Ceritasilat Novel Online

Hati Yang Memilih 1

Hati Yang Memilih Karya Unknown Bagian 1


"Hati yang Memilih Penulis: unknown Ruangan kelas itu terasa hening, seperti biasa bila ujian semesteran tengah berlangsung. Yang terdengar hanya gemerisik kertas, dan suara lembut kalkulator
yang sedang digunakan menghitung angka-angka statistik. Juga ada sedikit suara bisik-bisik tertahan dari mahasiswa, yang nekat bertanya jawaban pada kawan
yang berdekatan. Sementara petugas pengawas tampak terkantuk-kantuk di depan kelas sambil memegangi koran hari ini.
Ujian mata kuliah statistik selalu menciptakan suasana seperti itu"keresahan sekaligus ketegangan. Ini mata kuliah yang tidak disukai mayoritas mahasiswa
Fakultas Pendidikan di kampus itu. Bukan hanya karena isinya penuh angka dan hitungan yang memusingkan, tapi juga karena dosennya menyebalkan, dan... pelit
memberi nilai. Mata kuliah statistik selalu jadi momok dalam tiap semester. Dari semua mahasiswa yang mengikutinya, hampir bisa dipastikan cuma sepuluh
persen yang akan lulus, dan sembilan puluh persen lainnya harus mengulang.
Jarum jam terasa cepat berjalan. Pukul 09:50. Sesaat lagi waktu ujian akan selesai. Para mahasiswa di kelas itu semakin gelisah. Petugas pengawas yang
terjaga dari kantuknya terdengar bergumam, "Kalau sudah selesai, langsung dikumpulkan saja..."
Di saat itulah, Ferry merasakan ponsel dalam saku celananya bergetar. Diambilnya ponsel itu, dan tampak tanda datangnya sebuah SMS. Ferry membuka SMS itu
dan membacanya, sementara petugas penjaga menatapnya dengan curiga.
"Fer, pacarmu pingsan. Sudah dibawa ke klinik kampus, tapi belum sadar." SMS itu dikirim oleh Rizal, sahabatnya, yang menempati ruang kelas lain.
Ferry memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Bukan pertama kalinya Anisa"pacarnya"mengalami pingsan mendadak seperti ini. Setiap kali menghadapi sesuatu
yang membutuhkan pikiran atau konsentrasi, Anisa sering mengalami pingsan mendadak. Ujian statistik yang jelas membutuhkan konsentrasi pikiran ini pun
mungkin menjadi penyebab pingsannya kali ini.
Ferry mempercepat mengerjakan soal-soal ujiannya, kemudian mengumpulkan lembar jawaban ujian ke meja pengawas, dan segera keluar dari kelasnya. Ia langsung
menuju klinik kampus yang jaraknya cukup jauh dari ruang kelasnya.
"Fer!" Rizal tampak berjalan dari arah depannya. "Sudah menemui pacarmu?"
"Aku baru mau ke sana, Zal," jawab Ferry. "Thanks, ya."
Rizal menemani Ferry menuju klinik. "Fer, kenapa sih Anisa sering pingsan seperti itu?"
"Aku juga tidak tahu, Zal. Mungkin tadi pagi lupa sarapan. Fisiknya memang cukup lemah. Kalau terlalu berpikir berat, dia sepertinya tidak kuat."
"Tadi dia masih mengerjakan soal ujiannya, tapi tiba-tiba menelungkup sambil memegangi kepalanya." Rizal menceritakan. "Kupikir cuma pusing karena mengerjakan
statistik, tapi kemudian dia terjatuh dari kursinya."
"Seharusnya kita semua juga perlu pingsan setiap kali ujian statistik," ujar Ferry sambil tersenyum.
Mereka sampai di depan klinik kampus yang sepi seperti biasa. Rizal mengatakan akan duduk-duduk di depan klinik. Ferry masuk, menemui petugas yang berjaga,
dan segera mendekati Anisa yang masih terbaring di atas tempat tidur. Sekarang dia sudah sadar, namun wajahnya terlihat letih dan pucat.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Ferry prihatin.
Anisa menjawab lemah, "Tidak apa-apa... aku cuma capek."
"Tadi sudah sarapan?"
Anisa menggeleng. "Tadi buru-buru sekali, jadi tidak sempat."
Ferry segera keluar dari ruang klinik untuk mencari makanan. Dia merasa kesal juga. Sudah berkali-kali dia berpesan pada Anisa agar jangan pernah telat
sarapan, tapi selalu saja ada alasan untuk tidak sarapan.
"Bagaimana keadaannya, Fer?" tanya Rizal saat Ferry keluar dari dalam klinik.
"Masih lemah. Seperti yang kubilang tadi, dia belum sarapan," kata Ferry. "Aku mau ke kantin dulu, cari makanan buat Anisa."
Rizal buru-buru bangkit. "Biar aku yang ke kantin, Fer. Kau tunggui saja pacarmu."
Ferry menatap sahabatnya dengan terharu. Semenjak SMA hingga sekarang, Rizal tetap menjadi sahabatnya yang terbaik.
Ferry pun masuk kembali ke dalam klinik dan menemani Anisa.
"Kepalamu masih pusing?" tanya Ferry pada Anisa yang masih terbaring.
"Lumayan," jawab Anisa lemah.
"Perlu balsam?"
"Tadi sudah diberi Bu Hesti."
Bu Hesti adalah petugas yang biasa menjaga klinik kampus. Di antara semua yang ada di kampusnya yang luas, Ferry menganggap keberadaan klinik ini merupakan
salah satu rahmat di dalamnya. Ferry bersyukur para pejabat di kampusnya punya pikiran membangun sebuah klinik, hingga ketika ada masalah darurat seperti
sekarang tidak terlalu merepotkan. Kebetulan juga, salah satu orang yang beberapa kali menikmati tempat ini adalah Anisa.
Rizal datang dengan membawa bungkusan yang kemudian ia serahkan pada Ferry. Ia menyapa Anisa sebentar, kemudian keluar lagi.
Ferry membuka bungkusan itu. Ada beberapa roti dan sebungkus nasi, juga dua plastik teh hangat.
"Sekarang kau makan dulu," kata Ferry sambil membantu Anisa duduk.
Ferry membuka bungkusan nasi, lalu menyiapkan sendok plastik yang ada dalam bungkusannya. "Mau disuapi?"
Anisa tersenyum lemah. Dia bersyukur memiliki kekasih seperti Ferry. Anisa merasakan tubuhnya benar-benar lemah, dan ia pun tak menolak ketika kemudian
Ferry menyuapkan nasi ke mulutnya.
Sambil menunggu Anisa mengunyah makanannya, Ferry menuangkan teh hangat dari plastik ke dalam gelas yang tersedia di sana.
Beberapa suapan lagi, dan Ferry pun tersenyum. Setelah nasi ini habis, pikir Ferry, Anisa pasti akan sehat kembali.
"Sudah, Fer," kata Anisa menghentikan suapan Ferry.
"Sedikit lagi. Ini sudah hampir habis," jawab Ferry.
Anisa menggeleng. "Mulutku pahit sekali. Aku juga sudah kenyang."
Ferry mengambil gelas dan memberikannya pada Anisa. Anisa minum perlahan-lahan. Teh hangat itu terminum separuh, dan Anisa memberikan gelasnya kembali
pada Ferry. Lalu menyandarkan punggungnya ke bantal.
Sesaat kemudian, Anisa tersedak dan tubuhnya terhuyung ke depan. Ia muntah tanpa dapat dicegahnya. Ferry memegangi kedua bahu Anisa yang terus muntah mengeluarkan
semua yang baru saja dimakannya.
"Kau pasti sakit, Nis," kata Ferry setelah Anisa bersandar pada bantal kembali. "Bagaimana kalau sekarang ke rumah sakit?"
Anisa menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Fer. Paling cuma masuk angin."
"Tapi wajahmu pucat sekali." Ferry menyentuh kening Anisa, dan merasakan suhu tubuhnya panas sekali. "Kau harus mendapatkan pertolongan. Aku takut terjadi
apa-apa denganmu." Ferry keluar dari ruangan itu, dan mendapati Rizal masih duduk di depan klinik. "Zal, kau bawa mobil?" tanya Ferry dengan wajah bingung.
Rizal mengangguk. "Ada apa?"
"Sepertinya aku perlu membawa Anisa ke rumah sakit."
Rizal langsung paham. "Baiklah, kautunggu di sini."
Beberapa saat kemudian, Rizal kembali dengan membawa mobilnya. Ferry memapah Anisa untuk memasuki mobil Rizal, dan mereka melaju ke RSUD, satu-satunya
rumah sakit terdekat dari kampus mereka.
Rupanya yang dikhawatirkan Ferry memang benar. Anisa bukan hanya masuk angin seperti yang dikatakannya. Dokter di RSUD menyatakan Anisa mengalami gejala
tipus. Anisa pun harus menginap di RSUD untuk opname, dan Ferry segera menghubungi orang tua Anisa melalui ponselnya.
Sambil menunggu Anisa yang masih diperiksa di IGD, Ferry duduk termangu di lobi rumah sakit. Rizal telah kembali ke kampus karena harus mengikuti ujian
kedua. Ferry menyandarkan tubuhnya dengan pikiran kacau. Lalu-lalang orang di depannya sama sekali tak ia hiraukan. Pikirannya tertuju pada Anisa, juga
pada ujian susulan, karena sekarang tak bisa mengikuti ujian kedua. Selalu ada masalah, batinnya.
Lamunannya tersentak ketika tiba-tiba seorang perempuan berdiri di hadapannya, dan memekik penuh keterkejutan.
"Ya Tuhan, Indra!" pekik perempuan itu.
Ferry menengadah dan memandang sosok yang berdiri di hadapannya. Seorang gadis dengan wajah menawan, berusia dua puluh tahunan, bertubuh tinggi semampai
dengan celana dan t-shirt agak ketat. Ini bukan pertama kalinya dia disangka Indra oleh orang lain.
"Kau Indra..." Bagaimana kau bisa sampai di sini?" Perempuan itu menampakkan mata berbinar-binar penuh keterkejutan yang menyenangkan.
Ferry memaksakan senyumnya dan menjawab, "Maaf, aku bukan Indra."
"Tapi kau Indra!" Perempuan itu tersenyum dengan yakin. "Aku menonton semua sinetronmu! Ini benar-benar kejutan buatku!"
Ferry kembali memaksakan senyumnya. "Sungguh, aku bukan Indra..."
Perempuan itu seperti mulai sadar melihat kesungguhan Ferry. "Tapi kau benar-benar mirip Indra..."
"Aku saudara kembarnya," jawab Ferry, mengulangi jawaban yang biasa dikatakannya pada orang-orang lain.
"Indra punya saudara kembar?" Perempuan itu justru tampak makin bersemangat. Sekarang dia duduk di sebelah Ferry.
Ferry mengangguk. "Ya, dan orang-orang sering menyangka kalau aku Indra." Ferry tidak tahu itu berkat ataukah kutukan.
Perempuan itu memperhatikan wajah Ferry. "Kau benar-benar mirip Indra," gumamnya. "Aku baru tahu Indra punya saudara kembar. Aku dan mamaku sangat menggemari
sinetronnya. Mm, boleh tahu namamu?"
"Ferry," jawab Ferry sambil menatap perempuan di sampingnya.
"Namaku Febiola." Perempuan itu tersenyum. "Kau bisa panggil aku Febi. Oh ya, omong-omong, kau sedang apa di sini?"
Ferry menjawab jujur, "Pacarku baru saja masuk ke sini. Aku sedang menunggunya selesai diperiksa."
Wajah Febiola menunjukkan rasa kecewa, tapi buru-buru mengulum senyum dan bertanya dengan nada prihatin, "Dia, eh, maksudku pacarmu, kecelakaan?"
"Tidak, dia cuma kecapekan. Tadi pingsan di kampus, lalu kubawa kemari."
Febiola menganggukkan kepalanya. "Jadi, kau masih kuliah" Dimana?"
"Di UNB." Universitas Nusa Bhakti. Lalu untuk sopan-santun, Ferry pun bertanya, "Kau juga masih kuliah?"
"Iya, di STC." Semarang Training Center.
Lalu mereka terdiam. Febiola seperti kehabisan bahan pertanyaan, dan Ferry memang sejak awal tak berminat dengan pertemuan juga perkenalan ini. Ia sedang
berharap perempuan di dekatnya itu segera pergi, ketika ponsel di saku celananya berbunyi. Tampak nama Rizal di layar ponselnya.
"Zal?" sapa Ferry.
"Kau masih di rumah sakit, Fer?" suara Rizal.
"Iya." "Anisa tidak apa-apa, kan?"
Ferry selalu terharu dengan perhatian sahabatnya. "Tidak apa-apa, sih. Cuma kata dokternya tadi, dia kena gejala tipus."
"Kau perlu ditemani?"
"Aku sudah banyak merepotkanmu, Zal. Tidak usahlah," jawab Ferry merasa tidak enak. "Kau sudah selesai ujian?"
"Baru saja keluar. Oke, Fer, semoga Anisa cepat sembuh."
"Thanks, Zal." Saat Ferry memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana, Febiola bertanya dengan halus, "Kau tidak keberatan kalau aku minta nomor ponselmu?"
Ferry tak punya jawaban lain selain, "Sama sekali tidak."
Febiola mengambil ponselnya, dan Ferry mendiktekan nomor ponsel miliknya. Kemudian Febiola menelepon nomor itu. Setelah yakin ponsel di saku celana Ferry
berbunyi, Febiola pun mematikan ponselnya dan tersenyum.
"Fer, aku harus segera ke atas. Ada temanku yang masih dirawat di sana." Ia bangkit berdiri dan menatap Ferry. "Aku senang bisa berkenalan denganmu. Semoga
pacarmu cepat sembuh."
Ferry mengangguk. "Temanmu juga."
Febiola pun berlalu dengan langkah-langkahnya yang gemulai.
Ferry menyandarkan tubuhnya dengan lega. Ia tak berminat mengambil ponsel untuk melihat nomor ponsel Febiola yang tadi masuk ke ponselnya. Lebih dari itu,
ia memang tak berminat berhubungan dengan Febiola. Bagi Ferry, perempuan seperti Febiola biasanya hanya mengundang masalah, dan Ferry sudah bahagia bersama
Anisa. Cukup sampai di sini saja, batinnya, dan Ferry berharap Febiola tak pernah mencoba menghubunginya.
Namun baru saja Ferry merasa lega sepeninggal Febiola, muncul dua orang perempuan yang tampak buru-buru masuk ke lobi rumah sakit. Begitu sampai di dekat
Ferry, dua perempuan berusia belasan tahun itu segera menghentikan langkahnya.
"Rin, kau pasti tidak percaya," kata seorang dari mereka pada kawannya. "Ini Indra!"
Perempuan di sebelahnya segera memandang Ferry dengan mata berbinar, dan bereaksi lebih mengejutkan. Ia berteriak pada sekelompok perempuan lain yang baru
memasuki lobi rumah sakit itu, "Hei teman-teman, ada Indra di sini! Indra...!"
Ferry memaki kesal dalam hati. Kemiripan ini benar-benar kutukan!
Ferry Gunawan dan Indra Gunawan adalah saudara kembar identik yang dilahirkan dengan rupa dan wujud fisik yang benar-benar mirip. Menurut Silvia, ibu mereka,
Indra lahir beberapa menit lebih dulu sebelum Ferry. Semenjak kecil, Ferry dan Indra memperoleh perlakuan yang sama, baju-baju yang sama, mainan yang sama,
makanan yang sama, dan mereka pun masuk TK yang sama.
Guru mereka di TK, para tetangga, bahkan sanak famili, sering kesulitan membedakan keduanya karena kemiripan mereka yang luar biasa. Namun si kembar tak
pernah menyadarinya. Memasuki SD, Indra dan Ferry juga masuk ke sekolah yang sama. Lagi-lagi para guru dan kawan-kawan mereka kesulitan membedakan keduanya. Seiring bertambahnya
usia, Indra dan Ferry tahu mereka memiliki kemiripan fisik yang luar biasa. Dari situlah kemudian dua saudara kembar itu mulai mengenal suatu permainan
yang menurut mereka sangat mengasyikkan; mereka suka bertukar tempat. Pada awalnya hanya permainan yang ringan, semisal ketika diabsen Ferry akan mengacungkan
jarinya ketika nama Indra dipanggil, dan Indra akan mengacungkan jarinya waktu nama Ferry disebutkan. Dan guru mereka tidak pernah mengetahuinya.
Tetapi lama-lama permainan mereka pun meningkat, tidak hanya bertukar tempat saat diabsen dalam kelas. Ketika memasuki SMP, mereka bahkan nekat bertukar
tempat waktu menghadapi ujian untuk pelajaran-pelajaran yang tidak mereka kuasai.
Di SMP, mereka terpisah dalam kelas yang berbeda. Indra di kelas A, sementara Ferry di kelas B. Di sinilah mulai muncul perbedaan, khususnya dalam menguasai
mata pelajaran di sekolah. Indra jago matematika, sementara Ferry kesulitan jika berhadapan dengan pelajaran itu. Ferry sangat disayangi guru bahasanya
karena hebat dalam mengarang, sementara Indra sangat kesulitan menghadapi pelajaran bahasa Indonesia yang menurutnya "terlalu banyak kata-kata".
Di situ pulalah mereka kemudian sering bertukar tempat. Ketika menghadapi ujian matematika, Ferry akan bolos dengan melampirkan surat ijin sakit, sekaligus
permohonan untuk mengikuti ujian susulan. Ketika jadwal ujian susulan diberikan, Indralah yang mengikuti ujian susulan itu, dan menyelesaikan semua soal
ujian dengan mudah dan benar. Ferry pun memperoleh nilai bagus untuk pelajaran yang sama sekali tidak dikuasainya, bahkan yang tidak ia ikuti ujiannya.
Ketika ujian bahasa Indonesia, giliran Indra yang bolos dan mengirimkan surat ijin yang sama. Saat harus menghadapi ujian susulan, Ferry akan menempati
tempat Indra dan menyelesaikan semua soal ujian yang amat dikuasainya. Hebatnya, permainan berisiko tinggi itu tak pernah disadari para gurunya, dan Ferry
maupun Indra selalu tersenyum ketika mendapatkan nilai ujian mereka.
Ketika di SMA, mereka juga bersekolah di SMA yang sama. Sekali lagi kemiripan fisik mereka membuat orang-orang terkecoh, dan sulit membedakan keduanya.
Rizal, kawan dekat Ferry di SMA, sering berseloroh, "Seharusnya di jidat kalian perlu distempel nama masing-masing, agar orang-orang bisa tahu mana yang
Ferry dan mana yang Indra!"
Ferry dan Indra hanya tertawa mendengarnya.
Di SMA mereka dipisah dalam kelas yang berbeda, dengan tujuan agar guru yang mengajar tidak bingung dalam membedakan keduanya. Di SMA pula permainan dua
saudara kembar itu semakin nekat. Mereka tidak lagi cuma bertukar tempat saat menghadapi ujian seperti di SMP, kini mereka bahkan bertukar tempat saat
melakukan pendekatan pada perempuan teman sekolah yang mereka incar.
Dua saudara kembar itu memiliki fisik yang sama-sama rupawan. Tinggi mereka 170 centimeter dengan berat badan proporsional, berkulit kuning bersih, dan
memiliki wajah tampan yang terkesan lembut. Bila tertawa, di wajah mereka muncul kerut-kerut yang membuat mereka tampak kekanak-kanakan. Semua pesona yang
ada itu cukup membuat banyak perempuan di sekolah mereka sering melirik dan mendekati mereka.
Dalam hal mendekati dan menghadapi lawan jenis, kedua saudara kembar itu memiliki perbedaan. Indra lebih percaya diri, sementara Ferry malu-malu. Indra
lebih ekstrover, sementara Ferry lebih romantis. Kalau saja dua kelebihan itu bergabung, ditunjang dengan pesona fisik mereka yang rupawan, bisa dipastikan
semua perempuan akan langsung masuk dalam pelukan mereka. Tetapi alam telah membagi dua kelebihan itu secara adil. Dan Indra serta Ferry pun tahu bagaimana
menggabungkan dua kekuatan itu.
Ketika Ferry naksir seorang perempuan kawan sekolahnya, Ferry meminta Indra yang mendekatinya. Dalam hal pendekatan dengan lawan jenis, Indra jagonya.
Dia tahu bagaimana memperlakukan seorang perempuan dengan cara yang istimewa, dan pendekatan Indra pun selalu sukses. Setelah itu, Ferry tinggal melanjutkan.
Tetapi Indra harus minta tolong Ferry saat akan menulis surat ketika Valentine Day atau ketika pacarnya ulang tahun. Indra mati kutu kalau harus menulis
kata-kata, apalagi yang indah, dan Ferry tahu bagaimana menulis surat yang romantis hingga perempuan yang membacanya merasa baru turun dari langit.
*** Meskipun kemiripan mereka berdua sanggup mengelabui semua kawan, guru, tetangga, famili, bahkan juga kadang ayah mereka, tetapi Ferry dan Indra tak pernah
bisa mengelabui mata ibunya. Semirip apapun Ferry dan Indra berdandan, sepersis apapun keduanya bersikap, ibu mereka tak pernah keliru dan selalu tahu
mana yang Ferry dan mana yang Indra.
Silvia, ibu mereka, telah melihat dan menyaksikan keduanya sejak lahir sampai sebesar sekarang, dan dia telah menghabiskan ratusan malam panjang yang melelahkan
saat mereka masih bayi. Kedekatan yang berlangsung selama bertahun-tahun itu telah memberikan gambaran yang pasti di matanya, lebih-lebih di hatinya, dalam
membedakan keduanya. Tidak ada yang dapat mengelabui mata seorang ibu dalam memandang anak-anaknya.
Terkadang, Indra dan Ferry masih mencoba hal itu pada ibu mereka. Indra yang lebih sering keluar rumah kadang-kadang ditegur ibunya.
"Mau kemana lagi, Ndra" Tadi siang sepulang sekolah kau sudah keluar, sekarang mau keluar lagi, dan pasti pulangnya larut malam," tegur ibunya seperti
biasa jika melihat Indra terus-terusan keluar rumah.
Indra biasanya akan menjawab, "Lho, yang tadi siang keluar itu kan Ferry, Ma, bukan saya."
Ibunya pun tersenyum. "Kau kira bisa membohongi Mama" Mama tahu sejak tadi siang Ferry di rumah, dan kaulah yang keluar."
Sebagai pengusaha batik yang cukup besar, Muladi, ayah mereka, lebih sering berada di pabriknya daripada di rumah. Namun aktivitas di rumah pun sering
harus ikut mengurusi pekerjaan itu. Terkadang ada telepon dari pengusaha rekanan sekota mereka yang meminta kiriman beberapa barang, dan ibu mereka pun
biasanya akan meminta Indra atau Ferry untuk mengantarkannya.
"Fer, antarkan batik ini ke Pak Haji Hamid, ya," begitu biasanya sang ibu akan meminta.
Kalau sedang malas, Ferry akan menjawab, "Giliran Indra dong, Ma. Tadi sore kan saya sudah mengantarkan ke Ibu Ilyas?"
"Lho, yang mengantarkan ke Ibu Ilyas tadi kan Indra?"
Ferry pun akhirnya tahu bahwa meskipun kadang ayahnya bisa dikelabui, ibunya tak pernah bisa dibohongi.
Ketika akhirnya Indra dan Ferry sama-sama menyadari ibu mereka tak akan dapat dikelabui kemiripan mereka, keduanya pun tak pernah mencobanya lagi.
Menjelang akhir SMA, kedua saudara kembar itu semakin menunjukkan pesona fisiknya sebagai lelaki. Keduanya semakin tampan, juga terkesan semakin matang.
Tubuh mereka pun semakin berisi, hanya saja Indra lebih ramping. Tetapi wajah mereka tak pernah berbeda dan kelihatan semakin mirip.
Setelah lulus SMA, Indra kuliah di sebuah Perguruan Tinggi di Jakarta, di kampus yang telah diimpikannya sejak SMA. Sementara Ferry lebih suka tetap tinggal
bersama orang tuanya di kotanya sendiri, Semarang, dan berkuliah di Universitas Nusa Bhakti. Ia masuk Fakultas Pendidikan.?
Di Jakarta, Indra mengambil jurusan teknik, dan mengontrak sebuah rumah sederhana yang ia tempati bersama beberapa kawan sekampusnya. Pembawaannya yang
selalu riang membuat kawan-kawannya menyukainya, dan Indra pun dekat dengan cukup banyak perempuan di kampusnya.
Suatu hari, Elisha, kawan sekampusnya yang terobsesi menjadi artis, mengajak Indra ke tempat audisi sinetron. Elisha mendaftarkan diri untuk mengikuti
kasting, dan akan mengikuti audisinya. Indra yang tertarik dengan acara itu segera menyanggupi ajakan Elisha"dan begitulah awalnya.
Di tempat audisi, siang itu, Indra mendapati banyak perempuan yang mengantri untuk masuk ke ruang kasting. Mereka tampak duduk-duduk dengan gelisah. Ada
yang sedang berbisik-bisik serius dengan temannya, ada pula yang terlihat menangis karena tidak lulus kasting. Orang-orang yang mengantri itu dipanggil
masuk satu persatu berdasarkan nomor urut pendaftaran, dan ratusan perempuan itu tampak tegang dan gelisah menunggu namanya dipanggil. Termasuk Elisha.
Saat duduk menemani Elisha yang sedang menunggu namanya dipanggil, Indra melihat seorang lelaki bertubuh besar keluar dari ruang audisi. Cambang lebat
di wajah orang itu menarik perhatian Indra.
Lelaki itu melangkah melewati Indra, lalu tiba-tiba menengok dan bertanya dengan acuh tak acuh, "Kau juga mau ikut kasting?"
Indra mengira pertanyaan itu ditujukan pada Elisha, dan Elisha pun segera menjawab bahwa dia memang sedang menunggu giliran dipanggil. Tapi orang itu mengibaskan
tangannya dengan tak sabar.
"Bukan kau, Nak!" ujarnya pada Elisha, lalu mengarahkan pandangannya pada Indra. "Maksudku kau."
Indra tergagap. "Ap-apakah ada audisi untuk cowok?"
"Ada, nanti sore." Orang itu memandang Indra dengan serius, kemudian berujar, "Kau mirip sekali dengan sosok yang ada di skenario. Kalau kau berminat,
datanglah nanti sore."
Indra langsung berminat. Elisha mendapatkan panggilan beberapa jam setelah itu, dan dinyatakan tidak lulus. Dengan mata membasah dan wajah penuh kekecewaan, dia mengutuk orang
yang tadi mengkastingnya.
"Pasti ada yang salah dengan matanya," rutuknya kesal. "Aku sudah mencoba semaksimal mungkin, tapi dia terus-menerus teriak kalau aku tidak natural! Hhh,
aku jadi ingin tahu siapa yang akan lulus kasting. Coba, seperti apa nanti aktingnya!"
Indra menghibur Elisha, namun Elisha sudah terlalu kecewa.
"Masih ada lain kali. Kau bisa mencoba lagi," ujar Indra. "Oh ya, sekarang giliranku yang akan ikut kasting. Kau mau menemani?"
"Kau sungguh-sungguh mau ikut kasting itu?" tanya Elisha seperti tak percaya.
"Untung-untungan saja," senyum Indra. "Mumpung ada kesempatan."
Elisha pun menemani Indra. Mereka melangkah ke ruang lain di komplek gedung itu, dan menuju tempat audisi yang telah disediakan.
Di tempat audisi yang ini, jumlah pesertanya tak terlalu banyak seperti di tempat audisi perempuan. Yang datang pun tampak lebih santai dan tidak terlalu
emosional. Ketika masuk ke ruang audisi dan membaca naskah skenario yang harus diperankannya, Indra merasa itu kisah tentang dirinya sendiri. Sosoknya sama dengan
dirinya, dan adegan yang diperankannya pun tak berbeda dengan gaya kesehariannya.
"Sangat natural!" puji orang yang mengkastingnya.
Indra tersenyum lebar ketika diberitahu lulus kasting, dan ia akan membintangi sinetron yang akan diproduksi tersebut.
Indra kemudian tahu lelaki bertubuh besar yang tadi memberitahunya soal kasting ini adalah Bobby, sutradara yang akan menggarap sinetron itu. Orang-orang
yang mengenalnya biasa menyebutnya Big Bobby"mungkin karena tubuh orang itu yang amat besar"sementara para artis yang bekerja dengannya biasa memanggilnya
Bang Bob. Indra pun dipertemukan dengan Bobby setelah audisi itu, dan bersamanya Indra menemui manajer Matra Cinema, rumah produksi yang akan membuat sinetron tersebut.
Dan selanjutnya adalah sejarah.
Sinetron remaja 36 seri berjudul "Karena Aku Mencintaimu" itu sangat sukses saat ditayangkan di televisi. Ratingnya menduduki peringkat atas sebagai sinetron
remaja yang paling banyak ditonton, dan jam tayangnya yang prime time menjaring iklan dalam jumlah luar biasa. Indra yang memerankan tokoh utama dalam
sinetron itu langsung melejit sebagai artis pendatang baru terpopuler, dan anak Semarang yang tak pernah menyangka akan menjadi artis itu pun segera memasuki
kehidupan yang gemerlap. Setelah menyelesaikan sinetron pertamanya yang sukses besar, Indra langsung menandatangani kontrak untuk sinetron lain dengan Matra Cinema.
Merampungkan tiga sinetron membuat nama Indra Gunawan semakin melambung, dan tawaran untuk jadi bintang iklan pun berdatangan. Sebuah perusahaan perbankan
menggunakannya sebagai model iklan untuk menjaring nasabah kaum muda, dan sebuah perusahaan minyak rambut menggunakan dirinya untuk menawarkan produk mereka.
Indra juga membintangi iklan minuman kesehatan, iklan ponsel, dan sebuah produk perawatan wajah untuk laki-laki. Selanjutnya, Indra sudah butuh seorang
manajer pribadi. Di situlah kemudian Indra berkenalan dengan Dimas Suryawinata, seorang manajer muda yang berpengalaman memanajeri beberapa artis yang telah sukses ditanganinya.
Dengan adanya Dimas yang menjadi manajernya, Indra tak perlu repot lagi mengurusi tetek-bengek perjanjian, negosiasi honor, ataupun hal-hal teknis lainnya.
Dimas mengerjakan segala-galanya, sementara Indra hanya perlu syuting dan syuting.
Dimas juga ikut merencanakan bagaimana Indra tampil di hadapan publik, bagaimana menghadapi media, dan bagaimana menjalani kehidupannya sebagai seorang
artis. Dimas yang telah berpengalaman tahu betul bagaimana menjaga popularitas artisnya agar tetap diminati publik. Ketika Indra mulai suka gonta-ganti
pasangan, dari sesama artis sampai yang bukan artis, Dimas hanya tersenyum.
"Biarkan saja media-media itu repot mengulasnya," katanya sambil tertawa ketika Indra meminta pendapatnya. Dimas tahu gosip-gosip ringan semacam itu tak
akan mengancam popularitas artisnya, dan pemberitaan menyangkut hal-hal sepele semacam itu akan menjaga popularitas artisnya agar tetap dikenal publik.
Tetapi Dimas juga memiliki batasan yang pasti untuk artisnya, "Kalau sampai salah satu dari mereka hamil karena kau, aku berhenti jadi manajermu."
Indra tak ingin kehilangan Dimas.
*** Kesuksesan yang diraih Indra juga tak bisa lepas dari peran Bobby. Lelaki bertubuh besar berusia 40 tahun dengan wajah penuh cambang itu adalah sosok sutradara
nyentrik yang jenius. Semua sinetron yang digarapnya hampir bisa dipastikan mencapai sukses besar, meski untuk itu dia harus jadi manusia paling repot
di dunia. Bobby akan masuk ke ruang audisi setiap kali kasting dilakukan, dan benar-benar memperhatikan calon-calon pemain sinetronnya. Sepopuler apapun seorang


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

artis, dia akan menggelengkan kepala jika sosoknya tidak sesuai dengan naskah skenario. Bobby juga sangat serius mempelajari naskah skenario yang disodorkan
kepadanya, dan selalu merasa punya hak untuk memotong dan merevisi bagian-bagian yang ia anggap "tak wajar" meski penulis skenarionya harus melotot dan
kecewa. Di lokasi syuting, Bobby biasa berteriak-teriak dan membentak orang-orang dengan tak sabar jika ada yang tak sesuai dengan keinginannya, dan semua artis
maupun kru yang bekerja dengannya sudah hafal bahwa kerja 24 jam dalam sehari adalah bagian dari gaya hidupnya. Bobby tak pernah punya maaf untuk artis
yang datang terlambat, apapun alasannya. Dan bila si artis mencoba menjawab, Bobby pun akan berteriak, "Loper koran pun akan dimarahi jika terlambat!"
Satu hal yang terasa menjengkelkan bagi kru dan para artis adalah sifat perfeksionis Bobby yang mereka anggap kelewatan. Hanya untuk sebuah adegan sepele
saja, Bobby harus mendapatkan hasil yang sempurna, dan ia tak peduli berapa puluh kali harus take ulang meski si artis dan kru yang membantunya sudah berpeluh
keringat atau kehabisan kesabaran. Dia selalu ingin karya produksinya benar-benar sempurna.
Orang tua Anisa juga selalu menyambut Ferry dengan ramah setiap kali Ferry datang mengunjungi Anisa. Ferry telah menunjukkan keseriusannya dalam menjalin
hubungan dengan putri mereka, dan kedua orang tua Anisa menghargai itu.
Mereka bahkan sangat tersentuh ketika mengetahui besarnya perhatian Ferry kepada Anisa. Sudah beberapa kali Anisa pingsan secara tiba-tiba, dan Anisa pun
menceritakan pada ibunya bagaimana Ferry mengurusi dirinya ketika hal itu terjadi. Kedua orang tua Anisa juga berkali-kali mengucapkan terima kasih ketika
kemarin Ferry membawa putri mereka ke rumah sakit karena pingsan di kampus, dan secara diam-diam membayar seluruh biaya perawatannya.
"Fer," kata Anisa lembut sambil menyentuh tangan Ferry. "Kau melamun?"
Ferry tersentak dan mencoba tersenyum.
"Apa yang kaupikirkan?" tanya Anisa lagi sambil menatap Ferry.
"Tidak apa-apa."
Mereka menikmati minuman di gelasnya masing-masing, dan merasakan keringat keluar dari wajah mereka setelah menikmati soto ayam yang panas dan teh yang
hangat. "Indra belum pulang ke Semarang lagi, Fer?" tanya Anisa yang juga mengenal saudara kembar Ferry.
"Belum," jawab Ferry sambil menyeka wajahnya dengan kertas tisu. "Tapi mungkin tidak lama lagi akan pulang. Kemarin dia nelepon, katanya ingin pulang pas
libur semesteran." "Dia sudah mulai kuliah lagi?"
"Belum, sih. Cuma katanya kalau pas liburan kan aku tidak kuliah, jadi bisa menemaninya di rumah."
"Sampai sekarang pun kalian tetap sangat mirip, Fer." Anisa sudah sering mendengar cerita Ferry tentang dia dan saudara kembarnya yang dulu sering membuat
orang bingung membedakannya, juga seringnya dia disangka Indra. "Setiap kali nonton sinetron Indra, aku selalu merasa sedang melihatmu. Pantas saja kalau
cewek-cewek di rumah sakit juga menyangka begitu."
"Itu benar-benar kutukan buatku," kata Ferry dengan ekspresi yang lucu.
Anisa tertawa. "Hei, disangka artis kan tentu sangat menyenangkan?"
"Kalau satu dua kali sih iya. Tapi kalau terus-menerus, aku merasa kalau lama-lama bakal jadi gila."
Anisa lagi-lagi tertawa melihat ekspresi Ferry. "Kenapa tidak dimanfaatkan saja, Fer?"
"Dimanfaatkan bagaimana?"
"Kalau ada yang menyangkamu Indra, bilang saja iya. Itu kan bisa membuatmu mendapat hal-hal yang tidak mungkin kaudapatkan kalau kau bukan Indra. Hehehe..."
*** Di siang yang sama, Indra tengah terlelap di kamarnya yang nyaman saat ponsel di dekatnya berbunyi dan membangunkan kenikmatan tidurnya. Sisa-sisa kelelahan
yang dirasakannya dari pesta semalam membuatnya ogah-ogahan saat mengambil ponselnya. Ada nama Doni Dugem di layar ponselnya.
"Halo..." sapa Indra dengan suara mengantuk, menyapa Doni di seberang sana.
"Halo, Ndra. Sori, masih tidur ya?" Suara Doni terdengar tanpa rasa bersalah.
"Iya..." jawab Indra dengan suara masih mengantuk.
"Kau tidak ada syuting?"
"Lagi break. Ada peralatan rusak."
"Bagus! Nanti malam Viona mau bikin pesta di..."
"Sepertinya aku tidak bisa, Don," potong Indra.
"Kau ada acara?"
"Aku capek sekali."
"Hei, acaranya nanti malam, bukan sekarang. Kau masih bisa istirahat sampai nanti sore dan..."
"Oke, oke." Indra kembali memotong dengan tak sabar. "Nanti hubungi aku lagi. Aku masih ngantuk sekali nih."
Doni pun mematikan ponselnya.
Indra menggeliat, meregangkan tubuhnya yang masih terasa lelah. Kemudian ia bangkit dari tempat tidur dengan mata yang masih mengantuk. Dilihatnya jam
di dinding kamarnya. Pukul satu. Itu berarti dia telah tidur lima jam.
Sebenarnya, Indra tak berminat dengan pesta yang ditawarkan Doni tadi bukan hanya karena tubuhnya yang capek, tapi lebih karena jenuh dengan segala macam
pesta yang biasa diikutinya itu. Pesta semalam suntuk. Mabuk. Dansa. Menghabiskan malam. Pada awalnya Indra memang menikmati acara-acara semacam itu, tapi
lama-lama dia merasa jenuh dan mulai bosan. Berkumpul dan berpesta bersama artis-artis yang lain pada mulanya memang terasa menyenangkan, tapi lama-lama
hanya terasa menjadi rutinitas yang membosankan.
Doni, yang tadi menelepon, juga artis sinetron seperti dirinya, pecandu dugem nomor wahid di lingkungan pergaulannya, hingga teman-teman mereka menjulukinya
"Doni Dugem". Doni tahu siapa saja yang tengah mengadakan pesta, dan dia tak pernah absen di sana. Doni hafal nama diskotik yang dapat memuaskan kesenangannya,
dan dia bersama kawan-kawannya pun sering menghabiskan malam di sana. Karena Doni pulalah Indra kemudian terseret dalam gelombang pesta yang tak pernah
berakhir, samudera dugem yang tak bertepi.
Indra sendiri heran melihat Doni. Bagaimana dia tak pernah merasa bosan dengan kehidupan semacam itu" Doni seperti kuda liar yang tak pernah letih. Dari
pagi sampai sore berada di lokasi syuting, lalu dari sore sampai pagi lagi ada di pesta atau di diskotik. Kapan dia tidur"
Indra sedang beranjak ke kamar mandi ketika ponselnya kembali berbunyi. Kali ini dari Dimas, manajernya.
"Halo, Dim?" sapa Indra.
"Ndra, barusan Bobby nelepon. Break dibatalkan," kata Dimas di ponselnya. "Sore nanti syuting kembali dimulai karena peralatannya sudah selesai diperbaiki."
Oh sialan, batin Indra. Padahal dia ingin beristirahat dengan tenang nanti malam.
"Dim, bisakah kau mengusahakan agar aku absen untuk hari ini saja?"
"Ndra, kau tahu sendiri bagaimana Bobby. Dia merasa kalau dirinya... hm, yang maha kuasa. Kalau kau sampai tidak datang, dia akan menganggap itu pembangkangan
yang tak berampun." Mau tak mau Indra tertawa mendengar istilah Dimas untuk Bobby. Sutradara yang satu itu memang begitu.
"Baiklah, aku datang," ujar Indra akhirnya. Lebih baik syuting daripada ikut pestanya Doni lagi, pikirnya.
"Bagus," kata Dimas sebelum memutuskan hubungan.
*** Dua jam kemudian, saat Indra baru saja mandi dan sedang menikmati makan siang, Doni kembali menelepon.
"Bagaimana, Ndra" Bisa, kan, ikut nanti malam?"
Indra memaki dalam hati. Ampun nih orang, yang ada di kepalanya cuma pesta saja! "Break dibatalkan, Don," jawab Indra kemudian. "Bobby tadi sudah manggil
aku." "Yaah, sekali-sekali absen kan tidak apa-apa," kata Doni kecewa.
"Itu sama saja menyerahkan leherku untuk dipotong Bobby!"
Doni tertawa. "Ndra, pasti ada yang salah dengan otak Bang Bob itu. Dia...dia seperti...yang maha kuasa!"
"Hahahaha..." Indra tak bisa menahan tawa mendengar Doni menyebut istilah yang sama dengan Dimas untuk Bobby. "Dia orang yang istimewa, Don."
"Juga mengerikan!" sahut Doni yang juga sudah beberapa kali bekerja di bawah arahan sutradara itu.
"Tapi aku senang bekerja dengannya, Don," kata Indra lagi.
"Semoga saja kau panjang umur," jawab Doni sambil tertawa kecil. "Jadi, kau tidak bisa ikutan nanti malam?"
"Sori, deh. Aku lebih baik menentang perintahmu daripada menentang kehendak yang maha kuasa, kan?"
"Hahaha, baiklah kalau begitu."
"Sampaikan salamku untuk teman-teman," kata Indra sebelum mematikan ponselnya.
*** Di waktu yang sama, Bobby sedang mengerutkan kening di ruang kerjanya sambil memegangi selembar kertas memo dari bosnya. Memo itu baru saja disampaikan
oleh manajer Matra Cinema yang berbisik, "Dari Bos."
Memo itu berisi permintaan agar Bobby memasukkan seorang perempuan bernama Cintya ke dalam sinetron yang nanti sore akan syuting, dan perempuan itu akan
datang ke lokasi syuting sore ini juga. Bobby mengusap dahinya yang lebar dan memaki kesal dalam hati. Dia memang tengah menggarap sinetron baru.
Tetapi sinetron ini sudah fixed, dan seluruh karakter tokoh pemerannya telah terisi. Kalau harus memasukkan satu orang lagi, dia akan memerankan apa" Lebih
dari itu, siapa perempuan ini hingga bosnya harus menulis memo secara langsung dan meminta untuk memasukkannya"
Sekali lagi Bobby memaki dalam hati. Ini bukan pertama kali produsernya meminta hal yang aneh seperti ini. Sejauh yang dapat ia ingat, pemilik PH-nya itu
telah empat kali mengirim memo yang sama dengan permintaan yang sama. Dan sialnya, perempuan-perempuan yang disodorkan kepadanya selalu saja tak memenuhi
syarat untuk bisa masuk dalam sinetron garapannya.
Dua kali Bobby hanya diam dan memenuhi permintaan itu, dan dengan hati amat terpaksa memasukkan perempuan yang disodorkan kepadanya untuk memerankan salah
satu karakter dalam sinetronnya, meski untuk itu ia harus menambahi satu tokoh lagi"tokoh yang sama sekali tidak penting. Tetapi ketika ketiga kalinya
produsernya meminta permintaan yang sama, Bobby tak kuat lagi.
Dia mencoba menemui sang produser, tapi orang itu tak pernah ada di kantornya. Sekretarisnya mengatakan ia sedang keluar, tengah rapat, tak bisa diganggu,
dan lain-lain. Sekali lagi Bobby mengalah dan memasukkan perempuan entah siapa itu ke dalam sinetronnya, dan dia pun harus menyabar-nyabarkan dirinya menghadapi
sosok yang sama sekali tak tahu bagaimana berakting tapi ngotot ingin jadi artis.
Sekarang untuk keempat kalinya dia diminta hal yang sama"memasukkan seorang perempuan lagi entah siapa untuk dapat berperan dalam sinetronnya. Bobby merasakan
darahnya bergolak. Ia tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Sebagai orang yang telah bergelut dengan dunia artis selama bertahun-tahun, Bobby menyadari
apa yang telah dilakukan perempuan-perempuan yang ngotot ingin jadi artis itu hingga bisa memaksa produsernya untuk memenuhi keinginan mereka main sinetron.
Sekali lagi Bobby memandangi kertas memo itu, dan sekali lagi merasakan darahnya bergolak. Idealismenya terasa memberontak, dan pekerjaannya sebagai sutradara
terasa dilecehkan. Dia harus menemui produsernya. Dia harus menemui produser itu untuk mengatakan keberatannya, agar orang itu tahu bahwa ia tak bisa dipaksa
seperti ini. Cintya" Siapa itu Cintya"
Bobby pun beranjak bangkit dari kursinya untuk menuju ruangan kantor Hasnan Wibowo.
*** Produser Matra Cinema itu tengah menerima telepon ketika sekretarisnya membuka pintu kantornya dan berkata pelan, "Bang Bob ingin bertemu, Pak."
Hasnan Wibowo mengangguk. "Suruh dia menunggu sebentar."
Si sekretaris berlalu, dan lelaki setengah baya itu pun kembali melanjutkan pembicaraannya di telepon, "Pokoknya kau datang saja nanti sore. Sutradaranya
sudah tahu kau akan datang."
"Terima kasih, Om," kata suara di seberang sana. "Saya pasti akan datang. Sudah lama saya menantikan saat seperti ini."
"Dan kau layak menerimanya, Cintya."
Beberapa kata lagi, dan kemudian telepon diletakkan.
Pintu kantornya terbuka, dan Bobby tampak masuk sambil memegang memo yang baru saja diantarkan untuknya. Hasnan Wibowo sudah tahu maksud kedatangan sutradaranya
itu. Bobby duduk di hadapan sang produser, dipisahkan sebuah meja kayu jati berukuran besar, dan kemudian meletakkan memo itu di atas meja.
"Saya tidak memahami ini, Bos," kata Bobby langsung.
"Itu hanya permintaan biasa, Bob. Kau sudah menerimanya sebelum ini." Hasnan Wibowo menjawab dengan tenang.
"Tapi saya tidak mengenal siapa orang ini."
"Nanti sore kau akan mengenalnya. Dia akan datang ke lokasi syuting."
Bobby menghela napas. "Bos, semua tokoh dalam sinetron ini telah terisi, dan saya merasa tak bisa menambahkan satu orang lagi..."
"Kau tak perlu melakukannya, Bob," jawab Hasnan Wibowo dengan santai. "Penulis skenarionya yang akan menambahkan satu tokoh lagi ke dalam cerita."
"Tapi, Bos," Bobby masih bertahan, "sinetron ini sudah fixed. Perombakan sekecil apapun akan mengganggu jalannya produksi."
Hasnan Wibowo tersenyum. "Kau sudah lupa kalau aku produsernya?"
Bobby tahu hal itu akan menjadi kartu as bagi produsernya untuk menghentikan perdebatan ini. Dia produsernya. Dia yang membiayai produksi sinetron ini.
Dia yang menggajinya. Dia yang berhak menentukan apakah sesuatu layak atau tidak untuk sinetron yang dibiayainya. Bobby pun merasa kinilah saatnya harus
masuk pada persoalan intinya.
"Bos, saya sama sekali tidak tahu siapa Cintya ini. Dia bukan artis. Dia juga tidak ikut kasting. Saya tentu tak bisa begitu saja memasukkannya dalam sinteron
ini dan..." "Kau sudah pernah melakukannya, Bob," potong Hasnan Wibowo dengan tenang.
"Ya, dan saya harus kerepotan setengah mati mengarahkannya," desah Bobby menahan kejengkelannya. "Ada banyak orang yang ikut kasting untuk sinetron ini,
dan sebagian besar dari mereka gagal. Bagaimana saya harus memasukkan orang ini?"
Hasnan Wibowo menempatkan kedua tangannya di atas meja dan menatap Bobby, lalu berkata perlahan, "Aku yakin kau pasti bisa melakukannya, Bob. Ini hanya
soal biasa." Bobby terdiam, merasa tak punya argumentasi lagi untuk membantahnya.
Sore harinya, saat keluar dari mobil dan sedang melangkah ke lokasi syuting, Indra mendengar Bobby sedang marah-marah pada seseorang. Indra sudah tak asing
lagi dengan pemandangan seperti itu. Selalu ada kemarahan. Selalu terdengar bentakan tak sabar. Dan orang-orang yang bekerja dengan Bobby pun sudah terbiasa
dengan hal itu. Tapi perempuan yang sekarang sedang dibentak-bentak sutradara itu sepertinya bukan orang yang biasa. Ia tampak sangat gugup dan salah tingkah. Semakin
mendekat ke lokasi syuting, Indra semakin jelas melihat perempuan itu, dan dia mengerutkan keningnya karena baru melihatnya.
"Siapa?" bisik Indra pada Geovanni, salah satu artis pendukung sinetron yang tengah syuting ini.
Geovanni hanya mengangkat bahu, dan kembali menekuri naskah skenario di tangannya.
Indra beranjak dan melangkah ke tempat juru rias yang telah menunggunya.
"Kau bukan bicara dengan hantu, Nak, kau sedang bicara dengan sesamamu. Bicaralah dengan wajar!" teriak Bobby pada perempuan itu, yang sayup-sayup didengar
Indra dari tempatnya. Indra duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan bersiap untuk make up.
"Siapa tuh, Le?" tanya Indra pada Leo, juru riasnya.
"Tahu tuh, Ndra. Ike juga baru lihat," jawab Leo dengan gayanya yang kemayu. "Dengar-dengar sih namanya Cintya."
"Kenapa Bang Bob sampai hampir meledak seperti itu?"
"Ya biasalah Bang Bob. Banyak petasan dalam perutnya."
Indra tertawa. Sambil duduk santai, Indra memandang ke arah lokasi syuting dan melihat perempuan tadi tampak semakin gugup dan salah tingkah. Berkali-kali
re-take. Berkali-kali adegan diulang. Berkali-kali Bobby berteriak tidak sabar. Berkali-kali terdengar bentakan.
Kru yang membantu syuting adegan itu terlihat makin gelisah, dan perempuan itu makin tampak salah tingkah. Bobby makin meledak.
"Sejak awal aku sudah tahu kalau kau memang idiot, Nak!" Sayup-sayup suara Bobby yang kasar terdengar dari tempat Indra.
Dan perempuan itu kini menangis.
*** Anisa melangkah seorang diri memasuki gedung rektorat kampusnya, sambil dalam hati berharap langkahnya tak terpergok Ferry. Apa yang akan dilakukannya
ini benar-benar berat, namun dia harus melakukannya. Anisa pun tahu, kalau Ferry sampai mengetahui hal ini, dia pasti akan mencegahnya. Ini bukan yang
pertama kalinya. Ini kedua kalinya Anisa merasa berdebar-debar saat akan menemui Purek III (Pembantu Rektor yang bertugas mengurusi masalah kemahasiswaan),
untuk kembali mengajukan pinjaman beasiswa karena tak punya uang lagi untuk membayar biaya semesterannya.
Beasiswa pinjaman atau pinjaman beasiswa adalah istilah untuk sejumlah uang yang dipinjamkan kepada mahasiswa-mahasiswa tertentu yang kesulitan membayar
biaya SPP dalam satu semester"suatu pinjaman tanpa bunga"dan pinjaman itu biasanya sudah harus dikembalikan dalam waktu maksimal dua semester mendatang.
Semester yang lalu, saat memasuki semester tujuh, Anisa telah mengajukan pinjaman untuk membayar SPP-nya karena uang tabungannya telah habis untuk membantu
ibunya yang waktu itu jatuh sakit.
Pinjaman semester yang lalu itu belum dapat dikembalikannya, dan sekarang ia harus mengajukan pinjaman kembali karena sekali lagi jumlah tabungannya tak
mencukupi untuk membayar biaya SPP semester ini. Gajinya sebagai karyawan dealer ponsel bulan ini sudah habis digunakan untuk menebus obat saat ia baru
keluar dari rumah sakit kemarin.
Anisa menaiki anak tangga gedung rektorat, dan perasaannya semakin berdebar-debar. Selalu saja begini. Tidak ada orang yang bisa merasa santai ketika akan
berhutang, sementara hutang sebelumnya belum dibayar.
"Hei, Nis," seseorang menyapanya dari arah berlawanan.
Anisa tersenyum pada Lilik. "Lik, dari mana?"
"Barusan ke Purek Tiga. Biasalah," kata Lilik sambil mengedipkan matanya. "Kau?"
"Aku juga mau kesana. Bagaimana, berhasil?"
"Iya sih, cuma harus ribut dulu. Pak Mirwan sepertinya lagi bad mood, tuh."
Pak Mirwan adalah pejabat Purek III, dan orang ini merupakan sosok yang paling dibenci sekaligus dibutuhkan para mahasiswa. Dibenci, karena Pak Mirwan
selalu punya sejuta alasan untuk menolak permintaan mahasiswa apabila menyangkut dana. Jika mahasiswa memiliki suatu agenda acara atau kegiatan yang membutuhkan
tunjangan dana dari universitas, Pak Mirwan akan mengajukan sederet alasan mengapa dana yang diminta tak bisa keluar, atau sejumlah alasan yang terkesan
akademis mengapa acara itu sebaiknya dibatalkan saja.
Tetapi sosok itu juga amat dibutuhkan para mahasiswa karena seluruh lini kegiatan dan urusan menyangkut kemahasiswaan harus melalui orang ini. Kepada orang
ini pulalah Anisa akan menemui, untuk mengajukan permohonan hutangnya yang kedua.
"Yuk, Nis, aku jalan dulu. Semoga kau juga berhasil," pamit Lilik meninggalkan Anisa.
Anisa pun melambaikan tangannya dan meneruskan menaiki anak tangga hingga sampai ke lantai dua.
*** Di lorong depan kelas, Ferry mondar-mandir dengan gelisah. Rizal yang melihatnya segara menghampiri.
"Mencari siapa, Fer?" tanya Rizal. "Sepertinya gelisah sekali?"
"Anisa," jawab Ferry. "Kau melihatnya?"
Rizal mengangkat bahu. Ferry menjelaskan, "Tadi kami sudah janjian ke bank bersama untuk bayar SPP. Tapi sekarang dia malah menghilang."
"Kenapa tidak dihubungi saja ponselnya?" tanya Rizal.
"Sudah. Tapi tidak aktif."
Rizal mengerutkan keningnya. "Jangan-jangan dia pingsan lagi, Fer."
"Itulah, aku juga khawatir begitu."
Ferry kemudian berlalu meninggalkan Rizal dan terus mencari Anisa. Dari arah depannya, tampak Wawan berlari-lari kecil menuju ke arahnya.
"Fer, dugaan kita benar. Kita kena masalah!" kata Wawan dengan terengah-engah. "Rektorat tidak terima dengan laporan majalah kita."
Ferry menghela napas. Ia sudah menduga hal itu.
Wawan melanjutkan, "Barusan asistennya menghubungiku dan meminta agar kau, aku, dan juga Sofyan serta Neni menemuinya. Katanya dia perlu klarifikasi."
"Istilahnya selalu klarifikasi, kan" Tapi kenyataannya selalu intimidasi," ujar Ferry dengan muka masam.
"Nah, apa yang harus kita lakukan sekarang" Katanya kita sudah ditunggu di kantor Purek Tiga."
Ferry memutuskan, "Sebaiknya kita kumpul dulu di kantor UKM untuk brifing dengan teman-teman."
"Baiklah." Wawan mengangguk. "Aku akan menemui yang lain. Dan kau?"
Ferry jadi serba salah. "Sebenarnya aku sedang mencari pacarku. Kami mau bayar SPP ke bank, tapi sekarang dia malah menghilang."
"Ya sudahlah kalau begitu." Wawan menepuk pundak Ferry. "Secepatnya nanti kau menyusul ke kantor UKM, ya."
Ferry mengangguk, kemudian Wawan pun berlalu.
Di kampusnya, Wawan dan juga Ferry aktif dalam UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan bergabung dengan penerbitan majalah kampus mereka, NURANI. Di penerbitan
majalah inilah, Ferry menemukan dunianya"suatu dunia yang amat disukainya"dan kecintaannya pada tulis-menulis seperti memperoleh tempat yang layak.
Pada awal masuk ke NURANI ketika semester satu, Ferry hanya menjadi reporter yang meliput seluruh kegiatan kemahasiswaan yang kemudian ditulisnya untuk
majalah itu. Seiring dengan bergantinya semester, jabatan Ferry pun terus naik, dan sekarang dia menjadi Pimpinan Umum, sementara Wawan menduduki jabatan
Pimpinan Redaksi. Sofyan dan Neni yang tadi juga disebut-sebut Wawan adalah dua mahasiswa lain dalam UKM itu yang ikut bergabung menulis berita yang sekarang
jadi masalah itu. Dalam edisi terbarunya semester ini, majalah NURANI menurunkan berita utama menyangkut dugaan adanya praktik suap dan korupsi berkaitan dengan pembangunan
gedung-gedung baru di komplek kampus. Sebagai Perguruan Tinggi Negeri, kampus mereka memperoleh dana bantuan yang sangat besar dari pemerintah untuk membangun
gedung-gedung baru di tanah milik yang cukup luas untuk memperlancar kegiatan belajar dan mengajar. Dan pembangunan itu pun telah dimulai sekitar tiga
bulan yang lalu. Pada awalnya muncul bisik-bisik yang tak enak di kalangan beberapa dosen yang merasa iri melihat dosen lain yang "kecipratan" rejeki nomplok dari proyek
pembangunan gedung-gedung baru tersebut. Bisik-bisik itu kemudian sampai ke telinga para reporter NURANI, dan mereka menindaklanjutinya. Investigasi anak-anak
pers yang idealis itu kemudian menemukan sejumlah bukti ketidakberesan yang cukup mencengangkan menyangkut pembangunan gedung-gedung baru itu.
Proyek pembangunan itu ditenderkan secara tertutup, dan kontraktor yang memenangkan tender senilai milyaran rupiah itu ternyata perusahaan kontraktor yang
dimiliki Pak Hamid, salah satu pejabat di kampus mereka. Ketika anak-anak pers itu mencoba menghubungi pejabat tersebut, dia sulit ditemui. Lalu saat dihubungi
melalui telepon, dia malah menjawab dengan pongah, "Itu bukan urusan kalian!"
Lalu anak-anak pers yang tak kenal takut itu pun menelusuri jalan lain"menemui beberapa kontraktor lain yang juga ikut dalam tender itu. Jawaban dari mereka
lebih mengejutkan, "Kami telah mengajukan tawaran harga yang lebih rendah dengan kualitas bangunan yang sama, tapi kami malah tersingkir!"
Kontraktor-kontraktor berikutnya yang dihubungi juga memberikan jawaban yang tak jauh berbeda.
Anak-anak pers itu kemudian tahu bahwa tentunya kemenangan yang diperoleh kontraktor milik pejabat kampus itu bukan kemenangan murni. Pasti ada ketidakberesan"sejumlah
suap dan setumpuk uang sogokan yang mengalir kemana-mana. Dan uang yang tengah dipertaruhkan sebagai harga proyek itu bernilai milyaran rupiah.
Maka tim liputan pun diturunkan, dan anak-anak itu menelusup kesana-kemari, mengendus setiap fakta dan informasi yang bisa diangkat untuk mengukuhkan dugaan
mereka, melengkapi berita yang akan mereka turunkan. Selama dua bulan bekerja keras mengumpulkan data dan fakta serta sederet angka-angka, anak-anak itu
pun telah mengumpulkan setumpuk berkas yang amat berbahaya. Ferry dan Wawan yang sampai begadang beberapa hari sebelum tanggal deadline, merasa gairahnya
berkobar-kobar saat mempelajari kumpulan berkas itu. Ini benar-benar berita besar!
Maka laporan berita pun disusun, kutipan-kutipan dari narasumber diselipkan, dan beberapa bukti dipaparkan. Laporan sejumlah sebelas halaman di majalah
kampus mereka itu menjadi headline, dan ketika diterbitkan pada akhir semester majalah edisi itu segera menjadi bom yang teramat keras mengguncang seisi
kampus. Para mahasiswa tercengang, para dosen kebakaran jenggot, dan beberapa pejabat yang merasa terlibat langsung raib dari kampus. Buntutnya, Ferry
dan kawan-kawannya dipanggil Purek III untuk apa yang disebutnya sebagai "klarifikasi".
Ferry dan yang lain memahami bahwa Purek III hanya bumper yang diperintahkan untuk menghadapi dan menghalau mereka. Pasti telah ada rapat-rapat tertentu
yang kemudian mengambil keputusan untuk menekan Purek III dan memerintahkannya untuk menekan anak-anak yang "terlalu nakal" itu.
Tetapi apapun yang terjadi, Ferry dan kawan-kawannya telah siap menghadapi. Mereka hanya mengungkapkan fakta. Keberadaan pers serta majalah di kampus mereka
pun berfungsi untuk hal-hal semacam itu. Jika majalah ini dicoba untuk dibungkam, maka mereka pun telah bertekad untuk melawan.
Di ruang kantor Purek III, Pak Mirwan sedang duduk dengan wajah masam menghadapi satu lagi mahasiswanya yang mengajukan permohonan pinjaman beasiswa. Setiap
kali menjelang waktu pembayaran SPP seperti sekarang ini, kantornya pasti akan penuh dengan antrian para mahasiswa yang akan mengajukan pinjaman.
Kebijakan kampusnya memang telah menganggarkan sejumlah dana untuk hal itu, namun Pak Mirwan harus menyelidiki terlebih dulu latar belakang si mahasiswa
bersangkutan agar pinjaman itu benar-benar diperoleh orang yang benar-benar membutuhkan. Dan itu tentu butuh proses, butuh kerja keras mengaduk-aduk arsip
di kantor TU (Tata Usaha) dan juga tentunya membutuhkan waktu yang lama. Pekerjaannya sebagai Purek jadi bertambah. Tapi para mahasiswa itu seolah tak
mau tahu dan mereka datang seperti anak datang pada bapaknya, dan nagih uang, dan langsung minta diberi kontan. Memangnya kampus ini milik mereka"
Pak Mirwan juga harus sering bersitegang dengan beberapa aktivis mahasiswa yang nakal. Mereka mengajukan pinjaman beasiswa, namun seolah lupa kalau mereka
masih punya hutang di semester sebelumnya, dan kemudian tanpa dosa mengajukan pinjaman kembali. Permintaan itu jelas-jelas tak dapat dikabulkan, tetapi
para aktivis yang nakal itu tahu bagaimana memperoleh keinginannya.
Mereka akan mengatakan sesuatu, seolah-olah tidak penting, bahwa tak lama lagi segerombolan aktivis kampus akan melakukan demo terhadap rektorat atas beberapa


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hal menyangkut kebijakannya. Itu jelas membuat Pak Mirwan jadi kalang-kabut. Salah satu hal yang pasti membuatnya disemprot habis-habisan oleh atasannya
adalah jika sampai terjadi demo mahasiswa terhadap rektorat, dan salah satu hal yang selalu ditekankan atasannya adalah agar dia selalu dapat "mengendalikan"
mahasiswa di kampus mereka. Karena itulah kemudian Pak Mirwan dengan berat hati harus merelakan dana pinjaman beasiswa yang seharusnya "dikendalikan" itu
mengalir ke kantong para aktivis itu demi menjaga agar mereka tidak ngamuk, tidak mendemo rektorat.
Dan sekarang seorang mahasiswi yang kelihatannya bukan aktivis telah duduk di hadapannya. Dia mengajukan surat permohonan pinjaman seperti yang telah diduganya.
Pak Mirwan mempelajari surat itu, mengecek namanya di arsip TU, dan kemudian tahu kalau si mahasiswi yang bernama Anisa entah siapa ini telah mengajukan
pinjaman pada semester yang lalu dan belum dilunasi. Sekarang mahasiswi ini datang lagi, duduk di hadapannya untuk mengajukan pinjaman lagi. Pak Mirwan
pun tahu satu jawaban yang pasti; menolaknya.
"Anda telah mengajukan pinjaman pada semester yang lalu," kata Pak Mirwan pada Anisa yang masih menatap dengan pandangan berharap.
"Saya tahu, Pak Mirwan. Saya belum melunasi pinjaman yang kemarin. Tapi saya sangat membutuhkan pinjaman itu, karena saya tak punya dana untuk membayar
SPP semester ini." Anisa menjelaskan dengan suara memohon.
Pak Mirwan hanya diam, memandangi surat permohonan Anisa di atas meja.
Karena tidak memperoleh tanggapan, Anisa pun melanjutkan, "Saya berjanji akan secepatnya melunasi dua pinjaman ini sekaligus, dan..."
"Anisa," kata Pak Mirwan tiba-tiba. "Anda tentu tahu kalau peraturan mengenai pinjaman beasiswa ini menyebutkan bahwa setiap mahasiswa tidak bisa mengajukan
pinjaman kembali, sebelum melunasi pinjaman sebelumnya. Dan setiap pinjaman harus dikembalikan selambat-lambatnya dua semester sejak waktu peminjaman."
Anisa mengangguk. "Saya tahu, Pak."
"Jadi maafkan saya kalau tidak bisa mengabulkan surat permohonan ini." Pak Mirwan mengetuk-ngetukkan jarinya pada kertas surat itu.
Anisa tertunduk, memandangi surat permohonannya yang tergeletak di atas meja di depannya, di bawah ketukan jari Pak Mirwan.
"Pak Mirwan," kata Anisa kemudian, "apakah tidak ada semacam kebijakan tertentu untuk orang yang benar-benar membutuhkan pinjaman itu" Saya...saya sangat
membutuhkannya..." Pak Mirwan menatap Anisa, kemudian mengajukan khotbahnya yang biasa, yang telah ia hafal di luar kepala dalam menghadapi setiap mahasiswa.
"Anisa," katanya memulai, "Anda berurusan dengan birokrasi. Dan birokrasi kampus kita ini telah memberikan kelonggaran serta kebijakan untuk menyediakan
pinjaman seperti yang telah Anda nikmati. Tetapi birokrasi ini juga memberikan peraturan serta batasan yang pasti menyangkut kelonggaran serta kebijakan
itu. Uang yang disediakan untuk pinjaman ini bukan milik orang-perorang, tapi milik negara. Ini uang pemerintah yang disediakan dengan seperangkat aturan,
dan kami para pelaksananya tidak berani melanggar peraturan itu."
Anisa memahami hal itu. Anisa pun mengetahui bahwa di antara semua kampus yang ada di kotanya, hanya kampus-kampus negeri seperti kampusnya yang menyediakan
beasiswa pinjaman seperti itu. Tetapi Anisa benar-benar membutuhkan dana pinjaman itu untuk membayar SPP semester ini, untuk melanjutkan kuliahnya, karena
tabungannya telah habis dan gajinya tak mencukupi.
"Jadi, apa yang sebaiknya saya lakukan, Pak?" tanya Anisa kemudian dengan harapan yang semakin terasa pupus.
Pak Mirwan sudah mempersiapkan jawabannya, "Seperti yang sudah diatur oleh kebijakan kampus kita, Anda bisa mengajukan surat cuti kuliah untuk semester
ini." Anisa pun lunglai. Kepalanya terasa berat. Meskipun kenyataan semacam itu sudah diperkirakannya sejak semula, tapi ia tetap merasa shock saat menghadapinya.
Cuti. Ya, itu yang memang harus dilakukannya jika tak mampu membayar SPP semester ini. Tidak usah pusing. Tidak usah repot. Buat saja surat pengajuan cuti
untuk satu semester. Kemudian Rektor melalui petugas di akademik akan mengesahkannya. Dan kemudian selesai.
Tetapi Anisa tahu bahwa cuti akan memperlama waktu kuliahnya. Lebih dari itu, ia sama sekali tak punya rencana apa-apa untuk mengisi waktu kosongnya jika
harus cuti. Waktunya akan terbuang sia-sia, sementara dirinya menginginkan segera lulus kuliah, kemudian menggunakan ijazahnya untuk melamar pekerjaan
yang lebih baik dari pekerjaannya yang sekarang, untuk bisa membantu orang tuanya, membiayai sekolah adik-adiknya.
Cuti" Itu sama saja dengan memperlama siksaan di hatinya sendiri. Tetapi, seperti yang dikatakan Pak Mirwan tadi, dia sedang berhadapan dengan birokrasi.
Dan jika kita berurusan dengan birokrasi, maka yang dipakai adalah aturan birokrasi dan bukan aturan kita. Jika kita berperang melawan birokrasi, maka
birokrasilah yang akan menang.
Apa yang kini harus dilakukannya" Anisa memang sempat terpikir untuk menjual ponselnya. Itu urusan yang cukup mudah. Ia tinggal menaruhnya di dealer ponsel
tempatnya bekerja, dan kemudian akan ada orang yang melihat, menawarnya dan membayarnya. Tapi ponsel yang dimilikinya ponsel murahan, dan harga jualnya
pasti tetap tak akan cukup untuk membayar biaya SPP-nya. Anisa merasakan kepalanya bertambah berat.
Akhirnya Anisa pun mengambil kembali surat permohonannya di atas meja, melipat kertas itu seperti semula, memasukkan kembali ke dalam amplopnya, kemudian
mohon diri pada Pak Mirwan. Kepalanya semakin terasa berat.
Di depan kantor Pak Mirwan, Anisa melihat dua orang mahasiswa dan satu mahasiswi yang tampaknya juga akan mengajukan permohonan yang sama seperti dirinya.
Anisa menyapa mereka sejenak, kemudian melangkah dengan gontai menuju tangga untuk turun ke lantai dua. Ada banyak hal yang harus dipikirkannya, dan yang
kini tengah dipikirkannya.
Semakin ia melangkah, Anisa merasakan kepalanya semakin berat. Pandangannya mulai kabur dan seluruh ruangan seperti tampak berputar-putar. Tanpa terasa
jari-jari tangannya meremas amplop surat permohonan yang ada di tangannya dengan erat untuk menjaga kekuatannya agar tetap bisa menapak lantai, sementara
kakinya melangkah dengan lunglai.
Di bibir tangga, Anisa tak berani menggerakkan kakinya lagi. Undakan-undakan tangga yang menurun itu tampak buram dalam pandangan matanya, dan Anisa pun
kemudian jatuh terduduk dengan sebelah tangan memegangi kepalanya. Sebelah tangannya yang lain terkulai memegangi amplop surat permohonan pinjaman beasiswa...
Di ruang kantornya, Pak Mirwan membentak seorang mahasiswa yang menerobos masuk ke dalam ruang kantornya. Dari pagi tadi sampai siang ini pikirannya terasa
tercabik-cabik. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di ruang kantornya, sudah ada banyak mahasiswa yang menunggu berurusan dengannya, sementara Pak Handoko"rektor
universitasnya"sudah berkali-kali menanyakan kepadanya mengenai urusan dengan redaksi majalah kampus yang bikin pusing itu.
Pak Mirwan benar-benar mengutuk bocah-bocah nakal yang menulis laporan dalam majalah itu. Ia juga telah membaca isi laporan itu, dan tahu betul bagaimana
reaksi pihak rektorat. Sialnya, dia yang kini menjadi ujung tombak untuk menyelesaikan kasus itu karena berkaitan dengan mahasiswa yang menjadi salah satu
tanggung jawab tugasnya. Pak Mirwan sudah memerintahkan asistennya untuk memanggil mahasiswa-mahasiswa yang mengurusi penerbitan majalah kampus itu, namun sampai sekarang mereka
belum muncul juga. Sekarang kepalanya sudah hampir pecah setelah barusan sang rektor kembali menanyakan hal itu, sementara seorang mahasiswa yang tak tahu
diri menyelonong masuk ke ruang kantornya.
"Tunggu sampai saya panggil!" ucap Pak Mirwan dengan galak pada mahasiswa itu, sementara yang dibentak cengar-cengir salah tingkah.
Setelah mahasiswa itu pergi, Pak Mirwan kembali menghubungi asistennya melalui telepon di mejanya.
"Pak Agung, Anda sudah hubungi para mahasiswa yang saya minta tadi, kan?" tanyanya di pesawat telepon.
"Sudah, Pak," jawab si asisten di ruang kantornya, di lantai dua. "Mungkin sebentar lagi mereka sampai. Apa saya perlu menghubungi mereka kembali?"
"Minta secepatnya mereka kemari. Saya ingin urusan ini cepat selesai."
"Baik, Pak." Setelah meletakkan teleponnya, Pak Mirwan pun memanggil mahasiswa yang menyelonong tadi. Tapi baru mahasiswa itu duduk dan belum sempat mengatakan apa-apa,
telepon di mejanya berdering.
Suara asistennya terdengar lega di pesawat telepon itu, "Mereka sedang menuju ke atas, Pak."
"Baik, terima kasih."
Sekarang saatnya untuk mempercepat urusannya dengan mahasiswa yang satu ini, yang pasti juga akan mengajukan pinjaman beasiswa, dan kemudian menghadapi
bocah-bocah nakal yang telah membuat kepalanya hampir pecah itu. Pak Mirwan merasa hari ini begitu buruk.
*** Ferry bersama Wawan, Sofyan, dan Neni, melangkah memasuki gedung rektorat dan kini menaiki tangga menuju lantai dua.
"Sejak awal aku sudah mengira akan begini jadinya," kata Sofyan tanpa nada menyesal.
"Tak perlu dikhawatirkan. Kita pasti bisa menghadapinya," jawab Wawan dengan percaya diri.
Neni, satu-satunya perempuan dalam rombongan itu, hanya diam di samping Ferry yang juga melangkah tanpa suara karena tengah memikirkan Anisa. Sampai dia
selesai brifing bersama kawan-kawannya tadi, Anisa belum juga ditemukannya, dan ponselnya belum juga aktif kembali. Di mana sebenarnya pacarnya itu..."
Kini mereka menuju tangga untuk naik ke lantai tiga, ke ruang kantor tempat Pak Mirwan sang Purek III berada.
Saat menaiki tangga menuju lantai tiga, Ferry terkejut melihat sesosok mahasiswi yang duduk terkulai di bibir atas tangga sambil menunduk memegangi kepalanya.
"Ya Tuhan, Anisa!" sentak Ferry sambil mempercepat langkahnya menuju ke atas.
Anisa masih memegangi kepalanya yang terasa berat, antara sadar dan tidak. Ketika Ferry mendekat, satu-satunya hal yang masih tampak jelas dalam pandangannya
cuma kekasihnya itu. "Anisa, kau kenapa?" tanya Ferry dengan khawatir.
"Aku pusing sekali, Fer," rintih Anisa dengan lirih. "Kepalaku berat sekali..."
"Kau sudah sarapan tadi pagi?"
Anisa hanya mengangguk lemah.
"Sudah makan siang?"
Anisa tak menjawab. Pertanyaan itu sudah seperti kaset rusak.
Ferry melihat wajah Anisa sangat pucat. Lalu ia memutuskan, "Sebaiknya kita ke klinik. Kau harus istirahat."
Dengan dibantu Wawan, Ferry pun memapah Anisa yang lunglai untuk menuruni tangga dari lantai tiga ke lantai dua, kemudian terus turun ke bawah. Jarak klinik
dari gedung rektorat cukup jauh. Dua kawannya yang lain mengikuti mereka dari belakang, dan rencana menemui Purek III pun seperti menguap tiba-tiba.
Di ruang klinik kampus, Ferry membaringkan Anisa di atas balai-balai, kemudian menemui tiga orang kawannya.
"Bisakah kalian menemui Pak Mirwan tanpa aku?" tanyanya.
Ketiga kawannya saling pandang. Wawanlah yang kemudian mewakili mereka, "Fer, kau Pimpinan Umumnya. Kalau kau tidak datang, Pak Mirwan akan menganggap
kami tidak ada." Ferry berkata dengan bingung, "Aku tidak mungkin meninggalkan Anisa, dia..."
Sofyan tersenyum menenangkan. "Tak perlu khawatir, Fer. Keadaan Anisa lebih penting daripada bertemu Pak Mirwan."
"Jadi...?" tanya Ferry dengan wajah bingung.
Wawan menjawab, "Jadi, kau tetaplah di sini, dan kami akan kembali kumpul dengan teman-teman yang lain, dan...lupakan saja Pak Mirwan."
"Gila," desah Ferry akhirnya.
Neni berujar, "Kalau kita waras, kita tidak akan menuliskan berita bermasalah itu, Fer."
Dan mereka pun tertawa. *** Di ruang kantornya, Pak Mirwan merasa darahnya telah naik ke ubun-ubun. Dia telah mempercepat urusannya dengan mahasiswa tadi, dan mahasiswa itu pun sudah
menggelinding keluar dari ruang kantornya. Sementara dua mahasiswa lain yang menunggu bertemu dengannya sudah distop dan dijanjikan besok pagi. Dia sudah
ingin bertemu dengan anak-anak yang mengelola majalah kampus itu.
Tapi sampai sekarang mereka belum muncul juga di kantornya. Bahkan ketika Pak Mirwan berdiri di depan pintu ruang kantornya, suara langkah mereka pun belum
terdengar, baunya juga belum tercium. Maka Pak Mirwan kembali ke kursinya dan dengan marah kembali menelepon asistennya.
"Katanya mereka sudah akan kemari"!" ujarnya dengan amarah yang tertahan.
"Iya, Pak." Asistennya menjelaskan, "Tadi waktu akan menemui mereka lagi, saya berpapasan dengan mereka yang akan masuk ke gedung rektorat. Semuanya datang,
empat orang." "Tapi sampai sekarang mereka belum muncul juga!"
"Saya tadi melihat mereka naik tangga menuju ke atas, Pak," sahut si asisten dengan yakin.
Apakah dia melihat hantu" Pak Mirwan meletakkan gagang teleponnya dengan keras dan menyandarkan punggungnya di kursi dengan jengkel. Sekali lagi ia merasa
harinya begitu buruk. *** Di ruang klinik, Ferry memandangi kekasihnya yang kini tertidur. Ia tahu Anisa tidak pingsan. Dia hanya tidur karena kelelahan. Tadi saat ia menawari untuk
mencarikannya makan siang, Anisa menyatakan sangat mengantuk, dan matanya seperti tak bisa lagi dibuka.
Ferry menatap wajah kekasihnya dengan prihatin. Ia tahu Anisa pasti kelelahan. Sepulang kuliah dia harus ke dealer ponsel tempatnya bekerja, sampai jam
sembilan malam. Dan Ferry yakin, sepulang kerja tadi malam Anisa harus belajar karena tadi pagi mengikuti ujian susulan Manajemen Pendidikan, salah satu
ujian yang belum diikutinya karena sakit beberapa hari yang lalu. Meskipun tidak merasakan sendiri, Ferry tahu Anisa pasti kelelahan dengan semua kesibukan
itu. Ia pasti kurang tidur. Kurang istirahat. Dengan stamina fisik yang tak terlalu kuat, Anisa tentu merasa kepayahan dengan semua itu. Dan sekarang dia
terbaring di sini. Sekali lagi Ferry menatap wajah kekasihnya dengan sayang sekaligus prihatin. Ia mengambil kertas tisu, kemudian menyeka keringat yang bermunculan di wajah
Anisa. Wajah itu tampak damai saat tertidur, dan napasnya tampak teratur.
*** Akhirnya Anisa pun mengambil kembali surat permohonannya di atas meja, melipat kertas itu seperti semula, memasukkan kembali ke dalam amplopnya, kemudian
mohon diri pada Pak Mirwan. Kepalanya semakin terasa berat.
Di depan kantor Pak Mirwan, Anisa melihat dua orang mahasiswa dan satu mahasiswi yang tampaknya juga akan mengajukan permohonan yang sama seperti dirinya.
Anisa menyapa mereka sejenak, kemudian melangkah dengan gontai menuju tangga untuk turun ke lantai dua. Ada banyak hal yang harus dipikirkannya, dan yang
kini tengah dipikirkannya.
Semakin ia melangkah, Anisa merasakan kepalanya semakin berat. Pandangannya mulai kabur dan seluruh ruangan seperti tampak berputar-putar. Tanpa terasa
jari-jari tangannya meremas amplop surat permohonan yang ada di tangannya dengan erat untuk menjaga kekuatannya agar tetap bisa menapak lantai, sementara
kakinya melangkah dengan lunglai.
Di bibir tangga, Anisa tak berani menggerakkan kakinya lagi. Undakan-undakan tangga yang menurun itu tampak buram dalam pandangan matanya, dan Anisa pun
kemudian jatuh terduduk dengan sebelah tangan memegangi kepalanya. Sebelah tangannya yang lain terkulai memegangi amplop surat permohonan pinjaman beasiswa...
Di ruang kantornya, Pak Mirwan membentak seorang mahasiswa yang menerobos masuk ke dalam ruang kantornya. Dari pagi tadi sampai siang ini pikirannya terasa
tercabik-cabik. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di ruang kantornya, sudah ada banyak mahasiswa yang menunggu berurusan dengannya, sementara Pak Handoko"rektor
universitasnya"sudah berkali-kali menanyakan kepadanya mengenai urusan dengan redaksi majalah kampus yang bikin pusing itu.
Pak Mirwan benar-benar mengutuk bocah-bocah nakal yang menulis laporan dalam majalah itu. Ia juga telah membaca isi laporan itu, dan tahu betul bagaimana
reaksi pihak rektorat. Sialnya, dia yang kini menjadi ujung tombak untuk menyelesaikan kasus itu karena berkaitan dengan mahasiswa yang menjadi salah satu
tanggung jawab tugasnya. Pak Mirwan sudah memerintahkan asistennya untuk memanggil mahasiswa-mahasiswa yang mengurusi penerbitan majalah kampus itu, namun sampai sekarang mereka
belum muncul juga. Sekarang kepalanya sudah hampir pecah setelah barusan sang rektor kembali menanyakan hal itu, sementara seorang mahasiswa yang tak tahu
diri menyelonong masuk ke ruang kantornya.
"Tunggu sampai saya panggil!" ucap Pak Mirwan dengan galak pada mahasiswa itu, sementara yang dibentak cengar-cengir salah tingkah.
Setelah mahasiswa itu pergi, Pak Mirwan kembali menghubungi asistennya melalui telepon di mejanya.
"Pak Agung, Anda sudah hubungi para mahasiswa yang saya minta tadi, kan?" tanyanya di pesawat telepon.
"Sudah, Pak," jawab si asisten di ruang kantornya, di lantai dua. "Mungkin sebentar lagi mereka sampai. Apa saya perlu menghubungi mereka kembali?"
"Minta secepatnya mereka kemari. Saya ingin urusan ini cepat selesai."
"Baik, Pak." Setelah meletakkan teleponnya, Pak Mirwan pun memanggil mahasiswa yang menyelonong tadi. Tapi baru mahasiswa itu duduk dan belum sempat mengatakan apa-apa,
telepon di mejanya berdering.
Suara asistennya terdengar lega di pesawat telepon itu, "Mereka sedang menuju ke atas, Pak."
"Baik, terima kasih."
Sekarang saatnya untuk mempercepat urusannya dengan mahasiswa yang satu ini, yang pasti juga akan mengajukan pinjaman beasiswa, dan kemudian menghadapi
bocah-bocah nakal yang telah membuat kepalanya hampir pecah itu. Pak Mirwan merasa hari ini begitu buruk.
*** Ferry bersama Wawan, Sofyan, dan Neni, melangkah memasuki gedung rektorat dan kini menaiki tangga menuju lantai dua.
"Sejak awal aku sudah mengira akan begini jadinya," kata Sofyan tanpa nada menyesal.
"Tak perlu dikhawatirkan. Kita pasti bisa menghadapinya," jawab Wawan dengan percaya diri.
Neni, satu-satunya perempuan dalam rombongan itu, hanya diam di samping Ferry yang juga melangkah tanpa suara karena tengah memikirkan Anisa. Sampai dia
selesai brifing bersama kawan-kawannya tadi, Anisa belum juga ditemukannya, dan ponselnya belum juga aktif kembali. Di mana sebenarnya pacarnya itu..."
Kini mereka menuju tangga untuk naik ke lantai tiga, ke ruang kantor tempat Pak Mirwan sang Purek III berada.
Saat menaiki tangga menuju lantai tiga, Ferry terkejut melihat sesosok mahasiswi yang duduk terkulai di bibir atas tangga sambil menunduk memegangi kepalanya.
"Ya Tuhan, Anisa!" sentak Ferry sambil mempercepat langkahnya menuju ke atas.
Anisa masih memegangi kepalanya yang terasa berat, antara sadar dan tidak. Ketika Ferry mendekat, satu-satunya hal yang masih tampak jelas dalam pandangannya
cuma kekasihnya itu. "Anisa, kau kenapa?" tanya Ferry dengan khawatir.
"Aku pusing sekali, Fer," rintih Anisa dengan lirih. "Kepalaku berat sekali..."
"Kau sudah sarapan tadi pagi?"
Anisa hanya mengangguk lemah.
"Sudah makan siang?"
Anisa tak menjawab. Pertanyaan itu sudah seperti kaset rusak.
Ferry melihat wajah Anisa sangat pucat. Lalu ia memutuskan, "Sebaiknya kita ke klinik. Kau harus istirahat."
Dengan dibantu Wawan, Ferry pun memapah Anisa yang lunglai untuk menuruni tangga dari lantai tiga ke lantai dua, kemudian terus turun ke bawah. Jarak klinik
dari gedung rektorat cukup jauh. Dua kawannya yang lain mengikuti mereka dari belakang, dan rencana menemui Purek III pun seperti menguap tiba-tiba.
Di ruang klinik kampus, Ferry membaringkan Anisa di atas balai-balai, kemudian menemui tiga orang kawannya.
"Bisakah kalian menemui Pak Mirwan tanpa aku?" tanyanya.
Ketiga kawannya saling pandang. Wawanlah yang kemudian mewakili mereka, "Fer, kau Pimpinan Umumnya. Kalau kau tidak datang, Pak Mirwan akan menganggap
kami tidak ada." Ferry berkata dengan bingung, "Aku tidak mungkin meninggalkan Anisa, dia..."
Sofyan tersenyum menenangkan. "Tak perlu khawatir, Fer. Keadaan Anisa lebih penting daripada bertemu Pak Mirwan."
"Jadi...?" tanya Ferry dengan wajah bingung.
Wawan menjawab, "Jadi, kau tetaplah di sini, dan kami akan kembali kumpul dengan teman-teman yang lain, dan...lupakan saja Pak Mirwan."
"Gila," desah Ferry akhirnya.
Neni berujar, "Kalau kita waras, kita tidak akan menuliskan berita bermasalah itu, Fer."
Dan mereka pun tertawa. *** Di ruang kantornya, Pak Mirwan merasa darahnya telah naik ke ubun-ubun. Dia telah mempercepat urusannya dengan mahasiswa tadi, dan mahasiswa itu pun sudah
menggelinding keluar dari ruang kantornya. Sementara dua mahasiswa lain yang menunggu bertemu dengannya sudah distop dan dijanjikan besok pagi. Dia sudah
ingin bertemu dengan anak-anak yang mengelola majalah kampus itu.
Tapi sampai sekarang mereka belum muncul juga di kantornya. Bahkan ketika Pak Mirwan berdiri di depan pintu ruang kantornya, suara langkah mereka pun belum
terdengar, baunya juga belum tercium. Maka Pak Mirwan kembali ke kursinya dan dengan marah kembali menelepon asistennya.
"Katanya mereka sudah akan kemari"!" ujarnya dengan amarah yang tertahan.
"Iya, Pak." Asistennya menjelaskan, "Tadi waktu akan menemui mereka lagi, saya berpapasan dengan mereka yang akan masuk ke gedung rektorat. Semuanya datang,
empat orang." "Tapi sampai sekarang mereka belum muncul juga!"
"Saya tadi melihat mereka naik tangga menuju ke atas, Pak," sahut si asisten dengan yakin.
Apakah dia melihat hantu" Pak Mirwan meletakkan gagang teleponnya dengan keras dan menyandarkan punggungnya di kursi dengan jengkel. Sekali lagi ia merasa
harinya begitu buruk. *** Di ruang klinik, Ferry memandangi kekasihnya yang kini tertidur. Ia tahu Anisa tidak pingsan. Dia hanya tidur karena kelelahan. Tadi saat ia menawari untuk
mencarikannya makan siang, Anisa menyatakan sangat mengantuk, dan matanya seperti tak bisa lagi dibuka.
Ferry menatap wajah kekasihnya dengan prihatin. Ia tahu Anisa pasti kelelahan. Sepulang kuliah dia harus ke dealer ponsel tempatnya bekerja, sampai jam
sembilan malam. Dan Ferry yakin, sepulang kerja tadi malam Anisa harus belajar karena tadi pagi mengikuti ujian susulan Manajemen Pendidikan, salah satu
ujian yang belum diikutinya karena sakit beberapa hari yang lalu. Meskipun tidak merasakan sendiri, Ferry tahu Anisa pasti kelelahan dengan semua kesibukan
itu. Ia pasti kurang tidur. Kurang istirahat. Dengan stamina fisik yang tak terlalu kuat, Anisa tentu merasa kepayahan dengan semua itu. Dan sekarang dia
terbaring di sini. Sekali lagi Ferry menatap wajah kekasihnya dengan sayang sekaligus prihatin. Ia mengambil kertas tisu, kemudian menyeka keringat yang bermunculan di wajah Anisa. Wajah itu tampak damai saat tertidur, dan napasnya tampak teratur.
Ferry membetulkan letak tangan Anisa yang terkulai, kemudian menutupkan lengan panjang bajunya yang tersingkap. Saat melakukan itu, mata Ferry menangkap
segumpal kertas dalam genggaman tangan Anisa. Dengan lembut diambilnya gumpalan kertas itu, dan perlahan-lahan diluruskannya. Sebuah amplop surat.
Tampak nama Purek III di bagian depan amplop itu, dan Ferry bertanya-tanya dalam hati, ada urusan apa Anisa dengan Purek III"
Dibukanya amplop itu, dan dikeluarkannya surat di dalamnya. Sementara Anisa masih pulas dalam tidurnya.
Ferry membaca isi surat itu, dan merasakan dadanya tiba-tiba menghangat. Isi surat itu hanya berisi suatu permohonan yang diketik rapi dan pendek, dan
sekali membacanya Ferry pun tahu segala-galanya.
Jadi untuk urusan inilah Anisa sejak tadi menghilang dan tak bisa dihubungi. Sekeluar dari ruang dosen setelah mengikuti ujian susulan tadi, Anisa langsung
menghilang dan tak dapat ditemukannya. Dia pasti langsung menuju ke gedung rektorat untuk menemui Purek III. Anisa pasti sengaja mematikan ponselnya agar
tak bisa dihubungi, agar Ferry tak mengetahuinya.
Dengan perasaan tak karuan, Ferry menatap wajah kekasihnya yang masih terlelap, kemudian dialihkannya kembali tatapannya pada kertas surat yang masih terbuka
di tangannya. Ferry merasakan kedua matanya menghangat.
Anisa masih terlelap dalam tidurnya.
*** Malam belum larut. Indra baru memasukkan mobilnya ke dalam garasi, dan kemudian membuka pintu rumahnya. Tubuhnya terasa capek setelah seharian bekerja
di lokasi syuting. Big Bobby, sutradara yang menurut Dimas dan Doni mengidap sindrom "maha kuasa" itu, benar-benar menggunakan kekuasaannya di lokasi syuting
untuk memerintahkan apa saja pada orang-orang yang bekerja dengannya. Kalau setiap artis harus bekerja dengan Bobby setiap hari, Indra yakin mereka pasti
akan cepat mati, atau setidaknya cepat tua.
Dia menatap wajahnya sendiri di cermin kamarnya untuk memastikan dirinya tidak cepat tua meski selama ini bekerja dengan Bobby. Indra tersenyum. Ia masih
tampak muda, tampan, juga masih memiliki senyum kekanak-kanakan yang manis. Indra tak menyangkal kalau dalam dirinya ada suatu perasaan narsis, tapi ia
tak terlalu merisaukannya. Hampir semua artis yang dikenalnya juga narsis.
Indra melepas bajunya, kemudian melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Berendam lama-lama di air hangat dalam bath-tub setelah lelah seperti
ini adalah suatu kesenangan kecil yang sangat dinikmatinya. Dan sekarang ia sudah ingin kembali masuk ke dalam tempat peristirahatannya itu.
Dengan tubuh setengah telanjang, Indra mengisi bath-tub dengan air hangat, meletakkan ponsel di dekatnya, kemudian masuk ke dalam surganya.
Kehangatan air dalam bath-tub terasa menyegarkan dan memijat-mijat seluruh tubuhnya yang terasa capek, dan Indra pun berbaring nyaman menikmatinya.
Seperempat jam setelah ia berbaring di sana, ponselnya berbunyi. Indra sudah mengantisipasi hal itu, karenanya ia selalu membawa ponsel kesayangannya ke
dekatnya berendam. Ia meraih ponsel, dan menerima panggilan itu setelah melihat nama Hilda di layarnya.
"Selamat malam, Hilda," sapa Indra lembut.
"Malam, Ndra," suara Hilda tak kalah lembut di seberang sana. "Masih syuting" Atau sudah pulang?"
"Sudah pulang. Baru saja." Indra menggerakkan tubuhnya agar posisi duduknya lebih nyaman.
"Hei, aku mendengar suara air. Kau sedang mandi?"
Indra tertawa kecil. "Iya nih, lagi berendam."
"Aduh Indraaa, kenapa tidak mengajakku?" Kali ini suara Hilda terdengar manja, diiringi tawa kecilnya.
"Kan sudah," goda Indra sambil tersenyum di dekat ponselnya. "Kau saja yang tidak datang."
"Aku sangat menyesal," balas Hilda. Lalu dengan menggoda ia melanjutkan, "Apakah ada undangan susulan?"
"Wah, kali ini tidak ada, Hil. Bagaimana kalau lain kali?"
"Aku akan senang sekali! Kapan lain kali itu?"
Indra terdiam sesaat, kemudian berujar, "Aku belum bisa memastikan. Tapi yang jelas, kalau aku lagi break dan tidak capek, aku akan menghubungimu."


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sungguh?" "Kau tahu aku tidak pernah bohong, kan?"
"Kau juga tahu aku bahagia bersamamu."
"Thanks, Hilda." Indra memelankan suaranya. "Kau tahu, kau sungguh istimewa."
"Kau juga," balas Hilda dengan manis. "Oke, Ndra. Kau lanjutkan dulu mandimu. Jangan lupa call aku kapan-kapan, ya" I love you."
Indra meletakkan ponselnya di tempat semula, dan kembali berbaring nyaman dalam bath-tub. Dia selalu suka menerima telepon Hilda, dia juga selalu suka
mendengarkan suara Hilda. Lebih dari itu, Indra sangat menyukai kebersamaan dengan Hilda. Meski Hilda bukan satu-satunya.
Hilda sebaya dengan Indra, berwajah oval dengan mata nakal, dan memiliki bentuk tubuh yang sangat menggoda. Mereka pertama kali bertemu saat Indra bersama
rombongannya menginap di hotel di suatu daerah di pinggiran Jakarta, ketika melakukan syuting di sana. Hilda tahu Indra menginap di hotel itu, dan ia pun
memesan kamar tak jauh dari kamar Indra. Ketika Indra datang memasuki hotel seusai syuting dan sedang menuju ke kamarnya, Hilda menghampirinya. Lalu dengan
senyum yang manis dia melancarkan serangannya.
"Hai, Ndra, aku selalu suka nonton sinetronmu," katanya waktu itu. Lalu dia memperkenalkan diri dengan anggun, "Namaku Hilda."
Setelah Indra memberikan respon yang positif, Hilda pun masuk dalam rencananya semula. Dengan manis ia mengatakan, "Kebetulan aku juga menginap di hotel
ini, dan kudengar kau lagi syuting di dekat sini. Kalau kau butuh teman ngobrol, aku ada di kamar sebelahmu."
Indra tersenyum dan memahami maksud undangan itu. Setelah memberikan kesan ia akan datang, mereka pun berpisah, dan Indra masuk ke kamarnya. Di dalam kamarnya
waktu itu, Indra berani bertaruh kalau Hilda tidak sedang kebetulan menginap di hotel ini.
Indra pun tahu bahwa jika ia datang ke kamar Hilda, perempuan itu pasti tidak cuma akan menemaninya ngobrol seperti yang tadi dikatakannya. Indra sudah
terbiasa dengan hal itu. Sejak jadi artis yang sangat populer, tawaran dan ajakan semacam itu sudah jadi hal biasa dalam kehidupannya. Selalu ada perempuan
cantik yang siap menemaninya. Selalu ada perempuan yang rela melakukan apapun dengannya.
Waktu itu pun, Indra tak menyia-nyiakan kesempatan yang ditawarkan Hilda. Ketika malam sudah cukup larut dan ia merasa butuh teman mengobrol, Indra pun
membuka pintu kamar hotelnya dan melangkah dengan santai menuju kamar Hilda.
Hilda belum tidur dan langsung membukakan pintu kamarnya. Dia tersenyum manis saat itu, dan segera saja menarik Indra masuk ke dalam kamarnya yang telah
tampak remang, hanya diterangi lampu tidur.
Kemudian mereka pun "mengobrol" seperti yang dikatakan Hilda. Juga seperti yang telah dibayangkan Indra, mereka tidak hanya sekadar mengobrol"dan Hilda
benar-benar teman "mengobrol" yang luar biasa. Maka mereka pun menikmati malam itu di kamar Hilda, dan Indra seperti lupa untuk kembali ke kamarnya sendiri.
Sejak itulah kemudian Hilda sering menelepon Indra, menanyakan kapan akan menemuinya kembali. Indra tak pernah bisa memastikan, karena tak tahu kapan akan
syuting lagi di lokasi yang dulu. Hingga akhirnya Hilda yang kemudian datang menemui Indra, dan mereka beberapa kali berkencan ketika Indra tak memiliki
jadwal syuting. Hilda selalu menyenangkan Indra, namun Hilda bukanlah satu-satunya. Ada Hilda-Hilda lain yang juga masuk dalam hidupnya, di sela-sela kesibukannya,
dalam pelukannya. Dan...Indra menikmatinya.
Suara kecipak air dalam bath-tub mengembalikan Indra dari lamunannya. Ia selalu menikmati saat-saat berendam seperti ini. Merasakan kehangatan air merasuk
ke dalam pori-pori di tubuhnya, kembali menyegarkannya. Bila sudah merasakan kehangatan dan kesegaran seperti ini, Indra bisa berendam hingga berjam-jam.
Waktu berendam adalah waktu yang menenangkan.
Ponsel di dekatnya kembali bernyanyi.
Kali ini nama Rafli yang muncul di layar ponselnya. Dia juga pecandu pesta seperti Doni, dan mereka biasanya menghabiskan malam bersama.
"Halo..." sapa Indra.
"Ndra, kau sudah dengar berita tentang Doni?" suara Rafli.
"Ada apa dengan Doni?"
"Dia masuk rumah sakit!" Rafli menjawab sungguh-sungguh.
Indra tak terpengaruh. "Memangnya Doni kehabisan tempat pesta, sampai berpesta di rumah sakit?"
"Ndra, jangan bercanda! Doni benar-benar masuk rumah sakit. Dia kena TBC!"
"Kau serius?" "Aku baru saja dikabari Daniel. Dia sudah menjenguknya tadi sore. Kata Daniel, keadaannya cukup parah."
"TBC...?" Indra seperti ingin memastikan pendengarannya tadi.
"Iya, TBC. Sungguh mengejutkan!" kata Rafli lagi dengan sungguh-sungguh.
Sebenarnya bagi Indra itu bukan hal mengejutkan. Melihat gaya hidup Doni selama ini, Indra sama sekali tak terkejut ketika mendengar Doni kena TBC. Sama
tidak terkejutnya kalau Doni mengidap AIDS atau raja singa.
Baru saja Indra meletakkan ponselnya kembali, benda itu sudah kembali bernyanyi. Indra menegakkan duduknya ketika melihat nama Elisha tertera di layar
ponselnya. "Halo, Elisha," sapa Indra dengan ramah.
"Ndra, aku punya kabar yang pasti mengejutkanmu!" suara Elisha terdengar riang.
"Oh ya?" "Aku akan main sinetron!"
Indra benar-benar terkejut. "Maksudmu?"
"Maksudku, impianku akan segera tercapai, Ndra! Aku akan main sinetron!"
"Kau ikut kasting lagi?"
"Tanpa kasting!" jawab Elisha dengan yakin.
"Sungguh?" Elisha menjawab dengan nada yang masih riang, "Kau pasti tak akan percaya. Ada seorang kawanku yang memberitahu kalau aku bisa masuk ke sinetron manapun
kalau bisa menemui produsernya. Jadi, itulah yang kemudian kulakukan."
"Dan kau diterima?"
"Yo-i, Ndra," jawab Elisha dengan senang. "Aku bahkan tak menyangka kalau persoalannya semudah itu. Kalau saja tahu dari dulu, aku tidak akan susah-susah
ikutan kasting!" Indra mulai paham dengan apa yang tengah didengarnya ini. Pasti ada suatu transaksi di bawah tangan yang telah dilakukan Elisha dengan sang produser itu,
yang kemudian meloloskan Elisha hingga bisa masuk ke dalam sebuah sinetron tanpa harus melalui prosedur yang biasa. Indra tahu, Elisha bukan satu-satunya
perempuan yang menggunakan jalan pintas semacam itu. Tapi dia tak ingin merusakkan kebahagiaan Elisha sekarang.
"Good luck, Elisha. Aku ikut senang!" kata Indra kemudian. "Omong-omong, apa judul sinetronmu?"
"Nyanyian Hati," jawab Elisha dengan yakin, menyebutkan judul sinetronnya.
Indra menahan napas. Itu judul sinetron yang juga tengah dikerjakannya.
Setelah Elisha memutuskan hubungan, Indra termenung dalam bath-tub-nya, membayangkan sahabatnya itu. Jadi Elisha akhirnya menggunakan jalan pintas itu.
*** Hari itu baru pukul sembilan pagi, dan Bobby sedang khusyuk mempelajari naskah skenario sinetron yang akan syuting hari ini, ketika manajer perusahaannya
masuk ke ruang kantornya dan mengangsurkan selembar memo.
"Dari Bos," bisik si manajer.
Bobby mengerutkan kening dan seperti mencium bau tidak enak dari memo itu. Ia menerima lembaran memo itu, dan si manajer pun berlalu.
Seperti yang telah dibayangkannya secara spontan, isi memo itu persis sama seperti yang telah diperkirakannya. Bosnya lagi-lagi memaksanya untuk memasukkan
seorang perempuan lagi ke dalam sinetron garapannya. Coretan kata-katanya masih sama, permintaan yang sama, hanya nama si perempuan yang berbeda. Bobby
sekali lagi mengerutkan kening. Dia merasa mengenal nama perempuan yang kali ini tertulis di lembaran memo itu.
Elisha. Ingatan Bobby yang tajam segera mengenali siapa perempuan itu. Ini perempuan yang beberapa kali telah direkomendasikan Indra, dan yang juga telah ditolaknya.
Bobby juga masih ingat perempuan ini pernah mengikuti kasting beberapa kali namun selalu gagal. Tapi...apakah ini perempuan yang sama" Atau hanya namanya
saja yang sama" Jadi apa yang telah dilakukan perempuan itu"
Bobby tak peduli apakah perempuan yang namanya disebutkan dalam memo itu adalah perempuan yang itu ataukah bukan, namun ia merasa pertahanannya sudah tak
bisa membendung lagi perlakuan bosnya yang sama sekali tak menghargai idealismenya. Barangkali orang tua itu berpikir aku ini makelar yang bisa menjual
apa saja, pikir Bobby dengan perasaan terhina.
Bobby tahu betul apa yang telah dilakukan Elisha dan juga perempuan-perempuan entah siapa lainnya itu hingga bisa masuk ke dalam sinetron garapannya. Mereka
pikir ini pekerjaan apa, makinya penuh kesal.
Bobby kembali menatap memo yang tergeletak di atas mejanya, dan merasakan darahnya kini mendidih. Kalau ini tidak dihentikan, maka bosnya akan terus mengirim
perempuan-perempuan lain kepadanya untuk ia masukkan ke dalam sinetron yang digarapnya. Itu sama saja dengan membunuh dirinya sendiri perlahan-lahan. Dia
harus bertindak. Dia harus menghentikan hal ini sebelum semuanya terlambat.
Hasnan Wibowo tengah memandangi beberapa lembar foto di tangannya, dan menikmati kecantikan yang terdapat dalam foto-foto itu. Perempuan ini layak masuk
televisi, pikir Hasnan Wibowo sambil membayangkan sosok perempuan itu, yang beberapa hari lalu menemuinya secara pribadi dan menyatakan ingin bisa main
dalam sinetron yang diproduksinya. Hasnan Wibowo tahu apa yang diinginkan perempuan itu, dan ia pun tahu perempuan itu akan memberikan apapun untuk dapat
mewujudkan keinginannya. Namun dia tidak sembarangan memberikan kesempatan yang istimewa semacam itu. Hanya perempuan-perempuan tertentu, yang menurut feeling-nya benar-benar layak
masuk dalam sinetronnya. Dan perempuan yang ada dalam foto-foto ini telah memberikan apa yang diinginkannya, karenanya dia pun memberikan apa yang diinginkan
perempuan itu. Suatu timbal-balik yang menyenangkan, suatu transaksi yang sah. Masing-masing tidak ada yang merasa dirugikan, dan Hasnan Wibowo menikmatinya.
Pintu kantornya diketuk, dan sekretarisnya mengatakan Bobby ingin bertemu. Hasnan Wibowo mengangguk, kemudian memasukkan foto-foto di tangannya ke dalam
laci mejanya. Bobby masuk dengan ekspresi wajah yang sama seperti beberapa waktu yang lalu, dan memegang memo yang sama seperti beberapa waktu yang lalu. Hasnan Wibowo
pun telah siap dengan jawabannya seperti beberapa waktu yang lalu.
"Ada apa lagi, Bob?" sapa produser itu dengan tenang.
Bobby duduk, lalu meletakkan memo itu di atas meja. "Sejujurnya, saya sudah tak bisa menangani hal yang semacam ini, Bos."
Hasnan Wibowo masih menunjukkan ketenangannya. "Maksudnya?"
Bobby meletakkan telunjuknya di kertas memo dan menjawab, "Saya tidak tahu siapa perempuan ini, dan seperti yang sudah-sudah, kehadiran seseorang yang
secara tiba-tiba dan tanpa melalui kasting seperti ini hanya membuat proses produksi jadi sangat terhambat."
"Dia sudah mengikuti kasting, Bob."
"Oh ya" Saya belum pernah melihatnya."
Hasnan Wibowo menarik laci mejanya dan mengambil beberapa lembar foto. Diserahkannya lembaran foto itu pada Bobby yang memeriksanya dengan acuh tak acuh.
Hanya sekali pandang, Bobby langsung mengenali perempuan dalam foto itu. Jadi rupanya benar perempuan itu.
"Kau mengenalinya, kan?" tanya Hasnan Wibowo. "Dia telah mengikuti beberapa kali kasting."
"Ya, dan tak pernah lulus," jawab Bobby.
"Itu karena kau tak pernah memberinya kesempatan, Bob."
"Kasting itu sudah merupakan kesempatan untuknya, Bos, dan dia tidak menggunakan kesempatannya dengan baik."
Hasnan Wibowo menyandarkan tubuhnya pada kursinya yang besar, kemudian menatap Bobby dan menyatakan, "Bob, mari kita hentikan perdebatan ini, dan mari
kita beri kesempatan sekali lagi pada gadis ini untuk menunjukkan bahwa dia mampu."
Bobby mendesah dan menggelengkan kepalanya. "Saya tidak bisa, Bos."
"Tapi nyatanya kau bisa menangani Cintya, Prita, Meggi, juga yang lain. Apa bedanya kalau sekarang kau harus menangani Elisha" Ayolah, Bob, aku selalu yakin kalau kau bisa."
"Bos, Anda tidak tahu masalahnya. Sayalah yang ada di lapangan dan tahu betul bagaimana repotnya menangani mereka, dan seluruh jadwal jadi berantakan hanya
karena orang-orang ini. Mereka sama sekali tak bisa berakting!"
"Tapi itu tidak ada pengaruhnya, kan?"
"Maksud Anda?" Bobby merasa darahnya kian mendidih.
"Maksudku, orang-orang yang kusodorkan ini tidak memegang peran utama. Mereka hanya pemeran pembantu, dan memang itulah yang mereka inginkan"hanya ingin
bisa main sinetron. Kehadiran mereka sama sekali tidak memperbaiki mutu sinetron garapanmu, tapi juga tidak merusakkannya. Jadi, apa masalahnya?"
Bobby menghela napas kesal. "Saya tidak bisa, Bos."
Hasnan Wibowo menatap sutradaranya itu. "Bob, katakan, apa masalahnya?"
Bobby langsung menyambar. "Saya tidak bisa bekerja dengan cara seperti ini, Bos..."
"Tetapi kau bekerja untukku, Bob, kuharap kau belum melupakannya!"
Bobby bangkit dari kursinya, kemudian berkata, "Kalau begitu, saya mengundurkan diri." Lalu dia melangkah meninggalkan produsernya.
"Bob..." Hasnan Wibowo terkejut menghadapi reaksi yang tak pernah dibayangkannya itu.
"Bob," panggil Hasnan Wibowo, sementara Bobby telah sampai di ambang pintu. "Aku...aku bisa menaikkan gajimu."
Bobby berbalik. "Anda tidak paham, Bos," kata Bobby dengan suara menahan amarah. "Saya tidak bekerja atas dasar uang semata-mata. Saya mencintai pekerjaan
saya!" "Bob..." Tapi Bobby telah berlalu, dan pintu kantornya berayun menutup. Hasnan Wibowo duduk dengan bingung.
Ketika Bobby keluar dari ruang kantor Hasnan Wibowo, jam di dinding telah menunjukkan pukul sepuluh. Itu adalah waktu yang telah dijadwalkan untuk syuting
hari ini. Semua artis dan kru yang bertugas di lokasi syuting telah datang dan sudah siap. Mereka tahu adat Bobby yang tak pernah bisa mentolelir keterlambatan
sekecil apapun, dan mereka pun tak ingin mendapat semprotan dari sutradara itu.
Tetapi sekarang justru orang itulah yang belum muncul. Sepanjang sejarah yang dapat mereka ingat, baru kali ini Bobby terlambat datang ke lokasi syuting.
Para kru dan artis yang akan syuting pun duduk-duduk dengan gelisah menunggu kedatangan Bobby. Sebagian kru telah menyiapkan alat-alat syuting, sementara
artis-artis yang akan masuk take pertama telah selesai dirias.
Tapi Bobby belum datang juga.
"Kemana sih, orang itu?" ujar Geovanni dengan kesal, karena dialah yang akan syuting paling awal dalam jadwal hari ini.
"Tidak biasanya Bang Bob telat seperti ini," sahut Indra yang juga merasa heran dengan keterlambatan sutradaranya.
Sementara itu, di salah satu sudut lain, Elisha sedang duduk sendirian dan tampak serius mempelajari naskah skenario di pangkuannya. Saat melihatnya, Indra
segera datang menghampiri.
"Elisha," sapa Indra saat sampai di hadapan Elisha yang masih menunduk menekuri naskah skenarionya.
Elisha mengangkat kepala, dan terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Indra! Kau ada di sini?"
Indra tersenyum, kemudian duduk di samping Elisha. "Kau tidak tahu kalau aku juga main di sinetron ini?"
Elisha tampak berbinar-binar. "Jadi, aku akan main sinetron denganmu?"
"Nyanyian Hati, kan?" Indra mengingatkan judul sinetron yang dikatakan Elisha kemarin malam.
"Iya, jadi kau juga main di sinetron ini?" tanya Elisha. "Kenapa tidak mengatakannya waktu aku meneleponmu?"
"Aku harap ini kejutan menyenangkan buatmu," kata Indra dengan tersenyum.
Indra melihat Elisha sangat bersemangat menyambut acara syuting pertamanya ini, dan tampak serius mempelajari skenario dari adegan yang akan dibawakannya.
Diam-diam Indra terharu dan juga sedih.
Beberapa saat kemudian, jeep tunggangan Bobby muncul di lokasi syuting. Indra serta yang lain segera tahu kalau orang yang mereka tunggu-tunggu akhirnya
datang juga. Diam-diam mereka merasa lega dengan kehadiran Bobby. Sejak tadi mereka sudah membayangkan hal-hal buruk terjadi pada sutradara itu, dan kehadirannya
sekarang membuat mereka menjadi tenang.
Tetapi Bobby tidak segera menghampiri kru dan para artisnya seperti biasa. Dia tidak buru-buru mengarahkan orang-orang atau berteriak tak sabar seperti
biasanya. Ketika turun dari jeepnya, Bobby hanya berdiri, kemudian diam menatap lokasi syuting dengan pandangan mata yang tak dapat diartikan. Dan ketika
melihat Indra di salah satu bagian lokasi syuting, Bobby pun melangkah ke arahnya.
Indra masih duduk di sebelah Elisha. Ia menyadari Bobby sedang menuju ke arahnya, dan Indra pun berdiri untuk menyambut kedatangan Bobby.
"Hei, Nak," kata Bobby begitu sampai di depan Indra, "apa yang telah kaulakukan pada sahabatmu itu"!" Pandangan Bobby mengarah pada Elisha yang masih duduk
dengan naskah skenarionya.
Indra tergagap. Dia sama sekali tak memahami apa yang dimaksud sutradaranya itu. "Saya...saya tak tahu apa maksud Bang Bob."
"Kau telah meracuninya"!" Pandangan mata Bobby seperti menyimpan bara api.
"Me...meracuninya...?" Indra semakin tak paham.
"Kau berkali-kali merekomendasikan dia kepadaku, tapi aku tak bisa menerimanya. Apa yang telah kaulakukan sampai dia bisa berada di sini"!"
Indra mulai memahami maksud Bobby. "Saya tidak melakukan apa-apa, Bang."
"Dan mengapa dia bisa sampai ke sini"!"
"Saya tidak tahu!" jawab Indra panik.
Indra tahu Bobby percaya kepadanya. Tetapi kemudian Bobby mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tak disangkanya, "Kawanmu itu telah menjual dirinya,
Nak. Dia menjual dirinya untuk sesuatu yang sebenarnya dapat ia peroleh kalau saja mau bersabar dan belajar! Bosmu itu mau membelinya, tapi aku tak sudi
membelinya!" Indra membeku. Dan sebelum dia sempat mengatakan sesuatu, Bobby telah berlalu meninggalkannya. Indra hanya dapat menatap hampa kepergian Bobby yang semakin
menjauh menuju mobilnya. Dan ketika Indra berbalik, dia melihat Elisha tengah menangis sambil mendekap naskah skenario di dadanya.
*** Dengan jari-jari bergetar menahan marah, Pak Mirwan mengangkat telepon di mejanya dan menghubungi asistennya di lantai bawah. Sudah lima kali atasannya
menghubunginya dan menanyakan persoalan menyangkut bocah-bocah nakal yang menulis berita di majalah itu. Pak Mirwan sudah tak tahan. Dia harus segera menyelesaikan
persoalan ini, dan bocah-bocah itu sudah harus dibereskan!
"Pastikan mereka benar-benar masuk ke ruang kantor saya," kata Pak Mirwan di telepon.
"Baik, Pak," jawab asistennya. "Saya akan segera mengantarkan mereka menemui Bapak."
"Secepatnya, Pak Agung," kata Pak Mirwan lagi memastikan.
"Iya, Pak." Pak Agung, sang asisten, segera melesat keluar dari ruang kantornya dan terbang ke komplek gedung UKM tempat anak-anak yang menjadi "buronan nomor satu"
bagi atasannya itu. Pak Agung sangat memahami apa yang tengah terjadi, dan ia pun tahu atasannya sangat gusar dan tertekan dengan laporan berita yang ditulis
di majalah itu. Ia sendiri tak tahu atasannya ikut terlibat dalam kasus itu ataukah tidak, tapi Pak Agung tahu pasti kalau atasannya tentu menjadi orang terdepan yang
akan berhadapan dengan anak-anak pembuat perkara itu karena jabatannya sebagai Purek III. Mungkin atasannya memang ikut memakan nangkanya, tapi bisa juga
hanya terkena getahnya. Yang jelas, dirinya sendiri"sang asisten yang tak tahu apa-apa"benar-benar hanya terkena getahnya, karena sama sekali tak tahu-menahu
mengenai proyek terkutuk itu, namun sekarang jadi ikut sibuk.
Di gedung UKM yang terpisah dengan komplek gedung kampus, Pak Agung memutar jalan melewati deretan beberapa ruang UKM yang lain, dan segera menuju ke ruang
UKM Pers, sarang bocah-bocah yang mengurusi penerbitan majalah NURANI yang bikin heboh itu.
*** Di ruang UKM Pers, para mahasiswa tengah berkumpul membicarakan langkah selanjutnya untuk menindaklanjuti kasus mereka dengan pihak rektorat. Mereka menyadari
sepenuhnya, bahwa senakal dan seliar apapun, nasib mereka kini berada di ujung tanduk. Korporasi mereka, yakni penerbitan majalah NURANI, sepenuhnya dibiayai
oleh dana UKM yang dikucurkan oleh BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) di kampus mereka. BEM memperoleh dana untuk UKM-UKM dari dana kemahasiswaan yang dikumpulkan
pihak akademik yang berhubungan intim dengan pihak rektorat.
Ini seperti jeruk makan jeruk. Rektorat ikut membantu membiayai penerbitan majalah itu, dan majalah itu terbit dengan berita yang menghantam pihak rektorat.
SK penerbitan majalah itu juga dikeluarkan pihak rektorat, dan anak-anak itu tahu betul bahwa rektorat, dengan tangan kekuasaannya, dapat mencabut kembali
SK penerbitannya. Majalah yang mereka sayangi bisa dibekukan. Atau, kalau mau yang lebih parah, dibredel. Dan mereka yang selama ini membidani penerbitan
majalah itu bisa diskors, dipaksa cuti, atau kalau mau yang lebih parah, dipecat dari kampus.
Tetapi sejak semula mereka telah memprediksikan hal-hal yang mengerikan itu. Ketika memutuskan untuk menurunkan laporan itu menjadi berita utama di majalah,
mereka sudah siap menghadapi kenyataan semacam itu. Jika harus menghadapinya sekarang, mereka hanya perlu melakukan persiapan yang lebih matang, serta
argumentasi yang lebih meyakinkan. Jika nasib mereka sekarang berada di ujung tanduk, mereka pun tahu nasib rektorat juga berada di ujung tanduk yang sama.
Pak Agung, asisten Purek III, muncul di depan pintu ruang UKM. Para mahasiswa itu pun tahu saat eksekusi telah tiba.
"Pak Mirwan mengharapkan kedatangan kalian," kata Pak Agung dengan sopan.? "Sekarang juga."
Ferry, Wawan, Sofyan dan Neni pun bangkit, sementara yang lain masih duduk dan menunggu intruksi.
"Kalian tunggu dulu di sini," kata Ferry kepada kawan-kawannya yang masih duduk. "Jika kami memerlukan, kalian akan dihubungi."
Teman-temannya pun mengangguk, dan Pak Agung lalu menggiring empat mahasiswa buronan atasannya itu menjauh dari markas mereka. Mereka melangkah meninggalkan
komplek gedung UKM dan menuju gedung rektorat.
"Tahu tidak, kalian benar-benar nekat," kata Pak Agung sambil tersenyum pada Ferry dan kawan-kawannya. Dia merasa tak punya kaitan apa-apa dengan kasus
yang sedang dipermasalahkan itu, dan dia pun merasa cukup nyaman untuk membicarakannya.
Ferry dan tiga kawannya hanya senyum-senyum mendengar komentar itu.
"Kalian mau membocorkan berita apa lagi yang kira-kira akan ditampilkan di edisi berikutnya?" kata Pak Agung lagi, masih dengan senyum.
"Mungkin lebih mengerikan dari yang kemarin," canda Wawan yang disambut senyum lebar kawan-kawannya.
"Oh, sebaiknya jangan," kata Pak Agung. "Kalian sudah hampir semester akhir, dan tidak lama lagi wisuda. Sayang kalau sampai di-DO."
"Memangnya ada kemungkinan DO?" tanya Ferry dengan santai.
Selir Pamungkas 2 Siluman Ular Putih 11 Persekutuan Maut Pendekar Lembah Naga 27

Cari Blog Ini