Dinding Karya Jean Paul Sartre Bagian 4
Bergere yang sangat dewasa dan sekaligus kekanak"kanakan.
"Aku hanya memesan sebuah kamar," kata Bergere ke"
tika mereka tiba di hotel, "kamar besar itu dilengkapi kamar
mandi." Lucien tidak terkejut: sepintas ia berpikir bahwa
selama liburan ia akan berbagi kamar dengan Bergere, tetapi
ide itu tak dipikirkannya terlalu lama. Sekarang ia tak dapat
mengalah lagi, ia menemukan sesuatu yang agak kurang
menyenangkan, khususnya karena ia tidak mempunyai kaki
yang bersih. la membayangkan, selama mereka menaikkan
koper"koper. Bergere berkata kepadanya: "Karena kamu
kotor, kamu akan mengotori sprei."
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 225
Lucien menjawabnya dengan sombong: "Kamu punya
pikiran borjuis yang baik tentang kebersihan." Tetapi Ber"
gere mendorongnya ke dalam kamar mandi dengan ko"
pernya sambil berkata pada Lucien: "Bersihkan dirimu di
dalam sana, aku akan menanggalkan pakaianku di dalam
kamar." Lucien merendam kaki dan pantatnya. Ia ingin pergi
ke belakang tetapi ia tidak berani dan sudah puas kencing
di wastafel, lalu ia mengenakan baju tidur, mengenakan
pantofel yang dipinjamkan oleh mamanya (milik Lucien
semuanya telah berlubang) dan mengetuk: "Kamu sudah
siap?" tanya Lucien kepada Bergere.
"Ya, ya, masuk." Bergere telah mengenakan mantel
kamar bernuansa hitam di atas piyamanya yang berwarna
biru langit. Dalam kamar, tercium bau eau de mlagm'. "Hanya
ada satu tempat?" tanya Lucien. Bergere tak menjawab: ia
memandang Lucien dengan heran dan berakhir dengan
sebuah ledakan tawa yang hebat: "Kamu memakai baju
tidur itu!" katanya sambil tertawa. "Apa yang kamu lakukan
dengan topi tidurmu" Ah, tidak! Kamu sangat lucu, aku
ingin kamu melihat dirimu sendiri."
"Sudah dua tahun," kata Lucien dengan kesal, "aku me"
minta mamaku membelikan sebuah piyama."
Bergere menghampiri Lucien: "Ayo, lepaskan itu," kata
Bergere dengan nada memaksa, "aku akan memberimu
salah satu, dari milikku. Piyama itu sedikit ke"besaran, tetapi
lebih baik daripada punyamu itu."
Lucien diam terpaku di tengah ruangan, matanya ter"
226 Jean"Paul Sartre
tuju pada bentuk"bentuk jajaran genjang yang berwarna
merah dan hijau di permadani. Lucien memilih kembali
ke kamar mandi, tetapi ia takut dianggap sebagai orang
tolol, dan dengan sebuah gerakan yang tak menarik, Lucien
melepaskan baju tidurnya melewati kepalanya tanpa peduli.
Sesaat, suasana sunyi senyap. Bergere memandang Lu"
cien sambil tersenyum, dan Lucien tiba"tiba paham kalau
dirinya telanjang bulat di tengah"tengah kamar dan ke"
dua kakinya mengenakan sepasang sepatu pantofel yang
berjambul dari ibunya. Lucien memandang kedua ta"
ngannya, sepasang tangan besar Rimbaud, ia ingin me"
nempelkan kedua tangannya di atas perutnya dan paling
tidak menutupinya, tetapi ia kembali tenang dan meletakkan
tangannya dengan berani di balik punggungnya. Di tembok
antara dua baris jajaran genjang, ada bujur sangkar kecil
berwarna ungu yang jaraknya saling berjauhan. "Sumpah,"
kata Bergere, "piyama itu juga bersih seperti seorang pe"
rawan: lihatlah dirimu dalam cermin, Lucien, tubuhmu me"
rah sampai bagian dada. Meskipun begitu kamu lebih baik
seperti itu daripada memakai baju tidurmu."
"Ya," kata Lucien dengan sekuat tenaga walaupun
orang tidak pernah kelihatan sangat halus ketika mereka bu"
gil. "Cepat beri aku piyama."
Bergere melempar sebuah piyama dari sutra yang ber"
bau lavender pada Lucien, dan mereka mulai beranjak tidur.
Suasana sangat sepi: "Buruk," kata Lucien, "aku ingin
muntah." Bergere tidak menjawab dan Lucien mengeluarkan sebo"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 227
tol wiski. "Ia akan tidur denganku," tanya Lucien kepada
dirinya sendiri. Dan, jajaran"jajaran genjang menyesakkan
tenggorokannya. "Aku tidak seharusnya menyetujui perja"
lanan tamasya ini." Lucien tidak punya kesempatan: ber"
kali"kali, akhir"akhir ini, ia nyaris mengetahui apa yang
Bergere inginkan darinya dan setiap kali seperti sebuah
kesengajaan, sebuah peristiwa yang muncul telah memutar
kembali ingatannya. Dan saat ini, ia berada di sana, di atas
tempat tidur orang tersebut dan ia menunggu kenikmatan
yang menyenangkan. "Aku akan mengambil bantalku dan
pergi tidur di kamar mandi." Tetapi ia tidak berani. Ia
membayangkan pandangan yang mengejek dari Bergere.
Ia mulai tertawa: "Sebentar lagi aku membayangkan
pelacur itu," katanya, perempuan itu sedang menggaruk"
garuk." Bergere tidak menjawab. Lucien memandangnya de"
ngan sudut matanya: ia menelentang, dengan muka tak ber"
dosa, kedua tangannya di bawah tengkuk. Lalu, sebuah ke"
marahan besar menguasai Lucien, ia berdiri dengan satu siku
dan berkata pada Bergere: "Nah, apa yang kamu tunggu"
Sia"sia membawaku ke sini."
Sudah terlambat untuk menyesali kata"katanya: Bergere
menengok ke arah Lucien dan mengamatinya dengan mata
riang: "Lihatlah aku, pelacur kecil dengan wajah malaikat.
Sayangku, dulu aku tidak pernah mengatakannya padamu:
ini tentang diriku yang kauharapkan bisa mengacaukan gai"
rahmu." Sesaat Bergere memandang Lucien, wajah mereka nyaris
228 ]ean"Paul Sartre
saling bersentuhan, lalu bergere menarik Lucien ke dalam
pelukannya dan membelai dada Lucien di bawah kemeja
piyamanya. Ini tidak menyenangkan, ini menggelikan, ha"
nya saja Bergere tampak mengerikan: ia kelihatan seperti
orang idiot dan berkata berkali"kali: "Kamu tak usah malu,
sayang, kamu tak usah malu, sayang!" seperti pengeras suara
pengumuman di stasiun pemberangkatan kereta api.
Tangan Bergere sebaliknya, lincah dan ringan, mirip de"
ngan orang. Tangan itu menyentuh halus ujung tetek Lucien,
orang mengatakan itu seperti belaian air hangat ketika
masuk ke dalam bak mandi. Lucien ingin menangkap tangan
itu, menariknya dari tubuh Lucien dan memelintirnya, tetapi
|); Bergere tertawa, "Lihatlah aku, perjakaku Tangan itu
bergerak lembut perlahan"lahan di sepanjang perutnya dan
berlama"lama untuk melepaskan simpul tali yang mengikat
celananya. Ia membiarkan saja tali itu: tubuhnya berat dan
lemas seperti sebuah spon yang basah dan ia merasa sangat
takut. Bergere menurunkan selimut, ia menaruh kepalanya di
atas dada Lucien dan ia tampak seperti memeriksa badan
dan mendengarkan bunyi di dalamnya. Lucien berkali"kali
merasa mulutnya asam dan ia takut muntah di atas rambut
indah keperakan yang sangat anggun. "Kamu menekan lam"
bungku," kata Lucien.
Bergere bangun sedikit dan menaruh tangannya di atas
pinggul Lucien, tangannya yang lain tidak lagi membelai,
tangan itu menarik"narik. "Kamu punya pantat mungil yang
bagus," kata Bergere.
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 229
Lucien mengira sedang bermimpi buruk: "Pantat itu me"
nyenangkanmu?" tanya Lucien dengan genit. Tetapi Bergere
tiba"tiba melepaskan Lucien dan kembali mengangkat
kepalanya dengan muka kesal.
"Betul"betul pembual kecil," kata Bergere dengan sengit.
"Aku ingin memainkan Rimbaud dan lebih dari satu jam aku
bersusah"payah di atasnya tanpa berhasil merangsangnya."
Air mata kekesalan berlinangan di kedua mata Lucien,
dan ia mendorong Bergere dengan sekuat tenaga: "Ini bukan
salahku," kata Lucien dengan suara melengking, "kamu
membuatku minum terlalu banyak, aku ingin muntah."
"Baiklah, pergi! Pergi!" kata Bergere, "dan jangan ter"
gesa"gesa," Bergere menambahkan dengan suara mendesis:
"Malam yang menarik."
Lucien menaikkan celananya, mengenakan mantel ka"
mar yang berwarna hitam dan keluar setelah ia menutup
pintu VUC kembali, ia merasa sangat sendirian, bingung,
dan meledaklah tangisnya. Tidak ada sapu tangan dalam
saku mantel kamarnya dan ia mengelap kedua mata dan
hidungnya dengan tisu toilet. Meskipun ia menaruh dua
jarinya ke dalam tenggorokan, ia tidak berhasil muntah. La"
lu, tanpa sengaja ia menjatuhkan celananya dan duduk di
atas kloset sambil menggigil.
"Bajingan!" pikir Lucien, "Bajingan!"
Ia benar"benar terhinta tapi tidak tahu apakah ia terhina
karena menerima belaian dari Bergere atau justru merasa
tidak terganggu. Koridor di balik pintu berderak, dan Lu"
cien terlonjak di setiap derakannya, tetapi ia tak dapat me"
230 ]ean"Paul Sartre
mutuskan untuk kembali ke dalam kamar: "Meskipun be"
gitu, aku harus pergi ke sana," pikir Lucien, "harus, kalau
tidak, ia tidak akan memperhatikanku. Begitu juga Berliac!"
Ia setengah bangkit tetapi ia segera melihat kembaliwajah
Bergere dengan air muka yang kusut, Lucien mendengarkan
Bergere berbicara: "Kamu tak usah malu, sayang!" Lucien
terduduk di atas kursi dengan putus asa.
Akhirnya, ia menderita diare yang hebat dan meringan"
kannya sedikit: "Itu sudah hilang lewat bawah," pikir Lucien,
"aku lebih menyukai hal itu." Dengan begitu, ia tidak lagi
ingin muntah. "Ini akan membuatku sakit," pikir Lucien
dengan cepat dan ia berharap segera sadar.
Akhirnya, Lucien merasa sangat kedinginan dan ia mulai
menggeletukkan giginya: ia berpikir kalau ia akan jatuh sakit
dan bangun dengan cepat. Ketika ia kembali. Bergere me"
mandangnya dengan muka tegang; ia menghisap sebatang
rokok, piyamanya terbuka dan orang dapat melihat dadanya
yang ramping, Lucien perlahan"lahan meletakkan pantofel
dan mantel kamarnya, lalu menyusup ke bawah selimut tanpa
berkata sepatah kata pun. "Bagaimana?" tanya Bergere.
Lucien menggerakkan bahunya: "Aku kedinginan!"
"Kamu ingin aku menghangatkanmu?"
"Cobalah terus," kata Lucien. Sebentar saja Lucien
merasa tergencet karena beban yang luar biasa berat. Sebuah
bibir yang hangar dan lembut menempel di bibirnya, Lucien
tidak lagi ingat apa"apa, ia tidak lagi tabu di mana ia berada
dan merasa sedikit sesak napas, tetapi ia senang karena merasa
hangat. Ia membayangkan Nyonya Bese yang menindihkan
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 231
tangannya di atas perutnya sambil memanggil "boneka
kecilku" dan membayangkan Hebrad yang memanggilnya
"si jangkung". Dan, juga membayangkan bak mandi yang ia
pakai setiap pagi sambil membayangkan Tuan Bouffardier
yang segera pulang untuk memberinya nasihat. Dan, Lucien
berkata sendiri: "Aku adalah boneka kecilmu saat ini."
Bergere berteriak"teriak karena menang. "Akhirnya!
Kamu memutuskan. Ayo," tambah Bergere sambil bernapas
terengah"engah, "kita akan melakukannya bersama"sama."
Lucien betul"betul mau melepaskan piyamanya sendiri.
Keesokan harinya, mereka bangun siang hari, pelayan
membawakan sarapan mereka di tempat tidur dan wajah
Lucien masih kelihatan memerah. "Ia mengira aku homo,"
pikir Lucien dengan getaran yang tidak menyenangkan,
Bergere sangat baik, ia lebih dulu berpakaian dan segera
merokok di VieuX"Marche selama Lucien mandi.
"Ada apa," pikir Lucien sambil menggosok badannya
menggosok teliti menggunakan sarung tangan pengosok
badan, "Ini sangat membosankan."
Waktu ketakutan pertama telah berlalu, dan ketika ia
menyadari kalau hal itu tidak begitu menyedihkan seperti
yang ia kira sebelumnya, ia murung dalam kesepian yang
menyedihkan. Ia lalu berharap ini cepat berakhir dan ia
dapat segera tidur, tetapi Bergere tidak membiarkan Lucien
tenang sebelum jam empat pagi. "Meskipun begitu, aku ha"
rus mengakhiri masalahku dengan akal," kata Lucien kepada
dirinya sendiri. Dan, ia berusaha sekuat tenaga untuk lebih
memikirkan pekerjaannya. 232 ]ean"Paul Sartre
Siang berlalu sangat lama. Bergere bercerita kepada Lu"
cien ten tang kehidupan L3autreamont, tetapi Lucien. tak men"
dengarkannya dengan serius, Bergere sedikit menjengkelkan"
nya. Malam harinya, mereka tidur di Caudebec dan seperti
biasanya Bergere membuat Lucien bosan selama saat yang
menyenangkan, tetapi menjelang jam satu dini hari, Lucien
mengatakan kepada Berger dengan terus terang kalau ia me"
ngantuk dan Bergere tidak berusaha membuatnya tenang.
Mereka pulang ke Paris menjelang sore, kesimpulannya
Lucien tidak kecewa pada dirinya sendiri.
Kedua orang tua Lucien menyambutnya dengan tangan
terbuka: "Sudahkah kamu berterima kasih pada Tuan Ber"
gere, atau belum?" tanya mamanya. Sesaat ia berbincang
dengan kedua orang tuanya tentang desa Normandin dan
tak juga beranjak tidur. Ia lalu tidur seperti malaikat, tetapi
keesokan harinya, pada saat ia bangun ia merasa dirinya ge"
metaran. Ia bangun dan lama memandangi bagian dalam
kelas. "Aku seorang homoseksual," kata Lucien kepada di"
rinya sendiri. Kemudian ia roboh.
"Bangun, Lucien!" teriak mama melalui pintu, "kamu
harus pergi ke sekolah pagi ini."
"Ya, Mama," jawab Lucien dengan patuh, tetapi ia
membiarkan dirinya jatuh di tempat tidur dan mulai meman"
dangi jari"jari kakinya. "Ini sangat tidak adil, aku tidak me"
nyadari diriku sendiri, aku tidak punya pengalaman."
]ari"jari itu, orang itu telah menghisap mereka satu
persatu. Lucien menolehkan kepalanya dengan keras: "Ia
tahu, ia" apa yang ia perintahkan kepadaku untuk mem"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 233
bawa sebuah nama, nama itu adalah tidur bersama dengan
seorang laki"laki dan ia mengenal laki"laki itu. Ini sangat
menggelikan," Lucien tersenyum pahit. Orang dapat ber"
tanya kepada diri sendiri selama beberapa hari: pintarkah
Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku, apakah aku gampang ditipu, orang tidak pernah berhasil
memutuskan. Dan di lain pihak, ada beberapa etika yang
mengikatmu di pagi hari yang indah dan harus membawanya
sepanjang hidupmu. Misalnya, Lucien tubuhnya tinggi dan
berambut pirang, ia mirip dengan Papanya, ia adalah anak
tunggal dan sejak kemarin, ia adalah seorang homoseksual.
Orang berkata kepada dirinya: "Fleurier, Anda mengenalnya,
orang yang tinggi dan berambut pirang itu, yang menyukai
laki"laki?" Dan orang"orang menjawab: "Ah! Ya, si tinggi yang
homo" Bagus, aku benar"benar tahu siapa dia."
Lucien berpakaian dan keluar, tetapi ia tidak bergairah
untuk pergi ke sekolah. Ia turun di Avenue de Lamballe,
berjalan di Seine dan mengikuti jalan di sepanjang sungai
itu. Langit tampak bersih, di sepanjang jalan tercium bau
daun"daun hijau, aspal dan tembakau Inggris. Inilah saat
yang diimpikan untuk mengenakan pakaian yang bersih di
atas tubuh yang dibersihkan dengan baik dengan sebuah
jiwa yang baru. Semua orang kelihatan bermoral, Lucien sendiri merasa
kotor dan ganjil pada musim gugur ini. "Ini adalah kesalahan
fatal," pikir Lucien. "Aku memulainya dengan Oeflz'pm Complex, sesudah itu aku melakukan anal seks dan sekarang,
akhirnya aku adalah seorang homoseks. Di mana aku akan
berhenti?" 234 ]ean"Paul Sartre
Sudah tentu, kasusnya belum begitu parah, ia tidak suka
dengan belaian Bergere, "Tetapi bagaimana jika aku terbiasa
dengan hal itu?" pikir Lucien dengan cemas.
"Aku tidak lagi dapat hidup tanpa hal itu, ini akan seperti
morfinI". Ia akan menjadi orang yang mempunyai kelainan,
tidak ada lagi orang yang mau bertemu dengannya, buruh"
buruh ayahnya akan gemetar ketika ia memberi perintah
kepada mereka. Lucien puas membayangkan nasibnya yang
mengerikan. Ia melihat dirinya usia 35 tahun, halus dan
polos, dan sudah menjadi seorang direktur dengan kumis
dan bintang kehormatan, mengangkat tongkatnya dengan
wajah seram. "Tuan, kehadiran Anda di sini adalah sebuah
penghinaan bagi anak gadisku."
Saat itu, tiba"tiba ia goyah: ia baru saja mengingat se"
buah kalimat Bergere. Ini terjadi di Caudebec pada suatu
malam, Bergere mengatakan: "Katakanlah! Kamu mulai
menyukainya!" Apa yang ingin ia katakan" Seperti biasanya Lucien tidak
mabuk dan berusaha untuk melibatkan diri... "Ini tidak ter"
bukti," kata Lucien kepada dirinya sendiri dengan khawatir.
Tetapi orang menyatakan kalau mereka aneh, untuk me"
ngenali kesamaan mereka, ini seperti indera keenam. Lucien
lama memandang polisi kota yang mengatur lalu lintas di
depan jembatan Pena. "Apakah polisi itu dapat menarik
perhatiannya?" Lucien menatap celana polisi yang berwarna biru, ia
membayangkan dua paha berotot dan berbulu: "Apakah hal
itu akan berakibat sesuatu padaku?". Ia pergi lagi dengan
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 235
perasaan lega. "Aku tak begitu parah," pikirnya, "aku masih
dapat menyelamatkan diriku. Ia telah menyalahgunakan
kebingunganku, tetapi aku bukanlah seorang homo sejati."
Ia memulai kembali pengalamannya dengan semua
orang yang berpapasan dengannya dan setiap kali hasilnya
adalah negatif. "Ouf!" pikirnya, "aku kepanasan!". Ini hanya
sebuah pemberitahuan. Tidak lagi harus mengulang kembali,
karena sebuah kebiasaan buruk akan cepat berpengaruh,
hal yang justru penting adalah menyembuhkan kelainannya.
Jalan keluarnya, ia harus disembuhkan lewat psikoanalisis
oleh seorang ahli tanpa memberitahukan hal ini pada kedua
orang tua Lucien. Kemudian, Lucien mencari seorang gadis
sebagai kekasihnya dan menjadi orang normal dengan yang
lainnya. Lucien mulai menenangkan dirinya sendiri ketika tiba"
tiba ia memikirkan Bergere. Pada saat yang sama Bergere
berada di salah satu tempat di Paris, bersenang"senang
sendiri dan kepalanya penuh dengan banyak kenangan.
"Ia tahu bagaimana aku diperlakukan, ia mengenal bi"
birku, ia mengatakan kepadaku: kamu mempunyai bau
yang tak dapat kulupakan. Ia akan segera menyombongkan
dirinya pada teman"temannya sambil mengatakan: aku su"
dah memilikinya, seolah"olah aku adalah seorang perem"
puan. Pada saat itu juga, ia mungkin sedang menceritakan
malam"malamnya kepada. . .," jantung Lucien berhenti ber"
degup, "kepada Berliac! Jika ia melakukan hal itu, aku akan
membunuhnya. Berliac membenciku, ia akan mencerita"
kanku di setiap kelas, aku adalah seorang homo, teman"teman
236 ]ean"Paul Sartre
akan menolak bersalaman denganku. Aku akan mengatakan
kalau hal itu tidak benar," kata Lucien pada dirinya sendiri
dengan kalap, "aku akan menyimpan banyak kesedihan, aku
akan mengatakan kalau ia telah memperkosaku!"
Lucien membenci Bergere sepenuh hatinya: kalau tidak
ada ia, tak akan ada skandal, semua dapat diperbaiki, tidak
seorang pun tahu dan Lucien sendiri ingin mengakhiri
dengan melupakannya. "Seandainya saja ia dapat mati mendadak! Oh Tuhan,
aku akan berterima kasih kepada"Mu, buatlah ia mati pada
malam sebelum mengatakan apa pun pada seseorang. Tu"
han, buatlah cerita itu dilupakan, Engkau tentu tidak meng"
inginkan aku menjadi seorang homo! Bagaimanapun, Ber"
gere mengikatku!" pikir Lucien dengan marah.
"Aku harus segera kembali ke tempat Bergere, mela"
kukan apa yang ia inginkan, dan aku juga harus mengatakan
kepadanya kalau aku menyukai hal itu, jika tidak maka aku
akan hancur . Lucien masih melangkahkan kakinya dan
ia menambahkan, untuk tindakan berjaga"jaga: "Tuhanku,
buatlah Berliac juga seperti itu."
Lucien tidak dapat memutuskan untuk kembali ke
tempat Bergere. Selama beberapa minggu, ia percaya ber"
temu dengannya pada setiap langkah. Ketika ia belajar di
karnarnya, ia terlonjak setiap bel berbunyi. Pada malam
hari, ia bermimpi sangat mengerikan: Bergere menarik Lu"
cien dengan sekuat tenaga di tengah"tengah halaman se"
kolah Saint Louis, para pendukungnya berada di sana, me"
reka memandang sambil tertawa"tawa. Tetapi Bergere tidak
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 237
berusaha untuk melihat Lucien dan tidak memberikan
tanda"tanda kehidupan. "Ia hanya menginginkan itu pada
hidupku," pikir Lucien dengan sakit hati.
Berliac telah menghilang, ia dan Guigard yang ka"
dang"kadang berbelanja bersamanya setiap hari Minggu
mengatakan kalau ia akan meninggalkan Paris setelah
mengalami krisis depresi. Lucien menenangkan dirinya
sendiri sedikit demi sedikit: Perjalanannya ke Rouen mem"
buatnya bermimpi aneh yang tidak saling berhubungan
sama sekali. Sedikit pun ia hampir tidak melupakannya, ia
hanya menyimpan sensasi pada bau tubuh yang tidak me"
nyenangkan, bau mu de valagne, dan sebuah masalah yang ti"
dak dapat ditolerir. Tuan Fleurier berkali"kali memintanya untuk menjadi
teman Bergere: "Kita harus mengundangnya ke Frolles un"
tuk mengucapkan terima kasih kepadanya."
"Ia telah pergi ke New York," jawab Lucien. Berkali"kali
ia pergi berperahu di Marre bersama Guigard dan saudara
perempuannya, dan Guigard mengajarinya berdansa.
"Aku sadar," pikirnya, "aku menyerah," tetapi ia ma"
sih sering merasakan sesuatu yang menekan di atas pung"
gungnya seperti sebuah tas kantung: inilah penyakitnya. Ia
bertanya kepada dirinya sendiri bahwa ia tidak harus se"
gera menemukan Freud di Wina: "Aku akan pergi tanpa
sepeser uang pun, jalan kaki jika perlu, aku akan mengatakan
padanya. Aku tak punya uang, aku hanya punya masalah."
Di tengah siang hari yang panas di bulan Juni, ia ber"
temu dengan Babouin, guru filsafatnya dulu, di baa/emrd
238 ]ean"Paul Sartre
Saint"Michel. "Bagaimana, Fleurier," kata Babouin. "Anda
bersiap"siap masuk Centrale?"
"Ya, tuan," kata Lucien.
"Anda pasti bisa," kata Babouin, "Anda harus mencu"
rahkan kemampuan pada ilmu"ilmu sastra, Anda berbakat
dalam Hlsafat." "Saya tak meninggalkan filsafat," kata Lucien. "Saya te"
lah membuat beberapa tulisan tahun ini, Freud contohnya.
Tentang Freud," tambah Lucien, "saya telah mendapat
sebuah inspirasi, saya ingin bertanya kepada Anda, Tuan.
Bagaimana psikoanalisis menurut Anda?"
Babouin mulai tertawa: "Itu sebuah cara hidup," kata"
nya, "cara hidup yang akan berlalu. Adakah yang lebih baik
dari milik Freud, Anda telah menemukannya pada Platon.
Untuk selebihnya," tambah Babouin dengan nada menekan,
"saya akan mengatakan kepada Anda kalau saya tidak me"
mutuskan omong"kosong itu. Akan sangat baik kalau Anda
membaca karya Spinoza."
Lucien merasa dirinya terbebas dari beban yang sangat
berat dan ia pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki sambil
bersiul: "Ini mimpi buruk," pikir Lucien, "namun tak akan
terulang lagi!" Matahari siang itu sangat panas, tetapi Lucien mendo"
ngakkan kepala dan menatapnya tanpa mengedipi matanya:
ini adalah mataharinya setiap orang dan Lucien berhak
untuk menatapnya. Ia telah selamat! "Omong"kosongl"
pikir Lucien, "ini omong"kosong! Mereka berusaha menga"
caukanku, tetapi mereka tak mendapatkanku."
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 239
Pada kenyataannya, ia terus"menerus bertahan: Lucien
merasa baik"baik saja. Misalnya, ketika homoseksualitas
Rimbaud dianggap sebagai sebuah kelainan dan ketika si
udang kecil Berliac menginginkan Lucien menghisap ganja,
Lucien telah menolaknya dengan baik: "Aku hampir saja
merusak diriku sendiri," pikir Lucien, "tetapi yang telah
melindungiku adalah moralku yang sehat!"
Ketika makan malam, Lucien memandangi ayahnya
dengan penuh simpati. Tuan Fleurier berbahu bidang,
gerakannya berat dan lamban seperti seorang petani, dengan
sikap bangsawan dan bermata kelabu, berkilat dan dingin,
sepasang mata seorang pemimpin. "Aku mirip dengannya,"
pikir Lucien. Ia ingat kalau sejak empat generasi keluarga
besar Fleurier adalah direktur sebuah perusahaan besar:
"Apa pun yang orang katakan, keluarga Fleurier tetap eksis!"
Pada tahun itu Lucien tidak mendaftarkan diri mengikuti
ujian saringan di Ecole Centrale, keluarga F leurierlebih cepat
berangkat ke Ferolles. Lucien senang kembali ke rumah,
kebun, pabrik, serta kota kecil yang tenang dan seimbang
itu. Ini adalah sesuatu yang lain: Lucien memutuskan untuk
bangun pagi agar bisa berjalan"jalan di sekitar daerah itu.
"Aku ingin," kata Lucien kepada ayahnya, "memenuhi
paru"paruku dengan udara yang murni untuk mempersiapkan
kesehatan tahun depan, sebelum mengerahkan banyak te"
naga." Lucien menemani mamanya pergi ke rumah keluarga
Bouffardier dan Besse. Setiap orang mengira kalau Lucien
adalah seorang pemuda yang berakal sehat dan tenang. He"
240 ]ean"Paul Sartre
bard dan Winckelmann yang meneruskan kuliah hukum di
Paris telah kembali lagi ke Ferolles untuk liburan. Lucien
beberapa kali keluar bersama mereka dan mereka bernostalaia
ketika mereka mempermainkan pastor Jacquemart, juga
mengenang perjalanan mereka bersepeda dan bernyanyi
AHJ'ZZEW de Metz (Prajurit Metz) dengan tiga suara.
Lucien betul"betul menghargai keterusterangan yang
lugu dan kesetiaan kawan"kawan lamanya, dan ia merasa
bertanggung jawab kalau melalaikan mereka. Lucien meng"
aku kepada Hebrad kalau ia tidak begitu menyukai Paris,
tetapi Hebrad tidak dapat memahaminya: kedua orang tua"
nya mempercayakannya pada seorang pastor yang sangat
disiplin. Hebrad masih tetap terkagum"kagum dengan kun"
jungannya ke Museum Louvre dan malam hari ia mele"
watkan waktu di gedung opera. Lucien terharu dengan ke"
luguan itu, ia merasa dirinya adalah kakak dari Hebrad dan
Winckelmann, dan ia mulai bicara dengan dirinya sendiri
kalau ia tidak menyesal mempunyai jalan hidup yang penuh
cobaan: ia telah mendapatkan pengalaman dalam hal ini.
Lucien bercerita tentang Freud pada mereka, juga
tentang psikoanalisis, dan sedikit bergurau tentang bebe"
rapa skandal. Mereka mengritik teori Oedzpm Cawp/ex, te"
tapi penolakan mereka sangatlah naif, dan Lucien menun"
jukkannya pada mereka, lalu ia menambahkan kalau dilihat
dari sudut pandang filsafat maka orang dapat dengan
mudah menolak pemikiran"pemikiran yang salah dari Freud.
Mereka sangat kagum pada Lucien, namun Lucien tampak
tidak menyadarinya. hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 241
Tuan Fleurier menjelaskan pada Lucien tentang meka"
nisme di pabriknya. Ia membawa Lucien mengunjungi ge"
dung"gedung induk, dan Lucien mengamati dengan sangat
lama pekerjaan para buruh. "Jika Papa mati," kata Tuan
Fleurier, "kamu harus langsung dapat memegang kendali
pabrik." Lucien marah kepada ayahnya dan ia berkata: "Papaku
sayang, bisakah Papa tidak mengatakan hal itu!"
Tetapi selama beberapa hari ia serius memikirkan tang"
gung jawab yang membebani dirinya cepat atau lambat.
Mereka bercakap"cakap sangat lama tentang kewajiban"
kewajiban seorang pemimpin, dan Tuan Fleurier menun"
jukkan pada Lucien kalau menjadi pemilik bukanlah suatu
hak melainkan suatu kewajiban: "Apakah mereka telah
membosankan kita dengan perjuangan mereka tentang
kelas," katanya, "seolah"olah keuntungan pimpinan dan
para buruh adalah berlawanan! Misalnya kasus Papa, Lucien.
Papa adalah pengusaha kecil, yang biasa dipanggil orang
sebagai 36 wa7goa"n.1 Nah, Papa menghidupi seratus buruh
beserta keluarganya. jika Papa mendapat untung dari usa"
ha ini, maka mereka adalah yang pertama menikmatinya.
Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi, jika Papa harus menutup pabrik, mereka menjadi
gelandangan. Papa tidak mempunyai hak," katanya dengan
suara keras, "untuk membuat usaha ini rugi. Inilah yang
Papa sebut dengan solidaritas kelas."
Lebih dari tiga minggu, semua baik"baik saja. Lucien
hampir tak pernah lagi memikirkan Bregere, ia hanya ber"
1 Istilah skmg di Paris untuk menyebut "orang yang suka menipu".
242 ]ean"Paul Sartre
harap tidak lagi bertemu dengan Bregere dalam hidupnya.
Kadang"kadang, ketika ia mengganti kemejanya, ia men"
dekati cermin dan melihat dirinya di situ dengan rasa heran:
"Seseorang telah menginginkan tubuh ini," pikir Lucien.
Ia menggerakkan kedua tangannya perlahan"lahan di
atas kedua kakinya dan berpikir, "Seseorang telah digai"
rahkan oleh kedua kaki ini."
Ia menyentuh kedua pinggulnya dan ia menyesal tak
seorang pun dapat membelai sendiri tubuhnya yang ber"
sih bagaikan kain sutra. Kadang"kadang ia menyesali kom"
pleksitasnya: mereka masih kuat bertahan, mereka mem"
punyai bobot yang sangat berat, mereka membentuk gum"
palan yang luar biasa besar, gelap dan membebani. Sekarang,
semua itu telah berakhir, Lucien tidak lagi mempercayainya
dan ia merasakan penderitaannya semakin ringan. Ini begitu
menyenangkan, lagipula, ini lebih baik daripada sebuah
kekecewaan yang tidak seberapa, sedikit membuat putus asa,
yang kalau perlu dapat dianggap sebagai sebuah masalah.
"Aku bukanlah apa"apa," pikir Lucien, "tetapi ini karena
tidak ada sesuatu pun yang mengotoriku. Berliac, sudah
pasti kotor. Aku benar"benar dapat menanggung sedikit
keraguan: ini adalah sebuah pengorbanan untuk sebuah
kesucian." Dalam perjalanan, ia duduk di atas pematang dan ber"
pikir: "Aku tertidur selama enam tahun, pada hari yang
indah, aku keluar dari kepompongku." Ia benar"benar hi"
dup dan melihat pemandangan dengan muka cerah. "Aku
diciptakan untuk melakukan sesuatu!" kata Lucien kepada
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 243
dirinya sendiri. Tetapi sesaat pikiran"pikirannya tentang ke"
jayaan berbalik menjadi tidak menyenangkan. Ia berkata
dengan pelan: "Apa mereka mau sedikit menunggu dan
melihat apakah aku berguna?"
Ia berbicara dengan keras, tetapi kata"kata yang keluar
darinya seperti dari sebuah cangkang yang kosong. "Apa
yang aku miliki?" Kekhawatiran yang aneh itu, ia tidak ingin lagi menge"
nalinya. Dahulu, itu telah membuatnya sangat menderita. Ia
berpikir: "Ini adalah kesunyian itu... tempat itu?".
Tidak ada manusia yang hidup, kecuali jangkrik"jangkrik
yang menarik"narik perut mereka yang berwarna kuning
dan hitam dengan susah payah. Lucien membenci jangkrik"
jangkrik karena mereka kelihatan seperti setengah mati. Di
seberang jalan, sebuah padang keabu"abuan yang dipenuhi
celah"celah terbentang sampai ke sungai. Tidak seorang
pun melihat Lucien, tidak seorang pun mendengarnya, ia
melompat dan ia mempunnyai kesan kalau gerakan"ge"
rakannya tidak mendapat perlawanan sama sekali, tidak
juga perlawanan dari daya tarik Bumi. Sekarang, ia berdiri
di bawah awan kelabu. Ia seperti berada dalam kekosongan.
"Kesunyian itu...," pikir Lucien. "Ini lebih dari sekadar
kesunyian, ini ketiadaan."
Di sekeliling Lucien, ada sebuah desa yang sangat se"
pi, damai, dan tidak berpenghuni: desa itu seolah"olah ber"
sembunyi supaya tidak kelihatan orang dan menahan na"
pas agar tidak mengusik Lucien. "_and I'miilleur de Metz
rezim" en garnimaa... (ketika seorang prajurit Metz kembali ke
244 ]ean"Paul Sartre
garnisun... )," suara Lucien menghilang dari kedua bibirnya,
seperti nyala api dalam kehampaan. Lucien sendiri tanpa
bayangan, tanpa gaung, di tengah"tengah alam yang sangat
sunyi itu, yang tidak mengganggu. Lucien bangun dan ingin
meneruskan alur"alur pikirannya.
"Aku diciptakan untuk berbuat sesuatu. Pertama"tama
aku mempunyai kekuatan: aku dapat melakukan kebodohan"
kebodohan, tetapi hal itu tidak begitu buruk karena aku
menjadi tenang kembali."
Lucien berpikir: "Aku mempunyai moral yang sehat."
Tetapi ia berhenti dengan menyeringai menandakan jijik,
dengan begitu ia menampakkan dirinya absurd dengan me"
ngatakan "kesehatan moral" di atas jalan putih yang dile"
wati binatang"binatang yang sekarat. Dengan marah, Lucien
berjalan di atas seekor jangkrik, ia merasakan ada bulatan
kenyal di bawah sol sepatunya, dan ketika ia mengangkat
kakinya, jangkrik itu masih hidup: Lucien meludahinya.
"Aku bingung. Aku bingung. Ini seperti tahun kemarin."
Ia mulai membayangkan VVinckelmann yang memanggil"
nya "As dari segala kartu As", membayangkan Tuan Fleu"
rier yang memperlakukannya sebagai laki"laki, juga mem"
bayangkan Nyonya Besse yang mengatakan padanya: "Anak
laki"laki tinggi yang dulu aku panggil bonekaku sayang,
sekarang aku tidak lagi berani menyapanya dengan kamu,
membuatku kikuk saja."
Tetapi mereka berada jauh, sangat jauh, ia merasakan
kalau Lucien yang sebenarnya telah hilang, yang ada hanyalah
larva putih yang lemah. "Apakah aku ini?"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 245
Sekian kilometer padang, tanah datar dan pecah"pecah,
tanpa rerumputan, tanpa bau"bauan, tiba"tiba sosok tinggi,
aneh yang sama sekali tidak mempunyai bayangan keluar
dari kerak bumi yang berwarna abu"abu. "Apakah aku ini?"
Pertanyaan itu tidak berubah sejak liburan yang lalu, se"
pertinya pertanyaan itu menunggu Lucien di tempat yang
sama di mana ia telah mening"alkannya, atau lebih"lebih lagi
ini bukanlah suatu pertanyaan tetapi suatu keadaan. Lucien
menaikkan bahunya. "Aku terlalu khawatir," pikir Lucien,
"aku berlebihan dalam berintrospeksi."
Hari"hari berikutnya, ia berusaha keras agar tidak tertalu
mengintrospeksi dirinya: ia ingin terkagum"kagum atas segala
sesuatu. Ia mengamati dengan sangat lama tempat telur
rebus, bulatan"bulatan pada serbet, pepohonan, pajangan"
pajangan; ia mengambil hati ibunya dengan memintanya
menunjukkan koleksi benda"benda peraknya. Tetapi sela"
ma ia memandangi perak"perak itu, ia membayangkan di
belakang pandangannya ada sebuah kabut kecil yang ber"
getar"getar. Meskipun Lucien tenggelam dalam percakapan dengan
Tuan Fleurier, kabut itu menutupi dan halus, tidak dapat
tertembus cahaya, menggelincir di belakang pandangan
saat ia berbicara dengan ayahnya: kabut itu adalah dirinya
sendiri. Kadang"kadang menjengkelkan, Lucien berhenti
mendengarkan, ia kembali menangkap kabut itu dan me"
mandanginya di depan wajahnya: ia hanya menemui sebuah
kekosongan, kabut itu masih berada di belakang.
Germaine baru saja menemui Nyonya F leurier, dengan
246 ]ean"Paul Sartre
berlinang air mata: saudara laki"lakinya terkena radang paru"
paru. "Germaine yang malang," kata Nyonya Fleurier, "ka"
mu selalu mengatakan kalau ia sangat kuat!"
Nyonya Fleurier memberikan libur selama satu bulan
kepada Germaine dan menyuruh seseorang datang untuk
menggantikan Germaine, seorang gadis buruh dari pabrik,
si kecil Berthe Mozelle, yang berumur 17 tahun. Ia bertubuh
kecil dengan rambut pirang yang dikepang di seputar
kepalanya, cara jalannya agak pincang. Karena ia berasal dari
Concarneau, Nyonya Fleurier meminta kepadanya untuk
membawakan tudung kepala bermotif renda: "Itu akan
membuatmu lebih manis."
Sejak hari"hari pertama, setiap kali bertemu Lucien,
kedua matanya yang besar dan berwarna biru memantulkan
kekaguman yang penuh gairah. Lucien tahu kalau ia me"
nyukainya. Ia bicara ramah dengan Berthe dan Lucien ber"
kali"kali bertanya kepadanya: "Apakah kamu senang berada
di rumah kami?" Di sepanjang koridor Lucien bergurau dengan menab"
raknya untuk mengetahui apakah itu memberikan suatu
kesan yang luar biasa bagi Berthe. Tetapi perempuan itu
merasa tersentuh dengan Lucien, dan Lucien mengambil
dari rasa cinta itu sebuah dukungan moril. Lucien masih
membayangkan Berthe secara emosional menjadi dirinya.
"Pada kenyataannya aku tidak sama dengan buruh yang
biasa itu." Lucien menyuruh Winckelmann masuk ke kantornya,
dan menurut VUinckelmann, Berthe mempunyai bentuk
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 247
tubuh yang bagus: "Kamu orang yang beruntung," kata
Winckelmann, "jika aku jadi kamu, aku pasti selalu menyu"
ruhnya." Tetapi Lucien ragu"ragu. Blusnya berwarna hitam dan
sobek di bawah kedua lengannya. Karena pada sore hari di
bulan September itu turun hujan, mamanya harus menyetir
mobil ke Paris, dan Lucien tinggal sendirian di dalam kamar.
Ia berbaring di atas tempat tidur dan mulai menguap. Ia
merasa dirinya adalah awan aneh dan cepat menghilang,
selalu, sama dan selalu berlainan, selalu mencair di ujung"
ujung langit. "Aku bertanya kepada diriku sendiri: kenapa
aku ada?" Ia berada di sana, ia tidak menyerah, ia menguap, ia
mendengarkan rintik air hujan di kaca jendela, ada kabut
putih yang melintas di dalam kepalanya:, lalu sesudah itu"
Keberadaannya adalah suatu skandal dan beban yang ia
terima lebih awal cukup sulit untuk dipertanggungjawabkan.
"Setelah semua ini, aku tak minta dilahirkan kembali," gumam
Lucien. Dan ia bergerak mengasihani dirinya sendiri. Lucien
mengingat kembali kekhawatirannya semasa kanak"kanak,
rasa kantuknya sangat lama, dan kekhawatiran itu muncul lagi
pada Lucien setelah hari keenam. Pada dasarnya, ia tidak per"
nah berhenti memikirkan hidupnya yang membingungkan,
dari kado yang besar dan tidak berguna, dan ia memakainya
di kedua tangannya tanpa tahu harus menggunakannya atau
meletakkannya. Tetapi, ia terlalu lelah untuk merehatkan pi"
kirannya: ia bangkit, menyalakan sebatang rokok, turun ke
dapur dan meminta Berthe membuatkannya secangkir teh.
248 Jean"Paul Sartre
Berthe tidak melihat Lucien masuk. Lucien menyentuh
pundak Berthe, dan perempuan itu sangat terkejut. "Aku
membuatmu takut?" tanya Lucien. Berthe memandang
Lucien dengan wajah heran sambil menumpukan kedua
tangannya di atas meja, dan dadanya angkat. Akhirnya,
perempuan itu tersenyum dan berkata: "Hanya kaget, saya
tidak percaya kalau ada orang."
Lucien tersenyum kepada Berthe dengan ramah dan
berkata kepadanya: "Kamu sangat baik hati kalau mau
menyediakan sedikit teh untukku."
"Segera, Tuan Lucien," jawab Berthe dan ia segera
menuju dapur: kehadiran Lucien terasa menyusahkannya.
Lucien diam di ambang pintu dengan ragu"ragu.
"Nah," pinta Lucien dengan kebapakan, "apakah kamu
senang di rumah kami?"
Berthe membelakangi Lucien dan mengisi sebuah
panci di keran air. Suara air menutupi jawabannya. Lucien
menunggu sesaat dan ketika Berthe telah menaruh panci di
atas kompor gas, Lucien menambahkan: "Kamu merokok?"
"Sesekali," jawab perempuan kecil itu dengan curiga.
Lucien membuka bungkus Craven"nya dan mengulurkan
rokok itu pada Berthe. Lucien tidak begitu senang: ia me"
rasa kalau dirinya telah terlibat, tidak seharusnya Lucien
menyuruhnya merokok. "Anda ingin saya merokok?" kata
Berthe dengan heran. "Kenapa tidak?"
"Nyonya akan memarahi saya."
Lucien merasa keterlibatannya tidak cukup menyenang"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 249
kan. Ia mulai tertawa dan berkata: "Kita tak akan mengatakan
kepadanya." Wajah Berthe merah padam, ia mengambil sebatang
rokok dengan ujung"ujung jarinya dan memasukkan rokok
itu ke dalam mulutnya. "Haruskah aku menawarkan api"
Ah, tak pantas," Lucien berkata kepada Berthe: "Kamu
tidak menyalakannya?"
Berthe telah menjengkelkannya; ia masih di sana, kedua
lengannya kaku, merah dan patuh, kedua bibirnya yang
berada di sekeliling rokok itu seperti pantat ayam: seolah"olah
ia membenamkan termometer dalam mulutnya. Akhimya, ia
mengambil korek api yang dilumuri belerang di dalam sebuah
kotak dari besi yang berwarna hitam, ia menggoreskan
korek api itu menghisap dan menghembuskan asap sambil
mengedipkan kedua matanya sambil berkata: "Rokok ini
manis," lalu Berthe cepat"cepat mengeluarkan rokok itu dari
mulutnya dan memegangnya dengan canggung.
"Seorang korban telah lahir," pikir Lucien. Meskipun
Berthe bersikap santai ketika Lucien bertanya kepadanya
apakah ia menyukai Bretagne, perempuan itu menjelaskan
kepada Lucien jenis"jenis kerudung Bretagne, iamenyanyikan
sebuah lagu dari Roseporden dengan suara halus dan tinggi.
Lucien menggodanya dengan ramah, tetapi perempuan itu
tidak paham arti sebuah kelakar. Ia memandang Lucien
dengan wajah gugup: pada saat itu ia mirip dengan seekor
kelinci. Lucien duduk di atas sebuah bangku kecil dan ia
merasa betul"betul santai: "Duduklah," kata Lucien pada
Berthe. 250 ]ean"Paul Sartre
"Oh! Tidak, Tuan Lucien, tidak di depan Tuan."
Lucien memegang kedua ketiak Berthe dan menariknya
ke atas kedua lututnya: "Seperti ini?" tanya Lucien kepada
Berthe. Perempuan itu membiarkan saja sambil bergumam: "Di
atas kedua lutut Anda!" dengan wajah yang terpaku dan
teguran yang beraksen aneh,
Lucien berpikir dengan bingung: "Aku terlalu melibat"
kan diriku, aku tak pernah bertindak terlalu jauh." Lucien
diam: perempuan itu masih di atas kedua lututnya, sangat
Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergairah, benar"benar tenang, tetapi Lucien merasa jan"
tungnya berdebar"debar. "Ia milikku," pikir Lucien, "aku
dapat melakukan apa pun yang aku inginkan."
Lucien melepaskan perempuan itu, mengambil teko teh
dan naik lagi ke kamarnya: Berthe tidak melakukan apa pun
untuk menahan Lucien. Sebelum meminum tehnya, Lucien
mencuci tangannya dengan sabun wangi pemberian ibunya,
karena kedua tangannya berbau ketiak.
"Akankah aku tidur bersamanya?" pikiran Lucian sangat
tersita oleh masalah kecil itu selama berhari"hari. Berthe
selalu berdiri di jalan yang ia lalui dan memandang dengan
matanya yang besar dan sedih seperti cpagneulle/loral Lucien
telah menang. Lucien tahu kalau ia berisiko membuat perempuan
itu hamil, karena ia tidak mempunyai cukup pengalaman
(sangat tidak mungkin membeli kondom di Ferolles, ia sa"
ngat terkenal) dan ia akan mendapat masalah yang besar
2 Nama jenis anjing pemburu.
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 251
dari Tuan Fleurier. Ia juga berbicara kepada dirinya sendiri
kalau cepat atau lambat ia akan menjadi pimpinan di pab"
rik, jadi bisa saja anak perempuan dari salah satu buruh"bu"
ruhnya membual kalau ia pernah tidur bersamanya. "Aku
tidak punya hak untuk menyentuhnya." Lucien menghindari
bertemu sendirian dengan Berthe selama beberapa hari
terakhir pada bulan September.
"Lalu," kata W'inckelmann kepada Lucien, "apa yang
kamu tunggu?" "Aku tak melanjutkannya," jawab Lucien dengan ka"
sar, "aku tak menyukai hubungan cinta dengan seorang pe"
rempuan pembantu." Winckelmann, yang mendengar Lucien menyatakan hu"
bungan cinta dengan perempuan pembantu, untuk pertama
kalinya, bersiul dan diam.
Lucien sangat puas dengan dirinya sendiri: ia bersikap se"
perti seorang perlente, hal ini cukup bisa menebus kesalahan"
kesalahannya. "Perempuan itu sudah mendapatkanku," kata
Lucien kepada dirinya sendiri dengan sedikit menyesal.
Tetapi, kalau dipikir matang"matang, Lucien berpikir: "Se"
olah"olah aku memilikinya: ia menawarkan diri dan aku
tak menginginkannya." Kemudian Lucien menyadari kalau
dirinya tidak lagi perjaka. Kepuasan"kepuasan itu telah
mengisi waktunya selama beberapa hari lalu, semua itu
berubah menjadi kabut. Memasuki bulan Oktober, Lucien merasa sedih seperti
awal tahun ajaran baru sebelumnya. Berliac tidak lagi datang,
tak seorang pun tahu cerita tentang dirinya. Lucien metihat
252 ]ean"Paul Sartre
beberapa wajah yang tidak dikenal: tetangga kanannya
bernama Lemordant telah mengikuti kelas Matematika khu"
sus selama satu tahun di Poitiers. Badannya masih lebih
tinggi dibandingkan Lucien dan, dengan kumisnya yang
hitam, ia sudah kelihatan seperti seorang leaki dewasa.
Lucien tidak begitu senang bertemu lagi dengan kawan"
kawannya, menurut Lucien mereka kelihatan seperti anak
kecil, lucu dan selalu ribut: murid"murid seminar. Lucien
masih bergabung dengan mereka hanya sebagai ungkapan
kolektivitas saja. Itu pun dengan rasa malas, lagi pula ini
justru menunjukkan sifat "terus"terang?"nya. Lemordant
mendapatkan keuntungan darinya, karena ia matang, tetapi
ia tidak tampak berpengalaman, seperti Lucien, kematangan
itu melalui berbagai macam pengalaman dan sangat berat:
lahirnya kedewasaan. Lucien sering puas mengamati si kepala besar dan
pemikir itu, ia seperti tanpa leher, berdiri dengan bahu yang
miring: kelihatannya sangat tidak mungkin memasukkan
apa pun di situ, tidak juga lewat kedua telinga dan matanya
yang sipit, merah, serta tidak bersinar: "Ia adalah orang
yang sangat percaya diri," pikir Lucien dengan rasa hormat.
Dan Lucien bertanya kepada dirinya sendiri bukan tanpa
rasa cemburu. Bagaimana keyakinan itu dimiliki Lemordant
sehingga ia sangat percaya diri. "Seperti inilah seharusnya
aku: sekeras batu karang."
Meskipun demikian, Lucien sedikit terkejut ternyata
Lemordant memahami penalaran"penalaran dalam mate"
matika. Namun ketika Tuan Husson memberikan tugas"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 253
tugasnya yang pertama, Lucien masih percaya diri: ia ber"
ada pada urutan ketujuh dan Lemordant mendapat nilai
lima dan menduduki urutan ketujuh puluh delapan. Le"
mordant tidak mengeluarkan pendapat apa pun, seolah"
olah ia mengharapkan yang paling jelek, dan mulutnya yang
kecil, kedua pipinya yang gemuk berwarna kuning dan
halus, tidak diciptakan untuk mengekspresikan perasaan"
perasaannya; ini adalah sikap seorang Buddha. Orang hanya
sekali saja melihatnya marah, pada hari dimana Loewy
mendesak"desaknya di tempat penitipan barang. Mula"mula,
ia mengeluarkan umpatan"umpatan tajam, sambil menge"
dipkan matanya: "Pergi sana, ke Polandia!" katanya, "Kamu
Yahudi kotor, jangan pernah menjengkelkan kami lagi di
sini." Ia berhasil mengalahkan Loewy karena ukuran tubuhnya
yang besar dan dadanya yang bidang ditunjang oleh dua
kakinya yang panjang. Ia mengakhiri perkelahian dengan
sebuah tamparan pada Loewy, si kecil Loewy minta ampun
kepadanya: persoalan berhenti sampai di situ.
Setiap hari Kamis, Lucien keluar bersama Guigard yang
mengajaknya dansa di tempat teman"ternan saudara perem"
puannya. Tetapi, lama"kelamaan Guigard mengaku kalau
pesta dansa itu membuatnya bosan. "Aku punya seorang
teman perempuan," cerita Guigard lepada Lucien, "ia prima"
dona di Plisnier, di Rue Royal. Sebenarnya, ia berteman de"
ngan seseorang tak punya siapa"siapa: kamu harus pergi
bersama kami pada Sabtu malam."
Lucien bersandiwara kepada orang tuanya dan men"
254 ]ean"Paul Sartre
dapat izin untuk keluar setiap hari Sabtu, mereka menyimpan
kunci di bawah keset. Lucien bertemu dengan Guigard
sekitar jam 9 di sebuah bar di Rue Saint, Honore. "Kamu
akan lihat," kata Guigard, "Fanny sangat menarik dan apa
yang dimilikinya adalah sempurna, karena ia tahu cara
berbusana." "Dan punyaku" Aku tidak mengenalnya, aku hanya tahu
kalau ia adalah orang baru dan baru saja tiba di sana Paris.
Ia berasal dari Angouleme. Ngomong"ngomong," tambah
Guigard, "jangan buat kesalahan. Aku Pierre Daurat. Kamu,
alangkah pirangnya rambutmu, sepertinya kamu punya
darah Inggris, ini yang terbaik. Namamu Lucien Bonnieres."
"Lalu kenapa?" tanya Lucien penasaran.
"Sobatku," jawab Guigard, "ini adalah suatu prinsip,
kamu dapat melakukan apa yang kamu inginkan dengan
perempuan"perempuan itu, tanpa harus menyebutkan
namamu." "Baik, baik!" kata Lucien, "dan apa yang aku, dalam hi"
dup ini?" "Kamu dapat mengatakan bahwa kamu adalah seorang
mahasiswa, dan ini lebih baik, kamu paham untuk merayu
mereka, dan kamu tidak perlu mengeluarkan banyak uang
untuk mereka. Untuk biayanya, kita tanggung berdua, seperti
biasanya. Tetapi, malam ini kamu harus membayariku, ini
kebiasaanku: Aku akan katakan kepadamu di hari Senin
kalau kamu membayariku."
Lucien segera berpikir kalau Guigard mencari keun"
tungan: "Aku curiga!" pikirnya.
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 255
Dengan senang hati Fanny segera masuk. Ia adalah se"
orang gadis bertubuh tinggi langsing dan berambut coklat,
kedua pahanya panjang, dengan wajah yang ber"fmzke"ap
tebal. Lucien menemuinya dengan malu"malu. "Inilah
Bonnieres, yang telah aku ceritakan padamu," kata Guigard.
"Kenalkan," kata Fanny dengan muka rabun. "Ini
Maud, kawan kecilku."
Lucien melihat seorang gadis cilik belum berumur ditu"
dungi sebuah pot bunga yang terbalik. Ia tidak memakai
"memp dan tampak suram di dekat Fanny yang berkilau.
Lucien kecewa, tapi ia sadar kalau Maud memiliki bibir yang
cantik dan kemudian, bersamanya, Lucien tidak banyak
mendapat kesulitan. Guigard tak lupa membereskan gelas"
gelas bir sebelumnya, sehingga ia dapat memanfaatkan
keriuhan orang"orang yang datang untuk mendorong de"
ngan senang dua orang gadis muda itu ke pintu, tanpa
membiarkan waktu menghabiskan gadis"gadis itu. Lucien
merasa berterima kasih: Tuan Fleurier hanya memberinya
125 Franc setiap minggunya dan dengan uang itu ia masih
harus membayar komunikasinya.
Malam sangat menyenangkan, mereka pergi berdansa ke
Quartier Latin, dalam sebuah ruangan kecil yang panas dan
merah dengan sudut remang remang, dimana mikral] ber"
harga seratus ram. Banyak mahasiswa bersama perempuan"
perempuan sejenis Fanny, tetapi mereka tidak secantik
Fanny. Fanny sangat luar biasa, ia memandang, seorang laki"
laki gemuk dan brewokan yang menghisap pipa dan Fanny
berkata sangat keras: "Aku jijik pada laki"laki yang merokok
256 ]ean"Paul Sartre
dengan pipa di tempat dansa."
Muka laki"laki brewok itu merah padam dan mema"
sukkan pipanya yang masih menyala ke dalam sakunya.
Perempuan itu mencaci"maki Guigard dan Lucien dengan
sedikit angkuh dan berbicara kepada mereka berkali"kali:
"Anda, anak laki"laki kotor," katanya dengan wajah keibuan
dan ramah. Lucien merasa tenggelam dalam selaksa rasa dari
semua yang manis. Ia berkata kepada Fanny berbagai hal
sepele yang menyenangkan dan ia tertawa gembira dalam
perbincangan itu. Akhirnya, senyum tak pernah lepas dari
wajahnya, ia mampu menemukan sebuah suara halus walau
sedikit tak peduli dan kehalusan hati yang bernuansa ironi.
Tapi, Fanny hanya sedikit bicara kepada Lucien: perempuan
itu memegang dagu Guigard dalam genggamannya dan
menarik pipi laki"laki itu agar memainkan dadanya yang
menonjol. Bibir"bibir mereka berpadu dan sedikit berliur,
bagaikan buah"buahan bengkak penuh air atau siput tanpa
cangkang. Perempuan itu mengulum bibir kecil Guigard
sambil berkata, "Balgy."
Lucien merasakan kecanggungan yang mengerikan dan
ia menemukan Guigard aneh: bibir Guigard menjadi merah
dan ada bekas"bekas jari di pipinya. Tapi, pakaian pasangan
itu belum benar"benar terlepas: sernua saling berpagutan,
pada waktu yang sama di tempat yang berbeda. Seorang
perempuan penjaga tempat penitipan jas lewat dengan ke"
ranjang kecil, ia menjatuhkan gulungan kertas dan bola
beraneka warna sambil menangis: "Baiklah anak"anak, ber"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 257
senang"senanglah kalian, cerialah, oke, oke!" dan semua
orang tertawa. Lucien ingat Maud ada di dekatnya, dengan ceria ia
bicara kepadanya: "Lihatlah dua sejoli itu," ia menunjuk
Guigard dan Fanny, dan menambahkan: "Kita dan yang
lain, adalah bangsawan yang impoten."
Ia tak menyelesaikan kalimatnya, tapi tersenyum begitu
aneh dan Maud pun membalasnya. Maud melepaskan to"
pinya dan Lucien memandang senang pada perempuan
yang paling baik dibandingkan perempuan"perempuan lain
yang ada di ruangan dansa ini. Lalu, ia mengajak perempuan
itu berdansa sambil menceritakan tentang keonaran yang
dilakukannya di kelas, di masa"masa SiN/[A"nya.
Perempuan itu berdansa dengan baik, ia memiliki mata
hitam dan serius, wajahnya menampakkan kepandaiannya.
Lucien bercerita kepadanya tentang Berthe dan berkata
bahwa ia menyesal. "Tapi," tambahnya, "itulah yang terbaik
baginya." Maud merasa cerita Berthe itu indah dan menyedihkan,
ia bertanya berapa gaji di perusahaan orang tua Lucien. "Itu
tak terlalu aneh untuk seorang gadis," tambahnya. "Be"
gitulah adanya." Guigard dan Fanny tak memperhatikan kami sama
sekali, mereka saling membelai dan wajah Guigard basah.
Lucien berulang kali berkata: "Perhatikanlah kura"kura itu,
perhatikanlah mereka!" dan ia telah menyiapkan kalimatnya.
"Mereka mendorong keinginanku untuk berbuat yang
sama." 258 ]ean"Paul Sartre
Tapi, ia tak berani melakukan itu dan merasa senang
dalam senyuman. Ia berpura"pura Maud dan dirinya pasang"
an yang cocok, meremehkan cinta, dan ia memanggil perem"
puan itu. "Kakakku, sayang," dengan membuat gerakan
memukul di atas bahu. Fanny menoleh dan memperhatikan
mereka dengan terkejut. "Lalu," kata gadis itu, "kelas kecil, apa yang kalian laku"
kan" Berciumanlah kalian. Kalian merana dalam keinginan."
Lucien menarik Maud dalam pelukannya, ia sedikit
kikuk karena Fanny mengamatinya. Ia sangat ingin mencium
dengan lama, dan berhasil, tapi ia bertanya"tanya bagaimana
orang"orang masih bisa bernapas. Akhirnya, hal itu berlalu
tidak sesulit apa yang dipikirkannya. Ia puas mencium
dengan miring, untuk melegakan hidungnya. la mendengar
Guigard yang menghitung "satu... dua... tiga... empat..."
dan ia melepaskan pelukannya pada Maud setelah hitungan
kelima puluh dua. "Tak buruk bagi seorang pemula," kata
Guigard, "tapi aku bisa lebih baik."
Lucien memperhatikan jam tangannya dan menghitung
gilirannya: Guigard melepaskan dada Fanny setelah 159
detik. Lucien kalap dan merasa kompetisi semacam ini
perbuatan tolol. "Aku melepaskan Maud dengan sopan," pikirnya, "tapi
itu bukanlah satu kejahatan: hanya sedikit waktu untuk
mengambil napas lalu meneruskannya tanpa batas."
Ia mengusulkan waktu satu detik, memilih dan menang.
Ketika mereka selesai, Maud menatap Lucien dan berkata
dengan serius: "Anda mencumbu dengan baik!"
Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 259
Wajah Lucien memerah senang. "Semua itu untukmu,"
jawabnya dengan berkedip. Tapi, ia lebih suka mencumbu
Fanny. Mereka pulang sekitar jam 00.30 dengan naik kereta
api bawah tanah terakhir. Lucien begitu senang, ia melompat
kegirangan, menari sepaniang Rue Raynouard dan ia merasa:
"Ajah" ada di dalam tas." Tulang"tulang rusuknya terasa
sakit karena kegembiraannya.
Ia biasa menjenguk Maud pada hari Kamis jam 6 dan di
malam Minggu. Fanny membiarkan kami saling bercumbu
tapi Lucien tak mau melakukan dengannya. Lucien
mengadu kepada Guigard untuk memastikan: "Kamu tak
melakukannya," kata Guigard. "Fanny, gadis itu pasti mau
tidur denganku, hanya ia yang muda dan mempunyai dua
kekasih. Fanny menyarankanmu untuk memadu kasih de"
ngannya." "Memadu kasih?" tanya Lucien, "kamu, kamu mau
ikut?" Mereka berdua tertawa dan Guigard memutuskan:
"Lakukan apa yang harus kamu lakukan, sahabatku."
Lucien merasa begitu melayang. Ia mencumbu Maud dan
berkata bahwa ia menyayangi gadis itu. Tapi, lama kelamaan
hal itu agak monoton, kemudian ia tak lagi bangga pergi de"
ngan gadis itu. Ia menyayanginya dan memeluknya di atas
toilet, tapi ia begitu mudah berprasangka dan cepat marah.
Di antara ciuman, mereka hanya bisa diam dalam kesunyian.
Mata mereka saling terpaku sambil saling mernegang tangan.
"Tuhan tahu akan sesuatu yang dipikirkannya, dengan wajah
angker." 260 Jean"Paul Sartre
"Lucien, Tuhan selalu berpikir pada sesuatu yang sama:
sesuatu yang kecil mengenai keberadaan yang menyedihkan
dan aneh yang dimilikinya," ia bergumam: "Aku ingin
menjadi Lemordant, karena dengan cara ini seseorang akan
menemukan jalannya!"
Saat itu, ia melihat dirinya seperti orang lain: duduk di
sebelah gadis yang disayanginya. Tangannya dalam geng"
gaman gadis itu. Bibir mereka belum basah dengan cium"
an dan menolak dengan rendah hati kesenangan yang di"
tawarkan gadis itu padanya. Sendiri, ia memegang erat"erat
jari"jari kecil Maud dan titik air mata jatuh dari matanya: ia
ingin membuat gadis itu bahagia.
Suatu pagi di bulan Desember, Lemordant membujuk
Lucien, ia menyodorkan selembar kertas. "Kamu mau me"
nandatangani?" pintanya.
"Apa ini?" "Ini karena para siswa Normale Superieur telah me"
ngirim artikel pada L'Emre yang isinya menolak wajib mi"
liter. Kita memprotes kewajiban itu lewat pengumpulan dua
ratus tanda tangan. Kita harus mengumpulkan paling tidak
seribu nama: akan kusuruh Les gambir, Lei" F/affm'dy, Lei
Agra, LES X dan semua teman sejawat."
Lucien merasa tersanjung, ia bertanya: "Di mana per"
nyataan itu akan dimuat?"
"Dalam LHcfz'm, mungkin juga dalam L'Erba de Parit."
Lucien ingin menandatangani pernyataan itu, tapi ia
pikir ini tidak serius. Ia mengambil berkas itu dan mem"
bacanya dengan saksama. Iemordant menambahkan: "Ka"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 261
mu tak berkecimpung di dunia politik, aku yakin itu memang
hakmu. Tapi, kamu adalah orang Prancis, kamu berhak me"
ngatakan pendapatmu."
Ketika ia mendengar "kamu berhak mengatakan pen"
dapatmu", segera terlintas dalam pikiran Lucien sebuah ke"
inginan yang tak dapat dijelaskan. Ia menandatangani ker"
tas itu. Keesokan harinya, ia membeli L'Acfjan mem'ye,
tapi pernyataan itu tak muncul dan baru muncul pada hari
Kamis. Lucien menemukan di halaman dua dengan judul:
"Pemuda Prancis Memberikan Pukulan Langsung yang
Telak terhadap Bangsa Yahudi".
Namanya tercantum di sana, tebal, definitif tak jauh da"
ri miliknya dan Lemordant, mirip dengan orang asing se"
perti Fleche dan Flipot yang tercantum dekat namanya. Ia
memiliki nama yang rapi. "Lucien Fleurier," pikirnya. "Satu
nama desa, nama yang baik di Prancis." Ia membaca dengan
keras nama"nama yang berawalan F dan ketika sampai pada
namanya ia menyebutnya seotah"olah tak mengenalnya.
Lalu, ia memasukkan koran itu ke sakunya dan kembali ke
rumah dengan bahagia. Waktu terus berlalu, beberapa hari terakhir ini ia bertemu
Lemordant. "Kamu berpolitik?" tanya Lucien kepadanya.
"Aku pengikut partai," kata Lemordant, "apakah ka"
dang"kadang kamu juga membaca LHL'ZZ'M?"
"Tidak terlalu sering," aku Lucien, sampai di sini, hal itu
tak menariknya, "tapi aku percaya bahwa aku akan segera
berubah." Lemordant memperhatikannya tanpa curiga, dengan
262 ]ean"Paul Sartre
wajah tak mudah dipengaruhi. Lucien menceritakan ke"
pada Lemordant segala sesuatu yang terjadi selama ini,
termasuk tentang hal yang oleh Bergere disebut sebagai
"kebingungan". "Asalmu darimana?" tanya Lemordant.
"Dari Ferolles. Di sana Papaku punya sebuah pabrik."
"Berapa lama kamu tinggal di sana?"
"Hanya sebentar."
"Baik, aku tahu," kata Lemordant, "baiklah, itu mudah,
kamu seorang pembasmi. Pernahkah karena membaca
Barres?" "Aku pernah membaca Colette Baudoche."
"Bukan, bukan itu," kata Lemordant dengan jengkel.
"Aku akan membawakanmu Pam Pembasmi sore ini: itu ada"
lah ceritamu. Kamu akan menemukan permasalahanmu dan
obatnya." Buku itu bersampul kulit hijau. Di bagian atas halaman
pertama sebuah nama "ex"Zz'hm Andre Uwordaaf" tertulis
jelas dengan huruf Gothik. Lucien terkejut: ia tak pernah
menyangka kalau Lemordant mempunyai julukan di waktu
kecil. Ia mulai membaca dengan penuh rasa curiga: setelah be"
berapa kali buku itu belum juga menjelaskan sesuatu. Telah
beberapa kali orang meminjaminya buku yang menceritakan
tentang dirinya: "Baca ini, semua yang ada di sini sesuai de"
ngan kenyataanmu," pikir Lucien sambil tersenyum dan
sedikit sedih. Tidak ada seorang pun yang mampu me"
ngemukakan kenyataannya, termasuk lewat beberapa kali"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 263
mat. Oedz'par Cowplex, Kebingungan: Tingkah laku apakah
ini dan semua itu begitu jauh! Tapi di halaman pertama buku
itu, ia tertarik: pada awalnya ini bukanlah psikologi (Lucien
telah hapal di luar kepala tentang psikologi). Kaum muda
mengatakan, Barres bukanlah individu yang abstrak, kalah
jauh dengan Rimbaud atau Verlaine, maupun penyakit"
penyakit yang diderita semua penganggur. Viennoises mem"
praktikkan psikoanalisis Freud.
Barres mulai menulis bukunya dengan penggambaran
tempat"tempat di sekelilingnya, dalam keluarganya: mereka
adalah murid"murid yang pintar di Province, dalam tradisi
yang kokoh. Lucien menemukan kemiripan kondisi dengan
Sturel. "Ini benar"benar cocok," katanya kepada diri sendiri,
"aku adalah seorang pembasmi."
Lucien memikirkan kesehatan moral keluarga Fleurier
yang tak dapat dicapai siapa pun yang ada di desa, termasuk
kekuatan Fisik mereka (kakeknya membengkokkan koin pe"
runggu dengan jari"jarinya). Ia secara emosional mengingat
masa kecilnya di Ferolles: ia bangkit, turun agar tak membuat
keributan yang membangunkan kedua orang tuanya, menga"
yuh sepedanya dan mengirimkan surat perpisahan penuh
kasih sayang kepada dua orang desa di Ile"de"France. "Aku
selalu benci Paris," pikirnya penuh emosi.
Lucien membaca juga Kebun Berwiw dan di lain waktu ia
menghentikan bacaannya lalu berpikir dengan mata menera"
wang: jadi, inikah sesuatu yang baru, buku itu menawarkan
sebuah karakter dan sebuah takdir, sebuah pelarian dari
264 ]ean"Paul Sartre
obrolan"obrolan yang tak habis"habisnya, sebuah metode
untuk merumuskan dan mengapresiasikan diri sendiri. Tapi,
berapa yang aku suka dari ketololan yang menjijikkan dan
kegersangan Freud. Tercium bau pedesaan yang begitu
semerbak, itulah kado dari Barres untuk Lucien.
Untuk meraihnya, Lucien tidak punya sesuatu yang
bisa membuatnya bangkit dari kegersangan dan bahaya
yang ada dalam perenungan dirinya sendiri: ia harus belajar
mengenai tanah dan bawah tanah Ferolles, yang ia baca
adalah arti bentangan luas bukit yang dilaluinya sampai di
Sernette, yang menunjukkan pada Lucien suatu geografi
manusia dan sebuah sejarah. Ataukah, ini begitu sederhana
dan mampu membuatnya kembali ke Ferolles, tempatnya
hidup: ia menemukan tempat itu berada di bawah kakinya,
tempat itu tak membahayakan dan subur, bentangan luas
yang membelah desa Ferollienne, bercampur dengan hu"
tan kecil, sebuah mata air, dedaunan, bagaikan humus
yang memberikan kesuburan dimana Lucien akhirnya ter"
paksa menjadi seorang Tuan. Lucien keluar dari lamunan
panjangnya dengan penuh semangat.
Di lain waktu, ia membayangkan telah menemukan
suaranya. Sekarang, bila di samping Maud ia jauh lebih
pendiam, lengannya memeluk tubuh gadis itu. Kata"kata,
kalimat dari obrolan"obrolan kecil itu selalu menggaung di
dirinya: "Lanjutkan tradisi, tanah dan kematian," kata"kata
yang terpendam dan buram, tak akan ada habisnya.
"Seperti inikah godaan?" pikir Lucien. Meskipun begitu,
ia tak berani mempercayai tempat itu: ia sudah terlalu sering
memutuskan. hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 265
Ia mengemukakan kekhawatirannya kepada Lemordant:
"Itu akan menjadi sesuatu yang indah, sobatku," jawab Le"
mordant, "kamu segera tak mempercayai apa yang kamu
inginkan: ini harus kamu lakukan."
Lemordant berpikir sebentar dan berkata: "Kamu harus
datang bersama kami."
Lucien menerima dengan s enang hati, tapi ia menegaskan
bahwa dirinya tetap merdeka: "Aku datang," katanya, "tapi
itu bukanlah jaminan. Aku ingin melihat dan berpikir."
Lucien terkesan pada teman"temannya di perkumpulan
pemuda itu. Mereka menyambut kehadirannya dengan
ramah dan sederhana. Dan, selanjutnya ia merasa tenang
berada di tengah,tengah mereka. Ia telah mengenal gang
Lemordant, dua puluh mahasisiwa yang memakai baret
seragam. Mereka mengambil tempat duduk di atas tangga
tingkat satu kafe Polder, tempat mereka main bridge dan
bilyar. Lucien sering pergi menemui mereka di tempat itu
dan lama"lama ia memahami keterlibatannya dengan mereka,
terutama karena setiap kali berada di sana, ia selalu disambut
dengan teriakan: "Nah, yang paling tampan datang!" atau
"Inilah, Fleurier nasional kita!"
Itulah canda mereka yang sangat menawan hati Lucien:
tak ada keintelekan maupun kedisiplinan, hanya sedikit ob"
rolan politik. Mereka tertawa dan menyanyi, penuh dengan
sorak"sorai, mereka berkelahi di liga mahasiswa muda.
Lemordant, sang pemimpin, menjadi jagoan paling kuat
hingga tak seorang pun berani menggantikan posisinya. Ia
cenderung santai, membiarkan semua orang tertawa riang.
266 ]ean"Paul Sartre
Lucien lebih sering berdiam diri, ia memperhatikan semua
tingkah laku para pemuda itu, ribut dan keras: "Ini adalah
pasukan," pikirnya. Di tengah"tengah mereka, ia menemukan sedikit demi
sedikit kenyataan arti masa muda: ia tak terkungkung dalam
hati seseorang yang sangat menyukainya, Bergere misalnya.
Pemuda adalah masa depan Prancis. Lagipula, kelompok
Lemordant tak punya problem yang menarik dalam hal
kedewasaan: seperti itulah dewasa, apalagi sebagian dari
mereka berjanggut. Jika kita perhatikan mereka, akan kita
temukan bahwa mereka seperti bersaudara. Mereka terbiasa
dengan kebiasaan buruk dan meragukan usianya, mereka
tak pernah belajar, mereka adalah kenyataan. Pada awalnya,
mereka senang bertindak sembarangan dan seenaknya. Lu"
cien tak percaya akan kegilaan mereka. Ketika Remy men"
ceritakan bahwa Nyonya Dubus, pemimpin perempuan
radikal, mengalami kecelakaan dan kakinya patah terlindas
truk, Lucien menunggu: pada awalnya ia menyangka mereka
akan membalas perbuatan laki"laki yang berani mencelakan
nyonya itu. Namun, sebaliknya mereka justru berteriak ke"
girangan dan menepuk"nepuk paha mereka sambil berkata:
"Anjing tua dan "Sopir terhormat!"
Lucien sedikit jengkel, namun ia mengerti kalau tawa
besar mereka merupakan penyucian atas sebuah penolakan:
mereka telah mencium adanya bahaya, mereka tidak ingin
memberikan rasa belas kasihan dan tertutup. Lucien mulai
tertawa juga. Sedikit demi sedikit kenakalan mereka tampak
nyata di sepanjang hari yang mereka lalui, tapi kenakalan itu
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 267
lahiriahnya saja. Di dalam hati, mereka sebenarnya begitu
mematuhi satu hukum: keyakinan mereka begitu dalam, be"
gitu religius, kenakalan mereka telah menampakkan bahwa
hukum begitu mudah, menyindir para pejalan kaki sehingga
mereka berputar, tapi semua itu tidak begitu penting. Di
antara humor dingin Charles Maurras dan tawa canda
Desperreau, misalnya (ia memasukkan kondom yang disebut
kulit zakar merah ke dalam sakunya), tidak ada perbedaan
tingkat. Pada bulan Januari, universitas mengadakan sidang
resmi untuk menganugerahkan gelar "Doktor Honoris
Causa" kepada dua orang ahli mineralogi Swedia. "Kamu
akan melihat kehebohan yang luar biasa," kata Lemordant
kepada Lucien sambil memberikan kartu undangan.
Teater keliling yang terkenal disewa, ketika Lucien
masuk di ruangan La Marseiltaise, Presiden Republik dan
Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rektor berada di sana. Lucien berdebar"debar, ia takut
akan terjadi sesuatu pada teman"temannya. Setelah itu,
beberapa anak muda berbusana di atas tribun dan bergaya
sambil menangis. Lucien mengenali Remy, merah seperti
tomat, terjadi perdebatan antara dua laki"laki yang menarik
jas mereka sambil berteriak: "Prancis adalah milik orang
Prancis." Ia terkejut, karena tiba"tiba muncul seorang tuan tua
yang bersiul, dengan wajah yang sedih dan membawa te"
rompet kecil. "Seperti Santa," pikir Lucien.
Ia meniktnati kebebasan percampuran antara keang"
keran kepala batu dan keributan yang ditakukan pemuda"
268 ]ean"Paul Sartre
pemuda nakal berwajah matang dan cukup umur. Belakangan
Lucien juga mencobabnya, ia senang. Ia sukses menyitir
sajak Herriot: "Jika mati di tempat tidur, di sana, pasti tak
ada Tuhan." Ia merasa lahir dengan satu pengorbanan yang salah.
Lalu, ia bungkam sebentar, ia juga merasa bingung, menciut,
dan puas pada apa yang diperoleh Remy dan Desperrau.
"Lemordant memiliki alasan," pikirnya, "ini harus diprak"
tikkan, semuanya." Ia belaj ar menolak s ebuah diskusi: Guigard, yang seorang
Republik, keberatan dengan penolakan. Lucien mengikuti
dengan saksama, tapi di ujung waktu, ia tertutup. Guigard
selalu berbicara, tapi Lucien tidak memperhatikannya sama
sekali: ia malah membaca merek celana panjangnya, merasa
senang dengan membuat bundaran"bundaran dari asap ro"
koknya sambil menggoda gadis"gadis. Ia mendengar semua
sebab penolakan Guigard, tapi gadis"gadis itu menghilang,
dan tergelincir di atas tubuhnya, ringan dan nakal. Guicard
menyelesaikan pembicaraannya yang begitu mempesona.
Lucien menceritakan teman"teman barunya kepada
orang tuanya, dan Tuan Fleurier bertanya padanya akankah
dia menjadi Camelot. Lucien ragu"ragu dan akhirnya berkata
dengan yakin: "Aku penggoda, aku benar"benar penggoda."
"Lucien, aku tak tahu, jangan lakukan hal itu," kata
ibunya, "mereka sangat kalut dan sebuah kemalangan telah
tiba dengan cepat. Ketahuilah apa yang akan kamu lalui,
kamu akan dipenjara" Apalagi kamu terlatu muda untuk
berpolitik." hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 269
Lucien menjawab semua itu hanya dengan senyum
simpul, dan Tuan Fleurier menengahi: "Biarkan ia berbuat
seperti yang diinginkannya, sayangku, biarkan ia mengikuti
idenya. Ia harus melalui semua itu."
Mulai hari itu, seolah"olah terjadi sesuatu pada Lucien
dimana orang tuanya memperlakukan dirinya dengan penuh
nasihat. Meskipun begitu, ia tidak menyesal sama sekali. Se"
lama beberapa minggu ia banyak mendapatkan pelajaran:
ia memamerkan kepada teman"temannya yang ingin tahu
kebaikan hati papanya, kekhawatiran Nyonya Fleurier, rasa
hormat Guigard, desakan Lemordant, maupun ketidak"
sabaran Remy. Ia berkata kepada dirinya sendiri sambil
menggelengkan kepala: "Ini bukan urusan kecil."
Ia mengobrol panjang lebar dengan Lemordant hingga
akhirnya bisa mengerti dengan baik alasan"alasannya, dan
ia berkata bahwa dirinya tak merasa tertekan. Lucien belum
mendapatkan krisis kemunafikan: ia merasa dirinya hanyalah
gelatin tipis dan transparan yang gemetar di atas bangku
sebuah kafe, dan keributan teman"temannya tampak absurd.
Tetapi, lain waktu ia merasa dirinya tegar dan keras seperti
batu dan ia benar"benar senang.
Semua anggota gang lama"kelamaan berubah menjadi
baik. Ia Lg Nove a Rekam bagi mereka, lagu ini disukai Heb"
rad. Semua temannya mengatakan bahwa Lucien begitu me"
nyenangkan. Lucien menjadi lebih cerdas daripada biasanya,
ia menggagas pemikiran tajam tentang orang"orang Yahudi,
juga menceritakan Bertiac yang begitu kikir: "Aku selalu
berkata kepada diriku sendiri: tetapi mengapa ia begitu pelit,
270 ]ean"Paul Sartre
tak mungkin ia pelit tanpa sebab. Dan, pada suatu hari yang
indah aku memahaminya: ia seorang Tribu."
Semua mulai tertawa dan semacam kobaran semangat
makin menguatkan Lucien: ia merasa benar"benar marah
terhadap orang Yahudi dan kenangan pada Berliac sernakin
membuatnya benci. Lemordant memperhatikan Lucien, katanya: "Kamu
orang suci." Kemudian ia selalu bertanya kepada Lucien: "Fleurier,
katakan kepada kami salah satu kebaikan bangsa Yahudi,"
dan Lucien menceritakan sejarah bangsa Yahudi yang ia
dapatkan dari ayahnya. Ia hanya memulai dengan nada pasti,
"un chau!" Lej/ rengamfre Plaza..." untuk membuat teman"te"
mannya senang. Suatu hari, Remy dan Patenotre mengaku berpapasan
dengan seorang Yahudi Aljazair di tepi sungai Seine. Me"
reka membuat orang itu takut dan ngeri karena mereka
menghampiri laki"laki itu seolah"olah ingin menjatuhkannya
ke dalam air: aku bergumam, simpul Remy: "Sayang Fleurier
tak bersama kita." "Mungkin akan lebih baik kalau ia tidak berada di sana,"
sela Desperreau, "karena, ia pasti akan mendorong Yahudi
itu ke dalam air demi kebaikannya!"
Lucien tidak menampakkan wajahnya bila bertemu
dengan Yahudi. Ketika ia pergi bersama Guigard, ia menyi"
kutnya: "Kamu jangan cepat"cepat berbalik: orang yang
bertubuh kecil dan gemuk di belakang kita adalah orang
Yahudi!" hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 271
"Untuk itulah," kata Guigard, "kamu punya naluri!"
Fanny, gadis yang sudah tak lagi dimilikinya, tak mampu
membenci orang"orang, Yahudi. Pada hari Kamis, mereka
berempat naik ke kamar Maud dan Lucien menyanyikan La
Nove :: Relaea'a. Fanny sama sekali tidak menyukai lagu itu,
ia berkata: "Hentikan, kamu membuatku ingin kencing di
celana." Ketika Lucien mengakhirinya, gadis itu melemparkan
pandangan mata yang berseri"seri dan mesra. Di kafe Pol"
der, mereka menyusun cerita untuk mengelabui Lucien.
Ia selalu bertemu seseorang yang berkata sembarangan:
"Fleurier yang sangat menyenangi orang"orang Yahudi...,"
atau "Leon Blum, teman karib Fleurier?" dan yang lainnya
menanti dengan kegirangan, sambil menahan napas dengan
mulut terbuka. W'ajah Lucien memerah, ia memukul meja sambil berte"
riak: "Nama keparat!" dan tawa mereka meledak, mereka
berkata: "Ia telah berjalan! Ia telah berjalan! Ia tidak berjalan:
ia berlari!" Ia sering menemani mereka dalam diskusi"diskusi
politik dan ia mengikuti ceramah Profesor Claude dan
Maxime Real del Sarte. Pekerjaannya sedikit melelahkan,
terutama karena barunya, namun tampaknya keadaanlah
yang menjadi penyebab sehingga Lucien tak bisa berharap
tahun itu ia bisa lolos ujian masuk Centrale. Tuan Fleurier
menunjukkan kebaikan hatinya: "Seharusnya," kata Tuan
Fleurier kepada istrinya, "Lucien memahami pekerjaan laki"
laki." 272 ]ean"Paul Sartre
Setelah keluar dari pertemuan, Lucien dan teman"
temannya merasa pusing sehingga mereka bersikap ke"
kanak"kanakan. Suatu ketika mereka, sekitar sepuluh orang,
bertemu dengan seorang laki"laki tampan bertubuh ber"
tubuh kecil dan berkulit kecoklatan yang melintasi Rue
Saint"Andre"des"Arts sambil membaca L'Humam'le. Me"
reka memojokkan laki"laki itu ke tembok, dan Remy mem"
bentaknya: "Jatuhkan koranmu!"
Laki"laki kecil itu tidak berani menolak, Desperreau
menyelinap dari belakang dan mengurungnya. Sedangkan
Lemordant merenggut tangannya lalu meraih koran itu.
Begitu mengasyikkan. Laki"laki kecil itu mengamuk dan me"
nendang ke tempat kosong sambil berteriak: "Lepaskan aku,
lepaskan aku!" Dengan aksen yang aneh Lemordant, dengan sangat
kalem, merebut koran itu. Semuanya mulai jahat: mereka
berhamburan dan memukul, begitu juga Remy, ia menyuruk
dan meninju telinga belakang laki"laki itu. Orang itu terjatuh
membentur tembok dan memandang mereka dengan wajah
yang mengerikan, sambil berteriak: "Orang Prancis keparat!"
"Ulangi apa yang kamu katakan!" bentak Marchesseau
dengan dingin. Lucien paham kalau ia akan mendapat
julukan anak bandel. Marchesseau tak biasa dengan kelakar
yang mempertentangkan Prancis.
"Orang Prancis keparat!" kata laki"laki asing itu. Ia
mendapat tamparan yang mengerikan dan kepalanya terkulai,
ia lari sambil berteriak: ?"Orang"orang Prancis keparat, bor"
juis keparat, aku membenci kalian, aku ingin kalian mati,
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 273
semua, semua, semua!". Makian kotor lain membanjir dan
kekerasan yang tak pernah Lucien bayangkan terjadi. Lalu,
mereka kehilangan kesabaran dan hanya sedikit dari mereka
yang senang dengan hal ini serta mengoreksi kata"kata laki"
laki itu. Beberapa saat kemudian mereka melepaskannya, orang
itu didorong sampai ke tembok. Ia gemetar, sebuah pukul"
an membuat mata kanannya tertutup, mereka berdiri me"
ngelilingi dan memukuli orang itu, juga menunggu sampai ia
terjatuh. Orang itu membengkokkan bibirnya dan meludah:
"Orang"orang Prancis keparat."
"Kamu ingin kami memulainya lagi?" tanya Desperreau
dengan tersengal"sengal. Orang itu tampaknya tak men"
dengar: ia melihat mereka melalui mata kirinya dengan
pandangan menantang dan mengulang ucapannya: "Dasar
Prancis keparat, Prancis keparat!"
Beberapa saat ada keraguan, dan Lucien menyadari
bahwa teman"temannya akan meninggalkan tempat itu. Pa"
dahal, ini kebiasaannya, ia melompat ke depan dan memukul
dengan segala kekuatannya. Ia mendengar bunyi sesuatu
yang patah, dan orang itu melihatnya dengan pandangan
lemah dan terkejut: "Jahat. . .," gagapnya.
Tapi, matanya sembab dan tampak kosong di atas ling"
karan merah, bola matanya tak terlihat. Ia jatuh berlutut dan
tak berkata apa"apa lagi. "Tinggalkan tempat ini teriak
Remy. Mereka berlari dan terus berlari sampai tiba di Saint"
Michel: tak seorang pun yang tampak mengikuti mereka.
Mereka merapikan dasi dan membersihkan pakaian dengan
telapak tangan. 274 ]ean"Paul Sartre
Sore itu berlalu tanpa seorang pun yang menyinggung
petualangan tersebut. Mereka saling menunjukkan kebaikan
yang istimewa: mereka telah meninggalkan kekasaran yang
memalukan, yang tak ada gunanya buat mereka, sesuatu
yang umum, yang telah menutupi perasaan mereka. Mereka
berbicara dengan sopan, dan Lucien berpikir bahwa mereka
menunjukkan untuk pertama kalinya dari keluarga mana
mereka berasal. Ia sebenarnya sangat jengkel karena tak
pernah berkelahi di jalanan melawan para berandalan. Ia
membayangkan Maud dan Fanny dengan penuh kelembutan.
Ia tersadar. "Aku tidak bisa terus mengikuti tindakan
amatiran mereka yang serampangan," pikirnya. "Sekarang,
semua harus dipertimbangkan baik"baik, tampaknya aku
harus melibatkan diri!"
Ia merasa serius dan hampir"hampir religius ketika ia
mengabarkan sebuah berita baik kepada Lemordant. "Aku
telah memutuskan," ucapnya, "aku akan bersama kalian."
Iemordant menepuk bahunya, dan mereka merayakan
peristiwa itu sambil menenggak beberapa jenis minuman
yang berkualitas. Mereka memulai lagi gaya bicara yang kasar
dan riang mereka tidak lagi membicarakan keributan yang
terjadi kemarin. Karena mereka akan pergi, Marchesseau
berkata singkat kepada Lucien: "Kamu mempunyai pukulan
yang terkenal!" dan Lucien menjawab: "Ia orang Yahudi!"
Dua hari kemudian, Lucien pergi menemui Maud de"
ngan membawa sebuah tongkat besar yang, dibelinya di
sebuah toko di baa/emrd Saint"Michel. Maud segera paham:
ia menatap tongkat itu dan berkata: "Jadi, semuanya selesai?"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 275
"Selesai," jawab Lucien sambil tersenyum. Maud tam"
pak tersanjung, secara pribadi ia lebih setuju dengan aliran
kiri, tapi dia tak punya keberanian. "Aku tahu, bahwa ada
beberapa hal baik dari tiap"tiap partai," katanya.
Sepanjang sore Maud menggosok beberapa kali teng"
kuknya sambil memanggil Camelot. Beberapa hari kemu"
dian, tepatnya pada Sabtu sore, Maud merasa lelah: "Aku
yakin harus kembali," ucapnya, "tapi kamu bisa naik ke
kamar bersamaku, jika kamu bijaksana: kamu akan me"
megang tangannya, dan kamu akan bersikap baik pada si
kecil Maud, yang sedang sakit, kamu akan membacakan
cerita kepadanya." Lucien tidak begitu antusias menerima tawaran Maud,
karena kamar Maud bag,aikan sebuah kerapian yang gersang
sehingga membuatnya sedih, walau kamar itu tampak seperti
kamar orang yang baik"baik. Namun suatu kejahatan puta
jika kesempatan yang bagus ini dilewatkan. Di pintu masuk,
Maud melompat ke tempat tidur sambil berkata: "0qu
Aku baik"baik saja," lalu diam dan menatap Lucien sambil
menekuk bibirnya. Lucien berbaring di dekatnya, dan Maud meletakkan
tangan di matanya sambil merenggangkan jari"jarinya serta
berkata dengan suara kekanak"kanakan: "Hei, aku bisa
melihatmu, tahukah kamu Lucien, aku melihatmu!"
Ia merasa berat dan lembek, Maud meletakkan jari"
jarinya di mulut Lucien dan menghisapnya, kernudian ia
berbicara kepadanya dengan lembut: "Si kecil Maud sedang
sakit, betapa malangnya ia, si kecil Maud yang malang!"
276 ]ean"Paul Sartre
Lucien membelai seluruh bagian tubuhnya, Maud me"
nutup matanya dan ia tersenyum misterius.
Beberapa saat kemudian, Lucien melepas celana Maud
dan ia kemudian menyadari bahwa mereka telah bercinta.
Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lucien berpikir: "Aku telah diberkati."
"Begitu, ya," kata Maud ketika mereka telah selesai. "Ini
yang aku nanti"nantikan!"
Ia menegur Lucien dengan lembut: "Hei, nakal, aku
yakin kamu akan bersikap bijaksana!"
Lucien mengatakan bahwa ia juga sama terkejutnya se"
perti Maud. "Itu memang sudah harus terjadi," ucapnya.
Maud merenung sebentar dan kemudian berkata kepada
Lucien dengan serius: "Aku tidak menyesal. Sebelumnya
mungkin lebih murni, tapi itu tidak sempurna."
"Aku punya majikan," renung Lucien ketika berada di
kereta bawah tanah. Ia merasa hampa dan lelah, tercium bau
minuman keras dan ikan segar. Ia duduk tegak untuk meng"
hindari sentuhan dengan bajunya yang basah oleh keringat,
ia merasa tubuhnya seperti susu asam.
Ia mengulang dengan keras: "Aku punya majikan," ta"
pi ia frustrasi dengan apa yang diinginkan dari Maud sejak
dulu: wajah mungilnya dengan bibir terkatup, caranya ber"
dandan, tubuhnya yang ramping, sikapnya yang anggun,
reputasinya yang terkenal sebagai gadis serius, sikapnya
yang meremehkan laki"laki, apa yang tampak pada dirinya
merupakan cerminan orang asing, benar"benar orang lain,
keras dan mantap, selalu di luar jangkauan, dengan pikiran"
pikiran kecilnya yang bersih, sikap malu"malunya, kaus kaki
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 277
suteranya, rok dari kain krep, baju yang selalu dikenakannya.
Dan, semua sikap itu terbentuk karena himpitan, yang ada
dalam tubuh, yang mendekati bibir dari wajah tanpa mata,
polos seperti perut, ia memiliki tubuh dari bunga, kesan
yang lembek. Ia melihat kembali si buta yang bergetar di
balik selimut dengan suara kecipak air dan erangan penuh
nafsu. Ia berpikir: itulah kami berdua. Mereka tidak mela"
kukan apa"apa, kecuali satu hal. Ia sudah tak bisa lagi mem"
bedakan mana tubuhnya dan mana tubuh Maud, tidak
pernah seorang pun memberikan kesan muak dari keintiman
ini, kecuali mungkin Riri, saat Riri menunjukkan pipisnya di
balik semak"semak atau ketika ia tengkurap dan menggerak"
gerakkan tangan dan kakinya, pantatnya terlihat, ketika kami
mengeringkan celananya. Lucien menyadari beberapa hal yang meringankannya
saat memikirkan Guigard. Ia akan berkata kepadanya be"
sok: "Aku tidur dengan Maud. Ia adalah perempuan yang
hebat, sobatku. Karena hal itu seolah"olah mengalir dalam
darahnya." Tetapi ia merasa kikuk, ia merasa telanjang dalam kereta
bawah tanah yang panas dan berdebu itu, telanjang dalam
lapisan tipis pakaiannya, kaku dan telanjang di samping
seorang pendeta, berhadapan dengan dua orang perempuan
setengah baya, bagaikan seorang laki"laki jangkung yang
kotor. Guigard memberi selamat kepadanya. Ia pernah melaku"
kannya sedikit dengan Fanny: "Ia benar"benar orang yang
punya sifat jelek. Kemarin ia cemberut kepadaku sepanjang
sore." 278 ]ean"Paul Sartre
Mereka berdua setuju: perempuan seperti itu harus di"
tinggalkan, karena kita tidak tahu apakah ia akan tinggal
dengan tulus sampai menikah, apalagi mereka tidak punya
maksud atau penyakit tertentu, tapi merupakan kesalahan
juga jika tetap terikat dengannya. Guigard membicarakan
gadis"gadis baik"baik dengan penuh kelembutan dan Lucien
menanyakan kabar adiknya.
"Ia baik"baik saja, temanku," jawabnya, "ia bilang kamu
adalah orang yang meninggalkan teman"temannya begitu
saja." "Kamu tahu," tambahnya dengan sedikit santai, "aku
tidak senang punya adik perempuan: tanpa seorang adik pe"
rempuan, kita pasti tak akan memiliki hal"hal yang dipertang"
gungjawabkan." Lucien benar"benar memahaminya. Selanjutnya, mereka
sering membicarakan gadis"gadis muda dan merasa sangat
puitis. Guigard senang menceritakan salah satu pamannya
yang disenangi banyak perempuan: "Aku semakin tidak bisa
selalu melakukan hal"hal yang baik dalam hidupku, tapi ada
sesuatu sehingga Tuhan selalu menjagaku lebih baik, lebih
baik tanganku dipotong daripada aku menyentuh seorang
perempuan muda." Mereka kadang"kadang mengunjungi teman"teman
Pierrette Guigard. Lucien sangat menyukai Pierrette, ia
memperlakukannya dengan sedikit menggoda seperti ke"
pada seorang adik, dan ia sangat berterima kasih kepada
Pierrette karena ia tidak memotong rambutnya. Waktunya
sangat tersita dengan aktivitas politiknya, setiap Minggu
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 279
pagi Lucien mondar"mandir berjualan L'Acfz'on Hundaz'ye di
depan Gereja Neouilty selama lebih dari dua jam, wajahnya
mengeras. Gadis"gadis muda yang keluar dari gereja kadang"
kadang memandangnya dengan mata tulus, sedangkan Lu"
cien dengan sedikit santai, tulus dan kuat, tersenyum kepada
mereka. Ia menjelaskan kepada teman"temannya bahwa ia
menghormati perempuan dan merasa senang bila dapat
memahami mereka. Di samping itu, ia menganggap mereka
semua adalah saudaranya. Tanggal 17 April, keluarga Guigard mengadakan pesta
dansa untuk merayakan ulang tahun Pierrette yang ke"18,
Lucien tentu saja diundang. Ia sudah berteman baik dengan
Pierrette, gadis itu menjadikan dirinya sebagai pasangan
dansanya. Lucien curiga kalau Pierrette sedikit jatuh cinta
kepadanya. Nyonya Guigard seorang tcpeme dan sore harinya
ia berjanji untuk bersikap riang. Lucien berdansa beberapa
kali dengan Pierrette, kemudian ia menemui Guigard yang
sedang menerima teman"temannya di ruang khusus untuk
merokok. "Apa kabar," ucap Guigard, "aku yakin kamu telah me"
ngenal semuanya: Fleurier, Simon, Fanesse, Ledoux."
Saat Guigard menyebutkan temannya satu persatu
Lucien melihat seorang laki"laki muda mendekati mereka
dengan ragu"ragu. Laki"laki muda itu berbadan besar, be"
rambut merah dan keriting, kulitnya seputih susu, dan alis
matanya hitam tebal. "Apa yang dilakukan orang itu di sini?"
gumamnya, "padahal Guigard tahu aku tak dapat menerima
orang"orang Yahudi!"
280 Jean"Paul Sartre
Ia beranjak menjauh dengan cepat untuk menghindari
acara perkenalan itu. "Siapa yang orang Yahudi?" tanyanya
kepada Pierette. "Namanya Weill, ia belaj ar di sekolah tinggi perdagangan.
Kakakku mengenalnya di kelas latihan anggar."
"Aku takut dengan orang Yahudi," kata Lucien.
Pierrette tertawa ringan. "Ia anak yang baik," katanya.
"Antar aku ke meja hidangan."
Lucien mengambil segelas ubcwqaagne dan hanya punya
waktu sebentar untuk beristirahat. Ia bertatapan dengan
Guigard dan Weill. Ia menatap tajam Guigard dan berbalik.
Tapi, Pierrette memegang tangannya dan Guigard mulai
bicara dengan terbuka. "Temanku Fleurier, temanku Weill,"
ucapnya tanpa kesulitan, perkenalan terjadi, Weill meng"
ulurkan tangannya dan Lucien merasa sangat tidak senang.
Untungnya tiba"tiba ia teringat pada Desperreau: "Fleu"
rier akan membuat basah orang"orang Yahudi selamanya."
Ia menarik tangannya ke dalam saku, memunggungi
Guigard dan pergi. "Aku tak akan pernah bisa lagi meng"
injakkan kakiku di rumah ini," pikirnya, sambil meminta
jaketnya. Ia merasakan kesombongan yang pahit. "Inilah
orang yang memegang kuat pendapatnya, kita tidak bisa lagi
hidup dalam masyarakat."
Tapi ada saat kesombongannya mencair dan Lucien
menjadi sangat pendiam. "Guigard pasti sangat marah!"
Ia menggelengkan kepalanya dan mencoba berkata
kepada dirinya sendiri dengan yakin: "Ia tak berhak meng"
undang orang Yahudi jika ia mengundang aku!", tapi kema"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 281
rahannya mereda. Ia melihat kepala W'eill dengan gelisah, juga tangannya
yang terulur, dan ia merasakan sesuatu yang cenderung
berusaha untuk berdamai: "Pierrette pasti berpikir bahwa
aku adalah orang yang kasar. Seharusnya aku menyalami
tangan itu. Setelah itu aku tak perlu melibatkan diri lagi.
Mengucapkan salam dengan hati"hati dan menjauh sece"
patnya: itulah yang harus aku lakukan."
Ia bertanya"tanya apakah masih ada waktu untuk kem"
bali ke tempat Guigard. Ia akan mendekati Weill dan akan
mengatakan kepadanya: "Maafkan aku, aku kurang enak
badan." Ia akan menyalami tangannya dan melakukan sedikit
percakapan yang ramah. Tapi, tidak, sernuanya sudah ter"
lambat, perbuatannya tak dapat diperbaiki lagi. "Apa yang
kauinginkan," pikirnya dengan jengkel, "menunjukkan pen"
dapat"pendapatku kepada orang yang tak memahamiku!"
Ia mengguncang bahunya dengan jengkel: "Ini mala"
petaka." Pada saat yang bersamaan, Guigard mengomentari ting"
kah lakunya, Guigard berkata: "Ia benar"benar gila!"
Lucien menguatkan tinjunya. "Oh!" pikirnya dengan
putus asa, "betapa aku benci mereka! Aku benci orang"orang
Yahudi!" dan ia mencoba mengambil sedikit kekuatan dari
kebencian yang sangat besar itu. Tapi ia larut dalam pan"
dangannya, lebih baik aku memikirkan Leon Blum yang me"
nerima uang dari pihak Jerman dan membenci orang"orang
Prancis, ia tidak merasakan apa"apa lagi, kecuali rasa tidak
282 ]ean"Paul Sartre
peduli. Lucien beruntung bisa bertemu Maud di rumahnya.
Ia katakan kepada Maud bahwa ia sangat mencintainya dan
menyetubuhinya beberapa kali, dengan sebuah kemarahan
yang terpendam. "Semua tidak peduli," katanya, "aku bukan
siapa"siapa lagi."
"Tidak, tidak!" ucap Maud, "berhenti, sayangku, jangan
begitu, itu tak boleh kamu lakukan!"
Tapi, ia tetap membiarkan Lucien melakukannya: Lu"
cien ingin menciumnya di seluruh bagian tubuhnya. Ia me"
rasa seperti anak"anak dan bejat, ia ingin menangis.
Keesokan paginya, di sekolah, Lucien merasa tercekam
saat melihat Guigard. Guigard tampak mencurigakan dan
pura"pura tidak melihatnya. Lucien sangat marah hingga tak
bisa berkata apa"apa: "Bajingan!" pikirnya, "bajingan!"
Di akhir pelajaran, Guigard menghampirinya, wajahnya
pucat pasi. "Jika ia marah"marah," batin Lucien takut, "aku
akan menamparnya." Mereka berdampingan dan diam se"
saat, mereka memperhatikan ujung sepatu masing"masing.
Akhirnya, Guigard berkata dengan suara tersendat:
"Maafkan aku, teman, aku tidak bermaksud berbuat itu
padamu." Lucien terkejut dan melihatnya dengan rasa curiga.
Tetapi, Guigard meneruskan dengan susah payah: "Aku
bertemu dengannya di kelas anggar, kamu paham, lalu aku
ingin... kita melakukan penyerangan bersama"sama dan ia
mengundangku ke rumahnya, tapi aku tahu, kamu tahu,
aku tak bisa, aku tak tahu bagaimana itu terjadi, saat aku
mengundangnya, aku tidak berpikir lagi...".
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 283
Lucien tidak berkata apa"apa karena kata"katanya ti"
dak keluar, tetapi sepertinya ia akan memaafkan. Guigard
menambahkan, kepalanya tertunduk: "Eh, untuk sebuah ke"
salahan...". "Sebuah ketololan," kata Lucien, sambil memukul bahu"
nya, "aku tahu kamu tidak sengaja." Ia bicara dengan ramah:
"Di samping itu aku juga salah. Aku bertingkah seperti orang
kasar. Tapi mau apa lagi, itu sudah jadi kebiasaanku, aku
tak bisa menyentuhnya secara lahiriah, aku merasa bahwa
mereka punya sisik di tangannya. Apa yang telah dikatakan
Pierrette?" "Ia tertawa seperti orang bodoh," kata Guigard dengan
iba. "Dan orang itu?"
"Ia mengerti, aku katakan apa yang harus aku katakan,
tapi ia menutup pembicaraan setelah seperempat jam."
Ia menambahkan, tetap dengan malu"malu, "Orang
tuaku bilang kamu punya alasan, bahwa kamu tak dapat
bertindak dengan cara lain ketika kamu memiliki suatu
keyakinan." Lucien memikirkan kata "keyakinan". Ia ingin memeluk
Guigard: "Tak apa"apa, sobat," ucapnya, "tak apa"apa, kita
tetap berteman." Ia melewati baulezmd Saint"Michel dengan
semangat: ia merasa dirinya asing.
Ia berkata sendiri: "Lucu, aku merasa bukan diriku lagi,
aku tidak mengenali diriku lagi!"
Ia merasa hangat dan nyaman: orang"orang berjalan
tanpa arah tujuan, tersenyum pada musim semi, dalam ke"
rumunan yang bergerak lamban. Lucien berjalan terus se"
284 ]ean"Paul Sartre
perti sebuah pasak baja, ia berpikir: "Ini bukan aku lagi."
Aku yang kemarin, adalah sebuah serangga yang gemuk
dan gembung, mirip dengan jangkrik"jangkrik Ferolles.
Sekarang, Lucien merasa bersih dan rapi seperti sebuah
kronometer. Ia masuk ke la Source dan memesan perhari.
Teman"temannya tidak sering datang ke la Source karena
banyak orang asing pendatang, yang datang ke tempat itu,
tetapi hari itu mereka dan orang"orang Yahudi tidak merasa
terganggu atas kehadiran Lucien.
Di antara orang"orang yang warna mukanya kecoklatan,
yang berkerisikan dengan santai, seperti sebuah ladang
amin" di bawah angin, ia merasa ganjil dan terancam, sebuah
jam dinding besar disandarkan di seberang meja hidangan
dan berkilat"kilat. Ia mengenali dengan cepat seorang Y "
hudi kecil yang, pernah dipukul oleh J.P. tiga bulan yang
lalu di sebuah ruangan di Fakultas Hukum. Monster kecil,
gemuk, dan pemikir, tak terlihat jelas bekas pukulan, ia pasti
menderita lebam"lebam beberapa waktu dan kemudian
kembali ke penampilannya semula. Namun, pada dirinya
ada sebuah kepasrahan yang tidak pada tempatnya.
Sekarang, ia merasa senang. Ia menguap dengan nik"
Dinding Karya Jean Paul Sartre di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mat, sinar matahari menggelitik lubang hidungnya, ia me"
ngorek"orek hidungnya dan tersenyum. Apakah itu sebuah
senyuman" Atau, tampak lebih mirip sebuah ayunan yang
telah ada sejak lahir, di suatu bagian sebuah ruangan, dan
yang baru saja mati di atas bibirnya" Semua orang asing itu
tampak terapung dalam air yang gelap dan berat, golakan
3 Sejenis padi"padian untuk makanan ternak.
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 285
air mengguncang tubuh"tubuh mereka yang lembek, meng"
angkat lengan mereka, menggerak"gerakkan jari mereka,
bermain sedikit dengan bibir mereka. Orang"orang yang
malang! Lucien kasihan dengan mereka, apa yang mereka
lakukan di Prancis" Kapal mana yang membawa mereka
dan mernutuskan mendarat di sini" Mereka tahu cara ber"
pakaian yang sepatutnya berkat seorang penjahit di baulemm'
Saint"Michel, mereka tidak lagi seekor ubur"ubur. Lucien
merasa dirinya bukan seekor ubur"ubur, ia tidak mirip de"
ngan binatang memalukan itu, ia bergumam: "Aku me"
masukkannya." Kemudian, tiba"tiba ia teringat, ia melupakan la Source
dan orang"orang pendatang itu, ia hanya serius melihat
punggung"punggung yang bertonjolan karena otot"otot,
yang menjauh pelan"pelan, yang lenyap, tidak dapat dicegah,
dalam kabut tipis. Ia juga melihat Guigard: Guigard tampak
pucat, ia mengikuti punggung itu dengan tatapan matanya,
ia berkata kepada Pierrette dengan sembunyi"sembunyi:
"Nah, untuk sebuah kesalahan... !"
Lucien dicekam rasa senang yang tak tertahankan dan
kesepian itu adalah miliknya! Kejadian itu terjadi kemarin!
Untuk beberapa saat, untuk sebuah tekanan yang kejam,
ia berubah menjadi Guigard dan mengikuti punggungnya
sendiri dengan tatapan Guigard, ia menyadari di depan
dirinya kenistaan Guigard dan merasakan ketakutan yang
nikmat. "Itu akan memberikan pelajaran bagi mereka!"
pikirnya. Latar berganti: sekarang ia berada di ruang tamu Pie"
286 Jean"Paul Sartre
rrette, ini terjadi di masa depan. Pierrette dan Guigard me"
nunjukkan sebuah nama dalam daftar undangan dengan
pandangan sedikit bingung. Lucien tidak hadir, tetapi ke"
kuatannya ada di antara mereka. Guigard berkata, "Ah!
Tidak, bukan itu! Ya, dengan Lucien, itu tampak bagus,
Lucien yang tak dapat menerima orang"orang Yahudi!"
Lucien merenung sekali lagi, ia berpikir: "Lucien itu aku!
Seseorang yang tak dapat menerima orang Yahudi." Kalimat
itu sering diucapkannya, tapi hari ini kalimat itu tampak ber"
beda sama sekali. Tentu saja, tampaknya itu adalah sebuah
pengamatan yang sederhana, seperti yang selalu mereka ka"
takan: "Lucien tak suka kerang?" atau "Lucien suka dansa?"
Tapi ia pasti benar: suka dansa, mungkin kita dapat me"
nemukannya juga pada orang"orang Yahudi, seekor ubur"
ubur beku. Kita hanya cukup melihat orang Yahudi yang
besar untuk menyadari suka atau tidak suka tetap tinggal
di dalam dirinya, seperti gaunnya, seperti bayangan di ku"
litnya, yang menghilang dalam dirinya seperti kerjapan
kelopak matanya yang berat, seperti senyum kepuasaan
yang melekat. Tapi sikap anti"Semit Lucien adalah suatu hal
yang lain: tak mengenal belas kasihan dan murni keluar dari
dalam dirinya seperti pelat baja, yang mengancam dada yang
lain. "Itu, pikirnya... adalah hal suci."
Ia teringat mamanya s emasa kecil yang s ering mengatakan
kepadanya dengan tegas: "Papa bekerja di kantornya." Dan
kalimat itu tampak seperti sesuatu yang berhubungan dengan
pemberkatan yang memberinya tiba"tiba tumpukan kewajib"
an"kewajiban keagamaan seperti: tidak boleh bermain sena"
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 287
pan dalam udara yang dimampatkan, tidak boleh berteriak
"Tararaboum" ketika ia berjalan di ujung gang dengan ujung
kaki seperti ketika ia berada di katedral.
"Sekarang, tiba giliranku," pikirnya dengan puas,
seseorang berkata dengan suara pelan: "Lucien tidak
menyukai orang Yahudi dan orang"orang merasa tidak dapat
bergerak, tubuh"tubuh mereka terbelah oleh anak panah"
anak panah kecil." "Guigard dan Pierrette," ucapnya dengan rasa iba, "ada"
lah anak"anak. Mereka bersalah, tapi hanya cukup dengan
menunjukkan pada mereka sedikit giginya, maka mereka
segera akan merasa menyesal." Mereka bicara pelan dan
berjalan dengan berjingkat.
Lucien, untuk kedua kalinya, merasa begitu menghargai
dirinya sendiri. Tetapi, saat ini ia tidak perlu menatap Guigard.
Sekarang dengan matanya sendiri ia merasa takut dihargai
dengan matanya yang menembus tubuhnya yang tertutup,
rasa suka dan tidak suka, kebiasaan dan kecenderungan hati.
"Di sana, dimana aku mencari," pikirnya, "aku tak dapat
menemukan." Ia telah melakukan sesuatu yang jujur, catatan kegiat"
annya setiap menit. "Tapi, aku hanya bisa menjadi diriku
sendiri, aku hanya ingin si Y ahudi kecil. Sambil memeriksa
keintiman selaput lendir, apa yang kita temukan, jika bu"
kan tubuh yang sedih, kebohongan egalitas yang hina,
kekacauan?" demikian kata"kata mutiara pertama yang Lu"
cien ucapkan kepada dirinya sendiri. Jangan mencari pada
dirinya sendiri, "tidak ada kesalahan yang lebih berharga."
288 ]ean"Paul Sartre
Lucien yang sesungguhnya mengetahuinya sekarang,
harus mencarinya dengan menggunakan pandangan orang
lain, dalam kepatuhan karena takut, Pierrette dan Guigard,
dalam penantian yang penuh dengan harapan dari orang"
orang yang besar dan mati untuknya, dari pemuda"pemuda
yang sedang belajar yang akan menjadi pekerja"pekerjanya,
penduduk Ferolles besar maupun kecil di mana ia akan
menjadi wali kotanya suatu hari nanti.
Lucien sedikit takut, ia merasa terlalu besaruntuk dirinya,
orang"orang menunggunya di sebuah pangkalan senjata: dan
ia akan selalu berada dalam kerumunan itu menunggu yang
lainnya. "Itulah seorang pemimpin," pikirnya.
Dan, ia melihat punagung"punggung berotot dan ber"
tonjolan itu muncul kembali, kemudian ia melihat sebuah
katedral dimana ia ada di dalamnya, ia berjalan berjingkat"
jingkat dalam cahaya remang"remang yang berasal dari
jendela. "Hanya pada kesempatan ini, akulah katedralnya!"
Ia menatap tajam orang"orang, di sampingnya ada orang
Kuba yang berambut gelap dan lembut seperti cerutu. Ia ha"
rus menemukan kata"kata yang tepat untuk menerangkan
penemuannya yang luar biasa. Ia mengangkat tangannya de"
ngan lembut dan hati"hati sampai ke dahi, bagai sebuah lilin
yang dinyalakan kemudian ia memusatkan pikiran sebentar,
berpikir keras, dan kata"kata itu muncul dengan sendirinya,
ia bergumam: "Aku punya beberapa hak! Hak! Sesuatu yang
berada dalam segitiga"segitiga dan lingkaran"lingkaran be"
gitu sempurnanya hingga tak terlihat, meskipun kita dapat
membuat ribuan bulatan dengan janaka, tapi kita tak akan
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 289
membuat satu lingkaran."
Beberapa generasi pekerja bahkan dapat mematuhi
dengan taat perintah"perintah Lucien, mereka tak akan
kehabisan tenaga dengan menjalankan perintahnya. Hak,
dari sanalah asal keberadaannya, seperti benda"benda mate"
matika, dan dogma"dogma keagamaan. Dan itulah yang di"
miliki Lucien: seikat besar tanggung jawab dan hak.
Dari dulu ia percaya bahwa ia ada karena tidak dis engaja,
terkatung"katung: tapi itu dikarenakan ia kurang berpikir.
Lama sebelum ia dilahirkan tempatnya telah ditandai oleh
matahari, di Ferolles, sebelum maupun setelah perkawinan
orang tuanya. Mereka menunggunya, ia lahir di dunia untuk
mengurus tempat ini: "Aku ada," pikirnya, "karena aku pu"
nya hak untuk ada." Dan untuk pertama kalinya, mungkin, ia mempunyai
sekilas bayangan gemilang tentang jalan hidupnya. Ia akan
berada di Centrale, cepat atau lambat (tidak ada kepentingan
lain). Lalu, ia akan meninggalkan Maud (ia selalu ingin tidur
dengan Lucien), hal itu membosankanku, tubuh mereka
yang menyatu terbebas karena panas terik awal musim se"
mi yang berbau (gibelaiff sedikit gosong. "Dan, kemudian
Maud adalah milik semua orang. Sekarang milikku, besok
milik orang lain, semua itu tidak berarti." Ia akan tinggal di
Ferolles. Di suatu bagian di Prancis, ada seorang gadis cerah
seperti Pierrete, gadis yang berasal dari Profond dengan
mata seperti bunga yang menjaga kesuciannya: gadis itu
4Semacam gulai yang dibuat dari anggur putih.
290 ]ean"Paul Sartre
kadang"kadang, membayangkan siapa yang akan menjadi
majikannya, laki"laki yang luar biasa dan lembut, tetapi ia
tak bisa. Ia seorang perawan, ia menyadari suatu rahasia
tubuhnya bahwa tubuh itu milik Lucien.
Lucien akan menikahinya, ia akan menjadi istrinya.
Adalah hak yang paling lembut saat gadis itu membuka
pakaiannya di malam hari dengan gerakan"gerakan kecil yang
suci, itu tampak seperti sebuah pengorbanan yang penuh.
Lucien akan memeluknya dengan segala penghargaan, ia
akan mengatakan kepadanya: "Kamu milikku!"
Apa yang ditunjukkannya, ia akan berkewajiban untuk
tidak menunjukkannya selain kepada Lucien, dan gerakan
bercinta untuknya seperti sebuah daftar dari sikap"sikapnya
yang penuh gairah. Hak yang paling penuh kasih sayang, hak
yang paling pribadi: hak untuk dihormati sehingga tubuhnya
dipatuhi sampai tempat tidur. "Aku akan menikah lebih
awal," pikirnya. Ia juga mengatakan akan punya banyak
anak, lalu ia membayangkan sebuah karya papanya. Ia tidak
sabar untuk meneruskannya dan bertanya"tanya jika saja
Tuan Fleurier belum meninggal.
Jam menunjukkan pukul 12.00, Lucien berdiri. Sebuah
metamorfosa telah berakhir: di kafe itu satu jam sebelumnya.
Seorang pemuda yang lemah dan tidak yakin kepada dirinya
sendiri masuk, dan sekarang yang keluar adalah seorang
laki"laki, seorang pemimpin di antara orang"orang Prancis.
Lucien melangkah di bawah sinar matahari Prancis yang
gemilang. Di ujung Rue des Loles dan boa/ezwzl Saint"
Michel, ia mendekati toko alat"alat tulis dan bercermin di
hlasa Kanak"kanak Sang Direktur 291
kaca: ia tampaknya ingin memandang wajah yang nan gagah
nan, kaca itu hanya memantulkan bayangan kecil yang
menunjukkan wajah cantik yang tegar, dan biasa saja luar
biasa: "Aku akan memelihara kumisku," putusnya.
292 ]ean"Paul Sartre Niken Dan Pandu 2 Jatuh Cinta Online Karya Lani Kristal 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama