The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi Bagian 1
Persembahan Berabad-abad yang lalu, dalam keadaan sendirian,
saya melahirkan seorang anak yang tidak dikenal.
Malam itu juga, saya membuangnya ke pinggir terus"
an itu, dan keesokan paginya saya temukan di tempat
itu sebatang pohon kayu hijau yang tinggi. Dengan
menghunjamkan akar-akarnya ke dalam bumi dan
mengangkat daunnya yang rimbun ke langit, pohon
itu telah menjadi demikian menjulang seperti seorang
dewi kuno yang mengatur kehidupan dan kematian.
Untuk anak itu, untuk semua pohon yang menjulang
di dunia, dan untuk semua anak yang dilahirkan dewadewa, saya persembahkan kisah ini.
Nawal El Saadawi Pendahuluan Penulis i antara novel-novel yang telah kutulis, The
Circling Song (Lagu Berputar) adalah salah
satu yang paling dekat ke hatiku. Aku menulis
novel ini pada akhir tahun 1973"aku merasa pasti bahwa
saat itu adalah bulan November"keti"ka me"le"wati suatu
masa yang ditandai oleh kesedih"an yang asing di dalam
jiwaku. Penguasa Mesir ke"ti"ka itu me"rasa senang sekali
dan bangga karena kemenang"an-kemenangannya; ia
dikelilingi oleh rombongan pengikut laki-laki yang besar
jumlahnya, dan juga beberapa orang perempuan, mereka
semua menyanjung-nyanjungnya dengan alasan apa saja,
dan mungkin juga tanpa alasan sama sekali.
Tidak jelas bagiku apa yang menjadi sumber utama
kemurunganku, namun sudah pasti ada beberapa alasan
eksternal yang telah mempengaruhinya: karena telah
dilucutinya jabatanku dan diberhentikan dari tugasku
demikian saja setahun sebelumnya (dalam bulan Agustus
1967) yang semuanya itu disebabkan oleh beberapa
NAWAL EL SAADAWI tulisanku yang diterbitkan; disitanya buku-buku dan
makalah-makalahku; dan dimasukkannya namaku ke
dalam daftar hitam pemerintah. Sementara itu, setiap pagi
kulihat foto penguasa Mesir itu dimuat di halaman surat
kabar dan majalah, dan aku dapat mendengar suaranya
yang menggeletar dari berbagai alat pengeras suara.
Tidak ada afiliasi atau hubungan yang
menghubungkanku dengan politik atau dengan kekuasaan
yang memerintah. Aku menulis sepanjang waktu, dan
melanjutkan praktik kedokteranku secara paruh waktu.
Namun, ada sejenis hubungan yang telah ber"kembang
antara penguasa itu dan aku (tentu dari satu sisi saja);
yaitu suatu hubungan yang berdasarkan rasa benci. Aku
belum pernah mengalami rasa benci seperi ini sebelumnya
sedemikian rupa meskipun kebanyakan hubunganku
berdasarkan rasa sayang. Pada saat-saat tertentu, aku mengunjungi desaku,
Kafr Tahla. Di sana aku merasakan adanya suatu perasaan
bebas dan santai ketika duduk di rumah tua ayahku yang
sangat sederhana, yang nyaris tidak mempunyai perabotan
sama sekali. Aku dapat mencium bau lantainya yang
kotor, yang baru saja dibasahi oleh sepupuku Zainab agar
debunya tidak beterbangan. Aku dapat melihat wajah
anak-anak itu, laki-laki maupun perempuan, tampak
THE CIRCLING SONG seperti bunga-bunga pada saat mereka mengembang,
ditutupi lalat seperti lebah menutupi sekuntum bunga.
Aku dapat mendengarnya bernyanyi pada saat mereka
bermain di atas onggokan kotorannya.
Salah satu nyanyian mereka adalah "Hamida mem?"
punyai seorang bayi" "Aku sering kali mendengarnya
pada saat mereka bernyanyi, dan dahulu seba"gai seorang
anak kecil, ketika aku menjadi salah satu dari mereka, aku
sering kali mendengarnya. Aku tidak tahu kenapa, ketika
mendengar mereka me"nyanyikan kali ini, lagu itu telah
memberiku inspirasi sebuah ide menulis novel ini.
Ide itu kabur dan penuh tanda tanya, namun me"nonjol;
aku tidak dapat tidur beberapa malam, atau mungkin
beberapa minggu. Setelah itu aku mulai menulis. Sambil
membawa kertas-kertasku dalam sebuah kantong sandang
dan dengan memakai sandal kulitku"karena memiliki
alas yang lemas dan seperti karet"aku meninggalkan
rumahku di Jalan Murad di Giza, persis di seberang sungai
dari Kairo. Aku butuh kira-kira setengah jam menempuh
Jalan Nil itu, menyeberangi Jembatan Universitas Kairo,
dan sampailah aku di tujuanku: sebuah kafe kebun yang
kecil di pinggir Sungai Nil, kini telah dirobohkan untuk
kantor Departemen Pemadam Kebakaran. Sambil duduk
di atas sebuah bangku yang terbuat dari bambu, dengan
NAWAL EL SAADAWI sebuah meja bambu kecil di depanku, aku memandangi
air Sungai Nil, dan mulai menulis.
Aku menulis rancangan pertama novel itu dalam
beberapa minggu, dan menulisnya kembali dalam beberapa
hari. Pada saat kutulis bagian-bagian tertentu, aku dapat
merasakan air mata meleleh di wa"jah"ku. Ketika Hamida
(atau Hamido) merasakan air matanya, aku merasakan
air mataku sendiri. Aku merasa yakin bahwa novelku itu
akan menjadi sesuatu, karena selama aku menangiskan
air mata yang sesungguhnya bersama-sama dengan watakwatak yang terdapat dalam novel itu, semakin yakin aku
bahwa karya ini adalah hidup yang artistik, dan akan
menimbulkan dampak yang serupa terhadap siapa saja
yang membacanya. Setiap kali aku mendengar mikrofon dan siaran
menyiarkan lagu-lagunya yang gembira, kesedihanku
akan berkembang. Aku tidak tahu yang mana dari kedua
emosi itu yang lebih banyak mengandung kenyataan;
kegembiraan dunia di sekitarku, atau rasa sedih di dalam
diriku. Aku merasa bahwa dunia ini dan aku sendiri benarbenar tidak sesuai, dan novel itu tidak lebih dari sebuah
upaya untuk memberi bentuk nyata bagi ketidaksesuaian
itu. THE CIRCLING SONG Tentu saja aku tidak berhasil menerbitkan novel ini
di Mesir, karena aku masuk daftar hitam peme"rin"tah.
Karena itu, aku mencoba menerbitkannya di Beirut.
Ketika itu, Beirut merupakan paru-paru yang memberi
banyak penulis"laki-laki dan perempuan yang dilarang
menerbitkan karya mereka"kesempat"an untuk bernapas.
Dar al-Adab menerbitkan novel itu di Beirut dua
atau tiga tahun"aku tidak ingat dengan pasti "setelah
aku menulisnya. Tentu saja para pengritik di Mesir
mengesampingkannya. Bahkan mungkin juga mereka tidak
membacanya, karena inilah perlakuan yang selalu mereka
berikan pada buku-bukuku yang lain. Dengan demikian,
novel itu keluar dalam situasi yang hening diam, dan telah
hidup dalam keheningan seperti itu sampai sekarang ini.
Namun orang memang membacanya, karena penerbit di
Beirut mencetaknya lebih dari sekali, karena salah satu
penerbit di Mesir juga telah menerbitkannya beberapa
kali (sejak tahun 1982). Namun demikian para pengritik
di Mesir tetap mempertahankan sikap diam mereka,
pada saat novel itu terus diterbitkan dan dibaca di Mesir,
sebagaimana juga di negara-negara Arab yang lain.
Sementara itu, aku telah melupakan novel ini
seluruhnya dan aku telah menulis beberapa novel lain
dengan gaya yang sangat berbeda. Namun, ciri dan struktur
NAWAL EL SAADAWI dari novel ini tetap hidup dalam kenang-kenanganku,
seperti sebuah mimpi yang pernah dialami seseorang. Aku
ingin menulis yang lain, mungkin sebuah novel yang lebih
berambisi de"ngan yang cara penulisan yang sama. Pada
waktu-waktu tertentu aku akan bertemu dengan seorang
perempuan atau laki-laki yang telah membacanya, atau
menerima sepucuk surat dari seorang pembaca"kadangkadang seorang perempuan, kadang-kadang seorang lakilaki"yang memberikan ulasan tentang novel ini, yang
bergaya "Buku kecil ini telah melepaskan demikian banyak
dari perasaanku yang paling dalam! Mengapa Anda tidak
selalu menulis dengan gaya seperti ini?"
Namun setiap ide memiliki cara sendiri untuk
menyataan dirinya, dan aku tidak pernah mencoba
memaksakan gaya ini pada pemikiran atau ide yang
berbeda-beda. Pada suatu hari ketika aku berada di London, penerbit
novel ini bertanya kepadaku apakah aku memiliki sebuah
novel baru yang dapat diterjemahkan dan diterbitkan. Aku
tidak tahu mengapa karya khusus ini langsung terbetik
dalam pikiranku"novel ini telah diterbitkan dalam Bahasa
Arab lebih dari sepuluh tahun yang lalu di Beirut. Aku
sadar bahwa aku sangat gemar pada Lagu Berputar ini,
dan ada sejenis hubungan yang rapat seperti inilah yang
THE CIRCLING SONG tidak dapat dilupakan orang, kendati banyak berlalunya
waktu. Aku telah sepuluh tahun tidak membaca novel
ini, karena aku tidak suka membaca buku-bukuku setelah
diterbitkan, namun penerjemah novel ini memberiku satu
naskah dari terjemahannya untuk ditinjau kembali. Lalu
terjadilah suatu keadaan yang sangat aneh: seolah-olah
aku membacanya untuk per"tama kali. Aku akan berhenti
pada bagian-bagian tertentu, merasa kaget, seolah-olah
penulisnya adalah seorang perempuan lain, seseorang
yang lain daripadaku. Lalu tiba-tiba"dan alangkah
anehnya tampaknya hal ini"saya merasakan air mata
yang sesungguhnya menetes pada setiap kali Hamida (atau
Hamido) menangis. Beginilah caranya aku mengetahui
bahwa terjemahan itu sama keadaannya dengan apa yang
kuinginkan. Nawal El Saadawi Kairo, 1989 The Circling Song etiap hari, pada jam berapa saja aku meninggalkan
rumah, pandanganku bertemu dengan sebuah
lingkaran benda yang kecil-kecil, yang selalu
berputar-putar, berkeliling terus-menerus di de"pan mataku.
Suara anak-anak yang melengking ber"putar-putar ke atas
dengan nyaring menuju langit. Lingkaran lagu mereka
yang penuh irama itu di?"ser"tai pula oleh gerakan tubuh
mereka, bergabung menjadi sebuah lagu, yang terdiri atas
sebuah bait yang mengulang-ulang sendiri dalam sebuah
lingkaran yang berkesinambungan tidak henti-hentinya,
pada saat mereka berputar-putar berkeliling, dan ber"putar
lagi: amida mempunyai seorang bayi,
Ia menamakannya Abd el-Samad,*
Ia meninggalkan bayi itu di pinggir terusan,
Layang-layang itu menukik ke bawah dan
merenggut kepalanya! Husy! Husy! Menjauhlah kamu!
Wahai Layang-layang, Wahai hidung monyet!
Hamida mempunyai seorang bayi,
NAWAL EL SAADAWI I a memberinya nama Abd el-Samad,
Ia meninggalkan bayi itu di pinggir terusan,
Layang-layang itu menukik ke bawah dan
merenggut kepalanya! Husy! Husy! Menjauhlah kamu!
Wahai Layang-layang, Wahai hidung monyet!
Hamida mempunyai seorang bayi,
Ia menamakannya Abd el-Samad . . .
Anak-anak itu akan mengulangi lagu itu, demikian
cepatnya sampai-sampai baris yang pertama berbunyi
sebelum gema baris yang terakhir menghilang, dan baris
yang terakhir itu seakan-akan meng"iringi de"ngan cepat
ekor dari yang pertama. Karena semuanya itu berputarputar dan menyanyi tanpa terputus-putus, maka tidak
mungkin menentukan permulaan atau akhir lagu itu
dengan menggunakan telinga saja. Karena tangan semua
anak itu masing-masing saling menggenggam sebagaimana
biasa dilakukan anak-anak, orang tidak dapat menga"takan
dengan melihatnya saja di mana lingkaran itu bermula
dan berakhir. THE CIRCLING SONG Tetapi segala sesuatunya memang memiliki sebuah
permulaan, dan karena itu jika aku ingin memulai
kisah ini, maka aku harus mulai. Namun demikian, aku
tidak tahu titik permulaan kisah ini. Aku tidak mampu
menentukannya dengan tetap, karena permulaan itu
bukanlah sebuah titik yang menonjol ke depan dengan
jelas. Sesungguhnya tidak ada permulaannya, atau
barangkali lebih tepat jika dikatakan bahwa permulaan
dan akhirnya itu bergabung dalam sebuah untaian tunggal
dan jungkir balik; di mana benang itu bermula dan di
mana berakhir hanya dapat dirasakan dengan sangat
susah payah. Di sinilah letaknya kesukaran segala permulaan,
terutama sekali permulaan dari sebuah kisah yang benarbenar terjadi, dari sebuah kisah yang sama benarnya
dengan kebenaran itu sendiri, dan demikian persisnya
dalam rincian-rinciannya yang paling halus sekalipun,
sama dengan ketepatan itu sendiri. Ketepatan seperti
itu meminta agar penulis, laki-laki maupun perempuan,
jangan pernah menghilangkan atau menyia-nyiakan
sebuah titik manapun. Karena di dalam Bahasa Arab,
bahkan satu titik saja"satu tanda saja"dapat mengubah
saripati dari sebuah kata-kata secara keseluruhan. Lakilaki berubah menjadi perempuan karena adanya sebuah
NAWAL EL SAADAWI garis atau sebuah titik. Demikian pula di dalam Bahasa
Arab perbedaan antara "suami" dan "keledai", atau antara
"janji" dan "bajingan", tidak lebih dari sebuah titik yang
diletakkan di atas suatu bentuk tunggal, suatu tambahan
yang mengubah sebuah huruf menjadi huruf yang lain.
Karena itu aku harus memulai kisah ini pada suatu
titik yang jelas letaknya. Dan titik yang jelas itu hanya
titik itulah dan tidak ada yang lain. Titik itu tidak
mungkin menjadi sebuah garis atau sebuah lingkaran,
misalnya, namun sebaliknya harus menjadi sebuah
titik yang benar-benar dalam pengertian geometris yang
sesungguhnya dari kata-kata itu. De"ngan kata-kata lain,
ketepatan ilmiah adalah suatu hal yang tidak dapat
dihindari dalam karya seni ini, yang berbentuk novelku.
The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun ketepatan ilmiah itu dapat pula merusak atau
menyelewengkan sebuah karya seni. Namun, barangkali
pula pengrusakan atau penyelewengan itu adalah persis
dengan apa yang aku inginkan dan apa yang aku tuju
dalam kisah ini. Dalam keadaan yang demikianlah
pengrusakan atau penyelewengan itu menjadi benar,
jujur, dan sungguh-sungguh sebagai sebuah "kehidupan
yang hidup". Pernyataan inilah yang ingin kutekankan;
aku menulisnya dengan sengaja, dengan direnungkan
terlebih dahulu: pernyataan ini bukanlah sebuah pilihan
THE CIRCLING SONG yang sembarangan atau tiba-tiba saja. Sebabnya adalah
terdapat dua jenis kehidupan: "kehidupan yang hidup"
dan "kehidupan yang mati". "Kehidupan yang mati"
itulah yang dijalani oleh seseorang yang berjalan dalam
kehidupan tanpa berkeringat atau buang air kecil, dan
dari tubuhnya tidak akan keluar zat yang kotor. Karena
kekotoran, kerusakan, dan kebusukan tidak mesti
merupakan akibat yang wajar dan perlu dari "kehidupan
yang hidup". Seseorang yang hidup tidak dapat menahan
air kencingnya di dalam kantong kencingnya terusmenerus, karena jika demikian ia akan mati. Namun
demikian, setelah mati, ia dapat menyimpan kotorannya
terkurung di dalam tubuhnya. Ketika itu ia menjadi apa
yang dapat dinamakan sebuah "mayat yang bersih", dalam
pengertian ilmiahnya. Namun jika dipandang dari segi
seni, kehancuran di dalam itu lebih membunuh daripada
kotoran yang dibiarkan keluar ke dunia luar. Ini adalah
sebuah kenyataan atau gejala alami, dan karena alasan
inilah bau tubuh yang telah mati jauh lebih menyengat
dibandingkan bau sebuah tubuh yang masih hidup.
Aku membayangkan (dan bayanganku itu, pada saat
tertentu itu, sama dengan kenyataan) bahwa salah
seorang dari anak-anak yang sedang berputar-putar
NAWAL EL SAADAWI ketika sedang menyanyi bersama-sama itu tiba-tiba
saja pindah ke sebelah luar dari lingkaran itu. Kulihat
tubuh yang kecil itu terlepas dari lingkaran yang terusmenerus berputar-putar, sehingga merusak keteraturan
garis besarnya. Ia bergerak menjauh seperti sebuah bintik
yang berkilauan, atau seperti sebuah bintang yang telah
kehilangan keseimbangan abadinya, melepaskan diri dari
alam semesta, dan meledak tanpa beraturan, sehingga
menimbulkan sebuah ekor yang bercahaya seperti sebuah
bintang meteor pada saat akan kehabisan apinya sendiri.
Dengan suatu rasa ingin tahu yang tidak terta"hankan,
kuikuti gerakannya dengan pandanganku. Ia berhenti
demikian dekatnya dari tempatku berdiri sehingga
dapat kulihat wajahnya. Wajah itu bukan"lah sebuah
wajah seorang anak laki-laki, sebagaimana yang semula
kupikirkan. Bukan, wajah itu adalah wajah seorang gadis
kecil. Namun demikian aku ti"dak demikian pasti, karena
wajah anak-anak itu "seperti wajah orang tua"tidak jelas
jenis kelaminnya. Dalam tahap antara masa kecil dan
masa tua itulah jenis kelamin harus menyatakan dirinya
dalam bentuk yang terbuka.
Namun aneh sekali, wajah itu tidak asing bagiku.
Sesungguhnya wajah itu demikian biasa, sehing"ga
menjadikanku terpana, dan setelah itu rasa ke"ter"panaanku
THE CIRCLING SONG berubah menjadi rasa tidak percaya. Pikiranku tidak dapat
menerima pemandangan yang ada di depan mataku. Tidak
terbersit dalam pikiran"ku bahwa, berangkat dari rumah
di waktu pagi untuk bekerja, dalam perjalanan aku harus
berpapasan dengan seseorang, hanya untuk menemukan
bahwa wajah yang terdapat dalam pandanganku itu tidak
lain daripada wajahku sendiri.
Aku harus mengakui bahwa tubuhku tergoncang, dan
aku dikuasai oleh perasaan panik yang hebat sehingga
melumpuhkan kemampuanku berpikir. Namun demikian,
aku merenung: kenapa orang menjadi panik ketika melihat
dirinya sendiri bertatap muka dengannya" Apakah karena
sangat anehnya situasi ketika aku menemukan diriku,
atau apakah hal itu karena kebiasaan yang demikian
melingkup"nya dari pertemuan itu" Dalam saat seperti
itu, orang menemukan bahwa segala sesuatunya menjadi
sangat meragukan. Hal-hal yang saling bertentangan atau
saling tidak sesuai menjadi hampir mirip satu dengan yang
lain dalam bentuk sedemikian rupa, sehingga segalanya
tampak hampir serupa. Yang hitam menjadi putih,
sedangkah yang putih berubah menjadi hitam. Apakah
arti dari segalanya itu" Orang sedang menghadapi, dengan
mata terbuka, kenyataan bahwa dirinya telah buta.
NAWAL EL SAADAWI Kugosok mataku dengan jari-jari yang gemetar"an,
dan sekali lagi melihat ke wajah anak itu, lalu sekali
lagi, berulang kali. Mungkin sekali sejak itu, aku selalu
memandang ke wajah itu. Mungkin aku ma"sih melihatnya,
persis pada saat sekarang ini, pada saat mana pun, seakanakan ia selalu mengikutiku dengan dekat sekali ke mana
saja aku pergi, sama halnya dengan bayang-bayangku
sendiri, atau menggelantung ke tubuhku, sebagaimana
halnya tang"an dan kakiku.
Kepanikan itu, seperti biasanya, menimbulkan rasa
benci, dan aku tidak dapat membantah bahwa aku me"
rasakan suatu perasaan benci langsung terhadap wajah
ini. Mungkin ada orang yang berpikir bahwa aku tidak
berbicara dengan jujur ketika aku mengatakan hal ini.
Mungkin mereka bertanya kepada diri mereka sendiri
bagaimana seseorang dapat merasa benci kepada wajahnya
sendiri, atau tubuhnya sendiri, atau bagian mana pun
dari tubuhnya itu. Sudah pasti orang ini ada benarnya;
bagaimanapun mereka lebih mampu melihat diriku
dibandingkan kemampuanku melihat diriku sendiri. Ini
bukan sebuah tragedi yang unik atau bersifat pribadi:
kenyataannya, setiap orang menderita seper"ti ini, karena
setiap orang selalu lebih tampak oleh orang lain"apakah
THE CIRCLING SONG itu dari depan, dalam pro"fil"nya saja, atau dari belakang.
Pada saat orang-orang lain mengetahui bagaimana
tampaknya kita dari belakang, kita hanya dapat melihat
diri kita dari wajah saja"dan hal itu mungkin terjadi
dengan pertolongan sebuah cermin.
Cermin selalu dekat, terletak seperti seseorang lain
yang berdiri antara orang dan dirinya. Namun demikian,
aku tidak memiliki rasa permusuhan terhadap cermin itu.
Kenyataannya, dalam praktek aku suka sekali bercermin.
Sesungguhnya aku gemar sekali memandangnya berlamalama"melihat ke dalam cermin. Aku suka melihat
wajahku. Kenyataannya aku tidak pernah lelah melihat
wajahku, karena wajahku indah, lebih cantik daripada
wajah mana pun yang pernah kulihat di muka bumi ini.
Lagi pula, setiap kali kupandangi wajahku, kutemukan
aspek-aspek baru dari keindahannya yang menjadikanku
terpesona. Tidak setiap orang merasa tidak nyaman dengan
keterusteranganku. Tetapi sikap berterus terang itu tidak
selalu disambut orang dengan baik; kenyataannya, jarang
sekali terjadi hal seperti itu. Namun demikian, aku
telah berjanji kepada diriku sendiri untuk mengatakan
kebenaran itu. Aku tahu bahwa berbicara dengan terus
terang adalah sebuah tugas berat, dan bertahan untuk
NAWAL EL SAADAWI terus melakukannya bahkan memerlukan upaya yang
jauh lebih berat lagi, dan memerlukan pengorbanan yang
selalu semakin besar. Orang harus berhenti berupaya
menjadi me"narik atau dapat diterima orang di setiap
saat; orang bahkan harus menerima bahwa ada orang lain
yang mungkin menjumpai suatu tingkat kejelekan dalam
keadaan kita, atau tentang apa yang kita lakukan dan apa
yang kita katakan. Kadang-kadang mereka menemukan
kita demikian jeleknya sehingga kita menjadi sangat
menjijikkan bagi mereka. Namun ini adalah pertarungan
yang diharapkan dari setiap pejuang untuk kebebasan,
dan juga dari setiap orang yang ingin menghasilkan
sebuah karya seni yang baik, dan itulah yang aku coba
melakukannya. Apa yang terutama sekali mempesonaku tentang
wajah ini adalah mata, dan mata itu saja. Mata adalah
indra yang paling mempesonaku pada seseorang. Aku
pun percaya (meskipun keyakinanku itu mungkin
tidak memiliki dasar ilmiah) bahwa mata seseorang itu
adalah sebuah alat tubuh yang sangat sensitif, bahwa
kenyataannya mata adalah paling sensitif dari semuanya,
yang diikuti dengan rapat (dan ini wajar sekali) oleh
alat-alat reproduksi. Namun yang menarikku terutama
sekali dari mata itu adalah sebuah cahaya khusus yang
THE CIRCLING SONG tampaknya menyebarkan cahayanya ke seluruh penjuru,
yang memantulkan di setiap sudut dan celah, seperti
permata berlian yang diasah dalam bentuk paling
halus. Sudah pasti cahaya khusus itu suatu pandangan
yang meragukan, sesuatu yang tidak dapat dinilai de"
ngan mudah, karena bukan sebuah pandangan yang
mempunyai satu dimensi dengan sebuah arti yang jelas.
Cahaya khusus itu bukan suatu pemandang"an kesedihan,
atau suatu pernyataan kegembiraan, sebuah pemandangan
celaan atau ketakutan. Tidak, cahaya khusus itu bukanlah
sebuah pandangan yang tunggal tetapi sebuah pandangan
yang terdiri atas beberapa pandangan, meskipun pada
permukaannya kelihatan seragam. Karena dengan cepat
sekali pandangan pertama itu segera menghilang, dan
segera diikuti yang kedua, yang ketiga, yang masing-ma"
singnya selanjutnya memberikan sampul, seperti hala"manhalaman dari sebuah buku yang tebal, atau merupakan
lipatan dari panjangnya tenunan yang halus, lapis demi
lapis saling menindih yang satu di atas lainnya.
Perhatianku sepenuhnya ditangkap oleh mata itu
sehingga aku, sampai-sampai tidak melihat segi-segi lain
di wajahnya"tidak hidung, tidak pipi, juga tidak bibir"
bahkan tidak memperhatikan tangan yang kecil itu yang
diangkat ke atas, melambai-lambai kepadaku dengan
NAWAL EL SAADAWI isyarat halus dan terbiasa, seolah-olah ia telah lama
mengenalku. "Siapa namamu?" aku bertanya kepadanya.
"Hamida." Suara anak-anak itu menjadi keras bersama-sama,
disertai gerakan mereka yang berputar-putar dan lagu
yang berulang-ulang, berputar-putar tanpa henti sehingga
orang tidak dapat mengatakan mana permulaannya dan
mana ahirnya. Hamida memiliki seorang bayi,
Ia menamainya Abd el-Samad,
Ia meninggalkan bayi itu di pinggir terusan,
Layang-layang itu menukik ke bawah dan melepas
kepalanya! Husy! Husy! Menjauhlah kamu!
Wahai layang-layang! Wahai hidung monyet!
Hamida memiliki seorang bayi"
Aku tertawa, seperti yang biasa dilakukan orang dewasa
ketika mereka mencoba bermain-main dengan anakanak.
"Apakah mereka bernyanyi untukmu?" aku bertanya.
THE CIRCLING SONG Namun aku tidak mendapat jawaban. Perempuan
itu telah menghilang dalam waktu yang singkat, ketika
kepalaku bergerak pada saat aku tertawa. Secara sekilas
saja aku dapat melihat punggungnya yang kecil, agak
membungkuk ketika ia menghilang ke dalam sebuah
pintu kayu yang gelap, di atasnya dipasang sebuah tangan
manusia yang berfungsi sebagai pengetuk pintu.
Aku tidak peduli dengan pengetuk pintu itu,
sebagaimana biasa dilakukan orang asing pada sebuah
rumah ketika mendapati sebuah pintu yang tertutup. Aku
tahu jalanku, terlepas dari kegelapan yang tebal itu yang
selalu terdapat di jalan masuk ke rumah-rumah ini, suatu
kesuraman yang bahkan menjadi lebih hebat lagi oleh
matahari yang telah tenggelam jauh sebelumnya. Di sebelah
kananku, kulihat kepala kambing betina yang mengintip
dari belakang din"ding; di sebelah kiriku, terdapat sebuah
tangga kecil menuju sebuah kamar, yang lebih tinggi
sedikit. Namun demikian, ketika aku melintasi tangga
kecil itu, aku terjatuh"sebagaimana selalu terjadi padaku
"sehingga hampir saja aku terjerembab. Semestinya yang
seharusnya kulakukan, kalau bukan karena ketangkasan
tubuhku yang terlatih dan kemampuan luar biasa untuk
mendapatkan kembali keseimbang"an yang terancam itu.
NAWAL EL SAADAWI Aku melihat dia. Perempuan itu sedang berba"ring di
atas tikar dari bambu, tertidur dengan nye"nyak. Kelopak
matanya setengah terbuka, bibirnya sedikit menganga
dalam bentuk yang cukup untuk memberi jalan bagi
napas yang dalam dari seorang anak yang sedang tidur.
Tangannya melingkar di sekeliling kepalanya, tangan
kanannya tertutup memegang sebuah mata uang penny
atau mungkin juga setengah penny. Gallabiyya* panjang
yang dikenakannya terangkat ke atas sehingga menutupi
kakinya yang kecil dan berkulit halus itu, sampai ke
lututnya, dan kepalanya yang kecil itu menggigil sebentar,
sebuah gerakan yang nyaris tidak terasa. Rahangnya
yang kecil itu agak saling menekan sedikit, sehingga
memberikan kesan kebahagiaan yang mencair di dalam
mulutnya: sepotong gula-gula yang tersembunyi di balik
lidahnya. Bulan tidak ada, dan malam terasa kelam. Lampu yang
telah dinyalakan sejak sore, kini telah menjadi seberkas
cahaya remang-remang; mungkin saja karena sumbunya
yang terbakar habis atau minyaknya telah kosong. Pada
saat aku berdiri di itu, sebuah hembusan angin yang tibatiba saja, kuat dan panas memadamkan sulur cahaya yang
samar-samar. Angin kencang bertiup dari segala arah
pintu, yang se"sung"guhnya bukan sebuah pintu, karena
THE CIRCLING SONG kamar itu hanya memiliki ambang pintu yang kecil dan
sedikit ditinggikan. Namun sekarang karena lampu itu
telah padam, kegelapan menjadi demikian pekat, sehingga
The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak dapat lagi membedakan mana lantai dan mana
dinding, atau mana dinding dan mana loteng. Tidak ada
sama sekali yang terlihat dalam kegelapan yang pekat
itu"tidak ada sama sekali, selain dari sebuah benda besar
yang mengisi sepenuhnya jalan keluar itu, sedangkan
satu-satunya cahaya yang datang kini berasal dari dua
celah kecil yang bulat, yang ber"ada tinggi di atas blok
kayu, lubang-lubang yang memancarkan sebuah cahaya
hijau yang menembus dan bercampur aduk dengan warna
kemerahan dari bara yang masih menyala.
Pada saat terjadi antara berkas malam yang ter"akhir
dan untaian pertama dari siang hari, bahkan tidak
muncul setengah cahaya yang memberikan jalan kepada
fajar. Dalam kegelapan itu, kaki laki-laki yang besar dan
telanjang itu terantuk pada ambang pintu yang sedikit
dinaikkan itu. Namun tubuhnya yang tinggi dan besar
mendapat keseimbangan kembali, dan ia meloncat ke
depan seperti seekor harimau, di atas telapak kakinya
yang diregang itu. Ia maju terus, dengan perlahan-lahan
dan dengan hati-hati, sambil menginjak sesuatu yang
tampaknya sangat menyerupai sandal kulit yang tidak
NAWAL EL SAADAWI ada belakangnya yang biasa dipakai oleh orang-orang di
pedesaan. Seperti mata seekor kucing liar yang pandangan dan
daya lihatnya tajam di waktu malam, belum lagi dijinakkan
sehingga agak kabur, namun celah yang menembus
dengan warna kemerah-merahan menjamin bahwa ia di
atas tikar itu. Ketika jari-jarinya yang kasar dan datar
itu menjangkau untuk mengangkat gallabiya dari paha
perempuan yang pucat itu, perempuan itu masih tetap
dalam keadaan tidur, sambil menikmati bunyi tidur anakanak itu. Bagaimanapun, mimpi itu telah bergeser: permen
yang diletakkan di bawah lidahnya sudah meleleh dan
habis, maka si penjaga warung meminta mata uang penny
padanya. Perempuan itu membuka jari-jarinya; tangannya
kosong. Penjaga warung itu meng"ambil tongkatnya dan
mulai mengejarnya. Karena tubuhnya kecil dan ringan, ia seolah-olah
dapat terbang di udara seperti seekor burung gereja. Tidak
diragukan lagi, perempuan itu mampu jauh berada di depan
dari penjaga warung itu (wahai, kiranya ia benar-benar
dapat menjadi seekor burung gereja yang sesungguhnya!).
Namun suatu perasaan berat menimpanya dengan tibatiba, persis sebagaimana yang terjadi di dalam mimpi. Ia
merasa tubuhnya tidak berfungsi, seakan-akan ia berubah
THE CIRCLING SONG menjadi batu, menjadi sebuah patung batu yang kakinya
tertanam ke dalam tanah, sedangkan tangannya terbuat
dari besi dan semen. Pahanya yang telah mengangkang
tampak seolah-olah berubah menjadi marmer, dan
kakinya kaku menggantung ke atas, mengangkang terbuka
lebar. Pukulan tongkat yang menghujani di antara kedua
pahanya dengan sangat keras itu belum pernah dialaminya
sebelumnya. Ia menjerit, namun tidak ada suara yang keluar.
Sebuah tangan yang besar dan datar menutup mulut dan
hidungnya, lalu mencekiknya. Perempuan itu menjadi
sadar bahwa sebuah tubuh besar yang berbau tembakau
sedang menindih tubuhnya: ini bukan mimpi, ia sadar.
Meskipun matanya hampir tertutup, ia masih dapat
mengenali tanda-tanda wajah itu demikian jelasnya
sehingga masih dapat mengenal persamaannya dengan
wajah ayahnya atau saudara laki-lakinya, salah seorang
pamannya atau sepupunya, atau seorang laki-laki lain"
laki-laki mana pun. Sama halnya dengan semua anak-anak, ketika Hamida
terbangun setiap pagi, pikirannya masih jelas tentang
mimpi-mimpi tadi malam. Seperti burung gereja, ia akan
meloncat dari tikar dan berlari ke arah ibunya dengan
teriakan seorang anak yang gembira yang menyambut hari
NAWAL EL SAADAWI baru dengan tubuh yang telah istirahat dengan baik dan
dengan perut kosong, ingin sekali mendapatkan sepotong
roti yang telah dibakar dalam bentuk yang demikian keras
sampai-sampai dapat merusak gigi seorang bayi, atau
seteguk susu yang langsung diambil dari puting susu sapi,
atau sepotong keju lama yang telah meragi yang dikorek
dari dasar guci tanah liat itu.
Pagi hari itu tidak ada bedanya dari pagi hari lainnya.
Namun mimpi ini tidak bisa diistirahatkan, dilupakan.
Jari-jari yang kasar meninggalkan tanda-tanda yang merah
dan biru di lengan dan kakinya, dan ia masih dapat
merasakan perihnya di antara kedua pahanya, sementara
bau tembakau itu melekat di kulitnya.
Karena merasa itu adalah penyakit demam, ibunya
membalut kepala Hamida dengan sehelai sapu tangan dan
meninggalkannya berbaring di atas tikar. Hamida tidur
sepanjang hari sampai malam hari. Keesokan paginya ia
terbangun dengan yakin bahwa mimpi itu telah dilupakan,
karena telah memudar atau hilang di masa lalu, seolaholah tidak pernah terjadi. Ia melompat bangun dari
tikar itu dengan tenaganya yang biasa, meskipun merasa
sedikit berat di kakinya yang dengan segera menghilang
pada saat ia berdandan untuk pergi sekolah dan bergegas
pergi bersama anak-anak yang lain.
THE CIRCLING SONG Aku selalu dapat membedakan Hamida dari anakanak yang lain, karena pakaian sekolahnya ter"buat dari
kain belacu yang kasar tenunannya de"ngan warna susu
yang pudar. Lagi pula, terdapat noda berwarna merah
di bagian belakang tubuhnya beberapa hari sebelumnya,
karena ketika duduk di dalam kelas, suatu bintik noda
darah telah merembes melalui celana dalamnya. Ibunya,
yang selalu memberi peringatan kepadanya untuk bersiapsiap menghadapi kenyataan seperti ini, memperlihatkan
kepadanya bagaimana caranya memakai handuk kapas
yang kasar itu dengan hati-hati sekali di antara kedua
pahanya, karena ia tidak lagi seorang gadis yang kecil.
Sering kali ia mendengar komentar ibunya: "Ibu kawin
ketika seumur engkau ini"dan payudara Ibu bahkan
belum kelihatan." Setiap kali Hamida berputar ke belakang dan
melihat bintik kotoran itu di pakaian sekolahnya, dapat
merasakan malu muncul di keningnya yang kecil dan rata
itu seperti keringat. Ia akan bergegas pulang ke rumah
untuk membuka pakaian sekolahnya, dan menggantinya
dengan gallabiya. Sambil berjongkok di dekat baskom
besi, ia mencuci pakaiannya, karena itu adalah satusatunya pakaian sekolahnya. Setelah itu ia menjemurnya
NAWAL EL SAADAWI di tali di bawah cahaya matahari, sehingga dapat kering
sebelum besok pagi. Pada suatu hari pakaian sekolahnya menjadi sempit.
Hanya dengan bersusah payah ia dapat memasukkan
tubuhnya ke dalam pakaian itu, terutama sekali dari arah
depan, di atas perutnya. Melihat suatu kenyataan aneh
yang belum pernah dilihat Hamida sebelumnya, mata
ibunya terpaku melihat perutnya. Pandangan itu muram
menakutkan yang menjadikan seluruh tubuhnya gemetar.
Jari ibunya yang besar-besar itu mencengkam di sekitar
tangan Hamida yang kurus itu.
"Buka pakaian sekolahmu!"
Hamida patuh. Ia mengenakan gallabiyya dan
bersandar ke dinding, sambil menemukan suatu tumpak
cahaya mentari lalu duduk. Biasanya, ibunya memanggil
untuk minta bantuan mengocok atau membakar roti,
atau memasak, atau menyapu rumah. Atau bapaknya,
atau salah seorang pamannya, menyu"ruhnya pergi ke
warung untuk membeli tembakau. Salah seorang bibinya
mungkin menitipkan seorang bayi yang masih menyusu
agar menjaganya sampai ia pulang dari ladang. Atau
salah seorang te"tangga akan berteriak dari atas rumahnya,
menyuruh Hamida mengisi guci tanah liatnya dengan air
THE CIRCLING SONG dari sungai. Saudara laki-lakinya, atau seorang pamannya,
akan melemparkan kaus kakinya yang kotor atau celana
dalamnya kepadanya untuk dicuci. Pada waktu senja,
anak-anak laki-laki dan perempuan di lingkungannya
akan berkumpul di sekelilingnya. Mereka akan berlarian
ke jalan dan bermain petak umpat, atau main koboikoboian, atau "ular sudah pergi, pergi" atau "sebutir garam",
atau "Hamidah mempunyai seorang bayi."
Namun hari ini, tidak pernah terjadi hal seperti itu.
Mereka meninggalkannya sendirian, duduk di bawah
cahaya mentari. Ia tidak dapat menemukan cara untuk
menghabiskan waktu selain memandangi cahaya mentari
itu melintasi langit. Ketika mentari telah tenggelam,
setelah cukup lama terbentang, perempuan itu masih tetap
duduk di situ, diam dalam kegelapan, dengan tubuhnya
yang kecil gemetaran. Ia merasa ada sesuatu yang tidak
biasa, tetapi ia tidak tahu apa. Sesuatu yang menakutkan
sedang terjadi di sekelilingnya, di dalam kegelapan, dalam
kediaman yang membisu itu, dan di dalam mata, mata
setiap orang. Bahkan anak-anak ayam yang biasanya ada
di sekelilingnya, berdesak-desakkan dan saling mendorong
untuk mendekatinya sebagaimana biasanya. Kucing jantan
hitam yang besar itu biasanya datang sambil menggosokgosokkan badannya kepadanya berhenti di kejauhan dan
NAWAL EL SAADAWI memandang kepadanya dengan matanya yang melebar
tampak gelisah, sedangkan telinganya yang lonjong tajam
berdiri kaku. Kepala Hamida terkulai di atas lututnya. Ia tertidur
sebentar, atau mungkin sekali beberapa jam kemudian
baru ia sadar, tiba-tiba saja sadar akan jari-jari panjang
yang memegang lengannya. Karena merasa khawatir,
Hamida mulai berteriak kalau bukan tangan ibunya tibatiba saja menutup mulutnya. Suara ibunya yang samarsamar kedengarannya lebih menyerupai bisikan.
"Mari, ikut saya, dengan berjingkat-jingkat."
Karena bulan tidak ada, dan cahaya suram yang
mendahului fajar belum lagi muncul, maka malam itu
gelap sekali. Seluruh penduduk desa masih tertidur, diam,
dan tenang pada saat antara jam malam yang terakhir dan
permulaan siang hari, persis sebelum azan subuh. Kaki
ibunya yang lebar dan tidak memakai alas kaki nyaris
berlari di atas tanah yang berdebu, diikuti Hamida sangat
dekat di belakangnya sampai hampir menyentuh keliman
baju ibunya. Ia baru saja bermaksud membuka mulut untuk
mengajukan pertanyaan yang ada di dalam pikir"annya
ketika ibunya berhenti di sebuah dinding rendah yang
THE CIRCLING SONG memisahkan jalan utama kampung itu dari jalan kereta
api. Hamida tahu dinding ini: ia sering bersembunyi di
baliknya ketika sedang bermain petak umpet. Ibunya
memberikan kepadanya sebuah kain hitam persegi empat
yang tampaknya biasa: kain itu adalah sehelai tarha.
Hamida meletakkan tarha di atas kepalanya sehingga
menggantung menutupi seluruh tubuhnya, menutup
leher, bahu, dada, punggung, dan perutnya. Kini ia
tampak seperti salah seorang perempuan di desa itu. Pada
saat mulutnya membuka hendak bertanya, peluit kereta
api membuat seluruh tubuh ibunya gemetar. Sebuah
goncangan yang keras menggoyang tanah di bawah kaki
perempuan itu, sama kerasnya dengan tinjunya yang besar
itu mengacung ke depan dengan tiba-tiba, mendorong
ke punggung anak perempuannya, sehingga mendorong
Hamida ke arah kereta api itu. Lagi-lagi, suara"nya yang
berbisik itu menjadi lirih sehingga nyaris hanya menjadi
desis-desis saja. "Kereta api itu tidak menunggu siapa-siapa. Terus"lah
maju ke depan!" Hamida meloncat ke arah kereta api yang telah
mendekat itu, namun tiba-tiba saja ia berhenti untuk
berpaling ke belakang sebentar. Ia melihat ibunya, sedang
NAWAL EL SAADAWI berdiri persis di tempat yang sama, seakan-akan terhunjam
di tempat itu, dengan tenang dan tidak bergerak. Tarha
hitam yang menutupi kepala, bahu, dan dada ibunya
tidak bergerak. Dadanya tidak naik-turun sedikitpun,
dan tidak ada pula bagian tubuhnya yang mana pun
memperlihatkan gerakan sekecil apa pun. Bahkan bulu
matanya seakan-akan kaku; ia tampak sebagai sebuah
patung, sebuah patung sesungguhnya yang dipahat dari
batu. Kereta api itu sekarang masuk ke stasiun: sebuah
kepala kereta yang hitam besar mengeluarkan asap. Cahaya
yang kuat dari satu matanya yang besar itu menatap
lekat stasiun itu. Mata kepala kereta yang besar itu juga
menatap lekat Hamida, pada saat ia berdiri di sana di
tempat yang terbuka. Dengan cepat sekali, ia berlindung
di balik sebuah tonggak. Kereta api itu memperlambat
jalannya, gerbong-gerbongnya saling berbenturan, roda
besinya berdecit-decit di atas rel sehingga menge"luarkan
bunyi yang keras dan kasar pada saat berhenti, sampaisampai Hamida berpikir suara itu telah membangunkan
semua orang di desa itu. Ia bergegas menuju kereta api
itu, dengan menarik pinggir-pinggir tarha di sekeliling
wajahnya sehingga dapat menyembunyikan wajahnya
sebaik yang dapat dilakukannya.
THE CIRCLING SONG Ia melangkahkan satu kakinya yang kecil ke arah
tangga-tangga menuju kereta api itu. Ia belum pernah
naik kereta api. Terdapat sebuah celah antara peron dan
tangga itu, dan kakinya terasa pendek. Ia menarik kakinya
kembali dan memandang ke sekeli"ling dalam kepanikan.
Ia takut kalau-kalau kereta api itu mulai bergerak sebelum
sempat naik ke atas. Karena melihat rombongan laki-laki
dan perempuan naik ke dalam kereta api itu, ia bergegas
berdiri di belakang mereka. Ia memerhatikan dengan
teliti ketika mereka naik tangga itu secara beriringan.
Ia dapat melihat bagaimana masing-masing dari mereka
memegang pemegang besi di samping pintu masuk
sebelum meletakkan satu kaki di anak tangga pertama.
Sebelumnya, ia belum pernah memperhatikan pegangan
itu. Hamida menjulurkan tangan kanannya, sambil
memegang pegangan itu sekuat mungkin, menarik
tubuhnya ke depan sampai kakinya mencapai tangga itu,
setelah itu menghilang ke dalam gerbong kereta api itu.
The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia duduk di tempat duduk pertama yang tampak di
matanya, sambil memperhatikan bahwa tempat duduk
itu berada di sebelah sebuah jendela. Pada saat kereta api
itu mulai berjalan perlahan-lahan, ia mengintip ke luar.
Ia menjulurkan kepalanya lebih jauh ke luar jendela itu.
Lehernya menjadi kaku ketika melihat ibunya, yang masih
NAWAL EL SAADAWI tetap berdiri di tempat yang sama, dengan gelisah dan
tanpa bergerak, segala sesuatunya membeku di tempatnya:
tarha, kepala, dada, buku mata, segala-galanya.
Pada saat ia akan berteriak, Hamida meyakinkan
dirinya bahwa tidak ada lagi ibunya yang dapat
dilihatnya, tetapi ia melihat sebuah patung perempuan
petani yang berdiri di pintu masuk ke desa itu selama
bertahun-tahun"berapa tahun ia tidak tahu. Ia tidak
dapat mengingat suatu waktu di mana ia tidak melihat
patung itu sebelumnya. Patung itu pasti sudah ada di situ
selama-lamanya, bahkan sebelum ia lahir.
Kepala Hamida masih tetap di luar jendela, ia
mendapatkan kembali napasnya dalam beberapa renggangan
bibir saja. Itu adalah pertama kali ia mengalami perasaan
mengalirnya air mata di wajah"nya atau rasanya dalam
mulutnya. Namun ia tidak bergerak, bahkan juga tidak
menghapus air matanya dengan lengan baju gallabiyya
yang dia pakai. Ia membiarkan air matanya mengalir
di wajahnya ke bawah, dan ketika sampai sudut sebelah
dalam mulutnya, ia menjilatnya namun dengan cara
yang kelihatannya tanpa menggerakkan sebuah urat pun.
Ia tidak membuat sebuah suara pun atau mengerjapkan
sebuah pelupuk mata; bahkan bulu matanya juga tidak
bergetar. Segalanya telah menjadi hitam pekat. Kereta
THE CIRCLING SONG api itu menghilang ke dalam kehitaman dan terlebur ke
dalam malam, seperti setetes air yang terlebur ke dalam
tengah-tengah lautan. *** Pada saat kereta api yang ditumpangi Hamida berangkat,
Hamido masih tetap terbaring tidak berdaya di atas tikar
bambu itu. Meskipun matanya tertutup dalam tidur,
namun ia masih dapat melihat mata ayahnya dalam
cahaya yang temaram itu. Ayahnya berdiri tinggi dan lurus,
seperti batang pohon eucalyptus yang menghunjamkan
akarnya dengan dalam ke bumi.
Rasa dingin yang mencekam mengaliri tubuh Hamido
yang kecil, sehingga tangan dan kaki"nya membeku, seakanakan terperangkap dalam sebuah mimpi yang menakutkan.
Ia berbaring tanpa berge"rak, dengan pandangannya yang
tetap diarahkan kepada hantu yang besar dan tidak
sabaran itu. Bagaimanapun tampaknya, ia tahu bahwa
sesuatu yang gawat telah terjadi, atau akan terjadi segera.
Ia menahan napasnya dan menghilang secara keseluruhan
ke dalam tutup seprei yang telah berwarna hitam dan
sangat kotor itu, sedangkan jari-jarinya yang kecil itu
NAWAL EL SAADAWI menariknya dengan ketat di sekeliling kepalanya. Telinga
kanannya, yang terletak di atas bantal yang keras itu, pada
saatnya bergetar sesuai detak jantungnya, yang tampaknya
berasal dari kepalanya dan bukan dari dadanya.
Pada saat mana pun, ia mengharapkan jari-jari
panjang itu menjangkau dan merobek seprei itu, sehingga
menyingkap kepalanya. Mata yang terbuka lebar itu akan
menatap tajam matanya, sehingga memenuhi matanya
itu dengan apa saja yang tampaknya demikian tidak
menyenangkan. Namun tutup kecil itu tetap berada di
tempatnya, ditarik demikian ketatnya di atas kepalanya.
Dalam situasi diam ia dapat mendengar detak jantungnya
sendiri menggema di dalam kamar itu. Terlepas dari
kegelapan itu, ia dapat melihat gerakan dadanya, demikian
halusnya sehingga nyaris tidak dapat terlihat, seperti
halnya gerakan di puncak pohon kayu yang demikian
halusnya dalam sebuah malam yang tenang dan tidak
berbulan, tidak henti-hentinya oleh sebuah hembusan
udara yang bergerak; ketika kegelapan itu, sama halnya
kain sepreinya yang amat kotor itu, telah membungkus
dirinya rapat-rapat, dalam jangka waktu yang demikian
pendek tersembunyi di tapal batas antara malam dan
siang, dan kegelap"an itu me"rangkak pergi. Kegelapan itu
terangkat perlahan-lahan, seperti seekor ikan besar sedang
THE CIRCLING SONG berenang dalam sebuah samudera tak bertepi di mana
terdapat gubuk-gubuk tanah kecil yang ada di desa itu,
berhimpit-himpitan dalam kedalaman seperti onggokan
besar kotoran berwarna hitam.
Ketika Hamido membuka matanya, cahaya siang
telah memenuhi kamar. Apa yang telah dilihatnya tidak
ada apa-apanya selain dari mimpi; ia benar-benar yakin
tentang hal itu. Ia meloncat berdiri dari tikar itu dan
berlari ke luar ke jalanan. Teman-temannya, anak-anak para
keluarga bertetangga, sebagaimana biasa sedang bermainmain dalam gang yang sempit itu yang memanjang di
sepanjang dan di antara dinding-dinding depan dari
tanah liat itu. Masing-masing anak berpegangan kuat pada
kelim"an baju gallabiyya orang yang berdiri di sampingnya,
sehingga membentuk sebuah kereta api yang menari-nari
dan berbunyi. Lalu setelah itu mereka berpisah-pisah dan
bermain petak umpet, sambil menyembunyikan diri di
balik onggokan kotoran itu, di dalam kandang binatang,
di belakang guci air dari tanah liat yang besar di dalam
salah satu rumah, atau di mulut sebuah tungku.
Ia melihat Hamida ada di antara anak-anak itu,
sedang berlari mencari tempat berlindung di balik sebuah
onggokan kotoran. Ia berjongkok agar kepalanya tidak
kelihatan di atas onggokan itu. Namun anak laki-laki
NAWAL EL SAADAWI itu dapat melihat paha putih anak perempuan, dan di
antaranya terdapat sepotong tipis yang terdiri atas kain
belacu cokelat yang kasar. Meskipun demikian, ia berusaha
menyembunyikan kumpulan rambutnya yang hitam
di dalam debu itu, sehingga tidak ada orang yang akan
melihatnya, namun Hamido langsung mengetahuinya.
Kali ini, anak laki-laki itulah yang menjadi pencari,
sehingga dengan demikian ia meloncat keluar, kakinya
yang tidak mengenakan alas itu menimbulkan sekumpulan
debu ketika menuju anak perempuan itu.
Hamido memusatkan matanya pada onggokan kotoran
itu, pura-pura tidak melihat anak perempuan itu. Ia maju
ke depan dengan berjingkat-jingkat, perlahan-lahan dan
dengan hati-hati, dan membelok untuk menyembunyikan
diri di belakang onggokan itu. Kemudian ia meloncat"
satu lompatan, sebuah loncatan harimau kumbang"dan
menangkap rambut anak perempuan itu. Tangannya yang
satu lagi menjangkau keluar dengan secepat kilat, dan ia
membiarkan tangannya berhenti sebentar di pahanya itu.
Setelah itu, jari-jarinya yang kecil dan kaku itu menarik
celana tanggungnya, namun Hamida menyepaknya dan
menanduknya, sebagaimana yang dilakukannya setiap
kali orang yang mencari itu menemukannya. Ia berhasil
THE CIRCLING SONG melepaskan diri dari pegangannya, dan berlari untuk
bersembunyi di balik onggokan sampah yang lain.
Hamida bukan satu-satunya anak yang bermain petak
umpet, karena semua anak desa ikut dalam permainan
itu. Ketika salah seorang gadis itu berlari untuk
bersembunyi, dan berjongkok untuk menyem"bunyikan
diri, paha mereka yang putih dan kecil itu tersingkap,
dan kelihatanlah celana tanggung yang kotor itu, yang
tampaknya seperti garis-garis hitam yang tipis di antara
kedua paha mereka. Orang yang mencari"siapa pun"
akan menangkap garis itu, berusaha menarik celana dalam
itu ke bawah. Namun gadis itu tahu bagaimana caranya
mengarahkan sebuah tendangan yang terlatih, dengan
satu kaki maupun dengan kedua-duanya. Anak yang
mencari itu juga tidak mau menyerah, ia akan bertarung
dengan cara yang sama. Setelah itu terjadi pertempuran
kecil, suatu pertarungan yang nyaris tidak terasa, karena
onggokan sampah itu akan menyembunyikan tubuh kedua
anak kecil itu. Namun empat buah kaki kecil yang halus
akan kelihatan, menonjol keluar dari balik onggokan itu,
sehingga kaki anak perempuan tidak dapat dibedakan
dari kaki anak laki-laki: di masa kanak-kanak, kaki"sama
halnya wajah"tidak berjenis kelamin, terutama sekali jika
NAWAL EL SAADAWI tidak mengenakan sepatu, karena hanya jenis sepatu yang
menentukan jenis kelamin.
Tendangannya membuat tubuh Hamido terpental ke
belakang, dan merebahkannya ke belakangnya. Namun
demikian, ia sadar kembali dengan cepat, demikian
pula anak perempuan itu; ketika ia berdiri, ia melihat
wajah anak perempuan itu. Ia bukan Hamida. Matanya
menyapu seluruh wajah itu, memandang kepada semua
anak itu secara bergantian. Ia berlari ke dalam rumah itu
untuk mencari Hamida"ke dalam kandang binatang, di
mulut tungku, di balik kendi air, di bawah tikar. Hamido
keluar dari rumah dengan berlari-lari, untuk mencarinya
"di balik onggokan kotoran itu, di balik batang pohon
kayu, sambil menggoyang-goyangkan daun pohon
korma, di bawah tebing irigasi desa. Ketika siang telah
mulai berakhir, sedangkan malam sudah menjelang, anak
laki-laki itu masih belum juga mene"mukan jejak anak
perempuan itu. Ia beristirahat di tanggul terusan itu, melihat
ke dalam kegelapan. Bayangannya yang tunggal itu
terpantul di permukaan air yang nyaris tidak mengalir
dan dipenuhi lumpur. Bayangan itu adalah bayangan
seorang anak kecil, namun wajahnya tidak ada lagi
persamaannya dengan wajah anak-anak yang licin, halus
THE CIRCLING SONG dan tidak berjenis kelamin. Seandainya permukaan air itu
jernih, dengan kebersihan yang tenang dari air yang segar,
mungkin saja akan merupakan sebuah cermin yang tidak
ada nodanya dan akan memantulkan wajahnya dalam
bentuk yang lebih baik. Akan tetapi, sama halnya dengan
semua salur"an irigasi, saluran itu berputar-putar dengan
lumpur, permukaannya yang bergerak perlahan-lahan itu,
dengan penuh tekad mengalir dalam bentuk yang berlikuliku, sambil berkelok-kelok dan berputar-putar sehingga
menimbulkan keriput-keriput seperti kulit seseorang yang
sudah tua. Matanya kelihatan telah melebar dan menua, pada
saat ia melihat dengan tajam, tanpa kesabaran, ke dalam
kegelapan, tidak sekalipun mengerdipkan matanya,
bahkan alis matanya juga telah membeku. Untuk pertama
kalinya, setetes air mata yang besar terdapat tanpa gerakan
di permukaan matanya itu. Sebelumnya, air matanya
selalu merupakan air mata anak-anak, yang selalu bergerak,
berkedip-kedip dengan cahaya yang gelisah dari bintangbintang yang muram. Di masa kecil, kerlip air mata dan
kerlip senyuman berbaur menjadi satu, dalam sebuah
kedipan yang tunggal dan sama.
Namun tidak ada orang yang akan membuat sebuah
kesalahan pada saat itu. Itu adalah Hamido yang berdiri
NAWAL EL SAADAWI dengan tubuhnya tertanam di tanggul terusan. Ia bukan
seorang anak, dan tetesan air mata yang besar ini bukan
tetesan air mata seorang anak. Air mata itu adalah air
mata sesungguhnya, yang dapat dirasakan ketika bergulir
di wajah, dan terasa asin pada saat merembes ke dalam
mulut. Ini adalah garam yang sesungguhnya, karena air
mata, sama halnya dengan cairan yang keluar dari tubuh,
mengandung garam. Dan Hamido tidak tahu bagaimana
akan hidup tanpa Hamida, karena ia bukan saudara
biasa. Hamida adalah saudara kembarnya. Sedangkan
kekembaran itu ada dua jenis, yang berkembang dari
dua embrio yang hidup di satu kandungan, dan yang
berkembang dari sebuah embrio yang menghasilkan pria
dan perempuan. Hamido dan Hamida berasal dari satu
embrio, yang tumbuh di dalam sebuah kandungan. Sejak
dari permulaan, keduanya adalah sebuah kesatuan. Setelah
itu, segalanya terpecah menjadi dua bagian, bahkan suatu
zat yang paling kecil sekalipun, bahkan sebuah otot kecil
yang halus sekalipun di bawah ma"sing-masing mata.
Tidak ada lagi orang yang dapat membedakan Hamido
dari Hamida. Bahkan ibu me"reka sendiri biasanya payah
membedakan mereka. THE CIRCLING SONG Namun Hamido tahu bahwa ia adalah sesuatu
yang berbeda dari Hamida. Ia sadar bahwa bahkan seak
kelahiran mereka, tubuhnya telah terpisah dari tubuh
perempuan itu. Meskipun demikian, persamaannya kuat
sekali dan mudah sekali membedakan mereka, sehingga
kadang-kadang ia sendiri merasa kacau dan mengira
dirinya adalah Hamida. Sambil menyembunyikan diri
di balik sebuah dinding, ia akan mengangkat gallabiyya
yang dikenakannya itu ke atas sampai-sampai ia dapat
melihat di antara kedua pahanya. Ketika pandangannya
jatuh pada celah yang sempit dan kecil itu, ia mengira
bahwa ia lah Hamida; lalu, sebuah tongkat yang
dipegang dengan kukuh sekali dalam sebuah tangan
yang besar akan diayunkan untuk memukul kepalanya,
menyebabkannya menurunkan kembali gallbiyya itu ke
bawah dengan cepat ke seluruh tubuhnya dan ia pun
menangis. Air matanya, meskipun sesungguhnya cepat
menghilang, sama cepatnya dengan menghilang"nya air
mata anak-anak itu. Karena melihat tongkat itu telah
dilemparkan ke tanah, ia bergegas dan mengambilnya,
memasukkannya ke dalam kantong gallabiyya yang sangat
dalam itu. Kadang-kadang, ia memasukkan tangannya ke
dalam kantong gallabiyya itu untuk meraba tongkat kayu
itu. Kerasnya tongkat kayu itu menembus jari-jarinya dan
terus bergerak, ke tangannya, ke bahunya, ke lehernya,
NAWAL EL SAADAWI dan ketika mengetatkan otot lehernya, kepalanya akan
terlempar ke belakang, sambil mengulangi gerakan yang
The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
biasa dilakukan ayahnya. Ia mencoba berbicara dari
kerongkongannya, sehingga menghasilkan nada suara
yang kasar dan menekan, meniru suara ayahnya.
Apabila Hamida mendengar saudara laki-lakinya
berbicara dengan intonasinya yang kasar ia tahu bahwa
tongkat itu miliknya. Tentu saja ia tidak dapat melihat
tongkat itu, karena ia tahu bahwa saudara laku-lakinya
menyembunyikan tongkat itu di suatu tempat di
dalam gallabiyya-nya, maka ia melarikan diri, Hamido
mengikutinya berlari. Sepintas lalu, mereka tampaknya
sedang bermain-main, namun Hamido bukan seorang
anak kecil, dan ia memiliki sesuatu dalam kantong
gallabiyya-nya, sesu"atu yang keras menggantung ke bawah
pahanya seperti sebuah anggota tubuh yang aneh.
Dan seandainya Hamida memandang ke arahnya dan
melihat wajahnya, ia tidak akan tahu bahwa Hamido yang
sedang berdiri di sana. Kejutan itu akan membuatnya
berhenti di tempatnya"atau barangkali juga rasa takut
yang menyebabkannya kaku di tempat itu, seolah-olah
ia sebuah patung. Telapak tangan Hamido yang terbuka,
akan bergerak di atas permukaan seperti patung, sambil
menyentuh alis matanya yang membatu, dan memasukkan
THE CIRCLING SONG sebuah jari di antara kelopak mata dan mata, persis seba"
gaimana setiap anak lain yang sedang mengamati kepala
sebuah boneka baru"terutama sekali boneka besar dengan
rambut dan alis mata yang demikian nyatanya sehingga
kelihatannya seperti hidup.
Hamido selama hidupnya belum pernah memegang
sebuah boneka, besar maupun kecil. Anak-anak petani
tidak bermain dengan boneka yang dibeli di toko,
atau boneka kain yang dibuat di rumah, atau kereta
api mainan, atau kapal dari kertas, atau bola, atau apa
pun juga. Sesungguhnya, mereka tidak tahu apakah itu
bermain-main. Bagaimanapun juga, bermain-main adalah
untuk anak-anak kecil, sedangkan mereka bukan anak
kecil. Mereka dilahirkan sebagai orang dewasa, seperti
larva serangga, yang dengan cepat sekali mengetahui
rasanya bumi, langsung terbang, atau seperti cacing yang
beranak-pinak dan tumbuh-kembang dalam keju yang
telah meragi: segera setelah cacing baru itu terpisah dari
ibunya, kita tidak dapat lagi membedakan mana yang
muda dan mana yang tua. Hamido melihat wajah Hamida; pada saat berjalan ke
arahnya dari kejauhan di sepanjang tanggul terusan itu,
hatinya berdebar-debar dengan kegembiraan anak-anak
yang sesungguhnya. Namun pada saat semakin dekat, ia
NAWAL EL SAADAWI mengenal tarha hitam milik ibunya, melingkari kepalanya
dan terjulur ke bawah ke tubuhnya. Ia berlari ke arahnya
dan meletakkan kepalanya di atas perut ibunya: ketika
Hamido berdiri di samping ibunya, kepalanya hanya
mencapai tidak lebih dari pinggangnya. Hidungnya
mencium aroma bau ibunya yang khas, bercampur de"ngan
bau pembakaran roti, bau tanah di lapangan, dan bau
daun pohon ara. Ia senang sekali dengan bau pohon ara.
Setiap kali melihat ibunya kembali dari ladang pertanian,
dengan buah pohon ara terbungkus dalam tarha, ia akan
berlari ke arahnya. Ia duduk di samping ibunya di tanah,
ibunya akan memberikan kepadanya buah ara, satu demi
satu, setelah meniup debu yang menempel pada buah ara
itu. Ibunya mendorongnya jauh-jauh dengan salah satu
tangannya. Namun Hamido mendesakkan tubuhnya ke
tubuh ibunya dan dengan bandel bergelayut dan berhasil
memasukkan kepalanya ke bawah payudara kirinya.
Persis di tempat seperti itulah ia gemar sekali meletakkan
kepalanya ketika tidur di samping ibunya di waktu
malam hari. Meskipun ia menempatkan diri di sebelah
sisi lain dari tikar itu, sehingga agak jauh dari ibunya,
ia terbiasa terbangun di tengah malam, dan karena tidak
melihat ibunya ada di sampingnya, ia akan merangkak
THE CIRCLING SONG mendekatinya dan membenamkan kepalanya di bawah
payudara ibunya. Ibunya tidak selalu mendorongnya jauh-jauh.
Kadang-kadang, ia akan membentangkan tangannya
dan memeluk ibunya, menekankan tubuhnya ke tubuh
ibunya dengan demikian kerasnya, sehingga ia menyakiti
ibunya. Di sekujur tubuhnya mengalir suatu perasaan
aneh dan kabur yang mengatakan bahwa perempuan itu
bukan ibunya"juga bukan seorang bibi, dan juga bukan
keluarga sama sekali"tetapi seorang asing, yang tubuhnya
asing pula ba"gi"nya. Ia merasakan suatu perasaan asing
yang menjadikannya gemetaran, sehingga menimbulkan
gon"cangan mulai dari permukaan sampai ke kedalam"an,
yang menggoncang tubuhnya seperti gemetarannya orang
yang menderita penyakit demam.
Goncangan itu menggoyang tubuhnya demikian
kerasnya sampai-sampai ia melingkarkan tangannya di
sekeliling perempuan itu, tetapi ia merasakan tangan
perempuan itu besar dan kuat"seperti ta"ngan ayahnya"
yang mendorongnya jauh-jauh, mendorongnya dengan
demikian keras sehingga ham"pir saja ia terjatuh ke
dalam pegangan tanggul yang ada di situ. Ia mengangkat
wajahnya untuk melihat perempuan itu, dan sebaliknya
ia melihat mata ayahnya yang tua dan terbelalak, dengan
NAWAL EL SAADAWI urat darah yang kecil-kecil menjalar di atas bidangnya
yang putih itu. Gemetaran itu menjadi lebih keras; ia
menjadi demikian takut sampai membuka mulutnya
untuk berteriak, namun dihalangi oleh tangan ayahnya
yang besar itu, yang membungkam mulutnya, dan suara
ayahnya yang kasar itu sekarang kedengarannya sebagai
suatu suara bisikan saja:
"Ikut Ayah." Karena tidak ada tempat, dan cahaya temaram itu
yang timbul sebelum waktu fajar belum lagi muncul,
maka malam itu gelap sekali. Seluruh peng"huni desa itu
masih tertidur, tenang, dan sepi di saat yang terjadi antara
jam terakhir dari malam hari dan permulaan siang hari,
persis sebelum suara azan subuh. Kaki ayahnya yang besar
dan tidak mengenakan alas kaki itu benar-benar melewati
tanah yang berdebu itu, dengan Hamido mengikutinya
persis di belakangnya sehingga ia hampir menyentuh
depan jubah ayahnya. Ia baru saja bermaksud membuka mulutnya untuk
menanyakan sebuah persoalan yang ada di dalam
pikirannya ketika ayahnya tiba-tiba berhenti di sebuah
dinding pemisah yang membatasi jalan utama desa itu
dari jalan kereta api. Hamido tahu dinding ini: ia sering
THE CIRCLING SONG kali bersembunyi di baliknya ketika sedang bermain petak
umpat. Ayahnya memberikan kepadanya sebuah benda
yang panjang, kasar, dan tajam, berkilat dalam kegelapan
seperti sebilah pisau. Hamido memasukkan pisau itu ke dalam gallabiyya,
dan pisau itu masuk jauh ke dalam kantongnya dan
menggelantung ke bawah di samping pahanya. Ia
merasakan ujung pisau itu tajam dan runcing menyentuh
dagingnya; otot-otot pahanya, kakinya dan telapak kakinya
mengerut, dan ia berdiri seolah-olah tertanam ke bumi.
Suara peluit kereta api yang menjerit itu membuat tanah
yang diinjaknya bergo"yang, sehingga ia harus berdiri lebih
kokoh, sambil menahan setiap gerakan, seolah-olah ia
seekor kuda liar yang keras kepala. Namun tangan ayahnya
yang besar dan kuat itu mendorong punggungnya, dan
suaranya yang serak itu, yang dibiarkan lirih, keluar sekali
lagi seperti bisikan. "Hanya darah yang dapat membasuh rasa malu. Ayo
maju terus, ikuti dia!"
Karena itu Hamido meloncat ke arah kereta api yang
mendekat, namun lalu berhenti untuk berpa"ling sejenak.
Ia melihat ayahnya berdiri di tempat itu persis sama
dengan sebelumnya, seakan-akan ia tertanam ke tanah,
NAWAL EL SAADAWI tanpa kesabaran dan tanpa gerak"an, dengan alis matanya
tidak bergerak, urat-urat kecil darah yang terdapat di
bagian putih matanya itu membeku, seperti benangbenang darah yang diukir di atas sebuah lukisan dengan
tangan yang hati-hati. Persis pada saat saudara laki-lakinya naik ke atas kereta api,
Hamida melangkah turun ke peron stasiun. Tampaknya
seolah-olah ia sedang tenggelam dalam sebuah samudera,
sebuah laut yang bergejolak dengan ombaknya yang bukan
terdiri atas air, tetapi manusia: laki-laki, perempuan,
dan anak-anak, semuanya memakai sepatu kulit yang
kokoh. Dan barisan mobil yang panjang, yang tampak
bagi Hamida seakan-akan kereta api, melintas dengan
arus yang tetap, bergerak di sepanjang jalan yang terangbenderang tidak kotor, yang memiliki simpang-simpang
ke segala arah hanya untuk berseluk-beluk dan kemudian
berpisah pula sekali lagi, tanpa akhir, seperti sebatang
pohon kayu yang mengirim puncaknya yang berdaun
lebat itu tinggi ke langit, serta menghunjamkan akarakarnya jauh ke dalam perut bumi. Dan rumah-rumah
di sini tersusun bersama-sama menjadi sebuah onggokan
tunggal besar yang menjulang ke atas, sehingga menutupi
seluruh langit. Suara hiruk-pikuk, bunyi orang dan
THE CIRCLING SONG klakson mobil, memekakkan telinga, dan Hamida tidak
dapat lagi mendengar apa-apa. Tetapi kakinya yang tidak
mengenakan alas kaki itu berjalan di atas aspal seolaholah kemauannya sendiri, satu kaki di belakang kaki yang
lain, dalam sebuah gerakan alami yang telah dipelajari
orang sejak kecil sekali. Karena tidak tahu jalannya,
Hamida mungkin saja berjalan terus tanpa pikir lagi.
Ia tidak tahu di mana bermula jalannya, atau ke mana
jalan itu membawanya. Namun gerakan-gerakannya itu
disela oleh sebuah sepatu kulit berat yang menginjak kaki
kirinya dan hampir saja menghancurkan kakinya. Untuk
sesa"at lamanya, ia terlunta-lunta mundur ke belakang,
hanya untuk menemukan sebuah mobil besar yang
bergerak menuju ke arahnya. Mulutnya terbuka selebarlebarnya, Hamida menjerit; suaranya, yang sudah sekian
lama dibungkam, dilepaskan dalam sebuah jeritan yang
panjang dan melengking yang berlangsung selama dua
atau tiga jeritan yang biasa, atau sepuluh, seratus atau
bahkan seribu jeritan yang beriringan, yang semuanya itu
dilebur menjadi sebuah suara tunggal dan tidak terputusputus, yang berlangsung terus-menerus seakan-akan jeritan
itu akan berlanjut sepanjang waktu.
Hiruk-pikuk yang menakutkan itu menelan jerit"annya
seperti ombak-ombak laut menelan setetes air, sepotong
NAWAL EL SAADAWI jerami, seekor kupu-kupu, atau seekor anak burung yang
baru lahir yang belum mampu terbang. Tidak seorang
pun mendengarkan suaranya, sedangkan jeritannya
itu tidak mengubah apa pun. Di sekelilingnya, dunia
bergelombang seperti air terjun terjal yang menjerit-jerit,
yang mengoyak-ngoyak buaya-buaya dan meninggalkan
sisa-sisa kapal yang terserpih-serpih di belakangnya,
sementara airnya yang menghancurleburkan itu tidak
terpe"ngaruh sama sekali, permukaannya tetap seputih
sebagaimana biasanya. Hamida terpincang-pincang dengan kakinya yang
terluka menuju sebuah pojok yang terlindung di sebelah
sebuah dinding yang tampaknya agak terpencil, dari
kendaraan maupun orang-orang. Ia menyandarkan
belakang kepalanya ke dinding itu dan memandang
ke depan, ke dalam kekaburan yang tidak jelas, yang
tampaknya melingkupi segala sesuatu di sekelilingnya,
seolah-olah ia sedang tenggelam dalam sebuah mimpi"
atau sebuah mimpi buruk"dari mana sebentar lagi
ia akan terbangun, untuk melompat dari tikar ke atas,
seperti seekor burung kecil. Ia harus menahan berat
badannya dengan tangannya agar dapat bangkit. Namun
telapak ta"ngannya tergosok ke perutnya, dan tiba-tiba saja
rasa mengantuk itu hilang. Segala sesuatunya kembali
THE CIRCLING SONG di tempatnya, menjadi dapat dipahami, bukan dengan
melalui kemampuan rasional yang dapat menerima
fakta-fakta baru, tetapi dengan pemahaman yang bersifat
naluriah dan misterius, yang muncul dari sebuah tubuh
yang sangat kelelahan di saat-saat istirahat atau kelesuan
yang luar biasa. Ia langsung tertidur di tempat itu, dan terba"ngun
dalam keadaan lapar. Ia memerhatikan toko roti yang
berada persis di samping tempat yang telah dipilihnya
tadi, dan di depannya"sangat dekat sekali"terdapat
berderet-deret roti yang disusun dengan hati-hati sekali.
Ia mengulurkan ta"ngannya yang kurus; jari-jarinya
menggenggam sepotong roti, dan membawanya ke
mulutnya. Ia baru saja menutup giginya di atas roti itu
ketika sebuah tangan besar memegang lengannya.
Ia menghirup udara dengan keras, dadanya naik
ke atas sehingga payudaranya yang kecil itu kelihatan,
persis seperti dua biji zaitun, di bawah gallabiyya yang
dipotong lebar itu; perutnya yang menonjol ke depan,
yang membengkak seperti sebuah balon anak-anak,
tersingkap juga. Tarha hitam itu masih tetap menutupi
kepala dan rambutnya, dan jatuh ke bahunya sampai ke
bagian punggungnya sebelah bawah, yang berakhir persis
di atas pantatnya yang kecil dan bulat.
NAWAL EL SAADAWI Pandangan matanya mengarah ke atas dengan
rasa takut sampai melihat sepasang mata yang melirik
ke arahnya. Ia menarik tarha itu sehingga me"lintasi
wajahnya yang setengah tertutup, seba"gaimana biasa
dilakukan oleh kaum perempuan di desanya. Kini hanya
satu mata yang kelihatan, lebar dan hitam, bentuknya
yang mengherankan itu masih tetap berseri-seri dengan
percikan cahaya anak-anak yang tidak berdosa: cahaya
sebuah mata yang selalu tertutup, dan sekarang terbuka
untuk pertama kalinya terhadap dunia yang tidak terbatas
itu. Sebuah otot yang bundar dan tegang"seperti sebuah
The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanda tanya yang terpotong"mengelilingi rasa takut yang
memenuhi mata itu, dan di selaput mata itu air mata yang
telah kering menyimpan sebuah film yang tergantung
seperti sebuah awan yang ringan. Ia merasakan sebuah
perasaan baru menjalar di wajahnya, bergerak mulai dari
batang hidungnya ke arah sebuah mata: kesadaran bahwa
ia seorang perempuan, dengan kewanitaan yang belum lagi
sempurna. Belum ada orang yang memperkenalkannya
kepada dirinya; barulah dia yang telah me"nemukannya,
dengan dirinya sendiri, beberapa menit sebelumnya,
sehingga menemukan dirinya sendiri layaknya buahbuahan yang baru saja matang, segar, dan masih diselimuti
embun. THE CIRCLING SONG Sambil mengelakkan tangan yang besar itu, ia berhasil
melepaskan diri dan segera berlari. Orang itu mengejarnya
dari belakang. Ia belok ke sebuah jalan dan bersembunyi
di salah satu pintu yang banyak jumlahnya. Dengan
mengeluarkan kepalanya, ia melihat tidak ada orang di
sana, dan percaya dirinya telah selamat. Namun tangan
yang panjang itu muncul entah dari mana di belakangnya
dan menangkap lehernya, dan sebuah suara yang kasar
dan nakal merobek telinganya.
"Sekarang saya dapat menangkapmu, pencuri! Kamu
ditahan! Ayo jalan di depan saya, ke kantor polisi!"
Hamida menyerah, membiarkan lengannya yang
putih kurus itu dalam genggaman orang itu. Tangan yang
mencengkeram lengannya itu kasar dan besar, dengan
sendi-sendinya menonjol keluar dan tulangnya bengkokbengkok tidak wajar, dengan urat darah menggelembung
di bawah kulitnya. Di bawah kuku jarinya yang pendek
tegap itu terdapat selapis kotoran yang hitam. Mata
perempuan itu menjalar ke atas lengan yang panjang itu:
di atas setiap bahu yang lebar itu terdapat sebaris yang
mendatar dari lima kancing tembaga, yang dipisahkan
oleh sebuah leher yang tegap, dikelilingi sebuah kerah
baju yang telah menghitam di sekeliling lingkarannya
sebelah dalam dengan kotoran yang telah terlebur karena
NAWAL EL SAADAWI keringat. Kerah itu mengelilingi lehernya dengan sesuai
sekali, kemudian menurun ke atas dadanya dalam sebaris
kancing yang terdiri atas sepuluh kancing tembaga.
Selama wajib pergi sekolah berturut-turut, Hamida telah
mempelajari beberapa dasar berhitung, dan ia mulai
menghitung kancing itu. Lima di atas masing-masing
bahu, sehingga jumlah"nya sepuluh di kedua bahu,
ditambah sepuluh lagi di dada: semuanya menjadi dua
puluh kancing. Tengah hari telah tiba, dan mentari sekarang membakar
dengan terik sekali, dan menyerupai dua puluh mentari,
sehingga membuat mata berair hanya dengan menolehnya
sebentar. Karena tidak sanggup memandangi kancingkancing itu, perempuan itu mengalihkan pandangannya
ke tanah. Namun tanah di bawah kakinya yang tidak
mengenakan alas kaki itu kelihatan bernyala-nyala pula;
ia belum pernah merasakan panas seperti itu di bawah
kaki"nya sebelumnya. Sepatu lars tinggi yang dikenakan
laki-laki itu menghentak tanah dengan suara metal yang
aneh, seperti suara besi yang saling beradu. Langkahnya
panjang-panjang, masing-masing kaki tertanam dengan
kokoh di atas aspal. Kaki itu naik menjadi langkah yang
panjang-panjang di dalam celana yang terbuat dari kain
tebal, dengan sebuah kantong yang dalam seperti lemari
THE CIRCLING SONG besi dimana bersembunyi sebuah alat yang runcing
dan keras, yang menggantung ke bawah di sepanjang
pahanya. Mereka membelok dari jalan yang lebar itu ke sebuah
jalan samping yang lebih sempit, sedangkan jari-jari yang
panjang masih tetap memegang lengannya. Namun kini
lima jari itu telah menjadi empat, sedangkan jari yang
kelima berusaha bergerak sendi"ri ke atas lengan yang
halus itu, dengan hati-hati sekali, merayap perlahan-lahan
sampai menekankan ujung jari yang hitam dan kasar itu
ke dalam ketiak yang halus seperti anak kecil yang belum
juga menunjukkan tanda-tanda berbulu.
Hamida mencoba menarik lengannya. Namun empat
jari itu malah mengetatkan pegangannya lebih ketat lagi,
mencengkeram daging lengan yang lunak itu, sedangkan
jari yang kelima muncul dari bawah ketiak Hamida,
mengeras sampai ujungnya yang hitam dan runcing itu
menyentuh tonjolan lunak payudaranya"yang masih
menyerupai putik "menekannya hati-hati, gemetaran,
tertegun-tegun, lalu lebih ketat lagi ketika tiba di
tikungan sebuah jalan, atau di balik sebuah dinding, dan
disantaikan atau dihentikan sama sekali apabila mereka
sedang berjalan di tengah sebuah jalan; dan kadangkadang, ketika mereka berpapasan dengan sekumpulan
NAWAL EL SAADAWI orang, jari kelima itu akan cepat-cepat bergabung lagi de"
ngan empat jari lainnya. Suatu bau menyengat tiba-tiba menenuhi lubang
hidungnya; Hamida menemukan dirinya dalam sebuah
gang yang gelap dan sempit. Perempuan itu melihatnya
berhenti di depan sebuah pintu kayu yang kecil. Laki-laki
itu mengeluarkan anak kunci dari kantongnya, membuka
pintu itu, mendorong Hamida ke dalam dan menutup
pintu itu. Mula-mula perempuan itu tidak dapat melihat
apa pun, karena tempat itu gelap sekali. Laki-laki itu
menyalakan sebuah lampu minyak tanah kecil, yang
dengan segera memperlihatkan sebuah lantai ubin yang
kosong, dengan hanya sebuah tikar kecil di sebuah
sudut yang mengingatkannya pada tikar yang terdapat di
rumah. Kamar itu sempit, dan hanya mempunyai sebuah
jendela kecil yang tinggi dan berterali besi di dindingnya,
sedangkan sebuah kendi air dari tanah liat bertengger di
bendulnya. Dalam cahaya yang samar-samar itu, dindingdin"ding kamar itu tampak berwarna keabu-abuan yang
dilapisi sejenis warna hitam yang ditimbulkan oleh sebuah
kompor gas. Di atas sebuah paku di din"ding, tergantung
sepasang pakaian yang tebal. Dari dadanya dan bahunya
yang lebar serta dilapisi itu, tampaklah kancing-kancing
THE CIRCLING SONG tembaga kuning yang gemerlapan dalam kegelapan
seperti mata yang terbuka dan demam karena infeksi hati
disebabkan virus. Di lantai terdapat sebuah sepatu lars
besar dan beralas tinggi yang kelihatannya seperti binatang
yang tidak berkepala, dan di sampingnya tergeletak sebuah
celana putih longgar, yang bagian belakangnya telah
kekuning-kuningan dan bagian perutnya telah menjadi
kehitaman, yang mengeluarkan bau seperti bau kencing
yang sudah lama. Perempuan itu mengangkat kepalanya dari lantai
ubin itu dan melihat laki-laki itu berdiri di sana, telanjang.
Bahunya yang lebar itu menjadi sempit "bahkan, penuh
tulang"dan tulang selangkanya menonjol sangat tajam.
Kaki celana panjang yang tegap itu sudah tak kokoh lagi:
kakinya yang besar, yang semula tegak demikian tinggi di
atas tanah, sekarang tidak terpisah sedikitpun dari lantai
ubin itu. Alat yang tajam dan keras yang disembunyikan
di dalam kantongnya sekarang kelihatan.
Perempuan itu menghela napasnya sekali, rasa
kagetnya diserapi suatu rasa kepanikan yang ditahannya
secara naluri. Tetapi laki-laki itu melemparkannya ke
lantai, jari-jarinya yang gemuk itu me"robek bagian
belakang gallabiyya-nya sehingga pakaian usang itu robek
NAWAL EL SAADAWI terbelah dua di bagian depannya, menyingkapkan bahwa
ia tidak memakai celana dalam.
"Siapa kamu?" perempuan itu bertanya, suaranya serak
dan lemah. "Aku orang pemerintah."
"Semoga Tuhan melindungimu"biarkan aku pergi."
Ia menjawab dengan suara yang sama seraknya dan
penuh keangkuhan. "Pergi ke mana, gadis" Kamu telah
dihukum." Segalanya mulai terjadi dengan cepat sekali de"
ngan napas yang terengah-engah, dengan otot-otot yang
mengkerut dan mengencang, sebuah kecepat"an luar biasa
yang hanya dapat terjadi di dalam mimpi. Namun kali
ini tidak ada keragu-raguan yang menandai mimpi itu:
sebaliknya dari seorang penjaga warung yang memukulnya
dengan sebuah tongkat, maka sekarang ini terdapat di
depannya seorang makhluk laki-laki dengan kumisnya
yang kasar menyapu sekujur wajahnya dengan kasar pula,
bau tembakau yang menyesakkan napasnya, dan sebuah
dada yang ditumbuhi bulu yang lebat, kusut dan melekat
dengan keringat yang lengket dan kental.
Tiba-tiba saja, segalanya berhenti: timbul suatu saat
ketenangan yang serupa dengan saat kematian. Perempuan
THE CIRCLING SONG itu mengangkat kepalanya dari lantai ubin itu dan melihat
ke sekelilingnya. Ia melihat laki-laki itu tertelentang,
dengan mata tertutup dan benar-benar diam. Ia pikir lakilaki itu telah mati, ketika sebuah suara dengkuran mulai
keluar dari mulutnya yang menganga, yang dengan segera
bertambah menjadi seperti degukan sebuah roda air
kuno yang diputar oleh seekor sapi yang sakit-sakit"an. Ia
bangkit berdiri dengan diam-diam dan tenang dari lantai
itu, sambil menarik kedua bagian gallabiyya-nya yang
terbelah itu ke atas dada dan perutnya serapi mungkin,
dan berjalan berjingkat-jingkat menuju pintu. Ia menoleh
ke belakang dengan te"nang, dan melihat mata kuning yang
berjumlah dua puluh itu terbuka lebar dan memandang
kepadanya. Dengan terburu-buru, ia membuka pintu itu.
Jalan utama yang lebar itu telah terlihat di de"pan"nya.
Ia berlari di sepanjang jalan itu, berlari sekuat tenaganya,
melarikan diri tanpa beristirahat sejenak pun.
*** Persis pada saat itu, Hamido turun dari kereta api.
Kini, dengan punggung menghadap selatan dan wajah
menghadap ke utara, Hamido memandang langsung ke
NAWAL EL SAADAWI depan, sambil memperhatikan banyaknya wajah yang
berdesak-desakkan di luar stasiun kereta api Bab alHadid, stasiun utama Kairo lama. Kakinya yang tidak
mengenakan alas itu menapaki aspal; di bawah lipatan
cukup besar gallabiyya-nya, pisau itu tergantung ke bawah
di dekat pahanya seperti sebuah anggota tubuh buatan,
atau sebuah organ yang baru saja ditanamkan ke dalam
dagingnya. Ujung pisau yang tajam itu mengenai paha laki-laki
itu, dan ia gemetaran, goncangan itu berjalan melalui leher
dan kepalanya. Ia terhuyung-huyung, dan hampir saja
terjatuh di antara sepatu kulit berat yang mengelilinginya,
namun ia menegangkan otot-otot kakinya dan menjaga
keseimbangannya. Matanya mulai kabur di samudra
yang luas dan menggelora itu: meninggi dengan puncak
gedung-gedung bak menara, tenggelam bersama cahaya
mentari yang terpantul di atas aspal yang berkilatan itu,
berputar sekeliling dengan gerakan di dalam lingkaran
lalu lintas yang luas sekali, yang di pusatnya berdiri
sebuah patung batu besar dengan kepala seorang manusia.
Di sekelilingnya bergerak baris demi baris manusia, dan
bendera-bendera, dan mobil-mobil, yang berputar dan
berputar, terurai dan bercabang-cabang menjadi garisgaris lurus yang banyak jumlahnya, hanya untuk kembali
THE CIRCLING SONG menjadi berjalin-jalinan lagi, tertumpah pada putaran
lalu lintas yang lain, dan kemudian bercabang-cabang
lagi, cabangnya itu terpecah lagi menjadi cabang-cabang
lain yang lebih banyak, terpisah-pisah, lalu berkumpul
kembali, dan membagi diri, tanpa henti-hentinya.
Ia melindungi matanya dengan tangannya dan
menyandarkan kepalanya ke belakang pada sebuah tiang
listrik. Ia tidak dapat menahan rasa kantuk yang telah
menguasai dirinya, dan ia pun tertidur sambil berdiri.
Sebuah suara bisu membangunkannya. Sambil menoleh
ke sekelilingnya, ia memperhatikan bahwa jalan besar,
yang muncul dari kesamaran senja, sekarang ini telah
menjadi tenang dan sepi dari manusia dan kendaraan.
Matanya yang tajam menembus ke dalam kegelapan, dan
ia dapat melihat sebuah hantu yang sedang berlari di
kejauh"an, dengan kaki tidak mengenakan alas, sedangkan
gallabiyya-nya yang panjang itu tidak cukup longgar
untuk menyembunyikan pembengkakan yang kentara di
atas perutnya. "Hamida!" Ia menyebut nama itu dengan terengahengah, sambil mengeluarkan sekelumit napas yang
terpendam melalui sela-sela bibirnya yang nyaris tidak
terbuka itu, kemudian meloncat berdiri di atas aspal itu,
tangan kirinya diangkat untuk berjaga-jaga di depannya,
NAWAL EL SAADAWI membelah kegelapan itu, sedangkan tangan kanannya
dimasukkan ke dalam sakunya, sambil merasakan
kekerasan mata pisau yang tajam itu. Hantu itu berhenti
di sebuah sudut yang gelap. Dengan langkah kaki perlahan
dan hati-hati, Hamido datang lebih mendekat, sampai
jaraknya tidak lebih dari satu langkah di antara mereka. Ia
mendengar suara kasar, yang muncul bak sebuah bisikan
yang lebih menyerupai hembusan napas.
"Hanya darah yang dapat menghapus rasa malu."
Hamido mengeluarkan senjata dari sakunya dan
menyembunyikan di bagian belakang tubuhnya. Lalu
tiba-tiba, sebuah cahaya senter menerangi sudut yang
gelap itu, dan ia melihat wajah ibunya di bawah tarha
hitam. Ia menjerit; suara itu menggema dalam malam
dan cahaya itu berhenti di wajahnya. Seseorang mendekat;
dalam kegelapan, ia tidak dapat melihat mata orang itu.
Namun ia dapat melihat banyak mata di atas bahu dan
di seluruh dada"dua deretan mata, bulat dan melotot,
mengeluarkan sebuah cahaya kekuning-kuningan.
Bibir-bibirnya membentuk pertanyaannya, namun
sebuah telapak tangan yang lebar dan kasar mendarat di
pelipisnya, diikuti sebuah tamparan yang kedua di pelipis
yang satu lagi. Ia mengangkat tangannya ke atas untuk
menahan pukulan itu, namun itu ditahan oleh lima jari
THE CIRCLING SONG
The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang dengan kokoh menggenggamnya. Ia mengangkat
lengannya yang satu lagi ke atas secara naluri untuk
menjaga dirinya sendiri, ketika muncul dengan besar
sekali di atas sebuah lengan kayu mirip pentungan yang
memukul kepalanya. Hamido membuka matanya karena merasa sakit
kepala yang hebat sekali. Sambil meraba-raba kepala"
nya, di tengah-tengah rambut ia menemukan luka, yang
mengeras dengan darah yang telah kering. Ia menggarut
keropeng itu sampai jatuh terkelupas, sambil mendarat
di samping sepasang sepatu lars yang besar sekali yang
naik ke puncak kulit yang tinggi itu, dikelilingi sebuah
lipatan celana panjang yang terbuat dari kain yang tebal.
Kaki-kakinya kelihatan panjang sekali dalam bentuk yang
menakutkan; ia menyadari mereka menarik tubuhnya ke
atas sampai pada sebuah dada yang gempal. Di bawah
bagian depannya dan melintasi bahu terdapat dua baris
kancing bundar berwarna kuning yang mencolok dan
memantulkan sebuah cahaya lampu yang samar-samar.
Sepatu lars yang besar itu menginjak gumpalan darah
yang membeku, menginjak-injaknya dengan kasar di
bawah kakinya. Dengan gedebuk sepatu lars itu di lantai,
bergemalah ke udara sebuah suara yang kasar
"Namamu?" NAWAL EL SAADAWI "Hamido." Pisau cukur yang tajam itu melintas di kulit
kepalanya: rambutnya yang lebat berjatuhan ke dalam
sebuah ember, bersama gallabiyya-nya. Mentari ketika
pagi sekali itu masuk dengan cahayanya yang mi"ring, dan
ia melihat bayang-bayang seseorang yang tinggi dengan
bahu yang lebar sedang mengikutinya melintasi lantai itu.
Bayangan itu tiba-tiba berhenti. Ia bergerak; bayangan itu
bergerak pula. Ia menabrak lantai itu dengan kakinya dan
mendengar sebuah suara benda logam yang aneh, bukan
suara yang pernah didengarnya sendiri, yang dibuat oleh
kakinya yang tanpa alas itu. Ia melihat kakinya, dan di
sana ia melihat sepatu lars yang besar dan berat naik ke
atas puncak kulit yang tinggi itu. Ia melihat celana panjang
itu terbuat dari kain tebal. Di sebelah dalam celana
panjang dan sepatu itu terdapat kaki-kaki yang kurus,
yang nyatanya adalah miliknya sendiri, yang memanjang
ke atas sampai ke dada yang lebar persegi, yang dipakukan
dengan sebaris kancing tembaga, kemudian ke bahu yang
lebar itu yang dipadatkan dengan kapas, atau mungkin
juga dengan jerami. Dengan sepatu larsnya yang baru itu, ia menapaki
tanah itu, sambil melakukan langkah-langkah yang
perlahan-lahan dan dengan takut-takut. Di dalam masing74
THE CIRCLING SONG masing sepatu lars itu terdapat sebuah kaki yang kurus
penuh tulang, yang dicengkeramkan dan dipadatkan di
bawah kulit yang tebal itu, dengan jari-jari kakinya yang
kurus dan putih, tanpa darah dan tanpa gerakan, mati
atau kira-kira demikian keadaannya, dengan keseluruhan
kaki itu benar-benar diam di dalam sepatu lars. Sepatu itu
adalah sepatu yang memberikan gerakan kepada kaki-kaki
itu, meninggikan dan merendahkan bunyi langkahnya,
menapakkannya selangkah demi selangkah di tanah itu.
Dengan setiap langkah di atas aspal itu, sol sepatunya yang
bertaburan besi itu menimbulkan bunyi gedebuk yang
tumpul, bunyi logam, dan perlahan-lahan seperti suara
yang dibuat oleh kuku seekor anak sapi yang sakit-sakitan
pada saat ia diseret ke rumah pemotongan hewan.
Ia berhenti; demikian pula bayangan hitam itu,
yang tergambar dengan demikian telitinya di atas tanah.
Kelicinan yang luar biasa dari kepalanya yang dicukur itu
memantulkan cahaya mentari, sedangkan matanya tidak
lebih dari lubang-lubang yang mengeluarkan sebuah
cahaya yang menembus. Otot-otot di lehernya menjadi
mekar dengan tegang, sedangkan otot-otot punggungnya
menjadi tegang; di bawah dinding perutnya yang ketat
terdapat sebuah perut yang kerempeng menggelembung,
yang hanya diberi makan dengan asap yang hitam, air
NAWAL EL SAADAWI liur yang hitam, dan ujung dari sebuah roti yang telah
ke"ring, yang telah dibakar sampai menjadi keras, yang
dicelupkannya ke dalam manisan dan mema"kannya
dengan seiris bawang, atau sepotong asinan yang rasanya
menusuk seperti ketimun pahit, untuk mengimbangi rasa
manis manisan itu. Kemudian ia menetralkan rasa pahit
itu dengan asap hitam, yang dihisap melalui hidung,
mulut dan kerongkongan untuk mengisi dadanya dan
menimbulkan tekanan di dalam perutnya sampai ia
dapat bersendawa seper"ti seseorang yang perutnya penuh.
Sebuah cemeti yang tipis mengenainya di tengkuk
lehernya; kakinya otomatis bergerak di atas tanah.
Pertama-tama kaki kanan, kemudian kaki kiri"sedangkan
paku sepatunya yang dari besi itu berbunyi gedebuk di
atas aspal dengan bunyi yang teratur seperti detak bunyi
jam atau seperti detakan jantung, lab dab lab dab. Kiri
kanan kiri kanan. "Berhenti!" Suara yang keras dan kasar itu meng"
gema ke udara. Sepatu lars di kakinya saling bertabrakan
dengan berisik. Kaki dan pahanya merapat dengan ketat,
sedangkan otot-ototnya mengkerut. Tangan kanannya
dimasukkan ke dalam kantongnya dan diletakkannya di
atas alat untuk membunuh, sedangkan kerasnya terasa
THE CIRCLING SONG di sepanjang pahanya dan berakhir pada sebuah kepala
logam yang runcing dan menusuk itu.
"Perhatian!" demikian
memekakkan itu. berteriak suara yang Jari-jari tangan kanannya menutup di sekitar alat itu
" hanya empat jari saja, sedangkan ibu jarinya menjauh
dari palu itu. Ia memiliki sebuah mata yang terlatih
terhadap titik tertentu yang terletak di antara mata-mata
yang terbuka itu. Mulutnya menganga dan ia mulai terengah-engah.
Namun sebuah tangan yang kuat menamparnya di
lintasan perutnya, dan suara yang kasar itu merobek
gendang-gendang telinganya.
"Tutup mulutmu. Tahan napasmu."
lagi. Ia patuh. Suara kasar yang memerintah itu berbunyi
"Hanya darah yang dapat menghapus rasa malu!"
Dan dia menarik pelatuk itu.
Ia mendengar sebuah ledakan yang keras, sebuah
suara yang belum pernah didengarnya dan ia melihat satu
tubuh manusia terjatuh ke tanah. Dari bawah tubuh itu
mengalir sebuah aliran merah yang langsung dikenalnya
NAWAL EL SAADAWI sebagai darah biri-biri betina. Karena sekarang ini hari
raya korban, dan ini dia, masih tetap berdiri tegak,
pendiriannya tidak berubah, memandang kepada kedua
mata yang terbuka itu, mata yang diam tidak berpelupuk,
yang terpaku dengan suatu pandangan yang dingin dan
mati, mata yang telah melebar karena ketakutan. Ketakutan
itu sekarang pindah padanya; di bawah gallabiyya yang
penuh itu kaki-kaki yang kurus mulai gemetaran, dan ia
lari untuk menyembunyikan kepalanya di dada ibunya
dan menangis. Ia menggosok-gosokkan kepalanya ke dada ibunya,
sambil menangis berurai air mata. Ia melihat ke atas.
Di sana terdapat mata ayahnya, yang dipenuhi urat
darah merah yang kecil-kecil. Terdapat kancing-kancing
tembaga di dada dan bahunya, dengan gemerlapannya
yang unik, dan suaranya serak, dengan kekasarannya yang
menakutkan dan pasti. "Huh, menangis seperti perempuan!"
Hamido pun kembali ke tempatnya dalam baris"an itu.
Ia berdiri tegap, matanya memantulkan kemerahan cahaya
mentari tepat di atas kepalanya"karena kehitamannya
sudah tidak ada, di bawah pelupuk mata itu, di bawah
naungan itu, ke suatu tempat yang aman dan lembab.
Aspal itu bernyala-nyala, dan tampaknya mencair dalam
THE CIRCLING SONG panas yang hebat itu. Ia merasa tumit sepatu larsnya
terbenam ke dalam aspal, sama ketika ia terjerembab ke
dalam tanah yang lunak dan berlumpur itu.
Hamido berhenti sesaat untuk menarik bagian
atas sepatu larsnya. Karena telah tertinggal selangkah
di belakang barisannya, ia merasa pukulan cemeti yang
menyengat di atas tengkuknya, dan ia pun meloncat ke
depan untuk masuk ke dalam barisan itu. Tetapi sebaliknya
ia terpeleset dan terjerembab dengan wajahnya ke tanah.
Udara yang membakar itu menerobos mencari jalan ke
dalam dadanya dalam bentuk sebuah kata yang diucapkan,
dengan sebuah suara yang disadarinya adalah suaranya
sendiri. Ia sadar bahwa tubuh itu adalah tubuhnya sendiri
dan bukan tubuh orang lain, yang telah terjatuh ke
tanah, dan detak-detak teratur yang telah mendera telinga
batinnya sesungguhnya keluar dari dadanya sendiri. Ia
merasa bangga dengan kemampuannya membedakan
tubuhnya dari tubuh biri-biri betina itu.
Rasa bangga itu tampak di matanya, meskipun
wajahnya masih di atas tanah. Air liur berterbangan
keluar dari mulut yang kasar itu, yang akhirnya ter"jatuh di
belakang kepalanya. Dan langsung di"ikuti sebuah kutukan
yang biasa dia dengar"sebuah julukan alat kelamin
perempuan"dan kemudian diiringi sebuah sepakan yang
NAWAL EL SAADAWI keras dengan ujung jari kaki yang tumpul dari sebuah
sepatu lars yang berat, yang mendarat di punggungnya,
tepat di atas buah pinggangnya.
Meskipun sepakan seperti ini dengan ujung yang
keras dari sebuah sepatu lars tidak sama kuatnya setiap
waktu, karena aku biasa melihat Hamido me"rangkak
ke kakinya setelah itu dan berlari untuk ikut dalam
barisannya. Namun hari ini adalah hari raya. Dan tuan
besar itu"tuannya"akan mengha"diri sendiri perayaan
itu, bukan dengan mewakilkan seseorang, sebagaimana
biasa dilakukannya. Tentu saja, kesalahan apa pun"
bahkan salah langkah kecil saja"tidak dapat dimaafkan.
Khususnya pada hari ini, sebuah kesalahan langkah kaki
bukan hanya suatu kesalahan, tetapi sebaliknya langsung
berubah menjadi kesalahan yang lain, jauh lebih serius.
Sebuah salah langkah akan memporakporandakan baris"
an. Dan apabila sebuah barisan menjadi salah, wajar
kalau yang lain-lain menjadi tidak serasi pula. Ini berarti
bencana secara langsung. Dengan demikian, segalanya menjadi serba salah,
menjadi kabur dan campur aduk di mata Hamido. Hal ini
disebabkan bukan hanya kurangnya daya peng"amatannya
tetapi juga tidak adanya waktu. Ka"rena, pada hari sepenting
ini, waktu benar-benar terbatas, dan langkah kehidupan
THE CIRCLING SONG menjadi cepat sehingga menjadi serentetan celah. Tidak
ada orang yang mampu bernapas secara wajar, karena
setiap orang harus mencari celah napas jika segalanya
tetap tinggal sebagaimana mestinya.
Jadi, seperti yang lain, Hamido juga terengah-engah,
dan pada saat melakukan hal yang se"perti itu, ada sebuah
mata yang memandangnya. Di suatu tempat di dekat sana,
selalu terdapat sebuah mata yang memperhatikan apa
saja yang sedang terjadi. Dengan mengamati segalanya,
memandang dengan terbelalak pada suatu campur tangan
blak-blakkan dalam kehidupan"atau kematian"orang lain,
kejadian itu menjadikan orang yang hidup tidak memiliki
ruang untuk menikmati kehidupan, dan bahkan orang
mati pun tidak mendapat ketenang"an untuk menikmati
kematian. Hamido merapatkan kaki-kaki"nya dengan
sebuah gerakan yang agak malu-malu dan meraba-raba
(karena sementara itu, ia telah mendapatkan sejumlah
tertentu dari rasa malu-malu) sehingga meluangkan jalan
bagi arak-arak"an kendaraan-kendaraan itu. Namun karena
waktunya pendek sekali, kaki kanannya tidak mempunyai
waktu untuk dimundurkan ke belakang sebagaimana
mestinya, dengan cepat; dengan menjulur ke jalan, de"
ngan kaki tidak mengenakan alas, ibu jarinya yang kaku
itu jelas tampak gemetaran, dilihat oleh setiap orang.
NAWAL EL SAADAWI Karena membingungkan, arak-arakan itu berhenti
di depan pemandangan yang belum pernah terjadi
sebelumnya dan tidak pernah terulang lagi. Karena
buku-buku sejarah tidak pernah menyebutkan terjadinya
sebuah kejadian seperti ini. Namun mungkin kejadian ini
tidak begitu mengagetkan, karena apa yang telah dicatat
sebagai sejarah dan apa yang benar-benar telah terjadi
dalam kehidup"an nyata adalah dua hal yang berbeda.
Dan dalam keadaan khusus ini, apa yang benar-benar
terjadi adalah demikian pentingnya sehingga kejadian
ini berhak mendapat tempat dalam sejarah. Akan tetapi,
karena memang telah demikian keadaannya, sejarah tidak
membuka halaman-halamannya untuk mencatat kejadiankejadian yang penting"terutama sekali jika yang menjadi
pahlawannya adalah Hamido.
Hamido tidak merasa dirinya seorang pahlawan,
terlepas dari orang ramai yang telah berkumpul di
sekelilingnya; karena secara langsung, berkumpul orangorang yang tidak terhitung jumlahnya. Ruang-ruang
kosong antara gedung-gedung dipenuhi tubuh manusia;
kepala orang menghalangi pintu dan jendela, orang-orang
meninggalkan kantor dan tempat bekerja mereka, dan
mengunci toko-tokonya, berdesak-desakkan rapat sekali
dalam barisan-baris"an yang padat untuk menikmati
THE CIRCLING SONG pemandangan itu. Kukira tidak ada orang yang tertinggal
di belakang "kecil maupun besar, laki-laki dan perempuan,
The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelas atas maupun kelas bawah"karena semua orang ingin
menghibur dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, mencari
kesenangan adalah merupakan pengisi waktu senggang
yang bersifat umum, dan sesuatu yang sah apabila terjadi
secara diam-diam. Hamido masih berada di tanah, pada posisi yang
sama, dengan mata tertutup; karena kematian, tentu saja,
mempunyai dampaknya. Meskipun demikian, ia melihat
demikian banyak laki-laki di sekelilingnya (karena
pandangan orang mati lebih tajam dari pandangan
orang hidup). Ia tahu bahwa mereka adalah laki-laki
dari kepalanya yang dicukur itu, pipa karet dan kancing
tembaga di pakaian seragam mereka, dan tentu saja dari
alat-alat pembunuh yang keras itu yang tergantung ke
bawah di samping paha"nya.
mencoba membuka mulutnya untuk mempertahankan diri, menceritakan kisahnya, yang
dimulai dari saat ibunya melahirkan dia. Namun
tuan besar itu"tuannya"hadir di sana, dan dengan
kehadirannya waktunya menjadi sangat terbatas. Waktu
yang ada tidak cukup untuk setiap orang. Dalam keadaan
bagaimanapun, sudah lazim bahwa pertimbangan
NAWAL EL SAADAWI pertama-tama harus dikeluarkan, dan ditandatangani
atau dicap dengan cap jempol atau tanda tangan si
tertuduh untuk memperlihatkan bahwa ia sadar akan isi
laporan yang diajukan padanya. Lagi pula, si tertuduh
harus mengikuti petunjuk-petunjuk yang dikemukakan
dalam peraturan itu. Setelah semuanya dilakukan, baru
ada waktu yang cukup untuk hal-hal yang lain"seperti
permohonan di mana si tertuduh dapat menyatakan
dirinya tidak bersalah. Dengan demikian, dengan segala ketepatan
yang sepantasnya, kalimat Hamido dikeluarkan.
Sesungguhnya, ia sudah mengikuti prosedur dari
catatan resmi itu. Undang-undang itu menentukan
bahwa Hamido harus membaca laporan kepolisian
sebelum menandatanganinya atau membubuhkan tanda
jempolnya, karena memperlihatkan bahwa ia telah setuju
dengan isi laporan tersebut. Meskipun demikian, katakatanya tidak jelas dan tidak mudah membacanya, karena
tulisan tangan itu jelek sekali dan laporan itu ditulis
dalam keadaan sangat tergesa-gesa. Hamido mengalami
kesulitan memahami tulisan itu, terutama karena dia
belum belajar membaca dan menulis, namun demikian
ia mampu memilih satu atau dua buah kata dalam
setiap barisnya. Ia kagum karena pihak kepolisian telah
THE CIRCLING SONG memperlihatkan kemampuan sedemikian rupa untuk
mengubahnya dari seorang prajurit yang tidak dikenal
menjadi seorang pahlawan " meskipun kepahlawanannya
jauh sekali dari norma-norma yang mengatur hal-hal ini
sampai-sampai menggerakkan ibu jari kakinya di depan
tuan besarnya harus dipertimbangkan, dalam kasus ini,
sebagai tanda pemberontakan. Hamido tidak lagi mampu
menahan atau menyembunyikan kebanggaannya, dan
ia mulai menggerak-gerakkan ibu jari kakinya dengan
gerakan perlahan-lahan dan bermartabat yang penuh
dengan rasa harga diri yang hampir-hampir saja agung
seperti raja. Semua orang yang hadir mengangkat tangan untuk
memberikan tepuk tangan"termasuk tuan besar, tuannya,
yang berada di barisan paling depan. (Gerakan-gerakan
tuan besar itu, seperti gerak"an yang diingat terus, tidak
boleh mengabaikan massa.) Dan ketika lengannya
mengayun ke atas untuk bertepuk tangan, sandwich
berisi daging biri-biri betina itu, yang disembunyikan di
ketiaknya, jatuh ke tanah. Seorang anak pincang yang
sedang merangkak di antara barisan orang ramai itu,
sambil membawa kantong kecil biji yang telah dimasak
untuk dijual, langsung meraih sandwich itu.
NAWAL EL SAADAWI Hamido tersenyum, meskipun ia tidak memahami
apa sedang terjadi di sekelilingnya. Pemandangan itu
bukan disengaja; ia tidak mempercayai kejadian itu. Lagi
pula, kejadian itu dilaksanakan dalam bentuk yang kurang
sempurna, yang memperlihatkan kurangnya pengalaman
dan tidak ada"nya latar belakang budaya yang diperlukan
dan membaca Warisan itu dengan teliti. Hamido belum
membaca demikian banyak jilid berkenaan dengan
Warisan Budaya kita; terutama dan yang paling penting
sekali, ia belum lagi mempelajari kisah-kisah tentang cinta
platonik, yang berasal dari masa ketika cinta itu bersih
dan orang-orang itu terhormat, kembali ke masa-masa
ketika organ jenis kelamin belum lagi diciptakan.
Namun ketika Adam telah melakukan Dosa Besar
(sebagaimana dikisahkan ibunya Hamido kepadanya),
lihat dan perhatikan, tiba-tiba muncul sebuah organ
tubuh yang jelek yang tumbuh di antara paha-paha"nya. Itu
pembalasan Tuhan"suatu pembalasan yang adil, menurut
ibunya Hamido. Pada saat ini dari renungannya, timbul
dalam pikirannya sebuah perta"nyaan yang belum pernah
terpikir olehnya (mungkin karena sekarang tubuhnya telah
mati, dan dengan demikian ia dapat memberikan bagi
nyawanya hak untuk memikirkan perkara-perkara yang
suci). Pertanyaan itu adalah seperti berikut: bagaimana
THE CIRCLING SONG cara"nya Adam melakukan dosa itu sebelum organ tubuh
itu diciptakan baginya"
Hamido berupaya membebaskan diri dari pikiran
seperti ini, karena memikirkan hal-hal begitu hanya dapat
dianggap sebuah praktik yang tidak bermoral, terutama
dengan kehadiran tuan besar, tuannya itu. Hamido mencuri
pandang sekilas ke antara kedua pahanya, namun ia tidak
menemukan organ tubuh yang dimaksud. Sebaliknya,
di tempat itu, ia mene"mukan sebuah lubang kecil yang
mengingatkannya pada lubang yang biasa dilihatnya di
tubuh Hamida. Ia pikir pasti telah terjadi sebuah kesalah"
an: mungkin tubuh orang mati telah dikacaubalaukan, dan
dalam penyisihan terakhir memberikan padanya sebuah
tubuh perempuan. Kesalahan sudah pasti terjadi dalam
penyisihan terakhir: pegawai yang bertanggung jawab atas
prosedur itu memiliki pandang"an yang tidak jelas yang
disebabkan oleh penyakit tbc di paru-parunya. Yang lebih
memperburuk situasi lagi, ia adalah satu-satunya orang
yang diberi penugasan ini. (Anggaran tidak mengizinkan
tambah"an personalia dalam bentuk apa pun.) Pegawai
ini diberi tanggung jawab memindahkan nama-nama
dari daftar permulaan kepada daftar penyisihan terakhir.
Namun huruf dari beberapa nama itu serupa, terutama
sekali karena nama-nama tertentu yang diberikan kepada
NAWAL EL SAADAWI perempuan dapat dibedakan dari nama pria hanya karena
satu huruf: Amin menjadi Amina, Zuhayr menjadi
Zuhayra, Mufid menjadi Mufida, dan Hamido menjadi
Hamida. Dengan kata lain, hanya dengan sebuah goresan
pena, laki-laki menjadi perempuan.
Kadang-kadang, Hamido suka menjadi seorang
perempuan, sedangkan pada waktu-waktu yang lain
ia sangat menentang sekali. Karena di masa-masa itu,
perempuan diberi tugas dengan bermacam-macam
tugas yang merendahkan yang biasanya dilakukan para
pembantu, seperti menggosok sepatu laki-laki ketika
keluar dari kakus, atau memberikan segelas air kepadanya
ketika terbaring tertelentang dengan bersendawa keraskeras (dan bersendawa dengan keras adalah hak khusus
kaum laki-laki) atau mencuci kaus kakinya yang bau
atau celana dalam yang bahkan lebih bau lagi karena air
kencing dan kurangnya persediaan sabun dan air.
Hamido memang mencoba memperbaiki situasi
itu. Namun ini tidak mudah bahkan pada situasi yang
terbaik, karena ia harus selalu membuktikan bahwa ia
bukan seorang perempuan. Pada setiap kalinya, mereka
memanggil penguji kesehatan, yang akan membuka celana
dalam Hamido yang kotor karena posisinya di atas tanah
dengan rasa tidak senang yang penuh omelan dan melihat
THE CIRCLING SONG ke antara kedua belah pahanya, dengan cara yang kurang
ajar. Kadang-kadang si penguji tidak hanya memeriksanya
dengan melihat saja, tetapi bersikeras menjangkaukan
tangannya yang perlente itu, dengan kuku-kukunya yang
dipotong dengan hati-hati sekali, untuk memeriksa organ
tubuh yang telah mengkerut dan penuh ketakutan itu.
Sambil mengukurnya dari segala segi dengan sebuah
penggaris plastik yang ditera dengan halus sekali, lalu ia
akan mengeluarkan pena Parkernya dan mencatat angkaangka itu dalam sebuah buku catatan yang secara khusus
disediakan untuk pemeriksaan ini. Ia memasukkan angkaangka ini dalam sebuah amplop tertutup yang direkat
de"ngan lak merah kepada Departemen Identifikasi dan
Dokumentasi Penduduk di kantor polisi.
Sekarang, dalam departemen ini keadaannya benarbenar kacau balau. Sidik jari keliru dengan sidik kaki, dan
keduanya bahkan keliru dengan sidik bagian-bagian lain
dari tubuh itu. Angka pertama dan terakhir bercampur
baur; bagian dari angka-angka itu telah dihapus atau
dihilangkan, sedangkan bagian-bagian yang lain telah
dihapus. Hal ini disebabkan kualitas tintanya jelek, karena
tinta itu telah dicampur (korupsi telah merajalela ketika
itu: seember air mungkin telah ditambahkan ke sebotol
tinta). NAWAL EL SAADAWI Akibatnya, dan dengan cara begini, status Hami"do
tetap tidak jelas selama bertahun-tahun, selama kurun
waktu itu tidak ada orang yang memberikan pendapat
yang pasti, dan tidak ada pula orang yang memanggilnya
untuk melakukan pemeriksaan ulang. Ia mulai percaya
bahwa masalah itu telah dilupakan, bahwa kejadian itu
mungkin sekali tidak pernah terjadi. Ia mulai berjalan di
sepanjang jalan dengan penuh keyakinan, bahkan pada
suatu hari, ia masuk ke tempat tukang pangkas rambut
untuk mencukur jenggotnya yang telah panjang. Ia
duduk di atas kursi putar empuk itu, sambil menggoyanggoyangkan kakinya dengan santai, dan mengambil
sebuah koran lama dari tumpukan koran di atas meja,
dan membalik-balik halaman-halamannya acuh tak
acuh. Tetapi baru saja ia membalik halaman terakhir,
tiba-tiba matanya terbelalak karena terkejut. Di halaman
itu terdapat foto dirinya, yang dimuat di bagian bawah
di antara kaum perempuan yang dicurigai. Pelacuran
memang tidak dilarang pada masa-masa itu; maka mereka
menangkapnya dan melepaskannya untuk menjalankan
profesinya. *** THE CIRCLING SONG Ketika itu, Hamida telah mendapatkan apa yang diinginkan
untuk sebuah pekerjaan yang terhormat (karena di masamasa itu, "terhormat" berarti bekerja sebagai pembantu
rumah tangga). Ia mempelajari pelajaran pertama yang
dituntut oleh pekerjaan seperti itu: bahwa orang harus
menyapa kaum perempuan dengan sebutan "nyonyaku"
dan memanggil kaum laki-laki dengan sebutan "tuanku".
Ia sadar bahwa tuan dan nyonyanya lebih puas apabila ia
semakin rendah menekurkan kepalanya ketika lewat di
depan mereka, dan seperdua tubuhnya bagian atas selalu
membungkuk. Rumah itu melindunginya dari jalan di
kota itu, dan di jalan itu seorang laki-laki menunggu
untuk menyergapnya tiba-tiba, tidak pernah berhenti
memburunya. Dapur adalah kehidupannya. Terutama sekali, ke"
hidupannya adalah potongan persegi empat yang lembab
di depan baskom, sedangkan tangannya yang kecil
dicemplungkan ke dalam air yang meng"alir dari keran,
siang dan malam, musim panas dan musim dingin.
Matanya yang hitam menghadap dinding, mengintip
dari bawah kerak air mata yang telah mengering yang
dilarutkan dari waktu ke waktu oleh sebuah pandangan
yang berbinar-binar, tajam seperti sebilah pedang, yang
menembus din"ding dan menerobos masuk ke dalam
NAWAL EL SAADAWI kamar makan. Kenyataan itu menerobos selanjutnya
terus ke meja makan yang bundar itu yang dikelilingi
sembilan mulut, yang terbuka dan tertutup karena pipi
yang menonjol dan rahang yang menggiling, gigi-gigi
yang berkeletak-keletuk seperti roda penggerak sebuah
kincir angin. Di dalam baskom itu, terdapat tumpukan piring
kosong, yang dilumuri selapis lemak yang membeku;
tempat sampah itu sampai ke pinggir atasnya dipenuhi
sisa-sisa makanan yang tidak tersentuh, sedangkan bak
cuci piring telah tersumbat oleh buangan makanan yang
setengah dikunyah. Pada tengah malam, setelah mengelap lantai dapur,
ia menjejalkan sepotong roti ke dalam mulutnya, dan
menggerogoti sedikit kulit atau sepotong tulang yang
masih ada sisa-sisa sumsum. Ia mene"nangkan diri, dengan
semua gallabiyya-nya yang basah, di atas bangku kayu
di belakang pintu dapur, sedangkan jari-jarinya yang
membengkak dan merah masih tetap mengeluarkan cairan
kuning dengan panasnya darah. Telinganya menangkap
suara bisikan laki-laki agresif yang berasal dari kamar tidur,
yang diiringi pula suara rintihan seorang perempuan dan
derak-derak sambungan tempat tidur dari kayu itu.
THE CIRCLING SONG Pada saat ia tidur, rasa lelah itu mengalir dari tubuhnya,
rasa perih di tangan dan kakinya menjadi berkurang, dan
pernapasannya berubah menjadi kedamaian intim yang
dengan melaluinya meluncurlah bayangan-bayangan
biasa yang telah lama tertidur di suatu bagian dalam yang
gelap. Suatu gumpal"an cahaya yang telah kehilangan
tenaga masih tetap menari-nari melalui masa istirahat itu,
sambil memancarkan suatu cahaya redup yang menjadikan
dinding-dinding itu tampak terbuat dari bata lumpur,
dengan diselang-selingi cahaya jerami yang berwarna
The Circling Song Lagu Berputar Karya Nawal El Saadawi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuning. Dinding-dinding itu mendaki ke lubang bundar
yang seperti jendela, dan jatuh ke sebuah penutup lantai
yang tampaknya mirip sekali dengan tikar jerami yang
biasa. Di sudut yang satu terbaring ibunya, dengan tarha
hitam itu membalut kepalanya, sedangkan tangan yang
satu lagi menjadi bantal pelipisnya. Di atas pinggirnya
yang lebih dekat tidurlah Hamida, dengan penutupnya
setengah terbuka: mata seorang anak yang telah tertidur
de"ngan irama kisah tidur yang menakutkan. Bibirnya
setengah terbuka di atas gigi yang kecil-kecil dan tembus
cahaya itu yang telah tumbuh baru-baru ini di tempat
gigi susu itu. Napasnya memiliki bau manis yang dengan
samar-samar dikeluarkan oleh putik bunga yang masih
kuncup persis sebelum jatuhnya embun dan datangnya
waktu subuh. Di bawah gallabiyya yang dipotong penuh
NAWAL EL SAADAWI itu, payudaranya tampak seperti dua kuncup kecil yang
baru muncul beberapa saat sebelumnya, yang dengan
tiba-tiba saja tertekan di bawah tangan yang besar
itu, yang datar seperti mata kampak, yang telah mulai
muncul dengan sembunyi-sembunyi di bawah gallabiyya
itu, mengangkatnya dari kaki dan paha yang kecil itu.
Segalanya menjadi terlebur menjadi sebuah benda,
sebuah tongkat berat yang tunggal di tangan pemilik
warung itu, memukulnya dengan pukulan demi pukulan,
di atas kepala dan dada, kemudian di antara pahanya.
Dia pun menjerit, tanpa suara; dan menangis sendirian di
malam itu dalam sedu sedan yang ditahan, dan menelan
air matanya sebelum fajar. Pagi-pagi sekali, sebelum ada
orang yang bangun, ia membuang air matanya ke dalam
kakus, berdiri tegap dengan hati yang teguh, menoleh ke
dalam cermin untuk melihat matanya yang telah dicuci
air mata itu, mengajukan sejumlah pertanyaan.
Namun tidak ada orang yang menjawab perta"
nyaan-pertanyaannya. Tidak seorang pun yang me"
nanggapi punggungnya yang agak bungkuk, jari-jarinya
yang membengkak dan membusuk, telapak kaki yang
pecah-pecah karena tidak mengenakan alas yang sedang
menuruni tangga pembantu. Tangga pembantu itu
berputar ke atas berliku-liku; pada setiap tikungan
THE CIRCLING SONG berputar terdapat sebuah celah gelap yang cukup lebar
untuk menyembunyikan sebuah tindakan kriminal yang
dilakukan diam-diam, dan sebuah tempat sampah yang
telah kepenuhan, sehingga memenuhi lantai dengan lalat
dan kecoa kecil-kecil yang berkeliaran di dasar pintupintu yang menuju ke flat-flat mewah yang berperabot
bagus-bagus itu. Namun demikian, seorang pengamat akan melihat
tidak adanya tanda-tanda kerja paksa pada diri Hamida
pada saat ia naik atau turun tangga itu. Dan apakah
lambang kerja paksa itu" Air mata telah membasuh kedua
matanya sehingga menjadi bersih, dan pandangannya
diarahkan ke atas: dan tidak ada yang penting selain dari
matanya. Semua yang lainnya mungkin sekali bengkak
berdarah dan mengeluarkan nanah; Hamida mungkin
saja sudah tenggelam sampai ke lutut dalam tempat
sampah itu " kotoran binatang, karena tuan-tuannya
dari kalangan pemakan daging, dan daging yang mati itu
mengeluarkan bau yang lebih busuk dibandingkan bau
sayur-sayuran yang busuk. Hamida menginjak bau busuk
itu dengan kakinya, dan mengangkat kepalanya tinggitinggi, dan memahami apa yang orang lain tampaknya
tidak dapat memahaminya. NAWAL EL SAADAWI Apa yang disadari Hamida adalah bahwa sampah
seseorang itu akan bertambah banyak apabila posisi
orang itu dalam masyarakat bertambah tinggi. Sudah
lazim bahwa perut yang telah menyantap lebih banyak
dari lubang mulutnya yang di atas, akan mengeluarkan
lebih banyak lagi dari bawah. Dan wajar sekali, karena
perut tuannya itu tidak dapat dibantah lagi merupakan
perut terbesar yang pernah ada, maka apa pun yang
dikeluarkannya tentu saja paling banyak. Para pembantu
mengangkatnya ke tempat sampah, dan kendaraan
berlapis baja meng"angkutnya ke sebuah tempat yang
jauh di padang pasir, ditumpuk menjadi bentuk sebuah
piramida tinggi, yang akan dinikmati oleh para wisatawan
yang terkagum-kagum. Piramida onggokan sampah yang kecil-kecil itu
terdapat di setiap sudut jalan, yang dari waktu ke waktu
dikunjungi tikus, anjing liar, dan kucing kecil yang
matanya bercahaya dan bundar itu memandang ke atas
seolah-olah mereka adalah anak-anak, dan yang cakarnya"
bernanah seperti jari-jari Hamida"mengais dengan cepat
sekali dan dengan gesit sepotong roti dan sesuatu untuk
membasahinya, sesu"atu yang belum membusuk.
Dengan menggenggam sekeliling sesuatu, jari-jari
Hamida muncul dari tempat sampah itu. Ia membuka
THE CIRCLING SONG tangannya untuk melihat benda apa itu, namun
sebuah cahaya yang tiba-tiba saja jatuh ke atas telapak
tangannya, dan ia bersembunyi di belakang dinding itu.
Cahaya itu mengiringinya, sambil melemparkan sebuah
bayang-bayang yang panjang melintasi lantai itu: sebuah
kepala yang dicukur pendek, bahu-bahu yang lebar dan
ditandai oleh sebaris kancing tembaga yang kuning.
Karena langsung mengenali orang itu, ia megap-megap
dengan keras, dan membuka matanya karena suara kasar
tuannya. "Hamida!" Ia melihat biri-biri betina itu masuk
melalui pintu, diseret oleh tukang jagal itu, dan sadar
bahwa hari ini adalah hari raya kurban yang merayakan
kematian nyonyanya. Pandangannya bertemu dengan mata biri-biri be"tina
itu. Binatang itu menancapkan keempat kaki"nya di lantai
dan menolak untuk bergerak. Hamida memandang ke
dalam bulatan hitam yang dikelilingi warna putih bersih
itu. Menutupi warna putih itu terdapat sebuah pancaran
cahaya yang tidak disangka-sangka yang bergerak di atas
permukaan mata itu, berkilauan, seperti sebuah air mata
besar dan tidak bergerak yang tidak menguap dan tidak
pula jatuh. Matanya menjadi lebar karena kaget, dengan
kekhawatiran seseorang yang telah mengangkat kepalanya
NAWAL EL SAADAWI secara tiba-tiba, hanya untuk melihat ma"tanya sendiri
dalam sebuah cermin yang tadinya tidak pernah ada
sebelumnya. Tukang jagal itu menarik biri-biri betina itu de"ngan
seutas tali pendek yang diikatkan di sekeli"ling lehernya.
Biri-biri betina itu mengikutinya, namun memutar
lehernya ke belakang sehingga tetap menghadap ke arah
Hamida. Jari-jari tukang jagal yang besar dan kasar itu
Pulang 1 Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan Giok Bun Kiam Lu Karya Chin Yung The Brethren 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama