Ceritasilat Novel Online

Kristal 3

Kristal Karya Wina Natalia Bagian 3


Putra." Alex memandang raut muka Kristal yang terlihat aneh saat
melihat anak laki laki itu. Alex tidak merasa pernah melihat anak
itu di panti sebelum ini. Ia melihat Kristal berjalan masuk ke dalam,
namun ia tidak berani bertanya. Anak laki-laki kecil itu berjalan
mengikuti Kristal, lalu berhenti di dekat sofa, napasnya terengah.
Alex segera berlari ke samping anak itu dan bertanya, "Kamu enggak
apa apa?" Anak kecil itu menggelengkan kepalanya.
"Namamu siapa?" tanya Alex.
"Putra," jawab anak itu takut-takut.
"Putra umur berapa?" tanya Alex lagi.
112 Kristal Ok Rev.indd 112 Putra mengangkat tangannya dan membuat angka lima
dengan jarinya. Alex tersenyum. Ia lalu menggendong Putra dan
membawanya berjalan keluar. Di luar hujan sudah berhenti. Anakanak lain tampak sedang bermain dan berlarian di sana, tidak
memedulikan lapangan yang masih becek oleh bekas air hujan. Ia
berhenti di kursi depan dengan Putra di pangkuannya.
"Putra suka main bola?" tanyanya.
Putra menganggukkan kepala.
"Mau main sama Kak Alex?"
Putra menggelengkan kepalanya.
"Kenapa?" tanya Alex. "Kak Alex bisa ajarin putra main lho. Kak
Alex jago main bola. Nanti Putra juga pasti jago mainnya."
Putra terdiam sebentar dan menunduk. Anak itu lalu berkata
pelan. "Jantung Putra enggak kuat. Kalau Putra main bola nanti Putra
bisa sesak napas. Putra enggak mau dibawa ke rumah sakit. Putra
mau jadi anak baik, biar Putra bisa ketemu Mama Papa lagi."
Alex memandang Putra prihatin. Ia penasaran sakit apakah
anak ini sebenarnya. Tapi, ia memutuskan untuk tidak bertanya agar
tidak membuat Putra bertambah sedih. Ia merasakan Putra bersender
di dadanya. Alex menepuk-nepuk punggungnya dan bersiul pelan.
Tak berapa lama, Putra pun mendengkur lirih.
Kristal muncul dari balik pintu keluar. Ia menoleh ke kiri dan
kanan mencari Putra. Anak itu tampak di kursi depan sedang tertidur
di pangkuan Alex. Kristal berjalan ke arah mereka dan merebahkan
diri di kursi sebelah Alex. Pria itu memandangnya lama namun
tidak bertanya apa-apa. Kristal juga tidak bicara untuk beberapa
lama sambil terus memandang bintang-bintang di langit sebelum
akhirnya balik memandang Alex dan tersenyum. Ia merasakan
amarahnya sirna seketika saat memandang Putra tengah tertidur
113 Kristal Ok Rev.indd 113 nyenyak dalam dekapan pria di sebelahnya ini. Entah mengapa ia
jadi merasa lebih tenang dan damai.
"Namanya Putra," kata Kristal tiba-tiba.
"Aku tahu kok," kata Alex sambil tersenyum.
Kristal juga tersenyum. "Waktu pertama bertemu Putra, ia
masih bayi. Umurnya baru beberapa bulan saat itu. Tergeletak begitu
saja di depan gereja. Untungnya aku berada dekat gereja saat aku
mendengar isak tangis Putra." Kristal melamun sejenak mengingat
malam ia menemukan Putra. Saat itu ia berada di Taman Bintang,
meraungi kepergian Reygan seperti biasa, saat tiba-tiba ia mendengar
tangis bayi dari arah gereja. Kristal berhenti sejenak lalu melanjutkan
ceritanya. "Aku berjalan ke arah Putra yang masih bayi. Enggak
ada siapa-siapa di sana dan saat itu sudah malam sekali. Aku
berlari ke panti ini untuk meminta pertolongan. Suster Albertha
dan Suster Teresa yang membukakan pintu untukku. Kami bertiga
berusaha mencari orang tua Putra selama berhari-hari. Kami bahkan
memasang pengumuman anak hilang di gereja dan di jalan sekitar
panti, namun mereka tidak dapat ditemukan."
"Sejak saat itulah, Putra dirawat di sini. Tahu enggak, aku
sayaaang banget sama Putra. Sebenarnya waktu aku tahu jantung
Putra lemah, aku sudah berpikir untuk mengadopsinya sendiri saja.
Tapi, waktu itu aku masih remaja. Mengurus hidupku sendiri saja
aku sudah kesulitan. Setiap hari aku kerja dan kuliah dari pagi
hingga malam. Siapa yang akan merawat Putra kalau aku sibuk
bekerja. Makanya aku senang sekali waktu tahu ada yang mau
merawat Putra. Tapi, semua orang yang mengadopsi Putra selalu
mengembalikannya ke panti saat mengetahui bahwa Putra sakitsakitan. Sampai sekitar tiga tahun lalu Putra diadopsi sepasang
suami istri yang baik. Putra tidak lagi dikembalikan. Aku senang
114 Kristal Ok Rev.indd 114 sekali karena akhirnya Putra bisa memiliki orang tua yang
menyayanginya sepenuh hati. Tapi, lihat sekarang. Ia dikembalikan
lagi. Betapa teganya mereka!" Emosi Kristal meluap lagi.
Alex terus memandang Kristal tanpa berkata apa-apa. Ia tidak
tahu bagaimana caranya untuk menghibur Kristal saat ini. Alex
lalu mengangkat tangannya dan menepuk-nepuk bahu Kristal
pelan bermaksud menghiburnya. Kristal tertegun saat merasakan
tangan Alex di bahunya. Ia merasa lebih tenang karenanya. Kristal
melanjutkan ceritanya. "Seumur hidupku, aku selalu kehilangan seseorang. Tujuh tahun
lalu seseorang yang kusayang juga pergi meninggalkan aku. Waktu
itu adalah saat-saat terberat dalam hidupku. Aku depresi berat. Aku
merasa bahwa hidupku sudah enggak ada artinya lagi. Hingga malam
itu, kira-kira dua tahun setelah aku mengalami masa-masa penuh
keputusasaan, aku mendengar isak tangis Putra. Entah mengapa
sejak aku menemukan Putra aku merasakan adanya semangat baru
dalam hidupku. Aku merasa lebih hidup dan perlahan depresi yang
aku alami berkurang sedikit demi sedikit." Kristal menoleh ke arah
Putra yang tengah terlelap dan membelai lembut rambutnya.
"Waktu Putra masih kecil, aku berkunjung ke sini setiap hari.
Aku sisihkan uang kerjaku yang enggak seberapa untuk membelikan
Putra susu, sabun dan popok bayi. Aku menyaksikan sendiri saat
Putra mengucapkan kata pertamanya. Saat ia merangkak dan
berjalan dengan kedua kakinya untuk pertama kali. Ia terlihat lucu
dan sehat. Hingga hampir menginjak usia dua tahun, barulah Putra
mulai sakit-sakitan. Napasnya sering sesak. Dokter mengatakan
bahwa jantung Putra lemah dan butuh perhatian ekstra. Sejak itulah,
Putra sering keluar masuk rumah sakit. Biayanya begitu besar,
sehingga kami hampir tak sanggup membiayainya. Untunglah,
115 Kristal Ok Rev.indd 115 ada yang mengadopsinya saat itu. Meskipun aku enggak rela Putra
dipisahkan dari aku, paling tidak dengan begitu Putra jadi bisa
diobati. Tapi, ia dikembalikan lagi dan lagi. Sekarang pun begitu.
Aku sangat khawatir, Lex. Bagaimana ini" Bagaimana masa depan
Putra" Aku enggak mau terjadi apa-apa pada Putra. Aku enggak
mau merasakan kehilangan orang yang kusayangi lagi."
Alex memandang Kristal prihatin. Ia berpikir, bagaimana bisa
ia tidak mengetahui semua ini. Ia lalu teringat ia tengah berada di
Amerika menyelesaikan kuliahnya saat Kristal tengah berjuang
sendiri di sini. Alex menyalahkan dirinya sendiri. Seandainya
saja saat itu keegoisan tidak menguasainya, paling tidak ia bisa
membantu Kristal. Namun, semua belum terlambat. Sekarang ia
sudah ada di sini. Ia bisa memperbaiki kesalahannya. Ia akan
melakukan segala cara agar Putra memiliki kehidupan yang
sejahtera. Kristal tidak perlu lagi khawatir akan kehilangan orang
yang disayanginya sekali lagi. Alex menatap Kristal dalam-dalam
dan berkata, "Semua akan baik baik saja. Percayalah."
Dalam hati, Alex berjanji bahwa ia akan membuat semua baikbaik saja untuk Kristal.
116 Kristal Ok Rev.indd 116 Lima HARI ini berlalu begitu lambat. Kristal bergerak-gerak tidak
nyaman di sofanya. Di hadapannya, Steve tengah membuka-buka
file dengan santainya. Hampir tiga jam sudah Kristal duduk di
situ tanpa melakukan apa-apa selain menunggu. Entah apa yang
dipikirkan manajernya itu. Ia dipanggil pagi tadi untuk membantu
menerjemahkan bahasa. Tapi, hingga sekarang ia tidak melihat satu
pun file yang butuh diterjemahkan. Semua file sepertinya sudah
tertulis dalam bahasa Inggris. Lagi pula, hotel ini merupakan hotel
bertaraf internasional. Seharusnya bahasa tidak akan menjadi
masalah besar. "Maaf Pak, apakah ada yang bisa saya bantu" Bila tidak ada,
bolehkah saya kembali ke meja saya" Masih banyak sekali pekerjaan
saya yang belum selesai," tanya Kristal akhirnya setelah ia tidak
tahan lagi menunggu. "Jangan. Aku masih membutuhkanmu di sini," jawab Steve
santai tanpa mengalihkan pandangannya dari file yang sedang ia baca.
117 Kristal Ok Rev.indd 117 Kristal merasa kesal sekali. Bila memang ia dibutuhkan, ia
akan membantu sebaik mungkin. Tapi kenyataannya, ia tidak
membantu apa pun sekarang. Pria itu sepertinya sudah tahu
apa yang harus dilakukan tanpa bantuannya sekalipun. Dari
ekspresi wajah Steve, entah mengapa, Kristal merasa seperti
dipermainkan. Namun, ia berusaha berpikir positif. Meskipun itu
sulit sekali, terutama bila berhadapan dengan pria di depannya ini.
Tidak berapa lama, Steve berdiri, meraup beberapa file
dan memasukkannya ke dalam tas kerjanya. "Ayo, kita pergi
sekarang." "Pergi ke mana Pak?" tanya Kristal bingung.
"Meeting dengan klien tentu saja. Aku sudah bilang "kan
kemarin?" jawabnya santai.
Sungguh menyebalkan sekali, pikir Kristal. Memang benar,
kemarin Steve sudah memberitahunya. Tapi tidak dengan jelas, jam
berapa dan di mana, serta apa saja tugas Kristal saat meeting tersebut.
Tapi, sekali lagi, Steve adalah manajernya. Mau tidak mau Kristal
harus menuruti perintahnya, seaneh apa pun itu.
"Baik Pak. Tapi, saya perlu mengambil tas dan menyerahkan
laporan keuangan di kantor sebelah terlebih dahulu."
"Oke. Jangan lama-lama. Aku tunggu di mobil."
Kristal hanya mengangguk.
Tak lama kemudian Kristal sudah berada di mobil dengan Steve
di sampingnya. Sebenarnya ia agak merasa heran mengapa Steve
tidak pernah menggunakan mobil perusahaan dan sopir yang sudah
disediakan. Tapi, sudahlah. Toh itu bukan urusannya. Kristal tidak
berkata apa-apa selama perjalanan hingga ia mendengar ponselnya
berbunyi. Suster Albertha yang menelepon.
"Ya, Suster, ada apa?"
118 Kristal Ok Rev.indd 118 Suara Suster Albertha yang tenang dan menyejukkan terdengar
dari seberang "Kristal sibuk tidak?"
"Enggak apa-apa kok Suster. Kenapa?"
"Ini, Suster cuma mau menyampaikan kabar soal Putra."
Begitu mendengar nama itu disebut, Kristal langsung terduduk
tegak di bangkunya. "Putra kenapa Suster" Putra enggak kenapakenapa "kan?"
"Oh, enggak. Suster mau ngasih tahu kamu kabar gembira kok.
Tadi pagi Suster dapat telepon. Katanya Bu Ningsih mau mengambil
Putra lagi. Pak Toby udah dapat kerjaan bagus, katanya. Ini Suster
lagi siapin barang-barangnya Putra, soalnya nanti sore Bu Ningsih
mau datang menjemput Putra. Makanya sekarang Suster telepon
kamu mau nanyain. Kristal mau melihat Putra dulu enggak sebelum
Putra pergi?" Kristal tidak mampu berkata apa-apa selama beberapa saat.
Hatinya dipenuhi rasa syukur yang teramat dalam. Tidak terasa
airmatanya menetes di pipinya. "Iya Suster. Nanti Kristal datang
ke sana." Telepon ditutup. Kristal merasa senang tiada tara. Ia tidak
menyangka semuanya membaik dalam semalam. Benar kata Alex,
semuanya akan baik-baik saja.
"Kamu enggak apa-apa?" tanya Steve tiba-tiba. Ia terkejut
melihat Kristal meneteskan air mata.
Kristal tersenyum dan mengangguk. Segalanya baik-baik
saja. Pagi-pagi sekali Alex sudah menelepon anak buahnya untuk
mengatur agar Pak Toby bisa bekerja di perusahaan tour and travel,
119 Kristal Ok Rev.indd 119 anak cabang perusahaan miliknya. Ia juga memberikan fasilitas
mobil dan rumah bagi keluarga tersebut. Dengan demikian, sudah
tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk menyerahkan Putra. Alex
tersenyum sendiri. Ia membayangkan bagaimana raut muka Kristal
saat mengetahui hal ini. Pasti gadis itu akan senang sekali. Alex
sudah tidak sabar ingin segera bertemu Kristal pada jam makan
siang nanti. Ponselnya bergetar saat sebuah pesan masuk. Pesan dari
Kristal. Hari ini nggak bisa makan siang bareng. Disuruh nemenin
manajerku rapat sama klien. Ps: ada kabar gembira banget banget banget.
Nanti malam dinner bareng ya, kuceritain waktu makan malam nanti.
Alex menatap pesan tersebut dengan resah. Ia menepuk kepalanya.
Bodoh, bisa-bisanya ia lupa soal Steve. Ia begitu sibuk mengatur
pekerjaan Pak Toby dan mengurus beberapa surat penting, hingga
lupa kalau sepupu sialannya tersebut sedang gencar merayu gadis
kesayangannya. Alex segera memencet nomor Steve di ponselnya.
"Yo! Wassup?" suara Steve langsung terdengar begitu telepon
diangkat. Alex menggeram kesal. Santai sekali pria ini berbicara seakan
tanpa dosa. "Tolong ke sini sekarang, ada yang mau kubicarakan
denganmu," Katanya. "Wah, aku sedang di luar sekarang. Ada meeting dengan
klien." "Meeting apaan" Kamu bekerja juga baru dua hari ini. Setahuku
semuanya sudah diatur Pak Rudy jauh-jauh hari sebelum serah
terima jabatan. Katakan, apa rencanamu sebenarnya, huh?"
Tawa Steve terdengar dari seberang telepon. "Ketahuan deh,
120 Kristal Ok Rev.indd 120 haha. Easy, bro. Nanti aku ceritakan, oke" Aku tidak bisa bicara di
telepon sekarang." "Sebentar sebentar, Steve?"
Tut tut tut. Telepon sudah ditutup. Alex langsung menelepon
lagi dan lagi, namun si berengsek itu tampaknya tidak mau
mengangkat teleponnya. Setelah kira-kira ke sepuluh kalinya
teleponnya tidak diangkat, Alex menjadi kesal dan membanting
ponselnya ke lantai. "PAK, teleponnya tidak diangkat?" tanya Kristal heran saat
mendengar ponsel Steve yang terus-terusan berbunyi.
"Ah, tidak usah, tidak penting kok," sahut Steve santai lalu
mengeraskan suara musiknya. Ia sedang malas menjawab telepon
dari Alex. Nanti malam saja ia akan menjelaskan pada sepupunya
panjang lebar, sekaligus menceritakan soal Kristal, malaikatnya
yang telah berhasil ditemukan.
"Kita akan meeting di mana Pak?"


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nanti kamu akan lihat."
Kristal menggangguk. Baiklah, pikirnya. Selagi bekerja, ia
akan berusaha mengerahkan perhatian sepenuhnya dan berusaha
sebaik-baiknya. Dibukanya buku catatannya."Apa saja yang perlu
saya lakukan di meeting itu nanti Pak" Perlukah saya mencatat
bahan meeting Bapak dengan klien hari ini?" tanya Kristal, berusaha
menjalankan tugasnya sebagai asisten yang efisien.
Steve mengibaskan tangannya seakan meeting ini adalah urusan
sepele baginya. "Tidak usah. Kamu cukup menemani saya nanti."
Kristal mengerutkan keningnya heran. Masa bodohlah, pikirnya.
Kristal kembali menatap pemandangan di luar jendelanya.
Tidak berapa lama, mobil mereka berhenti di pusat perbelanjaan
121 Kristal Ok Rev.indd 121 elite. Kristal mengikuti Steve menuju kafe yang terletak di tingkat
paling atas. Begitu memasuki kafe, suasana terasa seperti di Bali.
Dengan banyak sofa-sofa santai berwarna cokelat dan meja kayu
berbentuk bulat, yang dikelilingi oleh tirai putih tembus pandang
sehingga terkesan privat dan eksklusif. Dekorasi ukir-ukiran, bunga
kamboja berwarna ungu serta air terjun buatan menghiasi tempat itu.
Kristal berjalan waspada. Tempat yang tidak lazim untuk pertemuan
bisnis, pikirnya. Dan lagi, tidak tampak satu orang pun di sini selain
mereka berdua. Alex merebahkan dirinya di salah satu sofa dekat
bar dengan santai. Ia memesan segelas koktail pada pelayan bar di
sebelahnya, lalu bertanya pada Kristal minuman apa yang ingin dia
pesan. Kristal menggeleng dengan sopan. Ia di sini untuk bekerja,
ia mengingatkan dirinya. Waktu berlalu dan klien yang ditunggu itu tidak juga muncul.
Ia menoleh pada manajernya yang tampak tenang menyeruput
minumannya. "Maaf Pak, klien Bapak belum datang?"
Alex menjawab santai. "Entahlah, mereka bilang mau bertemu
di sini sebelum jam makan siang."
Kristal melirik arlojinya. Sudah hampir pukul dua. "Maaf
Pak, ini sudah lewat jam makan siang. Apa tidak sebaiknya Bapak
menelepon klien Bapak untuk memastikan?"
Alex mendesah. "Oke, oke," jawabnya, lalu mengangkat
teleponnya dan berjalan menjauh seakan pembicaraan dengan
kliennya adalah sesuatu yang rahasia dan tidak boleh didengar oleh
Kristal. Ia kembali ke sofanya beberapa saat kemudian. "Meeting
dibatalkan. Ada urusan lain katanya"
Kristal memandang Steve heran. Lagi-lagi begini, ia berkata
dalam hati. "Kalau begitu, kita kembali ke kantor sekarang, Pak?"
Steve kembali menyeruput koktailnya santai. "Oke. Lima menit
122 Kristal Ok Rev.indd 122 lagi kita pergi," jawabnya.
Mereka lalu berjalan keluar kafe dan menuruni lift menuju
parkiran. Tiba-tiba Steve memencet angka lima, sehingga lift pun
berhenti di lantai lima. "Ada sesuatu yang mau aku beli. Kamu bisa
menemani aku sebentar, "kan?"
Kristal sebenarnya ingin sekali menolak. Namun, ia merasa
sangat tidak sopan bila menolak permintaan manajernya tersebut.
Maka, ia pun mengangguk. Mereka berjalan melewati etalase-etalase
yang memamerkan berbagai baju, sepatu dan tas-tas mewah. Steve
berhenti di sebuah toko yang menjual jam tangan bermerek. Ia
sibuk memilih jam tangan sementara Kristal duduk menunggu
di sofa yang disediakan di sana. Iseng-iseng, Kristal melirik jam
tangan wanita yang dipajang di lemari kaca di sebelahnya. Seorang
pria muda penjaga toko dengan setelan jas elegan berwarna hitam,
membuka lemari kaca itu dan mengambil jam tangan itu agar Kristal
bisa melihat dengan lebih leluasa.
Jam tangan itu terbuat dari emas dan berhiaskan permata
berwarna putih di sekeliling lingkar jamnya. Kristal melirik label
harga yang tersemat pada pergelangan jam tangan itu dan langsung
terpekik kaget. Busyet, pikirnya. Apa tidak salah. Jam tangan begini
saja harganya sama dengan lima bulan penuh gajinya ditambah
lembur. Ia mengelus dada dan meletakkan jam tangan tersebut
hati-hati, menyerahkannya kembali pada wanita penjaga toko di
hadapannya. Jangan sampai ia menggores ataupun menjatuhkannya.
Gawat sekali kalau ia disuruh membayar ganti rugi. Dengan apa
pula ia akan membayarnya. Dengan daun" Kristal menggelenggelengkan kepalanya takjub. Orang-orang kaya benar-benar tahu
cara membelanjakan uangnya dengan cepat. Bila ia memiliki uang
sebanyak itu di tangannya, tentunya akan ia pergunakan untuk
123 Kristal Ok Rev.indd 123 mencukupi kebutuhan sehari-hari yang mendesak, lalu sisanya
akan ia tabung, bukannya langsung dihabiskan dalam sekejap
untuk membeli sebuah jam tangan. Kristal kembali duduk di sofa,
kali ini dengan lebih waspada agar tidak menyenggol apa pun
disekitarnya. Tak berapa lama, Steve akhirnya selesai memilih jam tangan
dan menuju kasir untuk menyelesaikan pembayaran. Ia berjalan
keluar toko dengan beberapa kantong berisi jam tangan. Benarbenar dahsyat, pikir Kristal. Ia teringat bahwa Steve pernah
memberitahunya bahwa pria itu adalah sepupu pemilik hotel tempat
mereka bekerja. Mungkin saja Steve juga salah satu pemilik saham
Hotel De Robbins. Bila melihat baju mewah, mobil mewah, tempat
makan mewah, barang belanjaan mewah yang pria itu miliki dan
pergunakan. Sungguh tidak mengherankan bila pria itu sanggup
mengeluarkan begitu banyak uang dalam sehari, pikir Kristal
dalam hati. Ia terus berjalan sambil melamun saking takjubnya
hingga tidak sadar mereka sudah sampai di lapangan parkir. Kristal
juga tidak berkata-kata saat mobil mereka melaju kembali menuju
hotel. Kristal membuka sabuk pengamannya begitu sampai di
parkiran Hotel De Robbins. Akhirnya sampai juga, pikirnya lelah,
lalu tanpa membuang waktu bergegas turun dari mobil. Tiba tiba,
Steve memegang tangannya dan memberikan sebuah kotak sebelum
ia sempat membuka pintu. "Apa ini?" tanya Kristal heran. Meskipun sebenarnya ia sudah
bisa menduga apa isinya. Ia cuma tidak tahu mengapa Steve
memberikan ini padanya. Steve tersenyum lebar. Ia mengambil kotak tersebut dari tangan
124 Kristal Ok Rev.indd 124 Kristal dan membuka isinya. Seperti yang sudah Kristal duga.
Sebuah jam tangan tampak di balik kotak tersebut. Jam tangan
berhiaskan permata yang ia lihat di dalam kotak kaca di toko jam
tangan tadi. Kristal sama sekali tidak bisa mengapresiasi hal ini. "Untuk
apa Bapak memberikan ini pada saya?" tanya Kristal dingin.
Steve mengangkat bahunya. "Kamu suka?"
Kristal menggelengkan kepalanya. "Maaf saya tidak bisa
menerimanya." "Kenapa" Apa kurang memenuhi seleramu" Aku kira kamu
suka jam itu saat melihatnya di toko tadi," Steve mengerutkan
alisnya bingung. "Ya. Saya memang suka. Tapi, bukan berarti saya mau
membelinya. Jam tangan ini terlalu mewah untuk saya."
Steve tersenyum geli. "Makanya aku membelikannya
untukmu." "Boleh saya bertanya kenapa?"
"Tak ada alasan khusus," jawab Steve santai. "Tak usah terlalu
dipikirkan. Anggap saja ini balasan untuk menemaniku berbelanja
siang ini." Kristal tersenyum sopan. "Saya sangat berterima kasih atas niat
baik Bapak, tapi mohon maaf saya tetap tidak bisa menerimanya.
Lagi pula, sudah merupakan tugas saya sebagai asisten untuk
menemani Bapak," jawab Kristal dengan suara yang terdengar lebih
tegas. Steve tertegun mendengar penolakan Kristal. Ia tidak percaya
ini. Belum ada gadis yang menolak pemberiannya sebelum ini.
Semua gadis yang ia kencani selama ini akan tersenyum berseriseri dalam situasi seperti ini dan mereka akan langsung menerima
125 Kristal Ok Rev.indd 125 pemberiannya dengan senang hati. Semakin mahal dan mewah
hadiah yang ia berikan, semakin lebarlah senyum mereka. Tapi,
tidak demikian dengan Kristal. Gadis ini baru saja menolak hadiah
mewah yang ia berikan, dan Steve tidak terbiasa dengan penolakan.
Steve mendengar Kristal meminta izin untuk kembali ke kantor
dan ia hanya mengangguk-anggukkan kepala seperti orang bodoh.
Ia masih terkejut dengan sifat keras kepala gadis itu. Baru kali ini
ia menemukan gadis yang tidak bisa ia pikat dengan uang. Tapi,
tidak ada permainan yang tidak ia menangkan sebelumnya. Belum
ada gadis yang tidak berhasil ia pikat hatinya. Dan, ia bertekad akan
menaklukkan Kristal dengan cara apa pun juga.
Alex menghabiskan siang dengan perasaan tidak tenang. Ia mondarmandir di kantornya menunggu kabar mengenai keberadaan
Steve dan Kristal. Anak buahnya masih belum juga memberikan
informasi yang ia inginkan. Berkali-kali ia menelepon Steve namun
sepupunya itu tidak juga mengangkat teleponnya. Entah di mana
mereka sekarang. Alex benar-benar cemas. Ia tidak memercayai Steve
sama sekali, terutama bila menyangkut soal wanita. Apa tujuan
Steve terhadap Kristal sebenarnya" Alex sibuk bertanya-tanya. Yang
ia tahu, selama ini Steve telah terbukti memiliki sejarah panjang
mengenai kebiasaan buruknya yang gemar mempermainkan hati
wanita kemudian meninggalkan gadis-gadis itu dengan hati yang
patah. Memang selama ini ia tidak pernah ambil peduli dengan
kebiasaan sepupunya itu, tapi lain ceritanya kalau wanita yang
dipermainkan oleh Steve adalah Kristal! Ia mengepalkan tangannya
penuh emosi. Setelah berjam-jam penuh kegelisahan berlalu, Steve tanpa
126 Kristal Ok Rev.indd 126 diduga melenggang masuk ke dalam kantornya dengan santai.
Seringai lebar menghiasi wajahnya. Alex langsung menghardik pria
tersebut. "Ke mana saja kau" Teleponku tidak diangkat!"
Steve tetap tersenyum tenang, meskipun raut heran muncul di
wajahnya. "Tenang Lex. Kok kamu jadi emosional begini?"
Alex sadar bahwa emosinya pasti sudah tampak jelas di
wajahnya. Ia berusaha menenangkan diri. Jangan sampai Steve
tahu bahwa Kristal-lah alasan ia uring-uringan seperti ini. Ia harus
mencari cara untuk menjauhkan Kristal dari cengkeraman sepupu
iblisnya itu tanpa membuat Steve curiga soal hubungannya dengan
Kristal. "Sudahlah. Ke mana saja kau?"
"Urusan kerja," jawab Steve santai.
Alex memicingkan matanya kesal. "Siapa yang mau kaubohongi,
huh" Urusan kerja apa" Kamu bekerja juga baru dua hari."
"Oke oke, aku mengaku. Aku makan siang tadi sekalian belanja
di mal. Seperti yang kaukatakan, tidak ada pekerjaan penting di
kantor yang harus kuurusi, tidak ada salahnya "kan aku keluar
kantor" Lagi pula sejak kapan sih kamu mau tahu ke mana aku pergi?"
Alex memandang Steve tajam. "Dengan siapa kau pergi?"
tanyanya penuh selidik. "Asistenku." "Wanita?" "Ya, tentu saja. Mana mungkin aku mempekerjakan pria sebagai
asistenku. Tolong deh. Kau seperti tidak mengenalku saja." Steve
memutar bola matanya. "Lagi pula, aku sudah memberitahumu
sebelumnya "kan, kalau aku akan mempekerjakan seorang asisten
untuk membantuku di kantor."
Alex berjalan pelan kembali ke bangkunya berlagak tidak
127 Kristal Ok Rev.indd 127 peduli. "Masalahnya kau mempekerjakan orang yang salah.
Karyawati yang kau pekerjakan itu adalah orang baru di perusahaan
ini. Masih banyak hal yang tidak ia ketahui. Aku sudah siapkan
seorang asisten baru untukmu. Seorang karyawati yang lebih baik,
tentunya." "Tidak perlu repot. Aku cukup nyaman dengan asistenku yang
sekarang," sahut Steve cepat.
"Tidak perlu sungkan. Asisten barumu sudah siap bertugas.
Namanya Vonny. Masih muda dan menarik. Jangan khawatir, aku
tahu betul seleramu. Ia juga lulusan S1 Bahasa Inggris, jadi kau tak
perlu khawatir karena Bahasa Inggris gadis itu sangat fasih. Ia juga"."
"Tidak. Aku tidak mau." Steve berkata sebelum Alex sempat
menyelesaikan kalimatnya.
"Kenapa?" Alex bertanya dengan nada tajam.
"Tak ada alasan khusus," sahut Steve santai.
"Kau pasti menyembunyikan sesuatu."
Steve mengangkat tangannya dan tertawa. "Oke, oke. Aku
mengaku. Ingatkah kau aku pernah bercerita padamu tentang
seorang malaikat yang menolongku dulu?" Alex menjawabnya
dengan satu anggukan kecil.
"Aku berhasil menemukannya. Entahlah, mungkin sudah
jodoh," sahut Steve sambil tertawa penuh semangat."
"Intinya?" tanya Alex tidak sabar.
"Intinya malaikatku itu ternyata bekerja di hotel ini."
Alex langsung berfirasat buruk. "Jangan bilang gadis yang kau
maksud itu adalah asistenmu sekarang."
Steve tergelak. "Tepat sekali. Jadi kau mengerti "kan mengapa
aku tidak mau mengganti asistenku."
Alex terkejut sekali. Ternyata Kristal adalah gadis yang dicari128
Kristal Ok Rev.indd 128 cari oleh Steve selama ini. Bagaimana bisa kebetulan seperti ini
terjadi" Ia menarik napas panjang dan memandang Steve tajam.
"Aku sudah bilang "kan aku tidak suka kalau kau bermain-main
dalam urusan kerja. Apalagi kalau kau sampai mempermainkan
karyawati hotel ini."
Steve memutar bola matanya."Tenang Lex. Kau jadi mudah
marah deh. Siapa bilang aku main-main?"
"Bah! Aku tidak percaya kau bisa serius mengejar satu
wanita!" "Lihat saja nanti." Steve mengangkat satu alisnya dan
tersenyum. "Siapa yang kau kejar, huh?" terdengar suara dari arah pintu.
Tracey muncul dengan tiba-tiba.
"Bukan urusanmu Sista," sahut Steve acuh tak acuh dengan
pertanyaan adik perempuannya itu. Ia lalu berjalan melenggang
keluar pintu meninggalkan Alex dan Tracey di sana.
"Mau apa kamu ke sini?" Alex bertanya. Ia merasa kesal karena
percakapannya dengan Steve menjadi terganggu oleh kehadiran
Tracey. Gadis itu menatap Alex dengan tatapan berbinar-binar lalu
berkata dengan suara manja yang dibuat-buat. "Tracey pengin
ketemu Alex. Masa enggak boleh" Tracey "kan bosan banget. Tiap
hari enggak ada kerjaan selain belanja dan belanja. Alex temenin
Tracey jalan-jalan yuk."
"Enggak bisa. Aku sibuk banget banyak kerjaan. Kalau kamu
bosan, kembali saja ke Amerika."
"Alex ikut Tracey ke Amerika?" sahut Tracey manja.


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alex menghela napasnya. "Tentu saja tidak. Banyak kerjaan di
129 Kristal Ok Rev.indd 129 sini enggak bisa ditinggal."
Tracey memonyongkan mulutnya dengan sikap kesal yang
dibuat-buat. "Kalau begitu Tracey enggak mau balik. Nanti bisa
lama lagi baru Tracey bisa ketemu Alex. Tracey mau tinggal di sini
sampai liburan kuliah Tracey selesai."
"Terserah kamu sajalah." Alex menghela napasnya. Terpaksalah
ia harus bertahan menghadapi sikap manja Tracey paling tidak
selama beberapa minggu lagi.
"Oh iya, tadi Tracey sudah dapat surat undangannya lho. Alex
sudah siapin jasnya belum?"
"Surat undangan apa?" Alex bertanya bingung.
"Undangan pesta ulang tahun hotel "kan" Kok Alex bisa lupa
sih pesta ulang tahun hotel sendiri."
Alex menepuk dahinya. Ia cepat-cepat melihat kalender di
ponselnya. Cepat sekali tahu-tahu sudah tanggal segini. Pesta
perayaan hari ulang tahun perusahaan hanya tinggal beberapa hari
lagi. Banyak sekali urusan yang harus diselesaikannya beberapa
hari belakangan sehingga ia lupa akan hal tersebut.
"Oh, yah," sahutnya singkat.
"Ya udah. Tapi, nanti berangkat bareng yah. Tracey tunggu Alex
di lobi hotel, biar bisa ke pesta bareng. Habisnya Alex "kan tinggalnya
di apartemen sekarang. Tracey bingung deh. "Kan udah ada penthouse
di hotel, kok enggak digunain sih?"
Alex tidak menjawab. Ia sibuk menelepon anak buahnya
untuk menanyakan sudah sejauh apa persiapan pesta tersebut. Anak
buahnya melaporkan bahwa sejauh ini, semuanya lancar-lancar saja,
aman terkendali. Alex merasa lega. Ia merasa beruntung memiliki
bawahan yang bisa diandalkan.
Rasa lega Alex tidak bertahan lama. Ia teringat sesuatu yang
130 Kristal Ok Rev.indd 130 penting yang hampir terlupakan: Kristal. Bagaimana bisa ia lupa
akan hal sepenting ini. Dirinya merupakan direktur utama Hotel De
robbins yang sudah dipastikan untuk memberikan kata sambutan
sekaligus membuka malam perayaan tersebut di atas panggung.
Alex langsung merasa cemas. Bisa-bisa Kristal melihatnya di sana.
Itu berarti akan terungkaplah segala kebohongan yang selama ini
ia katakan pada Kristal. Alex segera memutar otak. Bagaimanapun
caranya, jangan sampai Kristal hadir dalam acara tersebut.
Kristal tengah sibuk memeriksa aula utama tempat diadakannya
pesta peringatan ulang tahun perusahaan pada hari Sabtu besok.
Sebuah pesta yang bisa dipastikan mewah dan indah. Ia ingin
memastikan acara ini akan berlangsung dengan sempurna, sebab
ini merupakan pesta ulang tahun perusahaan yang akan ia hadiri
pertama kalinya sejak ia bekerja di hotel ini dan Kristal sudah sangat
tidak sabar. Apalagi, ia merupakan salah satu orang yang berjasa
besar dalam merancang acara ini. Ia tersenyum bangga. Pesta besar
pertamanya ini harus sukses menjadi pesta yang menakjubkan dan
mengagumkan. Diperiksanya daftar tugas di buku catatannya. Buku
tamu, selesai. Dekorasi, selesai. Buku menu, selesai. Kertas nama,
selesai. Kebersihan, selesai. Dekorasi panggung, selesai. Tinggal
memeriksa sound system dan memutuskan lagu yang akan diputar
untuk mengiringi acara, serta cek ulang dengan para MC, penyanyi
dan dancers, maka semuanya akan selesai. Masih ada waktu,
pikirnya. Ia duduk di salah satu kursi tamu sambil memijit-mijit
kakinya yang terasa pegal. Ponselnya berbunyi tak lama kemudian.
Dari Pak Rudi, manajer lamanya. Meskipun sekarang Pak Rudi
merupakan manajer bagian marketing, namun terkadang pria itu
masih menelepon Kristal untuk menyelesaikan beberapa urusan
yang sebelumnya mereka tangani. Kristal tidak pernah merasa
131 Kristal Ok Rev.indd 131 keberatan selama dirinya memang diperlukan, dengan senang hati,
Kristal akan membantu. "Ya Pak" Ada apa?" tanya Kristal sopan.
"Malam Kristal. Bapak ada perlu sama kamu nih. Apakah kamu
ingat klien kita yang bernama Bu Chandra" Pemilik tour and travel
yang dulu pernah menyewa seratus kamar hotel kita untuk tempat
tinggal atlet nasional yang bertanding di sini tempo hari"
"Oh iya Pak, "kan saya yang mengantar Bu Chandra untuk
survei kamar waktu itu."
"Iya benar. Nah, rupanya ada beberapa kesalahan dalam kontrak
kerja yang ia buat. Ini, Bapak baru dapat perintah dari atasan untuk
meminta tanda tangan Bu Chandra di atas kontrak baru yang sudah
diperbaiki. Tapi masalahnya, Bu Chandra sekarang sedang balik ke
kampungnya di Jogjakarta selama sebulan.
Kristal sudah mengerti ke mana arah pembicaraan ini. "Jadi,
maksud Bapak, saya diminta untuk menemui Bu Chandra ke Jogja,
begitu?" "Kalau kamu tidak keberatan."
"Tentu saja tidak. Jadi, kapan saya berangkat ke sana?"
"Itulah masalahnya. Atasan mendesak Bapak untuk mengutus
orang ke Jogja besok."
Besok. Kristal tertegun. Hari yang sama dengan hari pesta
itu dilangsungkan. "Besok Pak" Apa tidak bisa ditunda lusa saja"
Besok "kan saya harus mengurusi acara pesta, banyak yang harus
saya kerjakan besok."
Kristal bisa mendengar Pak Rudi mendesah. "Itulah Kristal,
Bapak juga tidak mengerti. Atasan maunya besok kontrak itu sudah
harus ditandatangani. Dan, kamu tahu sendiri waktu itu kamulah
yang menangani klien ini. Bapak tidak bisa mengutus orang lain
132 Kristal Ok Rev.indd 132 ke sana. Tapi, kamu tidak usah khawatir soal pesta besok. Bapak
akan ada di sana. Nanti Bapak yang atur semua tugas kamu supaya
acaranya tidak berantakan."
Kristal tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Ia merasa
kecewa. Padahal ia sudah menanti-nantikan pesta ini. Tapi, tentu
saja ia tidak bisa menolak.
"Baiklah Pak. Jam berapa saya berangkat besok?"
Pak Rudi terdengar lega sekarang. "Bapak sudah atur tiket
pesawat beserta akomodasi selama kamu di sana. Kamu tinggal ke
bandara besok siang jam satu."
"Baik Pak. Saya akan bersiap-siap malam ini."
"Terima kasih banyak Kristal. Maaf kalau Bapak mendadak
memberi tahu kamu seperti ini."
"Tidak apa-apa, Pak. Selamat malam."
Telepon ditutup. Kristal menarik napas panjang. Sudahlah,
pikirnya. Toh yang terpenting adalah pesta gala dinner itu akan
berjalan lancar besok malam meskipun dia tidak di sana. Ada Pak
Rudi yang akan mengawasi kelancaran acara itu. Kristal lalu beranjak
meninggalkan aula menuju ruang kantornya untuk mengambil tas.
Lagi-lagi, ia sendirian di sana. Semua rekannya sudah pulang tepat
pada jam pulang kantor dan ia sekali lagi menjadi orang terakhir
yang tinggal. Tapi, ternyata ia tidak sendirian. Kristal baru akan
menutup lampu kantornya saat Steve muncul di sebelahnya dengan
tiba-tiba dan menepuk bahunya.
Kristal memekik kaget. Steve tertawa ringan tanpa dosa. "Lembur seperti biasa?"
Kristal mengangkat bahu. "Bapak sendiri?"
"Menunggumu." Kristal tersenyum paksa. "Bapak bercanda saja."
133 Kristal Ok Rev.indd 133 Steve hanya tertawa. Kristal berjalan cepat meninggalkan
kantor, berusaha untuk menghindari kontak di antara mereka. Akan
tetapi, Steve malah dengan santainya mengikuti Kristal dan berjalan
di samping gadis itu. "Ngomong ngomong, besok kamu ke pesta
ulang tahun perusahaan "kan" Aku jemput ya" Aku malas sekali
kalau harus datang sendiri. Lagi pula, kamu "kan asistenku. Sudah
sewajarnya kalau kamu datang menemani aku besok."
Kristal tersenyum lemah. "Saya besok tidak pergi ke pesta itu."
Steve menaikkan alisnya. "Kenapa" Bukankah kamu bertanggung jawab mengurus acara itu besok?" tanyanya heran.
"Saya baru diberikan tugas mendadak ke Jogja besok."
"Huh" Oleh siapa?"
"Oleh atasan kita tentu saja. Pak Rudi tadi yang memberi tahu
saya." Steve berpikir sebentar. Itu artinya tugas tersebut diperintahkan
oleh Alex. Hmm, masalah kecil, ia akan meminta Alex untuk
menugaskan orang lain saja.
"Well, dari sepupuku berarti. Gampang, aku akan"," Steve
menghentikan kata-katanya. Ia ingat terakhir kali ia menceritakan
soal Kristal, sepupunya itu tampak tidak begitu senang mendengarnya.
Ia tidak mau dianggap mencampur-adukkan pekerjaan dan masalah
pribadi. Meskipun memang alasan utama ia bekerja adalah Kristal.
Tapi, tetap saja, lebih baik ia tidak mengungkit-ungkit hal itu lagi
atau ia akan berisiko kehilangan pekerjaannya. Bukannya ia peduli
sih dengan pekerjaan ini, hanya saja ia tidak rela kesempatannya
mendekati Kristal hilang begitu saja.
"Hmm, atau begini saja. Jam berapa pesawatmu ke Jogja?"
"Jam satu. Kenapa Pak?" jawab Kristal bingung.
"Oke, kamu siap-siap saja dulu. Besok pagi aku jemput kamu
134 Kristal Ok Rev.indd 134 di rumahmu." Huh" Kristal benar-benar bingung sekarang. "Maaf Pak, saya
tidak mengerti maksud Bapak apa?"
Tapi, Steve hanya melambaikan tangan dan berjalan menjauh.
Kristal memandang ke arah pria itu menghilang dari pandangan. Ia
merasa luar biasa bingung. Dalam hati ia bertanya-tanya, sebenarnya
ulah apalagi yang dipikirkan pria itu sekarang"
Meskipun berpikir bahwa mungkin saja Steve hanya bercanda,
toh Kristal tetap mempersiapkan dirinya seandainya saja Steve
memang benar-benar menjemputnya besok pagi. Toh, selama ini
pria itu selalu bertindak semaunya. Bukan tidak mungkin kali ini
pun demikian. Dan benar saja, Steve sudah menunggu di luar pintu
rumahnya keesokan paginya. Kristal cepat-cepat membukakan
pintu untuk Steve. "Yo! Pagi!" sapa pria itu.
"Pagi," sahut Kristal bingung.
"Sudah siap untuk pergi sekarang?"
Kristal bertambah bingung mendengarnya. "Pergi ke mana, Pak?"
Alex tersenyum lebar. "Ke Jogja tentu saja."
Kristal makin bertambah bingung sekarang. "Tapi, pesawat saya
masih beberapa jam lagi baru boarding."
"Buang sajalah tiket itu," sahut Steve sambil mengangkat
bahunya santai. "Hah?" Kristal melongo.
Steve tertawa melihatnya. "Iya. Kita naik pesawat paling pagi
dan pulang naik pesawat sore. Sudah aku atur jamnya. Jadi kamu
masih punya waktu beberapa jam untuk mengurus urusanmu di
Jogja." Kristal tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Satu135
Kristal Ok Rev.indd 135 satunya kata yang keluar dari mulutnya adalah, "Ermm"."
Steve memutar bola matanya tidak sabar. "Sudahlah, jangan
terlalu banyak berpikir, waktu kita tidak banyak. Yang jelas kamu
ingin menghadiri pesta tersebut "kan?"
Kristal hanya mengangguk.
"Bagus. Kalau begitu, ayo, kita pergi sekarang," sahut Steve
semangat. TIGA jam kemudian, mereka berdua sudah duduk bersebelah"
an di bangku VIP pesawat Garuda Indonesia. Kristal masih sibuk
mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia ada di dalam pesawat ini
sekarang bersama Steve dalam perjalanan menuju Kota Jogjakarta.
Sebenarnya ia bingung untuk apa pula pria ini pergi bersamanya.
Namun sudahlah, apa yang terjadi terjadilah. Toh, tidak ada ruginya
bagi Kristal. Meskipun ia merasa tidak nyaman bepergian jauh
hanya berdua saja dengan pria di sebelahnya ini. Kristal memejamkan matanya berusaha untuk beristirahat sejenak agar ia bisa lebih
segar nantinya untuk menjalani hari.
Di sebelahnya Steve asyik mendengarkan lagu lewat ipod
miliknya. Sesekali ia tersenyum-senyum sendiri. Perjalanan ini
merupakan kesempatan bagi dirinya untuk memikat Kristal. Gadis
itu pasti akan sangat berterima kasih atas bantuannya hari ini.
Apalagi ia sudah meluangkan waktunya demi menemani gadis
itu keluar kota. Ia melirik Kristal yang tampak memejamkan
matanya. Cepat sekali gadis itu tertidur, pikirnya. Sebenarnya ia
ingin berbincang-bincang dengan Kristal. Tapi sudahlah, ia memiliki
waktu seharian ini untuk melakukannya. Steve tersenyum lagi.
HARI sudah siang ketika pesawat mereka mendarat di
Jogjakarta. Kristal dan Steve bergegas menyewa mobil di counter
rental mobil bandara. Untungnya mereka berdua tidak membawa
136 Kristal Ok Rev.indd 136 koper, sehingga tidak perlu lagi menunggu bagasi dan bisa segera
bergegas menemui klien. Sialnya, Bu Chandra datang sangat terlambat
dari waktu yang dijanjikan karena suatu urusan mendadak. Wanita
itu berulang kali meminta maaf pada Kristal soal keterlambatannya.
Kristal hanya bisa tersenyum memaklumi, meskipun sebenarnya ia
agak sedikit kesal dan khawatir. Pesawatnya dari Jogja ke Jakarta
akan berangkat pukul empat sore. Bisa-bisa mereka terlambat tiba
di bandara. Segera setelah penandatanganan selesai, Kristal dan Steve
bergegas kembali ke bandara. Ia menyuruh sopir mobil yang mereka
sewa untuk melajukan gasnya, sambil sesekali berteriak, "Ngebut
Pak, ngebut," meskipun entah mengapa Kristal merasa bahwa
sopir tersebut masih sangatlah lambat dalam menyetir mobilnya.
Sepanjang perjalanan, Kristal tak henti-hentinya melirik arlojinya
sambil berharap mereka tidak terlambat. Ia agak merasa kesal karena
Steve yang duduk di sampingnya terlihat begitu santai tanpa rasa
khawatir sedikit pun. Seolah-olah bukan masalah besar bila mereka
terpaksa ketinggalan pesawat. Bahkan setelah mereka sampai di
bandara pun, Kristal-lah yang harus buru-buru ke sana kemari sebab
Steve berjalan dengan santainya seperti biasa tidak peduli situasi
darurat begini. Malah Kristal terpaksa harus menyeret pria ini agar
mau berlari menuju ruang tunggu pesawat sebab waktu boarding
pesawat sudah tiba. Beruntung mereka tiba tepat waktu. Dengan
napas terengah Kristal memasuki pesawat dan duduk di bangkunya
yang tentu saja, berkat Steve, lagi-lagi merupakan bangku first class.
Segera setelah merebahkan dirinya di tempat duduk dan memasang
sabuk pengaman, Kristal akhirnya bisa bernapas lega.
Steve memandang Kristal dan tertawa geli. Kristal memandan137
Kristal Ok Rev.indd 137 gnya heran. "Kenapa?" tanya Kristal.
"Enggak ada apa-apa. Cuma merasa lucu aja. Baru pertama
kali ini aku melihatmu panik seperti ini."
Kristal menggelengkan kepalanya. "Hello Steve" Kamu enggak


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sadar yah kita sudah terlambat banget?" sahut Kristal kesal.
Steve tertawa lagi. "Gini dong. Jangan manggil aku Bapak
Bapak terus. Panggil nama saja. Toh, kita sudah kenal sebelum aku
menjadi manajer kamu."
Kristal melongo. Ia melupakan sopan santunnya yang biasa.
Rasa panik ditambah lega ditambah kesal membuat ia jadi lupa
diri. "Lagi pula, seharusnya kamu enggak perlu sepanik ini sih.
"Kan masih ada pesawat Lion jam enam malam. Aku bisa memesan
tiketnya langsung," tambah Steve.
Kristal memutar bola matanya lalu tersenyum. "Dasar orang
aneh. Suka banget yah buang-buang duit?"
Steve ikut tersenyum. "Kamu bilang aku aneh" Wow. Sekarang
kamu sudah bisa meledek yah. Baru tadi siang kamu terus-terusan
memanggilku Bapak dengan sopannya," kata Steve bercanda.
Kristal tidak menjawab lagi dan hanya tertawa mendengarnya.
Ia berpikir, benar juga. Entah mengapa rasa sopan, kesal dan tidak
nyaman yang dulu ia rasakan saat bersama pria ini sekarang hilang
entah ke mana. Mungkin karena ia merasa berterima kasih atas
bantuan pria ini, yang sudah menemani ia seharian ini, yang ia
seret-seret sepanjang perjalanan ke bandara namun tidak mengeluh
sedikit pun. Mungkin memang sebaiknya ia mengucapkan terima
kasih pada pria ini. "Thanks," Kristal berkata singkat."Sama-sama,"
jawab Steve. Senyum terukir di wajahnya. Namun kali ini, Kristal
tidak lagi menganggapnya menyebalkan.
138 Kristal Ok Rev.indd 138 Alunan musik klasik terdengar merdu memenuhi ruangan. Mejameja berwarna putih berenda telah dipenuhi beraneka macam
hidangan, mulai dari aneka makanan laut, steik, buah-buahan,
hingga kue-kue kecil yang berwarna-warni. Di sana-sini tampak
beberapa waitress berseragam hitam putih, berjalan mondar-mandir
membawa sebotol sampanye mahal dan sibuk menuangkannya ke
gelas-gelas kosong para tamu undangan yang hadir dengan jas resmi
mereka beserta gaun-gaun indah, tampak asyik mengobrol. Semua
orang terlihat sangat menikmati suasana pesta. Kecuali Alex yang
berharap acara ini bisa segera berakhir agar ia dapat meninggalkan
ruangan pesta. Ia memang tidak menyukai pesta-pesta semacam ini
dan jarang sekali menampakkan diri di depan para karyawan dan
klien penting hotelnya pada acara semacam ini. Kalau tidak demi
perayaan ulang tahun perusahaan yang hanya diadakan setahun
sekali, ia tentu tidak bersedia membuang waktunya untuk hadir.
Tracey duduk di sebelahnya, tampak cantik seperti biasa, berusaha
mengajaknya mengobrol namun ia tidak terlalu mendengarkan. Ia
terlalu bosan untuk merespons perkataan sepupunya yang cerewet
ini. Berkali-kali ia berusaha menahan diri untuk menguap.
Beberapa gadis tampak cekikikan di beberapa meja dari
mejanya. Ia mendengar namanya disebut-sebut dalam pergosipan
mereka, namun ia tidak memedulikan mereka sedikit pun. Melirik
pun ia enggan. Mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan Kristal.
Ia menghela napas. Gadis itu pasti sedang berada di Jogjakarta
sekarang, di hotel yang sudah ia persiapkan. Sebenarnya, ia merasa
agak keterlaluan karena telah mengirim Kristal ke sana. Tapi, mau
bagaimana lagi. Ia terpaksa melakukannya agar identitasnya tidak
139 Kristal Ok Rev.indd 139 terbongkar. Sudahlah, paling tidak Kristal tidak sendirian. Ada teman
sekantornya yang menemani gadis itu ke sana. Karyawati yang ia
pilih sendiri setelah memeriksa riwayat hidup karyawati tersebut.
Namanya Ana, umur tiga puluh dua tahun dan sudah menikah.
Tidak merokok, tidak minum, yang jelas tidak macam-macam.
Kristal aman bersamanya. Tidak berapa lama, MC acara itu naik ke atas panggung
untuk menjelaskan daftar acara, hingga tiba waktunya untuk Alex
memberikan kata sambutan. Alex lalu berdiri dari mejanya dan
berjalan pelan ke arah panggung. Ia berjalan melewati Ana, wanita
yang seharusnya sedang bersama Kristal di Jogjakarta saat ini.
Mengapa wanita itu berada di sini sekarang. Kalau begitu, siapa yang
menemani Kristal di Jogjakarta. Masa sih Kristal pergi sendirian ke
luar kota" Rasa bingung, khawatir, dan terkejut terlintas di benaknya,
tapi tak ada waktu untuk menanyakan hal tersebut sekarang. Semua
orang sedang menunggu kata sambutan yang harus ia ucapkan.
Ia harus fokus. Alex melangkah ke atas panggung dan segera
mengucapkan beberapa patah kata sambutan secara singkat.
Ia menyudahi kata sambutannya dengan senyuman sambil
memandang para tamu undangan di hadapannya yang sekarang
berdiri memberikan tepuk tangan mereka. Semua mata sedang tertuju
padanya. Semua mata. Dan, panik melanda pikirannya. Sepasang
mata bola memandang langsung ke arahnya. Mata itu terbelalak
lebar seakan terkejut memandang dirinya. Dan, ia merasakan
keterkejutan yang sama besarnya saat memandang balik sepasang
mata itu. Bagaimana mungkin Kristal berada di sini sekarang"
Pesta sudah lama dimulai ketika Kristal tiba di Hotel De Robbins.
Steve berjalan di sampingnya bersama-sama memasuki aula pesta.
140 Kristal Ok Rev.indd 140 Kristal tersenyum melihat apa yang ada di dalamnya. Seperti yang
ia bayangkan, pesta itu sangatlah mewah dan indah, tidak sia-sialah usahanya mendekorasi aula pesta itu seminggu belakangan.
Sekarang setelah melihat hasil jerih payahnya, semua kerja kerasnya
telah terbayar dan ia merasa sangat puas.
Steve mengajaknya duduk di meja VIP yang terletak paling
depan, sekalian ingin memperkenalkan Kristal pada sepupunya
yang juga pemilik hotel sekaligus atasan Kristal, namun Kristal
menolak ajakan Steve. Ia merasa tidak nyaman duduk bersama
orang-orang penting tersebut. Ia tidak kenal mereka sama sekali dan
rasanya sangatlah tidak sopan duduk satu meja dengan mereka. Ia
lebih memilih duduk di meja belakang bersama teman-teman satu
kantornya. Anehnya, Steve juga mengikuti Kristal duduk di meja
belakang. Kristal masih sibuk mengagumi sekelilingnya saat ia mendengar
samar-samar suara pembawa acara yang mempersilakan direktur
utama Hotel De Robbins untuk membacakan kata sambutan.
Kristal spontan menoleh ke depan mencari-cari pemilik wajah
orang yang disebut-sebut itu. Diam-diam ia merasa penasaran
seperti apa wajah sepupu Steve, sebab setelah beberapa bulan ia
bekerja di sini, tak pernah sekalipun ia bertemu dengan direktur
utama Hotel De Robbins. Benar-benar mengherankan. Atasannya itu
seakan-akan bekerja di balik bayangan. Semua urusan tampaknya
selalu dikerjakan oleh para manajer dan bawahan kepercayaannya
yang sudah diperintahkan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang
direktur itu berikan. Kristal sering sekali melihat Pak Rudi bolakbalik ke lantai paling atas hotel, yang konon merupakan kantor
pribadi direktur, untuk menerima perintah dan tugas baru yang
dipercayakan pada Pak Rudi. Sejak awal masuk, Kristal selalu
141 Kristal Ok Rev.indd 141 menganggap keberadaan direktur tersebut sangatlah misterius.
Satu-satunya bukti keberadaan diri sang direktur adalah tanda
tangan yang selalu tertera di file-file yang Pak Rudi bawa, serta
berbagai gosip yang menyebar di kalangan karyawati. Kebanyakan
menceritakan keindahan wajah sang direktur yang hanya mereka
temui sekali dua kali saja selama mereka bekerja di sini. Tentu saja
hal itu tambah membuat Kristal penasaran, seperti apa sebenarnya
atasan yang sering diceritakan itu"
Dari belakang ia bisa melihat siluet pria itu berdiri dari kursinya
di meja VIP. Meskipun ia belum dapat melihat wajahnya karena
gelapnya ruangan, hingga pria itu melangkah ke atas panggung yang
terang oleh cahaya lampu sorot. Perlahan wajah indah itu tertangkap
oleh cahaya, dan seketika itu juga Kristal tercengang. Alex berdiri di
sana tampak bersahaja. Kristal merasa lunglai seketika. Bahkan saat
lampu ruangan dinyalakan dan para hadirin berdiri untuk bertepuk
tangan, ia masih tidak mampu menggerakan tubuhnya sedikit pun.
Baru ketika Steve menepuk pundaknya dan menyuruhnya berdiri,
Kristal perlahan bangkit dari kursinya tanpa sedikit pun melepaskan
pandangan dari pria itu. Entah apa yang merasuki tubuhnya
sebab tanpa sadar ia berjalan mendekat ke arah panggung dengan
mantap. Satu-satunya hal yang dipikirkan dalam benaknya adalah
memastikan bahwa ia pastilah salah orang. Tidak mungkin pria di
atas panggung itu Alex. Tidak mungkin. Mustahil!
Kristal terus berjalan mendekat, semakin dekat dan semakin
dekat, matanya terus tertuju pada pria tersebut tanpa berkedip sedikit
pun. Ia menelusuri dari kepala hingga ujung kaki berusaha mencari
adanya perbedaan antara pria itu dan Alex, hingga akhirnya pria itu
menoleh ke arahnya. Mata mereka pun beradu dalam satu keheningan panjang. Pria itu tampak terkejut melihatnya. Dan baru pada
142 Kristal Ok Rev.indd 142 momen itulah, saat ia melihat ekspresi di wajah itulah, Kristal yakin
seratus persen bahwa pria di atas panggung itu memang Alex yang
ia kenal. Dalam kebingungannya, Kristal pun berlari meninggalkan
ruang pesta dengan langkah goyah. Gaunnya yang terlalu panjang
menyulitkannya untuk berjalan, apalagi berlari. Berkali-kali ia
terseok-seok dan hampir terjatuh, namun ia tidak peduli. Kristal
terus berlari menghindari kenyataan pahit bahwa pria yang selama
ini ia percaya ternyata pendusta besar.
Alex memandang Kristal dengan keterkejutan luar biasa.
Waktu terasa berhenti berputar saat ia memandang mata gadis itu.
Tubuhnya membeku. Baru saat gadis itu berlari keluar ruangan
dan meninggalkan dirinya terpaku di atas panggung megah itu,
ia merasakan dorongan luar biasa untuk mengejar gadis itu. Dan
tanpa sadar, ia pun berlari menuruni panggung dan meninggalkan
ruang pesta, tak sedikit pun memedulikan beratus-ratus mata yang
memandangnya bingung. Di depannya tampak Kristal berjalan
tergopoh-gopoh dan goyah. Gaun panjangnya memperlambat langkah
gadis itu dan ini memberinya keuntungan besar untuk mengejar
Kristal demi menjelaskan semuanya. Ia menarik tangan Kristal,
menghentikan gadis itu. Alex sudah bersiap-siap memberikan seribu
penjelasan yang seharusnya bisa dengan mudah ia berikan. Namun
saat ia melihat mata Kristal, mata yang seakan memandangnya
sebagai sosok asing, ia tidak lagi mampu berkata apa-apa.
"Lepaskan aku, Lex," Kristal berkata sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Alex. Namun Alex semakin mempererat genggamannya, tak rela tangan ini lepas darinya.
"Lepaskan aku!" kata Kristal lagi, kali ini dengan suara lebih
keras. Alex tetap tidak melepaskan genggamannya, ia lalu berkata
lemah, "Kristal, aku"." Alex berhenti sejenak. "Maafkan aku"."
143 Kristal Ok Rev.indd 143 Kristal menggelengkan kepala dan membuang muka, tidak
bersedia memandang wajahnya sedikit pun. "Aku enggak mau
dengar apa pun sekarang. Biarkan aku pergi!" pinta gadis itu.
Alex perlahan membuka genggamannya dan melepaskan
tangan gadis itu. Ia hanya berdiri mematung memandang gadis
yang disayanginya pergi meninggalkan dirinya seorang diri tanpa
bersedia mendengarkan penjelasan apa pun.
Dari jauh Steve memandang semua adegan tersebut.
Ia bersembunyi di balik tembok, cukup dekat untuk dapat
mendengarkan percakapan mereka. Alisnya berkerut dan raut
kebingungan menghiasi wajahnya. "Kristal dan Alex saling
mengenal?" pikirnya terkejut. Ia memandang wajah Alex saat
melihat Kristal pergi meninggalkannya. Wajah orang yang terluka.
Wajah yang tidak pernah ia lihat ataupun bayangkan akan pernah
muncul di wajah seorang Alex yang selama ini identik dengan
kesan berdarah dingin dan tidak berperasaan. Siapakah Kristal
bagi Alex sebenarnya" Mengapa Alex berusaha menutup-nutupi
hal itu darinya" Steve bertekad untuk mendapatkan jawabannya. Ia
berjalan mendekati Alex yang masih berdiri terpaku, memandang
ke arah Kristal pergi. "Oke , sekarang saatnya kau jujur padaku. Kau mengenal
Kristal?" tanya Steve tiba-tiba.
Alex membalikkan badannya tampak terkejut mendapati
Steve ada di belakangnya sejak tadi, mendengarkan obrolan
mereka. Ia tidak berkata apa-apa dan berjalan lurus melewati Steve,
mengacuhkan pertanyaan sepupunya itu. Ia malas meladeni Steve.
Satu-satunya yang ada di pikirannya sekarang adalah menemui
Kristal. "Jadi, tidak masalah kalau aku mendekati Kristal?" Steve tidak
perlu repot-repot mengejarnya, sebab suara Steve yang terdengar jelas
144 Kristal Ok Rev.indd 144 dan provokatif itu langsung berhasil menghentikan langkahnya.
Alex membalikkan badannya menghadap pria tersebut.
"Maksudmu?" tanya Alex waspada.
"Aku tidak tahu ada apa antara kau dan Kristal, dan mengapa
kau menutup-nutupi hal itu dariku. Tapi yang jelas, aku tertarik
padanya. Dan, setidaknya aku jujur mengakui perasaanku.
Bagaimana denganmu?" Steve menatap mata Alex tajam.
Alex memalingkan wajahnya menghindari tatapan tersebut.
"Aku tidak bisa. Tidak semudah itu, Steve. Kau tidak akan mengerti."
Bagaimana mungkin Alex bisa mengakui perasaannya. Ia tidak
layak untuk itu. Tidak setelah apa yang ia lakukan pada Kristal.
Berbohong adalah satu kesalahan, namun itu tidak ada apa-apanya
bila dibandingkan dengan kenyataan bahwa ia adalah seorang
pembunuh, seorang monster jahanam yang telah merenggut
nyawa seseorang yang terpenting dalam hidup Kristal. Ia pernah
merusak kebahagiaan gadis itu. Bagaimana bisa ia mengungkapkan
perasaannya. Ia tidak layak. Sungguh tidak layak.
Steve menggelengkan kepalanya tak percaya. "Oke, kalau itu
jawabanmu. Mulai sekarang, kau tidak berhak merasa keberatan
ataupun ikut campur bila aku mendekati Kristal." Steve berjalan
mantap, meninggalkan Alex membisu seorang diri memandangnya
dengan tatapan getir. 145 Kristal Ok Rev.indd 145 Enam KRISTAL memandang dinding langit kamarnya sambil merenungkan
apa yang baru saja terjadi. Ia masih menggenakan gaun putihnya
dan belum membersihkan riasannya. Pikirannya terlalu penuh oleh
berbagai pertanyaan. Mengapa, mengapa, dan mengapa. Ia merasa
dikhianati oleh satu-satunya pria yang ia percaya. Satu-satunya pria
yang kepadanya ia mulai membuka hati yang telah lama membeku.
Namun, ternyata pria itu tak lebih dari seorang pembohong. Ia tidak
habis pikir. Mengapa Alex berbohong" Alex yang ia anggap teman
yang dapat diandalkan, yang dapat ia percaya, ternyata adalah
atasannya sendiri. Mengapa pria itu tidak mengatakan saja yang
sebenarnya" Padahal sejak semula Alex tahu bahwa Kristal bekerja di
hotel itu, tapi mengapa selama ini ia selalu berpura-pura" Mengarang
cerita bahwa ia seorang karyawan bank, padahal sesungguhnya Alex
adalah direktur Hotel De Robbins.
Sejak pertama kali bertemu, pertama kali mereka berteman,
Kristal selalu berusaha jujur. Tentang pekerjaannya, tentang
146 Kristal Ok Rev.indd 146 hobinya, tentang dirinya. Tapi, tidak demikian dengan Alex. Kristal


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ragu apakah semua hal yang selama ini Alex ceritakan hanyalah
karangan pria itu saja" Kristal merasa dikhianati oleh kenyataan
bahwa ternyata selama ini Alex hanya bersandiwara, dan Kristal
tidak curiga sama sekali. Alex benar-benar memainkan perannya
dengan baik. Pada akhirnya semua ini hanyalah permainan belaka,
dan Kristal bodoh sekali karena telah percaya.
Ia mendengar ponselnya terus-menerus berbunyi namun tidak
ia hiraukan. Kristal sedang tidak ingin bicara sekarang. Ia menutup
kepalanya dengan selimut membiarkan kehangatan melingkupi
dirinya. Sesaat Kristal merasa lebih tenang dan nyaman hingga
tanpa sadar ia pun terlelap.
Keesokan harinya Kristal terbangun dengan setengah linglung.
Peristiwa semalam muncul lagi di kepalanya. Ia bingung apakah
sebaiknya ia tidak masuk kantor saja hari ini. Malas sekali
rasanya bila tiba-tiba ia bertemu Alex di sana. Kristal tidak tertarik
untuk mendengarkan penjelasan apa pun dari pria itu. Ia masih
merasa kesal meskipun sebenarnya, jauh di dalam hati, ia ingin
mendengarkan penjelasan Alex. Tapi, setidaknya tidak sekarang,
tidak hari ini. Kristal beranjak menuju kamar mandinya. Ia
melihat wajahnya di cermin yang acak-acakan penuh bekas riasan
yang belum sempat dihapus sejak semalam. Mudah-mudahan saja
mukanya tidak menjadi jerawatan gara-gara ini, batinnya.
Dibukanya keran air dan dibersihkannya wajahnya dengan
sabun baby yang selalu ia pakai sejak kecil, lalu bergegas mandi
dan bersiap-siap berangkat ke kantor. Tidak peduli untuk alasan
apa pun, ia tidak boleh bersikap tidak profesional dengan membolos
kerja. Apalagi untuk alasan remeh seperti ini. Meskipun memang
Alex adalah atasannya, toh selama ini ia telah bekerja dengan sebaik147
Kristal Ok Rev.indd 147 baiknya demi perusahaan. Kalaupun ia sampai harus mengundurkan
diri, ia akan mengundurkan diri dengan baik-baik pula dan tentunya
bukan disebabkan oleh Alex. Disisirnya rambutnya asal-asalan
lalu ia pun beranjak keluar, bersiap menyambut hari dan segala
kerumitannya. Wajah Alex menyambutnya saat ia membuka pintu. Kristal
begitu terkejut hingga tanpa sadar ia langsung menutup pintu
kembali dan langsung menyesalinya. Untuk apa ia menghindar"
Kristal mendengar Alex mengetuk pintunya berkali-kali namun
tidak ia bukakan. "Aku sedang tidak ingin bicara, Lex," Kristal berseru dari balik
pintu. "Aku tahu. Tapi, aku harus menjelaskan hal ini padamu."
"Aku enggak mau dengar. Kumohon, pergilah."
"Kristal, aku"."
"Pergi Lex, pergi! Aku enggak akan bukain pintu buat kamu.
Kalau kamu tetap di sini, aku enggak bisa berangkat ke kantor."
Ketukan di pintu itu akhirnya berhenti, lama tak terdengar
suara. Kristal mengintip dari balik lubang pintu untuk memastikan
Alex sudah tidak ada di sana, baru kemudian ia berani membuka
pintu dan bergegas berangkat ke kantor.
Alex berjalan memasuki lift dengan lesu. Kristal tidak
bersedia menemuinya. Jangankan mendengar penjelasannya,
melihat wajahnya saja gadis itu enggan. Alex menghela napas. Ia
menunggu di dalam mobilnya beberapa lama hingga ia melihat
Kristal melangkah keluar dari pintu gerbang apartemennya, berjalan
menuju halte bus. Percuma saja mengejar Kristal sekarang, gadis itu
tak akan mau mendengarkannya. Alex lalu mengikuti Kristal dari
jauh dengan mobilnya, seperti yang biasa ia lalukan.
148 Kristal Ok Rev.indd 148 Sepanjang hari itu Alex berulang kali lewat di depan pintu
kantor Kristal, berusaha mengumpulkan keberanian untuk masuk.
Atau menunggu siapa tahu Kristal berjalan keluar dan berpapasan
dengannya, bersedia untuk akhirnya memberinya kesempatan
berbicara. Tapi, tidak. Seharian ini Kristal tidak berada di kantor.
Anak buahnya memberi tahu Alex bahwa Kristal sedang keluar
kantor bersama siapa lagi kalau bukan Steve. Tiba-tiba Alex
teringat kata-kata yang diucapkan Steve padanya kemarin malam,
bahwa pria itu akan mengejar Kristal tanpa memedulikan apakah
dirinya keberatan atau tidak. Alex meninju dinding di sebelahnya
dengan penuh amarah. Tentu saja ia keberatan. Sangat keberatan.
Alex menelepon anak buahnya lagi untuk mencari tahu di mana
Kristal berada sekarang, lalu ia pun berlari menuju tempat mobilnya
diparkir. Ia menjalankan mobilnya dengan kecepatan di atas ratarata. Namun, ia tidak peduli. Ia harus berada di tempat Kristal berada.
Ia harus melihat gadis itu sekarang juga.
Kristal tengah memandang ikan-ikan yang berenang gesit di
kolam kecil di bawah jembatan tempatnya berdiri sekarang, yang
membentang di atas kolam tersebut. Ia mencuil roti di tangannya
dan menaburkan remah-remah roti tersebut ke atas kolam sedikit
demi sedikit. Kegiatan yang lumayan menghibur sebenarnya
terutama bila ia merasa kebosanan seperti sekarang. Ia melirik ke
jendela kaca di belakangnya. Tampak Steve sedang duduk di tatami
ala Jepang sambil menikmati sushi dan sake bersama tiga orang
asing yang tidak ia kenal, yang semuanya merupakan orang bule.
Mereka adalah teman-teman Steve dan bukannya para klien bisnis,
jadi Kristal tidak perlu menemani manajernya itu di dalam. Kristal
149 Kristal Ok Rev.indd 149 menghela napas. Ia bingung, untuk apa sebenarnya ia berada di
sini" Toh, ia tidak dibutuhkan sebagai penerjemah maupun sebagai
asisten, dan sepertinya pertemuan itu juga bukan untuk membahas
masalah pekerjaan. Meskipun demikian Kristal harus mengakui bahwa sebenarnya
ia agak merasa bersyukur bisa ikut. Paling tidak ia tidak harus
berada di kantor seharian, berada satu atap dengan Alex, merasa
cemas kalau saja mereka bertemu muka di sana. Kristal masih
belum siap untuk bertemu. Ia masih marah pada Alex, dan ia
adalah tipe gadis yang lebih suka menghindari pembicaraan sebelum
rasa marahnya mereda. Dan, memang sangat baik untuknya
menjauhkan diri sejenak. Kristal bahkan tidak merasa keberatan
sama sekali meskipun harus menunggu di sini. Memang, Steve
sudah mengajaknya bergabung dengannya dan kawan-kawannya
di dalam, tapi Kristal menolak ajakan tersebut dengan sopan. Ia
tidak akan merasa nyaman bila duduk di dalam bersama mereka,
bersama orang-orang yang asing baginya. Kristal lebih memilih
menghabiskan waktu siangnya bersama ikan-ikan.
Beberapa saat kemudian, Steve menghampirinya dari belakang.
"Hei, sedang apa?" tanya pria itu.
Kristal tidak menjawab dan hanya menunjukkan roti di
tangannya yang hanya tersisa sedikit.
"Oh, kasih makan ikan rupanya kamu. Pantas dari tadi betah
sekali berdiri di sini."
Kristal hanya tersenyum dan mengangkat alisnya.
Steve bergerak ke sampingnya dan mengambil roti dari tangan
Kristal lalu melemparkannya ke dalam kolam. Berpuluh-puluh ikan
mas koki langsung berlomba berebut remahan roti yang jatuh di
atas kolam. 150 Kristal Ok Rev.indd 150 "Mana teman-temanmu?" tanya Kristal basa-basi.
"Sudah pulang," jawabnya.
"Ohh"," sahut Kristal singkat.
"Ermm, kamu tertarik enggak bekerja sampingan?"
Kristal menoleh dan memandang Steve bingung.
Steve lalu melanjutkan kata-katanya. "Sebenarnya aku ingin
memperkenalkan kamu pada teman-temanku di dalam tadi. Kami
sedang membahas proyek pembangunan hotel baru di Kendari dan
sejujurnya aku membutuhkan seorang asisten yang bisa dipercaya
sekaligus penerjemah untuk membantuku selama berada di Kendari.
Cuma dua hari satu malam kok. Kita survei tempat dan setelah itu
selesai. Bila proyek ini bagus aku tinggal menanam saham dan
sisanya mereka yang akan mengurus. Kamu tertarik?"
Kristal tidak bisa memutuskan. "Entahlah, aku"."
"Oh, ya, kamu tidak usah khawatir karena kita akan berangkat
dalam satu tim besar. Akan ada banyak wanita seumuranmu yang
juga berangkat ke Kendari untuk bekerja dalam proyek ini. Kita
berangkat besok pagi dan kembali ke Jakarta hari minggu malam,
jadi kamu tidak perlu bolos kantor. Yah, memang pastinya capek
banget sih. Tapi, akan disediakan gaji yang cukup tinggi kok untuk
pekerjaan ini." Kristal tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Ia
memikirkan baik-baik tawaran dari Steve itu. Sejujurnya akan
sangat lumayan bila ia bisa mendapatkan tambahan uang hanya dari
hasil bekerja selama dua hari. Ia juga tidak perlu bolos kantor. Toh,
mereka akan kembali pada hari minggunya dan mengenai masalah
stamina tidaklah perlu dikhawatirkan. Ia sudah terbiasa bekerja
serabutan pagi, siang, dan malam sejak ia remaja guna mencukupi
kebutuhan hidupnya. Ia yakin dirinya bisa bekerja setangguh pria
151 Kristal Ok Rev.indd 151 dan kembali ke kantor dengan segar bugar seperti biasa. Selain itu ia
tidak perlu khawatir akan merasa tidak nyaman bepergian bersama
Steve, karena ia bukan satu-satunya karyawan perempuan yang
berangkat nanti. Akan ada beberapa gadis lainnya dalam tim, jadi
ia tidak harus menjadi satu-satunya wanita di sana. Ah, dan alasan
bagus lainnya adalah ia bisa sementara menghindar bertemu Alex,
paling tidak untuk dua hari ke depan.
"Oke. Aku mau," jawab Kristal mantap.
Steve tersenyum senang. "Bagus. Aku jemput kamu besok?"
"Boleh. Bila tidak merepotkan tentunya."
"Tentu tidak. Jam enam pagi aku sudah di luar pintumu,
oke?" "Oke," Kristal mengangguk setuju.
Cukup lama Alex duduk mematung, memandangi dari balik
jendela mobilnya, pintu masuk rumah makan Jepang di seberang
jalan. Beberapa tamu tampak keluar dari dalam rumah makan
tersebut tapi belum ada tanda-tanda munculnya Kristal ataupun
Steve. Sedang apa mereka di dalam" Lama ia menunggu, namun
mereka belum juga keluar. Keinginan untuk terus menunggu atau
berlari masuk ke dalam rumah makan berperang saling mengungguli
dalam hatinya. Ia menahan diri dan memutuskan untuk menunggu
sebentar lagi. Tak lama kemudian, Kristal dan Steve tampak berjalan
beriringan meninggalkan rumah makan tersebut dan masuk ke
dalam mobil miliknya yang dipinjam Steve tanpa seizinnya. Ia
makin merasa kesal karenanya. Diikutinya mobil dengan pelat DR
A13X, pelat nomor miliknya dengan inisial namanya sendiri, Alex
Daniel Robbin. Mobil itu lalu berhenti untuk menurunkan Kristal
di apartemennya sebelum akhirnya melaju pergi. Alex kembali ke
152 Kristal Ok Rev.indd 152 apartemennya sendiri setelah memastikan Kristal baik-baik saja tiba
di dalam apartemennya. Ia memutuskan akan kembali menemui
gadis itu besok. Alangkah terkejutnya Alex saat tahu Kristal tidak ada di dalam
apartemennya keesokan harinya. Anak buahnya memberikan
informasi bahwa Kristal berangkat ke Kendari dengan pesawat
Lion Air paling pagi. Dengan Steve! Ia merasa ingin membanting
sesuatu sekarang. Apalagi rencana sepupunya itu kali ini" Ia segera
melaju ke bandara dan membeli tiket pesawat apa pun yang dapat
segera berangkat secepatnya. Sialnya, pesawat paling cepat yang
dapat segera berangkat ke Kendari sudah penuh. Tidak tersisa tiket
lagi untuknya. Ah, seandainya ini adalah Amerika ia pasti sudah
berangkat dengan menaiki jet pribadinya tanpa perlu bingung
seperti ini. Alex merasa sangat frustasi. Sekarang ini ia benarbenar menyesali kebodohannya untuk tidak membeli pesawat jet
pribadi di Indonesia, ia jadi harus repot begini saat membutuhkan
transportasi udara sesegera mungkin. Beruntung, ia bertemu dengan
seorang calo yang bersedia menjual tiket dengan harga lebih tinggi,
itu pun hanya tersisa tempat duduk paling belakang. Tak masalah,
pikir Alex. Yang penting ia bisa segera berangkat menyusul Kristal.
Meskipun, tentu saja perjalanan udara kali ini akan dilalui dengan
sangat tidak nyaman terutama untuknya yang terbiasa dengan
pelayanan pesawat kelas satu.
Bus sewaan yang ditumpangi Kristal bergerak perlahan
menyusuri kota Kendari. Dua mobil CRV hitam mengikuti bis itu
dari belakang. Steve berada di salah satu mobil tersebut. Kristal
memandang rombongan tim yang ikut andil dalam proyek ini.
Mereka asyik bercanda dan tertawa riuh sambil melontarkan lelucon
konyol yang diikuti dengan teriakan heboh teman-temannya.
153 Kristal Ok Rev.indd 153 Untunglah Kristal menolak ajakan Steve untuk duduk satu mobil
dengan pria itu. Ia merasa lebih nyaman berada di sini, apalagi
dengan adanya teman baru yang sekarang duduk di sebelahnya.
Seorang gadis berambut sebahu dan berwajah manis bernama Bunga.
Ia berkenalan dengan gadis itu di bandara dan langsung merasa
cocok. Bunga sama sepertinya, tidak terlalu pintar berbicara dan
agak pemalu. Sesekali, ia mendengar Bunga tertawa mendengar
lelucon teman-teman yang lain, meskipun gadis itu menahan diri
untuk tidak terlalu tertawa terbahak-bahak.
"Kakak kerja di mana?" tanya Bunga. Gadis itu memiliki suara
yang lembut dan pelan sekali. Kristal harus menyimak baik-baik
agar bisa mendengar perkataannya.
"Di Hotel De Robbins. Kamu?"
"Aku baru lulus SMA. Rencananya sih aku mau kerja di bank.
Aku sudah mulai melamar ke beberapa bank, tinggal menunggu
kabar dari mereka. Sambil menunggu, aku kerja sambilan di sini."
"Ooh." Gadis ini masih muda sekali, pikir Kristal. Baru lulus
SMA. Tiba-tiba ia merasa sudah tua sekali sekarang.
"Emm, sebenarnya sih, aku pengin banget jadi pelukis," Bunga
berkata pelan. "Kenapa enggak?" Kristal bertanya.
"Mau dapat duit dari mana kalau kerjaannya melukis. Kasihan
Ibu sudah tua. Bapakku udah enggak ada soalnya. Jadi, aku harus
kerja supaya bisa bantu-bantu Ibu."
Kristal mengangguk-angguk prihatin.
"Kalau Kakak" Ada impian yang belum kesampaian enggak?"
tanya Bunga. Kristal bepikir jauh ke belakang, ke masa-masa dahulu di kala
hidupnya jauh lebih mudah. Ia menerawang dan mengangguk. Ya,
154 Kristal Ok Rev.indd 154 ia pernah punya impian. Ia teringat hari ulang tahunnya yang ke
sepuluh. Orang tuanya memberikan gitar sebagai hadiah. Sejak saat
itu ia jatuh cinta pada musik. Ia ingat, dari kecil hingga remaja ia
selalu menghabiskan waktunya bermain gitar sambil bernyanyi dan
membuat lagu. Ia penasaran bagaimana keadaaan gitarnya sekarang.
Gitarnya pun mungkin sudah karatan akibat jarang dipakai dan
dibersihkan. Entah sudah berapa lama ia tidak menyentuh gitarnya.
Sejak sibuk bertahan hidup, pikir Kristal getir.


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, dulu sekali aku pengin jadi penyanyi. Lucu yah?" jawab
Kristal sambil tersenyum geli.
Bunga tidak ikut tersenyum. "Enggak kok," sahutnya. "Kenapa
enggak diterusin?" Kristal mengangkat bahu. "Sama dengan kamu alasannya.
Aku perlu uang untuk bertahan hidup." Di dunia yang kejam ini,
pikir Kristal pedih. Mereka berdua melanjutkan sisa perjalanan tersebut dalam
diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing, akan impian yang
terpaksa mereka korbankan dan harga yang harus dibayar atas
pilihan tersebut: penyesalan. Benarkah sudah merupakan jalan buntu
bagi mereka. Atau mereka yang terlalu pengecut untuk mengejar
impian. Entahlah. Kristal dan Bunga sibuk bertanya-tanya.
Tidak terasa bis sudah tiba di hotel tempat mereka akan
menginap nanti malam. Kristal mengambil tasnya yang berukuran
kecil dan berjalan menuruni bis tanpa perlu repot memikirkan
barang bawaan lagi. Ia memang sengaja hanya membawa satu tas
kecil agar tidak merepotkan. Toh, hanya dua hari dan satu malam.
Tak perlulah ia membawa terlalu banyak barang. Bunga pun
tampaknya demikian. Ia hanya membawa dua tas bersamanya. Satu
ransel kecil dan satu tas tangan yang selalu ia bawa ke mana mana.
155 Kristal Ok Rev.indd 155 Mereka berdua melangkah dengan ringan dan duduk menunggu di
kursi lobi hotel sementara kepala tim mereka yang bernama Pak
Doni sibuk membagikan kunci kamar. Kristal mendapatkan kunci
yang terletak di lantai tujuh. Tentu saja ia memilih untuk tidur
sekamar dengan Bunga. Pak Doni mengizinkan mereka untuk
membawa barang-barang mereka ke kamar dan mempersilakan
mereka beristirahat selama satu jam. Kristal berjalan beriringan
dengan Bunga dan rombongan lainnya memasuki lift.
Steve berlari menghampiri Kristal tepat sebelum lift menutup.
Ia menyuruh Kristal keluar lift untuk berbicara dengannya. Kristal
jadi merasa bersalah karenanya. Tidak seharusnya ia pergi tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu. Bagaimanapun juga ia adalah asisten
pria itu. "Maaf Pak. Saya pergi tanpa izin. Tadinya saya bermaksud
menaruh barang-barang di kamar sebentar lalu segera kembali ke lobi."
Steve tersenyum mendengarnya. "Jangan khawatir. Aku baru
membutuhkanmu nanti. Kamu boleh melakukan apa saja sesukamu
sepanjang siang ini. Kamu juga boleh bergabung dengan tim lainnya
kalau kamu mau. Yang penting nanti malam jam tujuh, kamu sudah
siap. Kita bertemu di lobi."
"Oke, Pak," jawab Kristal lega. Ia kembali berjalan memasuki
lift setelah Steve meninggalkannya. Bunga masih menunggu di
sampingnya. "Ehem." Bunga berkata jahil.
Kristal memutar bola mata. "Itu manajer aku, Bunga."
"Masa sih" Kayaknya perhatian banget sama kamu." Bunga
tertawa. Kristal geleng-geleng kepala mendengarnya. Bunga masih terus
meledeknya hingga mereka tiba di dalam kamar mereka. Kristal
156 Kristal Ok Rev.indd 156 langsung merebahkan dirinya di atas tempat tidur kelelahan akibat
perjalanan udara tadi. Ia menutup matanya sejenak.
Kristal tertidur entah berapa lama. Ia terbangun oleh tepukan
di bahunya. Ia membuka matanya yang terasa berat. Bunga tampak
di sebelahnya, terus-menerus memanggil namanya.
"Sudah jam berapa sekarang" Gawat, aku ketiduran." Rasa panik
melanda Kristal setelah ia terjaga sepenuhnya.
"Tenang. Kamu baru tidur kurang dari sejam kok. Makanya
aku bangunin sekarang. Sudah dipanggil ke bawah sama Pak Doni.
Kita disuruh kumpul di lobi lima belas menit lagi untuk pembagian
tugas. Kamu ikut enggak?"
"Tentu saja aku ikut. Meskipun aku memang di sini sebagai
penerjemah, tapi aku "kan bagian dari tim juga. Toh, aku juga enggak
ada kerjaan sampai nanti malam. Bentar yah, aku cuci muka dulu.
Lima menit lagi kita ke bawah."
"Oke deh," sahut Bunga sambil beranjak ke depan cermin untuk
menyisir rambutnya yang awut-awutan.
Sebagian besar anggota tim sudah berkumpul ketika Kristal
dan Bunga tiba di lobi. Mereka menunggu sebentar hingga semua
anggota tim lengkap, kemudian Pak Doni mulai membacakan
rangkaian acara mereka hari ini dan besok. Acara hari ini dimulai
dengan survei lokasi. Para investor yang mendanai proyek ini telah
membeli sebuah pulau kecil di tengah laut di mana rencananya
sebuah resor hotel berbintang akan dibangun di pulau tersebut.
Konsepnya seperti di Hawaii, di mana tamu hotel bisa beristirahat
dengan santai jauh dari keramaian.
Untuk mencapai pulau tersebut, anggota tim yang berjumlah
lima puluh orang itu harus menumpang kapal feri yang memang
sengaja disewa hingga malam untuk keperluan survei. Begitu tiba,
157 Kristal Ok Rev.indd 157 mereka langsung dibagi menjadi lima kelompok yang terdiri dari
sepuluh orang per kelompok dengan deskripsi pekerjaan yang
berbeda. Tim satu yang terdiri dari orang-orang yang ahli di bidang
konstruksi bangunan bekerja membantu ketua arsitek dalam
merencanakan konstruksi bangunan hotel. Tim dua yang pakar di
bidang geografi memeriksa keadaan tanah dan bentuk pulau, serta
tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan liar agar mereka tahu apakah
lokasi tersebut layak dan aman untuk pembangunan hotel. Mereka
bekerja sama dengan tim tiga yang mengukur luas pulau guna
merencanakan pembangunan jalan, saluran air dan semacamnya.
Tim empat yang terdiri dari para pakar kelautan memeriksa
air dan margasatwa bawah laut serta berbagai alternatif jalur
transportasi yang memungkinkan dari kota ke pulau. Sisanya
merupakan tim pendukung, yang bertugas mengatur konsumsi dan
siap membantu bila dibutuhkan. Kristal dan Bunga tergabung dalam
kelompok terakhir ini. Ia sibuk mondar-mandir dari satu tempat ke
tempat lainnya membagikan air mineral dan nasi kotak bagi pekerja,
membantu apa apa saja yang dibutuhkan oleh anggota tim lain.
Matahari hampir terbenam saat Kristal teringat janjinya untuk
menemui Steve di lobi jam tujuh nanti. Ia tengah berada di rumah
pondok kecil, satu-satunya pondok di pulau tersebut yang memang
dibangun untuk keperluan proyek, bersama tim dua yang tengah
beristirahat menikmati nasi kotak setelah berjam-jam menjelajahi
seisi pulau. Tim satu, empat dan lima sudah berada di dalam kapal
feri, menunggu tim tiga yang baru saja meninggalkan pondok untuk
menyusul tim lainnya yang berada di kapal. Sedangkan tim dua
terpaksa masih harus berada di pulau hingga agak malam untuk
menyelesaikan tugas mereka yang belum selesai. Di sudut, Bunga
tampak sedang berbincang-bincang dengan salah seorang pria dari
158 Kristal Ok Rev.indd 158 tim dua. Kristal tidak ikut bergabung sebab ia tidak mau menganggu
keakraban dua muda-mudi itu. Ia bisa melihat benih-benih asmara
tumbuh di sana, Kristal tersenyum dalam hati.
Tak berapa lama, Steve menanyakan lokasi dirinya melalui
pesan di ponselnya. Kristal segera mengetik pesan singkat untuk
Steve. Sedang dalam perjalanan pulang ke hotel. Biarlah ia berbohong
sedikit, toh memang benar ia akan segera kembali ke hotel. Kristal
bergegas memberi tahu Bunga bahwa ia harus kembali lebih dulu
karena suatu urusan. Bunga menawarkan untuk menemaninya
kembali ke hotel namun Kristal menolak. Tidak perlulah merepotkan
Bunga. Dirinya "kan bisa berlari menyusul tim tiga yang baru
beberapa saat lalu meninggalkan pondok dan akhirnya bersamasama tim lainnya kembali ke kota. Biarlah Bunga menikmati
waktunya sedikit lagi bersama pria tadi yang Kristal yakin sedang
ditaksir Bunga. Kristal lalu berjalan keluar pintu dan cepat-cepat berlari
menyusul tim tiga. Cuaca terasa dingin di luar. Ia memandang ke
atas langit yang berawan menandakan hujan yang tak lama lagi
akan turun. Ia berlari susah payah melewati jalanan terjal melewati
pepohonan untuk kembali ke pantai. Sebenarnya jalan dari pondok
ke pantai tidak begitu jauh dan cukup mudah diingat, ia hanya perlu
berjalan lurus. Namun, dikarenakan suasana sekitar yang gelap
itulah maka Kristal perlu lebih berhati-hati dalam melangkah.
Ia berlari dan berlari namun tim tiga tidak juga terlihat.
Jejaknya pun tidak. Kristal mulai panik. Masa sih ia salah jalan"
Ia berhenti berlari dan memandang sekitarnya. Hanya kegelapan
sejauh mata memandang. Ah, dari pada salah jalan, lebih baik
aku kembali saja ke pondok tadi dan meminta bantuan seseorang
159 Kristal Ok Rev.indd 159 untuk mengantarku ke kapal, pikirnya. Ia lalu berjalan kembali
ke arah pondok. Kristal mempercepat langkahnya. Gawat sekali
kalau ia sampai ketinggalan kapal. Tumpangan berikutnya baru
akan menjemput mereka beberapa jam lagi. Bila menunggu kapal
berikutnya, ia bisa terlambat menemui Steve. Ah, ia tidak mau dicap
tidak profesional dalam bekerja.
Kristal pun berlari tergesa-gesa hingga ia tidak melihat adanya
longsoran tanah di depannya. Alhasil ia pun terjatuh. Kristal
merasakan pukulan keras di keningnya, membuat matanya menjadi
berputar-putar dan sekelilingnya mengabur.
Entah sudah berapa lama Kristal pingsan, tahu-tahu ia
terbangun dengan mata menatap dinding langit-langit yang penuh
debu dan sarang laba-laba. Spontan ia bangkit berdiri dan langsung
terpekik. Keningnya terasa berdenyut-denyut.
"Jangan memaksakan diri dulu. Tidurlah sebentar lagi."
terdengar suara pria yang terasa familier mengusir keheningan.
Kristal menoleh ke sumber suara tersebut. Alex duduk bersila
sambil bersandar di dinding di sebelahnya. "Alex?" Kristal berkata
lirih. Ia berpikir, mungkinkah ini hanya mimpi" Karena bila tidak,
rasanya tidak masuk akal Alex ada di sampingnya sekarang.
"Ya. Ini aku." Alex memandangnya dengan lembut.
Kristal memandang sekitarnya dengan bingung. Ia berada di
ruangan berdebu yang penuh dengan kardus lusuh, potongan kayu,
dan besi tak terpakai serta tumpukan kertas kotor di atas lantai
yang terbuat dari kayu. Kesadarannya datang perlahan. Ini adalah
pondok yang ada di tengah pulau. Tapi, di mana Bunga dan anggota
tim lainnya" Mengapa justru Alex yang ada di sini bersamanya"
Kristal memandang Alex dalam-dalam dan bertanya pada pria
itu, "Bagaimana kamu bisa ada di sini?"
160 Kristal Ok Rev.indd 160 Alex memandang Kristal bimbang. Ia tidak tahu harus
menjawab apa. Begitu tiba di Kendari ia langsung menuju hotel
tempat Kristal dan timnya menginap. Alex menunggu di lobi selama
berjam-jam hingga ia melihat Kristal dan timnya berkumpul di
lobi. Tentu saja ia hanya melihat gadis itu dari jauh tanpa berniat
menampakkan diri. Alex tidak ingin Kristal menganggapnya sebagai
penguntit yang mengikutinya ke mana-mana. Tujuannnya kemari
adalah". Ah, ia bahkan tidak tahu apa tujuannya datang kemari.
Yang ia tahu hanyalah bahwa ia tidak akan merasa tenang bila tidak
mengetahui apa saja yang terjadi pada gadis itu selama berada di sini,
terutama dengan adanya Steve di dekat Kristal. Atau mungkin juga
ini semua ia lakukan karena kecemburuannya semata. Entahlah,
yang jelas Alex telah mengikuti Kristal seharian ini. Mulai dari
hotel hingga gadis itu tiba di pulau. Kristal bahkan tidak menyadari
kehadirannya sama sekali. Ia pastilah berhasil menyembunyikan
dirinya dengan sangat baik. Padahal ia juga berada di dalam kapal
feri yang sama dengan yang dinaiki Kristal. Meskipun tentu saja
ia membayar harga yang cukup mahal untuk dapat duduk di ruang
pengemudi sehingga Kristal tidak dapat melihatnya.
Setelah itu, Alex menunggu di dalam kapal feri selama berjamjam hingga akhirnya rombongan tim yang ditunggu-tunggu itu pun
terlihat berjalan mendekat dan menaiki kapal bersiap-siap kembali
ke kota. Namun, Kristal tidak ada bersama rombongan tersebut.
Seorang dari mereka berkata bahwa ada satu tim tersisa yang masih
berada di pulau dan kapal ini nantinya akan menjemput mereka
setelah mengantarkan tim pertama kembali ke kota. Alex berpikir,
oke, pastinya Kristal ada bersama rombongan terakhir tersebut.
Ia lalu turun dari kapal dan menunggu gadis itu di pulau sambil
bersandar di sebuah pohon rimbun hingga kapal feri datang kembali
161 Kristal Ok Rev.indd 161 untuk menjemput tim yang tersisa. Rombongan tim terakhir akhirnya
terlihat berjalan keluar dari dalam hutan, namun Kristal tidak ada
di sana. Alex bertanya pada seorang gadis yang ia perhatikan sering
berbicara dengan Kristal. Gadis itu berkata bahwa Kristal sudah lama
kembali ke kota bersama rombongan sebelumnya. Alex langsung
panik. Ia berada di sini menunggu sedari tadi dan ia yakin sekali
bahwa Kristal belum meninggalkan pulau ini.
Tanpa pikir panjang, Alex langsung berlari ke dalam hutan
untuk mencari Kristal. Ia menyusuri setiap pepohonan, pondok,
semak-semak, hingga akhirnya ia berhasil menemukan Kristal
tergeletak di longsoran semak-semak yang tidak terlalu dalam. Ia
menggendong gadis tersebut dan membawanya ke dalam pondok lalu
berlari memanggil bantuan ke arah pantai. Sialnya, tak ada seorang
pun di sana sebab kapal feri tersebut sudah berangkat meninggalkan
dirinya dan Kristal di pulau ini. Alex kemudian berlari lagi ke dalam
pondok untuk memeriksa keadaan Kristal, memastikan bahwa gadis
itu baik-baik saja, lalu, dengan enggan menghubungi Steve untuk
menjemput mereka. Selama dua jam terakhir ini ia hanya duduk di
samping Kristal menunggu gadis itu membuka mata. Dan sekarang,
setelah Kristal telah sepenuhnya sadar dan sedang bertanya-tanya
mengapa Alex ada di sini, ia menjadi bingung, bagaimana sebaiknya
ia menjelaskan semua ini pada Kristal"
"Kenapa kamu ada di sini, Lex?" Kristal mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab. Alex masih membisu selama
beberapa saat. "Aku menemukanmu pingsan tadi lalu aku membawamu ke
sini. Tak ada pilihan lain. Kapal feri terakhir sudah meninggalkan
kita. Tapi, kamu tidak usah khawatir. Aku sudah menelepon Steve.
Seharusnya ia sedang dalam perjalanan kemari sekarang."
162 Kristal Ok Rev.indd 162 Kristal memandangnya tajam. "Bukan itu yang aku tanyakan.
Aku bertanya padamu bagaimana kamu bisa ada di sini" Jangan bilang
ini hanya kebetulan, Lex." Kristal berhenti berbicara sejenak, lalu ia
melanjutkan lagi. "Apakah" apakah kamu mengikuti aku kemari?"
Kristal bertanya dengan suara yang terdengar seperti bisikan.
Gadis itu langsung merasa malu dan menyesal telah bertanya seperti
itu. Betapa luar biasa percaya dirinya ia sekarang. Bisa-bisanya ia
begitu yakin. Memangnya setinggi apa nilainya di mata pria itu
hingga sampai repot-repot mengikutinya kemari. Bagaimana bila
ternyata Alex kemari atas permintaan Steve untuk ikut membantu
dalam proyek ini. Itu sangat masuk akal mengingat kedua pria
tersebut memiliki hubungan sepupu. Kristal merasakan pipinya
bersemu merah, ia bahkan tidak berani memandang wajah Alex.


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kristal terus menunduk bersiap mendengar perkataan Alex
berikutnya. Betapa terkejutnya ia saat mendengar Alex berkata lirih.
"Ya. Aku memang mengikutimu kemari."
Kristal mengangkat wajahnya perlahan. Alex tampak
memandangnya ragu-ragu. Semburat merah tampak di pipi pria itu.
Kristal tak kuasa menahan rasa penasarannya.
"Kenapa?" tanyanya.
Alex mengangkat bahunya. "Aku juga tidak tahu. Karena
khawatir mungkin," jawabnya pelan.
Kristal memandang pria itu bimbang. Entah mengapa ia bisa
merasakan kejujuran dari jawaban tersebut, meskipun ia masih
ragu bila saja ternyata pria ini sedang berbohong lagi kepadanya
seperti yang sudah sudah. Akan tetapi, entah mengapa Kristal ingin
percaya. Ia ingin memberikan pria ini satu lagi kesempatan untuk
berkata jujur padanya dan menjelaskan semua kebohongannya
selama ini. 163 Kristal Ok Rev.indd 163 Kristal menarik napas panjang lalu berkata, "Kenapa kamu
bohong sama aku, Lex" Kenapa kamu enggak jujur aja sama aku
kalau kamu itu atasan aku. Kenapa selama ini kamu terus-menerus
mengarang berbagai cerita-cerita palsu" Padahal aku percaya banget
sama kamu, Lex. Tapi, kamu malah bohong sama aku."
Alex tidak berani menatap wajah Kristal. Ia terus-menerus
menunduk menatap lantai kayu di bawahnya tanpa bersuara,
sebelum akhirnya ia membuka mulut dan berkata,
"Aku takut." Kristal memandang Alex bingung. "Apa yang kautakutkan?"
Alex mengangkat kepalanya dan memandang Kristal dalamdalam. "Aku takut kalau kamu enggak bisa menerima aku apa
adanya. Kalau kamu tahu bahwa aku ini atasanmu, aku takut kamu
enggak mau berteman sama aku."
"Tapi, kamu salah Lex. Aku mau berteman sama kamu karena
aku merasa nyaman berada di dekatmu. Aku enggak peduli apa pun
pekerjaan kamu. Kenapa kamu enggak sadar sih Lex kalau aku itu
tulus. Sekecil itukah kepercayaanmu sama aku?" Kristal berkata
panjang lebar dengan suara yang sarat emosi.
"Iya. Aku salah. Maafin aku Kristal."
"Kamu janji kamu enggak akan bohong lagi sama aku" Enggak
ada lagi yang ditutup-tutupi?"
Alex terdiam beberapa saat lalu mengangguk. Masih tidak
berani memandang wajah Kristal. Dalam hati ia merasa sangat
bersalah, sebab ia tahu bahwa ia tidak akan bisa menepati janji itu.
Ada satu hal lagi yang masih ia sembunyikan dari Kristal. Satu hal
yang akan membuat Kristal membencinya seumur hidup. Satu hal
yang tidak akan pernah bisa ia ungkapkan, dan ia bertekad akan
mengubur rahasia ini selamanya.
164 Kristal Ok Rev.indd 164 Steve menjemput mereka beberapa jam kemudian. Hujan deras
menyebabkan jalur transportasi menjadi terhambat sehingga Steve
terpaksa harus mencari kapal yang bersedia mengantarkannya ke
pulau. Kristal dan Alex sudah menunggu di tepi pantai dengan tubuh
basah kuyup akibat hujan, meskipun mereka sudah menggunakan
kardus untuk menutupi kepala mereka, tetap saja mereka kebasahan
karena begitu derasnya curahan hujan. Steve turun dari kapal dan
membantu Alex membopong Kristal menaiki kapal. Wajah gadis itu
pucat dan jalannya agak limbung. Alex telah memberitahunya lewat
telepon bahwa Kristal terluka di bagian kening dan menyuruhnya
untuk mempersiapkan juru medis yang langsung mengurus Kristal
begitu gadis itu tiba di dalam kapal. Steve melihat Alex dan Kristal
tampak dekat satu sama lain, tak ada tanda-tanda pertengkaran
yang baru beberapa hari lalu terjadi di antara mereka. Tampaknya
kejadian ini telah memberikan mereka berdua kesempatan untuk
berbaikan. Baguslah, pikirnya. Meskipun tentu saja, bukan berarti ia
akan mengalah dan menyerahkan Kristal pada sepupunya itu begitu
saja. Permainan dan persaingan cinta ini masih berlanjut.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Steve pada Kristal begitu gadis
itu merebahkan dirinya di sofa.
"Ya. Aku enggak apa apa kok. Trims." Kristal tersenyum kecil,
meskipun sesekali matanya berkerut menahan sakit saat ahli medis
membubuhkan obat yang terasa perih pada luka di keningnya.
Steve mengangguk dan berpaling pada Alex. Pria itu masih
duduk di sebelah Kristal memperhatikan saat tim medis membalut
luka Kristal. Mata pria itu terlihat cekung seperti kurang tidur, namun
tak sekalipun ia berpaling dari sisi Kristal. Steve menghampiri Alex
dan menepuk bahu pria itu. "Istirahatlah dulu di sofa. Kau pasti
lelah sekali sekarang."
165 Kristal Ok Rev.indd 165 "Aku enggak ngantuk." Alex menggelengkan kepalanya,
meskipun jelas-jelas pria itu sangat membutuhkan istirahat.
Kristal menoleh dan memandang Alex dengan tatapan khawatir.
"Tiduran dulu gih Lex. Aku bener enggak apa-apa kok."
"Ya udah kalau begitu aku istirahat sebentar di sofa."
Kristal mengangguk. "Oh ya, aku belum sempat ngucapin
terima kasih karena sudah menolong aku tadi. Thanks yah Lex".
"Anytime," jawab Alex sambil tersenyum.
Steve mendengarkan percakapan kedua orang ini dengan
heran. Mereka seperti memiliki ikatan satu sama lain. Ikatan yang
tidak dapat ditembus. Ikatan yang tidak ia pahami. Ia penasaran
sudah berapa lama sebenarnya dua orang ini saling mengenal.
Yang membuatnya paling heran adalah Alex. Tak pernah sekalipun
ia melihat, setelah bertahun-tahun ia tumbuh besar bersama Alex,
wajah sepupunya itu tampak penuh kasih dan kekhawatiran. Alex
yang biasanya dingin dan tak acuh terhadap wanita bisa menjadi
penuh perhatian seperti ini. Ia yakin sepupunya itu mencintai
Kristal, tapi kenapa hingga sekarang Alex belum juga mengakui
perasaannya pada gadis itu, padahal jelas-jelas terlihat rasa sayang
pria itu yang sedemikian dalam. Kristal pun demikian. Ia memang
masih belum yakin apakah gadis itu memiliki perasaan yang sama
dengan sepupunya itu. Yang jelas, ia yakin Kristal juga memiliki
rasa khusus pada Alex, meskipun ia tidak tahu seberapa besarkah
perasaan itu untuk dapat ia tembus. Tapi, bukan Steve namanya
kalau menyerah semudah itu. Ia tersenyum jahil. Kedua manusia
ini perlu sedikit intervensi. Terutama untuk sepupunya yang bodoh
ini agar lebih jujur mengakui perasaannya dan bersedia bersaing
secara terbuka dengannya untuk mendapatkan Kristal. Dalam
benaknya sudah bermunculan berbagai trik untuk membuat gadis
itu berpaling padanya. 166 Kristal Ok Rev.indd 166 Tanpa menunggu lagi, Steve pun memulai aksinya. Ia
menghampiri Kristal dan menyentuh kening gadis itu. "Sudah
mendingan?" tanyanya.
Kristal mengelak dan menjauhkan kepalanya risi. "Ya. Terima
kasih. Sudah tidak apa-apa sekarang. Hanya luka kecil saja kok,"
sahut Kristal. "Baguslah kalau begitu." Ia mengerling nakal ke arah Alex yang
ia yakin tengah mencuri dengar pembicaraannya dengan Kristal, lalu
dengan tersenyum ia melanjutkan aksinya. "Ngomong ngomong,
besok sebelum kembali ke Jakarta, bisakah kamu menemaniku
makan siang sebentar dengan klien?"
"Baiklah." Kristal mengangguk.
"Oke kalau begitu," sahut Steve tersenyum lalu melirik
sepupunya lagi. Tubuh Alex terlihat mengejang. Bagus, pikirnya. Ia
yakin pria itu merasa cemburu sekarang. Memang dasar jahil, ia
malah merasa senang karenanya.
Kapal berlabuh tak lama kemudian. Alex dengan sigap bangkit
dari sofanya sebelum Steve bisa mendahuluinya menopang Kristal
turun dari kapal. Steve dengan tenang berjalan di depan mereka
dan naik ke dalam mobil yang sudah menunggu, diikuti Kristal
dan Alex yang juga naik ke mobil yang sama.
"Kamu duduk depan saja Lex," sahut Steve tepat saat Alex
melangkahkan satu kakinya ke dalam mobil. ?"Kan sempit bertiga
di sini. Kasihan Kristal sempit-sempitan."
"Aku enggak sempit kok," sahut Kristal.
"Jangan, takutnya kepalamu yang luka itu tidak sengaja
terbentur kalau mobilnya goyang. Sudahlah Lex, biar lebih amannya,
kamu duduk depan aja." Steve tetap gigih.
167 Kristal Ok Rev.indd 167 Alex mau tidak mau berpikir, jangan-jangan Steve sengaja.
Tapi ia berpikir ada benarnya juga supaya Kristal bisa merasa
lebih nyaman, cukup dua orang saja yang duduk di tengah. Yang ia
kesalkan adalah kenapa harus dia yang duduk di depan. Meskipun
begitu, ia tetap pura-pura tersenyum. "Oke, tak masalah," jawabnya
santai. Meskipun dalam hati ia sama sekali tidak merasa santai.
Mobil melaju menuju hotel dengan kecepatan normal, meskipun
terasa seperti berjam-jam bagi Alex. Di belakangnya, ia bisa
mendengar rayuan sepupunya itu yang tiada henti pada Kristal
dan terdengar memuakkan di telinganya. Kata-kata picisan seperti,
"Kristal baik baik saja" Kristal lukanya masih sakit tidak" Steve
khawatir saat tahu Kristal terluka, jantung Steve terasa mau copot
saat pertama mendengarnya". Bah! Tidak sadarkah sepupu tololnya
itu bahwa yang paling Kristal butuhkan sekarang adalah istirahat,
bukannya mendengar kata-katanya yang sama sekali tidak penting
itu. Ingin rasanya ia menendang Steve turun dari mobil, namun tentu
saja ia tidak bisa melakukannya. Bila ada orang yang seharusnya
turun, itu adalah dirinya. Sebab ia sadar, jelas-jelas perjalanan ini
sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Tapi tetap
saja, mendengar sepupunya merayu gombal, ia merasa tidak tahan
juga. Beruntung mobil mereka akhirnya tiba di hotel tak lama
kemudian, sebelum Alex kehabisan tenaga akibat menahan kesal.
Begitu mobil berhenti sepenuhnya, Alex cepat-cepat turun dan
membukakan pintu untuk Kristal, dan dengan sikap posesif
membantu Kristal berjalan menuju lobi yang sudah sepi pada dini
hari. Steve berjalan santai di belakangnya. "Mau kuantar ke kamar?"
tanyanya pada Kristal. 168 Kristal Ok Rev.indd 168 Kristal menggelengkan kepala. "Enggak usah. Aku bisa jalan
sendiri kok." Alex mengangguk dan membukakan lift untuk Kristal. "Kalau
ada apa-apa, kamu langsung telepon aku yah. Aku pesan kamar
dulu sekarang." Kristal tersenyum mengangguk lalu memasuki lift dan
menekan angka tujuh. Steve menyusul memasuki lift dan berdiri
di samping Kristal. "Wah, lantai tujuh juga" Sama dong," celetuknya.
Ia berpaling pada Alex dan melambaikan tangannya dengan sikap
dibuat-buat. "Selamat malam, Lex. Sampai bertemu besok," sahutnya,
lalu tersenyum menyeringai sebelum pintu lift tertutup.
Sesudahnya Alex berlari ke resepsionis untuk memesan kamar
di lantai yang sama dengan Kristal. Sayangnya tidak ada lagi kamar
kosong di lantai tujuh. Semuanya sudah dipesan atas nama Steve.
Sialan benar pria itu, pikirnya. Tak salah lagi, semuanya ini sudah
diatur matang oleh sepupu berengseknya itu. Ia berjalan lunglai
menuju kamarnya yang terletak di lantai lima. Dan malam itu, Alex
sama sekali tidak dapat tidur dengan nyenyak.
Ia bangun pagi sekali keesokan harinya dan langsung menuju
lobi, menunggu kemunculan Kristal. Gadis itu terlihat keluar dari
lift tak lama kemudian. Alex tersenyum dan berjalan menghampiri
Kristal, namun senyumnya segera menghilang begitu melihat Kristal
ternyata tidak sendiri. Ada Steve yang berjalan di sampingnya.
"Hai Alex, pagi!" sapa Kristal saat ia melihat Alex di hadapannya.
Gadis itu tampak segar dengan setelan rok dan jas kerja resmi
berwarna hitam putih. Sebuah plester kecil tampak di keningnya.
"Pagi Kristal, lukamu sudah tidak apa-apa?" balas Alex pelan.
Kristal mengangguk. "Sudah baikan kok," jawabnya.
169 Kristal Ok Rev.indd 169 "Yo Bro! Tidur nyenyak semalam?" Steve berjalan mendekat.
Tentu saja tidak, pikir Alex cepat. Namun, ia tidak berkata
apa-apa. "Pergi dulu yah, sampai ketemu nanti." Steve berkata lagi sambil
Malaikat Tanpa Wajah 1 Pedang Bayangan Dan Panji Sakti Huan Jian Ling Qi Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Mrs Mcginty Sudah Mati 2

Cari Blog Ini