Ceritasilat Novel Online

Suling Pusaka Kumala 8

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 8 Eng-ji terbatuk-batuk karena tadi menahan napas ketika keluar dari kamar yang penuh asap itu. "Ia berada dalam kamar. Tadi kami berdua berada di dalam kamar ketika tibatiba ada yang melemparkan benda meledak di dalam kamar yang mengeluarkan asap tebal." kata Eng-ji bukan tanpa rasa cemburu karena Han Lin tampaknya demikian mengkhawatirkan Kiok Hwa. Mendengar ini, Han Lin menahan napas dan melompat ke dalam kamar yang masih penuh dengan asap itu. Dia melepaskan bajunya dan menggunakan tenaga sin-kang untuk me-ngebut-ngebut sehingga asap membubung keluar dari jendela dan pintu. Setelah sap menipis, dan dia dapat melihat, ternyata Kiok Hwa tidak berada dalam kamar itu! Eng-ji juga memasuki kamar dan dia pun merasa heran tidak dapat menemukan Kiok Hwa. Ketika dia melihat pandang mata Han Lin kepadanya, dia berkata, "Tadi enci Kiok Hwa masih berada di sini!" Jilid XIV PARA PENGHUNI kamar losmen yang lain bubaran setelah ternyata tidak terjadi apa-apa, meninggalkan Han lin dan Engji yang masih berada di kamar itu. "Ke mana perginya Kiok-moi?" tanya Han Lin kepada diri sendiri dan dia memeriksa keadaan kamar itu dengan teliti. Buntalan pakaian Kiok Hwa masih berada di kamar itu. Akan tetapi dia melihat bangku yang pecah menjadi dua potong bekas terbabat pedang dan dia memeriksa bangku itu. "Agaknya terjadi penyerangan di sini." katanya dan Eng-ji diam saja karena bangku itu tadi dia yang membacoknya sehingga menjadi pecah. "Jangan-jangan enci Kiok Hwa telah berlari keluar melalui jendela." katanya penuh harap. "Ah, lihatlah ini!" Han Lin menghampiri dinding di mana tertancap sebatang belati. dan terdapat sehelai kertas berisi tulisan di pisau itu. Han Lin mencabut pisau itu dan melemparkan pisau ke atas meja setelah mengambil suratnya. Kertas itu mengandung tulisan yang singkat. "Kalau ingin gadis itu dibebaskan, antarkan Im-yang-kiam ke Bukit Perahu." "Jahanam!" Han Lin mengepal tinjunya. "Thian-te Sam-ok keparat!" Eng-ji mengambil surat itu dari tangan Han Lin dan membacanya. "Hemm, tentu Sam Ok yang telah menawan enci Kiok Hwa dan membawanya ke sarang Pek-lian-kauw. Sayang tadi keadaannya gelap sekali sehingga aku tidak dapat melihat apa-apa. Akan tetapi aku telah berhasil memukul roboh seorang di antara mereka. Pukulanku itui keras sekali, aku yakin orang yang kupukul tentu akan mampus!" "Keparat Toa Ok!" kembali Han Lin memaki. "Agaknya dia masih belum mau berhenti sebelum mendapatkan Im-yangkiam. Berkali-kali dia mengajak teman-temannya untuk menyerangku dan merampas Im-yang-kiam dan sekarang dia menggunakan cara yang amat curang, menculik Kiok-moi." "Sekarang apa yang akan kaulakukan, Lin-ko?" "Tentu saja menyusul ke Bukit Perahu! Bukan hanya untuk membebaskan Kiok-moi, akan tetapi juga untuk membebaskan ibuku." "Akan tetapi sekarang mereka telah mengetahui bahwa kita akan datang. Tentu mereka telah bersiap-siap dan keadaan itu berbahaya sekali, Lin-ko. Mereka itu kuat sekali, apalagi ditambah dengan para tosu Pek-lian-kauw." "Aku tidak takut!" kata Han Lin. "Aku juga tidak takut. Akan tetapi yang penting adalah bagaimana membebaskan enci Kiok Hwa -dan ibumu agar tidak sampai gagal." "Toa Ok menghendaki Im-yang-kiam. Kalau perlu aku akan menukar Im-yang-kiam dengan pembebasan Kiok-moi dan ibuku." "Aku masih khawatir, Lin-ko. Mereka itu adalah datuk-datuk sesat yang curang dan licik. Aku khawatir mereka akan menggunakan kecurangan untuk menjebak kita." "Aku harus berani menghadapi resika itu, Eng-ji. Kalau engkau khawatir, sudalah jangan engkau ikut. Biar aku sendiri yang menghadapi bahaya. Aku merasa tidak enak sekali kalau engkau sampai tertimpa bahaya karena membantuku membebaskan Kiok-moi dan ibuku." kata Han Lin dengan suara bersungguh-sungguh. Eng-ji marah sekali. "Begitukah pendapatmu, Lin-ko" Engkau sama sekali tidak menghargai bantuan dan kesungguhan hatiku membantumu! Apa engkau hanya dapat menghargai enci Kiok Hwa saja?" Han Lin terkejut dan memandang tajam kepada Eng-ji. Dia tadi sudah menyalakan lilin di atas meja sehingga dapat menentang pandang mata Eng-ji dengatl jelas. Mata pemuda remaja itu tampak berapi-api, penuh kemarahan. "Apa.... apa maksudmu, Eng-ji?" Eng-ji membanting kaki kanannya keatas lantai. "Sudahlah, kalau engkau tidak suka melakukan perjalanan bersama-ku, biar aku seorang diri pergi ke Bukit Perahu untuk membebaskan enci Kiok Hwa!" Setelah berkata demikian Engji memutar tubuhnya dan bergegas kembali ke dalam kamarnya. Tak lama kemudian Han Lin menyusul memasuki kamar. Dia melihat Eng-ji sudah rebah miring menghadap ke dinding di atas pembaringan dan dia merasa menyesal sekali telah membuat marah sahabat baiknya yang selama ini ramah baik dan setia kepadanya itu. Dia duduk di tepi pembaringan dan menghela napas panjang. "Adik Eng-ji, aku minta maaf kepadamu. Bukan aku tidak menghargai bantuan mu, sama sekali tidak. Aku hanya mengkhawatirkan kalau akan terjadi apa-apa denganmu. Maafkan aku dan biarlah kita melakukan perjalanan bersama ke Bukit Perahu. Kalau mereka tidak mau membebaskan Kiokmoi dan ibuku, kita berdua akan mengobrak-abrik sarang mereka dan akan membasmi mereka!" Eng-ji membalikkan tubuhnya dan Han Lin merasa heran sekali melihat mata dan pipi pemuda remaja itu basah. Eng ji menangis! Sungguh sulit dia membayangkan hal ini. Pemuda yang demikian penuh keberanian, Jenaka cekatan nakal, Menangis! "Aku hanya ingin membantu, Lin-ko." katanya dengan suara parau. Han Lin merasa terharu. Pemuda remaja ini sungguh amat baik terhadap dirinya. Biarpun dia putera Suma Kiang yang dibencinya dan merupakan musuh besar ibunya, namun Eng-ji ternyata seorang pemuda yang baik hati dan gagah. Sungguh jauh bedanya dibandingkan ayahnya yang seperti manusia iblis itu. "Aku terima bantuanmu, adik Eng ji dan aku akan selalu berterima kasih dan bersukur atas bantuanmu yang amat berharga itu." Malam itu Han Lin tidak tidur melainkan duduk bersila dan bersamadhi di atas pembaringannya sendiri. Dia mencoba untuk menenteramkan hatinya yang penuh kegelisahan. Memikirkan ibunya saja dia sudah gelisah, kini ditambah lagi memikirkan keadaan Kiok Hwa yang menjadi tawanan Sam Ok yang amat jahat. Apa yang terjadi dengan Kiok Hwa" Ketika benda itu meledak di dalam kamarnya dan mengeluarkan asap hitam yang amat tebal sehingga ia tidak dapat melihat apa-apa, tibatiba saja ada angin nenyambar dari sampingnya. Kiok Hwa mencoba untuk mengelak, akan tetapi dari lain sisi menyambar pula jari tangan yang menotoknya. Ia terkena totokan dan tidak mampu bergerak lagi. Tubuhnya menjadi lemas dan ia tidak berdaya ketika tubuhnya dipondong orang dibawa meloncat keluar jendela. Selanjutnya ia dibawa lari dan di bawah sinar bulan ia melihat bahwa yang melarikannya ada tiga orang dan ternyata mereka adalah Thian-te Sam-ok! Yang menotok dan membawanya lari itu adalah Toa Ok sendiri. Ia dipanggul dalam keadaan lemas dan tidak mampu bergerak. Tanpa diberitahu Kiok Hwa maklum bahwa ia dilarikan ke Bukit Perahu, ke sarang Pek-lian-kauw yang mempunyai cabang di tempat itu. Mereka tiba pagi pagi sekali di perkampungan Pek-lian kauw di puncak Bukit Perahu. Kiok Hwa yang dipanggul itu memperhatikan saja tadi ia melihat betapa Sam Ok berada dalam keadaan terluka dalam. Wanita itu agak terhuyung dan mukanya pucat sekali Setelah tiba di pintu gerbang perkampungan itu, Toa Ok membebaskan Kiok Hwa dan membiarkan gadis itu berjalan sendiri. Kiok Hwa memperhatikan keadaan sekelilingnya. Perkampungan Pek-lian kauw itu dikelilingi dinding yang cukup tinggi dan memiliki pintu gerbang yan cukup besar. Di pintu gerbang terdapat belasan orang anggauta Pek-Iian-kau yang kepalanya di kat kain putih dan baju di dada mereka terdapat gambar bunga teratai putih. Juga tampak beberapa orang tosu berjubah lebar dengan baju dalamnya juga digambari teratai putih. Para penghuni perkampungan itu berbondong keluar dan Kiok Hwa menaksir bahwa jumlah para anggauta dan para tosu itu tidak kurang dari lima puluh orang banyaknya. Kedudukan mereka kuat juga, pikir Kiok Hwa dan ia mengkhawatirkan Han Lin. Ia tahu bahwa Han Lin tidak akan tinggal diam dan pasti akan menyusul ke tempat ini untuk membebaskannya dirinya juga membebaskan ibunya. Tiba-tiba ia melihat wanita itu! Wanita yang diaku sebagai ibu oleh Han Lin. Kiok Hwa memandang dengan penuh perhatian. Wanita tu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan wajahnya masih cantik, walaupun agak pucat dan kurang semangat. Pandang matanya kurang bergairah dan sinarnya aneh, kadang bersinar keras dan ganas. Mulutnya yang bentuknya manis dan ramah itu tidak pernah tersenyum. Kiok Hwa merasa kasihan sekali. Sebagai seorang ahli pengobatan yang pandai ia dapat menduga bahwa wanita itu tidak sehat keadaannya. Sebatang pedang beronce merah tergantung di punggung wanita. itu. Ia berjalan datang dan memandang kepada Kiok Hwa dengan tak acuh dan sambil lalu saja. Kemudian ia mendekati Ji Ok yang segera memegang tangan wanita itu. Dan Kiok Hwa melihat sesuatu yang amat luar biasa. Ia melihat betapa Ji Ok memandang wanita itu dengan sinar mata penuh kasih sayang dan semnyumnya kepada wanita itupun membayangkan kasih sayang! Melihat pandang mata dan sikapnya saja Kiok Hwa hampB merasa yakin bahwa Ji Ok amat mencinta wanita itu. Ia diajak masuk ke dalam sebuam bangunan yang besar. Tiga orang Sam Ok, wanita ibu Han Lin itu, dan dua orang tosu Pek-lian-kauw yang melihat sikap dan jubah mereka tentulah merupakan tokoh atau pimpinan di situ. Setelah tiba di dalam, Toa Ok berkata kepada Kiok Hwa. "Nona, engkau tahukah mengapa engkau kami tawan dan bawa ke sini?" "Aku selalu dibutuhkan di mana terdapat orang sakit yang terancam maut untuk mengobatinya." kata Kiok Hwa dengan sikap tenang, seolah-olah ia tidak sedang berada di sarang musuh yang berbahaya. Sam-ok saling pandang, demikian pula dua orang tosu yang menjadi ketua dan wakil ketua cabang Pek-lian-kauw. Ketua cabang Pek-lian-kauw di Bukit Perahu itu adalah seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi kurus dan berjuluk Lian Hoat Tosu. Adapun wakilnya, yang sedikit lebih muda darinya dan bertubuh pendek gendut, adalah Lian Bok Tosu. Ilmu kepandaian silat mereka cukup tinggi. Juga mereka berdua adalah ahli-ahli sihir dan memiliki senjata bahan peledak yang mengeluarkan asap tebal, bahkan ada peledak yang mengandung asap beracun sehingga berbahaya sekali. Anak buah mereka yang berjumlah lima puluh orang juga rata-rata memiliki ilmu silat aliran Pek-liankauw. Toa Ok tertawa mendengar ucapan Kiok Hwa itu. "Ha-haha, engkau terlalu membanggakan ilmumu mengobati orang, nona. Akan tetapi sekali ini engkau menjadi tawanan kami, menjadi sandera untuk memaksa pemuda itu datang menyerahkan Im-yang-kiam kepada kami. Kami tidak membutuhkan pengobatanmu karena tidak ada orang yang sakit di sini." Kiok Hwa dengan tenangnya tersenyum lalu menoleh kepada Sam Ok. "Sam Ok, apakah engkau merasa sehat-sehat saja?" Sam Ok terkejut dan mengerutkan alisnya. "Tentu saja aku sehat." "Aih, sungguh kasihan. Nyawa sudarara terancam maut masih merasa sehat. Coba engkau tekan Tiong-cu-hiat (jalan darah di belakang leher) perlahan saja kemudian tekan Kincenghiat (jalan darah di pundak kiri), dan engkau akan tahu bagaimana rasanya." Biarpun meragu dan alisnya berkerut tanda tak senang hati, namun tangan wanita itu lalu menekan jalan darah di belakang leher lalu di pundak kirinya. Dan ia menjerit lalu terpelanting roboh, mukanya pucat dan tubuhnya gemetaran menahan rasa nyeri. "Engkau menggunakan sihir!" bentak Toa Ok marah. Kiok Hwa tersenyum. "Siapa menggunakan sihir" Aku menggunakan ilmu pengobatanku dan aku tahu bahwa nyawa Sam Ok terancam bahaya maut karena ia telah mendapatkan pukulan beracun yang amat berbahaya." Sam Ok bangkit berdiri sambil menyeringai menahan nyeri. "Aku memang menerima pukulan di dalam kegelapan kamar yang penuh asap itu, dan aku sempat jatuh. Akan tetapi pukulan itu tidak keras dan kemudian tidak terasa apa-apa." Ia membantah. "Begitukah" Coba buka bajumu bagian pundak dan lihat pundak kirimu." kata Kiok Hwa. Sam Ok menyingkap bajunya dan semua orang melihat betapa pundak kiri yang berkulit putih itu kini telah menghitam dan ada tanda tiga buah jari tangan di pundak itu. "Pukulan beracun tiga jari tangan!" Kiok Hwa berseru. "Kalau aku tidak keliru, itulah pukulan beracun yang dinamakan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa)! Memang tidak terasa dan tidak keras, namun hawa beracun berbahaya sudah masuk ke tubuh melalui bagian yang terpukul dan kalau sudah menjalar sampai ke jantung biar dewa sekalipun tidak akan dapat menolong. Kalau tidak Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo percaya coba tekan tengah-tengah luka itu." Sam Ok menekan tengah-tengah tanda tiga jari tangan itu dengan ibu jarinya. Ia menjerit dan roboh pingsan! Toa Ok memandang Kiok Hwa dan berkata dengan suara mengandung ancaman. "Nona, cepat sembuhkan Sam Ok!" Kiok Hwa tersenyum. Sikapnya tenang sekali. "Toa Ok, selama aku mengobati orang sakit, tidak ada yang memaksaku dan tidak ada yang mengancamku. Akan tetapi tanpa diminta sekalipun aku akan mencoba untuk menolong orang yang sakit. Apakah engkau masih menganggap aku sebagai seorang tawanan?" Toa Ok sejenak menatap wajah gadis itu, kemudian wajahnya yang gagah dan tampan itu berseri, ia tersenyum dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada. "Nona, aku hampir lupa bahwa engkau adalah Pek I Yok Sian-li (Dewi Obat Baju Putih) yang dihormati oleh semua orang kang-ouw. Tidak, Sian-li, kami tidak berani menganggap engkau sebagai tawananku. Kami harap engkau suka menaruh kasihan kepada Sam Ok dan suka menolong keselamatan nyawanya." Kiok Hwa tersenyum manis. "Toa Ok, guruku mengajarkan kepadaku bahwa untuk mengobati orang, aku tidak harus melihat apakah orang itu kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dan baik atau jahat. Juga aku harus mengobatinya tanpa pamrih. Soal dapat sembuh atau tidak itu idalah berada dalam kekuasaan Thian. Kalau Thian menghendaki, tentu si sakit akan menjadi sembuh, akan tetapi sebaliknya kalau Thian menghendaki lain, biar dewa sekalipun tidak akan mampu menolongnya. Aku harus melihat dulu apakah keadaan Sam Ok sudah terlambat atau belum. Harap bawa ia ke dalam kamar dan rebahkan ke atas pembaringan. Kemudian, sediakan air mendidih untuk mencuci jarum-jarumku..... ah, betul sekali. Jarum-jarumku berada di dalam buntalan pakaianku, berada di dalam kamarku di rumah penginapan itu. Dapat-kah engkau mencarikan pinjaman jarum-jarum emas dan perak dari tabib-tabib dari Tai-goan?" Toa Ok lalu menoleh kepada Lian Hoat Tosu. "Totiang, dapatkah engkau menolong" Barangkali totiang lebih tahu tentang para tabib di kota Taigoan yang kiranya memiliki jarum-jarum emas dan perak." "Kami akan mencobanya. Kami dengar ada seorang tabib yang suka menggunakan jarum-jarum untuk pengobatan. Kami akan mencoba meminjam darinya." kata ketua itu yang lalu mengutus anak buahnya untuk mencari jarum yang dibutuhkan ke kota Taigoan. Sementara itu, Sam-ok lalu digotong ke dalam kamar dan dibaringkan. Kiok Hwa cepat menanggalkan baju wanita itu dan memeriksa keadaan luka di pundak. ia tahu bahwa yang melakukan pemukulan itu tentu Eng-ji, karena di dalam kamar hanya ada dia dan Eng-ji. Dan ia tidak merasa heran kalau Eng-ji memiliki ilmu pukulan sekeji itu, karena melihat sifat dan wataknya, sangat boleh jadi Eng-ji adalah murid seorang datuk sesat yang sakti. Setelah melakukan pemeriksaan, ternyata bahwa berkat tubuhnya yang terlatih dan kuat serta tenaga sin-kangnya yang juga kuat, Sam Ok dapat mempertahankan diri dan hawa beracun dari pukulan Toat-beng Tok-ciang itu belum menjalar ke jantungnya. Melihat ini Kiok Hwa menjadi girang dan ia merasa yakin bahwa nyawa Sam Ok dapat tertolong. Ia lalu menggunakan ilmunya untuk menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan darah beracun mengalir lebih jauh lagi, kemudian mengurut-urut di sekeliling tanda tiga jari tangan menghitam itu sampai warna hitamnya berkumpul di tengahtengah dan bagian itu membengkak. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki di belakangnya. Ia menoleh dan melihat wanita yang dianggap ibu oleh Han Lin sudah berdiri di situ dengan tangan memegang pedang. "Bibi, tolong pinjamkan pedangmu itu kepadaku," katanya lembut. "Untuk apa pinjam pedang?" suara itu kaku dan tidak jelas seperti suara kanak kanak. "Engkau tidak boleh membunuh." "Tidak ada yang membunuh," jawab Kiok Hwa sambil tersenyum ramah dan halus, "aku meminjam pedang untuk merobek sedikit kulit di pundaknya untuk mengeluarkan darah yang beracun." menunjuk ke arah pundak Sam Ok. Wanita itu tampak ragu lalu berkata dengan suara pelo. "Lakukanlah, akan tetapi kalau engkau membunuh Sam Ok aku akan membunuhmu." Ia menyerahkah pedangnya. Kiok Hwa menerima pedang itu dan menahan diri untuk bicara. ia tahu bahwa wanita itu masih belum menyadari keadaan dirinya, masih dikuasai pengaruh sihir dan racun perampas ingatan. Biarpun ia bicara juga tidak ada gunanya. Dalam keadaan seperti itu ia sendiripun tidak berdaya. Semua obat penting yang selalu dibawanya berada dalam buntalan pakaiannya yang tertinggal kamar penginapan. Ah, kalau saja ada jarum-jarum emas. Tiba-tiba ia teringat. Dengan jarum emas ia dapat membuka jalan darah tertentu untuk membuat wanita itu terbuka pula ingatannya, walaupun hanya untuk sebentar atau untuk sementara waktu. Kalau saja ia mendapat kesempatan untuk mempergunakan jarum-jarum yang diusahakan oleh pihak tuan rumah untuk dipinjamkan itu! Akan tetapi bagaimana caranya untuk mempergunakan jarumjarum itu terhadap wanita ini" Pada saat itu Toa Ok memasuki kamar itu dengan wajah riang. Akan tetapi ketika dia melihat Kiok Hwa berdiri di dekat pembaringan sambil memegang sebatang pedang, dia terkejut dan memandang kepada wanita itu, lalu membentak Kiok Hwa. "Apa yang akan kau lakukan dengan pedang itu?" Dia bersiap-siap untuk menyerang. "Tenanglah, Toa Ok......" Toa Ok membentak ke arah wanita itu. "Bukankah itu pedangmu" Hayo ambil kembali!" Mendengar kata-kata itu, wanita itu tiba-tiba menyerang Kiok Hwa dengan cengkeraman ke arah dada. Kiok Hwa terkejut dan cepat mengelak dan cengkeraman itu berubah arah lalu merampas pedang yang dipegang Kiok Hwa. Karena Kiok Hwa tidak ingin berkelahi, maka ia melepaskan pedang itu dirampas oleh pemiliknya. "Hem m, Toa Ok. Apakah engkau tidak menghendaki kesembuhan Sam Ok" Apakah engkau ingin melihat ia mati?" "Apa maksudmu?" tanya Toa Ok. "Lihat pundak Sam Ok itu. Aku telah mengumpulkan darah beracun di tengah tengah bekas tapak jari dan aku meminjam pedang untuk menoreh dan membuka kulit itu agar darah yang beracun dapat keluar." "Ah, begitukah" Maafkan aku, Sian li. Akan tetapi pedang itu beracun. Ini jarum-jarum emas dan peraknya sudah berhasil kami dapatkan. Apakah engkau tidak dapat mempergunakan jarum-jarum ini untuk mengeluarkan darah itu?" "Bagus. Dengan jarum aku juga dapat menoreh kulit pundak ini. Tolong minta-kan air mendidih, aku harus merendam dulu jarum-jarum itu ke dalam air mendidih." kata Kiok Hwa sambil menerima untaian kain putih berisi jarumjarum itu. Sementara wanita itu yang telah merampas pedangnya kembali, kini berdiri seperti patung dan hanya memandang kepada Kiok Hwa. Ia seperti seorang anak kecil yang tidak tahu urusan dan bodoh. Pada saat itu, anggauta Pek-lian-kauw yang memasak air datang membawa sepanci air mendidih. "Letakkan di situ!" lata Toa Ok sambil menuding ke atas meja. Sepanci air panas itu lalu ditaruh di atas meja dan Kiok Hwa berkata kepada Toa Ok. "Toa Ok, aku akan segera melakukan pengobatan atas diri Sam Ok, harap engkau suka keluar dari kamar ini. tidak pantas kalau seorang pria menonton pengobatan ini." Toa Ok tertawa lalu berkata kepada wanita yang diaku sebagai ibu oleh Hai Lin itu. "Engkau berjaga di sini, jaga jangan sampai nona ini membunuh Sam Ok." "Baik," jawab wanita itu dengan singkat dan iapun lalu duduk di atas bangku di sudut berjaga-jaga dengan pedang di tangan. Kiok Hwa merendam tiga batang jarum emas dan tiga batang jarum perak di dalam air mendidih beberapa lamanya! Kemudian ia mengambil sebatang jarum emas dan menggunakan jarum itu untul menoreh kulit pundak sehingga kulit dan sebagian dagingnya terobek. Darah hitam mengalir keluar dari torehan kulit pundak itu. Kiok Hwa tanpa rasa jijik lalu mencuci pundak itu dengan kain dan air panas. Ia memijit-mijit sehingga banyak darah hitam keluar dari luka itu. "Bibi, aku hendak menulis resep untuk membeli obat luka, harap bibi menyuruh orang mengambil kertas dan alat tulis." kata Kiok Hwa kepada wanita itu dengan suara lembut dan pandang mata ramah. Wanita itu mengerutkan alis dan memandang ragu, akan tetapi ia melangkah juga keluar dari kamar dan muncul kembali bersama Toa Ok. Kiranya datuk itu tidak pergi jauh dari kamar itu! "Apalagi yang kau butuhkan, Sian-li?" "Toa Ok, semua darah beracun telah dapat kukeluarkan. Bahaya telah lewat, akan tetapi aku harus mengobati luka Ini dan juga aku harus mengusir semua hawa beracun dari tubuhnya dengan tusukan jarum. Aku butuh kertas dan alat tulis untuk membuat resep agar dibelikan obatnya." Toa Ok pergi dan kembali membawa kertas dan alat tulis. Agaknya dia masih curiga kepada Kiok Hwa sehingga semua kebutuhannya dia yang melayani, bahkan dia ikut berjaga tidak jauh dari kamar itu! Setelah menuliskan resep obat luka, Kiok Hwa lalu mulai melakukan pengobat dengann tusuk jarum ke bagian-bagian tubuh yang penting. Setelah membiarkan jarum-jarum itu menancap di bagian tubuhnya yang penting, Kiok Hwa hanya mempergunakan dua jarum emas dan dua jarum perak, menyisakan dua macam jarum itu masing-masing sebatang. Kemudian ia menoleh kepada wanita yang masih berjaga dengan pedang di tangan itu dari menghampirinya. "Pengobatan telah selesai dan Sam Ok telah sembuh, hanya tinggal menanti ia siuman kembali," katanya sambil tersenyum. Wanita itu menggerakkan bibirnya yang manis seperti hendak tersenyum pula, akan tetapi senyum itu urung, akan tetapi cukup membuat wajah itu tampak manis sekali. "Engkau pandai mengobati," demikian komentarnya dengan kata-kata yang tidak begitu jelas. Tiba-tiba Kiok Hwa mendekatinya dan berseru, "Hei , engkau juga dalam keadaan tidak sehat, bibi!" Wanita itu tampak kaget, akan tetapi ia menggeleng kepala. "Tidak, aku tidak sakit." "Kalau tidak percaya coba tekan ke dua pelipismu dengan kedua tangan, tentu akan terasa pening dan nyeri." kata Kiok Hwa dan suaranya mengandung kekuatan karena diam-diam ia mengerahkan khi-kang dalam suaranya. Wanita itu tampak ragu, akan tetapi lalu menyarungkan pedangnya di punggung dan ia menggunakan dua buah jari tangan kanan kiri untuk menekan kedua jelipisnya. Pada saat itu, dengan kecepatan kilat dan gerakan ringan sekali, tubuh Kiok Hwa berkelebat dan ia sudah berhasil menotok jalan darah thian-hu-liat di tubuh wanita itu. Tanpa dapat berteriak wanita itu roboh dengan lemas. Kiok Hwa menyambut tubuhnya dan merebahkan wanita itu telentang di atas lantai. Kemudian dengan cepat ia menggunakan sebatang jarum emas dan sebatang jarum perak untuk menusuk dahi dan ubun-ubun kepala wanita itu. Ia memutar-mutar dua batang jarum itu dan melihat wanita itu memejamkan kedua matanya dan alisnya berkerut-kerut. "Bibi, engkau dicari puteramu yang bernama Han Lin," berulang-ulang Kiok Hwa membisikkan kata-kata ini di dekat telinga wanita itu. Setelah beberapa kali memutar-mutar dua batang jarum itu dan membisikkal kata-kata ini, wanita itu membuka matanya dan ia memandang kepada Kiok Hwa dengan sinar mata penuh pertanyaan. Kiok Hwa yang melihat betapa sinar mata itu telah normal, cepat berkata. "Bibi yang baik, Han Lin mencari-carimu." Ia lalu mencabut kedua batang jarum itu. Wanita itu bangkit duduk. "Han Lin..... Han Lin..... di mana Han Lin puteraku......" Han Lin....!" Ia menjerit memanggil-manggil Han Lin. Ia bangkit berdiri dan mencari-cari dengan pandang matanya ke kanan kiri. Dua sosok bayangan berkelebat masu dan mereka adalah Toa Ok dan Ji Ok. Ji Ok segera menghampiri wanita itu, dan wanita itupun memegang lengannya. "Suamiku, di mana Han Lin.....?" ia bertanya dan Ji Ok merangkulnya dengan mesra, "Tenanglah, isteriku. Jangan khawatir aku akan mencarikan untukmu. Marilah ....!" Dia merangkul dan mengajak wanita itu keluar dari kamar. Sementara itu, Toa Ok sudah mencabut pedangnya dan menodongkan pedang itu ke depan dada Kiok Hwa. Dia menghardik, "Sian-li, apa yang kaulakukan terhadap wanita itu?" Kiok Hwa menggerakkan kedua pundaknya. "Apa yang kulakukan" Bukankah pertanyaan itu terbalik" Sepatutnya aku yang bertanya kepada kalian, apa yang kalian lakukan terhadap wanita itu! Aku hanya berusaha mengobatinya, karena ia berada dalam keadaan terbius racun perampas ingatan." "Awas kau! Jangan mencampuri urusan kami. Wanita itu adalah isteri Ji Ok. Engkau tidak berhak mencampuri urusan uami isteri itu! Engkau di sini adalah eorang tawanan, tidak boleh berbuat semaumu sendiri!" Pedang itu masih menodong dada, akan tetapi dengan tersenyum Kiok Hwa menggunakan tangannya untuk mendorong pedang itu ke samping. "Begini sikap seorang tokoh besar dunia kang-ouw yang berjuluk Toat-beng Kui-ong Toa Ok" Baru saja terlepas dari mulutmu bahwa engkau tidak menganggap aku sebagai tawanan. Akan tetapi setelah aku mengobati Sam Ok sampai berhasil sembuh, engkau menjilat kembali kata-kata yang telah keluar dari mulutmu. Tidakkah engkau khawatir namamu akan jatuh menjadi rendah karena sikapmu ini?" Setelah berkata demikian Kiok Hwa menghampiri Sam Ok dan memeriksa keadaannya. Pernapasan datuk wanita itu sudah normal kembali, maka ia lalu mecabuti empat batang jarum dan mengurut tengkuk Sam Ok. Diurut tengkuknya, Sam Ok Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo membuka matanya dan menghela napas panjang. Ketika ia melihat Kiofk Hwa berdiri di tepi pembaringan dan merasakan betapa tubuhnya tidak nyeri lagi ia segera menyadari bahwa Kiok Hwa telah menyembuhkannya. Iapun cepat bangkit dan melihat Toa Ok masih memegang pedang mengancam gadis itu. Sam Ok berdiri dan memandang kepada Toa Ok dengan alis berkerut. "Toa Ok, apa yang kaulakukan itu" Bukankah gadis ini telah mengobati dan menyembuhkan aku" Aku tidak ingin engkau bersikap kasar kepadanya!" "Hemm, Sam Ok berpikirlah yang sehat!" Balas Toa Ok dengan bentakan! "Memang benar Pek I Yok Sian-li ini telah menyembuhkanmu, akan tetapi tetap saja ia masih menjadi sandera kita dan ia merupakan satu-satunya jalan untuk mendatangkan Im-yang-kiam." Sam Ok memandang kepada Kiok Hwa dengan sinar mata penuh selidik. "Jadi Engkaukah Pek I Yok Sian-li yang terkenal itu" Apakah benar pemuda itu akan datang menukarkan Imyang-kiam untuk membeli kebebasanmu?" Kiok Hwa maklum bahwa ia berhadapan dengan orangorang yang tidak segan melakukan kecurangan dan kejahatan apapun juga dan ia tidak dapat mengharapkan orang macam Sam Ok untuk mengenal budi pertolongan orang. Maka iapun menjawab seenaknya. "Kuharap saja tidak begitu bodoh untuk menyerahkan Im-yangkiam kepadamu. Aku tidak peduli apa yang akan kalian lakukan kepada ku. Aku tidak takut mati." Mendengar ucapan ini, Sam Ok yang baru saja diselamatkan nyawanya oleh gadis itu malah tertawa geli. "Hihi-hi-hi , orang yang amat berguna seperti engkau ini sayang kalau mati begitu saja. Dengan adanya engkau di sisiku, aku tidak takut akan serangan musuh yang bagaimanapun juga. Engkau selalu akan dapat mengobatiku, hi-hi-hik! Toa Ok, gadis ini tidak seharusnya ditodong pedang! Ia harus dijaga sebaiknya agar jangan sampai lolos, akan tetapi juga jangan dibunuh. Kita membutuhkan tenaga ahli seperti gadis ini!" "Ha-ha-ha, engkau benar sekali, Sam ok. Akan tetapi kita harus memancing bocah itu datang menyerahkan Im-yangkiam. Dengan begitu kita akan mendapatkan kedua-duanya. Kalau pedang Im-yang-kiam berada bersama kita dan Pek I Yok Sianli selalu menemani kita, kita tidak takut apa-apa lagi." Kiok Hwa sengaja tertawa mengejek "Bicara memang mudah, Toa Ok dan Sam Ok. Kalian boleh merencanakan apa saja. Akan tetapi Han Lin adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi. Kalian semua akan kalah olehnya. Apalagi dia dibantu oleh Eng-ji yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Lihat saja pukulan Toat-beng Tok-ciang yang dipergunakan Eng-ji terhadap Sam Ok. Sekali pukul saja Sam Ok hampir mati!" Mendengar ini, Sam Ok mengepal kedua tangannya dan ia berseru, "Kiranya bocah remaja keparat itu yang telah memukulku. Aku akan membalasnya dan kalau dia berani datang ke sini, aku akan membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri!" Berkata demikian ia mengamangkan tinjunya dan karena mengerahkan tenaga ini, lukanya mengeluarkan darah. "Sam Ok, lukamu masih belum tertutup, menanti obat yang sedang dibelikan." kata Kiok Hwa dan pada saat seperti itu kembali ia menjadi seorang ahli pengobatan yang memperhatikan si-sakit yang dirawatnya. Pada saat itu, anak buah Pek-lian-kauw yang membeli obat datang dan masuk, menyerahkan bungkusan obat kepada Toa Ok. Toa Ok menerimanya dan memberikan kepada Kiok Hwa. "Ini obatnya. Pergunakanlah untuk mengobati luka di pundak Sam Ok." Kiok Hwa menerima obat itu sambil tersenyum. Ia bersikap tenang sekali sehingga Toa Ok dan Sam Ok diam-diaw merasa tidak enak juga. Dua orang ini sudah terbiasa melakukan kejahatan dari terbiasa pula melihat korban mereka ketakutan setengah mati. Kini melihat korban mereka bersikap demikian tenang, bahkan mengobati Sam Ok dengan ketelitian yang sama sekali tidak memperlihatkan permusuhan, mereka berdua merasa aneh dan tidak enak sekali. Kalau Kiok Hwa menangis dan mohon ampun mereka tentu akan merasa gembira bukan main. Akan tetapi melihat kini Kiok Hwa membubuhkan obat pada luka di pundak Sam Ok, mereka berdua merasa seolah-olah dipandang rendah dan ditertawakan oleh gadis itu. Kiok Hwa mencurahkan perhatiannya kepada pundak Sam Ok dan sebentar saja ia sudah menutup luka torehan jarum tadi dengan obat bubuk yang dibeli menurut resepnya. "Nah, sekarang tinggal menunggu luka itu kering. Darah dan hawa beracun sudah bersih, lukanyapun tidak seberapa dalam, dalam waktu satu dua hari akan kering dan sembuh." kata Kiok Hwa sambil membungkus lagi sisa obat dan enam batang jarum pinjaman itu. Setelah membungkusnya, ia menaruhnya di atas meja. Sam Ok dan Toa Ok saling pandang, merasa tidak enak sekali. Kalau orang lain melihat sikap dan kata-kata Kiok Hwa tentu akan menjadi rikuh sekali. Akan tetapi bagi dua orang datuk sesat ini, sudah lama rasa rikuh dan tenggang rasa sudah mati dalam batin mereka. Mereka hanya merasa tidak enak. Dari perasaan tidak enak dan merasa tidak dipandang sebelah mata oleh Kiok hwa yang kelihatan meremehkan keganasan dan kejahatan mereka, Toa Ok menjadi marah. Orang yang tidak memandang Kepada kekuasannya sama dengan menghinanya! "Gadis ini berbahaya, harus dikurung dan dijaga ketat agar tidak meloloskan diri!" katanya kepada Sam Ok. Kemudian kepada Kiok Hwa dia berkata. "Hayo Sianli, keluar dari kamar ini dan ikut aku!" Kiok Hwa tidak membantah. Ia melangkah keluar digiring oleh Toa Ok menuju ke bagian belakang dari rumah besar itu. Ternyata ia dibawa ke sebuah kamar yang agaknya memang dibuat untuk mengeram orang yang dianggap berbahaya. Kamar itu sederhana sekali tetapi cukup lengkap dengan pembaringan meja dan kursi. Akan tetapi pintu dan jendelanya terbuat dari jeruji besi yang kokoh kuat. "Masuklah, engkau akan dilayani sebagai tamu kami di kamar ini. Asalkan engkau tidak mencoba untuk meloloskan diri, kami tidak akan mengganggumu" Setelah berkata demikian, Toa Ok meninggalkan kamar itu, menutup dan mengunci pintunya, menyerahkan kunci kepada penjaga dan kamar itu dijaga oleh lima orang anak buah Pek-lian-kauw. 00-dewi-00 Malam itu Kiok Hwa duduk bersila diatas pembaringan dalam kamar tahanan itu. Sedikitpun ia tidak merasa khawatir akan dirinya sendiri. Ia tidak pernah mempunyai musuh dan tidak ada alasan bagi siapapun juga untuk memusuhinya, Ia selalu mengulurkan tangan untuk menolong orang, bukan untuk mengganggu orang atau memusuhinya. Dalam membela diri sekalipun ia tidak ingin melukai orang lain. Ia hanya memikirkan Han Lin. Ia yakin bahwa Han Lin tidak akan tinggal diam dan tentu akan mencarinya, untuk membebaskannya dan sekalian membebaskan ibunya. Ia merasa yakin kini bahwa wanita itu memang benar ibu Han Lin. Tadi ketika ia berhasil menyadarkannya barang sebentar, wanita itu teringat kepada Han Lin dan memanggil-manggilnya. Ia maklum bahwa Han Lin seorang ang tinggi ilmunya dan memiliki kebijaksanaan, juga cukup cerdik maka tidak perlu ia mengkhawatirkan keselamatannya. Akan tetapi dengan adanya ia dan ibunya yang seolah menjadi sandera di situ, ia khawatir kalau-kalau Han Lin akan menjadi lemah dan terjatuh ke dalam perangkap musuh. Ia tahu pula bahwa Eng-ji tentu akan membantu Han Lin dan Eng ji juga memiliki ilmu yang tinggi. Akan tetapi Sam Ok amat lihai dan mereka berada di sarang Pek-lian-kauw yang anak buahnya amat banyak. Bagaimana Han Lin berdua Eng-ji akan mampu membebaskan ia dan ibu Han Lin tanpa menempuh bahaya besar" Teringat akan semua ini, tiba-tiba ia teringat kepada Eng-ji. Gadis yang menyamar pria itu amat mencinta Han Lin. Demikian hebat cintanya sehingga hampir-hampir saja gadis itu nekat membunuhnya karena cemburu! Teringat akan kenyataan ini, sejenak hati Kiok Hwa diliputi kesedihan. Ia tahu bahwa ia amat mencinta Han Lin dan ia pun tahu bahwa Han Lin juga mencintai-nya. Akan tetapi, di sana ada Eng-ji yang cintanya mengebu-ngebu terhadap Han Lin. Gadis itupun telah memperlihatkan kesetiaannya kepada Han Lin, walaupun Han Lin belum tahu bahwa Eng-Ji adalah seorang wanita. Ia tahu bahwa kalau ia berkeras mempertahankan hubungannya dengan Han Lin, menjadikan Han Lin kelak sebagai suaminya, hal itu akan menghancurkan kebahagiaan dan mungkin kehidupan Eng-ji Dan ia tidak mau melakukan hal yang membuat hancur hati seseorang. Tidak, ia harus mengalah! Ia harus membiarkan Han Lin nenjadi jodoh Eng-ji, bukan jodohnya. Ia rela berkorban. Pula, belum tentu ia akan dapat hidup berbahagia di samping Han Lin. Ia tidak menyukai kekerasan. Ia tidak suka melihat orang saling melukai, apalagi saling membunuh. Dan Han Lin dalah seorang pendekar yang selalu memusuhi para penjahat. Banyak musuh-nya, padahal ia tidak ingin mempunyai seorang pun musuh. Eng-ji lebih cocok menjadi isteri Han Lin. Keduanya sama-sama pendekar, keduanya sama-sama memusuhi dunia penjahat. Malam telah larut. Lima orang pengawal di luar kamar tahanan telah diganti oleh lima orang lain, kunci diserah terima. Kiok Hwa masih duduk bersila di atas pembaringan dan lima orang penjaga itu hanya menengok dan memandang padanya. Biarpun tawanan itu seorang gadis yang cantik jelita, tidak seperti biasanya, lima orang anak-anak buah Pek-liankauw tidak berani mengganggunya karena mereka tahu bahwa tawanan ini adalah tawanan istimewa, seorang ahli pengobatan yang dijadikan tawanan juga tamu yang diperlakukan dengan baik dan hormat. Bicarapun mereka berbisik bisik seolah-olah tidak mau mengganggu gadis yang sedang duduk bersila dan mejamkan kedua matanya seperti orang tertidur pulas itu. Sementara itu, di luar, di bawah sinar bulan, dua sosok bayangan berkelebat dengan cepat sekali sehingga tidak dapat dilihat bayangan mereka. Mereka menyelinap dari bawah pohon yang satu ke pohon yang lain mendekati perkampungan Pek-lian-kauw. Mereka itu bukan lain adalah Han Lin dan Eng-ji. Han Lin bergerak di depan dan Eng-ji mengikuti dari belakang. Ini adalah kehendak Han Lin yang menduga bahwa sarang Pek-lian kauw tentu mengandung perangkap dan jebakan yang berbahaya. Maka dia bergerak di depan dengan hati-hati dan dia menyuruh Eng-ji mengikutinya dari belakang. Setelah tiba di luar tembok yang mengelilingi perkampungan itu, Han Lin berhenti dan memberi isarat kepada Eng-ji untuk berhenti bergerak pula. Dia menuding ke atas tembok, memberi isarat bahwa dia akan menyelidiki medan terlebih dulu. Eng-ji mengerti dan dia mengangguk. Setelah memperhitungkan dengan hati-hati, Han Lin lalu membuat gerakan melompat. Dia hinggap di atas pagar tembok itu dan berjongkok, memeriksa ke dalam. Sunyi saja di situ dan di sebelah dalam pagar tembok itu adalah sebuah kebun. Tidak ada yang berjaga di situ dan agaknya yang dijaga hanya di gapura pagar tembok itu, di mana terdapat lima orang penjaga. Melihat ini dia menjadi girang dan cepat memberi isarat kepada Eng-ji yang menunggu di bawah untuk melompat naik. Eng-ji melompat dan berjongkok di samping Han Lin. Di bawah sinar bulan, dua orang itu tampak seperti dua ekor burung besar yang hinggap di atas pagar tembok itu. "Mari kita ke bangunan besar yang dikelilingi bangunan kecil di sana itu," Han Lin berbisik sambil menuding ke depan. Di bawah sinar bulan mereka dapat melihat sebuah bangunan besar yang dikelilingi setengah lingkaran oleh bangunan kecil sedangkan di belakang bangunan besar itu terdapat sebuah bukit besar. "Akan tetapi hati-hati, ikuti jejakku. Kalau aku terjebak engkau dapat menolongku, jangan sampai kita keduanya terjebak musuh." Eng-ji mengangguk. Ia cukup cerdik untuk dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh Han Lin. Iapun dapat menduga bahwa sarang perkumpulan sesat seperti Pek-lian-kauw tentu dilindungi oleh perangkap-perangkap atau jebakan-jebakan yang berbahaya. Han Lin melompat turun ke sebelah dalam pagar. Kemudian dia dan Eng-ji menyusup-nyusup di antara pohonpohon dan semak di kebun itu mendekati bangunan-bangunan di perkampungan itu. Tidak terjadi sesuatu, tidak ada jebakan! menghalangi mereka sampai mereka menyelinap di antara bangunan-bangunan kecil yang mengelilingi bangunan besar. Mereka mendengar suara orang-orang di dalam bangunanbangunan kecil, suara para anggauta Pek-lian-kauw. Akan tetapi tidak banyak di antara mereka yang berada di luar sehingga Han Lin dan Eng-ji tidak dapat menemui kesulitan untuk menghampiri bangunan besar. Mereka melihat betapa di depan bangunan besar itu terdapat sebuah gardu penjaga dan terdapat belasan orang penjaga di situ. Tidak salah lagi, mereka menduga, bangunan ini tentu menjadi pusat dan tempat tinggal para pimpinan. Sam Ok tentu berada di situ pula, bersama Kiok Hwa dan juga ibu Han Lin. Maka, Han Lin mengambil jalan memutar ke belakang bangunan besar dan meloncat ke atas wuwungan rumah. Eng-ji mengikutinya dari belakang. Dari atas wuwungan mereka mengintai ke bawah dan melihat bahwa keadaan di bawah remang-remang. Agaknya para penghuninya sudah masuk kamar atau tertidur, dan lampulampu besar telah dipadamkan, hanya tinggal beberapa lampu gantung saja yang menerangi ruangan tengah itu. Bangunan itu besar dan di bagian tengah ada ruangan terbuka, semacam taman. Tiba-tiba mereka melihat dua orang sedang meronda, membawa sebuah lampu di tangan kiri dan sebatang golok di tangan kanan. Melihat mereka, Han Lin berbisik. "Kita robohkah mereka tanpa suara" Eng-ji mengangguk dan mereka berdua segera melayang turun. Dua orang peronda itu terkejut sekali ketika tiba-tiba Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ada dua orang berada di depan mereka. Sebelum mereka dapat bersuara atau bergerak, cepat sekali Han Lin dan Eng ji menyerang dengan totokan dan dua orang itu roboh dengan lemas. Han Lin dan Eng-ji merampas lampu yang mereka bawa. Han Lin mengambil sebatang dari golok mereka dan menodongkan golok itu di leher seorang di antara dua peronda yang sudah tidak mampu bergerak atau bersuara itu. "Hayo tunjukkan kepadaku di mana gadis berbaju putih itu dikeram!" bisiknya kepada peronda itu sambil membebaskan totokannya sehingga orang itu dapat bergerak kembali akan tetapi membiarkan totokan yang membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara. Orang itu bangkit berdiri dan mengangguk-angguk sambil menuding ke arah belakang rumah. Han Lin lalu menyeret orang ke dua, disembunyikan di dalam kegelapan, kemudian Ia menodong peronda yang ditawannya untuk menjadi petunjuk jalan. Eng-ji mengikutinya dari belakang dengan sikap waspada kalau-kalau mereka diserang orang dari belakang. Melihat mereka berhasil sedemikian mudahnya, hati kedua orang muda itu bahkan merasa tidak enak sekali. Mengapa sarang Pek-lian-Kiuw ini begitu lemah penjagaannya" Akan tetapi karena mereka sudah menangkap seorang peronda yang menjadi penunjuk jalan, merekapun melanjutkan usaha mereka untuk membebaskan ibu lian Lin dan Kiok Hwa. Dalam keadaan tidak mampu mengeluarkan suara dan ditodong, peronda itu tidak berdaya. Dia berjalan di depan Han Lin, leher bajunya dicengkeram tangan kiri Han Lin dan punggungnya ditodong golok. Dia membawa Han Lin ke belakang bangunan itu, melalui lorong sempit dan akhirnya dia berhenti, menunjuk ke depan di mana terdapat sebuah kamar dan di depan kamar itu terdapat lima orang penjaga. Melihat peronda datang bersama Han Lin dan Eng-ji, lima orang penjaga itu menjadi terheran-heran, akan tetapi Han Lin sudah menotok roboh penunjuk jalan kemudian bersama Engji dia menerjang maju. Dua orang itu mengamuk, dengan mudah merobohkan lima orang itu dengam totokan-totokan. Han Lin mempergunakan It-yang-ci sehingga tiga kali menggerahkan tangan dia telah merobohkan tiga orang, sedangkan Eng-ji mempergunakan Pek-lek-ciang-hoat (Ilmu Pukulan Halilintar) yang membuat dua orang roboh pingsan dalam waktu singkat. Han Lin lalu menggeledah dan dalam saku seorang di antara mereka dia menemukan kunci pintu kamar tahanan. Cepat dia membuka pintu itu dan masuk, di kuti oleh Eng-ji. Dalam kamar mereka melihat Kiok Hwa duduk bersila di atas pembaringan. Ketika mendengar pintu terbuka, Kiok Hwa membuka matanya dan melihat Han Lin dan Eng-ji ia tidak menjadi terkejut karena memang sudah menduganya sejak semula. Akan tetapi ia menjadi khawatir sekali. "Hati-hati, cepat keluar!" katanya. akan tetapi terlambat! Terdengar suara ledakan-ledakan keras dan beberapa buah benda dilempar ke dalam kamar, juga pintu kamar itu telah tertutup dari luar dan dirantai kokoh kuat! Ledakan itu di kuti oleh asap kebiruan yang memenuhi kamar itu. "Asap beracun! Tahan napas!" teriak Ciok Hwa. Mendengar ini, Han Lin dan Eng-ji menahan napas mereka. Akan tetapi, Han Lin berpikir bahwa tidak mungkin mereka menahan napas terlalu lama. maka diapun berkata dengan nyaring. "Eng-ji! Kiok-moi! Mari satukan tenaga dan dorong pintu agar jebol!" Setelah berkata demikian, dia mengerahkan separuh tenaga sinkangnya mendorong ke arah pintu, dibantu oleh Eng-ji dan Kiok Hwi Tenaga sinkang tiga orang itu dikerahkan dan disatukan. "Brol l......!" Pintu yang terbuat dari besi beruji itupun ambrol, terlepas dari tembok dan jatuh bergedubrakan diluar kamar tahanan. Tiga orang itu lalu berloncatan keluar. Han Lin memegang Im yangkiam, Eng-ji memegang Ceng-hong kiam dan Kiok Hwa yang tadinya bertangan kosong diberi golok rampasan oleh Han Lin. Mereka bertiga melompat keluar dan disambut oleh Sam Ok bertiga yang dibantu oleh dua orang pimpinan Pek-lian-kauw dan belasan orang anak buahnya! "Ha-ha-ha-ha!" Terdengar Toa Ok tertawa. "Kalian seperti tikus-tikus yang sudah masuk perangkap!" Akan tetapi Han Lin dan Eng-ji sama sekali bukan tikustikus yang tidak berdaya. Sama sekali bukan. Mereka mengamuk dan membuka jalan keluar! Han Lin sengaja membiarkan Kiok Hwa di tengah, Eng-ji yang berada di depan dan dia dibelakang. Dengan amukan mereka berdua, dibantu oleh Kiok Hwa yang ternyata mampu memainkan golok dengan indahnya melindungi dirinya dari serangan banyak orang, mereka mampu menerobos keluar dari kepungan dan melarikan diri keluar dari lorong itu. Akan tetapi karena dihadang, mereka tidak dapat mengambil jalan semula, melainkan terdesak dan terpaksa mengambil jalan belakang yang membawa mereka tiba di bagian belakang gedung itu. Mereka lalu melarikan diri di belakang gedung yang merupakan sebuah kebun dan jalan mendaki karena di belakang gedung itu terdapat sekuah bukit. "Eng-ji, lari terus naik ke bukit itu!" Han Lin berseru sambil memutar pedangmenahan para pengejar dan pengeroyok . Dia harus menghadapi Thian-te Sam Ok yang dibantu oleh ketua dan wakil ketua cabang Pek-lian-kauw yang cukup lihai sehingga Han Lin harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya tutuk menahan mereka sehingga Eng-ji dan Kiok Hwa sempat melarikan diri ke arah bukit. Dengan Ityangci yang dikerahkan dengan tenaga sakti Jit-goat Sin-kang (Tenaga Sakti Matahari dan Bulan) dia memaksa lima orang pengeroyoknya untuk mundur dan dia lalu melompat dan mengejar Eng-ji dan Kiok Hwa yang sudah berlari lebih dahulu. Akan tetapi Thian-te Sam-ok dan para anggauta Pek lian-kauw melakukan pengejaran dan di antara mereka ada yang membawa obor. Han Lin dapat menyusul Eng-ji dai Kiok Hwa. Mereka berlari terus mendaki bukit yang berbatu-batu itu. Ketika melihat sebuah gua besar, Han Lin berseru "Mari kita masuk dan sembunyi dalam gua itu agar terhindar dari pengepungan dan pengeroyokan!" Mereka bertiga lalu berlari menuju guha. Kalau berada di guha, mereka tidak dapat dikepung dari dapat melakukan perlawanan lebih baik karena jumlah pengeroyoknya tidak dapat banyak. mengingat guha itu terlalu sempit untuk mereka yang hendak mengeroyok! Mulut guha itu ada dua meter lebarnya, akan tetapi sebelah dalamnya ternyata luas. Akan tetapi sinar bulan tidak hanyak memasuki guha sehingga keadaan di dalam guha itu gelap sekali. "Kita bersembunyi di dalam!" kata Han Lin sambil bergerak di depan, meraba-raba mencari jalan. Sementara itu, para pengejar juga sudah tiba di depan Guha. "Ha-ha-ha-ha, kalian benar-benar seperti tikus-tikus dalam kurungan!" terdengar suara Toa Ok tertawa dan terdengarlah suara gemuruh. Tiga orang pe-larian itu cepat menengok dan di bawah sinar banyak obor mereka melihat betapa ada pintu baja yang berat dan kuat sekali tiba-tiba telah menutup mulut guha dari atas! "Mari kita menerjang keluar!" ajak Eng-ji. Dengan nekat ia telah memutar tubuhnya dan dengan pedang di tangan ia hendak menerjang dan membobol pintu haja. Akan tetapi dari luar tiba-tiba meluncur banyak sekali senjata rahasia seperti pisau terbang, paku, jarum dan anak panah. "Awas, Eng-ji. Cepat kembali masuk!" seru Han Lin yang melompat ke depan dan memutar Im-yang-kiam untuk menangkis semua senjata rahasia itu bersama Eng-ji. Mereka lalu berlompat lagi masuk ke dalam guha. Di situ mereka aman dari serangan senjata rahasia karena terowongan dalam guha itu membelok ke kanan dan mereka terlindung. "Kita berlindung di sini. Mereka tidak akan mampu menyerang kita," kata Han Lin. "Akan tetapi, Lin-ko. Berapa lama kita akan mampu bertahan di sini" Jika tidak mampu keluar dan kita tentu akan mati kelaparan di tempat ini." kata Kiok Hwa dengan suara lembut dan sikap tenang. "Kita tunggu sampai terang tanah baru mencari jalan untuk dapat keluar dari sini," kata Han Lin. Mereka bertiga tidak dapat berbuat lain kecuali menanti lewatnya malam yang gelap dalam guha itu. Mereka bertiga duduk bersila dan menghimpun tenaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Diam-diam Han Lin merasa lega juga melihat sikap kedua orang itu. Kiok Hwa tampak tenang sekali, sedangkan Eng-ji yang kelihatan marah kepada musuh juga sama sekali tidak kelihatan takut. Bahkan Eng-ji bersikap seolah hendak menghibur dan membesarkan hati kedua orang kawannya. "Kalian tunggu saja. Kalau mereka berani memasuki guha ini, mereka akan kubunuh semua! Jangan takut selama masih ada aku di sini." katanya kepada Han Lin dan Kiok Hwa. Kiok Hwa tersenyum melihat lagak Eng-ji. "Masih baik kalau mereka memasuki guha dan mencoba menyerang kita, karena kita mendapat kesempatan untuk lolos. Akan tetapi kalau mereka hanya berjaga di luar dengan senjata rahasia mereka dan mencegah kita keluar dari sini, bagaimana?" tanya Kiok Hwa. "Kita coba lagi untuk menerjang keluar!" kata Eng-ji penuh semangat. "Kita tunggu sampai besok baru kita mencari jalan kejuar. Sekarang lebih baik kita beristirahat sambil menghimpun tenaga untuk menghadapi besok." kata Han Lin. "Wah, mana mungkin aku dapat tidur" Dalam keadaan terperangkap, terkepung dan tidak berdaya begini" Lebih baik kita mengobrol dan menceritakan riwayat kita masing-masing. Kita sekarang sudah senasib sepenanggungan, sudah sewajarnya kalau kita lebih mengenal satu sama ain. Kalau kita sudah pernah bercerita tentang riwayat hidup kita, sekarang toleh diulang lagi dengan jelas. Giliran-ku lebih dulu, enci Kiok Hwa. Ceritakanlah siapa orang tuamu, siapa gurumu dan dari mana engkau berasal?" Kiok Hwa menghela napas panjang. Beringat akan keadaan dirinya yang sebatang kara dan tidak mempunyai keluarga lagi, ia menjadi sedih juga. Ditelannya kesedihannya dan sambil mengembangkan senyum di wajahnya ia menjawab. "Tidak ada yang menarik dalam riwayatku. Aku dilahirkan di sebuah dusun kecil yang tidak berarti. Ayahku seorang ahli sastra yang gagal menjadi sarjana dan hidup miskin bersama ibu dan aku di dusun, hidup sebagai petani penggarap karena tidak mempunyai tanah sendiri. Ilmu kesusasteraan yang dikuasainya sama sekali tidak ada harga dan gunanya di dusun yang kecil terpencil itu. Pada suatu waktu, dusun kami dilanda wabah penyakit yang amat ganas. Kami sekeluarga diserang penyakit. Pada waktu itu muncul ah seorang ahli pengobatan yang merantau. Dia adalah Thian-beng Yok sian. Dia turun tangan mengobati penduduk dusun yang terserang penyakit. Dia juga mengobati kami, akan tetapi hanya aku yang dapat diselamatkan. Ayah dan ibuku sudah terlampau berat penyakitnya dan meninggal dunia, meninggalkan aku seorang diri di dunia ini. Aku lalu diambil murid oleh Thianbeng Yok-sian dan ikut suhu merantau sambil mempelajari ilmu silat dan ilmu pengobatan. Akan tetapi aku lebih tekun mendalami ilmu pengobatan karena setelah ayah dan ibu meninggal karena penyakit, aku mengambil keputusan untuk memerangi penyakit dan menyembuhkan orang-orang yang terserang penyakit tanpa membedakan kaya miskin, pintar bodoh atau baik maupun jahat." Eng-ji mengerutkan alisnya. "Hemm, sekarang mengertilah aku mengapa aku melihat Sam Ok masih segar bugar, pada hal ia telah terkena pukulan Toat-beng lok-ciang dariku. Tentu engkau yang telah mengobati dan menyembuhkannya, enci Kiok Hwa." "Benar, Eng-ji. Aku melihat ia terluka keracunan lalu aku mengobatinya." Eng-ji menghela napas. "Boleh saja engkau tidak membedakan antara kaya miskin atau pandai dan bodoh. Akan tetapi kalau engkau menolong dan mengobati yang jahat, itu berarti mencari penyakit sendiri! Lihat buktinya, walau pun engkau telah menolong Sam Ok, tetap saja ia memusuhimu." "Aku mengobati tanpa pamrih, tidak menuntut balas jasa, maka terserah apa yang akan ia lakukan, Eng-ji. Akan te-tapi kalau ia hendak membunuhku atau mencelakakan aku, tentu aku akan membela diri sedapat mungkin." "Enci Kiok Hwa, apa artinya membela diri kalau engkau tidak mau melukai atau membunuh orang?" Eng-ji menegur Melihat betapa Eng-ji seperti mendesak Kiok Hwa, Han Lin lalu berkata "Eng-ji, sekarang tiba giliranmu untuk menceritakan riwayatmu. Aku pernah mendengar ceritamu, akan tetapi belum jelas benar." "Benar, Eng-ji. Akupun ingin mendengar riwayatmu." kata Kiok Hwa. Eng-ji menghela napas panjang. "Riwayatku tidak lebih baik daripada riwayatmu, enci Kiok Hwa. Akupun ditinggal mati ibuku dan ayahku juga meninggalkah aku, biarpun ketika itu dia masih hidup, Aku tidak tahu jelas di mana dia sekarang. Ayahku adalah seorang yang terkenal di dunia kang-ouw, bernama Suma Kiang dan berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Huangho). Adapun ibuku, menurut ayahku, hanya seorang wanita dusun belaka, dari dusun Cia-ling bun di lereng Tai-hang-san. Akan tetapi ibuku telah meninggal dunia ketika aku masih kecil dan ayah tidak memberitahukan mengapa ibuku meninggal dunia. Dia bahkan marah kalau aku minta penjelasan. Dia hanya mengatakan ibuku telah mati di dusun itu dan sejak itu aku hidup berdua bersama ayah, setelah untuk sepuluh lahun lamanya ayahku menitipkan aku kepada Bibi Cia, seorang janda yang baik gati. Dalam usia tiga belas tahun aku Ikut ayah merantau dan mempelajari Ilmu silat. Kemudian ayah membawaku ke Puncak Ekor Naga di Cin ling-san dan uku berguru kepada suhu Hwa Hwa Cin-jin, mempelajari ilmu sampai lima tahun. Akan tetapi pada suatu hari muncul Thian-te Sam-ok bersama wanita yang diaku Ibu oleh Lin-ko itu. Mereka mengeroyok dan biarpun suhu Hwa Hwa Cinjin berhasil memukul mundur dan mengusir mereka, akan tetapi dia terluka parah dan meninggal dunia. Dia memesan agar aku membakar jenazahnya dan menaburkan abu jenazahnya di Sungai Huang-ho, dan agar aku mencari ayah dan membalas dendam kepada Thian-te Sam-ok. Nah, Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ternyata sebelum aku berhasil membalas dendam kepada mereka, aku malah masuk dalam perangkap mereka!" Eng-ji mengepal tinju dengan gemas. "Ketika aku melihat engkau bertanding, aku melihat engkau mempergunakan pukulan dengan jari dan gerakanmu itu mirip sekali dengan ilmu It-yang-ci. Apakah engkau pernah mempelajari ilmu it Yang-ci?" "Ilmu itu adalah Toat-beng Tok-cian. Menyerangnya dengan menggunakan tiga jari. Memang pada dasarnya ilmu itu adalah ilmu It-yang-ci yang oleh ayahku telah diubah menjadi Toat-beng Tok-cian yang mengandung hawa beracun. Ayah menguasai ilmu It-yang-ci, walaupun tidak sepenuhnya. Katanya pernah dia mempelajarinya dari seorang hwesio Siaw lim-pai." Tentu saja Eng-ji tidak mengerti bahwa setelah mempelajari It-yang-Ci dari hwesio tua itu, Suma Kiang bahkan membunuh hwesio itu! Han Lin mengangguk-angguk, diami diam mencatat dalam hatinya bahwa musuh besarnya itu, Suma Kiang, ternyata paham pula ilmu It-yang-ci. Dia harus bersikap hati-hati kalau bertemu dan terpaksa bertanding dengan musuh besarnya "Guruku pernah bercerita bahwa Huang-ko Sin-liong adalah seorang tokoh di sepanjang Lembah Huang-ho yang terkenal sekali, Eng-ji." kata Kiok Hwa. "Menurut suhu, belasan tahun yang lalu Huang-ho Sin-liong amat ditakuti di daerah itu," Eng-ji tersenyum bangga. "Memang, menurut ayahku sendiri, belasan tahun yang lalu dia menjadi rajanya di Lembah huang-ho, semua perampok dan bajak sungai tunduk dan takluk belaka kepadanya!" Kiok Hwa dan Han Lin saling pandang penuh arti. Mereka merasa heran melihat kebandelan Eng-ji yang merasa bangga karena ayahnya adalah seorang datuk sesat yang menundukkan semua perampok dan bajak sungai! Akan tetapi karena Eng-ji sendiri memperlihatkan sikap yang gagah dan baik, tidak seperti penjahat bahkan lebih cocok menjadi pendekar, keduanya hanya merasa heran saja. Kiok Hwa memandang Han Lin. "Kalau saja Lin-ko tidak keberatan, sekarang tiba gilirannya untuk menceritakan riwayatnya yang pasti menarik sekali." Han Lin menunduk dan berpikir. bagaimana dia dapat menceritakan riwayatnya yang sesungguhnya" Satu kali ia pernah menceritakan riwayat yang sesungguhnya, yaitu kepada A-seng dan akibatnya, A-seng mencuri Suling Pusaka Kemala miliknya! Tidak, dia harus menyembunyikan identitasnya sebagai seorang pangeran! Kalau hal itu diceritakan, maka hanya akan menimbulkan banyak urusaan saja. "Lin-ko, kenapa diam saja" Bagaimana riwayatmu" Aku ingin sekali mendengar yang sejelasnya. Apalagi dengan keadaan ibumu di sini, sungguh membuat aku tertarik sekali untuk mengetahui sejelasnya duduk perkaranya." kata Eng-ji. "Riwayatku juga tidak menarik dan hanya penuh dengan kesedihan belaka Aku tinggal di utara bersama ibuku. Aku adalah seorang Puteri Mongol, keponakan seorang kepala suku Mongol di sana." "Ahhh......!" Eng-ji berseru dan memandang kagum. "Pantas wajah Lin-ko seperti agak asing dan menarik!" Kiok Hwa tersenyum saja dan tidak mengeluarkan komentar. "Akan tetapi ibuku bernasib malang, bahkan sampai sekarang juga....." Han Lin menghela napas panjang. Kemudian Ia dapat menekan perasaannya. "Aku tidak pernah mengenal ayahku. Ayah telah meninggalkan ibu sejak aku berada dalam kandungan." "Ahh!" Kembali Eng-ji berseru. "Siapakah nama ayahmu, Lin-ko?" "Ayahku seorang Han, kebetulan she Han juga, bernama Tung. Menurut ibuku, ayahku seorang laki-laki yang gagah perkasa dan bijaksana. Dia meninggalkan ibuku untuk merantau ke selatan, akan tetapi tidak pernah ada berita darinya sampai aku lahir dan berusia tiga tahun." "Aneh sekali. Tentu telah terjadi apa-apa dengan ayahmu, Lin-ko." kata Kiok Hwa. "Ibu juga mengira demikian. Menurut ibu, ayah seorang bijaksana, tidak mungkin melupakan ibu. Akan tetapi malapetaka menimpa diri kami ketika aku berusia tiga tahun. Seorang penjahat besar datang mengacau perkampungan kami dan menculik ibu dan aku. Dia lihai sekali sehingga penduduk perkampungan Mongol tidak berdaya. Kami dilarikan ke selatan oleh penjahat itu." "Siapa penjahat terkutuk itu, Lin ko?" Han Lin memandang kepada Eng-Ji dan tersenyum, menggeleng kepalanya "Aku tidak tahu namanya." Jilid XV "LALU BAGAIMANA, LIN-KO?" kata Kiok Hwa yang merasa tertarik sekali dan ikut terharu dengan nasib Han Lin dan ibunya. "Penjahat itu membawa kami ke selatan," kata Han Lin yang ingin mempersingkat riwayatnya karena dia tidak ingin menyebut-nyebut nama Gobi Sam-sian di depan Eng-ji. "Si jahanam itu hendak memaksa ibu menjadi isterinya. Ibu tidak mau dan ketika dikejar penjahat itu, ibu melompat ke dalam jurang yang teramat dalam dan aku ketika itu menganggap bahwa tidak mungkin ibuku dapat selamat setelah terjatuh dari tempat yang sedemikian tingginya sampai seolah-olah tanpa dasar. Aku dijadikan perebutan antara penjahat itu dan Toa Ok, kemudian Toa Ok dan Sam Ok juga memperebutkan aku. Pada saat itulah aku ditolong oleh Bu-beng Lo-jin, yang kemudian menjadi guruku, bernama Cheng Hian Hwesio." "Dan sampai sekarang engkau belum tahu di mana adanya penjahat itu, Lin ko?" tanya Eng-ji. Han Lin menggeleng kepalanya. "Jahanam terkutuk. Kalau aku bertemu dia, akan kutabas batang lehernya untuk membalas sakit hatimu, Lin-ko" kata Eng-ji dan Han Lin diam saja, merasa tidak enak sekali karena pemuda remaja itu tidak tahu bahwa yang diancam itu adalah ayahnya sendiri! "Dan engkau juga tidak tahu di mana ayahmu berada, Linko?" "Menurut ibuku, ayahku tadinya pergi hendak mencari pekerjaan di kota raja. Karena itu, aku hendak menyusul ke kota raja mencarinya." jawab Han Lin. Setelah saling menceritakan riwayat masing-masing, ketiga orang muda itu lalu duduk beristirahat menghimpun kekuatan sambil menunggu datangnya pagi hari di mana diharapkan sinar matahari akan menerangi guha itu dan mereka dapat mencari jalan keluar. Sinar matahari pagi mulai menerobos kasuk ke bagian luar dari guha itu dan sinar terang mulai mengusir kegelapan di dalam guha. Tiga orang yang terperangkap itu sudah sadar dari samadhi mereka, tiba-tiba mereka mendengar suara ribut-ribut di sebelah luar guha. Eng-ji meletakkan telunjuknya di depan mulut memberi isyarat kepada dua orang kawannya untuk tidak mengeluarkan suara. Lalu dia berindap keluar mendekati pintu jeruji baja dan mengintai keluar. Ternyata yang ribut-ribut di luar dan saling berbantahan itu adalah Toa ok, Ji ok dan Sam Ok. "Tidak, aku tidak akan menyerahkan mereka itu kepada kalian. Mereka semua harus dibunuh!" kata Toa Ok dengan sikap marah kepada Ji Ok dan Sam Ok. "Toa Ok, sudah terlalu lama engkau bersikap seolah-olah engkau menguasai kami dan kami harus selalu tunduk terhadap kehendakmu! Sudah tiba saatnya bagi kita menentukan siapa yang pantas menjadi Toa Ok (si Jahat Nomor Satu)! bagaimanapun juga, dua orang pemuda itu harus diserahkan kepadaku!" kata Sam Ok dengan nada suara marah. "Dan gadis ahli pengobatan itu harus menjadi milikku!" kata pula Ji Ok. "Toa Ok, engkau sudah hendak memiliki Im-yangkiam dan kami hanya minta orang orang itu, mengapa engkau berkeras tidak menyetujui kehendak kami" Sikapmu membuat aku tidak mungkin mau tunduk lagi kepadamu!" Toa Ok mengerutkan alisnya yang tebal. "Sejak kapan kalian berani membantah kehendakku" Im-yang-kiam memang akan menjadi milikku dan tiga orang itu harus mati karena mereka akan merupakan ancaman bahaya bagi kita. Aku sudah memutuskan itu dan habis perkara!!" "Ha-ha, Ji Ok dan Sam Ok. Kalian hanya diperalat oleh Toa Ok, hanya dijadikan antek untuk memenuhi semua kehendaknya. Kalian berdua telah dipandang rendah dan tidak dihargai oleh Toa Ok. Hal ini terjadi karena kalian adalah pengecut-pengecut yang tidak berani melawannya!" Toa Ok marah sekali mendengar ucapan Eng-ji itu, apalagi ketika melihat Eng-ji mengintai dari balik pintu jeruji. Dia menggerakkan tangan kirinya menghantam dengan pukulan jarak jauh ke arah Eng-ji. Akan tetapi Eng-ji sudah mengelak dan melompat kembali ke dalam guha. "Ji Ok dan Sam Ok, kalau kalian tidak berani merentang Toa Ok, ternyata kalian hanya boneka-boneka yang tidak ada harganya sama sekali!" Kembali Eng-ji berteriak dari dalam guha. Suara lantang Eng-ji ini terdengar deh Ji Ok dan Sam Ok dan cukup membakar hati mereka. Ji Ok yang biarpun usianya sudah enam puluh tahun namun tampak masih seperti orang berusia empat puluh tahun, tampan dan lemah-lembut itu berkata sambil tersenyum. "Toa Ok, mulai saat ini aku tidak mengakuimu lagi sebagai orang pertama dari Thian-te Sam-ok!" "Aku juga tidak sudi mengakuimu sebagai pemimpin kami!" kata Sam Ok. "Keparat, kalian hendak menentang aku?" bentak Toa Ok. "Aku tidak takut padamu!" Ji Ok. "Akupun tidak takut!" kata pula Sam Ok "Ha-ha-ha, setelah kalian berani, lihat muka Toa Ok yang menjadi pucat panik .Dia tidak berani menghadapi kalian?" Eng-ji berteriak lagi sambil tertawa. Kini Toa Ok yang merasa hatinya panas sekali. "Persetan kalian!" Bentaknya dan cepat dia menerjang maju menyerang kedua orang rekannya itu dengan pukulan Ban-tok-ciang yang amat dahsyat itu. Dua orang itu cepat mengelak dan membalas sehingga terjadilah perkelahian yang seru dan hebat antara Toa Ok melawan Ji Ok dan Sam Ok yang mengeroyoknya. Melihat ini, Eng-ji cepat berkata kepada Han Lin dan Kiok Hwa. "Sekarang kesempatan kita untuk menerjang keluar membobolkan pintu!" Han Lin menarik tangan Kiok Hwa dan mereka bertiga menyerbu pintu Akan tetapi mereka terkejut ketika banyak senjata rahasia menyambutnya. Kiranya para penjaga itu masih tetap berjaga di situ dan menghujankan anak anah dan senjata rahasia lain sehingga tiga orang itu sibuk mengelak lalu terpaksa kembali ke dalam guha. "Kita tidak dapat lolos dari depan," kata Han Lin. "Biarpun engkau berhasil memancing tiga orang Thian-te Sam-ok itu berkelahi sendiri, akan tetapi penjagaan masih ketat." "Setidaknya, perpecahan antara Thian-te Sam-ok telah melemahkan keadaan mereka," bantah Eng-ji. Thian-te Sam-ok adalah tiga orang tokoh datuk yang berwatak aneh dan jahat sekali. Kalau tidak begitu mereka tidak akan mendapat julukan Thian-te Sam-ok (Tiga Jahat Bumi Langit). Mereka itu kejam, licik, tinggi hati dan mau menang sendiri saja. Karena mereka membagi diri sendiri menjadi bertingkat, ada tingkat satu, dua dan tiga, maka terjadilah persaingan antara mereka sendiri. kalau tidak ada sesuatu yang diperebutkan memang mereka tidak saling mengiri, akan tetapi kalau sudah mengenai kepentingan diri masing-masing, timbul ah hati dan permusuhan di antara mereka. Ji Ok tidak pernah merasa kalah dalam hal apa juga dibanding Toa Ok, dan Sam Ok juga tidak mau tunduk begitu saja terhadap Ji Ok atau Toa Ok. Terutama sekali terhadap Toa Ok yang selalu bersikap memimpin dan mau enaknya sendiri saja, sudah lama Ji Ok dan Sam Ok merasa tidak puas. Kini, permintaan Ji Ok untuk mendapatkan Kiok Hwa dan permintaan Sam Ok untuk mendapatkan Han Lin dan Eng-ji ditolak oleh Toa Ok maka setelah mendengar ucapan Eng ji yang memanaskan perut, Persaingan tiga orang yang memang sudah mulai bernyala itu menjadi semakin berkobar dan perkelahian tidak dapat dihindarkan lagi. Toa Ok dikeroyok oleh Ji Ok dan Sam Ok! Lian Hoat Tosu dan Lian Bok Tok ketua dan wakil ketua cabang Pek-liai kauw itu melihat perkelahian di antara Thiante Sam-ok, tidak dapat berbuat sesuatu. Mereka tidak berani mencampuri urusan tiga orang datuk itu karena bergabungnya tiga orang datuk itu dengan mereka memperkuat kedudukan mereka. Pula, mereka sama sekali tidak mempunyai kepentingan dengan cekcoknya tiga orang datuk itu, maka merekapun hanya nenonton sambil tetap mempersiapkan anak buahnya untuk menjaga agar tiga orang musuh yang terperangkap dalam guha itu tidak dapat lolos. Perkelahian itu telah mencapai puncaknya. Toa Ok telah mencabut pedang kim-liong-kiam dan mengamuk dikeroyok dua oleh rekan-rekannya sendiri. Ji Ok iuga sudah mengeluarkan sabuk sutera putihnya dan bersilat dengan menggerakkan sabuk sutera putih itu yang berkelebatan dan berliak-liuk seperti seekor ular putih yang panjang. Sam Ok juga sudah mencabut Hek-kong-kiam yang beracun tu. Mereka berkelahi mati-matian, mengirim serangan-serangan maut, baik dengan senjata mereka maupun dengan tangan kiri yang mengirim pukulan-pukulan beracun yang amat berbahaya. Tangan kiri Toa Ok dan Ji Ok mendorong-dorong dengan ilmu pukulan Ban-tok-ciang, sedangkan jari tangan kiri Sam Ok juga menyambar-nyambar dengan ilmu Ban tok-ci (Jari Selaksa Racun). Biarpun mereka merupakan rekan-rekan yang telah samasama membuat nama besar sebagai tri tunggal, namun ternyata dasar ilmu silat mereka saling berbeda. Hanya ilmu Ban-tok-ciang saja yang sama karena ilmu ini memang dirangkai oleh mereka bertiga. Maka pertandingan itu menjadi seru bukan main. Kalau lawan satu sama satu, tingkat Toa Ok memang agak lebih tinggi dibandingkan dua orang rekannya. Akan tetapi sekali ini dia dikeroyok dua sehingga keadaan menjadi seimbang, bahkan Toa Ok mulai terdesak setelah perkelahian berjalan lima puluh jurus lebih. Toa Ok marah sekali dan menganggap bahwa dua orang Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo rekan bawahannya itu memberontak. Maka diapun menggerakkan pedang dan tangan kirinya dengan sungguhsungguh, dengan niat untuk membunuh mereka berdua yang kini dianggap menghalanginya. Demikian pula Ji Ok dan Sam Ok, mereka ingin membunuh Toa Ok agar tidak ditekan dan dikuasai lagi oleh Toa Ok. Tiba-tiba Toa Ok mengeluarkan teriakan memanjang dan tubuhnya berputar seperti gasing! Dia telah mengeluarkan Ilmu silat simpanannya, yaitu yang disebut Pat-hong Hong-i (Delapan Penjuru angin Hujan). Tubuhnya berputar seperti gasing dan dari putaran itu mencuat sambaran pedangnya dan hantaman Ban-tok-ciang. Demikian cepatnya gerakan Toa Ok ini sehingga dalam detik yang sama, tangan kirinya menghantam dada Ji Ok dan pedang Kim-liong-kiam di tangan kanannya menusuk paha Sam Ok! Akan tetapi sebelum roboh, Sam Ok berhasil pula menyabetkan pedang Hek-kong-kiam dan mengenai pundak Toa Ok! Tiga orang Thian-te Sam-ok itupun roboh semua dan menderita luka-luka parah. Chai Li yang melihat Ji Ok roboh, dengan ganas lalu menyerang Toa Ok dengan pedangnya. Toa Ok sudah roboh karena terluka pundaknya, akan tetapi ketika melihat Chai Li menyerangnya, dia menggerakkan kakinya menendang. "Wuuuttt...... desss....!!" Tendangan yang keras mengenai lambung Chai Li dan wanita itu terlempar jauh lalu robot pingsan, pedangnya terlempar pula! Toa Ok yang menderita luka bacokan pedang Hek-kongkiam di pundaknya, maklum. bahwa keadaan dirinya berbahaya sekali. Pedang Sam Ok itu mengandung racun yang amat berbahaya. Kalau tidak segera mendapat pengobatan seorang ahli, dia tentu akan tewas karena lukanya itu. Dia teringat akan Pek I Yok Sian-li, maka dengan suara nyaring diapui berteriak ke arah dalam guha. "Pek I Yok Sian-li, keluarlah engkau. Kami membutuhkan bantuanmu untuk mengobati luka-luka kami!" "Toa Ok!" seru Eng-ji nyaring. "Jangan mencoba-coba untuk membujuk enci Kiok Hwa untuk mengobati kalian. Kalian amat jahat dan telah menjebak kami biarlah kalian mampus karena luka-luka itu. Enci Kiok Hwa tidak sudi mengobatimu!" Akan tetapi, Toa Ok berseru lagi "Pek I Yok Sian-li, keluarlah. Kami berjanji akan membebaskanmu kalau engkau suka mengobati kami sampai sembuh!" Sementara itu, di sebelah dalam guha, Kiok Hwa yang melihat betapa buntalan pakaiannya berada dalam gendongan Han Lin, segera berkata kepada pemuda itu. "Lin-ko, ke sinikanlah buntalanku itu. Aku hendak mengobati mereka." "Kiok-moi! Engkau akan ditipunya! Dia tidak akan membebaskanmu setelah engkau menolong mereka. Mereka amat jahat, tidak perlu ditolong....!" "Tidak, Lin-ko. Aku harus menolong mereka yang menderita luka-luka parah dan aku tidak minta imbalan apapun." kata Kiok Hwa dengan suara tegas. Mendengar katakata dan melihat sikap Kiok Hwa ini, Eng-ji berteriak lagi keluar guha. "Toa Ok, berjanjilah bahwa engkau akan membebaskan kami semua, baru enci Kiok Hwa akan mengobati kalian!" Terdengar jawaban Toa Ok, ditujukan kepada Kiok Hwa, "Pek I Yok Sian-li, kami berjanji kalau engkau sudah mengobati kami sampai sembuh, kami akan membebaskan kalian bertiga!" Eng-ji berteriak lagi, nyaring sekali "Bukan berjanji, bersumpahlah!" Sampai lama tidak terdengar jawaban lalu Toa Ok berteriak, "Kami bersumpah akan membebaskan kalian semua setelah kami disembuhkan!" Eng-ji bersungut-sungut. "Jangan percaya kepada Toa Ok, enci Kiok Hwa. Biar dia sudah bersumpah, orang macam itu mana dapat dipercaya sumpahnya?" "Eng-ji, aku harus mengobati mereka dan aku tidak minta imbalan apa-apa untuk itu." kata Kiok Hwa sambil menerima buntalan pakaiannya dan Han Lin. "Nah aku keluar dulu. Sukur kalau mereka mau membebaskan kita kelak." Tanpa dapat dibujuk lagi oleh Eng ji dan Han Lin, Kiok Hwa melangkah ke pintu jeruji baja. Melihat yang keluar hanya Kiok Hwa yang menggendong buntalan, Toa Ok lalu menyuruh Lian Hoa Tosu ketua cabang Pek-lian-kauw untul membukakan pintu guha itu. Dengan tenang Kiok Hwa keluar dari pintu lalu dikunci dan dirantai lagi. Kiok Hwa langsung saja memeriksa luka dipundak Toa Ok. Ia mengerutkan alisnya. "Otot besar dan tulangnya tidak terbacok putus, akan tetapi pedang itu mengandung racun yang amat berbahaya. Kalau tidak cepat diobati, dapat merenggut nyawa." katanya sambil membubuhkan obat bubuk penyedot racun pada luka itu, kemudian membalut pundak itu. "Tinggal mengobati dengan tusuk jarum untuk menghilangkan hawa beracun yang mengeram di dalam pundak." katanya. Kemudian ia memeriksa Sam Ok yang pahanya tertusuk pedang Kim-liongkiam. Seperti halnya dengan Toa Ok, luka di paha ini juga mengandung racun yang berbahaya. Setelah mengobati luka di paha Sam Ok dan menotok jalan darahnya menyadarkannya dari pingsannya, iapun menyuruh Sam Ok pergi ke dalam rumah seperti Toa Ok untuk diobati dengan tusuk jarum. Setelah itu ia memeriksa keadaan Ji ok. Akan tetapi ketika ia menghampiri Sam Ok untuk memeriksa, Ji Ok yang meringis karena menderita nyeri itu berkata, "Periksalah isteriku lebih dulu, aku nanti saja belakangan." Kiok Hwa menoleh kepada Chai Li yang masih rebah pingsan. Ia merasa heran melihat sikap Ji Ok demikian mementingkan wanita yang disebutnya isterinya itu. Akan tetapi ia menurut dan menghampiri Chai Li. Setelah diperiksanya, ternyata Chai Li tidak menderita luka dalam yang parah, hanya isi perutnya terguncang karena tendangan yang mengenai lambung itu. Akan tetapi karena timbul dalam pikirannya untuk coba menyadarkan ingatan Chai Li, Kiok Hwa pura-pura mengerutkan alisnya dan ia berkata, "Wah, lukanya berbahaya sekali! Aku harus mengobatinya dengan tusuk jarum. Harap bawa ia ke dalam rumah."! Ji Ok lalu memberi perintah kepada anak buah Pek-liankauw untuk mengangkut Chai Li ke dalam rumah. Setelah itu barulah dia membiarkan dirinya diperiksa. Lukanya hebat dan berbahaya. Di dadanya terdapat tanda telapak jari tangan yang menghitam, sebagai akibat pukulan Ban-tok-ciang oleh Toa Ok. Kiok Hwa menotok beberapa jalan darah untuk mencegah racun menjalar makin jauh, lalu mengusulkan agar Ji Ok diangkut pula ke dalam rumah. Akan tetapi Ji Ok minta dibaringkan sekamar dengan Chai Li! Dia ingin tahu bagaimana keadaan wanita yang dianggap sebagai isterinya yang tercinta itu. Kiok Hwa mempergunakan kepandaiannya untuk mengobati mereka semua dan berkat kepandaiannya yang tinggi dan obat-obat manjur yang tersedia dalam buntalan pakaiannya, ia dapat menyembuhkan Toa Ok dan Sam Ok. Akan tetapi ia masih merawat Ji Ok dan Chai Li. Ia sengaja memberi pengobatan tusuk jarum kepada Ji Ok yang membuat datuk itu tidak sadarkan diri untuk beberapa jam lamanya! Kesempatan ini dipergunakan oleh Kiok Hwa untuk mengobati Chai Li, tidak saja mengobati bekas tendangan dari Toa Ok kepada wanita itu, akan tetapi terutama sekali untuk menyadarkan kembali ingatannya yang bilang karena pengaruh racun perampas ingatan! Mula-mula memang ia mengobati lebih dulu lambung Chai Li yang terkena tendangan hebat dari Toa Ok itu. Setelah memberi minum obat yang akan melindungi isi perut, ia mulai melakukan tusuk jarum yang membuka ingatan Chai Li yang tertutup. Selama mengalami pengobatan tusuk jarum ini, Chai Li tidak sadarkan diri dan memang hal ini dilakukan dengan sengaja oleh Kiok Hwa sebagai ahli pengobatan. Setelah tertidur selama tiga jam, Chai Li membuka matanya perlahan dan ia merintih, lalu memandang kepada Kiok Hwa. "Siapa engkau......" Di mana aku....?" Kiok Hwa girang sekali. Dua kalimat itu saja sudah menunjukkan bahwa Chai Li mulai menyadari keadaan dirinya. ia mendekati dan berkata lembut. "Bibi Chai Li, aku Tan Kiok Hwa yang mengobatimu karena engkau terluka." katanya. Chai Li memandang ke sekeliling dan melihat Ji Ok rebah seperti orang tidur. Ia mencoba untuk bangkit, dibantu oleh Kiok Hwa. "Dia suamiku.... kenapa dia.." "Dia juga terluka, akan tetapi sudah kuobati dan dia akan sembuh kembali. Akan tetapi, bibi, apakah engkau tidak ingat kepada puteramu Han Lin?" Chai Li membelalakkan matanya dan mukanya berubah pucat. "Han Lin anakku....! Di mana dia....?" "Dia telah terperangkap di dalam guha berpintu baja di bukit sebelah belakang. Dia terperangkap oleh Thian-te Samok dan keselamatannya terancam." "Ohhhh....., akan tetapi kenapa" Kenapa....." Ah, kepalaku pusing sekali!" Ia rebah kembali dan Kiok Hwa lalu berkata halus. "Kalau begitu tidurlah dulu, bibi Chai Li. Engkau perlu beristirahat untuk memulihkan pikiranmu." Ia lalu menotok beberapa jalan darah dan wanita itu lalu tertidur kembali. Dengan kepandaiannya dalam hal ilmu pengobatan yang tinggi, dalam waktu beberapa jam saja Kiok Hwa telah mampu menyembuhkan Thian-te Sam-ok dan juga Chai Li. Mereka itu hanya tinggal menyempurnakan kesembuhan itu dengan minum obat penguat tubuh. Malam itu Chai Li sudah sadar beberapa kali. akan tetapi Kiok Hwa yang mengatakan kepada Ji Ok bahwa ia masih harus merawat Chai Li, membuat wanita itu tertidur lagi dengan tusukan jarumnya. Pada keesokan harinya, Thian-te Sam Ok sudah merasa sembuh betul dan Kiok Hwa berkata kepada Toa Ok ketika mereka semua, kecuali Chai Li yang masih tertidur di kamarnya, berkumpul di ruangan besar di rumah ketua Pekliankauw itu. "Toa Ok, sekarang kalian bertiga sudah sembuh, maka aku harap engkau suka memenuhi sumpah dan janjimu bahwa engkau akan membebaskan kami bertiga." Mendengar ucapan Kiok Hwa itu, Toa Ok tertawa bergelak dan sambil memandang kepada Ji Ok dan Sam Ok, dia bertanya, "Ji Ok dan Sam Ok, bagaimana pendapat kalian dengan permintaan Pek Yok Sian-li ini?" Memang watak tiga orang ini aneh sekali. Kemarin baru saja mereka saling serang untuk saling bunuh, dan sekarang mereka telah berkumpul dan berbicara kembali seolah tidak pernah terjadi apa apa kemarin di antara mereka. "Engkau yang berjanji, Toa Ok, akan tetapi aku tidak, maka aku tidak akan membebaskan mereka!" kata Ji Ok dengan suara dingin. "Aku juga tidak setuju kalau mereka dibebaskan. Susahsusah kita menjebak mereka, enak saja mau dibebaskan. Tidak, pemuda-pemuda itu kalau tidak bisa keduanya, yang seorang di antara mereka, harus menjadi milikku!" kata Sam Ok. Kiok Hwa sudah menduga akan hal ini dan tidak menjadi kaget atau heran. Ia lahu bahwa Thian-te Sam-ok adalah tiga orang yang amat jahat dan terkenal kelicikan mereka di dunia kang-ouw. Ia hanya menyesal bahwa Han Lin dan Eng-Ji tidak harapan untuk dibebaskan dan ia mencela Toa Ok. "Toa Ok, engkau sungguh seorang yang tidak pantas dihormati, menjilat sumpah sendiri." "Ha-ha-ha, siapa bilang bahwa aku salah seorang yang suka memenuhi janjiku" Akan tetapi terhadap engkau aku bersikap lain, Pek I Yok Sian-li. Sekarang juga aku membebaskanmu dan tidak seorangpun boleh menghalangi. Nah, engkau sekarang boleh pergi dengan bebas, tidak menjadi tawananku lagi." Kiok Hwa mengerutkan alisnya. "Aku datang bertiga, pergipun harus bertiga Toa Ok. Aku tidak mau bebas kalau dua orang kawanku itu tidak dibebaskan juga." "Tidak bisa, Sian-li. Permintaanmu itu tidak mungkin dapat kupenuhi. Dua orang pemuda itu tidak akan kubebaskan!" kata Toa Ok. "Biarpun Im-yang-kiam akan diberikan kepadamu?" "Ya, biarpun Im-yang-kiam akan diberikan kepadaku, dua orang muda itu tidak akan kubebaskan." "Betul sekali, serahkan mereka kepadaku, Toa Ok!" kata Sam Ok. Kiok Hwa memandang dengan sinr mata tajam. "Toa Ok, kalau begitu, biarlah aku kembali ke dalam guha. Aku tidak mau dibebaskan sendiri saja!" Kiok Hwa lalu melangkah keluar dari rumah menuju ke belakang, di kuti oleh Toa Ok. Sampai di depan guha, Kiok Hwa berkata kepada para penjaga. "Buka pintu guha, biarkan aku masuk!" "Sian-li, engkau sendiri yang minta kembali ke guha, kelak jangan salahkan kami!" kata Toa Ok yang memberi isarat kepada para penjaga untuk membuka pintu guha itu. Kiok Hwa menyelinap masuk. Han Lin dan Eng-ji menyambutnya dengan heran. "Kiok-moi, bagaimana engkau kembali ke sini?" tanya Han Lin. "Enci Kiok Hwa, apakah mereka itu menipumu dan mengembalikanmu ke sini?" tanya Eng-ji. "Tidak, aku kembali ke sini atas permintaanku sendiri karena mereka hanya akan membebaskan aku dan tidak mau membebaskan kalian. Aku tidak mau meninggalkan kalian." Diam-diam Han Lin merasa terharu. Gadis ini sungguh merupakan seorang yang setia! Karena dia menduga bahwa tentu Kiok Hwa tidak mau meninggalkan dia seorang diri menghadapi bahaya, maka dengan hati terharu dan juga bahagia Han Lin menghampiri Kiok Hwa dan memegang kedua tangan gadis itu dfl memandang dengan mesra. "Kiok-moi, kenapa engkau lakukan semua ini" Aku rela menderita apa saja asalkan engkau selamat lolos dari sini. Kenapa engkau masuk kembali?" Kiok Hwa melirik ke arah Eng-ji dan melihat betapa Eng-ji memandang mereka dengan muka berubah merah dan mata berapi-api. Maka, dengan halus ia melepaskan pegangan tangan Han Lin dan berkata, "Kita terjebak bersama-sama bagaimana mungkin aku meninggalkan kalian menghadapi Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bahaya berdua saja. Biarlah kita menghadapi bahaya bertiga juga." Kini Thian-te Sam-ok bertiga sudah berada di depan pintu guha semua, di temani oleh dua orang pimpinan Pek-lian kau w. Matahari mulai naik tinggi dan keadaan di dalam guha tidak begitu gelap lagi. Han Lin melihat bahwa guha ini mempunyai terowongan yang dalamnya ada sepuluh meter, akan tetapi lalu tertutup sama sekali oleh dinding batu. Tidak ada jalan untuk meloloskan diri dari dalam guha itu sama sekali! "Hei i, Han Lin. Cepat kau lemparkan Im-yang-kiam ke pintu ini! Kemudian kalian satu demi satu keluar dan menyerah kepada kami!" Terdengar Toa Ok berseru dengan lantang. Han Lin tidak segera menjawab, melainkan bertanya kepada Kiok Hwa dan Eng-ji. "Bagaimana pendapat kalian?" "Terserah kepadamu, Lin-ko." kata Kiok Hwa lembut. "Tidak, jangan menyerah. Kalau kita menyerah, kita tentu akan celaka. Sebaiknya kita menerjang keluar dan melawan Mati-matian!" kata Eng-ji. "Toa Ok, engkau sungguh seorang yang tidak tahu malu, tidak dapat memegang janji dan sumpahmu. Aku tidak akan menyerahkan Im-yang-kiam kepada orang seperti kamu!" Toa Ok menjadi marah sekali. "Ledakkan pembius ke dalam guha!" perintahnya dan dua pimpinan Pek-lian-kauw lalu memberi isarat kepada anak buah mereka. Beberapa orang lalu melemparkan berapa buah benda hitam ke dalam guha dan terdengar ledakan-ledakan. Asap kebiruan mengepul tebal memenuhi guha. "Cepat masuk ke sini!" Han Lin berseru kepada dua orang kawannya dan mereka lalu memasuki terowongan guha Asap kebiruan itu tidak mencapai sebelah dalam guha, akan tetapi terdengar ledakan-ledakan lagi dan asap semakin tebal mulai perlahan-lahan masuk dan mengejar mereka yang bersembunyi di sebelah dalam guha! Keadaan mereka gawat sekali. Kabut asap sudah memenuhi dalam guha itu. mereka akan terkepung asap dan tidak mungkin mereka terus menahan napas. Akhirnya mereka akan menyedot asap itu dan akan terbius! "Kita tahan napas dan menerobos keluar dengan nekat!" kata Eng-ji. Ia sudah siap untuk menerjang keluar dan mengamuk di pintu guha. "Tunggu dulu!" Han Lin memegang tangannya dan mencegahnya karena pada saat itu terdengar suara dari belakang mereka. Dinding batu itupun bergerak dan segera terbuka sebuah lubang selebar satu meter pada dinding itu! Sesosok bayangan muncul dari dalam lubang itu. Tiga orang muda itu terkejut karena tidak menyangka bahwa dinding itu dapat terbuka dan muncul seorang yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka. "Ibuuuu......!!" Han Lin berteriak sambil melangkah maju menyambut wanita yang keluar dari lubang itu. Chai Li menatap wajah Han Lin dengan muka pucat dan matanya terbelalak. "Han Lin......?" katanya dengan suara cadel. "Engkau.... Han Lin.....?" Suaranya tergetar mengandung isak. "Ibuuuu......!!" Han Lin berseru lagi dan mengembangkan kedua lengannya. Ibu dan anak itu saling tubruk dan di lain saat mereka sudah berangkulan sambil menangis. Han Lin tidak malu-malu untuk menangis seperti seorang anak kecil dan Chai Li mendekap kepala Han Lin di dadanya, lalu memegang kepala itu dengan kedua tangannya, memandangi muka itu lalu menciuminya dengan mata bercucuran air mata. "Han Lin..... anakku.....!" isaknya. "Darr..... darrr.....!" Terdengar lagi ledakan-ledakan di dalam guha itu dan hal ini menyadarkan Chai Li. Ia segera memegang tangan kanan puteranya dai menariknya. "Mari, kita harus cepat pergi dari sini!" katanya dengan suara yang tidak jelas, akan tetapi cukup dimengerti oleh Han Lin yang sudah terbiasa mendengar suara atau cara bicara ibunya yang pelok. Chai Li menarik Han Lin memasuki lubang pintu yang muncul di dinding tadi. Tanpa diajak atau diperintah, Eng-ji dan Kiok Hwa mengikuti mereka memasuki pintu itu. Setelah tiba di dalam, Chai Li menggerakkan sebuah besi yang menonjol di antara batu-batu di dinding. Terdengar suara keras dan dinding itu bergerak menutup kembali. Kiranya pintu itu adalah sebuah pintu rahasia yang dapat dibuka tutup dari sebelah dalam. Chai Li terus menarik tangan Han Lin diajak lari melalui sebuah terowongan yang lebarnya hanya satu meter dan tingginya sekitar dua meter. Sementara itu, di luar guha, mereka tidak mengetahui apa yang terjadi di dalam karena memang tidak tampak dari luar. Akan tetapi ketika mereka sedang menonton asap kebiruan yang bergulung-gulung memenuhi guha, tiba-tiba Ji Ok berseru, "Eh, mana Chai Li?" Seruan Ji Ok ini menyadarkan Toa Ok. "Celaka! Janganjangan wanitamu itu berusaha untuk membebaskan mereka lewat pintu rahasia!" Setelah berkata demikian, Toa Ok lalu berkata kepada dua orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw. "Ji-wi totiang (bapak pendeta berdua) harap kalian menjaga di sini dan jangan biarkan mereka menerjang keluar. Kami akan memeriksa dari balik bukit!" Dia lalu berlari dan mengajak belasan orang anak buah Pek-lian-kauw, di kuti pula oleh Ji Ok dan Sam Ok. Lorong sempit itu ternyata panjang dan berbelak-belok lagi gelap. Sambil meraba-raba Chai Li yang berjalan di depan, terus bergerak maju dan tiga orang muda itu mengikutinya. Setelah suatu perjalanan yang gelap dan lama, akhirnya mereka melihat cahaya di depan dan ternyata lorong itu tembus sebuah guha kecil balik bukit! Akan tetapi begitu mereka muncul keluar dari guha kecil itu, terdengar bentakan-bentakan nyaring dan mereka berempat telah dikepung oleh Thian-te Sam-ok dan lima belas orang anak buah Pek-lian-kauw yang kesemuanya telah memegang senjata tajam di tangan mereka! "Chai Li! Engkau mau mengkhianat aku suamimu?" terdengar Ji Ok membentak dengan suara mengandung kemarahan. Terdengar suara gerengan melengking yang menggetarkan seluruh tempat itu dan mengguncang jantung semua orang. Itulah teriakan Sai-cu Ho-kang yang dikeluarkan oleh Han Lin yang menjadi marah sekali! Sekaligus lengkingan itu mengusir semua pengaruh sihir dan dia berseru, "Ibu, jangan dengarkan omongannya yang beracun. Manusia laknat itu telah menyihirmu!" Akan tetapi Toa Ok dengan marah sudah menerjangnya sambil mengerahkah semua anak buah untuk mulai mengepung dan menyerang. Sementara itu, Chai Li dengan suaranya yang tidak jelas berkata, "Suamiku, ini adalah Han Lin puteraku...!" Kata-kata itu membuat Ji Ok menjadi semakin marah dan dia sudah mengeluarkan tiga buah pisau terbang dan dengan repat tangannya bergerak dan tiga sinar menyambar ke arah Han Lin. Melihat ini, Chai Li menjerit. "Jangan bunuh anakku!" Dan diapun melompat, menghadang dan melindungi Han Lin dari sambaran tiga batang pisau itu. Tak dapat dicegah lagi, sebatang pisau menancap di dada Chai Li dan ia-pun roboh terpelanting! Han Lin terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa ibunya akan melakukan perbuatan nekat itu. "Ibuuuuu......!" Teriaknya, akan tetapi karena Toa Ok dan Sam Ok sudah mendesaknya, diapun terpaksa menggerakkan Im-yang-kiam untuk rnelindungi dirinya. Sementara itu, Eng-ji mengamuk, dikeroyok oleh belasan orang anak buah Pek-lian-kauw. Amukan Eng-ji mengerikan karena setiap kali pedangnya berkelebat, tentu ada seorang anggauta Pek lian-kauw yang roboh terluka hebat atas tewas seketika! Kiok Hwa juga dikeroyok akan tetapi ia hanya mengelak dan merobohkan penyerangnya dengan totokan totokan. Melihat betapa lontaran pisau-pisaunya tidak mengenai sasaran bahkan sebatang pisau telah mengenai Chai Li dan merobohkannya, mata Ji Ok terbelalak, mukanya menjadi pucat dan tanpa memperdulikan apapun dia lalu menubruk Chai Li, mengangkat tubuh atasnya dan merangkulnya sambil mengeluh dan meratap! "Chai Li, isteriku...... ah, mengapa kau lakukan ini....." Isteriku, bukalah matamu...... jangan mati, jangan tinggalkan aku seorang diri....." Dan terjadilah suatu keganjilan! Ji Ok Phoa Li Seng, datuk yang terkenal sadis, kejam dan amat jahat itu, kini menangis seperti seorang anak kecil! Dia tidak berani mencabut pisau yang menancap di dada Chai Li. maklum bahwa kalau hal itu dilakukan akibatnya akan membahayakan keselamatan nyawa wanita itu. Chai Li membuka matanya dan berkata lemah, "..... jangan..... jangan bunuh anakku Han Lin..... jangan......" kembali ia memejamkan kedua matanya. "Isteriku.....! Jangan mati.....!" Ji Ok kembali berseru dan merangkul isterinya dengan khawatir sekali. Sementara itu, Han Lin melihat betapa Ji Ok merangkul ibunya. Dia menjadi arah bukan main, hatinya penuh kebencian dan kemarahannya membuat gerakannya liar dan ganas sekali. Toa Ok dan Sam Ok yang mengeroyoknya dibantu beberapa orang anak buah Pek-lian-kauw, terpaksa mundur melihat betapa Im-yang-kiam berubah menjadi tangan maut yang menyambar-nyambar. Eng-ji yang mengamuk akhirnya telah merobohkan semua pengeroyoknya dan kini dia menerjang mereka yang mengeroyok Han Lin. Terjangannya membuat para pengeroyok menjadi semakin kacau. Melihat ini, Toa Ok dan Sam Ok maklum bahwa keadaan mereka berbalik terancam bahaya, maka tanpa dikomando lagi, mereka berdua lalu berlompatan jauh dan melarikan diri, di kuti oleh sisa anak buah Pek-lian-kauw yang belum roboh Hanya Ji Ok yang masih berada di situ, masih merangkul dan menangisi Chai Li. Han Lin tidak mengejar Toa Ok dai Sam Ok yang melarikan diri. Dia menengok ke arah ibunya dan melihat Ji Ok merangkul tubuh ibunya. Dengan geram dia melangkah maju. "Jahanam busuk, lepaskan ibuku!" bentaknya dengan suara yang lantang sekali saking marahnya. Demikian lantang bentakannya sehingga mengejutkan Ji Ok dan perlahan-lahan Ji Ok melepaskan tubuh atas Chai Li dan merebahkannya di atas tanah. Begitu Ji Ok melepaskan Chai Li Han Lin menerjang ke depan dan gerakannya demikian cepat dan demikian ganas kakinya mencuat dengan tendangan yang kuat sekali, yang tidak mungkin dapat dielakkan atau ditangkis oleh Ji Ok yang masih berjongkok. "Wuuuutt...... desss......!" Bagaikan sebuah bola, tubuh Ji Ok melambung dihantam tendangan kaki kanan yang amat keras itu dan jatuh terbanting. Han Lin hendak mengejar, dengan pedang Im-yang-tiam masih di tangan, akan tetapi tiba-tiba terdengar Chai Li berseru. "Han Lin, jangan.....!! Han Lin, kesinilah.....!" Mendengar seruan ibunya, Han Lin tidak melanjutkan pengejarannya dan cepat menjatuhkan dirinya berlutut di dekat Chai Li sambil meletakkan pedangnya di atas tanah, lalu dirangkulnya ibunya yang sudah terengah-engah itu. "Jangan pukul dia, Han Lin..... dia......ia...... suamiku....." "Akan tetapi, ibu....." "Aku berhutang...... nyawa..... kepadanya....." kembali Chai Li berkata, suaranya terputus-putus dan iapun terkulai pingsan. "lbuuuu.....! Kiok-moi, cepat tolonglah ibuku.....!" kata Han Lin kepada Kiok hwa. Gadis itu cepat berlutut di sebelah Han Lin, memeriksa keadaan Chai Li, detak jantungnya melalui urat nadi, pernapasannya dan ia lalu menggeleng dengan sedih sambil memandang kepada Han Lin dengan penuh perasaan iba. "Ibumu telah mangkat, Lin-ko...." katanya lirih. Han Lin terbelalak memandang ibunya mengguncangguncang tubuh yang masih hangat itu dan sekali lagi Chai Li menggerakkan bibirnya. "Han Lin..... carilah!! ayahmu......" Lalu ia terkulai dan menghembuskan napasnya yang terakhir. "Ibuuuuu......!" Han Lin menjerit dan diapun roboh pingsan. Kepala ibunya terkulai menindih dadanya. Melihat keadaan Han Lin ini, Eng ji menjadi marah bukan main. Dengan pedang di tangan dia menerjang ke arah Ji Ok sambil membentak, "Aku harus membunuhmu untuk ini!" Dan diapun sudah menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi Ji Ok yang tadinya memandang kearah Chai Li dengan air mata bercucuran cepat meloncat dan melarikan diri dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Eng-ji hendak mengejar, akan tetap dia teringat akan Han Lin dan menengok lalu menghampiri Han Lin yang masih roboh pingsan. "Lin-ko......!" Diapun mengguncang pundak Han Lin dan tak dapat menahan kesedihan hatinya diapun menangis sesenggukan! "Minggirlah, Eng-ji, biar aku menyadarkannya." kata Kiok Hwa dan ia lalu menekan bagian tengah bawah hidung Han Lin. Tak berapa lama kemudian Han Lin siuman dan dia menghela napas dan membuka matanya. Dia segera teringat akan keadaan ibunya dan kembali dia merangkul jenazah ibunya sambil menangis, tidak melihat betapa Eng-ji juga menangis sesenggukan di sebelahnya. "Ibuuu...... ah, ibu.....!!" Han Lin tidak kuasa menahan kesedihan hatinya lagi dan dia mengguguk sambil menciumi muka ibunya. Kiok Hwa memandang dengan kedua mata basah. Hatinya seperti menjerit-jerit menemani kesedihan Han Lin. Hatinya penuh iba kepada laki-laki yang dicintanya itu, akan tetapi dengan kekuatan batinnya ia menahan diri agar tidak menyakitkan hati Eng-ji yang masih sesenggukan itu. Setelah menenangkan hatinya yang terguncang keharuan, Kiok Hwa berkata dengan lembut dan lirih. "Sudahlah, Lin ko. Tidak ada gunanya lagi ditangisi bahkan kesedihanmu yang berlarut-larut akan menjadi penghambat perjalanan ibumu. Ibumu telah kembali ke alam asalnya, telah terbebas dari segala macam penderitaan dunia. Bahkan ibumu tewas karena melindungimu, Lin-ko. Ibumu telah melakukan sesuatu pada saat terakhir yang amat berharga dan bijaksana bagi seorang Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ibu." Han Lin menahan tangisnya dan menoleh kepada Kiok Hwa. "Akan tetapi, Kiok-moi. Sudah bertahun-tahun aku menganggap ibu telah meninggal, sekarang kami dapat saling berjumpa lagi, akan tetapi ia...... ia..... ah, kasihan ibu..... aku harus membunuh jahanam itu.....!" Tiba tiba Han Lin mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya melompat jauh lalu berlari cepat seperti terbang melakukan pengejaran dan pencarian terhadap Ji Ok. Ji Ok melarikan diri. Dalam hatinya terjadi guncangan hebat. Dia merasa bersedih bukan main atas kematian Chai Li yang baginya telah menjadi isterinya Yang terkasih. Akan tetapi dia terpaksa harus melarikan diri karena dia maklum bahwa kalau dia tidak lari, tentu dia akan tewas. Apalagi dia merasa gentar menghadapi Han Lin yang kematian ibunya dan tentu pemuda itu menyalahkan dirinya dan akan membunuhnya. Maka, dia melarikan diri tunggang-langgang dan secepat mungkin. Karena berlari terlalu cepat, melebihi kekuatannya dan mengerahkan seluruh tenaganya, maka ketika tiba di depan sebuah rumah dusun yang terpencil dan berada di luar dusun, napasnya terengah-engah seperti akan putus! Seorang petani setengah tua, berusia kurang lebih empat puluh lima tahun yang sedang mencangkul di kebun depan tumahnya, melihat Ji Ok berhenti dari berlari-lari dan napasnya terengah-engah, mukanya pucat, segera menghentikan pekerjaannya dan menghampiri Ji Ok. Ji Ok yang mengenakan pakaian mewah dan sikapnya lemah-lembut itu menimbulkan rasa hormat dalam hati petani sederhana itu dan dia menegur dengan heran. "Tuan, ada apakah tuan berlari lari seperti ada yang mengejar?" Ji Ok mengusap keringatnya dengai ujung lengan baju dan menjawab denga sungguh-sungguh. "Aku memang dikejar seekor harimau yang besar sekali, hampir saja aku diterkamnya. Ah, aku lelah sekali, haus sekali. Boleh aku singgah sebentar untuk beristirahat di rumahmu sobat?" Petani itu memandang dengan wajah berseri. Mendapat tamu orang kota yang terhormat itu tentu saja dia senang dan merasa terhormat sekali. "Silakan marilah singgah di rumah kami yang butut, tuan." Mereka memasuki rumah itu dan petani bergegas memanggil isterinya "Cepat masak air dan buatkan air teh yang kental, dan potong seekor ayam buatkan masakan untuk tamu kita yang terhormat ini!" Sang isteri juga menyambut tamunya dengan wajah berseri dan gembira sekali. Ia segera melakukan apa yang diperintah suaminya. Memang sudah menjadi kebiasaan penduduk dusun, kalau didatangi orang kota merasa gembira dan terhormat sekali, memiliki apapun akan dikeluarkan dan dihidangkan dengan hati rela. Tak lama kemudian Ji Ok sudah dijamu oleh suami isteri yang hanya berdua tanpa anak itu, disuguhi makan dengan masakan daging ayam dan minuman teh hangat. Ayam satusatunya milik mereka itu mereka korbankan untuk dihidangkan kepada tamu terhormat itu. Padahal, sama sekali mereka tidak pernah mengenal Ji Ok. Ji Ok merasa lega setelah makan minum. Tubuhnya lelah dan perutnya lapar. Kini dia telah disuguhi makan dan dapat beristirahat di rumah petani itu, merasa aman. Andaikata Han Lin mengejarnya, pemuda itu tentu tidak menyangka bahwa dia berada di rumah petani yang terpencil itu. Ji Ok sedang duduk di dalam rumah itu ditemani oleh si petani. Isteri petani itu berada di luar rumah. Tiba-tiba memasuki rumah itu dan berkata, "Dari jauh aku melihat ada seorang laki-laki datang menuju ke sini." Wajah Ji Ok berubah mendengar ini "Laki-laki tua atau muda?" "Dia masih muda, pakaiannya seperti petani....." Tiba-tiba wanita itu roboh dan tidak bergerak lagi ketika Ji Ok mendorongkan tangan kirinya ke depan. Itulah pukulan Bantokciang yang seketika menewaskan wanita itu. Si petani terkejut, melompat berdiri, akan tetapi diapun segera roboh ketika sekali lagi Ji Ok menggerakkan tangannya. Ji Ok telah membunuh suami isteri yang baru saja menjamunya itu agar mereka tidak membuka suara dan tidak membuka rahasianya bahwa dia berada di situ! Ketika Ji Ok mengintai dari balik pintu, benar saja dia melihat Han Lin berjalan ke arah rumah itu sambil menoleh ke kanan kiri mencari-cari. Cepat Ji Ok lalu berlari keluar rumah dari pintu belakang. Melihat rumah yang terpencil itu timbul niat di hati Han Lin untuk singgah dan bertanya kepada pemilik rumah itu kalaukalau mereka melihat Ji Ok. Akan tetapi rumah itu tampak sunyi saja ketika dia tiba di depan rumah. Dia tidak melihat penghuninya dan setelah beberapa kali memanggil tidak ada pemilik rumah yang keluar, Han Lin mengira bahwa pemilik rumah tidak berada di rumah, maka diapun lalu kembali. Dia telah kehilangan jejak Ji Ok dan tidak tahu ke mana larinya datuk itu. Setelah tiba di belakang bukit, dia melihat Kiok Hwa dan Eng-ji masih berada di situ, menunggu jenazah ibunya. Han Lin tidak menangis lagi dan dia berlutut di samping jenazah ibunya. Dia merasa seolah-olah dunia ini menjadi kosong dan dia merasa kesepian sekali, dengan jari-jari tangan gemetar dia lalu mencabut pisau yang masih menancap didada ibunya. Tidak ada lagi darah yang keluar. Dia lalu menyimpan pisau itu, diselipkan di ikat pinggangnya. "Lin-ko, apakah engkau dapat mengejar jahanam busuk itu?" tanya Eng-ji. Suaranya masih serak karena tangisnya tadi. Han Lin menoleh kepadanya dan menggeleng kepalanya. "Aku kehilangan jejaknya." katanya pendek. "Mari kita basmi sarang Pek-lian kauw itu, Lin-ko. Mereka itupun bukan perkumpulan yang baik, telah membantu Thiante Sam-ok!" kata Eng-ji penuh semangat dan penasaran. "Lin-ko, lebih baik kita kuburkan jenazah ibumu dulu. Kasihan kalau terlalu lama dibiarkan seperti itu." kata Kiok Hwa dengan lembut. Han Lin mengangguk. Dia lalu membungkuk, memondong jenazah ibunya lalu membawanya mendaki bukit itu untuk mencari tempat yang baik guna mengubur ibunya. Akhirnya dia mendapatkan tempat yang dianggapnya cukup baik, dekat sebuah sumber air yang mengucur dari celah-celah batu. "Aku akan menguburkan jenazah ibu di sini." katanya. Dia merebahkan jenazah itu di atas rumput, kemudian mulai menggali lubang, ditunggui oleh Eng-Ji dan Kiok Hwa. Akan tetapi melihat pemuda itu sibuk menggali lubang, Eng-ji tidak tahan untuk berdiam diri saja. tanpa diminta diapun lalu turun tangan membantu Han Lin menggali lubang. Melihat ini, Kiok Hwa menghela napas panjang dan terasa olehnya betapa besar rasa cinta Eng-ji kepada pemuda itu. Mereka memang cocok untuk menjadi pasangan, sedangkan ia sendiri, ah, ia tidak akan pernah merasa damai kalau menjadi pasangan Han Lin yang dimusuhi begitu banyak orang. Ia pernah mendengar nama ayah Eng-ji sebagai seorang datuk sesat, akan tetapi iapun melihat bahwa Eng-ji biarpun galak dan pemberani namun tidak dapat dibilang sesat atau jahat. Di bawah bimbingan Han Lin, ia akan menjadi seorang isteri yang baik. Ia harus mengalah, pikirnya sambil menekan perasaannya agar jangan timbul kedukaan di balik sikap mengalah itu. Ia memang mencinta Han Lin dengan sepenuh jiwanya, akan tetapi seperti pernah ia dengar dari gurunya, cinta bukan berarti memiliki dan menguasai. Bahkan menurut gurunya itu, cinta membutuhkan bukti pengorbanan dan ia siap untuk mengorbankan perasaannya sendiri. Setelah lubang kuburan telah siap, Han Lin, dibantu Eng-ji dan Kiok Hwa mengubur jenazah ibunya. Setelah memasukkan jenazah ke dalam lubang, Han Lin tidak segera menutupi lubang itu dengan tanah, melainkan dia berlutut sambil mengamati wajah ibunya. Wajah jenazah itu tampak demikian cantik, tersenyum ikhlas seperti orang tidur saja. Dia merasa tidak tega untuk menutupinya dengan tanah sehingga sampai lama dia hanya berlutut sambil menatap wajah itu. Wajah yang selalu dirindukannya, wajah yang selama ini dianggapnya sudah meninggal dunia. Wajah yang amat dikasihinya, yang amat dihormati dan dijunjung tinggi. Ibunya yang bijaksana! Mati seperti itu. Tak terasa air matanya turun lagi menetesnetes dari kedua matanya. "Lin-ko, jenazah ibumu perlu segera dimakamkan dengan baik." kata Kiok Hwa sambil menahan diri agar jangan menyentuh lengan atau pundak pemuda itu. Han Lin membalikkan tubuhnya dalam keadaan masih berlutut, lalu berkata dengan suara parau, "Kiok-moi, Eng-ji, tolonglah aku, kalian tutuplah lubang jenazah itu. Aku tidak tega......!" Dia lalu menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis. Kiok Hwa memberi isarat kepada Eng-ji dengan kedipan matanya, kemudian mereka berdua lalu menggunakan tanah untuk menutupi jenazah itu dengan urukan tanah sedikit demi sedikit seolah-olah tidak ingin menyakiti jenazah itu. Dalam keadaan terpaksa sekali jenazah itu dimakamkan tanpa menggunakan peti jenazah. Setelah lubang itu ditutup menjadi gundukan tanah, Han Lin lalu memberi hormat sambil berlutut. Setelah memberi hormat, dia lalu berkata dengan suara lantang. "Ibu, harap ibu tenang. Aku pasti akan dapat membalaskan sakit hati ibu terhadap Ji Ok si laknat itu!" Kiok Hwa mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, Lin-ko. Bukankah ibumu tadi mengatakan bahwa ia berhutang nyawa kepada Ji Ok?" Han Lin mengerutkan alisnya. "Kalau ibu pernah berhutang nyawa, sekarang telah ditebusnya karena nyawa itu direnggut oleh pisau Ji Ok. Akan tetapi perbuatannya terhadap ibu, menyihirnya dan meracuninya, tidak dapat kumaafkan begitu saja." Kiok Hwa menghela napas panjang dan tidak membantah lagi. Ia tahu bahwa Han Lin sedang dilanda kedukaan besar dan mendalam maka sebaiknya didiamkan saja. Kalau dia sudah tenang tentu rasa permusuhan dan kebencian itu akan dapat disadarinya sendiri. "Mari, Lin-ko, kita basmi Pek-lian-kauw!" tiba-tiba Eng-ji berkata penuh semangat. "Mari kita berangkat." Han Lin menoleh kepada Kiok Hwa. "Mari, Kiok-moi engkau ikut juga." Akan tetapi Kiok Hwa menggeleng kepalanya. "Tidak, Linko. Kalau kalian berdua hendak berkelahi, pergilah dan aku akan menanti di sini saja." Han Lin memandang dengan alis berkerut dan hatinya kecewa, juga khawatir. Dia masih ingat ketika dia berkelahi melawan Toa Ok dahulu, Kiok Hwa meninggalkannya tanpa pamit, hanya meninggalkan coretan yang mengatakan bahwa ia pergi karena tidak mau terlibat dalam perkelahian dan permusuhan. "Akan tetapi, aku ingin engkau bersama kami, Kiok-moi." "Maafkan aku, Lin-ko. Aku tidak perlu ikut. Sudah ada Engji yang akan membantumu. Biar aku menunggu di sini saja." jawab Kiok Hwa. "Marilah, Lin-ko. Aku khawatir kalau kita terlambat, mereka sudah melarikan diri!" kata Eng-ji tidak sabaran lagi, apa lagi melihat Han Lin seperti hendak membujuk Kiok Hwa untuk ikut, hal yang tidak disukainya tentu saja. Karena Kiok Hwa berkeras tidak mau ikut dan Eng-ji sudah mendesaknya, akhirnya Han Lin berkata, "Akan tetapi aku mengharap engkau akan menunggu kami di sini, Kiok-moi." Dia tidak berani terlalu menyolok memperlihatkan cintanya kepada gadis itu karena dia melihat betapa Eng-ji agaknya juga amat erat hubungannya dengan gadis itu. Mereka berdua lalu berlari cepat meninggalkan balik bukit itu menuju ke perkampungan Pek-lian-kauw. Mereka Golok Bulan Sabit 9 Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api Bidadari Dari Sungai Es 6

Cari Blog Ini