Ceritasilat Novel Online

Kristal 2

Kristal Karya Wina Natalia Bagian 2


mengajarkan semua keahliannya itu, karena ia dan Papa meninggal
saat aku masih kecil."
Tentu saja Alex juga sudah tahu soal itu. Ia terdiam sebentar
menunggu, namun Kristal tidak melanjutkan bicaranya. Ia lalu
berkata, "Aku juga kehilangan ibuku saat aku masih kecil. Ibuku
orang Indonesia, sedangkan ayahku berdarah Amerika Latin. Ibu
Kristal Ok Rev.indd 56 bertemu Ayah saat ia kuliah di California. Lalu mereka menikah
dan lahirlah aku. Sayang, Ibuku meninggal dunia karena penyakit
kanker saat aku masih kecil sekali. Aku bahkan tidak begitu ingat
wajah ibuku lagi. Aku hanya ingat samar-samar wajahnya yang
sering tersenyum. Maka dari itu, ketika beranjak remaja aku rajin
mempelajari Bahasa Indonesia. Mungkin dengan begitu aku bisa
lebih mengenal ibuku."
Kristal memandang Alex prihatin. "Apa kamu kesepian?"
Alex tidak menjawab, dan balik bertanya, "Kalau kamu?"
Kristal terdiam sebentar, sebelum akhirnya mulai berkata,
"Dulu sekali aku memang kesepian. Papa dan Mama meninggal
akibat kebakaran besar yang terjadi di rumahku dulu. Aku baru
berumur sepuluh tahun dan sedang tertidur di kamar saat api itu
datang. Aku terbangun dan tahu-tahu aku sudah terjebak dalam
kobaran api. Lalu aku jatuh pingsan. Kukira aku pasti sudah mati
saat itu. Tapi, tidak. Begitu aku sadar, ternyata aku selamat. Orangorang memberitahuku bahwa papalah yang menolongku saat itu.
Aku memang selamat tapi Papa tidak. Ia mengorbankan dirinya demi
aku. Rumahku habis dimakan api. Tak satu pun keluarga maupun
saudara Papa dan Mama yang mau merawat aku. Untungnya teman
mamaku, Tante Lola yang kuceritakan tadi, dan suaminya, mau
menerima aku. Aku berutang budi sekali pada mereka. "
Alex memandang wajah dingin Kristal saat ia menceritakan
masa lalunya yang pahit. Begitu banyak kepedihan yang telah terjadi
dalam hidup gadis itu. Kesedihan yang ingin ia hapus selamanya,
apabila ia mampu. "Apakah kamu trauma dengan kejadian itu?"
Kristal merenung sebentar lalu berkata, "Aku memang sempat
trauma dengan kejadian itu selama bertahun-tahun. Tapi, seseorang
telah menyelamatkan aku dari keterpurukanku itu. Meskipun orang
Kristal Ok Rev.indd 57 itu pun sekarang juga telah pergi." Kristal tidak melanjutkan katakatanya selama beberapa saat. Lagi-lagi raut wajahnya yang penuh
kepedihan itu muncul, namun ia cepat-cepat tersenyum dan berkata,
"Lain waktu akan kuceritakan padamu."
Alex tidak perlu bertanya di mana orang itu sekarang. Ia dengan
kedua tangannya sendirilah yang telah merenggut penyelamat hidup
Kristal. Alex terdiam beberapa saat dalam lamunannya yang penuh
penyesalan saat Bi Imah datang membawa makanan yang mereka
pesan dan menghidangkannya di atas meja mereka. Ia mengambil
sendok dan garpu untuk dirinya dan Kristal.
"Tidak, tidak. Jangan pakai sendok dong. Bukan begitu caranya
orang Jawa makan nasi pecel." Kristal tertawa. "Begini caranya"," ia
mencelupkan tangannya ke sebuah mangkuk berisi air lalu menyuap
nasi dengan tangannya. "Makan dengan cara begini akan membuat
nasi pecel terasa lebih lezat. Cobain deh," katanya sambil tertawa.
Alex memandangnya heran. Ia tidak pernah makan di tempat
seperti ini. Sepanjang hidupnya ia hanya makan di restoran kelas atas
yang formal di mana pemakaian pisau, sendok, dan garpu adalah
suatu keharusan. Bahkan di rumahnya sendiri pun, ia punya koki
yang ahli memasak makanan ala restoran bintang lima. Tak pernah
sekalipun ia menggunakan tangan untuk memakan nasi seperti ini.
Mau tak mau ia mulai berpikir apakah higienis makan dengan cara
seperti itu. Tapi, bila Kristal saja bisa melakukannya ia pun harus
bisa. Apalagi ia pria. Ia lalu menyuap nasi dengan tangannya. Sulit
sekali. Nasi itu terus berjatuhan. Kristal melihatnya dan tertawa.
"Bukan begitu caranya. Kamu tekan-tekan dulu nasinya hingga
agak menyatu baru dimakan dengan lauknya."
Alex mengikuti arahan Kristal dan menyuap nasi tersebut ke
dalam mulutnya. Awalnya ia merasa kaku namun lama-lama ia terbiasa
Kristal Ok Rev.indd 58 juga makan dengan tangan seperti ini. Malah ia agak menikmatinya.
Rasanya lebih bebas dan tidak perlu memedulikan sopan santun
ataupun kerapian saat makan seperti yang biasa ia lakukan.
Benar kata Kristal, masakan ini jadi terasa lebih lezat. Meskipun
ia ragu apakah rasa lezat tersebut dikarenakan ia makan dengan
menggunakan tangan atau karena ia sedang makan bersama Kristal.
Kristal memperhatikan Alex yang terlihat kikuk saat berjuang
menikmati nasi pecel dengan menggunakan tangannya. Mau
tidak mau ia jadi tertawa sendiri. Orang ini tidak tampak seperti
karyawan bank biasa. Ada sesuatu yang lebih dari itu pada diri
pria ini. Gaya berpakaiannya yang mewah, gaya berjalannya yang
berwibawa, juga gaya berbicaranya yang berwawasan, ditambah
dengan ketidakmampuannya mencuci piring. Bila diringkas menjadi
satu kata, mungkin kata tersebut adalah elite. Seorang tuan muda
yang elite. Namun, itu semua tidaklah penting bila dibandingkan
dengan kenyataan bahwa ia merasa begitu nyaman bersama Alex.
Bahkan Alex juga kehilangan ibu seperti dirinya.
Entah mengapa Kristal merasa ingin mengenal pria ini lebih
dalam. Begitu banyak kebetulan yang terjadi antara dirinya dan
Alex. Seakan sudah ditakdirkan bahwa Alex selalu ada saat ia sedang
dalam keadaan yang terlemah. Bagaimana bisa semua kebetulan
itu terjadi. Saat ia membutuhkan pertolongan, Alex ada di sana
menolongnya berkali-kali. Sungguh ajaib. Ia bahkan bisa tertawa
di hari seperti ini dikarenakan kehadiran seorang Alex. Kemarinkemarin juga hari-harinya menjadi lebih menyenangkan. Kehadiran
Alex mampu memberikan angin segar pada hidupnya yang kelabu.
Kristal berpikir, mungkinkah Alex adalah malaikat yang dikirimkan
Tuhan untuknya" Kristal Ok Rev.indd 59 Alex selalu berpikir bahwa ia adalah pria yang paling tidak berperasaan
di dunia ini, orang yang tidak berguna, yang selalu memuntahkan
emosinya pada dunia. Manusia liar. Masa-masa remajanya ia lalui
dengan membuang waktunya melakukan hal yang sama sekali tidak
berguna, membuat kekacauan dan menyusahkan hidup banyak
orang. Penyesalan" Tidak. Tak sekalipun ia pernah memilikinya.
Tidak juga cinta. Kematian ibunya yang terlalu cepat ditambah
seorang ayah yang gemar bergonta-ganti wanita membuatnya tak
lagi memercayai apa yang namanya cinta. Lagi pula tak ada seorang
gadis pun yang berhasil memikatnya sebelum ini. Mereka semua
sama saja. Wanita cantik dan penjilat, yang mendekatinya demi
harta dan kekuasaan. Ia muak akan semua itu. Tapi, Kristal berbeda.
Alex melirik gadis yang duduk manis di sebelahnya. Ya. Ada yang
berbeda dari gadis ini. Gadis ini istimewa.
Awalnya, perasaan bersalahnyalah yang membawanya hingga
sejauh ini. Namun, ia bingung mengapa hingga kini ia tidak mampu
pergi. Ke manakah perginya semua keegoisannya itu" Hilang
tergantikan oleh ketulusan dan kepedulian yang dimilikinya untuk
gadis rapuh yang sedang bersamanya sekarang. Alex si binatang
liar kini tak ada lagi. Sejak mengenal Kristal, Alex mulai serius
memikirkan masa depannya. Bekerja, mengembangkan usaha
dan membangun karier. Berkat Kristal, Alex menjadi pria yang
bertanggung jawab. Kristal membuatnya ingin berusaha menjadi
manusia yang lebih baik. Dan perasaan apakah ini, yang selalu hadir
saat ia bersama gadis ini. Kedamaian, kenyamanan, kebahagiaan
berkumpul menjadi satu. Ah, Alex enggan mengakui betapa ia
membutuhkan gadis ini di sisinya.
Setelah mengantar Kristal kembali ke apartemennya, Alex
bergegas menuju ruang kantornya yang terletak di tingkat
Kristal Ok Rev.indd 60 tertinggi Hotel The Robbins. Sebenarnya pekerjaannya amat sangat
menumpuk, tapi tentu saja ia tidak akan melewatkan waktu yang
dapat ia habiskan bersama Kristal. Hari sudah malam saat ia tiba
di ruang kerjanya. Kebanyakan karyawan sudah pulang ke rumah
masing-masing. Sebenarnya, jika bisa, ia ingin pulang ke rumah
sekarang dan tidur lebih cepat sebab ia merasa sangat lelah hari
ini. Tapi apa boleh buat, setumpuk pekerjaan sudah menanti untuk
dikerjakan. Berbagai laporan yang harus ia periksa, file yang harus
ia tandatangani, surat, dan surel yang harus ia balas segera. Alex
mendesah perlahan. Ia kembali teringat kata-kata yang diucapkan
Uncle Ben dalam film "Spiderman". "With great power comes great
responsibility." Kata-kata yang tepat sekali untuk menggambarkan
situasinya saat ini. Orang dengan kekuasaan dan jabatan setinggi
dirinya tentu saja memiliki tanggung jawab yang teramat besar. Ia
kembali mendesah. Alex baru saja menyelesaikan setengah pekerjaannya ketika
ponselnya berbunyi. Ayahnya yang menelepon. Sebenarnya ia malas
sekali berbicara dengan pria tua itu. Ia baru akan menekan tombol
reject ketika ia teringat bahwa orang itu sangatlah keras kepala.
Ayahnya tidak akan berhenti menelepon sampai ia menjawab
panggilannya. Benar-benar menyusahkan. Alex memutar bola
mata dan mengangkat ponselnya. "Apa maumu?" bentak Alex pada
kalimat pertama. Suara di seberang terdengar sangat tenang dan dingin, seakan
sudah terbiasa dengan nada kasar yang baru saja diucapkan Alex.
"Begitukah cara bicaramu kepada Ayah yang sudah tidak kautemui
selama dua tahun ini, ha"
"Sudahlah. Jangan banyak bicara. Katakan apa urusanmu
meneleponku" Tidak mungkin hanya untuk menanyakan kabar,
"kan?" tanya Alex skeptis.
Kristal Ok Rev.indd 61 Terdengar suara ayahnya mendesah. "Oke. Oke. Aku persingkat
saja. Intinya aku meneleponmu untuk mengabarkan bahwa dua
sepupumu akan datang ke Jakarta besok.
"Sepupu yang mana?" tanya Alex dingin.
"Tolonglah. Kau hanya mempunyai tiga orang sepupu. Dan,
Veline masih terlalu kecil untuk bisa berpergian. Tentu saja Steve
dan Tracey yang aku maksud. Siapa lagi" Jadi, intinya bisakah kau
bermurah hati pada ayahmu ini untuk menemani mereka selama di
sana" Ayah dengar dari Paman Louis bahwa Steve sekarang sudah
siap untuk menjalankan bisnis keluarga kita. Tolong kauajarkan
pada Steve berbagai bisnis yang kaukelola agar dia bisa belajar.
Paman Louis menelepon Ayah berkali-kali untuk memastikan Ayah
memberitahukan hal ini padamu. Ia senang sekali saat tahu Steve
akhirnya mau mulai serius sekarang. Kau tahu sendiri bagaimana
Steve. Kerjanya hanya bermain dan bermain. Benar-benar mirip
dirimu dulu." "Huh!" Alex mendengus. "Kalau aku menolak" Kau tahu aku
sudah cukup sibuk di sini. Aku tidak mau direpotkan dengan
kedatangan dua sepupuku itu," serunya, bersikeras menolak.
Ayahnya lagi-lagi mendesah. Alex bisa merasakan ayahnya
sudah tidak sabar di sana. "Well, suka atau tidak suka, mereka akan
datang. Jangan bilang Ayah tidak memperingatkanmu."
Alex menutup ponsel dengan kesal. Benar-benar orangtua yang
egois. Mengapa ia yang harus direpotkan dengan kedatangan dua
makhluk tak diundang ini. Ia mengingat-ingat sudah berapa lama
ia tidak bertemu mereka. Terakhir kali ia bertemu Tracey adalah saat
pesta ulang tahunnya yang ke lima belas, beberapa hari sebelum
keberangkatannya ke Indonesia dulu. Ia ingat dulu Tracey adalah
gadis yang sangat berisik, suka sekali mengikutinya ke mana62
Kristal Ok Rev.indd 62 mana sambil merengek-rengek. Benar-benar gadis manja. Sangat
merepotkan, pikir Alex. Lalu ada lagi Steve, kakak Tracey. Sebenarnya
dulu mereka bisa dibilang cukup dekat. Ia hanya dua tahun lebih tua
dari Steve. Alex ingat waktu kecil mereka sering bermain bersama,
berkelahi sesekali layaknya para bocah lelaki. Saat beranjak remaja
pun mereka adalah partner dalam hal membuat onar. Mereka juga
sering sekali bersaing untuk mendapatkan sesuatu. Tentu saja,
persaingan secara sehat dengan tujuan untuk bersenang-senang.
Entah sejak kapan hubungan mereka menjauh. Sejak ia memutuskan
untuk berhenti bermain-main, mungkin" Sepengetahuannya Steve
memang bukanlah tipe orang yang bisa diajak serius memikirkan
masa depan. Jika cara Alex bersenang-senang adalah dengan berbuat onar
dan menghancurkan segala sesuatu yang dilaluinya, Steve lain lagi.
Ia senang bergonta-ganti hobi, mobil, mata kuliah, dan wanita. Ia
ingat dulu Steve memiliki moto satu wanita untuk satu minggu.
Entah apa ia masih seperti itu sekarang. Steve yang ia tahu adalah
seseorang yang tidak bisa serius dan selalu berubah pikiran. Maka,
ia cukup terkejut saat tahu sekarang Steve akhirnya mau belajar
menjalankan bisnis ayahnya. Pertanyaannya adalah, berapa lama
keseriusannya kali ini" Bila melihat riwayat sebelumnya, Alex ragu
ini akan bertahan lama. Suasana Bandara Soekarno Hatta sangat ramai seperti biasa.
Alex baru menunggu di dalam mobil selama lima menit, sementara
sopirnya ia perintahkan untuk pergi menjemput Steve dan Tracey.
Alex melirik arlojinya lalu tersenyum. Ia terlambat menjemput
satu jam dan itu bukannya tanpa disengaja. Untuk apa repot-repot
menunggu. Dua sepupunya yang manis itu memang patut diberi
pelajaran sesekali. Ia merogoh ponselnya dan berniat mengetik
Kristal Ok Rev.indd 63 pesan singkat untuk Kristal, "Hai, sedang apa?" tapi buru-buru
dihapusnya pesan yang baru terketik separuh itu. Ia berpikir,
pertanyaan bodoh macam apa itu. Bisa-bisa Kristal menganggap
dirinya menganggu karena sok mau tahu urusannya. Mungkin
lebih baik bila ia menelepon saja anak buahnya yang sudah ia
perintahkan untuk mengawasi Kristal dan menanyakan keadaan
Kristal pada anak buahnya itu. Di mana Kristal sekarang, sedang
bersama siapa, apakah ia sudah makan siang. Ah, belum apa-apa dia
sudah merindukan gadis itu. Seandainya dia tidak terjebak dalam
acara penjemputan sepupu "tersayang" ini, ia pasti sudah makan siang
bersama Kristal sekarang. Tapi apa boleh buat, ia malas meladeni
ayah dan pamannya yang terus-menerus meneleponnya sedari pagi
untuk menjemput dua sepupunya itu.
Tak berapa lama ia melihat sopirnya datang bersama tiga
porter yang mengangkut beberapa koper besar. Satu koper warna
hitam dan tujuh koper warna merah muda yang ia yakin adalah
milik Tracey. Tujuh! Ia menggeleng-gelengkan kepala. Apa saja yang
dibawa gadis itu dalam kopernya. Peralatan make up, tas, sepatu,
baju-baju yang pasti luar biasa banyaknya. Padahal Alex yakin Tracey
pasti akan belanja gila-gilaan di sini. Ia tidak bisa membayangkan
berapa koper yang akan dibawanya saat kembali ke Amerika
nanti. Ia lalu melihat di belakang sang porter, tampak seorang
wanita muda bertubuh tinggi dan langsing bak supermodel. Tracey
berjalan dengan gaya nona mudanya yang biasa. Sopir membuka
pintu dan mempersilakan sang nona naik. Begitu melihat dirinya,
Tracey langsung histeris. "Aww. Alex. Aku kangen sekali padamu.
Alex kangen enggak sama Tracey" Tracey sengaja datang jauh-jauh
ke Indonesia untuk ketemu Alex. Aduh, Tracey kangen kangen
kangennnn bangetttt," celotehnya dalam bahasa Inggris, sebab tentu
saja Tracey tidak bisa berbahasa Indonesia.
Kristal Ok Rev.indd 64 "Hmm," sahut Alex malas. Gadis yang berisik. Seperti biasa,
pikirnya. "Mana Steve?" tanya Alex, juga dalam bahasa Inggris.
"Oh, Steve. Tadi dia langsung pergi naik taksi enggak tahu
ke mana. Ninggalin Tracey sendiri di airport menjaga koper-koper


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebanyak ini. Kesel deh. Alex lama banget sih. Kok telat banget
jemput Tracey?" rengek Tracey manja.
"Salah jadwal," sahut Alex santai tanpa meminta maaf sama
sekali. Ia tersenyum dalam hati. Si Steve itu memang seperti itu,
selalu seenaknya. Tidak berubah sama sekali. Ia yakin saat ini
pria itu pasti sedang berada di suatu tempat sedang menggoda para
gadis. Kristal baru saja tiba di rumah ketika atasannya Pak Rudi, seorang
event manager di kantornya menelepon untuk meminta bantuannya
mengantarkan dokumen penting yang tertinggal di kantor. Mau
tidak mau Kristal-lah yang harus pergi, sebab kunci lemari tempat
dokumen tersebut ada padanya. Kristal segera berganti baju dan
bergegas kembali ke kantor untuk mengambil dokumen tersebut.
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam ketika ia tiba di
kelab malam eksklusif tempat Pak Rudi mengadakan pertemuan
dengan klien penting. Ia menelepon Pak Rudi berkali-kali untuk
menginformasikan kedatangannya tapi teleponnya tidak juga
diangkat. Kristal memandang rombongan gadis-gadis dengan
rok mini dan high heels yang sedang berjalan di depannya, lalu
memandang dirinya sendiri. Celana jins dan t-shirt biru sederhana.
Benar-benar tidak pada tempatnya. Ia memandang sepatu berhak
rendah yang ia kenakan dan merasa lega. Untung saja ia tadi
mengurungkan niatnya untuk memakai sandal jepit. Meskipun ia
Kristal Ok Rev.indd 65 tidak begitu yakin ia akan diizinkan masuk ke dalam kelab tersebut
dengan penampilan seperti ini. Kristal kembali mencoba menelepon
Pak Rudi. Masih tidak ada jawaban. Mau tidak mau ia harus masuk
ke dalam dan mencari Pak Rudi atau ia terpaksa harus menunggu
semalaman di tempat parkir. Ia mendesah, lalu berjalan enggan ke
arah pintu masuk kelab. Untungnya hari ini ladies night, jadi ia
tidak perlu membayar uang masuk.
Setelah pengecekan kartu identitas ia pun melangkahkan
kakinya ke dalam kelab. Sebenarnya Kristal benci berada di tempat
seperti ini. Bisingnya house music yang memekakkan telinga, bau
asap rokok yang memenuhi ruangan, membuat napasnya terasa
sesak. Belum lagi pria-pria mabuk yang gemar menggoda dan
menyentuh wanita dengan tidak hormat. Sekarang saja, ia bisa
melihat beberapa di antara mereka memandang dirinya dengan
pandangan mesum. Beberapa bahkan tersenyum menggoda,
memberikan sinyal-sinyal, siapa tahu salah satu di antara gadisgadis yang mereka incar tertarik dan mau menanggapi. Kristal
memalingkan mukanya. Demi Tuhan, beberapa di antara pria
tersebut berusia dua kali usianya. Mau tidak mau ia merasa kasihan
pada anak dan istri mereka di rumah. Mereka pasti tidak tahu ulah
suaminya di malam hari. Mungkin mereka beralasan bekerja lembur
di kantor atau sedang ada urusan bisnis di luar kota, padahal priapria tersebut tengah asyik bercumbu dengan wanita lain. Kristal
memandang mereka dengan jijik. Awas saja kalau sampai ada
yang berani menyentuhnya. Ia tidak akan segan menampar atau
menendang bagian sensitif mereka. Kristal tersenyum mengingat
bertahun-tahun yang lalu saat Rey mengajarkannya membela diri
dari lelaki hidung belang yang mungkin Kristal temui. Saat itu ia
berpikir semua itu tidaklah perlu. Toh, ada Rey yang akan selalu
Kristal Ok Rev.indd 66 melindunginya. Tidak disangka pelatihan dari Rey itu mungkin
bisa menjadi hal yang berguna untuknya sekarang.
Tak mau membuang waktu Kristal segera berkeliling mencari
Pak Rudi. Ia melewati seorang pria tampan dengan wajah blasteran
yang sedang asyik meneguk sebotol besar Chivas. Dua gadis
seksi tampak di kedua sisinya menggelayut manja, tampak sama
mabuknya dengan pria tersebut yang sekarang sibuk menggerayangi
tubuh gadis-gadis itu. Kedua gadis tersebut hanya cekikikan lalu
menciumi leher, dada dan bibir sang pria. Kristal menggelengkan
kepala menyaksikan adegan tak senonoh tersebut. Banyak
adegan panas yang bisa dilihat langsung di kelab malam dan para
pelakonnya tidak merasa malu untuk memerankannya.
Pak Rudi tampak duduk di sofa area VIP bersama beberapa
klien. Beberapa di antara mereka tampak mabuk dan tertawa-tawa
sendiri. Pak Rudi sendiri tampaknya kewalahan menghadapi ulah
para kliennya ini. Ia sibuk menuang bir ke gelas beberapa pria yang
sepertinya adalah orang penting dari perusahaan tersebut. Kristal
cukup mengenal Pak Rudi dan ia tahu Pak Rudi bukanlah tipe pria
yang senang dengan hal semacam ini. Tapi, terkadang beginilah
risiko suatu pekerjaan. Kita terpaksa harus tetap menjalaninya
dengan senyuman, suka atau tidak suka.
Tidak berlama-lama, Kristal segera menyerahkan dokumen
tersebut lalu ia pun pamit pulang. Ia sempat memandang Pak
Rudi dengan prihatin. Bisa dibayangkannya malam ini Pak Rudi
terpaksa harus tetap tinggal di sini menemani klien hingga larut
malam, meninggalkan anak istrinya di rumah. Meskipun merasa
prihatin, Kristal tidak menyangkal betapa lega hatinya saat ia
menginjakkan kakinya keluar kelab. Udara bersih bebas asap
rokok menyambutnya dan langkahnya langsung terasa ringan. Ia
Kristal Ok Rev.indd 67 bergegas mencari taksi yang bisa membawanya pulang ke rumah
sebab dirinya merasa sangat lelah dan mengantuk. Sudah tidak sabar
rasanya untuk segera berbaring di tempat tidur.
Setengah jam sudah Kristal menunggu di depan pintu kelab.
Taksi yang diharapkan tak kunjung lewat. Ia lalu memutuskan
berjalan ke arah jalan raya. Siapa tahu kesempatannya lebih besar
untuk mendapatkan taksi. Masalahnya, untuk mencapai jalan raya,
Kristal harus melewati lapangan parkir yang cukup sepi. Maklum,
kelab tersebut terletak di dalam mal, dan pada tengah malam seperti
ini mal sudah tutup. Tapi, apa boleh buat. Ia tak mau berlama-lama
di depan kelab seperti ini. Maka Kristal pun berjalan dengan cepat
melewati parkiran mal yang sudah tutup itu.
Setelah sekitar lima menit ia berjalan menuju pintu keluar,
tiba-tiba ia mendengar suara orang yang sedang merintih dari arah
sudut area parkir. Seorang pria tampak tergeletak di sana. Tubuhnya
dipenuhi luka. Kristal menduga pria itu habis dipukuli ramai-ramai.
Ia memandang wajah pria tersebut dan tersentak. Ia teringat pria itu
adalah pria blasteran yang ia lihat di dalam kelab tadi. Pria tersebut
mengerang perlahan, lalu membuka matanya. Ia memandang wajah
Kristal lama tanpa berkata apa-apa sebelum akhirnya pingsan
dan tak sadarkan diri. Melihat sosok di hadapannya itu Kristal
langsung panik. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia segera berlari
memanggil bantuan. Sempat terpikir olehnya untuk kembali ke
arah klub dan meminta bantuan para sekuriti di sana. Tapi, ia
mengurungkan niatnya. Mungkin akan lebih cepat bila ia langsung
membawa pria ini ke rumah sakit. Kristal tidak tahu separah apa
keadaan pria itu saat ini, dan akan lebih aman bila dokter yang
langsung menanganinya. Ia lalu berlari ke arah jalan raya. Kali ini
ia lebih beruntung. Sebuah taksi lewat di hadapannya. Kristal segera
Kristal Ok Rev.indd 68 menghentikannya dan menyuruh sopir taksi itu menjemput pria
asing yang terluka tersebut lalu membawanya ke rumah sakit.
Alex memandang jam di dinding. Sudah hampir jam makan
siang. Belum ada tanda-tanda kehadiran Steve sejak kemarin. Ia
mendengar laporan dari resepsionis hotel bahwa Steve sudah check
in dari kemarin sore lalu memesan taksi dan pergi entah ke mana.
Sudah gilakah pria itu" Steve sama sekali tidak tahu apa-apa soal
ibu kota. Belum lagi masalah bahasa yang tidak ia kuasai. Nekat
sekali. Alex mencoba menghubungi nomor ponsel sepupunya itu
berkali-kali tetapi ponselnya sama sekali tidak aktif. Alex menghela
napas kesal. Ia hanya bisa berharap semoga saja tidak terjadi apaapa pada pria badung itu.
Beberapa saat kemudian saat pikiran Alex sudah mulai
teralihkan dengan pekerjaannya yang menumpuk, pintu kantornya
tiba-tiba dibuka. Seorang pria masuk dengan santai tanpa perlu
repot mengetuk pintu terlebih dahulu. Alex memandang pria itu
lalu memutar bola matanya.
"Hei. Ke mana saja kau semalaman" Aku baru saja akan
mengerahkan anak buahku untuk mencari tahu keberadaaanmu."
Steve berjalan perlahan lalu merebahkan tubuhnya di sofa.
Wajahnya terlihat lusuh. Beberapa luka memar tampak di wajahnya.
Salah satu matanya tampak lebam kebiruan.
Alex terkejut melihatnya, tapi ia tidak heran. Pada zaman dulu,
Steve dan dirinya memang sering pulang dengan wajah biru-biru
akibat terlibat perkelahian. "Ada apa dengan wajahmu" Gadis siapa
yang kau rayu?" "Hahaha. Lucu sekali. Jangan tanya deh. Aku baru saja melewati
malam yang panjang. Tingkat keamanan di sini lebih parah daripada
Kristal Ok Rev.indd 69 New York, kau tahu" Percaya tidak, aku baru saja dirampok di
parkiran kelab! Mereka mengambil dompet, jam tangan, ponsel,
lalu beramai-ramai memukuli aku. Kurang ajar betul orang-orang
itu. Kau harus lakukan sesuatu. Temukan mereka. Aku sudah tidak
sabar membalas pukulan mereka satu per satu."
"Tenang saja, akan segera kuurus. Tapi, are you okay?"
"Well, antara ya dan tidak."
Alex menaikkan satu alisnya. "Maksudnya?"
Steve tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku baru saja menemukan malaikatku"
Alex memandang Steve bingung. "Apa perampok itu memukul
kepalamu" Kamu terdengar sinting sekarang."
Steve tertawa mendengarnya. "Seorang gadis menyelamatkan
aku, Alex! Seorang gadis! Gadis dengan wajah malaikat. Aku rasa
aku jatuh cinta pada pandangan pertama padanya. Sayang sekali
aku tidak tahu namanya."
"Okay. Jadi, kamu terpikat pada gadis itu. Well, bagus buatmu.
Telepon saja dia. Kencan atau semacamnya-lah. Bukannya kau ahli
dalam hal-hal semacam itu" Ya kan, Tuan Penakluk Wanita?"
Steve lalu mengembuskan napas dan menundukkan kepalanya.
Ia terlihat kecewa. "Aku juga tidak tahu nomornya atau di mana
tempat tinggalnya. Saat aku tersadar di rumah sakit keesokan
harinya, gadis itu sudah menghilang."
Alex tersenyum geli sambil menggelengkan kepalanya. "Aku
tebak kamu pasti mabuk saat itu. Kamu yakin kamu tidak sedang
mengkhayal, huh?" "Tentu saja tidak. Gadis itu benar-benar nyata dan aku pasti
bisa menemukan malaikatku itu." Steve tertawa penuh keyakinan.
"Lihat saja nanti."
Kristal Ok Rev.indd 70 Alex tersenyum geli. "Semoga berhasil kalau begitu."
Steve hanya mengacungkan jempolnya.
"Oh, ya, Paman meneleponku terus tadi pagi. Ia menanyakanmu. Ponsel-mu tidak diangkat, katanya. Andai dia tahu kalau
anaknya baru saja dirampok."
"Yeah, nanti malam aku akan meneleponnya. Aku sedang malas
berbicara padanya. Ia selalu menyuruhku untuk mulai serius bekerja
dan memikirkan masa depan. Ia bahkan mulai sering membandingbandingkanku denganmu. Yang benar saja, masa iya aku akan
menghabiskan masa mudaku menjadi tuan super serius sepertimu.
Maaf saja, aku tidak tertarik untuk menjadi botak di usia muda.
Alex memandangnya bingung. "Sebentar, sebentar. Bukannya
kau di sini untuk bekerja dan mengembangkan bisnis hotel
bersamaku" Itu yang dikatakan ayahmu pada ayahku."
Steve mengembangkan senyum iblisnya. "Itu adalah trikku
saja untuk melepaskan diri dari celotehan ayahku. Tentu saja aku
di sini untuk bersenang-senang bersamamu."
Sudah kuduga, pikir Alex. Tidak mungkin seorang Steve tibatiba memutuskan serius bekerja. "Terserah kau sajalah. Tapi sebagai
sepupumu, aku mulai khawatir padamu, tahu" Maksudku, sampai
kapan kau mau bersenang-senang terus?"
Steve memutar bola matanya. "Tolonglah, Alex. Kita masih
muda. Ayahmu dan ayahku adalah dua pebisnis hebat. Bisnis
ayah kita tidak akan jatuh secepat itu. Toh, nanti ada saatnya-lah
aku serius. Sekarang kita nikmati dulu masa muda kita selagi
bisa, sebelum kita terjebak dalam kejamnya dunia bisnis. Malah,
aku heran padamu. Bisa-bisanya kau meninggalkan hari-hari
menyenangkan kita dulu. Apa bagusnya sih negara ini hingga kau
betah sekali di sini?"
Kristal Ok Rev.indd 71 Alex hanya diam mendengarnya.
Steve lalu berdiri dan menepuk bahunya "Ayolah Brother. Kita
have fun malam ini. Let"s hit the club! Kita bersenang-senang seperti
dulu." Alex mengembuskan napas frustasi. "Hah" Kamu baru kemarin
dirampok di kelab, ingat?"
"Ah, hanya luka kecil," jawab Steve santai. "Jadi" Kita pergi
nanti malam?" Alex berjalan menjauhi Steve dan bergerak ke arah brankas.
"Tidak. Aku masih banyak pekerjaan hari ini. Kamu pergi saja
sendiri." Steve berdecak heran, "Kamu sudah berubah sekali, Lex. Ah,
ke mana perginya Alex yang dulu" Sahabat seperjuanganku yang
menyenangkan dan gemar membuat onar?"
"Kurasa, dia sudah lama mati," jawab Alex datar.
Kristal memikirkan pria asing yang ia temui kemarin malam.
Sebenarnya ia agak merasa bersalah karena meninggalkan pria itu
begitu saja di rumah sakit kemarin. Tapi setelah dipikir-pikir lagi,
kenapa ia harus merasa bersalah. Toh, ia tidak mengenal pria tersebut
sama sekali. Apalagi seharian ini, hari Kristal berjalan sangat, sangat
baik. Ia tidak ingin harinya dirusakkan oleh rasa bersalah yang tidak
perlu. Ia memandang aula tempat resepsi pernikahan akan diadakan
beberapa hari ke depan. Pak Rudi memberi dirinya tanggung jawab
mengurus dekorasi ruang resepsi pernikahan beserta menu yang
akan dihidangkan untuk para tamu undangan. Ia sendiri sudah
sibuk sedari pagi mondar-mandir ke sana kemari untuk memastikan
tidak ada kesalahan apa pun yang akan terjadi saat pesta diadakan
Kristal Ok Rev.indd 72 nanti. Meeting dengan para koki, mencetak daftar menu, mengganti
taplak meja, dan lain sebagainya.
Kristal tengah sibuk mendekorasi panggung saat jam
menunjukan pukul lima sore. Tampaknya ia harus bekerja lembur
hari ini. Tak masalah. Ia malah bersyukur karenanya. Kerja lembur
berarti ia akan mendapatkan tambahan gaji yang sangat ia butuhkan
untuk membayar sewa apartemen, uang sekolah anak-anak, dan
berbagai kebutuhan sehari-hari. Hanya satu masalah. Lantaran ia
harus menemani Pak Rudi meeting dengan klien hari ini, Kristal
terpaksa harus menggenakan pakaian yang pantas. Awalnya sih
tidak apa-apa. Tapi setelah beberapa jam, rok mini ketat dan sepatu
berhak tinggi yang ia gunakan mulai terasa menganggu. Apalagi
seharian ini, ia bergerak terus ke sana kemari mengurusi dekorasi
dan sebagainya. Ia merasa sangat tidak nyaman. Ia menepuk
jidatnya sendiri dan berpikir betapa bodohnya ia karena sampai
lupa membawa baju ganti dan sepatu berhak rendah yang bisa
membuatnya lebih leluasa bergerak. Untungnya saat ini, semua
karyawan sudah banyak yang pulang. Hanya tinggal dia sendiri
yang berada di ruang resepsi jadi ia bisa melepas sepatu berhak
tingginya yang menyiksa itu.
Setelahnya, Kristal mulai merasa nyaman bergerak ke sana
kemari, naik turun tangga tanpa mengenakan alas kaki. Ia sedang
menyusun balok-balok nama kedua mempelai yang akan menikah
di dinding tengah panggung, ketika ia menyadari lem untuk
merekatkan balok balok itu sudah habis isinya. Terpaksa ia harus


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambil lem baru yang disimpan di gudang penyimpanan di
samping kolam renang. Kristal menghela napas kesal. Ini akan
membuang waktunya, sebab kolam renang terletak agak jauh
dari hall resepsi, tapi ia tahu ia harus segera bergegas bila tidak
Kristal Ok Rev.indd 73 mau pulang terlalu telat hari ini. Ia segera keluar pintu hall,
melewati lorong menuju lift dan memencet tombol turun. Gudang
penyimpanan terletak dua lantai dari tempatnya sekarang, dan ia
harus melewati area kolam renang untuk menuju sana.
Hanya terdapat beberapa orang yang sedang berenang di kolam.
Tiga pria, dua wanita dan lima anak kecil, Kristal menghitung dalam
hati. Ia melihat dua anak kecil sedang berlarian di dekat kolam
dalam. Dipandangnya sekeliling area kolam namun ia tidak melihat
ayah ataupun ibu mereka di sana. Bahkan pengawas kolam renang
pun tak tampak batang hidungnya. Kristal jadi khawatir untuk
melepaskan anak-anak ini tanpa pengawasan. Ia mengingatkan
dirinya untuk melapor pada resepsionis sebelum kembali ke hall
resepsi nanti. Kristal mempercepat langkahnya menuju gudang
penyimpanan, mengaduk-aduk isi laci dan menemukan beberapa
bungkus lem. Ia mengambil dua buah lem yang masih baru dan
menaruhnya dalam kantong bajunya, lalu segera menuju resepsionis
untuk meminta pengawas kolam renang mengawasi anak kecil
tadi. Setelah memastikan pengawas kolam renang berada di area
kolam renang, ia merasa lega dan segera memencet lift ke atas untuk
kembali ke ruang resepsi. Kristal melihat lift tersebut berhenti di
lantai paling tinggi, dan tidak bergerak turun. Ia lalu memutuskan
naik tangga saja, toh, ruang resepsi hanya dua lantai di atas, pikirnya.
Kristal mulai berjalan ke arah tangga, dan naik ke dua lantai di
atasnya, lalu berjalan melewati lorong menuju ruang resepsi. Koridor
tersebut terlihat gelap dan sepi. Ia melirik arlojinya. Pukul tujuh
malam. Pasti office boy yang bertugas di lantai tersebut mengira
sudah tidak ada orang lagi di sana dan mematikan lampu koridor. Ia
menoleh ke sana kemari mencari office boy, tapi tak ada siapa-siapa
Kristal Ok Rev.indd 74 di sana. Sudahlah, pikirnya, ia kembali saja ke ruang resepsi. Toh,
lampu di ruangan tersebut masih menyala. Ia hanya perlu melewati
koridor gelap ini pelan-pelan. Untungnya koridor tersebut tidak gelap
total, paling tidak ia masih bisa melihat ke mana ia melangkah.
Kristal pun bergegas berjalan melewati koridor tersebut.
Kira-kira setengah jalan, Kristal merasa seperti ada yang
mengikuti dia dari belakang. Ia menghentikan langkahnya dan
menoleh ke belakang. Sesosok pria bertubuh tinggi tampak berjalan
ke arahnya. Kristal tidak bisa melihat wajahnya karena gelap, tapi
ia dapat melihat bahwa pria tersebut hanya menggenakan jubah
mandi. Kristal langsung panik. Di lantai itu hanya terdapat ruangan
pertemuan dan aula yang biasa dipakai untuk pesta pernikahan
dan semacamnya. Kamar menginap tamu terletak mulai dari lantai
di atas lantai ini. Untuk apa pria itu ada di sini. Kristal berusaha
berpikir positif. Setengah berlari, ia meneruskan langkahnya menuju
ruang resepsi, dan langsung menutup pintu ruang tersebut, berpikir
untuk mengunci pintu secepatnya. Sial, kuncinya tidak ada di sana.
Ia teringat ia meletakkan kunci tersebut di atas meja depan panggung.
Kristal segera berlari mengambil kunci dari atas meja. Tepat ketika
ia meraih kunci tersebut, ia mendengar pintu ruangan dibuka. Pria
tadi berdiri di sana menatapnya. Kristal langsung panik. Hanya
ada mereka berdua di lantai itu dan ia yakin suaranya tidak akan
terdengar apabila ia berteriak minta tolong. Kristal berseru padanya,
"Maaf, tamu tidak diperbolehkan berada di ruang resepsi"
Pria tersebut tidak mengindahkannya dan terus berjalan
mendekat dan semakin dekat. Kristal menoleh ke kiri dan kanan
mencari benda apa pun yang bisa digunakannya sebagai senjata
untuk melindungi diri. Ia meraih lampu senter yang ada di meja.
Lumayanlah bila diayunkan ke batok kepala, pikirnya. Pria tersebut
Kristal Ok Rev.indd 75 terus berjalan mendekatinya. Ia bisa melihat wajah pria itu sekarang.
Wajah yang tidak asing. Ia mencoba mengingat-ingat di mana ia
melihat pria itu sebelumnya. Ah, Kristal terperanjat. Pria yang ia
tolong kemarin malam. Ia lalu bertanya hati-hati, "Kamu pria yang
pingsan kemarin, ya?"
Pria itu diam sejenak. Kristal mulai berpikir jangan-jangan ia
salah orang. Tapi, pria tersebut akhirnya mulai membuka mulutnya.
"Can you speak english?"
Oh, ternyata pria asing ini tidak bisa berbahasa Indonesia. Ia
lega karena ia telah memperdalam kemampuan berbahasa Inggrisnya
beberapa tahun belakangan. "Ya, aku bisa. Apakah kamu pria yang
pingsan kemarin?" tanya Kristal dalam Bahasa Inggris.
Pria tersebut tampak lega dan tertawa. "Ah, senangnya. Aku
takut salah orang. Tadi aku sedang berenang dan melihatmu berjalan
di depanku, lalu aku mengikutimu kemari. Ternyata benar, kamu
adalah malaikat yang menolongku kemarin."
Pantas pria itu memakai jubah mandi. Ternyata pria itu
habis berenang. Kristal tersenyum geli. Malaikat, katanya. Aneh
sekali mendengar seseorang menyebut dirinya malaikat. "Aku
bukan malaikat. Tapi ya, aku yang membawamu ke rumah sakit
kemarin." Pria tersebut mengangguk-angguk. "Oh, namaku Steve. Terima
kasih sudah menolongku kemarin. Bila tidak ada kamu, mungkin
aku sudah dibiarkan tergeletak semalaman di area parkir dengan
tubuh lebam." "Tidak apa-apa, aku senang bisa membantu. Maaf aku
meninggalkan kamu di rumah sakit sebelum kamu sadarkan diri.
Aku kerja pagi soalnya."
Kristal Ok Rev.indd 76 "Jangan khawatir. Aku sudah cukup berterima kasih karena
kamu sudah membawaku ke rumah sakit. Ngomong ngomong,
kamu kerja di sini" Kristal mengangkat bahu, "Begitulah."
Kristal melihat mata Steve berbinar. "Oh ya" Di bagian apa?"
"Bagian event organizer. Aku mengurusi acara yang diadakan
di hotel ini. Dan, maaf kalau aku tidak sopan, tapi aku benar-benar
sibuk sekarang. Masih banyak yang harus aku kerjakan."
Steve tersenyum mengerti, "Ah, maaf aku sudah menganggu.
Baiklah, aku akan meninggalkanmu sekarang. Trims. Sampai ketemu
lain waktu." Steve memandangnya sejenak. "Pasti," katanya sambil
tersenyum penuh tanda tanya.
Kristal Ok Rev.indd 77 Empat MOOD Alex hari itu sangat jelek. Lambungnya terasa sakit sekali
akibat maag-nya yang kambuh. Ia juga kalah dalam memenangkan
tender bisnis, belum lagi dengan adanya Tracey yang terus
mengikutinya ke mana-mana seharian ini, membuat darahnya
seakan naik hingga ke ubun-ubun. Dan, yang paling membuatnya
frustasi adalah karena ia tidak bisa bertemu Kristal lagi hari ini.
Kalau dipikir-pikir sudah dua hari ini mereka tidak bertemu. Alex
penasaran apa yang sedang dilakukan Kristal sekarang. Waktu ia
menelepon gadis itu untuk mengajaknya makan tadi siang Kristal
menolaknya karena sedang banyak pekerjaan. Alex kesal sekali.
Ia hampir memanggil manajer Kristal untuk menegurnya. Beraniberaninya ia memberikan terlalu banyak pekerjaan untuk Kristal.
Namun saat ia kebetulan lewat dan melihat Kristal yang tengah
sibuk bekerja, ia mengurungkan niatnya. Kristal tampak sangat
menikmati kesibukannya ini. Sudahlah, pikirnya. Yang penting
Kristal senang. Nanti ia akan menyuruh manajer Kristal untuk
memberikan uang lembur dalam jumlah besar. Maka Alex pun
Kristal Ok Rev.indd 78 memutuskan untuk memejamkan mata sejenak di kursinya. Ia
mengantuk sekali. Mungkin pengaruh obat maag yang ia minum.
Ia baru terbangun beberapa saat kemudian karena men"dengar
pintu kantornya dibuka dengan keras. Kepalanya pusing sekali.
Entah sudah berapa lama ia tertidur. Ia memandang sang penganggu
yang sedang berdiri di depannya. Steve, tentu saja. Siapa lagi yang
berani kurang ajar memasuki kantornya tanpa mengetuk pintu.
"Terima kasih sudah membangunkan tidurku, Steve. Dan ya,
terima kasih untuk tidak mengetuk pintu," sindirnya.
Steve hanya nyengir. "Sorry," ucapnya singkat, tapi Alex tahu
Steve tidak benar-benar meminta maaf.
Ia mendesah. "Apa maumu" Kalau untuk mengajakku ke kelab,
maaf saja, aku tidak tertarik."
Steve masih nyengir dengan senyum tololnya. "Wow, easy bro.
Bukan untuk itu aku ke sini."
"Jadi?" tanya Alex.
"Well, beri aku pekerjaan di sini"
Alex memandang Steve bingung. "Katamu kau tidak berencana
untuk bekerja di sini?"
"Aku berubah pikiran," kata Steve sambil mengangkat bahu.
Alex memandang pria itu curiga. "Kau tahu bahwa aku
tidak menoleransi ketidakseriusan dalam bekerja, "kan" Bila kau
berencana untuk bermain-main. Maka lupakan saja niatmu itu."
Steve memutar bola mata. "Ayolah. Tak bisakah kau
memercayaiku sedikit?"
Alex menimbang-nimbang perkataan Steve sebentar, lalu ia
berkata "Oke, tidak masalah. Aku bisa memberikan jabatan wakil
direktur untukmu." Kristal Ok Rev.indd 79 "Tidak, tidak, tidak. Aku tidak mau jabatan itu. Biarkan
aku belajar dari bawah dulu agar aku bisa mengenal bisnis hotel
ini dengan lebih baik. Jabatan event manager sepertinya cocok
untukku." Alex menatap Steve tidak percaya. "Kau" Mengurus event" Apa
kau serius?" Steve menyunggingkan senyumnya. "Serius sekali. Aku selalu
berhasil membuat pesta apa pun yang kuhadiri menjadi meriah,
bukan" Mengurus acara seperti itu adalah hal yang mudah bagiku.
Tenang saja, aku akan buat event apa pun yang diadakan di hotel
ini menjadi acara yang fenomenal. Oh ya, dan aku sepertinya
akan membutuhkan seorang asisten untuk membantuku bekerja
nanti" "Oke, akan kusiapkan untukmu."
"No no. Tidak perlu. Aku akan pilih sendiri asistenku. Yang
penting kau setuju saja. Oh, ya, jangan lupa memberi tahu event
manager yang sekarang soal pergantian posisi ini. Aku perlu
mengambil alih dokumen-dokumen yang ada padanya."
Alex mendesah, "Baiklah, terserah kau saja. Kapan kau akan
mulai bekerja?" "Lebih cepat lebih baik. Besok?"
Alex mengangkat bahu lalu berkata, "Oke. Selamat bergabung
dalam keluarga besar Hotel De Robbins"
Steve hanya tersenyum geli. Ia membayangkan bagaimana raut
muka Kristal saat tahu bahwa mereka ternyata bekerja di satu divisi.
Terlebih bahwa dirinya adalah manajer Kristal yang baru.
Alex melihat perubahan muka Steve, tapi ia tidak terlalu
memikirkannya. "Jadi, bagaimana dengan malaikat yang kauceritakan
kemarin" Sudahkah kau menemukannya?" tanya Alex basa-basi.
Kristal Ok Rev.indd 80 Steve memain-mainkan gelas minuman di tangannya. "Tentu
saja. Tapi, aku belum mau menceritakan detailnya padamu. Yang
jelas, tak lama lagi aku pasti berhasil mendapatkan gadis itu."
Alex menggeleng-gelengkan kepala. "Kau dan hobi burukmu
itu. Kapan kau bisa berhenti mempermainkan wanita, huh?"
"Well, siapa bilang aku bermain-main" Mungkin saja kali ini
aku serius." "Kau" Serius" Yang benar saja."
Steve mengangkat bahu. "Kita lihat saja nanti."
Alex tidak berkomentar apa-apa lagi. Ia tidak yakin bila Steve
bisa serius mengejar satu wanita. Tapi, sudahlah, ia tidak peduli.
Steve bebas melakukan apa yang ingin dia lakukan. Sekarang, ia
harus segera pergi dari sini untuk menemui Kristal. Alex melirik
jam dindingnya. Pukul delapan malam. Kristal pasti sudah berada di
apartemennya. Alex meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat.
Hai, kamu di mana" Mau makan malam" Balasan Kristal datang
tak lama kemudian. Enggak bisa nih. Aku masih di hotel, malam ini aku lembur Alex
memandang pesan balasan Kristal tak percaya. Sudah jam segini
dan gadis itu masih belum selesai bekerja. Alex segera beranjak dari
tempat duduknya dan berjalan menuju pintu. Steve mencegahnya
sebelum ia sempat meraih gagang pintu.
"Mau ke mana kau sekarang?"
"Aku ada urusan," jawab Alex tidak sabar.
"Aku ikut. Aku bosan sekali di sini."
"Lain kali, oke" Aku sibuk sekali sekarang. Bye," kata Alex,
seraya membuka pintu dan berjalan cepat meninggalkan ruang
kantornya. Ia memencet nomor telepon pengawal setianya dan
langsung menghardik pria itu.
Kristal Ok Rev.indd 81 "Ben, ngapain saja kau seharian ini" Kenapa kau enggak
melapor kalau Kristal masih bekerja hingga jam segini, hah?"
Suara pria di seberang terdengar ketakutan. "Maaf Pak, saya
tidak tahu kalau Nona Kristal masih di hotel. Terakhir saya cek,
ruang kantor sudah kosong. Saya kira Nona Kristal sudah pulang
dari tadi." Alex mendesah kesal. "Sudahlah, cepat cari tahu di mana Kristal
sekarang." "Baik Pak. Segera!" jawab Ben.
Sekitar dua menit kemudian, Ben menelepon Alex dan
memberitahunya bahwa Kristal sedang berada di ruang resepsi lantai
tiga. Alex pun segera beranjak ke sana. Lantai tiga terlihat sangat
gelap. Alex mempercepat langkahnya. Pintu ruang resepsi sedikit
terbuka sehingga ia bisa mengintip ke dalam. Kristal tampak di
sana, sedang merangkai bunga-bunga palsu untuk keperluan acara
nikah. Alex terus memperhatikan Kristal tanpa bersuara. Kristal
pasti sudah sangat lelah, namun ia tetap saja bersemangat. Sebegitu
pentingnyakah tambahan uang yang bisa gadis itu dapatkan dengan
bekerja lembur seperti ini" Seandainya saja Alex bisa memberikan
Kristal uang sebanyak apa pun yang diperlukan agar gadis itu tidak
perlu lagi bersusah payah bekerja seperti ini. Tapi, tentu saja hal itu
akan menimbulkan kecurigaan Kristal. Hal terbaik yang bisa ia
lakukan adalah memberikan pekerjaan di hotel ini, sehingga paling
tidak ia bisa mengawasi dan melindungi gadis itu diam-diam.
Alex jugalah yang mengatur agar Kristal bisa tinggal di
apartemen yang sekarang ditinggali gadis itu dengan harga sewa
yang sangat murah. Tentu saja apartemen itu adalah miliknya.
Ia membeli apartemen itu dan menyuruh anak buahnya mencari
orang yang dapat berpura-pura menjadi pemilik apartemen untuk
Kristal Ok Rev.indd 82 menerima uang sewa Kristal setiap bulannya. Alex juga sengaja
tinggal di apartemen seberang apartemen Kristal. Ia sengaja tidak
tinggal di apartemen yang sama untuk menghindari kecurigaan.
Paling tidak ia bisa dekat dengan Kristal dan tidak perlu khawatir
bila terjadi sesuatu pada gadis itu. Meskipun tentu saja apartemen


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ia tinggali sekarang jauh lebih kecil ukurannya dibandingkan
penthouse Hotel De Robbins yang ia miliki ataupun kondominium
mewah mana pun di Jakarta yang sanggup dibelinya. Ia tidak
keberatan. Malah, ia merasa damai dengan tempat tinggalnya yang
sekarang. Ia bisa melihat teras apartemen Kristal dari apartemennya
dengan menggunakan teropong. Kristal sering menjemur baju di
sana atau sekadar duduk-duduk sambil membaca buku.
Ia ingat saat dulu Kristal belum mengenalnya, Alex sering
mengikuti Kristal diam-diam. Ia melihat gadis itu keluar dari
gerbang apartemennya saat berangkat ke kantor pagi-pagi. Alex lalu
mengikuti gadis itu dengan mobilnya dari belakang. Melihat gadis
itu berjalan ke terminal bis, menunggu sebentar hingga bis tersebut
tiba. Kemudian Alex pun mengikuti bis yang membawa Kristal
ke tempat tujuan gadis itu, dan baru meninggalkan Kristal setelah
memastikan gadis itu tiba di kantor dengan selamat.
Alex terkenang tahun-tahun jauh sebelum itu, saat pertama
kali ia menemui Kristal. Gadis itu sedang bekerja sebagai waitress di
rumah makan cepat saji. Saat itu adalah hari pertama ia menginjakkan
kaki di Jakarta setelah dua tahun lamanya ia mendekam di penjara
remaja California. Alex menghampiri rumah makan tersebut
dan berpura-pura memesan minuman. Ia duduk di sudut yang
tersembunyi dari pandangan sambil terus menundukkan kepala
dan berharap topi yang ia kenakan dapat menutupi wajahnya. Entah
mengapa, ia tidak ingin gadis itu melihat wajahnya. Lalu, dengan
Kristal Ok Rev.indd 83 hati-hati Alex memperhatikan Kristal dari tempat duduknya. Gadis
itu terlihat sangat kurus dan rapuh. Lingkar matanya menghitam
dan tulang pipinya terlihat menonjol. Tubuhnya sangat ringkih,
hanya tulang berbalut kulit. Gadis itu mengangkut gelas-gelas dan
piring-piring kotor dari atas meja dan membawanya ke dapur, lalu
ia pun membersihkan meja tersebut dengan lap basah. Begitu terus
hingga jam kerjanya berakhir. Alex melihat gadis itu berbincang
sebentar dengan atasannya sebelum berjalan ke dalam toilet untuk
berganti pakaian. Alex lalu beranjak keluar dan menunggu gadis
tersebut di dalam mobilnya.
Kristal keluar dari rumah makan tersebut lima belas menit
kemudian dengan pakaiannya yang kasual. Ia melihat gadis itu
melirik jam tangannya. Wajahnya terlihat panik, lalu ia buru-buru
menghentikan taksi yang lewat. Alex mengikuti taksi itu dari
belakang. Ia mengira gadis itu akan pulang ke rumahnya, tapi tidak.
Ia berhenti di bangunan yang ternyata kampus kecil. Alex melihat
Kristal membayar taksi yang mengantarnya, lalu segera berlari ke
dalam kampus. Alex menyuruh sopirnya untuk berhenti dan ia pun
cepat-cepat berlari mengikuti Kristal. Ia melihat gadis itu memasuki
ruang kelas dan duduk paling belakang. Pelajaran sudah dimulai dan
sepertinya Kristal sudah cukup terlambat. Alex memperhatikan dari
balik jendela ruang kelas tersebut saat gadis itu mengambil buku
pelajaran dari dalam tasnya dan mulai mencoret-coret di bukunya
apa yang dijelaskan dosennya itu.
Alex menunggu selama beberapa jam hingga kelas berakhir.
Ia melihat gadis itu melangkah keluar kelas dengan tampang letih.
Tentu saja, pikir Alex. Bagaimana tidak. Gadis itu bekerja dari pagi
hingga sore dan mengambil mata kuliah pada malam harinya. Tidak
heran bila gadis itu lelah. Alex memandang Kristal prihatin. Usia
Kristal Ok Rev.indd 84 gadis tersebut beberapa tahun lebih muda darinya. Menurut data
yang ia peroleh dari anak buahnya, gadis itu bahkan belum genap
berusia delapan belas tahun.
Dari data tersebut, ia juga tahu bahwa Kristal dulunya
tinggal bersama orang tua Reygan selama beberapa tahun sebelum
akhirnyamemutuskan tinggal sendiri beberapa bulan belakangan
di rumah kos-kosan di daerah kumuh. Gadis itu bahkan menolak
segala jenis bantuan yang ditawarkan orang tua Reygan dan lebih
memilih untuk membiayai hidupnya sendiri begitu ia lulus dari
sekolah menengah umum. Itulah mengapa Kristal harus bekerja
paruh waktu setiap hari, termasuk hari Sabtu dan Minggu. Semua itu
untuk membiayai kuliah dan juga kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Benar-benar kehidupan yang berat untuk gadis semuda dirinya.
Ah, Alex menggelengkan kepalanya keras-keras. Mengapa ia
harus peduli dengan semuanya itu. Setelah hari ini selesai, ia akan
segera kembali ke Amerika. Yang perlu ia lakukan hanyalah meminta
maaf dan menawarkan sejumlah uang dalam jumlah besar. Dan,
semuanya pasti beres. Gadis itu pasti senang sekali setelah menerima
uang darinya. Alex tersenyum penuh keyakinan. Ia lalu kembali
mengikuti Kristal yang saat ini tengah duduk menunggu di halte bis
di depan kampus. Gadis itu mengeluarkan semacam ipod dari dalam
tasnya dan memasang headphone di telinga sambil menunggu bis
yang belum juga tiba. Beberapa saat kemudian bis yang ditunggu
akhirnya tiba dan mobil Alex mengikuti dari belakang hingga bis
itu berhenti di tujuan setengah jam kemudian. Kristal turun dari
bis tersebut dan berjalan perlahan.
Alex tidak tahu ke mana gadis itu menuju. Setahu Alex, ini
bukanlah jalan menuju rumah Kristal. Jam tangannya menunjukkan
pukul setengah sebelas malam. Ke mana lagi gadis itu akan pergi larut
Kristal Ok Rev.indd 85 malam begini. Ia terus mengikuti Kristal yang sekarang berbelok
menuju jalan sempit yang agak mendaki. Gadis itu terus berjalan
menembus jalanan yang gelap itu. Reygan menyuruh sopirnya
berhenti dan ia pun melangkah keluar dari dalam mobil. Sebenarnya
mobilnya bisa saja masuk ke jalan tersebut, tapi ia tidak mau gadis
itu menyadari adanya mobil yang berjalan pelan di belakangnya. Ia
tidak mau Kristal curiga bila ada yang mengikutinya. Maka Alex
memutuskan untuk berjalan kaki mengikuti Kristal. Ia setengah
berlari agar tidak kehilangan jejak gadis itu.
Alex berjalan pelan di belakang gadis itu sambil menyembunyikan diri di balik pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan
tersebut. Ia baru menyadari bahwa jalanan ini agak mendaki.
Rerumputan dan pepohonan terhampar di sekitar jalan tersebut.
Meskipun gelap, ia masih bisa melihat sekelilingnya dengan jelas.
Cahaya bulan menembus ke bawah dedaunan, menciptakan remangremang yang melingkupi tempat ini. Alex melihat Kristal sesekali
berhenti untuk memetik bunga-bunga yang tumbuh di pinggir jalan.
Sejak pagi hingga malam ia mengawasi Kristal, baru sekarang gadis
tersebut terlihat damai. Alex menduga itu dikarenakan keindahan
tempat ini. Cahaya bulan ditambah angin yang menyejukkan terasa
mampu memberikan perasaan damai.
Kristal terus berjalan dan berjalan. Ia berhenti di depan rumah
kecil dengan halaman yang luas. Ia membuka pagar rumah tersebut
lalu berhenti sejenak. Rumah tersebut sudah gelap. Tak ada siapa
pun di sana. Kristal melangkah mundur dan keluar dari pagar
rumah itu. Sepertinya ia mengurungkan niatnya untuk bertamu.
Tidak heran, hari sudah larut dan pemilik rumah pastinya sudah
terlelap sekarang. Kristal lalu kembali berjalan menuju jalanan
kecil mendaki. Dari bawah dapat terlihat bangunan di atas bukit.
Kristal Ok Rev.indd 86 Alex menduga ke sanalah Kristal akan menuju. Ia terus mengikuti
gadis itu diam-diam. Alex sempat melewati rumah kecil tadi dan membaca papan
nama di depan pagar rumah tersebut. Tertulis, "Selamat datang di
Panti Asuhan Bunda Maria" Ah, ternyata rumah tersebut adalah
sebuah panti asuhan. Ke sanalah sebenarnya Kristal akan singgah
tadi. Ia penasaran apa hubungannya panti asuhan tersebut dengan
gadis itu. Ia berpikir untuk menyuruh anak buahnya mencari
informasi tentang panti asuhan itu nanti. Namun, Alex buru-buru
menghilangkan pikiran itu dari kepalanya. Untuk apa juga ia
peduli. Sekarang ia harus fokus mengikuti Kristal terlebih dahulu.
Pokoknya hari ini ia harus berbicara langsung dengan gadis itu. Ia
sudah menunda pembicaraan ini sejak pagi tadi. Tidak apa-apa, ia
memang harus mengamati target terlebih dahulu sebelum memulai
pembicaraan. Alex terus mengikuti Kristal hingga gadis itu berhenti di sebuah
bangunan yang ternyata merupakan gereja tua. Gereja masih tampak
terang. Sepertinya lampu gereja itu memang dibiarkan menyala
semalaman. Alex mau tidak mau jadi berpikir, siapa juga yang akan
ke gereja untuk berdoa malam-malam di tempat terpencil seperti
ini. Kristal juga tampaknya tidak berniat untuk berdoa malam ini.
Gadis itu malah terus berjalan melewati bangunan gereja itu menuju
taman yang terletak tersembunyi di belakangnya.
Semakin Alex mendekat ke taman tersebut, ia menjadi semakin
terkagum-kagum. Taman tersebut ternyata indah sekali dan terawat.
Bunga-bunga tumbuh berwarna-warni, pepohonan menjulang,
serta rumput-rumputnya yang hijau terbentang luas. Belum lagi
pemandangan kota penuh lampu yang terlihat dari sana. Bagaimana
bisa taman seindah itu tersembunyi di tempat terpencil seperti ini dan
Kristal Ok Rev.indd 87 bagaimana Kristal bisa menemukannya. Ah, lagi-lagi. Seharusnya
ia tidak perlu memedulikan hal itu.
Ia kembali mengamati Kristal yang sekarang berjalan ke arah
pohon besar di ujung taman. Gadis itu bersandar sebentar sambil
memandang lampu kota di bawahnya. Ia melepaskan headphone
dari telinganya dan mencabutnya dari ipod sehingga suara musik
pun terdengar mengalun memenuhi taman itu. Lalu gadis itu pun
berbaring di atas hamparan rerumputan memandang langit sambil
menunjuk bintang satu per satu berusaha menghitung semuanya,
hingga akhirnya gadis itu pun kelelahan dan memejamkan mata.
Alex pun terus menunggu. Ia tidak tahu kapan saat yang tepat
untuk berbicara pada Kristal. Ia kembali menimbang-nimbang apa
yang sebaiknya ia katakan sebagai pembukaaan. Mungkin ia harus
memperkenalkan dirinya terlebih dahulu baru mengemukakan
maksudnya. Ia juga berpikir, kata-kata maaf seperti apa yang harus
ia ucapkan. Bagaimana bila gadis itu marah dan berteriak padanya.
Ia tidak siap mental menghadapi respons gadis itu. Ah, belum
apa-apa Alex sudah merasa panik. Ia menghela napas. Ini bukan
seperti dirinya. Sejak kapan ia memedulikan anggapan orang lain.
Ia bermaksud baik dengan datang jauh-jauh kemari untuk meminta
maaf.Sebaiknya gadis itu mendengarkan perkataannya.
Tepat saat ia berpikir demikian, Kristal membuka matanya dan
bangkit berdiri. Pandangan matanya terlihat nanar. Ia berjalan ke
arah pohon besar tadi dan memandang batang pohon tersebut lalu
mengusapnya pelan. Entah apa yang ia lihat di sana. Alex berpikir
mungkin ini saat yang tepat. Sekarang atau tidak sama sekali. Ia
bermaksud menghampiri gadis tersebut saat ia mendengar isak
tangis keluar dari mulut Kristal, makin lama makin keras. Kristal
terus terisak-isak beberapa lamanya sambil terus meneriakkan nama
Kristal Ok Rev.indd 88 Reygan, Reygan, Reygan. Tubuh Kristal berguncang sedemikian
hebatnya. Gadis itu terlihat begitu sedih dan memprihatinkan hingga
Alex merasakan kedua kakinya lumpuh dan tidak mampu bergerak.
Keberaniannya hilang seketika. Sebesar apakah rasa cintanya pada
pria itu hingga ia terlihat begitu menderita seperti ini.
Alex terus memandangnya tanpa mampu berbuat apa-apa.
Segala kata-kata maaf yang sudah siap ia ucapkan seperti tersangkut
di tenggorokannya. Segala perasaan bersalah yang tidak pernah ia
rasakan akan sebesar ini menghantam tepat di ulu hatinya. Ia pun
berlari meninggalkan taman itu, gereja itu, terus berlari menjauhi
panti asuhan, berlari meninggalkan kegelapan di belakangnya.
Meninggalkan Kristal dan rasa bersalah yang ia rasakan di hatinya
saat ini. Alex memesan tiket pesawat paling pagi menuju San Fransisco
keesokan harinya. Ia tidak boleh berada di sini. Ia tidak bisa berada
di sini. Ia harus melupakan semua yang ia lihat dan meneruskan
hidupnya seperti semula. Atau ia akan terjebak dalam jurang
penyesalan ini seumur hidupnya. Maka, Alex pun meninggalkan
Indonesia dan semua yang ada di sana. Begitu tiba di Amerika, ia
segera meneruskan semester akhir kuliahnya yang sempat tertunda
akibat masa tahanannya di penjara selama dua tahun ini. Ia
memutuskan untuk tinggal di asrama kampus guna menenangkan
diri. Ia memusatkan seluruh pikiran dan energinya pada mata kuliah
yang diambilnya sambil berusaha melupakan rasa bersalahnya.
Namun sekeras apa pun ia berusaha, bayang-bayang wajah
Kristal terus-menerus muncul di hadapannya. Ia tidak bisa tidak
memikirkan keadaan gadis itu. Bagaimana hidup Kristal sekarang,
apakah Kristal sehat-sehat saja, apakah Kristal masih menangis
dalam gelap seperti yang terakhir ia lihat. Alex melalui hari-harinya
Kristal Ok Rev.indd 89 dengan perasaan tidak tenang. Ia harus mengakui bahwa ia memang
khawatir dengan nasib gadis malang itu. Bagaimana gadis itu dapat
bertahan hidup sebatang kara.
Setelah beberapa lama berjuang untuk menghilangkan perasaan
bersalahnya itu, akhirnya Alex menyerah. Ia menyadari bahwa
perasaannya itu tidak akan bisa hilang. Maka, Alex pun memutuskan
untuk kembali ke Indonesia, berada dekat dengan Kristal. Ia segera
menyelesaikan mata kuliahnya dan secepat mungkin mengurus
segala keperluannya untuk tinggal di negara tersebut. Hanya butuh
waktu kurang dari dua tahun hingga akhirnya Alex bisa menetap
di Indonesia. Dan sejak saat itu, ia pun memulai hari-harinya
mengawasi Kristal dan menjaganya dari jauh. Seperti saat ini.
Alex menghentikan lamunannya. Ia menatap Kristal yang
sekarang sedang menyusun bunga-bunga yang sudah dirangkainya
itu di atas meja satu per satu. Betapa gadis itu terlihat begitu
cantik dan bercahaya, berdiri di antara bunga-bunga itu. Setelah
sekian lama, Alex tidak yakin lagi apakah sebenarnya alasan yang
membuatnya terus mengawasi Kristal seperti ini. Apakah semua
ini disebabkan oleh rasa bersalahnya saja. Atau lebih dari itu" Ia
tidak berani mencari tahu. Ia adalah seorang pembunuh dan ia tidak
berhak untuk mengharapkan lebih dari yang layak ia dapatkan.
Alex terus memandang Kristal dengan perasaan bersalah. Ia
melihat gadis itu meraih ponselnya dan memencet nomor. Entah
siapa yang diteleponnya malam-malam begini. Ia baru tersadar
bahwa ternyata panggilan telepon tersebut adalah untuk dirinya saat
ponselnya bergetar dari balik saku celananya. Alex langsung panik.
Tanpa pikir panjang ia pun segera berlari menjauhi ruang resepsi,
sebelum Kristal bisa mendengar ponselnya berdering.
Kristal Ok Rev.indd 90 Kristal memandang ke arah pintu dengan curiga. Sepertinya ia
mendengar ada suara-suara dari arah pintu. Ia seperti melihat
bayangan seseorang berlari di luar. Kristal mengambil senternya dan
berjalan pelan ke arah pintu. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada
lorong yang gelap dan kosong. Ia merasa bulu kuduknya berdiri.
Mungkin sebaiknya ia pulang sekarang. Kristal mungkin bukan
termasuk seorang gadis yang penakut tapi ia tidak mau mengambil
risiko. Sambil menyambar tasnya ia mematikan lampu ruangan
dan berjalan keluar pintu. Sesampainya di lantai dasar yang terang
benderang, ia langsung merasa lega. Ponselnya berbunyi tak lama
kemudian. Telepon dari Alex. Diangkatnya ponselnya itu.
"Hai, tadi kamu meneleponku" Maaf aku sedang mandi, jadi
tidak mendengar bunyi teleponmu. Ada apa Kristal?"
Kristal terdiam sesaat. Ia juga tidak tahu mengapa ia menelepon
Alex tadi. Mungkin karena ia merasa kesepian berada di ruang
resepsi seorang diri. Kristal memutar otak. Tidak mungin ia
berkata bahwa ia menelepon karena ia merasa kesepian. Ia harus
segera membuat alasan lain dengan cepat. "Hmm, aku cuma ingin


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memastikan, apakah besok malam kamu jadi mengajar anak-anak
panti. Aku berencana ke sana besok. Siapa tahu kamu mau pergi
juga. Jadi kita bisa sama-sama ke sana."
"Ya tentu. Aku juga sudah berjanji pada anak-anak itu. Jadi
besok aku jemput sekalian makan malam?"
"Oke. Sampai ketemu besok."
Kristal menutup teleponnya dan tersenyum. Ternyata ia bisa
merindukan pria itu juga setelah dua hari tidak bertemu. Baiklah,
pikirnya. Besok akan menjadi hari yang panjang. Ia akan mengajar
hingga larut malam besok. Sekarang ia harus segera pulang ke
rumah dan beristirahat. Kristal Ok Rev.indd 91 Begitu tiba di rumah Kristal langsung merebahkan diri di atas
tempat tidur. Ia merasa lelah sekali. Entah sejak kapan ia tertidur,
tahu-tahu ia terbangun oleh silau sinar matahari yang masuk
lewat celah-celah jendelanya. Sial, bisa-bisa ia bakal terlambat.
Kristal langsung bangkit berdiri dan berjalan ke kamar mandi
untuk bersiap-siap dengan cepat. Lima belas menit kemudian ia
sudah berjalan keluar apartemennya. Tak lupa ia berhenti sejenak
di Alfamart untuk membeli bakpao daging dan melahapnya di
halte sambil menunggu bis datang. Makan pagi merupakan hal
yang sangat penting untuk menunjang stamina dan tidak boleh
dilupakan, pikirnya. Bis datang tak lama kemudian. Kristal segera menaiki bis
tersebut. Sepertinya hari ini bukanlah hari keberuntungannya. Demo
kenaikan bahan bakar minyak menyebabkan jalanan menjadi sangat
macet sehingga ia sangat terlambat tiba di kantor. Ia baru sampai satu
jam kemudian. Setengah berlari Kristal bergegas menuju kantornya
yang terletak di lantai dua Hotel De Robbins.
Begitu menginjakkan kaki di ruangan kantornya, Kristal
merasakan ada yang berbeda dengan suasana kantor pagi ini.
Ruang kantornya begitu sepi. Hanya ada ia sendiri di sana. Semua
karyawan tidak ada di tempat duduknya masing-masing. Bahkan
Pak Rudi yang biasanya sudah tiba paling awal juga tidak tampak
batang hidungnya. Kristal melongok ke dalam kantor pribadi
Pak Rudi. Aneh, meja Pak Rudi yang biasanya berantakan oleh
file tampak bersih dan kosong. Kristal pasti melewatkan sesuatu
karena keterlambatannya ini. Ia lalu bergerak ke mejanya dan
menyalakan komputer. Ia berpikir bahwa lebih baik bila ia mulai saja
pekerjaannya agar cepat selesai. Sekitar sepuluh menit kemudian,
Nina, teman sekantor Kristal, masuk ke dalam ruang kantor sambil
Kristal Ok Rev.indd 92 membawa sebuah kardus kecil berisi buku, file dan alat tulis. Ia
berjalan ke ruangan Pak Rudi dan meletakkan kardus itu di atas
meja, lalu mulai menata isinya. Kristal bangkit menghampiri gadis
bertubuh gemuk pendek itu, berniat membantu.
"Nin, aku ketinggalan berita apa yah" Kok semua orang pada
menghilang begini?" Kristal berkata sambil ikut mengeluarkan isi
kardus dan meletakkannya di atas meja.
"Lho, kamu belum tahu yah" Pak Rudi "kan dipindahtugaskan
sebagai manajer di divisi lain. Kita punya manajer baru sekarang."
Kristal mengerutkan alis. Berita ini datang begitu tiba-tiba. Ia
merasa agak kehilangan. Pak Rudi adalah manajer yang baik dan
Kristal sudah merasa dekat dengan pria setengah baya itu setelah
bekerja bersamanya beberapa lama. Ia jadi penasaran seperti apakah
manajer yang baru. Kristal hanya berharap semoga saja manajer
baru tersebut akan sebaik Pak Rudi. Kristal menghela napas lalu
kembali bertanya pada Nina. "Kamu sudah ketemu sama manajer
baru kita?" Nina langsung tersenyum menyeringai, alisnya terangkat dan
matanya tampak berbinar-binar antusias. "Barusan aku ketemu
dia di lantai satu. Orang bule loh. Bule asli. Enggak bisa ngomong
Bahasa Indo. Gila, cakep abis orangnya. Masih muda lagi. Enggak
tahan bo. Tuh cewek-cewek di bawah semua pada ribut. Pada rebutan
mau kenalan gitu. Tapi eke yang dipilih buat nganter barangnya
doi ini," katanya sambil menunjuk kardus yang tadi diangkatnya.
Kristal mau tak mau jadi tertawa mendengar perkataan Nina.
Seberapa ganteng sih manajer barunya itu sampai bisa membuat
kaum hawa jadi heboh begitu. Kristal jadi geleng-geleng kepala.
Sayangnya ia bukan penggemar bule, jadi ia tidak terlalu peduli
dengan kehebohan ini. Yang penting baginya cuma satu, yaitu bahwa
Kristal Ok Rev.indd 93 manajer baru ini akan bisa diajak bekerja sama dengan baik. Itu
saja sudah cukup buatnya.
Kristal kembali ke mejanya begitu ia selesai menata barangbarang milik manajer baru itu. Beberapa teman sekantornya datang
tak lama kemudian. Ia mendengar para gadis masuk dengan berisik,
heboh bergosip ria, apalagi kalau bukan topik manajer baru tersebut.
Sementara karyawan pria, yang hanya berjumlah dua orang di divisi
administrasi event, melangkah masuk sambil menggotong lemari
berukuran besar dan membawanya ke dalam kantor manajer. Lalu
mereka pun kembali duduk di meja masing-masing, melanjutkan
pekerjaan mereka yang tertunda.
Tak lama kemudian manajer yang baru pun memasuki
ruangan. Kristal hanya sempat melihat siluetnya dari belakang sebab
pria itu sudah keburu masuk ke dalam kantornya. Meninggalkan
para karyawati yang terus memberikan pandangan penuh harap.
Kristal jadi tersenyum geli dibuatnya. Ah, untuk apa ia peduli.
Lebih baik ia berkonsentrasi pada pekerjaannya sekarang. Kristal
pun kembali menghadap komputer dan sibuk mengetikkan kalimat
demi kalimat di sana. Waktunya sudah sangat mepet sebab pekerjaannya masih
banyak yang belum selesai, sementara ia harus segera meyelesaikan
laporan ini sebelum akhir bulan. Ia begitu berkonsentrasi mengetik,
hingga ia tidak sadar bila namanya dipanggil dari belakang. Seorang
karyawati yang duduk di sebelahnya menepuk pundak Kristal dan
memberi tahu bahwa Pak Manajer baru memanggilnya ke ruangan.
Kristal merasa heran. Untuk apa gerangan dirinya dipanggil ke
dalam. Semoga saja bukan berita buruk yang akan menunggunya.
Dipecat misalnya. Ia mengenyahkan pikiran itu jauh-jauh dari
kepalanya. Untuk apa juga ia khawatir. Selama ini ia tidak pernah
Kristal Ok Rev.indd 94 melakukan kesalahan yang berarti sehingga bisa membuat dirinya
dipecat. Ia merasa lebih tenang dan berjalan pelan menuju ruang
kantor manajer. Diketuknya pintu tiga kali sebelum membukanya.
Lalu ia berkata dengan sopan. "Bapak memanggil saya?"
Pria di hadapannya mengangkat kepalanya dan Kristal
tersentak. Ia terkejut bukan kepalang. Steve memandang lurus
kepadanya dengan senyuman lebar di wajah.
"Kamu?" seru Kristal tak percaya, lalu buru-buru memperbaiki
kalimatnya. Bila ia tidak salah, pria ini adalah manajer barunya
dan sebaiknya ia berkata dengan lebih sopan. "Maaf, saya tidak
bermaksud tidak sopan," kata Kristal.
Steve tetap tersenyum tenang. "Duduklah"
Kristal menelan ludah. Ia berjalan pelan ke tempat duduk di
depan meja Steve. "Ada perlu apa Bapak memanggil saya?" kata
Kristal sopan, meskipun ia masih merasa bingung dengan apa yang
sebenarnya terjadi. Steve memutar bola matanya, "Tolonglah. Kamu
tidak perlu berkata sedemikian formal padaku. Sudah kubilang
bukan, bahwa kita akan bertemu lagi?" Ia menyeringai.
Kristal hanya terdiam dan tak tahu harus berkata apa.
Steve lalu melanjutkan kata-katanya. "Well, langsung ke pokok
pembicaraan. Sebenarnya aku memanggilmu kemari sebab aku
butuh bantuanmu." Kristal mengangguk, "Apa yang bisa saya bantu?"
"Aku ingin kamu menjadi asistenku."
Kristal terkejut mendengarnya. Ia buru-buru berkata, "Mengapa
harus saya, Pak" Maaf, bukannya saya bermaksud tidak sopan. Tapi,
saya baru bekerja di sini beberapa bulan saja. Rasanya sangat tidak
adil bagi karyawan lainnya bila saya yang diangkat sebagai asisten
manajer. Lagi pula masih banyak hal-hal yang belum saya ketahui
dalam pekerjaan ini,"
Kristal Ok Rev.indd 95 Steve terlihat tenang dan tetap tersenyum. "Aku mengangkatmu
menjadi asisten karena kemampuan berbahasa Inggrismu yang
cukup lancar. Aku tidak bisa berbahasa Indonesia dan kau tahu
itu. Jadi tidak aneh bila aku membutuhkan asisten yang dapat
membantuku beradaptasi dengan pekerjaan baruku ini. Selain itu
aku merasa nyaman bila kamu yang jadi asistenku. Toh, aku sudah
mengenalmu sebelum ini," katanya santai.
"Tapi Pak, kita "kan baru berkenalan kemarin. Lagi pula"."
"Sudahlah. Aku tidak mau mendengar alasan apa pun lagi.
Mulai hari ini kamu adalah asistenku. Segeralah bersiap-siap. Tugas
baru sudah menantimu." Nada bicara Steve terdengar begitu tegas
dan tidak menerima penolakan. Kristal mau tak mau hanya bisa
mengangguk. Steve memandangnya dengan puas, lalu berkata, "Baiklah
kamu boleh keluar sekarang. Aku akan memanggilmu bila aku
membutuhkan bantuan." Lalu pria itu mengambil satu file dan
mulai membacanya, tidak mengacuhkan Kristal yang kebingungan
seorang diri. Kristal menunggu beberapa saat. Steve tampak asyik
membuka-buka file yang sedang dipegangnya. "Baiklah, Pak. Kalau
tidak ada apa-apa lagi, saya permisi," kata Kristal. Lalu ia melangkah
keluar kantor dan berjalan pelan menuju mejanya, masih tertegun
dengan kejadian barusan. Ia hampir tidak bisa memercayai apa
yang barusan terjadi. Bagaimana bisa pria yang ditolongnya dua
hari lalu itu ada di sini, dan sebagai manajernya pula. Apakah ini
hanya sekadar kebetulan" Rasanya terlalu aneh bila semua ini
hanya kebetulan. Ia penasaran siapakah Steve sebenarnya. Kristal
bertanya-tanya sendiri dalam hati. Beberapa karyawati berjalan
menghampirinya dan bertanya padanya mengapa ia dipanggil ke
Kristal Ok Rev.indd 96 dalam kantor Steve barusan. Kristal enggan menjawab, namun ia
tidak mau menimbulkan kecurigaan mereka. "Aku diminta jadi
penerjemah." Seorang karyawati bertubuh kurus ceking bernama Ineke,
bukan nama sebenarnya sebab nama aslinya adalah Inem namun
ia mati-matian menolak dipanggil begitu, berkata, "Aduh, kok bukan
aku aja sih yang diminta jadi penerjemah. Aku "kan juga mau"."
Ineke terlihat sirik. Nina yang mendengarnya jadi sewot sendiri. "Udah deh Nem,
enggak usah keganjenan. Kayak lu bisa aja ngomong pake Bahasa
Inggris. Bahasa Indonesia lu aja masih kecampur-campur bahasa
ndesomu gitu." "Eh, sopan deh lu yah Nin. Nama gue Ineke. Awas lu yah
manggil gue Inem Inem lagi."
Kristal memutar bola matanya mendengar keributan temanteman satu kantornya itu. "Udah udah, sekarang kita kembali kerja
yuk. Nanti kerjaan kita enggak selesai-selesai lho. Pada enggak
mau lembur "kan?"
Semua karyawati membubarkan diri dan berjalan dengan
enggan ke meja masing-masing. Akhirnya, suasana kantor menjadi
tenang dan Kristal bisa kembali menyelesaikan pekerjaannya yang
terus tertunda dari tadi.
Jam makan siang hampir tiba. Kristal membuka ponselnya
dan melihat ada pesan. Dari Alex tentunya, untuk mengajaknya
makan siang seperti biasa. Ia tersenyum kecil dan bermaksud
mengetikkan pesan balasan untuk menerimanya. Belum sempat
pesan itu terkirim, Kristal mendengar telepon kantor yang ada di
atas mejanya berdering. Ia segera mengangkatnya. Steve-lah yang
ternyata menelepon dan menyuruhnya masuk ke ruang kantornya
Kristal Ok Rev.indd 97 sekarang. Ada apa lagi ini. Ia berjalan malas menuju ruang kantor
Steve. Diketuknya pintu itu sebelum ia membukanya. "Bapak
memanggil saya?" Steve sedang menelepon seseorang dengan ponselnya dan
memberikan isyarat untuk duduk menunggu di kursi depannya.
Kristal menurut dan merebahkan dirinya di kursi, menunggu
hingga pria itu selesai menelepon. Lima menit kemudian, telepon
ditutup dan Steve memandangnya seraya berkata, "Aku memerlukan
bantuanmu." Kristal lalu bertanya "Apa yang bisa saya bantu Pak?"
"Kamu ikut aku ke suatu tempat sekarang untuk bertemu klien.
Aku butuh penerjemah."
"Sekarang juga, Pak?" tanya Kristal.
"Ya, sekarang," jawab Steve tak acuh.
Kristal memandang jarum jam dinding di atasnya. Lima
belas menit menuju jam makan siang. Sepertinya lagi-lagi ia harus
menolak ajakan Alex untuk makan siang bersama. Sudahlah,
pikirnya. Pekerjaan harus dinomorsatukan. Toh, ia akan bertemu
juga dengan pria itu sepulang kantor nanti. Kristal menghela napas
dan tersenyum. "Baik Pak, saya ambil tas saya dulu."
"Oke." Steve lalu tersenyum.
Kristal berjalan keluar kantor dengan Steve berada di
sampingnya. Ia berusaha untuk tidak terlalu memedulikan
pandangan rekan-rekan sekantornya yang kebanyakan para
wanita muda yang mengidolakan manajer baru mereka. Ia dan
Steve lalu memasuki lift tanpa bersuara dan terus berjalan ke arah
lapangan parkir. Steve memasukkan tangannya ke dalam saku dan
mengeluarkan kunci mobil, lalu menekan tombol kunci tersebut.
Terdengar suara dari sebuah mobil berwarna hitam di sudut parkiran.
Kristal Ok Rev.indd 98 Mobil berlambang jaguar yang mirip dengan mobil yang dulu pernah
dikendarai Alex saat bertemu Kristal di pemakaman. Ia melirik pelat
mobil tersebut. DR A13X. Wow, bahkan nomor mobil mereka pun
sama. Benar-benar suatu kebetulan yang aneh.
"Mobil yang bagus," kata Kristal basa-basi.
Steve mengangkat bahu. "Oh ya" Ini punya saudara sepupuku.
Aku belum sempat membeli mobilku sendiri. Mungkin aku akan
membelinya besok. Antara BMW atau Mercedes Benz. Bagaimana
menurutmu?" "Maaf, aku kurang begitu mengerti mobil."
"Oke. Nevermind that," Steve berkata seraya membukakan pintu
mobil untuk Kristal. "Terima kasih," kata Kristal kaku.
Steve hanya tersenyum seraya menutup pintu mobil Kristal
dan membuka pintu mobilnya sendiri. Benar-benar gentleman,
Kristal berpikir dalam hati. Ia jadi teringat pada Alex. Apakah semua
pria asing selalu bertingkah seperti ini di hadapan wanita" Pantas
saja semua gadis-gadis menjadi terlena oleh kelembutan pria-pria
semacam ini. Pria-pria yang mampu memerankan perannya sebagai
seorang pria sejati dengan baik. Tapi dari gerak-geriknya, entah
mengapa, Kristal menduga bahwa pria ini pastilah seorang playboy
andal. Kebanyakan pria gentleman selalu seperti itu. Kecuali Alex
tentunya. Steve menjalankan mobilnya entah ke mana. Sebenarnya
Kristal ingin sekali bertanya ke manakah tujuan mereka. Tapi, ia
mengurungkan niatnya. Ia tidak ingin dianggap tidak sopan karena
terlalu mau tahu urusan atasannya. Maka Kristal pun hanya duduk
diam tak bersuara. Ia bisa merasakan manajernya itu terus-menerus
melirik ke arahnya, tapi ia berpura-pura tidak mengetahui hal


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kristal Ok Rev.indd 99 tersebut dan tetap membisu sambil menatap pemandangan di luar
jendela. Steve menyalakan musik dan Kristal bersyukur karenanya.
Paling tidak itu bisa mengusir keheningan yang sangat tidak nyaman
ini. Lagu milik The Beatles terdengar mengalun. Kristal tertegun
dibuatnya. Lagi-lagi. Kebetulankah ini hingga ia bisa mendengarkan
lagu yang sama juga"
"Come on. Lagu zaman berapakah ini" Dasar pria aneh." Kristal
mendengar Steve mengeluh pelan. Entah siapa yang dimaksudkannya
sebagai orang aneh itu. Ia melihat Steve mengambil satu CD dari rak
dan mengganti CD The Beatles dengan CD yang baru ditemukannya
itu. Lagu house langsung terdengar menggantikan alunan lembut
musik The Beatles. Suaranya keras dan mengentak-entak dengan
adanya tambahan loudspeaker. Kristal tiba-tiba merasa pusing.
Untungnya mobil tersebut berhenti tak lama kemudian. Ia tidak
perlu menunggu Steve membukakan pintu untuknya dan langsung
bergegas menuruni mobil. Ia melihat sekelilingnya. Restoran yang
mewah. Mungkin di sinilah tempat pertemuan dengan klien yang
dimaksud Steve. Kristal lalu berjalan mengikuti Steve ke dalam
restoran. Seorang pelayan mengarahkan mereka ke sebuah meja
yang terletak di sudut. Kristal terus mengikuti Steve. Ia melihat
pria itu mengambil buku menu di atas meja dan membuka-buka
halamannya. Tak lama kemudian ia memesan menu makanan dan
segelas anggur pada pelayan yang terus menunggui mereka di dekat
meja. Steve lalu memandangnya. "Mau pesan apa?"
Kristal menggelengkan kepala. "Tidak usah, terima kasih."
Steve kembali bertanya. "Kamu vegetarian?"
Kristal menggelengkan kepalanya bingung. Steve tersenyum
kecil dan berpaling pada pelayan di sebelahnya lagi, "Aku pesan
satu lagi menu yang sama dan segelas anggur untuk wanita ini."
100 Kristal Ok Rev.indd 100 "Maaf Pak, saya tidak lapar. Lagi pula saya tidak minum anggur.
Terima kasih atas tawarannya."
Pelayan itu menatap mereka dengan bingung. Steve lalu berkata
pada pelayan tersebut, "Sajikan dua menu yang sama. Satu gelas
anggur merah dan satu gelas orange juice kalau begitu."
Pelayan tersebut mengangguk dan pergi meninggalkan mereka.
Steve berkata lagi, "Dan Kristal, aku sudah mengambil jam makan
siangmu, sudah sepatutnya aku memesankan makanan untukmu,
bukan" Sudahlah, jangan menolak lagi."
Kristal terpaksa mengangguk dan mengucapkan, "Terima
kasih, Pak." Steve tertawa geli sekarang. Ia berkata, "Panggil saja aku
Steve. Dan, kamu tidak perlu berkata seformal ini. Toh, kita sudah
berkenalan kemarin. Aku sudah bilang padamu bukan bahwa kita
pasti bertemu lagi. Bagaimana" Tidakkah kamu heran bagaimana
aku tiba-tiba bisa menjadi manajer barumu?"Kristal tersenyum kecil
mendengarnya. "Sedikit."
"Hanya sedikit" Ah, sia-sia usahaku kalau begitu."
Kristal tidak mengerti. "Maksudnya?"
Steve meletakkan tangannya di belakang kepalanya sambil
bersandar di kursi. "Kebetulan pemilik Hotel De Robbins adalah
sepupuku. Tadinya aku malas bekerja di sana. Toh, aku tidak bisa
berbahasa Indonesia. Tapi, tentu saja lain ceritanya kalau kamu
juga bekerja di sana."
Kristal semakin bingung dibuatnya. Apakah ia tidak salah
dengar. Steve baru saja berkata bahwa dirinyalah alasan pria itu
bekerja di hotel. Tapi, kenapa" Bukankah mereka baru saja mengenal
satu sama lain. Kristal baru akan menanyakan hal tersebut ketika
makanan mereka tiba. Cepat sekali pelayanan di sini, pikir Kristal.
101 Kristal Ok Rev.indd 101 Mereka baru saja memesan makanan dan sekarang makanan
tersebut sudah datang. Steik daging sapi dengan sayuran dan
kentang tumbuk. Seorang pelayan menyajikannya di atas meja
dan menuangkan saus kental berwarna kecokelatan di atas steik
mereka. Harum saus mendidih bercampur daging berasap langsung
tercium. Kristal bisa merasakan perutnya menari-nari kelaparan.
Ditelannya air liurnya sebelum ada yang melihat. Pelayan itu lalu
berdiri mengambil botol anggur dan menuangkannya ke dalam gelas
Steve serta jus jeruk segar ke dalam gelas Kristal.
Steve meraih pisau dan garpu lalu mulai mengiris daging
tersebut dengan gaya yang elegan. Entah mengapa, Kristal jadi
teringat pada Alex. Ia merasakan adanya kemiripan di antara Steve
dan Alex. Meskipun, tentu saja bila disuruh memilih, ia akan
memilih Alex yang menurutnya ratusan kali lebih baik. Tunggu,
apakah ia baru saja berkata memilih" Tidak, tidak, tidak. Kristal
segera mengenyahkan pikiran itu dari dalam kepalanya. Hal terakhir
yang ia butuhkan sekarang adalah terlibat perasaan apa pun dengan
pria mana pun. Terutama Alex.
Kristal mulai mengiris dagingnya dan memasukkan ke dalam
mulutnya sesuap demi sesuap. Lezat sekali. Daging itu terasa seperti
meleleh di lidahnya. Dan, sausnya itu benar benar berasa wow.
Tidak heran bila melihat harga menunya yang selangit. Paling tidak
harga itu sepadan dengan rasanya. Kristal makan dengan lahap
sampai-sampai ia lupa dengan tujuan awal mereka kemari. Ia baru
teringat ketika daging dan kentang di atas piringnya hanya tersisa
sedikit. Ia melihat Steve yang tengah asyik makan dengan tenang.
Bukankah pria itu memiliki janji dengan klien di sini" Kristal harus
mengingatkan manajernya itu.
102 Kristal Ok Rev.indd 102 "Oh ya, apakah klien Bapak belum datang?" Kristal menoleh
ke kiri dan ke kanan. Hanya ada mereka berdua dan dua pasangan
lagi yang sedang makan di tempat ini. Begitu memperhatikan
sekelilingnya, Kristal baru menyadari ada yang janggal. Tempat ini
sangatlah tidak wajar bila digunakan sebagai tempat bertemu klien.
Suasananya yang remang-remang, desain tempatnya yang indah
dan romantis, belum lagi adanya lilin kecil dan setangkai mawar
yang menghiasi setiap meja. Sepertinya lebih cocok bila restoran
ini digunakan dalam acara kencan para pasangan yang tengah
dimabuk cinta. Dan mereka, jelas-jelas tidak sedang berkencan
apalagi dimabuk cinta. Steve tertawa mendengar perkataan Kristal. "Oh, aku lupa
bilang. Meeting dibatalkan. Dan, tolong, jangan panggil aku Bapak,
Bapak terus. Ini di luar kantor. Panggil saja aku dengan nama."
Kristal mengerutkan alisnya. Ia bingung sekarang. "Maksudnya" Jadi untuk apa kita berada di sini sekarang?"
"Untuk makan siang tentu saja," jawab Steve tak acuh.
Kristal memandang pria di depannya dengan heran. Steve
melihat raut wajah kebingungan Kristal. Ia lalu melanjutkan katakatanya. "Tenang, aku masih membutuhkan bantuanmu. Meeting
tetap ada kok. Tapi, diganti jadi nanti malam."
Kristal memandang Steve tak percaya. Ia merasa kesal sekarang.
Benar-benar seenaknya sekali pria ini. Membuat janji tanpa meminta
persetujuannya terlebih dahulu. Ah, peduli amat. Meeting diadakan
pada jam pulang kantor dan ia berhak untuk menolak. Kristal
mencoba berkata lagi dan membuat kalimatnya terdengar lebih
tegas. "Maaf. Sepertinya saya tidak bisa nanti malam. Saya sudah
ada janji lain." 103 Kristal Ok Rev.indd 103 Steve menaikkan alisnya. "Janji" Dengan pacar?" Kristal
mengerutkan keningnya. Ia ingin sekali berkata, "Bukan urusan
Anda!". Tapi, ia berusaha menahan diri. Bagaimanapun juga ia harus
ingat bahwa pria ini adalah atasannya.
"Bukan. Dengan teman," jawab Kristal singkat.
"Batalkan saja kalau begitu."
Kristal terbelalak mendengarnya. Emosinya sudah hampir
sampai di ubun-ubun. Ia berusaha untuk tetap tersenyum dan
berkata dengan suara yang dibuat sesopan mungkin. "Maaf Pak.
Hari ini saya tidak bisa. Mohon dimengerti."
Kristal melihat raut wajah Steve seperti terperanjat men"dengar
perkataannya itu. Habislah, pikir Kristal. Pria ini sepertinya tersinggung dan bisa-bisa ia dipecat karenanya. Tapi, raut muka Steve
berubah tenang dan seperti tidak ambil peduli. "Oke. Meeting-nya
besok saja kalau begitu."
Kristal lagi-lagi merasa heran. Bisakah meeting dengan klien
diubah-ubah segampang itu" Tapi, ia tidak perlu memedulikannya.
Kristal hanya mengangguk lalu cepat-cepat menyelesaikan makan
siangnya sambil berharap ia bisa segera kembali ke kantor.
Alex membaca pesan dari Kristal di ponselnya. Lagi-lagi Kristal
menolak ajakannya. Sepertinya ia terpaksa harus makan sendirian
lagi siang ini. Sudahlah, pikirnya. Ia malas sekali keluar, perutnya
juga tidak terlalu lapar. Nanti saja makannya kalau begitu, toh ia
akan makan malam bersama Kristal. Alex mengambil obat maag
dari dalam lacinya dan menelannya, lalu kembali bekerja. Seharian
ini ia habiskan waktunya mengerjakan tumpukan file di kantor
tanpa sekalipun beranjak keluar. Sesekali ia melirik jam dindingnya,
104 Kristal Ok Rev.indd 104 berharap jarum jam dapat berdetak lebih cepat. Namun, entah
mengapa ia merasa waktu berjalan dengan sangat lambat.
Ketika sore hari akhirnya tiba, Alex segera keluar dari
kantornya dan berjalan cepat menuju lapangan parkir. Ia tidak
mau terlambat menjemput Kristal. Ia memandang sekeliling tempat
parkir pribadinya. Mobil jaguarnya sudah tidak ada di sana. Pasti
Steve memakainya lagi tanpa seizinnya. Sudahlah, pikirnya. Toh,
ia sudah jarang memakai mobil tersebut. Ia berjalan menuju mobil
Avanza putih sederhana miliknya, yang akhir-akhir ini selalu setia
mendampinginya. Ia memang sengaja membeli mobil Avanza tersebut sejak ia
menjemput Kristal untuk makan siang pertama kalinya. Ia tidak
ingin Kristal tahu bahwa dirinya orang berada, terlebih kalau Kristal
sampai tahu bahwa dirinya adalah pemilik hotel tempat Kristal bekerja
sekarang. Ia merasa bahwa dengan berpura-pura sebagai seorang
pekerja kantoran biasa, ia dan Kristal dapat menjadi lebih dekat.
Bayangkan bila saat itu Kristal tahu bahwa ia sebenarnya atasan
Kristal, mungkin Kristal tak akan mau berteman dengannya. Dan
misalnya pun saat itu Kristal bersedia berteman dengannya,tetap saja
akan ada jarak di antara mereka dan Alex tidak mau adanya jarak
tersebut. Ia ingin Kristal menganggapnya sebagai teman dekat, teman
yang dapat diandalkan dan dipercaya. Ia terdiam sejenak. Dipercaya"
Ia mengutuk dirinya dalam hati. Betapa beraninya ia mengatakan
hal itu. Mana mungkin ia mengharapkan Kristal untuk memercayai
dirinya. Ia adalah seorang pembohong. Penipu. Pendusta. Terlalu
banyak rekayasa yang ia buat. Terlalu banyak kata-kata dusta yang
ia ucapkan. Bila Kristal sampai tahu semua kebohongannya ini, ia
yakin gadis itu pasti akan membencinya setengah mati. Dan bila
itu terjadi, ia sadar bahwa ia layak menerimanya.
105 Kristal Ok Rev.indd 105 Alex memutar kunci mobilnya dan menjalankannya ke
tempat parkir dekat hotel. Tempat biasa ia menunggu Kristal, lalu
mengirimkan pesan singkat untuk gadis itu. "Aku sudah sampai.
Parkir di tempat biasa."
Kristal datang lima menit kemudian. Alex segera keluar dari
mobil dan membukakan pintu untuk Kristal. Senyum mengembang
di wajah Alex melihat Kristal yang juga tersenyum padanya. "Hai,"
sapanya. "Hai," jawab Kristal. "Mau makan malam di mana?"
"Hmm, kamu suka Western food?" tanya Alex.
"Lumayan. Aku ngikut kamu aja. Aku enggak begitu lapar
soalnya." "Wah, kalau aku sih sudah lapar sekali. Lebih tepatnya
kelaparan," jawab Alex sambil memegang perutnya. Wajar saja, ia
memang belum makan sedari pagi. "Oh, ya aku baru ingat. Temanku
memberikan aku voucher makan malam di restoran Barat dekatdekat sini. Voucher-nya hanya sampai besok soalnya. Sayang juga
sih kalau tidak digunakan. Kamu mau enggak makan malam di
sana?" "Oke," jawab Kristal singkat.
Tentu saja soal voucher itu hanya karangan Alex saja. Ia
mengarang soal voucher itu agar bisa mengajak Kristal makan malam
di restoran yang ingin dikunjunginya bersama Kristal. Alex ingat
terakhir kali ia ke sana untuk makan malam seorang diri setahun
yang lalu. Restoran itu sebenarnya sangat romantis dengan dekorasi
dan bunga-bungaan yang indah, namun saat itu yang Alex rasakan
hanyalah rasa kesepian tanpa seorang pun yang menemani. Tapi,
tidak malam ini. Ia bersama Kristal dan sepi itu telah berlalu. Alex
tersenyum dalam hati. Ia cepat-cepat mengendarai mobilnya dengan
bersemangat. 106 Kristal Ok Rev.indd 106 Langit agak mendung saat mobil yang ditumpangi Alex tiba
di restoran yang ia tuju. Alex segera turun dan membukakan pintu
mobil Kristal. Mereka lalu berjalan menuju restoran tersebut.
Seorang pelayan menghampiri mereka dan mengantarkan mereka
ke meja yang terletak di sudut. Tentu saja meja tersebut sudah
dipesan Alex lewat telepon tadi siang. Ia menginginkan suasana
yang sepi dan lebih privat agar mereka bisa mengobrol dengan lebih
nyaman. Kristal berjalan ogah-ogahan. Setengah jalan, tiba tiba ia
berkata, "Duduknya jangan di sudut sana dong. Duduk di sini aja
boleh enggak?" Alex menatap meja yang dipilih Kristal, meja yang terletak
dekat dengan pintu keluar. Sebenarnya ia agak keberatan. Letak meja
tersebut bukanlah spot yang akan dipilihnya sebab meja itu akan
sering dilalui tamu-tamu restoran,dan tentunya dapat mengganggu
obrolan mereka nanti, tapi tentu saja ia tidak akan menolak
permintaan Kristal. "Boleh," katanya sembari memberi isyarat pada
pelayan untuk mengganti meja, dan mempersilakan Kristal duduk.
Alex mengambil buku menu dan memberikannya pada Kristal lalu
ia membuka buku menunya sendiri. Ia memandang Kristal dan
bertanya "Kamu mau pesan apa?"
Kristal berpikir sebentar, lalu ia berkata, "Aku pengin salmon
steak." "Oke. Minumnya?" tanya Alex lagi.
"Air putih aja deh."
"Oke, jadi satu salmon steak dan satu tenderloin steak. Minumnya
air mineral dan segelas anggur merah. Terima kasih," ia berkata pada
pelayan tersebut. Kristal tiba-tiba tertawa tertahan. Alex heran dibuatnya.
"Kenapa kamu tertawa?" tanya Alex.
107 Kristal Ok Rev.indd 107 "Hmm. Bukan hal penting sih. Aku cuma merasa kamu itu
mirip sekali sama manajer baru aku. Aku sudah merasa kalau
kalian itu ada kemiripan, mulai dari wajah, sikap, dan cara bicara.
Tapi, aku enggak menyangka sampai menu makanan dan minuman
yang kalian pilih juga sama," Kristal tertawa geli.
"Kamu makan dengan manajer baru kamu di sini?" Alex tiba
tiba memiliki firasat buruk soal ini.
"Iya. Makanya tadi aku sempat agak kaget waktu kamu
membawaku ke restoran ini, soalnya baru tadi siang aku makan


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di sini. Tadi juga kita makan di meja sudut itu. "
Alex hanya diam mendengar kata-kata Kristal. Ia jadi teringat
permintaan Steve kemarin untuk bekerja sebagai manajer di divisi
event. Tapi, ia sama sekali tidak menyangka bahwa Steve bisabisanya mengajak Kristal makan siang di sini. Aneh sekali. Steve
mengajak makan seorang wanita hanya berarti satu hal, ia sedang
tebar pesona dan Kristal adalah sasarannya. Ia merasa darahnya
mulai mendidih, tapi ia berusaha untuk tetap terlihat tenang di
depan Kristal. "Jadi bagaimana pendapatmu soal manajer barumu
itu" Bagaimana orangnya" Baik?"
Kristal memutar bola matanya. "Baik" Yang benar saja.
Orangnya sangat amat menyebalkan dan semaunya sendiri."
Bagus, pikir Alex. Paling tidak Kristal tidak menyukai Steve.
"Oh ya" Kalau begitu kamu "kan bisa agak menghindar. Enggak usah
dekat-dekat sama dia selama di kantor."
Kristal menghela napasnya. "Itulah masalahnya. Tadi manajer
baruku itu meminta aku menjadi asistennya. Jadi mau enggak mau
aku enggak bisa menjauhi dia."
Alex terkejut mendengar perkataan Kristal. Cukup sudah, ia
harus segera mengambil tindakan. Berani-beraninya Steve menyuruh
108 Kristal Ok Rev.indd 108 Kristal menjadi asisten pribadinya. Enak saja. Ia sama sekali tidak
rela. Besok ia harus segera mengurus hal ini. Sialan sekali si Steve
itu. Ia mengutuk sepupunya dalam hati.
Alex tidak menyadari raut mukanya sudah berubah begitu
kesalnya hingga Kristal bertanya padanya. "Kamu enggak apa-apa
Alex" Mukamu kok jadi tegang begitu?"
Alex terkejut dan langsung memasang mimik tersenyumnya
kembali. Jangan sampai Kristal curiga, pikirnya. Mengenai Steve,
akan ia urus nanti saja. Sekarang ia harus fokus menikmati acara
malam ini. Ia tidak mau gara-gara sepupunya itu, mood-nya jadi
jelek dan merusak acara makan malamnya dengan Kristal. "Tidak
apa apa. Aku hanya teringat urusan kantor. Tidak penting kok,"
sahut Alex sambil tersenyum menenangkan.
Kristal hanya mengangguk. Mereka lalu melanjutkan makan
malam mereka seraya berbincang seru, sebelum akhirnya beranjak
ke panti asuhan. HUJAN telah turun begitu derasnya ketika mereka tiba di
Panti Asuhan Bunda Maria. Alex turun dari mobil dan bergegas
membuka pintu bagasinya untuk mengambil payung agar Kristal
tidak kehujanan. Mereka berjalan dengan berbagi payung. Alex
melihat Kristal tersenyum geli. Entah apa lagi yang dipikirkan
gadis itu, namun kali ini ia tidak bertanya sebab ia terlalu tegang.
Mereka berjalan begitu dekat agar tetes hujan tidak membasahi
tubuh mereka. Bahu mereka sering tidak sengaja bersentuhan.
Alex bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, lebih kencang
dari bunyi tetes air hujan di sekelilingnya. Ia berjalan dalam diam
sambil terus menggengam erat payungnya untuk meredakan
kecanggungannya. 109 Kristal Ok Rev.indd 109 Begitu mereka tiba di teras panti yang teduh dan terlindung
dari hujan, Kristal segera berjalan menjauh. Ia mengambil tisu dari
dalam tasnya untuk mengeringkan rambut dan wajahnya yang
basah terkena air hujan. Lalu menawarkan tisu itu pada Alex,
memandangnya dan payung itu secara bergantian. "Payungnya
bagus. Enggak nyangka banget kamu suka corak dan warna seperti
itu," ujarnya sambil tertawa lagi.
Alex melihat payungnya yang berwarna merah muda dan
bercorak bunga-bungaan. Oh, tidak. Ia sama sekali tidak sadar
akan hal itu. Tadinya payung itu akan ia letakkan diam-diam di
depan pintu apartemen Kristal. Sebab ia ingat sekali Kristal tidak
memiliki payung, padahal jelas-jelas gadis itu gampang sekali sakit.
Namun, akibat segala kesibukannya akhir-akhir ini, ia menjadi lupa.
Payung itu tergeletak begitu saja tak tersentuh di dalam bagasinya
bercampur dengan payung-payungnya yang lain. Pastinya tadi ia
salah mengambil payung tersebut sebab keadaan begitu gelap akibat
hujan. Alex mencoba memberi alasan, "Oh, itu bukan payungku
kok." Kristal tertawa lagi. "Bohong ah"
"Enggak kok," Alex bersikeras.
"Aku lihat kok waktu dulu pertama kali kita bertemu di
supermarket, kamu sendiri yang mengambil payung itu dari rakrak payung di sana."
Muka Alex langsung merah padam. Ia tidak bisa beralasan
lagi. Ia memang membeli payung tersebut di sana. Ia lalu buruburu masuk ke dalam panti untuk menghindari topik memalukan
tersebut. Kristal masih tertawa cekikikan di belakangnya. Dasar
payung sialan, pikir Alex.
110 Kristal Ok Rev.indd 110 Anak-anak panti berlarian ke ruang tamu dan menyambut
mereka dengan gembira. Putra, anak lelaki kecil bertubuh kurus
ceking, dengan lingkar mata yang tajam di sekitar matanya memeluk
tubuh Kristal dari belakang. Kristal tampak terkejut sekali saat
melihat Putra di depannya.
"Putra, kamu kok di sini" Papa Mama mana?"
Putra hanya menundukkan kepala dan tidak menjawab
pertanyaan tersebut. Kristal curiga ada yang tidak beres, maka
ia segera berjalan menuju ruang kerja Suster untuk mencari
tahu mengenai hal ini. Suster Albertha sedang duduk membaca
Alkitab saat Kristal tiba di ruangannya. Suster Albertha adalah
seorang wanita berusia lima puluhan, berwajah keibuan dan sering
tersenyum. Kristal selalu merasa nyaman bila berbincang-bincang
dengan wanita ini, oleh sebab kata-katanya yang selalu mampu
menenteramkan hati. Suster Albertha tersenyum seperti biasa saat melihat Kristal.
"Ada apa Kristal?""
Kristal berkata dengan tidak sabar. "Kok Putra ada di sini,
Suster" Jangan bilang kalau ia dikembalikan lagi."
Suster Albertha menghela napas prihatin. "Bu Ningsih tadi
siang mengantarkan Putra ke sini. Ia cerita sama Suster kalau
kondisi keuangan mereka sedang kurang baik. Pak Toby sekarang
diberhentikan dari kerjaannya. Bu Ningsih bilang, kalau mereka
sudah enggak sanggup kalau harus mengurus Putra dan membiayai
pengobatannya. Jadi, terpaksa Putra dikembalikan ke sini."
Kristal merasa sangat berang. "Keterlaluan sekali Bu Ningsih
dan Pak Toby itu. Memangnya Putra itu dianggap apa" Barang
belanjaan" Yang bisa dikembalikan seenaknya. Kalau memang
tidak sanggup mengurus Putra, seharusnya mereka tidak usah
111 Kristal Ok Rev.indd 111 mengadopsi Putra tiga setengah tahun lalu. Bayangkan, tiga tahun
mereka bersama Putra, apa tidak timbul sedikit pun rasa sayang
mereka sama Putra?" Kristal langsung meledak-ledak.
"Suster mengerti perasaan kamu Kristal. Tapi, mau bagaimana
lagi. Mereka sedang dalam masalah. Enggak mungkin juga kalau
Putra dirawat sama mereka. Nanti kalau Putra dirawat di rumah
sakit, siapa yang akan membayar biayanya" Itulah alasannya,
mengapa mereka terpaksa menyerahkan Putra. Kamu tenang saja,
nanti Suster akan berusaha mencarikan orang tua yang lebih baik
untuk menjaga Putra," kata Suster Albertha menenangkan. Tapi,
Kristal sudah telanjur emosi.
"Tapi, bagaimana dengan perasaan Putra" Aku bisa lihat dengan
jelas betapa sedihnya Putra tadi. Bagi Putra, Bu Ningsih dan Pak
Toby itu sudah seperti ayah ibunya sendiri."
Suster Albertha hanya terdiam prihatin.
"Sudahlah Suster, aku mau menemui Putra dulu," kata Kristal,
lalu berjalan meninggalkan ruangan Suster dan berlari menemui
Mushasi 17 Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Memanah Burung Rajawali 17

Cari Blog Ini