Ceritasilat Novel Online

Hati Yang Memilih 2

Hati Yang Memilih Karya Unknown Bagian 2


"Kemungkinan semacam itu selalu ada, kan" Kalian tahu sendiri, pihak rektorat sangat kebakaran jenggot dengan ulah kalian."
"Juga Purek Tiga," sela Neni.
Pak Agung menjawab dengan netral, "Kalau Pak Mirwan sih cuma ditugaskan untuk mengurusi dan menyelesaikannya bersama kalian. Bagaimana pun, ini kan menyangkut
mahasiswa." "Yah, siapa tahu...?" Sofyan mengangkat bahu.
Mereka memasuki gedung rektorat, dan Pak Agung terus menggiring mereka menuju lantai atas menuju ruang kantor atasannya. Dia tak mau disemprot lagi karena
kehilangan anak-anak itu.
Saat sampai di depan pintu ruang kantor Purek III, Pak Agung pun segera melapor dengan bangga.
"Mereka sudah datang, Pak," katanya pada Pak Mirwan yang masih duduk menunggu di kantornya.
Pak Mirwan mengangguk, lalu meminta Ferry dan teman-temannya untuk masuk ke kantornya.
Begitu mereka semua telah masuk dan melihat pintu kantor atasannya tertutup perlahan-lahan, Pak Agung pun menghela napas lega. Ia beranjak dari sana dan
menuju ruang kantornya kembali. Tugas beratnya telah selesai. Ia tak peduli apa yang tak lama lagi akan terjadi.
*** Di waktu yang sama, Anisa duduk sendirian di salah satu sudut kantin kampus dan menikmati segelas teh hangat setelah tadi menghabiskan dua potong lumpia
dan menelan pilnya. Anisa tahu kalau Ferry saat ini sedang berada di gedung rektorat, tengah mengurus masalahnya menyangkut berita di majalah yang dipimpinnya.
Anisa sama sekali tak memahami apa sebenarnya yang diinginkan kekasihnya dengan membuat perkara menyangkut berita yang menghebohkan itu. Ketika pertama
kali Ferry menceritakan rencana akan dimuatnya berita itu di majalah kampus mereka, Anisa sudah merasa kalau akibatnya akan seperti ini. Ferry telah menceritakan
kepadanya secara detail sebelum berita itu naik cetak dan majalah itu terbit. Dan Anisa pun sudah memohon kepada Ferry untuk membatalkan niatnya.
"Itu terlalu berbahaya, Fer," katanya waktu itu. "Kau tahu sendiri kalau ini menyangkut siapa..."
"Harus ada yang melakukannya, Nis," jawab Ferry dengan yakin.
"Tapi tidak perlu kau yang melakukannya, kan?"
Ferry tersenyum. "Kau lupa kalau aku pemimpin majalah kampusmu" Kalau bukan aku yang melakukannya, lalu siapa lagi?"
Anisa masih mencoba, "Kupikir...masih banyak hal lain yang lebih aman untuk bisa diberitakan, Fer."
"Dan membiarkan orang-orang itu menyalahgunakan jabatannya tanpa ada yang mengusiknya sama sekali?"
"Tapi itu...itu terlalu berbahaya, Fer, kau tentu tahu." Anisa menatap kekasihnya dengan sayang. "Aku takut terjadi apa-apa denganmu."
Ferry tersenyum menenangkan. "Tak akan terjadi apa-apa. Percayalah."
Tapi nyatanya terjadi apa-apa. Anisa tahu bahwa ketika majalah itu naik cetak, bahkan anak-anak UKM Pers sendiri pun merasa berdebar-debar.
Anisa mengkhawatirkan Ferry, namun memahami kalau dirinya telah menjadi kekasih aktivis kampus, karenanya dia pun harus siap menghadapi risikonya.
Anisa mencintai Ferry, ia menyayanginya. Bagi Anisa, Ferry adalah sosok terbaik yang pernah ada dalam hidupnya. Di antara mereka berdua, ada banyak hal
yang tak terucapkan namun Ferry selalu bisa memahaminya. Ia bersyukur memiliki Ferry, dan ia pun bersyukur memiliki cintanya.
Beberapa hari yang lalu, saat tertidur di klinik kampus karena kelelahan, ia tak menyadari kalau tangannya masih menggenggam amplop surat permohonan beasiswa.
Ketika terbangun, ia menyaksikan Ferry yang masih menungguinya, dan tersenyum kepadanya. Ketika kemudian Ferry keluar dari ruangan itu untuk ke kantin
mencarikan makanan untuknya, Anisa mendapati amplop suratnya telah tergeletak di atas meja dalam keadaan telah diluruskan. Anisa tak tahu apa yang telah
terjadi. Ia baru tahu apa yang terjadi ketika telah pulang ke rumah. Saat membuka tas kuliahnya, tanpa sengaja ia menemukan slip pembayaran SPP untuk semester ini.
Juga kwitansi tanda lunas pembayaran hutangnya semester yang kemarin. Anisa memegangi kertas-kertas itu dengan mata menghangat. Ada banyak hal tak terucap
yang ia rasakan dari kertas-kertas yang ada di tangannya, dan ia tahu Ferry telah melakukannya.
"Kau tidak perlu melakukannya, Fer," kata Anisa keesokan paginya saat di kampus.
Ferry hanya menatap dengan pandangan kosong. "Melakukan apa?"
Saat Anisa memperlihatkan slip pembayaran SPP dan kwitansi pelunasan beasiswa pinjamannya, Ferry berkata, "Mungkin kau lupa, Nis. Kemarin kau pingsan,
jadi mungkin tak sadar dengan yang sudah kaulakukan..."
Anisa memaksakan senyumnya. "Aku tidak pingsan, aku hanya tertidur, dan...aku masih bisa mengingat apa yang terjadi kemarin."
Ferry meraih tangan Anisa yang masih memegangi kertas-kertas itu, dan kemudian menuntun tangan itu untuk mengembalikan kertas-kertas itu ke dalam tasnya.
Anisa menunduk. "Fer, aku tahu kau melakukannya, dan...kau tahu besarnya rasa terima kasihku..."
Ferry tak menjawab, hanya merengkuh kekasihnya ke dalam pelukannya. "Lupakan saja," bisiknya kemudian dengan lirih.
*** Di ruang kantor Purek III, wajah Pak Mirwan terlihat memerah sementara urat-urat halus tampak bermunculan di sekitar pelipisnya. Jelas sekali dia begitu
tegang sekaligus menahan marah sebisanya. Sementara empat mahasiswa pembuat perkara itu duduk tenang di hadapannya. Sebuah majalah NURANI edisi terbaru
tampak tergeletak di atas meja yang memisahkan mereka.
"Jadi kalian benar-benar yakin kalau berita yang kalian tulis ini valid"!" tegasnya untuk kesekian kali, mendesak para mahasiswa di hadapannya.
Ferry menganggukkan kepala, juga untuk kesekian kalinya. Ia telah disepakati menjadi juru bicara kawan-kawannya. "Kami telah melakukan cek dan ricek terhadap
semua berita itu, Pak. Kami memutuskan semua berita itu valid dan layak diterbitkan."
"Tetapi berita ini sama sekali tidak berimbang!" ujar Pak Mirwan dengan ngotot. "Kalian mengekspos habis-habisan orang-orang yang sinis di luar itu, sementara
suara dan komentar dari dalam universitas sendiri tidak kalian muat!"
Ferry menjawab dengan tenang, "Kami sudah mencoba menghubungi orang-orang dalam universitas yang terlibat dalam proyek itu, tapi mereka tidak mau memberikan
komentar atau jawaban."
"Seharusnya kalian juga memberikan space untuk orang-orang itu agar berita ini lebih berimbang!" Pak Mirwan masih ngotot.
"Kami sudah memberikan kesempatan untuk itu, Pak. Tapi berkali-kali kami temui dan hubungi, selalu saja tak ada jawaban, tak ada komentar. Ada beberapa
jawaban, tapi terlalu kasar, jadi kami pikir tidak etis jika dimuat."
Pak Mirwan menghela napas, lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, menatap keempat mahasiswa di depannya. "Apa sih yang kalian ketahui mengenai proyek
itu"!" tanyanya kemudian dengan sinis.
"Tak jauh beda dengan apa yang juga diketahui Bapak," jawab Ferry dengan nekat.
"Kalian mencari perkara!" sembur Pak Mirwan lagi. "Ini proyek negara, dan seluruh urusannya dilakukan secara sah dan legal"ini bukan urusan main-main!
Proyek ini diadakan untuk membangun sarana pendidikan yang lebih layak untuk kalian, dan tujuannya semata-mata hanya untuk meningkatkan kualitas pendidikan
untuk mahasiswa seperti kalian!"
Keempat mahasiswa itu hanya diam dan mendengarkan.
Pak Mirwan kembali menyembur, "Jadi, apa motivasi kalian menuliskan berita seperti ini"!"
Ferry kembali menjawab sambil menahan dirinya untuk tetap tenang. "Seperti yang sudah saya katakan tadi, Pak. Kami tak punya motivasi apa-apa selain hanya
mengungkapkan fakta."
Pak Mirwan berteriak gusar, "Tetapi fakta yang kalian beritakan ini sama sekali tidak benar!"
"Kami memperolehnya dari sumber-sumber yang dapat dipercaya." Ferry menegaskan.
Pak Mirwan mengambil majalah di hadapannya, kemudian membuka halaman yang telah ditandainya, dan menunjuk pada bagian-bagian tertentu yang telah diberinya
tanda dengan spidol merah. Spidol itu menandai kutipan-kutipan pernyataan dari beberapa narasumber yang ditulis secara anonim, namun mereka sama-sama tahu
kalau itu adalah sumber dari dalam universitas sendiri.
"Sekarang katakan pada saya, siapa orang-orang yang telah memberikan pernyataan-pernyataan tak berdasar seperti ini," kata Pak Mirwan dengan suara yang
lebih rendah. "Saya tidak bisa melakukannya," jawab Ferry dengan pasti.
Pak Mirwan kembali meledak. "Dengar, ini proyek besar dan menyangkut urusan negara. Persoalan ini juga mempertaruhkan nama baik universitas kita! Kalau
memang ada orang-orang dari dalam universitas sendiri yang mencoba merusakkan nama universitas ini, pihak universitas akan memecatnya demi nama baik universitas.
Jadi katakan siapa orang-orang ini!"
"Saya tidak bisa melakukannya," ulang Ferry dengan kepastian yang sama.
"Kalian harus memahami bahwa yang telah kalian lakukan dengan berita ini sangat-sangat mencemarkan nama baik universitas, dan pihak rektorat merasa sangat
keberatan dengan hal ini!"
"Pihak rektorat bisa memberikan hak jawab yang akan kami muat di edisi mendatang," jawab Ferry.
Pak Mirwan seperti kehabisan kata-kata. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan duduk bersandar di kursinya kembali, menarik napas dan meredakan tensi darahnya
yang meninggi. Tetapi wajahnya masih memerah dan urat-urat di pelipisnya masih berdenyut. Kali ini, Pak Mirwan mencoba menggunakan taktik lain. Ia menurunkan
nada suaranya. "Sebenarnya ini bukan urusan saya pribadi," ujar Pak Mirwan kemudian dengan suara lebih kalem. "Saya sengaja mengundang kalian kemari dan membicarakan
semua persoalan ini karena menyangkut nama baik universitas kita bersama. Apa yang telah kalian lakukan dengan berita di majalah itu adalah bagian dari
aktivitas mahasiswa, dan saya bertanggung jawab menangani urusan mahasiswa. Anda semua bisa mengerti?"
Ferry dan tiga kawannya mengangguk.
Pak Mirwan melanjutkan, "Apa yang kita bicarakan ini adalah persoalan besar menyangkut universitas kita. Berita yang kalian tulis dalam majalah itu akan
membuat banyak hal menjadi persoalan baru. Jika majalah itu sampai ke tangan pemerintah dan mereka percaya pada isi berita itu, terlepas dari benar atau
tidaknya, bantuan untuk universitas kita akan terhambat. Mereka akan berpikir seribu kali untuk mengulurkan bantuan kembali untuk pembangunan universitas
ini, dan itu akan berpengaruh pada proses belajar mengajar kita semua. Kalian bisa memahami saya?"
Sekali lagi Ferry dan tiga kawannya mengangguk, dan mereka pun menyadari bahwa kartu-kartu baru tengah dimainkan.
Pak Mirwan kembali melanjutkan. "Nah, mari kita ambil jalan tengah yang saya kira bisa kita sepakati dengan tetap menghormati hak kita masing-masing. Berita
itu sudah terlanjur terbit dan telah terbaca masyarakat, khususnya para mahasiswa di kampus kita. Kalian memang punya hak untuk melakukan itu, karena itu
bagian dari tugas kalian"para aktivis pers kampus. Tetapi universitas ini juga punya hak untuk melangsungkan pembangunannya dengan lancar tanpa harus terancam
teror semacam itu, yang akan menyabotase prosesnya dan mencemarkan nama baiknya. Jadi..."
Ferry dan kawan-kawannya tahu bahwa inilah kartu yang akan disodorkan pada mereka.
"Jadi, bagaimana kalau di majalah edisi mendatang ada semacam "ralat" atas berita yang telah termuat di edisi ini?" lanjut Pak Mirwan sambil menatap keempat
mahasiswa di hadapannya. "Maksudnya...?" Ferry bertanya dengan ekspresi hampa.
Pak Mirwan terlihat agak bingung. "Maksud saya, muatlah semacam...ya, ralat berita. Katakanlah bahwa kalian telah keliru menurunkan laporan itu, bahwa
ada hal-hal yang tak sempat terinvestigasi, atau hal-hal semacam itu. Pokoknya tetap demi menjaga nama baik universitas kita ini."
Melihat Ferry dan teman-temannya tampak masih menunggu, Pak Mirwan segera melanjutkan, "Kami tentu menyadari kalau penyediaan space untuk itu akan memakan
halaman majalah kalian yang seharusnya untuk laporan berita lain. Jadi...jadi bagaimana kalau pemuatan ralat berita itu dianggap sebagai advertensi dari
kami?" Jadi inilah kartunya. Ferry seperti menahan senyum saat mengatakan, "Pak Mirwan, Bapak tentu tahu kami tidak bisa melakukan apa yang Bapak sebut ralat berita itu..."
"Iya, saya menyadari, tetapi kita sama-sama tahu ini masalah besar"masalah besar yang darurat..." Pak Mirwan tergagap.
"Tapi kami tidak bisa melakukannya." Ferry tetap bertahan. "Itu sama saja dengan mengatakan pada para pembaca kami bahwa berita yang kemarin itu cuma bohong-bohongan."
Pak Mirwan kembali meledak. "Pihak rektorat menganggap bahwa berita yang kalian tulis itu memang bohong...!"
Kali ini Ferry tersulut emosinya. "Kami siap dipertemukan dengan semua pihak rektorat, dan juga dengan Pak Hamid yang memiliki perusahaan kontraktor pemegang
proyek itu." Pak Mirwan bangkit dari duduknya, dan menatap keempat mahasiswa yang membuat masalah itu dengan galak. "Kalian tahu apa risikonya jika kalian tetap tak
mau berubah?" Ferry dan kawan-kawannya tahu bahwa kartu as sesaat lagi akan diturunkan di atas meja. Ferry menjawab tantangan itu dengan kata-kata yang santai, "Kami
tak sempat memikirkannya."
"Kalian akan memikirkannya!" bentak Pak Mirwan dengan galak. "Universitas ini punyak hak untuk memecat kalian"untuk apa yang telah kalian lakukan"karena
ini sudah sangat mencemarkan nama baik universitas!"
Ferry dan kawan-kawannya tahu, itulah kartu as yang semenjak tadi disimpan dan ditahan oleh Pak Mirwan, dan mereka pun menyadari bahwa cepat atau lambat
mereka akan menghadapi kartu as itu. Tetapi mereka pun telah mempersiapkan kartu yang tak kalah mematikan.
Ferry berkata dengan pasti, "Pak Mirwan, kami menurunkan berita itu di majalah kami karena menghormati universitas ini, karena kami mencintai kampus ini.
Tetapi kalau kami sampai drop out dari kampus, maka berita itu akan muncul di koran-koran dan majalah-majalah lain."
Pak Mirwan terdiam di tempat duduknya. Perundingan itu gagal.
Setelah pengunduran diri Bobby yang tiba-tiba, sebagian besar produksi sinetron Matra Cinema jadi berantakan. Kepergian sutradara itu membuat semua pihak
kalang-kabut. Sinetron mereka telah memperoleh kontrak pasti dengan pihak televisi yang akan menayangkannya, dan peralatan syuting serta lokasi yang disewa
pun memiliki batas waktu yang pasti kapan berakhirnya. Semua kru jadi menganggur, sementara sebagian artis telah mengantongi bayarannya. Tapi jadwal syuting
berhenti. Karena terhentinya proses produksi sinetron itu, Indra dan para artis pendukung lainnya pun break untuk waktu yang tak pasti.
Satu minggu setelah hengkangnya Bobby dari Matra Cinema, suatu malam tanpa sengaja Indra bertemu Bobby di salah satu kafe langganannya. Bobby tampak sendirian
dan tengah menikmati live music di kafe itu. Setelah ragu sejenak, Indra kemudian memutuskan untuk mendekati sutradara itu.
"Bang Bob, apa kabar?" sapa Indra saat sampai di depan Bobby.
Bobby menghadapkan wajahnya pada sosok yang baru menyapanya, lalu tersenyum lebar. "Hei, Nak, aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"
Merasa mendapat respon positif, Indra kemudian tersenyum dan duduk di hadapan Bobby.
"Kau mau minum?" Bobby menawarkan.
"Saya baru saja minum di sana." Indra menunjuk mejanya.
"Kau sendirian, Nak?"
Indra mengangguk. "Saya suka menikmati musik di kafe ini."
Bobby kemudian menuangkan minuman ke dalam gelas dan meneguknya.
"Bang Bob," ujar Indra, "kami semua merasa kehilangan Abang."
"Seharusnya kaukatakan itu pada produsermu," jawab Bobby acuh tak acuh.
"Proses sinetron kita terhenti, Bang. Semua artis break untuk waktu yang tak jelas," kata Indra lagi.
"Itu bukan salahku," sekali lagi Bobby menjawab dengan acuh tak acuh.
"Pak Hasnan tentu sangat terpukul dengan kejadian ini..."
"Bosmu itu kapitalis sejati, Nak." Kali ini Bobby menatap Indra dengan pandangan sungguh-sungguh. "Yang dia tahu hanya uang, modal, laba, keuntungan, dan
hal-hal lain yang biasa menyenangkannya. Dia tidak tahu sama sekali soal idealisme, keindahan berkarya, dan pengabdian pada pekerjaan..."
Indra menatap wajah Bobby dengan pandangan menghormati.
"Dan itulah yang membedakan kami," lanjut Bobby. "Dia bekerja dan memproduksi semua sinetron itu atas dasar uang, dan dengan motivasi uang semata-mata.
Sementara aku bekerja menciptakan sinetron itu karena pengabdian pada pekerjaan, dan karena kecintaanku pada karya yang indah. Bosmu itu sama sekali tak
memahami soal-soal semacam itu."
Indra menunjukkan ekspresi wajah memahami atas semua yang dikatakan Bobby, kemudian berucap dengan sungguh-sungguh, "Abang orang besar, Bang Bob."
Bobby tampak terharu. Ia meneguk minumannya, lalu menepuk-nepuk punggung tangan Indra yang ada di atas meja. "Aku pun yakin kelak kau akan menjadi aktor
besar, Nak," kata Bobby sungguh-sungguh.
*** Di sebuah kamar hotel yang telah dipesan secara private, Hasnan Wibowo tengah menenangkan pikirannya yang kalut atas persoalan yang kini sedang dihadapi
perusahaannya. Hengkangnya Bobby mau tak mau meninggalkan sejumlah persoalan dan setumpuk tugas baru yang harus diselesaikannya.
Di sampingnya, di atas tempat tidur yang cukup luas, Cintya berbaring dengan hanya mengenakan kimono.
*** Di rumah kontrakan yang biasa ia tinggali bersama kawan-kawan sekampusnya, Elisha duduk termenung sendirian dalam kamar, sementara semua kawannya sedang
pergi berkencan dengan pasangannya masing-masing. Tadi sore pacarnya juga telah datang menjemputnya, namun Elisha mengurung diri dalam kamar dan tak mau
menemui. Dia meminta seorang kawannya agar mengatakan dirinya sakit dan sedang tidur.
Elisha merasa kalut. Impian besarnya untuk menjadi artis dan muncul di sinetron yang ditayangkan televisi kini seolah menjadi mimpi buruk yang amat menakutkan.
Dia merasa telah hampir dapat menggapai impian itu. Namun hanya berselang beberapa jam sejak harapannya tumbuh, harapan besar itu kandas dihempaskan kenyataan
yang amat menyakitkan. Elisha telah berjuang mati-matian untuk dapat meraih impian itu. Ia telah mengikuti puluhan atau ratusan atau bahkan mungkin jutaan kali kasting, dan sialnya
semua gagal. Elisha telah rela berkorban habis-habisan untuk mendapatkan impiannya, dan untuk itu ia merelakan miliknya yang paling berharga"sesuatu yang
tak pernah diberikannya bahkan untuk kekasihnya. Tetapi pengorbanan itu pun sia-sia. Sinetron yang tinggal syuting itu kemudian seperti kupu-kupu indah
yang langsung kabur begitu dia bergerak mendekatinya.?
Elisha merasa dirinya hancur, dan hatinya terasa remuk. Perasaannya tercabik-cabik saat ia mengingat kejadian di lokasi syuting hari itu, ketika sosok
biadab sutradara itu menyemburkan caci-maki kepadanya melalui Indra.
Elisha pun merasakan dirinya masih tercabik-cabik oleh kenyataan hingga hari ini. Kemana perginya impian itu" Kemana menguapnya semua harapan indah itu..."
Saat pertemuannya dengan produser yang amat meyakinkan itu telah membuat angan Elisha terbang ke angkasa yang paling tinggi, dan kemudian perjumpaannya
dengan sutradara itu telah melemparkannya ke dasar jurang yang paling dalam.
Dan sekarang, kemana ia harus membawa diri" Di mana harus menyembunyikan wajahnya" Kawan-kawan Elisha sejak lama tahu kalau dia terobsesi oleh sinetron,
dan mereka pun tahu Elisha akan mengejarnya sampai obsesi itu didapatkan. Dan ketika kenyataan indah itu telah berada dalam genggaman, Elisha pun membawanya
kemana pun pergi dengan sepenuh kebahagiaan.
Tetapi kemudian kenyataan berbalik menjungkirkannya, ketika ia disadarkan dengan cara yang amat menyakitkan bahwa jalan yang ditempuhnya keliru, dan segalanya
telah terlambat. Orang-orang di lokasi syuting kini tahu apa yang telah dilakukannya, dan orang-orang di luar sana pun akan segera mengetahuinya. Dunia
telah mengetahui sesuatu yang sebelumnya hanya diketahui dirinya dan produser itu saja. Kenyataan itu membuatnya amat terpukul, dan Elisha merasakan dunianya
semakin hancur. Kemana ia harus membawa diri" Dimana harus menyembunyikan wajahnya" Elisha merasa depresi. Air matanya telah habis untuk menangisi dan menyesali kenyataan
yang memedihkan ini, dan penyesalannya menggumpal bagai salju yang membeku. Ia telah kehilangan impian terindahnya. Ia telah kehilangan hidupnya.
Jarum jam di dinding kamar terdengar sangat kencang berdetak di telinga Elisha, dan ia beranjak turun dari tempat tidur. Didekatinya meja belajar, menarik
lacinya, kemudian mengambil sebilah cutter dari dalamnya.
Elisha berbaring kembali di atas tempat tidurnya. Lalu dengan air mata yang muncul tiba-tiba, ia mengiris pergelangan tangannya.
Dan darah mengalir. Kemudian mengucur.
Pandangan Elisha tertutup air matanya dan semakin mengabur.
Dan darah semakin deras mengucur.
Dan jarum-jarum jam di dinding kamar terdengar semakin kencang berdetak di telinga Elisha...
*** Di sebuah departement store yang terang-benderang, dengan membawa tas belanjaan, seorang artis terkenal sedang tersenyum ramah pada sekelompok gadis yang
menyapanya dengan tatapan penuh kekaguman.
*** Di salah satu bangsal rumah sakit, beberapa perawat tengah sibuk. Pasien TBC itu kembali menunjukkan tanda-tanda kritis, dan mereka sedang berusaha menolongnya.
Doni terbaring tak sadar di atas tempat tidurnya.
Ketika pertolongan awal yang diberikan tak mampu menolong, seorang perawat menghubungi beberapa petugas yang kemudian memindahkan Doni ke kereta dorong,
lalu membawanya menuju ruang emergency.
Seorang dokter dihubungi untuk suatu keadaan darurat. Tubuh Doni dihubungkan dengan beberapa selang, dan bunyi kardiografi berdetik perlahan-lahan.
Tit, tit, tit, tit, tit, tit...
Doni terbaring tak sadar di atas pembaringannya.
*** Dalam temaramnya lampu dansa, di sebuah diskotik yang cukup ramai, Geovanni mengutuk ponselnya. Ia baru saja mengecek jumlah rekeningnya melalui SMS banking,
dan ponsel itu menyampaikan informasi jumlah tabungannya yang kian menipis.
Geovanni semakin uring-uringan. Ia harus membeli barang itu untuk malam ini, namun jumlah uangnya tak mencukupi lagi. Kecanduannya pada barang terkutuk
itu telah menguras tabungannya tanpa terasa, dan sekarang ia harus segera mendapatkan uang untuk kembali membelinya. Tapi laporan di ponselnya baru saja
memberitahu bahwa uangnya tidak cukup, saldo rekeningnya telah sampai pada batas minimal.
Geovanni menyandarkan tubuhnya di atas kursi yang cukup empuk sambil mengedarkan matanya ke seluruh ruangan diskotik, berharap menemukan seseorang yang
dikenalnya, dan ia akan melakukan apa saja untuk dapat memperoleh barang yang dibutuhkannya. Wajahnya terasa mulai berkeringat. Dia mengutuk keadaan. Orang-orang
yang dikenalnya seperti lenyap ditelan bumi bila sedang dibutuhkan. Sementara jarum jam terus berdetak. Geovanni semakin merasakan tanda-tanda itu. Tubuhnya
mulai terasa panas dingin.
Sekali lagi ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan diskotik itu, namun kali ini pandangan matanya terasa mulai mengabur. Geovanni mulai pasrah.
Tak ada orang yang dikenalnya. Tak ada yang mendekatinya. Tak ada barang yang dibutuhkannya. Tak lama lagi ia akan sakaw. Dan infotainment akan punya satu
lagi berita baru. *** Di sebuah convention hall, lebih dari dua ribu orang muda-mudi memadati ruangan untuk menonton konser sebuah group band yang memukau. Beberapa orang terlihat
sibuk dengan kamera yang berjalan memutari ruangan, sementara sebuah alat penghubung menjulur tak terlihat dari lokasi acara ke sebuah stasiun siaran,
dan acara itu pun disiarkan secara live di televisi.
Jutaan orang menyaksikannya di rumah-rumah mereka.
*** Cukup jauh dari lokasi acara konser yang semarak, di salah satu kamar mandi hotel, Rafli tercengang memperhatikan sesuatu yang keluar dari tubuhnya. Seorang
perempuan teman kencannya masih terbaring di atas tempat tidur dalam kamar hotel yang disewanya, dan sekarang Rafli mendapati kenyataan yang tak pernah
dibayangkannya. Air seninya tak lagi bening. Ada sesuatu yang tampak seperti darah. Dan juga nanah.
Rafli tahu akhirnya ia juga kena.
*** Di sebuah kamar mandi pula, di dalam rumahnya sendiri yang mewah, Hilda tengah tersenyum dengan senang, dengan hati yang tenang. Ia memandangi alat tes
kehamilan yang barusan dicobanya. Negatif. Sekali lagi diperhatikannya alat tes kehamilan yang praktis itu. Dan tetap negatif.
Sekali lagi Hilda tersenyum. Itu tak boleh terjadi, pikirnya. Ia buang alat tes itu ke dalam kloset yang kemudian mengalir bersama gemuruhnya air. Sekali
lagi bibirnya tersenyum. Bayangannya menari-nari. Indra, Leonel, Jonathan, Deddy, dan...oh ya, juga Onassis. Beberapa nama lain juga pernah masuk dalam
koleksinya, namun Hilda tak menyimpannya terlalu lama. Selalu ada sosok-sosok baru yang menggairahkan. Dan ia merasa bangga pernah memiliki kencan dengan
artis-artis populer itu. Hilda beranjak dari kamar mandi setelah menyiram kedua kakinya dengan air. Petualangannya belum berakhir.
*** Tiga ratus empat kilometer dari Jakarta, di kamar rumahnya di Semarang, Ferry menerima telepon dari saudara kembarnya.
"Jadi kau benar-benar akan pulang ke Semarang, nih?" tanya Ferry melalui telepon. "Tidak sibuk syuting lagi?"
"Suer, kali ini aku benar-benar akan pulang, Fer. Ada kejadian buruk di sini. Jadwal syutingku break, dan aku sedang tidak minat untuk main di sinetron
lain. Aku sudah kangen sama kalian," suara Indra di telepon.
"Kau tahu kalau Mama sering mengkhawatirkanmu?"
Indra tertawa. "Ya, pasti soal cewek-cewek itu, kan?"
"Kau sudah jadi Don Juan yang sukses, Ndra," ledek Ferry dengan tawanya.
"Jangan ngawur! Mama terlalu banyak nonton infotainment."
"Pasti menyenangkan sekali menjalani hidup sepertimu." Ferry masih mencoba meledeknya.
"Kau pasti terkejut kalau menghadapi kenyataannya, Fer," balas Indra. "Oh ya, bagaimana kabar Anisa, pacarmu" Kalian masih berhubungan, kan?"
"Kami baik-baik saja," kata Ferry, "dan bagaimana kabar Citra?"
"Oh, kabarnya baik," jawab Indra.
"Vivit?" "Dia juga baik."


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ririn?" "Cukup, Fer. Kau juga terlalu banyak nonton infotainment!"
Ferry tertawa terbahak-bahak.
Indra kemudian menutup, "Oke Fer, mungkin besok atau lusa aku sudah sampai di Semarang. Sampai bertemu di rumah."
Ferry pun meletakkan handel teleponnya.
Indra sampai di Semarang jam lima sore, dan disambut dengan hangat penuh kerinduan oleh seluruh keluarganya. Meskipun ini bukan kepulangannya yang pertama
sejak menjadi artis, namun kepulangan Indra ke rumah selalu menjadi sesuatu yang besar bagi keluarganya, bahkan bagi para tetangganya.
Malam itu Indra menikmati kebersamaannya kembali dengan keluarganya. Ibunya telah memasakkan makan malam yang spesial, dan mereka telah menikmati makan
malam yang luar biasa. "Kalian tahu," kata Muladi, sang ayah, sambil menatap Indra dan Ferry yang duduk dalam satu kursi panjang, "kalau kalian sudah bersama seperti itu, Papa
agak-agak bingung untuk membedakan kalian."
Indra dan Ferry tertawa kecil, sementara ibu mereka tersenyum.
"Papa sibuk terus sih di pabrik," kata Ferry kemudian, "jadi tidak sempat memperhatikan kami."
"Kalian juga sulit dibedakan," jawab ayahnya. "Coba kalian bercermin, kalian juga pasti akan bingung sendiri. Papa jadi ingin tahu bagaimana dulu Papa
sama Mama membuat kalian..."
Mereka kembali tertawa. Silvia kemudian menatap Indra. "Ndra, gosip-gosip di televisi tentangmu semakin mengerikan saja..."
"Aduh, Ma. Kan saya sudah bilang berkali-kali, jangan terlalu banyak nonton infotainment," tanggap Indra buru-buru. "Kalau nonton acara itu, semua beritanya
pasti mengerikan." "Lho, Mama kan ingin tahu perkembanganmu," jawab ibunya dengan sayang. "Kau juga jarang nelepon. Jadi kalau Mama kangen ya nonton infotainment, biar bisa
melihatmu." "Kan Mama bisa lihat sinetron saya, tidak perlu nonton infotainment."
"Kalau di sinetron, kau kan lagi akting, jadi tidak asli," sahut Silvia sambil tersenyum.
Ferry kemudian ikut nimbrung. "Ndra, belum lama ini aku juga sempat dengar tentang Hilda..."
"Dengar dari mana"!" Indra langsung melotot ke arah saudara kembarnya.
"Dari infotainment," jawab Ferry sambil menahan senyum.
"Yaah, ini lagi! Kenapa sih, kau juga usil nonton infotainment?"
"Tidak sengaja, Ndra," ujar Ferry dengan senyum yang makin lebar. "Tapi, siapa tuh si Hilda?"
"Cuma teman," jawab Indra dengan tidak enak.
"Tapi kata infotainment itu, kalian kepergok sedang..."
Indra langsung mencubit paha Ferry agar tidak meneruskan ucapannya. Ferry langsung tertawa ngakak, sementara Indra berusaha meredam keingintahuan kedua
orang tuanya yang jadi tertarik dan penasaran.
Telepon berdering, dan Muladi yang mungkin telah mengadakan janji telepon itu segera beranjak menerimanya, lalu terlihat berbicara serius di telepon.
"Ndra, siapa lagi tuh Hilda?" tanya Silvia yang masih penasaran.
"Cuma teman, Ma. Biasalah." Indra selalu merasa serba salah kalau ditanyai seperti ini.
"Dan kalian kepergok sedang apa tadi, yang dikatakan Ferry itu?" Ibunya masih menuntut.
"Ya ampun, Ma!" Mau tak mau Indra tersenyum juga. "Kenapa juga mengurusi Ferry" Kami cuma sedang makan malam waktu itu. Kemudian entah dari mana datangnya,
reporter infotainment itu muncul memergoki kami, lalu memberitakan makan malam itu..."
Ferry langsung menyambar, "Jangan percaya, Ma! Mereka kepergok sedang..."
Sekali lagi Indra mencubit paha saudara kembarnya, kali ini lebih keras, dan Ferry tertawa terbahak-bahak sambil bangkit dan menjauhi Indra. Indra memaki
dalam hati. Ia benar-benar mengutuk infotainment yang memberitakan hal itu!
Beberapa waktu yang lalu, saat sedang break dari syuting, Indra bertandang ke tempat Hilda, dan mereka pun lalu berkencan. Namun sialnya, saat baru keluar
dari kamar hotel untuk makan malam, seorang reporter infotainment memergoki mereka. Berita itu kemudian muncul dalam salah satu acara infotainment di televisi.
Meskipun hanya berita kecil, namun Indra mengutuk hal itu, sekaligus mengutuk saudara kembarnya yang bisa-bisanya melihat berita itu.
"Ndra," kata Silvia setelah Ferry pergi, "Mama tuh sering merasa risih lho, kalau ditanya ibu-ibu tetangga atau teman-teman arisan tentang kau."
"Memangnya mereka menanyakan apa sih, Ma?" tanya Indra meski dia juga telah tahu apa masalahnya.
Silvia menatap Indra. "Sebenarnya kau pacaran sama siapa, sih" Beberapa kali Mama lihat kau digosipkan sama Citra, sama Ririn, terus sama...siapa lagi
tuh, Mama lupa. Teman-teman Mama kan kadang tanya-tanya, siapa yang benar-benar pacaran denganmu?"
"Namanya juga gosip, Ma," kata Indra dengan gaya menenangkan. "Tidak perlu terlalu dipercaya. Nyatanya sampai sekarang saya juga tidak menjalin hubungan
dengan salah satu dari mereka."
"Tapi kata infotainment itu..."
"Aduuuh, kenapa sih infotainment selalu jadi sumber?" potong Indra.
"Terus mau percaya sama siapa lagi, Ndra," jawab Silvia sambil menahan senyum. "Acara itu kan mengulas berita para artis, dan kalau Mama ingin tahu berita
tentangmu, Mama tentu saja nonton acara itu. Begitu juga ibu-ibu yang lain teman Mama itu..."
"Tapi ditonton saja Ma, tidak usah dijadikan referensi."
Silvia tertawa. "Jadi, sebenarnya kau pacaran sama siapa sih?"
Kali ini Indra yang tertawa. "Saya tidak pacaran sama siapa-siapa, Ma. Saya sibuk sekali dan tidak punya waktu untuk pacaran."
"Dan Hilda tadi itu..." Kalian kepergok sedang apa?" Silvia masih mengejar.
"Ya ampun, Maaa! Kenapa sih omongan Ferry dimasukkan ke hati" Seperti yang tadi saya bilang, kami cuma berteman dan kepergok sedang makan malam." Indra
benar-benar mengutuk saudara kembarnya dalam hati.
Silvia menunjukkan ekspresi tak percaya, kemudian dengan senyum ia mengatakan, "Biar nanti Mama tanya sama Ferry..."
Indra langsung pasang muka masam. Ia harus membungkam saudara kembarnya itu!
*** Saat malam makin larut, Indra dan Ferry masih asyik bercakap-cakap di dalam kamar. Ferry menyandarkan tubuhnya pada bantal di atas tempat tidur, sementara
Indra duduk di atas sofa panjang dalam kamar.
"Sejujurnya, aku iri melihatmu, Ndra," kata Ferry. "Kau sangat populer, hidup enak, dikelilingi banyak cewek cantik."
"Seharusnya kau tidak perlu mengatakan soal itu di depan Mama," kata Indra sambil tersenyum masam.
"Sengaja!" balas Ferry. "Lagi pula, tanpa aku ngomong pun, Mama sudah tahu banyak tentang dirimu. Mama tidak pernah absen nonton infotainment."
"Untung saja Mama tidak lihat soal Hilda itu..."
Ferry tertawa. "Sebenarnya aku juga tidak lihat, Ndra. Aku tahu itu dari Anisa. Dia yang lihat berita itu..."
"Sialan!" maki Indra.
"Tapi, benar kalau kalian kepergok pas keluar dari kamar hotel?"
"Kau janji tidak akan ngomong ke Mama?"
"Ampun, kenapa sih kau tidak percaya sama aku?"
Indra pun kemudian menjawabnya dengan jujur. Mereka memang saling terbuka untuk hal-hal yang bahkan tertutup untuk kedua orang tua mereka.
"Jadi kalian benar-benar lagi kencan waktu itu?" tegas Ferry setelah Indra menceritakannya.
"Ya begitu," jawab Indra santai.
"Dan dengan Citra" Ririn" Vivit" Nathasa" Firdha..."
"Ya ampun, Fer! Kenapa juga kauhafalkan nama-nama mereka?" Indra melemparkan bantal di sofa ke arah saudara kembarnya.
Ferry cuma tertawa. "Kau juga kencan sama mereka?"
"Apakah itu juga masuk infotainment?" tanya Indra jadi ingin tahu, sebab dia sendiri jarang nonton acara itu karena kesibukan syuting.
Ferry menjawab, "Ya masuk juga, cuma beritanya agak-agak soft. Aku juga jarang nonton infotainment."
"Oh, syukurlah," desah Indra sungguh-sungguh.
"Ndra, kau juga benar-benar kencan sama mereka?" Ferry mulai lagi.
"Kau janji tidak akan bilang-bilang ke Mama?"
"Harus berapa kali kautanyakan itu?"
Indra pun lalu menceritakannya. Ferry makin merasa kalau saudara kembarnya itu benar-benar beruntung menikmati hidupnya. Kencan dengan perempuan-perempuan
cantik itu?"" Kalau Indra pernah dipergoki sedang keluar dari kamar hotel bersama Hilda, tentunya perempuan-perempuan yang lain itu juga pernah masuk kamar dengan Indra,
hanya saja tidak ada reporter infotainment yang memergoki mereka. Ferry makin merasa iri dengan keberuntungan saudara kembarnya.
"Tapi aku sudah jenuh dengan yang seperti itu, Fer," kata Indra akhirnya.
"Kau jenuh berkencan dengan cewek-cewek cantik itu?" Ferry seperti ingin memastikan dia tidak salah paham.
"Bukan cuma soal kencan dengan cewek-cewek itu." Indra menjawab. "Aku juga terkadang jenuh dengan pesta-pesta dan segala macam yang seperti itu. Pada mulanya
sih aku asyik-asyik saja, dan suer, aku sangat menikmatinya. Tapi senikmat apapun sesuatu, lama-lama kita akan sampai juga pada titik kejenuhan, kan?"
Mereka terdiam, menikmati kebersamaan dan kedekatan seperti pada masa-masa yang lalu. Indra kemudian menuangkan air dingin dalam botol ke dalam gelasnya,
lalu meneguknya. "Aku malah kadang-kadang merindukan kembali hidup seperti dulu, Fer," kata Indra setelah meletakkan gelasnya kembali di atas meja. "Seperti kehidupanmu
sekarang. Hidup di Semarang. Kuliah di sini, jadi orang biasa, dan pacaran dengan cewek yang sangat baik seperti Anisa."
"Tapi kau dulu tampak senang sekali, Ndra." Ferry mengingatkan bagaimana dulu ketika pertama kali akan syuting sinetron pertamanya, Indra langsung menelepon
ke rumah dengan kegembiraan meluap-luap hingga seluruh keluarganya menyangkanya telah menemukan harta karun Ali Baba.
"Siapapun akan senang kalau tahu akan jadi artis, Fer," jawab Indra. "Semua orang bermimpi ingin masuk sinetron, muncul di televisi. Begitu pula aku waktu
itu. Aku juga punya pikiran dan perasaan yang sama seperti anak-anak muda yang lainnya."
Ferry kemudian mengalihkan topik pembicaraan. "Kau dulu sering cerita tentang salah satu temanmu... siapa tuh, hm... Elisha?"
Indra mengangguk. "Bagaimana kabarnya sekarang?" tanya Ferry. "Dia juga sudah jadi artis?"
Indra menggeleng. "Aku menyayangkan dirinya. Dia sangat terobsesi ingin main sinetron, tapi sepertinya harus menempuh jalan yang lebih panjang untuk meraih
keinginannya. Aku tetap merasa berhutang budi kepadanya karena dialah yang dulu mengajakku ke tempat kasting itu hingga jadi seperti sekarang. Aku pun
sudah berkali-kali mencoba merekomendasikan dia untuk sinetronku. Tapi tidak pernah berhasil."
"Dia tetap belum jadi artis?"
"Hampir. Mungkin karena tidak sabar, dia mengambil jalan pintas. Dia menemui seorang produser dan...hm, mereka mungkin saling bertransaksi secara pribadi,
dan produser itu membuka pintu untuknya, tapi... usahanya tetap gagal."
"Kok bisa?" tanya Ferry dengan heran.
Indra pun kemudian bercerita tentang insiden mengamuknya Bobby di lokasi syuting yang berbuntut dengan keluarnya sutradara itu dari Matra Cinema. Sementara
Ferry dengan khusyuk mendengarkan semua cerita itu. Setiap kali Indra pulang ke rumah, mereka selalu saling bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing,
dan Ferry selalu suka mendengarkan kisah-kisah Indra menyangkut syuting dan segala macam aktivitas keartisannya.
Ferry juga sudah berkali-kali mendengar tentang Big Bobby, sutradara yang aneh tapi jenius itu, tentang Hasnan Wibowo sang produser, juga tentang kawan-kawan
Indra"Doni, Rafli, Daniel, dan lainnya yang pecandu dugem, tentang Geovanni yang sudah addict dengan putaw, tentang jumpa pers, pesta-pesta selebriti,
juga acara-acara private sesama artis. Dan Ferry tak pernah bosan mendengarnya, sebagaimana Indra pun selalu senang menceritakannya.
"Sekarang giliranmu, Fer," kata Indra kemudian setelah menceritakan semua aktivitasnya selama ini. "Ceritakan kehidupanmu di sini."
Ferry pun menceritakannya.
*** Di sebuah convention hall, lebih dari dua ribu orang muda-mudi memadati ruangan untuk menonton konser sebuah group band yang memukau. Beberapa orang terlihat
sibuk dengan kamera yang berjalan memutari ruangan, sementara sebuah alat penghubung menjulur tak terlihat dari lokasi acara ke sebuah stasiun siaran,
dan acara itu pun disiarkan secara live di televisi.
Jutaan orang menyaksikannya di rumah-rumah mereka.
*** Cukup jauh dari lokasi acara konser yang semarak, di salah satu kamar mandi hotel, Rafli tercengang memperhatikan sesuatu yang keluar dari tubuhnya. Seorang
perempuan teman kencannya masih terbaring di atas tempat tidur dalam kamar hotel yang disewanya, dan sekarang Rafli mendapati kenyataan yang tak pernah
dibayangkannya. Air seninya tak lagi bening. Ada sesuatu yang tampak seperti darah. Dan juga nanah.
Rafli tahu akhirnya ia juga kena.
*** Di sebuah kamar mandi pula, di dalam rumahnya sendiri yang mewah, Hilda tengah tersenyum dengan senang, dengan hati yang tenang. Ia memandangi alat tes
kehamilan yang barusan dicobanya. Negatif. Sekali lagi diperhatikannya alat tes kehamilan yang praktis itu. Dan tetap negatif.
Sekali lagi Hilda tersenyum. Itu tak boleh terjadi, pikirnya. Ia buang alat tes itu ke dalam kloset yang kemudian mengalir bersama gemuruhnya air. Sekali
lagi bibirnya tersenyum. Bayangannya menari-nari. Indra, Leonel, Jonathan, Deddy, dan...oh ya, juga Onassis. Beberapa nama lain juga pernah masuk dalam
koleksinya, namun Hilda tak menyimpannya terlalu lama. Selalu ada sosok-sosok baru yang menggairahkan. Dan ia merasa bangga pernah memiliki kencan dengan
artis-artis populer itu. Hilda beranjak dari kamar mandi setelah menyiram kedua kakinya dengan air. Petualangannya belum berakhir.
*** Tiga ratus empat kilometer dari Jakarta, di kamar rumahnya di Semarang, Ferry menerima telepon dari saudara kembarnya.
"Jadi kau benar-benar akan pulang ke Semarang, nih?" tanya Ferry melalui telepon. "Tidak sibuk syuting lagi?"
"Suer, kali ini aku benar-benar akan pulang, Fer. Ada kejadian buruk di sini. Jadwal syutingku break, dan aku sedang tidak minat untuk main di sinetron
lain. Aku sudah kangen sama kalian," suara Indra di telepon.
"Kau tahu kalau Mama sering mengkhawatirkanmu?"
Indra tertawa. "Ya, pasti soal cewek-cewek itu, kan?"
"Kau sudah jadi Don Juan yang sukses, Ndra," ledek Ferry dengan tawanya.
"Jangan ngawur! Mama terlalu banyak nonton infotainment."
"Pasti menyenangkan sekali menjalani hidup sepertimu." Ferry masih mencoba meledeknya.
"Kau pasti terkejut kalau menghadapi kenyataannya, Fer," balas Indra. "Oh ya, bagaimana kabar Anisa, pacarmu" Kalian masih berhubungan, kan?"
"Kami baik-baik saja," kata Ferry, "dan bagaimana kabar Citra?"
"Oh, kabarnya baik," jawab Indra.
"Vivit?" "Dia juga baik."
"Ririn?" "Cukup, Fer. Kau juga terlalu banyak nonton infotainment!"
Ferry tertawa terbahak-bahak.
Indra kemudian menutup, "Oke Fer, mungkin besok atau lusa aku sudah sampai di Semarang. Sampai bertemu di rumah."
Ferry pun meletakkan handel teleponnya.
Indra sampai di Semarang jam lima sore, dan disambut dengan hangat penuh kerinduan oleh seluruh keluarganya. Meskipun ini bukan kepulangannya yang pertama
sejak menjadi artis, namun kepulangan Indra ke rumah selalu menjadi sesuatu yang besar bagi keluarganya, bahkan bagi para tetangganya.
Malam itu Indra menikmati kebersamaannya kembali dengan keluarganya. Ibunya telah memasakkan makan malam yang spesial, dan mereka telah menikmati makan
malam yang luar biasa. "Kalian tahu," kata Muladi, sang ayah, sambil menatap Indra dan Ferry yang duduk dalam satu kursi panjang, "kalau kalian sudah bersama seperti itu, Papa
agak-agak bingung untuk membedakan kalian."
Indra dan Ferry tertawa kecil, sementara ibu mereka tersenyum.
"Papa sibuk terus sih di pabrik," kata Ferry kemudian, "jadi tidak sempat memperhatikan kami."
"Kalian juga sulit dibedakan," jawab ayahnya. "Coba kalian bercermin, kalian juga pasti akan bingung sendiri. Papa jadi ingin tahu bagaimana dulu Papa
sama Mama membuat kalian..."
Mereka kembali tertawa. Silvia kemudian menatap Indra. "Ndra, gosip-gosip di televisi tentangmu semakin mengerikan saja..."
"Aduh, Ma. Kan saya sudah bilang berkali-kali, jangan terlalu banyak nonton infotainment," tanggap Indra buru-buru. "Kalau nonton acara itu, semua beritanya
pasti mengerikan." "Lho, Mama kan ingin tahu perkembanganmu," jawab ibunya dengan sayang. "Kau juga jarang nelepon. Jadi kalau Mama kangen ya nonton infotainment, biar bisa
melihatmu." "Kan Mama bisa lihat sinetron saya, tidak perlu nonton infotainment."
"Kalau di sinetron, kau kan lagi akting, jadi tidak asli," sahut Silvia sambil tersenyum.
Ferry kemudian ikut nimbrung. "Ndra, belum lama ini aku juga sempat dengar tentang Hilda..."
"Dengar dari mana"!" Indra langsung melotot ke arah saudara kembarnya.
"Dari infotainment," jawab Ferry sambil menahan senyum.
"Yaah, ini lagi! Kenapa sih, kau juga usil nonton infotainment?"
"Tidak sengaja, Ndra," ujar Ferry dengan senyum yang makin lebar. "Tapi, siapa tuh si Hilda?"
"Cuma teman," jawab Indra dengan tidak enak.
"Tapi kata infotainment itu, kalian kepergok sedang..."
Indra langsung mencubit paha Ferry agar tidak meneruskan ucapannya. Ferry langsung tertawa ngakak, sementara Indra berusaha meredam keingintahuan kedua
orang tuanya yang jadi tertarik dan penasaran.
Telepon berdering, dan Muladi yang mungkin telah mengadakan janji telepon itu segera beranjak menerimanya, lalu terlihat berbicara serius di telepon.
"Ndra, siapa lagi tuh Hilda?" tanya Silvia yang masih penasaran.
"Cuma teman, Ma. Biasalah." Indra selalu merasa serba salah kalau ditanyai seperti ini.
"Dan kalian kepergok sedang apa tadi, yang dikatakan Ferry itu?" Ibunya masih menuntut.
"Ya ampun, Ma!" Mau tak mau Indra tersenyum juga. "Kenapa juga mengurusi Ferry" Kami cuma sedang makan malam waktu itu. Kemudian entah dari mana datangnya,
reporter infotainment itu muncul memergoki kami, lalu memberitakan makan malam itu..."
Ferry langsung menyambar, "Jangan percaya, Ma! Mereka kepergok sedang..."
Sekali lagi Indra mencubit paha saudara kembarnya, kali ini lebih keras, dan Ferry tertawa terbahak-bahak sambil bangkit dan menjauhi Indra. Indra memaki
dalam hati. Ia benar-benar mengutuk infotainment yang memberitakan hal itu!
Beberapa waktu yang lalu, saat sedang break dari syuting, Indra bertandang ke tempat Hilda, dan mereka pun lalu berkencan. Namun sialnya, saat baru keluar
dari kamar hotel untuk makan malam, seorang reporter infotainment memergoki mereka. Berita itu kemudian muncul dalam salah satu acara infotainment di televisi.
Meskipun hanya berita kecil, namun Indra mengutuk hal itu, sekaligus mengutuk saudara kembarnya yang bisa-bisanya melihat berita itu.
"Ndra," kata Silvia setelah Ferry pergi, "Mama tuh sering merasa risih lho, kalau ditanya ibu-ibu tetangga atau teman-teman arisan tentang kau."
"Memangnya mereka menanyakan apa sih, Ma?" tanya Indra meski dia juga telah tahu apa masalahnya.
Silvia menatap Indra. "Sebenarnya kau pacaran sama siapa, sih" Beberapa kali Mama lihat kau digosipkan sama Citra, sama Ririn, terus sama...siapa lagi
tuh, Mama lupa. Teman-teman Mama kan kadang tanya-tanya, siapa yang benar-benar pacaran denganmu?"
"Namanya juga gosip, Ma," kata Indra dengan gaya menenangkan. "Tidak perlu terlalu dipercaya. Nyatanya sampai sekarang saya juga tidak menjalin hubungan
dengan salah satu dari mereka."
"Tapi kata infotainment itu..."
"Aduuuh, kenapa sih infotainment selalu jadi sumber?" potong Indra.
"Terus mau percaya sama siapa lagi, Ndra," jawab Silvia sambil menahan senyum. "Acara itu kan mengulas berita para artis, dan kalau Mama ingin tahu berita
tentangmu, Mama tentu saja nonton acara itu. Begitu juga ibu-ibu yang lain teman Mama itu..."
"Tapi ditonton saja Ma, tidak usah dijadikan referensi."
Silvia tertawa. "Jadi, sebenarnya kau pacaran sama siapa sih?"
Kali ini Indra yang tertawa. "Saya tidak pacaran sama siapa-siapa, Ma. Saya sibuk sekali dan tidak punya waktu untuk pacaran."
"Dan Hilda tadi itu..." Kalian kepergok sedang apa?" Silvia masih mengejar.
"Ya ampun, Maaa! Kenapa sih omongan Ferry dimasukkan ke hati" Seperti yang tadi saya bilang, kami cuma berteman dan kepergok sedang makan malam." Indra
benar-benar mengutuk saudara kembarnya dalam hati.
Silvia menunjukkan ekspresi tak percaya, kemudian dengan senyum ia mengatakan, "Biar nanti Mama tanya sama Ferry..."
Indra langsung pasang muka masam. Ia harus membungkam saudara kembarnya itu!
*** Saat malam makin larut, Indra dan Ferry masih asyik bercakap-cakap di dalam kamar. Ferry menyandarkan tubuhnya pada bantal di atas tempat tidur, sementara
Indra duduk di atas sofa panjang dalam kamar.
"Sejujurnya, aku iri melihatmu, Ndra," kata Ferry. "Kau sangat populer, hidup enak, dikelilingi banyak cewek cantik."
"Seharusnya kau tidak perlu mengatakan soal itu di depan Mama," kata Indra sambil tersenyum masam.
"Sengaja!" balas Ferry. "Lagi pula, tanpa aku ngomong pun, Mama sudah tahu banyak tentang dirimu. Mama tidak pernah absen nonton infotainment."
"Untung saja Mama tidak lihat soal Hilda itu..."
Ferry tertawa. "Sebenarnya aku juga tidak lihat, Ndra. Aku tahu itu dari Anisa. Dia yang lihat berita itu..."
"Sialan!" maki Indra.
"Tapi, benar kalau kalian kepergok pas keluar dari kamar hotel?"
"Kau janji tidak akan ngomong ke Mama?"
"Ampun, kenapa sih kau tidak percaya sama aku?"
Indra pun kemudian menjawabnya dengan jujur. Mereka memang saling terbuka untuk hal-hal yang bahkan tertutup untuk kedua orang tua mereka.
"Jadi kalian benar-benar lagi kencan waktu itu?" tegas Ferry setelah Indra menceritakannya.
"Ya begitu," jawab Indra santai.
"Dan dengan Citra" Ririn" Vivit" Nathasa" Firdha..."
"Ya ampun, Fer! Kenapa juga kauhafalkan nama-nama mereka?" Indra melemparkan bantal di sofa ke arah saudara kembarnya.
Ferry cuma tertawa. "Kau juga kencan sama mereka?"
"Apakah itu juga masuk infotainment?" tanya Indra jadi ingin tahu, sebab dia sendiri jarang nonton acara itu karena kesibukan syuting.
Ferry menjawab, "Ya masuk juga, cuma beritanya agak-agak soft. Aku juga jarang nonton infotainment."
"Oh, syukurlah," desah Indra sungguh-sungguh.
"Ndra, kau juga benar-benar kencan sama mereka?" Ferry mulai lagi.
"Kau janji tidak akan bilang-bilang ke Mama?"
"Harus berapa kali kautanyakan itu?"
Indra pun lalu menceritakannya. Ferry makin merasa kalau saudara kembarnya itu benar-benar beruntung menikmati hidupnya. Kencan dengan perempuan-perempuan
cantik itu?"" Kalau Indra pernah dipergoki sedang keluar dari kamar hotel bersama Hilda, tentunya perempuan-perempuan yang lain itu juga pernah masuk kamar dengan Indra,
hanya saja tidak ada reporter infotainment yang memergoki mereka. Ferry makin merasa iri dengan keberuntungan saudara kembarnya.
"Tapi aku sudah jenuh dengan yang seperti itu, Fer," kata Indra akhirnya.
"Kau jenuh berkencan dengan cewek-cewek cantik itu?" Ferry seperti ingin memastikan dia tidak salah paham.
"Bukan cuma soal kencan dengan cewek-cewek itu." Indra menjawab. "Aku juga terkadang jenuh dengan pesta-pesta dan segala macam yang seperti itu. Pada mulanya
sih aku asyik-asyik saja, dan suer, aku sangat menikmatinya. Tapi senikmat apapun sesuatu, lama-lama kita akan sampai juga pada titik kejenuhan, kan?"
Mereka terdiam, menikmati kebersamaan dan kedekatan seperti pada masa-masa yang lalu. Indra kemudian menuangkan air dingin dalam botol ke dalam gelasnya,
lalu meneguknya. "Aku malah kadang-kadang merindukan kembali hidup seperti dulu, Fer," kata Indra setelah meletakkan gelasnya kembali di atas meja. "Seperti kehidupanmu


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang. Hidup di Semarang. Kuliah di sini, jadi orang biasa, dan pacaran dengan cewek yang sangat baik seperti Anisa."
"Tapi kau dulu tampak senang sekali, Ndra." Ferry mengingatkan bagaimana dulu ketika pertama kali akan syuting sinetron pertamanya, Indra langsung menelepon
ke rumah dengan kegembiraan meluap-luap hingga seluruh keluarganya menyangkanya telah menemukan harta karun Ali Baba.
"Siapapun akan senang kalau tahu akan jadi artis, Fer," jawab Indra. "Semua orang bermimpi ingin masuk sinetron, muncul di televisi. Begitu pula aku waktu
itu. Aku juga punya pikiran dan perasaan yang sama seperti anak-anak muda yang lainnya."
Ferry kemudian mengalihkan topik pembicaraan. "Kau dulu sering cerita tentang salah satu temanmu... siapa tuh, hm... Elisha?"
Indra mengangguk. "Bagaimana kabarnya sekarang?" tanya Ferry. "Dia juga sudah jadi artis?"
Indra menggeleng. "Aku menyayangkan dirinya. Dia sangat terobsesi ingin main sinetron, tapi sepertinya harus menempuh jalan yang lebih panjang untuk meraih
keinginannya. Aku tetap merasa berhutang budi kepadanya karena dialah yang dulu mengajakku ke tempat kasting itu hingga jadi seperti sekarang. Aku pun
sudah berkali-kali mencoba merekomendasikan dia untuk sinetronku. Tapi tidak pernah berhasil."
"Dia tetap belum jadi artis?"
"Hampir. Mungkin karena tidak sabar, dia mengambil jalan pintas. Dia menemui seorang produser dan...hm, mereka mungkin saling bertransaksi secara pribadi,
dan produser itu membuka pintu untuknya, tapi... usahanya tetap gagal."
"Kok bisa?" tanya Ferry dengan heran.
Indra pun kemudian bercerita tentang insiden mengamuknya Bobby di lokasi syuting yang berbuntut dengan keluarnya sutradara itu dari Matra Cinema. Sementara
Ferry dengan khusyuk mendengarkan semua cerita itu. Setiap kali Indra pulang ke rumah, mereka selalu saling bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing,
dan Ferry selalu suka mendengarkan kisah-kisah Indra menyangkut syuting dan segala macam aktivitas keartisannya.
Ferry juga sudah berkali-kali mendengar tentang Big Bobby, sutradara yang aneh tapi jenius itu, tentang Hasnan Wibowo sang produser, juga tentang kawan-kawan
Indra"Doni, Rafli, Daniel, dan lainnya yang pecandu dugem, tentang Geovanni yang sudah addict dengan putaw, tentang jumpa pers, pesta-pesta selebriti,
juga acara-acara private sesama artis. Dan Ferry tak pernah bosan mendengarnya, sebagaimana Indra pun selalu senang menceritakannya.
"Sekarang giliranmu, Fer," kata Indra kemudian setelah menceritakan semua aktivitasnya selama ini. "Ceritakan kehidupanmu di sini."
Ferry pun menceritakannya.
Karena tahu jadwal syutingnya belum jelas, dan Dimas, manajernya,tidak juga menghubunginya untuk jadwal syuting baru, Indra pun menikmati liburannya di
Semarang dengan lebih santai. Bersama Ferry, Indra menikmati kembali suasana kota kelahirannya. Mereka kembali menikmati jalan-jalan ke swalayan dan memilih
baju-baju untuk mereka berdua, mengunjungi kawan-kawan lama, juga mendatangi lokasi-lokasi wisata di Semarang dan sekitarnya yang dulu sering mereka datangi.
Ketika Ferry mengajak Indra mengunjungi Rizal di rumahnya, Rizal masih juga takjub dengan kesamaan fisik dan rupa mereka.
"Ya Tuhan," desah Rizal. "Kalian tetap saja tidak ada bedanya! Dari dulu sampai sekarang tetap tidak ada yang berubah. Tolong katakan, mana yang Ferry
dan mana yang Indra?"
Ferry dan Indra tertawa, sementara Rizal benar-benar tak dapat membedakan keduanya.
Ferry juga mengajak Indra mengunjungi kawan-kawannya yang lain, sebagaimana Indra pun selalu mengajak Ferry mengunjungi kawan-kawannya jika Ferry mengunjunginya
ke Jakarta. Kawan-kawan Ferry yang sebelumnya telah mendengar tentang Indra pun tetap saja merasa heran saat melihat keduanya secara langsung seperti itu.
"Kalian pasti hasil kloning," seloroh Wawan saat mereka datang ke rumahnya. "Saudara kembar biasanya masih menyisakan beberapa perbedaan yang dapat dikenali,
tapi kalian...benar-benar serupa!"
"Berat badan kami agak beda lho, Wan," kata Ferry menanggapi.
"Tapi siapa yang mau repot untuk memastikan berat badan kalian?" Wawan balik bertanya. "Orang tetap akan bingung membedakan kalian. Nah, siapa yang barusan
berkata padaku" Indra atau Ferry?"
Suatu hari, Indra dan Ferry bersama kawan-kawan mereka bertandang ke lokasi wisata yang tak terlalu jauh dari kota mereka, dan Anisa,pacar Ferry,juga ikut
serta dalam acara itu. Beberapa kali Anisa bahkan sempat keliru saat menggandeng tangan Indra yang ia sangka sebagai Ferry.
"Bahkan pacarmu pun tidak bisa membedakan kita, Fer," kata Indra dengan heran ketika menyadari kalau Anisa juga tak bisa mengenali pacarnya sendiri. "Aku
memang sadar kalau kita kembar. Tapi aku tidak menyangka kalau kita sekembar itu..."
"Seharusnya kita pasang emblem di baju kita," canda Ferry sambil tersenyum. "Bahaya sekali kalau kelak kita kawin, kemudian hidup satu rumah dan istri
kita tidak bisa membedakan suaminya."
Indra tertawa. "Fer, bagaimana kalau kita bertukar tempat lagi seperti dulu?" cetusnya tiba-tiba. "Pasti sekarang pun tidak akan ada yang mengenali kita..."
"Maksudmu?" Ferry langsung tertarik.
"Masih ingat saat dulu kita bermain tukar tempat" Kau menggantikan posisiku dan aku menggantikan posisimu..."
"Bagaimana aku bisa lupa?" sela Ferry. "Itu sangat menyenangkan, juga mendebarkan!"
"Nah, bagaimana kalau kita lakukan lagi" Kau akan ke Jakarta dan menggantikan posisiku, dan aku akan tetap di sini menggantikan posisimu?"
Ferry menatap wajah Indra dengan mata berbinar, namun juga tampak ragu.
Indra menyambung, "Tidak selamanya, Fer. Hanya satu bulan atau dua bulan saja. Itu pasti akan sangat menyenangkan! Bukankah kau ingin merasakan kehidupanku"
Dan aku juga telah jenuh dengan hidupku serta ingin menikmati kehidupan sepertimu."
Keraguan Ferry kini terhapus dari wajahnya, dan perlahan-lahan senyum merekah di bibirnya.
Dan begitulah awalnya. Beberapa hari kemudian, mereka membahas rencana itu di kamar Ferry. Rencana yang pada mulanya terasa main-main itu menjadi suatu rencana sungguhan yang
direncanakan dengan matang dan hati-hati. Indra dan Ferry bahkan membahasnya semalam suntuk. Mereka telah memutuskan untuk bertukar tempat selama satu
bulan mendatang. "Kau akan berangkat ke Jakarta dan membawa mobilku, lalu menempati rumahku yang di sana. Kau masih ingat tempatnya, kan?" tanya Indra.
Ferry mengangguk. Indra melanjutkan, "Semua nama kawanku ada dalam ponselku."
Kemudian Indra memperlihatkan keseluruhan isi memori ponselnya. Masing-masing ringtone yang berbeda untuk jenis kawan yang berbeda. Kawan sesama artis.
Kawan kencan. Kawan pesta dan dugem. Ringtone untuk produsernya. Sutradaranya. Manajernya. Dengan khusyuk Ferry menghafalkan dalam pikirannya. Indra juga
menyebutkan alamat orang-orang itu dan dimana mereka bisa ditemui. Gaya mereka masing-masing dan bagaimana cara menghadapinya. Dan lain-lain. Dan sebagainya.
Ferry sangat bergairah mendengarkan semuanya itu. Pesta-pesta selebriti. Say hello dengan bintang-bintang terkenal. Saling kirim SMS dengan artis-artis
populer. Berkencan dengan perempuan-perempuan cantik. Kapan lagi dia bisa melakukannya kalau tidak dengan menempati posisi saudara kembarnya" Kali ini,
Ferry merasa kemiripannya dengan Indra bukan lagi kutukan, namun berkat yang tiada tara.
"Ada yang lain yang ingin kautanyakan?" ujar Indra kemudian, seusai menjelaskan seluruh bagian kehidupannya pada Ferry.
"Apakah aku boleh kencan dengan cewek-cewekmu?" tanya Ferry serius.
"No problem," jawab Indra pasti.
"Dengan Citra?" Ferry memastikan.
Indra mengangguk. "Vivit?" tanya Ferry lagi.
"Ajak saja kalau kau minat."
"Juga Hilda?" "Kau boleh ambil semuanya, Fer." Indra menegaskan. "Mereka bukan pacarku. Mereka cuma teman, dan kau boleh kencan dengan siapapun di antara mereka. Itu
bagian dari permainan ini, kan" Asal jangan sampai kepergok reporter infotainment!"
Ferry tertawa dan menyanggupi. Kemudian setelah berpikir beberapa saat, Ferry kembali bertanya untuk memastikan, "Kau yakin dalam satu bulan mendatang
tidak akan ada syuting?"
"Tidak ada. Dimas akan menghubungi kalau ada jadwal syuting baru. Dia yang mengurus segalanya," jawab Indra memastikan. Bagaimana pun juga miripnya mereka,
kedua saudara kembar itu tak mau terlalu berspekulasi untuk hal yang satu itu. Ferry tak terbiasa dengan kamera dan syuting, dan Indra pun tak ingin aktingnya
jadi kacau gara-gara diperankan oleh Ferry.
"Juga tidak ada jumpa pers?" tanya Ferry lagi.
"Tidak ada." "Pemotretan untuk majalah" Atau tabloid?"
"Tidak ada." "Wawancara dengan televisi?"
"Tidak ada. Kau tidak perlu khawatir, Fer. Manajerku telah mencatatkan jadwal acaraku untuk satu bulan mendatang, dan jadwal satu bulan ini tidak ada kegiatan-kegiatan
yang kaukhawatirkan itu. Aku dibebaskan untuk menggunakan hariku selama satu bulan mendatang, dan itu artinya kau akan menikmati rangkaian pesta dan dugem
sebulan suntuk!" Ferry pun merasa lebih tenang. Mereka lalu bertukar ponsel, dan sekali lagi Ferry menghafalkan nama-nama dalam phone-book ponsel itu sekaligus nada dering
masing-masing dari mereka.
Indra memberikan kunci rumahnya, kunci mobil dan surat-surat kendaraan. Juga sekeping kartu ATM dan nomor PIN untuk menggunakannya. "Sebagai artis, kau
tidak boleh kekurangan uang," candanya.
Setelah semuanya diungkapkan dan diberikan, Indra lalu berkata, "Nah, sekarang jelaskan padaku secara detail apa yang harus kulakukan dalam hidupmu."
Ferry pun menjelaskannya. Dia membongkar isi memori ponselnya, menerangkan masing-masing nama dari phone-book ponsel itu dan siapa mereka. Ferry menjelaskan
beberapa hal menyangkut kampusnya, urusan dengan rektorat atas kasus majalahnya, juga hubungannya dengan beberapa orang yang perlu diketahui Indra.
Setelah Ferry menjelaskan semuanya dengan gamblang, Indra lalu bertanya, "Aku tentunya harus sering bersama Anisa,pacarmu. Apel ke rumahnya, dan mengantarkan
kemana pun dia membutuhkan. Kau tidak keberatan, kan?"
"Asal kau tidak ngapa-ngapain dia, oke?" kata Ferry sungguh-sungguh.
Indra tertawa. "Ini benar-benar tidak adil. Kau dapat Citra, Hilda, Vivit, Ririn..."
"Itu bagian dari kesepakatan permainan ini," potong Ferry.
"Oke, oke. Sepakat!" Indra memastikan.
Dan Ferry pun percaya. Setelah membeberkan semua dalam hidup mereka masing-masing, dan telah sangat jelas memahami serta merasa sudah tak ada lagi yang terlewatkan untuk diketahui,
kedua saudara kembar itu pun mulai menguap letih. Wajah-wajah yang sejak tadi penuh semangat itu sekarang menampakkan tanda-tanda mengantuk.
"Kau yakin sudah tidak ada yang perlu kauceritakan?" tanya Ferry memastikan.
Indra menggeleng. "Dan kau?"
Ferry menguap sebelum menjawab, "Aku sudah menceritakan semuanya yang perlu kauketahui."
Mereka berdua terdiam, merasa yakin dengan yang akan mereka lakukan, namun rasanya ada sesuatu yang masih mengganjal dalam pikiran mereka. Ferry yang kemudian
tersadar lebih dulu. "Ndra, kita lupa. Mama pasti tetap akan mengenali kita!"
Indra segera merespons, "Aku tahu. Tapi kalau Mama menanyakan hal itu, katakan saja kalau kita ingin main-main sebentar seperti dulu. Aku yakin Mama tidak
akan terlalu merisaukan. Kita kan tidak selamanya bertukar tempat."
"Kau yang akan tinggal di rumah, Ndra. Kau yang akan menghadapinya." Ferry mengingatkan.
"Iya, dan aku yakin bisa menjelaskan pada Mama kalau ini hanya sekadar main-main. Aku yakin Mama tidak akan mempermasalahkan."
"Juga tidak akan keberatan," harap Ferry.
Kemudian mereka pun tertidur. Indra tak sempat pindah ke kamarnya sendiri.
*** Ketika keberadaan Indra di Semarang genap dua belas hari, permainan itu pun dilakukan. Indra dan Ferry menganggap waktu dua minggu cukup sebagai waktu
liburan Indra di Semarang, dan Ferry pun berangkat ke Jakarta untuk menggantikan posisi Indra. Sementara Indra tetap tinggal di Semarang, menempati posisi
Ferry. Seperti yang telah mereka perkirakan sejak semula, ibu mereka tahu apa yang mereka lakukan dan segera saja menanyakan hal itu.
"Apa maksudnya ini?" tanya Silvia saat melihat Ferry memasuki mobil Indra, sementara Indra melepas kepergian Ferry.
Indra mencoba tersenyum pada ibunya dan menjelaskan, "Biasa, Ma. Kami ingin main tukar tempat seperti dulu."
"Kalian bercanda, kan?" tanya Silvia tak percaya.
"Benar, Ma," jawab Indra menjelaskan, "Ferry katanya ingin merasakan kehidupan saya. Tapi ini tidak lama, kok. Cuma untuk satu bulan mendatang. Ferry akan
pulang kembali kesini, dan saya akan berangkat lagi ke Jakarta."
Silvia menatap Indra dengan tatapan khawatir. "Benar cuma satu bulan?"
"Sungguh, Ma. Tanya saja sama Ferry. Lagi pula Ferry kan tidak bisa akting. Satu bulan mendatang saya pasti dapat jadwal syuting lagi dan harus kembali
ke Jakarta." Setelah terdiam sesaat, Silvia bergumam, "Mama merasa khawatir, Ndra..."
"Tidak perlu khawatir, Ma. Ini cuma permainan kecil seperti yang biasa kami lakukan dulu, dan kami sudah biasa melakukannya..." Indra menatap ibunya dengan
pandangan memohon, dan Silvia pun tak lagi mempersoalkannya.
Dan permainan itu pun benar-benar dimulai.
Ferry berangkat ke Jakarta dengan membawa mobil Indra bersama seluruh identitasnya, dan Indra tinggal di Semarang menggantikan tempat Ferry dengan seluruh
identitas saudara kembarnya. Sebuah permainan yang mengasyikkan sekaligus mendebarkan yang telah mereka bahas selama beberapa hari, dan mereka pikirkan
dengan matang semalam suntuk,sebuah rencana yang sempurna.
Tetapi... langit tertawa.
Ujian semesteran di kampus telah selesai, dan kini tinggal menunggu nilai. Tak ada jadwal kuliah yang mengharuskan Indra datang ke kampus Ferry, namun
pagi itu Anisa mengirim SMS dan memintanya untuk menemani ke kampus.
"Fer, nilai ujian keluar hari ini. Kita ke kampus ya," begitu bunyi SMS itu.
Maka Indra pun datang ke rumah Anisa, dan mereka lalu berangkat ke kampus dengan sepeda motor yang biasa digunakan Ferry. Anisa sama sekali tak menyadari
bahwa sosok yang menjemputnya itu bukanlah kekasihnya yang asli, dan dia menyambutnya dengan senyum manis seperti biasa. Anisa pun tanpa ragu melingkarkan
lengannya ke pinggang Indra saat mereka melaju menuju kampus.
"Indra sudah pulang, Fer?" tanya Anisa, sementara motor yang mereka kendarai melaju menuju kampus.
"Sudah," jawab Indra. "Dua hari yang lalu."
"Kalian benar-benar mirip sekali, Fer," kata Anisa lagi. "Aku sama sekali tak menyangka kalau kalian lebih mirip daripada saat aku melihat Indra di televisi."
Indra hanya diam, tak tahu harus bagaimana menanggapinya.
"Oh ya, Fer, kau sudah bilang ke dia mengenai Hilda itu?" tanya Anisa lagi.
Kali ini Indra menahan senyum. "Iya, dia kaget sekali waktu aku bilang itu. Dia pikir aku yang nonton acara infotainment itu."
"Jadi dia benar-benar kencan dengan cewek itu?"
"Sepertinya sih iya," jawab Indra pasrah, sambil dalam hati berharap Ferry di Jakarta tidak kepergok reporter infotainment.
"Untung aku tidak pacaran sama dia," canda Anisa sambil mencubit pinggang Indra.
Indra sedikit menggeliat merasakan cubitan sayang itu, dan menjawab, "Padahal aku ingin bisa seperti dia lho, Nis."
Anisa tertawa. "Aku yakin kau tidak akan melakukannya."
Sesampai di kampus, Indra melihat sebagian besar mahasiswa datang hari itu untuk melihat hasil nilai ujian mereka. Mahasiswa dan mahasiswi itu tampak berdesak-desakan
di depan papan yang disediakan untuk menempelkan daftar hasil nilai ujian mereka dari seluruh mata kuliah semester ini.
Indra yang lama tidak menikmati suasana kampus seperti itu jadi merasa bergairah saat menemani Anisa berdesak-desakan dengan para mahasiswa yang lain di
depan papan-papan nilai itu. Indra tersenyum ketika melihat hasil nilai Ferry terhitung bagus. Itu membuatnya merasa cukup nyaman.
"Hei, Fer." Rizal menepuk pundak Indra. "Masalahmu sudah selesai?"
Indra menoleh, "Masalah yang mana?" tanyanya dengan bingung.
"Masalah mana lagi" Itu, kasus dengan rektorat," jawab Rizal dengan ekspresi seolah ingin mengatakan, "memangnya kau punya masalah apa lagi?".
Indra buru-buru tersenyum dan menjawab, "Oh, itu. Ya belum jelas, sih. Mereka belum menghubungi kami lagi."
Rizal terlihat puas dengan jawaban itu dan mengalihkan pertanyaan lain. "Saudara kembarmu sudah pulang?"
Indra menjawab pasti, "Sudah, dua hari yang lalu."
Kemudian kawan-kawan yang lain berdatangan, dan mereka pun bercakap-cakap seputar hasil nilai ujian dan persoalan-persoalan hangat menyangkut kampus. Indra
mengenal sebagian dari mereka, dan telah menerka beberapa yang lain yang telah diceritakan Ferry. Ternyata tak sesulit yang pernah dibayangkannya, dan
Indra pun segera dapat beradaptasi dengan mereka. Sejauh ini, tak ada dari mereka yang tampak curiga.
Anisa mengajaknya ke kantin, dan Indra pun menuruti.
Di kantin, mereka memesan soto ayam, dan Indra meminta es kelapa muda, sesuatu yang jarang,bahkan tidak pernah,dilakukan Ferry. Hal itu segera saja menarik
perhatian Anisa. "Tumben kau pesan es kelapa muda, Fer," kata Anisa dengan heran. "Biasanya kau suka teh hangat setelah makan soto."
Indra agak terkejut dengan teguran itu. Mengapa dia tak menanyakan apa minuman kesukaan Ferry" Dan Ferry juga tidak mengatakan kalau dia biasa memesan
teh hangat! "Aku... aku lagi kepengin es kelapa muda," jawab Indra akhirnya.
Anisa tersenyum. "Biasanya kau suka nasihati aku, jangan minum yang dingin setelah makan sesuatu yang panas. Ingat?"
"Oh, eh... iya, sih. Tapi, namanya juga lagi kepengin." Indra mengutuk dalam hati. Mengapa dia dan Ferry tak pernah membahas soal makanan"
Dua mangkuk soto ayam dibawakan untuk mereka. Anisa menerima segelas teh hangat, dan Indra mendapatkan segelas es kelapa muda.
Saat mengambil kecap dan sambal, Anisa tanpa sengaja menyendokkan sambal cukup banyak untuk soto di mangkuknya. Indra hanya diam saja, dan sekali lagi
Anisa merasa heran. Biasanya Ferry akan memperhatikan saat Anisa mengambil sambal, dan akan mengatakan agar Anisa tak terlalu banyak mengambilnya. Anisa
selalu suka dengan perhatian-perhatian kecil semacam itu. Apakah barusan pacarnya itu tak memperhatikannya, ataukah telah bosan mengatakan hal yang sama
kepadanya" "Sori Fer, tidak sengaja," kata Anisa akhirnya.
"Kenapa?" Indra sama sekali tak tahu apa yang dimaksud Anisa.
"Kau tidak lihat?" Mau tak mau Anisa tersenyum melihat ekspresi Indra.
"Lihat apa?" Indra semakin bingung.
"Tidak jadi, deh. Untung kalau tidak lihat."
Indra jadi makin bingung dan penasaran. "Hei, lihat apa, dong?"
"Sambalnya, Fer," jawab Anisa dengan gemas karena mengira pacarnya tengah menggodanya. "Barusan aku mengambil sambal kebanyakan."
"Oh itu, tidak apa-apa, kan?" jawab Indra tanpa dosa.
Anisa yang kini jadi bingung.
*** Sepulang dari kampus, Indra segera menelepon Ferry yang telah berada di Jakarta.
"Fer, kenapa kau tidak bilang kalau kau biasa memesan teh hangat dan tidak pernah meminta es kelapa muda?"
Di seberang sana Ferry menjawab, "Lho, kau kan tidak tanya?"
"Dan kenapa kau tidak menceritakannya" Tadi sempat jadi masalah saat aku sama pacarmu makan di kantin!"
Ferry tertawa. "Sori, Ndra. Aku lupa."
"Dan ada apa dengan sambal Anisa?" tanya Indra lagi.
"Dengan... apa?"
"Sambal!" Indra menjelaskan, "Sepertinya ada sesuatu menyangkut sambal dengan pacarmu itu."
Sekali lagi Ferry tertawa. "Aku biasanya mengingatkan agar dia tidak terlalu banyak mengambil sambal. Tidak baik untuk kandungannya."
"Untuk apanya?" Indra seperti salah dengar.
"Untuk kandungannya, Ndra." Ferry memperjelas ucapannya.
"Kalian seperti sudah suami-istri saja," kata Indra sambil tertawa.
"Lho, itu kan bagian dari persiapan untuk jadi suami-istri," ujar Ferry. "Oh ya, kalau bertemu Anisa, jangan lupa menanyakan apakah dia sudah sarapan.
Aku biasa menanyakannya. Ada hal lain yang perlu kau tahu?"
Indra terdiam sesaat, mencoba mengingat hal-hal lain yang ia peroleh selama di kampus tadi. "Oya, Fer, urusanmu dengan rektorat itu, apa memang berat sekali?"
"Lumayan," jawab Ferry. "Tapi kau tidak usah khawatir. Mungkin selama satu bulan mendatang masalah itu tidak akan diungkit-ungkit lagi. Rektorat sudah
ketakutan setengah mati, dan aku yakin mereka tidak ingin masalahnya makin keruh. Jadi kau tidak perlu khawatir."
"Oke," kata Indra dengan puas. "Bagaimana denganmu" Tidak ada masalah, kan?"
"Belum. Tadi pagi manajermu nelepon, katanya kau mendapat tawaran untuk iklan sepatu. Dia tanya apakah aku, eh, maksudnya kau, bersedia."
"Dan kau jawab apa?" tanya Indra.
"Aku bilang saja iya, karena aku yakin kau juga akan mengatakan itu."
"Bagus!" "Terus manajermu bilang kalau dia akan segera mengurus negosiasinya." Ferry menjelaskan. "Apakah kira-kira syuting untuk iklan itu masih lama" Maksudku,
aku takut kalau tiba-tiba harus datang untuk syuting iklan sepatu itu."
"Tidak akan secepat itu." Indra menjelaskan, "Biasanya Dimas butuh waktu cukup lama untuk negosiasi. Itu pun tidak akan langsung syuting. Ada banyak urusan
sebelum syuting dilakukan. Santai saja."
"Syukurlah." "Kau sudah ada kencan seperti yang kauimpikan, Fer?"
Ferry tertawa kecil. "Belum. Tapi tadi malam Vivit-mu kirim SMS dan ngajak ketemu."
"Jangan lewatkan," nasihat Indra sambil tertawa.
"Tentu saja. Kami sudah janjian."
"Kau pasti tak akan melupakannya!"
Indra juga telah diberitahu kalau Anisa bekerja paruh waktu di sebuah dealer ponsel yang cukup besar di Semarang, dan Ferry pun telah menjelaskan bahwa
dia biasa mengantarkan Anisa ke tempat kerjanya. Biasanya mereka berangkat langsung dari kampus bila pulang siang. Dan apabila tak masuk kuliah, Ferry
akan menjemput Anisa di rumahnya untuk kemudian mengantarkan ke tempat kerjanya. Ferry telah menunjukkan tempat kerja Anisa kepada Indra sebelum dia berangkat
ke Jakarta, dan Indra langsung hafal tempatnya, bahkan nama dealer itu. Indra juga tahu kalau Ferry biasa menjemput Anisa pulang pukul sembilan malam,
jam tutupnya dealer ponsel tempat kerjanya.
Indra selalu mengingat untuk melakukan semua kewajiban itu. Dan saat melakukannya, diam-diam Indra merasa terharu. Ferry sangat mencintai Anisa, dan sangat
memperhatikan kekasihnya. Indra belum pernah mengalami hubungan sekaligus kedekatan semacam itu. Selama ini hubungan yang ia jalin dengan perempuan-perempuan
yang pernah masuk dalam hidupnya hanyalah hubungan berdasarkan have fun, tanpa cinta, tanpa kasih sayang yang murni, tanpa ketulusan seperti yang dirasakan
Anisa dan Ferry. Suatu malam saat menjemput Anisa pulang kerja, Indra harus menunggu beberapa saat karena Anisa masih sibuk melayani konsumen yang datang, dan dealer pun
menunggu selesainya mereka sebelum menutup pintu. Indra duduk di salah satu kursi di sana, dan diam-diam memperhatikan kekasih saudara kembarnya.
Anisa sangat bersahaja, namun Indra merasakan suatu kecantikan yang inner dari dirinya. Saat larut dalam pikirannya sendiri, tanpa sadar Indra memperhatikan
Anisa yang masih sibuk melayani para pembeli, dan Indra sama sekali tak tahu kalau Anisa menyadari dirinya tengah diperhatikan.
Diam-diam, Anisa tersenyum.
*** Di malam yang lain, saat Indra menjemput Anisa pulang dari tempat kerjanya, gerimis turun saat mereka tengah melaju di jalanan untuk pulang. Dalam hati
Indra memaki. Ferry jarang menggunakan mobil dan biasa menggunakan sepeda motor untuk rutinitasnya dengan Anisa. Akibatnya, ketika turun hujan seperti
ini, mereka pun harus kerepotan. Indra tahu alasannya. Ferry telah menjelaskan mengenai hal itu saat mereka berencana tukar tempat. Ferry sengaja menggunakan
sepeda motor untuk aktivitasnya dengan Anisa sebagai bagian dari perhatian dan rasa sayangnya pada sang pacar. Anisa merasa risih jika harus diantar-jemput
dengan mobil, dan baik Ferry maupun Indra memahami alasannya.
"Kita berteduh dulu, Fer," kata Anisa saat gerimis yang turun semakin deras.
Indra pun mencari tempat yang bisa digunakan untuk berteduh, kemudian menepikan motor ke salah satu emperan toko yang telah tutup. Mereka berteduh di bawah
atap trotoar, dan duduk bersisian di atas jok motor yang agak basah. Hujan turun semakin deras.
Mereka duduk diam di bawah guyuran hujan malam itu, memandangi mobil-mobil yang lewat, menatap jatuhnya air dari langit yang membentuk pijaran-pijaran
kecil saat menimpa aspal. Indra mendapati Anisa menggigil di sebelahnya. Didorong nalurinya, Indra pun melepaskan jaketnya dan kemudian dikenakannya pada
tubuh Anisa. Anisa hanya diam dan membiarkan Indra memakaikan jaketnya yang cukup tebal ke tubuhnya, namun dia tetap merasa kedinginan. Jaket itu agak basah, dan hujan


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang turun begitu lebat. Atap tempat mereka bernaung tak mampu melindungi dari tempias air yang turun, dan malam semakin larut. Anisa masih tampak menggigil.
Didorong nalurinya pula, Indra ingin sekali memeluk perempuan yang ada di sebelahnya itu, meredakan tubuhnya yang menggigil, namun Indra ingat telah terikat
janji dengan Ferry untuk "tidak ngapa-ngapain dia". Indra sama sekali tak tahu apakah memeluk pacar saudara kembarnya termasuk dalam pasal "ngapa-ngapain"
itu ataukah tidak, tapi Indra ragu-ragu untuk melakukannya.
Maka kemudian ia hanya bisa menatap Anisa dengan perasaan serba salah. Dan sekali lagi Indra merasakan kekaguman yang ia rasakan diam-diam dalam hatinya.
Perempuan ini tetap saja tampak cantik meski rambutnya basah dan awut-awutan. Bedaknya sudah luntur. Polesan lipstiknya telah hilang. Tapi kecantikan yang
terpancar dari dirinya tetap saja melekat. Saudara kembarnya itu benar-benar tahu memilih pacar!
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Anisa dengan halus saat melihat Indra memperhatikannya.
"Oh, hm... kau cantik sekali." Indra jujur mengatakannya.
Anisa menatap Indra, dan tersenyum. Indra menikmati tatapan itu.
Hujan masih deras mengguyur bumi.
*** Ferry baru memasukkan mobil ke dalam garasi ketika ponsel milik Indra yang dikantonginya berbunyi. Waktu masih cukup pagi, dan ia baru pulang dari sebuah
"kencan impian" dengan Vivit setelah sebelumnya mereka saling janjian untuk bertemu di salah satu hotel. Dan seperti yang dikatakan Indra kepadanya, Ferry
benar-benar tak akan melupakannya.?
Ferry mengambil ponsel dari saku celananya, dan melihat nama Rafli di layar ponsel. Indra pernah mengenalkan Ferry dengan lelaki itu, dan Ferry pun masih
mengingat wajah Rafli. "Halo," sapa Ferry menerima telepon itu.
"Ndra," suara Rafli di ponselnya, "akhirnya aku kena juga!"
Ferry kontan bingung. "Kau...kau kena apa, Raf?"
"Es-pe, Ndra," jawab Rafli dengan nada suara yang seolah menyatakan, "kenapa kau jadi telmi begitu?"
"Es-pe?" Ferry mengulang.
"Aku kira itu cuma bakteri biasa. Tapi beberapa hari ini urine-ku tidak berubah juga. Aku benar-benar sudah kena!"
Ferry segera paham. Es-pe. SP. Siphilis. "Kau kena sifilis?" Ferry menegaskan. Meskipun Indra sudah menceritakan kepadanya tentang aktivitas kawannya yang
satu ini, Ferry merasa masih kaget juga mendengar Rafli kena penyakit itu. Dan Ferry kemudian melakukan hal yang amat bodoh saat menanyakan, "Memangnya
apa yang kaulakukan, Raf?"
"Ya ampun, Ndra! Kau kemana saja selama ini"!" Rafli setengah berteriak. "Tiap malam Doni tidak pernah absen ngajak aku kursus ke diskotik, dan selalu
saja ada cewek-cewek yang gatal mengajakku kencan! Sekarang Doni sudah kena. Aku juga sudah kena. Pasti tidak lama lagi kau atau Daniel atau Nathan juga
akan kena, Ndra. Hati-hati sajalah."
Ferry bergidik tiba-tiba. Doni kena. Rafli kena. Apakah Indra juga pernah kena penyakit itu"
Ketika Rafli telah mematikan ponselnya, buru-buru Ferry berlari ke kamar mandi. Dia segera bernapas dengan lega saat memperhatikan tak ada yang berubah
dengan urine-nya. Ini cuma sekali, batin Ferry sambil membayangkan Vivit yang semalam berkencan dengannya. Aku tak akan kena secepat itu!
*** Hari-hari berlalu, dan Indra maupun Ferry semakin menikmati permainan mereka. Sampai sejauh ini, tak ada yang terlalu curiga atas bergantinya tempat mereka,
meski beberapa kali keduanya harus menghadapi saat-saat kritis yang sama sekali tak mereka pahami ketika menghadapi orang-orang tertentu, atau saat-saat
tertentu. Namun baik Indra ataupun Ferry selalu berhasil melewatinya.
Permainan itu makin mendebarkan, sekaligus makin mengasyikkan. Ferry menikmati kehidupan barunya sebagai artis. Memperoleh perhatian kemana pun pergi,
saling sapa dengan artis-artis populer saat tanpa sengaja bertemu di kafe, di swalayan ataupun di diskotik. Saling kirim SMS dengan nama-nama yang biasanya
hanya ia baca di tabloid atau majalah, juga menghadiri pesta-pesta selebriti, dan...kencan-kencan private dengan beberapa perempuan cantik.
Sementara Indra juga menikmati kehidupannya sebagai Ferry. Ia menjalani hidup yang biasa,menjadi sosok sederhana, berpacaran dengan seorang perempuan yang
bersahaja, dan menikmati hari-hari di kampusnya sebagai salah satu aktivis mahasiswa. Indra menyukai kawan-kawan Ferry sebagaimana saudaranya itu menyukai
mereka, dan Indra pun memberikan perhatian yang sama besarnya kepada Anisa, sebagaimana Ferry biasa memberikannya. Beberapa kali Anisa sempat memperhatikan
perubahan yang terjadi pada sosok yang ada di sisinya itu, namun Indra kini selalu dapat mengantisipasinya.
Kedua saudara kembar itu pun makin larut dalam permainan itu, dan mereka semakin menikmatinya.
Di Jakarta, Ferry tahu kalau Doni masih dirawat di rumah sakit karena TBC, dan suatu hari Ferry pun menjenguknya bersama Rafli dan Daniel serta Nathan.
Keadaan Doni memang sudah lebih baik, namun tubuhnya masih sangat lemah.
Saat menghadapi Doni yang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur, Ferry merasa sangat kasihan. Dia dulu pernah bertemu Doni saat mengunjungi Indra
di Jakarta yang kemudian memperkenalkan mereka. Ferry mendapati Doni yang dulu tampak segar sekaligus bugar dan penuh energi. Sekarang lelaki itu terbaring
lemah dengan tubuh yang amat kurus dan wajah yang sangat pucat. Ferry pun mendekat kepadanya, dan menyentuh tangannya yang lemah.
"Ndra..." sapa Doni lemah saat merasakan tangan Ferry menyentuhnya.
Ferry hanya menatap Doni dengan simpati.
"Apakah...apakah kau yakin aku...akan mati...?" bisik Doni lagi dengan lemah.
Ferry segera memaksakan senyumnya. "Kau akan sehat kembali, Don. Tak lama lagi kau pasti akan keluar dari sini."
"Tapi...kau sepertinya berpikiran lain..."
Ferry menggelengkan kepala dan menegaskan, "Aku yakin kau akan tetap hidup!"
"Tapi...tapi kau tak pernah...selembut ini..."
Oh sialan, rutuk Ferry dalam hati. Memangnya bagaimana perlakuan Indra terhadap sahabatnya?""
*** Setelah mengunjungi Doni di bangsalnya, Daniel kemudian mengajak mereka untuk mampir ke bangsal Elisha.
"Elisha juga dirawat di sini?" tanya Nathan yang juga mengenal Elisha.
"Iya," jawab Daniel sambil mengarahkan mereka untuk berbelok pada suatu tikungan rumah sakit itu.
"Memangnya Elisha sakit juga?" Kali ini Ferry yang bertanya, karena sepanjang yang ia ingat Indra tak pernah menceritakan hal itu.
"Kau belum dengar?" tanya Rafli dengan heran sambil menatap Ferry. "Dia kan mencoba bunuh diri setelah insiden di lokasi syuting itu."
Ferry terdiam. Indra tak pernah menceritakan soal bunuh diri itu.
Rafli kemudian melanjutkan, "Kawan-kawannya serumah menemukan Elisha sudah hampir sekarat dalam kamarnya. Dia mencoba bunuh diri dengan mengiris nadi pergelangan
tangannya." "Untung saja masih dapat tertolong," lanjut Daniel.
Ketika mereka memasuki bangsal Elisha, gadis itu masih menunjukkan tanda-tanda shock dan kehancuran di wajahnya. Matanya tampak kosong, dan penampilannya
sangat berantakan. Pergelangan tangannya terbalut perban. Ini dia perempuan yang terobsesi ingin jadi artis itu, batin Ferry dengan perasaan tak karuan
sambil memandang ke arah Elisha yang terbaring di atas tempat tidur. Seorang perawat tampak menjaganya.
Ferry baru kali ini melihat Elisha, karenanya dia tak berani mendekat terlebih dulu. Daniel, Rafli dan Nathan kemudian mendekati Elisha dan mencoba mengajaknya
berbicara. Namun Elisha hanya diam. Tatapan matanya masih kosong. Keberadaan mereka dalam kamarnya seolah tak terlihat. Mereka masih mencoba mengembalikan
pikiran Elisha ke tempatnya agar menyadari kehadiran mereka, namun Elisha seperti tak menghiraukan. Kata-kata yang keluar dari bibir Rafli maupun Daniel
dan Nathan seperti tak didengarnya.
Rafli lalu mendekati Ferry. "Ndra, cobalah kau yang dekati dia. Di antara kami semua, kaulah yang paling dekat dengannya."
Maka Ferry pun kemudian mendekati Elisha, sementara kawan-kawannya menyingkir. Ferry duduk di pinggir ranjang, menatap wajah Elisha, dan berkata perlahan,
"Elisha, ini aku... Indra."
Selama beberapa saat Elisha tetap bergeming. Dia masih menatap hampa langit-langit kamar dan sama sekali tak menghiraukan Ferry di dekatnya. Ferry mencoba
kembali. Elisha tetap tak berubah. Ferry mencoba lagi. Lalu Elisha mulai tampak mengalihkan pandangannya yang hampa dari langit-langit kamar. Ferry menyebut
namanya lagi, dan Elisha kini memandang ke arah Ferry.
"Ini aku, Elisha. Indra, sahabatmu..." kata Ferry.
Elisha memandangi Ferry. Tak berkedip. Tak berkata apa-apa. Dan saat Ferry menyentuh tangannya, tiba-tiba Elisha bangkit dan mendekap Ferry, dan menangis.
Elisha berkata dengan kacau. Ia mengatakan banyak hal secara sekaligus hingga kata-katanya sulit ditangkap. Dan tangisannya semakin membuat ucapannya tak
jelas terdengar. "Aku tahu... Aku tahu..." bisik Ferry menenangkan saat mendengarkan kehancuran hati Elisha.
Akhirnya tangisan itu mereda, dan ucapan yang kacau-balau itu pun terhenti. Elisha kini tampak hidup kembali. Tatapannya sudah tak kosong seperti semula,
dan dia mulai menyadari keberadaan kawan-kawannya. Elisha mengambil kertas tisu dan menghapus air matanya.
"Ndra, aku...aku tidak menyangka kalau jadinya akan seperti ini..." rintih Elisha.
Ferry menatapnya dengan simpati, sementara Elisha masih menghapus air matanya.
"Jadi...kau sudah pernah merekomendasikan aku?" tanya Elisha kemudian.
"Iy-iya. Beberapa kali," jawab Ferry akhirnya. "Tapi...mungkin keberuntunganmu belum datang."
Elisha membalas tatapan Ferry. "Dan aku tidak sabar menunggunya..."
"Suatu saat kau akan memperolehnya, Elisha." Ferry berkata sungguh-sungguh. "Aku yakin suatu saat keinginanmu akan tercapai."
"Kau... kau yakin...?" tanya Elisha dengan pandangan berharap.
"Aku selalu yakin dengan kemampuanmu," jawab Ferry. "Kau akan bisa meraihnya. Percayalah."
Kali ini Elisha benar-benar tampak hidup. Senyum perlahan terkulum dari bibirnya yang kering dan pucat. "Kau... kau baik sekali, Ndra..."
*** Malam harinya, Ferry menelepon Indra di Semarang.
"Ndra, kau belum tahu kalau Elisha sahabatmu itu masuk rumah sakit?"
"Elisha masuk rumah sakit?" Indra benar-benar terkejut mendengarnya. "Kenapa?"
"Dia mencoba bunuh diri!" jawab Ferry.
"Kau serius?" Indra memastikan.
"Tadi sore aku menjenguknya dengan Rafli dan Nathan, juga Daniel."
"Gila, kenapa tidak ada yang kasih kabar ke aku?"
"Mungkin teman-temanmu mengira kau sudah mendengarnya, Ndra." Ferry menjawab. "Kudengar kau yang paling dekat dengannya?"
Indra terdiam sesaat, lalu berujar, "Dia...maksudku Elisha, tidak apa-apa, kan?"
"Dia kelihatannya masih sangat shock dan..."
Dan Ferry pun menjelaskan semuanya. Ferry juga menceritakan kunjungannya pada Doni, dan keheranan Doni yang menganggap dirinya lebih lembut dari Indra,
dan Indra pun tertawa ngakak mendengarnya.
"Seharusnya kaukatakan saja kalau dia sudah akan mati," kata Indra di sela-sela tawanya. "Biar dia kapok!"
Ferry juga menanyakan tentang Geovanni, dan Indra juga tidak tahu keadaan Geovanni saat ini. Ferry yang telah mendengarnya dari Nathan segera saja menceritakannya.
"Dia masuk rehabilitasi," kata Ferry setelah menceritakan keadaan Geovanni yang ditemukan dalam keadaan sakaw di salah satu diskotik.?
"Dia memang sudah lama kecanduan putaw," kata Indra kemudian.
"Dan kau...?" pancing Ferry yang sama sekali tak tahu apakah saudara kembarnya juga mengkonsumsi hal yang sama.
"Maksudmu?" Indra tak paham.
"Apakah kau juga seperti Geovanni?" tanya Ferry memastikan.
"Jangan ngawur!" jawab Indra. "Kau boleh yakin kalau aku sama sekali tidak pernah memakai barang-barang semacam itu, Fer. Dimas sangat wanti-wanti untuk
yang satu itu, dan aku tidak berani melanggarnya."
"Tapi soal cewek-cewek...?" pancing Ferry lagi.
Indra tertawa. "Untuk yang satu itu, kau tidak bisa salahkan aku, kan" Buktinya kau sendiri juga menyukainya!"
"Omong-omong soal cewek, Ndra, kau tahu kalau Rafli sudah kena?"
"Es-pe, maksudmu?" tanya Indra sambil tertawa. "Aku tidak akan heran!"
"Rafli bilang Doni sudah kena, dan sekarang giliran dirinya yang kena. Kata Rafli, bukan tidak mungkin kau atau Daniel yang akan dapat giliran selanjutnya."
"Tidak mungkin!" jawab Indra yakin. "Dia kencan dengan sembarang cewek, Fer! Bahkan tiap malam! Aku malah pernah memergoki mereka kencan dengan cewek yang
berbeda dalam satu malam. Jadi tidak aneh kalau mereka dapat es-pe atau yang semacamnya."
"Aku jadi ingin tahu..." kata Ferry perlahan.
"Ingin tahu apa?" tanya Indra tak paham.
"Obat apa yang mereka pakai hingga bisa segila itu."
"Oh, aku juga jadi ingin tahu, Fer," kata Indra sambil tertawa. "Jangan lupa tanyakan pada mereka kalau kau bertemu lagi!"
"Sebaiknya kau jangan sampai tahu, Ndra."
"Ke-kenapa?" "Aku tidak ingin kau juga kena es-pe."
"Sialan!" rutuk Indra.
Malam hari yang lain, Ferry menikmati berendam dalam bath-tub yang biasa digunakan Indra untuk menenangkan dirinya. Sebagaimana kebiasaan Indra, Ferry
pun meletakkan ponsel di dekatnya berendam, dan kemudian berbaring tenang dalam air hangat yang menyegarkan.
Sambil berendam dalam kehangatan air, Ferry membayangkan kehidupan baru yang dijalaninya selama hampir dua minggu ini di Jakarta. Kehidupan yang menyenangkan.
Kehidupan yang sama sekali berbeda jauh dengan yang biasa ia jalani di Semarang. Kehidupan seorang artis.
Ferry kemudian membayangkan saudara kembarnya berendam dalam bath-tub ini, merasakan kehangatan air yang menelusup ke dalam pori-porinya, lalu mengadakan
janji dengan teman-teman kencannya, menerima undangan pesta dan ajakan dugem seperti yang telah diterimanya selama hampir dua minggu ini. Alangkah menyenangkan
kehidupan Indra, batin Ferry. Dan sekali lagi Ferry menganggap kemiripannya dengan Indra sebagai berkat yang tak ternilai harganya. Karena kemiripan itulah
dia sekarang bisa menempati posisi Indra, sekaligus memperoleh begitu banyak kenikmatan yang tak mungkin dia terima kalau saja mereka tak dilahirkan sebagai
saudara kembar. Di dalam bath-tub itu, Ferry seperti terlupa dengan segala urusannya di Semarang. Dia terlupa pada kasusnya dengan rektorat menyangkut berita di majalah
kampusnya. Dia terlupa pada beberapa pertemuan yang harus dihadirinya menyangkut aktivitasnya sebagai mahasiswa. Dia pun kadang terlupa bahwa dia memiliki
Anisa, seorang kekasih yang amat mencintai dan dicintai olehnya.
Ponsel di dekatnya berbunyi. Tampak nama Dimas di layarnya. Sekali lagi dia merasa menjadi Indra, merasa menjadi seorang artis terkenal.
"Halo, Dim," sapa Ferry.
"Ndra," kata Dimas dengan nada efektif seperti biasa, "kau mendapat undangan dari Pak Hasnan, dan undangannya masih ada di tempatku."
Ferry menyahut tanpa sadar, "Pak Hasnan siapa?"
"Ya Tuhan, kau kena amnesia"!" seru Dimas. "Pak Hasnan! Hasnan Wibowo! Produsermu!"
"Oh, sori. Iya, aku tahu!" jawab Ferry akhirnya. "Undangan apa?"
"Ulang tahunnya yang kelima puluh," Dimas menjelaskan. "Acaranya di villa pribadinya di Bogor."
Mereka bercakap-cakap ringan selama beberapa saat, kemudian Ferry meletakkan ponselnya.
Ferry memperbaiki posisi tubuhnya dalam bath-tub agar lebih nyaman, tapi kemudian ponsel di dekatnya kembali bernyanyi. Ini pasti teman kencan, batinnya
saat mendengar ringtone yang telah dikenalnya. Dilihatnya nama Hilda tertera di layarnya. Seketika itu pula, Ferry merasa berdebar.
"Halo, Hilda," sapa Ferry sambil menegakkan duduknya. Dia belum pernah bertemu dengan perempuan ini.
"Malam, Sayang," desah Hilda di seberang sana. "Aku mendengar suara air. Kau lagi berendam?"
"Iy-iya," jawab Ferry sambil sedikit merasa risih. Apakah dia juga tahu kalau aku sedang telanjang"
"Ndra, kapan kita bisa bertemu lagi" Kau masih sibuk syuting?" tanya Hilda kemudian dengan suaranya yang menggoda.
"Ng... untuk saat ini tidak," jawab Ferry. "Lagi break."
"Aku kangen, Ndra."
"Aku juga," desah Ferry.
"Kita bisa bertemu di hotel yang biasa?" tanya Hilda kemudian.
"Hotel yang mana?" Ferry balik bertanya dengan hampa.
"Aduuuh, memangnya kau ke hotel mana saja sih, Ndra?"
Ferry menahan senyumnya sambil bingung. "Aku... hm, maksudku, hotel yang mana, Hil" Kita kan... hm, pernah ganti hotel?"
"Cuma dua kali, kan?" Hilda mengingatkan. "Itu pun karena kita kepergok reporter itu. Kita tetap di hotel yang biasa saja. Di sana lebih private."
"Mmm, baiklah," kata Ferry akhirnya.
Hilda kemudian bertanya, "Kapan kau bisa?"
"Kapan kau menginginkannya?" sahut Ferry.
Hilda tertawa senang. "Kau ada waktu besok malam?"
"Hm, baiklah." Dan Ferry pun menghitung detik jam.
Ferry segera menghubungi Indra untuk mencari tahu tentang lokasi serta nama hotel sialan itu.
"Jadi kau juga ada kencan dengan Hilda?" Indra tertawa menggodanya saat Ferry menanyakan hal itu.
"Barusan dia nelepon dan mengajak bertemu di hotel yang biasa." Ferry menceritakan. "Nah, hotel yang biasa itu dimana" Kenapa kau tidak mencatat masing-masing
nama cewekmu sekaligus nama hotel tempat kalian biasa kencan?"
Sekali lagi Indra tertawa, lalu menyebutkan hotel yang dimaksud Hilda. Ferry benar-benar mengingatnya dalam pikirannya. Indra juga menyebutkan reservasi
di hotel itu, sekaligus ciri-ciri Hilda. Sekali lagi Ferry mencatatnya dalam pikirannya.
"Dia sangat mengagumkan," kata Indra kemudian.
"Aku tak akan meragukannya," jawab Ferry. "Oh ya, Ndra, kau dapat undangan dari Pak Hasnan, produsermu. Dia ulang tahun, dan kabarnya akan dirayakan di
villanya di Bogor. Kau tidak keberatan kalau aku yang menghadirinya?"
"Itu jadi milikmu, Fer. Datang saja, kau pasti akan menyukainya. Banyak artis yang akan datang. Aku sudah pernah menghadirinya beberapa kali. Tiap tahun
Pak Hasnan merayakan ulang tahunnya."
"Baiklah. Ada intruksi khusus untuk acara itu?" tanya Ferry kemudian.
"Tidak ada. Kau pasti bisa menghadapinya. Itu acara yang tidak jauh beda dengan acara ulang tahun biasa."
"Aku jadi penasaran..." gumam Ferry. Ia belum pernah menghadiri acara ulang tahun para artis.
"Kau tidak perlu penasaran, Fer." Indra mengingatkan. "Kencanmu besok malam dengan Hilda akan membuatmu terlupa segalanya, termasuk pesta ulang tahun itu."
Begitu hubungan terputus, sekali lagi Ferry menghitung detik jam. Salah satu kencan impiannya tinggal menunggu bergantinya hari. Dan... itu tak lama lagi.
*** Persoalan dengan rektorat yang dikatakan oleh Ferry tak akan diungkit-ungkit lagi selama satu bulan ini, ternyata meleset dari dugaannya. Tanpa disangka-sangka
sama sekali, suatu siang Indra mendapat panggilan mendadak dari seorang petugas akademik yang mengundangnya untuk bertemu dengan Pak Handoko, sang Rektor
Universitas. Indra yang sama sekali tak mempersiapkan diri menghadapi hal itu langsung kalang-kabut.
Ia tak memahami permasalahan itu seratus persen, karena menurut Ferry tak akan dipersoalkan selama Indra menggantikan tempatnya, dan Indra pun tak terlalu
merisaukan masalah itu. Tapi sekarang dia harus menghadap rektor universitas untuk membicarakannya. Lebih dari itu, Indra hanya diundang seorang diri,tiga
kawan Ferry yang lain tak diundang untuk turut serta.
"Hanya saya yang diundang?" tanya Indra menegaskan, saat melihat petugas akademik itu masih berdiri menantinya di depan kantor UKM Pers, tempat dia sedang
duduk berdua dengan Anisa.
Petugas akademik itu mengangguk. "Begitulah pesan yang saya terima."
"Saya boleh tahu ini untuk urusan apa?" Indra masih ragu-ragu.
"Saya tidak bisa menegaskan, tapi mungkin ini berkaitan dengan berita di majalah itu."
Oh sialan, batin Indra kesal. Mengapa Ferry harus bikin masalah seperti ini" Maka Indra pun bangkit dan mengikuti petugas itu, dan meninggalkan Anisa yang menatap kepergiannya dari belakang. Semoga saja berita diculiknya dia dari kantor UKM ini segera diketahui kawan-kawannya, Indra berdoa dalam hati.
Memasuki gedung rektorat, Indra merasa jantungnya kian berdebar-debar. Apa yang harus dikatakannya nanti" Saat menceritakan kasus ini, Ferry tidak mempersiapkan
kemungkinan yang akan terjadi seperti ini. Dan sekarang Indra tak punya waktu menelepon Ferry untuk meminta penjelasan atau arahan apapun, bahkan sekarang
langkah-langkahnya semakin mendekati lantai paling atas gedung itu, tempat sang monster tengah menunggu untuk memangsanya hidup-hidup.
Oh sialan! Sekali lagi Indra mengutuk saudara kembarnya. Tetapi, Indra pun akhirnya memahami bahwa ini merupakan bagian permainan mereka. Jadi, tak ada
jalan lain selain menghadapinya.
Sesampai di depan kantor rektor, petugas akademik itu membukakan pintunya, kemudian Indra dipersilakan masuk. Indra melangkahkan kaki memasuki ruang kantor
yang cukup luas itu, dan tampak satu set meja kursi penerima tamu telah menunggunya. Bukan cuma itu. Di situ Indra juga melihat sang Rektor telah ditemani
oleh Purek I, Purek II, dan Purek III, lengkap dengan beberapa orang lain yang belum dikenalnya.
Semuanya tengah menatap ke arahnya.
Oh God, apa yang telah dilakukan Ferry pada kampusnya ini...?"" Detik itu, Indra merasa ingin menguliti saudara kembarnya hidup-hidup.
*** Di ruang UKM Pers yang sepi, Anisa membuka-buka majalah yang tampak menumpuk dalam rak koleksi kantor itu. Saat tengah duduk di atas karpet sambil asyik
membuka-buka majalah, Rizal masuk dan menghampirinya.
"Nis, kudengar Ferry dibawa ke rektorat, benar?" tanyanya.
Anisa mengangguk. "Iya."
Rizal jadi termenung. "Rektorat pasti telah mempersiapkan hal ini. Mereka pasti sudah tahu hari ini kawan-kawan Ferry di UKM Pers tengah ikut lokakarya
jurnalistik di Yogya, dan tinggal Ferry serta beberapa reporter semester awal yang masih ada. Dia pasti akan ditekan habis-habisan."
Anisa menatap Rizal, dan merasa sangat khawatir. "Apa yang kira-kira akan terjadi dengannya, Zal?"
Rizal mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu, Nis. Aku sendiri kan tidak ikut UKM Pers. Tapi mungkin Ferry akan dipaksa mengikuti keinginan mereka. Mereka
mungkin berpikir kalau Ferry hanya sendirian akan lebih mudah ditekan."
"Menurutmu, apakah Ferry akan bisa menghadapi masalah dengan Rektor ini, Zal?"
Rizal seperti merenung. "Mungkin sekarang bukan hanya Rektor yang dihadapi Ferry, Nis..."
"Maksudmu?" Anisa menatap Rizal lekat-lekat.
Rizal menjawab, "Semua Purek tidak ada di kantornya. Mereka pasti berkumpul di kantor Rektor."
Sepeninggal Rizal, Anisa merasakan kepalanya tiba-tiba berat. Majalah yang terbuka di pangkuannya kini tak jelas lagi dalam pandangannya. Huruf-huruf yang
tercetak di sana seperti mengabur perlahan-lahan.
*** Dua jam setelah itu, Indra keluar dari gedung rektorat dan berjalan tergesa-gesa ke ruang UKM Pers. Wajahnya tampak lelah sekaligus kebingungan. Berbagai
pikiran berkecamuk dalam pikirannya. Apa sebenarnya yang telah diperbuat Ferry hingga mereka begitu ingin membunuh dirinya"
Sesampai di ruang UKM Pers, Indra mendapati Anisa yang tengah menelungkup sambil memegangi kepalanya.
"Anisa..." Indra mendekatinya dengan khawatir.
Anisa mengangkat kepala, dan bayang-bayang di hadapannya masih terlihat kabur.
"Kau... kau kenapa?" Indra menatapnya dengan bingung.
"Kepalaku berat sekali, Fer," rintih Anisa perlahan. "Pusing...seperti biasa."
Indra sudah mendengar dari Ferry kalau terkadang Anisa mengalami saat-saat seperti ini. Ferry mengatakan fisik Anisa lemah, mudah terserang pusing kepala
dan terkadang sampai pingsan. Menurut dokter yang pernah memeriksanya, Anisa mengalami gejala tipus. Mungkin Anisa juga kena anemia hingga sering menderita
pusing seperti ini, pikir Indra.
Indra pun segera tahu apa yang harus dilakukannya. Dia meninggalkan Anisa dan segera menuju kantin kampus untuk mencari makanan. Sejak tadi mereka memang
belum makan siang. Dan urusan dengan rektorat tadi semakin membuat mereka terlambat makan siang.
Sesampai di kantin, dengan terengah-engah Indra menemui petugas kantin untuk memesan makanan dan minuman. Rizal yang juga ada di sana segera menegurnya.
"Tampangmu berantakan sekali, Fer. Ada apa?"
"Anisa seperti akan pingsan, Zal," jawab Indra langsung.
Rizal langsung paham. "Dia masih di ruang UKM?"
Indra mengangguk. Rizal berkata, "Kau tunggu saja di sana dan temani pacarmu. Aku akan bawakan pesananmu."
"Tidak merepotkanmu?" tanya Indra ragu-ragu.
"Kantin ini ramai, Fer," kata Rizal. "Pergilah, temani Anisa."
Indra mengucapkan terima kasih, lalu segera pergi meninggalkan kantin.


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di ruang UKM Pers, Indra masih mendapati Anisa yang menelungkup sambil memegangi sisi-sisi kepalanya. Dia tampak sangat menderita. Indra segera mendekati,
kemudian berkata lembut, "Kita perlu ke klinik?"
"Aku cuma pusing, Fer," jawab Anisa pelan. "Aku tidak akan pingsan."
"Kau yakin?" Indra menatap wajah Anisa yang pucat.
"Mungkin aku hanya perlu berbaring sebentar."
Indra mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan itu, mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa digunakannya sebagai bantal untuk Anisa, tapi seluruh ruangan
itu hanya berisi benda-benda keras. Meja kursi. Komputer dan printer. Rak dan lemari. Juga buku-buku dan majalah. Maka Indra pun kemudian meluruskan kedua
kakinya, lalu merengkuh bahu Anisa dan membawanya untuk membaringkan kepala di kedua pahanya.
Anisa hanya menurut, dan kini berbaring di atas karpet dengan kepala menyandar pada kedua paha Indra. Anisa memejamkan matanya. Wajahnya tampak berkeringat.
Didorong nalurinya, Indra menyeka keringat di wajah itu dengan jari-jarinya, dan Anisa membuka matanya.
Indra menunduk dan berbisik, "Masih pusing?"
"Agak berkurang," jawab Anisa lirih.
Wajah mereka begitu dekat, saling berhadapan. Bertatap. Dan Indra merasa ada sesuatu yang bergolak dalam dirinya. Seperti ada ribuan kupu-kupu yang berlarian
dalam perutnya, menabrak jantungnya, ginjal dan paru-parunya, hatinya...
Dan entah dari mana datangnya dorongan itu, Indra kemudian menyeka anak-anak rambut Anisa yang menutupi wajahnya, dan sekali lagi menyaksikan kecantikan
yang lembut, yang belum pernah disaksikannya. Wajah di bawahnya itu masih pucat dan tampak kelelahan. Namun semua itu tak mampu menghapus bayangan kecantikan
yang disaksikan Indra. Rizal datang dengan beberapa bungkusan di tangannya.
Indra membantu Anisa bangkit, kemudian mengambil bungkusan dari tangan Rizal. "Thanks, Zal," ucapnya sungguh-sungguh.
Rizal pun berlalu. Indra membuka bungkusan makanan itu.
Anisa menyandarkan tubuhnya pada salah satu dinding ruangan, dan Indra mengangsurkan bungkusan nasi yang telah terbuka untuknya.
"Perlu disuapi?" Indra menawarkan.
Anisa memaksakan senyumnya dan menjawab lemah, "Tidak usah. Aku bisa makan sendiri, kok. Kau makan saja nasimu."
Indra membuka bungkusan nasinya dan menikmatinya. Di saat itu, Indra merasa dirinya benar-benar Ferry, seorang mahasiswa sederhana, bukan lagi artis populer
yang biasa muncul di televisi. Nasi yang tengah dinikmatinya ini hanya nasi rames dengan irisan sepotong daging kecil dan gorengan tempe. Bukan masakan
mahal dari restoran mewah yang biasa dikunjunginya. Tapi Indra menikmatinya. Ia menikmati nasi dan lauk-pauknya dan gorengan tempenya dan minuman teh hangatnya.
Ia menikmati menjadi Ferry. Ia menikmati menjadi mahasiswa biasa yang sederhana. Dengan seorang kekasih yang sederhana.
Setelah menghabiskan nasi dan meneguk minuman mereka, Indra memberesi sisa-sisa makan dan memasukkannya ke dalam kantong plastik. Kemudian dilemparkannya
kantong plastik itu ke keranjang sampah di depan ruang UKM, dan Indra merasa ia juga tengah membuang sisa-sisa keartisannya. Ia telah menjadi Ferry. Ia
bukan artis lagi. Anisa terlihat lebih segar, dan wajahnya yang tadi pucat kini tampak mulai memerah kembali.
"Agak baikan?" tanya Indra.
"Lumayan." Indra kembali menyandarkan punggungnya pada dinding di sisi Anisa, dan bertanya, "Ingin berbaring lagi?"
Anisa tak menjawab, hanya memandang wajah di sisinya. Ia selalu menyukai perhatian kekasihnya.
Indra kembali meluruskan kakinya, lalu meraih bahu Anisa, dan kepala Anisa pun kembali bersandar pada pahanya. Sekali lagi wajah mereka berhadapan. Sekali
lagi mata mereka bertatap dengan sangat dekat. Dan sekali lagi seribu kupu-kupu berlarian dalam perut Indra.
"Fer," kata Anisa lirih.
"Ya?" Indra mendekatkan wajahnya.
"Bagaimana tadi urusanmu dengan rektorat" Aku sangat mencemaskanmu."
Indra mencoba tersenyum. "Tidak apa-apa. Mereka hanya menuntut agar aku meralat berita itu."
Playboy Dari Nanking 16 Pendekar Lembah Naga Serial Pendekar Muka Buruk Karya Tjan I D Mustika Bernoda Darah 1

Cari Blog Ini