Ceritasilat Novel Online

Kemuning 2

Kemuning Karya Maria A Sardjono Bagian 2


Untunglah pagi itu aku mau menuruti saran Mbok Sumi untuk mengisi perutku lebih dulu Sebab begitu keluar rumah, aku langsung terpikat pada sepeda gunung mihk Mas Danu yang di-standarkan di garasi. Aku melongokkan kepalaku ke samping garasi, ke tempat Yu Rapiah sedang menyapu halaman. Aku mengenali caranya me-nyapukan sapu lidinya ke tanah yang penuh daun nangka kering.
"Yu, Mas Danu di mana"" Aku bertanya kepada-nya.
Suara sapu lidi itu terhenti.
"Den Danu ke Solo, Den." Yu Rapiah menjawab pertanyaanku.
Tni hari libur kan, Yu" Apa dia lembur ""
"Dia tak bilang apa-apa, tadi. Begitu sarapan, langsung pergi. Ya cuma itu tadi, bilang mau ke Solo. Titik."
'Temannya mau menjalani upacara siraman kok dia malah pergi!" Aku menggerutu. Pikirku, keluargaku janganlah sepicik diriku.
"Lho, perginya itu justru untuk menghindari upacara itu kok!" Yu Rapiah mengerutkan dahinya.
"Jangan mengarang lho Yu."
'Tidak. Wong saya tadi ya sudah mengingatkan hal itu kok." Yu Rapiah menjawab komentarku. "Saya pikir kalau Den Wulan tidak sudi datang ke sana, itu wajar sekali. Tetapi Den Danu ya jangan *ut-ikut begitu. Harus kita tunjukkan kepada orang "anyak kebesaran jiwa kita. Tetapi mendengar sa-ri"n saya itu. Den Danu cuma diam saja. Lha uu
sama saja seperti sengaja memang tidak mau datang ke upacara siramannya Mas Dewo itu, kan""
Rupanya Yu Rapiah mempunyai persamaan pikiran dcnganku. Tetapi ah. sudahlah. Untuk apa memikirkan pendapat orang.
"Dia mau beia rasa kok, Yu. Biar sajalah apa maunya. Dan biar sajalah pula orang mau bilang apa." sahutku kemudian.
"Iya, ya. Betul juga." Yu Rapiah tertawa. "Wong Den Dewo yang salah kok kita yang repot-repot memikirkan pandangan atau pendapat orang banyak!"
Aku tercenung mendengar komentar Yu Rapiah itu. Kusadari kebenaran perkataannya. Dan ku-sadari pula betapa relatifnya suatu masalah yang ada di hadapan kita. Be
rat atau ringannya, ter-gantung bagaimana cara kita memandangnya dan dari mana pula sudut pandang kita.
Setelah meresapi pemahaman itu, aku tersenyum. Dan lalu teringat pada tujuanku menanyakan Mas Danu tadi. Karenanya lebih kutegaskan tentang apa yang kumaui. Yaitu meminjam sepeda Mas Danu.
"Jadi sepeda Mas Danu menganggur kan, Yu"" "Rasanya sih begitu."
'Tetapi kenapa ada di garasi" Biasanya kan disimpan di gudang belakang. Jangan-jangan mau dipakai. Yu."
"Ada di garasi itu kan karena Den Danu belum sempat menyimpannya. Kemarin sore, dia ber-sepeda entah ke mana bersama Mas Aswin." Aswin
adalah anak Pak Bahar yang mempunyai penei-napan yang letaknya tak jauh dari Gerojogan Se" -Kalau begitu, sepedanya akan kupakai" -Pakai sajalah Tetapi jangan lupa mengenakan topi Iho, Den. Kelihatannya hari ini akan panas " "Ya."
Tak lama kemudian aku sudah bersepeda ke arah perkebunan milik Bapak. Kebun keluarga kami sangat luas. Bapak sering bercerita bahwa dulu kebun yang luas itu dipenuhi oleh pohon jeruk keprok. Dulu, jeruk keprok Tawangmangu sangat terkenal kelezatannya. Hampir setiap halaman rumah penduduknya terdapat pohon jeruk. Kalau sedang berbuah sungguh sangat senang memandang kebun kami. Kata Bapak, sejauh mata memandang penuh pohon yang sarat dengan buah-nya yang berwarna keemasan.
Namun kemudian dengan berlalunya sang waktu, pohon-pohon jeruk itu mulai lenyap satu persatu. Bukan hanya yang ada di kebun milik keluarga kami saja tetapi juga kebun jeruk milik keluarga-keluarga lainnya. Tidak jelas apa sebabnya. Mung-kin karena munculnya hama yang sulit diberantas. Mungkin kondisi tanah yang sudah dihabiskan kesuburannya sementara penanggulangan yang tepat untuk mengatasinya sulit dilakukan sehingga kualitas buahnya semakin lama semakin menurun. Mungkin karena kalah bersaing dengan jeruk-jeruk 'mpor dan jeruk dari luar Jawa yang lebih murah. Dan mungkin pula kurangnya pcrhatian dan pe-merintah sehingga bukannya berkembang tetapi
bahkan semakin memudar dan memudar. Entahlah, mana yang paling kuat pcnyebabnya. Tetapi yang jelas, sekarang ini pohon jeruk kami tinggal beberapa batang pohon saja. Buahnya juga tidak seistimewa seperti cerita Bapak dan Ibu mcngenai zaman keemasan jeruk keprok Tawangmangu di masa lalu. Buah-buah itu hanya menjadi santapan kami sendiri. Tidak menjadi komoditas utama se-perti dulu. Dan yang dijadikan pengganti prima-donanya adalah bunga-bungaan dan tanaman hias. Sedangkan sayur-sayurannya wortel, kol, labu siam, dan bawang putih. Sementara buahnya adalah pi-sang ambon. Sebagian kecil juga ditanami ubi untuk variasi saja. Ubi jaiar khas Tawangmangu besar-besar dan manis. Kalau direbus, di dalamnya seperti ada bagian yang bulat keputihan seperti telor. Orang sini bilang ubinya "ngendok" atau bertelor. Dimakan malam hari ketika udara sedang dingin-dinginnya, sungguh enak.
Saat sepedaku mulai memasuki kebun bunga, aku berhenti di bawah pohon sawo untuk me-ngagumi deretan panjang berbagai macam tanaman hias yang tertata apik. Kulihat beberapa pekerja sedang memindah-mindahkan tanaman yang terlalu penuh ke dalam pot-pot yang sudah diisi plastik-plasik hitam berisi campuran kompos dan tanah.
Sebagian lainnya sedang menyirami dengan cara tradisional, yaitu memikul dua gembor, atau ceret besar dengan ujung pancuran berlubang-lubang untuk keluarnya air, yang dipikul miring sehingga
^mbil berjalan cepat tanaman di deretan kiri dan
kanannya tersirami. Puas menyaksikan kesibukan di tempat itu k,. mntun sepedaku ke bagian lain. Sekarane' ak' melihat deretan pohon cemara kipas yant iuea berjajar rapi. Sejumlah seratus lebih pohon cemara dengan tinggi kira-kira satu setengah sampai dua meter yang sudah dimasukkan ke dalam pot-pot besar, siap dtbawa pergi entah ke mana. Aku melihat ada beberapa truk diparkir di tempat itu. Sejumlah pekerja mulai memindahkan pot-pot berisi pohon cemara yang tingginya kira-kira antara satu setengah sampai dua meter itu ke atas truk. Seorang mandor yang tidak begitu kukenal sedang memberi petunjuk-petunjuk dengan suara keras.
Beberapa saat sesudah puas melihat-lihat kesibukan di bagian
itu, sepeda gunung Mas Danu kunaiki lagi dan berhenti lagi untuk melihat-lihat bagian kebun yang ditanami bawang putih. Tetapi saat itu baru saja selesai panen. Setelah panen, kesibukan beralih dari kebun ke dalam bangunan semacam gudang yang didirikan di dekat sebuah pohon beringin. Biasanya, setelah diangin-anginkan pada deretan anjang-anjang yang terbuat dari anyaman bambu dan dibersihkan dari kotoran tanah, bawang putih itu dimasukkan ke dalam keranjang-keranjang untuk diseleksi kualitas maupun besar-kecilnya.
Dengan tetap duduk di sadel dan kaki sebelah menahan tegaknya sepeda, aku memperhatikan para pekerja yang sedang menyeleksi bawang putih di
dalam bangunan berpintu lebar dan berlantai semen itu. Ada seorang bocah perempuan berumur sekitar dua belas tahun yang ikut dalam kegiatan tersebut. Aku belum pernah melihatnya. Tetapi aku yakin anak itu tahu siapa diriku sebab ketika aku mendekat ke tempatnya, dia tampak agak gugup.
"Siapa namamu"" tanyaku kepadanya dengan sikap ramah, berharap kegugupannya itu akan hi-lang.
"Siti, Den." Hm, benar. Dia sudah tahu siapa aku.
"Jangan panggil aku dengan sebutan 'Den', ah. Panggil saja aku Bu Wulan." Aku tersenyum manis kepadanya. "Baru sekarang ikut bckerja di sini ya" Aku belum pernah melihatmu." Tya Den, membantu Emak..." Hm, "Den" lagi. Padahal untuk generasi yang sebaya dengan diriku dan terutama generasi di bawahku, aku tidak suka kalau mereka memanggil-ku dengan gelar kebangsawananku. Hal-hal se-macam itu sudah sangat tidak cocok dengan situasi masa kini. Tetapi untuk mereka yang berusia lebih dari umurku, aku membiarkannya saja sejauh itu hanya merupakan kebiasaan yang sudah terlanjur mengakar. Sebab ketika kucoba mengubah kebiasaan mereka ternyata tidak mudah. Kebiasaan menyebut gelar kebangsawanan yang ditujukan kepada kami dari mulut mereka, benar-benar seperti sudah terpatri di bibir mereka. Jadi akhirnya ku-biarkan saja.
^makmu siapa namanya"" Aku b kepada anak itu. *
-Dia anak saya, Den Wulan." Seorane perem puan yang sedang menumpahkan bawang yanK sUdah d.bersihkan ke dalam keranjang, menjaU pertanyaan yang kuajukan kepada anak perempuan tadi. "Mumpung lagi hbur"
"*0h, anakmu /o, Yu Nah."
"lya. Den. Yang sulung."
"Kalau cuma sekali-sekali membantumu di sini, tak apa-apa kalau dia memang suka. Tetapi jangan mengurangi kesenangannya bermain Iho, Yu. Dia masih anak-anak."
"Iya, Den. Tetapi ini tadi dia sendiri yang me-maksa mau ikut 'mburuh'."
"Ya sudah kalau memang begitu," aku me-maklumi keinginan anak itu. Barangkali saja dia memang ingin mempunyai uang dari hasil jerih lelahnya sendiri untuk membeli sesuatu. "Hari ini apa tidak ada yang memandori kalian to, Yu" Aku tidak melihat Pak Kirman atau Pak Slamci."
"Mereka ada pekerjaan Iain yang lebih penting. Den. Kalau tidak salah, ada kuda yang mau me-lahirkan. Pak Kirman kan ahlinya membidani kuda!" Yu Nah menjawab pertanyaanku sambil tertawa. Tetapi kedua belah tangannya tetap bekerja. "Dan lalu labu siam di kebun bagian Selatan itu juga sudah siap dipanen. Pak Slamet pasti ada di sana. Buahnya lagi banyak-banyaknya, Den. Tahun in< cuacanya sedang bersahabat dan tidak banyak h"ma yang mengganggu. Panen kita bagus semua."
"Ya, aku juga mendengar begitu..." Aku bcr-gumam sambil memperhalikan para pekerja yang ada di sekitarku. "Itu patut disyukuri."
"Betul, Den." Yu Nah tertawa lagi. "Apa mungkin karena kami sering berbicara dengan tanaman seperti yang disarankan Pak Kirman itu ya. Den""
Mendengar kata-kata polos Yu Nah, aku tertawa. Pak Kirman kalau memandori para pekerja yang sedang mengurus tanaman memang sering kali memberi komentar atau saran macam-macam. Apalagi terhadap orang baru yang cara kerjanya seram-pangan. Dengan nada teguran, dia pasti akan me-nyuruh orang itu supaya memperlakukan tanaman seperti makhluk yang bemyawa.
"Pohon dan tanaman juga bernyawa," begitu aku sering mendengar Pak Kirman berkata kepada para pekerja dan juga pernah dikatakannya kepadaku. "Jadi petiklah dengan hati-hati dan lembut. Kalau perlu pohonnya diajak omong, wong kita sudah diberi makan oleh pohon-pohon dan tanaman-tanaman
itu. Tetapi bukan berarti lamban kerjanya lho ya. Asal diingat kalau pohon-pohon diperlakukan dengan baik dan sering diajak omong, jadi subur tumbuhnya."
Tetapi sekarang, aku tidak melihat Pak Kirman. Juga tidak ada Pak Slamet, mandor lainnya. Melihat itu, rasanya ada yang kurang. Meskipun panen sudah selesai, tetapi pengawasan masih tetap di-perlukan. Sebab meskipun cukup banyak para pekerja yang mempunyai rasa tanggung jawab tetapi juga selalu ada saja yang bekerja secara
serampangan. Atau dengan diam-diam mpmK pulang bawang putih yang bagus-bagUS. Padahal bawang pUtih itupun masih enak dipakai, unluk *
bentuknya saja yang kurang begin, baeus '
-Kalau tidak ada Pak Kirman atau Pak Slamet lalu siapa yang memandori kalian Yuk" BernV seperti itu aku mulai bertanya lagi kepad" Yu Nah. Ptkirku, kalau tidak ada yang memandori aku yang akan mengambil alih pekerjaan itu Sepeda Mas Danu sudah kusandarkan di dinding
"Saya." Suara seorang laki-laki terdengar di arah beiakangku.
Aku menengadahkan kepalaku. Kulihat, seorang laki-laki muda berdiri di atas tangga susun sedang membetulkan anjang-anjang yang doyong dengan kedua tangannya yang tampak kokoh itu.
Terus terang, aku terkejut. Dari tempatku, kulihat tampang laki-laki itu persis sekali dengan orang yang mengikutiku sampai ke Telaga Sarangan se-minggu yang lalu. Baik tinggi tubuhnya, bidang bahu dan dadanya, sama. Begitu pun kekokohan bentuk kakinya. Karenanya, mataku kusipitkan untuk melihatnya dengan lebih cermat.
"Saya, siapa"" tanyaku kemudian. Rasa ingin tahu menggelitik hatiku. Untuk menjadi mandor, laki-laki itu masih terlalu muda.
"Saya, Eko." "Orang baru ya""
Pertanyaan yang tidak aneh. Aku baru beberapa m'nggu berada kembali di Tawangmangu ini. Dan
selama itu pun aku tak terlalu memedulikan kehidupan di perkebunan Bapak. Belakangan ini piktranku memang lebih tercurah kepada urusan pnbadiku.
"Orang baru" Ya, memang. Tetapi sebetulnya disebut orang lama pun, juga tidak salah." Sambil menjawab pertanyaanku, laki-laki muda itu me-loncat turun. Pekerjaannya telah selesai.
Berhadapan langsung dengan orang itu, aku ter-kejut lagi.
"Kau!" Mataku membesar menatap wajah laki-laki itu. Ternyata, laki-laki itu memang orang yang mengekor di belakangku ketika aku pergi ke Sarangan seminggu yang lalu.
"Ya, saya." Laki-laki itu tertawa lebar. Kemudian dibungkukkannya tubuhnya yang gagah itu dalam-dalam menghadap ke arahku. "Maafkanlah kclakuan saya tempo hari. Simbok menyuruh saya meng-awasi Den Wulan ketika pagi-pagi itu Den Wulan pergi begitu saja. Dan saya belum pernah meng-awasi orang. Apalagi orang itu sudah jadi gadis dewasa pula. Jadi waktu itu pastilah saya telah membuat hati Den Wulan jadi jengkel. Sekali lagi. maafkanlah saya."
Aku tertegun. "Eko..."" Kujinjitkan alis mataku. "Eko siapa""
"Eko Nugroho, anak sulung Pak Kirman. Masa lupa sih. Den"" Laki-laki itu tertawa lagi. Wajahnya yang menarik jadi tambah menarik. Dan matanya yang pernah kunilai seksi itu bersorot lembut.
Ya Tuhan, tak pernah aku menyangka anak Pak
Kirman bisa setampan ini. Meskipun |umayan cantik dan juga si Seno dan Ragi bukanya-pemuda yang bertampang Je|ek, tetapi j" sekali mereka tidak semenarik yang satu ini
Tcrus-terang... aku tidak ingat padamu" aku berkata agak tersipu. "Apakah, apakah kita pernah bertemu selam yang di Sarangan itu""
"Pernah beberapa kali, waktu kita masih kecil Saya berlibur bersama Embah ke sini dan lalu dibawa Simbok ke rumah Den Wulan untuk di-kenalkan pada Bapak dan Ibu Suryo. Saat itu Den Wulan masih berumur sekitar tujuh atau delapan tahun dan saya sebelas tahun."
"Mana aku ingat..."" Aku tertawa.
'Tetapi saya ingat. Pertama, karena sudah lebih besar waktu itu. Kedua, karena saya senang melihat rambut Den Wulan yang panjang. Tidak banyak anak-anak kecil yang rambutnya panjang. Waktu itu sedang..."
"Jangan panggil aku dengan sebutan 'Den'!" Aku menyela bicaranya. "Generasi kita sudah tidak sepantasnya lagi memakai dan menyebut gelar-gelar kebangsawanan berbau feodalisme. Kita hidup di alam kemerdekaan. Kalau kau tadi menyimak pembicaraanku dengan Siti, pasti sudah mendenga
r bahwa aku tidak suka dipanggil dengan gelar-gelar semacam itu!"
"Lalu saya harus memanggil apa, kalau begitu" ,b" Sepuh"" Mata lembut itu mulai bersinar-sinar. Kelihatannya, laki-laki bernama Eko itu suka menggoda orang dan termasuk orang yang tinggi se]era humornya. Baru saja kenal, sudah banyak bercanda. "Nona besar" Atau juragan"" Aku tertawa.
"Sebut saja namaku begitu saja," sahutku kemudian.
"Dan lalu membuat orangtua saya dan keluarga Den Wulan berdiri semua rambutnya""
Aku tertawa lagi. Kusadari, meskipun perkataan-nya mengandung canda tetapi itu ada benarnya.
"Pokoknya aku tidak mau dipanggil dengan se-butan 'Den'," kataku kemudian. "Tetapi aku juga tidak mau dipanggil dengan sebutan 'Bu'. Memang-nya Bu Lurah!"
"Dipanggil 'Den', tidak mau. Disebut 'Bu tidak suka. Lalu. apa ya"" Eko menggaruk rambutnya yang tidak gatai.
"Panggil 'Mbak' saja, Mas Eko!" Yu Nah yang rupanya sejak tadi menguping, ikut bicara. "Ndoro Bei Rono menyuruh para abdi-abdinya memanggil putra dan putrinya dengan sebutan 'Mas' dan 'Mbak'. Semuanya, dari yang paling besar sampai yang paling kecil dan masih bayi itu."
Yang disebut Yu Nah Ndoro Bei Rono itu masih sepupu jauh Bapak. Sama-sama kerabat ber-darah bangsawan. Tinggalnya di Solo tetapi hampir setiap minggu berlibur di Tawangmangu. Mereka mempunyai rumah peristirahatan yang luas sekali di dekat rumah peristirahatan milik keraton. Tetapi jelas tidak seluas milik keluarga Cendana yang ada di sebelah sana.
. "Ya panggil saja aku 'Mbak'!" Aku m*", " .
memangg""mu" ^Sebut nama saja. Eko!"
"Tidak. Kau lebih tua dariku. Tidak pantas aku memanggil namamu begitu saja."
tetapi kan darah saya merah." Eko memainkan matanya. "Bukan biru. Jadi tidak apa-apa kalau.. "
"Jangan macam-macam!" Aku mulai bersungut-sungut. "Sebaiknya kupanggil saja namamu dengan sebutan 'Mas'. Mas Eko."
"Dan membuat seluruh rambut di kepala orangtua saya dan orangtua Den Wulan berdiri tegak semua""
"'Den\ lagi!" Aku menggerutu lagi.
Tetapi sulit bagiku untuk tidak tertawa mendengar komentamya. Apalagi sudut bibirnya yang pernah kunilai seksi karena mencuat ke atas itu membuat orang mudah ikut tertawa bersamanya. Dan sungguh aneh, kejengkelanku kepadanya se-minggu yang lalu, saat ini lenyap tak berbekas.
"Nah, sejak tadi saya belum berbasa-basi," Eko berkata lagi. "Apa kabar Den... eh, Mbak Wulan""
"Kabar baik. Bagaimana pula kabarmu"" Aku membalas basa-basinya. "Dan selama ini kau ada di mana, bersama siapa dan apa saja yang kaulaku-kan di sana""
"Aduh, banyak betul pertanyaannya." Eko tertawa. Tetapi kemudian wajahnya menjadi lebih serius ketika ia melanjutkan bicaranya. 'Tetapi kabar saya juga baik kok walaupun lima puluh hari yang lalu, Simbah putri meninggal dunta.
menyusul Simbah kakung yang sudah meningga|
satu tahun sebelumnya."
"Aduh, aku ikut berdukacita..." kataku, terkejut. "Mereka orangtua Mbok Kirman, kan" Aku tidak pemah diberitahu kalau mereka sudah meninggaj dunia."
"Mungkin waktu itu Den... eh, Mbak Wulan masih ada di Jakarta."
"Oh, ya memang. Dan sedang sibuk-sibuknya menghadapi ujian. Tetapi kedua orangtuamu ke sana, kan" Ke Lampung, kalau tidak salah."
"Iya. betul. Bapak dan Simbok langsung berangkat ke sana waktu saya interlokal mengabari kalau Simbah sakit keras. Untungnya Simbah masih sadar waktu mereka datang. Den." "Den, lagi!"
"Kebiasaan." Eko tertawa.
"Bagaimana bisa menjadi kebiasaan. Kau kan ada di Lampung""
"Simbok dan Bapak sering membicarakan Mbak Wulan. Dan sebutan-sebutan itu seperti sudah ter-patri di bibir mereka. Otomatis saya sebagai anak-nya ya terbawa-bawa menyebut begitu sehingga sadar ataupun tidak, lalu menjadi kebiasaan." Eko tertawa lagi.
"Setelah kakek-nenekmu meninggal, kau lalu pulang ke sini""
"Iya, Mbak. Di sana saya tidak punya siapa-siapa lagi. Jadi kebun Simbah di sana kami jual setelah dibicarakan matang-matang dengan seluruh saudara Simbok."
"Kebun apa itu"" Kebun lada, cengkeh, dan kopi"
..Wah, hebat itu. Lada dan cengkeh di * k ^un terakhir ini kan termasuk primadona. " mu kaya ya" oimoan-Biasa-biasa saja kok, Mbak. Mereka itu |ongan transmigran yang termasuk lumayan b
erhSl ^a. Bukan yang punya tanah berhektar-heS dan kaya raya.
"Kau kuliah di sana""
"Ya." "Sudah selesai""
"Sudah. Empat tahun yang lalu."
"Di bidang""
"Wah, wawancara ini ya"" Eko tersenyum. "Saya ini termasuk orang serakah kok Mbak. Dalam satu saat, saya kuliah di dua tempat. Pagi hari saya kuliah di Fakultas Pertanian, mengambil jurusan Teknik Pertanian. Dan pada malam harinya saya kuliah di Fakultas Ekonomi. Di situ saya mengambil jurusan Ekonomi Perusahaan. Saat itu saya benar-benar sering berada dalam keadaan tertekan karena beratnya persoalan yang saya hadapi akibat kuliah di dua tempat. Itu belum masalah kebun yang harus saya tangani juga. Tetapi yah, itulah konsekuensi dari besarnya kemauan yang kadang-kadang tidak diukur dengan kemampuan yang ada."
'Tetapi kau benar-benar hebat!"
"Apanya yang hebat. Wong saya kuliah untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Tujuan mencari ilmu ltu kan untuk memekarkan perkebunan. Tetapi
begitu Simbah mcninggal, niat itu surut. Dasar saya ini orang Jawa sih. Lebih Jawa daripada Simbah yang berani meninggalkan segala-galanya di Jawa."
"Dasar Jawa bagaimana"" Aku memotong. "Orang Jawa itu kan punya semboyan 'mangan ora mangan anggere kumpul', makan tidak makan asal tidak berpisah dengan kelompok primordialnya. Nah, itulah yang terjadi pada diri saya. Selain itu memang ada juga alasan lainnya. Meskipun di-banding waktu di Jawa keadaan Simbah di sana jauh lebih sukses, tetapi saya tahu hati mereka tidak begitu bahagia. Anak-anak Simbah yang tiga orang ada di Jawa semua. Begitu pun para cucu mereka. Hanya ada saya dan anak paman saya saja yang ada bersama mereka. Nah, saya tidak ingin Bapak dan Simbok merasakan kerinduan yang sama seperti Simbah. Jadi saya putuskan untuk kembali ke sini."
'Tetapi bukankah prospek perkebunan di sana lebih bagus daripada di sini. Tanahnya luas-luas. Kau bisa lebih sukses di sana."
"Iya sih," Eko menganggukkan kepalanya. 'Tetapi hidup ini kan bukan hanya sekadar mencari sukses saja, kan" Saya juga ingin mencari ke-hidupan yang lebih damai, lebih hangat, dan lebih tenang di sini. Di sana kami semua harus kerja keras karena mcdannya yang tidak seperti di sini. Dan suasana gotong-royongnya pun juga tidak seguyup seperti di sini. Sudah begitu ada banyak binatang liar yang sering mengganggu perkebunan.
Gajah, babi hutan dan orang hutan. Bahkan ^mau- Belum lag, hambatan-hamba^S^ Uannya saya ndak mau lagi ^^TZX ^ya sudah cukup saya bekerja kerls 2 keci| di sana. Sudah saatnya saya kembali ber kumpul dengan orangtua untuk mcmulai yano bam di sini- Apalag, di sana sudah tidak ada Simbah Terus terang saya sering merasa sepi di sana Tidak ada kehangatan."
Aku memahami perasaan Eko. Aku juga mengerti sekarang mengapa tubuh Eko begitu tinggi, tegap, dan lentur. Dan memang benar seperti yang aku dan Pak Ijan bicarakan, anak-anak Pak Kirman memang hebat-hebat daya juangnya. Tidak segan-segan mereka bekerja keras untuk meraih cita-citanya. Tetapi toh ternyata ada nilai-nilai lain yang ingin dipenuhi oleh Eko. Yaitu nilai ke-kerabatan dan kebersamaannya dengan kelompok primordialnya di Tawangmangu ini. I
"Lalu setelah kembali, apa rencanamu"" Aku bertanya lagi.
Dan Eko tertawa lagi untuk kesekian kalinya.
"Mbak Wulan mestinya jadi wartawan." ko-mentamya kemudian.
Aku tersenyum, sadar bahwa sejak tadi per-tanyaanku kepada Eko memang bcrtubi-tubi. Tetapi sulit bagiku untuk mengendalikan rasa ingin tahuku.
"Maaf, aku terlalu ingin tahu," kataku mengakui. "Oh, bukan begitu maksud saya tadi. Saya cuma belum bisa bilang apa-apa mengenai rencana-rencana saya. Soalnya terlalu banyak yang ada di kepala saya dan saya baru delapan han ada di sini."
"Dan baru saja sampai sudah mendapat periniah Mbok Kirman untuk mengawasi aku supaya jangan sampai bunuh diri!" Aku menyeringai. Eko tertawa.
"Simbok memang terlalu berlebihan mencemas-kan Mbak Wulan. Dikiranya masih gadis kecil yang bisa hilang tersesat di kebon singkongnya Mbah Kabul..."
"Hei, kau tahu juga cerita itu ya"" Aku me-motong sambil tertawa.
Aku memang pernah hilang selama berjam-jam di kebun orang ketika umurku baru tiga setengah
tahun. Menurut cerita Ibu, seluruh desa sampai geger karenanya. Dikira ada yang mencutikku. Tetapi ternyata, itu terjadi karena aku ikut di belakang Mbok Kirman waktu dia datang ke rumah mengantar urap daun singkong kesukaan Ibu. Dia tidak tahu kalau aku mengekor di belakangnya sehingga aku tertinggal dan tersesat masuk kebun orang. Namun secara kebetulan Mbok Kirman juga yang menemukanku. Dia mendengar suara tangisku di antara pohon-pohon, di kebun Mbah Kabul tetangganya. Katanya, aku langsung menempel di gendongannya, tidak mau diturunkan lagi. Dibujuk Ibu pun aku tak mau lepas dari gendongan Mbok Kirman. Rupanya pengalaman hilang berjam-jam itu membuatku sangat ketakutan dan kehadiran perempuan itu menerbitkan pengertian akan rasa
^yang Mbok K.rman kepadaku semakin S tarnbah.
-MasEko!; Suara Yu Nah menyela pembicaraan
"Keranjang besarnya sudah ditimbang.
Eko tersenyum. Menatapku sesaat.
"Tugas memanggil dan wawancara selesai," katanya kemudian.
"Ayo, kubantu mengerjakannya!"
"Dengan senang hati."
Hari yang kalau menurut keadaannya merupakan hari yang berat bagiku itu ternyata dapat kulalui dengan selamat. Aku terbawa larut dalam kesibukan di bagian kebun bawang ini. Menyeleksi kualitas-nya, memilah-milah besar dan kecilnya, menim-bangnya dan kemudian ikut mengepaknya untuk dikirim besok pagi-pagi sekali ke Solo, Yogya, Magelang, dan bahkan Semarang. Dan karena sibuk bekerja dan mengobrol di situ, tahu-tahu saja hari sudah sore. Aku bisa melupakan bahwa hari ini Mas Dewo sedang menjalani upacara siraman untuk memulai rangkaian acara pernikahannya.
Besok, dia akan menjadi suami Titik. Besok, dia akan memasuki kehidupan yang sama sekali bam bersama perempuan lain. Aku hanyalah bagian dari masa lalunya.
Lima MESKIPUN aku ingin sekali bersikap tak peduli dan tak mau memikirkan bahwa hari ini hari perkawinan Mas Dewo, mau tak mau tetap saja pikiranku terkait ke sana. Sebab bagaimana mungkin aku bisa melupakannya sama sekali" Meskipun yang sedang sibuk saat ini adalah keluarga Mas Dewo dan keluarga Titik tetapi semua orang yang kenal dengan kedua keluarga itu pasti juga sedang sibuk mempersiapkan din untuk hadir di sana. Termasuk keluargaku.
Pada jam sepuluh di pagi hari Sabtu itu kedua orangtuaku sudah tampak rapi dengan pakaian pesta mereka, siap untuk mengikuti upacara nikah Mas Dewo di salah satu masjid di dekat rumah keluarga Titik. Dari sana, akan ada upacara adat di rumah Titik dan diteruskan dengan resepsinya.
Di Tawangmangu, pesta pernikahan lebih banyak diadakan pada siang hari. Mungkin karena lebih praktis mengingat tamu-tamunya juga banyak yang berasal dari kota Solo, Karanganyar, Magetan, dan lain sebagainya. Atau mungkin juga demi ke-amanan. Entahlah apa alasannya. Tetapi biasanya
kalau ada yang ingin , jarang sekali diadakan di Tawangmangu
Begitulah, ketika Ibu keluar dari kamarnva rf*n ^ihatku duduk membaca majalah di ruangLlh beliau mendekatiku.
"Kau benar-benar tidak mau ikut ke sana, Wulan"" tanya beliau dengan suara lembut' Kelembutan yang sebenarnya tidak membuatku merasa senang sebab di dalamnya terkandung rasa iba yang justru mengganggu perasaanku.
"Buat apa kita ramai-ramai ke sana sih, Bu"" Aku menjawab sambil menutup majalah yang tadi kubaca dengan setengah hati itu. "Sudah ada Ibu, Bapak, dan Mas Danu, itu sudah cukup mewakili keluarga kita."
"Kau tidak apa-apa di rumah sendirian""
"Ibu tenang-tenang sajalah. Lagi pula Tita ada di rumah, kan""
"Aku juga mau ikut kok, Mbak," Tita adikku muncul dari kamarnya. "Siap menjadi wakilmu."
Dia tampak cantik sekali dengan kebaya encim berwarna beige yang dibordir di sekeliling leher hingga ke bagian depan sampai di ujung-ujung bawahnya. Sarungnya yang bercorak warna-warni menyemburatkan dominasi warna beige yang sangat serasi dengan kebayanya. Begitu pun selopnya yang entah dia beli di mana, juga sewarna dengan kebayanya. Rambutnya yang sebatas bahu hanya dijepit di bagian kirinya, menyembulkan antmg-anting bermutiara warna pink muda lembut yang
serasi dengan liontin dan pakaiannya. Hatiku bang-ga melihat kecantikan dan kemudaan adik perem-puanku itu.
'Ta, jangan kaget kalau para tamu nanti bukan-nya melihat ke arah pengantin tetapi melihat ke arahmu Iho."
"Memangnya kenapa" Karena aku adikmu"" Ber-kata seperti itu alis mata Tita mencuat ke atas. "EGP" Emang gue pikirinV
Aku tersenyum. Bukan hanya karena kata-kata itu baru kudengar lagi sesudah kami berdua kembali ke Tawangmangu tetapi juga karena sadar bahwa Tita ingin bela rasa terhadapku.
"Itu salah satu penyebabnya, Ta. Kau adalah adikku. Orang-orang pasti ingin melihat apa reaksi-mu ketika menyaksikan upacara nikah itu ber-langsung," sahutku menyabarkan. "Terimalah keadaan seperti iru dengan lapang dada. Kendalikan emosimu. Aku senang kau bisa mengatakan EGP. Memang harus seperti itu!" "Lalu penyebab lainnya, Mbak"" "Kau sangat cantik pagi ini. Luar biasa, malah. Dan sangat modis, sangat serasi. Nah, aku yakin sekaii kau akan menjadi pusat perhatian orang."
"Ada-ada saja kau Mbak!" Tita tersipu tetapi air mukanya tampak senang mendengar pujianku.
"Kau memang tampak sangat menawan, Tita!" Ibu ikut bicara sambil tersenyum. "Ibu jadi kha-watir kalau-kalau pengantinnya kalah menarik!"
"Ih, Ibu tidak malu ya memuji anak sendiri!" Tita tertawa.
"Tentu saja tidak Ta, sebab dia sebentar
Dan bahwa kecantikannyalah yng "pada kedua anak perempuannya!" BaoTk
tertawa. "Jadi kalau dia memuj.mu, itu berani da memuji dinnya sendiri."
Kami semua tertawa dengan gembira Tetapi aku sungguh-sungguh tahu, keceriaan yang mereka hadirkan di dekatku itu mereka lakukan lebih untuk menetralisir suasana mendung yang ada di hatiku daripada untuk saling menggembirakan hati dengan cara goda-menggoda itu.
"Bapak juga ganteng hari ini." Aku mengikuti aturan main yang ada, demi tidak mengecewakan mereka.
"Aku juga ganteng Iho, jangan tidak dilihat!" Kudengar suara Mas Danu dari arah luar. "Dan orang yang ganteng ini sudah siap menjadi sopir. Mobil sudah dipanasi pula. Pokoknya, siap berangkat." i
Sekali lagi semua tertawa. Aku juga ikut tertawa. Lalu kuantar mereka sampai di luar dan kulambai-kan tanganku ketika mobil yang mereka naiki bergerak meninggalkan halaman, menuju ke jalan di muka rumah kami dan langsung ke arah jalan raya di depan sana.
Pelan-pelan langkah kakiku memasuki rumah kembali. Hatiku terasa amat tertekan. Dan aku fchu apa sebabnya. Kekalahan yang kurasakan itu. sebab aku yakin entah sedikit entah banyak, ada
saja orang-orang yang saal menyaksikan peN nikahan Mas Dewo nanti akan melayangkan ingatannya kepadaku. Kepada seorang gadis yang sedang menjadi pecundang. Seorang gadis yarig pulang kembali ke Tawangmangu hanya untuk menemui kekasih yang telah menjadi milik perempuan lain.
Secara jujur, aku harus mengakui bahwa ke-nyataan yang terjadi sekarang ini telah menyebab-kan harga diriku sangat terluka. Entah perasaan itu salah entah benar, tetapi aku benar-benar tidak menyukai situasi seperti int.
"Den Wulan..." Aku menoleh. Mbok Sumi berdiri di ambang pintu ruang tengah dengan sehelai serbet di tangan-nya. Meskipun ia berusaha menyembunyikannya tetapi aku tahu bahwa perempuan itu mengkha-watirkan keadaanku. "Apa Mbok"" Aku bertanya dengan suara halus. Diam-diam di dalam hatiku aku merasa amat berterima kasih kepada perempuan yang telah bekerja selama hampir dua puluh tahun di rumah ini. Dia telah menjadi bagian dari keluargaku. Apa yang terjadi di dalam keluargaku menjadi persoalan pula di dalam hatinya. Bahkan selama ini dia hampir-hampir tak pernah pulang ke rumahnya meskipun jaraknya hanya sekitar satu kilometer jauhnya dari rumah ini. Kalau hari Lebaran tiba, dia cuma pulang selama beberapa jam saja untuk menjenguk kedua adiknya yang sudah berkeluarga dan bibinya yang sudah janda. Merekalah yang
.ring dalang berkumun8 ke sini dan tak i ikut menjadi buruh musiman d
Lak suammya pergi men.nggalkan dirinya 21 gL tak bisa memberinya anak,
A* in*"1 berkve,Ua7" ,a"" *aka ^ teta-S dicurahkannya kepadaku dan kepada Tita
-Den Wulan ingin dibuatkan masakan apa untuk makan siang nanti"" Ia bertanya dengan penuh
harap. "Apa sajalah, Mbok. Asal ada sambal dan ikan
gorengnya." "Baik, akan Mbok buatkan." Mbok Sumi mem-balikkan tubuhnya dengan w
ajah agak cerah. Tetapi beberapa detik kemudian ia mengembalikan posisi tubuhnya menghadap ke arahku lagi. "Sekarang ini lebih baik Den Wulan jalan-jalan saja dengan mobil. Asal jangan jauh-jauh."
"Usulmu baik juga." Aku mencoba tersenyum untuk menyenangkan hatinya. Tetapi memang betul, usulnya itu boleh juga. Karenanya aku segera menukar gaun rumahku sebelum pikiranku berubah lagi. Dalam kondisi seperti ini, aku bisa berubah pikiran berkali-kali dalam waktu yang tak lama. Untuk bekalku pergi, aku membawa bacaan. Satu lembar majalah dan satu buku novel karangan Pengarang favoritku.
Terus terang saja saat itu kepalaku tak bisa d'ajak berpikir. Begitu mobil kubawa keluar ha-larnan, aku tidak tahu harus mengarahkannya ke mana. Tetapi karena di beiakangku ada truk yang
juga mau keluar ke jalan raya, lekas-lekas aku melajukan kecepalan mobilku langsung menuju ke jalan raya. Jadi kuikuli instingku begitu saja entah ke mana pun mobilku dibawa.
Ketika aku lewat di muka kantor perkcbunan yang mengendalikan scluruh jalannya perkebunan milik Bapak, kulihat Eko keluar dari sana bersama Pak Kirman. Cepat-cepat aku membuang muka, tidak ingin mereka tahu bahwa aku melihat ke-beradaan mereka. Aku sedang tidak ingin berbasa-basi meskipun cuma melambaikan sebelah tanganku lewat jendela mobil. Maka terus saja kuluncurkan mobilku tanpa menoleh-noleh lagi dan juga tanpa berpikir apa pun lagi sampai akhirnya tahu-tahu saja aku sudah berada di halaman parkir di depan pintu masuk menuju ke Gerojogan Sewu. Rupanya bawah sadarku selalu saja menempatkannya pada urutan teratas pada daftar tempat yang kusukai di Tawangmangu ini.
Hari Sabtu termasuk hari yang cukup lumayan pengunjungnya. Di tempat parkir ada beberapa mobil dari luar kota. Melihat itu aku tetap duduk di dalam mobil, ragu apakah aku akan turun atau-kah pergi saja ke tempat lain yang lebih sepi.
'Tidak jadi turun, Den"" Suara tukang parkir menegurku di muka jendela mobil yang sudah kubuka separonya. Orang itu sudah lama kenal aku. Dan dia tahu betul bahwa sejak dulu aku sering datang ke Gerojogan Sewu untuk menycpi. Entah untuk belajar sendirian, entah untuk duduk berduaan dengan Mas Dewo.
Mendengar pertanyaan pemuda in. . ^nyum kepadanya dan kugelengkan kepalZ * Tiba-tiba saja aku kok jadi malas Kanu " . "*. -jalah aku datang ke sini
Icernudian -Baiklah kalau begitu. Mari, Den r o.
sudah kuduga, laki-laki muda itu memahami ke inginanku. "Man, Kang.
"Tetapi bagaimana kalau ke Candi Sukuh"" Suara seseorang menyambung pembicaraanku dengan tukang parkir tadi. 'Tempat itu tidak terlalu
ramai." Aku menoleh. Kulihat Eko berdiri menjulang di sisi belakang mobilku. Laki-laki itu tertawa lembut kepadaku. Tetapi usulnya itu langsung kutolak dengan menggelengkan kepalaku. Aku sedang tidak ingin pergi ke mana pun yang banyak orangnya. Aku ingin duduk sendirian di suatu tempat tanpa ada orang lain di dekatku walaupun aku tidak tahu di mana tempat itu Dalam keadaan begini aku merasa dunia ini sangat sempit. Di mana saja, ada orang.
Tngin menyendiri ya"" Eko bertanya lagi. "Bagaimana kalau Mbak Wulan saya ajak melihat suatu tempat yang sepi tetapi sangat indah pemandangannya"" "Di mana itu""
"Saya sendiri belum tahu apa nama tempat itu. Waktu itu saya pernah ke sana tanpa sengaja." "Jauh""
'Tidak. Cuma sekitar lima kilometer dari sini ke arah Comoro Sewu." Eko menjawab pertanyaan-ku masih sambil tersenyum. Atau mungkin jUga tidak tersenyum. Tetapi karena sudut-sudut bibirnya yang seksi itu mencuat ke atas, ia tampak seperti tersenyum. "Bagaimana""
"Oke. Kita pergi ke sana," aku memutuskan Kalau aku tidak bisa menyendiri, apa salahnya kalau aku mengobrol dengan Eko. Bagiku yang penting adalah membunuh waktu dan menghindari pandangan kasihan dari orang-orang di sekitarku 'Tetapi apakah sekarang ini kau tidak punya se-suatu yang harus kaukerjakan""
"Saya ini pengangguran, Mbak." Eko melebar-kan senyumnya menjadi tawa. "Jadi lebih baik saya pergi jalan-jalan daripada terus-terusan di-nuntai tolong oleh Bapak atau Simbok. Mereka itu suka in kalau melihat orang duduk-duduk menganggur. Tadi pagi-pagi sekali,
kuping saya sudah Jit.mk Simbok lalu dibawa keluar dari tempat tidur hanya untuk disuruh menyapu latar. Padahal kotornya bukan main. Belakangan ini angin gunung lebih nakal daripada biasanya. Daun-daun kering dihambur-hamburkannya dari pohon apa pun yang ditiupnya."
Aku tersenyum. Melihat senyumku, Eko melanjutkan bicaranya lagi.
"Nah, selesai menyapu latar dan kemudian mandi, Bapak genii yang mcngambil tongkat ko-mando," katanya. "Bayangkan, belum selesai ganti baju, apalagi kok sarapan, saya sudah disuruh
n^gantar ke kantor untuk mengambil ,jiannya para pekerja. Bagi n*, ' Uan8 buat 5abtu adalah han yang paling rnenv ***** ^ dapat upah mingguannya, hari h""^ s"-^a. Enak, kan" Tetapi saya" Sudah I"1*3 libur nya Bapak atau Simbok, tidak adaT Suruhan-Senyumku berubah menjadi tawT^* ^ ^ngan Eko memang menyenangkan am**3*11 vang bisa membuat senyumku merekah n**** juga menulanku untuk ikut-ikutan birar. bahkan -Lalu ketika melihatku lewaic7*semauku-Pak Kirman menyuruhmu mengikutiku'X lanyaku memancing. kan""
TCok tahu"" Eko agak tersipu. "Mbak w I kam' ^ * depantt^
1'* va' "Ya. Nah, benar kan tebakanku tadi""
"Betul." -iJ^I "Kalau begitu cepatlah pulang sana. Katakan kepada Pak Kirman bahwa aku masih segar bugar. Tidak bunuh diri.*'
"Kalau saya harus melapor kepada Bapak untuk mengatakan bahwa Mbak Wulan masih utuh dan tidak bunuh diri, kapan kita bisa pergi ke tempat menyenangkan yang saya katakan tadi""
"Oke, kita berangkat ke sana sekarang." Aku tersenyum lagi. "Ayolah naik ke mobilku.*'
"Lalu motor saya dikemanakan""
'Dititipkan di sini saja."
"Bagaimana kalau sebaliknya"" Eko memainkan
katanya.____ "Sebaliknya bagaimana""
"Mobil Mbak Wulan yang dititipkan di sini."
"Lalu aku membonccng motormu""
"Ya. Memangnya Mbak Wulan akan men dorong"" Eko tertawa lagi. Renyah sekali suaranya
"Wah!" Aku tertegun. Melalui kaca spion, parv dang mataku melayang ke arah motor besar yarig diparkir di belakangku.
"Apakah keberatan duduk di belakang saya"" "Bukan begitu..."
"Lalu kenapa" Kurang aman naik motor"" Eko mengerlingku. "Kalau itu yang menjadi alasannya, jangan khawatir. Motor saya motor besar. Termasuk motor antik. Saya membelinya di Lampung waktu seseorang yang punya hobi motor besar butuh uang dan menjualnya kepada saya. Orangnya sangat sayang pada motor-motornya. Jadi saya jamin, Mbak Wulan akan merasa nyaman duduk di atas boncengan saya. Tenaganya 750 cc Iho, Mbak." "Masalahnya bukan itu, Mas Eko!" "Jangan memanggil saya dengan sebutan Mas. Panggil nama saja."
"Kalau begitu kau juga harus memanggilku dengan namaku saja." "Nanti seluruh rambut..." "Rambut orang-orang di Tawangmangu ini berdiri semua!" Aku menyergap perkataannya dengan sam-bungan kata yang pasti akan diucapkannya. Kemarin kata-kata semacam itu berulangkali dikatakannya.
Kami berdua pun tertawa. Sesudah itu Ek" menatap langit.
-jelaskan apa keberatanmu, Mbak av endengarnya," katanya kemudian 'ngin
..Aku takut dilihat orang. Sebab aku vakin ri akan mempakan pemandangan ^elihatku duduk di boncengan seorang W^j* hari yang khusus seperti hari ini!" Aku bc^l dengan terus terang. Aku yakin sekali, Eko sudan mengetahui secara persis pengalaman cintaku dengan Mas Dewo dan kedua orangtuanya. "Aku ,idak ingin dianggap sudah jadi gi|a!"
Eko menganggukkan kepalanya, memahami kata-kataku.
"Saya mengerti," sahutnya kemudian. 'Tetapi, apakah itu bisa diatasi dengan helm, Mbak" Apalagi kalau Mbak Wulan juga mengenakan jaket. Saya selalu membawa dua buah helm."
"Kurasa, bisa. Apalagi di dalam mobilku juga ada jaket milik Mas Danu yang bisa kupinjam untuk itu. Tetapi bagaimana dengan tukang parkir dan penjaga loket itu""
"Apakah mereka tahu kalau saya ini anak Pak Kirman""
"Mungkin. Sebab selama sepuluh hari di sini, pasti kau sudah ke mana-mana dengan motor besar-mu itu, kan""
*Ta. Soalnya saya ingin menjelajahi tempat-tempat di Tawangmangu ini. Ada banyak tempat yang masih belum begitu saya kenal," sahut Eko. "ft kan tidak lucu, Mbak. Wong saya dilahirkan di tempat ini."
"Kalau memang begitu, aku yakin kau sudah
dikenal mereka. Tawangmangu bukanlah iemPai yang sangat luas. B
erhari-hari melihat pemuda gagah hilir-mudik naik motor besar di sini pasti|an menimbulkan pertanyaan di hati orang banyak Maka kalau ada orang yang tahu siapa dirimu dalam waktu sekejap saja penduduk di sini pasti sudah mendengar bahwa kau adalah anak Pak Kirman."
"Mungkin memang begitu, Mbak. Saya dapai merasakannya dari tatap mata dan senyum mereka." Eko menganggukkan kepalanya "Jadi, bagaimana""
"Serahkan soal ini padaku."
Usai berkata seperti itu aku langsung turun dari mobil. Mendengar suara pintu mobil ditutup, pen-jaga parkir menoleh ke arahku. Cepat-cepat aku meiambaikan tangan kepadanya.
"Ada apa Den"" Pemuda itu langsung mendekatiku.
"Titip mobilku di sini ya, Kang. Aku diajak Eko anak Pak Kirman itu ke Candi Sukuh. Dia belum pernah melihatnya." Aku berdusta kepadanya.
"Oh, betul to pemuda gagah itu anaknya Pak Kir-man""
Tya. Dia akan menetap di sini setelah hampir dua puluh lima tahun ikut kakek-neneknya di Lampung."
"Saya pernah mendengar mengenai hal itu. Kata orang, orangtua Bu Kirman itu kaya setelah ikut transmigrasi ke Lampung. Punya kebun luas di sana. Apa betul""
ya " Aku menjawab pendek.
,.pantas, cucunya dibelikan mot0r ^ Mta orang, motor sebesar ,tu mahal ya, ^\ ltu'
barangkah. Aku tersenyum. -n* . ntip mobilku ya"


Kemuning Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

^eres sudah. Tak ada yang perlu kukhawatirkan , kemudian aku sudah duduk di belakane Eko dengan mengenakan helm di kepalaku Di aias blus yang kukenakan, aku memakai jaket Mas Danu yang kebetulan ada di dalam mobil Pasti tidak akan ada orang yang mengenaliku.
Membonceng motor adalah sesuatu yang hampir-hampir tak pernah kulakukan. Dan membonceng motor besar, baru sekali ini kulakukan. Apalagi dengan kondisi jalan yang terus menanjak. Terus terang aku agak takut. Tanganku berpegang erat-erat pada sadel yang menurutku tidak begitu mem-ben rasa aman itu. Aku menduga, Eko tahu itu. Sebab seperti konon apa kata orang, para pengen-dara motor mempunyai kepekaan khusus untuk mengetahui bagaimana keadaan orang yang ada di boncengan motornya. Sebab seseorang yang tidak biasa duduk di boncengan motor sikap duduknya akan kaku, dan si pengendaranya merasa seperti membawa beban barang. Sebab konon kata orang pula, orang yang biasa membonceng motor, sikap tubuhnya akan menyatu dengan gerak motor yang sedang melaju. Baik ketika miring ke kiri atau miring ke kanan atau pula ketika sedang menanjak.
"ugaanku benar. Beberapa saat kemudian Eko
mulai memperlambat laju kecepatan motorn Kemudian memiringkan kepalanya ke arahku.
"Kalau Mbak Wulan merasa takut, pegang bahuku." kaianya di antara desauan angin di 5* kanan kami. "Jangan sungkan."
Aku menuruti perkataannya. Tetapi karena mc rasa tidak enak memegang bahu laki-laki yan boleh dikata baru kukcnal itu, tubuhku justru 2 makin kaku. Dan itu pasti dirasakan oleh Ek karena tak berapa lama kemudian dia memper. lambat lagi laju kecepatan motornya dan bahkan kemudian menghentikannya ke tepi jalan.
"Mbak Wulan merasa canggung karena apa^ tanyanya kemudian, langsung pada masalahnya Xanggung karena memegang bahu saja tidak me-nimbulkan rasa aman ataukah merasa canggung karena memegang bahu laki-laki yang bukan ke-kasih Mbak Wulan" Ataukah pula merasa canggung karena seorang gadis berdarah biru memegang bahu laki-laki berdarah merah""
"Dua dugaanmu yang pertama tadi memang benar. Dan kurasa, itu wajar. Tetapi dugaanmu yang ketiga, sama sekali tidak benar!" Aku menjawab kesal. "Memangnya menurutmu aku ini picik ya"" "Sorry!"
"Makanya jangan suka menilai orang secara sembarangan." Aku menggerutu.
"Sudah minta maaf masih digerutui juga!" Eko tertawa. "Bisa kita lanjutkan perjalanan kita"*
"Ya." -Dengan P^rasaan lebih aman dan tidav ^rasa canggung lagi"" Udak pertu
"Ya-" ^lau begitu berpeganglah pada pinggang ^
sajamulai merasa ragu lagi. Padahal menurut perasaanku, membonceng motor yang paling aman nnemang dengan memeluk pinggang pengendaranya Melihat keraguanku itu Eko berkata lagi dcngan suara menggoda.
"Canggung karena darah saya merah dan darah Mbak Wulan berwarna..."
Kupukul pelan punggung Eko dengan marah sebelum perkataannya selesai.
"Jangan macam-macam bicaramu
!" gerutuku. "Aku bisa memukulmu dengan lebih menyakitkan."
Eko tertawa. Dan sebelum aku menyadarinya, tiba-tiba kedua belah tangan laki-laki itu masing-masing menarik tangan kanan dan tangan kiriku kemudian dilingkarkannya ke pinggangnya.
"Biarkan tangan Mbak Wulan tetap di sini," katanya dengan suara tegas. Kemudian dijalankan-nya motornya untuk melanjutkan perjalanan lagi.
Beberapa kilometer sebelum Cemoro Sewu, Eko membelokkan motornya ke jalan kecil yang hanya cukup untuk satu mobil. Setelah berjalan sekitar setengah kilometer, motornya berbelok lagi ke jalan yang lebih menanjak dan lebih sempit. Kira-kira tiga ratus meter setelah berbelok, barulah dia meng-hentikan motornya di bawah sebuah pohon mahoni.
Kulepaskan tanganku dari pelukanku pada pinggang Eko. Lalu kulepas helm yang sejak tadi bertengger di kepalaku. Kulihat, kami berada di bagian sebuah bukit yang agak menjorok kelUar Di atas kami terdapat perbukitan dan rimbunnya daun pohon mahoni. Di bawah kami terhampar berbagai macam pemandangan yang indah. Lembah berumput hijau, sawah yang bertingkat-tingkat, kebun sayuran yang luas, dan kebun bunga edelweis yang cantik dengan dikelilingi bukit berhutan lebat dan latar belakang puncak gunung yang benvama kebiruan. Sungguh sangat menakjubkan.
"Bagaimana"" Kudengar suara Eko. Kami berdua masih sama-sama duduk di atas motornya.
'"Indah sekali..." aku mengakui. "Seandainya aku seorang pelukis. Wah!"
"Waktu pertama kali saya datang kemari, saya langsung terpukau. Tempat ini luar biasa indahnya." 'Tetapi dingin dan sepi." "Ya, memang. Tetapi bukankah Mbak Wulan butuh tempat yang sepi"" Aku menatap mata Eko beberapa saat lamanya. "Apakah kau juga mengira, saat ini aku sedang berada di puncak sakitnya patah hati"" tanyaku kemudian.
"Saya netral, Mbak, karena saya tidak bisa melihat isi hati mbak Wulan." Eko menjawab dengan kejujurannya. 'Tetapi kalau boleh mengemukakan pendapat, saya cuma punya satu dugaan saja."
"Dugaan apa""
"Bahwa saat ini Mbak Wulan sudah beberapa waktu yang lalu melewati puncaknya patah hati.
Sekarang ini yang "b hanyatah perasaan terk . . dan perasaan tertekan karena k lerkalahkau benar, Eko." Aku bergumam Pelan "An, kah .. apakah itu begitu kelihatan"" ' p
-Ya." ViH -Keluargaku tidak bisa melihatnya. Bahkan orang-orang di sekitarku juga tidak. Termasuk kedua orangtuamu..." Kutatap lagi mata Eko. "Tetapi kau mengetahuinya."
"Yang pertama, karena pertanyaan Mbak Wulan yang diucapkan dengan nada getir tadi: 'apakah kau juga mengira, saat ini aku sedang berada di puncaknya rasa patah hati'. Yang kedua, karena saya orang baru, Mbak. Jadi saya bisa melihat segala sesuatunya secara lebih objektif. Sedangkan keluarga Mbak Wulan dan orang-orang yang me-nyayangi Mbak Wulan termasuk kedua orangtua saya, melihatnya dari sudut pandang yang bersifat subjektif. Karena kasih sayang mereka, maka yang ada di hati mereka hanyalah rasa iba, rasa kasihan, beia rasa, khawatir, dan lain sebagainya. Maka sikap mereka terhadap Mbak Wula^ jadi penuh kehati-hatian dan cenderung menunjukkan perhatian yang berlebihan. Semakin dekat hari pernikahan laki-laki itu, semakin semua orang menjaga perasaan Mbak Wulan seperti menjaga porselen antik ^ng rapuh."
"Memang begitu," aku memotong.
"Dan saya tahu, Mbak Wulan tidak menyukai
itu'" "' "Itu benar. Eko. Hatiku sangat tertekan merasa-kan itu semua. Rasanya, aku im seperti seorang pecundang yang patut dikas.han. Mereka semUa begitu cemas, kalau-kalau aku melakukan sesuatu tindakan yang tolol. Memangnya aku ini apa menurut pemikiran mereka" Kalau saja aku tidak sadar bahwa apa yang mereka semua lakukan terhadapku itu dilandasi oleh kasih sayang mereka yang luar biasa besar kepadaku, ingin sekali aku kembali ke Jakarta untuk mencari suasana yang lebih sehat..." Suaraku mulai menggeletar.
"Jadi betul apa yang saya duga." Eko berkata lembut.
"Aku senang kau bisa memahami perasaanku ini." Rasa lega bisa mengeluarkan tekanan yang selama ini mengganjal di hatiku membuatku ingin menangis.
"Tetapi ada satu hal lagi yang barangkali perlu Mbak Wulan perhatikan." "Apa itu""
"Lakukanlah refleksi
atas pengalaman getir itu dan tanyakan pada diri sendiri pula apakah perasaan tertekan itu bukannya karena harga diri yang ter-lukai..."
"Kenapa kau berkata seperti itu, Eko"" Aku memotong perkataan Eko yang belum tuntas itu.
"Karena pengenalan saya terhadap Mbak Wulan dari cerita-cerita Simbok maupun Bapak dan dari
_gamatan saya sendiri selama mengikuti mk , 5 an sampai ke Sarangan, Juga ^ Parian kemarin kita bersama-sama, kemud" " I lumpaan kit. han mi, saya tahu Mbak Wutn dalah seorang perempuan yang kuat harga dirinvT Bahkan juga seorang perempuan mandiri, berani memutuskan sendiri pilihan-pilihan yang menyang-kul kehidupan Mbak Wulan beserta seluruh risiko ^ konsekuensmya. Maka ketika dikhianati ke-kasih, harga din Mbak Wulan terluka. Lebih berat lagi karena orang banyak hanya melihat Mbak V/ulan sebagai perempuan pada tataran yang ter-kalahkan, yang tersingkirkan, yang dinomorduakan, yang patut dibela dan dikasihani..."
"Cukup, Eko!" Aku menghentikan perkataan Eko yang seluruhnya benar itu dengan agak membentak. "Kau benar."
Eko menoleh ke arahku. Tetapi kularikan pandang mataku ke tempat lain. Aku tidak ingin dia melihat air mata yang mulai tergenang di pelupuk mataku.
"Jangan marah..." Eko berkata dengan suara halus di sisi telingaku.
"Aku tidak marah kepadamu."
"Saya tahu. Mbak Wulan bukan hanya marah karena analisis saya tadi hampir seluruhnya benar tetapi terutama juga marah kepada semua orang yang secara tidak mereka sadari telah menempatkan Mbak Wulan di tataran yang Mbak Wulan benci >"u- Dan karenanya Mbak Wulan tidak pemah mau menangis. Mbak Wulan tidak berani menumpahkan
air mata karena menurut hati Mbak Wulan me nangis adalah tanda kekalahan yang membenarkan anggapan orang banyak bahwa Mbak Wulan berada tataran yang terkalahkan..." "Cukup, Eko." Aku terengah. "Sekaranglah saamya Mbak Wulan menumpah. kan air mata yang selama ini menggumpal di dada," Eko terus saja berkata tanpa mendengar permintaanku untuk diam. "Sebab menangis bukan hanya tanda kekalahan dan rasa putus asa saja Menangis bisa karena beribu alasan lain yang lebih kuat. Rasa sakit. Rasa takut. Rasa malu. Rasa rindu. Rasa haru. Rasa gembira dan bahkan juga rasa marah, rasa jengkel, atau rasa apa pun. Tuhan menciptakan kelenjar air mata antara lain memang untuk menjadi alat guna meluapkan perasaan-perasaan atau apa pun demi pembersihan. Demi pelepasan ketegangan emosional. Laki-laki maupun perempuan membutuhkan itu. Orang kuat, orang lemah, juga memerlukannya. Orang dewasa dan anak kecil pun begitu juga."
Entah karena mendengar kata-kata Eko atau entah merasa malu karena seharusnya kata-kata Eko itu keluar dari mulutku yang sudah sekian lamanya menggeluti psikologi, atau entah pula memang sudah saatnya aku menangis, tiba-tiba saja air mataku meluap keluar. Berminggu-minggu lamanya kesedihan dan rasa terluka itu tak pernah kubiarkan lepas dalam bentuk air mata. Kim. semuanya kubiarkan lepas dan bebas tanpa kutahan-tahan lagi.
-Habiskan tangismu, Mbak. Tak usah Wong manusiawi kok Jangan ditahan-tahan ' Tafc nya kemudian sambil meremas lembut tanganku
Aneh. Aku yang selama ini merasa tin^i L untuk menangis, han ini aku bisa terisak-isak seperti tidak bisa dihentikan lagi. Lupa di mana aku berada sampai kurasakan lengan Eko yane tiba-tiba memeluk dan meraihku agar aku menangis di dadanya. Maka di tempat itulah aku melanjutkan tangisku.
Entah berapa lama keadaan seperti itu berlang-sung, aku tidak tahu. Sesudah puas menangis baru-lah kuangkat kembali kepalaku. Lalu kubersihkan mata dan wajahku yang basah dengan saputangan yang kuambil dari dalam tasku. Setelah itu aku membisu. Eko juga membisu. Kami berdua duduk di atas motor menatap ke kejauhan tanpa bersuara. Bahkan tanpa bergerak.
'Terima kasih atas segala-galanya." Akhimya aku mulai memecahkan suasana hening itu. "Hatiku mulai merasa lega sekarang."
'Terima kasih kembali." Eko berkata dengan suara lembut. "Dan syukurlah, Mbak Wulan sudah merasa lega sekarang."
"Aku tidak menyangka kau bisa memahami apa yang terjadi pada diriku," kataku sambil tersenyum malu. "Caramu menganalisis, seperti seora
;ig psi-kolog berpengalaman saja. Padahal akulah yang menggeluti psikologi. Aku sungguh merasa malu
kepadamu..." . "Mbak Wulan tidak perlu merasa malu. Seorang
dokter yang paling ahli pun belum tentu bisa mengobatj dirinya sendiri. Orang yang sedang jatuh di sebuah sumur. terlalu panik untuk berpikir hal-hal lainnya. Orang yang tenggelam di dalam suatu masalah. sering kali hanya berputar di situ-SjIu saja tanpa ingat apa yang ada di luar masalah itu sendiri. Sikap kritis, sikap objektif, dan seterusnya sering kali terlupakan," Eko tersenyum maklum "Hari ini saya melihat bahwa banyak membaca dan suka melihat apa pun dengan berbagai sudut pandang ternyata ada gunanya juga. Apalagi dalam persoalan Mbak Wulan, saya mempunyai penga-laman yang hampir serupa." "Pengalaman apa""
"Ditinggal kekasih." sahutnya lama kemudian.
Aku tertegun. Kulihat, mata Eko bergetar. Dan aku menangkap setitik nyala yang semula tak kulihat. Rasa sakit yang pernah dialaminya.
Enam SEJAK aku bisa menangis dan Eko membiarkan dadanya menjadi tempat aku menumpahkan air mata, hubunganku dengan laki-laki itu tiba-tiba saja menjadi akrab. Kami sering pergi bersama-sama dengan naik motornya ke tempat-tcmpat yang belum pernah kami jelajahi. Masih sama seperti pada awalnya, aku juga memakai helm dan jaket. Tentu saja sekarang bukan jaket Mas Danu yang kupakai, tetapi jaketku sendiri. Dan sama seperti aku, Eko juga suka menyatu dengan alam yang masih belum banyak dijamah manusia.
Keakraban kami menjadi lebih terasa lagi sesudah Eko menceritakan kisah cintanya yang kan-das. Waktu itu kami sedang menikmati pemandangan di sekitar Cemoro Sewu lagi. Kali itu kami berada di sebelah Timur, tak jauh dari hutan wisata. Kami berdua duduk di sebuah bukit rendah dengan dipayungi pohon-pohon pinus, di atas re-mmputan sambil menatap keindahan yang ter-hampar di hadapan kami.
"Latar belakang keluarga gadis itu sederajat dengan kami. Sama-sama keluarga transmtgran.
Keluarganya pernah mengalami kehidupan yan susah di Jawa. Hanya saja mereka datang dari Jawa Timur. Sesudah bekerja keras bertahun-tanun lamanya di Lampung, akhirnya orangtuanya berhasil menjadi petani rempah-rempah yang sukses. Ke-suksesannya melebihi apa yang bisa kami capai.* Begitu dia memulai cerita mengenai bekas kekasih-nya itu. "Saya pikir. dengan banyaknya kesamaan itu hubungan kami akan mulus-mulus saja jalannya. Tetapi pikiran seperti itu ternyata sangat naif. Ada banyak hal yang sebelumnya tidak saya perhitung-kan."
"Apa. misalnya"" Aku bertanya ingin tahu. "Antara lain tentang pandangan hidup." Eko menjawab sambil menerawang ke kejauhan. "Keluarga Nanik selalu menggarisbawahi kerja keras dan kerja keras bagi seluruh anggota keluarganya karena katanya, kerja keras adalah kunci ke-suksesan." 'Tetapi itu benar, kan"" Aku menyela. 'Tidak seluruhnya benar. Ada banyak orang yang sudah bekerja keras mati-matian tetapi toh hidupnya juga tetap saja susah. Tidak pernah mencapai apa yang disebut sukses." "Ya, memang. Lalu""
"Sebagai kekasihnya, saya menyarankan Nanik untuk melanjutkan kuliahnya sesudah dia lulus SMU. Tetapi ternyata seperti juga orangtuanya. dia tidak sependapat dengan piki ran saya. Katanya, ilmu pengetahuan tidak menjamin kesuksesan."
"Tetapi pendapatnya itu ada ben; lrnya, kan"
^u memotong lagi cento Eko. "Berapa banyaknya parang uu yang sudah sarjana. bahkan sarjana ,trata dua pun, menganggur karena tidak ada lo-w0ngan pekenaan yang pas dengan ilmu yang dimilikinya. Dan kalaupun mereka mendapat pe Icerjaan, acap kali bidang yang digelutinya itu tidak ada kaitannya dengan ilmu yang dimilikinya jadi, gelar kesarjanaan tidak selalu bisa mengentas seseorang dari kesulitan hidupnya. Apalagi sampai mencapai tingkat sukses!"
"Memang, saya akui adanya kenyataan yang seperti itu!" Eko menganggukkan kepalanya. 'Tetapi, orang pergi belajar itu kan bukan sekadar untuk mencari gelar saja. Tidak sedikit lho orang yang sudah jadi sarjana tetapi pengetahuannya cuma begitu-begitu saja karena lulusnya secara kebetulan. Mungkin, orang itu termasuk golongan mahasiswa pencari nilai. Belajar hanya waktu ujian saja.
Selesai ujian, ilmunya lupa lagi. Atau, nasibnya mujur karena soal-soal ujian yang dihadapinya kebetulan pas yang dia baca semalam. Padahal menurut pengalaman saya dan juga pendapat banyak teman-teman saya, mencari ilmu pengetahuan itu sangat menyenangkan. Banyak hal yang dulunya tidak kita ketahui, jadi tahu. Nah, apa komentar Mbak Wulan mengenai pendapat saya ini""
"Kita sependapat. Memangnya apa alasanku melanjutkan kuliahku sampai di jenjang benkutnya kalau tidak untuk mencari ilmu" Lag. pula malu kan kalau otak kita tidak sesuai isinya dengan gelar yang kita sandang.""Yah. seharusnya memang begitu." "Bagi orang-orang seperti kita, pengetahuan itu seperti candu. Tahu sedikit. mau lanjutannya. Tahu lanjutannya. mau tahu lebih banyak dan lebih banyak lagi!" Aku berkata lagi menceritakan pengalaman yang memang kualami.
"Betul. Dan itulah anehnya orang yang belajar," sahu! Eko. Tangannya mengambil sebutir kerikil. Dilemparkannya kerikil itu sejauh-jauhnya "Setelah kita tahu sesuatu, baru kita sadar bahwa temyata ada banyak hal Iain yang kita tidak tahu. Bahwa temyata di kolong langit ini ada banyak hal yang kita tidak ketahui. Dan bahwa pula ter-nyata otak kita ini terlalu kecil untuk menangkap apa yang tersaji di alam semesta ini."
"Kau betul. Tetapi hei, kenapa pembicaraan kita jadi melantur ke mana-mana begini sih"" Aku tertawa geii. "Kita sedang membicarakan tentang kisah cintamu yang kandas, kan"" Eko tersenyum. Kepalanya menoleh ke arahku. "Saya senang melihat tawa Mbak Wulan seka-rang begitu renyah dan lepas," katanya kemudian. "Kelihatannya, penyakit masa ialu itu sudah sem-buh betul."
"Ya. Bukan hanya sudah sembuh betul saja tetapi juga tak ada lagi bekas-bekasnya," aku men-jawab masih sambil tertawa. Lalu meniru apa yang tadi dilakukannya, aku juga mengambil sebutir kerikil dan kulempar jauh. Tetapi usahaku tidak berhasil. Kerikil itu cuma terlcmpar sejauh sekitar Uga meter saja. "Kalau kau bisa meneropong isi
dadaku, pasti akan kau lihat bahwa hatiku sudah mulus. Lebih mulus danpada sebelumnya"-Saya senang mendengar itu. Sebab apa gunanva memikirkan masalah yang tak layak untuk dirsoalkan. Mbak Wulan terlalu baik untuk laki lalci seperti dia!"
"Gombal!" Tawaku semakin lebar. "Nah ayo lanjutkan ceritamu. Kita terus saja menyimpang dari pokok pembicaraan."
"Oke," Eko menarik napas panjang. ''Nah, itu tadi baru cerita tentang perbedaan pandangan hidup. Seperti yang saya ceritakan tadi, Nanik tidak ingin melanjutkan sekolahnya. Padahal soal biaya kuliah itu masalah kecil buat keluarganya. Saran saya dan contoh-contoh konkret yang saya berikan ke-padanya cuma disenyumi saja dengan sikap me-remehkan. Belakangan, saya tahu dia sedang mengambil kursus kecantikan. Katanya, dia mau mendirikan sebuah salon kecantikan yang akan dijadikannya sebagai suatu usaha yang besar di Lampung nanti."
"Itu cita-cita yang bagus, kan""
"Ya, memang. Dan saya juga dapat menghargai cita-citanya itu. Tetapi masalahnya bukan terletak di situ, melainkan pada perbedaan visi di antara kami berdua. Tanpa bermaksud untuk menomor-duakan hal-hal yang berkaitan dengan keahlian-keahlian yang didapat dari kursus ini atau itu. sejak dia mengikuti kursus kecantikan itu pembicaraan di antara kami berdua tak lagi pernah nyambung Eko menoleh lagi ke arahku. "Apakah
Mbak Wulan bisa memahami apa yang saya katakan ini""
"Sangat paham. Sebab meskipun tidak setimpan yang kaualami, pengalamanku dengan Mas dewo juga ada miripnya. Dia tidak ingin melihatku me-lanjutkan kuliah. Sebab pikirnya, dia hanya lulusan
D-3 saja. Baginya, seorang istri tidak sepantasnya
kalau gelar dan pengetahuannya melebihi sang
suami." "Saya sudah menduga hal itu jauh sebelum Mbak Wulan mengatakannya."
"Mudah ditebak ya"" Aku menelengkan kepala-ku. "Memang begitulah yang terjadi. Apalagi setelah kurenungkan belakangan ini, aku mulai me-nyadari bahwa Mas Dewo kuliah sampai D-3 itu saja pun cuma untuk memenuhi kelaziman bahwa anak-anak zaman sekarang ini kalau ada biayanya, ya harus kuliah. Soal buat apa nantinya itu masalah lain. Jadi dengan kata lain, dia tidak melihat apa pentingnya o
rang belajar dan meraih ilmu." Mendengar perkataanku, Eko tertawa. "Semestinya lelaki seperti Mas Dewo itu harus menikah dengan gadis seperti Nanik. Mereka pasti akan cocok satu sama lainnya. Mereka adalah orang yang berpikir sederhana dan tidak suka neko-neko atau macam-macam seperti kita," katanya kemudian.
"Istilah neko-nekomu itu tepat." Aku tersenyum. "Mas Dewo memang seperti itu. Dia termasuk orang yang tidak suka neko-neko. Padahal aku ingin supaya dia banyak membaca atau belajar
apa sajalah kalau memang tidak ingin melanjutkan Jdinya. Kepanoaian dan pengetahuan orang kan bukan cuma terletak pada gelar kesarjanaannv" ja. Tetapi, dan rasa mgm tahunya terhadap scBala sesuatu yang tersembunyi di alam semesta ini kemudian mencan jawabannya dengan usaha sendiri entah bagaimanapun caranya. Jadi, kalau aku me-nanyakan sesuatu kepadanya, dia bisa menjawab-nya. Sebab pikirku pada waktu itu, dia haruslah menjadi pusat tempat aku bisa bertanya dan men-dapatkan jawaban."
"Rupanya Mbak Wulan termasuk perempuan yang menginginkan seorang suami dengan pengetahuannya lebih luas daripada sang istri. Atau setidak-tidaknya, ya samalah." Eko meiemparkan lagi sebutir kerikil. Kali ini lemparannya mem-bentur sebatang pohon kelapa.
"Mungkin." Aku menoleh ke arah Eko, kemudian tersenyum lagi. Kali ini tersenyum pada diriku sendiri. "Jadi lihatlah, ternyata aku ini masih bisa juga kena imbas dari pengaruh budaya patriarkal. Temyata pula aku masih bias gender. Padahal laki-laki dan perempuan dalam hal apa pun ter-kecuali dalam hal biologisnya, sama. Mau kuliah atau tidak, mau jadi pintar atau tidak, itu masalah personal yang tidak perlu dikaitkan dengan ke-beradaannya sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Harga diri atau nilai seseorang tidak dikaitkan pada apa yang ada padanya tetapi pada siapa dia sebagai manusia yang bermartabat. Dan martaba selalu dikaitkan pada keberadaan atau eksistensi
manusia sebagai manusia. Bukan manusia sebagaj
ini atau itu." "Menarik juga pendapatmu, Mbak Wulan."
'Tetapi terus terang aku sering mcmikirkan hal-hal seperti itu sebelum ini. Bahwa sesungguhnya, Mas Dewo pun juga kena akibat dari budaya patriarkis yang menempatkan laki-laki lebih utama daripada perempuan. Maka ketika aku memperlihat-kan kelebihan-kelebihan di atas apa yang ada pada-nya, dia mulai merasakan adanya suatu ancaman. Ancaman yang berkaitan dengan nilai atau harga dirinya sebagai laki-laki. Menurut sudut pandangnya sendiri, tentu saja. Dan kurasa mudahnya dia ter-gelincir masuk ke dalam pelukan Titik itu pun ada hubungannya dengan masalah itu."
"Masuk akai, Mbak. Sebab di seluruh dunia ini. banyak sekali laki-laki yang mengidentifikasi dirinya kepada segala sesuatu yang dinilai hebat. Kekuasaan, kekuatan, pangkat, kedudukan, karier, gelar, dan lain sebagainya."
"Ya, benar. Laki-laki memang sering meletakkan identitas dirinya pada sesuatu yang tidak esensial."
"Mudah-mudahan saya tidak termasuk laki-laki seperti itu walaupun kadang-kadang biasnya masih juga meracuni diri dan otak saya." Eko tersenyum lembut ke arahku.
"Kadang-kadang disusupi cara pandang yang bias, itu adalah sesuatu yang sangat wajar. Sebab sejak bayi kita sudah berada dalam sistem nilai seperti itu." Aku memotong perkataan Eko. 'Tetapi ah. sudahlah. Lagi-lagi kita mulai bicara mclantur.
Lanjutkan ceritamu tentang hubunganmu dengan
p^anik Baik," Eko menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Nan, sejak adanya perbedaan-perbedaan visi di antara kami, hubungan saya dengan Nanik akhirnya mulai renggang. Padahal dalam keadaan seperti itu seharusnya kami sama-sama saling me-nenggang perasaan pihak lainnya. Bahkan harus sama-sama pula berusaha mencari jalan tengah atau titik temunya. Tetapi temyata tidak demikian. Saya menyibukkan diri pada pekerjaan di kebun dan Nanik membiarkan dirinya didekati pemuda lain yang celakanya lebih disukai oleh keluarganya. Laki-laki itu seorang tentara berpangkat letnan yang punya jenjang masa depan lebih cerah. Masih muda, sudah letnan."
"Dari mana kau tahu kalau keluarganya lebih menyukai laki-laki lain itu""
"Dari Nanik sendiri " jawab Eko.
"Bahkan ketika saya tanyakan kepadanya mengenai bagai-mana sikapnya terhadap perkembangan baru itu dia menjawab akan menuruti apa pun yang diingin-kan orangtuanya. Padahal saya kenal betul siapa Nanik. Artinya, kalau dia betul mencmtaiku dan masih mengharapkan terjalinnya hubungan kami sampat ke tingkat yang lebih serius, saya yakin pasti tidak seperti itu yang dikatakannya kepada saya." , .
"Dengan kata lain, dia memang lebih menyukai
laki-laki baru itu." "Ya." Eko menganggukkan kepalanya. Dan per
bedaan pandangan hidup di antara kami berdua ikut memicu kc arah sana. Waktu itu hati saya terasa amat sakit. Seperti dikhianati rasanya."
"Apa bukannya kau terlalu cepat memberinya penilaian""
'Tidak, Mbak. Saya bukan orang yang seperti itu. Ada tenggang waktu. tenggang rasa dan bukti-bukti yang cukup kuat dulu baru saya memberi penilaian. Dan bukti-buktinya cukup kuat. Saya pemah melihat Nanik jalan berdua dengan laki-laki itu. Saya juga pemah berpapasan dengan Nanik di suatu tempat tetapi dia pura-pura tidak melihat saya. Bahkan saya pemah datang ke rumahnya dan keluarganya mengatakan bahwa dia sedang pergi. Padahal saya yakin, dia ada. Waktu saya baru masuk ke ha lam an rumahnya, saya sempat melihatnya menyelinap masuk."
"Kalau sudah begitu baru kita percaya bahwa temyata kalau seseorang itu bukan jodoh kita, ada-ada saja kejadian yang menyebabkan hubungan kita dengannya jadi putus," komentarku. "Sebalik-nya, kalau kita sudah berjodoh dengan seseorang, ada saja jalannya yang mengarah ke sana."
Begitulah pembicaraan kami hari itu menambah keakraban di antara kami. Beberapa hari kemudian bahkan Eko juga menceritakan tentang rencananya untuk membeli tanah dari bagian uang warisan yang ia dapat dari kakek-neneknya. Ia ingin men-jadi petani.
"Dengan ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah, saya merasa tertantang untuk mcngembalikan lagi kejayaan jenuk keprok Tawangmangu yang sUdah pudar itu, katanya menjelaskan. "Sebah kaIaU dulu bisa sedemikian berjayanya, secara |ogika semestinya- di masa sekarang yang sudah semakin maju teknologtnya mi, kejayaan seperti di masa lalu itu bisa dikembalikan lagi. Dan kesulitan-kesulitan yang pemah dialami, diharapkan bisa diatasi dengan lebih baik. Mestinya kan begitu."
"Ya, memang mestinya begitu. Tetapi eh... ter-nyata kaya juga kau, Mas Eko!"
"Sudah saya katakan berulangkali, jangan me-manggil saya dengan sebutan 'Mas'. Nanti kalau didengar orang..."
"Rambutnya akan berdiri semua!" Aku me-motong perkataannya dengan tertawa.
"Nah!" Eko juga tertawa. "Sudah tahu, kan""
"Kalau takut ada orang yang rambutnya tiba-tiba berdiri semua, aku hanya akan menyebutmu 'Mas' kalau tidak ada orang lain di dekat kita."
"Saya tetap tidak setuju."
'Terserah. Aku tidak peduli apakah kau akan setuju ataukah tidak," aku menyeringai.
Eko menggeleng-gelengkan kepalanya. Tetapi kemudian dia mengembalikan pokok pembicaraan.
"Mbak Wulan tadi mengatakan saya kaya" Waduh, apanya yang kaya. Uang simpanan saya itu saya kumpulkan sen demi sen sejak saya masih bocah dari upah bekerja di kebun Simbah. Lalu ditambah dengan pembagian uang dari hasil pen-jualan kebun warisan kakek saya, saya hanya bisa membeli sekitar seribu sampai seribu hma ratus
meter persegi tanah di sini. Untuk dijadikan kebUn pastilah bukan suaiu kebun yang luas."
"Apakah sudah ada bayangan kira-kira di mana Ietaknya""
"Pasti tidak di pinggir jalan karena dananya kurang. Lagi pula, akan lebih bagus kalau Ietaknya agak jauh dari jalan raya. Asap mobil tidak sehat untuk tanaman."
"Kalau kau pergi mencari tanah, ajaklah aku."
"Oke." Maka perjumpaan-perjumpaan kami pun scmakin sering dengan adanya rencana Eko mencari tanah yang cocok dengan apa yang dictta-citakannya. Sebab temyata tidak mudah mendapatkan tanah seperti yang diinginkan oleh Eko dengan uang yang harus digunakan secara hati-hati itu. Kami berdua sudah pergi ke sana dan kemari, melihat dan mendengar informasi orang dan mempelajari-nya bersama-sama. Sampai-sampai aku jadi scdikit tahu mengenai berbagai macam hal yang menyang-kut dunia pertanian termasuk tentang kontur tanah dan lain sebagainya.
S elama ini, keluargaku memang tahu bahwa belakangan ini aku sering pergi. Tetapi mereka tidak tahu kalau aku lebih sering pergi dengan membonceng motor Eko. Kalaupun aku pergi dengan mobil dan Eko ada di sampingku, mereka juga tidak tahu. Tetapi satu kali pun aku tak pemah menceritakannya kepada mereka. Kepada Tita pun tidak. Di hati kecilku, aku memiliki kesadaran bahwa perbuatanku itu tidak akan bisa
ditcrima oleh mereka semua. Pertama, karena aku ielah menyia-nyiakan waktu yang sehanusnya " kai untuk menata masa depanku. Kedua, mereka tidak ingin anak gadisnya menjadi pem-orang sesudah kekasihnya menikahi gadis ,ain. Sebab orang bisa saja menganggapku sudah kehilangan akal sehat lalu mencari pelarian dengan cara yang agak aneh itu. Bukankah aneh kalau orang melihatku duduk membonceng seorang laki-laki dan dengan eratnya lenganku memeluk ping-gangnya" Padahal sebelum ini mereka hampir-hampir tak pernah melihatku naik motor dengan cara yang paling biasa pun. Ketiga, melihatku naik motor di jalan raya yang kondisinya berliku-liku dan naik-turun pastilah keluargaku merasa khawatir dan tidak akan menyetujuinya. Lalu yang keempat, menuruti anggapan mereka aku dan Eko tidaklah sederajat. Menurut mereka tidaklah pantas kalau aku sering kali pergi berduaan dengan dia meskipun pemikiran seperti itu lebih banyak dikaitkan dengan "apa kata orang" dan bukan karena sesuatu yang lain. Aku kenal keluargaku. Mereka bukan orang-orang yang picik.
Kurasa, Eko sendiri pun menyadari itu semua. Acap kali dia memintaku untuk hati-hati menjaga diri demi menghindari segala kemungkinan yang bisa terjadi. Dia juga menyarankan agar kedekatan di antara kami jangan sampai diketahui oleh siapa Pun. Kalau kami mau pergi bersama-sama. dia akan menunggu di suatu tempat tertentu yang jauh dari pandangan mata orang, baru aku naik di alas
boncengannya. Atau kalau sesekali aku membaw mobil demi tidak dicurigai keluargaku, Eko aka* naik ke mobilku di tempat yang kami angg/ paling aman dari jangkauan penglihatan 0ran P siapa pun dia. Aku dan mobilku sudah banyak dikenal orang-orang Tawangmangu.
Tetapi terus terang saja aku merasakan keasyikan tersendiri dalam situasi "umpet-umpetan" sepeni itu. Misalnya ketika aku harus menunggu waktu yang tepat lebih dulu sebelum menyelinap keluar rumah dengan diam-diam. Sebab tidak mudah bagi-ku pergi dengan cara seperti itu sementara seluruh keluargaku sedang begitu penuh perhatian kepada-ku. Sedikit saja aku tampak lebih rapi daripada biasanya, mereka sudah melontarkan pertanyaan bertubi-tubi seolah aku sedang mencari kesempatan untuk bunuh diri karena patah hati. Tetapi tidak seperti dulu, sekarang aku malah bisa menikmati-nya. Sebab temyata asyik juga main kucing-kucingan dan mereka tidak tahu apa yang ku-sembunyikan dari mereka semua. Termasuk kedua pembantu tumah tangga keluargaku yang saking sayangnya kepadaku jadi suka usil itu.
Seperti misalnya keasyikan hatiku ketika mem-bebaskan diri dari rasa ingin tahu yang terpancar dari mata Mbok Sumi atau Yu Rapiah setiap melihatku pergi begitu saja tanpa mengendarai mobil, juga tidak naik sepeda, tidak menunggang kuda dan tidak pula memakai topi. Dan juga beberapa macam kebiasaanku lainnya kutinggalkan sama sekali. Mereka sangat mengenalku sehingga
ka pasti akan merasakan ada yang aneh kalau J, bersikap se;P^;orang sedang main sembu^-"mbunyian. Aku ton sudah bi-kan anak kecil ia"
Tetapi meskipun hatiku sering terasa teeane setiap kali berusaha menyelinap keluar rumah tanpa diketahui orang, rasa gembira dan asyik itu tetap saja muncul di hatiku apabila bisa meloloskan diri dari rumah dengan selamat. Memang, beberapa kali aku dipergoki dan ditanyai oleh Mbok Sumi atau Yu Rapiah ketika akan menyelinap keluar rumah dengan diam-diam. Tetapi pertanyaan atau komentar mereka selalu bisa kujawab dengan cepat meskipun aku tidak yakin apakah mereka mem-percayainya atau tidak. Sebab jawabanku terlalu cepat dan sering kali tidak masuk akal.
"Aku mau jalan-jalan ke kebun sebentar, ingin menghirup udara pagi." Begitu yang sering kukata-kan kepada mereka. Tetapi yang kubilang cuma sebentar
itu temyata sampai lewat siang hari. Dan tidak seorang pekerja pun di kebun kami yang melihatku ada di sana hari itu.
Atau pula kujawab pertanyaan Mbok Sumi bahwa aku bosan pergi dengan mobil dan sesekali senang juga naik kendaraan umum. Tetapi ketika ditanya pergi ke mana, jawabanku tidak jelas dan terasa mengada-ada.
Tapi sekali mereka berdua sedang ada bersama-sama ketika pagi-pagi buta aku menyelinap keluar pintu belakang dengan membawa jaket. Saat itu aku merasakan sulit menjawab pertanyaan mereka karena saling sambung-menyambung.
"Apa yang harus kami kaiakan kepada Bapalt dan Ibu kaiau mcnanyakan Den Wulan," kata yu Rapiah. "v
"Apalagi belakangan ini Den Wulan sering sekali pergi di saat Bapak dan Ibu masih tidur!" Mbok Sumi menyambung bicara temannya.
"Sudah begitu tidak naik mobil pula!" Yu Rapiah ganti menimpali.
"Dan caranya pergi itu lho, Mbok Mi merasa Den Wulan itu seperti sengaja supaya jangan di-ketahui orang. Pergi ke mana saja sih wong ayuT "Jadi kalau ada apa-apa, kami tahu Den Wulan ada di mana."
"Bawa telepon kecilnya kan, Den"" Yang di-maksudnya adalah handphone.
Kepalaku pusing kalau sudah diserbu dengan pertanyaan-pertanyaan nyinyir seperti itu. Jadi cepat-cepat aku menjawab dengan jawaban yang mudah-mudahan bisa terdengar wajar di telinga mereka berdua.
"Aku sekarang sedang senang menjelajahi bukit-bukit dan sawah-sawah orang untuk mencari sesuatu," jawabku dengan agak kesal. "Dan aku bukan anak kecil lagi yang bisa kesasar. Berhentilah memperlakukan diriku seperti bayi!"
"Sesuatu itu apa misalnya"" Mbok Sumi masih saja belum puas mendengar jawabanku itu.
"Yang jelas bukan belut atau kodok. Mbok Mi tidak usah harus menggorengnya dengan perasaan jijik seperti dulu."
Untuk menguatkan jawabanku, sejak hari itu
flku selalu pulang dengan membawa sesualu "dang-kadang tanaman bar yang b ^ kadang-kadang bunga w yang c* kadang-kadang pula buah-buahan hutan seperti embacang. mangga hutan, pisang, atau kelapa aren iCukatakan kepada mereka, buan dan kelapa itu kutemukan di pinggir hutan. Padahal aku beli dari seseorang di kampung-kampung daerah Cemoro Sewu yang aku dan Eko datangi. Pikirku, mereka semua di rumahku toh sudah tahu bagaimana sifatku yang sudah semenjak masa kanak-kanakku dulu suka berpetualang di sekitar Tawangmangu ini.
Tetapi temyata kemudian pepatah yang mengatakan bahwa asap tidak bisa dibungkus, terjadi juga padaku. Dan kata pepatah pula bahwa sepandai-pandainya bajing meloncat akan terpeleset juga pun, terjadi padaku. Pada suatu pagi ketika aku ingin berkuda dan mencari Pak Kirman, laki-laki itu melambaikan tangannya kepadaku.
"Sini Den, sebelum Den Wulan naik kuda, ada yang Pak Kirman ingin bicarakan denganmu," kata-nya kemudian.
Aku menurut. Diajaknya aku ke pondok yang dibangun Pak Kirman untuk tempat beristirahat bagi siapa pun yang suka. Pondok atau dangau yang tinggi dindingnya cuma separo dan terbuat dari kayu itu cuma kecil saja ukurannya. Sekitar tiga kali tiga meter. Tetapi kalau matahan sedang lerik-teriknya, sungguh nyaman duduk di tempat itu sambil merasakan semilirnya angm gunung. u
dalam dangau dibcri bangku bambu yang dipasang mcrapal di sekeliling dind.ngnya dan hanya pintu. nva saja yang tetap dibiarkan terbuka tanpa daun pintu Sedangkan atapnya terbuat dan ijuk hitam. Letak pondok itu tak jauh dan deretan kandang.
kandang kuda. ..... "Ada apa Pak Man"" Aku bertanya sambil me-nyusul duduk di salah satu bangku di tempat itu.
"Den Wulan. Pak Kirman berhadap agar Den Wulan bisa lebih bersikap bijaksana. Pak Man juga berharap agar semakin dewasa dan semakin pandai, seharusnya Den Wulan bisa menyatukan antara nalar dan rasa..."
"Pak Man mau mengatakan apa sin"" Aku me-motong perkataannya yag tak ada ujung pangkalnya itu. "Katakan saja secara langsung."
"Den Wulan beiakangan ini sering pergi bersama-sama dengan Eko, kan""
Aku tertegun, tidak mengira dia akan berkata seperti itu. Tetapi sepanjang pengenalanku terhadap Pak Kirman, aku tahu bahwa dia hanya akan mengatakan apa yang pasti sudah diketahuinya. Pak Kirman bukan orang yang suka mengatakan sesuatu dengan begitu saja kal
au dia belum tahu betul masalahnya. Jadi tak semestinya kalau aku berbohong kepadanya. "Pak Man tahu dari mana"" tanyaku kemudian. "Dari Eko sendiri setelah Pak Man mengorek-ngorek keterangan dari dia."
"Sebelum mengorek-ngorek, pasti Pak Man sudah punya dugaan yang mengarah ke sana," aku
menyela bicaranya, "Boleh saya tahu apa itu supava kita bisa omong-omong dengan lebih terbuka..."
'"Mula-mula ^(captLTe a"tivewindow flengar pembicaraan antara Mook ^umi, Rapiah, dan simbok-nya anak-anak, pikiran Pak Man mulai merangkai-rangkaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan Den Wulan. Mereka bicara mengenai kebiasaan Den Wulan yang nganeh-nganehL Kata mereka pula. Den Wulan suka pergi berlama-lama tanpa naik mobil dan tanpa memberitahu secara jelas ke mana tujuannya. Dan beberapa hal aneh lainnya lagi. Mereka semua mencemaskan Den Wulan."
"Itu kan kebiasaan saya sudah sejak dulu, Pak Man." Aku masih mencoba membela diri.
"Betul. Tetapi saya perhatikan selama ini, rentang waktu masa awal remaja Den Wulan sampai dewasa seperti sekarang, kebiasaan semacam itu sudah tidak begitu terlihat lagi. Tetapi kok kenapa sekarang tiba-tiba saja itu muncul," Pak Kirman mengomentari perkataanku. "Dan secara bersamaan, Eko pun kalau dimintai tolong untuk melakukan sesuatu di perkebunan atau di kandang, sering melemparkan tugas itu kepada Ragil atau Seno dengan imbalan uang. Anak bandel dia itu.'*
"Apa hubungannya dengan diriku"" Aku masih Juga ingin mengulur waktu untuk menghadapi bukti ,a'n yang barangkali tak lagi bisa kuingkari.
"Jangan tanya yang itu dulu," Pak Kirman meng-abaikan perkataanku. "Nan, beberapa hari yang lalu saya cegat dia ketika sudah bersiap-siap mau per8" lagi. Saya tanya ini dan itu akhirnya mengaku
sedang mencari tanah untuk dia beli. Lalu saya tanya lagi perginya dengan siapa sebab dia itu kan bclum kenal betul tempat-tempat di Tawangmangu ini. Dia bilang perginya sendirian saja. Tetapi saya mulai curiga ketika sadar bahwa belakangan ini dia juga nganeh-nganehi. Pakaian simpanannya yang bagus-bagus mulai dikeluarkan satu per satu. Dia sengaja ke Solo cuma mau beli jaket baru yang bagus dan minyak wangi. Lalu juga beli kacamata buat menahan sinar matahari yang bentuknya modem. Pokoknya dia juga sudah mulai nganeh-nganehi. Padahal tidak biasanya dia begitu. Masa iya sih mencari tanah saja kok serapi dan sewangi itu!"
Dalam hatiku, aku tersenyum. Aku memang tahu bahwa laki-laki itu selalu tampak rapi dan baunya segar oleh after shave lotion yang kukenali baunya karena Mas Danu juga memakai yang sama baunya. Kadang-kadang, dia juga memakai minyak wangi. Tetapi, aku baru tahu sekarang bahwa itu bukan kebiasaannya. Sesuatu yang bisa kumengerti sebabnya. Eko berasal dari kcluarga sederhana yang tidak begitu mementingkan soal wangi-wangian. Dan dia sekarang ingin supaya kalau aku berada di atas motornya. bisa merasa senang apabila memeluk pinggangnya.
Melihatku terdiam Pak Kirman langsung me-lanjutkan bicaranya.
"Sudah begitu kalau benar memang pergi sendirian. kenapa dia mcmbawa dua buah helm. Apa-lagi yang satunya setiap hari selalu dibersihkannya
m disemproti wangi-wangian. Dan helm itu tidak uolch dipinjam oleh adik-adiknya. Itu kan jURa nZaneh-nganehi toT Pak Kirman mcnatapku dengan tatapan tajam.
Aku menundukkan wajahku, tidak ingin menatap matanya yang selalu tampak bersinar dan tajam ilu. Kudengar Pak Kirman tertawa pelan kemudian melanjutkan lagi bicaranya.
"Tetapi kepastiannya baru muncul kemarin ketika secara kebctulan simboknya anak-anak menemukan sehelai selendang yang sangat cantik warnanya dan halus kainnya. Wangi pula baunya. Itu pasti bukan milik perempuan sembarangan."
Mendengar itu, hatiku mulai berdebar. Kemarin dulu kami berdua memang pergi ke Sarangan lagi untuk sekadar menghibur diri dan naik kuda se-sudah beberapa kali gagal mencari tanah. Waktu itu kubawa sehelai scarf untuk melindungi wajah dan kepalaku dari cahaya matahari. Ketika pulang kembali ke Tawangmangu dan harus mengenakan helm, scarf itu kutitipkan di bagasi motor Eko. Tetapi kami sama-sama lupa untuk mengambilnya waktu aku turun di t
empat rahasia kami. "Nah, waktu diberitahu simboknya anak-anak yang ternyata juga mcmpunyai kecurigaan yang sama, langsung saja saya tanyai Eko tentang selendang itu." Kudengar Pak Kirman mulai berkata "agi. "Dan akhimya dia mcngaku."
"Apa yang diakukannya""
"Semuanya. Sejak Den Wulan lari dan rumah Pada hari perkawinan Den Dewo!"
Pipiku terasa hangal. Rasanya, aku seperti anak kecil yang dipergoki sedang berbuat nakal. Tetapj pikirku, kalau Eko sudah berani berterus-terang aku pun seharusnya bersikap yang sama. p^ Kirman selalu baik dan penuh pengertian padaku. Aku tidak boleh menambah pusing kepalanya.
"Yah, memang seperti itulah kenyataan yang sebenamya, Pak Man. Maka sejak hari itu kami sering pergi bersama-sama. Eko sangat memahami perasaan saya. Dia seorang laki-laki yang tinggi selera humomya. Bersamanya, saya jadi banyak tertawa. Dan sebaliknya, dia juga membutuhkan saya untuk menjadi petunjuk jalan di tempat-tempat yang lebih saya kenal dibanding dia. Begitu pun juga, dia membutuhkan beberapa saran untuk di-pakai sebagai bahan pertimbangannya ketika melihat tanah yang agak menarik hatinya. Bahkan kepada saya, dia juga bisa mengeluarkan perasaan-nya yang pemah terluka oleh kekasihnya yang tak setia," sahutku kemudian. Aku tidak ingin menyem-bunyikan kenyataan yang sebenamya dari Pak Kirman. "Terus terang kami berdua merasa senang bisa sering bersama-sama mempercakapkan banyak hal. Ada persamaan nasib di antara kami berdua. Dan ada banyak kecocokan di antara kami. Tetapi Pak Man, saya harap Pak Man tidak mempunyai dugaan yang terlalu jauh. Kami hanya berteman. Kami hanya bersahabat. Itu saja."
"Saya percaya itu. Den. Tetapi masalahnya bukan sekadar tentang persahabatan atau bahkan seandai-nya ada sifat lain yang lebih dari rasa persahabatan
^kalipun. Sebab di sini yang menjadi masalahnya adalah nama baik keluarga Den Wulan. Bayanikan |an apa kata orang kalau melihat Dcn wT. sering bersama-sama dengan Eko. Apalagi di saat-^t ketika Den Dewo sedang menjalani bulan madunya!"
"Apa hubungan Mas Dewo dengan masalahku Pak Man"" Aku menyela bicara Pak Kirman.
"Hubungannya, orang akan menyangka Den Wulan sedang putus asa sehingga kehilangan pe-gangan dan lalu berbuat apa saja sekehendak hati Den Wulan." Pak Kirman menjawab pertanyaanku dengan sabar. "Atau, bisa juga Den Wulan disangka sedang mencari pelarian untuk melampiaskan hati yang patah!"
Apa yang dikatakan oleh Pak Kirman persis seperti yang sudah ada di dalam pikiranku selama ini. Kurasa Mbok Sumi, Yu Rapiah, dan Mbok ICirman pun ketika membicarakan diriku juga mempunyai pendapat seperti itu. Padahal, mereka kenal betul siapa aku dan memiliki kedekatan dengan diriku. Betapa pun alasan pemikiran itu dilandasi oleh rasa sayang mereka kepadaku, tetap saja aku bisa mengambil kesimpulan yang lebih jauh. Bahwa kalau mereka yang dekat denganku saja bisa mempunyai pemikiran seperti itu terhadapku, apalagi orang lain yang hanya melihatku dari kejauhan.
MApa yang Pak Man katakan itu sudah ada di ^'am pikiranku," sahutku lama kemudian. "Kurasa, Pak dan Mbok Kirman pun entah sedikit entah banyak mempunyai pikiran seperti itu juga. Tetapi
pcrlu kulcgaskan di sini Pak, bahwa itu semua sama sekali tidak betul. Sudah lama perasaan kasih-ku kepada Mas Dewo, padam. Bahwa ada hari-hari di mana aku ingin lari dari rumah, itu karena aku merasa sangat tertekan akibat perhatian yang sangat berlebihan dari semua orang. Termasuk per. hatian Pak dan Mbok Kirman. Kalian semua meng-anggapku seperti gelas antik rapuh yang mudah pecah. Aku tidak tahan merasakan itu semua, Pak. Dan itulah sebenamya yang membuatku merasa sakit. Bukan patah hati karena cinta. Mas Dewo bukan apa-apa lagi di hatiku!"
"Wah... saya tidak mengira begitu to sebenar-nva..." Pak Kirman bergumam.
"Ya. Dan satu-satunya orang di dunia ini yang mengerti diriku adalah Eko!" Aku berkata lagi memuntahkan perasaanku. "Dialah yang menyem-buhkan perasaanku yang tertekan itu. Dia jugalah yang menyembuhkan hatiku dari luka yang di-akibatkan keangkuhan harga diriku. Sebab selama ini aku merasa sebagai pecundang, sebagai orang yang ter
kalahkan. Padahal dengan kacamata baru yang diberikan oleh Eko, aku melihat diriku justru berada di tempat yang lebih unggul."
Pak Kirman terdiam beberapa saat lamanya. "Saya sekarang juga mulai melihat semuanya dengan kacamata yang lebih baru meskipun belum terang sekali," katanya lama kemudian. 'Tetapi. tetap saja saya merasa khawatir melihat kedekatan di antara Den Wulan dengan Eko. Bapak dan Ibu Suryo pasti tidak suka melihat itu. Sebab nama
baiknya men ad, taruhan. Dn.nggal kekasih bukan nya Den Wulan mendapat pemuda yang jauh"cSh i segala-galanya, tetapi malah dekat dentn laki-laki anak mandor kebunnya yang belum jJL masa depannya bagaimana dan..."
"Tak Man, aku tidak suka mendengar tentane Cara-cara menilai orang dengan cara mengaitkan pada hal-hal yang cuma tempelan belaka. Yang bukan inti kemanusiaannya. Derajat lah, kebang-sawanan lah. Kekayaan lah. Status sosial lah!" Aku memotong kata-kata Pak Kirman dengan perasaan tak sabar. "Aku juga tidak suka Pak Man merendahkan anak sendiri. Justru karena Eko datang dari keluarga sederhana tetapi berhasil dalam studinya, bahkan mempunyai segudang pengalaman menjadi petani dan nantinya dia ingin pengalaman itu dikawinkan dengan ilmu yang diraihnya, Pak Man harus bangga karenanya. Dia mempunyai masa depannya sendiri. Dia mempunyai harapan yang digenggamnya dengan tangannya sendiri yang penuh dengan kepercayaan dan daya juang. Pak Man, di zaman sekarang ini tidak banyak orang yang seperti Eko. Di satu pihak dia ingin maju dan mengatasi segala keterbatasannya, tetapi di lain pihak dia tidak pernah lupa dan terutama tidak pernah merasa malu dari mana dia berasal.
Pak Kirman terdiam. Tetapi kulihat matanya berkaca-kaca.
Tujuh Hari itu aku hernial pergi ke Solo untuk mcmbeli pakaian. Kemarin dulu Bapak membcriku uang. Pikirku kalau aku sudah bekerja nanti, aku tak akan mau lagi diberi uang Bapak. Apalagi me-mintanya. Malu rasanya. Jadi sekarang selagi rasa malu itu belum begitu penuh, aku ingin membeli baju-baju yang pantas untuk dipakai bekerja. Sebab siapa tahu gajiku nanti kecil.
Sudah kurencanakan, aku akan pergi bersama Eko. Dia akan menungguku di dekat terminal kira-kira setengah jam mendatang. Tetapi sayangnya baru saja aku memanasi mobil, Tita mcndekatiku.
"Mau ke mana lagi sih, Mbak"" tanyanya dari jendela mobii.
"Mau ke Solo." "Untuk"" "Untuk beli baju." Aku menoleh ke arahnya. "Kenapa""
"Aku ikut ya, Mbak. Aku juga ingin beli baju." Tita mempermainkan rambutku yang panjang. "La-maran kerjaku mendapat jawaban. Dan aku diminta datang untuk wawancara dalam minggu dcpan."
Aku teriegun^ Sudan beberapa lamanya aku ia sekah berhandai-handai dengan Tita ^nstiwa ser^nting itu aku baru mengctahuinya' ^"Oh ya. Ta" Mataku menyipit menatap adikku
"Heeh." -Wah. aku kalah." Aku menepuk lembut pipinya "Kuharap. wawancaramu berhasil memuaskan dan kau akan ditenma bekerja di sana. Eh... di mana
itu, Ta"" -Di Bank.' Tita tersenyum. "Jadi aku butuh baju yang bisa menunjang penampilanku untuk wawancara di sebuah bank. Boleh aku ikut, Mbak""
Aku tergagap. Bagaimana dengan Eko kalau Tita ikut"
"Bo... boleh." Tita mengerutkan dahinya.
"Apakah kau sudah ada janji dengan seseorang, Mbak"" tanyanya kemudian. Matanya menyipit dan menatapku dengan pandangan tajam.
"Su... eh, belum." Aku semakin gugup.
"Wan, kau tidak pemah bisa berbohong padaku, Mbak. Lucu melihatmu gugup begitu!" Mata Tita yang menyipit tadi ganti terbuka lebar. Bahkan lebih lebar daripada biasanya. "Aduh, siapa dia sih, Mbak" Kenapa kau sembunyikan dia" Pasti laki-laki, kan" Di mana kau kenal dia" Ayo, cerita-kan kepadaku. Semuanya."
Aku nyengir. Sialan, Tita. Bisa-bisanya dia me-nyerangku dengan bertubi-tubi seperti itu dengan gaya seorang pemenang.
"Cuma seorang teman," sahutku kemudian.
"Tetapi laki-laki. kan"" Mata Tita bersinar-sinar. "Ya "
"Dan akan pergi bcrsamamu ke Solo, kan""
"Ya." Apa boleh buat. Dari pada Tita berteriak-teriak didcngar orang. lebih baik aku mengaku. 'Tetapi ssst, diam-diam sajalah. Jangan sampai seluruh dunia tahu. Kecilkan volume suaramu itu!"
"Aduh. rahasia besar mulai terbuka nih!" Tita mengeci
lkan suaranya. 'Tetapi aku boleh ikut, kan" Aku berjanji, tidak akan mengganggu kalian."
"Boleh. Dan jangan berpikir macam-macam!" Aku mendelik kepadanya. 'Tidak ada yang merasa
terganggu. Oke""
"Oke!" Tita bersorak. "Aku akan ganti pakaian. Berceritalah kau nanti di mobil. Asyik nih!"
Tita berlari-lari kembali masuk ke rumah. Tetapi aku memanggilnya sehingga ia menghentikan ge-rakan kakinya dan menoleh ke arahku lagi. Pan-dang ma tanya menyiratkan kekhawatiran. Aku tahu. dia takut aku berubah pikiran dan tidak jadi mem-bawanya pergi.
"Apa, Mbak"" tanyanya.
"Jangan berisik dan bersikap tenanglah," kataku. "Jangan memancing rasa ingin tahu orang. Atau, kutinggal kau sekarang!"
MOke, oke, oke..." Tita tertawa dan menghilang di balik pintu.
Aduh, apa yang harus kukatakan kepada Eko" Kalau saja di rumahnya ada telepon, bercslah. Atau kalau saja dia jadi beli telepon sclular, pastilah
tidak begini gelisahnya aku. Tetapi vah " Xigka Tita mau ikut, bukan" P yah' *"" Di jalan menuju ke arah tempat Eko sedan menungguku aku bercerita sedikit kepada Tita Aku merasa belum saatnya menceritakannya secara detail- Lagi pula waktunya tidak akan mencukupT jarak dan rumah ke arah terminal tidak begitu jauh.
"Kami bertemu di telaga Sarangan sebulan lebih yang lalu. Dia datang dari Lampung, ingin membeli tanah di sekitar Tawangmangu sampai di sekitar Cemoro Sewu. Mengingat dia bukan orang sini, maka aku membantunya mencarikan tempat itu meskipun sampai sekarang belum juga mcnemukan tanah yang cocok. Maka kami pun bertcman." Begitu aku bercerita.
"Hanya sekian saja, Mbak"" Tita tampak tidak puas.
"Ya. Hanya sekian." Aku menjawab tanpa me-mindahkan pandang mataku dari jalan raya. "Me-mangnya apa yang ingin kaudengar""
"Kenapa Mbak Wulan mau-maunya berteman dengan seseorang yang hanya dikenal di suatu tempat" Apalagi sampai mau menjadi penunjuk jalan baginya. Sepengetahuanku, itu bukan sitatmu, Mbak."
'Tetapi itulah yang terjadi."
"Mbak, menurut perasaan dan perkiraanku, aku mi termasuk orang yang paling dekat denganmu. Tetapi apa yang kauceritakan kepadaku tadi mem-Perlihatkan bahwa kau belum sepenuhnya mempercayaiku," Tita semakin merasa tidak puas. "Apa sih yang kausembunyikan" Kau kan kenal aku to Mbak. Tak mungkin aku mengkhianatimu. Dan tak mungkin pula aku menjatuhkan penilaian se-belum tahu sungguh-sungguh masalahnya."
Mendengar perkataan Tita, aku menyadari sikap-ku yang kurang terbuka kepada adikku itu. Tidak biasanya aku bersikap seperti itu terhadapnya.
"Baiklah Ta, kau benar!" Aku mengakui ke-salahanku. "Laki-laki yang sebentar lagi akan kau lihat itu sebetulnya bukan orang asing bagi kita. Waktu masih kecil, kita pernah melihatnya. Bagai-mana sampai aku dan dia menjadi akrab, sangat panjang ceritanya. Nanti di rumah, akan kuceritakan secara lengkap." "Janji Iho ya"" "Janjir
'Tetapi aku ingin tahu siapa namanya, Mbak."
"Namanya, Eko."
"Pasti anak pertama, dia."
"Ya." 'Tadi kau bilang, waktu kecil kita pemah melihat dia. Memangnya, dulu keluarganya pernah menjadi tetangga kita""
"Boleh dibilang begitu." Aku melirik Tita untuk mengetahui reaksinya. Tetapi aku tidak menemukan apa pun kecuali perhatiannya yang tercurah pada ceritaku. "Sudahlah Ta, nanti saja sambungan ceritanya."
"Ya, baiklah. Tetapi satu lagi pertanyaanku. Jawablah dengan jujur. Apakah dia tampan" Dan


Kemuning Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apakah kau dan dia sedang menjalin
baru" ..Ta, itu bukan satu pertanyaan!" Aku memawab Icesal- 'Tetapi dua pertanyaan!" J aG
Tita tertawa kecil sambil menoleh ke arahkn picubitnya pipiku dengan rasa gemas yang diwamai rasa kasih.
-^bak, aku bertanya begini ini bukan cuma sekadar ingin tahu saja, tetapi karena aku ingin mendengar benta yang bagus mengenai dirimu" katanya kemudian. "Kau tidak pemah menyangka kan bahwa keprihatinanku terhadapmu melebihi keluarga kita yang lain. Sebab aku tahu betul betapa setianya kau kepada Mas Dewo. Padahal di Jakarta ada sekian banyaknya cowok-cowok yang berusaha mendekatimu dengan sangat simpatiknya. Tetapi kau selalu menghindari mereka. Padahal, mereka rata-rata lebih baik dari bekas pacarmu itu. Nah, apakah salah kalau aku sekarang in
gin mendengar sesuatu yang menyenangkan tentang dirimu, Mbak..."
Aku menoleh ke arah Tita sesaat lamanya untuk memberikan senyumku yang semanis gula dan pandangan mataku yang tersorot rasa kasihku yang besar.
Terima kasih, Sayang. Kau memang seorang adik yang baik, Tita."
"Aku tidak butuh pujianmu, Mbak. Aku butuh jawabanmu!"
Aku tersenyum lagi. Kubelai pipinya dengan lembut.
"Baiklah. Non. Aku akan mcnjawab pertanyaan-mu. Laki-laki bcrnama Eko itu, memang kalah tampan dari Mas Dewo. Tetapi dia jauh lebih menarik dibanding suaminya si Titik itu," sahutku kemudian sambil mencibirkan bibirku. "Karena per-tama. tubuhnya tinggi dan gagah. Bahunya bidang, dan tangannya kekar dan kuat. Kcdua, matanya indah. Ketiga. pengetahuan umumnya sangat luas Dan keempat. bibimya... bibimya..."
Karena aku langsung diam, Tita menoleh lagi ke arahku. Aku yakin, dia sedang mcnahan senyum-nya. Tak biasanya aku memuji laki-laki serinci itu. "Bibimya kenapa, Mbak"" "Bibimya... bibimya... seksi. Barangkali itu kata yang bisa kutemukan di kamus hatiku. Aku tak bisa menemukan kata yang lain." Aku menjawab sambil menyeringai kesal. Habis apa yang harus kukatakan kalau memang seperti itu nilai yang
kuberikan kepada Eko. Kalau tadi Tita dapat mcnahan senyumnya, kini mendengar jawabanku itu dia tak lagi mampu mcnahan tawanya. Dia terkikik-kikik geli. "Apanya yang lucu sih, Ta"" Aku semakin kesal. "Bibir seksi itu seperti apa sih"" Tita bertanya lagi. masih sambil tertawa.
"Kalau kau terus tertawa, aku tak jadi cerita
Iho!" "Oke, oke!" Tita berkasil menahan tawanya. "Pertanyaan berikutnya belum kau jawab Iho. Mbak."
"Pertanyaan yang mana lagi""
-Pertanyaan tentang apakah kau scdanu m menjalin hubungan baru dengan lak.-lak, beEi
seksi itu" "Jangan kauulangi kata-kata tentang seksi itu Iagi Atau kau mau kuturunkan di s.ni>" Aku melotot ke arahnya.
"Jangan. jangan, Mbak. Ampuni kesalahanku." Bibir Tila berkerinyut menahan Uwa. "Aku tidak akan lagi mcnyebut-nyebut bibir yang seksi lagi Sebab bibir yang seksi itu tidak baik discbut-sebut. Bibir yang seksi tidak boleh dijadikan bahan pembicaraan. Bibir yang seksi itu..."
'Tita!" rfuti nqA"
'Tya, iya!" Tita mulai terkikik-kikik lagi. "Nan, jawab pertanyaanku tadi. Apakah kau dan laki-laki itu sedang mulai menjalin "suatu hubungan baru""
"Tidak, Ta. Sungguh. Kami hanya bcrteman saja. Bahkan bersahabat. Ada banyak persamaan di antara kami berdua. Juga saling pengertian yang sangat kental."
'Tetapi apakah itu bukannya tanda-tanda ke arah hubungan yang lebih khusus di kemudian hari antara kau dan dia, Mbak""
'Tidak. Sebab ada dua alasan kuat dalam hal ini. Pertama, aku baru saja putus cima. Hatiku belum tertata dengan baik, Ta. Menjalin hubungan baru dengan laki-laki lain dalam situasi seperti itu bukan suatu tindakan yang bijaksana. Sebab siapa fchu itu hanya sebagai ajang pelanan "ija meskipun barangkali tidak kusadari. Dan justru karena itulah ak" tidak ingin bersikap gcgabah dalam hal ini."^
"Suatu pemikiran yang bagus. Nah, alasan kedua-nya apa, Mbak""
"Alasan yang kedua, kalau aku dan Eko sampai menjalin hubungan cinta, maka seluruh rambut di kepala orang-orang Tawangmangu ini akan berdiri semua!" Aku menjawab pertanyaan Tita sambil tertawa.
Tetapi tentu saja Tita tidak ikut tertawa karena tidak mengerti apa maksud kata-kataku tadi. Hanya aku dan Eko saja yang sering memakai istilah "rambut berdin" itu. Karenanya gadis itu langsung melontarkan pertanyaan lagi. "Apa maksud bicaramu itu, Mbak"" "*Maksudnya, menurut kacamata yang dipakai oleh banyak orang di tempat ini, aku dan Eko berada pada tataran yarig tidak sederajat," sahutku. "Dan pasti kalau terjadi hubungan serius di antara kami berdua, hubungan itu akan menjadi bahan pembicaraan orang di mana-mana." "Kok begitu. Mbak" Memangnya dia itu siapa"" "Ssh, nanti sajalah ceritanya disambung lagi. Kita sudah sampai. Itu orangnya sudah menunggu di bawah pohon asam." "Yang mana""
"Itu yang memakai celana jins dan kemeja kotak-kotak warna merah itu." Aku menjawab sambil mulai memperlambat laju kendaraanku. Jendela mobil mulai kubuka sedikit.
"Yang mefhakai kacam
ata hitam itu kan, Mbak"" Tita bertanya lagi.
"Ya." "Wow!" ,.Apa maksud 'woWmu itu. Tar Aku menahan
tawa. -Sungguh sangat mcnarik. Seperti koboi Texas'" Tita menjawab pelan. "Jadi makna wow-ku tadi *0w keren!"
Mau tak mau aku tertawa. Karena mobil pas berhenti di muka Eko dan jendclanya sudah kubuka hampir separonya, laki-laki itu mengira aku sedang melemparkan tawa ke arahnya. Dia membalas tawa-ku.
"Selamat pagi, Mbak Wulan." Dia menyapaku dengan riang.
"Selamat pagi. Sudah lama menunggu di sini""
"Sekitar lima menit yang lalu."
"Nah, siapa yang akan mengemudi"" Aku mc-mijit tombol pusat pengunci mobil. "Kau atau aku"" 'ah* * - "
"Biarlah saya yang mengemudi."
Setelah pintu tak lagi terkunci. kubuka pintu mobilku dan aku keluar. Tita ikut aku menyusul keluar dari pintu yang lain. Melihat itu, Eko ter-tegun. Kaca mobilku memang gelap. Dia pasti baru melihat ada orang lain di dalam mobil. Karena itu lekas-lekas aku menjelaskannya.
"Adikku ingin ikut kita ke Solo. Mudah-mudahan kau tidak keberatan," kataku menjelaskan keber-adaannya.
"Tentu saja tidak. Kita kan tidak mempunyai acara khusus yang sangat penting." Eko menjawab sesuai dengan kenyataan.
Memang, aku dan dia bermaksud ke Solo cuma mau jalan-jalan mencari suasana lain tanpa takut teriihat orang. Dan meskipun sebenamya ada yang ingin kubicarakan dengannya mengenai pem-bicaraanku dengan Pak Kirman beberapa hari se-belumnya. tetapi hal itu masih bisa ditangguhkan
kapan-kapan. 'Tetapi sebelum kita berangkat, sebaiknya kalian
berkenalan dulu." Eko langsung mengulurkan tangannya ke arah Tita sambil tertawa ramah yang juga langsung disambut oleh gadis itu sambil menyebutkan namanya. Setelah itu, Tita pindah duduk di jok belakang dan aku pindah ke tempat Tita tadi duduk. Se-mentara di belakang kemudi tempat aku duduk tadi, Eko yang menggantikannya.
"Saya tidak pemah mengira Mbak Tita sudah sedewasa ini," komentar Eko setelah mobil mulai berjalan kembali.
"Soalnya setiap hari saya diberi makan oleh orangtua, Mas." Tita menjawab sambil tertawa. 'Tetapi apakah kita dulu pernah ketemu""
Hm, Tita memanggil Eko dengan sebutan "Mas". Aku yakjn sebentar lagi pasti lah Eko akan mengatakan keberatannya dipanggil dengan sebutan itu. i*r"Dulu saya pemah melihat Mbak Tita waktu Mbak Tita masih balita. Tetapi Mbak, tolong jangan sebut nama saya dengan 'Mas'. Panggil saya dengan nama saja, Mbak!" Persis yang kukira. Eko tidak mau dipangggil "Mas". 'Tetapi itu tidak pantas. Anda lebih tua dan
-Kalau begitu, panggil saya dengan nama juea. Tidak usah ditambah dengan sebutan Mbak'" per kataan Tita juga sama seperti perkataanku kepada Eko ketika lakt-laki itu mengatakan hal sama kepadaku di awal-awal perkenaian kami. Karenanya mendengar itu aku ingin sekali tertawa.
"Saya akan tetap memanggil Anda dengan Mbak Tita. Dan akan tetap seperti itu!" Eko menjawab dengan suara tegas.
Sekarang aku tidak lagi menyembunyikan tawa-ku.
"Sudahlah Ta, turuti saja permintaannya. Sebab . pembicaraan yang baru terjadi itu pemah kualami. Persis begitu tidak lebih dan tidak kurang," kataku masih tertawa. "Dan hasilnya nihil."
"Sebaiknya masalah sepele seperti itu jangan diperpanjang," Eko menyela sambil tertawa juga. "Sebab akan lebih menyenangkan kalau kita me-nikmati saja kepergian kita hari ini. Saya sudah kangen nasi Hwet Solo. Sudah lama sekali saya tidak makan masakan-masakan khas Solo."
Begitulah hari itu kami bertiga pergi berjalan-jalan ke Solo. Mencari baju di pertokoan, makan nasi liwet dan ay am bakar, kemudian pulang dengan hati senang. Apalagi baik aku dan Tita ber-hasil mendapat pakaian seperti yang kami inginkan. Masing-masing dua helai baju. Salah satu punyaku malah ada yang berupa blazer warna kuning muda yang cantik. Menjelang sore, baru kami mulai
memasuki daerah Tawangmangu kembah. Tetapi karena aku masih ingin bicara empat mata dengan Eko, waktu laki-laki itu minta diturunkan di tempat dia menunggu tadi. aku menahannya.
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan tentang tanah yang Ietaknya di dekat penginapan baru itu. Kalau boleh aku menyarankan, sebelum memutuskan untuk mengatakan jadi atau tidak
jadi beli, sebaik-nya pelajari kembali tentang untung dan ruginya." Aku bicara sekenanya saja. Tidak ada tanah seperti yang kukatakan tersebut. Itu cuma dalih saja. Ku-harap Eko menangkap maksudku.
'Tanah yang mana sih"" Temyata Eko masih belum mengerti apa yang kumaui.
"Itu, yang dekat kolam-kolam besar untuk temak ikan dan yang ada banyak pohon avokadnya dan sedang berbuah itu Iho."
Mendengar jawabanku yang semakin jauh dari kenyataan itu barulah Eko menyadari maksudku.
"Oh, yang itu," sahutnya. "Boleh juga saran Mbak Wulan."
"Bagaimana kalau kita lihat sekarang" Jangan sampai didahului orang Iho. Kemarin orang yang dari Karanganyar itu kelihatannya juga tertarik."
"Saya setuju. Sekalian saja kita pergi dan juga mumpung hari masih agak siang," Eko semakin bisa menanggapi sandiwaraku. "Tetapi bagaimana dengan Mbak Tita""
"Gampang," Tita yang menjawab. "Turunkan saja aku di mulut jalan. Kalian bisa melanjutkan perjalanan."
"Tetapi tidak apa-apa, Mbak1*" pvrt u lagi. bW**i
-Memangnya kenapa"" Tita tersenyum -iw saya malas berjalan"" cnyunr D*"a
"Yah, semacam itulah."
-Malas sih malas," Tita yang suka bercanda itu
Punya pilihan lain** Tidak, kan" Kami bertiga tertawa. Dan seperti yang sudah direncanakan, Tita turun di mulut jalan yang me-nuju ke rumah kami. Tetapi sebelum gadis itu pergi, kulambaikan tanganku kepadanya.
'Ta, jaga rahasiaku ya," pintaku dengan berbisik di sisi telinganya. "Kalau ada yang bertanya, kata-kan saja bahwa kita hanya pergi berdua saja. Dan kau kuturunkan dulu sebab aku akan pergi ke tempat Mbak Susi untuk menjahitkan baju."
"Baju apa"" Tita memainkan matanya. Tahu bahwa aku tadi tidak membeli bahan kain apa pun.
"Makanya bajuku tolong kauturunkan sekalian dan langsung masukkan ke dalam lemari pakaianku. Jangan sampai ada yang melihat." Aku menjawab gemas. "Nanti seminggu lagi baru akan kukeluar-kan. Biar dikira baru selesai dijahit!"
"Pembohong!" Tita nyengir sambil melangkah pergi, setelah pamit Eko.
Aku dan Eko lalu melanjutkan perjalanan.
"Apa yang kalian bicarakan dengan berbisik-bisik tadi," tanya Eko tiba-tiba.
"Aku cuma meminta Tita supaya merahasiakan
kepcrgian kami bersamamu." sahutku terus terang. "Hanya dcmi menghindari pcrtanyaan-pcrtanyaan. Itu saja."
"Dan kita akan ke mana"" Pertanyaan yang wajar. Eko masih memegang kemudi. 'Tetapi pasti tidak pergi ke tanah yang ada banyak pohon avokad yang sedang berbuah dan dekat kolam-kolam besar itu, kan"" Aku tersenyum malu.
"Aku terpaksa berbohong. Sebab aku ingin ber-duaan saja denganmu untuk membicarakan sesuatu yang penting, tanpa ada yang melihat ataupun mendengar." sahutku kemudian. "Dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tanah. Jadi terserah padamu kita akan ke mana."
"Paling banter ke hutan wisata Cemoro Sewu. Habis ke mana lagi kalau bukan di sana. Di tempat itulah kita bisa bicara tanpa banyak dilihat orang."
"Setuju." "Dalam situasi-situasi tertentu, ternyata dunia ini sempit ya""
"Ya. Selalu saja di mana-mana ada mata dan telinga orang." Aku tersenyum lagi.
"Apa sih yang Mbak Wulan ingin bicarakan""
"Nanti saja di sana akan kuceritakan. Di jalan membicarakan sesuatu yang penting tidak enak. Apalagi perhatianmu harus scpenuhnya berada di jalan yang banyak tanjakannya itu. Aku masih ingin hidup."
"Oke." Eko ganti tersenyum.
Kami mcmilih tempat yang pcrtama kah kami ^g, dengan motor Eko, hampir dua bulan yanE lalu. Tempat itu tetap saja indah dipandang dalam
cuaca apa pun. Juga pada menjelang sore han itu Aku yakin sekali jika malam sedang pumama raya. pemandangannya pasu juga akan indah sekali meskipun keindahan itu lain danpada keindahan yang dapat diserap pada siang hari. Siang dan malam memiliki kcindahannya sendiri-sendiri.
Aku dan Eko duduk di atas rerumputan dengan menggelar sehelai koran untuk kami duduki masing-masing. Setelah puas menikmati peman-dangan yang terhampar di hadapan kami, Eko menoleh ke arahku.
"Sekarang sampaikanlah apa yang ingin Mbak Wulan katakan kepadaku," katanya kemudian. "Ke-lihatannya penting sekali."
"Ya, memang. Beberapa hari yang lalu waktu aku ingin berkuda, tiba-tiba saja Pak Kirman mengajakku
bicara tentang suatu hal yang..."
"Bapak mengajak Mbak Wulan bicara"" Eko menyela perkataanku.
"Ya. Tidakkah dia mengatakannya kepadamu""
"Dalam hal-hal yang penting, Bapak tidak pemah mau bicara kalau dia menganggap waktunya kurang tepat." Eko menjawab dengan suara pelan. "Apa yang dikatakannya, Mbak""
"Dia mengatakan bahwa dia sudah tahu kalau kita sering pergi bersama-sama..."
'"Saya terpaksa mengatakannya, Mbak." Eko menyela sambil menundukkan kepalanya. "Bersama
Simbok mereka berdua selalu saja mengorek ke-icranftan >ni dan itu dan mencan-can sesuatu yan sckiranya bisa menjawab dugaan mereka. Dan saya Hdak bisa lagi mengelak."
"Aku tidak menyalahkanmu. Mas!
"Jangan panggil "Mas'!"
"Di sini tidak ada orang yang rambutnya akan berdiri." sahutku sambil tertawa, mencoba bercanda tetapi Eko tidak ikut tertawa. "Nah kuulangi lagi, aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Aku sangat kenal kedua orangtuamu. Menghadapi soal apa
pun mereka sangat hati-hati dan penuh kearifan.
Tetapi waktu itu Pak Kirman sempat mengatakan
kepadaku agar aku mampu menyatukan antara nalar
dan rasa." "Dia juga mengatakan hal sama kepada saya."
"Dan dia betul. Seharusnyalah memang begitu," kataku. "Sebagai orang yang sudah makan banyak asam dan garam kehidupan, Pak Kirman merasa khawatir tentang banyak hal. Yang pertama, dia takut keakraban kita ini akan diketahui orang banyak dan mereka lalu menghubung-hubungkannya dengan perttawinan Mas Dewo dengan perempuan lain beberapa waktu yang lalu. Atau jelasnya, aku bisa saja dianggap orang sudah kehilangan akal sehat, lalu mencari hiburan dengan berpacaran. Dan dengan laki-laki yang baru kukenal pula. Itu yang pertama. Yang kedua, Pak Kirman meng-khawatirkan hubungan kita berdua kalau-kalau menjadi ajang pelarian yang keliru dan nantinya bisa berakibat buruk bagi semua pihak. Maka dengan
penuh rasa khawatir .tud.a rneminta
Erfu. berusaha untuk bisa menyatukan anura
nalar dan rasa. "Apa yang dikatakan oleh Bapak banyak benar
oya, Mbak. -Yah, memang. Setidaknya seperti irulah sudut pandang Pak Kirman ketika melihat keakraban kita berdua"
-Dan demikian juga dari sudut pandang mata orang banyak," Eko menyambung.
"Ya, itu juga benar. Tetapi, tidak dari sudut pandanganku," aku ganti mcnimpali perkataan Eko ujdi. "Aku ini sudah bukan rcmaja lagi. Aku ini perempuan dewasa yang hampir dua puluh enam lahun umurku. Aku juga bukan orang yang bcrjiwa rapuh. Apalagi labil. Kuliahku di psikologi pula. Aku tahu siapa diriku, apa mauku, apa kelebihan dan kekuranganku. Aku juga tahu bahwa saat ini aku berada dalam kondisi sehat secara fisik maupun mental. Masa-masa aku kehilangan orientasi nilai ketika merasa seperti seorang pecundang, sudah lewat."
"Jadi...r "Jadi keakraban kita tidak periu dipersoalkan. Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.
Titik." "Saya sependapat, Mbak. Tetapi kita berdua juga harus mcnyadari bahwa kita tidak boleh melihat dunia ini dari satu sudut pandang saja. Sebab kita ini kan hidup bersama orang banyak. Juga sebab kita ini hidup dalam suatu jaringan komunitas
yang sating kail-mcngait, yang berhubungan antara yang satu dengan yang Iain. Temtama karena kita hidup di kota kecil seperti ini. Gerakan atau kiprah seseorang yang hidup dalam suatu komunitas sc. bagaimana yang ada di sini. tidak bisa tidak akan mengenai orang banyak. Dan dampak yang di-tinggaJkannya akan berpengaruh tcrhadap orang lain. Sedikitnya, terhadap orang-orang yang ada di sekitamya."
"Aku mengcrti itu. Oleh karenanya, dengan se-kuat tenaga kita juga harus menjaga perasaan mereka. Kita juga harus sungguh-sungguh mencnggang hati mereka." sahutku. Ada api kemarahan yang mulai menyala di hatiku. "Kecuali, menenggang perasaan kita sendiri. Ya. kan" Maka. demi menjaga perasaan mereka, keakraban di antara kita berdua sejak sekarang harus mulai dikurangi sctahap demi setahap dan kemudian kita tak akan pernah bertemu lagi kecuali seperti dua orang asing yang ber-papasan di jalan. Begitu kan niaumu""
"Yah apa boleh buat, Mbak Wulan. Dalam hidup ini kita memang terpaksa harus sering mengorban-kan perasaan sendiri demi mencapai se
suatu yang memiliki nilai lebih. Yaitu, harmoni..."
"Harmoni apa"" Aku memutuskan pcrkataan Eko dengan sengit. "Masa sih cuma menjalin suatu persahabatan saja. apalagi persahabatan yang tulus dan mams penuh pengertian satu sama lain begini harus kita akhiri hanya untuk alasan-alasan se-macam itu. Kita memang harus mcmikirkan kepentingan orang banyak, tetapi kita juga harus
memikirkan diri sendiri sejauh itu bukan sesuatu yang melanggar norma moral. Bukan pula perbuatan yang melanggar hukum. Hukum apa pun. Kau pasti tahu bahwa represi yang terus-menerus, apa pun alasannya, bisa menyebabkan seseorang kehilangan dirinya sendiri sebagai makhluk yang otonom, yang bebas untuk mengem-bangkan rasa tanggung jawabnya. Lagi pula, setiap . insan kan memiliki kebutuhan untuk dihargai otonom iny a."
"Mbak. cobalah mencari sisi positimya. Kita ini orang Jawa. Meskipun ada teori psikologi Barat yang mengatakan bahwa dalam diri manusia ada tingkat-tingkat kebutuhan yang dimulai pada tataran bersifat fisik sampai meningkat pada tataran yang lebih bersifat spiritual, dan jika itu terpenuhi maka dia akan menjadi seorang manusia yang sehat lahir maupun batinnya, tetapi kita orang Jawa mempunyai pandangan yang agak lain. Bahwa seorang individu yang mampu menomorduakan segala kebutuhan-kebutuhan lahir maupun batinnya demi sesuatu yang lebih bemilai, maka dia adalah seorang manusia utama. Contoh sedcrhana, setiap insan memang memiliki kebutuhan dasar yang bersifat fisik. Makan, minum, tidur. dan seks. Kebutuhan-kebutuhan itu harus terpenuhi demi kelangsungan hidup manusia. Tetapi. kalau seseorang bisa mengatasi itu semua dengan mati raga demi sesuatu yang lebih bermakna seperti misalnya untuk mencapai kebersihan diri atau untuk kepentingan yang lainnya yang lebih bemilai, maka
imIah yang kuscbut W* manusia utama
apakah kau mau mengaJchiri persahabatan ini demi rncncapai apa yang d.scbut manusia utama Zr Aku mcmutuskan perkaiaannya
Eko mencrawang kc atas langit. Kemudian me-narik napas panjang sekali. Matanya tampak mu-rung.
"Ya. Itu demi kebaikan kiU dan semua orang yang ada di sekitar kita di masa Jepan, Mbak. Juga demi tidak mengganggu kemapanan tatanan social yang ada," sahutnya lama kemudian. "Terus icrang semenjak Bapak mengajak saya bercakap-cakap, saya sudah memikirkan hal ini selama ber-hari-han. Sudah pula saya telungkup-telentangkan hal ini untuk melihat apa baiknya dan apa buruk-nya. Jadi singkal kata, betul apa yang bapak saya katakan, sebaiknya mulai sekarang kita mengurangi perjumpaan-perjumpaan di antara kita. Sangat me-nyakitkan memang. tetapi sakitnya tidak akan se-besar kalau kita memasabodohkan hal-hal lainnya karena hanya memikirkan diri kita sendiri saja..."
Aku menoleh, kutatap sisi wajah Eko dengan perasaan jengkel.
"Kau tidak punya pnnsip. Kau terlalu memikirkan mi dan itu sehingga larut di dalamnya!" Aku mulai mcnyernbur. memotong kata-katanya.
Saya punya pnnsip, Mbak. Prinsip hidup saya adalah hidup menjadi orang yang baik. Tidak me-^ahkan dan merug.kan orang dan berani -engambil sikap yang Jelas ketlka menghadapl
pilihan-pilihan yang dihadapkan di depan saya.* Eko mulai menoleh ke arahku dan ganti mcnatapku. " "justru karena itulah, dengan penuh kesadaran akan
nilainya, saya memilih apa yang sudah ditunjukkan oleh bapak saya. Yaitu menyatukan antara nalar
dan rasa." "Jelaskan yang mana nalarnya dan yang mana rasanya!" Aku menyembur lagi.
"Nalar saya, menyuruh agar saya bersikap tegas demi menghindari hal-hal yang tidak kita harapkan di hari esok. Dan juga demi situasi lingkungan yang kita harapkan lebih damai, lebih tenang tanpa gejolak. Begitu antara lain, Mbak."
"Dan tentang rasa""
"Rasa saya adalah sikap kompromis dan sikap pasrah ing pandum. Mengumbar rasa, menuruti rasa, memanjakan rasa dan seterusnya, itu dapat memudarkan ketajaman dan kepekaan rasa kita. Maka, saya harus berani untuk tidak memanjakan rasa itu demi menyelaraskannya dengan nalar. Saya tahu itu tidak mudah. Tetapi saya hams berusaha untuk mengatasinya."
"Lalu apa konkretnya"" Aku bertanya, menahan perasaan kesalku.
Eko menarik napas panjang lagi.
Pandang matanya juga beralih lagi menatap ke arah langit. di sana awan-awan sedang beriring-iringan ke atas
puncak gunung dan menutupinya dari pandangan
mata. "Konkretnya saya akan pergi dari Tawangmangu, Mbak. Rencana saya membeli tanah di sini. sudah
saya Icpaskan sejak kemarin-kemarin. Sebelum se-galanya jadi lerlambat. saya harus berani mengambil suatu kcpulusan bctapa pun beratnya itu. Dan selagi saya belum telanjur menapakkan langkah kaki saya di sini, saya harus segera mencntukan jalan hidup saya," sahutnya lama kemudian dengan suara pelan. Nyaris tak bisa kudengar. "Dan seperti sudah saya katakan tadi. keputusan itu adalah saya harus pergi dari sini. Tawangmangu bukan tempat saya."
Kite Runner 1 My Name Is Red Karya Orhan Pamuk Kesatria Berandalan 2

Cari Blog Ini