Ceritasilat Novel Online

Pertemuan Di Sebuah Motel 7

Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari Bagian 7


"Nggak. Di sana juga ada."
Yasmin pergi terburu-buru. Bantal dan guling" Jangan-jangan di situ ditaruhnya!
454 Hendri merasa gusar. Ia meninju bantal sofa berulang-ulang. Lalu ia berjalan hilir-mudik dengan muka memerah. Kemudian ia bergegas ke kamar Yasmin. Dengan surprise ia mendapati pintunya tidak terkunci. Ia masuk lalu menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur Yasmin. Mana efektivitas jimat itu"
Ia merenungi langit-langit. Ia membayangkan wajah Yasmin di sim. Perempuan itu istrinya, tapi ia tak bisa menyentuhnya. Sudah lama Sekali. Rasanya seperti bertahun-tahun. Apa itu yang terasa sekarang" Kerinduan atau kemarahan" Tapi apa pun yang terasa tidak penting lagi. Yasmin tetap menghindar. Dia tak bisa memuaskan dirinya.
Kemudian wajah Yasmin memudar, lalu lenyap. Ada gantinya di sana. Rama!
* * * Malam itu Rama menerima SMS dari Hendri seperti berikut, "Aku rindu padamu. Ingin sekali berada di sisimu. Mengecupmu. Menyatu denganmu."
Rama tersenyum. Ia senang sekali. Ia membalas, "Aku juga, Sayang. Lama ya menunggu sampai akhir pekan!"
Hendri membalas lagi, "Lusa cuti dua hari. Aku berangkat besok pulang kantor."
Rama terkikik-kikik. Luar biasa, pikirnya.
Ipah yang sedang menonton televisi ukuran 14 inci, satu-satunya hiburan untuknya, mendengar cekikikan majikannya di dalam kamar. Bulu romanya berdiri seketika. Perlu waktu sejenak untuk meredamnya lalu beralih menjadi ketidakpedulian. Biar sajalah Rama mau berbuat apa pun asal dirinya tidak diganggu. Im sudah semacam perjanjian tidak tertulis
455 di antara mereka. Ia merasa aman meskipun kadang-kadang muncul rasa ngeri itu. Tapi dari pengalaman, ia selalu bisa mengatasi. Hanya perlu waktu sebentar untuk merasa terbiasa. Biarpun demikian, kadang-kadang muncul pertanyaan di benaknya sampai kapan ia bisa bertahan seperti itu. Sesederhana apa pun pikirannya, ia cukup memahami bahwa segala sesuatu akan berakhir.
Ipah mematikan televisi dan memutuskan untuk tidur. Dari dalam kamar Rama sudah tidak terdengar suara-suara. Mungkin sudah tidur. Pada malam hari Rama tidak memerlukan bantuannya.
Ia memeriksa lagi pintu dan jendela. Sudah dikunci atau belum. Kebiasaan itu sudah rutin dilakukannya. Rama
sendiri kurang peduli. Tapi Ipah takut pada maling atau perampok yang kepergok. Majikannya punya ilmu, tapi dia tidak. Paling-paling dirinyalah yang dianiaya atau dibunuh. Bukan majikannya.
Ketika akan masuk ke kamarnya, ia terkejut ketika mendengar suara yang berat memanggilnya.
"Ipah! Ipaaah...!"
Jantungnya serasa berhenti berdenyut. Itu bukan suara majikannya. Bulu romanya berdiri lagi. Perasaannya dingin sekali. Suara itu begitu berat sampai bergaung, membuat ngilu dan nyeri di gendang telinganya. Ia cepat menengok ke belakang dan ke sekitarnya. Tidak ada siapa-siapa.
"Ipaaah...! Ipaaah...!"
Panggilan berlanjut. Makin jelas baginya bahwa itu bukan suara manusia. Suara itu datang dari ketiadaan. Kaki Ipah lemas dan menekuk-nekuk. Tubuhnya gemetar. Celananya basah oleh kencing yang tak bisa ditahan. Ia merasa tak kuat lagi berdiri. Ia perlu bersandar ke dinding.
456 "Ipah! Aku adalah sang Tuan!"
Ipah menggelosor ke bawah, duduk di lantai. Kepalanya melekat ke dinding. Mulutnya ternganga. Matanya membesar. Tubuhnya kaku tak bergerak. Hanya pupil matanya yang bergerak ke sana kemari.
"A...a...a...da a...a...apa" Ma...ma...uu a...a...pa, Tu...tu...aaan"" gagapnya dengan suara parau, susah payah mengeluarkan suara.
"Apa kamu mau seperti majikanmu, Pah" Jadi muda dan cantik""
Ipah terperangah. Kaget, takut, tapi bingung.
"O...ooo...ooo, e...e...e...," ia menggagap.
Terdengar suara tawa yang mengerikan.
"Kalau mau, kamu tinggal bilang iya. Lihat majikanmu itu. Dia senang sekali, kan" Masa kamu mau jadi pembantu terus sampai mati""
Ipah tak segera bisa bicara. Mulutnya membuka dan menutup tanpa suara yang keluar. Pikirannya buntu karena shock.
Sang Tuan kembali menertawakan keluguan dan mungkin kebodohan Ipah. Mungkin juga menganggapnya sebagai calon mangsa yang paling gampang digarap.
"Menyahut saja susah. Dasar! Kalau kamu mau, apa pun yang kamu minta akan kuberikan. Syaratnya gampang. Kamu patuh padaku karena aku jadi tuanmu. Dan kalau kau mati, nyawamu ikut aku. Tapi buat apa memikirkan soal itu" Kalau sudah mati, kau kan nggak tahu apa-apa lagi."
"Ya, Tuan," bisik Ipah.
"Ya" Jadi kamu mau""
"Ng...ng...nggaaak. Bu...bu...kan gitu, Tu...tuan. Sa... saya bi... ngung."
457 "Baik. Aku kasih kamu waktu untuk berpikir. Supaya lebih mantap."
"Ya, Tuan," sahut Ipah lega.
Kemudian hening. Sang Tuan sudah pergi.
Ipah menyusut keringat dinginnya. Bajunya basah. Celananya juga. Ketika ia bangkit, lantai yang didudukinya pun basah. Ia melangkah terseok-seok ke kamarnya. Setelah membuka pintu ia segera menggabrukkan diri di atas dipan. Tak kuat lagi untuk berganti pakaian. Ada beban yang menindihnya. Berat sekali. Sesaat sebelum jatuh tertidur ia sempat berpikir, jangan-jangan ia tak bisa lagi melihat hari esok.
Delia dan Yasmin tak bisa tidur sampai larut malam. Mereka mengisi waktu dengan mengobrol. Tumpah ruah riwayat hidup masing-masing dari kecil sampai dewasa. Padahal dalam keadaan biasa, cerita yang begim tidak sampai dikeluarkan. Mereka bagai bicara dengan psikiater yang suka sekali mengorek masa kecil pasien untuk menemukan mata rantai sebab-akibat dari segala perilaku.
"Hendri punya waktu banyak sekali untuk menjungkirbalikkan kamarku," kata Yasmin.
"Kita akan menjungkirbalikkannya lagi besok!" sahut Delia.
"Kalau berhasil menemukan, kita apain ya, Kak" Apa kita akan membakarnya seperti yang dilakukan Kosmas dan Erwin""
"Oh ya. Tentu saja. Biar musnah."
"Nanti dia akan menyalahkan dukunnya karena jimatnya nggak manjur."
Mereka tertawa geli. 458 Hendri, orang yang sedang diperbincangkan, tidur nyenyak di kamarnya sendiri.
Ratna pun tidur nyenyak di rumahnya sendiri. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi atas diri Ipah. Andaikata tahu, ia pasti akan merasa resah karena bisa mendapat saingan. Baginya, Ipah jenis orang yang sama sekali tidak perlu diperhitungkan kecuali tenaganya saja.
Rama dan Hendri melanjutkan tidur untuk kemudian bertemu dalam mimpi.
459 BAB 43 Esok paginya, dengan bersemangat Yasmin dan Delia memeriksa kamar Yasmin. Terutama bantal dan guling serta daerah ranjang. Sarung bantal dan guling dicopot, demikian
pula seprai, penutup kasur, selimut. Semuanya diperiksa jengkal demi jengkal, inci demi inci. Di situ tidak ditemukan apa-apa. Kasur pun tidak bercacat. Seandainya Hendri mengirisnya lalu menyelipkan jimatnya kemudian bekas irisan dijahit kembali, pastilah bekasnya akan tampak. Hendri bukan orang yang terampil dalam hal itu.
Berjam-jam mereka habiskan tanpa hasil.
"Kok nggak ketemu ya"" keluh Yasmin.
Delia tak menyahut. Ia memikirkan kemungkinan lain.
"Apa barangnya memang nggak ada"" kata Yasmin.
"Kita memang nggak tahu pasti, Yas."
"Mungkinkah sebenarnya dugaan kita keliru, Kak""
"Kenapa kau berkata begitu""
"Pertama, kita mendasarkan dugaan pada perkiraan yang tak ada bukti konkretnya, seperti soal bau dan kedatangan Hendri ke motel yang waktunya pas saat Ratna di sana, juga Kepergiannya ke Bandung yang tidak kita ketahui tujuannya. Kedua, jimat itu tak bisa kita temukan biarpun dia sudah diberi kesempatan seluas-luasnya."
460 "Ya. Itu mungkin saja. Tapi apa yang kita lakukan ini kan untuk menjaga diri dari kemungkinan buruk. Daripada kita tidak melakukan apa-apa lalu terjadi sesuatu."
"Jadi apakah sekarang kita patut menganggapnya bersih""
Delia terkejut. "Jangan dulu! Kita tetap tidak boleh kehilangan kewaspadaan, Yas." "Bingung, ya."
"Yas, dari pengalaman sebelumnya Ratna selalu bisa mengetahui apa yang kita lakukan. Mungkin saja dia tahu kita sudah mengantisipasi dengan berjaga-jaga dan melakukan pencarian. Bukan tidak mungkin dia juga sudah tahu bahwa jimat yang ditaruhnya di Motel Marlin sudah ditemukan dan dimusnahkan. Jadi dia pakai taktik lain."
"Wah!" Yasmin melotot.
"Karena itu kita harus tetap waspada. Sekarang kita jangan hanya berpatokan pada jimat seperti yang ditemukan Kosmas dan Hendri saja."
"Lantas pada apa, Kak""
"Pada perilaku Hendri. Itu kelihatan dan bisa dinilai."
"Benar juga." "Kau tidak perlu cemas, Yas. Aku akan menjagamu kalau kau kehilangan kesadaran dan kewarasan."
Yasmin mengangguk. "Apa kita perlu beritahu Papa, Kak""
Delia tertawa. "Kalau kau memberitahunya, bisa dipastikan Hendri akan disuruhnya angkat kaki dari sini. Dan kau tak bisa lagi menyembunyikan apa yang selama ini kausembunyikan darinya."
"Ah iya. Kita memang harus berusaha sendiri."
Telepon berdering. 461 "Nah, itu pasti Erwin. Sampaikan saja, Yas."
Yasmin pergi untuk menerima telepon. Beberapa waktu kemudian ia kembali.
"Kak! Erwin minta izin untuk membantu mencari. Kasih jangan, Kak"" tanya Yasmin.
"Terserah kau dong, Yas."
"Kasih aja ya, Kak" Supaya dia nggak penasaran. Dikiranya kita nggak becus. Lagi pula dia sudah berpengalaman."
"Baiklah. Lumayan ada yang bantu."
Ternyata kemudian yang datang bukan cuma Erwin tapi juga Kosmas. Mereka dengan bersemangat dan tekad membara sangat serius mencari. Delia dan Yasmin mengamati saja, membiarkan kedua orang itu mengambil alih. Akhirnya semua tempat sudah ditelusuri tanpa hasil. Seperti biasa, kamar Hendri dilewatkan. Di samping terkunci, secara logika tempat itu paling tidak mungkin. Kalau jimat memang sudah dimilikinya, kenapa masih saja disimpan"
Kosmas dan Erwin menyerah.
"Tapi kita tidak boleh putus asa. Siapa tahu dia sengaja menunggu sampai kita bosan dan malas mencari" Saat itulah baru dia melakukannya," kata Kosmas.
"Ya. Tadi aku sudah bilang sama Yas, kemungkinan Ratna sudah tahu tentang usaha kita ini," kata Delia.
"Dari mana dia tahu" Apa dia punya cermin ajaib"" kata Erwin kesal.
"Biarlah. Kalau betul begitu, dia tak akan pernah punya kesempatan!" Yasmin berkata sengit.
Semua mata menatap Yasmin.
"Jadi kau tidak akan" berhenti mencari"" tanya Erwin.
"Tentu saja. Maksudku begitu."
462 Sebenarnya Erwin ingin sekali mengatakan, kalau mau aman tanpa risiko, suruh saja Hendri pergi. Tapi itu mustahil dikatakan lebih-lebih dilaksanakan. Akhirnya ia berkata, "Kalau perlu, tiap hari aku ke sini untuk bantu mencari. Boleh""
"Boleh. Itu bagus," sahut Yasmin.
Diam-diam Kosmas dan Delia bertukar pandang. Barangkali situasi itu bisa juga digunakan sebagai alasan untuk lebih sering bertemu.
* * * Yasmin ternganga ketika sepulang kantor Hendri mengatakan akan segera berangkat ke
Bandung meng- " gunakan kereta api. "Ke Bandung lagi""
"Tugas tempo hari belum selesai, Yas. Mungkin dua hari di sana."
"Kerjaan apa sih, Hen""
"Promosi mesin. Ah, kau kan tahu kerjaanku."
"Ya nggak apa-apa. Cuma mendadak amat ya."
"Aku juga nggak nyangka sih. Apa kau keberatan""
"Tentu saja nggak. Aku kan nggak berhak keberatan. Mari kubantu membereskan tasmu." "Nggak usah. Biar kulakukan sendiri saja."
Yasmin tidak mendesak. Ia masih bingung.
"Untung juga Kak Del di sini, ya" Bisa menemanimu," kata Hendri ramah.
"Ya." "Mau dibawain peuyeum lagi"" "Ah nggak. Nggak usah bawa apa-apa. Bosan peuyeum melulu."
"Lainnya barangkali"" "Nggak ah. Hati-hati aja."
463 "Doakan aku selamat."
"Tentu saja," sahut Yasmin. Tapi kemudian merasa dirinya munafik.
"Baiklah. Aku pergi."
Kali ini Hendri tidak meminta peluk-cium seperti sebelumnya. Ia pergi tanpa menyentuh Yasmin sedikit pun.
Delia tidak kurang terkejutnya. "Ke Bandung lagi"" "Katanya kerjaan yang kemarin dulu belum selesai. Entahlah. Benar atau nggak." "Mungkin mau atur strategi." "Strategi apa, Kak""
"Tenang. Kita lihat saja nanti. Pokoknya selama dua hari kita bebas dari pekerjaan mencari jimat."
"Besok kita tetap mencari. Lusa baru libur."
"Bagaimana kalau nanti malam gantian tidur di kamarku, Kak""
"Baik." Sebelum tidur mereka kembali memeriksa kamar. Meskipun merasa bosan dan yakin tidak akan menemukan barang yang dicari, mereka tetap mencari dengan cermat. Itu penting untuk rasa aman dan percaya diri.
"Padahal kita tidak perlu mencarinya sekarang, Yas. Malam ini tidur saja di kamarku dulu. Atau kau bermaksud membuktikan kondisi kamarmu""
"Betul sekali. Tapi aku takut sendiri." Yasmin tersenyum.
Mereka memang tidak menemukannya.
"Andaikata di sini ada jimatnya, tapi tak berhasil kita temukan, maka yang terkena pengaruhnya bukan cuma aku, tapi kau juga." Yasmin tertawa terbahak.
"Maksudmu, aku akan terpikat juga pada Hendri"
464 Wah... kasihan Bang Kos dong." Delia ikut tertawa geli.
Yasmin berhenti tertawa. "Aku kasihan sama Erwin," katanya serius. "Kenapa""
"Tak pantas dia menaruh hati padaku."
"Apakah dia sudah menyatakan isi hatinya""
"Belum. Tapi aku bisa menebak. Begitu gamblang sikap dan ekspresinya. Aku pasti buta kalau tidak merasakan."
"Katanya cinta tak harus memiliki. Klise."
"Memang klise, tapi menyentuh. Aku jadi tidak enak. Sepertinya aku ini kelewatan. Hubungan sama suami udah kayak gini tapi mau terus dipertahankan. Mungkinkah aku sakit, Kak""
"Kukira nggak. Kau cuma ingin setia."
"Kau pasti berpikir aku gila."
"Ah nggak. Setiap orang punya sudut pandang sendiri-sendiri. Tapi aku mau tanya, bagaimana kalau dia yang berniat menceraikanmu""
"Aku sudah mengatakannya. Dia tidak mungkin mau menceraikan aku sekarang. Kalau dulu mungkin iya. Bukannya sombong, Kak. Dia memang mengincar harta. Coba pikir. Terakhir dia gajian pun aku tidak diberinya barang sedikit untuk belanja sehari-hari. Katanya aku sudah punya banyak dari Papa. Ya sudah. Papa memang menyerahkan manajemen rumah tangga ini, termasuk keperluan Papa, kepadaku. Boleh dibilang rumah tanggaku ikut dibiayai. Hendri sudah lepas tangan."
"Kau terlalu baik padanya atau kau memang ingin mempertahankan dia""
"Entahlah. Tapi ada satu yang pasti. Aku masih punya rasa bersalah karena tidak bisa berfungsi
465 sebagai istri yang seharusnya. Jadi biarlah minus di sini tapi plus di sana."
"Perasaan itu memang susah dihilangkan ya" Tapi kau belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana kalau dia berniat menceraikanmu meskipun kau sendiri menganggapnya tidak mungkin" Siapa tahu situasi dan kondisi berubah untuknya."
Ternyata Yasmin tidak bisa menjawab. Dia kelihatan bingung. Delia menjadi iba.
"Sudahlah. Tak usah dijawab. Biarlah hidup ini berjalan seperti air mengalir. Yang sekarang dijalani saja apa adanya. Yang nanti lihat nanti," kata Delia.
"Aku jadi merasa bodoh, Kak."
"Jangan kira hanya kau yang begitu, Yas. Aku juga. Tapi setiap kali aku mengingatkan diri bahwa setiap saat itu punya situasi dan kondisi yang berbeda. Cara berpikir dan perasaan jadi beda juga. Jadi tak perlu merasa bodoh."
"Seperti apa ya hidup kita k
alau kita tidak pernah bertemu""
"Entahlah. Mungkin kau tetap jadi istri menderita dan aku jadi menantu menderita. Kita bertemu karena penderitaan kita."
"Kalau begitu mestikah aku berterima kasih pada Hendri karena dia telah membuatku menderita""
"Ah, jangan. Kalau dia baik padamu dari dulu mungkin jalan hidupmu akan lain lagi. Kau tidak akan mengalami problem seksual. Kau punya anak-anak. Pendeknya, keluarga bahagia."
"Ya. Tapi aku suka berpikir, andaikata mertuamu tidak suka mengutuk dan menyumpahi, apakah suami dan anakmu masih ada""
"Aku tidak bisa menjawab karena aku memang tidak tahu jawabannya. Aku tidak percaya pada
466 kutukannya. Aku marah dan benci karena dia sangat tidak berperasaan."
"Nyatanya ilmu hitam itu ada, Kak. Kita membuktikannya."
"Sepertinya begitu. Tapi aku yakin, dulunya Ratna tak punya ilmu. Dia hanya bermulut jahat dan tak punya perasaan. Baru belakangan ini jelas dia berubah."
"Mungkin dia sendiri punya jimat atau berguru pada orang pintar," Yasmin memperkirakan.
"Ah, ngomongin dia tidak menyenangkan, Yas."
"Baiklah. Ngomong yang lain saja. Tentang rencana masa depanmu kalau sudah menikah, Kak."
"Tentu saja tetap di motel. Aku suka di sana. Dan kau" Katanya mau usaha garmen""
"Oh ya. Sekarang belajar dulu. Nanti bantu aku ya, Kak" Kau sudah punya pengalaman."
"Pasti kubantu."
"Masa depanmu lebih pasti daripada aku, Kak."
"Jangan bilang begitu. Mana ada yang pasti" Segala sesuatu bisa berubah. Jadi kita jalani saja hidup ini dengan sebaik-baiknya sambil mengantisipasi segala kemungkinan."
"Maksudmu kita tidak boleh pasif menghadapi sesuatu, baik atau buruk""
"Ya." "Bagaimana kalau kita melakukannya dengan salah""
"Pakailah nurani. Itu selalu ada pada diri kita."
Yasmin merenung. "Bicara tentang mengantisipasi, aku jadi dapat ide, Kak," katanya kemudian. "Besok aku akan ngecek ke kantor Hendri untuk menanyakan soal tugasnya itu. Itu satu-satunya cara untuk mendapat kepastian dia berbohong atau nggak."
467 "Itu bagus sekali, Yas!"
Sebelum Yasmin terlelap, sebuah pertanyaan terbawa tidur: Apa yang akan dilakukannya bila Hendri berbohong"
Ipah terheran-heran melihat Hendri berada di depan pintu padahal sudah hampir tengah malam. Semula ia takut membukakan pintu ketika mendengar gedoran, tapi Rama memerintahkan ia membuka pintu Baru ia sadar bahwa Rama sudah tahu siapa yang mau datang. Ipah melongokkan kepala ke luar tapi tak melihat ada mobil yang diparkir.
"Aku nggak pakai mobil, Bi," kata Hendri.
Ipah mengangguk. Ia tak bertanya macam-macam. Dari tas yang dibawa Hendri sudah jelas baginya bahwa lelaki itu bermaksud menginap. Ia mengunci pintu kembali. Sedang Hendri langsung masuk menuju kamar Ratna dengan menjinjing tasnya. Rama sendiri belum keluar.
Ipah memahami kewajibannya. Tamu dari jauh itu pasti perlu diberi makan. Pantas tadi majikannya menyuruh masak lebih banyak dari biasa. Jadi ia tinggal menghangatkan. Ia bergegas ke dapur. Saat melewati pintu kamar Ratna, ia melihat pintu menganga sedikit. Ia berusaha tidak melirik ke dalam. Tapi telinganya menangkap bunyi cup-cup-cup yang riuh hingga mukanya jadi merah karena rasa malu yang menyergap.
Hendri dan Ratna bertingkah bagai sepasang kekasih yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Panas dan bergelora. Makanan bagi mereka menjadi urusan kedua. Urusan pertama belum selesai-selesai
468 hingga makanan yang dihangatkan Ipah menjadi dingin kembali.
Ipah menunggu di dapur dengan terkantuk-kantuk. Ia duduk di atas bangku kecil di pojok. Kalau tertidur, ia bisa dibangunkan dengan lebih gampang dibanding kalau tidur di kamar.
Ketika hampir terlelap, mendadak ia dikejutkan oleh goyangan keras pada pundaknya. Ia mengira Ratna yang membangunkan. Tapi ia tak melihat siapa pun di dekatnya.
"Apa, Bu" Mau diangetin lagi"" katanya sambil mengucek mata supaya bisa melihat lebih jelas.
Kemudian ia mendengar suara tertawa yang sudah dikenalnya. Suara bernada rendah dan bergetar. Ia kaget dan takut. Itu suara sang Tuan!
"Ipah! Apa sudah kaupikirkan"" tanya sang Tuan.
Ipah termangu dengan bingung. Ia merasa terpojok. Ia sangat takut kalau-kalau jawabannya bisa
membuat sang Tuan marah. Ia juga tak siap ditanyai pada saat itu. Setelah melewati ketegangan menunggu selama beberapa hari, ia mengira pengalamannya tempo hari itu cuma mimpi.
"Hei! Sudah kaupikirkan atau belum""
"Oh...eh... aduuuh... gi...gi...mana ya"" Ipah menggagap.
"Goblok! Ditanya jawabnya begitu!" bentak sang Tuan.
Dikatai begim Ipah menjadi lebih berani. "Sa...saya memang goblok, Tuan. Ke...kenapa ng...nggak nyari yang pintar aja""
"Dasar! Ini bukan urusan pintar atau goblok! Kamu mau nggak" Tuh lihat majikanmu. Bukan saja dia jadi muda dan cantik, dia juga dapat pacar yang cakep! Ha-ha-ha!"
469 Ipah terperangah. Otaknya yang sudah mulai mengerut bekerja keras untuk berpikir. Ah, perlukah berpikir lagi" Sepertinya itu tidak memerlukan pikiran.
"Ingat nggak masa lalumu" Dulu kamu itu kembang desa, Pah! Cantik dan digilai banyak pemuda. Kamu nggak kepengen kayak dulu lagi" Kalau mau gampang sekali!"
"Gampang"" gumam Ipah.
"Ya. Gampang. Kamu tinggal mengakui aku sebagai tuanmu yang menguasaimu jiwa dan raga, maka kuberikan kamu apa pun yang kau mau."
Dengan mengerahkan segenap keberaniannya Ipah menggelengkan kepala.
"Nggak mau ah, Tuan," katanya.
"Nggak mau" Kenapa"" Sang Tuan bernada gusar.
Kegusaran itu menakutkan Ipah, hingga dia kembali gemetar. Ia perlu mengerahkan segala keberanian sampai bisa menyahut, "Sa...saya mah udah pu...pu...punya gusti, Tuan!"
"Gusti" Siapa itu""
"Gusti Allah, Tuan," sahut Ipah, lebih mantap. Kedua tangannya ditangkupkan di depan dada. Kepalanya ditundukkan.
Terdengar teriakan marah. Sesaat berikutnya Ipah merasakan tamparan keras pada kepalanya hingga ia terjerembap ke lantai. Ia tidak segera bangun dan tetap diam di posisinya karena mengira akan ada pukulan berikut.
Sesudah itu memang ada tamparan lagi, tapi tidak sekeras sebelumnya.
"Apa-apaan sih kamu ini, Pah""
Itu suara Rama. Ipah cepat bangun lalu tersipu. Ia tak berkata apa-apa.
"Kukira kau sudah mati!" kata Rama.
470 Ipah tetap tak berbicara. Ia melangkah ke kamarnya. Sekarang ia merasa berbeda daripada sebelumnya. Tak ada rasa takut lagi kepada Rama.
"Eh, mau ke mana"" seru Ratna.
"Tidur, Bu. Udah ngantuk."
Rama terperangah. Sikap Ipah seperti itu baru pernah dilihatnya. Sebelum ia kembali marah-marah, Hendri muncul.
"Sudahlah, Rat. Kasihan dia sudah mengantuk. Biarin makan makanan dingin juga enak."
Ipah memandang kedua orang itu bergantian lalu melangkah pergi, masih tanpa berkata apa-apa.
Rama mengulurkan tangan untuk menangkap lengan Ipah, tapi Hendri menahannya. "Sudah, Rat. Biarkan dia tidur. Mungkin dia capek."
Rama mengalah. Ia menyiapkan makan untuk Hendri.
"Heran. Kenapa si bego itu jadi berani melawan ya" Biasanya nurut," keluh Rama.
"Sudah, kita makan saja. Lapar nih."
"Ayo, makan yang banyak."
"Enak sekali. Masakanmu atau Bi Ipah""
"Masakanku dong. Ayo, ambil lagi. Biar tambah tenaga."
Mereka saling memandang lalu tersenyum. Saat itu hidup ini sepertinya melulu terisi cinta. Atau nafsu"
471 BAB 44 Esoknya, Yasmin dan Delia bangun dengan perasaan nyaman.
"Apa kau merasa ada yang mengganggu"" tanya Yasmin. "Nggak."
"Aku juga nggak. Jadi kamar ini bersih, kan"" Delia tersenyum. "Hari ini kita bebas dari pencarian."
"Ya. Sebentar ya, aku nelepon kantor dulu, menanyakan soal Hendri."
"Tapi jangan bilang kau istrinya. Nanti mereka merasa aneh kok istri nggak tahu."
"Betul sekali."
Yasmin menghubungi kantor Hendri.
"Saya teman Pak Hendri, Bu. Bisa bicara dengan beliau"" kata Yasmin.
"Oh, hubungi rumahnya saja, Bu. Dia lagi cuti dua hari."
"Cuti" Bukan tugas ke luar kota""
"Bukan." "Minggu lalu beliau tugas ke Bandung, kan"" tanya Yasmin.
"Ke Bandung" Ah, nggak tuh."
"Baiklah. Terima kasih, Bu."
Yasmin mengakhiri percakapan karena apa yang
472 ingin diketahuinya sudah diperoleh. Lalu ia menyampaikannya kepada Delia. "Dia bohong tentang tugas luar. Tapi tentang ke Bandung, bohong nggak ya" Dia memang bisa saja ke tempat lain, kenapa memilih Bandung"" Yasmin bertanya-tanya.
Delia tidak bisa menjawab.
"Mungkinkah dia punya pacar, Kak""


Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin saja."
"Dalam hal yang satu itu kami sudah punya kesepakatan. Dia tidak per
lu berbohong." "Tapi biasanya tidak sampai menginap, Yas. Untuk itu dia harus mencari alasan. Tak mungkin dia bilang mau nginap di rumah pacar, kan""
"Membingungkan sekali dia itu," kata Yasmin kesal.
"Mungkin juga dia benar ke Bandung. Yang pasti untuk urusan pribadi. Bukan tugas kantor."
Erwin yang diberitahu lewat telepon menganjurkan supaya mereka memeriksa kamar Hendri.
"Buat apa, Bang"" tanya Yasmin.
"Siapa tahu di sana tersimpan bukti kebohongannya. Bukankah kamar itu belum pernah diperiksa""
"Betul. Tapi kamar itu selalu dikunci, Bang."
"Justru itulah, Yas. Kalau memang tak ada yang disembunyikan buat apa dikunci" Cobalah tanyakan ayahmu, barangkali ada kunci serep untuk kamar itu."
"Baik." "Nanti kabari lagi, Yas!"
Yasmin berlari ke rumah besar untuk mencari Aryo. Ia tak mau memberitahu Winata karena khawatir ayahnya akan mencurigai sesuatu.
Aryo menyerahkan serenceng kunci paviliun. "Ini semua dijadikan satu, Bu Yas. Tapi saya nggak tahu itu kunci mana saja. Mesti dicoba satu-satu."
473 "Iya. Beres. Terima kasih, Pak. Tapi jangan bilang-bilang Papa ya, Pak." "Baik, Bu."
Dibantu Delia, Yasmin mencobai kunci-kunci itu pada pintu kamar Hendri. Akhirnya setelah yang kesekian, pintu berhasil terbuka diiringi teriakan girang Yasmin.
Keduanya menyerbu masuk. Sesaat mereka melayangkan pandang ke sekeliling ruangan. Yasmin menganggap kamar itu cukup rapi bagi orang yang ceroboh seperti Hendri. Selama kamar itu dikunci, Hendri merapikan dan membersihkan kamarnya sendiri.
Mereka membagi dua tugas memeriksa. Delia ke lemari pakaian sedang Yasmin ke tempat tidur dan meja di sampingnya. Dalam pikiran mereka, - yang harus dicari atau ditemukan adalah surat cinta atau foto perempuan. Jimat itu sudah terlupakan atau tidak lagi mendominasi pikiran.
Yasmin mengangkat bantal yang hanya ada satu. Saat berikutnya ia berteriak, terkejut dan ngeri! Delia menghambur ke dekatnya, memandang ke arah yang sama. Di sana, di tempat bantal berada, terletak sebuah benda putih kecil dan pipih! Warna seprai yang biru muda jelas memperlihatkan benda itu.
"Itu dia!" seru Yasmin.
"Betul!" Delia membenarkan sambil meraih benda itu.
Mereka menelitinya bersama-sama. "Persis seperti yang digambarkan Kosmas dan Erwin ya" Pasti yang ini."
"Kenapa ditaruhnya di sini ya"" Yasmin tak habis pikir. "Apakah ini berarti dia mengguna-gunai dirinya sendiri""
474 "Mungkin memang khusus untuk dia supaya punya daya pikat besar untukmu. Jadi kau melihat dia tampan, gagah, dan menarik. Bila diletakkan di sini tentunya aman dari penggeledahan."
Yasmin mengerutkan kening. "Tapi aku tidak terpikat sedikit pun. Dia kelihatan biasa-biasa saja di mataku. Nggak lebih nggak kurang. Bahkan kemarin saat mau pergi dia sama sekali tidak berusaha memeluk dan mencium. Dingin-dingin saja."
"Coba kautelepon Erwin, Yas. Kalau bisa supaya dia mengindentifikasi benda ini. Sama atau nggak."
Yasmin berlari ke luar sedang Delia meletakkan kembali benda itu di tempat semula lalu menutupinya dengan bantal. Ia menutup pintu kamar lalu menemui Yasmin.
"Mereka akan segera ke sini," Yasmin melaporkan.
Mereka menunggu kedatangan Kosmas dan Erwin di teras paviliun. Perasaan mereka jadi tak enak setelah mengetahui keberadaan benda itu.
"Kalau begitu, dia benar-benar ke Bandung dan punya hubungan dengan Rama," kata Yasmin.
"Ya. Sekarang dia sudah mendapatkan jimatnya, kenapa dia perlu kembali lagi ke sana"" Delia bingung.
"Mungkin mau melaporkan bahwa jimatnya tidak berkhasiat. Bukankah dia tidak berhasil memikat aku""
Kosmas dan Erwin yang datang kemudian memastikan bahwa memang benda seperti itulah yang mereka temukan di motel.
"Bakar saja!" kata Kosmas.
"Ya. Memang harus dibakar. Tapi kalau pulang nanti dia tentu heran karena jimatnya hilang. Pasti dia curiga pada Yasmin. Kita harus berhati-hati," sanggah Erwin.
475 "Ditukar saja dengan yang palsu," kata Yasmin.
"Ya. Kita buat sama persis dengan ini, lalu yang ini kita bakar," Delia setuju.
"Ide yang bagus!" Kosmas dan Erwin setuju.
"Aku akan minta sedikit kain putih pada Bu Tati. Mudah-mudahan dia punya. Tunggu ya""
Dengan bersemangat Yasmin per
gi. "Akhirnya ketemu juga ya"" kata Erwin. "Berarti teorimu benar tentang Hendri dan Rama, Kak Del. Mereka bertemu di motel."
"Tidak mungkin di motel," sahut Delia. "Tapi di luar."
"Ya. Pasti begim. Tapi siapa yang mempertemukan mereka""
Tak ada yang menjawab. Mereka hanya saling memandang.
Lalu Yasmin kembali dengan membawa sepotong kain putih, jarum, benang, dan sebuah teh celup!
"Teh celup ini untuk bagian dalamnya. Mirip, kan" Cuma putihnya beda, ya""
Yasmin membandingkan kain putih yang dibawanya dengan bagian luar jimat.
"Nggak apa-apalah. Dia kan nggak bisa membandingkan kalau bahan pembandingnya sudah nggak ada," kata Delia tertawa.
Delia mengerjakan pembuatan jimat palsu sedang Yasmin bersama Erwin pergi ke dapur untuk, membakar jimat asli. Kosmas lebih memilih menemani Delia.
"Aneh si Yasmin itu ya," bisik Kosmas. "Suami udah jelas kayak gitu masih dipertahankan."
"Dia masih bingung, Bang. Aku nggak tahu bagaimana perasaannya sekarang setelah menemukan bukti
476 "Ya sudahlah. Aku jadi ikut bingung. Lebih baik bicara soal kita saja, Del. Nanti kau mau merayakan di mana perkawinan kita" Apa di motel saja""
"Ah, masa di sim. Lucu dong. Nanti tamu motel ikutan. Yas dan papanya minta kita merayakan di sini, Bang. Nggak usah mewah. Sederhana aja. Bagaimana, Bang""
"Malu juga ya."
"Kau nggak usah malu, Bang. Mereka sudah seperti keluarga." "Jadi kau setuju""
"Aku minta pendapatmu dulu. Kalau kau setuju, aku oke."
"Aku ikut kau sajalah. Tempat tidaklah penting. Pendeknya, kita bersiap dari sekarang."
"Kita pun harus saling berjanji untuk tabah menghadapi halangan yang muncul. Kita harus selalu ingat bahwa Rama masih ada di luar sana dan kita tidak tahu apa lagi yang akan dilakukannya."
"Betul. Aku berjanji padamu, Del!"
"Aku juga berjanji padamu, Bang!"
"Ingatan kepada Ratna membuatku berpikir apakah tidak riskan memakai tempat ini, Del" Di sini kan ada Hendri."
"Biar saja. Aku tidak takut kepadanya."
Sikap Delia membuat Kosmas lebih tenang.
"Kita harus banyak berdoa dan minta kekuatan kepada-Nya. Aku percaya sekarang, kekuatan itu tidak datang dengan sendirinya," kata Kosmas. "Kondisi jiwa itu seperti fisik. Kalau tidak dijaga, dipelihara, dan dipupuk, tak mungkin bisa kuat. Saat kita lemah, iblis bisa masuk. Sama halnya dengan virus dan kuman yang gampang memasuki tubuh yang lemah."
477 "Kita saling memberi kekuatan, Bang!"
Ketika Yasmin dan Erwin kembali, Delia sudah selesai membuat jimat palsu itu. Sekali lagi mereka mengamati dan meneliti kalau-kalau ada yang salah. Setelah semua meyakini akan kemiripannya, benda itu diletakkan kembali di atas tempat tidur lalu ditutupi bantal. Mereka merapikan kembali kamar itu seperti keadaan semula lalu menguncinya.
"Apa kalian sudah yakin bahwa barang itu hanya ada satu"" tanya Erwin.
"Yakin," sahut Delia dan Yasmin berbarengan.
"Kalau begitu, kerja kita sudah beres untuk sementara ini," kata Erwin.
"Untuk sementara"" tanya Yasmin.
"Iya. Bukankah kita belum tahu apa lagi yang dibawa Hendri dari Bandung nanti""
"Oooh," keluh Yasmin.
Bukan hanya Yasmin, tapi mereka semua sama-sama merasakan ketidakpastian dan tantangan.
Di tempat tidur yang beralaskan seprai merah jambu, Hendri masih tergolek. Di sampingnya Rama pun masih lelap. Padahal hari sudah menjelang siang. Semalam saat mereka tidur sudah dini hari. Mereka juga sangat capek karena seringnya bercinta. Dalam semalam itu frekuensinya sampai tiga kali! Itu pengalaman yang baru bagi keduanya. Termasuk bagi Hendri.
Tiba-tiba Hendri tersentak bangun. Ia membuka mata dan sesaat mengira sedang bermimpi. Perasaannya ia sedang tidur di kamarnya sendiri. Tapi ia heran melihat warna seprai merah jambu, padahal
478 seprainya di rumah berwarna biru. Setelah melihat sosok Rama di sampingnya, barulah ia teringat akan semua kejadian yang dialaminya.
Keheranan yang lain menerpanya. Kenapa ia berada di situ padahal seharusnya ia berada di kantor untuk melakukan kerja rutinnya" Oh ya, ia minta cuti dua hari. Tapi kenapa dan untuk apa" Ia benar-benar tak habis pikir. Sungguh tidak logis mengambil cuti dua hari hanya untuk melampiaskan kerindua
n kepada Rama. Memang tadi ia mengalami kenikmatan tak terhingga. Tapi sekarang setelah kenikmatan itu lewat, muncul pikiran rasional. Ia merasa sangat bodoh. Susah untuk memahami sekarang, sebegitu besar-nyakah kerinduannya kepada Ratna. Ia menjadi bimbang dan bingung.
Sebelum ini ia datang dengan tujuan yang jelas yaitu meminta jimat untuk memikat Yasmin. Sekarang sepertinya tidak jelas sama sekali. Bukankah jimat sudah ia peroleh dan sudah pula ia letakkan di tempat yang seharusnya, sesuai instruksi yang diberikan Ratna" Tapi kenapa bukan Yasmin yang masuk ke dalam pelukannya melainkan Rama"
Ia merasa ada yang salah. Tapi ia tidak tahu di mana salahnya. Ia juga takut bertanya kepada Rama.
Rama menggerakkan tubuhnya. Pertanda mulai bangun. Cepat-cepat Hendri memejamkan mata. Ia tahu apa yang akan terjadi bila Rama melihatnya dalam keadaan sadar. Pasti Rama akan mengajaknya bercinta lagi!
Ia merasakan tatapan tajam Ratna mengamatinya. Jantungnya berdebar lebih kencang tanpa bisa ditahan. Apakah Rama bisa mengetahui kepura-puraannya lalu sebentar lagi akan menggelitikinya begitu rupa sampai ia tidak tahan" Entah kenapa ia kehilangan selera.
479 Apakah capeknya belum hilang hingga merasa tak bertenaga atau sudah jenuh" Padahal dalam masalah seks ia tak pernah mengenal istilah jenuh. Lebih-lebih dalam hubungannya dengan Rama.
Ternyata Ratna tidak melakukan apa yang dikhawatirkannya. Wanita itu turun dari tempat tidur lalu pergi ke kamar mandi.
Setelah Rama pergi, barulah Hendri membuka matanya kembali. Lalu melanjutkan lagi pemikirannya. Bukankah Rama sudah tahu apa yang diinginkannya" Untuk memenuhi keinginan itulah jimat tersebut diberikan kepadanya. Ternyata benda itu tidak berfungsi seperti semestinya. Ada yang salah. Hendri sendiri tidak memahami salahnya di mana. Ratna-lah yang seharusnya tahu dan segera memperbaiki kesalahannya. Hendri datang ke sim untuk menemui Rama sudah menandakan adanya kesalahan. Tapi kenapa Rama malah menyambutnya dengan senang"
Hendri merasa bagai diguyur air dingin.
480 BAB 45 Ratna keluar dari kamar setelah sekali lagi melempar pandang ke arah Hendri yang masih saja tak bergerak di tempat tidur. Di ruang depan kamar ia melihat Ipah sedang duduk dengan pakaian rapi. Di lantai sampingnya terletak sebuah koper kuno dan sebuah kantong plastik besar yang gembung. Ratna terkejut.
"Mau ke mana kamu"" tanya Rama, heran tapi waswas.
"Saya mau pulang kampung, Bu. Mau brenti kerja," sahut Ipah tanpa menatap mata Rama.
"Apa"" Ratna melotot. Tapi percuma menunjukkan kegarangan karena Ipah tidak memandangnya. Ipah memang sengaja supaya tidak sampai terpengaruh.
"Iya, Bu. Saya mau brenti kerja. Jadi saya mau minta gaji saya. Udah dua taun, kan" Jumlahnya udah dua juta empat ratus ribu!"
Ipah menyodorkan selembar kertas berisi catatan bulan dan tahun. Ternyata ia bisa menghitung dan teliti mencatat. Kertasnya sudah kumal dan menguning. Selama dua tahun ia mencatat, kertas ditulisi lalu disimpan. Begim yang terjadi, bulan demi bulan.
Ratna mengamati sebentar. Ia terkejut melihat jumlah sebesar itu yang harus dibayarnya. Keningnya berkerut kemudian tampak kegusaran di wajahnya. Ia meremas kertas itu lalu melemparnya jauh-jauh.
481 "Enak aja! Dua taun katamu" Memangnya siapa yang harus bayar gajimu selama ini" Bukan aku, tapi si Rama!"
Ipah terkejut. Ia tidak mengetahui soal itu. Selama berada di rumah Rama gajinya tak pernah diambil. Ketika mengikuti Rama ke rumah di Jalan Angsana itu ia mengira Rama akan mengambil alih atau Rama menitipkan gajinya kepada Rama. Rupanya ia tidak dianggap sebagai orang yang punya arti. Atau mereka memang tidak peduli padanya. Rasanya menyakitkan dan menyedihkan.
"Kalo gitu biar saya ke rumah Pak Rama aja sekarang. Saya pamit ya, Bu."
Ipah berdiri lalu meraih koper dan kantong plastiknya.
"Eh, tunggu dulu!" seru Rama. Ia tahu apa yang akan terjadi kalau Ipah ke rumah Rama. Ipah akan ditanyai. Lalu Ipah akan bercerita seperti apa adanya. Rama tidak suka hal itu terjadi.
"Ada apa, Bu"" tanya Ipah berharap.
"Bilang dulu, kenapa kamu mendadak mau berhenti. Ngambek karena peristi
wa semalam, ya""
"Bukan ngambek, Bu. Saya memang mau brenti aja."
"Kamu nggak takut keluar dari sini"" tanya Rama dengan nada mengancam.
"Di sini saya lebih takut, Bu," sahut Ipah tegas. Ia tetap tidak menentang mata Ratna. Ia menunduk saja.
"Apa" Kok berani kamu ngomong begitu"" bentak Ratna.
Ipah diam. Ia tahu akan diomeli dan dicerca. "Kamu nggak takut akan kukutuk dan kusumpahi, Pah" Kamu bisa ketabrak mobil kalau keluar dari
482 sini! Kamu bisa dirampok dan dibunuh orang! Kamu bisa kudisan! Tahu""
"Saya mah pasrah sama Gusti Allah aja, Bu!" kata Ipah sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
Rama terkejut. Begitu kagetnya sampai terhuyung ke belakang. Ia mengamati Ipah dari kepala sampai kaki seakan Ipah telah berubah jadi orang asing yang tidak pernah dikenalnya.
Lalu Hendri muncul di ambang pintu. "Ada apa"" ia bertanya. Sebenarnya ia sudah mendengarkan keributan itu, lalu khawatir kalau Ipah diapa-apakan. Ia melihat Ipah yang sudah rapi dengan koper dan kantong plastiknya. "Bibi mau pergi, ya"" ia bertanya.
Ipah mengangguk. "Iya, Pak," ia menyahut dengan perasaan bersyukur. Kehadiran Hendri bisa menguntungkan dirinya.
Rama cepat memutuskan Kehadiran Hendri dan kekeraskepalaan Ipah tidak memungkinkan baginya untuk berkeras juga.
"Baiklah. Aku akan bayar gajimu. Tapi kamu harus janji dulu, Pah. Kalau kamu nggak mau janji, aku juga nggak mau bayar."
"Janji apa, Bu"" tanya Ipah cemas. Ia memerlukan uang tapi takut disuruh janji macam-macam
"Kamu langsung pulang ke kampung dan tidak kembali ke rumah Pak Rama biarpun cuma singgah sebentar."
Janji itu tidak sulit bagi Ipah. "Saya memang mau langsung pulang, Bu. Ngapain singgah-singgah." "Kampungnya di mana, Bi"" tanya Hendri. "Ciawi, Pak."
"Nggak jauh-jauh amat ya. Naik bus"" "Iya, Pak."
483 "Pegang janjimu, ya"" tegas Ratna. "Awas, jangan melanggar!"
"Nggak, Bu. Saya mau tinggal di kampung aja."
"Baik. Aku percaya kamu. Tunggu sebentar."
Ratna kembali ke kamar. Ipah menarik napas lega. Hendri masih berdiri di ambang pintu. Ia hanya memutar kepala untuk mengamati Ratna. Ia melihat Ratna menarik sebuah tas hitam dari lemari pakaian. Sesudah itu ia tak bisa melihat apa-apa lagi karena Ratna membalik tubuhnya hingga membelakanginya. Hendri memanjangkan leher tapi tak bisa melihat apa-apa selain punggung Rama. Ia tak berani terus mencoba. Takut ketahuan. Maka ia memalingkan muka lagi kepada Ipah.
"Punya anak di kampung, Bi""
"Punya, Pak. Cucu juga ada."
Perbincangan tidak berlangsung lama. Ratna sudah kembali dengan lembaran uang di tangannya.
"Nih, hitung dulu. Dua juta empat ratus ribu."
Ipah menerima dengan gembira. "Terima kasih, Bu."
"Hati-hati bawa uang banyak naik bus, Bi," Hendri menasihati. "Sebaiknya jangan dimasukkan dalam dompet atau tas, tapi di sini." Hendri menepuk perutnya. "Dan kalau di bus ada yang nawarin minuman jangan mau. Nanti di dalam minuman itu ada obat biusnya. Kalau Bibi tidur, tau-tau barang ludes semua dibawa kabur."
Ratna kurang senang mendengar Hendri menasihati Ipah. Tapi Ipah mengangguk sambil mengiyakan. Ia tampak berterima kasih karena dinasihati.
Setelah Ipah pergi, Ratna berkata, "Dia pasti ngambek karena semalam."
"Cari saja pembantu baru," kata Hendri.
484 "Ah, mendingan sendiri aja."
"Nggak takut sendirian""
Setelah bertanya begim, Hendri teringat bahwa Rama pasti tidak takut pada apa pun dan siapa pun. Buru-buru ia memperbaiki ucapannya, "Maksudku, kau bisa kesepian."
"Ah, nggak." "Siapa Rama itu""
"Anakku," sahut Rama singkat. Ia tidak suka ditanyai perihal keluarganya.
Hendri sudah mengetahui hal itu.
"Kau belum mandi, Hen. Pergilah mandi dulu. Aku mau masak."
Mereka sarapan mi instan karena Ipah tidak masak apa-apa. Rama menolak ketika diajak Hendri makan di luar. Sebenarnya Rama khawatir kalau-kalau Rama atau Maya melihatnya. Ia menyesal memilih rumah yang berdekatan.
Hendri berusaha keras untuk tidak memperlihatkan perubahan sikap.
"Jimat itu sudah kuletakkan di bawah bantalku, Rat. Tapi sikap istriku dingin-dingin saja. Masih seperti dulu. Kenapa begim ya""
"Oh ya. Memang belum."
"Kenapa belum""
"Kau masih memiliki ke
bencian yang belum dituntaskan. Im harus dituntaskan lebih dulu."
Hendri keheranan. "Kebencian pada siapa""
"Pada ayahnya. Bukan begitu""
"Oh. Iya sih. Lantas aku mesti apa""
"Bunuh dia dulu. Lantas lainnya akan lancar."
Hendri ternganga. Rama bicara dengan begitu tenang seakan masalahnya adalah membunuh nyamuk.
"Kaukira membunuh itu gampang" Mana mungkin
485 aku bisa melakukannya" Dia selalu didampingi perawatnya. Istriku juga sering di situ. Pembantu banyak. Kau ingin aku masuk penjara""
"Bukankah kau ingin sekali melenyapkannya kemudian melenyapkan istrimu juga supaya kau bisa menguasai hartanya""
Hendri terkejut lagi. Pikiran seperti itu memang pernah muncul tapi sebatas angan-angan. Membunuh mungkin bisa saja, tapi bagaimana supaya tidak ketahuan itulah yang susah. Belum sempat menikmati harta sudah keburu masuk penjara. Itu bodoh sekali.
"Pakai racun saja. Nanti kubuatkan supaya nggak ketahuan."
"Aku hanya ingin jimat pemikat istriku, Rat. Bukan racun."
"Ala, dia itu istri tak berguna. Buat apa dipertahankan""
Sekarang Hendri menjadi semakin disadarkan. Ratna sudah berubah dari seorang yang tadinya hanya ingin bersenang-senang menjadi seorang yang posesif terhadap dirinya. Ia merasa takut karena tak bisa melawan ilmu Ratna. Ia merasa terjebak dalam perangkap. Ia berjuang keras untuk tidak memperlihatkan perasaan sesungguhnya. Ia juga takut kalau-kalau pikirannya bisa dibaca Ratna.
"Aku tidak mau masuk penjara, Rat."
"Ah, kau kurang ambisius. Kurang dorongan," keluh Rama kecewa.
"Mungkin." "Kau kurang percaya pada kemampuanku sih. Bukankah aku ada di belakangmu" Aku akan membantumu."
Hendri tak menjawab. Dalam hati ia berkata, "Ya. Kau di belakang. Aku di depan. Yang ketangkap
486 aku. Kau menghilang." Tapi tentu saja ia tak berani menyuarakannya.
Rama menatap Hendri dengan tajam, tapi tak mampu menembus benaknya. Ada yang menghalangi. Itu mengherankan tapi juga mengkhawatirkan. Sama seperti saat menghadapi Ipah tadi. Ia tak mampu mengorek apa yang ada dalam pikiran Ipah. Padahal ia yakin mesti ada sebabnya kenapa tiba-tiba Ipah mau pergi, dan yang penting kenapa tiba-tiba Ipah punya keberanian untuk menentangnya. Apakah itu kemunduran atau pertanda kelemahan" Padahal kekuatan itu satu-satunya modal untuknya dalam kehidupannya sekarang.
"Mungkin kau cuma perlu waktu, Hen," Rama berkata dengan nada lembut membujuk. Ia memutuskan untuk tidak mendesak. Jangan sampai ia kehilangan Hendri seperti kehilangan Ipah tadi.
"Mungkin begitu," sahut Hendri.
"Nanti kuberikan jimat keberanian."
"Jimat lagi" Bagaimana dengan jimat sebelumnya" Yang itu aja, Rat. Tapi diperkuat dan difokuskan."
"Kan sudah kubilang, kau perlu menuntaskan kebencianmu dulu kepada mertuamu."
"Maksudmu, aku harus membunuhnya dulu sebelum dapat jimat yang efektif"" Hendri tak dapat menyembunyikan kejengkelannya.
"Ya." "Dulu kau nggak bilang ada syarat semacam itu"" "Aku baru tahu belakangan bahwa ada hambatan seperti itu."
Hendri tahu Ratna berbohong. Tapi ia juga tahu ia tak bisa membantahnya.
"Dengar dulu, Hen. Bila mertuamu itu sudah tak ada, yang tinggal adalah kau dan istrimu. Saat itulah
487 jimat pemikat menjadi efektif. Sebenarnya bukan cuma kau yang membenci mertuamu, dia pun begitu kepadamu. Dia ingin sekali mendepakmu dari rumahnya. Maka sebelum kau didepaknya, bukankah paling baik bila kau mendahului" Setelah dia nggak ada, bagimu menjadi lebih mudah menguasai istrimu. Dia akan patuh padamu dalam segala hal. Termasuk seks. Jimat akan membuat dia memujamu. Lebih dari sekadar patuh."
Dalam keadaan berbeda Hendri pasti akan terpengaruh ucapan itu. Sekarang tidak lagi. Ia menganggap Ratna hanya mengulur waktu supaya bisa menguasai dan memilikinya lebih lama. Ratna sedang mempermainkannya supaya ia bolak-balik Jakarta-Bandung untuk bercinta habis-habisan. Benar-benar jadi sapi perah.
"Hei, ngambek ya"" tegur Ratna.
"Ah nggak. Aku cuma takut."
"Nanti kalau sudah dapat jimat, kau akan berani."
"Baiklah. Kalau menurutmu begitu, apa lagi yang bisa kukatakan""
"Bagus. Seharusnya kau percaya padaku."
Hendri mengangguk. Ia memikirkan cara bagaimana bisa me
nghindar secepatnya dari Ratna. Tapi belum sempat menemukan caranya, Ratna sudah kembali merayunya. Kalau semula ia cepat terangsang, sekarang ia merasa muak. Aku akan diperah lagi, pikirnya dengan nelangsa.
Ratna menciumnya, menggelitikinya, bahkan me-remas-remasnya. Tapi Hendri tidak juga terangsang. Ratna menjadi kesal dan penasaran. Kemudian gusar. Lalu khawatir.
"Kenapa sih kau loyo begini, Hen" Ke mana keperkasaanmu""
488 "Entahlah. Aku sendiri heran. Mungkin lagi capek atau nggak enak badan. Mungkin perlu Viagra atau Pasak Bumi," Hendri tertawa. Dalam keadaan biasa ia tentu merasa cemas akan keloyoannya itu. Tapi sekarang ia malah senang.
Ratna tidak bisa berbuat apa-apa meskipun kecewa sekali. Apa pun yang diperbuatnya tak bisa membangkitkan gairah Hendri. Keadaan seperti itu tak pernah terpikirkan olehnya. Mustahil cuma sampai di situ saja keperkasaan Hendri.
"Kalau begitu kau beristirahat saja," ia menganjurkan.
"Aku pikir, sebaiknya aku pulang saja, Rat. Nanti aku kembali lagi untuk mengambil jimatnya."
Ratna terkejut. "Bukankah rencanamu masih semalam lagi di sini""
"Iya sih. Tapi aku merasa nggak enak."
"Nggak enak gimana"" Ratna menatap curiga.
"Tepatnya nggak enak badan."
"Justru kalau begitu kau nggak boleh bepergian. Kalau ada apa-apa di jalan siapa yang menolong" Istirahat saja, ya" Nanti kuambilkan obat."
"Obat apa" Nanti aku malah tidur terus."
"Ah, nggak. Cuma obat penyegar tubuh. Sementara kau beristirahat, kubuatkan jimatnya. Besok pagi-pagi kau bisa pulang."
Hendri terpaksa setuju. Kalau ia memaksa, Rama bisa marah. Ia tahu maksud Rama menahannya adalah untuk mendapatkan kesempatan bercinta lagi dengannya. Benar-benar memuakkan. Kalau ia memang dijadikan sapi perah, lebih baik kering saja sekalian. Setidaknya untuk waktu ini saja.
Ketika Rama membawakan sebutir pil dan segelas air, Hendri menjepit pil itu dengan jari tangan lalu
489 memasukkannya ke dalam mulut, kemudian meminum airnya sampai habis. Padahal pilnya masih dalam jepitan jari tangan.
"Nah, istirahatlah," kata Ratna, menunjuk tempat tidur.
Hendri membaringkan tubuhnya. Ratna mencium pipinya dan membelai kepalanya. Sikapnya seperti seorang ibu kepada anaknya.
"Terima kasih," kata Hendri pelan. Ia tidak merasa tersentuh oleh perlakuan yang penuh perhatian itu. Keinginannya cuma satu, yaitu pergi secepatnya dari rumah itu. Kepercayaannya kepada Ratna sudah lenyap hingga keinginan mendapatkan jimat sudah tak ada lagi.
"Kau tidurlah. Aku akan membuat jimat lalu masak untuk makan malam. Sialan si Ipah itu!"
Ratna keluar dengan merapatkan pintu
Hendri menunggu sekitar setengah jam lalu bangun. Ia membuka pintu kamar, menengok kanan-kiri sambil memasang kuping. Ia mendengar suara-suara dari arah dapur. Ratna sedang sibuk di sana. Buru-buru ia merapatkan pintu lagi lalu berlari ke lemari pakaian, membuka dan mengamati isinya. Setelah menemukan sebuah tas hitam, ia menariknya. Ia menengok dulu ke pintu sebelum membuka tas itu. Jantungnya berbunyi dag-dig-dug kencang sekali. Kupingnya bisa mendengarnya. Ia takut juga kepergok Rama.
Matanya membelalak. Isi tas itu bukan hanya uang beberapa gepok, tapi juga sebuah kotak kecil. Kotak itu ia buka. Isinya penuh perhiasan emas dan berlian. Tangannya gemetar. Yasmin sendiri tidak memiliki perhiasan sebanyak itu. Beberapa perhiasan miliknya sebagian sudah terjual untuk berbagai keperluan.
490 Hendri tidak berani lama-lama memeriksa isi tas itu. Buru-buru ia meletakkannya kembali di tempatnya. Cermat supaya tidak salah letak. Sesudah itu, dengan jantung masih berdebar, ia buru-buru kembali ke tempat tidur.
Jelas baginya bahwa Ratna percaya kepadanya karena selama ini membiarkan Hendri berada di kamarnya dengan lemari tidak dikunci. Hendri memang tak pernah tertarik untuk memeriksa barang Rama, apalagi berniat untuk mencuri. Ia terlalu takut untuk melakukannya. Ketika itu ia tak punya persangkaan sedikit pun akan kemungkinan Rama memiliki harta. Ia baru tertarik setelah tadi melihat Rama mengambil uang untuk membayar gaji Ipah. Sepertinya bagi Ratna tak ada keberatan mengeluarkan uang sebesar itu. Jadi pas
tilah ia punya persediaan uang yang jauh lebih banyak lagi.
Selintas ada rasa heran dari mana Rama menafkahi dirinya. Tampaknya dia punya anak-anak. Tapi menilik penampilan Ratna yang belum tua, mestinya anak-anaknya belum cukup dewasa untuk mencapai kehidupan yang mapan. Soal itu memang tak ingin dipikirkan Hendri. Ia tak berkepentingan. Yang ia pikirkan adalah harta Ratna di dalam tas hitam itu!
491 BAB 46 Hendri tidak tahan berlama-lama di tempat tidur. Perutnya terasa lapar. Cukup lama Rama pergi. Pasti Rama mengira ia tengah tidur nyenyak.
Begim keluar, ia mencium bau kemenyan yang pekat. Mungkin Ratna sedang membuat jimat, pikirnya. Jadi ia diberi obat tidur supaya tidak bisa melihat proses pembuatannya. Karena itu ia melangkah pelan-pelan menuju dapur. Datangnya bau kemenyan memang dari sana. Kemudian ia tertegun. Ia mendengar suara orang bicara. Dengan siapakah Ratna bicara"
Suara lawan bicara Ratna adalah suara lelaki. Rendah dan bergaung. Apakah Ratna punya pacar baru" Hendri sangat ingin tahu. Ia melangkah lagi, lebih mendekat. Tapi semakin jelas suara itu, semakin aneh rasanya. Suara itu bernada bariton yang menggetar dan bergema. Ia merasa giris mendengarnya, seolah sarafnya tercabik dan teriris. Ia terus saja mendekat. Keingintahuannya lebih besar daripada rasa takut. Ia ingin tahu siapa empunya suara aneh itu.
Dapur tidak memiliki pintu, jadi Hendri menjulurkan kepala pelan-pelan dari pinggir dinding yang menyiku, dan siap untuk cepat-cepat menarik kepalanya kembali. Tubuhnya sendiri terlindung di balik dinding.
Ratna sedang duduk bersila di lantai tanpa alas.
492 Posisinya menguntungkan bagi Hendri karena membelakanginya. Yang tampak hanya punggung dan belakang kepala. Dari asap yang tebal mengepul di depan Rama ia menyimpulkan wadah kemenyan ada di lantai depan kaki Ratna. Karena yakin dirinya aman, Hendri menjulurkan kepala lebih ke depan untuk melihat situasi di ruang dapur dengan lebih jelas. Betapa terkejutnya ia karena di sim tak ada orang lain. Rama hanya sendirian. Padahal wanita itu jelas tengah berbincang dengan seseorang. Karena takut, Hendri buru-buru menarik kembali kepalanya. Ia hanya mendengarkan.
"Tuan! Apa yang mesti kulakukan" Aku masih ingin menikmati hidupku!" kata Ratna.
"Kau terlalu asyik dengan nafsumu! Rakus!"
"Ampun, Tuan." "Belum ada yang kauberikan untukku."
"Aku sedang membujuknya untuk membunuh mertuanya. Dia mau, Tuan!"
"Mau apaan" Kau dikibuli, tahu" Jadi bunuh dia saja!"
Tubuh Hendri terasa membeku. Ia ingin sekali kencing. Ada suara dalam dirinya yang menyerukannya supaya lari sekarang juga, keluar dari rumah itu dan tidak menoleh lagi. Tapi ketakutan yang amat sangat membuat ia tidak bisa segera bergerak.
"Si...si...sia...siapa, Tuan""
"Siapa lagi" Pacarmu tentu saja!"


Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi... tapi..."
"Tapi apa""
"Orang lain saja, Tuan."
Dengan harapan sang Tuan mau memenuhi permintaan Ratna, Hendri jadi lebih optimis. Kepalanya kembali dijulurkan sedikit agar cukup untuk melihat
493 Ratna. Tapi kejutan lain menantinya. Tampak Rama sedikit memiringkan mukanya hingga bisa terlihat bagian sisinya. Wajah itu kelihatan ma, penuh kerut dan ada gelambir di leher! Rambutnya pun memutih!
Hendri tak bisa lagi menahan kencingnya. Celananya basah dan menetes ke lantai. Ketakutannya sudah merayap ke puncak. Kakinya gemetar. Tubuhnya terpaksa disandarkan ke dinding kalau tak mau jatuh.
"Orang lain siapa"" tanya sang Tuan.
"Ya. Orang lain, Tuan. Aku akan melakukannya secepatnya. Kau mau siapa" Anakku" Cucuku""
Sang Tuan tertawa. "Tidak! Aku mau dia!"
"Gimana membunuhnya, Tuan" Nanti aku ditangkap polisi."
"Aku akan membantumu supaya nggak ketahuan!"
"Pakai apa, Tuan" Racun""
"Goblok! Ambil pisau sana! Aku ingin yang berdarah-darah!"
"Tapi...," Rama tersedu-sedu.
"Kalau kau nggak mau, kuambil lagi semuanya. Termasuk nyawamu!"
Sambil tersedu-sedu Rama berdiri. Penampilan fisiknya sudah berubah menjadi muda kembali.
Hendri sudah berhasil menggerakkan kedua kakinya. Tertatih-tatih ia kembali ke kamarnya. Larinya sempoyongan. Tapi ia tidak terus berlari ke luar rumah, melainkan masuk dulu ke kamar. Ia me
ngenakan jaketnya dan mengambil tasnya. Di dalam saku jaket tersimpan dompetnya. Mustahil pergi tanpa uang sepeser pun. Biarpun ketakutan, ia masih percaya diri. Ia lelaki yang kuat, sementara Rama perempuan yang lebih tua. Biarpun ada iblis atau setan di belakangnya, iblis itu tidak menampakkan bentuknya. Ia bukan pula hambanya.
494 Ketika akan ke luar kamar, ia mendengar langkah kaki. Ia tahu sudah terlambat keluar tanpa berpapasan dengan Rama. Dengan kesiapan dan kesadaran akan diserang, ia merasa lebih kuat dibanding Ratna yang tidak tahu akan kesiapannya. Ratna mengira Hendri sedang tidur. Jadi gampang untuk dibunuh.
Pintu terbuka ke arah dalam. Hendri berada di belakang daun pintu. Ia menunggu dengan tekad membela diri. Kekuatannya sudah kembali. Bila cengeng seperti tadi, mana mungkin ia bisa mempertahankan diri. Lalu pintu terbuka pelan-pelan. Yang tampak paling dulu adalah kilatan pisau di tangan Ratna. Segera Hendri bergerak. Ia memukulkan tasnya keras-keras ke tangan Rama. Disertai-pekikan keras Rama, pisau itu jatuh ke lantai.
Hendri melepas tasnya lalu menyerbu Ratna. Perempuan itu terjatuh. Hendri menindihnya lalu melingkarkan kedua tangannya di seputar leher Ratna. Ia mencekiknya kuat-kuat. Ratna meronta, mencakar, dan memukul. Dengan terkejut Hendri merasakan kuatnya perlawanan Rama. Perempuan yang sudah berumur itu memiliki tenaga lelaki yang setara dengannya. Biarpun memiliki kekuatan lelaki, Rama berkelahi seperti perempuan. Ia mencakar, menjambak, dan menggigit! Mereka bergumul dan berganti-ganti posisi, di atas dan di bawah.
Hendri kewalahan. Beberapa kali ia merasa akan kalah. Kini dialah yang ganti dicekik. Kedua tangan Rama ternyata memiliki cengkeraman yang lekat dan kuat. Tapi Hendri memiliki kaki yang kuat. Dengkulnya mencapit tubuh Rama yang kecil lalu melemparkannya ke bawah. Gantian Hendri yang berada di atas menindih Ratna, kemudian mencekiknya dengan
495 kedua lutut menekan lengan Ratna hingga wanita itu tak bisa bergerak.
Mata Ratna melotot sampai mau melompat keluar. Wajahnya mengernyit kesakitan. Lalu tiba-tiba wajah itu berubah penuh kerut-merut dan rambutnya putih semua! Ia kembali ke asal!
Meskipun terkejut oleh perubahan itu, Hendri tidak melepaskan tekanannya. Tadi ia sempat melihat sedikit perubahan itu hingga tak lagi kehilangan akal sehatnya. Tetapi perubahan fisik Ratna ternyata diikuti pula dengan perubahan tenaga. Ratna kembali menjadi perempuan berusia tujuh puluh, baik fisik maupun tenaganya. Sudah tentu ia bukan tandingan lelaki muda bertubuh tegap seperti Hendri. Biarpun demikian, Hendri tidak berani melonggarkan impitan maupun cekikannya. Ia khawatir apa yang tampak dan terasa itu cuma tipuan.
Tak lama kemudian tubuh Ratna lunglai. Tak ada lagi perlawanan sedikit pun. Apakah dia sudah mati" Hendri tak merasa perlu untuk memeriksa lebih cermat. Ia juga tak punya kebanggaan karena bisa memenangi pertempuran dengan seorang nenek! Ia harus kabur secepatnya. Setelah meraih tasnya, ia segera teringat kepada tas hitam milik Ratna. Alangkah sayangnya kalau ditinggalkan. Hendri melangkahi tubuh Ratna lalu bergegas ke lemari, mengambil tas hitam itu, lalu memasukkannya ke dalam tasnya sendiri.
Saat Hendri melakukan hal itu, sepasang mata Ratna bergerak mengikuti gerak-geriknya! Ia belum mati! Tiba-tiba darah Rama bergolak oleh emosi yang meningkat ketika mengetahui Hendri mengambil tas kesayangannya. Emosi itu memberinya kekuatan besar. Dengan teriakan penuh amarah ia melompat
496 berdiri, meraih pisau yang tergeletak di lantai, lalu menyerang Hendri! Gerakannya cepat sekali.
Hendri terkejut dan terkesiap. Ia tak punya waktu untuk menangkis serangan. Pisau menancap di dadanya! Ia menjerit kesakitan. Tasnya terlepas, jatuh ke lantai. Rama menubruk tas itu lalu memeluknya erat-erat. Dengan tenaga yang tersisa, Hendri memukul Rama. Sementara itu darah terus mengalir deras dari dadanya. Rama jatuh terjerembap tapi tak melepaskan pelukannya pada tas milik Hendri karena tas hitam miliknya ada di dalamnya.
Hendri menendang Rama lalu berusaha menarik tasnya. Berkali-kali tendangannya mamp
ir ke tubuh Rama. Tak cukup menendang, ia pun memukuli kepala Rama. Perempuan itu menelungkup tak bergerak. Hendri tak memedulikan lukanya yang terus mengucurkan darah. Ia seperti melupakan rasa sakit dan darahnya yang hilang karena bertekad mendapatkan tasnya.
Putus asa Hendri menarik tangan Ratna yang mencengkeram tas, lalu membengkokkan dan mematahkan tangan itu! Ia juga tak henti-henti menendangi tubuh Rama sementara darah dari lukanya bergumpal-gumpal keluar dan membasahi tubuh Rama. Wajah Hendri sudah kelabu. Tubuhnya mulai lemas. Pandangannya berkunang-kunang. Tetapi dengan segala upaya ia tetap tak berhasil melepaskan tas dari cengkeraman Rama. Padahal Ratna sudah kehilangan nyawa!
Tiba-tiba terdengar bunyi tawa mencemooh. Hendri mengenali suara itu. Tadi ia mendengarnya di dapur.
"Ha-ha-ha! Percuma, Hendri! Percuma! Kau akan mati bersama kekasihmu si nenek!" ejek sang Tuan.
Hendri tertegun. Ia segera menyadari kondisinya.
497 Baru terasa sakit dan lemasnya. Ia terhuyung-huyung mau jatuh lalu cepat-cepat duduk di tempat tidur. Ia kehilangan akal. Pikirannya sudah tak jernih. Tatapannya masih tertuju pada sosok Ratna yang membungkuk dengan memeluk tas. Posisi yang aneh. Tatapan Hendri masih menampakkan dambaan kepada tasnya.
"Apa kau mau selamat, Hendri"" tanya sang Tuan.
Hendri mengangkat kepala lalu menatap ke arah suara.
"Mau!" sahutnya lemah.
"Kau bisa selamat dan mendapatkan kembali tasmu! Pisau akan lepas dari dadamu dan lukamu sembuh dalam sekejap!"
"Mau!" seru Hendri bergairah.
"Syaratnya gampang. Aku jadi tuanmu. Maka segala yang kauinginkan akan tercapai asal kaupenuhi segala permintaanku."
"Permintaan apa""
"Kelak bila saatnya tiba, nyawamu akan jadi milikku, seperti kekasihmu si nenek itu. Tapi buatmu itu tentu tak ada artinya. Kalau sudah mati kau tidak akan merasakan apa-apa lagi."
Dalam keadaan lemah Hendri masih bisa berpikir. Ia teringat akan percakapan Ratna dengan sang Tuan yang barusan didengarnya. Ratna sudah memenuhi permintaan sang Tuan untuk membunuhnya, tapi ternyata Ratna dikorbankan juga. Padahal kalau mau, sang Tuan bisa saja menolong Rama. Apakah itu karena sang Tuan sudah tak sabar ingin memiliki nyawanya" Bisa jadi atau kemungkinan besar hal yang sama akan terjadi pula atas diri Hendri.
"Tidaaak! Aku tidak mau! Tida...a...a...kk!" serunya sekeras-kerasnya, mengerahkan tenaga yang ma498 sih dimilikinya. Lalu ia berlari sempoyongan ke luar. Berkali-kali ia mau jatuh tapi berusaha keras untuk tetap tegak. Ia sudah tidak hirau lagi akan tasnya. Yang penting sekarang adalah keluar dari rumah mengerikan itu. Dengan berpegangan ke sana ke sini ia berhasil mencapai pintu.
Setelah pintu terbuka, ia tidak tahan lagi. Ia jatuh menggabruk. Darahnya mengucur sepanjang jalan yang dilaluinya. Tapi ia bangun lagi lalu merangkak dengan kedua tangan dan kaki, terus menuju pintu pagar. Dengan susah payah ia berhasil juga mencapai jalan!
"To...looo...ng! To...looo...ng!" rintihnya.
Orang-orang yang lewat menjadi gempar lalu bergegas menolongnya. Mereka mengangkutnya ke rumah sakit. Hiruk-pikuk itu segera beralih ke rumah Ratna karena di situ tampak kobaran api yang membesar dengan cepat.
"Apiii! Apiii!"
Tiang listrik diketok-ketok. Orang-orang berteriak histeris dan berlarian ke sana kemari. Kepanikan terutama terjadi di seputar rumah Ratna. Tetapi dalam waktu singkat rumah Ratna terbakar habis tanpa menjalar ke mana-mana! Rumah itu seperti api unggun yang terbakar di satu tempat saja, lalu semakin mengecil dan kemudian padam setelah kayunya habis. Kepanikan yang begitu luar biasa berubah menjadi keheranan dan rasa takjub yang menyebabkan orang-orang bengong dan bingung. Pemadam kebakaran yang datang seperempat jam kemudian hanya menemukan puing teronggok dan kesibukan warga yang kembali memasukkan barang-barang ke dalam rumah setelah tadinya dikeluarkan dengan tergesa-gesa. Mereka gembira karena rumah itu selamat.
499 Setelah kehebohan berlalu, muncul kehebohan berikutnya. Warga sekitar baru teringat akan penghuni rumah yang terbakar itu. Ke mana mereka" Apakah mereka sempat keluar menyelamatkan diri
ataukah menjadi korban"
Setelah dilakukan pencarian intensif, di bawah puing-puing ditemukan kerangka yang hangus. Kerangka dan tulang belulang yang ditemukan itu sebegitu hangusnya hingga sentuhan beberapa kali membuatnya hancur menjadi abu! Dengan demikian sulit untuk memastikan apakah tulang-tulang itu berasal dari satu orang atau dua orang. Perlu pemeriksaan yang lebih detail untuk itu. Bisa disimpulkan bahwa korban merupakan penghuni rumah karena tidak ada tetangga yang melihat satu atau keduanya berada di luar rumah dalam keadaan selamat. Kalau hanya salah satu yang selamat, pasti dia akan berlari keluar untuk minta pertolongan.
Sementara itu Hendri tidak bisa mencapai rumah sakit dalam keadaan hidup. Ia meninggal dalam perjalanan karena kehabisan darah. Tidak ada warga sekitar yang mengenalinya atau pernah melihatnya berada di rumah Ratna. Wajahnya telah banyak berubah karena trauma yang menerpanya. Untunglah dari dalam saku jaketnya ditemukan dompetnya. Di sim ada identitasnya sebagai warga Jakarta!
500 BAB 47 Dari karyawan bengkelnya Rama mendengar ada kebakaran di Jalan Angsana. Letaknya hanya satu blok dari rumahnya.
"Tapi sekarang mah udah padam, Pak. Cuma satu rumah yang habis terbakar."
"Jalan Angsana nomor berapa"" tanya Rama dengan jantung berdebar. Firasatnya tidak enak.
"Kalau nggak salah sih nomor dua, Pak."
"Terus penghuninya gimana""
"Mati hangus, Pak. Ada miang belulangnya yang sudah hitam."
Rama sangat terkejut hingga wajahnya pucat pasi.
"Kenapa, Pak" Bapak kenal""
"Ya. Kenal!" Rama segera berlari memberitahu Maya, istrinya. Lisa dan Boy yang juga mendengar mau ikut serta untuk melihat, tapi Rama melarang. "Kalian jaga rumah dulu. Nanti kalau kami kembali, baru kalian boleh ke sana untuk melihat. Sementara itu telepon oom-oom kalian. Kasih tahu."
Rama dan Maya melihat situasi rumah di Jalan Angsana nomor 2 yang sudah tinggal puing. Sekitar rumah itu sudah dilingkari pita kuning kepolisian. Beberapa petugas forensik masih menyelidiki tempat itu. Rama bergerak maju tapi seorang petugas mencegahnya.
501 "Saya kerabat penghuni rumah ini, Pak." "Oh ya" Wah, menyesal sekali, Pak. Beritanya buruk."
"Apa betul penghuninya terbakar""
"Ya. Kami menemukan kerangka yang terbakar. Tapi itu sudah dibawa ke ruang jenazah RS Hasan Sadikin. Anda bisa mengurusnya di sana."
"Berapa orang, Pak" Satu atau dua" Soalnya penghuninya ada dua."
"Saya sudah dengar dari warga bahwa penghuninya ada dua. Tapi masih perlu pemeriksaan teliti untuk memastikan apakah yang tewas ada dua atau satu. Kerangka yang hangus berikut abunya terkumpul di satu tempat. Di tempat lain tak ada."
"Apa penyebab kebakaran ini, Pak" Kelihatannya aneh ya""
"Jangan sembarangan menyangka dulu, Pak. Masih perlu penyelidikan."
Petugas itu kelihatannya segan bicara lebih banyak. Rama menarik Maya menjauh. Mereka memandang berkeliling. Tak ada yang tersisa dari rumah itu. Tetapi rumah tetangga yang bersebelahan sama sekali tidak tersentuh api karena tidak tampak bekas hangus kehitaman. Sebatang pohon belimbing sayur di halaman masih segar bugar dengan daun-daunnya yang hijau dan buahnya yang rimbun bergantungan. Demikian pula beberapa pepohonan lainnya yang lebih kecil. Pohon-pohon itu tidak terusik sedikit pun dengan hawa panas yang pernah melanda tempat itu. Tak ada yang hangus atau kering dan layu. Pintu pagar pun masih utuh. Tanamannya rusak dan ringsek karena injakan kaki orang banyak yang berusaha memadamkan api. Jelas bedanya antara rusak karena terinjak dan rusak karena terbakar.
502 Ketika secara tak sengaja tatapan Rama tertuju ke bawah, ia melihat ada bercak merah di dekat tanaman yang ringsek. Ia berjongkok dan mengamati. Maya ikut-ikutan.
"Apa, Pa"" tanya Maya.
"Sepertinya darah, ya""
"Ah masa" Tadi kan udah diperiksa, masa mereka nggak lihat""
"Siapa tahu terlewatkan. Kalaupun memang itu darah, kayaknya lebih dari segitu. Tapi sudah hilang karena diinjak-injak orang dan tersiram air."
"Darah siapa" Dan kenapa ada di situ""
"Mana aku tahu" Tapi aku punya perasaan nggak enak, Ma. Ini sepertinya bukan kebakaran biasa."
"Habis apa" Disengaja"
" "Ssst... Jangan keras-keras ngomongnya. Ayo kita pulang. Bicara sambil jalan."
Setelah pamit pada petugas dan memberikan alamat mereka, Rama dan Maya berjalan dengan bergandengan tangan. Pelan-pelan saja. Mereka perlu menenangkan diri dari kejutan yang barusan menimpa.
"Aneh ya, Ma. Kenapa aku nggak merasa sedih dan kehilangan" Kenapa aku malah lega karena terlepas dari beban" Padahal bagaimanapun dia kan ibuku," kata Rama dengan perasaan bersalah.
"Ya. Aku juga begitu."
"Kau masih mending. Kau hanya menantu. Tapi aku kan anak kandung, Ma."
"Kau bisa berbagi perasaan dengan saudara-saudara yang lain."
"Itu pasti. Ngomong-ngomong tentang kebakaran itu, aku curiga jangan-jangan ada yang jahat, Ma. Siapa tahu ada yang berniat merampok, mentang503 mentang mereka hanya berduaan. Mama kan punya sedikit harta."
"Maksudmu, mereka dibunuh lalu dibakar untuk menghilangkan jejak""
"Ya." "Tapi itu nggak mungkin, Pa!" "Nggak mungkin gimana""
"Mama kan punya ilmu. Siapa yang bisa mengalahkannya""
"Oh iya." Rama tertegun sejenak. Ia sempat melupakan hal itu. "Ah, aku jadi bingung, Ma."
"Jangan-jangan..." Maya tak melanjutkan ucapannya. Ia tampak takut.
"Jangan-jangan apa""
"Takut ah ngomongnya."
"Ayolah, kenapa mesti takut" Mama kan sudah nggak ada."
"Justru itu. Bagaimana kalau yang tewas terbakar itu Bi Ipah, bukan dia""
"Lantas dia ke mana""
"Dia pergi. Muncul-muncul berganti rupa."
"Ah masa" Jadi menurutmu dia yang membakar Bi Ipah" Tapi mana mungkin dia pergi sendirian" Dia kan memerlukan kita. Dan kalau dia sampai berganti rupa lagi, kita punya alasan untuk tidak mengakuinya."
"Siapa tahu... Ah, sudahlah, Pa. Kita nggak tahu apa-apa. Cuma berandai-andai saja. Jadi takut sendiri. Sudah, ah. Mendingan kita bicara dengan saudara-saudara."
Maya sangat menyayangkan lenyapnya koleksi perhiasan Rama. Sekarang Rama diperkirakan tewas, tapi ternyata ia membawa serta hartanya!
504 Sore itu juga mereka berkumpul di rumah Rama setelah menjenguk lokasi di Jalan Angsana.
"Kita harus mengambil abunya lalu memakamkannya," kata Rama.
"Biarpun tercampur dengan abu Bi Ipah"" tanya Ramli.
"Kalaupun tercampur, bagaimana memisahkannya""
"Ah iya. Bener juga. Baiklah. Jadi kita harus mengakui dia sebagai apa" Ibu atau bibi"" tanya Ramli.
Semua terdiam. Tak ada yang bisa menjawab. Sungguh membingungkan.
"Kalau kita akui dia sebagai ibu kita, seperti yang sesungguhnya, bagaimana tanggapan warga di sekitar rumahnya" Hampir pasti berita seperti ini akan masuk koran. Pernyataan kita akan dimuat. Mereka pasti tidak percaya karena mereka sudah melihat rupa Mama. Nanti bisa timbul kecurigaan. Kita bisa repot menjelaskan. Celaka, kan" Jadi sudahlah, sebaiknya kita tetap menganggapnya sebagai bibi kita. Itu sesuai dengan yang tertera di kartu keluarga," jelas Rama.
"Apa itu nggak munafik namanya"" tanya Ramli.
"Ah, kita sudah lama jadi orang munafik saat berhadapan dengan Mama," sanggah Marta. "Misalnya terhadap Delia. Ketika dia ditindas dan dikejar-kejar Mama, kita tidak menolongnya. Kita malah membantu Mama."
Ramli dan Mila berpandangan. Tentu mereka masih ingat bagaimana Donna disuruh memperdaya Delia dengan meminta bantuan sepuluh juta. Dengan tulus Delia memberikan padahal mereka sendiri diam saja.
505 Hanya Donna yang berani meminta maaf. Diingatkan hal itu mereka jadi malu.
"Aku kira, Delia harus diberitahu mengenai kejadian ini," kata Mila.
"Tentu saja. Kita semua berutang maaf kepadanya," Ridwan membenarkan.
"Sebaiknya Donna saja yang memberitahu. Hanya dia yang akrab dengan Del. Kayaknya dia punya nomor telepon Del di Jakarta," kata Mila.
* * * Yasmin mendapat berita Kematian Hendri lewat telepon. Ia menyampaikannya kepada Delia lalu kepada Erwin. Lewat telepon Erwin mengajaknya bersama-sama ke Bandung mengurus jenazah Hendri hari itu juga. Sementara Kosmas tak bisa ikut karena harus menjaga motelnya. Delia memutuskan untuk ikut. Winata mendukung Kepergian mereka.
Belum sempat mereka berangkat, telepon berdering. Dari Kosmas untuk Delia.
"Del, ada telepon dari Bandung. Dari Donna. Supaya jelas, kusuruh dia langsung menghubungi rumah Yasmin. Sudah
ya. Tunggulah. Sebentar lagi dia nelepon."
Segera setelah Delia menutup telepon dari Kosmas, telepon kembali berdering. Kali ini dari Donna.
"Ada apa, Don""
"Aku disuruh Mama, Tante. Jadi ngomongnya terang-terangan. Ada berita besar."
Cerita Donna mengalir lancar. Delia terkejut hingga tanpa terasa ia memekik. Yasmin dan Erwin mendekati dengan khawatir.
"Baiklah, Don. Sudah jelas. Kebetulan sekarang
506 juga aku mau berangkat ke Bandung sama teman-teman. Nanti aku mampir," kata Delia menutup telepon.
Erwin dan Yasmin sangat terkejut mendengar berita yang disampaikan Donna.
"Mungkinkah ada hubungannya dengan Hendri"" tanya Yasmin.
"Kayaknya ada. Bukankah menurut perkiraan Hendri berada di rumah Ratna""
"Oh, jangan-jangan ada hubungannya dengan jimat yang kita ganti itu!" Yasmin mulai menangis. Ia merasa bersalah.
Delia memeluk Yasmin. Baru saat itu Yasmin memperlihatkan emosinya. Semula dia tenang-tenang saja mendengar berita itu. Bahkan seperti tidak bersedih. Dan Delia sempat melupakan bahwa orang yang diberitakan meninggal itu adalah suami Yasmin, karena itu ia juga tidak berpikir untuk menghiburnya. Bagaimana mau menghibur seseorang yang tidak merasa perlu dihibur" Ternyata Yasmin masih memiliki perasaan terhadap Hendri.
Erwin memandangi saja dengan galau. Ia tidak tahu mesti berkata apa.
"Tentu nggak ada hubungannya, Yas," kata Delia sambil menepuk-nepuk punggung Yasmin. "Hendri ditusuk orang dan ditemukan di jalanan. Sedang Ratna mati terbakar di rumahnya. Lokasinya beda. Itu nggak ada hubungannya dengan jimat."
"Aku yakin ada." Yasmin melepaskan pelukan lalu menyusut matanya. "Hendri ke sana pasti masalah jimat. Mungkin dia dibunuh nenek sihir itu, Kak!"
Delia dan Erwin terkejut. Sepertinya tuduhan -itu terlalu mengada-ada. Tapi siapa tahu" Orang seperti Ratna bisa memberikan kejutan.
507 "Jangan berpikir macam-macam dulu, Yas. Mung-kin di sana kita bisa mendapat informasi yang lebih jelas."
"Ya. Mudah-mudahan begitu." Erwin lebih banyak diam. Ia berpikir tentang ucapan Yasmin. Begitu besar keinginan Hendri untuk bisa menggauli Yasmin kembali sampai perlu meminta jimat lagi. Mungkin karena jimat pertamanya kurang manjur. Tapi kenapa Hendri begitu terburu-buru sampai tak bisa menunggu akhir pekan" Ia tak perlu minta cuti supaya bisa ke sana hari itu juga. Apalagi situasi hubungannya dengan Yasmin pun tidak sedang kritis sampai harus darurat diselesaikan. Tak ada salahnya bersabar beberapa hari. Logikanya, ada sesuatu yang lain. Mungkin jimat itulah yang membuat Hendri ingin buru-buru menemui Ratna. Apakah jimat itu salah sasaran" Tapi pemberinya adalah Ratna sendiri. Tak mungkin Ratna salah beri kecuali disengaja.
Hanya Erwin yang pernah bertemu Ratna dalam penampilan barunya. Rekan-rekannya tidak. Ia tahu bagaimana tampilan Ratna. Cukup cantik, menarik, seksi, dan genit! Apa lagi motivasi orang yang sebenarnya sudah tua renta tapi ingin muda kembali kecuali supaya menarik lawan jenisnya" Kenapa pula Ratna memilih tinggal di rumah kontrakan, tak lagi serumah dengan keluarga anaknya, kalau bukan untuk mendapatkan kebebasan melakukan apa saja"
Tetapi ia tidak tega menyampaikan pemikirannya itu. Ia tidak ingin menambah kesedihan Yasmin. Sesungguhnya ia tidak munafik untuk tidak merasa senang oleh kematian Hendri. Hanya keadaan itu satu-satunya yang bisa memuluskan hubungannya dengan Yasmin.
508 Yasmin merasa terhibur oleh kehadiran teman-temannya di saat seperti itu. Ia tidak tahu sepatutnya merasa senang atau sedih karena kematian Hendri. Itu terjadi secara mendadak. Secara tak disangka ia terlepas dari ikatan yang tak dikehendakinya tapi tak bisa ia putuskan. Ia tak pernah berpikir tentang kematian Hendri sebagai solusi kecuali kematian dirinya sendiri. Barangkali perasaan bersalah muncul karena sesungguhnya ia merasa senang. Ia malu oleh perasaan itu.
509 BAB 48 Sejak keberangkatan dari Jakarta, Yasmin dan kawan-kawan sudah mempersiapkan keterangan yang nanti harus diberikan kepada polisi mengenai Hendri. Hal itu penting supaya tidak menimbulkan kecurigaan. Keterangan harus pasti dan tidak berubah-ubah. Hendri mati
secara tidak wajar, jadi pemeriksaannya akan lebih mendetail. Biasanya dalam hal seperti itu orang pertama yang dicurigai adalah keluarga, kalau-kalau ada persekongkolan atau orang ketiga.
"Suami saya minta cuti dua hari karena ada urusan bisnis yang mau dibicarakan dengan orang yang katanya merupakan kerabat jauh. Biarpun orang kantoran, dia ingin punya usaha sampingan. Garmen, Pak," tutur Yasmin kepada polisi.
"Apa yang dibawanya dari Jakarta, Bu""
"Sebuah tas travel merek Presiden warna hitam, Pak. Isinya, selain pakaian, ada sejumlah uang dan surat-surat. Dompet biasanya dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Isi dompet itu KTP, kartu nama, kartu kredit, dan uang tunai. Dia naik kereta api."
"Tas itu tak ada padanya saat ditemukan, Bu. Orang-orang yang menolong dan saksi yang melihatnya mengatakan dia tak membawa apa-apa. Dia merangkak di jalan karena tak dapat lagi berjalan."
"Apakah tas itu dirampas orang yang membunuhnya, Pak""
510 "Mungkin saja. Lantas di mana alamat orang yang mau dikunjungi dan siapa namanya""
"Dia tidak bilang, Pak. Katanya mau ketemu di hotel, tapi hotel mana dia nggak kasih tahu. Karena dia bawa HP, saya pikir gampanglah kalau mau menghubunginya."
Petugas yang mewawancara memandang Yasmin seolah dia kurang cerdas.
"Ah, Ibu ceroboh. Kalau suami keluar kota mestinya ditanya alamat tujuannya. Jangan-jangan bilang ke Bandung, tahu-tahu ke Surabaya."
"Saya nggak mau cerewet, Pak. Kalau nggak percaya, gimana" Saya juga nggak mungkin bisa tahu pasti kecuali saya membuntutinya."
Petugas itu tertawa. Tapi Yasmin tidak ikut tertawa. Ia tahu itu bukan saat yang tepat untuk bercanda.
"Ibu nggak cemburu""
"Cemburu sih iya. Tapi mau gimana lagi. Pak" Saya nggak mau ribut. Orang harus punya alasan kuat untuk cemburu."
"Bagus. Istri yang baik memang harus begitu. Apa Ibu mencurigai suami Ibu"" "Curiga apa, Pak""
"Selingkuh atau gimana."
"Saya kira itu nggak pantas ditanyakan pada saat seperti ini. Orangnya sudah nggak ada," kata Yasmin dengan wajah murung. Ia memang tak suka ditanyai seperti itu, apa pun alasannya.
Petugas mengangguk-angguk. Tampak terkesan.
"Maaf, Bu. Saya ikut prihatin."
"Di mana suami saya ditemukan, Pak""
"Di Jalan Angsana. Kalau Ibu mau ke sana gampang. Di dekatnya ada rumah terbakar, tinggal puing."
511 "Terima kasih, Pak."
Ketika Yasmin menyampaikan hal itu kepada Erwin dan Delia, keduanya menjadi gempar.
"Wah, itu rumah Ratna! Donna bilang alamatnya Jalan Angsana!" seru Delia.
"Nah, kubilang apa. Memang ada hubungannya," kata Yasmin.
"Ya, sepertinya begitu," kata Erwin. Tak bisa lain.
Sesudah itu mereka berpencar. Erwin menemani Yasmin menjenguk jenazah Hendri di rumah sakit, sedang Delia pergi ke rumah orangtua Donna. Mereka berjanji akan menjemput Delia bila urusan di rumah sakit sudah selesai. Rencananya jenazah Hendri akan dibawa ke Jakarta setelah diautopsi.
Ramli dan Mila bersama Donna menyambut Delia dengan hangat. Ramli dan Mila memanfaatkan saat itu untuk minta maaf kepada Delia.
"Sudah kumaafkan. Biarkan masa lalu berlalu. Aku kan tahu betul bagaimana Mama."
"Kami juga ingin minta maaf untuk Mama," kata Ramli.
"Oh ya. Aku tak punya dendam lagi padanya. Nasibnya tragis."
"Ya. Bukan hanya tragis, tapi juga mengerikan. Tak ada yang tersisa dari Mama. Cuma abu. Itu pun tidak jelas apakah abu itu termasuk abu Ipah atau justru hanya abu Ipah sedang Mama tidak jelas di mana. Semuanya sudah jadi puing. Kau sudah lihat tempatnya, Del"" tanya Mila.
"Belum. Sebentar aku ke sana bersama dua kawan dari Jakarta yang menemani. Bagaimana dengan barang-barang Mama""
"Tidak ada juga. Koleksi perhiasan Mama sudah raib. Entah ikut jadi abu atau diambil orang. Puingnya
512 belum dicermati. Tapi kami sudah tak punya harapan lagi"
"Bagaimana dengan keluarga Ipah" Apa dia masih punya keluarga" Tentunya mereka harus diberitahu."
"Menurut Maya, Ipah pernah cerita bahwa dia punya anak dan cucu yang tinggal di Ciawi. Tapi di mana tempatnya tidak jelas. Dia memang punya KTP, tapi itu kan ada sama dia. Selama bekerja di rumah Rama, tak ada kerabatnya yang pernah datang menjenguk. Padahal orang bernama Ipa
h atau Saripah tentunya tidak hanya ada satu di sana ya" Tapi kami tentu tidak boleh menyepelekan. Maya punya foto Ipah. Jadi kami akan suruh orang mencari keluarganya di sana."
"Itu bagus." "Tante Del," Donna ikut bicara. "Sejak tinggal di Jalan Angsana itu, Nenek punya pacar. Si Boy yang lihat. Mobilnya pelat Jakarta."
"Bagaimana si Boy bisa memastikan bahwa itu pacarnya"" Delia ingin tahu.
"Mereka mesra satu sama lain. Kalau gitu berarti pacaran dong."
Delia tertawa. "Untung si Boy nggak ketahuan Nenek."
"Ya. Mungkin Nenek terlalu asyik," kata Donna.
Ridwan dan Mila geleng-geleng kepala. Anak dan cucu tidak ada yang respek lagi terhadap Rama. Bahkan sesudah meninggal pun. Semasa hidup ditakuti, setelah meninggal dicemooh.
"Oh ya, Del, Rama dan Maya punya perkiraan buruk mengenai Kematian Mama," kata Ridwan. "Mungkin si pacar itu terlibat dengan peristiwa itu. Rama melihat bercak darah di tanah dekat semak-semak. Katanya, kemungkinan tadinya lebih banyak
513 tapi sudah terinjak-injak orang dan tersiram air. Maklum saat itu orang pada panik. Lalu ada satu hal lagi yang siapa tahu ada hubungannya. Sebelum rumah itu terbakar, tak jauh dari situ warga menemukan seorang lelaki merangkak minta tolong. Dadanya tertusuk pisau. Mungkinkah dia yang meninggalkan jejak darah" Mungkinkah dia punya hubungan dengan Mama" Apakah dia yang menyebabkan kebakaran""
Delia terkejut oleh dugaan itu. Mereka tentu tidak tahu siapa lelaki korban penusukan itu.
"Tapi bagaimana dia bisa menyebabkan kebakaran kalau dia sendiri luka parah" Lantas siapa yang menusuknya" Mama" Bukankah Mama punya ilmu""
"Itulah yang kami pertanyakan. Bagaimana Mama yang sudah jelas punya ilmu bisa membiarkan dirinya mati terbakar""
"Berantem sama pacarnya," Donna menyimpulkan.
"Kenapa kau menyangka begitu"" tanya Delia.
"Ketusuknya kan di bagian depan. Di dada. Itu berarti ada perkelahian sebelumnya. Kalau tusukannya dari belakang berarti dia nggak siaga," sahut Donna.
"Tapi kenapa harus berkelahi"" tanya Mila.
"Mungkin si pacar mau merebut perhiasan Nenek," sahut Donna ringan.
"Apakah ada barang Mama yang ditemukan pada korban penusukan itu"" tanya Delia.
"Katanya dia nggak bawa apa-apa saat ditemukan. Entah di sakunya. Perhiasan kan gampang dimasukkan ke dalam saku," jelas Ridwan.
"Ah, Mama nggak perlu menusuknya. Pakai saja ilmunya," Delia tidak bisa menerima cerita itu.
"Ya. Memang sulit dicerna. Karena itu kami juga nggak berani menyampaikannya kepada polisi. Bahkan
514 Rama juga nggak mau memberitahu bahwa dia melihat bercak darah di halaman. Takut jadi macam-macam nanti. Bagaimana kalau polisi terus mengorek" Bisa ketahuan dong siapa sesungguhnya Mama itu."
Delia mengangguk dengan perasaan lega. Bila Hendri bisa dipisahkan dari kasus terbakarnya rumah Ratna, maka Yasmin tidak perlu terbawa-bawa.
"Lantas kalian mengakui Mama sebagai apa"" Delia ingin tahu.
"Sebagai bibi," jawab Ridwan malu. "Habis mau gimana, Del" Warga di situ kan sudah melihat penampilan Mama. Dia terlalu muda untuk jadi ibu kami."
"Ya. Memang nggak ada jalan lain," Delia memahami.
"Ketika masih hidup dia memang tidak ingin kami memanggilnya Mama di depan orang lain. Anak-anak juga dilarang memanggil Nenek," kata Ridwan.
"Oh ya, Del, kami juga ingin mengucapkan terima kasih atas bantuanmu membimbing Donna hingga dia bisa lepas dari jerat Mama," kata Mila.
"Im sudah kewajibanku. Aku senang bisa membantu Donna. Bukankah kita saling membantu ya, Don"" tanya Delia.
Donna tersenyum lalu menggelendot manja pada Delia. Satu tangan merangkul bahunya.
"Ceritakan tentang dirimu, Del. Apa yang kauker-jakan di Jakarta"" tanya Mila.
Tanpa ragu-ragu Delia memaparkan rencananya. Para pendengarnya menyambut dengan antusias.
"Selamat, Del! Kami sungguh senang kau tak sendiri lagi. Selama ini kau mendapat perlakuan sangat tak adil dari Mama dan tak ada seorang pun dari kami yang membantu," kata Ridwan dengan sesal.
515 "Sudahlah. Nggak apa-apa. Aku kan tahu betul kesulitan kalian."
Mereka masih sempat membicarakan banyak hal sampai Erwin dan Yasmin datang menjemput. Delia mengenalkan mereka sebagai teman-teman
nya di Jakarta. "Kebetulan mereka ada urusan ke sini. Jadi aku bisa sekalian ikut."
Keterangan Delia itu memang ada benarnya.
Dari rumah Ridwan mereka mencari hotel untuk menginap malam itu. Yasmin mengirim berita kepada ayahnya mengenai Hendri. Ia minta Aryo mengabari kerabat Hendri perihal peristiwa yang menimpanya lalu mempersiapkan pemakamannya esok hari. Ia akan kembali ke Jakarta dengan membawa jenazah Hendri.
Esok paginya mereka ke Jalan Angsana untuk melihat lokasi kejadian. Memang tak sulit menemukannya. Cari saja rumah yang sudah jadi puing. Masih banyak orang di sana yang datang ingin melihat-lihat. Kedengarannya cerita sudah berkembang menjadi isu yang aneh-aneh. Ada yang mengatakan rumah itu dihuni oleh hantu api karena dulunya pernah terbakar juga. Isu-isu seperti itu, andaikata tidak cepat dilupakan orang, pasti akan membuat rumah yang kembali dibangun di situ tidak laku terjual.


Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka mengamati tempat itu dengan beragam perasaan.
Yasmin membayangkan Hendri merangkak keluar dari rumah itu dengan pisau menancap di dada. Betapa sakit dan menderitanya. Sepertinya dia bisa melihat Hendri melakukan itu. Kenapa Hendri berusaha ke/uar biarpun dalam keadaan sekarat" Pasti karena
516 ada ancaman di dalam rumah. Dan ancaman itu tidak lain berasal dari Ratna. Yang itu bisa diperkirakan. Yang misterius adalah menyangkut Ratna. Kenapa dia membiarkan dirinya dikalahkan" Atau dia memang bisa dikalahkan"
Bagi Yasmin, Ratna hanyalah cerita. Ia tak pernah bertemu, tak pernah melihat orangnya. Tapi Hendri adalah suaminya. Orang yang pernah mencintainya. Ada kenangan manis dan pahit bersamanya. Selamat jalan, Hendri!
Satu-satunya hal yang disyukurinya adalah Hendri tidak ikut terbakar bersama Ratna di rumah itu.
Delia terkenang kepada Ratna. Misteri menyelimuti perempuan itu. Tak mungkin bisa melupakannya karena Ratna sudah jadi bagian dari kehidupannya. Bahkan penentu!
Erwin mengenang Hendri ketika datang menemuinya dengan membawa pizza. Sebelumnya Ratna datang untuk check in. Tentu saja ia tak pernah mengira bahwa kedua orang itu kemudian bertemu dan berkenalan. Tak ada yang tahu siapa yang mengatur. Ratna dengan ilmunya atau yang lain. Yang pasti Rama telah mengubah arah hidup Hendri, yaitu menuju kematian! Di samping itu Ratna pun telah memberi Yasmin kebebasan! Ah, bukan. Sesungguhnya bukan Ratna yang punya kemampuan mengarahkan hidup seseorang, melainkan Yang Kuasa!
BAB 49 Dua hari kemudian, Delia ditelepon Rama.
"Del, ada berita baru. Ipah sudah ditemukan di kampungnya di Ciawi. Orang suruhan kami mengajaknya ke rumahku untuk berbincang. Sudah tentu kami nggak bisa menitipkan masalah kepada orang lain. Tapi dia menolak karena katanya dia sudah berjanji kepada Ibu Ratna untuk tetap tinggal di kampung. Dia nggak boleh singgah ke rumahku apalagi bekerja. Dia memang nggak tahu apa yang telah terjadi atas diri Mama. Menurutmu gimana ya" Apa kita masih memerlukan keterangan dan ceritanya tentang Mama" Katanya, dia berhenti baik-baik dan gajinya sudah dibayar penuh oleh Mama. Kau tahu tanggal berhentinya itu" Pada hari yang sama dengan kejadian tragis itu! Dia keluar dari rumah itu pagi hari. Jadi semestinya dia tahu apa saja yang terjadi di hari terakhir itu dan kenapa dia sampai minta berhenti. Aku heran, dia kan penakut sekali dan sangat patuh kepada Mama. Bagaimana dia sampai punya keberanian untuk minta berhenti" Kami sangat tergelitik ingin tahu. Apa sebaiknya aku dan seorang saudara datang ke rumah Ipah untuk bicara langsung dengannya""
Delia termenung sejenak. Ia cukup terkejut dengan berita itu. Ia juga sangat menghargai informasi Rama.
518 Itu berarti Rama dan saudara-saudaranya masih menganggap dirinya sebagai kerabat mereka yang perlu diajak berbagi.
"Aku punya pemikiran begini, Ram. Ipah masih hidup. Seharusnya kita mensyukuri hal itu. Tapi misteri seputar Mama tak mungkin Ipah bisa tahu. Dia kan sudah keluar. Mungkin juga dia keluar karena Mama menghendaki. Kalau kita bertanya-tanya dengan sikap yang begitu ingin tahu, dia juga terpancing ingin tahu. Ada apa sebenarnya. Bukankah sebelumnya dia sudah tahu seper
ti apa Mama itu" Bagaimana kalau dia cerita kepada setiap orang" Dia nggak tahu apa yang telah terjadi atas diri Mama dan rumah itu. Padahal dia tentunya ingin diberitahu. Masa tiba-tiba kalian datang mencarinya. Kalau dia tahu mungkin dia bisa histeris. Kau bisa repot. Di samping itu ada bahaya lain. Selama ini dia tutup mulut tentu karena karena takut pada Mama. Bagaimana kalau dia tahu Mama sudah meninggal" Mungkin saja dia akan buka mulut kalau tahu orang yang ditakutinya sudah tidak ada. Hati-hatilah, Ram. Orang sangat menyukai cerita-cerita seperti itu. Apalagi peristiwanya baru terjadi."
Di sana diam sejenak. Ketika Rama bicara lagi, nada suaranya tak lagi bersemangat seperti tadi.
"Kau benar sekali, Del. Saking kepengen tahu kami nggak mikir ke situ."
"Aku pikir, dia tidak akan bercerita seperti yang kalian inginkan. Pasti Mama sudah berpesan padanya agar tidak cerita apa-apa tentang dirinya. Aku hampir yakin akan hal itu. Karena Ipah mau berjanji maka dia diizinkan keluar. Mana mungkin Mama mau begitu saja membiarkan dia pergi dengan membawa rahasianya" Kita tidak pernah tahu isi hati dan
519 kepala Ipah. Mungkin saja dia kelihatan lugu dan sudah tua pula, tapi siapa yang tahu apa yang bisa dilakukannya" Jadi sebaiknya jangan berhubungan dengan Ipah lagi. Dia sudah tenang di kampungnya."
"Terima kasih, Del. Pemikiranmu itu berharga sekali."
"Aku juga berterima kasih karena diberitahu."
Delia menyampaikan berita yang didengarnya itu kepada rekan-rekannya.
"Aku bersyukur Ratna terbakar sendirian," kata Yasmin.
Erwin membenarkan. "Aku salut dengan pemikiranmu, Del," puji Kosmas. "Kau memberi masukan yang berharga sekali buat mereka."
"Sebenarnya aku juga ingin melindungi Hendri," Delia mengakui. "Kalau Ipah disuruh jadi saksi, bisa repot, kan" Selanjutnya bisa menyusahkan Yasmin."
Yasmin memeluk Delia dengan perasaan bersyukur.
"Mudah-mudahan saja Rama mengikuti saranku. Kita belum tahu bagaimana Keputusannya meskipun dia bilang saranku bagus. Saudaranya banyak. Masing-masing punya keinginan sendiri," Delia melanjutkan.
Tapi Delia mendapat berita selanjutnya dari Rama sehari setelannya.
"Kami mengadakan rapat, Del," cerita Rama. "Maklum harus memutuskan bersama. Ternyata semua sepakat dengan saranmu. Demikian pula kedua saudara di luar Jawa. Kami akan pasrah, Del. Kami menerima keadaan. Tak perlu mencari tahu. Tak perlu mengorek. Biar semua orang hidup tenang."
"Salut, Ram." "Terima kasih sekali lagi, Del. Dari kami semua. Salam untuk Kosmas."
520 Erwin melamar Yasmin yang menerimanya dengan catatan.
"Aku ini perempuan bermasalah dalam seks. Kau sudah tahu itu dari kasusku dengan Hendri. Yang itu belum ada penyelesaiannya. Aku tak mau ada masalah lagi dalam kehidupan perkawinan kita nanti."
"Ya. Aku tahu kau akan memunculkan hal itu. Aku sudah siap. Aku percaya, kelak masalah itu takkan ada lagi. Sebabnya pertama, aku bukan Hendri dan tidak akan mengikuti jejaknya. Kedua, sikap dan perlakuanku padamu pasti beda juga. Padahal kau punya masalah seperti itu karena dua hal itu. Jadi kita jalani saja, Yas. Pelan-pelan kita perbaiki apa yang kurang."
"Bagaimana kalau tak bisa diperbaiki""
"Kita harus menjalaninya dengan keyakinan, Yas. Kalau perlu dengan bimbingan orang yang ahli. Tapi aku yakin tanpa bantuan ahlinya pun aku bisa memperbaiki."
"Bagaimana kalau menunggu dulu sampai ada perbaikan, baru kita menikah" Aku khawatir kau akan menyesal, Bang!"
"Aku kan sudah siap. Orang yang siap dan yang belum pasti berbeda. Kita harus menikah dulu, Yas. Bagaimana kita bisa berusaha kalau tidak menikah" Nanti namanya zinah dong."
"Oh iya," Yasmin tersipu.
"Boleh aku menciummu sekarang""
Mereka berciuman. Yasmin tidak berkeringat dingin. Juga tidak gemetar ketakutan. Sebaliknya, ia merasakan getaran dan debar sensasi. Nalurinya mengatakan ia boleh merasa optimis.
521 "Ada satu permintaanku, Bang." "Katakan saja."
"Maukah kau menunggu setahun" Aku ingin menjalani masa berkabung dulu. Bagaimanapun Hendri suamiku. Itu suatu penghargaanku kepadanya."
Erwin mengeratkan pelukannya. "Tentu saja aku mau. Aku sangat menghargai ketulusan
dan kebaikan-mu. Setahun tidak akan terasa lama bila orang pandai mengisi waktu dengan kegiatan yang menyenangkan. Apalagi Yasmin berencana membuka butik. Erwin berjanji untuk membantunya di waktu luangnya. Bersama-sama mereka mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan bisnis itu.
Winata menerima Erwin tanpa ragu-ragu. Ia menyukai Erwin sebagai orang dengan kepribadian rendah hati. Tapi yang paling membuatnya senang adalah sikap Yasmin yang menyatakan ingin berkabung dulu sebelum menikah dengan Erwin. Ia bangga karena punya anak yang terbukti berakhlak baik. Pepatah yang mengatakan bahwa begitu orangtua begitu pula anak ternyata tak selalu benar. Ayah yang kurang bermoral seperti dirinya ternyata tidak sampai memiliki anak berakhlak sama.
* * * Seperti sudah disepakati, Kosmas dan Delia merayakan pernikahan mereka di rumah Winata. Pestanya sederhana saja. Tamunya terbatas, hanya kerabat kedua mempelai dan kerabat Winata serta tetangga. Kepada semua orang Winata memperkenalkan Delia sebagai anak angkat. Meskipun bukan adopsi secara resmi, Winata menganggap Delia sebagai anak.
522 Yang menyenangkan hati Delia ialah semua saudara Rama berikut keluarga masing-masing, termasuk dua saudara yang tinggal di luar Jawa ikut hadir. Ia tahu mereka ingin memperbaiki kesalahan di masa lalu. Rantai kekeluargaan tidak perlu putus oleh kesalahan, berapapun besarnya.
"Dulu Tante pernah sendirian," kata Donna. "Tapi orang yang baik tidak akan sendirian terus!"
"Kau pintar ngomong ya!" sahut Delia.
"Betul, Tante. Aku pikir aku bisa belajar dari situ."
Delia dan Kosmas saling pandang sambil tersenyum.
"Anak itu cerdas," kata Delia setelah Donna menjauh. "Dengan keyakinan seperti itu dia tidak akan merasa kesepian bila tak punya teman."
"Dia bisa seperti itu kan berkat kau juga."
"Jangan terlalu memuji."
"Itu bukan pujian, tapi kenyataan."
Delia tersenyum. Ia senang mendengar ucapan Kosmas. Memang bukan pujian, tapi lebih sebagai perhatian terhadap dirinya sebagai pribadi.
Kebahagiaan menjadi milik mereka ketika mereka mendapat anugerah tak ternilai. Dua bulan setelah menikah Delia dinyatakan hamil! Di usianya yang sudah empat puluh dan pernah dinyatakan kena kanker rahim, hal itu sungguh menakjubkan. Awalnya ia sempat khawatir kalau-kalau bayinya nanti lahir cacat sebagai risiko kehamilan usia baya. Tapi Kosmas meyakinkannya untuk pasrah, menerima apa pun yang terjadi. Sudah diberi anugerah kenapa justru merasa cemas"
Dari pemeriksaan yang cermat dan rutin selama kehamilannya, dokter meyakinkan Delia bahwa janin523 nya normal. Dia hanya perlu menjaga kesehatannya. Kosmas pun menjaganya bagai mutiara yang tak boleh retak.
Menjelang perkawinan Yasmin dan Erwin, Delia melahirkan seorang bayi lelaki yang sehat sempurna. "Boleh aku menamainya Adam, Bang"" "Tentu saja boleh, Sayang! Tentu saja!"
TAMAT tamat Tongkat Rantai Kumala 6 Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu Pahlawan Harapan 11

Cari Blog Ini