Ceritasilat Novel Online

Hati Yang Memilih 3

Hati Yang Memilih Karya Unknown Bagian 3


"Cuma itu?" Anisa seperti tak percaya.
"Mereka juga mengancam akan memecatku dari universitas," jawab Indra jujur. "Tapi tidak usah khawatir. Aku yakin itu tak akan terjadi."
Anisa menatap wajah di atasnya. "Rizal bilang kau tadi tidak cuma menghadapi rektor, tapi juga para purek. Benar?"
"Iya, mungkin mereka pikir aku akan lebih mudah ditekan kalau sendirian."
"Dan mereka berhasil?"
Indra menggelengkan kepalanya. "Tak akan semudah itu."
"Aku sering mengkhawatirkanmu...atas semua yang kaulakukan ini, Fer," kata Anisa sambil menatap wajah Indra, dan kemudian tangannya terangkat dan jari-jarinya
menyentuh dagu Indra. "Tapi...aku juga bangga padamu..."
Seribu kupu-kupu itu terasa semakin keras berlarian dalam perut Indra, dan kepalanya semakin turun ke bawah, wajahnya semakin dekat dengan wajah Anisa.
Indra ingin membawanya lebih dekat lagi, namun kemudian bayangan wajah Ferry menghalangi pandangan matanya.
Seribu kupu-kupu yang berlarian dalam perutnya terasa bertabrakan.
Sepulang dari kampus, dan setelah mengantarkan Anisa ke tempat kerjanya seperti biasa, Indra segera menelepon Ferry.
"Fer, apa sebenarnya yang telah kaulakukan pada kampusmu"!" labrak Indra langsung. Dia masih memendam kedongkolan atas kejadian di kampus tadi.
"Memangnya kenapa, Ndra?" tanya Ferry di seberang sana.
"Tadi siang aku dipanggil menghadap rektormu!"
"Oh ya?" Indra meneruskan, "Kau bilang mereka tidak akan mengungkit-ungkit masalah itu sampai satu bulan mendatang. Tapi nyatanya tadi aku sendirian diculik untuk
menemui rektormu dan para purek, juga beberapa pejabat universitas yang tidak aku kenal."
"Kau sendirian?" Ferry terdengar terkejut.
Indra menjelaskan, "Semua kawanmu yang mengurusi majalah itu tengah mengikuti lokakarya di Yogya, dan yang tinggal cuma para reporter semester awal yang
tidak tahu apa-apa. Yang ada cuma aku, dan mereka pasti tahu itu. Kau tahu apa yang mereka lakukan padaku?"
"Apa...?" "Mereka seperti ingin mencabik-cabikku hidup-hidup!"
Ferry tertawa ngakak mendengar itu.
"Jangan ketawa, Fer!" kata Indra galak. "Kau menghadapi ancaman yang tidak main-main!"
"Oh ya?" "Mereka mengancam kalau ralat berita itu tidak dimuat dalam majalahmu di edisi mendatang, mereka akan memecatku, eh, maksudnya memecatmu, dari universitas!
Itu yang ngomong rektormu sendiri!"
Ferry terdiam sesaat, kemudian bertanya, "Dan kau jawab apa?"
"Aku katakan saja akan membicarakan terlebih dulu dengan teman-teman yang lain. Aku kan tidak tahu jawaban yang pasti untuk itu, karena kau tidak pernah
mengajariku." "Tidak apa-apa," kata Ferry. "Dan kalian membicarakan apa lagi?"
"Mereka memperlihatkan salinan banyak dokumen, tapi aku sama sekali tak paham itu dokumen apa lagi. Pendeknya mereka ingin agar aku, maksudnya kau, meyakini
bahwa semua transaksi yang terjadi dalam proyek pembangunan kampusmu itu sah dan legal, dan tak ada kecurangan ataupun dugaan korupsi seperti yang kautulis
dalam majalahmu." "Dan kau percaya?" tanya Ferry.
"Aku tak peduli apakah aku percaya atau tidak, Fer! Itu bukan urusanku! Kaulah yang nantinya akan menghadapinya. Dan sejujurnya, aku merasa sangat tertekan
saat mengurusi kasusmu yang sialan itu!"
"Itu bagian dari permainan kita, Ndra," tanggap Ferry.
"Ya, dan makin lama permainan ini semakin tidak adil. Kau enak-enakan kencan dan pesta dan dugem di Jakarta, sementara aku di sini mengurusi hal-hal yang
memusingkan yang tak kupahami!"
"Jangan lupa, Ndra," Ferry mengingatkan, "kau mengatakan sudah jenuh dengan kehidupanmu di sini, dan masalah di kampusku akan membuatmu segar kembali."
"Atau membuatku sinting!" rutuk Indra.
Ferry hanya tertawa. *** Indra meredakan kekesalannya hari itu dengan berbaring malas-malasan dalam kamar Ferry sambil mendengarkan musik dari CD player. Koleksi musik Ferry tak
jauh beda dengan dirinya, dan itu cukup melegakan Indra. Suara gitar Yngwie Malmsteen sedang meraung dalam Black Star ketika ponsel Ferry di dekatnya berdering.
Indra meraih ponsel itu, dan dilihatnya sederet nomor yang tak dikenal di layar ponsel. Nomor ini belum masuk dalam phone-book ponsel Ferry, pikirnya.
Indra pun mengecilkan volume musik di CD player, kemudian menerima telepon itu.
"Halo," sapanya.
"Halo, Ferry?" suara seorang perempuan.
"Iya," jawab Indra. "Siapa nih?"
"Ini Febi, Fer. Febiola."
Indra mengerutkan kening dan segera mengaduk-aduk semua memori dalam otaknya. Febi. Febiola. Apakah Ferry pernah bercerita tentang perempuan ini" Atau
menyebutkan namanya" Dalam waktu yang berlangsung cepat itu Indra segera mengambil kesimpulan kalau Ferry tak pernah menceritakan apa-apa tentang perempuan
ini, juga tak pernah menyebutkan namanya.
Maka Indra pun mengatakan, "Maafkan aku, Febi siapa ya?"
"Kau sudah lupa denganku?" Suara di seberang sana tak berubah. "Kita pernah bertemu di rumah sakit waktu kau sedang...hm, mengantar pacarmu."
Indra segera melakukan improvisasi. "Oh ya! Aku ingat sekarang. Apa kabar?"
"Hm, baik." Suaranya terdengar renyah. "Kau?"
"Aku juga baik-baik saja."
"Lagi apa kau sekarang?"
"Biasa, nunggu sore sambil dengar musik."
Pembicaraan itu pun perlahan namun pasti semakin mengalir lancar meski Indra masih bertanya-tanya dalam hati, siapa perempuan ini"
"Omong-omong, Fer," kata Febiola, "kau tidak menyimpan nomorku dalam ponselmu?"
"Sori, waktu itu aku lagi kalut." Indra menjawab dengan agak bingung. "Jadi aku...tidak sempat memeriksa ponsel untuk menyimpan nomormu."
Beberapa percakapan lagi, dan kemudian Febiola menutup ponselnya.
Indra meletakkan ponsel di tempatnya semula dan mulai berpikir. Siapa sebenarnya perempuan ini" Ferry tidak pernah menceritakannya, bahkan tidak pernah
menyebutkan namanya. Lebih dari itu, Ferry pun tidak menyimpan nomor ponsel perempuan itu di dalam phone-book ponselnya. Febi. Febiola...
"Kau sudah lupa denganku" Kita pernah bertemu di rumah sakit waktu kau sedang...hm, mengantar pacarmu."
Jadi mereka bertemu di rumah sakit, pikir Indra. Mereka bertemu di rumah sakit saat Ferry mengantarkan Anisa. Ferry sudah menceritakan soal Anisa yang
kadang tiba-tiba pingsan, dan Ferry pun sudah menceritakan pernah membawa pacarnya itu ke rumah sakit dari kampus. Tapi Ferry tak pernah menceritakan perjumpaannya
dengan perempuan bernama Febiola. Mengapa" Jawaban yang paling logis hanya satu; Ferry telah lupa pada perempuan itu. Tapi...
"Omong-omong, Fer, kau tidak menyimpan nomorku dalam ponselmu?"
Tapi Febiola pernah menghubungi ponsel Ferry. Itu setidaknya menunjukkan mereka pernah berkomunikasi. Nomor ponsel perempuan itu telah masuk ke dalam ponsel
Ferry, hanya saja Ferry tak pernah menyimpannya. Mengapa"
Indra bisa saja mengangkat telepon dan menghubungi Ferry, namun dia merasa ada sesuatu dengan perempuan ini, dan sebaiknya Ferry tak usah tahu. Lagi pula
dia masih merasa dongkol dengan saudara kembarnya itu.
Rasa penasaran Indra tergugah. Suara perempuan bernama Febiola tadi sangat enak didengar. Indra pun menikmatinya saat tadi bercakap-cakap dengannya. Seperti
apa perempuan itu" Didorong rasa penasarannya, Indra kembali membuka phone-book ponsel dalam genggamannya, dan mencari nama Febiola yang tadi telah disimpannya. Kemudian
dihubunginya nomor itu. "Ada apa, Fer?" sapa Febiola dengan renyah.
"Hm, nanti malam kau ada acara?" tembak Indra langsung.
Suara Febiola terdengar seperti tersenyum saat menjawab, "Tidak."
"Kita bisa bertemu?"
"Mengapa tidak?" Senyum itu semakin terasa dari suaranya. "Kau ke rumahku?"
"Oke," jawab Indra pasti.
"Kau belum tahu alamat rumahku, kan?"
Indra segera tersadar. "Belum."
Febiola pun memberikan alamatnya. Indra mencatatnya.
Detik itu, Indra terlupa pada kewajibannya nanti malam menjemput Anisa dari tempat kerjanya seperti biasa.
*** Malamnya, dengan dandanan rapi, Indra bersiap menuju alamat yang diberikan Febiola. Kali ini dia tidak membawa sepeda motor seperti biasa akan menjemput
Anisa. Indra mengeluarkan mobil dari garasi.
Silvia yang melihat Indra mengeluarkan mobil segera menegur, "Mau kemana, Ndra?"
"Ke rumah teman, Ma," jawab Indra datar.
Japi melihat penampilan Indra yang sangat rapi, Silvia seperti mencium sesuatu yang tak biasa. "Jangan lupa jemput Anisa sepulang kerjanya."
"Tentu, Ma." Mobil itu pun melaju meninggalkan rumah, dan Silvia berdiri memperhatikan kepergian putranya. Entah mengapa, ada sesuatu yang tak enak dalam perasaannya.
*** Di waktu yang sama, di salah satu kamar hotel di Jakarta, Ferry berbaring dengan wajah yang tersenyum. Butir-butir keringat tampak muncul di keningnya,
namun Ferry tak merasakannya. Ada sesuatu yang lebih dirasakannya"sesuatu di dalam dirinya.
Di sampingnya, Hilda juga berbaring dengan napas yang masih naik-turun. Di wajahnya juga tampak segurat senyum.
Malam masih panjang. Mereka tahu masih ada pendakian selanjutnya.
Indra menepikan mobilnya di depan sebuah rumah yang alamatnya tercantum dalam selembar kertas yang telah ia siapkan. Dia kemudian turun dan melangkah menuju
pintu gerbang. Semoga saja Febiola yang membukakan pintu, harapnya.
Harapan Indra terkabul. Saat melangkah memasuki halaman rumah yang luas itu, pintu rumah tampak terbuka dan sesosok perempuan bertubuh tinggi semampai
berdiri di ambang pintu dengan senyum yang menawan.
"Fer," sapanya dengan ceria. "Kau benar-benar datang!"
Indra pun segera yakin kalau inilah si Febiola yang tadi siang meneleponnya. Indra tersenyum melihat sorot kebahagiaan yang jelas terpancar dari mata perempuan
itu. Febiola mempersilakannya masuk, dan Indra duduk di sebuah sofa besar di ruang tamu.
Begitu Indra duduk, Febiola masuk ke dalam dan mengatakan sesuatu yang terdengar oleh Indra dari ruang tamu.
"Ma, coba lihat siapa yang datang!" seru Febiola.
Hanya berselang beberapa detik, Febiola telah keluar lagi dari ruang tengah bersama ibunya. Andini, ibu Febiola, segera takjub melihat siapa yang duduk
di ruang tamu. "Ya Tuhan, Indra!" pekik Andini dengan ekspresi terkejut.
Febiola segera meralat, "Bukan Ma, ini Ferry, saudara kembarnya." Lalu Febiola berpaling pada Indra dan tersenyum, "Mamaku fans berat saudara kembarmu."
Indra segera memberikan keramahannya pada ibu Febiola, dan wanita itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan yang langka itu. Dia duduk di salah satu sofa di
dekat Indra, dan kemudian menatap Indra dengan takjub. Sementara Febiola masuk kembali ke dalam.
"Kau benar-benar mirip Indra, Nak," kata Andini. "Siapa namamu tadi?"
"Ferry, Tante," jawab Indra dengan sopan.
"Jadi benar kalau Indra punya saudara kembar?"
"Benar, Tante." Indra tak bisa membayangkan bagaimana hebohnya wanita itu kalau tahu dia benar-benar Indra.
"Tante tuh fans berat saudara kembarmu," lanjut Andini sambil tersenyum. "Semua sinetronnya pasti Tante tonton. Bukan cuma karena dia asal Semarang, tapi
karena aktingnya benar-benar natural dan enak dilihat."
Indra hanya bisa tersenyum dan menjawab, "Nanti saya akan menyampaikannya ke Indra."
"Dia sering pulang ke Semarang?" tanya Andini.
"Kadang-kadang, Tante, kalau pas tidak ada syuting."
Tatapan Andini tampak berbinar-binar. "Ajaklah dia kemari kalau pulang, ya?"
Sekali lagi Indra hanya bisa mengangguk dan memberikan senyumnya.
Febiola keluar lagi, kali ini dengan dandanan yang lebih cantik. Ibunya segera memahami.
"Kalian mau keluar?" tanya Andini pada putrinya.
Febiola menjawab dengan gaya yang manja, "Iya, Ma. Ferry kesini kan bukan untuk menemui Mama."
Ibunya hanya tertawa. Indra lalu berpamitan, dan Febiola pun melangkah di sampingnya.
Langit malam itu tampak redup. Bintang-bintang tak bersinar. Semarang disaput mendung.
*** Ketika Indra membukakan pintu mobil untuk Febiola, sebuah ponsel yang mengkilap jatuh ke lantai keramik di dealer tempat Anisa bekerja.
Saat itu seorang pembeli merasa tertarik dengan salah satu ponsel yang dipajang di etalase. Anisa mengambil kunci etalase dan membuka pintu kacanya, lalu
mengambil ponsel yang diinginkan si pembeli. Saat itulah Anisa merasakan jari-jari tangannya gemetar, dan tanpa bisa ditahan ponsel yang mengkilap itu
pun jatuh menimpa lantai keramik di bawahnya.
Sang pembeli tampak terkejut. Kawan-kawan kerja Anisa lebih terkejut lagi. Majikannya yang berada tak jauh darinya terlihat menggelengkan kepala. Anisa
merasa sangat kebingungan.
Langit meneriakkan suara guntur. Bintang-bintang semakin tenggelam.
Di dalam mobil, Indra tengah menikmati musik yang mengalun dan juga menikmati suara Febiola yang merdu.
"Aku tidak menyangka kita bisa bertemu lagi, Fer," kata Febiola. "Saat melihatmu di rumah sakit itu, dan kemudian kita berkenalan, aku selalu ragu-ragu
untuk menghubungimu."
"Hingga tadi siang...?" sahut Indra dengan manis.
"Ya, hingga tadi siang." Febiola menjawab jujur. "Tadi siang tuh aku lagi suntuk. Nilai-nilai ujianku baru keluar, dan hasilnya jeblok. Mengobati suntuk,
aku iseng main-main game di ponselku dan kemudian ingat namamu. Aku nekat saja meneleponmu. Ternyata kau benar-benar sudah lupa."
Indra tertawa. "Untung saja nilaimu jeblok. Jadi kita bisa bertemu lagi."
Kali ini Febiola yang tertawa. "Tapi kau tidak akan lupa lagi, kan?"
Indra tersenyum. "Itu tergantung caramu membuatku selalu mengingatmu."
Mendung yang sejak tadi menggantung kini benar-benar turun dalam hujan yang mengguyur bumi. Jam digital di dasbor mobil menunjukkan pukul 20:23. Biasanya
Indra tengah bersiap untuk berangkat menjemput Anisa, lalu menungguinya selesai dari pekerjaannya, dan kemudian mengantarkannya pulang ke rumah. Namun
di sisi Febiola malam ini, Indra benar-benar terlupa. Pesona Febiola telah menyedot semua hal lain yang ada dalam pikirannya.
Indra membelokkan mobil dan memasuki pelataran swalayan besar. Ada sebuah restoran yang cukup nyaman di komplek swalayan ini, dan Indra menyukai masakannya
yang enak. Mobilnya terus melaju, memutari pelataran parkir swalayan dan terus mendekati lokasi restoran.
"Kau mau kita makan malam di sini?" tanya Indra saat menghentikan mobilnya di tempat parkir dekat restoran itu.
"Tentu," jawab Febiola.
Hujan masih mengguyur. Mereka turun dari mobil dan kemudian berlari-lari menuju restoran. Karena terburu-buru, Indra tidak sempat mengambil ponselnya yang
ia taruh di atas dasbor mobilnya. Mereka memasuki restoran dengan tubuh yang agak basah.
"Kencan pertama yang tidak mengesankan," ujar Indra sambil tersenyum saat menarikkan kursi untuk Febiola.
Febiola duduk dan menatap Indra dengan tatapan yang manis. "Bagiku, ini pasti akan menjadi kencan pertama yang sangat berkesan."
Pelayan datang, dan buku menu disodorkan. Tak lama kemudian hidangan pun diantarkan. Indra menikmati masakan yang dihidangkan untuknya, Febiola menikmati
kebersamaannya dengan Indra.
Hujan masih turun dan semakin deras mengguyur.
Setelah menikmati makan malam, Indra dan Febiola bercakap-cakap dengan perasaan dan suasana yang semakin akrab. Di atas kursi di dalam restoran itu, Indra
membayangkan Ferry yang saat ini pasti tengah menikmati kencan-kencannya di Jakarta. Jadi, apa salahnya kalau dia di sini juga memperoleh kencan yang sama"
Dan jika ini kencan pertama, Indra tahu akan ada kencan kedua, ketiga, dan...siapa tahu"
*** Hanya berjarak lima kilometer dari tempat Indra dan Febiola menikmati makan malam, Anisa tengah kebingungan karena menunggu pacarnya yang tak kunjung datang.
Biasanya Ferry sudah datang seperempat jam sebelum waktu tutupnya dealer. Tapi sekarang telah lewat pukul sembilan dan Ferry tidak datang juga.
Tadi saat dealernya baru tutup, Anisa telah mengirim SMS ke ponsel Ferry, namun tak ada jawaban. Sampai kemudian seluruh kawan kerjanya pulang satu-persatu.
Anisa berdiri sendirian di depan dealernya yang kini telah tutup, menunggu Ferry yang tak juga kunjung tiba.
Anisa sudah menelepon ke ponsel Ferry. Dia mendengar nada sambung. Tapi Ferry tidak menerimanya. Sekali lagi diteleponnya. Sekali lagi terdengar nada sambung.
Dan sekali lagi Ferry tidak menerimanya. Apa yang terjadi dengan Ferry" Anisa merasa mengkhawatirkannya.
Sekarang sudah pukul setengah sepuluh. Angkot sudah tak ada karena sudah larut malam. Becak yang biasa berlalu-lalang kini tak terlihat satu pun karena
hujan turun dengan deras. Anisa semakin merapatkan tubuhnya pada pintu besi dealernya untuk menghindari tempias air hujan, sambil berharap sesaat lagi
Ferry akan datang. Tapi guntur yang kemudian datang bersama kilat yang menerangi jalanan aspal di hadapannya, dan langit semakin deras mengguyurkan hujan. Anisa merasakan
tubuhnya menggigil kedinginan. Ada apa dengan Ferry..."
Sekali lagi Anisa mencoba menghubungi ponsel Ferry dan berharap kali ini Ferry menerimanya. Didekatkannya ponsel ke telinga agar suara deras hujan tak
mengganggu pendengarannya. Anisa kembali mendengar nada sambung dalam ponselnya. Dia menghitung nada sambung itu satu demi satu. Dan harapannya kian menipis
seiring jumlah hitungannya yang semakin besar. Ferry tak juga menerima teleponnya. Juga tak kunjung datang.
*** Di dalam salah satu mobil yang terparkir di komplek swalayan, di depan restoran, sebuah ponsel di atas dasbor terus-menerus berdering namun suaranya teredam
oleh pintu mobil yang tertutup rapat, juga oleh derasnya suara hujan. Gelegar halilintar yang datang semakin membuat dering ponsel itu tak terdengar siapapun.
*** Di salah satu sudut dalam restoran, Indra dan Febiola tengah berpandangan mesra, dipisahkan oleh meja di tengah-tengah mereka. Keduanya sama sekali tak
peduli hujan di luar. *** Indra baru menyadari kesalahannya ketika telah pulang kembali ke rumah. Larut malam itu, setelah memasukkan mobil ke dalam garasi, dia meraih ponsel di
atas dasbor dan melihat tanda missed call di layar ponselnya. Indra langsung tahu kalau Anisa sudah menghubunginya berkali-kali. Anisa juga telah berkirim
SMS ke ponselnya. Bagaimana dia bisa lupa?"" Dan yang lebih gila lagi, bagaimana ponsel sialan ini sampai tertinggal dalam mobilnya"
Keesokan paginya, Indra segera menuju ke rumah Anisa. Rasa bersalah terasa menggunung dalam dadanya. Anisa memang bukan pacarnya. Dia pacar Ferry, saudaranya.
Tapi bagaimana pun juga, Indra telah berjanji pada Ferry untuk melakukan kewajibannya, dan lebih dari itu, Indra pun tahu Anisa sangat tergantung pada
Ferry. Oh, Tuhan, apa yang telah kulakukan semalam"
Sesampai di rumah Anisa, perasaan Indra semakin tak karuan. Ayah Anisa baru keluar dari rumah untuk berangkat bekerja, dan dia menyambut kedatangan Indra
dengan ramah. Sementara Wahyuni, ibu Anisa, menyongsong kedatangan Indra dan mengabarkan Anisa yang terkena demam. Sama sekali tak ada nada menyalahkan
dari ucapan sang ibu, tapi Indra semakin merasa bersalah.
Indra dibawa ke kamar Anisa. Saat memasuki kamarnya, Indra mendapati Anisa yang terbaring lemah dengan tubuh menggigil. Indra mendekat kepadanya.
"Maafkan aku, Nis," kata Indra sambil menatap wajah Anisa yang pucat. "Semalam aku... tertidur, dan tidak mendengar saat kau menelepon."
Anisa menatap wajah di depannya dan menjawab lirih, "Tidak apa-apa, Fer. Kau mungkin terlalu capek..."
Indra tak mampu menjawab apa-apa selain merasakan penyesalannya semakin menggunung.
"Aku malah khawatir kalau kau kenapa-napa," lanjut Anisa. "Syukurlah, kau cuma tertidur."
Saat itu, ingin sekali Indra mendekap sosok di hadapannya, menyatakan penyesalannya. Namun yang dapat dilakukannya hanyalah menatap wajah Anisa dengan
pandangan permintaan maaf.
"Bagaimana kau pulang tadi malam?" tanya Indra kemudian.
"Aku menelepon teman yang rumahnya dekat dengan tempat kerjaku. Untunglah Risti bersedia mengantarku pulang."
"Kau pasti lama menungguku..."
Anisa menggeleng lemah. "Aku hanya khawatir sesuatu terjadi pada dirimu."
Anisa membetulkan letak selimutnya, dan Indra pun membantunya. Tampak butir-butir keringat di dahi Anisa. Indra mengambil saputangan dan mengelap keringat
itu. "Kau berkeringat, Nis," kata Indra.
"Iya, tapi badanku rasanya dingin sekali, Fer."
"Kau sudah minum obat?"
"Tadi sehabis sarapan, Ibu sudah membelikan obat."
Indra menatap wajah Anisa yang masih berkeringat. "Kau ingin sesuatu?"
Anisa tersenyum lemah, dan menjawab dengan lirih, "Kalau kau tidak ada keperluan lain, aku hanya menginginkan kau tetap di sini."
Dan Indra menurutinya. Di dalam kamar itu, Indra memperhatikan keadaan sekelilingnya. Kamar itu begitu sederhana, jauh berbeda dengan kamar yang biasa ditinggalinya. Di atas
meja dekat tempat tidur, Indra melihat foto Ferry yang dipasang dalam bingkai sederhana berwarna kombinasi merah-hitam. Sementara di samping foto itu ada
sebuah benda hiasan mungil yang cantik terbuat dari kaca dan tampak tulisan grafir F & A. Mungkin itu hadiah Ferry saat Anisa ulang tahun, atau kado Valentine.
Lalu tatapan Indra tertuju pada sebuah bungkusan tas plastik yang ada di atas meja. Indra tahu itu tas plastik dealer ponsel tempat Anisa bekerja. Warnanya
putih dan tertera logo besar dealer itu. Dan tas yang cukup besar itu tampak membungkus sebuah kardus ponsel di dalamnya.
"Kau beli ponsel baru ya?" tanya Indra spontan pada Anisa.
Di luar dugaan Indra, Anisa jadi sangat gugup dengan pertanyaan itu. Dia mencoba menjawab namun ucapannya tidak jelas, terdengar bingung dan tergagap-gagap.
Indra jadi bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan Anisa" Dan mengapa bungkusan ponsel baru itu membuatnya jadi sangat gugup" Indra kemudian merasa ada
sesuatu yang tak beres. Setelah yakin Anisa tidak melakukan hal yang akan memalukan jika ia tanyakan, Indra pun memberanikan diri untuk bertanya, "Apa
yang terjadi, Nis?" Anisa menjawab dengan tergagap. "Tidak...tidak apa-apa, Fer."
"Dan bungkusan itu?" Indra mengarahkan matanya ke bungkusan ponsel di atas meja.
Sekali lagi Anisa tak bisa menjawab.
Indra mendekatkan wajahnya pada Anisa, dan berkata, "Nis, aku pacarmu, ingat" Apapun masalahmu, itu juga jadi masalahku. Katakanlah. Aku pasti akan membantu..."
Anisa jadi semakin serba salah. "Aku...aku telah banyak menyusahkanmu, Fer..."
"Aku selalu senang melakukannya untukmu." Indra meyakinkannya. "Katakanlah. Ada masalah apa menyangkut ponsel itu?"
Anisa tetap tak bisa menjawab.
"Aku boleh melihatnya?"
Anisa pun terlihat pasrah. Indra mengambil bungkusan itu, dan dengan penasaran diambilnya kardus ponsel dari dalam tas plastiknya. Indra mendapati sebuah
ponsel seri terbaru dalam kardus itu.
Ini benar-benar ponsel baru, pikirnya sambil mengamati ponsel di tangannya. Tapi...ada bagian-bagian yang tampak sedikit retak dan tergores. Ini bukan
jenis ponsel murahan yang bisa digonta-ganti casingnya sesuai selera pemiliknya. Indra tahu harga ponsel ini di atas empat juta. Lalu jari-jarinya meraba
retakan dan goresan yang terdapat pada ponsel itu. Dan Indra pun segera memahami apa masalah yang menimpa Anisa.
"Kau menjatuhkan ponsel ini?" tanyanya kemudian.
Anisa hanya dapat mengangguk lemah.
Sekali lagi Indra menyimpulkan masalahnya. "Dan kau diminta menggantinya?"


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anisa pun menjelaskan dengan suaranya yang lemah, "Aku sama sekali tak sengaja waktu itu, Fer. Tanganku gemetaran, lalu ponsel itu terlepas dan jatuh.
Aku harus menggantinya. Tapi majikanku memberikan kelonggaran, aku dapat mencicilnya dari uang gajiku."
Indra kembali menatap ponsel itu. Harga ponsel ini lebih dari empat juta. Berapa gaji Anisa perbulan sebagai karyawan paruh waktu" Jika ia harus mencicilnya,
berapa besar yang akan digunakan untuk mencicil itu" Dan butuh berapa bulan atau bahkan berapa tahun untuk mencicilnya"
Indra mendesah tertahan. Mengapa Anisa harus menghadapi masalah seperti ini..."
Sepulang dari rumah Anisa siang hari, Indra mampir ke sebuah boks ATM yang ada di sebuah pelataran kantor bank. Halaman parkir bank terlihat ramai, sementara
beberapa orang tampak masih antri di depan boks ATM.
Sambil menunggu antrian itu berkurang, Indra kembali ke dalam mobilnya. Sambil duduk di dalam mobil, Indra menghitung hari-hari yang telah dilewatinya
di Semarang. Sejak pertama kali bertukar tempat dengan Ferry, tak terasa mereka telah melewati waktu dua puluh satu hari. Tinggal sembilan hari lagi.
Sembilan hari lagi permainan ini akan usai dan masing-masing akan kembali ke tempatnya semula. Dia akan kembali ke Jakarta, dan Ferry akan pulang ke Semarang.
Setelah itu, mereka pun akan melanjutkan hari-harinya seperti biasa. Dia menjadi artis dengan segala aktivitasnya, dan Ferry akan kembali menjalani hidup
sebagai mahasiswa dengan berbagai masalahnya. Alangkah cepat rasanya waktu berlalu.
Rasanya baru kemarin dia dan Ferry merencanakan permainan ini. Rasanya baru kemarin dia melepas kepergian Ferry ke Jakarta untuk menggantikan dirinya.
Tetapi sekarang sudah dua puluh satu hari. Tiga minggu. Dan sembilan hari lagi semuanya akan selesai.
Apa yang telah didapatkannya selama ini" Dua puluh satu hari yang berlalu seperti tak memberikan apa-apa, namun Indra tahu waktu yang singkat itu telah
memberikan banyak hal kepadanya. Selama tinggal di Semarang, Indra memperoleh banyak hal baru yang tak mungkin ia dapatkan seandainya dia dan Ferry tak
melakukan permainan ini. Di sini, Indra kembali memperoleh kehidupan yang dulu pernah dirasakannya. Di sini Indra mendapatkan pelajaran-pelajaran baru tentang kesederhanaan. Persahabatan.
Juga tentang perjuangan yang dilakukan para aktivis mahasiswa yang idealis seperti Ferry dan kawan-kawannya, yang rela melakukan hal-hal besar bahkan berisiko
tanpa tujuan materi. Di sini Indra seperti disadarkan, bahwa di balik kehidupan gemerlap seperti yang biasa ia nikmati, ada orang-orang seusianya yang kesulitan menanggung
hidup yang seharusnya belum ditanggungnya. Di sini pula Indra mendapatkan kedekatan dengan Anisa. Dan mengagumi kecantikannya yang inner. Mengagumi perjuangan
hidupnya. Mengagumi kelembutan hatinya. Sekaligus tersentuh oleh kehidupannya. Sekaligus merasakan ada sesuatu yang bergetar di hatinya...
Antrian di depan boks ATM sudah hampir habis, dan Indra segera keluar dari mobilnya. Hanya butuh waktu sesaat sampai kemudian gilirannya masuk ke dalam
boks ATM, lalu ia mengambil uang yang dibutuhkannya.
Dengan uang cash empat juta dalam saku celananya, Indra menuju ke dealer ponsel tempat Anisa bekerja. Hari ini Anisa tidak masuk. Tadi pagi Anisa telah
menghubungi majikannya dan meminta ijin tak masuk karena sakit, dan majikannya pun telah mengijinkannya.
Indra sudah tahu pemilik dealer tempat Anisa bekerja. Seorang lelaki keturunan Tionghoa berwajah ramah, berusia sekitar lima puluhan, dan biasa duduk di
belakang sebuah meja di salah satu sudut dealer. Karenanya, begitu sampai di dealer itu, Indra pun segera menuju ke tempatnya.
"Selamat siang, Om," sapanya dengan sopan.
Lelaki pemilik dealer itu menerima Indra dengan ramah, dan mempersilakannya duduk di kursi yang ada di depannya.
Indra memperkenalkan dirinya. "Saya Ferry, pacar Anisa, salah satu karyawan yang bekerja di sini."
"Ya?" Indra melanjutkan, "Hari ini Anisa tidak bisa masuk, karena demam setelah semalam kehujanan."
"Oh itu, tadi pagi dia juga sudah menelepon ke sini, dan dia sudah diijinkan untuk tidak masuk. Fisiknya memang agak lemah, anak itu."
Indra mengangguk. "Selain itu, Om, saya dengar Anisa harus mengganti ponsel yang dijatuhkannya..."
"Oh itu, iya. Itu sudah masuk dalam perjanjian antara kami dengan para karyawan yang bekerja di sini. Kami tahu Anisa tidak sengaja menjatuhkannya. Tapi
itu sudah diatur dalam perjanjian. Anisa harus menggantinya. Peraturan itu sebenarnya dibuat dengan tujuan agar para karyawan lebih hati-hati dalam memperlakukan
barang-barang yang dijual di sini. Tapi tidak perlu khawatir. Anisa tidak perlu membayarnya sekaligus. Dia bisa mencicil dengan memotong uang gajinya."
Indra pun menyampaikan maksudnya. "Begini, Om, saya kesini untuk mengganti harga ponsel yang jatuh itu."
"Oh, begitu." "Berapa harga ponsel itu?" tanya Indra langsung.
"Sebentar." Lelaki itu menarik laci mejanya, mengambil sebuah buku daftar harga, kemudian menggerakkan jarinya untuk mengurutkan harga yang tersusun rapi
di sana. "Ini dia," katanya kemudian, "empat juta dua ratus ribu rupiah."
Indra mengambil uang dari dalam saku celananya, menghitung sejumlah yang disebutkan, kemudian menyodorkannya kepada si pemilik dealer.
Uang itu pun berpindah tangan. Si pemilik dealer menghitungnya dengan lebih cepat. Kemudian diambilnya beberapa lembar dan diserahkannya kembali pada Indra.
"Kau tidak perlu mengganti seluruh harganya. Ambillah uang kembalian ini."
Indra menerima kembali empat lembar lima puluh ribuan yang disodorkan kepadanya, dan mengantonginya kembali. Kemudian dia menatap lelaki di hadapannya.
"Jadi, gaji Anisa tidak perlu dipotong, kan?"
"Oh itu, tentu saja."
"Dan, saya minta agar Om tidak perlu memberitahukan hal ini pada Anisa."
"Oh itu, tak perlu khawatir." Kemudian dia tersenyum pada Indra.
Indra bangkit, menyalami lelaki itu, kemudian berlalu. Saat Anisa mendapatkan gajinya mendatang, dia sudah tak ada lagi di Semarang, dan biarkan Ferry
yang akan menjelaskannya.
*** Tetapi kenyataan yang terjadi kemudian tidak sama dengan yang dibayangkan dan diharapkan oleh Indra. Hanya berselang empat hari setelah dia keluar dari
dealer ponsel itu, sesuatu yang tak pernah terbayangkan terjadi.
Sore itu, seperti biasa, ibunya menonton acara infotainment kesukaannya di televisi. Meski ia tahu anaknya yang artis ada di Semarang, Silvia tetap menonton
acara itu karena sudah menjadi kebiasaan. Barangkali saja Ferry bikin ulah di Jakarta dan masuk acara itu karena disangka Indra, pikirnya. Dan sore itu
berita di infotainment yang ditontonnya benar-benar memberitakan hal yang sama seperti yang dibayangkannya. Infotainment edisi itu menayangkan berita tentang
Ferry yang disangka Indra, hanya saja berita kali ini lebih mengerikan dari berita-berita terdahulu yang biasa ditontonnya menyangkut Indra.
Pembawa acara infotainment itu masih menyiarkan...
"...Indra Gunawan, artis muda yang saat ini sedang menjadi idola para pecinta sinetron Indonesia, mengalami kecelakaan tragis pagi hari tadi. Mobil yang
dinaikinya bersama tiga orang kawannya terguling dan masuk ke dalam jurang. Polisi yang bertugas menangani kasus ini menyatakan mobil tersebut meledak
dan terbakar begitu membentur dasar jurang. Ketika dilakukan evakuasi, Indra Gunawan bersama tiga orang kawannya telah hangus saat ditemukan, dan..."
"Ya Tuhan, Feerrrryyy...!!!"
Indra yang sedang berada di dalam kamar segera saja menerobos keluar begitu mendengar ibunya menjerit histeris di ruang tengah. Dia mendapati ibunya yang
tengah histeris dan menangis dengan tubuh terguncang-guncang, sementara layar televisi masih menayangkan berita tentang kematian artis "Indra Gunawan".
Indra merasa darahnya membeku.
Malam harinya, setelah yakin kalau berita kecelakaan itu bukan hanya sekadar gosip, Indra dan kedua orang tuanya pun telah berada dalam perjalanan ke Jakarta.
Yang paling berat bagi Indra adalah saat menerima kedatangan Anisa. Gadis itu datang untuk menyampaikan belasungkawa. Dia sama sekali tak menyadari bahwa
sosok yang telah tewas dalam kecelakaan itu adalah Ferry, kekasihnya. Untungnya, saat Anisa datang, Silvia tengah pingsan hingga Anisa tak sempat mendengarnya
meratap menyebut-nyebut nama Ferry.
Ketika melihat Indra tampak sangat berduka, Anisa pun memeluknya dan menghiburnya.
Dalam pelukan Anisa saat itu, Indra dihempas perasaan galau yang luar biasa. Dia bukan hanya menghadapi kedukaan karena ditinggal mati saudara kembarnya,
dia juga ditikam kenyataan yang sangat membingungkannya. Apa yang harus dikatakannya pada sosok yang tengah memeluknya ini" Dan sebelum Indra menyadari
apa yang harus diperbuatnya, dia telah menangis dalam dekapan Anisa.
Mereka sampai di Jakarta menjelang subuh, dan disambut oleh Dimas yang masih berjaga di rumah Indra di Jakarta. Dimas sengaja "kabur" ke rumah Indra karena
rumahnya sendiri telah dipenuhi wartawan.
Muladi menuntun istrinya turun dari mobil, dan Dimas segera menyongsong mereka. Saat melihat Indra, Dimas terpaku seperti melihat hantu, tapi dia tak mengatakan
apa-apa. Saat kedua orang tuanya telah beristirahat di dalam kamar, dan sopir mereka telah tidur di kamar tamu, Indra bercakap-cakap dengan Dimas di ruang depan.
"Ceritakan padaku tentang kecelakaan itu," pinta Indra dengan linglung.
Dimas pun menceritakannya. Secara runtut dan lengkap dengan gayanya yang efektif seperti biasa. "Sore itu sekitar pukul lima, Indra bersama teman-temannya
yang lain berangkat ke Bogor dalam satu mobil untuk menghadiri acara ulang tahun Pak Hasnan Wibowo"produser Indra."
Indra mengangguk. Dimas melanjutkan, "Acara ulang tahun Pak Hasnan diadakan di villa pribadinya, dan acara itu selesai sekitar pukul sepuluh atau setengah sebelas malam.
Para tamu kemudian pulang satu persatu, ada pula yang menginap di villa lain. Pak Hasnan juga tidak pulang malam itu. Sementara Indra bersama kawan-kawannya
kemudian pindah ke villa lain milik salah satu dari mereka."
Indra kembali mengangguk.
"Nah," lanjut Dimas, "menjelang subuh, mereka mungkin mendapat kabar dari seseorang yang mengabarkan kalau Doni, salah satu kawan mereka yang dirawat di
rumah sakit, meninggal dunia."
Indra tersentak. "Do...Doni?" tanyanya tergagap.
Dimas menatap Indra dengan terkejut. "Kau juga mengenalnya?"
Indra menjawab dengan linglung, "Aku... aku pernah dikenalkan dengannya. Doni, yang suka dugem itu."
Dimas tersenyum sekilas dan mengangguk. Kemudian melanjutkan, "Mereka tentu diberitahu kalau jenazah Doni akan dikebumikan pagi itu. Karena Doni sahabat
dekat mereka, Indra dan kawan-kawannya pun mungkin bersikeras untuk bisa hadir dalam pemakamannya. Maka menjelang subuh itu mereka turun untuk pulang.
Tidak ada yang tahu siapa yang menyetir mobil saat itu. Tapi yang jelas, pada suatu tikungan yang tajam, mobil mereka tergelincir dan sopirnya mungkin
tak mampu menguasai mobil kembali, hingga kemudian terperosok dan jatuh ke sebuah jurang di sana."
Dimas berhenti sebentar. Kemudian melanjutkan perlahan, "Mobil itu menghantam dasar jurang. Kemudian meledak. Polisi menyebutkan bensin dalam tangkinya
kemungkinan telah diisi penuh, dan kebakaran langsung berkobar."
Indra menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Malang sekali nasibmu, Fer.
"Tidak ada yang tahu kejadian itu karena masih sangat pagi. Ketika kecelakaan itu terjadi, jalanan masih amat sepi," kata Dimas melanjutkan. "Baru keesokannya,
sekitar pukul delapan pagi, seorang pejalan kaki tak sengaja melihat bangkai mobil yang masih terjilat api di dasar jurang, kemudian dia menghubungi polisi."
Dengan masih linglung, Indra bertanya perlahan, "Siapa lagi yang ikut tewas dalam kecelakaan itu?"
"Saat dievakuasi, polisi menemukan mayat-mayat yang telah hangus. Kami kesulitan mengenali secara pasti siapa-siapa saja di antara mereka, namun dari barang-barang
yang tertinggal dan tak ikut hancur, kami mulai mengenali siapa saja korban kecelakaan itu. Rafli, Daniel, Nathan, dan Indra." Dimas menatap Indra sejenak,
kemudian melanjutkan, "Orang tua Nathan juga membenarkan kalau anak mereka dijemput saudaramu dan ketiga kawannya yang lain."
Sekali lagi Indra menutupkan kedua tangan pada wajahnya, membayangkan Ferry, dan menyayangkan kejadian tragis itu.
Karena jenazah Ferry tak mungkin dibawa ke Semarang, keluarganya pun menyetujui untuk memakamkan jasad Ferry di salah satu pemakaman umum di Jakarta.
Hari itu pun, empat jenazah sekaligus dibawa ke pemakaman yang sama, dengan pelayat yang memadati jalanan. Ribuan orang mengikuti iring-iringan mobil jenazah,
dan para keluarga yang ditinggalkan tampak masih menangis dalam mobil-mobil mereka.
Artis-artis populer yang biasa muncul di televisi tampak berjejalan di antara ribuan orang yang ikut melayat. Ratusan wartawan dan fotografer turun ke
jalanan. Kamera-kamera dari media massa berseliweran merekam kejadian hari itu, dan stasiun-stasiun televisi menyiarkan berita mengharukan itu secara live.
Empat orang artis muda yang sangat populer meninggal dalam waktu bersamaan.
Dunia hiburan pun berkabung.??
*** Satu minggu lebih setelah kejadian itu, suasana duka belum juga terangkat dari rumah keluarga Indra. Dan setiap kali Indra punya kesempatan berbicara dengan
ibunya, selalu saja ibunya menyesali permainan tukar tempat itu. Kedukaan dan rasa kehilangan Silvia atas kematian Ferry terlihat amat besar. Itu dapat
dimaklumi karena selama ini Ferrylah yang dekat dengannya karena tinggal di Semarang, sedang Indra hidup jauh di Jakarta.
Tapi terkadang Indra merasa nelangsa sendirian di dalam kamar. Ibunya seperti tak terima dengan kematian Ferry, dan seolah menyalahkan Indra atas tragedi
itu. "Seharusnya kalian tidak melakukan permainan bodoh itu! Kalau saja Ferry masih di sini, dia tidak akan mengalami kecelakaan itu!" Entah sudah berapa
kali Indra mendengar kata-kata itu.
Indra merasa dirinya diguncang berbagai macam persoalan. Dia merasa amat kehilangan saudara kembarnya. Ibunya seperti menyalahkan dirinya atas kejadian
itu. Sementara dia sendiri juga masih tenggelam dalam kebingungan untuk menghadapi hidup setelah semuanya ini normal kembali. Akan jadi siapa dirinya"
Indra merasa tidak mungkin selamanya akan tetap menjadi Ferry. Semirip apapun mereka, dan semampu apapun Indra memerankan Ferry, tapi dia bukan Ferry.
Indra tak mungkin terus menempati posisi Ferry dan terus menggunakan identitas Ferry.
Indra merasa galau memikirkan hal itu. Dan di atas galanya, Indra merasa sangat tertekan setiap kali menghadapi Anisa, kekasih Ferry. Perempuan itu sama
sekali tidak tahu bahwa dia telah kehilangan kekasihnya. Anisa sama sekali tak menyadari bahwa Ferry telah tewas dalam kecelakaan itu dan meninggalkan
dirinya. Anisa masih yakin bahwa sosok yang sekarang ada di Semarang ini adalah Ferry, kekasihnya, dan ia masih meyakini sebagaimana orang lain meyakini,
bahwa yang tewas dalam kecelakaan itu adalah Indra.
Indra merasa kalut setiap kali mencoba memikirkan cara untuk menjelaskan hal ini pada Anisa. Semua keluarganya telah sampai pada puncak kedukaan, dan Indra
tahu pada akhirnya kedukaan itu akan reda dan semakin mereda. Tetapi Anisa belum mengalaminya. Anisa hanya tahu ia telah kehilangan saudara kekasihnya.
Sesedih apapun, Anisa tetap akan merasakan kesedihan yang lebih besar dan lebih berat setelah kelak ia tahu bahwa yang meninggal itu adalah Ferry, kekasihnya.
Dan Indra yang paling bertanggung jawab untuk menyampaikan kejujuran itu. Indra telah terlibat dari awal sejak permainan ini dilakukan, dan sekarang dia
pula yang akan menanggung akibatnya.
Selama dua minggu ini, Anisa beberapa kali datang mengunjunginya, memberikan perhatiannya yang didorong oleh kesadaran bahwa kekasihnya tengah berduka.
Anisa biasanya akan menemani Indra, memberikan penghiburan kepadanya, meredakan kesedihannya. Selama kedatangan Anisa, Indra akan merasa tersiksa setengah
mati. Perempuan ini tidak tahu!
Ketika masalah identitas yang amat mengacaukan pikirannya itu mulai ia bicarakan dengan kedua orang tuanya, ayahnya dengan bijak mengatakan, "Kau sendiri
beserta Ferry yang telah memulai permainan itu. Sekarang Ferry sudah tidak ada, jadi tinggal kaulah yang harus menentukan bagaimana mengakhirinya. Pokoknya,
apapun yang akan kaulakukan untuk mengakhiri permainan ini, pikirkanlah dengan matang, dengan saksama."
Sementara ibunya menangis dan berkata tersendat-sendat, "Jangan katakan hal yang sebenarnya pada Anisa, Ndra. Mama tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya
perasaan Anisa kalau sampai tahu semua ini..."
Jadi Indra berada di tengah-tengah tempat yang dilematis. Dia tetaplah Indra, bukan Ferry. Dia harus menentukan bagaimana menyelesaikan dan mengakhiri
permainan bodoh yang telah dilakukannya bersama Ferry. Indra berpikir bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri permainan ini secara bijak adalah dengan
jujur mengakui bahwa dia adalah Indra"bukan Ferry.
Tetapi jika itu yang ia lakukan, maka Indra harus berhadapan dengan hati Anisa, dengan kehancuran seorang perempuan yang amat mencintai kekasihnya.
*** Saat menerima gajinya bulan ini, Anisa terkejut mendapati jumlah uangnya tak berkurang sama sekali. Anisa masih ingat dia bertanggung jawab untuk mengganti
ponsel yang dijatuhkannya, dan Anisa pun telah menyetujui untuk mencicilnya melalui potongan gajinya.
Pasti ada yang salah, pikir Anisa saat menemui petugas di dealer yang memberikan pembayaran gajinya.
"Mbak Fit," kata Anisa kepadanya, "mungkin ada yang salah dengan gajiku bulan ini. Kemarin aku diminta untuk mengganti ponsel yang jatuh itu, dan tentunya
mulai bulan ini gajiku sudah mulai dipotong."
Fitria, si petugas, menjawab, "Iya, aku juga sudah menanyakan itu pada Om Kris. Tapi kata beliau, masalah ponsel yang jatuh itu sudah selesai, dan gajimu
tidak perlu dipotong."
"Sudah selesai" Maksudnya bagaimana?" Anisa tak paham.
"Wah, aku tidak tahu tuh, Nis. Aku hanya diminta membayar gajimu secara penuh," jawab Fitria.
Anisa jadi bingung. Apakah Ferry telah menyelesaikan masalah ini seperti dulu dia menyelesaikan masalahnya menyangkut pinjaman beasiswa untuk SPP itu"
Didorong rasa penasarannya, Anisa kemudian menemui Om Kris, pemilik dealer tempatnya bekerja.
"Om, mungkin ada yang salah dengan gaji saya bulan ini?" tanyanya saat telah berhadapan dengan majikannya. "Kalau tidak salah, saya harus mulai mencicil
harga pengganti untuk ponsel yang jatuh itu..."
"Anak baik," sahut Om Kris, "ada seseorang yang telah mengganti harga ponsel itu."
"Saya boleh tahu siapa?"
Om Kris tersenyum, lalu menjawab dengan nada rahasia, "Kau tentu sangat mengenalnya, Anisa."
Anisa pun tahu. *** Malam harinya, saat Indra menjemputnya saat pulang kerja, Anisa tidak langsung menyinggung persoalan itu. Tapi ketika mereka kemudian mampir ke sebuah
warung lesehan untuk makan malam, Anisa mulai membicarakannya. Waktu itu warung cukup sepi karena bukan hari libur. Mereka pun telah selesai makan, dan
bungkusan nasi yang telah kosong tampak terbuka di hadapan mereka.
"Fer," kata Anisa, "aku selaluuu membuatmu repot dan susah."
"Oh ya?" Indra menjawab sambil tersenyum pada Anisa yang duduk di sebelahnya. "Aku tidak pernah menyadarinya."
"Seharusnya kau tidak perlu melakukan itu, Fer. Itu tanggung jawabku," kata Anisa kemudian.
"Melakukan apa?" Indra benar-benar telah melupakan apa yang telah dilakukannya.
"Kau tidak perlu mengganti ponsel itu..." Anisa menjawab lirih.
"Oh, itu," sahut Indra.
"Fer, kau tidak perlu mengganti ponsel itu. Aku sudah berjanji pada Om Kris untuk mencicilnya dengan gajiku."
"Kau tidak perlu melakukannya," kata Indra dengan halus.
"Kau juga tidak perlu melakukannya," jawab Anisa. "Aku...aku telah banyak membuatmu susah. Aku..."
Indra menghentikan kata-kata Anisa dengan merengkuh bahunya, dan berbisik, "Lupakan saja."
Indra tidak tahu bahwa kata-kata itu pula yang pernah dikatakan Ferry untuk menenangkan hati kekasihnya.
Siang itu Indra baru memarkir sepeda motor di kampus Ferry dan sedang berjalan bersama Anisa memasuki komplek kampus, saat Wawan mendatanginya dengan terburu-buru.
"Gawat, Fer," kata Wawan pada Indra. "Mereka melakukan taktik devide et impera!"
Jantung Indra mencelos. Urusan apa lagi ini" Indra tidak berani menjawab apa-apa karena tidak paham sama sekali dengan apa yang dikatakan Wawan. Karenanya
ia hanya menatap Wawan dengan pandangan hampa, dan berharap Wawan melanjutkan maksudnya.
"Rektorat berencana hanya memecatmu, Fer," lanjut Wawan.
"Mengapa?" Indra bertanya spontan.
"Mengapa"!" Wawan setengah berteriak mengulangnya. "Karena majalah kita, Fer! Karena apa lagi pikirmu?"
Indra baru paham. "Oh, sori, aku lagi banyak pikiran, jadi tidak langsung paham apa maksudmu," kata Indra kemudian.
Wawan pun tersadar. "Maaf, aku tidak ingat kau baru kehilangan saudaramu. Aku benar-benar terkejut saat tadi mendengar berita itu. Karenanya aku sudah
tak sabar ingin membahasnya denganmu."?
Mereka pun kemudian melangkah menuju komplek gedung UKM dan memasuki ruang kantor UKM Pers. Anisa masih menemani Indra karena juga ingin tahu bagaimana
kelanjutan masalah itu. Di ruang UKM Pers, beberapa mahasiswa yang lain sudah berkumpul. Mereka telah siap untuk membicarakan masalah itu. Tapi Indra tidak siap. Dia sama sekali
tidak tahu bagaimana harus membicarakannya, dia pun tak memiliki gambaran yang jelas dan gamblang menyangkut kasus ini. Ferry terlalu yakin masalahnya
tak akan berakhir segawat ini, dan Ferry pun yakin Indra tak akan diusik oleh kasus ini selama dia menggantikan posisinya. Tapi dugaan Ferry meleset. Dan
sekarang dia telah meninggal. Indra jadi merasa idiot.
Indra tahu para mahasiswa yang berkumpul di kantor itu tengah menunggunya berbicara, namun Indra tak tahu bagaimana harus memulai rapat ini.
"Fer..." Wawan mengingatkan.
"Ehm," Indra memulai dengan bingung, "aku...aku sedang bingung saat ini. Bisakah kau yang memimpin rapat ini?" Indra mengarahkan tatapannya pada Wawan.
Wawan segera mengangguk dengan ekspresi memaklumi. Mungkin Ferry masih kalut atas meninggalnya saudara kembarnya, pikirnya. Wawan pun mulai membuka rapat
itu. Dan Indra menggunakan seluruh konsentrasinya agar bisa mengikuti masalahnya.
"Masalah kita dengan rektorat telah menemui jalan buntu," kata Wawan memulai sambil mengedarkan pandangannya pada kawan-kawannya. "Berita yang kita tulis
dalam majalah itu telah membuat masalah yang sangat serius, dan rektorat pun menanggapinya secara sangat serius pula. Beberapa waktu yang lalu, kami telah
dipanggil menemui Purek Tiga dan membicarakan masalah ini, namun negosiasi kami tak menemukan jalan keluar. Purek Tiga meminta agar kami memuat ralat berita
dalam edisi mendatang, dan kami menolak. Purek Tiga mengancam akan memecat kami dari kampus ini jika permintaan itu tak dipenuhi, dan Ferry..." Wawan mengarahkan
pandangannya pada Indra, "Ferry balik mengancam kalau kami sampai dipecat dari kampus, maka berita mengenai proyek pembangunan universitas ini pun akan
dikirimkan ke koran-koran dan majalah lain."
Wawan terdiam sebentar, kemudian melanjutkan, "Tadi pagi Purek Tiga kembali memanggil Ferry, selaku Pimpinan Umum majalah ini, namun Ferry belum datang
ke kampus. Aku kemudian diminta untuk mewakili, dan aku menemui Purek Tiga di kantornya. Pak Mirwan, Purek Tiga, menjelaskan kepadaku bahwa beberapa hari
yang lalu pihak Rektorat telah memanggil Ferry dan mereka telah membicarakan kembali masalah itu bersama para pejabat universitas yang lainnya, namun tetap
saja berakhir buntu. Pak Mirwan juga menegaskan bahwa sekarang pihak universitas telah mengambil keputusan yang pasti, bahwa mereka akan mengeluarkan SK
pemecatan untuk Ferry dengan alasan telah mencemarkan nama baik universitas." Wawan menelan ludah, memandang kawan-kawannya, lalu kembali melanjutkan,
"Kita tahu pemecatan ini dilakukan untuk memecah-belah kita. Mereka sengaja hanya memecat Ferry seorang karena mungkin mereka pikir Ferry akan menimbang-nimbang
lagi jika hanya dia yang dipecat sementara yang lain tidak."
Setelah terdiam sesaat, Wawan melanjutkan lagi, "Kemudian mengenai ancaman Ferry yang akan membocorkan berita itu ke koran-koran luar. Pak Mirwan mengatakan,
jika hal itu sampai terjadi, maka pemecatan tidak akan berhenti sampai pada Pimpinan Umum saja. Kalau Ferry memberikan berita itu ke koran lain, maka semua
yang terlibat dalam pemuatan berita di majalah itu juga akan dipecat dari kampus. Ini tentu saja taktik memecah-belah yang sangat licik!"
Semua mahasiswa yang ada di ruang kantor itu mulai tampak resah. Mereka mengutuk keputusan yang amat sepihak dan tak adil itu.
"Nah, Kawan-kawan, sekarang apa yang sebaiknya kita lakukan...?" Wawan bertanya sambil mengedarkan pandangannya pada kawan-kawannya.
Indra memahami bahwa suaranya saat ini ditunggu, pendapatnya dinantikan. Ini adalah urusan menyangkutnya"menyangkut Ferry. Dia pemimpin mereka. Indra harus
berbicara. Maka Indra pun mengumpulkan keberaniannya, lalu membuka suaranya. Ia berbicara perlahan-lahan, "Beberapa hari yang lalu, aku memang dipanggil untuk menemui rektorat dan yang lain, saat kalian mengikuti lokakarya di Yogya. Mereka memperlihatkan banyak dokumen, dan berusaha meyakinkanku bahwa semua yang mereka lakukan menyangkut proyek ini adalah sah dan legal. Aku ditekan untuk mengakui itu, dan kita semua diminta untuk melakukan ralat berita seperti yang pernah mereka minta. Waktu itu aku menyatakan akan memikirkannya dulu dengan kalian semua, tapi aku tetap berpikir bahwa kita tidak akan melakukan ralat berita itu."
"Waktu itu tentunya kau tak menyangka akan dipecat seorang diri kan, Fer?" tanya Sofyan.
"Tentu saja tidak," jawab Indra. "Aku masih yakin mereka tak akan berani memecatku atau kalian."
"Dan sekarang?" Wawan menantikan jawaban pasti. Bagaimana pun juga, nasib mereka semua tergantung pada pimpinan mereka.
Indra telah memikirkan jawabannya. "Sekarang pun aku tetap berpegang teguh pada keputusan yang dulu."
"Tidak ada ralat berita?" Sofyan menatap Indra dengan khawatir.
"Tidak ada ralat berita." Indra mengulanginya dengan tegas.
"Kau ingat kalau kau terancam dipecat dari kampus, Fer?" tanya Neni dengan prihatin, sementara semua yang lain menatap Indra dengan terpaku.
Indra balik menatap semua yang ada di situ, kemudian berkata, "Apa yang kita lakukan ini adalah bagian dari perjuangan kita, Kawan-kawan. Jika risikonya
sekarang aku harus dipecat dari universitas, aku siap menerimanya."
Kawan-kawannya menahan napas dan terpaku, dan Indra merasakan Anisa di sebelahnya memegang tangannya dengan erat.
*** Indra telah memikirkan keputusan itu saat pertama kali menyadari bahwa sekarang dia tidak bisa mengalihkan persoalan di kampus itu kepada Ferry. Dulu,
saat Ferry masih hidup, Indra bisa dengan gampang menyatakan bahwa Ferry yang kelak akan menghadapi dan menyelesaikannya, meski ia telah terlibat sedikit
dengan kasus itu. Tetapi sekarang Ferry sudah tak ada lagi. Kasus itu masih menggantung. Indra segera menyadari bahwa dialah yang kini terbebani tanggung
jawab itu, dialah yang harus menyelesaikannya.
Indra telah membayangkan Ferry berulang-ulang kali sebelum menjatuhkan keputusan itu. Ia berpikir dan terus berpikir, apa yang sekiranya akan dilakukan
Ferry seandainya dialah yang akhirnya harus menyelesaikan kasus itu. Indra membayangkan Ferry pun akan melakukan apa yang sekarang dilakukannya. Ferry
tak akan menjilat ludahnya sendiri. Dia tak akan sudi meralat berita yang telah disetujuinya sendiri. Maka Indra pun melakukannya.
Memang bisa saja Indra menyelamatkan diri dengan mengikuti apa mau rektorat, dan melakukan ralat berita seperti yang mereka minta. Sebagai pemimpin majalah
itu, Ferry punya hak untuk melakukannya, dan kawan-kawannya pun pasti akan memaklumi karena ini menyangkut nasibnya.
Tetapi jika itu yang dilakukannya, pikir Indra, maka sama saja dengan mengkhianati perjuangan Ferry. Dengan semua idealisme serta keberaniannya sebagai
seorang aktivis, Ferry telah melakukan hal yang besar ini. Dia membongkar sesuatu yang amat besar menyangkut universitasnya, dan untuk itu ia harus berhadapan
dengan kekuatan universitas yang absolut.
Ferry tentu menyadari bahwa universitas memiliki hak untuk mengeluarkan SK pemecatan pada mahasiswanya kapan saja mereka mau. Dan jika Ferry telah berani
melakukan sesuatu yang nekat seperti itu, Indra yakin Ferry pun telah siap menerima risikonya. Kalau memang sekarang Ferry harus dipecat dari kampusnya,
biarlah itu menjadi kenangan yang cukup membanggakan bagi kawan-kawan segenerasinya. Kelak, Ferry tak akan dikenang sebagai pengecut yang mau melakukan


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tekanan demi menjaga nasibnya"ia akan dikenang sebagai aktivis yang rela berkorban demi idealisme dan kebenaran yang diyakininya.
Membayangkan hal itu, Indra berpikir setidaknya dia telah memberikan yang terbaik untuk Ferry.
Delapan hari setelah acara rapat di ruang kantor UKM Pers itu diadakan, SK pemecatan Ferry dikeluarkan oleh universitas. Kampus UNB kehilangan salah satu
aktivisnya yang dikagumi.
*** "Sejujurnya, aku menyayangkan keputusanmu, Fer," kata Anisa malam itu, saat mereka makan malam seusai Anisa pulang dari tempatnya bekerja.
"Itu risiko yang harus kuterima, Nis," jawab Indra.
"Tapi, kau kan bisa meralat berita yang kautulis itu?" Anisa menanggapi. "Toh teman-teman pun tak akan menyalahkan kalau kau melakukan itu. Mereka pasti
memaklumi, dan mereka tentunya juga tidak menginginkan kau dipecat dari kampus."
"Biarlah. Itu toh sudah terjadi," kata Indra lirih.
"Tapi tak lama lagi kau akan lulus, Fer," ujar Anisa. "Mata kuliahmu hampir habis, dan semester depan kita sudah KKN. Tak lama lagi kita akan wisuda."
Indra tersenyum melihat pandangan mata Anisa. "Kau ingin kita wisuda bersama?"
"Tentu saja," jawab Anisa. "Itu...itu salah satu impianku."
Indra berkata, "Aku akan menghadiri wisudamu, Nis."
"Aku tahu, tapi...pasti lebih menyenangkan kalau kita bisa wisuda bersama, kan?"
"Dan setelah itu...?" Kali ini Indra tersenyum menggoda.
"Maksudmu?" Anisa menatap Indra.
"Apa yang akan kita lakukan setelah wisuda?" Indra masih menggoda.
Anisa pun paham maksud Indra, dan dia menjawab dengan gaya yang sama. "Setelah wisuda" Tentu saja pulang ke rumah, kan?"
Indra tak bisa menahan tawanya. Ia pun terpingkal-pingkal sementara Anisa menatapnya dengan senyum kemenangan.
Saat merasakan waktu-waktu bahagia seperti itu, Indra bisa melepaskan semua kedukaan, kesedihan, dan kegalauannya. Di dekat Anisa, Indra memperoleh kedamaian
dan ketenangan. Setiap kali bisa tertawa bersama Anisa seperti ini, Indra mendapatkan kebahagiaan.
Tetapi jika sedang sendirian dan kembali disadarkan siapa dirinya, Indra kembali merasakan kebingungan sekaligus kegalauan yang tengah dirasakannya. Sudah
lebih dari satu bulan sejak meninggalnya Ferry, Anisa belum juga menyadari hal itu. Indra belum memiliki keberanian untuk melakukannya. Setiap kali telah
bertekad untuk melakukannya, Indra seperti merasa bibirnya tiba-tiba membeku dan lidahnya tak mampu digerakkan. Sampai kapan dia harus memendam kebohongan
ini" Sampai kapan Anisa tak menyadari bahwa dia telah kehilangan kekasihnya..."
"Hei, kok sekarang melamun?" tegur Anisa.
Indra tersadar dari lamunannya. "Aku...aku..." Indra tergagap.
Anisa meraih tangan Indra yang ada di atas meja, dan menggenggamnya, kemudian berkata penuh simpati, "Aku tahu, kau pasti sedang teringat pada saudaramu
lagi, kan?" Ya, pikir Indra. Dia sedang teringat pada saudaranya. Tapi dalam kenyataan yang jauh berbeda dengan yang dibayangkan Anisa.
"Kau masih belum bisa melupakannya?" tanya Anisa lagi dengan lembut.
"Bagaimana aku bisa melupakannya?" bisik Indra sambil merasakan jari-jari Anisa di tangannya.
Setelah terdiam beberapa saat, Anisa berkata pelan, "Fer..."
"Ya...?" Indra menatap wajah di dekatnya.
"Aku bisa merasakan kehilanganmu," bisik Anisa lirih.
Tanpa sadar Indra meremas jemari Anisa dalam genggamannya. Ia ingin menahan air matanya.
Semenjak keluar dari kampus dan tak lagi berkuliah, Indra mengisi harinya dengan membantu ayahnya di pabrik batik mereka. Pagi hari ia akan mengantarkan
Anisa ke kampus, kemudian pulang, lalu masuk ke pabrik dan mengerjakan banyak hal dalam produksi batik yang dulu tak pernah disentuhnya. Siangnya, Indra
kembali menjemput Anisa untuk mengantarkannya ke tempat kerja. Lalu malam harinya Indra sekali lagi menjemput Anisa dari tempat kerjanya, dan mengantarkannya
ke rumah. Kedekatan yang diatur oleh keadaan itu mau tak mau semakin mendekatkan Indra dengan Anisa. Bukan hanya fisiknya, tetapi juga hatinya. Indra jadi merasa
dia benar-benar kekasih Anisa, dan Anisa adalah kekasihnya. Seringkali Indra merasa khawatir hanya karena Anisa tidak ditemuinya saat ia menjemputnya ke
kampus. Kemudian ia akan merasa lega dan senang saat melihat Anisa datang ke tempatnya menunggu dan tersenyum dan bertanya, "Sudah lama menunggu?"
Indra selalu menyukai saat-saat kebersamaannya dengan Anisa. Kadang-kadang, tanpa disadari oleh dirinya sendiri, Indra merasakan tiba-tiba kangen pada
Anisa. Saat malam datang, ketika perasaan semacam itu tiba-tiba menyergapnya, Indra segera mengeluarkan sepeda motor dan melaju ke tempat kerja Anisa.
Ia sudah ingin melihat perempuan itu.
Dan Anisa pasti akan tersenyum saat melihatnya. Lalu saat pembeli tengah sepi, Anisa pun akan mendekatinya dan berbisik, "Kok awal sekali menjemputnya?"
Lalu Indra pun akan menjawab, "Aku sudah kangen ingin melihatmu..."
Makin hari Indra merasakan perasaan semacam itu semakin kuat dan kian menguat. Suatu perasaan baru yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Ada kedamaian.
Ada ketulusan. Ada ketenangan. Di sisi Anisa, Indra tak lagi punya keinginan untuk menjalin hubungan lain dengan perempuan lain. Naluri petualangannya
lenyap. Ia hanya ingin bersama Anisa, dan hanya Anisa. Bahkan ketika Febiola meneleponnya, Indra pun ogah-ogahan. Ketika Febiola mengajaknya kencan, Indra
dengan tegas menjawab, "Aku harus menjemput pacarku."
Selama hidupnya di Jakarta, Indra tidak pernah merasakan perasaan seperti yang sekarang dirasakannya ini. Di Jakarta, dengan popularitasnya sebagai artis,
Indra dapat berkencan dengan banyak perempuan. Tapi Indra tak pernah merasakan getar perasaan seperti yang ia rasakan ketika ada di dekat Anisa. Indra
tak pernah merasakan debar hati, suatu debar dari ketenangan dan kebahagiaan yang ia rasakan saat memeluk perempuan itu.
Ya, Indra telah memeluknya. Saat pertama kali melakukan itu, kejadiannya benar-benar didorong naluri. Ketika kemudian menyadari apa yang telah dilakukannya,
Indra merasa telah mengkhianati Ferry. Tetapi kejadian seperti itu terulang dan terulang kembali tanpa pernah dapat dicegahnya, tanpa bisa ia hentikan.
Dorongan itu datang secara tiba-tiba, muncul tanpa pernah dibayangkannya. Ketika waktu terus berjalan, Indra mulai menyadari bahwa ada sesuatu dalam dirinya,
dalam hatinya, yang menggerakkan naluri spontanitas itu. Ketika naluri itu datang, tak ada kekuatan rasio dan akal sehat dan logika yang mampu mencegahnya.
Jatuh cintakah ia pada Anisa..."
Indra telah mencoba menanyakan hal itu pada dirinya sendiri selama berhari-hari, bermalam-malam, bahkan berminggu-minggu. Ia ingin tahu jawabannya.
Ia ingin tahu mengapa setiap kali bertemu Anisa ia merasa sangat bahagia. Ia ingin tahu mengapa setiap kali kehilangan perempuan itu ia merasa sangat mengkhawatirkannya.
Ia ingin tahu mengapa ketika ada di dekat Anisa ia selalu merasakan ketenangan, kedamaian dan ketenteraman. Ia ingin tahu mengapa ketika ada dalam pelukan
Anisa ia merasakan waktu seolah abadi dan detik jam seolah berhenti. Ia ingin tahu mengapa saat pandangan mata mereka bertatapan, ia merasa ada seribu
kupu-kupu yang beterbangan dalam perutnya, mengitari hatinya... Ia ingin tahu...
Dan ketika kemudian ia tahu jawabannya, Indra pun merasa amat tersiksa.
Ia telah jatuh cinta. Ia telah jatuh cinta pada kekasih saudara kembarnya.
Kedua orang tua Indra tak terlalu mempermasalahkan keluarnya dirinya dari kampus karena pemecatan itu. Toh itu juga tak akan ada gunanya seandainya Indra
tetap kuliah di kampus itu. Nama yang tercatat sebagai mahasiswa di kampus itu adalah nama Ferry. Dan sekarang Ferry tak ada lagi. Jika Indra meneruskan
kuliah pun, maka seluruh catatan administrasi menyangkut aktivitas kuliah akan tetap tercatat sebagai milik Ferry. Bahkan jika kelak Indra berhasil menyelesaikan
kuliah dan wisuda, maka di dalam ijazah, sertifikat dan surat-surat kelulusan akan tercantum nama Ferry. Bukan nama Indra. Jadi, tetap kuliah atau tak
lagi kuliah, sama sekali tak ada bedanya.
Kedua orang tuanya bahkan lebih senang Indra tak kuliah seperti semula. Sekarang Indra lebih banyak berada di rumah, membantu ayahnya di pabrik batik dan
mulai belajar mengenai produksi batik di sana. Itu lebih produktif, kata ayahnya.
Indra pun menyukai aktivitasnya yang baru itu. Ia menikmati saat berkeliling di lokasi pabrik milik ayahnya, menyaksikan orang-orang yang sedang sibuk
dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang sedang membatik, ada yang tengah mencuci kain, menyablon di atas meja panjang, ataupun yang sedang menggambar
motif batik di atas kain putih.
Saat menyaksikan semuanya itu, Indra kadang membayangkan dirinya juga membuka sebuah pabrik batik seperti milik ayahnya. Ya, siapa tahu, pikirnya. Penghasilannya
sebagai artis selama ini pastilah cukup untuk itu.
*** Malam hari itu, Indra duduk-duduk dengan kedua orang tuanya, dan mereka mulai membicarakan kembali soal pertukaran identitasnya dengan Ferry.
Ayahnya yang pertama kali membuka. "Ndra, sekarang sudah hampir tiga bulan setelah saudaramu meninggal. Dan selama tiga bulan ini, Anisa belum juga menyadari
kalau Ferry sudah tak ada lagi..."
Indra hanya bisa mengangguk.
Ayahnya melanjutkan, "Sejujurnya, Ndra, kami"orang tuamu"tidak peduli kalau semua orang percaya kalau kau adalah Ferry. Tetapi Anisa tidak bisa diperlakukan
seperti itu. Dia harus tahu. Dia harus tahu bahwa kau bukan Ferry. Dia harus menyadari bahwa Ferry sudah tak ada lagi..."
"Saya merasa berat sekali untuk melakukannya, Pa," jawab Indra akhirnya.
Ayahnya menjawab, "Papa tahu itu berat. Jelas sangat berat. Tetapi semakin lama kau menahan kebenaran ini, kau akan membuat Anisa semakin merasa terluka.
Bayangkan bagaimana perasaannya yang kehilangan Ferry, kemudian menyadari kalau selama ini dia telah dibohongi, dipermainkan..."
Indra mengangguk memahami.
Sementara ibunya, yang sekarang telah reda dari kesedihannya, menyambung, "Ndra, Mama sendiri juga bisa merasakan bagaimana remuknya hati Anisa jika ia
mengetahui hal ini. Tetapi Mama pikir, Anisa memang sebaiknya mengetahui kebenaran ini secepatnya. Karena, seperti yang tadi papamu bilang, dia akan semakin
merasa terluka jika semakin lama kau menahan untuk mengatakan yang sebenarnya."
"Saya merasa benar-benar tak mampu..." keluh Indra.
Ayahnya menanggapi, "Tapi sampai kapan kau akan menahan kebenaran ini dari dirinya" Semakin lama kau menahannya, itu sama saja dengan memperlama siksaan
yang kelak akan dirasakan oleh Anisa."
Indra kemudian menatap kedua orang tuanya. "Menurut Papa sama Mama, apa yang harus saya lakukan untuk mengatakan semua ini kepada Anisa agar dia tidak
terlalu terluka?" Ibunya segera menanggapi, "Katakan saja secara jujur apa yang telah kaulakukan dengan Ferry menyangkut pertukaran tempat ini. Seberat apapun, Anisa tentu
mengerti dan bisa memahami bahwa kalian tidak pernah merencanakan kalau akhirnya akan begini."
Indra menganggukkan kepalanya dengan ragu-ragu.
Lalu ayahnya menyambung, "Pokoknya, Ndra, apapun yang kelak terjadi pada diri Anisa setelah kau menyampaikan kebenaran ini, kau tetap harus menghadapinya,
karena kau dan Ferry yang melakukan permainan ini. Ferry sekarang tak ada lagi. Jadi kau yang harus menghadapinya, apapun yang terjadi..."
Indra kembali menganggukkan kepalanya. Ia pun kemudian berjanji akan segera mengatakan semua ini pada Anisa. Namun di dalam hatinya sendiri Indra bertanya-tanya,
mampukah ia melakukannya..."
*** Tetapi, ternyata, Indra tidak membutuhkan waktu lebih lama seperti yang ia perkirakan sebelumnya. Ketika niat itu telah membulat, Indra pun akhirnya menemukan
waktu yang dirasanya cukup tepat untuk mengatakan hal itu.
Pagi itu Indra mengantarkan Anisa ke kampus untuk mengurus beberapa hal di kantor akademik, dan Indra menunggunya di kantin. Waktu itu kampus tak seramai
biasanya karena aktivitas kuliah sedang libur seusai ujian, dan kebanyakan yang masuk kampus hanya para aktivis mahasiswa yang sedang mengurusi berbagai
acara serta program-program kerja mereka.
Kantin juga tampak sepi, dan Indra menikmati kesendiriannya di kantin itu. Beberapa kali ia saling sapa dengan kawan-kawan Ferry. Sambil menunggu Anisa,
Indra membayangkan bahwa mungkin seperti inilah dulu perasaan Ferry saat menunggu kekasihnya. Menunggu dengan senang, tanpa rasa jemu, meski waktu seperti
berjalan merangkak dan begitu lambat.
Sekitar tiga puluh menit Indra menunggu di kantin itu, menghabiskan beberapa lumpia dan teh hangat yang manis, kemudian Anisa muncul.
"Sori, pasti lama sekali ya nunggunya," kata Anisa. "Tadi Bu Ida-nya lagi keluar, jadi aku harus menunggu dulu."
"Tidak apa-apa," jawab Indra. "Kau ingin pesan sesuatu?"
Anisa pun menemui pelayan di kantin dan memesan teh hangat seperti Indra. Lalu mereka berbincang sambil menikmati lumpia. Di situlah kemudian Indra merasa
bahwa inilah waktu yang tepat untuk mengatakan kebenaran yang telah dipendamnya selama ini kepada Anisa. Indra memperhatikan Anisa tampak lebih segar dari
hari-hari biasa, juga tampak lebih sehat. Inilah waktunya. Inilah waktu untuk menyampaikan kebenaran itu...
Setelah melihat Anisa meneguk teh hangat dalam gelasnya, Indra pun memulai.
"Nis," kata Indra perlahan, "kau pernah membayangkan kalau aku bukanlah Ferry?"
Anisa tersenyum dan menatap wajah di sebelahnya. "Jangan bercanda! Kau Ferry, dan aku tak pernah membayangkan hal-hal seperti itu."
"Bagaimana kalau aku benar-benar bukan Ferry?" tanya Indra serius.
"Fer, ada apa denganmu?" Anisa masih mencoba tersenyum. "Kau jelas Ferry. Memangnya kau menyangka dirimu siapa?"
Indra merasa kesulitan setengah mati untuk mengatakannya. Sekali lagi dia merasakan bibirnya terkatup dan lidahnya membeku. Bukan pertama kalinya dia merasakan
hal itu setiap kali ingin mengatakan kebenaran ini. Tetapi Indra telah bertekad bahwa inilah waktunya. Inilah waktu untuk menyampaikan kebenaran itu.
Indra menatap Anisa, kemudian berkata dengan sungguh-sungguh, "Maafkan aku, Nis. Aku... sebenarnya aku bukan Ferry. Aku... Indra."
"Kau... apa?" Anisa menatap wajah Indra dengan sejuta tanda tanya berseliweran di depan matanya.
Indra mengatakannya kembali dengan perlahan, "Aku bukan Ferry seperti yang selama ini kau kira, Nis. Aku Indra..."
Indra menguatkan hatinya. Ia menceritakan semua yang telah dilakukannya bersama Ferry. Sejak kepulangan dirinya ke Semarang. Tentang rencana yang muncul
secara spontan. Lalu permainan tukar tempat yang mereka lakukan. Kemudian Ferry berangkat ke Jakarta, dan Indra menggantikan posisinya di Semarang. Kemudian
berita kematian itu. Kecelakaan itu. Kebingungan yang dirasakannya. Kekalutannya selama ini. Hingga sekarang...
"Maafkan aku, Nis..." kata Indra lirih setelah menceritakan segalanya dan menyampaikan semua kebenaran itu.
Anisa tidak menjawab apa-apa. Dia juga tidak menangis.
Anisa langsung pingsan. Beberapa mahasiswa yang masuk ke kantin mendapati Indra sedang kebingungan menghadapi Anisa yang pingsan.
"Kenapa, Fer?" tanya salah satu dari mereka.
Indra tak mengenal mahasiswa itu, namum dia menjawab, "Tidak tahu nih, tiba-tiba dia pingsan."
"Bawa ke klinik saja," saran mahasiswa itu.
Lalu mereka pun membantu Indra membawa Anisa ke klinik kampus. Indra membaringkan tubuh Anisa di atas tempat tidur, kemudian menungguinya sambil membantu
mempercepat kesadarannya.
Indra telah mengira Anisa tidak akan kuat menghadapi kenyataan ini. Ia tidak akan kuat mendengar kebenaran ini"kebenaran mengerikan bahwa kekasihnya telah
tewas dalam kecelakaan itu. Anisa jelas akan terguncang mendengarnya, dan sekarang dia benar-benar terguncang.
Indra duduk terpaku di samping tempat tidur, memandangi wajah Anisa yang pucat, dan merasa kasihan kepadanya. Perempuan ini telah ditinggal mati oleh kekasihnya
selama tiga bulan dalam sebuah kecelakaan yang tragis, namun dia tidak mengetahuinya, tidak menyadarinya, dan tetap meyakini sepenuh hati bahwa kekasihnya
masih hidup, bahwa kekasihnya masih ada di sisinya, setiap hari, selalu bersamanya. Apa yang sekarang dirasakannya..."
Indra teringat pada kata-kata ayahnya.
"Tapi sampai kapan kau akan menahan kebenaran ini dari dirinya" Semakin lama kau menahannya, itu sama saja dengan memperlama siksaan yang kelak akan dirasakan
Anisa." Dan Indra memang terlalu lama menahannya. Ia terlalu lama menyimpan kebenaran yang menakutkan ini. Tiga bulan. Ya Tuhan, sekarang Indra seperti baru menyadari
bahwa itu waktu yang lama sekali untuk membohongi seorang perempuan yang kehilangan kekasihnya. Selama tiga bulan Ferry telah meninggal dan selama itu
pula Anisa tak pernah menyadarinya. Apa yang lebih kejam dari itu..."
Indra merasakan ulu hatinya tertusuk duri.
Keringat tampak menyembul di kening Anisa, dan Indra mengambil saputangan untuk menghapus keringat itu. Kedua mata Anisa perlahan membuka.
"Nis..." sapa Indra selembut mungkin.
Anisa tak bereaksi apa-apa. Tatapannya tampak kosong. Indra kemudian menyentuh tangannya, dan seketika Anisa menjadi sadar.
"Pergi...!" Dengan kepayahan Anisa mencoba bangkit dari berbaringnya dan menarik tangannya dari Indra. Ia menatap Indra dengan sorot kemarahan.
"Nis..." Indra tak tahu harus mengatakan apa selain hanya menatap wajah Anisa yang masih pucat.
"Pergi...!" Anisa menjerit penuh kebencian.
"Anisa..." "Kubilang, pergi...!!!" Kali ini suaranya parau karena bercampur dengan isak tangis yang meledak.
Anisa terjatuh kembali, tertelungkup di atas tempat tidur, kemudian menangis tersedu-sedu. Air matanya membasahi bantal di bawah wajahnya, dan Indra menyaksikan
betapa hancurnya perasaan perempuan di hadapannya.
Indra merasa bersalah. Merasa berdosa. Tetapi apa lagi yang harus dilakukannya" Ia yakin telah melakukan sesuatu yang benar. Kebenaran itu telah dikatakannya.
Kenyataan yang mengerikan itu telah disampaikannya. Dan Indra tak menyangka kalau Anisa akan lebih hancur dari yang semula telah dibayangkannya.
Kini, sambil duduk terpaku tanpa bisa berbuat dan berkata apa-apa, Indra memandangi tubuh Anisa yang tampak terguncang-guncang di atas tempat tidur dengan
air mata yang semakin membasahi bantal.
Dalam hati ia mengutuk permainan bodohnya dengan saudara kembarnya.
Anisa masih tertelungkup ditikam duka dan air mata.
Semenjak menyadari kebohongan yang telah dilakukan Indra kepadanya, dan setelah memahami bahwa kekasihnya telah meninggal dalam kecelakaan yang tragis
itu, Anisa tak mau lagi menemui Indra.
Keesokan hari setelah Anisa pingsan di kampus setelah mendengar berita itu, Indra datang ke rumah Anisa pagi hari untuk menjemputnya seperti biasa, namun
Anisa tak mau menemuinya. Siang harinya, Indra kembali datang ke rumah Anisa untuk mengantarkannya ke tempat kerja, namun Anisa tak menghiraukannya. Gadis
itu keluar dari rumahnya, lalu berjalan meninggalkan rumah seolah tak melihat Indra yang menunggunya di ruang tamu, lalu terus berjalan dan tak peduli
Indra mengikutinya di belakangnya, kemudian menghentikan angkot dan pergi meninggalkan Indra.
Malam harinya, Indra masih mencoba datang ke dealer tempat kerja Anisa, berharap kali ini Anisa telah memaafkannya, namun sekali lagi Anisa menunjukkan
sikap marah sekaligus benci yang sama kepadanya. Saat dealer tutup dan seluruh karyawan keluar untuk pulang, Anisa berjalan sendirian dan sama sekali tak
menghiraukan Indra yang telah duduk menunggunya dengan sepeda motor seperti biasa.
"Anisa..." Indra mencoba memanggil.
Namun Anisa hanya diam. Indra menghampirinya. Anisa terus melangkahkan kakinya.
Indra mendahului, kemudian berhenti di hadapan Anisa.
Anisa menghentikan langkahnya dan menatap Indra dengan galak, "Ada apa"!"
"Aku...aku datang ke sini untuk menjemputmu," ucap Indra serba salah.
"Tidak perlu!" jawab Anisa sambil membuang mukanya.
Lalu Anisa meneruskan langkahnya tanpa menghiraukan Indra yang terpaku kebingungan.
*** Indra telah menyampaikan pada orang tuanya bahwa dia sudah menceritakan segalanya kepada Anisa, dan sekarang Anisa telah menyadari bahwa Ferry telah meninggal
dunia. Tetapi Indra tak menyangka akibatnya akan sebesar ini. Sekarang Anisa menjauhinya, dan benar-benar tak mau lagi mengenal dirinya. Seolah-olah Anisa
menyalahkan Indra atas kematian kekasihnya. Seolah-olah Anisa menganggap Indra sebagai penyebab dari kehilangannya atas diri Ferry. Indra juga telah menceritakan
hal itu pada kedua orang tuanya dengan harapan agar setidaknya mereka dapat membantunya.
Ibunya yang pertama kali memberikan respon. "Kalau memang begitu keadaannya, nanti biar Mama sama Papamu yang akan menemuinya. Mungkin, kalau Mama yang
bicara, Anisa akan lebih bisa memahami..."
Maka keesokan malamnya, setelah mereka tahu Anisa libur dari kerjanya, kedua orang tua Indra pun bertandang ke rumah Anisa dengan harapan dapat menjumpai
gadis itu. Tetapi Anisa tak mau menemui. Ia hanya mengurung diri di dalam kamar, dan sama sekali tak mau peduli apapun yang akan mereka katakan. Ia telah kehilangan
kekasihnya. Ia telah kehilangan Ferry. Dan itu sudah cukup untuk membuatnya hidup dalam kematian. Anisa tak ingin menambah segalanya menjadi lebih buruk
lagi. Ia tak ingin mendengar apapun.
Orang tua Anisa menerima kedua orang tua Indra dengan baik seperti biasa. Mereka telah saling mengenal, dan hubungan itu pun berjalan baik sebagaimana
hubungan yang juga dijalin oleh anak-anak mereka.
Karena tak juga mendapati Anisa muncul, Silvia kemudian mengambil keputusan untuk menjelaskan masalahnya kepada orang tua Anisa. Selama tiga bulan semenjak
ditinggal mati oleh Ferry, dia telah mampu meredakan kesedihannya hingga batas terendah. Sekarang pikirannya telah jernih kembali dan dapat menghadapi
masalah ini dengan lebih tenang. Maka Silvia pun menceritakan segalanya. Ia tidak tahu apakah orang tua Anisa telah mengetahui kenyataan ini ataukah belum,
namun sebagai orang tua Ferry ia merasa berkewajiban untuk menjelaskan hal ini secara langsung kepada mereka.
Maka mengalirlah cerita itu. Cerita tentang permainan yang telah dilakukan kedua saudara kembar itu, hingga kejadian tewasnya Ferry dalam kecelakaan. Silvia
yang pada mulanya cukup tegar saat menceritakan semua itu, kembali tak bisa menguasai perasaannya sendiri. Air matanya kembali mengalir saat menceritakan
Ferry yang tewas dalam kecelakaan, sebelum dia dan Indra mengakhiri permainan mereka.
Maka kedukaan kedua pun dimulai setelah air mata mengering sejak tumpah tiga bulan yang lalu. Wahyuni, ibu Anisa, tak kuasa menahan tangisnya. Maka kedua
orang tua itu pun saling bertangisan, kembali menangisi seseorang yang pernah begitu mereka kenal, menangisi Ferry.
Di dalam kamarnya, Anisa berbaring sendirian dengan tubuh terguncang menahan isak tangis, sambil mendekap bingkai foto Ferry dalam pelukannya. Air matanya
membasahi. *** Selama beberapa hari sejak itu, Indra tak menemui Anisa. Ibunya telah menasihati, "Saat ini Anisa sedang dalam keadaan kalut, dan masih sangat sedih karena
baru menyadari telah kehilangan Ferry. Jadi, untuk sementara waktu, biarkan dia sendiri dulu. Anisa mungkin tidak membencimu seperti yang kau kira, tapi
kau sangat mirip dengan Ferry, dan itu pasti akan membuatnya kembali teringat..."
Indra memahami maksud ibunya. Maka dia pun tak lagi datang ke rumah Anisa pagi hari untuk menjemputnya ke kampus seperti biasa. Juga tidak mengantarkannya
ke tempat kerjanya pada siang hari. Namun, Indra akan diam-diam datang ke tempat kerja Anisa malam hari saat menjelang jam kepulangannya. Ia memarkir sepeda
motornya agak jauh dari tempat kerja Anisa, kemudian menunggu sampai melihat Anisa keluar dari dealernya yang telah tutup. Indra akan memperhatikan Anisa
yang berdiri di depan dealernya, menghentikan becak, kemudian pulang. Dan Indra akan diam-diam mengikutinya, tanpa sepengetahuan Anisa, terus mengikutinya
hingga Anisa telah sampai kembali di rumahnya. Dan setelah melihat Anisa masuk ke dalam rumahnya, Indra pun kembali pergi secara diam-diam.
Setiap malam jadwal itu terus dilakukannya, dan Anisa tak pernah menyadari kehadirannya. Silvia yang justru heran dengan aktivitas putranya tiap malam
itu. "Ndra, kau sudah mulai menjemput Anisa lagi?" tanya Silvia suatu malam.
"Belum, Ma," jawab Indra jujur.
"Tapi setiap malam kau keluar pakai motor" Kemana?"
"Saya... saya ke tempat Anisa kerja."
"Lho, katanya belum jemput dia?"
"Iya, saya memang tidak jemput Anisa, tapi... saya agak mengkhawatirkannya. Jadi saya tetap kesana untuk memastikan dia dapat tumpangan untuk pulang."
Ibunya hanya tersenyum. *** Setelah merasa cukup memberi waktu untuk Anisa sendirian tanpa diganggu oleh kehadiran dirinya, Indra merasa sudah tak sabar lagi. Pagi itu pun Indra telah
nekat. Dia datang ke rumah Anisa untuk menjemput gadis itu berangkat ke kampusnya.
Orang tua Anisa, yang telah tahu bahwa sosok yang sekarang datang ini bukanlah Ferry melainkan Indra, tak berubah dalam sikapnya. Mereka menyambut kedatangan
Indra dengan baik dan ramah. Mereka juga menyadari bahwa itu bukan kesalahan Indra semata-mata, dan lebih dari itu mereka memahami bahwa keluarga Indra juga merasa kehilangan atas kepergian Ferry.
"Anisa sudah berangkat, Bu?" sapa Indra dengan sopan pada ibu Anisa yang tengah duduk dengan anaknya yang terkecil di teras rumah.
"Belum," jawab ibu Anisa. "Mungkin sebentar lagi. Masuk saja."
Indra pun masuk dan duduk di ruang tamu. Wahyuni, ibu Anisa, masuk ke dalam dan memberitahukan kedatangan Indra, dan tak lama kemudian Anisa pun muncul.
Ia telah berpakaian rapi.
"Ada apa?" tanya Anisa dengan dingin.
Indra tak menghiraukan sikap dingin itu. Ia mencoba tersenyum dan menjawab semanis yang ia bisa. "Kau akan ke kampus, kan" Aku...aku akan mengantarmu,
seperti biasa." "Tidak usah," jawab Anisa, masih dingin.
Indra terpaku. Juga jadi grogi dan salah-tingkah.
Untungnya, ibu Anisa kemudian muncul dari dalam, membawakan minum untuk Indra. Keadaan kaku yang terjadi antara Indra dan Anisa pun sedikit tercairkan.
Setelah Indra mengucapkan terima kasih atas minuman itu, ibu Anisa masuk kembali ke ruang dalam. Kini Indra duduk berhadapan dengan Anisa, dan mereka saling
diam. Dan kaku. Semua keakraban dan kedekatan yang pernah mereka jalin sebelum ini seperti meleleh dan hancur. Tak ada lagi keakraban seperti semula. Tak


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada lagi kedekatan seperti dulu. Mereka berdua jadi seperti dua orang yang tak saling kenal. Dan Indra merasa hampa.
"Kau masih marah padaku?" tanya Indra kemudian.
Anisa tidak menjawab. Ia hanya berkata dingin dan acuh tak acuh, "Diminum dulu itu tehnya."
Indra pun meminum teh hangat yang telah disuguhkan untuknya. Kemudian sekali lagi bertanya, "Kau masih marah padaku?"
Sekali lagi Anisa tak menjawab. Ia hanya menengok jam di dinding, kemudian berkata seperti pada dirinya sendiri, "Aku harus segera ke kampus."
Indra pun hanya bisa mendesah tertahan, "Oh, baiklah."
Maka dua orang yang tak saling kenal itu pun kemudian berjalan mendekati sepeda motor yang terparkir di halaman rumah. Indra menghidupkan motornya, lalu
tanpa berkata apa-apa Anisa duduk di belakangnya. Kemudian bisu.
Sepanjang perjalanan menuju kampus, Indra sudah berkali-kali mencoba mengajak Anisa berbicara, tetapi sosok yang duduk di belakangnya hanya diam dan sama
sekali tak menanggapi. Indra pun akhirnya menyerah.
Ketika sampai di kampus, sekali lagi Indra mencoba. "Kau tidak lama" Aku bisa menunggu di kantin?"
Tetapi Anisa tak menjawab.
Indra tahu Anisa tidak memiliki jadwal kuliah dan hanya akan berurusan dengan akademik. Karenanya ia pun memutuskan untuk menunggu di kantin seperti biasa.
Satu jam berlalu dan Indra masih menunggu. Dua jam kembali berlalu dan Indra tetap menunggu. Tiga jam. Indra mulai gelisah. Lalu empat jam. Tak biasanya
Anisa terlalu lama seperti ini. Indra semakin gelisah. Ia melihat jam di tangannya. Sudah pukul dua siang. Ini waktu Anisa berangkat ke tempat kerjanya.
Tapi sampai sekarang perempuan itu belum juga muncul di kantin.
Indra pergi ke ruang akademik dan mencari Anisa. Ruang akademik yang cukup luas itu tak terlalu ramai, dan Indra tak mendapati Anisa di sana. Saat tengah
mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, Neni muncul dari salah satu ruang dan menegurnya.
"Cari siapa, Fer?"
"Anisa," jawab Indra.
"Sudah pulang dari tadi," kata Neni.
"Oh ya?" Indra jadi bingung.
"Tadi dia cuma mengurus nilai ujiannya yang belum keluar, dan langsung pulang setelah itu." Neni menjelaskan. "Memangnya dia tidak tahu kau akan menjemputnya?"
"Aku...aku menunggunya di kantin."
"Apa dia masih di sini ya?" Neni jadi seperti bimbang. "Tapi tadi sepertinya sudah bersiap untuk pulang."
Indra pun segera mengucapkan terima kasih, buru-buru keluar dari ruang akademik, lalu menuju ke tempat parkir motornya. Dia segera melaju ke rumah Anisa.
Kalau memang Anisa sudah pulang, Indra ingin memastikan Anisa telah pulang sampai di rumahnya.
Di rumah Anisa, Wahyuni yang menyambutnya. Mengira Indra datang untuk menjemput putrinya ke tempat kerja, Wahyuni pun segera mengatakan, "Anisa-nya sudah
berangkat tadi, Nak Indra."
Indra menghela napas. Malamnya, Indra menunggu Anisa pulang dari tempat kerjanya. Kali ini dia tidak lagi menunggu di tempat yang cukup jauh seperti biasa, namun duduk di depan
tempat Anisa bekerja dan menunggu sampai dealer itu tutup. Selama ia menunggu di sana, Anisa sama sekali tak menengok ke arahnya.
Pukul sembilan tepat, dealer itu pun tutup dan Indra segera mendekati Anisa.
"Ada apa lagi"!" Anisa bertanya dingin.
"Aku akan mengantarmu pulang," jawab Indra.
"Tidak usah!" "Nis, aku datang kesini untuk menjemputmu..."
Anisa menatap Indra dengan galak, dan berkata, "Dengar, tadi pagi aku mau diantarkan kau ke kampus karena aku tidak mau ribut-ribut di rumah! Tapi sekarang,
tolong jangan temui aku lagi!"
"Anisa..." Tapi Anisa sudah berlalu.
Indra masih mencoba mendekatinya, tapi kemudian sebuah becak mendekat dan Anisa segera naik ke atasnya. Anisa berlalu meninggalkan Indra yang berdiri diam
terpaku di depan dealer yang baru tutup.
*** Akhirnya, Indra kembali pada kebiasaan yang dilakukannya beberapa hari kemarin. Setiap malam dia menunggu Anisa di tempat yang agak jauh, lalu ketika dealer
tutup dan Anisa naik ke sebuah becak, Indra pun mengikutinya dari belakang. Hingga Anisa benar-benar sampai di rumahnya.
Indra tidak tahu apa yang menyebabkannya merasa harus melakukan hal itu. Dia hanya mengkhawatirkan gadis itu.
Tapi benarkah ia hanya merasa mengkhawatirkannya" Jauh sebelum Indra muncul dalam kehidupannya, Anisa telah berulang kali menjalani hidup yang seperti
ini. Dia telah biasa pulang kerja malam hari, kemudian pulang diantarkan Ferry yang menjemputnya. Jika Ferry sedang berhalangan, Anisa pun akan pulang
sendirian. Anisa sudah biasa melakukannya, jauh sebelum Indra muncul dalam kehidupannya sekarang ini. Jadi, mengapa Indra sekarang harus mengkhawatirkannya..."
Indra pun lalu menyadari. Dia memang tidak sekadar mengkhawatirkan gadis itu. Dia menyayanginya. Lebih dari itu, Indra juga merasa merindukannya setiap
kali tak melihat Anisa dalam satu hari. Selalu ada yang terasa kurang jika ia tak melihat Anisa. Selalu ada yang terasa belum lengkap. Selalu ada yang
terus mendesak di dalam hatinya untuk menemui Anisa, menjumpainya, meski kemudian ia hanya bisa melihatnya dari kejauhan.
Saat sampai pada kesadaran semacam itu, sekali lagi Indra berbisik dalam hatinya, "Apakah aku memang telah jatuh cinta kepadanya...?"
Logika dan akal sehatnya tak mampu digunakannya.
Hatinya yang menjawab dan berbicara.
*** Di malam yang lain, Indra kembali menuruti keinginan hatinya untuk dapat melihat Anisa dari kejauhan. Maka dia pun datang ke tempat biasa ia menunggu,
suatu tempat yang agak jauh dan tersembunyi. Dan kemudian menunggu dengan berdebar-debar.
Ini konyol, batinnya waktu itu. Di Jakarta, ada banyak perempuan yang menginginkan kencan dengannya, dan Indra tinggal menjawab "ya" setiap kali mereka
mengajaknya. Tetapi sekarang, bahkan untuk dapat melihat sesosok perempuan saja, dia harus melakukan sesuatu yang sangat berat seperti ini. Tetapi mengapa
aku mau melakukannya..."
Indra pun tahu jawabannya.
Berkali-kali ia melirik jam di tangannya dan berharap detik jarumnya segera sampai di angka sembilan. Ia jadi merasa seperti anak SMA yang tak sabar menunggu
kencan pertamanya. Ada perasaan berdebar-debar. Ada rasa bahagia yang meletup-letup. Ada suatu getaran indah, sekaligus grogi yang tak mampu dijelaskannya.
Oh Tuhan, mengapa aku bisa jadi begini..."
Sebelum jarum jam menunjuk angka sembilan, gerimis turun dari langit. Lalu gerimis berubah menjadi hujan, dan hujan membawa guntur.
Sambil berteduh di emperan toko yang telah tutup, Indra terus memperhatikan ke arah tempat kerja Anisa. Akhirnya dealer itu pun tutup, dan para karyawan
tampak keluar untuk pulang. Beberapa orang telah dijemput, dan mereka segera melaju menembus hujan dengan berlindung jas hujan, sedang yang lain nekat
menerobos hujan karena mungkin sudah ingin segera sampai di rumah. Indra tahu Anisa pasti akan menunggu becak yang datang, karena tidak ada yang menjemputnya.
Dan Indra pun tahu becak-becak seringkali tak muncul saat hujan turun.
Indra masih berdiri di tempatnya berteduh. Memandang ke arah Anisa yang kini sendirian di depan dealernya yang telah tutup. Indra melihat Anisa tampak
gelisah. Beberapa kali Anisa terlihat melangkah ke ujung trotoar, mencari-cari becak yang mungkin akan lewat, namun Indra pun tahu becak yang ditunggu-tunggu
Anisa tak juga muncul. Sekarang Indra diliputi keraguan dan kebimbangan. Apakah sekarang ia akan menggunakan kesempatan ini" Apakah ia akan menggunakan saat yang tepat seperti
ini untuk kembali menjumpai Anisa" Indra merasa ragu. Dan bimbang. Sekali lagi ditatapnya Anisa yang berjarak cukup jauh dari tempatnya berteduh, dan sekali
lagi Indra merasa bimbang.
Anisa kini melihat jam tangannya. Kemudian Indra menyaksikan Anisa mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu pada keypad ponselnya. Dia mungkin sedang kirim
SMS pada seorang temannya, pikir Indra. Mungkin Anisa meminta tolong seseorang untuk menjemputnya.
Indra kembali dilanda keraguan. Akankah sekarang ia mendatanginya" Indra menyadari jika ia terlambat datang ke sana, maka seseorang yang tengah dihubungi
Anisa melalui SMS itu bisa saja datang dan dia akan kehilangan kesempatan emasnya. Tetapi kedua kakinya seperti terpaku di lantai trotoar dan tak mampu
digerakkannya. Apa yang tengah terjadi dengan diriku, batin Indra dengan galau.
Hujan turun semakin lebat. Suara guntur memecah langit, dan kilat menerangi kegelapan malam. Hujan turun begitu lebat seperti dicurahkan dari langit, kemudian
halilintar menggemuruh dan suara guntur bersahutan.
Indra masih berdiri dengan bimbang.
Sementara cukup jauh dari tempatnya, Anisa berdiri menyandar pada pintu besi dealernya sambil memegangi kepalanya. Anisa terlihat seperti sedang kesakitan.
Halilintar menggelegar, dan kilat menyambar kegelapan malam.
Akhirnya, dengan nekat Indra kemudian menerobos hujan, berlari melintasi jalanan yang sepi, dan mendekati tempat Anisa berdiri. Tubuhnya basah kuyup, dan
Indra merasakan dingin air hujan menelusup ke setiap pori-pori tubuhnya.
Anisa masih berdiri dengan menyandar pada pintu besi dealernya sambil memegangi kepalanya. Indra melihatnya memejamkan mata, seperti tengah menahan sakit.
"Anisa..." sapa Indra dengan agak keras, mengimbangi suara hujan yang lebat.
Anisa membuka matanya, kemudian menatap Indra yang berdiri di hadapannya dengan tubuh yang basah kuyup. Dia tetap masih memegangi kepalanya.
"Kau...tidak apa-apa?" tanya Indra dengan hati-hati.
Mungkin karena rasa sakit yang tengah dideritanya, Anisa tak lagi ingat kalau saat ini tengah "bermusuhan" dengan Indra. Dia menjawab dengan lemah, "Kepalaku
sakit sekali..." Indra tidak dapat mendengar dengan jelas karena suara Anisa yang lirih tertelan gemuruh hujan. Maka Indra mendekatkan dirinya pada Anisa.
"Kepalamu sakit?" tanyanya kembali.
"Pusing sekali," jawab Anisa, masih dengan suara yang lemah.
Sekarang Indra juga melihat wajah Anisa yang pucat. Gawat, pikirnya, semoga saja Anisa tidak pingsan. Indra melihat ke sekitarnya, mencari sesuatu yang
mungkin dapat digunakan Anisa untuk duduk, namun tidak ada barang yang dicarinya. Indra lalu berkata kepadanya, "Nis, sebaiknya kau duduk, biar tubuhmu
tidak terlalu berat."
Anisa seperti tak mendengar ucapan Indra. Dia masih memegangi kepalanya yang sakit. Indra segera memegang kedua bahu Anisa, kemudian menuntunnya untuk
duduk di pinggir pintu besi dealernya, tak peduli meski tempat itu agak basah. Lebih baik daripada dia terus berdiri, pikirnya.
Setelah Anisa duduk dengan punggung menyandar pada pintu besi di belakangnya, Indra kemudian berkata, "Nis, motorku ada di sana. Kau tunggu di sini sebentar,
aku akan mengambil motor biar kau bisa duduk lebih enak."
Anisa tak menjawab. Ia masih sibuk dengan rasa sakitnya. Indra pun segera berlari kembali menerobos hujan, menuju ke tempat motornya diparkir. Kemudian
dibawanya motor yang telah basah kuyup itu ke tempat Anisa berada. Dinaikkannya motornya ke trotoar, lalu didekatkannya pada Anisa. Jok motor itu tampak
basah kuyup oleh air hujan, dan Indra lalu mengambil lap yang ada di bawah jok. Setelah agak kering, ia berkata pada Anisa, "Kau bisa duduk di sini."
Anisa mencoba berdiri, tapi terlihat sangat kepayahan. Indra segera membantunya, kemudian mendudukkan Anisa di atas jok motornya yang ia parkir menempel
ke pintu besi, membiarkan Anisa duduk menyandar di sana.
"Masih pusing?" tanya Indra, berdiri di hadapan Anisa.
Anisa hanya menganggukkan kepala. Indra merasa khawatir. Sejenak diperhatikannya keadaan Anisa, kemudian Indra seperti teringat sesuatu. Segera saja dia
melihat ke sekelilingnya, mencari-cari warung makan yang masih buka.
Beberapa meter dari tempatnya, Indra melihat sebuah warung makan di pinggir jalan yang tampak masih melayani pembeli. Indra segera berkata pada Anisa,
"Kau tunggu di sini sebentar ya, aku akan carikan minum untukmu."
Kemudian Indra menerobos hujan menuju warung itu. Ia seperti tak mempedulikan tubuhnya yang basah kuyup. Ia juga tak mempedulikan suara guntur yang masih
menggelegar. Yang saat ini ada dalam pikirannya hanyalah Anisa.
Di warung makan itu, Indra buru-buru memesan dua plastik teh hangat, serta mengambil beberapa tahu dan tempe goreng yang kebetulan masih panas. Lalu dengan
buru-buru ia kembali ke tempat Anisa dengan membawa bungkusan yang baru saja didapatkannya. Indra segera membuka bungkusan teh hangat dan memasukkan sedotan
ke dalamnya, kemudian menyodorkannya pada Anisa.
"Minumlah ini, biar tidak terlalu kedinginan," katanya.
Anisa menerima bungkusan teh hangat itu, namun tangannya tampak sangat lemah. Indra membantu memeganginya, dan Anisa mulai meminum teh hangat itu dengan sedotan.
Setelah Anisa melepaskan sedotan dari mulutnya, Indra menyodorkan beberapa gorengan tahu tempe dalam plastik, dan Anisa mengambilnya. Indra menatap Anisa
yang mengunyah gorengan itu dan merasakan hatinya yang khawatir dengan keadaan gadis itu. Setelah Anisa selesai mengunyah, Indra kembali mendekatkan sedotan
minuman pada Anisa, namun kali ini Anisa memegangi plastik minumannya sendiri. Indra merasa lega ketika akhirnya mendapati wajah Anisa tak sepucat tadi.
Indra kembali menyodorkan bungkusan gorengan, tapi kali ini Anisa menggeleng.
"Sudah agak baikan?" tanya Indra dengan prihatin.
Anisa menganggukkan kepalanya.
"Mungkin kau kena anemia, Nis," kata Indra. "Pernah periksa tensi darahmu?"
Anisa menatap Indra yang berdiri di hadapannya dengan tubuh basah kuyup, dan sekarang dia seperti baru sadar kalau sedang "bermusuhan" dengan lelaki ini.
Tetapi keadaan sekarang telah menyudutkannya. Anisa tidak mungkin meneruskan "permusuhannya" dengan Indra setelah semua ini terjadi, meski semua itu terjadi
di luar kesadarannya. Anisa kemudian hanya berkata, "Kau basah sekali."
"Tidak apa-apa," jawab Indra.
Kemudian mereka terdiam. Hujan masih turun dengan lebat.
"Kau sudah tidak pusing lagi?" tanya Indra kemudian.
"Agak berkurang." Anisa lalu menatap Indra dengan bingung. "Kenapa kau bisa ada di sini?"
"Aku...kebetulan lewat," jawab Indra dengan serba salah.
Lalu diam lagi. Indra memperhatikan minuman Anisa yang telah habis, dan menawarkan teh hangat dalam plastik satunya.
Anisa menggeleng. "Buat kau saja. Kau juga pasti kedinginan."
Indra pun kemudian membuka bungkusan plastik itu dan meminum teh hangat di dalamnya dengan sedotan. Tubuhnya yang terasa dingin sedikit terhangatkan dengan
minuman itu. Anisa melihat jam di tangannya. Indra juga ikut melihat jam di tangannya sendiri. Sudah jam sepuluh. Tapi hujan belum berhenti.
"Nis, aku tidak bawa jas hujan," kata Indra. "Kau mau menunggu sampai hujan reda?"
Anisa mengangguk. Di bawah hujan yang deras dan langit yang gelap, Indra menyaksikan malam yang penuh cahaya dan bintang-bintang yang menari. Dia tersenyum dalam hati. Tawarannya
untuk mengantarkan Anisa pulang tidak ditolak.
*** Semalam mereka pulang ketika jarum jam hampir mencapai pukul sebelas. Hujan yang turun sangat lebat itu butuh waktu lama untuk reda, hingga mereka dapat
pulang tanpa kehujanan. Saat sampai di rumah, kedua orang tua Anisa segera membukakan pintu dan menyongsong kedatangan Anisa dengan wajah yang tampak cemas.
Ketika melihat Indra bersama Anisa, mereka pun terlihat sedikit lega.
"Untung saja ada Nak Indra," kata ibu Anisa malam tadi.
Indra menjawab dengan sopan, "Kebetulan saya pas lewat di sana, Bu."
Sementara Anisa hanya diam dan langsung masuk ke dalam rumah.
Melihat pakaian Indra yang basah, ayah Anisa meminta agar Indra masuk dulu, tapi Indra memutuskan untuk langsung pulang.
Saat mengantarkan Anisa pulang malam tadi, Indra mencoba bertanya apakah besok Anisa ada acara ke kampus, namun Anisa mengatakan sekarang semua urusannya
dengan akademik sudah selesai, dan dia tidak ada keperluan ke kampus.
Maka pagi ini pun Indra tidak mencoba menjemputnya, meski ia ingin sekali melakukannya. Setelah kejadian semalam, Indra merasa sedikit lega karena akhirnya
Anisa mau berbicara dengannya meski masih sangat kaku. Indra menyadari Anisa tak bisa secepatnya melupakan Ferry, juga tak bisa secepatnya memaafkan dirinya.
Indra pun telah menyadari bahwa kesalahan yang telah diperbuatnya kepada Anisa merupakan kesalahan besar, meski ia juga tahu kesalahan itu bukanlah kesalahannya
semata-mata. Pagi menjelang siang, Indra bertandang ke pabrik ayahnya dan membantu-bantu di sana. Sepanjang berada di pabrik hingga siang hari, Indra mulai merasakan
tubuhnya terserang flu. Kepalanya terasa berat. Beberapa kali dia juga harus membuang ingus dari hidungnya. Mungkin ini karena hujan semalam, pikirnya.
Menjelang pukul dua, Indra memutuskan untuk datang ke rumah Anisa, untuk mengantarkannya ke tempat kerja.
Waktu sampai di rumah Anisa, rumah itu tampak sepi. Indra mengetuk pintunya, dan tak lama kemudian Anisa membukakan pintu dengan pakaian yang sudah rapi.
Ia mungkin sedang bersiap-siap untuk berangkat ke tempat kerjanya.
"Kok sepi sekali?" tanya Indra.
"Ibu lagi kondangan," jawab Anisa tanpa ekspresi.
Indra masih berdiri, dan bertanya, "Mau berangkat sekarang?"
"Sebentar lagi," jawab Anisa, masih tanpa ekspresi. Lalu, saat melihat Indra yang masih berdiri dengan wajah bingung, Anisa pun berkata, "Silakan duduk."
Indra pun duduk seperti robot.
Anisa juga duduk di salah satu kursi di hadapan Indra.
Dan mereka saling diam.? Indra menatap Anisa yang menunduk tak menghiraukannya. Ini adalah saat-saat yang kaku sekaligus janggal. Tadi malam Indra berpikir Anisa sudah mau berubah
sikap dalam menghadapinya. Dan Anisa memang telah berubah sikap. Setidaknya ia sekarang tidak sesinis dan semarah sebelumnya. Meskipun tidak mau banyak
bicara dengannya, Indra tahu Anisa telah mampu meredakan kesedihannya, sekaligus juga meredakan kemarahan atau bahkan mungkin kebencian terhadapnya.
Indra mencoba mengulang kembali pertanyaan yang beberapa waktu lalu pernah ditanyakannya, namun tak memperoleh jawaban, "Nis, kau masih marah padaku?"
Tidak seperti di waktu lalu, Anisa segera mengangkat wajahnya dan memandang Indra, lalu berkata dengan nada penuh kemarahan, "Bagaimana aku tidak marah
kepadamu"! Kau telah mempermainkan aku, membohongi aku dan membiarkan aku tertipu selama ini!"
Indra seperti ingin mengatakan sesuatu, namun Anisa telah menyambung, "Kau menutupi kematian Ferry dariku, dan kau mempermainkan aku selama ini! Kau tahu
keberadaan Ferry sangat berarti bagiku! Tapi kau hanya menganggapnya sebagai permainan, dan kau membohongiku habis-habisan! Kau pikir itu permainan apa...?"?"
"Maafkan aku, Nis..." bisik Indra tertahan.
"Kau tidak tahu bagaimana hancurnya aku saat menyadari Ferry sudah tak ada lagi. Dan aku baru mengetahuinya tiga bulan setelah kematiannya! Ya Tuhan! Kau
sangat keterlaluan! Dia kekasihku, tapi aku sama sekali tak menyadari kematiannya, dan sama sekali tak menyadari telah lama kehilangan dia...!" Suara Anisa
terdengar semakin parau, dan kemudian air matanya runtuh. Kini dia duduk dengan tubuh terguncang menahan isak tangis dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
Indra duduk terpaku tanpa bisa berkata apa-apa. Dipandanginya sosok di hadapannya yang tampak sangat terguncang, dan sekali lagi merasakan rasa bersalah
menggunung dalam dadanya.
"Nis..." Anisa mengangkat wajahnya yang berurai air mata, lalu dengan suara parau bercampur tangis ia bertanya, "Mengapa kau tidak mengatakannya padaku sejak dulu"
Mengapa kau tidak memberitahu aku kalau yang meninggal itu Ferry dan bukannya kau..." Mengapa...?"?" Dan tangisnya pecah lagi.
"Maafkan aku, Nis..."
"Kau keterlaluan!" Anisa berkata sambil menahan air matanya. "Kau menganggap kematian Ferry hanya bagian dari permainanmu, dan kauanggap itu sama sekali
tidak penting bagiku! Kau..."
"Aku...aku tak menganggapnya begitu, Nis..." Indra mengatakannya dengan lemah.
"Kau menganggapnya begitu!" Anisa menangis tersedu-sedu dengan kedua telapak tangan menutupi wajahnya.
Indra menahan ingus dalam hidungnya dan menyabarkan hatinya. Perempuan di depannya ini tengah hancur, dan Indra memahami hal itu. Indra tahu bahwa akan
tiba saatnya ketika ia harus menerima kemarahan Anisa seperti ini. Kalau selama ini Anisa hanya diam, Indra sama sekali tak pernah percaya kalau ia akan
terbebas dari kemarahan seperti ini. Anisa jelas sangat marah kepadanya. Mungkin juga membencinya. Dan jika memang itu yang dirasakan Anisa, Indra berpikir
bahwa sebaiknya memang semua kemarahan itu dikeluarkan seperti ini agar kebencian yang menggumpal dalam dirinya mencair meski perlahan. Maka Indra pun
menyediakan dirinya untuk menerima segala kemarahan itu. Ia tahu bahwa ini akan berlalu. Bila semua gumpalan kemarahan itu telah keluar, Indra yakin akan
bisa mendapati Anisa yang seperti dulu.
Anisa masih terguncang-guncang di kursinya, menangis dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Indra hanya diam, membiarkan Anisa meredakan tangisnya. Sambil
duduk termenung, Indra berpikir, pernahkah dulu dia dan Ferry membayangkan akan menemui kenyataan seperti ini" Ketika merancang permainan tukar tempat
itu bersama Ferry, pernahkah dulu dia membayangkan akan menghadapi saat-saat yang menggetirkan seperti ini" Menatap sedih seorang perempuan yang kehilangan
kekasihnya, dan rasa kehilangan itu baru disadarinya setelah waktu berjalan tiga bulan..."
Indra merasakan ingus dalam hidungnya semakin mendesak keluar. Ia pun bangkit dari kursinya, kemudian mengeluarkan ingus dari hidungnya di halaman rumah.
Rasa pusing yang sejak tadi pagi dirasakannya kini semakin terasa memberati kepalanya.
Saat Indra masuk kembali ke dalam rumah, Anisa telah meredakan tangisnya. Ia tengah menghapus sisa-sisa air mata dari wajahnya dengan saputangan. Indra
duduk kembali di kursinya.
Anisa melihat ke arah jam dinding. Sudah jam dua lebih sedikit. Dia lalu masuk ke dalam, dan beberapa saat kemudian tampak buru-buru keluar kembali. Sudah
waktunya dia harus berangkat kerja.
"Mau berangkat sekarang?" Indra bertanya perlahan.
Anisa hanya mengangguk. Indra pun keluar rumah dan menuju sepeda motornya. Anisa mengunci pintu rumah, lalu melangkah ke arah Indra yang telah duduk di
atas motor. "Seharusnya kau tak perlu melakukan ini," kata Anisa tanpa ekspresi.
"Melakukan apa?" tanya Indra tak paham.
"Kau tak perlu mengantarku seperti ini!"
"Tidak apa-apa. Aku senang melakukannya." Indra menghidupkan mesin motornya. "Aku harap kau tidak keberatan..."
Lalu mereka pun melaju. Anisa duduk di belakang Indra.
*** Malam harinya, Indra tahu dia harus kembali menjemput Anisa. Langit agak gelap, dan Indra hampir yakin malam ini pun hujan akan turun kembali. Maka Indra
pun mempersiapkan jas hujan di bawah jok motornya, lalu berangkat ke tempat kerja Anisa saat jarum jam hampir menunjuk angka sembilan.
Karena rasa pusing yang dirasakannya, Indra tak berani cepat-cepat membawa motornya. Saat ia sampai di tempat kerja Anisa, dealer itu baru saja tutup.
Anisa tampak keluar dari tempat kerjanya bersama beberapa kawannya. Indra segera mendekat.
Anisa melihat Indra datang, tapi hanya diam sambil mengarahkan pandangannya pada kawan-kawannya yang mulai pulang satu persatu dengan para penjemputnya.
Indra menghentikan motornya tepat di depan Anisa berdiri.
Anisa tetap tak bergerak dari tempatnya. Dia masih diam dan sama sekali tak menghiraukan Indra yang telah berhenti di hadapannya.
"Aku datang untuk menjemputmu," kata Indra.
Anisa mendekati Indra dan berkata, "Aku kan sudah bilang, kau tidak perlu melakukan ini!"
Indra menjawab perlahan, "Aku juga sudah bilang, aku senang melakukannya, dan kuharap kau tidak keberatan."
Indra menatap Anisa dengan pandangan menunggu. Akhirnya, dengan sedikit ragu-ragu, Anisa pun melangkahkan kakinya dan mendekati sepeda motor Indra. Setelah
yakin Anisa telah duduk di belakangnya, Indra pun menjalankan motornya.
Hanya beberapa puluh meter mereka melaju, hujan telah turun. Indra menepikan motor di sebuah trotoar di bawah atap toko, dan menghentikan motornya.
Bara Diatas Singgasana 14 Kelompok 2 Dan 1 Sang Pengintai Karya Dwianto Setyawan Rajawali Emas 2

Cari Blog Ini