Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli Bagian 2
karena berlari-lari, tiada dirasai nya juga k
elelahannya itu, karena tertawa. Akan tetapi Bakh tiar tiada mengindahkan ceinooh
Arifin ini, istimewa pula karena takutnya belum hilang.
"Memang telah kusangka, bahwa panglima perang kita ini,
lebih berani berkelahi dengan makanan, daripada dengan kera.
Sesungguhnya patut dadanya dihiasi dengan bintang kulit jering,
karena gagah beraninya tiada bert ara," kata Arifin dalam tertawa
gelak-gelak itu dengan putus-putus suaranya.
Meskipun Samsu dan Nurbaya belum hilang debar hatinya
dan mereka sangat belas kasihan melihat hal Bakhtiar, tetapi
tiadalah dapat ditahannya hatin ya hendak tertawa pula, men-dengar perkataan Arifin ini. Akan menghilangkan geli hatinya
ini, pura-pura bertanyalah Sams u kepada Bakhtiar, bagaimana
mulanya sampai diserang kera tadi. Maka diceritakanlah oleh
Bakhtiar, bahwa dengan sengaja dibawanya pisang sesisir, akan
diberikannya kepada kera-kera itu . Tiba-tiba,dilihatnya beberapa
ekor kera yang besar, datang dari segenap pihak mengelilinginya
dan merampas pisang yang ada dalam tangannya. Bahkan ada
pula yang memanjat bahu dan ke palanya, walaupun ia memukul
sekelilingnya. Akhirnya karena terlalu banyak kera itu datang
dan rupa-rupanya binatang ini ma kin bertambah-tambah marah,
sebab ada beberapa ekor di antaranya yang kena pukul,
berteriaklah ia minta tolong, takut kalau-kalau digigit penyamun
yang telah memperlihatkan giginya dan berbunyi-bunyi itu.
"Sekalian itu karena lokekmu juga, takut engkau sendiri
takkan beroleh pisang. Maksudmu tentulah hendak duduk
seorang diri memakan pisang itu di tengah-tengah kera yang
banyak itu, sebagai sekor raja kera, yang sedang dihadapi segala
menteri, hulubalang dan rakyatnya. Sisamulah yang akan
kauberikan kepada sekalian rakyatmu itu. Siapa mau" Sebab
apabila telah kaumakan niscaya, tak ada sisanya lagi; barangkali
kulit-kulitnya pun habis. Tentu saja tak suka rakyatmu mem-biarkan engkau makan sendiri . Mereka pun ingin pula hendak
makan bersama-sama, karena perutnya pun lapar. Coba kau
minta makan bersama-sama mereka dengan perkataan, "Adik-adikku yang kucintai! Silakan makan bersama-sama abangmu
yang sangat merindukan engkau," kata Arifin dengan ber-sungguh-sungguh rupanya. Tetapi tak ada seorang pun yang
menyahut, sedang Samsu dan Nurbaya pura-pura menoleh ke
tempat lain, supaya jangan kelihatan tertawa.
Kerena Bakhtiar berdiam diri, berkatalah pula Arifm, "Ada
sesuatu yang belum jelas bagiku. Mengapa tiada kaumakan
pisang itu lekas-lekas sampai habis" Apabila telah habis
sekaliannya masuk perutmu; apalagi yang akan dirampas kera-kera itu" Kepada kera kau pura-pura malu, tetapi kepada
manusia tidak." "Untung tidak kumakan, pisang-pisang itu," jawab Bakhtiar
yang masih ketakutan, "kalau kumakan, barangkali perutku
dikoyak-koyaknya, akan mengeluarkan pisang yang ada
dalamnya." "Bukankah akan menjadi kura ng isi perutmu dan barangkali
sembuh pula engkau daripada penyakitmu suka makan," kata
Arifin, tatkala dilihatnya Bakhtiar belum juga marah. "Jangan
engkau kecil hati, Bakhtiar. Apabila aku tadi ada dekatmu, tentu-lah tiada akan kutolong engkau. Bukan karena tak kasihan
kepadamu, melainkan karena saya ng aku pertunjukan yang indah
itu akan lekas habis."
"Memang engkau selamanya begitu, pandai benar memper-olok-olokkan orang," jawab Bakhtiar. "Tetapi apabila engkau
sendiri beroleh hal yang sedemik ian, barangkali lebih takutmu
dari padaku. Boleh jadi engkau menangis meraung-raung.
Sedangkan mendengar suara ayahmu sendiri, telah kaku badan-mu ketakutan, tadi malam: "
"Bukan menangis meraung-raung," jawab Arifin dengan
menyindir, "melainkan menyembah saja, minta ampun kepada
kera-kera itu. Aku angkat bendera putih, tanda kalah, tunduk dan
menyerahkan diri; kalau-kalau bel as kasihan, ia kepadaku. Biar-lah turun dari raja sampai kepa da tawanan. Tak apa asal jangan
dikoyak kera." "Ah, sudahlah! Sekarang marilah kita pergi ke rumah per-hentian itu, karena aku berasa lapar," kata Samsu, sebagai
hendak menghabiskan pertengkaran ini, lalu berjalan mengajak
teman-temannya ke sana. Setelah sampailah mereka ke rumah itu, berkatalah Arifm,
"Sebab aku tadi tiada melih at peperanganmu dengan kera,
perlihatkanlah sekarang, pepe ranganmu dengan makanan! Ini
aku bawa sebungkus jambu Ke ling. Berapa puluh dapat
kaualahkan dengan gigimu yang tajam itu"" tanya Arifm, sambil
membuka bungkusan yang dijinjingnya dan memperlihatkan
isinya kepada Bakhtiar, sambil tertawa.
"Jangan dimakan begitu saj a! Marilah aku kocok dahulu
dengan gula, lada, dan garam s upaya lebih nyaman rasanya,"
kata Nurbaya. "Tetapi lebih dahulu makan roti," kata Samsu, "Kalau tidak,
sakit perut kelak. Apabila hari telah panas, baharulah makan
buah-buahan ini dan rasanya pun akan lebih sedap."
"Perut si Bakhtiar tiada akan sakit, walaupun batu sekalipun
dimakannya, karena telah biasa mengalahkan segala rupa
makanan, biar yang beracun seka lipun," kata Arifin pula, yang
rupanya belum puas mempermainkan temannya ini. Tetapi
ejekan ini pun tiada dijawab oleh Bakhtiar, karena mulutnya baru
penuh berisi roti. Setelah selesai makan, berkatalah Bakhtiar, hendak pergi
membedil burung, lalu mengambil bedil yang dibawa Samsu
tadi. Akan tetapi karena Samsu khawatir melepaskannya sendiri,
disuruhnyalah Arifin pergi bersama-sama. Maka tinggallah
Samsu dan Nurbaya berdua dalam rumah itu. Nurbaya, sebab
hendak membuat rujak jambu Keling dan Samsu akan men-jaganya.
Setelah dicampur Nurbaya buah itu dengan gula, garam, dan
lada dalam sebuah mangkuk besar, lalu ditutupnya mangkuk ini
dan dikocoknya jambu Keling yang ada dalamnya. Setelah
sejurus lamanya Nurbaya mengguncang jambu itu, rupanya ia
mulai lelah digantikan oleh Samsu. Demikianlah diperbuat
mereka berganti-ganti, sehingga buah jambu itu empuk. Maka
diambillah oleh Nurbaya sebutir, lalu dikecapnya.
"Sudah, Sam; terlalu empuk pun tak enak. Cobalah engkau
kecap pula!" kata Nurbaya.
"Ya benar, telah enak rasanya ," jawab Samsu, setelah di-makannya pula sebuah. "Tetapi baiklah ditunggu dahulu
Bakhtiar dan Arifin."
"Tentu," jawab Nurbaya, "kalau tidak, barangkali Bakhtiar
akan menyangka kita telah makan lebih banyak, apabila tak
cukup bagiannya," kata Nurbaya dengan tersenyum.
Setelah keduanya berdiam sejurus, berkatalah Nurbaya tibatiba, "O ya, baru kuingat janjimu tadi akan menceritakan
perempuan dengan kucingnya dan ayam yang bertelur emas itu.
Bagaimanakah ceritanya""
"Benarkah engkau belum mende ngar cerita ini"" tanya
Samsu. "Sungguh belum, Sam," sahut Nurbaya.
"Kedua cerita itu ialah hikayat pendek-pendek, yang
mengiaskan pepatah: Tiap-tiap suatu yang hendak dikerjakan
atau dikatakan, haruslah dipikirkan lebih dahulu dengan sehabis-habis pikir dan ditimbang dengan semasak-masaknya: Berkata
sepatah, dipikirkan, supaya jangan salah; sebab kesalahan itu
boleh mendatangkan sesal yang tak habis. Sesal dahulu pen-dapatan, sesal kemudian tak berguna.
Cerita yang pertama demikian bunyinya:
Seorang perempuan mempunyai seorang anak yang masih
menyusu dan seekor kucing yang disayanginya. Pada suatu hari,
tatkala ia hendak pergi, ditinggalkannya anaknya di atas suatu
tempat tidur dan disuruh jaganya oleh kucingnya itu. Ketika ia
kembali ke rumahnya, dilihatnya kucingnya itu duduk di muka
rumahnya dengan mulutnya berlum uran darah. Maka berdebar-lah hatinya, lalu ia berlari-lari m asuk ke tempat tidur anaknya. Di
sana dilihatnya anaknya telah mati dan badannya pun penuh
darah pula. Oleh sebab pada sangka perempuan itu, tentulah
kucing ini yang membunuh anaknya, dengan tiada berpikir
panjang lagi, diturutkannyalah nafsu marahnya, lalu dipukulnya
kucingnya ini sampai mati. Akan tetapi tatkala diangkatnya
mayat anaknya, dilihatnya di bawah anaknya ini ada seekor ular
yang sangat bisa, telah mati digigit kucingnya tadi. Rupanya ia
berkelahi dengan ular itu, karena hendak membela anak tuannya.
Setelah mati ular itu duduklah ia di muka rumah, menunggu
kedatangan tuannya, seakan-akan hendak memberitahukan mara
bahaya ini. Di situ menyesalnya perempuan tadi dengan sesalan yang
amat sangat, karena sekarang bukannya anaknya saja yang mati,
tetapi kucingnya yang amat setia dan dikasihinya hilang pula."
"Tentu saja kesalahan yang sedemikian sangat menyedihkan
dan menyusahkan hatinya, dengan sesalan yang tiada ber-keputusan," kata Nurbaya dengan terpikir dan sedih rupanya.
"Cerita ayam yang bertelur emas itu, lebih-lebih menjadi
ibarat bagi mereka yang loba dan tamak," kata Sam. "Demikian
hikayatnya: Seorang peladang mempunyai ayam betina beberapa ekor.
Pada suatu hari seekor daripada ayamnya itu bertelur emas.
Bagaimana, besar hati si peladang, tentulah dapat kaumaklumi,
Nur. Karena lobanya, hendak lekas kaya, disembelihnya ayam
itu. Pada sangkanya, tentulah de ngan sekaligus akan diperolehnya sekalian telur emas yang ada dalam perut ayam itu. Akan
tetapi apa kata" Perut ayam itu isinya sebagai isi perut ayam
yang biasa juga dan sebutir telur emas pun tak ada dalamnya.
Jika ditunggunya dengan sabar, mungkin hari kedua ayam itu
bertelur emas pula. Sekarang ayamnya telah mati dan peng-harapannya telah putus."
"Harus begitu hukuman orang yang tamak sedemikian,"
jawab Nurbaya. "Jika tiada dibunuhnya ayamnya, barangkali
diperoleh setiap hari sebutir telur emas."
"Barangkali," jawab Samsu. "Tetapi Nur, sejak kita sampai
kemari, belum kita pergi ke ma na-mana. Tiadakah ingin hatimu
hendak bermain-main dan berayun-ayun di buaian itu""
"Tentu," jawab Nurbaya, "asal engkau yang mengayunkan
aku." "Memang, siapa lagi. Arif dan Tiar tak ada di sini. Asal suka
saja engkau, berapa lama pun aku ayunkan," kata Samsu pula,
lalu pergi bersama-sama Nurbaya ke tempat sebuah buaian
kawat besi, yang diikatkan pada dua buah tiang kayu, yang tinggi
dan kukuh. "Tetapi jangan keras-keras kauayunkan aku, Sam!" kata
Nurbaya, sambil duduk di atas ayunan itu.
"Bagaimana sukamu saja," jawab Samsu.
Setelah sejurus lamanya berayun-ayun itu, tiba-tiba berteriaklah Nurbaya, "Ada kapal api di laut! Kelihatan dari atas ini."
Dengan segera dihentikan Samsu buaian itu, lalu keduanya
mencari sesuatu tempat yang tinggi, untuk melihat kapal yang di-katakan Nurbaya tadi. Sesungguhn ya, di laut kelihatan sebuah
kapal api, yang rupanya baru kelu ar dari pelabuhan Teluk Bayur,
berlayar dengan tenangnya menuj u ke utara. Asapnya yang telah
tebal dan hitam mengepul di udara.
"Ke manakah perginya kapal itu, Sam"" tanya Nurbaya.
"Tentulah ke Aceh dan Sabang, barangkali singgah juga ia di
Sibolga," jawab Samsu.
"Kemudian ke mana terusnya"" tanya Nurbaya pula.
"Kembali pula kemari, lalu ke Jakarta. Bolak-balik saja
kerjanya, membawa penumpang dan muatan dari selatan ke
utara," jawab Samsu. "Barangka li dengan kapal itu kau kelak
pergi ke Jakarta," kata Nurbaya. Mendengar perkataan ini, ber-tukarlah wajah muka Samsu, dari riang menjadi muram dan ter-menunglah ia berapa lamanya, tiada berkata-kata. Nurbaya
sangat heran melihat hal sahabatnya yang sedemikian itu, lalu
bertanya, "Mengapa kau tiba-tiba berdiam, Sam" Kurang enak-kah badanmu""
"Bukan, Nur. Hanya sebab engkau tadi menyebut nama
negeri tempat aku akan pergi, tiga bulan lagi," jawab Samsu.
"Pada sangkaku hatimu besar, pergi ke Jakarta," kata
Nurbaya. "Tentu, Nur, tentu! Karena di sanalah aku akan melihat ibu
negeri Indonesia ini, kota yang sebesar-besarnya dan sebagus-bagusnya, dalam Tanah Air kita. Dan di sanalah pula aku akan
beroleh pelajaran yang akan menjadikan aku seorang yang
berilmu. Tetapi... berat sungguh hatiku akan meninggalkan kota
Padang ini, tanah lahirku, tempat tumpah darahku, kampung
halamanku. Karena di sinilah ada ayah-bundaku, kaum keluarga-ku, serta handai tolanku; seda ng di sana belum kuketahui dengan
siapa aku akan bersama-sama da n betapa mereka itu. Sampai
kepada waktu ini aku biasa diperlindungi orang tuaku; tetapi di
sana, tentulah aku akan hidup seorang diri."
"Tentu saja, Sam. Memang tak mudah bercerai dengan ibu-bapa, handai tolan dan teman sejawat. Tetapi pada sangkaku
kecanggunganmu itu tiada berapa lama. Tiap-tiap permulaan
biasanya susah. Akan tetapi apabila telah sampai engkau ke
Jakarta kelak, tentulah akan hilang juga segala kesusahanmu,
dirintang penglihatan dan pendengaran yang indah-indah.
Barangkali pula lekas engkau berole h ibu-bapa, sahabat kenalan
yang baru, sehingga bertambah- tambah lekaslah pula engkau
lupa kepada kami," ka
ta Nurbaya sambil tersenyum dan
memandang kepada Samsu. "Jika rindumu itu tiada hendak hilang, baiklah kaulipur
hatimu dengan pikiran yang begini , "Aku ada di Jakarta ini untuk
sementara, menuntut pelajaran yang akan memberi kepandaian,
pangkat, dan gaji yang besar kepadaku; oleh sebab itu pikiranku
tak boleh tergoda oleh yang lain . Apabila telah sampai maksudku
itu kelak, tentulah aku segera dapat pulang kembali, bertemu
dengan sekalian yang kucintai."
Ingatlah pantun: Jika ada sumur di ladang,
tentu boleh menumpang mandi.
Jika ada umurku panjang, tentu boleh bertemu lagi.
Gunung dan lembah yang tiada dapat bertemu, tetapi
manusia, asal ada hayat di kandung badan, tentulah akan ber-jumpa juga. Sedangkan ikan di la utan, asam di daratan, bertemu
dalam kuali," kata Nurbaya dengan bermain-main, karena pada
sangkanya, pura-puralah Samsu be rbuat sebagai bersusah hati,
sebab akan pergi ke Jakarta itu.
"Barangkali sangkamu, aku pura-pura berbuat susah, karena
akan pergi ke Jakarta itu," kata Samsu pula, "tetapi sesungguh-nyalah sangat khawatir hatiku meninggalkan...."
Hingga ini Samsu berhenti, sebagai tak berani menyebut
nama orang yang dikhawatirkannya itu.
"Meninggalkan siapa, Sam"" tanya Nurbaya. "Adakah orang
di sini tempat hatimu tersangkut""
"Meninggalkan engkau, Nur," jawab Samsu, terus terang.
"Aku"" tanya Nurbaya pula, seakan-akan heran.
"Ya," jawab Samsu dengan pendek.
Nurbaya termenung mendengar pengakuan ini, lalu me-nundukkan kepalanya ke tanah, seh ingga tiadalah dapat dilihat,
bagaimana warna mukanya pada waktu itu.
"Jangan engkau salah sangka, Nur! Dengarlah, apa sebabnya
hatiku khawatir meninggalkan engkau. Telah beberapa hari aku
digoda oleh suatu pikiran yang tak baik," kata Samsu.
"Dari mana datangnya pikiran yang sedemikian"" tanya
Nurbaya pura-pura tersenyum, akan melenyapkan perubahan
mukanya yang menjadi kaca hatinya.
"Bagaimana aku takkan khawatir," sahut Samsu. "Pada
malam Jum'at yang telah lalu, aku bermimpi: rasanya aku men-daki Gunung Padang ini.
Tatkala sampai ke atas ini, tibalah aku rasanya di kota Jakarta
yang ramai dan besar itu. Di tengah-tengah kota ini adalah
sebuah menara yang tinggi. Seorang tua berkata kepadaku, "Hai
Samsu, jika engkau hendak mencapai maksudmu, naiklah
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menara ini." Tatkala aku hendak menaiki menara ini, tiba-tiba kelihatan-lah olehku, engkau mengikut dari belakang, seorang diri. Oleh
sebab itu kutunggulah engkau, supa ya dapat naik bersama-sama.
Tiba-tiba datanglah Engku Datuk Meringgih menghelakan
engkau ke bawah, lalu didukungn ya, dibawanya lari. Karena
panas hatiku, kurebutlah engkau dari tangannya, sehingga ber-kelahilah aku dengan dia. Oleh sebab ia lebih kuat dari padaku,
dapatlah aku ditangkapnya dan dilontarkannya ke, bawah
gunung ini. Engkau pun, sebab membantah, tiada mengikut
kemauannya dijerumuskannya pula ke bawah. Maka jatuhlah
kita berdua terguling-guling ke kaki gunung ini, masuk ke dalam
suatu lubang yang besar, sehingga tak dapat keluar lagi. Ketika
itu terbangunlah aku dengan sa ngat terperanjat. Badanku basah
kena keringat. Semalam-malama n itu tiadalah dapat aku tidur
lagi dan sejak waktu itu, mimpi ini tiadalah hendak hilang dari
pikiranku." "Wahai! Rupanya inilah sebabnya engkau kulihat terkadang-kadang termenung seorang diri," kata Nurbaya. "Tetapi jangan-lah engkau terlalu percaya ak an mimpi itu, karena mimpi
permainan pikiran, tiada selama nya benar; acap kali bohong, tak
ada takbirnya. Melainkan sejak sekarang marilah kita bersama-sama menadahkan tangan kepa da Tuhan Yang Maha Kuasa
untuk memohonkan kepada-Nya supaya mudah-mudahan di-pelihara-Nya juga kita di dalam segala hal," kata Nurbaya pula,
sebagai pelipur hati Samsu. Akan tetapi, meskipun ia berkata
sedemikian, hatinya tiada senang juga, karena sesungguhnya
ganjil mimpi Samsu ini pada rasa hatinya.
Tatkala itu kembalilah Bakhtiar dan Arifin tergopoh-gopoh
dari perburuannya, sebagai ada sesuatu yang dilarikannya.
"Apa yang dapat"" tanya Nurbaya.
"Sst, diam! Jangan ribut!" kata Bakhtiar, sambil me-nyembunyikan bedilnya."
"Bakhtiar membedil orang," kata Arifrrt per
lahan-lahan. "Membedil orang"" tanya Samsu dengan terperanjat.
"Ya," jawab Arifin, "tetapi nantilah kuceritakan kepadamu.
Sekarang mari kita pulang lekas-lekas!"
"Makanan itu bagaimana"" tanya Nurbaya.
"Kita makan cepat-cepat dan kemudian kita pulang dengan
segera," jawab Arifin.
Tatkala mereka berkata-kata itu, Bakhtiar menyembunyikan
bedilnya dalam rumput-rumput, kemudian datang hendak makan
bersama-sama. Tetapi walaupun ia sangat lapar, tiadalah dapat
juga makan dengan sepertinya, karena ketakutan. Mukanya
pucat, tangannya gemetar.
Setelah selesai makan lalu Bakhtiar membungkus bedilnya
dengan kelopak lopak pisang, supaya jangan kelihatan dari luar.
Kemudian menurunlah mereka bergesa-gesa.
Tatkala sampai ke pangkal pe ndakian, berhentilah mereka
sejurus di kedai, untuk melepaskan lelahnya. Tiada lama
kemudian daripada itu, turunlah dua orang serdadu dari atas
gunung ini. Seorang dari padanya jalannya seakan-akan pincang
dan paha kirinya dipegangnya dengan tangannya.
Tatkala Bakhtiar dan Arifin melihat serdadu ini, ber-sembunyilah mereka ke dalam keda i tadi. Seketika lagi sampai-lah kedua serdadu itu ke muka kedai ini, lalu hendak ber-henti
pula di sana. Yang tiada pincang bertanya, "Masih sakitkah
kakimu" Marilah kita berhenti dahulu di sini."
"Ah, tak usah. Baik kita terus pulang, supaya jangan ter-lambat sampai ke tangsi," jawab yang sakit. .
"Siapakah yang telah membedilmu pada sangkamu""
bertanya pula yang tak sakit.
"Tentulah anak-anak. Jika dapa t ia kuputar batang lehernya,"
jawab yang sakit. Kemudian kedua serdadu itu naik sebuah sampan, lalu
menyeberang sungai Arau. Setelah sampai mereka ke seb erang, barulah Bakhtiar dan
Arifin berani ke luar, lalu barkata, "Itulah dia yang kena bedilku
tadi." "Bagaimana mulanya maka ia sampai jadi kena" Cobalah
kauceritakan!" tanya Nurbaya yang agak pucat mukanya.
"Aku hendak membedil burung Merbah yang ada dalam
semak-semak dan ia tiada kelihatan olehku, karena ia berdiri di
balik pohon kayu. Tatkala kubedil burung itu, tiba-tiba
kedengaran olehku suara orang berteriak, "Aduh! Apa ini"
Tolong!" Ketika itulah nyata olehku bahwa seorang daripada
serdadu tadi telah kena bed ilku. Dengan segera aku lari
menyembunyikan diri."
"Memang ada-ada saja yang terjadi padamu, Bakhtiar! Belum
hilang takutku, karena engkau diserang kera, sekarang kau
tembak pula orang. Kalau dapat engkau olehnya tadi,
bagaimana!" kata Nurbay a seraya menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Bukan kusengaja, Nur. Kakinya itu kusangka dahan kayu
yang hitam, sebab badannya tersembunyi di balik pokok kayu.
Siapakah yang 'kan dapat menentukannya dari jauh" Tetapi
apanya yang kena, kaulihat tadi, Nur, tatkala ia melintas di sini""
tanya Bakhtiar. "Paha belakangnya yang sebelah kiri," jawab Nurbaya.
"Rupanya berdarah, lagi sakit; sebab selalu dipegangnya pahanya
itu." "Marilah kita pulang, sebab hari telah setengah satu. Pak Ali
tentu telah ada dan perutku te lah lapar," kata Samsu pula.
Setelah minum air seterup seorang segelas, menyeberanglah
keempat mereka, lalu pulang ke rumahnya masing-masing.
IV. PUTRI RUBIAH DENGAN SAUDARANYA SUTAN
HAMZAH Pada petang hari Ahad, tatkala Samsu dengan sahabatnya pergi
berjalan-jalan ke Gunung Padang, kelihatan putri Rubiah duduk
di serambi belakang rumahnya, di atas sebuah tikar rumput,
sedang menjahit. Dekat putri itu duduk saudaranya yang bungsu,
Sutan Hamzah, sedang menggulung-gulung rokok daun nipah.
"Bagaimana pikiranmu tentang kakakmu Mahmud,
Hamzah"" tanya putri Rubiah dengan tiada menoleh dari
penjahitannya. "Pada pikiran hamba, kelakuann ya sangat berubah, " jawab
Sutan Hamzah, sambil menoleh kepada saudaranya.
"Pikiranku pun demikian pula. Makin lama makin jarang ia
datang kemari kian hari kian kurang diindahkannya aku dan
Rubiah, serta kaum keluarganya yang lain-lain sebagai takut ia
datang kemari. Katanya karena bany ak kerja, dan ia takut kalau-kalau pekerjaannya kurang maju. Benarkah itu"" tanya putri
Rubiah. "Ah, bohong! Bukannya ia sendiri yang menjadi Penghulu di
Padang ini dan berpangkat tinggi. Apakah sebabnya Penghulu di
lain-lain tiada seb agai dia"" jawab Sutan Hamzah.
"Pikiran yang sedemikian, acap kali timbul pula dalam
hatiku. Memang pangkat itu aku sukai dan harus dijaga benar-benar, supaya jangan bercacat nama. Tetapi janganlah hendaknya
karena itu, berubah kelakuan adat dan pikiran. Coba kaupikir!
Aku dan Rukiah saudaranya dan kemanakannya yang
perempuan, jadi tanggungannya. Tetapi tiada dijaga, tiada
dikunjung-kunjunginya dan tiada dilihat-lihatnya, apalagi di-belanjainya; pendeknya tidak diindahkannya. Hanya anak dan
istrinya sahaja yang dijaga dipelihara dan dihiraukannya. Kalau
terjadi apa-apa pada malam atau siang hari atau kami ditimpa
bahaya sekali disebut seribu ka li dijauhkan Allah hendaknya,
bagaimana kami" Akan mati seoranglah agaknya," kata Putri
Rabiah dengan sedih. "Anaknya itu kabarnya akan dikirimkannya pula ke Jakarta,
Sekolah Jawa. Yang bukan tanggungannya ditanggungnya, yang
tanggungannya sendiri, disia-siakan. Kalau anaknya itu tak ada
mamaknya yang akan memikul beban ini, sudahlah; tolonglah
anak itu sebab kasihan Akan tetapi kewajiban, jangan dilupakan;
bahkan itulah yang patut diingat lebih dahulu."
"Si Samsu ke Jakarta"" tanya Sutan Hamzah dengan takjub
"Ya tiga bulan lagi. Dan dari sana, entah ke mana pula,
barangkali ke negeri Belanda. He ndak dijadikannya apa anaknya
itu, tiada kuketahui," jawab putri Rubiah.
"Akan dijadikannya jenderal, agaknya," sahut Sutan Hamzah
dengan tersenyum. "Bukankah sekalian itu memakan uang saja" Itulah sebabnya
agaknya, maka tiap-tiap aku mint a duit kepadanya, jarang dapat;
biasanya tak ada duit, katanya. Ke manakah gajinya yang
sebanyak itu" Tentulah habis untuk anak dan istrinya saja. Apa-kah perlunya anak itu dimajuka n sejauh itu" Sekolah Belanda ini
saja telah lebih daripada cukup. Berapa orang yang tiada tahu
bahasa Belanda, tetapi dapat juga mencapai pangkat yang tinggi.
Ayah kita, apa kepandaiannya" Menulis pun hampir tak dapat.
Tetapi mengapakah dapat juga ia menjabat pangkat Tuanku
Bendahara*). Siapakah di antara Penghulu-Penghulu yang ada di
Padang ini, yang pandai bahasa Belanda" Tak ada seorang pun.
Bukankah sekaliannya itu bergantung kepada untung nasib satu-satunya orang" Jika baik untungnya, tak pandai pun, ten"tu akan
mendapat pangkat juga. Tetapi apabila tak baik nasib, walaupun
melangit kepandaiannya, jatuhnya ke pelimbahan juga."
"Pada pikiran hamba, anak itu tak baik untungnya. Segala
usaha Kakanda Mahmud ini, niscaya akan sia-sia belaka.
Cobalah lihat! Arang habis, besi binasa," jawab Sutan Hamzah,
sambil mengisap sebatang rokok yang dibuatnya.
"Mengapa engkau berkata demikian"" tanya putri Rubiah.
*) Pangkat yang hampir sama dengan patih
di tanah Jawa "Ada suatu tanda padanya, ia akan mati berdarah dan akan
menjadi musuh kita," jawab Sutan Hamzah.
Putri Rubiah termenung sejurus mendengar perkataan adik-nya ini. Kemudian ia berkata pula, "Mauku sekolah Belanda ini
saja, cukuplah. Sudah itu masukkan saja ia ke kantor, jadi juru
tuliskah atau apa saja. Biarpun tak bergaji, tak mengapalah mula-mula ini. Kelak, tentulah akan naik juga pangkatnya dan dapat
juga gaji yang besar, asal ada untungnya. Buka nkah sudah ada
pepatah kita yang mengiaskan ha l itu: Malang tak boleh ditolak,
mujur tak dapat diraih. Sesudah diikhtiarkan, diserahkan! Ini
tidak; karena hendak memajukan an ak sampai berhabis-habisan.
Harta pusaka pun hampir diganggunya pula."
"Harta pusaka kita"" jawab Sutan Hamzah dengan meng-angkat kepalanya. "Hendak hamba lihat, kalau benar ia berani
menghabiskan harta pusaka kita. Walaupun hamba tak ber-pangkat, tetapi tak takut melawannya."
"Itulah yang menjadikan bimbang hatiku siang-malam,
hingga acapkali aku tak dapat tidur karena memikirkan hal ini.
Aku takut kalau-kalau benar diperbuatnya sedemikian, menjadi
berbantah kita, antara saudara dengan saudara. Bukan tak baik
saja, perbuatan yang sedemikian, tetapi malu aku kepada orang
lain; sebab tak layak orang yang berbangsa sebagai kita, berbuat
begitu," kata putri Rubiah pula dengan mengeluh.
"Tetapi kalau tak dapat dihinda rkan, apa boleh buat! Jangan-lah takut, Kanda! Hamba d
i muka kelak," jawab Sutan Hamzah
dengan garangnya. "Tentu saja ia selalu tiada beruang dan di-rundung susah sedemikian itu; sebab bodoh dan gila. Apakah
sebabnya ditanggung, yang tak perlu ditanggung dan disuruh
pula menuntut ilmu ke mana-mana. Itulah yang dikatakan orang:
Tak beban, batu digalas. Siapa yang mau berbuat sedemikian,
waktu ini" Hanya ia sendiri. Pada sangkanya, akan dipuji orang
perbuatannya ini. Tidak diketahuinya, bahwa ia dicerca dan
ditertawakan orang dari belakang.
Dan apakah sebabnya ia tak mau menerima segala jemputan
orang dan tak suka beristri banyak" Bukankah itu sekaliannya
duit saja! Apabila tiap-tiap kawin, ia beroleh uang jemputan dua
ratus atau tiga ratus rupiah, tak perlu ia makan gaji lagi" Kalau
habis duit, kawin lagi. Apakah salahnya dan susahnya beristri
dan beranak banyak" Karena laki-laki bangsawan tak perlu
memelihara dan membelanjai anak istrinya. Sekaliannya itu
tanggungan orang lain. Apa guna nya bangsa dan pangkat yang
tinggi, kalau tiada akan beroleh hasil"
Coba lihat hamba! Walaupun tiada mempunyai pekerjaan,
makan tak kurang, kocek pun tak kosong. Apabila hamba datang
ke rumah istri hamba, makanan yang lezat citarasanya telah
tersedia: pakaian yang bersihpun, demikian pula. Jika berjalan,
kocek diisi: rokok dan segala keperluan hamba yang lain, diberi.
Ingin hamba hendak berbendi pa da petang hari, bendi mentua
hamba telah tersedia; segala kesukaan diadakan, segala kemauan
tiada dilarang. Apa lagi yang dikehendaki" Bukankah bodoh,
laki-laki yang tak suka kepada adat istiadat yang sedemikian""
"Memang engkaulah saudaraku yang sesungguh-sungguhnya,
membangkitkan batang terendam, yang tahu adat istiadat dan
menjunjung tinggi pusaka nenek moyang kita dan tahu meng-hargakan ketinggian kebangsawanan kita dan menjalankan
kewajiban kepada saudara dan kemenakannya," kata putri
Rubiah, memuji-muji adiknya itu.
"Apa yang hamba susahkan"" kata Sutan Hamzah pula.
"Biarpun berpuluh istri hamba, be ratus anak hamba, belanja tak
perlu hamba keluarkan dari kocek hamba, sebab istri hamba ada
orang tua dan mamaknya. Demikian pula anak hamba, bukan
tanggungan hamba. Apabila mentua hamba tiada cakap atau
tiada sudi lagi membelanjai hamba, hamba ceraikan anaknya dan
hamba kawini perempuan lain, yang mampu; tentu dapat hamba
uang jemputan dua tiga ratus rupiah dan berisilah pula kocek
hamba. Bukan sebagai kakanda Mahmud; jangankan mendapat
uang, bahkan berugi dan berhabis uang pula ia. Mengapakah tak
dipergunakan bangsa dan pangkatnya yang tinggi itu" Sedang
sekarang, anaknya masih seorang dan istrinya seorang pula,
sudah tak dapat ia berkata apa-apa lagi. Bagaimanakah halnya
kelak, apabila anak dan istrinya sebanyak anak dan istri hamba"
Jangan-jangan mati di jalan besar sendiri saja ia. Karena hamba,
walaupun muda dari padanya, tetapi telah sepuluh orang istri
hamba dan delapan belas orang anak hamba. Sungguhpurt
demikian, hamba tiada susah, tiada kekurangan uang, tiada
meminjam ke sana ke mari. Lebih banyak anak, bukankah lebih
baik, lebih kembang biak dan lebih banyak pula orang yang
berbangsa di Padang ini. Dala m Quran pun diizinkan beristri
sampai empat orang sekali. Apak ah sebabnya tak diturutnya itu,
kalau benar ia orang Islam'" Ka tanya ia cerdik pandai, sebab
bersekolah dan berpangkat ti nggi; tetapi kepandaiannya itu
menyusahkan dirinya sendiri. Bukankah lebih baik bodoh
sebagai hamba ini, tetapi tak pernah susah dan menyusahkan
orang. Anaknya disuruhnya sekolah ini dan sekolah itu, belajar ini
dan belajar itu, akhirnya ia akan menjadi apa" Menjadi raja, tak
dapat. Walaupun berpangkat setinggi apa sekalipun, jika masih
makan gaji masih di bawah perintah orang; berbuat sekehendak
hati tak boleh. Segala perintah dari atas, harus diturut. Biar
malam ataupun siang, biar sakit ataupun senang, lamun
pekerjaan harus dikerjakan; tak boleh mengatakan tidak. Kalau
enggan bekerja, tentu akan diperhentikan dari pekerjaan atau
mendapat nama yang kurang baik. Tetapi hamba, bebas sebagai
burung di udara; tak ada yang melarang dan menyuruh, boleh
berbuat sekehendak hati: Beraja di hati,
bersutan di mata hamba sendiri. Hendak pun tidur selama-lamanya atau duduk bercakap-cakap saja atau bersuka-sukaan sehari-hari, berjalan ke mana-mana, tak ada yang membantah. Oleh karena itu benarkah orang
yang berilmu dan berpangkat tinggi itu lebih senang daripada
orang yang bodoh dan berpangka t rendah" Di sini ada contoh-nya, tak perlu mengambil misal jauh jauh. Perbandingkanlah
Kakanda Mahmud dengan hamba.
Anaknya Samsu itu memang harus disekolahkannya ke
mana-mana, untuk menuntut ilmu yang tinggi-tinggi, sebab jika
tak demikian, tentulah anak itu tiada akan menjadi orang kelak.
Orang yang sebagai dia, harus membanting tulang, jika tak kaya;
sebab bangsanya kurang. Tetapi pada pikiran hamba, walaupun
tak menjadi orang anak itu, apa peduli kita" Bukan tanggungan
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita. Yang akan malu, mamaknya. Oleh sebab itu tak habis pikir
hamba mengapa tidak mamaknya yang memajukan anak itu"
Lagi pula kesalahan siapa, Kanda Mahmud sampai beroleh anak
itu" Siapa yang menyuruh dia kawin dengan perempuan biasa
itu" Kurangkah putri-putri yang baik di Padang ini" Apa guna-nya memandang rupa saja, kalau ba ngsa tak ada" Coba kalau ia
kawin dengan putri bangsawan, niscaya anaknya takkan turun
bangsanya, tetap sutan. Sekarang anaknya hanya marah."
"Itulah yang menjadikan heran hatiku; tak dapat kupikirkan
bagaimana ingatannya sekarang ini. Bukankah telah adat nenek
moyang kita, yang sebagai itu" Mengapa tiada hendak diturut-nya" Malu aku rasanya mempunyai saudara sedemikian ini.
Orang yang tak tahu niscaya akan bersangka saudarakulah yang
tak laku kepada perempuan; ba rangkali karena ada cacatnya.
Tatkala kunyatakan kepadanya sesat pikirannya ini, jawabnya,
"Binatang yang beristri banyak." Coba kaupikir! Adakah patut
jawaban yang seperti itu dikeluarkannya di hadapanku"" kata
putri Rubiah pula. "Demikian jawabnya"" tanya Sutan Hamzah dengan merah
mukanya. "Sungguh," jawab putri Rubiah.
"Jadi binatanglah sekalian laki-laki yang ada di Padang ini!
Sebab sekaliannya beristri banyak. Hanya ia sendiri yang beristri
seorang. Jika demikian katanya, sesungguhnyalah pikirannya
telah bertukar dan otaknya telah miring. Barangkali telah
termakan perbuatan orang*), sehingga lupalah ia akan dirinya
dan jalan yang benar," sahut Sutan Hamzah, seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Pikiranmu sesuai benar dengan pikiranku. Rasa hatiku
memang telah "berudang di balik ba tu," kata putri Rubiah pula,
* Kena ramuan guna-guna (pekasih)
sambil menoleh kepada saudaranya.
"Sekarang tahulah hamba, apa sebabnya ia sebagai benci saja
melihat kita. Sedangkan pekerjaan hamba sehari-hari dicelanya."
sahut Sutan Hamzah. "Pekerjaan apa"" tanya putri Rubiah pula.
"Katanya tak patut seorang bangsawan berjudi dan
rnenyabung ayam. Bukankah itu permainan anak raja dan
saudagar yang kaya-kaya" Yang tak beruang dan tak berbangsa
itulah yang bekerja, menerima upah dari orang lain; takut kalau-kalau mati kelaparan. Tetapi hamba, masakan sedemikian""
jawab Sutan Hamzah. "Tentu," kata putri Rubiah, "orang yang berbangsa tinggi, tak
perlu bekerja mencari penghidupan, melainkan bersuka-sukaan
itulah kerjanya. Tetapi sekarang marilah kita bicarakan, apa akal kita tentang
hal si Mahmud ini. Bagaimanakah baiknya pada pikiranmu,
supaya ia menjadi biasa kembali" Karena walau bagaimana
sekalipun, ia saudara kita juga, tak dapat kita tidakkan; sekalian
orang tahu. Apabila ada terjadi apa-apa atas dirinya, tentu kita
akan terbawa-bawa juga dan na ma kita pun akan bercacatlah.
Jika kita bencanakan dia, menjadi sebagai: menepuk air di
dulang pekerjaan kita itu; muka kita sendiri juga yang akan
basah. Kalau benar ia telah kena "perbuatan" orang, seharusnya kita-lah yang akan mengobatinya. Itulah kewajiban orang bersaudara.
Jangan kita musuhi dia, sebab te ntulah akan bertambah-tambah
penyakitnya, karena dari kana n dan dari kiri, tak dapat
pertolongan. Kalau timbul sesuatu kecelakaan atas dirinya, tetapi
hendaknya malang tersebut, mu jur yang datang , misalnya ia
meninggal dunia atau sakit, bukan istrinya itu yang akan
bersusah payah melainkan kita. juga. Sungguhpun demiki
an, oleh si Penghulu tiada diingatnya itu. Sekarang apa akalmu""
tanya putri Rubiah. "Baiklah kita cari dukun yang pandai untuk mengobatinya."
"Tahukah engkau seorang dukun yang pandai""
"Tahu, rumahnya dekat di sini, Juara Lintau gelarnya."
"Adakah ia sekarang di rumahnya gerangan" Cobalah suruh
lihat oleh si Abu! Barangkali ada di rumah. Biarlah kini kita
suruh datang ia kemari, supaya bangat pekerjaan ini."
"Abu!" teriak Sutan Hamzah.
Tatkala datang bujang Abu, berkatalah Sutan Hamzah per-lahan-lahan kepadanya, sebagai takut ia perkataannya akan ter-dengar oleh orang lain, "Abu, coba engkau pergi sebentar ke
rumah Juara Lintau! Kalau ia ada di rumah, mintalah datang
sebentar kemari, sebab ada keperluan yang hendak dibicarakan
dengan dia. Akan tetapi, apabila ada orang lain di sana, tunggulah sampai orang itu pulang, supaya jangan ada orang yang tahu
engkau memanggil Juara ini."
"Baiklah, Engku Muda," jawab si Abu, lalu berangkat.
"Kalau ia datang, hendaklah lebih dahulu kausuruh tenung-kan olehnya, benarkah si Penghulu kena ilmu orang atau tidak.
Kalau benar, suruhlah obati, s upaya terlepas ia daripada per-buatan orang itu. Kemudian hendaklah kausuruh kerjakan pula,
supaya ia benci kepada istrinya ," kata putri Rubiah perlahan-lahan.
"Tentu," jawab Sutan Hamzah. "Apa gunanya perempuan
yang demikian" Baik rupa saja; harta tidak, bangsa pun rendah.
Kalau untuk hamba, tak terpakai perempuan semacam itu. Tentu
saja sudah diberinya ilmu, Ka kanda Mahmud. Kalau tiada,
masakan ia takluk kepadanya dan suka menyuruh majukan
anaknya. Tentulah ia yang mengasut-asut Kakanda Mahmud,
supaya benci kepada sekalian. Ia takut Kakanda Mahmud beristri
pula, kalau-kalau ia tiada terpakai lagi. Sungguh keras ilmu
perempuan jahat itu! Bukan takluk saja laki-laki kepadanya,
tetapi pikirannya pun sampai bert ukar pula," kata Sutan Hamzah
seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian berkata
pula ia, "Perkara Rukiah sudahkah dibicarakan dengan dia""
"Sudah," jawab putri Rubiah.
"Apa jawabnya""
"Baik, katanya."
"Berapa belanja hendak diadakannya""
"Katanya tiga ribu rupiah."
"Kalau sekian, boleh cukup; asal jangan terlalu berbesar-besar. Perarakan gajah mina tanggungan hambalah.
Tetapi di manakah diperole hnya uang itu" Jangan-jangan
harta pusaka kita pula yang d ijual atau digadaikannya."
"Tidak," jawab putri Rubiah. "Rumahnya dengan tanahnya
yang di Kampung Jawa Dalam digadaikannya kepada Datuk
Meringgih." "Kalau rumah itu, suka hatinya; karena rumah itu tiada juga
akan dapat oleh Rukiah, sebab rumah itu khabarnya tertulis di
atas nama istrinya. Coba! Adakah patut kelakuannya itu" Harta
pencariannya dituliskannya di atas nama istrinya, supaya jangan
dapat oleh kemanakannya! Tetapi biarlah, tak mengapa! Kalau ia
mati, tentu dapat juga dirampas segala hartanya itu. Karena
sekalian orang tahu, harta itu pencariannya sendiri."
Tiada lama mereka berkata- kata, kembalilah Abu bersama-sama orang yang dipanggil tadi , lalu dipersilakan oleh Sutan
Hamzah masuk ke ruang tengah (tengah rumah). Setelah
ditutupnya pintu muka dan pintu belakang, lalu duduklah ia
dekat dukun ini seraya memberi rokok kepadanya. Kemudian
berkatalah Sutan Hamzah, "Hamba minta datang Kakak Juara
kemari, karena adalah suatu permintaan hamba yang penting
kepada Kakak. Tetapi sebelumnya hamba keluarkan apa yang
terasa di hati hamba ini, lebih dahulu hamba minta, supaya
Kakak Juara jangan membuka rahasia ini kepada siapa pun."
"Tentu tidak, masakan hamba berani," jawab dukun itu.
"Hamba takut kepada Tuanku Penghulu."
"Itulah yang hamba harapkan; terl ebih-lebih sebab perkara ini
memang perkara Tuanku Penghulu sendiri kakak hamba itu,"
kata Sutan Hamzah. "Perkara apakah itu"" tanya Juara Lintau.
"Begini," jawab Sutan Hamzah. "Tiadakah Kakak Juara
heran Penghulu-Penghulu yang lain" Terutama tak hendak
menerima segala melihat kelakuan kakak hamba itu" Berbeda
benar dengan adat jemputan orang atas dirinya dan tak mau ber-istri lagi rupanya, sedang kemanakan dan saudaranya, daranya,
kakak hamba ini, tiada pula diindahkannya."
"Sesungguhnya hal itu telah lama menjadi buah p
ikiran hamba dan orang lain pun. Seda ng Penghulu-Penghulu yang lain,
empat istrinya, beliau itu; hanya seorang saja. Kurang patut
rupanya bagi orang besar sebagai Tuanku itu," jawab Juara
Lintau. "Lihatlah, sedangkan Kakak Ju ara, orang lain lagi, ada
berpikir demikian, istimewa pula kami yang kemanakannya dan
saudara kandungnya. Hanya sendirilah yang tiada merasa
kesalahan perbuatannya itu," kata Sutan Hamzah. "Oleh sebab
itu timbul wasangka di dalam hati kami, kalau saudara hamba itu
telah kena ilmu orang, sampai bertukar kelakuan dan pikirannya.
Apabila benar ia kena ilmu, tent ulah tak boleh hamba biarkan."
"Tentu sekali harus ditolong," jawab Juara Lintau.
"Oleh sebab itu berharaplah hamba, supaya Kakak sudi
merenungkan hal itu," kata Sutan Hamzah pula.
"Baiklah," jawab Juara Lintau. "Hamba mohon perasapan
dan kemenyan serta air bersih secambung dan sirih kuning tujuh
lembar." "Nanti hamba ambilkan," kata putri Rubiah, lalu keluar
mengambil yang diminta itu. Sejurus kernudian kembalilah ia
membawa barang-barang ini.
Setelah Juara Lintau membakar kemenyan, lalu membaca-baca beberapa mantera. Kemudian diasapinya air secambung tadi
dengan sirih tiga kali berganti-gan ti, lalu dimasukkannya ketujuh
helai sirih itu ke dalam cambung itu dengan membaca-baca pula.
Setelah itu dipandangnyalah daun sirih itu sehelai-sehelai dengan
hati-hati, lalu ia berkata, "Sesungguhnyalah persangka Engku
Muda tadi. Perubahan kelakuan beliau itu memang karena
perbuatan orang. Sebab keras ilmu dukun yang mengerjakannya,
tak dapatlah beliau berbuat sekeh endak hati beliau lagi, melainkan haruslah menurut kemauan orang yang mengerjakan beliau."
"Apa kataku" Bukankah benar sa ngkaku"" kata putri Rubiah,
"Dan siapakah yang berbuat demikian""
"Orang yang berbuat itu tak ja uh daripada beliau; orang
dalam rumah itu juga dan dekat amat rupanya kepada beliau,"
jawab Juara Lintau. "Perempuan atau laki-laki""
"Perempuan," jawab dukuh.
"Jika demikian, tentulah tak lain daripada istrinya sendiri,
karena tak ada perempuan lain dalam rumahnya," kata putri
Rubiah pula. "Pikiran hamba pun demikian juga," sahut Sutan Hamzah.
"Sekarang bagaimana akal, supaya terlepas ia daripada ikatan
ini"" tanya putri Rubiah.
"Akal yang lain tak ada, mela inkan diobatilah Tuanku dengan
ilmu dan ramuan," jawab Juara Lintau.
"Ya, tetapi hendaknya dibencinya pula istrinya itu, supaya ia
diceraikan. Itulah balasan ya ng patut bagi perempuan yang
sedemikian," kata putri Rubiah.
"Perkara itu serahkanlah kepada hamba; seberapa boleh,
tentu akan hamba tolong. Hanya suatu permintaan hamba,
adakah agaknya baju atau kain Tuanku Penghulu di sini yang
sudah dipakainya"" tanya Juara Lintau.
"Rasa hamba ada. Coba hamba periksa dahulu," jawab putri
Rubiah, lalu pergi. Tiada berapa lama antaranya, kembalilah ia
membawa sehelai kain Balanipah, seraya berkata, "Ini dia! Kain
ini telah beberapa lama ditinggalk annya di sini. Lupa rupanya ia
mengambil kembali." "Bolehkah hamba bawa pulang kain ini" Sebab berguna
waktu mengerjakannya," tanya Juara Lintau.
"Boleh, bawalah!" jawab putri Rubiah.
"Lagi pula hamba perlu mendapat rambut orang kaya istri
Tuanku Penghulu itu; sehelai pun cukup. Sebab apabila ia tak
kena kebenci, terus hamba kerjakan dengan si judai, sebab
rupanya penahan ilmu padanya amat kuat. Bolehkah hamba
kerjakan dia sampai gila"" tanya Juara Lintau.
"Itu lebih baik," jawab Sutan Hamzah. "Mati pun tak
mengapa, karena perempuan semacam itu tak harus dipelihara.
Setelah ia gila atau mati, saudara hamba tentu mau kawin pula."
"Perkara rambut itu, nantilah hamba pergi ke rumahnya untuk
mengambilnya," kata putri Rubiah. Setelah itu putri Rubiah
mengeluarkan kue-kue dan kopi, untuk dukun ini. Setelah
makan, diberikan oleh putri Rubiah uang seringgit kepada Juara
Lintau, karena pertolongan. Kemudian minta dirilah dukun ini,
lalu pulang ke rumahnya. V. SAMSULBAHRI BERANGKAT KE JAKARTA
"Pak Ali, pada sangkaku baik dimulai memasang lampu, karena
hari hampir gelap," kata Samsu kepada kusirnya, di rumah orang
tuanya, di Kampung Jawa Dalam di Padang. Tatkala itu Samsu
telah berpakaian yang baik-baik, sebagai orang hendak pergi ke
mana-mana. "Baiklah, Engku Muda," jawab sais Ali, sambil pergi
mengambil geretan api. "Suruhlah si Amat kemari, supa ya dapat membantu Pak Ali,"
kata Samsu pula. Tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, datanglah pula
sais Ali bersama-sama Amat, la lu memasang lampu-lampu di
serambi muka. "Sekalian lampu harus dipasang, Pak Ali!" kata Samsu,
"sampai setengah rumah dan serambi belakang. Dan engkau
Amat, bawalah pot-pot bunga ini ke bawah dan susunlah meja-meja dan kursi-kursi ini di sana, sebab di sini tempat menari; tak
boleh ada apa-apa." Kedua bujang ini bekerjalah menurut perintah tuannya yang
muda itu. Setelah selesai pekerjaan di serambi muka, masuklah
Samsu ke ruang tengah, lalu menyuruh mengatur meja panjang
dua buah, dengan beberapa kursi makan. Kemudian disuruhnya
tutup kedua meja itu dengan al as meja lenan putih yang ber-bunga.
Sedang mereka asyik bekerja itu, datanglah Nurbaya dari
rumahnya dengan berpakaian yang indah-indah, membawa dua
ikat karangan dari bermacam-macam bunga yang baik warnanya,
lalu bertanya, "Belum selesai, Sam""
Tatkala mendengar perkataan ini, menolehlah Samsu ke
belakang dan ketika terpandang olehnya gadis ini, tiadalah
terkata-kata ia sejurus lamanya. Mukanya yang mula-mula riang,
tiba-tiba menjadi muram. Jika Nurbaya tiada lekas menegurnya
pula, barangkali kedatangan Nurbaya ini akan mengeluarkan air
matanya. "Sakitkah engkau, Sam"" tanya Nurbaya pula.
Barulah Samsu seakan-akan terkejut, ingat akan dirinya
kembali, lalu menahan perasaan hatinya dan menjawab dengan
tersenyum, "Manis benar engkau kupandang hari ini, Nur; se-hingga lupalah aku akan diriku sejurus."
"Dengan sengaja aku memakai- makai hari ini, sebab esok
petang tiadalah engkau akan melihat aku lagi," jawab Nurbaya
sambil tersenyum pula. Jawaban ini jangankan dapat melipur hati Samsu bahkan
rupanya menambah muram durjanya dan sedih hatinya. Dengan
pendek berkata pula ia, "Sesungguhnyalah katamu itu," lalu
ditundukkannya kepalanya.
Tatkala dilihat Nurbaya hal Samsu yang sedemikian itu,
dihampirinyalah sahabatnya ini, lalu dipegangnya bahunya,
sambil berkata, "Ayuh, Sam! Malam ini kita harus bersuka-sukaan. Apabila engkau, yang punya rumah, berdukacita, bagai-manakah kelak jamu yang datang"" kata Nurbaya, sambil mem-bujuk saudaranya ini.
"Benar sekali katamu itu, Nun' Tetapi apalah dayaku" Sejak
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemarin hatiku tak enak saja, walau bagaimana pun juga kulipur.
Makin dekat aku kepada hari esok, makin bertambah-tambahlah
duka nestapaku. Sungguhpun demikian, nantilah kukatakan
kepadamu, bagaimana rasa hatiku sekarang ini," kata Samsu
pula. Ketika itu tiba-tiba masuk Bakhtiar ke tengah rumah, lalu
membuka topi rumputnya dan membungkuk, sehingga kepalanya
hampir sampai ke lututnya, seraya berkata, "Tabik Nyonya-nyonya dan Tuan-tuan sekalian!"
"Ada berapakah Nyonya-nyonya dan Tuan-tuan di sini,
Bakhtiar"" tanya Nurbaya.
"Ada seratus satu Nyonya-nyonya dan seratus satu pula
Tuan-tuan," jawab Bakhtiar dengan mengeraskan kata "satu" itu.
"Ha... ai, siang-siang sudah data ng! Amat rajin," kata Samsu.
"Disengaja, Tuan hamba, sia ng-siang datang kemari, karena
hendak memeriksa, adalah seka liannya telah lengkap, untuk
menyambut kedatangan sekalian jamu Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, yang dipersilakan datang bermain-main kemari," kata
Bakhtiar pula dengan menghalus-haluskan bahasanya, sambil
membungkuk pula. "Bohong," teriak Arifin yang telah berdiri di belakang
Bakhtiar. "Tuan Bakhtiar henda k melihat dahulu, banyakkah
makanan yang disediakan atau tidak. Kalau tak cukup, ia hendak
kembali saja, takut takkan kenyan g perutnya. Demikian katanya
di atas bendi tadi."
"Memang engkau tak dapat memega ng rahasia, Arifin. Telah
kupesan benar-benar, supaya maksudku yang sebenar-benarnya,
jangan kausampaikan kepada siapa pun juga. Sekarang kepada
orang yang mula-mula kaulihat saja telah kaubukakan rahasia itu
dan kelak, tentulah kepada seka lian orang kaukatakan. Malu aku
rasanya, terlebih-lebih kepa da Nyonya Nurbaya, sebagai
sesungguhnyalah aku datang kemari ini, hanya ka
rena kue-kue saja," kata Bakhtiar pura-pura marah dan malu.
"Tak usah kau menangis, Bakhtiar, karena malu," kata
Nurbaya. "Rahasiamu itu bukan rahasia lagi bagiku, karena telah
lama kuketahui. Apabila kau tak percaya, bahwa makanan
cukup, walaupun untuk sepuluh Ba khtiar sekalipun, marilah
kubawa engkau ke belakang, akan melihat-lihat saja dahulu.
Tetapi hendaklah engkau berjanji dan bersumpah akan menahan
nafsumu dan tiada akan menga nggu-ganggu makanan itu," kata
Nurbaya, seraya menghampiri Ba khtiar, akan membawanya
melihat makan-makanan yang telah tersedia.
Bakhtiar berpikir sejurus de ngan menggaruk-garuk kepala-nya, seraya berkata dalam hatinya, "Sesungguhnya terlalu ingin
aku hendak melihat segala makanan yang akan kurasai kelak,
tetapi adakah akan dapat kutahan tanganku mengambil makanan
itu"" "Ah, masakan tak dapat kut ahan nafsuku," katanya pula
keras-keras, untuk menjawab perkataan Nurbaya tetapi pada
mukanya nyata kelihatan, bahwa ia tiada akan dapat menurut
janjinya. Maka dibukanyalah topi nya, diangkatnya tangannya ke
atas, serta berdiri benar-benar lalu bersumpah, "Di atas nama
segala kue yang sangat kucintai, terutama kue sepekuk, kue
koneng, kue tar, bolu, serikaya, sus dan lain-lain, aku bersumpah
di hadapan tiga saksi, tiada akan mengganggu makanan yang ada
di belakang, Jika aku tiada menurut janjiku ini, maulah aku,
perutku dan perut tujuh keturunanku, selama-lamanya diisinya."
"Baiklah," kata Nurbaya dengan tersenyum. "Sesungguhnya
sumpahmu itu sangat keras, tetapi tiada mendatangkan
kecelakaan kepadamu. Salah tak salah, perutmu akan penuh
berisi kue-kue. Tetapi tak mengapa, marilah kubawa!" lalu
dipegangnya tangan Bakhtiar, hendak dibawanya ke belakang.
"Jangan percaya!" teriak Arifin, "Telah kelihatan olehku di
matanya, ia tiada akan menurut sumpahnya. Aku tahu akal lain
yang lebih sempurna, yaitu kedua belah tangannya harus diikat
ke belakang." "Engkau benar terlalu amat sanga t, Arifin!" kata Bakhtiar
dengan pura-pura merengut. "Masak an aku berani melanggar
sumpahku yang sekeras itu. Tentu aku takut berdosa kepada
segala kue-kue lazat cita-rasanya itu."
"Tidak percaya," kata Arifin pula, lalu datang mengikat
kedua belah tangan Bakhtiar ke belakang dengan sehelai
setangan. Setelah selesai, barulah ia dibawa oleh Nurbaya.
"Pak Ali," kata Nurbaya, tatkala hendak membawa Bakhtiar
ke belakang, "bunga-bungaan itu masukkan ke dalam jambang
bunga itu dan taruh di atas meja makan!"
"Baiklah, Siti," jawab Ali.
Setelah sampailah Nurbaya dan Bakhtiar ke belakang, diper-lihatkanlah oleh Nurbaya kepada Bakhtiar segala kue-kue,
makanan-makanan dan minum-minuman yang lezat-lezat yang
telah tersedia dan teratur di at as beberapa meja, berbagai-bagai
warna dan baunya. "Sekalian itu aku yang mengatur dan membelinya di toko
Jansen. Cukupkah itu bagimu atau tidak"" tanya Nurbaya.
Tatkala Bakhtiar melihat segala makanan yang enak-enak itu,
timbullah keinginan dalam hatinya, yang rasakan tak dapat
ditahannya lagi, hendak mengecap segala yang lezat-lezat itu.
Apabila tangannya tiada terikat, paslilah ia lupa akan sumpahnya
tadi dan tentulah akan diterkamnya kue-kue itu, walaupun
bagaimana juga keras sumpahnya. Tetapi apa daya" Ia tak dapat
berbuat apa-apa dengan tangannya karena sungguh teguh ikatan
Arifin tadi. Maka berjalanlah ia, sebagai hendak melipurkan
hatinya, dari sebuah meja ke me ja yang lain, dengan berkata,
"Alangkah cantiknya buatan kue ini! Bagaimanakah rasanya"
Dan ini, sangat sedap baunya," lalu diciumnya kue itu.
Akan tetapi karena tiada tertahan oleh seleranya, sebelum
diingatnya kembali sumpahnya tadi, telah masuklah giginya ke
dalam suatu kue yang besar dan dapatlah digigitnya sekerat,
sehingga berlubanglah kue itu. Oleh sebab kue itu memakai rum
gula, hidung dan bibir serta muka Bakhtiar, penuhlah berlumur
rum gula ini. Tatkala Nurbaya melihat hal yang demikian, ditariknya
Bakhtiar ke belakang dengan berkata "Gilakah engkau,
Bakhtiar"" Tetapi ia tertawa gela k-gelak, tatkala melihat muka
Bakhtiar yang penuh berlumuran rum gula, sehingga Samsu dan
Arifin, yang sedang bersedia-sedia di lua
r, berlari ke belakang. Setelah sampai mereka ke sana, diceritakanlah oleh Nurbaya,
apa sebabnya muka Bakhtiar sebagai topeng itu. Kedua mereka
itu pun tertawa pula mendekak-dekak, sehingga Arifin
memegang perutnya, karena tak dapat menahan geli hatinya,
melihat temannya seperti alan-alan. Hanya Bakhtiarlah yang
tiada berkata-kata, seakan-akan malu atau menyesal rupanya
akan perbuatannya yang ceroboh itu. Tetapi kue yang telah ada
dalam mulutnya, dikunyahnya juga, lalu ditelannya.
Setelah puaslah mereka menter tawakan Bakhtiar, berkatalah
Arifin, "Kesalahan ini sangat besar; pertama karena tiada
menurut sumpah, kedua karena mencuri dengan mulut;
sedangkan pencuri yang sangat be rbahaya sekalipun, hanya baru
dapat mencuri dengan tangan saj a. Oleh sebab kepandaian
Bakhtiar ini dapat memberi cont oh yang tak baik kepada
penjahat-penjahat lain, haruslah ia dihukum dengan hukuman
yang berpadanan dengan kesalahannya. Marilah kita bertiga
menjadi hakimnya! Apa hukuman yang baik diberikan kepada-nya""
"Aku tahu suatu hukuman yang patut," kata Nurbaya. "Ia tak
boleh mendapat kue-kue lagi kelak, sebab sekarang sudah
dimakannya bagiannya."
"Jangan!" jawab Samsu. "Hukum an yang sedemikian terlalu
berat baginya. Aku khawatir kala u-kalau ia kelak menjadi buas,
apabila melihat temannya sekalian makan enak-enak sedang ia
sendiri tak boleh." "Lagi pula siapakah yang berani menanggung, ia akan
menjalankan hukumannya itu dengan patuh, kalau tidak diikat
kaki tangannya," kata Arifin pula.
"Pada pikiranku lebih baik begini. Tetapi janganlah kau
ceritakan lebih dahulu, supaya ja ngan diketahuinya rahasia ini.
Nanti kaulihat sendiri! Maukah engkau menerima hukumanku""
tanya Arifin kepada Bakhtiar.
"Mau, asal boleh aku ikut makan kue-kue nanti," jawab
Bakhtiar, pura-pura menangis, tetapi gula yang melekat pada
bibirnya, dicobanya juga menjilat dengan lidahnya.
"Baik, sabarlah dahulu!" kata Arifin.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu, kedengaranlah
beberapa jamu telah datang di serambi muka. Samsu dan
Nurbaya ke luar menjemput sekalian mereka, yakni murid-murid
sekolah Belanda, sahabat Samsu dan Nurbaya, laki-laki dan
perempuan, lalu dipersilakan duduk, bercakap-cakap dan ber-senda gurau, terlalu ramainya. Meskipun, waktu itu rupanya
telah ada, lalu mulai be rmain melagukan lagu mars.
Sedang ramai mereka bersuka-s ukaan itu, tiba-tiba dibawalah
Bakhtiar oleh Arifin ke te ngah-tengah jamu. Mula-mula
tercengang sekaliannya, karena mereka tiada tahu, apakah
maksud pertunjukan ini. Akan tetapi setelah diceritakan oleh
Arifin hal Bakhtiar mencuri kue dengan mulutnya itu, dari
mulanya sampai ke akhirnya, riuh rendahlah bunyi tertawa, rasa
tak dapat disabarkan. Sudah itu barulah dilepaskan oleh Arifin
ikat tangan Bakhtiar. Akan tetapi baru saja bebas tangan
Bakhtiar dari ikatannya, lalu diambilnya rum gula yang masih
ada melekat di mukanya, dilempar kannya ke muka Arifin, lalu ia
lari ke belakang membasuh mukanya. Arifin yang menjadikan
orang tertawa kembali, pun lari ke belakang, membersihkan
mukanya pula. Sejurus kemudian musik pun bermain pula, melagukan lagu
wals. Sekalian muda remaja menarilah masing-masing dengan
pasangannya. Samsu menuntun tangan Nurbaya, lalu menari
bersama-sama. Demikianlah perbuatan anak-anak muda itu ber-ganti-ganti berdiri, menari dan duduk berkata-kata, tertawa
gelak-gelak, bersenda gurau dan bersuka-sukaan. Nurbaya,
setelah menari dengan Samsu menari pula dengan Arifin dan
Bakhtiar. Oleh sebab Bakhtiar dan Arifin selalu berbuat olok-olok, walaupun sedang menari, ra mainya tiadalah terkatakan
lagi. Sementara itu segala kue-kue yang lezat rasanya diedarkan-lah, dibawa kepada sekalian jamu. Demikian pula minum-minuman kopi, teh, coklat, sirop, dan limonade.
Bakhtiar pura-pura membantu menjadi jongos mengedarkan
makanan dan minuman tadi, teta pi terlebih dahulu segala kue
yang dapat disimpannya, dimasukkannya ke kocek baju dan
celananya, sehingga gembunglah pakaiannya rupanya. Dengan
tiada diketahui Bakhtiar digant ungkanlah oleh Arifm pada
punggung baju, Bakhtiar, sehelai kertas yang lebar, yang
dituli snya di atasnya, "Aku inilah gergasi kue-kue". Maka
ramailah pula bunyi suara murid-murid itu mentertawakan
Bakhtiar dengan tiada diketahuinya, apa yang menggelikan hati
mereka. Setelah diketahui Bakhtiar per buatan musuhnya Arifin itu,
dicarinyalah akal untuk membalas kelakar ini, lalu pergilah ia ke
belakang meminta beberapa lada kutu yang amat pedas itu, sebab
diketahuinya Arifin sangat takut kepada lada. Lada kutu.ini
dimasukkannya beberapa butir ke dalam sekerat kue lapis,
ditutupnya baik-baik dan ditaruhnya di atas piring, lalu dibawa-nya kepada Arifin, sambil berkata dengan hormatnya, akan
menghilangkan syak wasangka hati sahabatnya ini, "Jika Tuan
hamba sudi, persilakanlah santa p juadah ini!" Sekalian yang
mendengar basa Bakhtiar ini tersenyum.
Dengan tiada berpikir lagi, dimakanlah oleh Arifin kue itu.
Tetapi setelah dua tiga kali dikunyahnya, tiba-tiba berteriaklah ia
kepedasan. Mulutnya ternganga, seh ingga segala kue yang ada di
dalamnya jatuh ke luar. Air ludah dan air matanya meleleh,
sehingga ia hampir tak dapat berkata-kata meminta air dingin
untuk menyejukkan mulutnya yang sangat panas rasanya.
Mula-mula gemparlah sekalian tamu karena tiada tahu apa
sebabnya Arifin jadi demikian. Akan tetapi setelah diceritakan-nya, ia termakan lada, kena ti pu Bakhtiar, sekaliannya tertawalah
pula gelak-gelak amat ramainya.
Setelah hari pukul sembilan, masuklah sekalian anak muda
itu ke tengah rumah, lalu masing-masing duduk di atas kursi
makan. Sup dan anggur dijalankan. Seorang daripada sahabat
Samsu berdiri dengan memegang gelas anggurnya, lalu ber-pidato. Mula-mula ia memberi selamat kepada Samsu, Arifin,
dan Bakhtiar di atas nama sekalian yang datang, karena ketiga
mereka telah tamat pelajarannya dalam sekolah Belanda di
Padang dan sekarang akan meneruskan pelajarannya di Sekolah
Dokter Jawa dan Sekolah Opseter di Jakarta. Diharapnya dengan
sepenuh-penuh pengharapan, mereka di sana akan maju pula
dalam pelajarannya, s upaya dapat menjabat pangkat yang tinggi
dan beroleh kesenangan kemudian hari.
Selama mereka bercampur dengan ketiga sahabatnya yang
akan berangkat itu, belumlah pern ah berselisih, melainkan selalu
beramah-ramahan dan bersahabat sahabat karib. Oleh sebab itu
ia percaya, tentulah ketiga sahab at ini di Jakarta, akan segera
pula mendapat sahabat dan kenalan baru yang baik, tempat
berkasih-kasihan dan beramah-ramahan sebagai di Padang.
Supaya mereka jangan lekas- lekas lupa kepada sahabat
kenalannya di Padang, diberika nnyalah tiga buah potret sekalian
murid sekolah Pasar Ambacang dengan guru-gurunya, kepada
ketiga mereka. Akhirnya diucapkannyalah selamat jalan dan
panjang umur kepada ketiga sahabatnya yang akan berangkat itu
dan didoakan supaya mereka ke mbali ke Padang dengan pangkat
yang diharapkannya itu. Kemudian bersoraklah sekaliannya,
"Hip, hip, hura!!" tiga kali, disambut oleh musik.
Samsu membalas ucapan ini. Mula-mula ia minta terima
kasih kepada sekalian sahabatnya yang hadir, atas kedatangan
mereka dan tanda mata yang telah diberikan mereka itu. la ber-janji akan menyimpan potret itu sungguh-sungguh dan akan
selalu mengingat sekalian sahabat kenalannya yang akan di-tinggalkannya di Padang, yang banyak menolong dan memberi
kesukaan hatinya. Diharapnya supaya sekalian sahabatnya itu
pun akan lekas pula tamat pelajarannya, supaya dapat melanjut-kan pelajarannya dalam sekolah yang lebih tinggi dan ia berjanji
akan mengirimkan tanda mata ke pada sekalian mereka, apabila
ia telah sampai ke Jakarta kela k. Akhirnya ia pun mengucapkan
selamat tinggal, selamat belaja r dan umur panjang kepada
mereka itu, lalu bersorak pula tiga kali.
Sekali itu makanlah sekaliannnya, mula-mula sup, kemudian
keroket, sudah itu kentang, salada dan kue-kue; akhirnya barulah
ditutup dengan buah-buahan dan kopi. Tengah makan, tak putus-putusnya Arifin dan Bakhtiar berolok-olok, sehingga banyak
yang batuk, karena salah makan.
Setelah selesai makan, masing-masing berjalan jalan di
halaman rumah, diterang bulan, karena malam itu bulan terang
purnama raya. Sesudah itu menari pulalah mereka dan bersuka-suka hati sa
mpai pukul dua bel as malam; barulah pulang masing-masing ke rumahnya. Yang akan tinggal, memberi selamat jalan
kepada yang akan pergi, dan yang pergi mengucapkan selamat
tinggal kepada yang akan tinggal.
Ketika Nurbaya hendak kembali pula ke rumahnya,
berkatalah Samsu, "Biarlah kuantarkan engkau ke rumahmu, sebab hari telah
jauh malam. Tak baik perem puan berjalan seorang diri."
Oleh karena Nurbaya setuju dengan maksud Samsu ini,
kedua anak muda ini berjalanlah perlahan-lahan menuju rumah
Nurbaya. Tatkala itu bulan bercahaya bagaikan siang. Bintang-bintang yang serupa mestika, berkilau-kilauan di langit tinggi,
sebagai kunang-kunang di tempat yang gelap. Awan berarak
beriring-iring dari barat lalu ke timur.
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Alangkah terang bulan ini," kata Samsu tengah berjalan itu,
"menambah rawan dan pilu hatiku, sehingga bertambah-tambah
berat bagiku meninggalkan Padang ini. Memang sejak dari
kemarin, tiadalah dapat kulipur hatiku dengan pikiran akan
melihat negeri yang lebih besar dan menuntut pelajaran yang
lebih tinggi saja. Makin dekat aku pada waktu akan berangkat,
makinlah hancur rasa hatiku."
"Apakah yang engkau susahkan" Sekaliannya telah tersedia;
engkau tinggal berangkat saja lagi. Sa mpai ke sana, lalu belajar.
Apabila telah tamat pelajaranmu kelak, tentulah engkau akan
berpangkat tinggi dan bergaji besar. Kami sekadar akan inelihat
dan berbesar hati dari jauh saja. Perceraian dengan ibu-bapa dan
kami sekalian, tentu saja mula-mula berat bagimu. Akan tetapi,
pada sangkaku, lekas juga e ngkau biasa kepada keadaan yang
baru itu. Dan bila engkau telah bi asa, tentulah tiada akan engkau
rasai lagi keberatan perceraian ini. Ingatlah akan pepatah: Hilang
bisa karena biasa, hilang geli kare na gelitik. Tetapkanlah hatimu!
Jangan banyak pikiran yang lain-lain."
"Tentu, tentu," jawab Samsu, "tetapi ada suatu pikiran yang
menggoda hatiku, yang selalu melintas dalam ingatan dan tak
dapat kulupakan siang malam."
"Pikiran apakah itu" Adakah orang atau sesuatu benda yang
mengikat hatimu, sehingga tak da pat engkau tinggalkan"" tanya
Nurbaya, sambil memandang muka Samsu.
"Bukan demikian, Nur. Dahulu tatkala kita berjalan jalan ke
gunung Padang, telah kuceritakan kepadamu mimpiku. Sejak
waktu itu sampai sekarang ini, pikiran yang menggoda itu
tiadalah hendak meninggalkan a ku. Beberapa malam aku tak
dapat tidur nyenyak, karena mengenang-ngenangkan mimpi itu.
Sebagai kelihatan olehku bahaya mengintai dan mengikut kita,
barang ke mana kita pergi, menanti saat yang baik akat
menerkam engkau dan aku, bila kita telah bercerai kelak. Itulah
yang memberatkan hatiku; itulah yang menjadikan aku was-was.
Apabila aku tiada ingat akan janjiku kepada ayahku untuk pergi,
tentulah lebih suka aku tinggal menjaga engkau."
Dengan bercakap-cakap sedemikian sampailah keduanya ke
dalam pekarangan Nurbaya, lalu duduklah mereka berdekat-dekatan di atas sebualt bangku, di bawah pohon tanjung yang
rindang, dalam kebun anak gadis ini.
"Sebagai telah kukatakan," kata Nurbaya pula, "janganlah
engkau terlalu percaya akan mimpi itu, karena tiada selamanya
mimpi ada artinya. Bahaya apakah yang akan menimpa diri kita"
Sebab kita tiada berbuat dosa atau kesalahan kepada siapa pun.
Apabila sesungguhnya untung kita ini malang, apa hendak
dikata" Karena sekaliannya itu te lah takdir daripa da TuhanYang
Mahakuasa. Biar bagaimana sekalipun kita tiada suka, jika telah
nasib sedemikian itu, tak dapat diubah lagi. Siapakah yang dapat
mengubah suratan pada lahulmahfut"
Oleh sebab itu berhati-hatilah menjaga diri, dan marilah kita
pohonkan bersama-sama kepada Rabbul-alamin, supaya mudah-mudahan dipeliharakannya juga kita di dalam segala hal. Jika
kaugoda hatimu dengan pikiran ya ng semacam tadi, tentulah
pelajaranmu tiada akan maju kelak. Alangkah sayangnya!
Apabila engkau telah menjadi dokter, berapakah besar hati
ibu-bapamu dan hatiku, melihat anak dan saudaranya telah
berpangkat tinggi. Jika Susah bagimu kelak meninggalkan
Padang ini, kaumintalah tetap bekerja di sini supaya dapat ber-campur gaul selama-lamanya dengan sekalian orang yang kau
cintai." "Engkau tiada tahu rasa hatiku sekarang ini; itulah sebabnya
agaknya kaupermudah saja hal ini. Pikiran yang ada dalam
hatiku rupanya tak ada dalam ha timu, sehingga tak dapat kau
pikirkan halku." "Pikiran apa pula itu"" tanya Nurbaya, sambil melihat muka
Samsu. "Nurbaya, karena besok aku akan meninggalkan kota Padang
ini, akan pergi ke rantau orang, entah berbalik entah tidak, sebab
itu pada sangkaku inilah waktunya akan membukakan rahasia
hatiku. Ketahuilah olehmu, Nur, bahwa aku ini sangat cinta
kepadamu. Percintaan itu telah lama kusembunyikan dalam
hatiku; sekarang baru kubukakan, karena pada sangkaku, rahasia
itu harus kauketahui, sebelum kita bercerai. Siapa tahu,
barangkali tak dapat aku kembali lagi; tak dapat kita bertemu
pula. Jika tiada kubukakan rahasi aku ini kepadamu, pastilah ia
menjadi sebagai duri di dalam daging padaku; terasa-rasa
sebilang waktu. Mula-mula percintaan itu memang percintaan persaudaraan.
Akan tetapi lama-kelamaan, dengan tiada kuketahui, bertukarlah
ia menjadi cinta yang sebenar-benarnya cinta. Barangkali tak
baik aku berbuat demikian, pada pikiranmu, tetapi apa hendak
kukata" Dari kecil kita bercam pur gaul, bukan sehari dua hari,
makan sepiring, tidur setilam, lebih daripada saudara kandung
sendiri. Bagaimanakah tiada ak an tersangkut hatiku padamu"
Sejenak pun belum pernah kita bercerai; tiba-tiba sekarang aku
harus pergi meninggalkan e ngkau dengan tiada kuketahui,
bilakah dapat pulang kembali. Ba gaimanakah tiada rusak binasa
hatiku" Bagaimanakah aku dapat meninggalkan engkau"
Dengarlah olehmu pantun ini:
Bulan terang bulan purnama,
nagasari disangka daun. Jangan dikata bercerai lama,
bercerai sehari rasa setahun.
Oleh sebab untung manusia tak dapat ditentukan, itulah
sebabnya sangat ingin hatiku he ndak mengetahui, bagaimanakah
hatimu kepadaku" Atau hanya aku sendirilah yang rindu
seorang"" kata Samsu, sambil memegang tangan Nurbaya.
Mendengar perkataan dan pantun Samsu ini, terdiamlah
Nurbaya, sambil menundukkan kepalanya, tidak berkata-kata
sejurus lamanya, sebagai malu rasanya ia akan membukakan
rahasia hatinya. Samsu menghampiri Nurbaya lalu bertanya
perlahan-lahan dengan mendekatkan kepalanya kepada kepala
Nurbaya, "Sudikah engkau kelak menjadi istriku, apabila aku
telah berpangkat dokter""
"Masakan tak sudi," sahut Nurbaya perlahan-lahan, sebagai
takut mengeluarkan perkataan ini.
Maka diciumlah oleh Samsu perlahan-lahan punggung
tangan perawan ini. Nurbaya tiada membantah, melainkan dibiarkan perbuatan
Samsu itu. "Memang telah kusangka," kata Samsu dengan lemah-lembut
suaranya, "engkau tak benci kepadaku dan engkau cinta pula
kepadaku. Dengarlah olehmu pantun ini!
Seragi kain dengan benang,
biar terlipat jangan tergulung.
Serasi adik dengan abang,
sejak di rahim bunda kandung."
"Sesungguhnya demikian rupanya," jawab Nurbaya, sambil
membalas pantun Samsu: "Dari Medang ke pulau Banda,
belajarlalu ke Bintuhan. Tiga bulan di kandung Bunda
jodoh 'lah ada pada Tuan."
Lalu dijawab oleh Samsu: "Anak Cina duduk menyurat,
menyurat di atas meja batu.
Dari dunia sampai akhirat,
tubuh yang dua jadi satu.
Sekarang maklumlah engkau, bagaimana takkan khawatir
hatiku meninggalkan engkau. Kalau sesungguhnya engkau men-dapat sesuatu bahaya di sini, betapakah rasa hatiku" Hancur
luluh, tak dapat dikatakan. Ji ka dekat aku padamu, tak kupikir-kan. Hidup mati tidak kuindahkan, asal bersama dengan engkau
sebagai kata pantun: Berlubur negeri berdesa, ditaruh pinang dalam puan.
Biar hancur biar binasa, asal bersama dengan Tuan."
Memang demikian," kata Nurbaya. "Dengarlah pula pantun
ini: Pulau Pinang kersik berderai,
tempat burung bersangkar dua.
Jangan bimbang kasih'kan cerai,
jika untung bertemu jua. Jika ada sumur di ladang,
tentulah boleh menumpang mandi.
Jika ada umur yang panjang,
tentulah dapat bertemu lagi.
Ke rimba ke padang jangan,
bunga cempaka kembang biru.
Tercinta terbimbang jangan,
adat muda menanggung rindu.
Ke rimba orang Kinanti, bersuluh api batang pisang.
Jika tercinta tahankan hati,
kirimkan rindu di burung terbang"
"Benar sekali katamu itu, ad ikku Nur
baya! Berpantunlah engkau, berpantunlah! Semalam ini kita dapat bersendau gurau,
besok kakanda tak ada lagi," kata Samsu pula, sambil mencium
punggung tangan kekasihnya yang halus itu, beberapa kali.
"Mempelam tumbuh di pulau
patah sedahan dijatuhkan.
Semalam ini kita bergurau,
esok Adik kutinggalkan "
Maka menyahutlah Nurbaya;
"Berlayarlah ke pulau bekal,
nakhoda makan bertudung saji.
Sambutlah salam adik yang tinggal,
selamat Kakanda pulang pergi.
Ribu-ribu di pinggir jalan,
tanam di ladang kunyit temu.
Jika rindu pandanglah bulan,
di situ cinta dapat bertemu."
Setelah keduanya berdiam diri sejurus, berpantun pulalah
Samsu: "Kapal kembali dari Jawaa
masuk kuala Inderagiri. Tinggallah Adik tinggallah nyawa,
besok kakanda akan pergi."
Disahuti oleh Nurbaya: "Berbunyi gendang di Pauh,
orang menari di halaman. Sungguh Kakanda berjalan jauh,
hilang di mata di hati jangan."
"Suatu lagi," kata Nurbaya:
"Meletus gunung dekat Bantan,
terbenam pulau dekat Jawa.
Cinta jangan diubahkan, jika putus, sambungkan nyawa."
Dibalas pula oleh Samsu: "Jika hari, hari Jumat,
haji memakai baju jubah. Walaupnn had akan kiamat,
cinta di hati jangan berubah."
"Suatu lagi," kata Samsu:
"Jika Perak kerani Keling,
berlayar tentang Tapak Tuan.
Putih gagak hitamlah gading,
tidak putus cintakan 'Iuan."
"Neng," berbunyi lonceng di rumah jaga, tanda hari sudah
pukul satu malam. Ketika itu barulah asyik dan masyuk ini
sadarkan dirinya: "Sam!" kata Nurbaya. "Hari telah pukul satu, kalau-kalau
kelak aku ditanya oleh orang tuaku. Biarlah kita bercerai dahulu
sekarang ini, esok kita bertemu pula. Tambahan lagi engkau
akan berangkat tentulah banyak yang akan kausediakan, untuk
dibawa, supaya jangan ketinggala n apa-apa. Pergilah tidur lekas-lekas, supaya jangan terlalu le lah engkau; bara ngkali esok hari
harus bangun pagi-pagi."
"Nur! Bagiku, asal bersama-sa ma dengan engkau, tiadalah
aku akan mengantuk dan lelah. Biarpun sampai pagi kita begini
saja, maulah aku; itulah kehendak hatiku. Tak dapatlah ku-katakan bagaimana perasaan da lam kalbuku waktu ini; tak dapat
kuceritakan betapa senang hatiku malam ini, melainkan
Tuhanlah yang lebih mengetahuinya. Telah lama kucita-citakan
pertemuan yang sedemikian in i; baru sekarang kuperoleh,
sebagai kata pantun komidi:
Tinggi-tinggi si matahari,
akan kerbau terlambat. Sekian lama aku mencari, baru sekarang aku mendapat.
Sungguhpun kebesaran dan k esenangan hatiku ini takkan
seberapa lama, tetapi tak menga pa, karena sekarang kuketahuilah
sudah, bahwa engkau pun cinta ke padaku. Kini tiadalah syak dan
wasangka lagi aku akan meninggalkan kota Padang ini, untuk
menjelang negeri orang, Nurbaya!" kata Samsu pula, sambil
memeluk Nurbaya. "Malam inilah malam yang sangat penting
bagiku dan bagi kehidupanku di kemudian hari, karena pada
malam inilah aku mendapat cinta hatiku dan jodohku yang
kurindukan siang dan malam. Selagi ada hayatku dikandung
badan, tiadalah akan lupa aku kepada malam ini, yaitu malam
yang memberi harapan yang baik bagiku, kepada waktu yang
akan datang. Itu saksiku, Nur," kata Samsu, seraya menunjuk
bulan dan bintang yang di atas langit, "tiadalah aku akan men-cintai perempuan lain, melainkan engkau seorang. Tiada lain
perempuan yang akan menjadi istriku hanya engkaulah.
Engkaulah harapanku, engkaulah mestika yang mendatangkan
kesenangan dan kesentosaan atas diriku. Bila tiada engkau,
haramlah bagiku perempuan lain," lalu diciumnya pula Nurbaya.
"Aku pun demikian pula, Sam" jawab Nurbaya. "Tuhan
saksiku, tak ada laki-laki di alam ini yang kucintai lain daripada
engkau. Engkaulah suamiku dunia akhirat."
"Sekarang baiklah engkau masuk ke dalam rumahmu, supaya
jangan diketahui orang rahasia ini," kata Samsu, seraya berjalan
berpimpin-pimpinan mengantarkan Nurbaya sampai ke tangga
rumahnya. Tatkala pintu rumah telah dibukakan, yakni setelah
kedua asyik masyuk itu berjabat salam yang amat akrab,
masuklah Nurbaya, dan Samsu pun pulanglah kembali ke
rumahnya. *** Tiada jauh dari kota Padang, arah ke sebelah selatan, adalah
sebuah pelabuhan yang dinamakan anak negeri Teluk Bayur.
Pelabu han ini masyhur namanya ke negeri yang lain-lain;
pertama karena selalu disinggahi kapal-kapal besar, yang pulang-pergi ke benua Eropah, sebab le taknya di jalan antara Tanah
Jawa, Hindustan, Arab dan benua Eropah. Kedua karena di
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pelabuhan itu dapat mengambil batubara, yang asalnya dari
Ombilin. Tambahan pula pelabuhan ini memang sangat baik
bangunnya. Memanjang dari bara t ke timur, kemudian memutar
ke utara, tersembunyilah di balik suatu tanjung dan sebuah pulau
pasir, sehingga terlindung dari gelombang besar-besar, yang
terlebih-lebih pada musim barat sangat hebatnya. Oleh sebab itu
lautan dalam teluk ini sangat tenang, tiada mendatangkan susah
kepada kapal-kapal ya ng berlabuh di sana. Dan oleh sebab pantai
di sana curam, karena bergunung-gunung, yang memagari
pelabuhan ini. di pihak utara, timur dan selatan air lautan di sana
dalam, sehingga dapat mas uk kapal yang besar-besar, yang
mudah dapat ke tepi, pada beberapa pangkalan yang menganjur
ke laut. Pada sebelah utara dan barat pelabuhan ini, kelihatan di
belakang pangkalan-pa ngkalan tadi beberapa gudang tempat
menyimpan barang-barang yang datang atau yang akan dikirim
ke mana-mana. Dekat gudang-gudang ini adalah setasiun kereta
api, yang memperhubungkan pela buhan Teluk Bayur dengan
kota Padang. Jalan raya pun ada pula antara kedua tempat itu,
untuk kendaraan yang lain-lain. Tiada jauh dari setasiun tadi,
kelihatan gudang batu bara yang amat besar, diperbuat pada
suatu tempat yang tinggi. Dari gudang ini adalah sebuah
jembatan kereta api yang tinggi, te mpat daripada besi, menganjur
ke laut. Kapal yang hendak dimua ti batu bara, berlabuh di bawah
jembatan itu; dengan demikian m udahlah dapat dicurahkan batu
bara yang ada dalam gerobak kereta api itu, langsung ke kapal.
Kelengkapan inilah yang menambahkan indah dan masyhur
nama pelabuhan ini ke negeri lain-lain, sebagai pelabuhan
tempat mengambil batu bara.
Pada keesokan harinya daripada malam Samsu bersuka-sukaan di rumahnya, karena hendak berpisah dari sahabat
kenalannya, kelihatan beberapa kapal berlabuh di pelabuhan tadi.
Ada yang hendak berlayar ke selatan, ada yang hendak ke utara
dan ada pula yang hendak terus ke Bombai, Kalkuta, Mesir dan
benua Eropa. Kemudian kelihatan pula kapal Cina dan Jepun,
yang hendak kembali ke negerinya, melalui pulau Pinang dan
Singapura. Kapal Inggris dan Jerman pun ada, nyata kelihatan
pada benderanya, yang berkibar di atas tiang. Sebuah daripada
kapal-kapal itu, ialah kapal yang hendak ditumpangi Samsu dan
sahabat-sahabatnya, berlayar ke Jakarta.
Oleh sebab kapal ini hendak bertolak pukul dua belas siang
dan daripada waktu itu tela h pukul sepuluh, sangatlah ramai
dekat kapal ini; riuh rendah pende ngaran, tiada keruan. Ada yang
memuat batu bara, ada yang mengeluarkan barang-barang, ada
yang membongkar muatan dan ada pula yang naik-turun berlari-lari, sebagai ada sesuatu yang ketinggalan.
Di atas kapal, kelasi-kelasi sedang asyik mengerjakan
pekerjaan masing-masing dan mualim-mualim sedang ribut
memerintah ini dan itu. Beberapa penumpang geladak mencari
tempat yang baik dan mengatur bawa-bawaannya. Penumpang
kelas dua dan kelas satu, ada yang duduk bercakap-cakap di
meja makan, ada pula yang berdiri di beranda kapal, melihat
sekalian ingar bingar itu. Ora ng yang berdagang buah-buahan
dan makan-makanan pun tak kuran g, berjalan kian kemari,
sambil menawarkan dan menghargakan jualannya.
Pangkalan penuh dengan beratus-ratus laki-laki perempuan,
baik bangsa anak negeri, baik bangsa asing yang akan turut
berlayar atau mengantarkan sanak saudara, sahabat kenalannya.
Ada yang duduk berkata-kata, ada yang berdiri berpayung,
karena kepanasan dan ada pula yang berjalan bolak-balik,
sebagai jemu menunggu. Di sisi gudang bercakap-cakap seorang perempuan tua
dengan anaknya yang rupanya hendak berlayar, sambil memberi
nasihat, supaya anaknya berhati-hati di jalan dan di negeri orang.
Di atas batu duduk seorang laki-laki tua bertutur-tutur dengan
saudaranya, yang rupanya pun hendak meninggalkan tanah
airnya, berlayar mencari penghidupan di rantau orang. Yang
sekedar datang melihat saja pun tiada kurang pula, tertawa gelak-gelak serta bertanya kepada tema nnya; bilakah ia akan berlayar
pula. Di dalam orang yang banyak itu tiadalah kelihatan oleh kita
sahabat kita Samsulbahri, karena ia waktu itu ada di dalam bilik
kelas dua, sedang berkumpul-kumpul dengan ibu-bapak, sanak
saudara dan saha bat kenalannya.
"Tak kelupaan apa-apa engkau Sam"" tanya Sutan Mahmud.
"Tidak, Ayah," sahut Samsu.
"Petimu di mana"" tanya Sutan Mahmud pula.
"Ada di sini sekaliannya."
"Dan uang belanjamu, sudahka h disimpan dalam peti""
"Ada pada hamba."
"Ingat-ingat engkau di negeri orang, Samsu!" kata ibunya.
"Tahu-tahu membawakan diri: mandi di hilir-hilir, berkata di
bawah-bawah. Janganlah disamakan saja dengan di sini;
janganlah disangka masih anak orang berpangkat juga di sana,
sebab engkau akan berdiri sendiri lagi, jauh daripada kami,
sekalian. Bila ada apa-apa, lekasl ah tulis surat kepada Ayahmu!"
lalu Sitti Maryam menyapu air matanya, yang berlinang-linang
di pipinya. "Belajar sungguh-sungguh, jangan suka beriang-riang tiada
pada tempat dan waktunya; jangan bercampur dengan orang
yang kurang baik, dan jangan pula berbelanja yang tiada keruan,
supaya cukup uang yang akan dikirimkan kepadamu tiap-tiap
bulan," kata ayahnya pula.
Tatkala itu Nurbaya ada berdiri dekat Samsu, bersandar di
pinggir tempat tidur. Walaupun rupanya ia tiada mengindahkan
segala percakapan itu, tetapi pikirannya kepada Samsu saja dan
dipandangnya kekasihnya ini dengan tiada putus-putusnya. Pada
waktu itulah sangat terasa olehnya keberatan perceraian ini.
Sebelum ia berdiri di pinggir laut, yang akan memisahkannya
daripada kekasih dan saudaranya ini, pada sangkanya tentulah
mudah dapat dilipurnya kesedihan perceraian itu. Akan tetapi
tatkala dilihatnya kapal yang akan membawa jantung hatinya,
jauh daripadanya, barulah dirasainya, bahwa perceraian itu tentu
akan melukai hatinya dengan luka yang parah. Berdebar
jantungnya, jika diingatnya sejurus lagi cahaya matanya ini akan
luput dari pemandangannya, bukan untuk sehari dua hari ataupun
sepekan dua pekan. Entah beberapa tahun lagi, baru dapat pula ia
melihat wajah Samsu tiadalah dapat ditentukan. Dan apabila
teringat olehnya mimpi Samsu yang dahsyat itu, bertambah-tambahlah bimbang dan susah hatinya. Itulah sebabnya selalu
dipandangnya Samsu dan dipuas-puaskannya hatinya melihat
teman sekolah yang dicintainya ini.
Tatkala itu masuklah beberapa orang membawa hadiah buah-buahan sebagai mangga, jeruk dan ne nas, lalu berkata, "Inilah
yang dapat kami berikan kepa da Engku Muda, obat mabuk di
jalan. Kami pohonkan kepada Allah supaya mudah-mudahan
Engku Muda selamat pulang pergi."
"Terima kasih," jawab Samsu, sambil menerima pemberian
itu. "Hamba pun berharap, Adik dan Kakak yang tinggal,
sekaliannya dipeliharakan Tuhan selama-lamanya."
Setelah berjabat salam, keluarlah mereka sekalian, sehingga
akhirnya tinggallah Samsu ber dua dengan Nurbaya. Maka di-pandanglah oleh Samsu muka kek asihnya ini, serta dipegangnya
kedua belah tangannya, sedang air matanya bercucuran keluar,
dengan tiada dirasainya. Lama ia berdiri sedemikian itu dengan
tiada dapat berkata-kata, kare na dadanya bagaikan penuh dan
mulutnya bagai terkunci. Akhirnya keluarlah juga suaranya
walaupun terhenti-henti. "Nurbaya!" katanya. "Ingat-ingat menjaga diri! ... Jika ada
apa-apa, lekas tulis surat ke padaku ... Meskipun tak dapat aku
tolong engkau dengan tenaga ataupun dengan uang, barangkali
dapat juga dengan nasihat. Mungkin dapat pula kuberi ingat
engkau dan kuberi pelaja ran dari jauh. Orang tuaku, janganlah
kauperbedakan dengan orang tuamu dan datanglah kerap-kerap
ke sana, melihat-lihati mereka, walaupun aku tak ada lagi.
Barang apa kesusahanmu, katakanlah pula kepadanya, karena
mereka itu pun sayang kepadamu, sebagai kepadaku.
Bila ada sesuatu hal dalam rumah orang tuaku, kabarkanlah
dengan segera kepadaku, lebih-lebih tentang hal-ihwal ibuku,
karena rupanya ia sangat berdukacita atas perceraian ini.
Kemudian kupinta kepadamu, janga nlah engkau lupa akan janji
dan sumpah kita tadi malam, karena sejak waktu itu bati
nnya telah kawinlah kita; engkau telah suka menjadi istriku, aku pun
telah suka pula menjadi suamimu. Hanya menurut syarat dunia-lah, belum lagi kita berhubung . Tulislah surat kepadaku tiap-tiap
kapal bertolak dari sini dan ceritakanlah hal-hal di sini kepadaku,
supaya aku jangan sangat canggung.
Apabila aku telah sampai kelak ke Jakarta, kukirimkanlah
kepadamu apa-apa yang dapat kubelikan untuk engkau. Sekarang
inilah saja yang dapat kuberikan kepadamu sebagai tanda mata.
Terimalah olehmu dokoh ini! Di dalamnya ada gambarku. Bila
engkau tercinta akan daku, li hatlah gambar itu; itulah ganti
diriku." Nurbaya menerima tanda mata Samsu itu lalu diciumnya,
sedang air matanya jatuh bercucuran. "Aku banyak minta terima
kasih kepadamu, Sam," jawab Nurb aya, "dan aku berjanji akan
memakai dokoh ini seumur hidupku. Akan jadi tanda mata
daripadaku, tiadalah lain yang dapat kuberikan kepadamu, hanya
cincin inilah. Moga-moga sudi engkau memakainya!" lalu
Nurbaya menanggalkan cincin mutiara yang dipakainya pada jari
manisnya dan memberikan cincin itu kepada Samsu, seraya ber-kata, "Engkau pun, jika teringat ke padaku, misalkanlah cincin ini
diriku dan simpanlah ia baik-baik, karena bagiku itulah tali yang
mengikat kita dari dunia sampai ke akhirat. Dengan segera akan
kusuruh perbuat potretku supa ya dapat kukirimkan kelak
kepadamu. Aku pun mengucapkan selamat jalan.kepadamu. Moga-moga
dipeliharakan Tuhan engkau dala m perjalananmu ke negeri
orang, pulang balik, dan sampailah juga maksud yang kautujui,
supaya, apabila engkau telah ada pula di sini, bukannya Samsu
saja lagi namamu, melainkan dapatlah kupanggil engkau dokter
Samsu. Ingat-ingatlah menjaga diri di negeri orang, karena sekarang
engkau akan berdiri sendiri, jauh daripada ibu-bapak dan handai
tolanmu, sehingga barang sesuatu, engkau sendirilah yang akan
memutuskannya. Dan janganlah sampai tergoda oleh segala yang
tak baik, karena Jakarta negeri besar, banyak godaan yang tak
patut di sana." Tatkala itu berbunyilah seruling kapal yang pertama, meng-ingatkan kepada orang-orang kapal ataupun penumpang, supaya
bersiap, karena kapal akan be rangkat. Maka keluarlah Samsu
dengan Nurbaya dari dalam kamar kapal, lalu turun ke
pangkalan. Di sana bersalamlah ia dengan sekalian orang yang
mengantarkan, serta meminta maaf dan ampun atas segala dosa
dan kesalahannya, lahir dan batin, yang boleh memberati dunia
dan akhirat. Sekalian mereka menangis mencucurkan air mata, karena
hampir sekaliannya sayang, kepada Samsu, sebab adat dan
kelakuannya yang baik. Samsu pun tak dapat pula menahan air
matanya, walaupun digagahinya dirinya. Ayahnya diciumnya
tangannya, dan ibunya dipeluk dan diciumnya pipinya.
Akhirnya pergilah ia kepada Nurbaya, lalu dipegangnya
tangan gadis ini beberapa lamany a, sebagai tak hendak dilepas-kannya. Dadanya rasakan sesak menahan kesedihan yang timbul
dalam hatinya karena perceraian ini, sehingga tiadalah dapat ia
berkata-kata lain daripada, "Selamat tinggal, Nur!... Mudah-mudahan lekas bertemu kembali," lalu berjalanlah ia cepat-cepat
naik ke kapal. Nurbaya pun tiada pula dapat menjawab apa-apa melainkan,
"Selamat jalan, Sam! ... selamat sampai ke Jakarta!"
Setelah naiklah Samsu ke atas kapal, lalu berdirilah ia ber-topang dagu pada pagar besi ya ng ada di sisi geladak kapal,
karena pada waktu itu seruling yang kedua telah berbunyi pula.
Dan tiadalah lama kemudian daripada itu berbunyilah seruling
yang ketiga, lalu dilepaskanlah tali-temali dan diangkatlah
jangkar. Tatkala baling-baling kapal tela h berputar, bergeraklah kapal
itu; mula-mula perlahan-lahan, tetapi kemudian bertambah-tambah cepat, sehingga kapal itu makin lama makin jauhlah dari
pangkalan. Setangan berkibaran di sisi kapal, tanda yang pergi
memberi selamat kepada yang tinggal. Dari pangkalan dibalas
oleh yang tinggal dengan mengibarkan setangan pula memberi
selamat jalan kepada yang pergi. Di antara orang-orang ini ada
yang masih berteriak, "Jangan lupa!" ada pula yang berkata,
"Lekas balik!" Dari kapal pun dibalas dengan jawaban,
"Baiklah!" Samsu tiada lepas-lepas memandang Nu
rbaya sambil mengibarkan setangan sutera birunya dan dari daratan tiada pula
putus-putusnya dibalas alamat itu oleh Nurbaya, dengan
setangan merah jambunya. Makin lama kapal makin jauh dari cerocok dan jalannya pun
bertambah cepat. Akhimya tiadalah dapat dibedakan lagi oleh
Samsu orang-orang yang berdiri di pangkalan, lalu masuklah ia
ke biliknya, tidur berselimut, karena tiada dapat lagi dipandang-nya tanah airnya yang akan ditinggalkannya. Dadanya ditekan-nya ke bantal, sebagai hendak menahan sakit yang menyesak ke
hulu jantungnya, dan kepalanya pusing, seperti orang mabuk
cendawan. Tatkala Nurbaya tiada dapat lagi membedakan kekasihnya,
daripada orang lain, di atas kapal, berjalanlah ia perlahan-lahan
ke ujung suatu tanjung, akan mengikuti kapal itu dengan mata-nya. Makin lama makin sunyilah rasanya padanya alam ini.
Sekalian tempik sorak orang ya ng bekerja di pelabuhan dan
segala bunyi perkakas pembongkar, penaikan dan pembawa
barang-barang, yang masih riuh rendah, pada pendengaran
Nurbaya makin lama makin jauh. Orang yang berpuluh-puluh
banyaknya, berjalan pulang kembali ke muka hanggar, menjadi
kecil-kecil pada pemandangannya. Akhirnya terduduklah ia di
atas batu, lalti bertopang dagu memandang kapal yang membawa
kekasihnya, yang keluar dari kuala.
Tatkala berbunyi meriam yang dipasang di kapal, akan
memberi selamat tinggal kepada pelabuhan Teluk Bayur,
baharulah nyata oleh Nurbaya, bahwa kapal itu telah membelok
menuju ke barat. Di sanalah teringat olehnya, bagaimanakah
halnya kelak, seorang diri di rumahnya. Dengan siapakah ia akan
bercakap-cakap dan bermain- main lagi, waktu dan pulang
sekolah" Bila ada sesuatu halnya, kepada siapakah hendak
dikatakannya" Siapakah tempat ia membukakan rahasia hatinya,
siapakah tempat ia bertanya dan bermupakat dalam halnya yang
sulit-sulit, siapakah yang akan menolongnya lagi, bila ia di
sekolah beroleh hitungan yang sukar"
Demikian ingatan yang timbul dalam hati Nurbaya, tatkala ia
duduk termenung seorang diri di atas batu, walaupun matanya
selalu memandang ke kapal yang hampir lenyap itu.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu, hilanglah kapal ini
daripada pemandangan Nurbaya, hilang di balik Bukit Sikabau.
Hanya asapnyalah yang masih tinggal tergantung di udara, di
atas air laut. Tatkala itu hilanglah pula segala penglihatan dan
pendengaran.Nurbaya, sebagai lulus tempatnya berpijak dan ter-gantung badannya di awang-awangan. Apabila tak ada ayahnya
dekat padanya, yang memegang bahunya perlahan-lahan dari
belakang, pastilah ia jatuh rebah ke tanah, karena tak ingatkan
dirinya lagi. Untunglah Baginda Sulaiman lekas datang
menolong anaknya, lalu diangkatnya, dipimpinnya berjalan
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perlahan-lahan pulang kembali.
VI. DATUK MERINGGIH Di kampung Ranah, di kota Pa dang adalah sebuah rumah kayu,
beratapan seng. Letaknya jauh dari jalan besar, dalam kebun
yang luas, tersembunyi di bawah pohon-pohon kayu yang
rindang. Jika ditilik pada alat perkakas rumah ini dan susunan-nya, nyatalah rumah ini suatu rumah yang tiada dipelihara benar-benar, karena sekalian yang ada dalamnya telah tua kotor dan
tempatnya tiada teratur dengan baik.
Di serambi muka hanya ada sebuah lampu gantung macam
lama, yang telah berkarat besi-besinya. Apabila tak ada orang
datang, lampu itu tiada dipasang. Dan oleh sebab yang empunya
rumah rupanya jarang menerima jamu pada malam hari di sana,
minyak tanah yang ada dalam lampu itu, terkadang-kadang
berpekan-pekan belum habis.
Di bawah lampu ini, ada meja bundar, yang rupanya telah
sangat tua, dikelilingi oleh empa t kursi goyang dari kayu, yang
warnanya hampir tak kelihatan lagi, karena catnya telah hilang.
Di ruang tengah, hanya ada sebuah lemari makan, yang umurnya
kira-kira setengah abad. Sebuah meja marmar kecil, yang batunya telah kuning serta
berlubang-lubang, terletak dekat dinding, diapit oleh dua buah
kursi kayu yang tempat duduknya dari kulit kambing, sedang di
lantai terhampar tikar rotan yang telah tua. Ruang tengah ini
pada malam hari diterangi ol eh sebuah lampu dinding, yang
dipasang dari setengah tujuh sampai pukul sepuluh malam. Di
serambi belakang, hanya ada suatu perhiasan saja, yaitu kursi
malas kain, yang tak kelihatan lagi coraknya.
Itulah rumah Datuk Meringgih, saudagar yang termasyhur
kaya di Padang. Ia bergelar Datuk bukanlah karena ia Penghulu
adat, melainkan panggilan saja baginya. Walaupun rumahnya ini
katanya sekadar tempat bendi, ke reta dan kuda dengan kusirnya,
tetapi memang itulah rumahnya yang sesungguh-sungguhnya;
karena di sanalah ia tetap tinggal, sedang sebuah daripada
tokonya, yang dikatakannya rumahnya yang sebenar-benarnya,
dipakainya hanya untuk menyambut kedatangan sahabat kenalan
saja. Malukah Datuk Meringgih mengaku rumahnya di Ranah itu
tempat kediamannya yang sejati" Barangkali jawab pertanyaan
ini akan bertemu juga nanti. Tatkala cerita ini terjadi, Datuk
Meringgih kelihatan duduk di serambi belakang rumahnya yang
di Ranah itu, di atas kursi malas tadi.
Sebelum diceritakan kekayaannya, baiklah digambarkan
dahulu bentuk dan bangun badann ya dan diterangkan pula tabiat
dan kelakuannya, supaya kenal bena r kita akan dia dan tiada lupa
lagi, apabila ia kelak berulang-ulang bertemu dalam hikayat ini.
Badannya kurus tinggi, punggungnya bungkuk udang,
dadanya cekung, serta kakinya pengkar, kepalanya besar, tetapi
tipis di muka, serta sulah pula. Rambutnya yang tinggal sedikit
sekeliling kepalanya itu, telah putih sebagai kapas dibusur. Misai
dan janggutnya panjang, tetapi hanya beberapa helai saja, ter-gantung pada dagu dan ujung bi birnya, melengkung ke bawah.
Umurnya lebih dari setengah abad. Matanya kecil, tetapi tajam,
hidungnya bungkuk, mulutnya b esar, giginya hitam dan kotor,
yang di muka keluar sebagai gigi tupai. Telinganya besar, seperti
telinga gajah, kulit mukanya berkarut marut dan penuh dengan
bekas penyakit cacar. Menurut gambar yang terlukis di atas, nyatalah Datuk
Meringgih ini bukan seorang yang masih muda remaja dan
bersikap tampan, melainkan seorang tua renta yang buruk.
Sekarang marilah kita ceritakan adat dan tabiatnya, kalau-kalau
berpadanan dengan rupanya.
Saudagar ini adalah seorang yang bakhil, loba dan tamak,
tiada pengasih dan penyayang, serta bengis kasar budi
pekertinya. Asal ia akan beroleh uang, asal akan sampai
maksudnya, tiadalah diindahkannya barang sesuatu, tiadalah
ditakutinya barang apa pun dan tiadalah ia pandang-memandang.
Terbujur lalu, terbelintang patah, katanya.
Apabila ia hendak mengeluarka n uangnya, walau sesen sekali
pun, dibalik-balik dan ditungkuptelentangkannya duit itu be-berapa kali; karena sangat sayang ia akan bercerai dengan mata
uangnya itu. Ditimbangnya benar-benar, sungguhkah perlu uang itu
dibelanjakan atau tidak dan tak adakah jalan lain yang akan
dapat menyampaikan maksudnya , dengan tiada mengeluarkan
uang atau dengan mengeluarkan belanja yang sedikit.
Dicekiknya lehernya, diikatnya perutnya, ditahannya nafsu-nya, asal jangan keluar uangnya. Jika ia makan nasi, hanya
dengan sambal lada atau ikan kering saja yang disimpannya
sampai beberapa hari. Lauk-pauk ini padalah baginya, karena
sangkanya dapur yang berasap setiap hari, tiada berguna dan
banyak mengeluarkan biaya. Makanan dimakan, sedapnya
sehingga leher sudah itu jadi kotoran.
Rumahnya sebagai kandang kambing dan pakaiannya yang
seperti pakaian kuli itu, tiada mengapa baginya, asal jangan
keluar duitnya, untuk sekaliannya itu. "Di luar dibersih-bersih-kan, sedang di dalam perut sendiri tiada terhingga kotornya,"
demikianlah katanya. Ditulikannya telinganya atas segala maki, nista, dan cacat
orang kepadanya, dibutakannya matanya kepada sekalian
penglihatan yang menyeda pkan pemandangan asal uangnya
jangan keluar. Tiada lain kesukaan yang diketahuinya, melainkan memandang peti hartanya, menghitung mata uang dan
meraba uang kertasnya. Diguncangnya peti uangnya, akan mendengar bunyi uang
yang ada dalamnya dan ditimang-timangnya tabungnya untuk
mengetahui beratnya. Berjam-jam lamanya ia dapat bermain-main dengan hartanya itu dan berhari-hari lamanya ia dapat ber-main-main dengan hartanya itu dan berhari-hari lamanya ia dapat
menghitung uangnya itu, dan di dalam hal yang sedemikian,
lupalah ia akan dunia in i dan akan dirinya sendiri.
Berapi matanya, kembang hidu pnya, kuncup telinganya, ter-nganga mulutnya, gemetar tangannya dan busung badannya, bila
dilihatnya cahaya uang mas dan uang perak yang berkilat-kilatan
atau didengarnya bunyi logam ini mendering. Diambilnya mata
uang itu sebiji-sebiji, lalu diperhatikan dan diamat-amatinya
capnya gerigi pinggirnya, gambarnya dan tulisannya. Gambar
pada uang itu rupanya baginya terlebih indah daripada lukisan
buah tangan pelukis yang masyhur-masyhur. Bunyi uang itu
terlebih merdu didengarnya dari pada lagu yang indah-indah yang
dimainkan oleh ahli musik. Oleh sebab itu kerap kali dipermain-mainkannya hartanya itu dan dibawanya tidur bersama-sama
untuk mendapat mimpi yang menyenangkan hatinya.
Harapan, ingatan, dan niatnya, siang malam, petang dan pagi,
tiada lain, melainkan akan menambah harta bendanya yang telah
banyak itu, tiada berkeputusan dan tiada berhingga. Sekalian
kekayaan dunia ini hendaknya ja nganlah jatuh pada orang lain,
melainkan pada dirinya sendiri sebelumnya. Itu pun agaknya
belum juga puas hatinya. Makmurlah kehidupannya, bila tubuh-nya tertutup dalam timbungan mata benda itu. Takut ia sakit dan
mati, karena tiada dapat bercerai dengan harta dania ini.
Padanya tak ada lagi kesenangan yang lain daripada uang;
sekaliannya uang, uang dan sekali la gi uang. Ibu-bapa, anak-istri,
sanak saudara, sahabat kenalana n, handai tolan, dan pelipur
laranya, tiadalah lain daripada uang. Uang itulah kekasilmya,
uang itulah Tuhannya. "Hidup de ngan uang, mati dengan uang,"
katanya. Tiada ia hendak bercerai barang sekejap pun dengan
uangnya. Uang baginya bukan alat untuk memperoleh
kesenangan, tetapi ua ng itulah kesenangan.
Untuk memperoleh harta benda itu, tiada ia ngeri akan
perbuatan yang kejam dan jahat, tiada ia malu akan kelakuan
yang keji dan hina. Tiada ia pandang-memandang, tilik-menilik,
segan-menyegani; tiada ibu-bapa, tiada adik tiada kakak, tiada
sahabat tiada kenalan, tiada ti nggi tiada rendah dan tiada hina
tiada mulia baginya, untuk menc apai keinginannya yang rendah
ini. Tiada ia menaruh takut, tia da menaruh ngeri, tiada menaruh
kasihan, tiada menaruh sedih. Yang mulia dihinakannya, yang
kaya dimiskinkannya, yang berpangkat dijatuhkannya. Hamba
itu diletakkannya di atas singgasana dan anjing itu diangkatnya
ke puncak Gunung Merapi. Terbuj ur lalu, terbelintang patah,
lamun uang harus diperolehnya.
Demikianlah Datuk Meringgih, saudagar yang termasyhur
kaya di Padang itu. Ia kaya dan beringin hendak bertambah kaya
itulah, artinya karena hendak mempunyai harta. Bukan kekayaan
itu yang dimintanya hanya itulah yang dikehendakinya.
Hai Datuk Meringgih! Apakah paedahnya kekayaan yang
sedemikian bagimu dan bagi sesamarnu" Engkau dilahirkan dari
perut ibumu dengan tiada membawa suatu apa, dan apabila
engkau kelak meninggalkan dunia yang fana ini, karena maut itu
tak dapat kauhindarkan, walaupun hartamu sebanyak harta raja
Karun sekalipun tiadalah lain yang akan engkau bawa ke tempat
kediamanmu yang baka itu, melainkan selembar kain putih yang
cukup untuk menutup badanmu jua.
Semasa engkau masih hidup, berlelah-lelah engkau
mengumpulkan harta benda dengan tiada jemu jemunya. Berapa
kesusahan dan kesakitan yang kaurasai, berapa azab dan
sengsara yang kauderita, berapa umpat dan sumpah yang
kautanggung, berapa ma ki dan nista yang kaudengar, akan tetapi,
bila engkau kelak ber pulang ke rahmatullah, akan tinggallah dan
berbagi-bagilah kembali hartamu itu kepada yang masih hidup.
Harta dunia dan harta akhirat itula h yang dapat kau bawa pulang
ke negeri yang baka dan me nolong engkau dalam perjalananmu
ke sana dan kehidupanmu yang kekal di sana kelak.
Semasa hidupmu, engkau rebut harta itu dari tangan orang
lain, bila engkau telah mati niscaya jatuhlah kembali harta itu ke
tangan orang lain itu. lnilah ya ng dikatakan pepatah; adat dunia
Perawan Lembah Wilis 1 Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo Suling Pusaka Kumala 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama