Ceritasilat Novel Online

I Dont Belong Here 2

I Dont Belong Here Karya Angchimo Bagian 2


Gue bingung men. Apa ga ada dalam kamus hidup lo arti mengikhlaskan dan memulai sesuatu yang baru" tanya Ari saat menanggapi curahan hati gue soal Diana dan Aryani. Ikhlas"
Apa arti kata ikhlas sebenernya" Apakah ikhlas itu adalah menerima kenyataan"
Gue terdiam dalam lamunan dengan sebatang rokok yang terselip di sela jari dan terbiarkan menyala.
Sekarang gue tanya ndra. Apa yang lo mau perjuangin dari Aryani" satu-satunya hal yang harus lo perjuangin adalah lupain Aryani, dan bangun jalan lo sama Diana. Lanjut Ari dengan sedikit ngotot.
Gue menatap wajah sahabat yang gue kenal sejak masa SMA itu. Dia menatap gue sejenak dengan wajah kesal, kemudian merebahkan badannya diatas kasur gue. Gue mengerti dia pasti sangat mengutuk kebodohan gue yang masih saja terjebak dengan masa lalu. Terjebak dalam sebuah jalan yang masih saja gue yakini sebagai jalan pulang. Dan gue pun mengakui kebodohan itu.
Part 16 Setelah melewati lebaran yang gue lalui sendirian , dengan ga jarang pertanyaanpertanyaan mengenai pasangan sering disampaikan oleh keluarga gue, bahkan juga para tetangga. Gue seringkali menjawab hanya dengan gurauan.
Mana pasangannya" Kapan nikah" tanya salah satu tetangga dekat yang sudah seperti keluarga saat bertandang ke rumah gue.
Yailah, kaya bakal ngamplop banyak aje mpok kalo gue undang ke nikahan gue.
Dan biasanya pertanyaan-pertanyaan kaya gitu hampir selalu gue jawab serupa, dengan gurauan. Karna gue ga terlalu mikirin penilaian orang atau pertanyaan basa basi.
H+4 setelah lebaran, gue harus ke Surabaya menemui klien untuk project disana. Gue harusnya berangkat sama Bayu, tapi karna dia terjebak suasana keluarga yang masih ramai dirumahnya, mau ga mau gue jalan sendiri.
Gue sampai di Stasiun Pasar Turi Surabaya sekitar jam 4 pagi. Gue mengabari team project gue di grup kemudian berjalan menyusuri stasiun mencari sudut yang memperbolehkan merokok sambil beristirahat sejenak menunggu subuh. Setelah sholat subuh di mushola stasiun, barulah gue keluar dan mencari taksi untuk menuju ke sebuah penginapan yang ga jauh dari tempat ketemuan gue dengan klien di salah satu mall di Surabaya.
Sekitar jam setengah enam, gue sampai di penginapan dan segera membanting badan untuk membungkam keluhan tulang pinggang yang menagih jatah untuk diluruskan.
Gue baru terbangun lewat tengah hari, itupun karna dering handphone gue yang menandakan sebuah panggilan, dari Diana. Yang seperti biasa selalu menganggap gue hilang dan berencana lapor ke polisi. Gue mengatakan lagi di Surabaya karna ada project kerjaan. Gue emang ga pernah cerita apapun ke Diana mengenai kesibukan gue. Dan juga pernah dia bertanya mengenai pekerjaan gue dan gue Cuma bilang gue ga kerja.
Dan orang absurd kaya Diana emang ga pernah bisa ditebak reaksinya. Dia malah seneng denger gue nganggur', yang artinya gue punya banyak waktu buat dia.
Tapi, yaa kaya sekarang ini. Gue jalan ke Surabaya tanpa bilang ke dia. Karna gue pikir gue bukan siapa-siapanya. Ngapain juga gue harus bilang apa aktifitas gue. Tapi hal itu justru malah membuat Diana kesal. Dia menganggap gue asik jalan-jalan dan sering ilangilangan. Sampe dia menjuluki gue ninja.
Setelah ngobrol dan melakukan pembelaan ke Diana, gue bergegas mandi dan berniat datang lebih dulu ke tempat pertemuan gue dengan klien. Karna kebetulan di mall, gue pikir sekalian gue bisa beli sesuatu buat Diana nanti.
Sekitar jam 3 sore, gue udah di salah satu mall yang cukup dikenal di Surabaya. Gue mengabari klien gue, Ibu Soraya, melalui sms. Mengatakan bahwa gue sudah di mall. Beliau langsung menelpon gue karna gue datang sejam lebih awal. Gue mengatakan bahwa ingin melihat-lihat suasana mall dulu jadi dia ga perlu khawatir dan terburu-buru menyusul.
Hampir sejam gue muter-muter ga jelas, dan gagal memutuskan membelikan apa buat Diana. Akhirnya gue Cuma beli beberapa pernak pernik serta sebuah boneka sapi kecil. Bodo amat dah dia suka apa enggak nantinya.
Bu Soraya, klien gue, menelpon sekitar jam 4 sore. Mengatakan bahwa dia menunggu di salah satu outlet kopi di sudut mall. Gue mengiyakan dan mencari-cari outlet yang di maksud, kemudian segera memasuki outlet tersebut.
Gue memesan segelas kopi yang rasanya ga terlalu enak tapi harganya kelewatan, kemudian celingukan mencari sosok Ibu-ibu yang gue anggap mirip dengan penggambaran Ibu Soraya dalam benak gue. Gue sempat ragu dan memutuskan menelpon, hingga akhirnya mendapati Ibu Soraya duduk di salah satu sudut ruangan dengan laptop terbuka di mejanya. Gue pun segera mendatangi dengan membawa segelas kopi yang gue pesan, kemudian menyalaminya.
Dan gue malu bukan main, ternyata sosok Ibu Soraya jauh banget dari bayangan gue. Kalo gue tebak usianya mungkin seumuran gue, atau malah dibawah gue. Dan orangnya cantik, banget. Putih, chinese, dan berpipi gembul. Sukses membuat gue grogi saat duduk dihadapannya.
Jadi, gimana muter-muter mall nya Pak" Belanja nih kayanya" Ledek Bu Soraya basa basi.
Hehe, enggak Bu. Cuma beli beberapa barang titipan temen. Lho, jangan panggil aku Ibu, panggil nama aja sih. Yaudah, jangan panggil saya Pak, panggil Rendra aja.
Sesaat kemudian setelah saling mengakrabkan diri dan gue berhasil mengusir rasa grogi, gue menyampaikan data project yang gue bawa di flashdisk dan di buka di laptop Soraya. Kemudian kami tenggelam dalam obrolan mengenai project sampai hampir dua jam. Oke Mas Rendra, kalo gitu kapan rencana mau ke kantor kami" Hmm, mungkin besok Mba. Udah ada aktifitas belom ya besok" Duh, jangan panggil Mba. Protes Soraya dengan wajah cengengesan. Oke, saya panggil Cece aja gapapa ya"
Hahaha, iya lah gapapa kalo itu. Yaudah besok aku tunggu di kantor ya Mas. Udah alamatnya kan"
Iya, udah Ce. Yaudah, kalo gitu aku duluan ya Mas. Ga enak pacarku udah nunggu tuh. Ucap Soraya sambil menunjuk kearah pintu depan dengan dagunya kemudian melipat laptop dan memasukkannya ke tas yang dia bawa.
Gue menoleh sejenak kearah pintu dan menganggukkan kepala menyapa pacar Soraya, yang kemudian dibalas dengan anggukan dan senyuman olehnya. Kemudian Soraya pamit dan menjabat tangan gue. Lalu melangkah menjauh.
Gue mengeluarkan handphone dan meneguk kopi yang sudah dingin tapi masih tersisa banyak karna nyaris ga tersentuh dari tadi. Gue melayangkan pandangan menyapu sekitar, dan melihat ke pelataran luar outlet kopi ini. Sejenak gue berniat pindah duduk diluar biar bisa ngerokok.
Gue baru saja berdiri dan celingukan mencari tempat duduk kosong, sampai kemudian mata gue menangkap sosok wanita yang sepertinya gue cukup kenal, duduk di sudut jauh terluar di pelataran outlet kopi ini, bersama seorang lelaki.
Gue tertegun sejenak, memperhatikan aktifitas mereka. Melihat si lelaki berbicara seperti mengotot sementara si wanita hanya diam menunduk. Kemudian beberapa detik kemudian, si lelaki melayangkan tamparan ke wajah wanita tersebut yang masih tetap menunduk.
Lelaki itu bangkit dari duduknya, kemudian berlalu. Meninggalkan wanitanya yang tetap menunduk dan sepertinya mulai terisak.
Viona ... Part 17 Bad day" ucap gue sambil duduk di kursi tepat didepan wanita korban penamparan tadi.
Viona mengangkat wajahnya, dan menatap gue dengan wajah kaget. Kemudian melihat ke sekelilingnya, mungkin mencari pacarnya yang sudah berlalu meninggalkannya. Kemudian menghentikan pandangannya menatap gue lagi, dengan mata yang masih tergenang air, sepertinya sudah dia tahan sejak ditampar tadi.
Gue ga mengatakan apapun, hanya menatap wajah Viona. Banyak, sangat banyak yang berubah dari penampilannya. Tubuhnya semakin kurus, mungkin program dietnya di dukung oleh pacarnya yang sekarang. Juga rambutnya yang pendek diatas bahu serta diwarnai kekuningan. she's totally different and i don t like it.
Kamu.. kamu.. Viona masih menatap gue dan berusaha berbicara, namun air matanya justru jatuh mengalir di pipinya.
Kamu beda banget ya sekarang. Tapi kenapa jadi kaya gini penampilannya" Ngimbangin pacar baru nya" ledek gue tanpa basa basi.
Viona memukul pelan tangan gue diatas meja, kemudian tersenyum dan mengusap air matanya.
Kamu kok bisa disini ndra" tanya Viona sambil merapihkan rambutnya. Kenapa emang" Semua orang boleh ada disini kan"
Maksudnya, kok kamu kesini" Ngapain" Ada urusan apa" Ga ada urusan apa-apa, main aja. Jawab gue berbohong.
Viona menatap gue dengan tersenyum, kemudian mencoba mengambil tangan gue di meja. Gue segera menarik kedua tangan gue dan menggunakannya untuk memangku dagu gue.
Kamu lagi pulang kesini Vi" tanya gue ke Viona yang memang asli orang Surabaya
Viona hanya mengangguk, sambil memasang wajah manyun dibuat-buat. Ekspresi wajah yang dulu selalu membuat gue gemas, kini malah membuat gue menggeleng. Kamu.. kamu pasti benci sama aku ya ndra"
I wish i could. Gue menjawab tenang. Aku minta maaf ndra.
Viona menundukkan kepalanya, dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Udah Vi. Ga usah dibahas. Ga ada yang perlu dibahas lagi, anggap aja semua ini sebagai pelajaran buat kita.
Viona mengangkat wajahnya dan menatap gue. Matanya berkaca, namun pandangannya kosong.
Aku minta maaf ndra Viona mengulangi ucapannya.
Iya. Udah lah, saling maafin aja ya. Aku juga minta maaf kalo ternyata banyak hal yang aku lakuin mungkin malah menyakiti kamu dan...
Enggak.. Viona memotong omongan gue dan menggelengkan kepalanya.
Gue hanya terdiam menatap Viona. Entah darimana datangnya keberanian untuk menyapanya dan duduk dihadapannya seperti ini. Entah bagaimana awalnya ga pernah terpikirkan akan bertemu dengannya lagi. Terakhir kali gue ke kota ini adalah bersamanya setahun yang lalu. Dan kini gue duduk bersamanya, menyisakan perih yang gue coba tepikan agar ga terlihat lemah dihadapannya.
Karna sejujurnya, ada luka yang belum mengering dan masih menganga namun harus kembali berdarah saat berpura-pura baik-baik saja saat ini. Benci, gue pengen banget membenci makhluk dihadapan gue saat ini. Pengen banget gue mentertawakan aksi penamparan di depan umum yang dia hadapi. Tapi gue ga bisa.
Sekarang kamu sama siapa" Aryani" Tanya Viona yang membuat gue tersentak kaget. Enggak. Belom waktunya, atau mungkin ga akan ada lagi waktunya. You love her too much, ndra. Aku tau itu.
Hahaha. Aryani" Kenapa" Aku bahkan ga pernah bahas tentang dia sama kamu. Gue tertawa untuk menyangkalnya.
Iya, emang ga pernah. Tapi nama dia sering kamu panggil dalam tidur kamu. Ucap Viona sambil kali ini tersenyum licik, seperti berhasil menelanjangi segala sesuatu yang gue sembunyikan di dasar hati gue.
Part 18 Iya, emang ga pernah. Tapi nama dia sering kamu panggil dalam tidur kamu. Ucap Viona sambil kali ini tersenyum licik, seperti berhasil menelanjangi segala sesuatu yang gue sembunyikan di dasar hati gue.
Ma.. maksud kamu" gue gugup dan kaget.
Berapa kali sih ndra kamu ketiduran di kos aku dulu" Dan hampir selalu aku dapati kamu manggil-manggil nama Aryani.
Gue terdiam mendengar ucapan Viona. Mungkin wajah gue merah saking malunya.
Kadang sambil ketawa atau senyum-senyum, kadang sambil marah-marah. Ah, Aryani. Bener-bener deh dia ngambil sepenuhnya hati kamu, walaupun aku yang ada disamping kamu. Ucap Viona sambil menggeleng dan tersenyum.
Ah, aku bahkan ga percaya sama kata-kata kamu lagi sekarang Vi. Lagipula, jangan menggunakan Aryani sebagai pembelaan atas kelakuan kamu yang udah dengan mudahnya menghianati aku. Jangan jadikan perasaan aku ke Aryani sebagai alasan kenapa kamu memilih orang lain.
Viona masih tersenyum menatap gue, sementara degup jantung gue berantakan entah kenapa.
Iya, di satu sisi aku seneng bisa menunjukkan ke kamu, bahwa kamu udah kehilangan aku saat kamu masih terjebak dengan kenangan masa lalu kamu. Tapi disisi lain..
Enggak, bukan aku yang kehilangan kamu. Aku Cuma kehilangan sosok wanita yang menemani aku beberapa tahun. tapi kamu, kamu kehilangan orang yang bener-bener berusaha teguh dengan pilihannya menjalani hubungan dengan kamu. So, it s your lose, not mine. Potong gue membantah pembelaan yang coba Viona lakukan.
Senyum Viona perlahan memudar. Seiring dengan genangan air di sudut matanya yang kembali basah. Gue tersenyum menatapnya, entah kenapa gue merasa puas membalas ucapannya.
Iya ndra, aku yang kehilangan. Ucap Viona pelan.
Gue jadi merasa bersalah saat melihat Viona kembali meneteskan air matanya.
Aku pikir, kepergian aku akan bikin kamu hancur. Tapi nyatanya, aku sadar. Kamu yang pergi, aku yang hancur. Kamu pergi dengan keadaan amat sangat kecewa sama aku. Viona mulai sedikit terisak, namun berusaha menghapus air matanya. Gue hanya menggelengkan kepala sambil mematikan rokok di asbak dihadapan gue. Hati gue masih terasa perih melihat Viona menangis.
Aku berusaha bikin kamu makin cemburu dengan memposting segala kebahagiaan aku yang sekarang di media sosial. Aku berusaha menunjukkan ke temen-temen kita bahwa aku bahagia saat lepas dari kamu, meski sebenernya aku tau, aku justru yang terjebak dengan segala bayangan tentang kamu.
Udah Vi, cukup. Ucap gue mencoba menghentikan monolog Viona.
We were not born perfect, right" Ga usah lagi kita bahas kesalahan-kesalahan kita dulu. Aku bukan ga peduli lagi, tapi terlalu berat buat aku bilang bahwa aku baik-baik aja, dan terlalu naif kalo aku bilang aku ikhlas dengan semuanya. Aku Cuma gamau membahas apapun lagi tentang kita. Lanjut gue.
Gue menatap wajah Viona yang memasang ekspresi memelas. Dia terdiam menatap gue, seperti mengharu dalam rasa menyesal.
Viona, gue tidak menyukai penampilannya saat ini. Baru berapa bulan gue ga melihatnya, dia merubah penampilannya yang sejatinya dia tau gue ga akan menyukainya.
Viona tau bahwa gue ga suka cewek yang kurus, juga berambut pendek, apalagi di warnai. Gue juga ga suka dengan cewek yang menebalkan alisnya dengan pensil, spidol, crayon, atau yang sejenisnya.
Dan sepertinya selera pacarnya Viona yang sekarang bertolak belakang dengan selera gue yang gak kekinian. Gue yang biasanya menatap Viona dengan rasa kagum akan kecantikannya, kini malah merasa berbeda dengan penampilan terbarunya. Pacar kamu suka Vi sama penampilan kamu yang sekarang"
Viona hanya mengangguk lemah, masih dengan wajah memelas. Gue hanya tersenyum menatapnya.
Dia kasar ndra, ga kaya kamu. Ucap Viona pelan. Bukannya kamu pernah bilang aku galak dan keras"
Iya, tapi kamu ga kasar. Sedangkan dia dengan gampang nya main tangan ke aku.
Gue melihat raut wajah Viona yang semakin muram. Gue sebenernya bukan cowok baik
atau cowok lembut. Tapi selama sama Viona, gue emang selalu berusaha ga bersikap kasar. Gue selalu memilih menjauh saat gue terbakar emosi.
We never know what we have, until someone takes it away.. ucap gue kini sambil meraih dan mengusap punggung tangan Viona.
Viona hanya mengangguk dan menatap gue.
So, if you can t have what you love, try to love what you have, Vi. Lanjut gue.
Viona tetap menatap gue, sepertinya ia memilih bungkam ketimbang menyampaikan semua kata yang memenuhi kepalanya.
Lama kami saling terdiam, gue tetap mengusap punggung tangan Viona. Entah apa yang gue pikirkan, gue Cuma gamau Viona tersakiti, meski gue ga lagi rela menjaganya.
Ndra. Kamu inget gak sama salah satu lagu yang hampir selalu aku nyanyiin saat dibonceng sama kamu. Ucap Viona menengahi keheningan.
Lagu apa" Aku pernah minta kamu dengerin, tapi kamu nolak karna lagu ini soundtrack film dramadrama korea. Tapi kali ini kami harus denger.
Viona melepaskan pegangan tangan gue, dan mengeluarkan handphonenya kemudian memilih sebuah lagu dan memutarkannya ditengah kami diatas meja. Lagu yang hampir gue hapal nadanya, tapi ga begitu tau liriknya karna senandung Viona hanya gue nikmati nadanya, bukan liriknya.
Kali ini, gue mendengarkan dengan seksama setiap lirik yang di nyanyikan, membawa gue hanyut dalam suasana yang menyakitkan dan menusuk-nusuk dada gue tanpa kenal ampun.
I know something's gone awry but I feel like going on
I know I could be wrong but I also could be right..
And I feel the earth is turning faster before I saw you there
I feel the sky is spinning lighter before I saw you there
And I see the things are not the same again Cause you're here
cause you're there cause you're everywhere..
Now I know how my times Can be still in the way
I hope this could last until we find brighter days I know how my times can be still in the way I hope this could last until we fade away
I know something's gone awry but I feel like going on
I know I need to say good bye For I'm off for the brand new days with you..
Iya ndra, Without you. Aku selalu mengganti lirik terakhirnya jadi without you saat aku nyanyiin di depan kamu. Ucap Viona dengan wajah penuh rasa bersalah, yang hanya mampu gue balas dengan senyum getir karna baru memahami maksudnya. Part 19
Beberapa bulan yang lalu, gue terkapar penuh kecewa saat mengetahui Viona menghianati gue. Saat ini, seorang yang membuat gue terkapar itu duduk di hadapan gue, dan kami kembali membicarakan hal-hal terakhir sebelum kami berpisah.
Hal yang gue baru sadari adalah, semua orang berubah seiring berjalannya waktu. Tapi, kenangan ga berubah. Sepahit apapun, kenangan itu ga akan bisa kita rubah. Apa yang bisa kita lakukan hanyalah; menerimanya apa adanya.
Setelah hari beranjak sore, gue kembali ke penginapan gue. Bersama Viona. Gila" Iya, gue gila.
Perempuan yang pernah menghancurkan gue kini berjalan disamping gue, sambil memeluk lengan gue agar gue mengimbangi langkahnya yang berjalan lebih santai.
Mungkin, kalo ada penghargaan buat Laki-laki paling munafik sedunia, gue adalah orang yang berhak mendapatkannya. Terlepas dari luka di hati gue yang masih menolak untuk dinyatakan sembuh seutuhnya, gue dengan mudahnya menerima permintaan Viona buat ikut ke penginapan gue. Dengan pemikiran sederhana yang naif; Kita boleh pisah, tapi silaturahmi harus terjaga. Bulshit!
Ah Goblok! Ngapain lo sama Viona" Terus dimana orangnya sekarang" Bentak Ari dari telepon saat gue mengadukan apa yang gue alami saat ini.
Di dalem, kayanya lagi ke kamar mandi. Gue juga bingung Ri. Gue.. Apa" Kasian" Bilang aja lo mau nikmatin moment berdua. Enggak. Gue cuma gamau..
Gamau sia-siain kesempatan buat ambil jatah pensiun kan" Anjir.. gue reflek tertawa mendengar sindirian Ari. Udah lah, terserah lo men. Lo udah gede. Have a nice sex yaa Eh.. Bang& sat!
Ari mematikan panggilan dan menyisakan kesal buat gue. --Selepas mandi dan maghriban, gue mengajak Viona mencari makan di Luar. Viona sudah menunggu di bangku kecil depan kamar gue.
Jadi, siapa perempuan yang bisa nuntun kamu kearah yang lebih baik sekarang" Kayanya jadi rajin sholat kamu. Tanya Viona saat kami duduk di salah satu meja setelah selesai makan ga jauh dari penginapan gue.
Gue hanya menjawab dengan senyum. Kamu kok kurusan sekarang, sayang"
Pertanyaan Viona memudarkan senyum gue. Bukan soal gue yang dianggap kurusan, tapi penggunaan kata sayang' yang masih dia gunakan.
Aku masih boleh tetep kontak kamu kan ndra" Nomer aku kamu blok ga di whatsapp" Enggak Vi, aku ga pernah blok nomer kamu.
Viona tersenyum menatap gue. Sedangkan gue terpaku menatapnya. Garis wajah yang membentuk senyumnya, yang membuat gue seakan kembali ke masa lalu, saat dimana gue pertama kali mengagumi senyum itu.
Aku.. Aku beneran minta maaf ndra..
Viona memudarkan senyumnya, dan menyeret gue kembali dari lamunan. Udah. Ga usah minta maaf terus Vi.
Aku sadar, aku terlau gampang kemakan omongan dan sikap baik orang lain ndra. & . Gue diam dan memasang sikap mendengarkan.
Tapi dia datang saat kamu jauh dari aku. Dia bantu aku beradaptasi di lingkungan baru aku. Dia duduk disamping aku dan ajarin aku semua yang aku ga bisa lakuin sendiri, nemenin aku menghadapi masalah-masalah pekerjaan, sedangkan kamu Cuma memberikan semangat lewat chat atau telepon.
& . Semakin hari, semua hal yang dia lakuin buat aku selalu bikin aku nyaman. Dan, aku mulai membandingkannya dengan kamu.
& . Gue masih bungkam
Dia terlihat lebih hebat. Ga ada satu hal pun yang bisa kamu menangkan dari pertarungan' kamu lawan dia di mata aku ndra. Dan aku.. Aku mulai terbawa perasaan yakin, bahwa dia lebih baik dari kamu. Aku yakin jalan aku sama dia akan lebih mudah daripada harus berjuang sama kamu.
& gue, memaksakan senyum.
Maafin aku ndra. Ucap Viona sambil mengambil tangan gue dan menggenggamnya. Gue mengangguk dan tersenyum. Meski ada rasa perih, tapi setidaknya gue merasa lebih lega. Kini gue tau apa alasannya. Dan gue pun ga menyalahkan Viona atas keputusannya. Itu hak dia, meski gue harus dipaksa kalah' saat gue bahkan gatau sedang dalam pertarungan'.
Setelah semakin larut, gue memutuskan untuk kembali ke penginapan. Viona pamit pulang. Gue menemani dia menunggu taxi di pelataran penginapan.
Kamu harus tetep bahagia ya ndra. Ucap Viona sambil menggenggam tangan gue.
Ga lama kemudian taxi yang ditunggu pun datang. Gue dan Viona bangkit dari duduk hampir bersamaan, kemudian gue mengantarnya sampai ke depan taxi.
Jaga diri ya ndra. Jangan lupa selalu doain dan utamain keluarga. Sampe ketemu lagi. Ucap Viona sambil memeluk gue.
Gue mengangguk mengiyakan. Viona melepaskan pelukannya dan menatap gue. No kiss for me" ucapnya meledek.
Lagi-lagi, gue hanya bisa tersenyum.
Gue membukakan pintu taxi dan mempersilahkan Viona masuk. Dia masuk dan duduk di kursi belakang. Gue mendekatkan diri setengah membungkuk ke arah Viona.
Vi. Dia Cuma terlihat lebih hebat di mata kamu karna kamu yang memutuskan buat ga memberikan aku kesempatan untuk melawan. Ucap gue setengah berbisik kemudian mencium keningnya.
Jaga diri kamu. Lanjut gue sambil menutup pintu taxi.
Gue berdiri terdiam melihat taxi tersebut perlahan menjauh, kemudian menghela napas panjang sambil mengusap-usap wajah gue.
Part 20 Gue kembali ke Jakarta, ke kota yang selalu gue sebut sebagai rumah. Kota yang menjadi tempat kelahiran dan pertumbuhan gue. Kota yang gue tapaki selangkah demi selangkah dengan kaki yang semakin berdarah, penuh luka.
Gue sampai dirumah sekitar jam 10 pagi. Dan kali ini gue merasakan bahwa pertemuan gue dengan Viona kemarin benar-benar merubah gue, hampir secara keseluruhan.
Viona bukan satu-satunya perempuan yang pernah ada dalam hidup gue. Mungkin juga bukan yang memberikan kesan terindah. Tapi saat bersamanya, gue merasa telah berusaha sebaik mungkin untuk bertahan.
Bertahan dari segala kesempatan yang gue miliki untuk melukainya. Bertahan untuk tidak menghianati. Bertahan untuk tidak melukai dan menyakiti.
Dia adalah wujud nyata dari janji gue untuk memperbaiki diri, agar segala sikap buruk gue yang berujung pada kehilangan Aryani ga harus terulang saat bersama Viona. Tapi nyatanya"
Dia terlihat lebih hebat. Ga ada satu hal pun yang bisa kamu menangkan dari pertarungan' kamu lawan dia di mata aku ndra. Dan aku.. Aku malah terbawa perasaan yakin, bahwa dia lebih baik dari kamu. Aku yakin jalan aku sama dia akan lebih mudah daripada harus berjuang sama kamu.
Ucapan Viona berputar kembali di kepala gue. Suaranya, hembusan nafasnya, tatapan matanya, semua terekam jelas dan.. gue kecewa.
Kali ini gue harus mengerti, bahwa mungkin gue harus memiliki segalanya. Segalanya!! Untuk bisa mempertahankan orang yang gue sayang. Bahwa ternyata segala bentuk perjuangan ga akan ada artinya jika disuatu hari orang yang gue cintai menemukan apa yang dia inginkan ternyata ada di orang lain.
Gue berubah. Pola pikir gue berubah. Gue, benci dengan apa yang orang sebut sebagai cinta. Gue mulai berpikir bahwa cinta ga lebih dari cara seseorang melihat apa yang orang lain miliki. Dan gue merasa lelah jika nanti harus lagi-lagi terlibat dengan apapun yang berkaitan dengan cinta.
Hal ini tentu saja berdampak dengan secuil harapan yang masih gue simpan untuk memperjuangkan Aryani. Harapan itu kini kian pupus, nyaris tak tersisa. Dan bagian terburuknya adalah; gue membiarkannya.
Gue kini sadar bahwa gue ga memiliki apapun untuk merebut' Aryani kembali. Dan gue ga lagi mau terlibat dengan perjuangan yang sia-sia.
Setiap hari gue lewati dengan berusaha menikmati kesendirian. Berteman dengan sepi dan gelap. Serta meyakinkan diri bahwa hidup gue bukan hanya soal wanita. Entah itu Viona, Aryani, maupun Diana.
Diana" Ya. Gue pun berencana mengambil langkah menjauhinya.
Gue membongkar tas ransel yang kemarin gue pakai dalam perjalanan ke Surabaya. Mengeluarkan pakaian kotor dan barang-barang lainnya. Serta sebuah boneka sapi kecil terbungkus plastik yang gue beli buat Diana.
Gue menatap boneka itu sekilas, kemudian melemparnya ke dalam lemari pakaian gue. Menyimpannya sebagai mimpi setengah jadi.
---- Hari demi hari kembali membuat gue tenggelam dengan kesibukan menyelesaikan sisasisa laporan project bersama Rizki dan Bayu. Komunikasi gue dengan Diana nyaris putus seutuhnya. Kembali hanya satu arah saja dari Diana sementara gue selalu mengabaikannya.
Gue ga bermaksud mempermainkan siapapun. Justru gue memilih menghindari Diana daripada gue harus memaksakan terlibat lebih jauh soal perasaan dengan Diana namun hati gue justru terjebak dengan segala kenangan tentang Aryani.
Diana terlalu istimewa untuk gue perlakukan seperti itu. Jadi gue memilih untuk mundur dan menjauh.
Ndra, kok si Diana whatsapp gue nih nanyain lo" Tanya Rizki sambil menatap layar hpnya. Saat kami sedang merapihkan laporan project di ruang santai rumahnya. Gue melirik sejenak ke Rizki, kemudian melanjutkan merapihkan laporan di laptop gue.
Rizki bangkit dari duduknya kemudian berjalan kearah dalam rumah. Gue mengabaikan dan tetap fokus mengetik.
Assalamualaikum. Suara seorang wanita dari depan teras yang kemudian disusul wujudnya masuk melintas dan menatap ke arah gue. Kami saling bertatapan sejenak. Kemudian wanita itu masuk ke dalam rumah, meninggalkan gue yang belum beranjak menekuni bekas jejaknya. Rizki kembali dari dalam membawa dua cangkir yang gue yakini berisi kopi. Tapi gue ga peduli dengan kopi itu. Gue penasaran dengan wanita yang barusan masuk ke dalam. Ki. Barusan siapa itu cewek masuk ke dalem" tanya gue ke Rizki. Cewek" Siapa" Kagak ada siapa-siapa daritadi.
Yee sialan. Serius, barusan masuk.
Adek gue kali. Kenapa lo" Jangan di deketin. Yailah. Siapa emang namanya"
Maura. Sahut sebuah suara dari bagian dalam rumah dan sesaat kemudian telah berdiri beberapa langkah dari gue. Sukses membuat gue terdiam dalam rasa malu. Part 21
Halo Maura, gue Rendra. Gue menyapa sambil mengangkat telapak tangan tanpa menghampiri, dan Maura hanya tersenyum kemudian melirik Rizki yang sedang geleng-geleng kepala, dan dia kembali berlalu masuk ke dalam. Gue pun hanya cengengesan dengan tingkah Rizki, yang awalnya gue kira khawatir adiknya akan gue dekati.
Gue tau lo, ndra. Gue juga tau selera lo. Dan menurut gue, she's not your type. Ucap Rizki sambil meneguk kopi panas yang baru saja dia buat.
--- Suatu hari setelah gue menyelesaikan semua laporan project yang gue jalani, gue menghubungi Bang Imam dan mengatakan bahwa gue gamau terlibat dalam project selanjutnya. Gue menjelaskan bahwa gue pengen cari kerjaan, dan Bang Imam memaklumi.
Setelah mendatangi kantor Ci Vanya untuk interview kerja di tempatnya, gue main ke kantor lama gue, bertemu teman-teman lama, termasuk bekas Bos gue, yang sekaligus jadi mentor dan sahabat gue, Ko Andre.
Yakin lu orang mau kerja di tempat Vanya" Itu kan jauh ndra dari rumah lu" Tanya Ko Andre saat kami sedang menikmati segelas kopi panas di depan kantor nya.
Ah, biarin. Ga masalah. Gue masih spartan kok. Gue menjawab singkat. Lu kenapa ga balik kesini aja sih"
Lah, lo kan ga pernah nawarin gue juga Ko, jadi gue pikir disini juga ga ada lowongan buat gue.
Yee gue kan taunya lu orang lagi jalanin usaha sendiri. Jawab Ko Andre sambil menoyor kepala gue.
Setelah itu kami lebih banyak membicarakan soal pekerjaan. Gue selalu suka kalo sharing mengenai persoalan pekerjaan dengan Ko Andre. Selalu ada banyak hal yang gue pelajari dari dia, dan diapun memang selalu bisa memberikan banyak pandangan-pandangan baru buat gue.
Satu minggu kemudian, saat gue sedang bersepeda sore di akhir pekan, Ko Andre menelpon gue dan mengatakan bahwa ditempat temannya sedang ada satu lowongan pekerjaan buat gue. Namun gue mengatakan bahwa gue menunggu kepastian dari Ci Vanya dulu, tapi Ko Andre tetap meminta gue datang untuk melamar kesana di hari senin, gue pun mengiyakan.
Jadilah di hari senin nya gue datang ke kantor teman Ko Andre, menjalani proses test sekaligus interview. Setelah selesai, gue mengabari Ko Andre dan dia meminta gue menunggu kabar selanjutnya.
Dan hari-hari gue mulai kembali terasa membosankan. Ga ada kesibukan sama sekali. Gue pun akhirnya berencana mencari sedikit hiburan dirumah salah satu teman kuliah gue, di Jogja.
Yap, gue menghabiskan sekitar satu minggu disana, di rumah temen gue yang keluarganya selalu menganggap gue sebagai bagian dari mereka. Selama disana gue bener-bener putus komunikasi dengan Diana. Dia ga lagi mengirim puluhan pesan chat menanyakan kabar gue. Juga ga lagi mencoba menelpon gue hingga belasan kali.
Suatu malam, saat gue lagi asik menikmati teh panas di rumah temen gue di Jogja, Ci Vanya menghubungi gue dan meminta gue untuk segera bergabung di kantornya. Sebuah jawaban dari apa yang gue tunggu. Gue mengiyakan dan segera bersiap pulang.
Dalam perjalan pulang besok siangnya di kereta, saat gue sedang berbalas email dengan pihak HRD dari kantor Ci Vanya, handphone gue berdering dengan sederet angka tanpa nama. Gue sempat menduga dari kantor Ci Vanya, atau mungkin kantor temannya Ko Andre.
Assalamualaikum, dengan Dek Rendra" tanya seorang pria dengan suara berat dari ujung telepon.
Walaikum salam. Iya, Dengan siapa ini" gue menjawab dengan rasa bingung, dan sudah pasti ga ada hubungannya dengan kerjaan karna ga mungkin gue dipanggil dengan sebutan Dek Rendra' kaya gitu.
Saya Ayahnya Diana. Bisa saya minta waktunya sebentar Dek Rendra"
Part 22 Gue terdiam mendengar suara pria yang mengenalkan diri sebagai Ayahnya Diana. Sejujurnya gue sempat menduga orang ini berbohong, atau diminta Diana mengaku sebagai Ayahnya karna sudah cukup lama dia gue abaikan.
Ayahnya Diana" Ada apa ya pak"
Iya, Dek Rendra sekarang lagi dimana"
Haaah, gue mulai membaca kearah mana obrolan ini selanjutnya, karna gue semakin yakin ini hanyalah upaya Diana untuk mencari tau tentang gue. Dan buat gue ini sama sekali ga lucu.
Hmm.. saya lagi di perjalanan ke Jogja pak. Ada apa" gue menjawab berbohong. Oh, Jogja" Mas Rendra orang Jogja"
Enggak, Cuma mau main aja. Maaf Pak, ada hal apa ya"
Gue bertanya dengan agak jengkel.
Suara Pria yang mengaku sebagai Ayahnya Diana itu agak menjauh, disertai dengan suara riuh yang kini menjadi latar belakang yang semakin mendominasi seluruh suara di telepon. Halo, Pak"
Iya Dek Rendra, sebentar ya.
Gue memfokuskan mendengar suara latar di telepon, yang sepertinya dibawa berjalan dan dialihkan ke orang lain.
Halo, ini Rendra" tanya suara pria lain, yang sepertinya lebih muda dari pria sebelumnya. Iya, ini siapa" Ada apaan sih"
Gue Deni. Lo dimana"
Deni" Deni siapa" Ada apaan nanya-nanya gue dimana" gue bertanya dengan kesal. Nada suara lo bisa santai ga"
Lah" Kok jadi lo yang nyolot. Kan gue&
Gue Kakaknya Diana. Diana lagi di rawat di Rumah sakit AAA. Kalo bisa tolong lo kesini sekarang, gue enek denger dia manggil-manggil nama lo terus.
Laki-laki yang mengaku sebagai Deni, Mas nya Diana itu memotong omongan gue, kemudian menutup telepon sesaat setelah ucapannya selesai.
Seketika gue merasa panik, tapi gatau musti ngapain. Meski sejujurnya gue masih meragukan kebenaran orang yang mengaku Bokap dan Mas nya Diana itu, gue tetap merasa khawatir soal Diana. Tapi gue ga bisa apa-apa, gue ga mungkin nyuruh masinis ngebut keretanya biar cepet sampe.
Gue menginjakkan kaki di stasiun Pasar Senen, Jakarta, sekitar jam 9 malam. Gue berhasil menguasai diri dari rasa panik, namun tetap bergegas menuju pulang, hingga gue sampai dirumah jam setengah sebelas malam.
Gue melempar tas ransel ke kasur, kemudian segera menancap gas motor menuju rumah sakit yang di informasikan Deni, Mas nya Diana. Tapi, saat tiba di pelataran rumah sakit gue merasa ragu. Sudah hampir tengah malam, jam besuk pun sudah lewat. Hal yang percuma kalo gue tetep memaksakan masuk. Akhirnya, dengan setengah ragu, gue memutuskan pulang.
--- Hari ketiga gue kembali ke Jakarta, gue sudah mulai bekerja di kantor Ci Vanya. Gue, Rendra, mengakui betapa bodoh dan pengecutnya diri gue sampai ga berani menjenguk Diana. Setiap kali gue merasa berhasil mengumpulkan keberanian untuk menjenguknya, pikiran naif selalu mematahkan keberanian gue. Gue dengan naifnya berpikir bahwa belum tentu orang yang menelpon gue tempo hari beneran keluarga Diana. Lagipula, kalaupun benar Diana sempat di rawat di rumah sakit, mungkin saja sekarang dia sudah pulih dan kembali ke rumahnya. Jadi gue hanya berencana akan menemuinya di rumahnya nanti, entah kapan.
Dan hari-hari selanjutnya gue kembali disibukkan dengan pekerjaan gue yang baru. Jarak tempuh antara rumah gue ke tempat kerja yang cukup jauh benar-benar menyita waktu gue. Gue harus jalan pagi-pagi untuk menghindari keterlambatan, dan pulang saat gelap untuk menunggu macet reda. Dan biasanya gue menepi di salah satu warung kopi pinggir jalan untuk sekedar beristirahat ketimbang harus memaksakan jalan pulang sambil mengutuk kemacetan.
Tanpa terasa, gue semakin terbiasa dengan kesendirian. Gue terbiasa menepi dari keramaian untuk menikmati sepi tanpa berharap ada yang menemani. Satu bulan berlalu ditempat kerja baru gue, kini gue mulai bertanya pada diri gue sendiri; Apa yang gue perjuangkan" .
Part 23 Apa kalian pernah terjatuh" Pasti pernah. Entah karna salah memperhitungkan langkah atau salah memilih tempat berpijak dan bersandar, kita semua pasti pernah terjatuh. Dan gue percaya, rasa sakitnya mungkin ga seberapa, atau minimal akan terobati seiring berjalannya waktu. Tapi, ada sesuatu yang secara psikologis membuat kita ragu untuk melanjutkan perjalanan.
Sesuatu itu yang mungkin gue rasakan saat ini. Seiring dengan semakin akrabnya gue dengan kesendirian, gue mengakui bahwa gue kembali berjalan kehilangan arah. Tanpa tujuan, tanpa keyakinan.
Sebenernya gue ga ngerti sih sama apa yang lo mau ndra. Ucap Rizki saat suatu hari gue mampir kerumahnya untuk menepi menunggu macet reda.
Lo itu kek.. apa ya. Kek ga punya tujuan, tapi kebanyakan harapan. Nah, iya mungkin itu. Ga punya tujuan tapi banyak berharap. Lanjut Rizki berbicara sambil tertawa dengan gaya khas nya yang superior dalam menilai orang.
Gue hanya meliriknya sejenak, kemudian membakar sebatang rokok dan menghembuskan asapnya ke udara.
Gue sebenernya dukung kalo lo bisa jalanin sama Diana. Dan Diana nya sendiri juga udah nunjukkin banget kalo dia ada rasa sama lo. Sampe sekarang aja dia masih sering nanyain lo ke gue. Eh, lo malah..
Ki& Itu pakean (pakaian) ngapa masih pada berantakan begono" Teriak sebuah suara dari dalam rumah Rizki.
Yasalam. Gumam Rizki pelan sambil menepuk jidatnya. Iya, bentaran Mak. Saut Rizki sambil berteriak ke dalam.
Eh, Elu ya kalo orang tua minta tolong ada aja& Eh, tong. Ada elu, kirain Rizki ngejogrok (nongkrong) sendirian. Nyokapnya Rizki menahan marahnya saat keluar kedepan teras dan mendapati Gue bersama Rizki.
"Iye nih Mak. Emak sehat" Babeh kemana kok kagak keliatan" Sapa gue sambil menyalami Nyokapnya.
Ada noh lagi Ngaji. Yaudah emak tinggal dulu yee tong. Pinjem Rizki nye sebentaran. Jawab nyokapnya Rizki sambil menarik lengan Rizki.
Gue mengangguk mengiyakan sementara Rizki menggerutu tanpa suara sambil menjawab panggilan telepon yang berbunyi di hpnya.
Halo& Aah, gue kagak bisa. Gue lagi disuruh emak nih. Lo naek ojek aja. Ucap Rizki sambil berlalu masuk kedalam rumah.
Gue tertawa kecil melihat kelucuan keluarga yang unik. Meski sejujurnya ada rasa iri dalam hati. Iya, di usia Rizki yang menempuh kepala 3 saja dia bahkan masih bisa bercengkrama dengan keluarganya. Lepas dari keabsurd-an nyokapnya, Rizki harus bersyukur karna ga semua anak sampai seusia dia masih bisa menikmati keutuhan anggota keluarga.
Gue, bahkan ga sampe usia 25 tahun udah kehilangan semua itu. Kepergian nyokap diperburuk dengan pernikahan bokap gue membuat gue dan Fajar mulai hidup masingmasing meski masih berdua tinggal serumah. Ga ada lagi riuh canda dirumah gue seperti yang gue temui disini. Yang membuat gue melamunkannya sendiri di balik hati yang semakin terasa sepi.
Ndra, tolong jemput adek gue dong di depan. Ucap Rizki membuyarkan lamunan gue. Adek lo" Si Maura itu"
Iya, lo masih inget mukanya kan" Tolong jemput ya, nyokap gue bawel nyuruh ini itu, dikira gue amoeba kali bisa membelah diri.
Gue agak lupa sih mukanya. Tapi nanti gue cari dah. Di depan komplek kan" Iyaa lo cari dah cewek yang masang tampang manyun di depan sono, udah pasti dia itu.
Rizki kembali masuk kedalam rumah sementara gue mengambil motor dan bergegas menuju depan komplek yang sebenernya ga terlalu jauh, mungkin sekitar sepuluh menit kalo berjalan kaki.
Mendekati depan komplek, gue mendapati seorang perempuan sedang berjalan kaki yang ga asing wajahnya buat gue, dan sesuai tebakan Rizki, masang tampang manyun. Gue pun langsung mendekati.
Ra, ayok naik. Sapa gue sambil memelankan motor mendekat ke Maura. Yang disapa hanya menoleh sejenak, kemudian kembali berjalan melewati gue.
Heh Ra. Gue disuruh Rizki jemput lo. Ayok naik. Ajak gue lagi sambil menjalankan motor pelan membuntuti Maura.
Ga usah. Gue ga minta jemput sama lo. Bentak Maura dengan suara yang kelewatan nyaring sampe gue goyang dari motor.
Jengkel dengan kelakuan dan bentakan Maura, gue pun menancap gas dan meninggalkannya.
Anjing! sialan amat itu bocah. Gumam gue dalam hati. Part 24
Menjelang pertigaan terakhir menuju rumah Rizki, gue memutar kembali motor gue menuju kearah jalan depan untuk kembali mendatangi Maura. Entah karna gue bodoh, atau memang gue pecundang yang sangat mudah tertantang dengan sikap offensive perempuan.
Abang lo minta tolong gue buat jemput lo. Sekarang lo mau naik dan sampe rumah tanpa ngajak gue ribut, atau mau bikin situasi jadi lebih ribet" tanya gue dengan nada menantang sambil menghadang jalan Maura dengan motor gue.
Dan seperti yang gue duga, dia hanya menoleh sejenak kemudian melewati gue begitu saja.
Well, let s play your game. Ucap gue sambil tersenyum mengejek dan turun dari motor.
Gue mematikan motor dan mendorongnya sambil mengimbangi langkah Maura. Dan dengan tanpa berpikir bahwa motor yang gue dorong ini lumayan berat, Maura mempercepat langkahnya, membuat gue terpaksa mengeluarkan tenaga buat besok demi mengimbangi langkahnya.
Akhirnya Maura kembali memperlambat langkahnya, membuat gue kini merasa berada di posisi menang dalam menangani kekesalannya.
Kenapa" Capek" Ledek gue sambil menoleh kebelakang saat kini berada beberapa langkah di depannya.
Tanpa gue duga, Maura akhirnya tersenyum. Sebuah senyum yang sangat indah, yang pertama kali gue lihat dari wajahnya. Sebuah senyum yang seakan mengakui bahwa dia kalah' dari gue yang berhasil meladeni kelakuan konyol nya.
Maura berhenti beberapa langkah dibekakang gue, masih dengan tersenyum sambil melipat kedua tangannya di dada. Gue pun berhenti sambil mencoba mengatur napas agar tidak terlihat kelelahan, meski betis gue udah teriak-teriak minta diistirahatkan.
"Ayo sini naik aja. Ajak gue ke Maura sambil kembali menaiki motor sialan yang abis gue manjakan ini.


I Dont Belong Here Karya Angchimo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maura pun akhirnya luluh dan naik ke boncengan gue. Gue menstarter motor dan menjalankannya perlahan, hingga Maura menepuk pundak gue.
Kita udah kelewatan jauh kali. Harusnya pertigaan tadi belok kanan, Lo malah ngikutin gue belok ke kiri dan jalan makin jauh. Ucap Maura berbisik sambil memangku kedua tangannya di pundak gue, yang kemudian gue balas dengan memutar arah tanpa mengerem, saking keselnya.
--- Gue berangkat kerja besok pagi nya dengan betis yang mau pecah, dan muka yang masih memerah setiap kali teringat kelakuan Maura. Gue kesel, dan ngerasa ga layak dikerjain kaya gitu. Tapi justru hal itu tanpa gue sadari menanam bibit rindu akan tingkah-tingkah Maura.
Rizki tentu saja ga absen mentertawakan gue. Dan di hari-hari berikutnya, hampir setiap hari dia menanyakan kabar betis gue yang menurut terawangannya butuh di amputasi.
Pekerjaan gue jadi sedikit terabaikan. Gue yang biasanya bolak balik untuk mengecek aktivitas tim gudang kini Cuma bisa duduk sepanjang hari di depan meja. Segala sesuatu yang perlu advice gue pun akhirnya hanya bisa di mediasi oleh telepon.
Gue memanfaatkan kesempatan ini untuk merapihkan data perusahaan yang apa-apa masih manual ini. Mungkin ini alasan Ci Vanya merekrut gue. Karna sepertinya dia kurang mengerti bagaimana mengelola data logistik dan merapihkan alur kerja para tim gudang.
Oh ya, tim gue ada dua orang. Gue lebih suka menyebutnya sebagai tim karna nyatanya mereka adalah tim kerja gue. Ga ngaruh apa posisinya. Dua orang ini: Reza dan Roni. Ngerti dong kenapa kami bertiga jadi di panggil 3R, kaya ukuran kertas poto"
Mereka berdua adalah teman berbagi gue disini. Setiap masalah yang ada hubungannya dengan pekerjaan selalu kami putuskan bersama, meski gue sebenernya punya hak buat memutuskan sendiri, atau memutuskan bersama Ci Vanya.
Mereka berdua berusia dibawah gue. Tapi Reza sudah menikah meski umurnya jauh lebih muda. Roni yang lebih ketara kaya pecinta perempuan itu justru belum menikah, belum puas disakitin katanya.
Tentu saja berteman dengan mereka membuat gue menemukan alasan untuk makin ngaret pulang kerja. Entah sekedar nongkrong di depan kantor, atau pergi ke tempat tongkrongan Roni yang banyak cewek-cewek gemesinnya. Yang mana, disitu pula gue kembali bertemu Maura, Sedang tenggelam dalam tawa yang kental aroma alkohol. Part 25
Gue memperhatikan Maura dari jauh, dari tempat gue duduk yang terhalang lalu lalang orang-orang ditempat ini. Gue bukan orang suci, sama sekali bukan. Tapi sambil meneguk segelar bir gue tetap ga habis pikir kenapa bisa bertemu Maura disini.
Gue sempat ingin menghampiri dan menyapa Maura, tapi gue batalkan. Bukan karna kesal dengan kelakuan dia terakhir kali. Tapi gue khawatir kalo gue samperin nantinya Maura malah bersikap sungkan kalo ketemu gue pas main ke rumahnya.
Malam makin larut, dan gue pun merasa semakin mengantuk. Tapi dari penglihatan gue, Maura belum menunjukkan lelah, masih asik menggoyangkan badannya mengikuti irama musik yang diputarkan. Dan karna menurut gue dia baik-baik aja, gue pun memutuskan pulang tanpa menyapanya.
---- Hari selanjutnya masih di dominasi dengan tumpukan-tumpukan kerjaan yang dilimpahkan Ci Vanya ke gue. Membuat gue kadang kesal sendiri, bukan seperti alasan dia yang selalu bilang Karna gue percaya sama lu, makanya tugas ini gue serahin ke lu orang. , tapi gue lebih seperti merasa di perlakukan ga adil. Yang sering membuat gue mengeluhkannya ke Ko Andre.
Udah lah, emang alasannya apa kalo lu nolak project-project dari Vanya" tanya Ko Andre saat gue lagi main ke kantornya sepulang jam kerja.
Bukan mau nolak sih Ko, cuman, apa ya, kek ga masuk akal aja project-project yang dia limpahin ke gue. Dia tau gue lagi sibuk sama project opening, tapi nyerahin project lain yang laporannya perlu waktu buat nyelesainnya.
Yaudah kerjain aja. Lagian kan itung-itung lu orang belajar makin jago handle beberapa project sekaligus. Kalo butuh bantuan gue sini gue bantu.
Akhirnya gue pun menyalakan laptop dan membuka laporan-laporan project kantor gue. Ko Andre membantu gue menentukan rumus-rumus yang diperlukan untuk mempermudah gue menyusun laporan, yang harus gue bayar dengan secangkir kopi dan sebungkus rokok.
Kesibukan gue di dunia kerja membuat gue perlahan lepas dari hal-hal yang berkaitan dengan cinta. Meski gue jadi sering pulang larut karna ada beberapa kerjaan yang harus gue kerjakan, besok paginya gue tetep bangun normal dan berangkat kerja. Karna gue tau, ada yang jauh lebih penting untuk gue perjuangkan; masa depan gue.
Tapi tetep, sepulang kerja gue hampir selalu menepi ke warung kopi pinggir jalan yang lama-lama jadi langganan dan cukup hapal dengan kebiasaan gue. Di warung kopi itu biasanya gue menikmati kesendirian, di tengah hingar bingar sepi yang semakin menyelimuti. Sesekali gue membaca ulang beberapa pesan chat dari Diana yang dulu rutin dia kirimkan. Bahkan gue baru menyadari bahwa chatnya selalu memiliki kesamaan waktu setiap harinya.
Jam 5 pagi dia pasti mengucapkan selamat pagi dan mengingatkan sholat subuh. Satu jam kemudian dia mengucapkan selamat beraktivitas dan mengingatkan sarapan. Sekitar 5 menit sebelum jam 12 siang dia mengingatkan sholat dan makan siang. Begitupula di jam 4 sore, jam 6 sore, juga di jam 7 malam. Selalu sama.
Dan yang membuat gue menyesalkan semuanya adalah, kadang gue hanya menanggapi sesekali. Hingga di beberapa baris pesan chat terakhirnya, gue merasakan perihnya sepi.
Kamu pernah bilang, Love knows its home for sure. Mungkin saat itu aku berpikir aku adalah rumah dimana kamu akan pulang. Aku pikir apa yang harus aku lakukan adalah menunggu di depan pintu, menyambut kamu. Sekarang aku sadar, ada rumah yang selama ini kamu tuju, arah pulang yang selama ini kamu usahakan. Dan itu pasti bukan aku. Ternyata aku bukan bulan di pelataran dunia kamu. Aku Cuma bintang yang kamu kagumi sesaat, sebelum kamu memutuskan menuju arah pulang.
Gue terdiam cukup lama membaca semua pesan chat Diana dari pertama kali, sampai ke baris akhir. Yang membuat gue hanya bisa bergumam pelan, Maaf, Diana.. Part 26
Minggu pagi, hari ini gue kembali tergeletak dalam rasa lemah diatas kasur, setelah semalaman gue sama sekali ga bisa tidur.
Tepat lima tahun yang lalu, di hari ini, Allah memanggil nyokap gue di pagi hari, saat gue malamnya malah ketiduran pas jaga nyokap gue di kamarnya. Akhirnya, setiap tahun berulang di hari yang sama gue ga akan pernah mampu tertidur.
Gue bangkit dari kasur, menuju dapur dan mengambil segelas air mineral. Gue meminumnya di ruang tamu yang dimana di setiap pagi selalu ada nyokap gue duduk disini, menikmati segelas teh panas. Ada rasa rindu bercampur haru yang akhirnya membuat gue ga mampu menahan air mata.
Tugas Mama udah selesai.. ucap nyokap gue dalam napasnya yang lemah, sehari sebelum beliau pergi, 5 tahun yang lalu.
Enggak, belom. Mama belom liat Rendra wisuda. Rendra belom bikin Mama bangga. Gue menjawab sambil menahan pedih.
Mama udah bangga sama Rendra, sama Fajar. Yang penting kalian selalu doain Mama ya.
Gue terpukul setiap kali mengingat semua itu. Gue rela menukar apapun yang gue punya, asal bisa memeluk nyokap gue sekali lagi. Sekaliii aja.
Sekitar jam 8 pagi, gue bergegas mandi. Berniat mendatangi makam nyokap gue. Selesai mandi, gue langsung menuju ke sebuah pasar, membeli beberapa plastik bunga-bungaan dan air mawar. Gue bahkan gagal menguasai diri saat melihat tentengan kecil yang gue bawa saat ini hanya sekedar bunga, sebuah hadiah kecil, sedangkan gue ga pernah memberikan apapun ke nyokap gue di masa hidupnya.
Saat di perjalanan dari pasar menuju ke makam nyokap gue, handphone gue berdering. Dari bunyinya gue tau itu sebuah panggilan. Gue menepikan motor dan menjawab panggilan telepon dari sederet angka tanpa nama.
Halo" Assalamualaikum, Mas Rendra" Eh" Iya, waalaikum salam. Diana"
Yap, Diana. Gue masih hapal suaranya. Apa kabar mas"
Alhamdulillah baik Di. Lo apa kabar" Udah pulih" Udah Mas, Alhamdulillah. Kamu dimana" Lagi di jalan Di. Boleh nanti gue telpon balik aja ga"
Boleh kamu jemput aku aja ga Mas" Aku abis selesai lari pagi di kampus ABCD
Gue diam sejenak. Ga mugkin gue membatalkan rencana ke makam nyokap. Lo bisa nunggu ga" Sekitar satu jam mungkin. Gue ada urusan dulu& . Aku ikut gapapa kan" Daripada harus nungguin. Potong Diana. Hmm.. yaudah, tunggu ya.
Gue mematikan panggilan kemudian menghela napas sejenak, dan memutuskan menjemput Diana.
Seperti biasa, Diana selalu lagi-lagi mencium tangan gue saat bertemu. Gue mengajaknya bergegas supaya ga terlalu kesiangan, karna gue ga suka panas-panasan ke pemakaman.
Sepanjang jalan, gue dan Diana ga saling bicara. Tapi ada yang berbeda dari caranya bersikap. Dia kali ini memegang kedua sisi jaket gue dari boncengan belakang. Bahkan pegangannya sangat erat, padahal gue sama sekali ga ngebut.
Ini& " ucap Diana dengan wajah bingung sambil melihat ke sekeliling saat gue memarkirkan motor di area luar pemakaman.
Gue hanya mengangguk dan tersenyum menjawab kebingungannya, kemudian melangkah masuk menuju ke area dalam. Namun Diana malah terdiam, berdiri kaku tertinggal di belakang gue. Gue menoleh sejenak menatapnya.
Lo mau nunggu disini"
Diana mengangguk ragu. Yaudah, sebentar ya.
Kamu mau ke makam siapa" tanya Diana saat gue baru mulai melangkah menjauh. Gue balik badan dan menghampirinya, menuntun tangannya dan mengajaknya masuk. Aku takut Mas. Aku ga pernah&
Udah, ikut aja. Potong gue sambil menerima genggaman tangan Diana yang semakin erat.
Part 27 Assalamualaikum Mah, Rendra dateng. Ucap gue saat sampai di depan makam nyokap, lalu duduk dan mengelap batu nisannya dengan telapak tangan gue.
Gue menoleh ke Diana yang masih berdiri. Sejenak dia melihat ke arah batu nisan, kemudian melihat ke jam tangannya, yang menurut tebakan gue dia mencocokkan tanggal yang tertulis dengan tanggal hari ini.
Ini& Makam& " tanya Diana terbata sambil menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
Iya. Ini nyokap gue. Hari ini tepat lima tahun nyokap gue meninggal. Jawab gue.
Tanpa gue duga, Diana malah menutup wajahnya dan menumpahkan tangisnya. Tangis yang benar-benar merubah suasana menjadi semakin pilu, membuat dunia seakan berhenti berotasi untuk turut serta merasakan haru.
Udah, ga usah nangis. Sini duduk, kita doa bareng." Ucap gue sambil menarik tangannya.
Diana duduk di samping gue, dan kami menaburkan bunga serta berdoa bersama. Diana masih berusaha menguasai diri sampai akhirnya gue mengakhiri doa.
Aku ga pernah berani masuk ke pemakaman, Mas... ucap Diana sambil menoleh menatap gue.
Gue menatapnya sejenak, kemudian kembali menatap batu nisan.
Gue ga pernah ajak perempuan kesini, selain orang-orang yang pernah masuk kedalam hidup gue, Di. Ucap gue tanpa menatap Diana.
Kenapa kamu ngajak aku"
Gue menghela napas sejenak, kemudian kembali menatap Diana.
Lo pernah bilang ga merasa kenal gue lebih deket kan" Semoga, ini salah satu cara gue mengenalkan tentang diri gue ke lo. Jawab gue sambil bangkit dari duduk dan mengajak Diana keluar dari area pemakaman.
--- Gue dan Diana saling duduk berhadapan di sebuah kedai kopi kecil di daerah Depok. Kali ini, tempatnya gue yang menentukan. Karna sepanjang jalan pulang dari makam nyokap gue, Diana ga mengucapkan apapun.
Bahkan sampai kami duduk disinipun Diana masih diam, sambil asik menggigiti ujung sedotan es kopi yang dia pesan, dan menatap kosong ke meja.
Di, maaf waktu itu gue ga jenguk lo.
Gue berusaha membuka obrolan. Tapi Diana hanya mengangguk pelan dengan tetap menatap kosong ke meja.
Lo udah baikan kan sekarang"
Diana masih hanya menjawab dengan anggukan. Hingga membuat gue bingung untuk bagaimana membuka obrolan dengannya.
Gue membakar sebatang rokok lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Diana menatap gue, lalu mengambil bungkusan rokok dan koreknya yang gue letakkan di meja.
Kamu ngerokok berapa banyak biasanya" Tanya Diana sambil memegang bungkusan rokok gue.
Gue diam dan malas menjawab, karna menurut gue kalo dijawab Cuma akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain dari Diana.
Berapa banyak mas"! Diana menegaskan pertanyaannya. Gatau, gue ga ngitungin.
Diana yang sepertinya kesal dengan jawaban gue bangkit dari duduknya sambil menenteng rokok gue.
Eehh, mau ngapain" tanya gue sambil menangkap tangan Diana yang mulai menjauh dari meja.
Aku mau buang rokoknya. Lepas ga tangan aku! Kamu lebih sayang sama rokok ketimbang kesehatan kamu sendiri" Jangan dibiasain...
Iya iya, buang aja rokoknya. Tapi koreknya jangan. Gue lebih sayang sama koreknya. Potong gue sambil menjulurkan tangan meminta korek gas bergambar ukiran logo timnas sepakbola Italy.
Diana langsung memasang tampang cemberut dibuat-buat dan mengembalikan korek gue, lalu berjalan menuju tempat sampah dan membuang bungkusan rokok gue yang baru beberapa batang gue hisap.
Gue Cuma tersenyum sambil menggelengkan kepala saat Diana kembali duduk di hadapan gue masih dengan manyun yang dia buat-buat.
Itu yang di tangan juga dibuang rokoknya, atau asapnya di telan sekalian biar ga ganggu orang. Ucap Diana sambil menutup mulut dan hidungnya dengan ujung kerudung biru yang dia kenakan.
Ganggu" Jadi gue cuman dianggap pengganggu" saut gue meledek yang akhirnya menerima cubitan kesal Diana di tangan gue.
Diana mulai kembali diam sambil kembali menggigit ujung sedotan. Dan karna bosan dengan sikap Diana yang semakin pendiam, gue akhirnya mengajak Diana pulang. Dia sempat menolak dan semakin manyun, tapi akhirnya tetap menuruti gue yang memutuskan untuk tetap pulang.
Gue menepikan motor di depan komplek rumah Diana, dan menoleh kearahnya yang duduk di boncengan belakang.
Gamau, sampe depan rumah. Ucap Diana yang sepertinya menebak gue akan menurunkannya di depan komplek.
Iya, gue tau. Ga mungkin juga lo gue turunin disini. Terus kenapa berenti"
Gue membuang pandangan ke depan jalanan tanpa menjawab pertanyaan Diana, sambil memilih kata yang tepat.
Ayo masuk aja Mas, panas ini. Rengek Diana sambil menarik-narik jaket gue Tapi.. gue anter sampe depan rumah aja gapapa kan" Ga perlu& .
Diana menyela ucapan gue dengan tiba-tiba langsung turun dari motor, melepas helm, dan menyangkutkannya di kaca spion kiri motor gue. Kemudian berjalan cepat masuk ke dalam komplek rumahnya. Sedangkan gue Cuma bisa menatap punggungnya hingga lenyap di tikungan jalan.
Rendra Goblok! ucap gue geram dengan kelakuan gue sendiri, lalu memutuskan pulang. Part 28
Gue baru saja selesai sholat jumat saat hp gue berdering, menandakan sebuah panggilan dari Ci Vanya.
Lu dimana" serobot Ci Vanya saat gue menjawab panggilannya.
Baru kelar jumatan, Ci. kenapa"
Balik kantor dulu sini ndra, ada yang mau gue omongin. Ntar aja ya. Gue mau makan dulu.
Yaah, sekarang dong. Please..
Ada apaan sih emang" Roni sama Reza bikin ulah"
Enggak, ga ada hubungannya sama mereka. Yaudah cepet, gue tunggu di ruangan gue ya.
Ci Vanya memutuskan panggilan dengan sepihak, yang artinya, mau gamau harus gue turuti permintaannya. Gue langsung mengebut motor dan menuju ke kantor yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari kantor.
Ada apaan Ci" tanya gue saat masuk ke ruangannya.
Sini ndra, tutup pintunya. Ucap Ci Vanya sambil menggeser laptop di meja kebesarannya dan menunjukkan ke arah gue, meminta gue membaca email di dalamnya.
Lah" Lo mau pindah kerja" tanya gue kaget setelah selesai membaca email yang berisi informasi bahwa dia diterima bekerja di perusahaan lain.
Ci Vanya hanya mengangguk dengan memasang wajah seperti merasa bersalah. Kok tampang lo gitu" tanya gue lagi.
Gapapa kan" Ci Vanya bertanya balik.
Gue menghela napas dan menyandarkan badan ke kursi.
Gue sebenernya udah muak banget disini. Susah banget diaturnya orang-orang disini ndra. Ucap Ci Vanya sambil kembali duduk di kursinya.
Terus dulu kenapa lo ngajak gue gabung kesini"
Yaa gue pikir dengan ada lu orang disini bisa bikin gue semangat lagi. Dan emang sih, banyak perubahan yang lu buat sejak ada disini, semua yang dulunya ribet jadi makin rapih lu orang tanganin. Gue sih ga kaget sama kemampuan lu orang, karna emang dari awal dulu kita kerja bareng gue udah kagum sama cara kerja lu, juga sama cara lo bersikap. Tapi..
Ci Vanya menahan sejenak ucapannya, dan gue pun ga menanggapi sampai dia menyelesaikan ucapannya.
Gue kok malah ngerasa kaya semua hal justru lu orang yang kerjain ya" Ga guna lagi dong gue disini" ucap Ci Vanya sambil tertawa.
Anjiir. Ga lucu! gumam gue reflek saat mendengar ucapan Ci Vanya. Kemudian langsung memutuskan keluar dari ruangannya.
Part 29 Setelah memberitahukan gue soal rencananya untuk mengundurkan diri, Ci Vanya pun mengajukan resign ke manajemen. Dan kesalahan yang dia lakukan adalah: dia mengajukan nama gue untuk menggantikan posisinya.
Kenapa gue bilang itu kesalahan" Coba pikir, manajemen mana yang ga curiga saat ada karyawan yang baru beberapa bulan masuk dibawa' sama karyawan lama nya, sekarang justru si karyawan lama mengundurkan diri dan mengajukan nama karyawan baru tadi untuk menggantikannya" Dikira ini masih jaman kerajaan kali ya"
Gue tau maksud Ci Vanya memang baik buat gue, tapi gue merasa ini belum waktunya. Lagipula salah satu alasan kenapa gue mau gabung kesini adalah karna gue udah terbiasa kerja sama dengan Ci Vanya. Dan kalo dia cabut, gue sulit berpikir untuk bertahan disini. Jadilah gue menentang' keputusannya, yang mana juga ditentang oleh pihak manajemen.
Hari-hari berikutnya Ci Vanya jadi rada males-malesan menanggapi gue. Meskipun gue sebenernya ga merasa ada masalah antara gue sama dia. Tapi seringkali dia malah makin ga perduli soal laporan-laporan kerja yang gue serahkan.
Ya lu atur lah sendiri. Kan lu orang gamau gue atur. Ucap Ci Vanya saat gue berniat mendiskusikan laporan salah satu project opening yang sedang kami tangani.
Lah" Kenapa gue jadi dibilang gamau diatur" Soal keputusan lo yang mau ngajuin gue buat gantiin lo" Gue kan udah jelasin&
Udah ah, berisik. Taro aja laporannya di meja. Ntar gue periksa. Gue hanya bisa memaksakan senyum sambil menggelengkan kepala, lalu keluar dari ruangannya.
Sejak saat itupun gue mulai berniat ga melanjutkan bekerja disini, dan mulai sambil mencari pekerjaan lain.
Asiik, balik ke project kita lagi dong nih" ledek Rizki saat gue menceritakan soal Ci Vanya ketika gue menepi ke rumahnya dan mengobrol di teras seperti biasa.
iya nih, keknya gue bakalan gabung ke project lagi. Saut gue malas. Eh Ki, sumur lo kering" tanya gue sambil membakar rokok. Kagak. Mang napa" Mau ke sumur"
Iya. Gue mau nimba aer buat bikin kopi.
Yee kunyuk. Ucap Rizki sambil menoyor kepala gue saat menyadari sindiran gue, lalu masuk kedalam rumah.
Rizki kembali dari dalam membawa sepiring kue-kuean, dan meletakkannya di meja kecil disamping gue.
Laah, gue minta kopi, ngapa jadi mendoan (sejenis tempe) yang lo bawa" protes gue.
Ntar, dibikinin Maura. Asik gak tuh" jawab Rizki sambil mengangkat kedua alisnya, yang gue balas dengan senyum cengengesan.
--- Maura keluar dari dalam rumah sambil membawa dua cangkir kopi yang masih mengebul, sementara gue memasang senyum menyapanya.
Makasih Ra. Ucap gue sambil membantu menerima cangkir dan meletakkannya diatas meja.
Maura hanya menjawab dengan mengangkat kedua alisnya, lalu menatap Rizki. Jadi gue boleh ya pergi besok, Bang" tanya Maura ke Rizki. Yaa gue mah terserah, tergantung Rendra mau apa kagak nemenin lo. Lah" Kok gue" Hah" Kok dia"
Ucap Gue dan Maura hampir bersamaan, lalu gue tertawa saat menyadarinya.
Gue kan udah bilang, besok gue ga bisa, ada kerjaan di Malang. Ya kalo lo kukuh mau jalan, harus ditemenin Rendra. Jawab Rizki sambil menguyup kopinya. Eh bentar bentar, ini lo bedua lagi ngomongin&
Diem! Kenapa harus dia" Maura memotong omongan gue dan lanjut memprotes Rizki.
Terus siapa" Ya kalo lo mau ditemenin Bang Mamat mah gapapa. Rizki menjawab dengan nada menantang.
Maura kini diam, mungkin sadar ga bisa membantah Rizki, sementara gue bengong memperhatikan Abang-Adik yang ga jelas ini.
Itu tanya ke Rendra, dia mau nemenin lo ga. Ucap Rizki ke Maura sambil mengarahkan ujung bibirnya ke gue.
Ya lo lah yang ngomong. Kan dia temen lo
Maura menjawab dengan kesal dan duduk disamping Rizki dengan wajah manyun. Lo besok ada acara ndra" tanya Rizki ke gue.
Tergantung, mau ngapain emang"
Jangan jual mahal deh. Saut Maura yang hanya terdengar suaranya, sementara badannya terhalang Rizki dari sudut pandang gue.
Gue dan Rizki kompak menoleh ke Maura, lalu tertawa kecil.
Maura mau camping di kepulauan seribu, pulau AAAA, sama temen-temennya. Tapi ada cowok-cowok juga. Gue kagak percaya sama mereka, lo bisa nemenin ga" Gue sama Bayu besok sore harus ke Malang ngurus project baru.
Gue masih tersenyum sambil menatap Maura, senyum meledek, karna dia masih saja memasang tampang manyun.
Yaa gue sih rencana mau tidur seharian besok. Tapi kalo emang harus nemenin Maura, gue mau Maura sendiri yang minta.
Gue menjawab sambil tertawa kecil yang disauti oleh Rizki dengan tawanya juga. Sementara Maura hanya menggumam Tuh kan.. lalu masuk ke dalam rumahnya.
Part 30 Besok paginya, sekitar jam setengah lima pagi, Rizki menjemput gue dirumah. Untuk kemudian mengantar gue dan Maura menuju ke pelabuhan Kali Adem, bertemu dengan teman-teman Maura disana.
Ndra, titip Maura ya. Ucap Rizki sambil membakar rokok dan duduk diatas kap depan mobilnya saat kami sudah tiba di Kali Adem.
Gue hanya mengangguk pelan, lalu menoleh ke dalam mobil, dimana Maura masih duduk disana sambil menghubungi teman-temannya.
Susah ndra punya adek cewek. Dilepas begitu aja bisa kebawa arus dia, tapi diaturnya juga susah. Lanjut Rizki.
& . Gue membakar rokok dan memasang sikap mendengarkan. Maura emang gitu anaknya. Nyolotan, susah dibilangin, tapi juga ga bisa dikerasin. Ya jangan dikerasin lah, dibilangin aja.
Rizki menoleh menatap gue, kemudian menatap Maura yang masih duduk di dalam mobil.
Coba, lo yang bilangin. Gue pengen tau sesabar apa lo bisa ngadepin dia. Ucap Rizki yang hanya gue jawab dengan tersenyum.
--- Gue, Maura, 3 orang cowok (Agung, Geri, Diko) dan 2 orang cewek (Tiara dan Meli), temen-temen kuliahnya Maura sudah berada diatas kapal bersama para penumpang lain menuju ke sebuah pulau di kepulauan seribu. Gue duduk bersedekap di salah satu sudut kapal sambil mencoba memejamkan mata, dengan menutup kepala gue menggunakan tudung jaket. Sementara Maura duduk disebelah gue dengan dibatasi tas nya. Bang Rendra.. Bang..
Sebuah panggilan membangunkan gue sambil menggoyang-goyangkan badan gue. Gue membuka tudung jaket dan melihat Maura yang membangunkan gue.
Mau makan ga" Gue bawa sarapan. Ucap Maura sambil mengeluarkan sebuah plastik dari tas nya, tanpa menatap gue.
Gue udah sarapan. Lagian gue ga biasa makan diatas kapal. Jawab gue sambil kembali menutup kepala dengan tudung jaket dan berniat tidur.
Dan jangan panggil gue Bang', gue bukan Abang lo. Lanjut gue sambil mulai memejamkan mata.
Baru aja gue merasa mulai pulas tertidur, badan gue kembali di goyang-goyang lagi. Kenapa" tanya gue ke Maura yang kini mukanya terlihat pucat.
Maura hanya diam dan menunduk. Sementara teman-temannya asik mengobrol duduk tidak jauh dari kami.
Ra, kenapa" tanya gue lagi sambil menyanggah dagunya untuk mengangkat wajah Maura.
Mabok laut kali dia tuh Bang. Saut seorang cowok, salah satu temannya yang bernama Agung.
Gue mengambil tas dan mengeluarkan sebuah plastik hitam, sebotol air mineral, dan selembar obat untuk melawan mabuk perjalanan.
Mau muntah ga" tanya gue ke Maura.
Maura hanya menatap gue dengan lemah dan menggeleng.
Yaudah, ini diminum. Terus dibawa tidur aja. Sini lo duduk di pojok. Ucap gue sambil memberikan sebotol air dan obat.
Gue bangun dari duduk dan bertukar posisi. Maura meminum obatnya dan duduk di pojok, kemudian mengembalikan botol air ke gue.
Nih, pegang aja. Buat jaga-jaga kalo mau muntah. Gue memberikan plastik kecil ke Maura, lalu kembali membenarkan posisi duduk gue.
Maura menerima plastik tersebut dengan mata terpejam. Baru aja gue duduk sambil membereskan kembali tas gue, Maura tiba-tiba mengubah posisinya jadi duduk menyamping, memeluk gue dan menyadarkan kepalanya di bahu gue. Yang membuat gue terdiam saat semua mata teman-temannya menatap kearah kami.
Part 31 Bangun Ra, udah sampe. Gue membangunkan Maura yang masih tertidur dalam keadaan duduk sambil memeluk gue. Maura mengangkat wajahnya yang sayu dan berkeringat kemudian menatap gue. Gue mengelap keringat dikeningnya, lalu merapihkan rambutnya yang menempel di pipinya. Udah enakan"
Maura mengangguk lemah. Gue bangkit dari duduk dan menggendong tas gue, lalu mengambil tas Maura dan membantunya berdiri. Lalu mendekat ke pintu luar kapal. Para teman-teman Maura sudah berjejer antri keluar, Maura pun bergegas ikut mengantri namun gue menarik tangannya.
Ntar aja. Ini kapal, bukan angkot. Ga bakal jalan kapalnya kalo belom keluar semuanya penumpangnya. Ucap gue yang hanya disahuti dengan anggukan Maura.
Setelah rada sepi, gue mengajak Maura mengantri giliran keluar dan turun. Maura celingukan mencari teman-temannya. Lalu mengajak gue menghampiri mereka saat mereka sepertinya sedang menunggu perahu kecil yang mengantarkan kami ke pulau tujuan.
Lama banget Ra lo turunnya. Udah keburu pada penuh perahunya. Ucap Geri saat kami mendekat.
Lah" Emang lo ga pesen perahu sebelum kesini" tanya gue.
Ya enggak lah, biasanya juga kan banyak kok perahu-perahu disini
Yaa penumpangnya juga banyak. Makanya pesen dari kemaren-kemaren biar ga perlu berebut.
Gue menjauh dan mengeluarkan handphone, mengcek sinyalnya yang ternyata ada satu bar, kemudian menghubungi salah seorang temen kenalan gue di pulau ini yang menyediakan penyewaan perahu. Tibo.
Bo, Rendra nih. Lo lagi ada sewa gak"
Oi ndra. Kagak, gua lagi makan nih dirumah. Lu ma ke pulau" Tibo menjawab dengan suara mulut terisi penuh.
Iya, gue udah di pulau ABC nih, mau ke AAAA. Jemput gue dong. Gue bertujuh. Siap bos, tunggu ya. Selesain makan dulu.
Gue mematikan telepon dan kembali mendatangi Maura dan teman-temannya.
Tunggu di warung deket dermaga sana aja yuk. Ntar temen gue jemput kesini. Ajak gue ke Maura dan gengnya.
Maura dan teman-temannya duduk di pelataran warung, gue memesan kopi untuk menyegarkan diri dan memesankan teh panas untuk Maura.
Buat gue" Ga usah, gue mual. Jawab Maura saat gue memberikan segelas teh.
Gue tetap meletakkannya di meja kemudian duduk dihadapannya, menikmati indahnya kopi panas di siang yang agak teduh ini.
Ga boleh tau asap kopi ditiup-tiup gitu. Ucap Maura saat gue hendak meneguk kopi. Yaudah, lo kipasin nih. saut gue sekenanya lalu meneguk kopi dan membakar rokok.
Maura dan teman-temannya asik bercanda sambil menikmati cemilan. Dan sampai kopi gue habis, Tibo masih belom menunjukkan batang perahunya. Akhirnya gue meminum teh yang gue pesankan buat Maura tadi karna sayang ga keminum.
Yaah, kok diabisin" protes Maura saat teh nya gue minum.
Lah, tadi lo gamau katanya. Mau! Tadi kan masih panas.
Yaudah pesen lagi. Jawab gue santai. Gak mau! Siapa suruh yang itu di abisin.
Gue terdiam, seperti mengingat sesuatu yang pernah terjadi. Lalu menatap Maura yang memasang wajah cemberut. Dan dengan seketika gue terbawa kepada sebuah ingatan tentang seorang wanita yang memiliki karakter hampir seperti tingkah Maura barusan. Aryani&
Gagal move on lagi& Part 32 Sekitar setengah jam menunggu, perahu andalan milik Tibo merapat di dermaga. Dia mengangkat tangan memanggil gue. Gue pun bergegas mengajak Maura dan temantemannya mendatangi.
Tibo adalah penduduk pulau ini. Kesehariannya memang menyewakan perahu kecil bagi para pengunjung pulau yang ingin melanjutkan menuju pulau-pulau kecil lainnya. Gue mengenalnya karna lumayan sering jalan kesini, entah sendiri atau bersama temen-temen gue.
Tibo memberitahu bahwa pulau tujuan kami sudah ramai pengunjung. Gue ga kaget, karna emang disana spot buat nenda nya lumayan asik. Pasti banyak pengunjungnya, apalagi weekend kaya gini. Dan karna kondisinya udah padat pengunjung, Tibo pun menawarkan opsi ke pulau lain, dan disetujui oleh Maura dan genknya.
Kami sampai di pulau tujuan saat hampir tengah hari. Para cowok temannya Maura langsung menyiapkan tenda dan memasangnya di lokasi yang disarankan Tibo. Gue dan Tibo membantu memasang tenda satunya lagi yang akan digunakan untuk para cewek. Dan karna Tibo adalah orang yang jago dalam membangun tenda, kami sudah selesai duluan saat tiga cowok lain masih berdebat membangun tenda mereka.
Bo, bantuin mereka gih. Gue pasang markas gue dulu. Minta gue ke Tibo karna khawatir mereka malah terus berdebat.
Gue mengeluarkan hammock gue, memanjangkannya, lalu mengikatnya ke dua pohon. Kemudian menyiapkan atap dari terpal kecil yang gue bentuk segitiga. Tapi ga gue pasang, hanya gue siapkan kalo tiba-tiba hujan.
Iih, kok lo asik banget Bang pake ayunan. Ucap Tiara saat markas' gue udah terpasang. Gue mengangkat alis dan tersenyum menjawabnya.
Setelah semua selesai terpasang. Gue melihat Geri dibantu Tibo sedang menyiapkan perapian. Gue mengeluarkan Nesting, alat-alat makan untuk memasak nanti.
Bang, lo doyan minum ga" tanya Geri saat gue menyusun nesting di dekat perapian yang dia buat.
Lo bawa" gue bertanya balik. Bawa. Banyak. Gapapa kan ya"
Tuh izin dulu sama jagoan sini. Saut gue sambil mengarahkan pandangan ke Tibo.
Yee, ga boleh minum-minuman disini, kecuali ngajak-ngajak gue. Jawab Tibo sambil tertawa.
Setelah semua selesai. Tibo mengajak kami berperahu ke tengah laut untuk snorkeling, yang tentu saja dijawab dengan sangat antusias oleh para cewek. Tapi Geri dan Diko tidak berminat ikut. Selain untuk jaga tenda, mereka ingin memancing di pinggiran pantai saja. Jadilah Gue, Agung, Maura, Tiara, dan Meli diantar Tibo menuju spot snorkeling yang seru.
Maura dan teman-temannya tengah asik bermain-main air sementara gue dan Tibo menunggu diatas perahu sambil menikmati dua kaleng bir dari Geri. Maura yang ga bisa berenang tanpa pelampung selalu menjerit dan kesal tiap kali diganggu Meli yang sangat handal berenang dan menggoda Maura. Gue dan Tibo ikut cekakakkan dari atas perahu. Itu yang kaos merah cewek lo ndra" Tanya Tibo sambil mengarahkan matanya ke Maura. Bukan. Adeknya temen gue. Ini semua temen-temennya dia.
Ooh, lo lagi deketin adeknya temen lo" ledek Tibo. Sialan. Kagak. Cuman disuruh jagain.
Yah, jangan mau. Disuruh jagain doang, bukan disuruh nikahin. Lanjut Tibo sambil tertawa sejadinya.
Setelah hampir sore, gue mengajak mereka kembali ke pulau kami. Sampai di pulau, Maura dan teman-temannya menanyakan lokasi kamar mandi untuk berbilas. Gue dan Tibo tertawa dan menjelaskan bahwa disini pulau kosong, ga ada penduduk, termasuk ga ada kamar mandi dan sejenisnya yang tentu saja harusnya mereka sudah tau karna pulau tujuan awal merekapun sama saja, ga ada penduduk. Jadilah Maura dan dua cewek yang lainnya manyun.
Udah, besok mandi dirumah gue. Ledek Tibo ke Maura.
Ya terus malem ini gue gatel dong ga mandi" Saut Maura nyolot. Yang langsung membuat Tibo diam, mungkin karna kaget dengan suara Maura. Ra. Tegur gue karna menilai nada suara Maura keterlaluan. Maura hanya menoleh sejenak lalu masuk ke dalam tendanya. Sorry Bo. Biasa lah, cewek.
Iya, santai aja. Yaudah gue balik dulu dah ya. Besok gue jemput lagi pagi. Yah, jangan balik Bang, udah gabung aja kita party ntar malem. Saut Geri. Ga lah, ga usah. ini kan acara kalian. Jawab Tibo.
Ah, udah gabung aja. Gue yang maksa. Ucap Geri sambil merangkul Tibo mengajaknya ke tenda, menyiapkan amunisi mereka.
Gue hanya tertawa dan menuju ke ayunan' gue, merebahkan badan dengan menggunakan tas sebagai penyanggah kepala. Lagi asik-asiknya gue berayun, Maura datang dan menghentikan ayunan gue dengan wajah cemberut.
Kenapa lagi" Tanya gue masih dalam kondisi tiduran. Disini beneran ga ada toilet umum gitu"
Ga ada Ra. Emang mau ngapain"
Gue mau bersih-bersih. Gue.. 'dapet'.. ucap Maura pelan dan terbata.
Part 33 Bo, siapin perahu yuk. Kita ke pulau sebelah cari kamar mandi umum. Ajak gue saat bergegas turun dari hammock dan menghampiri Tibo.
Tibo menjawab dengan mengacungkan jempol dan bergegas ke perahu. Gue menanyakan teman-teman Maura yang lain jika ada yang ingin sekalian ikut, mumpung hari belum gelap. Akhirnya Tiara dan Meli turut serta bersama.
Setelah memakan waktu setengah jam di perahu, kami sampai di pulau terdekat yang berpenduduk. Gue, Maura, Meli dan Tiara turun dari perahu dan bertanya pada penduduk sekitar mengenai lokasi kamar mandi umum. Maura langsung masuk ke kamar mandi terlebih dahulu, bergantian kemudian Tiara dan Meli.
Haah, sekarang gue tenang Ucap Maura sambil cengengesan saat kami kembali ke perahu.
Hari mulai gelap, gue meminta Tibo bergegas sambil memasang lampu-lampu kecil yang gue bawa. Tapi karna Maura yang kelewat norak melihat kerlip-kerlip lampu yang gue pasang, dia menggoyang-goyangkannya hingga dua buah lampu gue tercebur ke laut.
Dan sialannya, dia sama sekali ga merasa bersalah. Malah cengengesan sambil melihat ke dasar laut yang sedikit bercahaya dari lampu gue yang jatuh.
Keren yaa& Ucapnya sumringah.
Keren palalu. gelap-gelapan ini kita sekarang.
Saut gue sambil berjalan ke bagian depan perahu, menerangi dengan headlamp untuk menunjukkan arah pada Tibo yang mengemudi di belakang.
Lo bisa santai ga sih" Gak usah nyolot kali. Itu kan ga sengaja kesenggol, sampe segitu ngamuknya. Saut Maura dengan nada falseto.
Gue mengabaikan, dan tetap fokus memberitahu arah pada Tibo.
Heh! Lo denger ga sih" Cepet minta maaf karna udah nyalahin gue. Ucap Maura lagi sambil menarik lengan kaos gue yang memunggunginya.
Gue tetep mengabaikan, karna ga akan ada gunanya juga gue menanggapinya.
Rendra! Jangan sok ga denger deh. Benci banget gue sama gaya lo. Nyesel gue kenapa musti nurut sama Abang gue buat ngajak lo. Suara Maura makin tinggi, dan menarik lengan kaos gue sampai sobek di ujungnya.
Dan tingkah Maura kali ini sukses meruntuhkan kesabaran gue. Membuat gue berbalik badan, dan meminta Tibo mematikan mesin kapalnya, lalu kembali menghadapi Maura. Nyesel" Lo nyesel ngajak gue"
Iya. Apa lo" Ga suka"! Maura menjawab sambil bertolak pinggang.
Coba lo pikir, kalo cuma lo sama temen-temen lo doang, mana bisa lo dapet perahu kesini" Sekalipun dapet, mana bisa lo minta dianter ke pulau lain buat dapet kamar mandi sampe harus gelap-gelapan diatas laut kaya gini" Coba sebutin hal apa yang gue lakuin sampe bisa bikin lo ngerasa pantes buat bilang nyesel ngajak gue!
Maura mundur dari duduknya saat mendengar ucapan gue. Ekspresi wajah kesalnya berubah jadi pucat, dan bibirnya bergetar. Tiara dan Meli pun langsung menarik Maura dan membiarkan Maura menangis dipelukan mereka.
Gue menghela napas, menyesal, dan meminta Tibo melanjutkan perjalanan kembali ke pulau kami.
--- Sampai di pulau, gue membiarkan mereka turun lebih dulu, lalu gue turun dan membantu Tibo mengikat perahunya.
Dia gapapa tuh ndra" tanya Tibo saat kami berjalan kearah tenda. Gue hanya mengangkat bahu menjawabnya.
Pada kenapa tuh mereka Bang" tanya Diko yang sedang bermain gitar di depan api unggun yang sudah mereka nyalakan.
Gue ga menjawab dan melewatinya, menuju hammock gue, memgambil kaos di tas dan mengganti kaos gue, lalu kembali ke depan api unggun untuk duduk bergabung dengan para cowok.
Diko kembali memainkan gitarnya, mencairkan suasana. Sementara Agung menuangkan minuman ke gelas plastik sedangkan Geri dan Tibo menyiapkan sesuatu untuk dimasak.
Tiba-tiba Maura keluar dari tenda, membawa tas nya, dan langsung berjalan ke arah perahu. Gue melihat dan segera mengejar Maura.


I Dont Belong Here Karya Angchimo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ra. Apa-apaan sih" ucap gue sambil menarik tangan Maura.
Gue mau pulang! Gue kesini buat liburan, bukan buat dibentak. Ucap Maura dalam tangis kesalnya.
Iya Ra, gue salah. Maaf ya. Enggak. Gue mau pulang! Jangan konyol Ra. Lo pikir&
Lo yang konyol, berengsek, maki-maki orang doang bisanya. Potong Maura sambil menunjuk muka gue, kemudian menangis sesugukan menutup wajahnya, yang hanya membuat gue kebingungan dan merasa bersalah.
Iya Ra, iya gue minta maaf. Ucap gue sambil mencoba membuka tangan Maura yang menutupi wajahnya.
Maura menolak dan mundur beberapa langkah. Udah ah Ra, jangan kaya anak kecil.
Lo yang kaya anak kecil. Lo ngeselin. Maura menggumam masih sambil menangis.
Gue menghela napas, tertawa kecil dan menggelengkan kepala berkali-kali atas tingkah Maura. Ini anak, bener kata Abangnya. Nyolotan, tapi ga bisa di nyolotin balik. Dan tingkahnya juga bener-bener unpredictable. Tadi siang masih baik-baik aja, ketawa sejadinya, sekarang malah nangis ga karuan kaya gini.
Iya, Maura. Maafin gue ya. Gue yang salah karna ga bisa ngendaliin emosi gue. Ucap Gue sambil menarik lengan Maura, dan& memeluknya..
Dari detik ini, Gue belajar, Ra. Bahwa saat gue berbuat sesuatu yang menyakiti lo, gue ga perlu mengucapkan maaf ribuan kali. Ternyata hanya cukup sekali, dan mengucapkannya sambil memeluk lo.
Part 34 Gue duduk di bangku kayu kantin depan kantor gue. Menikmati secangkir kopi panas, masih dengan rasa kopi yang sama. Hanya saja, ditemani dengan beberapa kenangan yang berbeda.
Gue membuka aplikasi Ms. Word di handphone gue, membaca beberapa baris terakhir dari sebuah cerita yang gue tulis, lalu berniat melanjutkannya.
Asap tipis dari cangkir kopi dihadapan gue berpendar disapu angin senja dari ujung wilayah Jakarta Barat. Gue memperhatikannya, hingga tertegun sejenak.
Handphone gue berdering. Gue kembali menatap layar yang menampilkan sebuah nama, yang perlahan gue puja, meski terasa perih setiap kali mengejanya.
Udahan selesai kerjanya" tanya sebuah suara dari ujung telpon. Udah, tapi lagi ngopi dulu.
Yaah, ga jadi jemput aku" Tanya nya manja. Jadi, setengah gelas lagi ya..
Yaudah, ntar hati-hati dijalan. Santai aja, ga usah ngebut. Aku ga bakal diambil orang kok.
Gue tersenyum mendengarnya, kemudian mengakhiri panggilan. Lalu kembali menatap cangkir kopi yang sudah tak berasap, membawa diri gue kembali ke beberapa waktu yang lalu.
---- Jangan pernah bentak gue lagi Ucap Maura sambil memukul badan gue berulang kali.
Ga keras pukulannya, tapi gue dapat merasakan permintaannya lebih dari sekedar meminta gue belajar lebih keras untuk mengendalikan diri.
Iya Ra, ga akan. gue bilangin Abang gue besok. Biar lo dipukulin. Ucapnya sambil menghapus air matanya.
Gue tertawa kecil mendengarnya, yang juga disambut tawa dari Maura. Gue melepaskan pelukan gue, dan menggenggam kedua tangannya.
Abang lo ga akan pernah bisa nyentuh gue, apalagi mukulin gue Ledek gue.
Maura berusaha memukul gue tapi gue sempat menghindar, lalu gue merangkulnya dan mengambil tasnya. Kemudian mengajaknya kembali ke tenda.
Ciyeee udah baikan. Ejek Tiara dan Meli nyaris bersamaan.
Gue memasukkan tas Maura kedalam tenda nya, lalu bergabung membantu Geri yang sedang menyiapkan makanan. Tibo dan Agung sudah asik mengudara' sambil bernyanyi diiringi petikan gitar dari Diko.
Gelap kian jatuh, diiringi suara gesekan daun yang tertiup angin, serta suara riuh kami yang kini memilih menyetel musik dengan speaker bluetooth yang di set ke volume tertinggi. Gue hanya tersenyum tenang melihat Maura sudah mulai bertingkah bersama teman-temannya.
Musik semakin gaduh, suasana pun semakin rusuh. Seiring dengan tiga buah gelas plastik yang diputarkan melingkar bergantian kearah kami yang bergantian meneguk isinya. Hanya saja, setiap gelas itu berhenti di depan Maura, dia selalu melirik gue dulu, lalu menggeser gelas ke Tibo yang duduk disebelahnya.
Gue bangkit dari duduk, menenteng sekaleng bir kemudian berjalan ke tepi pantai. Dan duduk disana sendirian.
Gue terlanjur jatuh cinta pada suasana pantai di malam hari. Bukan soal gelapnya, atau anginnya yang menusuk setiap sela rusuk. Tapi gue selalu menemukan kedamaian dibalik tenangnya ombak yang berlomba-lomba ketepian meski tanpa diterangi cahaya.
Entah karna arah angin yang berputar atau memang volume musik semakin ditinggikan. Suara lagu yang diputarkan semakin mengganggu ketenangan gue. Gue menoleh ke kumpulan Maura dan teman-temannya, yang kini tengah asik bergoyang mengikuti lantunan lagu. Gue memperhatikan Maura sejenak, sambil mencoba mengenali suara musik yang dimainkan.
Coldplay" Gue bergumam dalam hati. Yap, gue tau lagu ini. Mungkin malah hampir semua orang tau lagu ini. Musiknya yang khas turut serta mendampingi Maura yang sepertinya tengah mabuk kini semakin liar berjingkrakan, diiringi sorak sorai dari teman-temannya yang juga larut dalam musik.
Gue meninggalkan tepi pantai beserta setangkup kenangan disana, yang akan hancur dipermalukan ombak. Lalu mendekat ke Maura yang kini bernyanyi, bergoyang, serta berteriak.
Huuu& sorakan teman-teman Maura lalu dilanjutkan dengan tawa.
Gue tersenyum melihat tingkah Maura. Rambut tipis yang terurai hanya beberapa centi dibawah pundaknya berterbangan tertiup angin.
Maura mendekat, lalu mengalungkan kedua tangannya ke leher gue sambil terhuyung. Membuat gue memeluk pinggangnya agar dia tidak terjatuh.
Gue masuk tepat kedalam dua bola mata Maura yang hitam bercahaya.
Fixing up a car to drive in it again. When you're in pain, when you think you've had enough& Maura setengah berbisik menyanyikan lirik akhir dari lagu yang sedang diputarkan, sambil tersenyum menatap gue.
Gue tetap mempertahankan senyum menatap balik ke matanya, tanpa mampu mengucapkan apapun.
& Don t ever give up. lanjut Maura menaikkan sedikit nada suaranya, disempurnakan dengan senyumnya yang semakin mempesona.
Part 35 Adek gue kagak lo apa-apain kan" Ledek Rizki saat Gue dan Maura mendatangi dia yang sudah menjemput di pelabuhan Kali Adem.
Ada juga gue yang diapa-apain jawab gue asal sambil memberikan tas Maura ke pemiliknya yang sudah duduk di kursi mobil Abangnya.
Di perjalanan pulang Gue dan Rizki asik membicarakan soal project yang baru saja dia jalani di Malang kemarin, sedangkan Maura sepertinya tidur di kursi belakang. Sampai di dekat rumahnya, Rizki bilang akan menurunkan Maura dulu lalu kemudian mengantar gue.
Dek, udah sampe. Bangun. Ucap Rizki membangunkan Maura.
Maura bangun dan turun dari mobil dengan malas, gue dan Rizki hanya memperhatikan tingkahnya sambil tertawa kecil.
Lo mau kemana lagi Bang" Kok ga turun" tanya Maura ke Rizki.
Ya nganter Rendra. Gue main dulu dirumahnya, agak maleman gue balik. Bilangin Emak yaa.
Ah gamau, gue ikut. Jawab Maura sambil langsung kembali masuk ke kursi belakang. Rizki bengong melihat Maura, lalu menatap gue dengan tampang curiga.
Lo apain adek gue" tanya Rizki setengah berbisik dengan nada penuh curiga. Gue Cuma cengengesan menjawabnya.
Sampe rumah gue, Rizki seperti biasa langsung masuk kamar gue. Sementara Maura Cuma celingukan dan berhenti sampai depan kamar gue.
Lo jangan masuk. Ucap gue ke Maura sambil melempar tas dan mengambil handuk untuk bergegas mandi.
Selesai mandi, gue lihat Rizki bersandar diatas kasur sambil menyalakan laptop gue, yang sepertinya sedang dia pakai untuk melihat data project yang lalu. Sedangkan Maura duduk beralaskan karpet di ruang tamu sambil menonton tv.
Disini ga ada orang ndra" tanya Maura
Ada, ini kan kita bertiga. Gue menjawab sambil berlalu ke dapur. Dek. Kok lo main ndra ndra' aja manggilnya" Teriak Rizki dari kamar gue. Gue sempat menoleh ke Rizki yang menegur Maura.
Lah, orang dia sendiri yang gamau dipanggil Abang. Maura menjawab juga dengan berteriak dari ruang tamu.
Ah sepik dia. Gamau dipanggil Abang, maunya dipanggil sayang.
Gue dan Rizki tertawa bersamaan, kemudian gue masuk ke kamar mengambil rokok gue.
Ndra, kopi dong. Lah lagian bukan bikin sendiri. Ah mager gue. Cepet sana bikin
Gue keluar dari kamar dan memanggil Maura, mengajaknya ke dapur untuk membuatkan kopi.
Maura menyiapkan gelas sementara gue memasakkan air. Setelah air matang, gue menuangkan ke gelas sudah disiapkan kopinya oleh Maura.
Lo minum apa" tanya gue ke Maura.
Ada es ga" Gue mau bikin ini. Jawab Maura sambil menunjukkan cappuccino sachet yang ada di rak penyimpanan kopi gue.
Gue membuka kulkas dan mengeluarkan batu es untuk Maura.
Kalo lo kesini, pengen makan atau minum, semua bikin sendiri. Ga ada istilah tamu adalah raja' dirumah gue. Jadi jangan marah ya kalo gue ga bikinin minum. Ucap gue sambil menyiapkan sebuah gelas lagi untuk Maura.
Emang boleh gue main kesini" tanya Maura. Ya boleh lah.
Tapi ga harus manggil lo sayang' kan" ledek Maura yang hanya gue balas dengan tertawa mencubit pipinya.
Part 36 Gue kembali ke hari-hari dengan kesibukan di kantor. Tapi seiring dengan Ci Vanya yang malas-malasan bekerja di hari-hari terakhirnya, penyakit malas-malasan itupun menular ke gue. Yang akhirnya membuat gue ga lagi memantau tim gue di gudang, Roni dan Reza. Mengetahui alur kerja di gudang yang kembali acak-acakan, Ci Vanya memanggil gue ke ruangannya.
Lu orang gimana sih" Itu apa-apaan gudang berantakan banget" Barusan gue check kesana, barang-barang ga disusun di rak nya. Roni asik aja ngerjain apaan tau di komputer sambil nonton youtube, terus si Reza gatau kemana.
Iya Ci, nanti gue cek. Nanti" Sekarang ndra. Atau nunggu gue kasih SP ke dua orang itu" Kali ini nada bicara Ci Vanya mulai naik
Enggak, jangan. Ntar gue bantu rapihin.
Gue bukan nyuruh lu rapihin barang-barangnya. Gue minta lu orang lebih bisa tegas ke mereka. Apa gunanya lu disini kalo ujung-ujungnya semua berantakan kaya dulu lagi"
Gue keluar dari ruangan Ci Vanya dan disambut dengan beberapa pasang mata yang menatap gue. Gue ga memperdulikan mereka dan segera kembali ke meja gue, menyelesaikan laporan dan data-data barang gudang, kemudian menelpon ke gudang.
Ron, lo lagi ngapain" tanya gue ke Roni yang mengangkat telepon, dengan terdengar suara latar musik yang seperti disetel dengan speaker.
Biasa Bang, kelarin list kedatangan barang nih, ntar gue email ya. Kecilin dikit Ron suara musiknya. Terus Reza kemana"
Iya Bang. Roni mengecilkan volume suara musik.
Reza lagi keluar sebentar katanya anaknya sakit, bentar lagi dia balik kok. Lanjut Roni. Kabarin gue ya kalo Reza udah balik. Ntar gue kebawah.
Baru aja gue menutup telepon, Ci Vanya meletakkan dua lembar kertas yang dilipat rapih ke meja gue.
Tanda tanganin. Terus kasih ke mereka, suruh mereka tanda tangan juga dan balikin ke gue sore ini. Ucap Ci Vanya sambil berlalu ke ruangannya.
Gue membuka kertas tersebut dan membacanya, ternyata surat peringatan untuk Reza dan Roni.
Sekitar jam 3 sore, Reza menelpon ke gue memberitahu bahwa dia sudah kembali ke kantor, kemudian menceritakan bahwa dia harus segera pulang tadi untuk membawa anaknya ke puskesmas. Gue mengiyakan kemudian menutup telepon dan segera turun ke gudang.
Baru mau sampai ke gudang, hp gue berbunyi menandakan sebuah panggilan. Gue melihat ke layarnya, dan mendapati nama Diana. Bukan saat yang tepat buat menjawab panggilan telepon dari Diana, gue memasukkan kembali hp gue ke saku kemeja.
Hah" Salah gue apaan" Kok gue kena peringatan" Tanya Roni saat gue memberikan kertas surat teguran dari Ci Vanya.
Reza hanya menatap gue dengan wajah serius dan duduk di meja nya. Gue melewati mereka dan masuk ke area storage, membereskan beberapa barang yang memang belom disusun oleh mereka.
Ntar aja Bang, ntar gue susun. Itu ada beberapa yang belom gue checklist buat masukin ke data kedatangan barang. Ucap Reza.
Ntar kapan" Nunggu Ci Vanya turun kesini dan ngeliat lagi ini semua masih berantakan" Kenapa lo ga rapihin dari tadi Ron" Karna ini barang-barangnya Reza jadinya lo gamau rapihin" tanya gue ke Reza dan Roni.
Yailah Bang, tadi kan gue lagi checklist barang-barang gue juga. Niatnya nanti abis ini baru gue bantu rapihin bareng Reza. Jawab Roni memelas.
Niatnya" Sekarang lo liat sendiri kan dari niat lo yang nunda-nunda kerjaan ini hasilnya dapet surat peringatan dari Ci Vanya" Gue menjawab dengan kesal.
Reza dan Roni pun segera bangun dari duduk mereka dan membantu gue mengangkati dan merapihkan barang mereka.
Setelah selesai, gue menelpon OB dan meminta tolong untuk membelikan minuman dingin di kantin depan kantor gue.
Sorry Bang, bukannya gue mau nunda-nunda kerjaan. Cuman kan pas Reza lagi keluar juga gue ada kerjaan yang musti gue kerjain. Ucap Roni.
Lo keluar kantor ga ngerasa perlu ngasih tau gue dulu Za" Seenggaknya kan kalo gue tau Roni sendirian disini, gue bisa turun dan backup kerjaan lo. Tanya gue ke Reza yang yang bengong sambil mengaduk-aduk minuman es nya.
Sorry Bang, gue tadi panik ditelpon bini gue karna anak gue sakit. Yaudah gapapa gue kena SP.
Suasana pun jadi kaku. Reza menandatangani surat teguran tersebut sementara Roni masih membacanya berulang kali.
Telepon di meja gudang berbunyi, Roni menjawabnya, kemudian memberikannya ke gue.
Mana suratnya" Lama banget sih lu disuruh tanda tanganin dan kasih ke mereka gitu doang. Sambar Ci Vanya dari telepon.
Iya, bentar Ci. Gue menutup telepon dan berniat ke ruangan Ci Vanya.
Handphone gue kembali berdering, dan lagi-lagi nama Diana yang muncul. Dengan kondisi yang kurang tepat seperti ini, gue pun akhirnya menjawab panggilan tersebut sambil berjalan.
Assalamualaikum, Mas. Kamu udah balik kerja belom" Walaikum salam. Belom Di, setengah jam lagi. Kenapa" Yaah, aku mau minta temenin ke&
Duh, enggak Di, gue ga bisa. Gue lagi ribet. Potong gue lalu kemudian memutuskan panggilan tersebut.
Part 37 Lo harus ngasih mereka SP gitu Ci"
Gue bertanya sambil masuk ke ruangannya dan duduk di kursi dihadapannya. Harus, taro aja suratnya diatas meja. Jawab Ci Vanya tanpa menatap gue" Suratnya masih di Mereka. Alasannya apa harus SP"
Gue ga suka semuanya berantakan lagi. Gue juga tau lu orang jadi ikut males-malesan kan" Tapi bukan berarti semua nya jadi berantakan lagi.
Gue menganggukkan kepala berulang kali memahami maksud Ci Vanya. Dan, ya menurut gue memang ini salah gue yang sedikit mengabaikan tim kerja gue di gudang. Andre bilang lu lagi apply ditempat temennya" Lanjut Ci Vanya bertanya.
Iya, udah lama gue apply disana. Tapi kayanya ga keterima kok. Lagian jangan jadiin itu alesan buat nyalahin kerjaan di gudang yang berantakan. Kalo lo emang kesel dan harus ada yang lo kasih surat peringatan, kasih ke gue aja jangan ke mereka. Jangan sok jadi pahlawan ndra, gue ga suka orang yang&
Enggak, kan lo sendiri yang bilang apa gunanya gue disini kalo semuanya masih berantakan. Iya kan"
Ci Vanya diam dan menatap gue, kemudian mengetik sesuatu di laptopnya. Lalu terdengar mesin printer berbunyi. Ci Vanya mengambil selembar kertas yang baru di print tersebut, dan menyerahkannya ke gue.
Bencana Tanah Kutukan 2 Perjalanan Terindah Karya Imam Sutrisno Mengejutkan Kawan 1

Cari Blog Ini