Catatan Dari Bawah Tanah Karya Fyodor Dostoy Bagian 2
Lebih daripada yang dapat dilihat pengamat-pengamat realistik kita; menolak untuk menerima
siapa pun dan apa pun, tapi sekaligus tidak membenci apa-apa; mengalah, menyerah, sebagai
kebijaksanaan; tidak pernah melupakan obyek praktis yang berguna (seperti misalnya rumah tanpa
sewa atas ongkos pemerintah, pension, medali-medali) menatap obyek-obyek itu lewat segala
macam kegiatan dan kitab-kitab puisi liris, dan pada saat yang sama menjaga supaya yang "baik dan
indah" dalam dirinya tetap terpelihara sampai saat kematiannya, dan merawat dirinya, kadangkadang bagai sebutir permata yang dibungkus dalam "kebaikan dan keindahan", biarpun hanya
demi "kebaikan dan keindahan" itu sendiri. Para "romantik" kami adalah seorang lelaki berbahu
bidang, bajingan terbesar dari semua bajingan, percayalah. . . Ini dapat kukatakan dengan pasti
berkat pengalaman. Artinya kalau ia seorang yang pintar. Apa kataku"! Para romantik selalu pintar,
dan yang mau kukatakan ialah bahwa biarpun kita punya kaum romantik yang bebal mereka tidak
masuk hitungan, dan mereka jadi begitu karena masa mudanya, mereka telah rusak karena menjadi
orang Jerman, dan supaya dapa menyelamatkan permata mereka yang mahal itu dengan lebih aman
maka merek abermukim di sana " kalau bisa di Weimar atau di Rimba Hitam.
Aku, misalnya, betul-betul benci pada pekerjaan kantorku. Tapi aku tidak memburuk-burukkannya
secara terbuka semata karena aku masih terikat di dalamnya dan karena untuk itu aku menerima
gaji. Pendeknya, tolong ingat, aku tidak memburuk-burukkannya secara terbuka. Kaum romantik kita
lebih suka jadi gila " suatu hal yang sebetulnya jarang sekali terjadi " daripada memburuk-burukkan
secara terbuka, kecuali dia melihat kemungkinan karier lain; dan dia tidak pernah dipecat. Palingpaling, dia mereka bawa ke rumah sakit gila sebagai "raja Spanyol" kalau ia sudah gila betul. Tapi di
Rusia hanya orang-orang kurus dan baik yang jadi gila. Cukup banyak kaum "romantik" yang berhasil
mencapai kedudukan tinggi dalam jabatannya tatkala mereka sudah baya. Kesanggupan mereka
yang serba beragam luar biasa sekali. Dan alangkah besarnya bakat mereka untuk menanggapi
kesan-kesan yang paling bertentangan! Di masa itu aku asyik dengan fikiran ini, dan kini aku masih
berpendapat begitu. Itu sebabnya begitu banyak di antara kami orang-orang "berdada lapang" yang
tidak pernah kehilangan cita-cita mereka biarpun dalam keadaan hina sekali; biarpun mereka tidak
pernah menggerakkan jari untuk cita-citanya, biarpun mereka pencuri-pencuri yang sejati dan
bajingan, mereka dengan bercucuran air mata tetap berpegang pada cita-citanya yang pertama dan
hati mereka jujur tidak ada taranya. Ya, hanya di antara kami bajingan yang paling durjana bisa jujur
sekali dalam hati tanpa berkurang biar sedikit pun jadi bajingan. Kuulangi, kaum romantik kami
biasanya berhasil jadi bajingan yang begitu sempurna (kata "bajingan" kupergunakan dengan rasa
sayang) dan secara tiba-tiba memperlihatkan kepekaan terhadap realitas dan pengetahuan praktis
hingga atasan mereka yang terheran-heran dan orang banyak umumnya hanya bisa mengucapkan
keheranan. Sifat mereka yang serba beragam begitu mengagumkan, hingga hanya Tuhan yang tahu apa yang
nanti mungkin akan lahir dari itu, dan apa yang disediakan masa datang bagi kita. Bahan ini bukan
bahan buruk! Aku berkata begitu bukan karena rasa patriotik yang dungu dan angkuh. Tapi aku
merasa pasti bahwa anda lagi-lagi mengira bahwa aku berolok-olok. Atau barangkali sebaliknya,
anda betul-betul yakin bahwa akan betul-betul berpendapat begitu. Pokoknya, kedua pandangan itu
akan kuterima sebagai suatu kehormatan dan pemberian khusus. Maafkan, penyimpanganku.
Tentu saja, aku tidak berusaha memelihara hubungan persahaban dengan sejabat-sejabatku dan
tidak lama kemudian aku sudah berselisih dengan mereka. Karena kemudaan dan kekurangan
pengalaman aku malahan tidak lagi member salam pada mereka seolah-olah aku telah memutuskan
semua hubungan. Tapi itu hanya sekali terjadi pada diriku. Biasanya, aku selalu sendiri.
Pertama-tama aku menghabiskan sebagian besar waktuku di rumah, membaca. Aku berusaha
menekan semua yang tak henti-hentinya menggelegak dalam diriku dengan bantuan kesan-kesan
lahir. Dan satu-satunya kesan lahir sampai padaku melalui bacaan. Membaca tentu saja bantuan
yang besar sekali " ia menimbulkan kegairahanku, memberikan kenikmatan dan keperihan padaku.
Tapi kadang-kadang ia membosankan aku dan mengkhawatirkan sekali. Bagaimanapun juga kita
merindukan gerak, lalu aku segera melompat dalam kejahatan bawah tanah yang gelap dan busuk
dan paling memuakkan. Nafsuku yang celaka sangat mendesak, menyakitkan karena kejengkelanku
yang terus-menerus dan bersifat sakit. Aku mengalami ledakan-ledakan histeris disertai air mata dan
kekejangan-kekejangan. Aku tidak punya sumber lain, kecuali membaca " artinya, di sekitarku tidak
ada sesuatu pun yang dapat kuhormati dan yang menarik hatiku. Aku tenggelam dalam
kemurungan; aku merasa kerinduan histeris pada yang aneh dan kontras-kontras hingga aku
melakukan kejahatan. Semua ini kukatakan bukan untuk membenarkan diriku . . . Tapi tidak; Aku
telah berdusta. Aku memang ingin membenarkan diriku sendiri. Pengamatan itu kulakukan untuk
kepentingan diriku sendiri, tuan-tuan. Aku tidak ingin berdusta. Aku sudah berjanji pada diriku
sendiri untuk tidak berbuat begitu.
Demikianlah, dengan diam-diam, malu-malu, dan sendiri, di waktu malam aku mengasyikkan diri
dengan kejahatan-kejahatan busuk, dengan suatu rasa malu yang tidak pernah lekang dari diriku,
bahkan juga tidak pada saat-saat yang paling memuaskan, pada saat itu aku sering berkeinginan
untuk menyumpah. Bahkan pada kala itu aku sudah memiliki dunia bawah tanahku dalam hatiku.
Aku takut dilihat orang, takut ditemui orang, takut dikenali. Aku mengunjungi berbagai tempat
gelap. Pada suatu malam waktu aku melewati sebuah kedai minuman aku melihat sebuah jendela yang
terang dua orang pria berkelahi dengan tongkat bilyar. Salah seorang dari kedua pria itu
dilemparkan ke luar jendela. Pada kesempatan lain mestinya aku merasa benci, tapi pada saat itu
keadaanku begitu rupa, aku betul-betul merasa iri hati pada pria yang dilemparkan ke luar jendela
itu " aku begitu iri hati padanya hingga aku masuk ke dalam kedai minuman itu langsung ke kamar
bilyar. "Barangkali," kataku dalam hati, "aku juga harus berkelahi supaya aku dilemparkan ke luar
jendela." Aku tidak mabuk " tapi apa yang harus kita lakukan " bagaimana kalau depressi mendorong
seseorang ke puncak histeri seperti itu" Tapi satu pun tidak ada yang terjadi. Rupa-rupanya, bahkan
untuk dilemparkan ke luar pun aku tidak pantas, lalu aku pergi tanpa berkesempatan untuk
berkelahi. Seorang perwira telah menyadarkan aku dari saat pertama.
Aku sedang berdiri dekat meja bilyar, dan tanpa kusadari aku sudah menghalangi jalan sedangkan ia
hendak lewat; lalu bahuku dipegangnya tanpa berkata apa-apa " tanpa peringatan atau pun
penjelasan " ia mendorong aku dari tempatku berdiri ke tempat lain, lalu lewat, seolah-olah ia tidak
melihat aku sama sekali. Aku dapat memaafkan pukulan tapi aku tidak dapat memaafkan jika aku
digeser begitu saja tanpa sebab.
Hanya iblis yang tahu apa yang tidak dapat kuberikan untuk memperoleh kesempatan mengalami
pertengkaran sejati " pertengkaran yang lebih patut, ya katakanlah, lebih harfiah. Aku sudah
diperlakukan seperti seekor lalar. Perwira itu tinggi besar, sedangkan aku kecil. Tapi pertengkaran
itu tergantung dari aku. Sekiranya aku menyatakan keratin maka aku pasti dilemparkan ke luar
jendela. Tapi aku merobah niatku, lalu memilih untuk mengundurkan diri dengan rasa kesal.
Dari kedai itu aku langsung pulang, dengan fikiran kusut dan kacau, tapi malam berikutnya aku
keluar lagi dengan niat buruk yang sama, lebih parah, lebih busuk dan konyol dari sebelumnya,
ibaratnya, dengan air mata di mataku " tapi bagaimanapun juga aku tetap ke luar lagi. Jangan kira,
bahwa sifat pengecutlah yang membuat aku menyelinap pergi dari perwira itu; aku bukanlah
seorang pengecut dalam hati, biarpun aku pengecut dalam perbuatan. Jangan buru-buru ketawa "
percayalah, semua bisa kujelaskan.
Oh, sekiranya perwira itu seorang perwira yang setuju dengan perang tanding. Tapi tidak, ia adalah
salah seorang tuan (sayang sekali, yang macam ini sudah lama tidak ada) yang lebih suka berkelahi
dengan kata-kata, atau, seperti Letnan Pirogov Gogol lebih senang mengadu pada polisi. Mereka
tidak suka perang tanding dan berpendapat bahwa perang tanding dengan seorang sipil seperti aku
adalah penyelesaian yang tidak patut " sekaligus menganggap perang tanding sebagai sesuatu yang
mustahil, murtad dan keperanc is-perancisan. Tapi mereka selalu siap untuk membentak, apa lagi
kalau badan mereka tinggi besar.
Aku tidak mengundurkan diri karena sifat pengecut, tapi karena keangkuhan yang tiada tara. Aku
tidak takut pada badannya yang besar, atau untuk dipukuli dan dilemparkan ke luar jendela;
percayalah, aku cukup punya keberanian fisik; tapi aku tidak punya keberanian moral. Yang kutakuti
ialah, kalau semua yang hadir, mulai dari tukang catat yang paling kurang ajar sampai kepada kerani
yang paling rendah dan busuk penuh jerawat yang mengenakan kerah leher yang sudah bergemuk,
akan menyoraki aku dan tidak mengerti kalau aku mengajukan protes dan bicara pada mereka
dalam bahasa sastera. Dari sudut kehormatan " bukan kehormatan, tapi sudut kehormatan, point
d"honneuer " kami tidak bisa bicara antara kami tanpa menggunakan bahasa sastera. Aku yakin
sepenuhnya (rasa untuk realitas, biarpun aku sangat romantic) mereka akan ketawa sampai sakit
perut, dan perwira itu tidak saja akan memukuli aku, artinya, tanpa menghina, tapi ia pasti
menonjok punggungku dengan lututnya, menendangi aku sekitar meja biliyarnya, dan sesudah itu
kalau ia barangkali sudah merasa kasihan padaku, melemparkan aku ke luar jendela.
Tentu saja, kejadian kecil ini tidak kubiarkan lupa begitu saja. Sesudah itu perwira tersebut sering
kulihat di jalan dan dia kuperhatikan baik-baik. Aku tidak pasti apa ia mengenali aku, kukira tidak;
aku menilainya dari tanda-tanda tertentu. Tapi aku " aku memandangi dia dengan perasaan kesal
dan benci, dan hal ini berlangsung selama . . . bertahun-tahun. Kebencianku makin lama malahan
makin besar. Mula-mula aku mulai mencari-cari keterangan tentang perwira ini secara diam-diam.
Pekerjaan ini adalah suatu pekerjaan yang sulit bagiku, karena aku tidak kenal siapa pun. Tapi pada
suatu hari, waktu aku membuntuti dia dari jauh, seolah-olah aku lengket padanya, aku mendengar
seseorang memanggil nama keluarganya " dengan jalan demikian kuketahui nama keluarganya.
Pada kesempatan lain ia kubuntuti sampai flatnya, dan dengan menyogok juru pintu kediamannya
itu sebanyak sepuluh kopek, aku tahu di mana ia berdiam, ditingkat berapa, apa dia tinggal sendiri
atau bersama orang lain dan sebagainya dan sebagainya " pendeknya, semua yang dapat kita
ketahui lewat seorang juru pintu. Pada suatu pagi, biarpun sebetulnya aku belum pernah
mengarang, tiba-tiba aku beroleh fikiran untuk menulis sebuah satir tentang perwira ini dalam
bentuk sebuah novel yang dapat mengungkapkan kebajingannya. Aku menulis novel itu dengan rasa
senang. Aku mengungkapkan kebijaksanaannya, aku bahkan melebih-lebihkannya; mula-mula nama
pertamanya kubuat begitu rupa hingga mudah dikenali, tapi kemudian setelah kufikirkan lagi nama
itu berubah, lalu novel itu kukirimkan ke Otetcestvenniya Zapiski. Tapi di masa itu seranganserangan seperti itu belum merupakan kebiasaan hingga ceritaku tidak disiarkan. Bagiku itu suatu
kekecewaan besar. Kadang-kadang aku betul-betul lemas karena kebencian. Akhirnya aku memutuskan untuk
menantang musuhku untuk perang tanding. Aku mengarang sepucuk surat yang bagus dan indah
kepadanya dengan permintaan supaya ia minta maaf padaku, dan menyatakan dengan agak tegas
supaya ia bersedia perang tanding sekiranya ia menolak untuk minta maaf. Surat itu disusun begitu
rupa, hingga kalau perwira itu masih punya pengertian pada yang baik dan indah, maka ia pasti akan
memeluk aku dan menawarkan persahabatan padaku. Alangkah indahnya kalau itu terjadi! Kami
akan bergaul dengan baik sekali. "Ia dapat melindungi aku dengan pangkatnya yang tinggi,
sementara ia dapat memperkaya rohaninya dengan pengetahuanku dan . . . buah fikiranku, hingga
segala hal mungkin lahir dari itu. "Cuma, bayangkan, semua ini terjadi dua tahun setelah ia
menghina aku dan tantanganku akan merupakan suatu anakronisme konyol, biarpun suratku
berhasil sekali menyembunyikan dan menjauhkan anakronisme tersebut. Tapi, syukurlah (sampai
hari ini aku masih bersyukur dengan air mata di mataku) surat itu tidak jadi kukirimkan padanya.
Badanku merinding jika kuingat apa yang akan terjadi kalau surat itu jadi kukirimkan.
Tiba-tiba aku berhasil membalaskan dendamku dengan cara yang bersahaja, berkat sebuah fikiran
yang cemerlang sekali! Aku tiba-tiba beroleh fikiran yang cemerlang! Kadang-kadang, di hari libur,
aku sering berjalan-jalan di pinggiran Nevski yang ditimpa matahari, kira-kira pukul empat sore.
Biarpun itu sebetulnya bukan suatu kesenangan, tapi lebih lagi merupakan serentetan besar
penderitaan, penghinaan dan kejengkelan; tapi tak pelak lagi, rupa-rupanya justru itu yang
kukehendaki. Aku bisa menggeliat-geliat dengan cara yang buruk sekali, bagai seekor belut, tak
putus-putusnya mengelak untuk memberikan jalan pada jenderal-jenderal, perwira-perwira
pengawal dan Hussar serta para wanita. Di saat-saat seperti itu, biasanya aku merasakan kejutan
yang mengejangkan dalam hati, dan aku merasa seluruh punggungku panas jika aku ingat,
bagaimana buruknya dandananku, bagaimana celakanya dan memuakkannya sosok tubuhku yang
kecil yang berjalan tergopoh-gopoh. Adalah siksaan biasa yang tak kunjung habis, penghinaan yang
tak bisa diterima, jika fikiran seperti itu datang, yang kemudian berobah jadi sensasi langsung dan
tak kunjung habis, bahwa dalam mata seluruh dunia ini aku tidak lebih dari seekor lalar " seekor
lalar yang memuakkan dan menjengkelkan, yang tentu saja lebih pintar, lebih maju lebih halus
perasaannya dari siapa pun di antara mereka, tapi tetap seekor lalar yang tak henti-hentinya
menghindar member jalan bagi siapa pun jua,yang tak henti-hentinya dihina dan disakiti oleh siapa
saja. Kenapa siksaan seperti ini kulakukan terhadap diriku sendiri. Kenapa aku harus pergi ke Nevski,
aku sendiri tidak tahu. Pokoknya setiap ada kesempatan aku seolah-olah ditarik untuk pergi ke sana.
Masa itu aku sudah mulai merasakan permulaan kenikmatan yang kusebut-sebut dalam bab
pertama. Setelah kejadian dengan perwira itu aku merasa lebih tertarik untuk datang ke sana
dibandingkan dengan sebelumnya: di Nevski ia paling sering kutemui, di sana ia dapat kukagumi.
Juga ia datang ke sana terutama pada hari-hari libur. Juga ia menghindar terhadap jenderal-jenderal
dan orang-orang berpangkat lebih tinggi, dan juga ia meliuk-liuk di antara mereka bagai seekor
belut; tapi orang-orang seperti aku, atau bahkan orang-orang yang berpakaian lebih baik dari aku
tidak ia perdulikan; ia berjalan langsung ke arah mereka, dan tidak pernah, dalam keadaan apa pun,
menghindarkan diri " seolah-olah di hadapannya yang ada hanya ruang kosong. Waktu melihat dia
aku geli memikirkan kebencianku tanpa . . . lupa menghindar membuka jalan untuknya dengan hati
yang jengkel. Aku gusar sekali karena bahkan di jalan kau tidak bisa setaraf dengan dia.
"Kenapa justru kau yang harus selalu menghindar?" demikianlah aku bertanya tak putusnya dengan
perasaan geram pada diriku sendiri, jika aku kadang-kadang bangun pukul tiga dinihari. "Kenapa
harus kau, kenapa bukan dia" Tidak ada peraturan yang mengatakan begitu; tidak ada undangundang tertulis. Biarlah soal hindar-menghindar ini dilakukan dengan sama rata seperti biasanya jika
orang-orang berpendidikan bertemu: kau menghindar separuh dan ia menghindar separuh; kalian
berpapasan dengan saling hormat-menghormati."
Tapi itu tidak pernah terjadi, dan yang selalu menghindar adalah aku, sedangkan dia seakan-akan
tidak sadar sama sekali bahwa aku membukakan jalan baginya. Waktu itu aku beroleh suatu fikiran
yang cerah sekali! Bagaimana aku berkata dalam hati: "Kalau aku tidak mau minggir jika ketemu
dengan dia" Bagaimana kalau aku dengan sengaja tidak mau menghindar, bahkan kalau aku sampai
bertubrukan dengan dia" Bagaimana kiranya?" Fikiran yang berani ini begitu menguasai aku hingga
aku tidak bisa diam lagi karenanya. Aku tak henti-hentinya memimpikannya dengan cara
menakutkan, dan aku dengan sengaja datang lebih sering ke Nevski untuk menggambarkan lebih
nyata bagaimana caranya harus kulakukan kalau sekiranya aku sampai melakukannya. Aku senang
rencana ini kelihatannya lebih mungkin dan praktis.
"Tentu saja dia tidak akan sampai kudorong," demikian aku berkata dalam hatiku, yang kini sudah
jadi lembut karena kesenangan hatiku. "Aku hanya tidak mau minggir, bertubrukan dengan dia, tapi
tidak begitu keras, sekadar bahu lawan bahu " masih dalam batas-batas kesopanan. Aku akan
menubruk dia sesuai dengan kekuatannya menubruk aku." Akhirnya aku berhasil membulatkan
tekat. Tapi persiapanku memerlukan cukup banyak waktu. Pertama-tama, sekiranya aku mau
melaksanakan rencanaku, aku harus kelihatan lebih sopan, jadi aku harus memikirkan pakaianku.
"Dalam keadaan darurat, jika, misalnya, terjadi kegemparan (dan orang-orang yang ada di sana
adalah orang-orang recherch" " pilihan --: Putri-putri suka melancung di sana; Pangeran D.
melancung di sana; seluruh dunia sastera ada di sana) aku harus berpakaian baik; hal ini akan
menumbuhkan rasa hormat orang dan dengan demikian dalam mata masyarakat kami jadi
sederajat." Dengan maksud ini, aku minta sebagian gaji sebagai persekot, lalu membeli sepasang sarung tangan
hitam dan sebuah topi yang baik di took Curkin. Menurut hematku sarung tangan hitam lebih
terhormat dan bon ton dibandingkan dengan yang berwarna jeruk yang mula-mula mau kubeli.
"Warnanya terlalu menyolok, kita kelihatan seakan-akan ingin menonjol," lalu aku tidak jadi
membeli yang berwarna jeruk itu. Sebelum itu sudah lama kusediakan sehelai kemeja yang baik
dengan kancing tulang putih; mantelku yang satu-satunya agak merisaukan aku. Mantel itu sendiri
cukup baik, badanku cukup hangat karenanya; tapi ia cukup diisi kapas dan kerahnya yang dari bulu
betul-betul merupakan puncak kekonyolan. Bagaimanapun juga kerah itu harus kuganti dengan
kerah kulit beruang pohon seperti kerah baju seorang perwira. Untuk kepentingan ini aku mulai
mengunjungi Gostini Dvor dan setelah berusaha beberapa kali aku memilih sehelai kulit beruang
pohon yang murah. Biarpun bahan Jerman ini cepat sekali jadi buruk dan lusuh, tapi waktu itu masih
baru kelihatannya bagus sekali, dan aku hanya memerlukannya untuk satu kali kesempatan. Aku
menanyakan harganya; sungguhpun begitu, ia masih terlalu mahal. Setelah mempertimbangkan
baik-baik maka aku memutuskan untuk menjual kerah buluku. Kekurangan yang selebihnya, -- suatu
jumlah wang yang cukup banyak bagiku, akan kupinjam dari Anton Antonict Syetotckin, atasan
langsungku, seorang yang sederhana, tapi sungguh-sungguh dan adil. Ia tidak pernah meminjamkan
uang pada siapa pun jua, tapi waktu masuk pekerjaan pertama kali aku sudah mendapat surat pujian
dari seseorang yang penting dan khusus ditujukan padanya, yang telah membantu aku memperoleh
pekerjaan. Aku sangat risau sekali. Bagiku meminjam uang dari Anton Antonict adalah pekerjaan
yang buruk dan memalukan. Selama dua-tiga malam aku tidak tidur. Ya, bahkan dapat dikatakan
masa itu tidurku tidak baik, aku selalu demam; aku merasa jantungku terhenyak atau kadang-kadang
aku merasa berdebar-debar. Mula-mula Anton Antonict heran, sudah itu ia mengerutkan kening,
kemudian berfikir, lalu akhirnya meminjam uang itu padaku, setelah menerima surat kuasa untuk
mengambil dari gajiku yang dipinjamkannya padaku, dua minggu kemudian.
Dengan cara demikian akhirnya semuanya siap. Kerah kulit beruang pohon telah menggantikan
kerah bulu yang buruk, dan aku mulai kerja setahap demi setahap. Tidak ada gunanya untuk
bertindak tanpa rencana, dan tanpa persiapan; rencana itu harus dikerjakan dengan baik-baik dan
setahap demi setahap. Tapi aku harus akui, setelah mencoba beberapa kali aku mulai putus asa:
kami tidak sempat berpapasan. Aku sudah mempersiapkan segala, tekatku sudah bulat " ruparupanya kami harus bertubrukan secara langsung " dan sebelum aku sadar apa yang kulakukan, aku
sudah menghindar lagi member jalan padanya dan ia lewat tanpa memperdulikan aku. Waktu
mendekati dia aku bahkan berdoa pada Tuhan untuk memberikan kekuatan padaku. Sekali aku
berhasil tekat yang bulat, tapi akhirnya aku tertarung dan kemudian jatuh di kakinya, karena di saatsaat terakhir waktu aku sudah berada kira-kira lima belas sentimeter dari dia, keberanianku luntur
sama sekali. Dengan tenang ia melangkahi aku, sedangkan aku buru-buru berguling-guling ke
samping bagai sebuah bola. Malam itu aku demam lagi, suhu badanku tinggi dan aku mengigau.
Tapi tiba-tiba semuanya berakhir dengan menyenangkan sekali. Semalam sebelumnya aku
memutuskan untuk tidak melaksanakan rencanaku yang fatal, dan meniadakannya sama sekali.
Dengan niat seperti itu aku pergi ke Nevski untuk akhir kali, sekedar untuk melihat bagaimana aku
meniadakannya. Tiba-tiba, tiga langkah dari musuhku, tiba-tiba aku mengambil keputusan " aku
menutup mataku, lalu kami berlari dengan kekuatan penuh, saling bertubrukan, bahu menyenggol
bagu! Aku tidak menghindar biar sesenti pun dan berhasil melewati dia atas dasar sama tinggi! Ia
bahkan tidak melihat ke belakang dan berbuat seolah-olah ia tidak perduli sama sekali; tapi ia hanya
pura-pura. Itu aku yakin. Bahkan sampai hari ini aku masih yakin. Tentu saja, yang lebih menderita
adalah aku " ia jauh lebih kuat, tapi soalnya bukan itu. Soalnya aku berhasil mencapai tujuanku, aku
berhasil mempertahankan martabatku, aku tidak menghindar biarpun setapak, dan dengan
demikian dihadapan umum aku sudah berhasil menempatkan diriku sama tinggi dengan dia. Aku
pulang dengan perasaan bahwa dendamku sudah kubalaskan. Aku senang sekali. Aku merasa
gembira dan aku menyanyikan aria-aria Italia. Tentu saja, aku tidak akan ceritakan kepada anda apa
yang terjadi pada diriku tiga hari kemudian; jika anda sudah membaca bab pertama, maka anda
sendiri akan bisa menerka. Perwira itu kemudian dipindahkan; selama empat belas tahun aku tidak
pernah ketemu dia. Apa kerja orang itu kini" Siapa lagi yang ia langkahi"
TAPI masa usaha yang mubasir ini berakhir dan sesudah kejadian seperti itu biasanya aku merasa
diriku sakit. Penyesalan datang, aku mencoba melawannya: aku merasa diriku terlalu sakit. Tapi
lambat laun, akhirnya aku terbiasa juga dengan itu. Aku selalu terbiasa dengan apa pun jua, atau
lebih tepat aku menerima dengan sukarela untuk menderita karenanya. Tapi aku punya cara
Catatan Dari Bawah Tanah Karya Fyodor Dostoy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melarikan diri yang dapat mengatasi segala " yaitu dengan jalan mencari perlindungan dalam "yang
baik dan indah", artinya, dalam angan-angan tentu saja. Aku seorang penggantang asap yang luar
biasa, dan selama tiga bulan terus-menerus berangan-angan seraya bersembunyi dipojokku, dan
anda boleh percaya, bahwa di saat-saat seperti itu aku sama sekali tidak mirip dengan lelaki yang
telah mengenakan kerah kulit beruang pohon pada mantelnya karena hatinya yang kecil dan kacau.
Aku tiba-tiba jadi pahlawan. Aku tidak akan membiarkan letnanku yang berbadan tinggi masuk, biar
pun ia datang untuk menemui aku. Bahkan di saat itu aku tidak bisa membayangkannya. Apa angananganku dan mengapa ia bisa memuaskan hatiku di kala itu, sulit untuk dijelaskan sekarang, tapi
pendeknya kala itu bagiku cukup memuaskan. Biarpun, sampai batas tertentu, aku bahkan masih
dengan puas dengannya. Angan-angan biasanya bisa terasa manis dan hidup sekali setelah kita
mengalami suatu masa sia-sia; mereka datang bersama penyesalan dan air mata, dan kutukan dan
keharuan. Betul, saat-saat itu adalah saat yang penuh dengan rasa mabuk yang positif, yang penuh
dengan kebahagiaan, hingga dalam diriku sedikit pun tidak bisa ditemui ironi biar bagaimana kecil
pun. Aku merasakan kasih, mempunyai harapan dan keyakinan. Secara membabi buta, kala itu aku
percaya, bahwa semuanya itu terjadi berkat suatu keajaiban, suatu keadaan luar, semuanya tibatiba akan terbuka, mengembang; bahwa tiba-tiba suatu tepi langit kegiatan yang tepat " dermawan,
baik, dan terlebih-lebih ready-made (apa kegiatan itu aku tidak tahu, tapi yang penting ialah, ia
tersedia untukku) " akan terbuka dan aku akan muncul di tengah-tengah sinar matahari, hampirhampir menunggang kuda putih dan berhiaskan mahkota kemenangan. Aku tidak bisa
membayangkan kedudukan bagi diriku yang tidak merupakan kedudukan tertinggi, dan karena itu
dalam kenyataannya aku menempati tempat yang paling rendah dengan rasa puas. Atau jadi
pahlawan atau merangkak dalam lumpur " diantaranya kosong. Di situ letak kehancuranku, karena
kala aku berada dalam lumpur aku menghibur hatiku dengan fikiran bahwa aku pernah jadi
pahlawan, dan pahlawan itu adalah cadar bagi lumpur itu: buat seorang biasa adalah memalukan
untuk mencemarkan dirinya sendiri, tapi seorang pahlawan terlalu agung, hingga tidak mungkin jadi
cemar, dan karena itu ia boleh mencemarkan diri. Patut dicatat, bahwa serangan-serangan "yang
baik dan indah" ini bahkan datang mengunjungi aku di masa-masa kesia-siaanku dan justru pada
saat-saat aku berada di bawah sekali. Mereka datang dalam gelombang-gelombang terpisah, seolaholah mereka mau mengingatkan aku pada kehadirannya, tapi kehadiran itu tidak bisa meniadakan
kesia-siaan itu. Sebaliknya, mereka seolah-olah menambahkan semangat padanya dengan
menciptakan suatu kontras, dan sekedar hadir sebagai bumbu yang mengenakkan. Bumbu ini terdiri
dari pertentangan-pertentangan dan penderitaan, mawas diri yang menyakitkan; kesemua pukulan
dan tusukan ini memberikan semacam rasa pedas, bahkan arti yang penting pada kesia-siaanku "
pendeknya, sesuai sekali dengan bumbu penambah selera. Dalamnya ada suatu kedalaman arti. Dan
aku tidak bersedia menyerahkan diri pada kecabulan berbahaya, vulgar dan kotor seorang kerani
dan menahan semua kebusukannya. Apa sebabnya di kala itu aku bisa ia pukau hingga membuat aku
keluar malam-malam ke jalan" Tidak, aku punya suatu cara yang baik untuk membebaskan diri dari
padanya. Dan alangkah besarnya, ya Tuhan, kasih-sayang dan keramahan yang kurusakkan dalam angananganku kala itu; dalam "ketenggelaman jauh yang baik dan indah" itu; biarpun kasih itu hanya kasih
yang ada dalam angan-angan, biarpun ia tidak pernah ditunjukkan pada manusia mana pun dalam
kenyataannya, kasih-sayang ini begitu melimpah hingga kita tidak merasa perlu menunjukkannya
dalam kenyataan; itu hanya akan mubasir. Tapi semuanya berlalu dengan memuaskan, melewati
perobahan yang lamban dan mengasyukkan ke dalam dunia seni, artinya, ke dalam bentuk
kehidupan yang indah, yang untuk sebagian besar dicuri dari para penyair dan penulis roman dan
kemudian disesuaikan denan segala macam kebutuhan dan kegunaan. Aku, misalnya, lebih jaya dari
semua orang; semua orang, tentu saja, merangkak dalam debu, dan terpaksa untuk mengakui
kelebihanku dengan sukarela; dan aku memaafkan mereka semua. Aku adalah seorang penyair dan
pria terkemuka, dan aku jatuh cinta; aku punya uang berjuta-juta dan uang itu dengan segera
kuabdikan pada kemanusiaan, tapi sekaligus di depan semua orang kuakui perbuatanku yang
memalukan itu, perbuatan yang tentu saja yang tidak hanya memalukan, tapi yang dalam dirinya
cukup mengandung apa yang disebutkan "yang baik dan yang indah" dalam gaya Manfred. Semua
orang akan mencium aku dan akan menangis (mereka betul-betul dungu kalu tidak menangis),
sedangkan aku pergi dengan kaki telanjang dan perut lapar menyebarkan fikiran-fikiran baru dan
melancarkan peperangan Austerlitz baru yang menang melawan kaum obskurantis. Lalu rombongan
music akan memainkan sebuah mars, dan pengampunan umum dinyatakan, dan Paus akan
menyatakan kesediaannya untuk mengundurkan diri dari Roma Ke Brasilia; lalu diadakanlah pesta
dansa untuk seluruh Italia di Villa Borghase di pantai Danau Komo; untuk itu Danau Komo sudah
dipindahkan ke daerah dekat Roma; lalu diikuti oleh kejadian-kejadian dalam semak-semak dan
sebagainya dan sebagainya " ah, masakan anda tidak tahu"!
Anda akan mengatakan, bahwa adalah suatu perbuatan vulgar dan memuakkan untuk memamerkan
semua ini di hadapan orang banyak, setelah air mata dan keharuan yang tadi kuakui. Tapi kenapa
memuakkan" Apa anda bisa bayangkan bahwa aku malu karenanya, bahwa perbuatan ini lebih
konyol daripada yang pernah anda temui dalam hidup anda, tuan-tuan" Percayalah, sebagian dari
angan-angan ini dikarang dengan cukup baik . . . semuanya ini tidak berlangsung di pantai Danau
Komo. Anda benar " dia memang konyol dan memuakkan. Dan yang paling memuakkan ialah usaha
yang kulakukan kini untuk membenarkan diriku di hadapan anda. Lebih memuakkan lagi dari itu,
adalah karena aku bersedia menyebutnya. Tapi cukuplah, nanti tidak ada habisnya: setiap langkah
akan lebih memuakkan dari langkah sebelumnya . . . .
Aku tidak tahan berangan-angan terus-menerus lebih dari tiga bulan, tanpa merasa ingin sekali
mencemplungkan diri dalam masyarakat. Mencemplungkan diri dalam masyarakat berarti
mengunjungi atasanku di kantor, Anton Antonitc Syetotckin. Dia satu-satunya kenalan tetap yang
kupunyai dalam hidupku, dan sampai kini aku masih bertanya-tanya dalam hatiku kenapa. Tapi aku
hanya mengunjungi dia jika rasa itu menyinggahi aku dan jika angan-anganku telah mencapai titik
kecerahan begitu rupa hingga terasa perlu bagiku segera merangkul sesama makhluk dan seluruh
kemanusiaan; untuk tujuan itu aku memerlukan paling sedikit seorang manusia yang betul-betul
berwujud. Tapi aku hanya bisa mendatangi Anton Antonic pada hari Selasa " pada hari itu ia selalu
ada di rumah; hingga aku harus mengatur keinginanku untuk merangkul kemanusiaan begitu rupa
hingga ia terjadi pada hari Selasa.
Anton Antonitc tinggal di tingkat empat sebuah gedung di Sudut Lima, dalam empat buah kamar
berloteng rendah, yang satu lebih kecil dari yang lainnya, yang sangat bersahaja dan kumal. Ia punya
dua orang anak gadis, dan bibi anak-anak inilah yang biasanya menyiapkan teh. Anaknya yang satu
berumur tiga belas tahun, yang seorang lagi empat belas. Hidung mereka lentik dan aku selalu
merasa malu pada mereka, karena mereka selalu berbisik dan tertawa terkekeh-kekeh. Tuan rumah
biasanya duduk di kamar kerjanya, di atas sebuah kursi kulit depan meja tulis, dengan seorang tuan
berambut putih, biasanya kawan sejawat dari kantor kami atau dari departemen lain. Aku tidak
pernah melihat lebih dari dua atau tiga orang tamu di sana, dan orangnya selalu sama. Mereka
bicara tentang kewajiban yang berkelebihan, tentang pekerjaan di senat, tentang gaji, kenaikan
pangkat, tentang Yang Mulia, dan bagaimana caranya untuk menyenangkan hati Yang Mulia dengan
sebaik-baiknya dan sebagainya. Aku bisa duduk dengan sabar selama empat jam terus-menerus
bagai orang dungu di samping orang-orang ini, mendengarkan mereka dan tidak tahu apa yang
harus dikatakan atau memberanikan diri mengatakan sesuatu. Aku seolah dibius, kadang-kadang
aku merasa keringatku mengalir, dihinggapi oleh semacam kelumpuhan; tapi hal ini baik dan
menyenangkan bagiku. Jika aku pulang maka aku sudah berhasil mengundurkan untuk sementara
keinginanku untuk merangkul seluruh kemanusiaan.
Tapi aku masih punya kenalan yang lain lagi, Simonov, seorang bekas kawan sekolah. Di Petersburg
memang ada sejumlah bekas kawan sekolahku, tapi aku tidak bergaul dengan mereka dan tak lagi
mengangguk member salam pada mereka di jalan. Aku yakin, aku pindah ke departemen tempatku
bekerja kini, semata untuk mengelakkan pertemuan dengan mereka dan untuk memutuskan semua
hubungan dengan masa kanak-kanakku yang kubenci. Terkutuklah sekolah dan tahun-tahun
penderitaan dalam tahanan! Pendeknya begitu aku memasuki dunia aku berpisah dengan kawankawanku sesekolah. Aku masih mengangguk kepada dua-tiga di antara mereka kalau ketemu di
jalan. Salah seorang diantaranya Simonov, yang waktu di sekolah dulu bukan murid yang luar biasa,
pendiam dan tenang; tapi aku melihat semacam sikap bebas dan bahkan kejujuran pada dirinya. Aku
bahkan tidak mengira bahwa dia dungu sekali. Pernah aku mengalami persahabatan yang kental
bersamanya pada suatu masa, tapi tidak lama, dan rupanya telah tertutup awan secara tiba-tiba.
Jelas sekali ia tidak merasa betah dengan kenangan-kenangan ini, dan kukira ia selalu takut bila
bicara dengan nada seperti itu kembali. Aku merasa bahwa tidak senang padaku, tapi sungguhpun
begitu aku masih juga pergi mengunjungi dia, karena aku merasa tidak terlalu pasti.
Demikianlah, pada suatu kali, karena tidak sanggup lagi menahan kesunyianku dan karena tahu
bahwa hari itu hari Kemis dan dengan begitu pintu Anton Antonitc tertutup untuk tamu, aku ingat
pada Simonov. Sambil menaiki tangga menuju tingkat empat aku ingat bahwa orang itu itdak senang
padaku dan akan merasa salah karena pergi menemui dia. Tapi seperti selalu, ingatan seperti itu
mendorong aku seolah-olah dengan sengaja hendak menempatkan dirku dalam keadaan yang sulit "
aku masuk. Ada kira-kira setahun berlalu, sejak pertemuanku yang terakhir dengan Simonov.
IA kutemui lagi bersama bekas dua orang kawan sekolahku. Mereka rupanya lagi membicarakan
suatu hal penting. Semuanya hampir-hampir tak memperdulikan kedatanganku, suatu hal yang
aneh, karena aku sudah bertahun-tahun tidak ketemu mereka. Jelas sekali bagi mata mereka aku
tidak lebih tinggi dari seekor lalar biasa. Bahkan di sekolah aku tidak pernah diperlakukan seperti itu,
biarpun mereka semua benci padaku. Tentu saja aku tahu, mereka benci padaku kini, karena aku
tidak berhasil dalam karierku, karena aku selalu berpakaian seperti jembel dan sebagainya " bagi
mereka ini rupanya aku tidak punya kesanggupan dan sama sekali tidak berarti. Tapi aku tidak
mengira akan diperlakukan begitu rendah. Simonov jelas sekali tidak mengira aku akan muncul.
Bahkan dulu di masa-masa lalu ia selalu heran melihat kedatanganku. Semua ini merisaukan aku:
aku duduk dengan perasaan tidak enak, lalu mulai mendengarkan pembicaraan mereka.
Mereka terlibat dalam suatu pembicaraan hangat dan terus terang tentang sebuah pesta makan
perpisahan yang ingin mereka adakan keesokkan harinya untuk kawan mereka yang bernama
Zverkov, seorang perwira tentara, yang akan berangkat ke sebuah propinsi yang jauh. Zverkov ini
juga satu sekolah dengan aku. Aku terutama mulai membencinya waktu sudah di tingkat lebih tinggi.
Waktu masih di tingkat rendah ia seorang remaja yang manis, suka bermain, yang disenangi semua
orang. Tapi sebetulnya waktu di tingkat rendah aku sudah mulai benci padanya, justru karena dia
soerang anak manis dan suka bermain. Ia tidak pernah menguasai pelajarannya dengan baik, dan
keadaan makin lama makin buruk; tapi ia meninggalkan sekolah dengan ijazah yang baik, karena ia
punya dukungan kuat. Di tahun terakhir sekolah ia mewarisi tanah dengan dua ratus orang budak,
dan karena hampir semua kami miskin, ia mengambil sikap yang penuh lagak terhadap kami. Ia
orang yang vulgar sekali, tapi sekaligus berhati baik, biarpun lagaknya besar. Biarpun kami hanya
memiliki pengertian yang dangkal, aneh dan tipis tentang kehormatan dan martabat, hanya
beberapa orang di antara kami yang merendahkan diri pada Zverkov " hal itu membuat dia lebih
banyak lagak. Dan mereka merendahkan diri bukan karena kepentingan pribadi, tapi karena Zverkov
seorang yang berbakat. Lagi pula, di antara kami seakan-akan sudah jadi hal yang sama-sama
dibenarkan bahwa Zverkov seorang ahli dalam soal kebijaksanaan dan sopan santun pergaulan. Hal
terakhir ini, terutama sangat menjengkelkan aku. Aku benci pada nada penuh kepercayaan yang
singkat dalam suaranya, kekagumannya pada kebijaksanaannya sendiri, yang sebetulnya sering kali
konyol, biarpun ia seorang yang berani dalam berkata-kata; aku benci pada wajahnya yang cantik
tapi bodoh (tapi yang dengan senang hati aku bersedia menukarkan wajahku yang inteligen) dan
tingkah-laku militernya yang bebas dan seenaknya yang dalam tahun-tahun "empat-puluhan" jadi
kesukaan orang. Aku benci mendengar cara dia bicara tentang perempuan-perempuan yang akan
dia taklukan di masa depan (ia baru mulai melakukan serangannya terhadap wanita setelah ia
memiliki epaulet seorang perwira, dan menanti-nanti perolehannya itu dengan tidak sabar) dan
membual tentang perang tanding yang akan dia lakukan. Aku ingat, bagaimana aku, yang selalu
pendiam, tiba-tiba menyerang Zverkov, waktu pada suatu hari pada suatu saat santai ia bercakapcakap dengan kawan sekolahnya tentang hubungan masa depannya dengan wanita, makin lama
makin lincah bagai anak anjing di sinar matahari, dan serta-merta mengutarakan bahwa ia tidak
akan membiarkan seorang pun gadis terlewatkan di daerahnya, dan bahwa itu adalah droit de
seigneurnya, bahwa jika petani-petani berani menyatakan keberatannya, ia akan menyuruh
menderanya dan pajak mereka akan dinaikkan dua kali " bajingan-bajingan berjanggut itu dan orang
tua mereka, tapi semata karena mereka bertepuk tangan untuk serangga seperti dia. Pada
kesempatan itu aku berhasil mengalahkan dia, tapi biarpun Zverkov bodoh, ia lincah dan kurang
ajar, hingga ia dengan mudah menguiskannya dengan ketawa, dengan cara yang begitu rupa hingga
kemenanganku tidak lagi lengkap: yang berkesempatan ketawa malahan dia. Pada kesempatan ia
berhasil mengalahkan aku, tapi bukan tanpa kemarahan, sambil berolok-olok, secara sambil lalu.
Aku tetap diam dengan marah dan mengejek dan tidak bersedia melawan dia. Waktu kami
meninggalkan sekolah ia berusaha mendekati aku; aku tidak menolak, karena aku merasa disanjung,
dan tidak lama sesudah itu aku berpisah secara wajar. Kemudian aku mendengarkan tentang
keberhasilannya di asrama sebagai seorang letnan dan tentang kegiatan hidupnya. Lalu datang
kabar-kabar angin baru " tentang keberhasilannya dalam tentara. Waktu itu ia mulai menghindari
aku di jalan, dan aku yakin ia takut akan menderita malu karena mengucapkan salam pada
seseorang yang sama sekali tak berart seperti aku. Sekali aku pernah melihat dia di gedung
sandiwara, di boks deretan ketiga. Ia berputar dan menggeliat-gliat ke mana-mana sambil bermanis
muka pada anak-anak gadis seorang jenderal tua. Dalam masa tiga tahun ia sudah jadi tua, biarpun
ia masih tampan dan tangkas. Jelas sekali bahwa jika umurnya sudah tiga puluh maka ia akan jadi
gemuk. Jadi untuk Zyerkov inilah bekas kawan-kawan sekolahku mau mengadakan pesta makan atas
keberangkatannya. Mereka berusaha agar tetap bersama dia selama tiga tahun itu, biarpun dalam
hati., mereka menganggap diri tidak setaraf dengan dia, itu aku yakin.
Salah seorang dari kedua tamu Simonov " Ferfitchkin " seorang Jerman yang sudah jadi orang Rusia,
laki-laki berbadan kecil dengan muka bagaikan monyet, seorang berkepala batu yang tak hentihentinya menyesali orang lain, musuh bebuyutanku semenjak kami duduk di kelas rendahan,
seorang pelawak yang terhadap vulgar, kurang ajar, yang berbuat seolah-olah perasaannya terhadap
kehormatan halus sekali, biarpun tentu saja dalam hati ia tidak lebih dari seorang pengecut kecil
yang celaka. Ia salah seorang pemuja Zverkov yang mendekati Zverkov karena kepentingan pribadi
dan sering meminjam uang darinya. Tamu Simonov yang lain, Trudolyubov, seorang yang biasa
sekali " berbadan tinggi, anggota tentara, mukanya dingin, cukup jujur meskipun pemburu sukses
dalam bentuk apa pun jua, dan hanya sanggup berfikir tentang kenaikan pangkat. Ia semacam
keluarga jauh Zverkov, dan hal ini,biarpun aneh kedengarannya, membuat dia merasa dirinya
penting diantara kami. Ia selalu menganggap aku sebagai orang tak berarti; dan sikapnya kepadaku,
biarpun tidak terlalu ramah, tapi cukup bisa diterima.
"Jika masing-masing kita menyumbang tujuh rubel", kata Trudolyubov, "maka kita bertiga bisa
mengumpulkan dua puluh satu rubel. Dengan sebegitu mestinya kita bisa memperoleh sajian yang
baik. Zverkov, tentu saja tidak perlu menyumbang."
"Tentu saja tidak, karena dia kita undang," demikian Simonov memutuskan.
"Apa kau percaya," Gretckin menyela dengan penuh semangat dan dengan kenesnya, bagai seorang
abdi yang besar mulut melagakkan bintang-bintang jenderal majikannya, "apa kau mengira Zverkov
akan membiarkan kita membayar sendiri" Ia akan mau menerima karena menenggang perasaan
kita, tapi disamping itu ia akan memesan setengah lusin sampanye."
"Apa untuk kita berempat perlu setengah lusin?" Demikian Trudolyubov berpendapat " yang dia
catat hanya kata setengah lusin saja.
"Jadi kita bertiga, tambah Zverkov hingga jadi empat, dua puluh satu rubel, besok pukul lima sore di
Hotel de Paris," kata Simonov memutuskan akhirnya.
"Kenapa dua puluh satu rubel?" aku bertanya dengan gerah, sambil menunjukkan rasa tersinggung;
"Kalau aku kalian perhitungkan maka jadinya bukan dua puluh satu, tapi dua puluh delapan rubel."
Aku merasa tepat sekali jika aku mengundang diriku sendiri secara tiba-tiba dan tanpa disangkasangka. Mereka akan segera takluk dan memandang aku dengan penuh hormat.
"Apa kau juga mau ikut?" Tanya Simonov tanpa memperlihatkan tanda-tanda hati yang senang dan
berusaha mengelakkan pandanganku. Ia kenal aku luar-dalam.
Aku geram sekali karena ia kenal luar-dalam.
"Kenapa tidak" Aku juga bekas kawan sekolahnya, dan aku harus akui bahwa aku tersinggung kalau
kalian tinggalkan," kataku dengan mengelegak.
"Ke mana kau harus kami cari?" kata Ferfitchkin dengan kasar.
"Hubungan kau tak pernah baik dengan Zverkov," tambah Trudolyubov sambil mengerutkan kening.
Tapi aku sudah meraih maksud itu dan aku tidak akan melepaskannya.
"menurut hematku siapa pun tidak punya hak untuk mengemukakan pendapat perihal itu," balasku
dengan suara gemetar, seolah-olah sesuatu yang hebat baru saja terjadi. "Barangkali justru itu
alasanku untuk ikut serta, justru karena hubunganku dulu tidak pernah baik dengan dia."
"Oh, aku betul-betul tidak mengerti . . . liku-liku fikiranmu," teriak Trudolyubov.
"Kami akan mencatat namamu," Simonov menyimpulkan untukku. "Besok pukul lima di Hotel de
Paris." "Uangnya bagaimana?" kata Ferfitchkin lunak. Yang ia maksud aku. Tapi ia segera berhenti, karena
Simonov pun juga agak bingung.
"Cukup sekian," kata Trudolyubov, sambil berdiri. "Kalau dia ingin ikut, silahkan."
"Tapi ini adalah pesta terbatas, hanya antara kawan," kata Ferfitchkin dengan jengkel, sambil
mengambil topinya. "ini bukan pertemuan resmi."
"Kami sama sekali tidak ingin, barangkali . . . "
Mereka pergi. Waktu ia keluar Ferfitchkin sama sekali tidak memberikan salam padaku. Trudolyubov
hanya mengangguk sedikit. Simonov, yang kini tinggal tete-a-tete denganku, bingung dan rikuh, dan
memandang padaku dengan aneh. Ia tidak duduk dan tidak menyilakan aku duduk.
"Hm . . . Ya . . . . Kalau begitu besok. Apa kau mau membayar sumbanganmu kini" Aku hanya
sekedar ingin tahu," ia menggumam dengan bingung.
Mukaku merah padam, karena aku ingat bahwa aku sudah lama berhutang pada Simonov sebanyak
lima belas rubel " aku tidak pernah lupa hutang itu, biarpun aku belum pernah melunasinya.
"Kau tentu maklum, Simonov, waktu aku datang kemari aku tidak mungkin tahu . . . . . jangan . . . "
Ia berhenti lalu berjalan bolak-balik dengan lebih bingung. Sambil berjalan ia mulai menghentakhentakkan tumitnya.
"Apa aku mengganggu?" aku bertanya, setelah hening dua menit.
"Oh," katanya, kaget, "terus terang " ya. Aku harus ketemu seseorang . . . tidak jauh dari sini,"
demikian ia tambahkan dengan nada minta maaf, agak malu-malu.
"Kenapa tidak kaukatakan?" teriakku, sambil mengambil cepiauku dengan lagak bebas dan
seenaknya, yang tidak kukira akan kulakukan.
"Tidak jauh . . . . hanya beberapa langkah dari sini," kata Simonov lagi sambil mengantarkan aku ke
pintu dengan sikap merongrong yang tidak pantas untuknya sama sekali. "Jadi pukul lima tepat,
besok," demikian ia berteriak ke bawah tangga kepadaku. Ia senang betul dapat membebaskan diri
dari aku. Aku marah bukan main.
"Apa yang merasuki aku, apa yang merasuki aku hingga aku memaksakan diriku pada mereka?"
Demikian aku bertanya dalam hati, sambil menggertakkan gerahamku di jalan. "Untuk seorang
bajingan babi seperti Zverkov! Tentu saja, aku lebih baik tidak pergi, tentu saja, aku cukup
mendecakkan jariku pada mereka. Untukku tidak ada keharuan. Besok aku akan berkirim surat pada
Simonov . . . . ." Tapi yang membuat aku marah, ialah karena aku tahu betul bahwa aku akan pergi, bahwa aku akan
merasa perlu untuk pergi, makin tidak bijaksana, makin tidak pantas kedatanganku ke sana, makin
pasti aku akan pergi kesana.
Ada suatu halangan yang jelas untuk kepergianku kesana: aku tidak punya uang. Aku punya
Sembilan rubel, sedangkan tujuh rubel harus kuberikan pada Apollon, pelayanku untuk gaji
bulanannya. Hanya sekian ia kubayar " selebihnya ia harus berusaha sendiri.
Tidak membayar dia adalah suatu kemustahilan, kalau kita kenal sifatnya. Tapi orang yang
merupakan gangguan begiku itu nanti akan kubicarakan.
Tapi bagaimanapun, aku tahu aku akan pergi dan bahwa aku tidak akan membayar gajinya.
Malam itu aku mendapat mimpi yang ngeri sekal. Tidak mengherankan; semalam-malaman aku
merasa murung karena kenangan pada masa sekolahku yang menyakitkan, dan aku tidak bisa
menjauhkannya dari fikiranku. Aku dimasukkan ke sekolah itu oleh keluarga jauh tempat aku
bergantung dan sejak itu aku tidak pernah lagi mendengar kabar beritanya " mereka mengirim aku
ke sana sebagai seorang anak yang kesunyian, pendiam, yang telah remuk karena hardikannya, yang
Catatan Dari Bawah Tanah Karya Fyodor Dostoy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah kusut karena kebimbangan-kebimbangan, dan yang memandang semua orang dengan
kecurigaan seorang liar. Kawan-kawan sekolahku menyambut aku dengan ejekan yang penuh
kebencian dan tak kenal ampun karena aku tidak mempunyai salah seorang pun dari mereka. Tapi
aku tak sanggup membiarkan gangguan mereka; aku tak bisa menyerah pada mereka dengan
kesiapan hina yang mereka perlihatkan. Dari semula aku sudah benci pada mereka, dan aku
memisahkan diri dari mereka, dalam suatu keangkuhan yang ragu-ragu, perih dan tak
sebanding.kekasaran mereka membuat aku berontak. Mereka mentertawakan wajahku dan sosok
badanku yang kaku dengan sinis; sedangkan wajah mereka sendiri dungunya tiada tara. Di sekolah
wajah murid-murid seakan-akan melorot dan makin lama makin bodoh. Begitu banyak anak-anak
manis datang ke tempat kami! Tapi setelah beberapa tahun rupa mereka menjijikkan. Bahkan waktu
berumur enam belas tahun aku telah memperhatikan mereka dengan muram; waktu itu aku sudah
terheran-heran oleh kepicikan fikirannya, kedunguan keinginannya, permainannya, percakapannya.
Mereka tidak punya pengertian untuk hal-hal yang lebih pokok, mereka tak menaruh perhatian pada
soal-soal besar dan mengesankan, hingga aku tak dapat menghalangi diriku untuk menganggap
mereka lebih rendah dari aku. Bukan harga diri yang tersinggung yang membuat aku begitu, dan
demi Tuhan jangan lagi paksa-paksakan padaku kata-kata yang menjemukan, yang kalian ulangulangi sampai memualkan, bahwa "aku adalah seorang tukang angan-angan," sedangkan mereka
bahkan di kala itu sudah punya perhatian tentang hidup. Mereka tidak mengerti apa-apa, mereka
tidak mengerti hidup sama sekali, dan aku bersumpah, bahwa itulah yang membuat aku tak suka
pada mereka. Sebaliknya, kenyataan yang paling menonjol mereka terima dengan kedunguan yang
tak masuk akal dan bahkan kala itu mereka sudah terbiasa untuk menghormati sukses.
Semua yang adil, tapi ditindas dan dihina, mereka ketawakan dengan sepenuh hati dan tanpa rasa
kasihan. Mereka menyamakan pangkat dengan inteligensi; bahkan dalam umur empat belas sudah
bicara tentang kedudukan yang baik. Tentu saja sebagian besar dari itu adalah akibat kedunguan
mereka, dan contoh buruk yang mengelilingi mereka di masa kecil dan remaja. Mereka betul-betul
rusak. Tentu saja, sebagian besar dari itu, juga karena pandangan dangkal dan sangkaan yang sinis;
tentu saja ada kilasan-kilasan kemudaan dan kesegaran, bahkan dalam kerusakan mereka; tapi
kesegaran itu tidak menyenangkan, dan memperlihatkan diri dalam semacam kesemberonoan. Aku
benci sekal pada mereka, biarpun barangkali aku lebih buruk dari mereka. Mereka memperlakukan
aku dengan cara yang sama dan tidak menyembunyikan kebencian kala melihat aku. Tapi waktu itu
aku sama sekali tidak menginginkan keramahan mereka; sebaliknya aku tak putus-putusnya
merindukan ejekan-ejekan dan hinaannya. Untuk menghindarkan diri dari cemooh mereka aku
dengan sengaja berusaha memperoleh kemajuan sebesar-besarnya dalam pelajaranku dan mencari
jalan untuk memperoleh kedudukan terkemuka; hal ini membuat mereka tercengang.
Lagi pula, lambat laun mereka mulai mengerti, bahwa aku sudah membaca buku-buku yang tidak
bisa mereka baca, dan mengerti hal-hal (yang tidak merupakan mata pelajaran sekolah kami) yang
mereka sendiri bahkan belum pernah dengar. Mereka memandangnya dengan geram, tapi
sungguhpun begitu secara moral mereka kagum, terlebih-lebih setelah para guru mulai menghargai
aku atas dasar itu. Ejekan berhenti, tapi rasa permusuhan berlangsung terus, hingga antara kami
terdapat suatu hubungan yang dingin dan tegang yang terus-menerus. Akhirnya aku tidak kuat
menahankannya: lambat-laun dalam diriku tumbuh keinginan untuk bermasyarakat, untuk
berkawan. Aku mencoba mengadakan hubungan persahabatan dengan beberapa kawan
sesekolahku; tapi entah bagaimana, keakrabanku dengan mereka selalu berada dalam keadaan
tegang dan akhirnya hilang sendiri. Memang pernah aku sekali punya sahabat. Tapi waktu itu dalam
hati aku sudah merupakan seorang zalim; aku mencoba menguasai dia sama sekali; aku berusaha
membuat dia memandang rendah pada semua yang ada di sekitarnya; aku menghendaki supaya dia
memutuskan hubungan dengan kenyataan sekitarnya. Ia kubuat takut dengan rasa sayangku yang
penuh passi; aku membuat dia mengucurkan air mata, berteriak-teriak. Ia adalah seseorang yang
sangat bersahaja dan setia; tapi waktu ia sudah mengabdikan diri seluruhnya padaku. Aku segera
mulai membenci dia dan menjauhkan dia " seolah-olah dia hanya kuperlukan untuk jadi seseorang
yang kukalahkan, untuk kutaklukkan, lebih dari itu tidak. Tapi aku tidak bisa menaklukkan mereka
semua; kawanku sama sekali tidak mirip dengan mereka, bahkan boleh dikatakan, dia adalah
pengecualian yang jarang ditemukan. Yang pertama-tama kulakukan waktu meninggalkan sekolah,
ialah meninggalkan tugas khusus untuk apa aku diperuntukkan, memutuskan semua hubungan,
mengutuk masa lampauku dan mengirapkan semua debu dari kakiku . . . . Sekarang, entah kenapa,
setelah semua kejadian ini, aku kini pergi tertatih-tatih ke tempat Simonov.
Keesokkan harinya, pagi-pagi sekali aku bangun lalu melompat ke luar tempat tidur dengan gembira,
seolah-olah semuanya akan terjadi dengan segera. Tapi aku percaya bahwa ada suatu perobahan
besar dalam hidupku yang akan terjadi, dan bahwa ia tidak bisa tidak pasti terjadi dari itu. Mungkin
karena jarang terjadi, maka setiap kejadian luar, biar bagaimana kecil pun, selalu menimbulkan
perasaan padaku seakan-akan suatu perobahan besar dalam hidupku segera akan terjadi. Aku pergi
ke kantor seperti biasa, tapi menyelinap pulang dua jam lebih dulu untuk mempersiapkan diri. Yang
paling penting, demikian aku berkata dalam hatiku, ialah supaya aku tidak jadi orang pertama
datang, supaya mereka jangan sampai mengira aku terlalu senang dapat datang. Tapi soal-soal yang
harus diperhitungkan beribu banyaknya, dan semuanya membuat aku resah dan menguasai aku.
Sepatuku kugosok untuk kedua kalinya dengan tanganku sendiri; biar apa pun yang terjadi Apollon
tidak akan pernah bersedia membersihkannya dua kali sehari karena itu ia anggap di luar batas
kewajibannya. Dari gang kucuri sikat untuk menggosok sepatu itu, dengan diam-diam, jangan
sampai dia tahu karena takut akan ia cemoohkan. Sudah itu kuperiksa pakaianku dengan teliti lalu
aku sampai pada kesimpulan bahwa pakaian itu sudah using, lusuh dan lecet. Aku terlalu teledor.
Pakaian seragamku mungkin cukup rapi, tapi aku tidak bisa pergi ke pesta makan dengan pakaian
seragam. Yang paling celaka, di lutut celanaku ada bacak besar berwarna kuning. Aku beroleh firasat
bahwa bacak itu akan menghilangkan Sembilan persepuluh dari harga diriku. Aku juga tahu, fikiran
itu adalah remeh sekali. "Sekarang tidak ada waktu untuk berpikir: kini aku harus menghadapi
kenyataan sebenarnya," demikian aku berkata dalam hati, lalu hatiku jadi kecut. Aku bahkan kala itu
sadar sekali, bahwa aku sudah membesar-besarkan suatu kenyataan secara berlebihan. Tapi apa
boleh buat" Aku tidak bisa mengendalikan diriku dan aku mulai menggigil karena demam. Dengan
putus asa kugambarkan untuk diriku sendiri, bagaimana dingin dan penuh cemooh "bajingan"
Zverkov itu akan menyambut aku; bagaimana si dungu Trudolyubov itu memandang padaku dengan
pandangan rendah yang tak bisa dielakkan dan bebal; dengan kekasaran lancang, bagaimana
Ferfitchkin, serangga itu, mengejek aku supaya dapat mengambil muka Zverkov; bagaimana
Simonov menerima segalanya itu dan bagaimana ia membenci aku karena kesia-siaanku dan
ketiadaan harga diriku " dan di atas segala-galanya, bagaimana remehnya, bagaimana tak
berserinya, bagaimana biasanya semuanya itu nanti.
Tentu saja, yang paling baik, ialah jangan pergi. Tapi itu adalah yang paling mustahil: sekiranya
adalah kecenderunganku untuk berbuat sesuatu, maka perbuatan itu adalah menuju ke arah itu.
Sesudah itu aku akan berteriak pada diriku sendiri: "Jadi kau gagal, kau gagal menghadapi kenyataan
sebenarnya!" Sebaliknya aku ingin memperlihatkan pada semua "jembel" itu bahwa aku sama sekali
bukan orang yang tidak punya urat seperti yang telah kugambarkan sendiri. Lebih lagi, bahwa dalam
kegilaan hangat dari demam pengecut ini, aku masih saja berangan-angan akan dapat melebihi
mereka, menguasai mereka, menghanyutkan mereka dan membuat mereka senang padaku "
biarpun hanya berkat "keagungan fikiranku dan kebenaran kebijakanku." Mereka akan
meninggalkan Zverkov dan ia akan duduk sendiri, diam, malu, sedangkan aku asyik meremukremukkan dia. Lalu, siapa tahu, kami akan berdamai lalu minum untuk persahabatan kami yang
abadi; tapi yang paling getir dan menyakitkan bagiku, ialah karena bahkan pada saat itu aku tahu,
bahwa semua itu tidak kuperlukan, bahwa aku sama sekali tidak ingin hendak meremukkan,
menaklukkan, menarik perhatian mereka, bahwa aku seujung jari pun tak perduli pada hasil yang
kuperoleh, biarpun aku berhasil memperolehnya. Oh, aku berdoa supaya hari itu berlalu dengan
cepat! Dengan kepedihan hati yang tak dapat diutarakan aku melangkah ke jendela, lalu membuka
kaca dan memandang ke arah kegelapan suram salju basah yang turun tebal. Akhirnya jam kukuku
yang sialan mendesiskan pukul lima. Aku mengambil topiku dan sambil berusaha menghindarkan
pandangan Apollon, yang sehari-hari sudah mengharapkan gajinya, tapi karena dungunya tidak
bersedia membuka mulut lebih dulu. Aku menyelinap antara dia dan pintu lalu melompat keatas
sebuah kereta es kelas satu, membayar dengan paroh rubelku yang terakhir, lalu berangkat ke Hotel
de Paris dengan segala kebesaran.
SEHARI sebelumnya aku sudah pasti bahwa aku yang akan datang lebih dulu. Tapi soalnya bukan
soal datang lebih dulu. Bukan saja mereka tidak ada di sana, tapi aku dapat kesulitan dalam mencari
kamar kami. Makanan bahkan belum dihidangkan. Apa artinya ini" Setelah bertanya berkali-kali aku
berhasil mendengar dari para pelayan bahwa makanan tidak dipesan untuk pukul lima tapi untuk
pukul enam. Hal ini juga ditegaskan di buffet. Aku betul-betul merasa malu karena harus menanyai
mereka. Waktu itu pukul lima lewat dua puluh lima menit. Sekiranya mereka menukar jam mestinya
setidak-tidaknya aku diberi tahu " untuk itu ada pos, hingga aku tidak ditempatkan dalam
kedudukan yang edan di mataku sendiri . . . dan di mata para pelayan. Aku duduk, seorang pelayan
mulai menata meja; aku malahan merasa lebih terhina dengan kehadirannya. Menjelang pukul
enam mereka bawa masuk lilin biarpun dalam kamar itu ada lampu menyala. Pelayan itu sama sekali
tidak ingat untuk membawa lilin-lilin ini masuk, semua sekaligus waktu aku datang. Di kamar sebelah
ada orang yang murung dan kelihatan kesal lagi makan tanpa bicara di dua meja. Di sebuah kamar
agak jauh, kedengaran suara ribut, suara orang berteriak; kita bisa mendengar suara ketawa orang
banyak dan jeritan-jeritan kecil yang menjengkelkan dalam bahasa Perancis; di sana ada wanita lagi
makan. Hal itu memuakkan. Jarang aku mengalami saat yang begitu tidak menyenangkan, begitu
tidak menyenangkan hingga waktu mereka datang bersama-sama tepat pukul enam aku gembira
tiada taranya melihat mereka, seolah-olah mereka adalah penyelamatku, dan bahkan lupa bahwa
tidak pantas bagiku untuk memperlihatkan perasaanku.
Zverkov masuk mendahului mereka; jelas sekali bahwa dialah ruh yang membimbing. Mereka semua
lagi tertawa; tapi setelah melihat aku, Zverkov membenahkan diri sedikit, lalu melangkah ke arahku
dengan sedikit membungkukkan badan mulai dari pinggang. Ia bersalaman dengan aku secara
ramah, tapi tidak terlalu ramah, kesopanan yang seksama bagai seorang jenderal, seolah-olah
dengan mengulurkan tangan ia mencoba menangkis sesuatu. Sebaliknya, aku mengira, begitu ia
masuk, maka ia segera akan memperdengarkan ketawanya yang biasa, tipis dan nyaring lalu mulai
mengeluarkan lelucon dan kebijakannya yang hambar. Aku sudah dari sehari sebelumnya
mempersiapkan diri untuk itu, tapi aku tidak mengira akan diperlakukan dengan keramahan dan
basa-basi pejabat tinggi. Jadi, dia merasa dirinya jauh lebih tinggi dari aku dalam segala hal.
Sekiranya ia mempergunakan nada seorang pejabat tinggi hanya untuk menghina aku, tidaklah
mengapa, demikian aku berkata dalam hati " aku bisa saja membalas nanti dengan salah satu cara.
Tapi bagaimana, jika sesungguhnya, tanpa ada maksud untuk menyakiti hatiku, jika kepala kambing
itu betul-betul yakin bahwa dia lebih tinggi dari aku dan hanyabisa memperlakukan aku
sepertibawahannya" Kecurigaan ini membuat nafasku terhenti.
"Aku betul-betul heran mendengarkeinginanmu untuk menyertai kami," katanya, dengan pelat dan
perlahan-lahan " ini sesuatu yang baru lagi. "Kau dan aku sudah lama tidakbertemu. Kau menjauhi
kami. Kenapa" Kami tidakbegitu jahat seperti kaukira. Pokoknya, aku senang sekali dapat
memperbaharui perkenalan kita."
Lalu ia berbalik dengan selela-lelanya untuk meletakkan topinya di ambang jendela.
"Apa kau sudah lama menunggu?" Tanya Trudolyubov.
"Aku datang pukul lima sesuai dengan yang kaukatakan kemarin padaku." Jawabku dengan lantang,
dengan kejengkelan yang sudah mendekati ledakan.
"Apa dia tak kauberi tahu bahwa jamnya kita robah?" kata Trudolyubov pada Simonov.
"Tidak, aku lupa," jawab yang ditanya, tanpa rasa menyesal sedikit pun jua, dan tanpa minta maaf
padaku ia pergi untuk memesan hors d"oeuvres.
"Jadi kau sudah sejam penuh disini" Kasihan!" teriak Zverkov dengan mengejek, karena menurut dia
ini adalah hal yang lucu sekali. Dan bajingan Ferfitchkin meniru dia dengan senyuman kecilnya yang
menjengkelkan,bagai seekor anak anjing yang lagi mendengking. Dia juga merasa bahwa
kedudukanku sangat mentertawakan dan memalukan.
"Ini sama sekali tidak lucu!" teriakku pada Ferfitchkin, dengan kejengkelan lebih besar. "Ini bukan
salahku, tapi salah orang lain. Mereka tidak memberitahu aku. Ini . . . . ini . . . ini betul-betul edan."
"Bukan saja edan, tapi ada lagi selain itu," gumam Trudolyubov lalu memilih pihakku dengan polos
sekali. "Itu belum cukup keras. Ini adalah suatu perbuatan kasar " tidak disengaja, memang. Tapi
bagaimana Shimoniv bisa . . . . hm!"
"Jika aku diperlakukan seperti itu," kata Ferfitchkin, "aku akan . . ."
"Mestinya kau memesan sesuatu untukmu," sela Zverkov, "atau langsung saja makan tanpa
menunggu kami." "Aku tentu saja bisa berbuat begitu tanpa izinmu," kataku dengan keras. "Kalau aku masih
menunggu, maka itu . . . .
"Mari duduk, tuan-tuan," teriak Simonov sambil masuk.
"Semua sudah siap; sampanye aku bisa pertanggungjawabkan; hampir-hampir beku . . . begini, aku
tidak tahu alamatmu, ke mana kau harus kucari?" Ia tiba-tiba berpaling padaku, tapi lagi-lagi ia
berusaha berpaling. Rupa-rupanya ada sesuatu yang membuat dia tidak senang padaku. Pasti
karena apa yang terjadi kemarin.
Semua duduk; aku juga. Meja itu meja bundar. Trudolyubov duduk disebelah kiriku, Simonov
disebelah kanan, Zverkov diseberang, Ferfitchkin disampingnya, antar dia dan Trudolyubov.
"Coba ceritakan, apa kau . . . pegawai pemerintah?" demikian Zverkov bertanya. Waktu ia melihat
aku kebingungan, ia sungguh-sungguh mengira bahwa ia harus bersikap lebih ramah terhadap aku,
dan dengan demikian, menghibur aku.
"Apa dia ingin supaya aku melempar botol ke kepalanya?" kata hatiku dengan geram. Di tengah
keadaan yang baru aku mudah sekali tersinggung.
"Di kantor N "," jawabku tersandung-sandung sambil menjatuhkan pandanganku pada piring.
"A-a-pa ke-e-dudukanmu di sana baik" Ke-e-napa kau sampai me-e-ninggalkan pekerjaa-a-nmu yang
dulu?" "A-a-apa yang memb-u-u-at a-aku meninggalkan pekerja-aa-an i-i-i-tu adalah ke-i-i-nginanku unt-uu-k meninggalkannya," aku menyeret kata-kataku lebih lagi dari dia, karena aku sudah hampirhampir tidak sanggup mengendalikan diriki. Ferfitchkin gelak terkakah-kakah. Simonov melihat
padaku dengan cemooh. Trudolyubov berhenti makan lalu memandang padaku dengan rasa ingin
tahu. Zverkov mengerenyit, tapi ia berusaha agar tidak memperdulikannya.
"Dan jumlahnya?"
"Jumlah apa?" "Maksudku, ga-a-jimu?"
"Kenapa aku kautanya?" Tapi aku segera mengatakan padanya berapa gajiku. Mukaku merah
padam. "Tidak begitu banyak," kata Zverkov dengan gagah.
"Ya, dengan gaji sebegitu kita tidak akan sanggup makan di kafe," tambah Ferfitchkin dengan kurang
ajarnya. "Menurut hematku itu terlalu sedikit," kata Trudolyubov dengan sungguh-sungguh.
"Kau sudah jadi sangat kurus. Kau sudah berobah sekali!" kata Zverkov dengan sedikit tusukan
dalam suaranya, sambil memandangi pakaianku dengan semacam rasa kasihan yang menyakitkan.
"Oh, jangan buat mukanya jadi merah," kata Ferfitchkin sambil tersenyum kecil.
"Tuan yang baik, izinkan aku menegaskan bahwa mukaku sama sekali tidak merah," akhirnya aku
meledak; "kalian dengar?" Aku makan di sini, di kafe ini, atas ongkos sendiri, bukan atas ongkos
orang lain " catat itu, tuan Ferfitchkin."
"Apa-a-a! Bukankah semua yang makan di sini makan atas ongkos sendiri" Kau kelihatannya . . . "
Ferfitchkin menyerang aku, sedangkan mukanya jadi merah bagai udang, sambil memperhatikan aku
dengan penuh kemarahan. "Ma-a-u," jawabku yang merasa bahwa aku sudah keterlaluan, "dan aku berpendapat kita lebih baik
bicara tentang sesuatu yang lebih berarti."
"Oh, rupanya kau mau memamerkan bahwa kau orang berarti?"
"Jangan khawatir, di sini bukan tempatnya."
"Kenapa kau mengigau seperti itu, tuan yang baik" Apa kau sudah kehabisan otak di kantormu?"
"Cukup, tuan-tuan, cukup!" teriak Zverkov dengan sikap memerintah.
"Ini betul-betul konyol!" gumam Simonov.
"Ini betul-betul konyol. Kita berkumpul di sini, sekumpulan sahabat untuk mengadakan pesta makan
buat seorang kawan, sedangkan kau berkeras untuk bertengkar," kata Trudolyubov, sambil
mengarahkan kata-katanya dengan kasar padaku sendiri. "Kau mengundang dirimu sendiri untuk
menyertai kami, jadi jangan merusak suasana keharmonisan umum."
"Cukup, cukup!" teriak Zverkov. "Akui saja, tuan-tuan memang bukan di sini tempatnya. Lebih baik
dengarkan bagaimana aku kemarin dulu hampir-hampir saja menikah . . . . ."
Lalu kata-kata itu diikuti oleh sebuah kisah lucu, bagaimana tuan terhormat ini hampir-hampir saja
menikah dua hari yang lalu. Dalam kisahnya itu tidak pernah disebut-sebut kata nikah tapi penuh
dengan jenderal-jenderal, kolonel-kolonel, bangsawan-bangsawan muda, sedangkan Zverkov
memainkan peranan seorang terkemuka di antar mereka. Cerita ini disambut dengan ketawa yang
membenarkan; jelas Ferfitchkin sampai memekik.
Tidak seorang pun yang menaruh perhatian padaku, dan aku duduk dengan remuk-redam dan
terhina. "Ya Tuhan, aku tidak cocok dengan orang-orang ini!" kataku dalam hati. "Dan aku betul-betul sudah
menjadikan diriku seorang dungu di hadapan mereka! Aaku telah membiarkan Ferfitchkin
keterlaluan. Orang-orang buas ini mengira bahwa sudah memberikan kehormatan padaku dengan
membiarkan aku duduk di antara mereka. Mereka tidak tahu, bahwa yang dapat kehormatan
sebetulnya mereka, bukan aku. Aku sudah jadi kurus. Pakaianku! Oh, persetan celanaku. Zverkov
melihat bacak kuning yang ada di lutut celanaku begitu dia masuk tadi . . . . . tapi apa gunanya. Aku
harus segera bangkit, sekarang juga, mengambil topiku, sekarang juga, mengambil topiku dan keluar
tanpa pamit . . . . . dengan sikap menghina! Dan besok aku bisa mengirimkan surat tantangan.
Bajingan! Seolah-olah uang tujuh rubel itu jadi persoalan betul bagiku. Mereka boleh mengira . . .
Persetan. Aku tidak perduli uang tujuh rubel itu. Aku pergi sekarang juga!"
Tentu saja aku tetap duduk di kursiku. Karena keresahanku, aku minum sherry dan Lafitte bergelasgelas. Karena tidak biasa, aku dengan segera merasakan akibatnya. Dengan naiknya anggur itu ke
kepala kemarahanku bertambah. Tiba-tiba aku beroleh keinginan untuk menghina mereka semua
sekaligus dengan cara yang menyakitkan sekali lalu pergi. Aku mempergunakan kesempatan ini dan
memperlihatkan apa yang sanggup kulakukan, hingga mereka akan berkata, "Dia pintar, biarpun dia
edan," lalu . . . lalu . . . pokoknya, persetan mereka semua.
Semua mereka kupandangi dengan mataku yang kuyu. Tapi rupa-rupanya mereka sudah lama lupa
sama sekali padaku. Mereka riuh, ribut dan gembira. Zverkov bicara tak henti-hentinya. Aku mulai
mendengarkan. Zverkov sedang bercerita tentang seorang wanita penuh perhiasan yang akhirnya
dapat ia rayu sampai ia menyatakan cintanya padanya (tentu saja ia bohong bagai kuda) dan
bagaimana dalam soal ini ia dibantu oleh seorang sahabat karib, seorang pangeran Kolya, perwira
Hussar, yang memiliki tiga ribu budak.
"Sungguhpun begitu, Kolya yang punya tiga ribu budak ini mala mini tidak hadir di sini untuk
pamitan dengan kau," tiba-tiba aku menyalib.
Selama satu menit semua diam, "Kau sudah mabuk." Trundolyubov akhirnya berkenan menyadari
kehadiranku, sambil mengerling dengan penuh hinaan ke arahku. Zverkov, tanpa berkata apa-apa,
meneliti aku seolah-olah aku seekor serangga. Aku merundukkan mata. Simonov bergegas mengisi
gelas dengan sampanye. Trudolyubov mengangkat gelasnya, disertai oleh semuanya kecuali aku.
"Untuk kesehatanmu dan keselamatan selama perjalanan!" ia berteriak pada Zverkov. "Demi masa
lampau, dan masa depan kita! Sabas!"
Mereka menghambungkan gelas mereka lalu mengerumuni Zverkov untuk mencium dia. Aku tidak
bergerak; gelasku yang penuh terletak padaku tak terjamah.
Catatan Dari Bawah Tanah Karya Fyodor Dostoy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa kau tidak ikut minum?" teria Trudolyubov yang sudah kehilangan kesabarannya dan
memandang dengan mengancam ke arahku.
"Aku mau mengucapkan pidato tersendiri, atas kemauanku sendiri . . . . . dan sudah itu aku akan
minum, tuan Trudolyubov."
"orang buas mengesalkan!" gumam Simonov. Aku bangkit dari kursiku lalu meraih gelasku dengan
perasaan demam, dan mempersiapkan diri untuk sesuatu yang luar biasa, biarpun aku sendiri tidak
tahu benar apa yang kukatakan.
"Tenang!" teriak Ferfitchkin. "Sekarang pameran kebijakan!"
"Tuan Letnan Zverkov," demikian aku mulai, "baik anda ketahui bahwa aku benci pada pujianpujian, tukang-tukang sanyung dan pria-pria pakai korset . . . itu pokok pertama, ada lagi pokok
kedua." Orang-orang pada gelisah.
"Pokok kedua ialah; Aku benci pada kecabulan dan percakapan cabul. Ter lebih-lebih orang-orang
yang gemar bicara cabul! Pokok ketiga; aku cinta keadilan, kebenaran dan kejujuran." Aku bicara
terus seperti mesin, dan aku sendiri sudah mulai menggigil karena ngeri dan tidak bisa mengerti
sama sekali kenapa aku bicara seperti ini. "Aku cinta pemikiran, tuan Zverkov; aku cinta
persahabatan sejati, atas dasar duduk sama rendah tegak sama tinggi dan tidak . . . Hm . . . Aku cinta
. . . Tapi kenapa tidak" Aku akan minum untuk kesehatan anda, Tuan Zverkov. Rayulah gadis-gadis
Kaukasia, tembak musuh tanah air dan . . . dan . . . untuk kesehatan anda, tuan Zverkov!"
Zverkov berdiri lalu membungkuk padaku sambil berkata:
"Aku sangat terima kasih sekali padamu." Ia terhina sejadi-jadinya dan mukanya pucat.
"Persetan orang ini!" Trudolyubov meraung sambil memukulkan tinjunya pada meja.
Untuk itu mukanya patut ditindu," pekik Ferfitchkin.
"Dia harus kita usir," gumam Simonov.
"Tenang tuan-tuan, jangan bergerak!" teriak Zverkov dengan sungguh-sungguh dengan maksud
mengekang kemarahan umum itu. "Aku berterima kasih pada kalian semua, tapi aku sendiri dapat
memperlihatkan padanya betapa besar arti yang kuberikan pada kata-katanya."
"Tuan Ferfitchkin, aku minta tuan bersedia berduel esok pagi karena kata-kata tuan tadi!" kataku
dengan lantang sambil memalingkan muka dengan hormat pada Ferfitchkin.
"Maksudmu perang tanding" Tentu," jawabnya. Tapi rupanya aku begitu konyol waktu menantang
dia dan tantangan itu begitu tak sesuai dengan diriku, termasuk Ferfitchkin, tertawa terbahakbahak.
"Ia, jangan ganggu dia! Dia mabuk," kata Trudolyubov dengan perasaan muak.
"Aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku karena telah membiarkan dia ikut kita," gumam
Simonov lagi. "Sekarang saatnya untuk melemparkan botol ke kepala mereka," kataku dalam hati. Aku mengambil
botol . . . lalu mengisi gelasku . . . "Tidak, lebih baik kutahankan sampai selesai," demikian aku
berfikir. "Kalian akan senang sekali kawan-kawan, kalau aku pergi. Tidak ada yang bisa membujuk
aku supaya pergi. Aku akan terus duduk di sini dan minum, dengan maksud member kesan bahwa
buatku kalian sama sekali tidak berarti. Aku akan terus duduk dan minum di sini, karena rumah ini
adalah terbuka untuk umum dan aku telah membayar ongkos masukku. Aku akan duduk dan minum
di sini, karena dalam mataku kalian tidak lebih dari buah catur, buah catur yang tidak bernyawa. Aku
akan duduk dan minum di sini . . . dan akan bernyanyi, jika kuinginkan, ya, menyanyi, karena aku
berhak untuk . . . untuk menyanyi . . . Hm!"
Tapi aku tidak menyanyi. Aku Cuma berusaha supaya jangan sampai bertemu pandang dengan salah
seorang di antara mereka. Aku mengambil sikap yang paling tak perdulu dan menunggu dengan
tiada sabar supaya mereka bicara terlebih dulu. Tapi apa boleh buat, mereka tidak bicara padaku.
Oh, alangkah inginnya aku, alangkah inginnya aku untuk berdamai dengan mereka pada saat itu.
Jam berbunyi delapan kali, kemudian sembilan. Mereka pindah dari meja ke sofa. Zverkov
menelentang di atas sebuah kursi panjang dan meletakkan sebelah kakinya di atas sebuah meja
bundar. Anggur disajikan disana. Ia memang telah memesan tiga botol anggur atas ongkos sendiri.
Aku, tentu saja tidak diundang untuk menyertai mereka. Mereka duduk di atas sofa mengintari
Zverkov. Mereka menyimak dia, hampir-hampir dengan kesyahduan. Jelas sekali bahwa mereka
senang padanya. "Untuk apa" Untuk apa!" begitu aku bertanya dalam hati. Sekali-sekali mereka
terangsang kehangatan mabuk, lalu saling memberikan ciuman. Mereka bicara tentang orang
Kaukasus, tentang Fitri passi sejati, tentang kedudukan yang baik dalam jabatan, tentang
pendapatan seorang perwira Hussar bernama Podharzhevski, yang secara pribadi tidak mereka
kenal sama sekali, dan bergembira karena pendapatan itu besar, tentang kecantikan dan kejelitaan
Putri D yang luar biasa, yang belum mereka temui; sudah itu tentang keabdian Shakespeare.
Aku tersenyum mengejek dan berjalan pulang-balik di sisi ruangan, di seberang sofa, dari meja ke
tungku perdiangan, dan balik kembali. Aku berusaha sekuat mungkin untuk menunjukkan, bahwa
aku tidak memerlukan mereka sama sekali, tapi sungguhpun begitu aku membuat . . . dengan
sepatuku, sambil menghentak-hentakkan tumit sepatuku. Tapi semua itu sia-sia. Mereka tidak
perduli. Aku cukup sabar untuk berjalan pulang-balik depan mereka, mulai pukul delapan sampai
pukul sebelas, dari meja ke tungku perdiangan lalu balik lagi. "Aku berjalan pulang-balik untuk
menyenangkan hatiku dan siapa pun tidak bisa menghalangi aku. "Pelayan yang masuk ke kamar itu
sekali-sekali, berhenti lalu memperhatikan aku. Aku agak pening karena sering berputar; malahkan
kadang-kadang aku merasa kacau sama sekali. Dalam waktu tiga jam itu tiga kali aku mandi peluh
dan tiga kali pula jadi kering kembali. Kadang-kadang dengan tonjokan yang keras dan jelas hatiku
ditikam oleh dugaan, bahwa selama sepuluh tahun, dua puluh tahun, bahkan empat puluh tahun "
bahkan dalam masa empat puluh tahun aku akan ingat saat-saat yang paling busuk, tolol dan buruk
dalam hidupku dengan rasa muak dan getir. Tidak ada manusia yang bersedia berusaha begitu keras
untuk merendahkan dirinya sehingga jadi lebih memalukan. Aku sadar itu sepenuhnya, tapi
sungguhpun begitu, aku terus juga berjalan pulang balik dari meja ke tungku perdiangan. "Oh,
sekiranya kalian tahu fikiran-fikiran dan perasaan apa yang kumiliki, bagaimana tingginya rasa
kebudayaanku!" begitu kadang-kadang aku berfikir dan bicara dalam angan-angan kepada sofa
tempat musuh-musuhku lagi duduk. Tapi musuhku berbuat seolah-olah aku tidak ada dalam kamar
itu. Sekali " hanya sekali " mereka berpaling padaku, pada saat Zverkov bicara tentang Shakespeare,
lalu aku tiba-tiba memperdengarkan ketawa penuh ejekan. Aku ketawa dengan cara yang begitu
memuakkan dan kubuat-buat, hingga serta-merta mereka menghentikan pembicaraan, lalu
memperhatikan aku yang berjalan pulang-balik dengan sungguh-sungguh dan khusyuk selama dua
menit, pulang-balik dari meja ke tungku perdiangan, tanpa menghiraukan mereka. Tapi hasilnya
tidak ada: mereka tidakmengucapkan apa-apa, dan dua menit kemudian mereka kembali tidak
memperdulikan aku. Hari sudah pukul sebelas.
"Kawan-kawan," teriak Zverkov sambil berdiri dari sofa,"mari kita pergi!"
"Tentu, tentu," yang lain menyetujui. Aku berbalik dengan tajam menghadap Zverkov. Aku begitu
terganggu, begitu lelah, hingga aku bersedia menyembelih leherku untuk mengakhirinya. Badanku
panas; rambutku yang basah kena keringat melekat pada kening dan pelipisku.
"Zverkov, maaf," kataku tiba-tiba dengan tegas. "Ferfitchkin, kau juga, kalian semua, masing-masing
kalian: aku sudah menghina kalian semua!"
"Aha! Kau tidak pantas berduel, Bung," desis Ferfitchkin penuh bisa.
Ucapan itu memberikan pukulan keras pada hatiku.
"Bukan, bukan duel yang kutakuti, Ferfitchkin. Aku siap menghadapi kau besok setelah kita
berdamai. Aku minta dengan amat sangat, dan kau tidak boleh menolak. Aku akan memperlihatkan
padamu bahwa aku tidak takut berduel. Kau boleh menembak lebih dulu dan aku akan menembak
ke udara." "Ia menghibur dirinya sendiri," kata Simonov.
"Ia gila," kata Trudolyubov.
"Biarkan kami lewat. Kenapa kami kau halangi" Apa yang kauinginkan?" kata Zverkov dengan
menghina. Muka mereka merah semua; mata mereka cerah; mereka telah minum banyak.
"Aku meminta persahabatanmu, Zverkov; aku telah menghina kau tapi . . ."
"Menghina" Kau menghina aku" Baik kaufahami, tuan, bahwa kapan pun dalam, keadaan apa pun
juga kau tidak bisa menghina aku."
"Itu cukup untukmu. Minggir!" Trudolyubov mengakhiri.
"Olympia adalah milikku, kawan-kawan, itu sudah sama-sama kita setuju!" teriak Zverkov.
"Kami tidak akan membantah hakmu, kami tidak akan membantah hakmu," jawab yang lain sambil
ketawa. Aku berdiri seolah-olah habis diludahi. Kelompok itu keluar dengan suara ramai. Trudolyubov mulai
menyanyikan lagu konyol. Simonov masih tinggal sebentar untuk memberikan persenan pada para
pelayan. Aku tiba-tiba mendatangi dia.
"Simonov! Beri aku enam rubel!" kataku dengan nekat.
Ia memperhatikan aku penuh keheranan, dengan mata yang kosong. Dia juga sudah mabuk.
"Apa kau tidak mau ikut bersama kami?"
"Tidak." "Aku tidak punya uang," katanya singkat dan sambil ketawa mengejek ia keluar.
Mantelnya kusambar. Kejadian itu betul-betul suatu mimpi buruk.
"Simonov, aku melihat kau punya uang. Kenapa kau tak memberikannya padaku" Apa aku bajingan"
Jangan tolak aku; sekiranya kau tahu, kenapa kuminta! Seluruh masa depanku, seluruh rencanaku
tergantung dari padanya! Simonov mengeluarkan uang dan hampir-hampir mencampakkannya padaku.
"Ambillah, kalau kau tidak punya rasa malu!" katanya tanpa rasa belas lalu berlari mengejar kawankawannya.
Sesaat aku tinggal sendiri. Kacau balau, sisa-siasa makanan, sebuah gelas anggur yang pecah di
lantai, anggur yang tertumpah, punting rokok, uap dan igauan minuman di otakku, rasa sakit yang
tiada tertahankan dalam hati, dan akhirnya pelayan yang telah mendengar dan melihat semuanya
dan kini memandang mukaku dengan penuh pertanyaan.
"Aku akan ke sana!" teriakku. "Salah satu di antaranya: mereka berlutut memohon rasa
persahabatanku, atau muka Zverkov kutampar!"
"JADI begini rupanya, akhirnya terjadi juga " hubungan dengan hidup sebenarnya," kataku
bersungut-sungut sambil berlari turun tangga. "Ini beda dari Paus yang meninggalkan Roma dan
pergi ke Brasilia, beda dari pesta dansa di pantai Danau Komo!"
"Kau bajingan," demikian sebuah pikiran terkilas di otakku, "kalau ini kau anggap sepele."
"Biarlah!" aku berteriak, menjawab diriku sendiri. "Semuanya telah hilang!"
Jejak mereka tidak kelihatan sama sekali, tapi itu tidak jadi soal " aku tahu ke mana mereka.
Di tangga berdiri seorang kusir slede malam, seorang diri pakai mantel petani yang kasar, putih
seluruh tubuhnya karena salju yang masih turun, salju basah dan kelihatan seolah-olah panas. Hari
panas dan pengap. Kudanya yang kecil, gundul dan kusut juga diselimuti salju dan kini batuk-batuk.
Aku sadar sekali. Aku berlari ke slede yang kasar buatannya itu; tapi begitu aku mengangkat kaki
hendak naik, ingatan akan Simonov yang baru saja memberiku uang enam rubel seolah-olah
membuat aku beku, hingga aku terjungkir ke dalam slede itu bagai sebuah karung.
"Banyak yang harus kulakukan untuk mengimbangi itu, kataku. " Tapi aku akan mengimbanginya,
biar bagaimanapun. Aku bersedia mati mala mini juga di situ. Jalan!"
Kami berangkat. Fikiranku kacau sama sekali.
"Mereka tidak akan berlutut untuk memohonkan persahabatanku. Itu hanya angan-angan, anganangan picisan, memuakkan, romantic dan tak masuk akal " itu adalah pesta dansa lain di Danau
Komo. Jadi aku terpaksa menampar muka Zverkov. Aku berkewajiban. Jadi jelas sudah; aku terbang
untuk menampar mukanya. Cepat!"
Sais menyentakkan kendalinya.
"Begitu aku masuk aku akan menampar dia. Apa perlu aku mengucapkan beberapa patah kata
sebagai semacam kata pengantar sebelum menampar dia" Tidak perlu. Cukup kalau dia kutampar
begitu aku masuk. Mereka tentu duduk di ruang tamu sedangkan dia duduk bersama Olympia di
atas sofa. Olympia terkutuk! Pernah dia mentertawakan rupaku dan menolak aku. Aku akan
menjambak rambut Olympia dan menjewer telinga Zverkov! Satu telinga saja, lalu dia kuseret
keliling kamar. Bagarangali mereka segera memukuli aku dan menendang aku keluar. Mungkin
sekali. Tapi tidak apa. Pokoknya, dia akan kutampar lebih dulu; yang jadi pemula adalah aku; dan
menurut hukum kehormatan itu sudah cukup: ia akan beroleh cap di keningnya dan tidak bisa
menghapus tamparan itu dengan pukulan bagaimanapun jua, kecuali dengan berduel. Ia terpaksa
berkelahi. Mereka boleh saja memukuli aku kini. Biar saja mereka lakukan, bajingan-bajingan tak
kenal terimakasih itu! Trudolyubov akan memukul aku paling keras, karena ia kuat sekali; Ferfitchkin
pasti mencoba memegang aku dan menjambak rambutku. Tapi tidak apa, tidak apa. Untuk itu aku
ke sana. Orang-orang dungu itu akhirnya akan mengerti seluruh tragedy pada mereka bahwa
sebenarnya mereka tidak berharga sama sekali biarpun dibandingkan dengan jari kelingkingku.
Jalan, sais, jalan!" aku berteriak pada sais. Ia melecutkan cambuknya. Aku berteriak begitu buas.
"Kami akan berkelahi di waktu fajar, itu sudah jelas. Aku selesai sudah dengan kantorku. Ferfitchkin
baru saja membuatnya jadi buah olok-oloj. Tapi di mana aku bisa memperoleh pistol" Ada-ada saja.
Aku minta persekot gajiku lalu membeli pistol. Dan mensiu dan peluru" Itu soal kedua. Bagaimana
semua itu bisa diselesaikan sebelum hari siang" Dan dari mana pula harus kuambil saksi" Aku tidak
punya kawan. Omong kosong!" begitu aku berteriak, sambil menghasut diriku lebih keras. "Itu tidak
penting! Siapa saja yang kutemui di jalan harus jadi saksiku, seperti dia harus menarik
seseorangyang sedang tenggelam. Hal yang paling gila mungkin saja terjadi. Bahkan tuan direktur
sendiri akan kuminta untuk jadi saksiku, ia pasti menyetujui, jika bukan karena keperwiraan, setidaktidaknya supaya kejadian ini tetap dirahasiakan! Anton Antonic . . ."
Padahal, pada saat itu kegilaan rencanaku yang memuakkan dan segi lain dari persoalan ini makin
jelas dan nyata dalam fikiran, lebih baik untuk siapa pun jua di bumi ini. Tapi . . ."
"Jalan, sais, jalan, bajingan, jalan!"
"Ya, tuan!" kata anak pekerja itu.
Tiba-tiba badanku merinding. Apa tidak lebih baik . . . kalau aku pulang saja" Ya, Tuhan, ya Tuhan.
Kenapa diriku kuundang ke pesta makan ini kemarin" Tapi tidak, tidak mungkin. Dan aku berjalan
pulang-balik selama tiga jam dari meja ke tungku perdiangan! Tidak, mereka, tidak ada orang lain,
mereka yang harus membayar jalanku pulang-balik itu. Mereka harus menghapus hinaan itu! Jalan.
Bagaimana kalau aku mereka suruh tahan" Mereka tidak akan berani. Mereka akan takut bila
kegemparan akan terjadi. Bagaimana kalau Zverkov begitu hina hingga ia tidak bersedia berduel"
Mungkin sekali; tapi kalau begitu aku akan perlihatkan pada mereka . . . aku akan datang ke stasiun
kereta besok, pada saat ia mau berangkat, kakinya akan kupegang, mantelnya akan kurenggutkan
sampai tanggal, kala ia mau naik kereta. Aku akan membenamkan gigiku, ke tangannya, ia akan
kugigit. "Lihatlah apa yang tidak bisa dilakukan oleh seseorang yang terpojok!" ia boleh saja
memukul kepalaku dan menghantam aku dari belakang. Aku akan berteriak pada orang banyak
yang ada di sana: "Lihat anak anjing muda ini.ia pergi untuk merayu gadis-gadis Kaukasia setelah ia
membiarkan dirinya kuludahi!"
Tentu saja, sesudah itu semuanya habis sudah. Kantor akan lenyap dari permukaan bumi. Aku akan
ditangkap, aku akan diadili, aku akan dipecat dari jabatanku, dimasukkan ke dalam penjara, dibuang
ke Siberia. Tidak apa! Sehabis lima belas tahun, setelah aku dikeluarkan dari penjara aku akan pergi
dengan susah-payah menemui dia, sebagai seorang pengemis berpakaian compang-camping. Aku
akan menemui di salah satu kota propinsi. Ia sudah kawin dan berbahagia. Ia punya seorang anak
gadis yang sudah dewasa . . . Aku akan berkata padanya: "Lihatlah, biadab, lihat pipiku yang cekung
dan bajuku yang compang-camping! Aku sudah kehilangan segala-galanya " karierku,
kebahagiaanku, seni, ilmu, perempuan yang kucintai, semua ini karena perbuatanmu. Ini pistol. Aku
datang untuk menembakkan pistolku dan . . . dan aku . . . memaafkan kau. Lalu pistol itu
kutembakkan ke udara dan sesudah itu ia tidak pernah mendengar kabar berita lagi tentang aku . . .
Aku betul-betul sudah mau menangis, biarpun aku tahu betul pada saat itu bahwa semua ini kupetik
dari kitab Silvio karangan Pusykin dan kitab Masquerade karangan Lermontov. Lalu tiba-tiba merasa
malu tak alang-kepalang, begitu malu, hingga kuda kusuruh berhenti, aku turun dari kereta es lalu
berdiri di dalam salju di tengah jalan. Sais itu memandang padaku, penuh keheranan sambil menarik
nafas panjang. Apa yang harus kulakukan" Aku tidak bisa ke sana " jelas perbuatan itu dungu sekali, sebaliknya aku
tidak bisa membiarkannya begitu saja, orang akan mengira . . . Ya Tuhan, bagaimana aku bisa
membiarkan! Setelah dihina begitu rupa! "Tidak!" teriakku, sambil menghempaskan diri kembali ke
dalam kereta es. "Ini sudah ketentuan! Ini sudah nasib! Jalan, jalan!"
Karena tidak sabar maka kuduk sais itu kutinju.
"Tuan mau apa" Kenapa aku tuan pukul?" sais itu berteriak, tapi ia mendera kudanya begitu rupa
hingga kuda itu mulai menendang-nendang.
Salju basah jatuh berbungkah-bungkah; sungguhpun begitu aku membuka kancing mantelku. Aku
sudah lupa segala-galanya, karena akhirnya aku memutuskan untuk member tamparan, dan
merasakan dengan penuh kengerian bahwa hal itu harus terjadi sekarang, dengan segera dan
bahwa tidak ada kekuatan yang bisa menghalanginya. Lampu jalan yang sunyi menyela segan-segan
dalam kegelapan penuh salju seperti pada sebuah penguburan. Salju meleleh ke bawah mantelku,
ke bawah jasku, ke bawah dasiku, lalu lumer di sana. Aku tidak membungkus diriku " buat apa,
semua toh, sudah selesai.
Akhirnya kami sampai. Hampir-hampir tak sadar, aku melompat ke luar lalu berlari naik tangga dan
mulai mengetuk dan menendangi pintu. Aku merasa diriku lemah sekali, terlebih-lebih kakiku dan
lututku. Pintu dibuka dengan cepat, seolah-olah mereka tahu aku akan datang. Memang Simonov
telah member tahu mereka bahwa mungkin ada tuan lain yang akan datang, dan di tempat ini orang
harus member tahu lebih dulu dan menjalankan kewaspadaan. Tempat ini suatu "perusahaan jahit"
yang sudah lama ditutup oleh polisi. Di kala siang ia merupakan toko; tapi di waktu malam, jika kita
sudah diperkenalkan, kita boleh datang ke mari untuk kepentingan lain.
Aku berjalan dengan cepat menyusuri toko yang gelap, masuk ke ruang tamu yang sudah kukenal.
Hanya sebatang lilin yang menyala. Aku berhenti kebingunan: tidak ada orang. "Di mana mereka?"
tanyaku pada seseorang. Tentu saja kini mereka sudah berpisah. Di depanku berdiri seorang
perempuan dengan senyuman dungu, "induk ayam" itu sendiri, yang pernah ketemu aku. Semenit
kemudian pintu lain dibuka, lalu masuk orang lain.
Tanpa memperdulikan apa pun jua, aku melangkah ke seluruh kamar itu, sambil menceracau
seorang diri " begitu rasanya. Aku merasa seolah-olah diselamatkan dari bahaya maut dan aku
menyadarinya dengan perasaan penuh gembira: mestinya Zverkov sudah kutampar, mestinya
tamparan itu sudah kuberikan. Tapi mereka tidak ada di sini dan semuanya sudah lenyap dan
berobah! Aku melihat sekelilingku. Aku belum bisa menyadari keadaanku yang sebenarnya. Dengan
sendirinya aku memandang pada gadis yang masuk itu: lalu melihat sekilas sebuah wajah yang
segar, muda agak pucat, dengan alis mata hitam lurus, dan mata yang berat dan seakan-akan
bertanya-tanya, wajah itu segera menarik perhatianku; sekiranya ia tersenyum pasti aku sudah
benci padanya. Aku mulai memperhatikan dia dengan lebih tajam, seolah-olah dengan susah payah.
Aku belum lagi berhasil menyusun fikiranku. Di wajahnya ada sesuatu sifat yang baik dan bersahaja,
tapi murung. Aku yakin sifat ini baginya merupakan halangan di tempat ini hingga diantara orangorang bebal itu tidak ada yang memperdulikannya. Dia tidak dapat dikatakan seorang wanita cantik,
biarpun badannya tinggi, kuat dan bagus. Pakaiannya bersahaja sekali. Sesuatu yang busuk
menggeletak dalam diriku. Aku langsung mendekati dia. Aku berkesempatan untuk melihat ke dalam
kaca. "Wajahku yang kusut kelihatan memuakkan sekali, pucat, geram, dena, dengan rambut kusut masai.
"Tidak apa, aku senang," kataku dalam hati, "aku senang kalau aku kelihatan memuakkan baginya;
aku suka itu." ENTAH di mana, di balik sebuah tirai sebuah jam mulai terengah-engah seolah-olah ditindih oleh
sesuatu, solah-olah ada seseorang lagi mencekiknya. Setelah tersengal-sengal cukup lama maka
kedengarannya bunyi lonceng yang melengking, menjengkelkan, cepat tak disangka-sangka "
seolah-olah laik seorang yang tiba-tiba melompat ke depan, jam memukul dua kali. Aku kagum,
biarpun sebetulnya aku tidak tertidur tapi hanya berbaring separuh sadar.
Dalam kamar berloteng rendah, sempit, sesak, penuh oleh sebuah lemari pakaian yang besar sekali,
tumpukan kotak-kotak karton dan segala tetek-bengek dan kertas-kertas bekas, boleh dikatakan
Catatan Dari Bawah Tanah Karya Fyodor Dostoy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gelap sama sekali. Sisa lilin yang menyala di atas meja sudah mau padam dan sekali-lali berkelapkelip. Sebentar lagi seluruhnya akan gelap sama sekali.
Aku tidak memerlukan waktu lama untuk sadar kembali; semuanya secara tiba-tiba muncul kembali
dalam otakku, dengan mudah, seolah-olah ia selama ini menghadang agar dapat menerjang aku
kembali. Memang, di waktu aku masih belum sadar rupanya ada satu hal yang tetap tinggal tak
terlupakan dalam ingatanku, dan mimpi bergerak di sekitarnya dengan susah payah. Tapi anehnya,
semua yang terjadi atas diriku hari itu, setelah aku bangun, terasa sebagai sesuatu yang jauh, jauh di
masa lampau, seolah-olah semuanya itu sudah lama sekali kualami.
Otakku penuh uap rasanya seakan-akan ada sesuatu yang mengambang di atas yang merangsang
aku, menggairahkan aku dan membuat gelisah. Penderitaan dan kebencian kembali naik dalam
diriku mencari jalan ke luar. Tiba-tiba aku melihat di sampingku dua mata terbuka lebar
memperhatikan aku dengan rasa ingin tahu terus menerus. Tatapan mata itu dingin menjauh,
murung, seolah-olah di kejauhan ia menekan aku.
Sebuah pikiran yang menakutkan singgah pada otakku dan berjalan ke seluruh tubuhku, sebagai
suatu rasa yang kita rasakan kalau memasuki sebuah ruangbawah tanah yang lembab dan berlumut.
Ada sesuatu yang tak wajar dalam kedua mata itu, yang mulai menatap aku justru kini. Aku juga
ingat, bahwa selama dua jam aku tidak mengucapkan sepatah kata pun jua pada makhluk ini, bahwa
menganggapnya sama sekali tidak perlu; sebenarnya keheningan ini sangat sekali memuaskan aku.
Kini, tiba-tiba aku sadar dengan jelas akan fikiran seram " memuakkan sebagai lawah-lawah "
tentang kejahatan, yang tanpa cinta, dengan kasar dan tak kenal malu, mulai dengan sesuatu yang
memberikan kepuasan kepada cinta sejati. Selama beberapa saat yang lama kami berpandangan
seperti itu, tapi ia tidak merundukkan mata sebelum aku merundukkan mataku, dan air mukanya tak
berobah, hingga akhirnya aku merasa tidak enak.
"Siapa namamu?" tanyaku tiba-tiba untuk mengakhirinya.
"Liza," jawabnya hampir-hampir berbisik, jauh dari menarik, sambil memalingkan matanya.
Aku diam. "Luar biasa hari ini! Salju . . . mengesalkan sekali!" kataku, hampir-hampir pada diriku sendiri, sambil
meletakkan tangan di bawah kepala dengan tak peduli dan memandang nanap ke loteng.
Dia tak menjawab. Ini betul-betul tidak menyenangkan.
"Apa kau dari dulu tinggal di Petersburg?" tanyaku sesaat kemudian, hampir-hampir marah, sambil
membalikkan kepalaku ke arahnya.
"Tidak." "Kau datang dari mana?"
"Dari Riga," jawabnya segan-segan.
"Apa kau orang Jerman?"
"Bukan, orang Rusia."
"Apa sudah lama kau di sini?"
"Di mana?" "Di rumah ini?"
"Sudah empat belas hari."
Bicaranya makin tersandung-sandung. Lilin itu padam; aku tidak bisa lagi melihat mukanya.
"Apa kau masih punya ibu-bapa?"
"Ya . . . tidak . . . masih punya."
"Di mana mereka?"
"Di sana . . . di Riga."
"Apa pekerjaannya?"
"Tidak apa-apa."
"Tidak apa-apa" Dari golongan mana?"
"Pedagang." "Kau selalu tinggal bersamanya?"
"Ya." "Berapa umurmu?"
"Dua puluh." "Kenapa kau pergi darinya?"
"Tidak apa-apa."
Jawab itu maksudnya: "Jangan ganggu lai; aku getir dan sedih."
Pena Wasiat 19 Ksatria Puteri Dan Bintang Jatuh Karya Dewi Lestari Banjir Darah Di Bukit Siluman 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama