Ceritasilat Novel Online

A Little White Lie 2

A Little White Lie Karya Titish Ak Bagian 2


sekali ya aku missed call terus-terusan barusan" Dasar
orang aneh! Bener-bener nggak umum!
Kulihat ke arah jam dinding di dekat meja belajar.
Jam satu pagi" Waduh, meski belum juga ngantuk, aku
harus cepat-cepat tidur nih! Sebelum memejamkan mata,
aku teringat tujuan awalku missed call-missed call Adit
nggak keruan kayak tadi. Bukannya tujuan awalku tadi
001/I/13 92 ingin meneror" Ingin mengganggu" Tapi kok nyatanya
dia seperti nggak terganggu sama sekali ya" Malah sepertinya ini menjadi bumerang buat aku. Aku yang
ingin membuat Adit penasaran dengan missed callmissed call yang masuk ke handphone-nya, justru malah
menjadi penasaran kenapa dia tetap bisa stay cool menghadapi teror dariku. Senjata makan tuan nih" MISSION
FAILED! 001/I/13 93 TUJUH N OMOR satu. Jumlah bilangan-bilangan bulat antara
250 dan 1000 yang habis dibagi 7 adalah" Ah, ini sih
gampang. Tinggal ditulis satu-satu, terus dihitung jumlahnya pasti ketemu. Ocha memang jenius!! Angka terdekat di atas 250 yang habis dibagi 7 berapa ya" Oke,
coba dari angka terdekat. 251 dibagi 7 adalah"
Tanganku bergerak-gerak di atas kertas buram dengan
lincah. 25 dibagi 7 itu 3. 3 kali 7 itu hasilnya 21. 25 dikurangi
21" blablabla. Aduh, nggak bisa!! Hasilnya 35 koma
sekian. Berarti angka 251 nggak habis dibagi 7. Well,
masih ada angka selanjutnya. Yang namanya Ocha nggak
boleh menyerah!!! 252 dibagi 7. Tunggu, bukan begini caranya. Tadi 251
dibagi 7 hasilnya 35 koma sekian. Berarti sekarang kalikan angka 36 dengan 7.
Tanganku kembali bergerak-gerak di atas kertas buram.
001/I/13 94 6 kali 7 hasilnya 42. Tulis angka 2. Simpan angka 4...
blablabla. Fiuh, akhirnya ketemu juga angka pertama.
Tinggal ditambah angka tujuh terus sampai angka terdekat dari seribu, dihitung jumlahnya satu-satu, pasti
ketemu jawabannya. Hore"
252, 259, 266" 315, 322" 350.
Kuusap peluh yang mulai menetes di dahi.
Wait... Wait... Ini baru sampai angka 350. Tapi angkanya sudah berjajar sebanyak ini. Padahal seharusnya
sampai angka terdekat dari seribu. Aduh, bisa-bisa
waktuku habis hanya untuk mengerjakan satu soal ini.
Hiks, gimana nih" Apa mungkin seharusnya pake rumus
ya" Tapi yang mana" Oke, Ocha, gunakan ingatanmu
dengan baik! Un=Sn" Aduh, aku paling nggak bisa
nih kalau disuruh inget-inget rumus.
Pak Rus, sekarang kan bukan musim ulangan, Pak!
Andaikan Bapak bilang dulu kalau mau ulangan, aku
kan bisa belajar dulu, jadi pasti bisa inget rumus-rumus
itu. Tapi kalau ulangannya dadakan gini, hiks, aku menyerah, Pak! Padahal tadi malem itu kan waktuku lowong
banget. Coba tadi malem aku belajar aja, nggak usah
missed call-missed call Adit segala. Gara-gara Adit nih!
Kuperhatikan keadaan sekeliling. Semua temanku
tengah asyik menunduk menghadapi soal di depannya.
Sedangkan Putri yang duduk di bangku depan meja
guru, asyik meregangkan tangan. Kalau dari gelagatnya
sih, Putri sepertinya sudah selesai mengerjakan semua
soal itu. Nyebelin banget, kan" Lha aku" Satu soal aja
belum bisa! Hiks" Ya Tuhan, andai saja Engkau menciptakanku dengan 1/8 bagian saja dari otak Putri.
Sementara itu, Pak Rus tengah asyik mengawasi seke001/I/13 95 liling kelas sambil bersedekap di pojok kelas. Selama
sekian detik, kami berpandangan. Aku cepat-cepat menundukkan kepala, takut Pak Rus mengiraku berbuat
curang. Aku nggak mau itu terjadi. Swear, sebodoh apa
pun dan seputus asa apa pun seorang Ocha, aku nggak
bakal mengambil jalan terlarang. Itu sudah menjadi
prinsipku. Pak Rus, kenapa Bapak nggak pernah ngasih tipe soal
pilihan ganda aja" Sebodoh-bodohnya murid pasti bisa
mengerjakan soal pilihan ganda meski entah benar atau
tidak. Tapi soal uraian begini, kalau memang nggak bisa
ngerjainnya, aku mesti nulis apa, Pak" Masa nanti
aku mesti numpuk kertas kosong"
Kulihat jam dinding di atas papan tulis.
Ya ampun, tinggal tersisa waktu tiga puluh menit.
Ya udahlah, coba nomor dua dulu, semoga saja soalnya lebih mudah.
Sebuah bola dijatuhkan dari ketinggian t meter dan
memantul kembali dengan ketinggian 3/5 kali tinggi sebelumnya. Pemantulan ini berlangsung terus-menerus
hingga bola berhenti. Jika jumlah seluruh lintasan sama
dengan 54 meter, maka ketinggian bola saat dijatuhkan
sama dengan" Oke, kayaknya ini gampang kok. Kalau nggak salah
pake rumus jumlah tak hingga itu, kan" Kalau rumus
itu sih, aku ingat. Rumusnya pendek sih. Jumlah tak
hingga adalah" Drrrt" drrrt" drrrt" Are you really gonna make it
happen" Drrrt" drrrt" drrrt" Seems a whisper sometimes louder than a scream"
Lho" Handphone siapa tuh yang bunyi" Mampus tuh
001/I/13 96 anak! Pelajaran Pak Rus kok ya berani-beraninya nggak
nge-set handphone-nya jadi silent. Apalagi baru ulangan
gini. Ha ha ha, semoga nasibmu kali ini beruntung, teman!
Drrrt" drrrt" drrrt" Are you really gonna make it
happen" Drrrt" drrrt" drrrt" Life is free"
Eh, ini ringtone-nya Arkarna, kan" Ternyata ada juga
ya temenku di kelas ini yang suka Arkarna" Lagu Life
Is Free, lagi! Sama dong kayak aku! Aku juga pake
ringtone lagu itu sekarang.
Wait... Wait... Sama kayak aku"
Dengan panik kuangkat kepalaku dan melihat sekeliling. Entah sejak kapan, semua isi kelas menengok
ke arahku dengan khawatir. Sekarang baru kusadari tas
yang berada di sebelahku bergetar dengan riangnya.
Goblok, harusnya waktu denger handphone-ku bunyi,
mereka nggak usah nengok ke arahku segala. Pura-pura
aja kek nggak denger bunyi apa pun. Nanti Pak Rus
bisa tahu itu handphone-ku. Udah gih, nggak usah
nengok-nengok ke sini lagi.
Sementara itu, sesosok tubuh gendut yang tadi bersedekap di pojok kelas, alias Pak Rus, juga tak ketinggalan menengok ke arahku. Nah, tuh kan. Hiks"
Tak hanya itu, Pak Rus juga berjalan ke arah bangkuku.
Drrrt" drrrt" drrrt" Are you really gonna make it
happen" Drrrt" drrrt" drrrt" Seems a whisper sometimes louder than a scream"
Dan dengan sadisnya handphone sialan itu masih
saja bernyanyi riang. "Rosa, kan" Tolong kumpulkan soal ulangan dan jawabanmu di meja Bapak sekarang!"
001/I/13 97 "Tapi, Pak?" "Dan tolong tutup pintu kelas ini dari luar."
*** Lagi-lagi, mungkin untuk kesejuta kalinya, aku berdiri
sendirian di pojok balkon perpustakaan, merenungi kejadian yang menimpaku barusan. Begitu Pak Rus menyuruhku keluar tadi, mataku langsung berkaca-kaca,
karena sekian tahun bersekolah baru sekali ini aku diminta keluar oleh seorang guru. Beberapa teman memandangku dengan kasihan, tapi tetap saja mereka tidak
bisa berbuat apa-apa. Dengan membawa serta tas sekolahku, aku keluar dari kelas setelah mengumpulkan soal
ulangan dan selembar kertas kosong yang baru sempat
kutulisi nama dan nomor absenku karena tadi aku memang belum bisa mengerjakan satu soal pun. Dan di
sinilah aku sekarang, sendirian, hanya ditemani angin
yang bertiup sepoi-sepoi.
Sebenarnya kurang tepat juga sih kalau disebut sendirian, kulihat dari kaca jendela ada beberapa orang di
dalam perpustakaan. Ada juga Mbak Feny sedang membaca entah apa di balik meja penjaga. Mbak Feny yang
berumur sekitar 25 tahun ini adalah penjaga perpustakaan yang kukenal dekat saking seringnya aku ke sini,
entah untuk duduk-duduk sambil membaca atau hanya
untuk melamun seperti sekarang ini. Kulirik jam biruku.
Masih dua puluh menit lagi bel istirahat akan berbunyi.
Kuusap lagi air mataku untuk terakhir kalinya. Ya sudahlah, aku masuk saja.
"Halo, Mbak!" sapaku kepada Mbak Feny.
001/I/13 98 "Eh, Ocha" Lho, kok tumben jam segini ke sini, Cha"
Jam kosong?" "Nggak." Aku mengambil tempat duduk di sebelah Mbak Feny
kemudian menceritakan kejadian barusan. Mbak Feny
cuma mengangguk-angguk mendengarnya. Aku sudah
terbiasa bercerita apa saja kepada Mbak Feny yang
memang mudah akrab dengan murid-murid di sini.
"Pantesan mukamu mbrambangi, Cha! Pake nangis
segala, ya?" Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Ah, nggak apa-apa, Cha! Biasalah Pak Rus itu. Nggak
usah dimasukin ke hati."
Aku mengangguk-angguk lagi.
"Oh ya, Cha, Lupus Kecil yang Sunatan Masal udah
balik tuh. Kamu jadi pinjem, nggak?"
"Oh ya" Jadi, Mbak! Mana?"
"Di lemari itu tuh. Ambil sendiri ya. Rak keempat
dari bawah. Cari aja di sekitar belakangnya Pasukan
Mau Tahu yang merah-merah tuh. Pasti ketemu."
"Makasih, Mbak!"
Sambil menjinjing tas biruku, aku berjalan menuju lemari yang tadi ditunjukkan oleh Mbak Feny. Benar kata
Mbak Feny, buku kecil itu tersembunyi di belakang sederet seri Pasukan Mau Tahu. Hebat ya ingatan Mbak
Feny" Bener-bener contoh penjaga perpustakaan yang
baik. Setelah menutup pintu lemari, aku mengambil
tempat duduk di sebelah Galuh, murid kelas X-2 yang
aku kenal baik karena sama-sama rajin ke perpustakaan.
Bedanya, aku lebih sering membaca buku-buku ringan
seperti Lupus atau bahkan Kumpulan Dongeng Bobo
001/I/13 99 yang sampai sekarang aku masih heran kenapa bisa
sampai nyasar ke perpustakaan SMA. Sementara Galuh
lebih suka membaca buku-buku motivasional macam
Chicken Soup, Quantum Learning, atau Seven Habits.
Sekarang saja di depannya sudah ada buku yang tadi
sempat aku lirik berjudul Perempuan di Titik Nol.
Buku macam apa pula itu. Aku sih nggak bakal ngerti
baca buku seperti itu. Galuh membaca dengan begitu serius sehingga aku
sungkan menyapanya. Kuambil posisi duduk yang nyaman. Begitu merasa haus, aku teringat air mineral
yang tadi kubeli di kantin Pak Pri. Kubuka tas biruku
dan beruntung aku menemukan tambahan camilan,
sebungkus Tango yang aku beli kemarin dan masih
utuh. Saat meraba-raba tas untuk mengambil wafer
itu, aku menemukan handphone-ku. Rasa sebalku
muncul kembali. Sejak insiden tadi aku belum menyentuh handphone-ku lagi. Jadi belum tahu siapa penelepon nggak sopan yang mengirimku duduk di perpustakaan ini sekarang, bukannya mengerjakan soal ulangan sialan itu di kelas.
Kuraih handphone yang pada layarnya bertuliskan 1
missed call itu. Setelah kutekan List, di baris teratas, di
belakang angka 1, kubaca ada empat huruf yang membentuk nama paling jelek yang pernah aku tahu.
"Ya ampun, kamu lagi, kamu lagi." Kugeleng-gelengkan
kepala membaca sekumpulan huruf A, D, I, dan T di
situ. "Kenapa, Cha?" Ya betul, dia lagi! Siapa lagi yang sering bikin aku
sial begini kalau bukan Adit nyebelin itu! Kutekan
001/I/13 100 tombol Menu dan Contacts. Pada account nama aDiT
aku langsung menekan tombol Options dan Edit name.
Nama aDiT langsung kuganti dengan nama aDiT
jUeLeX!!. Nah, sekarang lebih enak dibaca"
"Cha?" Begitu menoleh, kulihat Galuh tengah menatapku dengan heran. "Kamu kenapa sih?" Mungkin dia heran mendengarku bicara sendirian.
"Ah, nggak. Nggak ada apa-apa kok."
Galuh masih menatapku heran tapi kemudian kembali
melanjutkan bacaannya. Kemudian aku teringat Galuh sekelas dengan cowok
nyebelin itu. Ada yang ingin kutanyakan padanya, jadi
aku mencoba mengajaknya mengobrol meskipun dia masih asyik dengan bacaannya.
"Mau, Luh?" tanyaku sambil menawarkan sebungkus
wafer yang sudah aku buka sebelumnya.
"Oh, boleh-boleh. Makasih ya," ujarnya tersenyum
sambil mengambil satu kotak kecil wafer.
"Kalau habis maem itu jadi seret, nih kalau mau minta minum," kataku sambil menunjuk sebotol air mineral
yang masih terisi setengahnya.
"Ya deh, boleh juga tuh. Nanti minta, ya?"
Aku mengangguk mengiyakan.
"Luh, kok di sini" Kelasmu ada jam kosong?"
"Iya, jamnya Bu Puji. Satu jam pelajaran sampai istirahat kedua."
Oh, pantes itu anak bisa bebas missed call-missed
call dan menyengsarakanku kayak gini.
"Pantesan"," gumamku tanpa sadar.
"Pantesan apa, Cha?"
"Oh, ng, pantesan kamu ada di sini. Kalau nggak
001/I/13 101 ada jam kosong, nggak mungkin kan kamu ada di
sini sekarang," kataku ngeles sementara Galuh mengangguk-angguk.
"Kalo kelasmu" Ada jam kosong juga, ya?"
"Ah, nggak!" "Hayo, bolos ya?"
Aku cuma tersenyum tapi tidak mengiyakan. Terserah
persepsi Galuh nanti bagaimana.
"Yang lain ke mana, Luh" Kok sendirian aja di sini?"
Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Malu kalau
Galuh sampai tahu aku dikeluarkan dari kelas dengan
tidak terhormat. "Oh, biasalah. Anak-anak jajan di kantin."
"Yang cowok-cowok juga ke kantin, kan?"
"Iya. Ya ada juga sih yang main basket di lapangan,
kayak si Ghana, terus Adit, gitu."
"O?" "Emang kenapa sih?" tanya Galuh heran.
"Ah, nggak. Nanya aja."
Galuh masih memandangku heran. Aku pura-pura
melanjutkan bacaanku sambil menggigit-gigit waferku.
Baguslah, kalau Adit jauh-jauh dari kelasku waktu
dia missed call aku tadi. Kalau dia tahu timing saat dia
missed call dan insiden Pak Rus tadi benar-benar tepat,


A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa-bisa dia curiga yang dia missed call tadi itu aku.
Kan gawat tuh! Treeet" Treeet" Treeet" Treeet" Treeet" Treeet"
Oke, udah istirahat sekarang. Sudah saatnya aku turun
dari persembunyianku. Sekalian, kepingin pipis nih.
"Luh, udah bel tuh! Mau turun bareng?"
"Yuk!" 001/I/13 102 *** Sesampainya di depan kelas, kudapati pintu kelasku
masih tertutup. Padahal semua murid dari kelas lain
sudah istirahat. Mungkin teman-teman sekelasku masih ulangan, berarti Pak Rus juga masih ada di dalam.
Baiklah, aku menyingkir dulu. Males kalo mesti ketemu
Pak Rus sekarang. Tapi menyingkir ke mana ya" Oh ya,
pipis dulu aja ah. Kulangkahkan kakiku menuju kamar kecil di ujung
lorong. Aku berjalan menunduk, sambil mendekap tas.
Saat menengadah, aku mengenali sosok belakang seseorang yang berjalan di depanku. Seragam berkeringat
dengan bola basket di tangan, rambut cepak yang khas,
nggak salah lagi ini si Adit. Idih, cara jalannya aja sok
cool gini. Pengin aku tendang aja ini anak. Dasar! Tukang menyengsarakan orang! Week, nyebelin banget!!
Aduh, goblok! Tanpa sadar aku menjulurkan lidahku
ke arahnya tepat saat Adit menoleh. Mungkin dia menoleh karena merasa ada orang di belakangnya yang
memerhatikannya. Dia melihatku seperti melihat orang
aneh. Nggak heran juga sih, aku yang lagi sebel dan
melet-melet begini pasti bakal terlihat aneh di mata
siapa pun. Aku berhenti berjalan begitu melihatnya menoleh.
"Kamu ngapain sih?" tanyanya ke arahku. Lho" Kata
Tari, Adit susah diajak ngobrol duluan" Lha ini" Kok
malah dia yang ngajak ngomong duluan" Tapi dia ngajak
ngomong aku bukan sih"
Kutolehkan kepalaku ke belakang. Kali-kali aja dia
ngajak ngomong orang lain, bukan aku. Tapi nggak ada
001/I/13 103 siapa-siapa. Oh, berarti dia memang ngajak ngomong
aku, ya" "Ya, kamu," katanya dengan nada tinggi, sambil
menunjukku. Ocha, Ocha, jangan GR dulu! Siapa bilang dia pengin
ngobrol" Paling juga mau marah-marah, kayak waktu di
lapangan basket dulu itu.
"Oh, aku. Aku" ya lagi jalan. Jalan ke situ, pengin
pipis," jawabku pelan-pelan, sambil menunjuk kamar
kecil. Semua orang tahu, kalau ada orang jalan ke sini
pasti ya pengin pipis karena lorong ini memang jalan
buntu yang bermuara di sederetan kamar kecil dan gudang olahraga yang nggak pernah dipakai lagi.
"Kayaknya tadi pake melet-melet segala deh," katanya
ketus. Tuh kan, kayaknya dia mau marah-marah beneran.
Hufh, tiap berurusan sama dia, pasti dia bawaannya
lagi marah-marah gini! Galak banget sih! Kaleman dikit
napa" Aku galakin balik aja ini anak!
"Iya, emang melet-melet! Kenapa" Nggak boleh?"
"Boleh-boleh aja sih, tapi masalahnya kamu itu meletnya ke arahku. Ya aku nggak suka dong!"
"Idih, siapa lagi yang melet ke arahmu" Makanya
jangan GR jadi orang!"
"Terus melet ke siapa dong" Yang ada di depanmu
kan cuma aku." "Rahasia. Week?" Lagi-lagi aku menjulurkan lidahku
ke arahnya. "Nah, tuh kan, melet lagi. Masih mau bilang bukan
melet ke arahku?" "Kalau ini emang melet ke arahmu, puas?"
001/I/13 104 "Dulu waktu di rental DVD kamu juga melet-melet,
kan" Punya hobi tuh kerenan dikit dong! Hobi main
basket kek biar sehat. Lha ini, melet kok dijadiin hobi!
Cewek aneh!" Aku melet di rental DVD" Oh, yang itu. Ya ampun,
kayak gitu aja masih inget! Dasar cowok aneh! Pake
bilang aku cewek aneh, lagi!
"Udah deh, pengin pipis nih! Masalah melet aja diobrolin! Pembicaraan nggak mutu!" kataku kesal sambil
berjalan meninggalkannya.
Kudengar langkah kaki Adit di belakangku. Saat aku
sampai di depan pintu kamar kecil untuk siswa putri
dan hendak melangkahkan kaki ke dalam, Adit menahanku.
"Eh, tunggu!" Aku memandangnya heran. Apa lagi sih maunya
ini cowok" "Apaan sih" Kan mau pipis nih! Masa mau ikut"
Tuh, kamar kecil cowok di pojok," kataku sambil menunjuk kamar kecil untuk siswa putra.
"Masa kamu mau bawa tasnya ke dalam" Mau
ditaruh di mana, hayo" Sini deh aku bawain!" katanya
sambil tersenyum manis. Hah" Nggak salah nih" Kayak nggak inget aja tadi
galaknya nggak ketulungan kayak gitu! Ini maksudnya
mau mencari pahala atau apa sih" Benar-benar mencurigakan.
"Mau dibawain, nggak?" tanyanya lagi.
Aku masuk dan mencari-cari apakah ada tempat
untuk menaruh tas dalam kamar kecil. Tapi yang
namanya kamar kecil ya memang kecil. Nggak ada
001/I/13 105 tempat sedikit pun untuk meletakkan tas dengan aman
tanpa terkena air. Nggak ada gantungan atau paku
satu buah pun. "Iya kan, nggak ada tempatnya" Udah deh, aku
bawain aja." Aku memandang Adit dengan heran. "Mencurigakan,"
kataku terus terang. Meskipun akhirnya kuserahkan juga
tasku kepadanya. Eh, tunggu, jangan-jangan nanti dia
missed call aku lagi waktu tasku yang di dalamnya ada
handphone-ku ada padanya. Bisa gawat"
"Eh, bentar ya?" Aku mengambil handphone-ku yang
ada di tas. Handphone itu aku set silent kemudian aku
kantongi. Tas aku tutup kembali dan kuserahkan pada
Adit. "Nih?" "Ya ampun, kok segitunya sih" Emangnya aku maling"
Dompet gimana" Udah, belum" Sekalian gih diambil!"
katanya sambil menerima tasku.
"Nggak perlu," kataku sambil membanting pintu kamar
kecil di depan wajahnya. "Jangan macem-macem ya"!" teriakku dari dalam
kamar kecil. "Macem-macem gimana?" teriaknya balik.
"Jangan ngintip" Berdirinya jauh-jauh gih sana"
Awas, kalo buka-buka tasku!" teriakku lagi sambil menciduk air. Kupasang telinga baik-baik. Kok sepi" Ini
anak dengerin aku ngomong nggak sih"
"Diiit!" Tidak ada jawaban. "Adiiit!!!" "Ya?"" 001/I/13 106 "Kok diem sih" Diajak ngomong, juga!"
"Iya-iya. Aku nggak bakal buka tasmu, ini juga udah
jauh-jauh kok! Puas?" Rupanya dia mendengarkan
omonganku tadi. "O"," kataku lirih.
"Lagian aku juga nggak doyan ngintip cewek kayak
kamu," tambahnya lagi.
Sial! "Diiit!" Lagi-lagi keadaan sepi. "Adiiit!!!" "Apa sih?" "Sinii!!" "Gimana sih" Katanya suruh jauh-jauh. Takut ya?"
Enak aja! "Ngomong gih! Biar aku tau kamu nggak kabur bawa
tasku!" teriakku sambil mengguyur WC dengan air.
"Ya ampun!! Ini anak!! Udah dibawain tasnya malah
su"udzon gitu."
Aku cuma tersenyum. Adit lumayan baik juga ya"
Kayaknya bener kata Pia, dia nggak seburuk dugaanku.
"Heh!! Udah selesai belum pipisnya" Lama banget
sih! Dasar cewek! Pipisnya pake jongkok segala, ya" Kurang kerjaan!"
"Udah selesai, week!" kataku saat membuka pintu kamar kecil.
Tepat di depanku, Adit bersandar di tembok sambil
menggendong tasku. Sementara bola basket ada di kedua
tangannya. "Tuh kan melet lagi!" katanya sambil menggelenggeleng dan menyerahkan kembali tasku.
001/I/13 107 "Nih?" "Makasih ya, Dit," kataku berterima kasih sambil membalikkan badan.
"Eh, enak aja main tinggal! Gantian, sekarang kamu
jagain bola basketku. Lumayan mahal nih, takut dicuri."
Nah, tuh kan" Pasti nolongin tadi memang ada maunya. Nggak mungkin Adit sebaik itu. Ceritanya minta
balas budi nih" Nyesel tadi udah bilang dia baik.
"Ya udah deh, sini bolanya!" Dengan muka merengut,
aku mencoba mengambil bola itu dari tangannya.
"Eh, bersihin dulu tangannya. Kan basah tuh! Takutnya kamu ceboknya tadi nggak bersih."
Aku langsung melotot ke arahnya. Sambil tersenyum
Adit memberikan bola butut itu kepadaku. Bola basket
bulukan kayak gini kok mahal!
"Pipisnya yang cepet ya?"
"Siapa bilang mau pipis" Aku kan mau beol!"
Aku melotot ke arahnya lagi.
"He he, nggak kok, bercanda!" kata Adit cengengesan
sambil berjalan menuju kamar kecil di pojok. Sambil
menunggu, aku memainkan bola basket itu, sekadar
mendribel di tempat. Tuh kan, dimainin gini aja, mantulmantulnya udah nggak beres.
"Woi!!" Kudengar teriakan Adit dari dalam. Aku cuma diam
saja dan terus mendribel bolanya.
"Woi!!" Ini anak nyebelin banget sih. Enak aja manggilmanggil orang "Woi" kayak gini. Emangnya di hutan"
Manggil pake nama kenapa sih" Aku tadi kan juga
001/I/13 108 manggil pake nama dia. Bener-bener cowok nggak
sopan! Atau jangan-jangan dia memang nggak tahu
namaku" "Woi, sinii!" Aku berhenti mendribel bola, mendekat ke arah kamar kecil di pojok dan menendang pintunya.
"Eh, apaan sih" Kok tendang-tendang pintu segala?"
Aku cuma diam saja. Menurutku pertanyaannya
barusan bukan pertanyaan yang perlu dijawab.
"Cha, kamu masih di situ nggak sih?" Nah, finally,
dia mau panggil namaku. Bener kata Pia, ternyata dia
memang tahu namaku. "Masih, masih!" jawabku singkat.
"Ngomong gih! Biar aku tahu kamu nggak kabur
bawa bola basketku!"
Ini anak ceritanya balas dendam nih" Oke. Kutendang pintunya lagi.
"Heh, bisa jebol, tau!"
Lagi-lagi aku diam. "Cha!!" "Ya?"" "Denger-denger kelasmu barusan ulangan dadakan
Pak Rus, ya?" Aduh, ngomongin ulangan Pak Rus, lagi! "Iya,
emang kenapa?" "Susah, nggak?"
"Susah." Susah banget! Saking susahnya, aku nyampe
ngumpulin lembar jawaban kosong, tau!
"Emang berapa soal sih?"
Hah" Iya, ya" Ulangan tadi berapa soal ya" Ya mana
001/I/13 109 aku tahu kalau baru setengah jalan udah disuruh
keluar kayak tadi! "Nggak tau," jawabku jujur.
"Lho, kok jumlah soalnya aja bisa nggak tau sih"
Aneh?" Aku nggak tau jumlah soalnya kan gara-gara kamu
missed call di saat yang "tepat", dodol!
"Udah belum pipisnya" Istirahat keburu abis nih!"
aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Bentar lagi," teriaknya.
"Lama banget sih" Beol beneran ya?" Kemudian terdengar bunyi kunci pintu terbuka.
"Nggak kok, week!" jawabnya singkat sambil menjulurkan lidah. Tadi dia bilang hobi melet-melet itu aneh.
Kok sekarang dia malah ikutan melet gini" Dasar cowok
aneh! "Oh ya, Cha, dari tadi aku heran, kok kamu istirahat
bawa tas sih" Emang dari mana" Bukannya abis ulangan?"
"Dari perpus," jawabku singkat.
"Lho, kok bisa?" tanyanya heran.
Harusnya aku yang heran, kok bisa-bisanya Tari
bilang Adit itu cool, susah diajak ngobrol, nggak pernah
nanggepin kalau orang lagi ngomong. Sekarang aja
bawelnya nggak ketulungan kayak gini. Tadi aja ngomongin melet, terus ngomongin beol. Sejak kapan coba ada cowok cool ngomongin beol-beol segala" Hiyy"
"Ya bisa deh, pokoknya! Bawel banget sih!" jawabku
sambil merengut. "Yee, sewot! Ya udah deh, makasih ya udah nungguin.
Aku balik ke kelas dulu. Kelasku habis ini jamnya Pak
001/I/13 110 Rus. Mungkin ulangan dadakan juga kayak kelasmu,"
pamit Adit sambil pergi meninggalkanku. "Daaah, cengeng"!" teriaknya sambil melambaikan tangan.
Cengeng" Sialan! Emang aku doyan nangis" Oh,
kalau yang dia maksud waktu kejadian di lapangan
basket itu" Aku kan nangis begitu gara-gara dia!
Minta maaf kek! Eh, kok sekarang malah ngeledek
aku kayak gitu.

A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baru aku sadari, Adit lupa mengambil bola basketnya.
Benda itu masih ada di tanganku. Bagus"
"Adiiit!" Begitu Adit menoleh, kulemparkan bola itu sekuat tenaga tepat ke arahnya. Bugh! Bola tepat menghantam
mukanya. Kulihat mukanya tampak merah terkena lemparan itu. Dia mengerjap-ngerjapkan mata dan aku mendekatinya.
"Kita impas! Tapi inget, cowok nggak boleh nangis!"
bisikku di telinganya. Kemudian aku berjalan meninggalkannya tanpa menoleh lagi sedikit pun.
001/I/13 111 DELAPAN "P I, hari ini udah lihat Adit belum?"
"Belum tuh! Iya, ya. Biasanya pagi-pagi aku juga
udah lihat dia. Tumben lho Adit nggak beredar gini."
Aku yang duduk di dekat Pia cuma geleng-geleng
kepala mendengar obrolan Tari dan Pia barusan. Kalau
udah lihat Adit kenapa" Dan kalau belum lihat Adit
juga kenapa" Indonesia lama-lama bisa hancur kalau
semua generasi mudanya bentar-bentar cuma ngomongin
cowok seperti mereka. "Iya, Pi. Aneh, ya" Aku mau ke kelas sebelah dulu
ya?" "Heh, bentar lagi kan Bu Puji masuk," kataku memperingatkan.
"Alaaah, bentar aja kok. Lagian paling Bu Puji kosong lagi. Mumpung kelas lain juga lagi pergantian
pelajaran nih," balas Tari yang kemudian lari ke kelas
sebelah. Ternyata kunjungan Tari ke kelas sebelah tidak lama.
001/I/13 112 Masih dengan berlari, dia memasuki kelas. "Pi, gawat,
Pi! Ternyata Adit nggak masuk sekolah. Katanya sakit,
gitu," kata Tari begitu duduk di depanku dan Pia. Aku
heran juga mendengarnya. Kemarin ketemu di kamar
kecil itu, dia nggak apa-apa kok. Sekarang juga bukan
musim hujan, jadi nggak mungkin dia sakit karena kehujanan. Atau" Jangan-jangan"
"Sakit apa, Tar?" tanyaku pada Tari kemudian. Kulihat
Pia menoleh heran ke arahku. Mungkin merasa aneh
kok tumben aku penasaran masalah Adit.
"Kata Ghana sih pusing. Denger-denger gara-gara
kemarin kena bola basket. Terus hidungnya sampe
berdarah segala. Ngeri, ya?" jawab Tari lagi.
Nah, tuh kan" "Kok kayak kamu ya, Cha" Kena bola, terus paginya
nggak masuk sekolah. Kena karma kali, ya"," goda Pia
ke arahku. Aku cuma tersenyum tipis.
Gawat nih, masa dia sakit gara-gara aku kemarin"
Ah, kali aja dia sorenya main basket lagi. Terus kena
bola lawan mainnya, bukan gara-gara aku. Ocha, Ocha,
jangan merasa bersalah dulu gini dong! Belum tentu
salahmu kok! "Tahu nggak, dia kan kena bolanya pas istirahat kedua. Padahal habis itu dia ada ulangan Pak Rus, sama
kayak kita kemarin. Gara-gara kena bola itu akhirnya
dia jadi nggak bisa ikut ulangan, tapi malah harus istirahat di UKS. Kayak kamu banget ya, Cha" Kemarin
nggak ikut ulangan Pak Rus juga," ujar Tari lagi panjang-lebar.
Wah, kalau ini sih udah jelas. Dia sakit memang
gara-gara aku kemarin. Tapi masa sampe nggak masuk
001/I/13 113 sekolah sih" Hidungnya berdarah" Aduh" Perasaan
aku ngelempar bolanya nggak keras-keras banget kok.
Sekilas aku teringat muka merah Adit yang terkena
bolaku kemarin. Ditambah dengan ekspresi mukanya
yang sedang mengerjap-ngerjap itu. Aduh, gimana nih"
"Selamat siang, anak-anak!" sapa Bu Puji yang tibatiba masuk kelas.
"Lho" Kok tumben masuk, Bu?"
*** Sore itu juga aku missed call Adit. Mau nggak mau
aku jadi khawatir dengan keadaannya. Bagaimanapun
nyebelinnya, dia sakit kan gara-gara aku juga. Tapi
sampai berjam-jam, dia nggak bales-bales juga missed
call-ku itu. Malam harinya, aku menonton televisi dengan gelisah.
Di sebelahku ada Papa, Mama, dan Mas Ardhi yang
juga sedang menonton televisi. Sedangkan Mbak Sri setahuku sedang menyetrika pakaian di belakang. Karena
gelisah dan kebetulan remote televisi ada di tanganku,
sebentar-sebentar aku refleks mengganti saluran televisi.
"Stop! Stop! Berita barusan aja, Cha," pinta papaku
ketika akhirnya aku memindahkan saluran ke sebuah
tayangan serial remaja. "Aduh, Ocha kan ngikutin serial ini, Pa. Kalau ketinggalan satu episode bisa nggak ngerti jalan cerita selanjutnya," jawabku.
"Bentar aja, Cha. Itu tadi kan berita penting, tentang
demo dosen di universitas Papa," bujuk Papa lagi.
001/I/13 114 "Aah, bilang aja Papa pengin lihat muka Papa nongol
di TV. Norak! Lagian Papa kok nontonnya nggak di kamar Papa aja sih" Ke kamar Papa aja gih sana! Nggak
usah gangguin Ocha!" jawabku ketus.
"Eh, kok Ocha gitu ya sama Papa," Mama langsung
memperingatkan. Dengan sedikit kesal aku menekan tombol remote
nomor 10, saluran yang menayangkan berita yang
dimaksud Papa tadi. Handphone yang dari tadi ada di
sebelahku aku lirik lagi. Masih bergeming. Janganjangan sakitnya Adit bener-bener parah, ya" Sampe
bales missed call aja nggak kuat. Dengan gelisah aku
meremas-remas handphone-ku itu.
"Kamu kenapa sih, Cha" Kayaknya dari tadi uringuringan terus," tanya mamaku lagi.
"Iya tuh, Ma. Tadi waktu aku pinjem CD-nya nggak
bilang-bilang aja, ngomelnya lama banget. Biasanya juga
cuma lima menit." "Habisnya itu kan CD baru yang belum pernah Ocha
dengerin sama sekali. Semua orang juga tahu, orang
yang punya suatu barang harus yang jadi pertama
kali yang make barang itu. Eh, masa Mas Ardhi main
ambil aja, Ma," ujarku membela diri.
"Tuh kan, Ma. Ngomelnya panjang banget," kata Mas
Ardhi lagi. "Baru dapet ya, Cha?" tanya papaku tiba-tiba.
"Udah deh, Papa nggak usah ikut-ikutan. Nonton
aja tuh muka Papa di TV," jawabku masih dengan
nada suara sedikit kesal.
Bener juga sih, sesorean ini aku udah uring-uringan
nggak keruan. Mbak Sri yang lupa belum nyiapin jas
praktikumku buat besok aja langsung aku omel-omelin.
001/I/13 115 Padahal biasanya aku nggak suka ngomel-ngomel. Mungkin bener kata Papa, ini PMS.
Untuk kesekian kalinya aku melirik handphone-ku
lagi. "Dari tadi juga lihat-lihat HP terus. Nungguin SMS
siapa sih?" tanya Mama lagi.
"Pasti nungguin SMS dari cowok deh. Hayo, dari
cowokmu ya, Cha?" goda Mas Ardhi.
"Idih, siapa yang punya cowok" Ocha nggak mau
punya cowok. Semua cowok itu nyebelin!" Baru saja
kata-kata itu keluar dari mulutku, aku langsung menyesal
mengatakannya. Aku lupa Papa dan Mas Ardhi itu cowok
juga. Aku menoleh ke arah Papa dan Mas Ardhi dengan
takut karena khawatir mereka bakal marah.
"Nggak usah dengerin, Pa. Pasti Ocha uring-uringan
gitu gara-gara lagi marahan sama cowoknya tuh," goda
Mas Ardhi lagi. Fiuh... mereka berdua kayaknya nggak
marah kok. "Dibilangin nggak punya cowok, juga! Habisnya"
bawel banget sih pada komentarin Ocha. Ocha kan
lagi bingung, lagi khawatir, lagi?"
Drrrt" drrrt" drrrt" A lot of fun" A lot of fun to be
had" Drrrt" drrrt" drrrt" But over do it" And end
up in the rehab" Drrrt" drrrt" drrrt"
SMS" "Asyiiik"!" teriakku tanpa sadar ketika handphone-ku akhirnya menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
"Ocha mau ke atas dulu ya. Dadah semua"," kataku
dengan riang sambil beranjak menuju tangga.
"Idih, tiba-tiba jadi girang gitu. Mau baca SMS aja
001/I/13 116 pake ngumpet-ngumpet segala. Pasti cowoknya tuh
yang SMS," ledek Mas Ardhi lagi.
"Bodo"!" teriakku dari arah tangga.
"Ocha" Awas kalau kamu sampai punya cowok
nggak bilang-bilang ke Papa," ancam papaku.
Di lantai atas, aku baru menyadari sesuatu. Kok bisa
sih cuma gara-gara ada SMS, sebelku jadi ilang gini. Ya
kalo yang SMS itu Adit, kalo yang SMS cuma Pia,
rugi dong udah seneng-seneng. Wait" Wait" Emangnya
kalo yang SMS Adit, ngapain aku mesti seneng"
Begitu aku lihat layar handphone-ku lagi... Bener sih,
itu dari Adit. Untunglah, dia nggak apa-apa. Buktinya,
dia masih kuat untuk sekadar mencet-mencet keypad.
Setelah mengunci pintu kamar dan melemparkan tubuhku ke tempat tidur, aku membaca SMS itu lebih
lengkap. -aDiT jUeLeX!!Heh! Dr kmaren gngguin orng aj s! Km tlp dh
berjt2 kli, thu! Spa s neh"
Oh iya, ya. Dia kan belum tahu siapa aku. Hal sepenting ini kok aku bisa lupa sih" Dan dikacangin kayak
kemarin, aku kira dia nggak terganggu sama sekali. Ternyata"
Aku langsung memencet-mencet tombol handphone,
ingin segera membalas SMS itu. Sebelum mengirimnya,
kubaca balasanku itu. Dit, Ocha niy. Sori d klo kmaren2 gnggu. Sori
jg yh dit gra2 kna bola kmaren, km jd skit. Km
001/I/13 117 gpp kn" Skli lg sori yh, km maw maapin aq
kn" Begitu kubaca lagi dan lagi. Kok makin lama makin
nggak enak dibaca, ya"
Pertama, meskipun aku memang salah dalam hal ini,
kalo dulu itu Adit langsung minta maaf, pasti aku juga
nggak bakal balik ngelempar bola ke mukanya. Jadi,
aku memang salah. Tapi" Adit lebih salah lagi!
Kedua, SMS Adit barusan itu tergolong SMS marahmarah. Dan kok ya mau-maunya aku bales dengan nada
lembut penuh minta maaf kayak gitu. Hitung aja kata
sori atau maaf di SMS itu! Tiga kata sori buat Adit"
Tolong ya, cowok kayak dia itu nggak pantes dapet kata
sori sebanyak itu dariku.
Ketiga, ini yang paling penting. Kalo aku ngaku yang
kemaren missed call-missed call dia nggak keruan itu
aku, Ocha, dia bakal mikir apa" Pasti dia bakal mikir
aku sama aja kayak cewek-cewek lain yang suka ngejarngejar dia. Padahal aku kan cuma missed call. Yah,
meskipun missed call-nya berjuta-juta kali sih. Tapi
awas aja kalo dia ke-GR-an terus mikir kalo aku ada
feeling ke dia. Cuih, sori aja!
Akhirnya SMS inilah yang aku kirim sebagai balasan.
Sent: Masak s" Bukannya km yg mc dluan" Ad"ku X
lg iseng pk hpku" Ato kpencet gt" Taw d...
Sori klo gt. He he, bohong banget juga bodo! Sejak kapan ya aku
001/I/13 118 punya adik" Lagian cuma alasan itu yang bisa terpikirkan
olehku. Adik yang iseng, kepencet, atau malah balik
nyalahin. Alasan standar sih! Dan satu kata sori, yah,
nggak apa-apalah. Anggap aja sori itu udah mencakup
sori buat missed call-missed call kemarin, sori buat
ngelempar bola kemarin, dan sori udah bohong.
Nggak lama kemudian"
Drrrt" drrrt" drrrt" A lot of fun" A lot of fun to
be had" -aDiT jUeLeX!!Ngaco! Ak yg mc dlu gmn" Lgan kpencet kq bs
rutin tiap 5mnt gt. Bo"ong bgt! Spa s neh"
Ngku aj d! Ini anak" Nggak di SMS, nggak di sekolahan, galaknya
nggak ketulungan. Padahal waktu di kamar kecil itu
nggak galak-galak banget kok, lumayan enak diajak
ngobrol, malah sok akrab gitu, meskipun nyebelinnya
masih sih. Atau jangan-jangan kemarin itu mimpi, ya"
Bukan kejadian nyata" Aduh"
Aku mengetuk-ngetuk kepalaku, mencoba mengingatingat apakah yang kemarin itu memang mimpi. Ah,
nggak, kan" Atau mungkin dianya aja yang punya kepribadian ganda.
Balasanku untuk SMS-nya ini cuma singkat aja.
Sent: Trsrah klo g prcy!! Sepuluh menit berlalu. Nggak ada balasan sama sekali.
001/I/13 119 Sepuluh menit berlalu lagi. Adit masih belum bales.
Tapi memangnya aku pengin dia bales apa" Toh aku
cuma SMS kayak gitu. Ya udah deh, aku missed call dia
aja. Nggak lebih dari semenit setelah aku missed call "
Drrrt" drrrt" drrrt" A lot of fun" A lot of fun to be
had" Drrrt" drrrt" drrrt"
-aDiT jUeLeX!!Gmn s" Dtnyain g mo jwb, e mlh mc2 lg. Pst
km ce y, bilang aj d klo pngn knalan =P Y udh,
ak Adit. Km spa" Skul/kul" Dtnyain baik2 loh
neh. Jgn cm mc lg! Eh, lcu jg y"! Cm mc cm mc
cm mc. Huehehe. Idih, SMS terakhirnya apaan sih nih" Nggak jelas
banget! Nggak penting! Tapi, mau nggak mau aku tersenyum juga membaca SMS Adit barusan. Cowok kayak
gitu bisa sok genit juga. Padahal tadi galaknya nggak
ketulungan. Nama" Oke, yang jelas aku nggak bakal
bilang terang-terangan aku ini Ocha. Tapi dia udah ngaku pake nama asli, kan jahat banget kalau aku bohongin
pake nama palsu. Eh, tapi dulu aku pas SMS-an sama
Mas Bintang juga nggak ngerasa guilty-guilty banget
kok pake nama palsu. Lagian salah sendiri situ pake
nama asli, Mas Bintang dulu juga. Ah, emang semua
cowok payah, terlalu polos kalau urusan kayak gini. Ya
udah, nama samaran lebih aman. Tapi pake nama apa
ya" Hmm" Rosayuvita. Ro-sa-yu-vi-ta.


A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rosa" Jangan! Terlalu mirip dengan nama panggilanku. Bisa mencurigakan.
001/I/13 120 Sayu" Anak gelandangan itu bermuka pucat dan bermata sayu. Aduh! Sayu kan artinya jelek banget.
Yuvi" Kok kayak nama permen"
Vita" Vita. Mita. Hmm" Mirip kayak nama samaran
waktu SMS-an sama Mas Bintang itu. Nggak mau ah,
bikin inget lagi aja. Drrrt" drrrt" drrrt" Are you really gonna make it
happen" Drrrt" drrrt" drrrt" Seems a whisper sometimes louder than a scream"
Layar handphone-ku yang berkedip-kedip itu bertuliskan aDiT jUeLeX!! calling.
Aduh, kok dia pake missed call segala sih" Yang jelas
aku nggak bakal mau mengangkatnya. Aku hanya menunggu handphone itu berhenti bernyanyi. Iya, iya. Sabar
ya, Dit! Ini juga baru mikirin nama samaran yang cocok.
Akhirnya handphone itu berhenti berkedip-kedip juga.
Aduh, apa ya" Atau pake nama yang nggak nyambung
sama nama lengkapku aja ya" Tapi apa" Rosayuvita"
Ayu" Ya udah deh, Ayu aja. Selain nggak bohong, karena
nama lengkapku memang ada unsur "ayu"-nya, toh aku
orangnya memang ayu kok. Hehe"
Sent: Sok taw! Taw dr mna cba klo aq ce. Tp emg
bner s. Aq Ayu. Anak Teladan, klsX. Aq pngn
knalan" Enak aj! Tserah d! GR!
Hufh, kalo masalah sekolah, terpaksa deh aku bohong.
Aku ngaku jadi anak Teladan lagi, sama kayak waktu
SMS-an sama Mas Bintang itu. Aduh! Kok malah jadi
inget Mas Bintang lagi sih! Hush! Hush!
001/I/13 121 Drrrt" drrrt" drrrt" A lot of fun" A lot of fun to
be had" Drrrt" drrrt" drrrt"
-aDiT jUeLeX!!Feelingku ce. Trnyt bner. He2. O, Ayu y" Cntik
dong orngny" Ak anak Teratai, klsX jg. Kq bs
sama" Jdoh kli y" =P
Ampun deh" Semua cowok ternyata sama aja genitnya! Dan Adit pun bukan perkecualian. Males banget!!
Sebel!! Lho" Aku ngapain sebel ya kalo Adit ternyata
orangnya genit" Ya terserah dia ya mau genit atau
nggak" Kenapa aku yang sewot" Aduh, otakku kacau!
Mungkin gara-gara udah agak ngantuk nih!
Kulihat jam dinding yang ada di dekat meja belajar.
Sekarang sudah jam sepuluh. Begitu sadar sekarang
sudah cukup larut malam, aku langsung menguap. Tuh
kan, ini pasti gara-gara ngantuk. Untuk malam ini udah
dulu ah SMS-annya. Sent: Ya2, trserah d! Eh, dh ngantuk blm" Aq dh maw
bo2 niy. Drrrt" drrrt" drrrt" A lot of fun" A lot of fun to be
had" Drrrt" drrrt" drrrt"
-aDiT jUeLeX!!O, dh mo bo2 y" Ydh d, met bo2 klo gt. Nice
sleep. Mimpi indah. Tha tha"
001/I/13 122 Dasar! Baru kenal aja udah sok mimpi indah-mimpi
indah segala. Tapi aku tersenyum juga membaca SMS
itu. Handphone aku letakkan di meja di sebelah tempat
tidur setelah sebelumnya sudah kunonaktifkan. Sebelum
tidur aku biasa menyiapkan buku-buku yang kuperlukan besok. Sambil mencari buku-buku yang aku perlukan, aku menghidupkan radio di pojok kamar.
Hmm" Ini lagu duetnya Celine Dion sama Clive
Griffith. Atau Clive Griffin ya" Yah, pokoknya sama
seseorang lah. When I fall in love it will be forever
Or I"ll never fall in love
Tanpa sadar aku menyanyikannya sambil tersenyum
dan berputar-putar mengelilingi kamar layaknya balerina. Tiba-tiba aku berhenti menyanyi juga berhenti
berputar. Aku duduk di tempat tidur dan mulai berpikir.
Aku ngapain sih tadi"
Aku langsung bangkit dari tempat tidur dan mematikan radio. Dengan cepat aku mulai menyiapkan buku
lagi. Begitu selesai menyiapkan buku, aku menyetel
beker, mematikan lampu kamar, dan mulai rebahan
di tempat tidur. Meski radio sudah aku matikan, aku
masih saja bersenandung kecil.
When I give my heart it will be completely
Or I"ll never give my heart
And the moment I can feel that you feel that
way too Is when I fall in love with you
001/I/13 123 Begitu sadar aku masih menyanyikan lagu itu"
sambil tersenyum pula!"aku langsung berhenti menyanyi. Aduh!! Aku ini kenapa sih" Kok dari tadi
bawaannya kepingin senyum terus. Udah, Cha! Jangan
senyum-senyum terus! Kendalikanlah otot-otot di sekitar mulutmu itu.
Dan nggak hanya itu, kenapa aku juga nyanyi lagu itu
lagi" (Salahku sendiri sih, kenapa aku mesti hafal lagu
itu.) Siapa yang jatuh cinta" Emangnya mau jatuh
cinta sama siapa, coba" Jangan-jangan" Aduh, kenapa
aku mikir sampai ke situ segala. Pasti otakku lagi kacau banget nih! Amit-amit! Jangan nyampe deh kejadian! Hiks, Mama" Tolonglah anak gadismu yang
cantik dan sedang kebingungan ini. Aduh, bego! Gimana nih" HELP ME!!!
001/I/13 124 SEMBILAN K RIING" Kriing" Kriing"
Dengan enggan aku membuka mataku, beranjak dari
tempat tidur dan mematikan beker yang ada di meja
belajar. Sengaja aku taruh jauh dari tempat tidur agar
aku benar-benar terbangun.
Sekarang jam lima. Cukuplah untuk siap-siap pergi
ke sekolah tanpa terlambat. Eh, bentar" Hari ini kan
hari Rabu" Mampus! Olahraga kan mulai jam enam!
Goblok! Segera aku memutar kunci pintu kamar, berlari ke
bawah dan mencari Mbak Sri yang biasanya pagi-pagi
begini ada di ruang makan. Tetapi begitu sampai di
sana, hanya ada Mama yang sedang menata piring di
meja makan. "Mbak Sri mana, Ma?" tanyaku pada Mama.
"Itu baru di dapur. Kenapa nyariin Mbak Sri?"
"Baju olahragaku udah siap belum, ya?"
"O, udah kayaknya. Tadi malem Mama lihat udah
001/I/13 125 disetrikain Mbak Sri. Lho, bukannya kamu olahraga
jam enam, Cha" Kok masih belum ngapa-ngapain?"
"Lupa kalo sekarang olahraga, Ma. Mama juga kok
tumben nggak ngebangunin Ocha buat salat sih" Kan
Ocha nanti bisa telat nih."
"Tuh kan, kalo udah gini bisanya cuma nyalahin orang
lain. Tadi Mama udah gedor-gedor pintu kamarmu, Cha!
Tapi kamu nggak bangun-bangun juga. Kamu juga sih,
sekarang kalo mau tidur sukanya ngunci pintu kamar
segala," ujar Mama membela diri.
"Kok Mama jadi gantian nyalahin Ocha sih" Ya udah
deh, Ma, naik dulu ya" Belum salat nih!" jawabku sambil beranjak pergi ke kamarku di atas.
*** Setelah salam terakhir salat Subuh dan langsung tancap
gas mengarungi kabut pagi bersama para kelelawar yang
pulang kandang (jangan bilang-bilang kalau aku cuma
gosok gigi ya, hehe...), sampailah aku di pintu gerbang
sekolah dengan selamat. Saat aku memarkir motorku di
tempat parkir, kulihat tempat itu masih sepi. Hanya ada
sekitar lima motor yang ada di situ. Aneh" Padahal
udah jam enam seperempat. Masa banyak banget
yang lebih telat dari aku"
Tiin" Tiin" "Ocha! Tungguin...," panggil Tari dari atas motornya
yang tengah melaju menuju tempat parkir. Tari yang
biasanya rajin datang pagi kok jam segini juga baru dateng" Tumben banget!
Tari yang juga sudah memakai baju olahraga, sama
001/I/13 126 sepertiku, menghampiriku yang sedang menunggunya di
dekat pintu tempat parkir.
"Olahraga masih lama kok udah dateng, Cha" Tumben," tanyanya ketika kami berdua berjalan bersama
menuju kelas. Lho" "Tumben" Bukannya malah kamu yang tumben"
Jam segini kok baru dateng! Lagian olahraga masih
lama gimana sih" Bukannya udah telat lima belas
menit?" "Lho, kan kemarin ada pengumuman jadwal baru. Jadi
sekarang nggak ada jam ke-nol lagi. Olahraga mulai
jam tujuh, bukan jam enam. Kok kamu bisa nggak tahu
sih" Di papan kelas juga ditempel kok! Ke mana aja, Non?"
Jadwal baru" Aduh, aku kok bisa nggak tahu ya"
Aku kan bawa buku berdasarkan jadwal lama. Kalau
hari ini ada pelajaran Pak Rus kan gawat.
"Jadwal hari ini yang berubah apa aja, Tar?"
"Mmm" cuma olahraga mundur satu jam itu aja kok.
Lainnya sama aja. Paling kita ntar pulangnya siangan
dikit." Aku cuma mengangguk-angguk lega.
Sesampainya di kelas, kulihat kelas masih sepi. Aku
langsung meletakkan tasku di bangku kesayanganku.
"Cha, anterin pipis yuk!" pinta Tari setelah meletakkan
tasnya di tempat biasa, bangku di belakangku dan Pia.
Aku cuma mengangguk dan mengikuti langkah Tari yang
berlari duluan ke arah kamar kecil. Saking kebeletnya,
kali! Begitu Tari masuk kamar kecil, aku menunggunya
di luar sambil bersandar ke tembok. Hmm" Waktu aku
pipis kemarin lusa itu, Adit juga sandaran persis di tembok ini. Aku tersenyum mengingat kembali peristiwa itu.
001/I/13 127 "Heh, pagi-pagi udah senyum-senyum sendiri!" goda
Tari yang membuyarkan lamunanku.
"Balik, yuk!" ajak Tari kemudian.
"Yuk!" Kami berdua kembali berjalan menuju kelas. Di dekat
taman sekolah, Tari menghentikan langkahnya dan mengajakku duduk di bangku taman.
"Duduk sini dulu aja deh, Cha! Olahraga mulai masih
lumayan lama kok." Aku sih manut dan segera mengambil tempat duduk
di sebelahnya. "Oh ya, Cha! Tahu nggak" Gara-gara ada jadwal baru
itu, pelajaran olahraga kelas kita jadi bareng kelas X-2
lho sekarang!" "Terus kenapa?" tanyaku heran.
"Ya jadi ntar kita olahraganya bisa bareng Adit.
Asyik, kan?" kata Tari penuh semangat.
"Ya ampun, biasa aja kenapa sih. Lagian cuma waktunya kan yang sama, gurunya aja beda, paling ntar tempatnya juga pisah."
"Iya sih. Tapi kan bisa aja ntar ada pertandingan
antarkelas. Wah, olahraga bisa lebih semangat nih
kalo bareng Adit." Aku cuma geleng-geleng kepala melihat antusiasme
Tari. Tari sih seneng-seneng aja bisa olahraga bareng
Adit. Lha aku" Bisa-bisa aku salting di depannya kalau
inget SMS dia tadi malam, ditambah lagi masalah dia
sakit kemarin. Aku kan belum minta maaf langsung ke
dia tentang masalah itu. "Eh, Tar, Adit kan sakit kemarin, emangnya dia udah
kuat ikut olahraga" Orang berangkat sekolah aja belum
tentu bisa kok." 001/I/13 128 "Oh iya, ya. Aku kok jadi amnesia gini sih! Ya"
moga-moga aja dia udah berangkat sekolah. Kalo nggak
ikut olahraga, paling dia ikut nongkrong di pinggir
lapangan basket. Itu juga udah cukup kok buat vitamin
A. Bikin mata sehat, he he?"
*** PRIIITTT" PRIIITTT"
"Ayo, kumpul di sini!" teriak Pak Otto, guru olahragaku yang masih cukup muda. Beberapa anak yang masih
duduk-duduk dengan malas di pinggir lapangan basket
diberi aba-aba agar segera berdiri dan mendekat untuk
diabsen. Aku salah satu di antaranya.
"Sekarang tanggal berapa ya?" tanya Pak Otto begitu
selesai mengabsen kami semua.
"Tanggal sepuluh, Pak!" jawab Didit yang berbaris paling belakang.
"Oke, nomor absen sepuluh, tolong memimpin pemanasan," kata Pak Otto lagi.
"Waduh, kok malah aku?" keluh Didit sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Tolong ya, saya mau mengurus inventaris gudang
olahraga dulu sama Pak Udjo. Nanti saya ke sini lagi,"
pinta Pak Otto pada Didit sambil berlalu meninggalkan
kami. Sementara itu Didit berjalan ke depan menghadap
kami semua, siap untuk memimpin pemanasan
"Ayo, teman-teman, kita mulai dengan" Aduh, penake
ngopo yo?" tanyanya sambil menggaruk-garuk kepalanya
lagi. Aku cuma tersenyum melihat tingkahnya.
"O, nganu" Ayo, sekarang rapatkan kaki, letakkan
001/I/13 129 tangan di pinggang, terus yang tengok kanan tengok kiri
itu ya. Ayo bantu hitung mulai dari yang pojok depan.
Dodi! Heh, Dod! Kowe, Dod! Ojo ongap-angop wae!"
kata Didit sambil menunjuk Dodi yang sedang menguap
di baris pojok depan. "Hah" Aku" Yo wis" Ayo, teman-teman. Satu" dua"
tiga" empat" lima" enam" tujuh" delapan"," kata
Dodi dengan nada suara sedikit lemas, mungkin karena
masih mengantuk. Setelah itu, kami sekelas melakukan beberapa gerakan
pemanasan lagi, dipimpin oleh Didit yang dibantu menghitung secara bergiliran. Yah, namanya juga instruktur
pemanasan dadakan. Walhasil, ada beberapa gerakan
pemanasan yang sumpah nggak bermutu, tapi tetap
kami lakukan juga meski sambil terpingkal-pingkal.
"Saiki ngopo meneh ki" Uwis wae yo" Teman-teman,
pemanasan sudah cukup. Seperti biasa, kita sekarang
lari keliling lapangan basket ya... Dan mumpung Pak


A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Otto belum balik, larinya cukup dua putaran aja. Oke"
Oke" Yok"," kata Didit sambil mulai lari mengelilingi
lapangan basket. Sementara kami semua mengikutinya
dari belakang. Aku berlari pelan-pelan di sebelah Pia. Kulihat kelas
X-2 sedang berolahraga di lapangan voli, di sebelah
luar lapangan basket, yang hanya dipisahkan jeruji
besi. Kulihat sekilas, sepertinya Adit nggak kelihatan
sama sekali. Hufh, lagi-lagi tindakan bodoh! Ngapain
juga aku nyari-nyari dia!
Setelah setengah putaran, aku baru menyadari bahwa
di pinggir lapangan basket ada Ghana dan Adit yang tidak
memakai baju olahraga dan sedang duduk mengobrol di
001/I/13 130 situ. Bener kata Tari, meskipun nggak ikut olahraga,
Adit tetap ikut nongkrong di lapangan. Astaga, hidungnya sampe diplester kayak gitu ya" Kasihan sih, tapi
mukanya bener-bener jadi kelihatan lucu. Mau nggak
mau aku tertawa dalam hati melihat mukanya. Jahat
banget, ya" Padahal dia seperti itu gara-gara aku juga sih.
Ketika berlari di dekat tempat mereka duduk, sekilas
aku melihat Adit sedang memerhatikanku. Selama sepersekian detik pandangan kami bertemu. Tapi karena tibatiba merasa deg-degan, aku langsung mengalihkan pandangan dengan cepat. Kenapa aku mesti deg-degan ya"
Aneh! Aduh, masih ada satu putaran lagi. Kalau lewat dekat
Adit duduk lagi, masa aku mesti pura-pura nggak lihat lagi" Kalau aku coba menyapanya, apa nggak terkesan terlalu sok akrab" Tapi hidungnya bengkak begitu
kan gara-gara aku. Toh sapaan itu kan bisa diartikan
sebagai ungkapan maaf dan rasa simpati. Menurutku
sih nggak apa-apa asal aku nggak melambaikan tangan terus teriak kenceng-kenceng, "Hei, Dit!" Apa
kata Pia nanti kalau aku benar-benar melakukan itu"
Lagian waktu kemarin lusa itu kami bisa ngobrol
enak kok. Mungkin nggak apa-apa kalau aku sekadar
senyum tipis ke arahnya. Oke, beberapa detik lagi
Ocha siap beraksi. Begitu tinggal sekian meter dari tempatnya duduk,
aku yang berlari menunduk segera mengangkat kepala
dan langsung menatap ke arah Adit. Aku lihat dia juga
sedang menatapku. Bagus" Tinggal senyum" Satu, dua,
tiga, senyum, Cha! Meskipun sebenernya deg-degan setengah mati, akhir001/I/13 131 nya aku berhasil tersenyum tipis ke arah Adit. Nyebelinnya, Adit yang melihatku senyum malah menoleh
ke arah Ghana tanpa ekspresi. Siaul! Dia sengaja atau
apa sih" Tapi untung Ghana nggak melihat senyumku
barusan. Bisa malu berat aku kalau dia sampai lihat
aku dikacangin kayak gini. Menyakitkan, euy.
"Cha, kok barusan kayaknya aku lihat kamu senyum
ke Adit, ya" Aku salah lihat nggak sih?" tanya Pia ketika kami sudah berlari satu setengah putaran dan cukup jauh dari jangkauan pendengaran Adit dan Ghana.
Ghana memang nggak lihat, tapi rupanya aku lengah dari partner lari sebelahku ini. Mampus!
"Oh, kamu nggak salah lihat sih. Aku emang senyum,
tapi ke Ghana kok, bukan ke Adit! Ya, cuma sekadar
nyapa aja gitu," jawabku sambil terengah-engah ketika
kami akhirnya berhasil menyelesaikan dua putaran. Sebenarnya aku sedikit gugup menjawabnya, tapi semoga
bisa tertutupi napasku yang terengah-engah.
"Lho, kamu kenal Ghana ya, Cha" Kok aku nggak
tahu?" Aku juga baru tahu, Pi! Meskipun Ghana sobatnya
Adit dan Adit tahu namaku, aku nggak berani menjamin
Ghana menyadari ada aku di dunia ini.
"Kalo kenal Ghana nggak harus bilang-bilang ke
kamu kan, Pi!" kataku ngeles.
"Iya sih! Tapi emang kamu bisa kenal Ghana dari
mana, Cha" Tari aja bisa kenal Ghana lewat cara ajaib
gitu, gara-gara misi spionase Adit itu lho... Kalo kamu?"
PRIIITTT".. PRIIITTT"..
I love you, Pak Otto! "Eh, udah disuruh kumpul sama Pak Otto tuh! Ke
sana yuk!" ajakku segera.
001/I/13 132 "Yuk"." kata Pia manut sambil berjalan mengikutiku.
Pia boleh jadi murid yang tergolong pintar di kelas.
Tapi pada kenyataannya aku nggak pernah kesulitan kalau pengin ngibulin Pia sedikit. Well, seperti yang baru
saja terjadi. *** Jam setengah sebelas malam. Beker udah aku setel,
buku-buku buat besok udah aku siapin, dengan jadwal
baru yang udah aku catat tadi pagi tentunya. Lampu
kamar juga udah aku matiin. Sebenarnya saat ini waktu
yang tepat untuk segera tidur. Tapi nggak juga tuh! Karena meskipun semua sepertinya sudah beres, aku cuma
melamun menatap langit-langit kamar yang gelap gulita,
merasa ada satu hal yang mengganjal.
Kuraba-raba handphone yang ada di meja sebelah
tempat tidurku. Begitu melihat keadaannya masih sama
seperti waktu terakhir aku melihatnya beberapa detik
yang lalu, aku langsung membantingnya di kasur empukku. Aha, tahu kan apa yang merisaukanku"
Kutunggu sampai jam sebelas, Dit! Itu batas kesabaranku. Itu juga batas jam malam maksimal aku boleh
melek sama Mama. Kalau kamu nggak SMS juga, aku
nggak bakal maafin kamu! Hiks, aku kenapa sih" Kenapa
Adit nggak SMS lagi, aku bisa sesebel ini ya" Tapi, masa dia SMS cuma semalam itu aja" Terlalu cepat semua
ini berlalu. Emang "semua ini" itu maksudnya apa sih"
Aduh, aku ngasal lagi! Atau aku yang mesti SMS duluan" Eh, jangan ding.
Aku kan cewek! Apa kabar sama yang namanya gengsi
001/I/13 133 dan harga diri cewek" Yah, meskipun hari gini cewek
boleh first move duluan sih, tapi" Nggak ah!
Eh, jangan-jangan dia nggak SMS lagi karena udah
tahu kalau yang dia SMS kemarin itu aku, Ocha, bukan
Ayu. Tadi pagi di lapangan basket aja dia pake buang
muka segala. Maksudnya apa coba kalau bukan karena
dia memang udah tahu" Tapi tahu dari mana ya" Wong
orang sekolah yang tahu nomor baruku aja cuma Pia.
Masa Adit tahu dari Pia sih" Nggak mungkin! Pasti Pia
udah cerita-cerita kalau dia ditanya soal nomor handphone-ku sama Adit. Tapi kenapa dia buang muka segala
ya" Atau karena marah udah aku lempar bola kemarin"
Tapi kan aku senyum itu dalam rangka minta maaf, Dit!
Bisa senyum kayak tadi itu udah usaha yang berat
buatku. Kenapa sih kamu nggak ngerti"
Aku mengambil handphone-ku yang sekarang tidak
sengaja aku tindih. Aku lihat layarnya. Masih sama saja.
Dan sekarang jam setengah dua belas" Yang bener aja!
Kok cepet banget ya"
Oke, Dit, udah cukup. Bodo amat kalau kamu nggak
bakal SMS lagi. Kalau cuma buang muka sih, aku juga
bisa. Tunggu saja besok! Aku segera menonaktifkan handphone yang kemudian
aku taruh di meja dengan kesal. Aku kemudian berbalik
memunggunginya sambil memeluk gulingku.
Adit, kenapa kamu nggak SMS lagi"
001/I/13 134 SEPULUH "A NAK-ANAK, berhubung Bu Nuri ada keperluan
keluarga, untuk dua jam pelajaran ke depan kalian diminta mengerjakan soal-soal yang ada di kertas ini.
Sekretaris kelas ini siapa ya?" tanya Bu Asti, guru BP
yang piket hari itu, kepada semua murid di kelasku.
"Saya, Bu," jawab Wulan, sekretaris kelasku yang berperawakan mungil (aku nggak bilang pendek lho,
Wul!) sambil mengacungkan tangan. Kuakui Wulan
memang pantas menjadi sekretaris kelas karena tulisan
tangannya sangat rapi. Tapi mungilnya itu lho, kadang
aku kasihan kalau melihat Wulan harus berjinjit-jinjit
saat menulis di papan tulis.
"Tolong ya, Nduk, kamu tulis soal ini di depan. Atau
mau difotokopi di tempatnya Pak Pur sana juga sakarepmu," kata Bu Asti sambil menyerahkan selembar kertas
kepada Wulan. Wulan hanya mengangguk-angguk.
"Saya tinggal dulu ya! Ada tugas lho, jangan keluyuran
ke mana-mana," pesan Bu Asti pada kami semua.
001/I/13 135 "Nduk, tolong nanti tugas teman-temanmu kamu kumpulkan ke tempat saya, ya?" pinta Bu Asti pada Wulan
lagi. Bu Asti kemudian pergi meninggalkan kelas kami.
Wulan kemudian mendatangi Pia yang duduk di sebelahku.
"Pi, duit kas masih banyak nggak?" tanya Wulan pada
Pia. Pia memang bendahara di kelasku. Maklum, anak
orang kaya, didaulat jadi bendahara karena enak disuruhsuruh nalangin kalau ada apa-apa. He he"
"Ya sekitar seratus ribu, gitu. Kenapa" Mau buat fotokopi?" tanya Pia. Wulan mengangguk-angguk sambil
memasang tampang memelas.
"Tapi satu meja berdua aja ya?" kata Pia sambil
mengeluarkan amplop khususnya.
"Makasih ya, Pi. Dadah"," kata Wulan sambil meletakkan kertas tugas itu di meja Pia dan berbalik mau
meninggalkan kelas. "Lho" Heh" Mau ke mana" Terus yang fotokopi siapa
dong?" teriak Pia keheranan.
"Kamu aja deh. Aku kebelet pipis," teriak Wulan dari
luar kelas bersama Dewi, Dyah, dan Tiara yang entah
sejak kapan menunggunya. "Huu" Dasar Wulan itu nggak tanggung jawab!" keluh
Pia. "Udahlah, Pi! Kan tadi katanya Wulan kebelet. Daripada ngompol, hayo!" kataku menenangkannya.
"Mau-maunya aja dikibulin Wulan, Cha! Mau pipis
kok rame-rame. Lagian nggak lihat apa tadi dia sempat
nyamber dompetnya" Sejak kapan pipis di sini harus
bayar" Pasti mau ke kantin dia itu. Cilik-cilik tur licik!"
keluh Pia lebih panjang lagi.
001/I/13 136 "Cha, sana gih kamu yang fotokopi!" kata Pia kepadaku.
Aku langsung lemas. "Lho, kok malah aku" Lha, kamu
ngapain?" "Aku baru sibuk nyalin PR-nya Pak Peno nih! Masih
kurang banyak banget!" kata Pia yang memang sedang
sibuk berkutat dengan buku biologiku. Prestasi Pia di
kelas udah nggak diragukan lagi, tapi aku yakin dia
nggak tahu sama sekali apa itu kepanjangannya PR. Karena selama sembilan bulan sekelas dengannya, setahuku
dia nggak pernah absen ngerjain PR-nya di sekolah,
nyalin dari PR-ku pula! Untungnya Pia nggak pernah
mengeluhkan PR-ku yang selalu jauh dari kata akurat.
Entah apa yang dikerjakan Pia di rumah. Mungkin keasyikan berenang di kolam renang mewahnya atau tersesat di rumahnya sendiri, sehingga nggak sempat menyentuh PR sama sekali.
"Ya udah deh. Sini duitnya!" jawabku pasrah. Toh
aku memang lagi nganggur, sekalian ajalah nyari pahala.
Pia mengulurkan kertas tugas Bu Nuri tadi dan selembar uang dua puluh ribu dari amplop kepadaku.
"Berapa nih" Dua puluh lembar aja, kan?" tanyaku
kepadanya. Pia mengangguk-angguk senang.
"Makasih, Cha!"
Aku segera keluar dari kelas dan berjalan menuju
ruang fotokopi di dekat perpustakaan bawah yang biasanya dijaga oleh Pak Pur. Sesampainya di sana kulihat
sosok Pak Pur yang kurus sedang sendirian, sibuk
memfotokopi kertas-kertas.
"Pak, fotokopi dua puluh lembar ya!" kataku sambil
menyerahkan kertas tugas tadi.
001/I/13 137 "Sebentar ya, Mbak! Saya mesti fotokopi pesanannya
Bu Lila dulu. Tahu sendiri kan Bu Lila?" Aku cuma
mengangguk-angguk, kemudian duduk di kursi lipat di
dekat pintu. Siapa sih yang nggak tahu Bu Lila" Aku yang masih
kelas X saja tahu dan Pak Pur yang karyawan di sini
juga sepertinya takut dengan beliau. SMA-ku memang
payah. Di kelas X udah ada Pak Rus yang killer. Kelas
XI nanti masih harus berhadapan dengan Bu Lila yang
gosipnya lebih killer lagi, masih di mata pelajaran yang
sama pula, matematika. Tanpa guru yang killer pun
matematika itu udah menyeramkan bagiku. Lha ini"
Bisa membayangkannya, kan"
"Pak, antrenya masih lama, nggak" Saya cuma mau
fotokopi satu lembar kok!" Ya ampun, suara cempreng
ini lagi! Aku menoleh. Dan bener, kan... Adit! Kulihat plester
masih menempel di hidungnya. Padahal kelihatannya
hidungnya udah nggak apa-apa. Mungkin dia sengaja,
supaya aku terus merasa bersalah atau apa. Dan kok
dia tadi kayak mau nyerobot antrean gini" Bener-bener
nggak sopan! "Wah, di sini mau fotokopi satu lembar atau seribu
lembar pun, harus urut antreannya, Mas!" kata Pak Pur
menjelaskan. Bravo, Pak Pur! Hari gini keadilan masih
harus ditegakkan! "Ya udah deh, saya antre juga," kata Adit sambil dengan tenangnya duduk di kursi lipat sebelahku.
Aduh! Jauh-jauh gih sana! Kursi masih banyak gini
kenapa mesti duduk di sebelahku" Kalau deg-deganku
sampai kedengeran kan bisa gawat.
001/I/13 138 "Lagian antreannya cuma dikit kok, Mas! Tinggal
pesenannya Bu Lila sama cah ayu ini," kata Pak Pur kepada Adit sambil terus sibuk merapikan kertas-kertas.
Cah ayu" He he he"
Sekilas aku melihat ke arah Adit yang duduk di sebelahku. Aku melihat cibiran di wajahnya begitu mendengar kata "cah ayu" yang dilontarkan oleh Pak Pur.
Ih, nyebelin banget sih! Maksud dia apa, coba"
Tanpa sengaja aku menginjak kaki Adit karena kesal.
"Auww!" teriaknya.
"Kenapa, Mas?" tanya Pak Pur heran.
Aku langsung menunduk, sok innocent. Swear, aku
benar-benar nggak sengaja.
"Nggak apa-apa, Pak! Ada nyamuk!"
Aku langsung ingin menginjak kakinya lagi karena
terasa betul dia sengaja menekankan kata "nyamuk" itu.
Sayangnya dia dengan sigap menarik kakinya sehingga
aku cuma berhasil menginjak lantai yang keras. Aku
langsung melirik kesal ke arahnya. Dan bertambah kesal
lagi karena dia malah menjulurkan lidah ke arahku.
Duh, mesti ngebales pake cara apa lagi nih" Masa
balik melet" Kok kesannya nggak kreatif! Karena kehabisan akal, akhirnya aku cuma menunduk pasrah.
"Iya, Mas! Di sini memang nyamuknya banyak. Saya
sudah lapor ke sekolah. Takutnya sini jadi sarang nyamuk berbahaya. Tapi pihak sekolahnya cuek. Lha
saya cuma karyawan kecil bisa apa" Lagian nyamuknya
bukan jenis berbahaya seperti yang saya takutkan kok.


A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paling cuma kalo gigit ya bikin kurus kayak saya ini."
Aku cuma meringis. Pak Pur kok malah jadi curhat
nggak penting gini sih"
001/I/13 139 "Tadi mau fotokopi berapa, Mbak?" tanya Pak Pur
kepadaku tiba-tiba sambil mengangkat kertas yang tadi
kuserahkan. "Oh, dua puluh lembar, Pak!"
Pak Pur kemudian mulai memfotokopi kertas-kertas
pesananku. Hanya terdengar suara mesin fotokopi di
ruangan itu. Pak Pur juga rupanya enggan mengobrol
lagi. Aku menoleh ke arah Adit. Dia sedang sibuk
membaca selembar kertas penuh rumus yang dia bawa
untuk difotokopi tadi. Kok suasananya jadi nggak enak gini sih" Sepi! Siiing!
Nggak enak banget pokoknya! Sebenernya bisa aja sih
aku ngajak ngobrol Adit duluan. Misalnya, "Kok tadi
malem kamu nggak SMS lagi, Dit?" Tapi kan itu
nggak mungkin! Emangnya aku udah bosen hidup"
Ngomong dong, Dit! Atau kamu melet-melet lagi juga
nggak apa-apa deh. Daripada suasananya aneh kayak
gini, bikin salting! Aku menoleh ke arah Adit lagi, dia masih membaca
kertas tadi. Ugh, baca rumus aja sampe segitunya. Adit
yang rupanya sadar sedang aku amati langsung melirik
kesal ke arahku. Lagi-lagi aku langsung menunduk.
Oh iya, baru inget, aku kan ceritanya mau balas dendam nyuekin dia! Lha kok tadi malah main lihat-lihatan
sama dia gitu sih" Bego! Pak Pur, cepetan dikit dong
fotokopinya! Lama banget sih!
Kudengar suara mesin fotokopi sudah berhenti. Bagus.
Kayaknya aku udah bisa pergi dari sini dan bernapas
lega. "Aduh, Mbak! Mesinnya ngadat nih. Tunggu sebentar
ya," kata Pak Pur kepadaku.
001/I/13 140 Ya ampun! Mesin fotokopi aja ikut-ikutan musuhin
aku. Nungguin mesinnya beres, aku mesti ngapain dong"
Adit sih enak ada bahan bacaan. Lha kertasku kan yang
lagi difotokopi" Mana bisa dibaca"
Kakiku bergerak-gerak nggak keruan, kebiasaan burukku nih kalau lagi nervous. Aku memandang sekeliling
ruang fotokopi itu dengan gelisah.
Aduh, aku mesti ngapain" Nggak ada yang bisa dibaca! Nggak ada yang menarik! Salting! Salting! Salting!
Sebeeeeel! Saking putus asanya aku akhirnya mulai mengamati
uang dua puluh ribuan dari Pia yang dari tadi aku pegang. Kuperhatikan wajah Ki Hajar Dewantara yang ada
di sisi depan. Aku angkat uang itu dan kuterawang tanda airnya, ternyata gambar Ki Hajar Dewantara juga.
Aku balik uang itu dan ganti memerhatikan sisi belakangnya. Ada gambar suasana sebuah kelas. Satu,
dua, tiga" Ada tiga belas murid dan satu guru di situ.
He he, kok gurunya agak mirip Pak Rus, ya"
"Kamu ngapain sih, Cha?"
Begitu aku menoleh ke arah suara itu, kulihat Adit
sedang memandangku heran. Aku cuma melet ke arahnya. Ugh, bodo amat dia mau berpikir aku ini gila atau
apa. Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, tingkahku tadi
memang kayak orang kere yang baru pertama kali
lihat uang dua puluh ribu. Jadi akhirnya aku berhenti
mengamati uang itu. Kulihat lagi Pak Pur yang masih sibuk menekan-nekan
tombol membingungkan itu. Sedangkan Adit, kulihat dia
sekarang malah mengeluarkan handphone dan menekannekan tombolnya sambil bersandar dengan nyaman.
001/I/13 141 Ugh, ini anak kok bisa santai amat sih nungguin
kayak gini" Emangnya dia nggak ada pelajaran ya"
Kayaknya tadi cuma kelasku aja deh yang kosong! Ngeluarin handphone, lagi! Bikin aku inget penantianku
tadi malam yang nyebelin itu lagi!
Karena gelisah, tanpa sadar aku meremas-remas uang
tadi sampai lecek dan melipat-lipatnya. Tanganku terus
bergerak sementara suara mesin fotokopi terus terdengar.
"Udah nih, Mbak! Dua puluh lembar, kan?" kata Pak
Pur sambil menata kertas-kertas hasil fotokopian pesananku itu. Hufh, finally" Aku langsung berdiri dan berjalan mendekati Pak Pur.
"Berapa, Pak?" "Dua ribu," kata Pak Pur sambil menyerahkan setumpuk kertas kepadaku.
Aku segera mengeluarkan uang dua puluh ribuan tadi.
"Ini, Pak!" kataku sambil menyerahkan uang itu tanpa
memerhatikannya lagi. Aku kemudian menghitung kertas-kertas itu. Bukannya
nggak percaya sama Pak Pur, tapi siapa tahu Pak Pur
kurang teliti atau apa. "Lho, kok kapal-kapalan gini, Mbak?" tanya Pak Pur
heran. Begitu menyadari apa yang baru saja kuberikan,
aku langsung menepuk kepalaku.
"Aduh, Pak, maaf ya. Biar saya lurusin dulu deh.
Tapi nanti agak kucel nggak apa-apa, ya?" Aku segera
mengambil uang dua puluh ribuan itu dari tangan Pak
Pur. Tapi Pak Pur langsung mencegahnya.
"Nggak usah, Mbak! Lucu kok kapalnya," kata Pak
Pur sambil tersenyum. 001/I/13 142 "Beneran nggak apa-apa, Pak?" Aku cuma bisa memandang Pak Pur heran.
"Nggak apa-apa. Sebentar, saya ambilin uang kembaliannya dulu." Pak Pur kemudian berbalik ke arah kotak
uang yang ada di meja di pojok ruangan. Aku menunggunya sambil menggaruk-garuk pipiku yang tidak gatal.
Oh iya, tadi kan ada"
Begitu aku menoleh, kulihat Adit udah ketawa-ketiwi
tanpa suara. Sial! Aku kok bisa lupa ada dia di sini. Seingatku udah dua kali aku melakukan tindakan memalukan gini dengan dia sebagai saksi matanya. Pertama
waktu di rental VCD dan kedua ya sekarang ini. Dia itu
pembawa sial buatku atau apa sih.
"Mbak, ini uang kembalinya. Delapan belas ribu."
Aku langsung menoleh dan mengambil uang kembalian
itu dari tangan Pak Pur. "Makasih ya, Pak!" Saat berbalik dan hendak keluar
dari ruangan itu, Adit masih tersenyum-senyum. Ini
anak, nggak capek apa dari tadi ketawa, terus sekarang
senyum-senyum kayak gitu" Kalau baru lihat ada orang
lain yang malu-maluin, pura-pura nggak lihat aja kenapa
sih" Oke, kalau waktu di rental VCD itu aku cuma bisa
melet, sepertinya sekarang sedikit kekerasan fisik sangat
dianjurkan. Aku menggulung kertas-kertas yang aku bawa sampai
berbentuk tabung memanjang. Aku berjalan ke arah
Adit yang keheranan melihatku, terus mendekatinya.
Kuayunkan kertas-kertas itu ke kepalanya dua kali.
Satu untuk kejadian di rental VCD dan satu lagi untuk kejadian barusan. Adit yang nggak siap menghadapi seranganku barusan cuma bisa melongo. Aku
001/I/13 143 tersenyum puas dan meninggalkannya bersama Pak
Pur yang mungkin juga keheranan karena baru sekali
ini ada keributan kecil antar-pelanggan di ruangannya.
Sampai di belokan dekat perpustakaan, aku menoleh
ke arah ruang fotokopi lagi. Di luarnya sepi, nggak
ada siapa pun. Kalau di film-film, sekarang ini di sana harusnya ada
Adit yang baru ngelihatin aku pergi. Tapi kok nggak
ada" Hiks" Aku berbelok menuju kelas dengan kesal.
Aduh, baru inget, tadi lupa lagi buat nyuekin dia.
*** "Lho, Pi, yang lain pada ke mana" Kok sendirian aja di
kelas?" tanyaku begitu sampai di kelas dan melihat
Pia sendirian, masih sibuk dengan PR-nya.
"Udah pada nyebar ke mana-mana. Biasalah, ke kantin,
lapangan basket, perpus, kamar kecil. Tugasnya ditungguin lama banget sih! Kamu fotokopi di mana
sih, Cha" Di Hong Kong?" ujar Pia kesal. Mungkin dia
kesal, nggak bisa ke mana-mana karena tanggungan PRnya. Sehingga dia mesti sendirian di kelas seperti sekarang.
"Ya biasa, di tempat Pak Pur. Tadi jadi lama soalnya
mesinnya sempet rusak gitu." Dan terasa makin lama
dari yang seharusnya karena ada orang yang nggak diharapkan ada di sana!
"Mau ngerjain tugasnya nggak, Pi?" kataku sambil
menaruh kertas yang baru saja aku fotokopi di meja
guru. 001/I/13 144 "Ya, iya lah. Bu Asti tadi aja udah pesen suruh ngumpulin. Lagian mubazir, udah fotokopi."
Aku mengambil selembar di antaranya dan duduk di
sebelah Pia. Kemudian aku mengambil buku kimia dan
alat tulis dari tasku. "Tapi kayaknya aku nggak bisa ngerjain itu deh, Cha.
Bisa-bisa PR biologiku nggak selesai. Jadi, kalau ntar
kamu udah selesai ngerjainnya, aku tinggal nyalin aja,
ya?" Huu, harusnya aku udah bisa membaca gelagat Pia
dari tadi. Tapi nggak apa-apalah. Kalau kimia, aku
lumayan jago kok. Nomor satu. Cuplikan bubuk besi sebanyak 5 gram
dipanaskan dengan gas klor menghasilkan 10 gram besi
(II) klorida FeCl2 (Ar Fe = 56, Cl = 35,5). Kadar unsur
besi dalam cuplikan adalah" Aduh, jago sih jago, tapi
nomor satu kok udah ada itung-itungannya kayak gini.
"Pi, bawa kalkulator, nggak?" tanyaku pada Pia yang
sekarang sibuk mengocok-ngocok Tip-X. Biasanya dia
rajin bawa kalkulator segala.
"Tadi dipinjem Rahma. Kelasnya kan baru ulangan
akuntansi," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari
bukunya. "Emang ngitung apa sih" Kalau pake HP
nggak bisa?" tambahnya lagi.
Oh iya, ya. Ngitung kayak gini, pake handphone juga
bisa. Sebenarnya mengandalkan otak, kertas buram, dan
pensil juga bisa sih. Tapi kalau aku yang ngitung, risikonya terlalu besar. Aku kan agak lemah di itung-itungan.
Aku segera mengambil handphone-ku, yang rupanya
sudah berkedip-kedip dari tadi. SMS dari siapa ya"
Mama mau ngajak ke rumah Eyang lagi"
001/I/13 145 1 message received, "aDiT jUeLeX!!. Adit SMS" Asyik"
Heh" Apa barusan aku bilang asyik" Refleks yang aneh.
Aku segera membacanya. -aDiT jUeLeX!!Hey, Ayu! Remember me" Gi di skul ya" Lg pel
apa neh" Gi BT neh, gi nngguin breng orng
rese. Yasud, klo gi pel, blsnya ntar aj.
Aku kemudian memerhatikan waktu SMS Adit masuk
ke handphone-ku. Jam sepuluh lebih lima" Itu kan sekitar sepuluh menit yang lalu" Oh, berarti dia SMS
waktu dia ngeluarin handphone-nya tadi ya" Tunggu"
Nungguin bareng orang rese" Kok aneh" Maksudnya
orang rese itu aku" Ih, Adit itu nyebelinnya kok nggak
ilang-ilang sih! Kayak gitu aja sampe diceritain lintas
sekolah. Cowok ternyata suka ngomongin orang juga,
ya" Yang diomongin aku, lagi! Males banget!
"Cha?" Kalau lagi pelajaran, balesnya entar aja" Idih, siapa
yang mau bales" GR aja! Lagian aku juga lagi sibuk
kok. Week! "Cha, kamu ngapain sih" Dari tadi aku perhatiiin
monyong-monyong gitu, eh, terakhirnya kok pake melet
segala! Akhir-akhir ini kamu suka aneh deh, Cha!"
"Eh, nggak apa-apa kok! Habis dapet SMS nyebelin
aja!" kataku gugup. "SMS nyebelin" Dari siapa?"
"Aah, orang nggak penting deh pokoknya!"
"Oh, SMS nyebelin kayak pengumuman undian
bohong-bohongan gitu ya. Aku juga sering dapet SMS
kayak gitu. Emang tuh, nyebelin banget!"
001/I/13 146 Baguslah. Kalau sisi o"onnya Pia baru kumat begini,
aku nggak perlu repot-repot ngeles lagi.
*** "Cha, beliin minum di tempatnya Mami dong!" kata
Pia yang sedang duduk berhadapan dengan Pak Pri,
bertanding catur. Kebiasaan baru Pia nih kalau lagi
istirahat. Sekarang bisa santai kayak gini. PR-nya Pia
udah selesai sih. Jadi dia santai, padahal tadi mau
fotokopi yang deket aja nyuruh-nyuruh orang!
"Lha ini ada Pak Pri. Kok nggak pesen minum di
tempatnya Pak Pri aja" Nongkrongnya di kantin Pak
Pri, kok beli minumya di tempat Mami sih" Nggak sopan ya, Pak?" Aku meminta persetujuan Pak Pri yang
sedang sibuk berpikir. "Esnya di tempat Pak Pri habis. Week! Ya kan, Pak?"
ganti Pia sekarang yang meminta persetujuan Pak Pri.
"Maaf ya, Mbak! Tadi anak kelas XII lari keliling sekolah tiga kali. Jadi esnya memang sudah habis, laris
manis." "Berarti esnya di tempat Mami juga habis dong?"
kataku. "Ya nggak tahu kalau kamu belum ke sana. Makanya
kamu aku suruh ngeliatin ke sana," kata Pia. "Nih,
duitnya. Es teh satu ya" Ditaruh di gelas, jangan
plastik," tambah Pia lagi sambil tersenyum dan menyerahkan selembar uang seribu rupiah. Aku pasrah menerimanya. Ya udahlah nggak apa-apa, toh aku emang
lagi nganggur. Bosen juga dari tadi cuma nonton Pia
lawan Pak Pri. Pengin ikutan main sih, tapi kata Pia
001/I/13 147 aku ini masih amatir. Jahat kan Pia itu" Udah ngejek
kemampuan caturku, masih suka nyuruh-nyuruh pula.
*** Begitu aku sampai di kios milik Mami, tumben keadaan
lumayan sepi. Mungkin Mami kehabisan es juga, sama
seperti Pak Pri. "Es teh satu, Mi!" kataku berbarengan dengan suara
orang di belakangku. Hayo, tebak suara siapa" Tenang,
itu bukan suara Adit kok. Suara itu milik Mas Bintang.
Orang nomor dua terakhir yang aku ingin temui saat
ini. Karena nomor satu terakhirnya masih dipegang oleh
Adit. Badan Mas Bintang penuh keringat dan masih
memakai seragam olahraga. Kayaknya Mas Bintang
termasuk anak kelas XII yang habis keliling lapangan
tiga kali seperti yang diceritain Pak Pri tadi.
"Aduh, maaf, anakku. Esnya tinggal cukup buat satu
gelas. Gimana ini" Mau suit atau esnya dibagi dua"
Silakan" Mami sih ngikut," kata Mami kepada kami


A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdua. "Ya udah, esnya buat adik ini aja, Mi! Aku teh anget
aja juga nggak apa-apa kok! Kalo teh anget ada kan,
Mi" Ditaruh di gelas ya, Mi!" kata Mas Bintang.
"Eh, nggak apa-apa, Mas" Mas Bintang kan habis
olahraga! Aku yang ngalah juga nggak apa-apa kok!"
kataku menawarkan. Sebenernya bukan aku sih yang
harus ngalah, tapi Pia. "Ah, nggak apa-apa. Kan ladies first! Lagian aku baru
inget, sebenernya minum es habis olahraga itu nggak
sehat," katanya sambil tersenyum.
001/I/13 148 "Makasih deh kalo gitu," kataku sambil balas tersenyum.
"Mau di plastik atau di gelas?" tanya Mami kepadaku.
"Di gelas juga deh, Mi!" jawabku singkat.
Mami kemudian mulai menuangkan teh dari poci ke
gelas. "Oh iya, tadi kok tahu kalau namaku Bintang?" tanya
Mas Bintang heran. O... o"
"Oh, Mas Bintang kan lumayan terkenal," jawabku.
"Oh, ya?" tanya Mas Bintang lebih heran lagi. Sebenernya itu memang bukan jawaban yang bermutu sih.
Aah, udahlah, Cha, ngaku aja.
"Lagian Mas kan dulu pernah bantuin hidupin motorku. Jadinya inget deh!" tambahku lagi. Kulihat dia mengerutkan keningnya, mulai mengingat-ingat. Awas, Mas,
kalau nggak inget! "Oh iya, yang waktu itu. Aku inget," kata Mas Bintang
sambil tersenyum lagi. Hufh, untung dia inget!
"Yang jongkok-jongkok sambil nangis itu, kan?" tambah Mas Bintang lagi. Duh, ngomongnya kurang keras,
Mas! Aku cuma mengangguk-angguk sambil tersenyum tipis.
"Ini es tehnya, anakku," kata Mami sambil mengulurkan segelas es teh.
"Ini uangnya, Mi! Makasih ya"," kataku sambil meletakkan uang Pia di atas meja.
"Sama-sama, anakku!"
"Duluan ya, Mas! Yok"," pamitku pada Mas Bintang.
Mas Bintang cuma mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Mas Bintang, Mas Bintang, masih aja baik kayak
001/I/13 149 dulu. Aku bisa suka dia lagi nih. Tapi nggak ding, buatku kan sudah ada orang lain.
Ups, apa aku tadi bilang orang lain itu Adit" Nggak,
kan" *** "Pi, aku tadi di kios Mami ketemu Mas Bintang lho..."
Saat itu kami sedang duduk di kursi depan kelas,
menunggu Pak Peno masuk. Padahal bel masuk sudah
berbunyi dari tadi. Di tangan Pia sekarang ada sebungkus keripik singkong pedas yang biasa dijual di kantin
Pak Pri. "Katanya mau niat ngelupain, Cha" Lha kok sekarang ngomongin dia lagi?"
"Bukannya mau nginget-inget sih. Cuma pengin
cerita-cerita aja kalo tadi ketemu Mas Bintang, terus
ngobrol. Udah!" "Lho" Sampe ngobrol segala, Cha" Hebat tuh! Dulu
cuma mau papasan aja udah heboh sendiri nggak keruan
gitu!" "Kan aku udah bilang, Pi! Aku itu cuma agak suka
dikit aja sama Mas Bintang. Ngelupain perasaan cetek
kayak gitu mah keciiil!" Kalau beneran cetek, aku
dulu ngapain nangis segala ya"
"Beneran udah lupa?"
"Swear!" kataku sambil mengangkat tanganku, membentuk tanda peace.
"Tadi waktu ngobrol, dalam hati kamu masih penasaran soal ceweknya, nggak" Misalnya, dia masih sama
ceweknya atau nggak gitu?" tanya Pia.
001/I/13 150 "Mmm" Nggak kepikiran sama sekali. Bodo amat dia
udah putus atau belum."
"Waktu ngobrol tadi deg-degan, nggak?"
"Nggak!" "Kalau salting?" desak Pia lagi.
"Salting" Nggak! Ngapain pake salting segala?"
"Bagus kalau gitu. Menurutku kamu emang udah bisa
ngelupain dia. Selamat, Cha!" kata Pia sambil menjabat
tanganku. Aku cuma menatap heran ke arah Pia. Ngapain
sih, cuma kayak gini aja sampe disalamin segala.
"Emang kalau masih suka deg-degan, terus bawaannya
salting gitu, artinya aku belum bisa ngelupain dia?"
aku balik bertanya kepada Pia.
"Iyalah. Kalau kita suka deg-degan, terus salting
setiap deket sama seseorang, ya berarti kita suka sama
itu orang. Aduh, kamu itu" Kayak gitu aja masih nanya!
Itu kan pengetahuan tentang cinta paling basic!"
Aku cuma mengangguk-angguk.
"Eh, Cha! Cha! Adit tuh, Cha! Aduh, Tari ke mana"
Dia bisa ngamuk kalau Adit lewat aku nggak bilangbilang. Cha, di gigiku ada sisa keripik, nggak?" tanya
Pia sambil meringis ke arahku. Kadang Pia itu noraknya memang nggak ketulungan.
"Nggak, nggak! Kamu nggak usah heboh gitu kenapa
sih" Cuma Adit, juga!" kataku pelan sambil sekilas
melihat ke arah Adit yang masih berjalan jauh di
sana. Memang masih jauh, tapi pasti dia lewat di
depan sini juga. Aku mesti ngapain ya kalau dia lewat" Aku kan udah janji pada diriku sendiri mau
nyuekin dia. Pura-pura ngajak ngobrol Pia jelas nggak
mungkin, soalnya Pia pasti sibuk senyum-senyum sen001/I/13 151 diri ke arah Adit. Aduh, dia kok semakin deket sih"
Dia tambah deket ke sini, aku kan jadi tambah deg-degan.
Dari ekor mataku, aku bisa melihat, beberapa langkah lagi Adit bakal lewat di depanku. Oke, nggak ada
ide lain. Aku segera menunduk dan pura-pura membetulkan
tali sepatu yang sama sekali nggak lepas. Jadi aku melepaskan talinya dan mengikatnya lagi. Untung tadi pagi
aku nggak dengerin ocehan Mama waktu nyuruh aku
pakai sepatu pantofel yang baru dibeliin Mama kemarin.
Setelah merasa cukup lama aku menunduk dan yakin
Adit sudah lewat, aku segera menegakkan tubuhku. Waktu aku menoleh ke arah Pia, dia masih memandang ke
arah punggung Adit yang terus bergerak menjauh. Sebenernya ide benerin tali sepatu tadi bukan termasuk
ide bermutu sih, tapi daripada aku salting, hayo" Wait"
Wait" Apa tadi aku menyebut kata salting dan juga
deg-degan" "Pi, kalau waktu Adit lewat tadi, kamu salting sama
deg-degan gitu, nggak?" tanyaku pada Pia yang sudah
kembali ke alam sadar. "Ya nggaklah! Aku kan nggak suka dia! Ngapain
deg-degan" Lagian, kalau salting aku pasti malah
pura-pura nggak lihat dia, nggak bakal berani lah aku
senyumin dia terus tiap ketemu kayak tadi. Yah, meskipun dikacangin lagi sih! Dia itu cool banget ya,
Cha?" kata Pia panjang-lebar dengan mata berbinarbinar ala Sinchan itu.
Pia tadi nggak deg-degan, nggak salting, juga nggak
pura-pura nggak lihat! Bukannya aku tadi malah kebalikannya" OH, NO!
001/I/13 152 *** Bales" Nggak" Bales" Nggak" Bales" Bales nggak ya"
Nggak bales aja ah" "Heh, Cha, kamu ngapain sih mondar-mandir di depan
TV terus kayak gitu" Nutupin, tau!" teriak Mas Ardhi
sambil melempariku dengan kacang rebus dari arah sofa.
Aku segera tersadar dan ikut duduk di sebelah Mas
Ardhi. Mataku ikut menerawang menonton sosok gendut
Mat Solar di TV tapi pikiranku melayang ke handphone
yang aku taruh di meja belajar kamarku.
"Kamu ngapain sih, Cha" Marahan sama cowokmu
lagi?" tanya Mas Ardhi sambil terus asyik mengunyah
kacang rebus. Aku cuma terdiam.
Cowok apaan" Lagian itu udah topik basi!
"Daripada stres, makan kacang aja nih! Lumayan buat
nambah-nambah jerawat," kata Mas Ardhi lagi.
Aku menoleh ke arah Mas Ardhi, kemudian ke sepiring
penuh kacang rebus yang ada di depannya. Aha, great
idea" Ya Allah, berikan aku petunjuk-Mu. Aku langsung
mengambil sepiring kacang itu dan menaruhnya di pangkuanku.
"Heh, diajak ngomong nggak jawab, begitu ditawarin
kacang kok langsung nafsu. Kayak Mbekur aja kamu."
Mbekur itu nama monyet milik sepupu jauhku.
Aku langsung menuangkan seluruh kacang rebus itu
ke meja. "Eh, kok ditaruh di situ segala sih" Kan mejanya
jadi kotor tuh! Nanti bersihin lho!" kata Mas Ardhi
lagi sambil mengambil segenggam kacang yang sudah
aku taruh di meja. 001/I/13 153 "Eh, jangan diambil lagi, Mas! Nanti pengaruh ke
hasil akhirnya"," kataku sambil merebut lagi kacangkacang yang sudah ada di tangan Mas Ardhi. Mas Ardhi
cuma melihatku heran. "Hasil akhir apa" Kamu itu mau ngapain sih?"
"Udah deh, nonton TV aja sana!" kataku sambil memindahkan kacang-kacang yang ada di meja ke dalam
piring. Bales" Nggak" Bales" Nggak" Bales"
"Oh, mau dihitung" Buat apa" Aneh" Lagian kamu
kalo ngitung payah! Sini, aku bantuin aja deh!" Sekarang
Mas Ardhi berusaha mengambil kacang-kacang itu lagi.
"Aduh, bukan mau dihitung! Mas Ardhi nggak usah
ikut-ikut deh!" Aku berusaha merebut kacang-kacang
itu lagi. Aduh, tadi sampe "Bales" atau "Nggak" ya" Ugh,
gara-gara Mas Ardhi gangguin nih! Ya udah, diulang
lagi aja" Eh, tapi" Bukannya kalau pertamanya "Bales"
pasti beda hasilnya sama kalau pertamanya "Nggak" kan
ya" Jadi" mesti gimana nih"
"Mas, Mas Ardhi lebih suka huruf B atau huruf N?"
tanyaku tiba-tiba. "Ya Allah, adikku kok gara-gara cowok jadi gila gini
sih" Cha, siapa nama cowok yang udah bikin kamu kayak gini" Anak mana dia" Biar aku datengin rumahnya!"
tanya Mas Ardhi sambil menatapku cemas.
"Aduh, Mas Ardhi kok malah ngaco lagi! Jawab aja
kenapa sih?" jawabku sambil merengut.
"Eh, iya, iya. Daripada kamu tambah parah, aku nggak
tega lihat Mama sampe nangis-nangis kalo tahu kamu
jadi kayak gini." 001/I/13 154 "Iya, tapi apaan?" desakku ketika melihat Mas Ardhi
malah terdiam lagi. "Bentar, lagi mikir nih. B apa N ya?"
"Cepetan! Tinggal milih gitu aja lama banget sih!"
desakku lagi. "N aja kali ya" B bentuknya jelek, ndut! Ya deh, N
aja. Terus" kalo N kenapa, Cha?"
Aku nggak menggubris pertanyaan Mas Ardhi. Yang
penting udah dapet huruf N.
Eh, tunggu" pilihannya Mas Ardhi itu biasanya jelek.
Dulu aja waktu ngasih oleh-oleh kaus dari Bali, sekali
cuci langsung luntur. Jangan N deh, B aja.
Bales" Nggak" Bales" Nggak" Bales"
Aku terus memindahkan kacang-kacang itu ke dalam
piring sambil terus mengucapkan dua kata sakti itu.
Mas Ardhi nggak berani gangguin lagi karena penasaran
juga dengan apa yang sedang kulakukan.
Nggak" Bales" Nggak" Bales" Bales" Nggak"
Bales" Nggak" Bales" Bales" Nggak" Bales" Nggak"
Bales" Nggak" Duh, kacangnya lumayan banyak juga ya"
Bales" Nggak" Bales" Nggak" Bales" Nggak"
Bales" Nggak" Bales" Nggak" Bales" Nggak"
Tinggal tersisa satu buah kacang di atas meja. Kacang
yang tersisa itu, udah kecil, busuk pula!
"Mas, kalo kayak gini bisa disebut kacang, nggak?"
tanyaku sambil mengangkat kacang itu dan menunjukkannya kepada Mas Ardhi.
"Apaan sih itu?" Mas Ardhi menatapnya penasaran.
Aku menyerahkannya kepada Mas Ardhi untuk diteliti
lebih lanjut. 001/I/13 155 "Ih, kok lengket-lengket gini sih" Yuck, jijay banget!
Kok kayak" Ih, ini sih... UPIL!!" teriak Mas Ardhi sambil melemparkannya ke udara. "Itu tadi upilmu ya, Cha"
Sengaja mau ngerjain apa gimana sih" Nyebelin banget!
Jorok, tau!" Mas Ardhi masih berteriak-teriak histeris
sambil terus sibuk mengusapkan tangannya ke sofa.
Aku tertawa melihat tingkah Mas Ardhi.
"Bukan, itu tuh kacang," kataku sambil terus tertawa.
Kemudian aku menunduk, mulai mencarinya ke bawah
sofa. "Mas, kacangnya tadi dilempar ke mana" Aduh, harusnya tadi jangan terus dilempar! Sekarang nyariinnya
jadi susah, kan?" keluhku sambil terus menunduk-nunduk dan meraba-raba.
"Jorok banget sih, Cha! Upil ilang aja dicariin!"
"Ih, orang udah dibilangin! Itu tuh kacang!! Mana
ada upil segede itu?"
"Iya sih, itu kegedean kalau buat ukuran upil. Eh,
tapi kalau upilmu sih bisa kali sampe segede itu." Aku
langsung menarik mukaku dari belakang sofa dan melirik
kesal ke arah Mas Ardhi yang langsung nyengir.
Aduh, kacangnya ngumpet di mana sih"
"Tapi itu juga kekecilan lho, Cha, kalau buat ukuran
kacang," tambahnya lagi.
"POKOKNYA ITU KACANG!!" teriakku. Harus kacang!
Kalau bukan, hitunganku tadi jatuh di kata "Nggak"
soalnya. "Udahlah, Cha, kalau itu kacang juga ngapain dicariin
sampe nungging-nungging kayak gitu," bujuk Mas Ardhi.
"Kacang yang itu penting banget! Daripada ngomong
terus, bantuin nyari kek!"
001/I/13 156 "Yee" Kalo itu aku nggak mau."
Aku terus mencari kacang itu di bawah sofa, tapi
nggak berhasil kutemukan juga. Aku kemudian kembali
duduk di sofa dan langsung menghela napas. Aku menyerah.
"Gini aja deh, Cha! Kamu bilang itu kacang. Kataku
itu bukan. Jadi kesimpulannya, tadi itu setengah kacang.
Gimana?" kata Mas Ardhi mencoba memberikan solusi.


A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aduh, mana ada setengah kacang segala?" kataku
menolak solusi itu. "Ya ada lah! Belum pernah denger yang namanya
pecahan ya" Waktu SD dulu bahas itu, pasti bolos, ya"
Pantesan sekarang matematika-mu dapet jelek terus."
Kok Mas Ardhi malah jadi nyinggung-nyinggung kemampuan akademisku segala sih"
"POKOKNYA DALAM KASUS INI NGGAK BOLEH
ADA PECAHAN!!" teriakku lagi.
"Ya udah, nggak usah sewot gitu dong. Aku kan cuma
nyoba nawarin jalan tengah. Tapi kalo kamu benerbener kepingin tau pendapatku sih, itu tadi bukan
kacang. Meskipun aku nggak tau itu upil atau bukan,
tapi yang jelas bukan kacang," kata Mas Ardhi.
"Yakin?" tanyaku lemah.
Mas Ardhi cuma mengangguk-angguk mantap. Aku
segera menepuk-nepuk meja yang agak kotor karena
terkena kacang rebus tadi. Kacang terakhir yang aku
masukkan ke piring tadi mewakili kata "Nggak". Jadi ya
sudahlah, aku nggak akan bales SMS itu.
"Gitu ya" Bukan kacang" Ya udah deh, aku mau naik
dulu ya, Mas, mau bobok!" sahutku lesu sambil berjalan
menuju tangga. 001/I/13 157 "Cha, kok jam segini udah mau bobok" Heh, kamu
kok jadi lemes gitu sih" Ya udah deh, tadi itu kacang!"
teriak Mas Ardhi. Sepertinya Mas Ardhi khawatir melihatku jadi tidak bersemangat.
"Nggak apa-apa kok, Mas, kalau tadi itu bukan
kacang," jawabku dari tangga.
"Eh, beneran! Kalau aku inget-inget lagi, tadi itu
memang kacang kok!" teriak Mas Ardhi lagi. Aku cuma
diam sambil terus menggeleng-gelengkan kepala.
*** Aku duduk di kursi yang ada di balkon kamarku. Handphone yang aku taruh di pinggir balkon cuma aku pandangi dari jauh. Sekarang jadi pengin bales, padahal
Tuhan udah memberikan petunjuk-Nya lewat kacang
tadi bahwa aku nggak boleh bales SMS itu. Tapi petunjuk
kayak tadi valid nggak ya" Kalau mau yakin valid sih,
pake salat istikharah. Tapi cuma masalah kayak gini,
masa mesti salat istikharah" Kok kesannya salat dipake
buat maen-maen! Terus enaknya gimana ya"
Drrrt" drrrt" drrrt" A lot of fun" A lot of fun to be
had" Drrrt" drrrt" drrrt" But over do it" And end
up in the rehab" Drrrt" drrrt" drrrt"
SMS" Adit" Aku langsung menyambar handphone yang
ada di pinggir balkon itu dan langsung menelan kenyataan pahit begitu membaca siapa nama pengirimnya.
-bAkPiACha, mbok pnjm chicklit ato teenlit ya" Apa
aja" Yg bagus lho. Thanks.
001/I/13 158 Aduh, cuma Pia. Nggak penting banget, lagi. SMS
kayak gini mau dijawab apa, coba" Masa cuma "Ya.?"
Mending nggak usah dijawab ah, sayang pulsa. Tapi"
Ya udahlah aku missed call dia aja. Anggap ini sebagai
jawaban "Ya." ya, Pi"
Selesai missed call Pia, handphone itu aku taruh lagi
di pinggir balkon. Aku kembali duduk bersila di kursi.
Nggak lama kemudian"
Drrrt" drrrt" drrrt" Are you really gonna make it
happen" Drrrt" drrrt" drrrt" Seems a whisper sometimes louder than a scream"
Sekarang missed call" Ah, pasti itu Pia yang nggak
puas cuma di-missed call tadi tuh! Hufh, di-missed call,
malah balik missed call! Ntar aku missed call lagi, dia
balik missed call lagi! Haduuuh, bisa nggak selesai-selesai, kan" Salah sendiri, kirim SMS kok nggak butuh
jawaban kayak gitu! Coba aja lihat SMS-nya, sama sekali
nggak ada satu buah pun tanda tanya, kan" Ya sah-sah
aja dong kalau aku nggak bales SMS-nya, Pia nggak
nanya apa-apa kok! Aku mau missed call itu juga udah
mending, Pi! Udahlah, aku diemin aja.
Drrrt" drrrt" drrrt" Are you really gonna make it
happen" Drrrt" drrrt" drrrt" Life is free"
Dengan setengah sadar, aku memandangi handphoneku yang terus berkedip-kedip dan bergetar di tepi balkon
itu. Handphone itu terus bergetar dan bergerak menjauhiku. Otakku sedang kacau untuk mencerna apa yang
bakal terjadi. Begitu handphone-ku menghilang dari pandangan, aku
segera tersadar dan bangun dari kursiku, kemudian mendekati balkon serta melongokkan kepala ke bawah.
001/I/13 159 Hufh, untung jatuhnya cuma di genteng. Dengan hatihati aku melompati dinding balkon dan turun ke genteng.
Begitu kakiku menginjak genteng, aku segera memungut handphone-ku yang tergeletak di pojok. Untung
handphone-ku nggak kenapa-kenapa. Setelah handphone
sudah ada di tangan, aku berbalik hendak kembali ke
balkon. Tetapi turun rupanya jauh lebih mudah daripada
naik. Aku agak kesulitan mengangkat tubuhku. Ya
udahlah, nanti aja naiknya. Aku berbalik lagi dan duduk
di genteng bersandarkan tembok balkon dan baru menyadari pemandangan langit dari sini jauh lebih bagus
daripada pemandangan langit dari kursi di balkon. Langit
sebelah utara jadi nggak tertutup pohon jambu milik tetangga.
Setelah puas melihat-lihat langit, aku kembali mengalihkan perhatianku ke handphone yang dari tadi aku
genggam. 1 missed call, 1 aDiT jUeLeX!!.
Oalah, kamu toh, Dit" Kenapa" Minta aku bales SMSmu yang tadi siang" Aku juga pengin, Dit! Tapi nggak
boleh sama kacang! Aku mesti gimana, hayo"
Aku kemudian mengantongi handphone itu di saku
belakang celana dan kembali menengadahkan kepala,
iseng menghitung bintang-bintang yang ada di sana.
Saat hitunganku sampai ke angka 27, pantatku terasa
geli karena terus bergetar-getar.
Drrrt" drrrt" drrrt" Are you really gonna make it
happen" Drrrt" drrrt" drrrt" Seems a whisper sometimes louder than a scream"
Aku segera mengeluarkan handphone dari saku celana.
Di layarnya yang berkedip-kedip, tertulis kata-kata aDiT
001/I/13 160 jUeLeX!! Calling. Aku cuma menatapnya dengan pandangan kosong.
Gimana ya" Missed call-missed call barusan benerbener menggoda iman. Dan kalau aku nggak bales juga,
semalaman ini aku pasti nggak bakalan bisa tidur.
Ya Tuhan, maafkan hamba-Mu yang tidak mengacuhkan petunjuk-Mu ini. Toh aku hanya manusia biasa.
Aku segera menekan-nekan tombol handphone-ku.
Sent: Hey, sory gi bls. Iy2, msh inget kq. Adit kn" Gi
ngpa niy" Dh g BT kn"
Cuma SMS singkat tapi setelah aku menekan tombol
Send, dadaku langsung terasa plong. Aku kembali melamun, mengingat kembali percakapan konyolku di
kamar kecil sekolah, terutama suaranya saat menyebut
namaku dari balik kamar kecil.
"Cha..." Tapi lama kelamaan suara Adit terdengar seperti suara
Mas Ardhi. "Cha" Ocha!!"
Eh, itu sih emang suaranya Mas Ardhi.
"Ocha, kamu di mana sih?" Mas Ardhi terus berteriakteriak dari arah kamarku dengan panik. Kemudian terdengar suara langkah Mas Ardhi melewati pintu penghubung kamar dan balkon yang tadi memang aku biarkan terbuka.
"Ocha" Jangan kabur!! Jangan bunuh diri!! Kamu di
mana?" Mas Ardhi berteriak-teriak di atasku. Aku sendiri
cuma terkekeh-kekeh menahan geli.
001/I/13 161 "Mas Ardhi ngapain sih" Teriak-teriaknya sampe
nyemprot ke Ocha nih. Lagian tetangga-tetangga bisa
protes kalau Mas Ardhi kayak gitu terus," kataku. Mas
Ardhi menunduk heran ke arahku.
Aku menengadah dan terkekeh-kekeh lagi melihat tampang Mas Ardhi yang agak pucat.
"Ocha, kamu nggak apa-apa" Ngapain di situ" Nggak
mau bunuh diri, kan?" kata Mas Ardhi sambil menatapku
cemas. "Bunuh diri gimana" Ngaco!" kataku sambil bersandar
pada tembok balkon lagi. "Cha, naik gih!" pinta Mas Ardhi kepadaku.
"Nggak bisa naik. Mas Ardhi ntar bantuin Ocha naik,
ya" Tapi ntar aja. Enak ngadem di sini, Mas! Mas Ardhi
ikut ke sini aja!" kataku lagi.
Mas Ardhi langsung melompati tembok balkon dan
ikut duduk bersila di sebelahku.
"Aduh, Cha! Kamu itu udah aku cariin ke manamana. Aku khawatir banget, tau!" kata Mas Ardhi
sambil menyenggol-nyenggol tubuhku dengan sikunya.
"Cuma di sini kok! Pake khawatir, lagi!"
"Gimana nggak khawatir" Kamu pergi tadi lemes gitu!"
"Eh, di sini ternyata enak juga, ya?" kata Mas Ardhi
lagi begitu melihat ke arah langit.
"Emang Mas Ardhi mau ngapain nyariin Ocha segala?"
tanyaku sambil meluruskan kaki.
"Oh, iya," katanya seperti teringat sesuatu. Kemudian
Mas Ardhi mulai merogoh-rogoh sakunya. Aku cuma
menatapnya heran. "Aku nggak tahu kamu lagi merencanakan hal gila
apa. Tapi aku rela deh ikutan gila asal kamu nggak
001/I/13 162 lemes lagi kayak tadi. Nih, Cha!" katanya sambil menyerahkan benda yang tadi dirogoh-rogohnya, benda bulat
kecil yang hitam jelek dan terlihat lengket. Kacang tadi.
"Tadi kamu nyariin di bawah sofa terus, kan" Ternyata
jatuhnya di atas sofa. Kamu tadi juga kurang gigih sih!
Aku aja nyariinnya sampe setengah jam baru ketemu.
Nih! Mau diapain terserah kamu sekarang! Aku nggak
bakal nanya-nanya lagi!" kata Mas Ardhi sambil meletakkannya di tanganku.
"Oh ya, kabar baiknya, ternyata ini emang kacang.
Emang nggak ada isinya sih, tapi kalau kamu perhatiin
lagi, serat-serat kulitnya kelihatan kok!" tambahnya lagi.
Aku cuma melongo menatapnya. Nggak tahu mesti
bilang apa. Rasanya pengin ketawa dengan apa yang
barusan Mas Ardhi lakukan, tapi di sisi lain merasa terharu. Ternyata masku yang nyebelin ini bisa baik juga.
"Makasih ya, Mas!" kataku kemudian. Mas Ardhi cuma
mengangguk-angguk. Aku sendiri terus menatap kacang
itu. Terima kasih, Tuhan... Dengan ini, bisa dibilang aku
nggak jadi berdosa. Nggak cuma plong, sekarang terasa
betul sebuah beban baru saja diangkat dari bahuku.
Drrrt" drrrt" drrrt" A lot of fun" A lot of fun to be
had" Drrrt" drrrt" drrrt" But over do it" And end
up in the rehab" Drrrt" drrrt" drrrt"
Aku mengangkat handphone itu dan membacanya.
Dari Adit. Lagi-lagi aku nggak bisa mengendalikan otototot di sekitar mulutku ini supaya nggak tersenyum.
001/I/13 163 SEBELAS S ETAHUN itu cepet banget, ya" Kayaknya baru kemarin ini aku diomel-omelin kakak kelas sewaktu MOS.
Disuruh mijetin pohon karetan lah, pake papan nama
karton model bikini lah, diguyur pake kolam teratai lah,
eh kok tahu-tahu sekarang udah kelas XI begini.
Memasuki kelas XI, nggak banyak yang berubah.
Teman-teman sekelasku ya masih itu-itu aja. Pengurus
kelas aja masih sama seperti waktu kelas X dulu. Tahuntahun kemarin sih, kelas XI biasanya diacak. Tapi nggak
tahu kenapa, kepala sekolahku yang baru mempunyai
kebijakan sendiri yang meniadakan pengacakan kelas
untuk tahun ini. Nggak sedikit yang langsung keberatan
begitu mendengar kebijakan ini dan yang paling gencar
protes ke kepala sekolah, meskipun nggak membuahkan
hasil, siapa lagi kalo bukan Tari. Katanya gara-gara kebijakan itu, pupus sudah harapannya bisa sekelas sama
Adit. Hufh, Adit! Aku sih malah bersyukur bisa nggak
sekelas sama dia. Habisnya akhir-akhir ini aku suka sal001/I/13 164 ting kalo deket-deket dia. Nggak mungkin lagi deh, bisa
ngobrol-ngobrol kayak di kamar kecil waktu itu. Boroboro sekelas, tiap dia lewat aja bawaannya aku suka
pura-pura nggak lihat gitu kok! Kadang kangen juga sih
bisa melet-melet ke dia kayak dulu. Aneh, ya"
Tahun ajaran baru, wajah-wajah baru juga mulai muncul di sekolahku. Sayangnya aku nggak bisa ikut ngerjain
mereka, bukan panitia MOS sih. Karena wajah-wajah
baru itu pulalah wajah-wajah lama juga harus tergusur
dari sekolahku. Mas Bintang adalah salah satu di antaranya. Denger-denger dia diterima di ITB, nggak tahu
jurusan apa. Bagus deh, jauh-jauh gih sana! Bukannya
masih suka keinget atau apa sih, tapi semakin jauh dia
dari Jogja menurutku itu semakin bagus. Dan ada satu
lagi yang bikin sebel, cewek-cewek juniorku ternyata
nggak jauh beda sama cewek-cewek angkatanku. Dalam
waktu sebentar" simsalabim!! Mereka ikut-ikutan jadi
Adit-mania. Tuh kan, Adit lagi, Adit lagi!
Oh iya, udah sekitar empat bulan juga Adit resmi
jadi" temen SMS-anku, he he" Hampir tiap hari
kami SMS-an. Yang aku masih heran sampai sekarang,
kenapa ya tiap dapet SMS dari dia, rasanya aku jadi
seneeeng banget, bawaannya pengin senyum-senyum
terus. Padahal kan cuma Adit gitu lho! Dan selama
empat bulan itu, nggak cuma sekali Adit bawel minta
ketemu. Ho ho, jelas aja aku nggak pernah mau.
Alasanku menolak bertemu macem-macem. Dari sibuk
ulangan, nggak ada kendaraan, sampe nggak dibolehin
keluar sama ortu pernah aku utarakan. Dan kayaknya
Adit percaya-percaya aja kok. Hmm" polos!
"Setuju kan, Cha?" tanya sebuah suara yang membuyarkan lamunanku.
001/I/13 165 Heh" Setuju apa" Aku menyapukan pandangan ke sekeliling ruangan itu, semuanya tengah menatapku, menungguku memberikan jawaban. Aku menoleh ke arah
Pia yang duduk di sebelahku, berharap dia mau memberikan petunjuk. Tapi dia sama saja dengan yang lain,
malah ikut-ikutan berkedip-kedip menatapku.
Suara tadi adalah suara Mbak Sophie, anak kelas XII
yang menjadi koordinator pekan peringatan hari ulang
tahun sekolahku. Aku di sini untuk membahas masalah
itu. Sebenernya sebagian besar karena desakan Pia yang
kepingin ditemenin jadi panitia. Aku yang paling males
ikutan kayak begini tetep aja nggak berdaya kalau yang
ngajak-ngajak Pia. Dan waktu aku sedang asyik melamun
tadi, rupanya Mbak Sophie meminta persetujuanku. Tapi
menyetujui apa" Mana aku tahu kalau lagi asyik melamun"
"Gimana, Cha" Setuju, kan?" Apa dia minta persetujuan untuk tema tahun ini" Ya, pasti itu!
"Ng" Ya! Setuju, Mbak! Menurutku itu" Mmm" Itu
ide bagus!" Aku mengangguk-angguk sok yakin. Ide apa
coba" "Oke, kalo Ocha udah setuju jadi Ketua Seksi Publikasi,
berarti sekarang tinggal Ketua Seksi Usaha Dana dan?"
Selanjutnya, aku udah nggak begitu mendengar apa yang


A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mbak Sophie bicarakan. Aku terlalu shock mendengar
berita barusan. Aku jadi Ketua Seksi Publikasi" Aduh, aku tahu apa
soal kayak gitu! Aku di sini kan cuma nemenin Pia,
Mbak! Dan kayaknya tadi kok aku malah bilang itu ide
bagus, narsis sekaleee! Aku menoleh ke arah Pia yang masih sok serius men001/I/13 166 dengarkan apa yang dikatakan Mbak Sophie. Kemudian
aku menepuk bahu Pia perlahan.
"Pi, aku kok bisa jadi Ketua Seksi Publikasi sih?"
bisikku kepadanya. "Lho, tadi kamu nggak nolak! Gimana sih?" balas Pia
yang juga berbisik. Aku cuma menggaruk-garuk pipiku.
"Terus kamu jadi apa, Pi?"
"Jadi bendahara. Di mana-mana jadi itu. Bosen juga
sih, tapi mau gimana lagi" Udah kodrat, kali ya?"
"Eh, terus anggotaku siapa aja?" tanyaku lagi.
"Di sini dari tadi, ngapain aja sih, Non" Tadi kan
udah dibilangin! Andra sama Riska."
"Duh, yang mana aja tuh?"
"Andra, cowok ceking tapi cakep yang di pojok tuh.
Huu" beruntung kamu bisa jadi bos cowok cakep kayak
gitu. Kalo Riska, nggak ada di sini, tapi masa nggak
tau sih" Anak X1-2 yang feminin banget tapi suka
teriak-teriak itu lho."
Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum. Kalau
Riska sih aku kenal. Meskipun nggak sekelas, kami
sama-sama satu ekskul paduan suara waktu kelas X.
Gayanya memang feminin abis, tapi kalau udah teriakteriak" Hmm, dia cewek atau bukan aja banyak yang
meragukan. Nggak salah waktu ekskul dulu dia termasuk
pentolannya kelompok sopran. Kalau aku sih, dengan
suara pas-pasan gini udah pasti masuk kelompok
mezzo sopran. "Nah, untuk selanjutnya silakan masing-masing ketua
seksi koordinasi dengan masing-masing anggotanya. Kalau ada yang kurang jelas, bisa tanya ke saya atau yang
lain. Jadi... mmm" untuk sementara rapat ditutup. Se001/I/13 167 lamat siang." Mbak Sophie meninggalkan ruangan sementara beberapa orang mulai membentuk kelompok
kecil. Seorang cowok ceking yang kata Pia cakep tadi
mendekatiku. Dia duduk di dekatku tapi tetap diam, seperti menungguku berbicara.
"Halo! Ng... aku Ocha! Andra, kan?" Aku mencoba
memperkenalkan diri sementara si Andra tadi cuma
mengangguk-angguk. Aduh, cakep-cakep kok bisu!
Emang semua cowok cakep mesti berlagak dingin kayak
gini ya" Ya Adit, ya ini! Nyebelin! Riska ke mana ya"
Cepet ke sini, Ris! Selamatkan aku!
"Eh, kita sama Riska juga, kan" Ke mana ya orangnya?" Aku mencoba berbasa-basi lagi. Tapi Andra hanya
mengangkat bahu. Ah, bodo amat dia orangnya welcome atau nggak. Kita nggak pernah tahu kalau belum
pernah mencoba. Aku mencondongkan tubuh ke arah
Andra dan mulai berbisik-bisik.
"Gini ya, Ndra! Aku punya penawaran bagus?"
*** Fiuuh" Setelah dibujuk-bujuk dengan kata-kata "Cowok
gentle harus mau ngalah sama cewek, Ndra!", akhirnya
Andra mau juga menggantikanku jadi Ketua Seksi Publikasi. Yah, sebenernya secara tertulis aku masih menyandang jabatan itu, tetapi di lapangan aku positif jadi
bawahannya Andra. Dan untung saja Andra bukannya
nggak ramah seperti yang aku kira sebelumnya. Rupanya
dia nggak banyak ngomong siang kemarin itu gara-gara
baru sakit gigi. Hi hi hi, cakep-cakep tapi sakitnya
nggak elite. 001/I/13 168 "OCHAAA!!! AKU CARIIN DARI TADI AKHIRNYA
KETEMU! CHA, MASAK TADI ANDRA KE KELASKU
SEENAKNYA NYURUH-NYURUH AKU?"" NYEBELIN
YA?"" PADAHAL KAN KAMU BOS" HMPHPHMH!@#$%^&*()" Untung aku segera lari dari ujung lorong ke
arah Riska yang sedang kumat di ujung lorong satunya
dan" Hap! Membungkam mulutnya di saat yang tepat.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Aman dari pendengaran Mbak Sophie. Bagus, bisa-bisa aku dianggap
nggak becus jadi Ketua Seksi Publikasi. Yah, meskipun
sebenernya memang iya sih.
"HMPHPHMH!@#$%^&*()"
"Sori, Ris!" kataku sambil melepaskan tanganku dari
mulutnya. "OCHA!!! APAAN SIH"HMPHPHMH!@#$%^&*()"
Terpaksa aku membungkam mulutnya lagi.
"Ya ampun, Ris! Aku bisa budek nih! Bisa nggak sih
ngomong tuh pelan-pelan aja?" Dengan tanganku masih
di mulutnya, Riska cuma bisa mengangguk-angguk. Begitu aku melepaskan tanganku, Riska menghela napas
panjang sementara aku segera mencari keran air terdekat
karena tangan yang tadi aku gunakan untuk membungkam mulut Riska terasa sedikit basah. Hiyy"
"Aduh, Cha! Kalo aku mati gara-gara sesak napas
gimana" Kamu tuh jahat banget sih!" Akhirnya. Ternyata yang namanya Riska itu bisa ngomong pelan
juga ya" "Iya, iya. Sori, Ris. Lagian tanganku jadi basah nih!
Anggap aja impas, oke" Kamu tadi jilat-jilat tanganku,
ya" Jijik, tau!"
Riska cuma nyengir. "Impas gimana" Tanganmu
001/I/13 169 tuh asin, Cha! Nggak enak sama sekali!" Gantian aku
yang nyengir sementara Riska berkumur-kumur di
keran air yang tadi aku gunakan. Sial!
"Oh ya, aku tadi nyariin kamu. Masalah Andra itu gimana sih?" tanya Riska kemudian.
"Oh, itu. Mmm" Andra anak kelas mana sih?"
"Anak XI-4," jawabnya singkat.
"Ya udah, kan pembagian kerjanya belum jelas tuh.
Kita sekarang ke kelasnya aja," kataku sambil menarik
tangan Riska menuju kelas Andra yang letaknya paling
dekat dengan ruang guru. *** Setelah membicarakan masalah pembagian kerja tadi
siang dengan Andra, yang ternyata lumayan berpengalaman dalam berorganisasi"kalau Andra lebih berpengalaman, kenapa Mbak Sophie nggak nunjuk Andra yang
jadi ketua dan malah nunjuk aku yang buta masalah
kayak gitu, ya" Nggak enak nyuruh-nyuruh cowok
cakep, kali! Dasar kakak kelas genit!"aku menyadari
kerjaan Seksi Publikasi ternyata nggak berat-berat
banget kok. Paling datengin radio-radio, bikin selebaran
yang keren, nyebarin ke seluruh pelosok Jogja barengbareng. Terus udah deh, nungguin siapa aja yang mau
daftar. Gampang, kan"
Sejauh ini, yang bertugas bikin selebaran si Riska.
Ternyata selain jago teriak, dia juga jago gambar dan
paham banget masalah lay out komputer dengan
program-program apalah itu, aku nggak mudeng.
Sedangkan Andra, selain jadi ketua seksi yang ber001/I/13 170 tugas mengoordinasi aku dan Riska, juga berurusan
dengan masalah mencetak selebaran dan tetek-bengeknya.
Aku sendiri cukup puas mendapat tugas keluar-masuk
radio-radio untuk promo acara. Rencananya aku akan
melaksanakan tugas itu mulai besok. Sekarang ini pun
aku sibuk menyusun kata-kata buat materi yang diserahkan ke pihak radio. Tapi mau nulis apa aku benerbener nggak ngerti. Kalau mau SMS Andra dan nanyain
itu bisa juga sih, aku udah tahu nomor handphone-nya
dari Riska. Tapi" nggak ah, nggak enak dari kemarin
nyusahin Andra terus. Mmm" Nulis apa ya" Kalau aku denger-denger acara
promo di radio itu, paling nama acara, waktu pelaksanaan, terus"
Drrrt" drrrt" drrrt" A lot of fun" A lot of fun to be
had" Drrrt" drrrt" drrrt" But over do it" And end
up in the rehab" Drrrt" drrrt" drrrt"
Aduh, siapa sih yang SMS" Gangguin orang lagi mikir
aja! Awas aja ya kalau bukan Adit!
Aku yang sedang duduk serius di depan meja belajar
segera berjalan dengan malas ke arah kasur, tempat aku
meletakkan handphone-ku. Kemudian aku berbaring di
kasur, mulai membaca SMS itu dan tersenyum begitu
membaca nama pengirimnya.
-aDiT jUeLeX!!Yu, gi apa" Malming bsk ktemuan yok! Awas klo
ad alsn mcm2 lg!! Ugh, dia ngajak ketemuan lagi! Ah, tapi sekarang sih
001/I/13 171 alasannya gampang, nggak usah pake bohong-bohong
segala. Sent: Gi sbuk ngerjain tugas kpanitiaan, skul gi mo
ad acra gt. Krn it malming aq g bs. Sory (lg)!
Km gi ap" Setelah pesan terkirim, aku baru menyadari satu kesalahan kecilku. Yang mau ada acara kan SMA Teratai,
mau ulang tahun! Kalau SMA Teladan tau deh ulang
tahun kapan! Di sana mah mau ada acara apa ya"
Gimana sih, aku kok ceroboh gini! Semoga Adit nggak
nanya macem-macem tentang acara itu.
Drrrt" drrrt" drrrt" A lot of fun" A lot of fun to be
had" -aDiT jUeLeX!!Tu kn, ad alsn lg! Yasud, gpp. Skulku jg mo ad
acra. Ak jg pntia, ngrus lmba bskt gt. Emg skul2
gi bnyk acr gt y! Eh, hpmu bs bwt mms g" Ak
gi mo maem. Dh maem"
Untung dia nggak nanya macem-macem tentang
acara itu. Tapi ngapain ya dia nanya-nanya kemampuan handphone-ku segala" Mau bagus-bagusan handphone" Oke!
Sent: Hpku" Bs dnk! Mang napa" Lm maem, g lpr, gi
sbk, ntar d! 001/I/13 172 Tidak lama kemudian"
Drrrt" drrrt" drrrt" A lot of fun" A lot of fun to
be had" 1 multimedia message received.
-aDiT jUeLeX!!- Ak neh. Ckep kn" =P Glirnmu! Foto, pliz! Pnsran
=) Btw, maem gh! Ntr skt lho"
Ya ampun, aku mimpi apa semalem" Nggak pernah
minta (meski dari lubuk hati terdalam pengin juga sih)
kok tahu-tahu punya fotonya Adit gini di handphoneku! Eksklusif dikasih dari yang punya muka pula! Tari
sama Pia bisa pingsan kalau punya foto cool-nya Adit
kayak aku sekarang. Adit" kok aku baru nyadar sekarang, kamu tuh cakep banget ya"
Tapi" aku jadi bingung sekarang mesti gimana,
Dit! Masa mau ngirim fotoku juga" Ketahuan kalau
Ayu itu Ocha dong! Harusnya aku tadi bilang handphone-ku nggak bisa buat MMS aja! Aaargh, Ocha
bodoh! Atau aku ngirim fotonya orang lain aja" Ugh,
itu ide yang lebih bodoh! Ditambah lagi, aku jadi semakin merasa bersalah kalau kamu baik sama aku,
Dit! "Maem gih! Ntar sakit lho?" Aduh, nggak kuat!
001/I/13 173 Tapi aku juga jelas nggak bisa ngaku" Ya udahlah!
Lagian kan dia baik sama Ayu, bukan sama Ocha!
Coba kalau dia tahu Ayu itu Ocha, pasti dia nggak
mau kenal Ayu atau Ocha lagi di dunia ini! Hiks"
Sent: Sory, g bs" Bs bwt mms tp gprs-ny gi eror gt.
Ato apnya aq g th. Pkknya g bs bwt qrim mms
d! SMS-nya kok kayak terang-terangan menghindar
dari balik ngirimin foto begini, ya" Malah
mengambinghitam-kan jaringan operator, lagi!
Sepuluh menit berlalu"
Adit kok nggak bales ya"
Sepuluh menit berlalu lagi"
Mungkin Adit nyadar aku sengaja menghindar"
Sepuluh menit berlalu lagi dan lagi"
Sekarang Adit pasti marah ke aku"
Huu" ya udah kalau lagi marah! Aku juga nggak
butuh balesan SMS-mu, week! Aku kan sibuk!
Aku bangkit dari tempat tidur dan mencoba
melanjutkan tugas kepanitiaanku yang tadi sempat
tertunda. Nama acara, waktu pelaksanaan"
Aduh, mana bisa konsen kalau pikirannya nggak
keruan kayak gini. Nanya ke Andra aja ah... Ngerasa
nggak enak juga bodo! Aku segera mengambil handphone dan menekannekan tombolnya beberapa kali.
001/I/13 174 Sent: Ndra, Ocha niy. Mo nanya, materi yg diksihin ke
radio itu detail isinya ap aj s" Thx b4 n sory
ngrepotin lg. Sambil menunggu balasan dari Andra, aku mulai menyiapkan buku-buku yang aku perlukan untuk besok,
seperti biasa. Saat aku bersiap untuk tidur, Andra masih belum
juga bales SMS-ku, sama aja kayak Adit! Kenapa dua
cowok cakep ini jadi pelit bales SMS-ku ya" Terserah!
Kalau besok kerjaan Seksi Publikasi masalah promo
ra-dio belum beres, pokoknya itu salah Andra!
Eh, tapi" Kenapa tadi aku gegabah kirim SMS ke
Andra ya" Andra kan jadi tahu nomor handphone-ku!
Bisa aja dia kenal sama Adit. Dan kalau Adit nanyananya nomor handphone-ku ke Andra... Waduh! Untuk
mengatasi segala kemungkinan, Riska yang sekelas sama
Adit aja tadi pagi aku kasih nomor rumah untuk ngomongin masalah publikasi, bukan nomor handphone.
Riska sampe heran kenapa aku nggak ngasih nomor
handphone aja. Aku terpaksa bilang kalau aku nggak
punya handphone (bohong banget!). Dan Riska dengan
santainya teriak-teriak ala iklan di TV, di tengah upacara
bendera pula, "HARI GINI NGGAK PUNYA HANDPHONE?"" Sial! Tapi udah dibela-belain dipermalukan
sama Riska tadi pagi, kenapa sekarang aku malah ceroboh SMS Andra segala" Ocha bodoh lagi! Sekarang
aku cuma bisa berharap Andra nggak kenal sama Adit,
kelas mereka aja jauh begitu. Tapi Andra kan juga anak
basket (gawat!) dan sama-sama cakep (nggak ada hu001/I/13 175 bungannya). Tapi" Kalaupun mereka kenal, belum
tentu juga sih Adit nanya-nanya nomor handphoneku ke Andra! GR aja, kali!
Lampu kamar mulai aku matikan. Udah ngantuk!
Di kegelapan aku meraih handphone-ku lagi dan membuka Multimedia Inbox. Kupandangi lagi foto Adit. Tanpa sadar aku mengelus-elusnya dan tersenyum.


A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu sadar sudah melakukan hal konyol, aku segera
menonaktifkan handphone yang kemudian aku taruh
di meja di samping tempat tidur. Aku kemudian berbalik memunggunginya sambil memeluk gulingku.
Adit, kenapa kamu nggak bales SMS-ku"
001/I/13 176 DUA BELAS "O CHA!! SORI TADI MALEM NGGAK BALES
SMS-MU!!!" Siapa sih itu" Gaya ngomongnya sih kayak
Riska. Tapi yang harusnya ngomong begitu kan Adit.
Tapi masa dia" Aku menoleh ke belakang. Huh, cuma
Andra yang baru teriak-teriak dan melambai-lambai di
ujung lorong. Aku malah lupa kalau tadi malem juga
SMS kamu, Ndra! Aku tidak mengacuhkan panggilan itu dan kembali
berjalan menuju kelasku. Kudengar suara derap langkah
orang berlari di belakangku dan suara itu berhenti
begitu sampai di sampingku.
"Heh! Dipanggil, Non! Kok jalan terus sih?" kata
Andra sambil terengah-engah. Aku masih cuek dan berjalan terus, jadi sebel lagi Andra nggak bales SMS-ku
tadi malem. Ditambah masalah Adit yang juga ikutikutan nggak bales. Mentang-mentang cakep terus pada
seenaknya sendiri! "Heh, anak buah! Berhenti dulu dong! Mau ngomong
001/I/13 177 serius nih!" kata Andra sambil menarik tanganku saat
kami sampai di depan pintu kelas X1-2. Waktu aku
iseng menoleh ke dalam kelas X1-2, kulihat Adit sedang
menghapus papan tulis, baru tugas piket, kali! Adit
me-noleh sewaktu tanganku masih ada di genggaman
tangan Andra. Untuk sepersekian detik dia menatapku
dan me-lanjutkan menghapus papan tulis lagi.
Bagus, ditambah kalimat "Mau ngomong serius nih!"
tadi, pasti sekarang Adit ngira aku ada apa-apa sama
Andra. Aku segera menarik tanganku.
"Ya udah, mau ngomong apa?"
"Aku nggak bales SMS-mu soalnya udah bobok, he he.
Tapi aku udah nulis yang kamu minta tadi malem
kok," kata Andra sambil membuka tasnya. "Nih!" katanya
lagi sambil menyerahkan selembar kertas yang sudah
dilipat. Aduh, dari kata-kata Andra barusan kok kesannya
aku dan Andra SMS-an tiap malem. Terus Andra
ngasih kertas, pula! Kok kayak dia ngasih surat cinta.
Andra emang goblok! "Oh iya, Cha! Nomormu aku cantumin di selebaran
buat contact person, ya" Satunya lagi nomor Riska,
aku udah minta izin dia kok! Eh, audisi awal lombanya
kan minggu depan, jadi kamu harus nyelesain tugasmu
ke radio-radio hari ini lho! Nggak usah banyak-banyak.
Tiga radio cukup kok, tapi radio gede, ya" Aku udah
bawa kerjaannya Riska dan mau masukin ke
percetakan besok! Jadi logo-logo radio juga mesti beres
besok. Ngerti, kan?" kata Andra kemudian dengan
panjang-lebar. "Oh ya, ntar malem jangan lupa lapor!"
tambah Andra lagi. 001/I/13 178 "Iya, iya. Udah deh, pergi sana! Bawel banget sih! Kayak nggak inget aja pertama kenal itu diem melulu!"
kataku sambil mendorong punggung Andra dan merengut.
"Heh, udah dibilangin, waktu itu kan lagi sakit gigi!
Lagian sama bos nggak boleh gitu, Ocha chayang!"
kata Andra sambil meremas-remas pipiku.
Chayang" Ini anak udah bosen hidup kayaknya. Kenal
baru beberapa hari, udah main chayang-chayangan! Dan
please stop ngasih persepsi yang salah ke Adit! Kalau
Adit lihat gimana" Aku menoleh lagi, untung Adit udah
nggak ada di situ. Tapi siapa tahu kan dia ngintip dari
jendela" (GR banget ya")
"Lagian kelas kita kan searah" Jalan bareng aja kenapa" Yuk!" kata Andra sambil menarik tanganku lagi.
Aku mencoba menarik tanganku lagi tapi nggak kuat
karena cengkeraman cowok itu keras juga. Jadi, aku
cuma bisa pasrah dan berjalan terseret-seret di belakang
Andra. Andra sialan! Gobloknya emang nggak ketulungan!
Aku iseng menoleh lagi ke belakang. Di depan kelas
X1-2 nggak ada siapa-siapa. Adit juga nggak ada.
Hiks, kok kayak d?j? vu gini"
*** "Dari dulu, hubungan cinta sesama rekan kerja itu nggak
boleh, Cha! Mengganggu profesionalisme kerja! Love
is destructive!" kata Pia tiba-tiba ketika aku sampai di
kelas dan meletakkan tasku di sampingnya.
"Kamu ngomong apaan sih, Pi" Ngapalin materi ulang001/I/13 179 an, ya" Aduh! Kok aku bisa nggak tau ada ulangan,
ya" Emang ulangan apa, Pi?" tanyaku mulai panik.
"Bukan, goblok! Maksudku kamu! Sejak kapan kamu
jadian sama Andra" Kok nggak bilang-bilang sih?" Pia
mencondongkan tubuh ke arahku dan berbisik-bisik
sambil mengedip-ngedip genit. Mpok Indun aja kalah
genitnya sama Pia sekarang.
"Apa sih" Nggaklah!" bantahku.
"Terus, tadi?" "Tadi apa?" "Di depan kelas X1-2 aja mesra gitu! Aku liat lho?"
"Hufh, terserah deh!" jawabku malas. Pia yang tahu
kalau aku deket sama Andra gara-gara jadi temen satu
kepanitiaan aja bisa ngira macem-macem. Apalagi Adit
yang nggak tahu apa-apa" Aku emang lagi sial!
"Oh ya, Pi, ntar temenin aku puter-puter Jogja, ya?"
"Ngapain?" "Keluar masuk radio-radio, gitu. Mau, kan?"
"Eh, iya! Mau-mau!"
*** Ini udah Jalan Kaliurang kilometer berapa sih" Kok rumah nongkrongnya MTV belum kelihatan juga" Bagaimana pun nggak enaknya nyasar, tetep lebih enak kalau
nyasar ada temennya. Pia sih" Tadi waktu aku ajak,
kayaknya udah semangat gitu. Lha kok tahu-tahu batalin
janji! Eh, malah nyuruh-nyuruh nyampein salam buat
penyiarnya pula! Dan kenapa di saat-saat penting, ingatanku yang biasanya bagus ini nggak bisa diandalkan" Padahal dulu per001/I/13 180 nah maen ke sana sekali, nganterin Pia ngambil hadiah. Itu anak, udah tajir, pinter, faktor luck-nya juga
lumayan gede. Bikin jealous aja! Udah lumayan sering
lho dia menang kuis di radio-radio. Aku sih pasrah
cuma jadi tukang nganterin ngambil hadiah. Tapi ada
untungnya juga kok! Aku jadi tahu tempat mangkalnya
radio-radio se-Jogja, lumayan ngebantu kerjaanku nanti.
Selain itu, Pia orangnya nggak pelit. Nggak cuma sekali
hadiah yang dia dapet ikut dibagi-bagi ke aku, sopirnya
yang setia ini. Asyik, kan"
Nah, finally. Itu dia penunjuk arahnya, belok ke kanan.
Dari Jalan Kaliurang yang cukup padat, aku membelokkan motor ke kanan, memasuki sebuah jalan kecil.
Akhirnya kutemukan sebuah rumah berwarna biru yang
menghadap utara. Ini dia rumah nongkrong MTV. Setelah memarkir motor di dekat mobil-mobil dan motormotor yang lain, aku segera memasuki pintu depan.
"Permisi?" Keadaan ruangan ini nggak jauh beda
waktu dulu aku ke sini bareng Pia. Sepi, tapi televisi
dibiarkan menyala tanpa ada yang menonton. Tibatiba seseorang muncul dari balik kegelapan. Hiyy, serem" Untung orang itu kemudian tersenyum ala manusia.
"Mbak, kalo mau promo acara lewat radio itu gimana
ya?" kataku pelan-pelan, takut salah ngomong.
"Oh, bisa sama aku kok!" Mbak tadi langsung duduk
di kursi panjang di depan televisi dan mempersilakanku
duduk di sebelahnya. "Aku Indi," kata mbak itu sambil menjabat tanganku.
"Ocha, Mbak! Dari SMA Teratai." Fiuh... kayaknya
Mbak Indi ini ramah kok! 001/I/13 181 "Bawa materi acaranya, kan?" Oh, pasti yang dia
maksud kertas yang tadi Andra kasih ke aku. Aku segera
membuka tasku dan menyerahkan salah satu kertas yang
tadi sempat aku fotokopi rangkap lima itu. Mbak Indi
membuka lipatan kertas itu dan membacanya.
"Mmm" kelupaan belum ditulisin contact person nih,
Dik!" Mbak Indi menyerahkan kertas itu kepadaku dan
mengangsurkan bolpoin dari sakunya.
"Oh, iya, Mbak! Sori." Kok Andra bisa lupa nulis ini
sih" Minimal ngasih tahu kek! Aku kan nggak ngerti
masalah kayak gini! Bikin malu! Awas aja itu anak!
Seingatku kalau baru iseng dengerin promo acara di
radio, minimal kita nyebutin dua nomor yang bisa dihubungi. Andra tadi udah bilang, buat contact person
mau pake nomor handphone-ku sama nomor handphone Riska. Ya udahlah, sama aja, kali!
Aku segera menuliskan nomor handphone di samping
namaku dan nomor handphone Riska di samping namanya. Siip! Aku segera menyerahkan kertas dan bolpoin
itu ke Mbak Indi. "Bentuk kerja samanya kayak biasalah, Dik. Dibacainnya tiga kali sehari. Waktu Morning Zone, Chill
Out, sama Joko Show. Terus kompensasinya, logo
radio ada di selebarannya. Adik buat selebaran, kan?"
Aku mengangguk-angguk. "Kalau logo radio udah punya, kan" Pasti di file komputer sekolah juga ada tuh! Kita kan udah sering
kerja sama." Aku mengangguk-angguk lagi sok mantap. Aku
nggak yakin di file komputer sekolah ada atau nggak,
tapi logo radio mah di Internet juga banyak.
001/I/13 182 Ternyata gampang juga ya kerja Seksi Publikasi.
Cuma ngomong-ngomong bentar begini, kerjaan udah
beres. Dan mulai besok seluruh Jogja udah bisa dengerin promo acaranya. Eh" Kalau bacain promo
acara, contact person juga dibacain, ya" Bukannya
tadi aku ngasih nomor handphone-ku" Nomor handphone-ku bakal tersebar ke seluruh pelosok Jogja, ya"
Lha Adit kan tinggal di Jogja! Berarti bukan nggak
mungkin Adit juga dengerin promo acara ini dong"
Dan begitu nomor handphone-ku disebut-sebut, waa"
tamaaat! Ocha goblok!! "Mbak, mmm" maaf, baru inget, tadi materi acaranya
kayaknya ada yang perlu dikoreksi deh. Bisa pinjem
lagi kertasnya?" pintaku kepada Mbak Indi.
"Oh, nih!" kata Mbak Indi sambil menyerahkan kertas
itu. "Mmm" pinjem bolpoin, Mbak!" kataku sambil tersenyum malu.
"Oh, iya..." Mbak Indi kembali menyerahkan bolpoinnya.
Aku segera mencoret nama dan nomor handphoneku. Otakku berpikir keras dan langsung menuliskan nama
Andra untuk menggantikan namaku. Dengan cepat aku
mengambil handphone-ku di tas dan menyalin nomor
Andra dari handphone-ku ke kertas. Sori, Ndra! Aku
ngrepotin kamu lagi. "Makasih, Mbak! Ng... saya permisi dulu kalo gitu,"
kataku setelah semuanya kurasa beres.
Begitu sampai di luar, aku menghela napas lega. Hufh,
baru satu radio. Minimal mesti datengin dua radio lagi.
Perjalanan masih panjaaaaaaaaaaaaaang.
001/I/13 183 * * * Tulululut" Tulululut" Tulululut" Tulululut"
Telepon paralel yang ada di sebelahku bergetar-getar.
Ah, bodo! Biar orang yang di bawah aja deh yang angkat!
Telepon itu berhenti bergetar.
"OCHA!!! ADA TELEPON!!!" Mas Ardhi berteriakteriak dari lantai bawah.
Siapa sih yang telepon" Lagi seru-serunya nih!
Gangguin aja! "DARI SIAPA?"" balasku sambil berteriak juga.
"NGGAK TAHU!!! COWOK!!!"
Cowok" Jarang banget ada cowok telepon ke rumah! Aneh! Siapa ya" Masa Adit" Nggak mungkin banget!
"YA UDAH!!! OCHA TERIMA DI ATAS!!"
"IHIYY, COWOK!!!" Mas Ardhi masih heboh teriakteriak sendiri. Rese banget, seperti biasa. Malu kalo
cowok yang telepon ini, siapa pun dia, sampe denger
teriakan norak Mas Ardhi barusan.
Aku segera meletakkan novelku di sofa ruang santai
atas dan meraih gagang telepon cordless itu.
"Halo," sapaku sambil masih bertanya-tanya dalam
hati suara siapa yang bakal kudengar ini.
"Halo juga, anak buah!" Hufh, suaranya Andra. Ngapain dia telepon"
"Ngapain telepon, Ndra?" tanyaku to the point.
"Harusnya aku yang nanya, ngapain kok nggak telepon?" Lho" Ngapain aku mesti telepon dia"
"Ngapain telepon kamu?"
001/I/13 184 "Heh, gimana sih" Aku bilang kan malem mesti lapor
ke Bos! Besok selebaran udah masuk ke percetakan,
Non!" O... ooo" "Eh, iya ya" Sori, Ndra! Lupa! Duh, aku jadi nggak
enak, kamu sampe telepon ke rumah segala. Kok bisa
tahu nomor telepon rumahku" Dari Riska, ya?"
"Iya," jawab Andra singkat.
Dengan telepon cordless masih di telinga, aku bangkit
dari sofa, berjalan ke arah void dan melongok ke bawah.
Bener firasatku, Mas Ardhi duduk di kursi dengan gagang telepon di tangannya.
"Mas Ardhi, nggak usah nguping! Cuma Andra kok!"
kataku. Mas Ardhi langsung menoleh ke atas. Begitu
Mas Ardhi menoleh, aku mengacungkan tinju ke arahnya
Pendekar Jembel 13 Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Karya Kho Ping Hoo Memburu Manusia Makam Keramat 1

Cari Blog Ini