Pendekar Rajawali Sakti 208 Ancaman Dari Utara Bagian 2
"Ki Sangkaran, kami tak bermaksud bermalam. Perjalanan ini hanya sekadar persinggahan...."
"Sudah! Jangan pikirkan dulu hal itu! Ayo, si?lakan duduk!"
Adipati Sangkaran mengajak kedua tamunya memasuki sebuah ruangan luas yang dipenuhi tiang-tiang besar berukir. Lantainya halus dan berkilat, terbuat dari marmer.
Jonggol Maraka sempat berdecak kagum menyaksikan perabotan-perabotan indah dalam ruangan itu. Namun matanya tak leluasa jelalatan ke ma?na-mana, karena dalam ruangan itu terdapat ba?nyak orang. Entah siapa. Namun di antara mereka ada yang kelihatan sebagai tokoh-tokoh persilatan.
"Perkenalkan! Mereka adalah tamu-tamu istimewaku!" ujar Adipati Sangkaran seraya duduk di atas singgasana yang terbuat dari ukiran indah beralas kulit rusa.
Orang-orang yang berada di tempat itu merangkapkan kedua tangan ke dada untuk memberi hormat.
Rangga dan Jonggol Maraka membalasnya sambil tersenyum sebelum duduk di tempat yang disediakan.
Adipati Sangkaran duduk di tengah ruangan, agak bersandar ke dinding. Di depannya berjajar di kiri-kanan saling berhadapan beberapa buah kursi dalam jarak sekitar empat langkah.
Rangga dan Jonggol Maraka duduk di sebelah kanan dari hadapan sang Adipati. Sementara di sebelah mereka duduk beberapa pejabat kadipaten. Beberapa orang pernah dikenal Jonggol Maraka. Namun, sebatas mengenal wajah, karena pernah diajak sang Adipati ke istana. Sedang yang lain tidak dikenal. Apalagi tamu-tamu yang duduk di depan mereka. Kelihatan angker dan tidak bersahabat.
"Tempat ini kelihatan tidak nyaman bagi ki?ta...," bisik Jonggol Maraka halus di dekat Rangga.
Rangga tak menjawab selain tersenyum kecil.
"Maafkan, Rangga. Aku tak bermaksud menyulitkanmu dengan mengajak mampir ke sini," ucap Jonggol Maraka lagi, berbisik.
"Jangan pikirkan hal itu. Coba tenangkan pikiran. Dan, nikmati apa yang bisa dinikmati," ujar Rangga.
"Hatiku mulai tak tenang!" desis Jonggol Mara?ka.
"Ssst! Jangan menarik perhatian mereka!" bisik Rangga halus.
"Sebaiknya kita cari alasan saja untuk meninggalkan tempat ini."
"Tak perlu."
"Tapi...."
Jonggol Maraka sudah akan membantah kalau saja saat itu tidak muncul seorang gadis penari yang diiringi beberapa lelaki memainkan tetabuhan. Ga?dis itu berwajah cantik, memakai penutup kepala. Gaunnya dari sutera tebal berlengan panjang penuh dengan gelang-gelang di pergelangan tangan. Ba?gian bawah gaunnya lebih panjang dari gaun pan?jang pada umumnya, sehingga sampai menyapu lantai. Sepintas lalu, pakaian gadis itu amat sopan.
Irama tetabuhan pertama-tama pelan. Dan gadis itu berlenggak-lenggok dengan gerakan-gerakan gemulai. Namun lama-kelamaan, seiring sua?ra tetabuhan yang cepat, tariannya jadi sedikit liar. Dan penutup kepalanya mulai dibuka hingga rambutnya yang hitam lebat tergerai hingga ke pinggul.
"Hm, cantik sekali!" puji Jonggol Maraka, mendecak kagum.
Pujian dan decak kagum berkali-kali keluar dari mulut pejabat kerajaan itu ketika gadis penari ini membuka pakaian yang menyembunyikan anggota tubuhnya yang indah. Ternyata, pakaian luar itu semacam jubah. Setelah dilepas pelan-pelan, tersingkap sehelai kain tipis tembus pandangan, memamerkan bentuk badan yang indah. Seolah-olah, sang penari hanya mengenakan penutup dada dan bagian bawah perut.
? ? ? *** ? 5 ? "Lihat! Hmm.... Kalau aku punya istri secantik ini, mana mungkin kuperlihatkan pada orang lain!" desis Jonggol Maraka, geregetan melihat goyang pinggul sang penari.
Apalagi kelihatannya gadis itu berkali-kali ter?senyum dan mengerling ke arah mereka. Jonggol Maraka hanya bisa menelan ludah dan mendecah berkali-kali.
"Gila! Betul-betul gila...!"
Agaknya hal yang sama pun dialami tamu-tamu yang lain. Wajah-wajah angker di depan mereka, kini berubah manis seperti bocah penurut. Sekali-sekali timbul decak kekaguman, seperti yang terlontar dari mulut Jonggol Maraka. Mereka be?tul-betul dibuai dalam pesona duniawi yang mengesankan. Seolah tiada pandangan lain yang lebih in?dah ketimbang tubuh penari yang meliuk-liuk.
Pada mulanya Rangga pun merasakan hal yang sama. Namun belakangan ada hal yang tak beres dalam benaknya.
"Apakah adat semua adipati di kerajaan ini sama" Mereka senang menonton tarian-tarian se?perti ini?" gumam Pendekar Rajawali Sakti dalam hati.
Kini gadis itu membuka selubung tipisnya. Semua menahan napas melihat kulit halus kekuning-kuningan. Sementara, irama tetabuhan semakin hingar-bingar. Dan gerakan penari ini semakin liar. Kini tangannya yang lentik mulai memegang-megang penutup dada. Dan tanpa sadar Jonggol Maraka berteriak-teriak di hati.
"Ayo, buka! Buka...! Uhh.... Kau membuatku gila! Ingin kulihat betapa indahnya sesuatu yang terbungkus disana!"
Semua mata tertuju ke sana. Menahan napas dengan debaran jantung semakin cepat. Penutup dada yang dikenakan gadis itu terlihat kecil dan sempit, untuk membungkus dua buah bukit kembar yang kelewat besar itu. Apalagi guncangan yang ditimbulkannya betul-betul membuat saraf lelaki yang melihat kelihatan tegang.
Ketika semua terbuai dalam pemandangan yang memabukkan, mendadak penari yang kini tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya.
Set! Set! Seketika meluncur dua sinar putih keperakan ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Arahnya tepat di tenggorokan Rangga.
Rangga kaget, namun masih sempat melengos
ke samping. Crab! Crab! Benda-benda putih keperakan yang ternyata dua bilah pisau kecil itu menancap di dinding be?lakang Rangga.
"Penari, apa yang kau perbuat terhadap tamuku"!" bentak Adipati Sangkaran berang.
Tanpa memberi perintah pada prajuritnya, adi?pati itu langsung melompat dari singgasana dan menghajar penari itu.
"Aku..., aku...!"
Penari itu tampak gugup. Wajahnya pucat ketakutan ketika memandang Adipati Sangkaran. Namun dia tak mampu bicara banyak, karena la?ki-laki gemuk itu lebih dulu menotoknya hingga lemas tak mampu bergerak.
"Kau tahu, apa akibatnya atas perbuatanmu itu"! Hukuman gantung akan menantimu!" desis Adipati Sangkaran geram.
"Pengawal! Bawa dia dalam kurungan! Aku tak ingin suasana persahabatan ini dirusak oleh tingkahnya!"
Dua prajurit buru-buru mengham?piri, dan meringkus gadis itu serta mem??bawanya keluar dari ruangan.
Adipati Sangkaran lantas melangkah lebar mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Kedua tangan?nya langsung dirangkapkan di depan dada.
"Rangga, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian tadi! Penari itu pasti akan mendapat hukuman berat atas perbuatannya yang kurang ajar. Namun karena kita dalam suasana bergembira, untuk sementara ku tangguhkan hu?kuman terhadapnya. Silakan nikmati kembali hidangannya!" ucap laki-laki gemuk itu.
"Ki Sangkaran, penari tadi cuma alat. Orang di belakangnya yang mesti mendapat hukuman be?rat!" sahut Rangga dengan nada tajam.
"Kau benar, Rangga! Tentu saja kami tak akan membiarkannya begitu saja tanpa pemeriksaan. Siapa pun dalangnya, maka akan dihukum berat. Kalian bisa menyaksikannya. Oleh sebab itu menginaplah barang satu atau dua hari!"
"Ki Sangkaran.... Kami berterima kasih atas kemurahan hatimu. Namun kami tak bisa berlama-lama, sehubungan peristiwa buruk yang menimpa rombonganku. Beberapa perampok membegal ka?mi dan membunuh semua prajurit yang bersamaku. Aku belum lagi mengurus mayat mereka. Oleh ka?rena itu, maaf seribu maaf. Kami tak bisa memenuhi undanganmu," sahut Jonggol Maraka.
"Ah, sayang sekali. Aku turut berduka cita atas musibah yang menimpamu, Sahabatku. Biarlah para prajuritku yang akan mengurusnya."
"Terima kasih, Ki Sangkaran. Namun tetap saja aku mesti melaporkan hal ini pada Kanjeng Pra?bu... "
"Kalau Ki Jonggol setuju akan kukirim dua prajuritku melaporkan kejadian ini pada Kanjeng Prabu. Mereka prajurit terlatih dengan kuda-kuda pilihan yang mampu berlari kencang. Perjalanan mereka akan singkat. Sedangkan Ki Jonggol masih merasa letih. Dan karena kau telah berada di sini, kewajibanku untuk mengusut musibah yang menimpamu sampai tuntas. Bukankah aku wakil Kan?jeng Prabu di sini" Maka, aku pun berkewajiban membantumu. Tidak usah khawatir. Katakan saja, di mana tempatmu dibegal dan ciri-ciri pembegalnya. Para prajutiku akan segera bergerak membereskannya!" ujar Adipati Sangkaran dengan mantap.
Tak ada alasan lagi bagi Jonggol Maraka untuk meninggalkan tempat ini. Apalagi ketika Rangga mendukung rencana Adipati Sangkaran.
"Ki Sangkaran! Aku senang sekali kau memperbolehkan kami menginap. Ini kehormatan be?sar!" kata Rangga.
"Aduh, mati aku!" umpat Jonggol Maraka da?lam hati.
? *** ? Pelayanan yang diberikan Adipati Sangkaran terbilang cepat dan memuaskan. Janjinya pun ditepati. Begitu dia duduk di singgasana, maka saat itu pula beberapa prajurit diperintahkan untuk mengu?sut mayat para prajurit yang tewas seperti diceritakan Jonggol Maraka. Beliau pun memerintahkan dua prajurit pilihan untuk segera berangkat ke ibu?kota kerajaan, untuk melaporkan peristiwa yang menimpa Jonggol Maraka.
Sementara Jonggol Maraka kesal bukan main, karena berarti tidak bisa segera angkat kaki. Padahal kecurigaannya sudah makin menjadi-jadi. Ada yang tak beres di tempat ini. Sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Namun kawan seperjalanannya malah mendukung keinginan tuan rumah. Ke?mudian ditambah lagi ketika mereka diberikan kamar terpisah. Jaraknya cukup jauh, sekitar lima belas langkah!
Agaknya bukan cuma Jonggol Maraka saja yang curiga. Karena Rangga pun merasakan hal yang sama. Kejadian siang tadi jelas mencurigakan. Penari itu kelihatan kikuk dan takut. Lagi pula, kenapa mesti Adipati Sangkaran sendiri yang turun tangan untuk membungkam mulutnya" Padahal, dia bisa menyuruh orang lain yang ada di ruangan itu.
Malam baru saja menyergap sekitar Kadipaten Demak Udara dingin menyelinap ke mana-mana. Bulan muncul sedikit di balik awan kelabu. Cahayanya remang-remang menerangi istana Kadipaten Demak Meski beberapa prajurit berjaga-jaga, na?mun tak seorang pun yang menyadari ketika sesosok bayangan putih mengendap-endap di atas atap.
Bayangan putih itu bergerak cepat dan ringan ke arah belakang bangunan, menuju penjara bawah tanah yang dijaga ketat. Ada tujuh prajurit yang berjaga di sana. Dua berjaga di pintu penjara, dua lagi di mulut pintu yang menuju ke bawah. Semen?tara tiga orang berjaga-jaga di sekitar jalan masuk menuju penjara bawah tanah. Rasanya seekor tikus kecil sekali pun tak akan lolos dari intaian mereka.
Bayangan putih itu mengintip di balik tembok, mengawasi ketiga prajurit seperti mencari akal bagaimana cara melumpuhkan mereka. Sesaat bayangan putih itu berbalik. Ketika melihat seekor tikus di rerimbunan semak, dengan gerakan cepat dan ringan dia melompat. Ditangkapnya tikus itu dan langsung dipotes kepalanya.
Tanpa menghiraukan darah yang memerciki pakaiannya, bayangan putih itu melenting kembali ke atas atap. Gerakannya ringan sekali, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya mendarat, kembali dia mengendap-endap, mendekati keti?ga prajurit itu. Lalu segera dilemparkannya bangkai tikus yang terus menguncurkan darah.
Pluk! "Hei"!"
Ketiga prajurit itu terkejut ketika sesuatu jatuh ke dekat mereka dari atas.
"Bangkai tikus!" seru salah satu prajurit.
"Masih berdarah!" timpal prajurit lain?nya.?????
"Pertanda apa ini?"
Sebelum mereka mengetahui sesuatu, mendadak bayangan putih di atas atap meluruk tajam sambil mengibaskan tangannya berkali-kali.
Des! Des! Des! "Aaakh...!"
Ketiga prajurit itu mengeluh halus, lalu ambruk tak berdaya.
"Hei, apa itu"!"
Salah seorang prajurit yang berada di dalam berseru kaget ketika melihat satu bayangan putih berkelebat. Bersama kawannya, dia memeriksa keluar. Namun....
"Hiih!"
Duk! Des! "Hugkh!"
Baru saja mereka melangkah keluar pintu, satu sodokan telak menghantam ulu hati masing-masing. Keduanya ambruk, tak sadarkan diri.
"Hup!"
Bayangan itu terus menerobos ke dalam, sam?bil merapatkan punggung ke dinding tembok.
"Dua penjaga lagi!" desis bayangan itu ketika melihat dua sosok prajurit berjaga-jaga di depan se?buah pintu. "Aku yakin, di situ tempatnya."
Bayangan ini terdiam, seolah mencari akal se?bentar. Tak lama pedangnya diloloskan hingga terpancar cahaya biru yang menarik perhatian.
Jarak di antara mereka hanya sekitar sepuluh langkah. Dan tempat ini sempit dan gelap, memiliki lebar sekitar rentangan kedua tangan. Tingginya hanya satu tombak.
"Hei, apa itu"!" tunjuk seorang prajurit ke arah lorong.
"Berbinar biru! Benda keramat barangkali!" jawab prajurit lainnya.
"Lebih baik kita lihat! Aku yakin itu benda berharga!"
Penjaga itu sudah mau menasihati, namun prajurit yang satu lagi agaknya kelewat bernafsu. Buru-buru dihampirinya benda itu hingga terpaksa kawannya mengikuti.
"Astaga! Sebilah pedang! Wah, hebat...!" teriak prajurit pertama sambil memungut pedang yang memancarkan cahaya kebiruan.
Mereka langsung mengagumi pedang hebat itu dengan wajah kagum. Namun tak lama, karena saat itu juga melayang turun sesosok tubuh dari langit-langit lorong. Langsung dihajarnya kedua prajurit itu tanpa perlawanan berarti.
Bak! Buk! "Uhh. !"
Kedua pemuda itu tergeletak tak berdaya. Dan bayangan putih itu segera memungut pedang yang mengeluarkan cahaya biru sambil menyeringai kecil.
"Belum waktunya kalian memiliki senjata sehebat ini," gumam bayangan putih ini sambil meninggalkan tempat itu.
Langkah bayangan ini pasti, menuju pintu yang tadi terjaga.
Terkunci!" desisnya.
Namun sosok ini seperti tak kehilangan akal. Pedangnya langsung menebas kunci gembok yang terbuat dari besi hingga putus. Dan perlahan-lahan dibukanya pintu penjara yang tertutup kayu jati tebal.
Ruangan penjara itu sendiri tertutup dinding-dinding bertembok tebal. Dengan pintu yang berlapis. Setelah jeruji besi, di dalamnya terdapat dinding kayu. Lalu, dinding beton berengsel baja tebal. Semuanya dalam keadaan terkunci Namun dengan pedangnya, tak ada kesulitan bagi bayangan itu untuk membukanya.
Perlahan-lahan bayangan ini membuka pintu, lalu melongok ke dalam.
"Sepi...!" desis bayangan putih ini halus.
Sosok ini bermaksud melongok ke balik pintu bagian dalam. Namun sebelum hal itu dilakukan, mendadak terdengar desir angin halus di belakangnya.
"Celaka! Anak panah keparat!" rutuknya ketika puluhan anak panah menyerbu ke arahnya.
"Hup!"
*** ? Jalan pintas termudah yang terpikir saat itu ada?lah masuk ke dalam. Namun sosok tubuh itu tak melakukannya. Tubuhnya malah mencelat ke atas.
Brusss...! Hebat! Bayangan itu langsung menerobos langit-langit, menjebol wuwungan.
"Kejaaar! Jangan sampai lolos...!" teriak se?orang prajurit garang.
"Yeaaa...!"
Entah dari mana munculnya, tapi saat itu juga muncul puluhan prajurit kadipaten yang menyerang sosok bayangan tadi. Mereka bersiap di segala arah dengan anak panah siap dilepaskan.
"Dia menuju ke timur! Kejaaar! Jangan sampai lolos...!"
"Huh!"
Seorang laki-laki gemuk berusia sekitar empat puluh tahun lebih menggeram marah. Dia tak lain Adipati Sangkaran, yang ditemani beberapa anak buahnya yang setia.
"Kurang ajar! Siapa dia"! Bagaimanapun orang itu mesti ditangkap!" maki Adipati Sangkaran.
"Gerakannya gesit dan lincah sekali! Dia tentu bukan sembarangan orang...," gumam Ki Wira?buana orang kepercayaan Adipati Sangkaran. "Tak sulit menebaknya."
"Siapa?" tanya Adipati Sangkaran.
"Tamu Kanjeng Adipati sendiri...," desah Ki Wirabuana.
"Ki Jonggol maksudmu"!"
"Huh! Orang itu tak punya kebisaan apa-apa! Menghadapi Tiga Elang Barat saja tak becus! Malah kehilangan semua anak buahnya."
"Jadi...."
"Tamu Kanjeng Adipati yang satu lagi!" timpal Seda Lepen menyambung.
"Pendekar Rajawali Sakti?"
"Hanya dia, Kanjeng! Jebakan kita tak mengena. Mestinya dia masuk ke dalam ruangan itu, untuk berlindung. Namun, dia cukup cerdik dengan menyadari umpan yang kita pasang. Kalau saja dia masuk ke dalam, tamatlah riwayatnya!"
"Kenapa kau bisa berpikir begitu, Seda Le?pen?"
"Hanya orang yang kenyang pengalaman bisa berpikir begitu, Untuk membuktikannya, mari kita memeriksa kamarnya."
? *** ? "Ketuk lagi biar keras!" perintah Adipati Sang?karan ketika tiba di pintu kamar Pendekar Rajawali Sakti.
"Ya, ya..., tunggu...!" sahut suara di dalam, sebelum seorang prajurit menggedor pintu kembali.
Pintu terbuka. Tampak seraut wajah tampan milik Rangga.
"Oh, Kanjeng Adipati!" seru Rangga sambil mengucek-ngucek mata. Rambutnya kusut. Matanya agak merah seperti habis tertidur lelap. "Ada apa malam-malam menemui hamba, Kanjeng Adi?pati?"
Adipati Sangkaran tak menjawab. Matanya liar memandangi seluruh ruangan. Lalu para prajuritnya diperintahkan memeriksa ruangan. Sementara Rangga melongo tak mengerti.
"Kanjeng Adipati, ada apa" Apakah mencari sesuatu, lalu mencurigai hamba sebagai pencurinya?" tanya Rangga, bingung.
"Seseorang coba menyusup ke istana ini," kata Adipati Sangkaran, dingin.
"Menyusup"! Untuk apa" Mencuri sesuatu?"
"Tidak! Dia coba menjenguk tawanan."
"Menjenguk tawanan" Apakah itu sesuatu yang dilarang?"
"Tentu saja tidak! Tapi menjenguk tawanan malam-malam begini dan melumpuhkan tujuh pen?jaga, perlu dicurigai. Aku yakin..., dia komplotan dari wanita penari itu!"
"O....!"
Rangga mengangguk, mengerti.
"Lalu, mengapa memeriksa kamar hamba?" tanya Rangga, bernada tak suka.
"Penyusup itu kami lihat hilang di sekitar tempat ini. Kami curiga, dia bersembunyi di kamarmu. Dan bisa saja dia mencelakaimu selagi lengah," kilah Adipati Sangkaran berpura-pura.
Adipati Sangkaran menatap tajam Rangga.
"Kaulah penyusup itu, Keparat!" desisnya dalam hati.
"Apakah kau tak melihat atau mendengar sesuatu, Rangga?" tanya Ki Wirabuana dengan sorot mata curiga.
"Tidak! Aku tidak melihat dan mendengar apa pun," sahut Rangga, kalem.
"Tertidur pulas agaknya."
"Ya, begitulah!" sahut Rangga seraya terse?nyum.
"Seorang pendekar hebat dan terlatih sampai tertidur pulas?"
Pertanyaan itu jelas-jelas menyindirnya. Dan Rangga tenang-tenang saja menjawab.
"Terima kasih atas pujian mu, Ki Wirabuana. Namun kau lupa kalau aku pun manusia biasa se?perti kalian. Apakah itu berarti aku tak boleh tidur pulas?" kilah Rangga.
Mendengar jawaban itu Ki Wirabuana tak mampu bersuara lagi.
"Maaf, Rangga. Kami tak bermaksud mencurigaimu!" lanjut Seda Lepen halus. "Silakan lanjutkan mimpi indah mu...."
Selesai berkata begitu, Seda Lepen menepuk-nepuk pundak. Pendekar Rajawali Sakti, agak ke dekat leher. Tepukan itu tidak sembarangan, karena disalurkan lewat pengerahan tenaga dalam cukup kuat.
Rangga bukannya tak menyadari. Dia pun ba?las menekan, sehingga nyaris terlihat telapak tangan Seda Lepen terangkat setinggi seperempat jari, se?perti disodok. Dan itu membuat Seda Lepen kaget, karena tak mengira tenaga dalam Pendekar Raja?wali Sakti bisa sehebat itu.
"Rangga, kami permisi dulu," kata Adipati Sangkaran setelah para prajuritnya melaporkan bahwa tak ada satu pun yang dicurigai. "Maaf telah mengganggu kenyamananmu, Rangga. Namun ini semua kami lakukan demi keamanan!"
"Terima kasih atas perhatian Kanjeng Adipati. Ini kehormatan besar bagiku," sahut Rangga ber?usaha tersenyum.
Pendekar Rajawali Sakti tak langsung menutup pintu, sebelum mereka betul-betul hilang dari pandangan. Kemudian setelah menutup rapat-rapat dia menghela napas. Rangga duduk di tepi ranjang dan tersenyum sendiri.
"Kena kalian ku kibuli...," gumam Rangga, ter?senyum.
? *** ? 6 ? "Goblok!"
Adipati Sangkaran memaki-maki tak karuan se?telah kejadian tadi. Dia mondar-mandir di ruangan khusus, ditemani Ki Wirabuana dan Seda Lepen.
"Mana bukti ucapanmu"! Ternyata dia tak mampu dijebak! Ini membuatku kesal! Ini usulmu, Wirabuana! Apalagi yang hendak kau katakan"!" bentak Penguasa Kadipaten Demak ini.
"Hamba mohon maaf, Kanjeng Adipati: Rencana memang tak berjalan lancar...," ujar Ki Wira?buana, takut-takut.
"Maaf! Maaf...! Apakah hanya itu yang bisa kau ucapkan"!"
Ki Wirabuana diam membisu. Kepalanya menunduk dalam.
"Karena ini rencanamu, maka kau pula yang harus menyelesaikannya! Aku tak mau dengar kegagalan lagi!" lanjut adipati ini.
"Hamba akan berusaha, Kanjeng Adipati," sahut Ki Wirabuana mantap.
"Tidak! Kau harus berhasil!"
"Pendekar Rajawali Sakti bukan orang sembarangan, Kanjeng. Hamba tahu hal itu. Dan kita se?mua pun menyadarinya...," sahut Seda Lepen de?ngan suara halus, ketika Ki Wirabuana tertunduk lesu.
"Hmm.... Lalu, apa rencanamu?"
"Kenapa tidak kita biarkan dia coba membebaskan penari itu" Lalu, kita pergoki kalau semua ini permainannya. Kemudian, kita tangkap mereka dan beri hukuman gantung!"
"Huh! Kau kira semudah itu?"
"Kalau tidak berhasil, hamba masih punya rencana terakhir."
"Apa?"
"Memberi tahu tamu-tamu kita dari utara itu. Bukankah mereka memang tengah mencari-cari Pendekar Rajawali Sakti?"
Adipati Sangkaran terdiam sejurus lamanya mendengar usul Seda Lepen.
"Bagaimana Kanjeng Adipati?" tanya Seda Le?pen.
"Aku setuju usulmu yang terakhir itu...," gumam Adipati Sangkaran sambil manggut-manggut.
"Kalau begitu, bisa kita laksanakan esok hari!"
Adipati Sangkaran kembali terdiam beberapa saat. Dahinya berkerut seperti memikirkan sesuatu.
"Sebenarnya aku ingin meringkusnya sendiri dengan tanganku...."
"Kanjeng, bukankah kita menge?tahui kalau Pendekar Rajawali Sakti bukan orang sembarangan" Kalau memaksakan diri, kita akan kehilangan jago-jago kita. Padahal, belum tentu dia akan tertangkap. Memberinya pada musuhnya adalah jalan keluar terbaik. Tidak perlu kita sesali, karena tujuan utama telah tercapai. Yaitu, menghabisinya!"
"Ya, kau benar," sahut adipati ini sambil menghembuskan napas berat "Jangan lupa pula. Aku ingin dia dibereskan bersamaan dengan si Jonggol."
"Jangan khawatir, Kanjeng! Segalanya akan beres!"
"Jangan sampai gagal lagi!"
Adipati Sangkaran menekankan. "Sudah kalian jelaskan pada prajurit-prajurit yang kukirim?"
"Beres, Kanjeng. Kita buat seolah-olah Jonggol Maraka adalah pengkhianat negara. Kalalupun dia bisa lolos dari kita, maka tak akan luput dari tiang gantungan di kerajaan!"
"Bagus! Tapi aku ingin dia mampus di sini. De?ngan begitu, tak ada lagi yang mesti dibuat cemas."
"Baik, Kanjeng!"
"Kalian boleh pergi sekarang!"
? *** ? Kali ini Rangga setuju dengan niat Jonggol Maraka untuk segera angkat kaki dari tempat ini.
"Ini membuat hatiku cemas dan waswas!" keluh Jonggol Maraka ketika mereka telah jauh dari kediaman Adipati Sangkaran.
"Kenapa?"
"Aku merasa ada yang tak beres dengan tem?pat ini! Demikian banyak tokoh silat yang disewa adipati itu. Apa yang hendak dilakukannya" Pada?hal, wilayahnya aman dan jarang terjadi keributan!" omel Jonggol Maraka.
Rangga tersenyum mendengarnya.
"Saking amannya, apakah tak mencurigai se?suatu?" cetus Rangga, bertanya.
"Apa?"
"Semalam ada kejadian aneh...," tutur Rangga, memulai.
"Ya, aku dengar! Seorang penyusup coba ma?suk ke dalam penjara bawah tanah. Mungkin ingin membebaskan penari itu. Tapi, kenapa kamarmu yang digeledah?"
"Dan si penari sebenarnya tak ada di ruangan ba?wah tanah itu," kata Rangga, tak menjawab pertanyaan Jonggol Maraka.
"Dari mana kau mengetahuinya, Rangga?" tanya Jonggol Maraka.
"Karena aku melihat sendiri ke sana."
"Ke sana" Bersama Adipati Sangkaran"!"
"Tidak. Seorang diri."
"Seorang diri" Maksudnya..., kau sendiri yang menyusup ke sana?"
Rangga mengangguk sambil tersenyum.
"Jadi..., jadi kaukah penyusup itu"!" desis Jonggol Maraka, kaget.
Rangga kembali mengangguk dan tersenyum.
"Astaga! Tahukah kau, betapa bahayanya pekerjaan itu" Kalau sampai tertangkap, tentu akan membuat kita malu!"
"Tapi nyatanya tidak, kan?"
Jonggol Maraka menggaruk-garuk kepalanya sambil menghela nafas. Lalu dipandangnya pe?muda itu. Dan bibirnya pun tersenyum.
"Rangga, kau sungguh hebat! Bagaimana kau bisa lolos dari kejaran mereka?" tanya Jonggol Maraka, kagum.
"Aku mengambil jalan singkat. Bukan dari genteng, melainkan melewati kamar-kamar. Lalu aku melompat ke jendela. Mengusut-ngusutkan rambut, dan mengucek-ngucek mata seperti kelihatan habis bangun tidur Kemudian yang terpenting adalah mengatur pernapasan. Sehingga, jantung tidak berdetak kencang. Seda Lepen pun coba memeriksa denyut nadiku, tapi kurasa dia bisa ku bohongi," jelas Rangga.
Jonggol Maraka kembali mendesah kagum mendengar penuturan sahabat barunya.
"Lupakan soal itu. Ada yang terpenting yang mesti dilaporkan pada Gusti Prabu Wisnu Palaran," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Soal peristiwa yang menimpa ku" Tentu saja!" tegas Jonggol Maraka.
"Bukan. Tapi, soal pemberontakan besar yang akan menggulingkan beliau!" sahut Rangga, mengejutkan.
"Pemberontakan" Hei, dari mana kau tahu" Dan, siapa yang akan berontak terhadap kekuasaan Gusti Prabu"!" sentak Jonggol Maraka.
"Setidaknya, begitu kesimpulanku."
"Rangga! Aku tak mengerti!" keluh Jonggol Maraka dengan muka berkerut.
"Ki Jonggol, ketahuilah. Sebenarnya yang hen?dak dibunuh si penari itu adakah kau sendiri."
"Aku?" Ki Jonggol Maraka menunjuk diri de?ngan wajah heran. Lalu tersenyum lebar. "Kau pasti bergurau, Rangga! Adipati Sangkaran tak mungkin melakukan hal itu padaku."
"Aku mungkin punya banyak musuh yang mendendam dan berusaha setiap saat mengincar nyawaku. Tapi ingat-ingat, Ki! Nyawamu pun dalam bahaya ketika berhadapan dengan tiga orang ber?topeng tempo hari," tegas Rangga.
"Aku yakin tiga orang itu hanya penjahat bia?sa," kilah Jonggol Maraka.
"Ketika kau bentrok, apakah mereka merampas dan melucuti barang-barang yang kau bawa" Bukankah mereka hanya berniat membunuhmu dan prajurit-prajurit kerajaan?"
Jonggol Maraka terdiam. Memang itu yang diceritakan pada Rangga selama perjalanannya ke Kadipaten Demak tempo hari. Senyumnya hilang. Dan terlihat dia menggeleng lemah.
"Nah, betul kan" Jadi mereka menyerang dengan sengaja," lanjut Rangga.
Jonggol Maraka menoleh sahabatnya itu. Lalu..., maksudmu mereka adalah orang-orangnya Adipati Sangkaran?" duga Jonggol Mara?ka.
"Kau tak akan percaya kalau kukatakan..., ya!"
Pendekar Rajawali Sakti 208 Ancaman Dari Utara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak mungkin! Kau tak punya alasan untuk itu. Kau hanya asal tuduh dan tak punya bukti!"
Rangga tersenyum kecut.
"Aku punya ilmu 'Pembeda Gerak Dan Suara' yang lumayan bisa diandalkan. Ketika selesai me?meriksa kamarku semalam, aku menyelinap dan mendengarkan pembicaraan Adipati Sangkaran bersama dua orang kepercayaannya. Dan..., kurasa kau tak akan mau dengar rencana apa yang hendak dilakukan terhadap kita," papar Rangga.
Jonggol Maraka terdiam. Dia ragu, apakah mesti percaya dengan kecurigaan Pendekar Raja?wali Sakti. Adipati Sangkaran begitu baik pada mereka. Sikapnya pun ramah.
"Ki, sebaiknya kita berbelok ke kanan!" ujar Rangga ketika tiba di jalan bercabang tiga.
"Ke kanan?" balik Jonggol Maraka tertawa. "Kalau tidak sedang beraneh-aneh, kau pasti tak tahu jalan. Kalau kita berbelok ke kiri, tidak sampai tengah hari kita akan tiba di ibukota kerajaan. Kalau kita ke kanan, kemungkinan tengah malam atau. esok pagi kita akan tiba."
"Aku tahu! Tapi kalau kau ingin menemui kesulitan, pergilah lewat jalan kiri. Di sana akan menunggu ajalmu!" jawab Rangga kalem.
"Apa"! Kau pikir Adipati Sangkaran akan membunuhku?" sentak Jonggol Maraka.
"Kau dianggap membahayakan! Bila tiba di istana lalu menceritakan semua peristiwa yang kau alami di tempatnya, Gusti Prabu Wisnu Palaran akan curiga. Lalu beliau mengirim pasukan pengamat. Gerakannya terganggu. Dan jadi tidak leluasa berbuat sesuatu yang direncanakannya!"
"Apa yang direncanakannya?"
"Kau bisa menjawabnya sendiri!"
"Tidak. Aku tidak tahu. Katankanlah!"
"Percuma. Kau tak percaya. Saat ini yang ter?penting adalah menyelamatkan diri. Aku tak yakin, apakah Adipati Sangkaran akan menutup semua jalan atau tidak."
Rangga tak mempedulikan Jonggol Maraka. Langsung saja dia berkelebat cepat menuju jalan kanan. Sedangkan Jonggol Maraka mau tak mau terpaksa mengikuti dari belakang.
"Rangga, tunggu...!" teriak Jonggol Maraka ketika pemuda itu makin menjauhinya.
"Cepat!" teriak Rangga tanpa memperlambat kelebatan tubuhnya.
Namun beberapa saat kemudian Pendekar Rajawali Sakti berhenti. Jonggol Maraka bernapas lega. Namun, wajahnya langsung terkejut ketika melihat apa yang membuat pemuda itu menghentikan kelebatannya.
"Eeeh!"
Di depan mereka berdiri tegak sesosok tubuh berbaju serba hitam dengan rambut panjang dikuncir pada bagian belakang kepala agak ke atas. Kulitnya kuning dan bermata sipit. Di punggungnya tersandang sebilah pedang panjang yang gagangnya terlihat ronce pita warna kuning. Sama seperti warna ikat pinggangnya.
Sementara di belakang laki-laki itu terlihat beberapa sosok tubuh bersenjata lengkap. Wajah mereka tertutup selubung kain hitam, dan yang ter?lihat hanya sepasang mata saja.
"Siapa kalian"! Berani betul menghentikan orang-orang kerajaan"!" bentak Jonggol Maraka, dingin.
Laki-laki berbaju serba hitam itu maju dua langkah. Matanya tak lekang memandang Pendekar Rajawali Sakti yang tetap berdiri tenang. Sama sekali tidak digubrisnya bentakan Jonggol Maraka. Seolah-olah sama sekali tak dianggapnya ada di tempat itu.
"Setan!" Jonggol Maraka menggeram marah. Namun pejabat kerajaan ini hanya berani menggerutu dalam hati, karena melihat sorot mata la?ki-laki berbaju serba hitam itu saja sudah cukup membuat sebagian semangatnya terbang. Belum lagi orang-orang bertopeng yang telah siap dengan senjata masing-masing seperti hendak mencincang mereka.
"Kau Pendekar Rajawali Sakti"!" tuding laki-laki berbaju hitam itu.
"Benar! Siapa yang tengah bicara padaku?" sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku Yamaguchi!"
"Yamaguchi" Mendengar nama dan melihat caramu berpakaian, agaknya kau bukan penduduk negeri ini.
"Aku datang dari utara. Dari sebuah negeri yang kalian sebut negeri Sakura atau juga negeri Matahari Terbit!"
"Hmm. Pantas! Tapi, apa urusanmu mencegat kami?"
"Aku punya urusan denganmu!"
"Dan mereka?" tunjuk Rangga pada orang-orang bertopeng itu.
"Aku tidak tahu! Terserah, apa maunya mere?ka. Pendekar Rajawali Sakti, bersiaplah!"
Srang! Yamaguchi mencabut pedang, membuat kuda-kuda siap menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Se?mentara orang-orang bertopeng yang menyertai?nya membuat gerakan mengurung. Dua dari mereka mendekati Jonggol Maraka.
"He he he...! Hari ini saat kematianmu, Jong?gol!" kata salah satu orang bertopeng mengejek seraya menghunuskan pedang.
Melihat keadaan itu Jonggol Maraka pun bersiap dengan senjatanya untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Ayo! Berdoalah, abdi kerajaan yang setia! Sebentar lagi kau akan bertemu para prajurit mu di akhirat!"
"Siapa kalian"!" bentak Jonggol Maraka.
"Kami malaikat maut! He he he...!"
"Kau gemetaran, Jonggol Maraka?" ejek yang seorang lagi.
"Mampus!" dengus orang bertopeng seraya mengibaskan pedang.
Wut! Jonggol Maraka berkelit ke samping dan terus melompat ke belakang. Namun, buru-buru dia kembali lompat ke depan sambil bergulingan ketika orang-orang bertopeng yang membuat lingkaran kembali mengibaskan senjata ke arahnya.
"He he he...! Kau tak akan bisa ke mana-mana, Jonggol! Hari ini tak akan ada yang bisa menolongmu!"
"Terkutuk kalian! Aku pantang menyerah sebe?lum ajal tiba!"
"Ajalmu telah ditentukan. Di tanganku!" bentak orang bertopeng yang bersenjata keris. Seketika senjatanya ditusukkan ke arah perut.
Jonggol Maraka menangkis dengan pedang?nya.
Trang! Pada saat yang sama, orang bertopeng lainnya menghantam punggungnya dari belakang, tanpa dapat dihindari.
Begkh! "Aaakh...!"
Pejabat kerajaan itu menjerit kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang. Belum sempat menguasai diri, datang serangan dari samping berupa tendangan menggeledek.
Duk! "Aaakh...!"
Jonggol Maraka menjerit Tubuhnya sempoyongan ke samping. Dia betul-betul menjadi bulan-bulanan. Kalau yang satu menyerang dengan menggunakan senjata, maka yang seorang lagi menyarangkan tendangan atau pukulan.
Sementara itu, pertarungan antara Yamaguchi dengan Rangga berlangsung seru. Tokoh dari utara itu memainkan jurus-jurus pedangnya yang indah namun sangat berbahaya. Namun dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rangga mampu mengatasinya.
"Pendekar Rajawali Sakti! Aku akan mati terhormat seandainya kau melawanku dengan pe?dang!" dengus Yamaguchi.
"Aku tak tahu, apa alasanmu hendak bertarung mati-matian denganku...," sahut Rangga.
"Kau telah membunuh Akira Yamamoto!"
"Akira Yamamoto?"
Dahi Pendekar Rajawali Sakti berkerut dan coba mengingat.
"Dia saudara seperguruan kami! Kau telah membinasakannya. Maka kami menantangmu ber?tarung hidup mati!" jelas Yamaguchi.
"Aku ingat! Jadi yang kau maksudkan adalah si Pendekar Pedang Bayangan?" (Soal Akira Yama?moto ada dalam episode : "Pendekar Pedang Ba?yangan").
"Kau menyebutnya begitu!"
"Hm.... Aku mengerti. Jadi, kau datang jauh-jauh ke sini hendak membalas kekalahannya?" tebak Rangga.
"Aku tidak sendiri. Tapi, berempat. Kebetulan saja kau melewati jalan ini."
"Jadi, dua jalan lainnya telah dihadang kawan-kawanmu?"
"Benar! Dua di jalan sebelah kiri, dan seorang lagi di jalan tengah."
"Kenapa mesti dua orang yang ditempatkan di jalan kiri" Mestinya kalian berkumpul semua di sini," sahut Rangga, enteng.
"Menurut perkiraan, kau akan melewati jalan kiri. Tapi siapa duga kalau ternyata aku yang lebih dulu bertemu denganmu!" kilah Yamaguchi.
"Dari mana kau bisa menduga kalau kemungkinan aku kira melewati jalan kiri?" tanya Rangga penuh selidik.
Tapi Yamaguchi tak menjawab. Maka Rangga mulai bisa menebak.
"Kalian pasti bekerjasama dengan Adipati Sangkaran!" tebak Rangga.
"Aku dan tiga kawanku hanya menginginkan nyawamu!" sahut Yamaguchi. Mesti tak langsung, namun Rangga segera mengerti kalau orang utara ini berkata jujur. Berarti benar dugaannya kalau Adipati Sangkaran menginginkan kematian mereka berdua.
"Kisanak! Kuterima tantanganmu!" sahut Rangga, langsung melenting ke belakang untuk membuat jarak. Tangannya langsung meraba punggung begitu mendarat di tanah.
Sring! Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Seketika sinar biru berkilauan memancar dari mata pedang.
Kini, keduanya saling berhadapan dalam jarak sekitar enam langkah. Mereka saling menatap dengan sorot mata tajam, dengan tubuh mematung. Lalu....
"Heaaa...!"
? *** ? Selanjutnya Bagian 7-8 (selesai)
? Ancaman Dari Utara
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 208. Ancaman Dari Utara ~ Bag. 7-8 (selesai)
14. Juli 2015 um 09:08
7 ? Tras! "Heh"!"
Yamaguchi tercekat kaget melihat ujung senjata yang berbenturan dengan pedang Pendekar Raja?wali Sakti terbabat putus. Dalam hati, dia mengagumi pedang di tangan Rangga yang punya pamor hebat. Bahkan tangannya terasa nyeri bukan main.
"Yeaaa...!"
Namun Yamaguchi cepat menepis kekagumannya. Tubuhnya kembali berkelebat. Pedangnya yang buntung bergerak-gerak menyambar ke dahi, leher, dan semua anggota tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Gerakannya sederhana, namun gesit dan bertenaga kuat.
Meski Rangga sedikit banyak telah mengenal gaya ilmu silat Yamaguchi lewat Akira Yamamoto yang pernah dikalahkannya, tapi agaknya ada beberapa tambahan. Ini sedikit membingungkan. Sehingga untuk selang waktu beberapa saat, Rang?ga lebih banyak menghindar dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
"Pendekar Rajawali Sakti! Lawanlah aku dengan ilmu silat yang kau miliki! Kenapa terus menghindar"!" geram Yamaguchi.
"Aku belum lari, Sobat. Tidak usah khawatir."
"Heaa...!"
Begitu Yamaguchi menyerang lagi, kali ini Rangga mulai mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
Pengerahan jurus yang dilakukan Rangga, membuat Yamaguchi tercekat. Saat itu juga dia me?rasa kelimpungan, tak tahu harus berbuat apa. Semangat bertarungnya mendadak hilang. Setiap kali sinar biru berkelebat ke arahnya, jiwanya bagaikan merintih-rintih dan terpecah-pecah.
"Oh.... Kenapa jadi begini...?" keluh Yama?guchi.
Tokoh dari negeri Sakura ini mulai terpojok. Serangannya tak begitu membahayakan lagi, kare?na kali ini kendali serangan dipegang Pendekar Ra?jawali Sakti.
"Heaaa...!"
Rangga tak memberi kesempatan. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat menerjang de?ngan pedang mengibas cepat.
Yamaguchi coba memompa semangatnya. Pe?dangnya yang buntung ujungnya cepat memapak.
Tras! "Uhh...!"
Kembali laki-laki bermata sipit mengeluh terta?han ketika pedangnya terbabat di tengah-tengahnya. Tubuhnya pun terjajar beberapa langkah dengan mulut meringis menahan sakit pada tangan?nya.
Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti telah melenting ke atas dengan jurus 'Sayap Raja?wali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepat-nya, tahu-tahu tubuhnya telah meluruk dengan tebasan pedangnya. Lalu....
Crasss...! "Aaa...!"
Kejadian itu berlangsung cepat, dan tahu-tahu terdengar keluhan tertahan. Tampak tubuh Yama?guchi terhuyung-huyung dengan mata mendelik. Darah segar meleleh dari lehernya.
Tepat ketika Rangga berbalik untuk melihat keadaan Jonggol Maraka, Yamaguchi ambruk tan?pa nyawa lagi.
"Heh"!"
? *** ? Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Secepatnya dia melompat untuk menolong Jonggol Maraka yang menjadi bulan-bulanan. Begitu meluruk, Rangga langsung membabatkan pedangnya.
Tras! "Heh"!"
Kedua orang bertopeng itu terkejut Pedang dan keris mereka buntung terbabat pedang di tangan Rangga. Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti sudah menyambar pangkal leher.
Cras! Cras! "Aaa...!"
Kedua orang bertopeng ini kontan ambruk. Darah segar memancar dari pangkal leher, membasahi bumi.
"Heh"!"
Orang-orang bertopeng lainnya terkejut. Serentak mereka melompat mengeroyok Pendekar Raja?wali Sakti, meninggalkan Jonggol Maraka.
"Heaaa...!"
"Suiittt...!"
Sementara sebelum serangan datang, Pende?kar Rajawali Sakti telah bersuit nyaring. Tak lama, muncul seekor kuda gagah berbulu hitam mengkilat dari balik semak-semak.
"Dewa Bayu! Bawa Ki Jonggol!" teriak Rangga begitu melihat kuda yang tak lain Dewa Bayu sam?bil menghindari serangan.
Memang, Dewa Bayu adalah kuda yang selalu setia menemani ke mana Rangga pergi. Walaupun Pendekar Rajawali Sakti tak mengendarainya, secara diam-diam kuda ini selalu mengikuti. Maka bila sewaktu-waktu diperlukan, Dewa Bayu akan cepat datang.
"Ki Jonggol, pergilah! Beri tahu Gusti Prabu kalau Adipati Sangkaran hendak memberontak! Ayo, cepat! Sebelum yang lainnya ke sini. Bawa kudaku! Tak usah heran dengan kudaku. Ayo, ce?pat!" teriak Rangga.
"Tapi kau sendiri...," sahut Jonggol Maraka, ragu-ragu.
"Jangan pikirkan aku! Lekas pergi. Pacu kuda?ku sekencang-kencangnya!" teriak Rangga lagi seraya menangkis serangan-serangan.
"Baiklah. Hati-hati! Kaupun harus menjaga diri...," sahut Jonggol Maraka, lemah.
Perlahan pejabat kerajaan ini bangkit mendekati kuda berbulu hitam yang berada di depannya. Dan dengan perlahan pula dia naik ke punggung Dewa Bayu. Dua orang mencoba menghalangi, na?mun Pendekar Rajawali Sakti cepat meluruk de?ngan kibasan pedang. Maka keduanya terpaksa mundur.
"Dewa Bayu, bawa dia! Turuti perintahnya!" teriak Pendekar Rajawali Sakti.
Kuda hitam itu meringkik halus, lalu melesat cepat membawa Jonggol Maraka yang sedang terluka.
Kini Pendekar Rajawali Sakti bisa bergerak leluasa. Tubuhnya telah berkelebat sambil membabatkan pedang,
Cras! "Aaa...!"
Rangga tak ingin berlama-lama lagi. Satu orang telah dibuat roboh dengan perut terbuka lebar, mengucurkan darah. Orang itu terpekik, lalu roboh.
"Heaaa...!"
Lima orang bertopeng menyergap dari depan dengan sambaran senjata. Namun secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedang.
Tras! "Uhh...!"
Dua orang langsung melompat mundur ketika ujung pedang pemuda itu berbalik cepat Namun, tiga orang lainnya tak sempat menghindar. Sehing?ga....
Cras! Cras! Cras!
"Aaa...!"
Mereka terpekik kesakitan, ketika ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti merobek perut. Tubuh mereka kontan ambruk dan menggelepar-gelepar.
"Huh!"
Tujuh orang bertopeng yang kini tersisa tampak ragu menyerang kembali. Sementara Pendekar Rajawali Sakti tampak tegak berdiri dengan tatapan mengandung perbawa kuat. Dia siap menanti se?rangan berikutnya.
Namun sebelum ada yang menyerang kembali, terdengar derap langkah beberapa ekor kuda ke arah tempat ini. Dan sebentar saja tempat ini telah dipenuhi beberapa orang penunggang kuda.
"Hebat! Sungguh hebat, Rangga!"
Rangga tersenyum ketika melirik laki-laki sete?ngah baya berperawakan besar yang barusan memuji. Dia tak lain adalah Adipati Sangkaran.
"Terima kasih atas pujianmu, Adipati Sang?karan," sahut Rangga, datar.
Adipati Sangkaran tidak sendirian muncul. Di sampingnya berjajar beberapa tokoh persilatan yang pernah ditemui Rangga di balairung. Tak ketinggalan dua anak buahnya yang setia, yaitu Ki Wirabuana dan Seda Lepen. Tampak pula para prajurit yang mengelilingi. Jumlahnya kurang lebih lima puluh orang. Dua puluh lima di antaranya bersenjata panah.
"Yamaguchi!" teriak seorang laki-laki berpakai?an serba hitam.
Begitu turun dari punggung kuda, bersama tiga laki-laki berbaju serba hitam lainnya, laki-laki itu melangkah lebar mendekati mayat Yamaguchi. Me?reka mengerubunginya sebentar, sebelum tegak berdiri memandang pemuda itu dengan sorot mata tajam.
"Kau yang membunuhnya?" tanya yang memakai ikat pinggang merah. Dia adalah Buntaro.????????
"Ya!" sahut Rangga, tegas.
"Hhh...!"
Buntaro dan dua saudara seper?guruannya yang bernama Idashi dan Ichimaru menggeram. Seketika, mereka mencabut pedang.
Sring! "Bersiaplah menerima serangan!"
? *** ? Rangga tak mau buang waktu. Pedang Pusaka Rajawali Sakti segera dicabut, siap menghadapi serangan.
"Kisanak! Kalau kalian butuh waktu cepat, ma?ka kami akan bantu membereskannya untukmu!" teriak Adipati Sangkaran.
"Tidak perlu! Ini urusan pribadi. Jangan campuri urusan kami!" bentak Buntaro.
Adipati Sangkaran mendengus kesal. Pada dasarnya, dia seorang yang tinggi hati dan tak mau direndahkan orang lain. Apalagi dihina. Dan jawaban Buntaro betul-betul mengesalkannya.
"Bangsat!" rutuk laki-laki gemuk ini dengan suara halus. Dari semula tingkah orang-orang ini betul-betul memuakkan!
"Sabar saja, Kanjeng!" ujar Ki Sedan Lepen. "Terkadang untuk mencapai tujuan, kita mesti menahan segalanya. Termasuk menahan amarah."
"Aku ingin mereka dihabisi secepatnya!" dengus adipati itu.
"Untuk apa, Kanjeng" Bukankah lebih enak menonton mereka saling bunuh" Kalau orang-orang sipit itu gagal membunuh Pendekar Rajawali Sakti, maka kita yang menghabisinya. Begitu pula sebaliknya. Tapi menurut hamba, apakah tidak sebaiknya tiga orang itu dimanfaatkan?"
"Seda Lepen! Aku muak melihat tingkah me?reka yang kurang ajar! Habisi mereka semua!" perintah Adipati Sangkaran.
"Kalau itu yang Kanjeng Adipati kehendaki, maka tak ada lagi yang bisa kukatakan. Tapi, akan lebih muda membereskan seekor macan bila mere?ka terluka parah. Kita tak perlu banyak mengeluarkan tenaga. Jadi, biarkan saja mereka saling cakar-cakaran. Dan kita membereskan sisanya," kilah Seda Lepen.
"Terserah mu saja! Tapi, jangan lupa. Aku tak ingin si Jonggol itu selamat!"
"Telah ku kerahkan lima orang penunggang ku?da terbaik dan kuda-kuda yang paling cepat. Dia terluka parah. Tentu tak akan bisa lari jauh."
"Sebaiknya kau buktikan itu. Sebab kalau tidak, kita akan celaka. Kalau kita celaka, maka kupastikan kepalamu yang akan lebih dulu menggelinding!"
"Jangan khawatir, Kanjeng!"
"Huh!"
Adipati Sangkaran mendengus geram. Bagaimanapun, jawaban anak buahnya ditujukan agar hatinya merasa tenang. Namun tetap saja hatinya gelisah. Bayang-bayang impiannya akan sirna. Dan itu membuatnya kesal bukan main.
Sementara itu, pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan ketiga tokoh dari negeri Sakura berlangsung seru dan alot. Serangan ketiga tokoh itu kompak dan saling mendukung. Agak sulit bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menembus pertahanan mereka.
"Idashi! Ichimaru! Gunakan jurus 'Tapak Li?ma'...!" teriak Buntaro dengan bahasa yang tak dimengerti Rangga.
Namun Pendekar Rajawali Sakti segera me?nyadari perubahan gerak yang dilakukan ketiga lawannya. Kalau tadi mereka saling menyerang silih berganti, maka kini bergerak mengelilingi. Makin lama makin cepat, dan terus berlari kencang.
"Heaaa...!"
Rangga membentak nyaring. Tiba-tiba tubuh?nya melenting ke atas. Namun saat itu juga, 'kurungan'nya ikut mencelat ke atas sambil mengibas?kan pedang.
"Shaaah!"
Pendekar Rajawali Sakti tak kalah gesit. Pe?dangnya cepat bergerak berputaran begitu cepat.
Trang! "Hup!"
Sehabis menangkis, kembali Pendekar Rajawali Sakti melompat turun. Dan sebelum dia membuka serangan, ketiga orang asing ini melemparkan benda-benda sebesar telur puyuh.
"Heh"!"
Busss...! Rangga tercekat, ketika benda-benda itu meletup dan menebarkan asap tebal menghalangi pandangan. Dan dalam keadaan seperti itu, telinganya yang terlatih merasakan desir angin tajam menyambar dari tiga jurusan.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri sambil membabatkan pedangnya.
Cras! Cras! "Aaa...!"
Dua sosok tubuh tampak ambruk bergelimpangan darah. Sementara seorang lagi terhuyung-huyung ke belakang.
"Idashi! Ichimaru...!" teriak Buntaro kaget melihat leher kedua kawannya nyaris putus terbabat pedang Rangga. Dia sendiri mendapat luka goresan di dada, menimbulkan tetesan darah merah kehitam-hitaman.
Laki-laki itu buru-buru menghampiri Idashi dan Ichimaru. Diguncang-guncangkannya dua tubuh itu. Namun tak seorang pun yang mampu bergerak lagi.
"Idashi! Ichimaru...!" teriak Buntaro lirih.
Cukup lama Buntaro terpekur tanpa menghiraukan Rangga yang hanya berdiri menanti. Namun ketika bangkit perlahan, sorot matanya terlihat penuh dendam dan kebencian.
"Kau harus membalas kematian mereka de?ngan nyawamu!" desis Buntaro geram.
"Aku telah siap, Sobat! Silakan," sahut Pende?kar Rajawali Sakti, datar.
Untuk sesaat mereka hanya saling berpandangan. Seperti hendak mengukur kekuatan masing-ma?sing. Mendadak...
"Seraaang...! Habisi mereka
"Hei"!"
? *** ? 8 ? Rangga dan Buntaro yang tengah bertarung terkejut. Mereka langsung menghentikan pertarungan ketika mendengar Adipati Sangkaran memerintahkan pasukan panahnya untuk menghabisi mere?ka berdua.
"Kisanak! Kita hentikan dulu pertarungan!" teriak Rangga, langsung mengibaskan tangan untuk menahan gempuran anak-anak panah yang berseliweran.
"Kuharap kau jangan menggunakan kesempatan ini untuk melarikan diri!" kata Buntaro, memperingatkan.
"Aku bukan jenis manusia pengecut!"
Buntaro tak menjawab. Bahkan kini telah sibuk mengibaskan pedang untuk menangkis hujan anak panah.
"Heaaa...!"
Trak! Irak! "Serangan Bintang Tujuh!" teriak Seda Lepen.
Bersama Ki Wirabuana, Seda Lepen memimpin para prajurit kadipaten. Sementara para tokoh silat yang selama ini disewa Adipati Sangkaran belum juga turun tangan. Tapi tampaknya mereka hanya tinggal menunggu perintah.
Kini, serangan yang disebutkan Seda Lepen membentuk tujuh kelompok, mengelilingi dua mangsa yang tengah diincar. Para prajurit itu ber?senjata golok, pedang, dan tombak.
"Seraaang...!" teriak Seda Lepen.
"Heaaa..,!"
Dari tujuh jurusan para prajurit kadipaten ber?gerak bagai lesatan anak panah. Bersamaan dengan itu, hujan anak panah berhenti, para prajurit pemanah seperti memberi kesempatan pada kawan-kawan mereka untuk mengembangkan serangan.
"Hmm...!"
Rangga dan Buntaro mulai kewalahan menghadapi bentuk serangan yang aneh ini. Setiap se?rangan yang dilakukan tiga orang cuma sekali. Dan mereka telah siap untuk menghindar bila lawan me?nyerang. Setelah aman, maka berikutnya orang di belakang yang ganti menyerang. Begitu selanjutnya hingga kembali pada orang pertama.
Dan serangan seperti itu memang telah terbukti keampuhannya selama ini di medan perang. Se?hingga Seda Lepen dan yang lain merasa yakin bakal mampu menghabisi kedua lawannya dalam waktu singkat Dan itu terbukti ketika....
Cras! Cras! "Aaakh!"
Rangga dan Buntaro terpekik ketika punggung mereka tergores pedang. Dan Buntaro cepat bergulingan untuk mengincar bagian kaki lawan-lawannya. Sementara Rangga melompat ke atas untuk mengincar batok kepala.
"Heaaa...!"
Tras! Bret! "Aaakh...!"
Beberapa prajurit terpekik kesakitan. Tujuh orang pertama roboh bermandikan darah. Tiga korban Buntaro, dan empat hasil sasaran pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti 208 Ancaman Dari Utara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heaaa...!"
Meski berkurang tujuh, namun serangan para prajurit terus dilakukan.
Serangan yang dilakukan Rangga dan Buntaro mengacak ke mana-mana. Kadang mereka menyerang para prajurit yang belum mendapat giliran menyerang. Sehingga, prajurit-prajurit itu kaget. Dan mau tak mau terpaksa menyelamatkan diri. Dengan demikian serangan keseluruhan menjadi kacau balau.
Cras! Bret! "Aaa...!"
Empat orang lagi menyusul. Dan berikutnya, dua orang langsung terlempar ke belakang dengan tubuh berlumuran darah.
"Bentuk Bintang Menurun!" teriak Seda Le?pen.
Entah apa yang dimaksud 'Bintang Menurun'. Namun yang terlihat para prajurit yang mengepung satu persatu melonggarkan serangan. Mereka meninggalkan kancah pertarungan dengan cepat. Sebagai gantinya, regu pemanah kembali menunjukkan kebolehannya.
"Seraaang...!"
Set! Set! "Heaaa..,!"
Dengan geram Rangga dan Buntaro memutar pedang, menangkis dan mematahkan semua anak panah. Namun anak panah berikutnya muncul secepat kilat ke arah Buntaro. Dan....
Crab! "Aaakh...!"
Buntaro menjerit tertahan. Punggungnya tertancap sebatang anak panah, persis di dekat pang?kal lengan kanan. Sehingga gerakannya agak terganggu ketika mengayunkan pedang. Padahal saat itu hujan anak panah belum lagi reda. Dan....
"Hup!"
Rangga berkelebat cepat. Pedangnya mengibas, menghadang anak panah yang hendak merengut nyawa tokoh dari utara itu. ????????????????????????? Tras! Tras!
"Terima kasih. Kau telah menyelamatkanku...," ucap Buntaro, begitu melihat Rangga melumpuhkan seluncur anak panah.
"Lupakanlah," ujar Rangga sambil memasukkan pedang ke dalam warangka di punggung.
Saat itu juga Rangga telah membuat kuda-kuda kokoh. Kedua telapak tangan yang telah digosok-gosok satu sama lain telah menghadap ke atas di samping pinggang. Lalu....
"Aji 'Bayu Bajra'! Heaaa...!"
Wuusss...! Disertai bentakan keras, Pendekar Rajawali Sakti mendorong kedua telapak tangannya ke de?pan, Dari kedua telapaknya, seketika menderu angin kencang yang menerbangkan debu, batu-batuan kecil, serta segala sampah yang ada di depan hingga menghalangi pandangan.
Bukan cuma itu. Regu pemanah pun kontan terkejut. Mereka kontan terlempar ke belakang, dan jatuh setelah menghantam pepohonan hingga tumbang.
"Habisi mereka...!" teriak Adipati Sangkaran, pada tokoh-tokoh persilatan yang disewanya.
? *** "Yeaaa...!"
Sekitar lima belas tokoh persilatan sewaan Adipati Sangkaran berlompatan ke tengah kancah per?tarungan, langsung menyerang Pendekar Raja?wali Sakti dan Buntaro.
"Keparat!" desis Buntaro.
Dengan wajah berkerut menahan geram bercampur marah, laki-laki dari negeri Sakura ini tegak berdiri. Tak dihiraukan lagi luka-lukanya. Sebelah tangannya merogoh saku di balik baju. Begitu mengibas....
Busss...! Disertai letupan kecil, benda itu meledak mengeluarkan asap putih tebal menghalangi pandang?an
"Heaaa...!"
Bersamaan dengan itu, Buntaro bergerak cepat membabat dengan pedangnya. Dan tanpa isyarat sebelumnya, Rangga pun bergerak bersamaan memanfaatkan kesempatan itu.
Bret! Cras! "Aaa...!"
Terdengar jerit kesakitan disertai tubuh-tubuh yang ambruk ke tanah bergelimpangan darah. Dan ketika asap reda, terlihat lima orang tokoh persilatan tergeletak bermandikan darah!
Sepuluh tokoh persilatan lainnya terhenyak. Mereka tanpa sadar melompat mundur bersamaan, masih terkesima melihat gebrakan yang dilakukan Buntaro dan Rangga. Kini tak seorang pun yang berani mendekat sembarangan.
Sebenarnya orang-orang sewaan Adipati Sang?karan bukanlah tokoh sembarangan. Kalaupun lima di antaranya tewas dengan mudah, itu karena terlalu menganggap remeh. Namun yang paling penting, mereka dikejutkan oleh selubung asap putih.
Buntaro memang telah terlatih berkelahi dalam keadaan seperti itu. Sementara Rangga yang memiliki aji 'Tatar Netra' tak mengalami kesulitan untuk mencari sasaran.
"Ayo, kenapa kalian diam saja! Serang mereka! Habisi...!" teriak Adipati Sangkaran kalap.
"Hup!"
Kesepuluh orang persilatan sewaan itu kembali mendekat. Namun mereka kini lebih berhati-hati. Sementara Rangga dan Buntaro saling memunggungi. Mereka berputar pelan, mengikuti gerakan yang dibuat kesepuluh orang itu.
"Hiih!"
Tak! Buntaro mematahkan anak panah yang menancap di punggung, dan memindahkan pedang ke tangan kiri. Wajahnya berkerut. Bukan saja menahan sakit, tapi juga geram dan amarah.
"Kau yakin masih kuat?" tanya Rangga dengan suara setengah berbisik.
"Jangan khawatir. Aku mampu menjaga diri," sahut Buntaro, mantap.
"Bagus! Sebaiknya kaupun menyiapkan peledak yang mampu mengeluarkan asap itu!"
"Mereka tak akan tertipu lagi!"
"Mereka ini binatang sewaan adipati laknat itu! Dan binatang selalu terperangkap dalam lubang yang sama."
Buntaro tak menjawab.
Sing! Saat itu mendesing beberapa buah paku besar berwarna kehitam-hitaman ke arah mereka.
"Awas! Paku ini beracun...!" desis Rangga mengingatkan.
Tring! Buntaro menggerakkan pedangnya, memapak paku-paku beracun yang diarahkan padanya. Demikian pula Rangga. Dan tengah mereka sibuk de?ngan paku beracun itu, kesembilan tokoh sewaan ini lompat mengurung. Dua orang menyabetkan tombak dari belakang.
Bet! Bet! "Hup!"
Namun Rangga dan Buntaro lebih cepat me?lompat ke depan. Pada saat yang sama, dua lawan lainnya siap menyambut dengan babatan pedang. Sementara dua lagi dari arah bawah menyabetkan golok. Sedangkan empat lawan yang tersisa melepaskan senjata rahasia berupa paku beracun.
"Sekarang, Sobat!" teriak Rangga memberi isyarat langsung melenting ke atas.
"Hih!"
Buntaro kembali mengibaskan tangannya yang memegang benda putih sebesar telur puyuh. Tu?buhnya pun telah pula melenting ke atas.
Busss! Asap tebal langsung menghalangi pandangan. Empat lawan yang bertugas melempar senjata ra?hasia sempat melompat ke belakang. Namun enam orang lainnya yang telanjur menyerang dalam jarak dekat, tak mungkin mampu menghindar saat pe?dang Rangga dan Buntaro telah berkelebat dari atas.
Cras! Cras! "Aaakh...!'
Terdengar babatan senjata, yang diselingi te?riakan kesakitan. Enam orang kontan terjungkal ro?boh bermandikan darah.
Set! Set! Pada saat Rangga dan Buntaro masih berada di udara, kembali melesat paku-paku beracun. Tak ada waktu lagi buat menghindar. Sehingga....
Crab! Crab! "Aaakh...!"
Begitu mendarat Buntaro terhuyung-huyung ke belakang. Tampak dua paku beracun menempel di dada.
"Hugkh!"
Tokoh dari utara itu coba bertahan dengan ber?diri tegak. Dari mulutnya mulai menetes darah segar. Matanya liar memandang Adipati Sangkaran.
"Anjing terkutuk itu mesti mati di tanganku!" desis Buntaro geram.
"Kisanak! Diamlah sebentar!" kata Rangga sambil mendekati.
Dua buah jari tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat menotok di sekitar paku beracun yang menancap. Dicabutnya senjata raha?sia itu dari tubuh Buntaro.
"Terima kasih, Kawan...!" ucap Buntaro lirih. "Kau pun terluka!"
Buntaro menunjuk dua buah paku yang me?nancap di punggung Pendekar Rajawali Sakti. Dia tak tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti kebal terhadap segala jenis racun.
"Tak apa," jawab Rangga seraya mencabut kedua paku beracun dengan dua buah jari.
Sementara itu Adipati Sangkaran telah berteriak memberi perintah. Sisa prajuritnya siap dikerahkan untuk membunuh kedua orang yang dibencinya. Namun sebelum mereka bergerak, terdengar suara derap langkah kuda dari kejauhan yang menuju ke tempat itu. Jumlahnya puluhan"
"Pasukan kerajaan tengah menuju ke sini...!" teriak seorang prajurit seraya memacu kuda ke arah Adipati Sangkaran. Agaknya, sejak tadi dia bertugas untuk mengawasi keadaan di sekitar tempat ini.
*** ? "Keparat terkutuk!" desis Adipati Sangkaran geram.
Laki-laki gemuk ini berlari kecil menghampiri kuda tunggangannya.
"Seda Lepen! Wirabuana! Bunuh mereka lekas!"
Setelah berkata demikian, adipati itu memacu kudanya kencang-kencang meninggalkan tempat ini.
Namun setelah adipati itu menjauh, Seda Le?pen pun mengikuti jejaknya.
"Seda Lepen! Mau ke mana kau?" tanya Ki Wirabuana, mengikuti Seda Lepen yang telah melompat ke punggung kuda.
"Kau kira aku mau apa" Mengikuti perintahnya" Tolol sekali! Kita semua akan ditangkap pasukan kerajaan. Sia-sia melawan! Dan lebih tolol lagi kalau melawan mereka berdua. Jalan terbaik saat ini adalah menyelamatkan diri! Kalau kau mau menuruti perintahnya, silakan saja. Lawanlah mere?ka berdua!" sahut Seda Lepen enteng.
"Kalau begitu aku pun tak sudi! Siapa mau mati sia-sia! Sebelas dari lima belas orang itu tewas. Dan sebagian besar prajurit kita pun binasa. Adipati Sangkaran enak-enakan menyelamatkan diri sendiri! Buat apa aku menurutinya"!"
"Kalau begitu tunggu apa lagi" Lekas kita pergi!"
"Heaaa...!"
Kedua orang telengas itu menggebah kuda, meninggalkan sisa prajurit yang kelihatan bingung karena tak tahu harus berbuat apa.
Pada saat itu pasukan kerajaan yang dikatakan tadi telah tiba di sana.
"Semua menyerah atau akan mati di tangan kami...!" teriak seorang laki-laki bertubuh kekar yang berkuda paling depan.
Laki-laki bertubuh besar dengan kumis tebal itu mengacungkan pedang besar ke atas. Matanya nyalang, memperhatikan keadaan di sekeliling?nya. Tidak terlihat perlawanan berarti dari para prajurit kadipaten. Mereka semua melemparkan senjata tanda menyerah.
"Bagus! Itu pilihan baik bagi kalian," dengus laki-laki kekar itu. "Kumpulkan mereka di satu tempat. Dan, ikat kedua tangan mereka semua!"
Setelah itu, laki-laki ini turun dari kudanya. Diperhatikannya mayat-mayat yang bergeletakan di mana-mana. Kemudian pandangannya beralih pa?da Rangga dan Buntaro. Saat ini, keduanya belum lagi menyarungkan pedang.
"Siapa di antara kalian berdua yang bernama Pendekar Rajawali Sakti?" tanya laki-laki berkumis ini.
"Aku...," sahut Rangga.
Laki-laki itu membungkuk, memberi hormat.
"Pendekar Rajawali Sakti.... Aku Arda Winangun, Panglima Utama Kerajaan Pasir Angin menghaturkan hormat padamu!"
"Panglima Arda Winangun, aku pun menghaturkan hormat atas bantuanmu. Terima kasih. Kalau tidak, entah apa yang terjadi pada kami," sahut Rangga.
"Mayat-mayat ini..., apakah kalian yang melakukannya?" tanya laki-laki berkumis yang bernama Arda Winangun.
"Mereka kelewat memaksa. Dan kami mesti mempertahankan diri."
Panglima Arda Winangun mendecah kagum.
"Sebagian dari mereka pernah kukenal. Dan orang-orang ini tergolong tokoh hebat. Tapi sayang, mereka harus berurusan denganmu. Dan akhirnya menemui ajal."
"Ajal mereka di tangan Yang Maha Kuasa dengan meminjam tangan kami...," kata Rangga merendah.
"Pendekar Rajawali Sakti, kau memang kele?wat merendah. Kalian tengah terluka cukup parah kalau tak diobati mungkin akan semakin parah. Kami punya tabib hebat. Maukah kalian ke sana menerima undangan raja kami?"
Rangga dan Buntaro saling berpandangan sejenak.
"Kisanak..., Kau tengah terkena serangan racun. Perlu sedikit perawatan untuk mengembalikan keadaanmu seperti sediakala. Lebih baik menerima tawaran itu...," kata Rangga.
"Bagaimana denganmu sendiri?" tanya Bun?taro.
"Jangan kau pikirkan aku. Bukankah kau ingin menantangku" Nah, obatilah dulu lukamu. Aku ingin pertarungan yang jujur dan bersih," ujar Rang?ga sambil tersenyum manis.
"Sungguh kau berjiwa ksatria sejati, Pendekar Rajawali Sakti! Nantikan aku di Bukit Muria pada dua purnama yang akan datang," sahut Buntaro.
Dan Rangga hanya mengangguk dengan senyum penuh perbawa.
? SELESAI ? Segera muncul: MEMBURU RAJAWALI
? ? Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: lovely Peace
? ? Ancaman Dari Utara
? Daftar Isi Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Pedang Kiri Pedang Kanan 20 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Kasih Diantara Remaja 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama