Cahaya Cinta Karya Cherry Aslan Bagian 2
dia malah meninggalkanku"?"
Aisah tertegun menatap wajah keponakannya yang diliputi rasa ketakutan. Matanya yang indah begitu penuh dengan rasa khawatir. Untuk pertama kalinya Aisah
hanya terdiam, tak menjawab pertanyaan gadis itu. Hatinya sendiri mulai diliputi rasa khawatir, bagaimana jika akhirnya gadis kecilnya akan terluka, dan
kehilangan binar itu"
*** Pukul 01.37. Zahra masih terjaga di kamar tidurnya. Matanya masih gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tangannya masih menggenggam ponselnya, sesekali
meliriknya kemudian kembali menggeleng seakan berseteru dengan dirinya sendiri. Ia belum pernah menghubungi Raka untuk urusan pribadi sebelumnya. Namun
entah mengapa kali ini hatinya benar-benar tergelitik untuk menekan nomor Raka, dan sekedar menanyakan keadaannya.
Zahra melirik jam dinding di kamarnya, kemudian kembali mendesah. Tengah malam" Batinnya ragu. Apa yang akan Raka pikirkan jika ia meneleponnya tengah
malam begini. Zahra kembali menggeleng-geleng. Kemudian duduk di sisi kiri ranjangnya, meraih bantal kecil berwarna pink kesukaannya, dan mendekapnya erat-erat
sambil terus memandangi ponselnya yang masih mati.
Setengah jam kemudian Zahra mendengus kesal pada dirinya sendiri, ia sudah mencoba untuk tidur. Ia sudah berbaring di ranjangnya, mengenakan selimut tebalnya,
namun matanya tetap tidak bisa terlelap. Lagi-lagi ia melirik ponselnya yang masih dalam keadaan mati seperti beberapa saat yang lalu. Sedetik kemudian
Zahra bangun dari ranjangnya, ia berjalan ke meja riasnya dengan membawa ponsel itu, dengan menahan gemuruh hatinya ia mulai menekan nomor yang sudah di
hapalnya di luar kepala. *** Bulan malam itu tampak tidak seindah malam-malam sebelumnya. Ia memang masih bersinar terang, namun siapapun bisa melihat kabut aneh yang menutupi beberapa
sisinya. Membiaskan sinarnya yang lembut hingga menjadi goresan-goresan cahaya semu. Raka masih berdiri di balik jendela kamar rawat inap Anna, matanya
menatap rembulan yang bersinar dengan lembut. Kekelaman malam membuatnya semakin terjaga, sudah dua kali Anna berteriak-teriak tidak jelas dalam tidurnya.
Sejak pingsan sore tadi Anna tidak sadarkan diri, hingga akhirnya ia tertidur sampai saat ini. Raka tau banyak orang yang akan menjaga gadis itu, namun
entah mengapa dirinya akan diliputi ketakutan yang teramat sangat jika tidak berada di samping Anna. Setidaknya ia hanya ingin menenangkan gadis itu ketika
ia terbangun nanti. Raka mendesah lelah kemudian duduk di sofa yang berada tidak jauh dari ranjang Anna. Suasana kamar itu begitu sunyi, hanya terdengar suara detak jarum
jam yang seakan menggelitik hatinya. Ia sudah mengabari ibunya bahwa malam ini ia akan bermalam di luar, namun ia tidak mengabari prihal Anna, karena ia
tau ibunya akan lebih panik dari pada yang diharapkannya. Raka memijat pangkal hidungnya, memejamkan matanya, dan menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa,
mencoba untuk menghilangkan keruh dalam pikiranya, hingga akhirnya getaran dari ponsel di kantongnya menarik perhatiannya.
Telepon dari Zahra. Raka mengernyit kemudian langsung melirik jam tangannya. Sudah dini hari, apa yang Zahra lakukan" Pikirnya. Untuk sejenak ia membiarkan ponsel itu terus
berkedip, ia enggan mengangkatnya, namun ia khawatir jika gadis itu meneleponnya karena suatu masalah yang gawat.
?"Halo Assalamua?"laikum"?" salam Raka pada deringan ke lima. Ia bisa mendengar desahan lega dari seberang sana.
?"Walaikum salam Ka, maaf mengganggumu?"?" ujar Zahra pelan. Raka kembali mengernyit.
?"Ada apa Zahra"?" Tanya Raka penasaran.
?"Ah, sebenarnya tidak ada apa-apa. Aku hanya sedikit khawatir, apa kau baik-baik saja"?"
Raka terdiam sejenak. ?"Aku baik-baik saja,?" jawabnya singkat. ?"Apa kau meneleponku hanya untuk menanyakan hal ini"?" Tanya Raka ragu.
Hening cukup lama. ?"Apa seorang gadis tidak boleh menelepon calon suaminya"?" pertanyaan itu seakan-akan menohok dada Raka. Mata pemuda itu langsung melebar, tatapannya langsung
tertuju pada sosok cantik yang masih tertidur di ranjang rumah sakit.
?"Maafkan aku,?" bisik Raka.
?"Maaf untuk apa"?" terselip sedikit ketakutan di suara gadis itu.
?"Aku seharusnya mengabarimu,?" jawab Raka.
?"Tidak apa-apa. Aku mengerti kau masih memiliki pekerjaan penting. Aku baik-baik saja, hanya sedikit khawatir.?" ujar Zahra, Raka bisa merasakan senyuman
Zahra ketika mengatakan semua hal itu. namun entah mengapa hatinya malah semakin terpilin perih. ?"Tidurlah, sudah dini hari,?" ujar Zahra lagi.
?"Ya,?" ?"Kau akan ke panti besok"?" Tanya Zahra. Lagi-lagi Raka menatap sosok Anna. ?"Tidak apa-apa kalau kau masih sibuk. Aku akan mengurusnya bersama bibi dan
ibu di sini,?" ujar Zahra lembut.
?"Terima kasih, tidurlah. Assalamu?"alaikum.?"
?"Walaikum Salam,?" balas Zahra sesaat sebelum Raka menutup teleponnya. untuk sesaat ia memandangi layar ponselnya yang baru saja mati. Kemudian ia menunduk
dalam, perasaan bersalah itu mulai menghampiri dirinya. Menusuk setiap sudut hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa melukai sosok indah itu""
*** Pagi itu begitu dingin, seusai shalat subuh berjamaah di masjid rumah sakit Raka berjalan perlahan menuju kamar Anna. Telepon Zahra malam itu masih menari-nari
di pikirannya. Rasa bersalahnya pada gadis itu semakin menjadi-jadi. Terlebih ketika ia menyadari perasaannya pada Anna tidak pernah bisa berubah.
Kau bisa pulang dulu, ibu akan menjaganya, ujar Luna saat Raka berdiri di ambang pintu kamar Anna. Kau sudah menjaganya semalaman. Kau pasti lelah,
tambahnya lembut. Wanita paruh baya itu menatap Anna penuh kasih, ia membelai kepala Anna. Dia juga sepertinya sangat kelelahan& bisiknya pelan. Raka
mengangguk. Aku akan segera kembali lagi, ujarnya pelan. Luna mengangguk pelan dan menjawab salam pemuda itu. Dengan perih ia kembali menatap sosok cantik yang masih
tertidur pulas itu. Raka tidak tau apa yang akan ia lakukan, namun hati kecilnya memintanya untuk segera menemui Zahra, ibunya dan ummi. Ia harus mengatakan pada mereka apa
yang terjadi. Ia tidak ingin melukai siapapun. Ia tidak ingin mengecewakan gadis itu.
*** Hembusan angin pagi itu cukup kencang, hingga membuat anak-anak panti itu sedikit menggigil. Zahra memandang langit yang mendung dari balik jendela kelas
tiga yang tengah diajarnya. Ia mendesah pelan sebelum akhirnya berjalan mendekati anak muridnya yang masih sibuk mengerjakan tugas sederhana. Hingga akhirnya
jam pelajaran kedua itu usai, anak-anak itu langsung berhamburan keluar kelas. Beberapa dari mereka langsung memasuki perpustakaan mini milik panti, yang
lainnya tampak bermain di halaman panti. Zahra berjalan perlahan di belakang mereka, ia mendekap bukunya di dadanya. Bibirnya tersenyum tipis ketika melihat
senyuman bocah-bocah yang tengah bermain di halaman panti. Ada beribu cara yang membuat mereka disini, dari dibuang sejak bayi, hingga ditelantarkan ketika
mereka pertama kali bisa mengucapkan kata pertamanya. Begitu menyakitkan jalan-jalan itu, namun saat ini, mereka masih tetap bisa tersenyum lebar, seakan
tidak terganggu sama sekali dengan masa lalu mereka.
Namun tidak untuk Zahra. Ia sudah melakukan banyak kesalahan di masa lalunya, hingga rasanya ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia menyesali
seluruh kebodohannya yang menyia-nyiakan saat-saat keberadaan orang tuanya, dan kini menyesalinya bagai orang idiot ketika mereka sudah tiada.
Zahra pribadi yang angkuh dan pemberontak. Dan kehilangan orang tuanya adalah salah satu pukulan terberat untuk gadis manja sepertinya. Ia masih bisa merasakan
perihnya ketika harus berdiri diambang pintu kamar mayat rumah sakit dan memastikan bahwa kedua jasad kaku itu adalah orang tuanya. Saat itu Zahra tidak
bisa berkata apa-apa. Hatinya memberontak, otaknya terus mengingkari kebenaran bahwa mereka adalah kedua orang tuanya. Berbulan-bulan lamanya ia tenggelam
dalam kesedihan itu, terpuruk dalan luka dan penyesalan.
Zahra& panggil Aisah pelan. Zahra terkesiap, dan buru-buru menyeka air matanya yang entah sejak kapan mengalir. Hembusan angin pagi itu kembali menyadarkannya
tentang keberadaannya di koridor utama panti. Ia tersenyum tipis pada bibinya. Ada apa" Tanya Aisah sedikit cemas.
Tidak apa bi& aku hanya merindukan ayah dan bunda, bisiknya pelan. Aisah meremas pelan lengan Zahra. Andai aku tau mereka akan pergi secepat itu mungkin
aku tidak akan menyia-nyiakan mereka bi, aku tidak akan membantah mereka. Akan ku lakuakan apapun untuk membuat mereka bahagia dan bangga padaku, tutur
Zahra perih. Sstt& . Itu adalah takdir Zahra,
Tapi bi, aku hanya ingin mereka berada di sisiku ketika aku menikah, mendampingiku. Tetesan air mata Zahra kembali hadir. Aku ingin mereka menemaniku,
setidaknya menyaksikan tangisan bahagiaku karena cinta itu bi&
Lagi-lagi sosok tua Aisah terdiam. Cinta itu& betapa indahnya kata itu. Andai semua cinta itu menggoreskan senyuman bagi para pencintanya.
*** Raka menghentikan langkahnya, matanya menatap nanar sosok yang tengah berdiri di koridor utama gedung panti itu. Wajahnya yang cantik tampak sendu berhiaskan
genangan air mata di kedua pelupuk matanya. Raka berjalan perlahan mendekati Zahra dan Aisah. Wajah tampannya melembut ketika gadis itu menyadari keberadaannya.
Wajahnya yang tampak rapuh membuat Raka ingin merengkuhnya, menenangkannya, menghapus seluruh kesedihan di mata indahnya.
Aisah tersenyum tipis di samping Zahra. Hatinya begitu tenang ketika melihat sorot hangat dari mata Raka. Pemuda itu sudah kembali hidup, pemuda itu sudah
kembali menemukan jiwanya.
Aku pikir kau masih sibuk& ujar Zahra dengan wajahnya bersemu merah. Raka menggeleng.
Ya, tapi aku juga masih memiliki sebuah tugas penting di sini. Ujarnya. Zahra tampak salah tingkah, ia memalingkan wajahnya yang merona. Ah tapi bukan
di sini, ralat Raka membuat gadis itu mengernyit. Bisakah kau ikut aku sebentar Zahra"
Kemana" Tanya Zahra.
Ummi, aku akan membawa Zahra sebentar, ujar Raka seraya menggenggam erat jemari Zahra. Zahra langsung ternganga menatap sosok jangkung di hadapannya.
Wajahnya langsung memucat-kemudian bersemu merah-kemudian memucat lagi karena tegang. Aisah sampai harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa hormon muda Zahra
lah yang membuat gadis itu tampak sepucat mayat.
Ya kalian berhati-hatilah, ujar Aisah ketika mampu mengatur keterkejutannya. Zahra menatap bibinya dengan wajahnya yang masih ternganga.
Ki& kita mau kemana" tanyanya terbata. Raka tersenyum tipis.
Aku rasa, jika ingin menikahi putrinya, aku harus meminta izin dulu pada orang tuanya. Jawab Raka tenang. Mata Zahra langsung melebar, ia kembali melirik
bibinya yang tersenyum lebar.
Ki& Kita& mau menemui ayah& dan bunda" tanyanya ragu. Raka mengernyit dan mengangguk.
Apa kau tidak mau" tanyanya heran.
Aku mau. Jawab Zahra cepat, bahkan tampak terlalu cepat hingga membuat Raka dan Aisah terkekeh pelan. Zahra meringis malu, namun genggaman tangan Raka
membuat hatinya tegang dan tenang dalam waktu yang sama. Dengan malu-malu ia melirik sosok tampan Raka dari balik bulu matanya yang lentik, dan membalas
genggamannya. *** Luna berdiri diambang pintu kamar rawat inap putranya. Kebahagiaannya karena kesadaran Alan yang singkat itu mendadak sirna. Ia tau apa yang akan terjadi,
hanya saja ia tidak pernah berpikir jika akan seperih ini. Sejak awal Luna tidak pernah ingin merelakan putranya, lagi pula ibu mana yang akan merelakan
putranya pergi begitu saja. Ia sangat mencintai Alan, sosok baik hati yang menjadi lenteranya ketika suaminya meninggal dunia karena penyakit jantung pada
usianya yang masih cukup muda.
Lagi-lagi Luna menggeleng pada dokter tua yang berdiri di sampingnya. Ia mendesah lelah penuh kegetiran.
Luna, tim dokter sudah menyerah. Kalau bukan karena alat-alat pembantu itu, kita tidak tau apakah dia masih akan bisa bertahan atau tidak.
Kalau begitu kita akan terus memasang semua alat bantu itu dan menunggu.
Sampai kapan" Luna terdiam. Sudah dua tahun ia menunggu kesadaran putranya, namun semuanya masih tetap sama. Keheningan dan wajah kaku itu masih seperti dua tahun yang
lalu, ketika putranya mengalami kecelakaan di jalan tol bersama Anna. Kalau memang dia ingin pergi, dia pasti sudah pergi sejak dulu dok, bisik Luna
pelan. Air matanya mulai kembali tergenang. Tapi nyatanya dia masih bertahan. Dia masih ingin hidup, ia masih ingin menemani kami semua. Jemari Luna
mengepal di kedua sisi tubuhnya ketika ia mulai meracau tentang kehidupan putra tercintanya.
Ya, dia masih belum tenang Luna, itulah mengapa dia masih di sini. Tapi aku khawatir semua itu akan menyakitinya. Aku khawatir ketakutan kita akan kehilangannya
akan menahannya, dan menyakitinya. Dokter tua itu menatap sosok cantik di sampingnya dengan sedih. Sosok putrid yang tengah ketakutan kehilangan lenteranya,
sosok ibu yang tengah ketakutan kehilangan putranya.
Ibu& Luna dan Harun menoleh dengan cepat ketika mendengar suara lembut di belakang mereka.
Anna kau sudah siuman" Tanya Luna seraya menyeka air mata yang menetes perlahan. Anna tersenyum tipis, mata indahnya tampak sayu, namun wajahnya terlihat
tenang. Ia menghela nafas panjang untuk kembali menenangkan hatinya, kemudian berjalan menghampiri ibu mertua dan dokter pribadi suaminya.
Aku sudah memutuskan, bisiknya pelan. Langkahnya terhenti dua kaki dari ranjang Alan. Aku akan mengadopsi anak, tambahnya. Baik Luna maupun Harun langsung
menatapnya tidak percaya. Kalau aku memiliki anak, mungkin ia memiliki alasan yang lebih besar untuk tetap bertahan&
Anna& Harun mengulurkan tangannya pada sosok gadis itu, namun ia tidak menyentuhnya, ia malah menarik tangannya kembali, menyembunyikannya di balik saku
jas putih yang dulu selalu menjadi kebanggaannya. Tubuhnya tegang, matanya berpaling pada fokus lain.
Anna, Luna berjalan perlahan mendekati gadis itu. Tapi&
Ku mohon bu& *** Amy!!!! Amy mengernyitkan keningnya ketika mendengar teriakan yang menyebutkan namanya, ia baru saja selesai melipat mukenanya selepas shalat magrib. Dengan perlahan
diletakannya tumpukan mukena itu di sisi kanan ranjangnya, kemudian kembali mengenakan hijabnya dan berjalan ke pintu.
Masya Allah Zahra ada apa" Tanya Amy ketika melihat sosok cantik itu berlari-lari ke kamarnya.
Kau tau aku pergi dengan siapa hari ini"
Aku tau. " Dengan siapa"
Raka!!! Dan coba tebak kemana dia membawaku"
Ke makam orang tuamu. " Kemana"
Ke makam orang tuaku! pekik Zahra. Amy tersenyum lembut. Mata gadis itu begitu indah dengan binar yang sangat menawan, membuat Amy tidak bisa berkata
apapun selain turut tersenyum akan kebahagiaan sahabatnya. Aku tidak percaya dia membawaku kesana. Kau tau, aku pikir dia tidak mencintaiku.
Kau terlalu berlebihan Zahra, Raka bukanlah pemuda seperti itu. Ujar Amy dengan senyuman tulus. Oya, tadi ummi bilang gaun pengantinmu sudah datang.
Ayo kita lihat. Astaga, Zahra membulatkan matanya, mulutnya ternganga lebar. Secepat itu" tanyanya tidak percaya. Amy terkikik pelan melihat ekspresi Zahra yang lucu.
Ia mengangguk dan mengamit sikut gadis yang masih terbengong-bengong itu; berjalan menuruni tangga, menuju lantai bawah, ke kamar ummi yang menjadi tempat
penyimpanan kebaya putih nan indah itu untuk sementara.
Raka tengah berbincang serius dengan Arya ketika Amy dan Zahra menuruni tangga. Keningnya sedikit berkerut ketika melihat wajah Zahra yang masih tampak
tidak percaya dengan apa yang dikatakan Amy. Amy tersenyum kikuk pada Raka dan Arya sambil terus menyeret lengan Zahra menuju kamar ummi Aisah.
Amy, ada apa" Tanya Raka, ia menjulurkan lehernya untuk melihat kedua gadis itu di balik pundak Arya. Amy tersenyum kikuk dan menggeleng.
Ga& Gaun& Ssttt& dengan cepat Amy menutup mulut gadis itu. Bukan apa-apa. Ujarnya gugup. Arya ikut mengernyitkan keningnya, sepenuhnya teralihkan dari topik
pembahasannya bersama Raka petang itu.
Zahra menatap Amy dengan tatapan mengapa dia tidak boleh tau"-. kerutan di antara kedua matanya semakin dalam. Amy memutar matanya pada gadis itu. Zahra
kau tentu tidak ingin dia mengetahuinya sebelum waktunya kan" Tanya Amy gemas, namun gadis itu masih menatapnya dengan pandangan penuh Tanya.
Mengetahui apa" Tanya Raka yang kini berdiri dari sofa yang didudukinya. Tiba-tiba pintu kamar Aisah terbuka.
Ah Zahra, bibi sudah menunggumu. Ayo cepat kau harus mencoba kebaya untuk pernikahanmu nanti. Baru saja datang setengah jam yang lalu,
Amy meringis mendengar kata-kata wanita tua itu, dengan kikuk ia menyeringai bodoh pada Arya dan Raka yang melongo menatapnya. Aisah tidak tau apa yang
terjadi, namun yang ia lihat saat ini adalah wajah pucat-ternganga-tak percaya di hadapannya. Membuatnya kembali memikirkan apa yang salah dengan perkataannya.
Assalamu alaikum, keheningan yang kikuk itu sontak saja terpecahkan ketika terdengar salam dari ambang pintu. Ke lima pasang mata itu langsung menoleh
kearah pintu utama rumah-kantor panti. Dan tatapan mereka terpaku pada sosok itu, untuk pertama kalinya Aisah -tanpa alasan yang bisa ia mengerti- merasa
ingin memutar kembali waktu, hingga ia bisa menarik lagi kata-katanya.
*** Langkah Anna terhenti, bukan karena memang ia harus berhenti di sana, namun tubuhnya mendadak kaku, hatinya sedikit bergetar, dan entah sadar atau tidak
ia tampak kehilangan jiwanya untuk sesaat, melanyang begitu saja, kemudian kembali hadir dalam sosok yang berbeda.
Assalamu alaikum, bisik Anna pelan, membuat orang-orang yang ada di dalam ruangan itu langsung menoleh kepadanya. Bagai slow motion dalam film-film aksi,
detik-detik setelah itu tampak begitu lambat, seakan Tuhan sengaja meminta mereka kembali memikirkan apa yang akan mereka lakukan setelah ini.
Walaikum salam, Aisah yang pertama kali tersadar dari keterkejutannya, namun tidak seperti biasanya, kini wajah tenangnya sedikit menghilang.
Anna& Amy yang sedari tadi mengamit lengan Zahra melepaskannya begitu saja, matanya terpaku menatap sahabat baiknya yang tengah berdiri di ambang pintu.
Ia berjalan tertatih melewati sofa-sofa di ruang tamu, matanya mulai berair karena kerinduannya pada sang rembulan selama ini. Ya Allah Anna& bisiknya
tidak percaya. Ditatapnya lekat-lekat sosok cantik berjilbab biru muda itu penuh kasih.
Anna masih mematung di sana, berdiri-diam tak bergerak, meski hatinya tentu saja memberontak, meneriakan berbagai kata asing untuknya. Ia mulai merasa
lelah, namun ia ingin berlari, meninggalkan seluruh kisah ini, meninggalkan kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginannya, berpura-pura tidak pernah
mendengar kata-kata itu, namun tubuhnya membeku.
Ia mendengar suara sahabatnya, ia tau Amy sudah berada tepat di hadapannya, namun mata indahnya sama sekali tidak bisa terlepas dari sosok itu, sosok jangkung
yang berdiri tepat di tengah ruang tamu, wajah tampannya begitu sulit terbaca, namun dengan jelas menampakan perasaan lega yang luar biasa. Di sampingnya
Arya masih ternganga tidak percaya jika akhirnya ia bisa kembali melihat sosok indah itu menginjakan kakinya lagi di panti ini.
Anna merasakan dadanya mulai sesak, tatapan hangat pemuda itu entah bagaimana mampu membius dirinya untuk semakin tenggelam dalam jurang yang tidak pernah
ia ingin sentuh lagi. Namun ia juga tidak ingin meninggalkan jurang itu, terlalu banyak harta karun yang tersimpan di sana, dan ia tidak ingin meninggalkannya,
ia tidak ingin membaginya. Tatapan mata Raka mulai melembut, kemudian menyiratkan sebuah kepedihan yang tak terucap, begitu rapuh dan tak berdaya. Hati
kecil Anna memberontak, ia ingin menenangkannya, ia ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ia terhenyak ketika merasakan hatinya jatuh begitu saja dari tubuhnya, berlari mendahului raganya untuk memeluk Raka. Namun selangkah lagi hati itu sampai
di tempatnya berdiri, sebuah batu runcing menghancurkannya, meremukannya dalam sekali gerakan. Seorang gadis cantik entah sejak kapan, berdiri di belakang
Raka. Dengan perlahan ia menggenggam tangan kanan Raka yang membeku di sisi tubuhnya. Membuat Raka tersentak, dan langsung menoleh pada gadis itu.
Zahra tersenyum tipis, namun jelas matanya menyiratkan lebih dari hanya sekedar senyuman simpul yang sopan. Genggamannya semakin erat di jemari Raka, seakan
menyentaknya untuk kembali ke dunia nyata, menghadapi kenyataan dan melupakan semua mimpi semunya.
Anna& bisik Amy pelan seraya menyentuh lengan atas gadis itu. Bagaikan robot, Anna menoleh dengan kikuk padanya. Amy menggigit bibir bawahnya untuk menahan
tangis ketika melihat luka yang telukis jelas di kedua mata Anna.
Maaf. Bisik Anna pelan, kemudian dengan wajah dinginnya ia menatap ke arah Raka, lalu berpaling lagi ke arah Aisah. Ummi maaf, ada yang ingin aku bicarakan,
ujarnya pada wanita tua itu.
Ya Anna, kita bisa bicara di ruangan ummi, ujar Aisah lembut, Anna tersenyum sopan dan mengangguk.
Maaf mengganggu kalian, bisik Anna, entah mengapa hatinya merasa sakit. Seakan merasa terhianati. Raka masih mematung dengan tangan Zahra di genggamannya.
Matanya menatap sosok Anna yang berjalan pelan melewati ruang tamu, melewati mereka tanpa menoleh.
Anna& panggil Raka sesaat sebelum Anna masuk ke dalam ruangan Aisah di sayap kiri gedung tua itu. Anna terdiam sejenak. Hatinya benar-benar terasa sakit,
ia ingin menoleh untuk melihat sosok pemilik suara itu, namun ia tidak yakin apakah ia bisa menahan sakit melihat sosok gadis lain di sisi Raka. Mampukah
ia" *** Anna& Hati kecil Raka langsung bersorak ketika panggilannya menghentikan gerakan Anna membuka pintu ruangan Aisah. Ia sudah tidak bisa menahan dirinya
untuk tetap berdiri di sana, berdiri beberapa meter dari sosok yang sangat dikhawatirkannya. Ia hanya ingin memastikan Anna sudah benar-benar merasa lebih
baik. Tubuh kokohnya mulai bergerak maju, namun remasan pelan dari jemari yang untuk sesaat ia lupakan ada di genggamannya, seakan menjatuhkan tubuhnya,
menariknya bagai jangkar kecil yang memiliki kekuatan super, mengembalikannya pada kenyataan yang ada di depan matanya.
Raka, bisik Zahra di sampingnya, wajahnya sedikit pucat dengan tatapan mata yang memperlihatkan ketakutan dan jelas terluka, membuat Raka meringis pilu
dan memaki dirinya sendiri. Sosok itu begitu ringkih, begitu rapuh di balik pribadinya yang pemberontak dan keras kepala, begitu butuh perlindungan. Dan
jiwa Raka ingin melindunginya, ia ingin membimbing gadis itu menemukan cahayanya kembali, mengembalikan kepercayaan gadis itu sepenuhnya.
Remasan tangan Zahra kembali menyadarkannya dari segala pemikiran semu yang memenuhi otakknya, kemudian dengan perlahan ia kembali menatap sosok Anna yang
kini sudah berbalik menghadap mereka, membelakangi pintu ruangan Aisah yang terbuka sedikit.
Aku senang kau sudah lebih baik, ujar Raka dengan senyuman tipis di wajahnya yang sendu. Anna membalas senyuman Raka dan mengangguk sopan, kemudian berbalik
masuk ke ruangan Aisah. Hatinya benar-benar terpilin perih ketika melihat sorotan mata ketakutan dari gadis itu, gadis yang pernah ditemuinya beberapa
waktu yang lalu, gadis yang memintanya meninggalkan Raka-nya.
Aisah sudah duduk di belakang meja tuanya ketika Anna mengambil kursinya, duduk dengan wajah tertunduk menatapi tautan jemarinya di atas pangkuannya, bagai
bocah kelas lima yang ketahuan menyontek di ruang ujian. Hening untuk beberapa saat. Hingga akhirnya di menit ke-7, Anna mengangkat wajahnya ketika Aisah
berdeham pelan. Ummi pikir kau ingin mengatakan sesuatu, ujarnya lembut. Anna mengedarkan pandangannya ke sisi lain meja tua Aisah, dan mendapati sebuah undangan berwarna
biru berada di tumpukan teratas kertas-kertas lainnya. Secepat kilat Anna menutup matanya, dan berusaha keras menjaga emosinya, melenyapkan seluruh pemikirannya
tentang semua hal itu. Iya ummi, aku kesini untuk meminta Aisah. Aku bermaksud untuk mengadopsinya ummi. Tutur Anna ketika bisa mengendalikan gemuruh jantungnya. Ummi tersenyum
lembut penuh kasih. Aku ingin menjaganya, tambahnya pelan, dan ia tau itu adalah sebuah kebohongan. Bukan ia yang akan menjaga gadis kecil itu, tapi
Aisah kecil lah yang akan menjaganya tetap berdiri di atas semua luka ini.
Anna& Allah menciptakan makhluknya dengan sangat sempurna, begitu adil dan bijaksana dalam penempatan bagian-bagiannya. Begitu pula mata indahmu, mereka
terlalu indah nak, terlalu jernih, hingga rasanya ummi bisa melihat segores luka yang kau sembunyikan dari setiap kata-katamu, Anna terhenyak di kursinya.
Kedua tangannya meremas bahan yang membungkus tubuh indahnya. Ummi tau kita sudah lama tidak bertemu, tapi kau tetaplah putri ummi, gadis kesayangan ummi.
Kau sudah banyak membantu panti ini, membantu bintang-bintang kecil itu. Ummi sangat mengenalmu Zainna. Ummi tidak memaksamu untuk bercerita pada ummi,
mungkin itu adalah sebuah ketidak sopanan, tapi ummi sudah menganggapmu sebagai putri ummi sendiri, ummi menyayangimu, dan ummi juga terluka saat kau terluka
Tanpa berkata-kata lagi Anna langsung berlari memeluk sosok ummi, menumpahkan seluruh luka yang selama ini dipendamnya. Ia membenamkan wajahnya di atas
pangkuan Aisah. Aisah tersenyum perih sambil terus membelai kepala gadis cantik itu, mata tuanya menerawang jauh menatap kelamnya malam yang tak berhias
cahaya rembulan sama sekali. Pikirannya melayang, membuka kembali memori lamanya ketika ia menangis perih di balik pintu kamarnya, begitu terluka ketika
melihat orang-orang itu membawa jasad suaminya yang sudah tak bernyawa.
Ummi akan memanggilkan Aisah, bisiknya pelan seraya terus membelai kepala gadis itu, membuat tangannya terlalu sibuk, bahkan hingga tidak bisa menghapus
tetesan air mata yang mengalir dari mata tuanya.
*** Aisah kecil berjalan perlahan ke kantor Panti, sesekali ia memainkan ujung-ujung kerudungnya, bersenandung pelan sambil menghentak-hentakkan langkahnya,
mengingat-ngingat nada yang tadi ia nyanyikan bersama Anisa di dalam kelas mereka. Ia tampak terlalu sibuk dengan lagu itu, hingga ia tidak menyadari wajah
sendu ibu guru baiknya, ibu Amy yang terkenal tidak pernah bisa berhenti tersenyum ramah, yang kini tengah berjalan sambil menangis di sampingnya.
Ketika sandalnya menapaki lantai ruang tamu gedung kantor panti itu barulah ia tersadar, suasana tegang di dalam sana sampai membuat sosok gadis 8 tahun
itu merinding tanpa alasan yang dapat ia mengerti. Aisah mendongkak menatap Amy yang masih mematung di sampingnya, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat
mata cantik itu tampak basah. Baru saja Aisah ingin menyentuh tangan Amy, namun panggilan lain langsung mengalihkan fokusnya.
Aisah, Aisah menoleh pada asal suara itu, matanya menyipit untuk memastikan siapa yang memanggilnya, kemudian senyumannya langsung mengembang ketika
mengenali sosok cantik berbusana biru itu, dengan cepat ia berlari memeluk Anna yang duduk di samping ummi Aisah di ruang tamu bersama Arya, Zahra dan
Raka. Kak Anna, aku kangen!!!! teriaknya penuh kerinduan, sedih sekaligus senang. Anna memeluk sosok mungil itu dengan sangat erat, ia baru tersadar betapa
ia sangat merindukan anak-anak itu, bintang-bintang kecil terindahnya. Namun ia sudah menumpahkan seluruh air matanya di ruangan Aisah beberapa saat yang
lalu, hingga kini ia hanya bisa memeluk erat sang gadis kecil.
Kakak juga sangat merindukanmu sayang, bisiknya lembut. Aisah melepaskan pelukannya dan menatap lekat-lekat wajah cantik Anna. Ia membelai lembut pipi
Anna, mata jernihnya menyiratkan cinta dan kerinduan yang luar biasa, membuat Anna merasa sangat menyesal karena telah meninggalkannya selama ini.
Kakak kembali" tanyanya lembut. Anna menggeleng perlahan.
Kakak kesini untuk menjemputmu. Kakak ingin kau ikut pulang bersama kakak. Belaian tangan Aisah langsung berhenti di kedua sisi wajah Anna, matanya membulat
menatap Anna, merasa tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Apa kau mau sayang" Tanya Anna lembut. Aisah memundurkan langkahnya beberapa senti, dengan
kikuk melirik sosok ummi yang menatapnya penuh harap.
Kau tidak bisa membawanya, ujar Zahra tiba-tiba. Semua mata langsung tertuju padanya, menatap heran dan penuh Tanya. Dia memiliki sahabat disini, Anisa.
Ujarnya lagi. Aisah kecil menundukan wajahnya, menatap lantai putih tak bernoda di bawah kaki kecilnya. Menghitung suara detakan jarum jam sebelum air
Cahaya Cinta Karya Cherry Aslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya menetes. Aisah menatap keponankannya dengan pandangan tidak percaya, bagaimana mungkin Zahra bisa berkata seperti itu. Tapi ia sendiri tidak bisa menyalahkan diri
Zahra secara keseluruhan, gadis itu mengalami semacam kerusakan emosi yang tidak disadarinya. Zahra kau tidak bisa berkata seperti itu, tegur Aisah.
Tapi itu benar adanya bi. Aisah dan Anisa bersahabat, ia tidak bisa datang begitu saja merebut salah satu dari mereka dan menghancurkan persahabatan mereka!
tutur Zahra tegas. Sampai kapanpun mereka akan terus bersahabat.
Tiba-tiba hujan turun cukup deras di luar sana, hingga membagikan sedikit aroma tanah yang begitu menyejukan." Seorang bocah berlari tertatih melewati
pekarangan yang menghubungkan kantor panti dan asrama putri. Nafasnya tersenggal-senggal ketika ia sampai di ambang pintu, kerudungnya sedikit basah karena
menerobos hujan. Aisah, aku dapat ini& ujarnya riang, matanya terfokus pada sosok Aisah yang masih mematung di depan Anna. Tangan kecilnya mengangkat sebuah buku kecil
berwarna ungu muda. Kak Anna" tanyanya tidak percaya ketika melihat sosok cantik itu. Anna tersenyum ramah dan membuka lebar kedua tangannya untuk menyambut
pelukan gadis berkerudung jingga itu. Ia tidak seantusias Aisah, namun tetap menyiratkan kerinduan yang sama dalamnya. Kakak kembali" tanyanya riang.
Kak Anna kesini untuk menjemput Aisah, ujar ummi pelan. Anisa langsung melepaskan pelukannya. Ia mengerutkan keningnya, menatap Aisah dan Anna dengan
bingung. Kemudian wajahnya memerah menahan tangis, menunduk menatap ujung-ujung jari kakinya yang kotor terkena lumpur. Ia tidak berani menatap sahabat
kecilnya yang berdiri hanya sejengkal di sampingnya.
Oh, ya sudah kalau begitu aku pergi ke kamar dulu. Ujar Anisa pelan, kemudian tubuh kecilnya berbalik menuju pintu.
Anisa& panggil Raka pelan. Anisa tidak mengentikan langkahnya hingga akhirnya Raka terpaksa menahan pergelangan tangannya. Ia menggeleng pada gadis kecil
itu. Anisa sayang, tenanglah& kakak rasa, keputusan kakak kali ini tidak benar, kakak tidak bisa memisahkan kalian. Dan kakak memang tidak pernah berniat untuk
memisahkan kalian, kakak menyayangi kalian berdua, Anna tersenyum tipis, kemudian menghela nafas panjang. Ummi, katanya kepada Aisah. Aku rasa sebaiknya
aku pergi, Assalamu alaikum, terima kasih untuk nasihat ummi. Ujarnya seraya beranjak dari kursinya, dan berpamitan pada Arya, Zahra, Raka dan Amy yang
masih membeku dan berkutat dengan segala pemikiran mereka masing-masing.
Anna mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam tas, matanya menatap hujan dari ambang pintu. Sosok-sosok di dalam ruangan itu masih terdiam. Hingga akhirnya
seseorang merebut kunci mobil dari tangannya dengan perlahan. Anna tersentak kaget dan langsung menatap sosok tampan Raka yang berdiri di sampingnya.
Aku akan mengantarmu, sudah terlalu larut. Kau tidak baik berkendara sendiri. Tuturnya seraya terus menatap hujan, rahangnya yang keras tampak semakin
kaku, menatap lurus pada tetesan air yang kian membesar itu.
Kau tidak perlu mengantarku, ujar Anna kikuk seraya melirik sedikit kebelakang, melihat Zahra yang berdiri dari sofanya. Sudahlah, aku bukan gadis sembrono
seperti dulu Raka, ujar Anna seraya hendak merebut kembali kunci mobilnya.
Tidak. Biarkan aku yang mengantarmu, aku bisa pulang menggunakan bis, ujarnya begitu dingin dan angkuh. Anna langsung terdiam ketika mendengar nada suara
Raka yang begitu dingin kepadanya.
Biarkan dia mengantarmu Anna. Tambah Aisah.
Bibi& desis Zahra, tampak tidak terima.
Sudahlah, aku bisa pulang sendiri. Ujar Anna mulai tidak tahan dengan seluruh scenario itu.
Diam, dan masuk mobil. Aku akan mengantarmu pulang. Raka mencengkram pergelangan tangan kiri Anna, menatapnya lekat-lekat, menegaskan seluruh makna kata-katanya.
Membuat Anna kembali merasakan mual dari dalam perutnya.
Tunggu kakak, panggil Aisah. Apa kakak bisa menunggu sebentar" Aku harus mengambil beberapa barangku di asrama. Ujarnya dengan senyuman tipis di wajahnya
yang cantik. Anna menatap sosok itu tidak percaya.
Tapi& kau dan Anisa&
Kakak, kami akan tetap bersahabat. Ya walaupun kami tidak lagi tinggal sekamar, ujar Anisa pelan, ia menyeringai pada sahabatnya.
Ayo kakak bantu membereskan barang-barangmu, ujar Anna setelah diam sejenak. Aisah tersneyum dan mengangguk senang.
*** Sudah sampai pertengahan jalan, dan suasana di dalam mobil itu masih tetap sama, tetap bersikukuh dengan kesunyiannya yang menyisakan kecanggungan. Aisah
sudah tertidur di pangkuan Anna di samping kursi kemudi. Bocah 8 tahun itu meringkuk, menyandarkan kepalanya di leher Anna, menikmati kelembutan dan aroma
sang rembulan. Anna sendiri tidak pernah mengalihkan pandangannya dari jalanan yang gelap dan basah. Tangannya memeluk erat sosok mungil di pangkuannya.
Raka menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya, ia benar-benar tidak bisa menahan gemuruh hatinya. Menatap sosok mungil Aisah yang tengah tertidur
di pangkuan Anna membuatnya mulai merasa frustasi. Selama ini, sejak kecil, ia selalu mengagumi sahabat kecilnya itu. Sosok Anna yang lembut yang baik
hati jelas memikat hatinya. Namun selama ini ia tidak pernah ingin merusak persahabatan mereka. Ia hanya ingin melindungi Anna, memastikan ia akan tetap
tersenyum, dan bahagia bagaimanapun caranya.
Kemudian, ketika akhirnya mereka sudah sampai ke saat-saat menuju kedewasaan mereka, Raka mulai tersadar jika ia memang tidak akan bisa hidup tanpa Anna.
Namun saat itu, ia begitu munafik hingga menolak cinta Anna. Tapi sejujurnya, ia memang tidak memiliki pilihan lain. Ia hanyalah pria buta yang tidak bisa
melakukan apapun. Ia hanya pria biasa, begitu berbeda dengan calon suami yang sudah dipersiapkan untuk Anna oleh bibinya.
Impian Raka tidak pernah berubah; membahagiakan ibundanya dan menjadi orang yang berguna. Dan ketika ia tau jika ibunya sangat menyayangi Anna, ia sudah
bersumpah untuk menjaga Anna. Ia bahkan pernah bermimpi memiliki keluarga kecil yang manis bersama Anna, duduk memegang kemudi, melewati jalanan gelap
yang basah diserbu hujan, dengan Anna duduk di sampingnya, memeluk erat putra atau putri mereka, hanya seperti yang sedang mereka lakukan saat ini.
Raka menggeleng perlahan, menertawakan pemikiran konyolnya. Ia memarkirkan mobil Anna di depan rumahnya. Hujan sudah lama berhenti, hingga hanya menyisakan
tanah yang basah. Raka bergegas keluar dari pintunya, kemudian membukakan pintu Anna. Gadis cantik itu menggeleng perlahan ketika Raka berniat menggendong
Aisah yang masih tertidur. Akhirnya ia hanya membawakan tas-tas berisikan pakaian Aisah.
Anna langsung membawa Aisah ke kamar yang sudah di persiapkannya. Merebahkan tubuhnya dengan perlahan, dan mendaratkan kecupan lembut di keningnya. Kemudian
kembali ke ruang tamu untu mengambil tas Aisah yang ada bersama Raka. Namun langkahnya terhenti di ujung anak tangga teratas ketika ia mendengar keributan
dari lantai bawah, dengan perlahan ia menjulurkan lehernya untuk melihat apa yang terjadi di sana."
PRANG. Anna terhenyak ketika mendengar suara barang pecah, yang ia yakini adalah guci besar di ruang tamu. Kemudian di susul suara-suara aneh lainnya, suara pukulan,
terjatuh, tendangan, suara perkelahian. Matanya mendelik ketika melihat Raihan melemparkan tendangan telak kepada Raka.
Raihan hentikan! teriak Darmawan. Kau tidak bisa melakukan ini kepadanya! tambah kakek tua itu.
Hah"! Bukan kepadanya" Lalu kepada siapa" Kepada tubuh tuamu itu, hah"! tuding Raihan. Kemarahannya tampak begitu jelas dari nada suaranya. Dengar kakek
tua! Kau tidak akan pernah bisa melakukannya! Kau tidak akan pernah bisa menggantikan kak Alan dengan siapapun! Kau tau itu"!! Kau bukan Tuhan. Kau tidak
bisa menentukan kapan kak Alan akan mati!! teriaknya lagi. Dan sampai kapanpun aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal buruk padanya!
Kau tidak mengerti. Apa yang aku tidak mengerti hah"!!! Tanya Raihan penuh emosi. Oh, benar juga. Aku memang tidak pernah mengerti cara pikir orang busuk sepertimu. Kau
bahkan tega mempersiapkan pengganti cucumu yang belum meninggal. Demi Tuhan, kau benar-benar brengsek.
RAIHAN! Jangan kau anggap aku tidak mengetahui apapun tentang rencana busukmu, kakek tua. Kau sengaja memilih pemuda itu sebagai mengganti Alan di perusahaan
dan sekaligus mewakili sekolah itu. Sebuah jabatan yang hanya bisa diberikan pada keluargamua, bukan orang asing sepertinya. Dan lucunya lagi, kau juga
mempersiapkannya untuk menjadi pengganti suami Anna. Cih!
Anna merasakan hatinya remuk. Kepalanya mulai berdenyut-denyut penuh duri dari kenyataan itu.
Bahkan kak Alan belum mati& belum mati& belum& Raihan menggeleng-geleng sambil jalan mundur perlahan.
Anna menggenggam erat pembatas tangga yang terbuat dari kuningan untuk menyeimbangkan tubuhnya yang mendadak lemah tak berdaya. Ia menatap tiga pria yang
masih tersulut emosi itu dengan pandangan nanar penuh luka, merasa sepenuhnya terhianati.
Pergi. Desis Darmawan. Raihan tertawa keras dan mengangkat kedua tangannya.
Kau lihat itu Anna"! Lelaki tua ini sudah merencanakan semuanya, ia bahkan menyiapkan pengganti kak Alan sebagai suamimu. Teriak Raihan lagi.
BUG. Raka melayangkan sebuah tinju tepat di pelipis Raihan, membuat pemuda itu tersungkur jatuh. Raihan menatapnya jijik seraya kembali berdiri.
Cukup! Ku mohon, hentikan semua ini. Ku mohon& pinta Anna, mulai terisak. Ia sudah muak melihat tetesan darah yang muncul dari setiap luka. Tatapan mata
Raihan melembut menuh rasa bersalah ketika matanya bertemu mata Anna. Pergilah& bisik Anna penuh keperihan." Dan tanpa mengatakan apapun Raihan berlalu
pergi. Anna menyeka air matanya, dan dengan cepat berlalu untuk mengambil kotak obat. Luka di pipi dan bibir Raka harus segera di bersihkan atau itu akan menyebabkan
infeksi. Anna menarik tubuh Raka agar mau duduk di hadapannya, dengan telaten ia membersihkan luka Raka dan mengobatinya. Ia tau Darmawan duduk di sofa
tidak jauh dari sofa mereka.
Apakah yang dikatakan Raihan itu benar kek" Tanya Anna seraya mengoleskan obat pada luka terakhir Raka. Darmawan terdiam, tampak bingung dengan jawabannya
sendiri. Kakek& bisik Anna tanpa melihat sosok kakeknya di belakang. Apa benar kek" Tanya Anna.
Anna kakek hanya ingin kau bahagia. Maafkan kakek sebelumnya karena tidak memeberi tahukan hal ini kepadamu, suara tenang Darmawan mendadak hilang, ia
terdengar begitu gugup dan takut. Anna menutup kotak obatnya dan membereskan seluruh peralatannya, berjalan perlahan ke rak berpintu kaca di dinding sebelah
kiri ruang tamu, meletakan kotak obatnya di sana. Kemudian terdiam sejenak.
Kakek tidak suka meliatmu selalu bersedih, dan kakek tau kau juga mencintai Raka, kakek ingin kalian bersama.
Setetes air mata menghiasi sudut-sudut mata indah Anna.
Kakek, bisiknya pelan. Raihan benar, kakek bukan Tuhan. Kakek tidak bisa membuat scenario dalam kehidupan ini, dalam kehidupanku dan kak Alan. Ujarnya
lembut, kemudian berpaling menatap Raka yang masih membisu. Terima kasih sudah mengantarku. Ujarnya sambil mengangguk santun, kemudian berjalan menaiki
tangga. Tapi kalian saling mencintai. Ujar Darmawan ketika Anna menapaki anak tangga ke tiga.
Aku tidak mungkin jatuh cinta pada pria yang akan menikah dengan gadis lain, kek, Bisik Anna. Assalamu alaikum.
*** CAHAYA CINTA Dunia akan selalu berputar, Anna meyakini hal itu. Ia sudah mempelajarinya sejak duduk di sekolah dasar dari setiap orang yang ditemuinya, bersabar dan
bertawakal, niscaya Allah memberikan jalan. Bertahun-tahun lamanya ia meyakini hal itu, dan saat ini, ketika rasanya semua kisah itu terlalu perih untuk
dijalaninya Anna merasakan mendapat sebuah cahaya lain di tengah keterpurukannya.
Sosok kecil itu, sosok Aisah yang tengah tidur di atas ranjang kecilnya, membuat hati Anna kembali mendesir. Ia tidak lagi sendiri, ia memang tidak tau
apakah Alan akan sadar kembali atau tidak. Tapi ia tidak sendiri lagi, ada seorang gadis kecil yang berada di bawah tanggung jawabnya, gadis kecil yang
begitu disayanginya. Anna berjalan perlahan menuju ranjang Aisah yang berbalut seprai berwarna pink dengan motif bunga berwarna-warni, kemudian ia merebahkan tubuhnya sendiri
di samping Aisah, mendekapnya erat-erat, menangis terisak di balik rambut hitamnya, menghujani kening gadis itu dengan air matanya.
?"Sayang?" kakak akan menjagamu, apapun yang terjadi.?" Bisik Anna di telinga Aisah sebelum terlelap dalam kelelahannya.
*** Hujan itu turun dengan sangat deras, dengan petir yang saling bersahut-sahutan membuat malam semakin mencekam. Seorang gadis berkerudung abu-abu muda tampak
berdiri sendiri di samping jendela kamarnya di lantai dua. Matanya terfokus menatap jalanan yang gelap dan basah, kedua tangannya terlipat di dadanya,
tidak ada setetes air mata pun yang mengalir di wajahnya, begitu datar dan dingin. Tubuhnya yang kaku menghadap lurus pada lemarinya yang terbuka, menampakan
kebaya cantik yang membisu dalam keheningan malam. Tidak ada suara lain yang terdengar kecuali suara hujan, petir dan detakan jarum jam yang menunjukan
kesunyian di sekitar sosok cantik itu.
Mata indahnya sedikit menyipit ketika melihat sebuah mobil bergerak masuk ke pekarangan panti. Ia tidak mengenali mobil itu, namun sekilas ia bisa melihat
sosok tampan yang duduk di balik kemudinya. Dengan kemeja krem dan rambut hitam yang berantakan, kedua tangannya mencengkram kemudi, matanya terpaku pada
setir di hadapannya. Tampak begitu sibuk dengan segala pemikirannya.
Zahra mulai merasa perutnya melilit karena perasaan bahagianya. Raka kembali! Dan Raka kembali untuknya! Untuknya seorang!!
Dengan cepat Zahra berlari menuruni tangga, mencoba mengejar semua mimpi yang ada di hadapannya, mencoba meraih cintanya. Namun lagi-lagi ia terlambat,
lima detik sebelum ia membuka pintu ganda gedung tua itu, mobil yang dikendarai Raka sudah melaju dengan sangat cepat. Meninggalkan Zahra yang mematung
di ambang pintu dengan tatapan tidak percaya. Tangannya masih menggenggam handle pintu, kerudung abu-abunya masih berkibar karena udara malam yang di sertai
hujan itu, bahkan dadanya masih terasa sesak karena berlari. Namun ia tetap saja terlambat. Atau mungkin ia memang tidak pernah memiliki kesempatan itu"
Kesempatan untuk mendapatkan cinta yang mereka katakan indah itu"
*** ?"Bunda?"?"
Anna mengernyitkan keningnya ketika merasakan sentuhan lembut di pipinya. Dengan perlahan ia membuka kedua matanya, dan mendapati senyuman indah dari wajah
polos di hadapannya. Anna tersenyum lembut dan mengecup kening gadis itu.
?"Bolehkah aku memanggil kak Anna dengan sebutan itu"?" tanyanya lugu. Anna melepaskan dekapannya sedikit agar bisa menatap kedua mata jernih milik Aisah.
?"Tentu sayang, tentu saja?"?" bisiknya lembut penuh kasih, kemudian kembali mendekap sosok mungil di hadapannya. ?"Ayo kita shalat subuh, lalu nanti kita
akan menjenguk ayah.?" Ujar Anna dengan senyuman mengembang. Aisah tersenyum tipis dan mengangguk, betapa indahnya senyuman itu, tampak sangat berbeda dengan
air mata yang mengalir ketika sosok cantik itu memejamkan matanya.
*** ?"Kau tidak bisa melakukan itu!?"
?"Melakukan apa ibu"?"
?"Menyakiti Zahra.?"
Lalu hening cukup lama. Raka yang tengah membereskan berkas-berkasnya di ruang tamu langsung tertegun. Ia meletakan kembali lembaran terakhir yang ia pegang ke atas meja, membiarkannya
membaur dengan kertas-kertas polos lainnya. Kemudian menyandarkan tubuhnya ke sofa, memejamkan matanya dan memijit pangkal hidungnya. Mencoba menenangkan
kerutan di antara kedua matanya.
?"Ibu, aku tidak bermaksud?"?"
?"Tapi kau sangat melukainya. Zahra mencintaimu Raka, ia sangat mencintaimu, tidakkah kau melihat itu" Tidak kah kau menyadarinya" Bagaimana mungkin kau
tega melukainya. Ia sangat rentan jatuh Raka.?"
?"Ibu?"?" ?"Kau harus memutuskannya Raka. Ibu sudah tau tentang kehidupan Anna. Ibu sudah tau semuanya dari Amy, dan sejujurnya ibu pun merasa kasihan kepadanya.
Tapi kau sudah mengkhitbah Zahra. Kalian akan segera menikah sebulan lagi. Tidakkah kau mengerti"
?"Aku?"?" ?"Ibu tidak pernah mengharapkan kau menjadi anak yang sempurna Raka. Ibu menyayangimu dengan sepenuh hati ibu. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu. Hidup
ini selalu memiliki pilihan, kau pun tentu mengerti hal itu. Dan terkadang pilihan yang diberikan tidaklah selalu sesuai dengan hati kita. Tapi itu jalannya
Raka. Tidak selalu ada cahaya di hadapanmu, terkadang kau harus berusaha terbangun dari mimpi indahmu, meninggalkan seluruh imajinasi semumu, dan akhirnya
menemukan cahaya indah yang sebenarnya.?"
?"Aku mengerti ibu,?" ujar Raka pelan, wajahnya masih tertunduk menatap huruf-huruf yang tertulis di lembaran putih di hadapannya.
*** ?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?" Aisah mencium punggung tangan pria yang masih terbujur lemah itu dengan perlahan. Ia tidak mengenalnya, belum, namun hatinya terasa begitu
pedih ketika melihat tatapan sendu Anna yang kini duduk di samping ranjangnya.
?"Assalamua?"alaikum papa?"?" bisiknya pelan. Segores senyuman manis terukir di wajahnya yang mungil. Luna yang berdiri di belakang Anna tampak terhanyut oleh
pemandangan itu. Kini ia baru menyadari betapa semunya kehidupan mereka di rumah itu, betapa kelamnya. Dan kehadiran sosok mungil Aisah seakan menjadi
lentera untuk mereka semua.
Anna tersenyum tipis pada putri kecilnya, mata indahnya tampak basah oleh air mata haru, dengan perlahan ia melirik sosok mertuanya yang juga turut tersenyum
menatap sosok Aisah. ?"Ayah, hari ini Aisah dan bunda memetik beberapa bunga mawar. Ayah pasti suka, warnanya putih dan pink. Aisah tidak pernah memetik bunga itu sebelumnya,
di panti semua bunga dibiarkan melayu sendiri di pohonnya. Tapi di sini begitu banyak bunga yang indah. Aisah juga suka bunga yang berwarna ungu dari kebun
nenek, semuanya harum.?" Tutur Aisah sambil terus tersenyum. Air mata Luna perlahan menetes ketika mendengar kisah dari mulut mungil gadis itu. Direngkuhnya
wajah Aisah secara tiba-tiba, membuat gadis kecil itu langsung menghentikan ceritanya dan menatap Luna penuh Tanya.
?"Apa Aisah tidak boleh memetik bunga itu nek"?" tanyanya takut.
?"Tidak sayang. Kau boleh memetiknya sesukamu. Kau boleh melakukan apapun yang kau inginkan. Semua itu milikmu.?" Ujarnya dengan senyuman dan air mata di
saat yang sama. Wajah mungil Aisah kembali tersenyum, hilang sudah kerutan ketakutan yang sempat terukir di wajahnya.
?"Kalau begitu Aisah akan memetikan beberapa bunga lagi untuk ayah.?" Katanya riang sambil turun dari ranjang Alan. Tangan kecilnya merapihkan gamis putih
yang sedikit kusut di bagian pahanya.
?"Boleh eyang ikut denganmu"?" Tanya Darmawan yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kamar putranya. ?"Eyang bisa membantumu membersihkan duri-duri
mawarnya, kalau tidak keberatan.?" Tambah Darmawan sedikit kikuk. Anna menatap sedih lelaki tua itu. baru kali ini ia melihat sosoknya yang tegas tampak
lebih hidup. Mata tuanya tampak berbinar indah.
?"Hm, sebenarnya Aisah tidak ingin memetik mawar,?" ujar Aisah sambil mengangkat bahu kecilnya. ?"Aisah ingin memetik bunga lily,?" tambahnya membuat sosok
tua Darmawan tersenyum tipis dan mengangguk. ?"Tapi kalau eyang mau, eyang bisa membantu Aisah membawanya.?" Ujar Aisah dengan senyuman yang mampu membius
siapapun yang melihatnya untuk turut tersenyum.
?"Eyang mau.?" Ujar Darmawan cepat.
?"Kalau begitu ayo! Siang nanti Aisah masih memiliki banyak janji,?" ia meraih jemari tua Darmawan dengan penuh sayang.
?"Janji"?" Tanya Darmawan geli.
?"Iya, Aisah akan menemui Anisa dip anti. Iya kan bun"?" wajah kecilnya kembali menoleh pada Anna yang langsung menangguk sambil tersenyum.
?"Iya sayang?"?" jawabnya lembut.
Kemudian dengan senyum yang masih mengembang Aisah menarik tangan tua Darmawan keluar kamar yang bernuansa biru itu. Ia berjalan satu langkah di hadapan
Darmawan, sebisa mungkin menyembunyikan air mata yang perlahan menetes dari mata indahnya.
*** ?"Aisah!!!?" teriak Anisa ketika melihat sosok gadis kecil bergamis putih itu berlari-lari kecil di pekarangan panti. Hari itu adalah hari jum?"at, waktunya
seluruh sahabat panti libur sekolah dan melakukan kerja bakti bersama untuk membersihkan panti. Ummi Aisah yang tengah menyapu halaman dengan beberapa
gadis lain langsung menoleh dan tersenyum pada Anna yang berjalan di belakang sosok mungil Aisah.
?"Assalamua?"alaikum Ummi, mana Amy dan Arya"?" Tanya Anna sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling panti.
?"Walaikum salam Anna. Arya sedang mengantarkan Amy ke kampus. Ada yang harus diselesaikan lagi.?" Jawab ummi seraya meletakan sapunya di samping pohon belimbing
yang cukup besar. ?"Bagaimana kabar suamimu"?"
Anna tersenyum tipis kemudian menatap sosok Aisah yang tampak tengah berbincang seru dengan sahabatnya. ?"Apa Anisa benar-benar tidak bisa pergi dari sini
Ummi"?" tanyanya pelan.
?"Ibunya berjanji akan kembali mengambil Anisa di usianya yang ke sepuluh.?" Jawab Ummi seraya turut menatap kedua gadis itu. Anna menghela nafas perlahan
dan mengangguk. ?"Kak Alan masih baik-baik saja Ummi, tapi saat ini aku tidak lagi memikirkan tentang hal itu. Bukan berarti aku tidak lagi memikirkan suamiku, bukan seperti
itu. Hanya saja, sekarang aku memiliki Aisah yang harus ku jaga baik-baik. Aku berencana membawanya pergi ke Kairo. Aku ingin meneruskan studiku, dan aku
tidak ingin meninggalkannya sendiri.?"
Ummi tersenyum tipis penuh pengertian. ?"Ummi mengerti Anna.?" Bisiknya begitu lembut dan keibuan.
?"Tapi mungkin Aisah akan sangat sedih jika harus berpisah dengan sahabatnya.?" Pandangan Anna kembali menerawang jauh.
?"Anna?"?"
Anna menolehkan kepalanya ketika mendengar panggilan itu. Matanya menyipit dengan pandangan tidak percaya. Namun dengan perlahan senyumannya mulai mengembang.
?"Ibu?"?" bisiknya pelan seraya berlari memeluk sosok tua Aminah yang datang bersama putranya.
Aminah mencium puncak kepala gadis itu berkali-kali, memeluk erat tubuhnya dan menangis di balik pundaknya, membuat sepasang mata lain tampak basah penuh
air mata kecewa. Anna duduk di samping Aminah, dengan kedua tangan wanita tua itu terus menggenggam tangannya. Mereka tidak lagi berkata-kata, hanya saling memandang, menumpahkan
seluruh kerinduannya selama ini. Raka duduk tidak jauh dari tempat duduk Anna dengan ibunya. Berkali-kali ia memalingkan wajahnya dengan perih, merasa
hatinya mulai kembali luluh melihat pemandangan itu. Di hadapannya, sosok Zahra tampak tegang dengan mata yang sedikit sembab.
?"Maaf, mungkin sebaiknya aku pergi.?" Ujar Anna.
?"Tidak sayang, tidak. Kau tidak harus pergi. Ini juga tentangmu.?" Ujar Aminah. Baik Raka, Zahra maupun Anna sendiri langsung menatapnya penuh Tanya. Ummi
yang sedari tadi hanya terdiam ikut menghela nafas panjang.
?"Ibu?"?" tegur Raka pelan.
?"Raka, ibu sudah memutuskan. Kalau nak Zahra tidak keberatan ibu ingin Raka menikahi Anna juga.?" Ujarnya.
Deg?" Mata indah Zahra langsung terbelalak. Kedua tangannya jatuh begitu saja di sisi tubuhnya, mulutnya ternyanga lebar dengan pandangan yang menyiratkan ketidak
percayaannya. ?"Ibu!?" Raka menatap ibunya tak berkedip.
?"Maafkan ibu,?" bisiknya pada putranya sambil meremas jemari Anna yang membeku di sampingnya.
Dengan perlahan Zahra menyandarkan punggungnya yang tegang ke sandaran sofa. Ia memalingkan wajahnya ketika tetesan air mata itu mengalir di pipinya. Hatinya
hancur berkeping, penuh kekecewaan dan luka. Ia menggeleng-geleng perlahan sambil meremas rok panjangnya. Ia sudah memperkirakan kemungkinan ini akan terjadi,
ia hanya kurang menyiapkan dirinya sendiri ketika akhirnya jatuh terhantam pada kepahitan itu.
Aku tau?". Aku tau akan seperti ini jadinya, aku hanya merasa belum bisa menahan sakitnya.
Ya Allah?" mereka bilang kau penguasa segala hati di dunia ini, ku mohon, ku mohon?" butakan lah hatiku untuk kali ini saja, karena rasanya aku sudah tidak
bisa menahan luka itu. ku mohon?"
*** Hujan& Hujan turunlah& pinta katak itu di samping danau yang mengering.
Anna masih mengingat kisah katak dan hujan yang memilukan itu. Ia tidak terlalu yakin di usia berapa tepatnya sang ibu mengisahkan cerita katak dan hujan
itu. Namun hingga saat ini ia masih bisa mengingat seluruh detailnya. Bagaimana katak itu tidak pernah berhenti berdoa akan turunnya hujan di kala kemarau
panjang yang mematikan. Hingga akhirnya katak itu sakit. Ia tau dia akan mati, meski saat itu juga hujan turun membasahi raya. Namun ia tetap berdoa dan
meminta hujan pada sang kuasa. Katak-katak lain mencemoohnya yang tidak pernah berhenti berdoa. Dan ketika hujan itu turun tepat di hari kepergian sang
katak malang, katak-katak yang lainnya baru tersadar, jika doanya selama ini bukan diperuntukan bagi dirinya sendiri. Namun bagi saudara-saudaranya yang
lain. Anna kecil akan menangis tersedu jika mendengar kisah itu, dan mempertanyakan mengapa katak malang itu tidak hidup saja" Mengapa begini dan mengapa begitu"
Namun dengan lembut ibunya akan mengatakan bahwa semua itu adalah takdir Illahi. Tidak ada yang mampu mengubahnya, tidak ada yang mampu mengubah takdir
yang sudah di gariskan sang Khalik untuk makhluknya.
Isakan tangis Zahra begitu pelan dan samar, namun bisa mengeruk seluruh isi hati Anna hingga berdarah. Ia sendiri tidak tau apa yang kini ada di dalam
hatinya, apa yang tengah ia rasakan. Ia mencintai Raka, sangat mencintainya, namun ia tidak pernah ingin menyakiti hati lain. Bukan hal itu yang ia inginkan.
Anna sudah lama memahami semua itu, sebesar apapun cintanya pada pemuda tampan berbudi baik itu jika ia memang bukan jodoh yang ditakdirkan Allah untuknya,
maka semuanya akan sia-sia belaka. Menghilang dan tenggelam.
Remasan tangan Aminah pada jemarinya kembali membangunkan Anna dari lamunan semunya. Mata tua itu berbinar penuh harap. Senyumannya mengembang, dan hati
kecil Anna mulai ragu, mampukah ia menyakiti wanita yang begitu disayanginya itu. Tapi hatinya benar-benar terpilin mendengar isakan Zahra yang begitu
samar, ia pernah merasakan bagaimana perihnya semua kekecewaan dan ketakutan itu, dan sejujurnya ia pun masih merasakannya hingga saat ini. Dan ia tidak
ingin membiarkan wanita lain merasakannya. Meski harus ia akui, sebagian kecil dirinya merasa begitu tersanjung ketika wanita tua di hadapannya menyebutkan
namanya. Dengan perlahan namun pasti Anna menggelengkan kepalanya pada Aminah, wajahnya menyiratkan kepedihan yang teramat sangat ketika mata tua di hadapannya
mendadak sayu. Aku bersedia. Ruangan yang hanya berisikan lima jantung manusia yang berdetak itu langsung hening seketika. Aisah menatap keponakannya dengan pandangan yang menyiratkan
kecemasan. Aku bersedia jika Raka akan menikahi Anna. Aku bersedia. Jawabnya sambil meremas roknya semakin keras, membuat kerutan-kerutan di sekeliling genggamannya
semakin jelas terlihat.
Cahaya Cinta Karya Cherry Aslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Zahra" bisik Raka, matanya menatap tajam sosok gadis itu.
Aku tau kalian saling mencintai. Bagaimanapun aku berusaha, aku tidak pernah bisa menjadi pengganti Anna. Aku hanya akan menjadi bayangan di antara kalian.
Dan aku lelah. Aku sangat lelah. Tapi aku juga mencintaimu& ia memandang Raka dengan wajahnya yang dipenuhi air mata luka. Aku tidak bisa hidup tanpamu.
Maafkan aku, aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Namun aku bersedia menjadi yang kedua. Aku bersedia menjadi bayangan kalian&
Anna menatap gadis itu penuh kepedihan. Betapa kejamnya ia hingga membuat gadis secantik Zahra merasa tidak aman dengan perasaannya sendiri. Betapa jahatnya
ia& Aku tau, aku sangat egois. Aku ingin melihat kalian bahagia, tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi& maafkan aku&
Zahra hentikan. Tegur Raka begitu dingin.
Maafkan aku& bisik Zahra sambil terus menggeleng-geleng hingg tetesan air matanya jatuh ke sembarang arah. Saat itu juga Anna langsung memeluknya, mendekapnya
dengan penuh kasih. Tidak Zahra, kau tidak perlu meminta maaf. Kau tidak salah, rasa cintamu sama sekali tidak bersalah. Aku yang telah mengacaukan semuanya. Aku yang salah
karena berdiri diantara kalian berdua. Aku yang telah melukaimu, jadi ku mohon terimalah maafku ini, Anna menangis sesenggukan di balik pundak Zahra.
Dan kau tidak perlu takut lagi& aku akan pergi& bisiknya seraya melepaskan pelukannya pada gadis itu. Aku akan pergi jauh, entah untuk sementara atau
selamanya dan aku ingin kau kembali merasa tenang. Raka sangat mencintaimu, dia akan menjagamu. Suara Anna terdengar seperti bisikan yang begitu lirih.
Kalian akan menjadi pasangan yang sangat menawan. Kau akan menjadi mempelai yang paling cantik, jadi lupakanlah ketakutanmu akan wanita bodoh yang tidak
tahu diri ini. Aku akan pergi
Tapi kau mencintai Raka. Bisik Zahra.
Anna tersenyum manis dan menoleh pada sosok Raka yang masih membeku menatap perih kepadanya. Dia adalah sahabat terbaikku. Dan akan selalu begitu. Mungkin
sampai nanti, sampai kami akhirnya menutup mata. Setetes air mata menghiasi pelupuknya ketika mengatakan semua itu. Sudahlah, hapus air matamu, bersiaplah
untuk menjadi pengantin tercantik. Aku akan mendoakan kebahagiaan kalian. Anna menyeka air mata yang menghiasi wajah cantik Zahra dengan jemarinya kemudian
menghela nafas panjang. Sudah waktunya aku pergi, Assalamu alaikum ummi, ibu maafkan aku& bisiknya ketika mencium punggung tangan wanita itu. Selamat
tinggal Raka, jaga ia baik-baik. Tambahnya.
Biarkan aku mengantarmu, Tidak! seluruh wajah di tempat itu langsung menoleh ke arah pintu. Seorang pria jangkung dengan jas abu-abu tampak berdiri di sana. Wajahnya menyiratkan
kemarahan yang teramat sangat.
Raihan" bisik Anna.
Aku yang akan membawanya pulang. Ujar Raihan dingin, kata-katanya tampak jelas ditunjukan pada Raka, namun tatapannya tidak pernah terlepas dari sosok
Zahra yang kini tengah mematung menatapnya.
Anna berjalan perlahan menuju pintu. Aku akan memanggil Aisah dulu. Ujarnya ketika melewati sosok Raihan.
Dia sudah di mobil. Jawab Raihan tanpa memandangnya, suaranya terdengar begitu lirih, namun wajahnya tetap menunjukan sisi tegas dan liciknya yang jelas
sangat berbahaya. Anna mengangguk, dan untuk yang terakhir kalinya ia menoleh sambil mengucapkan salam sebelum akhirnya berlalu pergi dengan Raihan yang
berjalan tepat di belakangnya.
Ketika melihat sosok mungil Aisah tengah tertidur di kursi belakang, Anna hanya tersenyum tipis dan duduk di samping kursi kemudi. Ia menyandarkan kepalanya
yang terasa berat dan kosong, mata indahnya terus memandang jalanan yang padat dari jendela mobil Raihan.
Kau baik-baik saja" Tanya Raihan memecah keheningan. Anna mengangguk sangat pelan, kemudian air mata itu mengalir perlahan. Bisakah kau tetap tinggal
di sini" Anna menoleh dengan pandangan penuh Tanya pada sosok tampan di sampingnya. Aku ingin melihatmu bahagia, tapi jika kau berada sejauh itu& akan
sangat sulit rasanya untuk menjagamu.
Kau tidak perlu menjagaku Raihan, bisik Anna. Aku sudah memikirkannya matang-matang, kakek dan ibu sudah menyetujui. Kami juga sudah mempersiapkan rumah
sakit untuk kak Alan. Anna& Aku tau ini sangat buruk, ini seperti aku tidak bisa menerima kenyataan, menerima takdir yang sudah dituliskan Tuhan untuk kita semua. Tapi aku hanya
ingin memulai hidupku kembali, sudah terlalu lama aku terpuruk dalam kepedihan itu. kini aku memiliki Aisah, aku harus tegar untuknya, untuk menjaganya.
Raihan mencengkram erat kemudinya, mata elangnya menatap jalanan tanpa berkedip. Apa kau akan kembali" tanyanya. Anna kembali menyandarkan kepalanya
pada kursi penumpang itu, ia tidak mengangguk atau menggeleng, karena sebesar apapun keinginannya untuk kembali, ia tetap tidak akan pernah bisa melangkah
lagi. *** Zahra tersenyum malu-malu ketika mendengar pujian beberapa ibu-ibu yang datang untuk membantunya menyiapkan pesta pernikahan yang di percepat dua minggu
itu. Wajah cantiknya tidak pernah berhenti tersenyum, membuat suasana panti yang ramai itu kian semarak dengan canda tawa. Sudah satu minggu ia tidak bertemu
Raka dengan alasan sedang dipingit, dan sejujurnya itu benar-benar membuat hatinya resah karena merindu.
Pesta pernikahan itu akan diadakan sangat sederhana. Namun kebahagiaan Zahra adalah kebahagian yang tiada tara. Ia berdiri mematung di balik jendela, menatap
halaman panti yang sudah berhiaskan tenda putih dengan warna emas di setiap pusatnya, kursi-kursi plastik yang di tutupi sarung yang senada dengan warna
tendanya di buat melingkari meja bundar yang juga bertamplakkan kain putih dengan renda berwarna emas yang begitu romantis dan elegan. Pelaminannya sendiri
sudah di atur sedemikian rupa hingga bisa terlihat dari berbagai sudut tenda itu. Ada taman buatan di hadapannya, lengkap dengan air mancur mini yang begitu
manis, pot-pot untuk potongan bunga hidup sudah diletakan di kedua sisi pelaminan, meski masih kosong namun rasanya Zahra bisa merasakan semerbak aromanya,
mawar, melati, krisan, sedap malam dan lainnya.
Meja untuk makanan pun sudah di persiapkan, semuanya bernuansa putih dan emas, begitu sederhana namun jelas istimewa. Seperti cintanya pada pemuda tampan
itu. Ia kembali merasakan mual karena gugup ketika mengingat bahwa sebentar lagi ia sudah akan menjadi istri sah dari pangeran impiannya. Pemuda tampan
yang sudah membuatnya menghabiskan sebagian besar stok air matanya.
Zahra, di sini kau rupanya, ujar Amy. Ada telepon untukmu, aku tidak tau dari siapa. Segeralah. Tambah gadis berkerudung hijau itu. Zahra mengerutkan
keningnya, kemudian berjalan perlahan ke ruang tamu yang kini pun telah berhiaskan kain-kain putih yang mengkilap di setiap sisinya.
Hallo, Asalamu alaikum, Batalkan pernikahan itu sekarang juga!
Suara di sebrang sana begitu dingin penuh dengan nada ancaman yang mampu membuat tubuh Zahra merinding meski ia masih belum paham dengan apa yang didengarnya.
Apa" tanyanya bingung.
Batalkan pernikahanmu! bentak suara itu.
Zahra mendengus. Siapa dia" Apa-apaan ini" Mengapa ia harus membatalkan pernikahannya sendiri" Siapa ini" Tanya Zahra.
Dengar. Batalakan semuanya, atau aku akan membuat semuanya batal dengan caraku. Suara itu begitu kejam, penuh ancaman. Namun Zahra tidak bergeming, hati
kecilnya malah memaki siapapun yang berada di sebrang telepon itu. Ia benar-benar tidak mengerti, dan sampaik kapanpun ia tidak akan membatalkan pernikahannya.
Terlebih karena penelepon asing yang aneh itu.
Aku tidak akan pernah membatalkannya! Zahra menekankan setiap kata-katanya.
Kau akan menyesalinya& bisik suara itu lebih kejam. Dan teleponnya terputus begitu saja sesaat sebelum Zahra ingin menumpahkan amarahnya. Ia menghela
nafas panjang sambil menatap pesawat telepon di genggamannya. Kemudian mendengus jijik sebelum berlalu pergi ke kamarnya untuk menenangkan hatinya dengan
melihat kebaya cantik yang kini masih tersimpan rapih di dalam lemarinya.
*** Hingga menjelang malam Zahra masih tidak bisa berhenti tersenyum, lupa sudah kisah penelepon asing siang itu. Ia merasa begitu gugup selayaknya calon mempelai
lain pada umumnya. Ia berjalan mondar-mandir ke seluruh arah, namun tidak ada satu hal pun yang benar-benar ia lakukan. Sosoknya akan menjadi resah sendiri
dalam duduknya, kemudian ia akan tersenyum dan meletakan apa yang di sentuhnya begitu saja, lalu berlalu pergi. Amy terkikik pelan ketika melihat Zahra
berjalan di hadapannya untuk yang kesekian kalinya. Ia menggeleng-geleng mewajarkan, karena dulu, dulu sekali& ia pun pernah merasakan hal yang sama& bahagia-gugup-tidak
sabar-takut-bahagia-tidak sabar- gugup- dan gugup& meski akhirnya kisahnya tidak seindah itu. Tanpa sadar Amy membelai perutnya perlahan, kemudian memejamkan
matanya sambil menghela nafas panjang. Sebuah kebiasaan baru yang selalu ia lakukan ketika kenangan pahit itu menghampirinya.
Melamun lagi, tegur Arya dari belakang. Kemeja hijaunya di gulung sampai siku dengan telapak tangan yang kotor setelah membereskan jalanan untuk tamu
yang datang esok hari. Aku tidak melamun. Jawab Amy sambil terus melipat tisu untuk diletakan di meja tambahan.
Arya! baik Arya maupun Amy langsung menoleh ke asal suara itu. Zahra tampak berdiri dengan wajah yang sedikit memerah. Kerudung birunya berkibar karena
sepoi angin dari kipas yang berada tepat di sampingnya. Aku ingin berbicara padamu sebentar. Ujarnya sedikit kikuk dan gugup. Amy yang duduk bersama
beberapa gadis kecil langsung menaikan sebelah alisnya penuh Tanya. Tapi tidak di sini. Bisik Zahra seraya melirik sosok Amy dari balik punggung bidang
Arya. Amy terkekeh dan melambaikan tangannya, mempersilahkan mereka pergi. Pergilah. Katanya sambil tersenyum.
Kami pergi dulu Amy, mungkin gadis ini ingin menanyakan keberadaan calon suaminya untuk kesekian kalinya. Ujar Arya santai, yang langsung mendapatkan
tatapan geram dari Zahra. Amy tertawa lebar.
Aku kan sudah bilang jangan beritahu pada siapapun! geram Zahra.
Sudahlah Zahra, kau tidak perlu malu karena merindukan calon mempelaimu di hari sebelum pernikahan kalian. Ujar Amy gemas sambil menjawil hidung indah
Zahra dan berlalu ke dapur dengan sekardus tisu yang sudah rapih. Meninggalkan sosok Zahra yang masih melongo malu.
Kurasa Amy benar. Gumam Arya sambil menatap kepergian Amy dengan pandangan terpesona. Zahra menggeram pelan dan memutar bola matanya pada pria itu.
Apapun yang dikatakan Amy kau akan selalu membenarkannya! sergah Zahra jengah. Kemudian seakan beru tersadar akan sesuatu, ia langsung menatap tajam
sosok yang masih terpaku menatap kepergian Amy, meskipun tentu saja gadis itu sudah menghilang di balik dapur. Kau menyukai Amy" tuding Zahra.
Apa"" Aku""" Tidak mungkin!! Arya menggerak-gerakan tangannya di depan dadanya, menegaskan penyangkalannya, matanya sedikit menyipit ketika ia mengatakan
semua kata-kata sangkalannya sambil tersenyum kikuk.
Oh, bisik Zahra santai. Tadinya ku pikir jika kau mencintai Amy, aku akan mengambilkan sebuah melatiku ketika acara ijab qabul besok. Kau tau mitosnya"
Mereka bilang gadis yang mendapatkan melati itu akan segera menyusul menikah. Zahra mengangkat bahunya tak acuh, kemudian memutar tubuhnya bersiap pergi.
Benarkah" Tanya Arya antusias dengan mata yang berbinar penuh harapan. Zahra sampai tidak bisa menahan tawanya. Ia tertawa terpingkal di hadapan pria
itu, hingga membuat beberapa orang yang berllau lalang menatap heran padanya.
Ya Allah Arya, itu hanya mitos, aku tidak percaya. Dan apakah kau percaya" tanyanya di sela tawanya. Arya langsung menegakan tubuhnya sambil mendesis.
Maaf& maaf& bisiknya susah payah. Tapi aku akan mengambilkannya untuk Amy. Ujarnya dengan mata jahil yang begitu hidup. Meski masih kesal, namun akhirnya
Arya mengangguk antusias, menepiskan rasa malunya.
Terima kasih& Eh, tapi itu tidak cukup dengan kata terima kasih. Sekarang kau harus meneleponkan Raka untukku, aku ingin mendengar suaranya.
Tapi kalian akan bertemu besok& desah Arya lelah. Mengapa kau tidak istirahat saja agar besok bisa bagung dengan keadaan segar bugar. Tuturnya. Zahra
menatapnya dengan menaikan sebelah alisnya. Menunjukan kata Mau tidak" dengan tatapannya. Akhirnya Arya menyerah dan meraih ponsel di saku celananya.
Tepat pada saat itu seorang bapak paruh baya yang sedari sore menyiapkan keperluan-keperluan terakhir pesta pernikahannya besok, memasuki ruang tamu dengan
nafas terengah. Raka Kecelakaan! *** Raka kecelakaan. Deg& Setetes air mata jatuh begitu saja, meski sang pemilik mata indah itu masih belum kembali ke bumi dari keterkejutannya. Dengan susah payah ia menelan ludahnya,
menghela nafas panjang, kemudian menutup matanya, membuat air matanya semakin deras menetes.
Astagfirullah& Inalillahi wa inailaihi rajiun& bisiknya perih.
Ibu baru saja mengetahuinya dari kakek, sekarang kakek sedang berada di rumah sakit. Mobil yang dikendarai Raka tertabrak truk dan masuk ke jurang pukul
setengah delapan. Bagian sisi mobilnya hancur. Tapi ia masih selamat, hanya saja bagian kiri perutnya terluka, terluka parah, hingga merusak sebagian ginjal
dan hatinya. Dia harus segera melakukan transplantasi Anna, atau dia tidak akan selamat& wanita itu menangis terisak di sofa, di depan sosok cantik yang
kini tampak bagaikan mayat hidup, dengan wajah yang pucat pasi, mata yang menatap kosong pada kegelapan malam dengan air mata yang tidak pernah berhenti
mengalir. Tubuhnya sudah lemas, ia sudah tidak bisa bergerak, meski hanya untuk mengedipkan kelopak matanya, hatinya terlalu sakit.
Anna& Raka membutuhkan persetujuanmu sayang& Luna meremas tangan menantunya dengan perlahan, Anna menoleh kaku padanya, matanya menatapkan luka yang
sangat mendalam. Ibu sudah mengikhlaskan Alan
Tidak& . Tidak bu& tidak& ku mohon& Isakan Anna langung pecah berkeping. Matanya kembali hidup dengan segala luka yang semakin dalam dan dalam. Air matanya
terus menetes, kepalanya menggeleng-geleng pelan sambil terus mengatakan satu buah kata tidak berulang kali. Tidak bu& ku mohon& tidak kak Alan& tidak&
Anna tapi mungkin inilah alasan Alan bertahan sampai hari ini nak. Mungkin inilah takdir yang dituliskan Allah untuknya. Agar dia tetap berguna bagi orang-orang
di sekelilingnya. Astagfirullah& ibu& ku mohon& jangan lakukan itu& tidak& tidak suamiku& tidak suamiku ibu& tidak& ujar Anna penuh ketakutan sebelum akhirnya kehilangan
kesadarannya. *** Sosok cantik itu terluka& dan semua orang melihatnya, hingga semua orang turut menangis untuknya. Meskipun tentu saja tidak ada yang bisa menyelami kesedihan
sosok itu. Ia terluka sedemikian dalamnya, hingga rasanya tubuhnya sudah lelah untuk bertahan.
Sekali lagi Anna memejamkan kedua mata indahnya, mencoba menahan getaran dari isak tangis yang seakan berniat mengoyak tubuhnya. Ia menetapkan hatinya
dan menghela nafas panjang. Menatap lurus pada sajadahnya yang tampak buyar di pandangan matanya yang penuh air mata. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat
untuk menenangkan gemuruh hatinya, dan memulai shalat tahajudnya malam itu.
Ya Allah, hamba sepenuhnya berserah padamu& hamba hanya seorang manusia penuh dosa. Hamba mohon ampunanmu Ya Allah, atas kedua orang tua hamba yang begitu
hamba cintai, dan seluruh umat muslimin dan muslimat di dunia ini&
Ya Allah, hamba hanya seorang wanita penuh nista, hamba melakukan banyak kesalahan. Hamba melakukan banyak kebodohan. Tapi hamba tidak memiliki tujuan
lain di kehidupan ini selain berserah diri pada Mu. Ampunilah dosa-dosa hambamu ini ya Allah. Ampuni hamba&
Hamba berserah diri pada semua takdir Mu, hamba ikhlas ya Allah& hamba Ikhlas& hamba ikhlas&
Isakan Anna terdengar begitu memilukan, memecah keheningan malam yang dingin dan kelam, membuat seorang gadis kecil yang tengah tertidur di ranjangnya
terbangun dan menghampiri sosok yang tengah berdoa di atas sajadahnya itu.
Bunda& bisiknya pelan. Buru-buru Anna menghapus air matanya, dan menoleh pada sosok Aisah. Ada apa" tanyanya.
Tidak apa-apa sayang, kembali tidur lah. Besok kita akan segera berangkat setelah pemakaman ayah& ujarnya lembut seraya membelai kepala gadis kecil yang
langsung menegang di hadapannya, kemudian tangis itu pun pecah.
Air mata Aisah menetes perlahan, meski sang bunda terus mengatkan jangan menangis. Tapi gadis itu tetap menangis tergugu, kedua punggung tangannya menutupi
matanya yang terus meneteskan air mata. Ia terus menangis pilu hingga akhirnya Anna menariknya dalam dekapannya, mencium keningnya, menghujani wajahnya
dengan air matanya sendiri.
Ayah akan baik-baik saja. Dia akan menanti kita di sana dengan sangat sabar. Ayah adalah sosok penyabar yang baik hati, sudahkah bunda bercerita tentang
itu" Ia akan segera membangun sebuah istana indah di surga dan menanti kita dengan damai. Ia berbudi baik, ia akan mendapatkan tempat terindah di sisi
Allah. Ia akan bahagia putriku& ia akan bahagia&
Tangisan Aisah tidak kunjung mereda. Ia terus terisak di balik mukena yang di kenakan ibunya.
Tapi Aisah mencintai ayah& isaknya pilu.
Kita semua mencintai ayah& kita semua& Anna mencium kening putrinya penuh sayang, kemudian meletakan pipinya di kening gadis kecil itu. Ayah juga pasti
sangat mencintaimu. Bunda tau itu, tapi ini sudah jalannya sayang. Ini sudah takdirnya. Kita harus mengikhlaskannya&
Aisah ikhlas bunda& Aisah ikhlas& suara gadis itu begitu pelan, tertutup isakan perihnya. Baru beberapa hari yang lalu ia merasakan kebahagiaan itu.
merasakan kebahagian memiliki keluarga yang utuh dan mencintainya sepenuhnya. Ia memang tidak pernah menemukan mata itu terbuka, ia bahkan tidak tau bagaimana
suaranya, namun ia mencintainya, ia mencintai ayahnya sejak ia melihat cinta indah itu di mata bundanya.
Terima kasih sayang. Bisik Anna pelan.
*** Suasana rumah sakit pagi itu terasa begitu hening bagi Anna, meski ia bisa melihat puluhan orang-orang berlalu lalang di hadapannya. Namun di benaknya,
semua itu tidak lebih dari sebuah gambar pada layar tv hitam putih yang tidak bersuara. Semuanya begitu sunyi dan mencekam. Ia mengenakan gamis tercantiknya,
ia juga mengenakan sedikit make up yang sebelumnya tidak pernah tersentuh. Semua orang yang melihat sosoknya akan tercengang karena beranggapan melihat
patung yang biasa di pajang di etalase-etalase toko mahal menjadi hidup.
Namun wajah itu tampak begitu kosong. Ia berjalan perlahan di samping Luna dan Aisah. Darmawan berjalan selangkah di hadapan mereka. Dan setegap apapun
langkah pria itu, baik Anna maupun Luna bisa melihat getaran-getaran di punggung tuanya yang menahan isakan tangisnya.
Akhirnya itu lah saatnya. Ketika akhirnya Anna harus kembali mengantar suaminya yang tidak pernah membuka matanya itu kembali ke rumah sakit. Pada akhirnya
ia harus kembali mengenakan baju operasi lagi untuk menemui suaminya di ruang oprasi. Pada akhirnya ia harus menahan isaknya lagi saat yang sebenarnya
ia inginkan adalah menangis kencang di ruangan steril itu.
Anna tidak menghentikan langkahnya ketika melewati orang-orang yang tengah menunggu Raka di depan ruang operasi itu. Ia terus melangkahkan kakinya, melewati
pintu ganda yang beberapa tahun yang lalu pernah di lewatinya juga. Ia mengganti sendalnya dengan sandal khusus rumah sakit.
Anak itu tidak boleh masuk. Ujar seorang perawat sambil menunjuk sosok Aisah yang masih sesenggukan di samping Anna. Aisah meremas tangan Anna ketakutan.
Ia ingin melihat ayahnya untuk yang terakhir kalinya. Ujar Anna begitu dingin, perawat itu melirik dokter yang berdiri di meja lebar di depan ruang ganti
dan mengangguk." Seorang perawat menyerahkan pakaian steril berwarna hijau pada Darmawan, Luna, Anna dan Aisah. Anna berlutut di hadapan gadis kecil itu ketika membantu
menggulung tangan bajunya yang terlalu panjang. Sebisa mungkin ia menghindari kontak mata dengan sosok Aisah di hadapannya, hingga kedua telapak tangan
gadis itu merengkuh wajah bundanya. Matanya yang berwarna coklat indah menatap mata ibunya. Mencoba mengatakan bahwa bukan hanya ia yang ketakutan di sini.
Tapi gadis kecil itu juga ketakutan. Mereka semua ketakutan.
Anna& Luna menyentuh pundak Anna perlahan, memintanya segera bergerak. Anna mengangguk dan mengikuti kakeknya yang sudah terlebih dahulu melewati pintu
ganda berkaca buram sebagai batas steril di ruang operasi itu.
Anna meremas kencang tangan kecil di genggamannya, namun tampaknya sosok itu sama sekali tidak merasa sakit. Karena yang kini hatinya terasa lebih sakit
dari pada kulitnya tersayat-sayat pisau sekalipun. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakannya. Dada dan tenggorokannya terasa begitu sakit karena
menahan tangis. Setelah Darmawan dan Luna, akhirnya Anna dan Aisah melangkah mendekati sosok yang terbaring lemah di ranjang kamar operasi untuk yang terakhir kalinya.
Assalamu alaikum kak Alan. Anna mencium punggung tangan suaminya, begitu pula Aisah. Dan ketika mulutnya terbuka, bersiap mengatakan sesuatu, tangisnya
pun pecah. Aisah menatap perih ibunya dan berjalan ke samping wajah Alan, mengecup kening ayahnya dengan penuh kasih.
Assalamualaikum ayah. Ini Aisah& ujarnya pelan, ia terus menggenggam erat gamisnya untuk membantunya menahan genangan air itu. Ayah tenang saja. Eyang,
nenek dan bunda baik-baik saja. Semuanya baik-baik saja, jadi ayah tidak perlu khawatir. Aisah akan menjaga semuanya. Aisah berjanji, jadi ayah tidak perlu
cemas. Aisah menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Kemudian mengecup pipi pria itu. terasa dingin di bibirnya. Aisah sayang ayah. Tapi kata
bunda Aisah harus mengikhlaskan ayah pergi ketempat yang jauh. Bunda juga bilang, ayah akan menunggu kami di sana sambil membuatkan istana untuk kami.
Tapi Aisah tidak ingin istana& Aisah hanya ingin ayah baik-baik saja di sana. Aisah akan mengirimkan doa-doa untuk ayah. Kata ummi itu adalah kado terindah
untuk orang-orang yang akan pergi ke surga&
Dan Aisah akan terus mengirimkan kado terindah itu untuk ayah. Aisah harap dengan itu ayah tau bahwa Aisah sangat mencintai ayah& Aisah kembali mencium
pipi ayahnya lebih lama, kemudian mengusap air matanya yang menempel di pipi ayahnya dengan ibu jarinya yang mungil. Aisah sayang Ayah&
Anna berhambur memeluk putrinya. Ia menangis penuh haru di balik pundak gadis itu. Ayah& kami semua mengikhlaskan kepergian ayah& Eyang, nenek& aku dan
bunda& bisiknya lebih tenang. Anna mengangguk perlahan, dan melepaskan pelukannya.
Iya kak, tenanglah di sana. Kami semua mengikhlaskanmu. Kami akan baik-baik saja di sini. Kami mencintaimu. Anna mencium kening suaminya penuh kasih.
Aku mencintaimu kak. Alan& bisiknya di telinga pria itu sebelum membacakan dua kalimat syahadat di telinganya. Assalamualaikum kak, selamat tinggal.
Bisik Anna sebelum berlalu dengan keluarga kecilnya yang kini menunjukan setitik senyuman indah di wajah mereka.
Kau tidak ingin menemui Raka dulu Ann" Tanya Luna. Anna tersenyum dan menggeleng.
Tidak ibu, aku harus segera pergi. Raka akan baik-baik saja, lagi pula& sudah ada gadis lain yang mengkhawatirkannya, dan akan menjaganya. Aku tidak perlu
cemas akan sahabatku. jawab Anna pelan.
Sekali lagi ia menoleh pada sosok kaku di balik pintu kaca ganda itu, dan tersenyum tipis sebelum berlalu pergi. Tanpa di sadarinya, setetes air mata tampak
mengalir di kedua sisi mata yang sudah dua tahun lebih itu tidak pernah terbuka.
Selamat tinggal suamiku, do aku menyertaimu. Bisiknya sebelum keluar dari ruangan operasi itu.
""""""""""" Anna& tubuh lunglai Anna langsung mundur beberapa langkah ketika seorang wanita tua memeluknya dengan begitu erat. Beribu kali Aminah mengucapkan
kata terima kasih dan maaf tanpa kata-kata lain yang menyertai kedua kata itu. Namun Anna sendiri tidak berharap mendengarkan kata lain. Toh kini hatinya
mulai terasa kebas. Mana Zahra" Tanya Anna susah payah.
Zahra berada di panti bersama Ummi dan Amy, jawab Arya yang berdiri tidak jauh darinya. Anna mengangguk pelan, kemudian melepaskan pelukan wanita itu.
Ibu& sudahlah, aku ikhlas. Dan semoga Raka akan segera sadar. Aku harus segera pulang, ada banyak hal yang harus aku persiapkan.
Tidakkah kau menunggu hingga operasinya selesai" Tanya Aminah sambil mengusap air matanya.
Gadis itu menggeleng perlahan. Tidak bu, aku akan menunggu jenazah kak Alan di rumah, Assalamu alaikum. Air mata Anna kembali menetes ketika mengucapkan
kata-kata itu, Luna merangkul pundaknya, sedangkan Darmawan memutuskan untuk pulang bersama Alan setelah operasi Raka selesai.
*** Raihan membanting pintu rumahnya dengan kasar. Wajah tampannya tampak memerah karena marah dan tangis yang tertahan. Dulu ketika umurnya lima tahun, ketika
senyumannya selalu mengembang indah di wajahnya yang selalu mereka bilang lebih tampan dari Alan, ia pernah masuk dengan wajah seperti ini juga, sekuat
tenaga ia menahan air matanya agar tidak dianggap cengeng oleh bocah-bocah lain yang tengah mengoloknya. Ban sepeda barunya bocor karena ulah anak-anak
kampung itu, dan Raihan kecil tidak berani membalas mereka. Tubuh mereka terlampau besar, dan mereka berjumlah 4 orang, sedangkan ia hanya sendiri.
Raihan kecil begitu marah, ia meninggalkan sepedanya sambil berlari, namun ia tidak menangis, tidak sama sekali karena ia menahan air mata itu sekuat tenaga.
Hingga Alan menghampirinya.
Ada apa" Tanya Alan.
Mereka merusak sepeda baruku. Ujar Raihan sambil menggigit bibir bawahnya. Alan mendesis kesal dan melirik kearah gerbang dengan marah. Kakak mau kemana"
Tanya Raihan cemas ketika Alan keluar dari rumahnya. Mereka berbadan besar dan mereka berempat, kakak pasti kalah.
Kau diamlah di rumah. Jangan katakan pada ibu aku pergi kemana. Aku akan segera kembali. Jawab Alan sungguh-sungguh. Raihan mengangguk kecil, matanya
menyiratkan ketakutan dan harapan pada sosok Alan.
Raihan menepati janjinya, ia tidak pernah mengatakan pada siapapun jika Alan berkelahi dengan bocah-bocah itu. Meski tentu saja Luna sudah mengetahuinya
ketika melihat memar-memar di wajah putra sulungnya ketika ia pulang dengan menuntun sepeda baru adiknya yang sudah diperbaiki. Raihan bersorak riang dan
langsung menaiki sepedanya mengitari halaman rumahnya yang luas, sejenak melupakan sosok kakaknya yang terluka di beberapa bagian wajah dan tubuhnya.
Dan selalu begitu, selalu Alan yang menjadi pelindungnya, selalu Alan yang menjadi kambing hitam dalam setiap kelakuan buruknya. Bahkan Alan pernah mengakui
jika ia lah yang mencuri uang di dompet ibunya, padahal tentu saja semua orang tau Alan adalah sosok yang sangat penurut dan tidak pernah melakukan hal
buruk seperti itu. Bahkan mungkin sosok Alan tidak pernah memikirkan hal seperti itu sedikitpun, dan itu membuat Raihan jengah. Menuntutnya untuk melakukan
hal-hal buruk agar bisa menarik perhatian ibu dan kakeknya. Namun siapapun tau itu tidak berhasil.
Selalu Alan yang menjadi pahlawan, dan ia pencundang, selalu begitu.
ANNA!! teriak Raihan, suaranya begitu lantang hingga rasanya mampu meruntuhkan rumah itu dengan hanya sekali teriakan lagi. Sosok kecil Aisah mengintip
dari balik tangga. Mana Anna"! Tanya Raihan pada gadis itu, namun Aisah hanya terdiam, menatap takut kepadanya.
Tuan muda, tidak baik berbicara membentak seperti itu pada anak kecil, ujar bik Sumi pembantu rumah tangga mereka.
Ah, persetan! Mana Anna"! geramnya marah.
Bibi tidak tau, mungkin ada di kamarnya. Ujar bik Sumi seraya melirik pada sosok Aisah dan menyuruhnya pergi dengan gerakan tangannya. Namun gadis itu
tidak bergeming, ia tetap berdiri di sana sambil mencengkram pembatas tangga. Matanya membulat penuh ketakutan, namun jelas tidak ingin berpaling. Beberapa
orang yang tengah mempersiapkan kedatangan Alan tampak melirik iba pada sosok Raihan.
Anna!!! panggilnya lebih kencang.
Raihan& Luna berdiri di depan pintu kamarnya di lantai satu. Mata tuanya menyiratkan luka yang amat mendalam. Ada apa" Mengapa kau mencari Anna" Ibu
ada di sini jika kau perlu bicara.
Aku tidak perlu bicara pada ibu! Tidak ada gunanya!! Tidak ada gunanya berbicara pada seorang ibu yang membiarkan anaknya mati!! pekiknya kesal. Wajahnya
semakin memerah. Astagfirullah Raihan& Luna menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangannya. Hatinya begitu perih mendengar perkataan putra bungsunya itu. Raihan,
ibu
Cahaya Cinta Karya Cherry Aslan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jangan menyangkal!!! Kalau bukan karena Anna yang menangis siang malam di sisi kak Alan, ibu pasti sudah membiarkan kakek menyuruh dokter untuk memberikannya
suntikan mati kan"! Raihan!!! pekik Luna tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
Kalian semua mengharapkan kak Alan pergi. Kalian semua!! Bahkan si kakek busuk itu!!! Raihan menendang salah satu guci porselen yang terdapat di sisi
ruang tamu hingga pecah berantakan. Kemudian dengan masih menggenggam kemarahan itu ia naik ke lantai atas. Ia sudah muak dengan segala kisah klise di
hadapannya. Ia sudah muak dengan scenario busuk yang di buat orang-orang sekelilingnya.
Aisah menatap sosok jangkung Raihan sambil mencengkram mukenanya ketika pemuda itu berjalan tergesa melewatinya. Bunda sedang shalat, bisik Aisah. Namun
Raihan tidak peduli, dengan keras di bantingnya pintu kamar Anna.
Gadis itu duduk di atas sajadahnya, dengan dua tangan mengadah ke atas, wajahnya yang cantik tersembunyi di balik mukenanya yang sedikit basah. Samar-samar
terdengar tasbih yang tiada putusnya ia lafalkan. Begitu pelan, begitu lembut, dan menyayat hati. Ketika mendengar pintu kamarnya di buka dengan sangat
keras, ia menoleh perlahan. Matanya yang indah tampak basah.
Apa jenazah suamiku sudah datang" tanyanya pelan.
Bruk. Raihan menjatuhkan tubuhnya di ambang pintu, duduk berlutut, kehilangan seluruh kekuatannya. Dengan perlahan ia menunduk, membiarkan tetesan air matanya
mengalir. Mengapa selalu ia yang menjadi pahlawan di setiap kesalahanku" Mengapa selalu dia"! Dia tidak bersalah. Aku yang bersalah, aku yang bersalah.
Namun kenapa dia yang berkorban. Kenapa dia yang memilih mati"!
Anna menatap adik iparnya penuh kesedihan, namun yang ia khawatirkan adalah sosok Aisah yang tampak terguncang di belakang pemuda itu. Harusnya aku yang
bertanggung jawab atas semua kesalahanku. Harusnya aku! Harusnya aku yang di rumah sakit, bukan kak Alan. Tapi kenapa lagi-lagi dia"!
Karena Alan tau& ibu tidak akan pernah bisa kehilanganmu. Bisik Luna pelan. Alan tau betapa besarnya cinta ibu untukmu, hingga ia selalu ingin melindungimu,
ia ingin selalu membahagiaakan ibu dengan menjagamu, meski itu artinya dia akan mempertaruhkan dirinya sendiri&
Ibu tidak pernah mencintaiku! Ibu selalu mengatakan kalau ibu mencintai satu-satunya putra ibu, dan itu kak Alan!
Alan bukan putra kandung ibu, kaulah satu-satunya putra ibu. Raihan terpaku menatap sosok ibunya. Tapi ibu tidak pernah tau bagaimana caranya untuk
menjelaskan semua itu padamu. Ibu mencintai kalian berdua. Kalian adalah harta ibu yang paling berharga, kalian adalah semesta dalam kehidupan ibu. Ibu
sangat menyayangi kalian, ibu mencintaimu. Tapi kau selalu menghindar, kau selalu menutup mata akan kenyataan itu, kau selalu beranggapan jika Alan adalah
segalanya, padahal kau salah. Kau dan Alan adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Dan demi Allah putraku, ibu tidak pernah menginginkan kepergian
Alan. Ibu juga mencintainya& ibu sangat mencintainya, namun ketika Allah ingin mengambil lagi apa yang telah Dia titipkan pada kita makhluknya, apa yang
bisa kita lakukan lagi selain mengikhlaskannya"
Raihan& hidup dan kematian seseorang itu sepenuhnya ada di tangan Allah. Bagaimanapun caranya, kapanpun& dan bahkan di manapun, semuanya sudah digariskan.
Kita hanya makhlukNya yang buta, yang bisa saja diambil kembali oleh-Nya sewaktu-waktu. Yang bisa kita lakukan hanya bertawakal dan berserah diri, melakukan
kebaikan selagi kita sempat, menyiapkan bekal hingga akhirnya waktu kita tiba&
Begitu pula dengan Alan. Ibu juga merasakan kepedihan yang sama dengan kalian semua, tapi apa lagi yang bisa ibu lakukan" Apa nak" Ibu hanya bisa mendoakan
putra ibu, hanya itu yang bisa dilakukan seorang ibu. Luna menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya ketika tangis itu pecah. Hatinya begitu perih.
Ia mencintai Alan, namun ia tidak bisa melakukan apapun untuk mempertahankan putranya ketika sang pencipta memutuskan untuk mengambilnya kembali.
Ibu& maafkan aku& bisik Raihan seraya memeluk ibunya.
*** Mendung sudah berlalu& membawa kelabu itu hingga ke angkasa&
Tetesan hujan terakhir sudah berhenti sejak beberapa saat yang lalu, menyisakan sisa-sisa air di udara, menawarkan kesejukan yang begitu nyaman terasa...
Dan ketika matahari itu muncul malu-malu di balik kabut tipis sang senja, aku tau& cahayanya akan segera hadir& cahaya cinta yang akan menunjukan pesona
menawan sang senja. Cahaya cinta yang akan membantuku untuk kembali menjadi sosok yang akan tersenyum menatap seluruh ciptaan-Mu ya Allah&
*** " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " ""20 Januari 2009
Assalamualaikum saudariku,
Semoga Allah selalu memberikan seluruh limpah nikmatnya padamu.
Sebelumnya, maafkan aku karena baru sempat membalas surat terakhirmu hari ini&
Kau tidak perlu berterima kasih padaku, kau tidak pantas melakukan itu. kau lah yang melakukan seluruh kebaikan itu dan seharusnya aku yang berterima kasih
padamu, atas segalanya& semua yang telah kau lakukan untukku, untuk kami&
Dan kau tidak perlu meminta maaf. Aku yang harusnya meminta maafmu, betapa naifnya diriku berada di antara kalian berdua. Betapa jahatnya aku&
Aku harap kau mau memaafkanku.
Maafkan aku& Aku memang mencintai Raka, dan aku tidak ingin membohongi diriku sendiri tentang rasa itu. Namun, bukankah kau pernah mengatakan, sejauh apapun cinta itu
terpisah, jika Allah sudah mentakdirkan mereka untuk bersama, mereka akan bersama. Begitu pula dengan kalian.
Aku baik-baik saja, kalian tidak perlu mengkhawatirkanku. Dan janganlah kau menyalahkan Raka karena semua keputusan ini. Sebenarnya aku lah yang memintanya
untuk melakukan shalat istikharah, dan kau lah yang diberikan sang Khalik sebagai jawaban dari doa-doanya, dan aku ikhlas.
Aku bahagia atas kebahagiaan kalian." Tersenyumlah saudariku, maafkanlah semua kesalahanku di masa lalu. Aku mencintai kalian, dan aku akan terus mencintai
kalian karena Allah. Karena Allah tidak menyukai umatnya yang saling membenci.
Maafkan aku yang sudah membuatmu terluka di hari yang lalu, namun aku berjanji untuk tidak akan mengulang kesalahanku lagi.
Berbahagialah kalian dalam pernikahan yang indah itu, berbahagialah, karena aku akan bahagia ketika melihat kebahagiaan di matamu&
Gadis itu menyeka air matanya dengan perlahan, bibirnya terkatup rapat untuk menjaga isakan itu agar tidak menembus pertahanannya. Buru-buru di hapusnya
tetesan air mata yang jatuh tak sengaja mengenai kertas itu. kertas berwarna putih bersih yang belum selesai ia baca, namun sudah mampu menumpahkan seluruh
air matanya. Raka mencintaimu, dia sangat mencintaimu. Aku bisa melihat hal itu dari matanya meski ia berkali-kali mengelak. Tapi cinta itu terlalu murni, cinta itu
terlalu indah untuk disembunyikan, dan aku tau kau juga sangat mencintanya. Jangan menyangkal. Kau sudah melewati banyak kisah yang menguras air matamu,
mungkin kini waktunya kau sedikit tersenyum. Tidak perlu kau pikirkan tentang diriku, sudah ku katakan aku akan baik-baik saja. Aku adalah gadis yang kuat.
Cintailah cinta Ann& Cintailah cinta& Aku mendoakan kebahagian kalian.
" " " " " " " ""
saudarimu," Sybila Bilqis Az Zahra " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " ""
*** Kak Raka akan menginap di sini" Tanya Aisah sambil menatap lekat-lekat sosok tampan yang sejak dua jam yang lalu duduk tenang di ruang tamu rumah mereka.
Raka menatap sosok mungil itu sambil tersenyum tipis, hanya berselang enam bulan, namun rasanya gadis itu sudah terlihat begitu dewasa.
Tidak sayang, kakak hanya menyampaikan surat yang dititipkan kak Zahra, setelah itu kakak akan pergi.
Pulang ke Indonesia" Tanya Aisah, matanya sedikit membulat tidak percaya. Mengapa kakak tidak bilang, keluhnya cemas. Bisakah kakak tinggal sebentar
lagi, aku ingin menulis surat untuk Anisa, lusa adalah hari ulang tahunnya. Dia pasti akan sedih jika tidak menerima kado dariku. Ujar Aisah. Raka kembali
tersenyum dan mengangguk perlahan.
Tidak Aisah, ujar Anna tiba-tiba. Aisah menatap ibunya dengan pandangan memohon. Sudah larut, kau harus beristirahat.
Tapi bunda& Masih ada hari esok, kau harus tidur sekarang. Dan lagi pula kak Raka akan bermalam di sini, besok kau bisa menulis kartu ucapanmu di pesawat.
Mata Aisah membulat tidak percaya. Sosok Luna yang sedari tadi hanya terdiam pilu di kursinya, ikut menatap sosok Anna.
Anna& bisik Raka. Tidurlah, katanya pada Aisah.
Apa kita akan pulang" rajuk Aisah. Anna duduk di samping putrinya, membelai lembut kepala gadis berumur 9 tahun itu penuh kasih. Mata indahnya menatap
gadis itu dengan pandangan meminta maaf yang teramat dalam, membuat sosok mungil Aisah menggigil di kursinya. Aisah tidak ingin pulang jika tidak bersama
bunda& ujarnya mulai terisak. Aisah akan menulis surat untuk Anisa, dan akan terus menemani bunda di sini. Nenek dan kak Raka boleh pulang, tapi Aisah
akan tetap bersama bunda di sini, Aisah sudah berjanji pada ayah untuk menjaga bunda&
Aisah& Tidak bunda& jangan suruh Aisah pulang& apa bunda sudah tidak sayang Aisah" air mata gadis kecil itu terus menetes, meski sang ibunda sudah memeluknya
erat-erat. Anna, pulanglah bersamaku. Aku tidak akan mengartikan kepulanganmu seperti yang mereka pikirkan. Kau berhak tidak menerima kehadiranku, tapi setidaknya
pulanglah. Semua orang merindukanmu.
Anna mempererat pelukannya pada sosok mungil Aisah sebelum merasakan pertahanannya akan semua rindu itu mulai hancur.
*** """"""""""" Bandung 4 Januari 2009
Hujan di luar sana masih mengguyur raya dengan derasnya, namun tetap tidak bisa membaurkan suara isak tangis yang terdengar dari sebuah kamar gelap di
panti asuhan itu. Gadis itu menanggis tergugu di atas sajadahnya, ia baru saja menunaikan shalat subuhnya, dan kini, ketika hujan di luar sana turun dengan
begitu derasnya, ia pun ikut menangis dengan begitu perihnya.
Zahra, panggil Amy pelan. Ia menatap sedih sosok sahabatnya yang masih menangis di atas sajadahnya. Zahra menoleh perlahan, menunjukan mata sembabnya.
Raka sudah datang. Bisik Amy. Zahra mengangguk perlahan dan bangkit dari duduknya, tubuhnya sekit limbung karena terlalu lemah, namun dengan bantuan
Amy ia bisa berdiri dengan tegak.
Berulang-ulang Zahra melafalkan salawat nabi untuk menenangkan hatinya. Ia sudah membuat keputusan. Sudah begitu lama, bahkan sejak hari pertama ia mendengar
kabar kecelakaan Raka 6 bulan yang lalu, tepat di malam hari pernikahannya, dan semuanya semakin terasa mantap hingga ia melihat mata pemuda itu kembali
terbuka. Raka langsung berdiri ketika melihat Zahra yang datang bersama Amy, dengan cepat ia menggantikan Amy untuk menahan tubuh Zahra dan mendudukannya di sofa
sebelahnya. Aku baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan. Ujar Zahra seraya melepaskan genggaman Raka dengan perlahan dari lengannya. Kemudian dengan lemah ia mengedarkan
pandangannya pada sosok-sosok lain di ruangan itu. Bibinya, Amy, Arya, Darmawan dan Raka yang duduk di sebelahnya.
Ada apa Zahra" Tanya Ummi. Mengapa kau meminta kami berkumpul sepagi ini di sini"
Tidak apa-apa ummi, aku hanya ingin mengatakan sesuatu. Aku sudah membicarakan sebelumnya hal ini dengan kakek, ujarnya seraya menatap sosok tua Darmawan
yang mengangguk mengiyakan. Aku pikir, sudah waktunya Raka untuk menjemput Anna.
Tubuh Raka membeku di sampingnya. Wajahnya mengeras, menunjukan bahwa pemuda itu tengah berusaha untuk menahan emosinya.
Dengan lembut Zahra menyentuh kepalan jemari pemuda disampingnya. Raka& bisiknya lembut.
Sudahlah Zahra, kau sedang kelelahan. Kau terlalu banyak berpikir, sebaiknya kau istirahat. Ujar Raka. Jangan bicarakan hal yang tidak penting lagi.
Kita akan segera menikah.
Tidakkah kau mengerti& potong gadis itu lemah. Kita tidak akan pernah menikah, tidak akan pernah bisa. Kau bukan untukku, kita tidak akan pernah bersama.
Zahra& tegur Amy. Tidakkah kau mengerti Raka" Aku bukan jodohmu, sebesar apapun cintaku padamu. Tapi Anna. Dia lah yang diciptakan Tuhan untukmu.
Kau bukan Tuhan. Kau tidak bisa menentukan siapa jodohku atau siapa jodohmu. Kita semua hanya mahluk-Nya yang bisa berserah diri pada semua takdir-Nya.
Begitu pula dirimu. Zahra menatap lekat-lekat pemuda di sampingnya, kemudian dengan perlahan ia melirik ummi yang mengangguk kepadanya. Dan kalau begitu,
beristikharah lah& Zahra aku tidak ingin memilih.
Itu bukan pilihan. Itu adalah cara seorang muslim untuk menentukan jalannya.
Tapi aku akan menikahimu.
Kenapa" Zahra Katakan kenapa kau akan menikahiku"
Karena aku mencintaimu. Ujar Raka setelah diam sejenak. Dan aku tidak perlu melakukan istikharah untuk itu. keputusanku sudah bulat. Aku akan menikahimu.
Kau tau, rasanya hatiku begitu bahagia mendengar kau akan menikahiku. Sangat bahagia, hingga bahkan aku berpikir, kalaupun aku mati sekarang aku tidak
akan menyesal. Aku sangat mencintaimu, aku tidak tau mengapa, namun rasanya begitu mudah untuk menanamkan rasa itu. Meski itu hal yang salah&
Itu bukan hal yang salah Zahra, aku juga mencintaimu.
Kalau begitu kau tidak perlu takut melakukannya, jika sebesar itu cintamu padaku, kau tidak perlu takut menerima jawaban lain dari-Nya.
Raka terdiam, dan kebisuan itu membuat Zahra tersenyum tipis. Ia menyeka air matanya dengan perlahan. Aku minta maaf bibi, kakek& dan kalian berdua. Tapi
aku harus melakukan ini. Aku tidak meragukanmu, aku tau kau adalah sosok terbaik. Ujar Zahra seraya menatap sosok di sampingnya lagi. Tapi aku ingin
kau kembali menegaskannya. Untuk dirimu sendiri. Demi Allah Raka, aku sangat mencintaimu, aku tidak bisa hidup tanpamu. Tapi jika kau bukan jodoh yang
dituliskan Allah untukku. Aku tidak bisa memaksa.
Aku akan melakukannya jika itu maumu. Ujar Raka akhirnya, Zahra tersenyum tipis dan mengangguk.
Terima kasih. Bisik Zahra penuh kepedihan.
Dan begitulah permintaan Zahra di pagi hari berhujan itu. Hingga beselang tiga minggu kemudian, Zahra tidak sama sekali menantikan kedatangan Raka untuk
menjelaskan jawaban atas segala doanya. Tubuhnya yang sempat melemah belakangan ini sudah kembali membaik. Ia sudah kembali mengajar di madrasah-madrasah
panti, dan kini mulai di sibukan dengan kuliah S2 di salah satu universitas islam negri di Bandung.
Hingga hari itu, senin 19 januari 2009, tanpa di sangka-sangka Raka datang menemuinya. Langkah Zahra yang baru saja keluar dari kelasnya mengajar langsung
terhenti. Setetes air mata mengalir bersamaan senyuman manisnya yang mempesona. Ia mengangguk santun penuh hormat.
Tunggulah sebentar, aku ingin menitipkan sepucuk surat untuk Anna. Ujarnya seraya berjalan melewati sosok Raka yang berdiri di ambang pintu. Raka menangkap
pergelangan tangan gadis itu, hingga Zahra menghentikan langkahnya beberapa kaki di belakang Raka.
Aku mencintaimu. Ujar Raka.
Aku juga mencintaimu kak, bisiknya sebelum melepaskan pegangan Raka dan berlalu ke kamarnya untuk menangis.
*** Sore itu juga Zahra dan yang lainnya mengantar Raka ke bandara untuk menyusul Anna ke Kairo dan memintanya pulang. Bahkan sosok Raihan pun datang ketika
mendengar kabar keberangkatan Raka. Ia tersenyum tipis dan berdiri di samping Zahra yang tersenyum manis pada Raka.
Pergilah, ujar Zahra dengan senyumannya yang tulus. Aku akan baik-baik saja di sini, bawalah kembali gadis itu pulang ke tanah airnya. Dia pasti sangat
merindukan semuanya. Aku akan tetap menjagamu. Ujar Raka sungguh-sungguh. Zahra mengangguk pelan.
Kau harus menjagaku, harus. Sebagaimana seorang kakak menjaga adiknya& ujar Zahra. Aminah tersenyum tipis penuh haru.
Pergilah, atau kau akan ketinggalan pesawat, ujar Raihan. Raka tersenyum dan menepuk pundak pemuda itu.
Tolong jaga adikku. Katanya sebelum mengucapkan salam dan berlalu pergi.
Mengapa kau membiarkannya pergi" Tanya Zahra kepada Raihan tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok Raka yang semakin jauh. Raihan menaikan sebelah
alisnya dan menoleh pada gadis di sampingnya. Kenapa kau tidak menahannya"
Kenapa aku harus menahannya" Tanya Raihan tidak mengerti.
Bukahkah kau tau jika Raka pergi kesana, maka mereka akan kembali bersama.
Aku tau. Lalu mengapa" Aku tidak mengerti arah pembicaraanmu.
Zahra menggeram gemas, Bukankah kau mencintai Anna" Tapi kenapa kau membiarkan Anna bersama dengan Raka"! Mengapa kau tidak menahan kepergian Raka"!
Raihan menatap gadis di sampingnya dengan kening yang berkerut, kemudian ia tertawa lebar. Hingga membuat beberapa orang menoleh, tertarik mendengar tawanya.
Aku memang menyayangi Anna, tapi itu semua karena aku menghormati kak Alan. Well, Anna memang sosok yang sempurna untuk dijadikan pendamping hidup. Tapi
bukan gadis seperti itu yang ku inginkan. Aku mempunyai sebuah ego yang menggunung tinggi, dan Anna tidak akan bisa mendakinya. Aku membutuhkan seorang
gadis yang lebih kuat. Bukan berati dia tidak kuat, Anna sangat kuat, dia sudah membuktikannya dengan ketegarannya selama ini. Tapi pada dasarnya, bukan
Anna yang bisa membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama&
Kau berbelit-belit. Aku tidak mengerti. Tapi yang jelas, kau melakukan semua ini untuknya.
Aku tidak melakukan apapun untuk siapapun. Dan kalaupun aku melakukan sesuatu, itu untuk diriku sendiri. Aku sangat mendukung perpisahanmu dengan Raka
karena aku mencintaimu. Karena aku& bukan karena Anna, dan kalaupun kebetulan itu juga berakibat positif untuknya, aku senang.
Apa"! Zahra terpekik dengan mata membulat.
Ah, bodoh. Aku mencintaimu, apa kau tidak mengerti juga"! tanyanya kesal.
Tapi aku tidak mencintaimu. Desis Zahra dengan nada sedikit mencibir.
Aku tidak memintamu untuk mencintaiku, Raihan mengangkat bahunya tak acuh. Kemudian kembali menatap orang-orang yang terus berlalu lalang di hadapan
mereka. Aku tidak peduli. Cinta atau tidak, kau akan menjadi milikku. Ujarnya tegas, membuat sosok Zahra memerah marah di sampingnya. Dan lagi pula,
sudah terbukti bukan, jika kau dan Raka memang tidak di takdirkan bersama, jadi mungkin kau memang digariskan untukku.
Kau terlalu sombong. Bagaimana jika ternyata Anna menolak kehadiran Raka"
Jangan mengelak. Bukankah kau sendiri sudah mengetahui jawabannya dari shalat istikharahmu sebelum kau memintanya melakukan hal yang sama" tuding Raihan
dengan senyuman geli, namun pandangan yang begitu serius. Tubuh Zahra benar-benar mendidih.
Apa kau cenayang"! pekiknya.
Bukan, tapi aku memiliki informan terpercaya. Ujarnya seraya mengedip pada kakeknya yang terkekeh-kekeh melihat perseteruan mereka.
Kakek& desis Zahra putus asa.
Raka!!! Astaga& aku terlambat& pekik Amy yang baru saja sampai di bandara. Ia terengah-engah menatap pintu yang baru saja dilewati Raka.
Amanda Christie& Zahra mengerutkan keningnya ketika mendengar suara bisikan dari pemuda di sampingnya. Ia langsung menoleh dan menatapnya dengan pandangan apa . Tapi pemuda
itu masih diam, matanya tertuju pada satu arah, terpaku ke depan dengan mulut yang sedikit ternganga. Sebuah mimic terkejut yang mendapatkan nilai 9.9
dari skala 1-10. Raihan" tegurnya ketika pemuda berkemeja cokelat itu tidak juga tersadar dari keterkejutannya. Hingga tegurannya yang ke tiga kali, sosok Raihan masih
membeku di sampingnya, bagai seorang kolektor prangko yang takjub ketika menemukan prangko asli sebesar Koran di hadapannya.
Tidak. Tapi mimiknya lebih dari sekedar takjub. Mimiknya lebih menyerupai ekspresi terkejut yang sangat terkejut . Zahra mulai panik, kalau-kalau ternyata
pemuda di sampingnya terkena serangan jantung dini. Karena mendadak wajah itu tampak sangat pucat dengan mata kosong dan bibir yang membiru.
Apa kita bisa memanggilnya kembali" Tanya Amy di sampingnya. Aku juga ingin menitipkan sebuah surat untuk Anna.
Tenanglah, ujar Zahra, memutuskan tidak peduli pada apapun yang terjadi kepada sosok pria di sampingnya. Kau akan bisa memberikan surat itu langsung
kepadanya, Apa dia akan pulang" Tanya Amy dengan mata berbinar. Di genggamnya erat-erat kertas yang baru ia tulis beberapa saat yang lalu.
Zahra mengangguk dan tersenyum, matanya kembali menatap jauh ke depan. Ya, mereka semua akan segera pulang, secepatnya. Bisiknya penuh keyakinan. Seyakin
ia pada cahaya indah yang perlahan muncul di antara kabut-kabut tipis selepas hujan hari itu.
-the end- Funny how the heart can be deceiving
More than just a couple times
Why do we fall in love so easy
Even when it's not right Where there is desire There is gonna be a flame
Where there is a flame Someone's bound to get burned
But just because it burns
Doesn't mean you're gonna die
You've gotta get up and try try try
Gotta get up and try try try
You gotta get up and try try try
Ever worried that it might be ruined
And does it make you wanna cry"
When you're out there doing what you're doing
Are you just getting by"
Tell me are you just getting by by by
Where there is desire There is gonna be a flame
Where there is a flame Someone's bound to get burned
But just because it burns
Doesn't mean you're gonna die
You've gotta get up and try try try
~~~~~~~~~~ tangerang 17032013. 12;16 AM
Malaikat Berdarah Biru 2 Pendekar Misterius Karya Gan K L Lencana Pembunuh Naga 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama