Ceritasilat Novel Online

Fitnah Berdarah 1

Mahesa Kelud - Fitnah Berdarah Bagian 1


SATU MAHESA Kelud letakkan sebuah batu besar di kepala makam di mana jenazah kakek sakti
bernama Karang Sewu dikebumikan nya. Dia menarik nafas dalam, duduk bersila di depan makam. Sambil pandangi makam bertanah merah
itu murid Embah Jagatnata dari gunung Kelud ini
berucap dalam hati. "Karang Sewu, walau pertemuan kita begitu singkat namun aku sudah menganggap dirimu
sebagai guru dan kakek sendiri. Jenazahmu memang sudah aku urus dan aku kebumikan. Manusia iblis yang telah membunuhmu telah pula
aku habisi riwayatnya. Tapi budi dan hutang
nyawa yang aku tanam atas dirimu rasanya tidak
akan lunas sampai kapanpun. Aku berdoa dengan segala derita yang telah aku alami selama
bertahun-tahun kiranya Gusti Allah akan memberikan tempat yang sebaik-baiknya bagimu di akhirat." Mahesa Kelud angkat kedua tangannya ke atas berdoa dan memohon khidmat
kepada Yang Maha Kuasa untuk Karang Sewu yang bukan saja
telah menyelamatkan dirinya dari Gua Iblis tapi
juga telah memberikan satu ilmu kesaktian yang
luar biasa. Sebelum masuk ke dalam gua Mahesa terlebih dulu membuat sebuah obor. Lorong demi lorong dilaluinya. Di satu lorong ditemuinya tiga
pintu batu karang. Dengan mempergunakan pukulan sakti "Karang Sewu" Mahesa Kelud menghantam bobol ketiga pintu itu.
Ruangan di da- lamnya pengap dan sempit. Tiga ruangan berupa
penjara batu itu ternyata kosong.
Mahesa menelusuri sebuah lorong lagi.
Udara di sini terasa panas. Di ujung lorong yang
buntu terdapat satu ruangan berbentuk segi tiga.
Di sini terdapat tiga pintu terbuat dari batu. Mahesa memilih pintu sebelah
tengah. Sekali han- tam saja pintu batu itu berderak lalu runtuh ke
lantai gua. Bau busuk serta merta menusuk hidung Mahesa Kelud. Dia maju tiga langkah sambil
angkat obor di tangan kirinya tinggi-tinggi. Bulu kuduknya langsung merinding.
Sesosok tubuh yang hanya merupakan jerangkong tetapi masih ditempeli gumpalangumpalan daging yang telah membusuk serta digeragoti belatung terkapar di salah satu sudut
ruangan. "Manusia malang ini pasti salah satu dari
lima pendekar yang telah menerima Surat Kematian seperti yang telah diceritakan Karang Sewu,"
membatin Mahesa Kelud. Sambil geleng-geleng
kepala dia tinggalkan tempat itu. Ketika dua pintu batu lagi dibobolnya dia
menemui dua sosok jerangkong yang telah mengering. Agaknya dua
korban keganasan si Nenek Iblis ini menemui ajal
bertahun-tahun lebih lama dibanding dengan
yang pertama tadi. Mahesa mula-mula tak mengerti mengapa
Karang Sewu bisa mempertahankan diri sampai
sepuluh tahun sedang ketiga manusia yang sudah tinggal tulang belulang itu tidak" Disuluhinya kamar sempit tersebut dengan
teliti. Akhirnya jawaban didapatnya. Tiga kamar di mana ketiga
manusia itu terpenjara terletak jauh dari sungai
sehingga udara yang panas sama sekali tidak
membuat adanya lumut yang dapat dimakan pada dinding-dinding kamar batu karang!
"Untung saja si Karang Sewu dan aku dipenjarakan di lorong dekat sungai. Kalau tidak...,"
tegak bulu kuduk pendekar muda itu. "Tapi di mana gerangan dua orang lainnya?"
dia bertanya-tanya dalam hati. Masih ada empat lorong gelap
yang belum diselidiki Mahesa Kelud. Satu demi
satu lorong itu dijelajahinya. Di lorong yang kedua ditemuinya satu kerangka manusia. Kamarkamar sempit di lorong ketiga tidak berpenghuni.
Lorong yang keempat kini. Udara agak sejuk, ini
tanda bahwa lorong itu juga berada dekat sungai.
Kalau saja ada manusia yang dipenjarakan di sini, mungkin masih hidup, pikir Mahesa.
Pintu Karang yang pertama didobraknya.
Kosong. Pintu kedua dipukulnya bobol. Dia menyeruak masuk ke dalam dan undurkan langkah
ketika melihat sesuatu yang bergerak di sudut
ruangan. Mahesa terkejut apakah yang dilihatnya ini
manusia atau setan. Kulitnya putih bulai dan
sangat pucat. Rambutnya juga putih seperti kapas. Kedua matanya yang cekung berputar liar.
Dia lindungi kedua matanya ini dengan belakang
tangan dari silaunya api obor. Perlahan-lahan
makhluk ini berdiri sambil berpegangan ke dinding. Ternyata dia seorang manusia juga adanya.
Tawanan si Nenek Iblis! Keadaan tubuhnya menyedihkan dan nyaris tanpa pakaian.
"Kawan atau lawankah yang datang ini?"
tanya orang yang tubuhnya kurus kering dan
berkulit putih bulai serta pucat, tinggal kulit
pembalut tulang saja. Mahesa menjauhkan obornya dari mata
orang tua yang kesilauan itu. "Jangan khawatir,"
katanya. "Aku sahabat baik yang datang untuk menolongmu. Kau siapa?"
Tawanan tua itu nampak bimbang. "Kalau
kau kaki tangannya si Nenek Iblis, lebih baik bunuh aku cepat!" katanya.
Mahesa gelengkan kepala. "Tadinya aku juga seorang tawanan...."
"Seseorang yang pernah menjadi tawanan
si Nenek Iblis keadaan tubuhnya tidak akan sepertimu! Lagi pula tak ada satu manusia berilmu
tinggi pun sanggup bebaskan diri dari dindingdinding karang tebal yang mengurungnya!"
"Sebaiknya mari kita keluar dari sini. Aku
akan terangkan segala-galanya padamu nanti,"
ujar Mahesa seraya putar tubuhnya.
"Tunggu," terdengar suara tawanan itu ketika dilihatnya Mahesa hendak berlalu.
Si pemuda palingkan kepala. "Kau tahu, aku lima belas tahun lebih dikurung di sini oleh si
Nenek keparat. Kekuatanku seakan-akan punah. Aku tidak bisa
jalan." Mahesa memperhatikan tubuh laki-laki yang sangat kurus dan telanjang di
hadapannya itu. Kedua kakinya kecil sekali, hampir sebesar
tongkat! Mahesa dekati orang itu lalu memapahnya. Beberapa lama kemudian mereka sampai di
luar. Orang yang dipapah Mahesa Kelud memejamkan matanya kesilauan oleh sinar matahari.
Mahesa membawanya ke bawah sebatang pohon.
Lama sekali baru orang ini sanggup membuka
kedua matanya. Itupun masih dengan menyipitnyipit. "Pemuda, kau siapa" Aku berhutang nyawa padamu."
"Sudah kukatakan tadi aku adalah seorang
tawanan si Nenek Iblis juga. Namaku Mahesa Kelud." "Bagaimana kau bisa lolos?"
"Karang Sewu menolong aku."
"Siapa" Karang Sewu..."! Mana dia sekarang?" tanya orang itu dengan nada sangat terkejut. "Dia sudah mendahului kita.
Sejak sepuluh tahun yang lalu dia kena ditipu dan dipenjarakan
oleh si Nenek Iblis di gua itu," menerangkan Mahesa Kelud.
"Tidak mungkin! Mustahil! Tidak ada satu
penjarapun yang sanggup mengurung jago silat
itu! Kau tahu apa artinya Karang Sewu!"
"Mulanya aku juga berpendapat seperti
kau. Tapi kemudian si Karang Sewu menerangkan
padaku bahwa ketika dia dipukul secara pengecut
yaitu tiba-tiba, maka dalam keadaan pingsan tak
sadar diri si Nenek Iblis membacok putus kedua
tangan dan kakinya. Jadi meskipun dia mempunyai ilmu Karang Sewu, tapi percuma saja karena
tangan ataupun kakinya tak bisa dipergunakan."
"Benar-benar terkutuk perempuan iblis itu!
Aku sudah bertekad bulat, bila saja aku sanggup
membebaskan diri atau ada yang menolongku keluar dari gua maut itu aku akan adu nyawa dengan si Nenek Iblis!"
"Kurasa itu sudah tak perlu lagi," kata Mahesa Kelud dengan tersenyum. Dia
menunjuk jauh ke muka sana, ke arah pepohonan.
Orang itu mengikuti jari telunjuk si pemuda dan sambil berpegangan ke batang pohon di
belakangnya dia berdiri. Sesosok tubuh yang telanjang dan berkulit keriputan, berambut putih
jarang menggeletak di tanah tak bergerak-gerak.
Tubuh si Nenek Iblis! "Siapa yang telah membunuhnya"!" tanya
orang itu. "Kebenaran," jawab Mahesa tidak mau ton-jolkan diri.
"Kebenaran?" "Ya. Kebenaran akan selalu membunuh kejahatan. Itu suatu hukum yang tidak tertulis...."
Orang itu tertawa. Untuk pertama kalinya
saat itu baru dia menyadari bahwa dirinya tidak
berpakaian sama sekali. Dia duduk ke tanah dan
melipatkan kedua kaki untuk menutupi bagian
tubuhnya. "Harap maafkan keadaanku," katanya.
"Selama lima belas tahun dikurung, pakaianku hancur luluh menjadi bubuk."
"Tak apa-apa. Nanti kita bisa mencari beberapa potong pakaian untukmu. Kau tahu apa
yang terjadi dengan tawanan-tawanan lainnya
yang berjumlah empat orang?"
"Mereka masih hidup?"
"Mati semua." "Tapi mereka bisa makan lumut di dinding
karang itu...." "Mereka dipenjarakan dilorong yang jauh
dari sungai. Dinding karang yang mengurung mereka tidak menghasilkan lumut. Kita, aku, kau
dan si Karang Sewu masih beruntung terpenjara
di lorong dekat sungai. Kalau tidak nasib kita sa-ma dengan empat tokoh silat
itu. Mati secara mengenaskan, jadi jerangkong lapuk!"
Orang tua di hadapan Mahesa Kelud
menghela nafas panjang. Dia berpaling. Saat itulah sepasang matanya membentur gundukan tanah merah. "Kuburan siapa itu" Kelihatannya masih
baru sekali," si orang tua bertanya.
"Makam Karang Sewu. Orang yang telah
menolong kita..." jawab murid Embah Jagatnata.
Mendengar keterangan Mahesa itu si orang
tua kumpulkan seluruh kekuatannya lalu dengan
beringsut dia mendekati makam Karang Sewu. Di
depan makam dia membungkuk dalam memberi
penghormatan. "Aku tidak bisa membalas budi jasamu.
Aku hanya bisa mendoakan agar Tuhan memberi
tempat yang terbaik bagimu di akhirat..." kata si orang tua pula dengan suara
tersendat. Dia berpaling pada Mahesa. Saat itu Mahesa berkata.
"Kasihan kakek sakti itu. Rupanya Nenek
Iblis mengetahui kalau Karang Sewu telah mengajarkan pukulan sakti Karang Sewu padaku agar
aku bisa lolos. Waktu itu aku sedang bersiap-siap untuk keluar dari dalam
penjara batu. Tahu-tahu perempuan iblis itu sudah menyelinap masuk ke
dalam penjara Karang Sewu dan langsung membunuh orang tua yang tidak berdaya itu!" Kini Mahesa yang menarik nafas panjang.
"Orang tua," katanya pada orang yang duduk di depan makam
Karang Sewu itu. "Kau masih belum terangkan
siapa kau adanya." "Aku orang jauh.... Datang ke sini tak tahunya hanya untuk mencari mati. Aku berasal
dari tanah Bugis. Namaku Ulong Jamber. Suatu
hari sekitar lima belas tahun yang lalu aku mendengar kabar selentingan tentang adanya delapan
helai surat rahasia yang dilayangkan dari Gua Iblis ini. Bukan aku sombong, tapi begitulah. Tanah Bugis penuh dengan jago-jago
silat dan orang-orang sakti. Mereka semua menyeberang ke tanah
Jawa ini untuk dapatkan surat itu. Tapi aku lebih beruntung. Aku berhasil paling
dulu mendapatkan salah satu dari delapan surat itu. Di tengah jalan, dalam perjalanan ke sini aku dihadang
beberapa tokoh silat. Mereka memaksa aku menyerahkan surat. Bentrokan tak dapat dihindarkan. Semua menemui ajal di tanganku. Tapi tak
tahunya Nenek Iblis penghuni Goa ini menipuku.
Aku jauh-jauh datang untuk mendapatkan Cambuk Iblis yang menurut isi surat siapa yang memilikinya pasti akan merajai dunia persilatan delapan penjuru angin. Namun nasib yang kutemui
adalah dipenjarakan sampai belasan tahun. Untung saja ada kau, kalau tidak mungkin untuk
seumur hidup aku akan disekap di ruang batu
karang itu! Aku berhutang nyawa padamu, Mahesa." "Kau salah. Bukan padaku Ulong Jamber tapi pada Karang Sewu. Dan aku juga
berhutang nyawa serta budi padanya...."
"Mahesa Kelud, kau beruntung memiliki
ilmu pukulan Karang Sewu itu. Kau punya harapan besar akan merajai dunia persilatan. Tentunya kau sudah dapatkan Cambuk Iblis itu," ka-ta Ulong Jamber.
Si pemuda tersenyum pahit. "Tentang
Cambuk Iblis itu..." katanya, "Cerita kosong belaka!" "Cerita kosong bagaimana?"


Mahesa Kelud - Fitnah Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya Ulong Jamber tak mengerti.
"Si Nenek Iblis sengaja menyebarkan delapan helai surat rahasia untuk menarik orangorang dari kalangan persilatan agar datang ke sini, ke guanya, untuk dibunuh! Sedang maksud
utamanya ialah memancing seorang jago tua bernama Simo Gembong yang tak lain adalah bekas
kekasihnya sewaktu masih gadis." Untuk lebih jelas bagi Ulong Jamber maka Mahesa
Kelud ke- mudian tuturkan kisah riwayat hidup si Nenek Iblis yang didengarnya dari Karang Sewu. Ulong
Jamber tak habisnya geleng-gelengkan kepala begitu selesai mendengarkan penuturan Mahesa.
"Simo Gembong bukan seorang manusia
yang mudah untuk dipancing," kata Ulong Jamb-er pula.
"Kau kenal dia dan di mana beradanya sekarang?" tanya Mahesa Kelud.
"Semua orang di dunia persilatan tak ada
yang tak pernah dengar nama itu. Simo Gembong
pernah menggetarkan dunia persilatan bahkan
dianggap sebagai raja rimba persilatan secara tidak resmi. Kalau si Nenek Iblis ingin balaskan
sakit hatinya dan kalau sekiranya Simo Gembong
berhasil dipancingnya, maka sangat kecil kemungkinan bahwa si Nenek Iblis akan sanggup
melayani jago tua itu sampai sepuluh jurus sekalipun! Tapi anehnya sekitar lima tahun belakangan ini Simo Gembong hilang lenyap begitu saja.
Meskipun namanya tetap menggetarkan kalangan
persilatan namun tidak satu orangpun tahu di
mana dia berada...."
"Mungkin sudah mati?" ujar Mahesa Kelud.
Ulong Jamber gelengkan kepala.
"Mustahil sesudah tahunan begini kalau
dia mati tak ada satu manusiapun yang tahu.
Yang menyulitkan ialah sepanjang pengetahuan
dia tidak pernah mempunyai seorang muridpun
sehingga sukar dicari jalan untuk mengikuti jejaknya. Semasa hidupnya karena kelakuannya
yang buruk dia banyak punya musuh. Dia tukang
mainkan anak gadis orang bahkan juga isteri
orang. Dia perusak rumah tangga orang. Tapi setiap orang yang sakit hati dan mendendam kepadanya tidak berdaya berbuat suatu apa ketika
mereka mengetahui siapa adanya orang yang mereka hadapi yaitu Simo Gembong. Seorang raja silat yang tak bisa dilawan meskipun dengan dikeroyok oleh lima pendekar silat kelas utama!"
"Sulit juga kalau begitu...." desis Mahesa Kelud. "Apa yang sulit, anak muda?"
tanya Ulong Jamber. "Ulong, aku berterus terang padamu. Aku
belum lama turun gunung. Ketika dilepas oleh
gurukku aku dibekali dua tugas berat. Yang pertama mencari pedang bernama Samber Nyawa
dan yang kedua mencari serta membunuh Simo
Gembong dengan pedang itu...."
Ulong Jamber termenung seraya kedua
matanya yang mulai biasa dengan sinar matahari
memandang ke kejauhan. "Tentang pedang
Samber Nyawa itu tidak bisa dipastikan kebenaran adanya. Seribu satu cerita mengenai kehebatan pedang ini tersebar ke pelbagai penjuru namun di mana adanya itu senjata tak satu manusia pun yang tahu. Kau bilang tadi bahwa kau ditugaskan oleh gurumu untuk mencari Simo Gembong. Kalau aku boleh tahu Mahesa, siapa gurumu adanya?" "Embah Jagatnata. Beliau diam di puncak
gunung Kelud. Kau kenal padanya barangkali?"
Ulong Jamber gelengkan kepala. "Dia tentu
seorang yang berilmu sangat tinggi. Tapi sayang
aku baru kali ini dengar nama itu. Sebagai muridnya kau tentu punya ilmu tinggi pula, Mahesa.
Ditambah lagi dengan pukulan Karang Sewu yang
kau dapat dari Karang Sewu. Namun demikian
untuk menghadapi Simo Gembong dalam menjalankan tugas gurumu itu nanti hati-hatilah. Selama hidupnya Simo Gembong tidak pernah menjadi seorang pecundang!"
"Aku tahu, mudah-mudahan aku berhasil
menemui pedang Samber Nyawa. Bila tidak, aku
tetap akan lakukan tugas guruku sekalipun untuk berhasilnya aku harus bayar dengan nyawa."
"Kau seorang murid yang patuh, Mahesa.
Gurumu tentu sangat menyayangimu," kata
Ulong Jamber pula. Dia berdiri dan berkata: "Sebelum senja datang sebaiknya kita
masuk ke da- lam gua kembali untuk mencari secarik pakaian
yang dapat menutupi tubuhku. Aku tak bisa
kembali ke Bugis dengan telanjang seperti ini...."
Mahesa berdiri. Obor yang tadi dipadamkan kini dihidupkan kembali. Kedua orang itu
masuk ke dalam gua. Menjelang senja mereka
sudah keluar dan Ulong Jamber tampak memakai
sehelai kain hitam. Kain ini milik si Nenek Iblis.
Bagi Ulong Jamber adalah jauh lebih baik memakai kain perempuan yang dibencinya itu daripada
harus bertelanjang bulat.
"Malam ini sebaiknya kita bermalam saja di
sini. Besok pagi kau lanjutkan perjalanan dan
aku sendiri akan kembali ke Bugis."
Mahesa Kelud mengangguk menyetujui
usul Ulong Jamber itu. Pemuda ini segera mencari kayu dan ranting-ranting kering untuk membuat perapian. DUA PERLAHAN-LAHAN api perapian mulai padam. Mulut gua di mana kedua orang itu terbaring diliputi kegelapan. Sesosok tubuh bergerak
seperti melayang-layang mendekati Mahesa Kelud
yang tengah terbaring tidur dengan nyenyaknya.
Sebagai orang berilmu tinggi yang punya naluri
tajam biasanya jika ada orang yang melangkah di
dekatnya, walau bagaimana pun nyenyaknya tidur Mahesa Kelud akan terbangun dengan cepat.
Tapi kali ini anehnya tidak demikian adanya.
Apakah makhluk yang mendekati si pemuda, berilmu lebih tinggi sehingga baik telinga maupun
naluri perasaan Mahesa tidak sanggup menangkap suara kaki-kakinya yang melangkah"
Sosok tubuh itu berlutut di hadapan Mahesa Kelud, tiba-tiba dia ulurkan kedua tangannya ke arah leher si pemuda. Jari-jarinya yang
kurus-kurus panjang mencekik dan meronta. Kedua matanya membuka besar dan membentur satu wajah yang menyeramkan di atasnya. "Mampus! Mampuslah kau pemuda terkutuk." kata
makhluk itu. Mahesa yang sudah menyengal nafasnya
dengan sekuat tenaga menghantamkan lututnya
ke tubuh makhluk yang mencekiknya itu. Tapi
tumitnya seperti mengenai angin kosong. Dipergunakannya tangan kanannya untuk memukul.
Lagi-lagi dia hanya menghantam tempat kosong.
Tanpa pikir panjang si pemuda yang untung saja
masih belum kehilangan akalnya itu segera gulingkan diri ke samping. Cekikan pada lehernya
terlepas. Dengan cepat Mahssa bangkit berdiri!
Betapa terkejutnya pemuda ini ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya saat itu.
Tak lain si Nenek Iblis! Ada keanehan yang mengerikan pada diri makhluk itu. Wajahnya lebih
mengerikan sedang tubuhnya seperti meliuk-liuk
tak ubahnya laksana api pelita yang dihembus
angin. Ketika dia melihat kaki itu sama sekali tidak menyentuh tanah maka
maklumlah kini Ma- hesa Kelud dengan siapa dia berhadapan saat itu.
Yang dilihatnya memang berwujud si Nenek Iblis
yang tadi siang dibunuhnya, tapi sebenarnya
hanya merupakan roh halusnya. Roh halus yang
jahat atau jelasnya setan jadi-jadian!
Di malam yang sunyi dan dingin itu tibatiba terdengar suara tawa cekikikan makhluk di
hadapan Mahesa. Tubuhnya bergerak mendekati
pemuda itu, melangkah tanpa kaki menginjak
bumi, seperti orang yang pandai melayang. Kedua
tangannya terulur ke muka dan senantiasa mengarah ke batang leher Mahesa. Si pemuda mundur. "Jangan lari Mahesa! Kau telah bunuh aku.
Sekarang mari ikut sama-sama aku ke lobang neraka! Hi... hi... hi!"
"Pergi!" bentak si pemuda seraya hantamkan tangan kanannya ke muka. Tapi yang
dipu- kulnya hanya udara kosong. Tubuh makhluk
yang di hadapannya meliuk-liuk dan semakin dekat. Mahesa memukul lagi. Dia tahu bahwa tinjunya itu pasti sudah sampai di sasarannya tapi
yang dipukulnya tetap saja udara kosong karena
memang tubuh yang dipukulnya itu bukan tubuh
kasar melainkan roh halus yang jahat!
Mahesa cepat melompat ke samping ketika
setan si Nenek Iblis hendak mencekik lehernya.
Dia meloncat lagi menjauh kira-kira sepuluh
langkah. Setan jahat di hadapannya memutar tubuh dan mengejar. Mahesa maklum bahwa makhluk seperti itu tak bisa dihadapi dengan ilmu
kasar. Cepat-cepat ini pemuda sedekapkan kedua
tangannya di muka dada. Kedua matanya dipejamkan dan dalam hatinya dia mulai semedi
membaca mantera. Setan perempuan jahat itu
sampai di hadapan Mahesa Kelud dan segera
mencekik leher si pemuda. Mahesa tak bergerak
barang sedikit pun! "Kau harus ikut aku ke neraka Mahesa!
Harus ikut. Hi... hi... hi... hi...!" Mendadak suara
tertawa cekikikan makhluk halus ini menjadi terhenti dan berganti dengan jeritan yang melolong
setinggi langit! Tangannya yang mencekik terlepas dan kelihatan berubah menjadi
asap! Makhluk ini menjerit terus dan mundur. Perlahan-lahan Mahesa membuka kedua matanya. Pandangannya
yang tajam menyorot ke makhluk di hadapannya.
Kedua tangan yang bersedekap di muka dada dibuka dan kini mengembang dengan telapaktelapak yang terpentang. Dari telapak tangan itu
keluar angin sangat panas, menderu keras ke
arah tubuh halus dari si Nenek Iblis. Inilah ilmu api yang berhasil dikuasai
oleh Mahesa Kelud dengan sempurna ketika dia digembleng dipuncak
gunung Kelud tempo hari oleh Embah Jagatnata.
"Tidak! Jangan.... Ampun!" terdengar jeritan setan Nenek Iblis.
Mahesa membuka mulutnya, "Makhluk halus, kembali ke tempat dari mana kau datang.
Jangan gentayangan...."
"Tidak... ya... ya... aku kembali. Ampun!"
"Kembali cepat!"
Makhluk dihadapannya melayang meliukliuk ke arah pepohonan di mana di tempat yang
kegelapan terbujur mayat si Nenek iblis. Di hadapan mayat ini makhluk tadi berhenti. Tubuhnya
perlahan-lahan, sedikit demi sedikit berubah
menjadi kepulan asap tipis yang sesaat demi sesaat hilang lenyap dihembus angin malam yang
dingin. Perlahan-lahan Mahesa Kelud menurunkan
kedua tangannya yang terpentang lebar. Disekanya keningnya yang basah dengan keringat.
Diaturnya jalan nafas dan jalan darahnya. Sesudah itu dia melangkah ke tempat di mana dia tadi
tidur. Di sebelah sana dilihatnya Ulong Jamber
pulas nyenyak. Apa yang telah terjadi tidak diketahuinya. Jeritan-jeritan makhluk halus tadi sama sekali tidak sampai kepada pendengarannya
karena memang makhluk itu tidak bermaksud
mencelakakannya tapi mencelakakan Mahesa Kelud. Sampai hari pagi, sampai ketika langit di sebelah timur mulai terang oleh
singsingkan fajar, sesudah peristiwa mengerikan malam itu maka
Mahesa Kelud tidak tidur barang sedikitpun. Dia
duduk bersandar ke mulut gua.
Sesaat kemudian dilihatnya tubuh Ulong
Jamber bergerak tanda orang ini sudah bangun
dari tidurnya. TIGA MAHESA KELUD keluar dari dalam sungai
berair sejuk serta bening itu. Tubuhnya terasa se-gar sehabis mandi. Dengan
bernyanyi-nyanyi kecil dia melangkah ke tempat di mana dia meninggalkan pakaiannya. Di bawah pakaian itu diletakkannya pedang milik si Cakar Setan. Dia tak perlu khawatir akan dilihat atau dipergoki orang karena bagian sungai di mana dia berada saat itu
adalah bagian yang ter sunyi, lagi pula hari masih
sangat pagi. Selesai berpakaian maka pedang si
Cakar Setan disisipkannya di belakang punggung
dan dia segera melangkah hendak berlalu. Namun
satu suara membentak serta merta membuat ini
pemuda hentikan langkahnya.
"Maling busuk pembunuh keji, jangan pergi
dulu!" Suara itu keras tetapi halus seperti suara perempuan. Mahesa memutar
tubuhnya dan memandang berkeliling. Tak ada satu orangpun yang
dilihatnya. Dia jadi terheran-heran. Suara siapa tadi itu, pikirnya. Tiba-tiba


Mahesa Kelud - Fitnah Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari sebatang pohon tak jauh di hadapannya melayang turun sesosok
tubuh berbaju kuning. Dan di hadapan Mahesa
Kelud kini berdirilah seorang gadis berparas jelita.
Kulitnya putih. Dia memakai pakaian laki-laki
berwarna kuning. Pakaiannya ini menambah kejelitaannya. Rambutnya yang hitam disanggul di
atas kepala, dihiasi sekuntum bunga mawar kuning. Meskipun pandangannya menyorot dan beringas penuh kebencian pada Mahesa Kelud tapi
justru inilah yang membuat parasnya jadi tambah
cantik. Mau tak mau pemuda kita dibuat terpesona juga jadinya. Dari bentuk pakaian yang dikenakan oleh gadis itu Mahesa maklum bahwa si
baju kuning ini adalah seorang gadis dari dunia
persilatan. Tadi dia telah pula menyaksikan bagaimana ketika melayang turun tubuh si gadis
tak ubahnya seperti seekor burung dan waktu
kedua kakinya menyentuh tanah tidak sedikit suara pun yang kedengaran. "Gadis berbaju kuning, siapakah orang
yang kau maki dengan kata-kata maling busuk
dan pembunuh keji tadi...?" tanya Mahesa Kelud.
Si gadis mengeluarkan suara mendengus
dari hidungnya. "Dasar pemuda edan, masih tidak tahu diri! Cis!"
Mahesa Kelud menaikkan kedua alis matanya. "Aku edan katamu" Edan bagaimana..."
Aneh! Baru kali ini bertemu muka tahu-tahu aku
sudah dicap pemuda edan! Memangnya kenapa?"
"Kalau kau tidak edan tentu kau tak akan
berlaku pura-pura tidak mengerti bahwa kaulah
yang menjadi maling busuk dan pembunuh keji
itu!" tukas si gadis ketus.
"Nah... nah... sekarang makin banyak gelaran atas diriku. Pemuda edan, maling busuk dan
pembunuh keji. Kalau ada pemuda edan tentu
ada pemuda benar. Kalau ada maling busuk tentu
ada maling harum dan kalau ada pembunuh keji
tentu ada pembunuh terhormat...," Mahesa tertawa. Ini membuat si gadis baju
kuning di hada- pannya jadi naik darah. "Pemuda criwis...!"
"Oh tambah satu lagi gelaranku"!"
"Diam! Tutup mulutmu!" bentak si gadis
penuh gusar. "Baik. Aku akan tutup mulut!" kata Mahe-sa Kelud pula sambil katupkan bibirnya
rapat- rapat. Si gadis semakin gemas. Dia maju satu
langkah. "Akui terus terang bahwa kaulah bang-satnya yang telah membunuh Cakar
Setan, men- curi surat rahasia dan pedang Naga Kuning! Ayo
akui!" Mahesa Kelud bungkam seribu bahasa.
Kedua bibirnya masih terkatup rapat.
"Ayo mengakulah!"
Mahesa masih diam. "Kurang ajar! Jawab atau kau mau mampus lebih cepat"!"
"Kau ini bagaimana" Mana bisa aku menjawab kalau tadi kau suruh aku menutup mulut
rapat-rapat" Kau suruh aku tutup mulut"!"
Saking gemasnya si gadis baju kuning
mendengar kata-kata Mahesa Kelud itu dia sampai hentakkan kaki ke tanah.
"Kupecahkan mulutmu! Tidak tahu kau
berhadapan dengan siapa" Aku muridnya si Cakar Setan yang akan mencabut nyawamu karena
telah membunuh guruku!"
"Oh, jadi aku berhadapan dengan murid
seorang pendekar ternama" Ah, mengapa tidak
bilang dari tadi?" Mahesa Kelud menjura memberi penghormatan. Diperlakukan
seperti itu si gadis baju kuning menjadi semakin penasaran. Wajahnya yang cantik jelita menjadi sangat merah.
"Kembalikan pedang Naga Kuning itu padaku cepat!" Mahesa memperhatikan jari-jari tangan si
gadis. Jari-jari itu berkuku panjang tapi bagus
dan rapi tanda mendapat rawatan yang baik.
"Pedang itu tidak ada padaku," kata si pemuda menjawab pertanyaan murid Cakar
Setan tadi. "Jangan dusta!" bentak si gadis. "Aku lihat sendiri senjata itu kau
sisipkan di batik pung-gungmu sehabis mandi tadi!"
"Hem..." gumam Mahesa Kelud. "Jadi kau telah mengintip aku mandi?" Si pemuda
mengulum senyum. "Seumur hidupku baru kali ini ku-ketahui ada gadis yang suka
mengintip pemuda mandi. Biasanya pemudalah yang suka mengintip
seorang gadis sedang mandi. Rupanya dunia sudah terbalik kini heh"!"
Air muka murid Cakar Setan menjadi merah untuk kesekian kalinya. "Pemuda rendah!
Kau benar-benar menghina! Rasakan ini!" Dengan serentak si baju kuning menyerbu
ke muka mengirimkan satu jotosan tangan kanan ke dada Mahesa Kelud. Merasakan angin pukulan yang keras, Mahesa Kelud cepat-cepat menggeser kedua kakinya
dan mengelak. Jotosan yang hebat lewat. Begitu
tinjunya mengenai tempat kosong si gadis dengan
serentak membalik dan kini tinju kirinya yang
melayang ke muka, rendah mengarah lambung
Mahesa Kelud. Pemuda itu melompat ke samping.
Dengan gusar si gadis lancarkan serangan susulan yakni berupa tendangan kaki kanan ke selangkangan Mahesa. Murid Embah Jagatnata tidak mau konyol. Serangan lawannya tidak mainmain dan dengan cepat dia melompat ke atas seraya kembangkan kedua kakinya. Kalau dia mau,
sambil melompat itu dia bisa mengirimkan satu
serangan balasan ke kepala si gadis tapi entah
mengapa Mahesa tidak mau melakukannya. Demikianlah selama beberapa jurus Mahesa Kelud
senantiasa melayani si gadis dengan mengelak terus-terusan, tak mau menyerang.
"Manusia rendah"! Mengapa mengelak saja" Apa kau ingin mampus tanpa perlawanan"!"
gertak si gadis baju kuning.
"Dengar sahabat...."
"Cis! Jangan panggil aku sahabat! Aku bukan sahabatmu! Aku ingin jiwamu, tahu" Ini!
Mampuslah!" Murid si Cakar Setan mengirimkan serangan lagi, lebih dahsyat dari
yang tadi. Kedua tinju menghantam ke muka, ke dada dan ke kepala Mahesa Kelud.
Sambil lompatkan diri dia
dengan serentak kirimkan pula tendangan kaki
kiri ke perut lawan. Mahesa rundukkan kepala. Jotosan lawan
lewat. Serangan yang mengarah dada ditangkisnya dengan bentengan lengan sedang tendangan
kaki si gadis ditunggunya dengan lipatan lutut ki-ri. Murid si Cakar Setan karena Mahesa Kelud terus-terusan bersikap bertahan - dengan sendirinya sama sekali tidak mengetahui betapa tingginya tenaga dalam lawannya. Untuk mengadu
kakinya dengan lutut lawan memang dia tidak berani tapi hantaman tangan kanannya tetap diteruskan. "Buuukk!" Lengan si gadis beradu keras dengan lengan Mahesa Kelud. Si gadis terkejutnya bukan
main. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang sedang lengannya terasa
sangat sakit. Ketika dilihatnya ternyata kulit lengannya menjadi kemerahmerahan. Mahesa Kelud berdiri dengan tersenyum.
"Gadis baju kuning," katanya, "Dari pada berke-lahi tak tentu ujung pangkal
sebaiknya mari kita bicara baik-baik. Apa yang kau ingini?"
"Siapa sudi bicara dengan manusia rendah,
maling busuk dan pembunuh keji seperti kau!
Kau boleh bicara dengan setan kuburan nanti!"
Dari balik pinggangnya gadis itu mengeluarkan
sesuatu. Mahesa memperhatikan ingin tahu apa
yang diambil lawannya. Ternyata sehelai selendang berwarna kuning. "Senjata apa pula ini?" pikir Mahesa Kelud dalam hatinya.
"Pemuda edan, bersiaplah untuk mampus!
Agar kau mati tidak penasaran katakanlah dulu
siapa namamu!" "Kalau kau tanya namaku, Mahesa Kelud.
Itulah. Sebaliknya namamu siapa gadis baju kuning...?" "Namaku tanyakanlah nanti pada setan kuburan," jawab si gadis dan
melompat ke muka seraya kebutkan selendang kuning yang di tangan
kanannya. Mahesa Kelud cepat-cepat menghindarkan
diri ketika dia merasakan sambaran angin dingin
dan tajam keluar dari selendang kuning tersebut.
Matanya terasa agak perih. Pemuda ini bertindak
hati-hati kini. Selendang di tangan si gadis merupakan senjata ampuh. Bisakah
dia terus-terusan mengambil sikap bertahan, pikir Mahesa.
"Gadis baju kuning, dengarlah! Mari kita
bicara secara baik-baik dulu. Aku...."
Sssret...! Selendang kuning menyambar
ganas ke mukanya. Mahesa melompat mundur.
Lawannya mengejar dengan melompat. Dia kebutkan selendangnya sekali lagi dan bersamaan
dengan itu jari-jari tangan kirinya yang berkuku
panjang diacungkannya ke depan coba mengoyak
dada Mahesa Kelud. Melihat serangan ganas ini si
pemuda membuang diri ke samping kanan. Tangan kanannya bergerak coba merampas selendang di tangan si gadis. Tapi dengan cerdik murid Cakar Setan putar selendang
itu dan kini turun membabat ke arah perut Mahesa Kelud.
Untuk kesekian kalinya murid Embah Jagatnata hindarkan diri dengan melompat. Serangan tangan kiri lawannya ditangkisnya dengan
lengan kanan. Si gadis yang memaklumi ketinggian tenaga dalam lawan tidak berani lagi untuk
mengadakan bentrokan. Cepat-cepat dia tarik pulang tangan kirinya dan sebagai ganti dia sorongkan lututnya ke muka seraya melompat ke atas.
Melihat datangnya lutut lawan, Mahesa berkelit
ke samping kiri tapi gerakannya ini disambut oleh si gadis dengan sambaran
selendang. Walau selama ini dia senantiasa mengambil sikap bertahan
maka serangan yang dahsyat itu sukar juga bagi
Mahesa untuk mengelak tanpa mengirimkan serangan. Sekedar mengelak saja dia sanggup tapi
masih ada kemungkinan sambaran selendang
akan mampir di tubuhnya. Meskipun dia tidak
sampai hati untuk balas menyerang terhadap lawannya yang cantik jelita itu namun Mahesa Kelud juga tidak mau kena dicelakai.
Sambil elakkan serangan lutut dia merunduk dan kirimkan jotosan tangan kiri ke arah
sambungan siku tangan yang memegang selendang dari si gadis. Di lain pihak si gadis menyadari bahwa selendangnya akan berhasil mencari sasaran di
muka lawan namun untuk itu kemungkinan besar sambungan sikunya akan kena dipreteli. Dia
tidak mau untung-untungan. Dia maklum kekuatan tenaga dalam yang tersembunyi di balik jotosan Mahesa Kelud. Karenanya dia cepat-cepat tarik pulang tangan kanannya yang memegang selendang. Jotosan tangan kiri Mahesa jadi mengenai tempat kosong. Si pemuda tidak mau merugi
begitu saja. Tangan kirinya di putar dengan cepat sedemikian rupa dan tahu-tahu
balik menyambar ke arah selendang. Murid si Cakar Setan yang tahu maksud
lawannya yaitu hendak merampas selendang tidak berdiam diri. Kaki kanannya bekerja, menendang ke pinggul Mahesa Kelud. Mahesa cepatcepat membentengi tubuhnya dengan lipatan lutut kiri tapi dengan kecepatan yang luar biasa si
gadis tarik pulang kaki kanannya dan sebaliknya
kini kaki kirinyalah yang menendang. Diam-diam
Mahesa Kelud mengagumi juga kehebatan silat
lawannya. Tangan kirinya yang tadi terulur untuk merampas selendang ditariknya dengan cepat. Tubuhnya miring ke kiri untuk hindarkan tendangan kaki lawan yang tak terduga. Celakanya waktu memiringkan tubuh itu salah satu kaki Mahesa Kelud terpeleset. Meskipun dia sanggup mengelakkan tendangan tersebut namun tak urung
pakaiannya kena terserempet.
"Brett!" Pakaian si pemuda robek besar. Mahesa
Kelud memaki dalam hatinya. Dia melompat menjauh. "Gadis baju kuning," kata Mahesa. "Aku tanya untuk penghabisan kalinya,
kau mau bicara dulu secara baik-baik atau tidak"!"
"Pemuda sedeng! Apa kau tuli dan tidak
dengar kata-kataku tadi bahwa aku tidak sudi bicara dengan kau"!"
"Dengar, gadis sombong! Aku tidak mau
cari urusan dengan kau...,"
"Sesudah kau curi pedang guruku, sesudah kau curi surat rahasia itu dan sesudah kau
bunuh beliau kau bilang tidak mau cari urusan"
Terkutuk! Pengecut!"
"Aku tidak melakukan itu semua! Bukan


Mahesa Kelud - Fitnah Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku! Aku akan terangkan padamu...."
"Persetan dengan keteranganmu! Ringkas
kata kau harus mampus di tanganku!" si gadis
maju ke muka beberapa langkah.
"Gadis keras kepala!" maki Mahesa. "Orang sudah mengalah masih saja hendak
lampiaskan nafsu amarahnya. Baik, majulah! Aku tak segansegan lagi untuk main-main dengan kau. Silahkan mulai...!" Dan pemuda ini bersiap memasang kuda-kuda baru.
EMPAT SI GADIS baju kuning melangkah maju
mendekati pemuda yang menjadi lawannya itu.
Diparasnya yang cantik jelita terbayang rasa kebencian yang amat sangat. Ini cukup menyatakan
bahwa dia memang bertekad bulat untuk habisi
nyawa Mahesa Kelud. Lima langkah dari hadapan
lawannya, murid si Cakar Setan lompatkan diri.
Tubuhnya melesat. Bersamaan dengan itu dia
hantamkan kaki kirinya ke arah dada. Mahesa
berkelit ke samping sambil mengirimkan jotosan
tangan kanan ke muka si gadis. Dengan sangat
gesit gadis baju kuning itu memutar tubuhnya di
udara. Jotosan si pemuda lewat dengan mengeluarkan suara angin bersiuran. Tanpa menunggu
sampai kedua kakinya menjejak tanah si gadis
yang tadi tendangannya hanya mengenai tempat
kosong ini kembali pergunakan kaki kanan untuk
menendang sedang selendang di tangan kanannya
berkelebat ke kepala Mahesa Kelud.
Mahesa Kelud merunduk. Tubuhnya dimiringkan ke samping sedikit. Begitu tendangan lawannya lewat dia melompat dengan kedua tangan
terulur ke muka coba hendak menangkap pinggang lawannya. Tapi si gadis tidak bodoh. Cepat
dia lipatkan lutut kanan dan hantamkan ke kepala Mahesa. Melihat ini Mahesa cepat-cepat tarik
pulang tangannya. Seperti satu pohon besar yang
tumbang, murid Embah Jagatnata jatuhkan dirinya ke tanah, lalu bergulingan. Dan sambil bergulingan ini dia berusaha menangkap kaki kiri si
gadis yang menjejak tanah. Tapi lebih cepat, dengan gesit si gadis melompat ke atas dan kebutkan
selendangnya. Kebutan selendang hanya mengenai tempat kosong karena Mahesa sudah berlalu
dan beberapa saat kemudian pemuda ini sudah
berdiri di sebelah sana dengan bertolak pinggang.
Diam-diam pemuda ini mengagumi kehebatan lawannya. "Ilmu silatmu hebat, baju kuning!" memuji Mahesa Kelud. "Cuma sayang, mengapa
kau keras kepala, tidak mau mendengar keterangan
orang lebih dahulu"!"
"Jangan bermulut besar. Terima ini!" Si gadis memutarkan selendang kuningnya di
atas ke- pala. Terdengar suara angin menderu. Tiba-tiba
selendang itu melayang turun dengan deras ke
arah pundak kanan Mahesa Kelud. Dengan tenang pemuda ini menyingkir ke samping kiri. Tidak terduga sambaran selendang dengan cepat
berubah dan kini memapas ke perut Mahesa Kelud. Pemuda ini melompat ke belakang, si gadis
memburu. Pada saat inilah Mahesa kelihatan
berkelebat cepat dan tahu-tahu dia lenyap dari
pandangan si gadis! Murid si Cakar Setan penasaran. Dia gertakkan gerahamnya karena menyangka si pemuda yang menjadi musuh besarnya itu melenyapkan diri alias kabur ambil langkah seribu.
Tapi alangkah terkejutnya ketika di belakangnya
dia dengar suara orang yang diiringi suara tertawa mengejek. "Jangan kebingungan baju kuning!
Aku ada di sini!" Dengan cepat si gadis balikkan tubuh dan
di hadapannya dilihat Mahesa Kelud berdiri bertolak pinggang, mengulum senyum mengejek. Mendidih darah gadis ini. Dengan cepat dia melompat
ke muka dan kebutkan selendangnya. Tapi lagilagi dia dibikin kecele karena serangannya itu
cuma mengenai tempat kosong.
"Aku di sini, di sampingmu! Mengapa menyerang angin"!"
"Pemuda rendah! Tunggulah! Sebentar lagi
kupecahkan kepalamu!" bentak si gadis.
"Ah! Dari tadi kau cuma bilang sebentar lagi, sebentar lagi! Tapi buktinya kosong semua.
Percuma kau jadi murid si Cakar Setan!"
"Setan alas! Jangan hina guruku!" Dengan amarah meluap si gadis baju kuning
kirimkan serangan berantai yang cepat. Tubuhnya berkelebat. Tinju kiri, kebutan selendang dan tendangan
kaki datang ganti berganti bahkan tak jarang secara berbarengan, bertubi-tubi seperti hujan!
Namun semua serangan itu, semua ilmu kepandaian yang dipelajarinya selama tahunan pada
gurunya, sedikitpun tidak membawa hasil! Mahesa Kelud yang menjadi lawan gerakannya jauh lebih cepat dari dia sendiri sehingga tubuh si pemuda seakan-akan lenyap. Tak terasa lagi keduanya telah bertempur dua puluh jurus lebih!
Si gadis baju kuning menghentikan serangannya dengan tiba-tiba. Dia berdiri sembilan
langkah di hadapan Mahesa Kelud. Diaturnya jalan nafas serta aliran darahnya dengan cepat sedang kedua matanya menyorot ganas pada si pemuda. Mahesa tetap berdiri di tempat dengan tenang dan masih saja mengulum senyum. Meskipun dia tahu bahwa murid si Cakar Setan itu bertekad bulat untuk habisi nyawanya. Namun untuk membenci dan melakukan serangan balasan
yang dapat membuat cedera pada si gadis dia tidak sampai hati. Karena itu sengaja dipermainmainkannya murid Cakar Setan itu.
Mahesa memperhatikan bagaimana si gadis
memindahkan selendang kuning yang di tangan
kanannya ke tangan kiri. Kemudian tangan kanan
itu bergerak ke balik punggung. Dan sebatang
pedang berwarna putih berkilauan kena sinar matahari kini tergenggam di tangan tersebut. Diamdiam Mahesa Kelud terkejut juga melihat senjata
ini. Tapi dengan tersenyum dia berkata:
"Aha.... Seorang murid pendekar ternama
tidaklah malu sampai memakai dua senjata untuk menghadapi seorang lawan yang bertangan
kosong"!" "Terhadap manusia busuk sepertimu tidak
usah pakai segala peradatan persilatan! Yang
penting kau harus mampus! Habis perkara!" bentak si gadis.
Habis membentak begitu tubuhnya melompat ke muka. Pedang di tangan kanan memapas ke kepala, selendang kuning menyambar ke
dada sedang tendangan kaki kanan menghantam
ke bawah perut! Benar-benar rangkaian serangan
luar biasa dahsyat dan mematikan! Ketiga serangan itu mengeluarkan angin tajam yang bersiuran. "Trang!" Terdengar suara beradunya senjata. Si gadis merasakan tangan kanannya yang memegang
pedang tergetar keras. Selendangnya menghantam tempat kosong, demikian juga tendangannya.
Dan sesaat kemudian di muka sana dilihatnya
Mahesa Kelud jungkir balik lantas berdiri dengan
cepat, memasang kuda-kuda sedang di tangan
kanannya sudah tergenggam sepucuk pedang
berwarna kuning. Pedang Naga Kuning! Si gadis
sampai tidak dapat melihat sama sekali bagaimana cepatnya si pemuda mengambil pedang tersebut. Melihat pedang gurunya di tangan lawan
semakin memuncaklah amarah si gadis. Tak menunggu lebih lama lagi dia segera menyerang
kembali. Dua tubuh berkelebat cepat. Pedang putih dan selendang kuning menggempur pedang
kuning. Tapi gempuran itu menemui jalan buntu
karena si pemegang pedang kuning pagi-pagi sudah putar senjatanya sedemikian rapat sehingga
tidak memberikan kesempatan sama sekali bagi
lawannya. Ketika dia kena didesak hebat, diam-diam
si gadis memaklumi bahwa sampai seratus jurus
di muka, meskipun dia keluarkan semua ilmu
simpanannya namun dia tak akan sanggup
menghadapi lawannya. Hatinya meradang karena
dia tidak bisa menuntut balas melepaskan sakit
hatinya terhadap pemuda ini yang diketahuinya
sebagai pembunuh gurunya, yang telah mencuri
pedang Naga Kuning dan surat rahasia! Sudah
lama dia kuntit pemuda ini. Ketika bertemu ternyata dia tidak sanggup menghadapinya!
Si gadis akan merasa sangat penasaran bila dia tidak sanggup sekurang-kurangnya untuk
memberikan sedikit hajaran pada lawannya yang
tangguh itu. Lantas saja dia menyerang kembali.
Dia keluarkan satu tipuan hebat yang oleh gurunya digelari dengan "undur-undur" menyeret mangsa. Pedang dan selendang
berputar siam, berdengung suaranya tak ubahnya seperti sepasang undur-undur di dalam lobang yang tengah
menjebak seekor semut atau binatang kecil lainnya. Mahesa Kelud kagum juga dengan kehebatan
serangan ini. Dia putar pedangnya ke arah dada,
antara siuran selendang dan pedang lawan, tapi
mendadak sontak serangan si gadis berubah dengan sangat cepat. Namun demikian pemuda berkepandaian tinggi ini tidak menjadi gugup. Dia
geser kedua kakinya. Tubuhnya miring ke kanan.
Ujung pedang dikirimkannya ke tenggorokan lawan tapi tidak terus untuk menusuk melainkan
diputarkan seperti gasing. Angin keras yang keluar dari ujung pedang itu menutup lobang hidung si gadis, membuat nafasnya menjadi sengal!
Cepat-cepat dia papaskan pedangnya pada senjata lawan. "Trang!" Untuk kesekian kalinya senjata masingmasing beradu keras mengeluarkan suara nyaring
dan memercikkan bunga api. Dalam saat yang
sama untuk menghindarkan lawan mengirimkan
serangan susulan, si gadis kebutkan selendangnya ke muka si pemuda tapi tidak diduganya sama sekali tangan kiri Mahesa Kelud bergerak cepat dan berhasil memegang ujung selendangnya!
Si gadis terkejut, kini terjadilah hal yang menegangkan. Pedang masing-masing yang tadi- saling
beradu kini masih menempel satu sama lain dengan ketat. Dorong mendorong terjadi. Sementara
itu tangan-tangan kiri mereka saling tarik-tarikan selendang kuning! Si gadis
kerahkan tenaga dalamnya yang ampuh pada kedua tangannya. Namun dengan sangat cepat tenaga dalam lawan
yang lebih hebat berhasil mendorong tenaga dalamnya. Keringat dingin bercucuran di wajah si
baju kuning itu. Sebaliknya di lain pihak Mahesa
Kelud cuma senyum-senyum. Dia dapat memastikan bahwa selendang si gadis akan kena dirampasnya. Mengetahui bahwa tenaga dalamnya berada jauh di bawah si pemuda maka cepat-cepat
murid Cakar Setan lepaskan selendangnya. Dia
terpaksa lakukan ini. Kehilangan selendang adalah lebih baik daripada dia harus mendapatkan
kerusakan hebat dalam bagian tubuhnya akibat
bentrokan dengan tenaga dalam lawan. Dengan
satu lompatan cepat gadis itu kemudian mundur
ke belakang. Selendangnya kini berada dalam
tangan Mahesa Kelud. "Pemuda terkutuk! Kalau aku terpaksa harus pergi saat ini jangan sangka aku mengaku kalah terhadapmu! Satu hari aku akan datang lagi
untuk menyelesaikan perhitungan kita saat ini!"
Mahesa Kelud tertawa. Ketika dilihatnya
gadis itu memutar tubuh, dia berseru. "Hai, baju kuning! Mengapa cepat-cepat"
Ini selendangmu, ambillah kembali!" Tapi si gadis tidak perdulikan seruan itu. Dia lari dengan
mempergunakan ilmu lari cepat "kijang dewa".
Mahesa Kelud menggeleng-gelengkan kepalanya. Selendang kuning yang di tangan kirinya
diputar-putarkan di atas kepala lalu dilepas dengan tiba-tiba. Meskipun cuma sehelai selendang
dari kain biasa namun orang yang melemparkannya bertenaga dalam tinggi maka selendang itu
melesat laksana anak panah ke arah si gadis. Murid si Cakar Setan terkejut bukan main ketika
merasakan suatu benda menyambar ke lehernya.
Ketika diraba dan dilihatnya ternyata benda itu
adalah selendang sendiri yang tadi kena dirampas
Mahesa dan kini melingkar di lehernya. Sambil lari terus dia menoleh ke belakang dan dilihatnya
Mahesa Kelud melambaikan tangan sambil senyum-senyum. Si gadis geramnya bukan main.
Dia meludah ke tanah dan lari terus. Mahesa Kelud bimbang seketika sebelum dia ambil keputusan. Dengan cepat pedang Naga Kuning di tangannya dimasukkannya ke balik punggung pa

Mahesa Kelud - Fitnah Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaian lalu dengan mempergunakan ilmu lari "kaki angin" dia segera susul gadis
itu. Dia tidak tahu bahwa tindakannya ini akan melibatkannya pada
suatu peristiwa besar dikemudian hari.
LIMA GADIS berbaju kuning, murid almarhum si
Cakar Setan tidak tahu kalau dirinya diikuti
orang. Dia lari terus dengan cepat. Kira-kira beberapa ratus tombak di
belakangnya menyusul Ma- hesa Kelud. Pemuda ini kalau mau bisa susul si
gadis tapi dia ingin tahu ke mana si cantik tersebut pergi maka dia mengejar
diam-diam. Meski la- rinya cepat namun tidak sedikitpun mengeluarkan suara. Bahkan kedua kakinya itu seakanakan tidak pernah menyentuh tanah.
Ketika sampai kesatu puncak bukit hari
sudah rembang petang. Jauh di kaki bukit sebelah timur kelihatan sebuah kampung. Gadis yang
dibuntutinya lari ke jurusan kampung ini dan
Mahesa mengikuti terus. Agaknya telah terjadi sesuatu di kampung ini. Si gadis menghilang di balik kelokan jalan. Waktu Mahesa sampai di kelokan jalan maka di ujung sana, di hadapan sebuah
rumah kajang beratap rumbia kelihatanlah beberapa sosok tubuh manusia bergelimpangan.
Si gadis baju kuning terkejut bukan main.
Dia hentikan larinya di hadapan manusia yang
bergelimpangan itu. Mukanya menjadi pucat pasi.
Semua orang yang menggeletak di tanah sudah
tidak bernyawa lagi. Di tubuh mereka kelihatan
bekas tusukan-tusukan serta bacokan-bacokan
senjata tajam. Pakaian mereka basah oleh darah!
Tanpa menunggu lebih lama si gadis segera memutar tubuhnya dan lari ke dalam rumah.
Begitu dia menghilang di balik pintu maka
Mahesa Kelud sampai pula di hadapan manusiamanusia yang terbujur di tanah itu. Dan belum
lagi beberapa lama dia berdiri di sana maka dari
dalam rumah di dengarnya suara jeritan melengking. "Ibu...!" Mahesa terkejut. Kedua alis matanya menaik. Dia memandang ke arah rumah. Terdengar
lagi suara jeritan perempuan memanggil ibunya.
Dengan segera pemuda ini berlari masuk ke dalam rumah tersebut. Di sini pemandangan lebih
mengerikan lagi. Gadis baju kuning tadi dilihatnya memangku mayat seorang perempuan separuh baya yang pakaiannya bermandikan darah.
Bahu kirinya hampir putus oleh bacokan senjata.
Si gadis baju kuning seperti orang gila menggoyang-goyang tubuh yang sudah tidak bernafas
itu sambil tiada hentinya menangis dan memanggil-manggil ibu... ibu....
"Ibu... apa yang telah terjadi" Siapa yang
melakukan semua ini" Siapa"! Ibu, katakanlah!"
si gadis goyang-goyangkan lagi mayat perempuan
itu. "Ibumu tak akan bisa menjawab.... Kasihan dia, baringkan di atas balaibalai sana dan jangan digoyang-goyang seperti itu...."
Seperti mendengar suara halilintar, demikianlah terkejutnya si gadis ketika mendengar
suara tersebut. Dia putarkan kepala dengan cepat
dan pandangannya membentur sosok tubuh Mahesa Kelud. Serta merta dibaringkannya kepala
ibunya di lantai lalu gadis ini melompat bangkit.
Seraya cabut pedangnya dia memaki.
"Pemuda keparat! Berani-beranian kau ikuti aku"! Bangsat! Kau benar-benar minta mampus! Terima ini." Bersamaan dengan itu si gadis segera babatkan pedangnya ke
arah kepala Mahesa Kelud. Dengan cepat Mahesa Kelud menghindar ke samping. Dia berkata:
"Gadis baju kuning, urusan kita bisa ditunda dulu. Sebaliknya mari kita urus mayat
ibumu dan usut apa yang telah terjadi serta siapa yang telah melakukan ini
semua." Si gadis begitu serangannya mengenai
tempat kosong segera hendak melayang lagi, tapi
ketika mendengar kata-kata yang diucapkan Mahesa Kelud tadi yang dirasakannya memang betul, maka dia menjadi bimbang. Pedangnya yang
tadi naik ke atas siap untuk dibacokkan perlahan-lahan diturunkan ke sisinya. Kaki tangan
serta sekujur tubuhnya menjadi lemas. Pada detik
itulah terdengar satu suara yang sangat pelahan,
antara terdengar dan tiada yang sama-sama mengejutkan si gadis dan Mahesa Kelud.
"Benar, Wulan.... Apa yang dikatakan pemuda itu memang benar...."
Mahesa dan si gadis sama memutar kepala
dan terdengarlah jerit si gadis: "Paman Menggala!
Kau...!" Gadis itu melompat dan menjatuhkan dirinya di sudut rumah di mana
terhantar seorang laki-laki tua berambut putih. Keadaannya lebih
menderita dari ibu si gadis. Pakaiannya penuh
darah dan luka-luka bekas tusukan pedang serta
golok. Dikarenakan dia memiliki ilmulah yang
menolongnya sampai saat itu masih sanggup bernafas, meskipun dengan sengal-sengal megap
tanda umurnya tidak akan lama lagi.
"Paman! Apa yang terjadi" Siapa yang melakukan semua ini..."!"
Di kala ajal hendak meregang, laki-laki tua
itu masih bisa melontarkan sekelumit senyum
pada keponakannya. "Syukur, syukur kau datang Wulan. Dengar Wulan... yang
melakukan ini adalah Adipati Suto Nyamat beserta kaki-kaki tangannya Lima Brahmana sesat.... Mereka...."
Kulon Menggala cuma bisa bicara sampai
di situ. Kepalanya terkulai dan nyawanya melayang meninggalkan raga.
Seperti orang gila si gadis menjerit dan
menghunus kembali pedangnya yang tadi sudah
disarungkan. Dia lari ke pintu: "Suto Nyamat keparat! Kucincang kau...!"
Mahesa Kelud cepat pegang lengan kiri gadis itu. "Wulan," katanya. "Ingat jangan bertindak ceroboh dan gila seperti
ini!" Sebagai jawaban Wulansari menyerang
pemuda itu dengan hebatnya. Mahesa berkelebat
cepat. Pedang di tangan gadis menghantam dinding kajang di sampingnya dan bobol besar. Si gadis memburunya dan kirimkan serangan ganas
untuk kedua kalinya. Kali ini Mahesa Kelud bertindak cepat. Sekali dia menggerakkan tangan
kanannya maka dia sudah berhasil merampas
pedang Wulansari. "Wulan! Ingatlah...!"
Nafas si gadis memburu. Dadanya turun
naik. Dia memandang ke pedangnya yang kini berada di tangan Mahesa Kelud, lalu memutar tubuh dan menangis sesenggukan. Mahesa menjadi
kebingungan tak tentu apa yang diperbuat. Sejurus kemudian dia keluar dari rumah dan masuk
ke rumah tetangga yang terdekat. Di dalam rumah ini seorang nenek-nenek ditemuinya tengah
memeluk dua orang anak yang masih kecil-kecil,
mungkin sekali cucunya. Diparas si nenek yang
tua keriputan jelas terbayang rasa ketakutan
yang amat sangat. Nenek dan cucu-cucunya sama
terkejut dan membelalak ketika melihat ada orang
masuk. Mereka menyangka Mahesa adalah kaki
tangan Adipati yang kejam buas.
"Nenek, tak usah takut. Orang-orang jahat
itu sudah pergi semua. Di luar sana, di jalanan,
banyak mayat-mayat bergelimpangan. Tolonglah
bantu aku memberitahukan tetangga-tetangga
agar kita semua bisa mengurus jenazah-jenazah
tersebut." Si nenek memandangi Mahesa Kelud sejurus lamanya kemudian mengangguk. Tak lama
kemudian setelah dipanggil, penduduk-penduduk
kampung yang tadinya mendekam di dalam rumah masing-masing baru datang berbondongbondong. Maka hebohlah isi kampung itu. Ada
yang menjerit, ada yang menangis ketika melihat
sanak saudara atau anak-anak mereka yang mati
bergelimpangan di jalan akibat kekejaman Adipati
Suto Nyamat dan kaki-kaki tangannya. Jenazahjenazah yang tak berdosa itu diangkat dan dibawa
ke rumah masing-masing. Mahesa dengan bantuan beberapa orang penduduk segera mengurus
jenazah ibu dan paman Wulansari. Sementara
semua orang sibuk hanya gadis itu sendiri duduk
bingung tak tahu apa yang hendak diperbuat. Sekujur tubuhnya lemah lunglai tiada daya namun
di dalam hatinya berkobar dendam kesumat yang
tiada taranya. Sejak dia diambil murid oleh si Cakar Setan, maka selama beberapa
tahun dia tidak pernah bertemu atau menyambangi ibu serta pamannya itu. Ketika dia baru punya kesempatan
untuk datang menjenguk tahu-tahu yang ditemuinya hanyalah ibu serta pamannya yang tengah meregang nyawa! Ayah dia juga sudah tidak
punya karena dibunuh oleh bangsat-bangsat Kadipaten tukang fitnah ketika dia masih kecil. Kini dia menyadari bahwa dia hidup
sebatang kara di dunia ini, yatim piatu tidak punya ayah tidak
punya ibu. Mengingat ini kembali Wulansari menangis tersedu-sedu. ENAM SEBELUM kisah dilanjutkan sebaiknya lebih dulu kita buka lembaran riwayat hidup keluarga Wulansari di masa lampau. Ayah gadis ini
bernama Jarot Singgih, berasal dari keturunan
orang kebanyakan juga. Tapi ketika dia menjabat
kedudukan sebagai orang besar yaitu menjadi
wakil Bupati Madiun dan ditambahkan gelar kepadanya maka dia kemudian disebutkan orang
Raden Mas Jarot Singgih. Tak selang berapa lama
Bupati Madiun meninggal dunia. Sebagai wakil
maka dengan sendirinya Raden Mas Jarot Singgih
yang akan memangku jabatan Bupati Madiun.
Tapi malang akan tiba, malapetaka akan datang
maka muncullah seorang tukang fitnah besar!
Pada masa itu yang memerintah di Pajang
adalah Pangeran Adiwijaya. Daerah kekuasan Pajang sangat luas sehingga Adiwijaya tak bisa meneliti dan memperhatikan daerah-daerah yang
jauh yang berada di bawah tangannya. Untuk ini
maka diangkatlah beberapa orang Bupati di kotakota besar seperti Tuban, Gresik, Pati, Demak,
Pemalang, Blitar, Banyumas, Kedu, serta Madiun.
Bagaimana sifat dan cara Bupati-bupati itu menjalankan tugas tidak pula diperhatikan oleh Adiwijaya. Segala sesuatunya dipercayakan kepada
mereka, diserahkan kepada mereka, termasuk
urusan mengenai keamanan dan kesejahteraan
rakyat. Justru inilah yang kemudian menimbulkan munculnya golongan-golongan penjilat tukang fitnah, berhati busuk bermulut penghasut.
Mereka ini adalah segolongan pembesar-pembesar
yang dekat dengan Sri Baginda Pangeran Adiwijaya yang tak segan-segan memeras bahkan mengorbankan nyawa rakyat untuk mengeruk keuntungan sendiri. Mereka juga tidak segan-segan
melancarkan fitnah terhadap kawan sendiri demi
mendapatkan pangkat tinggi dan kedudukan empuk! Adiwijaya, sebagai seorang raja muda sama
sekali tidak menyadari bahwa banyak dari pembesar-pembesar istana yang dekat dengan dia
adalah manusia-manusia kintel penjilat dan pemfitnah serta korup! Salah seorang dari pembesar yang termasuk golongan seperti yang kita sebutkan di atas
itu adalah Suto Nyamat. Sebagai seorang yang rapat dengan Sri Baginda maka oleh raja Pajang itu
dia pernah dijanjikan untuk diberikan jabatan sebagai seorang Bupati. Setelah ditunggu lama masih juga belum ada pengangkatan dari Baginda.
Kemudian terbetiklah kabar bahwa Bupati Madiun meninggal dunia. Ini suatu kesempatan besar bagi Suto Nyamat untuk menjadi pengganti.
Tapi celakanya Baginda memutuskan bahwa Jarot Singgih, yang dulu menjadi wakil Bupati Madiun yang akan diangkat sebagai pengganti. Bukan main geramnya Suto Nyamat. Lagi pula memang dia sudah lama dengki iri hati terhadap Jarot Singgih karena Jarot Singgih terkenal sebagai seorang pembesar jujur dan
baik. Suto Nyamat mencari akal. Mau tidak mau
dia harus menjadi Bupati Madiun dan singkirkan
Jarot Singgih. Maka dilancarkannya lah fitnah
busuk beracun. Pada masa itu memang terdapat
banyak Bupati-bupati yang menentang dan memberontak terhadap Raja Pajang Adiwijaya. Suatu
hari datanglah Suto Nyamat menghadap Adiwijaya memberikan laporan yang tak lain dari pada
fitnah belaka. Diterangkannya bahwa Jarot Singgih diam-diam tengah menyusun balatentara bersiap-siap untuk memberontak kepada Pajang.
Adiwijaya tidak menyelidiki kebenaran laporan itu dan celakanya dia percaya saja
bahkan memberikan wewenang kepada Suto Nyamat untuk menumpas kaum pemberontak Madiun itu dan menangkap Jarot Singgih.

Mahesa Kelud - Fitnah Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan sepasukan besar balatentara kerajaan maka berangkatlah Suto Nyamat ke Madiun.
Hari itu Madiun banjir darah. Penduduk yang tak
berdosa dibunuhi. Adipati Jarot Singgih yang disuruh tangkap hidup-hidup juga dibunuh tanpa
kemanusiaan oleh Suto Nyamat. Adipati ini atau
ayah Wulansari mati secara mengerikan. Tubuhnya penuh dengan bacokan pedang serta golok
dan tusukan tombak. Wajahnya hancur luluh tak
bisa dikenali! Masih untung bagi isteri sang Adipati yang sempat lari menyelamatkan diri bersama anaknya dan seorang kakak laki-lakinya yaitu
Menggala. Ketiga orang ini bersembunyi dan diam
di satu rumah kecil di kampung yang terletak di
kaki bukit subur. Kaki-kaki tangan Suto Nyamat
terus mencari mereka tapi tidak berhasil menemukan. Suto Nyamat berhasil mencapai citacitanya. Dia diangkat oleh Adiwijaya menjadi Bupati Madiun. Tapi seisi Madiun tahu bahwa kursi
kebesaran Kadipaten yang didudukinya berlumur
dengan darah Jarot Singgih dan darah rakyat jelata yang dibunuhnya tanpa dosa, karena ingin
jabatan dan kuasa semata!
Menggala, paman Wulansari kenal baik
dengan pendekar kenamaan yang digelari si Cakar Setan. Ketika Menggala hendak menyerahkan
keponakan satu-satunya itu kepada pendekar tersebut, ibu Wulansari melarang keras.
"Wulan seorang perempuan, Mas. Tak perlu segala macam ilmu begituan," kata perempuan itu. Menggala tertawa mendengar
ucapan adiknya. "Justru karena dia seorang perempuanlah maka dia lebih perlu
belajar silat. Kau tahu, dunia ini kini penuh dengan manusia-manusia jahat
berhati kotor! Kau agaknya tidak ingat, karena tidak punya kepandaian silatlah sampai suamimu
menemui ajalnya di tangan Suto Nyamat keparat
itu! Aku ingin melihat keponakanku menjadi seorang yang perkasa meskipun dia cuma seorang
perempuan! Lagipula selama Suto keparat itu masih hidup, maka selama itu pula kaki-kaki tangannya akan mencari kita, berarti selama itu pula bahaya tetap mengancam
kita...." "Kalau aku boleh tanya, Mas," memotong
ibu Wulansari. "Mengapa kau sendiri sebagai laki-laki tidak belajar ilmu silat?"
"Itu adalah kesalahan orang tua kita sendiri yang tak mau menyerahkan kita pada seorang
pandai atau seorang guru," jawab Menggala.
"Jika demikian mengapa tidak kau saja kini yang pergi berguru pada si Cakar Setan itu?"
Laki-laki itu tersenyum. "Jika ingin belajar ilmu silat luar dalam harus sedari
kecil. Sudah tua dan ubanan serta sakit-sakitan sepertiku ini
mana bisa" Otot-otot sudah pada kaku, tenaga
sudah kendor!" Akhirnya ibu Wulansari mengalah. Maka
diantarlah Wulansari ke tempat kediaman si Cakar Setan. Sejak itu, selama bertahun-tahun
sampai menjadi seorang gadis muda remaja Wulansari menjadi salah seorang murid pendekar
kenamaan si Cakar Setan. * * * Sesudah semua jenazah termasuk jenazah
ibu Wulansari dan pamannya dikebumikan, maka
dari beberapa orang penduduk, gadis yang malang itu serta Mahesa Kelud mendapat keterangan
mengenai peristiwa berdarah yang melanda kampung mereka itu. Menjelang tengah hari, serombongan pasukan berkuda memasuki kampung Banjaran,
kampung Wulansari. Rombongan ini tak lain adalah pasukan Kadipaten yang dipimpin langsung
oleh Adipati Suto Nyamat. Bersama mereka terlihat pula lima orang berjubah putih berkepala botak yang tak lain dari pada Lima Brahmana sesat
yang cukup menggetarkan dunia persilatan karena ilmu mereka yang hebat. Maksud mereka datang ke kampung Banjaran itu ialah untuk menangkap Menggala, paman Wulansari atau kakak
laki-laki dari ibu si gadis. Rupanya Adipati Suto Nyamat berhasil juga mencari
tahu di mana ber-sembunyinya sisa-sisa keluarga mendiang Raden
Mas Jarot Singgih. Dan baginya, selama sisa-sisa
keluarga Jarot Singgih masih hidup maka ini adalah merupakan bahaya besar. Keluarga itu harus
ditumpas dimusnahkan sebelum mereka angkat
senjata untuk balas dendam. Suto Nyamat kemudian mengajak Lima Brahmana berkepala botak
untuk membantu dia membikin beres Menggala.
Pasukan Kadipaten Madiun di bawah pimpinan Suto Nyamat membanjir memasuki rumah
kecil di mana Menggala dan adik perempuannya
tinggal. Menggala melawan mati-matian ketika dia
hendak di tangkap. Maka terjadilah pertempuran
yang dahsyat. Di samping Suto Nyamat sendiri
memiliki ilmu yang tinggi maka kelima Brahmana
yang mendampinginya adalah lebih berbahaya lagi. Tentu saja mereka semua bukan tandingan
Menggala, ditambah pula dengan prajurit-prajurit
Kadipaten yang rata-rata juga memiliki kepandaian silat. Meskipun demikian, Menggala berusaha bertahan bahkan coba mengirimkan serangan balasan kepada musuh-musuhnya itu.
Tapi sia-sia belaka. Di antara kecamuknya
suara senjata maka terdengarlah suara jeritan
melengking yang menyayat hati. Jeritan seorang
perempuan! Menggala meloncat mundur dan palingkan kepala. Bukan main terkejutnya pendekar
tua itu ketika melihat adik kandungnya menggeletak di lantai rumah dalam keadaan mandi darah.
Bahu kirinya hampir putus akibat babatan pedang seorang prajurit Kadipaten. Melihat ini maka mengamuklah Menggala. Golok
besar yang menjadi senjatanya membacok kepala prajurit yang
membunuh adiknya sampai terbelah dua!
"Kurung rapat!" teriak Suto Nyamat ketika melihat Menggala mengamuk seperti
banteng terluka dan keluarkan ilmu simpanannya. Tak sampai beberapa jurus di muka maka akhirnya robohlah Menggala. Orang-orang kampung Banjaran yang melihat peristiwa itu yang menyangka bahwa manusia-manusia jahat yang datang itu adalah gerombolan rampok segera lari ke rumah Menggala untuk memberikan bantuan. Akan tetapi maksud
suci mereka ini harus mereka bayar dengan korbankan nyawa. Pasukan-pasukan Kadipaten Madiun bukan lawan mereka, apalagi Suto Nyamat
serta kelima Brahmana. Meskipun manusia-manusia penimbul malapetaka itu sudah lama pergi tapi orang-orang
kampung masih saja bersembunyi di rumah masing-masing karena ketakutan, terutama kaum perempuan serta anak-anak. TUJUH SIANG berganti dengan malam. Terang berubah menjadi gelap. Di dalam rumah Wulansari
suasana berkabung kelihatan dengan nyata.
Sampai saat itu Mahesa Kelud masih berada di
sana diantara para tetangga yang datang menjenguk. Meskipun dia berada lama di rumah tersebut
tapi boleh dikatakan Mahesa tidak bicara barang
sepatahpun dengan Wulansari. Diam-diam pemuda itu perhatikan si gadis. Meskipun parasnya kini kuyu dan kedua matanya sembab karena menangis namun kecantikan asli yang dimiliki Wulansari tetap terlihat dengan nyata. Tak jarang ketika tengah memperhatikan
Wulansari, si gadis memandang pula kepadanya sehingga sepasang
mata mereka saling beradu. Dan kalau sudah begitu Wulansari cepat-cepat membuang muka.
"Apakah dia masih membenciku...?" tanya
Mahesa Kelud dalam hati Di malam di mana suasana berkabung itu,
tiada terduga datanglah seorang tamu perkasa.
Begitu sosok tubuh si tamu muncul di ambang
pintu maka berteriaklah Wulansari: "Kakek...!"
Gadis ini bangkit dari duduknya dan lari menubruk tamu yang baru datang lalu memeluknya
dan menangis tersedu-sedu.
"Kakek Sentot... malapetaka menimpa kita." kata si gadis dengan terputus-putus antara sedu sedannya. "Ibu serta paman
mati di bunuh bangsat Suto Nyamat!"
Si kakek usap-usap rambut gadis itu lalu
membimbingnya kembali ke tempat duduk. "Aku
tahu... aku tahu cucuku," kata si kakek sambil memandang berkeliling. Mahesa
memperhatikan orang ini. Perawakannya sedang, meskipun sudah
tua tapi masih kekar. Kedua matanya kecil namun tajam sedang rambutnya yang seharusnya
sudah putih tapi kelihatan masih hitam. Kemudian terdengar suara si kakek kembali, "Sudahlah Wulan, apa yang sudah berlalu
biar berlalu. Yang harus kita pikirkan adalah persoalan mendatang.
Walau bagaimanapun kita harus bikin perhitungan dengan Suto Nyamat serta kaki-kaki tangannya. Tapi kita harus sadari pula bahwa Suto
Nyamat dan kawan-kawannya bukan orang sembarangan. Karena itu Wulan, kau harus ikut ke
tempat kediamanku di hutan Bangil untuk kuberikan tambahan ilmu silat. Pelajaran yang kau terima dari si Cakar Setan masih belum berarti untuk dipakai menghadapi Suto Nyamat serta kawan-kawannya. Suto Nyamat sendiri mungkin
masih mampu kita hadapi, tapi kawankawannya.... Mereka rata-rata orang-orang pandai
tingkat tinggi!" "Tapi kakek... tanah kubur ibu dan paman
masih merah. Tidak tega bagi saya untuk meninggalkannya." ujar Wulansari sambil menyeka air matanya.
"Aku dapat mengerti kau punya perasaan
cucuku dan aku bangga punya cucu seperti kau.
Tapi untuk diam lebih lama di sini bisa berbahaya. Jika Suto Nyamat dan kawan-kawannya
mengetahui bahwa ada turunan Jarot Singgih
yang masih hidup, mereka pasti akan bunuh
kau...." "Ucapan kakekmu itu memang benar, Wulan. Kau harus menyingkir dari sini
sampai tiba saatnya untuk balas dendam...." kata satu suara pula. Si gadis palingkan kepala
ketika mendengar suara itu dan parasnya yang jelita berubah
dengan seketika menjadi bengis ketika dia melihat siapa adanya orang yang
bicara. "Pemuda tidak tahu diri!" bentaknya seraya melompat dan cabut pedangnya dari
balik punggung. Orang banyak yaitu para tetangga yang berada di ruangan menjadi terkejut dan singkirkan
diri. "Apa urusanmu maka kau masih mendekam
di sini"! Jangan ambil tampang dan jual muka di
hadapan orang banyak!"
Wulansari papaskan pedangnya ke muka
Mahesa Kelud. Orang-orang perempuan berpekikan sedang si pemuda cepat-cepat hindarkan diri
ke samping. Si kakek juga tidak kurang terkejut
ketika melihat cucunya mencabut pedang dan
menyerang seorang pemuda bertampang keren
yang ada di ruangan tersebut.
"Wulan! Tahan! Apa-apaan kau ini...!" seru si kakek. Dan dengan satu lompatan
yang cepat serta enteng tahu-tahu dia sudah berada di hadapan si gadis. "Kakek, minggirlah!" teriak Wulansari. "Kau tidak tahu siapa adanya pemuda
laknat itu!" "Siapa dia"!" tanya Sentot Bangil.
"Dialah yang telah membunuh si Cakar Setan, guruku! Dia juga merupakan maling besar
pencuri pedang Naga Kuning serta surat rahasia
milik guru!" Mendengar ini Sentot Bangil terkejutnya
bukan main. Dia segera mencabut senjatanya
yakni sebatang golok panjang berhulu perak. Kakek dan cucu kemudian melangkah ke hadapan
Mahesa Kelud. "Orang tua, biarkan aku bicara dulu!" kata Mahesa cepat.
"Tutup mulut busukmu, keparat! Sebentar
lagi kepalamu akan pisah dengan badan!" semprot Wulansari dan untuk kedua kalinya dia kirimkan serangan pedang putihnya yang kini menusuk ke dada kiri Mahesa.
Untuk kedua kalinya pula si pemuda mengelak cepat menghindarkan serangan itu. Si gadis
yang sudah naik pitam dengan ganas melancarkan serangan susulan. Karena ruangan itu sempit
dengan jungkir balik Mahesa Kelud masih sanggup menyelamatkan diri dari serangan yang mematikan itu. "Kakek!" seru Mahesa sekali lagi. "Tahan cucumu yang kalap itu! Biarkan aku
bicara dulu!" * * * Melihat bagaimana Mahesa Kelud dengan
cekatan berhasil menyelamatkan diri dari serangan cucunya yang berbahaya tadi maka diamdiam si kakek menjadi kagum. Pemuda ini tentunya murid seorang sakti berilmu tinggi, pikirnya. Rupanya antara si pemuda dan Wulansari
ada sesuatu yang tidak beres. Dia pegang bahu
cucunya dan berkata,

Mahesa Kelud - Fitnah Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wulan, tahan dulu seranganmu, biarkan
dia bicara!" "Kakek Sentot! Perlu apa mendengarkan
manusia pembunuh dan maling bejat ini"!" tukas Wulansari.
"Cucumu salah sangka kakek!" kata Mahesa pula. "Karena itu biar aku terangkan segala-galanya!"
"Jangan perdulikan dia! Dia pendusta besar!" teriak si gadis.
Si kakek tarik tubuh cucunya ke belakang
lalu berkata pada Mahesa: "Bicaralah apa yang
kau mau bicarakan. Tapi bila omonganmu hanya
dusta dan palsu belaka, kau harus mampus di
ujung golokku, mengerti"!"
"Sebelum aku beri keterangan, bolehkan
aku tahu dengan siapa aku berhadapan?" tanya Mahesa.
Si kakek menyeringai. Hatinya mulai tertarik dengan pemuda yang tahu peradatan ini.
"Anak muda," katanya, "Orang-orang memanggil aku Pendekar Budiman. Kau boleh
panggil aku dengan sebutan itu...."
Mau tak mau Mahesa Kelud menjadi terkejut ketika mendengar gelar yang dikatakan si kakek itu. Ketika masih digembleng oleh Embah Jagatnata sang guru pernah menerangkan kepadanya bahwa di hutan Bangil diam seorang kakek
sakti yang pada masa mudanya pernah mengelana di delapan penjuru angin untuk memberikan
pertolongan pada rakyat jelata yang ke susahan
dan tertindas, untuk membasmi manusiamanusia jahat yang bertebaran di sana sini. Karena itu dia kemudian mendapat gelaran "Pendekar Budiman". Dan tak disangka sama
sekali kalau kini Mahesa berhadapan dengan jago tua yang
namanya pernah menghiasi halaman emas dari
kalangan dunia persilatan itu.
Cepat-cepat si pemuda menjura beri hormat seraya berkata: "Harap dimaafkan kalau aku telah bertindak gegabah. Tak
tahunya tengah berhadapan dengan seorang gagah!"
Sentot Bangil alias Pendekar Budiman
menjadi lebih tertarik. Dia balas bertanya: "Kau sendiri siapa, anak muda" Kau
datang dari mana dan siapa gurumu?" Mahesa Kelud tersenyum: "Namaku Mahesa Kelud, aku datang dari gunung Kelud dan
hanya seorang pemuda gunung yang bodoh...."
Sementara itu Wulansari yang menjadi gemas karena kakeknya bicara ramah tamah dengan musuh besarnya segera putar tubuh dan pergi duduk ke tempatnya semula.
Sentot Bangil yang tahu kalau pemuda itu
merendahkan diri tak mau bertanya lebih lanjut.
Dia berkata: "Aku menunggu keteranganmu Mahesa." Si pemuda memandang berkeliling, melirik sekilas pada Wulansari baru
membuka mulut. "Pendekar Budiman, aku tidak menyalahkan kalau cucumu salah sangka terhadapku.
Jika sean- dainya aku menjadi murid si Cakar Setan dan
menemui seseorang lain yang berada dalam keadaanku, maka aku pasti akan tuduh orang lain
itu sebagai pembunuh dan maling busuk! Tapi
dengan adanya kesempatan bagiku untuk memberikan keterangan kuharap segala sesuatunya
nanti akan menjadi jernih...."
Mahesa Kelud kemudian memberikan keterangan mulai dia melihat nyala pelita yang keluar dari sebuah pondok... menemui
si Cakar Setan tengah meregang nyawa... sampai kepada pertempuran dengan Warok Kate.
"Satu soal kini menjadi jelas bagi Pendekar
dan cucumu bahwa bukan aku tapi Warok Katelah yang telah membunuh si Cakar Setan," ujar Mahesa.
"Kau bisa saja jual omongan kosong di hadapan kami!" tukas Wulansari tiba-tiba. "Siapa tahu bahwa kaulah yang membunuh
guru dan Warok Kate datang untuk membantu dia tapi tak
sanggup hadapi kau!"
Merahlah air muka Mahesa Kelud mendengar kata-kata itu. Tapi dia berusaha untuk menenangkan diri. Dia berkata: "Demi kehormatanku aku bersumpah bahwa aku tidak
memberikan keterangan palsu kepada kalian!"
Pendekar Budiman yang sementara itu
berdiam diri saja kini angkat bicara, mengajukan
pertanyaan : "Lantas, kalau bukan kau yang
membunuh si Cakar Setan, apa perlunya kau curi
pedang Naga Kuning milik laki-laki itu. Dan mengapa kau ambil pula surat rahasia yang ada di
dalam pedang"!"
"Sudahlah, kakek Sentot!" memotong Wulansari sambil berdiri dari duduknya. "Mengapa kita harus bicara panjang lebar
dengan cecunguk ini! Kita bereskan saja dia saat ini juga!"
Bukan main jengkelnya Mahesa Kelud dikatakan "cecunguk" seperti itu. Untung saja dia masih sanggup tahan hati. Kalau
saja yang men-gatainya itu bukan Wulansari seorang gadis jelita, tapi seorang
laki-laki, tak perduli siapapun
adanya, pasti dia sudah melompat ke muka dan
tampar mulutnya. DELAPAN TANPA menoleh pada cucunya, Pendekar
Budiman dari hutan Bangil berkata: "Duduklah kembali ke tempatmu, Wulan. Kita
dengar dulu keterangan dan jawabannya. Jika memang dia
bukan manusia yang bisa dipercaya dia tak akan
bisa lari dari ujung golokku!" Si kakek melintang-kan senjatanya di muka dada
dan berkata pada Mahesa: "Jawab pertanyaanku tadi, anak muda."
,"Dua pertanyaanmu itu, yang jelas mengandung tuduhan juga merupakan persoalanpersoalan yang harus kujernihkan." sahut Mahe-sa Kelud. "Kuambil pedang Naga
Kuning milik si Cakar Setan bukanlah dengan maksud mencuri,
tapi untuk maksud lain yaitu menghindarkan
agar jangan senjata sakti itu jatuh ke tangan
orang-orang yang tak bertanggung jawab. Bukan
tak mungkin Warok Kate kembali ke pondok si
Cakar Setan dan mengambil senjata tersebut. Jika sampai demikian tentu nama si Cakar Setan
dan murid-muridnya akan menjadi ternoda dalam
kalangan persilatan. Lalu kuambil pedang itu.
Aku yakin suatu ketika aku akan bertemu dengan
salah seorang murid si Cakar Setan, mungkin juga Jaliteng. Dan kalau itu kejadian nanti, aku
akan kembalikan pedang tersebut kepadanya...."
"Aku adalah seorang murid si Cakar Setan!" berkata Wulansari dengan suara keras.
"Mengapa ketika aku minta senjata tersebut kau tidak mau berikan"!"
"Sebelum aku jawab pertanyaanmu," sahut Mahesa pula. "Aku akan ajukan satu
pertanyaan lebih dahulu. Kalau kau seorang pendekar yang
mengerti peradatan tata tertib sesama orang persilatan, apakah ketika kau meminta senjata tersebut kau telah memakai peradatan" Bahkan kau
telah menyerang aku tanpa memberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan!"
"Oh, jadi aku harus berlutut dan menyembah atau meratap minta dikasihani padamu lalu
baru kau mau berikan itu pedang" Cis! Sampai
pisah kepala dengan badan aku tidak akan sudi!"
kata Wulansari. "Siapa yang suruh kau harus berlutut dan
menyembah atau meratap"!" balik bertanya Mahesa Kelud. Pertanyaan ini membuat Wulansari
menjadi merah kulit mukanya sampai ke telinga.
"Yang aku inginkan ialah agar kau mengenal sedikit tata tertib sesama orang
persilatan, tahu peradatan dan tahu menghormati, apalagi kau seorang gadis...." "Sudah! Tutup mulutmu!" bentak Wulansari dengan gemasnya. Dengan mempersabar hatinya Mahesa
memalingkan kepalanya kepada si kakek tua
Pendekar Budiman. "Mengenai surat rahasia itu, memang aku juga yang
mengambilnya, kutemui dalam gagang pedang Naga Kuning...." Mahesa
kemudian memberikan keterangan lagi yaitu melanjutkan keterangannya yang pertama tadi. Diceritakannya bagaimana dia sampai ke Gua Iblis,
lalu menjadi tawanan si Nenek Iblis, ditolong oleh Karang Sewu sampai akhirnya
dia bisa menyelamatkan diri dari gua maut tersebut sesudah
membereskan si Nenek Iblis.
Si orang tua yang mendengarkan keterangan Mahesa Kelud manggut-manggut sedang Wulansari tetap bermuka asam dan tak acuh. Berkata Pendekar Budiman: "Kalau kisahmu tidak satu kedustaan belaka, maka itu adalah
satu kisah yang hebat sekali! Kalau aku boleh tanya, Mahesa, apa perlumu kemudian mengikuti cucuku
sampai ke sini...?" Mahesa menjadi gugup. Dia terdiam tak bisa berikan jawaban sedang air mukanya kelihatan
berubah menjadi semu merah. Untung saja dia
lekas mendapat akal dan memberikan jawaban
untuk menutup rasa malunya. "Aku ingin meyakinkan bahwa dia adalah benar-benar murid si
Cakar Setan sehingga jika seandainya aku memberikan pedang Naga Kuning itu nanti kepadanya,
aku tidak akan kesalahan tangan."
Si kakek tua yang sudah punya pengalaman hidup puluhan tahun tersenyum mendengar
jawaban pemuda itu. "Sekarang kau sudah yakin bahwa cucuku adalah benar-benar
muridnya si Cakar Setan?" Mahesa anggukkan kepala. "Kalau begitu kembalikanlah pedang itu,"
kata Pendekar Budiman pula.
Tanpa ragu-ragu Mahesa Kelud mengambil
pedang Naga Kuning yang tersisip di belakang
punggungnya dan memberikan senjata itu kepada
si kakek. Pendekar Budiman menggelengkan kepalanya dan berkata: "Berikanlah langsung pedang ini kepada orang yang berhak
meneri- manya." Mahesa Kelud jadi terkesiap mendengar
kata-kata itu. Dia goyangkan pedang yang di tangannya maksudnya untuk memaksa si kakek agar
dia saja yang berikan pedang tersebut kepada cucunya tapi lagi-lagi Pendekar Budiman gelengkan
kepalanya seraya mengulum sekelumit senyum.
Dengan muka tebal kemudian Mahesa melangkah
ke hadapan Wulansari. "Wulan," kata ini pemuda dengan suara
agak kikuk. Untuk pertama kalinya dia berdiri
sedekat itu dengan si gadis sehingga dia lebih jelas dapat melihat bagaimana
kehalusan kulit ser- ta kecantikan wajahnya. "Wulan terimalah pedang Naga Kuning ini kembali!"
Si gadis bangkit dari duduknya secara tibatiba. Dirampasnya dengan kasar pedang Naga
Kuning dari tangan si pemuda. Secepat kilat senjata itu kemudian dicabutnya dan dipakai untuk
menyerang Mahesa Kelud. Meskipun si pemuda mempunyai ilmu
tinggi serta gesit setiap gerakannya, namun diserang tak terduga serta jarak mereka sangat dekat sekali maka dia tak punya kesempatan untuk
mengelak. Mahesa Kelud masih coba membuang
diri namun tak urung bahu kirinya kena dimakan
oleh ujung pedang. Pakaiannya robek sedang kulitnya luka dan berdarah.
"Wulan!" seru Sentot Bangil seraya melompat ke hadapan cucunya ketika si gadis
hendak menyerang untuk kedua kalinya. Dicekalnya tangan Wulansari dan dirampasnya pedang Naga
Kuning dari tangan gadis itu.
"Mengapa kau serang dia, Wulan" Dia pemuda baik!" "Dia pendusta besar! Aku tidak percaya
padanya! Dia pembunuh guruku!" kata Wulansari pula dengan suara keras tetapi
parau. Dari kedua matanya yang bening keluar butiran-butiran air
mata. Gadis ini memutar tubuhnya dan lari keluar rumah. Sementara itu Mahesa Kelud berdiri tersandar ke dinding di belakangnya. Tangan kanannya memegangi bahunya yang terluka. Meskipun lukanya tidak besar dan tidak banyak mengeluarkan darah namun karena pedang yang dipakai melukainya adalah sebuah pedang yang
ampuh tak urung pemuda itu kerenyitkan kening
menahan keperihan. Dia kerahkan tenaga dalamnya ke bagian tubuh yang terluka itu. Si kakek
Pendekar Budiman datang menghampirinya dengan cepat lalu memapahnya ke sebuah balai-balai
kayu. * * * * Malam telah larut dan udara tambah dingin. Namun sampai saat itu Wulansari masih saja
duduk di bawah pohon di luar rumahnya. Dia
masih seseduan dan matanya kembali menjadi
balut karena menangis. Bila dia teringat pada
ayahnya, ibu serta paman dan gurunya yang kesemua orang-orang yang dikasihinya itu telah tiada maka kembali berderailah air matanya.
Dalam keadaan pikiran yang kacau balau


Mahesa Kelud - Fitnah Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu maka teringatlah dia pada Mahesa Kelud, pemuda yang sejak ditemuinya pertama kali dibencinya setengah mati. Namun sesudah kejadian
tadi, sesudah dia menyerang pemuda itu sampai
terluka pada bahunya, diam-diam jauh di lubuk
hatinya dia merasakan satu penyesalan.
Seperti seseorang yang bicara, maka Wulansari mendengarkan suara hatinya berkata:
"Wulan... bukan pemuda itu yang tak tahu diri, tapi kau. Bukan pemuda itu yang
jahat, tapi kau. Mengapa kau serang dia" Mengapa kau lukai dia"
Mengapa kau lukai hatinya padahal dia berlaku
jujur dan baik terhadapmu" Dia telah terangkan
bahwa bukan dia yang membunuh gurumu... dia
telah terangkan tentang surat rahasia itu, surat
rahasia yang pasti membawa bencana terhadapmu... jika seandainya surat itu jatuh ke tanganmu, maka kaulah yang akan ditimpa malapetaka.
Secara tidak langsung dia telah selamatkan jiwamu dari renggutan maut di Gua Iblis dengan
mempertaruhkan nyawanya sendiri: Wulan... kau
berdosa besar telah menyakiti hati pemuda itu.
Kau berdosa besar karena telah menyerang dan
melukainya ketika dia kembalikan pedang itu padamu dengan hati yang jujur.... Mengapa kau
berbuat demikian" Apakah kau tidak pernah
mendapat ajaran agar berbudi kepada setiap
orang yang baik" Apakah kau bukannya murid
pendekar Cakar Setan... apakah kau bukannya
anak Jarot Singgih... apakah kau lupa bahwa kau
adalah cucu Pendekar Budiman... apakah kau
akan lunturkan nama baik keluargamu dengan
perbuatanmu yang tak tahu membalas budi itu"
Kau salah Wulan... salah. Kau jahat... ya, kau jahat! Kau harus minta maaf pada
pemuda itu... kau harus minta maaf kepadanya!"
Mendengar suara hatinya yang sangat
nyaring terdengar pada kedua telinganya maka
semakin berderaian air mata Wulansari dan semakin besar rasa penyesalan yang melekat di kalbunya. Tapi bukan mustahil kalau semua keterangannya adalah dusta belaka untuk menyembunyikan maksud jahatnya...." kata si gadis dalam hati.
Maka menjawablah hati kecil Wulansari.
"Jangan bodoh, Wulan. Kalau dia seorang jahat dia tidak akan membantu
menyelesaikan jenazah ibu serta pamanmu. Kalau dia orang jahat niscaya sesudah kau bikin cedera padanya dia akan
balas dendam kepadamu saat itu juga. Kau harus
sadar Wulan, harus insyaf...!"
Angin dingin bertiup lirih. Perlahan-lahan
si gadis berdiri dan melangkah menuju ke rumah.
Di atas balai-balai ruang tengah dilihatnya kakeknya tertidur pulas dan nyenyak. Setelah memperhatikan orang tua itu sejurus Wulansari kemudian melangkah menuju ke pintu yang tertutup dari sebuah kamar di dalam mana, di atas
sebuah balai-balai bambu yang dialasi tikar pandan putih terbaring tubuh Mahesa Kelud.
Pemuda ini segera terbangun dari tidurnya
dan bukakan sedikit kedua matanya ketika dia
mendengar suara langkah-langkah kaki di dalam
rumah. Lain orang mungkin tidak akan dengar
suara tersebut tapi Mahesa yang sudah berilmu
tinggi tidak demikian adanya. Pemuda itu terkejut ketika didengarnya langkahlangkah kaki tersebut berhenti di depan pintu kamarnya. Dalam keadaan tubuh tetap terbaring dia segera bersiapsiap. Kemudian dilihatnya pintu kamar itu terbuka dan seseorang masuk ke dalam. Melihat siapa
adanya orang yang masuk ini, Mahesa Kelud
menjadi lebih terkejut. Kedua matanya ditutupkan kembali, berbuat pura-pura tidur tapi kewaspadaannya dipertinggi. Hatinya bertanyatanya apa maksud orang ini datang kepadanya.
"Saudara," terdengar suara orang itu. Halus dan bergetar. "Tak usah berpura-pura
tidur." "Apa perlumu datang ke kamar ini" Ingin
menghabisi nyawaku" Kalau demikian lakukanlah segera!" kata Mahesa Kelud tanpa membukakan kedua matanya.
"Tidak saudara. Aku datang untuk meminta maaf...." Mahesa kaget dan membuka kedua matanya lebar-lebar "Minta maaf...?" tanyanya seperti orang yang tak percaya atas pendengarannya.
Wulansari menganggukkan kepalanya dan menunduk.
Pemuda itu tersenyum sinis. "Beberapa saat yang lalu kau begitu membenciku,
beberapa saat yang lalu kau bertekad bulat untuk habisi nyawaku,
dan adalah aneh kalau tahu-tahu kini kau datang
meminta maaf. Apakah yang telah terjadi agaknya
eh..."!" "Aku menyadari bahwa aku salah dan telah menyakiti hatimu bahkan
menyerang dan melu-kaimu. Karena itu aku minta maaf. Itupun kalau
kau sudi. Kalau tidak, tak apa-apa..." Wulansari memutar tubuhnya hendak
berlalu. "Tunggu dulu," kata Mahesa cepat. Pemuda ini bangun dan duduk di tepi balaibalai bambu. Dipandangnya gadis yang berdiri di hadapannya
itu beberapa lamanya lalu berkata: "Lupakanlah segala kejadian yang lewat. Itu
merupakan pelaja-ran bagimu untuk masa mendatang. Kau habis
dari mana tadi?" "Di luar, duduk sendirian di bawah pohon...." jawab gadis itu dengan tundukkan kepala.
"Mengapa duduk di sana dan tidak pergi
tidur" "Tidak apa-apa...."
Mahesa Kelud kemudian baru ingat bahwa
di dalam rumah itu cuma ada satu kamar tidur
dan dua balai-balai. Balai-balai yang pertama dipakai oleh Sentot Bangil sedang yang satu lagi ialah yang berada dalam kamar itu
yang tadi ditidu- rinya. Mahesa menatap lagi si gadis. "Kau tentu letih dan mengantuk..." katanya
seraya berdiri. "Tidurlah di sini, aku bisa cari tempat lain...."
Si gadis angkat kepala. "Tapi saudara...."
"Ah tak usah panggil saudara segala. Sebut
saja namaku, Mahesa." potong pemuda itu.
"Tapi kau... tapi kau masih sakit, Ma...
Mahesa. Jangan pikirkan aku, kau perlu tidur
dan istirahat." "Siapa bilang aku masih sakit?" ujar Mahesa Kelud. "Aku sudah sembuh!"
"Luka dibahumu?"
"Ah, cuma luka kecil saja. Tak apa-apa."
"Mahesa...." "Ya?" "Kau masih belum memaafkan aku...."
Si pemuda menatap paras gadis itu. Karena Wulansari tidak lagi menundukkan kepalanya
maka pandangan mereka jadi saling bertemu.
Wulan cepat-cepat kembali menundukkan kepalanya sedang Mahesa berkata: "Kalau aku sudah bersedia melupakan hal yang telah
lewat, berarti aku sudah memberi maaf kepadamu, Wulan...."
"Terima kasih Mahesa..." kata Wulansari.
Untuk pertama kalinya Mahesa Kelud kemudian
melihat gadis itu tersenyum kepadanya, satu senyum yang manis sekali. "Nah, kau tidurlah dengan nyenyak. Besok
pagi-pagi sekali aku akan minta diri untuk melanjutkan perjalanan." Meskipun si gadis berusaha untuk menyembunyikan rasa terkejutnya ketika mendengar
kata-kata Mahesa Kelud itu, tapi si pemuda masih dapat mengetahuinya. Diam-diam dia jadi heran. "Mahesa, apakah kau membenci padaku?"
tanya Wulansari pula. "Tidak. Mengapa...."
"Marah mungkin?"
"Juga tidak." "Mengapa kau terburu-buru pergi" Sebenarnya kemanakah tujuanmu?"
"Ada beberapa urusan atau tepatnya beberapa tugas yang aku harus laksanakan."
"Tugas apakah?" tanya Wulansari ingin ta-hu. "Tugas dari guruku, ah tak usah kau
tahu. Malam telah larut kau sudah ngantuk dan harus
tidur." "Aku tak ngantuk, Mahesa. Aku ingin dengar keteranganmu," memohon si
gadis. Mahesa tatap paras jelita itu sejurus. "Lain kali sajalah Wulan...."
"Lain kali kapan. Bukankah besok kau
akan pergi... Mahesa?"
Pemuda itu berdiri dengan bimbang. Dia
buang jauh-jauh perasaannya yang bukan-bukan
terhadap gadis itu dan berkata, "Lain kali masih ada kesempatan, Wulan. Aku
harus pergi sekarang. Kau tidurlah...."
Dengan kecewa Wulansari merebahkan dirinya di atas balai-balai bambu di mana sebelumnya Mahesa Kelud berbaring. Di luar sana si pemuda tak habis pikir apa yang telah menyebabkan gadis itu menjadi berubah ramah terhadapnya. Apa hanya karena kesadaran belaka bahwa
dia memang bukan orang yang membunuh gurunya..." Atau mungkin..." Pemuda itu menggelengkan kepalanya. SEMBILAN KEESOKAN paginya.... Mahesa Kelud sudah berkemas-kemas untuk berangkat. Ditemuinya Sentot Bangil alias Pendekar Budiman
yang saat itu tengah bicara dengan Wulansari di
dalam rumah. "Pendekar Budiman," kata Mahesa memanggil si kakek dengan gelarnya. "Aku minta diri karena harus pergi
sekarang...." "Pergi" Mengapa cepat-cepat" Kau mau
pergi ke mana, Mahesa?" tanya si kakek.
"Aku sendiri sebenarnya tidak tahu harus
pergi ke mana. Tapi aku mempunyai beberapa tugas untuk dilaksanakan."
"Tugas apa agaknya?"
Mahesa tak segera menjawab. Dia melirik
pada Wulansari yang berada di sampingnya. Melihat ini si kakek tua segera berkata pula: "Tak
apa kalau kau tak mau menerangkan tugastugasmu itu, Mahesa...."
"Biarlah aku terangkan agar puas hatimu.
Lagi pula Wulansari memang pernah menanyakannya," kata pemuda itu. Lalu dia terangkan empat buah tugas yang dipikulkan di
atas pun-daknya yaitu mencari pedang Samber Nyawa dan
manusia bernama Simo Gembong. Tugas-tugas
ini adalah dari gurunya Embah Jagatnata. Kemudian dua tugas yang lain yakni menghambakan
diri di kesultanan Banten dan mencari Dewi Maut
yang berdiam di Lembah Maut.
Si kakek geleng-gelengkan kepalanya. "Dari
ke empat tugas yang harus kau laksanakan itu
cuma tugas menghambakan diri di Banten yang
sedikit ringan. Yang tiga lainnya terus terang saja aku mungkin belum mampu
melaksanakannya. Tapi untung kau sudah diambil murid oleh si Karang Sewu. Dengan ilmu pukulan yang ampuh itu
kau punya harapan besar untuk bisa melaksanakan tugasmu dengan baik. Kalau kau tanyakan
tentang Simo Gembong, itu adalah satu hal yang
aku tidak tahu banyak. Aku memang sering dengar nama pendekar sakti itu, tapi tak tahu apa
yang telah terjadi dengan dirinya. Entah masih
hidup, entah sudah mati. Dia hilang lenyap begitu saja. Tentang Lembah Maut,
kalau aku tidak salah terletak di ujung timur tanah Jawa ini, yaitu di bekas
kerajaan Blambangan. Kemudian pedang
Samber Nyawa.... Dulu dari seorang pengemis
aneh aku mendapat keterangan bahwa pedang
yang menjadi pembicaraan menarik bagi orangorang di kalangan persilatan itu tersembunyi di
sebuah pulau. Aku sendiri tidak dapat mempercayai apakah senjata sakti luar biasa tersebut
memang benar-benar ada. Karenanya keterangan
pengemis tadi tidak aku perdulikan, tiada aku lakukan penyelidikan...."
"Terima kasih... terima kasih atas keteranganmu, Pendekar Budiman...."
"Mahesa, kau selalu saja panggil aku dengan gelar itu. Tak usah pakai peradatan terhadapku. Panggil saja dengan kakek Sentot sebagaimana yang dilakukan oleh Wulansari!" kata Sentot Bangil dengan tersenyum.
"Tentang mak-sudmu untuk pergi, memang kami tidak bisa menahan ataupun melarang kau. Namun mengingat
bahwa kau sudah memberikan pertolongan pada
cucuku, aku mohon janganlah tanggungtanggung. Untuk menghadapi bangsat-bangsat
Kadipaten Madiun seperti Suto Nyamat, Lima
Brahmana dan lain sebagainya, memang tenaga
kami berdua masih belum bisa diandalkan. Apalagi jika sekiranya nanti Suto Nyamat berhasil
membeli hulubalang-hulubalang raja untuk melindunginya." "Kakek Sentot, kalau kau mengharapkan
bantuanku, aku bersedia dengan hati ikhlas. Tapi
terus terang saja, aku sendiri tidak punya ilmu
apa-apa..." ujar Mahesa Kelud.
"Kau selalu saja rendahkan diri, Mahesa.
Aku senang padamu. Ketahuilah bahwa tidak


Mahesa Kelud - Fitnah Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembarang orang sanggup memiliki ilmu pukulan
Karang Sewu yang dahsyat itu. Terus terang saja
kurasa ilmuku belum tentu berada di atas ilmumu. Namun meskipun demikian kutawarkan padamu untuk ikut bersama-sama Wulan ke tempatku di hutan Bangil. Kita harus mengadakan
persiapan sebelum melakukan balas dendam terhadap Suto Nyamat dan kaki tangannya. Itupun
kalau kau sudi, mengingat belum satu pun tugas
yang dipikulkan di pundakmu yang kau laksanakan...." Mahesa Kelud termenung sejurus. Dipikir-kannya tawaran si kakek itu
baik-baik. Agaknya hitung-hitung untuk menambah pengalaman tidak ada salahnya kalau ia terima tawaran si kakek ini. Kalau perlu dia juga bersedia menjadi
murid dari si Pendekar Budiman.
Pemuda itu menjura. "Terima kasih kakek
Sentot. Kalau memang itu yang kakek tawarkan,
saya tidak berkeberatan."
Sentot Bangil tertawa. Ditepuk-tepuknya
pundak pemuda itu. Mahesa merasakan pundaknya seperti ditekan oleh ribuan kilo barang berat.
Dia maklum bahwa si kakek tengah menguji tenaganya. Diam-diam dia alirkan tenaga dalam ke
bahunya yang ditepuk-tepuk. Sentot Bangil menjadi terkejut ketika merasakan bagaimana tangannya yang dipakai menepuk menjadi seperti kesemutan. Cepat-cepat dia tarik tangannya kembali. "Bagus... bagus Mahesa. Mari Wulan, kita
berangkat sekarang juga..." kata Sentot Bangil pula. Setelah pamitan dengan
seisi kampung Banjaran maka Wulansari, Sentot Bangil dan Mahesa Kelud dengan mempergunakan ilmu lari
masing-masing segera berangkat menuju hutan
Bangil. Sebagai seorang pendekar yang sudah
mendapat nama tenar di dunia persilatan ternyata ilmu silat Sentot Bangil memang mengagumkan. Jurus-jurus tipu yang belum diketahui Mahesa dan Wulansari, segera dipelajari oleh kedua
muda mudi ini dengan bersungguh-sungguh. Tidak terasa lagi maka enam bulan lebih berlalu.
Antara Mahesa - Wulansari sementara mereka belajar pada Sentot Bangil, terjalin satu persahabatan yang erat. Persahabatan itu
mungkin bukan persahabatan lagi namanya karena masingmasing pihak sama-sama merasakan sesuatu
yang baik Mahesa Kelud apalagi Wulansari belum
berani mengutarakan nya secara berterus terang.
Cuma dari sikap dan pandangan mata masingmasing dapatlah dilihat bahwa kedua pendekar
muda ini saling memendam rasa. Sentot Bangil
yang mengetahui hal ini diam-diam merasa gembira. Dia sayang pada cucunya Wulansari dan
suka kepada Mahesa Kelud, seorang pemuda gagah, berhati rendah, tinggi budi dan berilmu yang tak bisa dianggap enteng,
cukup dapat diandalkan. Karena kedua muda remaja ini sama-sama
sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, ditambah
pula dengan ajaran-ajaran yang diberikan oleh
Sentot Bangil, maka sesudah enam bulan kepandaian yang mereka miliki kini telah dapat dipastikan akan sanggup untuk
menghadapi Suto Nya- mat dan anjing-anjing kaki tangan Kadipaten
lainnya. Sore itu, di dalam hutan Bangil yang jarang
kaki manusia luar menginjaknya, sehabis berlatih
Mahesa Kelud dan Wulansari dipanggil oleh Sentot Bangil. Kedua orang itu menjura di hadapan si kakek lalu duduk bersila dengan khidmat. "Murid-muridku," berkata Sentot Bangil.
"Kini telah tiba bagi kalian untuk meninggalkan hutan Bangil dan
ini guna mencari musuh besar kita!"
Mendengar ini bukan main senangnya hati
Wulansari. "Kakek, saat untuk membalaskan
dendam kesumat ini memang sudah lama aku
tunggu-tunggu. Kapan kami berdua boleh berangkat?" tanya gadis yang bernyali besar itu.
"Bukan kami, Wulan tapi kita," kata si kakek sakti pula dengan tersenyum. "Aku
sebagai kakek dan gurumu tidak akan lepas tangan begitu saja.
Aku akan pergi bersama kalian untuk mencari
bangsat Suto Nyamat dan Lima Brahmana itu."
Mahesa Kelud dan Wulansari menjadi
gembira mendengar ini. Kemudian terdengar suara Sentot Bangil berkata: "Siapkanlah segala sesuatunya malam ini karena kita
akan berangkat besok pagi-pagi sekali."
Malam itu Wulansari boleh dikatakan
hampir tak bisa tidur karena mengingat bahwa
besok pagi dia bersama Mahesa dan kakeknya
Sentot Bangil akan mencari musuh besarnya yaitu Adipati Suto Nyamat serta kaki-kaki tangannya. Menjelang dinihari baru gadis ini bisa pejamkan mata. Tapi itu pun tidak lama karena sebelum fajar menyingsing dia sudah bangun dan
bersama Sentot Bangil serta Mahesa Kelud ketiganya segera meninggalkan hutan Bangil. Pada
punggung ketiga orang itu kelihatan menonjol gagang-gagang senjata. Sentot Bangil membawa golok panjangnya. Wulansari pedang putih pemberian gurunya sedang Mahesa Kelud yang memang
sejak turun gunung tidak mendapatkan senjata
apa-apa dari Embah Jagatnata oleh Wulansari diberi pinjam pedang Naga Kuning milik mendiang
gurunya. Boleh dikatakan selama dalam perjalanan ketiga orang itu berhenti hanya untuk makan
minum saja. Mereka sengaja mencari jalan yang
jarang ditempuh manusia, lewat lembah-lembah,
menerobos hutan belantara dan mendaki serta
menuruni bukit-bukit. Beberapa hari kemudian akhirnya sampailah ketiga orang yang hendak menuntut balas itu
ke Madiun. Di kadipaten Madiun saat itu Adipati
Suto Nyamat tengah mengadakan pesta mengundang beberapa orang kawan-kawan karibnya yaitu jago-jago silat yang lihay dan berilmu tinggi.
Dan kebetulan sekali, di antara para tamu yang
hadir terdapat pula Lima Brahmana sesat. Jadi
Wulansari dan kawan-kawannya tidak perlu lagi
susah-susah mencari musuh-musuh besar mereka tersebut. Saat itu malam hari.
"Kita harus berhati-hati," kata Sentot Bangil pada kedua muridnya. "Pengawalpengawal Kadipaten rata-rata memiliki ilmu yang cukup
dapat diandalkan. Disamping itu jika Suto Nyamat mengadakan pesta, tentu tamu-tamunya bukan dari kalangan biasa. Karena itu kita tidak bi-sa lewat jalan biasa. Kita
ambil jalan memutar dan lompati tembok...."
Demikianlah ketiga orang tersebut dalam
kegelapan malam bergerak mengendap-endap
dengan cepat menuju tembok belakang dan dengan mempergunakan ilmu mengentengi tubuh
mereka dengan mudah sekali melompati tembok
Kadipaten. Sebelum masuk ke dalam pekarangan
Sentot Bangil menyelidik lebih dahulu. Ketika dilihatnya tidak ada satu orang pun maka dia segera memberi isyarat pada murid-muridnya. Ketiga
orang tersebut seperti burung saja layaknya, tanpa menimbulkan suara barang sedikit pun melayang turun. Tapi tak terduga dari sudut rumah besar
bagian belakang terdengar suara bentakan: "Siapa di sana"!"
Tanpa menunggu lebih lama Wulansari
berkelebat ke arah datangnya suara. Pedang putihnya sudah tergenggam di tangan. Di hadapannya berdiri seorang pengawal Kadipaten. Wulansari segera tusukkan pedangnya. Pengawal itu
serta merta roboh. Bersama Sentot Bangil dan
Mahesa Kelud, Wulansari kemudian bergerak
mendekati pintu belakang lalu mengintip. Ternyata pintu belakang tersebut berhubungan dengan
dapur. Pelayan-pelayan tengah sibuk dan bau
makanan yang harum merembas menusuk hidung. Ketiganya pindah ke samping rumah besar
dan sampai di sebuah jendela yang terbuka. Di
luar suasana gelap sedang di dalam terang benderang sehingga kalau pun ada orang di bagian dalam akan sukar untuk mengetahui mereka yang
berada di tempat gelap lewat jendela itu.
Di hadapan sebuah meja panjang dan besar duduklah berkeliling beberapa orang laki-laki.
Sentot Bangil meneliti siapa-siapa saja mereka ini adanya. Di kepala meja,
sebagai tuan rumah duduklah Adipati Suto Nyamat mengenakan pakaian
kebesarannya yaitu pakaian Bupati. Matanya besar garang, keningnya lebar, berkumis tebal melintang serta meliuk pada kedua ujungnya. Dari
tampangnya ini jelas terbayang kebengisannya.
Pada pinggang kiri dan kanan Suto Nyamat tersisip masing-masing sebuah golok panjang. Inilah
senjata yang sangat diandalkan oleh sang Bupati.
Memang ilmu sepasang goloknya itu sudah mencapai tingkat kepandaian yang tinggi.
Kemudian di sekeliling meja besar itu duduk pula lima orang berkepala botak dan memakai jubah putih. Mereka ini tak lain adalah Lima
Brahmana yang tersilau oleh harta benda serta
uang yang dijejalkan Suto Nyamat kepada mereka
sehingga meskipun tadinya mereka adalah orangorang suci tapi sesat kena dibujuk dan diambil
oleh sang Adipati menjadi tangan kanannya.
Namun dari sekian banyaknya tamu-tamu
yang hadir, yang paling menarik perhatian Sentot
Bangil ialah seorang laki-laki bertubuh tinggi,
mengenakan jubah hitam gelap. Rambutnya yang
berwarna kelabu diikat ke atas membentuk kuncir. Tadinya dia adalah seorang resi dari kerajaan Blambangan. Namun karena
kehidupannya tidak sesuai dengan sifat dan kelakuan seorang suci
maka dia diusir meninggalkan Blambangan, baju
resinya yang tadi berwarna putih ditukarnya dengan warna hitam gelap. Melihat orang ini diamdiam Sentot Bangil jadi terkejut. Dia maklum, melihat kepada pakaian serta sikap dan pandangan
matanya saja, orang ini pasti memiliki ilmu tinggi sekali.
SEPULUH TANPA memalingkan kepalanya kepada
Mahesa Kelud dan Wulansari, Sentot Bangil berkata: "Dengar kalian berdua dan perhatikan ke sana. Yang pakai baju bagus itu
dan duduk di kepala meja adalah Suto Nyamat. Dia sangat ahli
dengan senjatanya berupa sepasang golok. Kemudian lima orang yang berkepala botak dan berjubah putih. Mereka inilah Lima Brahmana sesat.
Mereka juga bersenjatakan golok. Di samping itu
mereka memiliki senjata rahasia berupa pisaupisau bengkok yang berbahaya sekali. Dengan
pedang di tangan, bilamana mereka maju satusatu tak akan berarti apa-apa, tapi jika mereka
maju berbarengan dan menyerang dengan serentak hebatnya bukan main. Kita harus hati-hati.
Kemudian manusia berkuncir dan pakai jubah hitam itu! Inilah yang paling...."
Tapi sampai di situ, Wulansari tidak dapat
lagi menahan hatinya. Dengan tidak sabar dia
melompat ke muka. Tubuhnya melesat lewat jendela dan sesaat kemudian dia sudah berada di
ruangan di mana Suto Nyamat dan para tamu
tersebut berada. "Bangsat-bangsat rendah! Pembunuhpembunuh terkutuk! Saat kematian kalian sudah
tiba! Aku datang untuk menuntut balas!"
Tidak ada satu orang pun di ruangan tengah Kadipaten itu yang tidak terkejut ketika mendengar suara Wulansari yang menggeledek itu.
Dan jadi lebih terkejut lagi ketika mereka lihat
bahwa yang datang adalah seorang dara jelita.
Suto Nyamat kemudian berdiri. Sambil
menyeringai dan puntir-puntir ujung kumisnya
dengan tangan kiri dia berkata: "Eh... eh... eh.
Gadis cantik dari mana yang datang kesasar ke
sini" Kalau ingin turut pesta silahkan duduk!"
"Adipati keparat!" maki Wulansari. "Tak ta-hu ajal sudah di depan hidung masih
bicara ceri- wis! Kau lihat pedang di tangan kananku ini"!"
"Eh, galak juga rupanya. Tapi tunggulah,
aku akan cubit pipimu yang montok itu!" Adipati
Suto Nyamat tanpa ragu-ragu maju ke hadapan
gadis itu untuk laksanakan niatnya. Tapi dia jadi terkejut ketika dengan secepat
kilat pedang putih di tangan kanan Wulansari berkelebat ke arah
lengannya yang terulur. Cepat-cepat Bupati Madiun ini tarik pulang tangannya dan melompat
mundur beberapa langkah dengan muka berang.
"Gadis gila! Kau siapakah..."!" tanya Suto Nyamat membentak.
"Aku adalah anak Jarot Singgih yang kau
fitnah dan kau bunuh secara kejam. Aku adalah
kemenakan dari Menggala! Kau dengar"!"
Suto Nyamat menyembunyikan rasa terkejutnya ketika mendengar keterangan si gadis itu.
Tak pernah disangkanya kalau saat itu masih hidup seorang turunan Jarot Singgih. Dia menduga


Mahesa Kelud - Fitnah Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa keluarga manusia yang dibencinya itu sudah musnah masuk liang tanah. "Gadis bernyali besar," kata Suto Nyamat.
"Dengarlah, kau memang cantik. Tapi jangan jual tam-pang di sini.
Aku tidak segan-segan mengirim kau ke neraka
guna menghadap ayah serta pamanmu!"
"Keparat! Mampuslah!" teriak Wulansari
dan serentak dengan itu dia melompat ke hadapan musuh besarnya mengirimkan serangan.
Merasakan derasnya angin sambaran pedang, Suto Nyamat segera cabut kedua golok panjangnya dan tangkis senjata lawan dengan gerak
berputar sedemikian rupa sehingga dalam satu
kali bentrokan saja dia bermaksud akan berhasil
menjepit senjata lawan serta merampasnya! Tapi
bukan main terkejutnya Bupati Madiun ini karena tak terduga, begitu pedangnya terjepit di anta-ra dua golok lawan maka dengan
kecepatan yang luar biasa Wulansari meluncurkan senjatanya ke
bawah dengan deras dan kirimkan satu tusukan
dahsyat ke dada Suto Nyamat. Adipati ini segera
melompat ke belakang untuk selamatkan dadanya. Meskipun dia tahu bahwa dengan seorang
diri gadis ini sanggup dihadapinya, tapi untuk
membakar hati para tamunya maka berkatalah
Suto Nyamat pada mereka: "Saudara-saudara,
mungkin di antara kalian ada yang lupa siapa
adanya Jarot Singgih dan Menggala. Mereka adalah gembong manusia dajal yang tempo hari hendak memberontak pada Kerajaan. Dan ini adalah
anak serta keponakan pemberontak itu! Suatu jasa besar terhadap Kerajaan bilamana kita berhasil menangkapnya hidup-hidup!"
Dengan darah mendidih Wulansari mengirimkan serangan ganas. Suto Nyamat berkelit. Si
gadis susul dengan serangan yang lebih dahsyat
dan satu jurus di muka maka kelihatanlah betapa
Adipati Madiun itu terdesak hebat. Melihat ini
Lima Brahmana yang menjadi kaki tangan Suto
Nyamat segera cabut golok masing-masing dan
menghadang si gadis. Wulansari kertak gigi. Pada saat itu melesat sesosok tubuh ke dalam dengan senjata di
tangan. "Anjing-anjing Kadipaten! Di mana muka
kalian, tidak malu mengeroyok seorang gadis"!"
Yang berkata dengan membentak dan
mengejek ini tak lain adalah Mahesa Kelud yang
kemudian dengan pedang Naga Kuning di tangan
dia segera menerjang ke arah Lima Brahmana.
Mengetahui bahwa Mahesa Kelud sudah berada di
sampingnya, bersemangatlah Wulansari. Gadis ini
putar pedangnya dengan deras sampai mengeluarkan suara menderu. Meskipun Suto Nyamat dan
kelima manusia berkepala botak itu bukan orangorang sembarangan, tapi menghadapi dua pendekar muda murid-murid pendekar-pendekar sakti
maka mereka segera kena didesak.
Para tamu terkejut sangat melihat bagaimana tuan rumah dan kelima Brahmana sampai
terdesak sedemikian rupa oleh dua anak muda
yang belum pernah dikenal kepandaiannya dalam
kalangan persilatan! Tanpa menunggu lebih lama
mereka segera cabut senjata dan membantu kawan-kawan mereka. Yang masih tetap duduk di
tempatnya dengan tenang adalah resi yang berjubah hitam dan berkuncir. Sambil memperhatikan
pertempuran yang terjadi di depan matanya dia
meneguk tuak yang terhidang di meja.
Dikeroyok oleh lebih sepuluh orang yang
semuanya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi,
lama-lama Mahesa Kelud dan Wulansari menjadi
sibuk dan terdesak. Bukan main girangnya Suto Nyamat. Dalam sejurus dua jurus di muka dia dan kawankawan tentu akan dapat membekuk batang leher
kedua pemuda itu. "Ha... ha! Anak-anak kecil yang masih belum pandai cebok
sendiri hendak coba-coba bikin urusan! Rasakan kalau kalian
sudah kena dibekuk sesaat lagi...!"
Di tengah-tengah pertempuran yang hebat
itu di saat mana kedua pendekar muda tadi terdesak hebat ke pojok ruangan besar maka tahutahu dari jendela melayanglah dengan gerakan
enteng seorang laki-laki tua yang tak lain daripa-da Sentot Bangil alias
Pendekar Budiman adanya. "Suto Nyamat durjana! Kau dan kawankawan jangan lekas merasa menang dan pentang
bacot besar! Layani aku!"
Sentot Bangil memutar golok panjangnya.
Dia bergerak di antara Mahesa Kelud dan Wulansari. Belum sampai satu jurus, salah seorang
pengeroyok sudah dapat dibikin roboh mandi darah! Bukan main terkejutnya Suto Nyamat melihat kehebatan jago tua yang baru datang ini. Dia
segera mundur. Di lain pihak Wulansari dan Mahesa Kelud kembali dapat mendesak lawan-lawan
mereka dan dalam tempo yang singkat segera merobohkan masing-masing satu lawan. Sentot Bangil yang ilmunya lihay dengan gerakan cepat
meyakinkan untuk kedua kalinya goloknya meminta korban lagi. Pada saat inilah, tanpa menunggu lebih
lama resi berjubah hitam segera berdiri dari kursinya dan dengan sekali membuat gerakan tahutahu tubuhnya sudah berdiri di hadapan Sentot
Bangil! SEBELAS SENTOT BANGIL kertak gigi melihat siapa
yang menghadang di hadapannya.
"Ho... ho! Rupanya si Pendekar Budiman
yang menjadi biang runyam membawa anak-anak
itu kemari!" kata resi berjubah hitam. Dia tertawa dengan nada mengejek.
Meskipun dia tahu bahwa musuh yang di
hadapannya ini bukan seorang baik-baik, tapi sebagai orang persilatan yang tahu diri dan tidak
cuma mendapat gelar Pendekar Budiman maka
Sentot Bangil menjura memberi hormat.
"Kalau tak salah aku tengah berhadapan
dengan Waranganaya Toteng yang dulu menjadi
resi di Blambangan, benar"!"
Si jubah hitam tertawa dan busungkan dada. "Bagus, bagus!" katanya. "Rupanya kau yang sudah tua masih bisa kenali
orang. Mari kita main-main sedikit Pendekar Budiman!"
"Soal main-main soal mudah, Waranganaya," sahut Bangil. "Sebelumnya aku ingin tanya dulu, apakah kau punya mulut
sudah kena ter-sumpal harta dan uang Adipati keparat itu sehingga kau terbujuk dan menjadi kaki tangannya"!" "Kalau kau tanya soal itu, itu bukan urusanmu! Aku mau malang, aku mau
melintang siapa yang mau perduli"!"
Sentot Bangil tersenyum sinis. "Pantas saja
kau diusir dari Blambangan Waranganaya...."
"Manusia monyet!" maki Waranganaya
sambil kebutkan ujung berumbai-rumbai dari
ikat pinggang jubah hitamnya.
Dengan cepat Sentot Bangil menghindar ke
samping karena dari kedua ujung rumbai-rumbai
itu keluar angin panas yang menyerang ke arahnya dengan deras. Melihat ini maka Waranganaya
tertawa bergelak. "Baru begitu saja kau sudah meliuk seperti cacing kepanasan,
Pendekar!" Sang resi enjot tubuh dan lancarkan serangan ganas.
Meskipun Sentot Bangil orang yang sudah
berpengalaman dan dapat nama harum di delapan penjuru angin namun menghadapi Waranganaya boleh dikatakan dia tidak dapat berkutik.
Hampir setiap saat resi itu mengebutkan rumbairumbai ikat pinggang jubahnya. Sambil menyerang dia tidak hentinya tertawa bekakakan. Tertawanya ini bukan pula tertawa biasa tapi mengandung tenaga dalam yang tinggi sekali dan
maksudnya adalah untuk mengacaukan setiap
gerakan lawan. Meskipun Sentot Bangil sudah kerahkan
semua ilmu simpanannya namun dia tetap dibikin tak berdaya. Di lain pihak kedua orang muridnya Mahesa dan Wulansari sudah terkurung
pula. Mahesa Kelud berkali-kali pergunakan pukulan tangan kirinya yang mengandung aji Karang Sewu yang ampuh itu namun sia-sia belaka
karena setiap dia mengirimkan satu serangan dia
dipaksa mundur untuk tangkis tiga atau empat
serangan lawan Sentot Bangil tahu bahwa jika mereka bertahan sampai beberapa jurus di muka maka mereka pasti akan kena dicelakai oleh bangsatbangsat Kadipaten itu. Dengan cepat maka berserulah jago tua ini:
"Murid-muridku! Kalian larilah! Biar aku sendiri yang hadapi mereka!"
Mendengar perintah sang guru itu, meskipun dengan hati berat namun Mahesa Kelud dan
Wulansari segera mematuhinya. Mereka putar
pedang masing-masing dengan sebat dan begitu
para pengeroyok mundur, keduanya segera melompat ke jendela. Sebelum melarikan diri Wulan
berpaling menengok guru atau kakeknya. Gadis
itu menjerit keras karena pada saat itu dilihatnya si kakek rebah ke lantai
terkena sambaran rumbai-rumbai ikat pinggang Waranganaya Toteng.
Dalam keadaan yang kritis itu, Sentot Bangil
sambil tergelimpang ke lantai masih berusaha
memapaskan golok panjangnya ke arah kaki Waranganaya. Dengan cepat resi ini melompat ke
atas dan sambil melompat kaki kirinya bergerak
menendang kepala Sentot Bangil. Kembali terdengar suara menjerit Wulansari. Tubuh Sentot Bangil terlempar beberapa tombak dengan kepala remuk! Di luar sana Wulansari memutar tubuh
dan melompat kembali ke jendela seraya berteriak: "Resi jahanam! Aku mengadu jiwa dengan
kau!" "Wulan!" seru Mahesa Kelud seraya tarik lengan si gadis dengan cepat.
"Jangan bertindak bodoh! Mereka bukan lawan kita. Kita bisa saja
nekad tapi pasti lebih banyak ruginya. Lain kali
kita mencari mereka untuk membuat perhitungan!" Si gadis kibaskan tangan Mahesa yang
memegang lengannya dan berusaha menariknya
dari kalangan perkelahian.
"Mahesa!" bentak Wulansari. "Kau ini seorang jantan atau banci pengecut! Kau
biarkan guru menemui ajal begitu rupa"! Kalau kau mau
kabur silahkan! Aku tidak gentar menghadapi setan-setan itu sendirian!"
"Jangan gegabah Wulan!" balas Mahesa
dengan suara tak kalah kerasnya. "Pergunakan otak sehatmu! Jangan biarkan amarah
mendidih dan hati panas mencelakaimu! Kalau kita mati
berarti untuk selamanya kita tidak bakal sanggup
membalas dendam terhadap bangsat-bangsat Kadipaten itu! Lagi pula apa kau tak ingat akan musuh besarmu si Warok Kate" Mari!"
Dalam keadaan genting seperti itu akhirnya
Wulansari bisa disadarkan. Sepasang muda mudi
itu segera putar tubuh, melarikan diri dalam kegelapan malam, kembali ke hutan Bangil.
Sesampainya di hutan Bangil beberapa hari
kemudian, dalam keadaan letih Wulansari jatuhkan diri di depan pondok. Di sini si gadis menangis sejadi-jadinya. Mahesa coba membujuk dan
menghibur gadis itu tiada putus-putusnya.
"Kau tak merasakan bagaimana beratnya
kehilangan orang tua itu..." kata Wulansari di antara isak tangisnya.
"Apa yang ada dalam hatimu sama dengan
yang aku rasakan Wulan. Ini namanya hidup
yang penuh cobaan dan tantangan. Cobaan dan
tantangan tidak seharusnya membuat kita jadi
lemah serta lupa diri. Justru cobaan dan tantangan dijadikan cambuk untuk menggembleng diri
sendiri menjadi lebih tabah dan kukuh hati. Jalan hidup kita sebagai orang-orang
persilatan memang berputar di situ...."
Wulansari terdiam. Lama gadis ini termenung. Perlahan-lahan entah dia sadar atau tidak
Wulansari sandarkan kepalanya ke dada Mahesa
Kelud. Si pemuda belai rambut gadis ini penuh
kasih sayang. Belaiannya turun ke pipi si gadis.
Lalu perlahan-lahan hidungnya didekatkan mencium kepala Wulansari. Ketika gadis itu menengadah Mahesa mencium sepasang matanya yang
bagus dan masih basah. Wulansari merangkulkan kedua tangannya
ke leher Mahesa Kelud lalu berbisik lirih.
"Mahesa, jangan tinggalkan diriku. Kau satu-satunya kini tempat aku bergantung...."
"Kita berdua ditakdirkan senasib sepenanggungan. Jadi kita tak akan berpisah apa pun
yang terjadi..." balas Mahesa Kelud.
Wulansari merasa bahagia sekali mendengar ucapan pemuda itu. Ditariknya kepala Mahesa hingga wajah mereka saling bersentuhan. Ketika Mahesa mengecup bibirnya Wulansari membalas penuh kehangatan. Suasana mesra itu dapat
menghibur Wulansari serta membuatnya sesaat
melupakan apa yang mereka alami.


Mahesa Kelud - Fitnah Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel Juru Edit: Fujidenkikagawa
Godfather Terakhir 12 Love From My Heart Karya Endik Koeswoyo The Iron King 6

Cari Blog Ini