Daerah Salju Karya Yasunari Kawabata Bagian 1
Daerah Salju Yasunari Kawabata Judul Asli Yukiguni KPG 59 1601223 Cetakan Pertama, Juli 2016
Sebelumnya diterbitkan oleh
PT Dunia Pustaka Jaya Cetakan Pertama, 1997
Penerjemah Matsuoka Kunio & Ajip Rosidi
Perancang Sampul Teguh Tri Erdyan Deborah Amadis Mawa Penata letak Landi A. Handwiko KAWABATA,Yasunari Daerah Salju Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),2016
xvii + 154 hlm.; 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-424-105-6 Dicetak oleh PF Gramedia, Jakarta.
Isi di luar tanggung jawab percetakan.
PENGANTAR I YUKIGUNI (DAERAH Salju) dianggap sebagai salah satu karya puncak Yasunari Kawabata (1899-1972) dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sebagai roman bentuknya unik. Ia boleh dikatakan tidak mempunyai alur yang berkembang, melainkan terdiri dari episode-episode. Hal itu barangkali dapat dimengerti dari riwayat penulisannya yang juga unik. Sebelum akhirnya terbit dalam bentuknya sebagai sebuah roman pada tahun 1947, bagian-bagiannya telah ditulis dan diumumkan oleh Kawabata selama dua belas tahun, yaitu sejak tahun 1935 sebagai cerita pendek yang berdiri sendiri-sendiri. Pada bulan Januari 1935, Kawabata menulis dan mengumumkan dua buah cerita dalam dua majalah yang berlainan berjudul "Yugeshiki no Kagami" (Cermin Pemandangan Senja) dan "Shiroi Asa no Kagami" (Cermin Pagi Putih). Keduanya kemudian disusul dengan cerita-cerita lain pada bulan November dan Desember 1935, dan Agustus serta Oktober 1936. Juga pada tahun 1937 ia menulis pula sebuah cerita lain. Kesemuanya itu setelah disesuaikan di sana-sini kemudian digabungkan menjadi satu dan diterbitkan dengan judul Yukiguni pada tahun 1937. Tapi pada tahun 1940 dan 1941 ia masih menulis dua buah cerita lagi yang kemudian juga digabungkan ke dalamnya dan baru pada tahun 1947, Yukiguni terbit lengkap seperti yang sekarang. Itu pun masih sering direvisi oleh penulisnya di sana-sini sehingga terdapat perbaikan-perbaikan dalam berbagai cetakan. Ketika Kawabata meninggal karena bunuh diri pada tahun 1972, di lacinya masih ditemukan naskah Yukiguni yang telah direvisinya lagi.
Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia ini didasarkan kepada terbitan Shincho-sha cetakan ke-94 (1982) yang dianggap sebagai versi final karena sejak cetakan ke-69 (1973) yang mengalami perbaikan dari cetakan-cetakan sebelumnya, pengarangnya tidak mungkin lagi mengadakan perbaikan-perbaikan atau perubahan-perubahan.
II ROMAN INI melukiskan hubungan antara seorang laki-laki Tokyo dengan seorang wanita yang dikunjunginya di daerah salju, yaitu bagian utara Pulau Honshu yang terletak di tepi Laut Jepang yang dalam musim dingin tertutup salju karena berlainan dengan di pantai Laut Pasifik yang hangat, pantai itu selalu diterjang angin dingin dari daratan Asia.
Laki-laki setengah baya yang bernama Shimamura itu hidup dari warisan orangtuanya, sehingga tidak mempunyai sesuatu pekerjaan yang mengikat dan dengan demikian dapat dengan bebas melakukan kegemaran-kegemarannya, yaitu mendaki gunung dan menulis tentang tarian Barat yang belum pernah dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Dia sudah berkeluarga, sehingga hubungannya dengan wanita lain tidaklah mungkin akan meningkat menjadi ikatan resmi. Demikian juga hubungannya dengan Komako, seorang wanita yang ditemuinya di sebuah perkampungan pemandian mata air panas setelah dia berkelana di pegunungan selama seminggu. Sebenarnya yang dia kehendaki adalah seorang wanita penghibur biasa (geisha), tetapi pada waktu itu ada perjamuan ramai sehingga semua geisha sibuk. Maka yang datang memenuhi panggilannya ialah seorang gadis yang sebenarnya bukan geisha, tetapi sering menolong menjamu tamu-tamu kalau semua geisha sedang sibuk. Dia tinggal di rumah seorang guru tari lumpuh yang mempunyai seorang anak laki-laki yang sedang sakit dan hampir meninggal.
Hubungan Komako dengan laki-laki anak guru tari itu tidak jelas. Menurut tukang pijit, mereka bertunangan, tetapi Komako sendiri membantah hal itu. Namun demikian jelas bahwa Komako kemudian bekerja menjadi geisha agar memperoleh uang untuk membiayai pengobatan laki-laki itu di Tokyo.
Hubungan Yukio (laki-laki anak guru tari itu) dengan Yoko, gadis yang merawatnya dalam kereta api, juga tidak jelas. Mungkin Yoko mencintainya seperti tampak dari caranya merawat yang seperti seorang istri terhadap suaminya dan dari kenyataan bahwa setelah Yukio meninggal setiap hari Yoko menziarahi makamnya, sementara Komako sama sekali tidak pernah melakukannya.
Memang banyak yang tidak jelas dalam roman ini, sehingga banyak pengeritik yang menyebutnya sebagai sebuah puisi, atau membandingkannya dengan puisi haiku Jepang yang terdiri atas tujuh belas suku kata dalam tiga baris: 5-7-5. Kawabata sendiri pada masa muda pernah aktif dalam gerakan sastra Shin Kankaku Ha (Aliran Persepsi Baru) yang sebagai aliran tampaknya tidak penting dalam sejarah sastra Jepang, tetapi mempunyai andil yang besar bagi perkembangan gaya penulisan Kawabata. Pada tahun 1925, Kawabata menyumbangkan dasar pemikiran buat aliran tersebut berbentuk sebuah makalah berjudul "Shinshin Sakka no Shinkeikoo Kaisetsu" (Kecenderungan Baru Para Penulis Garda Depan) yang menekankan akan pentingnya segala sesuatu yang serba baru; baru dalam persepsi, baru dalam ekspresi, baru dalam gaya yang mementingkan daya persepsi seorang penulis roman. Kawabata pun menekankan pentingnya "bahasa yang baru" dalam roman, yaitu bahasa yang secara langsung mencerminkan pikiran dan perasaan pada tingkat awal, sehingga kadang-kadang tokoh-tokohnya atau si juru kisah (narrator) berkata dalam kalimat-kalimat yang tidak sempurna, berupa potongan-potongan kalimat yang akan lebih tepat melukiskan diri dan situasinya, dan dengan demikian pembaca pun memperoleh gambaran yang lengkap tentang tokoh-tokoh dan lingkungannya. Dengan bahasa seperti itu, tak ada jarak antara si pengucap dengan yang diucapkan.
Dasar pemikiran yang kemudian dipraktikkan oleh Kawabata dalam cerita-cerita yang bersifat eksperimental yang banyak ditulisnya sampai sekitar tahun 1930 seperti Bara no Yuurei (Mantu Bunga Aawar), 1927, Asakusa Kurenai-Dan (Gerombolan Merah Asakusa), 1929-1930, Suishoo Gensoo (Khayalan Kristal), 1931 dan lain-lain itu, masih tampak bekas-bekasnya dalam Yukiguni. Banyak kalimat di dalamnya yang meskipun dapat dirasakan atau ditangkap suasananya, tetapi jika artinya hendak diteliti secara lebih cermat, ternyata tidak jelas. Hal itu disebabkan antara lain karena sifat bahasa Jepang sendiri yang" seperti bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah Nusantara" memungkinkan membentuk kalimat lengkap tanpa subjek misalnya. Itu sebabnya, terjemahannya ke dalam bahasa Inggris seperti yang dilakukan oleh E. Seidensticker (menjadi Snow Country, 1957), sering hanya merupakan sebuah interpretasi, bahkan saduran saja. Karena perbedaan-perbedaan yang ada antara bahasa Jepang dengan bahasa Inggris, maka kalimat-kalimat Kawabata harus diubah menjadi kalimat yang lazim menurut struktur bahasa Inggris supaya dapat dipahami oleh para pembaca terjemahan itu. Bahkan di beberapa tempat bukan hanya struktur kalimatnya saja yang diubah, seperti misalnya kalimat yang menerangkan bahwa kain chijimi yang dipakai oleh Shimamura itu ditenun oleh gadis-gadis pada akhir zaman Edo dan awal zaman Meiji, oleh Seidenstricker diterjemahkan menjadi "There may have been among Shimamura"s kimonos one or more woven by these maidens towards the middle of the last century". Dia menghindarkan diri menyebut zaman Edo dan zaman Meiji yang dikenal dengan baik oleh pembaca Jepang tetapi dianggapnya tidak akan dapat diketahui oleh para pembaca terjemahannya itu.
Maka dibandingkan dengan terjemahan Seidensticker itu, terjemahan dalam bahasa Indonesia ini lebih setia kepada teks aslinya. Misalnya, kalimat di atas diterjemahkan secara harfiah, sedangkan untuk memberi tahu para pembaca Indonesia tentang zaman Edo dan zaman Meiji, diberi catatan kaki yang menjelaskan hal itu.
Terjemahan bahasa Indonesia, dibandingkan dengan terjemahan bahasa Inggris, dapat lebih setia kepada aslinya, antara lain disebabkan oleh karena sifat bahasa Indonesia sendiri yang lentur dan longgar, sehingga kata-kata boleh dikatakan bisa ditempatkan di mana saja dalam kalimat tanpa mengubah arti kalimat itu sendiri. Namun demikian ada beberapa sifat bahasa Jepang yang berlainan dengan bahasa Indonesia, sehingga tidak selamanya susunan bahasa Jepang dapat dipindahkan ke dalam bahasa Indonesia, misalnya letak predikat yang dalam bahasa Jepang selalu terdapat di ujung kalimat. Di samping itu ada juga ungkapan bahasa Jepang yang memang berbeda dengan ungkapan dalam bahasa-bahasa lain, misalnya untuk menjawab pertanyaan negatif dalam bahasa Jepang, jawabnya adalah "hai" (ya), sedangkan dalam bahasa-bahasa lain dipergunakan bentuk negasi juga. Tapi dalam bahasa Indonesia (dan juga dalam bahasa-bahasa lain seperti bahasa Inggris), jawaban "ya" untuk pertanyaan negatif seperti itu akan membingungkan. Untuk pertanyaan demikian, orang Indonesia biasa memberikan jawaban "tidak". Dalam hal seperti itu, terjemahan bahasa Indonesia ini disesuaikan dengan ungkapan yang biasa terdapat dalam bahasa Indonesia.
Untuk kata-kata Jepang yang khas, yang bertalian erat dengan kebudayaan dan sejarah Jepang, yang dibiarkan dalam bahasa aslinya tapi dalam transkripsi yang biasa dipakai dalam bahasa Inggris, diberikan keterangan singkat di akhir buku. Sedang kata-kata tertentu yang menyebut benda yang terdapat juga di Indonesia tetapi tidak dikenal katanya dalam bahasa Indonesia, peneijemah banyak meminjam dari bahasa Sunda, misalnya kata kur i diterjemahkan dengan saninten, karena dalam bahasa Indonesia sendiri tidak dikenal nama buah-buahan hutan yang sebenarnya ada juga di Indonesia itu.
III MUNGKIN KARENA roman ini ditulis dalam jangka waktu yang cukup panjang, yang masing-masing bagiannya berdiri sendiri sebagai cerita mandiri, maka di sana-sini terjadi ketidakcocokan. Miyoshi Masao dalam bukunya Accomplices of Silence: The Modern Japanese Novel (1974"1945) menunjukkan bahwa Kawabata melakukan kekeliruan dalam menghitung jangka waktu hubungan antara Shimamura dengan Komako dalam tiga kali kunjungan. Kawabata dalam bukunya menyebut "tiga tahun", padahal menurut perhitungan Miyoshi hanyalah dua puluh bulan saja, yaitu jangka waktu dari kunjungan Shimamura yang pertama dalam bulan Mei, kunjungan kedua dalam bulan Desember tahun itu juga, kemudiah diakhiri dengan kunjungan ketiga dalam musim gugur tahun berikutnya.
Saya sendiri menemukan bahwa ada sesuatu yang tidak masuk akal dalam lukisan tentang kunjungan Shimamura yang pertama. Seperti diketahui cerita dimulai dengan perjalanan Shimamura naik kereta api waktu ia hendak melakukan kunjungan yang kedua dalam musim dingin. Kunjungan pertama dilukiskan berupa sorot balik (flash back). Dalam perjalanan kereta api pada senja hari pada kunjungan yang kedua itu, Shimamura mengalami suatu hal yang luar biasa, melihat wajah Yoko pada kaca jendela kereta api sementara pemandangan di luar mengalir di belakangnya, terlebih-lebih ketika ada api menyala di tengah-tengah wajah itu. Pengalaman itu sangat mendalam menggaris dalam kenangan dan pikiran Shimamura, sehingga ia sering teringat padanya.
Tetapi rujukan demikian niscaya dapat dilakukan terhadap kejadian-kejadian sesudah pengalaman itu sendiri. Tidak mungkin pada waktu yang sebelumnya. Padahal tatkala melukiskan kunjungannya yang pertama menemui Komako (dalam bentuk sorot balik), dilukiskan juga rujukan kepada peristiwa yang teijadi dalam kunjungan yang kedua itu:
Memang di sini juga ada cermin pemandangan senja. Bukan hanya karena dia tidak mau hubungan dengan wanita yang tidak menentu kedudukannya itu ada ekornya, tetapi juga mungkin karena ia sendiri memandang wanita itu bukan sebagai sesuatu yang nyata, tepat seperti wanita yang terbayang pada kaca kereta api senja.
Barangkali untuk karya utama Kawabata ini dapatlah kita pakai peribahasa Melayu yang sering dipergunakan oleh para penulis kita dengan tidak tepat (karena karya mereka sendiri bukan sesuatu yang bermutu), yaitu tak ada gading yang tak retak. Meskipun di sana-sini terdapat retak-retak, namun Yukiguni karya Kawabata ini memang gading tulen.
IV YUKIGUNI PERNAH diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anas Ma"ruf almarhum, menjadi berjudul Negeri Salju (1972). Terjemahan itu didasarkan kepada terjemahan bahasa Inggris E. Seidcnsticker yang sudah disebut.
Terjemahan ini dilakukan langsung dan teks bahasa aslinya, sehingga niscaya mengandung perbedaan-perbedaan, baik dengan terjemahan Seidcnsticker maupun dengan terjemahan Anas Ma"ruf yang berdasarkan terjemahan Seidcnsticker itu, disebabkan karena adanya perbedaan-perbedaan tafsir terhadap kalimat-kalimat Kawabata yang memang mengandung makna ganda.
Judul Yukiguni di sini diterjemahkan menjadi Daerah Salju, karena perkataan "kuni" dalam bahasa Jepang memang sejajar dengan kata "country" dalam bahasa Inggris, tetapi mengandung arti yang tidak terdapat dalam perkataan "negeri" dalam bahasa Indonesia. Dalam pemakaian bahasa Indonesia sekarang, perkataan "negeri" cenderung diartikan dalam arti administratif atau tak dapat dipisahkan dari pemerintah, padahal perkataan "kuni" yang searti dengan "country" yang dipakai dalam judul karya Kawabata ini, tidak ada hubungan dengan pengertian pemerintah atau administrasi. Karena itu, sebagai gantinya dipakai perkataan "daerah" yang dianggap lebih cocok.
Sebagai penghargaan dan penghormatan kepada almarhum Anas Ma"ruf yang telah merintis penerjemahan karya sastra Jepang yang penting ini ke dalam bahasa Indonesia, kedua penerjemah bersepakat untuk mempersembahkan terjemahan ini kepada beliau.
Mudah-mudahan akan ada manfaatnya sebagai perkenalan dengan sastra dunia umumnya, sastra Jepang khususnya, sehingga dapat memperkaya dan memperluas kaki langit bacaan bahasa Indonesia.
Osaka, 24 November 1985. Ajip Rosidi RUJUKAN Kawabata Yasunari, Snow Country and Thousand Cranes, terjemahan Edward G. Seidensticker Penguin Books, Ilarmondsworth, Middlesex, 1971.
idem, Negeri Salju, terjemahan Anas Ma"ruf, Badan Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, 1972.
Ajip Rosidi, "Pengantar" dalam Kawabata Yasunari Penari-penari Jepang, terjemahan Matsuoka Kunio dan Ajip Rosidi, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1985.
Miyoshi Masao, Accornplices of Silence: The Modern Japanese Novel, University of California Press, Berkeley & Los Angeles, 1974.
Petersen, Gwenn Boardman, The Moon in the Water: Understanding Tanizaki, Kawabata and Mishima, The University Press of Hawaii, Honolulu, 1979.
Tsuruta Kinya & Thomas E. Swann (ed), Approaches to the Modern Japanese Novel, Sophia University, Tokyo, 1976.
Ucda Makoto, Modern Japanese Writers and the Nature of Literature, Stanford University Press, Stanford, California, 1976.
Yamanouchi Hisaaki, The Search for Authenticity in Modern Japanese Literature, Cambridge University Press, Cambridge, 1978.
BAGIAN PERTAMA BEGITU KELUAR dari terowongan panjang di perbatasan, tibalah di daerah salju. Dasar malam menjadi putih. Kereta api berhenti di tempat sinyal. Dari tempat duduk seberang sana, seorang gadis bangkit mendekat dan membuka jendela kaca di depan Shimamura. Dingin salju mengalir masuk. Gadis itu menjulurkan tubuhnya ke luar jendela dan berteriak seolah-olah ke kejauhan,
"Pak Sep! Pak Sep !"
Seorang laki-laki berjalan perlahan-lahan di atas salju sambil menenteng lentera, membungkuskan syal sampai menutupi hidungnya, dan membiarkan kulit-bulu topinya bergantung di atas telinganya.
Sudah sedingin itu, pikir Shimamura sambil memandang ke luar dan tampaklah berpencaran bagaikan kedinginan rumah-rumah yang rupanya barak para pegawai kereta api di kaki-kaki gunung, dan warna salju telah ditelan oleh kegelapan malam sebelum sampai di situ.
"Pak Sep, ini saya. Apa kabar?"
"Ah, Yoko-san! Mau pulang" Sudah dingin lagi."
"Saya dengar adik saya sekarang dipindahkan ke sini, bekeija di bawah Bapak. Terima kasih atas bimbingan Bapak kepadanya." "Bekerja di tempat seperti ini mungkin ia takkan tahan lama karena kesepian. Kasihan, ia masih muda."
"Ia masih anak-anak, jadi saya mohon Bapak sudi membimbingnya baik-baik. Tolong."
"Baiklah. Ia bekerja baik. Mulai sekarang kami sibuk. Tahun lalu banyak salju. Sering terjadi longsor sehingga kereta api terhenti dan penduduk kampung juga ikut sibuk menyediakan makanan untuk para penumpang."
"Bapak tampak berpakaian tebal sekali, ya. Menurut surat adik saya, ia belum lagi memakai rompi."
"Pakaianku empat rangkap. Kalau dingin, yang muda-muda cukup minum sake saja. Mereka bergeletakan di sana, masuk angin," kata kepala stasiun itu dan ia mengangkat lentera ke arah asrama.
"Adik saya juga minum sake?"
"Tidak." "Bapak sekarang mau pulang?"
"Aku terluka dan sekarang dirawat dokter."
"Oh! Kasihan." Kepala stasiun, yang mengenakan mantel di atas kimononya., ingin cepat mengakhiri percakapan sambil berdiri dalam dingin itu, membelakangi Yoko, hendak beranjak seraya berkata, "Sekarang aku pergi dulu. Selamat jalan, ya."
"Pak, sekarang adik saya tidak bertugas?" tanya Yoko sambil memandang mencari-cari di atas keluasan salju. "Pak, saya betul-betul mohon agar Bapak membimbing adik saya baik-baik."
Suaranya begitu indah sehingga memilukan. Rupanya suara itu tinggi mengiang dan dipantulkan salju malam hari.
Walaupun kereta api sudah mulai bergerak, dia tidak memasukkan tubuhnya dari jendela. Ketika kepala stasiun yang beijalan di tepi rel di bawah tersusul olehnya, ia berkata,
"Pak, tolong suruh adik saya pulang ke rumah pada hari libur nanti"
"Yaaaa!" teriak kepala stasiun itu dengan suara keras.
Yoko menutup jendela dan kedua belah telapak tangannya dilekatkan pada pipinya yang sudah menjadi merah.
Daerah itu adalah pegunungan perbatasan di mana sudah tersedia tiga buah kereta penyibak salju yang menunggu saatnya dipergunakan. Kini baru dipasang alat pemberi tahu kalau ada salju longsor dari sebelah utara dan selatan terowongan. Ada tenaga penyibak salju sejumlah lima ribu pekerja harian dan di samping itu telah siap pula sejumlah dua ribu tenaga kerja harian pemuda dari organisasi pemadam kebakaran untuk dikerahkan.
Ketika diketahuinya bahwa adik gadis yang bernama Yoko itu bekerja di tempat sinyal yang akan tertimbun salju, Shimamura menjadi lebih tertarik olehnya.
Di sini disebut "gadis" karena tampaknya demikianlah kepada Shimamura dan memang ia tidak bisa tahu bagaimana hubungannya dengan laki-laki yang ditemaninya itu. Tingkah laku keduanya seperti suami-istri, tetapi sudah jelas laki-laki itu orang sakit. Kalau seseorang menemani orang sakit, dengan sendirinya jarak antara laki-laki dengan perempuan menjadi dekat, dan makin setia ia merawat si sakit, makin tampak seperti suami-istri. Sikap bagai ibu muda seseorang yang merawat laki-laki yang lebih tua kelihatan seperti suami-istri kalau dipandang dari agak jauh.
Shimamura hanya memperhatikan wanita itu dan secara sesuka hati menganggapnya sebagai gadis berdasarkan kesan setelah melihat sosok tubuhnya. Hal itu mungkin disebabkan pula oleh rasa sentimental yang diakibatkan karena dia terus memandang gadis itu dengan cara yang aneh.
Tiga jam yang lalu sambil melihat jari telunjuk tangan kiri yang digerak-gerakkannya dengan berbagai cara lantaran iseng, Shimamura merasa ganjil memikirkan bahwa akhirnya hanya jari itu sajalah yang masih mengingatkannya dengan hangat akan wanita yang beberapa jenak lagi akan ditemuinya, seakan-akan jari itu masih basah karena menjamahnya dan menyeretnya ke arah wanita yang berada di tempat yang jauh (tapi bila dia coba untuk mengingatnya kembali dengan jelas, malah menjadi semakin samar) dan dia mendekatkan jari itu ke dekat hidung dan membauinya, lalu ketika dengan kebetulan dibuatnya garis pada kaca jendela maka muncullah di situ mata seorang wanita. Dia terkejut sehingga hampir terpekik. Tapi itu karena pikirannya sedang mengawang ke kejauhan. Ketika sadar, ternyata bukan apa-apa, hanya bayangan wanita yang duduk di seberangnya. Di luar hari sudah gelap dan di dalam gerbong lampu menyala. Maka kaca jendela menjadi cermin. Tetapi kaca itu penuh dengan uap karena hangatnya alat pemanas uap sehingga tidak menjadi cermin sebelum digosok dengan jari.
Sebelah mata gadis itu luar biasa indahnya. Shimamura dengan wajah yang sekonyong-konyong tampak kesepian dalam perjalanan mendekatkan mukanya ke jendela dan menggosok kaca dengan telapak tangan seakan-akan mau melihat pemandangan senja.
Gadis itu duduk dengan dada agak condong dan tetap memandang pada laki-laki yang berbaring di depannya. Melihat bahunya yang tegang, dapat diketahui matanya yang tajam adalah tanda kesungguh-sungguhannya sehingga mengejap pun ia tidak. Kepala laki-laki itu di bagian jendela, sedang kakinya yang terlipat diletakkan di samping si gadis. Ini gerbong kelas tiga. Mereka tidak duduk tepat di sebelah Shimamura, tetapi satu tempat di depannya, jadi muka laki-laki yang berbaring itu terbayang pada cermin hanya sampai telinganya saja.
Gadis itu duduk tepat bersilang dengan Shimamura. Kalau mau dia bisa langsung melihatnya, tetapi dia merasa bersalah kalau melihatnya lagi karena telah tampak olehnya tangan laki-laki yang berwarna kuning kebiruan erat memegang tangan si gadis tatkala Shimamura menundukkan mata karena tercengang oleh kecantikan si gadis yang segar memancar pada waktu mereka naik ke atas kereta api.
Air muka laki-laki itu di dalam cermin tenang seakan-akan hatinya tenteram hanya karena melihat ke arah dada gadis itu. Daya tubuhnya yang lemah menimbulkan harmoni yang lemah juga. Dipakainya syal sebagai bantal dan ditutupinya mulutnya agak di bawah hidung dan juga ditutupinya pipinya sebelah atas, jadi yang kelihatan hanya matanya saja, tapi syal itu longgar, kadang-kadang menutupi hidung juga. I^aki-laki itu menggerakkan mata, tapi si gadis sudah membetulkannya dengan gerakan tangan yang lembut. Laku demikian berulang-ulang mereka perbuat, sehingga Shimamura yang menyaksikannya menjadi gelisah. Dan ada kalanya ujung mantel yang menutupi kaki laki-laki itu terkulai. Itu pun segera disadari dan dibetulkan oleh si gadis. Semuanya itu betul-betul tidak dibuat-buat. Dengan demikian mereka berdua bagaikan dalam perjalanan ke kejauhan yang tak berhingga sambil melupakan jarak. Karena itu Shimamura tidak merasa tertekan karena melihat sesuatu yang menyedihkan, melainkan ia merasa melihat sesuatu adegan dalam mimpi. Mungkin karena semuanya itu teijadi dalam cermin yang ganjil. Di balik cermin itu mengalir pemandangan senja, yaitu segala yang terpantul dengan cermin yang memantulkannya bergerak seperti gambar tumpang tindih dalam film. Tokoh yang muncul di dalam adegan itu tidak mempunyai hubungan apa pun dengan latar belakangnya. Apalagi tokoh itu hampa seperti bening dan pemandangannya adalah aliran gelap malam yang samar dan keduanya bersatu padu menggambarkan dunia lambang yang tidak seperti di alam ini. Terutama ketika ada api menyala di ladang yang tampak tepat di tengah-tengah wajah gadis itu, dada Shimamura hampir gemetar karena keindahan yang tidak terkatakan.
Karena masih ada sisa warna layung di langit di atas gunung yang jauh, pemandangan yang tampak melalui kaca jendela itu masih jelas memperlihatkan bentuk-bentuk segala sesuatu sampai di kejauhan. Tetapi warnanya sudah tidak lagi tampak dan walau ia terus juga melanjutkan perjalanan, pemandangan ladang dan gunung yang sederhana makin kelihatan sederhana dan tidak ada yang secara istimewa menarik perhatian, karena itu semuanya merupakan aliran perasaan samar yang besar. Memang itu disebabkan oleh wajah gadis yang terapung di dalamnya. Di sekitar bayangan si gadis yang dipantulkan pada kaca jendela selalu bergerak pemandangan senja, jadi wajah gadis itu terasa seperti bening. Tetapi untuk mengetahui betul-betul bening ataukah tidak, ia tidak bisa menemukan waktu untuk mengamati karena tampak seolah-olah di depan wajah si gadis lewatlah pemandangan senja yang sebetulnya tak henti-hentinya mengalir di belakangnya.
Dalam gerbong itu tidak begitu terang dan cermin itu pun tidak sejelas cermin biasa. Tidak ada pantulan sinar. Karena itu, sementara asyik memperhatikannya Shimamura semakin lupa akan adanya cermin itu dan tampak kepadanya terapung-apunglah si gadis di tengah aliran pemandangan senja.
Justru pada waktu itu api menyala di tengah-tengah wajah gadis itu. Bayangan cermin itu tidak begitu kuat sehingga tidak mengalahkan api di luar jendela. Api juga tidak bisa mengalahkan bayangan. Dan api itu mengalir di tengah wajahnya. Tetapi tidak sampai membuat wajahnya berkilauan. Sinar itu jauh dan dingin. Api itu menerangi samar-samar sekitar hitam mata gadis itu, yaitu ketika mata si gadis dengan api itu saling tumpang tindih sehingga mata itu menjadi yakoehu yang indah dan ajaib yang terapung-apung di atas ombak gelap malam.
Memang Yoko tidak sadar dia dilihat seperti itu. Perhatiannya hanya dicurahkan kepada si sakit dan walaupun ia berpaling ke arah Shimamura mungkin ia tidak menaruh sesuatu perhatian kepada laki-laki yang memandang ke luar karena tidaklah kelihatan olehnya bayangan dirinya yang terpantul pada kaca jendela.
Shimamura lupa bahwa dia berbuat tidak wajar kepada Yoko walaupun ia sudah lama mencuri-curi melihat wajahnya, mungkin karena ia terjebak oleh kekuatan tidak nyata dari cermin yang memantulkan pemandangan senja.
Karena itu ketika ia menyapa kepala stasiun dan memperlihatkan kesungguhan yang amat sangat, ia merasa terlebih dahulu tertarik kepada suatu kejadian yang seolah-olah di dalam roman.
Ketika melewati tempat sinyal itu, jendelanya sudah diliputi gelap malam. Ketika lenyap aliran pemandangan di sebelah sana, hilang juga daya pesona cermin itu. Masih terpantul wajah Yoko yang cantik dan Shimamura menemukan sesuatu yang dingin dan jernih pada gadis itu walaupun gerak-geriknya ramah dan hangat, jadi ia tidak juga mencoba menyapu cermin yang mulai redup beruap.
Tetapi kira-kira setengah jam kemudian Yoko bersama dengan kawannya turun di stasiun yang sama dengan Shimamura. Shimamura menoleh ke belakang seolah-olah dia juga akan terjebak dalam sesuatu peristiwa tetapi ketika diterpa udara yang dingin di peron, tiba-tiba saja ia menjadi malu karena kekurangajarannya di dalam kereta api, lalu ia menyeberangi rel di depan lokomotif tanpa menoleh ke belakang lagi.
Ketika laki-laki itu mau turun ke rel sambil berpegang pada bahu Yoko, seorang pegawai stasiun melarangnya dengan mengangkat tangan dari seberang sini.
Tak lama kemudian kereta api barang yang muncul dari kegelapan menyembunyikan kedua sosok tubuh mereka.
KEPALA pelayan rumah penginapan penjemput tamu berpakaian lengkap untuk menahan dingin salju seperti pakaian pemadam kebakaran. Telinganya ditutup dan dikenakannya sepatu karet tinggi. Seorang wanita yang berdiri di ruang tunggu sambil memandang ke arah rel melalui jendela memakai mantel berwarna biru dan mengenakan tudung kepala mantelnya.
Shimamura yang belum kehilangan benar kehangatan dalam kereta api masih belum dapat merasakan benar-benar dingin di luar, tapi karena ia baru pertama kali datang di daerah salju pada musim dingin maka ia merasa kaget melihat pakaian orang-orang setempat.
"Begitu dinginkah sehingga kau berpakaian seperti itu?"
"Ya, kami semua sudah siap menghadapi musim dingin. Teristimewa dingin pada malam sebelum hari cerah sesudah turun salju. Malam ini agaknya suhu udara sudah di bawah titik beku."
"Ini sudah di bawah titik beku?" kata Shimamura sambil memandang tsurara yang mungil di tepi atap dan ia naik mobil bersama kepala pelayan itu. Warna salju membuat atap rumah-rumah yang rendah tampak lebih rendah lagi dan kampung seolah-olah terpendam sunyi senyap di dasarnya.
"Betul, menjamah apa saja dinginnya lain sekali."
"Tahun yang lalu paling dingin, yaitu dua puluhan derajat di bawah titik beku."
"Bagaimana saljunya?"
"Ya, biasanya tebalnya antara 2,10 meter sampai 2,40 meter, tapi pada waktu banyak turun, tebalnya sampai 60 atau 90 senti di atas tiga meter."
"Mulai sekarang, ya?"
"Ya, memang mulai sekarang. Salju yang turun tempo hari kira-kira 30 senti tebalnya, tapi sekarang sudah agak banyak mencair."
"Oh, bisa mencair juga?"
"Sekarang siapa tahu setiap waktu dapat turun salju yang hebat."
Itu pada awal bulan Desember.
Hidung Shimamura yang tumpat disebabkan oleh masuk angin yang tak kunjung sembuh kini terasa lega tembus sampai ke otak dan sekarang ingusnya meleleh seolah-olah tercuci bersihlah segala kotoran.
"Masih adakah gadis di rumah guru tari itu?"
"Ya, masih... masih. Tadi ada di stasiun. Bukankah Tuan melihatnya" Yang mengenakan mantel berwarna biru itu."
"Oh, diakah itu" Nanti bisa dipanggil, kan?"
"Malam ini juga?"
"Ya, malam ini."
"Katanya anak laki-laki guru itu akan pulang dengan kereta api terakhir tadi dan dia datang menjemputnya."
Sekarang ternyata orang sakit yang dirawat oleh Yoko di dalam cermin pemandangan senja adalah anak laki-laki di rumah wanita yang akan ditemui Shimamura.
Ketika hal itu diketahuinya, ia merasa ada sesuatu yang terkilas di dalam dadanya, tetapi pertemuannya yang kebetulan itu tidak dianggapnya terlalu aneh. Malah dia lebih merasa aneh terhadap dirinya sendiri yang tidak merasa aneh.
Di antara wanita yang diingatnya melalui jarinya dengan wanita dengan nyala api di matanya, entah apa yang ada atau apa yang terjadi, hal itu agaknya tampak pada Shimamura entah di mana di dalam hatinya. Mungkin karena ia belum sadar benar dari cermin pemandangan senja. Alam pemandangan senja itu barangkali lambang waktu yang mengalir, demikian ia menggumam.
Sebelum masuk musim bermain ski, tamu di rumah penginapan pemandian sumber air panas paling sedikit. Dan ketika Shimamura kembali ke kamarnya sesudah mandi, semuanya sudah tidur senyap. Setiap ia menginjak gang yang sudah usang, pintu kaca bergetar perlahan. Di tikungan tempat penerimaan tamu di ujung gang yang panjang itu, tinggi berdiri wanita itu dengan ujung kimono-nya terhampar di atas lantai papan yang dingin dan hitam berkilauan.
Ia merasa kaget melihat ujung kimono itu karena tidak mengira akhirnya gadis itu menjadi geishci, tetapi ia tidak berjalan mendekat, tidak pula menggerakkan tubuhnya untuk menyambut, sehingga dari sosok tubuh yang tetap tegak itu dia merasakan suatu kesungguhan walau dari agak jauh dan dialah yang bergegas mendekati, tapi dia pun diam saja berdiri di samping wanita itu. Wanita itu mencoba tersenyum dengan muka yang berbedak tebal, tapi malah mau menangis jadinya, maka mereka berdua berjalan ke arah kamarnya tanpa berkata apa pun juga.
Sesudah kejadian itu ia tidak mengirim surat atau mengunjunginya dan tidak juga menepati janji untuk mengirimkan buku tentang pola tarian, sehingga wajarlah wanita itu merasa ditertawakan dan dilupakan begitu saja, maka kini Shimamura-lah yang lebih dahulu harus meminta maaf atau memberi dalih, tapi sementara mereka berjalan tanpa melihat wajah masing-masing, diketahuinya bahwa wanita itu tidak mendakwanya, malah dengan seluruh tubuh memperlihatkan rasa rindu kepadanya, maka dia sampai pada pikiran bahwa apa pun juga yang dikatakannya, perkataannya akan mengandung nada bahwa ia tidak bersungguh-sungguh dan dia kini semakin diliputi kegembiraan manis karena rupanya dialah yang didesak oleh wanita itu. Ketika mereka sampai di bawah tangga, dia berkata,
"Inilah yang paling ingat padamu," dan diulurkannya tinju kirinya dengan jari telunjuk yang teracung ke muka wanita itu.
"Begitu?" kata wanita itu sambil memegang jari itu dan terus naik tangga seperti mau menuntunnya.
Sesudah melepaskan tangannya di depan kotatsu, tiba-tiba dia menjadi merah padam sampai lehernya dan untuk mengalihkan perhatian ia memegang lagi tangan Shimamura dan berkata,
"Inikah yang ingat pada saya?"
"Bukan yang kanan, yang ini," dan dilepaskannya tangannya dari genggaman tangan wanita itu lalu dimasukkannya ke dalam kotatsu dan sekarang dikeluarkannya tinju tangan kiri. Wanita itu berkata dengan wajah yang tenang.
"Ya, saya tahu,"
Wanita itu sambil tersenyum simpul membuka genggaman Shimamura dan menekankan mukanya pada telapak tangan itu.
"Inikah yang ingat pada saya?"
"Wah, dingin! Aku belum pernah tahu rambut yang sedingin
ini." "Di Tokyo salju masih belum turun?"
"Walaupun dulu engkau berkata bahwa aku menertawakan engkau tapi ternyata itu tidak benar. Kalau benar, siapa yang datang ke tempat sedingin ini pada akhir tahun?"
Waktu itu"sudah lewat masa longsor salju yang berbahaya dan sudah tiba musim naik gunung yang telah dipenuhi dedaunan muda berwarna hijau.
Tunas akebi yang baru pun tak lama lagi tidak akan dihidangkan di meja makan.
Shimamura yang hidup tanpa pekerjaan yang mengikat mempunyai kecenderungan kehilangan kesungguhan akan dirinya sendiri dalam hidup sehingga menurut pendapatnya ada baiknya kalau pergi ke gunung untuk memperoleh kembali kesungguhan itu, maka seringlah ia berkelana seorang diri di pegunungan. Pada malam itu juga ia turun ke tempat pemandian mata air panas tersebut sesudah berkelana selama tujuh hari di gunung-gunung di perbatasan dan ia meminta dipanggilkan geisha. Tetapi pada hari itu kebetulan sedang diselenggarakan pesta merayakan selesainya pembangunan jalan yang begitu meriah, sehingga gedung sandiwara yang juga digunakan sebagai gudang kepompong ulat sutra dipakai sebagai tempat perjamuan, dan walaupun sudah ada dua belas atau tiga belas orang geisha, ternyata jumlah itu masih kurang, jadi mungkin tidak seorang pun yang dapat memenuhi panggilan Shimamura, tapi ada kemungkinan gadis yang tinggal bersama guru tari akan datang setelah mempertunjukkan dua-tiga macam tarian walau sebenarnya ia pun diminta juga membantu perjamuan itu. Ketika Shimamura bertanya kembali, ia mendapat jawaban bahwa gadis yang tinggal di rumah guru tari itu tidak bisa disebut geisha tetapi kadang-kadang diminta membantu perjamuan besar dan di sini tidak ada hangyoku dan yang ada hanya geisha yang agak lanjut usia yang tidak mau berdiri untuk menari, sehingga gadis itu disambut dengan penuh penghargaan. Ia jarang melayani tamu-tamu penginapan seorang diri di tempat perjamuan tapi tidak juga dapat disebut sebagai seorang amatir. Kira-kira demikianlah keterangan pelayan wanita kepada Shimamura.
Shimamura tidak begitu menghiraukan cerita itu karena menganggapnya tidak layak dipercaya tetapi kira-kira satu jam kemudian ketika wanita itu datang dibawa oleh pelayan wanita, ia agak kaget dan memperbaiki sikap duduknya. Wanita itu menangkap lengan kimono pelayan wanita yang segera bangkit untuk beranjak dan mendudukkannya kembali.
Kesan tentang wanita itu sangat bersih sehingga menimbulkan perasaan ganjil. Terpikir olehnya bahkan sampai lekuk-lekuk di balik jari kakinya pun bersih. Shimamura ragu-ragu, mungkin hal itu karena matanya sendiri yang baru melihat awal musim panas di pegunungan.
Caranya memakai kimono agak mirip dengan geisha, tetapi memang tidak menyeret ujung kimono-nya dan ia mengenakan kimono hitoe dengan rapih. Tetapi obi-nya yang rupanya mahal sekali sehingga tidak cocok dengan kimono itu malah menimbulkan perasaan rawan pada Shimamura.
Mengambil kesempatan tatkala Shimamura mulai berbicara tentang gunung, pelayan wanita itu bangkit dan pergi. Tetapi wanita itu sama sekali tidak tahu tentang nama-nama gunung yang kelihatan dari kampung itu, sehingga Shimamura tidak tergugah untuk minum sake. Sementara itu, wanita tersebut berkata terus terang, di luar dugaannya, bahwa ia dilahirkan di daerah salju ini dan ketika bekeija sebagai pelayan di Tokyo untuk melayani tamu-tamu minum sake ia menjadi peliharaan seseorang dan mendapat kesempatan berlatih untuk menjadi guru tarian Jepang di kemudian hari, tetapi kira-kira satu setengah tahun kemudian tuan yang memeliharanya itu meninggal. Barangkali pengalaman hidupnya sesudah berpisah dengan tuannya itu sampai sekarang adalah riwayatnya yang benar, tetapi mengenai hal itu rupanya ia tidak mau bercerita. Katanya usianya sembilan belas tahun. Kalau dia tidak berbohong usianya yang sembilan belas tahun itu kelihatan dua puluh satu atau dua puluh dua tahun bagi Shimamura dan hal itu membuatnya merasa santai, dan ketika ia mulai membicarakan kabuki atau semacamnya, ternyata wanita itu lebih banyak tahu mengenai ciri khas atau seluk-beluk pemainnya. Sementara asyik berbicara, mungkin karena kekurangan kawan bicara tentang hal seperti itu, ia mulai memperlihatkan keramah-tamahan sebagai seorang wanita yang pernah bekerja di lingkungan geisha. Rupanya ia sudah dapat memahami bagaimana perasaan hati seorang laki-laki. Namun demikian Shimamura sejak semula menganggapnya sebagai amatir, apalagi selama kira-kira seminggu ia tidak pernah ada kesempatan berbicara dengan orang sehingga dadanya dipenuhi rasa rindu kepada manusia dan ia menemukan sesuatu yang berupa persahabatan pada wanita itu. Rasa sentimentalitasnya selama di gunung masih juga ada sisanya, sehingga bersikap begitu terhadap wanita itu.
Pada sore keesokan harinya wanita itu datang bermain ke kamarnya sesudah meletakkan perlengkapan mandi di gang. Begitu ia duduk, Shimamura meminta agar ia memperkenalkan seorang geisha kepadanya.
"Memperkenalkan?"
"Tentu kau tahu maksudku."
"Hmmmh. Saya datang sekarang sama sekali bukan untuk dimintai tolong hal begitu," katanya sambil membuang muka serta bangkit berjalan ke dekat jendela memandang ke arah gunung-gunung di perbatasan, tetapi sementara itu ia berkata dengan pipi yang menjadi kemerahan, "Di sini tidak ada orang yang seperti itu!"
"Jangan bohong!"
"Betul," katanya sambil berpaling kepadanya lalu duduk di jendela dan meneruskan. "Mereka sama sekali tidak boleh dipaksa. Mereka itu manusia bebas. Rumah-rumah penginapan pun sekali-kali tidak punya urusan. Ini sungguh-sungguh. Tuan bisa mengetahuinya kalau Tuan memanggil seseorang dan berbicara langsung dengannya."
"Tolong engkau saja yang meminta."
"Mengapa saya yang mesti berbuat seperti itu?"
"Kuanggap engkau seorang teman. Aku mau engkau terus menjadi temanku, jadi aku tidak membujukmu."
"Itukah yang Tuan maksudkan dengan teman?" kata wanita itu. Terpengaruh oleh ucapan laki-laki itu, cara bicaranya jadi kekanak-kanakan, lalu ia berkata seperti mau memuntahkannya lagi, "Bagus! Tuan berani meminta yang begitu kepada saya!"
"Itu gampang, bukan" Aku menjadi kuat selama di gunung. Tapi otakku tumpat. Dengan engkau pun aku tak bisa berbicara dengan rasa leluasa."
Wanita itu diam dengan menundukkan mata. Kalau sudah demikian, Shimamura juga hanya membiarkan ketebalan mukanya sebagai seorang laki-laki tersingkap, tetapi wanita itu agaknya sudah terbiasa sehingga cukup bijaksana untuk memakluminya. Sementara menatap matanya yang tertunduk itu, Shimamura merasakan mata itu menjadi agak hangat dan membangkitkan birahi, mungkin karena bulu matanya tebal, muka wanita itu samar-samar bergerak ke kiri ke kanan dan menjadi kemerah-merahan.
"Panggillah siapa saja yang Tuan suka."
"Itu yang aku minta kepadamu. Karena aku baru kali ini ke sini, aku belum tahu siapa yang cantik."
"Cantik bagaimana yang Tuan maksudkan?"
"Aku suka yang muda. Yang muda barangkali lebih sedikit kekurangannya. Lebih baik yang tidak banyak omong. Bukan yang terlalu cerdas dan bukan yang jorok. Kalau aku cari kawan bicara, kaulah orangnya."
"Saya tidak mau datang lagi."
"Jangan tolol!"
"Oh. Saya tidak mau datang. Untuk apa saya datang?" "Karena aku mau bergaul dengan kau tapi tidak secara mendalam, jadi aku tidak mau membujukmu."
"Astaga." "Kalau kita sampai berbuat begitu, mungkin besok pun aku tidak mau lagi melihat mukamu. Aku tidak akan tertarik lagi untuk berbicara dengan engkau. Seturun dari gunung aku sekarang rindu pada manusia, maka aku tidak membujukmu, aku hanya seorang pelancong."
"Ya, betul juga."
"Ya, memang begitu. Kalau aku bergaul dengan perempuan yang tidak kau sukai, mungkin engkau pun akan jengkel bertemu denganku nanti. Tapi barangkali engkau masih dapat menerima perempuan yang kau pilihkan sendiri buatku."
"Tak tahu!" tukasnya seraya berpaling namun ia berkata lagi, "Ya, betul juga."
"Kalau kita berbuat begitu, habislah. Itu akan membuat hubungan kita menjadi tawar; dan tidak akan berlangsung lama."
"Ya, begitu. Betul-betul semua begitu, ya" Saya dilahirkan di pelabuhan. Tapi di sini, kan, tempat pemandian mata air panas?" kata wanita itu dengan nada yang terus terang di luar dugaan, lalu diteruskannya, "Kebanyakan tamu di sini pelancong. Saya masih anak-anak tetapi dari percakapan bermacam-macam orang, saya tahu bahwa mereka yang tidak berkata apa-apa tentang perasaannya, suka atau tidak, membuat kami terkenang dan merindukannya. Kami tidak bisa melupakan mereka. Agaknya begitulah halnya sesudah berpisah. Dan mereka yang mengenang kami dan mengirimi kami surat kebanyakan adalah orang-orang seperti itu."
Wanita itu bangkit dari jendela dan duduk di atas tatami di bawah jendela dengan sikap lembut. Ia tampak seperti menoleh kembali pada hari-hari yang sudah lama berlalu, sekonyong-konyong wajah berubah penuh kemesraan terhadap Shimamura.
Suara wanita itu betul-betul mengandung nada bersungguh-sungguh, sehingga Shimamura merasa bersalah kalau-kalau ia telah begitu gampang secara tak sadar menipunya.
Tapi memang dia tidak berbohong. Bagaimanapun wanita itu seorang amatir. Keinginannya akan perempuan tak usah dipenuhi oleh wanita itu, melainkan dapat dipenuhi dengan cara yang mudah saja, sehingga tidak menimbulkan rasa bersalah. Ia terlalu bersih. Sejak melihatnya selayang pandang, ia tetap memisahkan hal itu dari dirinya.
Apalagi ia sedang memilih-milih tempat istirahat untuk musim panas, jadi timbul pikirannya untuk membawa keluarganya ke kampung mata air panas ini. Kalau nanti jadi, senyampang wanita itu amatir, maka ia bisa berkawan dengan istrinya, dan istrinya nanti bisa belajar menari sebagai pengisi waktu. Betul-betul ia berpikir demikian. Walau ia merasakan semacam persahabatan pada wanita itu, ia bagaikan baru menyeberangi sungai di tempat yang sedangkal itu.
Memang di sini juga ada cermin pemandangan senja. Bukan hanya karena dia tidak mau hubungan dengan wanita yang tidak menentu kedudukannya itu ada ekornya, tetapi juga mungkin karena ia sendiri memandang wanita itu bukan sebagai sesuatu yang nyata, tepat seperti wanita yang terbayang pada kaca kereta api senja.
Demikian juga kegemarannya akan tarian Barat. Dia dibesarkan di daerah kediaman orang kebanyakan di Tokyo, karena itu dia terbiasa menonton pertunjukan kabuki dan ketika ia menjadi mahasiswa, perhatiannya agak bergeser kepada tarian dan sikap tubuh dalam sandiwara, dan sekali begitu maka tabiatnya yang tidak mau membiarkan segala sesuatu secara tanggung-tanggung membuat dia mencari-mencari tulisan-tulisan lama dan mengunjungi iemoto-iemoto dan lama-lama dia berkenalan dengan para penari Jepang yang baru tampil sehingga ia akhirnya menulis karangan berupa hasil penelitian dan yang bersifat kritik. Ia terang-terangan menyatakan ketidakpuasannya terhadap tari Jepang yang tidur dalam tradisinya dan juga terhadap pembaharuan yang hanya menyenangkan lingkungannya sendiri saja, sehingga ia merasa seolah-olah terhasut untuk menangani gerakan demikian dan ketika diajak oleh para penari muda, secara mendadak saja ia beralih kepada tarian Barat. Sejak itu, ia tidak pernah lagi melihat tarian Jepang. Sebaliknya ia terus mengumpulkan buku-buku dan foto-foto mengenai tarian Barat, dan ia berusaha memperoleh poster atau program dan semacamnya dari luar negeri. Itu bukan hanya untuk memenuhi rasa penasarannya tentang luar negeri atau tentang sesuatu yang belum dikenalnya. Kesenangan yang baru diperolehnya ialah karena ia tidak bisa langsung melihat pertunjukan tarian orang Barat dengan mata kepala sendiri. Buktinya Shimamura sama sekali tidak mau melihat tarian Barat yang dilakukan oleh orang Jepang. Tidak ada yang lebih mudah daripada menulis tentang tarian Barat berdasarkan tulisan-tulisan yang diterbitkan di negeri-negeri Barat sendiri. Tarian yang tidak pernah dilihatnya itu sama saja dengan tidak pernah ada. Tidak ada perbincangan yang lebih bersifat di belakang meja daripada itu, ini puisi di kahyangan. Walaupun dinamakan penelitian, yang dilakukannya hanya berkhayal semaunya, jadi bukan menikmati kesenian tari yang dipertunjukkan oleh tubuh penari yang hidup, melainkan hanya menikmati khayalannya sendiri berdasarkan tulisan dan foto-foto dari negeri Barat. Tepat seperti orang yang merindukan asmara yang belum diketahuinya. Karena dia kadang-kadang menulis karangan untuk memperkenalkan tarian Barat, maka dia dianggap juga sebagai seorang pengarang dan hal itu dapat menghibur dirinya yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, walaupun ia sendiri menertawakan hal itu.
Pembicaraannya mengenai tarian demikian membuat wanita itu menjadi lebih karib dengan dia, artinya pengetahuannya baru dimanfaatkan lagi setelah sekian lama, tetapi Shimamura mungkin secara tak sadar telah menganggap wanita itu sebagai tarian Baratnya.
Karena itu perkataannya yang seperti mengandung sedikit rasa sepi orang yang sedang bepergian tepat mengenai bagian penting kehidupan wanita itu, maka ia merasa agak bersalah kalau-kalau sampai menipunya, tapi ia berkata,
"Kalau hubungan kita tetap sebagai sahabat saja, kalau nanti aku datang bersama keluargaku, kita dapat bercengkerama dengan leluasa."
"Ya, itu saya mengerti betul," kata wanita itu, suaranya merendah sambil tersenyum sedikit, lalu berkata lagi dengan agak gembira seperti seorang geisha, "Saya juga suka akan hal seperti itu, hubungan yang tidak mendalam dapat berkelanjutan." "Karena itu, tolong panggilkan saja."
"Sekarang?" "Ya." "Astaga. Bagaimana Tuan akan dapat membujuknya pada siang bolong seperti ini?"
"Aku tidak mau sisa orang."
"Berani berkata begitu" Barangkali engkau salah sangka menganggap kampung ini sebagai tempat pemandian mata air panas yang mata duitan. Apakah Tuan tidak melihat bagaimana keadaan kampung ini?" kata wanita itu dengan nada sungguh-sungguh karena tidak disangkanya Shimamura akan berkata demikian, lalu ia berulang-ulang menegaskan bahwa perempuan seperti itu tidak ada di sini. Ketika Shimamura menyangsikannya, wanita itu bersungguh-sungguh membantah dan berkata bahwa seandainya pun ada geisha seperti itu, ia dapat berkelakuan sekehendak hatinya, tetapi kalau ia bermalam dengan tamu tanpa meminta izin lebih dahulu, dia sendirilah yang bertanggung jawab dan niscaya tidak dihiraukan lagi oleh induk semangnya apa pun yang kemudian terjadi, tapi kalau ia mendapat izin lebih dahulu, induk semangnyalah yang bertanggung jawab dan akan tetap mengurusnya, itulah bedanya.
"Apa maksudmu dengan bertanggung jawab itu?"
"Kalau ia sampai mengandung atau kesehatannya terganggu."
Shimamura tersenyum pahit karena pertanyaannya yang dungu, tapi ia mengira bahwa di kampung ini tidak mustahil terjadi keteledoran semacam itu.
Shimamura yang hidup tanpa pekeijaan yang mengikat, dengan sendirinya mempunyai kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan warna setempat, mungkin karena itulah ia mempunyai naluri yang peka terhadap sifat penduduk daerah yang dikunjunginya, dan kali ini pun segera setelah turun dari gunung ia dapat menangkap suasana santai pada pemandangan kampung yang kelihatan hidup agak hemat, dan ketika ia bertanya di rumah penginapan ia tahu bahwa kampung itu merupakan salah satu yang paling kaya di daerah salju itu. Belum lama berselang, sebelum ada jalan kereta api, kampung itu merupakan tempat pemandian mata air panas bagi keluarga petani yang mau berobat. Rumah-rumah yang menyediakan geisha memasang noren yang bertulisan ryoriya atau sirukoya yang sudah luntur, tapi shoji gaya lama yang sudah menjadi kehitaman karena dimakan hari membuat orang mengira entah apakah ada tamu ataukah tidak, dan kedai-kedai barang keperluan sehari-hari atau juadah ada juga yang menyediakan hanya seorang geisha dan rupanya si induk semang bekerja juga di ladang atau sawah di samping berjualan. Mungkin karena ia tinggal di rumah guru tari, maka walau tidak mempunyai surat izin, dia kadang-kadang membantu perjamuan, tak seorang pun geisha yang menyatakan keberatan.
"Jadi kira-kira berapa orang?"
"Maksudmu, geisha" Saya kira kurang lebih dua belas atau tiga belas orang."
"Siapa yang baik?" kata Shimamura sambil bangkit menekan tombol.
"Sekarang saya pulang."
"Engkau tidak boleh pulang."
"Tidak mau," katanya seolah-olah menangkis penghinaan lalu meneruskan, "Saya mau pulang. Tidak apa-apa. Saya tidak apa-apa. Saya akan datang lagi."
Tetapi ketika dilihatnya pelayan wanita datang, ia duduk kembali dengan acuh tak acuh. Walau berkali-kali ditanyakan oleh si pelayan siapa yang hendak dipanggil, wanita itu tidak juga menyebut sesuatu nama.
Tapi ketika Shimamura memandang sekilas kepada geisha yang berusia tujuh belas atau delapan belas tahun yang datang tidak lama kemudian, lenyap menguaplah gairahnya terhadap wanita yang bangkit ketika turun dari gunung. Lengan geisha itu berwarna kehitaman dan masih keras-kaku tapi kelihatan ia baik dan polos, maka Shimamura berusaha juga menghadapinya dengan mencoba tidak memperlihatkan kekecewaannya, tapi sebetulnya yang ia lihat hanyalah gunung-gunung yang hijau melalui jendela di belakang geisha itu. Berbicara juga ia malas. Betul-betul ia seorang geisha pegunungan. Karena Shimamura diam saja, agaknya wanita itu tahu diri, lalu bangkit dan pergi meninggalkan mereka, tetapi malah suasananya menjadi kikuk, dan kira-kira satu jam kemudian, Shimamura berupaya hendak mengembalikan geisha itu, kebetulan teringat ada wesel telegram, maka ia keluar bersama dengan geisha itu dengan alasan mesti ke kantor pos sebelum tutup.
Tetapi ketika di genkan Shimamura menengadah ke arah gunung yang menyebarkan harum dedaunan muda, ia berjalan naik dengan bersemangat seolah-olah ia diajak oleh gunung itu.
Entah apa yang menggelikannya, tapi ia tertawa tidak henti-hentinya.
Setelah agak jauh ia berpaling, lalu berlari turun dengan mengangkat ujung yukata bagian belakangnya, ketika itu dua ekor kupu-kupu kuning terbang dari dekat kakinya.
Kupu-kupu itu terbang seperti jalin-berjalin, sehingga lebih tinggi daripada gunung daerah perbatasan, dan warna kuningnya semakin menjadi putih dan terbang lebih jauh lagi.
"Ada apa?" Wanita itu berdiri dalam hutan pohon sugi.
"Tertawa begitu gembira."
"Tidak jadi," kata Shimamura mulai tertawa lagi entah karena apa. "Tidak jadi."
"Begitu?" Wanita itu tiba-tiba saja berpaling dan masuk perlahan-lahan ke dalam hutan pohon sugi. Shimamura diam-diam mengikutinya.
Ada sebuah jinja. Wanita itu duduk di atas batu yang datar di dekat sebuah patung komamu yang sudah berlumut.
"Di sini paling sejuk. Pada musim panas juga di sini ada angin sejuk."
"Semua geisha di sini seperti itu?"
"Hampir semuanya. Yang usianya sudah lanjut ada yang cantik," katanya dengan acuh tak acuh sambil menundukkan kepala. Pada tengkuknya seakan terbayang warna hijau kegelapan rimba pohon sugi.
Shimamura menengadah ke arah pucuk pohon sugi.
"Sudahlah. Kekuatanku tiba-tiba hilang sirna dan rupanya sangat menggelikan."
Pohon sugi itu begitu tinggi sehingga pucuknya tidak tercapai oleh pandangan mata kalau tidak menopangkan tangan ke belakang di atas batu, dan batang-batangnya tegak lurus berderet dan daun-daunnya yang gelap menutupi langit sehingga keheningan menguasai sekitarnya. Keheningan yang sunyi. Batang pohon yang dipakai bersandar oleh Shimamura itu adalah yang paling tua dan entah mengapa sebabnya semua dahan di sebelah utara mati dan pangkal dahan yang masih melekat kelihatan seperti deretan pancang yang ditanam terbalik pada batang itu, sehingga merupakan sejenis senjata dewa yang menakutkan.
"Barangkali aku salah sangka. Karena engkaulah yang pertama kutemui sesudah turun dari gunung, aku sampai mengira bahwa geisha di sini semua cantik," katanya sambil tertawa. Shimamura baru sadar bahwa timbul pikiran untuk sekadar membersihkan diri dari syahwatnya yang tertimbun selama tujuh hari di gunung sebenarnya mungkin karena ia mula-mula sekali melihat wanita yang bersih itu.
Wanita itu tetap memandang ke arah sungai di kejauhan yang tertimpa sinar matahari yang condong ke barat. Timbul suasana yang janggal.
"Oh, ya, saya lupa. Mau rokok?" kata wanita itu lalu meneruskan dengan rasa ringan yang dibuat-buat, "Ketika tadi saya kembali ke kamar ternyata Tuan tidak ada. Saya kira ada apa-apa, tetapi kelihatan Tuan seorang diri naik gunung dengan cepat. Dari jendela. Sangat lucu. Karena Tuan lupa membawa rokok, saya bawakan."
Lalu ia mengeluarkan rokok dari famofo-nya dan menyalakan geretan.
"Aku merasa menyesal kepadanya."
"Itu terserah kepada tamu. Bisa menyuruhnya pulang kapan saja."
Gemercik sungai yang dasarnya berbatu banyak terdengar merdu. Melalui pohon-pohon sugi kelihatanlah lereng-lereng gunung di seberang mulai ditutupi bayang-bayang.
"Kalau tidak dengan wanita yang kecantikannya seperti engkau, kalau nanti bertemu lagi dengan engkau, akan merasa menyesal."
"Tidak tahu. Dasar tidak mau kalah," kata wanita itu seolah-olah mengejeknya, tetapi di antara mereka berdua sudah tumbuh perasaan yang sama sekali berlainan daripada sebelum geisha itu datang.
Ketika diketahuinya betul-betul bahwa sejak semula ia memang menginginkan wanita itu tetapi sebagaimana biasa ia menempuh jalan berputar, Shimamura merasa kesal akan dirinya sendiri, sedangkan wanita itu dilihatnya semakin cantik. Sesudah memanggilnya dari balik rimba pohon sugi, wanita itu memperlihatkan dirinya sedemikian segar seolah-olah sesuatu telah meruap darinya.
Hidungnya yang lancip dan mancung memberi kesan agak sepi tapi bibir kecil di bawahnya sangat kenyal seperti lingkaran lintah yang indah dan terasa selalu bergerak walaupun sedang diam. Biasanya bibir seperti itu kalau mengerut atau berwarna pudar niscaya tampak kotor, tetapi yang ini tidak demikian, melainkan basah gemerlapan. Matanya yang seolah-olah sengaja dilukis melintang lurus dengan ekor mata yang tidak naik ataupun turun, tampak lucu, tetapi alisnya yang agak menurun dengan bulu-bulu pendek yang tebal menaungi mata dengan serasi. Wajahnya yang bulat meninggi di bagian tengah berbentuk sederhana tapi kulitnya seperti porselen putih yang dilapisi dengan warna merah muda dan pangkal lehernya juga belum berdaging tebal, sehingga lebih tepat disebut bersih daripada cantik.
Untuk perempuan yang pernah bekerja sebagai pelayan perjamuan dadanya agak terlalu lancip.
"Coba lihat! Tahu-tahu sudah begini banyak agas berkumpul," kata wanita itu seraya bangkit sambil menyapu-nyapu ujung kimono-uya.
Kalau terus dalam keheningan seperti itu, wajah keduanya semakin tampak kikuk tanpa ada yang dapat diperbuat.
Kira-kira pukul sepuluh pada malam itu. Wanita itu memanggil nama Shimamura dengan suara keras dari lorong dan masuk ke dalam kamarnya seperti melontarkan dirinya sendiri. Ia terjatuh di atas meja dan memegang apa saja yang ada di atas meja itu dengan tangan mabuk yang serabutan dan minum air dengan tegukan-tegukan besar.
Ia berkata bahwa ia bertemu dengan laki-laki yang sudah dikenalnya di lapangan ski pada musim dingin ini. Mereka datang petang hari melalui gunung, dan mengajaknya ke rumah penginapan dan di sana mereka mengadakan perjamuan yang sangat hiruk-pikuk bersama geisha, sehingga ia terpaksa minum terlalu banyak.
Setelah berbicara panjang seorang diri dengan kepala teroleng-oleng, ia berkata,
"Saya rasa kurang baik kalau saya di sini. Pasti mereka mencari saya. Nanti saya datang lagi," katanya dan ia pergi ke luar terhuyung-huyung.
Kira-kira satu jam kemudian terdengar langkah kakinya yang tidak teratur di lorong yang panjang, rupanya ia datang sambil menubruk ke sana ke mari.
"Tuan Shimamuraaaaaa! Tuan Shimamuraaaaa!" teriaknya dengan suara melengking. "Ah! Saya tidak bisa melihat. Tuan Shimamuraaaa!"
Tidak salah lagi, itu suara wanita dari dasar hatinya untuk laki-laki miliknya. Itu di luar sangkaan Shimamura. Karena suaranya itu melengking, yang pasti menggema di seluruh penginapan, Shimamura bingung lalu bangkit, tapi wanita itu menusukkan jari pada shoji dan memegang son lalu terjatuh pada tubuh Shimamura.
"Ah, betul ada di sini."
Wanita itu duduk berpilin dengan dia dan bersandar kepadanya.
"Tidak mabuk. Ah. Tidak mabuk. Sesak. Hanya sesak saja. Sadar betul. Ah, mau minum air. Minum sake bercampur wiski. Itu yang brengsek. Itu naik ke kepala. Sakit. Mereka membeli minuman murah. Saya tidak tahu itu," lalu dia menggosok-gosok muka dengan tangannya.
Bunyi hujan di luar tiba-tiba menjadi deras. Kalau sedikit saja tangan Shimamura dilonggarkan, wanita itu akan terkulai. Karena kepala wanita itu diangkatnya, rambut wanita itu tertekan pada pipinya, dengan sendirinya tangannya pada bagian dadanya.
Tanpa menyahut perkataan Shimamura yang membujuknya dia menekan apa yang diminta Shimamura dengan menyilangkan lengan bagaikan palang pintu, tapi rupanya ia tidak berdaya lagi karena mabuk.
"Apa ini" Apa ini" Binatang! Binatang! Lemah. Apa ini," tiba-tiba digigitnya sikunya sendiri.
Shimamura terkejut dan melepaskannya, ada bekas gigi pada siku itu.
Tapi sekarang wanita itu sudah berserah diri pada telapak tangannya dan mulai menulis corat-coret. Ia berkata ia mau menulis nama orang-orang yang disukainya dan menulis dua atau tiga puluh nama pemain sandiwara dan film kemudian ia menulis nama Shimamura saja tak terhitung banyaknya.
Bola pada telapak tangan Shimamura yang menyenangkan hatinya itu semakin terasa hangat.
"Ah, sekarang aku merasa lega. Aku merasa lega," katanya dengan santun dan ia dapat merasakan sesuatu yang keibuan.
Wanita itu tiba-tiba mulai sesak lagi, dan bangkit sambil meronta-ronta dan menelungkup di sudut bilik sebelah sana.
Daerah Salju Karya Yasunari Kawabata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak bisa begini. Tidak bisa begini. Pulang. Mau pulang."
"Engkau tidak bisa berjalan. Hujan lebat."
"Pulang dengan kaki telanjang. Pulang dengan merangkak."
"Itu berbahaya. Kalau engkau mau pulang, aku mau mengantarkan."
Rumah penginapan itu terletak di atas bukit, mesti menempuh jalan curam.
"Lebih baik engkau menghilangkan mabukmu dengan melonggarkan obi sedikit atau berbaring sebentar."
"Itu tidak boleh. Lebih baik begini. Saya sudah biasa," kata wanita itu sambil duduk menegakkan dada, tetapi rupanya ia malah menjadi semakin susah. Ia membuka jendela dan mau muntah, tetapi tidak ada yang keluar. Ia terus menahan dirinya yang hendak terguling tapi sekali-sekali ia mengulangi perkataan "mau pulang" seperti mau membangkitkan kesadarannya, sementara itu waktu sudah lewat pukul dua pagi.
"Tidur saja. Ayo, cepat tidur."
"Kau bagaimana?"
"Begini saja. Mau pulang setelah mabuk hilang. Pulang sebelum fajar menyingsing," katanya sambil beringsut-ingsut dan menghela Shimamura. "Tidur saja, tak usah menghiraukan saya."
Setelah Shimamura masuk ke dalam Juton, wanita itu menjatuhkan dadanya pada meja dan minum air.
"Bangun! Ayo bangun!"
"Apa yang kau suruh kuperbuat?"
"Tidurlah." "Apa kau bilang?" kata Shimamura sambil bangkit.
Ia menghela wanita itu. Tidak lama kemudian wanita yang mengelakkan mukanya ke kiri dan ke kanan itu sekonyong-konyong menjulurkan bibirnya dengan hebatnya.
Tetapi sesudah itu pula berulang-ulang ia berkata seperti mengigau seakan-akan mengadukan rasa sesaknya.
"Jangan. Jangan. Bukankah Tuan berkata kita tetap sebagai sahabat saja?"
Shimamura terpukul oleh nada suaranya yang bersungguh-sungguh, hatinya sampai tawar melihat keteguhan hati wanita itu yang berusaha menahan diri dengan mengerutkan dahi serta mengernyitkan muka, Shimamura sampai mau menepati janjinya itu.
"Saya tidak mempunyai apa pun yang saya sayangkan kalau hilang. Saya sama sekali tidak sayang. Tetapi saya bukan perempuan begituan. Tetapi saya bukan perempuan begituan. Bukankah engkau berkata hubungan kita tidak bisa berkelanjutan. "
Ia setengah lumpuh karena mabuk.
"Bukan saya yang salah. Engkau yang salah. Engkau yang sudah kalah. Engkau yang lemah. Bukan saya," begitu katanya secara sembarangan tapi ia menggigit ujung lengan kimono-nya untuk melawan kebahagiaannya.
Beberapa lama hening seperti menjadi tawar, tapi tiba-tiba saja seolah ingat sesuatu ia berkata seperti mau menusuk.
"Engkau menertawakan saya. Betul engkau menertawakan saya, ya."
"Tidak." "Engkau menertawakan saya di dasar hatimu. Walaupun sekarang tidak, tetapi pasti engkau menertawakan saya nanti," kata wanita itu sambil menangis terisak-isak sambil menelungkup.
Tetapi ia segera berhenti menangis dan menjadi lunak seperti mau menyerahkan diri dan mulai mengisahkan seluk-beluk riwayat hidup dan sebagainya dengan penuh kerinduan. Rupanya sesak karena mabuknya sudah hilang. Tidak dikatakannya sepatah kata pun tentang yang tadi itu.
"Oh, Saya sama sekali tidak sadar karena asyik berbicara," katanya dan sekarang ia tersenyum lega.
Ia berkata ia mesti pulang sebelum fajar menyingsing.
"Masih gelap. Orang di sekitar sini bangun pagi-pagi betul," katanya sambil bangkit dan membuka jendela. "Masih belum jelas wajah orang. Karena pagi ini hujan, barangkali tidak ada orang yang pergi ke sawah."
Sudah tampak atap-atap rumah di gunung atau kaki gunung sebelah sana menembus hujan, namun wanita itu agaknya masih enggan meninggalkan rumah penginapan itu, tetapi ia mengandam kembali rambutnya sebelum orang-orang di penginapan bangun, lalu ia sendirian keluar cepat-cepat seperti melarikan diri dengan menolak Shimamura yang mau mengantarnya sampai gejikan karena takut dilihat orang.
Dan pada hari itu juga Shimamura pulang ke Tokyo.
"WALAUPUN WAKTU itu engkau berkata bahwa aku menertawakan engkau tapi ternyata itu tidak benar. Kalau benar siapa yang datang ke tempat sedingin ini pada akhir tahun" Nanti pun aku tidak tertawa."
Ketika wanita itu mengangkat muka tampak bagian wajah dan kelopak mata sampai sebelah-menyebelah hidung memerah menembus bedak yang tebal, yang ditekankannya pada telapak tangan Shimamura. Itu agaknya membuatnya merasakan betapa dingin malam daerah salju itu, namun karena rambut wanita itu begitu hitam ia merasa agak hangat juga.
Samar-samar wajahnya membayangkan senyuman yang seperti silau sementara ia rupanya teringat akan "saat itu", sehingga perkataan Shimamura itu makin membuatnya merah padam. Wanita itu menunduk dengan mulut terkatup, maka kelihatan punggungnya juga memerah karena kerah kimononya agak longgar seolah-olah terkupaslah tubuh telanjang yang lembap merangsang. Mungkin hal itu disebabkan karena kontras warna rambutnya. Pada bagian depan rambutnya itu tidak tebal dan rapat, tetapi setiap helai sama besar dengan rambut laki-laki dan sama sekali tidak ada anak rambutnya sehingga andamannya kelihatan bagaikan biji logam berat yang berkilauan.
Ketika ia tadi terkejut karena dingin menyentuh rambut itu penyebabnya bukanlah udara dingin, melainkan karena sifat rambut itu sendiri, pikir Shimamura seraya memandang lagi rambut itu, sedangkan wanita itu menghitung dengan menekuk-nekukkan jari di atas kotatsu. Tidak ada habisnya.
"Apa yang kau hitung?" tanya Shimamura, tapi ia diam saja dan terus menghitung beberapa lama lagi.
"Tanggal dua puluh tiga bulan Mei, ya."
"Oh, tahu. Engkau menghitung jumlah hari, ya. Bulan Juli dan Agustus berturut-turut masing-masing tiga puluh satu hari." "Hari ini hari yang keseratus sembilan puluh sembilan. Hari ini tepat hari yang keseratus sembilan puluh sembilan."
"Tapi betul-betul engkau ingat hari itu tanggal dua puluh tiga bulan Mei."
"Itu mudah diketahui dengan melihat catatan harian." "Catatan harian" Engkau menulis catatan harian?"
"Ya, saya senang melihat catatan harian yang sudah lama. Karena saya tulis apa saja dengan terus terang, jadi saya merasa malu juga walau membacanya seorang diri."
"Sejak kapan?" "Beberapa waktu sebelum saya mulai bekerja sebagai pelayan di Tokyo. Waktu itu saya kekurangan uang. Saya tidak mampu membeli buku harian. Pada buku catatan yang harganya dua atau tiga sen dengan penggaris saya membuat garis halus-halus yang teratur rapi mungkin karena saya meraut potlotnya runcing sekali. Dan dari ujung atas sampai dengan ujung bawah buku itu penuh dengan huruf-huruf kecil. Tetapi setelah saya mampu membeli buku harian, tidak bisa berbuat seperti itu lagi. Karena menjadi boros. Untuk latihan menulis huruf juga dahulu kita memakai kertas koran yang usang, tapi sekarang kita langsung menulis pada kertas gulungan."
"Sejak itu engkau terus menulis catatan harian?"
"Ya. Catatan harian ketika saya berumur enam belas dan tahun ini yang paling menarik. Saya selalu menulisnya sesudah saya bertukar pakaian dan mengenakan memaki setelah kembali dari tempat perjamuan. Saya kembali larut malam. Ada juga bagian-bagian yang memperlihatkan mungkin saya tertidur waktu menulisnya."
"Oh, begitu?" "Tapi tidak setiap hari. Ada juga hari ketika saya tidak menulis. Karena di daerah pegunungan terpencil, jadi walau saya bekerja di tempat perjamuan hanya rutin saja. Tahun ini saya hanya bisa beli buku catatan harian yang memakai tanggal pada setiap halamannya, tapi itu ternyata kurang cocok. Karena sekali saya sudah mulai menulis, sering berpanjang-panjang."
Yang di luar dugaan lebih mengejutkan Shimamura dari ceritanya mengenai catatan harian, ialah kenyataan yang didengarnya bahwa wanita itu mencatat semua roman yang dibacanya sejak berumur lima belas atau enam belas tahun dan buku catatannya sudah mencapai sepuluh jilid.
"Mungkin engkau tulis kesanmu sesudah membacanya?" "Saya tidak bisa menulis apa yang disebut kesan. Yang saya tulis adalah judul, pengarang, nama-nama tokoh dalam roman itu dan hubungan di antara mereka. Kira-kira begitu."
"Bukankah tidak ada gunanya hanya mencatat yang begitu saja?"
"Tapi apa boleh buat."
"Sia-sia saja, ya."
"Ya, memang," sahut wanita itu acuh tak acuh dan tetap menatap Shimamura.
Demi Shimamura, entah apa sebabnya, hendak mengatakan dengan suara keras bahwa itu betul sia-sia saja, ia merasa tubuhnya diresapi keheningan seakan-akan salju pun terdengar bersuara dan mungkin itu berarti bahwa ia terpikat oleh wanita itu. Walaupun Shimamura tahu bahwa mustahillah penulisan itu sia-sia bagi wanita itu sendiri, ketika ia menegaskan bahwa itu sia-sia, kehadiran wanita itu malah terasa menjadi lebih murni.
Cerita wanita itu mengenai roman rupanya tidak bersangkut-paut dengan istilah kesusastraan yang dipakai sehari-hari. Rupanya selain untuk bertukar majalah wanita dengan penduduk kampung, ia tidaklah memiliki persahabatan dengan mereka sehingga ia membaca seorang diri saja. Agaknya ia membaca buku-buku roman dan majalah yang dia pinjam ketika menemukannya di ruang tamu rumah penginapan dan sebagainya tanpa memilihnya dan juga tanpa memahaminya secara mendalam, tetapi nama-nama pengarang baru yang disebutnya dari ingatan banyak yang belum dikenal Shimamura. Cara bicaranya seolah-olah ia membawakan cerita yang jauh mengenai sastra asing, sehingga suaranya memilukan seperti pengemis yang tidak tamak. Timbul pikiran pada Shimamura bahwa mungkin begitu jugalah dia yang mengangan-angankan dari kejauhan bagaimana tari-tarian Barat berdasarkan foto-foto dan buku-buku negeri Barat.
Wanita itu juga bercerita dengan riangnya tentang sandiwara atau film yang belum dilihatnya. Mungkin ia sudah lama kehausan akan lawan bicara seperti ini. Ketika itu, yaitu seratus sembilan puluh sembilan hari yang lalu, ia asyik berbicara seperti ini, dan karena itulah ia terdorong mau menyerahkan diri kepada Shimamura, tapi rupanya hal itu dilupakannya sehingga tubuhnya juga mulai hangat oleh gambaran ucapannya sendiri.
Kerinduannya akan sesuatu yang berbau kota kini sudah merupakan mimpi yang naif ditutupi dengan rasa putus asa yang ikhlas, maka hal itu lebih terasa sebagai usaha yang sia-sia daripada keluhan angkuh orang kota yang terpaksa tinggal di pedalaman. Dia sendiri tampaknya tidak bersedih hati karena hal itu, tetapi Shimamura kelihatannya agak menimbulkan kepiluan yang ganjil. Kalau terbenam dalam pikiran seperti itu, mungkin
Shimamura juga terjebak dalam rasa sentimental yang mendalam bahwa hidupnya sendiri pun suatu usaha yang sia-sia. Tapi wanita di depannya itu berwajah segar bugar diliputi udara gunung.
Bagaimanapun sekarang Shimamura melakukan penilaian kembali dan karena ia sudah menjadi geisha, Shimamura merasa segan hendak menyatakan niatnya.
Saat itu dia mabuk semabuk-mabuknya dan sangat gelisah karena lengannya kaku tak dapat digunakan, dan berkata,
"Apa ini" Apa ini" Binatang! Binatang! Lemah. Apa ini?" Dan ia sampai menggigit lengannya sendiri dengan keras.
Dan karena tidak bisa bangkit karena kakinya lemah, ia mengguling-gulingkan badan dan berkata, "Saya sama sekali tidak sayang. Tetapi saya bukan perempuan begituan. Tetapi saya bukan perempuan begituan."
Shimamura ingat akan ucapannya itu dan sementara ia ragu, wanita itu segera menebaknya dan berkata seolah-olah menangkisnya.
"Itu datang kereta api tengah malam." Sambil berdiri karena kebetulan mendengar bunyi peluit kereta api, ia membuka shoji dan jendela kaca dengan amat kasar dan duduk pada jendela dengan merebahkan tubuh pada langkan.
Seketika itu juga masuklah udara dingin ke dalam kamar. Bunyi kereta api yang menjauh itu terdengar seperti angin malam saja.
"Hai, dingin, kau tolol," kata Shimamura seraya bangkit mendekati jendela tapi ternyata tidak ada angin.
Tampaklah pemandangan malam yang dahsyat seolah-olah kumandang di dasar bumi yang dalam dari bunyi salju membeku yang terhampar sejauh mata memandang. Tidak ada bulan. Ketika ia menengadah bintang yang banyaknya tak masuk akal kelihatan seperti bintik-bintik terang bagaikan sedang jatuh dengan kecepatan hampa. Semakin bintang-bintang itu mendekati matanya, langit tampak semakin jauh dan semakin pekat warna malam. Gunung-gunung di daerah perbatasan sudah tidak nyata berangkap-rangkap lagi, melainkan tampak sebagai gumpalan tebal yang berwarna hitam seperti hangus oleh asap dan tergantung berat di cakrawala yang berbintang. Segalanya dalam keseimbangan yang bening dan tenang.
Melihat Shimamura mendekat, wanita itu menekankan dadanya pada langkan jendela. Bukan mau memperlihatkan kelemahannya, melainkan mau menunjukkan kekerasan hatinya lagi dengan malam seperti itu sebagai latar belakang. Shimamura pikir, "Begitu lagi."
Walaupun gunung-gunung itu hitam, entah apa sebabnya kelihatan juga seperti salju, maka terasa gunung-gunung menjadi bening dan sepi. Langit dan gunung tidaklah berkeseimbangan. Shimamura memegang tenggorokan wanita itu dan berkata, "Kau nanti masuk angin. Dingin begini," lalu ia mau menarik membangkitkan wanita itu. Ia tetap berpegang pada langkan dan berkata dengan suara agak tercekik,
"Saya mau pulang."
"Pulanglah." "Biarkan saya begini beberapa lama lagi."
"Kalau begitu, aku mau mandi."
"Jangan. Di sini saja."
"Tutuplah jendela."
"Biarkan saya begini beberapa lama lagi."
Kampung itu setengahnya tersembunyi di balik hutan pohon sugi di kuil pelindung kampung, tapi lampu-lampu di stasiun yang bisa dicapai dengan mobil kira-kira dalam waktu sepuluh menit berkelip-kelip seolah-olah mau pecah karena kedinginan.
Pipi wanita itu, kaca jendela, dan ujung lengan dotera-nya juga, semua yang dijamahnya dengan tangan begitu dingin sehingga Shimamura berpikir ia baru pertama kali mengalaminya.
Terasa tatami di bawah kakinya juga mendingin maka ia mau pergi mandi seorang diri.
'Tunggu dulu, saya juga ikut," kata wanita itu seraya mengikutinya dengan patuh.
Sementara wanita itu mengatur pakaian Shimamura yang ditanggalkan ke dalam keranjang, masuklah seorang laki-laki tamu penginapan dan ketika ia tahu ada wanita yang menyembunyikan muka di depan dada Shimamura, ia berkata,
"Oh, maaf." "Tidak apa. Silakan. Saya mau mandi di sana saja," kata Shimamura serentak dan ia masuk ke tempat mandi untuk wanita di sebelahnya dengan telanjang sambil menjinjing keranjang. Wanita itu juga mengikutinya seolah mereka sepasang suami isteri. Shimamura diam saja dan tanpa menoleh ke belakang meloncat ke dalam kolam mandi. Baru dia merasa lega dan timbul tawanya yang terbahak-bahak lalu menyorongkan mulutnya ke tempat air panas keluar dan berkumur-kumur.
Ketika kembali ke kamarnya, wanita itu hanya mengucapkan sepatah kata sambil menegakkan kepala yang tersandar dan mengangkat rambut pada pelipis dengan jari kelingkingnya.
"Sedih." Shimamura mengira wanita itu memandang dengan matanya yang hitam yang setengah terbuka, namun tatkala ia mendekat untuk melihatnya ternyata itu adalah bulu matanya.
Wanita yang gelisah itu sekejap pun tidak tidur.
Rupanya Shimamura terjaga oleh desir orang mengikat obi.
"Maaf karena saya membuatmu teijaga sepagi ini. Masih gelap. Lihatlah ke sini," kata wanita itu seraya mematikan lampu listrik. "Kelihatan wajah saya" Tidak?"
"Tidak. Fajar masih belum menyingsing?"
"Jangan bohong. Lihatlah baik-baik. Bagaimana?" kata wanita itu sambil membuka jendela, lalu melanjutkan. "Astaga. Sudah kelihatan, kan" Saya mau pulang."
Ketika Shimamura mengangkat kepala dari bantal karena terkejut oleh udara subuh yang dingin, kelihatan gunung sudah menjadi pagi walaupun warna langit masih malam.
"Oh, ya. Tidak apa. Karena petani-petani sekarang tidak sibuk, jadi tidak ada orang yang keluar rumah sepagi ini. Tapi mungkin ada juga orang yang mau mendaki gunung," sambil berkata demikian kepada dirinya sendiri dia berjalan dengan menyeret obi yang baru diikat setengahnya.
"Tidak ada tamu yang datang dengan kereta api pukul lima tadi. Orang-orang di penginapan masih lama lagi akan bangun." Walaupun telah selesai mengikat obi, ia berulang-ulang bangkit atau duduk dan berjalan-jalan dalam kamar sambil melihat hanya ke arah jendela saja. Ia tidak tentram seperti binatang malam yang berjalan gelisah karena takut akan pagi. Rupanya semakin liar berahi yang bergelora.
Sementara itu di dalam kamar pun mulai terang, kian jelas kelihatan pipinya yang merah. Shimamura asyik memperhatikan pipinya yang demikian merah sehingga mencengangkan dan berkata,
"Pipimu merah sekali, karena kedinginan, ya."
"Bukan karena kedinginan. Saya menghapus bedak. Kalau masuk ke dalam futon, akan segera menjadi hangat sampai ujung kaki," katanya sambil memandang pada kaca rias di dekat bantal, "Wah, sudah begini terang. Saya mau pulang."
Shimamura melihat ke arahnya dan mengerutkan leher. Yang berkilauan putih di dalam kaca ialah salju. Dan di dalam salju itu kelihatan terapung pipi wanita yang merah itu. Itu adalah keindahan yang jernih tak terkatakan.
Rupanya matahari sudah mulai terbit, salju di dalam kaca mulai bersinar seperti menyala dingin. Dengan demikian rambut wanita yang berwarna hitam keunguan yang terapung dalam salju itu pun menjadi lebih pekat dan berkilauan.
MUNGKIN AGAR salju jangan bertimbun, air panas yang tertumpah dari kolam mandi dibiarkan mengalir melalui selokan yang dibuat untuk sementara di sekeliling dinding rumah penginapan itu dan air itu mengalir meluas sehingga merupakan kolam dangkal di depan genkan. Seekor anjing akita yang berbulu hitam dan kelihatan gagah ada di atas batu injakan dan lama juga dia menjilat-jilat air panas itu. Alat peluncur ski untuk tamu yang baru dikeluarkan dari simpanan dijemur berderet-deret dan bau bulukan yang samar-samar dari alat ski itu menjadi sedap karena tercampur uap air panas dan gumpalan salju yang jatuh dari ranting-ranting pohon sugi di atas atap tempat pemandian umum berpecahan seperti hangat. Tidak lama lagi, nanti pada akhir tahun dan tahun baru, jalan itu pun akan tidak kelihatan karena timbunan salju yang terbawa badai. Geisha juga mesti pergi ke ruang perjamuan dengan mengenakan celana khusus yang disebut satipciku, sepatu tinggi karet, mantel, dan tudung kepala. Salju ketika itu sudah kira-kira tiga meter tingginya. Sekarang Shimamura menuruni jalan yang tadi sebelum fajar menyingsing sambil dipandangi wanita itu dari jendela rumah penginapan di atas bukit, dan di bawah jemuran popok yang digantung tinggi kelihatan olehnya gunung-gunung di daerah perbatasan dan saljunya bersinar tenang. Daun-daun bawang yang berwarna hijau belum semua terbenam di dalam salju.
Di sawah anak-anak kampung bermain ski.
Ketika masuk ke dalam kampung sepanjang jalan raya, kedengaran bunyi yang menenangkan seperti tetesan air.
Tsurara kecil di ujung atap berkilauan mungil.
Seorang wanita yang pulang mandi menengadah ke arah laki-laki yang sedang membuang salju dari atas atap dan berkata,
"Tolong buang juga salju kami," lalu ia menyapu dahi dengan handuk yang basah seakan matanya tersilau. Mungkin ia seorang pelayan wanita musiman yang cepat datang untuk mencari rezeki pada musim ski. Rumah di sebelahnya adalah kafe yang gambar-gambar pada jendela kacanya sudah usang dan atapnya pun sudah miring.
Kebanyakan rumah beratap sirap dan di atasnya terletak batu-batu yang berderet. Pada belahan atap yang tertimpa sinar matahari, batu-batu bulat itu kelihatan hitam dalam salju dan warna itu tidak seperti basah, tapi seperti warna tinta hitam yang digosok oleh salju dan angin sedingin es. Dan rumah-rumah pun menimbulkan kesan seperti batu itu dan deretan rumah yang agak rendah seperti meniarap pada tanah tepat bagai di daerah utara.
Sekelompok anak memungut es dari selokan dan melemparkannya ke jalan. Es yang berkilauan ketika berpecahan mungkin menarik hati mereka. Kalau Shimamura berdiri di bawah sinar matahari, es itu terasa tidak begitu tebal dan untuk beberapa lama ia terus memandanginya.
Seorang anak perempuan yang berumur kira-kira empat belas tahun bersandar pada pagar batu dan menganyam benang wol. Ia mengenakan sanpaku dan geta tinggi tapi tidak memakai tabi, maka kelihatanlah pada telapak kaki telanjang yang memerah retak-retak kulitnya karena kedinginan. Di atas ikatan kayu di sampingnya ada anak perempuan kira-kira berusia tiga tahun yang memegang gulungan benang wol dengan sikap naif. Sehelai benang wol usang berwarna kelabu yang ditarik dari anak perempuan kecil itu oleh anak perempuan yang besar kelihatan bersinar hangat.
Terdengar bunyi ketam dari tempat pembuatan alat ski yang berjarak kira-kira tujuh-delapan buah rumah. Di bawah ujung atap di baliknya ada lima-enam orang geisha berbicara sambil berdiri. Shimamura berpikir mungkin ada Komako yang baru pagi ini dia tahu namanya dari perempuan pelayan rumah penginapan, betul juga, dia rupanya sudah melihatnya berjalan dan dia sendiri saja yang berwajah sungguh-sungguh. Pasti dia akan menjadi merah padam dan Shimamura berharap dia akan bersikap acuh tak acuh, tetapi sebelum itu pun Komako sudah menjadi merah sampai ke lehernya. Kalau begitu jadinya dia lebih baik membelakanginya tetapi wanita itu menggerakkan mukanya sedikit demi sedikit mengikuti jalan Shimamura sambil menundukkan mata seperti teijepit.
Shimamura juga merasa pipinya terbakar dan cepat-cepat ia melewati tempat itu, tapi segera Komako datang mengejarnya. "Susah, ya, kalau Tuan harus melewati tempat seperti itu." "Susah" Aku yang susah. Kalau ada sebanyak itu aku tak berani lewat karena takut. Biasanya begitu?"
"Ya, begitulah kalau sudah siang."
"Kalau mukamu menjadi merah atau berlari mengejar aku, itu yang lebih susah."
"Saya tidak peduli," kata Komako secara tegas dan menjadi merah lagi, lalu berhenti di tempat itu dan berpegang pada pohon kesemek di tepi jalan. "Saya mengejar untuk meminta agar Tuan singgah di rumah."
"Inikah rumahmu?"
"Ya." "Kalau engkau kasih lihat catatan harian itu, boleh aku singgah."
"Itu mau saya bakar sebelum mati."
"Tapi di rumahmu itu bukankah ada orang sakit?"
"Wah, sudah tahu?"
"Semalam engkau pun datang ke stasiun untuk menjemput orang itu, memakai mantel biru tua. Aku naik kereta api itu juga di dekat orang sakit itu. Ada gadis yang menemaninya yang merawatnya dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati, apa dia istrinya" Dia orang yang sengaja menjemput dari sini" Atau orang Tokyo" Ia seperti ibunya, jadi aku merasa kagum terhadapnya."
"Mengapa tak mengatakan hal itu kepada saya tadi malam" Mengapa diam saja?" kata Komako dengan wajah merah.
"Apakah dia istrinya?"
Tapi ia bertanya lagi tanpa menjawabnya.
"Mengapa tidak menceritakan hal itu tadi malam" Dasar orang aneh."
Shimamura tidak menyukai ketajaman seperti itu pada wanita. Ia merasa bahwa ia sendiri dan Komako juga tidak melakukan sesuatu yang dapat membuatnya begitu tajam, karena itu ia mengira mungkin memang begitulah tabiatnya, tapi bagaimanapun kalau didesak berulang kali, Shimamura mulai merasa disentuh titik lemahnya. Ketika ia tadi pagi melihat Komako dalam cermin yang membayangkan salju di gunung, memang ia teringat akan gadis yang terbayang pada kaca jendela kereta api senja, tetapi entah apa sebabnya ia tidak menceritakan hal itu kepada Komako.
"Tidak ada walaupun ada orang sakit. Siapa pun tidak ada yang suka masuk ke kamar saya," kata Komako dan ia masuk ke dalam pagar batu yang rendah.
Di sebelah kanannya ada ladang yang ditutupi salju dan di sebelah kiri berderet-deret pohon kesemek pada sepanjang dinding rumah sebelahnya. Di depan rumah itu agaknya ada kebun bunga dan di tengahnya ada kolam teratai yang kecil yang esnya telah diangkat ke tepi dan di situ berenangan ikan-ikan emas berwarna merah. Rumahnya sudah usang seperti batang pohon kesemek. Atapnya yang sebagian tertutup salju bagaikan bergelombang karena kayunya sudah rusak.
Begitu masuk ke dalam kamar yang berlantai tanah, udara terasa dingin dan sementara ia tidak bisa melihat apa pun jua, ia disuruh naik tangga. Betul-betul tangga. Kamar itu betul-betul loteng.
"Ini bekas tempat memelihara ulat sutra. Mengagetkan, bukan?"
"Dengan tangga seperti itu, kalau engkau pulang mabuk, apa tidak jatuh?"
"Jatuh juga. Tapi kalau begitu saya masuk kotatsu di bawah, terus tertidur," kata Komako sambil memasukkan tangan ke dalam futon kotatsu lalu pergi mengambil api.
Shimamura melihat berkeliling pada keadaan bilik yang ganjil. Hanya ada sebuah jendela yang rendah di sebelah selatan, dan shoji yang tulang-tulangnya rapat kertasnya baru diganti, dan tampak terang karena tertimpa sinar matahari. Dindingnya ditempel kertas dengan rapi, sehingga terasa berada di dalam peti kertas usang tetapi di atas kepala kelihatan atap yang menurun ke arah jendela, jadi terasa dinaungi oleh kesepian yang hitam. Ketika ia berpikir bagaimana keadaan di balik dinding itu terasa olehnya bilik itu seakan tergantung sehingga ia merasa agak kurang mantap. Dinding dan tatami meski sudah usang tampak sangat bersih.
Terpikir oleh Shimamura, Komako juga hidup di sini dengan tubuhnya yang bening seperti ulat sutra.
Di atas kotatsu ada futon yang terbuat dari katun yang coraknya sama dengan sanpaku. Tansu yang sudah usang tapi terbuat dari kayu kiri yang uratnya lurus mungkin dipakainya ketika ia bekerja di Tokyo. Tapi kaca riasnya sangat sederhana, tidak sesuai dengan tansu itu. Kotak alat jahit yang benvarna merah mengkilap mewah. Ada papan ditempel pada dinding pohon kesemek. Atapnya yang sebagian tertutup salju bagaikan bergelombang karena kayunya sudah rusak.
Begitu masuk ke dalam kamar yang berlantai tanah, udara terasa dingin dan sementara ia tidak bisa melihat apa pun jua, ia disuruh naik tangga. Betul-betul tangga. Kamar itu betul-betul loteng.
"Ini bekas tempat memelihara ulat sutra. Mengagetkan, bukan?"
"Dengan tangga seperti itu, kalau engkau pulang mabuk, apa tidak jatuh?"
"Jatuh juga. Tapi kalau begitu saya masuk kotatsu di bawah, terus tertidur," kata Komako sambil memasukkan tangan ke dalam futon kotatsu lalu pergi mengambil api.
Shimamura melihat berkeliling pada keadaan bilik yang ganjil. Hanya ada sebuah jendela yang rendah di sebelah selatan, dan shoji yang tulang-tulangnya rapat kertasnya baru diganti, dan tampak terang karena tertimpa sinar matahari. Dindingnya ditempel kertas dengan rapi, sehingga terasa berada di dalam peti kertas usang tetapi di atas kepala kelihatan atap yang menurun ke arah jendela, jadi terasa dinaungi oleh kesepian yang hitam. Ketika ia berpikir bagaimana keadaan di balik dinding itu terasa olehnya bilik itu seakan tergantung sehingga ia merasa agak kurang mantap. Dinding dan tatami meski sudah usang tampak sangat bersih.
Terpikir oleh Shimamura, Komako juga hidup di sini dengan tubuhnya yang bening seperti ulat sutra.
Di atas kotatsu ada futon yang terbuat dari katun yang coraknya sama dengan sanpaku. Tansu yang sudah usang tapi terbuat dari kayu kiri yang uratnya lurus mungkin dipakainya ketika ia bekerja di Tokyo. Tapi kaca riasnya sangat sederhana, tidak sesuai dengan tansu itu. Kotak alat jahit yang benvarna merah mengkilap mewah. Ada papan ditempel pada dinding bertingkat-tingkat, mungkin sebagai rak buku. Ada tirai terbuat dari kain wol yang tipis.
Kimono zashiki yang dipakainya tadi malam tergantung pada dinding dan kelihatan lapis dalam juban-nya yang berwarna merah.
Komako datang naik tangga dengan tangkas sambil membawa juno yang penuh api.
"Ini dari kamar si sakit, tapi kata orang api bebas hama," katanya sambil menunduk dengan rambutnya yang baru diandam, ia menggaruk abu dari dalam kotatsu untuk menaruh api dan melanjutkan bahwa si sakit menderita TBC usus dan ia kembali ke kampung halaman hanya untuk menghabiskan sisa hidup.
Walaupun disebut kampung halamannya, ia tidaklah lahir di sini. Ini kampung ibunya. Ibunya walaupun sesudah habis bekerja sebagai geisha di kota pelabuhan, masih tetap tinggal di sana sebagai guru tari, tetapi sebelum usianya mencapai lima puluh, ia jatuh sakit, lumpuh sehingga akhirnya pulang ke tempat pemandian mata air panas ini untuk berobat. Anaknya sejak kecil gemar akan mesin-mesin dan bekerja pada sebuah toko arloji, jadi ditinggalkannya di kota pelabuhan itu, tapi rupanya beberapa lama kemudian pergi ke Tokyo dan belajar pada sekolah malam. Mal itu mungkin terlalu berat bagi tubuhnya. Ia berusia dua puluh enam tahun ini.
Hingga di situ Komako berbicara tanpa berhenti, tetapi tidak menyinggung siapa gerangan gadis yang membawa pulang si sakit dan juga apa sebabnya Komako tinggal di rumah ini.
Tetapi pembicaraannya yang itu pun mungkin bocor ke segala arah karena bilik itu seperti tergantung sehingga Shimamura tidak merasa tenteram. Ketika ia mau keluar, kelihatan olehnya sesuatu yang putih, maka ia berpaling dan ternyata sebuah kotak shamisen yang terbuat dari kayu kiri. Tampaknya lebih besar daripada yang sesungguhnya dan ia merasa bahwa menggendong kotak itu kc tempat perjamuan bagaikan sesuatu yang mustahil. Ketika itulah fusuma yang kusam dibuka orang. "Koma-chcin, bolehkah saya melangkahi ini?" Suara itu begitu indah sehingga terasa jernih dan menyedihkan. Rupa-rupanya suara itu akan bergaung kembali, entah dari mana.
You Are My Happines 1 Pendekar Rajawali Sakti 5 Naga Merah Geger Pedang Inti Es 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama