Ceritasilat Novel Online

Arus Balik 10

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 10


Tuban yang keramat tidak boleh dijamah oleh tangan pemusuh ia bersumpah.
Setelah sampai di luar kota cetbang-cetbang dipasang, dihadapkan ke arah musuh akan datang. Prajurit-prajurit selebihnya diperintahkannya membiak ke kiri dan ke kanan jalan. Beberapa orang pengintai naik ke pohon tertinggi dan meninjau ke seluruh medan.
0o-dw-o0 Mahmud Barjah telah memerintahkan agar tentaranya tidak bersorak sama sekali, tidak membunyikan gendang dan gong, tidak menggunakan umbul-umbul ataupun panjipanji, sebelum berhasil memasuki Tuban.
Ia pun telah memberikan perintah, begitu memasuki kota semua prajuritnya harus menyebar ke sana-sana.
Pasukan inti yang langsung di bawah pimpinannya akan melalui jalan belok dan akan memasuki Tuban melalui pesisir sebelah timur kota, dan akan menyelesaikan segala kesulitan dengan cetbang.
Maesa Wulung pada mulanya tidak percaya, musuh sudah mendatangi begitu cepat. Ia perkirakan bakal tak ada pekerjaan untuknya maka ia berlalai-lalai di daerah aman selama ini. Juga prajurit-prajuritnya mengikuti sikap pemimpinnya.
Waktu ia bangkit mengerahkan pasukannya, ternyata separonya tidak kelihatan batang hidungnya. Tak tahu ia ke mana mereka pergi. Dan dengan hanya separah kekuatan ia berangkat ke medan pertempuran.
Waktu keluar dari hutan terakhir, pasukan kuda di bawahnya melihat di seberang padang ilalang di sana, di depannya, barisan musuh yang terlalu besar jumlahnya. Semua berpakaian serba putih. Mereka bergerak diam-diam seperti barisan pengantar mayat. Seumur hidup ia tak pernah melihat barisan demikian. Dan ia merasa ngeri. Dihentikannya pasukan itu dan diperintahkannya berlindung di balik pepohonan. Tak tahu ia apa yang harus diperbuat.
Padang ilalang itu akan membikin pasukannya terbuka dari serangan panah dan tombak, dan musuh telah mendapat posisi lebih dahulu. Untuk membentuk formasi apa pun pasukannya terlalu kecil. Menerjangi ilalang ini pun akan membikin kuda-kuda cepat lelah, dan dalam melakukan serangan nyamuk menggigit kuping binatang itu.
Ia ragu-ragu. Seorang prajurit keluar dari balik pepohonan dan melewatinya. Ia tak menegurnya. Dan prajurit itu langsung berpacu ke jurusan musuh, dengan membawa tombak. Seorang lain menyusul, seorang lagi, seorang lagi.
Maesa Wulung merasa menghalangi jalanan, dan ia pun berangkat maju.
Pasukan kuda yang kecil itu mulai bersorak-sorak maju dan menyerang. Dan tombak-tombak berlayangan jatuh di tengah-tengah laskar musuh yang membalas dengan anak panah. Pasukan kuda itu tak berani mendekat-dekat. Medan tak memungkinkan. Setiap habis melempar mereka menjauh, mendekat lagi dan melempar lagi. Setelah lemparan yang ke empat mereka telah kehabisan tombak dan mengundurkan diri untuk mendapatkan yang baru.
Tombak-tombak itu mengenai sasaran, namun tentara musuhnya tak mengejar. Mereka berjalan terus ke arah kota dengan meninggalkan korban di jalanan.
Waktu pasukan kaki cadangan datang dalam jumlah yang cukup besar, barulah Maesa Wulung mendapatkan kepribadiannya kembali. Dengan Danang, pemimpin pasukan kaki cadangan, didapatkan kesepakatan untuk menggunting putus tentara Rajeg dengan menggunakan baris lebar.
Maka gabungan pasukan kuda dan kaki mulai menyerbu dengan formasi lebar, formasi ombak laut. Tetapi itu pun tak semudah itu dikerjakan. Pasukan kaki Tuban yang lari menyerbu dengan telapak kaki berdarah-darah tercucuki dengan tunas alang-alang dan teriris-iris kakinya oleh daun rumput-rumput tajam. Banyak di antara mereka berhenti untuk mengurus tunas alang-alang yang patah dalam telapak kaki itu, kemudian lari lagi. Dan tak kurangkurangnya yang tak dapat, berjalan lambat berpincangpincang. Namun mereka bersorak gegap gempita.
Tentara Rajeg tetap tak bersuara. Anak panah dan tombaknya berterbangan mengusir para penyerang. Dan para penyerangnya menyerbu terus. Perkelahian seorang lawan seorang sudah mulai terjadi. Barisan tentara Rajeg terputus. Yang terlibat dalam perkelahian meninggalkan barisan untuk mencari medan yang lebih luas, berkejarkejaran, bertarung. Dan barisan yang putus itu bersambung dengan laskar di belakangnya, meninggalkan mereka yang sedang berkelahi, meneruskan jalan ke arah Tuban. Demikian seterusnya, terputus bila terpm&m serangan yang melanda, bersambung lagi bila serangan membuyar ke keluasan padang rumput dengan meninggalkan korban pada ke dua belah pihak.
Antara sebentar Danang memaki-maki karena Maesa Wulung tak dapat mengatur pasukannya sehingga tak menjadi bantuan bagi pasukan kaki. Yang dimaki menjadi gusar, karena dalam balatentara, kedudukan pasukan kuda berada di atas pasukan kaki, demikian pula dengan perwiraperwiranya yang setingkat. Pasukan kudalah yang lebih berhak mengatur jalannya pertempuran dalam serangan gabungan.
Ketidakserasian itu sementara menguntungkan tentara Rajeg. Walaupun mereka hanya bertahan agar barisannya dapat terus berjalan masuk ke kota, namun banyak juga antara musuhnya yang dapat dirobohkan.
0o-dw-o0 Wiranggaleng menerima berita tentang gerakan tentara Rajeg yang menuju ke kota di tempat lain pada siang hari. Banteng Wareng yang nampak sudah kurus itu diperintahkannya mengejar dan menyerang dari belakang setelah dapat menjejak jalan mereka.
Ia sendiri menggabungkan diri dengan pasukan kuda. Pasukan kaki di bawah Rangkum diperintahkan terus menyisiri daerah lama, dan sebagian diperintahkan kembali memasuki Tuban bersama dengan seluruh pasukan gajah.
Duduk di atas panggung kuda ia berpesan pada Kala Cuwil: Langsung masuk ke kota. Kerjakan yang dapat dikerjakan. Jangan ada yang menghadap Gusti Adipati .
Dan ia pacukan kudanya menggabungkan diri dengan Banteng Wareng yang telah memasuki hutan.
Jalan yang habis ditempuh oleh tentara Rajeg itu tak lama kemudian dapat ditemukan. Jalanan baru yang habis dibikin nampak terbuka, dan lebih lebar setelah kena terjangan tentara Rajeg. Di kiri dan di kanannya berkaparan bekas tebangan. Dibawa lumpur telah bercampur dengan dedaunan dan kayu-kayuan busuk, ranting, batang kayu melintang, yang hanya bisa dilalui dari bawah atau atasnya. Di mana-mana bagian air menggenang sampai ke paha berwarna kelabu. Hutan itu mengembangkan bau daun kayu busuk. Potongan berduri tak jarang ikut terpendam dalam lumpur jalanan. Batang-batang raksasa yang terguling melintangi jalanan tak dapat dilompati oleh kuda, dan hanya dapat dihindari dengan membuat jalan belok.
Dan pasukan kuda itu dengan sabarnya meneruskan perjalanan. Tak ada seorang pun sempat bicara karena sulitnya medan.
Pada sore hari pasukan kuda itu sampai di jalanan negeri yang terbuka dan terpelihara. Dan kuda-kuda itu pun terbang seperti anak panah ke arah tujuan. Mereka harus mesanggrah di udara terbuka.
Jalanan negeri itu kini telah rusak permukaannya karena telah jadi bubur. Tetapi untuk pasukan kuda tak ada suatu rintangan untuk melaluinya. Menjelang sore, waktu matahari mulai condong, buntut pasukan Rajeg telah nampak olehnya, berkelok-kelok mengalimantang, putih di atas padang rumput hijau.
Mereka bersorak dan berpacu menggeletarkan cambuk perang ke udara. Kuda-kuda itu lari seakan tak menginjak bumi lagi. Mereka mulai menyusul dan melewati barisan musuhnya, sambil mencambuki pinggiran barisan.
Bila pinggiran mulai kacau dalam usaha untuk dapat mempertahankan diri. prajurit-prajurit kuda lainnya menubruk masuk ke tengah-tengah dengan sambaran pedang. Maka laskar terakhir tentara Rajeg adalah laksana buntut seekor ulat putih yang diserang oleh serombongan semut. Ia meliuk-liuk tapi perasaannya tidak menjalar ke seluruh tubuhnya. Dan waktu laskar buntut itu menjadi bubar torobrak-abrik terjadilah perkelahian dengan medan lebar.
Banteng Wareng dan Wiranggaleng berpacu terus untuk dapat mencapai kepala barisan musuh. Sampai pada pertengahan barisan mereka melihat pasukan kuda Tuban di bawah Maesa Wulung dan pasukan kaki di bawah Danang sedang kewalahan dan nampaknya sedang digiling untuk ditumpas.
Mereka berhenti untuk melihat jalannya pertempuran. Senapati melihat Maesa Wulung keluar dari medan pertempuran dan menghadap padanya.
Hubungan antara pasukan kaki dan kuda tidak cocok! tegur Banteng Wareng, tanpa memperhatikan bawahannya dan terus mengawasi jalannya pertempuran.
Tiba-tiba perhatiannya teralih pada suatu titik. Di seberang daerah pertempuran sana serombongan prajurit Rajeg tampak sedang mengangkuti sesuatu.
Ya, itulah meriamnya! seru Wiranggaleng. Maesa Wulung, tinggalkan gelanggang. Kerahkan seluruh pasukanmu, sergap rombongan sana itu!
Maesa Wulung berbalik, langsung turun ke medan pertempuran, dengan cambuk perang menggeletar di udara, memekik: Seluruh pasukan kuda! Seluruh! Ikuti aku!
Tinggallah pasukan kaki mengamuk di tengah-tengah barisan musuh. Justru pada waktu itu sisa pasukan Maesa Wulung datang dan langsung masuk ke tengah medan menggantikan yang pergi.
0o-dw-o0 Regu pengangkut dan pengawal meriam itu sedang menuju ke arah setumpuk tanah kubah ketinggian untuk tempat memasang meriamnya guna menembaki Tuban. Melihat datangnya limabelas prajurit kuda musuh mereka meletakkan beban masing-masing dan melindungkan diri dalam lingkaran pasukan pengawal.
Manan dan Rois berada di tengah-tengah lingkaran itu. Ganggu mereka! perintah Maesa Wulung. Jangan beri kesempatan!
Panah dan tombak mulai beterbangan. Pasukan kuda itu meledek menjauh dan mendekat sambil memaki dan menghina dan menggeletarkan cambuk perang. Ujung cambuk itu menyambar dan menyobeki daging dan kulit dan pakaian dan merenggutkan senjata dari tangan lawannya. Mereka berputar-putar dan menari-nari mengelilingi musuhnya.
Bantuan! pekik Esteban alias Manan dari tengahtengah lingkaran.
Tetapi suaranya tenggelam dalam keriuhan orang berperang tanding.
Lingkar! Kepung! perintah Maesa Wulung. Lingkar! Kepung! Hore! sambut anakbuahnya. Babat begundal Rangga Iskak!
Musafir asing bernafsu jadi raja di Jawa. Robohkan! Lingkar! Kepung! Hore! Hore!
Kaki kuda menari-nari di atas tanah basah. Lingkaran kepungan makin lama makin menyempit.
Tombak! perintah Maesa Wulung.
Tombak! Tombak! Tombak! seru anakbuahnya mengulangi.
Pecut perang berhenti menggeletar, bersarang dalam selipan pinggang, dan tombak pun mulai dimain-mainkan di udara.
Lepas! dan tombak pun belepasan dari atas kuda. Prajurit-prajurit dari regu pengawal dan pelayan meriam mulai bergelimpangan.
Dan lingkaran pengepungan itu menjadi semakin sempit jua.
Esteban dan Rodriguez tak pernah berperang tanpa senjata api. Kini berhadapan dengan senjata tajam dan cambuk ia menjadi kecil hati Dan bantuan yang dibutuhkannya tak juga datang. Dua orang itu bersiap-siap dengan pedang dan berlindung di balik peti-peti obat.
Regu pengangkut dan pengawal meriam itu semakin tipis. Tombak dan cambuk Tuban telah menyarangkan mereka.
Pedang! perintah Maesa Wulung. Pedang! Pedang! anakbuahnya menyambut. Pedang pun keluar dari sarung, teracu ke udara dan berkilat-kilat dalam sore bermendung itu. Dan senjata itu mulai membabat dan menyambar, digerakkan oleh tangantangan ahli dan terlatih.
Dan regu pengawal dan pengangkut meriam yang telah digetarkan oleh terjang kuda dan cambuk dan tombak dan sekarang pedang itu menjadi semakin tipis, mulai berlarian mencoba meloloskan diri dari kepungan.
Melihat bahaya yang semakin mendesak, Esteban dan Rodriguez melompat ke atas peti untuk mendapatkan tempat ketinggian. Pedang mereka berputar-putar di udara menunggu serangan.
Lari, ayoh, lari! Maesa Wulung berseru pada musuhnya.
Lari, ayoh, lari! sorak anakbuahnya. Mereka lari dan tidak dikejar.
Pertahanan meriam itu semakin tipis juga. Semua tinggal bersenjatakan pedang.
Pedang di tangan kiri! perintah Maesa Wulung. Kiri! Kiri! sorak sambutan anakbuah dari atas kuda. Cambuk di tangan kanan!
Kanan! Kanan! Kecuali cambuk bergeletar memerahi kulit yang terkena dengan kucuran darah, dan darah pun hancur bila saluran darah terputus.
Terjang! Terjang! Terjang! sorak-sorai.
Esteban dan Rodriguez kehilangan akal berhadapan dengan cambuk yang menyambar-nyambar bergelataran yang memekakkan telinga. Selama pengalaman perangnya di Asia dan Afrika tak pernah mereka menghadapi semacam ini. Ia tak tahu bagaimana harus menghadapi cambuk.
Tombak! Rodriguez menyarani Esteban. Ia menyambar sebatang tombak dari tangan seorang pengawalnya yang telah rebah.
Terpengaruh oleh saran itu Esteban pun membungkuk mengambil sebatang. Tapi ujung cambuk bergerigi baja itu telah menyambar mukanya, bahu dan punggungnya. Darah menutupi pemandangannya. Tombak dan pedang di tangan tiada berguna.
Sebuah cambuk yang menggeletar telah merenggutkan tombak dari tangan Rodriguez, mengelupas pergelangannya. Ia terpekik dan cambuk lain telah hujan pula pada mukanya.
Panglima! Panglima! Esteban memekik. Keparat! sumpah Rodriguez.
Kepungan semakin rapat. Tinggal dua orang itu saja kini berdiri di atas peti, sibuk menyeka muka dari darah. Tangkap hidup-hidup! teriak Maesa Wulung. Tubrukan kuda membikin Esteban dan Rodriguez yang setengah buta tertutup darah itu jatuh terbalik dari atas peti ke tanah basah. Sebelum sempat berdiri tangan mereka telah terikat ke belakang.
Mereka diseret ke tepi hutan dan diikat pada sebatang pohon punggung-memunggung, di bawah pengawalan seorang prajurit kuda
Sisa regu pengawal dan pengangkut meriam telah lenyap dari peredaran. Peti-peti obat dan peluru bertaburan, dan meriam yang gagu dan bangkai-bangkai pengawal berserakan di antara mereka yang tergeletak dan terkulai dalam keadaan setengah mati
Dan pasukan kuda kecil yang telah berkurang jumlahnya itu balik dan turun lagi ke medan pertempuran.
Tentara Rajeg tak berkesempatan lagi untuk menyelamatkan meriam mereka dan penembakpenembaknya. Medan pertempuran makin lama makin meluas, karena pasukan kuda Tuban di bawah Banteng Wareng setelah mengobrak-abrik buntut barisan musuhnya kemudian berpacu ke depan dan membikin medan pertempuran jadi semakin lebar. Matahari mulai tenggelam.
Dari kejauhan mulai terdengar dentuman-dentuman cetbang. Pertempuran di pinggiran kota juga telah dimulai. Sorak-sorai terdengar dari kejauhan. Hujan tak juga turun. Bahkan bulan muda sudah mulai nampak di langit cerah. 0o-dw-o0
23. Idayu Jadi Sandera Bayi itu belum lagi bernama. Ayahnya belum lagi melihat dan menjenguknya. Ia pun belum lagi bisa menelungkup. Baru belajar miring.
Setelah melahirkannya Idayu merasa sangat berbahagia. Bayi ini tidak seperti Gelar. Wajahnya cerah seperti ayahnya dan hidungnya seperti ibunya.
Setiap han penduduk desa ada saja yang memerlukan datang untuk menjenguk dan untuk ikut merawat. Semua di antara mereka tahu belaka: ayah si bayi itulah sekarang Patih Senapati Tuban. Maka kebesaran pun sudah mulai dipersembahkan kepada sang bayi.
Tidak lain dari kepala desa itu juga yang paling gopohgopoh mengurus kesejahteraan dan kebutuhan si ibu dan anaknya. Dan semua itu disambut dengan kewaspadaan oleh Idayu.
Dan tidak lain dari kepala desa itu juga yang sering menebah di hadapan orang-orang lain, kalau bukanlah karena kebijaksanaannya mengirimkan Idayu dan Galeng ke kota, tak bakal mereka menaiki kemuliaan setinggi itu.
Kebahagiaan meliputi hati Idayu. Bayi itu adalah segalanya.
Dan datanglah satu regu prajurit, yang dengan sopannya memberitahukan: atas perintah Sang Patih Senapati Tuban, Idayu dan anaknya dan Nyi Gede Kati harus diboyong dari Awis Krambil ke Tuban Kota; anakbuah Sunan Rajeg telah bersebaran di mana-mana; mereka bertiga harus diselamatkan.
Di bawah kesaksian seluruh desa dan orang tuanya mereka berangkat meninggalkan Awis Krambil: Idayu dengan menggendong si bayi, Nyi Gede Kati yang membawa popok bayi dan menggandeng Gelar. Barangbarang lain diangkat oleh prajurit-prajurit. Mereka berjalan pelan-pelan.
Baik Idayu maupun Nyi Gede Kati merasa was-was terhadap panggilan ini. Semestinya Sang Patih Senapati Tuban mengirim tandu untuk seorang wanita yang baru melahirkan. Tapi mereka tak bertanya.
Tiga buah desa telah dilewati. Kepala regu penjemput, yang tak pernah menawarkan jasanya itu menyuruh Nyi Gede Kati melangsungkan perjalanan ke Tuban. Sendirian"
Tidak, dengan segala bungkusan yang kau bawa itu, tapi tanpa anak yang kau tuntun itu .
Bagaimana dengan Nyi Gede Idayu nanti" Begitulah perintah Senapati .
Biar aku bawa Gelar . Tidak, jalan kau sendiri .
Ia tak meneruskan jalan, berhenti mengawasi Idayu dan Gelar dan si bayi membelok ke kanan dalam iringan regu penjemput. Ia tetap berdiri di situ sampai mereka hilang di kejauhan, baru kemudian meneruskan perjalanan seorang diri.
Wanita yang baru melahirkan menggendong bayi, membawa bungkusan dan menggandeng Gelar itu tidak diperkenankan beristirahat.
Idayu mulai curiga. Bayi itu pun tak boleh disusuinya.
Gelar sudah mulai lelah, tidak boleh beristirahat, dan antara sebentar minta digendong. Dan tak ada seorang pun di antara regu penjemput itu mengulurkan tangan penolongnya.
Tahulah ia sekarang, ia telah jatuh ke tangan musuh suaminya. Ga-leng takkan mungkin memperlakukan keluarganya seperti ini.
Ya, Dewa Batara, pintanya dalam hati, selamatkan aku dari pendarahan, kuatkan aku, selamatkan anak-anak ini.
Dan makin lama Gelar makin sering minta digendong. Dengan dua gendongan dan satu bungkusan ia berjalan pelan-pelan ke tempat yang ia tidak tahu.
Ke mana kami akan dibawa" sekali ia memberanikan diri bertanya.
Ke mana" Ke suatu tempat di mana Wiranggaleng akan datang dan menemui matinya, jawaban yang cukup menyakitkan dan kurangajar sekaligus. Setelah itu ia tak bertanya lagi.
Menjelang tengah malam setelah melalui banyak desa, barulah perjalanan sampai ke tujuan. Ia dan anak-anaknya dimasukkan ke dalam sebuah rumah, tanpa pelita, dan pintu dipasak dari luar.
Dengan menggerayang-gerayang ditemukannya ambin tak bertikar, di situ ia letakkan anak-anaknya dan mulai menyusui anaknya sambil memijiti kaki Gelar. Ia sudah tak dengar mereka menangis lagi seperti di perjalanan. Kakinya sendiri terasa sesak dan tangannya lebih-lebih lagi.
Bangun pada keesokannya ia lihat anak-anaknya masih tidur. Ia duduk dan memandangi mereka. Lubang-lubang pada dinding bambu itu cukup terang. Ia rasai tangan dan kakinya masih juga sesak dan pegal.
Sinar pagi yang mendadak jatuh dari lubang pintu membuat ia menggerayap menghadapi pintu dan bersiaga. Di lubang pintu itu berdiri Sunan Rajeg alias Kiai Benggala alias Rangga Iskak alias Iskak Indrajit.
Seakan melihat maut yang datang mengancam secepat kilat ia ambil bayinya dan didekapkannya pada dada. Dengan punggung melindungi Gelar yang masih nyenyak dalam tidurnya ia hadapi pendatang itu. Tak dirasainya lagi bajunya telah basah diompoli bayinya.
Ah, ah, si Upik! tegur Sunan Rajeg dengan senyum menggigit, lama nian sudah aku tunggu kau. Jangan gugup. Jangan takut. Mengapa bangkit berdiri dan siaga" Kau dan kalian masih lelah. Tidurkan bayimu. Apa kau kira aku hendak terkam bayi itu atau dirimu" Cukup kiranya bila kau tahu siapa aku. Siapa aku, hai perempuan"
Kata-kata itu agak melunakkan kecurigaan Idayu: Tidak tahu, jawabnya pendek.
Astagafirullah. tidak tahu! Tak pernah kau melihat tuan Syahbandar Tuban"
Tuan Syahbandar Sayid& . Sayid Sayid! lelaki itu melecehkan. Dari mana sayidnya si iblis itu" Ya, tentu dari iblis dan setan laknat juga. Jangan sebutkan dia seperti itu lagi di hadapanku, Idayu.
Suaranya membangunkan Gelar. Anak itu berdiri di atas ambin, berteriak ketakutan.
Idayu menengok ke belakang sejenak untuk menenteramkan anak itu dengan memberikan punggungnya.
Gelar mengerti, menempel pada punggung itu, memeluk leher ibunya dan mengintip Sunan Rajeg dari samping leher ibunya. Dan ia tetap berdiri di atas ambin.
Mengapa pada takut padaku" Apakah aku kelihatan menakutkan" orang itu bertanya. Kau sendiri juga takut, Idayu. Hei, apakah kau tak pernah dengar nama Sunan Rajeg di desamu Awis Krambil" Inilah aku, Idayu .
Idayu tak menanggapi kata-katanya. Mengetahui itu ia justru menajamkan kewaspadaan dan mengikuti gerak-gerik tangannya..
Dan bayi itu mulai menangis lapar, tapi ia tak menggubrisnya, juga tak mendiamkannya. Matanya tetap tertuju pada tangan Sunan Rajeg.
Kau, Upik, siapa tidak tahu kau" Juara tari tiga kali berturut pujaan Tuban. Di sini, Idayu, kau bukan pujaan siapa pun. Kau, isteri satu-satunya Wiranggaleng . Ia menunggu sambutan. Idayu tetap membisu. Mengapa diam saja" Masih takut" melihat wanita itu tak juga menjawab sekilas wajahnya dijalari oleh darah kemerahan karena tersinggung. Tahu kau mengapa di sini" ia belai-belai jenggot untuk menyalurkan kemarahannya.
Jenggot itu tebal dan keriting dengan sulaman uban yang mulai membanyak.
Mengetahui Idayu tak juga bicara ia meneruskan dengan gaya pemain panggung: Bukan salahku, kau didatangkan ke mari. Suamimulah yang memaksakan keadaan ini. Suamimu Wiranggaleng, si anak desa tak tahu di untung itu, mengangkatkan diri jadi Patih dan Senapati Tuban. Bukan karena pengangkatannya itu ia sendiri menyusahkan aku Idayu, tapi asalnya! Asalnya! Karena bukan ningrat, hanya anak desa, tak pernah belajar keprajuritan, mendadak jadi Senapati, tak tahu aturan dan cara-cara perang, maka perangnya ngawur serampangan, tak dapat ditebak apa maunya. Mengerti kau"
Gelar mengendorkan pelukannya pada leher ibunya. Si bayi menggerayangkan tangan pada dada Idayu.
Sunan Rajeg tetap mengawasi wanita itu dan meneruskan dengan nada menurun seakan mengharapkan simpati yang ikhlas.
Maafkan aku. Bukan maksudku menyusahkan kau. Percaya sajalah. Kau anak desa, istri tunggal, suamimu akan datang menjemput, dan kau dan anak-anakmu akan kulepaskan, akan diantarkan secara baik-baik kembali ke Tuban. Sekiranya kau dulu memilih jadi selir, memang semua tidak akan begini jadinya, Idayu .
Gelar mengintip Sunan Rajeg dari balik tengkuk ibunya. Baru sekarang geraknya menarik dan ia mengalihkan perhatian pada anak itu.
Suaranya menaik lagi dengan telunjuk pada Gelar: Mengapa anak itu tak ada kesamaannya dengan Galeng"
Ah, Kau. Idayu pujaan Tuban. Lepas dari Sang Adipati jatuh ke dalam terkaman si Habibullah keparat itu .
Ia diam memperhatikan Gelar yang sekarang mencoba menyembunyikan diri lagi di balik tubuh ibunya. Sunan Rajeg tertawa menggigit dan mengejek: Kau layani dua lelaki, Idayu! Tak salah lagi. Hidungnya sama bengkuknya, matanya, rambutnya yang agak keriting. Hah! Mukanya sama tipisnya. Kulit kehitaman. Sama sekali tak dapat dikatakan coklat. Kehitaman! Tepat. Ai, si Habib cilik: Kau memang layani dua pria! Yang satu begundal Peranggi, yang lain anak dungu begundal munafik Tak tahan lagi Idayu mendengar tusukan kata-katanya. Ia hanya menunduk, makin menunduk. Kedua orang anaknya harus selamat. Maka penghinaan sekeji-kejinya pun akan diterimanya dengan menunduk.
Malu" Pura-pura malu"
Dengan menahan kesakitan hati pelan-pelan ia angkat kepalanya. Ia pandangi Sunan Rajeg, berkata lembut, seakan tiada terjadi sesuatu dalam hatinya: Suamiku sendiri. Sunan, tak pernah mengejek dan menggugat seperti itu .
Karena dia dungu. Sedikit saja cerdik& takkan lama kau menghirup udara. Cukup lama aku tinggal di Tuban. Aku tahu gelagak darah pria Tuban. Dan si dungu itu, kalau bukan karena dungunya, dia takkan mungkin berani mengangkat diri jadi Senapati. Sekarang dia jadi penghalangku yang satu-satunya tak ada duanya di atas bumi selatan ini .
Ya, Sunan. Si dungu itu suamiku. Senapati Tuban, Idayu berkata lambat-lambat dan hati-hati untuk tidak menakutkan Gelar, dan bangga ia istri Wiranggaleng.
Dan kau perempuan tidak setia. Betapa banyak ragamnya.
Hanya suamiku yang menilai diriku .
Suaminya dungu, istrinya tidak setia. Serasi. Istri tidak setia patut bangga pada suaminya yang dungu .
Kalau yang menilai itu Wiranggaleng, Sunan, Idayu berkata lebih lunak lagi. Wiranggaleng Senapati Tuban, tentu akan lain artinya. Selama orang lain yang menilainya, terserah. Setiap orang memang menilai setiap orang .
Kau memang bijaksana, perempuan! Sunan Rajeg tertawa mengejek, menyerahkan penilaian pada suami dungu. Kau bijaksana, ia berkecap-kecap senang, seperti dalam dongeng, Idayu. Tapi biarlah, justru karena suamimu memuja kau, seperti orang-orang gila lainnya itu, pasti dia akan datang kemari. Dia musuhku .
Ya, Sunan. Tak ada yang menyebut aku Sunan Kanjeng Sunan. Ya, Kanjeng Sunan .
Kau masih seperti anak desa yang tak tahu bahasa kadipaten. Baiklah. Kau sendiri memang bukan musuhku. Apalagi anak-anakmu. Jangan buang airmata di hadapanku. Iba hatiku melihat istri seorang Senapati menangisi suaminya. Sia-sia saja sebanyak apa pun airmata itu, penari agung. Sayang di sini tarianmu tiada harga. Hanya tubuh yang harus bergeol-geol di hadapan bukan muhrim .
Idayu dapat mengerti mengapa ia dihina seperti itu sebagai istri Senapati Tuban. Itu sudah sewajarnya. Tapi hatinya sakit karena hal yang lain: penghinaan terhadap tariannya. Guru-gurunya telah membikin ia jadi seorang penari ulung, berhasil memenangkan tiga kali kejuaraan berturut. Seluruh Tuban mengakui, mengapa orang yang satu ini justru menghinanya"
Dan kedua belah tangannya sudah pegal dari menggendong kemarin dan sekarang ia masih juga tahankan sekuat daya agar bayi itu tak jatuh dari dekapan.
Apa aku bilang" Tak ada airmata berharga di hadapanku. Istri seorang musuh bukanlah musuh, apalagi bayi dan bocahnya. Aku tahu aturan, Idayu, bukan kafir jahiliah .
Ia panggil beberapa orang yang datang berdiri di belakangnya. Lihat, ini Idayu, istri Wiranggaleng, istri tunggal si anak desa dungu dan celaka itu. Ingat-ingat, karena dia hanya anak desa dan tetap anak desa, maka istri cuma satu. Berulangkah kukatakan pada kalian: ningrat Jawa tak pernah punya kesetiaan pada istri dan anakanaknya, tapi istri dan istri-istrinya harus selalu setia mutlak padanya. Ningrat Jawa tak mengenal kesetiaan dan kecintaan pada apa dan siapa pun, juga tidak pada anakanak sendiri. Mereka tak lain daripada merak jantan, kesibukannya hanya mengigal mengagumi dirinya sendiri. Mengerti"
Sahaya, Kanjeng Sunan. Barang siapa tak kenal kesetiaan dan kecintaan, dikodratkan untuk menjadi budak dari kehawanafsuan, dari orang-orang yang lebih kuat daripada yang punya hawa nafsu yang lebih besar lagi. Begitu ningrat Jawa, begitu pula nasib Jawa. Masih ingat kalian pada kata-kataku itu" Kita sudah bertekat untuk mengubah nasib Jawa agar tak jadi seperti itu, tapi sesuai dengan ajaran, larangan dan petunjuk .
Kemudian kata-katanya dialihkan lagi pada Idayu: Bukankah sudah aku katakan padamu" Jangan menangis. Suamimu akan terpanggil kemari karena kesetiaannya padamu. Apa keberatannya sekarang, Idayu"
Apakah yang akan kukatakan" Sudah sejak semula aku hanya ditipu untuk datang kemari .
Tidak. Kau bukan ditipu untuk datang kemari. Jangan salah. Ini hanya muslihat perang.
Kalau itu hanya urusan perang, apa gunanya aku ditanyai"
Diam! bentak Sunan Rajeg. Kau tak juga mau mengerti siapa yang kau hadapi .
Idayu menunduk, mengetahui tak ada gunanya bicara. Mengapa diam" Siapa yang kau hadapi Idayu tetap membisu. Siapa"! bentaknya lagi.
Dan Idayu tak juga membuka mulut. Suaranya kemudian merendah jadi gerutu. Betapa banyak orang yang kutolak permohonannya untuk menghadap" Semestinya kau bangga aku ajak bicara . Dan suaranya menaik lagi. Siapa sedang kau hadapi sekarang" Sunan Rajeg.
Kanjeng Sunan Rajeg, Rangga Iskak membetulkan. Kanjeng Sunan Rajeg.
Betul. Siapa lagi" Musuh suamiku seperti kata-katamu sendiri . Diam kau, perempuan perbegu! Tak ada gunanya keangkuhan itu di hadapanku .
Ampunilah aku bila itu suatu keangkuhan. Ya, itulah keangkuhan.
Guru-guru mengajarkan pada kami sikap tahu harga diri dan kehormatan diri .
Di mana harga dan kehormatanmu" Terlalu banyak disanjung orang, ya" Maka di hadapan Sunan Rajeg juga minta disanjung" Apa modalmu untuk angkuh di hadapanku" Tarianmu tak ada harganya di sini. Juga tidak untukku. Gamelan tak punya bunyi di sini, bisu, hanya barang-barang kafir tiada harga. Tak pernah tersebut dalam ajaran. Sombong, akui, ya" bicara tentang kehormatan dan harga diri. Apa artinya anak Habibullah keparat itu" Semua sudah terjadi dan terbukti. Semestinya aku suruh bunuh anak haram itu di wilayah kekuasaanku. Bahkan perkawinanmu pun tidak sah. Tapi tidak aku anggap kalian anak-be-ranak sebagai tamuku. Tak layak kau bersikap angkuh seperti itu. Kalian anak-beranak berhak makan garamku. Semua orang di sini tahu aturan, tahu suruhan dan larangan. Penjaga-penjaga di sini akan menjaga keselamatan dan keamananmu sampai suamimu datang menjemput. Apa kurangnya aku sebagai tuan rumah maka kau seangkuh itu" Di sini takkan ada seorang pun dihukum tanpa dosa atau tanpa pemeriksaan yang betul dan pengadilan yang adil .
Kalau harga diri dan kehormatan diri di hadapan Kanjeng Sunan Rajeg berarti keangkuhan, memang tak perlu lagi aku bicara .
Jih! Dasar kafir turunan kafir!
Ia tinggalkan rumah itu bersama pengiring-pengiringnya dan pintu kembali dipasak dari luar.
Setelah mereka pergi Idayu baru sadar, di atas ambin telah tersedia nasi dan lauk pauk secukupnya dan gendi minum dan pasu kayu berisi air.
Tidak ada apa-apa, Nak, katanya pada Gelar dan disusuinya anaknya yang kecil. Makanlah. Apakah emak harus layani" ia melayani Gelar sambil menyusui.
Ia mempunyai alasan untuk takut. Dan ia tak perlihatkan kepada anaknya. Ia tak ingin kepercayaan anaknya pada dirinya sebagai pelindung tergoncang. Mereka justru memerlukan perlindungannya pada saat seperti ini.
Tidak lebih dari seminggu kemudian terdengar bunyi kentongan dan bedug bertalu-talu menerobos celah dindingdinding bambu masuk ke dalam rumah itu.
Idayu duduk di atas ambin mendengarkan. Si bayi berkicau di tengah-tengah ambin dengan Gelar sedang mencium-cium kakinya yang kecil. Ia sedang mengucapkan syukur pada para dewa telah terlindungi dari pendarahan. Apa yang ramai itu, Mak" Gelar bertanya. Idayu mulai memperhatikan keriuhan itu.
Tak lama kemudian terdengar langkah orang berlarian di depan rumah, makin lama makin banyak.
Siapa pada lari itu, Mak"
Suara orang berlarian itu berhenti.
Tak ada apa-apa, Gelar. Mainlah lagi dengan adikmu . Sekarang terdengar lagi bondongan orang berjalan bergegas, juga terdengar suara kanak-kanak, juga bayi yang menangis dibawa lari. Dari suara mereka terdiri dari berbagai kelamin dan umur. Suara-suara itu kemudian berkurang. Kemudian terdengar suara seorang nenek yang tak dapat lari, hanya melangkah lambat-lambat: Cepat, Yung, jangan terlambat.
Ya, lebih cepat, kalau tidak, binasa kau, suara seorang lelaki dewasa yang melewatinya.
Tertarik oleh suara-suara itu Idayu meninggalkan ambin, mendekati dinding depan dan mencoba mengintip.Dari lubang dilihatnya orang berduyun-duyun membawa harta bendanya yang terbungkus dalam kain tenun atau kain batik coklat atau biru berbunga-bunga, dan bayi-bayi pada digendong dan bocah-bocah pada ditarik-tarik dalam gandengan.
Seorang wanita muda dilihatnya menyisih dari rombongan dan berhenti di depan pintu. Terdengar olehnya ia bertanya pada udara kosong di hadapannya: Mengapa mesti berlari-lari begini" Gusti Adipati raja kita, tak mungkin kawulanya dibunuh tanpa dosa .
Nampaknya ia tak mendapat jawaban atas pertanyaannya sendiri, kemudian menggabungkan diri dengan yang lain-lain, juga lari.
Kentongan dan bedug telah berhenti bertalu. Sekarang nampaknya olehnya seorang tua berjalan terengah-engah melalui depan rumah, mengeluh seorang diri: Mengapa mesti ikut lari" Apa dosaku" ia berhenti lagi untuk mendapatkan nafasnya kembali, kemudian meneruskan jalan dengan pelan-pelan.
Seorang bocah menjerit-jerit memanggil ibunya tanpa mendapat jawaban. Dan bocah itu lari terus.
Seorang ibu yang nampaknya habis melahirkan berjalan terlalu lambat seperti keong. Bayinya ia gendong pada dadanya tanpa dengan selendang. Matanya tidak melihat pada jalanan, hanya pada anak dalam gendongan, dan dari mulutnya keluar keluh dan umpatan, kemudian: Nasibmu, Nak, nasibmu. Bapakmu tewas entah di mana. Lahirmu tak ditungguinya. Terkutuk mereka yang bikin gara-gara ini. Terkutuk sekarang dan kemudian .
Ia tak kuat meneruskan jalannya, berbelok ke kiri dan berhenti di depan pintu, lambat-lambat duduk bersandar pada daun pintu.
Idayu tak dapat melihatnya lagi.
Ada apa, Mak" tiba-tiba Gelar bertanya dari belakang. Ibu muda yang nampaknya baru melahirkan itu kini memperdengarkan suaranya lagi: Ada orangkah di situ" Mengapa pintu dipasak dari luar"
Idayu menutup mulut Gelar dengan tangannya. Dan terdengar lagi suara ibu muda itu: Ijinkan aku masuk. Tolonglah aku!
Idayu tak menjawab, malah memberi isyarat pada anaknya agar tak bersuara.
Ah, keterlaluan! sebut ibu muda itu dari luar. Jaman sekarang orang sudah tak mampu menolong yang lain. Siapakah di dalam situ" Tolonglah aku. Aku sakit. Belum seminggu aku melahirkan . Terdengar orang itu mengerang.
Ah, dipasak mati dari luar begini . Kemudian katakatanya jadi singkat-singkat, terkejut. Ya Allah, ya Dewa Batara, pendarahan! Mati aku, Nak, kalau begini. Siapa mesti rawat kau nanti" ia menangis ter-hisak-hisak. Idayu menarik Gelar, dibawanya naik lagi ke ambin. Tak disadarinya airmatanya menetes untuk ibu muda yang kapiran itu. Dengan diam-diam ditariknya bayinya dan disusuinya. Tidakkah nasib ibu muda itu akan menimpa diri dan anak-anaknya ini" Tangannya yang lain kini menggapai Gelar dan merangkulnya, kemudian menciumnya. Emak menangis, Mak, bisik Gelar, dan ia seka airmata ibunya. Masih juga dapat didengar perempuan di luar itu mencoba membuka pasak. Tersusul kemudian oleh suara seorang lelaki yang berseru-seru dari sesuatu jarak: Jangan ganggu pintu itu!
Keributan makin lama makin susut. Juga tak terdengar ibu muda itu mencoba membuka pasak. Mungkin telah pergi menyingkir dari depan pintu itu. Dan waktu si bayi dan Gelar telah tertidur, ia turun lagi dari ambin dan mengintip. Keadaan telah lengang. Tak seorang pun nampak. Balik lagi ke ambin ia ciumi Gelar, satu-satunya orang selama hari-hari belakang ini dapat diajaknya bicara. Anak itu terbangun, kemudian juga adiknya.
Ada apa, Mak" Tak ada apa-apa. Gelar. Barangkali saja bapakmu akan datang .
Bapak, Mak" Bapakmu, ya. Barangkali membawa balatentara yang sangat banyak .
Gelar turun dari ambin dan lari ke dinding untuk mengintip. Bayi itu menangis, dan Idayu menyusuinya lagi. Kembali, Gelar, sini saja dengan emak .
Terdengar suara beberapa orang lelaki. Gelar lari dari dinding dan mendekati emaknya. Suara mereka semakin mendekati pintu.
Siapa itu, Mak" Stt, Idayu menarik mukanya dari pintu. Ya Dewa Batara , bisiknya berdoa, datanglah kau, Kang, selamatkan anak-anak ini .
Pasak pintu terdengar diangkat orang dari luar. Dan pintu itu terbuka.
Idayu tetap tak melihat ke arah pintu. Hanya Gelar mengawasi pendatang-pendatang baru berpakaian serba putih, bertombak dan berpedang.
Mari, kata salah seorang di antaranya, mari kami antarkan Mbok-ayu ke tempat lain .
Idayu turun dari ambin. Bayi itu digendongnya, dan Gelar digandengnya.
Mari, Mak, kita pergi, dan tak diteruskannya mengatakan: pergi untuk selama-lamanya.
Sekilas ia melihat lelaki yang bicara itu muda, tinggi semampai, berkumis tanpa jenggot, dan ganteng, kulitnya berminyak. Ia menunduk dan melangkah meninggalkan rumah.
Inilah hari terakhir, pikirnya, dan berkata pada Gelar: Lihatah semuanya, Nak, lihat baik-baik, pepohonan, rumah-rumah, langit di atas, sana orang-orang, dan jangan lupa lihat dulu ibumu ini, ia berjongkok untuk dapat dilihat oleh anaknya.
Mengapa harus dilihat semua, Mak .
Biar kau akan selalu ingat di kemudian hari, Gelar . Ke sebelah sini, Mbokayu , orang muda itu berkata lagi.
Dengan Gelar dalam gendongan dan si bayi dalam gendongan ia membelok. Orang-orang lelaki berpedang dan bertombak di belakangnya mengikuti dengan diam-diam.
Suara pemuda itu membangkitkan kenang-kenangan yang indah, jauh, samar, dalam ingatan Idayu. Siapakah yang pernah memanggilnya Mbokayu dengan suara seperti itu" Seindah dan mengandung perasaan seperti itu" Jantungnya berdentaman. Dan tetap ia tak dapat mengingat. Lagi pula apalah gunanya mengingat-ingat sesuatu dalam sisa hidup yang terlalu pendek ini" Mereka telah datang untuk menghabisi istri dan anak musuhnya. 0o-dw-o0
24. Demak Tahun 1518 Masehi Sesuatu telah terjadi di Demak Demak yang dicemburui oleh Kiai Benggala Sunan Rajeg. Ribuan orang berduyun-duyun di depan istana, kemudian bergerak ke mesjid agung Bintoro. Mereka sedang berkabung dengan wafatnya Sultan Demak: Sultan Syah Sri Alam Akbar al- Fattah atau Raden Patah, Khalifah pertama-tama di Jawa.
Tak ada orang bersuara dalam kerumunan besar itu. Semua berpakaian serba putih. Sebagian dari mereka memasuki mesjid agung, sebagian besar tiada bisa masuk dan berdiri di pelataran depan.
Dengung Allahu Akbar berkali-kali membuntingi udara, membubung berat baik dari dalam mau pun di luar mesjid. Gerak dan suara mereka berirama dalam bertakbir bersembahyang mayat. Tidak lama. Dan kerumunan orang di depan mesjid mulai bergerak berdiri jalan pada jenasah yang akan diantarkan ke tempatnya yang terakhir.
Kerumunan besar orang itu berubah, membentuk diri jadi barisan panjang dan teratur. Paling depan adalah barisan pengawal kerajaan Demak. Dan seperti prajurit kerajaan Jawa pada umumnya mereka bertelanjang dada. Hanya pada kesempatan ini pada dada mereka terhiasi pita putih yang tergantung pada leher. Juga ujung paksi dari tombak mereka terhiasi dengan pita putih pula.
Di samping-menyamping jenasah berjalan beberapa orang anggota Majelis Kerajaan, para wali yang bergelar Sunan, tak lebih dari empat orang. Dan Sunan Kalijaga, yang selalu berdestar, berkain dan berkerodong kain batik, tiada nampak.
Di belakangnya lagi adalah para ulama yang kebetulan sedang berada di Demak.
Menyusul kemudian para punggawa dan rakyat biasa. Di tengah-tengah barisan para punggawa terdapat sebuah tandu bertanda putih. Di atasnya sebuah bola kayu kuning keemasan. Di dalamnya terdapat putra mahkota Demak: Adipati Unus Jepara.
Di samping-menyamping tandu adalah para keluarga Sultan, kecualiwanita, karena tak ada seorang pun wanita di dalam seluruh iring-iringan panjang ini.
Barisan itu berjalan lambat-lambat meninggalkan pelataran mesjid. Waktu buntut barisan telah hilang dari pemandangan alun-alun yang luas itu tertinggal sunyi dan sepi.
Seluruh Demak berada dalam suasana berkabung. 0o-dw-o0
Delapan minggu kemudian sekitar alun-alun menjadi ramai kembali. Tidak tampak adanya suasana berkabung. Gong dan canang bertalu-talu riuh-rendah menyerukan kegembiraan. Sepasukan prajurit pengawal bertombak berbaris keluar dari istana. Rakyat yang berada di alun-alun bersorak-sorai menyambut. Mereka mengangkat tangan dan selendang dan kerudung.
Di belakang pasukan pengawal nampak lagi tandu bertenda putih dengan bola kayu keemasan di atasnya, diapit oleh prajurit-prajurit pengawal berpedang terhunus. Di belakangnya pasukan pengawal lagi. Kemudian barisan dan barisan dan barisan. Semua menuju ke mesjid agung Bintoro.
Alun-alun semakin lama semakin ramai. Orang berdatangan tiada henti-hentinya. Dan di mana-mana dipasang umbul-umbul berwarna-warni dan berwarna ganda.
Begitu akhir barisan memadat di halaman mesjid, peluru cetbang berledakan di udara. Kemudian tenang, dan tiada antara lama kemudian membubung ucapan syukur di udara: Alhamdulillah berkali-kali. Gong dan canang semakin riuh.
Adipati Unus Jepara telah dinobatkan jadi Sultan Demak.
Tandu meninggalkan mesjid dan memasuki istana. Dengan bantuan dua orang Sultan Demak kedua didudukkan di atas singgasana ia tak mampu lagi tegakkan badan tanpa bantuan. Serpihan-serpihan laras cetbang yang belum dapat dicabut dari tubuhnya telah membuatnya jadi cacad untuk selamanya.
Pada hari ia naik tahta dijatuhkannya titah memanggil kembali semua musafir Demak. Mereka yang kebetulan sedang berada di ibukota harus dipersiapkan untuk menerima amanat sebelum mereka menuju ke daerah pekerjaan masing-masing, dengan membawa cerita tentang Demak yang lama dengan sultannya yang baru, dan kebijaksanaan baru.
Amanat itu kemudian ternyata diadakan di balairung penghadapan. Isinya: Sultan Demak kedua berseru pada seluruh penduduk di lawa untuk melawan Peranggi sebagai musuh yang takkan dapat diajak Iyr baik. Sultan Demak berseru pada raja-raja di Jawa dan di seluruh Nusantara untuk bersekutu dalam pembiayaan dan usaha guna membangunkan armada gabungan yang perkasa.
Sultan Demak kedua berseru agar para raja menentang setiap kekuasaan yang mencoba bersahabat dengan Peranggi dan agar mereka pun dianggap sebagai sekutu musuh dan harus dihancurkan juga& .
Tiada terkira terkejut orang mengetahui, sampai Sultan baru itu dinaikkan lagi ke atas tandu, tak juga keluar titah yang bersangkut-pautan dengan agama. Orang masih tetap menunggu tanpa memberikan ulasan.
Maka para musafir mulailah bersebaran menuju ke seluruh pelosok Jawa. Beberapa belas orang mancal dari Jepara menuju ke seberang: Jambi, Aceh, Semenanjung, sepanjang pesisir Kalimantan, Nusa Tenggara dan Maluku.
Di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara dan Sumatera, seruan itu membangkitkan harapan baru akan terjadinya perbaikan pelayaran dan perdagangan sehingga kembali seperti sebelum jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Dan seruan itu terdengar begitu jantan, sehingga orang tak pernah mengingat lagi, bahwa Sultan Demak baru adalah seorang yang telah cacad, bahkan untuk tegak berdiri harus dengan bantuan, dan tidak mungkin lagi tampil jadi laksamana.
Bupati-bupati pesisir pulau Jawa yang lola tanpa kekuasaan pusat pada memerlukan datang menghadap menyatakan kesediaannya. Di antara mereka ada yang menyanggupi balatentara. Beberapa yang lain menyatakan berada di bawah perlindungan Demak tanpa dipukul dengan perang.
Satu-satunya penantang Portugis telah marak jadi raja! Kekuasaan mutlak telah ada di tangannya. Tak bisa lain, orang harus mendengarkan setiap katanya. Ia memang pernah dikalahkan Portugis, dan ia pun mengakui kekalahannya, namun takluk ia tak pernah.
Titah yang kemudian menyusul lebih menggoncangkan: segala dana dan daya di dalam kerajaan Demak, tanpa kecuali, harus dikerahkan untuk membangun armada. Pelabuhan Jepara dititahkan jadi pusat galangan kapal yang paling sibuk dan paling besar di seluruh belahan bumi selatan.
Akhir dari titah itu adalah pernyataan, bahwa ia telah mendapat firasat takkan memerangi segala apa yang akan dipersiapkannya, namun sisa kekuatannya sepenuhnya akan dibaktikannya untuk kepentingan ini. Dan bahwa tak ada orang akan merasa aman di belahan bumi selatan ini, selama Peranggi masih bercokol di sini.
Kerajaan Hindu Giri Dahanapura Blambangan dan Pajajaran membaui datangnya bahaya ini. Dengan serta merta mereka berusaha lebih giat untuk mendapatkan persahabatan dari Portugis di Malaka. Sebaliknya titah ke dua itu juga menimbulkan perasaan kurang puas pada Majelis Kerajaan. Mengapa di dalamnya tidak disinggungsinggung tentang kepentingan agama dan pengluasannya"
Dalam suatu penghadapan khusus mereka mendapatkan jawaban yang tidak kurang kerasnya: Bagaimana bisa hal ini dipersembahkan" Bukankah sudah jelas Peranggi mengancam apa yang telah Bapa-bapa Sunan yang terhormat sebarkan di pulau Jawa ini" Dapatkah hasil penyebaran dipertahankan, dapatkah pertumbuhannya disuburkan, selama Peranggi masih mengancam" Jawaban itu menyebabkan Majelis Kerajaan ragu-ragu terhadap kekhalifahan Sultan baru. Pertikaian baru terjadi dalam tubuh Majelis yang mengancam terjadinya perpecahan baru. Dan pertikaian itu memang tak pernah terselesaikan. Seorang anggota, sebagai protes, telah meninggalkan Majelis Demak untuk selama-lamanya, mengutamakan perguruannya, dan menolak membicarakan kebijaksanaan Sultan Demak baru sampai meninggalkan.
Titah Sultan yang ke dua itu bergema juga di Aceh, melalui bandar Pasai. Dari Pasai sampai pada Portugis di Malaka.
Pengalaman telah mengajarkan pada Portugis, belum lagi Adipati Unus punya kerajaan telah berani jadi penantangnya yang cukup berbahaya, bahkan nyaris mengusir mereka dari Malaka. Sekiranya dahulu Malaka jatuh, mereka sudah akan menjadi lemah dalam pelayaran antara Goa dengan Maluku. Maka Demak terlalu berbahaya. Ia tidak menggubris pendekatan Pajajaran dan Blambangan. Diperintahkannya kapal-kapalnya menjauh dari pesisir Jawa. Pelayaran ke Maluku dan Nusa Tenggara harus lebih mendekati Kalimantan dan Sulawesi. Sedang Blambangan dan Pajajaran dipergunakannya sebagai sumber keterangan tentang kegiatan Demak.
Akibat titah ke dua. Laut Jawa terbebas dari kapal-kapal Portugis. Pelayaran Pribumi mulai ramai kembali, sekalipun masih ragu-ragu memasuki perairan Maluku dan Nusa Tenggara. Beberapa orang pedagang telah melakukan percobaan pelayaran ke Maluku dalam bentuk armada dagang gabungan dengan mengibarkan bendera kuputarung Jepara. Mereka berhasil mendapatkan rempahrempah. Armada dagang gabungan lain-lainnya pada meniru. Perdagangan dengan Maluku dan Nusa Tenggara mulai hidup kembali. Arusnya memantai pulau Jawa, dan tergabung dengan lada dari Sumatra Selatan arus itu makin membesar, memantai Sumatra sebelah barat dan menuju ke Teluk Bayur.
Seperti ditiup dari langit Teluk Bayur menjadi bandar ramai, menghubungkan Atas Angin dengan Nusantara. Arus yang menuju ke Pasai mulai mengendor.
Bandar-bandar di Jawa Utara mulai hidup kembali, bernafas legapenuh pengharapan. Dan para pelaut seperti digerakkan oleh persetujuan gaib mengakui. Unus berlidah api. Baru kata-katanya, dan keadaan laut sudah mulai berubah, apa pula nanti tindakannya!
Jepara tiba-tiba berubah jadi kota industri yang giat. Tenaga ahli dari seluruh Jawa terhisap ke sini. Kotanya melambung menjadi besar dalam hanya beberapa tahun. Pasar-pasar diperbesar dan ditambah jumlahnya. Dan para musafir semakin giat mengagungkan Demak dan rajanya. Tetapi Demak sendiri juga terhisap oleh Jepara. Sejak Sultan Demak baru ini, hubungan mesra antara Demak dengan Semarang mulai retak. Demak berdiri sebagai kerajaan bebas.
0o-dw-o0 Hanya Tuban belum juga bangun dari kemuramannya. Kerusuhan di dalam negeri menyebabkan para saudagar enggan menyinggahi. Tak ada sesuatu bisa diperoleh dengan mudah dan murah di Tuban.
Bahkan para insinyur dan tukang kapal meninggalkan negerinya mencari penghidupan di Jepara.
Armada dagang Tuban sendiri enggan kembali ke pangkalan asal. Hanya benderanya, merah putih panjang, masih dapat dilihat, di semua bandar, kecuali di Tuban sendiri.
0odwo0 25. Akhir Perang Dengan pedang terawang di atas kepala Wiranggaleng dan Banteng Wareng terjun ke tengah-tengah medan pertempuran. Dan seperti pedang kembang senjata-senjata itu menyambar ke kiri dan ke kanan, bawah dan atas.
Dalam pada itu dua-duanya tak henti-hentinya berseru: Pulang! Ayoh pulang kalian! Pulang ke desa! Pulang! Buang senjata! Pulang! Jangan bikin bini kalian jadi janda, anak jadi lola! Pulang! Pulang! ke desa!
Yang tak mau pulang kena tebang! kena tebang! Matahari hampir tenggelam. Tiba-tiba terdengar suara parau memberi balasan: Jangan kena dibodohi. Serang terus! dan itulah suara Mahmud Barjah.
Dengan sepasukan kaki ia sedang bergerak hendak merampas kembali meriam dan membebaskan Esteban dan Rodriguez.


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Buru dia! perintah Senapati sambil membebaskan diri dari para penyerangnya dan langsung memburu Mahmud.
Jangan dengarkan begundal kafir Peranggi! teriak Mahmud menghina.
Budak Koja, kambing Rangga Iskak! teriak Banteng Wareng. Senapatiku, serahkan padaku. Jangan lari kau pengkhianat. Inilah harimau .
Mahmud duduk di atas kudanya. Ia cabut pedang begitu melihat yang mendatangi juga berpedang.
Laskar kaki yang dipimpinnya untuk mengambil kembali meriam ia tinggalkan untuk menyambut musuhnya. Ia menengok ke belakang memberi perintah: Teruskan tanpa aku. Saksikan bagaimana begundal-begundal kafir Peranggi ini tumpas di tangan Mahmud Barjah, ia berpacu mendatangi pemburu-pemburunya.
Percuma, Mahmud! teriak Banteng Wareng. Lebih baik kau lari seperti yang lain. Atau serahkan lehermu.
Beberapa prajurit berkuda Tuban menyusul untuk menyelamatkan Senapati dan Banteng Wareng dari kepungan laskar kaki Rajeg. Dengan cambuk menggeletar di udara mereka menerjang dan membubarkannya. Sebagian lari berpacu mengejar mereka yang hendak menyelamatkan meriam dan penembaknya.
Terlalu hina melayani pengkhianat, Senapatiku! pekik prajurit-prajurit kuda itu.
Dan pedang terlalu mulia untuk lehernya. Biar kami cambuki saja, Senapatiku!
Laskar putih itu masih jadi penghalang Mahmud untuk dapat bertemu dengan Senapati atau Banteng Wareng.
Tuban sudah jatuh! pekik Panglima Rajeg memberanikan tentaranya. Kalian tinggal masuk. Semua jadi milik kalian, wanita dan harta Jangan tunggu! Serang terus!
Pembohong! bentak Banteng Wareng dan diterjangnya lapisan prajurit Rajeg dengan kudanya sampai porakporanda. Ia melambaikan tangan ke belakang. Cambuki pengkhianat ini sampai rompang-ram-ping. Bukan satria yang kita hadapi, hanya pengkhianat keparat .
Wiranggaleng berhenti, tak terus mendapatkan Mahmud, berbalik memunggungi.
Mahmud menjadi marah merasa dihina oleh Senapati Tuban karena tak dilayani. Ia memekik dengan suara parau: Jangan lari, anak desa! Kembali sini! Rasakan pedang Panglima Rajeg, Mahmud Barjah .
la hentakkan kuda, meninggalkan lapisan laskarnya sendiri dan mulai memburu. Yang diburu menyusup ke tengah-tengah pertempuran dan meneruskan seruannya.
Mati di mana-mana, kiri, kanan, depan, belakang. Buang senjata! Lari! Pulang! Urusanak-bini kalian! Apa arti Mahmud Barjah anak Koja" Saksikan bagaimana dia terbalik dari kudanya kena cambuk Tuban jadi babi yang merangkak-rangkak .
Senapati melarikan kudanya, berputar-putar, untuk membikin Mahmud Barjah kalap.
Hanya mereka bagian iblis. Sini, Galeng, jangan lari, biar kupapras moncongmu. Jangan lari, Galeng!
Mahmud mencoba menerobos medan pertempuran untuk dapat mencapai Senapati Tuban. Pedangnya berdentingan menyambar, menetak dan menangkis prajuritprajurit kaki Tuban. Kemudian diketahuinya ia telah terpancing dan terkepung oleh lima orang prajurit kuda Tuban.
Lima pedang menyerangnya berbareng. Matanya yang tajam itu gemerlapan dalam senja yang muram itu, mengerling, membelalak, menyipit, menangkap segala gerak yang hendak membelah kepala dan badannya, menangkisi semua serangan. Namun masih sempat ia mengerling Senapati dan berteriak parau: Jangan lari, Galeng, anak desa! Tani busuk jadi senapati! Senapati dagelan! Mari dekat sini, biar aku lecuti. Pedangku merasa hina menjamah jagatmu .
Wiranggaleng tetap mencemoohkannya dengan menyambar-nyambarkan pedangnya pada musuh di sekeliling dan tak juga henti-hentinya berseru: Maut bagi yang tak mau lari! Selamat bagi yang pulang ke desa!
Jangan lari di balik punggung anak-buah, Galeng! Mahmud memekik lagi tak dapat menahan marah dan kekesalannya.
Dengan sekali lompatan yang menakjubkan kuda Mahmud keluar dari kepungan dan memburu Senapati di tengah-tengah pertempuran. Ia sarongkan pedang dan menarik cambuk perang dari pinggang.
Tiga orang prajurit kuda Tuban memburunya dengan cambuk perang pula dan mencambuki dari belakang. Punggung dada dan tangan Mahmud telah bermandi darah dan sobekan-sobekan pada kulitnya menganga dari robekan bajunya yang berbelang-belang merah.
Pengecut! Pengecut! teriak Mahmud Barjah murka, terus memburu Senapati tanpa mengindahkan para penyerang di belakangnya.
Tak tahan terhadap lecutan dari belakang tanpa menengok ia melecut ke belakang. Ujung cambuknya mencabut sebiji bola mata pemburunya. Tanpa dilihatnya penunggang kuda itu terjungkal di tanah.
Cambuk dari belakangnya semakin bertubi dengan sorakan: Nasib pengkhianat tak pernah baik!
Dua ujung cambuk yang jatuh berbareng dari belakang mengenai mukanya, telah mengiris hidung dan menghancurkan matanya. Ia terjatuh juga dari kuda oleh tarikan cambuk musuh-musuhnya yang membelit dan mengiris leher.
Dengan muka tertutup darah dan telah buta ia meraungi: Galeng, selesaikan aku dengan pedangmu! Jangan kau hinakan aku begini. Aku pun seorang prajurit .
Ia merangkak-rangkak berdiri. Sebilah tombak telah menyambar dadanya. Ia terjatuh lagi sambil dengan dua tangan memegangi mata tombak yang menyembul dari rusuk, kemudian ia tak bangun Lagi untuk selama-lamanya di dekat sebongkah batu, terinjak-injak oleh kaki kuda dan prajurit kedua belah pihak yang sedang berkelahi. Mahmud Barjah mampus! seseorang memekik. Panglima Rajeg tewas! seorang lain menjerit. Seluruh tentara Tuban yang bertempur di sekitar bersorak. Dan seperti mendapat perintah gaib semua prajurit Rajeg berhenti menyerang, juga berhenti bersorak, seakan lidah tercabut dari mulut mereka.
Nasib pengkhianat tak pernah baik! seorang memekik. Ayoh pulang! Pulang sekarang! Senapati tak bosanbosannya berseru. Panglima kalian telah tewas. Buang senjata! Pulang!
Menyaksikan sendiri betapa panglimanya tewas, tentara Rajeg membuang senjata mereka, buyar tanpa kekang tanpa kendali. Tanda-tanda kehancuran kekuatan Sunan Rajeg telah menjenguk di ambang pintu. Hanya sebagian kecil mengamuk kehilangan akal dan pegangan. Sebagian besar telah mulai melarikan diri tanpa senjata.
Panji-panji Mahmud Barjah, panji-panji Panglima, telah lama tidak nampak. Pembawanya telah kena langgar seekor kuda, lari masuk ke dalam hutan tanpa mengingat bawaannya lagi.
Berhenti menyerang! perintah Senapati. Beri kesempatan pada saudara-saudaramu. Biar mereka pulang ke desa masing-masing. Berkumpul kalian!
Dan balatentara Tuban berhenti menyerang. Mereka bergerak untuk berkumpul sambil melihat tentara Rajeg menarik dan membubarkan diri masuk ke dalam hutan. Balik ke Tuban! Senapati menjatuhkan perintah. Dimulai dari para prajurit di dekat-dekat Senapati, kemudian juga merambat jauh-jauh, balatentara Tuban mulai balik kanan jalan dan bergerak ke arah kota.
Buntut barisan yang pulang itu masih kedengaran berseru-seru: Buang senjata! Pulang!
Dalam selingan sorak-sorai riang kemenangan. Tasukan pengawal Tuban telah menyiapkan cetbangcetbang pada sebuah tikungan jalan, sesuatu ketinggian yang mengawasi jalan lurus ke depannya. Begitu panji dan umbul-umbul tentara Rajeg yang serba putih nampak di senja hari, cetbang-cetbang melepaskan peluru mendatar pada mereka. Hujan ledakan jatuh dalam tubuh barisan depan-suatu hal yang sama sekali tak pernah mereka perhitungkan.
Mahmud telah merencanakan, pasukan inti tentara Rajeg akan memasuki Tuban dari sebelah pesisir timur tanpa perlawanan dan terus menyergap cetbang di tepi-tepi pantai. Sekarang peluru yang dilepaskan dari jarak enam sampai delapan ratus depa itu sama sekali tak dapat ditangkis atau pun dibalas. Peluru-pelurunya meledak di atas barisan, di tengah-tengah, kiri dan kanan, menyemburkan pecahan kulitnya, api belerang dan sendawa, dan kerikil berapi dan udara panas membakar. Orang pun jatuh bergelimpangan.
Barisan depan itu berantakan lari kocar-kacir ke segala penjuru. Mereka tak mampu meneruskan barisannya. Panji dan umbul-umbul menggeletak tak berdaya di tanah. Tanpa angin mereka kehilangan kebesaran dan daya. Dengan angin pun mereka tinggal sesobek kain berwarna.
Tetapi Braja pun tidak tahu, inti tentara Rajeg sudah mulai memasuki Tuban dari pesisir sebelah timur. Mereka menyapu seluruh pesisir timur tanpa bersorak dan merunduki sarang-sarang cetbang di sekitar daerah pelabuhan.
Yang dirunduk ternyata tiada.
Mereka berhadapan dengan pecahan-pecahan pasukan pengawal yang ditinggalkan. Pertempuran antara dua kekuatan yang terlatih ini berjalan dengan kegigihan dari ke dua belah pihak. Dahulu mereka sama-sama bagian balatentara Tuban. Kini berkelahi saling menerkam. Sebuah pecahan kecil telah dilindas tanpa bisa menyerang dan hanya bisa mempertahankan diri. Hanya seorang dapat lolos, lari menghindari terkaman maut untuk dapat mencapai pemimpinnya: Braja.
Pecah barisan! Braja memerintah. Kecuali cetbang, pelayan dan pengawal, semua balik ke kota!
Dan pada pasukan cetbang yang ditinggalkan ia memerintahkan terus menembaki musuh sambil terus maju, sampai peluru habis.
Ia pun melompat ke atas kudanya dan berpacu ke jurusan kota membawa pasukan pengawal.
Perintah penyerangan segera dilakukan dari punggung tentara Rajeg. Pertempuran sengit di waktu senja itu meletus di sepanjang pantai kota Tuban, dilatar belakangi oleh bunyi ledakan peluru-peluru cetbang di luar kota, disaksikan oleh langit yang sedang ditinggalkan oleh matahari.
Malam jatuh. Perkelahian dalam kegelapan berlangsung tanpa kenal ampun.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari sebelah barat. Tak lama kemudian sorak-sorai itu diselingi oleh suling gajahgajah yang kembali memasuki kota.
Inti tentara Rajeg dengan tiba-tiba pula menghentikan serangan. Mereka mengendap menyelinap mengetahui kedatangan pasukan gajah. Suatu kekagetan telah mengubah sama sekali pandangan mereka tentang jalannya pertempuran bukan tentara Rajeg yang memasuki kota Tuban tanpa perlawanan, tetapi pasukan gajah Tuban sendiri.
Mengetahui perhitungan mereka ternyata meleset dan segala usaha akan jadi sia-sia, mereka pun mengundurkan diri di bawah lindungan kegelapan malam.
Dengan demikian selesailah perang dalam negeri yang minta terlalu banyak korban itu.
Semua prajurit Tuban yang tiada gugur atau terluka seluruhnya kembali memasuki kota dengan bersorak-sorai. Penduduk pun berduyun-duyun keluar dari persembunyian dan pengungsian untuk menyongsong mengelu-elukan.
Para nelayan yang lari dan darat dengan perahuperahunya, malam itu juga memerlukan kembal" ke pantai. Kota Tuban seakan-akan berpesta pora.
Orang pun bersorak memekikkan nama Wiranggaleng dan para pemimpin pasukan balatentara Tuban.
Ke sekian harinya inti pasukan Rajeg kembali melancarkan serangan. Braja menghadapi mereka dengan bantuan pasukan kuda. Pertempuran yang berdarah dan tak kenal menyerah itu berhenti pada tengah hari dengan tumpasnya seluruh sisa pasukan Rajeg tanpa seorang pun bertekuk lutut.
Sebuah krangkeng besi telah dipasang di dermaga pelabuhan atas perintah Senapati.
Beberapa hari kemudian Esteban dan Rodriguez dimasukkan ke dalamnya untuk disaksikan oleh dunia seluruh negeri bagaimana Tuban menghinakan Portugis. Lima belas hari lamanya setiap orang boleh menonton dan menghinakan dua orang itu tanpa boleh menyiksa atau melukai.
Dari bandar-bandar tetangga dan kampung-kampung nelayan setiap hari datang kapal dan perahu yang mendaratkan penonton. Pelabuhan menjadi ramai dan pasar bandar hidup kembali. Namun perdagangan antarpulau belum juga pulih.
Saban hari Esteban dan Rodriguez bermandi peluh sendiri dan ludah penonton.
Dengan keterbiasaan melihat dan menghinakan Peranggi, lama-kelamaan ketakutan orang pada mereka meruap terbang. Juga Peranggi bisa ditangkap dan dihinakan.
Belum lagi lima belas hari dua orang Portugis itu jadi tontonan Wiranggaleng telah memerintahkan pada Braja, mencari sampai dapat dan menangkap mereka yang dahulu telah menyelewengkan terjemahan surat Rangga Iskak alias Iskak Indrajid alias Kiai Benggala alias Sunan Rajeg. Mereka didapatkan dan ditangkap tanpa kesulitan. Dalam sidang pemimpin-pemimpin pasukan, mereka dijatuhi hukuman mati dengan jalan membandul mereka dengan batu dan melemparkan ke laut.
Dan kadipaten tidak berpengawal. Wiranggaleng telah menjatuhkan perintah pada Braja untuk tidak memasuki kadipaten tanpa seijinnya. Hanya punggawa yang diperkenankan bekerja lagi. Ia menganggap pekerjaan belum selesai selama Rangga Iskak belum tertangkap, hidup atau mati.
Orang pun mulai bertanya-tanya mengapa kebesaran Sang Adipati belum juga dipulihkan, mengapa seluruh kekuasaan atas Tuban dapat berpindah ke tangan si anak desa juara gulat bernama Galeng. Dahulu hanya Sang Adipati yang mempunyai duga sangka Wiranggaleng lah yang menghendaki jabatan patih seperti halnya dengan Gajah Mada. Sekarang orang menduga anak desa bukan menghendaki itu, boleh jadi ia hendak mengangkat diri jadi Adipati sendiri, menjadi raja, seperti Ken Arok.
Setiap orang punya duga-sangkanya, duga sangka belaka. Mereka tak berani mempergunjingkannya.
Wiranggaleng belum juga nampak pulang ke kesyahbandaran.
Nyi Gede Kati setiap hari membersihkan kamar gandok kanan itu. Dan tidak lain dari dialah yang sangat mengharapkan kedatangannya untuk dapat menyampaikan berita tentang Idayu dan anak-anaknya.
Dan berbeda dari semua orang, Syahbandar Tubanlah sekarang satu satunya orang yang paling takut pada anak desa itu. Pikirannya terpusat pada dua hal: siapa sesunguhnya yang berkuasa sekarang ini, Sang Adipati atau Sang Senapati" Bila yang pertama yang berkuasa, ia masih punya perlindungan dan Sang Senapati takkan meletakkan tangan pada kulitnya. Bila yang kedua yang berkuasa, tak ada jalan lain baginya daripada harus melarikan diri. Ke mana" Dan bagaimana" Maka disesalinya sendiri karena tak menyediakan persiapan sebelumnya. Lari melalui laut tidak mungkin. Pasukan pengawal menjaganya dengan ketat. Pasukan laut pun telah dipanggil pulang dari Gresik. Lari ke darat juga tidak mungkin. Pasukan kaki memagari Tuban. Tenaga dan keberaniannya pun tidak cukup untuk itu.
Dengan hati-hati ia meletakkan harapan pada kemungkinan pertama. Buktinya, Senapati belum juga mengambil tindakan terhadap dirinya. Dan selama Sang Adipati yang berkuasa, anak desa itu harus menempuh jalan-jalan yang layak untuk dapat membinasakannya dengan perkenan Sang Adipati. Bahkan dua orang Portugis itu juga tidak dibunuh, adalah pertanda juga Sang Senapati tak berani melakukannya.
Tentang hukuman atas para penterjemah yang tidak jujur, ia dan semua orang pun tak tahu duduk perkaranya. Ia sudah mencoba memikirkannya. Tak mampu. Kemudian ia menganggap karena mereka itu terlibat dalam kerusuhan. Dan ia sudah puas dengan anggapannya.
Tetapi dua orang Peranggi itu kini yang mengganggu ketenteramannya. Ia menduga mereka akan diperas keterangannya sampai mengakui segala-galanya yang menyangkut soal meriam. Dari mana meriam itu" Boleh jadi tak ada yang dapat membuktikan dari mana.
Tetapi mereka mengenal Yakub, dan pewarung itu jelas telah membawanya ke pedalaman, menyerahkannya pada Rangga Iskak.
Tidak, Yakub akan membisu sampai mati selama ia berada di Tuban. Keselamatannya sendiri ikut dalam pertaruhan. Hanya bila dua orang itu menyebut-nyebut nama Yakub, barulah kemudian namanya akan dikedepankan pula.
Tak bisa tidak hanya dua orang Peranggi itu yang bisa mencelakakannya. Sama saja siapa yang berkuasa, Sang Adipati ataukah Sang Senapati, bila namanya tersebut dalam persoalan meriam, jiwa juga tebusannya. Ia menyesali Portugis celaka yang semudah itu dapat ditangkap punya meriam dan punya pengalaman perang begitu banyak!
Dan ia mengenal pengadilan Pribumi tak banyak membutuhkan bukti, lebih mendasarkan pada hukum pikiran dan suara orang banyak, tidak jarang didasarkan pada harapan belaka hendaknya Sang Adipati menjadi senang. Ia memang makin bisa bersilat lidah dan batalkan semua dakwaan, tapi pikiran Pribumi tidak akan menggubrisnya. Mereka punya cara berpikir kafir dalam mengurus keadilan. Ia harus mencari jalan keselamatan& .
Dan pada suatu pagi di antara pagi-pagi yang murung dan menakutkan, sedang ia duduk di kursi sambil berpikirpikir, datang Nyi Gede Kati membawakan kabar. Justru pada waktu itu ia sedang mengherani, bagaimana mungkin dua orang Portugis itu dapat ditangkap begitu mudah oleh prajurit-prajurit yang tak punya pengalaman perang di mana-mana. Dan tertangkap dalam keadaan hidup!
Mengapa Tuan kelihatan murung, pucat dan kurus" Tak ikut bergembira Tuan nampaknya dengan kemenangan Tuban .
Aku sedang mencari jalan bagaimana bisa menghadap Gusti Adipati .
Tuan biasa menghadap ke sana .
Sekarang tak bisa. Kati. Para punggawa itu pun mengatakan Gusti selalu berkunci diri. Juga kadipaten tak boleh dimasuki oleh siapa pun kecuali para punggawa . Bukankah Tuan juga Punggawa"
Ya, tapi bukan punggawa kadipaten .
Bagaimana mungkin Tuan tak diperkenankan menghadap"
Mana aku tahu, Kati. Cobalah tolong aku, Kati, kau saja datang ke sana memohonkan perkenan untukku buat menghadap .
Bagaimana Tuan ini" Bukankah Tuan sendiri tahu kadipaten tertutup bagi siapa pun, apalagi sahaya"
Baiklah, katanya mengalah dan menghirup kopi. Kalau begitu pergi kau ke mana saja mencari warta. Ke mana saja . Ia tahu, Nyi Gede Kati menolak dan takkan pergi ke mana pun. Kalau demikian ia sudah senang perempuan itu meninggalkannya seorang diri untuk meneruskan pikirannya.
Dengan berani ia memutuskan Esteban dan Rodriguez harus dihabisi sebelum diadakan pengadilan. Dan pengadilan itu pasti akan dibesar-besarkan untuk mengejek dan menghina Portugis. Mereka berdua harus aku habisi dengan tanganku sendiri, jalan lain tak ada. Kalau tidak mereka akan menghabisi dua-duanya, kemudian juga aku.
Ia bangkit dari tempatnya. Masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Dari sebuah peti yang terletak di pojokan ia keluarkan sebuah botol tembikar berisi cairan kehitaman. Dibukanya kayu hitam pada ujung tongkatnya. Sebilah pisau panjang sempit kehitaman muncul di depan matanya. Cepat-cepat ia masukkan pisau itu ke dalam cairan di dalam botol dan ditariknya mata pisau itu ke atas dan membiarkan cairan itu menetes balik ke dalam botol.
Ia berkomat-kamit. Suaranya tergumam tak jelas. Walau demikian nampak ia meletakkan seluruh kepercayaannya pada keampuhan pisau tongkatnya. Kemudian ia melatih diri dengan gerakan-gerakan tikam untuk berbagai jarak. Lengannya yang tipis dan senjatanya yang kurus bergerak begitu cepat seperti ular kobra yang sedang menyambarnyambar. Rupa-rupanya ia telah terlatih menggunakan senjata khusus ini.
Setelah keringat mulai membasahi tubuh ia berhenti, memasang kembali sarong kayu dan jadilah kembali bentuk tongkat yang semula. Ia seka muka dengan baju, meninggalkan kamar dan keluar dari rumah.
Ia hendak lewatkan hari itu dengan berjalan-jalan di pelabuhan, di dermaga, untuk melihat-lihat keadaan, dan terutama untuk dapat berhadapan mata dengan orang-orang Portugis celaka itu.
Ia berjalan pelan-pelan untuk melihat sampai di mana penjagaan pasukan pengawal. Dan ia melihat mereka sudah mempercayakan keselamatan Esteban dan Rodriguez pada aturan yang telah ditentukan dan pada kuatnya krangkeng besi.
Akhirnya ia naik ke menara pelabuhan yang kini telah kembali dijaga oleh dua orang baru. Ia mencoba mengobrol sebentar, kemudian memeriksa seluruh medan bandar dengan cermat, menaksir orang-orang yang lalulalang, dan akhirnya ia mendapat keputusan dapat melaksanakan rencananya.
Dari menara itu juga ia dapat melihat warung Yakub yang terkunci sejak balatentara Tuban masuk kembali ke kota. Ke mana saja buaya darat itu pergi selama ini" Adakah perasaannya begitu tajamnya maka dia tahu bahaya sedang mengancam lehernya"
Tiba-tiba ia cemburu pada kemudaan pewarung itu yang mempunyai kegesitan dan ketangkasan seperti itu. Ya-ya, mungkin aku telah menginjak tua.
Sementara Ini menara itu memberinya kedamaian. Penjaga menara itu terus mencoba untuk mengobrol Mereka selalu mengambil perang yang brtru saja berlalu sebagal pokok untuk kemudian menyanjung nyanjung Wiranggaleng. Anak desa itu jelas menjadi bintang tuban yang tidak dapat diragukan lagi. Ia dengarkan obrolan bagaimana Senapati memancing mancing Mahmud Barjah untuk dapat terjauhkan dari tentaranya, dan untuk dapat dilecuti dengan cambuk sebagai penghianat.
Seorang penghianatt tak layak mendapatkan pedang, apalagi keris, Clambuk memang sepatutnya, cocok untuk seekor kera yang busuk , kata seorang di antaranya.
Tholib Sungkar Al Zobaid hanya mengjingguk angguk mengiakan dan ikut memuji-muji Syahbandar-muda itu,
Siang itu ia tidur di menara pelabuhan Itu, dan dua orang penjaga itu tak mengganggunya.
Pada sore hari ia bangun dan menuruni tangga menara, langsung pulang. Dan jantungnya terasa berhenti berdenyut waktu dilihatnya Nyi Gede Kati sedang bicara dengan Wiranggaleng di jalanan antara gedung utama dongan gandok kanan. Senapati itu menunduk tak melihat ke kesana kecuali ke sekitar kakinya nendiri. Dan istrinya sedang bicara bersungguh-sungguh. Mereka berdua tak melihatnya,
Buru-buru ia masuk ke dalam rumah, ke kamar, kemudian pura-pura tidur. Tongkat berhulu gading itu tergeletak di sampingnya.
Dan betapa lega hatinya mendengar langkah-langkah kaki lelaki menakutkan itu di atas jalanan kerikil itu meninggalkan kesyahbandaran. Ia pun jatuh tertidur.
Makan malam itu ia hadapi dengan muka masam dan suram. Sehari itu ia hanya minum kahwa.
Nyi Gede Kati, mengetahui kegelisahan suaminya pada hari-hari belakangan, tak lagi bertanya padanya mengapa ia tak suka makan. Juga ia tidak perhatikan suaminya hanya mengunyah-ngunyah sesuatu dan menelannya, kemudian bangkit dan duduk-duduk di kamar tamu. Ia sendiri, tanpa bicara sesuatu pun kemudian masuk kedalam kamar dan tak keluar lagi.
Malam itu gelap luar biasa. Mendung tebal menutup langit Guruh tiada terdengar sama sekali dan kerjapan kilat apalagi. Cuaca seperti itulah yang dikehendaki oleh Syahbandar Tuban.
Lewat tengah malam. seorang diri ia berjalan terbongkok-bongkok seperti kakek-kakek menuju ke dermaga pelabuhan. Kepalanya menoleh ke mana-mana walau pun ia telah kendalikan agar mata saja yang melirik kesegala jurusan yang mungkin. Tetapi kegelapan malam yang membisikkan padanya takkan semudah itu orang dapat menyaksikan dirinya sering menoleh,
Dari pancainderanya ia mengetahui tak ada seorang pun yang menyaksikan kehadirannya, Tetapi dari perasaannya ia tahu, ada bebeapa orang prajurit pengawal yang melakukan perondaan di dermaga dan dengan pedoman perasaannya itu juga ia menyembunyikan diri dibalik pohon asam menunggu mereka pergi. Ternyata perasaannya lebih tajam daripada pancainderanya. Waktu hujan turun ia dengar empat orang lari meninggalkan dermaga.
Dengan hati-hati ia menuju dermaga dengan mempergunakan tongkat untuk merabai tepi jalan dan dermaga. laut yang Hangat dalam itu bisa menelannya. Ia tak bina berenang dan tidak pyrruih melakukannya dalam hidupnya.
Semampainya di tempat yang dituju, sambil berpegangan pada jeriji krangkeng ia memanggil-manggil dalam Portugis: Sini kalian, Nak, Esteban, Rodriguez! Kesini kalian. Masih tidur" Bangunlah, tuan Syahbandar ada di sini .
Ia dengar suara bergerak di dalam krangkeng itu, tak nyata, bercampur dengan bunyi deburan ombak dan pukulannya pada karang dermaga. Dan jantungnya pun berdeburan menandingi langit laut di sekitarnya.
Dekat-dekatlah sini, Nak. Mari kita bongkar krangkeng ini bersama-sama .
Benarkah itu Tuan Syahbandar" seseorang bertanya dalam Portugis. Suaranya lemah dan lebih tak menentu karena tiupan angin malam yang dingin.
Tentu saja benar. Tuan Syahbandar ada di sini. Telah aku sediakan perahu layar untuk kalian. Sinilah mendekat. Tak dapat aku membuka kunci ini seorang diri saja . Dilindungi Tuhan hendaknya Tuan ini .
Jangan keras-keras bicara, Nak , ia memperingatkan sambil membuka sarang pisau tongkat. Kebetulan hujan sudah reda, kilat pun tiada. Ini, ini sambungan pintu . Kami sedang kena demam tinggi, Tuan .
Ya-ya, aku tahu kalian terluka. Semua akan baik kembali di tengah laut nanti .
Apa gunanya lari, Tuan, badan sakit begini, demam, pengelihatan rusak , suara itu semakin mendekat dan getaran pada jeriji krangkeng itu memberitakan pada Tholib Sungkar mereka sedang merambat berjalan dengan susahpayah untuk dapat mendekati.
Syahbandar itu mulai merasa tangannya diraba-raba oleh tangan Esteban atau Rodriguez yang panas karena demam.
Kasihan kau, Nak, sakit demam begini, dan dengan cepat ia tikam-kan pisau tongkatnya pada tubuh yang berdiri di hadapannya.
Suatu pekikan lemah membeku ditelan deburan ombak memukul pada karang dermaga, menyusul bunyi badannya yang jatuh.
Yang seorang lagi meraung-raung ketakutan dan berputar-putar di dalam krangkeng untuk menghindari maut yang mematuk-matuk dari sela-sela jeriji krangkeng. Pembunuh! Tolong! Tolong! pekiknya dalam Melayu. Gugup karena jeritan dan takut kalau-kalau diketahui orang, dengan lebih cepat lagi Syahbandar berputar mengelilingi krangkeng dengan terus menikam-nikamkan senjatanya dalam kegelapan itu ke dalam kegelapan itu ke dalam krangkeng. Hanya udara kosong yang diserangnya.
Ia diam sebentar menunggu jeritan sekali lagi untuk menduga sasaran. Jeritan itu tak terulang lagi. Ia lakukan penikaman-penikaman lagi. Nafasnya mulai terengahengah. Rasa-rasanya ia akan jadi gila tak juga mendapatkan daging untuk ujung pisaunya. Di mana dia" Dalam krangkeng besi persegi kecil ini tak mungkin dia melepaskan diri.
Dari kejauhan terdengar guruh, menggerutu seperti kucing marah. Hujan mulai turun lagi. Iblis! Mana tubuh Portugis yang satu lagi" Dia tak boleh lepas. Sepancaran kilat melesit di langit seperti sebilah tombak api terlempar. Tiba-tiba dunia menjadi terang. Dan nampak Esteban sedang menggelantung dengan kaki dan tangan pada bagian atas krangkeng.
Ha! Kau di situ, Iblis! bisik Syahbandar dan menikamkan pisau panjang itu pada punggung korbannya.
Dunia kembali jadi kelam pekat. Satu raungan seperti keluar dari tenggorokan macan betina marah menggaruk udara dibarengi dengan bunyi tubuhnya yang jatuh menggeletak.
Hujan menjadi lebat kembali. Kilat mulai sambarmenyambar.
Syahbandar kembali ke gedung utama, basah kuyup tapi dengan perasaan lega.
Tak diketahuinya sepasang mata menyaksikan dari sebuah biduk yang sedang tertambat pada dermaga& . 0odwo0
Di dalam pelukan rimba-belantara yang dihuni oleh binatang-binatang buas itu terdapat sebuah bukit kecil. Di dalam tubuh bukit terdapat sebuah gua. Ribuan kelelawar bersarang di dalamnya. Ratusan ular dari berbagai jenis hidup makmur dari anak-anak burung atau telurnya. Dan tanah pada dasar rongga pekat dan tebal oleh tumpukan kotoran burung. Orang menamai gua ini: Gowong.
Sekarang gua ini sepi dari burung dan ular, bahkan juga dari serangga. Pembakaran belerang dalam jumlah besar telah mengusir dan membunuh semua makhluk hidup di dalamnya. Dasarnya tak lagi lumpur kotoran burung, karena semua telah disingkirkan dan dilambari dengan balok-balok kayu persegi. Rongga itu sendiri telah dibagi dalam bilik-bilik dari papan kayu.
Sisa bau belerang telah diusir dengan pembakaran setanggi yang terus-menerus.
Di depan gua itu menjulur sebuah jalan setapak yang semakin lama semakin lebar karena setiap hari dilewati oleh beberapa belas orang yang mengangkuti peti-peti dan barang-barang lain untuk ditimbun di dalamnya. Jalan setapak yang semakin lebar itu belum lagi lama dibikin orang. Belum lagi lima belas hari.
Kini gua itu telah siap untuk ditinggali.
Tetapi bila orang masuk ke dalamnya, ia takkan melihat satu peti pun, karena semua itu tersimpan dalam rongga di bawah geladak balok kayu. Maka pedalaman gua yang berbilik-bilik itu nampaknya tidak berperabot.
Yang pertama-tama meninggali gua ini adalah Idayu dan dua orang anaknya. Beberapa orang bertombak dan berpedang telah mengawal mereka memasuki hutanbelantara itu dan membawanya ke mari, kemudian menguncinya di dalam salah sebuah bilik kayu yang gelap berbau sisa belerang, apak-asam kotoran burung dan setanggi.
Pada hari berikutnya masuk empat orang wanita, istriistri Kiai Benggala Sunan Rajeg. Khaidar nampak ada di antara mereka. Dan tak ada mereka membawa anak, karena dari suami bersama mereka tiada pernah melahirkan. Mereka menempati kamar besar bersama-sama. Juga pintu kamar mereka dipasak dari luar, seperti halnya dengan bilik Idayu.
Beberapa belas pekerja berpakaian serba putih itu masih mengangkuti beberapa peti lagi dan beberapa bungkusan.
Dan setelah semua pengangkutan selesai baru nampak Sunan Rajeg diiringkan oleh seorang muda tinggi semampai, berkumis dan tanpa jenggot, yang memikul bungkusan-bungkusan berat dengan empat batang tombak sebagai pikulan.
Pemuda itu juga yang mengawal Idayu anak-beranak waktu menuju ke Gowong ini.
Waktu Sunan Rajeg memasuki Gowong, pemuda jangkung itu tak takut. Ia pergi mengelilingi kaki bukit kecil itu dan berhenti di bawah sebatang pohon raksasa. Ia perhatikan pohon yang baru dilihatnya seumur hidup itu. Dan itulah pohon pelaka.
la perhatikan tamba-tambi atau tunjangannya, rendah, tipis dan panjang, kemudian duduk di atas salah satu di antaranya. Bungkusan-bungkusan bawaannya ia jajar di atas tanah.
Dengan kakinya ia mulai membersihkan tempat itu dari luruhan daun kering dan ranting-ranting busuk, dan mulai ia dengan parang membikin tungku dari cabang-cabang kayu.
Seseorang datang padanya membawakan dandang dan kuali tembaga dan air di dalam lodong-lodong bambu.
Seorang lagi membawakan kayu bakar dan sebuah kranjang rotan berisi daging rusa,
Kanjeng Sunan memerintahkan masak besar hari ini. Bumbu disediakan berlimpah-limpah. Tak pernah terjadi selama ini , si jangkung mengumumkan.
Untuk berapa orang kau masak" Cukup untuk tiga puluh .
Tentu bukan untuk kita. Mungkin akan datang banyak tamu nanti ,
Tamu siapa akan datang ke mari" si jangkung menukas,
Makan besar buat kita semua yang ada di sini , Untuk pertama kali. Akhirnya, orang itu berkecapkecap, Bahkan masuk ke pendopo saja baru beberapa minggu belakangan ini kita diperbolehkan
Tiga orang itu mulai sibuk menyalakan api dan memasang beberapa dandang di atannya, serta dua belanga dari tembaga pula. Asal tak hujan saja , si Jangkung memperingatkan. Semua memandang ke langit yang suram tertutup mendung tipis. Sudah, tolong carukkan kelapa, biar lebih cepat . Bertiga mereka mencaruk kelapa sampai menghasilkan satu kranjang. Dan setelah diperas jadi santan si Jangkung bicara lagi: Sudah, sana. selesaikan pekerjaan kalian, biar aku masak sendiri .
Mengapa kita pergi ke mari, Firman" seorang bertanya.
Mana aku tahu" Orang bilang tidak lain dari kau yang menunjukkan tempat ini . Tetapi Mohammad Firman enggan terlibat dalam pembicaraan. Ia hanya mengerutkan kening, dan dua orang pembantunya itupun pergi menghindar. Si Jangkung berkumis itu memperhatikan mereka pergi, menghilang di dalam hutan.
Mematuhi aturan yang diberikan oleh Sunan Rajeg, orang tak dibenarkan berada di dapur di waktu jurumasak sedang bekerja. Selama masih ada orang lain, jurumasak harus mengusirnya dan tidak diperkenankan memasak sebelum mengetahui betul, tak ada orang lain lagi di dekatnya. Juru masak harus tahu, tak ada orang mengurangi atau menambahi bahan makanan yang telah tersedia.
Setelah tinggal seorang diri baru ia mulai bersiap-siap dengan gulai Api yang menyala besar itu memaksa ia membuka baju, dan muncul barisan iga pada dadanya. Dan dada itu mengkilat kekunmgan karena warna kulitnya dan karena api yang kemerahan.
Walau masak seorang diri untuk orang sebanyak itu nampak ia tak gugup atau memberengut. Dan memasak memang sudah pdt kesukaannya. Ia merebus daging, menanak, menjerang, menumbuk bumbu, mengipasi badan dengan baju, menetapkan besar api, menimbang dan mendua beras, mencicip dan menggulai.
Dan hanya ia seorang diri yang tahu apa yang hidup dalam hatinya sendiri waktu itu; ia mencurigai perintah Sunan Rajeg yang semakin lama semakin aneh.
la seorang bekas musafir Demak tadinya memasuki Tuban untuk membawa Kiai Benggala berpihak pada Demak, karena Demak menilainya sebagai seorang yang berilmu dan terlalu banyak tahu tantang Jawa dan Nusantara. la pun mendapat tugas untuk membersihkan pedalaman Tuban dari guru guru pembicara kafir yang mengembara dari desa ke desa, la terpilih untuk tugas ini karena dilahirkan dan dibesarkan disini,
Sebelum berangkat seorang guru menyampaikan padanya disebuah pojookan mesjid agung, bahwa agama Buddha dan Syiwa telah kehilangan kekuatannya, keruntuhan telah di ambang pintu, maka pembicaraan guruguru sudah tidak punya pegangan lagi pada agama mereka dari lebih banyak melepas perasaan dan pikiran pribadinya. Mereka mengawur acak-acakan semaunya sendiri. Itu sangat baik untuk punahnya Syiwa dan Buddha sendiri. Maka sekaranglah waktu itu datang untuk mengembangkan Islam, karena mereka sudah tidak diperlukan lagi.
Maka kembalilah ia ke negeri Tuban untuk melakukan tugas itu sebaik-baiknya, dengan jalan dan cara apa pun.
Dan ternyata ia tak mampu mengendalikan Sunan Rajeg, yang jauh lebih berpengalaman daripadanya, lebih berilmu dan berpengaruh, la tak berhasil membawanya berpihak pada Demak. Lagi pula sunan Rajeg ternyata mempunyai impian untuk sendiri marak jadi sultan dan khalifah sekaligus.
Sekarang balatentara Rajeg telah terpukul dari semua medan pertempuran. Sunan Rajeg harus lari menyelamatkan diri. Dalam kekalahan ini ia dapat melihat watak Rangga Iskak yang sebenarnya tak sedikit pun berniat dalam hatinya untuk menyelamatkan pengikutnya, hanya diri sendiri, keluarga dan harta bendanya. Ia tak habis-habis mengherani bagaimana seorang pemimpin yang berpengaruh begitu besar, berilmu dan berpengetahuan, guru yang sangat didengarkan, bisa bertingkah laku seperti itu. Dalam kedamaian dan kemenangan ia sudah dapat mengenali kerakusannya. Dalam kekalahan pengaruh, ilmu dan pengetahuan hanyalah untuk dirinya sendiri dan miliknya. Orang yang rakus akan harta benda dan kekuasaan di dunia dan rakus akan tempat di sorga di kemudian hari itu, dalam kekalahan ini memperlihatkan diri sebagai pribadi yang tak dapat ia hargai.
Sunan Rajeg itu tahu-tahu sudah ada di hadapannya. Tangannya bersilang pada dada dan pada tangan kanan tergantung tasbih. Mulurnya komat-kamit tanpa henti sedang batuk antara sebentar menyerang dadanya yang tipis. Belakangan ini ia kelihatan tua, kurus dan bongkok. Rongga mata dan pipinya nampak lebih cekung daripada biasanya. Uban pun semakin banyak menyelusupi rambutnya yang hitam-lekam.
Melihat kegesitan Mohammad Firman dalam memasak ia tertawa menyapa. Lambat-lambat ia masukkan tasbih ke dalam saku baju, membelai-belai janggut dengan tangan kiri dan berkata lambat-lambat: Sudah aku ajarkan padamu memasak nasi secara Kabul. Ternyata kalian suka, bukan" Sekarang orang sudah mulai menggunakan nasi kabuli untuk berhajat. Firman, sudah kau cicipi gulai itu" Baik. Sekarang campurkan serbuk mi sampai rata ke dalamnya dan tenangkan agak lama setelah mendidih sekali lagi . Pada juru masak ia serahkan sebuah cepuk kecil dari anyaman bambu.
Kau sendiri yang menuangkan, Firman. Dengan serbuk ini gulai akan jadi gulai Malabari. Kalian akan rasakan nanti untuk pertama kali dalam hidup kalian. Gulai Malabari! Ada juga yang menamainya kare, tapi lain dari yang dari Malabar ini. Tapi awas, jangan kau cicipi, bila dicicip ia bisa berubah jadi racun!
Jadi racun. Kanjeng Sunan"
Jadi racun Bukan main-main. Bumbu bukan sembarang bumbu, bumbu bikinan leluhur,sudah ratusan tahun, yang menyebabkan bocah-bocah bisa berhidung mancung dan orang dewasa jadi panjang umur. Bumbu ini bagilah menjadi dua, setiap bagian untuk satu belanga gulai itu .
Sunan Rajeg berjalan meninggalkan tempat itu untuk melihat-lihat sekitar tungku, kemudian balik lagi pada Firman: Sebelum semua dihidangkan, Firman, ingat-ingat, semua puntung kayu dan arang, juga tungkunya sekaligus, harus ditanam sampai tak nampak mata. Iblis pun tak boleh mengetahui. Itulah anehnya syarat-syarat untuk bumbu itu .
Dan ia pun pergi, yakin semua pengikutnya mematuhi semua katanya, yakin setiap katanya adalah hukum.
Tetapi juru masak seorang ini bukan saja telah terdidik mengebaskan tahyul dan omong kosong sebagai musafir pilihan, ia pun semakin mencurigai Sunan Rajeg yang semakin aneh. Ia tak dapat mempercayai adanya hubungan antara bumbu dengan hidung yang dapat mancung atau pun dengan umur panjang. Dan apakah gunanya hidung semancung dan setipis itu kalau toh rapuh dalam setiap tubrukan" Dan umur itu, bukankah dia bukan urusan manusia" Dan tidak lain dari Sunan Rajeg sendiri yang sering mengajarkan" Dan apa sebab bekas-bekas harus ditanam, sedangkan iblis akan tetap dapat mengetahui"
Adapun kecurigaan dan keheranannya harum dan sedap bau gulai itu memang luarbiasa dan menarik liur untuk bertetesan semaunya sendiri. Baunya mengawang berat dan buyar ke mana-mana penjuru dalam udara tak berangin itu.
Beberapa kali ia melihat sosok tubuh mengintip dari kejauhan tertarik oleh sang harum sedap. Dan ia pura-pura tak tahu. Namun matanya jadi menerobosi balik-balik dedaunan.
Ia sendiri ingin mencicipi Dan mana bisa seorang juru masak tak boleh mencicip"
Mengetahui di balik dedaunan hutan tak lagi ada mata mengintip, ia sambar sepotong daging gulai dari belanga, bercepat-cepat menghindar ke balik palaka, duduk di atas tambi. Daging itu terlalu lama dimasak, sangat panas dan gamoh, hampir lumat, jatuh di antara kedua belah kakinya.
Firman menyebut. Ia menyadari perbuatannya tidak diridhoi maka tak mengambil sepotong lagi. Dilihatnya beberapa pengintip muncul lagi dari balik dedaunan hutan terpanggil oleh harum sang gulai.
Ia pergi ke tungku dan memadamkan api. Tanakan dan makanan ia turunkan di atas tanah, kemudian dengan pacul kayu kecil bermata baja ia menggali lubang, memasukkan bekas-bekas tungku dan puntung-puntung ke dalamnya. Hilang semua itu dari pandangan mata.
Nasi ia masukkan ke dalam bakul besar. Gulai tetap dalam belanga, demikian juga halnya dengan air minum. Tanah bekas ia masak ia sapu dengan seikat ranting hidup, dan hilanglah bekasnya, sekalipun masih nampak menguap.
Sekarang tinggal melepaskan lelah barang sebentar. Kembali ia pergi mendekati pohon palaka dan duduk pada tambinya. Teringat pada nasib daging yang terjatuh, ia bangkit lagi untuk mengambil pacul. Ia harus menanamnya sekali. Matanya gerayangan mencarinya, dan daging itu tiada! Tak jauh dari tempat itu menggeletak seekor biawak pohon yang baru saja mati.
Bumbu itu beracun, pikirnya, kalau bukan biawak itu tentulah aku yang mati. Binatang itu ia angkat pada tengkuknya dan ia cium-cium mulutnya. Benar. Mulutnya berbau kare. Sunan Rajeg telah bermaksud menumpas sisa pengikutnya yang paling setia untuk menyelamatkan hartabendanya. Gila!
Kekecewaannya terhadap pemimpinnya itu kini mencapai puncaknya dan berubah jadi kemuakan dan kebencian. Orang itu lebih biadab dari pada orang yang dibusuk-busukkannya selama ini, tidak lebih baik daripada Sang Adipati atau pun kafir, kufur, munafik mana pun. Dialah orang yang tak tahu berterima kasih kepada Tuhan dan semua ummat.
Ia masuk ke dalam gua dan melihat ruang tengah telah digelari dengan daun pisang hutan. Dan itu berarti ia sudah boleh memasukkan hidangan. Menurut aturan yang baru diterimanya, dalam tata-tertib Gowong, yang pertama-tama dilayani adalah istri-istri Sunan dan Sunan sendiri, kemudian para pengikut, dan paling akhir sandera Idayu dan anak-anaknya.
Berjalan melewati ruang tengah setelah kembali dari membawa ca-dong untuk istri-istri Sunan, ia dapati Rangga Iskak telah duduk bersama pengikut-pengikutnya yang tersetia itu mengepung hidangan.
Firman , tegur Sunan Rajeg, sekali ini kau pun bersama-sama kita semua menikmati rejeki dari Allah ini. Ayoh, sini, jangan ragu. Satu kehormatan bagi kalian makan bersama-sama dengan Sunan Rajeg .
Jurumasak itu ikut duduk mengepung hidangan. Tak lain dari Sunan sendiri yang mengucapkan doa. Hidangan dibongkar dan dibagi-bagi-kan oleh si jangkung. Orang pun mulai menyantap dengan lahap.
Ayoh, habiskan. Mau melihat bagaimana kalian makan gulai malabari. Jurumasak, yang belakang jangan dihidangi dulu. Sekali ini mereka akan makan belakangan. Ayoh, semua, jangan enggan .
Dalam kerikuhannya orang makan semakin lahap, lupa memperhatikan yang lain-lain. Firman mengangkat daun pisangnya tinggi-tinggi, memperlihatkan sedang makan dengan rakus. Matanya jeli memperhatikan Sunan Rajeg, yang tak juga menjamah makanannya, dan terus juga bicara. Kelihatan ia seperti orang pemurah yang ikhlas.
Harum kare itu memang tak tertahankan. Makanan Firman pun terkenal tanpa tandingan. Kerikuhan sama sekali hilang tergantikan dengan kerakusan makan.
Jurumasak itu memperhatikan teman-temannya sambil terus pura-pura makan dengan daun pisang terangkat tinggi. Ia menunggu apa yang akan terjadi. Dan memang sedang akan terjadi sesuatu.
Tak antara lama ia lihat beberapa orang terhenti makan dengan mengejut, berdiri, berjalan terhuyung-huyung mendekati Sunan, berhenti, kakinya goyah, mulurnya menganga tanpa bisa mengeluarkan suara, kemudian jatuh seperti karung kosong di lantai.
Yang lain-lain pun berhenti makan, menarik-narik jakun atau memutar-mutarkan kepala, berdiri untuk kemudian jatuh di lantai juga dan tak bergerak lagi.
Firman menduga, kerongkongan dan lidah dan bibir mereka mula-mula jadi kelu dan kaku sehingga jadi mutlak gagu, seperti kena kecubung, mungkin juga usus dan kemudian melumpuhkan bagian-bagian lain yang penting. Mata mereka nampaknya juga menjadi buta sebelum mati.
Sunan Rajeg masih duduk di tempatnya mengawasi semua kejadian dengan kening berkerut-kerut. Sekarang matanya diarahkannya pada Firman yang masih juga belum menggeletak.
Tak ada jalan lain bagi si jangkung daripada mesti mengikuti contoh teman-temannya. Ia berdiri dengan mulut ternganga, meraba-raba, dan jatuh dengan kepala miring dan mata tertutup lengan, mengintip Sunan Rajeg.
Ia lihat Rangga Iskak bangun dari tempat duduk. Airmukanya suram dan berkerut-kerut. Ia dekati salah seorang korban dan berbisik padanya: Ya Allah, terjadilah apa yang kau ijinkan untuk terjadi. Kau telah benarkan semua ini terjadi atas persetujuan-Mu. Tanpa kehendak- Mu, semua ini takkan mungkin berlaku .
Ia berjalan meneliti wajah seorang demi seorang. Sampai pada Firman ia berhenti lama dan agak ragu-ragu, merabaraba jantungnya yang masih juga berdenyut dan paruparunya yang masih juga kembang-kempis. Ia menganggukangguk dan berkata padanya: Tidak aku berikan kesakitan padamu, Firman. Semua jalan menuju ke akhirat. Kau hanya lebih cepat. Ampunilah aku .
Percaya, bahwa jurumasak itu akan segera mati pula, ia meninggalkannya, berdiri di tengah-tengah ruangan, bimbang, sekali lagi menebarkan pandang pada korbankorbannya. Ia melangkah ke jurusan bilik Tak jadi. Ia raguragu. Dibelai-belainya jenggotnya, tiba-tiba tertawa riang terbahak dan berpidato: Dahulu, tidak, masih kemarin kalian dengarkan ajaran-ajaranku untuk bekal dunia dan akhirat. Anak-anakku, sekarang kalian tidur nyenyak seperti bocah-bocah, anak Adam yang damai. Untuk keselamatan pemimpin kalian, untuk Sunan Rajeg, semua ini telah terjadi atas kehendak-Nya. jangan menyesal. Pada akhirnya akhirat akan lebih baik, lebih menentu, daripada dunia.
Seperti orang kehilangan akal tiba-tiba ia terhenti, menoleh ke mana-mana dan memekiki: Khaidar! Khaidar! Bawa semua saudarimu ke mari. Kita ada kerja! ia menghitung dengan telunjuk jumlah korbannya. Sembilan belas. Khaidar! Cepat! Apa kau tunggu-tunggu di dalam" Khaidar sudah mati, Kanjeng Sunan! jawab jurumasak dengan suara bisik.
Astagafirullah! sahut pemimpin itu. Matanya terbeliak mencari-cari mayat yang dapat bicara itu. Suara apa kudengar ini" Khaidar! Ayoh, sini, keluar .
Jurumasak mengulangi jawabannya. Dan Sunan Rajeg mulai curiga. Ia dekati bangkai itu seorang demi seorang sambil menggoyang-goyangkan kepala mereka. Mati! katanya setiap habis memeriksa.
Sekarang sampailah ia pada Firman. Tangannya mencekam rambut jurumasak dan menatap wajahnya. Si jangkung meraung tinggi dan melompat berdiri. Sunan Rajeg terbalik sangking kagetnya.
Ya, akulah iblis! raung Firman, kemudian tawanya bergaung-gaung berpendanan dalam rongga gua itu. Jangan kau kira aku biarkan kau dapat terlepas dari tanganku , ancamnya dengan suara dada yang dalam.
Sunan Rajeg gemetar tak mampu mempertahankan tegak badannya sendiri. Suaranya sangat pelan memanggilmanggil Khaidar, minta tolong. Tangannya bergerayangan untuk mencari tempat bersandar. Kemudian mulurnya berkomat-kamit mengucapkan doa pengusir roh jahat. Dalam keadaan seperti itu ia tak sempat terbatuk-batuk.
Pergi! Pergi kau, iblis pengganggu , pekiknya setelah selesai doanya. Pergi kau ke alammu sendiri .
Telah kau bunuh aku, Sunan Rajeg, doa-doamu tidak mempan terhadapku. Ya-ya-ya, apa dosaku maka kau bunuh"
Kembalilah tenang, berserah diri ke alam Baka, Firman! Dengarkan Firman , kembali Sunan mencobai memidatoi dan nampak ia menabah-nabahkan diri.
Jurumasak memungut segumpak daging kare, diciumnya sebentar, kemudian diulurkan pada pemimpinnya. Suaranya menggeledek: Makan ini, pembunuh! Makan, kataku!
Tidak, aku tak suka kare .
Harum bau dan lezat rasanya, bikin hidung jadi mancung dan umur jadi panjang. Mengapa tak suka lagi pada kare" Lebih muda jadi pesek" ia semakin maju mendekati.
Makan, ayoh, gulai Malabari, Sunan . Rangga Iskak menolak dengan tangan gemetar. Dijauhkan aku dari makanan itu, sebutnya. Tak mau kare" Atau lebih suka pisau dapur" jurumasak mengeluarkan pisau dari pinggangnya.
Jangan, jangan. Kau boleh ambil satu dari peti-petiku dan pergilah demi Tuban. Jangan ganggu aku. Ambil satu peti dan pergilah dengan damai, kata pemimpin Rajeg itu setelah mengetahui, jurumasak itu tidak mati. Khaidar! Khaidar!
Juga Khaidar sudah mati kau bunuh!
Bohong. Tak pernah Sunan Rajeg membunuh orang. Kau, dengan tanganmu sendiri yang membunuh mereka , katanya sambil menuding korban-korbannya yang bergelimpangan.
Kau pembunuh! tuding Firman. Ningrat Jawa takkan lakukan kekejian semacam ini .
Pergi! Pergi! pintanya gugup. Bawa satu peti .
Hanya satu" Firman menggertak, setelah pembunuhan keji ini"
Dua. Ya, dualah . Dua peti takkan dapat kuhabiskan seumur hidup . Sampai dengan cucumu takkan habis, Firman, dinar dan real, emas dan perak, intan, zamrud, delima, mirah, kecubung, kalimaya, batu-batuan mulia yang tak pernah kau lihat seumur hidup& ah, kau bisa jadi maharaja dengan dua peti itu. Kain-kain, khasa, sutra, kaliko, permadani buatan Libanon dan Ashkhabad& .
Bahkan kematian istrimu pun kau tak ratapi . Siapa tidak"
Setelah kau membunuhnya"
Bukan aku. Kau! tuduh Sunan Rajeg. Ayoh, makan daging kare ini . Tiga peti!
Lebih baik kau susul istri-istrimu&
Tiga peti. Tak dibenarkan oleh Tuhan membunuh dirinya sendiri dan membelanjakan harta tiada sepatutnya .
Kau tak perlu membunuh dirimu sendiri. Sini, biar aku yang mengerjakan. Sini! Si& ni .
Di dalam bilik kayu itu udara lembab, berat dan mencekik. Mereka harus membiasakan diri untuk dapat tinggal di situ. Gelar dan adiknya nampaknya merasai bayang-bayang ketakutan pada ibunya. Mereka tidak memprotes apa pun yang terjadi. Maka ketenangan menguasai bilik itu.
Mendengar ribut-ribut di luar bilik, Idayu melompat ke pintu yang takkan mungkin dibongkarnya dari dalam itu. Dan ia hanya dapat menangkap suara-suara ribut, jelas sedang memperebutkan sesuatu. Dalam kegelapan bilik Gelar pun bergegas ke pintu mendekati ibunya.
Kata-kata keras di luar itu berhamburan menembusi dinding kayu dan lubang-lubangnya.
Mereka tak dapat melihat sesuatu.
Berapa ratus, berapa ribu saja orang mati karena kau! Kau sendiri takut mati! Ayoh, makan sendiri racunmu ini. Apa kau lebih memilih pisau dapur"
Jangan, ambillah tiga peti itu .
Kau pun orang asing pembikin onar. Orang asing lain jadi Sultan ka u mengiri, mendengki. Kau sendiri mau menggagahi semua, menipu, mengacau, memutar balikkan, mengadu domba, mau jadi raja paling berkuasa, dengan keringat dan darah dan nyawa orang lain!
Tiga peti cukup, Firman, demi Allah .
Tak ada sesuatu yang baik dapat dipungut dari kau! suara bentakan
Hidung mancung, ganteng, banyak ilmu, pandai mewejang, hafal semua firman Allah& hanya iblis laknat belaka. Rasakan ini!
Cepat-cepat Idayu mengangkat Gelar dan mereka purapura tidur nyenyak.
Jantung ibu itu berdebar-debar kencang mendengar langkah kaki di atas lantai balok-balok kayu yang semakin mendekat. Dan balok-balok yang terinjak itu bergesekan satu dengan yang lain. Dan langkah itu kian mendekat juga.
Ia dekap Gelar erat-erat, dan anak itu menyembunyikan mukanya pada dada ibunya dalam kegelapan.
Langkah kaki itu berhenti di depan pintu bilik. Dewa Batara! bisik Idayu hampir tak terdengar. Mak .
Terdengar pasak pintu dibuka dari luar bilik. Segumpal cahaya rem-bang masuk ke dalam.
Keluar! terdengar oleh Idayu dan Gelar suara yang memerintah pelahan dan lembut. Mereka pura-pura tidur. Tidurkah kau, Mbokayu"
Tersirap darah Idayu. Ia pernah dengar suara itu suasana yang sama sekali tidak jahat. Ya-ya suara pemuda pengawal yang membawanya ke mari. Mengapa suaranya selalu selunak itu"
Orang itu tak masuk ke dalam bilik, tetap berdiri di ambang pintu dan mengulangi perintahnya dengan suaranya yang lunak itu juga, dan manis, dan memikat.
Idayu tak dapat mempertahankan pura-puranya lebih lama. Ia turun dari ambin. Gelar tak sudi melepaskan rangkulannya dan menjerit. Ia gendong anak itu dan menghampiri pengawal muda jangkung berkumis tanpa jenggot itu. Bertanya: Akan dibunuhkah kami" ia tak dengar si bayi sudah mulai menangis pula.
Ah, Mbokayu, mana bisa orang akan bunuh pujaan Tuban" Seperti tersihir oleh suaranya ia masuk lagi dan mengambil bayinya. Gendong melengket pada punggungnya.
Mari tinggalkan tempat ini. Mari aku antarkan ke Tuban. Kang Galeng sudah lama menunggu .
Siapakah orang ini" Tapi ia tak berani bertanya. Mari aku bantu. Biar kugendong kemenakan tertua ini . Gelar meronta dan meraung. Dan ia tak memaksa.
Biar si bayi saja kugendong , katanya mengulurkan tangan. Idayu memandanginya dengan curiga. Matanya liar tak mempercayai. Dan bayi itu tak diserahkannya. Ah, Mbokayu sendiri. Kau lupa padaku. Akulah Pada . 0odwo0
26. Pertemuan Kembali Regu kuda itu kecil saja jumlahnya, tak lebih dari dua puluh o-rang. Juga tidak dipimpin oleh Banteng Wareng. Oleh Maesa Wulung pun tidak. Wiranggaleng sendiri yang membawanya. Mereka bergerak bukan untuk bertempur. Mereka sedang berusaha mencari Idayu dan anak-anaknya.
Seluruh Tuban gempar mendengar berita Idayu, penari pujaan itu, diculik oleh gerombolan Sunan Rajeg. Tak ada orang bisa memaafkan bila dia sampai terkena cedera. Bahkan desas-desus tentang perlakuan Syahbandar Tuban terhadapnya, bila tidak karena perlindungan Sang Adipati, telah lama dapat membunuh Tholib Sungkar itu secara kejam. Apalagi kini: diculik oleh musuh Tuban. Takkan ada ampun.
Semua berdoa dan berharap agar penari itu diselamatkan. Para pemimpin pasukan telah mendesak Senapati agar mengerahkan balatentara untuk mencarinya sampai dapat, hidup atau mati. Lima puluh tahun lamanya, belum tentu ada penari seperti itu lagi.
Jadi tak lain dari Senapati Tuban sendiri yang berangkat dengan dua puluh orang pasukan kuda. Sekiranya tidak berangkat dengan diam-diam tak kurang-kurangnya orang yang bersedia bergabung dalam barisan pencari.
Dengan demikian pencarian dimulai. Tujuan langsung desa Rajeg, yang selama ini memang belum lagi dijamah oleh balatentara.


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setiap memasuki desa pedalaman regu kuda itu berkendara pelan-pelan memperhatikan kehidupan yang sedang mulai hendak pulih kembali. Orang telah mulai menggarap sawah dan ladang. Kedamaian yang dulu kelihatan sedang membiak kembali. Dan bila malam datang gamelan pun mulai mendayu-dayu lagi. Perjaka dan perawan menari dan menyanyi lagi. Di tempat-tempat tertentu orang belajar membaca Al-qufan tanpa gangguan. Di tempat lain lagi orang mendengarkan guru pembicara yang semua saja mengumpat dan mengutuk Sunan Rajeg.
Perguruan-perguruan Buddha semakin susut. Dan dengan adanya pengajian-pengajian anak-anak mendapat dalih untuk tidak mengunjungi dua-duanya. Pengaruh Buddha dan Syiwa semakin susut. Tak bisa lain, berabadabad lamanya agama raja adalah agama kawula, dan Sang Adipati dimasyhurkan oleh kawulanya telah memeluk Islam.
Di satu dua desa regu kuda itu mengetahui juga adanya beberapa orang lelaki melarikan diri melihat mereka datang. Dan Sang Senapati memerintahkan pada anakbuah untuk membiarkan mereka lari. Dan pada desa demikian ditinggalkannya pesan, pasukan kuda datang bukan untuk mengaduk desa. karena Senapati Tuban adalah juga anak desa, besok atau lusa toh akan kembali hidup di desa, menjadi petani seperti yang lain-lain.
Bila yang didatangi reda dari ketakutannya, regu kuda itu menambahi: Jangan takut Kami tak memusuhi kalian. Memang ada yang kami cari: Sunan Rajeg. Katakan ke mana dia bersembunyi. Dia yang berdosa, bukan seorang pun di antara kalian.
Kata-kata semacam itu melenyapkan kegelisahan dan ketakutan. Namun tak juga didapatkan keterangan di mana Sunan Rajeg bersembunyi.
Sampai di desa Rajeg, regu kuda itu hanya menemui kesunyian. Desa itu sama sekali telah ditinggalkan. Tak ada tanda-tanda orang tinggal. Hanya kucing kelaparan gentayangan mencari mangsa dan ayam-ayam beterbangan tinggi di pepohonan melihat kedatangan regu kuda.
Regu itu menyebar ke seluruh desa dengan masih menunggang kuda Senapati memasuki pendopo rumah joglo Sunan Rajeg, berhenti di tengah-tengah, kemudian masuk ke dalam rumah dengan pedang telanjang di tangan.
Semua pintu tinggal terbuka. Perabot rumah masih utuh, tetapi semua barang berharga tiada nampak.
Melihat semua itu ia menarik kesimpulan, bekas Syahbandar Tuban itu mempunyai cukup persiapan untuk melarikan diri, dan melarikan diri dengan semua harta bendanya. Maka in takkan dapat pergi jauh. juga di rumah itu Idayu tak ditemukan.
Wiranggaleng memerintahkan memeriksa setiap rumah. Di setiap rumah yang dimasuki pintu didapatkan terbuka dan barang-barang kocar-kacir berantakan di lantai, pertanda ditinggalkan dengan terburu-buru.
Tak seorang pun ditemukan. Apalagi Idayu dan anakanaknya. Ia perintahkan memeriksa daerah sekitar. Kuburan orang Islam pun diperiksa. Bekas galian diselidiki.
Di dekat kuburan itu mereka mendapatkan mayat seorang wanita yang telah rusak dan sisa seorang bayi di dekatnya.
Wiranggaleng memerlukan menelitinya, dan ia mengambil kesimpulan: bukan istri, juga bukan anaknya.
Mayat-mayat itu kemudian ditimbun dengan tanah dan ditinggalkan.
Regu itu bergerak terus ke desa-desa selanjurnya. Dan Senapati menambahi pesannya: Penduduk desa Rajeg supaya kembali ke desanya, mengambil semua harta benda yang masih tertinggal, tetapi jangan lagi tinggal di situ. Tinggalkan Rajeg, menetaplah di desa lain. Jangan lagi desa sial itu ditinggali, biar kembali menjadi hutan .
Semakin meninggalkan Rajeg semakin bertetesan keterangan yang bisa didapat tentang arah perginya Sunan Rajeg. Regu itu mulai dapat menjejak tempat Rangga Iskak yang terakhir.
Pada suatu hari sampailah mereka dijalan setapak yang melebar itu, sampai lebaran itu berakhir, dan di sanalah Gowong, persembunyian bekas Syahbandar Tuban itu.
Dari kejauhan mereka telah dapat melihat bukit kecil tujuan. Persiapan untuk perkelahian telah diatur. Kuda dijalankan pelan-pelan sambil menajamkan mata pada atas pepohonan dan puncak bukit.
Juga di sini tak nampak ada kehidupan manusia. Yakin dekat dengan tujuan, bau bangkai semakin merangsang dan semakin memuakkan. Dan sampai di depan pintu gua keadaan tetap sunyi. Tetapi bau bangkai menjadi-jadi.
Seorang anggota regu melemparkan batu ke dalam gua. Tak terjawab. Sebaliknya ribuan lalat mubal beterbangan ke luar masuk gua.
Tak ada orang di dalam. Masuk!
Mereka menyerbu masuk dengan kuda. Kegelapan, bau busuk dan ribuan lalat itu juga yang menyambut mereka. Dan pada waktu itu juga tahu mereka sedang berada di hadapan bangkai-bangkai yang berkaparan. Sisa bau belerang menyebabkan binatang buas tidak menyerbu ke mari.
Melihat bangkai-bangkai itu Wiranggaleng melompat turun dari kuda. Ia periksa mayat-mayat yang sudah rusak itu seorang demi seorang. Dan lalat tak henti-hentinya mendengung di tempat itu. Tak ada tanda-tanda wanita di antara mereka.
Pendekar Riang 8 Pendekar Naga Putih 56 Pembunuh Bayaran Piala Api 9

Cari Blog Ini