Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari Bagian 6
"Kalau dia sehat mungkin saja senang. Tapi dia kan sakit, Yas. Orang sakit itu membutuhkan ketenangan."
"Memangnya kau suka bikin ribut" Aku yakin Papa pasti senang mendapat tambahan teman. Apalagi dia suka sama kau."
"Tapi dia nggak ngomong sendiri, kan"" Delia tersenyum.
Setelah Delia pergi, Yasmin berlari masuk untuk menemui ayahnya.
380 Winata sedang membicarakan Delia dengan Aryo. "Delia itu simpatik. Matanya ramah. Tapi ada kesusahan dan penderitaan di sana."
"Wah, Bapak sekarang pintar menilai orang!" seru Aryo kagum.
"Aku semakin tua dan semakin dekat ke liang kubur, Yo. Dalam keadaan seperti ini mata bukannya jadi semakin rabun, tapi semakin jeli! Pikiran pun begitu. Gejala apa, Yo""
"Bapak jadi semakin bijak," jawab Aryo diplomatis.
Kemudian Yasmin datang bergabung. Karena tak ada larangan dari Delia, ia bercerita tentang riwayat Delia kepada ayahnya. Yang ia sembunyikan adalah niat Delia untuk bunuh diri karena bisa membongkar rahasianya juga.
Winata merasa takjub mendengarnya. "Tuh, bener nggak, Yo! Aku bilang juga apa. Ada kesusahan dan penderitaan di mata Delia."
"Betul, Pa. Rumahnya yang be
sar, tokonya, mobilnya, semua dia jual. Lalu sebagian besar dia sumbangkan untuk yayasan sosial dan panti-panti. Tapi uang hasil penjualan mobilnya dia berikan pada mertuanya, nenek sihir itu. Uangnya sendiri tinggal sedikit. Akhirnya dia bekerja di motel itu."
"Wah, seram amat ya" Apa bener ada orang seperti nenek itu""
"Nyatanya ada, Pa. Ini bukan dongeng. Katanya sekarang nenek sihir itu berubah fisiknya jadi jauh lebih muda. Genit dan senang dandan."
"Kalau gitu dia mintanya sama iblis."
"Dikasih gratis, Pa""
"Mana mungkin. Pasti ada tukarannya."
"Jadi budak gitu, Pa""
"Ya. Kira-kira begitu."
381 "Tapi Kak Del sekarang udah nggak takut lagi sama nenek itu. Dia udah punya kiatnya." "Apa""
"Rajin berdoa." "Wah, itu bagus"
"Sekarang dia perlu bantuan kita, Pa." Yasmin menceritakan kesulitan Delia. "Aku setuju dengan idemu itu. Ajaklah dia tinggal di sini!"
Yasmin memeluk ayahnya dengan gembira. Ia ingin sekali menelepon Delia saat itu juga untuk memberitahu bahwa ayahnya pun mendukung. Tapi Delia tidak punya ponsel. Ia tak ingin menelepon ke motel. Yang bisa dilakukannya hanyalah menunggu sampai ada berita dari Delia.
382 BAB 36 Ketika Delia kembali ke motel, hari sudah sore. Ia menemui Kosmas di kantor. "Hai!" sapa Delia.
Kosmas mengangkat sedikit kepalanya. Ia tersenyum tipis. "Hai!" sambutnya.
Delia duduk di sudut. Kosmas tidak mendekatinya. Ia terus saja menekuni buku tamu seakan ada yang penting di sim. Delia merasa disepelekan. Tak tampak keingintahuan atau perhatian seperti yang biasa diperlihatkan Kosmas kepadanya.
"Banyak tamu yang masuk, Bang""
"Lumayan. Yang banyak tamu kencan siang," sahut Kosmas.
"Kau capek, Bang""
"Ah, nggak. Kenapa nanya begim""
"Kau kelihatan lesu dan pucat. Mau istirahat" Bisa kugantikan sebentar," Delia menawarkan.
"Ah, aku nggak apa-apa. Kau kan libur hari ini. Pergilah manfaatkan waktumu."
"Siapa yang nanti menggantikanmu" Erwin atau Adi""
"Erwin." "Kalau sudah selesai nanti kita bicara ya, Bang"" kata Delia dengan nada ringan.
Kosmas menatap Delia. "Bicara apa sampai harus tunggu nanti" Sekarang aja."
383 "Kalau sekarang bisa terganggu tamu yang datang. Aku nggak mau disela."
"Ngomong saja sama Erwin."
"Ini mengenai kita berdua. Nggak ada urusannya dengan Erwin."
"Baiklah. Nanti."
Delia berdiri. Saat berjalan keluar, ia melewati Kosmas. Tapi Kosmas tidak bergerak dari tempatnya. Pria itu tidak mengulurkan tangan untuk meraih lengan Delia. Seolah tidak peduli, ia kembali menundukkan kepala mengamati buku tamu di atas meja.
Delia melirik Kosmas sejenak lalu melangkah cepat-cepat. Ia semakin yakin akan adanya sesuatu yang terpendam.
Setelah Delia berlalu, Kosmas mengangkat kepalanya. Wajahnya terlihat murung. Ia melayangkan pandang jauh ke depan, ke halaman parkir. Menerawang tanpa arah pasti. Ketika tatapannya kembali ke dalam ruangan, tampak kegusaran di wajahnya.
"Aku tahu apa yang mau kaulakukan!" gumamnya.
Delia mencari Erwin. Biarlah ia bicara dulu dengan Erwin. Selama ini Erwin sudah dianggapnya sebagai adik. Ia ingin mengikutsertakan Erwin dalam permasalahannya dengan Kosmas. Kadang-kadang Erwin terkesan lebih bijak daripada Kosmas.
Seseorang mengatakan, Erwin berada di kamarnya. Delia mengetuk pintunya. Pelan saja. Tak ada sahutan. Lebih keras. Tak pula ada sahutan. Jangan-jangan Erwin tak ada di situ. Meskipun merasa lancang, Delia membuka pintu.
Erwin sedang duduk bersila di lantai yang dialasi tikar. Jelas ia sedang-bermeditasi. Posisinya menyamping dari letak pintu.
Delia merasa telah mengganggu. Buru-buru ia
384 menutup pintu kembali. Belum sempat pintu merapat, ia mendengar suara. "Ada apa""
Suara Erwin terdengar lebih berat dari biasanya. Delia ragu-ragu sejenak. Hendel pintu masih dipegangnya.
"Maaf, Win. Nanti saja," katanya.
"Tunggu!" Delia melebarkan daun pintu. Erwin masih bersila tapi kepalanya berpaling. Wajahnya diarahkan kepada Delia.
"Ada apa"" tanya Erwin.
Delia terkejut karena suara dan ekspresi wajah Erwin mengandung kekesalan. Jelas merasa terganggu. Delia merasa bersalah.
"Maaf, Win. Nggak apa-apa. Maaf."
Delia kembali menutup pintu, lalu bergegas menuj
u kamarnya. Setengah berlari. Ada kecemasan kalau-kalau dikejar. Padahal tak ada siapa-siapa di belakangnya. Setelah menutup pintu, ia bersandar dengan memejamkan mata. Entah kenapa muncul rasa takut. Perasaan yang sudah amat dikenalnya. Apakah itu berarti Ratna masih saja mengejar dan tetap berniat menghancurkannya" Uang dua puluh lima juta pastilah dianggapnya kurang!
Buru-buru Delia bersila di lantai. Ia bermeditasi, mencoba mengusir perasaan itu dan menjernihkan pikirannya. Lalu ia berdoa. Konsentrasinya mendalam. Ia sampai setengah sadar, setengah melayang. Tapi ia masih bisa mendengar pintunya yang tak dikunci terbuka pelan-pelan. Ia tidak menoleh atau memandang ke arah pintu. Bahkan berusaha keras untuk tidak peduli. Setelah beberapa saat, pintu terdengar ditutup.
385 Delia tidak beranjak atau mengubah posisi. Ia juga tidak mencoba ingin tahu siapa yang barusan membuka pintu kamarnya. Mungkin orang itu pergi karena tak ingin mengganggu. Tapi kenapa tidak mengetuk dulu seperti yang tadi dilakukannya di kamar Erwin"
Setelah selesai, Delia merebahkan diri. Pikirannya menjadi lebih tenang dan terkendali. Ia bisa kembali berpikir tentang Ratna tanpa panik dan takut. Sekarang ia tidak lagi memikirkan ancaman Ratna terhadap dirinya melainkan terhadap Kosmas dan Erwin! Seharusnya Ratna tidak mengganggu kedua orang itu karena mereka tidak punya urusan dengannya.
Delia keluar dari kamar untuk menyiapkan makan malam. Tapi Bu Sofi sudah menyelesaikan semuanya. Lalu ia pergi mandi. Tapi setelah selesai dan kembali ke ruang makan, terheran-heran ia melihat Kosmas dan Erwin sedang makan berdua. Mereka tak menunggu dirinya untuk makan bersama seperti biasanya. Masih ada lagi yang terasa berbeda. Kedua orang itu tampak akrab setelah sebelumnya kelihatan saling menjaga jarak. Mestinya itu sesuatu yang menyenangkan. Tapi Delia jadi merasa semakin terkucil. Kenapa mereka tak menyertakan dirinya"
Erwin menunjuk kursi yang biasa diduduki Delia. "Ayo makan, Kak," katanya dengan mulut penuh. "Ayo," sambung Kosmas.
Hanya itu ajakan mereka. Keduanya melanjutkan makan tanpa memandang kepadanya. Delia termangu sejenak. Ia memang diajak, tapi rasanya ada yang kurang. Laparnya hilang seketika. Ia melangkah pergi. Sengaja berjalan lambat-lambat, berharap dipanggil. Tapi tak ada yang memanggilnya. Ketika ia menoleh,
386 ternyata tak ada yang memandang kepadanya. Kedua orang itu terus saja makan seolah itu yang terpenting.
Delia pergi ke kantor. Adi di sana. "Kau sudah makan, Di"" "Belum."
"Pergilah makan dulu. Aku gantiin." "Ibu sudah"" "Belum lapar, Di."
Adi pergi. Delia duduk dan mengamati buku tamu. Ia membalik-balik halamannya. Setiap kali matanya selalu tertuju kepada nama Ratih Sutisna dari Cianjur yang menempati kamar nomor 5. Lalu ia teringat pada bau tak enak yang tercium di kamar itu pada hari pertama penghuninya keluar. Ratih-Ratih. Ratna-Ratna. Mirip.
Pada hari itu Delia tidak bisa menjumpai Ratna di rumahnya di Bandung karena katanya sedang keluar. Ke mana" Maya tidak mau mengatakan padahal sebenarnya tahu. Pasti dia sudah dipesan agar tidak memberitahu. Ratna sudah tahu Delia akan datang. Kenapa sengaja menghindar dari pertemuan dengannya" Ratna malah pergi. Jangan-jangan disengaja.
Pikiran itu benar-benar mengganggu. Terus-menerus menerpa Delia, menuntut jawaban.
Adi datang untuk menggantikannya kembali. Tapi Kosmas dan Erwin tidak muncul. Delia pergi ke kamarnya dulu untuk mengambil dompetnya lalu kembali ke kantor. Adi masih sendiri di situ.
"Di, aku mau ke luar sebentar ya""
"Baik, Bu." Adi merasa tak patut bertanya ke mana. Di luar sana ada banyak kegiatan. Ada restoran, warung, toko, dan sebagainya.
Delia pergi ke wartel. Ia bermaksud menghubungi
387 Donna di Bandung. Bila menggunakan telepon kantor, ia akan membebani dengan biaya interlokal.
Yang menerima telepon adalah Maya, ibu Donna. Delia sudah mengenal suara Donna. Jadi suara yang didengarnya bisa suara Maya atau Ines, adik Donna.
"Bisa bicara dengan Donna, Tante" Saya Susi, temannya," sengaja Delia berbohong. "Tunggu sebentar ya."
Lalu terdengar suara Donna. "Ini Susi
yang mana ya"" "Don, ini Tante Del! Jangan sebut namaku!" "Oh ya. Susi yang itu!" seru Donna. "Mamamu masih dekat situ"" "Ya. "
"Sekarang kau cukup jawab seperlunya saja, Don. Hati-hati. Apakah Nenek pergi ke Jakarta dua hari yang lalu""
"Ya. Betul sekali. Dia mau jalan-jalan katanya. Heboh deh, Sus. Di sana dia nginep lho," suara Donna bergaya orang menggosip.
"Apakah kau tahu di mana dia menginap""
"Tahu bener. Pada heboh."
"Apa dia menginap di hotel""
"Bukan. Yang mirip sama itu."
"Motel"" "Ya. Namanya berawal dengan huruf M." "Motel Marlin""
"Betul sekali! Perkiraanmu tepat!" "Baiklah. Terima kasih ya, Don." "Kapan mau ke Bandung, Sus"" "Nanti kalau sempat. Pokoknya kau kuhubungi. Sudah ya. Daaah!"
Delia kembali ke Motel Marlin dengan perasaan
388 sedih. Ia sudah tahu sekarang apa yang dituju Ratna. Perempuan itu memang tidak puas. Awalnya yang dikehendaki hanya materi. Sesudah itu tambah yang lain.
Kosmas menyambut Delia di pintu gerbang. Lalu mereka jalan bersisian.
"Dari mana"" tanya Kosmas.
Delia tahu tak mungkin berbohong. Pasti Kosmas sudah melihat kepergiannya dan ke mana arahnya,
"Dari wartel. Nelepon ke Bandung."
"Kenapa nggak pakai telepon kantor aja""
"Nggak apa-apa. Katanya di wartel lebih murah."
"Mungkin kau tak ingin didengar, ya""
Delia terkejut oleh pertanyaan sinis itu.
"Ah, nggak begitu, Bang. Aku cuma ingin berhemat."
"Nelepon siapa di Bandung""
"Donna. Aku nitip rumah kontrakanku."
"Oh begitu." Delia masih bimbang apakah ia akan memberitahu Kosmas dan Erwin perihal informasi mengenai Ratna tadi. Betapa terkejutnya mereka kalau tahu bahwa salah seorang tamu mereka adalah Rama! Tetapi situasi sekarang tidak sama dengan sebelumnya. Kali ini Delia tidak tahu dan tidak bisa memperkirakan seperti apa reaksi kedua orang itu. Apakah mereka akan memercayainya" Sekarang Kosmas dan Erwin berbeda. Orangnya memang sama, tapi suasana hati mereka lain.
"Tadi katanya mau ngomong," kata Kosmas.
"Aku makan dulu ya, Bang. Lapar," kata Delia terus terang. Sekarang ia merasa benar-benar lapar. Sepertinya ia akan berjuang dan untuk itu diperlukan kekuatan.
389 "Kukira kau nggak mau makan. Atau memang sengaja nggak mau bareng-bareng""
Delia terkejut. "Itu tuduhan yang jelek, Bang!"
"Habis tadi ngeloyor begitu aja. Katanya pengen kumpul kayak dulu. Sekarang malah kau yang menghindar."
"Bukan begitu, Bang. Ah, perlukah kujelaskan sekarang""
"Sudah. Makanlah dulu."
Kosmas mempercepat langkah, meninggalkan Delia. Melihat itu Delia sengaja memperlambat langkahnya. Ia langsung ke ruang makan. Bu Sofi baru membenahi meja.
"Wah, Bu Del belum makan, ya"" Bu Sofi terkejut. "Sayurnya tinggal sedikit. Kuah melulu."
"Nggak apa-apa, Bu. Yang penting kenyang."
"Masih ada telor asin dan keripik tempe. Mau, Bu""
"Mau. Bu Sofi udah makan""
"Semuanya udah pada makan. Tinggal Bu Del sendiri. Makanya kehabisan."
Ketika Delia sedang makan, Erwin datang lalu duduk di sebelahnya.
"Makan, Win"" Delia menawarkan.
"Kan udah tadi. Kenapa sih tadi kau nggak mau makan bareng kami, Kak" Marah sama Bang Kos atau sama aku""
"Dua-duanya nggak. Tadi suasana hatiku nggak enak. Kalian makan duluan. Nggak nunggu aku."
"Tapi kami mengajakmu, kan""
"Kalian mengajak karena aku sudah ada di dekat kalian. Itu kan beda."
"Jadi ngambek, kan""
"Sebetulnya nggak begitu. Justru aku berpikir kalian berubah sikap terhadapku."
390 "Soal makan aja diributin."
"Bukan cuma soal makan, Win. Aku punya feeling nggak enak. Sejak kemarin-kemarin. Aku mau ngomong sama Bang Kos. Sama kau. Tapi kalian bersikap sinis."
"Oh ya" Sinis gimana sih" Aku nggak ngerti."
Delia tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Lalu Kosmas datang bergabung. Delia merasa senang. Ia cepat-cepat menghabiskan makannya. Sekarang mereka bertiga lagi. Ini kesempatan baik.
"Tadi aku ke wartel nelepon Donna di Bandung. Sebenarnya bukan bicara soal rumah. Sori tadi ngomong gitu, Bang. Sekarang kita ngomong bertiga dengan suasana yang lebih nyaman. Begini. Tadi kuamati buku tamu. Tatapanku terus-terusan mengarah ke nama Ratih Sutisna di kamar nomor 5 itu. Aku ingat bau tak enak di situ. Ingat, Win" Ada perasaan ta
k nyaman mengenai tamu itu. Aku juga berpikir tentang Ratna yang tidak ada di rumah, Bang Kos. Dia tahu aku mau datang, kok malah pergi. Donna memberitahu ke mana perginya. Tahu ke mana" Motel Marlin!"
Delia menikmati kejutan di wajah Kosmas dan Erwin. Tapi tidak lama. Setelah kejutan lenyap, mereka tertawa.
"Jadi Ratna itu sama dengan Ratih"" tegas Erwin. "Tapi dia tidak lebih tua darimu, Kak!"
"Ah, kau lupa rupanya. Bukankah penampilannya sudah berubah""
"Iya. Sudah dioperasi plastik," gurau Kosmas tertawa.
"Bang, ini serius," kata Delia.
"Jadi menurutmu, dia tahu semuanya" Apa dia
391 punya semacam cermin ajaib, gitu"" tanya Kosmas. Masih bernada gurau.
Erwin tersenyum. Tapi Delia merasa kesal. Ia berharap bisa membicarakan masalah itu dengan serius.
"Aku sudah bilang. Dia belum tentu puas dikasih duit, Del," kata Kosmas.
"Kau sudah bilang" Bilang apa sih"" Delia heran.
"Lupa ya" Aku bilang, sesudah dikasih duit entar dia nuntut yang lain."
"Menuntut apa maksudmu""
"Menuntut nyawamu!" kata Kosmas datar. Tak ada emosi dalam sikapnya.
Delia terkejut. Ia menatap Kosmas, tak percaya pada apa yang didengarnya. Kosmas memalingkan muka.
"Kalau dia benar datang ke sini, apa yang dia tuju" Ratih itu bilang dia hanya jalan-jalan dan belanja. Tampangnya sama sekali tidak mengesankan nenek sihir," kata Erwin.
Delia merasa kecewa karena Erwin tidak bereaksi atas kata-kata yang diucapkan Kosmas tadi. Menurutnya, Kosmas mengucapkannya dengan tega.
"Mana aku tahu apa yang dia mau lakukan di sini.. Itu harus kautanyakan kepadanya," sahut Delia tajam.
"Aku kan nggak mungkin bertanya kepadanya. Setidaknya kau bisa memberi pendapat," kata Erwin.
"Aku khawatir dia berniat jahat."
"Jahat gimana" Meninggalkan bau"" Kosmas tertawa.
"Aku tahu sekarang!" seru Delia tanpa memedulikan gurauan Kosmas. "Dia telah membuat kalian berubah!"
392 "Berubah"" tanya Kosmas dan Erwin berbarengan.
"Aku barusan melihat cermin. Tapi wajahku masih yang dulu," kata Kosmas.
"Aku juga," Erwin menyambung.
"Bukan itu. Sikap kalian yang berubah," Delia mencoba bersabar. "Pertama, Bang Kos jadi dingin kepadaku."
"Oh ya" Berapa derajat"" tanya Kosmas.
Di mata Delia sikap Kosmas itu memuakkan.
"Kedua," Delia melanjutkan, "kalian berdua bertengkar karena aku. Sebelumnya tak pernah."
Kosmas dan Erwin berpandangan.
"Ah, masa iya"" bantah Erwin. "Apa betul kita bertengkar, Bang""
"Nggak. Kapan itu"" tanya Kosmas.
"Aku dengar sendiri. Itu terjadi sehari sesudah kepulangan kita dari Bandung, Bang. Mungkin aku terlalu sensitif tapi aku bisa merasakan perubahan sikap kalian kepadaku. Kalau memang benar kalian berubah tanpa dipengaruhi siapa-siapa, itu berarti kalian menyesali kehadiranku di sini."
Kosmas dan Erwin termangu.
Sikap mereka semakin mengecewakan Delia. Sebenarnya Delia ingin mereka spontan membantah dugaannya.
"Jadi sebelum terjadi sesuatu, lebih baik aku pergi saja," kata Delia.
"Pergi ke mana"" tanya Kosmas.
"Aku masih punya seorang teman."
"Yasmin, kan"" kata Erwin. "Dia sudah pindah rumah. Katanya rumahnya bagus dan besar. Pasti jauh lebih menyenangkan tinggal di sana daripada di sini."
"Sadarkah kau bahwa ucapanmu itu sangat sinis,
393 Win"" tanya Delia. "Tidak biasanya kau seperti itu. Sekarang kalian berdua benar-benar tak punya perasaan."
"Tapi aku tidak merasa berubah," kata Kosmas. "Kau, Win""
"Aku juga nggak," sahut Erwin ragu-ragu. Wajahnya menampakkan kebingungan. Tapi di mata Delia, bisa jadi itu kepura-puraan belaka.
"Begini saja," kata Delia. "Apa kalian ingin aku pergi""
"Kalau kau yang ingin, kami tidak berhak melarang!" sahut Kosmas. "Iya kan, Win""
"Iya," kata Erwin. "Setiap orang berhak mencari yang lebih baik."
Delia mengeluh dalam hati. Orang-orang ini tak punya logika.
"Bukan begim, Win. Aku ingin kita sama-sama introspeksi. Mungkin kepergianku membuat suasana di sini lebih tenteram."
"Apa itu berarti kita putus"" Kosmas bertanya gusar.
"Tentu tidak. Hanya mendinginkan suasana."
"Dingin lagi! Dingin lagi!" seru Kosmas.
"Sabar, Bang!" bujuk Erwin. "Biarlah Delia pergi untuk sementara. Mungkin memang itu cara terbaik."
Nada suara Erwin membua t Delia mengamatinya dengan cermat. Apakah Erwin sudah pulih" "Kapan kau mau pergi"" tanya Erwin. "Besok saja."
Delia berlalu. Kosmas menatapnya dengan geram. Erwin menepuk-nepuk punggungnya.
Masih sempat Delia mendengar hardikan Kosmas kepada Erwin. Langkahnya terhenti sejenak.
394 "Sudah! Jangan munafik! Kau pasti senang kalau aku putus! Maumu kita senasib terus, kan"" Delia berlari ke kamarnya.
395 BAB 37 Sejak Kepulangannya dari Jakarta, Ratna semakin terlihat cantik dan menor. Biarpun berada di rumah, ia tetap berdandan. Pakaian yang dikenakannya selalu menampakkan lekuk liku tubuhnya. Tapi bukan hanya di segi penampilan, kelakuannya pun lebih berani. Hal itu menimbulkan masalah baru bagi Rama.
Dulu Ratna tak pernah meninjau bengkelnya. Sekarang ia sering mondar-mandir di situ. Berlagak seperti mandor. Lihat ini-itu. Tanya ini-itu. Sering juga hanya mengamati. Ia menimbulkan bisik-bisik di antara para montir. Juga tatapan iseng. Tapi Ratna tampaknya senang dicandai. Ia menanggapi canda vulgar dengan canda yang lebih vulgar lagi.
Suatu kali Rama terkejut ketika ia mendapati ke mana arah tatapan Rama kerap kali tertuju, yaitu ke bokong para montir yang sedang membungkuk atau menungging! Rama sangat malu dan berharap tak ada orang lain melihat hal yang sama. Tentu saja ia tak berani melarang atau mengkritik Rama. Satu-satunya hal yang terasa meringankan adalah para montir tidak tahu bahwa Ratna yang sekarang ini sama dengan Ratna yang dulu. Jadi bukan ibunya. Kalaupun diberitahu, siapa yang akan percaya"
Rama melaporkan hal itu kepada semua saudaranya. Tapi seperti dirinya, mereka pun tidak berdaya mela396 kukan sesuatu. Mereka hanya bisa menghibur Rama dan keluarganya, dan meminta mereka bertahan. Habis mau apa lagi" Sebenarnya mereka juga takut kalau-kalau nanti terjadi sesuatu yang memalukan. Suatu skandal misalnya.
Hal lain yang ditakuti Rama adalah kalau-kalau Ratna minta ditemani lagi ke Jakarta. Ia benar-benar kapok. Di sana ia mendapat pengalaman paling aneh yang tak ingin dijalaninya lagi untuk kedua kali. Keluarga dan semua saudaranya sangat takjub mendengar ceritanya. Juga bertambah takut.
Komunikasi di antara Ratna dan anggota keluarganya nyaris tak ada lagi. Semua anak, menantu, dan cucu lebih suka menghindar, takut diajak bicara dan takut disuruh-suruh. Masih mending kalau disuruh melakukan sesuatu yang wajar, kalau tidak" Misalnya seperti yang dialami Rama. Hanya Donna yang masih punya keberanian. Tapi tak ada yang mau mengikuti langkahnya. Donna pernah mendapat hukuman dari Rama tapi berhasil lepas. Bagaimana kalau tak berhasil"
Bi Ipah masih bertahan menemani Ratna. Sebenarnya bukan karena gaji lumayan yang diterimanya, tapi lebih disebabkan oleh ketakutan. Ia tahu apa saja yang dialami anggota keluarga Rama. Jadi ia tak mau mengalami nasib sama. Ia toh bukan apa-apanya Ratna hingga beban batin boleh dikata tak ada. Lama-lama ia semakin yakin bahwa dirinya aman-aman saja karena Rama membutuhkannya.
Dalam keadaan tertekan itu Rama sangat senang ketika Ratna menyuruhnya mencarikan rumah kontrakan. Uang yang diperoleh Ratna dari Delia akan digunakannya sebagian untuk mengontrak rumah selama setahun. Sisanya masih cukup untuk meme397 nuhi kebutuhannya yang lain. Paling tidak untuk sementara.
"Rumahnya yang kecil saja, Ram. Buat aku dan Ipah doang. Tapi jangan jauh-jauh dari rumah ini supaya aku gampang ke sini sewaktu-waktu," pesannya.
Rama tidak bertanya kenapa tiba-tiba Ratna ingin pindah rumah. Ia sudah belajar untuk tidak bertanya.
Tapi Ratna masih sempat berkata, "Seharusnya kalian yang pergi karena ini rumahku. Tapi aku masih punya rasa kasihan. Mau ditaruh di mana bengkelmu nanti""
Ucapan itu membuat Rama sedih dan gusar. Padahal Ratna memang tak ingin tinggal di rumah yang besar karena ia cuma berdua. Rumah terlalu besar hanya merepotkan dan melelahkan.
Rama dan semua saudaranya bersemangat mencari rumah dimaksud. Meskipun jaraknya tidak jauh, yang penting Ratna tidak lagi serumah. Sudah tentu Maya pun senang meski berusaha keras menyembunyikan. Ia takut kalau-kalau rasa senangnya bisa membuat
gusar Ratna. Memang ada eksesnya bagi Rama, yaitu ia tidak lagi menerima uang iuran dari semua saudaranya, karena uang itu akan langsung ke tangan Ratna yang akan mengelolanya sendiri untuk biaya kebutuhannya sehari-hari. Tetapi bila dibandingkan dengan kelegaan batin, uang menjadi tidak berarti.
Rama dan saudara-saudaranya membiarkan saja sepak terjang Ratna dan mengabulkan apa pun yang dikehendakinya. Tanpa protes dan tanpa tanya-tanya. Mereka sama sekali tidak mengkhawatirkan sang ibu yang hidup terpisah. Orang seperti Ratna tidak perlu dikhawatirkan
398 Sementara itu, satu hal yang perlu dimiliki semua orang yaitu kartu identitas atau KTP untuk Ratna sudah selesai dibuat. Dengan penampilannya yang baru Ratna membutuhkan KTP baru dengan fotonya yang terbaru! KTP itu mencantumkan tanggal kelahiran yang dimajukan 20 tahun! Ia tak lagi membawa-bawa KTP lamanya yang berlaku seumur hidup. Tidak mungkin lagi baginya bertahan dengan KTP lama. Siapa yang akan percaya bahwa dirinya adalah orang yang sama dengan foto yang tercantum" Juga dengan tanggal kelahiran lama yang menyatakan usianya sudah tujuh puluh tahun"
Sudah tentu KTP baru itu aspal, asli tapi palsu. Rama menyuruh seseorang yang menjadi spesialis pembuat KTP aspal dengan biaya tertentu. Sama sekali tidak sulit asal ada uang dan ada orang yang mendewakan uang.
Perlahan tapi pasti, anggota keluarga Ratna tidak lagi memandangnya sebagai ibu dan nenek mereka, tapi semata-mata orang lain meskipun mereka tetap memanggilnya "Mama" dan "Nenek". Tentu Rama mengetahui hal itu. Ia menyadari, kini ia kehilangan anak dan cucu, juga kasih sayang yang selayaknya ia dapatkan. Yang dimilikinya cuma penguasaan atas diri mereka. Tapi itu tidak jadi masalah baginya. Ia tidak membutuhkan kasih sayang mereka. Ia menikmati kehidupannya yang sekarang beserta segala kemungkinan yang bisa diraihnya. Kalau punya ilmu, siapa yang membutuhkan orang lain"
Masih dalam minggu itu juga Ratna mendapatkan rumahnya yang terletak di Jalan Angsana. Tak terlalu jauh tapi juga tak terlalu dekat dengan rumah Rama. Semua saudara Rama membantu memindahkan barang-barang Ratna. Ternyata barang-barang itu ba399 nyak sekali, dari perabot kamar mandi, perabot dapur, perabot kamar tidur, sampai perabot ruang tamu. Kebanyakan adalah perabot lama yang dimilikinya. Termasuk kulkas ma yang sudah berkarat, yang selama ini digunakan juga oleh keluarga Rama, dibawanya serta, padahal ia bisa membeli yang baru. Rumahnya yang kecil menjadi padat. Sebaliknya, rumahnya yang ditempati Rama sekeluarga menjadi kosong melompong karena besar tapi kekurangan perabot.
"Kita bisa main bola di ruang tamu," kata Boy.
"Nanti meja pingpong yang disimpan di gudang Oom Ridwan bisa dipasang di sini!" seru Lisa.
"Horeee...! Horeee...!"
Kedua anak itu melompat-lompat gembira.
Maya meredam tingkah mereka. "Jangan berlebihan senangnya! Ingat. Di sana Nenek cuma ngontrak setahun. Kalau nggak betah, dia akan kembali ke sini."
"Mudah-mudahan dia betah ya, Ma," harap Lisa.
Maya tersenyum. Tentu saja dia juga berharap begitu.
"Aku senang kau bisa tersenyum lagi," bisik Rama.
"Eh, sekarang kau nggak perlu berbisik," kata Maya tertawa.
Mereka mengunci kamar yang semula ditempati Ratna lalu menyimpan kuncinya. Mereka tak ingin memeriksa meskipun tahu kamar itu sudah kosong. Anak-anak pun tak diizinkan masuk biarpun cuma sebentar.
Setahun itu tidak lama. Tapi siapa bisa meramal apa yang mungkin terjadi dalam waktu itu"
* * * 400 Setelah rumah barunya rapi, Rama segera menghubungi Hendri lewat SMS. "Aku pindah ke Bandung. Jl. Angsana nomor 2. Datanglah Sabtu! Jimat selesai."
Pesan itu diterima Hendri dengan gembira. Sebelumnya ia sudah berulang kali mengirim SMS menanyakan jimat pemikat atau jimat penakluk yang dijanjikan Rama untuknya. Ia menganggap Ratna berutang karena ia sudah memuaskan libido Rama tapi tidak mendapat imbalannya. Padahal ia tahu betul, tanpa imbalan pun ia mau melakukannya karena ia sendiri terpuaskan. Bahkan ia merindukannya setiap saat. Apalagi kalau kehausan itu datang. Tak ada perempuan bisa menandingi Ratna atau Ratih. Setia
p kali pesannya dibalas oleh Rama bahwa jimatnya belum selesai. Hendri harus bersabar.
Ia memerlukan jimat itu untuk menaklukkan Yasmin. Ia memang ingin menguasainya. Ia percaya bahwa perempuan dengan masalah seks seperti Yasmin pada awalnya memang dingin, tapi kalau sudah berhasil ditaklukkan dalam arti mendapat kenikmatan seksual, ia akan berbalik. Suatu lompatan besar akan dilakukannya. Dari perempuan frigid menjadi hiperseks!
Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian Delia ikut menumpang di rumah itu. Padahal sebelumnya Hendri tidak diberitahu. Boro-boro dimintai saran atau ditanyai. Tapi ia maklum, tentu saja Yasmin merasa tidak perlu melakukannya karena rumah itu milik ayahnya atau miliknya juga. Hendri memang tidak punya kuasa apa-apa di situ.
"Ada konflik di motel. Kak Del dan Bang Kos perlu introspeksi. Jadi sebaiknya berpisah dulu untuk sementara," Yasmin menjelaskan.
"Kenapa harus di sini" Kan dia bisa kos."
401 "Aku ingin menolongnya. Begitulah antara sahabat. Harus saling menolong. Dulu dia menolongku. Ingat""
Bila diingatkan peristiwa itu, Hendri tak bisa bicara lagi.
Delia menempati rumah besar. Sama sekali tidak mengganggu mereka yang tinggal di paviliun. Tapi Yasmin jadi lebih sering ke rumah besar. Kalau mau ketemu Delia, dia ke sana. Hendri sendiri jarang ke rumah besar kecuali kalau perlu saja dan sesekali menjenguk Winata. Menurutnya, Winata tidak suka padanya dan karenanya tidak suka pula dijenguk. Hendri selalu salah tingkah bila berada di dekat Winata. Kemudian ia melihat bagaimana Delia dan Winata bisa bergaul dengan akrab. Keduanya bisa mengobrol dengan asyik. Hendri menjadi iri dan marah. Ia merasa terkucil sendirian.
"Hati-hati, Yas. Papa bisa lebih sayang Delia daripada kau," Hendri mencoba menghasut.
Kata-kata itu membuat gusar Yasmin. "Jangan ngomong begim! Kau nggak tahu apa-apa!"
"Aku ngomong begitu untuk kepentinganmu. Jangan percaya pada sembarang orang."
"Kak Del bukan orang sembarangan. Kalau dia tak ada, aku juga tak ada!"
"Tapi..." "Aku tak mau dengar lagi omongan seperti itu!"
Bagi Hendri, kini Delia menjadi saingan. Ia memang tidak paham. Ia mengira Delia mendekati Yasmin karena kekayaannya. Ia semakin gusar karena Yasmin semakin banyak menghabiskan waktu di rumah besar. Dulu sebelum ada Delia, Yasmin ke sana hanya di waktu siang saat Hendri berada di kantor. Pernah Hendri ke sana untuk menjenguk, lalu tercengang melihat mereka berkumpul dengan riang gembira.
402 Termasuk Aryo. Hendri tahu, seharusnya ia ikut bergabung saja kalau tak ingin merasa sendiri. Tapi ia malu. Rasanya ia harus menebalkan muka dulu kalau mau ikut serta!
* * * Kepergian Delia dari Motel Marlin membuat suasana jadi murung di antara para karyawan. Juga Kosmas dan Erwin. Terasa ada yang hilang walaupun sebenarnya Delia belum lama berada di sim. Keramahan dan keceriaannya mampu menghidupkan suasana yang monoton. Kalau mereka melihat pepohonan di sekitar motel, mereka teringat kepada Delia.
Kosmas jadi pendiam dan gampang tersinggung. Erwin banyak merenung dan lebih suka menyendiri. Mereka berdua kian jarang berkomunikasi kecuali mengenai urusan motel. Dalam satu hal keduanya sepakat, yaitu menghindari pembicaraan mengenai Delia. Jangankan menelepon Delia untuk sekadar menanyakan kabarnya, menyebut namanya pun terasa pantang dilakukan.
Erwin pun tidak suka lagi menelepon Yasmin. Tanpa kehadiran Delia, ia jadi kehilangan tempat curhat. Sedang Kosmas bukanlah orang yang cocok untuk itu. Tak ada yang tahu kecuali dirinya sendiri apakah ia sudah kehilangan harapan hingga tak mau lagi menelepon atau cintanya memang sudah padam. Bisa juga ia puas karena hubungan Kosmas dengan Delia sudah tak menentu bahkan terancam putus. Maka mereka berdua kembali jadi pria lajang. Satu tak punya kekasih, satunya lagi pun begim!
Erwin masih suka bermeditasi dan berdoa tapi tidak sesering dan seintens seperti saat Delia masih
403 ada. Ada yang hilang dari dirinya, entah semangat atau percaya diri. Kosmas lebih lagi. Dia benar-benar malas dan kehilangan semangat. Baginya hidup seperti rutinitas yang mau tak mau harus dijalani.
Pernah sekali Delia meneleponnya untuk m
enanyakan kabarnya dan Erwin. Ia menjawab dingin dan angkuh, "Semuanya baik-baik saja. Bahkan kami lebih baik daripada dulu!"
Ia tahu betul, ucapannya itu pastilah menyakitkan. Tapi ia heran karena Delia menyahut dengan nada lega, "Syukurlah kalau begitu, Bang. Mudah-mudahan kalian tetap akur dan rukun ya""
Karena itu Kosmas tidak pernah mau menelepon Delia. Ia takut mendengar betapa baiknya keadaan Delia sekarang. Jauh lebih baik daripada di Motel Marlin! Bila itu terjadi, ia akan merasa sangat iri.
Tamu-tamu datang dan pergi, baik yang sudah langganan maupun yang baru pernah menginap di situ. Tapi selama waktu itu kamar nomor 5 belum juga terisi sejak ditempati perempuan yang mengaku bernama Ratih. Bila ada tamu yang datang, selalu diberi kamar nomor lain. Sebenarnya bukan kesengajaan karena penerima tamu biasanya menjulurkan tangannya ke belakang, tempat kunci tergantung, tanpa memilih-milih kunci yang mau diambil. Mana yang duluan teraih, itulah yang diambil. Sampai saat itu belum pernah semua kamar terisi penuh hingga tak menyisakan kunci yang tergantung. Maka kunci nomor 5 tetap tergantung. Tak ada yang menyadari hal itu. Soal nomor kamar tidaklah penting. Tamu pun tidak mempersoalkan nomor. Mana saja yang diberikan diambil tanpa keberatan. Buat mereka semua kamar sama saja, tidak dibedakan oleh nomor.
Hanya sekali-sekalinya Erwin dengan sengaja mem404 berikan nomor tertentu kepada tamu, yaitu Delia yang diberinya kunci bernomor 14. Ketika itu situasinya memang berbeda. Termasuk suasana hati!
405 BAB 38 Sabtu pagi, Hendri bersiap berangkat ke Bandung, memenuhi janjinya dengan Ratna.
"Aku ada tugas luar ke Bandung, Yas," jelasnya kepada Yasmin. "Besok sore baru pulang."
Yasmin agak heran. "Biasanya kau nggak pernah tugas ke luar kota. Apalagi di akhir pekan."
"Yang biasanya tugas luar lagi sakit, Yas. Memang sih libur, tapi kan dihitung lembur. Lumayan."
"Baiklah. Hati-hati saja di jalan."
"Mau oleh-oleh apa""
"Ah, apa ya"" Yasmin berpikir.
"Peuyeum Bandung""
"Oh ya. Boleh. Pilih yang bersih, Hen!"
"Tentu. Aku nggak pamit sama Papa ya" Pasti belum bangun. Tolong sampaikan aja."
"Baik." Lalu Hendri merentangkan kedua tangannya. "Apa aku nggak dapat cium, Yas""
Yasmin maju dan memberikan ciuman yang cepat di pipi Hendri. Dengan cepat pula kedua tangan Hendri memeluk tubuh Yasmin. Ia memonyongkan mulutnya. Minta ciuman di bibir! Yasmin jadi ragu-ragu. Dengan tersenyum ia menggelengkan kepala. Bagaimana kalau Hendri terangsang" Sekalinya ia mencium bibir Hendri, ia bisa terperangkap dan sulit lepas.
406 Bagi Hendri senyum Yasmin itu menggemaskan. "Masa cium bibir saja takut sih" Aku nggak bakal ngapa-ngapain, Yas. Dijamin."
"Bukan itu." Pelan-pelan Yasmin melepaskan diri dari pelukan Hendri.
"Ya sudahlah. Aku pergi."
Yasmin melambaikan tangan. Bila Hendri bersikap baik dan lembut, kadang-kadang ia tersentuh juga dan merasa iba. Tapi kalau ingat masa lalu, ia jadi tegar lagi. Andaikata ia tak punya ayah kaya, maukah Hendri bersikap seperti itu" Sejak keluar dari rumah sakit mereka tak pernah tidur bersama. Pasti Hendri tidak tahan berpuasa selama itu. Ia tidak tahu dan tidak peduli dengan siapa Hendri tidur. Barangkah betul bahwa cintanya sudah mati. Orang bilang tanpa cemburu tak ada cinta. Begim pula sebaliknya. Tapi ia tak bisa memberikan apa yang dibutuhkan Hendri. Awalnya ia memang tidak ikhlas bila Hendri mencari kepuasan pada perempuan lain. Mungkin saat itu yang dinamakan cinta masih ada.
Yasmin tahu, ada kemungkinan Hendri berbohong tentang alasan kepergiannya ke Bandung. Bisa seluruhnya bohong atau sebagian. Tapi situasi hubungan mereka sekarang membuat ia tak bisa menuntut apa-apa.
Delia terkejut ketika diberitahu. "Ke Bandung"" tegasnya.
"Memangnya kenapa"" Yasmin heran melihat reaksi Delia.
Delia tersenyum menenangkan. "Nggak apa-apa. Sori, Yas. Kalau nyebut Bandung aku selalu ingat masa lalu. Trauma, kali. Padahal di sim bukan hanya pengalaman buruk yang kudapat, tapi juga
407 yang menyenangkan. Kok yang dominan malah yang buruk."
"Aku mengerti. Di sana bermukim nenek sihir. Kau masih ngeri sama dia, ya"
" "Ya. Aku cukup percaya diri sekarang, tapi masih terbatas dalam hal yang menyangkut diriku sendiri. Aku percaya dia tak akan bisa mencelakai aku karena aku yakin Tuhan tidak akan membiarkan hal itu terjadi."
"Lantas kenapa masih ngeri""
"Aku memikirkan orang yang dekat denganku. Biarpun dia tidak bisa mencederai atau menyakiti aku secara langsung, dia bisa saja memanfaatkan orang lain. Apa yang terjadi pada Kosmas dan Erwin mungkin saja akibat perbuatannya. Kenyataannya, Rama datang dan menginap di Motel Marlin. Coba, ngapain dia ke sana kalau bukan untuk melakukan sesuatu" Aku tidak bisa memastikan atau membuktikan, tapi aku merasa perubahan sikap kedua orang itu tidak wajar."
"Kalau dugaanmu itu betul, bagaimana dia melakukannya" Dia hanya menginap semalam. Ketemunya dengan Erwin seorang. Kosmas sedang bersamamu. Apakah dia bisa menghipnotis orang""
"Sudah terbukti dia bisa melakukan sesuatu yang jahat dari jarak jauh tanpa perlu berhadapan. Misalnya apa yang terjadi pada Maya dan Donna. Bedanya, apa yang terjadi pada mereka sebatas masalah fisik. Bukan perilaku."
"Kalau mikir ke situ, kayaknya memang dialah penyebabnya, Kak."
"Aku juga ingat pada masalah bau tak enak di kamar nomor lima, kamar yang diduga kuat ditempati Rama. Pada hari itu satu-satunya tamu yang datang
408 dan deskripsinya cocok dengan Rama adalah dia. Tamu lain berpasangan. Tak ada cewek sendirian."
Yasmin teringat pada bau tubuh Hendri beberapa hari yang lalu. Ia meributkan bau itu padahal Hendri sendiri tidak merasakan.
"Ngomong-ngomong soal bau tak enak itu, kayak apa sih, Kak""
"Pokoknya memuakkan. Bau busuk bukan. Bau amis juga bukan. Menurut Erwin, itu seperti bau orang yang nggak mandi setahun, bau sumpek, bau ketiak." Delia tertawa. "Duh, mengingat-ingat bau itu aku jadi enek, Yas! Kenapa kau ingin tahu""
"Aku teringat bau yang tercium dari tubuh Hendri ketika menemaninya sarapan. Baunya seperti yang digambarkan Erwin itu. Malam sebelumnya dia pulang larut. Aku tidak tahu jam berapa karena kutinggal tidur. Dia bawa kunci sendiri. Kamarnya pun terpisah. Herannya dia sendiri tidak bisa mencium bau itu Kusuruh pakai deodoran. Katanya dia pakai terus selama di kantor. Tapi pulang kantor usai mandi bau itu nggak ada lagi. Dia sampai bilang aku mengada-ada."
Delia terkejut mendengar cerita itu. "Kapan kejadiannya, Yas""
Yasmin mengingat-ingat. "Tanggalnya aku nggak ingat persis, Kak. Tapi sehari sebelum itu kau pergi ke Bandung bersama Bang Kos. Erwin yang bilang di telepon."
"Pada malam itu Hendri datang ke motel, ketemu Erwin. Dia membawakan pizza. Apa dia nggak cerita""
"Nggak tuh. Wah, ngapain dia ke sana" Apakah dua peristiwa itu ada hubungannya, Kak"" tanya Yasmin ngeri. "Pada saat Hendri ke Motel Marlin,
409 Ratna juga ada di sana. Mungkinkah mereka bertemu, Kak""
"Hendri datangnya sudah lewat senja hari. Kata Erwin, dia mampir cuma sebentar. Ratih yang kemungkinan adalah Rama check in sebelumnya. Erwin tidak melihat kedua orang itu bertemu. Saat Hendri datang, Ratih atau Rama sedang keluar cari makan. Jadi kemungkinan ketemunya di luar motel. Tapi," bukankah mereka tidak saling mengenal""
Keduanya saling memandang dengan rupa bingung. Dua peristiwa yang sama-sama mengandung bau tak enak sepertinya ada hubungannya. Tapi di mana tersambungnya, tak bisa diketahui atau diperkirakan.
"Aku mau mengaku salah padamu, Kak," kata Yasmin kemudian. "Aku pernah salah omong sama Hendri. Aku bilang mertuamu nenek sihir yang bisa mengutuk orang. Tapi hanya itu. Dia mendesak ingin tahu tapi aku nggak cerita lagi. Lalu dia bilang ingin kenalan sama mertuamu itu. Dia yakin orang seperti mertuamu itu pasti punya ilmu. Jadi dia mau minta tolong supaya masalah antara aku dan dia bisa diatasi. Maksudnya supaya kami bisa rukun dan aku bisa menikmati seks dengan dia. Tentu saja aku keberatan. Maafkan aku ya, Kak""
Delia termenung. Mungkinkah itu sambungannya" Tapi tampaknya masih tak jelas. Meskipun Hendri datang ke Motel Marlin saat Ratna ada di sana, keduanya tidak saling mengenal dan belum pernah bertemu. Bahkan Delia pun belum pernah melihat Rama dalam rupany
a yang baru. "Kak Del marah, ya"" Yasmin khawatir melihat Delia diam saja.
"Oh, nggak kok. Salah ngomong itu wajar. Nggak
410 sengaja. Aku juga suka begitu. Aku cuma mikir benang merahnya di mana ya" Feeling sih kayaknya ada. Tapi kita kan nggak bisa menyimpulkan berdasarkan feeling doang." "Soal bau""
"Belum tentu baunya sama."
"Dia mau ke Bandung, Kak."
"Belum tentu dia mau menemui Rama."
"Memang semuanya belum tentu. Yang bersamaan adalah saat pergi ke motel. Hendri ke sana saat Rama di sana juga. Setelah Rama keluar dari motel, kamarnya bau. Pagi-pagi Hendri juga bau. Deskripsi bau mirip. Kita bisa mengasumsikan bahwa mereka setidaknya bertemu dan dekat satu sama lain."
"Jadi kau cenderung yakin"" Delia senang ada seseorang yang bisa diajak berdiskusi.
"Sebenarnya aku takut untuk merasa yakin, karena Hendri suamiku. Apalagi kalau ingat dia pernah mengutarakan keinginannya untuk minta bantuan Rama supaya kami bisa rukun. Aduh, Kak, gimana kalau perkiraan itu benar""
"Memangnya kau tak ingin rukun kembali dengan Hendri"" Delia ingin tahu.
"Kak, maksud Hendri dengan rukun itu adalah supaya dia bisa berhubungan seks denganku tanpa hambatan. Dia ingin aku tidak takut lagi dan bisa menikmatinya."
"Apa kau sendiri tidak ingin bisa begitu""
Yasmin cemberut. Ia menggelengkan kepala. "Masalahku dengan dia sekarang bukan hanya seks, Kak. Sejak dia tega kepadaku dulu, perlahan-lahan aku kehilangan cinta kepadanya. Belakangan tambah lagi dengan kebohongan-kebohongannya yang dikiranya aku nggak tahu. Aku kehilangan respek padanya.
411 Bagaimana aku bisa menikmati hubungan dengannya bila perasaanku seperti itu""
"Jadi apa yang kautakutkan""
"Bila dia memerlukan bantuan nenek sihir, sudah jelas apa jenis bantuannya. Secara wajar tak bisa, maka dipakai cara tak wajar. Aku mau disihirnya!"
Delia terkejut oleh kemungkinan itu. Mungkin saja dugaan itu terlalu jauh. Tapi kemudian ia terkejut oleh sesuatu yang lain. Ia memeluk Yasmin dengan tiba-tiba hingga Yasmin mengira Delia ketakutan. "Ada apa, Kak""
"Maafkan aku, Yas. Jangan-jangan kedatanganku ke sini akan membawa akibat yang sama seperti pada Kosmas dan Erwin. Aku membawa sial," kata Delia sedih. Tak tahan lagi ia menangis.
Dulu pemah ada kecemasan kalau-kalau orang yang dekat dengannya akan dicelakai juga. Sekarang kecemasan itu sepertinya akan menjadi kenyataan. Suatu saat semua orang yang dekat itu akan menjauh dan memusuhinya lalu ia kembali sendirian. Apakah memang itu tujuan Ratna"
"Sudah, Kak. Sudah." Yasmin menepuk-nepuk punggung Delia. "Aku tahu apa yang kautakutkan. Percayalah. Aku dan Papa tidak akan seperti Bang Kos dan Erwin."
"Kau tidak tahu kemampuan Ratna."
"Aku tahu. Kau sudah menceritakannya. Tapi kau sendiri bilang sudah punya cara ampuh untuk melawan Rama. Aku akan melakukan hal yang sama. Kita akan bermeditasi dan berdoa bersama, Kak."
"Terima kasih, Yas."
"Ah, terima kasih melulu. Sudahlah."
"Aku menyesal telah menyusahkan orang-orang yang kusayangi."
412 "Seharusnya dia berhenti mengejarmu."
"Dia membenciku. Dia juga tahu aku membencinya. Dia ingin aku takut padanya."
"Jangan takut. Kak. Kita harus melawannya. Dia tidak akan semudah itu menguasaiku. Aku tidak akan segampang itu berubah seperti Kosmas dan Erwin."
Yasmin mengucapkannya penuh percaya diri. Delia bersyukur, tapi ia menganggap Yasmin kurang menyadari kemampuan Ratna.
"Kalau begitu aku harus berhati-hati terhadap Hendri," Yasmin menyimpulkan.
"Betul sekali. Kalau dia pulang nanti, perhatikan dia baik-baik. Apakah dia bau lagi atau tidak. Juga kelakuannya."
"Tentu. Oh, aku senang sekali ada kau di sini, Kak! Aku senang ada orang yang mendampingiku melawan kejahatan."
"Tapi..." "Berjanjilah, Kak. Apa pun yang terjadi jangan pergi meninggalkan kami."
"Apa pun yang terjadi""
"Ya. Apa pun yang terjadi."
Yasmin menatap Delia dengan permohonan di wajahnya.
"Tentu saja, Yas. Tentu saja," jawab Delia.
Sepertinya ada perbedaan dengan kasus Kosmas dan Erwin, pikir Delia. Ketika itu mereka sama sekali tidak siap. Sekarang berbeda. Dia dan Yasmin sudah memperhitungkan segala kemungkinan. Yang sangat disayangkan
nya ia tak bisa mengajak Kosmas dan Erwin untuk berbagi dalam hal itu.
* * * 413 Beberapa kali Erwin meraih telepon dan sudah pula menekan nomor-nomornya, tapi setiap kali pula ia meletakkannya kembali. Keinginannya untuk menelepon Yasmin dan Delia hanya sebatas keinginan tapi tak terwujud. Sedang Kosmas lain lagi tingkahnya. Bila berada di kantor ia bengong saja memandangi pesawat telepon. Hanya memandang tapi tak sampai meraih. Bila tiba-tiba berdering ia terkejut bukan main, tapi ragu-ragu mengangkatnya. Setelah berkali-kali berdering dan muncul seseorang yang mengira tak ada orang di kantor, barulah ia mengangkatnya. Setiap dering disangkanya dari Delia. Kalau ternyata bukan, ia menjadi murung.
Biarpun sama-sama merasa galau oleh sebab yang sama, keduanya bertahan untuk tidak membicarakannya. Mereka mengalihkan dengan bekerja lebih intens. Kosmas rajin merawat tanaman yang ditinggalkan Delia. Kadang-kadang ia berbicara kepada tanaman-tanaman itu. Tapi tak ada yang tahu atau mendengar apa yang dikatakannya.
Akhirnya kamar nomor 5 diisi oleh sepasang pria-wanita yang mengaku suami-istri. Tuan dan Nyonya Hartono. Kunci kamar itu terambil juga karena tak ada lagi kunci lainnya yang tergantung. Semua kamar terisi kecuali kamar yang satu itu.
Kepergian Delia ternyata menambah kerepotan. Padahal sebelum ada Delia mereka sudah terbiasa dengan kerepotan dan kerja serabutan. Setelah ada Delia suasana kerja menjadi teratur dan menyenangkan. Untuk kembali ke suasana dulu juga tidak mungkin. Delia bukan hanya bisa mengatur, tapi juga membantu hampir dalam segala hal bila punya waktu untuk itu. Dia tak membeda-bedakan orang. Senyum, tawa, dan kelakarnya memberi keceriaan
414 dan kesegaran. Begitu pula semangatnya yang tinggi. Mereka merasa kehilangan, jadi pendiam, dan seperti kekurangan darah. Ada yang bertanya kepada Kosmas apakah Delia akan kembali. Tapi jawabannya adalah bentakan. Maka tak ada lagi yang bertanya. Mereka hanya berbicara di belakang.
Mereka yakin, hubungan Kosmas dengan Delia sudah putus karena kelakuan Kosmas bagai orang patah hati. Padahal mereka sudah meyakini dan merasa pasti bahwa tak lama lagi akan ada pernikahan di antara keduanya. Lalu muncul isu bahwa penyebab putusnya hubungan itu adalah Erwin. Si adik ini iri hati lalu melancarkan hasutan hingga hubungan itu retak dan akhirnya pecah. Sudah bukan rahasia lagi bahwa keakraban abang-adik ini sangat menonjol. Mereka pun punya riwayat percintaan yang unik. Kalau satu dapat pacar, lainnya dapat juga. Tapi kalau satu putus, yang lain pun begitu. Padahal Erwin itu jauh lebih tampan dibanding abangnya. Tidak susah baginya mendapat pacar.
Erwin bisa merasakan adanya omongan tak sedap tentang dirinya. Ia tak bisa membantah apalagi marah karena ia tidak mendengar sendiri. Ia hanya merasakan sikap dan tatapan dingin para karyawan kepadanya. Tentu saja itu sangat tidak menyenangkan. Tapi ia tidak bisa berbuat lain kecuali pura-pura tidak melihat dan mendengar.
Saat bermeditasi, ia kerap teringat pada Delia dan Yasmin. Sulit menghilangkan keduanya dari pikiran. Kedua wanita itu seperti berlomba menguasai pikirannya. Biarpun sulit dan lama, akhirnya Erwin berhasil juga mengosongkan pikiran. Ada ketakutan kalau ia membiarkan dirinya dikuasai maka ia akan kalah. Ia akan diperbudak seumur hidupnya. Ia bukan lagi
415 orang yang merdeka jiwa dan raga. Bukan cuma iblis yang ingin memperbudak manusia, tapi juga manusia terhadap sesamanya.
Erwin tak menyadari, semakin sering ia melakukan hal itu, semakin jauh ia dari kedua orang yang sebenarnya ia sayangi itu. Ia lupa bahwa dengan mencintai seseorang sesungguhnya ia bukan lagi orang yang bebas, karena pikiran dan jiwanya dibebani dan dibagi dengan orang yang ia cintai. Cinta membuat orang tak lagi egois. Seharusnya begim.
* * * Tidak sulit bagi Hendri untuk menemukan Jl. Angsana nomor 2. Rumah itu terletak di tepi jalan yang cukup besar, bukan di tengah gang yang berliku-liku. Ia merasa surprise melihat Ratna berdiri di balik pintu pagar melambai-lambai ke arahnya. Setelah ingat siapa Rama, ia merasa tak perlu heran lagi. Ra
tna sudah tahu perihal kedatangannya.
Begitu masuk ke dalam rumah dan pintu ditutup, Rama langsung memeluk Hendri dengan dekapan yang kuat. Disusul dengan ciuman bibir yang lekat.
"Sabaaar... sabaaar...," kata Hendri sambil tertawa. Padahal pelukan dan ciuman itu saja sudah membuatnya terangsang.
Tiba-tiba ia melihat seorang perempuan ma di ambang pintu sebelah dalam rumah, berdiri mematung memandanginya. Wajahnya menampakkan kejutan luar biasa. Hendri pun terkejut karena melihatnya setelah-beberapa saat kemudian. Entah sudah berapa lama perempuan tua itu berdiri di sim. Hendri cepat-cepat melepaskan pelukan. Dari ekspresi perempuan tua itu rasanya ia telah melakukan sesuatu yang memalukan.
416 Ratna menoleh karena posisinya membelakangi. Wajahnya segera memperlihatkan kegusaran.
"Hei! Ngapain kamu di sim" Masuk sana!" bentaknya.
Perempuan ma itu, Ipah, disadarkan. Dari semula kaget dan heran, ekspresinya berubah takut, lalu ia lari ke belakang.
"Dia pembantuku, Ipah. Pasti dia sangat heran melihatmu. Dia belum pernah melihat lelaki memeluk dan menciumku."
Rama tertawa geli. "Sejak kapan kau pindah ke sini" Katanya tinggal di Cianjur," kata Hendri.
"Baru beberapa hari. Di Cianjur aku tinggal sama saudara. Kalau di sini sendiri sama pembantu yang tadi itu. Jadi kita bebas."
"Bagaimana jimat yang kaujanjikan itu" Sudah jadi""
"Kalau sudah, kau mau pulang sekarang juga""
Hendri termangu. Apakah itu pertanyaan atau perintah" Tentu saja ia tak mau segera pulang. Ada waktu yang bisa dimanfaatkan. "Nggak dong," ia menjawab.
"Nginep"" tanya Ratna.
"Boleh"" "Tentu saja!" seru Rama. Bahkan ia segera melompat duduk di sisi Hendri. Tangannya langsung meraba selangkangan Hendri lalu menarik ritsleting celananya! Hendri melenguh seperti sapi!
417 BAB 39 Sekitar jam sepuluh malam itu Kosmas mendapat giliran jaga. Ia merapatkan pintu kantor setelah memasang karton bertulisan "KAMAR PENUH" pada kaca pintu sebelah luar. Kerjanya menjadi lebih ringan karena tak perlu menerima tamu. Ia hanya berjaga kalau-kalau ada tamu memerlukan sesuatu.
Ia mengisi waktu dengan menonton televisi.
Lalu terdengar gedoran keras di pintunya dan suara teriakan perempuan bernada histeris. Ia melompat dan membuka pintu. Tampak sepasang perempuan dan lelaki dalam pakaian tidur berdiri dengan wajah resah. Kosmas tak segera mengenali.
"Ada apa. Pak"" tanyanya seramah mungkin. Padahal perasaannya tidak enak.
"A...a...da se...se...tan!" kata yang perempuan. Suaranya gemetar.
"Di mana, Bu"" tanya Kosmas terkejut. Ia jadi ikut takut. Perempuan itu tidak bersandiwara.
"Di kamar nomor lima, Pak!" seru yang lelaki dengan suara melengking.
"Oooh, Bapak dan Ibu Hartono," kata Kosmas. "Tenang dulu. Mari masuk."
Kosmas membimbing kedua tamunya masuk kantor dan menyilakan mereka duduk. Kursi hanya ada dua. Ia sendiri berdiri saja. Dari pengalaman ia
418 sudah tahu bagaimana menenangkan orang biarpun perasaannya sendiri gelisah. Ia mengambil air putih untuk kedua tamunya.
"Minum dulu, Bapak dan Ibu. Saya akan panggil adik saya dulu ya."
Nyonya Hartono menahan lengan Kosmas. "Jangan tinggalkan kami, Pak," katanya. Tiba-tiba kelihatan panik lagi.
"Tenang, Bu. Saya nggak pergi. Pakai ini kok," Kosmas menunjuk interkom.
"Di sini kok dingin, ya"" kata Nyonya Hartono, merapatkan tubuh pada suaminya. Ia memandang berkeliling.
"Iya. Nggak nyaman di sini," balas Hartono. Ia merangkul istrinya.
Kosmas memandang mereka sejenak sebelum memutar nomor kamar Erwin dan Adi berturutan. Untunglah keduanya bisa cepat dibangunkan. Mereka datang hampir bersamaan. Wajah keduanya tampak kusut oleh kantuk dan kejutan.
"Nah, sekarang kami bertiga," kata Kosmas. "Coba dijelaskan situasinya, Pak."
Hartono menggeleng. Matanya jelalatan ke seputar ruangan. Ketakutan masih tampak di wajahnya.
"Nggak mau di sini," katanya.
"Ya. Jangan di sini," Nyonya Hartono membenarkan.
"Kenapa"" tanya Erwin heran.
"Di sini nggak... nggak nyaman!"
Kosmas, Erwin, dan Adi berpandangan. Mereka ikut-ikutan memandang seputar ruangan. Tapi tak melihat sesuatu yang ganjil.
"Kita ke ruang makan saja," Erwin mengusulkan. "Biar Adi
tetap di sini menjaga."
419 Adi terpaksa setuju meskipun ia sangat ingin ikut
Di ruang makan mereka duduk berhadapan. Kedua tamu sudah lebih tenang setelah memandang berkeliling dan memastikan ruangan itu cukup "nyaman".
"Mulanya sih nggak ada apa-apa. Biasa-biasa aja," Hartono mulai dengan ceritanya. "Sebelum tidur kami bercinta. Mulai terasa ada yang aneh. Tiba-tiba saja tercium bau yang nggak enak. Pastinya bukan dari tubuh kami. Kayaknya dari ruangan sekitar. Entah masuk dari mana. Lalu ada suara ketawa mengikik. Ih, menyeramkan. Bulu kuduk kami berdiri. Itu masih belum cukup. Kami melihat bayang-bayang melintas. Sepasang mata tajam mengawasi. Muncul sekejap lalu samar dan lenyap. Yang paling menyeramkan adalah rabaan pada tubuh saya, tapi yang pasti bukan oleh tangan istri saya. Kemudian rabaan itu menjadi kurang ajar, karena meremas-remas... eh, anu saya. Maaf. Memang seperti itu kok. Lalu kami kabur."
Kosmas dan Erwin terkejut bukan main. Pengalaman tamu seperti itu adalah yang pertama sepanjang sejarah berdirinya motel mereka. Tak pernah ada setan dan sejenisnya. Tapi yang mengejutkan mereka bukan hanya itu. Masalah bau yang dikemukakan Hartono itu mengingatkan mereka akan bau yang dulu tercium di kamar itu juga. Bau yang ditinggalkan oleh tamu bernama Ratih. Kesamaan itu pun menghilangkan dugaan buruk kalau-kalau Hartono mengada-ada, sengaja mengarang cerita dengan tujuan memeras atau menjelek-jelekkan motel.
Sikap Kosmas dan Erwin yang tak segera memberi komentar ternyata membangkitkan kecurigaan Hartono.
"Jangan-jangan kamar itu memang angker ya!
420 Apa pernah ada yang mati di sim" Bunuh diri" Kenapa kami dikasih yang itu"" tanya Hartono.
"Bukan begitu, Pak," sahut Erwin. "Kami kaget karena belum pernah mengalami yang seperti itu."
"Jadi cerita saya dianggap bohong"" tanya Hartono.
"Tentu saja nggak, Pak. Kami percaya," kata Kosmas.
"Nah, gitu dong. Buat apa sih kami bohong."
"Masalahnya, semua kamar sedang penuh. Jadi nggak ada kamar lain yang bisa digunakan Bapak dan Ibu," kata Kosmas.
"Im nggak masalah," sahut Hartono. "Kami mau keluar malam ini juga. Masih banyak hotel lain."
"Silakan saja, Pak," kata Erwin ramah.
"Tapi saya minta uang saya dikembaliin, Pak. Saya sudah rugi mental."
"Tentu saja, Pak. Im wajar. Kami juga mohon maaf sebesar-besarnya atas kejadian itu. Sungguh kami tidak sangka apalagi menginginkan," kata Erwin.
Sikap pemilik motel yang merendah bisa meredakan kegusaran Hartono. Kemudian ia minta diantar dan ditemani ke kamar untuk berkemas.
Di kamar nomor 5, sementara Hartono dan istrinya membenahi barang-barang mereka, Kosmas dan Erwin memandang berkeliling. Sambil berbuat begitu mereka berusaha menajamkan indra mereka. Tapi tak ada yang terasa aneh. Bau pun tak tercium.
"Sudah pergi," kata Hartono.
"Ya. Udah nggak ada lagi," istrinya menimpali.
Kosmas dan Erwin hanya mengangguk. Mereka tak ingin mendiskusikan hal itu.
Meskipun barang-barang Hartono hanya sedikit, mereka membantu membawakannya ke mobil. Sikap
421 mereka telah melunakkan hati Hartono. Ia menjadi lebih simpatik.
"Tadi saya bener-bener nggak bohong lho. Saran saya, sebaiknya kamar itu dijampi-jampi dulu. Panggil dukun atau paranormal. Kalau langsung dikasih tamu lagi, bisa terulang kejadian yang sama. Nanti nama motel ini bisa rusak. Orang akan takut menginap di sini."
"Terima kasih, Pak. Maaf sekali lagi."
Kosmas dan Erwin membungkuk dalam-dalam, melepas Kepergian tamu mereka. Sesudah itu keduanya buru-buru kembali ke kamar nomor 5. Di sana mereka kembali memeriksa dengan cermat. Tapi sekali lagi mereka tak merasakan atau menemukan apa-apa.
"Aku yakin dia tidak bohong," kata Erwin.
"Apa karena ada bau itu"" tanya Kosmas. "Ada persamaannya. Tapi belum tentu baunya sama."
"Perasaanku kuat sekali, Bang. Lagi pula mereka benar-benar ketakutan tadi."
"Ya," Kosmas membenarkan. Dialah yang menerima kedua tamu itu saat mengadu pertama kali.
Keduanya duduk di tempat tidur. Termangu, saling memandang, mencoba menemukan jawaban di wajah masing-masing.
Kosmas bicara duluan. "Delia," katanya. Singkat tapi bermakna.
"Nenek sihir," sambun
g Erwin. "Delia benar." "Iya." Hanya itu kata-kata yang diucapkan keduanya. Lalu Kosmas keluar untuk kembali ke kantor menggantikan Adi.
Erwin tetap di kamar itu. Tak lama kemudian Adi
422 datang. Ia sudah mendapat cerita singkat dari Kosmas. Adi ingin membuktikan apakah suasana di kamar nomor 5 itu memang menyeramkan atau tidak. Ia sepakat dengan Erwin bahwa tamu tadi pastilah mengada-ada karena pada kenyataannya tak ada apa-apa di situ. Mesti ada maksud tersembunyi. Orang berbisnis selalu berupaya saling menjatuhkan dengan cara wajar atau tidak wajar.
Sebagai karyawan, Adi memang perlu ditanamkan keyakinan itu. Kalau dia sampai tahu semuanya, pastilah akan menimbulkan kehebohan di antara karyawan lain. Bisa jadi sebagian atau semuanya akan angkat kaki karena ketakutan. Hal itu akan menyulitkan karena sebagian besar karyawan sudah lama bekerja dan terbukti kemampuannya.
Setelah merasa puas, Adi memutuskan untuk melanjutkan tidurnya.
"Ya. Pergilah tidur," kata Erwin. "Aku sendiri mau tidur di sini."
"Oh ya" Berani, Pak""
"Harus dong. Aku kan mau membuktikan."
"Perlu ditemani, Pak"" tanya Adi. Dia hanya berbasa-basi. Sesungguhnya dia tidak ingin.
"Ah, jangan. Nggak usah."
"Besok cerita ya, Pak""
"Beres. Nanti kasih tahu Pak Kosmas bahwa aku mau tidur di sini, ya""
Kemudian Erwin merapatkan, pintu. Untunglah hiruk-pikuk itu tidak membuat tamu lain keluar dari kamar masing-masing. Bila hal itu terjadi, bisa berarti musibah.
Ia tidak bermaksud tidur di ranjang yang barusan ditiduri pasangan Hartono. Ia bersila di lantai untuk bermeditasi. Entah berapa lama ia tak bisa memper423 kirakan. Kakinya sudah kesemutan. Ia lebih mudah berkonsentrasi sekarang.
Tak ada yang aneh. Tak terasa dingin di tengkuk. Sangat biasa. Baginya itu merupakan indikasi bahwa kamar itu "bersih". Ataukah baru sekarang "bersih" sedang tadi tidak" Mungkinkah tergantung pada siapa yang menempati kamar" Erwin punya perkiraan bahwa si nenek sihir, yang diduga sebagai penyebab, pasti segan kepadanya. Ia bukan jenis orang yang akan lari tunggang-langgang kalau mendapat gangguan. Ia akan melawan. Seperti Delia. Ah, Delia. Yasmin.
Sekarang ia membiarkan kedua orang itu memasuki pikirannya. Ia tidak lagi mengusir pemikiran tentang mereka, Ia merindukan mereka dengan segenap jiwa-raga. Ternyata dengan melakukan hal itu ia jadi merasa tenteram. Ia merasa bahagia mengenang semua kasih sayang dan perhatian yang pernah diterimanya. Dari ibunya, Kosmas, Delia, dan mungkin juga Yasmin pada suatu hari nanti. Ia bagaikan, tanaman kering yang mendapat siraman air hujan secara mengejutkan tapi menyenangkan dan menguatkan.
Akhirnya Erwin menjatuhkan badannya ke belakang, rebah ke lantai. Kakinya yang kaku perlu diluruskan pelan-pelan. Ia memejamkan mata dan sesaat melupakan tujuannya berada di kamar itu. Ketika membuka mata, ia merasa air mata mengaliri pelipis dan pipinya. Air mata yang menyadarkan.
Ia melompat bangun. Tubuhnya terasa ringan. Semangatnya membubung tinggi. Ia disadarkan bahwa seharusnya ia memeriksa kamar itu lebih cermat. Bila Ratna sudah lama pergi, kenapa pengaruhnya masih saja ada" Bukankah seharusnya wanita itu
424
Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya bisa memengaruhi orang-orang yang dekat, yang kenal, dan punya hubungan keluarga dengannya"
Pemikiran seperti itu tadinya tak pernah muncul. Yang mendominasi adalah kekesalan dan kesinisan kepada Delia, Kosmas, dan Yasmin. Perasaan-perasaan yang memblokir pikiran hingga tak bisa berkembang, tak bisa jernih. Cupet dan buntu.
Ia memang sudah pernah memeriksa kamar itu bersama Delia pada hari penghuninya pergi. Tapi saat itu mereka hanya memeriksa tempat-tempat yang terlihat seperti lemari, laci, kolong ranjang, dan di bawah kasur. Sekarang, di samping memeriksa lagi tempat yang terlihat, ia juga memeriksa tempat-tempat tersembunyi, mengamati dan menjelajahi dengan ujung-ujung jarinya. Kalau ada benda yang dimasukkan atau disembunyikan tentunya teraba, atau pada tutupan kain ada bekas bukaan dan jahitan baru. Sudut-sudut lemari, laci, kolong lemari, dan di atas lemari tak luput dari pengamatan dan pemeriksaan. Demikian pula kusen jendela
, pintu, lubang angin, dan segala tempat yang memungkinkan penyusupan benda kecil.
Yang tergambar di benaknya adalah benda kecil yang biasa digunakan pemakai ilmu gaib sebagai jimat. Ia sudah tahu dari orang-orang yang biasa berkecimpung di bidang itu. Benda seperti itu idealnya harus kecil supaya mudah disembunyikan.
Maka dengan giat ia mencari ke segala pelosok sampai ke tempat yang tampaknya mustahil. Akhirnya ia sampai ke kamar mandi. Di tempat inilah ia berhasil. Ia menemukan sebuah benda pipih dari kain putih, lebih besar sedikit dari teh celup, diselipkan di celah antara plafon dengan dinding. Ada kerenggangan di sim. Lalu ia teringat akan kereng425 gangan serupa di plafon atas tempat tidur yang menempel ke dinding. Ia mencari ulang di sana dan ternyata menemukan lagi sebuah!
"Gila! Sampai dua!" serunya.
Ia memeriksanya lebih cermat. Benda pipih itu mengandung isi. Kalau ditekan dan digosok-gosok terasa berkeresek seperti sesuatu yang kering. Ia tidak ingin mengamatinya berlama-lama. Takut nanti malah memengaruhinya. Biarpun yakin bisa melawan, sebaiknya ia tidak mengambil risiko. Ia memasukkannya ke dalam saku lalu buru-buru keluar. Mungkin saja yang lainnya masih bisa ditemukan. Tapi itu bisa dilakukan belakangan. Yang penting ia harus memusnakan apa yang sudah diperolehnya.
Saat itu sudah jam dua dini hari. Tak terasa waktu berlalu. Ia merasa sangat lelah. Ketika berjalan di lorong menuju kantor, ia merasa dingin. Angin malam menerpanya. Tapi ia merasa itu bukan melulu disebabkan oleh angin. Sepertinya ada kemarahan yang mau merobeknya. Tapi ia tak peduli.
"Ada apa"" tanya Kosmas dengan wajah kusut.
"Lihat ini! Aku menemukannya!" seru Erwin.
"Apa ini"" Kosmas mengamati kedua benda putih di atas meja dengan perasaan jijik.
"Jimat si nenek sihir! Dia adalah Ratih atau Ratna. Perkiraan Delia memang benar, Bang!"
"Mau diapain itu, Win" Dibuang""
"Dibakar! Biarlah aku membakarnya di dapur. Aku ingin menunjukkannya dulu padamu supaya kau tidak menganggapku berbohong. Ini juga bukti bahwa Delia nggak bohong."
Erwin pergi meninggalkan Kosmas termangu.
"Del..., maafkan aku," gumam Erwin.
Tak lama kemudian Erwin kembali. "Sudah beres,"
426 katanya. "Aku sudah membakarnya menjadi abu, lalu membuangnya ke dalam kakus."
"Apa sekarang kita sudah bebas"" tanya Kosmas.
"Entah. Tapi kayaknya belum. Kau ingat kelakuan kedua tamu kita tadi" Mereka ketakutan di sini. Katanya di sini nggak enak, nggak nyaman. Jangan-jangan di sini juga ada. Aku ingat waktu nenek sihir itu datang untuk check in, aku sempat meninggalkannya sebentar. Aku hanya keluar untuk melihat apakah ada orang yang bisa kusuruh. Paling juga satu menit. Dia sedang berjongkok membereskan tasnya yang terbuka. Nih, di sini," Erwin menunjuk bagian depan meja. "Saat itu dia pasti memiliki kesempatan untuk menyisipkan benda itu. Tentunya nggak mungkin jauh-jauh dari sini. Di mana menurutmu yang paling mungkin""
"Ayo kita cari!" seru Kosmas bersemangat.
Mereka mencari di atas meja. Di sela-sela kertas dan buku, di bawah buku dan kertas-kertas, di dalam tempat pensil. Yang satu mengangkat komputer, yang lain mengamati bawahnya. Di atas meja tidak ditemukan. Kemudian Erwin berjongkok di tempat ia melihat Ratna dalam posisi sama. Tatapannya tertuju ke kolong meja. Kolong itu sangat rendah karena mejanya tak punya kaki. Jadi sapu dan kain pel Sulit mencapainya.
Dengan sebuah penggaris besi panjang, Erwin menyodok kolong dari satu sisi lalu menyapunya ke luar di sisi yang lain. Keluarlah berbagai benda berikut kotoran. Ada kecoa kering, remah-remah makanan, bolpoin, pensil dan... sebuah benda putih!
"Itu dia!" seru Kosmas lalu menyambar benda putih itu.
Mereka memerhatikan. 427 "Sama, kan"" tanya Erwin. "Persis!"
"Benar kan dugaanku""
"Biar yang satu ini aku yang bakar," kata Kosmas. Ia pergi membawa benda itu.
Erwin masih terus mencari tanpa kenal lelah. Semangatnya bertambah setelah tadi berhasil menemukan. Ia mencari di semua tempat dan pelosok termasuk yang paling kecil kemungkinannya. Ia juga naik ke atas kursi untuk memeriksa plafon. Padahal hampir tak mungkin Ratna p
unya waktu dan kesempatan untuk menyembunyikannya di sana.
Kosmas melampiaskan kemarahannya dengan membakar benda kecil itu.
"Pergilah kau, iblis! Dan jangan ganggu kami lagi!"
Sesudah itu ia teringat sesuatu. Ia berdoa. Ia menyesal karena sempat melupakan-Nya. Seharusnya ia melawan kekuatan hitam itu dengan minta bantuan-Nya. Tapi ia tidak melakukan apa-apa dan membiarkan saja. Bahkan merasa lebih enak begim. Seperti orang malas, biarpun jelas ada yang tidak beres tapi tidak mau capek-capek berusaha untuk mengatasi. Sebegitu bodohnya. Tentu sekarang sudah jelas bahwa ia diperbodoh tanpa sadar. Tapi seharusnya ia masih punya sedikit akal sehat. Bahkan ia pun punya cinta. Sebegitu dangkalnyakah cintanya itu"
Ia malu kalau ingat akan perbuatannya kepada Delia malam itu. Mungkin ia juga bisa melemparkan kesalahan kepada iblis yang merasukinya karena pada saat itu benda laknat tersebut sudah berada di kolong meja. Tapi seharusnya ia juga memiliki kendali diri. Padahal sesudah itu ia malah marah kepada Delia.
428 Erwin datang dengan rupa khawatir.
"Lama amat, Bang" Kenapa""
"Nggak apa-apa. Aku berdoa dulu."
"Sudah dibakar, kan""
"Tentu saja. Gimana pencariannya""
"Bersih. Nggak ada lagi. Tapi kamar nomor lima masih perlu diperiksa. Sementara jangan dikasih tamu dulu."
Bersama mereka kembali ke kantor. "Besok kita harus nelepon, Bang." "Tentu saja," sahut Kosmas tanpa menanyakan siapa yang harus ditelepon.
"Apa kaupikir sebaiknya kita datangi saja, Bang"" "Wah, itu lebih bagus lagi."
"Sekarang kita pikirin dulu apa yang mau dibicarakan."
"Ah, nggak usahlah, Win." "Apa bisa""
"Bisa aja. Nanti akan mengalir dengan sendirinya."
Keduanya berpandangan sambil tersenyum. Kekakuan di antara mereka sudah mencair.
Erwin melihat optimisme di wajah Kosmas. Memang sepatutnya Kosmas optimis dan gembira. Hubungannya dengan Delia sudah memiliki kepastian. Berbeda dengan hubungan dirinya dengan Yasmin yang sepertinya tak punya prospek. Tapi kali ini Erwin tidak merasa iri.
429 BAB 40 Malam itu Ratna berbaring di sisi Hendri yang sudah tertidur pulas. Dengkurnya kedengaran nyaman sekali. Dengkuran yang bukan disebabkan salah posisi atau kelainan kerongkongan, tapi merupakan dengkur kepuasan. Tapi Ratna tidak merasa terganggu oleh bunyi itu. Sebaliknya, ia suka sekali. Dengkur lelaki, bau tubuh lelaki, dan segala sesuatu yang berasal dari lelaki kini berada di sampingnya. Bahkan miliknya. Ia bisa menikmati semuanya. Ia juga memuaskan dahaganya selama puluhan tahun. Libidonya hanya terpendam oleh faktor usia dan situasi, tapi tak mati. Itu tersimpan bagai gunung berapi yang hanya menunggu saat tepat untuk meledak dengan dahsyat.
Tuannyalah yang telah mempertemukan dirinya dengan Hendri sebagai orang yang tepat untuknya. Tidak ada lelaki lain yang lebih cocok untuknya selain Hendri. Mustahil ia bisa bertemu sendiri dengan Hendri kalau tidak dibantu oleh sang Tuan. Jadi kepada sang Tuan-lah ia berterima kasih.
Ia membelai kepala Hendri dengan perasaan sayang sekali. Dulu ia juga pernah mengenal rasa sayang kepada suami dan anak-anak serta cucu. Tapi yang dirasakannya sekarang ini berbeda. Yang dulu itu" sekarang sudah tak ada lagi. Pernah punya tapi sekarang tidak lagi.
430 Hendri melenguh lalu berbalik memunggunginya. Punggungnya yang telanjang tampak berkilat. Punggung yang perkasa. Jari-jari Ratna mengusap pelan. Bagai mainan yang disayangi, maka Hendri harus dijaga dengan baik dan hati-hati supaya tidak rusak. Kalau sampai rusak dan tak bisa memberi kenikmatan lagi, jelas tak ada gunanya.
Hendri adalah miliknya. Sementara dirinya adalah milik sang Tuan. Jadi masing-masing punya milik sendiri-sendiri. Tapi tentu saja Hendri tidak memahami hal itu. Bagi Ratna, keinginan Hendri untuk bercinta dengannya sudah menandakan penyerahan diri. Andaikata Hendri tahu sebelumnya tentang hal itu, maukah ia bercinta dengannya" Mungkin tidak. Tapi rasa keberatannya pasti tipis dan rapuh. Hendri dan dirinya adalah jenis orang yang sama. Buat mereka berdua, tujuan hidup adalah kenikmatan.
Tiba-tiba ia merasakan getaran dalam dirinya. Lalu terdengar suara sang Tu
an yang hanya bergaung di benaknya. Sang Tuan memberitahu tentang proyeknya yang gagal di Motel Marlin. Jimatnya sudah ditemukan. Berarti pengaruhnya tak ada lagi di sana. Bibir Ratna mengerucut karena amarah. Tapi tak lama kemudian bibir itu menyunggingkan senyum. Bila itu terjadi, Delia pasti kembali ke Motel Marlin. Dengan demikian dia tak lagi jadi penghalang bagi Hendri.
Sebenarnya Ratna sudah tidak peduli lagi kepada Delia. Sejak Delia datang dan menyerahkan uang, ia sudah menganggap Delia menyerah. Tapi sang Tuan menginginkan ia tetap menghancurkan Delia. Bagusnya adalah kalau Delia melanjutkan usaha bunuh dirinya yang dulu batal dia lakukan. Dan lebih bagus lagi kalau Yasmin pun melakukan hal yang sama.
431 "Tapi aku tak bisa lagi menjangkau Delia, Tuan. Dia memang sempat lemah. Tapi sekarang sudah kuat. Lebih kuat dari dulu."
"Yasmin"" "Itu tergantung pada Hendri. Aku akan berusaha menggarapnya."
"Lakukanlah. Jangan keenakan sendiri. Ingat, kau belum melakukan apa-apa untukku."
"Beres, Tuan! Beres!"
Ratna tidak mengenal Yasmin. Tapi dari cerita Hendri yang suka meremehkan istrinya, ia menyimpulkan bahwa Yasmin orang yang lemah. Dulu motivasi bunuh dirinya itu dangkal sekali. Jauh berbeda dengan Delia. Baru menderita sedikit sudah tak mau hidup. Kalau saja Yasmin tidak bertemu dengan Delia, pasti nyawanya sudah jadi milik sang Tuan, begitu keyakinannya. Kalau tidak, kenapa sang Tuan menginginkan Delia dan Yasmin bunuh diri"
Ratna memang tidak bernafsu lagi mengejar Delia. Di samping merasa sulit, ia tak punya motivasi kuat lagi untuk itu. Uang sudah ia peroleh. Tampaknya urusan uang tak akan jadi masalah baginya karena anak-anaknya yang ketakutan tidak keberatan memenuhi segala kebutuhannya. Demikian pula motivasi mengoleksi emas berlian sudah tersingkir oleh yang lainnya, yaitu seks! Tapi ia tidak boleh mengecewakan sang Tuan.
* * * Bi Ipah sudah menyiapkan sarapan. Lalu ia membersihkan rumah. Saat itu sudah cukup siang, hampir jam sepuluh. Tapi majikan dan tamunya belum juga keluar dari kamar. Berkali-kali sambil lewat ia me432 mandang ke arah pintu. Tapi tak berani lama-lama. Ia takut kalau tiba-tiba Ratna membuka pintu tanpa kedengaran. Malah jangan-jangan bisa keluar tanpa membuka pintu!
Kemarin, saat terkejut melihat Rama berpelukan dan berciuman dengan tamunya dan sampai lupa bahwa ia memandang kelamaan, ia mendapat bentakan yang mengejutkan. Begitu besar kejutannya hingga ia terkencing-kencing! Belakangan Ratna menghiburnya sambil minta maaf, tapi ia tak bisa melupakan ketakutannya. Ia tahu, Ratna buru-buru menghiburnya karena khawatir ia angkat kaki. Bahkan Ratna memberinya uang. Cukup menghibur meskipun tak bisa menghilangkan traumanya.
Sebenarnya Ipah memang takut berada bersama Ratna berdua saja dalam satu rumah. Dulu ada banyak orang di rumah Rama. Tapi ia tidak berani menolak ketika diajak Ratna. Ia sudah tahu dan mengenal siapa Ratna. Bila kepada anggota keluarganya saja Rama berlaku tega, bagaimana pula dengan dirinya yang bukan siapa-siapa. Tapi Ratna meyakinkan dirinya bahwa ia aman-aman saja dan menjamin tidak akan "menyentuhnya". Di samping itu Ratna menaikkan gajinya berlipat ganda. Untuk itu Ratna meminta kesediaannya untuk tidak peduli pada apa pun yang terjadi di rumah itu dan tentu saja tidak boleh bicara pada siapa pun mengenai hal-hal yang dilihat dan dialaminya. Ipah sama sekali tidak keberatan untuk berjanji. Ia memang tidak suka banyak bicara.
Baru beberapa hari menempati rumah itu majikannya sudah mendapat pacar! Heboh betul perasaan Ipah. Rupanya majikannya itu manusia biasa juga, pikirnya.
Saat Ratna dan Hendri menikmati sarapan, Ratna
433 menyuruh Ipah ke pasar. Maksudnya supaya ia bisa bicara leluasa dengan Hendri.
"Apa kau nggak kesepian tinggal sendirian di sini"" tanya Hendri.
"Ah, justru enak sendirian"
"Berapa anakmu" Apa mereka tidak suka ke sini""
"Jangan ngomongin soal keluarga. Tentu aku punya keluarga. Tapi aku nggak mau ngomongin mereka."
Bagi Hendri, keluarga Ratna memang bukan urusannya. Tapi kadang-kadang muncul juga keingintahuannya. Ia melihat perabot serba ant
ik. Ada yang masih bagus, tapi ada juga yang sudah agak rombeng. Apakah keantikan perabot rumah juga menandakan "keantikan" pemiliknya" Ia tidak pernah bisa memperkirakan umur Ratna. Sedang Ratna sendiri pantang ditanya soal umur. Kalau saja ia bisa tahu berapa anak Ratna dan berapa usia mereka, ia mungkin bisa membuat perkiraan.
Tentu saja soal umur Ratna bukan pula urusannya. Yang penting bukan umur. Tapi beberapa kali ia merasakan adanya keganjilan. Ada sesuatu yang tidak seimbang. Kadang-kadang omongan Ratna terkesan ketinggalan zaman. Ratna bukan pula jenis perempuan yang suka olahraga, senam, atau yang lain. Bagaimana caranya ia bisa memiliki tubuh yang begim lentur dan kenyal, tanpa lemak dan selulit" Untuk memiliki tubuh seperti itu banyak perempuan perlu berusaha keras. Dan wajahnya yang halus dan licin itu jelas milik orang yang belum ma. Tapi ada saat-saat Hendri mendapati ekspresi orang yang sudah ma di wajah Ratna, yaitu kedua ujung mulut yang tertarik ke bawah! Pernah ia mengira Ratna menjalani
434 bedah plastik. Tapi ia tidak menemukan bekas-bekasnya.
"Baik. Aku nggak akan nanya soal itu lagi," ia berjanji. Memang apa pedulinya"
"Nggak ngambek, kan""
"Nggak. Masa gitu aja ngambek."
"Syukurlah kalau nggak. Aku takut kau kapok datang lagi ke sini."
"Ah, masa." "Kau datang lagi minggu depan, ya"" pinta Ratna.
Hendri tertegun. Menempuh jarak Jakarta-Bandung hanya untuk mendapatkan kenikmatan seks rasanya malas juga. Tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan jimat. Seks adalah sampingan. Ia memang amat suka bercinta dengan Ratna, tapi itu bukan berarti ia mencintainya. Ia melihat Ratna seperti Inem. Hanya sebagai objek. Jadi kalau sudah terpuaskan ya sudah. Tak ada daya tarik lain. Misalnya untuk curhat atau sekadar mengobrol. Ratna bukan orangnya untuk itu. Ia juga tahu bahwa Ratna menganggap Hendri sama. Cuma sebagai objek seks.
"Kenapa" Ragu-ragu"" tanya Ratna, menatap tajam.
Muncul rasa takut. Bagaimana pula kalau jimat yang dijanjikan itu tidak diberikan"
"Ah, masa ragu-ragu. Pengennya sih kau pindah ke Jakarta aja, Rat. Bandung kejauhan."
"Lain kali jangan bawa mobil. Capek. Naik kereta api aja. Yang ekspres."
Hendri merasakannya lagi. Cara Ratna mengatakan "yang ekspres" itu seperti orang yang tidak banyak memahami situasi. Atau seperti orang tua yang ketinggalan zaman.
"Ya. Nyetir jauh-jauh itu melelahkan."
435 "Sebenarnya untuk kelelahan itu kan ada imbalannya, Hen!"
"Oh iya. Tentu saja. Kau memang hebat."
Untuk membuktikan kehebatan itu mereka kembali bercinta usai sarapan. Sesudah selesai, mereka mendapatkan Ipah duduk di lantai di samping pintu rumah yang dikunci dari dalam dengan keranjang penuh belanjaan di sampingnya. Kepalanya bersandar ke dinding. Matanya terpejam. Ia tertidur karena menunggu kelamaan!
Lalu mereka tidur siang. Kemudian makan hasil masakan Ipah. Sesudah itu mengobrol sejenak. Lalu bercinta lagi menjelang sore ketika tiba saat Keberangkatan Hendri kembali ke Jakarta. Saking seringnya bercinta, seprai sampai basah karena keringat mereka. Hendri jadi ingat pada masalah bau badannya yang diributkan Yasmin. Jangan-jangan karena keringat yang kebanyakan itu.
"Kalau begitu, nanti berendam dulu di bak yang kutaburi bunga. Baru mandi dengan sabun wangi khusus. Pasti kau tidak akan bau lagi," Rama meyakinkan Hendri.
Setelah mandi dan berpakaian rapi, Hendri berhati-hati menjaga jarak dari Ratna supaya tidak terangsang lagi. Ia akan kerepotan kalau kembali berkeringat banyak usai bercinta. Itu berarti berendam dan mandi lagi. Kapan selesainya" Lama-lama ia merasa menjadi sapi perah.
"Mana itu, Rat""
"Itu apa""
"Ih lupa. Jimatnya dong." "Oh ya. Tentu saja. Sudah kusiapkan kok." Ratna menyodorkan sebuah benda terbungkus kain putih. Kecil dan pipih.
436 "Ini jimatnya"" tegas Hendri. Ia kurang percaya. Dikiranya Ratna membohongi dengan memberikannya teh celup.
"Kalau kau kurang percaya, nanti nggak manjur." "Oh, percaya. Percaya."
"Simpan baik-baik. Kalau hilang nggak kubuatkan lagi."
"Baik. Lalu syaratnya apa lagi, Rat"" Rama berbisik di telinga Hendri.
* * * Boy mengendarai sepedanya sepanjan
g Jalan Angsana. Ia mengenakan topi pet yang agak kebesaran. Tujuannya memang sengaja supaya tidak gampang dikenali. Begitu mendekati rumah neneknya yang bernomor 2, ia mengayuh pelan-pelan. Tiap hari ia melakukan kegiatan itu. Bukan untuk senang-senang atau berolahraga, melainkan karena disuruh Rama, ayahnya.
Biarpun merasa senang karena Ratna memutuskan untuk memisahkan diri, Rama merasa penasaran. Mestinya ada sebab kenapa Ratna melakukan hal itu. Bukankah tinggal di rumah sendiri lebih merepotkan biarpun punya pembantu" Keingintahuan Rama mengalahkan rasa takutnya. Ia tidak mau ikut campur atau berniat mengganggu. Ia cuma ingin tahu. Maka Boy disuruhnya memata-matai. Tak perlu sampai mampir atau masuk ke dalam rumah. Nanti ketahuan. Cukup lewat saja. Rama juga berpesan agar tidak bertanya apa-apa kepada Ipah kalau perempuan itu kebetulan berada di luar. Malah sebaiknya berusaha supaya Ipah tidak mengenali.
Beberapa hari lewat tanpa hasil. Boy tidak pernah melihat sesuatu yang lain dari biasanya.
437 Tapi sore itu ia melihat sebuah mobil sedan diparkir di halaman rumah. Ia menghentikan sepedanya dan mencari perlindungan di balik sebatang pohon rindang di tepi jalan. Ia menekan topi petnya lalu memasang mata. Tak berapa lama menunggu, ia melihat seorang lelaki bertubuh tinggi dan berpakaian rapi keluar didampingi neneknya. Ia terkejut karena neneknya menggandeng lengan lelaki itu dengan mesra. Ratna bicara dengan tertawa-tawa riang. Ia mengantarkan lelaki itu sampai ke samping mobil. Lelaki itu memasukkan tasnya ke dalam bagasi kemudian membuka pintu depan mobil. Rama memegangi pintu mobil. Mereka berbincang lagi sebelum pintu ditutup.
Boy membelalakkan mata sebesar-besarnya. Meskipun jarak cukup jauh, hari masih terang hingga ia bisa melihat wajah si lelaki. Ia menunggu dulu sampai mobil lelaki itu keluar dari halaman lalu meluncur pergi dan Ratna kembali ke dalam rumahnya, baru ia mengayuh sepedanya. Tapi ia tidak mengambil jalan yang melewati rumah Ratna melainkan memutar arah. Siapa tahu Ratna ada di balik jendela mengamati situasi jalanan.
Boy pulang membawa berita menghebohkan.
"Nenek punya pacar! Cowoknya masih muda dan cakep! Mobilnya pake pelat Jakarta!"
Tak lama kemudian berita itu sudah menyebar ke semua saudara Rama.
438 BAB 41 Hari Minggu itu Yasmin dan Delia menunggu kedatangan Kosmas dan Erwin dengan gembira. Sebelumnya Erwin sudah menelepon lebih dulu. Ia menjelaskan apa yang telah terjadi secara singkat. Tentu saja ia menyertakan permohonan maaf karena tak pernah menelepon seperti biasanya. Ia tidak menanyakan apakah dibolehkan datang karena pada hari itu tentunya Hendri ada di rumah. Tapi Yasmin meminta mereka datang karena Hendri sedang ke luar kota. Sengaja ia tidak mengatakan di mana luar kota itu.
Erwin menanyakan Delia karena Kosmas mau bicara juga. Tapi saat itu Delia berada di rumah besar menemani Winata. Perlu waktu untuk memanggilnya. Maka Yasmin mengatakan lebih baik Kosmas bicara langsung dengan Delia saja bila sudah berhadapan.
"Ternyata dugaanmu semuanya benar, Kak!" seru Yasmin setelah menyampaikan kabar itu.
"Erwin memang lebih cermat daripada abangnya," kata Delia gembira.
"Aku senang, Kak. Hubunganmu dengan Bang Kos pasti akan lebih erat dibanding sebelumnya."
"Semoga begim. Sejak saat ini aku dan dia bisa lebih berhati-hati dalam menilai satu sama lain. Per439 ubahan sikap tidak selalu disebabkan oleh kehendak sendiri."
"Mereka pasti akan memintamu kembali ke sana, Kak," kata Yasmin khawatir.
Delia tertawa menenangkan. "Bukankah tempatku memang di sana, Yas""
"Aku punya usul, Kak. Sebelum kau kawin dengan Bang Kos hendaknya kau tetap di sini. Biarlah aku dan Papa melepasmu sebagai pengantin. Bagaimana, Kak""
Delia tersipu. "Malu ah. Kalau aku kawin nggak mau ramai-ramai. Tahu diri dong."
"Jangan begitu, Kak. Ini bukan soal ramai-ramai. Tapi kan nggak baik kalau belum kawin sudah tinggal serumah."
"Aduh, bisa saja kau mencari alasan."
"Pikirkan ya, Kak" Jadi kalau nanti mereka menyampaikan soal itu, kau sudah punya jawaban."
"Iya deh. Baik."
"Papa pasti mendukung ideku, Kak."
"Wa h, jangan merepotkan papamu."
"Sebaiknya sekarang kita beritahu Papa. Supaya kita semua sepakat," Yasmin mendesak.
Biarpun merasa malu, terpaksa Delia mengikuti kehendak Yasmin. Ternyata Winata mendukung ide Yasmin itu sepenuhnya. Ia bersemangat sekali. Maka Delia ikut setuju. Ia tak ingin mengecewakan orang-orang yang sudah menolongnya. Apalagi ide itu cukup baik.
Pertemuan berlangsung di paviliun. Sudah diputuskan bahwa Kosmas dan Erwin baru akan diperkenalkan dengan Winata setelah semua permasalahan menjadi jelas.
Kosmas memeluk Delia, lalu saling mencium pipi. Erwin dan Yasmin menyaksikan dengan tersenyum.
440 "Maafkan aku, Del," kata Kosmas. "Ya. Sudahlah."
"Aku juga minta maaf, Kak," sambung Erwin. "Seharusnya aku bisa mendamaikan kalian. Bukannya menambah panas. Sikapku padamu sungguh kasar. Aku malu sekali."
"Sekarang sudah jelas. Itu bukan salah kalian," hibur Delia.
"Ternyata aku ini lemah," Erwin mengakui. "Semula kukira aku tidak akan gampang dipengaruhi."
"Kau bukan lemah. Tapi lengah," kata Delia.
"Mungkin aku terlalu percaya diri. Sok."
"Ah, nggak juga. Jangan menyalahkan diri sendiri."
"Akulah yang benar-benar lemah. Sudah begitu kerasa kepala, lagi," kata Kosmas.
"Ya sudahlah. Kita memang tak boleh meremehkan pengaruh seperti itu," hibur Delia.
"Tapi kau sendiri tidak terpengaruh, Kak. Kau bisa bersikap wajar," puji Erwin.
"Jangan melebihkan, Win. Di situ aku yang jadi korban. Aku sempat takut. Aku jadi sedih, putus asa, dan merasakan berbagai emosi negatif sampai muncul pikiran untuk bunuh diri..."
"Apa""""
Tiga suara kaget berseru hampir berbarengan. Kosmas langsung merangkul Delia begitu cemasnya sampai Delia tertawa.
"Hei, sudahlah. Aku nggak sampai berbuat begitu, kan""
"Niat itu saja sudah mengerikan," kata Kosmas. "Cuma melintas sebentar kok. Aku berdoa. Aku diingatkan, masih punya teman. Yasmin."
Yasmin merasa terharu. "Kita saling menolong,
441 Kak. Kau pernah menolongku dan memberiku semangat hidup."
"Saat itu kayaknya aku berbuat setengah hati. Aku lebih mendorongmu untuk minta bantuan Kosmas dan Erwin."
"Aku mengerti keadaanmu ketika itu, Kak. Kau sedang tidak berdaya dan patah semangat. Tapi kau toh membantuku. Bagiku itu luar biasa!"
Yasmin memeluk Delia. Kosmas dan Erwin mengawasi dengan berbagai perasaan. Ada kebahagiaan, tapi masih ada kecemasan.
"Ke mana Hendri, Yas"" tanya Erwin.
"Bandung," sahut Yasmin sambil melirik Delia.
Erwin menangkap isyarat. "Ada apa"" tanyanya.
"Kau cerita sajalah," kata Delia kepada Yasmin.
Yasmin menceritakan semua yang pernah didiskusi-kannya dengan Delia menyangkut Hendri.
"Maksudmu ada indikasi mereka saling mengenal dan kepergian Hendri ke Bandung untuk bertemu dengannya"" tanya Erwin.
"Ya." "Tapi indikasinya belum begim kuat," komentar Kosmas.
"Berdasarkan pengalaman kita, sebaiknya waspada," pendapat Erwin. "Mungkin saja Hendri minta jimat sama nenek sihir mertua Kak Del. Kalau sekarang kita anggap dia sudah mengenal si nenek, mungkin di luar motel seperti perkiraan, maka berhati-hatilah terhadap apa yang dibawanya dari Bandung nanti."
"Jimat!" seru Yasmin dengan ekspresi horor. "Betul sekali. Mungkin bentuknya sama seperti benda yang kami temukan di motel."
Erwin menggambarkan bentuk jimat tersebut.
442 "Benda itu kecil, jadi gampang disembunyikan tanpa ketahuan. Mungkin pengaruhnya terasa lebih dulu sebelum benda itu berhasil ditemukan. Jadi waspadalah. Rajinlah berdoa, Yas. Kalau pikiran terasa kacau dan tidak wajar, segeralah bermeditasi untuk mengusirnya."
"Ya. Aku akan melakukan itu," sahut Yasmin.
"Mungkin sebaiknya si Hendri langsung digeledah begitu pulang," kata Kosmas.
Tapi usulnya itu dianggap mustahil oleh rekan-rekannya. Termasuk dirinya sendiri.
Lalu percakapan sampai pada permintaan Kosmas dan Erwin kepada Delia supaya Delia bersedia kembali ke motel.
"Semua orang di sana merindukanmu. Mereka merasa kehilangan," kata Kosmas.
"Para karyawan menganggap akulah biang penyebab kepergianmu," kata Erwin.
"Sebaiknya aku di sini dulu," sahut Delia. Ia merasa menemukan alasan lain yang lebih baik saat itu. "Aku bisa membantu Yasmin menghadapi kem
ungkinan buruk dari Hendri. Bukankah sebaiknya begim, Yas""
"Oh ya. Tentu saja. Bila ada teman, aku bisa lebih kuat. Kak Del bisa membantuku mencari di mana jimat disembunyikan. Dan dia orang terdekat yang mampu memantau tingkah lakuku."
Kosmas dan Erwin berpandangan. Mereka menganggap alasan itu masuk akal. Terutama Erwin yang merasa lebih nyaman bila Yasmin didampingi Delia. Hanya Kosmas agak kecewa karena tak bisa lebih sering berdekatan dengan Delia. Tapi tentu saja ia pun menganggap itu ide yang baik.
"Bagaimana tanamanku"" tanya Delia.
443 "Jangan khawatir. Aku merawatnya sendiri," sahut Kosmas.
"Dan mengajaknya bicara." sambung Erwin.
Kosmas tersipu. Delia tersenyum. Yasmin dan Erwin tertawa.
Setelah mencapai kesepakatan, mereka menemui Winata. Delia mengenalkan Kosmas sebagai calon suaminya. Kemudian mereka berbincang. Winata bertanya banyak mengenai bisnis motel. Bersemangat sekali. Pengetahuannya cukup mencengangkan bagi kedua orang pemilik Motel Marlin. Winata bisa memberi masukan lumayan bagi motel mereka. Winata menganjurkan agar motel itu tetap dipelihara dan dikembangkan sebagai motel. Jangan dijadikan hotel besar.
"Jakarta sudah penuh hotel. Di segala pelosok ada hotel," katanya memberi alasan.
Kosmas dan Erwin mengangguk-angguk seperti sedang menerima perkuliahan. Sementara Delia dan Yasmin mendengarkan saja. Yasmin senang melihat ayahnya begitu bersemangat. Setelah sakit dan mundur dari kegiatan bisnisnya lalu hanya menjadi salah satu pemegang saham, Winata semakin jarang dikunjungi teman-temannya termasuk mantan rekan bisnisnya. Dia merasa dirinya tidak berharga lagi dan tak ada. yang mau mendekat. Tak ada lagi yang memerlukan petunjuk atau nasihatnya. Dia sudah dilupakan.
Yasmin mengetahui hal itu dari Aryo. Menurut cerita Aryo yang lain, pernah ada beberapa teman Winata menelepon untuk menanyakan kabar Winata. Mereka tidak bermaksud bicara dengan Winata, tapi hanya memerlukan keterangan Aryo. Menanggapi hal itu Winata berkata dengan gusar, "Lain kali bilang
444 saja aku sudah mati, Yo! Mereka bukan mau memberi perhatian, tapi cuma mau ngecek apa aku masih hidup atau sudah mati!"
Mungkin juga persangkaan negatif Winata itu tidak sepenuhnya benar. Orang yang stres memang lebih mudah berprasangka buruk. Mungkin juga teman-teman Winata segan menjenguk atau bertemu langsung karena kondisi dan sikap Winata sendiri menimbulkan perasaan tidak enak.
Sesudah pamitan dari Winata, mereka kembali ke paviliun. Kosmas bertanya kepada Delia, "Del, bisa bicara empat mata denganmu""
"Tentu." Yasmin menyilakan mereka ke teras sementara ia dan Erwin berbincang di ruang tamu.
"Aku rindu padamu, Del," Kosmas mulai. "Aku juga."
"Kau setuju kalau kita segera mencari tanggal perkawinan"" "Setuju." "Tahun ini juga"" "Ya."
Kosmas merasa surprise karena cepatnya Delia menyetujui.
"Kau heran"" tanya Delia.
"Mungkin aku masih dipengaruhi nenek sihir itu. Aku sudah siap menerima tentangan darimu."
Delia tersenyum. Ia tidak mau mengatakan bahwa kali ini semua usul Kosmas itu masuk akal. Tidak seperti dulu ketika mereka berada di ruang kantor berdua. Memang tidak sepatutnya mengulang cerita itu karena sudah jelas saat itu Kosmas bukan dirinya sendiri.
445 Menjelang malam Hendri tiba dengan membawa beberapa kilo peuyeum Bandung.
"Aduh! Banyak amat! Siapa yang akan memakannya"" seru Yasmin.
"Kita dong. Siapa lagi""
"Sebanyak itu""
"Ya. Digoreng pakai mentega kan enak. Atau pakai tepung. Dimakan begitu aja juga enak."
"Terlalu banyak. Bisa sakit perut."
"Kalau tidak habis, bagi tetangga."
Yasmin tidak mempersoalkan hal itu. Ia sibuk mengaktifkan penciumannya dengan mengendus-endus tubuh Hendri. Terutama kalau berada di belakangnya. Tapi ia tidak mencium bau apa-apa. Hendri sama sekali tidak berbau.
Ketika Hendri mandi, Yasmin dan Delia sepakat untuk membuang saja semua peuyeum bawaan Hendri itu. Mereka takut makanan itu sudah diberi guna-guna yang bisa mencelakakan mereka. Sebaiknya tidak mengambil risiko, sekecil apa pun. Masalah bau yang tak ditemukan pada tubuh Hendri bukan lagi merupakan petunjuk bahwa Hendri "bersih". Lebih baik m
encurigai daripada terlalu percaya.
Delia pergi membawa peuyeum itu ke pasar swalayan lalu membuangnya di tempat sampah yang ada di depannya. Sesudah itu ia masuk ke dalam lalu membeli tape yang sudah dikemas. Setibanya di rumah, ia membawanya ke dapur dan menyerahkannya kepada Tati untuk digoreng.
Hendri tidak tahu bahwa tape yang dimakannya bukanlah peuyeum Bandung yang dibawanya.
"Ingat, Yas. Jangan biarkan dia masuk ke kamar446 mu tanpa diawasi. Kalau kau meninggalkan kamar, kunci saja dan kantungi kuncinya," Delia mengingatkan.
"Dia bisa saja menyelipkan jimat itu di dapur misalnya. Benda itu kan kecil sekali," keluh Yasmin.
"Yang paling berbahaya adalah di kamar tidur," Delia menyimpulkan.
"Aduh, Kak! Bagaimana kalau dia berhasil merayuku dan aku... aku tergoda olehnya""
"Ingatlah akan rasa sakit dan penghinaan yang dulu kauterima."
"Im tak pernah kulupakan, Kak. Dalam keadaan waras memang iya. Tapi kalau aku dipengaruhi" Erwin dan Kosmas saja bisa terpengaruh."
"Tidak. Mereka beda karena mereka tidak menyangka hingga tak punya persiapan sama sekali. Kita kan sudah siap. Ingat saran Erwin tadi""
"Ya." "Jadi jangan panik. Jangan lupa berdoa. Aku akan membantu dengan doa juga."
Malam itu Yasmin mengunci pintu kamarnya. Masih pula ditambah dengan ganjalan meja yang ditindih kursi. Tapi ia masih sulit tidur. Perasaannya sulit ditenangkan. Ia bermeditasi dan berdoa.. Sampai kemudian ia mendengar suara langkah kaki yang pelan tapi tetap terdengar. Berhenti di depan pintu. Ia menahan napas.
Hendel pintu berputar pelan, beberapa kali berulang. Kemudian berhenti. Pasti orang di luar menyadari bahwa pintu terkunci. Lalu bunyi langkah terdengar lagi. Sekarang menjauh.
Yasmin terkapar melepas ketegangan. Itu pasti Hendri. Tidak ada orang lain di paviliun. Kalau memang Hendri ada keperluan, ia bisa mengetuk
447 pintu. Bukan dengan berusaha membuka pintu diam-diam. Dan seandainya ia berhasil masuk, apa gerangan yang mau dilakukannya" Yasmin bergidik. Bila ia sampai dipengaruhi, apakah ia akan jatuh hati pada Hendri begitu rupa hingga tidak takut lagi bercinta dengannya" Dan tidak pula merasa sakit sedikit pun" Bahkan bisa menikmatinya"
Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau kemungkinan itu terjadi dulu, mungkin saja ia merasa senang dan menganggapnya sebagai jalan keluar paling baik. Tapi sekarang tidak lagi. Ia merasa takut.
* * * Ternyata Erwin pun memiliki ketakutan yang sama.
"Seharusnya dia tegas saja," komentar Kosmas. "Kalau memang sudah tidak suka apalagi takut, kenapa tidak cerai saja" Paling tidak, pisah rumah gitu. Suami begitu kok dipertahankan."
"Kata Kak Del, Yas sangat mengagungkan perkawinan. Dia merasa terikat dengan sumpah yang pernah diucapkan. Susah dan senang harus ditanggung sebagai risiko."
Kosmas geleng-geleng kepala. Kalau begitu betapa tipis harapan Erwin.
"Tapi aku tidak akan berpaling darinya, Bang, walaupun aku tak punya harapan."
"Aku salut padamu, Win."
"Entah kenapa, Bang. Semakin memahami keadaannya aku semakin mencintainya. Tapi rasanya aku lebih tenang sekarang. Tidak lagi emosional seperti sebelumnya. Aku tidak lagi dikuasai keinginan memiliki. Aku cuma ingin melindunginya dari suami jahat."
Kosmas merasa iba kepada Erwin. Bisakah Delia
448 membujuk Yasmin agar menceraikan saja suaminya itu"
"Tapi kau belum tahu apakah dia juga mencintaimu," kata Kosmas.
"Aku tahu, Bang."
"Oh ya" Dia bilang begitu""
"Dia nggak bilang. Tapi sorot matanya mengatakan itu."
"Sorot matanya"" Kosmas terheran-heran.
"Ya." "Itu kan nggak cukup, Win."
"Bagiku sudah cukup. Aku yakin, Bang. Kita sama-sama tahu. Aku tidak mungkin melamarnya dan dia pun tak mau selingkuh."
Kosmas terharu. Dalam hati ia memarahi Yasmin sebagai perempuan paling bodoh di dunia!
449 BAB 42 Hari Senin pagi esoknya, begitu Hendri berangkat ke kantor, Delia dan Yasmin bergegas menelusuri paviliun. Seperti pengalaman Kosmas dan Erwin, mereka memeriksa semua ruangan, terutama dapur. Isi perabot seperti lemari dan laci berikut celah-celah dan kerenggangan. Sepanjang dinding, lantai, plafon. Perabot dapur sampai kompor. Pendeknya, segala benda yang ada. Dengan kerja sama berdua m
ereka bisa lebih cermat. Tapi sejauh itu mereka tak berhasil menemukan benda yang dicari.
Mereka mengawali pencarian dengan bersemangat dan segar, tapi lama-kelamaan menjadi lelah dan bosan. Rasanya seperti orang gila yang tengah mencari benda kecil. Apalagi menurut Erwin tempat persembunyiannya bisa tak terduga. Im yang sulit. Sebegitu pintarnyakah Hendri" Setahu Yasmin, Hendri biasanya ceroboh dan mau gampangnya saja.
Untung saja ia menempati paviliun. Bukan rumah besar.
"Dia tidak ke rumah besar semalam," Yasmin menegaskan.
Meskipun Yasmin meyakini kamarnya tidak dimasuki Hendri, mereka tetap mencari di sim.
"Semalam ada yang mencoba membuka pintu kamarku. Pasti dia," kata Yasmin.
450 "Kalau begim, targetnya memang kamarmu."
"Oooh...," keluh Yasmin. "Apakah kita harus mencari tiap hari" Kita tidak tahu kapan dia meletakkannya. Sebentar lagi, atau besok."
"Kita memang harus mencari tiap hari, Yas. Tidak apa. Kan ada aku yang membantu," Delia memberi semangat.
"Aku bukannya patah semangat, Kak. Aku cuma mikir betapa tidak efisiennya waktu terbuang-buang untuk mencari sesuatu yang tidak pasti. Bagaimana ya caranya supaya kita bisa dapat hasil maksimal dalam waktu singkat""
Delia termenung. Ia membenarkan ucapan Yasmin, tapi tidak tahu jawabannya.
"Sebaiknya kita bertindak mendahului Hendri, Kak."
"Maksudmu""
"Kita anggap saja dia belum mendapat kesempatan menemukan tempat yang cocok untuk jimatnya. Kemarin waktunya memang sempit. Kalau benar, berarti dia masih menyimpannya di tempatnya sendiri. Di mana lagi itu kalau bukan di kamarnya""
"Jadi kita cari di kamarnya""
"Ya!" Mereka bergegas menuju kamar. Hendri. Tapi betapa kecewanya mereka setelah mendapati pintunya terkunci.
"Sejak kapan dia mengunci kamarnya"" kata Yasmin kesal.
"Bisa berarti dia menyembunyikan sesuatu yang tak boleh ditemukan olehmu. Makanya dikunci."
"Im mungkin saja. Tapi dia kan tidak tahu bahwa kita tahu. Itu kelebihan kita, kan""
"Meskipun tipis, masih belum tentu benar, Yas."
451 "Aku yakin memang benar, Kak. Semakin lama semakin yakin."
"Baiklah. Tapi begini, Yas. Bukankah kau tak ingin berlarut-larut dalam kondisi seperti ini" Maukah kau ketakutan terus" Aku pikir, sepatutnya kau tidak menyiksa dirimu sendiri dengan membiarkan dia menyiksamu. Kau harus bersikap tegas."
Delia merasa kurang enak bicara seperti itu. Tapi ia kasihan kepada Yasmin.
"Aku tahu apa yang kaumaksud," kata Yasmin. "Cerai, bukan" Tapi aku nggak ingin jalan keluar seperti itu."
"Kalau kau takut padanya, bagaimana mungkin kau bisa bertahan hidup bersamanya""
"Aku memang takut padanya. Tapi sumpah yang kuucapkan dulu rasanya juga menakutkan untuk dilanggar."
"Bukankah dia sendiri melanggar, Yas" Dia tidak setia. Dia jahat. Dan dia memakai tangan iblis untuk menaklukkan kau."
"Tapi tujuannya bukan untuk mencelakai aku. Dia ingin menjalin hubungan yang baik denganku. Aku juga bukan istri yang baik."
Delia merasa bingung menghadapi Yasmin. Ia sulit memahami jalan pikirannya. Mungkinkah hal itu karena mereka berbeda karakter"
"Apa kau sesungguhnya ingin menjadi istri yang baik, Yas" Tapi istri yang baik itu yang bagaimana" Yang bisa melayani keinginan seksual suaminya""
"Aku merasa nggak normal, Kak."
"Ah, kau balik lagi ke situ. Yang bilang begitu kan dia untuk memojokkanmu. Kau sendiri juga bilang bahwa cintamu sudah mati."
Yasmin menjadi murung. Setiap pembicaraan me452 ngenai hal itu selalu membuatnya merasa gamang. Dan Delia semakin gemas saja.
"Aku memang munafik, ya"" Yasmin mengakui. "Aku mau tetap jadi istrinya karena terikat sumpah perkawinan. Tapi aku takut bercinta dengannya. Aku membolehkan dia mencari kepuasan dengan perempuan lain supaya dia tidak menggangguku. Kadang-kadang aku merasa kasihan. Tapi kalau ingat yang dulu, aku suka benci. Dia selalu bilang ingin membina hubungan baik denganku. Tapi aku merasa, kalau dia sampai berhasil, aku adalah orang yang kalah. Aku akan kembali menjadi budaknya. Bahkan mungkin lebih buruk lagi. Mungkin aku hanya terbius sementara lalu kesakitan itu datang lagi."
"Kalau begitu yang kautakutkan semata-mata adalah rasa sakit itu,
bukan sarana yang digunakannya untuk menaklukkanmu""
"Oh, tentu saja itu juga. Bila aku menjadi budaknya, bukankah sama dengan jadi budak iblis juga""
"Tapi kau tidak sadar dan tidak menginginkannya. Itu beda dengan orang yang meminta."
"Ah, kau pasti menganggapku orang yang tidak berprinsip," keluh Yasmin.
"Kau cukup berprinsip kok. Kau berpegang pada sumpah perkawinan."
"Entahlah. Aku jadi bingung."
"Jangan. Nanti kita bisa kehilangan pegangan."
Telepon dari Erwin menghentikan pembicaraan. Yasmin berbincang dengannya.
"Dia menanyakan hasilnya. Aku bilang nggak ketemu," kata Yasmin kemudian.
"Apa sarannya""
"Katanya, jangan bosan dan capek mencari. Sama
453 seperti dia dulu. Kalau kita kecapekan, dia akan datang membantu."
Delia tersenyum. Yasmin tampak senang ditelepon Erwin.
"Aku punya ide, Yas. Daripada capek-capek begini, bagaimana kalau kita berikan saja kesempatan kepada Hendri sebanyak-banyaknya untuk memasuki kamarmu" Nanti malam kau ke rumah besar tanpa mengunci kamarmu. Besok paginya kita cari."
"Itu ide yang bagus. Tapi malamnya kan aku tidur di sim. Bagaimana kalau jimat itu segera mempengaruhiku lalu aku membukakan pintu untuknya begim dia mengetuk" Ih..."
"Gampang. Malam nanti tidurlah di kamarku."
"Bagus!" Sore itu setelah Hendri pulang, Yasmin tidak mengunci pintu kamarnya kecuali bila ia berada di dalamnya. Setelah makan malam bersama Hendri, ia pergi ke rumah besar. Sebagai basa-basi ia mengajak Hendri. Seperti sudah diduga, Hendri menolak. Yasmin pergi tanpa mengunci kamarnya seperti yang direncanakan.
Jam sembilan malam itu Yasmin kembali. Ia melihat Hendri masih menonton teve.
"Aku mau nginap di kamar Kak Del ya"" kata Yasmin. Bukan minta izin tapi memberitahu.
"Apa"" Hendri tampak terkejut dan kecewa.
"Mau nginap. Nggak takut sendirian, kan""
"Memangnya ada apa sih sampai nginap segala""
"Pengen ngobrol aja. Sudah ya."
"Hei! Bantal dan gulingmu nggak dibawa""
Penjara Terkutuk 1 Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Perawan Lembah Wilis 24
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama