Ceritasilat Novel Online

Hati Yang Bertasbih 2

Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia Bagian 2


pesanan pelanggannya. Kerjanya yang rapi membuat ba"
nyak pelanggan senang atas pelayanan Randi, sehingga
di kemudian hari, ketika mereka membutuhkan seorang
teknisi untuk memperbaiki komputer atau laptop mereka,
maka mereka akan langsung menyebutkan nama Randi
dan meminta pelayanan khusus dari Randi.
Randi melihat amplop yang ada di tangannya. Ia sudah
menolak berkali-kali pemberian uang dari pelanggan. Memang tidak ada larangan dari kantornya untuk menerima
tip dari pelanggan di luar biaya perbaikan yang harus dilakukannya. Namun, tetap saja ia merasa tak nyaman.
"Ran, rezeki itu tidak boleh ditolak. Kamu tidak me"
minta uang ini. Kamu juga tidak memaksa kami untuk
memberikan bonus padamu. Ini atas kerelaan hati kami,
jadi sebaiknya jangan selalu menolak seperti itu."
Kata-kata Pak Wijaya tadi kembali terngiang di telinga
Randi. Pak Wijaya adalah salah satu pelanggan tetap di
tempatnya bekerja yang selalu minta dilayani Randi. Pak
Wijaya tidak pernah mau menggunakan jasa teknisi lain.
Jika kebetulan Randi sedang sibuk, Pak Wijaya biasanya
bersedia menunggu hingga Randi meluangkan waktu untuk memperbaiki komputer atau laptopnya.
Randi memang memercayai bahwa rezeki itu Allah
yang mengatur. Ia juga percaya, Allah selalu memberikan
yang terbaik bagi setiap umat yang bersandar pada-Nya.
Randi tidak akan pernah mengalami rasanya kekurangan
selama ia yakin dan percaya bahwa Allah selalu menjaga
dan memeliharanya. Sekali lagi ia memandangi amplop putih yang ada di
tangannya. Ia menarik napas panjang dan mulai melangkahkan kaki ke sepeda motor yang terparkir di halaman
rumah besar itu sambil membisikkan, "Alhamdulillah."
Randi menjalankan sepeda motornya dengan kecepat"
an sedang keluar dari perumahan Graha Family. Begitu
ia melintas di jalan Darmo Permai, matanya tak sengaja
melihat satu sosok perempuan yang begitu dikenalnya.
Perempuan itu sedang berdiri di sebelah sepeda motornya, sedang melepas helm yang dikenakannya dan
membiarkan rambut panjangnya tersibak angin. Randi
memperlambat laju sepeda motornya. Perempuan itu kini
berjongkok di sisi sepeda motornya, membelakangi Randi.
Tangan perempuan itu terulur ke bagian dalam roda belakang sepeda motornya. Randi pun langsung meminggirkan sepeda motornya dan berhenti persis di depan sepeda
motor perempuan itu. Perempuan itu sepertinya tidak menyadari keha"
diran Randi sama sekali. Sambil menunduk, ia berusaha
memasang kembali rantai sepeda motor yang sepertinya
putus. Tangan perempuan itu sudah kotor. Penuh warna
hitam akibat minyak yang ada di rantai sepeda motornya.
"Kenapa sepeda motornya?" tanya Randi akhirnya
sambil berjongkok persis di sebelah perempuan itu.
Perempuan itu mengangkat kepalanya. Tangannya
tanpa sadar menyibak rambut panjangnya dan meninggalkan segaris hitam di pipinya yang putih. Ia membelalakkan matanya menatap ke arah Randi. Setelah berhasil
menguasai keterkejutannya, perempuan itu tersenyum.
"Hai, Ran. Rantainya putus nih. Masih coba dipasang
ala kadarnya. Ntar mau kubawa ke bengkel yang ada di depan sana," sahut perempuan itu sambil tertawa dan mulai
menundukkan kepalanya lagi, berusaha memasang rantai.
"Hebat kamu, Yun. Ternyata bakat jadi montir juga ya,"
sela Randi sambil tertawa. "Jadi... tidak butuh bantuan,
kan?" lanjut Randi lagi menggoda Yuna.
Yuna kembali menghentikan gerak tangannya dan
mengangkat kepalanya menatap Randi. "Kamu mau membantuku?" tanyanya dengan mata yang mengerjap dan
menciptakan kerlip yang begitu indah. Bibir Yuna terse84
nyum. Sayangnya, meski mata itu bekerlip indah, ada ke"
sepian dan luka yang tersimpan di mata itu. Randi tiba-tiba
merasakan hatinya teriris. Bagaimana bisa perempuan itu
membuat matanya seolah-olah ikut tersenyum sementara
mata itu sendiri berlumur luka"
Randi memercayai bahwa mata adalah jendela hati
seseorang. Mata adalah cerminan hati pemiliknya. Ketika
hati orang itu bahagia, maka matanya akan terlihat begitu
bersinar membiaskan kebahagiaan itu sendiri. Namun,
ketika hati si pemilik mata sedang bersedih, maka mata
itu terlihat begitu sedih. Walau orang itu berusaha sekuat
tenaga untuk menutupi kesedihannya, tetap saja, mata
tidak akan pernah bisa membohongi hati.
Yuna ternyata bisa membuat matanya bekerlip indah. Yuna bisa membuat mata itu seolah-olah tersenyum.
Orang biasa mungkin bisa ditipunya. Para pelanggannya
mungkin bisa diperdaya mata itu. Tetapi tidak dengan
Randi. Ia terbiasa mengamati mata seseorang yang sedang
memandang ke arah dirinya. Randi terbiasa memperhatikan suasana hati seseorang melalui matanya. Sepertinya,
Yuna sudah terlatih bersandiwara layaknya orang yang
bahagia dan tanpa masalah. Saking seringnya ia melakukannya, binar di matanya yang sedetik tadi terlihat nyata.
Orang lain yang melihat ke wajahnya pasti percaya bahwa
suasana hati perempuan itu seriang pembawaannya.
Astaga! Perempuan ini menakutkan!
Kebanyakan perempuan akan memasang wajah yang
mengiba dan minta dikasihani setiap mereka tertimpa
masalah. Atau, paling tidak, wajah perempuan itu akan
terlihat begitu menyedihkan sampai-sampai terlihat hidup
segan mati tak mau. Dan, semua penggambaran wajah itu
sama sekali tak ditemukan Randi di wajah Yuna. Hanya
perempuan-perempuan berhati sekeras batu sajalah yang
sanggup melakukan itu semua. Dan sepertinya, hati Yuna
benar-benar terbuat dari batu hingga ia bisa membuat
matanya bercahaya sementara hatinya hancur lebur.
Namun, kenapa hati Yuna hancur lebur" Kenapa luka
bisa bersemayam dalam hati Yuna"
Randi benar-benar tak mampu berkata-kata. Ia terlarut dalam ribuan pertanyaan yang terus berkelebatan
dalam kepalanya. Puluhan bahkan ribuan kata "kenapa"
itu membuat Randi benar-benar ingin tahu.
"Randi...?" Suara Yuna yang memanggil namanya membuat
Randi tersentak. Kegugupan Randi begitu kentara. Yuna
mengerutkan dahinya tanda ia keheranan melihat reaksi
Randi. "Ti... tidak apa-apa, Yun."
Randi langsung memaki dalam hati karena kegagapan
yang mendadak keluar dari mulutnya. Selain itu, ia juga
salah mengucapkan kalimatnya.
"Hah" Tidak apa-apa gimana" Memangnya aku tanya
apa?" sela Yuna. Wajah perempuan itu semakin kebingung"
an. Randi merasakan wajahnya panas. Ia mendadak
terserang demam. Bisa-bisanya laki-laki dewasa seperti
dirinya terlihat begitu tak berdaya dan sememalukan ini
di depan Yuna. Randi menarik napas sebelum akhirnya memberikan
jawabannya atas keheranan Yuna, "Loh, kukira kamu ta"
nya apakah aku tidak apa-apa menolongmu?"
"Sinting! Aku cuma menyebutkan satu kata saja, Randi. Bisa-bisanya kamu mendengar satu kata menjadi beberapa kata sekaligus seperti itu?" Yuna tergelak. Suara
tawa yang bagai rintik hujan di atas genting. Berirama dan
begitu menyenangkan. Randi jadi bertanya-tanya, apakah
pada saat Yuna mengumandangkan tawanya itu, hatinya
juga ikut tertawa" "Sini, kubantu. Nanti kita bawa ke bengkel sama-sama,"
putus Randi akhirnya sambil mengulurkan kedua tangannya dan mulai memasang rantai itu dalam posisi pasang
darurat. Randi hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari
10 menit untuk membuat rantai sepeda motor Yuna terpasang pada posisinya semula. Setelah ia membersihkan
tangannya dengan tisu basah yang diberikan Yuna padanya, Randi menyerahkan kunci sepeda motornya pada
Yuna. "Kamu duluan ke bengkel itu pakai motorku. Sedangkan motormu ini akan kutuntun sampai bengkel itu."
"Astaga! Bengkel di depan sana itu masih dua kilometer lagi, Ran. Masa kamu yang nuntun" Udah tinggal aja.
Kamu lanjutkan aja urusanmu. Aku bisa kok kalau cuma
menuntun sepeda motor," tolak Yuna seraya mengangsurkan kembali kunci sepeda motor yang tadi diberikan
Randi padanya. "Yuna! Jangan membuatku terlihat seperti laki-laki
tak berdaya di depan dirimu. Sudah sana pergi duluan ke
bengkel itu dan tunggu aku. Kalau ada orang yang jual makanan di dekat situ, tolong pesankan aku. Aku pasti kelaparan berat setelah mendorong motormu ini," kata Randi
tegas dan membuat Yuna membelalakkan matanya sete"
ngah tak percaya. "Kamu memerintahku?" bisik Yuna masih dengan
kedua mata yang membulat dan terlihat menggemaskan
di mata Randi. "Aku tidak pernah memerintah perempuan, Yuna. Aku
hanya memintamu untuk segera menutup mulutmu yang
bawel agar aku bisa segera mendorong motor ini ke bengkel dan tidak harus kering karena terjemur matahari di
siang bolong." Yuna tertawa melihat Randi yang memasang tampang
seserius itu. Tanpa berkata-kata lagi, Yuna langsung menaiki motor Randi, menyalakan motor itu, dan meninggalkan Randi yang terdiam.
Kesepian dan luka yang selalu membayang di mata
Yuna membuat Randi bertekad untuk mengetahui semua
yang pernah terjadi dalam hidup perempuan itu. Perempuan manis itu bagai dua sisi mata uang yang bertolak
belakang. Ia begitu galak dan sinis hingga orang enggan
mendekat padanya. Ia terlihat begitu kuat dalam kemarah"
an yang meledak-ledak. Dan ia terlihat begitu pandai bersandiwara dalam mata yang sesekali berbinar ceria.
Ada sesuatu dalam diri Yuna yang menggugah hati
Randi. "Dia istimewa!" Tanpa sadar Randi bergumam.
Entah kenapa, dua kata itu membuat Randi tidak
mampu mengalihkan pikirannya dari Yuna.
BAB 5 Alunan Nada yang Menyelamatkan! Sudah tiga minggu terakhir ini, Yuna keluar dari rumah
kosnya dan pindah ke rumah adiknya, Edo, yang sudah
berkeluarga. Rumah adiknya itu berada di wilayah Sidoarjo, sehingga untuk pulang dan pergi kerja, Yuna terpaksa
menghabiskan lebih banyak waktunya untuk berkutat di
jalan raya yang macet. Setiap pagi Yuna harus berangkat kerja sebelum jam
setengah tujuh, jika tidak, ia akan terjebak macet karena
padatnya arus kendaraan dari Sidoarjo yang memasuki
Kota Surabaya. Saat pulang kerja pun sama saja, ia terpaksa berkutat lagi di kemacetan jalan hanya agar bisa tiba di
rumah dan beristirahat. Jalan A. Yani Surabaya adalah jalan yang terkenal pa"ling
padat kendaraan saat jam berangkat dan pulang kerja. Hal
itu tidak bisa dihindari. Memang begitulah keadaannya.
Kadang Yuna menyesalkan keputusannya untuk pindah
ke rumah adiknya itu. Di lain sisi, Yuna juga bersyukur, ka"
rena dengan tinggal di rumah adiknya yang nomor dua itu,
Yuna jadi tidak terlalu kesepian. Selain itu, Milia, keponak"
annya yang sudah berumur tiga tahun, sedang lucu-lucunya dan itu menjadi hiburan Yuna setiap ia pulang kerja
atau pada saat libur akhir pekan.
Seperti yang sudah-sudah, hari ini Yuna terpaksa pulang terlambat lagi. Robbie yang terjebak macet baru tiba
di toko sekitar jam enam. Setelah memasukkan mobil box
ke dalam toko, dan Alex yang melakukan setoran pada
Sri, akhirnya Yuna pun bisa menutup dan mengunci toko
tersebut. Para pekerja yang lain sudah pulang tepat jam
lima. Yang tertinggal saat itu hanyalah Sri, Robbie, Alex,
dan Yuna sendiri. Ia baru saja menerima kunci gembok toko yang diangsurkan Alex ketika Randi datang dan langsung meneriaki
namanya. "Yun, pulang bareng!"
Yuna melongo menatap Randi. Alex dan Robbie langsung menggoda Yuna sambil bersuit-suit riuh. Sri malah
secara terang-terangan mengatakan perasaannya yang
penasaran pada Randi dan Yuna.
"Lah, tumben Mas Randi menjemput Yuna. Hayo, kalian ada hubungan apa?"
Yuna memelototkan matanya pada Sri sambil berdesis,
"Sssttt, jangan macam-macam, Sri!"
Sri hanya tertawa. Tak berapa lama kemudian, Sri sudah berlalu dengan sepeda motornya, meninggalkan Yuna
dan Randi yang kini berdiri berhadapan. Robbie dan Alex
pulang berboncengan. Dua laki-laki itu berpamitan tidak
berapa lama setelah Sri berlalu dari hadapan mereka.
"Sori, Yuna. Aku tadi iseng lewat sini dan sama sekali
tidak menyangka kalau ternyata aku malah bertemu de"
nganmu." "Kamu mengajakku pulang bareng tadi, kan" Memangnya rumahmu di mana?" tanya Yuna tidak mengidahkan
kalimat Randi sebelumnya.
"Aku ngekos di daerah Siwalankerto, Yun," terang Randi. "Tapi tadi itu refleks, kok," lanjut Randi sambil mengulaskan senyumnya. Mendadak laki-laki itu terlihat gugup.
Yuna mengernyitkan dahinya. Ia memandang ke arah
Randi. Mendadak Randi terlihat aneh di matanya. Tidak
biasa-biasanya Randi dengan sengaja mendatanginya se"
pulang kerja. Baru pertama kali ini Randi seolah mendatanginya tanpa sengaja. Atau sebenarnya, Randi memang
sudah sering melakukannya dan Yuna belum pernah
memperhatikannya" Mendadak ada rasa hangat menyelimuti hati Yuna.
Perasaan hangat yang ditepisnya dengan segera. Ia harus
menjaga hatinya. Ia tak mau terlihat konyol di depan lakilaki itu. Karena itulah, Yuna memutar tubuhnya kembali
ke sepeda motornya, menaiki sepeda motor itu, dan mulai
menyalakan mesinnya. Randi dengan langkah lebar menghampiri Yuna,
berdiri tepat di sebelah Yuna. Dan tiba-tiba, jantung Yuna
berdebar hebat. Haduh! Apa-apaan ini"
Tanpa sadar Yuna memaki dalam hati. Seumur-umur,
Yuna belum pernah merasakan kecanggungan seperti ini.
Mungkin suasana di depan toko yang sedikit gelap karena
kurangnya penerangan yang membuat kecanggungan tak
nyaman ini muncul. Mungkin juga pembawaan Randi yang
tak terlihat seperti biasanya yang membuat Yuna salah
tingkah. Entahlah. Yuna ingin segera mengakhiri perasaan
tak nyaman ini. "Ayo, Randi, katanya mau pulang bareng. Jadi" Aku
sudah mau pulang nih," kata Yuna akhirnya saat melihat
Randi yang berdiri terdiam di sebelahnya.
"Kita ke Cak Mis dulu, mau?" Randi bukannya mengiyakan, malah melemparkan pertanyaan baru pada Yuna.
"Cak Mis" Apaan itu?" tanya Yuna keheranan. Baru
pertama kali ia mendengar nama itu.
"Masya Allah, Yuna. Memangnya kamu baru seminggu
tinggal di Surabaya sampai tidak tahu Cak Mis?"
Rasanya, Yuna ingin sekali menonjok hidung bangir
Randi karena berulang kali membalikkan pertanyaannya
tanpa mau langsung menjawab.
"Eh, Ran, aku beneran nggak tahu apa itu Cak Mis. Memangnya itu tempat apaan?" sentak Yuna mulai kesal.
"Ayo, ikuti aku. Kamu jangan kabur, ya...," seru Randi
akhirnya sambil berlari kembali ke sepeda motornya dan
menjalankan sepeda motor itu. Yuna mengikuti sepeda
motor Randi. Sesekali, Randi menolehkan kepalanya ke
arah Yuna, seolah-olah laki-laki itu takut Yuna tidak benar-benar mengikutinya.
Randi berputar di depan gerai McDonalds yang ada
di Raya Darmo, setelahnya, ia membelokkan sepeda motornya ke kiri, ke arah Jalan Tumapel. Sekitar 100 meter
kemudian, Randi menghentikan sepeda motornya di depan sebuah warung kecil yang penuh dengan orang-orang


Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sedang sibuk makan. Warung itu hanya berupa sebuah gerobak dengan
ukur"an kurang lebih satu kali dua meter yang diberi tenda.
Di sebelah gerobak itu, ada sebuah meja yang ukurannya
lebih kecil dan dikelilingi dengan berbagai kursi plastik
berwarna-warni. Dengan ragu-ragu, Yuna turun dari motornya. Ia belum
pernah makan di pinggir jalan, apalagi di warung seperti
itu. Randi menghampirinya dan menarik lengan Yuna untuk berjalan ke arah meja.
"Penuh, Ran. Aku pulang aja, ah," bisik Yuna. Namun, se"
pertinya bisikan Yuna itu terlalu keras sehingga dide"ngar
oleh seorang laki-laki yang berada di balik gerobaknya itu.
Laki-laki itu pun berteriak ke arah Yuna dengan suaranya
yang keras dan logat Surabaya-nya yang terlalu kental.
"Duduk di Stadion aja, Mbak."
Detik itu juga, Yuna melongo sambil mengedarkan
pandangannya ke sekelilingnya. Dan ia semakin melongo
saat mendapati tidak ada satu pun Stadion di Jalan Tumapel itu.
Randi terbahak di sebelahnya dan langsung menggandeng tangan Yuna ke sisi lain gerobak itu.
"Ini yang disebut Stadion, Yun," bisik Randi tanpa bisa
menghentikan tawanya. Yuna tidak melihat Stadion. Yang ada di hadapannya
hanyalah pelataran rumah orang yang digelari tikar dan
penuh dengan manusia yang duduk lesehan sambil menyantap makanan mereka.
Yuna duduk dengan ragu di sebelah Randi. Ia semakin
keheranan ketika Randi memesan Lonte dan Mbok Nom.
Mata Yuna membelalak tajam dan setengah berteriak ia
malah memarahi Randi. "Kamu gila ya, Ran. Masa di sini kamu memesan Lonte" Kamu pikir aku perempuan apaan sampai bisa-bisa"
nya kamu memesan hal segila itu!" Yuna sampai bangkit
berdiri karena kemarahan yang mendadak menyerangnya.
Rasanya, saat itu ia ingin menampar Randi yang malah senyum-senyum sendiri.
Gelak tawa seketika itu juga membahana dari orangorang yang duduk di sekitar Yuna. Randi mau tak mau
merasa kasihan hingga tangannya terulur dan menarik
tangan Yuna agar duduk kembali.
"Yun, duduk! Nanti kujelaskan," bisik Randi.
"Kamu...," Yuna tak mampu meneruskan kata-katanya.
Ia benar-benar kebingungan sekaligus merasa malu ka"
rena begitu banyak orang yang malah menertawai kemarahannya.
Seorang laki-laki muda yang usianya sekitar belasan
tahun menghampiri mereka dengan senyum terkulum.
Laki-laki itu berjongkok di hadapan Randi.
"Mau pesan apa tadi, Mas" Biar saya catat dulu aja,"
kata laki-laki itu ramah.
Randi pun menyebutkan pesanannya. Lonte dan Mbok
Nom disebutkannya lagi. Randi terlihat tak peduli ketika
Yuna melotot ke arahnya. Randi juga memesan Krisdayanti lima, udang dibalik batu, sembako dua, bantal guling,
dan cucak rowo. "Jangan lupa aspalnya ya, Mas," teriak Randi pada lakilaki yang mulai berjalan meninggalkan mereka dan kembali ke gerobak makanan itu.
Yuna mencebikkan bibirnya. Ia merasa Randi sedang
mempermainkannya. "Randi...!" Yuna mendesis tajam pada Randi untuk
memperingatkan laki-laki itu agar segera memberikan
keterangan padanya. "Astaghfirullah, Yuna, sabar. Nanti kujelaskan," jawab
Randi santai, "Yun, aku hanya ingin mengatakan padamu
satu hal. Belajarlah untuk menguasai emosimu. Ada ba"
nyak hal di dunia ini yang kadang mengejutkan dan membuat kita ingin berteriak marah. Dan hal-hal tersebut
akhirnya hanya membuat kita jadi mempermalukan diri
sendiri jika kita tidak bisa menguasai emosi yang menggelegak di dalam diri kita. Contohnya, yang kamu lakukan
tadi. Kamu sudah mempermalukan dirimu sendiri tanpa kamu sadari. Padahal kalau kamu mau bersabar dan
menunggu, hasilnya pasti berbeda."
"Randi...." Lagi-lagi ucapan Yuna terpaksa terhenti ketika lakilaki muda tadi membawakan berbagai pesanan Randi ke
hadapan mereka. Masih dengan wajah yang cemberut,
Yuna menatap Randi dan berusaha bersabar menunggu
pemuda itu meninggalkan mereka.
"Lonte itu adalah sebutan untuk makanan yang bernama lentho ini. Sedangkan Krisdayanti itu nama yang
diberikan Cak Mis untuk sate kulit yang digoreng kering."
Randi mulai menerangkan satu per satu nama makanan
yang ada di depan mereka.
Yuna pun akhirnya tertawa geli saat Randi menerangkan segala hal tentang warung Cak Mis itu. Warung ini
sangat terkenal di Surabaya. Bahkan orang-orang dari luar
Surabaya pasti akan meluangkan waktu mereka untuk
mampir di warung ini hanya untuk melihat bentuk dan
rupa makanan-makanan yang diberi nama aneh itu.
Lentho semacam gorengan yang terbuat dari campuran singkong dan kacang. Mbok Nom adalah nama minuman sinom. Sembako adalah sebutan nasi bungkus. Sedangkan bantal guling nama untuk risoles dan lumpia.
"Kalau aspal itu apaan?" tanya Yuna tanpa bisa meng"
hentikan tawanya. "Ini aspal," sahut Randi sambil mengangkat piring yang
penuh dengan sambal untuk lumpia. "Waktu pertama kali
diajak temanku ke sini, aku juga sama seperti dirimu. Kebingungan. Masa temanku itu memesan Lonte di pinggir
jalan" Bisa kamu bayangkan betapa paniknya aku kan,
Yun" Untungnya, aku lebih bisa menahan diri sehingga
aku tidak langsung marah seperti kamu tadi," lanjut Randi
yang sudah mulai menikmati satu tusuk Krisdayanti.
Diam-diam Yuna mulai menyadari salah satu kekurang"
annya. Emosinya yang meledak-ledak memang sering kali
membuatnya seperti orang gila. Selama ini, Yuna tidak
peduli akibat yang ditimbulkan dari emosinya yang begitu
tidak stabil itu. Namun, hari ini ia mendapatkan pelajaran
yang begitu mahal. Cukup sekali ini saja ia ditertawakan
sekian banyak orang di tempat umum hanya marah-marah
sebelum benar-benar mengetahui permasalahannya.
"Belajarlah untuk marah pada saat yang sesuai, waktu
yang tepat, dan dengan cara yang benar."
Randi mengucapkan kalimat itu lagi sebelum akhirnya
mereka beriringan menembus jalan Kota Surabaya yang
ternyata masih macet di jam setengah delapan malam.
Dalam perjalanan pulang itu, pikiran Yuna sama sekali
tak bisa lepas dari sosok Randi. Laki-laki itu ternyata sesuai sekali dengan namanya. Bijaksana, tenang, dan berpembawaan begitu bersahaja. Diam-diam Yuna iri dengan
ketenangan hati Randi. Ia ingin sekali memiliki ketenang"an
seperti itu. Sayangnya, ia tidak tahu bagaimana caranya.
Yuna masih berkutat di tengah kemacetan. Kali ini,
Yuna terpaksa menghentikan sepeda motornya karena ia
berada di tengah-tengah kemacetan yang sama sekali tak
bergerak. Suara klakson yang terus berbunyi di belakangnya, membuat Yuna semakin gelisah.
Yuna ingin memaki. Tiba-tiba makian yang tersimpan di ujung lidahnya
terhenti. Gema itu.... Gema di dalam hatinya itu kembali lagi.
100 Menenangkan. Meredakan kegelisahan.
Yuna nyaris mematikan mesin motornya dan memilih
berjalan kaki untuk menghindari gema yang membuatnya
merinding setengah mati. Bagaimana bisa gema itu kembali lagi di saat-saat se"
perti ini" *** "Itu Ce8 Yuna datang!"
"Kalau gitu harusnya teleponnya jangan dimatikan!"
"Siapa yang tahu Ce Yuna bakal datang sebentar lagi?"
Suara-suara teriakan yang riuh menyambut Yuna yang
baru saja mematikan mesin motornya persis di depan
teras rumah adiknya. Milia sudah berdiri di depan pintu.
Kehadiran Milia membuat Yuna mengabaikan teriakan
riuh tersebut dan memusatkan perhatiannya pada Mi"
lia. Dengan senyumnya yang manis, ia menyambut Yuna.
Kedua tangannya yang mungil terulur, meminta Yuna
menggendongnya. Lalu mulut kecil Milia berbisik halus di
telinga Yuna. "Tante Yuna punya hadiah apa buat Lia?"
Yuna tertawa. Ia mencium pipi Milia dan menurunkan
anak itu dari gendongannya. Milia menatap Yuna dengan
mata berbinar. Anak itu menunggu Yuna mengeluarkan
8 cece = kakak perempuan 101 sesuatu dari kantong jaketnya: sebatang cokelat. Yuna menyerahkan cokelat itu dan seketika itu pelukan Milia yang
disertai ucapan terima kasih menyerbunya.
Sejak tinggal di rumah Edo, Yuna memang memiliki
kebiasaan kecil untuk selalu membawa pulang oleh-oleh
untuk Milia. Awalnya, itu dilakukan Yuna untuk mendekat"
kan dirinya dengan anak itu. Siapa sangka hal itu malah
menjadi kebiasaan yang membuat Yuna akhirnya berusaha meluangkan waktunya untuk membeli sesuatu bagi
Milia. "Ada apa" Kenapa kalian begitu heboh tadi?" tanya
Yuna akhirnya pada Edo dan istrinya, setelah Milia sibuk
dengan cokelatnya. "Papa dan mama tadi telepon. Mereka kebingungan
karena berkali-kali menghubungi teleponmu tidak bisa,"
terang istrinya Edo, Vina. "Ce Yuna memangnya dari mana,
kok tumben pulangnya malam?" tanya Vina lagi sambil
membantu Milia membuka bungkus cokelatnya.
"Kamu telepon ke Banjar aja langsung. Mereka tidak
bilang apa-apa sih, tapi kedengarannya penting sekali,"
kata Edo menambahkan keterangan Vina.
"Bentar, deh. Mandi dulu," sahut Yuna yang sudah melangkahkan kakinya ke rak handuk lalu menghilang ke kamar mandi.
Yuna keluar dari kamarnya. Ia sudah mengenakan
pakaian rumah yang nyaman. Sejenak ia bermain dengan
102 Milia, sampai akhirnya ia teringat tentang telepon orangtuanya. Yuna pun kembali ke kamar dan mengeluarkan
telepon genggamnya yang ternyata mati.
Pasti kehabisan baterai lagi! Bisik Yuna dalam hati.
Ia menyambungkan telepon genggam itu ke chargernya, kemudian kembali ke ruang tamu untuk menggunakan telepon rumah. Sudah jam sembilan malam, Vina
sudah sibuk mempersiapkan Milia untuk tidur. Edo pun
terlihat bersiap tidur. Begitulah kebiasaan di rumah itu.
Edo, Vina, dan Milia pasti berangkat tidur jam sembilan
malam. Mungkin cara itu sengaja Vina dan Edo gunakan
untuk membiasakan Milia tidak tidur malam-malam.
Tia, pembantu yang ada di rumah itu, masih menemani
Yuna di ruang tamu. Gadis yang baru lulus SMA itu mulai
menekan tombol di remote, mencari program televisi kesayangannya. Yuna membiarkan Tia menonton acara apa
pun yang disukainya. Selain itu, dengan kehadiran Tia di
ruangan itu, membuat Yuna tidak ditinggal sendirian.
Yuna menekan urutan angka yang diawali dengan kode
wilayah 0511. Yuna menunggu sebentar hingga akhirnya
telepon itu tersambung dan suara mamanya terdengar.
"Kamu ke mana aja, Yun. Kenapa baru pulang jam
segini" Mama tadi meneleponmu tapi teleponmu mati.
Memangnya kamu ke mana" Masa lembur?" Berondong"
an pertanyaan mamanya nyaris membuat Yuna tertawa.
Ingin" rasanya Yuna berteriak pada mamanya bahwa ia
103 sudah berusia 24 tahun. Sudah dewasa dan bisa menjaga
dirinya dengan baik. Bahkan sudah menjadi janda. Apalagi
yang harus dikhawatirkan dari dirinya"
"Kalau mau tanya, satu-satu, Mama. Aku jadi bingung
harus jawab yang mana dulu." Akhirnya hanya dua kalimat
itulah yang terucap dari mulut Yuna.
Ternyata, mamanya tidak membutuhkan jawaban apa
pun dari Yuna. Perempuan setengah baya itu sudah sibuk
bercerita tentang teman Yuna semasa SMP yang akhirnya
menikah lagi setelah enam bulan bercerai dari suaminya.
Lalu cerita berpindah dengan cepat tentang tetangga me"
reka yang seorang janda berusia 40 tahun. Ia akhirnya
mendapatkan suami yang kaya raya dan sekarang hidup
enak serta berkelimpahan.
"Mama ini sebenarnya mau bicara apa sih?" potong
Yuna setelah ia merasa tidak ada tanda-tanda kalau mamanya akan menghentikan ceritanya, "Aku malas banget,
Mama, kalau harus mendengar cerita seorang janda yang
sukses dan bahagia. Tidak perlu Mama ingatkan, aku sadar kok kalau aku juga janda," lanjut Yuna lagi mulai tak
sabar. Mama terdengar menghela napas panjang. Suara napasnya yang mendadak menyapa pendengaran Yuna dan
membuat Yuna sedikit tak nyaman. Pasti ada sesuatu. Pasti telah terjadi sesuatu hingga mamanya bersikap seperti
itu. 104 "Ma, kalau tidak ada yang penting lagi, kita ceritanya
besok saja, ya. Aku capek sekali."
"Yuna, sebentar! Mama harus membicarakan hal ini
malam ini. Kita harus memberikan jawaban secepatnya."
Kalimat mama membuat tubuh Yuna tegang.
Memberikan jawaban" Jawaban apa"
Helaan napas mama yang semakin berat kembali terdengar. Tubuh Yuna semakin tegang sekaligus penasaran.
Tak berapa lama kemudian, kalimat demi kalimat panjang
kembali terdengar. Sayangnya, kalimat-kalimat itu bukannya meredakan ketegangan Yuna, malah membuat Yuna
bagai tersambar petir berkekuatan puluhan ribu kilo volt.
"Dijodohkan" Duda" Gila! Memangnya sekarang zaman apa sampai aku harus dijodohkan seperti ini, Mama?"
Tanpa sadar Yuna meneriakkan kemarahannya. Inilah pertama kalinya ia berteriak pada mamanya.
Seumur hidupnya, belum pernah sekali pun ia berteriak pada perempuan yang sudah melahirkannya dengan
susah payah. Ia tahu sakitnya melahirkan seorang anak.
Dan, sejak ia melahirkan Alvero, Yuna semakin menghargai mamanya. Tapi saat ini, di mana ia dihadapkan pada
pembicaraan yang sangat tidak masuk akal, Yuna tak
mampu lagi meredam kemarahannya.
"Yuna, Mama dan Papa bermaksud baik. Kami selalu
memikirkan kebahagiaan anak-anak kami. Karena itulah
105 kami berusaha mencarikan jalan keluar yang terbaik untuk masa depanmu."
Yuna mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Kali ini makianlah yang bergantung di ujung lidahnya. Mana mungkin
ia bisa menyemburkan kata makian ke mamanya" Astaga!
Yuna pasti sudah gila kalau ia sampai melakukan hal itu.
Sejak kecil, Yuna selalu diajarkan tentang ketaatan
pada kedua orangtua. Sejak kecil pula ia harus menuruti
apa kata orangtuanya karena semua orangtua pastilah
ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Dulu
Yuna memercayai hal itu. Tapi saat ini, Yuna ragu. Benarkah kedua orangtua memikirkan kebaikan dirinya"
"Kenapa aku harus dijodohkan, Mama?" bisik Yuna
tertahan. "Kami merasa tidak nyaman dengan status jandamu,
Yuna. Semua kenalan kami selalu bertanya tentangmu setiap kami menghadiri acara-acara pertemuan. Alangkah
tidak nyamannya jika harus berbicara mengenai dirimu
dan status jandamu. Karena bagi lingkungan di sini, anak
perempuan yang berstatus janda sebaiknya segera dicarikan pasangan hidup baru agar tidak menjadi omongan."
Detik itu juga, Yuna mati rasa. Ia sama sekali tak
menyangka bahwa kedua orangtuanya, dalam hal ini
mama"nya, ternyata malu terhadap status janda yang di"
sandangnya. Bahkan mereka berusaha menjodohkan dirinya dengan seseorang yang pasti tidak dikenalnya. Atau,
106 mungkinkah mereka sedang menjodohkan Yuna dengan
salah satu teman sekolah Yuna yang juga sudah menduda


Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau belum menikah" Dengan nada getir Yuna kembali bertanya, "Siapa
orangnya, Ma?" "Jodoh yang ini sangat sesuai dengamu, Yuna. Ia seorang duda. Memang agak tua sih, tapi sangat mapan.
Hidupmu pasti akan terjamin dengannya. Begitu juga de"
ngan masa depan Alvero. Kamu pasti kenal orangnya. Om
Hidayat namanya. Teman baik papa."
Detik itu juga Yuna berharap lantai di bawah kakinya
terbelah dan menelan dirinya sehingga ia tidak harus
menghadapi kenyataan yang membuat hatinya terbelah
dan berdarah-darah. Laki-laki yang biasa dipanggilnya dengan Om Hidayat
itu memang seorang duda, tetapi usianya berbeda jauh
dengan Papa Yuna. Istri Om Hidayat sudah meninggal tiga
tahun lalu dan ia memiliki dua orang anak lelaki yang sebaya dengan Yuna. Yang lebih parahnya lagi, Om Hidayat
mau menerima Yuna, tetapi ia tidak mau Alvero hidup
bersama mereka. Om Hidayat hanya berjanji bahwa masa
depan Alvero akan terjamin bahkan sampai anak lelaki
Yuna itu menikah. Ia akan memberikan separuh hartanya
atas nama Yuna asalkan Yuna menjadi istri yang baik dan
membiarkan Alvero dalam pengasuhan kedua orangtua
Yuna. 107 "Teganya Mama dan Papa melakukan hal ini padaku."
Hanya itu yang bisa dibisikkan Yuna sebelum ia meletakkan gagang telepon ke tempatnya. Yuna sudah tak peduli
lagi bagaimana mamanya berteriak-teriak memanggil namanya. Teriakan samar yang masih sempat didengarnya
sesaat sebelum ia meletakkan gagang telepon diabaikannya sekuat tenaga.
Yuna langsung berjalan ke kamarnya. Ia juga tak peduli lagi pada Tia yang menatapnya dengan keheranan. Yuna
dengan sengaja mengunci pintu kamarnya dan memba"
ringkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan pandangan
mata yang nanar. Malam itu, Yuna larut dalam kesedihan tak berujung.
Ia tak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi. Gelitik
hatinya ingin berdoa. Ia ingat dengan perkataan Randi
yang mengatakan bahwa hanya Tuhan yang mampu menyelesaikan segala perkara yang tak mampu diselesaikan
oleh satu manusia pun. Tapi buat apa berdoa" Tuhan sudah lama meninggalkannya. Sudah lama Tuhan tidak pernah mendengarkan doanya.
Lagi-lagi kata-kata Randi terngiang di telinga Yuna.
Tuhan selalu memiliki rencanaNya sendiri yang sering
kali tidak sesuai dengan kehendak hati manusia. Apakah
ini salah satu rencana Tuhan dalam hidupnya" Membuatnya terpuruk dalam kondisi ini"
108 Ketaatan pada orangtua yang selama ini diajarkan padanya membuat Yuna merasa tak berdaya. Sebagai anak
yang taat, sudah seharusnya ia menuruti kemauan orangtuanya. Namun, sebagai perempuan yang waras, ia juga
merasa tidak mungkin memenuhi keinginan orangtuanya
dan menerima perjodohan gila yang tak masuk di akal itu.
Apakah ia akan menjadi anak durhaka jika menentang kehendak orangtuanya"
Sekelebat pikiran membuat Yuna tersentak. Mungkin
jika ia tak sadarkan diri, ia bisa membuat orangtuanya
membatalkan niat mereka. Mungkin jika ia koma sesaat,
orangtuanya akan tahu dengan sendirinya bahwa Yuna
tidak ingin dijodohkan dengan laki-laki tua bangka itu.
Kelebatan pemikiran itu bermain-main dalam kepala
Yuna. Ide itu terlihat begitu sempurna. Ia tidak harus menjalankan rencana kedua orangtuanya jika ia berada dalam
kondisi yang tidak memungkinkan untuk menikah. Apa ia
bisa menjalankan rencana itu"
Tanpa berpikir panjang, Yuna mengambil berbagai
jenis obat-obatan dari kotak obat yang ada di ruang tamu
dan membawanya ke kamar. Ia kumpulkan semua obat di
hadapannya. Yuna hanya ingat"dari salah satu artikel yang
dibacanya kalau seseorang meminum obat dalam dosis
yang besar, kemungkin"an besar orang itu akan dalam kondisi tak sadarkan diri. Namun, sepertinya Yuna lupa kalau
109 keracunan obat bisa mengakibatkan kelumpuhan otak.
Bahkan yang lebih parah dapat mengakibatkan ia kehi"
langan nyawa. Yuna gelap mata. Ia hanya ingin meloloskan diri dari
keharusan menaati kewajiban anak pada orangtuanya. Ia
lupa bahwa apa yang dilakukannya itu sangat dibenci Tuhan dan termasuk dalam salah satu dosa terberat yang tak
terampunkan. Yuna duduk bersila di lantai. Ia membuka bungkus
obat itu satu per satu. Mengumpulkan setiap tablet berwarna-warni itu dalam sebuah wadah kecil hingga wadah
itu penuh. Setelahnya, Yuna mengeluarkan botol air minum yang selalu ada di dalam tas ransel kerjanya.
"Airnya masih tiga perempat botol. Masih cukup," bisik
Yuna. Yuna mulai meminum tablet-tablet itu hingga seluruh
tablet yang sudah dikumpulkannya habis tak bersisa. Tak
berapa lama, ia diserang sakit kepala yang sangat hebat.
Dadanya pun berdebar sangat kencang dan mulai kesulitan bernapas. Dengan seluruh tubuh yang didera rasa
sakit, Yuna merangkak ke atas tempat tidurnya dan me"
ringkuk dengan kaki serta tangan yang mulai dingin.
Dalam kesadaran yang timbul tenggelam. Yuna yakin
ia sudah kelewatan. Ia lupa menghitung berapa banyak
obat yang masuk ke dalam mulutnya dan meracuni tubuh110 nya dengan sangat cepat. Yuna mulai panik. Keringat di"
ngin membanjirinya. Ia mulai menggigil.
Yuna berusaha membuka mulutnya. Bayangan wajah
Alvero yang menangisi tubuhnya yang terbujur kaku menyentak kesadaran Yuna. Ia semakin panik. Sekuat tenaga
ia berusaha bangkit. Namun, tak ada satu pun anggota tubuhnya yang mampu ia gerakkan.
Yuna ketakutan! Yuna yakin, kali ini ia benar-benar harus mempertanggungjawabkan ketidakwarasan otaknya yang suka
gegabah mengambil keputusan. Satu tarikan napas berhasil dilakukannya, bersamaan dengan kegelapan yang
seketika itu juga melumpuhkannya. Namun, siksaan tak
berhenti sampai di situ. Bagai orang buta yang terkurung dalam ruang hampa
udara yang gelap. Pikiran Yuna terus melanglang buana
tanpa tujuan. Yuna masuk dalam dunia antah-berantah
yang sama sekali tak dikenalnya. Kesadaran bahwa ia takut mati membuat Yuna ingin berteriak.
Bagaimana mungkin bisa ia berteriak jika suaranya hilang entah ke mana"
Tiba-tiba, hatinya mengalunkan sesuatu yang tak
dimengertinya. Nadanya begitu lembut, indah, dan menenangkan. Bagai perpaduan harmoni musik yang mampu
membawa seseorang melambung ke langit.
111 Mati! Hanya satu kata itu yang terngiang di telinga Yuna
sebelum ia hanyut dalam untaian nada yang bergaung samar.
*** Suara gedoran di pintu menyadarkan Yuna.
Ia mengerjapkan mata dan mencoba mengingat kembali apa yang sudah dilakukannya. Seketika itu pula Yuna
terduduk dan mendapati tubuhnya segar bugar tanpa satu
pun tanda-tanda kematian ataupun lumpuh di tubuhnya.
Yuna menyibakkan gorden yang ada di atas kepala
tempat tidurnya. Matahari bersinar cerah di luar sana.
Yuna turun dari tempat tidur dan menatap bungkus
obat yang terserak di lantai. Dengan tangan yang gemetar
ia mulai menghitung. Empat puluh tablet dengan campuran yang benar-benar acak!
Yuna menutup mulutnya. Yuna shock mendapati betapa banyak obat yang telah masuk ke dalam tubuhnya.
Bagaimana mungkin ia baik-baik saja saat ini"
Apa yang sudah terjadi"
Gema itu kembali lagi di dalam hatinya.
Kali ini sangat lembut, membelai dalam bisikan yang
membuat Yuna tergugu dengan tubuh yang mengigil.
112 Dalam alunan nada tinggi dan rendah yang menyayat
hati, bisikan itu membuat Yuna lagi-lagi terpana.
Mungkinkah alunan nada itu yang menyelamatkannya"
113 BAB 6 Panggilan Hati! Berhari-hari Yuna dihantui dengan kejadian malam itu.
Bagaimana mungkin ia bisa selamat dan bangun dengan
badan yang segar bugar tanpa kekurangan apa pun. Gema
dari alunan nada itu masih diingatnya dengan jelas. Gema
itu sama dengan gema yang dulu didengarnya di Masjid
Agung Surabaya. "Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah,
"Allahu Akbar."
Yuna hanya mengingat bunyinya, alunan nadanya
yang tinggi rendah, dan rasa menenteramkan yang timbul
akibat dari alunan nada tersebut. Yuna sama sekali tak
tahu bagaimana cara mengucapkannya. Ia juga tidak tahu
arti dan makna yang terkandung dalam setiap kata yang
berkumandang di dalam hatinya. Alunan nada itu terus
saja bersuara. Seperti suara hati yang memiliki kemauan
sendiri. Seperti suara hati yang mendadak berbunyi untuk
mengingatkan si pemilik hati. Dan, pada saat Yuna merasakan hatinya kosong serta hampa, alunan nada itu secara
otomatis mengalun di dalam hatinya.
Kegelisahan semakin sering melanda hati Yuna se"tiap
harinya. Ia bagai seseorang yang baru saja mengalami kematian tetapi masih diberikan kesempatan untuk hidup
kembali. Pengalaman selamat dari tragedi overdosis obat
itu ternyata mengubah pribadi Yuna secara keseluruhan.
Yuna menjadi lebih pendiam, meski ketika ber"hadapan
dengan para pelanggannya ia masih bisa dengan baik dan
bijaksana memainkan perannya sebagai seorang marketing profesional. Yuna juga tidak lagi memedulikan gangguan yang dilakukan oleh Erna dan Yuli. Yuna tidak berminat ribut dengan siapa pun. Yuna tidak peduli jika ingin
disindir atau jika perlu dicaci maki dan dihina dina. Semua
lewat begitu saja. Ia hanya berkutat dengan rasa penasar"
an yang semakin hari semakin membuat Yuna tak lagi bisa
menahan perasaannya. Tidak hanya itu. Yuna yang sering melihat temantemannya sembahyang di lantai dua, mulai merasakan
keanehan yang benar-benar membuatnya terguncang.
Yuna selalu merasa damai ketika melihat gerakan tubuh
116 seseorang yang sedang shalat. Gerakan tubuh yang berulang dari berdiri hingga bersujud dan kembali lagi berdiri,
membuat hati Yuna seolah menjeritkan hal yang sama
berulang-ulang. Yuna mampu mengingat seluruh rangkai"
an gerakan shalat di dalam kepalanya, dan secara tak sadar, rangkaian itu seolah berulang di dalam kepalanya di
jam-jam tertentu. Bagai slide film yang akan berputar dan
berhenti di jam serta waktu yang sudah ditentukan.
"Ran, nanti sore, pulang kerja, ke Cak Mis lagi, yuk."
"Assalamu"alaikum." Salam itu selalu diucapkan Randi
setiap ia menerima telepon. Salam yang bahkan jika tak
dibalas pun, tetap akan selalu diucapkan Randi, "Tumben!
Aku nggak salah dengar kan, Yun?" lanjut Randi seraya
tertawa di ujung sambungan telepon itu.
Tawa itu menular. Tawa adalah obat hati yang ampuh
untuk menghilangkan gundah meski hanya sesaat. Tawa
Randi mau tak mau membuat Yuna ikut tertawa.
"Aku kangen Krisdayanti, bantal, guling, dan kangen
cangkrukan9 di Stadion ala Cak Mis," sahut Yuna masih
dengan tawanya. "Mau kujemput atau langsung ketemu di sana?" tanya
Randi lagi. Yuna tersanjung. Ia sama sekali tak menyangka seorang
Randi bisa menghargainya sebegitu rupa. Kebanyakan
laki-laki, jika diberi kesempatan sedikit saja mereka akan
9 nongkrong 117 seperti tikus yang dipancing dengan segumpal keju rasa
ikan asin. Langsung disambar tanpa tedeng aling-aling10.
Randi malah memberikannya pilihan yang bisa diputuskannya sendiri. Dan itu membuat respek Yuna pada Randi
semakin tinggi. "Kita bertemu langsung di Cak Mis ya, Ran."
"Ok, siap, Tuan Putri. Sampai ketemu nanti sore."
Yuna sengaja menelepon Randi siang itu dan mengajaknya untuk bertemu sepulang bekerja. Yuna harus menanyakan semua yang mengganggu hatinya. Ia sudah tak
bisa menyimpan semua ini sendirian. Namun masalahnya,
Yuna tidak bisa berbicara dengan sembarang orang me"
ngenai hal ini. Ia seorang nonmuslim. Keluarga besarnya,
termasuk Pak Indra, pun nonmuslim. Akan sangat aneh
dan tak masuk di akal jika ia yang nonmuslim menceritakan kejadian yang dialaminya pada sembarang orang,
apalagi keluarganya. Hanya Randi yang terpikir oleh Yuna untuk mencurahkan kegundahannya. Menurutnya, Randi adalah satu-satu"
nya orang yang tepat untuk bertanya. Yuna tahu Randi
bukan orang yang bermulut panjang. Selama setahun
terakhir ini, semua percakapan yang terjadi antara dirinya
dengan Randi, tidak pernah bocor kepada siapa pun, padahal percakapan yang mereka lakukan bukan percakap"an
yang harus dirahasiakan. Jika saat ini Yuna meminta agar
10 basa-basi, kira-kira 118 Randi merahasiakan percakapan mereka, Yuna sa"ngat yakin Randi akan melakukannya.
Sepanjang sisa hari itu, Yuna tidak bisa berkonsentrasi
lagi pada pekerjaannya. Ia tidak sabar untuk segera bertemu Randi dan menceritakan apa yang dialaminya. Inilah
untuk pertama kalinya, sejak status janda itu terpaksa di"
sandangnya, Yuna berdebar-debar tak sabar menantikan
pertemuannya dengan seorang laki-laki.
Jam tiga sore, Yuna memutuskan untuk kembali ke
toko. Sangat berbahaya baginya jika tetap melakukan keli"
ling di jalan raya yang ramai dengan kondisi pikiran yang
sama sekali tak bisa fokus. Mungkin ada hal lain yang bisa
dikerjakannya di toko itu sementara menunggu waktunya
pulang kerja. Yuna baru saja berhenti di depan toko ketika sebuah
sedan putih parkir di depan toko. Pak Indra turun dari
mobil itu dan dengan suara yang ceria penuh godaan langsung menyapa Yuna.
"Gimana" Perjodohannya sukses?"
Yuna seketika itu juga merasa ingin mati di tempat.
Satu hal yang sangat tidak disukainya dari kakak sepupunya ini adalah mulutnya yang seperti perempuan. Lakilaki yang usianya sudah di atas 35 tahun itu kadang kala
berkelakuan seperti kanak-kanak.
Pak Indra suka sekali bercerita. Ia tak bisa membedakan mana yang pantas diceritakannya pada karyawan dan
119 mana yang tidak. Hampir seluruh pekerja di toko itu tahu
kondisi keluarga Pak Indra, termasuk segala kejadian yang
terjadi di dalam keluarganya.
Yuna baru hendak membuka mulutnya dan memperingati kakak sepupunya itu untuk tutup mulut, tetapi
Pak Indra sudah telanjur mengatakan berita itu layaknya
sebuah berita bahagia yang patut dirayakan.
"Yuna bakal dilamar orang kaya, loh. Nanti semua
anak-anak di sini datang aja ke pesta pernikahan Yuna."
"Memangnya janda anak satu masih laku," suara Yuli
dari pojokan terdengar sinis.
"Hebat juga, Yuna bisa menggaet orang kaya. Siapa
laki-laki itu, Pak?" suara Erna terdengar, yang disertai
dengan nada geli. Di telinga Yuna, nada suara Erna itu terdengar seperti sedang melecehkan dirinya. "Astaga, Yun!
Makanya jangan galak-galak. Coba kamu nggak galak dan
nggak jahat seperti itu, pasti tanpa dijodohkan pun, kamu
bisa cari sendiri," lanjut Erna yang kali ini sudah benarbenar tertawa.
Yuna menjangkaukan tangannya ke sekotak amplop
putih yang tergeletak di atas etalase. Ia mencengkeram
kotak itu erat-erat. Ingin sekali ia melemparkan kotak
amplop itu ke arah Erna. Namun, kelebatan kalimat Randi


Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang marah pada saat yang tepat dan dengan cara yang
tepat membuat Yuna menahan keinginan itu dan hanya
mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
120 "Laki-laki itu termasuk laki-laki terkaya yang memiliki
banyak sekali perusahaan. Duda sih, dan seumuran orangtuanya Yuna," jawab Pak Indra santai sambil melangkahkan kakinya ke meja kerjanya dan duduk di kursi yang ada
di balik meja itu. Detik itu juga, suara riuh menggema hampir di seantero toko. Mulai dari usul meracun suami yang tua bangka
sampai rencana menyuruh laki-laki itu membuat surat
wasiat terlebih dahulu sebelum diracun. Yuli dan Erna
terus melemparkan candaan yang terdengar menyakitkan
di telinga Yuna. Sri mengucapkan selamat sambil meminta
Yuna untuk tidak melupakannya. Pekerja lainnya malah
mengatakan kalau ada lowongan nanti di perusahaan suami Yuna yang baru, jangan lupakan mereka.
Yuna berusaha meredam air yang mulai menggenangi
matanya. Rasa sesak di dadanya akibat menahan amarah membuat Yuna kesulitan bernapas. Ia berusaha me"
nyibukkan dirinya dengan faktur-faktur pesanan pelanggannya yang masih belum disiapkan. Sementara tangannya
sibuk memilih dan menyiapkan barang-barang pesanan
itu, pikirannya juga ikut sibuk berbantahan.
Apakah seorang janda itu memang seperti barang bekas yang tak berguna hingga harus dicarikan jodoh ke sana
kemari agar bisa tetap hidup" Apa laki-laki yang menikahi
janda akan bisa bersikap baik pada istrinya sedangkan
mereka dijodohkan dan tidak benar-benar memiliki cinta
121 dalam hati mereka" Ataukah janda-janda yang dipaksa
menikah oleh laki-laki yang usianya jauh lebih tua itu ha"
nya akan menjadi objek kesenangan di tempat tidur"
Memang tidak semua janda bernasib sesial itu.
Yuna pernah membaca banyak kisah mengenai seorang
perempuan yang menyandang status janda akhirnya bisa
mendapatkan laki-laki yang benar-benar mencintainya.
Ke"sempatan kedua yang indah, mungkinkah Yuna juga
bisa merasakannya" Yuna bagai terasing di dunianya sendiri. Ia nyaris tak
menanggapi keriuhan yang terjadi di sekitarnya, hingga
jam kerja hari itu berakhir. Yuna membantu teman-teman
lainnya meringkasi barang-barang yang ada di bagian toko
dan membantu mendorong dua etalase panjang masuk ke
bagian paling belakang toko. Bagian depan toko memang
harus selalu dikosongkan setiap sore agar mobil box bisa
masuk ke dalam toko itu. Tidak berapa lama kemudian,
Yuna langsung menjalankan sepeda motornya meninggalkan teman-temannya yang memandang Yuna dengan
keheranan. Mungkin dalam pikiran mereka, betapa hebatnya hari
ini Yuna tidak meledak sama sekali. Padahal mereka sudah susah payah mengerjainya.
Yuna tiba di warung Cak Mis jam 5.15. Ia yang sudah mulai terbiasa menongkrong di warung itu langsung
menuju pelataran yang berada di sebelah gerobak Cak Mis.
122 Setelah duduk di atas tikar besar yang ada di pelataran itu,
ia pun segera memesan beberapa makanan favoritnya. Makan di Cak Mis sama sekali tak menguras isi dompet. Harga
makanan di sini hanya berkisar Rp1.500 hingga Rp4.500.
Benar-benar sesuai dengan ukuran kantong para pekerja
yang selalu berusaha melakukan penghematan.
Jam enam Randi baru menampakkan batang hidungnya. Perjalanan dari arah THR yang masuk ke tengah kota
memang biasanya sangat padat. Para pekerja yang pulang
dari arah Pasar Atom, Jembatan Merah Plasa, ITC, dan
pertokoan-pertokoan di daerah sana memang harus berjejalan di jalan raya dalam waktu yang nyaris bersamaan.
Randi sepertinya langsung bisa melihat Yuna. Itu terbukti dari gerak tubuh laki-laki itu yang begitu turun dari
sepeda motornya langsung bergegas menghampiri Yuna
dan duduk di sebelah Yuna.
"Sudah bisa pesan sendiri ternyata," goda Randi sesaat
sebelum tangannya terangkat memanggil salah seorang
pelayan. Randi menyebutkan pesanannya dengan cepat. Ia lalu
melepas jaket yang dikenakannya dan mulai menatap ke
arah Yuna. "Ada apa" Ada masalah berat?" tanya Randi.
Yuna mengerjapkan matanya setengah tak percaya.
Randi seolah-olah selalu tahu tentang suasana hati Yuna
sebelum Yuna sempat mengatakannya. Yuna menghela
123 napas panjang. Ia menatap Randi. Laki-laki itu terlihat
begitu tenang. Bahkan dalam keremangan suasana senja
yang mulai mengubah langit terang menjadi gelap, Yuna
mampu menyelami ketenangan yang begitu nyaman dari
tatapan mata Randi yang begitu lekat ke arah dirinya.
"Aku nyaris mati beberapa hari yang lalu," bisik Yuna
tanpa melepaskan tatapan matanya dari Randi. Tubuh
laki-laki itu terlihat menegang. Ada sedikit gerak samar
yang menandakan suasana hati yang berubah-ubah antara
penasaran dan kecemasan. Namun, Randi tak terlihat hendak membuka mulutnya.
Yuna pun mulai menceritakan kejadian tentang usahanya untuk membuat dirinya tidak sadar. Walau Yuna
melewati bagian tentang perjodohan, Yuna menceritakan
dengan detail cara-cara ia meminum campuran tablet secara sembarangan itu. Yuna menyebutkan jumlah tablet
yang diminumnya dengan nada ragu, karena mendadak
ia melihat kilat kemarahan bermain di mata Randi. Namun, seperti sebelumnya, Randi tetap menutup mulutnya
rapat-rapat. Hanya tangan Randi yang kini berubah posisi
dan terkepal di pangkuan laki-laki itu.
"Dan kamu lihat, aku masih hidup dan segar bugar,"
seru Yuna mengakhiri kisahnya dengan ekspresi geli ka"
rena melihat Randi yang seperti patung tak bernyawa.
Randi terlihat menarik napas panjang. Ada kelegaan
yang terembus bersamaan dengan helaan napas yang
124 dikeluarkannya dari lubang hidungnya. Walau begitu,
kilat kemarahan di mata Randi sama sekali tak kunjung
padam. "Subhanallah! Allah masih menyayangimu, Yuna,"
bisik Randi, "Tapi aku harap, kamu tidak mengulangi kebodohan itu lagi. Allah membenci orang yang melakukan
bunuh diri. Bagaimana mungkin kita bisa berbuat seolaholah kita tidak menghargai hidup kita sendiri, sementara
bukan kita yang memiliki kehidupan ini" Kita hanya dipinjamkan saja untuk sementara, Yuna. Sewaktu-waktu, Allah
bisa mengambilnya, bahkan tanpa pemberitahuan sama
sekali." Randi terlihat menghela napas panjang lagi. Matanya
yang setenang air itu membuat Yuna bagai tenggelam
dalam suasana hati yang sama sekali tak dimengertinya.
Yuna tak mampu berkata-kata. Ia hanya ingin menyesap
setiap kata yang terucap dari mulut Randi.
"Aku tidak tahu bagaimana ketentuan tentang bunuh
diri di dalam ajaran agamamu, tetapi diajaran agamaku,
Allah benar-benar melaknat semua manusia yang memilih mati dengan cara membunuh dirinya sendiri. Hal itu
tertulis dalam shahih Al-Muslim yang berbunyi, "Dari
Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, "Siapa yang bunuh
diri dengan senjata tajam, maka senjata itu akan ditusuktusukkannya sendiri dengan tangannya ke perutnya di
neraka untuk selama-lamanya; dan siapa yang bunuh diri
125 dengan racun, maka dia akan meminumnya pula sedikit
demi sedikit nanti di neraka, untuk selama-lamanya; dan
siapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari gunung, maka dia akan menjatuhkan dirinya pula nanti (berulang-ulang) ke neraka, untuk selama-lamanya.?" Kamu lihatkan Yuna, betapa menakutkannya hukuman "Allah bagi
manusia yang berani menghilangkan nyawanya sendiri
dengan cara apa pun."
Yuna membelalakkan matanya. Napasnya tercekat.
Tangan kanannya terangkat untuk menutup mulutnya
yang menganga. Benarkan Tuhan sendiri yang memberikan hukuman itu nantinya pada manusia yang bunuh diri"
Apakah Tuhan itu benar-benar ada"
Yuna merasakan matanya panas. Dadanya benar-benar terasa sesak. Ia tak mampu mengucapkan satu kalimat
pun untuk menolak semua hal tak masuk akal yang telah
dikatakan Randi padanya. Sekuat apa pun Yuna berusaha
menyangkal segala ajaran yang menyangkut adanya Tuhan dan hukum-hukumnya, kenyataannya, hatinya terasa
perih secara menyakitkan, seolah-olah hati itu menerima
dengan sepenuhnya ajaran itu meski Yuna tak meng"
hendakinya. Mungkinkah hati manusia mampu berkehendak di luar pemikiran manusia itu sendiri"
"Yun, di dalam Al-Qur"an surah Al-Kahfi ayat 6, ada tulisan yang menyatakan "Maka (apakah) barangkali kamu
126 akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah
mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini." Itu hanyalah salah satu contoh surah
yang menyatakan betapa hanya umat-umat yang tidak
beriman sajalah yang memilih bunuh diri untuk mengobati kesedih"an hatinya. Lalu, setelah kamu bunuh diri,
apakah sakit hatimu itu akan sembuh?"
"Niat awalku tidak bunuh diri, Randi. Aku hanya ingin"
membuat diriku tidak sadarkan diri selama beberapa
waktu. Aku ingin kedua orangtuaku sadar bahwa mereka
tidak selalu bisa memaksakan kehendak mereka padaku."
Yuna berusaha membela dirinya dengan suara yang bergetar.
"Kenyataannya, andai malam itu kamu mati, apa yang
akan terjadi?" Yuna terdiam. Dalam hatinya, Yuna mengakui bagaimana paniknya ia saat kegelapan mulai menelannya.
Yuna juga tidak bisa membayangkan seandainya ia mati,
apa yang akan terjadi"
"Ran, ada alunan nada yang terdengar atau mungkin
lebih tepatnya bergema di dalam hatiku. Gema itu...," Yuna
terdiam. Ia tidak bisa menyebutkan alunan nada yang
bergema di dalam hatinya. Ia juga tidak tahu apa bunyi
sebenarnya dan makna dari setiap kata yang seolah-olah
memiliki artinya sendiri-sendiri.
127 "Bagaimana bunyinya" Atau mungkin kamu ingat tulisannya?" Randi sedemikian penasarannya hingga tanpa
sadar menegakkan tubuhnya dan menatap Yuna dengan
tajam. "Aku tidak tahu, Ran. Aku juga tidak bisa mengucapkannya dengan lidahku. Alunan nada itu bagai gema yang
sama sekali tak mampu kuikuti dengan mulutku," keluh
Yuna lagi. Randi terdiam. Laki-laki itu terlihat berpikir keras.
Dan itu semua jadi terlihat sia-sia.
Bagaimana mungkin Randi tahu apa yang bergema di
dalam hati Yuna" *** "Ce Yun, ntar malam ada acara makan malam di rumah
Ko Ricky, loh. Jadi pulangnya jangan terlalu malam," Vina
mencoba mengingatkan Yuna tadi pagi sebelum ia berangkat kerja. Namun, Yuna mengabaikannya dan memilih
mampir ke toko buku hanya untuk mengulur waktu pulangnya.
Sejak rencana perjodohan itu menyebar, ada banyak
sekali acara makan malam yang diatur oleh sanak saudara
dan sepupu-sepupu Yuna hanya untuk mempertemukannya dengan laki-laki tua itu. Tidak hanya dari pihak
128 keluarga Yuna saja, dari pihak keluarga Om Hidayat pun
secara bergantian mengundang Yuna untuk makan bersama keluarga besar mereka. Hanya beberapa kali Yuna
tak bisa melarikan diri dari keharusan untuk datang ke
acara-acara itu. Sisanya, selalu saja ada alasan Yuna untuk
pulang terlambat dan tidak hadir dalam acara yang begitu
dibencinya. Malam ini, untuk kesekian kalinya, Yuna terlambat pulang. Ia baru sampai di rumah hampir setengah sepuluh
malam. Begitu Yuna memasukkan sepeda motornya ke
pelataran yang ada di depan rumah, pintu depan rumah
itu terbuka. Ternyata Edo. Adik laki-lakinya itu sengaja
menunggunya. "Pulang malam lagi, Ce?" tanya Edo sambil berjalan
mendahului Yuna ke ruang tamu.
"Iya. Ketemu pelanggan," jawab Yuna singkat.
Sejujurnya, Yuna benci jika harus berbohong seperti
ini. Biasanya, satu kebohongan akan diikuti dengan kebohongan-kebohongan lainnya.
Yuna langsung duduk di hadapan Edo dan menunggu
adiknya itu memulai pembicaraan. Ia sudah sangat hafal
dengan karakter dan sifat Edo. Adik laki-lakinya itu paling
jarang mengurusi urusan orang lain, tetapi jika ia sampai
menunggu seperti ini, berarti ada hal penting yang benarbenar ingin dibicarakannya dengan Yuna.
129 "Kamu tidak lelah menghindar terus?" Gumaman Edo
itu membuat Yuna terpana. Ternyata adiknya itu diamdiam tahu apa yang dilakukannya. Tanpa terasa, ada haru
yang menyelinap di dalam hati Yuna. Perasaan diperhatikan seperti ini selalu membuat Yuna merasa bahwa diri"
nya memang pantas untuk disayang dan dicintai.
"Lelah! Tapi aku belum menemukan solusi yang tepat
untuk menyelesaikannya. Melawan keinginan mama dan
papa itu bagai melempar es batu ke dalam bara api. Ha"
nya akan menimbulkan sedikit asap, tetapi setelahnya api
akan kembali menyala. Perbuatan yang sungguh sia-sia,"
sahut Yuna dengan tertunduk.
Edo memberikan banyak sekali pertimbangan-pertimbangan pada Yuna malam itu. Kebaikan apa saja yang
akan didapatkan Yuna dari perjodohan itu dan kerugian
macam apa yang juga mungkin dirasakan Yuna. Selain
itu, Edo juga memberikan masukan yang bisa dilakukan
Yuna untuk mengambil langkah lain bagi kehidupan Yuna
sendiri. "Intinya, aku hanyalah orang yang berdiri di luar lingkaran dan hanya menjadi pengamat. Pandangan-pandang"
anku ini cuma sekadar bahan pertimbangan yang harus
kamu pikirkan ulang. Namun, apa pun keputusanmu, aku
akan tetap mendukungmu, Ce," kata Edo seraya bangkit
berdiri. 130 Yuna mengulurkan tangannya dan menahan lengan
Edo. Yuna juga bangkit berdiri. Ia memeluk tubuh Edo
dengan erat dan membisikkan terima kasih di telinga Edo
sambil terisak. Rasanya sangat menyenangkan jika ada satu saja saudara yang mampu memahami bagaimana perasaannya
yang sebenarnya. *** "Yuna akan menikah" Dengan siapa?" Randi nyaris berteriak ketika ia mendengar berita tentang perjodohan Yuna.
"Duda kaya raya yang nyaris mati," bisik Yuli dengan
mata yang berkilat licik. Lalu setelahnya, Yuli tertawa terbahak sambil melanjutkan kalimat berikutnya, "Kenapa
wajahmu seperti itu, Ran" Kamu cemburu?"
Randi berusaha menarik napas panjang untuk me"
netralisasi perasaan terkejut yang menyerangnya. Yuli
pasti sedang mengerjainya. Tidak mungkin Yuna menikah
dengan duda kaya raya yang mau mati seperti yang dikatakan Yuli padanya.
Randi pun memasuki toko tempat kerja Yuna itu dan
langsung menuju ke komputer Erna, komputer yang hari
itu harus diperbaikinya. Komputer Erna sering mati mendadak. Selain itu, kabel LAN yang menghubungkan kom131 puter Erna dan komputer administrasi di lantai dua sering
kali bermasalah. Karena itulah, Randi sengaja dipanggil
untuk melakukan perbaikan dan maintenance yang dibutuhkan.
Randi sedang membongkar CPU yang digunakan Erna.
Ia masih melakukan pengecekan processor ketika Erna
menghampiri Randi dan duduk di kursi di sebelah Randi.
"Masih bisa diperbaiki, Ran?" tanya Erna.
"Belum tahu, Mbak. Ini masih ku-cek dulu," sahut
Randi. "Eh iya, gosip Yuna mau menikah bener ya?" tanya
Randi seolah-olah itu hanyalah pertanyaan sambil lewat
yang tak penting. "Dari mana kamu mendengarnya?" tanya Erna terkikik


Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

geli, "Sepertinya berita itu jadi hot gosip terhangat di sini."
Erna terdengar mendecakkan lidahnya sambil masih tertawa geli.
"Yuli tadi yang ngasih tahu aku," sela Randi. Untungnya,
Erna tidak memperhatikan raut wajah Randi yang sedang
menunduk dan menatap ke arah processor di hadapannya
dengan mata yang nanar. Wajah itu penuh amarah dan
tanpa sadar Randi begitu tidak terima. Tanpa Erna harus
mengatakan "iya" secara jelas, Randi sudah tahu jawabannya.
Ada rasa nyeri menyelinap di dalam hati Randi. Hati"nya
terasa patah menjadi dua. Ia sangat kecewa mendapati kenyataan bahwa Yuna sama saja dengan banyak perempuan
132 di luar sana. Tadinya Randi mengira bahwa Yuna berbeda
dengan perempuan lain, ia tidak tergiur gemerlap harta
ataupun hidup yang bergelimang dengan kemewahan.
Siapa sangka, Yuna bahkan rela menjual dirinya pada lakilaki yang sangat tua hanya untuk mendapatkan hartanya.
Randi merasa terkecoh. Ternyata penampilan seseorang
itu tidak akan bisa menggambarkan kepribadian orang itu
secara keseluruhan. Sejak hari itu, Randi berusaha menjauh dari Yuna. Ia
tak lagi berusaha mendekati Yuna. Untuk masalah pekerjaan pun, Randi lebih suka mendatangi Sri atau Yuli dan
lebih memilih untuk berhubungan dengan mereka. Sebisa
mungkin, Randi berusaha menghindari interaksi secara
langsung dengan Yuna. Yuna memang beberapa kali menghubungi Randi untuk bertanya berbagai barang pesanan atau hanya untuk
bertanya kabar. Jika yang dibicarakan masalah pekerjaan,
Randi masih berusaha menanggapi Yuna secara baik. Namun, ketika Yuna mencoba menanyakan kabar Randi atau
mengajukan protes kenapa Randi tak pernah lagi meng"
hubunginya, Randi selalu memiliki seribu satu macam
alasan yang membuatnya terlihat begitu sibuk dan nyaris
tidak memiliki waktu untuk Yuna.
*** 133 Sudah satu bulan Randi berusaha keras menghindari Yuna.
Namun, semakin ia menghindar, semakin ia me"rindukan
perempuan itu. Randi nyaris gila rasanya ketika menyadari bahwa hanya Yuna yang selalu ada di dalam pikirannya. Sejujurnya, Randi menyukai kehadiran perempuan
itu di dalam hari-harinya. Perempuan tegas berhati batu.
Perempuan yang membuat Randi bersemangat dalam segala hal dan selalu menunggu saat-saat mereka bisa bertemu. Tidak dimungkiri Randi bahwa di sudut hatinya
yang terdalam, ia mulai mendambakan sebuah hati lain
untuknya berbagi cinta. "Astaghfirullah," Randi menggumamkan istighfar.
Setelahnya, ia mulai menggumamkan ayat-ayat suci
dalam zikir-zikir panjangnya. Hanya dengan berzikir hati
yang gundah menjadi tenang. Hanya dengan melantunkan
ayat-ayat suci, ia merasakan kedamaian di dalam pikiran
dan hatinya yang penuh sesak. Randi berzikir hingga ia
jatuh tertidur. Namun, di tengah malam buta Randi kembali terba"
ngun. Seolah-olah ada yang membangunkannya, Randi
pun terduduk di atas tempat tidur. Matanya menatap ke
sekeliling ruang kamar kos yang ditempatinya lebih dari
tiga tahun terakhir ini. Randi hampir percaya bahwa tadi
ada yang sedang berbisik memanggil-manggil namanya.
Randi bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Ia berwudhu. Ia ingin shalat malam. Karena
134 cara lainnya untuk menenangkan hati yang gelisah adalah
dengan mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu, shalat
malam adalah saat-saat terindah di mana ia bisa berinteraksi dengan Allah.
Randi menggelar sajadahnya. Ia menunaikan shalat
Tahajud. Dan setelahnya, Randi mulai berzikir mengumandangkan ayat-ayat yang begitu menyejukkan hatinya.
Tanpa sadar, Randi memohon di dalam doa-doa yang dibisikkan di atas sajadahnya. Doa tentang seseorang yang
begitu dirindukannya. Entah sudah berapa lama Randi larut dalam lantunan
zikir yang tak terputus. Dari surah Al-Fatihah hingga Ayat
Kursi digemakannya dengan penuh kerinduan. Randi larut
dalam kekhusyukan hati yang berserah kepada kehendak
dan segala rencana Allah.
"Peliharalah aku ya, Allah."
"Hanya kepada-Mu, aku menyerahkan segalanya."
Randi menguntai tasbih di tangannya. Istighfar melantun panjang seiring dengan gerak jarinya di atas butirbutir tasbih. Ia menyadari ada banyak sekali kesalahannya sebagai manusia, baik yang disadarinya maupun tak
disadarinya. Setelah itu, Randi larut dalam pujian-pujian
yang hanya mengagungkan kebesaran Allah sebagai Sang
Segala Maha. Mendadak, Randi terkesiap. Tasbih di tangannya hampir saja terlepas. Matanya yang tadinya terpejam kini
135 membelalak. Menatap nyalang dalam kekosongan ruang
kamar tidur itu. "Apa itu tadi?" bisik Randi setengah tak percaya.
Randi mengucapkan istighfar berkali-kali. Dan, ketika
hatinya kembali tenang, Randi kembali teringat apa yang
baru saja terjadi padanya.
Gambaran itu.... Bagaimana mungkin" Randi benar-benar terpesona dalam kuasa Allah yang
tak pernah ada habisnya. Ia merasakan aliran hidayah memenuhi hatinya dan membuatnya tersungkur di atas sajadahnya dengan air mata yang tak mampu dihentikannya.
Dalam penyerahan diri yang begitu pasrah, Allah
menunjukkan jalannya. Gambaran wajah Yuna yang menangis dengan tasbih
di tangan perempuan itu membuat hati Randi membuncah
dalam perasaan bahagia dan takjub.
Subhanallah! Mahabesar Engkau Allah-ku, bisik Randi yang kini menangis tersedu-sedu.
136 BAB 7 Hati yang Bertasbih Randi duduk di kursi yang ada di depan meja Sri ketika
Yuna dengan tubuhnya yang masih terbungkus jas hujan
memasuki toko. "Gila! Banjir di mana-mana," pekik Yuna setengah kesal. Perempuan itu mulai melepas jas hujannya yang berwarna biru tua dan menggantungkannya di paku kecil di
dekat rolling door. Randi menatap Yuna dengan kerinduan
yang berkobar-kobar saat Yuna mulai mengibaskan rambutnya yang basah.
Ya Allah, betapa aku merindukan perempuan ini.
Randi menggumamkan bisikan hatinya diam-diam
dengan tatapan mata yang sama sekali tak bisa beralih
dari sosok Yuna, yang masih sibuk me"ngeringkan bebe"
rapa bagian tubuhnya yang basah dengan tisu.
Hari itu, Randi memang harus mengantar sebuah laptop pesanan salah satu langganan Yuli. Tadinya, Randi
berniat langsung pergi setelah mengantarkan laptop itu,
ka"rena masih ada dua buah laptop yang harus diantarkannya ke tempat lain. Sayangnya, mendadak hujan turun
dengan derasnya. Ia tak mungkin memaksakan diri me"
nerjang hujan karena akan berisiko pada kedua laptop
yang dibawanya. "Hai, ada Randi ternyata," suara Yuna yang menyapanya menarik Randi dari lamunan. Ia menatap Yuna yang
kini sudah berdiri di sebelahnya.
"Terpaksa menunggu, Yun. Hujan," sahut Randi menjawab pertanyaan Yuna, "Lama tak jumpa," lanjut Randi
lagi. Yuna hanya diam saja. Perempuan itu sudah sibuk
mengeluarkan catatan pesanan pelanggan dan mulai menyalinnya di sebuah kertas, yang nantinya akan diserahkannya pada Lini di lantai dua untuk dibuatkan faktur.
Randi masih mengamati gerak tubuh Yuna ketika
sebuah pertanyaan terlintas dalam pikirannya. Tanpa bisa
menahan diri, Randi mengucapkan pertanyaan itu, dan
menyesalinya begitu kalimat tanya itu sudah terucap.
"Bagaimana kabar perjodohanmu" Kapan jadinya
kamu menikah, Yun?" 138 Yuna memalingkan wajahnya dan menatap ke arah
Randi dengan mata yang melotot, "Jangan ucapkan pertanyaan itu. Aku benci kalimat tanya itu! Apa kamu tidak
bisa memilih pertanyaan lain yang lebih manis," desis
Yuna tajam. Lalu berpaling menatap kertas yang ada di
hadapannya dan mulai menulis.
Randi merasakan kelegaan yang sangat hebat melanda hatinya saat mendengar jawaban Yuna. Ketidaksukaan
Yuna pada pertanyaan yang diajukan Randi telah menyatakan dengan jelas bahwa Yuna tidak akan pernah berniat
menerima perjodohan yang dirancang oleh orang lain bagi
hidupnya. Perasaan Randi membuncah dalam campuran
bahagia sekaligus terpana. Ia yakin, Allah pasti memiliki
rencana-Nya sendiri hingga mempertemukan dirinya de"
ngan Yuna. Suara adzan di kejauhan terdengar samar, tertutupi
suara derai hujan yang terlalu keras. Randi melirik jam
yang tergantung di dinding, yang terletak tidak seberapa
jauh di atas kepala Yuna. Randi berniat menunggu sebentar lagi, berharap hujan akan reda sehingga ia bisa melanjutkan perjalanan dan akan menunaikan shalat Zuhurnya
di masjid pertama yang ditemuinya di jalan.
Satu per satu karyawan di toko itu bergantian menu"
naikan ibadah shalat. Randi tidak tahu di bagian mana
dari toko ini yang memang disiapkan untuk shalat para
karyawannya. 139 Hujan tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Randi semakin gelisah di kursi yang didudukinya.
"Pak Indra hari ini tidak ke kantor, Mbak Sri?" tanya
Randi berusaha memulai percakapan untuk meredakan
kegelisahannya. "Akhir-akhir ini Pak Indra memang jarang ke sini, Ran.
Beliau lebih banyak menghabiskan waktu di toko satunya
yang ada di Pasar Kembang Jepun. Hanya sesekali Pak Indra datang ke sini untuk melakukan pengecekan," terang
Sri panjang lebar. Randi melirikkan matanya ke arah Yuna. Sama sekali
tak ada tanda-tanda Yuna mengikuti pembicaraan dirinya
dengan Sri. Yuna sibuk dengan berbagai catatan dan kertas-kertas yang ada di hadapannya. Sesekali, perempuan
itu mengangkat telepon genggamnya yang berdering, berbicara dengan seseorang, tertawa geli, menutup telepon,
dan kembali lagi disibukkan dengan kertas-kertas itu.
Randi ingin sekali memulai pembicaraan dengan Yuna.
Entah kenapa, ia kehilangan kata-kata hanya dengan menatap ke arah perempuan itu.
Sekali lagi Randi melihat ke arah jam dinding. Sudah
jam tiga lewat. Tidak berapa lama lagi waktu Zuhur akan
habis. Randi tidak ingin waktu shalatnya hilang jika kondisi memang tidak benar-benar genting. Randi bangkit
berdiri, menghampiri Sri dan berbisik.
"Apa di sini boleh menumpang shalat?"
140 "Oh boleh. Di lantai dua ada tempat shalat. Coba tanya
sama yang di atas saja, ya," sahut Sri ramah.
Randi sudah hendak menaiki tangga menuju ke lantai
dua ketika Sri kembali memanggilnya.
"Mas Randi, kalau mau wudhu, terpaksa di kamar
mandi ya. Ada selang yang disediakan untuk wudhu kok,"
kata Sri. Randi menganggukan kepalanya. Ia duduk di kursi
depan meja kerja Erna dan mulai menggulung celana
panjangnya, melepas sepatu serta kaus kakinya, dan me"
ngenakan sandal jepit yang ada di dekat situ.
"Ran, misalnya kamu disuruh menikah dengan pilihan
antara janda dan pe"rawan. Mana yang bakal kamu pilih?"
Erna tiba-tiba mengajukan pertanyaan konyol yang membuat Randi mengernyitkan dahinya.
Namun, Randi tidak berminat menanggapi. Ia hanya
tertawa dan segera menghilang ke kamar mandi. Melayani
pertanyaan tak masuk akal itu hanya membuat ia kehilang"
an menit-menit berharganya yang ingin diberikannya pada
Allah. Menit-menit yang dipakainya untuk berzikir seusai
menunaikan ibadah shalat. Suatu kebiasaan yang sudah
dijalaninya sejak kecil, sampai membuatnya mengenakan
tasbih di pergelangan tangannya untuk memudahkannya
berzikir. Randi menaiki tangga dengan cepat. Ia sempat berpapasan dengan Firman yang sedang membawa kotak
141 penuh barang. Firman menunjukkan tempat shalat padanya, dan kemudian meninggalkan Randi untuk turun ke
lantai satu. Tempat shalat karyawan itu berada di salah satu pojok yang terlindungi oleh tumpukan barang. Tempat shalat itu memang dibuat sedikit tersembunyi agar jika ada
kar"yawan lain yang naik ke lantai dua untuk mengambil
barang, mereka tidak mengganggu orang yang sedang
shalat. Randi menatap sekelilingnya sejenak sebelum ia melepaskan sandal jepitnya dan memasuki area shalat yang
sudah dilapisi dengan karpet berukuran 1 x 1,5 meter.
Randi berdiri di atas sajadah. Ia menarik napas panjang
berkali-kali untuk mulai memusatkan dirinya dan membacakan niatnya dengan sepenuh hati. Takbir terucap dengan
kedua tangan terangkat, Randi larut dalam kekhusyukan
hati, menyadari keberadaan dirinya sebagai ciptaan-Nya.
*** "Akhirnya," seru Yuna sambil mengangkat kedua tangannya ke atas kepala dan meregangkan tangan itu untuk
menghilangkan pegal yang mendadak mengilukan kedua
lengan dan jari-jarinya. "Loh, Randi mana Sri?"
"Shalat di lantai dua, Yun," sahut Sri.
142 "Ya wes, aku juga mau naik ke lantai dua untuk menye"
rahkan pesanan pelanggan ini ke Lini. Semakin cepat faktur dibuat, semakin cepat barang disiapkan. Ya kan, Sri,"
kata Yuna tertawa sambil mengedipkan salah satu matanya.
"Kalau mau cepat, siapkan sendiri aja, Tuan Putri."
Bukan Sri yang menyahut, melainkan Yuli yang kebetulan
melintas di dekat meja kerja Sri dan Yuna.
"Tidak masalah!" sahut Yuna, "Kalau aku menyiapkan
barang sendiri, mungkin nanti Pak Indra bisa kuminta menyuruhmu untuk menggantikanku nyeles di lapangan," sahut Yuna, lagi-lagi sambil tertawa.
Tanpa memedulikan gerutuan yang keluar dari mulut
Yuli, Yuna meninggalkan mejanya dan melangkahkan ka"
kinya ke tangga yang ada di bagian belakang toko itu untuk naik ke lantai dua.
Yuna melangkahkan kakinya pelan-pelan di tangga
sambil bersenandung. Namun, di anak tangga teratas ia
seketika terdiam ketika mendengar suara Randi yang se"
pertinya sedang bergumam atau seperti sedang berbisikbisik.
Yuna menajamkan telinganya. Dan, di detik itu juga
alunan ayat suci yang dizikirkan Randi membuat Yuna
seolah terpaku di tempatnya berdiri.
Bagaimana mungkin" 143 Yuna mengangkat tangan kanannya dan menutup mulutnya. Ia ingin sekali melangkahkan kakinya mendekati
tempat shalat yang berada di balik tingginya tumpukan
karton. Namun, kakinya sama sekali tak dapat digerakkan. Ia tak bisa ke mana pun. Kakinya mati rasa. Alunan
ayat suci yang dikumandangkan Randi begitu indah. Bagai bisik"an yang membelai jiwa Yuna yang terlalu kosong.
Bisikan lirih dan lembut itu menyelisip dalam setiap poripori tubuh Yuna, membuat tubuhnya bergetar hebat hingga akhirnya Yuna terduduk di tangga itu.
"Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah,
"Allahu Akbar."
Lantunan ayat suci yang keluar dari mulut Randi itulah
yang selama ini bergema dalam hati Yuna. Yuna merasakan napasnya tercekat dan matanya terbakar. Yuna menutup kedua matanya dan mencoba mengikuti alunan ayat
suci itu. Yuna hanyut dalam kedamaian yang belum pernah
dirasakannya. Rasanya, ia sedang berada di sebuah padang hijau yang penuh dengan rerumputan lembut, bu"
nga-bungaan yang berwarna-warni, serta langit yang begitu biru dan indah. Air mata Yuna tanpa sadar berlelehan
di pipinya. Yuna terisak-isak di tangga itu seorang diri.
"Yuna...?" Suara Randi tiba-tiba terdengar begitu dekat dengan
dirinya. Yuna membuka matanya dan mendapati Randi
144 yang sudah berjongkok di depannya. Tangan laki-laki itu
terulur untuk menyibak rambut yang menutupi wajahnya.


Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepertinya, Yuna terlalu hanyut dalam alunan ayat suci
itu hingga tak menyadari bahwa Randi sudah selesai berzikir.
"Kamu kenapa?" tanya Randi.
Yuna semakin terisak. Dengan terbata-bata, Yuna
berusaha menjelaskan semuanya pada Randi, "Alunan
itu.... Ayat itu.... Ayat yang tadi kamu ucapkan berulangulang, apa namanya?" Akhirnya pertanyaan itu berhasil
juga terucap dari bibir Yuna.
"Aku tadi sedang berzikir, Yuna," jawab Randi dengan
nada yang begitu sabar. "Memangnya ada apa?"
"Zikir" Itu yang kamu baca Sub... Subhanallah... wal...
walhamdulillah wala ilaaha illallah, Allahu Akbar, itu
zikir?" Dengan terbata-bata, Yuna mencoba mengulangi
kembali alunan ayat suci yang tadi diuntai Randi dan juga
dialunkan oleh dirinya sendiri.
"Iya. Itu termasuk zikir. Zikir yang kuucapkan tadi di"
sebut tasbih. Aku sedang bertasbih."
"Ja.... Jadi, hatimu juga bertasbih?" tanya Yuna lagi de"
ngan wajah yang pias dan bibir yang bergetar. Sementara
air mata keluar tanpa bisa dihentikannya.
"Hatiku bertasbih?" ulang Randi dengan kebingungan.
Yuna menatap Randi dalam-dalam, "Kamu masih
ingat" tidak dengan cerita tentang aku yang nyaris mati"
145 Apa kamu ingat dengan ceritaku tentang hatiku yang selalu membunyikan alunan nada yang aneh setiap aku gelisah?" tanya Yuna dengan tatapan penuh harap, "Apa kamu
mengingatnya, Ran?" ulang Yuna lagi.
"Allahu Akbar! Allah sungguh Mahabesar," seru Randi tertahan, "Jadi.... Jadi maksudmu.... Hatimu bertasbih
juga?" Randi ikut tergagap seperti Yuna sebelumnya, saat
Yuna mengetahui hatinya mampu mengalunkan kalimat
tasbih itu. Dan Randi ingat saat Yuna nyaris mati, alunan
tasbih di dalam hatinya itulah yang menyelamatkannya.
Tanpa sadar, Randi menyentuhkan kedua tangannya
ke lengan Yuna. Matanya berkaca-kaca. Laki-laki itu menatap Yuna setengah tak percaya. Kelebatan gambaran
wajah Yuna yang menangis saat ia berzikir tengah malam
waktu itu, sama dengan wajah Yuna yang sekarang ada di
hadapannya. Randi tak mampu berkata-kata.
Berulang kali ia mengucapkan "Alhamdulillah".
Tiba-tiba terdengar suara beberapa langkah kaki yang
naik dengan tergesa-gesa. Belum sempat Randi melepaskan genggaman telapak tangannya pada lengan Yuna, empat wajah muncul di tangga itu. Mereka menatap Yuna dan
Randi berganti-ganti dengan pandangan takjub.
"Kalian.... Apa yang sedang kalian lakukan di sini?"
Hanya Erna yang berani bersuara dengan wajah yang
berbinar aneh. 146 BAB 8 Hati Setenang Air di Gelas Kaca Kehebohan terjadi di toko sore itu. Para pembuat onar yang
suka sekali mencari-cari kesalahan Yuna bagai mendapatkan berlian sebesar bola kasti ketika melihat Yuna sedang
berduaan dengan Randi di tangga. Posisi Randi yang memegang kedua lengan Yuna juga membuat berbagai opini
nakal dan kurang ajar bersahut-sahutan.
Randi dan Yuna beriringan nenuruni tangga bagai
dua terdakwa yang sedang digiring di penjagalan. Yuna
masih tidak mampu memfokuskan dirinya atas kejadian
yang baru saja dialaminya. Pikirannya masih terpana
pada kenyataan bahwa hatinya dan hati Randi ternyata
me"nyenandungkan alunan ayat yang sama. Yuna mendadak terpesona dengan cara Tuhan mempertemukannya
dengan Randi. Apakah hati yang menggemakan ayat yang
sama itu adalah sebuah pertanda" Apakah Tuhan memiliki rencana dalam pertemuannya dengan Randi ini"
Kelebatan pertanyaan itu terus bermain seiring de"
ngan langkah kaki Yuna yang menuruni satu demi satu
anak tangga menuju lantai satu. Suara-suara riuh di sekitarnya sama sekali tak terdengar di telinga Yuna. Ia sibuk
menganalisis dari segala sisi tentang kejadian aneh yang
melibatkan dirinya dan Randi. Diam-diam Yuna mulai
bertanya, apakah yang selama ini dikatakan Randi benar adanya" Tuhan itu ada. Oh bukan, Randi lebih sering
menggunakan Allah daripada Tuhan. Bedakah Allah dan
Tuhan itu" Sentuhan lembut di lengannya membuat Yuna tersentak. Langkah kaki Yuna terhenti tiga anak tangga dari
bawah. Randi mendekatkan bibirnya ke arah telinga
Yuna. "Apa pun yang terjadi, jangan pedulikan mereka. Ja"
ngan umbar kemarahanmu hanya untuk memuaskan hati
mereka. Sepulang kerja kita ketemu. Oke, Yun?"
Yuna bagai terhipnotis, seketika itu juga ia menganggukkan kepalanya. Apa pun akan dilakukannya, asal Randi
bisa menjelaskan semua keanehan ini padanya. Apa pun.
"Yuna dan Randi ciuman di tangga" Benarkah" Kenapa
kalian tidak memfotonya?" teriakan Yuli membuat Yuna
148 terdiam. Ia menatap ke arah Yuli dengan tatapan mata
yang bertanya-tanya. Ciuman" Siapa yang ciuman"
"Iya, aku lupa bawa Blackberry-ku ke atas. Kalau tidak,
kita bisa pasang di pigura foto itu sebagai bukti buat bos,"
sahut Erna tertawa. "Ternyata kecurigaanku benar. Randi
seleranya janda. Aku sudah curiga melihat mata Randi
yang selalu menatap ke arah Yuna. Ternyata oh ternyata,"
Erna ikut menambahkan dengan bahasa sarkasmenya
yang menyakiti hati. Sri menatap ke arah Yuna dengan waswas. Perlahan ia
mendekati Yuna. Menyentuh lengan Yuna dengan lembut,
seolah memberi tahu bahwa ia lebih memercayai Yuna
daripada teman-temannya yang lain.
Yuna mengulurkan tangannya dan menepuk punggung tangan Sri sambil tersenyum, "Anjing menggonggong, orang keren akan tetap keren," bisik Yuna sambil
nyengir. Sri yang sedang menatap Yuna langsung tertawa,
menampilkan deretan giginya yang rapi dan putih bersih.
"Tidak seperti yang kalian bayangkan sebenarnya.
Tapi aku rasa, aku tidak perlu menjelaskan semuanya
pada otak-otak mesum kalian," kata Randi sambil berjalan
menghampiri meja kerja Erna dan duduk di kursi yang seharusnya diduduki Erna. Tangan Randi bergerak cepat di
atas mouse. Ia menjalankan mouse itu dan melakukan klik
berkali-kali. 149 "Apa yang kamu lakukan?" tanya Erna mendekati Randi yang sudah sibuk di komputer itu.
"Cuma mau lihat hasil pekerjaan beberapa waktu lalu,
mumpung aku masih di sini. Apa selama beberapa hari
ini tidak ada masalah?" tanya Randi pada Erna berusaha
mengalihkan pembicaraan. "Sudah tidak mati-mati lagi, sih. Cuma agak lambat,"
sahut Erna. "Eh, Ran, apa rasanya mencium janda?" lanjut Erna lagi dengan pandangan mata yang nakal ke arah
Randi. Mendadak Randi sangat muak dengan kelakuan Erna.
Pantas saja Yuna selalu mencak-mencak jika berurusan
dengan Erna. Sepertinya perempuan yang satu ini benarbenar bukan tipe manusia yang menyenangkan.
"Apa kamu juga mau mencoba berciuman denganku,
Erna?" bisik Randi tanpa mengalihkan tatapan matanya
dari layar komputer yang ada di depannya.
Dengan ujung matanya, Randi melihat rona wajah Erna
yang berubah. Lalu secepat kilat, perempuan itu melangkahkan kakinya menjauh dari Randi. Dalam hati Randi tertawa sekaligus mengucapkan istighfar sebanyak mungkin.
Godaan bagi hati selalu saja bisa ditimbulkan baik oleh
hati manusia itu sendiri maupun oleh lingkungan yang
ada di sekitarnya. Hanya dengan mendekatkan diri kepada
Allah, maka segala godaan itu akan terlihat tidak berarti.
Randi memercayai hal itu, karena bagi Randi semua yang
150 ada di tubuhnya adalah milik Allah, ia hanya dipinjamkan
dan diberi kesempatan untuk sementara waktu. Ada saatnya Allah akan mengambilnya dengan tiba-tiba. Dan, pada
saat itu terjadi, ia harus bisa mempertanggungjawabkan
semuanya di hadapan Allah.
"Mbak Er, itu komputernya sudah bagus. Bilang bos,
garansi cuma servis aja ya, karena processor yang digunakan itu processor standar," kata Randi sambil melewati
Erna begitu saja. "Pamit dulu, Yun, Mbak Sri, Yul. Masih
ada dua laptop lagi nih," lanjut Randi. Laki-laki itu berjalan
keluar dari toko, sempat berhenti sebentar di sam"ping
sepeda motornya untuk mengeluarkan telepon genggamnya, dan kemudian berlalu dari toko itu.
Yuna menatap Randi yang akhirnya pergi menembus
jalanan basah setelah hujan reda. Di tangannya tergenggam telepon genggamnya yang menampakkan sebuah pesan.
Dinner @Mango, Ngagel. Jam tujuh.
~ Randi ~ Celotehan teman-teman sekerjanya sama sekali tak
dihiraukan Yuna. Ia meminta tolong pada Firman untuk
menyerahkan kertas pesanan pelanggan yang tadi tidak
sempat diberikannya pada Lini yang bertugas di bagian
151 pencetakan faktur. Setelahnya, Yuna membantu Sri membereskan kas dan faktur-faktur penjualan hari ini.
Yuna sama sekali tak berminat marah-marah sore itu.
Dan, hari itu Yuna belajar satu hal, ternyata jika tidak ditanggapi dengan serius, ocehan Yuli dan Erna yang berusaha menyakiti dan mengusiknya dapat berhenti dengan
sendirinya. Walaupun ia masih sempat mendengar bisik"
an Erna yang mengatakan pada Yuli akan menceritakan
kejadian di tangga tadi pada Pak Indra.
Jam lima tepat, semua langsung sibuk bersiap-siap
untuk menutup toko dan pulang. Namun, baru setengah
enam Yuna baru bisa benar-benar meninggalkan toko itu.
Sri mencegatnya dan mengajaknya bicara tentang kejadian di tangga. Yuna hanya menceritakan garis besarnya
saja bahwa apa yang dikatakan dan lihat Erna dan Yuli
juga entah siapa lagi, bukanlah seperti yang kelihatannya.
"Aku percaya," sahut Sri setelah Yuna selesai menjelaskan. "Kalian tidak akan sebodoh itu, meski aku masih penasaran, ada apa sebenarnya di antara kalian?" lanjut Sri
sambil tersenyum hangat. "Seandainya ada apa-apa pun, hanya Tuhan yang tahu
akhirnya seperti apa, Sri," jawab Yuna tertawa.
"Jadi kamu tertarik pada Randi, Yun?"
"Entahlah, Sri. Aku tidak bisa mengatakan hal itu secara pasti. Aku ingat siapa diriku. Seorang janda dengan
seorang anak laki-laki kecil. Apa ada laki-laki yang mau
152 menyayangi anakku dengan sepenuh hati setelah ia menikahiku" Itu yang selama ini kutakutkan hingga aku tak
berani berharap banyak."
"Yuna, jika kamu memang berjodoh dengan Randi, semuanya akan dimudahkan dengan sendirinya. Jalani saja
dan percaya kepada Tuhan. Saat berdoa, mintalah yang
terbaik bagi kalian berdua," sahut Sri bijak. "Ya sudah, aku
pamit duluan ya, Yun. Suamiku bisa ngomel-ngomel ntar
kalau aku tidak sampai di rumah sebelum dirinya pulang
kerja." Sri meninggalkan Yuna beberapa saat kemudian. Sementara Yuna masih terdiam di depan parkiran toko yang
mulai gelap. Sejenak Yuna dilanda kebimbangan.
Dinner" Apakah artinya itu Randi sedang berusaha
mengajaknya kencan" Memikirkan hal itu saja, Yuna merasa wajahnya dirambati hawa panas. Yuna salah tingkah sendiri. Namun, kesadaran bahwa ia adalah seorang janda pada akhirnya membuat Yuna terpaku. Masih mungkinkah ia mengharapkan
sesuatu yang terlihat mustahil"
Yuna menggelengkan kepala. Makan malam ini ha"
nyalah media baginya dan Randi untuk membicarakan
kejadian di tangga tadi. Tidak lebih dan tidak kurang. Ada
banyak hal yang ingin ditanyakannya pada Randi. Tentang
alunan ayat suci yang begitu menyejukkan hati. Tentang
153 Tuhan yang mungkin memang memiliki rencana atas dirinya. Atau, mungkin membahas hal lain yang sebenarnya
biasa-biasa saja. Yuna menggelengkan kepalanya sambil mulai menya"
lakan sepeda motornya. Sepertinya, ia sudah berpikir terlalu berlebihan.
Yuna mengarahkan sepeda motornya ke Jalan Raya
Darmo, kemudian ia memotong jalan di Tumapel. Sempat
melirik sebentar ke warung Cak Mis yang masih saja ramai. Mau tak mau ia tersenyum mengingat kekonyolannya
ketika pertama kali datang ke warung itu bersama Randi.
Hati Yuna berdesir perlahan ketika mengingat Randi.
Desir terlarang yang seketika itu juga dihalaunya. Dan ia
pun memacu sepeda motornya langsung ke Jalan Ngagel.
*** Yuna sengaja memilih kursi di pojok dekat jendela resto
itu. Matanya menatap daftar menu yang ada di hadapannya. Sesekali, diangkatnya kepala dan melihat ke arah
pintu masuk, berharap orang yang sedang ditunggunya
segera menampakkan diri. Yuna melirik jam yang melingkari pergelangan tangan
kirinya. Masih tiga puluh menit lagi dari janji yang sudah mereka sepakati. Yuna mengedarkan pandangannya
ke sekeliling ruangan resto itu. Malam ini bukan malam
154 Minggu, pantas saja resto itu tidak terlalu ramai dengan
orang-orang yang menikmati makan malam. Atau, mungkin karena belum jam makan malam, jadi suasana resto
masih terasa begitu sepi.
Di salah satu sudut ruangan, Yuna melihat sepasang
laki-laki dan perempuan duduk berhadapan. Rambut
mereka yang putih sudah menunjukkan usia pasangan
itu. Mereka jelas bukan sepasang kekasih yang sedang
memadu cinta. Mereka adalah dua sosok manusia yang
sudah menghabiskan banyak sekali waktu untuk dilalui
bersama. Perih menusuk dada Yuna mendadak. Satu pertanyaan
bermain-main di dalam kepalanya dan membuat rasa
perih itu semakin menyakitkan.
Mungkinkah ada seseorang lagi yang akan menjadi
belahan jiwanya untuk menguntai waktu bersama-sama
hingga seluruh rambutnya memutih seperti itu"
Yuna menghela napas panjang. Ia mulai mengalihkan
tatapannya dari pasangan itu. Detik berikutnya, Yuna menahan napas ketika mendapati sosok yang ditunggunya
sudah berada di hadapannya.
"Sudah lama menunggu, Yuna?"
Suara berat Randi terdengar begitu dalam di telinga
Yuna. Ada desir yang tiba-tiba saja membuat debaran di
dadanya menjadi bertalu-talu. Aliran darah di pembuluh
nadinya pun ikut berdesir cepat. Yuna merasakan panas di
155 wajahnya. Merambati seluruh permukaan kulit di wajahnya dan membuat Yuna menundukkan kepala.
Brengsek! Bisa-bisanya ia tersipu hanya gara-gara
Randi berdiri di depannya"
Yuna memaki dalam hati. Ia memainkan jemarinya
yang bertaut di atas meja. Lalu terdengar kursi yang digeser. Randi duduk di hadapannya tanpa dipersilakan.
"Ditanya malah menunduk. Kamu kenapa?"
Sekali lagi Yuna mengumpatkan kata rutukan yang
terlintas di kepalanya. Bisa-bisanya laki-laki bodoh itu
malah bertanya kenapa" Astaga! Mereka berdua sudah
bukan ABG lagi yang harus malu-malu saat bertemu. Me"
reka adalah dua profesional muda yang harusnya malah
mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dan setelahnya mendiskusikan masalah pekerjaan.
Astaga! Yuna mendadak merasa dirinya berubah jadi
gadis unyu yang baru pertama kali diajak kencan oleh lakilaki yang disukainya!
Yuna mengangkat kepalanya setelah berhasil meredakan debaran kurang ajar di dadanya, hampir bersamaan
dengan lambaian tangan Randi yang memanggil salah
seorang pelayan. Dengan cepat Randi menyebutkan makanan dan minuman yang hendak dipesannya. Randi juga
sempat menanyakan menu yang ingin dipesan Yuna, menyampaikannya pada pelayan dengan senyum yang teru156 las di bibirnya. Setelahnya, mereka kembali terdiam sambil bertatap-tatapan.
"Kenapa kamu melihatku seperti itu?"
"Ada apa kamu melihatku begitu?"


Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua kalimat itu terucap dari bibir Randi dan Yuna secara bersamaan. Yuna membelalakkan matanya. Randi
tertawa. Yuna pun akhirnya mau tak mau ikut tertawa.
"Yuna, sejujurnya, aku masih tidak menyangka bakal
mendapatkan cerita yang begitu indah tentang hidayah
Allah itu. Sungguh. Yang terjadi padamu itu benar-benar
hidayah yang tak terkatakan." Randi memulai percakapan
mereka. "Tapi aku benar-benar tidak mengerti kenapa Allah
melimpahiku hidayah dengan sesuatu yang sama sekali
tak kumengerti," jawab Yuna merenung. "Apa sebenarnya
tasbih itu?" "Tasbih bisa dikatakan sebagai ungkapan perasaan
kita yang mengagungkan Allah. Tasbih juga bisa merupakan ungkapan hati kita yang menyatakan bahwa hanya
Allah" yang memiliki segala kebesaranNya," terang Randi.
"Sebenarnya selain tasbih, ada lagi yang disebut dengan
tahmid, yaitu suatu bentuk pujian yang sempurna kepada
Allah. Seperti yang tertulis di dalam hadist, Rasulullah
pernah bersabda, "Sesungguhnya sebaik-baiknya doa adalah "Alhamdulillah.?" Jadi alangkah baiknya jika setiap kita
mendapatkan segala kebaikan di dunia ini, kita meng"
157 ucapkan Alhamdullilah sebagai pujian dan ucapan syukur
kita kepada Allah." Yuna terdiam. Ia berusaha menyesapi setiap kata yang
terucap dari mulut Randi. Hatinya bertasbih tanpa bisa
dihentikannya atau dikontrolnya sedemikian rupa, bukankah itu memang Allah yang menggerakkan hatinya"
Yuna masih belum bisa menerima kenyataan itu. Bagaimana mungkin Allah menggerakkan hatinya, sementara di
masa lalu, ia beranggapan bahwa Tuhan itu tidak ada ka"
rena tidak ada satu pun doanya yang dikabulkan.
"Bagaimana mungkin Allah menggerakkan hatiku untuk bertasbih" Aku tidak mengenal semua ayat-ayat itu.
Juga belum pernah membacanya. Lalu kenapa hatiku bisa
menggemakannya?" gumam Yuna. Ternyata tanpa sadar,
Yuna menggumamkan pikirannya sendiri.
"Yuna, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.
Aku sudah mengatakan hal ini padamu, kan" Saat Allah
berkehendak, tidak ada satu makhluk pun di dunia ini
yang bisa mencegah atau menghalanginya," sahut Randi.
"Allah" menghidayahkan hatimu dengan untaian kalimat
tasbih itu mungkin ingin menyadarkan dirimu. Bahwa
sebagai ciptaan-Nya, kewajiban kita adalah tunduk pada
kehendak-Nya, pasrah dan ikhlas di dalam jiwa kita atas
nama-Nya. Sebagai ciptaan Allah yang memiliki akal, budi,
dan pikiran, kita memiliki kewajiban untuk selalu meng"
ingat kalimat-kalimat Allah, melantunkannya dengan bi158
bir kita, mengendapkannya di dalam relung hati dan jiwa
kita, serta menjadikannya pegangan dalam setiap langkah
yang kita ambil di dalam kehidupan kita."
Randi menghentikan kalimatnya ketika seorang pelayan mengantarkan pesanan mereka. Dua piring nasi
goreng dan dua gelas jus jeruk terhidang di hadapan me"
reka. Yuna sempat mengerjapkan matanya dengan terpana ketika tahu bahwa dirinya dan Randi ternyata memiliki selera yang sama terhadap jenis makanan. Kenyataan
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 1 Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar Rahasia Cinta Tua Gila 3

Cari Blog Ini