Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal Bagian 6
Gue menyudahi acara bermain gitar dan memasukkannya ke dalam softcase lalu berjalan ke ruang tengah.
Sepi, ga ada siapa-siapa lagi disini selain gue.
Gue kembali masuk ke dalam kamar lalu mengambil handphone yang tergeletak di atas meja belajar dan mencari nama dari sebuah kontak: Hanif.
Awalnya gue berniat untuk mengajaknya keluar untuk sekedar hangout bareng. Namun setelah dipikir-pikir lagi yang sebenarnya gue ga tau apa yang gue pikirin, akhirnya gue ga jadi mengajak Hanif dan mencari nama selanjutnya: Aya.
Tanpa pikir panjang lagi gue langsung menekan tombol call.
'Hallo.' -'Moshi-moshi... Saat ini Anda sedang berbicara dengan Aya.' 'Jijik gue tib dengernya.'
-'Haha iya ada apa dek"'
'Apakah kakak Aya hari ini sedang kosong"' -'Oh hari ini kakak kosong kok dek.'
'Anterin saya jalan-jalan yuk kak, bosen nih di rumah.' -'Yaudah adek jemput kakak ya...'
'Tib, gue ngerasa kalo elo tuh dongo sedongo-dongonya. Pertama, gue ga punya kendaraan. DAN YANG KE DUA, gue ga tau rumah nenek elo dimana.'
-'HAHAHA...' -'Iya sekarang lo mau kemana emang"' 'Nonton deh yuk.'
-'Yaudah, ketemu di mall ini aja ya jam 12.' 'Oke.'
Tut..tut... Gue menekan tombol end lalu mandi dan bersiap-siap. ***
"Nonton apa nih"" Gue bertanya kepada Aya yang sedang berdiri di samping gue. Tatapan matanya lurus melihat ke arah layar monitor yang terpampang di dinding di belakang mbak-mbak kasir.
"Gue bingung, menurut lo""
"Kan gue nanya ke elo, gue juga bingung Ay!" Gue menoyor Aya namun dengan cepat dia menepisnya.
"Apaan sih maen toyor-toyor aja."
"Ya elu bloon!"
"Brisik! Yang itu aja mau ga"" Aya menunjuk pada salah satu film yang akan diputar.
"Itu film tentang apaan"" Gue bertanya dan Aya hanya menggeleng sambil mengangkat bahu. "Yeee, gimana sih. Gue kira lo tau itu film apaan."
"Gue ga tau. Kalo dari judulnya sih udah menarik dan ada getaran-getaran gimanaaa gitu sama judulnya."
"Sok puitis lo."
"Ah udah yuk yang itu aja, mau ga""
"Boleh deh boleh. Ngantri sana."
"Kok gue"!"
"Emangnya mau siapa lagi""
"Elo kek! Elo kan cowok! Gimana sih jadi cowok kok kayak gini." Dia marah-marah kepada gue. Sambil menggeleng dan menutup telinga sebelah kanan, akhirnya gue mengantri pada antrian yang semakin lama semakin mengular.
*** Kami berdua berjalan keluar dari bioskop setelah mendapatkan tiket dan muter-muter di mall ini tanpa tujuan sambil mengobrol banyak hal. Aya menceritakan tentang perpisahannya, tentang ujian SNMPTN, dan masih banyak lagi. Gue menanggapinya dengan anggukan sambil sesekali merespon dengan 'oh...', 'masa"' dan 'hmmm.'
Lalu kami berdua melewati salah satu toko yang menampilkan fashion khas cewek yang terpasang rapih pada manekin yang mematung di balik dinding kaca. Gue mulai merasa janggal, tidak lagi terdengar ocehan yang keluar dari mulut Aya. Gue berhenti melangkah, melihat ke kiri, ke kanan, lalu melihat ke belakang. Nihil. Gue berbalik dan mulai mencarinya.
Ternyata dia sedang berada di dalam sambil melihat-lihat baju yang dijual oleh toko tersebut. Gue hanya bisa menggaruk-garuk kepala dan menunggunya di luar. Gue mengeluarkan earphone, memasangkannya pada telinga lalu mendengarkan lagu Start-nya Depapepe dan mendengarkan nadanya dengan seksama untuk kembali dipelajari di rumah nanti.
'Listen if you want to learn.' Itulah prinsip gue dalam belajar sesuatu.
Saat gue sedang memejamkan mata sambil menekan salah satu earphone pada telinga untuk memperjelas suara, ada yang menepuk pundak gue dari belakang. Gue langsung melek dan membuka sebelah earphone lalu menoleh ke belakang.
"Udah"" Tanya gue kepada Aya.
"Yuk balik ke atas, udah mau mulai kan"" Aya balik bertanya lalu gue melihat jam di tangan.
"Oke, yuk." Sesampainya di bioskop, Aya menarik ujung sweater gue menuju tempat yang menjual popcorn lalu membelinya. Pesanan kami disiapkan dalam waktu singkat. Gue mengambil dua buah gelas soft drink dan Aya yang membawa popcorn-nya lalu kami berdua berjalan menuju studio. Krauk...krauk...krauk...
Gue mendengar suara orang yang sedang mengunyah, gue langsung menoleh kepada Aya.
"Jangan dimakan dulu!" Gue berkata ketus dan menyenggol lengannya dengan sikut. Andai saja gue lagi ga memegang minuman, gue sudah mengambil popcorn tersebut dari tangan Aya.
"Biawin! Manyis!" Dia menjawab sambil mengunyah
"Awas aja kalo gue ga kebagian, di dalem nanti gue ga bakal kasih minuman ini ke elo ya!" Gue mengancam kepada Aya. Sekonyong-konyong dia langsung manyun dan berhenti mengambil popcorn dengan tangannya yang membuat gue tertawa.
Kami berdua duduk bersebelahan. Gue menyimpan minuman pada tempat yang telah disediakan lalu bersandar sambil menonton iklan yang ditayangkan. Sebelah tangan gue terjulur ke samping dan meraba-raba tempat dimana Aya menyimpan popcorn tersebut. Bukannya ember popcorn yang gue raih melainkan (tanpa sengaja) gue memegang paha Aya.
"MESUM!!!" Gue menoleh dengan kaget dan melihat Aya sedang memasang tampang menyeramkan sambil mengangkat ember popcorn dengan tangannya.
"Eeeh sori-sori! Gue ga sengaja! Sumpah deh! Gue cuman mau ngambil popcorn doang!" Gue buruburu meminta maaf kepadanya sambil menunjuk popcorn di tangannya. Ternyata ada beberapa pasang mata yang melihat ke arah gue. Untungnya suasana disini agak redup jadi mungkin mereka ga bisa melihat wajah gue yang sepertinya sudah memerah.
"NGOMONG MINTA KEK!" Ujarnya ketus.
"Iya-iya, sori deeeeh..."
Aya memberikan popcornnya dan gue langsung mencomot banyak-banyak.
"Laper"" Tanya Aya.
"Bawel!" "Tadi lo malu gak"" Aya bertanya dengan cengengesan sambil memasang wajah tengil.
"Berisik!" Gue mengambil satu popcorn dan melempar kepadanya, dia hanya tertawa cekikikan.
Ga lama kemudian, film yang ditunggu-tunggu pun akhirnya diputar lalu kami berdua larut menikmati film tersebut.
*** Kami berdua baru selesai menonton sekitar dua jam kemudian dan memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Ternyata oh ternyata, sesampainya kami di lantai satu, ternyata hujan sudah turun dengan lebat dan terbilang sangat lebat. Aneh. Ini sudah memasuki pertengahan tahun dan seharusnya sekarang sedang berada pada musim kemarau.
"Bawa jazz hujan""
"Jazz"" Aya terlihat heran.
"Jas woi, jas. Ah gitu aja ga tau lo. Payah!"
"Bawa kok, kenapa""
"Satu apa dua" Kalo satu mah mending nungguin hujan reda dulu aja daripada entar muka elo merah lagi pas gue pakein hood-nya." Gue meledek Aya.
"Ih lo apaan sih..." Dia meninju lengan gue dan gue tertawa kecil. "Gue bawa dua kok."
"Yaudah mau balik sekarang apa nanti""
"Hmm..." "Ujan-ujanan mau""
"..." Gue memperhatikan Aya sambil mengkerutkan kening. Bukannya gue ga mau ujan-ujanan, gue cuman males kena demam sama flu lagi. Tapi dengan memperhitungkan waktu yang semakin sore, gue pun menyetujuinya.
"Oke. Bentar ya nyari ojek payung dulu." Gue langsung pergi menuju pintu keluar.
"Payung A'." Ada seorang anak kecil yang menghampiri gue sambil menjulurkan sebuah payung yang ukurannya lebih tinggi dari anak tersebut. Anak ini sudah basah bermandikan air hujan dari ujung kepala hingga ujung kakinya yang telanjang tanpa alas kaki. Sesekali dia menyeka air yang mengalir pada wajahnya sambil tetap menyunggingkan sebuah senyuman. A tough kid in a cruel world. Gue langsung mengambil payung dari tangan anak tersebut.
"Berapa dek""
"Lima ribu 'a."
"Oke, bentar ya." Gue menyuruh anak kecil tersebut dan dia membalasnya dengan anggukan lalu gue kembali ke dalam.
"Ayo Ay. Gue dapet payung." Gue memanggil Aya dan mengangkat payung yang gue pegang.
"Sini dek, bareng aja biar ga kehujanan." Gue mengajak anak kecil tersebut untuk berteduh di bawah payung yang ternyata berukuran cukup besar untuk dipakai bertiga.
"Teu kedah A'. Teu kunanaon." Jawabnya. Gue mengkerutkan kening lalu menoleh kepada Aya sambil mengangkat alis.
"Katanya ga usah, ga apa-apa..." Bisik Aya.
"Sini aja bareng dek, ga apa-apa." Gue kembali membujuknya.
Dengan tampang yang ragu-ragu, dia mendekati kami berdua dan akhirnya dia berdiri di bawah payung yang sama. Kemudian kami bertiga menyeberangi jalan dan memasuki parkiran yang berada di sebuah toko buku yang berlokasi di seberang mall. Gue tersenyum kecil saat melihat tangan mungil anak kecil ini dengan sigapnya terangkat dan membuka telapaknya lebar-lebar untuk memberhentikan kendaraan yang melintas.
Tangan Aya melingkar pada lengan kiri gue yang sedang memegang payung sementara tangan gue yang satunya lagi memegang anak kecil tersebut. Alhasil baju sebelah kanan gue pun ikut-ikutan menjadi basah karena gue sengaja memepetkan diri dengan anak kecil tersebut agar dia tetap terhindar dari air hujan. Beberapa saat kemudian Aya berbisik di telinga gue.
"Kita kayak yang udah nikah aja ya, sepayung bertiga sama anak kecil hihihi." Gue hanya tersenyum kecil untuk menanggapinya.
Kami bertiga sampai pada parkiran di toko buku, gue mengucapkan terima kasih kepada anak kecil tersebut sambil menutup payung lalu mengembalikannya. Gue mengambil dompet dan mengeluarkan uang yang bernominal lebih dari yang telah ditawarkan olehnya.
"Eleuh A', meuni seeur pisan..." Dia masih memegang uang tersebut pada telapak tangannya yang
terbuka. Walaupun gue ga tau apa arti dari omongannya, tetapi gue mengerti bahwa dia menolak pemberian gue. Gue tersenyum sambil memegang dan menutup telapak tangannya.
"Hatur nuhun atuh 'A..." Anak kecil tersebut tersenyum girang lalu berlari kecil menjauhi kami berdua. Gue masih memperhatikan dia yang sedang berlari hingga punggungnya hilang di belokan.
"Lo kok ngasihnya banyak banget"" Aya membuyarkan lamunan gue.
"..." Gue menghela nafas sebentar.
"Hari ini kita udah ngeluarin uang ratusan ribu cuman buat nonton film di kursi yang nyaman dan empuk sambil makan makanan yang pastinya menurut mereka sangat mewah. Gue yakin kalo mereka engga setahun sekali bisa merasakan hal seperti apa yang kita rasakan. Kita harus rajin-rajin bersyukur untuk apa yang sudah kita punya karena masih banyak orang yang seperti anak kecil tadi di luar sana, yang bahkan untuk makan sehari sekali pun sulit." Gue berkata panjang lebar. Aya tersenyum setelah mendengar perkataan gue.
"Mana sini kunci motor lo" Gue ambil jas hujannya."
"Nih..." Aya memberikan kunci motornya. Gue berlari kecil ke arah motor sambil menutupi kepala untuk menghindari hujan. Setelah mendapatkan dua pasang jas hujan, gue kembali berlari menuju Aya.
"Nih. Lo pake sendiri bisa kan""
"Ya bisa laaah!" Gue tertawa kecil lalu memakai jas hujan.
"Fal..." "Hmm"" Gue ga menoleh dan masih tetap mengenakan celana jas hujan.
"Gue..." "Gue suka sama lo..."
Aktivitas memakai jas hujan gue langsung terhenti. Kepala gue menengadah dan menatap kosong kepada air hujan yang turun mengguyur bumi setelah mendengar perkataannya.
Part 70 My Decision 'Kereta api Turangga tujuan Surabaya Gubeng telah tersedia di jalur satu, bagi para penumpang...'
Suara announcer memberitahu bahwa kereta yang akan gue tumpangi sudah siap di jalurnya. Gue melihat nomor seat dan gerbong pada tiket lalu bangkit berdiri.
"Gue balik dulu ya Ay."
"Iya, hati-hati ya di jalan." Aya tersenyum.
"Sini gue bantuin bawa barang bawaannya." Dia mengambil ransel yang gue bawa, lalu kami berdua berjalan beriringan menuju rangkaian kereta.
Dulu sebelum adanya sistem boarding pass di stasiun-stasiun seperti sekarang, para pengantar penumpang masih bisa memasuki wilayah stasiun dengan cara membeli karcis peron.
"Lo mau ikut gue balik" Takut kangen sama gue ya"" Gue menyindir Aya.
"Ih apaan sih lo! Sanaaa entar ketinggalan kereta!" Aya mendorong punggung gue dan gue tertawa cekikikan.
Aya mengantar hingga ke depan pintu gerbong. Gue menaiki tangga lalu berbelok dan duduk pada seat yang telah ditentukan. Gue menatap ke arah jendela sambil bertopang dagu, melihat kepada Aya yang masih menunggu di luar gerbong. Ga lama kemudian terdengar peluit yang dibunyikan oleh sang kondektur yang menandakan bahwa kereta sudah aman untuk berangkat lalu dibalas oleh masinis yang membunyikan Semboyan 35 atau klakson dari lokomotif, dan kereta yang gue tumpangi pun berjalan perlahan.
Gue melambaikan tangan kepada Aya dari balik kaca, dia pun melakukan hal yang sama dan berkata sesuatu namun tidak terdengar oleh gue. Dari gerakan bibirnya yang dapat gue tangkap, dia berkata 'hati-hati.' Gue mengangguk sambil tersenyum lalu gue kembali melihat Aya membuat gerakan seseorang sedang menelpon, gue kembali mengangguk.
Kereta pun berjalan ke arah timur sambil menambah kecepatan dan menjauhi stasiun, meninggalkan Aya yang masih berdiri di belakang sana. Gue menyandarkan kepala ke belakang dan beberapa saat kemudian pikiran gue menerawang, mengingat kembali kejadian hari di kemarin lalu tersenyum.
Semoga gue ga salah ambil keputusan...
Ya, semoga........... .......................
............. .... *** Mulut gue masih tertutup semenjak kami berdua keluar dari pelataran halaman parkir toko buku. Sekarang gue sedang berkonsentrasi melihat jalanan yang jarak pandangnya sangat minim, gue hanya bisa berpatokan kepada lampu belakang mobil untuk mengetahui apa yang berada di depan. Ketika hujan mulai mereda dan jarak pandang semakin jelas, gue langsung menambah laju kecepatan motor agar bisa cepat-cepat berada di rumah. Gue merasakan bahwa genggaman Aya pada jas hujan yang gue kenakan semakin keras seiring dengan bertambahnya kecepatan motor.
Gue parkir di depan pagar lalu buru-buru membukanya. Aya mengambil alih kemudi motor dan memasukkannya ke sudut garasi sementara gue melepaskan jas hujan dan masuk ke dalam rumah. Gue mengambil handuk kering dari lemari lalu kembali berjalan keluar untuk memberikannya kepada Aya.
"Thank you." Ucap Aya setelah gue memberikan handuk. Gue membalasnya dengan anggukan. "Masuk ke dalem Ay." Gue menyuruh Aya untuk masuk.
Tanpa basa-basi lagi dia mengikuti perintah gue dan masuk ke dalam sementara gue masih berdiri di teras rumah, memikirkan kata-kata apa yang harus gue ucapkan kepada Aya. Perlahan hujan mulai mereda seiring dengan beranjaknya sang matahari yang menghilang di ujung barat, menyisakan titik-titik embun pada rumput di tanah. Gue menghirup udara dingin dalam-dalam lalu masuk ke dalam rumah.
"Ay..." Gue memanggil Aya.
"Ya"" Dia melihat gue.
"Soal omongan yang barusan, gue ga tau harus jawab apa..." Gue berkata sambil bersandar pada kusen pintu dan menatapnya, namun Aya mengalihkan pandangannya dari gue dan melihat ke sudut ruangan.
"Iya, ga apa-apa kok..."
"Gue... gue cuman ingin ngomong apa yang gue rasain ke elo..." Kepalanya mulai menunduk.
"Kalo boleh tau, sejak kapan dan kenapa""
"Hhhh..." Aya menghela nafas, lalu beberapa saat kemudian dia berbicara.
"Sejak kita berdua ketemuan di cafe waktu lo putus sama Hanif dulu, gue ngerasa ada sesuatu dari diri dan tatapan mata lo yang menarik buat gue, entah apa. Pas kita pulang dari cafe, gue baru sadar sesuatu dari diri lo itu apa, gue dapet salah satu perhatian kecil dari lo. Lo rela ngasih jaket yang lo pake buat gue walaupun lo sendiri akhirnya jadi sakit gara-gara kedinginan di tengah perjalanan, iya kan""
"..." Gue mengangguk.
"Tadi juga gue ngeliat sisi lain dari diri lo. Lo punya hati yang besar. Lo ga canggung ngajakin anak kecil tukang ojek payung buat berdiri di bawah payung yang sama yang mungkin orang lain ga mau ngelakuin hal itu. Terus lo juga udah terlihat dewasa di mata gue dari omongan yang lo ucapkan buat gue dan itu semua membuat gue yakin bahwa gue ga salah udah suka sama lo."
"..." "Gue yakin, kalo perasaan yang gue rasa buat lo itu sebenernya lebih dari perasaan suka biasa."
"..." Gue berjalan dan duduk di sofa di samping Aya sambil menggenggam kedua tangan dan menundukkan kepala.
"Gue harap..." Aya merubah posisi duduknya menghadap gue. Perlahan tangannya mulai menggenggam tangan gue.
"Kita bisa berhubungan lebih dengan apa yang kita jalani sekarang..."
DEG!!! Yang gue takutkan pun terjadi. Aya memiliki perasaan yang lebih dari sekedar 'suka' kepada gue, namun gue sendiri sama sekali ga punya perasaan apa-apa kepadanya karena gue masih menyimpan dan menjaga perasaan gue untuk Hanif.
"Ay..." Gue menoleh dan membalas genggaman tangannya. Wajahnya menyiratkan bahwa dia menyimpan sebuah harapan yang besar kepada gue.
"Thank you, lo udah 'suka' yang lebih dari sekedar 'suka' sama gue. Tapi... Am so sorry..."
"..." Kepalanya tertunduk, gue menggenggam tangannya lebih erat.
"Gue belum bisa menjalani hubungan yang lebih dari ini, gue belum siap buat menjalani hubungan yang lebihsama lo. Gue ga bisa bohong sama diri gue kalo gue sendiri masih memiliki perasaan buat... Yah, lo tau siapa orangnya."
"Gue ga mau kalo misalkan kita berpacaran, gue masih punya perasaan yang terbagi untuk orang lain, bukan sepenuhnya buat elo."
"Kenapa"" "Kenapa lo masih punya perasaan buat dia Fal"" Suaranya mulai bergetar.
"..." Gue menggeleng.
"Kenapa lo masih punya perasaan sama dia, padahal dia udah ngehancurin hati lo"" Aya meninggikan suaranya, air matanya mulai mengalir.
"Perasaan ini masih sama dengan yang dulu Ay, perasaan gue buat dia masih belum berubah, masih sama seperti saat gue merasakan hal ini untuk pertama kalinya... Dan sebisa mungkin gue menjaga perasaan gue walaupun gue udah disakitin sama dia..."
"Kenapa Fal" Kenapa..." Dia menutup mulutnya menggunakan tangan sambil menggeleng dan mulai menangis terisak-isak.
Gue merubah posisi duduk untuk lebih dekat dengan Aya, lalu gue memeluknya sambil mengelus rambutnya yang sedikit basah. Aya membalas pelukan gue. Bahunya bergetar hebat, air matanya mengalir deras membasahi pundak gue.
"Gue sayang sama lo... Gue sayang banget..." Ujarnya lirih sambil tetap terisak.
"Iya... Gue tau Ay, gue tau..." Gue mempererat pelukan dan mengelus lembut rambutnya.
Gue ga tau kenapa gue melakukan hal ini. Gue cuma berpikir bahwa ini merupakan satu-satunya cara yang bisa gue lakukan untuk bisa membuatnya tenang. Beberapa saat kemudian tangisannya mereda. Dia melepaskan diri dari pelukan gue dan mengelap sisa-sisa air mata pada pipinya.
"Muka gue jelek yah kalo lagi nangis"" Ujarnya sambil tersenyum.
"Ah dari dulu sampe sekarang lo emang jelek kok!" Gue menggodanya.
"Ish, gue cantik tau hahaha." Dia sedikit tertawa.
"Emm, gue balik sekarang ya" Udah malem juga soalnya." Aya langsung berdiri dan menyelendangkan tas kecil yang dibawanya.
"Iya, hati-hati di jalan ya Ay."
"Oke..." Gue mengantar Aya hingga ke depan gerbang sambil membantunya mengeluarkan motor.
"Ay..." "Hmm"" Aya menoleh dari atas motornya.
"Kita..." "Kita ga ada yang berubah kan" Setelah semua ini" Kita masih tetep gini kan""
"..." Aya tersenyum dan menggeleng.
"Nothing changes between us." Dia berkata dengan lembut dan gue merasa lega setelah mendengarnya. Kemudian dia menarik tuas gas dengan perlahan.
"Eh, bentar Ay!" Gue menahan pergelangan tangannya. "Besok gue balik, anterin gue ke stasiun ya"" Pinta gue.
"Apa sih yang engga buat lo Fal." "Yaudah ya, dadaaah! See you tomorrow!"
Lalu perlahan motornya pergi meninggalkan pelataran rumah dan menghilang di persimpangan jalan. Gue melipat tangan di dada, lalu menutup pagar dan masuk ke dalam rumah.
Ya, i wish we would never change...
Part 71 I am Back Gue beranjak dari kasur menuju kamar mandi untuk sekedar sikat gigi dan cuci muka lalu kembali ke kamar. Gue membuka jendela sambil mengunyah roti bakar buatan bibi. Udara pagi ini langsung menerpa wajah gue dan menyeruak masuk ke dalam ruangan, suara tonggeret saling bersahutsahutan dari atas pohon yang membuat suasana pagi ini begitu tenang. Gue kembali menggigit roti kemudian berlalu dari kamar.
"Papah kemana mam" Udah berangkat"" Gue bertanya kepada nyokap sambil menyeruput teh manis yang dipegang.
"Iya Kak, papah udah berangkat dari tadi pagi." Jawab nyokap sambil menonton tv.
Gue hanya membulatkan bibir dan melihat kepada jam yang ternyata sudah menunjukkan angka 9. Gila, gue kebo banget! Batin gue. Saat seperti sekarang ini memang enaknya duduk diam di atas kasur sambil memegang stik ps lalu menyelesaikan misi dalam game Devil May Cry. Tanpa pikir panjang, gue langsung masuk ke dalam kamar dan mencari-cari ps.
Gue membuka lemari tempat biasa bibi menyimpan ps, ternyata kosong. Gue mengecek kolong tempat tidur, masih kosong. Gue memegang pinggang sambil celingukan. Bingung.
"Maaaam..." Gue berteriak dari dalam kamar.
"Ada apa Kak"" Balas nyokap dengan sedikit berteriak, lalu gue memutuskan untuk menghampirinya di dapur yang sedang memasak dengan bibi.
"PS kakak kemana mam""
"Kamu ini udah hampir seminggu disini tapi baru sadar sekarang. PS mu dikasih buat Bimo sama papah, kamu kan udah punya ps 3 toh""
"Iya sih..." Yah, gue sebenernya gak rela ps gue dikasih buat Bimo. Tapi mau gimana lagi" Bokap sudah bertindak, ga bisa diganggu gugat. Oiya, Bimo adalah anak dari tante gue alias adik sepupu gue. Dia masih duduk di bangku kelas 4 SD. Kadang-kadang dia menjadi partner in crime gue kalo dia lagi berkunjung ke rumah.
Gue merebahkan diri di atas kasur dan melihat langit-langit sambil menyimpan tangan di atas dahi. Kemaren-kemaren gue udah main sama dua homo Dimas sama Suryo dan hari ini mereka berdua ga bisa gue ajak main.
Dimas, dia sedang berada di dalam perjalanan menuju Yogyakarta bersama keluarganya. Suryo, dia lagi kedatangan saudara di rumahnya dan alhasil gue sendirian disini, ga ada temen. Gue bangkit dari kasur dan menyambar jaket yang tersimpan di belakang pintu.
"Kakak pergi keluar bentar mam!" Gue berteriak dari garasi sambil mengeluarkan sepeda.
"Kemana kak"" Tanya nyokap.
"Main sepedaaa!" Jawab gue sambil berteriak.
Dengan earphone terpasang di telinga, gue mengayuh sepeda menuju antah berantah. Gue hanya mengikuti kemanapun arah sepeda ini pergi. Gue bersepeda di sisi jalan, bersisian dengan motor dan mobil yang melaju dengan kencang. Kadang-kadang gue bersin karena menghirup debu yang ditinggalkan olehnya.
Saat sedang asyik-asyiknya mengayuh, handphone yang disimpan di saku celana terasa bergetar. Gue menepi sebentar lalu melihat siapa yang menelpon gue. Setelah melihat nama yang terpampang di layar, gue memencet tomboll answer lalu kembali bersepeda.
'Iya halo, ada apa Ay"'
-'Gue bete nih di rumah, lo lagi ngapain disana"' 'Gue" Lagi tidur.'
-'Tidur" Kok ada suara motor"' 'Iya gue tidur di tengah jalan.' -'Ah bohong ah!'
'Haha iya-iya gue lagi jalan-jalan.' -'Jalan-jalan" Sama siapa"' 'Sama pacar! Kenapa"' -'Ih, lo bohong kan"'
Aya bertanya dengan nada yang super serius sementara gue mati-matian nahan ketawa.
'Lo cemburu ya" Hahahaha.' Tawa gue meledak disini. -'Ih enggak kok! Ah udah ah gue bete sama lo!'
Tut...tut...tut... Telpon dimatikan secara sepihak. Gue masih senyam-senyum sendiri sambil melihat kepada layar handphone yang cahayanya mulai meredup. Ternyata, sangat mudah sekali membuat Aya menjadi seorang yang pencemburu seperti itu. Gue menaikkan volume earphone, lalu melanjutkan berkeliling dengan sepeda.
*** Gue mengarahkan sepeda ke dalam garasi dan memarkirkannya di depan mobil, lalu masuk ke dalam rumah melalui pintu samping sambil menenteng kresek hitam yang berisi 3 buah DVD The Lord of The Ring yang gue beli tadi. Kalo kata anak gaul sekarang yang suka update status di Path, gue mau nyoba yang namanya movie marathon.
'YOU, SHALL, NOT, PAAASSSS!'
-'Gandaaaalf!' 'Run, you fools!' -'Gandaaaaaaaaalllffff!!!!'
Ya, itu adalah salah satu scene dari film The Lord of The Ring yang sangat gue hafal hingga saat ini.
Salah satuscene yang menurut gue lengendaris, scene dimana Gandalf yang bertarung melawan Balrog di dalam Gunung Moria dan akhirnya Gandalf memenangkan pertarungan tersebut walaupun dia sendiri hampir mati.
Cahaya jingga keemasan menyeruak masuk ke seisi ruangan rumah. Beberapa jam berlalu dengan cepat dan sangat tidak terasa karena gue larut menikmati film ini. Gue mem-pause film lalu turun dari sofa dan beranjak ke kamar untuk mengecek handphone.
Dan benar, ada beberapa sms dari Aya yang belum sempat terbaca.
Saat hendak membalasnya, pintu gerbang terbuka dan terdengar mobil Jimny yang biasa digunakan oleh bokap untuk pergi bekerja sedang diparkirkan di pelataran. Gue menyimpan handphone dan pergi keluar untuk menghampiri bokap.
"Hallo pap." Gue menyalimi bokap yang baru turun dari mobil.
"Nih tolong bawain ini, simpen di dalem." Bokap memberikan plastik yang berisi buah-buahan.
Gue langsung ngacir dan menyimpan buah di atas meja makan lalu stand by di atas sofa dan kembali melanjutkan menonton film. Bokap masuk lalu duduk di samping gue dan beliau langsung menyandarkan diri pada sofa. Gue menoleh kepadanya, ternyata beliau sedang memejamkan mata. Gue memundurkan badan dan bersandar pada pundak bokap sambil melipat kaki di atas sofa dan kemudian beliau melingkarkan tangannya pada pundak gue.
"Cape pap"" Gue bertanya.
"Yaaa, lumayan. Bikinin papah kopi sana kak, gula nya jangan banyak-banyak." Ujarnya sambil terpejam.
Gue bangkit dari kursi dan pergi ke dapur. Disana ada nyokap yang sedang mempersiapkan makan malam bersama bibi, gue mengobrol-ngobrol sebentar sambil menyeduh kopi. Kini kopi hitam kesukaan bokap sudah siap dengan asapnya yang masih mengepul. Gue kembali ke ruang tengah dan menyimpannya di atas meja di samping sofa.
"Nih kopinya pap."
"Kamu kapan pulang lagi kesana"" Bokap menegakkan badannya lalu menyeruput kopi.
"Hah"" Gue menatap beliau heran.
Semenjak gue berada disini, kami berdua baru membicarakan tetang 'hal ini' sekarang, hari ini. Sebenarnya gue sudah pasrah dengan keadaan, entah apakah gue akan kembali lagi kesana atau pindah sekolah disini, gue sudah ga peduli lagi. Tapi setelah beliau berkata seperti itu, gue menjadi bingung sendiri.
"Kok malah bengong sih kak""
"Kakak ga jadi pindah kesini pap"" Gue bertanya heran.
"PS kamu dibawa ga yang disana"" Tanya bokap tanpa menjawab pertanyaan gue.
"Engga." Gue menggeleng.
"Terus nanti kamu disini mau main apa""
"Papah ga mau kalo kamu pindah kesini terus nanti uring-uringan minta ps baru."
"Jadi..." "Kakak ga jadi pindah pap""
"Udah beli tiket pulang belum"" Bokap bertanya tanpa menjawab pertanyaan gue, lagi.
"Belum." Gue kembali menggeleng.
"Sana gih cepet beli." Bokap mengeluarkan dompet lalu mengambil beberapa lembar uang sementara gue terbengong-bengong.
"Yaat... Dayaaat...."
"Iya pak"" Mas Dayat datang.
"Anterin kakak nih beli tiket pulang. Jangan kelamaan di jalan nanti ga dapet tiketnya." Bokap memberi kunci mobil kepada mas Dayat.
"Siap pak!" "Ayo den, mau pergi sekarang""
"Udah sana beli dulu kak." Ujar bokap sambil tersenyum seraya mengelus kepala gue.
Senyuman gue langsung merekah. Gue buru-buru masuk ke dalam kamar dan berganti pakaian dalam waktu singkat.
"Ayo mas, pergi sekarang!"
*** Kereta yang gue tumpangi saat ini sedang transit di Stasiun Tugu, Yogyakarta, untuk menaik turunkan penumpang. Suasana stasiun pada siang hari ini terbilang cukup padat. Banyak sekali orang-orang yang sedang menarik kopernya dan ada juga beberapa penumpang yang menggunakan jasa porter untuk membawa barang-barang bawaan mereka.
Porter-porter tersebut memiliki tenaga yang sangat besar, gue melihat ada beberapa porter yang membawa kardus-kardus besar yang disimpan di atas pundaknya sementara tangan yang lainnya menarik koper, diikuti oleh si pemilik barangnya yang mengekor di belakang. Gue hanya bisa memperhatikan mereka dari balik kaca sambil berdecak kagum atas usaha mereka untuk mendapatkan rezeki.
Gue membenarkan posisi duduk lalu memasang earphone pada telinga. Waktu transit ini tidak terlalu lama, hanya memakan waktu sekitar 7-10 menit saja. Kereta yang gue tumpangi baru berangkat ketika sudah selesai menaik turunkan penumpang dan bersilang dengan kereta lain yang baru masuk di stasiun.
Baru beberapa saat setelah kereta berjalan, ada seorang penumpang wanita yang berjalan dari arah pintu di belakang kursi gue. Rambut wanita itu dikuncir kuda dan dia mengenakan sebuah ransel pada punggungnya. Dia melewati gue sambil melihat tiket yang dipegang pada tangan kanannya. Untuk sesaat, gue merasa sangatfamiliar dengan sosoknya. Gue mencoba mengingat-ingat kembali siapa orang tersebut.
Apa dia" Ah, Masa sih" Gue menegakkan badan untuk kembali melihatnya. Ternyata dia sudah berjalan menuju gerbong lain. Tanpa pikir panjang, gue melepas earphone lalu sedikit berlari mengejarnya yang sudah berada di bordes kereta.
Part 72 Makan Siang Dengan tergesa-gesa gue berjalan melewati lorong kereta dan melewati beberapa penumpang yang sepertinya mengomel saat gue menabrak mereka. Peduli lah... Gue membuka pintu geser lalu menerawang ke depan. Cewek tersebut masih tetap berjalan lurus sambil celinguk kanan-kiri. Sepertinya dia masih mencoba menemukan seat miliknya. Kemudian gue mempercepat langkah kaki untuk mendekatinya.
"Van! Vanny!" Gue berteriak sambil melambaikan tangan.
Di dalam hati gue berdoa, semoga gue ga salah memanggil. Takut-takut kalo dia bukan cewek yang gue kenal atau nanti ada orang lain yang menengok karena memiliki nama yang sama, kan ga lucu jadinya. Untungnya, cewek yang sedari tadi berjalan lurus itu menoleh kepada gue setelah gue memanggil namanya. Dan dia memang benar seorang Vanny.
Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rambut kuncir kudanya bergoyang seirama dengan gerakan kepalanya. Gue melihat ada beberapa helai rambut yang tergerai di depan telinganya, Vanny memakai kemeja berwarna merah pastel yang lengannya dilipat hingga ke sikut dan kakinya dibalut dengan celana jeans selutut. Dia masih menatap gue dengan heran sambil menggenggam tiket yang berada di tangan kanannya. Lalu beberapa saat kemudian, ekspresi wajahnya berubah dan dia menghampiri gue dengan sedikit berlari.
"Naufal"" Dia menunjuk gue dengan telunjuknya.
"Iya, hallo Van." Gue tersenyum sambil menyimpan tangan di saku celana.
"Lo ngapain disini"" Vanny bertanya. Sebelumnya, waktu di perpustakaan dulu, dia menggunakan bahasa 'aku-kamu', sama seperti Hanif. Namun sekarang dia menggunakan prokem 'lo-gue'. Baguslah.
"Gue abis pulang kampung terus sekarang mau balik. Lo sendiri""
"Sama, gue juga abis pulang kampung."
"EHM." Ada suara berdehem dari seorang bapak-bapak yang berdiri di belakang gue. Gue menoleh dan mengangguk sambil tersenyum. Gue mengerti 'kode' yang diberikan oleh bapak-bapak tersebut lalu mengajak Vanny untuk pergi dari situ.
"Ayo Van, gue bantu cariin kursi lo. Belum dapet kan""
"Belum." Vanny menggeleng. "Yaudah yuk."
"Sini gue bawain tas lo." Gue menawarkan diri. Dia langsung memberikan tas punggungnya kepada gue.
Vanny berjalan di depan sementara gue mengikutinya dari belakang. Kami berdua masuk ke dalam kereta makan lalu bertanya kepada petugas yang berada disitu. Ternyata seat milik Vanny masih berada di gerbong selanjutnya. Kami berdua berterima kasih lalu kembali berjalan.
"Akhirnya ketemu juga seat gue." Vanny merebahkan badannya pada kursi sementara gue ransel miliknya di bawah.
"Yaudah gue balik ke kursi gue dulu ya."
"Eh, lo emang dimana duduknya"" Vanny menegakkan badan.
"Eksekutif 4." Jawab gue santai.
"Oh yaudah deh, gue mau istirahat dulu bentar." Ujarnya. Gue tersenyum lalu melambaikan tangan dan kembali menuju bangku gue.
*** Sekitar pukul setengah tiga sore, kereta api Argo Wilis mulai memasuki bumi parahyangan yang khas dengan pegunungan hijaunya serta jalur kereta yang berkelok-kelok. Gue menatap bukit-bukit yang menjulang tinggi beserta pohon-pohon yang tumbuh di sekitarnya melalui kaca sambil bersandar pada kursi. Lalu tiba-tiba perut gue keroncongan, laper. Gue belum memakan apapun semenjak menaiki kereta ini tadi pagi. Akhirnya gue memutuskan untuk berjalan menuju kereta makan.
"Mbak, nasi goreng sama teh manis hangat satu." Gue berbicara kepada mbak-mbak prami sambil mengangkat telunjuk.
"Oke sebentar ya dek..."
"Eh mbak, tolong pesanan saya disimpen dulu ya. Saya nanti kesini lagi." Pinta gue, mbak-mbak tersebut membalas dengan senyuman sambil mengangguk.
"Baik dek, saya siapkan dulu pesanannya."
Gue berjalan keluar dari kereta makan menuju gerbong selanjutnya, berjalan menuju tempat dimana Vanny berada. Saat sudah beberapa langkah di belakangnya, gue melihat bahwa dia sedang asyik membaca sebuah novel sambil mengangkat sebelah kakinya pada kursi.
"Van..." Gue mencolek bahunya.
"Eh, ada apa Fal"" Vanny membenarkan posisi duduknya sambil melihat ke arah gue.
"Temenin gue makan siang yuk di kereta makan." Gue menunjuk ke arah gerbong di belakang menggunakan ibu jari.
"Ayo deh, gue juga laper soalnya." Vanny langsung memasukkan kembali novel ke dalam ranselnya lalu turun dari kursi dan mengikuti gue berjalan menuju kereta makan.
Gue langsung duduk di salah satu meja di samping kiri sementara Vanny berjalan ke arah pantry. Sambil menunggu Vanny memesan, gue mengeluarkan handphone dari saku celana dan terlihat ada sebuah sms dari Aya yang menanyakan keberadaan gue dan dia menawarkan diri untuk menjemput di stasiun. Belum sempat membalas sms dari Aya, ada seseorang yang mengajak gue ngobrol.
"SMS-an sama siapa"" Vanny membuyarkan konsentrasi gue, ternyata dia sudah duduk di seberang meja sambil bertopang dagu dan menatap ke arah gue.
"Eh, temen gue kok. Kenapa"" Gue berkata sambil menyimpan handphone ke dalam saku celana.
"Temen" Atau..." Dia memasang wajah tengil.
"Hah" Siapa""
"Hanif"" Selidiknya
"Hahaha..." Gue sedikit tertawa yang dipaksakan. "Van, lo belum tau ya kalo gue udah putus sama dia""
"Tau kok, barangkali aja lo masih kontak-kontakan gitu""
"Kontak sih masih, tapi cuman di sekolah doang. Selebihnya, hampir ga pernah kontak apa-apa." "Eh, lo ngapain naik kereta dari Jogja"" Gue bertanya sambil mengalihkan perhatian.
"Gue liburan di Jogja."
"Oooh, terus kok lo balik sendiri" Ortu lo kemana""
"Nyokap gue tinggal di Jogja, bokap di Bandung."
"Sorry nih kalo gue nanya kayak gini, apa ortu lo berdua..." Gue ga meneruskan pertanyaan dan sepertinya Vanny sudah mengetahui kemana arah pembicaraan tersebut.
"Hahaha, enggak kok. Bokap gue emang dapet kerjaan di sana, gue sekeluarga selalu pindah-pindah ngikutin bokap. Tapi pas bokap mau pindah dari Jogja, nyokap ga mau ikut. Katanya capek pindah rumah terus, lagian di Jogja juga rumah gue tuh deket sama rumah Oma di Magelang. Jadi itu salah satu alasan nyokap buat ga pindah rumah lagi." Ujarnya santai.
Obrolan kami berdua terhenti setelah ada pelayan yang datang sambil membawa pesanan kami berdua. Gue menatap nanar hidangan yang tersaji di atas meja. Dengan buru-buru gue membuka plastik yang menutupinya lalu memakannya dengan lahap. Entah kenapa, sensasi makan di atas kereta yang sedang berjalan itu sangat berbeda sekali dibandingkan dengan makan di atas meja makan di rumah. Gue merasa ada sesuatu yang menjadi ciri khas tersendiri pada saat menikmati makanan tersebut
Walaupun gue sedang laper berat, gue masih bisa mengontrol manner gue di atas meja makan, berbeda halnya dengan Vanny. Dia makan seperti orang yang kesetanan.
"Hoi, makannya pelan-pelan aja mbak." Gue memperhatikan Vanny sambil memegang sendok yang sudah terisi oleh nasi.
"Nanggwung, lapew banged!" Vanny berbicara sambil tetap mengunyah.
"Tuh belepotan, ada nasi sampe ke pipi segala." Gue menunjuk pipinya.
"Maaf ya... Gue kalo makan kadang berantakan kayak gini." Jawabnya, gue hanya menyunggingkan senyuman lalu kembali menyuap nasi.
Baru saja sesuap nasi yang masuk ke dalam mulut, gue mendengar ada seseorang yang bersendawa. Gue menyimpan sendok di atas piring lalu melihat ke arah Vanny yang sedang menutupi mulutnya dengan tiga buah jarinya. Mukanya pun terlihat sedikit memerah.
"Ups..." "Hehehe..." Dia tertawa malu.
"Pfftt..." "HAHAHAHAHA..." Gue tertawa lepas setelah melihat kelakuan Vanny. "Baru pertama kalinya gue nemu cewek kayak elo Van." Ujar gue sambil menggeleng.
"Ssshhhh, udah lanjutin dulu makannya." Vanny mulai tertunduk malu, lalu kami berdua melahap makanan sambil mengobrol obrolan ringan tentang sekolah.
*** Itu merupakan salah satu kebiasaan Vanny yang masih gue hafal dan tidak akan pernah gue lupakan, sampai kapanpun. Makan dengan gaya yang urakan serta dia ga malu-malu bersendawa di depan gue walaupun akhirnya dia malu sendiri. Haha, ternyata dia memang se-aneh seperti yang gue kira sebelumnya.
Part 73 What Kind of Conspiration Is This"
Jam di dinding kamar menunjukkan pukul 05:30 ketika alarm (yang sudah gue snooze entah berapa kali) berhasil membangunkan gue yang tertidur seperti mayat. Dengan sangat terpaksa, gue bangun lalu duduk di tepian kasur sambil melilitkan selimut pada tubuh dan kemudian bengong. 10 menit sudah berlalu, gue baru mau melepaskan selimut lalu bangkit menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan ibadah di pagi hari.
Agenda hari ini tidaklah terlalu padat, gue hanya perlu pergi ke sekolah untuk melihat pengumuman tentang pembagian kelas. Gue dan Ojan sudah sepakat untuk bertemu di sekolah pada pukul 9 nanti. Sambil menunggu waktu yang ditunggu, gue memutuskan untuk pergi keluar dan mencari sarapan pagi.
Gue berjalan menuju ujung komplek untuk membeli bubur. Dari jauh gue dapat melihat seseorang yang terlihat sangat mirip dengan Aya yang sedang memunggungi gue. Awalnya gue sempat mengira sosok tersebut adalah Aya. Namun setelah gue pikir-pikir lagi, dia bukanlah aya. Melainkan kembaran Aya, Amel.
"Mel"" Gue mencolek bahu Amel dari belakang.
"Eh, Fal... Ngagetin aja. Beli bubur juga"" Tanya Amel. Gue menjawab dengan anggukan kepala.
"Kuliah dimana sekarang Mel" Eh, Bentar..."
"Pak, buburnya satu. Ga pake cakwe sama kecap manis." Gue berkata sambil mengangkat telunjuk kepada bapak-bapak penjual bubur.
"Jadi sekarang kuliah dimana""
"Alhamdulillah aku keterima di Teknik Kimia Universitas XX." Jawabnya sambil tersenyum.
"Wah nanti elo pindah dong dari sini" Terus disana tinggal sama siapa""
"Iya nanti aku pindah dari sini. Disana ada saudara kok, jadi aku ga usah repot nyari kost-kostan lagi." Ujarnya.
"Eh kamu lagi deket ya sama Aya"" Amel bertanya sambil memegang mangkok berisi bubur miliknya.
"Iya, lagi deket." Jawab gue polos. "Kenapa""
"Ga apa-apa kok, aku cuman nanya doang. Ambil tuh bubur kamu, kita makan dulu." Amel menunjuk kepada mangkok yang disodorkan oleh bapak penjual bubur.
Gue mengambilnya lalu kami berdua makan di atas trotoar sambil mengobrol banyak hal. Salah satunya adalah kepindahan Amel dari kota ini. Dia akan pergi dua hari lagi. Dia akan dijemput oleh om-nya yang tinggal di kota tempat dia berkuliah nanti.
*** Pukul sembilan lewat dua jam, gue bersama si goblok-tukang-ngaret Ojan baru menginjakkan kaki di depan gerbang sekolah. Kami berdua masuk dan melewati lapangan luar. Di sana terlihat tas-tas milik siswa baru yang disimpan secara berjejer di depan podium.
Saat melihat ini, ingatan gue kembali ke satu tahun yang lalu, kembali kepada masa dimana gue bertemu seseorang tatib cewek yang mengenakan blazer hitam bergaris putih di belakangnya. Dia menghampiri gue dan langsung berbicara dengan nada kasar yang seperti dibuat-buat. Lalu dengan cara yang memaksa, dia menyeret gue menuju podium dengan alasan 'topi yang dilempar'. Gue merasa tidak bersalah, namun diakekeuh dengan opininya dan tetap menarik lengan gue secara paksa. Kemudian hal-hal yang dilakukan oleh cewek ngeselin tersebut membuat gue sangat membencinya, membenci hingga setengah mampus.
Dan sekarang, dia menjadi teman dekat gue dan tanpa disangka-sangka dia juga mengaku bahwa dia menyukai gue. Gue pun menjadi senyam-senyum sendiri saat mengingatnya. Entah apakah Ojan melihat ekspresi wajah gue atau nggak, dia hanya berjalan di samping gue sambil memegang tali tas selendang miliknya. Ah, biarlah.
Beberapa saat kemudian, kami berdua sudah berdiri di depan kaca kelas X-J sambil mengamati secarik kertas HVS yang tertempel dibaliknya. Kami berdua melihat nama-nama yang masuk ke kelas mana dan jurusan apa.
"Lo masuk mana Fal"" Ojan bertanya.
"Gue masuk kelas IPA-5 nih, lo""
"Waduh, sama dong kita! Tuh coba liat deh nama gue masuk ke kelas mana." Dia menunjuk namanya dengan jari telunjuk.
"Oh iya bener, kok bisa bareng sih"" Gue mengusap belakang kepala dengan kebingungan. "Eh tapi bukannya dulu tuh elo mau masuk ke IPS ya""
"Gue masuk ke IPA gara-gara disuruh bokap nih..." Ujarnya sambil menggeleng.
Gue membulatkan bibir lalu kembali melihat nama-nama lainnya. Atau lebih tepatnya, melihat nama milik Hanif.
18. Hanif Putri Annisa: XI IPA-1
Gue tercengang. Wow, Hanif ternyata masuk ke kelas unggulan! Tapi... Wajar. Dia memang memiliki otak yang encer seperti air. Gue memaklumi hal tersebut, malahan gue sangat memakluminya.
Yah walaupun gue dengan Hanif tidak berada di dalam kelas yang sama, setidaknya kami berdua masih berada di gedung dan lantai yang sama, di lantai 2. Dan kabar baik lainnya, gue masih dapat melihat dan memperhatikannya meskipun dari jauh.
*** Beberapa hari kemudian gue sudah kembali kepada rutinitas sehari-hari, saat ini gue sedang bersiap-siap untuk masuk sekolah di tingkat yang baru. Dan selama beberapa hari ke belakang pula gue dengan Aya tidak dapat bertemu secara langsung dikarenakan dia yang sedang sibuk mempersiapkan hal-hal untuk ospek dan segala tetek bengek dunia perkuliahan. Kami berdua hanya berkomunikasi melalui handphone atau aplikasi pesan instan, dan itupun dapat dilakukan jika gue sedang berada di warung internet.
Seperti biasa, gue berjalan menuju kelas dengan santai. Gue berbelok menaiki anak tangga menuju lantai dua lalu kembali berbelok dan menyusuri lorong yang mulai padat dengan siswa-siswi yang sedang berkumpul dengan teman-temannya. Gue mendapati Ojan yang sedang berdiri sambil bertopang dagu pada dinding pembatas, melihat ke arah lapangan dalam dengan tatapan kosong. Tanpa pikir panjang gue langsung menghampirinya.
"Oi Jan! Bengong mulu!"
"Eh, tumben dateng jam segini Fal, biasanya kan elo dateng pas jam-jam akhir."
"..." Gue hanya mengangkat bahu lalu berbalik dan melihat daftar absen yang ditempel pada pintu bercat cokelat milik kelas XI IPA-5, kelas gue yang baru.
"Jan... Jan..." Gue memanggil Ojan sambil tetap melihat kepada absen.
"Apaan"" Dia menghampiri gue dari belakang.
"Lo ada yang kenal ga dari nama-nama ini" Gue ga ada yang kenal nih soalnya..."
"Ada, tapi cuman dua orang. Itu juga kenalnya pas MOS dulu."
"Oooh..." Gue membulatkan bibir. "Terus lo duduk dimana""
"Tuh, di meja kedua." Ojan menunjuk ke dalam kelas.
Gue langsung masuk dan menyimpan tas di samping bangku Ojan kemudian melaksanakan ritual wajib gue: membuat buntelan dari jaket lalu merebahkan kepala di atasnya. Belum lama setelah memejamkan mata, ada seseorang yang mencolek bahu gue. Awalnya gue mengira bahwa yang mencolek gue adalah Ojan, namun pikiran tersebut langsung gue buang jauh-jauh setelah mencium aroma parfum yang sangat girly. Sangat ga mungkin sekali kalo Ojan hingga memakai parfum yang beraroma seperti ini.
Gue mengangkat kepala lalu menoleh ke samping, dan gue terkejut.
"Eh, Vanny""
"Lo di kelas ini"" Tanya Vanny.
"Iya, kok elo ada disini sih""
"Gue masuk kelas ini juga Fal."
"Tapi nama lo kan ga ada di absen"" Gue bertanya dengan heran dan berharap bahwa Vanny dapat memberi jawaban yang memuaskan untuk gue.
"Ada kok nama gue di absen. Sini deh ikut gue." Vanny mengajak gue sambil memberi isyarat tangan.
Dengan sangat terpaksa gue harus mengorbankan ritual sehari-hari gue lalu mengikutinya yang sedang berjalan keluar kelas.
"Tuh nama gue Fal, ada kan"" Vanny menunjuk sebuah nama yang tertera pada absen 9.
"Oh, jadi nama lo itu"" Gue bertanya kepadanya dan dia menjawab dengan sebuah anggukkan sambil tersenyum.
Sebelumnya gue ga pernah menyangka bahwa gue akan satu kelas lagi bersama Ojan, dan yang lebih anehnya lagi, gue bisa satu kelas dengan Vanny. Namun, ya, itulah awal dimana gue mengetahui nama lengkap seorang Vanny.
Christina Vanny Aprilia. Intermezzo World's Conspiracy And My Theory
Ya, inilah anggapan gue. Dunia itu penuh dengan konspirasi. Ga percaya" Silahkan cek di internet dengan keyword: 'konspirasi dunia'. Gue yakin, hasil pencarian di search engine ternama Google bakal menampilkan ribuan jenis tentang konspirasi, lengkap dengan teorinya masing-masing. Kalo lo semua ga mau susah-susah nyari tentang hal tersebut di internet, liat aja gue sekarang.
Di awal kenaikkan kelas ini, gue dengan Ojan kembali berada di kelas yang sama. Jelas, ada hal aneh yang terjadi disini. Dari sekitar 40 siswa yang naik ke kelas XI dan dari sekitar 18 orang yang masuk ke jurusan IPA, kenapa hanya gue dengan Ojan saja yang masuk ke kelas XI IPA-5" Padahal, rasio yang memungkinkan adalahminimal 3 orang masuk di kelas yang sama (tidak termasuk hitungan tentang anak kelas lain) karena kelas XI memiliki 5 buah kelas yang berjurusan IPA. Lalu kemungkinan bagi Ojan untuk kembali satu kelas dengan gue adalah 1:17 (18 orang dikurangi dengan gue). Rasio tersebut sangatlah kecil sekali, 5.88%! Coba bayangkan, kenapa Ojan yang mendapatkan kesempatan ini dengan persentase seperti itu"
Kemudian ada Hanif. Dia sekarang berada di kelas yang berbeda dengan gue. Kenapa dia masuk ke kelas yang berbeda" Padahal gue yakin, sudah banyak guru-guru yang mengetahui hubungan gue dengan Hanif dan gue enggak yakin kalo guru-guru tersebut up to date dengan gosip tentang putusnya hubungan antara gue dan Hanif. Jika melihat dari segi seperti ini dan mengesampingkan 'otak encer' milik Hanif, seharusnya kan mereka kembali memasukkan nama gue dan Hanif di kelas yang sama" Tapi apa" Gue malah dijauhkan dengan Hanif. Apa alasannya"
Lalu nama terakhir yang masuk ke dalam konspirasi yang terjadi pada diri gue sendiri adalah Vanny. Tanpa adanya hujan dan angin, ada seorang cewek yang tiba-tiba menghampiri gue di dalam perpustakaan dan dia mengenalkan dirinya dengan nama 'Vanny', kami berdua berkenalan hanya beberapa saat sebelum gue mengahkiri hubungan dengan Hanif. Kami berdua hanya berbicara selintas dan tidak pernah saling berbicara lagi setelah bertemu di perpustakaan dulu. Lalu beberapa bulan kemudian, gue dengan Vanny kembali dipertemukan di atas kereta yang sama menuju tujuan yang sama. Kami berdua mulai berkenalan lebih jauh. Tapi yang lebih mencengangkannya lagi, gue dengan Vanny masuk di kelas yang sama! Kenapa Vanny hadir secara tiba-tiba"
Kenapa Ojan berada di dalam kelas yang sama dengan gue"
Kenapa Hanif tidak berada di dalam kelas yang sama dengan gue"
Kenapa Vanny yang satu kelas dengan gue"
Apa maksud dari semua ini"
Who the fuck is the creator of this conspiracy"
And this is my last question:
Why did he create this conspiracy for me"
Dari beberapa penjelasan dan beberapa pertanyaan yang muncul di atas, gue dapat membuat sendiri sebuah teori konspirasinya:
Hanif memang sengaja dijauhkan dari gue dan Ojan juga memang sengaja dimasukkan pada kelas yang sama dengan gue, untuk mendukung gue agar bisa move on dari Hanif, menuju Vanny.
Ah, ini terlalu dini untuk bisa membuat dan menyimpulkannya menjadi sebuah teori seperti itu...
Tetapi jika memang benar seperti itu adanya,
Will it works" Part 74 Seni Budaya Hari ini gue berangkat sambil membawa softcase yang berisi gitar karena di jam pelajaran pertama nanti akan ada pelajaran seni budaya yang gurunya membebaskan kami, para siswa, untuk membawa alat musik kesukaan masing-masing.
Sesampainya di sekolah, gue langsung menaiki anak tangga dan menyimpan gitar di belakang kelas. Gue menaruhnya dengan perlahan sambil memperhatikan sekeliling. Ada beberapa orang anak yang sedang membuat sebuah lingkaran dan mereka bermain gitar bersama-sama sambil menyanyikan lirik yang hanya berbunyi 'na...na...na...' saja namun senada dengan genjrengan gitar mereka. Dan setelah gue amati lagi, ada beberapa orang cewek memperhatikan mereka yang sedang bermain. Salah satu diantara mereka adalah Vanny. Dia sedang berdiri sambil memeluk pianika berwarna biru miliknya.
Entah mengapa, secara otomatis gue membatalkan menyimpan gitar dan malah mengeluarkannya dari softcaselalu mulai memetik dawai dengan asal. Gue berjalan menuju kursi lalu duduk dan memainkan lagu Depapepe yang sudah gue pelajari sebelumnya.
"Woi, bro! Yang lagi main lagu Depapepe!" Teriak salah seorang cowok dari ujung sana.
Awalnya gue ga menoleh dan tetap bermain karena mengira bahwa bukan gue yang dituju oleh orang tersebut. Namun perkiraan gue salah, cowok tersebut mendatangi gue dari arah belakang dan duduk di atas meja sambil menenteng sebuah gitar.
"Bisa main lagu itu"" Tanyanya.
"Belum terlalu soalnya masih patah-patah, belum lancar. Kenapa"" Gue balik bertanya.
"Yuk coba main, kita duet." Ujarnya sambil memetik-metik dawai gitar miliknya. Gue mengangguk dan membenarkan posisi gitar.
Setelah mendengar aba-aba yang diberi olehnya, kami berdua mulai memainkan intro dari lagu Start milik Depapepe. Kami berdua larut di dalam permainan. Tanpa disadari oleh gue, kami berdua kini sudah dikerumuni oleh beberapa orang siswa yang belum gue kenal satu-persatu. Bahkan orang yang sedang menjadi partner gue dalam bermain gitar kali ini pun gue belum mengenalnya!
Penyakit gue pada awal-awal masuk di lingkungan baru memang seperti ini, susah untuk berkomunikasi dengan orang baru.
"Wiiih! Keren-keren! Gue baru pertama kalinya mainin lagu Depapepe sampe akhir kalo duet!" Ujarnya sambil mengacungkan jempol. Gue membalasnya dengan senyum simpul.
"Ikut les gitar ya"" Tanya seseorang cewek dari belakang, lalu gue menoleh.
"Eh, Van, enggak kok. Gue otodidak." Ujar gue sambil menggaruk kepala belakang. "Lo bisa mainin itu"" Gue menunjuk pianika yang sedari tadi masih dipeluknya.
"He eh. Gue bisa mainin ini."
"Coba mainin dong, lagu apapun deh terserah." Gue meminta secara spontan.
"Enggak ah, gue malu..." Vanny menggeleng sambil tersipu.
Gue hanya bisa tersenyum dan ga berani memaksanya untuk bermain. Kalo diliat-liat lagi, dia sebenernya lucu juga. Dia memasang wajah polos dan kadang-kadang dia menganggukkan kepalanya sendiri, menikmati genjrengan gitar yang dimainkan anak-anak. Gue pun memperhatikannya lebih seksama. Vanny mengenakan seragam sekolah yang pas dipakai pada tubuhnya, ga lebih dan ga kurang. Pas.
Dia memiliki tinggi hampir sepantar dengan gue, rambutnya panjang sebahu dan tergerai indah serta dihiasi dengan jepit rambut sederhana pada bagian poninya. Tidak lupa pada pergelangan tangannya kirinya terdapat sebuah gelang yang menambah kesan lucu pada dirinya. Tatapan matanya teduh dan dia memiliki senyuman yang dapat gue bilang, manis.
"Eh kita belum kenalan nih, Humam." Si cowok yang menjadi partner gue bermain gitar mengulurkan tangannya, membuyarkan lamunan gue akan Vanny.
"Eh, Naufal." Ujar gue dengan singkat sambil menjabat tangannya.
"Nanti tampil ke depan kan""
"..." Gue mengangguk sambil memeluk badan gitar.
"Oiya, kalo lo mau belajar main gitar mending jangan pake senar ginian." Dia menunjuk senar kawat
pada gitar gue. "Nih cobain gitar gue, lebih enak pake nylon kalo buat latihan." Humam memberi gitarnya kepada gue.
Belum lama setelah gue mencoba memainkan gitar milik Humam, guru yang ditunggu pun datang. Kami semua langsung buru-buru kembali ke meja masing-masing sambil membawa alat musik. Mungkin karena sebelumnya gue terlalu asyik bersama gitar, gue baru menyadari Ojan sudah duduk di samping gue sambil memegang sebuah softcase berwarna hitam berbentuk kotak. Dari bentuknya, gue dapat menebak apa yang dibawa oleh anak ini.
"Jan, lo bawa caj"n (red: kahon)"" Gue bertanya dengan nada heran.
"Iya, kenapa"" Dan dengan polosnya dia menjawab.
"..." Gue hanya bisa geleng-geleng kepala, speechless... ***
Pelajaran seni budaya kali ini bisa dibilang sangat berkesan untuk gue. Kami semua disuruh untuk unjuk gigi di depan kelas, baik itu secara perorangan atau perkelompok. Setelah beberapa siswa yang maju bersama kelompoknya, kini giliran Humam yang akan tampil di depan. Dia tampil solo. Awalnya gue mengira dia akan membawakan lagu-lagu pop yang sedang marak dinyanyikan oleh anak muda zaman sekarang. Namun perkiraan gue kembali salah.
Dia membenarkan posisi duduk, memposisikan jari-jari tangan kirinya pada fret gitar dan mulai bermain Gue terpana akan permainannya. Dia memainkan sebuah lagu klasik yang entah apa judulnya karena gue ga mengetahui judul-judul lagu klasik. Gue menoleh ke kanan dan kiri, ternyata hampir seluruh siswa di kelas ini pun ikut terpana saat melihat penampilannya.
Humam hanya bermain sekitar 3 menit, dan di dalam 3 menit itu pula kami semua larut menikmati penampilannya. Kami semua bertepuk tangan dengan meriah, memberi apresiasi atas permainannya. Bahkan sang guru pun memberi tepuk tangan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kamu belajar bawain Asturias dari mana"" Tanya sang guru kepada Humam. Oh, jadi itu judul lagunya.
"Saya ikut les gitar di XX, Pak." Jawab Humam.
"Oooh pantesan. Permainan gitarmu sudah bagus, cuman sayang lagunya ga diteruskan sampe
selesai." Ujar pak guru. "Silahkan kembali duduk."
Humam kembali ke tempat duduknya disusul oleh siswa berikutnya yang maju ke depan. Sambil memperhatikan salah seorang siswa yang sedang tampil, gue mengajak Ojan ngobrol.
"Jan, bisa bawain lagu Simple Plan pake caj"n lo ga""
"Yang mana""
"Perfect." "Bisa-bisa, tinggal gue ikutin permainan gitar elo doang."
"Yaudah, nanti lo sama gue mainin lagu itu ya."
"Siap!" Ojan mengacungkan jempol.
Giliran kami berdua pun datang. Gue membawa gitar lalu mengalungkan strap-nya pada leher dan Ojan menenteng caj"n miliknya. Bisa ditebak, pak guru langsung bertanya kepada Ojan mengapa dia membawa alat musik yang uncommon dan tidak seperti anak-anak lainnya. Dengan entengnya dia menjawab 'saya cuman bisa mainin ini sama bass, Pak, dan saya ga punya bass di rumah' yang dibalas dengan tawa anak-anak.
Kami berdua memainkan lagu tersebut dengan cukup lancar walaupun ada sedikit (banyak) bagianbagian yangkecele karena gue masih sedikit kaku dalam memainkan kunci gantung. ***
Tinggal beberapa siswa saja yang belum tampil ke depan dan salah satunya adalah Vanny. Saat namanya dipanggil oleh pak guru, Vanny maju bersama dua orang temannya. Si cowok membawa sebuah gitar dan si cewek membawa sebuah rekorder.
"Mau bawain lagu apa nak"" Tanya pak guru.
"Terima Kasih Cinta-nya Afgan, Pak." Jawab Vanny.
"Oke, silahkan dimainkan."
Vanny melakukan pembukaan dengan memainkan reff dari lagu tersebut yang membuat gue merinding saat mendengarnya, lalu mereka bertiga memainkan lagunya dari awal. Gue larut menikmati permainan yang dibawakan oleh Vanny dan teman-temannya. Gue sendiri lebih memperhatikan Vanny yang sedang berdiri sambil memegang pianika pada tangan kirinya sementara tangan kanannya menari-nari dengan indah di atas tuts pianika miliknya.
Kepalanya sedikit tertunduk yang membuat rambutnya jatuh di samping kanan dan kiri kepalanya. Selang udara yang menempel pada bibirnya pun tidak mengurangi keanggunan Vanny saat memainkan alat musik tersebut. Kadang-kadang gue tersenyum sendiri saat melihat kedua pipinya menggembung untuk mengalirkan udara pada pianikanya, dia lucu.
Dan gue kagum kepadanya. Part 75 I Deserve This Next... Next... Next... Entah sudah berapa kali gue memencet tombol next pada handphone untuk mencari sebuah lagu yang menurut gue pas untuk didengar pada siang hari ini. Karena tak kunjung menemukan lagu yang diinginkan, akhirnya gue memutuskan untuk mendengarkan lagu dari radio lalu menaikkan volumenya, mencoba menghiraukan hiruk pikuk siswa yang berlalu lalang di belakang punggung gue.
Gue memegang pembatas, kepala gue menengadah lalu memincingkan mata sambil memandangi langit cerah. Sepanjang mata memandang, gue hanya melihat langit biru terhampar luas dan hampir tidak ada satu awan pun yang menghalanginya. Lalu gue merasakan ada seseorang yang berdiri di samping gue.
Gue menurunkan pandangan dan menoleh.
Vanny. Tatapannya lurus ke depan namun bibirnya bergerak. Sepertinya dia sedang berbicara sesuatu namun gue tidak bisa mendengar apa yang dia katakan karena gue sedang asyik mendengarkan lagu di radio via earphone. Lalu dia menoleh kepada gue sambil menaikkan alisnya. Gue melepas sebelah headset.
"Eh, apa Van" Gue ga denger tadi lo ngomong apa, sori-sori..."
"Lo ga dengerin gue ngomong daritadi""
"..." Gue menggeleng.
"Ngeselin banget sih!" Dia bersungut-sungut.
"Ya maaf, gue lagi denger radio soalnya." Gue menjawab dengan santai.
"Mau tau gue tadi cerita apa" Tuh liat kesana!" Tangannya melewati depan kepala gue dan menunjuk ke arah kiri.
Dengan otomatis kepala gue mengikuti arah gerakan tangannya. Dan waw, gue mendapatkan sebuah pemandangan yang bisa membuat suasana siang yang panas ini menjadi lebih panas.
Di ujung lorong sana, di depan kelas XI IPA-1, gue melihat Hanif sedang mengobrol dengan seorang cowok yang entah dia itu siapa. Dan juga gue melihat bahwa Hanif kadang tersenyum, bahkan tertawa! Kedua telapak tangan gue menjadi dingin. Kepala gue mulai panas, jantung gue berdegup lebih cepat dan emosi gue meningkat. Ga, gue gak rela kalo Hanif deket dengan cowok lain. Gue gak rela. Dan gue, cemburu...
Ingin rasanya gue mendatangi mereka berdua dan memberi bogem mentah kepada laki-laki tersebut. Namun gue mengurungkan hal ini setelah mengingat bahwa gue bukan siapa-siapanya Hanif dan gue ga berhak untuk melarang Hanif untuk dekat dengan siapapun.
"Udah yuk kita masuk ke kelas aja." Vanny menepuk pelan bahu gue dan mengajak untuk masuk ke dalam. Vanny seakan mengetahui perasaan gue saat ini.
Gue berjalan masuk ke dalam kelas bersama dengan berjuta pikiran yang berkecamuk di dalam otak. Gue langsung duduk di sebelah Ojan, dia terlihat kaget saat gue duduk dengan cara yang sedikit kasar.
"Kenapa lo"" Tanya Ojan.
"..." Gue menggeleng sambil menatap kosong ke depan.
"Lo jangan kayak cewek sih." Pundak gue digeplak olehnya. "Kalo ada apa-apa tuh ngomong sini sama gue."
"Ga ada yang perlu diomongin." Jawab gue dingin.
"Yaudah, terserah lo." Kemudian Ojan kembali asyik dengan permainan di handphonenya.
Saat ini gue hanya memikirkan Hanif. Hanif, Hanif, dan Hanif, ga ada yang lain yang gue pikirkan
sekarang. Fungsi otak gue tiba-tiba mendadak kacau setelah melihat apa yang baru saja gue lihat. Efek melihat Hanif yang sedang berduaan dengan cowok lain itu sedikit banyak juga membuat perasaan gue campur aduk. Antara marah, kesal, cemburu, semuanya bercampur menjadi satu. Bahkan lebih dari itu! Lebih! Gue ga bisa mendeskripsikan apa yang sedang gue rasakan saat ini.
Dengan di dorong oleh rasa penasaran yang sudah memuncak, gue bangkit dari kursi dan berjalan menuju keluar kelas untuk kembali melihat Hanif. Dan ya, gue seperti orang bodoh yang menyakiti dirinya sendiri dengan cara melihat cewek yang paling dicintainya sedang di 'prospek' oleh orang lain. Gue merasakan sakit yang amat sangat saat melihatnya namun kedua kaki gue seperti yang enggan untuk beranjak dari tempat dimana gue berdiri sekarang, dan mata gue masih ingin melihat senyuman yang terpancar pada wajah Hanif walaupun dia tersenyum bukan karena gue.
Gue ga bisa bohong kalo gue bahagia saat melihat senyumannya.
Dan tentu saja, Gue juga sakit saat melihat senyumannya...
*** Hari-hari berikutnya gue lalui dengan lebih sering berada di luar kelas, apalagi kalo bukan untuk sekedar melihat 'pemandangan' yang dapat gue lihat. Memang terdengar bodoh, namun jujur, gue sendiri mulai menikmati hal ini. Menikmati sakit yang gue cari sendiri. Bisa dibilang, gue sudah 'kecanduan' dengan hal ini dan malah seperti ada yang kurang jika gue tidak melihat hal tersebut.
"Lo bodoh." Ujar sebuah suara yang berasal dari belakang gue.
Gue yang sedang mendengarkan musik via earphone dengan volume rendah dapat mendengar suara orang tersebut dengan jelas. Lalu gue membalikkan badan sambil melepas sebelah earphone dan mengangkat alis.
"Lo sekarang pasti lagi nungguin dia buat keluar kelas kan"" Vanny menunjuk ke arah kelas XI IPA-1.
"..." Gue hanya melihat dirinya.
"Lo belum puas nyakitin diri lo sendiri""
"Nyakitin hati lo sendiri"" Vanny menunjuk dada gue.
"Terus apa peduli lo""
"Gue juga pernah ngalamin hal ini!" Dia meninggikan suaranya. "Persis sama kayak apa yang sedang lo alami sekarang."
"..." Gue mendengus perlahan sambil sesekali menoleh ke arah kelas Hanif. "Terus cara lo buat keluar dari situasi kayak gini""
"Besok lo bawa gitar ke sekolah."
"..." Gue menoleh dan mengkerutkan kening. "Buat""
"Mau gue pukulin ke kepala lo!" Dia menunjuk kepala gue.
"Oh, ga usah repot-repot. Gue bisa sendiri."
"Iiih lo ngeselin!" Vanny menghentakkan kakinya ke lantai dengan cukup keras lalu dia meringis.
"Sakit"" "MENURUT LO"!"
"..." Gue mengangguk.
"Yaudah, kenapa pake nanya""
"Terus apa salahnya gue nanya ke elo""
"Tau ah..." Vanny membalikkan badan lalu berjalan ke dalam kelas, dan beberapa detik kemudian dia kembali keluar dan menghampiri gue.
"Besok, lo bawa gitar. Inget! Bawa G-I-T-A-R." Dia berkata sambil memasang ekspresi serius dan mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajah gue.
"Hhh..." "Iya-iya, terserah." Gue mengibaskan tangan.
"Jangan lupa!" "BAWEL!" "Hehehe..." Vanny cengengesan dan kemudian berbalik menuju kelas.
Sementara gue" Gue tetap berdiri di tempat ini dan menolehkan kepala ke arah kelas Hanif sambil bersandar pada dinding pembatas, menunggu mereka berdua untuk kembali keluar dari kelas. Gue ingin menikmati lukayang akan gue buat sendiri dengan cara melihat Hanif berduaan di depan kelas.
Part 76 The Pursuit of HappYness Seperti yang sudah gue janjikan kemarin kepada Vanny, hari ini gue membawa gitar ke sekolah. Vanny yang menyadari kehadiran gue di dalam kelas langsung menghambur dari mejanya dan sedikit berlari ke arah gue yang masih berjalan sambil menenteng gitar.
"Lo bawa gitar ga"" Tanya Vanny setelah gue menyimpan tas di kursi.
"Engga bawa." "Terus itu apaan"" Dia menunjuk softcase yang gue bawa.
"Itu biola." Jawab gue asal.
"Kok biola segede itu sih""
"Coba aja liat, lo belum pernah liat biola segede gini kan"" Gue bertanya.
"Engga." Vanny menggeleng. "Gue buka ya""
Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"..." Gue mengangguk sambil membuat buntelan dari jaket.
"IH! INI GITAR DODOL!" Vanny mengeluarkan dan mengangkat gitar gue kemudian dia memegang lehernya, mengambil sebuah ancang-ancang untuk memukul gue, dengan menggunakan gitar...
"EH GILA, LO MAU NGAPAIN"!" Dengan buru-buru gue merebut gitar dari tangannya.
"GUE MAU MUKUL ELO!"
"Ngapain mukul gue pake ginian"!" Gue mengangkat gitar yang sedang gue pegang.
"Pertama, kemarin gue udah ngomong mau mukul elo pake gitar."
"Ben..." "YANG KEDUA." Vanny memotong omongan gue. Gue gondok.
"Lo udah ngebohongin gue kalo lo bawa biola." Dia menyimpan kedua tangannya pada pinggangnya.
"Yang ketiga""
"Ga ada..." Dengan polosnya Vanny menggeleng.
"Terus"" "Udah." "Ya, terus""
"Udaaaah." "Iya, terus""
"Ga ada terusannya lagi Naufaaaallll...!"
"Terus sekarang lo mau berdiri disitu aja gitu" Udah sana hus-hus!" Gue mengusir Vanny dengan gerakkan seperti mengusir ayam.
"Pulangnya lo jangan kemana mana dulu ya""
"..." Gue mengkerutkan kening. "Kenapa""
"Ikut gue!" Ujarnya dengan semangat.
"Ke"" "..." Vanny tidak menjawab dan hanya tersenyum lalu berjalan ke arah tempat duduknya.
Gue ga ngerti apa rencana Vanny hari ini. Dia sudah menyuruh gue untuk membawa gitar namun saat ditanya dia malah memberikan senyuman yang sepertinya memiliki sebuah arti tersembunyi. Ah, entahlah...
*** Bel pulang sekolah berbunyi. Siswa-siswa kelas gue langsung berhamburan keluar sementara gue masih duduk di bangku dengan bertemankan beberapa buah tugas yang harus gue kerjakan terlebih dahulu. Gue mengeluarkan earphone dari saku celana lalu memasangkannya pada telinga dan mulai mengerjakan tugas.
Oiya, kebiasaan gue kini sudah mulai menular kepada teman sebangku gue yang sekarang. Ojan jadi sering ikut-ikutan ngerjain tugas bareng gue, atau lebih bisa disebut dengan menyalin apa yang sudah gue kerjakan.Biarlah, yang penting gue mendapatkan traktiran seporsi makan siang.
"Ayo pergi sekarang!" Vanny tiba-tiba datang entah dari mana dan langsung melepaskan sebelah earphone yang sedang gue kenakan.
Gue gak menghiraukan Vanny dan malah bernyanyi-nanyi kecil sambil tetap mengerjakan tugas. Mungkin karena merasa dicuekin oleh gue, dia mendengus lalu berjalan ke arah belakang kelas dan beberapa saat kemudian dia kembali dengan membawa softcase gitar gue.
"Pergi sekarang atau gue apain nih gitar"" Ancamnya dengan nada serius.
"Bentaaar, gue lagi ngerjain PR dulu." Gue berkata tanpa menatap kepadanya.
"Aaah udah itu mah di rumah aja ngerjainnya!" Vanny menyimpan gitar gue di lantai dan mulai membereskan buku-buku gue yang berserakan di atas meja.
"Wow! Santai mbak!" Ojan yang sepertinya merasa terganggu pun mulai sewot.
"Lo juga beresin sana biar si Naufal cepet pulang!"
"Emangnya mau kemana sih"" Ojan bertanya kepada gue dan gue hanya menggeleng lalu dia bertanya kepada Vanny.
"Lo berdua mau kemana Van""
"Addda gajah!" Vanny berkata sambil mengedipkan matanya. Dasar, girls.
"Kita mau kemana sih" Ga usah pake rahasia-rahasiaan segala, bisa"!" Gue mulai angkat bicara.
Vanny tidak menjawab, dia langsung memasukkan semua buku-buku ke dalam tas gue dan menutup resletingnya lalu mengambil gitar yang tergeletak di lantai.
"Nih gitar lo." Dia menyerahkan gitar kepada gue sambil tersenyum.
"Bawain dong..."
"Yeee gamau!" Vanny sewot dan gue terkekeh sambil mengambil gitar dari tangannya. "Duluan ya Jaaan!"
"Gue duluan Jan."
"Yooo, tiati!" Kami berdua berjalan keluar dari kelas dan gue masih menyempatkan diri untuk menolehkan kepala sebentar ke arah kelas XI IPA-1 namun hal tersebut diketauhi oleh Vanny.
"Masih ngintip-ngintip" Udah buruan jalan!"
"Kita mau kemana sih""
"Hehehe..." Dia hanya cengengesan dan berjalan mendahului gue.
"Kita mau kemana"!" Gue menarik tas Vanny sehingga dia mundur beberapa langkah dan berdiri di samping gue.
"Udah ikut gue aja sekarang." Sekarang giliran Vanny yang menarik ujung lengan jaket gue dan gue hanya bisa pasrah mau dibawa kemana olehnya.
*** Gue berjalan memasuki sebuah kompleks rumah yang sangat asing di mata gue, namun disini banyak sekali rumah-rumah modern nan mewah yang berdiri kokoh di sebelah kanan dan kiri jalan. Dari sini gue mengasumsikan bahwa ini merupakan sebuah perumahan mewah, dan sepertinya Vanny tinggal di perumahan ini. Kesimpulannya, Vanny merupakan cewek tajir.
Daripada gue berasumsi yang lain-lain, gue memberanikan diri bertanya kepada orangnya langsung.
"Van, rumah lo disini""
"Iya." Vanny mengangguk sambil berjalan di atas pembatas selokan.
Dia berjalan sambil melebarkan kedua tangan sebagai penyeimbang badannya. Vanny terlihat lucu saat berjalan disana, kadang dia oleng ke kanan dan kadang juga dia oleng ke kiri. Sesekali Vanny membenarkan dan menyimpan rambutnya di belakang telinganya walaupun pada akhirnya rambut panjangnya tetap berantakkan dan terjatuh menutupi sebagian wajahnya karena tertiup oleh angin sore yang berhembus.
Tanpa sadar gue senyam-senyum sendiri saat melihatnya.
Jalanan kompleks ini sangatlah lebar seperti jalan raya. Di tengah-tengah jalan, terdapat semacam trotoar yang tertanam banyak sekali pohon palem yang menjulang tinggi dan berbaris rapi di sepanjang jalan. Beberapa saat kemudian gue dan Vanny sudah berdiri di depan sebuah gerbang berwarna cokelat tua. Vanny memencet bel yang terletak di sudut kiri atas gerbang sementara gue berdiri beberapa langkah di belakangnya sambil menenteng softcase gitar.
Lalu ada seorang ibu-ibu yang sepertinya sudah berumur datang dan membukakan gerbang. Vanny menyapa ibu-ibu tersebut dan kami berdua masuk ke dalam rumah.
Apa yang dapat gue katakan setelah melihat isi rumah ini" Hanya satu. Mewah! Rumah ini sangatlah mewah sekali. Halamannya luas dan memiliki banyak sekali tanaman hias dan salah satunya adalah bonsai. Bonsai tersebut terawat dengan apik dan mungkin memang dirawat dengan baik oleh si pemiliknya.
Gue diajak masuk ke dalam rumah oleh Vanny. Dia sepertinya tidak canggung memakai sepatu dan langsung masuk tanpa melepasnya sementara gue masih duduk di teras sambil membuka sepatu.
"Lo tunggu disini dulu aja Fal." Vanny menyuruh gue untuk menunggu di ruang tamu yang besarnya sama dengan ruang tengah di rumah gue, atau bahkan lebih besar mungkin"
Gue mengangguk dan Vanny langsung menaiki anak tangga melingkar menuju lantai dua. Gue menyandarkan gitar pada sofa dan memutarkan kepala untuk memindai seluruh isi ruangan ini. Ada sebuah lukisan yang menggambarkan sebuah sunset di pantai lalu gue mengalihkan pandangan ke sudut dinding lain yang juga terdapat sebuah lukisan bergambar seorang penari Kecak yang sedang mendelikkan matanya.
Lalu gue menemukan sebuah alat musik yang menurut gue cukup jarang, dan bahkan hampir tidak pernah dimiliki oleh orang-orang yang pernah gue kenal. Di sudut kiri ruangan ini terdapat sebuah piano berwarna putih terang yang sedang menganggur tanpa ada yang memainkannya. Gue berjalan mendekati piano tersebut dan membelainya. Untuk pertama kalinya dalam hidup gue, gue dapat menyentuh sebuah piano sungguhan dan piano ini sangatlah bersih tanpa ada debu yang mengotorinya.
"Bisa main piano Fal"" Sebuah suara mengagetkan gue dan gue langsung membalikkan badan.
"Eh..." Vanny mengenakan kaos berwarna putih yang bertuliskan 'I Love HK' serta dibalut dengan celana pendek, maksud gue, yang benar-benar pendek sehingga menampilkan kedua belah pahanya yang putih mulus. Tidak lupa di tangan kirinya terdapat sebuah gelang berwarna putih dan rambutnya kini sudah dikuncir kuda. Penampilan Vanny sekarang telah sukses membuat gue diam tak berkutik. Dia cantik...
"Fal"" "Eh, engg... Gue ga bisa main piano Van." Ujar gue tergagap sambil menjatuhkan badan pada sofa.
Dia tersenyum tanpa berkata apa-apa dan berjalan menuju piano miliknya. Dia memencet beberapa tuts lalu menatap gue sambil memasang wajah yang teduh.
"Gue sekarang mau main, lo dengerin ya." Ujarnya.
Gue mengangguk dan membenarkan posisi duduk untuk dapat menikmati permainan yang akan dimainkan oleh Vanny.
Ting... Vanny menekan salah satu tuts pianonya dan dia melihat ke arah gue. Gue kembali mengangguk dan kemudian bertopang dagu. Dia tersenyum, manis sekali, lalu dia mulai memainkan sebuah lagu yang membuat hati gue terenyuh dan membuat bulu kuduk gue berdiri.
Vanny bermain dengan anggun, kepalanya bergerak mengikuti pergerakkan jemarinya dan tidak jarang juga gue mendapati Vanny memejamkan kedua matanya seolah-olah ia sedang meresapi lagu yang sedang dimainkannya. Gue yakin, Vanny sudah larut ke dalam permainan pianonya sendiri.
Dan gue juga larut dalam mendengarkan setiap nada yang dihasilkan oleh permainan Vanny...
Vanny menekan tuts bernada rendah yang sekaligus menyelesaikan permainan indahnya. Dia mendongak dan menatap gue dengan tatapan bahagia lalu bertepuk tangan kecil.
"Yay! Gimana" Permainan gue bagus kan"" Vanny berjalan dan duduk di samping gue.
"..." Gue hanya bisa tersenyum sambil mengangguk. "Judul lagunya apa""
"Enya, Watermark."
"Mainin lagi dong! Please"" Pinta gue.
"Huuu gamau! Gantian dong elo yang mainin gitar buat gue!"
"Mau lagu apaan emang"" Gue bertanya sambil mengambil dan mengeluarkan gitar dari softcase.
"Terserah elo, yang enak tapiiii."
"Boleh, tapi lo juga nyanyi ya""
"Lagu apaan""
"Lo juga tau kok lagunya." Gue tersenyum kepada Vanny lalu memposisikan jari pada fret dan mulai bermain.
Making my way downtown Walking fast
Faces pass And I'm home bound. "Tunggu!" Vanny menginterupsi permainan gue dan dia berjalan menuju pianonya. "Yuk, dari awal lagi!" Ujarnya dengan semangat.
"Tu...wa...ga...pat!" Vanny memberi aba-aba dan mulai memainkan intro dari lagu A Thousand Miles milik Vanessa Carlton ini.
Kami berdua bermain dan bernyanyi sambil sesekali tertawa. Atau lebih tepatnya, Vanny menertawakan suara gue yang terdengar seperti kucing yang kecemplung ke dalam air.
Sore itu merupakan salah satu sore yang paling gue ingat hingga sekarang. Karena pada saat itu, gue merasa bahwa semua beban berat seakan terangkat dari pundak gue dan gue hanya merasakan sebuah perasaan yang sudah lama tidak pernah lagi gue rasakan. Ga ada lagi beban tentang PR, tentang sekolah, tentang Hanif, ga ada!
Gue sangat bahagia sekali... Thank you, Van!
*** I wish i could stop the time, i dont want to lose this moment because no one knows what would happen in the future...
Part 77 Our Moment "Ay, lo sekarang mau kemana"" Tanya Adit sambil membereskan modul-modul miliknya.
"Gue langsung balik, Dit." Jawab gue sambil tetap berkutat pada handphone.
"Oh, kalo gitu boleh gue anterin""
"Eh ga usah Dit, ga usah..." Gue menolak sambil menggeleng.
"Kenapa" Kita kan searah""
"Gapapa kok Dit, serius deh."
"Engg, kalo gitu gue duluan ya Ay."
"Iya..." Adit langsung mengambil tas miliknya dan keluar dari kelas. Ya, Adit adalah salah satu cowok yang berusaha pedekate dengan gue. Semenjak kami berdua berkenalan pada saat awal masuk kuliah dulu, tidak jarang Adit melancarkan usahanya walaupun tidak jarang juga gue tolak mentah-mentah usahanya seperti tadi. Bukan hanya Adit yang gue tolak seperti itu, bahkan ada beberapa kakak angkatan yang bernasib sama seperti Adit.
Pernah pada suatu saat gue mendapat sebuah sms dari nomor yang tidak dikenal. Awalnya gue mengira nomor tersebut adalah nomor milik teman sekelas gue karena dia bertanya tentang tugastugas dan mata kuliah. Namun ternyata itu adalah nomor milik kak Rahadian, seorang kakak angkatan yang gue kenal pada saat makrab (malam keakraban) beberapa minggu yang lalu. Dia sering membombardir gue dengan sms yang berisi 'hei, lagi apa" Jangan lupa makan' dan lain-lain walaupun pada akhirnya tetap gue abaikan.
Bukannya gue ingin mengacuhkan mereka. But, hey. I'm not into you, guys! I'm into him! ***
Cepet gue udah di gerbang kampus lo, ga berani masuk. -Iya bntr, gw ksn skrg.
Gue langsung pamit kepada dua orang teman gue yang sama-sama sedang menyantap makan sore di kantin dan bergegas menuju pintu gerbang kampus. Setibanya disana, gue langsung celingukan mencari Naufal dan beberapa saat kemudian ujung mata gue menangkap sosoknya yang sedang berdiri sambil memasang wajahinnocent, gue menahan tawa saat melihat ekspresinya. Gue berjalan dengan sedikit berlari ke arahnya melalui rute yang agak sedikit memutar.
"Dor!" Gue mengagetkan Naufal dari belakang dan tubuhnya sedikit bergetar kemudian dia menoleh ke belakang.
"HAHAHAHA!" "Lo ngapain ngagetin gue"!" Ujarnya dengan memasang wajah jutek.
"Elo lagian bikin gue pengen ketawa! Berdiri disini sendirian sambil pasang wajah innocent. Ya jelas gue jadi pengen ngagetin elo!"
"Ah bawel!" "Nih booklet lo." Dia menyerahkan booklet dan gue langsung membukanya.
"Eh gue mana ya"" Gue bertanya sambil membuka halaman demi halaman.
"Sini-sini." Dia mengambil booklet dari tangan gue dan langsung membuka halaman yang terdapat foto gue.
"Tuh muka lo. Jelek kan" Nah sekarang traktir gue."
Gue langsung merebut paksa booklet dan memukul bahu kirinya dengan keras.
"Traktir-traktir! Traktir apaan!" Ucap gue dengan nada sewot.
"Lah kan gue udah nganterin ini sampe nyasar-nyasar! Traktir gue makan kek apa kek!" Ujarnya sambil mengusap-usap bahunya.
"Gak mau!" "Eh, lo bolos sekolah ya""
"Ya enggak lah Aya. Gue gak bolos. Kan gue udah bilang kalo hari ini tuh gue libur!" "Lo ngeselin ya lama-lama." Dia menunjuk gue dengan telunjuknya.
"Oooh jadi ceritanya lo ga mau ditraktir gue nih" Kalo gitu gue masuk lagi ke dalem deh, daaaah!" Gue melambaikan tangan dan melengos masuk ke kampus.
"Eeeeh, tunggu!" Naufal menarik lengan gue.
"Apa"" "Traktir gue..."
"Ngomongnya yang bener!"
"Amalia, traktir gue ya""
"Cantiknya mana"" Gue sedikit tersenyum sambil menaikkan alis.
"..." Naufal memejamkan mata sambil mengusap wajah. "Perlu banget gue ngomong itu""
"Yaudah, dadaaah!"
"Iya...iya...iya...!"
"Amalia yang cantik, traktir gue makan ya""
"Nah gitu dong daritadi! Gue masuk dulu ke dalem ya, dadaaah!"
"Eh traktiran gue mana nih"!" Dia kembali menarik lengan gue.
"Iya lo mau traktiran kan" Sekarang gue mau ambil motor dulu. Udah lo tunggu disini!"
Perlahan tangannya melepaskan genggamannya dari tangan gue. Gue langsung masuk ke dalam kampus dan berjalan menuju areal parkir untuk mengambil motor.
*** Sedari tadi Naufal bertanya 'kita mau kemana' secara terus menerus dan secara terus menerus pula gue menjawabnya dengan penggalan kata 'ra-ha-si-a'. Gue sengaja tidak memberitahu Naufal karena gue yakin dia belum pernah ke tempat ini dan jika gue beritahu dia pun pasti dia ga akan tau lokasi tempat ini. Daripada gue capek ngejelasin panjang lebar, gue hanya menjawabnya dengan jawaban tersebut.
"Eh itu apaan tuh" Kok banyak hiasan angklungnya gitu"" Naufal menunjuk ke salah satu tempat dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya tetap memegang kemudi motor.
"Itu namanya Saung Angklung. Di sana banyak yang ngadain pentas-pentas alat musik angklung gitu deh."
"Oooh, nanti kita kesana ya""
"Iya kapan-kapan."
Matahari kini sudah mulai bergerak ke arah barat. Gue perkirakan tidak akan lama lagi kami berdua akan sampai di tempat tujuan. Gue menyuruh Naufal untuk menambah kecepatan motor agar timing yang gue inginkan pas dengan apa yang gue harapkan.
"Di depan nanti ada belokan yang nanjak, lo hati-hati ya bawa motornya." Pinta gue dan dibalasnya dengan anggukkan kepala.
Belokan yang ditunggu pun terlihat. Naufal dengan hati-hati menikungkan motor dan menjaga kecepatan agar tetap seimbang. Yaaa, walaupun nanjaknya agak sedikit lama gara-gara mungkin motor ini sudah tidak kuat membawa dua orang untuk melewati tanjakan ini, namun pada akhirnya kami berdua tetap melewati tikungan ini dengan selamat. Beberapa saat setelah melewati tikungan, Naufal memberhentikan motor.
"Kok berenti sih Fal"" Gue bertanya.
Naufal hanya diam dan mematikan mesin motor lalu melepas helm. Dia berjalan sedikit menjauh dari motor dan dia menatap lurus ke bawah, melihat pemandangan kota ini dari sudut yang lain. Rencana gue mulai berhasil.
"Keren ya"" Gue bertanya setelah berada di sampingnya.
"Banget! Kok lo tau tempat ini sih""
"Ya iyalah gue kan pernah kesini!" Gue meninju lengan Naufal. "Tempat ini namanya Caringin Tilu."
"Yuk lanjut lagi jalan ke atas."
"Ke atas" Masih ada lagi"" Tanyanya dengan heran.
"Iya. Cepet ayo keburu malem entar." Gue menarik lengan Naufal menuju motor. ***
Untungnya apa yang gue harapkan dapat terjadi dengan pas dan tepat pada waktunya. Kami berdua sampai di tempat tujuan ketika matahari sudah tenggelam dan digantikan oleh langit malam yang gelap. Gue menyuruhnya untuk turun dari motor dan mengajaknya berkeliling.
"Gue ga mau balik dari sini Ay." Ujarnya sambil memandang ke sekeliling dengan mata yang berbinar-binar. Gue tersenyum.
"Kenapa" Bagus yaaaa" Wuuu gaya-nya tadi ga mau gue ajak ke tempat yang jauh-jauh." Gue meledek Naufal.
"Ya mana gue tau kalo lo mau bawa ke tempat kayak ginian Ay." "Nama tempatnya apaan""
"Bukit Moko." Jawab gue sambil tersenyum.
Kami berdua meneruskan berjalan-jalan santai di sekitar lalu kami berdua duduk di sebuah bangku yang terbuat dari kayu dan menatap takjub pemandangan malam hari kota ini. Gue duduk di samping Naufal sambil mengayunkan kaki dan kemudian melihat wajahnya. Gue mendapatkan sebuah senyuman yang tersungging pada bibirnya dan matanya tetap memandang lurus ke bawah, memandangi kerlap-kerlip lampu perkotaan yang terlihat sangat menawan dari atas sini. Gue mendongakkan kepala.
"Liat ke atas deh Fal." Gue menarik-narik lengan jaket untuk mendapatkan perhatiannya.
"Waw. Bagus banget Ay!" Ujarnya.
Kami berdua melihat langit telah dihiasi oleh beberapa bintang yang bersinar terang sehingga menambah keindahan pemandangan malam hari ini. Angin malam berdesir kencang dan membuat gue sedikit bergidik. Mungkin karena menyadarinya, Naufal sedikit menjauh dari gue dan kemudian melepaskan jaket yang ia kenakan lalu memasangkannya kepada gue. Saat dia memakaikan jaket miliknya kepada gue, gue ga berani menatap wajahnya dan hanya bisa menundukkan kepala, gue malu.
"M...makasih..." Gue berkata dengan pelan dan dia menepuk lembut bahu gue.
Gue memberanikan diri untuk duduk lebih dekat dengannya, mencoba merapatkan tubuh gue dengan tubuhnya dan kemudian secara perlahan gue melingkarkan lengan gue kepada lengannya.
"Lo manja banget sih." Protesnya sambil sedikit terkekeh, namun dia tidak mencoba melepaskan genggaman tangan gue dari lengannya.
"Hehehe biarin!"
"..." "Gue kangen sama lo, Fal..."
Naufal tidak menjawabnya namun dia semakin merapatkan posisi tubuhnya dengan gue. Gue menyandarkan kepala pada bahu kirinya dan kami berdua menatap gemerlap lampu kota dari tempat dimana kami berdua berada sekarang.
Part 78 A Gift Aneh. Iya, gue ngerasa aneh. Aneh ga sih"
Yap. Hubungan gue dengan Aya memang aneh. Di satu sisi, Aya menyukai gue dan di satu sisi lainnya, gue sendiri ga memiliki perasaan apa-apa terhadap Aya. Namun pada saat Aya mencoba mendekatkan dirinya kepada gue, gue sama sekali engga mencoba untuk menghindarinya dan malahan mungkin gue membalasnya. Apa ini yang namanya sebuah hubungan tanpa status" Sepertinya hubungan gue dengan Aya bisa dibilang seperti itu. Tapi...
Aneh ga sih" Iya, aneh. Kenapa" Karena gue sendiri ngerasa aneh dengan keanehan ini...
*** Hari-hari berlalu sangat cepat. Tidak terasa bahwa sebentar lagi kami semua, para siswa, akan melaksanakan yang namanya UAS. Salah satu momok yang menakutkan bagi sebagian siswa yang memiliki otak rata-rata ke bawah, termasuk gue. Jujur, selama beberapa minggu ke belakang ini gue belajar dengan pikiran yang bercabang dan sulit untuk fokus.
Pertama, gue masih sering memikirkan Hanif. Hal ini merupakan sebuah hal yang mutlak yang berada di dalam pikiran gue dan ga bisa diganggu gugat serta menempati urutan teratas dalam 'program' yang mengkonsumsi memori RAM pada otak gue.
Yang kedua, perasaan gue kepada Vanny. Gue sendiri masih ga yakin tentang perasaan gue kepadanya. Ga dapat gue pungkiri lagi bahwa sesosok Vanny adalah sosok yang mempesona. Dia bisa bermain piano, memiliki wajah yang (menurut gue lumayan) cantik, dan tentu saja, dia lucu. Apakah gue memiliki perasaan kepadanya" Ataukah mungkin tidak" Oke, gue mengakui bahwa gue memiliki sedikit perasaan kepadanya. Namun, kenapa pada saat yang sama juga perasaan gue kepada Hanif masih seperti yang dulu"
Mengutip lirik yang terdapat pada lagu Only Time-nya Enya: 'who can say if your love grows, as your
heart chose, only time.' Ya, hanya waktu yang dapat menjawabnya.
Dan yang terakhir adalah Aya. Seperti apa yang telah gue tulis di atas, gue memang merasa aneh dengan semua ini dan mungkin ga usah gue tulis ulang lagi disini. You got my point. Tapi satu yang ingin gue lakukan,gue harus berusaha menjaga sikap terhadap Aya. Iya gue tau kalo apa yang gue lakukan dengan Aya itu salah dan gue ingin pergi dari siklus looping ini: setiap kali gue bertemu dengan Aya, pasti (atau mungkin kadang-kadang) dia menggenggam tangan gue, bersender di bahu gue, dan lain sejenisnya.
Ah, sudahlah. Sekali lagi, only time...
*** Siang itu gue sedang duduk di atas bangku kelas, menghafalkan beberapa materi tentang pelajaran Biologi sambil mendengarkan musik via earphone. Lalu tiba-tiba ada seseorang yang menarik sebelah earphone gue yang membuat gue secara reflek menoleh ke samping.
"Apaan sih ah lo ganggu gue mulu Van!" Gue menarik paksa kabel earphone yang sedang dipegangnya.
"Gue mau tanya doang, judes banget sih..."
"Iya mau tanya apaan"" Gue menutup buku kemudian memposisikan badan menghadap Vanny.
"Lo nanti liburan natal nanti balik ga""
"Balik deh kayaknya, kenapa""
"Gue balik bareng elo ya""
"..." Gue terdiam sebentar sebelum angkat bicara. "Kenapa emang""
"Gue juga mau balik, cuman bokap gue kayaknya ga akan balik jadi gue balik sendiri." "Lo bareng gue, ya""
"..." Gue menundukkan kepala sambil sedikit menggaruknya, berpikir.
"Gue biasanya balik pake kereta malem. Terus kan entar lo turun di Jogja, kalo tengah malem emang ada yang mau jemput elo""
"Ya jangan pake kereta malem juga kali Fal, kan ada kereta yang berangkatnya pagi. Itu apa sih
namanya..." Vanny menggerakkan telunjuknya di udara.
"Argo Wilis." "Nah iya itu! Kenapa ga pake yang itu aja""
"Males." Gue menjawab dengan singkat.
"Yaaah, ayodooong masa gue sendirian sih baliknya""
"Kan lo biasanya juga sendiri Van..."
"Sekarang beda oon!" Dia menghentakkan kakinya di lantai. "Dulu gue ga ada temen balik tapi sekarang gue ada temen, mau ya""
"..." "Ya" Mau ya""
"Iya deh iya, terserah."
"Asikkkk..." Vanny bertepuk tangan kecil.
"Nanti pulang sekolah kita pesen tiketnya sekarang ya!"
"Terserah lo, terserah..." Gue mengibaskan tangan di udara sambil menggeleng. ***
Singkat cerita gue sudah mengikuti UAS dengan lancar, dan sekarang adalah tanggal 21 Desember yang artinya adalah gue akan pulang ke kampung halaman. Gue sengaja ga memberitahu Aya tentang keberangkatan hari ini.
Gue terpaksa bangun pagi-pagi sekali karena kereta yang akan gue tumpangi bersama Vanny akan berangkat pada pukul 7 tepat. Setelah mandi jebar-jebur dan berpamitan kepada bibi, gue pergi meninggalkan rumah menuju stasiun sambil mengenakan ransel yang tersimpan di balik punggung.
'Dimana" Gue udah di pintu utara.'
Gue mengirim sms kepada Vanny setelah sampai di stasiun. Tidak lama kemudian, gue sudah
mendapatkan balasannya. 'Lg d wc, bntr...' Kemudian gue berjalan ke arah samping kanan stasiun dan melihat kereta dari balik jeruji pagar yang tertutup. Gue mendekat ke arah pagar dan memegang batang besinya. Nyess...
Seketika rasa dingin mulai merambat pada kedua telapak tangan. Namun rasa dingin tersebut segera berakhir seiring dengan tepukkan dari seseorang pada pundak gue dan gue menoleh.
Masyaallah... Hari itu gue inget, banget, Vanny mengenakan sweater rajut berwarna cokelat tua hingga menutupi batang lehernya. Lengan dari sweater tersebut digulung hingga ke sikut yang menampilkan gelang berwarna putih yang terpasang pada pergelangan tangan kirinya sementara tangan kanannya memegang tiket kereta kami berdua. Lalu kedua kakinya dibalut dengan celana denim biru dongker serta sepatu kets terpasang rapi pada kakinya. Dan satu lagi, rambut panjangnya dikuncir kuda seperti saat pertama kali gue bertemu dengannya di atas kereta.
Gue ga bisa menggambarkan perasaan gue pada saat itu. Dandanannya rapi. Cocok, ga kurang dan ga lebih. Pas.
Vanny, dia cantik... "Yuk masuk ke dalem. Kereta kita yang itu kan"" Vanny menunjuk ke arah kereta dengan dagunya.
"Eh, iya itu kayaknya."
"Ehm." Gue berdehem kemudian merapikan kaos.
"Yuk masuk ke dalem." Gue berjalan mendahului Vanny yang masih berada di belakang gue.
Gue sengaja berjalan terlebih dahulu. Gue takut salah tingkah di depannya.
Setelah menyerahkan tiket untuk dicoret oleh petugas pemeriksaan di pintu masuk, kami berdua langsung menaiki kereta yang telah tersedia dan mencari nomor seat yang tertera.
"Gue di samping kaca, gue di samping kaca Fal." Vanny langsung menyerempet dan duduk di bangku yang dekat dengan kaca, masih mengenakan tas ransel yang dipakai olehnya sambil cengengesan ke arah gue.
"Gue mau tidur, jangan ganggu gue ya. Inget." Gue berkata sambil menyimpan barang bawaan di pada bagasi atas.
"Iya, eh ini sekalian simpenin." Vanny tersenyum polos sambil menyerahkan tas miliknya.
Gue memasang wajah jutek dan mengambil tas dari tangannya secara paksa.
"Makasih Naufaaal, hehehe..."
"Haha hehe, bayar!" Gue berkata dengan judes lalu menjatuhkan diri pada kursi di sampingnya. ***
Selama di perjalanan, gue menghabiskan waktu untuk tidur, tidur, dan tidur. Gue tidur sambil memasangearphone sehingga tidur gue nyenyak sekali. Entah sudah berapa lama gue tidur, bahu gue digoyang-goyangkan oleh Vanny.
"Bangun, bangun... Bentar lagi gue turun."
"Hhhmmpphh, ini dimana"" Gue membenarkan posisi duduk sambil mengelap bibir.
"Udah mau masuk Jogja, tadi kita baru ngelewatin stasiun Kroya."
"Masih lama kali ah baru lewat Kroya doang mah. Sejam dua jam lagi baru nyampe Tugu."
"Udah jangan tidur terus, temenin gue ngobrol kek!"
Walaupun gue ingin menolak dengan seribu satu alasan, namun sepertinya badan gue sudah kembali bugar dan siap untuk menerima ocehan dari seseorang yang cerewet yang duduk di samping kanan gue. Dan akhirnya, kami berdua larut dalam obrolan yang ngalor ngidul tak tentu arahnya.
*** Tidak terasa bahwa sebentar lagi Vanny akan turun dari kereta. Dia bersiap-siap dan mengambil tas yang berada di bagasi atas. Sebenarnya gue ga ingin Vanny turun dari kereta ini dan gue ingin Vanny tetap berada di samping gue untuk menemani gue ngobrol. Namun, yasudahlah...
"Gue turun duluan ya Fal. Lo hati-hati di jalan." Ujarnya sambil mengenakan tas ransel pada punggungnya.
Cowok Manja Merantau Karya Karnaufal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Iya, eh bentar." Gue bangkit dari kursi dan mengambil sesuatu dari dalam tas yang memang sudah gue persiapkan sebelumnya.
"Nih, buat lo Van." Gue menyerahkan sebuah kotak seukuran genggaman tangan yang terbalut oleh kertas kado.
"Waah, apaan nih"" Ujar Vanny sambil menerimanya.
"A christmas gift." Gue menjawab sambil tersenyum.
"Tapi bukanya nanti, kan sekarang belom natal hahaha..." Gue tertawa dan kemudian diiringi oleh tawa renyah milik Vanny.
"Yaudah ya gue turun dulu. Daaaah!" Vanny bangkit dari kursi dan melambaikan tangannya.
Perlahan punggungnya menjauh dan menghilang di ujung bordes kereta, meninggalkan gue dengan perasaan bahagia setelah memberikan kado tersebut kepadanya.
Selamat Natal, Vanny! Part 79 A Gift (2) Gue meregangkan tangan ke udara, mencoba meluruskan persendian yang kaku karena sedari tadi gue hanya duduk di depan dua buah layar monitor sambil membuat laporan singkat tentang kunjungan kerja gue tempo hari. Gue mengambil sekaleng Dr. Pepper dingin pada sudut kanan meja kerja, membuka tutup kalengnya dan kemudian menyeruputnya sedikit.
Gue melihat jam di tangan kanan gue. Sebuah jam tangan yang merupakan pemberian darinya yang sudah agak sedikit kusam dan mesinnya pun kadang-kadang mati, namun masih berfungsi dengan normal walaupun harus gue kocok-kocok agar mau berfungsi.
Jarum pendeknya kini menunjukkan kepada angka 3, berarti masih ada waktu sekitar satu jam lagi sebelum gue melaporkan sekaligus mempresentasikan hasil kerja gue kepada atasan.
Gue mulai bengong ga ada kerjaan. Akhirnya gue memutuskan untuk mendengarkan lagu yang kalem via iTunes dan membuka aplikasi pengolah kata pada komputer. Beberapa saat kemudian, gue sudah time travelling ke masa lalu, mencoba mengingat-ingat kembali tentang apa yang pernah gue alami pada beberapa tahun yang lalu...
*** Siang itu gue sudah kembali berada di sekolah. Masa liburan kali ini sepertinya berlalu dengan cepat dan gue merasa kurang dengan jatah liburan semester ini. Sepertinya bukan hanya gue saja yang merasakan hal tersebut, Ojan pun mengeluhkan hal yang sama dengan gue. Sehabis pelajaran ini selesai, dia terlihat ogah-ogahan sambil sesekali memejamkan matanya.
"Kenapa Jan" Tumben lo lesu gini." Gue bertanya kepada Ojan yang sedang menopang pipinya dengan dua tangan.
"Ngantuk gue, maen ps sama anak-anak rumah sampe begadang ya jadinya gini." "Hhhh..." Ojan menghela nafas.
"Ini sekolah macam apa, baru selesai liburan langsung masuk normal." Ujarnya sambil menggeleng. "Gue masih pengen liburan terus tidur di rumah."
"Ya lo tinggal bolos aja sana, tidur yang nyenyak di dalam pangkuan sang mamah."
"Yeee yang ada juga gue dimutilasi!" Ojan sewot dan kami berdua tertawa.
Kami melanjutkan dengan mengobrol ringan tentang kegiatan liburan kemarin. Ojan ternyata lebih sering menginap di rumah temannya dan bermain ps sampe mampus. Permainan yang dimainkannya pun ternyata cuman satu, yaitu 'Smackdown vs Raw 2006. Itu loh, yang covernya Batista sama John Cena.
Walaupun sudah ada versi terbaru yaitu versi tahun 2008, Ojan dan kawan-kawan lebih memilih versi 2006 dengan alasan lebih mudah dan mengerti dalam hal controlling. Saat sedang asyik membicarakan tentang game tersebut, tanpa sadar Vanny sudah berada di samping meja gue.
"Ikut gue sini Fal, bentar doang kok ayo..." Vanny menarik-narik lengan seragam gue.
"Eeeeh jangan tarik-tarik, kusut ntar woi!" Gue menggeplak tangannya.
"Makanya cepetan sini ikut!"
"Iya-iya bentar."
"Entar dilanjut lagi Jan ngobrolnya." Gue pamit kepada Ojan. Dia mengangguk dan seketika menjatuhkan kepalanya pada buntelan jaket di atas meja.
Gue berdiri dan mengikuti Vanny dari belakang. Awalnya gue mengira bahwa dia akan membawa gue keluar kelas, tapi ternyata dia malah membawa gue ke arah tempat duduknya.
"Tuh liat, bagus kan kado lo dipasang di tas gue"" Ujar Vanny sambil memain-mainkan gantungan Santa Claus kembung pada sleting tasnya.
Gue tersenyum saat melihatnya. Tidak ada perasaan yang lebih menyenangkan selain melihat sesuatu pemberian dari gue dipakai olehnya. Gue merasa sangat dihargai sekali oleh Vanny.
"Bagus Van. Gue kira lo bakal pasang dimana gitu, eh taunya di tas."
"Hehehe biarin, boleh kan" Lagian gue juga suka kok sama hadiah natal dari lo." Ujarnya sambil tersenyum sumringah.
"Oh iya, gue juga punya sesuatu buat lo."
"Apaan"" "Ada deeeh." Ujarnya dengan memasang wajah tengil. Kemudian Vanny mendekatkan bibirnya pada telinga gue.
"Nanti gue kasih pas pulang sekolah. Kalo gue ngasihnya sekarang, gue malu. Wleee..." Vanny berbisik di telinga gue.
"Okeee. Gue tunggu loh ya awas!"
"Siap, kapten!"
*** Bel pulang yang ditunggu-tunggu pun berbunyi. Kali ini gue sedang bergelut dengan rasa penasaran dan rasa takut. Gue penasaran dengan apa yang akan diberi oleh Vanny dan gue takut dengan apa yang akan diberi oleh Vanny. Tanpa sadar, dua hal tersebut membuat gue senyam-senyum sendiri.
Seperti biasa gue mengeluarkan kembali buku pelajaran yang sebelumnya sudah dimasukkan ke dalam tas dan mulai mengerjakan tugas. Entah sudah berapa lama gue asyik sendiri mengerjakan tugas sambil mendengarkan lagu via earphone, ada seseorang yang mengambil paksa pulpen gue.
Gue mendongakkan kepala. Di depan gue kini duduk seorang cewek yang sedang bertopang dagu dan menatap ke arah gue.
"Serius amat om." Vanny berkata sambil memasang wajah polosnya dan dia juga sedang memegang pulpen gue.
"Siniin pulpen gue, tanggung nih." Gue mencoba meraih pulpen pada tangannya namun Vanny malah menjauhkannya.
"Mau kado ngga"" Tanya Vanny.
"Kado" Kado apaan" Gue dikasih gak"" Ojan tiba-tiba nimbrung.
"Apa sih lo ikut-ikutan mulu." Gue menyikut lengan Ojan. "Udah sono kerjain dulu."
"Iya sori ya Jan lo ga dapet kado apa-apa dari gue, hehehe..." Vanny cengengesan. "Balik yuk Fal, nanti gue kasih sambil jalan." Ajaknya.
Karena gue sudah dilanda oleh rasa penasaran yang akut, akhirnya gue memenuhi permintaan Vanny dan langsung membereskan segala alat tulis. Kemudian gue berpamitan kepada Ojan yang terlihat bete karena dikacangin oleh gue dan Vanny.
"Jadi, kado gue mana"" Gue bertanya kepada Vanny sesaat setelah keluar dari kelas.
"Bentar." Vanny menghentikan langkah kakinya lalu merogoh-rogoh ke dalam tas ranselnya. "Nih!" Ujarnya sambil tersenyum seraya menyerahkan sebuah kotak yang terbungkus kertas kado berwarna hijau.
"Apaan nih"" Gue bertanya sambil menerima kado pemberiannya.
"Rahasia, wleee!"
"Jangan dibuka sekarang, dibukanya entar pas lo nyampe rumah."
"Gue duluan ya Fal, semoga lo suka sama pemberian gue." Vanny tersenyum dan melambaikan tangannya lalu berjalan mendahului gue.
Gue membalas lambaiannya dengan tangan kanan sementara tangan kiri gue masih memegang kado pemberian darinya.
*** Sesuai dengan perkataan Vanny barusan, setibanya di rumah gue langsung mengambil dan membuka kado pemberian darinya. Dengan perlahan gue menyobek kertas kado yang menutupinya. Kertas kado sudah terlepas seluruhnya. Gue melihat sebuah kotak berwarna hitam yang bertuliskan dua buah huruf C kecil dan K besar berwarna silver yang saling menyatu. Gue membuka penutupnya dan langsung tersenyum saat melihat isinya.
Gue diberi hadiah sebuah jam tangan dengan tali berbahan karet tebal berwarna dasar hitam oleh Vanny. Dan di sela-sela dari kotak tersebut, terselip sebuah kertas HVS kecil yang berisi tulisan tangan Vanny sendiri.
Suka gak sama kado dari gue" Suka ya"
Hehehe Awalnya gue mau ngasih ini pas ulang tahun lo
Cuman kan karena ulang tahun lo di bulan Juli dan bertepatan pada libur semesteran Jadi gue kasih sekarang deh, kalo nanti takut ga bisa ngasihnya hehehe Pas di sekolah lo pake ya jamnya
Oh iya, jam tangan yang lo pake sekarang udah jelek banget!
Salam ~Vanny~ *** "Mr. Eko..." Suara nyaring dari Mrs. Dylan, sekretaris dari atasan gue, membuyarkan konsentrasi menulis gue.
Walaupun jarak gue dengan Mrs. Dylan hanya terpisah oleh beberapa workspace, beliau sepertinya enggan untuk berjalan dan menghampiri gue ataupun memberitahu via telepon. Beliau lebih memilih untuk berteriak dari balik mejanya sehingga membuat konsentrasi gue dan rekan-rekan yang satu ruangan bersamanya menjadi buyar.
"Yes Ma'am"" Gue sedikit menaikkan badan dan melihat dari balik bilik workspace gue dan melihat ke arahnya.
"Mr. Vince was on my line and he told me that he wants you to be in his room in 5." Mrs. Dylan mengacungkan lima buah jarinya.
"And don't forget to bring your brief." Tambahnya.
"Aye, Ma'am. I'll be there in a jiffy." Gue mengacungkan jempol kemudian mempersiapkan segala sesuatu yang harus dibawa ke dalam ruangan Mr. Vince.
Gue kembali melihat ke arah jam pemberian dari Vanny, lalu gue tersenyum. Untuk saat ini, sepertinya sudah cukup berkelana ke masa lalunya.
Gue mengklik tombol Ctrl+S lalu meminum habis sekaleng Dr. Pepper dalam beberapa tegukan sebelum berjalan menuju ruangan Mr. Vince.
Part 80 We Talked About The Reality
Sama seperti dengan ujian-ujian yang sudah lalu, gue kembali selesai terlebih dahulu dalam mengerjakan soal-soal yang diujikan dalam mata pelajaran Bahasa Inggris. Dalam UTS kali ini, gue mendapat teman sebangku seorang cewek anak kelas satu yang entah siapa namanya. Gue ga terlalu memperhatikan hal tersebut karena beberapa hari ini gue memang fokus dalam mengerjakan soal-soal UTS.
Gue keluar kelas lalu bersandar pada dinding pembatas sambil menatap ke arah lapangan dalam dari lantai dua. Sekolah ini sepi dan sunyi, merupakan sebuah hal yang wajar seperti saat ujian-ujian sekolah pada umumnya. Gue melirik jam tangan pemberian dari Vanny yang kini menunjukkan pukul delapan pagi. Masih ada waktu satu jam sebelum bel berbunyi. Gue memutuskan untuk pergi ke kantin untuk sarapan.
"Bu, nasi kari satu. Kecapnya yang agak banyak." Gue berkata kepada ibu-ibu kantin.
Ga lama kemudian pesanan gue telah siap. Gue membawa sepiring nasi kari ekstra kecap yang asapnya masih mengepul menuju meja makan terdekat dari tempat dimana gue berdiri. Gue mengaduk-aduk sebentar sambil meniup nasi kari tersebut hingga agak dingin. Suapan pertama masuk ke dalam mulut dan gue mengunyahnya dengan pelan.
Aktivitas sarapan gue terhenti saat gue mencium sebuah aroma parfum yang sangat familiar, sebuah aroma yang hanya dalam sepersekian detik saja dapat membuat gue terbang ke masa lalu, mengingat kembali momen-momen indah yang pernah gue alami bersama sang pemilik parfum tersebut, Hanif.
"Aku boleh duduk di sini kan Fal"" Hanif bertanya kepada gue.
Hanif kini sedang berdiri tepat di samping meja makan sambil membawa makanan ringan. Gue memperhatikan Hanif, dia masih seorang Hanif dengan rambut pendek bob miliknya yang kini sudah menyentuh bahu. Dan tentu saja, dia cantik, as always. Ga dapat gue pungkiri lagi bahwa sekarang gue sangat senang sekali bisa kembali berdua dengannya walaupun gue tau hal ini ga akan berlangsung lama.
But one thing for sure, I'll cherish this moment.
Matahari Esok Pagi 20 Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Pedang Pembunuh Naga 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama