-kamkan dia, Nina Papandreou mati akibat sen-sasi si pengarang nouvelle. Pengarang nouvelle itu berkata kepada Nina Setelah kau dapat uang, rumah, mobil balap, apakah yang akan kau kejar lagi selain kematian" Nina Papan-dreou sedih sekali dengan senda gurau itu. Dia kepingin dikurung di rumah yang dihadiahkan itu, dikurung oleh kekecewaannya, karena pe-ngarang nouvelle itu tidak mau mengawininya".
"Kenapa"" tanyaku.
"Karena penyair-penyair menyatakan tidak setuju. Jika Nina Papandreou kawin dengan sa-lah seorang dari mereka itu berarti turunnya Nina Papandreou dari takhta pujaan. Nina Pa-pandreou akan abadi jika tak kawin dengan siapapun. Orang yang dipuja akan abadi jika tidak kawin-kawin, karena orang yang dipuja milik semua pemujanya", kata Loraine menge-luh, "Begitulah senda gurau para penyair
itu". Mataku menatap patung dua ekor kuda yang seakan-akan meringkik yang berdiri di te-ngah kolam bunder Jean-Saraih itu. Kalau ke-nyataan benar, bunuh diri memanglah sebuah masalah pada abad ini, akibat peperangan, di-mana ummat manusia kehilangan wataknya, seperti Nina Papandreou pernah menyatakan padaku di suatu malam. Manusia membutuhkan teman dalam kesepian, itu benar, seperti kekasih gadis yang kini bersama denganku pernah me-nyatakannya. Dan sewaktu Loraine berkata kepadaku untuk ditemani malam ini, akupun merasakan, bahwa Loraine pun pada saat-saat dan detik-detik begini diburu oleh ketakutan akan bunuh diri setelah kabar sedih pagi tadi yang dibacanya. Dan aku sendiri pun pernah memikirkan juga jauh sebelumnya, sewaktu aku semakin merasa diamuk sepi enam bulan bela-kangan ini.
Tiba-tiba Loraine bertanya: "Apakah kau di Indonesia telah punya isteri atau kekasih, monsieur Ating""
Pertanyaan itu sungguh-sungguh mengejut-kan dan menyesakkan nafasku.
Sungguh sulit bagi seorang lelaki - apalagi lelaki sepertiku ini - bila ditanya apakah sudah punya isteri atau kekasih. Pertanyaan gadis Paris ini bukan hal yang aneh bagiku lagi. Ka-rena sewaktu di Nederland aku sendiri pun per-nah juga ditanyakan begitu oleh gadis seaka-demi, atau, aku sendiripun pernah bertanya pa-da teman seakademi apakah dia sudah punya pacar atau calon suami.
Namun tiap seseorang menanyakan hal itu kepadaku, sungguh aku tak senang untuk men-jawabnya. Dan gadis Paris inipun rupanya me-ngerti bahwa aku tak menyukai pertanyaannya, sehingga Loraine tersenyum dengan senyum yang dibuat-buat. Loraine segera mengenakan sepatunya dan berdiri.
Kami tinggalkan kolam taman Jean-Sar-railh.
Setapak demi setapak kami berjalan tanpa berkata-kata. Kemudian naik bus. Kemudjan, jalan lagi. Aku 'juga heran, mengapa akupun enggan untuk berkata-kata lagi. Dan akupun heran mengapa Loraine Debussy juga membisu saja.
Episode 13 Kebisuan Loraine membikin hatiku dihim-pit sepi. Baru setibanya kami di sebuah jembatan antik, yang digemerlapi oleh lampu-lampu kuno, dan diantara dua terowongan berdiri tugu kecil dengan patung kuda-terbang, aku merasa ada alasan untuk bertanya "Patung siapa itu""
Loraine menjawab "Patung Alexandre III".
"Oh", sahutku puas, "Jadi yang duduk memegang pedang dibawah kuda terbang itulah Alexandre III itu".
"Ya", sahutnya.
"Kalau begitu kita naik tangga itu, lalu jalan di jembatan itu nanti, melihat kapal-kapal mengapung di sungai Seine", kataku.
"Boleh", sahut Loraine dengan pendek. Kami menunggu dahulu mobil-mobil me-nyepi yang melintasi dua terowongan itu. Baru kemudian kami nyeberang, dan kupegangi tela-pak tangan Lo
raine sewaktu kaki kami melang-kah-langkahi tangga-tangga. Telapak tanganku yang memegangi telapak tangannya belum juga kulepaskan sewaktu kami berjalan bersama--sama menepi jembatan kuno ini. Trotoir jem-batan ini lebar sekali. Telapak tangan Loraine masih dalam telapak tanganku. Kami berhenti melangkah karena memergoki sepasang muda--mudi sedang berciuman di bawah lampu. Untuk menutupi kekosongan, aku menunjuk ke kejauhan, bertanya:
"Itu apa Miss Loraine""
"Itu 'kan menara Cathedrale Notre-Dame"", katanya.
"Alangkah enaknya melihat pemandagan malam musim semi begini".
"Indah sekali", kata Loraine, "Seindah puisi"
Baru kutahu, Loraine akan bangun bila aku berkata-kata sepatah dua yang cukup sentimen-til. Padahal aku sudah lama bermusuhan dengan sentimentalitas palsu. Namun untuk kepentingan persahabatan dan kepentingan saling mengisi sepi, akupun berkata pada Loraine:
"Maukah kau mendengarkan sebuah sajak yang kudeklamasikan"" Disini dugaanku tepat sekali. Loraine mengusik kelepak jasku, dan mendesak:
"Bacakanlah sebuah sajak yang kau sukai. Aku suka sekali akan puisi".
"Tetapi jangan kau tertawakan bahasa Pe-rancisku yang konyol", kataku mengajuk.
Loraine tertawa. Matanya gemerlap. Sen-tuhan mengenai batu-hatinya. Telapak tangan-ku dua-duanya kudekapkan pada lehernya sam-bil memperbaiki mantel jaketnya. Kutarik nafas dalam-dalam seperti siap dengan gugup, dan dia tersenyum. Aku mulai berdeklamasi dalam bahasa Perancis:
"C'est la cite sur toutes couronnee, Fontaine et puits de science et de clergie, Dc tous les biens de ceste mortelle vie A - A A -", dan akupun berlagak ingat-ingat lupa, sehingga dengan tersenyum mencubit pipiku kuat-kuat dia menolong kelupaan itu:
"A plus qu'autres cites n'ont.
ATuit etrangier l'aiment et ameront!"
Sambil saling meremas telapak tanganku berduaan melangkah terus pada trotoir jembatan kuno ini, dan, di bawah kami sungai seine hanyut sendiri menuju muara.
Malam musim semi itu sangat berkesan bagiku. Dan aku tak tahu apakah Loraine tidak merasa lelah begitu banyak kali berjalan kaki sekalipun sekali-sekali diseling naik auto dan metro. Namun, sewaktu kutawarkan padanya agar dia sudi kuantarkan pulang rumahnya, dia tidak bersedia.
"Kenapa"" tanyaku.
"Karena seperti kukatakan di dalam tadi, bahwa aku tak ingin kau mengetahui mana rumahku", kata Loraine.
Alangkah gondoknya aku! "Kapan kita bisa bertemu lagi"" tanyaku mendesak Loraine tersenyum. "Besok"" tanyaku lagi.
"Lebih baik seminggu lagi baru kita her-temu lagi", katanya.
Betapa dongkolnya aku mendengarnya.
"Dimana"" desakku karena dia telah naik ke microbus
Episode 14 "Di avenue des Champs-Elysees. Dibawah pohon", katanya.
Dan microbus itu pun sudah berjalan pula! Padahal aku masih ingin bertanya dibawah po-hon yang mana. Gondok sekali aku kepada sopir bus itu. Gondok sekali ! Begitu banyak pohon--pohon di avenue des Champs-Elisees, di bawah pohon yang manakah harus kucari dia. Aku berjalan beberapa langkah. Lututku mulai pegal. Heran, dengan Loraine tak terasa pegal. Me-mang lutut ini manja tanpa seorang gadis dise-belahnya! Kukeluarkan dompet. Kuperiksa ma-sih berapa uangku dalam dompet. Nyatanya masih bersisa F. 809,70. Kumasukkan semua uang itu kedalam dompet tetapi kemudian ku-keluarkan lagi F 5,80 untuk membeli dua bung-kus rokok Newport, karena aku pasti bahwa malam ini aku tak bisa tidur dan perlu ditemani oleh dua bungkus Newport.
Dan memang, malam itu aku tak bisa tidur, sekalipun sudah penuh asbak dengan 37 batang rokok. Aku masih saja teringat kepada Loraine, yang tak mau menyebutkan alamat rumahnya. Ketika tiba-tiba teringat olehku bahwa dia pernah mencintai seorang yang bernama Ron Sa-ragat, aku menggaruk-garuk kepala, sambil membayangkan apakah Ron Saragat itu jauh lebih ganteng daripadaku. Biarpun Loraine bilang, bahwa Ron Saragat. sudah menghabisi cintanya sebulan yang lalu, aku khawatir pe-muda ini muncul kembali mengisi sepinya hati Loraine.
Masih ada waktu seminggu untuk ber-temu dengan Loraine. Untuk mencam-pakkan angan-angan yang tidak-tidak, waktu seminggu ini harus kuisi dengan bekerja keras. Untuk ini kuperluk
an sahabatku Henri, seorang yang sangat berjasa dalam menemu-kan nafkah untuk hidup di kota besar, yang merupakan tanah asing buatku. Henri memang orang baik. Anak Perancis yang usianya jauh lebih muda daripadaku ini mulai bersahabat semasa masih di Nederland. Henri ini pula yang menyeret diriku ini ke Paris. Mulanya aku ce-mas. Apalah artinya kepandaian dalam bidang grafika untuk kota besar Paris, fikirku semula.
Tapi Henri mendorongku untuk membuat sis-tim grafika bergaya batik dengan motif-motif Bali, Sulawesi, Sumatra dan Gamelan Jawa diatas kain. Henri kemudian yang melempar barang-barang yang buatku bukanlah bernilai seni ini tetapi hanya untuk kebutuhan hidup. Tetapi kami berdua sukses. Henri dapat bagian sepuluh persen dari pendapatanku. Dan sejak itu ia menganggap aku ini orang yang gampang kaya. Delapan bulan yang lalu malahan aku ma-sih punya sebuah mobil sport Peugeot tetapi kemudian kujual dalam keadaan baru lagi, ka-rena aku membutuhkan alat-alat yang lebih pro-duktif lagi. Memang apa perlunya aku membeli mobil sports Peugeot itu! Dinegeriku begitu banyak orang-orang berduit yang gandrung membeli mobil sedan. Padahal mobil sedan tidak produktif sedikitpun, hanya akan membikin ramai jalan-jalan raya belaka. Paris - dan ter-utama Henri sahabatku - banyak memberikan pelajaran kepadaku, sehingga aku mengakui kebenaran pendapatnya.
"Kita hidup di jaman modern, bung. Mobil apapun bisa engkau beli bila kau telah mampu mempunyai alat yang produktif", nasehat Henri dahulu, yang ternyata ada benarnya.
Dari penjualan mobil itu aku bersama Henri berhasil membeli pelbagai alat untuk membuat barang-barang keramik. Ilham mem-buat barang keramik ini karena kejengkelanku ditolak melamar bekerja di surat kabar dan juga ditolak melamar bekerja di majalah Paris Match. Lowongan sudah terisi, sedangkan aku sudah muak membikin industri pekerjaan tangan be-rupa batik-batik kecil untuk souvenier. Dalam pusingnya kepala itulah, delapan bulan yang lalu aku dan Henri berjalan-jalan keluar kota Paris.
"Bawa aku ke kota yang segar, Henri", kataku mengeluh, "Aku sudah bosan hidup ini hanya mengisi perut. Aku butuh rekreasi lain."
"Mari kita ke pantai Sables d'Olonne. Kita bisa menghirup laut Atlantik, main-main di pan-tai. Siapa tahu ketemu perempuan, kita pancing di pinggir laut", kata Henri.
"Bukan itu. Lagi pula sekarang ini masih musim rontok. Ada baiknya menyegarkan otak melihat kota-kota lama", kataku.
"Fontainebleau tempatnya!", kata Henri, "Kota itu kota bersejarah, hanya 30 mil dari paris ini".
Pada hari itu juga, kami berdua naik diatas mobil sport Peugeotku yang baru menuju Fon-tainebleau. Sungguh, sebuah chateau yang me-ngagumkan ! Kota ini dibangun dulunya oleh King Francis Pertama di tengah hutan rimba. Sepuas hati, kami berdua melihat musium yang berisi barang-barang kuno dan lukisan-lukisan lama. Tetapi aku lebih tertarik kepada keramik berbentuk teko, cangkir dan hiasan dinding. Di-sini kami bertemu dengan perempuan-perempu-an cantik yang ramah. Tetapi fikiranku seko-nyong melayang untuk membikin keramik--keramik wayang Jawa dan patung-patung Bali, Borobudur, Mendut, rumah Minangkabau, o, rasanya semua tercurah dari kepala. Seakan di kota Fontainebleau ini malaikat baik membi-sikkan ke telingaku. Dari kota inilah aku dengar dari seorang tua, bahwa di sebelah timur, hanya sekira sepuluh mil saja dari kota tua ini, ada sebuah kota bernama Montereau. Di kota itu ada fabrik gelas dan keramik. Aku dan Henri segera menekan gas Peugeot untuk segera sam-pai ke kota itu. Dan memang benar, kota kecil ini kemudian menampung semua ilham-ilham-ku. Dari kota kecil inilah mengalir hasil-hasil pekerjaanku. Aku dan Henri sibuk membikin cetakannya di Paris, dan di kota ini segala ce-takan-cetakan itu dituang menjadi barang ke-ramik. Hasil pekerjaanku kulihat bertebar di rue de la Paix, Rue Royale, Faubourg-Saint -Honore, dipajang di etalage-etalage toko besar di kota Paris kami!
Selama enam bulan belakangan inilah segala kemampuanku jadi mundur, gara-gara kena hantam kata-kata pedas Nina Papandreou di ma-lam terakhir itu "Sekarang saat be
rpisah. Se-telah berpisah ini, kau dan aku akan sama ke-jeblos dalam jurang sepi yang lebih mengeri-kan".
Tetapi kini itu sudah berlaku lagi. Jalan--jalan bersama Loraine tadi malam, sekalipun baru tidur pada waktu subuh, membuatku ba-ngun pagi ini dengan perasaan segar. Rupanya dua kali telpon berbunyi selama aku tidur tiga jam setelah dinihari itu. Dan kini telpon di ka-marku berdering lagi. Udara lembab pagi-pagi pada musim semi begini, membikin kakiku malas untuk bangun. Dengan telapak kakiku dua--duanya, kukepit telpon, dan kemudian baru aku menerima telpon itu dari tempat tidur.
"Aku telah menduga, kau itu Henri", kata-ku.
"Memang. Kau terlalu kenal dengan suara-ku. Sejak kemarin pagi aku menelponmu. Ada kabar penting yang perlu kau dengar. Kau harus dengar ini empat mata", kata Henri di telpon.
"Aku sudah tahu. Kau mau bicara empat mata supaya aku tidak jatuh pingsan mendengar kematian Nina Papandreou kemarin, bukan""
"Helas%%%!", Henri berseru ditelpon, "Rupa-nya kau sudah tahu".
"Sekarang lupakan Nina Papandreou. Mungkin dia telah di sorga kini. Sebaiknya kita yang masih di neraka kota Paris ini perlu memi-kirkan yang lain. He, kau tahu, tadi malam aku berduaan dengan gadis yang bernama X ..."
Episode 15 "Siapa gadis X itu" Sebutkan namanya, dan aku tahu kalibernya", kata Henri.
"Tak usah banyak tanya", kataku ketawa, "Kita dalam lima hari ini harus menyiapkan cetakan keramik baru. Kau telpon supaya Mon-tereau menyediakan sekarung uang buat kita. Datanglah ke tempatku, kemudian kita kerja keras lima hari lima malam, ngerti""
"Tapi sebutkan o, mon pere, nama, gadis-mu itu", kata Henri.
Aku tidak perduli selama lima hari itu sa-habatku Henri mendesak siapakah nama gadis-ku itu. Henri jengkel juga.
"Akan kubuat iklan di surat kabar Le Figaro atau kuperiksa setiap campus mahasiswi, se-kalipun di campus Le Source di Orleans letak-nya ! ", Henri mulai melawak lagi.
"Kenapa kali ini kau begitu antusias bertanya"" tanyaku ketawa.
"Aku khawatir yang engkau pacari malah kekasihku", kata Henri.
"Gadis itu tidak kenal kau", kataku.
"Sial", gerutu Henri.
"Dia hanya suka puisi", kataku.
"Sial lagi. Aku hanya suka komisi 10%. Bukan puisi", kata Henri.
Pada pagi hari di hari kelima itu, aku dan Henri amat gembira sekali. Siang harinya, Henri melihat semuanya sudah beres, sudah dipak de-ngan baik.
"Sekarang apa lagi komentar d'Indone-sie"" tanya Henri membungkuk hormat dengan maksud masih melawak.
"Cari sebuah truck. Carter. Dan ingat sopirnya jangan sopir Itali", kataku.
Henri sudah sejam lebih kutunggu, belum juga kembali. Ia suka mengobrol dan kalau ngo-brol lupa waktu. Terkadang dengan sopir juga suka mengobrol: Ia sebenarnya lebih tepat men-jadi orang Italia atau Amerika daripada orang Perancis.
Sejenak waktu aku menggerutu sendirian, telpon berdering. Kufikir Henri tentu berteng-kar lagi dengan para sopir soal beaya carter.
"Siapa itu", jengkel aku menyahut.
Tetapi yang kudengar kemudian suara pe-rempuan. Aku tahu, ini tentu ulah lawakan Hen-ri lagi. Sering ia menelponku memakai suara perempuan, sekedar mengganggu.
"Siapa ini"" tanyaku lembut.
"Aku. Kau telah lupa suaraku. Cuma lima hari saja lupa"" "O. Tentu kau ini, Loraine", kataku. "Di-mana kau kini""
"Pada saat ini aku berada di Vemon", katanya.
"Vemon"", tanyaku kaget. "Bukankah Vemon itu nama sebuah tempat dalam sebuah roman karangan Emile Zola""
'Ya", menyahut Loraine, "Kau tak salah sebut. Kota ini tetap seperti zaman Emile Zola menulis romannya Therese Raquin".
"O, baru kuingat sekarang, manisku!" kataku berteriak senang, "Kota Vemon terletak di tepi sungai Seine. Dalam karangan Zola dise-butkan Madame Raquin punya anak seorang lelaki yang bernama Camile, seorang pemuda penyakitan. LaIu Camile ini kawin dengan The-rese, bukan"", aku memancing tanya.
"Betul", sahut Loraine di telpon dalam suara pecah, "Dan Therese ini, setelah kawin dengan Camille, lalu pindah ke Passage Du Ponat-Neuf, bukan""
"Ya", sahutku, "Dan muncullah seorang lelaki yang bernama Laurent".
"Laurent adalah pelukis", menyahut lagi Loraine.
"Ia gagah, jantan, dan nakal", kataku me-nambahi.
"Dan kemudian pelukis Laurent ini mencium Therese sewaktu dilukis di loteng toko", kata Loraine ketawa mengikik.
Ternyata gadis yang menelponku ini nakal juga, fikirku sejenak membiarkan ketawa Lo-raine ditelpon itu habis. Kalau aku tahu dia genit dan gatal begini, sudah kucium dia sewak-tu di taman Jean-Saraih atau di jembatan Alexan-dre-III dulu malam! O, bodohnya aku.
Hallo! ", seru Loraine lagi memekaki te-lingaku.
"Ya"" "Adakah anda ingat, monsieur Ating, bah-wa Therese dan Laurent itu menyeleweng"", tanya Loraine, membikin aku geregetan.
"Sewaktu suaminya Camille ke kantor"" pancingku.
"Ya. Laurent membolos. Dan Laurent me-nemui Therese", seru Loraine.
"Pelukis itu naik jendela menuju kamar Therese", kataku.
"Mertuanya mengetuk pintu", kata Lo-raine.
Episode 16 "Dan pelukis jahanam itu melompat, sem-bunyi di bawah tempat tidur", kataku menam-bahi.
"Memang Emile Zola pengarang yang na-turalistis. Masih ada lagi tambahannya", kata Loraine.
"Apa"", tanyaku ingin tahu.
"Rupanya ada yang menyaksikan kejadian itu. Yaitu kucing-turki. Ingat kau masih"" ta-nya Loraine lagi.
"Ingat", kataku.
Kudengar dalam telpon itu Loraine ketawa terbahak. T.etapi apa yang disebutkan Loraine sebentar ini menghempaskan semangatku se-ketika. Teringat olehku cerita Nina Papandreou pada malam terakhir dulu itu. Nina bercerita, bahwa ia ibarat seekor kucing turki sewaktu me-nyaksikan dengan mata kepala sendiri bagai-mana ibunya bergumul dengan seorang lelaki yang tak dikenal, yang kemudian menjadi ayah tirinya!
"Kenapa kau diam" Kau bosan"", tanya Loraine yang merenggutkan ingatanku lagi ter-hadap kenangan yang barusan melintas kepada Nina.
"Kau lagi apa di Vemon"" tanyaku.
"Menemani bibiku", kata Loraine.
"Siapa nama bibimu"", tanyaku.
"Bibiku bernama Myriam".
"Cantik"" tanyaku.
Kudengar suara bisik-bisik Loraine dengan wanita lainnya ditelpon itu. Rupanya Loraine lupa menutup mic teleponnya.
"Bibi Myriam juga kesepian. Makanya aku menemaninya", terdengar kemudian suara Lo-raine lagi.
"Bolehkah aku ke Vemon"" tanyaku me-ngusik.
"Ou, jangan, jangan, monsieur Ating", segera Loraine menyahut.
"Ah, jangan kau menyebut monsieur lagi kepadaku. Sebut saja mon ami begitu"", aku mulai menyerangnya dengan ajuk-ajukan.
"Gila kau, monsieur Ating. Bukankah kita bersahabat karena sama-sama kesepian" Keka-sihku tetap Ron Saragat, bukan"", kata-kata Loraine ini membuat telingaku hangat pada waktu menempel di tilpon, dan menyesal aku menganjurkan yang tidak-tidak kepadanya. Untuk menutupi sesalku, akupun menguatkan daya suaraku ini kemudian!
"Ingat janji dua hari lagi di avenue des Champs-Elisees""
"O, tentu ingat, mon petit. Aku menunggu-mu di bawah pohon", kata Loraine lagi, lalu menutup telpon sebelum aku bicara lagi.
Alangkah pandainya Loraine menutup til-pon, tepat ketika aku sedang ketagihan mau bicara lagi. Lalu kutarok telpon, dan meman-dangi peti-peti yang mau dibawa
ke Montereau sebentar lagi. Kucoba menerka, kapan kira--kira gadis genit ini dilahirkan. Kuduga Loraine lahir baru pada tahun 1947. Dia memang masih gadis yang sedang marak remaja, dan kufikir, agak berbahaya juga mau mengisi kesepian de-ngan gadis-gadis yang sedang gatal-gatalnya begini, malah lebih berbahaya daripada ber-teman dengan seorang janda yang haus seperti kulakukan ketika di Nederland, yang, menemui kegagalan.
Ya, memang, fikirku, Loraine setidaknya lahir disekitar tahun 1947. Padahal, pada tahun itu, biarpun aku masih berumur 16 tahun, aku sedang memegang senjata, sebagai pejuang Tentara Pelajar dan melayani serangan musuh di Gundih, tak jauh dari Solo! Fikirku lagi, betapa besar perbedaan umurku dengan Lo-raine. Tetapi kali ini tekadku untuk menjerat gadis Paris yang satu ini sudah begitu kukuh, dan tiba-tiba, otakku sempat berkhayal untuk membeli sebuah mobil sport yang agak lumayan, agar aku bisa berhubungan dengan serious de-ngan Loraine.
Khayalku pada siang hari di kamar hotel-ku itu, pada akhirnya aku laksanakan juga pada esok sorenya Aku membeli sebuah sedan merk Simca. Dan aku membelinya kali ini tanpa sa-habatku, Henri. Karena aku cemas kalau-kalau Henri menghalangi l
agi maksudku, sebab waktu hal itu aku kemukakan di Montereau, Henri sama sekali tidak setuju!
Dan, hari yang dijanjikan itu datanglah pada esoknya. Sore itu udara musim semi lebih lembab dari seminggu yang lalu. Pelan-pelan Simca kujalankan menuju avenue des Champ- Elyseees. Untuk menggampangkan mata, aku memparkir mobilku dekat pohon-pohon yang berjajar tinggi-tinggi di avenue.
Aku masih duduk di belakang stir. Mataku mencari-cari Loraine. Tetapi tidak kulihat se-orang gadis pun berdiri di bawah setiap pohon yang satu demi satu kupandangi. Aku khawatir teenager Perancis ini membohongiku ! Lalu aku keluar dari mobil. Dengan jengkel kubenahi jasku sejenak, kemudian berjalan tersandung--sandung di sela manusia-manusia pejalan sore di sekitar avenue, dengan mata liar mencari-cari dibawah pohon manakah Loraine berdiri.
Tiba-tiba kudengar: "Hei!"
Sebelum aku menoleh tapak-tapak sepatu berlari ke arahku mencapai anak telingaku, dan, memang Loraine berlari-lari ke arahku dengan mantel bulunya. Betapa mahalnya mantel bulu itu. Setidak-tidaknya seharga 1500 US dollar, fikirku. Tanpa kekayaan, tak mungkin gadis Paris mau memakai mantel yang hanya bisa ter-beli oleh bintang film semacam Brigitte Bardot atau Sophia Loren atau Elizabeth Taylor, fikirku.
"Maaf", kata Loraine Debussy, "Aku tak menunggu anda di bawah pohon. Tetapi akulah yang menegur engkau lebih dulu bukan" Jadi kau jangan marah !"
'Darimana kau melihatku"" tanyaku.
"Dari mobil", katanya ketawa lirih, "Oya, terpaksa kubawa mobilku itu", katanya kemu-dian sambil menunjuk sebuah Mercedes Benz 2300 berwarna hati-ayam. O, fikirku, memang benar juga dugaanku setelah melihat mantel bulu yang mahal itu ! Orang Perancis pada umumnya orang yang sederhana sekalipun ber-duit banyak. Dan mereka lebih suka membeli sedan semacam Citroen, Simca seperti kupunya, atau Panhard. Dan bila mereka punyai sedan bikinan Jerman, setidak-tidaknya keluarga Lo-raine adalah keluarga kaya, atau sisa kaum bangsawan Perancis yang
bisa menyesuaikan diri dengan zaman. Dan percuma saja aku ber-lagak aristokrat jika aku hanya punya sedan Simca yang tak berarti itu dibanding dengan mobil yang ditunjuk Loraine tadi.
Episode 17 Namun aku pun masih berbangga: "Liat, akupun membawa mobilku!".
"Hei", seru Loraine berlari-lari kearah Simca yang kuparkir ditepi, "Masih baru kira-nya !".
"Masih baru", kataku bangga.
"Kau beli sendiri"" tanya Loraine terlepas, tak percaya agaknya. "Kubeli sendiri", kataku.
"Kalau begitu kau ini anak bangsawan kaya juga! Di Bank mana engkau tanam modalmu, he""
Aku senyum. "Kenapa senyum" Kalau kau banyak uang, kau bikinlah Family Theatre. Aku kepingin se-kali membintangi sebuah cerita sandiwara", kata Loraine.
"Modalku kutanam di bagasi Simca itu", kataku ketawa, menghibur diri sendiri, menga-tasi perasaan rendah diri yang kubawa sejak sampai di tanah asing ini!
"Jadi bagaimana caranya kita jalan-jalan sore ini untuk sama mengisi sepi"" tanyaku kemudian.
"Gampang", kata Loraine. "Kau tunggu saja dimobilku. Aku lebih suka dalam mobilmu, karena lebih sempit dan kecil. Udara pun lem-bab", dan gadis itu melangkah tergesa-gesa ke seberang jalanan. Rupanya ia pergi ke sebuah restaurant dan meminjam telpon. Entah kepada siapa Loraine menelpon. Tak lama kemudian, dari balik kaca mobilku yang harganya tak mahal ini, aku melihat loraine menuju ke arahku.
Lalu kubuka pintu baginya, dan dia duduk di sebelahku. "Bagaimana dengan Mercedes Benzmu"", tanyaku.
"Ah itu perkara gampang. Sebentar lagi sopir pamanku akan mengambilnya. Kita terus saja berangkat sekarang. Sesukamu mencari tempat, asal tempat yang mesra untuk mengisi dua makhluk yang kesepian", kata Loraine, yang membikin darah jantanku mengental se-telah mendengar kata-katanya yang begitu be-rani.
"Apakah sesuatu yang mesra itu bahagia"" tanyaku sewaktu akan memasuki daerah Mont-martre yang terkenal sebagai daerah seniman itu.
"Belum tentu. Tetapi bahagia itu ditemu-kan di atas panggung, ketika seseorang bersan-diwara. Bahagia akhirnya adalah pura-pura, seperti kita tertawa dalam telpon, berduaan di mobil begini. Tetapi beginipun lebih
baik dari-pada membenci", kata Loraine kemudian.
'Apakah kau senang membenci kekasih-mu Ron Saragat"", tanyaku.
"O, tentu tidak", kata Loraine. "Cinta tak mengenal benci". Aku menyesal telah ber-tanya begitu kepada gadis ini.
Aku terkadang membuat ucapan yang tidak-tidak kepada seorang gadis, yang pada akhir-nya merugikan diriku sendiri. Seperti terhadap Loraine, yang sudah terang-terangan menyata-kan kepadaku bahwa dia masih merasa kekasih Ron Saragat, mengapa harus pula kutanyakan kepadanya apakah dia sekarang telah benci ke-pada pemuda yang meninggalkannya. Akibat-nya, aku terdampar dalam perasaan sedih. Te-tapi kali ini aku seakan bangkit dan terjelapak begitu, lalu hatiku bangun dengan perkasa, dan berkata tegas kepada Loraine:
"Bagaimana kalau kita parkir mobil di -pinggir""
"Buat apa lagi"" tanya Loraine.
"Kuharap kau mau", kataku.
"Untuk apa""
"Aku ingin ke La place du Tertre", kata-ku.
Mataku menatapnya dengan tajam. Dia tersenyum lirih, katanya "Kau seperti marah setelah kubilang aku tidak benci kepada Ron Saragat".
"Memang aku marah", kataku kemudian mengerem, dan kemudian cepat mematikan mesin, dan membuka pintu, serta mempersilahkan Loraine keluar dengan tetap mempertahankan sifat gallantry seorang lelaki gentleman.
Kukepit lengan Loraine menuju ke La Place du Tertre yang berada di tengah-tengah Mont-martre. Disini banyak sekali restaurant yang me-makai tenda, mengingatkan kepada penjual-penjual sate di Jalan Blora semasa aku belum meninggalkan tanah air, bersama-sama Sutijah, kalau kepingin makan sate tengah malam!
Disinipun banyak pemudik gelandangan dan pelukis-pelukis yang mencari model ketika orang sedang makan dan minum. Terutama wanita adalah inceran pelukis-pelukis kilat ini.
Ketika kugandeng Loraine mau mencari minuman di tenda-tenda itu, ada seorang men-cuil lenganku. Katanya, "Monsieur, bolehkah aku melukis kekasih tuan""
Loraine ketawa: "Dimana engkau menge-tahui aku ini kekasih tuanmu ini, he pelukis ""
"Dari cara seorang lelaki menggandeng, madamoseille", sahut pelukis cepat kilat
itu. Episode 18
Perempuan Paris Karya Motinggo Busye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cobalah kau berdiri untuk dilukisnya", perintahku pada gadis Paris ini.
"Terlalu pegal berdiri dilukis. Malam dulu jalan kaki terlalu capek sekali, Ating", katanya merengek manja.
"Mari sini bung pelukis", kataku mengajak pelukis itu. "Bung boleh melukis kekasih saya ini nanti sewaktu kami minum-minum. Bung sedia ""
Pelukis cepat itu gembira sekali. Aku he-ran, watak yang bagaimanakah yang dipunyai oleh Loraine Debussy ini ! Kebanyakan orang tak sampai hati menolak ajakan para pelukis cepat di daerah La Place du Tertre ini! Dan yang lebih mengherankan lagi, Loraine seperti ber-wajah cemberut saja sewaktu dilukis itu. Sketsa itu dalam lima menit telah selesai. Dan aku menghargai pelukis cepat itu sekalipun dengan 25 francs saja, karena sketsa Loraine begitu mirip sekali.
Entah dibikin-bikin, entah tidak, kulihat Loraine angkuh sekali sikapnya pada senja ini. Skets pelukis cepat itu dikembalikannya ke-padaku sambil berkata:
"Aku lebih suka kepada Fernand Leger, pelukis modern daripada pelukis picisan begini".
"Kau hanya seorang snobist", kataku se-ngaja menyinggung perasaannya ketika itu juga, "Kalau seorang pelukis sedang harum, banyak dibikin resensi dan dibicarakan dimana-mana, kau anggap baik".
Loraine terdiam beku oleh kata-kataku. Aku berusaha untuk tidak merasa menyesali kata-kataku itu. Kulihat wajah Loraine berobah seketika. Memang teenager ini perlu diajar.
"Orang berbicara dan mengagumi Beck-mann, Emil Nolde, kau ikut memuja", kataku lagi. Teenager ini perlu dijewer, fikirku lagi.
"Bagimu kesenian untuk makan melulu", kata Loraine.
Kali ini gadis Paris ini telah membalasku dengan tepat. Aku terdiam. Aku hanya dipesona oleh perjuangan mati-matian sang pelukis cepat tadi, perjuangan untuk sesuap nasi, dan itu adalah lebih hebat dari kesenian itu sendiri.
"Kau benar", kataku kemudian.
Mobil Simca yang kusetir, kuhentikan di tepi sungai tak jauh dari gereja Cathedrale Notre-Dame. Di malam musim semi itu, katedral ini bermandikan sinar cahaya.
Kami masih dalam mobil. Tiada satupun diantara kami
bersuara. "Mari kita ke restaurant untuk dinner", kataku.
"Baiklah", katanya.
Mobil kubawa ke Latin Quarter. Kupesan goreng merpati. Loraine suka pada minuman cin-Zano.
"Kukira ada yang kurang mesra pada ma-lam ini', kataku. "Memang", kata Loraine.
"Aku dengan sengaja mau melukai hati-mu", kataku.
"Aku pun demikian. Aku berusaha supaya kau benci kepadaku", katanya.
"Berapa umurmu "" tanyaku.
"Tujuhbelas lebih sedikit. Aku lahir tepat pada hari Natal", katanya.
"Aku lebih tua sebanyak umurmu. Dua-kali lipat umurmu", kataku.
"Sebenarnya kau ini ramah sekali", kata Loraine.
"Kau lincah", kataku. "Sebenarnya me-nyenangkan".
"Ah. Malam ini aku memuakkan. Seder-hana sekali sebabnya", katanya.
"Jangan kau merasa terganggu untuk me-nyatakan kehadiranmu. Kita orang-orang yang sama kesepian. Hati ini gampang tersinggung", kataku.
"Aku takut jatuh cinta lagi", katanya.
"Kita tak perlu bercinta. Itu lebih baik", kataku, sekalipun hatiku tidak mau berkata demikian, sekedar melawan rasa rendah diriku.
Sehabis dinner, kubawa mobil ke tikungan sepi tak jauh dari stasion radio-TV film orkestra OR TF. Di tikungan itu mobil kuparkir. Kufikir ada bagusnya kucoba keberanian untuk memeluk Loraine. Jari-jariku menyelusup menggeletar seperti menggeletarnya mesin mobil yang belum kumatikan. Kuraih bahunya. Loraine diam de-ngan nafas sesak. Tetapi ketika Loraine akan kukecup, gadis ini menamparku dua kali!
Aku terperangah! Wajahku merah padam karena gagal untuk mencium bibirnya. Mobil belum kujalankan jua. Loraine menutup kedua telapak tangannya pada wajahnya sambil me-nangis terisak-isak. Dan untuk mengatasi ke-gugupanku, aku berkata:
"Sakit juga tamparan telapak tanganmu". "Maafkan", kata Loraine.
"Tak apa", kataku, "suatu pengalaman burukku selama di Paris. Aku ini sama saja dengan lelaki-lelaki yang berumur 33 tahun lainnya. Aku beranggapan, bahwa gadis-gadis teenager bisa dengan gampang untuk dicium karena usia mereka yang sedang mekar birahi. Nyatanya tidak".
"Bukan begitu, mon Ating!", seru Loraine dengan suara tersayat, "Aku bukan tak ingin dicium. Tetapi aku khawatir kalau-kalau cium-anmu membikin aku jatuh cinta".
"Kenapa masih soal jatuh cinta yang kau katakan", kataku mulai menggerakkan mobil-ku meneruskan perjalanan lambat-lambat. "Kau tau, manis, bahwa hidup itu bukan soal jatuh cinta saja".
Hawa dingin dan angin musim semi yang berhembus begini, membuat aku menekan knop--knop untuk menutupi kaca mobil. Kabut keli-hatan menyuramkan pemandangan. Kota Paris seakan sedang merangkul hawa sejuk dan lembab ini.
"Bagimu, monsieur Ating, mungkin - cinta hanya kebutuhan memenuhi nafsu. Ke-sepian juga hanya memenuhi kebutuhan nafsu", kata Loraine lagi setelah lama membisu.
"Mungkin", kataku, "Aku tak terlalu ba-nyak membikin pertimbangan dalam kehidupan ini."
"Kalau sekiranya di Indonesia engkau ini telah kawin telah bertunangan, apakah mung-kin kau di Paris ini jatuh cinta lagi""
Aku jadi tersenyum pahit mendengarnya. Namun kujawab saja: -"Kehidupan ini me-mungkinkn segala-galanya. Tiada satu dalil yang terlalu bisa dipegang teguh".
"Pendirianmu sama dengan sikap bibi Myriam", katanya.
"Mungkin karena usia bibimu sama tua denganku", kataku.
"Ya. Bibi Myriam berumur tiga puluh ta-hun", kata Loraine.
"Makin tua, manusia m"kin flexible meng-hadapi segala sesuatu. Tapi jangan katakan flexibility itu tidak memegang teguh suatu pen-dirian".
"Katakanlah contohnya!" Loraine men-desak.
"Aku pernah diajak kawin dengan seorang janda kesepian di Nederland empat tahun yang silam. Aku indekost di rumahnya. Aku hanya bersedia untuk mengisi kebutuhan-ke-butuhan sepinya. Tapi sungguh, aku tak tertarik kepada janda Holland itu. Dan sewaktu pada suatu malam didekapnya aku sambil menangis:
"Kawini aku, kawini aku, aku butuh anak - akupun ngeri. Sengeri aku menghadapi Nina Papandreou enam bulan yang lalu".
"Tentu ada sebabnya", kata Loraine.
Episode 19 "Memang ada sebabnya", kataku.
"Apa"" desak Loraine ingin tahu.
"Kau tak boleh tahu. Kau masih terlalu muda untuk mengetahui", kataku.
Ditepuknya lenganku sehingga kemudi yang kupegang sedikit merobah arah hamp
ir me-nubruk tembok tepi sungai Seine.
Rupanya Loraine tersinggung sekali de-ngan ucapanku. Aku telah mengucapkan hal itu dengan sengaja, selain memang ada sesuatu yang benar yang empat tahun lamanya berke-camuk dalam jiwaku selama berada di luar-negeri.
"Aku telah dewasa", kata Loraine.
"Kau belum lagi dewasa. Masih kanak--kanak", kataku.
Kurasa, aku berhasil. Berkali-kali diren-gutnya lenganku yang memegang stir, sehingga aku berkata:
"Jangan main-main madam oseille, nanti kita sama kecebur ke sungai Seine", kataku.
"Biar! Hentikan! Hentikan!" seru Loraine.
Aku tidak mau menurut perintah gadis remaja ini. Tetapi tiba-tiba mobil mendenyut, sewaktu kakinya sendiri yang menekan rem. Kakinya masih menghimpit betisku. Telapak tanganku meraba dengkulnya yang berbulu pi-rang itu. Dan kuelus-elus dengkulnya. Loraine diam saja. Sekonyong kepalanya ditarok pada bahuku. Sewaktu aku menoleh kepadanya, bi-birnya yang kecil itu sedikit terbuka. Aku menunduk. Hanya sedikit kusentuh bibirnya itu dengan bibirku, tidak sampai kukecup. Lalu aku menghadap ke depan, melihat kabut lembab menggantung di depan sana. Rupanya dia gagal membina kemesraan. Diciuminya dadaku. Di-bukanya jasku dan diciuminya lagi dadaku. Dadaku yang berbulu bagai meremang tersen-tuh hidungnya yang mancung itu.
Kepalaku tunduk ketika itu. Bibirku me-ngecupi kuduknya, dan nafasku menerjang-nerjang anak-anak rambut kuduknya itu.
"Tu fais des betises", kata Loraine me-nuduh aku tolol.
".Segan aku mengecupmu. Aku juga khawa-tir bila bibirmu menyelip pada bibirku, nanti aku bisa jatuh cinta kepadamu, Loraine!"
"Tolol kau, karena tak mau memenuhi janda Belanda itu", katanya.
"Mari kita meneruskan perjalanan", ka-taku.
Kepalanya yang tersandar pada dadaku ke-mudian diangkatnya. Dia menenggangkan diri dan bersandar pada sandaran tempat duduk. Nafasnya dihelanya dalam-dalam.
"Jangan jalankan mobilmu, mon ami", katanya.
Gadis Paris ini menjatuhkan kepalanya pada pangkuanku. Kurasa pada pusar-pusarku nafasnya yang tertahan-tahan.
Aku diam saja. "Viens pres de mois! Je vais mourir -", katanya meminta agar aku menjamahnya, de-ngan pengakuan bahwa dia telah menyerah ke-padaku, merasa pingsan.
"J'ai soif, mon pere", katanya melenguh, mengaku haus, entah haus akan apa, aku tak tahu.
Hanya untuk membikin bingung Loraine, aku mengangkat kepalanya dari pangkuanku, sambil berkata "Kukira kita cukup terisi sepi malam ini. Bagaimana jika kau kuantarkan pulang""
Sebenarnya sebagai lelaki normal aku ingin lebih banyak lagi dari kemesraan yang kulawan dengan keangkuhan begini. Aku lelaki penden-dam, dan kini aku sedang membalaskan den-damku karena semula ditamparnya.
"Jangan", kata Loraine, "Alamatku tak boleh kau ketahui. Antarkan saja aku ke perhen-tian autobus yang mau keluar kota".
Sesungguhnya aku berat hati untuk berbuat sekejam ini! Aku mengetahui, Loraine Debussy gadis yang sedang marak-birahi. Dan sesung-guhnya, aku bisa berbuat sekehendak hati bila kurasakan denyut jantungnya saat itu. Ini bu-kan moral yang sejati. Bukan karena aku pe-ngecut untuk memikul tanggung jawab jika nan-tinya terjadi yang bukan-bukan. Tetapi keang-kuhankulah yang merajai hati ini.
Ketika kuantarkan dia sampai ke pinggir jalan tempat berhentinya bus-bus berligne keluar kota, sambil menutup kembalj pintu mobilku sewaktu Loraine telah keluar, Loraine menun-dukkan kepala dan kepala itu masuk jendela pintu mobilku, bertanya gadis itu:
"Kapan kita rendesvouz lagi"
"Sebaiknya seminggu lagi", kataku. Lagi--lagi keangkuhan memuakkan.
"Kenapa begitu lama"" tanya Loraine, "Atau sekedar untuk membalaskan dendam se-perti aku menunda pertemuan seminggu""
"Bukan", kataku berdusta terhadap terka-annya, "Supaya sama-sama tambah rindu".
"Baiklah", katanya, "Dimana kau me-nungguku""
"Sebaiknya kau yang menungguku", kata-ku, "Dan tunggulah aku di rue du Faubourg St. Honore, di toko barang keramik paling su-dut".
Dihelanya nafas panjang-panjang, kemu-dian mengeluarkan kepalanya kembali, lalu me-langkah memasuki orang-orang ramai yang se-dang menunggu bus juga.
Lambat-lambat Simca kujalankan. Lambat--lambat sekali dengan peras
aan yang bersemi yang mendekati perasaan dingin, keangkuhan lembab dan sifat pengecut yang tak berterus- terang, semua yang buruk merajai hatiku, ku-akui sendiri dengan sejujurnya. Pasti Loraine menangis dalam bus menjelang dia sampai ke rumahnya. Dan pasti pula malam ini loraine tak dapat tidur nyenyak. Aku tak
perduli. Ku-bawa mobilku untuk suatu niat aku kepingin bertanggang sampai jauh malam, kalau perlu sampai dini hari, di cafe Les Deux Magots, me-nontoni seniman dan seniwati Paris berdebat disini. Memang sudah lama juga aku tak kesini, semenjak malam terakhir bersama almarhum Nina Papandreou dulu, dulu.
Kuparkir mobilku di tepi.
Episode 20 Aku mengambil tempat duduk di luar, pada kursi yang meluber di trotoir jalan itu. Lima orang seniman yang kukenal wajahnya tapi tak kukenal secara pribadi, lagi-lagi sedang minum--minum tak jauh dari kursiku. Mereka, seperti juga pernah aku saksikan seniman Senen Jakarta berdebat, semua masih berbicara tentang Grand prix de Litterature, Grand prix du roman. Sam-pai dinihari aku mendengar pendapat-pendapat seniman muda ini tentang pengarang-pengarang besar Perancis seperti Anatole France, Mistral, Gide, Henri Bergson, Roger Martin du Gard, Mauriac, Camus, Perse, Sartre atau Sully-Pru-domme, Aragon sampai Gabriel Marcel dan puisi Valery.
Aku sendirian saja yang masih terbenam di kursi dengan sebotol minuman Cin Zano. Dan dalam cafe kedengaran musik klassik mengalun, kalau tak salah ciptaan Faure. Namun bukan tokoh-tokoh sastra yang membikin aku terbe-nam, bukan pula musik Faure yang kufikirkan saat itu. Heran, dalam alunan yang sympho-nique itu hatiku seakan berkecamuk oleh irama gamelan Bali, bagai sesosok makhluk hidup ber-kecamuk dalam diriku, dan hatiku menyenak--nyenak, dan aku hela nafasku dalam-dalam, tahu bahwa aku sedang digerayangi oleh perasa-an rindu kepada Tanah air. ini kurasakan benar. Perasaan semacam ini pernah singgah di kepalaku sewaktu aku dan Nina Papandreou melihat anak kecil hampir ketubruk mobil sewaktu kami menyusuri sungai Seine keluar kota untuk naik perahu dulu itu. Terbayang olehku wajah kanak--kanak yang tak berdosa, terbayang olehku kemiskinan, ketakutan pada hari esok, naiknya harga-harga, pegawai-pegawai yang membawa karung ke kantor dan di kantor membaca surat -kabar, dan terbayang olehku pula jam dua belas para pegawai sudah mulai turun dari korsinya, lalu melihat apakah bus-bus jemputan untuk membawa mereka pulang telah datang. Sebuah teriakan bayi seakan-akan mengeak ditelingaku.
Kuhela nafas dalam-dalam.
Aku - fikirku - di negeri asing, tanpa me-mikirkan kesusahan ekonomi semuanya ini. Te-tapi selalu aku heran, setiap perasaan rindu un-tuk pulang ke tanah air, selalu disertai keta-kutan menghadapi kesulitan ekonomi, dirong-rong lagi oleh masalah dapur, beras, garam dan sambel, minyak tanah dan terasi. Aku tersentak. Udara lembab dingin serasa mau membikin hi-dungku pilek. Aku menoleh kembali kepada Se-niman seniwati Paris ini. Mereka masih ber-debat Camus, Marcel, Bergson, Mistral.
Kubayar minuman. Aku campakkan tubuhku pada akhirnya ke mobilku yang baru ini, dan aku segera kembali ke hotel. Di hotel ke-rinduanku untuk pulang ke tanah air belum juga habis-habisnya. Apalagi jika mendengar suara bayi menangis di kamar sebelah kamarku. Be-soknya, sewaktu Henri menelponku ingin ber-jumpa, aku telah menolaknya, dan aku masih terbenam dalam kamar melihat skets Loraine yang digantung di dinding, lukisan sesuap nasi oleh pelukis cepat di La Place du Tertre kemarin malam itu ! Aku berfikir, bahwa aku harus se-gera berjumpa dengan
Loraine, apalagi kalau musim semi ini berakhir pula! Dan bukan itu saja Aku harus menjumpai Loraine untuk membunuh kerinduan pulang ke tanah air yang menguberku dari belakang ibarat bayangan han-tu.
Segera aku cuci muka. Kemudian berpakai-an rapi dan memasukkan beberapa koffer dalam tempat bagasi mobilku. Dan kemudian mobilku kularikan dengan kencang ke Faculte de Medi-cine. Lorain sedang kuliah. Kutunggu di taman fakultasnya. Aku merokok Newport lima ba-tang. Dan barulah kemudian aku jadi lega se-telah bisa jumpa dengan gad
is Paris yang lincah ini. Betapa senangnya dia melihat aku datang. Aku dikenalnya sebagai seorang designer, peng-usaha keramik dan segala nama-nama jabatan palsu kepada teman-temannya. Kudengar jabatan -palsu kepada teman-temannya. Kudengar kata-katanya yang sengaja dikeraskan.
"Memang mesra punya pacar pemuda dari asia." Teman-temannya tertawa. Aku melincah-kan diriku dengan memotret gadis-gadis kulit putih itu.
"Kau masih kuliah terus"" tanyaku. "Maksudmu mengajak aku membolos""
Loraine bertanya."ya, ah itu beres. Tapi kemana kita"", tanyan-ya.
"Ke Vemon", kataku, "Mau kau menghabisi musim semi di Vemon ""
"Bibi Myriam sudah di sini", katanya. Wajahnya pucat terkejut.
"Pinjam saja kunci villa pada bibi Myriammu", kataku.
Kota Vemon di tepi sungai Seine buatku adalah masa kini dan masa lalu. Kini aku datang ke kota ini seperti seorang penziarah, dan memanglah demikian perasaan-ku sewaktu mobil Simca kuhentikan sewaktu memasuki kota ini. Loraine, gadis Perancis di sebelahku tidak tahu, betapa terharunya aku melihat kota ini Meremang bulu-kudukku me-lihat toko-toko yang bersusun sepanjang jalan. Mataku seakan-akan mencari sebuah toko pa-kaian wanita di antara toko-toko itu. Toko pa-kaian wanita pada abad kesembilanbelas yang mungkin masih ada hingga sekarang. Aku me-rasa jadi seorang yang sentimentil memasuki kota ini. Toko pakaian wanita dikota Vemon ini pernah kubaca dalam sebuah buku, semasa aku masih bersekolah S.M.A., sebuah buku Emile Zola yang berjudul Therese Raquin. Ka-Iau tak salah, pada bahagian kedua buku itulah kutemui nama kota Vemon ini. Aku masih :ingat, kira-kira permulaan kalimat di chapter dua buku itu Madame Raquin dahulunya me-mimpin sebuah toko pakaian wanita di Vemon. Duapuluh lima tahun lamanya semasa hidup-nya pernah berdiam di sebuah toko di kota ini. Kalimat-kalimat Emile Zola dalam bukunya itu kini hidup kembali, dari kota Vemon ini kusaksikan, kusaksikan di abad keduapuluh, dari balik kaca mobil Simca. Dan mengapa pula mataku mencari toko Madame Raquin itu. Se-dangkan toko itu mungkin hanya dalam khayal-an pengarang Zola belaka"
"Kenapa mobil kau hentikan, mon Ating"" tanya Loraine.
Baru aku terbangun kembali pada kesa-daran, dan aku tersenyum kepada gadis di se-belahku ini, sambil berkata lembut: "Aku se-dang membayangkan karangan
Zola". "Kau seorang pembaca yang fanatik", kata Loraine.
"Tentu saja", kataku sambil meneruskan menjalankan mobilku. "Aku membaca buku itu sewaktu masih remaja, sehabis perang kemerdekaan di negeriku, dan kini kota dalam buku itu aku ziarahi bersamamu".
"Loraine", kataku lagi, "Dimana kira-kira rumah bibimu Myriam""
"Kita berbelok ke kiri", kata Loraine, "Dan kemudian ada taman luas. Masukilah taman luas itu, yang pohon-pohonnya rimbun sekali".
Memang stir kubelokkan ke kiri, kemudian memang tampak taburan pohon-pohon yang bertumbuh teratur di sebuah taman. Tak ada jalan lain lagi. Aku menoleh kepada Loraine:
"Mana" Episode 21 "Itu", kata Loraine menunjuk kedepan, "Rumah kecil itu!"
Setelah kemudian mobilku berhenti di sam-ping rumah kecil itu, aku segera keluar.
Ketika kami berdua memasuki rumah kecil ini, keharuanku makin menjadi-jadi. Loraine membuka semua jendela! Aku juga menolong membuka sebuah jendela lainnya. Dan bila ku-buka jendela, nun di bawah itu sungai Seine ke-lihatan membentuk tebing-tebingnya di antara rerumputan. Aku berseru: "Loraine!"
"Ada apa" "' Loraine mendatangiku.
Mulutku seperti tak bisa bergerak seperti kena pukau.
Aku gugup untuk berkata "He, rumah ini seperti ada dalam karangan Zola, yang di-sewa 400 francs oleh Madame Raquin. Perasaanku merasa demikian sewaktu membuka jendela tadi itu, langsung melihat sungai Seine mengalir tenang di bawah
itu". "Kalau begitu aku ada akal", kata Loraine langsung mengambil radio pickup dan menaruh sebuah piringan hitam. Tak lama kemudian, ruangan rumah sunyi ini membuatku berdiri bagai patung perunggu! O, symphoni itu, se-buah symphoni ciptaan Chopin, seakan-akan mengajak diriku kembali ke abad silam, dan sekonyong aku bungkam oleh ketenangan syah-du. Ya, musik telah membersihkan hati ini dari batas-ba
tas tubuhku sebagai warga suatu bangsa yang bukan bangsa pencipta lagu itu.
Loraine memutar piringan-piringan hitam klassik sampai jauh malam, sedangkan aku bertiduran diatas permadani sambil meneguk minuman Cin-Zano pemanas tubuh.
"Apa kesanmu tentang negeri kami"" tiba--tiba Loraine bertanya.
"Kesanku", kataku jujur, "Kesanku negeri ini memelihara kebudayaannya dengan baik. Masa lampau negeri ini masih terpelihara".
"Benar", kata Loraine Debussy, "Orang Perancis merasa hina bila tidak bisa berbicara tentang musik, puisi, opera atau roman".
"Aku jatuh cinta dengan negerimu", kata-ku.
"Tetapi bagaimanapun cintamu dibawa oleh arus sungai Seine, tentu pada akhirnya kau rindu untuk pulang ke Indonesia", kata Loraine.
Aku jadi terdiam setelah mendengar kata--kata Loraine itu.
Ada setengah jam aku membisu, tetapi otakku seakan-akan susah merangkaki satu per-satu kenang-kenangan pada tanah air, pada ma-sa lampau, pada peperangan. Peperangan yang ditimbulkan karena bangsa yang satu mengkolo-ni bangsa yang lain telah menewaskan ayahku di waktu terjadi pertempuran November di Sura-baya pada tahun awal kemerdekaan negeriku. Kemudian sewaktu aku sedang bertempur di Sragen dan Gundih, aku mendapat kabar ibuku meninggal dalam perjalanan mengungsi antara Semarang dan Magelang. Kakakku yang perem-puan ditembak di Cepu, dan adikku yang perem-puan hilang begitu saja dibawa oleh pengungsi lain, entah masih hidup entah sudah mati dalam perjalanan mengungsi yang mengerikan itu. Dan pada waktu Belanda menyerahkan kedaulatan-nya kepada Republik kami, aku kehilangan se-mua-muanya rumah, ayah, ibu, kakak perem-puan, adik. Hanya sebuah pistol dan baju yang tak seragam yang kupunyai sebagai milik. Dan karena pistol itu tak lagi kuperlukan di masa damai sehabis perang kemerdekaan itu, orang--orang sepasukanku menunjuki jalan, agar aku kembali ke bangku sekolah. Aku memilih kota Jokja karena di kota itu masih ada pamanku, dan akupun bersekolah lagi dari permulaan sampai kemudian aku duduki bangku SMA, itu pun dengan fasilitas karena aku tercatat se-bagai tentara pelajar. Kukira aku lulus pun ka-rena ujianku yang tersendiri. Otakku sendiri agak lemah, mungkin karena terlalu sering me-lihat darah, terlalu sering dikejutkan suara mor-tir dan dentuman howitzer dimasa gerilya itu, tetapi kukira tidak karena inilah otakku lemah. Otakku lemah mungkin karena penderitaan yang belum sanggup aku pikul, lebih dari memikul senapan mesin dan meriam-tomong. Yang ku-pikul dan memberatkanku saat itu adalah pera-saan sunyi karena kehilangan semua darah da-gingku yang kucintai, yang mati dan hilang tanpa kuketahui pula kuburannya.
Bunga Penyebar Maut 1 Animorphs - 5 Serangan Nekat Panggilan Masa Lalu 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama