Kisah Kino Karya Crazy Guy Bagian 2
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 17
"Tidak! Harus lengkap, atau perlu saya beberkan halaman buku ini di depan kelas"" ancam Pak Robertus sambil
berpura-pura akan membuka buku Indi.
"Jangan, Pak!" jerit Indi penuh permohonan, "Saya akan sebut namanya lengkap!"
Pak Robertus bertolak pinggang dengan wajah penuh kemenangan, "Hayo sebut namanya!"
Kelas tiba-tiba menjadi hening, menunggu dengan tegang nama yang akan keluar dari mulut Indi. Gadis itu
mengedarkan lagi pandangannya ke seluruh kelas sambil menggigit bibirnya. Rika dan Mutia, dua sahabat Indi, tampak
ikut gelisah karena mereka tahu siapa yang digambar gadis itu.
Indi menghela nafas dalam-dalam, menguatkan hatinya, lalu cepat-cepat berkata, "Namanya Dicky!"
Kelas bagai meledak oleh tawa dan teriakan-teriakan. Semua orang tahu, Dicky adalah jagoan sekolah yang punya
pengikut banyak sekali, termasuk hampir semua cowok di kelas Indi. Semua orang juga tahu, jagoan itu "naksir berat"
kepada Indi. Dengan cepat muncul diskusi-diskusi informal tentang apa yang akan terjadi berikutnya jika Dicky tahu
bahwa gadis pujaannya melukis wajahnya. Spekulasi bermunculan: apakah gambar itu berupa pujian, atau sebaliknya
penghinaan" Beberapa anak meminta Pak Robertus menunjukkan gambar ke semua orang.
"Diam!" bentak sang guru, dan kegaduhan segera mereda. "Kita lanjutkan pelajaran, dan Indi boleh kembali ke
bangkunya. Gambar ini saya simpan untuk barang bukti!" katanya sambil menyobek satu halaman dan melipat-lipatnya
menjadi seperempat. Indi menghempaskan nafas lega sambil bergegas menuju bangkunya.
***** Dicky tentu saja tidak seperti gorila, walau memang tidak bisa dikatakan ganteng sama sekali. Ia jagoan berkelahi, dan
wajah bukan sesuatu yang penting baginya. Otot dan keberanian menantang musuh jauh lebih penting. Tetapi
belakangan ini ia terpikat gadis dari kelas lain yang lincah dan manis, si Indi itu. Belakangan ini ia sering melihat ke
cermin, dan baru tahu bahwa wajahnya memerlukan sedikit perhatian!
Siang ini ia mendapat kabar tentang kelakuan Indi di pelajaran matematika, dan hati Dicky agak berbunga. Ternyata
gadis itu menaruh perhatian pula kepadaku! sergahnya dalam hati. Tetapi ia kecewa karena ada suara-suara yang
menasehatinya agar jangan terlalu optimis. Gambar itu mungkin saja bermaksud mengejek. Dicky pun bimbang. Tetapi,
bukan Dicky namanya kalau kebimbangan itu dibiarkan berlanjut. Ia mencegat Indi yang baru keluar dari gerbang
bersama Mutia. "Aduh, kita dicegat, nDi!" kata Mutia sambil memegang lengan sahabatnya.
Indi tenang-tenang saja, meneruskan langkah seakan-akan tidak ada apa-apa.
"Halo, Indi..," sapa Dicky se-galant mungkin. Ia berusaha tampak cool dengan kacamata hitamnya. Tetapi tetap saja ia
seperti jawara petantang-petenteng. Tingkahnya lebih cocok untuk menghadapi musuh berkelahi daripada memikat
cewek. "Halo, Dick. Sakit mata, ya"" balas Indi sambil tersenyum.
Grr! Dicky menggeram dalam hati. Cewek ini seperti caberawit. Untung senyumnya manis buaaaa...nget!
Sambil melepaskan kacamata hitamnya, dengan tenang Dicky berkata, "Aku antar pulang, ya""
Mutia bergidik membayangkan Indi naik motor berwarna merah darah milik Dicky yang konon tidak ada rem-nya.
Belum lagi suara motor itu, bisa membuat seluruh kota gempar.
Indi kelihatan tenang saja dan berkata, "Ngga mau. Nanti masuk angin!"
Dicky merendengi jalan kedua gadis itu sambil menunjuk ke seberang jalan, "Mana mungkin ada angin kalau naik yang
itu!" Serentak Indi dan Mutia menengok ke seberang jalan, ke sebuah sedan putih yang diparkir di bawah pohon dan
"dikawal" beberapa jagoan lain anak buah Dicky. Itu pasti mobil salah satu dari anak di sekolah ini. Mudah-mudahan
pemiliknya masih sehat! Indi menghentikan langkah. Mutia berdoa semoga temannya tidak berubah jadi konyol. Dicky ikut berhenti melangkah,
merasa agak heran juga atas keberanian si caberawit ini.
"Apa, sih, maksud kamu sebenarnya"" kata Indi sambil menatap Dicky lekat-lekat.
Sang jawara tiba-tiba merasa kepalanya gatal sekali. Sial, bagaimana caranya menghadapi cewek" gerutunya dalam hati.
Kalau cowok seperti ini, aku tinggal menonjok hidungnya saja keras-keras. Tetapi kalau cewek, gimana ya"
"Aku pengin ngomong sama kamu," kata Dicky menguat-nguatkan hati.
"Ya ngomong, dong!" sergah Indi.
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20018 0
"Jangan di sini, dan tidak dengan dia..," kata Dicky sambil menoleh ke Mutia. Siapa, sih cewek cantelan ini" gerutu
pemuda itu dalam hati. "Ini Mutia, temanku. Dia boleh dengar apa saja," sergah Indi membuat Mutia semakin yakin bahwa ia tidak salah
memilih teman. "Oke...si Mumut boleh ikut...," kata Dicky.
"Namanya Mutia!" potong Indi galak sambil menghentakkan kakinya di tanah.
"Oke... Oke... marmut... eh, Mutia,... boleh ikut!" kata Dicky sambil mengangkat tangan seperti sedang bersiap
menangkis serangan lawan.
"Tapi aku tidak mau diantar," kata Indi sambil mulai melangkah lagi. Dicky bergegas merendengi kedua gadis itu lagi.
Busyet! si caberawit ini bandel banget, gerutunya dalam hati.
"Ayolah, Indi.... sekali-kali pulang naik mobil," rayu Dicky.
Tetapi itulah kesalahan Dicky. Pemuda ini salah strategi, karena menyangka Indi akan terpikat oleh fasilitas kenyamanan
pulang di siang terik. Ia lupa, banyak cewek lebih suka cowok yang mengandalkan dirinya sendiri dari
pada mobilnya. Apalagi mobil pinjaman. Dicky sudah melakukan kesalahan terbesar. Indi berhenti melangkah lagi, lalu dari mulutnya
yang menggemaskan itu keluar serentetan mitraliur yang pada intinya berisi satu pernyataan, ... get the hell out of my
sight!... menyingkir dari depanku!
Dicky menggaruk-garuk kepalanya yang gondrong. Menyerah setelah diserang bertubi-tubi. Ia melangkah mundur,
menjauhi Indi yang dengan galak memelototkan matanya yang bulat indah itu. Sambil menjauh, ia cuma sempat berkata,
"Oke... Oke..." berkali-kali. Lalu cepat-cepat ia meninggalkan arena yang sangat asing baginya itu, menyebrang jalan
menuju gang-nya yang sejak tadi mengamati diam-diam.
"Jangan ada yang buka mulut!" bentak Dicky ketika tiba di seberang jalan. Anak buahnya segera mengunci mulut
mereka dan membuang kuncinya jauh-jauh. Sungguh tidak bijaksana berbicara di siang terik dengan seorang jagoan
yang diusir oleh sang putri pujaan!
****** Dicky bukan satu-satunya cowok di ensiklopedia kehidupan Indi. Ada Wandi, seorang jagoan lain dari sekolah lain yang
punya kebiasaan lain pula!
Kalau Dicky cenderung "tembak langsung", maka Wandi bisa juga bergaya sedikit puitis. Suatu hari Indi pernah kaget
setengah-mati menerima sekuntum mawar dibungkus plastik bening dari seorang bocah ingusan. Kata bocah itu,
seseorang menugaskannya mengantar bunga itu ke Indi. Cepat-cepat Indi mengedarkan pandangan ke seberang jalan,
mencari siapa gerangan pemberi bunga misterius itu. Si bocah tertawa serak sambil bilang, "Orangnya udah pergi,
Non!". Di lain waktu Indi pernah makan bakso bersama Rika dan Mutia, tetapi ketika hendak membayar, si Abang Bakso
menolak mati-matian. Katanya, semua bakso yang dimakan Indi hari itu, dan seminggu setelah itu, sudah dibayar oleh
seseorang! Bayangkan, ada orang membayar bakso seminggu dimuka! "Siapa, sih orangnya, Bang"" desak Rika dan
Mutia berbarengan. Indi diam saja, karena sejak menerima mawar itu dia tahu siapa yang suka berulah demikian.
Indi bertemu secara tidak sengaja dengan jagoan itu beberapa bulan yang lalu. Waktu itu Indi terseok dari angkot yang
dinaikinya, dan hampir saja jatuh terpelanting kalau tidak ditahan oleh tubuh Wandi yang walaupun kerempeng ternyata
kokoh juga. Indi mengucapkan terimakasih, dan Wandi membantu membereskan buku-bukunya yang berantakan. Dari
buku-buku itulah si jagoan tahu nama Indi dan sekolahnya. Sebenarnya Indi kemudian sudah lupa peristiwa yang mirip
kejadian sinetron itu, sampai kemudian ia menerima mawar yang bertulisan... "dari seseorang yang membantu
membereskan buku-bukumu di Jl. Dg..".
Si Abang Bakso mesem-mesem tidak mau menjawab desakan-desakan Rika dan Mutia. Bukan saja dia tidak mau
mengungkapkan nama sang dermawan, tetapi ia juga takut setengah mati pada Wandi yang punya anak buah sama
banyaknya dengan butiran-butiran bakso yang dibuatnya setiap pagi!
"Siapa dia Indi... Kamu kayaknya tahu, deh!" sergah Rika melihat temannya yang satu ini tenang-tenang saja menikmati
minuman dinginnya. "Someone special, lah!" kata Indi dengan kenes, membuat teman-temannya gemes.
"Alaaaah!.. paling-paling si gorila itu, kan"" kata Mutia sambil mencibir.
"Eh, jangan menghina, ya!" kata Indi kalem, "Gini-gini, banyak fans-nya, lho!"
Mereka bertiga tertawa-tawa bersama menikmati minuman dingin yang juga gratis!
****** e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 19
Lalu juga ada Hara, yang tidak bisa dikategorikan jagoan sama sekali, tetapi tak kalah populernya karena memimpin
sebuah grup band musik hard-rock anak-anak SMA. Grupnya pernah manggung di sebuah acara untuk merayakan
"perdamaian" antara tiga SMA yang selama ini berperang-batu. Penampilan gitaris kidal ini cukup memukau, dan Indi
terus terang sempat tertarik ketika pertama kali melihatnya. Apalagi kemudian ada yang membisikinya, mengatakan
bahwa penggemar Sting [dulu pemain The Police... penulis] itu ternyata juga ingin kenalan.
Tetapi setelah berkenalan, Indi kecewa berat. Ternyata Hara pemalu sekali dan tidak bisa buka mulut sama sekali ketika
mereka berkenalan. Apalagi setelah teman-temannya meninggalkan mereka berdua, Har
a pun berubah menjadi orang
bisu. Dengan kesal, Indi meninggalkannya di belakang panggung sendirian. Ngapain kenalan sama orang bisu!
sergahnya dalam hati. Hara mencoba menghubunginya berkali-kali, lewat kurir segala!, .. tetapi Indi menolak dengan halus. Hara bahkan
membuat sebuah lagu khusus, sebuah lagu soft-rock yang diberinya judul "Indah Sekali Dia" dan Indi cekikikan
membaca liriknya yang sangat gombal itu. Rika dan Mutia bahkan menjadikan lagu yang sebetulnya enak didengar itu
menjadi lagu dang-dut. Sungguh kurangajar mereka, bukan"!
***** Ada seorang lagi, dan kali ini sempat menjadi pacar "resmi" Indi. Nama kecilnya Eming, dan nama panjangnya Indi lupa
karena memang sangat panjang! Dia bukan anak SMA, tetapi anak STM. Di jaman Indi sekolah, anak STM dianggap
"kelas dua" dibandingkan anak SMA. Tetapi Eming adalah anak STM yang berkategori istimewa karena dia sangat
trampil dengan mesin dan punya mobil yang konon dirakitnya berdua dengan Ayah-nya, seorang pemilik bengkel besar.
Nama Eming populer, bahkan di kalangan anak-anak SMA yang tentu saja doyan mobil. Maka dari itu, ketika akhirnya
terdengar kabar bahwa Indi menjadi pacar Eming, bahkan Dicky-pun "merestui"-nya. Jagoan itu bilang, "Kalau sama si
Mi-ing itu, biarin. Pokoknya asal jangan dengan Wandi!"
Sementara Wandi berpikiran sama, dia punya jargon ABD... Asal Bukan Dicky!
Sedangkan Hara tentu saja patah hati, lalu menciptakan lagu romantis berjudul "Jahat Sekali Dia"...!!
Eming dan Indi berpacaran selayaknya anak-anak seumur mereka berpacaran: sering pergi bareng, jalan-jalan sore dan
yang semacamnya. Eming jelas sekali sangat sayang kepada pacarnya yang bagai kuntum segar kalau dibawa jalan-jalan
bersama gerombolan anak STM yang "suram" itu.
Indi suka kepada Eming, karena cowok ini galant serta punya harga diri sehingga bisa bergaul dengan semua orang
walau pada mulanya dipandang remeh. Indi juga suka pada keterbukaannya, dan pada kelembutan hatinya. Eming
mengingatkan Indi pada seseorang yang sangat disukainya, seseorang yang menolaknya dengan halus ketika ia telah
menyerahkan diri. [Bagi Pembaca yang belum tahu, silakan baca serial Kino, terutama "Interlude Indi"... penulis].
Maka Eming juga menjadi tumpahan kekecewaan dan pelarian Indi. Dengan Eming, gadis centil ini bisa bermanjamanja
secara terbuka. Bisa percaya bahwa cowok itu tidak akan memanfaatkan keterbukaannya, sebab Indi adalah gadis
yang lumayan liberal dalam pacaran. Indi mengijinkan Eming mencium bibirnya sepuas hati, karena Indi juga
menyukainya. Indi mengijinkan Eming meraba dadanya yang ranum, karena memang enak diberlakukan begitu. Indi
bahkan menikmati remasan-remasan Eming di sekujur tubuhnya, atau usapan bergairah di bawah sana. Indi merasa
bahwa dengan Eming hubungan mereka bisa aman, karena selama ini Eming tampak bisa menjaga diri.
Tetapi lalu terjadilah peristiwa itu....
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20020 0
Indi: Ensiklopedia Penuh Warna (2)
Peristiwa itu terjadi pada suatu siang yang terik....
Indi malas ke sekolah, dan gagal membujuk Mutia dan Rika ikut membolos. Akhirnya ia nekad sendirian ke rumah
Eming, padahal belum tahu apakah cowok-nya itu ada di rumah atau tidak. Sudah beberapa kali Indi bertandang ke sana,
dan kedua orangtua Eming sudah biasa menyuruh gadis manis itu langsung saja ke kamar Eming. Entah kenapa, Ayah
dan Ibu Eming sangat percaya bahwa kedua remaja itu tidak akan macam-macam. Indi pun menghargai kepercayaan itu,
walaupun kadang-kadang ia tersenyum sendiri kalau ingat kelakuan cowok-nya!
Rumah Eming bersebelahan dengan bengkel milik Ayahnya, dan kamar Eming terletak di antara bengkel dan rumah
utama. Di depan kamar itu ada lagi bengkel kecil tempat Eming biasanya mengutak-atik mesin mobil kesayangannya.
Juga ada sebuah go-kart dan sebuah motor trail di sana. Dari pagi sampai siang bengkel Ayah Eming sangat bising.
Maklum, di seantero kota, bengkel itu termasuk yang paling populer.
"Misi, Oom... Eming ada"" teriak Indi, melawan bising, kepada seorang gaek berpakaian montir yang sedang bertolak
pinggang memberi instruksi kepada pegawainya. Ia
menoleh mendengar suara Indi.
"Eh, si nDi...," sahutnya dengan berteriak juga, "Ada upacara apa lagi di sekolah""
"Ah, si Babe bisa aja!" sergah Indi mendengar godaan orang tua yang sangat ramah itu.
"Eming sedang asyik dengan go-kart-nya. Besok katanya mau balapan," kata orang tua itu.
Indi mengernyitkan dahi, "Lho, besok 'kan janjian sama Indi"" sergahnya seakan-akan sedang menyampaikan keluhan
kepada pihak yang berwenang.
Ayah Eming tertawa sambil kembali mengamati pekerjaan para pegawainya, "Kalau sudah dengar ada balapan go-kart,
Eming mana ingat apa-apa lagi!"
Sambil mencemberutkan muka, Indi melangkah masuk ke bengkel, menuju pintu samping yang menghubungkan bengkel
dengan rumah. Hatinya tiba-tiba kesal. Betulkah aku kalah penting dibandingkan go-kart" gerutunya.
Eming sedang asyik berjongkok mengutak-atik mesin go-kart-nya. Ia tidak mendengar ada orang datang dari belakang.
Indi berdehem keras-keras, tetapi kalah oleh suara bising dari bengkel. Dengan kesal, Indi menendang pantat Eming.
Tidak terlalu keras, sih...
"Hey!" si empunya pantat ternyata jongkok dengan gamang, sehingga tendangan lemah-lembut itu pun sudah
membuatnya tersungkur ke depan. Hampir saja hidungnya mencium mesin go-kart yang belepotan oli.
Indi menahan tawanya, tetapi tidak berkata apa-apa dan berdiri menunggu Eming yang bangkit sambil menggerutu,
"Dateng-dateng main tendang aja!"
"Mau aku tendang lagi"" kata Indi dengan galak, sambil mengambil ancang-ancang menendang.
Eming memasang muka sedih, "Kurus begini mau kamu tendangin"" katanya memelas sambil menyelampirkan lap
kuning dekil ke bahunya. Gaya merayunya boleh juga!
Indi benar-benar menendang lagi dengan kakinya yang terbungkus sepatu basket itu. Tetapi tentu saja Eming sudah siap.
Sekali tangkap, kaki mulus itu tercekal erat di tangannya. Nah-lo!.
"Lepaskan!" jerit Indi.
"Enak, aja!" sergah Eming sambil menarik kaki gadis itu. Terpaksalah Indi tertatih-tatih mendekat sambil menjaga
keseimbangan dengan merentangkan kedua tangannya.
"Awas, ya.. Eming!" ancam Indi tetapi tak berdaya terus ditarik mendekat.
"Awas apa"" tantang cowok itu sambil melap bibirnya dengan punggung tangan yang masih bebas, dan sambil terus
menarik Indi mendekat. "Awas nanti aku gigit!" ancam Indi kehilangan akal.
Eming menarik Indi sampai tubuh gadis itu menubruk tubuhnya. Lalu cepat-cepat dilepaskannya kaki Indi, dan dengan
dua tangan yang di sana-sini hitam kena oli, pemuda itu memeluk kekasihnya. Secepat kilat pula ia mencium gadis itu
tepat di bibirnya yang ranum.
"Eming! Bajuku kena oli!" Indi menjerit, tetapi terlambat. Dalam dua detik bibirnya sudah dilumat gemas oleh Eming.
Sial bagi Indi, ciuman itu ternyata bagai air segar di panas terik. Niat hati ingin berontak dan menggigit, apa daya tubuh
lemas dan ingin terus didekap-dipeluk. Selama setengah menit Eming menikmati kemenangannya, lalu melepaskan
pelukannya sambil cengar-cengir.
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 21
"Jelek!" sergah Indi sambil menahan senyum.
"Aku cuci tangan dulu, ya!" kata Eming tidak peduli, lalu meninggalkan Indi menuju kamar mandi.
"Mandi sekalian. Badan kamu bau oli!" teriak Indi sambil melangkah ke kamar Eming.
Gadis itu biasa bebas masuk ke kamar pemuda yang berantakan tetapi, entah kenapa, selalu terasa nyaman itu. Apalagi
ada seperangkat stereo dan berlusin-lusin kaset (waktu itu belum jaman CD, lho!) yang tersebar di mana-mana. Sambil
membuka sepatu dan melemparkannya sembarangan, Indi memilih kaset kelompok Chicago. Sejenak kemudian, lagulagu
jazz-rock memenuhi udara. Ini merebahkan tubuhnya di kasus yang masih berantakan, menelungkup sambil
mengikuti syair Just You and Me. Kakinya ditekuk sehingga kedua tumitnya yang terbungkus kaos kaki menyentuh
bokongnya. Tidak lama kemudian Eming muncul dengan badan segar. Ia benar-benar mandi, walau dengan gaya cowboy, tidak lebih
dari 5 menit. Di tangannya ada sebotol air es dan dua gelas.
"Beresin dulu, dong... baru tidur-tiduran!" celoteh pemuda itu sambil ikut duduk di kasur.
Iseng, ditepuknya pantat Indi yang bahenol, membuat pemiliknya menjerit kaget.
"Sekali lagi k amu begitu, ... aku siram pake air es!" ancam Indi sambil cemberut. Eming senang sekali melihat si cantikmanis
itu cemberut, karena makin cantik saja. Aneh, ya... ada orang yang semakin cantik kalau cemberut.
"Kamu, kok, galak banget hari ini. Semua-semua, marah. Apa-apa, marah," gerutu Eming sambil ikut telungkup di
sebelah kekasihnya. "Besok kamu ke mana!" sergah Indi tak mempedulikan ucapan Eming.
"Ngga ke mana-mana," jawab Eming kalem .... syair lagu Chicago melantun merdu... "You are my love and my life....,
you are my ins - pi - ra - tion.... Just you 'n me.... Simple 'n free.... Life is so easy, when you are beside me.... .
Indi mengernyitkan dahi, "Betul-betul ngga kemana-mana""
"Paling-paling mengantar Tuan Puteri, pulang sekolah ke..... mana, tuh"" Eming malah balik bertanya.
"Ke pasar bunga, beli bonsai," sambung Indi, karena tahu siapa yang dimaksud "Tuan Puteri" itu adalah dirinya, "Jadi,
kamu ngga balapan""
"Ya, balapan, dong!" sahut Eming sambil meneruskan syair Chicago... give me your own special smile....promise you'll
never leave me.... Oh, begitu, pikir Indi. Jadi aku akan diantar ke pasar bunga, lalu dia akan mengajakku menontonnya balapan. Ah, pintar
juga si ceking ini mengatur waktu. Sambil meraih kepala cowok itu dengan gemas, Indi mencium pipinya yang kini
sudah segar bau sabun mandi. Sambil berkata pula dengan lemah-lembut, "Kamu kok baek banget, sih!"
Hati Eming berbunga-bunga mendengar ucapan lembut yang jauh berbeda dari hentakan dan makian sebelumnya. Ia
sebenarnya sudah tahu, pasti Indi datang menuntut janjinya. Makanya, ia sudah siap dengan jawaban. Berhadapan
dengan si caberawit ini, harus selalu siap-siaga.
***** Jika Indi bertandang ke Eming, atau sebaliknya pemuda itu bertandang ke kekasihnya di malam Minggu, pastilah ada
saat-saat bergairah. Saat-saat berciuman yang berlama-lama, karena Indi tidak mau cuma dicium sekilas seperti angkot
menurunkan penumpang. Terburu-buru, gitu... Indi tidak mau dianggap penumpang yang harus ditinggalkan sebelum
kakinya menjejak bumi. Indi akan membiarkan Eming menciumnya, asalkan pemuda itu mau menciumnya lama dan
lembut dan sayang dan manja dan .....
"Jangan digigit, dong!... Sakit!" sergah Indi setelah ciuman semakin bergelora. Ia meronta melepaskan diri.
Eming sibuk mengatur nafasnya yang memburu, "Habis... kamu duluan yang gigit!" sahutnya tak mau kalah.
"Kalau cewek boleh, kalau cowok ngga!" kata Indi tertawa kecil, lalu menarik lagi leher pemuda itu dan membiarkan
lagi bibirnya dilumat-habis. Mmmm... sambil sekali-sekali bermain dengan lidah.
Eming termasuk ahli berciuman. Indi suka dicium pemuda ini, maka ia sering memejamkan mata membiarkan dirinya
terhanyut-terlena dalam dekapan hangat yang bergelora itu. Dalam soal ciuman, jangan kira Indi tidak punya
pengalaman, karena ia punya "koleksi" cowok lumayan banyak sebelum resmi jadi pacar Eming. Indi tahu, mana cowok
yang bisa ciuman, mana yang bego. Indi juga punya satu referensi khusus, yakni seorang mahasiswa indekosan sebelah
rumah.... yang kalau mencium pasti membuat dirinya meminta lebih banyak!... Sedangkan Eming, bagi Indi, termasuk
pandai berciuman, walau ah.... tentu saja..... masih kalah juga kalau dibandingkan mahasiswa indekosan itu!
Di tengah ciuman yang hangat-bergelora itu, Indi membiarkan pula Eming bermain dengan dadanya yang tak sanggup
membungkus debar jantungnya. Membiarkan puting payudaranya dielus-elus dari atas baju seragamnya... Mmmm...
nikmat sekali. Ada getar-getar halus yang timbul dari elusan-rabaan itu, yang naik ke atas lehernya untuk bergabung
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20022 0
dengan rasa lembut-manja akibat bibirnya yang dihisap-kulum penuh gairah. Juga, getar-getar itu, turun ke bawah
berpusar di perutnya membuat nafasnya bersusulan tak karuan.
Kisah Kino Karya Crazy Guy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Buka aja...," desah Indi tak tahan dirangsang lewat baju. Lebih enak diremas-remas langsung!
Eming dengan sigap membuka kancing baju Indi satu per satu. Tidak butuh waktu lama untuk itu. Sekejap pula beha
gadis itu dilepas kaitnya, dan dua payudara yang ranum itu pun bebas-lepas merdeka-terbuka. Pemiliknya
mengerang ketika tangan Eming mulai mengelus, ....lalu memijat, ....lalu meremas.
Indi juga bukan gadis egois. Ia tahu pemuda yang mencium dan meraba-meremas-gemas ini juga perlu mendapat
perhatian. Maka dengan telaten gadis itu mengusap-menelusur tubuh kekasihnya, semakin lama semakin ke bawah.
Tidak lama kemudian, telapak tangan yang halus itu sudah tiba di atas celana jeans yang tak sanggup menyembunyikan
tonjolan keras-tegang di bawah sana. Telapak tangan halus itu pun mulai mengelus, naik-turun perlahan dan penuh
perasaan. Eming pun mengerang di tengah kesibukannya memainkan lidah Indi yang basah dan hangat itu.
Indi ikut mendesah-mengerang pula. Matanya terpejam nikmat karena sebuah rasa geli-gatal yang sangat dikenalnya itu
kini menyebar-merata di sekujur tubuhnya yang mulai berkeringat tipis. Mereka berciuman dalam posisi berbaring
miring berhadapan. Dengan manja Indi menaikkan kakinya, memeluk pinggul pemuda itu. Tubuh mereka pun semakin
rapat. Dan karena tangan Indi terselip di antara keduanya, maka sambil mengelus-elus pemuda itu, tak sengaja pula
punggung tangannya bergesekan dengan tubuhnya sendiri. Tepat di antara dua pahanya. Gesekan yang membawa panas!
"Buka, dong, nDi...," Eming mengerang . Ia juga ingin diremas-remas langsung. Dan Indi pun cepat-cepat menarik turun
resleting celana Eming... ternyata pemuda itu tidak memakai celana dalam... sehingga cepat sekali tangan Indi bisa
bertemu dengan daging keras-tegang-kenyal yang berdenyut-denyut liar itu!.. Besar dan panjang dan panas.
"Cupang, dong, Ming," Indi mendesah gelisah, melepaskan diri dari pagutan kekasihnya. Nafasnya memburu keras dan
ia ingin Eming segera melakukan apa yang digemarinya: mengulum putingnya dan membuat cupangan di seluruh
permukaan dadanya yang putih mulus itu!
Eming menurunkan sedikit posisi tubuhnya, dan seperti bayi dahaga segera menelusupkan kepalanya ke dada Indi,
menangkap salah satu puting susunya yang tegak menantang, lalu langsung menyedot dan mengulum dengan bergairah.
Indi menjerit kecil, antara kaget dan terpesona. Dengan cepat tubuhnya seperti dilecut oleh tegangan birahi maha tinggi,
mungkin 10.000 volt besarnya!
Bukan itu saja, Indi juga memanfaatkan punggung tangannya untuk menggosok-gosok celah sempit di antara kedua
pahanya. Buku-buku jarinya mengelus-melesak celah yang mulai basah itu. Semakin ia bergairah mengelus-elus
kejantanan Eming, semakin pula ia terangsang oleh gesekan-gesekan di bawah sana. Maka semakin bergairahlah
percumbuan itu, dipenuhi erangan-erangan tertahan, sementara kaset Chicago sudah berputar-balik untuk yang kedua
kalinya. Eming merasakan gejolak di tubuhnya juga semakin lama semakin tak terkendali. Ia menikmati remasan dan elusan
tangan yang halus mulus itu sepanjang kejantanannya. Apalagi jika telapak mulus itu tiba di ujung atas, dan di sana
meremas-remas. Ahhhh... bukan main rasanya. Seluruh tubuh pemuda itu bergetar-bergelora, dari ujung rambut sampai
ujung jempol. Ia menikmati pula puting kenyal yang semakin lama semakin mengeras dan semakin basah oleh ludahnya
sendiri. Ia menyedot dan mengulum sepuas-puasnya, merasakan betapa bukit lembut yang membusung di dada Indi itu
berdegup-degup sesuai irama jantungnya yang bekerja keras.
Dan Indi juga semakin terlena. Ia semakin mengangkat kakinya tinggi-tinggi di pinggang Eming. Rok seragamnya
tersibak sampai pinggul, menampakkan celana nilon coklat muda yang sudah agak basah di bagian di antara dua paha
mulus itu. Tak tahan hanya dengan elusan tangannya sendiri, Indi menarik tubuh Eming lebih mendekat lagi, lalu
menggunakan kejantanan pemuda itu untuk merangsang dirinya sendiri. Digosok-gosokkannya batang tegak-tegang itu
di atas kain nilon tipis yang tak sanggup menyembunyikan radiasi panas di bawahnya. Eming menggelinjang kegelian
merasakan ujung kejantanannya menelusuri permukaan halus-licin yang basah di sana-sini.
Tepat pada intro lagu ke empat di side B kaset Chicago, Indi mulai merasakan kedatangan orgasme pertamanya. Seperti
kereta api di kejauhan yang sudah memberi tanda, Indi merasakan segumpal rasa nikmat muncul jauh di dalam
pin ggulnya. Lalu gumpalan kenikmatan itu membesar dan menyebar ke mana-mana. Mula-mula hanya di sekitar
pinggang dan paha. Tetapi lalu cepat sekali memenuhi seluruh tubuhnya, sehingga kini seluruh tubuhnya seperti sebuah
gumpalan gas padat yang hendak meledak setiap saat.
"Aaah!" gadis itu mengerang keras dan melepaskan cengkramannya pada kejantanan Eming. Ia tak sanggup
melakukannya sendiri, karena geli sekali. Ia ingin Eming yang melakukannya untuknya.
Maka ia tarik tubuh pemuda itu sambil berguling menelentang. Ia bawa tubuh pemuda itu ke atas tubuhnya, sambil
merentangkan kedua kakinya lebar-lebar, lalu mengepit pinggangnya erat-erat. Eming sigap memposisikan tubuhnya di
antara kedua paha Indi, sambil cepat-cepat meloloskan celana jeansnya sampai lutut. Sehingga kini tubuh bagian
bawahnya yang telanjang itu melesak-melekat di selangkangan Indi yang hanya tersaput celana nilon tipis.
Kejantanannya tepat berada di permukaan kewanitaan gadis itu, yang kini sudah terkuak-terpampang siap menerima
gesekan-gesekan final menuju puncak kenikmatan.
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 23
Dan mulailah Eming bergerak, maju-mundur, naik-turun..... Dan Indi mengerang semakin keras, meraih leher pemuda
itu untuk mengulum bibirnya. Ciuman mereka bergairah sekali, sejalan dengan semakin dekatnya Indi ke puncak asmara.
... Dan setelah beberapa kali gesekan-gosokan, Indi menjerit tertahan di dalam ciuman kekasihnya... Dan tubuhnya
bergeletar-bergejolak hebat ketika orgasme meledak-ledak tak terkendali.
Selagi Indi meregang menikmati orgasme itulah, Eming terlanda nafsu yang membuta. Dengan tanpa pikir panjang ia
menarik celana dalam Indi untuk membukanya. Gadis itu masih terpejam dan mengerang menikmati rasa geli-gatal
merebak di sekujur tubuh, sehingga tak bereaksi ketika akhirnya celana dalam itu lepas terbuang. Sekejap tubuh Indi
bagian bawah terpampang-telanjang, menampakkan kewanitaannya yang agak membasah-berkilauan, agak meronamerah
pula. Lalu Eming bersiap menelusupkan-menusukkan kejantanannya dengan penuh determinasi. Ia tak ingat apa-apa lagi
kecuali perasaan ingin segera masuk tenggelam dalam-dalam di tubuh gadis yang masih meronta-meregang menikmati
orgasmenya itu. Tetapi tanpa pengalaman yang cukup, ternyata tidaklah mudah melakukan hal itu. Upaya pertamanya
tidak berhasil karena kejantanannya melejit naik ketika ia mencoba mendorongnya masuk.
Indi tiba-tiba tersadar dari alunan orgasmenya, dan merasakan sebuah tusukan kecil di selangkangannya. Sejenak ia
mendesah, karena tusukan itu terasa nikmat, tetapi meleset ke atas dan menyentuh bagian sensitif yang tersembunyi.
Tetapi lalu gadis itu terkaget, kenapa tubuh bagian bawahnya terasa begitu terbebas" Cepat-cepat ia membuka mata dan
melirik ke bawah. "Eming! Apa-apaan....," belum habis ia menjerit, Eming sudah mencium membungkamnya.
Indi meronta kuat-kuat, menyadari bahwa kekasihnya sedang berupaya menyempurna-tuntaskan percumbuan mereka
dengan sebuah persetubuhan. Seperti disiram air dingin, gairah Indi tiba-tiba sirna berganti panik karena ternyata Eming
bersikeras melanjutkan percumbuan. Indi berusaha mendorong tubuh pemuda itu kuat-kuat, tetapi Eming bereaksi sama
kuat. Mereka saling dorong, dan hampir saja Indi kalah kalau ia tidak segera mengangkat kedua lututnya, dan
menggunakan lutut itu untuk mendorong perut Eming.
"Stop! Eming!" jerit Indi sambil mendorong sekuat-kuatnya. Eming terkejut dan merasa ulu hatinya sesak. Tenaganya
langsung melemah, dan ia terguling ke sisi ranjang, hampir saja jatuh ke lantai.
Cepat-cepat Indi bangkit dari kasur, mencari dan menemukan celana dalam tergeletak dekat kakinya. Ia pun lalu
melompat turun dan bergegas menuju sudut kamar yang paling jauh dari ranjang. Di situ ia cepat-cepat pula memakai
celananya. Eming tertegun di pinggir ranjang sambil menggeleng-gelengkan kepala seperti orang yang berusaha mengusir
pikirannya. Ia memang baru sadar apa yang terjadi, dan cepat-cepat pula menaikkan celana jeansnya yang tadi sudah
melorot sampai lutut. Ia malu sekali, dan menundukkan kepala.
"Gila kamu!" jerit Indi sambil mengancingk
an baju dan merapikan rambutnya.
"Sorry!" cuma itu yang bisa dikatakan Eming sambil tetap menunduk.
"Aku mau pulang!" jerit Indi lagi sambil memasang sepatunya. Eming bangkit dan mencoba memeluk kekasihnya, tetapi
dengan kasar gadis itu meronta.
"Sorry,... aku sudah bilang sorry!" sergah Eming penuh penyesalan.
"Masa bodo!" sahut Indi sambil memasukkan kakinya ke sepatu yang kedua, lalu melangkah keluar.
"Indi!" seru Eming sambil mencoba menahan tangan gadis itu. Tetapi Indi meronta lagi dan berhasil melepaskan
tangannya lalu melangkah cepat keluar.
"Aku anterin pulang. Tunggu!" teriak Eming sambil mencari-cari sandal atau sepatunya. Sialan, jika diperlukan, barangbarang
itu sembunyi di mana"
Indi tidak menengok lagi, melangkah cepat menuju pintu keluar, menerobos bengkel yang masih bising dan sibuk.
"Lho, kok sudah pulang nDi"" teriak Ayah Eming dari balik sebuah mobil sedang yang sedang dibetulkan. Lelaki tua itu
heran, biasanya Indi bertandang sampai sore dan pulang diantar Eming dengan wajah ceria. Kali ini gadis itu keluar
dengan cemberut dan tidak tengok kiri-kanan. Sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya, lelaki tua itu
kembali mengalihkan perhatiannya ke pekerjaannya. Urusan anak-muda adalah urusan anak-muda!
Eming berlari mengejar Indi, tetapi gadis itu sudah naik angkot yang pertama dijumpainya. Pemuda itu lalu balik ke
dalam, dan sebentar kemudian terdengar raungan motornya keluar. Kembali Ayah Eming menggeleng-gelengkan
kepalanya. Urusan anak-muda selalu dramatis!
****** e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20024 0
Sejak itulah hubungan Indi dan Eming memburuk. Berkali-kali Eming mencoba minta maaf, tetapi Indi diam seribu
basa. Lewat Mutia dan Rika, pemuda itu juga mencoba untuk membujuk Indi, tetapi bahkan kedua sahabat itu pun
dibentak oleh Indi agar tidak ikut campur.
Sekali waktu, Eming mencegat Indi pulang sekolah sendirian, karena kebetulan Mutia atau Rika tidak masuk. Terpaksa
Indi bersedia berjalan berendengan menuju tempat menunggu angkot.
"Jangan begitu, dong, nDi. Aku, kan, sudah minta maaf!" ucap Eming berulang-ulang.
"Kali ini kamu sudah kelewatan!" sergah Indi sambil mendekap bukunya erat-erat di dada. Wajahnya tampak dingin dan
tak-acuh. "Habis kamu juga sih...," sahut Eming membela diri. Ia lama-lama kesal juga diperlakukan sebagai pesakitan terus
menerus. Indi menghentikan langkahnya. Eming ikut berhenti. Wah, panjang, nih, urusannya! pikir pemuda itu gelisah.
"Indi mau bilangin kamu sekali ini saja. Tidak akan Indi ulang," kata gadis itu tegas dan getas. Eming diam menunggu.
"Indi menghargai cowok yang tahu diri. Indi suka cowok yang tidak memanfaatkan kelemahan ceweknya. Kamu tidak
memenuhi kedua syarat itu!" kata Indi sambil mulai melangkah lagi.
Eming terdiam, tidak mengikuti langkah Indi. Ia kehabisan kata-kata dan pikirannya sedang sibuk mencerna ucapan Indi
yang terasa benar belaka. Apalagi kalimat terakhir itu..... Kalimat ultimatum itu.
Di kejauhan terlihat sebuah motor merah darah meraung-raung mendekat: Dicky.
Eming minggir teratur, berdiri di tepian jalan. Dicky melintas cepat sambil menengok sekilas kepadanya. Dalam
hitungan detik, Dicky sudah tiba di samping Indi yang sudah meninggalkan Eming.
"Ada apa, nDi" Si Mi-ing ngaco, ya!"" tegur jagoan itu dengan nada bersahabat, tanpa turun dari motornya.
Indi tersentuh juga oleh teguran yang penuh concern itu. Kalau gadis itu mau, dia tinggal menganggukkan kepala satu
kali, dan tamatlah riwayat Eming. Tetapi ia tidak ingin ada keributan, dan terlebih-lebih lagi ia merasa sudah cukup
menghukum Eming. Sambil tersenyum manis, gadis itu berkata lembut kepada Dicky, "Ah, biasa, lah, Dick. Ngga ada apa-apa."
"Betul, nih,.... beres-beres aja"" desak Dicky sambil mengendalikan motornya agar bisa berjalan seperlahan langkah
Indi. "Betul!" kata Indi meyakinkan, lalu sambil tetap tersenyum gadis itu merajuk, "Tetapi kakiku pegal, nih, jalan kaki. Bisa
boncengan sampai rumah""
Wow! Dicky merasa jantungnya melompat keluar dan menggelepar jatuh di tanah. Permintaan Indi ini bagai durian
runtuh... Mungkin lebih itu... Bagai emas M
onumen Nasional yang runtuh menimpa kepalanya!
Cepat-cepat Dicky menghentikan dan meminggirkan motornya, lalu memposisikan duduknya lebih maju lagi. Sejenak
kemudian ia merasakan gadis pujaannya meraih pinggangnya, lalu duduk di jok belakang. Dunia saat itu terasa berisi
kecoa-kecoa saja di mata Dicky, dan dia sanggup mengalahkan negara Amerika Serikat sekalipun kalau diberikan cukup
tank atau kapal selam. Dengan Indi diboncengannya, Dicky melarikan motornya, melesat menuju utara. This world is
mine! jeritnya dalam hati.
Sebaliknya bagi Eming, dunia sudah runtuh. Pemuda ini menunduk dan menghela nafas dalam-dalam. Selesailah sudah
salah satu babak paling indah dalam hidupnya. Kini ia mungkin harus berkonsentrasi ke go-kart saja, dan teringat akan
hal itu ia pun bergegas menuju mobilnya. Forget that girl! sergah hatinya. Tetapi bisakah"
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 25
Rima: Pendakian Tiada Henti
Lembayung mulai melingkupi ufuk langit. Ratusan perdu kini tinggal bayang-bayang hitam, seperti serdadu bergerombol
dalam diam. Angin tak terlalu kencang, tetapi tentu saja dingin. Puncak gunung ini cukup tinggi untuk ukuran para
pendaki pemula. Dalam remang yang menemaram, Rima duduk di tanah memeluk lututnya, memandang ke depan sana:
kabut tipis di mana-mana. Jaket besar-tebal membungkus tubuhnya, memberi hangat yang lumayan.
Tubuhnya letih, tetapi hatinya lapang. Setelah mendaki empat jam penuh, Rima merasa nikmat-hikmat duduk
memandang Sang Teja yang bersiap menggelap. Sebentar lagi langit akan berubah menjadi hamparan hitam maha luas.
Lalu akan ada satu dua bintang, sebelum akhirnya jutaan-milyaran kerlap-kerlip akan memenuhi semesta maha tinggi itu.
Pada saat seperti itulah Rima dan selusin pendaki lainnya akan merasa sekecil butir debu. Merasa seperti kutu tak
berdaya di bawah naungan alam yang amat perkasa. Merasa akan dengan mudah terhembus lenyap dari muka bumi jika
alam berniat begitu. Seorang pendaki lamat-lamat menyanyikan puja-puji kepada alam, diiringi harmonika temannya. Rima ikut berbisik
mengucap syairnya. Hatinya terasa dipenuhi rasa lega karena ternyata bumi begini luas. Ternyata kepada kita disediakan
begitu banyak kelapangan-keleluasaan. Tidak ada tembok di sini. Tidak ada atap. Semuanya terbuka-terhampar.
Betapa bedanya di bawah sana, di tempat yang hiruk-pikuk dan sempit oleh rumah, gedung, jembatan, pagar-tembok,
tangsi militer, toko, rumahsakit... entah apa lagi! Betapa terhimpitnya di bawah sana, dan betapa banyaknya masalah.
Setiap hari di bawah sana ada masalah menyerbu bagai banjir bandang. Kadang-kadang itulah yang menyebabkan kita
tenggelam, atau hanyut, atau terlindas-tandas. Kita tidak bisa lari, karena kesana-kesini terbentur tembok. Ada banyak
tembok kasat mata. Tak kurang banyak pula tembok maya-nestapa. Semuanya siap mencegah sembari ikut merajahrajam.
Rima menarik nafas dalam-dalam, memenuhi dadanya dengan udara segar yang bisa mengusir keluh di hatinya.
Seandainya hidup ini selalu luas-lapang seperti di puncak gunung, tentu tak akan ada gundah. Tentu semuanya akan
nyaman belaka. Tetapi,.... Rima menghempaskan nafasnya kuat-kuat, tetapi hidup ini bisa menjadi bajingan. Life is a
bitch!. Hidup ini sungguh tak mau kompromi. Bahkan kepada seorang gadis kecil yang kehilangan Ibunya sewaktu
masih berusia 5 tahun... ****** Rima menggigit bibirnya sendiri setiap kali ingat Ibu. Ia tak pernah ingat wajah Ibu yang sesungguhnya, karena itulah ia
hanya bergantung kepada sebuah foto yang kini hampir lusuh di dompetnya. Dari foto itu Rima bisa selalu mengenang
matanya yang teduh tetapi agak sipit. Terlahir dari keluarga campuran, ibunya termasuk cantik sekali. Rambutnya yang
ikal datang dari Kakek yang berasal dari Indonesia Timur. Bibirnya yang tipis dan matanya yang sedikit sipit datang dari
Nenek yang masih punya kerabat di Hong Kong. Foto hitam-putih itu dibuat di sebuah studio, memperlihatkan Ibu
ketika berusia 20-an, sebelum menikah dengan Ayah. Cantik sekali, Ibu mengerling tajam, dengan tubuh putih-mulus
dibalut kebaya modern. Di setiap puncak gunung di mana pun Rima mendaki, s
elalu ia sempatkan berbisik ke langit, "Ibu, Rima rindu padamu.
Peluklah Rima dari atas sana.".. Dan seperti nyata, Ibu pun datang memeluknya dalam bentuk kabut tipis yang merayap
pelan-pelan di sekujur tubuh. Atau dalam bentuk kelam-malam yang membungkus semua isi alam. Atau dalam bentuk
wangi edelweis yang merebak di pagi hari.
Ketika Rima masih kecil, ia tak pernah tahu apa arti Ibu yang tiada. Baru setelah berusia belasan, setelah Ayah semakin
sering pulang malam atau tidak pulang selama 3 hari berturut-turut, Rima tahu mengapa Ibu sebaiknya hadir di setiap
rumahtangga. Juga ketika salah seorang kakak pria-nya (Rima adalah satu-satunya wanita) meninggal akibat over-dosis,
Rima pun sadar bahwa Ayah adalah pria yang tak berdaya. Kakaknya yang tertua menghilang dari rumah ketika Rima
berusia 12 dan baru muncul lagi ketika Rima lulus SMA. Ia ingat, kakaknya datang dengan sebuah motor Harley
Davidson, dengan tubuh penuh tatoo. Lalu ia mendengar kakaknya bertengkar riuh dengan Ayah di ruang tamu. Lalu
Ayah terjengkang ditinju kakaknya, dan Rima berdiri saja di bingkai pintu seperti menonton film Kung Fu.
Mengapa ia tidak menjerit melihat hidung Ayahnya berdarah" Mengapa ia sering ikut merasa ingin meninju hidung itu"
Mengapa ia tidak bisa melupakan perempuan yang dibawa Ayah dan disetubuhinya di kamar Ibu" Mengapa ia tetap
geram kalau ingat gelas yang dilemparkan kepadanya ketika Ayah mabuk di ruang tamu" Mengapa ia sering tak mau
menuruti perintah Ayah" Mengapa ia sering berharap agar Ayah masuk penjara atau tewas di jalan raya" Mengapa...."
Rima menunduk, menyembunyikan mukanya di antara kedua lututnya. Malam di puncak gunung sudah semakin gelap.
Salah seorang pendaki berteriak mengatakan bahwa api unggun sudah menyala. Seorang lainnya menegur Rima dan
menawarkan rokok. Ada juga suara-suara lain di sekelilingnya. Ada tawa. Ada nyanyi. Ada teriakan-lepas. Ada cekakakcekikik.
Rima diam saja membiarkan dirinya terbungkus oleh aneka suara itu.
****** "Aku tidak percaya ungkapan 'alam yang kejam'...," ucapan Kino terngiang di telinga Rima, "Alam selalu bersahabat.
Lihatlah!" kata pemuda itu sambil membentangkan tangannya.
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20026 0
Dan Rima ingat, itulah pertama kali ia berdiri di puncak sebuah gunung yang tidak terlalu tinggi. Itulah saat ia resmi
menjadi anggota Pencinta Alam bersama-sama Kino. Itulah pula saat ia melirik ke pemuda jangkung di sebelahnya dan
berbisik dalam hati,.. siapa pacarnya"
Bagi Rima, pemuda atau lelaki atau cowok bukan mahluk asing. Ayahnya adalah salah satu contoh mahluk itu. Seluruh
kakaknya adalah mahluk itu pula. Pacar-pacarnya, dari sejak SMP sampai detik ini, adalah mahluk itu pula. Maka bagi
Rima tidak ada yang asing dari pemuda di sebelahnya ini. Kecuali satu... pemuda ini mengajaknya naik gunung,
sementara yang lain biasanya ingin menaiki "gunung"-nya yang tak terlalu besar itu!
"Banyak yang mati waktu naik gunung," kata Rima waktu itu, mencoba mengundang perdebatan.
"Lebih banyak yang mati di jalan raya," jawab Kino kalem.
"Kalau orang yang naik gunung sama banyaknya dengan yang di jalan raya, mungkin yang mati di gunung akan lebih
banyak," sergah Rima tak mau kalah.
"Kalau orang yang naik gunung segitu banyak, gunungnya meledak dan semuanya mati!" kata Kino, dan Rima tertawa
tergelak-gelak mendengar jawaban telak itu.
Kino selalu bisa membuatnya tertawa. Pemuda itu mempesonanya sejak awal, karena Rima lahir dan besar di tengah
kakak-kakaknya yang brengsek. Salah satu kakaknya -yang nomor dua- sering menampar. Kakak yang lain pernah
memperlihatkan buku porno kepadanya, dan meraba dada dan pantatnya ketika ia masih SMP. Kakak itulah yang
kemudian tewas OD. Kakak tertuanya -yang meninju Ayah itu- adalah pemimpin salah satu kelompok gangster ibukota.
Kakak tertua ini yang sering memberinya uang dan mengajarinya minum bir, selain membekalinya dengan pil anti hamil
dan sekotak kondom. Bagi Rima, Kino adalah kebalikannya dari semua itu!
Rima "menemukan" Kino dalam suasana perploncoan yang seru. Pemuda itu sedang duduk di bawah gerbang kampus,
membaca Prok lamasi keras-keras dan berulang-ulang. Sementara ia sendiri harus berdiri di seberang jalan sambil
memberi hormat ke setiap angkot yang lewat. Ketika hukuman bagi keduanya usai, mereka berjalan beriringan tak
sengaja, dan saling tukar senyum untuk sekedar merasa senasib.
Lalu mereka sering bersama-sama, dan akhirnya Kino berhasil membujuknya ikut mendaki. Rima ingat sekali, sebelum
mendaki ia sedang gundah karena Ayahnya memberi kabar bahwa ia akan menikah. Gila, sudah setua itu mau menikah.
Mengapa tidak segera setelah Ibu meninggal saja ia menikah" Mengapa harus menunggu, dan menyiksa diri sekaligus
anak-anaknya, sebelum memutuskan menikah" Rima marah sekali waktu itu. Begitu marahnya sampai ia merasa putus
asa dan berpikir tentang bagaimana caranya menemui Ibu secepatnya!
"Ayolah, di gunung kita bisa berpikir lebih jernih!" desak Kino ketika mendengar alasan Rima bahwa ia sedang suntuk.
"Nggak, ah! Capek jalan jauh..," Rima menolak.
"Nanti aku gendong!" sergah Kino sambil membungkuk memperagakan kesiapan untuk menggendong. Rima tertawa
sambil mencubit lengan pemuda itu.
"Tinggi, nggak, gunungnya"" tanya Rima mulai ragu atas penolakannya sendiri.
"Ah, tidak. Kelihatan dari sini, kok!" kata Kino bersemangat.
"Dasar bego,... bulan juga kelihatan dari sini!" sergah Rima sambil mencubit lagi. Ia senang sekali mencubiti Kino
karena pemuda ini rupanya tahan cubitan.
Akhirnya ia berangkat, dan ternyata memang gunungnya tak terlalu tinggi selain juga landai. Betapa benarnya Kino,
puncak gunung ternyata memberinya udara segar yang dengan cepat menjernihkan keruh di benaknya. Puncak gunung
ternyata mampu menghapus Ayah dari pikirannya. Baru kali ini Rima merasa bisa lepas dari bayang-bayang lelaki tua
itu! Sejak itulah ia terpikat pada Kino, selalu ingin didekatnya, dan berharap pemuda itu juga menyukainya. Tetapi Kino
ternyata cuma senang berdekatan. Kino ternyata tak menyukainya sebagaimana ia berharap pemuda itu menyukainya.
Kino ternyata hanya mau jadi sahabatnya. Rima sempat terluka, dan berdiri lama di depan cermin: apakah aku kurang
cantik"
Kisah Kino Karya Crazy Guy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi lama kelamaan bisa Rima menerima penolakan pemuda itu, dan mereka kemudian menjadi sahabat-karib saja. Itu
pun sudah cukup bagi Rima.
***** "Hei, melamun lagi!" hentak seseorang.
Rima mengangkat muka, menemukan wajah tegar Yardin, sang pemimpin pendakian. Tersenyum, Rima menarik tangan
pemuda itu, mengajaknya duduk dekat-dekat.
"Apa yang kamu pikirkan"" tanya mahasiswa jurusan sipil yang lebih tinggi dua tingkat dari Rima itu. Ia duduk dekat
sekali di sisi gadis itu. Bahu mereka bersinggungan akrab.
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 27
"Macam-macam.... Ujian semester, perang di Timur Tengah, nasib Tim Bulutangkis, pengaruh gerhana matahari
terhadap kesehatan...," kata Rima sambil menelusupkan tangannya di bawah lengan Yardin.
"Tidak satu pun ada yang relevan untukku," sela Yardin dengan nada mengeluh.
Rima tertawa. Ia tahu, pemuda ini memancing percakapan lebih intim. Pasti pemuda ini ingin Rima menjawab dengan
"memikirkan kamu" atau yang semacamnya. Sayang sekali, Rima memang tidak memikirkannya.
"Kenapa, sih, kamu tidak pernah memikirkan sesama mahasiswa"" desak Yardin.
"Lho, kok bisa menyimpulkan begitu. Aku sering memikirkan sesama mahasiswa," sahut Rima menahan senyum.
"Misalnya, memikirkan aku, ...begitu"" ucap Yardin nekad.
"Ya. Aku sering memikirkan kamu," jawab Rima sambil mempererat pelukannya di lengan pemuda itu. Ia memang
sayang kepada pemuda yang maha-penolong kepadanya ini. Ia tahu pemuda ini berminat kepadanya. Sangat berminat,
bahkan! "Apa yang kamu pikirkan"" tanya Yardin menoleh, memandang dari jarak dekat wajah Rima yang tomboy tetapi manis
itu. Ia suka pada mukanya yang halus tak berjerawat itu, pada hidungnya yang mungil dan lucu itu, pada matanya yang
membola-mempesona itu. "Banyak!" sergah Rima sambil menyandarkan kepalanya di bahu Yardin.
"Tolonglah, ungkapkan satu saja di antaranya," kata pemuda itu penuh permohonan.
"Perbuatan kamu seminggu yang lalu, misalnya," kata Rima.
Segera Yardin menegakkan duduknya. Sekujur tubuhnya menegang, dan
Rima tersenyum sambil tetap menyandar di
bahu pemuda itu. Aku menyentuh sebuah titik sensitif, bisik Rima dalam hati.
"Aku, kan, sudah minta maaf, Rima...," kata Yardin dengan suara pelan.
Rima tertawa kecil, "Dan aku, kan, sudah memaafkan."
"Tetapi kenapa diungkit lagi"" tanya Yardin masih dengan suara pelan.
Rima tertawa lagi, "Lho, katanya ingin tahu apa yang aku pikirkan!"
"Berarti kamu belum memaafkan," sergah Yardin cepat.
"Memikirkan dengan memaafkan, kan, bisa sejalan. Bagaimana, sih, kamu!"" sergah Rima tak kalah cepat.
"Malam itu aku tidak bermaksud begitu...," kata Yardin, tetapi segera dipotong Rima,
"Alaaah!... ngga usah diulang. Aku tahu kamu tidak bermaksud meraba-raba dan mengajak bercumbu begitu jauh."
"Ssst!" Yardin menempelkan telunjuk di bibirnya sambil melihat berkeliling. Ia takut ucapan Rima terdengar yang lain,
walaupun sebenarnya mustahil karena angin mulai mengencang mengeluarkan suara berkesiut.
Rima tertawa kecil dan dengan suara pelan berkata, "Aku tahu kamu suka, walaupun kamu tidak bermaksud. Aku tahu
kamu ingin kita berbuat lebih jauh, walaupun kamu tidak bermaksud. Kenapa, sih, musti minta maaf terus""
"Jadi, apa yang kamu 'pikirkan' itu"" desak Yardin.
Rima menarik lengan pemuda itu, merapatkannya lebih dekat ke tubuhnya, lalu mencium sekilas pipinya, sambil
berbisik, "Aku tidak keberatan, tetapi tidak harus begitu jauh, dan tidak harus menuntut aku jadi pacarmu."
Terdengar Yardin menghela nafas lega dan menundukkan kepalanya. Diambilnya sebutir batu kecil, dilemparkannya ke
depan, ke tempat gelap. "Satu lagi...," kata Rima masih dengan berbisik.
"Apa"" kata Yardin sambil menengok, menemukan sepasang mata bening menatapnya tajam.
"Kalau aku bilang tidak, artinya tidak. Kalau aku bilang mau, bukan berarti seterusnya mau," ucap Rima tanpa berkedip.
Yardin menunduk lagi, lalu berucap pelan, "Padahal aku berharap kamu mau jadi pacarku, Rim. Aku bukan cuma ingin
bercumbu." "I know..," ucap Rima, "Tetapi aku tidak mau jadi pacarmu. Aku tidak mencintaimu, walau aku suka padamu"
"Apakah karena ada yang lain"" desak Yardin.
"Ada," jawab Rima, tetapi buru-buru ia melanjutkan, "Jangan tanya namanya, karena tidak akan kujawab."
Yardin terdiam. Ia mendengar selentingan, salah satu sahabat Rima (semua isi kampus tahu empat sahabat itu: Rima Ridwan - Tigor - Kino, R2TK) adalah kekasih Rima. Tetapi mana mungkin, karena Rima tetap mau diajak naik gunung
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20028 0
terpisah dari sahabatnya, dan tetap mau dicium bahkan diraba-raba seperti minggu lalu. Tetapi Rima juga bukan
gampangan, dan Yardin sebetulnya merasa bangga terpilih sebagai orang yang boleh mencumbunya, walau "serba
tanggung". Ah, rumit sekali gadis ini, keluh Yardin dalam hati.
"Hei, gantian kamu yang melamun!" sentak Rima.
Yardin menghela nafas dalam-dalam, "Makan malam, yuk!" ujarnya mengalihkan topik.
"Oke," sahut Rima riang, "Tetapi cium dulu, dong!"
Yardin mencium pipi Rima yang dingin karena angin gunung itu, lalu bangkit dan menarik gadis itu ikut bersamanya.
Malam itu mereka menyantap lontong yang dibawa dari rumah, dengan lauk dua kerat dendeng manis. Sedap sekali!
****** Jadi kini ada dua hal penting dalam kehidupan Rima: gunung dan lelaki....
Ia menyukai yang pertama. Sedangkan yang kedua... hmmm... ia sering terlibat kontradiksi dan ironi. Ia kehilangan figur
Ayah sepanjang hidupnya, sehingga ia berkembang menjadi tomboy. Tetapi pada saat yang sama ia merindukan
pelukan-rengkuhan, sehingga ia juga sering berganti pacar, dan sering membiarkan pacar-pacarnya berlaku sebagaimana
layaknya lelaki kepada lawan jenisnya.
Bagaimana jika keduanya -gunung dan lelaki- bergabung" Macam-macam pun bisa terjadi. Ada peristiwa yang paling
berkesan ketika Kino mencium tetapi menolak ajakan bercumbu (baca Serial Kino, episode... cari ndili, deh!). Ada
peristiwa lucu ketika para lelaki berebut membantunya untuk menarik perhatiannya. Ada peristiwa sedih ketika seorang
lelaki jatuh dan patah kakinya, sementara Rima adalah satu-satunya wanita saat itu. Ada pula peristiwa bergairah, seperti
malam itu ketika Yard in kembali menciumnya di balik batu di seberang api unggun.
"Bibir kamu manis sekali," bisik pemuda itu disela-sela pagutan-kulumannya.
"Itu, kan, rasa dendeng," bisik Rima sambil membiarkan bibir bawahnya digigit perlahan.
Yardin tertawa pelan, "Mmmm...," ia mengulum bibir Rima, "Boleh aku kunyah bibir ini"" bisiknya.
"Jangan," desah Rima, "Nanti aku berubah jadi kuntilanak, lho!"
"Mmmm.. bikin gemes saja kamu," Yardin kembali mengulum bibir Rima dengan Semangat Empat Lima.
"Mmmm...," Rima mengerang. Tangannya merangkul leher pemuda itu. Tubuhnya tersembunyi jaket besar dan bayangbayang
batu yang bergerak-gerak sesuai gerak api unggun.
"Tanganku kedinginan, Rim..," bisik Yardin sambil menelusupkan tangannya ke bawah jaket gadis itu.
"Alaah!.. bilang saja pengin memegang-megang," sergah Rima sambil menggigit bibir Yardin. Pemuda itu mengaduh,
tetapi dengan cepat pula menelusupkan tangan ke bawah kaos wol gadis itu.
"Hiiiy... dingin!" Rima bergidik merasakan telapak tangan pemuda itu melintas di atas behanya.
"Nanti juga hangat," bisik Yardin sambil menciumi leher Rima, membuat gadis itu menggelinjang kegelian.
"Aku hitung sampai tiga, kalau tidak segera hangat, kamu harus keluarkan lagi tangan itu!" ancam Rima lalu memulai
hitungan, "Satu...."
Yardin tertawa tertahan, menggigit dagu Rima, dan cepat-cepat memasukkan tangannya ke balik beha gadis itu. Hmm..
hangat sekali, dan halus sekali. Tidak terlalu besar, dada yang selalu terbungkus kaos tebal itu. Tetapi tetap saja
menggairahkan untuk dielus-elus dan diremas.
"Dua....," Rima melanjutkan hitungan, lalu mengerang, "Oooh...".
Yardin membawa tangannya ke puncak salah satu payudara Rima. Dengan jari-jarinya ia meraba-raba puting yang
segera tegak-mengeras. "Ngg..," Rima mengerang dan mencoba mengatur nafasnya yang tiba-tiba memburu, "Dua setengah....,"
Yardin tersenyum dalam hati, sambil terus mempermainkan puting Rima yang kini sudah sepenuhnya berdiri. Sambil
diselingi meremas-remas. Sambil menciumi terus leher yang harum. Rima menggelinjang gelisah.
"Aaah,.. Yardin," Rima mendesah gelisah,"Ngga usah dihitung lagi, ya""
"Terserah..," jawab Yardin sambil menahan senyum dan menciumi bahu Rima di balik jaketnya.
"Cium, dong ..," desah Rima.
Yardin mengangkat mukanya dari bahu gadis itu dan mulai mencium bibirnya, tetapi..
"Bukan cium bibir..," sergah Rima setelah membiarkan pemuda itu sejenak mengulumnya.
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 29
"Oh!.. cium yang itu. Sorry!" kata Yardin sambil melepaskan ciumannya, lalu menelusupkan kepalanya ke bawah, ke
balik jaket Rima. Gadis itu melihat ke sekeliling. Beberapa pendaki tampak asyik bernyanyi-nyanyi di sekitar api unggun. Ada juga yang
sudah bersiap tidur meringkuk di sleeping bag. Tidak ada yang melihat ke arah batu tempat mereka bercumbu. Maka
dengan hati-hati Rima mengangkat kaosnya dan melebarkan jaketnya untuk menyembunyikan kepala Yardin. Kalau ada
orang menengok ke arah mereka, dan kalau pemandangan tak terhalang bayang-bayang, maka akan terlihat Rima seperti
sedang memeluk sesuatu yang terbungkus jaket!
Begitu Yardin mulai mencium dan menjilat dan mengulum puncak payudaranya, Rima terpejam nikmat sambil
menggeliat dan memeluk erat-erat pemuda itu ke dadanya. Ia bersandar ke batu di belakangnya, membiarkan tubuhnya
seperti tersiram air hangat dari ujung rambut sampai ujung jempol kakinya. Nafasnya mulai memburu, apalagi Yardin
kadang-kadang menyedot dan menggigit-gigit kecil. Setiap kali pula Yardin melingkar-lingkarkan lidahnya di pangkal
puting susunya yang sudah basah itu. Sebuah getaran halus mulai terbentuk di selangkangannya, dan Rima pun
merenggangkan kakinya. Yardin merasakan Rima bergerak-gerak gelisah. Ia menelusupkan satu tangannya ke bawah, menerobos celana jeans
yang membungkus ketat pinggang gadis itu. Rima menarik nafas dalam-dalam agar perutnya mengempis dan agar tangan
pemuda itu bisa menelusup. Yardin pun tak menunda lagi, merasakan telapak tangannya meluncur deras di atas kulit
mulus, lalu tiba di balik celana dalam yang hangat.
Rima mengerang ketika jari tengah Yardin mulai dengan na
kal dan cekatan melakukan gerakan-gerakan mengelus
sambil menelusup sambil mengitik. Cepat sekali ia merasakan tubuhnya dipenuhi tanda-tanda orgasme. Seluruh otot
tubuhnya menegang. Jantungnya berdegup lima kali lebih cepat. Nafasnya semakin memburu. Pinggulnya terasa penuh.
Kewanitaannya terasa geli-gatal-nikmat. Tubuhnya bergetar seperti mobil yang dilarikan kencang tetapi dengan
persneling rendah. Sejenak sebelum dirinya terlena dalam perjalanan menuju orgasme, Rima teringat bahwa pemuda itu belum mendapat
imbalan atas gairah yang dibangkitkan di tubuhnya. Betapa egoisnya aku, desah gadis itu dalam hati, lalu mulai
menelusupkan tangannya ke bawah perut Yardin. Ia menemukan kejantanan pemuda itu telah menegang-menegak
meminta perhatian. Dengan konsentrasi yang terbagi antara menikmati dan memberikan kenikmatan, Rima pun mulai
mengelus, meremas, mengurut. Yardin mengerang tanpa melepaskan ciuman dan kulumannya di dada Rima.
Sejalan dengan malam yang bertambah kelam, percumbuan mereka pun semakin bergairah. Gerakan-gerakan mereka
semakin cepat, berpadu serasi dan tetap dalam kurungan jaket besar dan terlindung bayang-bayang batu besar.
Rima menjepit tangan Yardin ketika orgasmenya datang tanpa bisa ditahan lagi. Pada saat yang sama, ia mempercepat
gosokan tangannya di balik jeans pemuda itu. Yardin mengerang-erang, dan menyedot payudara gadis itu seperti
seorang bayi yang kehausan. Rima menahan erangannya dengan susah payah, melentingkan tubuhnya, meregang dan
meregang.... "Oooh!" sebuah jeritan kecil tak bisa tertahan keluar dari mulut Rima.
"Uuuh!" Yardin juga mengerang keras ketika ejakulasi yang amat kuat menyentak tubuhnya seperti orang kena setrum
1000 volt. Salah seorang pendaki samar-samar mendengar jeritan itu di antara nyanyian teman-temannya. Ia menengok ke arah
sumber suara, tetapi cuma melihat sebuah batu besar dan kegelapan di sekitarnya. Ia mengernyit, mencoba menembus
gelap, tetapi gagal melihat apa-apa.
"Paling-paling si Rima dan si Yardin...," ujar salah seorang pendaki yang sedang meringkuk di dalam sleeping bag
ketika melihat temannya celingukan
"Ngapain mereka"" kata pendaki yang masih mencoba-coba mengintip dalam gelap itu.
"Main petak umpet" sahut yang di dalam sleeping bag sambil tertawa.
Pendaki yang tadi mendengar erangan Rima dan Yardin menggeleng-gelengkan kepala sambil berucap pelan, "Asal
jangan gituan. Nanti kita semua kuwalat."
Dari dalam sleeping bag, temannya menyahuti sambil menahan tawa, "Jangan kuatir. Paling-paling cuma senggolsenggolan."
Temannya ikut menahan tawa sambil mengeluh, "Kapan aku dapat pasangan untuk senggol-senggolan""
"Kamu harus lebih sering mandi pagi, baru dapet!" sergah temannya sambil tertawa tergelak.
****** Satu hal yang membuat Rima sendiri heran adalah kenyataan bahwa walaupun pacarnya berganti-ganti setiap tahun, ia
tetap bisa mempertahankan kegadisannya. Ia selalu bisa menolak -kadang-kadang dengan kasar- kalau ada lelaki yang
mengajak bercumbu lebih jauh. Ia menikmati rabaan dan kelitikan di mana saja di tubuhnya, tetapi ia menolak setiap
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/20030 0
kali pacarnya mencoba all in. Setiap kali pacarnya sudah siap melanjutkan percumbuan secara maksimal, Rima teringat
Ayah dan sebentuk rasa benci segera menyelinap. Maka, setiap kali pula gairah gadis itu seperti api disiram air es.
Langsung padam. Percuma ia dibekali pil anti hamil atau sekotak kondom oleh kakaknya yang tertua. Ia tidak pernah memakainya, karena
merasa tidak memerlukannya. Ia menikmati seks, tetapi tidak punya cukup alasan untuk bersetubuh. Baginya, bersetubuh
akan menimbulkan persoalan besar. Kenapa" Karena setiap kali gairahnya sedang memuncak, dan setiap kali ia juga
sebenarnya ingin melanjutkan percumbuan ke jenjang tertinggi, selalu terbayang peristiwa itu...
Waktu itu ia baru berusia 15 tahun. Sepulang sekolah yang lebih awal dari biasanya, Rima menemukan rumah dalam
keadaan kosong, tetapi pintu tak terkunci. Ia heran, tetapi tanpa wasyangka langsung masuk dan menuju dapur untuk
minum. Ia memang haus. Bibi Iyem tidak ada, mungkin sedang mengambil je
muran. Mobil BMW Ayah ada di halaman,
tetapi Pak Ujang supirnya tidak kelihatan, mungkin sedang tidur-tiduran di gardu jaga.
Setelah minum, Rima melangkah ringan ke tangga menuju lantai dua. Rumah mereka besar sekali dengan 7 kamar dan
sebuah ruang keluarga yang luas. Dari ruang keluarga ini ada tangga melingkar ke atas. Kamar tidur Rima ada di lantai
dua itu, di sebelah kamar tidur Ibu, yakni sebuah kamar besar yang dibiarkan kosong sejak Ibu meninggal. Menurut
Ayah, kamar itu dulunya kamar tidur utama. Kini kamar itu terlalu banyak meninggalkan kenangan tentang Ibu,
sehingga Ayah pindah tidur di kamar di bawah. Rima merawat kamar itu, seakan-akan Ibu masih ada.
Sambil menggumamkan lagu kesayangannya, gadis itu melangkah ringan ke kamarnya. Tetapi langkahnya terhenti
ketika mendengar erangan dan rintihan dari kamar sebelah. Sambil mengernyitkan dahi karena keheranan, Rima
bersijingkat menuju pintu yang tampaknya tidak tertutup dengan baik. Dengan satu tangan ia mendorong pintu itu, dan
apa yang terlihat membuatnya terkesiap.
Di situ, di ranjang besar yang jarang ditiduri itu, terlihat Ayah sedang menggumuli seorang wanita muda yang telanjang
bulat. Erangan dan rintihan datang dari wanita itu. Tubuh Ayah juga telanjang dan berpeluh bergerak naik turun penuh
energi. Mereka berdua rupanya sedang dalam puncak birahi, sehingga sama sekali tak tahu ada Rima yang berdiri
tertegun di pintu. Segalanya terlihat jelas oleh Rima.
Pemandangan itu sangat memukul perasaan si gadis remaja. Hatinya hancur luluh menyadari bahwa Ibu ternyata telah
tersingkir jauh dari kehidupan Ayah. Sulit baginya untuk mengerti, mengapa Ayah harus melakukan kegiatan
menjijikkan itu di ranjang Ibu. Mengapa ia sanggup melakukannya di bawah foto besar Ibu, di atas seprai putih yang
digantinya setiap minggu"
Sejak saat itu, persetubuhan sepasang manusia punya konotasi buruk di benak Rima. Tetapi, akibat pergaulannya, Rima
juga tahu bahwa seks itu memberikan kenikmatan. Apalagi kakak-kakaknya sangat liberal, dan membiarkan Rima
menonton koleksi video porno mereka. Rima menonton berbagai adegan di layar kaca sejak SMP, tetapi melihat Ayah
melakukannya di ranjang Ibu, gadis ini jadi benci pada persetubuhan. Kontradiksi inilah yang terbawa sampai sekarang,
membuat hidup Rima juga penuh ironi dan paradoks.
Rima adalah gadis tegar dan cerdas walaupun tidak menolak minum bir sampai mabuk, atau dibawa ke tempat gelap
untuk dicumbu. Ia bisa punya kharisma, dan tidak sembarangan pria bisa menjadi pacarnya. Ia sekaligus seorang
pemilih, seorang yang choosy, tetapi juga seorang yang setia kepada sahabat-sahabat prianya. Ia bisa terpesona sampai
ke tulang sum-sum pada seorang pria (salah satunya Kino), tetapi juga bisa berang dan menghujat pria (salah satunya
adalah Ayahnya). Kekontrasan pun berlanjut di segala aspek: Ia anak orang kaya karena Ayah adalah seorang pengusaha sukses, tetapi
pakaiannya sederhana dan hidupnya sama sederhana dengan mahasiswa semacam Kino yang datang dari kota kecil. Ia
bisa bergaul dengan yuppies di berbagai night club di ibukota, tetapi tak juga malu makan di warung kecil di seberang
kampus. ****** Lalu tentang Kino. Kalau kini ia marah besar kepadanya, itu adalah karena ia tak sanggup melihat pemuda itu terlibat
dalam penghianatan seorang istri. Bagi Rima, penghianatan dalam perkawinan adalah sebuah kesalahan besar. Rima tak
mau menerima apa pun alasan seseorang berhianat kepada perkawinan. Kehilangan Ibu dan punya Ayah yang
amburadul membuat gadis ini mendamba keutuhan keluarga. Ia tak rela ketika tahu Kino memacari istri orang, karena ia
ingin pemuda itu tetap menjadi panutannya.
Dengan getir, Rima menyadari, harapan itu semakin pupus. Dengan getir, Rima sadar bahwa ia mungkin harus terus
mendaki untuk mencari ketinggian yang paling melegakan. Maka ia pun terus mendaki dan mendaki lagi. Gunung demi
gunung ditaklukkannya. Puncak demi puncak didudukinya. Setiap kali hatinya gundah, ia akan mencari gunung untuk
didaki. Setiap kali mencapai puncak gunung, ia mendapatkan kelegaan di sana, tetapi setiap kali pula ia harus turun ke
dunia yang hir uk-pikuk. Malam itu, ketika Rima mendengar kabar kecelakaan yang dialami Kino, ia terkesiap dan mengeluh dalam hati,
"Mampukah aku mendaki gunung yang satu ini"
Manusia Setengah Dewa 2 Fear Street - Cewek Kaya The Rich Girl Tumbal Ratan Segara 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama