Ceritasilat Novel Online

Hati Yang Bertasbih 3

Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia Bagian 3


itu membuat Yuna sempat tersentak, dua manusia yang
memiliki perbedaan yang begitu besar dan perbedaan itu
nyaris tak bisa dijembatani, ternyata masih memiliki ba"
nyak kesamaan yang membuat mereka bisa nyaman de"
ngan kehadiran satu sama lainnya.
"Kamu tahu tidak, empat kata yang sangat disukai
"Allah?" Tiba-tiba Randi mengajukan pertanyaan, beberapa saat setelah pelayan meninggalkan mereka.
Yuna hanya menggelengkan kepalanya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Randi itu. Mata laki-laki
itu menatap Yuna. Tatapan mata yang begitu intens hingga
debar di dada Yuna kembali bergelora.
"Di dalam hadist Muslim tertulis, Rasulullah pernah
bersabda: Ucapan yang paling disukai Allah itu ada empat, yaitu Subhanallah, Alhamdulillah, Laa Iaaha Illallah,
Allahu Akbar. Tidak ada bahaya dari mana pun kamu memulainya. Di sabda yang lain Rasulullah juga mengatakan
159 bahwa ucapan tasbih itu jauh lebih disukai-Nya dari apa
pun yang disinari mentari." Randi terlihat menarik napas
panjang. Mata laki-laki itu berbinar penuh semangat, "Bisa
kamu bayangkan betapa beruntungnya dirimu kare"na
"Allah membisikkan kata yang begitu disukai-Nya di dalam
hatimu dan membuat hatimu menggemakannya terusmenerus bahkan tanpa kamu memintanya. Aku sungguhsungguh iri padamu, Yuna. Allah memilihmu dengan cara
yang begitu menakjubkan. Subhanallah."
Yuna tersipu. Ia tak terbiasa dipuji seperti itu. Namun,
dalam hatinya Yuna mulai merasakan ledakan rasa yang
membuat ia membuncah. Benarkah Allah begitu menyayanginya hingga menganugerahinya empat kata yang
sama sekali tak dikenalnya tetapi sangat disukai-Nya"
Kesadaran baru menerpa Yuna. Ia sama sekali tidak
memungkiri bahwa alunan tasbih di dalam hatinya itu
membuat ia selalu saja terpesona, takjub, dan membawa
ketenteraman yang belum pernah dirasakannya. Setiap
tasbih mengalun indah dalam hatinya, kekerashatiannya
lumer bagai es batu yang diletakkan di bawah siraman matahari, jiwanya yang selalu gelisah dan resah bisa de"ngan
mudah dilegakan dan segala kesedihan serta ketakut"an
yang melandanya tiba-tiba menguap.
Kadang kala, alunan tasbih itu juga membuat segala
kelelahan dan letih di jiwanya mendadak hilang bagai kabut yang tertiup angin. Yuna juga sering merasakan betapa
160 kehampaan dan kekosongan yang sering kali membuatnya
merasa sendirian di dalam kubangan masalah yang me"
nerpanya, langsung sirna begitu hatinya mengalunkan untaian tasbih yang begitu indah dan menenteramkan itu.
Allahu Akbar! Yuna membelalakkan matanya. Ia mengangkat tangan
kanannya untuk menutup mulutnya. Setengah tak percaya, Yuna menatap ke arah Randi.
"Apakah kamu baru saja mengucapkan Allahu Akbar,
Randi?" tanya Yuna masih dengan ekspresi wajah terpukau
aneh. Randi, yang sudah mulai menikmati nasi goreng"nya,
mengangkat wajahnya dan menatap Yuna dengan keheranan yang sama.
"Tidak. Aku tidak mengucapkan kata apa-apa. Aku baru
saja selesai membaca doa makan. Itu pun hanya di dalam
hati," jawab Randi, "Kenapa, Yun?" tanya Randi lagi.
"Tidak apa-apa. Ayo kita segera makan sebelum di"
ngin," bisik Yuna dengan dada yang berdebar-debar.
Rahasia ini.... Ia ingin menyimpannya dalam hati.
Rasa ini.... Ia tak ingin membaginya dengan siapa pun.
Allah Mahabesar, itulah yang kini meresap di dalam
hati Yuna. Segala hal mungkin saja terjadi. Segala sesuatu
yang tidak bisa dinalarkan dengan logika, rasanya mulai
bisa dipercayai Yuna dengan hatinya.
161 Yuna tahu, ini belum saatnya. Yuna juga tahu, ada ba"
nyak sekali yang harus dipikirkannya. Ia akan menikmati
cara Allah menemukan jalan yang pantas untuk dilewati"
nya. Sementara, masih banyak masalah yang harus segera
menemukan solusi untuk diakhirinya. Dan Yuna percaya,
Allah pasti akan membantunya. Allah yang baru saja dikenalnya. Allah yang begitu besar yang baru saja mengukuhkan kemahabesarannya di hati Yuna.
Mereka mengakhiri makan malam ketika jam di pergelangan tangan Yuna hampir menunjukkan angka sembilan.
Ia harus segera pulang. Jalan Kota Surabaya di malam hari
tidaklah seaman kelihatannya. Apalagi perjalanannya dari
Ngagel menuju Sidoarjo masih sangat panjang dan pastilah sudah mulai sepi di beberapa titik ruas jalan.
Randi dan Yuna bersisian berjalan menuju ke halaman
parkir. Tepat di dekat sepeda motor Yuna, Randi meng"
hentikan langkahnya dan menatap Yuna.
"Yun, ada lagi yang ingin kuberi tahu padamu. Di dalam Islam, aku mengenal yang namanya tabayun. Artinya
adalah kita seharusnya melihat berbagai persoalan dari
dua sisi secara lengkap. Kita tidak bisa hanya mengambil
kesimpulan hanya dengan mengetahui salah satu sisinya
saja. Dengan cara itu, kita bisa berpikir jernih dan tidak
gegabah dalam menyikapi permasalahan apa pun yang
terjadi di dalam kehidupan kita."
162 "Dengan kata lain, kamu mau mengatakan agar aku
tidak mengumbar amarahku sebelum mengetahui permasalahan yang sebenarnya, kan?" tanya Yuna sambil
tersenyum. Ia sama sekali tak tersinggung. Randi hanya
mencoba menunjukkan padanya sisi kehidupan yang selama ini tak terpikirkan olehnya.
"Benar. Itu maksudku," sahut Randi seraya mengumandangkan tawanya. "Oke, sampai bertemu lagi besok, Yuna.
Hati-hati di jalan."
Yuna menatap punggung Randi yang mulai berjalan
menjauhinya. Ia benar-benar mengagumi sosok Randi
yang begitu dewasa dan bersahaja. Laki-laki itu memiliki
hati yang seluas samudra. Juga se"tenang air di gelas kaca,
tidak beriak, hanya memberikan ketenangan bagi semua
orang yang ada di sekitarnya.
163 BAB 9 Ketika Aku Meminta Cinta Kejadian di tangga sore itu ternyata membuat gosip menyebar dengan cepat. Walau Yuna sudah bisa menduga
siapa yang menyebarkan gosip murahan seperti itu, tetapi
ia tak ingin gegabah melakukan tindakan apa pun.
Ia tahu, sebagai adik sepupu dari pemilik toko alat tulis itu, Yuna sering kali dijadikan sasaran dan iri hati dari
para pekerja lainnya. Erna dan Yuli adalah dua orang di
antaranya. Mereka berdua terlihat terancam dengan kehadiran Yuna di toko itu. Sejak hari pertama Yuna bekerja
di sana, ada saja yang dilakukan oleh kedua orang itu untuk membuat Yuna tak betah lagi bekerja di sana.
Yuna sama sekali tidak tahu apa alasan yang membuat
kedua orang itu merasa terancam dengan kehadiran dirinya.
Selama ini, meskipun sadar bahwa ia adalah adik
pemilik toko, Yuna tidak pernah berbuat semena-mena
terhadap pekerja lainnya. Biasanya, apa yang bisa dilakukannya sendiri, akan dengan senang hati dilakukan Yuna
tanpa harus merepotkan pekerja lainnya. Namun, jika itu
menyangkut dengan tugas dan kewajiban masing-masing
pihak, Yuna jelas tidak akan membiarkan orang lain bisa
seenaknya melepaskan tugas dan tanggung jawabnya begitu saja.
Yuna memang berhasil bertahan bekerja di toko itu
hampir setahun ini. Namun, itu tidak bisa dikatakan bahwa
Yuna betah bekerja di sana. Betah atau tidak sebenarnya
hanyalah masalah hati. Jika ia menuruti rasa tak betahnya,
mungkin saja Yuna sudah lama meninggalkan toko itu
dan mencari pekerjaan lain, tetapi itu tak dilakukannya.
Ia menyukai pekerjaannya sebagai seorang marketing
lapangan. Selain itu, ada misi pula di dalam hatinya, yaitu
ingin membantu usaha kakak sepupunya itu untuk memajukan usahanya dan mendapatkan pelanggan-pelanggan
potensial yang nantinya akan menguntungkan bagi usaha
kakaknya itu. Sayangnya, apa yang dilakukan Yuna mendadak menjadi begitu kacau dan berantakan. Gosip murahan yang
mengatakan bahwa dirinya telah berciuman dengan Randi
di tangga ternyata terdengar oleh kakak sepupunya. Tidak
166 hanya itu, berita itu tersebar dengan cepat hingga ada
banyak sekali pelanggan yang mengetahui masalah itu.
Seorang janda yang tak bisa menjaga dirinya dan bisa
dengan mudah berciuman dengan pegawai laki-laki mana
pun yang ditemui. Itulah gosip yang berkembang di luar sana dan membuat beberapa mata pelanggan laki-laki yang sering
datang ke toko untuk melakukan pembelian langsung,
seketika berbinar-binar penuh nafsu saat melihat atau
bertemu dengan Yuna. Bahkan di antara mereka ada yang
mulai berani kurang ajar pada Yuna dengan melemparkan
pernyataan-pernyataan yang mengundang dan merendahkan.
"Kalau bosen dengan teknisi komputer itu, kamu
mungkin bisa coba dengan aku, Mbak Yuna."
"Mending nikah saja denganku. Siapa tahu tokoku dan
toko kakakmu yang menjadi besanan akan bisa semakin
besar." "Astaga, Yuna separah itu" Aku sama sekali tak menyangka adik bos ternyata memiliki sifat yang begitu murahan."
Itulah beberapa pernyataan yang sampai di telinga
Yuna dan nyaris membuat Yuna meradang. Biasanya yang
dilakukan Yuna saat ia dihadapkan dengan pernyataanpernyataan yang menghina seperti itu adalah melepaskan benda atau pekerjaan yang sedang dilakukannya,
167 dan langsung menghilang ke lantai dua untuk melakukan
pekerjaan yang bisa dilakukannya tanpa bertemu dengan
pelanggan-pelanggan toko itu.
"Jangan pulang dulu, Yun. Kita harus bicara!"
Jam setengah lima, saat Yuna baru saja kembali dari
kebiasaan rutin berkelilingnya, Pak Indra sudah menunggunya.
"Oke...." Hanya itu jawaban yang diberikan Yuna sebelum ia menghilang ke lantai dua untuk menyerahkan pesanan pelanggan hari itu untuk dibuatkan fakturnya.
Yuna sudah bisa menduga apa yang akan dibicarakan
oleh kakak sepupunya itu. Dan Yuna sudah menyiapkan
jawaban di dalam hatinya. Jawaban brilian yang mampu
terpikirkan olehnya dalam situasi seperti saat itu.
Tepat jam lima, Yuna turun ke lantai satu. Para kar"
yawan yang ada di toko itu sudah bersiap pulang, rolling
door depan juga sudah ditutup separuh dan hanya menyisakan satu sela sempit yang hanya bisa dilalui satu tubuh
orang dewasa. "Saya pulang duluan, Pak," kata Sri yang berpamitan
pada Pak Indra, "Aku duluan ya, Yun," lanjut Sri lagi begitu
langkah kaki Yuna terhenti persis di depan meja kerja Pak
Indra. Yuna hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia menarik satu kursi bundar yang tidak seberapa
168 jauh dari tempatnya berdiri, membawa kursi itu tepat di
depan meja Pak Indra dan duduk di sana.
"Tolong rapatkan saja rolling doornya, Sri. Aku sama
Yuna masih mau bicara," pinta Pak Indra pada Sri yang sudah melangkah ke bagian depan toko.
Yuna melihat ke arah Pak Indra. Laki-laki setengah
baya yang terlihat masih begitu tampan di usianya yang
hampir mendekati empat puluh itu sedang memainkan
bolpoin di tangannya. "Kamu pasti sudah bisa menebak apa yang akan kita
bicarakan sore ini kan, Yuna?" kata Pak Indra memulai
percakapan mereka. "Kejadian di tangga dan gosip murahan yang disebarkan mulut tak bertanggung jawab," sahut Yuna ketus.
"Yuna!" Nada suara Pak Indra sama sekali tak tinggi,
tetapi nada itu penuh peringatan yang menyatakan de"
ngan jelas posisi mereka berdua.
"Koko mau men-judge-ku seperti apa lagi" Koko le"bih
percaya mulut orang lain dan lebih sering mendengar gosip murahan tanpa mau tahu cerita yang sebenarnya. Itu
kenyataannya dan aku pikir aku tidak perlu lagi memberikan penjelasan apa pun," jawab Yuna lagi dengan tatap"
an mata yang menantang dan menatap Pak Indra tanpa
berkedip. "Aku tidak memercayai gosip itu, Yuna. Aku tahu kamu
tidak akan melakukan perbuatan serendah dan semurah"
169 an itu," sahut Pak Indra seraya menghela napas panjang,
"Yang ingin kutanyakan adalah apakah kamu memang benar menjalin hubungan dengan Randi?"
"Hubungan seperti apa" Pacaran" Tentu saja tidak,
Koko. Aku memang dekat sama Randi. Tapi tidak lebih
dari itu," jawab Yuna cepat dan tegas.
Memang kenyataannya seperti itu. Ia dan Randi tidak
memiliki komitmen apa pun terhadap kedekatan yang
terjadi di antara mereka selama ini. Randi tidak pernah
menyatakan perasaannya pada Yuna. Begitu pula dengan
Yuna. Bagi Yuna, saat ini Randi hanyalah seorang sahabat
yang sangat mengerti dirinya. Randi bagai telaga yang
mampu menenangkan jiwa Yuna yang selalu dilanda gelisah. Meski jika ditanya sejujur-jujurnya, tentang pera"
saannya pada Randi, Yuna benar-benar tidak akan pernah
bisa menjawabnya. Yuna masih tidak mengerti bagaimana
perasaan dirinya yang sesungguhnya pada Randi.
Pak Indra lagi-lagi menarik napas panjang dan
mengembuskan kembali udara yang baru saja diisapnya
keluar dari paru-parunya. Tatapan mata laki-laki itu terlihat begitu prihatin. Yuna nyaris saja meneriakkan makian
melihat tatapan mata kakak sepupunya itu.
"Harusnya, dengan statusmu yang... sori, sebagai janda itu, kamu tidak terlalu dekat dengan laki-laki mana
pun, Yuna. Kedekatanmu dan Randi bisa saja menimbul170
kan opini-opini yang menyatakan kalian sedang menjalin
hubungan," Pak Indra lagi-lagi menghela napas. "Dan saat
ini, kamu harusnya juga menyadari bahwa sebentar lagi
kamu akan dilamar oleh Om Hidayat. Sebenarnya apa lagi
sih yang kamu pikirkan" Om Hidayat itu sudah jadi jamin"
an masa depan buatmu. Kamu tidak perlu mengkhawa"
tirkan apa pun lagi hanya untuk bertahan hidup. Masa depan Alvero pun sudah pasti terjamin. Jadi, sebaiknya kamu
tinggalkan saja hubungan apa pun yang sedang kamu jalin
dengan laki-laki lain selain Om Hidayat."
Yuna membelalakkan matanya, tetapi sepersekian detik kemudian ia mulai meneriakkan kata-kata sinis yang
membuat Pak Indra terpana.
"Aku tidak akan pernah menikah dengan laki-laki tua
bangka yang hanya menginginkan aku tapi tidak menginginkan Alvero! Aku lebih baik mati daripada harus menyetujui perjodohan sinting ini!"
Pak Indra sama sekali tak menyangka kalau Yuna akan
membentaknya seperti itu. Laki-laki itu terlihat hendak
membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi di menit berikutnya Pak Indra kembali menutup mulutnya. Yuna jelas
tidak akan menyia-siakan kesempatan itu.
"Seandainya.... Ini seandainya saja," bisik Yuna dengan
nada yang dalam, "Aku memiliki hubungan khusus dengan
Randi. Katakanlah aku jatuh cinta pada laki-laki itu. Apa
171 yang akan terjadi?" lanjut Yuna masih dalam bisikan yang
sama. "Tidak mungkin! Tentu saja itu tidak boleh terjadi,
Yuna!" Pak Indra berteriak. Kali ini, gantian Yuna yang
sama sekali tak menyangka akan mendapat teriakan yang
nyaris membuat telinganya nyeri.
"Aku tidak akan pernah membiarkan adik kesayang"
anku melakukan kebodohan itu. Laki-laki itu tidak pantas
untukmu, Yuna. Laki-laki itu hanya teknisi kelas bawah.
Sementara kamu" Kita ini terlahir dalam keluarga terpandang dan memiliki derajat kehidupan yang jauh berbeda dari laki-laki itu. Jurang kalian terlalu lebar. Keluarga
besar kita pun pasti akan menentang habis-habisan jika
kamu nekat menjalin hubungan dengan laki-laki madesu11
seperti itu," lanjut Pak Indra lagi bagai seorang orator yang


Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang memimpin sebuah demonstrasi besar-besaran.
"Teknisi kelas bawah" Laki-laki madesu?" Yuna benarbenar berteriak kali ini dan bangkit dari kursinya. De"
ngan tubuh yang berdiri tegak, ia menatap nanar ke arah
Pak Indra. Kedua telapak tangannya terkepal. Ia nyaris
menghantamkan kepalan tangannya itu ke meja yang ada
di hadapannya agar kakak sepupunya itu tahu bagaimana perasaannya, "Tidak ada satu manusia pun yang bisa
meramalkan masa depan seseorang, Ko. Mungkin bagi
kita, Randi hanyalah seorang teknisi yang tidak dianggap
11 madesu = masa depan suram
172 oleh orang lain. Atau anggaplah Randi hanyalah orang
dengan bayaran kecil. Tapi nanti" Tidak ada yang pernah
tahu akan jadi apa Randi lima atau sepuluh tahun ke depan. Sama halnya seperti Koko yang tidak tahu kalau lima
tahun lagi, toko Koko ini mungkin saja bangkrut karena
dilanda kebakaran besar!"
"Yuna, jaga cara bicaramu! Aku ini lebih tua darimu,"
tegur Pak Indra. "Lebih tua dan lebih picik," desis Yuna yang akhirnya
kembali duduk di kursinya.
"Astaga, Yuna! Aku mengajakmu bicara sore ini bukan
ingin bertengkar denganmu. Aku hanya ingin menunjukkan padamu bahwa ada kenyataan-kenyataan yang tidak
bisa kita mungkiri. Kita berbeda dengan Randi. Kita berbeda mulai dari rumpun, adat istiadat, tingkat penghidup"
an, gaya hidup, dan masih ada ribuan perbedaan lain lagi
yang tidak memungkinkan kalian bersama. Masyarakat
di sekitar kita masih banyak yang tidak akan mampu me"
nerima hubungan rapuh yang kamu paksakan dengan
laki-laki itu, Yun."
Yuna bangkit berdiri dari kursinya. Ia menatap de"ngan
tatapan yang begitu nyalang dan tajam. Andai tatapan bisa
membunuh, mungkin Pak Indra sudah terkapar saat itu
juga. "Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Hidupku
adalah urusanku. Bukan urusan orang lain."
173 Yuna melangkahkan kakinya meninggalkan toko itu. Ia
sama sekali tak menoleh meski Pak Indra berkali-kali memanggil namanya. Separuh hati Yuna mau tak mau sedikit
terharu karena kakak sepupunya itu mungkin memang
peduli padanya. Namun, separuh hatinya yang lain benarbenar tak terima dengan anggapan yang berkembang dari
pemikiran kakaknya yang begitu picik. Ia tidak suka jika
Randi yang begitu baik dihina dina sedemikian rupa. Ia
juga tidak suka cara pandang orang-orang yang hanya
menilai dari penampilan luar seseorang. Seandainya ada
orang kaya yang berpenampilan sangat sederhana, bagaimana nanti mereka menilainya" Apakah orang itu bisa
dikatakan madesu hanya gara-gara mengenakan kaos oblong, celana pendek, dan sandal jepit" Siapa yang tahu kalau di dalam tas seseorang yang berpenampilan layaknya
seorang gelandangan ternyata menyimpan uang ratusan
juta" Astaga! Yuna ingin sekali meneriakkan pikiran-pikiran yang
membuat dirinya semakin gelisah. Bagaimana caranya
ia harus menumpahkan segala sampah yang mendadak
membuat hatinya terasa begitu sesak"
Memangnya ada teknisi kelas atas" Atau mereka merasa dirinya kelas atas sehingga tidak layak bergaul dengan
orang lain yang standar hidupnya mungkin di bawah me"
174 reka" Yuna benar-benar tidak mengerti mengapa ada manusia yang bisa berpikiran sepicik itu.
Yuna menghentikan sepeda motornya di Taman Bungkul yang berseberangan dengan Kebun Binatang Surabaya. Ia memarkir sepeda motornya, lalu berjalan ke salah
satu kursi taman yang kosong dan duduk di sana.
Sejenak Yuna terdiam memandangi lalu-lalang manusia di taman itu. Ada yang wajahnya terlihat begitu kusut
dengan pakaian kerja yang sudah tak lagi rapi. Ada sebuah
keluarga yang berjalan bergandengan tangan dengan wajah bahagia. Ada sepasang kekasih, mungkin, yang terlihat
bersenda gurau. Entah apa yang sedang mereka bicarakan
hingga mereka bisa tertawa seperti itu.
Randi.... Nama itu mendadak melintas di dalam hati Yuna yang
sepi. Yuna melirik jam dan mendapati masih jam enam lewat sedikit. Ia pun bergegas mengeluarkan telepon genggamnya dan menekan nomor telepon Randi yang sudah
dihafalnya luar kepala. Tiga nada panggil terdengar. Randi tak kunjung meng"
angkat. Lima nada pangil dan akhirnya telepon itu mati ka"rena
sambungannya tak diangkat juga oleh Randi. Yuna menarik napas panjang. Mungkin Randi sedang sibuk. Mungkin Randi sudah berjejalan di jalan raya. Namun, jika opsi
175 kedua yang terjadi, biasanya Randi tetap mengangkat teleponnya dan menjawab dengan menggunakan handsfree.
Yuna baru saja hendak memasukkan telepon itu kembali dalam saku jaketnya ketika tiba-tiba nada dering dari
telepon itu terdengar. Begitu melihat nama yang tampil di
layar teleponnya, Yuna tersenyum seketika.
"Assalamu"alaikum," suara Randi terdengar begitu
hangat. "Randi, aku tidak tahu apakah harus menjawab salammu itu atau tidak. Aku tidak tahu harus menjawab apa setiap kamu mengucapkan Assalamu"alaikum," teriak Yuna
tanpa bisa menyembunyikan keriangan dalam nada suaranya karena Randi telah meneleponnya. "Kamu sedang
di mana" Aku lagi duduk di Taman Bungkul. Kalau kamu
masih di jalan, apa kamu mau mampir ke sini?"
Yuna benar-benar tak bisa menahan perasaannya. Ia
lupa kalau dirinya adalah seorang janda dengan satu anak
berumur lima tahun dan sedang menghadapi masalah
perjodohan yang dibencinya. Yuna juga lupa kalau ia bukanlah gadis remaja sehingga bisa dengan mudahnya
menunjukkan perasaannya pada seorang laki-laki yang
bukan siapa-siapanya. "Astaghfirullah. Aku tidak tahu harus menjawab pertanyaan yang mana dulu nih. Sori, aku tadi lagi shalat
Maghrib di masjid Taman Bungkul. Dan sekarang aku sudah menemukanmu...."
176 Tanpa melepaskan telepon genggamnya dari telinga
kanannya, Yuna langsung menolehkan kepalanya ke kiri
dan ke kanan. Dan saat itulah ia melihat Randi yang berjalan ke arahnya sambil melambaikan tangan satunya
yang tidak memegang telepon.
Randi terlihat menurunkan telepon genggamnya dari
telinga dan memasukkan telepon itu ke saku celananya.
Yuna pun melakukan hal yang sama dan bergegas menyongsong Randi.
"Bagaimana bisa kamu menemukanku di sini" Di te"
ngah-tengah orang yang berlalu-lalang seperti ini?" tanya
Yuna penasaran. Randi memutar tubuhnya dan ia menunjukkan ta"
ngannya ke arah tangga masjid Al-Falah yang berdiri
megah tidak seberapa jauh dari Taman Bungkul. "Aku selesai shalat Maghrib dan berdiri di tangga itu. Tak sengaja,
saat aku melihat ke arah taman ini, aku malah melihat seorang perempuan yang sangat mirip denganmu. Aku pun
mulai melangkahkan kakiku menuruni tangga dan tiba-tiba teringat tadi telepon pun bergetar. Aku meneleponmu
dan aku melihat kamu mengangkat telepon genggammu
bertepatan dengan dimulainya sambungan telepon kita.
Detik itu juga, aku tahu, perempuan yang aku lihat itu benar-benar kamu."
Diam-diam dan lagi-lagi, Yuna merasa kalau pertemuan demi pertemuan dirinya dan Randi seolah-olah
177 sudah ada yang merancang. Bukankah setiap pertemuan
yang terjadi antarmanusia, yang seolah-olah terlihat tak
sengaja, adalah sesuatu pertanda" Namun, yang membuat
Yuna tak mengerti, pertanda apakah ini" Apakah memang
Allah itu ingin ia mengenal Randi lebih dekat" Atau Allah
yang hendak mendekatkan Randi padanya"
Yuna berusaha menyingkirkan pergulatan batin yang
tak ada habisnya itu dan mulai memfokuskan perhatiannya pada Randi. Yuna pun menceritakan pembicaraannya
dengan Pak Indra pada Randi. Walaupun ada bagian-bagian
yang sengaja ditutupinya dan tidak disampaikannya pada
laki-laki itu. Yuna tak ingin Randi merasa sakit hati lebih
dari yang seharusnya. "Bagi mereka, jika aku sampai berhubungan denganmu, maka aku telah melakukan kebodohan besar, Ran. Kita
itu berbeda. Itu yang berkali-kali ditekankan kakakku. Ia
juga beranggapan bahwa dirimu tidak layak untukku. Padahal kenyataannya, aku yang janda inilah yang tidak pantas untuk siapa pun," bisik Yuna.
"Semua manusia itu kedudukannya sama di mata
Allah". Hanya manusia sendirilah yang mengotak-ngotakkan kedudukan mereka sehingga kesenjangan terjadi,"
sahut Randi lembut saat Yuna berhasil menyelesaikan seluruh rangkaian ceritanya, "Aku tidak merasa sakit dikatakan seperti itu. Sangat melelahkan jika kita hidup dengan
terlalu peduli pada pendapat orang lain tentang kita."
178 Cara pandang Randi terhadap kehidupan membuat
Yuna semakin mengagumi laki-laki itu. Kaya miskinnya
manusia tidak bisa dinilai dengan harta, tetapi dengan
hati. Itulah yang sebenarnya baru dipahami Yuna. Buat
apa kaya harta tetapi hati tidak tenang" Namun, dengan
hati yang setenang milik Randi, Yuna yakin hidup akan
menjadi jauh lebih mudah. Bisa jadi seseorang yang kaya
hati malah akan mendapatkan kekayaan materi dengan
mudah, kan" "Ngomong-ngomong, balik lagi ke ceritamu tadi, seandainya memang kita ada hubungan, apakah itu akan menjadi masalah buatmu, Yun?" tanya Randi pelan.
Yuna terdiam. Randi pun setelahnya ikut terdiam. Keheningan dan kecanggungan mendadak menyelimuti me"
reka. "Kalau bagiku, Yuna, itu tidak akan pernah menjadi
masalah besar. Karena ketika Allah mempertemukan dua
orang, maka Allah telah mempersiapkan rancangannya
bagi kedua orang tersebut. Aku hanya tinggal mengikuti
ke mana Allah menuntunku."
*** "Mana ada orang hidup tanpa uang!"
Teriakan itu membahana, dan jika mungkin kaca jendela rumah itu pun bisa pecah karena saking kerasnya
179 teriakan itu. Yuna yang terduduk di sofa ruang tamu hanya
bisa terdiam. Sementara papanya yang baru saja tiba di
Surabaya langsung memberondong Yuna dengan seribu
satu kemarahan. Yuna baru saja sampai di rumah ketika ia melihat suasana ruang tamu rumah itu terlihat ramai dan lain dari
biasanya. Yuna masuk ke halaman rumah itu, mematikan
sepeda motornya di pelataran depan rumah dan langsung
disambung teriakan riang Milia yang memburunya untuk
meminta oleh-oleh. Keriangan langsung menguap saat Papa Yuna menyuruh Yuna duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Yuna tahu
inilah yang akan terjadi. Yuna sudah menduganya sejak
beberapa hari terakhir ini, bahwa hari ini akan benar-benar terjadi.
"Aku tidak bilang kalau aku tidak perlu uang, Papa.
Aku perlu. Semua orang hidup pasti membutuhkan uang.
Masalahnya, aku tidak mau mendapatkan uang dengan
cara menikahi laki-laki tua bangka yang sama sekali tak
mencintaiku dan yang aku tidak tahu alasan tepatnya lakilaki itu menikahiku!"
"Sudah setahun lebih kamu menjanda, Yuna. Statusmu
itu bagai kutukan mendadak yang membuat kami semua
harus berjalan tertunduk setiap orang menyebutkan namamu di depan kami. Tidak bisakah kamu mengakhiri"
nya dengan segera" Dan aku rasa, dengan pernikahan ini,
180 maka status janda yang pernah kamu sandang itu akan
segera dilupakan orang," sahut papanya lagi dengan suara
yang lantang. Yuna melirik kesibukan yang terjadi di belakang punggung papanya. Milia terduduk di pangkuan Vina. Mata Mi"
lia sesekali melirik ke arahnya. Mata yang polos dan bercahaya indah itu terlihat tak rela tantenya sedang dimarahi
seperti itu. Sementara Edo duduk di sebelah istrinya, diam
di sana dengan mata ke arah televisi. Edo memang terlihat
seolah tak ingin ikut campur, tetapi Yuna tahu, adiknya itu
mengikuti pembicaraannya dengan papanya.
"Jadi, sebenarnya Papa mau bilang kalau sebenarnya
Papa sangat malu karena anak Papa jadi janda. Begitu,
kan?" "Itulah kenyataannya. Papa malu karena kamu memilih perceraian itu terjadi dan merusak nama baik keluarga
kita." "Astaga, Papa! Nama baik apa yang kurusak" Aku tidak
melacur. Aku tidak merampok. Aku tidak melakukan sesuatu yang salah. Aku hanya membebaskan diriku dari
sebuah rumah yang disebut keluarga tetapi hanya penuh
pukulan dan kekerasan. Hanya itu. Aku hanya berusaha
menyelamatkan diriku dan Alvero hingga akhirnya aku
memutuskan untuk meninggalkan laki-laki sialan itu!" balas Yuna tak kalah sengitnya.
181 "Yuna! Pokoknya Papa tidak mau tahu. Kamu harus
menikah dengan Om Hidayat. Kecuali dalam dua bulan ini
kamu bisa menemukan laki-laki yang pantas dan se"suai
dengan karakter keluarga kita, yang mau menikahimu
dengan segera, aku akan mempertimbangkannya." Teriak"
an kembali membahana terlalu keras. Yuna masih sempat
melihat Milia yang terlonjak dari duduknya dan bergegas
meninggalkan pangkuan Vina. Anak itu lari ke kamar de"
ngan mata yang berkaca-kaca. Yuna merasa geli sekaligus
kasihan melihat Milia. Anak itu memang tidak terbiasa
dengan suara teriakan yang terlalu keras atau suara-suara
orang yang bertengkar. "Aku tidak mau menikahi laki-laki itu, Papa. Apa pun
yang terjadi!" Yuna menjawab dengan pelan. Ia tidak ingin
menambah ketakutan Milia yang pasti masih memasang
telinganya baik-baik. "Yuna...!" Papanya terduduk di sofa dengan mata yang membelalak dan napas yang tersengal-sengal. Tangan kiri laki-laki
yang sudah terlihat memasuki usia senja itu memegang
bagian dada sebelah kirinya. Wajahnya terlihat meringis
menahan sakit. "Do...! Aspirin!" Hanya itu yang bisa diteriakan Yuna
dengan kepanikan ketika di detik yang sama ia menyadari
bahwa papanya baru saja terkena serangan jantung.
182 Tebaran kata menyakitkan yang sedari terhambur di
udara kosong yang ada di ruangan itu tiba-tiba menguap
berganti dengan kepanikan. Edo berlari mengambil aspirin di kotak obat. Yuna mencoba menjejalkan obat itu di
mulut papanya. Edo berlari ke luar rumah dan menuju ke
garasi. Ia bergegas mengeluarkan mobilnya.
"Bernapas pelan, Papa. Usahakan bernapas pelan. Semuanya akan baik-baik saja," guman Yuna sambil memijat
pelan tangan papanya. Dan kali ini, Yuna dengan sengaja
mengalunkan tasbih di dalam hatinya, sesuai dengan kemauannya sendiri.
Alunan itu terus bergema di dalam hatinya. Memenuhi
setiap pori-pori luka, membalut sayatan-sayatan yang
terasa perih, dan menghentikan aliran darah dari setiap
luka yang tak sengaja terbuka. Yuna menyusut air mata
yang tiba-tiba menetes dari sudut matanya.
Dalam kondisi seperti ini, sepertinya tidak ada lagi cara
lain yang bisa dilakukan Yuna selain menerima pernikah"
an itu, dan setelahnya, setiap malam, ia bertekad akan rajin berdoa agar laki-laki tua bangka itu segera menemui
ajalnya. *** Untungnya semua baik-baik saja. Untungnya serangan jantung papanya tidak berakibat fatal hingga menyebabkan
183 ia kehilangan laki-laki, yang darahnya mengalir di dalam
setiap pembuluh darahnya.
Malam itu Yuna berbicara dengan Edo, jika memang ia
harus menikahi Om Hidayat, maka di detik-detik ter"akhir
sebelum pernikahannya, ia akan berusaha menikmati
hidupnya sebaik-baiknya. Malam itu pula, Edo memeluknya dan berbisik, "Jika kamu menemukan jalan lain
yang membuat kamu bisa terbebas dari keharusan ini, Ce,
aku pasti akan mendukungmu. Aku akan selalu mendukungmu."
Namun, Yuna belum juga menemukan jalan lain yang
bisa dilaluinya. Ia tidak menemukan solusi tepat yang baik


Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagi dirinya dan keluarganya. Padahal sudah dua minggu
sejak kejadian serangan jantung yang menyerang papanya. Dan Yuna tahu, waktu akan terus berputar. Waktu
tidak akan pernah berhenti dan menunggu seseorang
sampai orang itu merasa siap. Tidak akan pernah. Waktu
akan terus berputar tanpa bisa diulang. Dan Yuna merasa
ia telah kehilangan banyak sekali waktu di dalam hidupnya yang tak bisa lagi diulang dan diperbaikinya.
Yuna memutuskan untuk menjauhi Randi. Ia tidak
berani berharap banyak dari Randi. Bukan karena Randi
yang tak pernah menyatakan perasaannya, tetapi Yuna
juga sudah melihat bawah dirinya dan Randi memang
tidak akan mungkin bisa bersatu. Akan ada banyak sekali
rintangan jika ia tetap memaksakan diri untuk berharap
184 pada Randi. Yuna takut hatinya hancur lebih dari sekarang
jika nantinya ia salah meletakkan harapannya pada orang
yang salah. Yuna menghindari pertemuan-pertemuan langsung
dengan Randi. Sebisa mungkin, ia tidak menjawab telepon
Randi. Jika pun harus menerima telepon Randi, yang dilakukan Yuna hanyalah membicarakan berbagai hal yang
berkaitan dengan pekerjaan mereka dan langsung mematikan telepon begitu Randi berusaha membawanya ke dalam pembicaraan yang menyangkut hubungan mereka.
Namun, ternyata Yuna tidak benar-benar bisa mening"
galkan Randi ketika akhirnya Randi berhasil mencegatnya. Saat itu, Yuna baru saja meninggalkan toko tempatnya bekerja. Sejak meninggalkan toko, ia memang sudah
me"ngira ada seseorang yang sedang mengikutinya. Dan,
saat ia berada di depan Taman Bungkul, terkurung di dalam kema"cetan, tiba-tiba sebuah tangan merengut kunci
sepeda motor Yuna dan membuat mesin sepeda motor itu
mati seketika. "Ke pinggir dulu, Yun. Kita harus bicara!" Randi berusaha menarik sepeda motor Yuna ke pinggir. Sesekali ia
meneriakkan kata maaf karena sepeda motor Yuna sempat menghalangi pengendara lain.
"Randi, kunciku," desis Yuna tajam dan berusaha merebut kunci yang tergenggam di tangan Randi.
185 "Turun dulu, Yuna. Kita harus bicara. Aku tidak suka
suasana ini. Aku tidak suka kamu berusaha begitu keras
untuk menghindari. Kita bicara, dan dengar alasanku. Se"
telahnya kamu boleh pergi," desak Randi.
Yuna menarik napas panjang. Ternyata, meskipun
ia sudah berusaha keras menghindari Randi, tetap saja,
ketika ia berhadapan kembali dengan laki-laki itu, debar
di dadanya kembali memainkan lagu yang begitu indah.
Lagu cinta yang dikiranya tak pernah didendangkan lagi
oleh hatinya yang mati rasa.
Yuna menarik napas panjang. Ia mengusir harmoni
yang menggelitik rasa di dadanya. Ada dawai indah yang
berusaha ditolak kehadirannya oleh Yuna.
"Aku sudah mengambil keputusan, Ran. Mungkin aku
akan menerima apa pun keputusan yang dirancang oleh
orangtuaku untuk masa depanku," bisik Yuna perih. Ada
yang retak di hatinya. Randi terdiam. Ia mengulurkan kedua tangannya,
meraih kedua telapak tangan Yuna ke dalam genggamannya. Dan kata-kata selanjutnya yang meluncur dari mulut
Randi tertanam begitu erat di dalam hati Yuna.
"Ketika aku meminta cinta, Allah malah menunjukkan
gambaran wajahmu dalam zikir-zikir panjangku. Apa aku
ha"rus menolaknya?"
Yuna kehilangan kata-kata
186 BAB 10 Astaghfirullah! Randi tidak bisa melepaskan Yuna begitu saja. Ia sangat
yakin ada takdir yang akan mempersatukan dirinya dan
Yuna. Ada hal-hal yang mungkin tak bisa dinalar dengan
akal sehat tetapi bisa diyakini bahwa ada tangan-tangan
Allah yang sedang bekerja. Randi percaya bahwa Allah memang mempertemukan mereka dengan maksud-maksud
tertentu. Allah pasti memiliki rencana atas mereka. Dan ia
sama sekali tak berkeinginan untuk menentang kehendak
Allah. Randi sadar ia telah meminta cinta itu dihadirkan di
dalam kehidupannya. Dengan kesadarannya pula, Randi
akhirnya melihat gambaran Yuna dalam zikir-zikir panjangnya. Tidak hanya sekali. Namun berkali-kali. Seolaholah gambaran itu hendak meyakinkan dirinya bahwa apa
yang dilihat dan dirasakan Randi adalah benar adanya.
Bila Allah telah berkehendak, bagaimana bisa manusia
menentangnya" Kekuatan apa yang dimiliki seorang manusia untuk tak
mengindahkan panggilan Sang Pemilik Alam Semesta"
Bagi Randi, Yuna itu unik. Ia tidak sama dengan perempuan lainnya yang suka menjaga image. Yuna tampil apa
adanya. Yuna sama sekali tak pernah menyembunyikan
kepribadiannya yang sebenarnya. Bahkan, perempuan
itu sama sekali tak pernah mengoleskan hiasan apa pun
di wajahnya hanya untuk menampilan kecantikan semu,
layaknya yang biasa dilakukan kebanyakan perempuan
lain. Yuna menjadi dirinya sendiri tanpa topeng sama
sekali. Jika perempuan itu ingin marah, ia akan dengan
mudah marah. Dan saat senang, Yuna pun bisa mengapresiasikan perasaannya dengan jelas dan jujur. Dan Randi
sangat mengagumi kepribadian yang jujur seperti itu.
"Aku menyukaimu, apa adanya Yuna. Kamu tidak perlu
menjadi orang lain. Kamu juga tidak perlu menampilkan
sesuatu yang bukan dirimu. Aku malah tidak suka jika
harus mendapatimu yang berusaha menjadi sosok yang
bukan dirimu." Randi menatap Yuna yang duduk di depannya. Sebuah
meja dengan piring-piring yang sudah kosong membatasi
keberadaan mereka berdua. Sejak pernyataan Randi di Ta188
man Bungkul waktu itu, Randi benar-benar berjanji tidak
akan pernah melepaskan Yuna begitu saja. Kesungguhan
Randi itulah yang akhirnya membuat Yuna berani me"
nerima Randi. "Aku tidak berusaha menjadi diri orang lain. Aku tidak
suka bersandiwara. Aku lebih suka menjadi diriku sendiri.
Kamu pasti tahu itu kan, Ran?" sahut Yuna memainkan
gelas yang isinya tinggal separuh dengan tangan kirinya.
"Hanya saja, aku sering kali merasa tak pantas ketika
mengingat statusku yang janda. Bagiku, kamu seharusnya
bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik. Bukannya
mendapatkan barang bekas seperti diriku."
"Astaghfirullah, Yuna! Kenapa pikiranmu bisa senegatif
itu memandang dirimu?" Randi mengucapkan istighfar
sambil mengelus dadanya. "Aku tidak pernah memikirkan
statusmu. Aku juga tidak pernah menganggapmu sebagai
barang bekas. Sekali pun tidak pernah terpikirkan olehku
hal itu, Yuna." "Lalu.... Kenapa kamu memilihku" Kenapa kamu menyukaiku?" balas Yuna semakin penasaran.
Randi terdiam sesaat. Ia menatap Yuna lekat-lekat.
Ada binar berkelip di mata Randi. Binar penuh cinta yang
membuat Yuna selalu berdebar-debar.
"Allah yang telah memilihkanmu untukku. Tapi di luar
itu, aku memang sudah tertarik padamu sejak awal aku
melihatmu. Aku tidak tahu alasannya," jawab Randi de"
189 ngan tatapan mata yang masih menatap Yuna, "Apakah
menyukai seseorang harus ada alasan?"
Randi suka Yuna yang apa adanya dan tak ada niat
sedikit pun di dalam hati Randi untuk mengubah Yuna
seperti yang dikehendakinya. Itulah kenyataan yang sebenarnya. Ia hanya ingin bersama-sama dengan Yuna melewati waktu dan merangkai kisah di setiap detik kehidupan
mereka. Randi tidak bisa menjanjikan apa pun, karena
kondisi kehidupan mereka sekarang masih sama-sama
bergantung pada pekerjaan yang diberikan oleh orang
lain padanya. Namun Randi percaya, jika Allah sudah menentukan
jalan yang harus dilewatinya, Allah pasti sudah pula menentukan langkah apa saja yang harus dilakukan, rintang"
an apa saja yang harus dihadapi, dan bagaimana ia harus
menyelesaikannya. Tidak ada masalah yang tidak memiliki jalan keluar. Hanya saja, tidak semua orang bisa melihat
jalan keluar tersebut. Karena itulah, Allah ingin manusia
bergantung pada-Nya agar Dia bisa menunjukkan jalan
keluarnya. "Yun, sejujurnya aku tidak bisa menjanjikan apa pun
padamu. Aku sendiri tidak tahu masa depan seperti apa
yang nantinya akan kuhadapi. Tapi kamu boleh pegang
kata-kataku hari ini. Apa pun yang terjadi, bagaimana pun
kelak kehidupan kita, aku tidak akan pernah menyia-sia190 kanmu. Aku memilihmu karena aku ingin membahagiakanmu seumur hidupku.
Yuna jelas tak mampu berkata-kata mendengar setiap
kata yang terucap dari bibir Randi. Ia tidak tahu apakah
sebaiknya ia memercayai kata-kata itu, ataukah menganggap kata-kata itu angin lalu yang diucapkan oleh seorang
laki-laki yang ingin mendapatkan perempuan yang dicintainya.
Yuna sudah pernah membina kehidupan berumah
tangga, meskipun hanya beberapa tahun yang singkat.
Namun, dari pengalaman itu ada banyak sekali hal yang
membuatnya belajar untuk tidak kembali mengalami hal
yang sama. Berumah tangga bukanlah suatu titik akhir dari suatu
hubungan. Membangun sebuah rumah tangga melalui
ikat"an pernikahan itu adalah titik awal suatu proses empati, tenggang rasa, dan belajar memahami yang akan berlangsung selama sisa hidup mereka.
Dulu Yuna pernah gagal dalam membina rumah tangganya. Andaikan ia diberi kesempatan kedua untuk kembali mencicipi kehidupan rumah tangga yang bahagia dan
menyenangkan, maka Yuna tak ingin ada kegagalan lagi.
Dan ia melihat harapan itu bisa terwujud jika ia memilih
Randi sebagai pasangan hidupnya.
"Randi, kamu tahu, aku memiliki trauma atas kegagalan pernikahan dulu. Seandainya saja ada jalan untuk
191 kita meneruskan hubungan ini, aku ingin kita berdua sama-sama memikirkannya sebaik mungkin. Aku tidak ingin
ada kegagalan lagi dalam hidupku. Aku bisa hancur kali
ini, Ran, kalau sampai hal itu terjadi lagi," bisik Yuna. Matanya penuh harap. Mata yang masih berlumur luka itu seolah memohon pada Randi agar tidak membuat hati yang
sudah berkubang luka menjadi serpihan abu yang tak lagi
berbentuk. Yuna perempuan keras kepala. Ia tidak bisa dilarang
dengan kata-kata yang menyudutkannya, itu yang Randi
tahu. Karena itulah, Randi lebih suka menunjukkan secara
langsung apa pun kepada Yuna, membiarkannya melakukan kesalahan, dan setelahnya Randi akan kembali menggandeng tangan Yuna untuk menyelesaikan setiap masalah
yang dihadapi Yuna. "Aku berjanji, bagaimana pun nanti kehidupan kita,
sesakit apa pun yang harus kita lalui, bahkan semarah
apa pun kamu padaku, aku tidak akan pernah sedetik pun
melepaskan tanganku darimu. Hatiku sudah memilihmu
sejak pertama kita bertemu. Bahkan sampai akhir napas
hidupku, aku akan selalu mencintaimu."
Dan Yuna pun membeku mendengar pernyataan cinta
yang sama sekali tak disangkanya.
*** 192 Hubungan Yuna dan Randi terus berjalan meski sepertinya badai tak kunjung reda. Gosip di tempat kerja semakin
panas. Walaupun lama-kelamaan, para penggosip itu mulai terbagi menjadi dua kubu, ada yang pro dan ada yang
kontra. Yuna berusaha menikmati setiap sisi kejadian
dengan cara pandang yang berbeda.
Sejak ia mulai menjalin hubungan dengan Randi, pembawaan Yuna menjadi lebih tenang. Ia tidak lagi mudah
meledak hanya karena perkara sepele. Yuna menjadi le"
bih sabar dalam menyikapi berbagai permasalahan yang
terjadi di sekitarnya. Pelan-pelan, orang-orang di sekitar
Yuna juga mulai merasakan perubahan diri Yuna yang semakin hari semakin positif.
Yuna juga mulai tertarik untuk mempelajari berbagai
hal yang menyangkut Islam. Memang tidak banyak, tetapi
secara perlahan, ia mulai membuka hatinya dan menyatakan bahwa Allah itu memang ada. Dan ia juga percaya
bahwa Allah bekerja di dalam kehidupannya.
"Kenapa orang yang mau shalat harus berwudhu?"
Itulah pertanyaan Yuna suatu kali pada Randi ketika ia penasaran melihat teman-temannya yang berwudhu setiap
kali akan shalat. "Berwudhu itu memiliki makna sebagai bentuk penyucian diri sebelum menghadap kepada Allah."
Randi selalu saja dengan sabar menjawab perta"nyaan
demi pertanyaan yang diajukan Yuna. Kadang kala Yuna
193 sering tidak puas dengan jawaban singkat. Ia selalu me"
minta bukti pada Randi. Sering jika Randi tidak tahu
jawab"annya, Randi akan menyimpan pertanyaan itu dan
akan dijawabnya di kemudian hari. Namun, jika ia mengetahui jawabannya, Randi akan segera memberi jawaban
itu pada Yuna. "Apa ada ketentuan khusus untuk berwudhu?" tanya
Yuna lagi, "Maksudku, apakah wudhu itu bisa kita lakukan
hanya dengan mencuci muka, kaki, dan tangan saja?"
Randi tertawa ketika menghadapi pertanyaan Yuna
yang sering tak ada habisnya jika perempuan itu sudah
memulainya dengan satu pertanyaan. Di dalam hati kecil
Randi, ia benar-benar berharap suatu saat Yuna benarbenar akan terbuka hatinya dan menerima Islam sebagai
pegangan hidupnya. Bukankah jika ingin membina rumah tangga, maka
sangat disarankan untuk berada di dalam satu perahu
dengan satu nahkoda"
"Di dalam Al-Qur"an, tertulis mengenai ketentuan
berwudhu ini. Salah satu yang kuingat tertulis di surah
Al-Maidah ayat 6 yang bunyinya: "Hai orang-orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tangan sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan
kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
194 tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur." Tanah dalam artian di sini bukan tanah dalam
arti sesungguhnya, Yuna," kata Randi saat ia melihat Yuna
membelalakkan matanya setengah tak percaya. "Tapi kita
bisa menggunakan debu yang ada di sekitar kita. Bukan
membawa tanah dan mengusapkannya sampai wajah kita
penuh tanah itu," lanjut Randi lagi.
"Apakah tidak merepotkan jika harus terus-menerus
berwudhu setiap hendak shalat?" tanya Yuna lagi.
"Tidak." Jawaban Randi ini terlalu cepat, dan mendadak Randi menyadarinya. Randi pun segera meralatnya
agar Yuna lebih memahami secara manusiawi bahwa Allah
tidak memberatkan manusia, "Maksudku, mungkin jika
belum terbiasa ada kesan merepotkan, ya. Tapi lama-kelamaan setelah kamu terbiasa melakukannya, berwudhu
malah menjadi suatu keharusan yang membuat kita selalu
merasa suci di hadapan Allah."
"Apa kamu berniat hendak berwudhu, Yun?" tanya
Randi lagi ketika mendapati Yuna tak memberi jawaban
dan terlihat hanya termenung.
195 Yuna menatap Randi sejenak, "Tidak sekarang. Mungkin suatu saat nanti," sahut Yuna pendek.
Itu hanyalah sebagian kecil pertanyaan yang sering
diajukan Yuna. Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang
sering diajukan masyarakat nonmuslim saat melihat ke"
giatan yang dilakukan oleh para muslim sebelum shalat.


Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena seringnya Yuna mengajukan berbagai pertanyaan
itu, mau tak mau Randi pun mulai belajar kembali ber"
bagai hal tentang Islam. Ia tidak mau sampai salah memberikan keterangan ataupun jawaban bagi Yuna. Randi
selalu menginginkan yang terbaik untuk diberikannya
pada Yuna, bahkan untuk perkara sederhana yang berupa
jawaban-jawaban tersebut.
Randi dan Yuna memang menjalin hubungan layaknya
sepasang kekasih. Namun sejak awal kedekatan mereka,
Randi selalu memberikan batasan pada Yuna bahwa seorang perempuan itu harus menjaga harkat dan martabat
sebaik-baiknya dalam bergaul, termasuk bergaul dengan
seorang laki-laki yang sudah begitu dekat dengannya.
Randi sangat menghargai Yuna. Ia menjaga tangannya
agar tidak menyentuh Yuna sembarangan, bahkan setelah
hampir enam bulan mereka jalan bersama, Randi belum
pernah menyediakan waktu kunjungan resmi ke rumah
Yuna. Ia lebih suka mereka bertemu saat jam kerja, atau
sepulang kerja. Itu pun hanya sebentar.
196 Hingga suatu hari, Randi dihadapkan pada satu kenyataan. Ternyata kedekatan dirinya dengan Yuna tidak
membuat Randi benar-benar mengenal Yuna. Dan saat
itu, Randi sangat terguncang mendapati seorang anak kecil yang memanggil Yuna dengan sebutan mama.
Hari itu hari Minggu. Randi memang berjanji berkunjung ke rumah di mana Yuna tinggal, rumah Edo. Jam
sepuluh pagi, Randi sengaja berangkat ke rumah yang ada
di wilayah Sidoarjo itu. Ia ingin berkenalan dengan adik
Yuna dan keluarganya. Randi baru turun dari sepeda motornya ketika melihat Yuna sedang bermain dengan dua orang anak kecil,
seorang anak perempuan kecil dan seorang anak laki-laki
yang jauh lebih besar. "Hai, Randi, pagi sekali kamu datang?" seru Yuna saat
ia melihat Randi yang sudah berdiri menatap ke arahnya
dengan senyum yang begitu hangat.
Edo yang saat itu sedang mencuci mobilnya, sempat
terlihat terkejut ketika melihat Randi. Yuna yang dengan
sengaja ingin melihat reaksi Edo, memberikan jeda waktu untuk Edo, sampai adiknya itu sendiri yang menyapa
Randi. "Oh, ada tamu. Masuk dulu."
Edo akhirnya melepaskan selang di tangannya, mematikan air dan mengajak Randi berjabat tangan. Saat melihat penerimaan Edo yang ramah, Yuna menarik napas
197 lega. Ia akan menghadapi pendapat-pendapat Edo nanti,
tetapi paling tidak, Edo mau bersikap ramah dan terbuka
seperti itu. Edo dan Randi masuk. Yuna ikut bersama mereka
sambil menggendong Milia dan anak laki-laki itu. Edo
mempersilakan Randi duduk di ruang tamu. Kedua lakilaki itu pun bercakap-cakap, sementara Yuna membantu
Tia menyiapkan kudapan kecil berupa gorengan dan kopi
hangat. "Kalian jadi mau pergi?" tanya Edo tiba-tiba pada
Yuna. Sepertinya acara bercakap-cakap para lelaki sudah
selesai. "Iya. Randi mau mengajakku jalan-jalan ke Supermall
hari ini," sahut Yuna sambil bangkit berdiri dan meninggalkan Milia dan anak laki-laki itu.
"Mama, Al boleh ikut jalan-jalan?"
Suara anak laki-laki itu terdengar. Lalu anak laki-laki
itu berjalan menghampiri Yuna dan memeluk Yuna sambil
berkata, "Kan Al liburan ke Surabaya ini untuk jalan-jalan
sama Mama. Jadi Al boleh ikut kan, Ma?"
Randi shock. Ia nyaris tak bisa membuka mulutnya. Randi sama
sekali tak menyangka bahwa Yuna memiliki seorang anak
laki-laki yang wajahnya begitu mirip dengan Yuna. Wajah
Yuna dan wajah anak laki-laki itu seperti berasal dari cetakan yang sama hanya saja berbeda versi.
198 Astahfirullah! Berkali-kali Randi menggemakan istighfar di dalam
hatinya untuk meredakan keterkejutan itu. Ia yakin, wajahnya pasti berubah pias. Randi sempat merasa kepercayaan dirinya luntur hingga nyaris tak berbekas.
Apakah ia sanggup menghidupi Yuna dan anaknya
sekaligus" Bagaimana tanggapan kedua orangtuanya jika Yuna
yang berstatus janda ternyata juga memiliki seorang anak
dari hasil perkawinan Yuna sebelumnya"
Randi ingin mundur. Tiba-tiba, ia merasa tidak sanggup dihadapkan pada satu beban yang terlalu besar untuk
ditanggungnya. Anak dari hubungan Yuna dengan lakilaki lain" Anak bawaan, benih dari mantan suami Yuna"
Randi terserang sakit kepala hebat secara mendadak. Ia
bagai pesakitan yang dihadapkan di sebuah ruang sidang
untuk menentukan takdirnya.
Namun, saat Randi menoleh dan mendapati Edo menatapnya begitu lekat. Randi berusaha menarik napas
panjang dan meredakan keterkejutannya. Ia juga berusaha
sekuat tenaga untuk mengubah raut wajahnya yang terkejut itu menjadi sebuah senyuman samar. Senyuman Randi
itu ternyata malah membuat Yuna menatapnya nyaris tak
berkedip. Randi mati rasa. Mendadak ia tak tahu harus
berbuat apa untuk mengubah suasana yang tadinya baikbaik saja menjadi canggung seperti ini.
199 Siapa sangka, Alvero malah berjalan menghampiri
Randi, mengulurkan tangannya dan mengajak Randi berjabat tangan.
"Halo, Om, aku Alvero, anak Mama Yuna," Alvero memperkenalkan dirinya dengan senyum hangat khas senyum"
an seorang anak dan dengan matanya yang begitu polos, ia
menatap Randi penuh harap, "Al boleh ikut Om jalan-jalan
bersama Mama, kan?" Detik itu juga, Randi jatuh cinta (lagi)!
200 BAB 11 Untaian Tasbih Penunjuk Arah Yuna janda" Janda dengan satu anak"
Kelebatan pikiran itu masih saja mengganggu Randi
saat ia kembali ke kosnya malam itu. Lalu apa salahnya
jika Yuna adalah seorang janda dengan satu anak" Bukankah dulu Randi sendiri yang meyakinkan Yuna berkalikali bahwa status Yuna itu bukan hal besar yang mampu
menghalangi cintanya pada Yuna"
Lalu tiba-tiba Randi teringat dengan kisah Nabi Muhammad. Bukankah Rasulullah juga menikahi para janda"
Dan hal itu malah disunahkan oleh Rasulullah.
Randi menepuk dahinya dan bangkit dari tempat tidur
yang sedari tadi direbahinya. Ia sadar diri dan mendadak
merasa malu. Ia bukanlah laki-laki sehebat Rasulullah. Ia
sangat tidak pantas jika menyamakan perbuatannya de"
ngan perbuatan yang dilakukan oleh nabi junjung"annya
itu. Ia mencintai Yuna. Itulah masalah yang sebenarnya.
Dan saat ia akhirnya memilih untuk menikahi Yuna, bukankah akhirnya secara tak langsung sudah menjalankan
apa yang sudah disunahkan Rasulullah pada umatnya"
Mantapkah hatinya untuk menikahi dan mencintai
Yuna seumur hidupnya"
"Ran, inilah kenyataan yang harus kamu hadapi.
Aku sungguh minta maaf karena tidak menjelaskan keberadaan Alvero sebelumnya. Aku kira, kamu pasti sudah
mende"ngar banyak hal tentang aku sehingga tidak ada
keharusan bagiku menceritakan Alvero padamu." Itulah
kata-kata Yuna ketika mereka makan bersama di Supermall tadi siang.
"Bukan itu Yuna. Sungguh. Aku hanya terkejut dan
sedikit tidak menyangka kalau kamu memiliki seorang
anak laki-laki yang begitu tampan. Selain itu, bukan kamu
yang salah. Mungkin aku juga salah dalam hal ini karena
tidak pernah bertanya padamu."
Saat itu, Yuna terlihat menghela napas panjang. Wajah
perempuan itu terlihat begitu sedih dan penuh penyesalan.
Randi merasa sakit hati melihat Yuna yang seperti itu. Namun, ia tidak bisa menyalahkan Yuna atas anggapan Yuna
202 saat melihat raut wajahnya tadi. Ia juga tidak memungkiri
bahwa tadi ia sempat ingin mundur, tetapi hanya sesaat.
Ia hanya ragu akan kemampuan dirinya sendiri. Bukan
meragukan Yuna ataupun menolak kehadiran Alvero.
Mendadak, Randi benar-benar bingung harus menjelaskan perasaannya yang sesungguhnya pada Yuna.
Perempuan itu terlihat menutup dirinya. Dan Randi merasa ketakutan jika saat ia mengantarkan Yuna dan Alvero
pulang, maka itulah saat terakhirnya bisa bertemu Yuna.
Randi benar-benar tak ingin hal itu terjadi. Karena itulah
ia berusaha meyakinkan Yuna sekali lagi kalau ia bersungguh-sungguh mampu menerima Yuna dan Alvero dengan
sepenuh hatinya. Dan tadi siang, Randi sudah benar-benar menyatakan
perasaannya bahwa ia mencintai Yuna dan Alvero. Bahwa
ia menerima mereka berdua menjadi belahan dirinya dan
menginginkan suatu saat mereka akan bisa hidup bertiga
dalam satu rumah yang direstui oleh Allah dan keluarga
besar mereka. Mungkinkah itu terjadi"
Malam ini, ketika ia kembali merenungi kejadian
sepan"jang hari tadi, mendadak Randi dilanda kegelisahan
yang begitu hebat. Mungkin saja ia berharap terlalu tinggi
hingga ia takut akan mendapatkan kekecewaan. Mungkin
juga, Randi harus melakukan lebih banyak lagi persiapan
203 untuk menghadapi keluarga mereka, baik keluarganya
sendiri maupun keluarga Yuna.
Sanggupkah dirinya menanggung semua itu"
Randi melangkah ke jendela kamarnya dan membuka
jendela itu. Ia membiarkan angin malam memasuki kamarnya dan memupuskan kegelisahan yang mendadak
merongrongnya. Yuna.... Randi menggumamkan nama Yuna berkali-kali.
Jika ia memang mencintai Yuna, ia harus bisa mene"
rima segala kekurangan dan kelebihan Yuna. Bukan cinta
namanya jika ia hanya mau menerima kelebihan Yuna
tetapi menolak semua kekurangannya. Jika ia sungguhsungguh mencintai Yuna, ia bisa menerima kehadiran Alvero seperti anak kandungnya sendiri. Dan, saat ia memutuskan untuk menghabiskan sisa umurnya bersama Yuna,
maka ia harus menanggung badai yang mungkin saja terjadi akibat penolakan keluarga besar Yuna.
Astaghfirullah, kuatkan aku ya, Allah.
Berkali-kali Randi mengucapkan kalimat itu. Memohon
ampun dan kasih sayang Allah di dalam dirinya. Memohon
kekuatan untuk menghadapi semuanya. Namun, sebanyak
apa pun Randi mengucapkan kalimat itu, ia terus saja di"
serang oleh rasa takut yang tak dimengertinya.
Randi berwudhu. Shalat adalah satu-satunya cara
yang diketahuinya mampu meredakan ketakutan dan
204 kegelisah"an hati. Shalat adalah cara untuk menenangkan
jiwanya yang mendadak gundah. Hanya dengan shalat, ia
menyerahkan segalanya ke dalam tangan-Nya.
Dua rakaat ditunaikannya. Randi tersungkur di atas
sajadahnya. Doa-doa melantun dari bibirnya dalam bisik"
an yang begitu mengiris hati. Ia memohon petunjuk dan
jalan terang untuk langkahnya.
"Aku tidak ingin salah langkah ya, Allah. Dua jiwa
yang nanti akan ikut tersesat bersamaku jika aku salah
mengambil keputusan."
Randi terduduk setelahnya dengan wajah bersimbah
air mata. Perlahan, ia melepas tasbih yang ada dipergelang"
an tangannya. Dan, melantunkan kalimat-kalimat tasbih
dengan sepenuh hati. Randi percaya sepenuh hatinya.
Hati yang bertasbih tidak akan pernah kehilangan
arah. Hati yang bertasbih akan selalu berada dalam lindung"
an-Nya. Dan, ketika akhirnya Randi tertidur, satu keyakinan
muncul di dalam hatinya. Randi yakin seyakin-yakinnya
bahwa ia akan mampu menjadi imam bagi Yuna dan Alvero. Insya Allah.
*** 205 Yuna sempat terkejut melihat ekspresi Randi saat laki-laki
itu melihat anaknya. Yuna memang mengambil risiko ini.
Ia ingin Randi melihat dirinya secara keseluruhan sebelum mereka benar-benar meneruskan hubungan mereka
yang terlihat begitu rapuh. Ada banyak sekali pertentang"
an. Ada perbedaan yang nyaris tak mampu dibuatkan jembatan agar bisa diseberangi.
Dengan hati yang masih berdebar setelah melihat
reaksi Randi di rumah Edo tadi, Yuna tetap berboncengan
dengan Randi menuju ke Supermall seperti rencana se"
mula. Randi sengaja mengajak Alvero duduk di depannya.
"Boleh duduk di depan sini, Om?" tanya Alvero ragu
ketika Randi tetap memintanya duduk di depan.
"Kalau Al duduk di tengah, Al tidak bisa melihat pemandangan dengan bebas. Kalau di depan, Al bisa melihat apa pun yang kita lalui nanti. Tapi Alvero harus pakai
masker ya, biar debu tidak masuk dan mengotori paruparu Alvero," kesabaran Randi terlihat begitu luar biasa
saat menghadapi celoteh Alvero yang tak ada hentinya.
Mereka pun menembus keramaian jalan Kota Surabaya menuju Supermall di tengah teriknya sinar matahari
siang hari. Randi mengendarai sepeda motornya dengan
kecepatan sedang. Dan dalam hati, Yuna benar-benar
jatuh cinta saat Randi meladeni apa pun permintaan Alvero padanya.
206 Begitu juga saat mereka sudah berada di dalam Supermall dan sedang menunggu Alvero yang bermain di wahana permainan anak.
"Jangan memanjakannya, Randi! Aku tidak suka melihatmu memenuhi semua keinginan Alvero," sentak Yuna
dengan kesal ketika kali ini Randi memenuhi permintaan
Alvero untuk mencoba beberapa permainan sekaligus.
"Yuna, aku tidak setiap saat bisa bertemu Alvero kan"
Apa salahnya pertemuan ini kumanfaatkan sebaik mungkin" Kita tidak tahu seberapa kehilangannya Alvero akan
figur seorang ayah."
Hanya itu jawaban yang diberikan Randi pada Yuna.
Setelahnya, Randi sudah menyibukkan dirinya lagi dengan
bermain bersama Alvero. Melihat Randi yang seperti itu, separuh hati Yuna
terasa sakit. Mendadak ia ragu. Haruskah ia meneruskan
hubungan ini" Bukankah jika kita mencintai seseorang,
maka kita akan memberikan yang terbaik bagi orang yang
kita cintai itu" Yuna ingin memberikan yang terbaik bagi Randi. Ia
ingin Randi mendapatkan perempuan yang lebih baik
dari dirinya. Ia tidak ingin Randi harus seketika itu juga
dihadapkan pada kewajiban untuk memenuhi kebutuhan
hidup seorang anak laki-laki yang bukan darah dagingnya.
207 Yuna tidak mau. Ia sudah mengambil keputusan akan
melepaskan Randi sebelum laki-laki itu menyesali apa
yang sudah terjadi dalam hubungan mereka. Wajah Randi
yang terlihat shock dan pias tadi sudah memberikan bukti
pada Yuna bahwa laki-laki itu belum siap untuk seketika
itu juga menjadi seorang ayah dan harus dihadapkan pada
kewajiban seorang ayah pada anak laki-lakinya.
Mereka makan siang bertiga. Alvero yang sudah lebih
dahulu selesai makan, terpaksa disuruh bermain kembali
oleh Yuna. Ia ingin segera berbicara dengan Randi. Ia ingin
mengakhiri hubungan ini dan mengembalikan keadaan
seperti saat mereka hanya sebagai rekan kerja.
Yuna mengatakan niatnya dengan jelas dan tegas. Namun, ketegasan di wajah itu langsung kehilangan kekuat"
annya ketika Randi hanya menanggapi semua perkataan
Yuna itu dengan senyum yang begitu hangat dan penuh


Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasih. Astaga, melihat Randi yang begitu hangat serta perhatian dan sayang pada Alvero juga dirinya membuat Yuna
menjadi ragu untuk meninggalkan Randi.
"Aku tidak keberatan dengan kehadiran Alvero. Sama
sekali tidak Yuna. Kenapa kamu malah mengambil keputusan seperti itu?"
Mendengar jawaban Randi, hati Yuna membuncah
penuh kebahagiaan yang tak terkira. Randi jelas berbeda
jika dibandingkan dengan laki-laki tua yang ingin me208
nikahinya tetapi menolak kehadiran Alvero. Randi tidak
memberikan syarat apa pun, bahkan Randi dengan jelas
mengatakan pada Yuna kalau ia ingin membesarkan dan
menyayangi Alvero bersama-sama dengan Yuna.
"Kita akan menghabiskan waktu bersama-sama selama Alvero di sini, Yuna. Masih ada banyak tempat yang
ingin kutunjukkan pada Alvero. Aku ingin Alvero juga bisa
menerimaku sebagai pengganti papanya, sama seperti
aku yang menerima dirinya sebagai anakku. Seperti anak
kandungku, Yuna." Hampir satu setengah hari itu mereka habiskan de"
ngan bermain bersama Alvero. Randi tertawa tak ada habisnya melihat polah tingkah Alvero. Sama sekali tak ada
kesan bahwa Randi sedang bersandiwara. Randi terlihat
tulus dan bersungguh-sungguh bahwa ia benar-benar
bisa menerima Alvero. Sore datang terlalu cepat. Mereka pun harus segera
pulang. Alvero juga sudah terlihat lelah dan mengantuk.
Saat di tempat parkir, Randi tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menatap Yuna dalam-dalam.
"Ternyata aku tidak benar-benar jatuh cinta padamu,
Yuna," bisik Randi seraya menyerahkan Alvero yang tertidur di dalam gendongan tangan laki-laki itu ke dalam
pelukan Yuna. Bisikan Randi bagai petir di siang bolong yang membuat jantung Yuna berhenti berdetak selama beberapa
209 saat. Yuna sama sekali tak menyangka kalau Randi bisa
tega sekali mengucapkan kalimat seperti itu padanya, se"
telah begitu banyak kebahagiaan yang diberikan Randi selama setengah hari itu.
Belum sempat Yuna membuka mulutnya untuk meng"
ungkapkan kekecewaannya, Randi melanjutkan kata-katanya, "Aku jatuh cinta pada anakmu. Dan untuk memiliki
anak itu, jelas aku harus memilikimu juga."
Seketika itu juga, Yuna kehilangan kata-kata.
210 BAB 12 Jiwa yang Ingin Melepaskan Hubungan Yuna dan Randi seolah-olah nyaris berjalan
sempurna seandainya mereka berdua tidak memikirkan
banyak masalah yang terus menggeliat di sekeliling me"
reka. Berkat dukungan Edo, sepertinya kedua orangtua Yuna
menyerah untuk sementara. Mereka tidak lagi meributkan masalah perjodohan ataupun pernikahan Yuna de"
ngan Om Hidayat. Di tempat kerja pun, gosip-gosip miring
yang membahas masalah Yuna dan Randi mulai menguap
perlahan. Sepertinya orang-orang mulai bosan membahas
perkara yang itu-itu saja setiap harinya. Orang-orang itu
pun mulai sibuk mencari gosip baru yang lebih menarik
untuk diperbincangkan. Semua terlihat begitu sempurna!
Namun, ternyata kesempurnaan itu mendadak semu
ketika Yuna kembali bergulat dengan hatinya sendiri. Gejolak batinnya begitu riuh hingga Yuna sendiri kebingung"
an menghadapi hatinya yang bagai diterpa badai bertubitubi.
Alunan tasbih terus menari dalam hatinya. Untaian
ayat-ayat suci itu seolah tak pernah berhenti. Terus meng"
alun yang membuat Yuna tidak hanya sekadar ingin meng"
ucapkan kalimat-kalimat suci itu, tetapi juga ingin mene"
rapkannya di dalam kehidupannya sehari-hari.
Ada banyak pengetahuan tentang agama Islam yang
diketahui Yuna. Keinginan untuk bisa shalat sendiri pun
mulai muncul. Bagaimana caranya shalat" Di mana ia bisa
shalat" Sementara di rumahnya, jelas orang rumah akan
merasa aneh jika melihat Yuna menjalankan ibadah shalat.
Yuna mulai fasih dalam mengucapkan salam, mengucapkan istighfar, atau bersyukur dengan Alhamdulillah.
Namun, hati Yuna masih belum tenang. Ia ingin lebih dan
lebih lagi. Ia selalu merasa apa yang diketahuinya, apa
yang dipelajarinya, dan apa yang bergejolak di dalam dirinya belum lengkap jika ia belum menggenggam Islam
yang sesungguhnya. Ia ingin menjadi mualaf. Keinginan hati yang semakin
lama semakin kuat dan menuntut untuk ditunaikan. Hal
212 inilah yang terus menjadi pembicaraan antara Yuna dan
Randi. Seperti hari ini, ketika Randi mengajak Yuna bertemu seusia jam kerja. Lagi-lagi pembahasan yang sama
terulang. "Aku ingin menjadi mualaf, Ran."
Keinginan yang sama, yang selalu berulang-ulang diucapkan Yuna bagai rintihan hati yang begitu sulit untuk
terkabul. Keinginan untuk menjadi mualaf itu bagai se"
suatu yang tak tergapai mengingat kondisi keluarga Yuna
yang masih panas akibat Yuna yang menolak dijodohkan.
Tidak mungkin dalam kondisi dan suasana keluarganya
yang seperti itu, Yuna malah berulah dengan menjadi
mualaf. Yuna yakin, jika ia nekat melakukan hal itu, pasti
akan terjadi keributan besar di dalam keluarganya.
"Tapi...," lanjut Randi sambil tersenyum.
"Kok tapi sih?" protes Yuna kesal.
"Selalu ada tapi di setiap kalimatmu yang menggantung itu, Yuna. Aku sudah hafal dengan keinginan yang
sama yang selalu kamu ucapkan kepadaku," jawab Randi,
"Jika memang kamu ingin menjadi mualaf, maka jadilah.
Aku yakin, Allah pasti akan membimbingmu dan menunjukkan jalannya padamu."
"Aku tidak bisa. Ini belum saatnya. Aku tidak akan
sanggup menanggung apa yang sudah ditanggung oleh
para mualaf lainnya itu."
213 "Para mualaf lainnya" Maksudmu?" Randi menger"
nyitkan dahinya kebingungan. Ia menatap Yuna dalamdalam.
"Iya, para mualaf yang sudah lebih dahulu memenuhi
panggilan-Nya itu banyak menuliskan kisahnya di Internet, di blog, atau di buku-buku kisah para mualaf. Sepertinya, apa yang mereka hadapi setelah mereka menjadi
seorang mualaf itu sangat menakutkan dan menyakitkan
hati. Aku tidak sanggup mengalami semua itu sendirian,"
keluh Yuna. "Membayangkan akan mengalami penolak"
an dan diasingkan dari keluarga saja membuatku begitu
ketakutan sampai aku tidak bisa tidur setelah membaca
kisah mereka itu. Aku tidak bisa seandainya aku diharuskan menjalani kehidupan ini seorang diri tanpa ada yang
mengakuiku sebagai anak. Aku pasti tidak akan sanggup,
Randi. Belum lagi masalah Alvero. Bagaimana dengan Alvero jika kelak aku menjadi mualaf?"
Yuna menangkupkan kedua telapak tangannya menutupi wajahnya. Kesedihan Yuna begitu nyata. Kesedihan
Yuna itu jelas membuat Randi juga ikut merasa sedih.
"Yun, seandainya saja kamu menjadi mualaf, dan aku
memberikan dukung sepenuh hatiku, apakah kamu akan
menerimanya?" tanya Randi tiba-tiba.
"Maksudmu?" Yuna menatap Randi yang mendadak
terlihat begitu gugup. "Apa maksudmu, Randi" Jangan coba-coba bermain teka-teki denganku pada saat aku kebi"
214 ngungan seperti ini," lanjut Yuna lagi dengan tatapan mata
yang begitu galak. "Menikahlah denganku, Yuna. Insya Allah, semua badai mampu kutanggung untukmu. Ada Allah yang akan
selalu mengulurkan tangannya bagi kita berdua. Percaya
saja, selama ini itulah yang kuyakini. Dan aku akan tetap
meyakini bahwa Allah tetap akan menjaga dan melindungi
kita berdua." Yuna menganga. Ia tidak menyangka Randi malah
melamarnya dalam situasi seperti ini. Jika dipikirkan lagi,
mungkin apa yang ditawarkan Randi benar-benar masuk
di akal dan bisa dinalar dengan logika. Dengan sebuah
pernikahan, maka Yuna bisa menjadi mualaf dengan te"
nang dan bisa menjalankan kewajibannya sebagai seorang
muslimah yaitu shalat, zikir, dan mengaji.
Hati kecil Yuna sempat tergelitik dengan tawaran itu.
Ia bahagia mendengar Randi melamarnya meski tidak de"
ngan cara yang romantis seperti di film-film atau de"ngan
sebuah cincin sebagai tanda cinta. Randi melamarnya
dengan nama Allah dan keyakinannya bahwa Allah akan
menjaga dan melindungi mereka.
Siapa laki-laki yang berani menghadang badai ketika
melamar perempuannya"
Yuna rasa, ada banyak laki-laki yang akan mengatakan
bahwa ia akan bersama-sama dengan kekasihnya meng"
hadapi segala permasalahan dan tantangan kehidupan.
215 Namun, tidak dengan Randi. Jelas-jelas Randi mengatakan
bahwa ia akan sanggup menghadapi badai apa pun yang
datang dan menerjang mereka. Randi menyediakan diri"
nya untuk melindungi Yuna. Dan, pernyataan itu jauh le"
bih berharga dari sebuah cincin emas yang bertakhtakan
berlian. Apakah pantas ia menjadi seorang mualaf hanya ka"
rena Randi hendak menikahinya"
Separuh hati Yuna yang lain tiba-tiba berbisik. Jika ia
menikah dan akhirnya menjadi mualaf, pasti ada banyak
orang yang menduga-duga bahwa Yuna akhirnya menjadi
mualaf hanya karena ingin dinikahi Randi. Padahal, Randi
sama sekali tak pernah memaksa Yuna untuk berpindah
keyakinan. Tidak ada satu kalimat pun yang terucap dari
Randi yang menyarankan agar Yuna masuk Islam. Yang
ada hanyalah berbagai penjelasan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Yuna sendiri. Atau kadang kala, Randi
hanya mengungkapkan kebenaran berdasarkan Islam untuk menyikapi setiap permasalahan yang terjadi di dalam
kehidupan. Hanya itu. Berkali-kali dan berulang-ulang Yuna memikirkan
kembali lamaran Randi itu. Tetap saja pada akhirnya Yuna
tetap tidak bisa memutuskan. Memang, jika dilihat kembali, seandainya Yuna menikah dengan Randi dan ia menjadi
seorang mualaf, maka berbagai pertentangan ataupun penolakan yang terjadi dari pihak keluarga Yuna, tidak lagi
216 menjadi masalah. Yuna tidak akan sendirian. Ada Randi
yang akan menemaninya dan menjaganya. Ada Randi yang
akan menopangnya dan menguatkannya.
Menikah dan menjadi mualaf atau menjadi mualaf atau
menikah, memang terdengar begitu klise. Lalu bagaimana
cara terbaik agar tidak menjadi klise layaknya sinetron
picisan" "Sudahlah! Jangan terlalu dipikirkan. Kita serahkan
semuanya pada Allah ya, Yuna. Biarkan Allah menuntun
kita," bisik Randi seraya menggenggam tangan Yuna yang
mendadak begitu dingin. Yuna hanya menganggukkan kepalanya.
Kelihatannya sangat mudah. Solusi yang terlihat begitu
indah. Namun, tetap saja, Yuna tidak mampu mengambil
keputusan sebesar itu di dalam hidupnya. Ada anak yang
harus dijaga perasaannya. Ada orangtua yang memiliki
penyakit jantung, sehingga jika ia menuruti hatinya, Yuna
bisa saja menjadi pembunuh secara tak langsung bagi papanya.
Sebenarnya, Randi mengajak Yuna bertemu hari ini
karena ingin mengabarkan berita bahagia yang baru saja
didapatkannya dari supervisornya. Melihat suasana hati
Yuna yang begitu buruk, Randi sempat ragu untuk me"
ngatakan kabar itu. Namun, ia harus mengatakannya.
Randi ingin Yuna ikut merasakan kebahagiaan yang dira217 sakannya. Dan, Randi juga ingin Yuna berjanji padanya untuk menunggu.
"Yun, aku akan dikirim ke Jakarta untuk mengikuti
pelatihan tingkat advance selama tiga bulan. Aku terpilih
bersama tiga orang lainnya untuk mewakili para teknisi.
Aku sama sekali tak menyangka sebenarnya bakal terpilih. Ini mungkin hadiah dari Allah untuk mempersiapkan
masa depan kita ya, Yun."
Randi berbicara sambil menundukkan kepalanya ka"
rena debar di dadanya yang begitu membahana. Ia sama
sekali tak menyadari raut wajah Yuna yang berubah-ubah
antara senang, sedih, dan termenung. Namun, akhirnya
Yuna mampu mengeluarkan suaranya untuk menanggapi
cerita Randi itu. "Alhamdulillah. Berarti Allah sayang padamu. Kapan
berangkatnya?" tanya Yuna.
"Lusa, Yuna. Kamu tidak apa-apa kutinggal untuk sementara waktu?" Ada kecemasan yang terlihat begitu nyata di wajah Randi.
Tanpa sadar, tangan Yuna terulur untuk menyentuh
pipi Randi, seolah ia ingin menghapus kecemasan laki-laki
itu. "Aku akan baik-baik saja. Kamu berangkat aja dan cepat pulang setelahnya."
Randi mengira kalimat yang diucapkan Yuna itu adalah cara halus Yuna menyampaikan bahwa perempuan
218 itu akan menunggunya kembali. Randi salah besar. Begitu
Randi berangkat ke Jakarta, Yuna bagai kehilangan kendali atas dirinya. Ia tidak mampu memutuskan apa pun.
Ia seolah kehilangan pegangan. Di titik ini, Yuna mulai menyadari betapa ia begitu bergantung pada Randi. Yuna bagai orang gila yang menunggu kedatangan Randi, padahal
baru dua hari Randi meninggalkannya di sini.
Yuna tidak tahan dengan perasaannya yang begitu kacau. Ia ketakutan jika kenyataan yang harus dihadapinya
adalah kehilangan Randi untuk selamanya di saat ia menyadari bahwa ia benar-benar tak bisa melepaskan Randi.
Untuk itulah Yuna memilih pergi, menghilang, dan tidak
lagi berharap terlalu banyak pada impian yang kelihatannya sangat mustahil. Ia tidak ingin merasa sakit hati lagi.
Ia harus mempersiapkan dirinya untuk kemungkinan
yang terburuk, yaitu tidak akan pernah bisa meneruskan
hubungannya dengan Randi selamanya.
Allah mungkin memiliki kehendak-Nya sendiri. Namun, bolehkan ia berusaha menyelamatkan hatinya terlebih dahulu"
*** "Aku pamit, Ko. Aku tidak ingin lagi bekerja di tempat ini."
Siang itu, Yuna sengaja berkunjung ke toko satunya
yang berada di daerah Kembang Jepun. Sebelum kedatang"
219 annya, Yuna memang sengaja mengirimkan pesan pada
kakak sepupunya itu dengan alasan ada hal penting yang
ingin dibicarakannya. "Loh, kenapa, Yun" Bukannya kondisi toko saat ini
sudah jauh lebih baik dibandingkan dulu?" tanya Pak Indra dengan wajah yang dipenuhi dengan keheranan, "Aku
sudah sangat jarang mendengar laporan adanya pertengkaran yang terjadi di toko Darmo itu. Aku malah sempat
senang melihat kondisi kalian yang tidak lagi meributkan
hal-hal kecil dan sepele," lanjut Pak Indra dengan nada
yang semakin penasaran. "Karena tidak ada pertengkaran itulah aku mulai
merasa bosan," sahut Yuna asal sambil tertawa.
"Yuna! Bicara yang serius. Pasti ada masalah yang terjadi, kan?" desak Pak Indra, "Atau... atau kamu mau menikah" Dengan siapa jadinya, Randi atau Om Hidayat?"
Yuna menggelengkan kepalanya. Tawa tak bisa dihentikannya saat melihat kakak sepupunya itu begitu
penasaran menuntut jawaban darinya. "Aku tidak hendak menikah, Ko. Dan tidak juga memilih keduanya. Aku
hanya ingin istirahat dan untuk sementara membantu Edo
meng"asuh anaknya di rumah."
"Hah" Gila! Kamu mau menyia-siakan kepandaianmu
itu hanya untuk jadi pengasuh anak kecil?" teriak Pak Indra nyaring.
220 "Astaga, Koko! Siapa yang jadi pengasuh" Lagian Milia
kan keponakanku, masa menjaga Milia dibilang jadi peng"
asuh sih?" protes Yuna sambil mencebikkan bibirnya.


Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kadang kala, Pak Indra memang sering bersikap terlalu
kekanak-kanakan dalam menghadapi suatu keadaan.
Dan, perdebatan yang berputar-putar itu akhirnya selesai setelah Yuna menyetujui jika ia sudah bosan tinggal
di rumah, ia akan kembali bekerja di toko itu untuk membantu kakaknya mengembangkan toko menjadi semakin
besar. Yuna sedikit tersanjung dengan permintaan kakaknya
itu. Berarti kemampuan Yuna sebagai marketing lapangan
diakui dan memang berguna untuk toko itu. Itu saja sudah cukup membuat Yuna mengucap syukur karena kemampuan yang dimilikinya tidak sia-sia dan berguna bagi
orang lain. Sore harinya, Yuna langsung berpamitan dengan teman-teman kerjanya di toko alat tulis. Kehebohan terjadi.
Puluhan pertanyaan terlontar, tetapi Yuna sudah tidak
ingin memberikan keterangan apa pun pada mereka. Ia
hanya ingin menenangkan diri untuk saat ini.
Inilah keputusan yang akhirnya dengan berat hati
diambil Yuna. Ia tidak tahu, berapa lama tabungan yang
selama ini dikumpulkannya akan cukup untuk menopang
hidupnya, termasuk mengirimkan uang untuk kebutuhan
221 Alvero. Namun Yuna yakin, jika ia bisa menemukan solusi
untuk masalah yang dihadapinya, maka setelahnya akan
lebih mudah bagi Yuna untuk merancang masa depannya.
Hari itu menjadi hari terakhir Yuna bekerja di toko
itu. Toko yang telah mempertemukannya dengan seorang
Randi yang begitu dicintainya, tetapi yang juga harus
segera ditinggalkannya. 222 BAB 13 Aku Menunggumu! Dipilihnya Randi untuk mengikuti pelatihan tingkat advance di Jakarta merupakan reward dari kantornya atas
prestasi kerjanya sebagai teknisi komputer dan laptop di
kantornya itu. Hari demi hari yang dilalui Randi terasa begitu berat
karena ia tak bisa bertemu dengan Yuna. Selain itu, sejak
keberangkatannya ke Jakarta, Yuna nyaris tak bisa dihubungi lagi. Randi hanya memiliki sedikit waktu untuk
menelepon. Jadwal yang diikutinya sangat padat sejak jam
enam pagi hingga jam sepuluh malam. Belum lagi acaraacara hiburan yang disediakan oleh perusahaan itu dan
wajib dihadiri, membuat Randi benar-benar kehilangan
kontak dengan Yuna. Akhirnya, masa pelatihan Randi di Jakarta selesai.
Begitu pesawatnya tiba di Juanda, Surabaya, yang ada
dipikiran Randi adalah segera bertemu dengan Yuna. Untuk itulah ia melarikan motornya dengan segera ke toko
alat tulis, tempat Yuna bekerja. Randi baru saja memarkir
motornya di depan toko ketika Sri keluar dari toko hendak
membuang sampah. Sri terkejut melihat Randi, seolaholah Randi adalah orang yang hilang dan kini baru kembali lagi.
"Loh, Ran, ke mana aja" Lama nggak kelihatan," seru Sri.
Perempuan hitam manis itu menghampiri Randi, meng"
ulurkan tangannya mengajak Randi berjabat tangan.
"Aku dikirim untuk ikut pelatihan di Jakarta, Mbak Sri.
Makanya baru hari ini bisa berkunjung ke sini lagi."
"Oalah, tambah sukses dong berarti?" goda Sri lagi.
Setelah bercakap-cakap sebentar, Sri kemudian berpamitan masuk ke dalam toko karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Randi pun menghabiskan waktunya dengan bercakap-cakap bersama Firman
atau siapa saja yang kebetulan tidak sibuk. Jam lima
pun datang tanpa terasa. Semua pekerja di toko itu mulai bersiap-siap untuk tutup toko dan pulang. Randi pun
kebingungan. Sosok Yuna sama sekali tak kelihatan batang hidungnya. Biasanya, sekitar jam empat, Yuna sudah
kembali ke toko itu setelah seharian penuh berkeliling ke
pelanggan-pelanggannya. 224 Mendadak Randi merasakan ketakutan yang sangat
hebat saat melihat rolling door toko mulai ditutup sedang"
kan Yuna belum juga datang. Randi menghampiri Yuli yang
berdiri tidak seberapa jauh dari tempatnya berdiri.
"Kok sudah tutup toko, Yul" Bukannya harus nunggu
Yuna dulu?" tanya Randi berusaha bersikap wajar. Ia terlihat seperti orang yang hanya menanyakan di mana tempat membuang kertas bekas.
Yuli menatapnya dengan wajah keheranan, sebelum
akhirnya menjawab pertanyaan Randi, "Memangnya kamu
tidak tahu kalau Yuna sudah berhenti bekerja di toko ini?"
Yuli malah balik bertanya pada Randi.
"Ber... berhenti kerja?" Kegugupan seketika itu juga
menyerang Randi, "Sejak kapan Yuna berhenti kerja?" ta"
nya Randi lagi. "Sudah tiga bulan yang lalu. Hampir berbarengan de"
ngan kamu yang juga menghilang dari tempat kerjamu.
Kami mengira kamu dan Yuna memutuskan kawin lari
hingga tidak ada satu orang pun yang bisa menemukan
kalian," sahut Yuli.
Randi merasakan dunia di sekelilingnya mendadak
berputar dengan cepat. Kedua kakinya limbung dan ia
nyaris jatuh karena kaki-kakinya bagai tak kuat lagi menahan berat tubuhnya.
Sudah tiga bulan" 225 Berarti Yuna berhenti kerja tidak lama setelah Randi
berangkat ke Jakarta. Kenyataan itu membuat kekecewaan yang sangat besar melanda hatinya. Ia sama sekali
tak menduga Yuna akan meninggalkannya dengan cara
seperti ini. Pantas saja selama di Jakarta, setiap Randi
mencoba menelepon Yuna, selalu saja nomor telepon itu
mati dan tidak bisa dihubungi.
"Kamu tidak apa-apa, Ran?" Sri yang sudah berdiri di
sampingnya terlihat prihatin melihat ke arah Randi.
"Aku tidak apa-apa, Mbak Sri. Mungkin sebaiknya aku
langsung ke rumah Yuna saja."
Kenyataannya, Randi tidak berani membawa dirinya
langsung ke rumah Yuna malam itu. Mendadak ia diliputi
perasaan takut kalau-kalau apa yang nanti diucapkan Yuna
malah membuat dirinya lebih merasa sakit hati lagi.
Apakah Yuna akhirnya memutuskan untuk menikah
dengan laki-laki yang dijodohkan dengannya itu" Ataukah
ada masalah lain yang tiba-tiba terjadi tanpa sepengetahuan Randi"
Malam itu, kegundahan hatinya hanya mampu dicurahkan Randi di atas sajadahnya. Ia masih tidak percaya
jika Yuna akhirnya memutuskan meninggalkan dirinya
hanya untuk mendapatkan kehidupan yang berkelimpah"
an. Randi percaya pada Yuna bahwa Yuna pasti memiliki
pertimbangan lain jika akhirnya ia mengambil keputusan
ini. 226 Namun, bagaimana dengan dirinya"
Apakah ia akan rela melepaskan Yuna begitu saja se"
telah apa yang mereka lalui bersama"
Bagaimana dengan gambaran wajah Yuna yang mena"
ngis di tangga waktu itu bisa sama persis dengan gambar"
an wajah Yuna yang ditunjukkan di dalam zikir panjangnya"
Ya Allah. Hanya kepada-Mu aku bersandar. Hanya kepada-Mu aku memohon. Peliharalah aku. Sayangilah aku.
Aku tidak akan sanggup menanggungnya sendirian, ya
Allah". Randi menggumamkan doanya berkali-kali sepanjang
malam itu. Sedetik pun Randi tak mampu memejamkan
matanya. Hingga ketika dikejauhan terdengar adzan Su"
buh, hati Randi berdebar begitu keras.
Ia tidak ingin kehilangan Yuna.
Walaupun awalnya ia sempat kecewa karena Yuna
memilih menghilang darinya, Randi tidak akan pernah
menyerah begitu saja. Randi ingat ia dulu pernah berjanji
pada Yuna bahwa ia tidak akan pernah melepaskan genggaman tangannya dari tangan Yuna, sampai kapan pun. Ia
juga ingat bahwa dulu ia pernah berjanji akan menantang
badai hanya untuk melindungi Yuna.
Randi bangkit dan langsung mengambil wudhu. Ia
menunaikan shalat Subuhnya. Setelah itu, Randi bergegas mandi dan berganti pakaian. Ia harus mencari Yuna
227 pagi ini. Ia ingin bertemu Yuna. Apa pun yang terjadi, dan
bagaimana nanti pada akhirnya, ia hanya ingin Yuna yang
mengatakannya sendiri pada Randi.
Randi tidak akan menyerah, bahkan sampai Yuna
mengusirnya menjauh. Randi yakin bahwa pertemuannya
dengan Yuna bukan terjadi begitu saja. Allah memiliki rencana yang indah untuk menyatukan dua hati yang selalu
bertasbih. Ada proses di dalam kehidupan yang harus dijalani manusia hingga benar-benar menjadi manusia yang
sesuai dengan kehendak-Nya.
Dari Siwalan Kerto menuju Sidoarjo hanya ditempuh
Randi tidak lebih dari 15 menit. Ia mengarahkan sepeda
motornya ke perumahan Griya Permata itu dengan dada
yang berdebar hebat. Randi melihat Yuna. Perempuan itu sedang bermain dengan seorang anak
perempuan kecil di taman yang ada di bagian depan perumahan itu. Anak perempuan itu pastilah Milia, keponak"an
Yuna. Randi terus menatap Yuna sambil mematikan dan
memarkir sepeda motornya di pinggir jalan. Randi turun
dari sepeda motor dan berjalan perlahan menghampiri
Yuna. Tubuh Yuna terlihat begitu kurus. Mungkin selama tiga
bulan ini Yuna sudah menghabiskan harinya hanya dengan
berpikir dan terus berpikir hingga bobot tubuhnya menu228 run drastis. Sekilas, Randi melayangkan pandangannya ke
arah tangan kiri Yuna. Tidak ada cincin yang melingkar di jari manis tangan
itu. Begitu pula di tangan kanannya, saat Randi mengalihkan tatapannya ke jemari kanan Yuna.
Melihat itu hati Randi berbunga-bunga. Ia masih
memiliki harapan. Yuna belum mengambil keputusan apa
pun. Ia masih bisa menahan Yuna dan membuat perempuan yang sudah diberikan Allah itu benar-benar menjadi
miliknya. Yuna terlihat sedang menengadahkan kepalanya ke
langit. Tangannya mencoba menangkap bola yang terus di
lambungkan Milia ke udara. Sesekali celoteh dan tawa terdengar memenuhi sudut-sudut taman. Tawa Milia. Tawa
Yuna. Yuna menangkap bola itu. Saat itulah tatapan mata
Randi tepat bertemu dengan sinar terkejut yang menyorot
dari kedua mata Yuna yang terlihat sayu.
"Randi...." Yuna melepaskan bola dari tangannya begitu saja
hingga bola itu jatuh di dekat kakinya. Kedua tangannya
terangkat menutup mulutnya yang ternganga. Milia menatap Yuna dengan pandangan mata yang keheranan sambil
menarik-narik celana Yuna.
"Tante Yuna kenapa?" tanya gadis kecil itu
229 Yuna sama sekali tak menjawab Milia. Dalam satu
gerakan cepat, Yuna menggendong keponakannya itu dan
hendak berlari dari hadapan Randi.
Dalam satu tarikan napas, Randi mengucapkan kalimat yang sedari tadi memenuhi benak dan pikirannya.
"Aku akan menunggu. Berapa lama pun waktu yang
kamu butuhkan untuk meyakinkan hatimu, aku akan
menunggumu, dan kamu tahu ke mana kamu harus mencariku."
Randi meninggalkan Yuna yang terdiam di taman.
230 Epilog Yuna tak memiliki pilihan lain. Hatinya merana ketika ia
merasa kehilangan separuh jiwanya. Hatinya kembali kosong begitu tahu harapan yang dirangkainya mendadak
menjadi semu. Hanya tasbih yang diberikan Randi untuknyalah yang mampu membuat Yuna menguntai nadanada indah dalam isak tangis yang tak ada habisnya.
"Aku merindukanmu, Randi. Sangat merindukanmu."
Gumamnya itu terucap berkali-kali dari mulut Yuna.
Air mata berderai bagai hujan deras yang tak pernah berhenti. Ketika ia melihat Randi di taman tadi, ingin rasanya
ia langsung menghambur ke dalam pelukan Randi dan
membisikkan betapa ia sangat merindukan laki-laki itu.
Namun, kakinya mendadak kaku. Ia hanya bisa terdiam ketika mendengar rangkaian kalimat yang terucap
dari mulut Randi. Ingin sekali rasanya ia berteriak marah
pada Randi saat melihat punggung tegap laki-laki itu berjalan menjauhinya. Ingin rasanya Yuna meneriakkan nama
Randi sekeras mungkin agar laki-laki itu kembali padanya
dan tidak meninggalkannya.
Ia menginginkan Randi. Hatinya yang bertasbih seolah sudah meyakinkan dirinya bahwa Randi adalah laki-laki yang dipilih Allah untuknya. Namun, Yuna masih begitu takut akan masa depan
yang sama sekali tak bisa dirabanya.
"Ya Allah, jika ia jodohku, buatlah ia kembali padaku."
Doa itu dibisikkan Yuna dengan isak yang semakin
menyesakkan. Doa yang sebenarnya sudah diketahui
jawabannya. Randi tidak memaksanya untuk memilih laki-laki itu. Randi sama sekali tidak mengatakan satu kata
paksaan yang mengharuskannya menerima cinta laki-laki
itu. Randi membiarkannya memutuskan sendiri pilihan
hatinya. Randi hanya memberikannya satu kalimat.
Laki-laki itu akan menunggunya.
Laki-laki itu akan menunggu sampai Yuna benar-benar yakin pada pilihan hatinya sendiri.
Malam itu, Yuna bermimpi melihat sebuah jembatan
yang penuh dengan renda-renda berwarna putih. Jembatan itu tidak terlihat seperti pada umumnya. Jembatan
232 itu terdiri dari biji-biji tasbih yang diikat menjadi satu.
Hanya ada satu pegangan di sana. Dengan dada berdebar hebat, Yuna mencoba menginjakkan kakinya yang
gemetar ke biji-biji di jembatan itu. Satu per satu. Perlahan-lahan. Embusan angin membuat jembatan bergoyang
hebat, nyaris membuat Yuna terjatuh ke jurang gelap yang
berada di bawah jembatan itu.
Di ujung jembatan, Randi menunggunya dengan untai"
an tasbih yang tak sedetik pun terlepas di tangannya.
Yuna terbangun di pertengahan malam.
Yuna menggigil dan jatuh tersungkur dalam posisi
bersujud. Ya Allah, aku memilih laki-laki itu untuk menjadi imamku.
THE END 233 Anda Ingin Jadi Penulis"
Kirimkan Naskah Anda ke Redaksi Bhuana Ilmu Populer
melalui email: redaksi.bip.gramedia@gmail.com,
dengan subjek PN. Atau ke alamat Gedung Kompas Gramedia Jl. Kerajinan no. 3-7, Jakarta 11140
dengan kode PN di pojok kiri atas
amplop Fiksi/Novel ISBN 10: 602-249-277-7 ISBN 13: 978-602-249-277-1
Frankenstein 2 Wiro Sableng 034 Munculnya Sinto Gendeng Sayap Sayap Terkembang 27

Cari Blog Ini