Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal Bagian 10
"..." "Woi, kok bengong"" Gue menggoyang-goyangkan tangan di depan wajahnya.
"..." Hanif kemudian tersenyum, dan kini gue kembali melihat sebuah senyuman khas yang telah lama gue simpan dalam kenangan.
"Kamu apa kabar, Fal""
"..." Gue mengangkat bahu sambil mengerlingkan mata.
"Yah, gini-gini aja. Masih hidup, masih bisa jalan, masih bisa ketemu sama elo di sini." Gue terkekeh. "Lo juga apa kabar" Udah berapa lama ya kita ga ketemu sampe-sampe lo udah bertransformasi menjadi Hanif yang sekarang""
"Aku baik-baik aja kok..." Jawabnya lembut. Suaranya juga ternyata tidak berubah sama sekali dan masih terdengar lembut seperti dulu. Namun gue merasakan bahwa ada sedikit perbedaan pada nadanya. Nada suaranya menjadi lebih halus dan terkesan hangat di telinga. "Kamu sama siapa ke sini""
"Eng..." Gue menoleh ke samping.
"Kamu sekarang jomblo ya""
"..." "Tuh buktinya dateng sendirian kesini!"
"Yeee, gue belom selesai ngomong!" Jawab gue sambil terkekeh.
"Gue kesini sama temen-temen, cuman mereka lagi nonton Raisa tuh disana." Gue menunjuk ke arah venue dimana Raisa sedang manggung.
"Lah, elo sendiri jomblo kan" Keluyuran sendiri malem-malem."
"Sorry ya, aku kesini sama temen-temen juga. Mereka udah duluan kesini."
"Jadi... Sekarang lo mau nonton apa""
"..." Hanif menunjuk ke arah venue di belakangnya dengan kerlingan mata sambil tersenyum. "Dave Koz."
"Wah, kita samaan dong! Gue juga mau nonton Dave Koz nih." "Bareng aja yuk ke dalemnya."
"..." Hanif mengangguk, lalu kemudian kami berdua berjalan dengan berdampingan menuju venue tersebut.
"Lo udah banyak berubah ya sekarang." Ujar gue tanpa menatapnya.
"Berubah gimana maksudnya""
"Yaaa, pertama, rambut lo udah panjang sepunggung, terus gue juga liat kalo rambut lo udah agak sedikit berwarna."
"Udah sih itu aja."
"Ih kamu mah, dikirain ada apaaa gitu yang beda." Hanif memukul lembut lengan gue, lalu kami berdua tertawa.
Itulah kontak fisik yang pertama bagi kami berdua setelah sekian lama berpisah.
*** "Nda!" Hanif berteriak sambil melambaikan tangannya.
"..." Wanita yang diteriaki oleh Hanif menoleh, lalu membalasnya dengan lambaian tangan sambil tersenyum lebar.
"Sorry, sorry lama. Tadi ketemu dulu sama temen."
"Nih Fal kenalin, ini namanya Nanda. Di belakangnya ada dua orang lagi." Hanif menunjuk ke belakang Nanda.
"Tapi ga usah deh kenalan sama mereka mah. Centil soalnya."
"..." "Naufal." Gue menjulurkan tangan sambil tersenyum kepada Nanda.
"Ananda." Nanda menjabat tangan gue, lalu tersenyum jahil kepada Hanif. "Ooh, ini yang namanya Naufal" Hanif sering cerita loh tentang elo."
"Hah"" "Emang dia sering cerita tentang apa aja""
"..." Hanif langsung menutup mulut Nanda dengan paksa dan gue hanya bisa tersenyum kepada mereka berdua.
"Udah yuk Fal, kita cari tempat lain aja buat nontonnya." Ujarnya sambil menarik tangan gue untuk menjauh, dan samar-samar gue dapat mendengar Nanda sedikit berteriak:
"Hati-hati Fal, cinta lama belom kelar!"
*** Kami berdua terus berjalan hingga ke sisi kanan venue dan tempat ini sudah bisa dibilang cukup jauh dari lokasi dimana teman-teman Hanif berada. Setelah gue memposisikan diri untuk berdiri di samping Hanif, lampu penerangan di dalam venue ini meredup dan terdengar suara renyah announcer yang menyambut kedatangan Dave Koz.
"Dave Koz, Fal!" Ujar Hanif sambil bertepuk tangan kecil dan tersenyum lebar.
"..." Entahlah, ketika melihat sikap dan ekspresinya yang seperti ini, pikiran gue malah melayang-layang kepada Aya. Membayangkan ekspresinya saat dia bertemu dengan idolanya, dan gue yakin bahwa ekspresi Aya pasti akan terlihat sama persis seperti ekspresi yang ditunjukkan oleh Hanif sekarang.
Saksofonis tersebut muncul dari sisi kiri panggung, dan seketika seluruh isi venue bergemuruh saat Dave Koz mulai memainkan lagu pertamanya. Lagu pertama yang dibawakan oleh Dave Koz adalah Manusia Bodoh-nya Ada Band lalu disusul oleh lagu Keliru-nya Ruth Sahanaya.
Kami semua turut menyanyikan lagu-lagu tersebut dengan antusias sambil diiringi oleh permainan saksofon Dave Koz. Begitu pula dengan Hanif. Saat gue melirikkan mata ke arahnya, dia sedang bernyanyi sambil menggoyang-goyangkan lembut kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan tatapan yang berbinar.
Dan entah kenapa, gue tersenyum saat melihatnya. ***
Beberapa lagu telah dimainkan oleh Dave Koz dan kini dia sedang memberi semacam narasi sebelum memulai lagu berikutnya. Semua penonton di dalam venue ini menjadi khidmat, hening, dan memperhatikan sang saksofonis saat dia sedang berbicara di atas panggung. Sambil sedikit berbisik, gue mengajak Hanif untuk mengobrol dan mengomentari penampilan Dave Koz beserta band yang mengiringinya.
"Tuh Fal, kamu tuh harus bisa ga nge-drum kayak si om botak itu." Hanif menujuk ke arah drummer dengan dagu-nya
"Emang gampang apa mbak buat nge-drum kayak gitu""
"Huuu! Belajar dong makanyaaa!"
"..." Gue mengakui bahwa skill yang dimiliki oleh drummer tersebut memang mumpuni, terlebih lagi pada saat dia sedang bermain drum solo di sela-sela lagu Together Again. Badannya yang 'jumbo' itu ternyata tidak menghalangi aksi panggungnya yang memukau, dan gue merasa bahwa skill drumming gue masih sangat jauh di bawahnya.
Beberapa saat kemudian, Dave Koz memberitahu kami semua bahwa dia akan memainkan sebuah lagu sambil berkolaborasi dengan street musician asal Bandung, yaitu '57Kustik'. Dave Koz menyambut hangat grup musik jalanan tersebut di atas panggung dan disusul dengan tepuk tangan meriah dari penonton yang memadati venue ini.
Saat suasana sedang tidak kondusif, ada satu orang penonton yang merangsek ke depan ketika 57Kustik berada di atas panggung dan dia menyenggol Hanif sehingga membuatnya hampir terjatuh ke samping. Secara reflek gue memeluk bahu Hanif dan menahannya agar tidak terjatuh, lalu kemudian menarik kasar sambil menggenggam erat lengan orang tersebut.
"Hati-hati dong kalo jalan!" Ujar ketus. "Temen gue hampir jatoh nih!"
"Oh iya maaf mas, saya gak sengaja." Dia memberi gesture kepala lalu meminta maaf kepada Hanif. "Maaf ya mbak..."
"..." Hanif hanya menganggukkan kepala ke arahnya dan kemudian cowok tersebut berjalan agak sedikit menjauh dari tempat dimana gue dan Hanif berdiri, bersama kamera DSLR yang dia pegang. "Jadi, sekarang Naufal itu udah berubah jadi galak ya""
"..." Gue terkekeh.
"Kebetulan aja itu orang main serodok-serodok, ya harus dimarahin dong."
"Makasih ya tadi udah pegangin aku..."
"Iya, sama-sama." Gue tersenyum.
Suara biola dari salah seorang anggota grup musik 57Kustik mulai terdengar. Gue langsung menengadahkan kepala, lalu memegang kedua bahu Hanif dari belakang dan menyuruhnya untuk kembali berkonsentrasi kepada acara.
"You Make Me Smile." Gue berbisik di samping telinganya. "Ini lagu favorit gue selain Together Again."
"Hehehe iya sama kok, aku juga suka lagu ini."
Setelah berkata seperti itu, tiba-tiba tangan kanan Hanif memegang tangan kiri gue yang tersimpan di bahunya. Gue kaget dan hampir tidak bisa menikmati lagu yang sedang dimainkan. Sudah lama sekali gue tidak merasakan hal seperti ini, merasakan sesuatu yang dulu sering gue rasakan ketika bersama Hanif.
Perlahan gue melepaskan kedua tangan gue dari bahunya, lalu berdiri di samping Hanif sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket. Kemudian gue merasakan ada tarikan lembut pada ujung jaket gue yang membuat gue menolehkan kepala kepada Hanif. Ketika mata kami berdua bertatapan, kami berdua tersenyum. Kami berdua saling melemparkan senyuman,
Yang memiliki berjuta arti tersembunyi di baliknya.
*** Nif, apa yang lo rasakan sekarang"
Apa lo merasakan hal yang sama dengan apa yang gue rasakan"
Karena sekarang gue merasa bahwa, Ini adalah sebuah momen,
Sebuah momen, Dimana yang untuk pertama kalinya bagi gue, Untuk bertemu dengan lo.
Part 120 The Chocolate Tragedy Gue menyusuri jalan Urquhart St. dengan kecepatan rendah sambil menikmati pemandangan sekitar yang masih terasa sejuk dan juga masih terlihat cukup alami. Walaupun cuaca saat ini sedang berawan, tetapi hal tersebut tidak melunturkan keindahan pemandangan yang tersaji di depan mata gue yang terdiri dari perbukitan dengan pohon-pohonnya yang tumbuh subur.
Mobil gue arahkan untuk berbelok ke kanan dan kemudian gue menyusuri jalanan Orr St. yang cukup lengang. Awalnya gue ingin mencicipi makanan di salah satu caf" yang terletak di ujung jalan Orr St. atas rekomendasi dari teman, namun niatan tersebut harus gue urungkan ketika gue melihat sebuah caf" kecil yang bernama Caf" Serenade.
Gue memarkirkan mobil dengan rapi di belakang sebuah Triton hitam lalu mematikan mesinnya. Setelah gue mengambil tas laptop yang tersimpan di bangku penumpang, gue langsung membuka pintu dan seketika udara dingin membuat tubuh gue bergidik. Sweater yang didobel dengan coat yang gue kenakan ini ternyata masih tidak dapat menghalau cuaca musim dingin yang mencapai suhu hingga 4"C.
Mungkin seharusnya gue mengikuti saran housemate gue, Ramsay, agar tetap berdiam diri di dalam rumah sambil menikmati hangatnya mesin pemanas dan berselimut tebal di dalam kamar.
"Gimme the car key bro." "Where are you going"" "Going for a ride."
"In this early morning" C'mon man. It's so very cold outside!" "If you need more blanket, just take it in the wardrobe."
Dan yah, sayangnya gue menolak tawaran Ramsay lalu pada akhirnya gue memutuskan untuk tetap berjalan-jalan keluar.
Gue menyeberangi jalan dengan langkah kaki yang cepat sambil menyimpan kedua tangan di dalam saku dan memasuki caf" tersebut. Suasana di dalam sini cukup hangat, nyaman, dan membuat tubuh gue tidak terlalu kedinginan.
Di dalam caf" ini terdapat puluhan ornamen khas tahun 70an, diantaranya adalah cover-cover piringan hitam yang tertempel di dinding serta sebuah jukebox yang tersimpan pada sudut ruangan. Lagu yang disuguhkan juga cukup membuat telinga gue nyaman, dan gue tebak bahwa lagu tersebut merupakan sebuah lagu keluaran tahun 70an.
Gue duduk pada sebuah meja yang terletak di samping jendela. Setelah gue melepaskan coat dan menyimpannya pada kursi, ada seorang pelayan yang menghampiri gue sambil menenteng buku menu.
"Can I help you, Sir"" Tanya si pelayan sambil tersenyum ramah.
"Errr... "Do you have an espresso or something""
"Yes, we do have an espresso for you." "Do you want to order it, Sir""
"Oh, of course. A cup of espresso please."
"..." Pelayan tersebut mencatat pesanan gue. "Anything else""
"Hmmm..." Gue membolak-balik buku menu. "What kind of food do you have""
"We are serving pies, potatoes, soups, sandwiches, breads, and many more."
"Hmmm, I think this one fits me." Gue berkata sambil menempatkan telunjuk pada sebuah menu yang bernama 'Lentil Soup'.
"..." "Alright. Anything else""
"..." Gue menggeleng dan menyerahkan buku menu kepadanya.
"I'll be back with your order." Dia menjawab sambil tersenyum, lalu kemudian wanita paruh baya tersebut pergi meninggalkan meja dengan buku menu pada tangan kanannya.
Gue mengeluarkan laptop dari dalam tas dan menyimpannya di atas meja. Sambil menunggu
loading screen yang bergambar apel dengan lingkaran yang berputar di bawahnya, gue melamun dan memandangi jendela yang sedikit berembun sambil bertopang dagu.
Cuaca di luar sana sepertinya masih cukup dingin, sangat terlihat jelas sekali dari pakaian orangorang yang berjalan dengan menggunakan jaket tebal pada tubuhnya. Tapi herannya, masih saja ada orang yang tahan dengan cuaca tersebut dan dengan santainya dia berjalan sambil mengenakan sweater tipis. Gue mengusap wajah sambil menghela nafas yang sedikit berembun, lalu gue kembali mengalihkan pandangan kepada laptop.
Hal pertama yang gue lakukan adalah menyambungkannya dengan hotspot yang tersedia dan kemudian gue mengecek email-email yang masuk. Ada beberapa email yang belum terbaca, namun pandangan gue tertuju kepada sebuah newsletter yang berjudul 'Chocolate Winterfest'.
Newsletter tersebut menginformasikan tentang sebuah festival bertema cokelat yang akan dilaksanakan di Latrobe pada tanggal 8 dan 9 Agustus mendatang. Setelah gue baca lebih lanjut dan ternyata hampir seluruh isinya bertema tentang cokelat, gue malah kembali teringat kepada sebuah momen awkward yang pernah terjadi di antara gue dan Aya.
Gue tertawa kecil sambil mengusap rambut setelah mengingatnya secara sekilas.
Kemudian gue mencoba untuk mengingatnya secara detail, dan pada akhirnya gue mulai mengetik. ***
"Ayo cepet, aku udah ga sabar nih." Gue menarik tangan Aya untuk masuk ke dalam sebuah caf" yang menjual beraneka macam kue-kue bertema cokelat.
"Loh kok kita makan di sini"" Tanya Aya dengan bingung setelah kami berdua duduk bersisian. "Tadi katanya kamu tuh laper""
"Kamu kan suka cokelat, makanya aku bawa kamu ke sini." "Pesen gih sekarang." Ujar gue dengan semangat.
"Terus kamu makan apa" Kalo porsi kue segini buat kamu mah gak akan bikin perut kamu kenyang."
"Nah!" Gue menjentikkan jari.
"Abis dari sini, kita tinggal cari tempat makan lagi yang lain!"
"Sekarang kita ganjel perut aja dulu. Gampang lah aku mah makan apa juga bisa." Gue terkekeh.
"Makan apa aja bisa" Kamu makan ini berarti bisa dong"" Jawab Aya dengan tengil sambil memegang botol minum kosong yang dibawanya.
"Yakali Aya sayang, bisa-bisa aku kena kanker usus..."
Aya terkekeh pelan lalu dia memesan Chocolate Lava Cake serta Rhum Ball sementara gue memesan Coldmint Cheescake. Ini adalah kue yang paling gue sukai diantara kue-kue yang lainnya. Walaupun porsinya kecil, tetapi setidaknya dapat mengganjal perut gue yang sedang kelaparan.
"Kamu gimana sekarang Ay" Jadi mau kerja bareng temen kamu itu"" Tanya gue kepada Aya sambil menyimpan handphone di atas meja.
"Kayaknya sih jadi, cuman aku belum kontak-kontak lagi sama dia soalnya dia masih di Jakarta buat ngurusin ini itu."
"Ooh. Terus kalo misalkan jadi, berarti kamu bakal tinggal di Jakarta atau gimana""
"Aku belum tau sayang, nanti kayaknya sih aku bakal tinggal di Jakarta."
"Yaaah, entar aku disini sama siapa dong""
"Kan ada bibi di rumah wleee!" Aya memeletkan lidahnya dengan gemas lalu kami berdua tertawa.
Aya dan beberapa orang temannya telah sepakat untuk membuka sebuah rumah mode yang khusus menyediakan pakaian untuk acara-acara pernikahan, dan kebetulan lokasi yang dipilihnya adalah Jakarta karena rumah dari salah satu teman Aya itu tidak berpenghuni sehingga dapat digunakan sebagai workshopnya dan juga dapat menghemat pengeluaran untuk menyewa tempat. ***
Kami berdua menyantap kue-kue yang tersaji sambil mengobrol tentang berbagai hal seputar fashion dan segala jenis pernak-pernik yang melengkapinya. Saat berada di tengah-tengah obrolan, handphone gue yang tersimpan di atas meja tiba-tiba bergetar dan muncul sebuah notifikasi chat.
Dan sialnya, notifikasi tersebut ternyata berasal dari Hanif yang membuat Aya menatap gue dengan tatapan dingin.
Part 121 I m Yours "We want more...!" "We want more...!" "We want more...!"
Gue, Hanif, dan para penonton lainnya terus menerus meneriakkan kalimat tersebut secara berulang-ulang. Ya, hasrat gue dalam mendengarkan lagu-lagu smooth jazz yang dibawakan oleh Dave Koz belum terpenuhi walaupun lagu You Make Me Smile telah selesai dimainkan beberapa saat yang lalu. Dan gue juga yakin, bahwa para penonton yang hadir di dalam venue ini sedang merasakan hal yang sama dengan apa yang gue rasakan sekarang.
"We will do one more song before we let you go!"
Dave Koz memberi konfirmasi bahwa dia akan memainkan satu lagu tambahan dan itu membuat kami semua bertepuk tangan sambil berteriak girang. Hanif juga melakukan hal yang sama dengan para penonton lainnya. Dia bertepuk tangan dengan kencang sambil meneriakkan nama Dave Koz lalu kemudian dia mengangkat tangannya di udara.
*** Entah sudah berapa banyak venue yang telah kami masuki untuk menonton penampilan musisimusisi jazz papan atas dunia. Kami berdua berjalan keluar dari sebuah venue ketika hari sudah hampir menyentuh tengah malam. Walaupun acara ini masih berlangsung hingga pukul satu dini hari nanti, namun teman-teman gue yang lain sudah rewel untuk meminta pulang. Mau tidak mau gue juga harus pulang karena gue menumpang pada mobil Devan.
Dan yah, akhirnya gue dan Hanif pun harus kembali berpisah.
"Fal"" Tanya Hanif sambil berjalan.
"Hmmm"" Gue menyahut sambil mengabari teman-teman yang lain untuk menunggu di parkiran.
"Aku boleh minta kontak kamu""
"..." Gue menoleh kepada Hanif, lalu tersenyum sambil mengangguk. "Boleh kok."
Hanif menyunggingkan senyuman setelah gue berkata seperti itu. Dia menyunggingkan sebuah senyuman yangsangat lebar sekali, dan juga ekspresi wajahnya terlihat bahagia. Hanif terlihat seperti itu, apa karena dia mendapatkan kontak gue"
Entahlah, gue tidak tahu.
Dan gue tidak mau tahu. *** Sudah satu tahun lebih berlalu semenjak kejadian dimana gue dan Hanif saling bertukar kontak dan selama itu pula kami berdua tidak pernah memberi kabar satu sama lainnya. Ketika gue ingin sekedar menyapa Hanif, gue merasa bahwa seperti ada sebuah dinding besar yang menghalangi gue untuk melakukan hal tersebut. Dan pada akhirnya gue tidak pernah berkomunikasi dengan Hanif.
Lalu sekarang, saat ini, tanpa adanya hujan maupun angin, tiba-tiba saja Hanif mengirimi gue sebuah pesan. Namun sayangnya, pesan singkat tersebut malah membuat kekasih hati gue menjadi diam seribu bahasa.
Gue mengerti situasi seperti ini, gue sangat mengerti sekali, karena gue pernah mengalami hal ini sebelumnya. Namun bedanya, kali ini lebih ekstrim.
Gue memutuskan untuk tidak berbicara terlebih dahulu kepada Aya dan gue menghabiskan kue yang masih tersisa separuhnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi gue untuk menghabiskannya, lalu kemudian gue berbicara kepada Aya.
"Itu kue kamu mau dihabisin nggak"" Gue bertanya dengan nada yang halus.
"..." Aya tidak menjawab, dan dia hanya melihat ke arah lain. Tidak menatap gue.
"..." Gue tersenyum simpul, lalu kemudian bangkit berdiri untuk membayar makanan tersebut di kasir.
"Yuk." Kami berdua berjalan menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari caf" yang sebelumnya kami berdua datangi dan gue menggandeng tangan Aya dengan erat walaupun dia tidak membalas genggaman tangan gue. Wajahnya pun masih sama seperti tadi, dingin, dan terlihat masih bete.
"Mau makan dimana sekarang"" Tanya gue sesaat setelah kami berdua berada di atas jalanan.
"..." "Aku tau loh tempat makan yang enak deket kampus aku." "Mau nyoba kesana ga""
"..." Aya tidak menjawab pertanyaan gue. Dia hanya menyandarkan kepalanya pada kaca dan menatap keluar dengan tatapan dingin.
Gue pun menjadi dilema, apakah gue harus pergi menuju tempat makan tersebut, atau gue harus mengurungkannya. Entahlah, gue sama sekali tidak mempunyai ide tentang kedua hal yang sangat membingungkan ini.
Mobil yang gue kendarai berhenti di lampu merah dan gue langsung menggunakan momen seperti ini untuk berpikir keras, menimbang-nimbang pilihan mana yang terbaik diantara kedua pilihan tersebut. Lalu pada akhirnya, gue memutuskan untuk tidak pergi menuju tempat makan tersebut dan langsung mengarahkan mobil untuk pulang ke rumah.
*** "Kok malah pulang""
"Ga jadi makan"" Tanya Aya dengan dingin ketika kami berdua telah sampai di depan pintu gerbang rumah.
"..." Gue menatap Aya, lalu menggeleng sambil tersenyum.
Gue memarkirkan mobil tepat di depan depan gerbang rumah. Setelah mesin mobil telah mati, gue langsung turun dan membukakan pintu penumpang untuk Aya.
"Yuk." Gue menjulurkan tangan sambil tersenyum kepadanya.
"..." Aya menyambut uluran tangan gue dengan ogah-ogahan, lalu dia turun.
Kami berdua masuk ke dalam rumah yang kebetulan tidak dikunci karena di dalam sedang ada bibi. Gue sudah hafal betul bahwa jam-jam seperti ini merupakan jadwal rutin dimana bibi datang ke rumah untuk memasak makan malam.
Mungkin karena situasi yang seperti 'ini' dan juga ditambah dengan adanya bibi, Aya langsung duduk di ruang tamu sementara gue menghampiri bibi di dapur.
"Masak apa, Bi""
"Oh masak ini cep, sayur asem, ikan asin, sama sambel." Ujar bibi sambil mengaduk sayur di dalam panci.
"Bi, kalo misalkan udah selesai masaknya, bibi langsung pulang aja ga apa-apa. Nanti biar saya aja yang masak nasi sendiri."
"Iya cep, bentar lagi bibi selesai masaknya."
Gue berterima kasih kepada bibi lalu kemudian kembali ke ruang tengah dan mendapati Aya sedang memainkan handphonenya sambil cemberut. Beberapa saat setelah gue duduk di samping Aya, terdengar suara pintu samping yang terbuka dan disusul dengan pintu pagar yang terbuka.
Bibi sudah pulang. "..." Gue langsung merubah posisi duduk menjadi menghadap Aya, lalu menggenggam sebelah tangannya.
"Maafin aku ya." Ujar gue sambil tersenyum walaupun Aya tidak memandang gue.
"Maaf buat apa" Kamu ga ada salah." Jawabnya dingin, dan mulut Aya melontarkan sebuah jawaban yang klise.
"..." Gue menghela nafas sambil mengalihkan pandangan, lalu kembali melihat kepadanya dan menggenggam kedua tangan Aya.
"Aku tau, kamu pasti marah gara-gara chat itu."
"..." "Itu cuman sekedar chat biasa, ga lebih dari itu."
"..." "Kamu juga udah tau semua kejadian tentang Java Jazz."
"..." "Dari mulai aku yang gak sengaja ketemu sama Hanif sampe aku muter-muter sama dia..." "...semuanya udah aku ceritain dan ga ada yang aku tutup-tutupin dari kamu."
"..." Aya menolehkan kepala dan menatap gue dengan tatapan dingin. "Kamu tau gak sih Fal rasanya diceritain kayak gitu sama kamu""
"..." "Enggak kan""
"..." "Sakit, Fal, sakit..." Aya memberi penekanan pada kata tersebut, dan nada suaranya sedikit bergetar saat dia berkata seperti itu.
"..." "Aku juga tau kamu ngapain aja di kampus." "Kamu deket sama cewek mana aja, aku juga tau."
"..." "Dari mulai kamu yang ngerjain tugas cuman berduaan di kosan si Dinda sampe makan berdua di Ganyang bareng Windy juga aku tau Fal."
"..." "Aku ngerti kok kalo kamu itu pasti butuh hubungan baik buat relasi di masa depan." "Tapi kamu juga harus mikirin perasaan aku..."
"Tolong hargain perasaan aku, Fal..." Satu butir air mata mengalir pada pipi sebelah kiri Aya yang membuat gue tidak dapat berkata apa-apa lagi selain mempererat genggaman tangan gue pada tangannya.
Saat ini, biarlah Aya menumpahkan segala unek-unek yang dipendam olehnya. Meluapkan segala keluh kesahnya kepada gue, kekesalannya kepada gue, rasa sakitnya, semuanya. Gue akan terima semuanya.
Semuanya. Bahu Aya bergetar hebat, dan kemudian tangisnya pun meledak. Aya menangis sambil menutupi mulutnya dengan sebelah tangan. Air mata Aya kini mengalir dengan deras hingga membasahi selasela jemari tangan yang menutupi mulut mungilnya.
Aya menutup rapat kedua matanya, seakan mencoba untuk menahan setiap tetes air mata yang turun sambil tetap menutup mulut dengan tangannya sementara sebelah tangannya menggenggam tangan gue.
Selama beberapa menit Aya tetap berada dalam posisi seperti ini. Lalu pada akhirnya, dia melepaskan tangan dari mulutnya dan menatap gue dengan pandangan yang sayu.
"Kamu boleh deket sama siapa aja, termasuk temen-temen cewek kamu." "Aku sama sekali ga ngelarang." Aya menggeleng sambil berkata dengan nada yang rendah.
"..." Gue mengusap sisa-sisa air mata dari wajah Aya dengan ibu jari dan menatapnya sambil tersenyum.
"Tapi tolong, kamu jangan jangan terlalu deket yang satu ini." "Aku ga mau kalo kamu, amit-amit, selingkuh sama dia." "Jangan sia-siain kepercayaan aku buat kamu." "Ya""
"..." Gue turun dari kursi, berlutut di depan Aya sambil memegang erat kedua tangannya dan menatap lekat kedua mata Aya.
"Ay..." Gue menghela nafas.
"Sekarang aku ga bisa janjiin apa-apa buat kamu."
"Tapi aku harap, semoga apa yang udah aku perbuat buat kamu, apa yang telah kita lewati selama ini, bisa membuat kamu tetap yakin sama aku."
"Aku juga berharap semoga masalah ini bukan jadi awal dari kehancuran hubungan kita."
"..." "Dan semoga kita tetap bisa berjalan secara berdampingan, bersama-sama menghadapi setiap likaliku kehidupan serta setiap masalah yang datang bersamanya."
"Kamu mau kan maafin aku, Ay""
"..." Kedua mata Aya menyipit dan bibirnya bergetar, namun dia berusaha untuk tersenyum walaupun kini air matanya telah kembali mengalir, dan dia menganggukkan kepala. "Iya, Fal, aku mau maafin kamu."
Sambil mengucap syukur di dalam hati, gue mengecup lembut kening Aya dengan perlahan sambil memejamkan mata. Waktu pun seakan berhenti, seolah-olah mempersilahkan gue dan Aya untuk menikmati momen ini lebih lama lagi.
Lalu kemudian gue melepaskan kecupan dari keningnya, dan gue mendekap tubuhnya.
Erat. And call it true Call it true love
Call it true Call it true love Coldplay True Love ***
Gue meregangkan tangan di udara setelah sekian jam memainkan jemari tangan di atas keyboard, lalu gue melihat jam pada tangan kanan gue. Yah, sepertinya sudah cukup bagi gue untuk menulis pada hari ini.
Gue menaikkan sebelah bibir ketika menyadari bahwa cerita ini tidak lama lagi akan menemui ujungnya, dan kewajiban gue untuk menyelesaikannya pun akan segera terpenuhi.
Jika ada sebuah awal, pasti ada sebuah akhir. Juga dari setiap pertemuan pasti akan bertemu dengan yang namanya sebuah perpisahan. Begitu pula dengan sebuah cerita.
Seluruh cerita pasti memiliki sebuah akhir. Entah apakah itu akhir yang baik ataupun buruk, semuanya pasti berakhir.
Sambil menopang dagu dengan kedua punggung tangan, gue menolehkan kepala pada jendela dan mendapati bahwa di luar sana hari sudah beranjak gelap walaupun masih menyisakan sedikit cahaya abu-abu di kaki langit. Ternyata, sang malam telah datang lebih cepat satu jam dibanding biasanya.
Gue men-save hasil tulisan gue lalu mematikan laptop dan berjalan menuju kasir untuk membayar makanan yang telah gue habiskan. Ketika gue mendatangi kasir, ternyata petugasnya adalah seorang wanita paruh baya yang sebelumnya mencatat pesanan gue. Sambil tersenyum, dia menyapa gue dengan ramah.
"Unbelievable. The dark comes earlier today."
"Yes, it's unpredictable."
"Anyway, your soup was great." Ujar gue sambil tersenyum. "Thank you, Sir."
"Here they are. Thanks for the great food." Gue mengeluarkan sejumlah uang dengan harga yang tertera lalu membalikkan badan. Baru saja beberapa langkah setelah gue meninggalkan kasir, gue membalikkan badan lalu bertanya kepadanya.
"Ummm, may I take a picture of you""
"Sure, no problem."
"Where would you like me to stand" Ujarnya sambil melihat ke kiri dan ke kanan.
"Just stay still." Jawab gue sambil tersenyum. "Are you ready""
"I am now ready."
"3... 2... 1..." "Make a pose!"
Ckrek! Part 122 Access Granted Dengan perlahan gue melepas pelukan dari tubuh Aya, dan gue kembali berlutut di depannya sambil memegang kedua tangan Aya dengan erat.
"Ay..." "Hmmm"" Aya menatap gue dengan sayu.
"Aku mau minta izin sama kamu buat ketemu sama dia, boleh""
"..." "Gimana"" "..." Dia menengokkan kepalanya ke arah lain.
"Ay"" "..." Kemudian Aya kembali menatap gue, lalu dia berkedip dengan perlahan. "Kamu ga perlu nanyain hal itu..."
"...karena kamu juga pasti udah tau jawabannya, Fal." "..." Gue menghela nafas, lalu tersenyum dan mengangguk.
Sebenarnya gue sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti tentang jawaban yang diberikan oleh Aya. Maksud gue, oh come on girls, apa sih susahnya tinggal ngomong to the point alih-alih memberikan sebuah enkripsi dengan kata sandi yang sulit dipecahkan"
Dan ketika gue diberi sebuah jawaban yang seperti ini, yang terpikirkan oleh gue adalah gue akan bertemu dengan Hanif, mengobrol dan saling bertukar cerita masing-masing, lalu pertemuan tersebut akan kembali diakhiri dengan sebuah perpisahan.
Pertanyaannya, jika gue memang benar-benar melakukan hal tersebut,
Apakah gue dapat dibilang telah menyia-nyiakan kepercayaan yang Aya berikan kepada gue" Well, I don't think so.
Bisa coba tolong sebutkan bagian mana yang membuat gue menyia-nyiakan kepercayaan seorang Aya"
***
Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Iya, sorry ya Nif kita ga bisa ketemuan. Schedule gue padat merayappp..." Gue beralibi.
"Oh yaudah deh gapapa kok, aku cuman mau ngasih tau aja kalo nanti anak-anak kelas X-J mau bikin acara."
"Acara kemana lagi emang" Bukannya taun kemaren udah ya"" "Kalo taun ini, anak-anak pada pengen pergi ke Jogja." "Berapa lama""
"Paling dua hari satu malem di sana." "Siapa aja yang ikut""
"Udah hampir setengah kelas yang konfirmasi ikut, mereka semua udah pada bayar DP soalnya." "Ojan gimana""
"Dia ga bisa ikut, katanya dia udah mulai kerja." "Ooh, oke deh. Nanti gue kabarin lagi ya."
Setelah mengirim pesan tersebut kepada Hanif, gue melempar handphone ke ujung kasur lalu menyimpan lengan di atas kening sambil memandang langit-langit kamar yang disinari oleh lampu tidur yang redup.
Sudah terhitung sebanyak 4x gue menolak ajakan dari anak-anak kelas X-J untuk ikut berpartisipasi terhadap acara yang mereka buat. Dan apa kali ini gue juga harus kembali menolaknya" Gue tidak tahu.
Walaupun gue ingin untuk tetap terjaga dan memikirkan tentang ajakan tersebut, namun sepertinya mata dan badan gue tidak bisa berkompromi lagi, terlebih setelah apa yang gue alami hari ini yang membuat fisik dan batin gue sedikit lelah.
Akhirnya gue pun memejamkan mata dengan perlahan, karena masih ada hari esok yang bisa gue gunakan untuk berpikir.
*** Pada siang hari yang cukup terik itu, gue berjalan dengan berdampingan bersama seorang wanita berparas anggun menuju sebuah meja penerima tamu yang terletak di depan pintu masuk gedung resepsi. Sambil dengan melingkarkan tangan kanannya pada lengan kiri gue dan sementara tangannya yang lain menenteng dompet serta smartphone miliknya, Aya terlihat sangat antusias sekali untuk menghadiri acara resepsi pernikahan dari salah seorang temannya tersebut.
Hari ini, gue datang dengan mengenakan sebuah kemeja abu-abu cerah berlengan panjang yang dipadukan dengan celana jeans biru laut dan juga sepatu kets Nike putih yang terpasang pada kedua kaki gue. Menurut gue, penampilan gue pada hari ini adalah sebuah penampilan yang khas dari seorang mahasiswa pada umumnya.
Sementara Aya, dapat dikatakan bahwa penampilannya sangat jauh berbeda dengan penampilan gue.
Aya mengenakan baju terusan v-neck hitam di atas lutut tanpa lengan sehingga memperlihatkan permukaan kulitnya yang putih. Lalu pada kedua kakinya, terpasang dengan rapi sebuah high heels berwarna senada dengan baju yang dikenakannya dan hal itu membuat tinggi badannya menjadi sepantar dengan gue.
Dan yang terakhir, yang juga menjadi sebuah elemen pelengkap favorit gue yang melekat pada dirinya, adalah rambut merah kecokelatan Aya tergerai dengan indah di depan dadanya dan juga pada ujung-ujung rambutnya dibuat sedikit curly sehingga penampilan Aya pada hari ini sangatlah perfect.
Penampilan yang indah ini, telah membuat Aya terlihat menjadi seorang 'Aya' yang sesungguhnya.
Yaitu Aya yang terlihat cantik, indah, dan menawan.
"Mau kamu yang nulis, atau aku aja"" Aya menoleh dan berbicara kepada gue ketika kami berdua berada di depan meja penerima tamu.
"..." Gue memandang wajah cantiknya yang kini telah diberi balutan make up tipis dan juga perona pipi, lalu gue tersenyum.
"Kamu aja gih."
Kemudian Aya sedikit membungkukkan badannya dan dia mulai menulis pada buku tamu. Setelah itu, Aya kembali melingkarkan tangannya pada lengan gue dan mengajak gue untuk masuk ke dalam.
Acara resepsi ini menggunakan konsep standing party, yaitu para tamu undangan dipersilakan untuk memakan makanan yang disediakan sambil berdiri dan di dalam sini juga tidak disediakan kursi-kursi untuk mereka semua. Menurut gue, ini merupakan hal yang sangat wajar karena teman Aya yang mengadakan resepsi ini adalah seorang non muslim.
"Ay, ambil makan dulu yuk ke situ tuh." Gue menunjuk kepada sebuah stand Dim Sum yang cukup membuat iman gue goyah.
"Aku udah laper nih."
"Iiih, nanti!" Aya mempererat genggaman tangannya. "Kita salaman dulu sama temen aku, baru kita makan!"
"..." Gue mendengus kesal karenanya.
Kami berdua berjalan menuju sebuah podium utama lalu ikut mengantri di belakang para tamu undangan yang lain. Setelah beberapa saat menunggu, kini tiba saatnya bagi gue dan Aya untuk mengucapkan selamat kepada kedua mempelai.
"Atiiin! Selamat yaaa buat pernikahan elooo!" Aya memeluk Catherine lalu melakukan cipika-cipiki dengannya.
"Makasih ya Ayaaa!" Balas Catherine.
"Lo kapan mau nyusul nikah sama sang pujaan hati nih"" Catherine menunjuk gue dengan lirikan mata dan gue hanya tersenyum untuk menanggapinya.
"Nunggu dilamarnya aja ah gue mah." Aya tersenyum jahil kepada gue, lalu dia tertawa kecil. "Sekali lagiii, selamat yaaa!" Mereka kembali melakukan cipika-cipiki sambil tertawa.
Gue menggandeng tangan Aya untuk turun dari podium dan berjalan menuju stand Dim Sum yang sebelumnya sudah gue jadikan target pertama dalam berburu kuliner pada acara resepsi pernikahan hari ini. Sambil menunggu antrian, Aya berbisik kepada gue.
"Temen aku aja udah nikah. Terus aku kapan nikahnya nih""
"Hahaha..." Gue tertawa dan kemudian mencubit gemas pipinya. "Suru siapa coba pacaran sama brondong, aku lulus kuliah aja belum!"
"Makanya kamu cepet lulus Fal!"
"Cepet cari kerja, cari uang yang banyak, nikahin aku, punya rumah dengan view pantai di Uluwatu yang diisi sama suara tawa anak-anak kita, dan kita akan hidup bahagia selamanya deeeh." Ujarnya dengan girang.
"Mimpi kamu terlalu tinggi loh sayang."
"Setinggi apa""
"Setinggi harga rumah di Uluwatu! Hehehe..." Gue tertawa cekikikan dan disusul dengan cubitan bertubi-tubi yang melayang pada perut sebelah kiri gue.
Sambil tetap menerima cubitan kasih sayang tersebut, gue bermonolog di dalam hati.
Semoga Aya tetap berada di sisi gue, selalu memberi gue semangat ketika gue sedang putus asa, selalu memberi gue dukungan agar gue dapat kembali bangkit setelah terjatuh, dan juga semoga Aya tetap menjadi sebuah motivasi terbesar bagi gue agar gue dapat terus berusaha dan bekerja lebih keras lagi,
Untuk memenuhi segala keinginan serta harapannya.
Amin. *** Sesaat setelah kami berdua keluar dari pelataran parkir gedung resepsi, gue kembali teringat akan acara kelas X-J yang tidak lama lagi akan segera dilaksanakan sementara gue belum mendapatkan persetujuan dari Aya.
"Ay"" Gue memanggil Aya sambil tetap mengemudi.
"Hmmm"" Aya menggumam tanpa menoleh dan dia sedang berfokus kepada smartphone pada tangannya.
"Gimana" Aku boleh ikut acara anak-anak SMA gak""
"..." Aya menoleh kepada gue dan menyimpan smartphone di dekat perseneling. "Dia juga ikut""
"..." Gue mengkerutkan kening ketika Aya mengucapkan kata 'dia'. Beberapa saat kemudian, gue baru 'ngeh' dan menyadari siapakah yang Aya maksud, lalu gue menganggukkan kepala. "Iya, dia juga ikut."
"Hhhhh..." Aya menghela nafas.
"Kamu masih inget kan sama apa yang pernah kita omongin waktu itu"" Ujarnya dengan nada yang sedikit aneh.
"Iya, aku masih inget."
"..." "..." "Aku ga mau ngelarang-larang kamu."
"..." Gue menoleh kepada Aya.
"Aku juga ga mau ngekang kamu." Aya menggeleng. "Pasti kamu juga bakal ngerasa ga enak kalo dikekang sama aku."
"Jadi"" "..." Aya menoleh kepada gue.
"Kamu masih bisa jaga kepercayaan aku kan""
"Iya, insyaallah aku bisa."
"Aku yakin kalo kamu bisa jaga hal itu." Aya tersenyum sambil memegang sebelah tangan gue pada kemudi.
"..." "Iya, kamu boleh ikut."
*** The access has been granted, For sure...
Part 123 Soft-Hearted Woman "Aaahhh..." Gue meregangkan tangan di udara sambil masih berkalungkan headphone yang sedari tadi menemani gue selama di perjalanan.
Bus yang ditumpangi oleh gue dan kawan-kawan lainnya kini telah sampai dan terparkir dengan rapi pada halaman parkir pantai Parangtritis setelah menempuh perjalanan selama sekian jam. Perjalanan yang cukup lama ini telah membuat punggung gue menajdi pegal.
Gue menoleh ke arah jendela bus. Di sana, di ujung penglihatan gue, terhampar pasir pantai yang sangat luas sekali beserta pemandangan deburan ombak yang menyentuh bibir pantai. Dari tempat dimana gue berada sekarang, gue dapat membayangkan bagaimana suara deburannya ketika sang ombak bersentuhan dengan bibir pantai.
"Ayo Fal, buruan!" Adzir berteriak dari luar yang suaranya sayup-sayup terdengar hingga ke dalam bis.
"Anak-anak udah duluan buat maen bola tuh!"
"Iya bentar, duluan aja sana entar gue nyusul." Balas gue sambil berteriak.
Gue merapikan barang-barang bawaan dan memasukkannya ke dalam ransel yang disimpan di kompartemen atas. Setelah membawa barang-barang seperlunya, gue berjalan di lorong bis menuju pintu depan lalu bertemu dengan Hanif yang juga sedang merapikan barang bawaannya.
"Turun"" Tanya gue kepada Hanif.
"..." Hanif mengangguk.
"Aku ngerapihin ini dulu bentar, tungguin ya..."
"Oke." Gue menoleh ke arah lain.
"Yuk!" "Eh, kok cepet banget""
"Hehe aku bingung mau bawa apa, jadi aku bawa aja semuanya deh!" Hanif mengangkat tas selendang kecil yang dibawa olehnya sambil tersenyum, lalu kami berdua keluar dari dalam bis.
Gue berjalan sambil menyimpan kedua tangan di dalam saku celana dan memperhatikan sekeliling sementara Hanif berada beberapa langkah di depan gue bersama salah seorang teman ceweknya. Beberapa saat sebelum kami sampai di bibir pantai, Hanif melambatkan langkah kakinya sehingga kami berdua berjalan secara bersisian.
"Bagus yaaa pantainya." Ujar Hanif.
"Ah masih gitu-gitu aja deh perasaan." Gue berkata dengan cuek. "Masih ngeres, masih banyak pasirnya."
"Iya, kayak otak kamu tuh yang ngeres!" Ujarnya ketus sambil mencubit lengan kanan gue dengan keras.
"Adududuh..." Gue mengelus-elus bagian yang dicubit olehnya dan secara otomatis membuat kepala gue menoleh ke samping, menoleh ke arah dimana Hanif sedang berada. "Nif""
"Hmmm"" Hanif menoleh.
"Kok cantik""
Pada sore hari itu, Hanif mengenakan balutan sweater turtleneck tipis berwarna krem yang dipadukan dengan celana jeans pendek berwarna biru cerah. Dan tidak lupa juga, rambut panjang berwarna kecokelatannya dibiarkan tergerai dengan indah di belakang punggungnya sehingga memberikan kesan yang sangat cantik, namun tetap terlihat santai.
"..." Hanif memposisikan badan di depan gue sambil berkacak pinggang dan memiringkan kepala. "Hallo" Fal" Kamu kemana aja selama ini""
"..." Gue nyengir kuda lalu terkekeh.
"Soalnya ada cewek yang lebih cantik dari kamu siiih!"
"Ish, nyebelinnya kamu dari dulu ga ilang-ilang yaaa!" Hanif memasang wajah jutek lalu mencubit kembali lengan gue, namun kali ini lebih keras dari sebelumnya.
"Eeeh, cubit-cubit! Sini gue bales lo!" Gue hendak membalas cubitan Hanif namun dia buru-buru mengambil sandal yang digunakan olehnya, lalu berlari menuju pantai sambil tertawa.
"Siniii kalo bisa kejar aku...!"
Gue pun berlari mengejarnya. Aroma parfum milik Hanif yang berbau khas berterbangan di udara dan samar-samar dapat tercium oleh indera penciuman gue ketika gue sedang mengejarnya.
Lalu tanpa terasa, kami berdua kini telah berada di bibir pantai dan masih saling berkejaran, berlari menembus sekerumunan orang serta andong yang berlalu lalang di sekitar kami. Sambil tetap berlari, gue sedikit membungkukkan badan, meraup segenggam pasir basah dengan tangan lalu melemparkannya ke arah Hanif dan tepat mengenai kaki kanannya.
"Iiih Naufaaal...!" Hanif membalikkan badan dan memasang wajah jutek.
"HAHAHA...!!!" Gue tertawa lebar, lalu kini giliran Hanif yang mengejar gue sambil menciprati gue dengan air laut.
*** Perang pun diakhiri dengan seluruh pakaian Hanif yang menjadi basah dan kotor, sementara gue berakhir dengan berbaring di atas tanah dengan badan yang dikubur di dalam pasir. Licik" Memang! Hanif dapat menang dengan mudah karena dia meminta bantuan kepada beberapa orang laki-laki untuk mengubur gue.
"Licik yaaa sekarang mainannya!" Gue mendengus kesal sambil melihat ke arah Hanif yang sedang tertawa bersama kamera poket yang dipegang olehnya.
"Diem ih! Kamu lucu tau ga!" Hanif terkekeh. "Aku mau fotoin kamu dulu!"
"..." Gue menggerutu kesal sementara Hanif masih cekikian sambil tetap mengambil foto-foto gue.
"Fal"" Ujar Hanif sambil melihat ke arah kamera yang dipegangnya.
"Nggghhh""
"Fal...!" "APA"!" "Ish, jutek banget."
"Iye-iye, apa""
"Tuh coba deh kamu liat di ujung sana." Hanif menunjuk ke arah pantai dengan telunjuknya.
"..." Gue mencoba mengangkat leher untuk melihat apa yang Hanif lihat, namun gue masih tidak dapat melihatnya karena terhalang oleh orang-orang yang berlalu lalang.
"Ga keliatan nih, ada apaan emang""
"Bangun aja siiih..."
"..." Gue menggerak-gerakkan badan untuk menyingkirkan seluruh pasir yang menutupinya, lalu bangun dan berdiri beberapa langkah di belakang Hanif sambil memegang segenggam pasir basah dan tersenyum jahil.
"Bagus yaaa sunsetnya..."
"..." Gue terkekeh lalu berjalan mendekati Hanif. "Nih gue kasih tau ya, Nif."
"..." Hanif menoleh ke belakang.
"Pemandangan ini lebih bagus lagi kalo rambut elo 'bersih' kayak gini."
Gue mengoleskan seluruh pasir yang gue genggam pada rambut kecokelatannya yang membuat Hanif kembali menatap gue sambil memasang ekspresi marah yang sangat lucu sekali.
"Naufaaaaalll...! Kamu nyebeliiin!"
Gue tertawa terbahak-bahak, lalu kemudian gue berlari menuju arah yang berlawanan untuk menghindari Hanif yang sedang meneriakkan nama gue secara berulang kali dan melempari gue dengan pasir.
Pada sore hari ini, entahlah, gue merasa bahwa seluruh beban yang berada di pundak gue telah
terangkat dan digantikan oleh perasaan senang yang tak tergantikan oleh apapun.
Sambil dengan menyunggingkan senyuman yang tak henti-hentinya merekah pada bibir gue, gue berlari menyusuri bibir pantai Parangtritis dan dilatari oleh pemandangan sunset yang memanjakan indera penglihatan.
*** Malam harinya sekitar pukul 9, bus yang kami tumpangi tiba di salah satu hotel yang terletak tidak jauh dari jalan Malioboro. Gue dan beberapa orang teman lainnya langsung turun dan pergi menuju kamar yang terletak di lantai 2 sambil membawa barang-barang bawaan. Hal pertama yang gue lakukan adalah langsung pergi menuju kamar mandi karena seluruh badan gue masih gatal oleh sisa-sisa pasir yang masih menempel di badan.
"Do& Do..." Gue memanggil Aldo setelah keluar dari kamar mandi.
"Paan"" Jawabnya sambil menyisir di depan cermin.
"Beliin gue makanan dong, apa aja deh."
"..." Aldo membalikkan badan dan menatap gue dengan heran. "Emangnya elo gak ikut keluar""
"..." Gue menggeleng. "Males ah, capek& "
"Mana sini duitnya."
"..."Gue mengambil uang dari dalam dompet yang tersimpan di atas meja.
"Kalo misalkan kurang, tambahin dulu dari elo ya." Ujar gue sambil menyerahkan uang dua puluh ribuan kepadanya.
"Sip lah, dua kali lipat."
"Monyet!" Aldo tertawa cekikikan lalu kemudian dia menghilang di balik pintu yang tertutup.
Baru sekitar setengah jam lebih setelah Aldo keluar, pintu kamar tiba-tiba terbuka dan sedikit mengagetkan gue yang sedang berselimut tebal di atas kasur sambil berkirim pesan bersama Aya.
Saat gue menolehkan kepala ke arah pintu, ternyata Aldo telah kembali bersama sebuah kresek putih di tangannya.
"Tumben cepet." Tanya gue sambil menyibak selimut dan turun dari atas kasur. "Anak-anak pada kemana""
"Masih pada ngemil kacang di depan, yakin nih lo gak mau ikut"" Ujarnya sambil memberikan kresek putih tersebut kepada gue.
"..." Gue menggeleng seraya menerima pemberiannya. "Pengen tidur."
"Ah elah, kebo dasar."
"Gue balik lagi ke depan ya, kopi gue belom abis soalnya."
"Sip, hati-hati digodain sama bule."
"Buleee..."" Sekonyong-konyong Aldo memasang wajah mesum yang membuat gue tertawa.
Aldo langsung keluar dari kamar dan gue menepok jidat. Mampus. Gue mau makan tapi gue ga tau harus makan di mana. Setelah celinguk kanan dan kiri, gue memutuskan untuk makan sambil bersila di atas lantai daripada harus makan di atas kasur. Kemudian gue mencuci tangan pada wastafel di kamar mandi, lalu menyalakan televisi dan mulai makan.
Tok...tok...tok... "Masuk aja!" "Ga dikunci!"
"Loh, Fal" Ngapain kamu duduk di lantai"" Ujar suara lembut dari arah punggung yang sangat gue kenali sekali.
"..." Gue menolehkan kepala ke arah sumber suara. "Eh, Nif."
"Ini, gue lagi makan."
"Kok di atas lantai sih makannya"" Tanya Hanif sambil merangkak naik ke atas kasur.
"Iya nih kalo di atas kasur takut kotor, ga ada piring soalnya."
"Ooh..." "Aku boleh masuk kan""
"Hahaha..." Gue terkekeh. "Lo udah masuk ke sini kali."
"Hehe iya juga sih..."
Setelah gue memakan habis makanan yang tersaji, gue bangkit berdiri dan berjalan menuju wastafel untuk membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel pada tangan dan bibir lalu kembali ke dalam kamar.
"Kok tau kalo gue ada di sini"" Gue berkata sambil mengeringkan tangan dengan handuk.
"Tadi aku ketemu sama Aldo di tangga." "Pas aku nanya, katanya kamu ada di dalem." "Jadinya aku tau deh!" Hanif tersenyum lebar.
"..." Gue membulatkan bibir sambil mengangguk, kemudian gue duduk di samping Hanif yang sedang bersila di atas kasur.
"Lo kapan lulus""
"..." Hanif menundukkan kepala sehingga membuat beberapa helai rambutnya terjatuh di samping pipinya.
"..." "..." Dia merapikan sedikit rambut yang terjatuh dan menyimpan di balik telinganya, lalu menoleh ke arah gue sambil tersenyum.
"Aku udah lulus, wisudanya awal tahun depan."
"What"!" "3.5 tahun""
"..." Hanif mengangguk antusias.
"Waaah, dari dulu ternyata elo emang pinter ya sampe lulusnya aja duluan elo."
"Hahaha..." Hanif tertawa renyah. "Kamu sendiri kapan lulus""
"Gue" Yah, semoga aja lulusnya tepat waktu deh."
"..." Hanif terkekeh.
"Eh berarti kalo udah lulus, lo siap ka.win dong"" "Cieee bentar lagi ka.win..." Goda gue kepadanya.
"Ish, apaan sih!" Hanif memukul lembut lengan gue. "Mau ka.win dari mana coba orang calonnya aja belom ada!"
"Rizal mau dikemanain tuh"" Gue kembali menyebutkan nama orang tersebut karena setahu gue bahwa Rizal-lah yang menjadi pacarnya.
"..." Hanif menggeleng lemah.
"Aku udah putus sama dia dari jaman SMA dulu."
"Terus kalo udah putus sama dia, masa sih ga dapet gebetan baru di kampus""
"Hehehe..." "Aku nolak mereka semua."
"Loh"" Gue menolehkan kepala kepada Hanif sambil memasang ekspresi tidak percaya. "Kok bisa""
"..." "..." "Menurut kamu""
"Menurut gue" Apaan" Alasan lo nolak semua cowok yang nembak elo"" "Ya mana gue tau laaah hahaha..."
"Bukan..." Hanif menggeleng.
"Terus"" Gue mengkerutkan kening.
"Aku masih inget tentang apa yang pernah kamu kasih tau dulu pas waktu kita perpisahan."
"Tentang""
"Nimfa yang cinta sama Helios itu& & namanya Clytie kan""
"Ooh!" "Iya, inget." Gue mengangguk.
"Aku juga udah baca lagi lebih lanjut tentang mereka berdua."
"..." "Clytie nungguin terus Helios selama 8 hari penuh sebelum akhirnya dia berubah jadi bunga matahari."
"Bener kan""
"..." Gue kembali menangguk.
"Menurut kamu..." Hanif merubah posisi duduknya untuk menghadap gue, dan menatap gue dengan tatapannya yang khas.
"..." "Kalo ada 'Clytie' di dunia nyata yang mau nunggu 'Helios' selama 4 tahun..." "...menurut kamu gimana""
"..." "4 tahun itu lama gak sih buat Clytie untuk nunggu Helios""
Deg! Gue mulai menyadari kemana arah dari pembicaraan ini. Arah pembicaraan yang sangat gue hindari adanya, namun gue sendiri tidak dapat lari darinya.
"..." Gue memejamkan mata, lalu menarik nafas panjang sebelum berbicara.
"Mau selama apapun Clytie nunggu Helios..." Gue menggenggam kedua tangan Hanif sambil tersenyum.
"..." "...Helios gak akan pernah sadar kalo Clytie cinta sama dirinya." "Lo tau kenapa kalo Helios ga sadar, atau mungkin ga bisa cinta sama Clytie""
"..." Hanif menggeleng lemah dan satu butir air mata telah mengalir pada sebelah pipinya.
"Dulu, gue mungkin belum pernah cerita tentang Clymene, nimfa Oceanid dari Mesir." "Helios itu cinta banget sama Clymene sampe-sampe dia ga bisa ngeliat nimfa yang lain selain dia." "The God of the Sun, loves Clymene."
"He loves her..."
"...so much." "..." Bibir Hanif bergetar dan air matanya mulai mengalir pada kedua pipinya. "Apa..."
"...Clytie ga bisa hidup bareng Helios"" Ujarnya dengan nada yang bergetar.
"..." Gue menundukkan kepala, lalu menggeleng.
"Mau sekeras apapun Clytie berusaha, Helios gak akan pernah bisa hidup bareng Clytie." "Karena di mata sang dewa cuman ada satu nimfa yang paling dicintai olehnya."
"..." Tangisan Hanif pecah, dan dia menangis sesegukan sambil menundukkan kepalanya.
Masih sambil memegang kedua tangannya, gue menoleh ke arah Hanif lalu mengangkat dagunya sehingga kami berdua saling bertatapan.
Gue menatap kedua matanya yang telah memerah dan sembab. Gue menatap hidungnya yang juga telah memerah. Gue menatap kedua belah pipinya yang telah dibasahi oleh air mata. Dan gue juga menatap bibirnya yang masih terkatup rapat namun bergetar pelan, seolah-olah mencoba untuk menahan setiap rasa sakit yang tidak dapat diungkapkan oleh kata-kata.
Kemudian gue memejamkan mata sambil menghirup nafas panjang, lalu gue mulai berbicara sambil memandang lekat kedua bola matanya.
"Nif, gue mau minta satu hal dari elo." "Tolong, lo jangan pernah nungguin gue lagi." "Gue ga bisa buat balik lagi sama elo."
"..." Air mata Hanif kini mengalir lebih deras pada kedua pipinya.
"Sekarang, gue mau minta elo berjanji sama gue..."
"...kalo suatu saat nanti ada seorang cowok yang bener-bener serius sama elo..." "...cobalah buka hati lo untuk dia..."
"...kasih dia kesempatan buat ngebahagiain elo..." "...dan gue yakin dia bisa ngebuat elo bahagia." "..."
"Janji ya""
Hanif menggelengkan kepala berkali-kali sambil menutup bibirnya dengan tangan, lalu Hanif langsung menerjang dan memeluk gue sambil menangis keras.
Kenapa, Faaal& "
Kenapaaa& Hanif mempererat pelukannya dan isak tangisnya semakin hebat hingga membasahi baju gue.
& Perlahan, gue menggerakkan kedua tangan untuk membalas pelukannya dan gue mengelus lembut kepala Hanif sambil mencium ubun-ubunnya.
Dan tanpa bisa gue tahan lagi, kini sebelah pipi gue telah menjadi hangat oleh sebutir air mata yang menetes dari mata gue.
*** There s somebody out there who s looking for you
Someday he ll find you, I swear that its true He s gonna kiss you and you ll feel the world standstill There s somebody out there who will
A Rocket To The Moon Somebody Out There
*** Nif, gue pernah baca artikel.
Artikel itu berisi fakta tentang seseorang yang mudah menangis. Dan apa yang gue dapat"
Gue baru mengetahui bahwa orang yang mudah menangis,
Adalah seseorang yang berhati lembut. Seseorang yang berhati sangat lembut sekali.
Maka dari itu, Beruntunglah bagi lelaki manapun yang mendapatkan hati elo. Karena elo,
Merupakan wanita berhati paling lembut yang pernah gue kenal.
Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Epilogue Lady of The Night Gue menolehkan kepala dan langsung berdiri ketika melihat Aya keluar dari pintu kamarnya. Malam hari ini, Aya telah berdandan dan calon istri gue ini terlihat sangat sempurna sekali.
Wajah cantiknya diberi balutan make up yang tidak terlalu tipis atau pun berlebihan, sangat pas sekali pada wajahnya yang putih. Lalu rambut merah kecokelatannya dicepol dengan rapi, dan menyisakan sedikit poni pada keningnya sehingga memperlihatkan leher putihnya yang jenjang. Lalu dengan pakaian kebaya berwarna merah marun serta kain batik berwarna senada dengan kebayanya, Aya telah sukses memberikan sebuah sentuhan minimalis namun tetap terlihat anggun dan glamor di mata gue.
Natural, but good looking.
"Cantik..." Gue menggumam pelan ketika kami berdua telah berdiri berhadapan, dan saling berpegangan tangan.
"Dari dulu aku cantik kok!" Aya memeletkan lidahnya yang membuat gue tersenyum. "Kamu nanti jangan sedih ya pas ngeliat sang mantan tersayang udah punya suami." Ujarnya dengan tengil.
"Ngapain aku sedih""
"Lha calon istri aku sendiri aja lebih cantik dari dia!" Gue mencolek hidung Aya dengan gemas.
"Ah udah ah, gombal mulu."
Gue melihat bahwa wajah Aya merona dan dia menundukkan kepalanya dengan malu, lalu kemudian dia menggandeng lengan gue menuju mobil yang terparkir di garasi untuk pergi dan menghadiri sebuah acara resepsi pernikahan dari seseorang yang pernah mengisi hari-hari gue di masa lalu.
*** Malam hari itu dan masih dengan berseragam seperti orang kantoran, gue duduk di atas sebuah kursi kayu berwarna cokelat terang sambil memutar-mutar handphone di atas meja dan sesekali menyeruput Caf" Mocha yang tersaji di hadapan gue. Lalu beberapa saat kemudian, handphone gue bergetar yang menandakan ada sebuah pesan yang masuk.
"PING!!!" "Di mana""
"Gue udah di sbux, outdoor dkt pintu."
Chat yang gue ketikkan untuknya hanya bertanda 'R' dan membuat gue berasumsi bahwa dia sudah berada di tempat ini. Sesekali gue melihat ke arah pintu untuk memastikan kehadirannya, lalu gue mengalihkan pandangan menuju halaman parkir yang khas dengan lampu-lampu gantung berwarna kuning keemasan yang sekarang sedang menyala terang.
Lalu beberapa saat kemudian, gue menolehkan kepala ketika gue mencium sebuah aroma parfum yang sangatgue kenali sekali. Aroma parfum yang masih terasa sama seperti saat gue menghirup untuk yang pertama kalinya, bertahun-tahun yang lalu. Dan gue tersenyum ketika melihat dirinya sedang berdiri di samping meja gue.
"Hallo, Fal." Hanif menyapa gue sambil tersenyum.
"Sorry ya aku telat, kebiasaan nih daerah Sukajadi macet terus." Gerutunya.
"..." Gue berdiri lalu mengulurkan tangan. "Apa kabar""
"Aku baik-baik aja." Hanif menerima jabat tangan gue dan tangannya pun masih terasa halus, masih terasa sama seperti saat dimana gue menggenggam erat jemari tangannya untuk yang terakhir kalinya.
"Kamu sendiri""
"..." Gue merentangkan tangan sambil sedikit terkekeh. "I'm still the same."
"Duduk dulu dooong..." Gue berjalan lalu menarik kursi di depannya.
"Makasih." Ujar Hanif sambil tersenyum, dan kemudian gue kembali duduk di seberangnya.
"Jadi gini ya& "
"Setelah setahun lebih menghilang tanpa kabar, dan sekarang tiba-tiba elo minta kontak gue dari Amel bersama sebuah berita yang sangat mengejutkan"" Gue mencondongkan badan ke depan sambil mengangkat alis.
"..." Hanif tertawa kecil.
"Maaf ya, aku cuman mau..." Omongannya terhenti sebentar, lalu menatap gue sambil tersenyum dan memiringkan kepalanya.
"Kamu tau sendiri kan""
"..." Gue mengangguk.
"Eh, ceritain dong gimana cara kalian berdua bisa ketemu satu sama lainnya!"
"..." Hanif terkekeh lalu kemudian dia mulai bercerita.
Dia bercerita bahwa calon suaminya adalah seorang atasan kantor di tempat dimana dia bekerja sekarang. Umurnya pun ternyata tidak jauh berbeda dengan gue dan Hanif, yaitu 26 tahun.
Hanif juga menuturkan bahwa kelakuan calon suaminya itu seringkali membuat Hanif terpesona. Di suatu waktu, dia dapat menjadi seseorang yang super asik dan menyenangkan baginya. Namun di lain sisi, dia juga dapat menjadi seseorang yang sangat dewasa sekali dan bijak dalam menghadapi suatu permasalahan. Hal tersebutlah yang menjadi nilai plus tersendiri di mata Hanif.
Gue terus memandang kedua mata Hanif selama dia bercerita. Gue memperhatikan gerak bibirnya, gerak matanya, dan gue juga melihat ekspresi wajah Hanif secara menyeluruh. Dari sini, gue dapat menyimpulkan bahwa Hanif telah menjadi seorang 'Hanif' yang sekarang. Yaitu Hanif dengan sebuah semangat baru yang sangat jelas terpancar dari kedua bola matanya, dan dia bukanlah lagi seorang Hanif yang menatap gue dengan sayu ketika kami berdua berpisah.
"Ih Fal, dia itu nyebelinnya sama kayak kamu tau!" Ujar Hanif bersungut-sungut. "Waktu pertama kali kenalan sama aku aja dia tuh langsung sok kenal sok deket!" "Udah gitu dia sering banget gangguin aku!"
"Mulai dari sengaja lewat ke meja kerja aku, sampe-sampe dia pernah ngasih bunga buat aku di depan orang banyak coba"!"
"Ngeselin banget kan""
"..." Gue terkekeh pelan.
"Tapi sekarang dia jadi calon suami elo kaaan""
"Hehehe..." Hanif tersipu.
"Iya..." Dia menatap ke arah lain, lalu tersenyum simpul sambil menopang dagu di atas meja. "Ada aja kelakuan dia yang ngebuat aku senyam-senyum sendiri."
"..." "Tiap aku deket sama dia, tiap aku punya momen berdua sama dia... " "...aku selalu bisa ngelupain semua masalah-masalah aku."
"..." "Dan yang lebih penting..." Hanif menengok ke arah gue dengan perlahan. "...bayang-bayang kamu secara perlahan menghilang."
"..." Senyuman gue semakin merekah lebar.
"..." "Nif, kok gue ngeliat ada yang berubah ya dari elo""
"Hmmm... Apa ya"" Gue memainkan jemari di depan dagu, pura-pura tidak tahu.
"..." Hanif terkekeh dan memegang rambutnya yang kini telah kembali pendek se-leher. "Iya, ini request dari dia."
"Kenapa dia bisa minta elo buat potong rambut""
"Aku pernah nunjukkin foto aku yang jaman dulu di Instagram." "Katanya, rambut aku tuh lebih bagus kalo dipotong pendek kayak gini." "Yaaa... Jadi aku potong aja deh rambutnya!"
"Tau gak, Nif"" Gue memiringkan kepala dan menatap kedua matanya sambil tersenyum.
"Apa"" "Model rambut elo yang kayak gini..." "...kok rasanya..."
"...ngebuat gue ngerasa kalo lo itu masih pacar gue ya""
"Hahaha..." Gue tertawa sambil menyenderkan badan pada kursi dan menyimpan jemari tangan di atas perut.
"..." Hanif juga ikut tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan. "Udah deeeh jangan mulai..."
*** "Oh iya, aku hampir lupa." Hanif merogoh sesuatu dari dalam tas yang dibawanya ketika kami berdua berada di pelataran parkir.
"Nih!" Kemudian dia memberikan sebuah kartu undangan berwarna kuning berkilau yang bertuliskan nama Hanif beserta calon suaminya.
"..." Gue menerimanya dengan tangan kanan, dan memandangi kartu undangan tersebut sambil membelai lembut tulisan 'Hanif' yang ditulis dengan huruf sambung berwarna keemasan, lalu gue tersenyum.
"Kenapa"" Tanya Hanif.
"..." Gue menggeleng lalu kembali menatap Hanif. "Enggak, gue bangga sama lo."
"..." Hanif memiringkan kepalanya.
"Gue bangga karena elo udah bertransformasi jadi seorang 'Hanif' yang sekarang."
"& " "Dan gue juga bangga karena elo udah menepati janji elo."
Gue dapat melihat ekspresinya dengan jelas walaupun hanya disinari oleh pencahayaan yang redup, dan dia sedang tersenyum, manis sekali. Saat ini, saat dimana kami berdua sedang bertatapan dan saat dimana kami berdua saling melempar senyuman, entahlah, gue merasa bahwa gue hanya ingin menikmati momen terakhir seperti ini sedikit lebih lama lagi.
Kenapa" Karena gue yakin bahwa hal seperti ini tidak akan pernah terjadi kembali di masa-masa yang akan datang.
"Fal"" "Ya"" "May I hug you..." "..."
"...for the last time""
"..." Gue menghela nafas, lalu menggeleng sambil tersenyum dan kemudian memegang kedua bahunya.
"Nif..." "..." "Sekarang kita udah punya hati dan perasaan milik orang lain yang harus kita jaga." "Walaupun mereka gak bisa ngeliat apa yang kita berdua perbuat disini," "Tapi jangan pernah sia-siain kepercayaan yang udah mereka kasih untuk kita." "Ya""
"..." Hanif menundukkan kepala dan mengangguk lemah. "Iya..."
"Hei..." Gue mengangkat dagu Hanif.
"..." "Chin up!" "Big day ahead." Ujar gue sambil mengedipkan sebelah mata, lalu Hanif tersenyum.
"Kamu jangan lupa dateng ya." "Kak Aya-nya diajak loh."
"..." Gue mengangguk dengan mantap. "Pasti."
Gue mengantarkan Hanif menuju mobil Picanto yang dibawanya. Sesaat setelah kami tiba di samping mobilnya, kami berdua kembali berjabat tangan dengan erat sebagai seorang teman yang saling mendukung satu sama lainnya, dan juga kami berdua saling melemparkan senyuman,
Yang semoga akan selalu tersungging pada bibir kami berdua...
*** "..." Aya menarik ujung baju batik gue ketika kami berdua telah mengisi buku tamu.
"Hmmm"" "Tuh liat tuh mantan kamu! Cantik banget ya dia..."
Aya menunjuk ke arah Hanif yang sedang sibuk menyalami para tamu undangan yang hadir. Ketika gue melihatnya, tidak dapat gue pungkiri lagi bahwa Hanif memang terlihat sangat cantik sekali dengan memakai kebaya berwarna putih cerah yang dilengkapi dengan aksesoris khas mempelai wanita. Aura wajahnya pun memancarkan sebuah kebahagiaan yang tak dapat gue jelaskan.
Namun... Ya, dia sangat cocok sekali untuk mendapatkan gelar Lady of the Night.
"Kamu nyesel gak sih udah putus sama Hanif terus ngeliat dia nikah hari ini""
"Ooh, jadi maunya kamu tuh kayak gitu ya..."
"Oke, fine! Kita..." Belum sempat gue menyelesaikan omongan, Aya langsung memotongnya.
"Apa" Putus""
"Basi!" Aya memeletkan lidahnya.
"Fine! Kita nikah sekarang!" Gue tertawa cekikikan dan kemudian disusul dengan beberapa cubitan lembut Aya pada perut gue.
Kami berdua hendak berjalan menuju kedua mempelai pengantin untuk memberi selamat kepada mereka, namun gue menghentikan langkah kaki ketika gue melihat sesosok laki-laki tinggi kurus dan berkacamata yang sedang asyik memakan sate sambil berdiri. Gue menarik tangan Aya agar berhenti berjalan, dan menunjuk kepada seseorang tersebut.
"Ke situ dulu bentar ya"" Pinta gue kepada Aya.
"Ke mana""
"Ooh..." Aya mengangguk pelan lalu tersenyum.
Entah karena gue yang terlalu bersemangat atau apa, gue berjalan lebih cepat dari Aya sehingga Aya sedikit tertinggal di belakang dan dia masih mencoba untuk mengimbangi langkah kaki gue beserta high heels yang dipakai olehnya.
Gue membalikkan badan dan melihat kepada Aya, lalu tersenyum jahil sambil menyimpan telunjuk di depan bibir.
"Inget sama gue gak nih"" Gue melingkarkan lengan pada leher Ojan yang membuatnya sedikit tersedak.
"..." Ojan menoleh ke arah gue sambil menggembungkan pipinya.
"Ueeeh! Sob!" Dia langsung menyimpan piring sate yang dipegangnya dan kemudian memeluk gue dengan erat.
"..." Gue melepaskan pelukan Ojan lalu menjabat tangannya sambil menggoyang-goyangkannya dengan keras dan kami berdua tertawa lebar, persis seperti apa yang pernah kami berdua lakukan dulu.
"Apa kabar sob"!" Ujar Ojan seraya menepuk lengan gue dengan bersemangat.
"Masih ganteng seperti duluuu!" "Hahaha..."
"Oh iya, mana nih gandengan elo""
"..." Gue menoleh ke belakang, lalu tersenyum ketika melihat Aya yang sedang berdiri tidak jauh di belakang gue dan dia melambaikan tangannya dengan imut, sementara tangan yang satunya lagi sedang menenteng dompet serta smartphonenya.
"Wanjriiit, awet bener lu sob!" Ojan kembali menepuk lengan gue.
"Elo sendiri sama siapa""
"Jangan kaget loh ya!"
"Alaaah, selera elo tuh palingan juga Mpok Nori!" Gue mengibaskan tangan di udara.
"Mpok Nori palalo botak!" Ujarnya dan kami berdua kembali tertawa.
Gue dan Aya diajak oleh Ojan menuju sebuah kursi yang terletak tidak jauh dari tempat dimana kami berada. Lalu setelah itu, Ojan menepuk halus sebelah pundak milik salah seorang wanita yang membuat iman gue goyah ketika dia menolehkan wajahnya. Wanita tersebut terlihat cantik, dan cenderung sangat cantik banget dengan wajah oriental yang khas beserta gingsul pada giginya. Damn! Ojan is a fucking lucky bastard!
"Wi, ada yang mau kenalan nih."
"..." Wanita tersebut tersenyum ramah seraya menjulurkan tangan kepada gue. "Dewi." Astaga, suaranya pun sangat lembut sekali.
"Naufal." Aya yang kebetulan sedang menggenggam tangan sebelah kiri gue, kini menggenggamnya lebih erat lagi ketika gue sedang bersalaman dengan Dewi.
"Gimana" Cakep kan cewek gue"" Ujar Ojan cengengesan.
"..." Gue mendekatkan kepala kepada telinga Ojan, lalu gue berbisik dengan pelan. Sangat pelan sekali.
"Tuker tambah dong sama Aya, mau gak""
"..." Ojan mengangkat tinjunya di depan muka gue yang membuat gue terkekeh. "Eh, bentar ya, gue belom salaman nih sama penganten."
"Salaman sama sang mantan tersayang"" Ojan berkata sambil menunjukkan ekspresi tengilnya. "Aaa...kulaaah& Sang maaantaaan& "
"Brisik ah kampret!" Ujar gue ketus dan membuat Ojan tertawa terbahak-bahak.
Sambil menggandeng tangan Aya, kami berdua berjalan menuju podium tempat dimana Hanif beserta suaminya berada. Gue menoleh ke samping kiri pada saat kami berdua tengah mengantri, dan gue melihat bahwa Aya memberikan sebuah senyuman yang sangat manis sekali, dan dia mengangguk mantap lalu kami berdua berjalan menuju kedua mempelai.
"..." Gue dan Hanif saling berpandangan untuk beberapa saat dan hanya saling melemparkan seyuman, sebelum pada akhirnya gue membuka suara.
"Selamat ya buat pernikahannya."
"Semoga jadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah." "Cepet punya jagoan juga, biar gue punya ponakan." Gue mengacungkan jempol.
"Hahaha amiiin, doain aja semoga cepet punya anak." Balas Hanif sambil tersenyum.
"Oh iya satu lagi." Gue mendekatkan kepala kepada telinga Hanif dan berbisik pelan. "Entar malem, jangan lupa simpen CCTV di kamer pas lagi belah duren. Oke""
"Ish apaan sih!" Hanif tertawa renyah seraya mendorong bahu gue dengan telunjuknya.
"..." Gue hanya cekikikan dan kemudian berjalan ke samping untuk menyalami mempelai pria-nya. "Selamat ya Mas buat pernikahannya."
"Iya, makasih juga udah nyempetin dateng ke sini."
Gue menganggukkan kepala sambil tersenyum untuk membalasnya, lalu gue berjalan agak menjauhi mereka semua dan memberikan Aya sedikit ruang untuk mengobrol dengan Hanif. Entah apa yang mereka berdua bicarakan, gue sama sekali tidak tahu.
"Yuk." Ujar Aya ketika dia telah selesai menyalami kedua pengantin.
Aya kembali menggandeng tangan gue dan kami berdua turun dari podium. Seiring dengan langkah kaki gue yang semakin menjauh dari sosok Hanif, gue berdoa di dalam hati. Gue berdoa semoga Hanif selalu diberi kesehatan dan umur yang panjang, semoga menjadi sebuah keluarga kecil yang selalu diberkahi oleh Tuhan, dan juga semoga dia mendapatkan sebuah kebahagiaan,
Yang tidak bisa dia dapatkan dari gue.
*** Sekitar pukul sepuluh malam dan setelah berpamitan kepada kedua mempelai, gue dan Aya berjalan menuju basement hotel untuk kembali pulang menuju rumah. Di sepanjang perjalanan menuju basement, Aya menggandeng erat lengan gue sambil mengobrol tentang banyak hal, dan ini adalah salah satu obrolan yangpaling gue ingat diantara semuanya.
"Fal, mantan kamu aja sekarang udah nikah." "Terus kita kapan nikahnya""
"Hahaha..." Gue terkekeh dan kemudian memeluk pinggangnya. "Tenang aja sayang."
"Kita udah tunangan."
"Terus tanggal pernikahan juga udah dapet." "Jadi..."
"Jadi...""
"Jadi sekarang kita tinggal nentuin aja mau berapa ronde pas malam pertama kita nanti." Gue mencubit lembut pipi Aya dan kemudian tertawa.
"Ish, mesum dasar!" Aya juga ikut tertawa sambil mencubit lembut pinggang gue. "Fal""
"Hmmm"" Gue melirikkan mata kepadanya.
"..." Aya tersenyum gemas dan mencolek hidung gue, lalu dia mengatakan sebuah kalimat yang paling gue sukai di dunia:
"I love you..."
*** Nif, Sekali lagi, Selamat untuk pernikahannya!
Penutup The Majyk of Love R&B Instrumental You *** I ll make this cuap-cuap penulis short as possible!
Ketika gua melihat jumlah views... ...ketika gua melihat jumlah komentar... ... dan ketika gua melihat jumlah rate, I was like&
Woah! It actually mindblowing, I couldn't get that into my head, And it really, really breaks my brain, I couldn't believe it!
Terima kasih kepada kalian semua, siapapun itu, karena sudah membantu gue untuk mengabadikan secuil memori serta memberikan berjuta harapan yang telah gue tuangkan di dalam tulisan ini. Gue juga berterima kasih kepada seluruh pembaca cerita Cowok Manja Merantau untuk mau memberi komentar, rate, dan yang lebih penting lagi adalah untuk tetap setia menunggu serta mengikuti lanjutan demi lanjutan part yang gue tulis selama kurang lebih 7 bulan lamanya.
Tanpa kalian, mungkin saja gue tidak akan bisa menulis hingga cerita ini selesai.
From the bottom of my soul and friggin heart,
Thank you! *** Gue sebagai penulis berharap,
Semoga kalian semua dapat menikmati setiap tulisan yang telah gue tulis, Dan juga semoga kalian semua dapat menikmati sebuah short-story terakhir, Sebagai penutup dari thread dan cerita ini.
So, Tidak usah berlama-lama lagi.
Selamat membaca! Dan sampai jumpa lagi di lain waktu!
Ciao! *** Kerinduan itu seperti debu yang beterbangan di sebuah ruangan. Walaupun tidak tampak, tapi kita dapat merasakannya.
Likas Gintings Februari 2014 Dieeem, jangan buka dulu matanya yaaa... Gue berjalan mundur sambil menuntun sebelah tangan Aya yang kedua matanya sedang tertutup rapat oleh kain menuju meja belajar di dalam kamar gue.
Iiih ada apaan siiih"
Jangan buat aku penasaran deh, Fal...
Udah tunggu sebentar, nanti juga kamu bakal tau kok!
... Tangannya sini& Gue mengarahkan kedua tangan lembut milik Aya untuk menggenggam punggung kursi meja belajar, lalu gue berdiri di balik punggungnya.
Tiga... Dua... Satu... Voil"! Gue langsung melepas kain yang menutupi kedua mata Aya, dan kemudian gue tersenyum bahagia pada saat memandangi wajah Aya yang sedang memasang sebuah ekspresi tidak percaya ketika dia melihat dua buah tiket,dua buah tiket istimewa, yang akan mengantarkannya kepada sang saksofonis idolanya.
Kemudian Aya menoleh, melihat ke arah gue sambil menutup mulutnya dengan tangan dan gue juga melihat bahwa kedua matanya sedikit berkaca-kaca.
I...ini beneran" Yang ada Dave Koz-nya itu kan"
... Gue mengangguk sambil tersenyum, lalu tiba-tiba Aya langsung memeluk dan menerjang hingga gue terduduk di atas kasur.
Makasih ya Fal... Ujarnya lirih. Makasiiih banget...
... Gue terkekeh dan mengangguk pelan sambil membelai lembut punggung serta rambut merah kecokelatan Aya yang aromanya telah tercampur dengan parfum yang digunakannya. Aroma yang gue hirup ini sangatlah memanjakan indera penciuman gue.
Udah ah ga usah pake nangis-nangis segala.
Malu dong sama umur. ... Aya melepaskan pelukannya, lalu dia menatap gue sambil memanyun-manyunkan bibirnya yang membuat gue tertawa kecil.
Untuk beberapa saat kami berdua hanya saling bertatapan, sebelum pada akhirnya Aya memiringkan sedikit kepalanya sambil tersenyum manis sehingga rambut merah kecokelatan kesukaan gue itu menjuntai ke samping. Detik demi detik pun terlewati tanpa adanya sepatah kata yang terucap, dan kami berdua juga masih tetap saling menatap satu sama lain. Saat menatap wajah cantiknya, entahlah, tiba-tiba telunjuk gue terangkat dan membelai lembut sebelah pipinya dengan penuh kasih sayang.
Masih dalam keadaan saling bertatapan, Aya melingkarkan kedua lengannya pada leher gue dan gue membalasnya dengan memeluk punggung Aya. Lalu sedetik kemudian kepalanya mendekat, dan Aya menyentuhkan bibir lembutnya pada bibir gue dan kami berdua saling berciuman dengan mesra.
Thank you, Cupid& *** Pada malam hari yang indah itu, Aya sama sekali tidak mau melepaskan tangannya dan dia tetap memeluk erat lengan gue sambil melihat Dave Koz yang sedang menyuguhkan aksi panggungnya yang mengagumkan. Sesekali juga Aya menggoyang-goyangkan kepalanya secara seirama dengan lagu yang terdengar untuk lebih menikmatinya. Pada saat di tengah-tengah permainan saksofon Dave Koz, Aya memanggil gue.
Fal" Hmmm" Gue menoleh. Kamu tuh kayak lagu ini banget tau...
Aku" Mirip sama You Make Me Smile"
... Aya mengangguk antusias sementara gue mengkerutkan kening.
Kok aku mirip sama lagu" Kenapa"
Because you always make me smile, hun. Thank you for puttin this smile on my face everyday, Thanks for everything you've given to me... ...and for everything you haven't.
Aya tersenyum dengan manis pada saat dia berkata seperti itu sehingga membuat gue terkekeh seraya mencubit gemas hidungnya. Sambil dengan tidak mempedulikan beberapa orang penonton yang berdiri di dekat kami berdua, gue memeluk pinggang Aya agar lebih mendekat dan kemudian gue mengecup lembut ubun-ubunnya.
Setelah itu, gue mendekatkan bibir pada telinga Aya untuk mengatakan sesuatu yang sedari dulu ingin gue sampaikan kepadanya. Aroma rambut berwarna merah kecokelatan milik Aya yang terhirup oleh hidung gue itu sangatlah memanjakan sekali, dan gue juga menikmati setiap sensasi menyenangkan yang dihasilkan olehnya sebelum pada akhirnya gue berbisik lembut di samping telinga Aya.
Words are not enough to express my feelings to you. But there s something you need to know, dear Amalia. I adore...
...and I m deeply in love with you. Aku yakin pada akhirnya jarak hanya memisahkan raga.
Tapi ia tak pernah sanggup menjauhkan mimpi, imaji dan kenangan yang kita semat bersama, Dalam rindu yang paling diam.
Helvy Tiana Rosa *** In every free moment I have,
I will spend it with you, Ay, In the candle light lit room of our home, With a glass of Cabernet Sauvignon and wearing a tux, With the lights low, We will dance the tango, Both of us,
And we will drink deeply the nights and laugh the days.
Cowok Manja Merantau ~The End~
Warm Regards, karnaufal After all the way, ah, now it s the time for herbal tea and a nice book...
Created Pdf By Kurcacitinggi
Fun Fact! *** Seseorang pernah mengatakan sebuah kalimat seperti ini kepada gue:
'Tak Kenal maka tak Sayang'
Mungkin kalimat tersebut ada benarnya, tetapi mungkin juga kata-kata tersebut tidak berlaku bagi
sebagian orang. Apa gue termasuk ke dalam orang yang mengakui sebuah kalimat tersebut" Entahlah...
Tapi... Nah! Kali ini gue akan memberikan sesuatu yang dapat membuat kalian semua menjadi lebih mengenali lebih dalam dari dua buah karakter yang terdapat di dalam cerita ini.
Apakah itu" Damn right! Now it's the FUN FACT time!
Oke, tidak perlu berlama-lama lagi. Gue akan memberikannya sekarang. Check these things out!
1. Umur gue dan Aya berbeda dua tahun, satu bulan, tiga minggu, dan satu hari. Dia itu tua, tua-nya pake banget.
2. Umur gue dan Hanif hanya berbeda satu bulan lima hari, dan Hanif juga masih memiliki umur yang lebih tua daripada gue. Kesimpulannya, gue brondong.
3. Aya seneng banget masak makanan luar. Spesialisasinya adalah makanan Eropa, terutama Itali. Kalo gue punya pasangan hidup seperti Aya, gue yakin, gue bakal mendapatkan badan yang subur seperti Eyang Subur (").
4. Lain Aya, lain pula Hanif. Hanif senang menyanyi sambil genjreng gitar akustik kesayangannya. Suaranyahalus, jernih, dan bahkan suara dari vokalis papan atas pun lewat! Nah, jika gue memiliki pasangan hidup seperti Hanif, gue yakin bahwa gue dan Hanif akan menjadi kombinasi musisi yang keren. Hanif akan terkenal karena dia punya wajah yang cantik serta dia bisa genjreng gitar sambil nyanyi, sementara gue akan terkenal karena keseringan pasang muka memelas sambil mintain uang pake topi pas Hanif lagi manggung.
5. Aya takut kecoak terbang sama kecoak yang lagi sprint. Kalo itu kecoak lagi diem, dia sih oke-oke aja. Tapi di dalam hatinya mah dag-dig-dug serrr&
6. Hanif takut sama gelap, takutnya pake banget, sampe-sampe dia pernah teriak melengking tepat di samping telinga gue pas mati lampu di rumah. Ampun deh...
7. Makanan kesukaan Aya adalah Pizza, sedangkan minuman kesukaannya adalah Bajigur. Aneh" Iya, aneh. Yang satu makanannya high class banget, yang satu lagi minumannya ndeso banget. Cewek cantik ini memang punya selera yang agak-agak melenceng.
8. Dan makanan kesukaan Hanif itu pecel lele, lalu minuman kesukaannya yaitu Teh Kotak. Sama seperti gue, gue juga merupakan penggemar berat Teh Kotak.
9. Aya benci banget sama orang yang ngaret. Orangnya terlalu perfeksionis dalam susunan jadwal, sekecil apapun jadwal tersebut. Dan bahkan akibat dari ke-perfeksionisan-nya itu, gue pernah dicuekin selama empat hari cuman gara-gara gue telat ngejemput dia di kampusnya. Padahal gue cuman telat 10 menit! Imagine that! 10 minutes" What the hell"!
10. Hanif benci banget sama yang namanya film drama. Katanya, film drama itu sering buat emosi dia naik turun. Tapi tetep aja dia nontonin tuh film. Kalo gak nonton, nanti dia bakalan kudet . Ababil dasar. Oh iya, serial drama favoritnya adalah Full House.
11. Kalo lagi di jalan tol, Aya gak pernah bawa mobil lebih dari 80km. Terlalu patuh banget sama peraturan nih anak satu sampe-sampe gue kesel sendiri di dalem mobil.
Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
12. Sedangkan Hanif" Motto dia dalam berkendara adalah yang penting cepet nyampe . Gue takut, banget, kalo dia yang bawa mobil di jalan tol. Apalagi kalo tol yang panjang kayak Cipularang. Kepot sana kepot sini, membuat jantung gue melompat ke kanan dan ke kiri.
13. Aya gampang kebawa emosi, tapi dia lebih bisa menahan emosinya dan gak sampe membuat air matanya meleleh. Yaaa, palingan cuman puasa ngomong aja sambil pasang ekspresi lebih menyeramkan daripada Suzanna.
14. Hanif juga sama, dia gampang kebawa emosi. Bedanya dengan Aya, Hanif lebih gampang nangis. Terus kalo dia nangis, wuih, gurun Sahara jadi subur!
15. Aya menyukai seluruh musik yang easy listening, tapi dia paling suka sama smooth jazz. 11- 12 lah sama selera musik gue.
16. Hanif hanya menyukai musik yang bergenre accoustic, instrumental, jazz, pop, EDM, dan electro. Ini juga masih sama, 11-12 sama selera musik gue.
17. Hanif lebih pendek sedikit daripada Aya, dan Aya lebih pendek dari gue. FYI: tinggi badan gue sekitar 175-177 cm dengan berat badan yang bisa diatur. Jadi kesimpulannya, gue ganteng.
18. Hanif senang membaca novel sambil dengerin lagu di atas tempat tidur dengan posisi tengkurap, posisi yang selalu sukses membuat gue ingin menepok-nepok gemas pantatnya.
19. Waktu pacaran dulu, Hanif paling demen ngejailin gue. Mulai dari colek-colek minyak pas lagi makan sampe corat-coret muka gue pas lagi tidur. Ketawanya paling ngakak kalo ngeliat gue udah bete.
20. Nah, ini nih sesuatu hal yang paling gue gak suka dari Hanif. Dia senang membuat pacarnya cemburu. Katanya, dia pengen tau seberapa besar sih rasa sayang pacarnya itu kepada dirinya. Dulu, gue pernah mengalaminya dan gue gagal dalam menjalani tes autis tersebut.
Dan gue kapok dalam menjalaninya.
21. Hanif suka nonton anime. Anime kesukaannya adalah One Piece dan Sword Art Online. Gara-gara dia, gua jadi ketularan suka nonton anime.
22. Karakter kesukaan Hanif di One Piece adalah Trafalgar Law, sedangkan gua lebih mengidolakan Cyborg Pervert Franky dan Senor Pink!
23. Dan fun fact yang terakhir adalah: Hanif dan Aya, mereka berdua mencintai satu orang yang sama. Tau lah siapa orangnya.
Duh, rasanya kepala gue makin besar nih pas abis nulis fun fact nomer 23. Kaca, mana kaca&
Udah ah gue pergi dulu. Takut pada ngambek semua sama gue... Peace out!
Song of The Story Atas permintaan dari salah satu kaskuser disini, gue akan memberitahu list lagu yang terdapat di dalam beberapa part pada cerita ini.
So, please your ears with these chosen songs!
*** Format: Part. Artist Song Title
31. Aerosmith I Don't Want To Miss A Thing 38. Minipop A New Hope
48. The Script Before The Worst 50. Mr. Big Just Take My Heart
53. Coldplay Fix You 55. The Script Six Degrees of Separation
57. MYMP Tell Me Where It Hurts
59. Marion Meadows Black Pearl 60. Isyana Sarasvati Tetap Dalam Jiwa
62. Depapepe Tears of Love
66. Sixpence None The Richer Kiss Me Prelude. Dave Koz You Make Me Smile 70. Depapepe Kazamidori
74. Depapepe Start 74. Isaac Alb"niz Asturias (Classical Guitar)
74. Simple Plan Perfect 74. Afgan Terima Kasih Cinta 75. The Script Exit Wounds 76. Enya Watermark
76. Vanessa Carlton A Thousand Miles
77. Echosmith Bright 78. The Piano Guys Angels We Have Heard on High 80. Lala Karmela Between Us
81. Ed Sheeran Thinking Out Loud
Special Part. Enya Tempus Vernum Special Part. Enya Wild Child Special Part. Enya One By One
85. Yiruma Indigo 2 (With Guitar)
86. Martin Garrix Tremor (Original Mix)
88. Midnight Quickie Cerita Diantara Kita
89. Dave Koz ft. Peter White It Might Be You 90. Owl City Vanilla Twilight
91. The Piano Guys Just The Way You Are 93. Enya Evening Falls
94. Enya The Longships 96. Charli XCX Boom Clap 98. Queen We Will Rock You
99. Lighthouse Family High 101. The Corrs Runaway
102. The Piano Guys Over The Rainbow / Simple Gifts
103. The Piano Guys A Thousand Years
105. Sigur R"s Hopp"polla (Piano Cover)
106. The Dance Company Papa Rock n' Roll
111. The Babystars Hikari E 113. The Script If You Could See Me Now
114. Ada Band Manusia Bodoh
116. The Corrs Love Gives, Love Takes
119. Dave Koz Together Again 119. The Script For The First Time 121. Coldplay True Love
123. A Rocket To The Moon Somebody Out There Epilogue. Depapepe The Wedding Anthem Penutup. R&B Instrumental You
Side Story. Raisa Jatuh Hati ***
Enjoy! Thank You For Participation
*** Original Posted By nainggolan41 "%
wow... akhirnya selesai....
kang mpal.. sebelom di klose mw tanya donk..
to whom you dedicate this story" to her or to she" you know what i mean right
good luck for your wedding plan brada!! invite me yoo.. hahahaha
Hmmm dedikasi ya... Mungkin pada awalnya gua tidak pernah berniat mendedikasikan cerita ini untuk siapa-siapa. Tapi ternyata setelah gua men-review seluruh perjalanan hidup gua melalui cerita ini, Gua berubah pikiran.
Vanny "Tears, idle tears, I know not what they mean, Tears from the depths of some devine despair, Rise in the heart, and gather to the eyes, In looking on the happy autumn fields, And thinking of the days that are no more." Alfred Lord Tennyson
But one thing for sure, our memories warms me up from the inside. Thank you, Vanny.
My Dad "Ayah adalah yang teristimewa di dunia. Sebab dari keringatnya,
Ia memberi tapak untuk melangkah." Abdurahman Faiz
Words cannot express my feelings, nor my thanks for all your help. Because the words 'thank you' will never repay your kindness.
Hanif "We can only appreciate the miracle of a sunrise, If we have waited in the darkness."
Anonymous Now i believe that you've transformed into a brand-new Clymene, And you've found your lover God of the Sun, Helios, In the sunrise of a new day.
Amalia "Gratitude makes sense of our past, Brings peace for today,
And creates a vision for tomorrow." Melody Beattie
Ay, you are my sense, You are my peace, And you are my vision.
There has never been another you.
You were born to be something very special for me. For all you do, I will be forever grateful you are in my life.
Original Posted By hiccup14"%
Yg pasti dedikasiin buat gw ma aya lah om.. #reader garis keras..
Masih maksa klo aya bukan breng nopall.. Adek lelah bang..
Ternyata ceritanya berakhir happy ending.. Apaan buat ente
Gua kasih yang sad ending entar elu makin mewek
Quote:Original Posted By mahendra1892 "%
Nggak berasa ngikutin ini cerita dari bener bener baru dibuat, sampe ane bisa ngepost
pertamax akhirnya finish juga ni cerita, thanks ya bang naufal buat ceritanya and wish you a happier life
Amin, thanks doanya. Thanks juga udah ngikutin cerita gua dari awal ya! Quote:Original Posted By nainggolan41 "%
isshhh ada ucupers... malesinnn...
bubar lah bubar... wakakakakaburrr..
ente bukan anak band yg itu khan Bubaaaar
**** Ada yang nanya gua di PM tentang luka jahitan bekas berantem sama Diaz dulu. Jawabnya disini aja ya biar semuanya sekalian tau.
Perhatikan alis mata sebelah kiri gua baik-baik. Apa terlihat ada sedikit alis yang tidak rata" Nah, itulah dia luka jahitan permanen gua.
**** Sepasang Pedang Iblis 2 Empat Serangkai - Pulau Rahasia The Secret Island Ancaman Dari Utara 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama