Ceritasilat Novel Online

Dari Mulut Macan 3

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp Bagian 3


kepada Ibu. Memangnya Ibu suka menggigit
teman-temanmu?" "Mungkin karena A-hwe teman baru, belum
kenal Ibu." "Sekarang mandilah. Bibi Tiam-ma sudah
menyediakan air hangatnya. Lalu kita ke pasar."
"Di luar kok ramai sekali, Bu, ada suara petasan
segala. Memangnya sekarang ini tahun baru?".
"Seluruh kota sedang bersukacita karena
enyahnya gerombolan jahat yang sekian lama
bertindak sewenang-wenang terhadap kita. Suasana sukacita ini sudah berlangsung semalam."
"Tidak tidur?" 158 "Orang yang sedang bergembira lupa tidur."
"Ayah mana?" "Semalam Ayah dan Pamanmu ikut berjuang
membebaskan kota ini, sampai pagi ini belum
pulang. Itulah sebabnya kita akan mencarinya.
Mudah-mudahan selamat."
"Aku yakin Ayah dan Paman selamat."
"Itu harapan kita, A-kun."
"Pasti. Dalam mimpi sudah ada yang memberitahu aku bahwa Ayah dan Paman dan
semua yang berjuang di pihak dewa-dewi pasti
selamat." Kata-kata puterinya ini menyadarkan Nyonya
Pang bahwa sekarang A-kun sudah "lain dari
kemarin". Bukankah semalam Wong Lu-siok sudah
memberi tahu bahwa A-kun sudah "terpilih oleh
para dewa" untuk memberi petunjuk-petunjuk di
bumi" "Mimpi apa lagi kau semalam?"
"Aku melihat siluman-siluman lari terbirit-birit
meninggalkan kota ini. Mahluk-mahluk suci turun
dari langit dan memenuhi kota ini, tinggal di kota
ini untuk melindungi dan menolongi kita."
"Mandilah, supaya kita dapat segera mencari
Ayahmu." A-kun mandi dan tidak lama kemudian ia sudah
digandeng tangan ibunya, berada di jalanan.
Ternyata suasana kota Seng-tin memang luar
biasa meriahnya. Bahkan tahun baru atau hari159
hari raya tradisional pun kalah meriah. Orangorang yang bertemu di jalan saling mengucapkan
selamat, ada yang memasang meja sembahyang
sehingga seluruh lorong-lorong dipenuhi bau dupa
yang wangi. Ada yang menari-nari di jalanan, ada
yang membawa alat musik ke jalanan dan
membunyikannya sesuai luapan hatinya, sehingga
suasana benar-benar meriah.
Mau tak mau Nyonya Pang dan A-kun
terpengaruh juga, biarpun Nyonya Pang masih
memikirkan nasib suaminya dan adik iparnya.
Tetapi kelegaannya bertambah, ketika ia bertemu
seorang warga kota yang memberinya kabar
biarpun kabur. "Suami Nyonya kabarnya baik-baik
saja. Dalam perjuangan mengusir gerombolan
bandit semalam, kabarnya tidak ada warga kota
seorang pun yang mati atau terluka. Secara ajaib,
semua warga kota jadi kebal semua! Tentu suami
Nyonya juga." "Tetapi di mana suamiku sekarang?"
"Mungkin masih bersama Yang Mulia Wong Lusiok, utusan dewa yang saktinya bukan alangkepalang itu. Kudengar-dengar pula, suami Nyonya
akan menjadi salah seorang dari lima orang
pembantu Yang Mulia Wong untuk menegakkan
ajaran suci di kota ini. Kuucapkan selamat,
Nyonya. Keluargamu akan menjadi salah satu dari
lima keluarga pilihan para dewa di kota ini."
"Siapa lima orang yang hendak dipilih itu" Apa
alasan pemilihan itu?" tanya Nyonya Pang.
160 Mereka mengobrol sambil berdiri di pinggir
jalan, sambil sekali-sekali bertukar salam dengan
orang-orang yang lewat. Orang yang diajak ngobrol Nyonya Pang itu
adalah seorang perempuan setengah baya bertubuh gemuk, terkenal sebagai tukang jahit
ulung di Seng-tin. Dasarnya ia memang orang yang
doyan ngomong, maka biarpun di pinggir jalan ya
diladeni. Tuturnya dengan bersemangat, "Semalam
terjadi perang ilmu gaib antara Yang Mulia Wong
dengan Si Kepala Bandit Beng Hek-hou. Orangorang Seng-tin yang mengikuti Yang Mulia ternyata
tidak semuanya pemberani. Hanya ada lima orang
yang tetap teguh bersama-sama Yang Mulia, yaitu
Ek Yam-lam, Yao Kang-beng, Giam Lok, Pang Sebun suamimu dan Pang Se-hiong adik iparmu.
Merekalah yang benar-benar mempertaruhkan
nyawa bagi kebebasan kota kita, di samping Yang
Mulia Wong sendiri!"
Tiba-tiba seseorang yang lewat di jalan itu
menyeletuk. "Sungguh tidak adil!"
Ketika Nyonya Pang dan lawan bicaranya
menoleh, mereka melihat Lui Kong-sim. Berbeda
dengan orang-orang kota yang umumnya berwajah
cerah gembira, pagi itu Lui Kong-sim justru
nampak kusut pakaiannya, murung wajahnya, dan
mulutnya berbau arak ketika berkata-kata, bahkan
di tangannya masih ada buli-buli arak.
Dengan lidah kaku karena arak sambil
menuding-nudingkan telunjuk, Lui Kong-sim
mengoceh. "Aku adalah orang yang paling banyak
161 berkorban, paling mempertaruhkan nyawa sehingga Seng-tin bebas, tetapi aku malah
dilupakan. Aku berkorban banyak. Calon isteriku,
A-kiam, diperkosa gerombolan, aku juga pernah
membunuh anggota gerombolan dengan pertaruhan nyawa. Tapi heran, sekarang yang
diangkat-angkat malahan orang lain yang perjuangan dan pengorbanannya tak sebesar aku.
Coba pikir, Giam Lok itu bisa apa" Setiap kali
diajak bertindak, dia selalu ragu, alasannya harus
mempertimbangkan pembalasan gerombolan terhadap warga kota yang tak bersalah. Pejuang
macam apa itu" Tidak tahu bahwa setiap
perjuangan selalu butuh pengorbanan! Dan apa
yang diperbuat Pang Se-bun selama ini" Hidup
tenang demi diri sendiri, bahkan berkompromi
dengan gerombolan, tetapi sekarang dia menjadi
salah seorang dari lima orang yang akan
menegakkan ajaran suci! Cuh! Benar-benar tidak
adil! Benar benar aku penasaran!"
Lalu Lui Kong-sim pun melangkah sempoyongan
meninggalkan mereka sambil menenggak arak dari
buli-bulinya. Si Nyonya Tukang Jahit menghibur Nyonya
Pang, "Tidak usah dihiraukan omongan Si
Pemabuk itu. Bagaimanapun warga kota tetap
mengakui jasa suamimu, Nyonya Pang. Warga kota
tahu, bahwa suamimu sering berunding dengan
Beng Hek-hou bukan untuk kepentingan-nya
sendiri, tetapi demi keselamatan warga. Semua
tahu itu. Justru Si Lui Kong-sim itulah yang bikin
susah warga kota dengan pembunuhpembunuhnya terhadap anggota gerombolan."
162 "Terima kasih, Nyonya Ai."
"Sudah, ya" Aku mau berbelanja dulu. Eh, nanti
sore mau ikut tidak?"
"Ikut apa?" Nyonya Pang balik bertanya dengan
rasa ingin tahu. "Nanti sore seluruh warga kota akan mendengarkan ajaran suci Yang Mulia Wong.
Semua boleh datang, asal memakai baju putih.
Aku mau datang, kok. Katanya ajaran itu
membawa keberuntungan dan keselamatan, buktinya kota kita dibebaskan."
Nyonya Pang masih ragu-ragu, tetapi Nyonya Ai
terus mendesak, "Ingat, suamimu adalah salah
satu dari lima orang kepercayaan Yang Mulia
Wong. Tidak pantas kalau kau sebagai isterinya
malah tidak kelihatan batang hidungnya. Nyonya
harus datang, bahkan harus duduk di tempat yang
mudah kelihatan oleh semua orang."
Agaknya Nyonya Pang sudah disudutkan oleh
sesuatu keharusan maka meski dengan rasa
enggan, dia mengangguk juga.
Setelah berpisah dengan Nyonya Ai, Nyonya
Pang meneruskan langkahnya menuju pasar.
Ketika mereka lewat di sebuah warung barangbarang porselin, tiba-tiba A-kun yang digandeng
ibunya itu berhenti melangkah dan menunjuk ke
dalam warung sambil berkata. "Lho, itu A-hwe!"
Nyonya Pang ikut berhenti melangkah dan ikut
memandang ke arah yang ditunjuk puterinya. Pagi
tadi, ketika puterinya bangun tidur dan menyebutnyebut A-hwe, Nyonya Pang sudah heran karena
163 tidak melihat siapa-siapa. Kini ia mengikuti arah
pandangan puterinya dan berharap melihat seperti
apa "teman baru" puterinya yang bernama A-hwe
itu. Tak terduga yang dilihatnya hanyalah sebuah
boneka porselin setinggi sejengkal, berwujud
seorang anak perempuan kecil berwajah manis,
berkuncir dua, berbaju merah dan bercelana
merah dan sepatunya juga merah. Pipinya yang
putih montok sengaja diberi warna kemerahmerahan yang tipis, membuat tambah eloknya
boneka porselin itu. Matanya sengaja dibuat dari
batu akik. yang hitam mengkilap sehingga seolaholah hidup. Ketika Nyonya Pang menatap patung
kecil yang ditaruh di rak itu, patung itu serasa
hidup dan balas menatapnya, sampai jantung
Nyonya Pang berdebar. Warung itu memang kepunyaan Ban Ke-liong,
seorang pengrajin sekaligus penjual barang-barang
keramik. Barang-barang bikinannya memang
berkualitas unggul. Ada pot bunga, jambangan,
mangkuk, bahkan patung-patung dewa-dewi yang
biasa dipuja dalam keluarga-keluarga. Tetapi
patung "A-hwe" itu agaknya dibuat demikian
istimewa. Ban Ke-liong baru saja membuka warungnya,
ketika melihat Nyonya Pang dan anaknya di depan
warung sambil menatap terpesona ke patung "Ahwe" ini, Ban Ke-liong tercengang heran sambil
bergumam. "Ini sungguh ajaib!"
Nyonya Pang menoleh dan bertanya. "Tuan Ban,
apa yang ajaib?" 164 Dengan mimik muka yang bersungguhsungguh, Ban Ke-liong bercerita. "Beberapa hari
yang lalu, aku bermimpi ketemu seorang anak
perempuan berbaju merah. Kutanya rumahnya,
katanya rumahnya jauh sekali, tetapi ia akan
tinggal di Seng-tin di rumah keluarga Pang. Aku
belum bercerita siapa-siapa saat itu, sebab
kuanggap hanya mknpi. Tetapi mimpi itu berulang
dua kali di malam-malam berikutnya, dan ketika
kukerjakan keramik, terdorong hatiku untuk
mewujudkan anak dalam mimpi itu menjadi
boneka porselin ini. Kubuat dengan sepenuh
perasaanku, dan aku bertekad hanya untuk
keluarga Pang, sesuai pesan anak itu. Cucu
perempuan juragan Hoan juga mengingininya,
tetapi tidak kuberikan, meskipun kakeknya yang
amat menyayangi cucunya itu menawariku tiga
potong perak." Ban Ke-liong bicara sampai di situ, Nyonya Pang
tetap bersikap biasa-biasa saja. Ia anggap semua


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

omongan Ban Ke-liong hanyalah alasan untuk
memasang harga yang tinggi bagi boneka porselin
yang memang amat indah itu.
Prasangka Nyonya Pang sirna ketika Ban Keliong dengan penuh sukacita mengambil boneka
"A-hwe" itu dari rak dan ditaruhnya ke pelukan Akun yang tentu saja menyambutnya dengan
gembira. Kata Ban Ke-liong, "Anak manis, Si Baju
Merah ini dalam mimpi mengaku sebagai temanmu
dan hendak tinggal di rumahmu, maka biarlah dia
bersamamu." 165 "Berapa harganya, Tuan Ban?" tanya Nyonya
Pang sambil mengeluarkan kantong uangnya.
"Tetapi jangan mahal-mahal lho. Keluarga kami
tidak sekaya Juragan Hoan."
Ban Ke-liong menjawab di luar dugaan. "Tidak
sesen pun Nyonya harus membayar. Ini gratis.
Benar-benar gratis, supaya hatiku tenang... aku
yakin dengan berbuat ini kudapat berkah."
Yang paling girang adalah si cilik A-kun, boneka
porselin itu dipeluknya erat-erat seakan hendak
disatukan dengan dirinya sendiri. Dia pun
mengucap terima kasih kepada Ban Ke-liong.
Sudah diberi gratis, Nyonya Pang sungkan kalau
harus pergi begitu saja, maka beberapa saat dia
menemani ngobrol Ban Ke-liong di depan warung
barang-barang porselinnya. Yang dibicarakan
adalah peristiwa semalam, peristiwa "dewa-dewa
turun dari langit untuk menolong penduduk Sengtin."
Sementara ibunya ngobrol dengan Ban Ke-liong,
A-kun pun ngobrol dengan ... boneka porselinnya
yang benar-benar ia namai A-hwe, seperti nama
anak perempuan yang dilihatnya di pinggir
ranjangnya pagi tadi. Kadang-kadang A-kun
menempelkan mulut boneka porselin itu ke
kupingnya, seolah-olah boneka itu bisa bicara dan
ia dapat mendengarkannya. Ulah A-kun berbicara
dengan boneka tentu saja terlihat wajar karena
dilakukan oleh kanak-kanak. Kanak-kanak asyik
bermain sambil bicara sendiri adalah tidak aneh.
Ketika itulah Giam Lok tiba-tiba datang
membawa sepikul tanah liat. Sebelum datang,
166 ketika Seng-tin masih normal dulu, Giam Lok
memang pekerja serabutan untuk mencari
penghasilan. Antara lain memasok tanah liat untuk
bahan porselin buatan Ban Ke-liong. Ban Ke-liong
sendiri sudah terlalu tua untuk pergi-pulang
dengan pikulan ke penggalian tanah liat yang agak
jauh di luar kota. Kini setelah Seng-tin ditinggalkan
gerombolan, Giam Lok agaknya melakukan lagi apa
yang pernah dikerjakannya, salah satunya adalah
memasok tanah-liat mutu terbaik untuk Ban Keliong.
Munculnya. Giam Lok mengherankan Ban Keliong. "Lho, A-lok, kenapa kau kemari?"
Giam Lok pun heran ditanya begitu.
"Lho, Paman Ban ini bagaimana" Bukankah
sudah bertahun-tahun kulakukan ini untuk
Paman, kecuali ketika aku harus sembunyi ke luar
kota karena jadi buronan gerombolan. Sekarang
kuantar lagi, kenapa Paman Ban heran" Atau
Paman sudah punya pemasok tanah liat lain?"
"Bukan begitu maksudku. Tak ada tanah liat
sebaik yang kau kirim selama ini." sahut Ban Keliong. "Tetapi maksudku, kenapa kau malah cari
tanah liat dan dibawa kemari?"
"Harusnya ya bersama-sama Tuan Wong untuk
mempersiapkan dirimu menjadi salah seorang
pembantu utama Tuan Wong, dan itu kedudukan
yang sangat istimewa! Bayangkan, sekian puluh
ribu penduduk Seng-tin, hanya lima orang yang
terpilih, dan namamu disebut-sebut!"
167 Tetapi Giam Lok menjawab seenaknya. "Aku
ikut membebaskan Seng-tin bukan karena ingin
menonjol. Aku cuma ingin warga kota bebas dari
ketakutan dan bisa bekerja seperti biasa. Kakek Un
berjualan bakpao lagi, Bibi Joan jualan kue-kue
lagi, Paman Ban membuat jambangan-jambangan
indah lagi...." Meski Giam Lok tidak menyinggung suaminya
sedikit pun, namun Nyonya Pang merasa perlu
menjelaskan. "Suamiku juga tidak ingin menonjolkan diri. Meski ia sering bertemu dan
berbicara dengan Beng Hek-hou, itu semata-mata
demi menghindarkan warga kota yang tidak
bersalah dari kematian."
Buru-buru Giam Lok membungkuk hormat
kepada Nyonya Pang dan berkata, "Harap Nyonya
tidak salah paham terhadap kata-kataku tadi. Aku
pun tidak mengecam orang-orang yang dipilih
Tuan Wong untuk membantunya memimpin warga
kota ini ke jalan suci. Aku tahu mereka semua
melakukan ini demi warga kota, bukan demi
sendiri. Aku juga tahu niat baik Kakak Pang Sebun, bahkan ketika Kakak Pang hendak
menangkap kami berempat dulu."
"Aku mewakili suamiku memohon maaf kepada
Saudara Giam." "Nyonya jangan minta maaf, sebab Kakak Pang
tidak bersalah. Dalam pertemuan di rumah Kakak
Pang kemarin malam, aku dan Kakak Pang sudah
bicara, sudah saling memahami keadaan masingmasing yang sulit waktu itu dan sekarang tidak
ada ganjalan apa-apa lagi antara kami berdua."
168 Tiba-tiba si kecil A-kun nyeletuk bicara, "Paman
Lok, kata A-hwe temanku, Paman harus bersedia
membantu Tuan Wong menegakkan jalan suci di
kota ini." Giam Lok tertawa sambil mengusap kepala Akun, katanya, "Tentu saja, anak manis, setiap
warga kota ini harus bahu-membahu menegakkan
kebaikan di tempat tinggal ini. Ada Tuan Wong
atau tidak ada Tuan Wong, kita akan membuat
kota ini makin nyaman dan aman ditinggali, benar
tidak?" "Tidak!" adalah di luar dugaan siapa pun,
termasuk Nyonya Pang sebagai ibu A-kun, bahwa
Si Kecil manis ini tiba-tiba menjawab begitu galak
sambil melangkah mundur dan menepis lengan
Giam Lok yang memegangi kepalanya. "Sekarang
ini di Seng-tin hanya Tuan Wong seorang yang
berhak mengajarkan jalan suci! Kalau tidak ada
Tuan Wong, mana bisa seluruh kita bebas"
Seluruh Seng-tin harus mengikuti ajaran yang
dibawanya, atau kena kutuk para dewa!"
Giam Lok tercengang, kemarin malam ia
memang hadir di rumah Pang Se-bun dan melihat
sendiri ketika Si Kecil ini ikut bersemedhi dengan
khusyuk, lalu Wong Lu-siok mengucapkan selamat
kepada suami-isteri Pang karena anak mereka
"dipilih dewa".
Tetapi Giam Lok masih menganggap omongan
A-kun sebagai omongan bocah belaka. Maka ia
tidak menggubrisnya lagi, apalagi Giam Lok enggan
sampai bertengkar dengan Nyonya Pang yang
dihormatinya. Maka sambil tertawa dan 169 mengangkat pikulan tanah liatnya iagi, ia bertanya
kepada Ban Ke-liong, "Paman Ban, tanah liatnya
ditaruh di tempat biasanya?"
Sebelum Ban Ke-lionng menjawab, malah A-kun
yang mengangkat tinggi-tinggi boneka porselinnya
sambil berteriak marah, "Paman Lok akan celaka
karena tidak menurut dewa-dewa! Paman Lok akan
celaka!" Giam Lok tertegun, dan Nyonya Panglah yang
menegur puterinya dengan gusar, "A-kun, jangan
kurang ajar kepada Paman Lok! Kurotan kau nanti
di rumah!" "Temanku A-hwe yang bilang! Temanku A-hwe
yang bilang!" Nyonya Pang gusar dan sudah hendak memukul
anaknya di tempat itu juga, tetapi Giam Lok cepat
mencegah, "Nyonya, hanya perkataan anak-anak,
aku tidak menaruhnya di hati."
"Tetapi kelakuan Anakku memalukan, tetap saja
dia harus dididik lebih keras! A-kun, ayo pulang!"
A-kun berlari pulang hendak menangis. sambil mewek-mewek Sedangkan Giam Lok setelah mendapat sedikit
uang dari Ban Ke-liong, lalu pergi ke tempat lain. Ia
memang bekerja serabutan, asalkan dapat uang
secara halal. Rencananya ia akan mencari kayu
bakar untuk ditawarkan kepada Ao Khim si
juragan rumah makan, namun sambil melangkah
tiba-tiba Giam Lok merasa tubuhnya berkeringat
dingin dan kepalanya berat. Ia heran karena
sebelumnya sehat-sehat saja, dalam pikirannya
170 sempat terbetik, "Apakah ini gara-gara ucapan si
kecil A-kun tadi" Ucapan dari seorang anak yang
sudah "dipilih dewa?"
Tiba di rumahnya, Giam Lok langsung tidur
berkerudung selimut tebal, sampai keluarganya
merasa heran. *** Dalam perjalanannya, Liu Yok, Siau Hiang-bwe
dan Cu Tong-liang sudah memasuki kawasan
padang ilalang yang bukan kepalang luasnya
sampai ke kaki langit. Hutan-hutan jarang yang
pohonnya kecil-kecil terlihat sejumput di sana
sejumput di sini. "Mudah-mudahan sebelum matahari terbenam,
kita temui tempat kediaman manusia yang bisa
kita tumpangi." kata Cu Tong-liang. "Kalau tidak,
kita harus bermalam di udara terbuka."
"Itu pengalaman menarik, aku belum pernah
mengalaminya." sahut Siau Hiang-bwe alias A-kui
dengan gembira, "Tidur di bawah langit yang amat
luas, sambil memandang bintang-bintang."
"Dan dirunduk serigala-serigala kelaparan...."
sambung Cu Tong-liang . "Sebab di tempat-tempat
seperti ini biasanya banyak serigalanya....."
"Kakak Liang bicaranya kok selalu mengecilkan
hati?" "Lho, aku bicara kenyataannya saja, tanpa
bermaksud mengecilkan hatimu."
"Kakak Yok mengajar, ada kenyataan yang
didukung perasaan batin, ada kenyataan yang
171 didukung panca indera. Kakak Liang selalu bicara
berdasar panca indera."
Biarpun namanya disebut-sebut, Liu Yok diam
saja. Ia biarkan saja kedua "murid"nya itu saling
mengasah. Ia melihat Siau Hiang-bwe lebih cepat
menyerap apa yang diajarkannya, dibanding Cu
Tong-liang. Namun Liu Yok pun tidak mau
memacu-macu Cu Tong-liang, dibiarkannya pengertian-pengertian akan ajaran-ajarannya berkembang menurut daya tangkap Cu Tong-liang
sendiri biarpun wajar. Cu Tong-liang tetap
mengalami kemajuan rohani juga biarpun tidak
sepesat Siau Hiang-bwe. Dan apa yang dikuatirkan Cu Tong-liang pun
ternyata benar-benar harus mereka alami, setelah
sekian lama berjalan sampai terbenamnya
matahari, mereka tidak menjumpai kediaman
manusia satu pun. Jadi mereka harus bermalam di
sebuah pinggiran hutan. Ketika mereka membabat ilalang dan belukar
yang hendak digunakan untuk tempat istirahat, Cu
Tong-liang tak henti-hentinya menggerutu, "Ini
artinya, sepanjang malam nanti harus kita atur
giliran jaga, yang tiap saat akan memberi tahu
kalau ada gerombolan serigala mendekat, supaya
kita sempat menyelamatkan diri dengan memanjat
pohon." Liu Yok yang diam dari tadi, kini berkata dengan
tenang sambil memunguti kayu-kayu kering untuk
persiapan api unggun. "Kita bertiga butuh istirahat
setelah seharian berjalan hampir tanpa henti.
Giliran jaga itu tidak perlu, Kakak Liang."
172 "Tetapi serigala-serigala itu...."
"Sang Pencipta menaruh semua mahluk di
bawah perintah kita, mahluk ter-sayang-Nya. Jadi
tinggal perintahkan saja."
Dengan Liu Yok yang dianggapnya manusia
dengan berbagai keajaiban, Cu Tong-liang tidak


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berani berbantah seperti terhadap Siau Hiang-bwe.
Namun otaknya susah juga untuk menerima begitu
saja kata-kata Liu Yok tentang "tinggal perintahkan
saja" itu, meski Liu Yok pun sudah berulang kali
menganjurkan agar Cu Tong-liang menerima
ajaran itu dengan hatinya lebih dulu.
Cu Tong-liang menarik napas sambil berdesah.
"Nampaknya malam ini harus berjaga sendirian."
Liu Yok membaringkan tubuhnya di rerumputan, kepalanya berbantal batu, matanya
merem-melek dan tampak santai sekali. Katanya
sambil menguap lebar, "Kau pun beristirahat saja,
Kakak Liang." Kata-kata Liu Yok diseling suara lolong serigala
tidak jauh dari tempat itu, suara lolong yang
membuat wajah Cu Tong-liang jadi tegang. Namun
Liu Yok meneruskan kata-katanya dalam sikap dan
nada yang sama santainya, "... ditanggung
aman...." "Tidakkah Saudara Liu mendengar suara lolong
serigala itu?" "Ya tentu saja mendengar, aku kan tidak tuli?"
"Apakah kita abaikan begitu saja?"
Bersambung jilid V. 173 *** Jilid 5 >o< "KITA sedang belalar lebih mendengar suara hati
daripada mendengar dengan kuping, lebih melihat
dengan mata hati berdasar keyakinan daripada
melihat dengan mata jasmani."
"Tetapi, di samping memohon kan kita harus
bertindak juga?" bantah Cu Tong-liang. "Kita
mohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa
terhadap serigala-serigala itu, tetapi juga harus ada
usaha...." "Tentu saja...."
"Nah, kenapa Saudara Liu tidak setuju diadakan
giliran jaga" Itu suatu usaha." sambar Cu Tongliang yang merasa kali ini memenangkan
perdebatan. "Aku sudah berusaha."
"Dengan tidur-tiduran dan bicara saja?" saking
jengkelnya, nada Cu Tong-liang agak kasar juga.
"Sosok batiniahku yang bertindak, bukan sosok
ragaku yang kaulihat dengan indera penglihatanmu, Saudara Cu. Sosok batinku sudah
mengambil kekuatan berlimpah-limpah dari hadirat Yang Maha Kuasa, sampai memenuhi
hatiku, dan perkataanku sudah mengalirkan
174 kekuatan itu keluar dan menetapkannya sebagai
sebuah keputusan yang tak bisa lagi dilanggar oleh
mahluk-mahluk yang lebih rendah derajatnya dari
kita." Cu Tong-liang merasa tidak ada gunanya lagi
berdebat dengan "guru kerohani-an"nya itu.
Gerutunya dalam hati, "Kalau nanti malam kau
digerogoti serigala, ingin kulihat apa yang bakal
dilakukan sosok batiniahmu itu."
Sementara itu, Siau Hiang-bwe sudah menyalakan api dan membuat makan malam yang
sederhana dari bahan seadanya. Ketiga pengembara itu menikmati sejenis ubi yang
terdapat di sekitar tempat itu, dipanggang, dan
rasanya mirip kentang. Sebelum tidur, seperti biasanya Liu Yok
bertanya-jawab sebentar dengan kedua teman
seperjalanannya itu. Habis itu Liu Yok dan Siau
Hang-bwe merebahkan diri berbantal batu di
rerumputan dan pelan-pelan mulai pulas. Namun
sebelum amblas sama sekali ke dunia mimpi Liu
Yok masih sempat berkata meski sudah kurang
jelas suaranya, "Tidurlah, Kakak Liang, malam ini
takkan ada seekor semut pun atau seekor nyamuk
pun menggigit kita, apalagi serigala."
Tetapi mendengar lolongan dan salak serigala
yang terdengar tidak lebih dari dua ratus langkah
dari tempat istirahatnya itu, mana bisa Cu Tongliang tidur"
Cu Tong-liang terus berjaga-jaga meski tubuhnya terasa lelah dan menuntut tidur. Tetapi
ketika malam makin larut, pelupuk mata Cu Tong175
liang pun semakin berat rasanya. Beberapa kali Cu
Tong-liang tertidur sesaat-sesaat lalu geragapan
bangun. Akibatnya malah kepalanya yang terasa
sakit. Suatu saat, melihat betapa nyenyak kedua
teman seperjalanannya tidur di atas rerumputan
berbantal batu yang dilapis bungkusan pakaian
mereka, Cu Tong-liang diam-diam membatin dalam
hati, "Benarkah bahwa mereka benar-benar tidak
digigit semut atau nyamuk sedikit pun" Benarkah
kata Liu Yok bahwa ia 'tinggal perintahkan saja'?"
Di bawah cahaya api, Cu Tong-liang melihat
banyak semut di tanah, juga banyak melihat
nyamuk hitam yang besar-besar beterbangan di
sekitarnya, namun dengan terheran-heran Cu
Tong-liang menyadari suatu kenyataan sejak tadi
ia tidak merasakan gigitan nyamuk atau semut
sedikit pun! Akhirnya Cu Tong-liang pun takluk kepada
tuntutan kantuknya. Ia tidur pulas.
Ia baru bangun geragapan ketika sorot matahati
pagi menimpa pelupuk matanya. Ia bangun sambil
menendang-nendang dan tangannya menggapaigapai tetapi matanya tetap terpejam, sambil
berteriak-teriak, "Serigala! Serigala!"
Namun yang masuk ke telinganya bukan geram
serigala melainkan suara tertawa Liu Yok dan Siau
Hiang-bwe, yang membuat Cu Tong-liang sadar
kembali. Dan ketika matanya terbuka, yang
dilihatnya adalah hidangan pagi yang sudah
tersedia. 176 "Sampai larutkah Kakak Liang berjaga-jaga
semalam?" tanya Siau Hiang-bwe. "Kelihatannya
Kakak masih mengantuk."
Cu Tong-liang cuma menyeringai, lalu bangkit
menuju ke sebuah parit kecil di pinggir hutan. Di
situ ia membersihkan diri hingga segar dan sempat
buang hajat pula hingga perutnya lega. Ketika ia
melangkah kembali ke tempat Liu Yok dan Siau
Hiang-bwe, ia terkejut sekali jejak puluhan ekor
serigala begitu dekat dengan tempat semalam ia
dan kawan-kawannya tidur.
Begitu bergabung dengan Liu Yok dan Siau
Hiang-bwe yang tengah menikmati sarapan
paginya, Cu Tong-liang langsung saja berkata, "Apa
kubilang" Ternyata semalam nyawa kita sudah
seperti telur di ujung tanduk. Kalau kalian periksa
sekitar tempat ini, akan kalian dapati betapa
dekatnya seriga-serigala itu dengan kita semalam."
"Ya." sahut Liu Yok kalem.
"Makanya lain kali tidak ada salahnya tindakan
berjaga-jaga...." "Kakak Liang, semalam serigala-serigala itu
begitu dekat, tetapi bagaimana dengan kita"
Terbunuhkan kita" Terkoyak-koyakkah tubuh
kita?" Cu Tong-liang bungkam. Kenyataannya, mereka
bertiga tak terluka seujung rambut pun. Apalagi
gigitan serigala, bahkan gigitan nyamuk atau
semut pun tak ada sama sekali.
Cu Tong-liang tersudut ke sebuah pengakuan
bahwa semalam ia dan kedua teman 177 seperjalanannya benar-benar terlindung total
secara ajaib. Dan biarpun Cu Tong-liang ini
kadang-kadang suka berdebat karena menganggap
sikap Liu Yok dan Siau Hiang-bwe kelewat batas,
tidak masuk akal, namun Cu Tong-liang juga
seorang yang berjiwa lapang dan mau mengakui
kenyataan secara jujur, biarpun kenyataannya
kelewat aneh. "Rupanya aku memang kelewat kuatir...."
akunya. Ketika Siau Hiang-bwe menyodorkan
sesunduk ubi liar yang sudah matang dan sudah
dikupas, Cu Tong-liang pun menerima dan mulai
menyantapnya pelan-pelan sambil sesekali meniupinya karena masih panas.
Kata Liu Yok tanpa bernada menyalahkan.
"Kakak Liang hanya perlu lebih banyak berlatih
'mendengar dengan batin, melihat dengan mata
hati." Cu Tong-liang mengangguk-angguk. "Tadi
Saudara Liu dan A-kui sedang membicarakan
apa?" "Mimpi A-kui semalam."
"Apakah setiap mimpi harus dibicarakan
seserius ini" Bisa-bisa hidup kita hanya habis
untuk membicarakan mimpi."
"Apakah Kakak Liang melihat kami berdua
setiap saat membicarakan mimpi?" Liu Yok balas
bertanya. "Tidak juga...." sahut Cu Tong-liang. "Tiap
malam kita bermimpi, tetapi aku belum dapat
membedakan mana yang sekedar kembangnya
178 tidur dan mana yang merupakan isyarat dari dunia
lain...." "Mimpi-mimpi biasa mudah dilupakan oleh Akui. Tetapi mimpi A-kui semalam membuat hatinya
terusik." "Mimpi apa kau, A-kui?"
"Aku melihat manusia-manusia di sebuah kota,
ketakutan dikejar-kejar seekor macan hitam yang
kejam. Orang-orang di kota itu, saking takutnya
kepada macan itu lalu berlindung masuk ke
sebuah gua. Tetapi gua itu adalah moncong seekor
buaya putih yang menganga lebar...."
"Lalu Saudara Liu tahu mimpinya?"
Liu Yok menggeleng. "Aku hanya menganjurkan
A-kui agar menatap isyarat itu dengan jernih."
Cu Tong-liang mengedangkan kedua tangannya.
"Kalau begitu, apa lagi" Mimpi tinggal mimpi dan
kita akan melupakannya. Nah, kapan kita
lanjutkan perjalanan?"
Mereka menyelesaikan sarapan, lalu beberapa
saat bersama-sama menundukkan diri di depan
Sang Maha Pencipta, sebelum melanjutkan
langkah. Perjalanan sehari-hari mereka ternyata hanya
melihat hamparan padang ilalang amat luas yang
diselang-seling hutan-hutan kecil dan bukit-bukit
kecil. Pemandangan yang itu-itu saja sepanjang
beberapa hari membuat Cu Tong-liang sering
menggerutu karena jemu. "Ke mana kita?" tanyanya.
179 "Ke sebuah kota yang sedang memerlukan
pertolongan." "Kenapa" Kena wabah"
ancaman penjahat?" Atau menghadapi "Penjahat-penjahat dari langit yang menyamar
sebagai penolong-penolong."
Cu Tong-liang sudah agak hapal dengan Liu
Yok. Urusannya pasti bersangkut-paut dengan
mahluk-mahluk yang tak terlihat. Tetapi justru Cu
Tong-liang rela meninggalkan jabatan empuknya


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai perwira istana untuk mengikuti Liu Yok
juga untuk belajar tentang itu.
Pemandangan menjemukan yang padang ilalang
melulu itu tiba-tiba jadi sedikit lebih menyegarkan
ketika mereka melihat sebuah telaga kecil di kaki
sebuah bukit. Telaga di tempat seperti itu biasanya
mendapatkan air bukan dari mata air melainkan
hanya menampung air hujan atau lelehan salju
dari puncak bukit. Di tepi telaga nampak ada sebuah pondok kayu
yang terbuat dari batang-batang pohon cemara.
Sekeliling pondok itu ada kebun luas, selain
tanaman pangan juga tanaman obat-obatan. Dan
seorang tua bercaping nampak sedang berjongkok
di tengah-tengah tanaman itu sambil melakukan
sesuatu, entah apa. Orang tua bercaping itu mengangkat wajahnya
ketika Liu Yok mengucapkan salam dari luar pagar
kebun yang setinggi perut. Pagar yang terbuat dari
batu yang ditumpuk-tumpuk dengan direkat tanah
liat. Lalu orang tua itu melangkah ke pagar dengan
180 wajahnya yang cerah dan ramah di bawah tudung
bambunya. Meski rambut, kumis dan jenggotnya
sudah putih semua, ia nampak segar dan
langkahnya tidak gemetar.
Liu Yok mengangguk hormat. "Selamat sore,
Tuan. Kami bertiga adalah tiga sahabat yang
sedang mengembara, kalau diijinkan malam ini
kami ingin menumpang bermalam di tempat Tuan."
Orang tua itu mengamati ketiga tamunya, dan ia
mendapat kesan bahwa mereka tidak jahat. Cu
Tong-liang memang berwajah rada angker, tapi
tidak terlihat seperti orang jahat, apalagi Liu Yok
yang bersorot mata amat jernih dan menyejukkan
itu. Juga Siauw Hiang-bwe yang cantik.
"Tentu saja kalian boleh menginap di sini,
silakan masuk." kata orang tua itu sambil
membukakan pintu pagar. "Tidak hanya semalam
juga boleh kok. Aku senang ditemani."
"Apakah tidak ada tetangga yang di dekat-dekat
sini?" "Beberapa li dari sini ada kota Seng-tin, mereka
kukenal semua." "Bapak ini seorang peladang?" tanya Liu Yok
sambil melangkah di antara tanaman-tanaman
yang beraneka ragam dan teratur rapi itu.
"Bukan. Aku seorang Tabib."
Liu Yok bertiga heran. Tabib yang tinggal di
tempat terpencil begini, siapa yang jadi pasiennya"
Keterangan Si Orang Tua berikutnya menjelaskan keheranan Liu Yok, "Penduduk Seng181
tin biasa berobat kepadaku. Sengaja aku tinggal di
sini agar dengan leluasa menanam tanaman obatobatan dan mempelajari buku-buku tentang obatobatan."
"Dengan siapa Bapak tinggal di sini?"
Wajah orang tua itu tiba-tiba nampak agak
sedih ketika menjawab, "Dulu ya bersama isteriku,
tetapi dia sudah meninggal...."
"O, maafkan pertanyaanku tadi, Bapak. Aku
tidak sengaja telah membangkitkan kenangan
pahit Bapak." "Ah, tidak apa-apa. Semua orang harus mati
kan" Isteriku orang baik."
Mungkin karena lama hidup sendiri, Tabib Kian
jadi orang yang gemar bicara banyak-banyak.
Apalagi Liu Yok bertiga juga menanggapinya
dengan senang, maka mereka jadi cepat akrab.
Bahkan Tabib Kian memohon agar Liu Yok bertiga
berada cukup larna di rumahnya. Setelah
bersepakat dengan Cu Tong-liang dan Siau Hiangbwe, mereka menyetujui permintaan orang tua itu.
"Dengan satu syarat!" kata Cu Tong-liang.
"Apa?" "Ijinkan kami bertiga melayani diri sendiri,
jangan Paman Kian yang jadi repot melayani kami
seolah-olah kami ini orang-orang bangsawan dari
ibu kota kerajaan." "Lakukanlah semaumu." sahut Tabib Kian.
182 "Kutambahkan satu syarat lagi...." sambung
Siau Hiang-bwe. "Syarat apalagi, Nona Siau?"
"Panggil aku A-kui saja, jangan Nona Siau.
Setuju?" Tabib Kian tertawa terkekeh-kekeh, "Baik. Akui" Si Mawar" Cocok dengan orangnya, he-hehe...."
"Dan panggil aku A-yok saja, Kakak Liang boleh
Paman panggil A-liang saja. Bukankah begitu,
Kakak Liang" Jadi seperti keluarga sendiri...."
Cu Tong-liang mengangguk. "Benar. Jadi aku
tidak sungkan makan banyak di sini...."
Semuanya tertawa, dan suasana kekeluargaan
pun tercipta dengan cepat hanya dalam waktu
beberapa jam di antara orang-orang yang
sebelumnya belum saling kenal itu. Jauh dari
basa-basi dan kepura-puraan. Tabib Kian merasa
mendapat keluarga baru. Ketika menyiapkan makan malam, Siau Hiangbwe banyak membantu di dapur, bahkan hampir
mengerjakan segalanya, sehingga Tabib Kian purapura menggerutu. "Uh, bisa-bisa aku jadi tamu di
rumahku sendiri." Mereka lalu makan malam dalam suasana
akrab, duduk mengelilingi sebuah meja kayu yang
kasar dengan diterangi sebatang lilin. Di meja itu
pula mereka saling lebih mengenal. Tabib Kian
heran setelah tahu bahwa Liu Yok yang
tampangnya begitu sederhana itu ternyata adalah
183 calon menantu Gubernur Sun di Propinsi Ho-lam,
bahkan ada adik sepupu Liu Yok yang menjadi
isteri Jenderal Wan Lui, tangan kanan Kaisar Kian
liong yang berkuasa masa itu. Juga ketika
mengetahui bahwa Cu Tong-liang adalah bekas
seorang perwira istana yang cukup berkedudukan
tetapi rela meninggalkannya demi "belajar hidup"
kepada Liu Yok. Yang paling gembira ialah ketika Tabib Kian
tahu bahwa Siau Hiang-bwe adalah puteri dari
seorang yang seprofesi dengannya, ahli obat-obatan
dan pertabiban. Namun Siau Hiang-bwe tidak
merasa perlu untuk bercerita bahwa ayahnya
menopang ilmu pengobatannya dengan kekuatankekuatan gaib yang menuntut tumbal, dan Siau
Hiang-bwe pernah jadi tumbalnya selama bertahun-tahun. Karena dalam pribadi Tabib Kian sendiri tidak
banyak yang bisa diceritakan, maka tabib ini jauh
lebih banyak bercerita tentang kota Seng-tin.
Apalagi di Seng-tin baru saja terjadi sesuatu yang
menggemparkan, bagaimana warga Seng-tin membebaskan diri dari gerombolan jahat. Tapi
Tabib Kian sedikit pun tidak menyinggung soal
campur tangan "dewa-dewi" atau "mahluk-mahluk
suci" sebab Tabib itu kurang suka hal-hal berbau
gaib. Ia cuma menyebutnya dengan "keberanian
yang berlandaskan kebenaran telah mengalahkan
kejahatan." Cu Tong-liang mengomentari, "Seandainya
separuh saja dari rakyat kekaisaran ini seberani
184 rakyat Seng-tin, pastilah seluruh negeri ini aman.
Para penjahat tak berkutik."
"dan para perwira menganggur tanpa pekerjaan." olok Siau Hiang-bwe kepada Cu Tongliang yang bekas perwira.
Cu Tong-liang cuma nyengir, sementara Liu Yok
dan Tabib Kian tertawa. Tetapi suasana makan malam yang akrab itu
diselingi suara ketukan di pintu depan, dibarengi
suara seorang anak perempuan memanggilmanggil, "Tabib Kian! Tabib Kian!"
Tabib Kian mengerutkan alis mendengar suara
itu, ia bangkit dari tempat duduknya sambil
mendesis kaget, "Astaga, anak itu! Bagaimana dia
sampai ke sini setelah hari segelap ini" Padahal ia
harus melewati daerah yang sering ada serigalanya." "Siapa anak itu?" tanya Siau Hiang-bwe.
"Seorang anak yang tinggal di kota. Ia pasti
datang untuk memintakan obat bagi kakaknya
yang sedang sakit." jawab Tabib Kian sambil
melangkah ke pintu untuk membukanya.
Ketika pintu dibuka, seorang anak perempuan
berusia kira-kira empat belas tahun, dengan
pakaian yang sederhana dan sepatu yang nampak
terlalu besar karena bukan kepunyaannya, dengan
tangan memegang lentera lampu bertangkai,
berdiri di ambang pintu dengan wajah menyiratkan
kecemasannya. 185 "Tabib Kian! Kakakku kambuh lagi. Ia tidak bisa
bernapas sampai mukanya biru. Kalau tidak
ditolong, ia bisa mati!"
"Dengan siapa kau ke sini, A-lik?"
"Sendiri!" sahut Si Anak. "Tetapi aku bawa ini
sebagai pelindung dari binatang-binatang buas dan
orang-orang jahat!" kata anak bernama A-Hk itu
sambil menunjukkan patung kecil yang digenggam
dengan tangan kirinya. "Patung ini sudah diberkati
Tuan. Wong dalam pertemuan kemarin."
186 Tabib Kian tidak terlalu menggubris keterangan
tentang tuah benda keagamaan itu, ia mengambil
keranjang obatnya yang terbuat dari anyaman
rotan itu, katanya, "Mari cepat kita ke rumahmu!"
Cu Tong-liang tiba-tiba saja berkata, "Paman
Kian, kuantar kalian ke Seng-tin."
Lalu berangkatlah mereka bertiga menuju Sengtin.
Sambil berjalan diterangi lampion kertas, Tabib
Kian berkata kepada Cu Tong-iiang, "Meski
gerombolan bandit sudah terusir pergi, tapi daerah
belukar di luar kota belum betul-betul aman.
Masih ada anggota gerombolan yang barangkali
saja berkeliaran membawa dendam. Kesediaanmu
menemani kami sangat berarti, A-liang."
*** Giam Lok yang sedang sakit, sore itu dikunjungi
oleh Pang Se-bun yang membawakan makananmakanan.
Ketika diantar oleh ibu Giam Lok yang sudah
janda dan melihat tubuh Giam Lok yang kurus
kering di atas dipan, keharuan pun menyesak di
dada Pang Se-bun. Dulu saudara seperguruannya
itu bertubuh tegap dan segar, tak terduga dalam
beberapa hari saja sudah berubah seperti kerangka
hidup seperti itu. Beberapa saat duduk di pinggir pembaringan
itu, Pang Se-bun tak mampu berkata-kata menatap
tubuh kurus yang kembang-kempis di atas tempat
tidur itu. Lalu tatap mata Pang Se-Bun tertuju
187 kepada ibu Giam Lok yang sudah tua dan janda
itu, bertanya tanpa kata-kata.
Nyonya Janda Giam menarik napas dan
mengusap matanya yang basah, suara tergetar
lemah, "Aku juga tidak tahu penyebabnya, A-bun.
Tidak ada tanda-tanda sakit sebelumnya, tahutahu pada suatu siang beberapa hari yang lalu, dia
mengeluh sakit kepala lalu berbaring dan tidak
mampu bangkit lagi sampai sekarang."
Pang Se-bun menarik napas. Sementara Nyonya
Giam merasa mendapat tempat untuk mencurahkan isi hatinya, sebab selama beberapa
hari ini baru Pang Se-bun yang menjenguk
anaknya untuk pertama kalinya, warga kota yang
lain sedang sibuk bersukaria atas kebebasan Sengtin sekaligus sedang keranjingan jalan suci yang
diajarkan Wong Lu-siok sehingga melupakan Giam
Lok. Karena itu Nyonya Giam pun terus berbicara
tanpa diminta. "Kadang-kadang dia berteriak-teriak
dalam tidurnya, seolah-olah ada yang memaksa
dia. tetapi dia menolak. Di lain saat dia tercekik
hebat sampai mukanya biru."
"Penyakit yang aneh...." cuma itu yang


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didesiskan Pang Se-bun, karena ia pun tidak tahu
harus berkata bagaimana. "Dan sore ini kembali dia tercekik, baru saja
kusuruh A-lik pergi memanggil Tabib Kian."
"Astaga, Bibi Giam ini bagaimana?" Pang Se-bun
kaget. "A-lik, Bibi suruh ke tempat Tabib Kian di
malam gelap ini, melewati tempat yang sering
188 dilewati! kawanan serigala" Bagaimana kalau dia|
ketemu serigala?" Nyonya Giam tak dapat menahan tangisnya.
"Kalau tidak kusuruh A-lik mau kusuruh siapa
lagi" A-lik biarpun anak perempuan tetapi bisa lari
cepat, mudah-mudahan mahluk-mahluk suci
melindunginya. Dia membawa patung seorang
panglima langit sebagai pelindungnya."
"Kenapa Bibi tidak minta tolong kenalankenalan terdekat, misalnya tetangga-tetangga?"
"Aku minta kepada tetanggaku Cong Tiat si
tukang kayu, tetapi ia tidak berani melanggar saat
ibadahnya menurut jalan suci, jadi tidak bisa
mengantar. Begitu juga beberapa tetangga."
Pang Se-bun menarik napas, "Kenapa A-lik tidak
disuruh ke rumahku dulu" Sesibuk-sibuknya aku,
demi hubunganku dengan Saudara Giam Lok,
tentu akan kuantar A-lik ke tempat Tabib Kian
biarpun malam-malam begini."
"Aku tidak berani, sebab...." tiba-tiba Janda
Giam menghentikan kata-katanya, merasa sudah
terlanjur bicara. Perkataan yang dihentikan mendadak itu
membuat Pang Se-bun penasaran. "Kenapa tidak
berani. Bibi" Apakah karena Bibi sudah
menganggapku bukan sahabat Saudara Giam Lagi"
Atau karena aku sudah menjadi salah seorang
pembantu dekat Yang Mulia Wong Lu-siok yang
menjadi guru suci di kota ini?"
189 Janda Giam membuat Pang mendesak terus. membungkam terus dan ini Se-bun kian penasaran lalu
Karena didesak terus, juga melihat betapa
sungguh-sungguhnya Pang Se-bun ingin menolong,
akhirnya Janda Giam menyahut juga meski dengan
takut-takut. "Aku kuatir kau akan marah, A-bun."
"Marah" Marah kepada Bibi yang sejak aku kecil
sudah kukenal baik dan hampir-hampir kuanggap
seperti ibuku sendiri" Memangnya aku sudah
kehilangan hati nurani sehingga marah kepada
Bibi?" "Bisa saja kau marah. Kemarin keluarga Adikku
bertengkar sengit karena Adikku menuntut
suaminya beribadah menurut cara baru yang
diajarkan Guru Wong, tetapi suaminya menolak.
Rumah tangga yang sudah rukun hampir dua
puluh tahun itu sekarang terguncang hampir
pecah," Pang Se-bun merasa Janda Giam sedang
menyindir ajaran baru yang sedang membuat
warga Seng-tin keranjingan itu. Namun ia
menjawab juga, "Beda keyakinan takkan membuatku marah kepada Bibi Giam. Nah,
katakan, kenapa Bibi takut aku marah mendengar
jawaban Bibi?" Setelah ragu sejenak, akhirnya Janda Giam
berkata, "Jangan marah ya" Ada kata orang,
anakku jadi seperti ini karena dikutuk oleh
anakmu, A-kun..." lalu buru-buru menambahkan,
"... tetapi itu kata orang lho, bukan kataku, dan
190 aku pun tidak terburu-buru mempercayai kata
orang begitu saja." Pang Se-bun termangu-mangu. Sesungguhnya
ia sendiri sedang bingung menghadapi perubahan
tingkah laku puterinya belakangan ini. Pang Li-kun
alias A-kun sekarang lebih senang menyendiri
dengan boneka porselinnya yang diberi nama "Ahwe" dan diajaknya bercakap-cakap, bahkan
kadang-kadang diperlakukan seolah-olah "A-hwe"
itu benar-benar hadir dan bisa diraba, dilihat,
didengar. Pernah isteri Pang Se-bun, karena
menguatirkan perkembangan jiwa anak satusatunya akan jadi ganjil dan aneh, diam-diam
menyembunyikan boneka "A-hwe". Tak tahunya.
itu membuat A-kun marah besar, dan suasana
rumah pun jadi berubah. Nyonya Pang tiba-tiba
kehilangan rasa aman dalam rumahnya sendiri,
ada perasaan terancam yang entah dari mana
datangnya. Sampai suatu hari ia mengembalikan
"A-hwe" kepada A-kun dan pulihlah suasana
rumah, kecuali A-kun yang makin akrab dengan
"A-hwe"nya. A-kun betah berjam-jam mengobrol
dengan bonekanya, daripada berkumpul dengan
keluarganya atau bermain dengan temantemannya. Suatu hari yang lain ada teman A-kun,
seorang anak lelaki yang nakal, membuat jengkel
A-kun. Lalu A-kun menyumpahi anak laki-laki itu
dan anak laki-laki itu pun sakit beberapa hari,
semakin ketakutan hari demi hari, entah takut
kepada apa. Sembuhnya setelah Si Anak Lelaki
menurut anjuran Wong Lu-siok untuk berlutut
minta maaf di depan patung "A-hwe"! Pernah juga
Pang Se-bun membicarakan keanehan puterinya
191 ini dengan Wong Lu-siok, tetapi Si "Guru Suci" ini
cuma tersenyum ramah sambil menyebut A-kun
sebagai "penghubung antara manusia fana dengan
mahluk-mahluk suci" dan bahkan menyebut A-kun
sebagai "anugerah besar bagi kota Seng-tin, sebab
melalui A-kun orang-orang Seng-tin bisa memperoleh petunjuk dari mahluk-mahluk suci".
Sekarang mendengar Janda Giam menyebut Akun sebagai penyebab sakitnya Giam Lok, hati
Pang Se-bun terasa tidak enak juga. Biarpun
Janda Giam mengembel-embelinya dengan "menurut kata orang" serta "tidak terburu-buru
mempercayai kata orang".
"Memangnya A-kun itu Sam-koh?" Pang Se-bun
mencoba meringankan tanggung jawab puterinya.
Sam-koh atau "bibi ketiga" adalah sebutan
dalam masyarakat tradisionil terhadap perempuan
yang oleh karena bakat alam atau karena belajar,
memiliki kemampuan berhubungan dengan mahluk-mahluk halus, entah sebutannya "arwah
leluhur" atau "dewa" atau "mahluk suci" atau entah
apalagi. "Entahlah...." kata mengangkat bahunya. Janda Giam sambil Ketika itulah adik Giam Lok yang bernama Giam
Lik, sudah kembali bersama Tabib Kian, bahkan
bersama seorang lelaki muda yang gagah, yang
belum pernah dilihat di Seng-tin sebelumnya.
Kemunculan anak perempuannya dalam keadaan selamat melegakan Janda Giam, juga
192 Pang Se-bun keluarga itu. yang bersahabat baik dengan "Syukurlah kau selamat, A-lik." kata ibunya.
"Patungnya sudah kautaruh kembali di altar?"
"Sudah, Ibu." Saat itu di Seng-tin memang sedang beredar
banyak benda yang diembel-embeli "suci" seperti
patung suci, lukisan suci, kalung suci, jubah suci,
air suci, ini suci itu suci, sejalan dengan ajaran
baru yang dibawa Wong Lu-siok. Warga Seng-tin
begitu mudah menerima itu semua, akibat
pengalaman buruk ditindas gerombolan Beng Hekhouw dulu, di saat Beng Hek-houw menggunakan
sihir hitam untuk menguasai kota. Kini sebagai
pelindung, warga Seng-tin jadi akrab dengan
"perlindungan" baru yang diperkenalkan Wong Lusiok itu.
Pang Seng-bun berdiri dengan sopan untuk
menyambut Tabib Kian, sementara matanya
menatap dengan rasa ingin tahu ke arah Cu Tongliang. Ketika Cu Tong-liang mengangguk ramah,
Pang Se-bun mengangguk sama ramahnya.
Dengan perasaan agak bangga, Tabib Kian
memperkenalkan Cu Tong-liang, "Tamuku ini
datang dari ibukota kerajaan di Pak-khia, dia
bekas perwira istana bawahannya Kaisar sendiri
lho!" Orang-orang Seng-tin yang hidup terpencil di
kawasan barat-laut dan berjarak puluhan ribu li
dari Pak-khia itu memang kaget. Sementara Tabib
193 Kian memperkenalkan lebih lanjut. "Namanya Cu
Tong-iang. Aku memanggilnya A-liang saja"
Inilah yang amat membanggakan Tabib Kian,
bahwa ia boleh memanggil Si bekas Perwira
bawahan Kaisar ini dengan "A-liang" saja.
Pang Se-bun membungkuk dalam sekali sambil
menjura, "Aku mengucapkan selamat datang
kepada Perwira Cu di kota ini. Aku Pang Se-bun,
pekerjaanku sehari-hari ialah berjualan rempahrempah dan bumbu-bumbu."
Cu Tong-liang membalas sama hormatnya,
"Harap Saudara Pang tidak memanggilku Perwira
Cu, cukup kalau Saudara Cu begitu saja, sebab
dulu aku memang perwira kerajaan, tetapi
sekarang sudah bukan lagi. Aku juga sudah
mendengar cerita dari Paman Tabib ini tentang
kegagahan warga Seng-tin membebaskan diri dari
penjahat-penjahat, aku sungguh kagum."
Janda Giam juga menyambut Cu Kong-liang,
"Maafkan tempatku yang sangat buruk ini, Tuan
Cu." "Jangan panggil aku Tuan. Panggil saja seperti
Paman Tabib ini memanggilku, Bibi."
Kemudian Tabib Kian mulai memeriksa Giam
Lok sambil bertanya-tanya kepada Janda Giam
tentang sakitnya Giam Lok. Janda Giam
menerangkannya, Habis memeriksa, Tabib Kian
meramu beberap bahan obat-obatan dari keranjang
obatnya, dan menerangkan penggunaan masingmasing obatnya.
194 "Jika dalam dua hari belum ada perubahan,
kabari aku." kata Tabib Kian.
Janda Giam mengangguk-angguk.
harus kubayar untuk obat ini?"
"Berapa "Serelamulah, Nyonya Giam. Jangan sampai
memberatkanmu." Janda Giam membayar beberapa keping uang
yang diterima Tabib Kian, dan tiba-tiba saja Janda
Giam bertanya, "Sin-she, apakah ada kemungkinan... penyakit Anakku ini disebabnya
suatu yang... tidak alamiah, begitu?"
"Sesuatu yang maksudmu?" tidak alamiah bagaimana "Misalnya... karena diganggu roh-roh jahat, atau
karena menggusarkan dewa dewi atau mahlukmahluk suci lain...." Pang Se-bun sudah ikut
tegang mendengarnya, biarpun Janda Giam sedikit
tidak menyinggung tentang Pang Li-kun. Sementara Cu Tong-liang diam-diam mengkritik
dalam hati, "Dasar orang dari tempat terpencil,
masih percaya tahyul-tahyul macam ini."


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Cu Tong-liang pun sadar bahwa di kota
besar macam Pak-khia pun tukang-tukang
menghubungi dunia gaib masih laris dihubungi
orang. Entah untuk mencari kesembuhan, cari
jodoh, hendak buka toko dan bahkan kadangkadang untuk menikahkan anggota keluarga yang
sudah di alam baka alias pernikahan arwah.
Jawab Tabib Kian kepada Janda Giam, "Maaf,
Nyonya. Soal itu aku tidak tahu menahu. Selama
195 ini yang kupelajari adalah bahan-bahan obatobatan, bukan yang aneh-aneh begitu."
Pang Se-bun cepat-cepat menyambung, "Aku
percaya Saudara Giam akan segera sembuh, Bibi."
Tabib Kian dan Cu Tong-liang langsung
berpamitan, karena saat itu sudah larut malam.
Pang Se-bun pun berpamitan pada saat yang
bersamaan. Sebelum berpisah dengan Tabib Kiar dan Cu
Tong-liang di simpang jalan, Pang Se-bun sempat
mengundang, "Saudara Cu, akan menjadi kehormatan sangat besar buatku, apabila Saudara
Cu mengunjungi rumahku. Kami yang hidup di
kota kecil ini jarang sekali melihat tamu yang dari
ibu kota kerajaan." "Tetapi sekarang malam sudah larut, Saudara
Pang." "Kalau begitu, kapan sajalah kumohon Saudara
Cu mengunjungi rumahku. Jangan sampai tidak,
ya?". "Mana bisa kutolak keramah-tamahan seperti
ini?" Ketika Tabib Kian dan Cu Tong-liang sudah ada
di tengah-tengah padang ilalang dengan diterangi
lentera, Cu Tong-liang berkomentar, "Sebuah kota
yang ramah. Aku jadi ingin berkenalan lebih
banyak dengan orang-orangnya."
"Bukan hanya ramah, tetapi belakangan ini juga
amat saleh dan rajin menjalankan agama."
"Dulunya tidak?"
196 "Tidak, sebelum gerombolan jahat dengan sihir
hitamnya menguasai kota warga kota menyadari
perlunya menempuh jalan suci untuk terlindung
dari sihir jahat para siluman."
"Paman percaya?"
"Aku sampai bingung menentukan sikapku
sendiri. Mau tidak percaya, nyatanya warga kota
benar-benar pernah menjadi sasaran empuk sihir
hitam. Contohnya, orang gila yang kita lihat sedang
mencari makanan di tempat sampah tadi."
"Orangnya masih muda."
"Ya, namanya Ho Tong. Dia jadi begitu karena
sihir hitam." "Ooo...." "Tetapi untuk percaya begitu saja, rasanya
otakku yang sudah biasa berpikir nalar ini tidak
mau dikesampingkan begitu saja."
Sementara itu, meski sedang prihatin soal
anaknya yang sakit, dasar manusia, Janda Giam
sempat bercerita kepada tetangga-tetangga dengan
rasa bangga bahwa rumahnya dikunjungi "perwira
utusan kaisar dari ibu kota kerajaan".
Sebagian tetangga tidak percaya, tetapi ada juga
yang setengah percaya. *** Esoknya, Cu Tong-liang bersama Liu Yok dan
Siau Hiang-bwe ikut membantu Tabib Kian. Ada
yang di kebun, ada yang di dapur.
197 Usai sarapan pagi, Cu Tong-liang memakai
pakaian rapi dan menuju Seng-tin untuk
memenuhi undangan Pang Se-bun.
Namun Cu Tong-liang tidak langsung ke rumah
Pang Se-bun, meski semalam ia sudah diberi
ancar-ancar letak rumah pedagang rempahrempah itu. Cu Tong-liang lebih dulu berjalan
berkeliling menikmati suasana kota kecil itu,
kemudian ketika perutnya terasa lapar dia masuk
ke sebuah rumah makan di ujung jalan. Ia sudah
sarapan, tetapi bau masakan dari rumah makan
itu membangkitkan kembali rasa laparnya.
Cu Tong-liang yang asing di Seng-tin itu ditatap
dengan rasa curiga oleh orang-orang Seng-tin. Baik
ketika di jalanan, maupun ketika memasuki rumah
makan. Apalagi karena pemilik rumah makan itu adalah
Ao Khim, warga Seng-tin yang pertama "mencicipi"
sihir hitam Beng Hek-hou, digigiti ribuan semut.
Kini melihat ada lagi orang asing datang di Sengtin, biarpun sendirian dan tidak bersenjata, namun
rasa curiganya bangkit. Namun Ao Khim sekarang tidak gentar lagi. Ia
sudah jadi pengikut ajaran Wong Lu-siok yang
sakti. Ia sudah belajar beberapa mantera suci
untuk beberapa keperluan termasuk perlindungan
dan keberuntungan, ia juga sudah memasang
beberapa jimat pelindung dan penglaris di
beberapa sudut rumah makannya itu. Seandainya
Beng Hek-hou datang kembali pun, Ao Khim sudah
tidak gentar dalam urusan sihir-menyihir. Tetapi
urusan main kepruk, Ao Khim masih merasa perlu
198 membisiki seorang pegawainya untuk diam-diam
menghubungi Lui Kong-sim dan beberapa kawannya yang mengangkat diri sendiri sebagai
"penanggung jawab keamanan" bagi warga Sengtin. Kebetulan Lui Kong-sim dan teman-temannya
memang nongkrong di sebuah warung arak
murahan tidak jauh dari rumah-rumah Ao Khim,
jadi mudah dihubungi. Sementara seorang pegawainya menemui Lui
Kong-sim, Ao Khim mendekati Cu Tong-liang dan
bertanya dengan pura-pura hormat, "Selamat
siang, Tuan. Agaknya Tuan ini seorang baru di
kota ini?" Cu Tong-liang mengangguk hormat pula,
"Benar, aku seorang pengembara. Namaku Cu
Tong-liang." "Maaf, Tuan. Kalau didengar dari logat Tuan,
Tuan ini sepertinya dari Propinsi Ho-pak."
"Memang. Aku lahir dan besar di Pak-khia."
"Selamat datang di Seng-tin,
Bagaimana kesan Tuan terhadap
terpencil ini?" Tuan Cu. kota kecil Diam-diam Cu Tong-liang canggung juga. Tamu
datang ke rumah makan kok tidak langsung
ditanyai mau pesan apa, malah ditanya macammacam yang tak ada sangkut-pautnya dengan
urusan perut. Ada kesan sedang mengulur waktu,
tetapi mengulur waktu buat apa"
Namun Cu Tong-liang meladeninya juga, "Kota
ini penduduknya ramah, rukun taat beribadah,
tenteram." 199 Ao Khim merasa bangga juga. "Itu berkat jalan
suci yang kami anut. Agama yang merangkum
semua agama yang ada sebelumnya, agama yang
menurut Guru Wong kelak akan menguasai
seluruh dunia dan menyatukan semua agama yang
ada di bawah sayapnya. Guru Wong sendiri
mengetahui ini bukan hasil pikirannya sendiri
melainkan diberitahu dewa-dewa dari langit yang
menunggangi piring cahaya berwarna biru
menyilaukan." Melihat Cu Tong-liang memperhatikan ceritanya, Ao Khim malah semakin bersemangat
dalam bercerita. "Meski penduduk sini nampak
ramah, tetapi jangan ada yang coba-coba melawan
kami. Sebuah gerombolan jahat yang dipimpin
seorang penyihir hitam, pernah kami usir pergi dari
sini. Sihir jahatnya kami kalahkan karena kami
ditolong para dewa dan mahluk-mahluk suci."
Gu Tong-liang merasa tak ada perlunya
mengutik-utik keyakinan orang lain. Maka ketika
Ao Khim sedang berhenti berbicara untuk
mengambil napas, cepat-cepat Cu Tong-liang
menyela, "Syukurlah kalau keadaan kota ini seperti
yang Tuan katakan. Tetapi bolehkah aku tahu,
makanan dan minuman apa yang tersedia di
rumah makan Tuan ini?"
Ketika itu Ao Khim sudah melihat Lui Kong-sim
dan enam atau tujuh orang teman-temannya yang
bertubuh kekar-kekar sudah diambang pintu.
Diam-diam ia memberi isyarat kedipan kepada Lui
Kong-sim, sementara kepada Cu Tong-liang dia
masih pura-pura ramah dengan menyebutkan
200 sederetan makanan dan minuman di rumah
makannya. Ketika Cu Tong-liang sudah memesan,
Ao Khim pun beranjak ke dapur.
Sementara menunggu pesanan, "naluri perang"
Cu Tong-liang bekerja ketika melihat pemudapemuda
kekar mengambil tempat duduk berpencaran dan mengurungnya, serta sering
melirik ke arah dirinya dengan curiga.
Cu Tong-liang coba menenangkan hatinya
sendiri, "Sikap yang lumrah, karena kota ini baru
saja terancam orang asing maka lalu semua orang
asing dicurigai, termasuk aku...."
Tetapi sikap menenang-nenangkan diri Cu Tongliang mau tidak mau harus berakhir ketika Lui
Kong-sim mendekatinya dan bertanya langsung
tanpa bas-basi, "Siapa kau" Apa tujuanmu berada
di kota ini?" "Saudara ini siapa?"
"Aku penanggung jawab keamanan kota ini. Aku
harus memastikan bahwa takkan ada warga kota
yang terganggu atau dirugikan olehmu."
"Kalau begitu, Saudara boleh merasa tenteram.
Aku memang tidak berniat mengganggu orang
sedikit pun. Aku cuma seorang pengembara yang
kebetulan lewat, namaku Cu Tong-liang."
Salah seorang teman Lui Kong-sim yang
bertubuh gemuk berotot tertawa dingin, "Mana bisa
kami telan kata-katamu begitu saja" Kau bilang
tidak akan mengganggu siapa-siapa karena melihat
kami bertujuh yang pasti takkan terlawan olehmu.
Tetapi coba kau bertemu dengan perempuan yang
201 lemah atau anak kecil, pastilah kau tergoda untuk
berbuat jahat atas mereka!"
"Ya, betul. Saudara Lui, jangan biarkan bajingan
ini bersikap bertele-tele. Langsung gebuki saja,
paksa untuk mengaku di mana sisa gerombolannya
bersembunyi, apa rencana jahatnya untuk
menyerang kembali kota ini!"
"Ya, betul. Gebuki saja!"
"Dia pasti suruhan memata-matai kita!" Beng Hek-hou untuk Dan macam-macam suara yang senada, Lui
Kong-sim sendiri menyeringai girang, merasa kali
ini mendapat "sedikit permainan" untuk mengobati
kekecewaannya. Kekecewaannya karena dia tidak
terpilih menjadi salah seorang dari lima pembantu
kepercayaan Wong Lu-siok, padahal ia merasa
jasanya cukup besar. Malahan yang terpilih ke
dalam kelompok lima adalah Pang Se-bun "si
pengkhianat" dan Giam Lok "si lemah hati" yang
kini sedang sakit berat dan kabarnya tetap
menolak dijadikan salah satu dari "kelompok lima"
itu. Untuk mengobati kekecewaannya itulah Lui
Kong-sim mencari-cari kegiatan sendiri, mengumpulkan beberapa teman lalu menganggap
diri mereka sebagai "penanggung jawab keamanan"
di Seng-tin, agar orang-orang Seng-tin tidak
melupakannya. Sementara Cu Tong-liang sudah berdebar-debar
jantungnya, dicobanya menahan diri sekuatnya
sambil mengingat-ingat kata-kata Liu Yok bahwa
"manusia alamiah"nya jangan dimanjakan.
202 Tetapi darah Cu Tong-liang makin hangat,
ketika Si Gemuk Berotot tiba-tiba menarik kuncir
rambut Cu Tong-liang dari belakang sehingga


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajah Cu Tong-liang mendongak ke atas. Orangorang tertawa semuanya, sedang Si Gemuk
berkata, "He, bandit, cepat katakan apa yang ingin
kami ketahui, jangan menunggu kami habis sabar
dan bertambat marah!"
Sementara yang lain lagi dengan telapak
tangannya yang lebar dan kuat menjepit pipi-pipi
Cu Tong-liang hingga bibirnya monyong, lalu
mengguncang-guncangnya disertai gelak tawa
teman-teman Lui Kong-sim lainnya.
Hati Cu Tong-liang sudah amat panas
diperlakukan demikian. Namun dalam kepalanya
seolah terngiang-ngiang perkataan Liu Yok,
"Sangkal manusia alamiahmu sampai ke bagianbagian yang sekecil-kecilnya, yang buruk maupun
yang baik, dengan demikian barulah manusiabatininahmu yang sudah dipulihkan kepada citra
Sang Pencipta itu bisa tampil keluar."
Pada kesempatan lain, Liu Yok juga memberikan
pendapatnya tentang ilmu silat, "Ilmu itu
mengajarkan dirimu penting, maka harus kau
lindungi, kau pertahankan. Juga harga dirimu,
kehormatanmu, perasaanmu, kepentinganmu. Ilmu silat mempertahankan apa yang seharusnya
diremukkan. Tanpa peremukan wadah, isi takkan
keluar menjadi berkah bagi umat manusia."
Tubuh Cu Tong-liang bergetar, mukanya yang
dijepit pipinya itu amat pucat. Getar tubuhnya
bukan oleh ketakutan melainkan oleh 203 pertentangan hebat dalam diri sendirinya. Antara
pribadi alamiah yang menuntut dipertahankannya
harga diri dan pribadi batiniah yang terbentuk
sejak berkenalan dengan Liu Yok, dengan
Sesembahan Liu Yok yang mengajar, "Sebiji benih
akan tetap tinggal sebiji kalau tidak rela jatuh dan
remuk di tanah." Namun kuncirnya yang ditarik-tarik, suara
tertawa mengejek orang-orang, mukanya yang
dicengkeram dan diguncang-guncang, semuanya
ibarat minyak yang disiramkan ke nyala api yang
hampir padam tetapi belum padam benar. Nyala
api itu adalah manusia alamiahnya yang menuntut
suatu tindakan atas nama harga diri, atas nama
kesadaran akan keberadaan diri sendiri.
Segala yang pernah dianjurkan Liu Yok pun
lenyap seperti asap ditiup angin.
Satu tangan Cu Tong-liang tiba-tiba sudah naik
untuk mencengkeram salah satu jari dari tangan
yang mencengkeram pipinya. Detik berikutnya
adalah lolong kesakitan dari Si Pencengkeram
karena salah satu jarinya dipatahkan.
Menyusul tubuh Cu Tong-liang yang sedang
duduk di kursi itu tiba-tiba melejit begitu saja
bersalto ke belakang, ke arah orang yang menarik
kuncir rambutnya. Begitu cepat yang dilakukan Cu
Tong-liang sehingga sukar terlihat jelas, tahu-tahu
saja Si Gendut yang menarik kuncir itu sudah
terkapar dengan dua tangan mendekap mulutnya
yang penuh darah karena hampir semua giginya
rontok. 204 Lima orang lainnya, termasuk Lui Kong-sim,
kaget melihat ketangkasan Cu Tong-liang. Tak
seorang pun di Seng-tin yang memiliki ketangkasan seperti itu, bahkan seandainya guru
silat Ciu Koan masih hidup.
Tetapi sebagai "penanggung-jawab bidang
keamanan" Lui Kong-sim lebih dikuasai rasa gusar
dan ditantang, teriaknya kepada kawan-kawannya.
"Bereskan dia! Jangan sampai dia kembali kepada
gerombolannya dan melaporkan tentang situasi
kota ini kepada Beng Hek-hou!"
Teman-temannya agak ragu, tetapi mengandalkan jumlah, mereka jadi berani. Seorang
menerjang dari depan untuk memancing perhatian
bersamaan dengan seorang lainnya hendak
menjejak belakang lutut Cu Tong-liang sekuatnya.
Tetapi kedua-duanya menemui sasaran kosong,
sebab Cu Tong-liang menyelinap maju sambil
merendahkan diri. Penyerang dari depan itu
ditangkap lengannya lalu dihempaskan ke
belakang, menimpa penyerangnya yang dari
belakang. Keduanya jatuh bertumpukan di lantai.
Cu Tong-liang yang sudah dikuasai kemarahannya itu melompati tubuh kedua orang
itu, keluar pintu dan ke jalanan. Katanya kepada
Lui Kong-sim yang. masih di dalam, "Sebenarnya
dari tadi ingin kukatakan bahwa kalian bertujuh
tak berarti apa-apa, tetapi kalian semakin kurang
ajar dan akulah yang akan menghajar kalian."
Cu Tong-liang yang sudah dikuasai kemarahannya itu melompati tubuh kedua orang
itu, keluar pintu dan ke jalanan.
205 Lui Kong-sim tidak membawa tombaknya, tetapi
ia membawa pedang pendek yang lalu dihunusnya.
Ia tidak langsung melangkah keluar, melainkan
memejamkan mata sekejap dengan bibir berkomatkamit.
Cu Tong-liang berdebar juga melihat itu,
teringat pengalamannya ketika masih sebagai
perwira dan ditugaskan di Lam-koan dulu,
berhadapan dengan orang-orang Pek-lian-hwe
206 (Serikat Teratai Putih) yang pandai ilmu gaib.
Apakah yang dihadapinya sekarang juga bisa ilmu
gaib" Hati Cu Tong-liang guncang, meskipun ia
mencoba membesarkan hati dengan mengingatingat perkataan bekas komandannya dulu, Oh
Tong-peng, yang mengatakan, "Ilmu gaib tak
berpengaruh banyak terdapat yang jiwanya teguh".
Namun Cu Tong-liang ingat juga bahwa dua
rekan perwiranya yang sudah jelas berhati teguh,
ditambah dirinya sendiri yang mental bajanya yang
juga tidak diragukan, ternyata menjadi korban
sihir hitam kaum Pek-lian-hwe. Rekannya yang
bernama Pang Hui-beng menjadi orang gila yang
berkeliling kota sambil menari dan menyanyi lupa
daratan, yang bernama Lo Lam-hong lupa dirinya
sendiri dan menjadi antek Pek-lian-hwe sampai
mau disuruh menyerang rekan-rekannya sendiri,
dan Cu Tong-liang sendiri pernah lumpuh total,
bukan hanya jasmaninya tetapi juga jiwanya yang
rasanya dibawa ke suatu tempat asing yang amat
menakutkan. (Dalam "Menaklukkan Kota Sihir").
Kini melihat lagak Lui Kong-sim sepertinya
hendak mempraktekkan semacam ilmu gaib,
jantung Cu Tong-liang berdebar kencang. Keringat
dinginnya tiba-tiba keluar dan kepalanya berdenyut-denyut. Cu Tong-liang jadi gugup sendiri, dan berusaha
memperbaiki keadaan dirinya dengan berkata
kepada sendiri. "Tidak. Aku sehat, aku tidak
terpengaruh. Aku kuat."
207 Namun nyatanya ia makin pusing dan makin
tidak enak badannya, apalagi ketika Lui Kong-sim
memperdengarkan bacaan manteranya.
Kemudian teman-teman Lui Kong-sim, kecuali
yang patah jarinya dan masih pingsan, mulai
menyerang Cu Tong-liang dengan sengit.
Cu Tong-liang merasakan pandangannya kabur
dan kepalanya amat sakit seolah ditekan dengan
gelang besi yang makin menyempit. Saat seperti
itu, empat kawan Lui Kong-sim menyerangnya
dengan sengit dan bertubi-tubi.
Biarpun kepalanya pusing dan pandangannya
kabur, Cu Tong-liang berusaha melawan juga.
Dalam hal silat, memang ia jauh lebih matang
daripada anak-anak muda Seng-tin yang hanya
gagah-gagahan itu. Maka biarpun kondisinya jauh
dari sempurna, perlawanannya lumayan juga.
Tetapi keempat lawan yang memukulinya pun
semakin ganas dan beringas. Bahkan meskipun
tanpa bukti apa-apa, mereka yakin Cu Tong-liang
adalah anggota gerombolan Beng Hek-hou, maka
mereka menyerang terus dengan sengit.
Ketika sakit kepala dan pandangan kabur Cu
Tong-liang menghebat, maka tangan dan kaki
teman-teman Lui Kong-sim pun beberapa kali
berhasil menerobos pertahanannya dan mengenainya. Sekuat apa pun tubuh Cu Tongliang, lama-lama terasa sakit juga.
Ketika itulah dari ujung jalan ada orang
melangkah mendekat dan meneriaki anak-anak
muda yang sedang main hakim sendiri itu, "He,
kalian sedang berbuat apa?"
208 Yang datang adalah Pang Se-bun, orang yang
dibenci Lui Kong-sim tetapi dihormati warga Sengtin karena sekarang menjadi salah satu pembantu
kepercayaan Wong Lu-siok.
Keempat anak muda itu berhenti menyerang Cu
Tong-liang, Lui Kong-sim melangkah keluar dari
rumah makan, dengan suara dingin ia menjelaskan, "Kakak Pang, orang ini mencurigakan
sekali. Dia adalah seorang anggota gerombolan
yang sedang memata-matai kewaspadaan kota ini
untuk kelak menyerang kembali!"
"Kalian benar-benar gegabah!" potong Pang Sebun dengan gusar. "Aku mengenal Tuan Cu ini
sebagai tamu terhormat kota kita, dia adalah bekas
perwira Kaisar di Pak-khia! Dan kalian sudah
memperlakukan orang terhormat ini seperti maling
jemuran saja!" Lalu kepada Cu Tong-liang, Pang Se-bun
berkata penuh sesal. "Saudara Cu, maafkan
teman-temanku ini. Apakah Saudara tidak apaapa?"
Cu Tong-liang masih pusing, tetapi berlagak
gagah dan menjawab, "Syukurlah belum sampai
terjadi apa-apa." Sementara Lui Kong-sim dan teman-temannya
kaget mendengar penjelasan Pang Se-bun itu.
Perwira istana" Alangkah hebatnya akibat tindakan
mereka yang gegabah itu kalau sampai Si Bekas
Perwira istana ini marah lalu menggunakan sisasisa pengaruhnya di Pak-khia untuk membalas
kota kecil ini. 209 Lui Kong-sim dan teman-temannya lalu hendak
mengeloyor pergi begitu saja, tetapi Pang Se-bun
menegur mereka, "He, tunggu! Bukankah Guru
Wong mengajarkan bahwa kalau kalian bersalah
harus berani minta maaf" Dengan kelakuan yang
baik, barulah kalian dapat menempuh jalan suci
yang diajarkan Guru Wong! Kalian harus minta
maaf kepada Saudara Cu!"
Liu Kong-sim mengutuk dalam, kebenciannya
kepada Pang Se-bun makin berkobar dalam hati
namun tidak berani melawan terang-terangan. Saat
itu banyak orang Seng-tin sudah yakin bahwa Pang
Se-bun sebagai orang kepercayaan Wong Lu-siok
juga punya "kekuatan para dewa" meskipun tidak
sehebat Wong Lu-siok. Banyak orang Seng-tin
percaya, kalau mereka berani membantah Wong
Lu-siok atau orang-orang kepercayaannya, misalnya Pang Se-bun, maka orang itu akan
mengalami bencana karena kemarahan para dewa
dan mahluk-mahluk sucinya. Bahkan anak Pang
Se-bun yang masih kecil, Pang Li-kun, alias A-kun,
sudah diketahui seluruh warga kota sebagai "anak


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dewa" yang punya macam-macam kemampuan
gaib, dan kabarnya Giam Lok jatuh sakit berat
karena perkataan bertuah dari A-kun si bodoh
cilik. Karena takut menggusarkan penguasapenguasa gaib itulah makanya Lui Kong sim
memaksa diri untuk memberi hormat sambil minta
maaf dengan gaya yang kaku kepada Cu Tongliang, barulah ngeloyor pergi. Begitu juga temantemannya.
210 "Aku minta maaf sekali lagi buat mereka,
Saudara Cu...." kata Pang Se-bun pula dengan
amat sungkan. "Untung Saudara Cu dapat
membela diri dengan baik, coba orang lain, pasti
sudah babak belur dan kami bersalah kepada
orang baik-baik." Cu Tong-liang sudah berkurang banyak
pusingnya sejak Lui Kong-sim menghentikan
manteranya. Sahutnya sambil tertawa, "Tidak jadi
soal, Saudara Cu, malah aku pun merasa tidak
enak karena menciderai beberapa orang dari
mereka. Tolong kapan-kapan Saudara Pang
sampaikan permintaan maafku kepada mereka.
Aku bisa memaklumi, sebagai kota yang pernah
mengalami hal tidak enak dengan kawanan
penjahat, lumrah saja sikap mereka. Sikap berjagajaga."
"Tetapi kadang-kadang kelewatan." sambung
Pang Se-bun. "Nah, Tuan Cu, mumpung sudah
sampai di sini, bagaimana kalau mengunjungi
rumahku sekalian" Kuperkenalkan dengan keluargaku." Cu Tong-liang diam-diam membatin, keluarga
Pang Se-bun pastilah keluarga harmonis sehingga
hendak dipamer-pamerkan. "Akulah yang merasa
terhormat mengunjungi Saudara Pang...."
Lalu keduanya pun berjalan berendeng menuju
ke rumah Pang Se-bun, sambil bercakap-cakap.
Pang Se-bun menanyakan apakah Cu Tong-liang
sudah berkeluarga, Cu Tong-liang lalu menceritakan tentang anak isterinya di Pak-khia.
Tetapi Cu Tong-liang belum mau menceritakan
211 tentang pengembaraannya, sebab kalau mengakui
itu berarti harus menceritakan tentang Liu Yok,
dan ia kuatir bahwa Liu Yok akan "kelewat aneh"
buat Pang Se-bun. Selama melangkah di jalan kota Seng-tin, Cu
Tong-liang melihat banyak orang memberi hormat
kepada Pang Se-bun. Dengan sendirinya Cu Tongliang jadi "kecipratan" hormat orang-orang ini juga,
karena berjalan bersama Pang Se-bun.
Diam-diam Cu Tong-liang teringat, ketika ia
masih menjadi perwira kepercayaan Jenderal Wan
Lui, sedang Jenderal Wan Lui sendiri adalah
tangan kanan Kaisar Kian-liong, maka Cu Tongliang dihormati di Pak-khia. Bahkan kalangan atas
pun menghormatinya. Kemudian ketika ia mengembara bersama Lui Yok, kehormatan macam
itu tidak pernah lagi dialaminya. Di mana-mana
dia dipandang sebagai pengembara biasa, bahkan
tidak jarang diremehkan, disangka tidak punya
uang. Liu Yok sendiri kelihatannya tidak ambil
pusing akan sikap orang-orang yang tidak
menghargainya, namun Cu Tong-liang sering
merasa kehilangan sesuatu. Kadang Cu Tong-liong
bertanya diri sendiri, waraskah pikirannya ketika
dulu ia bertekad melepaskan kedudukan empuknya di istana untuk mengembara bagai
gelandangan bersama Liu Yok" Kini berjalan
bersama Pang Se-bun, Cu Tong-liang membayangkan kembali dulu ketika dia berjalan
dalam pakaian perwiranya dan orang-orang
menghormatinya, meski penghormatan orang dari
kota terpencil macam Seng-tin tentu jauh nilainya
dari penghormatan orang-orang di Pak-khia. Tetapi
212 lumayanlah untuk sedikit mengobati "dahaga"nya
akan apa yang dirasakannya hilang sejak dia
mengikut Liu Yok. "Warga kota ini sangat menghormati-Saudara
Pang." "Begitulah. Tetapi mereka juga diwajibkan saling
menghormati dan menyayangi satu sama lain,
itulah ajaran jalan suci yang dibawa oleh Guru
Wong. Dengan menempuh jalan suci, kami akan
dilindungi dari segala yang jahat."
"Itu bagus! Kalau bisa dijalankan dengan
sempurna, kota ini akan jadi sepotong sorga di
bumi!" "Mudah-mudahan."
Langkah mereka terhambat, ketika seorang
perempuan setengah baya tiba-tiba menghadang
jalan mereka. Perempuan itu membungkuk dengan
amat khidmat kepada Pang Se-bun, dan
melaporkan nasibnya dengan rasa sedih, "Guru
muda Pang, semalam anakku Ho Tong kabur
kembali dengan membongkar kayu pasungannya."
Wajah Pang Se-bun menjadi sedih, sahutnya,
"Memang harus sabar, Bibi Ho. Sihir peninggalan
Beng Hek-hou yang menguasai diri Saudara Ho
Tong masih cukup kuat, tidak mudah dihilangkan
pengaruhnya begitu saja. Hendaknya Bibi rajin
memuja Ibunda Ratu langit, mudah-mudahan Ho
Tong akan tertolong."
Agaknya kata-kata singkat Pang Se-bun itu
sudah cukup menghibur hati perempuan tua itu,
dia mohon diberkahi, lalu pergi.
213 "Siapakah Ho Tong?" tanya
setelah perempuan itu minggir.
Cu Tong-liang "Seorang pemuda kota ini yang sekarang
otaknya miring karena disihir oleh para penjahat
dulu. Kami yakin, asal keluarganya bisa membawa
Ho Tong ke jalan suci dengan melakukan kebajikan
sebanyak-banyaknya, barangkali Ho Tong akan
sembuh." Sambil bercakap-cakap, tak terasa mereka
berdua tiba di depan sumah Pang Se-bun. Sebuah
rumah yang cukup besar dan bagus untuk ukuran
Seng-tin. Cu Tong-liang menerima sambutan ramah dari
seisi rumah, bahkan si kecil A-kun mengingatkan
Cu Tong-liang kepada anaknya sendiri yang
ditinggal di Pak-khia. Dalam pelukan A-kun, ada
boneka porselen yang dinamainya A-hwe.
Gerak-gerik A-kun yang lucu tapi sopan ketika
diperkenalkan dengan Cu Tong-liang, sungguh
membuat lega kedua orang tuanya. Sebab
belakangan ini kadang-kadang A-kun mengucapkan kata-kata kasar tanpa pandang bulu
siapa yang diajaknya bicara. Tetapi untunglah,
ketika dihadapkan Cu Tong-liang, kebiasaan
barunya yang buruk itu tidak muncul.
Kemudian A-kun menggoyang-goyangkan boneka porselennya sambil berkata, "A-hwe juga
mengucapkan selamat datang kepada Paman Cu."
Cu Tong-liang menganggap tindakan itu
hanyalah tindakan anak-anak yang penuh fantasi,
maka Cu Tong-liang pun menyesuaikan diri
214 dengan alam anak-anak dan dia pun memberi
salam kepada Si Boneka porselin sambil berkata,
"Paman Cu juga senang ketemu A-hwe. Apa kabar,
A-hwe?" Suami isteri Pang Se-bun tersenyum melihat Cu
Tong-liang, bekas orang berpangkat di ibu kota
kerajaan itu ternyata begitu mudah bergaul dengan
anak-anak. Yang paling senang tentu saja adalah
A-kun, ia menempelkan kupingnya ke mulut
boneka porselennya sekian lama seolah-olah
mendengar boneka itu bicara, lalu A-kunlah yang
bicara, "A-hwe gembira Paman Cu baik kepada Ahwe. A-hwe mau selalu membantu Paman Cu di
mana pun, boleh?" Waktu A-kun "mendengarkan A-hwe" itu
sebenarnya Pang Se-bun dan isterinya sudah
berdebar-debar. Sebab sudah terjadi dua kali,
sehabis "mendengarkan A-hwe" lalu A-kun
mengucapkan sesuatu "atas nama A-hwe" kepada
orang tertentu, dan orang-orang itu mengalami
tepat seperti yang dikatakan A-kun. Kebetulan
yang dialami orang-orang itu buruk.
Untunglah sekarang di depan Cu Tong-liang, Akun mengucapkan sesuatu yang baik, meski
berlagak mewakili A-hwe. Masih menganggap kata-kata A-kun itu sekedar
fantasi kanak-kanak, tanpa pikir panjang Cu Tongliang menjawab untuk menyenangkan keluarga
yang ramah itu. "Tentu Paman suka sekali dibantu
A-hwe." Ketika mengucapkan itu, Cu Tong-liang merasa
di punggungnya ada sesuatu yang dingin selama
215 satu detik, lalu lenyap kembali. Hati Cu Tong-liang
sendiri merasa tidak enak, tetapi karena Cu Tongliang lebih terbiasa mengandalkan akalnya, maka
urusan punggung terasa dingin dan hati tidak enak
itu cepat menyingkir begitu saja dari pikirannya.
Tadi di rumah makan Ao Khim, Cu Tong-liang
batal makan karena gangguan Lui Kong-sim, tetapi
sekarang di rumah sahabat barunya ini Cu Tongliang menikmati makanan lezat setelah sekian lama
hanya makan makanan darurat para pengembara
bersama Liu Yok dan Siau Hiang-bwe.
Dalam percakapan ramah-tamah dengan Pang
Se-bun, Cu Tong-liang mendengar tentang si kecil
A-kun yang punya "bakat ajaib" bisa meramalkan
keberuntungan dan kecelakaan.
Cu Tong-liang mendengarnya dengan perasaan
ringan saja, perasaan bahwa itu tidak ada
salahnya. Cu Tong-liang masih di rumah itu, ketika rumah
itu kedatangan seorang lelaki yang mengantar
puteranya yang sebaya dengan A-kun. Dengan
wajah amat bersungguh-sungguh, lelaki itu
memohon kepada Pang Se-bun agar diperbolehkan
bertemu dengan A-kun dan boneka porselennya.
Melihat kesungguhan orang itu, Pang Se-bun
memanggil puterinya agar keluar menemui. Setelah
A-kun keluar, adegan yang terjadi di depan Cu
Tong-liang sungguh terasa menggelikan dan tidak
masuk akal, namun benar-benar terjadi.
Si Lelaki yang mengantar anaknya itu dengan
suara amat menghormat membujuk A-kun, "Nona
216 Pang, aku memohonkan maaf sebesar-besarnya
kepadamu atas kenakalan Anakku kepadamu tadi.
Tolong Nona membatalkan kata-kata Nona tentang
diri anakku tadi." Cu Tong-liang sampai geleng-geleng kepala
sendiri menyaksikan peritiwa ganjil itu. Pikirnya.
"Dasar orang masih dikuasai tahyul. Begitu ada
desas-desus A-kun punya kemampuan gaib, lalu
orang-orang pada ketakutan kepada kata-katanya,
kuatir kalau benar-benar terjadi. Hem, padahal
cuma omongan anak-anak."
Bersambung jilid VI. *** Jilid 6 >o< SEMENTARA A-kun menjawab, "Kutanyakan
dulu kepada A-hwe." Lalu dengan gaya seperti
biasanya, menempelkan kuping di mulut Si Boneka
seperti sedang mendengarkan, dan sesaat kemudian menjawablah A-kun, "A-hwe bilang,
karena kau minta maaf, maka kau tidak akan


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalami bencana. Tetapi temanmu yang gundul
itu benar-benar sudah membuat A-hwe marah
tetapi tidak mau minta maaf ke sini, maka
temanmu yang gundul itu akan mengalami banyak
bencana sampai dia dan seluruh keluarganya
mentaati jalan suci!"
217 "A-kun!" cegah Pang Se-bun dengan kaget,
karena puterinya kembali mengucapkan kata-kata
yang dipercaya banyak orang bisa mencelakakan
orang. Tetapi malah Cu Tong-lianglah yang sambil
tertawa berkata kepada Pang Se-bun, "Hanya
perkataan anak-anak, Saudara Pang. Kenapa kau
seserius itu?" Dalam tegang dan cemasnya, tak terasa Pang
Se-bun mengucapkan sesuatu yang sebenarnya
harus disimpannya sendiri. Katanya, "Saudara Cu,
temanku Giam Lok yang menganggap kata-kata
Anakku hanya sekedar omongan anak-anak, dan
sekarang...." Sampai di situ barulah Pang Se-buh menghentikan kata-katanya, sadar telah terlalu
gegabah bicara. Tidak enak rasanya kalau sampai
kata-kata itu sampai ke keluarga Giam Lok. Di
kota kecil macam Seng-tin, kata-kata seorang
mudah sampai ke kuping orang lain, bahkan
sudah "ditambahi bumbu".
Sementara itu A-kun berkata kepada ayahnya,
"Jangan takut, Ayah. A-hwe tidak marah kepada
Paman Cu kok.... betul bukan, A-hwe?"
Lalu boneka itu digerakkan sendiri oleh A-kun
seolah-olah mengangguk. Cu Tong-liang tertawa ringan saja, tetapi Pang
Se-bun suami isteri benar-benar berkeringat dingin
menyaksikan gerak-gerik A-kun dengan boneka Ahwe-nya. Untunglah setelah berkata begitu, A-kun
segera masuk kembali ke dalam.
218 Sementara ayah dan anak yang baru saja
dibebaskan dari akibat kata-kata A-kun itu pun
mengucap terima kasih berulang kali sebelum
berpamitan pulang. Menyaksikan semuanya itu, diam-diam Cu
Tong-liang membatin, "Agaknya penduduk kota ini
memiliki semacam kepercayaan yang agak tidak
masuk akal." Tetapi soal tidak masuk akal, tiba-tiba Cu Tongliang pun teringat bahwa dia pun sedang mengikuti
Liu Yok yang kepercayaannya kadang begitu aneh.
Sehingga Cu Tong-liang mulai membandingkan
antara kepercayaan warga Seng-tin dan kepercayaan Liu Yok entah mana yang lebih aneh"
Apakah kedua kepercayaan itu berasal dari sumber
yang sama" Atau berlainan, bahkan berlawanan"
Kemudian datanglah Pang Se-hiong, adik Pang
Se-bun, yang bertubuh penuh otot karena
pekerjaannya sebagai tukang besi. Setelah
diperkenalkan kepada Cu Tong-liang, Pang Sehiong melapor kepada kakaknya, "Kak, Kakak
ditunggu di lapangan latihan untuk meninjau
latihan pengawal-pengawal kota, karena Guru
Wong sedang berhalangan. Beliau sedang bersemedhi dan tidak bisa diganggu siapa pun."
Pang Se-bun menoleh ke arah Cu Tong-liang,
ajaknya, "Saudara Cu, kau sebagai perwira istana
yang berpengalaman tentu punya petunjukpetunjuk berharga bagi kelompok keamanan kota
yang baru saja kami bentuk dan sekarang sedang
berlatih di lapangan. Maukah Saudara Cu
menemani aku untuk melihat mereka?"
219 "Jadi kota ini mengandalkan keamanannya
kepada warga sendiri, karena tidak ada prajurit
kerajaan?" "Benar. Tetapi dengan petunjuk-petunjuk dari
Saudara Cu, mutu pengawal-pengawal kami pasti
akan meningkat, Saudara Cu adalah bekas
perajurit kawakan di bawah perintah Kaisar
sendiri." kalimat terakhir ini ditujukan kepada
Pang Se-hiong adiknya. Hari itu Cu Tong-liang merasa jiwanya agak
segar karena menikmati penghargaan yang sudah
lama tidak dinikmatinya. Kini terbuka lagi sebuah
kesempatan untuk dia memamerkan Peng-hoat
(Teori Militer)-nya di depan kelompok "hansip"
Seng-tin yang pasti lugu dan akan dibuatnya
terkagum-kagum dengan peng-hoatnya.
Tetapi Cu Tong-liang pura-pura merendah, "Ah,
warga kota ini sudah menunjukkan prestasi hebat
dengan mengusir gerombolan Beng Hek-hou,
rasanya mereka tidak membutuhkan banyak
petunjuk lagi. Barangkali aku hanya bisa sedikit
'memoles' saja dengan petunjuk-petunjuk kecil tak
berharga." Cu Tong-liang lalu ikut kakak beradik she Pang
ke tempat latihan. Sepanjang jalan, dalam hatinya
Cu Tong-liang sudah mereka-reka petunjuk apa
saja yang bakal diberikan kepada kelompok
"hansip" Seng-tin itu" Petunjuknya harus menunjukkan bobotnya sebagai perwira istana.
Dan setelah tiba di tempat latihan, Cu Tongliang melihat lebih kurang ada dua puluh lima
orang sedang berlatih, yang di luar dugaannya ada
220 juga beberapa orang perempuan sedang ikut
latihan, tak kalah giatnya dengan yang laki-laki.
Hal lain yang tak diduga Cu Tong-liang, yang
membuat Cu Tong-liang terpaksa membatalkan
semua petunjuk yang sudah disiapkan di otaknya,
ialah karena melihat latihannya orang-orang Sengtin itu jauh dari bayangan Cu Tong-liang.
Tadinya Cu Tong-liang menyangka akan melihat
sekelompok warga sedang berlatih memanah atau
bermain senjata, atau caranya bekerja sama
berkelompok melawan musuh. Ternyata yang
dilihatnya sekarang ialah sekelompok orang, ada
yang sedang berlari-lari hilir-mudik dengan kaki
telanjang di atas tumpukan bara menyala yang
ditaruh memanjang, ada yang sedang memanjat
tangga tetapi bukan sembarang tangga melainkan
anak-tangganya terbuat dari pedang-pedang tajam
yang mata pedangnya menghadap ke atas dan
diinjak kaki telanjang pula, ada yang sedang
"menggoreng" tangannya di dalam minyak yang
mendidih, ada yang sedang menusuk lidahnya atau
pipinya atau bahkan tenggorokannya dengan
kawat, tembus tetapi tidak mengeluarkan darah
sedikit pun, ada yang sedang memamerkan
kekebalan tubuhnya dengan dihantami tongkat
besi maupun senjata tajam tetapi tidak cidera
sedikit pun. Cu Tong-liang jadi garuk-garuk kepala, mau
memberi petunjuk apa kepada kelompok macam
ini" Akhirnya Cu Tong-liang duduk menonton saja,
setelah diambilkan kursi oleh seorang warga kota.
221 Ia duduk berendeng dengan Pang Se-bun sambil
menonton dan mengomentari.
Ia berada di situ sampai matahari hampir
terbenam. Cu Tong-liang kemudian mohon pamit
untuk kembali ke kediaman Tabib Kian, agar Liu
Yok dan Siau Hiang-bwe jangan sampai menguatirkannya. Sambil melangkah, Cu Tong-liang masih
terkesan dan memikirkan adegan-adegan hebat
mendebarkan yang dilihatnya di lapangan latihan
tadi. Pikirnya, "Dengan kekuatan dari mana
mereka bisa ========================================
========= Hal 10-11 kelewat ========================================
========= Tak ada jawaban, hanya desir angin dan ilalang.
Cu Tong-liang menarik napas, mengusap
tengkuknya sendiri, lalu meneruskan langkah ke
pondok Tabib Kian sambil menyimpulkan sendiri,
"Karena aku terkesan akan anak Pang Se-bun yang
mengingatkanku akan anakku di Pak-khia, maka
aku jadi seolah-olah mendengar suara anak
perempuan, padahal tidak. Sering suara itu dari
pikiran sendiri, tetapi dikira dari luar... hem."
222 Tetapi setelah Cu Tong-liang berjalan lagi
puluhan langkah, kembali ia memperoleh perasaan
kuat bahwa ada yang berjalan di belakangnya.
Secepat kilat Cu Tong-liang membalikkan badan,
namun tetap yang dilihatnya hanyalah helai-helai
ilalang yang diguncang angin.
Beberapa saat Cu Tong-liang tidak beranjak,
menajamkan kupingnya, mendengarkan angin.
Dan ketika dia kemudian menangkap suatu suara,
ia malah bingung sendiri apakah suara itu benarbenar tertangkap oleh kupingnya atau hanya oleh
perasaan dalam hatinya saja"
Sebab yang didengarnya amat sayup dan lembut
itu adalah suara tertawa riang seorang anak kecil
perempuan! Suara anak perempuan di tengahtengah padang ilalang yang ditakuti orang dewasa
sekalipun karena banyak serigalanya, apalagi di
malam gelap seperti saat itu! Suatu yang habishabisan ditentang akal sehat Cu Tong-liang.
Tetapi suaranya memang terlalu sayup, seakanakan dari alam lain sampai Cu Tong-liang sendiri
ragu menentukannya. Suara Cu Tong-liang pun ragu ketika dia
berbicara ke arah kegelapan. "Apakah... A-kun?"
Tak ada jawaban apa-apa, meski Cu Tong-liang
mengulanginya dua kali. Toh Cu Tong-liang ingin
lebih meyakinkan diri dengan berputar-putar
beberapa saat melangkahi tempat itu, dan ia tidak
menemukan jejak siapa-siapa kecuali jejaknya
sendiri. 223 "Rupanya aku memang hanya seolah-olah
mendengar, tetapi tidak mendengar sungguhsungguh...." gerutu Cu Tong-liang kemudian ketika
meneruskan langkah ke pondok Tabib Kian.
Tiba di pondok, ia membuka sendiri pintu pagar,
tetapi yang membukakan pintu pondok ialah Liu
Yok, karena pintu itu dikancing dari dalam.
Sambil tersenyum, Liu Yok berkata, "Rupanya
kota Seng-tin begitu menarik, sehingga Kakak
habiskan sehari penuh, dari matahari terbit
sampai matahari terbenam."
Cu Tong-liang pun tersenyum dan
menjawab singkat, "Sebuah kota menakjubkan!" hanya yang Percakapan itu agaknya terdengar sampai ke
ruang tengah, sehingga dari ruang tengah
terdengar suara Siau Hiang-bwe bercanda,
"Menakjubkan apanya, hayo" Gadis-gadisnya
cantik-cantik" Awas, kelak kulaporkan isteri Kakak
di Pak-khia!" Cu Tong-liang tertawa, ia melangkah melewati
Liu Yok dan bertanya kepada Siau Hiang-bwe yang
masih tertutup dinding, "A-kui, makan malam apa
yang kaumasak malam ini" Aku lapar!"
Memang demikianlah tingkah laku mereka di
rumah Tabib Kian, bersikap akrab dan bebas
seperti di rumah sendiri atas permintaan Tabib
Kian sendiri, menghangatkan suasana rumah itu.
Liu Yok hendak menutup pintu, namun
terdorong oleh sesuatu perasaan lembut dalam
hatinya, ia melangkah keluar untuk memeriksa
224 pintu pagar apakah sudah ditutup dengan betul
oleh Cu Tong-liang atau tidak.
Ketika berdiri di pintu pagar, tatapan mata Liu
Yok tiba-tiba menjadi setajam pedang, menatap ke
kegelapan malam di luar pagar beberapa saat
lamanya. Lalu Liu Yok berdesis perlahan, "Cu


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tong-liang masih anak asuh kerohanianku, jangan
lupa itu...." Habis itu barulah Liu Yok menutup pintu pagar.
Tak dipedulikannya tangisan seorang anak
perempuan kecil di tengah padang ilalang.
Tangisan yang hanya bisa didengar oleh Liu Yok
dengan jelas. Ketika pagi tiba, ketiga orang "keluarga baru"
Tabib Kian itu membantu-bantu seperti biasanya.
Ada yang memeriksa tanam-tanaman, ada yang
menimba, ada yang membelah kayu bakar. Siau
Hiang-bwe setelah selesai memeriksa tanaman
sekalian mengambil beberapa bahan mentah untuk
makanan, langsung ke dapur untuk menyiapkan
sarapan pagi. Mereka sarapan pagi bersama seperti kemarin,
tetapi Cu Tong-liang nampak tergesa-gesa, hingga
Tabib Kian berkata, "Kenapa tergesa-gesa, A-liang?"
Cu Tong-liang menelan nasi dan lauknya tanpa
mengunyahnya sampai lembut, katanya, "Aku tibatiba merasa menjadi orang berguna lagi di Sengtin."
"Ada apa lagi di Seng-tin?" tanya Liu Yok.
"Penduduknya orang-orang baik, dan aku
mendapat beberapa sahabat di sana. Kota itu baru
225 saja menemukannya kebebasannya dari gerombolan jahat, dan sekarang warganya sedang
memantapkan diri, memperkuat diri. Dan aku...
membantunya dengan berbagai saran...."
"Bagaimana dengan tanya Tabib Kian. kesehatan Giam Lok?" "Kemarin aku tidak mampir ke rumah Giam
Lok." "Siang ini aku harus menjenguknya."
Kemudian Liu Yok bertanya kepada Cu Tongliang, "Kakak Liang, semalam ketika kau pulang
kemari, tidakkah kau merasa ada yang mengikuti?"
Cu Tong-liang terkesiap, apakah Liu Yok tahu
pengalamannya yang agak aneh di tengah padang
ilalang kemarin malam"
"Kenapa Saudara Liu bertanya begitu?"
"Sebab kemarin malam ketika kuperiksa pintu
pagar, kulihat seorang anak perempuan kecil,
berkuncir dua diikat pita merah, berpakaian serba
merah dan bersepatu merah pula."
Cu Tong-liang mengerutkan alisnya. Kok
dandanannya sama dengan boneka porselen milik
A-kun yang diberi nama A-hwe itu" Tetapi
bukankan A-hwe itu cuma mahluk khayalan di
benak A-kun" Atau secara kebetulan saja Liu Yok
juga menghayalkan seseorang yang tepat seperti
dikhayalnya A-kun" Ia menggeleng, "Aku memang merasa diikuti,
tetapi tidak kulihat siapa-siapa...."
226 "Ya sudah. Hati-hatilah, Kakak Liang."
"Hati-hati untuk apa?"
Mulut Liu Yok sudah bergerak hendak
mengatakan sesuatu, tetapi oleh suatu pertimbangan, Liu Yok akhirnya tidak berkata apaapa.
Siau Hiang-hwelah yang kemudian berkata,
"Aku ingin melihat kota itu juga. Kakak Liang,
warung masakannya enak-enak?"
Cu Tong-liang nampak berpikir-pikir sejenak, ia
kuatir kalau Siau Hiang-bwe ikut dan melihat apa
saja di kota itu, lalu diceritakan kepada Liu Yok,
maka Liu Yok akan tidak menyetujui banyak hal
dan mengajak cepat pergi dari kota itu, padahal di
Seng-tin itu Cu Tong-liang baru menikmati sesuatu
yang lama didahagakannya kembali, dihormati
orang. "Kakak Liang keberatan kalau aku ikut?" tanya
Siau Hiang-bwe. Tiba-tiba saja Cu Tong-liang menemukan alasan
untuk mencegah ikutnya Siau Hiang-bwe, "A-kui,
bukannya aku tidak senang mengajakmu ke kota
ini, tetapi kota itu belum aman betul. Meski
warganya telah mengusir gerombolan penjahat
tetapi ancaman masih ada. Warga kota juga masih
curiga kepada orang asing."
"Tetapi apa tampangku seperti gerombolan?" tanya Siau Hiang-bwe.
anggota "Tampangku juga tidak seperti anggota gerombolan, tetapi kemarin aku juga dicurigai.
227 Untung ada Pang Se-bun yang sudah kukenal
sebelumnya." Cu Tong-liang pun kemudian bersiap-siap
berangkat. Tetapi sebelum berangkat ia tiba-tiba
bertanya kepada Liu Yok, "Saudara Liu, dalam
keyakinan yang kita anut, apakah ada semacam...
doa untuk membuat kita mampu berjalan di atas
api atau... mencelupkan tangan ke minyak
mendidih?" Liu Yok tercengang, "Buat apa?"
Cu Tong-liang garuk-garuk kepala, agak malumalu untuk mulai mengatakannya sebab ia tahu
perkara-perkara demikian tidak disukai Liu Yok.
Perkara memiliki sesuatu kelebihan lalu ditunjuktunjukkan kepada orang banyak.
Karena itulah Cu Tong-liang kemudian malah
berkata, "Ah, lupakan saja, Saudara Liu. Aku pergi
dulu." Siau Hiang-bwe yang dicegah ikut itu cemberut
dan menggerutu, "Jangan-jangan di kota itu Kakak
Liang punya calon isteri baru yang tidak boleh
kulihat, kuatir kulaporkan kepada isterinya di Pakkhia?"
Tabib Kian tertawa, lebih dulu ia melihat keluar
pintu untuk memastikan bahwa Cu Tong-liang
sudah cukup jauh untuk tidak dapat mendengar
kata-katanya, setelah itu baru berkata kepada Siau
Hiang-bwe. "Kau hendak melihat Seng-tin, mari
bersamaku. Aku pun hendak menengok beberapa
orang sakit di sana."
228 Seperti anak kecil diajak tamasya, begitulah
Siau Hiang-bwe bersorak kegirangan sambil
melompat. "Kakak Yok ikut sekalian?"
"Tidak. Aku harus memperbaiki beberapa
penyangga tanaman yang roboh di dekat kandang
ayam. Kalau ada makanan enak, bawakan pulang
untukku." Tidak lama setelah Cu Tong-liang berangkat,
Tabib Kian dan Siau Hiang-bwe pun berangkat.
Seperti biasa, Tabib Kian menggendong kotak
obatnya yang dari anyaman rotan itu.
"Nanti kutunjukkan kepadamu warung bubur
kacang yang lezat di dekat pasar, A-kui." kata
Tabib Kian bersemangat. "Mencicipi juga boleh...."
Ratusan langkah di depan mereka berdua, Cu
Tong-liang dengan langkah lebar menuju Seng-tin.
Kota yang membuat dirinya "sedikit berguna"
setelah sekian bulan ikut "jadi gelandangan"
bersama Liu Yok. Suatu pikiran tiba-tiba saja melintas di
benaknya, "Selama berbulan-bulan aku bersama
Liu Yok, apa yang kudapatkan" Aku sudah
kehilangan kedudukanku sebagai perwira istana,
tetapi yang ku-peroleh dari Liu Yok cuma
omongan-omongan aneh yang tidak karuan
juntrungnya. Liu Yok juga belum tentu bisa
melakukan keajaiban-keajaiban seperti warga
Seng-tin yang tergabung dalam kelompok keamanan itu." 229 Tetapi setelah berpikir demikian, Cu Tong-liang
kaget sendiri. Beberapa bulan ia ikut Liu Yok,
belum pernah pikiran itu melintas. Sekarang,
kenapa tiba-tiba saja muncul"
Cu Tong-liang menggoyang-goyangkan kepala
untuk mencoba mengusir pikiran yang dianggapnya buruk itu. Kemudian mata Cu Tong-liang tiba-tiba tertarik
kepada sesuatu yang tergeletak di antara ilalang. Ia
membungkuk memungut sebuah sepatu merah
kecil yang tergeletak. Sepatu kanak-kanak! Pikiran
Cu Tong-liang sekarang bergolak cemas memikirkan nasib pemilik sepatu itu. A-kunkah"
Dimakan serigalakah"
Cu Tong-liang meneliti ke sekitar tempat itu,
namun tidak menemukan tanda-tanda lain seperti
misalnya jejak serigala, pakaian yang tercabik atau
darah. Tidak ada. Hanya sepatu merah sebelah
kanan itu. Bahkan jejak kaki anak kecil juga tidak
ada, seolah sepatu merah itu jatuh dari langit
begitu saja. "Ini aneh...." pikirnya sambil memegangi sepatu
merah itu. Lalu ia melanjutkan langkah ke Sengtin dengan lebih bergegas.
Ketika ia mulai melangkah di jalanan kota yang
ramai, kecurigaan warga terhadapnya sudah tidak
setajam kemarin, karena sekarang sudah banyak
warga Seng-tin yang mengenalnya, bahkan
menghormatinya. Sebenarnya, ketika berangkat dari pondok Tabib
Kian tadi, Cu Tong-liang tidak punya tujuan
230 tertentu, sekedar ingin menikmati rasanya
dihormati orang kembali. Tetapi sejak menemukan
sepatu anak-anak berwarna merah, ia jadi
mencemaskan A-kun, maka tujuannya pun- ke
rumah Pang Se-bun. Ternyata belum sampai ke rumah Pang Se-bun,
baru sampai ke ujung lo-irong di mana rumah
Pang Se-bun terletak, Cu Tong-liang sudah
berpapasan dengan Pang Se-bun yang nampak
tergesa-gesa. "Eh, Saudara Pang, kok kelihatan tergesa-gesa,
hendak ke mana?" Dengan wajah bersungguh-sungguh Pang Sebun menjawab, "Kebetulan bertemu Saudara Cu di
sini. Aku sebenarnya hendak ke tempat tinggal
Tabib Kian untuk menjumpaimu."
"Menjumpai aku" Ada keperluan apa?"
"A-kun ingin bertemu dengan Saudara Cu."
Cu Tong-liang jadi maklum, A-kun sudah
dianggap "anak dewa" oleh banyak orang Seng-tin.
Kalau punya kemauan, maka orang lain bergegas
menjalankan kemauannya, bahkan ayahnya sendiri, takut dewa-dewa keburu marah dan
mengeluarkan kutukan lewat mulut A-kun.
Cu Tong-liang dan Pang Se-bun berjalan
berendeng ke rumah Pang Se-bun yang tidak jauh
lagi. "A-kun baik-baik saja kan, Saudara Pang?"
"Ya, tetapi semalam ada peristiwa yang agak
ganjil di rumahku." 231 "Peristiwa ganjil bagaimana?"
"Pagi ini.... boneka poerselen A-kun kehilangan
sebelah sepatunya." Cu Tong-liang tertawa geli mendengar itu.
Akalnya tidak begitu saja menghubungkan urusan
kehilangan sepatu itu dengan sepatu merah yang
sekarang di tangannya. Sebab sepatu merah di
tangannya untuk seukuran anak manusia, yang
tentu jauh lebih besar dari ukuran sepatu boneka.
Kata Cu Tong-liang sambil masin tertawa geli.
"Ah, kukira peristiwa seperti apa, tak tahunya
hanya boneka kehilangan sebelah sepatu. Dibawa
tikus barangkali...."
Pang Se-bun geleng-geleng kepala. "Tidak


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesederhana itu, Saudara Cu. Boneka itu terbuat
dari porselen. Waktu dibuat, sudah langsung
diwujudkan bersama pakaiannya, sepatunya, pita
rambutnya. Semuanya dijadikan satu dengan
tubuh boneka, jadi dari porselen juga. Mana
mungkin dibawa tikus" Tetapi pagi ini tahu-tahu
sebelah kaki boneka itu sudah tak bersepatu lagi."
Cu Tong-liang cuma heran sekejap, lalu kembali
memamerkan ketajaman otaknya yang dibanggakannya itu, "Bisa jadi ada yang menukar
bonekanya secara diam-diam selagi puterimu tidur.
Boneka aseli ditukar boneka lain yang sangat mirip
tetapi tak bersepatu."
Pahg Se-bun merasa dugaan itu masuk akal
juga, "Bisa jadi. Tapi siapa pelakunya dan apa
maksudnya?" 232 "Nanti kita selidiki pelan-pelan." sahut Cu Tongliang. Diam-diam ia mulai merasa bergairah dalam
hati. Menyelidiki suatu kasus dan menemukan
jawabannya dengan akal, mengingatkan ia akan
tugas-tugas lamanya sebagai perwira rahasia
kerajaan dulu. Ia merasa akan beroleh kesempatan
untuk memamerkan keahliannya menyelesaikan
kasus, setelah kemarin ia gagal memamerkan
keahlian peng-hoat (teori militer)-nya.
Mereka sudah tiba di rumah Pang Se-bun lalu
melangkah masuk. A-kun menyongsong dengan
membawa boneka yang memang nampak tak
bersepatu sebelah kakinya.
Begitu bertemu Cu Tong-liang yang memang
diharapkannya, A-kun langsung saja nyerocos
dengan nada mengadu, "Paman Cu, teman Paman
yang bernama Liu Yok itu orang jahat! Semalam Ahwe mengikuti Paman, dan ia ingin berbicara
kepada Paman, tetapi A-hwe tidak bisa menembus
tembok api yang dinyalakan oleh teman Paman
yang jahat itu! A-hwe lari ketakutan sampai
sebelah sepatunya tertinggal di tengah padang
ilalang sana!" Karuan Cu Tong-liang melongo. Selain beberapa
hal yang tak dipahami dalam kata-kata A-kun, di
mana A-kun bicara seolah-olah A-hwe benar-benar
manusia dan bukan boneka, juga soal "tembok api"
yang dinyalakan Liu Yok, maka selebihnya dari
kata-kata A-kun mengherankannya. Seperti soal
"A-hwe mengikuti aku" "apakah itu saat Cu Tongliang mendengar suara anak perempuan di tengah
padang ilalang yang gelap". Kemudian Cu Tong233
liang juga ingat perkataan Liu Yok pagi tadi, yang
mengatakan bahwa semalam Cu Tong-liang diikuti
"gadis cilik berpakaian merah dan bersepatu
merah" lalu sepatu merah yang ditemukan di
tempat padan ilalang itu" Dan kenapa pula A-kun
tiba-tiba tahu adanya teman Paman Cu Yang
bernama Liu Yok" Cu Tong-liang sampai bingung sendiri. Semua
yang dialaminya itu terjadi di alam yang mana"
Alam khayalan atau alam nyata" Kenapa
bercampur-aduk" Dengan demikian kembali gagallah niat Cu Tong-liang untuk memamerkan
kepandaiannya menyelidik perkara dengan akal
sehatnya. Fakta-faktanya saja sudah campur-aduk
antara yang gaib dan yang nyata, penyelidik mapa
yang paling hebat di dunia sekalipun yang mampu
memecahkannya" Cu Tong-liang yang tengah termangu-mangu itu
dibuyarkan lamunannya oleh suara A-kun, "Paman
Cu, sepatu siapa yang Paman pegangi itu?"
Dengan pikiran kosong Cu Tong-liang menyodorkan sepatu merah itu sambil berkata,
"Paman temukan ini di tengah padang ilalang."
"Pasti kepunyaan A-hwe!" seru A-kun kegirangan. "A-hwe, benarkah itu sepatumu?"
Seperti biasa, A-kuh mendengarkan dari mulut
boneka porselennya lalu berkata, "A-hwe bilang, itu
memang sepatunya. Dia juga bilang terima kasih
kepada Paman Cu dan selalu sayang kepada
Paman Cu." 234 Sepatu merah itu pun berpindah tangan kepada
A-kun, lalu dibawa masuk. !
Cu Tong-liang bertanya kepada Pang Se-bun,
"Saudara Pang, bolehkah aku ikut masuk untuk
melihat apa yang hendak puterimu perbuat dengan
sepatu itu?" "O, silakan. Aku pun hendak melihatnya."
Mereka mengikuti A-kun. Dan mereka tercengang melihat di halaman belakang A-kun
menaruh boneka porselen nya berdiri di tanah, lalu
sepatu merah itu dibakar di depannya.
235 "A-kun, kenapa sepatu itu dibakar?"
"Ayah, A-hwe ini berada di suatu tempat yang
lain dari kita. Untuk mengirim apa-apa kepadanya,
haruslah begini caranya."
"Siapa memberitahukan cara itu?"
"A-hwe sendiri."
Diam-diam Pang Se-bun mulai menduga,
apakah A-hwe ini arwah manusia, akan mahluk
suci dari langit seperti ajaran Wong Lu-siok, atau
semacam dewa" Sementara itu sepatu itu sudah jadi abu,
dengan kegirangan A-kun lalu membawa boneka
porselennya ke dalam rumah. Tak lama kemudian,
ia keluar kembali membawa bonekanya, minta ijin
ayahnya, "Ayah, aku hendak bermain-main ke
rumah teman, boleh?"
"Boleh, tapi berjanjilah kepada Ayah, jangan
mengucapkan kata-kata yang membuat celaka
orang lain ya?" "Yang berkata bukan aku, Ayah, tetapi A-hwe!"
Pang Se-bun menarik napas, kalau sudah
dijawab begitu, dia pun mati ktitu. Mau apa" Mau
ikut-ikutan berbicara ada boneka porselen untuk
memberi nasehat" Kalau A-kun yang bicara kepada
boneka, orang bisa maklum karena A-kun masih
kanak-kanak. Tetapi kalau ayahnya, pasti yang
melihatnya akan menyangka Pang Se-bun sudah
miring otaknya. Sementara ayah dan anak bercakap-cakap, Cu
Tong-liang diam-diam memperhatikan bahwa
236 boneka porselen itu sudah bersepatu kedua
kakinya! Pikir Cu Tong-liang, "Mungkin A-kun
punya dua boneka yang persis sama, bedanya yang
satu bersepatu semuanya dan lain tidak bersepatu
sebelah kakinya. Lalu dia mainkan semuanya ini,
mungkin sekedar akal anak-anak untuk mengajak
orang-orang dewasa juga percaya bahwa A-hwe
benar-benar ada." Setelah A-kun berlalu, Cu Tong-liang tiba-tiba
berkata, "Saudara Pang, maafkan aku, tiba-tiba
saja aku punya keinginan untuk memeriksa
tempat A-kun menyimpan barang-barangnya...
mainan-mainannya...."
Pang Se-bun mengerutkan alisnya, nampaknya
agak tersinggung. "Kenapa Saudara Cu" Saudara
anggap A-kun menyembunyikan sesuatu... barang
curian, begitu?" Cu Tong-liang menghormat dalam-dalam, "Mohon beribu-ribu maaf kalau kata-kataku tadi
telah membuatmu tersinggung, Saudara Pang. Tapi
dengan memeriksa barang-barang A-kun,. barangkali bisa sedikit tersingkap rahasia boneka
porselennya itu." "Apa yang Saudara pikirkan?"
Dengan singkat Cu Tong-liang menjelaskan
kecurigaannya tentang dua boneka yang mirip satu
sama lain, dan Cu Tong-liang pun lega melihat
Pang Se-bun mengangguk-angguk.
Sebagai ayah, selama ini memang Pang Se-bun
juga dipenuhi tanda tanya soal "A-hwe" itu, apalagi
mulai terlihat tanda-tanda bahwa A-kun semakin
Api Di Bukit Menoreh 32 Walet Emas 03 Dewi Kelelawar Kisah Si Bangau Putih 13

Cari Blog Ini