Ceritasilat Novel Online

Menembus Janji Matahari 4

Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin Bagian 4


TIDAK. Allah saja Maha Memaklumi dan Maha Memaakan mereka yang
tidak tahu, Kel. Kita memang bukan zat Tuhan, atau seorang malaikat, tetapi kita
bisa belajar untuk berbesar hati dan memaakan mereka yang tidak tahu. Kalau
198 merasa lebih baik dengan kalimat ini, anggap saja kamu sudah berada di depan,
makanya mereka hanya bisa berbicara di belakang kamu. Orang lain akan terus
mempunyai cara untuk membenci kita, Kel. Kita yang harus selalu belajar untuk
memaakan. Balasan Lantana yang panjang dan mengena itu kubaca berkali-kali.
Kusimpan di dalam sebuah ile. Jaga-jaga aku perlu membaca lagi, jika mendapat
masalah yang sama. Kubalas email-nya. Kuucapkan terima kasih. Belum ada
balasan, bahkan sampai seminggu menjelang keberangkatanku. Lantana juga
belum memberi keputusan apakah kami jadi bertemu atau tidak.
Aku menduga-duga apa yang terjadi pada Lantana. Aku bertanya dalam
hati, namun di saat yang sama, aku juga terlalu sibuk mengurus keberangkatan,
visa yang mesti diurus di Chicago, dan segala pernak-pernik lain.
Hari yang kunantikan tiba. Aku harus terbang ke satu benua, benua
impian masa kecil. On Nov 22, 2007, as the Americans were so busy preparing for
the big hanksgiving Dinner, I lew to Amsterdam, the Netherlands rom Columbus.
Ada perasaan yang bercampur aduk di dalam diriku. Senang, nervous, excited.
Pengalaman pertama kali terbang ke Belanda. Hanya 7-8 jam saja. Tidak ada
apa-apanya dibandingkan dengan terbang dari Jakarta ke Benua Amerika
bagian Utara. Perjalanan selama 30 jam itu masih kuingat benar.
Sebenarnya jadwal terbangku hari ini adalah jam 12.30 siang. Namun,
aku telah tiba pada pukul delapan pagi. Aku berbagi taksi dengan Edo, salah
satu teman Indonesia. Lumayan aku bisa irit ongkos taksi. Edo akan terbang
ke Washington DC menemui tunangannya. Pesawat Edo dijadwalkan jam
11 pagi. 199 Aku memilih untuk menunggu di dalam gate. Selesai check-in, aku menuju
ke bagian pemeriksaan. Aku sedikit nervous, but it was not that bad. Rasanya
aku sudah sedikit terbiasa. I just felt a bit anxious. Semua laptop, jam tangan,
sepatu kutempatkan ke dalam box yang telah disediakan oleh pihak bandara.
Setelah selesai, aku mencari gate-ku. Penerbanganku masih beberapa jam
lagi. Untungnya, bandara di Columbus terkoneksi dengan internet yang
cepat. Aku menikmati waktu tungguku dengan browsing, mengecek email
dan chat. Saat kulihat Lantana sedang online, aku menyapanya.
Kelly_2907: Lantana, gue sebentar lagi mau terbang
ke Amsterdam. LantanaRaya: Oh iya, aku lupa. Kamu bilang waktu
itu. Kelly_2907: Elo jadinya kapan ke Italia"
LantanaRaya: Masih satu minggu lagi. Nanti aku bisa
ke Amsterdam. Kamu di Amsterdam hari apa"
Kelly_2907: Besok. Hehehehe, elo kuliah,nggak"
LantanaRaya: Aku ada kuliah di Amsterdam besok. Baru
selesai jam 3 sore. Kamu sampe jam berapa"
200 Kelly_2907: Ih, enak banget kampusnya pindah-pindah
gitu.Oh aku sampe jam 10.
LantanaRaya: Iya, departemenku kerjasama dengan tiga kampus. Jadi seminggu tiga kali ke Amsterdam
dan Nijmegen. Oh, terbang ke Swedia pesawat jam
berapa" Kelly_2907: Oh, gue sampe pagi banget di Schiphol,
terus baru naik pesawat malam ke Swedia, pesawat jam
8 malam. Jadi, mau ke bandara jam 6-an.
LantanaRaya: Oh, cukup ya kalau gitu. Kita ketemuan
di caf? di pusat kota" Sebentar ya. Ini nama caf?nya.Caf? de Sluyswacht.
Kelly_2907: Oh ok, gue catat ya.
LantanaRaya: Ini lagi di mana"
Kelly_2907: Di Columbus Airport. Lumayan internetnya
gratis di sini. LantanaRaya: Oh, bagus. Safe light, Kelly. Mudahmudahan kita bisa ketemu ya.
201 Setelah menonton satu ilm dari Netlix, akhirnya aku boarding juga.
Selama di pesawat, aku beristirahat. Melampiaskan hasrat mengantukku.
Aku hanya bangun saat makan dan snack. Memang perutku selalu tahu
kapan harus bangun! Aha! Aku bersyukur memilih airline milik Canada
ini. Makanannya enak-enak! Hageen Dasz berbagai rasa selalu ditawarkan
setiap jam kepada penumpang. Beberapa ilm baru pun bisa dinikmati
selama perjalanan. Perjalanan dua jam ke Philladelphia, lalu enam jam ke
Amsterdam akhirnya mengantarkanku ke Schipol, Amsterdam.
"I felt like this was just too good to be true. It was at 8 in the morning when
I irst set my step at Schipol airport, the Netherlands. Imigrasi di Belanda tidak
menakutkan. Tidak seperti imigrasi di Amerika Serikat sana. Alhamdulillah."
Tulisku di status Facebook, tepat setelah selesai proses wawancara di
imigrasi. Berbagi dengan dunia tentang rasaku saat ini.
Dibandingkan dengan Custom di Port of Entry Amerika Serikat,
Belanda lebih manusiawi. Aku tidak mengalami pemeriksaan yang ketat,
dan wawancara berjalan dengan lancar. Saat aku tiba, Schipol yang terletak
di bawah permukaan laut itu nampak sangat modern. Mirip mall di Jakarta.
Tentunya karena banyak toko-toko barang bermerek dan restoran. Aku
berjalan keluar dan mulai mencari VVV, pusat informasi bagi para turis, yang
ada di setiap kota di Belanda. Setelah mengambil kopor dan beristirahat
sebentar di resto cepat saji untuk sarapan seadanya, aku membaca petunjuk
arah cara naik kereta ke Amsterdam Central. Aku ke basement dengan
menumpang lit untuk naik kereta dari Schipol ke Amsterdam Central. Aku
menyeret koporku menuju platform 2. Sekitar lima menit lagi, kereta yang
akan membawaku ke Amsterdam Central akan datang. Aku tiba di Amsterdam
Central 20 menit kemudian.
202 Setiba di Amsterdam Central, aku langsung dapat merasakan kesibukan
stasiun besar ini. Banyak sekali orang di stasiun ini. Stasiun penghubung
beberapa negara di Eropa. Banyak sekali travelers dan backpakcers yang naik
kereta dari stasiun ini. Agak pengap dan bau. Bau yang sangat menusuk
hidung itu sama dengan bau yang sering kucium di lit apartemen jika akhir
minggu telah datang. Yah, bau sebuah zat adiktif yang memang legal di
negara ini. Tak terlalu kuindahkan bau itu. Panca inderaku yang lain sudah demikian
terpesona dengan pemandangan indah di depan mata. Stasiun megah yang
awalnya kupikir adalah istana ratu Belanda. Trem yang melintas di depan
stasiun. Yang dilatari dengan kanal yang mengalir indah. Perahu-perahu yang
berlalu-lalang di sungai besar nan bersih. Sepeda-sepeda terparkir berbaris.
Kota ini menawarkan pesonanya sendiri.Aku mengedarkan pandang, sambil
berkali-kali mengucap syukur dalam hati. Aku memejamkan mata sejenak.
Mengirimkan Al Fatihah untuk Bapak. Sambil berdoa juga agar pemandangan
indah ini bisa Beliau rasakan juga di sana, di tempatnya beristirahat. Aku
mengingat Ibu dan Uni, agar mereka pun bisa merasakan bulir bahagia yang
saat ini kurasakan. Akhirnya kakiku menjejak tanah Eropa.
Di antara sejuta rasa syukur, aku terus melangkahkan kaki. Menikmati
Amsterdam untuk pertama kali. Aku tak menyia-nyiakan 10 jam di kota
ini. Menikmati Nederland, begitu orang Belanda menyebutnya. Negara
yang tidak terlalu besar, hanya dua kali lipat negara bagian New Jersey. Lima
kota terbesarnya adalah Amsterdam, ibu kota negara ini. he Hague (Den
Haag), yaitu ibu kota administratif. Disusul dengan Roterdam, Utrecht, dan
Eindhoven. Semua kota tersebut memiliki bangunan-bangunan khas yang
sudah tua. Kecuali Eindhoven yang merupakan kota baru. Kota ini dibangun
kembali setelah dihancurkan oleh Jerman saat Perang Dunia II.
203 Amsterdam adalah ibu kota Belanda yang terletak di sebelah Utara
Belanda. Kota cantik ini memiliki stasiun bus dan stasiun kereta api yang
dibangun berdekatan. Aku tidak lupa mengunjungi he Centrum dan
gereja. he Centrum, sesuai namanya, terletak di tengah-tengah kota. Banyak
orang yang menikmati kebersamaan dengan berbelanja. Duduk santai di
kedai-kedai kopi, atau hanya sekadar berjalan-jalan. Kulihat kedai-kedai
kopi pasti memiliki bangku-bangku di luar. Kubayangkan, jika udara tidak
dingin, atau saat musim panas, pasti banyak pengunjung yang duduk di
luar untuk sekadar menikmati udara. Memerhatikan orang-orang berlalulalang. Menikmati gerombolan burung-burung yang sedang mencari makan
ataupun beterbangan di taman-taman kota. Taman kota, dengan bangkubangku panjangnya.
Aku mengambil beberapa foto Gereja Nieuwe Kerk yang terletak di depan
Dam Square. Gereja yang terletak di sebelah Royal Palace itu berhadapan
dengan National Monument yang merupakan salah satu ciri khas Kota
Amsterdam. Banyak turis yang mengabadikan dirinya di sana. Aku tidak.
Aku hanya memotret bangunan saja. Kadang-kadang aku selie kalau penyakit
narsisku sedang kumat, hehehee. Tapi, aku lebih ingin merekam kenangan
bangunan tua dan antik di kota indah ini.
Gereja ini dibangun tinggi dan megah dengan jam dinding yang memiliki
bunyi yang sangat khas, yang dapat didengar ke seluruh kota. Dan memiliki
jam matahari! How cool is that!
Aku juga tertarik dengan sistem transportasi di kota ini. Setidaknya dari
beberapa jam di sini, aku tahu kereta api kota ini cukup baik dan terpercaya.
Kuperhatikan tadi tiap tujuh menit akan ada kereta yang datang. Kota ini juga
memiliki sistem jalan raya yang bagus. Setiap jalan lalu-lintas memiliki tiga jalur.
204 Jalur yang paling besar adalah untuk lalu-lintas mobil. Jalur lainnya adalah jalur
merah untuk sepeda dan jalur kecil hitam adalah untuk pejalan kaki.
Pengendara mobil di sini sangat menghargai pejalan kaki dan pengendara
sepeda. Mereka selalu berhenti setiap pengendara sepeda dan para pejalan
kaki menyeberang, baik di jalan raya ataupun di gang. Aku teringat dengan
Athens, di mana para pengendara mobilnya juga sama-sama taat aturan.
Aku jadi teringat saat pertama kali tiba di Athens dan hendak menyeberang
jalan raya. Aku yang berasal dari negara yang sebaliknya. Pejalan kaki
biasanya mengalah pada kemauan para pengemudi. Pejalan kaki yang harus
berhenti menunggu mobil lewat. Saat di Athens, mobil di depanku berhenti.
Menungguku. Aku juga menunggu mobil itu lewat. Lucu, kami samasama menunggu. Sang pengemudi memberi tanda. Sedikit malu, aku pun
menyeberang. Ini memang diatur oleh hukum mereka.
To yield to the pedestrian. Sudah menjadi aturan untuk minggir/berhenti
jika ada pejalan kaki. Tidak heran, banyak sekali pejalan kaki yang meskipun
memakai headphone tetap aman saat menyeberang, karena pengendara
mobil sangat taat aturan. Juga seperti di Athens, traic light lampu merah
di sini pun sangat mengakomodir para pejalan kaki. Jadi, para pengendara
sepeda dan pejalan kaki hanya perlu memencet tombol untuk menyeberang
sampai tanda orang berjalan kaki dan sepeda berwarna hijau.
Menurutku orang-orang di Kota Amsterdam ini agak tidak tertib
sehingga mereka seringkali menyeberang tanpa menunggu tanda hijau.
Mungkin karena di kota besar. Ah, aku jadi rindu Athens!
Di dekat stasiun, aku takjub melihat parkir sepeda yang berderet-deret.
Bertingkat-tingkat. Negara ini memang terkenal sebagai kota pengendara
sepeda. 205 Saat aku sedang berjalan-jalan di dekat taman depan Museum Van Gogh,
aku berjumpa dengan orang Jawa-Suriname. Sepasang suami-isteri. Mereka
memandang ramah kepadaku, saat kusedang asik duduk menikmati taman.
Aku sapa mereka. Sayangnya, karena hambatan bahasa, obrolan kami
tidak terlalu banyak. Mereka adalah orang Jawa-Suriname generasi ketiga.
Keluarga mereka berasal dari Madura dan Madiun. Si Bapak berbahasa
Indonesia sedikit-sedikit, sedangkan sang isteri hanya dapat berbahasa Jawa
dan Belanda. Jika ada yang mencuri dengar pembicaraan kami, pasti akan
geli sendiri. Bahasa yang kami gunakan bahasa Indonesia sedikit, Inggris
sedikit, dan bahasa isyarat!
Setelah puas mengelilingi Amsterdam, berfoto di depan kanal, Museum
Van Gogh, dan sekadar cuci mata dan melihat Red Light District, aku berniat
ke kafe tempat janjian dengan Lantana. Gak usah cerita tentang daerah Red
Light District ya" Hehehe. Daerah merah tempat wanita-wanita dipajang bak
pakaian! Aku beberapa kali berpapasan dengan beberapa orang Indonesia
berjas safari. Aha, mereka pasti pejabat negara yang sedang studi banding!
Ternyata Red Light District termasuk agenda studi banding! Aku tersenyumsenyum sendiri. Beberapa di antara mereka tersenyum malu. Menghindari
kontak mata denganku. Kulirik jam tanganku, hampir pukul tiga sore. Masih ada tiga jam
lagi sebelum aku harus meninggalkan kota ini. Aku bertanya dalam hati.
Haruskah kulangkahkan kaki ke caf? itu" Sambil terus bertanya dalam
hati, aku tetap berjalan sambil mencari caf? itu. Untungnya aplikasi google
mapmembantuku. Lima belas menit kemudian, aku berdiri tepat di depan
caf?. Sejuta pertanyaan yang memenuhi benakku.
206 Akankah hari ini aku berani muncul di hadapan Lantana" Apakah Lantana
akan benar-benar datang" Akankah kami bertemu" Jika memang bertemu,
akankah aku sanggup berdiri di hadapan Lantana"
Buatku, berdiri di hadapan orang asing yang belum pernah mengenal diriku
sebelumnya jauh lebih mudah. Mereka tidak tahu aku bagaimana dulunya.
Perasaan malu akan menyerangku jika harus berhadapan dengan teman lama.
Aku tidak sanggup menangkap keterkejutan di mata mereka. Malah terkadang,
pertanyaan memberondongku tanpa henti.
"Eh, kulit lo kenapa, Kel?" Kok gitu sih kulit lo" Dulu kayaknya nggak
ada, ya" Sejak kapan kenanya" Udah diobatin" Udah diobatin ke mana aja"
Beda-beda gitu ya warna kulit lo?"
Penyakit ini memang tidak menyerang sistem imunitas tubuhku. Bukan
pula sejenis penyakit yang akan menyebabkan kematian. Tetapi kelainan ini
telah menyebabkan rasa minder yang teramat. Seorang wanita 20-an yang
selalu ingin tampil cantik, malah mendapat kelainan ini. Rasa percaya diriku
tergerus. Sanggup aku menatap Lantana" Apa yang harus kukatakan di
hadapan Lantana, jika lelaki itu kemudian bertanya, atau malah akan bergidik
jijik" Aku tidak siap jika harus menangkap surut mata kecewa dari matanya.
Juga, aku sadar betul, dengan ia sedang sekolah di negeri ini, pasti banyak
teman wanita yang menunggunya. Pasti cantik-cantik dan sempurna. Apalah
aku dibandingkan dengan mereka semua" Seorang wanita tidak cantik, tidak
langsing, berpenyakit kulit pula! Semua pikiran negatif menghinggapiku
tanpa diminta. Tetapi sudah diduga. Aku selalu begini jika harus bertemu lagi
dengan teman di masa lalu. Apalagi ini adalah seorang Lantana.
Lantana yang akan terus menjadi satu bintang di langitku. Dari dulu,
hingga sekarang. Ia indah, namun tak terjangkau. Ia indah, namun hanya
untuk dinikmati dari jauh. Bukan untuk didekati. Itu Lantana bagi diriku.
207 Aku dan Lantana demikian berjarak, dan selalu berjarak. Aku tidak tahu
apakah aku akan sanggup menembus jarak itu. Dengan kepercayaan diriku
yang demikian menipis, aku tidak punya kekuatan untuk sekadar berhadapan
dengannya. Aku malu. Aku minder. Aku khawatir. Aku bukan wanita yang
pantas menjadi pedamping siapa pun.
Jika jatuh cinta dan mencintai perlu sebuah alasan, maka aku punya
satu alasan yang tepat mengapa hatiku selalu mengarah lelaki itu. Orang
lain boleh jatuh cinta karena gadis yang dipujanya adalah gadis tercantik di
sekolah. Atau karena laki-laki yang menjadi kekasih hatinya adalah cowok
jago basket yang populer. Orang juga bisa jatuh cinta setelah melihat lelaki
di hadapannya piawai memainkan alat musik dan menciptakan sebuah lagu
romantis. Orang juga bisa jatuh cinta karena gadis yang ia kasihi memiliki
bentuk tubuh demikian langsing dengan sepasang kaki indah. Orang juga
takluk pada cinta lewat masakan sang kekasih yang demikian nikmat.
Jawaban paling sederhana untuk pertanyaan "Mengapa Lantana"
Mengapa aku jatuh cinta pada Lantana?" jawabannya adalah sederhana.
Karena dia adalah Lantana. Sederhana dan sulit di saat yang sama. Lantana
memang selalu sederhana. Tetapi hubungan kami adalah hal yang paling
sulit untuk dijabarkan. Lantana memang sederhana. Sederhananya itutelah
membuatku jatuh di antara pesonanya sejak dulu. Terlalu sederhana, sampai
aku pun tidak pernah bisa menjabarkan rasa hatiku. Aku pernah ingin


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membenci lelaki itu. Saat kami jauh, tidak lagi berkomunikasi. Aku juga
berkali-kali mencoba tidak ingin lagi membebani hatiku dengan sosok lelaki
itu. Namun berkali-kali mencoba, berkali-kali pula aku gagal. Aku ingin sekali
datang dan bertanya tentang perasaan laki-laki itu padaku. Tetapi saat ini,
detik ini, percaya diri yang telah kusiapkan sejak dari Athens entah menguap
ke mana. Rasa minder lebih besar daripada rasa penasaranku.
208 Aku takut tatapan mata Lantana tidak seperti yang kubayangkan. Aku
takut menangkap rasa kecewa atau terkejut dari matanya. Aku sudah terbiasa
dengan pandangan mata seperti itu. Tapi tidak dari Lantana. Jauh di lubuk
hatiku, aku ingin Lantana memandangku dengan mata yang sama saat kami
sekolah dulu. Tatapan itu yang kuingin ingat. Aku tidak ingin mengubahnya.
Jika berhadapan dengannya akan mengubah semua ini, sanggupkah
aku menerima konsekuensinya" Aku ingin marah. Ingin berteriak. Ingin
membenci. Ingin bertanya. Mengapa aku yang terpilih dengan penyakit ini"
Mengapa saat ini" Saat aku memerlukan banyak rasa percaya diri. Bukan
malah kehilangannya. Saat semua tanya berpendar di otakku. Aku tahu aku ingin sekali bertanya
padanya. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Bukan waktu yang
sebentar untuk membiarkan sosoknya selalu ada. Aku tahu, bahwa suatu
saat aku harus melepaskan. Cepat atau lambat, aku harus menghapus nama
laki-laki itu. Jika memang belum dalam lima tahun ini. Sepuluh tahun. Lima
belas tahun. Dua puluh tahun. Aku ingin menyerah. Aku harus melepaskan.
Jika bisa, aku ingin mengakhiri semua tanya saat ini. Hari ini. Detik ini. Di
antara tiga jam yang kupunya. Mungkin berhadapan langsung adalah cara
yang paling mujarab dan ampuh.
Tiga jam. Aku masih punya tiga jam. Untuk memastikan rasa ini. Rasaku.
Rasanya. Aku melangkah memasuki cafe itu. Laki-laki itu sedang duduk
membelakangi pintu masuk. Duduk di pojokan agak ke dalam. Di samping
jendela. Di hadapannya sebuah laptop. Dan segelas mocha.
?"" 209 Jam tanganku menunjukan pukul 5.30 sore. Aku sudah berada di
antara antrian yang akan membawaku kembali ke Stasiun Schipol. Satu jam
kemudian, aku boarding. Selanjutnya, aku sudah berada di pesawat yang akan
membawaku ke Swedia. Saat pesawat mulai terbang di ketinggian ratusan kaki
di atas langit Amsterdam, memaparkan satu pemandangan indah dengan
lampu-lampu kota, aku mengucapkan selamat tinggal pada Amsterdam.
Terima kasih atas satu pengalaman indah. Singkat namun membekas. Satu
kisah telah terjadi. Toot ziens, Nederland!
?"" 210 13. Doa Ibu 211 Penerbangan pulang lancar. Meskipun ada delay saat harus terbang
dari Detroit ke Columbus. Saat musim dingin, pesawat delay dan di-cancel
adalah peristiwa yang lumrah karena buruknya cuaca. Aku masih bernapas
lega saat pesawatku hanya di-delay selama lima jam. Rute Eropa lancar-lancar
saja. Port of Entry di Detroit juga tidak terlalu merepotkan. Mungkin karena
mereka sudah memiliki catatanku di database mereka.
Sayangnya, tidak dengan keadaan bandara. Bandara lumayan sibuk. Ada
banyak orang yang terkena delay dan pembatalan. Aku melihat banyak wajahwajah lelah. Wajah-wajah emosi. Wajah-wajah berburu waktu, karena harus
mengejar pesawat yang sebentar lagi tinggal landas. Petugas-petugas yang
sibuk melayani pertanyaan atau complain dari para pelanggan mengenai jadwal
penerbangan mereka. Aku mungkin yang minoritas. Pesawatku di-delay selama
lima jam. Alih-alih mengeluh, aku malah menikmati saja kelebihan waktu di
bandara ini. Bandara cantik ini. Aku memutuskan untuk berjalan dari Concourse
A, tempatku mendarat, menuju Concourse C, tempat aku akan menaiki pesawat
ke Columbus. Di antara kedua Concourse ini, aku melihat satu pemandangan
menarik. Terdapat air mancur yang seperti gerakan orang menari. Lumayan
menghibur. Aku merekam dengan cellphone-ku.
Saat sampai di gate, masih ada waktu tiga jam sebelum waktu boarding.
Sambil menunggu, aku men-charge baterai laptop dan iPhone. Aku sungguh
menghargai maskapai penerbangan satu ini, yang mengerti kebutuhan
pelanggannya. Tidak seperti maskapai lain yang hanya menyediakan power
outlet di tempat-tempat khusus, maskapai ini menyediakan power outlet di
masing-masing ruang tunggu, dan di masing-masing tempat duduk. Para
penumpang menunggu sambil berkirim email. Menonton lewat laptop.
Membaca dari kindle atau iPad mereka. Atau sekadar bermain games di
cellphone, tanpa merasa khawatir akan kehabisan baterai. Aku termasuk dari
212 salah satu penumpang itu. Aku asyik membaca novel di kindle-ku. Menunggu
tidak lagi terlalu membosankan.
Saat petugas mengumumkan bahwa waktu boarding satu jam lagi, aku
menyempatkan diri ke kamar kecil untuk sekadar merapikan rambut dan
menyegarkan badan. Aku meminta orang yang duduk di sebelahku untuk
menjaga tasku. Ibu-ibu setengah baya. Ia mengangguk dan tersenyum ramah.
Di sini aku berani untuk melakukan itu. Memberi sedikit kepercayaan
kepada orang lain. Aku juga sering melakukan ini kepada orang lain.
Mengawasi barang, saat mereka ke toilet. Entah mengapa aku malah tidak
punya kepercayaan diri melakukannya saat di tanah air sendiri.
Satu jam perjalanan Detroit-Columbus akhirnya terjalani. Setelah
mengambil kopor di baggage claim, sepuluh menit kemudian aku sudah
berada di perjalanan kembali ke Athens. Disambut dengan bukit-bukit salju.
Aku menikmati perjalanan pulang dari Columbus menuju Athens. Sesekali
memejamkan mata. Lelah. Aku tertidur. Pulas.
Ada yang memanggil namaku. Aku pasti sedang bermimpi. Ternyata
pak sopir yang berasal dari Pakistan itu yang memanggil namaku. Di dunia
nyata. Bukan mimpi. Aku telah sampai di depan Riverpark building. Setelah
membayar dan mengucapkan terima kasih, taksi itu berlalu. Aku melangkah
menuju gedung merah bata. It"s always good to be back.
?"" Athens, Awal Desember 2007
Athens cantik. Salju yang turun membuat kota ini menjadi demikian
putih. Pohon telah kehilangan bunga-bunga indah warna-warninya,
213 digantikan dengan dahan yang bersalju dan ber-es. Hanya pohon evergreen
yang tidak kehilangan bunganya, sesuai dengan namanya evergreen. Atapatap rumah penduduk tertutup salju. Jalan raya yang bergaram setelah
dibersihkan oleh petugas meninggalkan pinggir jalan salju menggunung.
Bukit Hocking tidak lagi warna-warni. Pohon-pohon gundul. Berselimutkan
salju. Meskipun udara sangat dingin dan menusuk sampai ke dalam tulang,
aku tetap mencintai indahnya musim ini. Udara memang seringkali tidak
dapat tertahan, tetapi indahnya butiran salju cukup untuk menghapus
ketidaksukaannya pada musim ini.
Setelah tertidur selama hampir delapan jam, aku membuka mata
perlahan. Matahari masuk perlahan melalui jendela yang sengaja kubuka
sedikit. Matahari musim dingin memang tidak sekejam musim panas. Tetap
saja sinarnya di pagi menjelang siang itu cukup membuat rasa kantukku
hilang seketika. Matahari boleh saja bersinar terang benderang, tetapi suhu
tetap saja berada di bawah minus. Menipu. Aku menghirup dalam-dalam
udara hari ini. Udara Athens. Setelah seminggu, aku merindukan ini. Rumah
benar-benar ke mana hati kita berlabuh. Tempat kita kembali.
Saat aku hendak mematikan alarm yang berbunyi cempreng di atas meja
belajar, laptopku mengeluarkan suara "BUZZ!"
Risha: Woiiii, banguuuuun. Udah siang, nih. Nggak
malu ama matahari" Kell, woi, nggak kuliah" Kell,
ih, telepon juga nggak diangkat.
214 Huh, Raisha tidak tau kalau pesawatku delay. Aku terlambat sampai di
Athens. Aku belum berniat untuk membalasnya. Aku hanya melirik sedikit
layar komputerku, lalu beranjak ke kamar mandi. Aku sedang tidak ingin
berbicara dengan satu makhluk hidup pun saat ini. Aku ingin hibernasi.
Aku ingin sebentar tidak melihat dunia. Aku hanya ingin bersama diriku.
Selesai mandi, aku kembali ke balik selimut cokelat berteman secangkir
kopi hangat. Sebelum kembali ke semua rutinitasku, aku ingin sebentar saja
menghilangkan lelahku. Cukup tiga jam saja. Perjalanan ke negeri Eropa
tidak hanya membuat lelah tubuhku, tapi juga otak dan batinku. Setelah
itu aku harus kembali mengejar ketinggalanku. Aku sudah harus kembali
beraktivitas lagi. Mengejar ketinggalan selama seminggu ini. Esok hari, aku
harus berada di depan murid-murid. Presentasi di depan teman-teman dan
profesor. Berdiskusi dengan teman-teman kelompok belajar. Seminggu lagi,
aku akan menghadapi ujian akhir.
?"" Minggu-minggu akhir. Saat menjelang ujian akhir studio mungilku
lebih mirip gudang. Baju, sepatu, buku tergeletak di satu tempat. Aku
berjalan sedikit berjingkat dan sedikit berhati-hati agar kejadian kemarin
tidak terulang. Saat mataku masih sedikit mengantuk setelah pulang dari
departemen menjelang Subuh, aku menginjak buter, selai, dan roti yang
lupa kurapikan sebelum ke kampus. Yang kutinggal saja di lantai. Alhasil,
sudahlah kehabisan roti, dalam kantuk aku masih harus membereskan
remahan roti sisa terinjak. Remahan selai yang tumpahannya ke baju-baju
kotor, yang juga berserakan di lantai. Ya, studioku saat ini seperti kapal pecah.
215 Lebih mirip disebut kandang, dibandingkan tempat tinggal. Kalau saja ini
terjadi di Depok, Ibu sudah pasti akan naik tensi darahnya.
But hey, let"s enjoy the reedom! Aku tersenyum, lalu menyalakan musik dari
iPad-ku keras-keras sambil bernyanyi dan menari-nari. Jika aku memang tidak
boleh dan tidak bisa hibernasi lama-lama, aku harus setidaknya me-recharge
diriku.Aku joget tidak beraturan kanan-kiri. Semua gaya kukeluarkan. Gaya
menyapu. Gaya mencuci. Gaya mengepel. Sambil tak lupa lompat-lompat.
Setelah puas, aku berendam air panas selama satu jam. Sambil membaca
buku komik kesukaan. Ah, nikmat dunia!
Setelah mengeringkan tubuh dan memakai celana pendek dan baju
kutung, aku beranjak menuju laptop.
Kelly_2907: Hoi, masih di situ" Kenapa manggilmanggil" Gue nggak ada kuliah hari ini. Lagi males,
lagi pengen sendiri. Baru balik nih tadi sore.
Pesawat gue delay. Cuma sempet istirahat sebentar,
sekarang mesti balik lagi ke dunia
nyata. Aku meninggalkan pesan di Yahoo Messenger Raisha. Raisha tampak
sudah oline. Aku benar-benar sudah kembali ke dunia nyata. Mengejar ketinggalan.
Menyiapkan semua tugas minggu akhir. Tidak ada waktu untuk memikirkan
yang lain selain konsentrasi pada paper, tugas akhir, presentasi, dan ujian muridmurid. Sebisa mungkin aku tidak mengecek email, chat, Facebook, dan Yahoo
Messenger. Jika keinginan untuk bermain-main dengan social media itu muncul,
216 aku memasang aplikasi podomoro di iPhone-ku. Cukup efektif. Aku berterima
kasih pada siapa pun yang telah menciptakan sistem jenius ini. Sebuah sistem
waktu yang membantu untuk fokus selama satu jam. Dan beristirahat selama
15 menit setelahnya. Pasti yang bikin program ini juga kebanyakan ngecek
Facebook, deh! Gumamku dalam hati. Waktu 15 menit biasanya kugunakan
untuk membuat kopi, memanaskan camilan, atau membuat jus.
Saat esok harinya, aku ke Gordy. Ternyata, aku kangen pada bangunan
batu bata di ujung Bukit Morton, Gordy Hall, gedung yang hampir dua
tahun kuakrabi dan kuhirupi udaranya. Aku juga kangen pada Alden,
perpustakaan yang terletak di seberang gedung kuliahku. Aku mencintai
komitmen perpustakaan ini yang membuat proses belajar menjadi demikian
terbantu. Jika aku perlu sebuah buku dan perpustakaan ini tidak punya, kami
memesan melalui Ohio Link yang jaringannya terkoneksi antarkampus semidwest. Dalam waktu dua minggu biasanya buku yang diperlukan datang.
Bisa dipinjam sampai kurang lebih enam minggu, dan bisa diperpanjang
satu kali. Betapa menyenangkan, bukan"
Selama sebulan aku tidak aktif di dunia maya. Aku benar-benar
konsentrasi dengan tugas dan ujian minggu-minggu akhir. Tidur hanya
empat jam. Pergi pagi ke Gordy di pagi buta. Bermalam di Gordy atau Alden.
Membaca dan menulis di Donkey Caf? demi selesainya semua paper, tugas
akhir, ujian murid-murid, dan presentasi.
Aku coba untuk selalu konsentrasi. Tetap saja otakku perlu distraction.
Once in a while. Di antara lelah dan kesendirianku, aku merasa kesepian. Aku
juga sedang down. Di saat aku tahu aku harus menerima takdir Tuhan atas
diriku, aku masih bertanya tentang penyakitku ini. Bertahun-tahun kuajar
diriku untuk ikhlas. Menerima keadaan diriku. Tapi tidak mudah. Selalu ada
217 penolakan dalam diriku. Saat mata memandangku jijik atau kasihan, aku
ingin marah dan katakan pada mereka, "Aku tidak pernah minta dilahirkan
seperti ini. Aku tidak melakukan kejahatan apapun sampai aku harus
menerima penyakit ini."
Namun, keinginan itu selalu menguap. Berganti dengan aku yang menarik
diri. Menjadi malu. Menjadi minder. Aku ingin menutupi kekurangan ini.
Tapi semakin aku mencoba menutupnya, semakin besar pula kelainan ini
menampakkan dirinya. Warna kulitku yang tidak sama, bisa dilihat dengan
mudah. Kasat mata. Bahkan dari jarak tidak terlalu dekat. Aku ingin bercerita
pada Uni atau Ibu. Aku kangen Ibu. Aku kangen Bapak. Aku kangen saat
kami menangis bersama. Tidak ada yang mengerti sedih dan perihnya
rasaku, selain mereka. Sedih. Frustasi. Aku tumpahkan rasaku di blog. Maka mengalirlah
tulisanku untuk Ibu. Ah, tiba-tiba aku kangen padamu, Ibu. Di mana Ibu" Aku mencari doamu.
Doa yang selalu kuingin ada di tiap perjalananku. Ibu, Athens mulai mendingin.
Butiran salju meninggalkan jejak di genting rumah-rumah penduduk dan gedunggedung apartemen. Suhu di bulan ini jauh lebih dingin, jika dibandingkan kulkas
sekali pun. Doakan aku ya, Bu. Doakan perjalanan akademisku lancar dan aku
bisa memenuhi janjiku kepada Bapak, janji untuk membawa nama Morgan ke
seluruh penjuru dunia. Doakan ya, Bu, karena doamu adalah jalanku. Berkahmu,
kuharap selalu. Ibu, Subuh ini, saat mentari di musim dingin enggan menampakkan sinarnya,
aku terbayang wajahmu, ribuan kilo jarak terentang antara kita, namun kutahu
pasti dalam denyutmu selalu ada namaku. Nama yang tak pernah bosan kau
sebut dalam doa dan setiap uraian napasmu.
218 Di satu pagi, dua tahun lalu, aku minta pada Ibu.
"Ibu, doain Kelly ya, insya Allah Kelly minggu depan wawancara beasiswa,
doakan ya, Bu." "Iya, Nak, Ibu nggak pernah lupa doain kamu. Setiap hari. Setiap waktu.
Tanpa kamu minta." Itu ujar Ibu, sosok yang sederhana.
Ibu, pagi ini Athens putih, hamparan salju membentang indah sejauh mata
memandang, gedung-gedung menjulang gagah dan indah, di antara atap-atap
tertutup salju, sungai di depan taman ini pun sudah mulai membeku, indahnya
sampai ke relung jiwa. Ada haru, ada syukur, jika bukan karena berkahmu aku
tahu, langkahku tidak akan sejauh ini.
Ibu, aku yang terlahir dengan kelainan di kulitku, aku tumbuh dalam tangis
di antara gelak tawa. Mungkin lebih berat bagimu, karena memiliki anak dengan
kelainan isik seperti aku, tetapi Ibu tidak pernah jera menyemangatiku, tidak pernah
mengecilkan aku. Terbayang betapa berat bebanmu saat membesarkan aku dengan
semua keluh, kesah, dan tangisanku.
Hampir tiap malam di waktu yang lalu, aku selalu menangis bersamamu dan
Bapak, menangisi kelainanku, di antara waktu istirahatmu yang sedikit setelah
seharian menjaga warung, membuat es, mengurus urusan rumah, mendidik aku
dan Uni. Ibu tidak pernah alpa untuk sekadar mendengarkan tangisanku di tiap
malam, tangisan putus asa, tangisan khawatir bahwa dunia akan menolakku.
Rasanya aku tak sanggup menatap dunia, tapi tanganmu menghangatkan, Ibu.
Hampir di setiap malam di masa yang lalu, aku selalu mendapati
Ibu berdoa di tengah keheningan, hampir setiap malam aku mendengar
rintihanmu, Ibu. Ibu memanjatkan doa, bukan untuk dirinya, tapi untuk
aku dan kakakku. Doanya satu, kami menjadi anak yang tumbuh sehat.
Beban Ibuku pasti berat, aku memang terlahir normal, tapi ada kelainan
219 di tubuhku. Ibu bilang, kalau saja Ibu bisa, pasti ia pindahkan penyakit itu
untuk Ibu. Begitu ujar Ibu, jika dilihatnya aku menangis meratapi nasib.
Ibu bilang, hampir setiap desahan napasnya adalah bulir kekhawatiran akan
masa depanku kelak. Harap Ibu hanya satu. Aku tumbuh selayaknya anak yang lain.


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tumbuh menjadi diriku, tanpa harus dipandang sebelah mata. Doa Ibu yang
setiap malam itu ingin agar aku mampu tertawa juga bersama temanku,
seadanya aku, tanpa rasa sungkan, karena aku sedikit berbeda dari mereka.
Kepedihan Ibu yang mendalam adalah apabila sorot mata orang lain menatap
jijik kepadaku. Ah, kalau saja Ibu bisa memesan apa yang Allah ciptakan, pasti
Ibu akan meminta aku dalam keadaan yang paling sempurna, itu ucapan Ibu
berkali-kali. Tapi terus-menerus Ibu tanamkan percaya diriku, Ibu bilang aku
harus mampu menatap dunia dengan tegar, tidak meninggikan dagu, sekadar
bersejajaran dengan dunia. Ibu bilang , Ibu hanya ingin melihat senyumku. Itu
saja. Itulah cinta Ibu yang paling kurasa. Tanpa pamrih dan tanpa batas.
Ibu, dalam uraian doa pertama pagi sampai menjelang malam ini, ada
namamu di sana. Agar sehat selalu menjadi milikmu. Melihatmu kembali kuat
dan gagah sungguh tak terhingga rasanya, tak selesai rasanya menghaturkan
syukur pada Sang Kuasa. Ibu, aku mencari matamu. Mata yang menyimpan hangat di tubuh yang
penuh pengorbanan dan kerja keras. Ibu, aku sedang menjalani hariku sebagai
seorang mahasiswa jenjang tertinggi akademis di negeri jauh, mungkin tidak
pernah terpikir olehmu, karena kesederhanaan kita di masa lalu, tetapi Ibu sering
bilang, selalu ada jalan untuk sebuah kemauan, juga selalu ada bahagia di ujung
tangisan dan penderitaan.
Dan di sinilah aku sedang menjemput satu impian, menjalani dunia, membuka
cakrawala yang akan kubawa untukmu Ibu, karena aku ada, kerena doamu.
220 Ibu, jalanku adalah doamu, berkahmu, dan kerja kerasmu. Puluhan tahun
lalu, kau meregang nyawa untukku, maka izinkan aku untuk kembali lagi di satu
masa, untuk mencium telapak kakimu, telapak kaki seorang pejuang sederhana,
namun membingkai berkah. ?"" Athens, Desember, 2007. Ibu, dalam pijaran matamu ada damai yang ingin kucari selalu.
Ibu, aku tahu ada namaku dalam sujud panjangmu,
namaku adalah rangkaian terpenting dalam untaian doamu.
Tak pernah lupa kau sebut kita saat berbicara dengan Tuhan,
namaku adalah pengharapan yang kau tak pernah lupa.
Dalam pagimu, ada namaku,
di sepanjang siangmu, ada namaku,
hamparan sore dan malammu, tak pernah jua lupa menyebut namaku.
Cintamu padaku adalah lebih dari mencintai dirimu sendiri,
namaku adalah setiap embusan napasmu.
Itulah cinta Ibu, begitu tulus, tanpa pamrih. Ibu, tulisan ini adalah untukmu, karena aku adalah pengharapan panjang Ibu,
aku adalah doa-doa malam dan siangmu,
221 aku adalah keringat dan tetesan air matamu,
aku adalah terjaganya Ibu di antara tidur-tidur malammu,
aku adalah serpihan harap dan semaian doamu,
aku adalah pertaruhan nyawamu,
aku adalah jiwa yang selalu kau jaga dalam belaianmu.
Ibu, jika doamu adalah jalanku, jangan pernah berhenti mendoakan karena aku
ada karena doamu. Distance will make your heart grow fonder, tetapi buat Ibu jarak bukanlah
penghalang, doanya menembus cakrawala, melangit menggariskan berkah.
Aku menghapuskan tetesan air mata yang jatuh satu per satu. Tiba-tiba,
rasa rindu pada Ibu menyesakkan seluruh rongga dadaku. Di antara isak
tangis yang mulai jatuh satu di pipi, aku kembali menuliskan paper.
Raisha masih belum muncul juga di chat. Padahal, aku ingin sekali
mengeluarkan semua rasa sedih. Rindu. Frustasi. Raisha yang sejak masa
putih biru telah menjadi pendengar ceritaku. Raisha yang tahu bagaimana
aku menangis dalam pilu saat melihat kelainan di kulitku. Hanya kepada
Raisha aku cerita bagaimana aku menghabiskan malam dengan menangis
sambil dikipas oleh Bapak. Aku kepanasan setelah terpapar matahari di siang
hari. Juga hanya Raisha yang tahu, bagaimana aku membangunkan malammalam Bapak dan Ibu, hanya untuk menangisi keadaanku yang berbeda
dengan anak-anak lain. Tangisan Bapak dan Ibu yang selalu menyuruhku
bersabar, sambil terus berdoa dan memohon.
"Kalau bisa, Bapak dan Ibu sudah berdoa, Kelly, supaya sakitmu dipindah
aja ke Bapak atau Ibu. Jangan ke kamu."
222 Dan puluhan malam kami habiskan dengan menangis bersama. Bapak
yang tidak kenal lelah mencari pengobatan mulai dari yang mutakhir sampai
yang tradisional. "Ayo, Kelly, Bapak anterin. Gak usah pikirin biayanya," kata Bapak saat
aku mengeluh karena biayanya terlalu mahal.
"Nggak apa-apa, Kelly. Urusan uang itu urusan Bapak. Warung cukup
kok membantu kita. Untuk Kelly, Bapak dan Ibu rela puasa dan nggak
makan. Supaya Kelly bisa sembuh." Lanjut Bapak lagi. Aku masih bersikeras
menolak. Aku tahu dengan pasti entah sudah habis berapa tabungan Bapak demi
untuk mengobati penyakitku. Berkilo-kilo meter kami lalui dengan bus demi
mendatangi dokter dan tabib yang menurut kabar bisa menyembuhkan
penyakitku. Di antara semua kelelahan dan frustrasiku, biasanya aku hanya
bisa cerita ke Raisha tentang rasa bersalahku terhadap Bapak dan Ibu. Kalau
saja aku terlahir normal, mungkin Bapak dan Ibu tidak akan terbebani. Aku
merasa tidak adil terhadap mereka. Aku menyebabkan mereka bersedih.
Maka aku tidak ingin menambah satu orang lain bersedih atas penyakitku.
Cukup aku. Penyakit ini telah mengambil banyak dariku. Dari kami. Aku
tidak ingin ada satu jiwa lagi yang menjadi terbebani karenanya. Menikah
menjadi hal yang sangat mewah bagiku. Bagi keadaan tubuhku. Aku saja
geli dengan warna kulitku yang berlainan ini, apalagi orang lain" Ah, aku
ingin berada di dekat Ibu saat ini. Berada dekat Bapak. Aku ingin menangis
bersama mereka, seperti waktu dulu. Aku sedang tidak sanggup menjalani
ini sendirian. Aku sedang perlu tangan yang mengusapku.
Mungkin rasa lelah di minggu-minggu akhir ini. Mungkin kejadian di
Belanda. Aku tiba-tiba menjadi manusia paling sensitif. Aku ingin menangis.
Aku tidak ingin sendiri saat ini.
223 Saat kulihat Raisha online, aku langsung menyapanya. Aku mencurahkan
perasaan hatiku tentang kejadian Amsterdam. Tentang rindu pada Ibu. Pada
almarhum Bapak. Melalui email. Raisha menyuruhku datang ke New York
selama winterbreak. Kebetulan ia akan berada di sana selama sebulan untuk
mengurus kedatangan salah satu pejabat negara yang datang untuk rapat
dengan United Nations (UN). Khusus malam itu, di sela-sela paper akhir, aku
menyalakan YM. I need to channel this sadness and rustration.
RaishaAja: Ayo ke NY. Supaya jangan sedih. Sekalian
liburan. Kelly_2907: Iya nih. Sensi banget dari tadi.
Bawaannya nangis aja. Padahal harusnya konsentrasi.
Tugas lagi banyak-banyaknya. Mau sih ke NYC. Kali
gue bisa refreshed. Ah tapi elo sibuk gitu. Kan
pengennya jalan-jalan sambil ngopi-ngopi, terus
ngobrol-ngobrol deh. RaishaAja: Sambil lihat orang lewat, ya.
Kelly_2907: Iya, sambil ngopi-ngopi.
RaishaAja: Iya, sambil lihat orang lewat. Keukeuh.
Kelly_2907: Iya, sambil ngopi. Keukeuh juga.
224 Kami sama-sama tertawa. Lumayan. Obrolan singkat ini bisa sedikit
mengalihkan rasa sedih dan sepiku.
?"" Hari itu tiba juga, tiga hari sebelum Natal. Aku mengumpulkan semua
tugas akhir, paper, dan nilai-nilai murid. Pulang ke apartemen untuk tidur
selama 12 jam. Packing, lalu terbang ke NY, menemui Raisha. Mengobati
lelah dan penat, juga untuk belajar melupakan. Aku mempunyai banyak
harapan terhadap NY. ?"" 225 226 14. Untuk R, from K 227 Pertemanan yang telah dimulai sejak masa putih biru, belum banyak
yang berubah dari dia. Masih pendiam, masih tenang, masih penyabar, dan
masih nggak neko-neko. Tapi, dia sudah jauh-jauh lebih matang sekarang.
Dan juga tambah modis. Dulu pelajar cerdas, sekarang diplomat handal.
Pembawaan dia yang pendiam kadang bikin orang-orang salah tingkah,
padahal dia baik hati dan perhatian. Itu Raisha.
?"" New York, Minggu ke Tiga Desember, 2007
Pesawat yang membawaku dari Chicago ke New York selama hampir
dua jam akhirnya terbang di langit New York. Aku menatap takjub Kota
New York dari jarak ribuan kaki yang dipayungi bulan seperempat. Kemilau
lampu Empire State ini memukau mataku. Lagi-lagi perjalanan ini membawa
haru. Membawa syahdu. Juga membawa sepenggal Al Fatihah untuk Bapak.
Hati dan pikiranku mengingat Bapak. Tanpa doa Beliau juga Ibu, aku tidak
bisa ada di sini. Tidak bisa melihat langit dan kerlap-kerlip Kota New York
dari jarak ribuan kaki. Dan sebentar lagi aku akan menjejakkan kaki di tanah
New York. Untung saja aku mengikuti nasihat Bapak untuk kuliah bahasa. Jurusan
yang kusukai. Bukan jurusan Fakultas Ekonomi, meski hatiku saat itu ingin
sekali mendatar ke jurusan itu. Demi gengsi. Demi Lantana. Masih dalam
haru, tak putus-putus kuhaturkan doa untuk Bapak. Kalau saja Beliau masih
ada, yang pertama kali kulakukan saat mendarat adalah menelepon Beliau.
Tidak peduli mahalnya tagihan telepon nanti. Aku hanya ingin mendengar
suara Bapak yang bangga dan bahagia. Aku hanya bercerita pada Bapak.
228 Pukul delapan malam, aku menjejakkan kaki di salah satu kota impian
ini. Setelah selesai dengan urusan bagasi, aku keluar untuk mencegat taksi.
Setelah hampir 15 menit berdiri dan berusaha menyetop taksi, tak satu pun
taksi berhenti. Aku kebingungan sambil sedikit putus asa. Sampai akhirnya,
sebuah tangan menyentuhku.
"You have to wait at the ground loor. his side is for drop ofs." Seorang lelaki
kulit hitam berperawakan tinggi memberitahu.
Ternyata bagian ini hanya untuk menurunkan penumpang. Aku harus ke
lantai dasar jika ingin naik taksi.
Aku mengucapkan terima kasih. Aku masuk kembali ke dalam bandara,
untuk kemudian menuruni eskalator. Melihat barisan orang-orang yang
mengantri taksi, aku baru paham. Bandara ini memisahkan penumpang
yang mau menuju bandara di lantai dua dan yang meninggalkan bandara di
lantai dasar. Saat tiba giliranku, aku menginformasikan nama hotel tempat
Raisha menginap selama sebulan ini. Hotel yang terletak di Manhatan.
Sopir taksi yang berasal dari Turki itu mengajakku ngobrol dengan ramah.
Aku menjawab semuanya sambil sesekali memandang kota ini dari jendela.
Sopir itu masih asyik menceritakan pengalamannya yang meninggalkan
negaranya sejak 15 tahun lalu. Untuk mencari kehidupan yang lebih baik
di negeri ini. Juga menceritakan betapa ia menahan kerinduan terhadap
negaranya. Namun, pengharapan agar anak-anaknya mendapatkan
pendidikan dan kehidupan yang lebih baik membuatnya bertahan. Amerika
memang bukan hanya tentang kulit putih, apalagi di kota ini, hampir semua
ras dan suku bangsa ada di sini.
Taksi masih melaju melewati jembatan yang menghubungkan Queens
dan Manhatan, aku masih menikmati skyline kota ini. Lampu-lampu
229 gemerlap. Sesekali aku menjawab pertanyaan atau menanggapi sang sopir
yang masih saja asyik bercerita.
Raisha mengirimiku sebuah SMS. Ia sudah sampai di hotel. Ah, akhirnya
reuni! Jeritku dalam hati. Lima belas menit kemudian, aku sampai. Setelah
membayar dan memberi tip yang cukup, aku akhirnya tiba di satu kamar
mewah. Tempat Raisha akan tinggal selama sebulan di sini.
Reuni dengan Raisha setelah lima tahun tidak bertemu tidak dapat
ditunda. Aku menunda mandi sampai besok pagi. Kami asyik bercerita
sampai jauh malam. Sepanjang malam, kami bertukar cerita menebus lima
tahun yang terjarak di antara kami. Meskipun sudah dua tahun berada di
benua yang sama, baru kali ini kami bertemu. Meskipun email, telpon, dan
chat kami jalani hampir tiap hari, bertatap muka tetap saja terasa berbeda
dan istimewa. Kami tak habis-habisnya bercerita. Sampai kami berdua hanya
bersahutan dengkuran. Esok harinya, setelah Raisha pergi ke kantor UN untuk mengurusi
pekerjaannya, aku bersiap untuk ke 42nd street untuk melihat Timessquare.
Aku berencana ikut tour agar bisa melihat bangunan-bangunan Kota New
York. Tour sehari yang banyak ditawarkan di dekat Timessquare. Malam
harinya, setelah Raisha pulang dari kantor, kami makan malam di David
Burke at Bloomingdale. Tentu saja ditraktir oleh Raisha. Aku kan mahasiswa
kere. Kami bertukar cerita sambil ngobrol-ngobrol. Kami tidak akan pernah
kehabisan bahan cerita. Tentang saat ini. Tentang kemarin. Tentang nanti.
Kami tertawa-tawa sepanjang makan malam. Konyolnya, aku tiba-tiba ingat
jalanan di Depok. Padahal, aku sedang berada di salah satu jalan pusat dunia.
Saat kuceritakan ke Raisha, Raisha seperti mencibir.
"Mulai deh, elo lebay deh. Inget ama jalanan Depok apa ama orang
Depok?" katanya sedikit menggoda.
230 Aku sudah biasa menghadapi Raisha. Aku menjulurkan lidah sambil
terkekeh. Raisha memang bisa sedemikian cuek. Tetapi, ia adalah teman yang
baik hati dan pengertian. Aku bersyukur bisa punya teman baik sepertinya.
Bersyukur masih terus bisa silaturahmi dengannya sampai saat ini. Aku juga
bersyukur masih bisa berkomunikasi dengan teman-teman kelasku saat
SMA dulu. Bersyukur untuk teman-teman yang baik di mana pun aku pernah
menginjakkan kaki dan berbagi kenangan dengan mereka. Perjalanan ini
mengajarkan aku untuk terus bersyukur. Bersyukur dan bersyukur. Setelah
selesai makan malam, kami mampir ke toko buku legendaris he Strand.
Toko buku yang terletak dekat Union Square.
Aku selalu mencintai toko buku. Bisa mengunjungi toko buku ini lagi-lagi
membuatku terharu. Ah, aku bener-bener cengeng! Dua jam kami habiskan di
toko buku legendaris ini. Awalnya, Raisha mengajakku menikmati kopi dan
cokelat di Max Brennan. Tapi, aku menolak. Sudah cukup rasanya kalori yang
kumasukkan tadi di David Burke. Untuk membakar kalori, aku dan Raisha
sepakat untuk berjalan kaki menuju hotel. Dari Union Square ke Millenium
UN Hotel tempat Raisha menginap. Hampir satu jam. Menikmati Kota New
York di malam hari meskipun dingin. Untungnya masih lebih dingin Athens.
Tubuhku bisa adaptasi dengan mudah. Kami menikmati perjalanan ini. Juga
pembicaraan kami. Dan yang terpenting, menikmati persahabatan kami
yang telah masuk sepuluh tahun.
Langkah kami di kota ini, meninggalkan gemerlap kota ini di belakang.
Kota yang menawarkan sejuta pesona. Gedung-gedung pencakar langit.
Taman-taman kota. Taksi kuning khas kota ini. Jalan raya yang selalu bising.
Beberapa penjual buah di jalan. Beberapa homeless. Semua ada di kota ini.
Hidup mewah ala metropolis. Juga hidup apa adanya. Bahkan kekurangan.
Sepanjang perjalanan kusaksikan beberapa sisi Kota New York yang tidak
pernah tersentuh di ilm-ilm ala Hollywood.
231 Setelah hampir seminggu mengunjungi beberapa sudut Kota New York
mulai dari Patung Liberty, Union Square, toko buku tua Strand, Columbia
University, Central Park, Timessquare, Empire State Building, United Nations,
dan Wallstreet. Lebih banyak sendiri. Raisha seringnya tidak bisa diganggu.
Kesibukannya selama seminggu ini benar-benar padat. Terkadang kami
hanya bertemu saat mau tidur saja. Raisha berjanji minggu depan jadwalnya
akan jauh lebih baik. Kami ingin menonton Broadway. Aku dengan cepat
beradaptasi dengan kehidupan yang serba cepat ini. Naik subway ke manamana. Berjalan kaki dari satu street ke street lain. Geting lost adalah agenda
keseharianku. Awalnya, aku selalu merutuki kebiasaanku yang tidak bisa
membaca peta. Tetapi setelah tersesat beberapa kali, akhirnya aku bisa


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersyukur karena biasanya menemukan sebuah tempat yang tidak biasa.
Seperti saat aku melihat antrian panjang di depan Hotel Hilton di antara
56thStreet dan 6thAvenue. Aku jadi bisa merasakan nikmatnya nasi Arab he
Halal Guys. Makanan kaki lima yang digemari penduduk Kota New York.
Dengan tersasarlah aku malah mendapat banyak kejutan.
Cerita lain adalah saat aku awalnya ingin makan di Max Brennan di Union
Square. Entah karena aku salah membaca arah subway, aku malah sampai di
East Village. Lagi-lagi mensyukuri ketersesatanku, aku menjadi tahu daerah
ini. Daerah yang sama sekali berbeda sekali dengan Timessquare yang begitu
hidup dengan papan-papan billboard raksasa. East Village memiliki jiwanya
sendiri. Begitu hidup. Sangat hippies. Restoran-restoran Jepang, China, Korea
dan bar-bar yang berjajar mengingatkanku akan Harajuku. Yang membuat
keduanya sedikit berbeda, Harajuku adalah tempat nongkrong anak-anak
kuliah. Sedangkan East Village tempat nongkrong eksekutif muda yang
memiliki jiwa seni, mencintai rasa oriental dan sedikit against the mainstream.
Tersasar membawa nikmat. Begitu Raisha menggodaku.
Minggu kedua. Aku sudah agak pulih dari jiwa turisku. Aku tidak lagi
berburu bangunan-bangunan terkenal kota ini. Hari ini aku lebih memilih
232 menyendiri duduk di kedai kopi di Barnes and Noble. Sambil memandang
Manhatan yang basah karena sepagian dan sampai siang ini hujan. Toh aku
masih ada waktu kira-kira dua minggu lagi di sini.
Malam ini, Raisha mengajakku menonton Broadway. Tugasku mencari
tiket online. Setelah selesai berburu tiket dan membelinya. Aku membuka
blog dan menulis. Hujan. Manhatan. Perasaanku menjadi demikian
romantis. R, Saat kita S-1, kita jalan-jalannya ke Yogya. Sekarang kita bisa sampai di sini. Aku
masih jadi mahasiswa. Kamu udah jadi diplomat. Kita tetep temenan terus ya,
sampai masing-masing kita lupa sama nama kita. Sampai kita beranjak tua dan
kembali ke yang Maha, insya Allah.
R, Kamu masih sama. Masih sosok teman sederhana, tapi mengungkapkan perhatian
dengan cara luar biasa. Karena kamu, R, wanita tegar yang nggak pernah mengeluh
atas apapun yang terjadi dalam hidup. Aku selalu berdoa Allah jaga selalu dan
kasih yang terbaik buat semua kebaikan yang ada di dirimu. Karena kamu, R. Aku
kagum selalu ama kamu. Dulu, pertemanan kita dimulai dari Depok, lalu sempat
Depok-Tokyo, lalu menjadi Athens-Chicago, dan sekarang kita reuni di New York.
Luar biasa. Bermula dari masa biru-putih sampai sekarang. Pertemanan ini bukan
tanpa cela. Pertemanan ini juga mengalami naik-turun. Di saat kita bisa balik lagi,
aku tahu, pertemanan aku ama kamu akan langgeng. Akan lama.
Dua mingu ini tinggal bareng kamu, makin mengingatkan lagi. Betapa kamu
adalah sosok yang memang luar biasa. Perhatian kamu yang kadang tak terduga.
Ucapanmu yang kadang spontan. Jadi kalau hanya untuk ucapan: "Kell, kalau di
komik Jepang, udah pasti keluar air mata nih karena temannya ngomong melulu."
233 Atau "Kayaknya semenit diem, enak nih." Atau "Kelly diemnya pas tidur doang
nih," udah biasa dan malah bisa bikin aku ketawa-tawa. Kali lain, "Gimana gue
nggak ketawa, elo diem aja gue ketawa, apalagi elo ngelawak," kata kamu, saat
kita menunggu subway nomor 6 menuju Brooklyn. Karena kamu adalah R.
Orang lain mungkin anggap kamu jutek. Aku setuju. Tetapi kamu juga baik hati.
Karena kamu adalah R. Tahun depan kalau kita masih dikasih kesempatan membaca lagi tulisan
ini. Jangan lupa ya, lo pernah tinggal di hotel mewah di tengah Manhatan. Gue
udah pernah numpang bobo di sini. Gue tau elo akan bilang gue norak atau lebay.
Nggak apa-apa, karena elo R, dan gue K.
Sambil sesekali menyeruput secangkir kopi espresso, aku mengedarkan
pandangku. Tidak lagi ke laptop, tapi menikmati hiruk-pikuk Manhatan dari
balik jendela. Taksi kuning berlalu-lalang. Penduduk kota ini yang berjalan
super cepat. Mengejar jadwal subway. Masih asyik dengan lamunanku, tibatiba YM-ku berbunyi.
LantanaRaya: Kell, are you okay" Are you there" Kamu
nggak apa-apakan, ya"
Aku terdiam membaca sapaan itu. Pikiranku menuju satu hari di bulan
lalu. Aku pernah memiliki jawaban atas pertanyaan ini.
?"" 234 15. Kita yang (Mungkin) Terlambat Terjadi 235 26 November 2007, Cafe de Sluyswacht, Amsterdam,
Pukul 3 Sore Lantana menyudahi programming di laptopnya. Tidak terasa sudah
enam jam, ia tidak bergerak dari tempat duduknya. Tidak juga ada yang
mendekatinya. Menyapanya. Ia sudah menunggu sejak siang tadi. Hampir
dua jam. LantanaRaya: Hi, Kelly, kamu jadi nggak ya ke
Amsterdam" Saat kita chat terakhir, kamu bilang
mau ke Swedia dan layover di Amsterdam sekitar 8
jam kan, ya" Ehm apa aku lupa ya" Hari ini atau
besok" Aku cari dan menunggu kamu, tapi kok nggak
ada ya, dan kamu nggak datang juga. Aku udah
sejak pagi di kafe tempat janjian kita. Mudahmudahan aku nggak salah hari ya.
?"" 26 November 2007, Pukul 6 sore, menjelang malam.
Perjalanan kembali ke Bandara Schiphol Amsterdam
Amsterdam menjelang malam. Baru pukul 6. Matahari memang cepat
sekali pergi di musim dingin ini. Kurekatkan kembali syal yang mulai terburai.
Kulangkahkan kaki menuju stasiun kereta. Stasiun yang sudah membiusku
dengan indahnya. Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sini. Stasiun
yang lebih menyerupai istana daripada sebuah tempat lalu-lintas kereta.
236 Amsterdam yang dingin. Salju yang turun satu-satu. Canal yang
membeku. Puluhan sepeda yang terparkir kaku berderet-deret. Kota ini
sendu, langitnya indah dan bersih. Sayangnya, segala keindahan kota
ini belum mampu memberikan sejuta keberanian padaku. Aku berjalan
cepat. Aku harus kembali ke Schiphol untuk kemudian terbang menuju
Stockholm. ?"" 26 November. Sebuah kisah tertulis dalam blog. Khusus
untukku. Saat menunggu pesawat yang akan membawaku ke Stockholm, senja ini,
di gate ini, aku menulis untukmu.
Aku tiba di Amsterdam pukul 10 pagi. Dari Schiphol aku langsung menuju
Amsterdam. Aku tiba di kedai kopi yang kamu sebut. Aku lihat kamu, Lantana.
Tapi, aku terlalu takut untuk melangkah. Kamu persis seperti apa yang aku
bayangkan. Wajah kamu masih sama teduhnya saat kita pertama kali beradu
pandang dalam seragam abu-abu kita. Syal abu-abu kamu gagal menutup
bagian wajah kamu yang sedang serius menatap layar laptop. Kamu benar ada
dan nyata. Sejenak, saat aku mengumpulkan keberanian untuk melangkahkan kaki
menuju kamu, rasa takut, khawatir, tidak percaya diri kembali muncul. Dan itu
semua sudah lebih dari cukup untuk menggugurkan semuanya. Kakiku beku.
Keberanianku menguap entah ke mana. Perjalanan tujuh jam dari sebuah negara
bagian Negeri Paman Sam pun sepertinya juga belum mampu untuk memupuk
keberanian untuk bertatap muka dengan kamu. Dengan Lantana Raya. Sosok
yang sudah sedemikian lama menempati satu bagian hati.
237 Kalau saja hari itu aku berani muncul di hadapanmu dengan segala
kekuranganku. Apa adanya yang mungkin bisa kamu terima. Mungkin kita akan
berada di ruang dimensi waktu yang sama saat ini. Bukan malah di benua yang
ratusan bahkan ribuan kilometer jaraknya.
Mungkin belum sekarang. Mungkin besok. Mungkin nanti, atau mungkin
kesempatan itu tidak akan pernah datang. Menyerahkannya pada takdir
sepertinya sudah terlalu klise.
Dalam diam dan dalam ketidakberdayaan, aku melangkah untuk kemudian
mengurungkan niatku. Aku meninggalkan sebuah gelas espresso yang sudah
habistak bersisa. Sambil masih saja menikmati punggung kamu. Hanya sebatas
itu keberanianku. Dalam tetesan-tetesan espresso yang kunikmati, aku berdoa
semoga keajaiban itu ada. Aku bertaruh dengan diriku saat itu. Kalau kamu
menoleh sebelum espresso ini habis, aku akan berani datang ke hadapanmu.
Karena aku tidak punya cukup keberanian untuk datang mendekatimu. Tapi
ternyata sampai tetesan akhir pun, kamu tidak juga menengok ke belakang. Ke
arahku. Aku yang terlalu bodoh. Menyerahkan nasibku pada peruntungan.
Bodoh. Mungkin espresso dan kamu yang tidak juga menoleh, hanyalah
alasanku saja. Alasan untuk menutupi ketidakpercayaan diriku.
?"" Segera sebelum pilot mengumumkan untuk mematikan barang
elektronik, Norwegian Air dengan light number DY 4531 akan membawaku
ke Stockholm. Perjumpaan dengan Amsterdam akan segera berakhir dalam
hitungan menit. 238 Selamat tinggal Amsterdam. Meski hanya beberapa jam, sudah cukup
memberikan banyak kenangan. Satu hari nanti, kita mungkin akan bercengkrama
lebih lama, kataku dalam hati.
?"" 27 November 2007, Stockholm, Swedia, Malam Hari.
Pesan itu kubaca saat aku tiba di hotel tempat konferensi di Swedia.
Namun, aku tidak punya keberanian untuk membalasnya. Hanya air mataku
yang turun satu-satu. Tak kuasa aku menahan semua emosi. Semua rasa yang
selama ini selalu kupendam.
"Tuhan, kalau saja ini mudah dan bisa kujadikan mudah." Itu ucapku
berkali-kali. Marcell menyanyikan seluruh perasaan hatiku. Tepat dan mengena.
iTunes-ku benar-benar tahu memilih lagu yang tepat dengan suasana hatiku.
Aku... hanya sinar yang melintas,
sekedip bagai kunang-kunang kecil,
dan engkau sayap sayang yang meranggas,
seusai sekepak kau mengudara membawa hatiku semua"
Kita"ialah kata yang terlambat tercipta yang semestinya tak terjadi
Aku terpekur di atas tempat tidur hotel. Seharusnya memberikan
kenyamanan ini. Esok pagi aku harus presentasi paper, dan Swedia
seharusnya terlalu cantik untuk kulewatkan. Tapi, tubuhku terlalu lelah.
239 Perjalanan Columbus-Philladelphia-Amsterdam-Stockholm sudah lebih
dari cukup untuk membuat energiku habis. Aku tertidur.
Esok paginya, presentasi berjalan lancar. Aku mendapat banyak masukan
atas risetku. Sempat menikmati Kota Stockholm dengan beberapa teman
yang baru kukenal. Namun sayang, esok pagi aku harus kembali terbang ke
Schiphol, lalu ke Philladelphia untuk kembali ke Columbus.
Sebelum meninggalkan Eropa, aku sempat menuliskan sebuah email
untuk Lantana. Email yang kutulis di gate. Saat menunggu pesawat yang akan
membawaku kembali ke Benua Amerika.
Dear Lantana, Ada beberapa kali kesempatan untuk kita bertemu. Tetapi, kita tidak juga
bertemu. Mungkin takdir. Mungkin memang suratan Tuhan. Bahwa kita tidak
akan pernah bersama. Sejak dulu, langkah kita hanya bersisian, namun berjarak.
Jarak itu tidak pernah mendekat. Malah menjauh.
Lantana, aku melihat kamu waktu di Amsterdam. Di kafe itu. kafe tempat
kita berjanji akan bertemu. Namun. langkah kakiku berat. Aku melihat kamu.
Kamu yang memakai baju kotak-kotak biru. Kamu dan syal abu-abu. Kamu dan
bingkai kacamatamu. Kamu dan segelas kopimu. Kamu dan laptopmu. Kamu
dan wajah seriusmu. Aku lihat semua. Saat itu, jarak kita hanya beberapa langkah
saja. Tapi, aku tidak berani membuatnya menjadi sejengkal. Aku terlalu pengecut.
Nyaliku terlalu ciut. Aku hanya berani menatap punggungmu.
Aku harus kasih tahu satu hal ke kamu, Lanta. Ada kelainan di kulitku.
Sebenarnya sudah sejak SMP aku mengidap kelainan ini. Namun, ia tersembunyi,
sampai SMA. Tuhan Maha Baik. Ia tidak membiarkan penyakit ini terlihat saat aku
menikmati masa remajaku. Masa di mana perhatian lawan jenis menjadi demikian
240 penting. Entah hidup seperti apa yang akan kupunya jika kelainan ini merenggut
masa remajaku. Sejak meninggalkan bangku sekolah dan kuliah di Rawamangun,
penyakit ini kian menggila. Lama-kelamaan mengikis kepercayaan diriku sebagai
seorang perempuan. Sebagian besar tubuhku kini tidak lagi sama, Lanta.
Aku sadar betul, aku tidak pantas berharap apa-apa tentang sebuah
hubungan. Diriku sendiri saja masih sulit menerima kenyataan ini. Apalagi orang
lain" Hubungan di masa laluku kandas. Entah karena aku yang tidak percaya
diri berhadapan dengan orang lain. Aku tidak percaya diri berhadapan dengan
teman dari masa sekolah. Dari masa lalu. Apalagi kalau harus membuat salah
satu dari mereka menjadi bagian istimewa dari hidupku. Aku tidak pernah berani
membayangkannya. Saat ada salah satu teman sekolah melamarku dulu, Ibu
meminta aku untuk jujur. Agar tiada penyesalan di masa nanti.
Ibu bilang, "Kamu harus jujur tentang keadaan kamu. Jangan nanti ada
penyesalan saat semuanya sudah terjadi."
Akhirnya bisa ditebak, ia menolak. Aku paham. Siapa sih yang mau menikahi
perempuan dengan cacat di kulit"
Bapak dan Ibukulah orang-orang pertama yang aku yakin jauh lebih
menderita dibandingkan aku sendiri. Hampir di setiap malam di masa yang lalu.
Aku selalu mendapati Ibuku berdoa di tengah keheningan. Hampir setiap malam
kudengar rintihannya. Bermalam-malam aku menangis bersama Beliau dan
almarhum Bapakku. Di antara semua lelah yang mereka rasakan, mereka tidak
pernah marah saat kubangunkan di waktu tidur yang demikian terbatas. Aku
hanya ingin melepaskan semua sedih dan rustrasiku.
241 Dear Lantana, Sudah cukup rasanya melihat dua orang yang paling aku sayang di dalam
hidupku bersedih. Karena aku. Karena kelainanku. Aku tahu cinta mereka
tulus. Untuk orangtua, anak adalah hidupnya.Tapi karena itu pula aku selalu
menggugat keadaanku. Kenapa keadaanku terlahir tidak seperti anak lainnya.
Kenapa aku harus memiliki kelainan di kulit ini. Jika aku terlalu banyak terpapar
matahari saat siang hari, maka malamnya adalah sebuah penderitaan. Sekujur
kulit ini terasa panas. Panas sekali. Aku menangis. Bapak yang mengipasiku. Ibu
berdoa untukku. Menjadi aku tidak mudah. Apalagi menjadi pasanganku.
Aku meminta Tuhan untuk tidak membenciku. Ide menikah sudah lama
kuhapuskan dari datar keinginanku. Aku sudah berjanji tidak akan menikah,
Lantana. Aku rasanya belum sanggup untuk melihat satu hati lagi terluka karena
tangisan lukaku. Jangankan orang lain, aku sendiri masih sulit untuk mencintai
diriku sendiri. Aku tahu mungkin rezeki menikah memang bukan untukku. Toh,
Tuhan juga Maha Adil, Ia berikan aku kesempatan melihat negeri lain.
Juga, Lantana, aku masih ingin sekolah lagi, aku ingin menjalani impian masa
kecilku. Menjadi seorang profesor. Setelah selesai ini, aku masih ingin melanjutkan
ke jenjang yang lebih tinggi. Lelaki yang sama dua kali menolakku. Selain karena
kelainanku ini, dia juga meremehkan keinginanku untuk sekolah lagi. Buatnya
wanita, apalagi yang seperti aku, harusnya tidak punya keinginan terlalu tinggi.
Aku seharusnya diam-diam saja di rumah. Apalagi keadaanku tidak cocok untuk
berada di luar. Tidak cocok untuk dilihat orang lain. Percaya diriku sudah lebur.
Mendengarnya berbicara atas diriku. Rasa percaya diriku makin melebur.
Tidak, aku tidak membenci laki-laki. Aku hanya belum sanggup menerima
siksaan batin lagi. Buatku, aku harus bahagia, agar Bapak tenang di surga. Dan
Ibu bisa menjalani masa tuanya dalam tenang. Biarlah aku menjalani bahagia
242 dalam sendiri, dengan diriku. Asal kesinisan karena kelainan ini tidak lagi
mengangguku. Aku tidak perlu orang lain untuk memberitahuku bahwa aku tidak
pantas untuk dilihat orang lain. Aku sudah sadar sejak dulu.
Satu kejadian mengajarkanku, bahwa perempuan seperti aku memang
tidak perlu berharap untuk bertemu jodoh. Keputusan ini bukan hasil keputusan
emosional. Keputusan ini beralasan.
Aku sudah lama menutup pintu hati terhadap cinta dan sejenisnya sejak
kelainan ini menyebar secara sporadis di tingkat akhir kuliah ini. Buatku, sungguh


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak adil rasanya jika harus bersanding dengan orang lain. Kulitku tidak
sempurna. Mungkin rasa percaya diri ini perlahan menghilang dan terkoyak seiring
dengan meluasnya kelainan ini. Mesti sulit, aku tetap berusaha tegar menghadapi
mata-mata mereka yang memandangku. Kadang dengan pandangan kasihan.
Kadang bertanya. Lebih seringnya jijik. Menghadapi mata-mata itu, aku harus
tetap bangkit berdiri. Meski kadang sangat sulit.
Oya, kamu tahu nggak kenapa aku memilih kopi espresso" Waktu itu kamu
pernah bertanya di salah satu chat kita. Karena espresso adalah pilihan paling
logis untuk menunjang gaya hidupku saat ini. Aku tidak memilihnya karena
rasanya. Bukan karena kepahitannya yang menggambarkan hidupku. Aku
sungguh kufur nikmat jika menyamakan rasa hidupku dengan kopi ini. Karena
di antara cobaan-cobaan yang aku terima, Allah telah melimpahiku dengan sejuta
berkah dan nikmat. Aku sadari dan resapi semua itu.
Espresso menjadi pilihanku. Dia nyaris nol kalori. Gaya hidup sebagai seorang
yang nocturnal pelan-pelan ingin aku tinggalkan. Aku ingin beralih menjadi tidur
lebih awal. Tidur jam 12 malam. Lalu bangun lebih pagi. Berburu tempat favorit
di kedai kopi kesukaanku. Pilihan dengan logika.
Sama halnya saat aku memilih teman hidup. Di umurku yang bukan lagi
belasan, aku memilih dengan semua pertimbangan logika. Keputusan dengan hati
243 kuberi batasan dan hanya sedikit ruang. Aku tidak lagi di usia belasan. Aku tidak
lagi bisa memberikan hatiku mengambil alih semua keputusan tentang hidupku.
Dan, sampai sini aku sedang memilih espresso-ku. Entah itu kamu, dia, atau
yang lainnya,aku nggak tau. Kalau pun aku tidak akan pernah mendapatkannya.
Aku sudah menerima. Tidak ingin menggugat.
Bersamaan dengan keinginanku mengubah diriku dari seorang nocturnal.
Menjadi yang bisa berpikir saat pagi dan siang. Aku juga ingin mengucapkan
selamat tinggal. Kepada satu sosok yang sudah terlalu lama tinggal di bagian
hatiku. Selama lima tahun ini. Lima tahun mungkin belum terlalu lama. Tetapi
sudah cukup mengajarkan bahwa dalam hidup tidak semua harus disimpan.
Sudah saatnya aku membuang. Kalau tidak ingin menyimpan yang telah usang.
Saatnya melihat realita. Saatnya melepaskan satu beban tak berkesudahan. Agar
langkahku lebih ringan. Terima kasih untuk chat kamu tadi malam dan pertanyaan yang kamu
ajukan. Sudah cukup memberikan keyakinan bahwa ternyata lelaki baik itu
memang ada, nyata. Tetapi rasanya memang bukan untukku. Semoga kamu
masih berkenan jadi temanku ya.
Sampai jumpa ya, L. Baik-baik di sana. Jangan kebanyakan makan keju,
hehehe. Salam, Kelly. Kali ini email itu terkirim.
?"" 244 16.1826 245 Saat kupikir email yang kukirim saat di Eropa sebulan lalu adalah email
terakhir, ternyata aku salah. Ini jawaban atas sapaan kamu. Sapaan yang
menganggu lamunanku di Barnes and Nobles.
New York, Minggu ke Tiga, Desember, 2007
Kita nggak pernah tahu ke mana arah hati ini berlayar. Kemudian berteduh,
yang ternyata tidak di tempat yang seharusnya. Tetapi ke hatimulah aku selalu
ingin kembali. Ke tempat di mana kucari damai dan nyaman. Kalau saja kita
tidak pernah bertemu. Di suatu masa di masa lalu, dan mata teduh kamu tidak
pernah menjadi misteri yang terlalu resah untuk kubungkam. Kalau saja hari itu
tidak pernah ada, hari di mana aku berani menyapa kamu.
Selama dua tahun, kita berada di kelas yang sama.
Kalau saja" Kalau saja" Kalau saja aku berani bertanya mengapa tiba-tiba berhenti menyapaku,
berhenti bertanya apakah aku kesulitan mengerjakan PR Matematikaku.
Mengapa kamu tidak lagi menciptakan kesempatan untuk ngobrol denganku.
Mengapa kamu tiba-tiba demikian jauh, meskipun kita masih satu kelas. Dan
berjuta kalau di dalamnya"
Apapun itu, aku selalu bersyukur kita pernah bersisian jalan. Aku pernah jatuh
cinta pada satu sosok yang terpilih. Mengenal hatimu menghadirkan pendaran
indah di dunia. Jika kemudian Tuhan tidak menakdirkan kita untuk bersama, aku masih
bisa tersenyum bahagia. Setidaknya kamu memang benar ada dan nyata. Saat
kulihat punggung kamu di kafe di Amsterdam itu. Aku bersyukur kamu memang
246 datang untuk menemuiku. Kamu memang menunggu. Bahwa kemudian aku
nggak sanggup berhadapan dengan kamu. Itu bukan karena salah kamu. Tetapi,
aku memilih untuk melindungi diriku. Mungkin buat kamu, buat orang lain, ini
adalah keputusan paling pengecut. Tetapi inilah aku.
Mungkin saat malaikat menakdirkan kita untuk bertemu, tetapi dia lupa
menuliskan nama kita di lembar perjodohan. Ehm, kemalasan yang tanggung.
Tetapi sekarang aku jadi lebih paham. Mungkin dia menyediakan satu wanita
sempurna yang akan menyempurnakan kamu. Jadi ini rasanya adalah tulisan
terakhir buat kamu. Aku nggak ingin lagi inget-inget kamu.
Perjalanan waktu juga mengajarkan, bahwa identitas yang ada padaku
mungkin sudah banyak berubah. Kelly yang dulu saat berumur 16 tahun mungkin
berpikir dengan cara yang tidak sama dengan Kelly lima tahun kemudian. Rentang
waktu lima tahun ini memberikan banyak waktu untukku berpikir, merenung, dan
bertransformasi dengan dunia sekelilingku. Mungkin mataku untuk melihat kamu
bukan lagi mata yang sama. Mungkin. Aku pun tak tahu pasti. Yang kutahu, aku
hanya ingin memberi jarak sebentar dengan hatiku, agar bisa melihat apa yang
terjadi lebih menyeluruh.
Jika kemudian aku memilih untuk melepaskan kamu dan tidak lagi
menyimpannya di bagian mana pun di hatiku, itu bukan semata-mata aku lalu
membenci kamu. Aku hanya memilih untuk tidak lagi cling into you. Tidak lagi
menyimpan nama kamu. Lima tahun rasanya lebih dari cukup untuk menyimpan kamu di satu sisi
hati yang bahkan siapa pun tidak pernah bisa menyentuhnya. Pada akhirnya, aku
harus melepaskan agar hatiku juga lebih ringan rasanya, dan kamu juga nggak
menggangguku lagi. Kita harus menyudahi kisah tidak bernama ini, Lanta. Ia
terlalu menyita energi dan konsentrasiku. Aku juga sudah ingin move on dengan
hidupku. Lima tahun rasanya lebih cukup untuk menyimpan satu nama yang
247 sampai membuatku tidak bisa mencintai yang lain dengan tulus atau melihat
ketulusan orang lain. Sudah saatnya jalan kita benar-benar tidak lagi bersisian.
Artinya jangan ada lagi kontak di antara kita. Seperti email-ku sebelumnya,
aku tidak percaya Tuhan menyediakan jodoh untukku. Atau lebih tepatnya, aku
tidak ingin membuat satu hati tersiksa karena harus terikat janji untuk tinggal
bersamaku. Seumur hidupku. Dan kali ini, ternyata ini bukan hanya tentangku.
Kisah kita juga tentang kamu. Kamu yang masih berhutang penjelasan. Kamu
yang tiba-tiba datang. Tanpa diundang.
Lima tahun sepertinya waktu yang kamu perlukan untuk kembali menyapaku.
Di saat banyak sekali pertanyaan mengapa kamu datang setelah ribuan hari kita
tidak pernah lagi saling berkomunikasi. Saat kita berada di ruang yang sama dan
bukan berjarak 6.548 km seperti saat ini. Kamu sama sekali tidak pernah datang
untuk sekadar memberikan penjelasan atas apa yang terjadi saat kita tiba-tiba
menjadi asing satu sama lain. Di saat Samudra Atlantik memisahkan kita, kamu
tiba-tiba menyapaku dan sempat membuat duniaku menjadi sedikit berantakan.
Seperti saat aku berumur 15 tahun, 18 tahun, aku yang 23 tahun pun lagi-lagi
dikacaukan dengan hadirnya kamu. Konyol memang, tapi aku juga tidak bisa
menyalahkan hatiku yang saat itu mungkin juga diperintah oleh otakku untuk
menikmati kehadiran kamu lagi dalam keseharianku.
Seribu delapan ratus dua puluh enam sudah banyak membuat banyak perubahan
pada diriku, bentuk tubuh, dan semua yang menempel padaku. Aku berkembang,
aku bertransformasi, dan aku mengalami satu perubahan pada diriku.
Apparently you need 1826 days to sort things out. Apa yang membuat kamu
begitu yakin bahwa aku masih orang yang sama dengan aku saat berumur 16, atau
18 tahun. Kisah dongeng klasik mungkin akan membawa kita pada satu keyakinan
bahwa cinta akan mengalahkan semunya. Tapi ini aku, perempuan dengan kelainan
pada tubuhnya, dan perubahan secara signiikan pada pola pikirnya.
248 Aku yang sudah rela dan memahami bahwa jodoh mungkin bukan buatku dan
tetap berdiri tegar. Di saat kutahu ke mana aliran hatiku ingin selalu kembali dan
mencari nyaman, aku juga tahu bahwa di satu titik, aku harus belajar melepaskan.
Pencarianku mengajarkan agar aku tidak lagi harus bergantung pada orang
lain. Apalagi terhadap laki-laki. Memberikan orang lain, apalagi laki-laki terlalu
banyak power hanya akan memberikan mereka banyak kekuasaan untuk bisa
memanfaatkan ketergantunganku. Aku memilih untuk merdeka. Tidak ingin
bergantung. Apalagi pada seorang laki-laki. Yang dalam perjalanan hidupku selalu
membuat luka di hatiku. Kecuali Bapakku. Si Ahsan melukai batinku. Si Tama
menolakku karena kelainan kulitku.Pengalaman ini mengajarkanku, perempuan
seperti aku tidak cocok untuk lelaki mana pun. Keadaan isikku sudah berbeda.
Cara pikirku juga tidak lagi sama.
Aku perlu ruang untuk berkembang dan berbicara dengan diriku, dan
meninggalkan dunia sebentar untuk kemudian kembali lagi. Apakah kamu akan
siap dengan keadaanku yang sekarang"
Aku tidak pernah ingin mengubah siapa pun pasanganku untuk membuatku
sempurna. Aku juga tidak akan menuntut hal yang sama. Mungkin ada alasan
sendiri mengapa Tuhan baru menggerakkan hati kamu untuk menyapa lagi
setelah seribu hari berlalu di hidup kita" Mungkin dia hanya ingin kita menjadi
lebih tahu. Bahwa mencintai orang lain memang sesuatu yang indah. Tetapi
mencintai apa yang yang tidak sempurna pada diri sendiri jauh lebih penting.
Jika menikah harus membuatku kehilangan ruang, untuk menangis sepanjang
hari karena suamiku akan mencaci keadaan tubuhku yang tidak sempurna ini.
Maka aku akan menjawab tegas, (mungkin) Menikah bukanlah rezeki yang
Tuhan sediakan untukku. Aku tidak pernah punya keberanian untuk memintamu
memilihku. Karena aku mungkin bukan pilihan.
249 Sekarang di sini, saat ini. Aku ingin mengabarkan. Bahwa aku ingin memilih
berhenti datang mencari dan menunggu kamu. Aku menyadari menunggumu
tidak lagi ingin kulakukan. Aku bukan ingin pergi dan membuat kita menjadi
asing satu sama lain. Aku hanya ingin membebaskan satu ruang di hatiku. Agar ia
bisa bergerak lebih bebas.
Kita pernah ada di dimensi ruang dan waktu yang sama Lanta. Seribu
delapan ratus lima enam hari lalu, kita pernah menghirup udara yang sama. Di
bawah langit yang sama. Tetapi, kita gagal membuat aku dan kamu menjadi kita.
Aku pahami sebagai sebuah tanda. Aku pergi, Lanta. Semoga suatu saat kita bisa
bertemu lagi. Di satu tapak kehidupan. Semoga aku sudah punya keberanian
untuk menampakkan diriku di hadapan kamu. Apa adanya aku. Tanpa ada yang
kututupi. Tanpa undian espresso yang belum habis. Semoga aku bisa datang.
Dengan kepercayaan diriku. Tidak kurang dan tidak juga lebih. Sekadar untuk
menatap mata kamu. Semoga kita bisa bicara di suatu senja dengan secangkir
espresso kesukaanku. Dan kamu jadi tahu mengapa espresso yang kupilih, dan
bukan yang lain. Hari ini dan detik ini, izinkan aku untuk sekadar menyampaikan terima
kasihku untuk semua yang pernah terjadi dan pernah ada. Terima kasih telah
meminjamkan telinga dan hati saat aku perlu. Kamu pernah menjadi orang yang
selalu aku cari. Karena dalam matamu ada nyaman yang menawarkan damai
dan meluruhkan resah hati. Karena kamu Lantana. Dulu aku jatuh cinta padamu.
Karena kamu adalah Lantana. Sekarang aku melepaskan kamu. Karena kamu
Lantana. Aku yang belum sanggup berhadapan dengan penuh kepercayaan diri di
hadapanmu. Aku yang masih belum tahu apakah kamu juga sudah siap dengan
segala perubahan diriku selama 1826 ini, 1826 angka di antara kita, dan aku
akan terus mengingatnya."
250 Saat aku masih asyik merangkai email terakir buat Lantana, sebuah SMS
masuk. Dari Raisha yang mengabarkan tentang rencana kami menonton
Broadway malam ini. Raisha: Lo di mana" Aku: Di Barnes and Nobledi 54 Street.
Raisha: Ya udah gue jemput lo sekarang pake taksi. Gue langsung nih,
kira-kira 20 menit lagi elo di bawah ya.
Aku: Hah, gila lo, katanya tadi mau pulang dulu, terus kita pergi
bareng. Raisha: Nggak sempet. Udah deh jangan cerewet. Mau pergi,nggak"
Aku: Ya udah, see you in 20 minutes. Salam bau ketek.
Aku menyudahi tulisanku untuk Lantana. Kukirimkan ke Lantana.
Raya@gmail.com. Sesaat setelah jemariku menekan tombol send, aku
masih bertanya dalam hatiku, apakah aku siap dengan konsekuensinya.
Tapi tekadku sudah bulat. Kuteguk sisa espresso. Sepuluh menit lagi Raisha
datang menjemput. Aku bersiap-siap. Membereskan laptop, buku, dan
memasukkannya ke dalam backpack. Aku sudah menunggu di 54thStreet.
Menunggu Raisha. "Kel, cepetan sini."
251 Aku mencari sumber suara Raisha. Raisha memanggilku dari dalam
taksi. Aku melangkahkan masuk ke dalam taksi. Tak lama kemudian, taksi
sudah membelah jalanan Manhatan. Jalanan di antara gedung-gedung
pencakar langit. Di antara salju yang sudah mencair dan terpinggirkan di
tepi jalan. Langit Manhatan sudah gelap, karena sang mentari sudah hilang
sejak jam 4.30 tadi. "Ngapain aja lo hari ini?"
"Duduk aja di Barnes and Noble. Nyari buku, minum espresso,
bengong, nulis." "Mikirin Lanta lagi?"
"He-eh. Melepaskan dia lebih tepatnya. Kayaknya udah cukup deh lima
tahun gue nggak jelas gini. Bukan salah dia. Nggak jelas aja. Jadi gue udah
pengen move on aja,"
"Terus mau ama Hikari?"
Aku terdiam sebentar. Sudah lama nama itu tidak muncul di lembaran
hatiku. Ia hanya selingan musim panas. Tanpa arti apa-apa.
"Kok Hikari sih" So last year. Kayaknya gue cuma cerita sekali deh, apa
dua kali deh paling banyak."
"Dalam seminggu, pas musim panas kemaren, lo nyebut nama dia sampe
lebih dari sepuluh kali. Nama Lanta cuma muncul dua kali, itu baru bener."
Aku menoleh menatap wajah temanku itu. Mengagumi ingatannya
yang tajam. "Ah, masa" Kayaknya nggak deh."
"Perlu bukti" Nih, masih ada di iPad gue chatingan kita." Raisha purapura mengambil tasnya.
252 "Hahaha, gokil. Iye, iye, dulu, summer ling. Sekarang aja gue lupa bentuk
muka dia. Nggak pernah kontak lagi tuh sejak gue balik ke Athens."
"Terus tadi mau ngelepasin si Lanta kenapa" Udah capek?"
Aku terdiam. Sesungguhnya aku juga tidak tahu kenapa aku ingin
melepaskan lelaki itu. Bahkan kata melepaskan sendiri rasanya kurang tepat.
Karena kami tidak pernah saling mengikat atau terikat.
"Gue mau udahan simpen dia di hati gue. Selama ini gue selalu taruh
dia di satu tempat di hati gue yang nggak ada satu orang pun yang boleh
menyentuhnya. Gue kunci itu ruang."
"Terus kuncinya sekarang di mana" Jangan-jangan kebuang pas lo lagi
snorkeling di Hanauma Bay."
"Ehm?" Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku.
Kalimat Raisha mungkin terdengar seperti bercanda. Tetapi, ada nada
kebenaran di sana. Kami menghentikan obrolan. Taksi sudah membawa
kami sampai ke pintu belakang heater Winter Garden. Tempat pertunjukan
MamaMia! Setelah mengambil beberapa foto di depan teater dan Timessquare untuk
kesekian kalinya, kami mengambil tiket di loket. Pertunjukan akan dimulai
kira-kira lima belas menit lagi. Aku dan Raisha memanfaatkan waktu untuk
ke toilet. Setelah selesai kami menuju ruangan pertunjukan. Kami disambut
dengan usher yang memberikan playbill dan memberi tahu di mana tempat
duduk kami. Aku tersenyum lebar saat tahu kami duduk di bagian tengah dan
cukup dekat dengan panggung. Aku masih terbengong-bengong tak percaya.
Aku nonton pertunjukan Broadway! Selama 90 menit kami menikmati aksi


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panggung MamaMia! Bernostalgia dengan tembang-tembang ABBA. Aku
dan Raisha tak sungkan-sungkan untuk bernyanyi dengan ratusan penonton
253 lainnya. Saat tepuk tangan membahana di teater itu, aku tersenyum bahagia
dan puas. "hank you, Sha. his is awesome."
Raisha tersenyum tipis. Kami berjalan keluar teater. Raisha mengajakku
makan malam di salah satu resto upscale di dekat Broadway. Kami naik
taksi menuju 51thStreet dan berhenti di depan sebuah restoran mewah. Aku
terpana dengan kemewahan interior restoran ini. Tiba-tiba, aku merasa tidak
percaya diri, apalagi dengan penampilanku yang sangat biasa saja. Kalah jauh
dibandingkan dengan mewahnya restoran ini.
"Nggak apa-apa. Elo cukup rapi kok. Gue udah reservasi dari tadi siang.
Untung tadi dapat taksinya cepet. Susah dapat reservasi di sini kata temen
gue." Raisha berbisik seperti menjawab kegundahan hatiku.
Kami menunggu sampai pelayan datang dan menunjukkan tempat duduk.
Aku berseru dalam hati saat mendapat tempat duduk di dekat jendela. Makan
malam kami sambil menikmati langit dan gedung-gedung tinggi Kota New
York. Aku memesan Hamachi. Raisha memesan Filet Mignon. Makan malam
yang penuh canda dan tawa. Obrolan di sela-sela makan malam kami. Di luar
langit Kota New York masih gemerlap. Lalu-lalang orang tidak tambah surut
meski hari semakin larut. Sebagai penutup, kami berbagi Dark Chocolate Parfait,
sambil tentunya aku memesan segelas espresso.
"Masih aja ya, Kel, nggak kangen ama Sariwangi?" Raisha terkekeh
"Iya, nih, seharian ini gue udah empat gelas minum espresso. Awalnya
karena gue kangen Sariwangi, tapi lama-lama kayaknya gue emang jatuh
cinta beneran ama kopi ini," kataku sambil menyendok parfait. Raisha
memesan white wine. Raisha memang penikmat white wine.
"Aneh banget kangen ama Sariwangi, malah kepincut sama espresso. Kan
beda banget. Nah, mungkin Lantana itu bukan espresso-lo, Kell. Dia emang
254 pernah jadi Sariwangi buat lo, tapi mungkin gak akan pernah jadi espresso.
Sariwangi lo yang di Belanda itu kayaknya udah mulai mendekati masa
expired. Apa emang ternyata udah lama kedaluwarsa" Cuma elo aja nggak
pernah ngecek tanggal kedaluwarsanya" Mungkin udah saatnya ganti rasa.
Take the challenge. Cari espresso lo. "
"Mungkin juga ya, Sha. Bisa jadi. Masalahnya gue pun juga bukan Kelly
lima tahun lalu. Dia juga nggak tau gue ada kelainan di kulit gue. Gue juga udah
mengalami proses berpikir yang beda, yang mungkin udah nggak sama dengan
Kelly yang dulu. Gue cuma ngeri kalau kita ketemu, kita udah nggak bisa ada
di frekuensi yang sama. Elo juga tau kan dia konservatif banget. Rasanya ide
dia tentang perempuan dan pernikahan udah nggak bisa lagi masuk ke gue
yang sekarang. Kalau dia masih yang dulu ya. But I doubt that he"d change. Lo
tahulah dia gimana dari dulu. Kaku dan konservatif. Mantan ketua Rohis
lagi. Hahahahaa. Kalau gue masih Kelly lima tahun lalu, mungkin kita bisa
nyambung. Tapi, dengan keadaan gue yang sekarang, gue juga nggak percaya
diri berhadapan ama dia, Sha. Udah ah ngebahas si Lanta. Elo sendiri gimana"
Udah ketemu siapa di UN" Marty Natalegawa?" Aku mengedipkan mata.
"Ih gila luh, laki orang tuh. Nggak deh, gue ngeri ama laki orang mah.
Takut kena karma. Gue belum ada nih. Gue juga santai-santai aja sih. Masih
sibuk ama kerjaan gue. Nggak sempet juga. Kesian ntar laki gue yang ada
gue tinggalin terus. Gue kan nggak kayak elo, Kel. Elo punya satu orang
yang udah pernah bikin lo jatuh hati. Head over heels. Gue kayaknya belum
ketemu deh." Aku hanya terdiam. "Gue nggak akan pernah bisa benci sama dia. Dia
nggak pernah ada celah. Malah kadang terlalu sempurna aja gitu. Tapi gue
juga tahu. Lima tahun udah lebih dari cukup buat gue tahu. Bahwa takdir
gue kayaknya emang bukan ama dia, Sha. Jodoh itu dikasih Tuhan ke setiap
255 umatnya kecuali ke gue. Udah gue terima dengan lapang dada. Lapang banget
dah. Jujur gue nggak sedih sama sekali waktu tadi gue nulis email terakhir
gue buat dia. I hope it is a nice closure. Setelah itu, gue nggak akan hubungi
atau nyari-nyari dia lagi. Mungkin untuk sementara waktu YM dan FB gue
nggak akan aktif dulu. Setidaknya sampe gue tahu, gue nggak nyari-nyari dia
lagi. Dulu setelah kita lulus SMA. Seperti yang elo juga tau. Gue udah nggak
pernah kontak dia. Tapi gue selalu datang aja gitu ke UI nyari dia, ngeliatin
dia dari jauh. Buset, gue stalker ya, Sha" Hahahaa."
"Iya, sih, itu masuk kategori stalker. Elo udah minta maaf belum ama
Dina" Elo bilangnya mau ketemu dia padahal elo cuma mau liat si Lanta
ngajar ngaji" Hahaha."
Kami tertawa terbahak-bahak. Untuk kemudian pelan-pelan mengecilkan
suara. Beberapa orang melihat ke arah kami.
"Dina tau, kali. Gue selalu bilang kok ke dia kalau gue pengen banget
ketemu Lanta. Dia tuh sering banget nyuruh-nyuruh gue datangin kalau pas
si Lanta lagi baca di bangku taman gitu, gue nggak berani."
Kami masih asyik berbicara. Langit Kota New York makin gelap, di
antara lampu-lampu yang kian gemerlap. Dua orang sahabat masih saja asyik
tertawa sambil sesekali menghirup masing-masing minuman kami. Malam
semakin larut. Kami akhirnya meninggalkan restoran mewah itu dengan
obrolan yang tidak lagi terlalu intens karena keduanya sudah lelah. Raisha
pun sedikit tipsy akibat wine yang ia konsumsi hampir tidak henti.
Malam itu kami langsung tertidur. Ternyata, malam itu malam terakhir
bagi kami. ?"" 256 Dear K, Kali ini biar aku yang datang. Mungkin kedatanganku akan terlambat, tapi
sejak tadi malam aku berdoa kamu akan menunggu. Mungkin malaikat akan
berbaik hati lagi pada kita. Mungkin buat kamu, aku terlalu banyak mengundang
tanya. Mungkin buat kamu, aku tidak nyata. Aku terlalu mengirimkan tanda
yang demikian tidak jelas buat kamu sejak dulu. Sejak kita berbicara pertama kali
di masa abu-abu dulu. Kalau saja kita bisa duduk di satu meja untuk kemudian bercerita dan
mengungkapkan ada apa selama lima tahun ini, aku mau dan sudah siap, K.
Baru belakangan ini aku mulai mengirim email dan bertanya pada Raisha.
Saat kamu tidak lagi responsive dengan sapaan-sapaanku di YM. Dari dia aku
sedikit banyak tahu kamu kenapa. Tentang pertanyaan kamu. Kebingungan
kamu. Dan email yang kamu kirim terakhir kali cukup membuat aku termenung.
Bahwa aku berhutang banyak penjelasan sama kamu, K. Maakan aku. Ada hal
yang membuatku menjauh dari kamu saat SMA dulu. Juga ada hal lain juga yang
menyebabkan aku tidak datang ke kamu saat kuliah dulu. Semuanya aku akan
jelaskan saat kita bertemu nanti, K.
Aku perlu melihat kamu dan meyakinkan kamu. Bahwa sejak dulu sampai
sekarang tidak ada yang bisa membuat aku menoleh, selain kamu. Saat kamu
mencari bayangku di antara sosok laki-laki lain. Aku sedang berdoa agar aku
didekatkan lagi dengan kamu. Satu-satunya wanita yang sanggup membuatku
menoleh dan melihat kamu. Di saat beberapa teman wanita bahkan untuk
menegorku saja tidak berani. Aku akui, aku memang tidak pandai berurusan
dengan masalah ini. Masalah yang berhubungan dengan hubungan manusia.
Apalagi dengan wanita. Tetapi aku tahu satu hal. Aku ingin bertemu lagi dengan
kamu. Untuk menjelaskan ada apa selama lima tahun ini.
257 K, banyak yang bertanya apakah kita perlu alasan untuk jatuh cinta" Buat
aku, kamu adalah jawaban yang aku tidak perlu sebuah justiikasi. Tidak perlu
logika. Bahwa untuk rasa aku dengan kamu, aku bisa menjadi orang yang sangat
berbeda. Bahwa aku yang biasanya mengontrol apapun di sekelilingku menjadi
demikian tak berdaya, saat kamu hadir. Tetapi K, jawabanku cukup satu dan
sederhana. Aku jatuh cinta sama kamu. Karena itu kamu. Sesederhana itu. Karena
itu kamu. Kalau dalam lima tahun ini kamu selalu mencari aku. Melihat aku dari jauh.
Maka, saat itu aku selalu berdoa untuk kedatanganmu. Untuk pertemuan kita.
Hari-hari ini aku menyadari, bahwa tidak ada satu hari pun selama lima tahun
ini aku tidak mengingatmu.
Buatku, kamu adalah jawaban dari segala doa.
Kamu bilang aku mungkin akan lebih berbahagia jika tidak bersama dengan
kamu. Lalu kalau aku memilih jalan lain, bersama yang lain, apakah aku akan
sama bahagianya" Atau menjadi lebih bahagia" Atau lebih kurang bahagianya"
Aku tidak tau jawabnya. Tetapi yang aku tahu, sejak dulu sampai sekarang aku
memilih kamu. Mungkin itu yang membuat pilihan kita mustahil tanpa penyesalan.
Tapi, kita harus terus percaya bahwa pilihan kita sekarang adalah yang terbaik.
Jika cinta memang harus melewati tahap, maka rasa ini adalah long-atachment.
Rasa ini telah berada di jalan yang demikian panjang untuk kemudian ditempa,
sehingga menjadi bentuknya seperti saat ini. I"m just so atached to you rom the
moment we met. Dalam seribu delapan ratus dua enam hari. Aku mempunyai jawaban
dan penjelasan mengapa aku baru datang untuk menyapa kamu. Aku akan
menjelaskannya di hari itu. Di hari kita seharusnya bertemu. Saat di Amsterdam.
Juga untuk sekadar kamu pikirkan. Bukankah aku yang datang setelah seribu
delapan ratus dua puluh enam hari akan lebih memahami kamu, dibandingkan
258 dengan aku yang kamu kenal saat masa abu-abu dulu" Tidakkah pernah terpikir
olehmu, bahwa aku yang sekarang ternyata malah bisa mengimbangi perubahan
yang ada pada dirimu" Pada tubuhmu, pada cara berpikirmu" Aku yang dulu
mungkin tidak akan menerima ide tentang memberi ruang pada pasangannya.
Karena aku hidup, tumbuh, dan besar pada lingkungan yang menjunjung tinggi
nilai patriakal. Aku yang dulu sama sekali tidak diperkenankan menginjak dapur karena
ruang itu adalah simbolisasi wanita dan lelaki sama sekali tidak boleh ikut campur.
Sekarang aku mengakrabi ruang ini. Karena aku harus bertahan hidup. Dengan
aku memasak sendiri makananku, aku menjadi lebih menghargai perempuan.
Tidakkah aku yang sekarang yang akan lebih terampil memasak buat kamu,
buat kita, di saat kamu ingin menyendiri dengan duniamu, atau kejaran deadline
mengisi hari-harimu" Rasanya 1.826 hari ini telah membuat kita berkembang.
Dan bertumbuh. Aku percaya kita tidak grow apart. Sebaliknya, kita tumbuh
untuk saling memahami. Aku tidak akan menjanjikan semuanya akan lebih baik jika kamu memilihku
yang sekarang. Tetapi, aku bisa menjanjikan dunia yang lebih baik dan kita
berjalan bersama. Bersisian.
Di saat aku banyak sekali berhutang penjelasan atas kejadian masa lalu,
tidakkah kamu tergerak untuk melihatnya dari sisi lain" Bahwa ada rencana Tuhan
untuk kita di rentang lima tahun ini. Aku dan kamu berkembang bersama, menjadi
kita yang sekarang, dan mengapa menyapamu setelah seribu delapan ratus dua puluh
enam hari kemudian adalah sebenarnya waktu yang sangat tepat" Rentang waktu
ini memberikan waktu yang lebih cukup buat kita untuk berkembang, berartikulasi,
dan berkomunikasi dengan diri kita dan lingkungan kita.
Hari ini aku datang untuk menebus ribuan hari kita tidak bersama. Aku berdoa
aku memiliki seminggu untuk menjelaskan dan menebus yang pernah terlewatkan
259 selama lima tahun ini. Aku akan membawa seribu delapan ratus dua puluh enam
penjelasan dan jawaban, dan permohonan maaf untuk kamu. Tunggu aku, K.
Lelaki itu mengirimkan sebuah email sesaat sebelum ia boarding pesawat
yang akan membawanya ke JFK Airport. Pesawat dari Schiphol yang
dijadwalkan tiba di JFK pukul tujuh pagi. Pesawat yang akan membawa satu
hati datang dari Eindhoven menuju New York.
Setelah kurang lebih tujuh jam perjalanan. Lelaki itu akhirnya tiba juga di
JFK, Port of Entry untuk memasuki Negeri Paman Sam. Di tasnya ia membawa
satu buku yang menurut Raisha, Kelly ingin dilamar dengan sebuah buku.
Bukan cincin. Impian sejak masa SMA. Cincin terlalu mainstream untuk
seorang Kelly. Di halaman pertama buku itu, terdapat sebuah tulisan.
Among the men and women, the multitude, I perceive one picking me out
by secret and divine signs. Acknowledging none else"not parent, wife,
husband, brother, child, any nearer than I am. Some are baled"But that
one is not"that one knows me.
Ah, lover and perfect equal! I meant that you should discover me so, by my
faint indirections. And I, when I meet you, mean to discover you by the like
in you. By Walt Whitman. And you are one among the multitude, K.
260 Dan di halaman akhir buku itu, juga terdapat goresan tangannya:
Menikah itu... Memberikan ruang. Bukankah pilar akan menyangga lebih kuat saat ada jarak di antaranya"
You know how I long for you, will you please be mine"
Masih ingatkah kamu dengan satu kalimat ini, K" Masih kamu simpan diary
merah jambu itu" "Tunggu aku, K. Tunggu aku. Jika kita bertemu, akan kuberikan buku ini dan
jika kamu memang mau, I will be on bended knee in ront of Timessquare so the
whole world knows, how I long for you"."
Doa yang diucap lelaki itu saat mengantri di Custom untuk menunggu
wawancara sebelum masuk ke negeri Land of Freedom ini pada pukul delapan
pagi, di bandara JFK. ?"" La Guardia, 4 Januari 2008, Jam 8 Pagi
Di La Guardia, sebuah pesawat menuju Columbus akan segera tinggal
landas. Satu hari di awal tahun 2008. Pesawat yang ditumpangi seorang gadis
yang ingin menjalani hari baru di tahun baru tanpa ada lagi satu nama.
261 Awalnya, aku akan pulang seminggu lagi, tapi aku harus memajukan
jadwal kepulanganku. Tadi malam aku mendapat email dari graduate
chair, Dr. Heildrich, yang mengabarkan bahwa aku harus mengisi dan
menandatangani satu dokumen perpanjangan beasiswa yang harus diproses
sebelum tanggal 5 Januari. Untuk dikirim ke graduate studies. Tanda tangan
harus asli dan tidak boleh di-scan, karena berkasnya harus ada di departemen
dan graduate studies. Sebenarnya dokumen itu sudah ada di mailbox-ku di Gordy sejak awal
bulan Desember. Namun karena kesibukanku setelah pulang dari Swedia
dan ujian akhir, aku tidak pernah mengecek mailbox.
Aku menelepon agen penerbangan Delta untuk mengganti jadwal
kepulangan. Sedikit kecewa karena aku masih ingin bersama dengan Raisha.
Masih ingin menikmati suasana Kota New York yang bisa membantuku
untuk sedikit demi sedikit membuang satu nama yang telah kusimpan
selama lima tahun. Namun jika aku nekat untuk tinggal, aku berarti telah siap
untuk kehilangan beasiswaku. Maka dengan berat hati, sedih, dan agak kesal,
aku harus membayar denda sebanyak 200 dolar demi bisa terbang besok
pagi ke Columbus. Untuk kemudian pulang ke Athens.
?"" New York, Awal Tahun Baru, 2008
Langit kota New York merah saga saat kutinggalkan. Saat pesawat lepas
landas meninggalkan La Guardia, aku pun berjanji untuk tidak lagi pernah
menyebut satu nama. Satu nama yang mengajarkan cinta. Satu nama yang
262 memberikan keyakinan bahwa cinta sejati itu memang ada. Satu nama yang
mengartikan cinta. Satu nama yang sayangnya tidak ditakdirkan untuk bersama.
Saat kita jatuh cinta, ada faktor waktu di dalamnya, yaitu waktu dan momen yang
tepat. Saat kita kehilangan momen, cinta pun menjadi berdaya. Dan Lanta, kita
telah kehilangan waktu yang tepat. Selamat tinggal New York. hank you for
treating me so well. Till we meet again.
?"" 263 Tentang Penulis Nelly Martin. Menghabiskan masa kecil di Depok, sampai SMA.
Lalu, kuliah di IKIP Jakarta/UNJ. Saat ini sedang menyelesaikan kuliah
Ph.D. di bidang Second Language Acquisition (SLA) di University of
Wisconsin-Madison sebagai Fulbright grantee. Pernah mengajar Bahasa
Indonesia di University of Hawaii-Manoa pada program Fulbright
Language Teaching Assistant (FLTA). Penulis adalah seorang peminat dan
pengajar bahasa. Menyelesaikan program master"s di Ohio University pada
bidang Applied Linguistics/TESOL/TEFL. Penulis berkesempatan untuk
melancong ke beberapa negara di beberapa benua. Sangat mencintai jalanjalan, mendengarkan musik dan renang. Beberapa cerita pendek pernah


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbit di kolom Oase Kompas. Juga, beberapa artikel pernah terbit di Jakarta
Post. Ikuti celotehnya di celotehnel.wordpress.com, follow @nelsxl. Hawaii,
Athens, Eindhoven kota-kota ke mana hatinya selalu ingin kembali.
Dapatkan! Koleksi Buku Puspa Populer lainnya di Toko Buku Terdekat!
Follow @puspa_swara dan add Puspa Swara Publisher untuk mengetahui info buku-buku
terbaru terbitan kami. Klik www.puspa-swara.com untuk informasi seputar acara Puspa Swara
dan buku-buku rekomendasi dari kami.
Untuk membeli buku secara online, silakan hubungi
salesonline@puspa-swara.com, info@puspa-swara.com atau 021-8729060, 87743503
264 1826 Menembus janji matahari ISBN 978 602 2140 02 3 Perum Jatijajar Estate Blok D12, No. 1-2, Jatijajar, Tapos, Depok - 16451
Telp: 021) 87743503, 87745418
Fax: (021) 87743530 E-mail: info@puspa-swara.com
Website: www.puspa-swara.com
DI SAAT dia menjalani satu mimpinya, dia
dihadapkan pada satu kenyataan pahit, ayah
yang selama ini menjadi sahabatnya
meninggal dunia. Kelly yang senang
bergaul, ramah, dan open-minded sempat
menggugat Tuhannya. Saat kesedihan
menimpa, muncul sosok Mark, kawan
sekelas yang baik dan sangat perhatian.
SAMPAI pada suatu hari, seorang nama
dari masa lalu pun hadir kembali, satu nama
yang sempat akrab itu tiba-tiba muncul dan
mengacaukan dunianya. Akankah ada satu
cerita dirinya dengan lelaki itu" Atau semua
seperti dulu, menjadi satu kisah tanpa nama,
tanpa awal dan tanpa akhir"
1826 KEPERGIAN Kelly ke negeri Paman Sam
selain menggapai mimpinya juga untuk
melupakan cinta pertamanya. Cinta yang ia
tahu tidak akan mungkin menjadi takdirnya.
Suramnya Bayang Bayang 37 Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa Name Of Rose 12

Cari Blog Ini