Ceritasilat Novel Online

Catatan Dari Bawah Tanah 3

Catatan Dari Bawah Tanah Karya Fyodor Dostoy Bagian 3


Kami diam. Hanya Tuhan yang tahu kenapa aku tidak pergi. Aku merasa diriku makin sakit dan makin jemu.
Gambaran-gambaran hari yang lalu mulai tampak dengan sendirinya, lepas dari keinginanku,
berlintasan dengan kacau dalam ingatanku. Aku tiba-tiba ingat sesuatu yang kulihat tadi pagi, waktu
kepalaku penuh dengan fikiran yang risau buru-buru pergi ke kantor.
"Kemarin aku melihat mereka memukul peti mati dan peti itu hampir saja mereka jatuhkan," kataku
tiba-tiba dengan lantang, bukan karena ingin memulai suatu percakapan tapi sekedar karena
kebetulan saja. "Peti mati?" "Ya, di pasar Jerami; mereka mengeluarkannya dari gudang bawah tanah."
"Dari gudang bawah tanah?"
"Bukan dari gudang tapi dari sebuah ruang bawah tanah. Ah, kau tentu tahu . . . jauh di bawah . . .
dari sebuah rumah mesum. Semua di sekitarnya kotor . . . kulit telur, kertas-kertas . . . bau busuk.
Memualkan." Hening. "Hari yang tidak enak sekali untuk dikuburkan," aku mulai, supaya jangan diam saja.
"Tidak mengenakkan, kenapa?"
"Salju, air." (aku menguap)
"Sama saja," katanya tiba-tiba setelah diam sesaat. "Tidak, pasti tidak menyenangkan." (aku
menguap lagi) "Penggali kubur tentu menyumpah-nyumpah karena basah oleh salju. Dan kubur itu
tentu penuh air." "Kenapa penuh air?" tanyanya dengan semacam ingin tahu, tapi dengan cara yang lebih kasar dan
singkat dibanding sebelumnya.
Aku tiba-tiba merasa panas.
"Di bawah tanah yang dalamnya sekaki selalu ada air. Kita tidakbisa menggali kuburan kering di
pekuburan Volkovo." "Kenapa tidak?"
"Kenapa tidak" Karena tempat itu basah. Di sana sebetulnya rawa. Jadi dia dikuburkan dalam air.
Aku sendiri telah melihatnya . . . sering sekali."
(Aku belum pernah melihatnya biarpun sekali, dan aku belum pernah ke Volkovo, aku hanya
mendengar cerita tentangnya.)
"Maksudmu kau tidak perduli bagaimana caranya mati?"
"Kenapa aku harus mati?" jawabnya seolah-olah membela diri.
"Suatu hari kau akan mati, dan kau akan mati dengan cara yang sama seperti perempuan yang
sudah mati itu. Dulu dia . . . seorang gadis seperti kau. Ia mati karena sakit paru-paru.
"Seorang gendak akan mati dalam rumah sakit . . ." (Dia juga sudah tahu; dia menyebut "gendak",
bukan "gadis".)
"Dia berhutang pada germonya," balasku, yang kini merasa lebih terangsang oleh percakapan itu,
"hingga ia terpaksa terus bekerja mencari uang biarpun ia sakit paru-paru. Beberapa sais kereta es
yang lagi berada di situ menceritakan hal itu pada beberapa orang prajurit. Jelas sekali, mereka
kenal dia. Mereka ketawa. Mereka akan berkumpul di sebuah kedai minuman untuk minum buat
kenang-kenangannya."
Sebagian besar dari cerita ini adalah karanganku sendiri. Kemudian hening, keheningan yang
sempurna. Dia tidak bergerak.
"Apa lebih baik mati di rumah sakit?"
"Bukankah sama saja" Lagi pula kenapa aku harus mati?" tambahnya dengan jengkel.
"Jika tidak sekarang nanti."
"Kenapa nanti?"
"Ya, kenapa" Kini kau muda, cantik, segar, kau bisa memperoleh harga tinggi. Tapi setelah setahun
hidup begini kau akan lain sekali " kau akan lusuh."
"Dalam waktu setahun?"
"Pokoknya sesudah setahun nilaimu akan berkurang," kataku dengan jahat. "Dari sini kau akan
pindah ke tempat yang lebih rendah, rumah lain; setahun kemudian " ke rumah ketiga, makin
rendah, dan dalam masa waktu tujuh tahun akhirnya kau akan sampai ke ruang bawah Pasar Jerami.
Artinya kalau kau beruntung. Akan lebih celaka kalau kau kena penyakit, misalnya sakit paru-paru . .
. masuk angin, atau entah apa lagi. Dalam hidupmu yang seperti ini tidak mudah untuk mengatasi
sesuatu penyakit. Jika kau ditimpa salah satu penyakit kau mungkin tidak akan sembuh lagi. Lalu kau
mati." "Oh, baiklah, kalau begitu aku mati," jawabnya dengan kesal lalu dia membuat gerakan cepat.
"Tapi kita harus kasihan."
"Kasihan pada siapa?"
"Pada kehidupan."
Hening. "Apa kau pernah dipertunangkan untuk kemudian dikawinkan?"
"Perduli apa kau itu?"
"Oh, aku tidak bermaksud menanyaimu. Buat aku tidak ada gunanya. Kenapa kau begitu jengkel"
Tentu saja kau boleh saja tidak punya kesulitan-kesulitan pribadi. Perduli apa kau" Aku Cuma
merasa kasihan." "Kasihan padamu."
"Tidak perlu," bisiknya nyaris kedengaran, lalu kembali membuat gerakan samar-samar.
Hal itu segera membuat aku gusar. Apa! Aku begitu ramah padanya, tapi dia . . .
"Apa kau kira jalanmu benar?"
"Aku tidak mengira apa-apa."
"Di situ letak kesalahannya, kau tidak mau memikirkan. Sadarlah selama masih belum terlambat.
Kau masih muda, cantik; kau bisa jatuh cinta, kawin, berbahagia . . . "
"Tidak semua wanita kawin berbahagia," ia membentak dengan nada tiba-tiba yang kasar seperti
tadi. "Memang tidak, tapi pokoknya itu lebih baik dari kehidupan di sini. Jauh lebih baik. Di samping itu,
dengan cinta, kita bisa hidup biarpun tanpa kebahagiaan. Bahkan dalam keadaan susah hidup masih
terasa manis; hidup manis, bagaimanapun cara kita hidup. Tapi di sini apa yang ada di sini kecuali . . .
kebusukan. Puah!" Aku berpaling dengan rasa muak; aku tidak lagi berpikir dengan dingin. Aku mulai merasakan secara
pribadi apa yang kukatakan dan aku merasa hangat oleh pokok pembicaraan itu. Aku sudah siap
untuk membeberkan fikiran-fikiran yang mulia yang selama ini kueram di sudutku. Ada sesuatu yang
tiba-tiba menyala dalam diriku. Suatu hal muncul di hadapanku.
"Jangan perdulikan kehadiranku di sini, aku bukan teladan yang baik untukmu. Barangkali aku lebih
buruk dari kau. Aku mabuk waktu aku datang ke mari," kataku buru-buru, untuk membela diri. "Lagi
pula, seorang laki-laki tidak bisa dijadikan contoh oleh wanita. Berbeda sekali. Aku boleh saja
menghina dan merendahkan diriku, tapi bukan budak siapa-siapa. Aku datang dan pergi, tapi ada
batasnya. Aku bisa menghirapkannya, lalu aku jadi manusia yang lain. Tapi kau sudah dari semula
seorang budak. Ya, seorang budak. Kau melepaskan segala-galanya, seluruh kebebasanmu. Dan jika
nanti kau ingin memutuskan rantaimu, kau tidak akan bisa: kau akan terikat dengan lebih kuat. Ini
adalah belenggu yang merupakan kutukan. Aku tahu. Aku tidak akan bicarakan hal yang lain,
barangkali kau tidak akan mengerti, tapi coba katakan padaku aku yakin kau berhutang pada
germomu" Nah, kan," demikian kutambahkan,biarpun ia sama sekali tidak menjawabnya, dan hanya
mendengarkan tanpa bicara, tenggelam seluruhnya. "Untuk kau itu belenggu! Kau tak akan pernah
bisa menebus kemerdekaanmu. Mereka akan halangi. Sama saja dengan menjual ruh kita pada iblis .
. . barangkali, juga aku sama malangnya " bagaimana kita bisa tahu " dan kini bergelimang dalam
lumpur dengan sengaja, karena penderitaan" Tahu kau, lelaki minum karena sedih; nah, mungkin
aku ada di sini karena sedih. Coba katakan, apa yang baik di sini" Di sini kau dan aku . . . . . bertemu .
. . . baru dan selama itu kita tidak bicara sedikit pun jua; baru kemudian kau mulai menatap aku
bagai seekor makhluk liar, dan akku menatapmu. Apa begitu kasih sayang" Apa begitu caranya
seorang manusia ketemu manusia lainnya" Mengerikan sekali, jelas!"
"Ya," demikian ia membenarkan dengan tajam dan cepat.
Aku betul-betul kagum mendengar ketangkasan "Ya"nya. Jadi mungkin fikiran yang sama juga
berkeliaran dalam fikirannya waktu menatap aku tadi. Jadi, dia rupanya juga sanggup memiliki
fikiran. Persetan, ini menarik! demikian aku berkata dalam hati sambil menggosok-gosokkan
tanganku. Memang mudah untuk meyakinkan seorang muda seperti dia!
Yang menarik sekali hatiku ialah kegunaan kekuasaanku.
Ia memalingkan kepala lebih dekat padaku, dan dalam gelap aku merasa ia seakan-akan
berbantalkan lengannya. Barangkali ia lagi mengamati aku. Aku merasa sayang tidak dapat melihat
matanya. Aku mendengar nafasnya yang dalam.
"Kenapa kau ke mari?" tanyaku dengan nada penuh perbawa dalam suaraku.
"Entahlah." "Alangkah enaknya tinggal di rumah ayahmu! Hangat dan bebas; kau punya rumah sendiri."
"Tapi bagaimana kalau keadaan rumah itu lebih buruk dari ini?"
"Aku pandai-pandai memilih cara," demikian mengilas di otakku. "Dengan sentimentalitas mungkin
aku tidak akan berhasil banyak. "Tapi itu hanya fikiran sekilas. Akubersumpah, dia betul-betul telah
menarik perhatianku. Lagi pula, aku lelah dan murung. Dan kelicikan selalu berpegangan tangan
dengan perasaan. "Mungkin saja!" aku menjawab tergopoh-gopoh. "Apa saja bisa terjadi. Aku yakin ada orang yang
sudah menyakitimu, dan bahwa kau lebih banyak ditimpa dosa orang daripada berbuat dosa sendiri.
Tentu saja aku tidak tahu apa-apa tentang riwayat hidupmu, tapi gadis seperti kau tidak mungkin
datang ke mari atas kehendak sendiri . . . . "
"Gadis seperti aku?" dia berbisik, hampir-hampir tak kedengaran; tapi aku mendengarnya.
Persetan, aku sudah menyanjungnya. Ini betul-betul dahsyat. Tapi barangkali lebih baik bila . . . dia
diam. "Begini Liza, aku akan bercerita tentang diriku sendiri. Sekiranya dari kecil aku punya rumah, aku
tidak akan jadi seperti sekarang ini. Aku sering memikirkan itu. Bagaimana buruk pun keadaan di
rumah, disana ada ayah dan ibumu, bukan musuhmu, orang asing. Setidak-tidaknya sekali setahun,
mereka akan memperlihatkan rasa cintanya padamu. Pokoknya, kau tahu kau di rumah. Aku besar
tanpa rumah; mungkin karena itu aku jadi begitu . . . . tak berperasaan."
Aku menunggu kembali. "Barangkali dia tidak mengerti," kataku dalam hati, "memang kata-kataku
ini edan " mengajar."
"Sekiranya aku seorang ayah dan aku punya anak perempuan, aku yakin aku akan lebih cinta pada
anak perempuanku daripada anak lelakiku, betul," begitu aku mulai secara tidak langsung, seolaholah aku bicara tentang hal lain, dengan maksud untuk mengalihkan perhatiannya. Aku harus akui:
mukaku merah padam. "Kenapa?" tanyanya.
Ah! Rupanya dia juga mendengarkan!
"Aku tidak tahu, Liza. Aku kenal seorang ayah yang keras dan cermat, tapi tidak segan berlutut
depan anak perempuannya untuk mencium tangannya, kakinya " dia seakan-akan merasa tidak
cukup menyayanginya. Jika anak itu berdansa di pesta ia tegak terus-menerus selama lima jam
memperhatikannya. Dia betul-betul gila pada anak itu: aku bisa mengerti! Dan jika malam anak itu
tidur maka ia bangun untuk mencium anaknya di kala tidur dan membuatkan tanda salib baginya. Ia
mengenakan baju tebal usang, kotor, ia kikir terhadap siapa saja, tapi untuk anaknya ia bersedia
untuk membelanjakan duitnya yang terakhir, memberinya hadiah yang mahal, dan ia merasakan
kenikmatan terbesar bila melihat anak itu senang dengan pemberiannya. Ayah selalu mencintai
anak perempuannya lebih dari ibu. Ada gadis yang hidup berbahagia di rumah! Dan aku sendiri yakin
tidak akan membiarkan anak perempuanku menikah."
"Apa lagi?" katanya dengan senyuman samar-samar/
"Aku akan cemburu, betul. Kalau dia ingat bahwa ia akan dicium oleh orang lain! Bahwa dia akan
mencintai seorang asing lebih dari ayahnya! Gambaran itu menyakitkan. Tentu saja semua itu
omong kosong, tentu saja setiap ayah akhirnya sadar juga. Tapi kukira sebelum ia kunikahkan, aku
akan khawatir setengah mati; aku akan melihat segala macam kekurangan pada setiap pemuda
calonnya. Tapi akhirnya aku akan membiarkan ia kawin dengan laki-laki yang ia cintai. Tahu kau
biasanya pilihan anaknya selalu kelihatan buruk dalam mata seorang ayah. Memang begitu selalu.
Banyak sekali pertengkaran keluarga disebabkan itu."
"Ada yang lebih suka menjual anaknya, daripada menikahkannya secara terhormat."
"Oh, jadi begitu rupanya."
"Hal seperti itu, Liza, terjadi di antara keluarga terkutuk yang tidak mengenal cinta atau Tuhan,"
kutangkis dengan hangat. "Di mana tidak ada cinta, di situ juga tidak ada pertimbangan yang betul.
Memang ada keluarga seperti itu, tapi yang kubicarakan bukan keluarga begitu. Kau rupanya telah
mengalami keburukan-keburukan dalam keluargamu, makanya kau bicara begitu. Betul, kau
rupanya malang sekal. Hm. . . . . hal-hal seperti itu biasanya terjadi karena kemiskinan."
"Apa di antara orang-orang mampu keadaannya lebih baik" Bahkan di antara orang miskin yang
jujur bisa-bisa hidup bahagia."
"Hm . . . . ya. Mungkin. Satu hal lagi, Liza, manusia senang mengingat-ingat kesusahannya tapi tidak
mau mengingat kesenangannya. Jika ia mau mengingatnya sebagaimana mestinya, maka ia akan
melihat bahwa setiap orang cukup mendapat pembagian. Apa lagi kalau semuanya baik dalam suatu
keluarga, jika Tuhan memberikan rahmat padanya, jika sang suami seorang yang baik, sayang pada
kita, menghibur kita, tak pernah meninggalkan kita! Dalam keluarga seperti itu ada kebahagiaan
bahkan kadang-kadang di tengah dukacita ada kebahagiaan; dan memang dukacita ada di manamana. Jika kau menikah maka kau akan mengalaminya sendiri. Coba kau bayangkan tahun pertama
pernikahanmu bersama seseorang yang kaucintai: alangka besar kebahagiaan yang terkandung
dalamnya, alangkah besar kadang-kadang kebahagiaan yang terdapat di situ. Padahal ini biasa saja.
Di hari-hari pertama bahkan pertengkaran dengan suami berakhir dengan suatu kebahagiaan. Ada
perempuan yang memancing pertengkaran dengan suami hanya karena cinta sekali pada suami. Ya,
aku kenal seorang perempuan seperti itu: ia seolah-olah mengatakan, karena ia cinta pada suaminya
itu sampai terasa. Kau tahu bahwa kita bisa menyiksa seorang lelaki dengan sengaja karena cinta.
Perempuan memang melakukan itu, sambil berkata dalam hati, "aku akan mencintai dia begitu
rupa, aku akan memberikan imbalan yang begitu besar, hingga bukanlah suatu dosa untuk menyiksa
dia sedikit kini." Dan seluruh rumah gembira melihat kau, dan kau bahagia dan riang, damai dan
terhormat . . . . . Ada lagi perempuan yang cemburu. Jika suaminya bepergian " aku kenal
perempuan seperti itu, dia tidak bisa menguasai diri, lalu pada malam hari ia melompat dan berlari
untuk mengetahui di mana suaminya berada, apa ia sedang bersama perempuan lain. Itu sangat
disayangkan. "Dan perempuan itu sendiri sadar bahwa itu salah, lalu kehilangan keberaniannya dan ia menderita,
tapi ia mencintai semua itu karena cinta! Alangkah manisnya untuk berdamai setelah bertengkar,
untuk mengakui bahwa kita salah untuk memaafkan dia! Dan keduanya serta-merta berbahagia "
seolah-olah mereka bertemu untuk pertama kali, seolah-olah baru dinikahkan kembali; seolah-olah
cinta mereka mulai kembali dari awal. Dan tidak seorang pun yang boleh tahu apa yang terjadi
antara suami dan istri jika mereka saling berkasih-kasihan. Apa un pertengkaran yang terjadi, tidak
boleh memanggil ibunya agar jadi wasit sebagai tempat mengadu. Mereka sendiri yang jadi wasit.
Cinta ialah suatu misteri suci yang harus disembunyikan dari mata orang lain, apa pun yang terjadi.
Hal itu akan membuat cinta jadi lebih suci dan lebih baik. Mereka saling hormat-menghormati, dan
banyak yang bisa dibangun berlandaskan rasa hormat. Jika pernah ada cinta, jika mereka kawin
karena cinta, kenapa cinta akan pergi" Cinta pasti dapat dipertahankan. Jarang sekali tidak bisa
dipertahankan. Sekiranya sang suami ramah dan terus-terang, kenapa cinta tidak bisa
dipertahankan" Tahap pertama cinta suami-istri akan lewat, benar, tapi sudah itu akan datang cinta
yang jauh lebih baik. Lalu terjadilah persatuan sukma, mereka akan berbagi dalam segala-galanya,
antara mereka tidak ada lagi rahasia.
"Dan jika mereka mendapat anak, maka masa yang paling sulit bagi mereka akan terasa
membahagiakan, selama ada cinta dan keberanian. Bahkan bekerja akan merupakan kesenangan.
Kita tidak akan segan menahan diri supaya dapat memberikan makanan buat anak kita, dan itu pun
akan merupakan suatu kenikmatan. Mereka akan mencintai kita nanti karena itu; dengan demikian
kita menabung untuk masa depan. Jika anak-anak itu bertambah besar, maka kita merasa, bahwa
kita terus jadi contoh, bahwa kita harus merupakan tempat berpijak bagi mereka; bahkan setelah
kita mati anak-anak kita akan selalu menyimpan fikiran dan perasaan kita, karena semuanya mereka
peroleh dari kita, dan mereka akan menyerupai dan mirip dengan kita. Jadi jelas, ini adalah suatu
kewajiban besar. Ia tak mungkin gagal untuk mendekatkan ibu dan ayah" Orang mengatakan
mendapat anak adalah suatu ujian. Siapa yang berkata begitu" Mendapat anak adalah kebahagiaan
sorga. Apa kau senang pada anak-anak kecil, Liza" Kau tahu " seorang bayi lelaki laik mawar di
dadamu. Suami mana yang tidak akan terharu, melihat isterinya menyusui anaknya. Seorang bayi
kecil gemuk merah jambu, menendang-nendang dan mendekapkan diri, tangan dan kaki kecil yang
montok, kuku kecil bersih, begitu kecil hingga kita ketawa melihatnya; mata yang memandang
seolah-olah ia mengerti segala-galanya. Sementara ia menyusu ia mendekapkan diri pada dadamu
dengan tangannya sambil bermain. Jika ayahnya datang, anak itu melepaskan diri dari dada, melihat
kepada ayahnya, seolah-olah semuanya lucu sekali, lalu kembali menyusu. Atau ia menggigit susu
ibunya jika gigi kecilnya sudah tumbuh, sambil memandang ke samping dengan matanya seolah-olah
ia mau berkata, "Lihat, aku mengigit!" Bukankah itu semua bahagia jika ketiganya berkumpul, suami,
isteri dan anak" Untuk saat-saat seperti itu banyak yang dapat kita maafkan. Ya, Liza, kita lebih dulu
harus belajar untuk hidup sebelum kita menyalahkan orang lain!"
"Dengan gambar, dengan gambar seperti itu aku bisa meyakinkan kau," demikian hatiku berkat.
Biarpun aku bicara dengan perasaan yang murni, aku tiba-tiba mukaku merah padam. "Bagaimana
kalu ia tiba-tiba ketawa, apa yang akan kuperbuat?" Fikiran itu membuat aku geram. Pada akhir
pembicaraanku aku betul-betul gelisah, dan kini harga diriku terasa sedikit tersinggung. Keheningan
itu berlangsung terus. Aku hampir-hampir saja menyentuh dia.
"Kenapa kau . . . . " demikian ia mulai tapi segera berhenti. Tapi aku mengerti, dalam suaranya ada
suatu getaran yang lain sama sekali, tidak singkat, kasar dan keras seperti sebelumnya, tapi agak
lunak dan malu-malu, begitu malu-malu hingga aku tiba-tiba merasa malu dan berdosa.
"Apa?" tanyaku dengan rasa ingin tahu yang ramah.
"Kenapa kau . . . "
"Apa?" "Kenapa kau . . . bicara seperti buku," katanya lalu dalam suaranya terasa kembali nada mengejek.
Ucapan itu membuat jantungku berhenti. Tidak kukira sama sekali.
Aku tidak mengerti bahwa ia menyembunyikan perasaannya di balik ejekan, bahwa ini biasanya
adalah suaka terakhir di antara orang-orang yang rendah hati dan baik, jika rahasia hatinya dimasuki
dengan kasar dan dengan paksa; rasa harga diri mereka, membuat mereka menolak untuk
menyerah sampai saat terakhir dan enggan mengutarakan perasaan di hadapan kita. Dari sikap
segan-segan untuk memperlihatkan dalam memperlihatkan sarkasmenya berkali-kali, mestinya aku
bisa tahu; akhirnya dengan susah payah ia utarakan juga. Tapi aku tidak bisa menerka dan suatu
perasaan jahat menguasai diriku.
"Tunggu sebentar!" demikian hatiku berkata.
OH, hus, Liza! Bagaimana kau bisa mengatakan seperti buku, sedangkan aku, sebagai orang luar,
merasa pahit karenanya" Biarpun aku memandangnya bukan sebagai orang luar, karena perasaanku
betul-betul terharu . . . . Apa mungkin, apa mungkin kau sama sekali tidak merasa sakit karena ada di
sini" Memang kebiasaan banyak sekali pengaruhnya! Hanya Tuhan yang tahu bagaimana seseorang
bisa dibentuk oleh kebiasaan. Apa betul-betul kau mengira, bahwa kau tidak akan pernah tua,
bahwa kau akan selalu cantik, dan bahwa kau akan selalu mereka pertahankan di sini" Aku tidak
bicara tentang ke kotoran hidup di sini . . . . tapi aku akan bicara tentang ini " tentang kehidupanmu


Catatan Dari Bawah Tanah Karya Fyodor Dostoy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang, itu yang kumaksud; biarpun kau kini muda, menarik, manis, penuh hati dan perasaan, tapi
kau tahu begitu aku sadar, aku segera merasa mual karena berada bersama kau! Hanya kalau kita
mabuk kita bisa ke mari. Tapi kalau kau berada di tempat lain, hidup seperti sebagai orang baik,
barangkali aku akan jatuh cinta padamu, akan gembira sekali menerima pandangan darimu, jangan
disebut lagi teguran; aku tidak akan lekang dari pintumu, aku akan berlutut depanmu, akan
memandang kau sebagai calon isteriku dan akan merasa beroleh kehormatan karena boleh berbuat
begitu. Aku tidak akan berani memikirkan yang tidak-tidak tentang kau. Tapi di sini, aku hanya perlu
bersuit, lalu kau harus ikut aku apa kau suka atau tidak. Aku tidak memperhatikan kehendakmu, tapi
kau yang harus memperhatikan kehendakku. Pekerja yang paling rendah mempersewakan diri
sebagai pekerja, tapi itu tidak berarti bahwa ia telah membuat dirinya jadi budak; lagi pula, dia tahu
bahwa ia segera akan merdeka kembali. Tapi kapan kau akan merdeka" Coba bayangkan apa yang
sudah kausia-siakan disini. Apa yang sudah kau jadikan budak" Sukmamu bersama tubuhmu; kau
menjual jiwamu, sedangkan kau tidak berhak menyingkirkannya! Kau berikan cintamu untuk
digerayangi oleh setiap pemabuk! Cinta! Tahu kau, itu adalah segala-galanya, sebutir permata yang
tak ternilai, harta seorang gadis, cinta " seorang lelaki akan bersedia memberikan nyawanya,
menghadapi maut untuk memperoleh cinta itu. Tapi berapa harga cintamu kini" Kau sudah terjual,
seluruh dirimu, baik jiwa maupun badan, dan orang tidak perlu berjuang untuk memperoleh cinta,
jika orang bisa mendapat segala-galanya tanpa cinta. Dan kau tahu, buat seorang gadis tidak ada
hinaan yang lebih besar dari itu, apa kau mengerti" Kabarnya, kalian dihibur, kasihan sekali, katanya
kalian diperbolehkan punya pacar sendiri di sini. Tapi tahu kau, itu tidak lebih dari suatu lelucon,
suatu kepura-puraan; ia mentertawakan kau dan kau tertipu!
"Kenapa, apa kau kira pacarmu itu betul-betul cinta padamu" Aku tidak percaya. Bagaimana ia bisa
mencintai kau sedangkan ia tahu bahwa kau setiap saat bisa dipanggil dan meninggalkan dia" Kalau
betul, maka ia betul-betul seorang dukana. Apa ia menaruh hormat padamu" Apa kesamaan antara
kalian" Ia mentertawakan kau dan merampok milikmu " hanya sekian cintanya. Kau boleh dianggap
beruntung kalau kau tidak dipukuli olehnya. Tapi bukan mustahil, ia telah memukuli kau. Coba
tanyakan padanya, kalau kau betul punya pacar, apa ia bersedia menikahi kau. Ia akan tertawa di
hadapanmu, sekiranya mukamu tidak ia ludahi atau kau tidak ia tampar " biarpun harga dirinya
sendiri barangkali tidak sampai setengah sen. Kalau difikir-fikirkan, untuk apa hidupmu
kauhancurkan" Untuk kopi yang mereka berikan padamu, dan untuk makanan yang cukup" Tapi
dengan tujuan apa mereka hidupi engkau" Seorang gadis yang jujur tidak akan sanggup menelan
makanan itu, karena ia tahu untuk apa ia diberi makan. Kau berhutang di sini, dan tentu saja kau
akan berhutang selalu, dan kau akan terus-menerus berhutang sampai kapan pun, sampai tamutamu yang datang ke mari menjauhi kau. Dan hal ini tidak lama lagi akan terjadi. Jangan terlalu
mengandalkan diri pada kemudaanmu " kemudaan di sini terbang bersama kereta cepat, kau tahu
itu. Kau akan ditendang keluar. Bukan hanya ditendang; lama sebelum itu ia akan mulai mengomeli
kau, memaki kau, memarahi kau, seolah-olah kau tidak mengorbankan kesehatanmu untuk dia,
tidak membuang-buang masa muda dan jiwamu untuk keuntungannya; seolah-olah kau telah
merongrong dia, membuat dia miskin. Dan jangan harapkan ada orang yang akan berfihak padamu;
yang lain-lain, kawan-kawanmu akan ikut juga menyerang kau, untuk mengambil hatinya, karena
yang ada di sini berada dalam perbudakan, dan telah lama kehilangan semua hati sanubari dan rasa
kasihan. Mereka sudah jadi busuk, dan di bumi ini tidak ada yang lebih busuk, dan lebih menyakitkan
dari penganiayaan mereka.
"Sedangkan kau sudah menyerahkan semuanya di sini, tanpa syarat, masa muda dan kesehatan dan
harapan, dan waktu kau berumur dua puluh dua kau sudah seperti seorang perempuan berumur
tiga puluh lima. Masih untung kalau kau tidak dijangkiti penyakit, berdoalah pada Tuhan supaya
jangan begitu! Tak pelak lagi, kau tentu mengira bahwa kau di sini senang dan bahwa tidak ada
pekerjaan yang harus kaukerjakan. Tapi sebetulnya tidak ada pekerjaan yang lebih berat atau lebih
mengerikan di dunia ini, baik dulu baik sekarang. Orang mengira hanya hati yang bisa lusuh karena
air mata. Dan kau tidak akan berani bicara, biarpun sepatah kalau mereka mengusirmu dari sini; kau
pergi seolah-olah kau memang bersalah. Kau akan pindah ke rumah lain, lalu ke rumah ketiga, lalu
ke tempat lain, hingga akhirnya kau terdampar ke Pasar Jerami. Di sana setiap kau akan dipukuli; di
sana itu namanya sopan, karena langganan-langganan di situ tidak tahu bagaimana caranya berlaku
manis tanpa memukuli kau. Kau tidak percaya bahwa di sana keadaannya buruk sekali. Pergilah ke
sana supaya kau bisa lihat dengan mata sendiri. Sekali pada Hari Tahun Baru, aku melihat seorang
perempuan di hadapan sebuah pintu. Untuk main-main telah mereka mengusirnya ke luar, supaya
dia dapat mengecap dingin salju, karena ia terlalu banyak menangis. Dan pintu mereka kunci. Pukul
Sembilan pagi dia sudah mabuk, separuh telanjang, luka-luka, mukanya dibedaki, tapi matanya
hitam, darah menetes dari hidung dan giginya; seorang sais kereta baru saja memukuli dia. Dia lagi
duduk di atas tangga batu sambil memegang semacam ikan asin; ia menangis, meratapi nasibnya
sambil memukul-mukulkan ikan asin itu pada tangga. Sedangkan sais-sais kereta dan serdaduserdadu mabuk berdesak-desak di pintu mencerca dia. Kau tidak akan percaya kau tidak akan
pernah jadi begitu" Aku juga tidak ingin percaya, tapi bagaimana kau bisa tahu; barangkali sepuluh,
delapan tahun yang lalu, perempuan yang memegang ikan asin itu juga ke mari dalam keadaan
segar bagai bidadari, suci, polos, tidak kenal kejahatan, dan bermerah muka mendengar setiap kata.
Mungkin dia juga seperti kau, punya harga diri, mudah tersinggung, bukan seperti yang lain-lain;
barangkali ia seperti seorang ratu dan tahu kebahagiaan apa yang dapat ia berikan pada lelaki yang
mencintainya dan yang akan dia cintai. Kau lihat bagaimana akhirnya" Bagaimana kalau pada saat
itu, pada saat ia memukul-mukul tangga yang kotor dengan ikan itu, mabuk dan kusut-masai "
bagaimana kalau pada saat itu ia ingat masa-masa dulu yang suci di rumah ayahnya, waktu dia
masih bersekolah dan anak lelaki tetangga memperhatikan dia, dan menyatakan bahwa ia akan
mencintainya seumur hidup, bahwa dia akan mengabdikan hidupnya, dank ala mereka saling
mengucapkan sumpah akan saling mencintai selalu dan menikah begitu . . . dewasa.
"Betul, Liza, kau masih beruntung jika kau mati karena sakit paru-paru di salah satu pojok, dalam
sebuah kamar bawah tanah seperti perempuan itu. Di rumah sakit, katamu" Kau beruntung kalau
mereka mau menerimamu, tapi bagaimana kalau masih menguntungkan bagi pemilik rumah
pelacuran ini" Sakit paru-paru adalah penyakit yang aneh, bukan seperti demam biasa. Penderita
tetap berharap sampai saat terakhir dan mengatakan bahwa ia sehat walafiat. Ia menipu diri sendiri.
Dan ini sesuai dengan kehendak "induk ayammu." Percayalah, begitulah keadaannya; kau telah
menjual jiwamu, bukan itu saja, kau berhutang padanya, hingga kau tidak berani mengatakan apaapa. Tapi kalau kau sudah sekarat, maka semua akan melupakan kau dan menjauh dari kau, karena
dari kau tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Bukan itu saja, mereka akan menyesalimu karena hanya
menyempit saja di tempat ini, karena kau begitu lama baru mati. Bagaimanapun kau meminta, tidak
akan diberi minum tanpa disertai makian: "Kapan kau akan pergi, cabo sial, kau membuat kami tidak
bisa tidur karena eranganmu, kau membuat tamu-tamu jadi muak." Betul, aku sendiri pernah
mendengar kata-kata itu. Mereka akan membiarkan kau mati di pojok kamar bawah tanah yang
paling kotor " dalam kelembaban dan kegelapan; apa yang akan kau fikirkan, jika kau terbaring
sendiri di sana" Jika kau sudah mati, maka tangan-tangan asing akan membenahi tubuhmu, tanpa
kesabaran dan omelan; tidak seorang pun yang akan memberkati kau, tidak seorang pun yang
menghela nafas panjang untukmu, mereka hanya ingin membebaskan dirimu secepat mungkin;
mereka akan membeli peti mati, dan mengantarkan kau ke kuburan seperti yang merek alakukan
terhadap perempuan itu sekarang ini, dan sudah itu mereka akan merayakan kenanganmu di kedai
minuman. Di kuburkan hujan salju, lumpur, salju basah " tidak perlu dijelaskan bagimu " Turunkan,
Vanuha; sesuai dengan nasibnya " bahkan di sini, ia sial, cabo ini. Pendekkan tali, sialan "Cukup
begitu." Cukup" Dia menyamping. Bagaimana juga dia "kan sesama manusia!" Tapi, sudahlah,
timbun. Dan mereka tidak mau buang waktu untuk bertengkar lama tentang dirimu. Lumpur
berwarna biru basah itu akan mereka tebarkan secepat mungkin lalu pergi ke kedai minuman . . .
lalu di sana berakhirlah kenanganmu di bumi; perempuan-perempuan lain punya anak untuk
menziarahi kuburnya, ayah dan suami. Tapi untukmu, tidak ada air mata, keluhan atau pun
kenangan; tidak seorang pun di dunia ini akan datang menjenguk kuburmu dan namamu akan sirna
dari muka bumi " seolah-olah kau tak pernah ada, tak pernah dilahirkan! Yang tersedia hanya
sampah dan lumpur, biar bagaimanapun kau mengetuk tutup petimu malam hari di saat orangorang mati bangkit, biar bagaimanapun kau menangis: "Biarkan aku keluar, orang-orang baik supaya
hidup dalam cahaya matahari! Hidupku sama sekali bukan hidup; hidupku telah dicampakkan bagai
kain penyeka piring; diminum sampai habis dikedai-kedai minuman di Pasar Jerami; biar aku keluar,
orang-orang baik supaya aku dapat hidup kembali di dunia."
Aku begitu terbawa oleh perasaanku hingga aku merasa kerongkonganku tersekat, lalu . . . . lalu
tiba-tiba aku berhenti, duduk dengan perasaan gundah, sambil membungkuk dengan cemas dan
mulai mendengarkan jantungku yang berdebar-debar. Ada alasan bagiku untuk merasa risau.
Selama beberapa saat aku merasa, bahwa aku sudah menjungkir-balikkan sukmanya dan merobek
hatinya, dan " dan makin yakin aku tentang itu, makin bernafsu aku untuk merebut sasaranku
secepat dan selengkap mungkin. Kesanggupan menjalankan kecakapanku yang telah membuat aku
tertawa; sungguhpun bukan sekadar untuk berolah-raga . . . .
Aku tahu, cara aku bicara kaku, dibuat-buat, bahkan mirip buku, malahan aku tidak bisa bicara
kecuali "mirip buku". Tapi hal itu tidak merisaukan aku: aku tahu, aku merasa bahwa aku harus
dapat difahami dan bahwa ke-buku-an ini mungkin merupakan bantuan bagiku. Tapi kini, setelah
aku berhasil menimbulkan akibat yang kukehendaki, aku tiba-tiba jadi takut. Belum pernah aku
melihat keputusasaan begitu rupa! Ia berbaring menelangkup, sambil menekankan muka ke bantal
dan memegangnya dengan kedua tangan. Hatinya merobek-robek, seluruh tubuhnya yang masih
muda menggentar seolah-oleh kejang. Isak yang ditahan menyusupi dadanya dan tiba-tiba meledak
jadi tangis dan ratapan, lalu ia menekankan diri lebih rapat ke bantal : dia tidak menginginkan
seorang pun jua hadir, tidak satu makhluk bernyawa pun melihat kekusustannya dan air matanya. Ia
menggigit bantal, ia menggigit tangannya sampai berdarah (hal ini kulihat kemudian) atau
menggosok-gosok rambutnya dengan jarinya, ia seakan-akan tegang karena berusaha menahan diri,
sambil menahan nafas dan menggigitkan giginya. Aku mulai mengucapkan sesuatu, memohon
supaya ia tenang, tapi aku merasa aku tidak punya keberanian untuk melakukannya; lalu tiba-tiba,
dalam keadaan merinding karena dingin, hampir mirip dengan rasa ngeri, aku mulai meraba-raba
dalam gelap, mencoba mengenakan pakaianku tergopoh-gopoh. Hari gelap: biarpun aku berusaha
aku tidak bisa selesai berpakaian dengan cepat. Tiba-tiba aku meraba sebuah kotak geretan dan
tempat lilin dengan sebatang lilin baru. Tidak lama kemudian kamar itu sudah terang, lalu Liza
bangkit dan duduk di atas ranjang, dan melihat padaku dengan wajah kerut-merut, dengan
senyuman separuh waras dan dengan pandangan kosong. Aku duduk di sebelahnya lalu memegang
tangannya; ia sadar kembali, lalu membuat gerakan yang terbimbing oleh hatinya ke arahku, siap
untuk memegang aku, tapi rupanya ia tidak cukup berani, hingga akhirnya ia menundukkan kepala di
hadapanku. "Liza, sayang, aku hilaf . . . . maafkan aku, sayang," begitu aku mulai, tapi ia memeras jari-jariku
dengan jarinya begitu keras hingga aku merasa telah mengucapkan sesuatu yang tidak pada
tempatnya, hingga aku segera berhenti.
"Ini alamatku, Liza, datanglah ke rumahku."
"Aku akan datang," jawabnya dengan tegas, sedangkan kepalanya masih saja tertunduk.
"Tapi kini aku akan pergi, selamat tinggal . . . . . sampai ketemu lagi."
Aku berdiri; ia juga ikut berdiri, lalu tiba-tiba meukanya merah, ia menggigil, lalu menyentakkan
sehelai selendang yang terletak di atas kursi dan menyelimuti dirinya dengan selendang itu sampai
kedagunya. Sementara melakukan ini ia memperlihatkan senyuman yang sakit, tersipu-sipu sambil
memandang padaku dengan cara yang aneh. Aku merasa diriku celaka; aku tergopoh-gopoh hendak
pergi " hendak menghilang.
"Tunggu sebentar," katanya tiba-tiba, dekat pintu, sambil menghentikan aku dengan meletakkan
tangannya atas baju tebalku. Ia buru-buru meletakkan lilin lalu pergi berlari; rupa-rupanya ia ingat
sesuatu atau ingin memperlihatkan sesuatu padaku. Ketika ia berlari, mukanya merah, matanya
bercahaya dan bibirnya terbayang senyuman " apa artinya itu" Bertentangan dengan keinginanku,
aku menunggu: satu menit kemudian ia kembali dengan air muka yang seakan-akan mau minta maaf
karena sesuatu. Bahkan dapat dikatakan, muka itu bukan muka yang tadi bukan pandangan yang
sama seperti pandangan tadi malam: jemu, curiga dan tengkar. Matanya kini memohon, lembut dan
sekaligus penuh kepercayaan, membujuk dan malu-malu. Air muka yang kita temui pada anak-anak
kalau mereka memandang pada seseorang yang mereka senangi karena memohon sesuatu.
Matanya adalah mata kijang yang cerah, indah, penuh kehidupan dan sanggup mengutarakan cinta
maupun kebencian yang penuh.
Tanpa penjelasan, seolah-olah aku mahluk keinderaan yang harus dapat mengerti segalanya tanpa
penjelasan, ia mengulurkan sepucuk kertas padaku. Pada saat itu jelas sekali wajahnya menyinarkan
suatu kejayaan yang polos, yang kekanak-kanakkan. Aku membukanya. Kertas itu sepucuk surat
yang dialamatkan padanya dari seorang mahasiswa kedokteran atau sebangsanya " sepucuk surat
cinta yang berbunga-bunga dan melambung-lambung, tapi penuh dengan rasa hormat. Aku tidak
ingat lagi kata-katanya, tapi aku ingat bahwa di balik kalimat-kalimat yang mengawang-ngawang itu
jelas sekali kelihatan perasaanyang tulus, yang tidak bisa dibuat-buat. Waktu aku selesai
membacanya aku menatap matanya yang menyala, penuh pertanyaan, dan tak sabar bagai kanakkanak yang terpaku padaku. Ia menatap mukaku dan menunggu dengan tidak sabar apa yang akan
kukatakan. Dengan beberapa patah kata, terburu-buru, tapi dengan semacam kegembiraan dan
kebanggaan, ia jelaskan padaku, bahwa ia pernah pergi ke sebuah pesta dansa sebuah keluarga
"orang-orang baik, yang tidak tahu apa-apa, tidak tahu sama sekali, karena ia beru saja datang ke
mari dan semuanya terjadi . . . dan bahwa dia belum mengambil keputusan untuk menetap di sini
dan pasti akan segera pergi begitu ia dapat melunasi hutangnya . . ." dan di pesta itu ada seorang
mahasiswa yang semalam-malaman berdansa dengannya. Mahasiswa itu bercakap-cakap
dengannya, lalu ternyata bahwa ia pernah mengenal gadis ini dulu di Riga waktu masih anak-anak,
bahwa mereka pernah bermain bersama-sama, tapi itu sudah lama sekali " dan ia kenal orang
tuanya, tapi tentang ini ia tidak tahu apa-apa, sedikit pun tidak, dan sama sekali tidak menaruh
curiga! Lalu sehari sesudah pesta dansa itu (tiga hari yang lalu), mahasiswa itu mengirimkan surat ini
melewati kawan yang menemani pergi ke pesta dansa itu . . . lalu . . . "Cuma itu."
Ia merundukkan matanya dengan semacam rasa malu-malu.
Gadis malang itu menyimpan surat mahasiswa itu sebagai milik yang paling berharga dan telah
berlari mengambilnya, satu-satunya harta, karena ia tidak ingin membiarkan aku pergi tanpa
mengetahui bahwa juga dia dicintai dengan jujur dan sungguh-sungguh; bahwa dia juga ditegur
dengan penuh hormat. Tak sangsi lagi surat itu sudah ditentukan untuk tetap tinggal dalam
kotaknya tanpa membawa hasil apa-apa. Sungguhpun begitu, aku yakin bahwa surat itu akan ia
simpan seumur hidupnya sebagai harta yang sangat berharga, sebagai harga diri dan kebenarannya,
dan kini dalam saat seperti itu ia ingat pada surat itu lalu menjemputnya untukku dengan rasa
bangga yang polos untuk menaikkan harga dirinya dalam pandanganku, supaya aku juga menaruh
penghargaan padanya. Aku tidak berkata apa-apa, tangannya kuremas lalu aku pergi. Aku begitu
hendak pergi . . . Aku pulang berjalan kaki, biarpun salju basah masih turun berbingkah-bingkah
besar. Aku lelah, luluh-lantak dan bingung. Tapi di balik kebingungan itu mulai kelihatan kebenaran.
Kebenaran yang paling kubenci.
SEBELUM aku mau mengakui kebenaran itu, diperlukan waktu yang cukup lama. Waktu aku bangun
pagi-pagi, setelah tidur dengan berat dan pulas selama beberapa jam, dan menyadari dengan segera
semua yang terjadi pada hari kemarin, aku betul-betul malu karena sentimentalitasku tadi malam
terhadap Liza dan semua "teriakan kengerian dan belas kasihan"-ku. "Tak kukira aku akan
mengalami histeri perempuan seperti itu. Bah!" kataku dalam hati. Dan buat apa alamatku
kuberikan padanya" Bagaimana kalau dia datang" Biar dia datang; tidak apa . . . Tapi jelas sekali
yang paling pokok dan paling penting sekarang ini, bukan itu: aku harus bergegas dengan cara
bagaimanapun juga untuk menyelamatkan namaku secepat mungkin dalam pandangan Zverkov dan
Simonov; ini soal yang pertama. Dan aku begitu asyik pagi itu hingga aku lupa sama sekali pada Liza.
Pertama-tama aku harus melunasi uang yang kupinjam dari Simonov hari kemarin. Aku
menyelesaikannya dengan suatu tindakan putus asa: aku akan meminjam uang langsung dari Anton
Antonitc sebanyak lima belas rubel. Rupanya nasib sedang baik, karena pagi itu hatinya lagi senang,
hingga begitu kuminta, uang itu segera ia berikan. Aku begitu gembira, hingga aku menandatangani
surat hutang dengan cara yang gagah, sambil menceritakan padanya secara sambil lalu, bahwa
semalam "aku bersama beberapa di Hotel de Paris; kami lagi mengadakan pesta perpisahan untuk
seorang kawan, malahan aku bisa katakana, seorang kawan semasa kecil, dan anda sendiri tentu
maklum " orang perlente luar biasa terlalu manja " tentu saja, dari keluarga baik, mampu dan punya
karier yang cemerlang; dia bijak, menarik, betul-betul seorang yang memukau; kami minum
"setengah lusin" lagi dan . . . ." . Semua diucapkan dengan lancer; semuanya ini dikatakan dengan
mudah sekali, tanpa ketegangan dan dengan tenang.
Begitu aku sampai ke rumah aku segera menulis surat pada Simonov.
Sampai saat ini, aku tidak putus-putusnya kagum, kalau kuingat bagaimana bijaksana, cerah dan
lancarnya nada suratku itu. Dengan halus dan sopan, terlebih-lebih tanpa ucapan yang berlebihlebihan kusalahkan diriku atas segala yang terjadi. Aku membela diri, "sekiranya aku boleh membela
diri," dengan mengatakan, bahwa karena aku tidak biasa minum anggur, aku sudah mabuk setelah
minum gelas pertama yang kupesan sebelum mereka datang, waktu aku menunggu mereka di Hotel
de Paris mulai dari pukul lima sampai pukul enam. Aku khusus memohon maaf Simonov. Kuminta
supaya dia menyampaikan penjelasanku itu pada yang lain-lain, terutama pada Zverkov, "yang
kuingat seperti dalam mimpi" telah kuhina. Kutambahkan, bahwa sebetulnya aku ingin mendatangi
mereka masing-masing, tapi kepalaku sakit, dan di samping itu aku malu. Aku terutama puas sekali
dengan keringanan yang hampir-hampir mirip kesembronoan (tapi masih tetap dalam batas-batas
kesopanan) yang terbayang dalam gayaku menulis, dan dengan itu, aku bisa menjelaskan pada
mereka sekaligus, lebih tepat dari pada memakai bermacam alasan, bahwa aku mempunyai
pandangan sendiri "terhadap segala kerincuhan tadi malam"; bahwa aku sama sekali tidak luluhlantak, seperti yang barangkali anda kira, kawan-kawan; bahkan sebaliknya aku memandangnya
dengan cara yang patut bagi seorang pira yang betul-betul menaruh hormat pada dirinya sendiri.
Masa lampau seorang pahlawan tidak ada cacat-celanya!"
"Sebetulnya dalamnya ada suatu cengkerama aristokratik!" kataku dalam hati dengan penuh
kekaguman, waktu aku membaca surat itu kembali. "Dan semua itu karena aku seorang intelektuil
dan terpelajar! Orang lain yang berada dalam keadaan seperti keadaanku tidak akan tahu
bagaimana caranya melepaskan dirinya sendiri, tapi aku berhasil mengirapkannya dan aku gembira
seperti sediakala, dan semua ini karena aku adalah seorang intelektuil dan orang terpelajar zaman
kini. " Memang, barangkali semuanya memang terjadi karena anggur kemarin. Hm . . . . bukan,
bukan karena anggur. Aku sama sekali tidak minum apa-apa antara pukul lima dan pukul enam
waktu aku menunggu mereka. Aku telah berdusta pada Simonov.; aku berdusta tanpa malu-malu;
dan kini aku juga tidak merasa malu . . . . persetan semua, yang penting bisa melepaskan diri dari
semua ini. Aku memasukkan uang sebanyak enam rubel ke dalam surat itu, sudah itu surat itu kurekat, lalu
Apollon kusuruh mengantarkannya ke rumah Simonov. Waktu ia tahu, bahwa dalamnya ada uang
maka apollon memperlihatkan rasa lebih terhormat dan setuju untuk mengantarkan uang itu.
Menjelan malam aku keluar hendak berjalan-jalan. Kepalaku masih sakit dan mengambang setelah
kejadian kemarin. Tapi setelah malam turun, dan samar-samar mukanya makin dalam, kesankesanku, dan dengan demikian juga fikiranku, jadi lebih berbeda dan kacau. Ada sesuatu yang tidak
mati dalam diriku, ia tidak mau mati dalam hati sanubariku dan ia memperlihatkan diri dalam
kemurungan yang sangat terasa. Aku berjalan melewati jalan-jalan pertokoan yang penuh orang,
jalan Myestcanski, jalan Sadovi dan di taman Yusupov. Aku sangant suka berkelana di jalan-jalan ini
waktu senja, tepat pada saat banyak para pekerja menuju rumah masing-masing, dengan wajah
jengkel karena kekhawatiran. Yang kusenangi justru keramaian jalan itu menjengkelkan aku lebih
dari biasa. Aku tidak tahu kenapa. Aku tidak berhasil menemui kuncinya, rasanya ada sesuatu yang
tak henti-hentinya menggelegak dalam diriku, yang menyakitkan dan tidak bisa ditenangkan. Aku
pulang dengan perasaan kacau; aku merasa seolah-olah sudah melakukan kejahatan.
Ingatan, bahwa Liza akan datang, tak henti-hentinya merisaukan aku. Aneh sekali, kenapa di antara
kenanganku pada hari kemarin justru ini yang menyiksa aku, dengan cara yang seakan-akan
terpisah. Yang lain berhasil kulupakan menjelang malam; semuanya kukirapkan dan aku masih
merasa puas dengan suratku pada Simonov. Aku seolah-olah khawatir mengenai Liza. "Bagaimana
kalau dia datang," fikirku dengan resah. "Ah, tidak apa. Biar saja dia datang! Hm. Tidak enak sekali,
jika misalnya ia sampai melihat cara hidupku. Kemarin aku seorang pahlawan di matanya, sedangkan
kini, hm! memang mengesalkan sekali, caraku hidup, kamarku tak ubahnya kamar seorang


Catatan Dari Bawah Tanah Karya Fyodor Dostoy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengemis. Sedangkan aku pergi ke pesta makan dengan pakaian begitu rupa. Kasur sofa Amerikaku
telah terjulur ke luar. Dan baju kamarku, yang tidak bisa lagi menutupi tubuhku, karena compangcamping, kini harus dia lihat, dan juga akan ketemu Apollon. Si buas itu pasti menghina dia. Ia akan
menempel padanya dengan maksud untuk menyakiti aku. Dan tentu, seperti biasa, aku jadi bingung,
lalu mulai membungkuk-bungkuk, menggaruk-garuk depannya sambil menarik-narik kimonoku,
tersenyum lalu berdusta sejadi-jadinya. Oh, sialan! Bukan sifat sialan ini yang paling celaka. Ada lagi
yang lebih penting, lebih memuakkan, lebih kotor! Aku harus mengenakan topeng pembohong itu
kembali . . . !" Waktu aku sampai pada kesimpulan itu segera aku merasa terbakar.
"Kenapa tidak jujur" Tidak jujur bagaimana" Tapi malam tadi aku bicara dengan terus terang.
Perasaanku tulus sekali, aku ingat. Yang kuinginkan ialah supaya dalam dirinya tumbuh suatu
perasaan yang mulia. . . Tangisnya adalah baik, akibatnya akan bagus."
Sungguhpun begitu aku tidak bisa tenang. Semalam-malaman, bahkan waktu aku pulang, setelah
pukul Sembilan, setelah aku yakin bahwa Liza tidak akan datang, ia masih merasuki aku, dan yang
lebih celaka lagi, setiap kali terbayang, ia terbayang dalam sikap yang sama. Di antara semua saat itu
ada satu saat yang jelas sekali tergambar dalam ingatanku; saat aku menggoreskan geretan dan
melihat wajahnya yang kerut-merut, pucat dan tersiksa. Alangkah menyedihkannya, alangkah tak
wajarnya, alangkah berkerutnya semuanya pada saat itu! Tapi waktu itu aku tidak tahu, bahwa lima
belas tahun kemudian aku masih saja akan melihat Liza dalam bayangan fikiranku, dengan
senyuman yang menimbulkan rasa kasihan, kerut-merut, dan tak menyenangkan di wajahnya pada
kala itu. Keesokan harinya aku sudah siap lagi untuk menganggapnya sebagai suatu yang berarti, sebagai
akibat ketegangan saraf, terlebih-lebih sebagai suatu yang dibesar-besarkan. Aku selalu sadar akan
kelemahanku itu, dan kadang-kadang aku takut sekali padanya. "Semuanya kubesar-besarkan, itu
salahku, demikian kuulang-ulangi setiap jam. Tapi, sungguhpun begitu, "Liza mungkin saja datang"
demikain fikiranku selalu berakhir. Aku begitu gelisah hingga kadang-kadang aku jadi berang: "Dia
akan datang, dia pasti datang!" teriakku sambil berteriak-teriak dalam kamar, "jika tidak hari ini,
pasti besok; dia akan mencari aku! Rasa romantis terkutuk, karena hati-hati yang murni! Oh,
keburukan " kedunguan " kebebalan "hati-hati sentimental sialan" ini! Kenapa aku sampai tidak
mengerti. Kenapa aku sampai tidak mengerti . . .?"
Tapi sampai di situ aku terhenti dengan segala kekacauan.
Yang diperlukan hanya beberapa kata, beberapa kata, demikian aku berkata dalam hati sambil-lalu;
bagaimana kesenduan (kesenduan yang dibuat-buat dan mirip buku, dangkal) yang sedikit itu cukup
untuk merombak kehidupan seseorang sesuai dengan kehendakku. Itu namanya keperawanan,
jelas. Kesegaran tanah! Kadang-kadang aku mendapat fikiran hendak pergi menemui dia, "untuk menjelaskan segalagalanya," dan meminta padanya supaya tidak datang menemui aku. Tapi fikiran ini menimbulkan
geram dalam diriku, hingga rasanya aku akan sanggup menghancurkan Liza "terkutuk" itu jika ia
kebetulan berada dekatku. Dia akan kuhina, kuludahi, kuusir ke luar, kupukuli!
Satu hari lewat, kemudian, satu lagi, lalu satu lagi; dia tidak datang dan aku mulai lega. Terutama
sesudah pukul sembilan aku merasa diriku cerah dan berani. Aku bahkan kadang-kadang mulai
berangan-angan, dengan manis sekali; aku, misalnya, jadi penyelamat Liza, hanya karena ia
menemui aku dan karena aku bicara dengannya . . . dia kuajar, kudidik. Akhirnya, kulihat, bahwa ia
mencintai aku, mencintai aku sedalam-dalamnya. Aku pura-pura tidak tahu (aku tidak tahu kenapa
aku berpura-pura, barangkali supaya lebih mengasyikkan), akhirnya dengan penuh kekacauan, lain
dari sebelumnya, dan terisak-isak ia menjatuhkan diri pada kakiku lalu berkata bahwa aku
penyelamatnya, dan bahwa ia mencintai aku di atas segala-galanya di dunia ini. Aku bingung, tapi . .
"Liza," kataku, kaukira aku tidak tahu cintamu itu" Aku lihat semua, aku menghargainya, tapi aku
tidak berani lebih dulu mendekatimu, karena aku punya pengaruh atas dirimu dan aku takut kau
akan memaksa dirimu, karena rasa terima kasih, untuk membalas cintaku, untuk menimbulkan
dalam dirimu suatu perasaan yang berangkali sebetulnya tidak ada, sedangkan itu bukanlah yang
kuinginkan . . . karena itu berarti kezaliman . . . tidak akan patut. Pendeknya, pada saat itu aku akan
bicara dengan kehalusan-kehalusan agung dan tidak bisa dijelaskan, seperti galibnya orang Eropah,
menurut gaya George Grand. Tapi karena kini kau milikku, kau ciptaanku, kau murni, kau baik, kau
isteriku yang mulia. "Lalu datanglah ke rumahku dengan bebas dan berani,
perempuan yang akan jadi pemiliknya yang sejati."
Lalu kami hidup bersama, melancung ke luar negeri dan sebagainya, dan sebagainya. Pendeknya,
akhirnya aku sendiri merasa konyol, lalu aku mulai mencibirkan diriku sendiri.
Lagi pula, mereka tidak akan melepas dia, "cabo" itu. Demikian kata hatiku. Mereka tidak akan
mengizinkan dia ke luar begitu saja, terlebih-lebih di waktu malam (oleh karena sesuatu sebab, aku
membayangkan bahwa ia akan datang waktu malam, tepatnya pukul tujuh). Biar pun ia
mengatakan, bahwa di sana ia belum lagi jadi budak dan masih punya hak-hak tertentu; jadi begitu,
hm! persetan, dia akan datang, dia pasti datang!
Untung juga, Apollon mengalihkan perhatianku waktu itu dengan melakukan sesuatu yang kasar. Ia
betul-betul membuat kesabaranku habis. Ia adalah racun dalam hidupku, kutukan yang dilimpahkan
Nasib padaku. Selama bertahun-tahun kami tak henti-hentinya bertengkar, dan aku benci padanya.
Kukira seumur hidupku belum ada orang yang begitu kubenci seperti dia, terutama pada saat-saat
tertentu. Dia adalah seorang lelaki yang lebih tua, lebih terhormat, yang secara sampingan bekerja
sebagai tukang jahit. Tapi entah kenapa ia benci sekali padaku, dan memandang rendah padaku
dengan cara yang betul-betul tidak bisa tertahankan. Biarpun, sebetulnya ia memandang rendah
terhadap semua orang. Suatu pandangan sekilas ke kepalanya yang licin dan disikat dengan rapi, ke
Gombak rambut yang disisir pada kening dan kemudian diminyaki dengan minyak bunga matahari,
pada mulutnya yang angkuh, sudah cukup untuk membuat aku mengkerut menjadi sebuah huruf V,
sudah cukup untuk menimbulkan perasaan bahwa kita berhadapan dengan seseorang yang tak
pernah meragukan dirinya sendiri. Dia seorang gila peraturan, sampai pada batas yang paling jauh,
seorang gila peraturan terbesar di bumi ini dan karena itu memiliki keangkuhan yang hanya pantas
untuk Iskandar Zulkarnain dari Masedonia. Ia jatuh cinta pada setiap kancing bajunya, pada setiap
kuku jarinya " dia betul-betul jatuh cinta dan selalu memperhatikannya. Tingkah lakunya terhadap
aku adalah tingkah laku seorang zalim, ia jarang bicara, dan jika kebetulan mengerling padaku ia
memberikan pandangan yang agung penuh kepercayaan pada diri sendiri dan selalu mengejek
hingga aku rasa-rasanya bisa jadi gila karena marah. Ia mengerjakan tugasnya dengan sikap
seseorang yang merasa berbuat baik padaku. Biarpun di hampir-hampir tidak pernah melakukan
sesuatu untukku, dan bahkan beranggapan bahwa ia tidak perlu melakukan apa pun juga untukku.
Tidak sangsi lagi, aku pasti ia anggap seorang dungu terbesar di bumi ini. Dan kalau aku belum ia
singkirkan maka itu hanya karena ia masih bisa beroleh gaji dariku setiap bulan. Ia berkenan tidak
melakukan apa-apa bagiku dengan gaji tujuh rubel sebulan. Banyak dosaku yang patut diampuni
karena penderitaan yang kuperoleh dari dia. Kebencianku padanya kadang-kadang sampai begitu
rupa hingga bunyi langkahnya saja sudah cukup untuk membuat aku kejang. Yang paling kubenci
adalah ketelohannya. Lidahnya pasti terlalu panjang atau kira-kira seperti itulah, karena ia teloh
kalau bicara, dan bangga akan sifatnya itu, karena ia merasa bahwa ketelohannya itu menambah
martabatnya. Ia bicara dengan nada teratur dan lambat, dengan tangan di punggung dan mata
terpaku ke lantai. Yang paling membuat aku kesal ialah kalau ia membawa ayat-ayat Injil dengan
suara keras untuk dirinya sendiri di balik dindingnya. Sudah sering aku bertempur disebabkan
pembacaan itu. Tapi dia begitu keranjingan membaca dengan suara keras di waktu malam, dengan
suara perlahan, bahkan berlagu seolah-olah ia menghadapi orang mati. Menarik juga untuk
diketahui bahwa akhirnya ia juga begitu: ia mempersewakan diri untuk membacakan ayat-ayat
untuk orang mati, sementara itu ia membunuh tikus-tikus dan membuat arang. Tapi di kala itu aku
tidak bisa membebaskan diri dari dia, seolah-olah ia bersenyawa dengan kehidupanku secara
kimiawi. Lagi pula, tidak ada sebab langsung yang bisa membuat dia mau meninggalkan aku. Aku
tidak bisa hidup dalam kediamanku yang dilengkapi dengan prabot: kediamanku bagiku adalah
ketersisihan pribadiku, bengkarakku, guaku, di mana aku menyembunyikan diri terhadap seluruh
kemanusiaan, dan Apollon kurasakan sebagai, entah karena apa, bagian kelengkapan kediamanku
itu, hingga selama tujuh tahun aku tak sanggup memperhatikannya.
Membayar gajinya dua tiga hari terlambat adalah sesuatu yang mustahil, misalnya. Ia akan ribut
begitu rupa, hingga aku tidak akan tahu lagi ke mana kepalaku harus kusembunyikan. Tapi kala itu
aku begitu putus asa menghadapi siapa pun juga, hingga karena sesuatu sebab dan dengan tujuan
tertentu aku memutuskan untuk menghukum Apollon dengan jalan tidak membayar gajinya yang
menjadi haknya selama empat belas hari. Sudah lama " dua tahun terakhir ini " aku bermaksud
untuk melakukan ini, sekedar untuk mengajarnya supaya jangan banyak lagak terhadap aku, dan
untuk memperlihatkan padanya, bahwa kalau kuinginkan, aku bisa menahan gajinya. Aku dengan
sengaja tidak menyebut-nyebut hal itu padanya, dan memang mendiamkannya dengan sengaja,
untuk meruntuhkan keangkuhannya dan memaksa dia mulai bicara tentang gajinya. Lalu aku akan
mengeluarkan uang tujuh rubel itu dari laci meja dan memperlihatkan padanya bahwa aku telah
menyisihkan uang itu dengan sengaja, tapi bahwa aku, tidak mau, dengan sengaja tidak mau
membayar gajinya. Aku tidak mau melakukannya karena "begitulah yang kuinginkan," karena "aku
majikan dan berhak untuk menentukan," karena dia tidak sopan, karena ia kurang ajar; tapi kalau ia
minta dengan sopan hatiku mungkin akan jadi lunak dan memberikannya padanya, kalau tidak, ia
boleh menunggu empat belas hari lagi, tiga minggu lagi, satu bulan penuh . . . .
Tapi biar bagaimanapun marahku, dia selalu berhasil mengalahkan aku. Aku bahkan tidak bisa
bertahan sampai empat hari. Ia mulai seperti yang biasa ia lakukan dalam kejadian-kejadian seperti
ini, karena hal seperti ini memang sudah pernah kejadian, sudah pernah ada percobaan (baik
diketahui bahwa semua akalnya sudah kuketahui sebelumnya, aku hafal semua caranya di luar
kepala). Ia akan mulai menatap aku dengan tatapan yang keras, selama beberapa menit terusmenerus, terutama setiap saat ia berselisih dengan aku atau bila melihat aku ke luar rumah. Jika aku
berhasil bertahan dengan berpura-pura tidak melihat tatapannya ini, maka ia akan mulai "
semuanya ia lakukan tanpa bicara " menjalankan siksaan-siksaan lain. Secara tiba-tiba, tanpa ada
sebab, dengan diam-diam dan perlahan-lahan ia akan masuk ke dalam kamarku, sewaktu aku lagi
berjalan pulang-balik atau membaca, lalu aku berdiri di pintu dengan satu tangan di punggung dan
sebuah kaki lainnya, lalu menimpakan tatapan yang lebih keras pada diriku, tatapan yang penuh
dengan ejekan. Jika aku tiba-tiba bertanya, apa yan gia inginkan, ia tidak menjawab, tapi
melanjutkan tatapannya padaku terus-menerus selama beberapa detik, lalu dengan merapatkan
bibirnya dengan cara yang khas dan dengan lagak orang penting, ia berbalik dan pergi ke luar
dengan tak perduli. Dua jam kemudian ia datang lagi lalu menghadapi aku kembali dengan cara yang
sama. Pernah terjadi, karena keberanganku, aku tidak lagi menanyakan kepadanya apa yang ia
inginkan, tapi aku mengangkat kepala dengan cepat dan mulai menatap kepadanya. Demikianlah
kami bertatap-tatapan selama dua menit; akhirnya ia membalik dengan selela-lelanya, penuh
martabat, dan menghilang selama dua jam.
Jika aku dengan cara begitu belum juga bisa disadarkan, dan terus membangkang, ia mulai menarik
nafas panjang sambil menatap aku, tarikan nafas yang panjang dan dalam seolah-olah dengan itu ia
mau mengukur kejatuhan moralku, dan tentu saja akhirnya ia memperoleh kemenangan mutlak:
aku marah dan berteriak, tapi bagaimanapun juga aku terpaksa melakukan apa yang ia inginkan.
Kali ini, ia baru saja mulai dengan cara-cara tatapannya waktu aku tiba-tiba jadi marah lalu
memarahi dia dengan penuh kegeraman. Aku jengkel tiada terkira, lepas dari perbuatannya.
"Jangan pergi," aku berteriak dengan kalap, waktu ia perlahan dan lambat membalik dengan satu
tangan di punggung, hendak pergi ke kamarnya. "Jangan pergi! Ke mari, ke mari, kataku!" Ruparupanya aku telah berteriak dengan cara yang luar biasa, hingga ia berputar bahkan memandang
padaku dengan semacam keheranan. Sungguhpun begitu ia bertahan tidak buka mulu dan ini sangat
menjengkelkan aku. "Berani sungguh kau datang ke mari dan memandangi aku seperti itu tanpa dipanggil. Jawab."
Setelah memandang padaku dengan tenang selama setengah menit ia berbalik kembali.
"Jangan pergi!" demikian suaraku mengguntur, sambil berlari mendekati dia, "jangan bergerak!
Jawab: apa yang mau kau lihat di sini?"
"Kalau ada perintah tuan, maka aku berkewajiban mengerjakannya," jawabnya, setelah diam
sebentar dengan lidah teloh, perlahan-lahan, sambil menaikkan alis mata dan memutar kepala
dengan tenang dari sisi sebelah ke sisi lainnya, kesemuanya dengan ketenangan yang
menjengkelkan. "Bukan itu yang kutanyakan padamu, algojo!" teriakku, sedangkan mukaku merah padam karena
marah. "Aku akan katakana kenapa kau masuk ke mari: soalnya aku tidak memberikan gajimu, tapi
kau begitu angkuh untuk merendahkan diri dan memintanya, lalu kau datang ke mari untuk
menghukum aku dengan tatapan-tatapan konyolmu, supaya aku resah. Kau sendiri tidak sadar
bagaimana konyolnya perbuatanmu itu " konyol, konyol, konyol . . . !"
Ia sudah mau berbalik tanpa berkata sepatah pun jua, tapi ia kupegang.
"Begini," teriakku. "Ini uang, kaulihat, uang" (aku mengeluarkan uang dari meja tulis); "ini tujuh
rubel, genap, tapi aku tidak akan memberikannya padamu, kau . . . tidak . . . akan . . .
memperolehnya . . . sampai kau datang dengan sopan dengan kepala tertunduk untuk minta maaf
padaku. Kaudengar?" "Tidak bisa," jawabnya dengan penuh rasa harga diri yang tak wajar.
"Bisa," kataku, "demi kehormatanku, bisa!"
"Tidak ada alasan aku harus minta maaf," sambungnya seolah-olah ia sama sekali tidak mendengar
teriakanku. "Di samping itu tuan sudah menyebut aku algojo, untuk itu tuan bisa kuadukan ke
kantor polisi karena sudah menghina."
"Pergi, pergi adukan," aku mengguntur, "pergi sekarang juga, detik ini juga, menit ini juga! Biar
bagaimana kau seorang algoyo! Algoyo!"
Tapi ia hanya memandang padaku, lalu berbalik, dan tanpa memperdulikan teriakanku, ia berjalan
ke kamarnya dengan langkah rata tanpa melihat ke sekitarnya.
"Jika bukan karena Liza maka semua ini tidak akan terjadi," kataku dalam hati. Lalu, setelah
menunggu semenit, aku pergi ke balik dindingnya dengan sikap yang terhormat dan agung, biarpun
jantungku berdebar dengan perlahan tapi keras.
"Apollon" kataku dengan tenang dan jelas, biarpun aku sudah kehabisan nafas, "pergilah sekarang
juga dan suruh polisi ke mari."
Sementara itu ia sudah duduk menghadapi mejanya, mengenakan kecamatanya lalu mulai menjahit.
Waktu mendengar perintahku ia terbahak-bahak.
"Pergi sekarang juga! Pergilah, kalau tidak, kau tidak akan bisa bayangkan apa yang akan terjadi."
"Tuan betul-betul tidak waras" katanya tanpa mengangkat kepala, dengan lidah teloh seperti biasa
sambil memasukkan benang ke dalam lobang jarumnya. "Mana ada orang yang menyuruh jemput
polisi untuk menangkap dirinya sendiri" Kalau soalnya soal takut " tuan ribut karena sesuatu yang
tidak ada " karena memang tidak akan ada yang terjadi."
"Pergi!" pekikku, sambil memegang bahunya. Aku merasa ingin menampar dia.
Tapi pada saat itu aku melihat pintu gang dibuka perlahan-lahan tanpa suara. Sebuah sosok muncul,
berhenti lalu memandang pada kami dengan penuh kebingunan. Aku mengerling lalu aku hampirhampir pingsan karena malu dan bergegas masuk kamarku kembali. Sambil memegang rambutku
dengan kedua belah tanganku kusandarkan kepalaku pada dinding tanpa bergerak.
Dua menit kemudian aku mendengar langkah Apollon. "Ada seorang wanita menanyakan tuan,"
katanya sambil memandang padaku dengan tatapan yang keras dan aneh. Lalu ia menghindar dan
membiarkan Liza masuk. Ia tidak mau pergi dari situ tapi menatap kami dengan penuh ejekan.
"Pergi, pergi," perintahku dengan putus asa. Pada saat itu jamku mulai berdesir dan
memperdengarkan bunyi tujuh kali.
"Lalu datang ke rumahku dengan bebas dan berani,
Perempuan yang akan jadi pemiliknya yang sejati."
AKU berdiri depan Liza, luluh-lantak, kuyu, bingung memuakkan, dan kalau tak salah aku tersenyum
sambil berusaha keras menutupi tubuhku dengan kimonoku yang diberi lapisan dan sudah
berombeng-rombeng " persis seperti kubayangkan tidak lama sebelumnya dalamsuatu keadaan
putus asa. Setelah memperhatikan kami beberapa saat, Apollon pergi, tapi hal itu tidak membuat
aku lebih lega. Yang membuat keadaan lebih buruk ialah, Liza sendiri juga bingung, lebih dari yang
kukira. Karena melihat aku, tentu saja.
"Silahkan duduk," kataku tanpa perasaan, sambil menarik sebuah kursi ke dekat meja, sedangkan
aku duduk di atas sofa. Ia segera duduk dengan patuh lalu memandang padaku dengan mata
terbelalak-lalak, jelas mengharapkan sesuatu dari aku dengan segera. Kepolosan harapan ini
membuat aku berang, tapi aku menahan diri.
Mestinya ia berusaha untuk tidak melihat apa-apa, seolah-olah segalanya biasa saja, tapi sebaliknya
dia . . . aku merasa bahwa ia pantas dibayar mahal sekali untuk semua ini.
"Kau menemui aku dalam keadaan yang aneh, Liza," demikian aku mulai tergagap-gagap, sambil
menyadari bahwa ini adalah cara yang salah untuk mulai. "Jangan, tak usah kau bayangkan apaapa," aku berteriak waktu melihat mukanya tiba-tiba jadi merah. "Aku tidak malu akan
kemiskinanku . . . Sebaliknya, aku bangga sekali dengan kemiskinanku. Aku miskin tapi terhormat . . .
Orang bisa saja miskin tapi tetap terhormat," kataku bersungut-sungut. "Sungguhpun begitu . . . kau
mau minum teh?" "Tidak" demikian ia mulai.
"Tunggu sebentar."
Aku melompat lalu berlari ke tempat Apollon. Pokoknya aku harus keluar dari kamar itu.
"Apollon," bisikku dengan ketergesa-gesaan yang demam, sambil melemparkan uang tujuh rubel
yang selama itu masih berada dalam genggamanku, "ini gajimu, kau lihat ini kuberikan padamu;
untuk itu kau harus menyelamatkan aku: pergi ambil teh dan selusin biscuit dari restoran. Kalau kau
tidak mau pergi maka aku akan celaka! Kau tidak tahu siapa perempuan itu . . . Ini " adalah segalagalanya! Kau mungkin saja mengira macam-macam . . . tapi kau tidak tahu siapa perempuan itu . . .!"
Apollon yang kembali sibuk bekerja, dan mengenakan kacamatanya, mula-mulanya mongering
sebentar pada uang itu tanpa bicara atau meletakkan jarumnya; lalu, tanpa memperdulikan aku
sedikit pun jua atau memberikan jawaban, ia meneruskan pekerjaannya dengan jarum yang belum
sempat kemasukan benang. Aku menunggu di hadapannya selama tiga menit dengan tangan
kusilangkan dengan gaya Napoleon. Pelipisku lembab karena keringat. Aku pucat, aku bisa
merasakannya. Tapi syukurlah, rupa-rupanya ia merasa kasihan, setelah melihat aku. Setelah
memasukkan benang ke dalam lobang jarumnya, ia berdiri, lalu menggeser kursinya ke belakang
dengan menyolok, membuka kacamatanya dengan cara yang menyolok, menghitung uangnya
dengan cara yang menyolok, lalu akhirnya bertanya padaku sambil melengos lewat bahunya:
"Kuambil sepiring penuh?" dan ia melengkah ke luar kamar dengan cara yang menyolok sekali.
Waktu aku kembali pada Liza, aku beroleh fikiran: apa tidak lebih baik kalau aku lari saja pakai
kimonoku tanpa memperdulikan apa yang terjadi"
Aku duduk kembali. Liza memandang padaku dengan gelisah. Selama beberapa menit ia diam.
"Kubunuh dia! Kubunuh dia!" teriakku sambil memukul meja dengan kemarahan yang mutlak. Tapi
pada saat itu juga aku sadar betapa dungu aku marah begitu rupa. "Kau tidak tahu, Liza, apa algojo
itu bagiku. Dia betul-betul algojoku . . . Kini ia pergi untuk membeli biskuit; dia . . . "
Lalu tiba-tiba aku menangis, serangan ini serangan yang histeris. Alangkah malunya aku waktu
terisak-isak itu; sungguhpun begitu aku tidak bisa menahannya.
Liza ketakutan. "Ada apa" Kenapa?" katanya, sambil sibuk hendak menolongku.
"Air, beri aku air, di sana!" aku berkata dengan suara samar-samar, biarpun dalam hati aku tahu
sekali tidak akan apa-apa tanpa air dan tanpa bicara dengan suara samar-samar. Tapi aku waktu itu
sedang " seperti apa yang dikatakan orang " lagi main, untuk menyelamatkan mukaku, biarpun
serangan yang kuderita adalah serangan yang sesungguhnya.
Liza member aku air, sambil memandang padaku dengan kebingungan. Pada saat itu Apollon masuk
membawa teh. Tiba-tiba aku merasa bahwa hal ini biasa saja, prosais ini betul-betul sesuatu yang
tak punya martabat dan tak berharga sehabis kejadian tadi, hingga mukaku merah sekali. Liza
memandang pada Apollon dengan rasa takut. Apollon ke luar tanpa menghiraukan kami.
"Liza, apa kau benci padaku?" tanyaku sambil menatap dia sedangkan badanku gemetar karena tak
sabar ingin tahu apa yang dia fikirkan.
Dia bingung dan tidak tahu jawaban apa yang harus ia berikan.


Catatan Dari Bawah Tanah Karya Fyodor Dostoy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Minumlah tehmu," kataku padanya dengan marah. Aku marah pada diriku sendiri, tentu saja, tapi
yang harus membayar tentu saja dia. Suatu rasa kebencian yang tak terkira-kira tiba-tiba muncul
dalam hatiku; rasa-rasanya aku sanggup membunuh dia. Untuk membalaskan sakit hatiku padanya,
aku bersumpah dalam hati tidak menghiraukan dia sama sekali. "Dialah yang jadi sebab dari semua
kesusahan," kataku dalam hati.
Keheningan kami berlangsung selama lima menit. Teh terletak di meja; tidak kami sentuh sama
sekali. Aku sudah sampai pada titik saat aku dengan sengaja menahan diri agar supaya ia lebih
bingung; buat aku kikuk sekali untuk mulai sendiri. Berkali-kali ia mengerling padaku dengan
kebingungan yang bercampur kesedihan. Aku berkeras untuk berdiam diri. Tentu saja, penderita
utama adalah aku sendiri, karena aku sadar sekali akan kebusukan yang memuakkan dari
kedunguanku yang penuh kebencian, tapi pada saat itu aku tidak bisa menahan diri.
"AKu mau . . . pergi . . . pergi dari sana," bagiku dia mulai, untuk memecahkan kesunyian, tapi
kasihan dia, justru itu yang semestinya tidak ia ucapkan pada saat yang begitu konyol pada seorang
lelaki konyol seperti aku. Hatiku pedih karena kasihan pada kekikannya dan kepolosan yang tidak
diperlukan. Tapi sesuatu yang jahat segera mematikan segala rasa kasihan dalam diriku; malahan ia
merangsang aku agar lebih kejam. Aku tidak perduli apa yang terjadi. Lima menit lagi berlalu.
"Barangkali aku menggangu," katanya dengan ragu-ragu, hampir-hampir tak kedengaran, lalu
berdiri. Tapi begitu aku melihat ledakan pertama karena harga diri yang dilukai ini, maka aku gemetar
karena benci, lalu meledak segera.
"Kenapa kau datang ke mari menceritakan itu padaku?" kataku sambil menghela nafas tanpa
memperdulikan hubungan wajar dalam kata-kataku. Aku ingin menyemburkan seluruhnya sekaligus,
dengan satu kali semburan; aku bahkan tidak memikirkan bagaimana aku harus mulai. "Kenapa kau
ke mari" Jawab," teriakku, yang hampir-hampir tidak lagi mengetahui apa yang kuperbuat. "Aku
berkata, gadis manis, kenapa kau ke mari. Kau ke mari karena malam itu aku bicara sentimental
padamu. Jadi kau kini sudah lumer bagai mentega dan ingin mendengarkan perasaan-perasaan
halus itu kembali. Kau boleh tahu kini, bahwa waktu itu aku mentertawakan kau. Dan kini aku juga
mentertawakan kau. Kenapa kau gemetar" Ya, aku mentertawakan kau. Sebelum itu, waktu makan,
aku dihina oleh orang-orang yang malam itu telah datang sebelum aku. Aku datang, dengan maksud
menghancurkan salah seorang dari mereka, seorang perwira; tapi aku tidak berhasil, aku tidak
menemui mereka; aku terpaksa melampiaskan hinaan itu pada seseorang supaya memperoleh
hinaanku juga; kau muncul, kemarahanku kulampiaskan padamu dan aku mentertawakan kau. Aku
sudah dihina orang, karena itu aku ingin menghina orang; aku sudah diperlakukan sebagai kain
rombengan, karena itu aku ingin memperlihatkan kekuasaanku . . . begitulah sebenarnya, tapi kau
mengira aku datang ke sana untuk menyelamatkan kau. Ya" Kau mengira begitu "kan" Kau mengira
begitu?" Aku tahu bahwa dia mungkin sekali akan jadi kacau dan tidak memahami semuanya sebagaimana
harusnya, tapi aku juga tahu bahwa ia akan menangkap intinya dengan baik, bahkan dengan baik
sekali. Memang demikian halnya. Mukanya jadi putih bagai saputangan. Ia berusaha mengatakan
sesuatu dan bibirnya berusaha sekeras-kerasnya; tapi ia terhenyak pada sebuah kursi seolah-olah ia
baru saja ditebas dengan sebuah kampak. Sesudah itu ia mendengarkan aku dengan bibir terbuka,
mata terbelalak dan tubuh gemetar karena ketakutan yang tiada tara. Sinisme, sinisme kata-kataku
menenggelamkannya. "Menyelamatkan kau!" kataku sambil melompat dari kursi dan mulai berjalan bolak-balik di
depannya. "Menyelamatkan kau dari apa" Barangkali aku lebih celaka dari kau sendiri. Kenapa tidak
kaukatakan saja terus terang waktu aku lagi mengkhotbahi kau kala itu: "Buat apa kau datang ke
mari" Apa untuk mengkhotbahi kami?" Kekuasaan, kekuasaan yang kuinginkan kala itu, olahraga,
aku ingin memras air matamu, kerendahan dirimu, histeriamu " itu yang kuinginkan kala itu! Tentu
saja aku tidak sanggup berpegang teguh pada itu, karena aku orang sialan, aku ketakutan, dan dalam
kebebalanku, entah kenapa hanya setan yang tahu, alamatku kuberikan padamu. Sesudah itu
sebelum aku sampai ke rumah, aku menyumpah dan mengutukimu gara-gara alamat itu, aku sudah
membenci kau karena dusta-dusta yang kuceritakan padamu. Karena yang kuinginkan hanya
bermain kata-kata, hanya berangan-angan, tapi tahu kau, yang sebetulnya kukehendaki ialah supaya
kalian semua mampus dalam neraka. Itu yang kuinginkan. Aku ingin kedamaian; ya, aku bersedia
menjual seantero dunia ini seharga satu sen, tanpa ragu-ragu, asal aku tidak diganggu. Apakah dunia
runtuh atau aku harus hidup tanpa teh" Menurutku, dunia boleh saja runtuh asal tehku selalu
tersedia. Itu kau tahu atau tidak" Pokoknya aku tahu aku seorang jahat, bajingan, egois, pemalas.
Selama tiga hari aku gemetar kalau kuingat bahwa kau akan datang. Dan kau tahu apa yang paling
merisaukan aku selama tiga hari ini" Bahwa aku sudah berlagak sebagai seorang pahlawan di
hadapanmu dan kini kau dapat melihat aku memakai kimonoku yang sudah rombeng, bagai
pengemis, memuakkan. Tadi aku sudah katakana aku tidak malu karena kemiskinanku; dan kini kau
boleh tahu aku memang malu karenanya; aku malu karenanya lebih dari sebab apa pun jua, lebih
dari kalau aku tertangkap basah sebagai pencuri, karena aku merasa seolah-olah aku sudah dikuliti
dan setiap angin bertiup menimbulkan rasa sakit pada badanku. Tentu saja kau kini cukup mengerti
bahwa aku tidak akan bpernah bisa memaafkanmu karena telah melihat aku mengenakan kimono
rombengan, di saat aku lagi marah-marah pada Apollon bagai anjing geladak yang kesal. Juru
selamat, bekas pahlawan, lagi mengamuk bagai seorang kusir kepada pelayannya, dan pelayan itu
meremehkannya! Dan aku tidak akan pernah bisa memaafkan kau karena air mata yang sebentar ini
kukucurkan di hadapanmu bagai seorang perempuan bodoh yang terkena malu! Dan karena
pengakuanku padamu sekarang ini, kau tidak akan bisa kumaafkan. Ya " kau harus bertanggung
jawab atas segalanya ini, karena muncul seperti ini, karena aku seorang jahat, karena aku cacing
yang paling menjengkelkan, paling bodoh, paling edan, paling dengki di antara semua cacing di bumi
ini, yang entah kenapa hanya setan yang tahu, sedikit pun tidak lebih baik dari aku, tapi tidak pernah
kebingungan; sedangkan aku tak habis-habisnya merasa terhina oleh setiap tuma, itu sudah
kutukanku! Dan perduli apa aku kalau kau sama sekali tidak mengerti apa yang kukatakan. Dan
perduli apa aku, perduli apa aku apakah kau di sana selamat atau hancur berantakan. Kau mengerti"
Oh, alangkah bencinya aku padamu kini, karena datang ke mari dan karena mendengarkan semua
kata-kata ini. Tidak ada orang yang bicara seperti ini, sterus-terang ini, biarpun sekali seumur hidup,
kecuali kalau ia sedang kerasukan. . . . Apa lagi yang kauinginkan" Kenapa kau masih saja
menghadapi aku setelah segala kejadian ini" Kenapa kau membuat aku risau" Kenapa kau tidak
pergi?" Tapi di saat itu, suatu hal yang aneh terjadi: aku sudah begitu terbiasa untuk berfikir dan
membayangkan segala sesuatu seperti dalam buku, dan menggambarkan semua di dunia ini seperti
yang kukarang dalam angan-anganku sebelumnya, hingga aku tidak bisa mengerti keadaan aneh ini
dengan segera. Yang terjadi adalah ini: Liza, yang telah luluh-lantak dan kubuat terhina, rupanya
mengerti lebih banyak dari yang kukira. Dia mengerti apa yang biasanya pertama-tama dimengerti
oleh seorang wanita, jika ia merasakan cinta sejati, yaitu bahwa aku sendiri merasa diriku malang.
Kesan ketakutan dan tersinggung yang ada di wajahnya mula-mula, di susul oleh keheranan yang
penuh duka. Waktu aku mulai menyebut diriku penjahat, bajingan, dan waktu air mataku mulai
mengalir (pidato ini disertai dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir) seluruh wajahnya
mulai meregang. Dia sudah siap hendak bangkit dan menghentikan aku; waktu aku selesai ia tidak
memperdulikan teriakkanku: "kenapa kau di sini, kenapa kau tidak pergi?" tapi ia hanya menyadari
bahwa bagiku tentu getir sekali karena mengucapkan segala ini. Di samping itu, ia begitu remukredam, kasihan dia; ia menganggap dirinya jauh di bawah aku; bagaimana ia bisa marah atau benci"
Dia tiba-tiba melompat dari kursinya dengan keinginan yang tak bisa ia tahan lalu mengulurkan
tangannya, menginginkan aku, biarpun masih ragu-ragu dan tanpa daya untuk bergerak . . . pada
saat itu dalam hatiku juga timbul getaran. Tiba-tiba ia berlari padaku, aku ia peluk lalu menangis
tersedu-sedu. Aku juga, tidak bisa menahan diri, lalu menangis sejadi-jadinya seperti belum pernah
kulakukan. "Mereka tidak akan biarkan aku . . . aku tidak bisa jadi baik!" AKu berhasil bicara lebih jelas; lalu aku
berjalan ke sofa, jauh di atasnya dengan wajahku ke bawah, lalu menangis selama seperempat jam
dalam hysteria yang betul-betul dapat dirasakan. Ia mendekati aku, memeluk aku lalu membatu
dalam keadaan begitu. Tapi susahnya histeria itu tidak bisa terus-menerus, lalu (aku menulis
kebenaran yang memuakkan) sambil menelungkup di atas sofa dan menekankan wajahku pada
bantal kulitku yang memualkan, setahap demi setahap aku mulai sadar secara samar-samar, akan
suatu perasaan yang datang dengan sendirinya tapi tidak bisa dikendalikan, bahwa bagiku dalam
keadaan begitu tidaklah baik bila mengangkat kepala dan memandang wajah Liza dengan nanap.
Kenapa aku malu" Entahlah, tapi aku malu. Juga timbul fikiran dalam otakku yang kacau, bahwa
peranan kami kini sudah bertukar. Bahwa dia yang kini jadi pahlawan sedangkan aku tidak lebih dari
mahluk yang luluh-lantak dan terhina seperti keadaannya semalam sebelumnya " empat hari
sebelum itu . . . dan semua ini timbul dalam ingatanku dalam menit-menit aku berbaring
tertelangkup di atas sofa.
Ya Tuhan, kala itu aku pasti tidak iri hati padanya.
Aku tidak tahu, sampai kini aku tidak bisa menentukan, dan di kala itu tentu saja aku lebih tidak
sanggup memahami apa yang kurasakan, dibanding kini. Aku tidak bisa hidup tanpa menguasai dan
menzalimi orang lain, tapi . . . tidak bisa dijelaskan dengan fikiran, oleh karena itu tidak ada gunanya
berfikir. Akhirnya, aku bisa menguasai diri, lalu mengangkat kepala; bagaimanapun jua lambat laun itu toh
harus kulakukan . . . dan sampai kini aku yakin, bahwa karena aku merasa malu memandang
padanya maka dalam hatiku timbul suatu perasaan dengan tiba-tiba . . . suatu perasaan memiliki
dan menguasai. Mataku terbakar karena nafsu, lalu tangannya kupegang erat-erat. Alangkah
bencinya aku padanya, tapi sekaligus alangkah tertariknya aku padanya pada saat itu. Perasaan yang
satu memperkeras perasaan yang lain lagi. Tak ubahnya sebagai suatu pembalasan dendam. Mulamula pada wajahnya terbayang kesan keheranan, bahkan ketakutan, tapiitu hanya sesaat. Lalu ia
memeluk dan merangkul aku dengan penuh kegairahan.
SEPEREMPAT jam kemudian aku sudah berjalan terpogoh-pogoh bolak-balik dalam kamar itu
dengan rasa tak sabar. Dari menit ke menit aku mendekati sekat ruangan lalu mengintip Liza melalui
celah-celah. Ia duduk di lantai sambil menyandarkan kepala pada tempat tidur. Rupa-rupanya ia
harus menangis. Tapi dia tidak pergi, dan itu membuat aku jengkel. Kali ini ia mengerti semuanya.
Akhirnya aku telah menghinanya, tapi . . . apa gunanya dijelaskan. Ia menyadari bahwa ledakan
kegairahanku tidak lebih sekedar pembalasan, penghinaan baru, dan pada kebencianku sebelumnya
yang tanpa sebab sama sekali, kini ditambahkan kebencian pribadi, yang lahir dari rasa dengki . . .
Biarpun aku tidak mau memastikan bahwa ia mengerti betul semua ini; tapi ia mengerti betul bahwa
aku adalah seorang lelaki yang keji, bukan itu saja, bahwa aku tidak sanggup memberikan cinta
padanya. Aku tahu orang akan mengatakan bahwa ini adalah suatu yang tak masuk akal " tapi juga tidak
masuk akal, bahwa aku begitu penuh kebencian dan begitu dungu; barangkali bisa ditambahkan,
bahwa aneh sekali, kenapa aku tidak mencintai dia, atau setidak-tidaknya menghargai cintanya.
Kenapa aneh" Pertama-tama, aku memang tidak bisa memberikan rasa cinta, karena, kuulangi sekali
lagi, menurut pendapatku mencintai sama artinya dengan menzalimi dan memamerkan ketinggian
moralku. Seumur hidupku aku tidak pernah bisa menggambarkan cinta yang lain, kecuali itu, dan kini
aku sampai pada titik tempat aku kadang-kadang berpendapat bahwa cinta sebetulnya terdiri dari
hak " yang diberikan secara sukarela oleh orang yang dicintai " untuk menzaliminya.
Bahkan dalam angan-angan bawah tanahku aku tidak bisa membayangkan cinta kecuali sebagai
suatu pergulatan. Aku selalu memulainya dengan kebencian dan mengakhirinya dengan penyerahan
moral, dan setelah itu aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan orang yang telah menyerah
itu. Kenapa orang harus menganggap aneh, karena aku telah berhasil membuat diriku begitu keji,
karena aku begitu terlepas dari "Hidup sebenarnya" sehingga aku menyesali dia dan membuat dia
malu karena telah datang untuk mendengarkan "perasaan-perasaan halus"; dan bahkan tidak bisa
mengira, bahwa ia datang bukan untuk mendengarkan perasaan-perasaan halus, tapi untuk
mencintai aku, karena bagi seorang wanita semua perobahan " semua penyelamatan dari segala
macam kehancfuran, dan semua pembaharuan moral " terlingkup dalam cinta dan hanya bisa
memperlihatkan diri dalam bentuk itu.
Tapi aku tidak begitu membenci dia tatkala aku berjalan bergegas bolak-balik dalam kamar dan
mengintip lewat celah sekat. Aku hanya merasa tertekan berat sekali karena kehadirannya di sana.
Aku ingin supaya dia menghilang. Aku ingin "kedamaian," ingin supaya dibiarkan di dunia bawah
tanahku. Kenyataan sebenarnya menekan aku dengan kebaharuannya hingga aku nyaris dapat
bernafas. Tapi beberapa menit telah berlalu dan ia tetap saja tidak bergerak, seolah-olah dia tak sadar. Aku
begitu tidak tahu malu hingga aku mengetuk sekat itu lambat-lambat seolah-olah mengingatkannya
. . . Ia kaget, lalu melompat, dan berlari mengambil setangannya, topinya, mantelnya seolah-olah ia
mau melarikan diri dari aku . . . Dua menit kemudian ia muncul dari balik sekat itu lalu memandang
padaku dengan mata yang berat. Aku memperlihatkan seringai penuh kebencian. Seringai ini
kupaksa-paksakan supaya sesuai dengan perananku, lalu aku berpaling supaya terletak dari
pandangannya. "Selamat tinggal," katanya sambil berjalan ke pintu, aku berlari kepadanya, lalu memegang
tangannya, membuka telapak tangannya, lalu memasukkan sesuatu ke dalamnya dan
mengatupkannya kembali. Sudah itu aku berbalik dengan segera lalu lari terbirit-birit ke sudut
kamar yang lain supaya aku tidak melihat . . .
Aku mau mengatakan sesuatu karena untuk mengatakan sebuah dusta " untuk menuliskan bahwa
hal ini kulakukan secara kebetulan, bahwa aku tidak tahu apa yang kuperbuat karena kebebalanku,
karena aku sudah kehilangan akal. Tapi aku tidak mau berdusta, jadi aku akan katakana dengan
terus-terang bahwa kepalannya tadi kubuka dank e dalam kumasukkan uang . . . hanya karena benci.
Aku beroleh fikiran ini tatkala aku berjalan bolak-balik dan dia sedang duduk di balik sekat. Satu hal
dapat kukatakan dengan pasti: biarpun perbuatan kejam ini kulakukan dengan sengaja, ia tidak lahir
dari hatiku, tapi dari otakku yang jahat. Kekejaman ini begitu dibuat-buat, begitu dilakukan dengan
sengaja, begitu merupakan hasil otak, bacaan, hingga aku tak sanggup mempertahankannya biarpun
semenit " mula-mula aku terbirit-birit pergi supaya aku tidak sampai melihat dia, sesudah itu penuh
dengan rasa malu dan putus asa aku berlari mengejar Liza. Aku membuka pintu, ke luar, lalu
memasang telinga. "Liza! Liza!" demikian aku berteriak di tangga, tapi dengan cara lemah, tidak lantang.
Tidak ada jawaban, tapi rasanya aku dapat mendengar bunyi langkahnya, jauh di bawah tanggal.
"Liza!" demikian aku memanggil sekali lagi, tapi kini lebih lantang.
Tidak ada jawaban. Tapi pada saat itu aku mendengar pintu kaca luar yang berkarat dibuka dengan
berat dan berderik, dan kemudian dibanting keras, hingga suaranya menggema sampai ke kepala
tetangga. Liza telah pergi. Aku kembali ke kamarku dengan rasa bimbang. Aku merasa diriku tertekan sekali.
Aku berdiri dekat kursi tempat dia tadi duduk lalu memandang ke depan tanpa sasaran. Satu menit
berlalu, aku tiba-tiba terperanjat; di depanku, di atas meja kulihat . . . Singkatnya, aku melihat
selembar uang kertas lima rubel yang sudah remuk, uang kertas yang semenit yang lalu kumasukkan
ke dalam tangannya. Uang kertas yang sama; tidak mungkin lain, karena di rumah itu tidak ada lagi
uang lain. Jadi dia rupanya berhasil melemparkannya ke atas meja saat aku terbirit-birit berlari ke
pojok. Ya. Mestinya aku tahu bahwa ia akan berbuat begitu. Apa memang aku harus tahu" Tidak. Aku
adalah seorang egois yang tidak punya rasa hormat sama sekali pada sesama manusia, hingga aku
tidak bisa membayangkan bahwa ia akan berbuat begitu. Aku tidak sanggup menahankannya.
Semenit kemudian aku mengenakan pakaian dengan cepat seperti orang gila, mengenakan apa saja
yang kutemui lalu berlari mengejar dia. Dia paling jauh baru dua ratus langkah dari rumah waktu aku
berlari ke jalan. Hari masih gelap dan salju turun bergumpal-gumpal hampir-hampir tiada hentinya, hingga menutup
pelataran dan jalan yang kosong bagai kapas. Di jalan tidak ada orang, dan suara pun tak ada yang
kedengaran. Lampu jalan memberikan cahaya sedih dan temaram tiada berguna. Aku berlari dua
ratus langkah ke persimpangan lalu berhenti.
Ke mana perginya" Dan kenapa aku sampai mengejar dia"
Kenapa" Supaya dapat berlutut di depannya, supaya bisa menangis karena penyesalan, untuk
mencium kakinya dan memohon ampunannya! Aku merindukan itu, seluruh dadaku robek-robek,
dan sampai kapan pun juga, aku tidak akan bpernah bisa mengenang saat itu dengan rasa tidak
perduli. Tapi " untuk apa " kataku dalam hati. Tidak mungkin aku akan mulai membenci dia kembali,
bahkan mungkin mulai besok sudah begitu, karena aku mencium kakinya hari ini" Apa aku akan
memberikan kebahagiaan padanya" Bukankah pada hari itu" Untuk keseratus kalinya, aku
menyadari berapa nilai diriku yang sebenarnya. Apa dia tidak akan kusiksa"
Aku berdiri di tengah salju, memandang nanap ke dalam gelap kelam lalu merenungkan hal ini.
"Apakah tidak lebih baik?" demikian aku kemudian merenung dengan secara tidak masuk akal,
setelah aku kembali ke rumah, dan berusaha meredakan gemuruh hatiku dengan angan-angan yang
tidak wajar. :Apakah tidak lebih baik jika ia menyimpan kebencian yang disebabkan hinaan itu untuk
selama-lamanya" Kebencian " ah, justru itu penyucian. Besok aku akan mencemarkan sukmanya
dan melusuhkan hatinya, sedangkan kini rasa terhina itu tidak akan pernah mati dalam dirinya, dan
biar bagaimanapun menjijikan kebusukan yang menunggunya " rasa terhina itu akan menaikkan dan
menyucikannya . . . dengan jalan dendam . . . hm . . . barangkali juga dengan jalan memaafkan . . .
Apa semuanya itu akan memudahkan dia . . . "
Untuk kepentingan diriku sendiri aku ingin menanyakan suatu pertanyaan yang sebetulnya tak
berguna: mana yang lebih baik " kebahagiaan picisan atau penderitaan yang agung" Ya, mana yang
lebih baik" Demikianlah aku berangan-angan waktu malam itu duduk di rumah, dengan rasa hampir sekarat
karena rasa perih dalam hatiku. Belum pernah aku mengalami penderitaan dan penyesalan begitu
rupa. Sungguhpun begitu apa bisa disangsikan kepergianku yang tergopoh-gopoh ke luar rumah,
kemudian kembali lagi setelah separuh jalan" Aku tidak pernah lagi ketemu Liza, dan aku tidak
pernah mendengar kabar beritanya. Baik kutambahkan, bahwa lama sesudah itu aku masih merasa
puas dengan kalimat mengenai keuntungan yang diperoleh dari kebencian dan dendam, biarpun aku
karenanya hampir-hampir jatuh sakit karena menderita.
Bahkan kini, setelah bertahun-tahun kemudian, semuanya ini masih merupakan kenangan buruk.
Aku banyak punya kenangan buruk, tapi . . . apa tidak lebih baik kalau "Catatan" ini kuakhiri di sini"
Aku yakin aku telah melakukan kekeliruan dengan menuliskannya, setidak-tidaknya aku tak hentihentinya merasa malu waktu menuliskan kisah ini; ia lebih lagi merupakan hukuman ganjaran
sastera. Mengisahkan suatu kisah yang panjang, dan memperlihatkan bagaimana aku sudah
merusak hidupku dengan membiarkan moralku membusuk di sebuah sudut, karena tak adanya
lingkungan yang sesuai, karena terpisah dari kehidupan sebenarnya, dan karena rasa kesal, di dunia
bawah tanahku, bukanlah hal yang menarik; sebuah novel memerlukan pahlawan, sedangkan ciriciri anti pahlawan diutarakan dengan jelas dalam kisah ini. Yang paling penting, semuanya
memberikan kesan yang tidak menyenangkan, karena kita terlepas dari kehidupan, kita adalah
orang-orang cacat, kita semua, begitulah kira-kira. Kita begitu terpisah daripada hingga kita segera
merasakan semacam kebencian pada kehidupan sebenarnya, dan karena itu tidak senang jika
diingatkan pada hal itu. Kita malahan hampir-hampir menganggap kehidupan sebenarnya sebagai
suatu usaha, hampir-hampir sebagai kerja berat, dan dalam hati semuanya sependapat bahwa
dalam buku semuanya jauh lebih baik. Lalu kenapa kita ribut dan geram kadang-kadang" Kenapa
kita begitu jahat dan menginginkan yang lain" Kita sendiri tidak tahu. Kita akan celaka jika semua
doa kita yang penuh kemarahan dikabulkan. Cobalah, berikan pada kita misalnya sedikit lebih
banyak kebebasan, bebaskan tangan kita, luaskan ruang gerak kita, longgarkan kendali lalu . . . ya,
percayalah . . . kita akan segera memohon supaya kita dikendalikan kembali. Aku tahu, anda
mungkin marah sekali karena ucapanku itu, dan mulai berteriak-teriak dan menghentak-hentakkan
kaki. Untuk sesuatu yang hanya berlaku untukmu, demikian anda akan berkata, dan untuk
penderitaanmu dalam lobang bawah tanahmu, jangan samakan kami dengan itu " maaf, tuan-tuan,
aku tidak berusaha membela diri dengan "kita semua" itu. Kalau mengenai diriku, yang kulakukan
ialah menjalani sampai ke ujung-ujungnya apa yang anda tidak berani jalani sampai keujungujungnya apa yang anda tidak berani jalani sampai separuh jalan. Bukan itu saja. Anda sudah


Catatan Dari Bawah Tanah Karya Fyodor Dostoy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menganggap kepengecutan anda sebagai fikiran sehat dan anda menemui kelegaan dalam menipu
diri sendiri. Jadi bukan mustahil, bahwa dalam diriku banyak tersimpan hidup daripada dalam diri
anda. Perhatikanlah baik-baik! Kita bahkan tidak tahu apa yang kini dimaksud hidup itu, apa ia
sebenarnya, dan apa namanya. Jauhkan kita dari buku, maka kita segera akan tenggelam dan jadi
bingung. Kita tidak akan tahu ke mana akan berpihak, pada apa akan berpegang, apa yang harus kita
cintai, apa yang harus kita benci, apa yang harus kita hormati dan apa yang harus kita hina. Kita
merasa tertekan karena jadi manusia " manusia dengan tubuh dan darah pribadi, kita malu
karenanya, kita menganggapnya sebagai suatu penghinaan lalu kita berusaha untuk menjadi
semacam manusia umum yang mustahil. Kita dilahirkan bisu, dan selama angkatan demi angkatan
kita diciptakan bukan oleh ayah yang hidup, dan kita merasa senang dengan kenyataan itu. Kita
mulai serasi dengan itu. Tidak lama lagi kita akan berusaha entah dengan cara bagaimana supaya
lahir dari sebuah ide. Tapi sudahlah; aku tidak mau lagi menulis dari "Bawah Tanah".
(Catatan orang yang saling-bertentangan ini tidak berakhir di sini. Ia tidak bisa menahan diri untuk
melanjutkannya, tapi untuk kita, cukuplah kalau kita berhenti di sini.)
1864 Biang Ilmu Hitam 4 Wiro Sableng 108 Hantu Muka Dua Api Di Bukit Menoreh 7

Cari Blog Ini