Ceritasilat Novel Online

Daerah Salju 2

Daerah Salju Karya Yasunari Kawabata Bagian 2


Shimamura ingat akan suara itu, itulah suara Yoko yang memanggil Pak Sep di dalam salju dari jendela kereta api malam.
"Boleh," sahut Komako dan Yoko melangkahi kotak shamisen itu dengan kaki yang memakai sanpaku. Ia menjinjing pispot kaca.
Dari cara bicaranya dengan kepala stasiun yang rupanya sudah dia kenal, juga dari sanpaku yang dia pakai, jelaslah bahwa Yoko gadis dari daerah ini, tapi karena setengah dari obi-nya yang mewah kelihatan di atas sanpaku, maka corak sanpaku yang terbuat dari kain katun berupa garis-garis jarang berwarna kuning kemerahan dengan hitam sangat menyolok, dan begitu juga tarnoto panjang dari baju kain wol tipis terasa merangsang birahi. Karena sanpaku terbelah sedikit di atas lutut maka kelihatan agak mengembung, namun demikian kain katun yang tebal dan kaku menyebabkannya tampak ketat, sehingga menentramkan.
Tetapi Yoko melihat dengan pandangan tajam kepada Shimamura hanya sekilas saja dan melewati bilik dengan lantai tanah itu tanpa berkata apa pun.
Walaupun sudah keluar, Shimamura masih merasapandangan mata Yoko tetap menyala di depan dahinya. Dingin seperti api di kejauhan. Mungkin karena ia teringat akan kesannya tadi malam. Semalam dadanya berdebar tatkala melihat keindahan yang tak terkatakan yang disebabkan oleh hitam mata gadis itu yang menjadi agak terang ketika bertumpang tindih dengan api di ladang dan gunung yang terus mengalir di balik bayangan wajahnya yang ditatapi Shimamura pada kaca jendela kereta api. Ketika teringat akan hal itu ia pun teringat akan merah pipi
Komako yang terbayang terapung di dalam salju yang memenuhi cermin.
Langkahnya kian cepat. Walaupun kakinya agak gemuk dan pucat, tetapi sebagai orang yang suka mendaki gunung, Shimamura lekas menjadi lupa diri kalau berjalan sambil memandangi gunung-gunung, langkahnya pun menjadi lebih cepat tanpa dia sadari. Shimamura yang selalu cepat lupa diri tidak dapat percaya bahwa cermin yang membayangkan pemandangan senja itu dan cermin yang membayangkan salju pagi adalah buatan manusia. Baginya betul-betul bersifat alami. Dan merupakan suatu dunia yangjauh.
Kamar Komako yang baru ditinggalkannya, juga merupakan suatu dunia yang jauh. Ia terperanjat oleh kesadaran akan dirinya seperti itu. Dan ketika tiba di puncak pendakian ia bertemu dengan seorang wanita tukang pijit, Shimamura berkata seakan-akan dia mau berpegang pada sesuatu.
"Bu, pijit saya."
"Begitu" Pukul berapa sekarang?" katanya sambil mengepit tongkat bambu dan dikeluarkannya arloji yang memakai tutup dari lipatan obi dengan tangan kanan dan ia meraba-raba angka dengan jari tangan kiri.
"Sekarang sudah pukul dua lewat tiga puluh lima. Saya harus pergi ke seberang stasiun pada pukul setengah empat, tapi barangkali boleh juga sedikit terlambat."
"Saya heran bagaimana Ibu bisa tahu waktu."
"Karena tidak pakai kaca."
"Dengan meraba bisa tahu angka?"
"Angkanya tak dapat saya ketahui," katanya lalu dikeluarkannya sekali lagi arloji perak yang agak terlalu besar untuk wanita itu dan dibukanya tutupnya dan ia berkata sambil menunjuk dengan jari, ini pukul dua belas, ini pukul enam dan di antaranya pukul tiga. Berdasarkan cara menghitung demikian saya bisa membedakan sampai dua menit, walaupun tidak bisa sampai satu menit."
"Oh, begitu. Apakah tidak tergelincir dijalan naik-turun?" "Kalau hujan, anak perempuan saya datang menjemput. Malam hari saya memijit penduduk kampung jadi tidak mendaki sampai di sini. Agak susah karena pelayan-pelayan wanita rumah penginapan bilang suami saya melarang saya datang ke sini." "Anak Ibu sudah besar?"
"Ya, anak sulung sudah tiga belas tahun," sambil berkata demikian, ia tiba di kamar Shimamura. Sementara memijit, ia memasang telinga pada bunyi shamisen yang datang dari ruang perjamuan yang jauh.
"Siapa itu, ya?"
"Bisa mengenali geisha yang mana yang memetik shamisen dari bunyinya?"
"Ada yang saya kenali. Ada juga yang baik. Rupanya Tuan hidup senang, tubuh Tuan lembut sekali."
"Ototnya tidak ada yang kaku, kan?"
"Ada. Otot leher kaku. Tuan montok sebagaimana patutnya, tapi saya kira Tuan tidak minum sake, ya."
"Bagaimana bisa tahu?"
"Saya tahu tiga orang tamu yang tubuhnya seperti Tuan." "Tubuh yang biasa saja."
"Begini, Tuan. Kalau orang tidak minum sake ia tidak bisa merasakan nikmatnya, yaitu bisa melupakan segala sesuatu." "Apa suami Ibu suka minum?"
"Wah, susah, ia terlalu banyak minum."
"Siapa yang memetik shamisen itu" Kaku, ya."
"Ya." "Ibu bisa memetik shamisen?"
"Ya. Saya berlatih memetiknya sejak umur sembilan tahun sampai dua puluh, tetapi sejak bersuami tidak pernah memetiknya lagi selama lima belas tahun."
Shimamura berkata sambil berpikir orang buta ini barangkali kelihatan lebih muda daripada umurnya yang sebenarnya.
"Pasti berlatih memetiknya masih kecil, ya?"
"Tangan saya sudah menjadi tangan tukang pijit, tapi kuping saya masih peka. Kalau mendengar geisha memetik shamisen saya menjadi merasa tidak tenang, seolah-olah kembali saya yang di masa silam," katanya sambil memasang telinganya lagi.
"Mungkin dia Fumi-chan di Izutsu-ya. Saya paling mudah mengenali yang paling pandai dan yang paling kaku."
"Adakah yang pandai memetiknya?"
"Anak yang bernama Komako, meskipun masih muda, belakangan ini sudah maju."
"Oh." "Tuan, kan, tahu. Walaupun ia disebut pandai, itu hanya untuk daerah yang dikelilingi gunung seperti ini."
"Tidak. Tidak tahu, tapi kebetulan saya dalam kereta api bersama dengan anak guru tari semalam."
"Oh, ya" Dia pulang" Sudah sembuh?"
"Rupanya payah."
"Ya" Karena laki-laki itu sakit lama di Tokyo, anak yang bernama Komako itu menjadi geisha dalam musim panas ini dan mengirimkan biaya untuk rumah sakit, tapi bagaimana akibatnya, ya."
"Katamu Komako?"
"Bagaimanapun kalau dia berusaha menolongnya sedapat mungkin, di kemudian hari namanya tidak akan tercela, walaupun ia hanya bertunangan saja dengan laki-laki itu."
"Bertunangan" Apa betul?"
"Ya, kata orang, mereka bertunangan. Saya tidak tahu betul, tapi ada kabar angin demikian."
Mendengar riwayat seorang geisha di rumah penginapan mata air panas adalah hal yang terlalu biasa, sehingga terasa malah di luar dugaan Shimamura dan bahwa Komako menjadi geisha untuk kepentingan tunangannya pun merupakan alur cerita yang terlalu sederhana, sehingga Shimamura tidak bisa percaya. Mungkin karena bertabrakan dengan asas kesusilaan yang dipikirkannya.
Sebenarnya Shimamura mau bertanya lebih banyak untuk mengorek cerita tukang pijit itu, tetapi ia menjadi diam karena merasakan kemauan Shimamura itu.
Ketika Shimamura berpikir bahwa andaikata Komako bertunangan dengan laki-laki itu dan Yoko menjadi kekasihnya yang baru, namun karena laki-laki itu tidak lama lagi akan meninggal, teringatlah Shimamura akan perkataan sia-sia. Bahwa Komako tetap menepati janji dengan tunangannya itu dan sampai menjual diri untuk mengobatinya, bukankah semuanya itu sia-sia belaka.
Kalau bertemu dengan Komako nanti, ia mau menuduhnya sia-sia, tapi malah terasa padanya kehadiran wanita itu menjadi lebih murni lagi.
Merasakan bahaya tersembunyi yang memalukan pada ketidakmampuan indranya memahami hidup Komako, ia terus berbaring meskipun tukang pijit itu sudah pulang, sementara itu ia merasa dingin sampai ke sumsumnya dan ketika tersadar jendela ternyata terbuka.
Daerah yang dikelilingi gunung itu cepat juga ditinggalkan sinar matahari dan tabir senja yang dingin mulai turun. Karena kegelapan, gunung-gunung yang diliputi salju yang masih tersinari matahari yang condong ke barat terasa mendekat dengan cepatnya.
Tak lama kemudian bayangan pada lekuk-lekuk lereng gunung semakin gelap sesuai dengan jarak atau tinggi-rendahnya gunung-gunung itu, dan tatkala sinar matahari hanya tinggal di atas puncak, langit di atas puncak salju itu berubah warna.
Kelompok pohon-pohon sugi yang bertebaran seperti di tepi sungai, di lapangan ski atau di kuil dan sebagainya, menjadi kentara karena berwarna hitam.
Sementara Shimamura merasa hampa dan sedih, masuklah Komako, bagaikan terpasang lampu yang hangat
Di rumah penginapan itu diselenggarakan pertemuan untuk merundingkan persiapan menyambut para tamu pemain ski. Ia berkata ia dipanggil untuk perjamuan sesudah perundingan. Demi kakinya masuk ke dalam kotatsu, ia berkata sambil mengelus-elus pipi Shimamura.
"Malam ini pucat, ya. Aneh juga," lalu ia meneruskan sambil memegang daging pipi yang lunak itu seolah-olah mau memijitnya hingga hancur. "Engkau tolol."
Rupanya ia sudah agak mabuk, tapi ia berkata ketika kembali dari perjamuan itu.
"Tidak tahu. Tidak tahu. Pusing. Pusing. Ah! Susah, susah," begitu ia roboh di depan kaca rias dan pada waktu itu tampaklah kemabukan pada wajahnya, sehingga agak mengherankan.
"Saya ingin minum, kasih air."
Ia berbaring sambil menekan wajah dengan kedua belah tangan dan tidak peduli andaman rambutnya rusak, tapi tak lama kemudian ia duduk lagi dan membersihkan bedaknya dengan memakai krim, maka tampaklah wajahnya yang merah sekali, ia pun tertawa dengan riangnya. Kemabukannya hilang dengan cepat secara menyolok. Bahunya gemetar seperti kedinginan.
Lalu ia mulai bercerita dengan suara tenang bahwa sepanjang bulan Agustus ia menghabiskan waktu tanpa berbuat apa-apa karena menderita kelemahan saraf dan tentang hal-hal lain sebagainya.
"Saya khawatir kalau-kalau saya menjadi gila. Betul, ada sesuatu yang saya renungkan dengan sungguh, tapi bagi saya sendiri pun kurang jelas apakah itu. Sungguh menakutkan, bukan" Saya sama sekali tidak bisa tidur, tapi ketika berada di ruang perjamuan saya dapat menguasai diri. Saya bermimpi macam-macam. Makan pun tidak bisa betul. Saya menusukkan jarum pada tatami, lalu mencabutnya"yang seperti itu saya lakukan terus-menerus, pada siang hari yang panas."
"Pada bulan apa kau menjadi geisha?"
"Bulan Juni. Ada juga kemungkinan sekarang saya sudah berada di Hamamatsu."
"Sebagai istri orang?"
Komako mengangguk. Ia berkata bahwa ia bimbang sekali pada waktu itu karena ada seorang laki-laki dari Hamamatsu yang mendesaknya untuk kawin, tapi bagaimanapun ia tidak menyukai laki-laki itu.
"Kalau engkau tidak menyukainya, tak usah engkau begitu bimbang."
"Tidak semudah itu."
"Begitu tertarikkah engkau untuk kawin?"
"Memangnya"! Bukan itu maksudnya. Saya tidak bisa tahan kalau masih ada yang tidak beres di sekitar saya."
"Ya." "Engkau orang yang kurang peduli."
"Apa ada sesuatu dengan laki-laki Hamamatsu itu?"
"Kalau ada, bukankah saya tak usah bimbang?" cetus Komako. "Tapi ia pernah bilang, "Selama engkau di sini, aku tidak mau engkau kawin dengan siapa pun. Dengan seribu satu cara aku akan mencegah perkawinanmu"."
"Padahal ia tinggal di Hamamatsu yang sejauh itu. Apa kau pedulikan pada hal yang begitu?"
Untuk beberapa lama Komako diam saja dan berbaring tenang seakan-akan hendak menikmati hangat tubuhnya sendiri, tapi tiba-tiba ia berkata acuh tak acuh.
"Saya kira saya hamil. Hihihihihiiiiii. Lucu juga kalau saya pikirkan sekarang, hihihihihiiiii," katanya sambil tertawa dalam mulut, lalu mengerutkan tubuh dan menggenggam kerah baju Shimamura dengan kedua belah tangan seperti anak-anak saja.
Bulu mata tebal yang dikatupkan kelihatan seperti matanya yang hitam setengah terbuka.
KEESOKAN harinya ketika Shimamura terjaga, Komako sedang bertopang dengan sebelah sikunya pada hibachi, sedangkan tangannya yang lain menulis pada kulit belakang majalah.
"Yaaaa, tidak bisa pulang lagi. Tadi datang seorang pelayan wanita membawakan api, sehingga saya terkejut dan merasa jengah, lalu bangun, dan shoji sudah tertimpa cahaya matahari. Karena mabuk, rupanya semalam saya jatuh tertidur."
"Pukul berapa sekarang?"
"Pukul delapan."
"Bagaimana kalau kita mandi?" tanya Shimamura sambil bangun,
"Tidak mau, karena akan dilihat orang di lorong penginapan," katanya dan sekarang ia menjadi seorang wanita yang lembut dan tatkala Shimamura kembali setelah mandi, ia sedang membersihkan bilik dengan cekatan sambil mengenakan handuk sebagai tutup kepala.
Ia menyapu sampai kaki meja dan bibir hibachi dengan amat cermatnya dan meratakan abu di dalam hibachi itu, tampaknya ia sudah biasa melakukan semua itu.
Ketika Shimamura yang berbaring dengan kaki masuk ke dalam kotatsu secara tak sengaja menjatuhkan abu rokok, Komako segera memungut abu rokok itu dengan sapu tangan, kemudian membawakan tempat abu rokok. Shimamura mulai tertawa seirama dengan hari pagi. Komako juga ikut tertawa.
"Kalau engkau sudah berumah tangga, pasti suamimu kau marahi terus."
"Saya, kan, sama sekali tidak marah. Tapi saya memang ditertawakan orang karena pakaian yang hendak dicuci pun sampai saya lipat dengan rapi. Tapi saya kira itu sudah menjadi tabiat saya."
"Kalau melihat ke dalam tansu, kita bisa tahu tabiat wanita pemiliknya."
Komako berkata sambil menyuapkan nasi seraya menghangatkan diri dengan sinar matahari yang masuk memenuhi bilik.
"Cuaca cerah sekali. Seharusnya saya lebih cepat pulang dan berlatih shamisen. Pada hari seperti ini bunyinya lain sekali."
Komako menengadah ke arah langit yang jernih-dalam.
Gunung-gunung di kejauhan diliputi warna susu yang lembut seolah-olah saljunya mengepulkan asap.
Shimamura teringat akan perkataan si tukang pijit dan menganjurkan Komako agar berlatih di situ saja, lalu Komako segera bangkit menelepon ke rumahnya minta supaya buku latihan nagauta dan pakaian untuk salin diantarkan ke penginapan.
Ketika Shimamura memikirkan bahwa ada telepon dalam rumah yang dikunjunginya kemarin siang, terbayanglah dalam kepalanya mata Yoko.
"Apakah gadis itu yang akan membawakannya?"
"Mungkin." "Saya dengar engkau bertunangan dengan laki-laki itu. Betul?"
"Oh. Kapan mendengarnya?"
"Kemarin." "Orang aneh. Kalau sudah mendengar, mengapa tadi malam tidak mengatakannya?" katanya dan ia tersenyum jernih, tidak seperti kemarin siang.
"Karena aku tidak meremehkan engkau, sulit untuk mengatakannya."
"Tapi itu bukan alasan yang sebenarnya. Saya tidak suka orang Tokyo karena mereka selalu berbohong."
"Itulah. Kalau aku membicarakannya, engkau akan mengelakkan diri dan pokok soal."
"Saya tidak mengelakkan diri. Jadi percaya betulkah akan berita itu?"
"Ya, percaya." "Nah, berbohong lagi! Saya tahu sebetulnya engkau tidak percaya."
"Memang saya tidak menelannya begitu saja. Tapi katanya engkau menjadi geisha untuk kepentingan tunanganmu itu dan mencari biaya untuk pengobatannya."
"Aku jijik mendengarnya seperti dalam sandiwara shinpa. Tidak benar pertunangan itu. Rupanya banyak orang yang percaya akan hal itu. Saya menjadi geisha bukan untuk siapa pun juga, tetapi karena saya pikir saya harus melakukan sesuatu sebaik-baiknya."
"Engkau berbicara seperti teka-teki."
"Sekarang saya bicara terus terang. Mungkin ada saatnya guru tari saya itu menghendaki anak laki-lakinya menikah dengan saya. Tapi maksud itu hanya ada dalam hati saja, tak pernah sekali pun diucapkan mulutnya. Maksudnya itu barangkali secara samar-samar diketahui juga oleh anaknya dan saya juga. Tapi di antara kami berdua tidak ada apa-apa. Hanya itu saja."
"Engkau berdua teman sepermainan sejak kecil?"
"Ya, memang. Tapi kami hidup berpisah. Ketika saya dijual ke Tokyo, dia seorang diri saja yang mengantarkan saya. Hal itu saya tulis pada halaman pertama buku harian saya yang paling tua."
"Kalau seandainya kalian berdua hidup terus di kota pelabuhan itu, niscaya sekarang kalian sudah berumah tangga."
"Itu tidak mungkin."
"Masa." "Tidak usah memusingkan orang yang sebentar lagi akan meninggal."
"Lebih tidak baik kalau engkau menginap di rumah orang lain."
"Seharusnya engkau tidak berbicara begitu. Mengapa orang yang akan meninggal itu dapat menghalangi saya berbuat sesuka hati saya?"
Shimamura tak tahu bagaimana harus menjawab.
Tapi entah apa sebabnya Komako tidak sepatah pun berbicara tentang Yoko.
Bagaimana perasaan Yoko yang pada pagi hari seperti itu membawakan pakaian untuk salin buat Komako yang mempunyai sesuatu hubungan dengan laki-laki yang dijemputnya pulang sambil merawatnya begitu penuh pengabdian dalam kereta api sebagai seorang ibu merawat anaknya yang masih kecil"
Sementara Shimamura jauh berangan-angan seperti kebiasaannya, terdengar suara Yoko yang indah serta rendah tapi jernih memanggil.
"Koma-chanl Koma-chanl"
"Merepotkan, ya," sahut Komako sambil bangkit lalu pergi ke kamar yang luasnya tiga jo di sebelah. "Yoko-san yang datang, ya" Wah! Semuanya" Pasti berat, ya."
Agaknya Yoko pulang tanpa berkata apa pun juga.
Setelah Komako memetik tali ketiga dengan jari dan menukarnya, ia melaras nada. Mendengar itu Shimamura tahu betapa jernih bunyinya dan ketika bungkusan furoshiki dibuka di atas kotatsu, ternyata ada kira-kira dua puluh buah buku not untuk shamisen oleh Kineya Yashichi, selain buku not yang biasa. Shimamura mengambil satu dengan kaget.
"Berlatih dengan buku yang seperti ini?"
"Karena di sini tidak ada guru. Apa boleh buat?"
"Bukankah ada di rumahmu?"
"Ia sudah lumpuh."
"Walaupun lumpuh, mulutnya ada."
"Mulutnya juga lumpuh. Masih bisa memperbaiki tarian muridnya dengan tangan kiri, tetapi tentang shamisen dia semakin gelisah kalau mendengarnya."
"Engkau bisa berlatih dengan ini?"
"Bisa mengerti dengan baik."
"Kalau seorang amatir tidak apa, tetapi kalau seorang geisha berlatih bersungguh-sungguh dengan mempergunakan not musik di daerah pegunungan terpencil ini, pasti itu membuat gembira tukang menjual buku not."
"Untuk melayani tamu, yang utama tarian, dan yang saya pelajari pada waktu di Tokyo juga tarian. Memetik shamisen saya tidak belajar secara penuh, maka kalau sekali lupa tidak ada lagi orang yang melatih saya, jadi hanya ini saya yang dapat menolong saya."
"Bagaimana dengan nyanyian?"
"Tidak suka menyanyi. Saya bisa juga menyanyikan, walaupun tidak pandai, lagu-lagu yang saya dengar ketika berlatih menari, dan ada juga lagu baru yang saya dengar dari radio atau dari mana saja, tetapi belum pasti apakah saya dapat menyanyikannya ataukah tidak. Itu pasti canggung karena dipengaruhi oleh cara saya menyanyi. Apalagi di depan orang yang saya kenal, saya tidak bisa mengeluarkan suara. Tapi di depan orang yang tidak saya kenal, saya bisa menyanyi dengan suara keras," katanya agak kemalu-maluan, lalu ia bersiap-siap seperti menunggu untuk mulai menyanyi dan mengamati wajah Shimamura.
Shimamura sekonyong-konyong merasa terdesak.
Shimamura yang dibesarkan di pusat kota sejak kecil sudah biasa menonton kabuki dan tarian Jepang dan dengan sendirinya sudah hafal akan lirik nagauta dan sudah biasa mendengarkannya, tapi ia sendiri tidak pernah berlatih menyanyikannya. Ketika ia mendengar tentang nagauta, segera terbayanglah panggung tarian, bukan ruang peijamuan yang dihadiri oleh geisha.
"Ini saya tidak suka. Inilah tamu yang paling membuat saya menjadi canggung," kata Komako sambil menggigit bibir bawahnya, tapi ketika memasang shamisen pada pangkuannya, maka ia pun berubah menjadi orang lain dan membuka buku latihan dengan hati terbuka, dan melanjutkan, "Yang saya pelajari dari buku not pada musim rontok ini."
Ternyata Kanjincho. Sekonyong-konyong Shimamura merasa sejuk sehingga pipinya menjadi bagaikan kulit burung sehabis dibului, lalu meresap sampai ke dasar perutnya. Di dalam kepalanya yang segera menjadi hampa, mengianglah suara shamisen itu. Ia betul-betul terpukul, tidak hanya terkejut, oleh suara shamisen itu. Ia terpukul oleh rasa khidmat dan rasa sesal mengalir di seluruh tubuhnya. Ia merasa sudah tidak berdaya lagi dan tidak bisa berbuat apa-apa selain terhanyut dalam arus tenaga Komako dengan senangnya, sehingga untuk melepaskan diri dari arus itu, ia terpaksa meniadakan diri.
Shimamura mencoba berpikir bahwa tidaklah bisa dinilai tinggi permainan shamisen oleh geisha kampungan yang berumur sembilan belas atau dua puluh tahun, bukankah caranya memetik seolah-olah di panggung saja, padahal ia di ruang tamu, mungkin aku ini dipengaruhi rasa sentimental karena berada di daerah pegunungan, dan Komako juga sengaja membaca lirik tanpa irama atau sengaja perlahan-lahan dan ada kalanya ia lompati beberapa lirik karena rumit, namun demikian suara Komako kian meninggi seperti ia sendiri terpesona, Shimamura merasa takut kalau-kalau bunyi bachi yang jernih terlalu keras, maka ia berbaring dengan siku sebagai bantal berlagak seolah-olah mau memperlihatkan kekuatannya.
Ketika Kanjincho selesai dimainkan, barulah Shimamura merasa lega dan berpikir, ah! Wanita ini sudah jatuh cinta kepadaku dan hal itu juga membuatnya merasa menyesal.
"Pada hari seperti ini bunyinya lain sekali," begitu kata Komako tadi sambil menengadah ke langit cerah musim salju, dan ternyata memang betul. Udara di sini lain sekali. Tidak ada dinding gedung sandiwara, tidak ada pendengar juga, tidak ada debu sampah kota-kota, sehingga bunyi itu menembus pagi musim dingin yang jernih dan terus mendengung sampai di gunung-gunung di kejauhan.
Karena dia sudah biasa berlatih seorang diri menghadapi alam luas di lembah daerah pegunungan tanpa menyadarinya, tidak mengherankan kalau bunyi bachi menjadi keras. Kesendiriannya sudah mengatasi kesedihannya dan sudah mengandung keteguhan yang perkasa. Walaupun ia sedikit berbakat, ia sudah pandai bermain tanpa melihat not irama setelah berlatih seorang diri memainkan lagu yang sukar hanya dengan melihat not, pasti hal itu disebabkan oleh karena usahanya yang berulang-ulang tanpa lelah dengan hasrat teguh.
Cara hidupnya yang dianggap Shimamura usaha sia-sia dan menimbulkan rasa simpatinya bagaikan kerinduan akan sesuatu yang jauh itu, mungkin tumpah ke luar, melimpah secara jernih melalui bachi sebagai sesuatu yang berharga bagi diri Komako sendiri.
Shimamura yang tidak bisa membedakan bunyi yang ditimbulkan oleh gerakan jarinya yang cermat dan teliti, tapi hanya bisa memahami rasa bunyi, barangkali pendengar yang layak bagi Komako.
Ketika ia mulai memetik Miyakodori sebagai lagu yang ketiga, Shimamura sudah tidak merasa lagi seperti kulit burung yang dibului, lega dan hangat dan menatap wajah Komako, mungkin juga karena lagu itu bersifat lunak membangkitkan birahi. Lalu terasa olehnya kemesraan badaniah meresap dalam dirinya.
Hidungnya yang agak mancung dan ramping seharusnya agak menimbulkan rasa sepi, tapi pipinya yang merah seperti hidup bergelora, sehingga membisikkan kehadirannya di situ. Bibirnya licin bagaikan lingkaran lintah penuh darah yang indah seolah-olah memantulkan cahaya yang berpendar ketika dikuncupkan menjadi kecil, tetapi ketika dibuka lebar-lebar sesuai dengan nyanyiannya segera menjadi menciut secara mungil dan hal itu tepat seperti daya tarik tubuhnya. Matanya yang seolah-olah sengaja dilukis lurus tanpa ekor mata yang menaik atau menurun di bawah alis yang menurun sekarang bersinar-sinar basah dan tampak seperti mata kanak-kanak. Kulitnya yang tidak berbedak seperti bawang atau umbi bunga lili yang baru terkupas, yang seperti dicelup dengan warna gunung setelah menjadi bening karena hidup sebagai pelayan di kota, menampakkan warna darah yang samar-samar sampai lehernya, tapi yang paling kentara pada kulitnya itu ialah kebersihannya.
Ia duduk tegak dan tegap tapi kelihatan seperti anak perawan, bukan seperti biasa.
Dan sebagai yang terakhir dia memainkan Urashima, lagu baru yang dia katakan sedang dia pelajari melalui not irama, setelah itu ia menyelipkan bachi-nya di bawah tali shamisen, lalu mengistirahatkan tubuhnya.
Tiba-tiba suasana penuh rangsang birahi.
Shimamura tidak dapat berkata apa-apa, tetapi Komako juga tampaknya sama sekali tidak mengharapkan kritik darinya dan kelihatannya ia merasa senang hati.
"Engkau dapat mengetahui siapa orangnya hanya dari caranya memetik shamisen?"
"Ya, memang bisa. Karena di sini jumlah geisha tidak sampai dua puluh. Saya dapat mengetahuinya dengan baik kalau mereka memainkan dodoitsu, karena lagu itulah yang paling dapat memperlihatkan kekhasan seseorang."
Lalu diambilnya lagi shamisen dan diletakkannya di atas buah betis kaki kanannya yang terlipat yang digeserkan sedikit dan pinggangnya agak ke kiri tetapi tubuhnya agak miring ke kanan, lalu ia berkata sambil mengamati leher shamisen.
"Saya belajar begini ketika masih kecil," lalu ia pun menyanyi seperti kanak-kanak, Uku, ro, ka, mi, no..." sambil memetik shamisen senada demi senada.
"Kurokami-kah yang pertama kau pelajari?"
"Bukan," katanya sambil menggelengkan kepala seperti ketika masih kecil.
SEJAK ITU, walaupun Komako menginap, tidak lagi dia memaksakan diri untuk pulang sebelum fajar menyingsing.
Ada kalanya dia bermain-main dengan memeluk di dalam kotatsu anak gadis kecil yang memanggilnya "Komako-chan" dengan nada meninggi dari jauh di lorong rumah penginapan dan juga pergi mandi menjelang tengah hari bersama dengan anak yang berumur tiga tahun itu.
Ia berkata sambil menyisir rambut anak itu sesudah mandi.
"Anak ini kapan saja melihat geisha, dia memanggil Komako-c/ian dengan nada meninggi. Kalau melihat wanita yang mengandam rambut secara Jepang dalam foto atau lukisan selalu menyebutnya .sebagai Komako-c/ian juga. Ilal itu saya mengerti dengan baik karena saya suka akan anak-anak. Kimi-chcin, mari kita pergi bermain-main ke rumah Komako-c/ian."
Lalu ia bangkit tapi duduk bermalas-malas lagi di atas kursi rotan di lorong rumah penginapan dan berkata.
"Lihatlah orang Tokyo yang tidak sabar lagi, mereka sedang bermain ski."
Kamar itu terletak di tempat yang tinggi, sehingga ke arah selatan bisa melihat lapangan ski di kaki gunung dari samping.
Ketika Shimamura juga berpaling untuk melihat dari kotatsu, tampaklah lima-enam orang yang berpakaian ski warna hitam sedang bermain di ladang yang terletak di ujung kaki gunung, sebab lerengnya masih belang-belang, belum penuh tertutup salju. Pematang di ladang yang bertingkat-tingkat itu belum ditutupi salju dan tidak begitu curam, sehingga permainan mereka tidak menarik.
"Rupanya mereka mahasiswa. Apa sekarang hari Minggu" Apakah itu menarik?"
"Tapi mereka pun bermain dengan sikap tubuh yang baik," kata Komako seperti kepada dirinya sendiri dan meneruskan lagi, "Katanya para tamu kaget kalau diberi salam oleh geisha di lapangan ski sambil berkata, "Oh, ya, ini engkau?" Sebab kami menjadi hitam terbakar salju sehingga mereka tidak mengenali kami lagi. Pada malam hari kami memakai bedak."
"Kau juga mengenakan pakaian ski?"
"Sanpaku saja. Saya tidak mau. Tidak mau. Di ruang tamu sering diajak tamu untuk main ski keesokan harinya"sebentar lagi akan tiba waktu seperti itu. Saya kira saya tidak akan main ski
tahun ini. Saya pergi dulu. Mari, Kimi-chan, kita pergi. Malam ini pasti turun salju. Dingin sekali pada malam sebelum salju turun." Sementara Shimamura duduk di atas kursi rotan yang ditinggalkannya, kelihatanlah Komako yang pulang berpegangan tangan dengan Kimiko dijalan menurun di ujung lapangan ski.
Awan mulai muncul dan gunung-gunung yang menjadi terhalang dan yang masih terkena sinar matahari kelihatan berangkap-rangkap dan bagian yang gelap serta bagian yang terang itu terus berubah-ubah, tampak sebagai pemandangan yang dingin dan tak lama kemudian lapangan ski juga sekonyong-konyong menjadi gelap. Kalau pandangan diarahkan ke bawah jendela kelihatanlah embun beku seperti agar-agar di atas penyangga bunga seruni yang sudah mati. Tapi terus-menerus kedengaran suara salju mencair mengalir pada talang.
Pada malam itu tidak turun salju tapi hujan setelah hujan es. Pada malam sebelum pulang, ketika warna bulan sangat jernih dan setelah udara menjadi sangat dingin, Shimamura memanggil lagi Komako dan ketika itu, wanita tersebut tetap bersikeras untuk berjalan-jalan, walaupun sudah hampir pukul sebelas malam. Ia menghela Shimamura dengan kasar dari kotatsu dan secara paksa menyeretnya ke luar.
Jalan sudah membeku. Kampung sudah tertidur di dasar udara dingin. Komako mengangkat ujung kimono dan menyelipkannya ke dalam obi-nya. Bulan jernih seolah-olah mata pisau di dalam es yang berwarna biru.
"Kita berjalan sampai stasiun."
"Gila engkau! Pulang-pergi empat kilometer!"
"Mungkin engkau mau pulang ke Tokyo, ya" Jadi saya mau melihat stasiun."
Shimamura betul-betul merasa kaku dari bahu sampai pahanya karena kedinginan.
Ketika kembali ke biliknya, sekonyong-konyong Komako kehilangan semangat dan ia menundukkan kepala, sedang tangannya dimasukkan dalam-dalam ke dalam kotatsu dan tidak pula mau mandi seperti biasanya.
Waktu Shimamura kembali dari mandi, Komako tetap menundukkan kepala di samping kotatsu dan di sebelahnya telah tergelar sebuah futon yang bagian atasnya berangkap dengan futon-kotatsu yang dibiarkan tetap terpasang dan yang alasnya sampai pada tepi lubang kotatsu.
"Mengapa engkau?"
"Mau pulang." "Jangan tolol."
"Tidurlah, tidak usah pedulikan saya. Saya mau terus begini." "Bagaimana engkau bisa pulang?"
"Tidak mau pulang. Saya akan di sini sampai fajar menyingsing."
"Jangan begitu, jangan bikin pusing."
"Saya tidak bikin pusing. Saya sekali-kali tidak bikin pusing." "Lalu?"
"Ngngh. Ngngh. Saya merasa kurang enak."
"Oh, itu sebabnya. Terserah, engkau boleh di sini tenis," kata Shimamura sambil tersenyum dan meneruskan, "Aku tidak akan berbuat apa-apa."
"Ya." "Engkau bodoh berjalan grasah-grusuh."
"Mau pulang." "Tidak usah." "Saya merasa nelangsa. Pulanglah engkau ke Tokyo, gih! Saya merasa nelangsa," kata Komako sambil meniarapkan wajahnya di atas kotatsu dengan perlahan-lahan.
Perasaan nelangsa itu mungkin merupakan kesepian hati yang timbul dari kecemasan kalau-kalau ia akan terjerumus ke dalam hubungan yang terlalu jauh dengan seorang pelancong. Atau kepedihan hatinya untuk tetap menahan diri dalam keadaan seperti itu. Untuk beberapa lama Shimamura diam saja memikirkan bahwa perasaan wanita itu sudah sejauh itu.
"Pulanglah sekarang."
"Sebetulnya saya bermaksud mau pulang besok."
"Oh! Mengapa?" kata Komako sambil mengangkat muka seakan-akan baru saja terjaga.
"Karena saya tidak bisa berbuat apa-apa untukmu berapa lama pun saya tinggal di sini."
Komako yang memandang Shimamura dengan acuh tak acuh tiba-tiba berkata dengan suara keras.
"Jangan berkata begitu! Jangan berkata begitu!" lalu ia bangkit seperti tidak sabar lagi dan tiba-tiba merangkul leher Shimamura dan meneruskan seolah-olah tidak bisa mengendalikan diri lagi, "Jangan berkata begitu! Bangun! Bangun, saya bilang!" dan sambil menyemburkan kata-kata itu ia terjatuh gila-gilaan, lupa akan badannya yang merasa kurang enak.
Lalu ia membuka matanya yang basah hangat.
"Betul-betul pulang besok, ya," katanya dengan tenang dan dipungutnya beberapa helai rambut.
Keesokan harinya ketika Shimamura bertukar pakaian hendak berangkat dengan kereta api pukul tiga sore, kepala pelayan penginapan dengan diam-diam memberi isyarat kepada Komako supaya keluar ke lorong. Terdengar Komako menjawab "Kira-kira sebelas jam". Barangkali kepala pelayan itu berpikir kalau dihitung enam atau tujuh belas jam akan terlalu banyak.
Ketika Shimamura melihat rekening ternyata semuanya dihitung menurut jam, yaitu ketika ia pulang pukul lima pagi dihitung sampai pukul lima saja, kalau pulang pukul dua belas sampai pukul dua belas saja.
Komako mengenakan mantel dan syal putih dan mengantarkannya sampai stasiun.
Shimamura membeli asinan matatabi, kalengan nameko dan lain-lain sebagai oleh-oleh untuk menghabiskan waktu, tapi masih ada kira-kira dua puluh menit lagi, jadi mereka berjalan-jalan di lapangan yang agak ketinggian di depan stasiun, dan ketika Shimamura memandang sambil berpikir bahwa tempat itu tanah yang sempit dikelilingi gunung salju, rambut Komako yang luar biasa hitam kelihatan mengibakan karena keadaan gunung sepi yang tidak terkena sinar matahari.
Di lereng gunung di hilir sungai yang jauh, entah apa sebabnya ada sebagian yang terkena sinar matahari yang lembut.
"Sejak saya datang, bukankah banyak salju mencair?"
"Tapi kalau salju turun selama dua hari, akan bertimbun sampai kira-kira dua meter. Dan kalau terus turun juga, lampu pada tiang listrik itu akan tenggelam ke dalam salju. Jadi kalau saya berjalan sambil melamun tentang kau, leher saya akan tersangkut kawat listrik dan saya akan tcrluka."
"Begitu tinggi timbunannya?"
"Kata orang di SMA di kota sebelah sana, kalau salju turun banyak pada pagi hari, murid-murid bertelanjang terjun ke dalam salju dari jendela tingkat dua asrama, lalu tubuhnya tenggelam dalam salju sehingga tidak kelihatan. Lalu mereka berjalan seperti berenang di dasar salju bagaikan berenang dalam air saja. Lihatlah, itu ada juga kereta penyibak salju."
"Saya mau datang ke sini untuk menikmati pemandangan salju pada tahun bani, tapi saya kira rumah-rumah penginapan penuh dengan tamu. Bukankah kereta api terbenam di dalam longsor salju?"
"Engkau orang yang hidup mewah, ya. Engkau selalu begitu?" kata Komako sambil memandang wajah Shimamura, tapi meneruskan lagi, "Mengapa tidak memelihara kumis?"
"Ya, saya kira saya mau memeliharanya," kata Shimamura sambil mengelus bagian muka yang berwarna kebiruan sehabis dicukur, ia berpikir bahwa ada sebuah kerut yang bagus di ujung mulutnya menyebabkan pipinya yang lunak tampak tajam dan mungkin karena itu Komako juga memandangnya lebih daripada yang sebenarnya. Lalu Shimamura berkata lagi,
"Kalau engkau, apabila kau bersihkan bedakmu, wajahmu seperti yang baru habis dicukur saja."
"Ada burung gagak yang menyeramkan berbunyi. Di mana itu" Saya dingin," kata Komako sambil menengadah ke arah langit dan menekankan kedua belah siku pada samping dadanya.
"Bagaimana kalau kita berdiri dekat pemanas di ruang tunggu?"
Ketika itu ada orang yang datang tergopoh-gopoh berlari di jalan lebar yang menyimpang dari jalan raya ke arah stasiun, ternyata Yoko yang mengenakan sanpaku.
"Aaaaa! Koma-chan! Yukio-san, Koma-chan!" teriak Yoko terengah-engah dan berkata sambil memegang bahu Komako seperti seorang anak yang baru terlepas dari bahaya merangkul ibunya. "Cepat pulang! Keadaan gawat. Cepat pulang!"
Komako memejamkan mata seolah-olah menahan sakit pada bahu, dan seketika itu juga menjadi pucat tapi di luar dugaan Shimamura ia menggelengkan kepala dengan keras.
"Saya tidak bisa pulang karena sedang mengantarkan tamu." Shimamura terkejut dan berkata.
"Mengantarkan" Tidak usah."
"Tidak boleh tidak usah. Saya tidak tahu apakah engkau akan datang ke sini lagi atau tidak."
"Datang. Pasti datang."
Yoko berkata dengan gugup seolah-olah tidak mendengar sama sekali percakapan mereka.
"Tadi saya menelepon ke rumah penginapan, tapi mereka bilang sudah pergi ke stasiun, jadi cepat-cepat terbang ke sini. Yukio-san memanggil," dan Yoko menghela Komako, tapi Komako tetap bertahan, namun ia berkata tiba-tiba saja sambil menghalaunya.
"Tidak mau." Yang terhuyung dua-tiga tindak ialah Komako. Dan ia seolah-olah mau muntah tetapi tidak ada yang keluar dari mulutnya dan ekor matanya menjadi basah dan pipinya seperti kulit burung yang habis dibului.
Yoko tercengang dan berdiri kaku sambil menatap Komako. Tapi wajahnya sedemikian sungguh-sungguh, sehingga tidak jelas apakah ia marah, kaget ataukah sedih, malah kelihatan polos bagaikan topeng.
Dan ia berpaling kepada Shimamura dengan wajah seperti itu lalu tiba-tiba berkata sambil menggenggam tangannya.
"Oh, maaf, tapi suruhlah dia pulang. Suruh dia pulang," demikian ia mendesaknya dengan nada tinggi yang sungguh-sungguh.
"Ya, aku suruh pulang dia," kata Shimamura dengan suara keras: "Cepat pulang! Tolol!"
"Apakah engkau berhak bilang begitu?" kata Komako sambil melepaskan dan mendorong Shimamura dari Yoko dengan tangannya. Ketika Shimamura mau menunjuk ke arah mobil yang terletak di depan stasiun, ia merasa ujung jarinya kaku karena digenggam oleh Yoko sekuat tenaga, tapi ia berkata,
"Aku segera akan menyuruh dia pulang dengan mobil itu, jadi lebih baik engkau pulang saja lebih dahulu. Jangan ribut di sini, orang-orang pada melihat."
Yoko mengangguk. "Cepat, ya! Cepat, ya!" demi berkata begitu dia berpaling dan berlari membelakangi mereka"betul-betul di luar harapan
Shimamura"tapi sementara Shimamura menatapi sosok tubuhnya yang semakin menjauh, terlintas dalam hatinya pertanyaan yang tidak seyogyanya timbul dalam keadaan seperti itu, mengapa gadis itu selalu bersungguh-sungguh.
Suara Yoko yang begitu indah sehingga mengharukan masih mengiang dalam telinga Shimamura seolah-olah bergema kembali dari gunung-gunung salju entah di mana.
"Mau ke mana?" kata Komako sambil menarik kembali Shimamura yang mau pergi mencari sopir mobil. "Tidak. Saya tidak mau pulang."
Tiba-tiba timbullah pada Shimamura perasaan benci yang bersifat jasmaniah terhadap Komako.
"Aku tidak tahu entah apa yang ada di antara kamu bertiga, tapi laki-laki itu mungkin sekarang meninggal. Karena itu dia ingin sekali bertemu dengan engkau dan ia datang menjemputmu. Pulanglah. Nanti engkau menyesal seumur hidup. Sementara kita berbicara, siapa tahu dia sudah mendahului. Janganlah bersikeras, ikhlaskan saja semuanya."
"Bukan begitu. Engkau salah paham."
"Bukankah dia satu-satunya orang yang mengantarkanmu ketika engkau dijual ke Tokyo" Bagaimana pikiranmu maka engkau tidak mau berpamitan untuk kali yang terakhir dengan orang yang kau tuliskan pada halaman pertama buku harianmu yang paling tua" Kau mesti pergi untuk menuliskan dirimu pada halaman terakhir nyawa laki-laki itu."


Daerah Salju Karya Yasunari Kawabata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak mau. Saya tidak mau melihat orang meninggal." Perkataan itu"terdengarnya oleh Shimamura"menunjukkan perasaan tidak tahu belas kasihan atau mungkin cinta yang terlalu dalam sehingga Shimamura bingung.
"Saya tidak bisa lagi menulis catatan harian. Saya mau bakar semua," gumam Komako dan entah apa sebabnya pipinya menjadi merah. "Engkau orang yang tulus ikhlas, ya. Kalau betul-betul engkau tulus ikhlas, lebih baik saya kirimkan semua catatan harian itu kepadamu. Engkau tidak menertawakan saya, kan" Saya kira engkau orang yang tulus ikhlas."
Shimamura, entah apa sebabnya, merasa terharu dan ia jadi berpikir ya betul, tidak ada orang yang setulus aku, sehingga ia tidak bisa lagi menyuruh Komako pulang. Komako juga jadi diam-diam saja.
Dari tempat perwakilan rumah penginapan, keluar kepala pelayan yang memberi tahu bahwa para penumpang sudah boleh masuk.
Hanya empat atau lima orang setempat yang berpakaian musim dingin yang menyeramkan, naik dan turun dengan diam-diam saja.
"Saya tidak masuk ke peron. Selamat jalan," kata Komako sambil terus berdiri di balik jendela ruang tunggu. Jendela kaca tertutup. Kalau dilihat dari dalam kereta api, seperti buah yang tersisa di dalam kotak kaca yang sudah berdebu di toko buah-buahan di kampung yang sepi.
Segera setelah kereta api mulai bergerak kaca ruang tunggu kelihatan bersinar dan wajah Komako timbul dalam cahaya itu bagaikan menyala, tapi seketika itu juga hilang dan pipinya merah seperti pada kaca salju waktu pagi tempo hari. Warna perpisahan Shimamura dari kenyataan.
Ketika keluar dari terowongan panjang setelah naik di gunung daerah perbatasan dari sebelah utara, kereta api yang sudah usang yang seolah-olah menanggalkan kepompongnya yang terang di dalam terowongan, meluncur menuruni lembah di mana sudah kelihatan warna senja di antara puncak-puncak gunung yang berangkap-rangkap seolah-olah cahaya samar sore hari musim dingin terhisap ke dalam kegelapan bumi. Di sebelah sini belum ada salju.
Menyusuri aliran sungai, begitu masuk tanah datar kelihatanlah bulan yang baru dicelup di atas gunung yang puncaknya tajam seperti diiris-iris secara sembarangan dan lerengnya yang indah memanjang sampai kaki gunung yang jauh. Seluruh gunung itu, satu-satunya pemandangan di tanah datar itu, adalah lukisan yang nyata kentara berwarna biru tua pada latar langit senja yang berwarna samar. Bulan masih berwarna tipis dan tidak jernih dan dingin seperti pada malam musim dingin. Di langit tidak ada seekor burung pun yang terbang. Kaki gunung memanjang ke kiri-kanan tanpa terhalang apa pun dan di tempat ia bersentuhan dengan tepi sungai ada gedung putih yang mungkin pusat pembangkit tenaga listrik. Gedung itu agaknya terlambat ditutupi warna senja di dalam pemandangan musim dingin pada jendela kereta api itu.
Jendela juga mulai beruap karena alat pemanas yang memakai uap dan tanah datar yang mengalir di luar jendela menjadi semakin gelap, mulai terbayang samar-samar penumpang-penumpang pada kaca. Itu juga permainan kaca pada pemandangan senja tempo hari. Kereta api itu barangkali terdiri atas tiga-empat gerbong model lama yang sudah lama dipakai dan warnanya sudah luntur seperti kereta api di negeri lain dibandingkan dengan jalur Tokaido. lampunya juga gelap.
Shimamura seolah-olah naik sesuatu di luar kenyataan, tidak ingat lagi akan waktu dan jarak, dan ketika ia jatuh ke dalam keadaan lupa diri, seolah-olah tubuhnya saja yang diangkut tanpa tujuan, bunyi derak-derik roda yang bernada tunggal mulai kedengaran bagaikan perkataan wanita itu.
Perkataan itu patah-patah dan pendek tapi merupakan bukti bahwa wanita itu sekuat tenaga berusaha hidup sungguh-sungguh sehingga Shimamura merasa agak pedih mendengarnya, karena itu, tak dapat melupakannya tapi bagi dia yang semakin menjauh, perkataan itu berubah menjadi suara yang sayup yang agaknya hanya menambah ragam perasaan yang biasa dialami orang dalam perjalanan.
Siapa tahu pada saat ini Yukio sudah menghembuskan napas terakhir. Entah apa sebabnya Komako bersikeras tidak mau pulang, sehingga entah sempat entah tidak ia bertemu dengan Yukio yang akan meninggal.
Penumpang dalam kereta api itu begitu sedikit, menyeramkan.
Seorang laki-laki berusia lebih dari lima puluh yang berwajah merah dan seorang gadis duduk berhadapan dan asyik berbicara. Gadis itu mengenakan syal hitam yang melingkari bahunya yang berdaging montok dan wajahnya berwarna darah seakan-akan menyala. Ia menjulurkan dada dan asyik mendengarkan dan menyahut dengan hati riang. Rupanya mereka berdua bepergian jauh.
Tetapi ketika kereta api berhenti di stasiun dari mana kelihatan cerobong pabrik pemintalan benang, si kakek itu tergopoh-gopoh mengambil yanagigori dari tempat barang dan menjatuhkannya ke peron melalui jendela.
"Nah, saya turun. Kalau ada kesempatan lagi kita bisa bertemu, ya," katanya sambil turun meninggalkan gadis itu.
Sekonyong-konyong Shimamura merasa air matanya tergenang, sehingga ia sendiri terperanjat. Dan ia semakin dalam merasa bahwa ia dalam perjalanan pulang sehabis berpisah dengan wanita itu.
Sama sekali tidak terlintas pada pikirannya bahwa mereka berdua kebetulan saja naik sama-sama. Mungkin laki-laki itu seorang pedagang keliling atau semacamnya.
BAGIAN KEDUA SEKARANG SUDAH masuk musim serangga ga bertelur, jadi jangan biarkan baju tergantung pada iko atau dinding, begitu kata istrinya ketika ia berangkat dari rumahnya di Tokyo. Ketika sampai, betul-betul ia menemukan enam atau tujuh ekor serangga ga besar warna jagung menempel pada lampu perhiasan yang tergantung di tepi cucuran atap bilik penginapan. Pada iko dalam bilik tiga jo di sebelah ada juga menempel serangga ga yang kecil tapi berperut besar.
Pada jendela masih terpasang ram kawat untuk mencegah serangga musim panas. Pada ram kawat itu juga ada menempel seekor serangga seperti melekat saja. Sepasang sungutnya yang berwarna coklat menjulur seperti bulu kecil. Tetapi sayapnya berwarna hijau muda seperti bening. Serangga itu sayapnya sepanjang jari wanita. Gunung-gunung di daerah perbatasan yang kelihatan di sebelah sana sedang tersinari matahari yang condong dan berwarna musim rontok, sehingga bintik yang berwarna hijau muda itu seperti maut. Sayap depan dan sayap belakang yang rangkap berwarna hijau tua. Ketika ditiup angin musim rontok, sayap itu menggeletar seperti kertas tipis.
Shimamura bangkit untuk melihat apakah dia masih hidup ataukah tidak dan menjentiknya dari dalam ram kawat itu, tapi serangga itu tetap tidak bergerak. Ketika didorong dengan tinjunya, serangga itu terjatuh seperti sehelai daun pohon, tapi sebelum sampai ke tanah ia terbang dengan mudahnya.
Ketika Shimamura melayangkan pandangnya dengan cermat, maka di depan rimba pohon sugi mengalirlah kawanan capung begitu banyaknya sehingga tak terhitung lagi. Rupanya seperti watage tanpopo yang terbang.
Sungai di kaki gunung tampaknya mulai mengalir dari pucuk pohon sugi.
Shimamura tak jemu-jemunya memandang bunga seperti shirahagi sedang pada berkembang dan menyinarkan warna perak di lereng gunung yang agak tinggi.
Ketika Shimamura kembali dari mandi, ia melihat seorang wanita Rusia pedagang keliling duduk di genkan. Shimamura heran memikirkan wanita itu datang ke kampung sejauh ini, lalu berjalan mendekatinya. Barang-barang dagangannya ternyata alat-alat kosmetik atau perhiasan rambut buatan Jepang yang biasa saja.
Rupanya ia sudah berusia di atas empat puluh dan kulit mukanya sudah agak berkerut dan sedikit kotor seperti berdaki, tetapi bagian kulit lehernya yang besar yang kelihatan berlemak putih.
"Kau dari mana?" tanya Shimamura.
"Dari mana" Saya dari mana?" rupanya wanita Rusia itu kebingungan menjawab dan berpikir-pikir sambil mengemasi barang-barangnya.
Roknya yang bagaikan gulungan kain yang kotor tidak kelihatan lagi seperti pakaian Barat, tetapi sudah seperti pakaian Jepang saja dan ia pulang sambil menggendong bungkusan furoshiki yang besar. Namun begitu ia masih memakai sepatu.
Ketika Shimamura sampai di tempat penerimaan tamu diajak oleh istri pemilik rumah penginapan yang melepas wanita itu bersamanya, ia melihat seorang wanita yang tubuhnya besar duduk di dekat perapian membelakanginya. Wanita itu bangkit sambil memegang ujung kimono-nya. Ia mengenakan jnontsuki yang hitam.
Dia seorang geisha yang pernah dilihatnya karena ia tampak bersama Komako dalam foto reklame lapangan ski, mengenakan alat ski dengan memakai sanpaku kain katun di atas pakaian zashiki. Usianya sudah lanjut, montok, penyabar, dan peramah.
Pemilik rumah penginapan sedang menghangatkan bakpau yang besar berbentuk lonjong di atas supit api yang ditaruh melintang di atas perapian.
"Bagaimana kalau Tuan coba ini sebuah" Silakan, karena ini dari upacara selamatan pengunduran diri seorang geisha"
"Wanita tadi itu yang mengundurkan diri?"
"Ya." "Dia seorang geisha yang baik, ya."
"Karena sudah habis masa kontraknya, ia datang menyampaikan terima kasih. Ia geisha yang laku sekali."
Ketika Shimamura menggigit bakpau yang panas sambil menghembus-hembus, ternyata kulitnya sudah keras dan berbau sedikit apak.
Di luar jendela kelihatan buah kesemek yang merah ranum tertimpa sinar matahari condong di barat, dan sinar itu terasa masuk sampai zizaikagi yang terbuat dari bambu.
"Itu yang panjang sekali, susuki, bukan?" kata Shimamura tercengang melihat ke arah jalan menurun. Susuki itu dua kali tinggi si nenek yang menggendongnya. Tangkai bunganya juga panjang.
"Bukan. Itu kaya."
"Oh, itu kaya, ya" Oh, itu kaya, ya."
"Ketika diselenggarakan pameran mata air panas oleh Kcmenterian Kereta Api, dibikin bangunan kecil untuk beristirahat atau untuk upacara minum teh yang atapnya terbuat dari kaya di sini. Kata orang, ada orang Tokyo yang membeli bangunan itu untuk upacara minum teh itu selengkapnya."
"Itu kaya, ya," gumam Shimamura seolah-olah kepada dirinya sendiri. "Yang berkembang di gunung itu, kaya, ya" Saya kira bunga hagi"
Yang pertama sekali tampak oleh Shimamura ketika turun dari kereta api ialah bunga putih di gunung itu yang pada berkembang di lereng yang curam di dekat puncak dan berkilauan warna perak, merupakan sinar matahari musim rontok itu sendiri yang turun ke atas gunung, "ah" ia terharu. Ia menganggapnya sebagai bunga hagi putih.
Kalau dilihat dari dekat, kaya itu sangat perkasa dan berbeda sekali daripada bunga yang kelihatan jauh di gunung dan yang menimbulkan rasa sentimental. Ikatannya yang besar-besar menyembunyikan seluruh tubuh wanita-wanita yang menggendongnya, berkrasak-krasak bersentuhan dengan tembok batu di scbelah-menyebclah jalan. Tangkai bunganya juga kukuh kuat.
Ketika Shimamura kembali ke kamarnya, ia menemukan serangga yang berperut besar itu sedang berjalan sambil bertelur pada iko yang berwarna hitam di kamar sebelah yang agak gelap dengan lampu sepuluh watt. Serangga-serangga di tepi cucuran atap terbang menubruk lampu hias.
Ada serangga-serangga yang sudah asyik bernyanyi sejak siang hari.
Komako datang agak terlambat.
Ia berdiri di lorong rumah penginapan dan berkata sambil menatapi Shimamura tepat dari arah depan.
"Engkau mau apa" Engkau mau apa datang ke tempat seperti ini?"
"Mau bertemu dengan kau."
"Itu bukan maksudmu. Saya tidak suka orang Tokyo, karena suka berbohong."
Lalu ia berkata sambil duduk dengan suara rendah dan lembut.
"Saya tidak mau lagi mengantarkan. Saya mengalami perasaan yang tak terkatakan."
"Oh, lain kali aku akan pulang dengan diam-diam."
"Bukan begitu. Maksud saya, saya tidak mau pergi sampai stasiun."
"Bagaimana jadinya dengan orang itu?"
"Memang meninggal."
"Ketika engkau masih ada di stasiun?"
"Tapi itu soal lain. Sebelumnya saya tidak tahu bahwa mengantarkan orang itu begitu memedihkan."
"Ya " "Mengapa engkau tidak datang pada tanggal empat belas bulan Februari" Kau pembohong! Saya lama menunggu-nunggu. Saya tidak percaya lagi pada apa yang kaukatakan."
Pada tanggal empat belas Februari ada perayaan Mengusir Burung. Semacam acara tahunan anak-anak yang cocok untuk daerah salju. Sejak sepuluh hari sebelumnya anak-anak di kampung menginjak-injak salju dengan sepatu jerami supaya menjadi keras, lalu papan salju itu dipotong-potong berbentuk persegi enam puluh sentimeter, kemudian disusun bertingkat menjadi bangunan salju. Bangunan salju yang berukuran kira-kira enam meter persegi itu tingginya tiga meter. Pada malam tanggal empat belas mereka mengumpulkan shimenawa dari rumah-rumah dan membakarnya di depan bangunan salju itu. Karena tahun baru di kampung itu dirayakan pada tanggal satu bulan Februari, shimenawa masih ada. Lalu anak-anak naik ke atas atap bangunan salju itu, kemudian menyanyikan lagu mengusir burung sambil dorong-mendorong dan sikut-menyikut. Kemudian mereka masuk ke dalam bangunan salju itu, terus memasang lilin dan bermalam di situ. Kemudian sekali lagi mereka menyanyikan lagu mengusir burung itu di atas bangunan salju pada pagi tanggal lima belas.
Kira-kira pada waktu itulah mungkin salju paling tebal, jadi Shimamura berjanji untuk datang menyaksikan perayaan Mengusir Burung itu.
"Pada bulan Februari saya pulang ke rumah sendiri. Saya cuti. Saya kembali pada tanggal empat belas karena yakin engkau pasti datang. Kalau tahu engkau tidak datang, lebih baik saya merawatnya lebih lama."
"Ada orang yang sakit?"
"Guru saya yang pergi ke kota pelabuhan jatuh sakit paru-paru. Ada telegram untuk saya ketika saya di rumah, jadi saya pergi merawatnya."
"Ia sembuh kembali?"
"Tidak." "Saya berdosa," kata Shimamura seperti meminta maaf karena tidak menepati janji dan juga seperti menyatakan bela sungkawa atas meninggalnya guru tari itu.
"Ah, tidak," kata Komako sambil menggelengkan kepala tiba-tiba dengan lemah dan menyapu meja dengan sapu tangannya. "Wah, banyak sekali serangga."
Di atas meja makan sampai di atas tatami berjatuhan serangga yang bersayap kecil. Dan banyak juga semacam laron kecil terbang mengelilingi lampu listrik.
Pada ram kawat juga di sebelah luar menempel berserakan berjenis-jenis serangga dan kelihatan seperti terapung di dalam sinar bulan yang jernih. "Saya sakit lambung. Saya sakit lambung," kata Komako sambil menyelipkan kedua belah tangannya ke dalam obi, lalu meniarap ke atas pangkuan Shimamura.
Di atas lehernya yang berbedak tebal kelihatan dari leher kimono-nya yang longgar, segera berjatuhan serangga-serangga yang lebih kecil daripada nyamuk. Ada juga yang begitu saja mati dan tidak bisa bergerak lagi.
Pangkal lehernya tampak lebih gemuk daripada tahun yang lalu dan berlemak. Menurut dugaan Shimamura ia sudah mencapai umur dua puluh satu.
Ia merasa lututnya menjadi hangat dan agak lembab.
"Koma-chan, coba pergi ke kamar Tsubaki, demikian kata mereka sambil menyeringai di tempat menerima tamu. Saya tidak suka hal seperti itu. Ketika saya kembali dari mengantarkan Kakak dengan kereta api, saya mau pulang dan tidur-tiduran, mereka bilang ada telepon dari sini, sebetulnya saya tidak mau karena lelah. Tadi malam saya terlalu banyak minum. Ada pertemuan perpisahan untuk kakak itu. Mereka di tempat menerima tamu hanya tertawa saja, tahu-tahu engkau yang ada di sini. Baru sesudah setahun engkau datang. Engkau orang yang datang setahun sekali?"
"Bakpau itu aku juga makan."
"Oh, ya?" kata Komako sambil membalikkan dada. Bagian mukanya yang ditekankan kepada pangkuan Shimamura menjadi merah dan tiba-tiba saja ia tampak seperti kanak-kanak.
Ia berkata bahwa ia mengantarkan geisha yang lanjut usianya itu sampai dua stasiun.
"Saya jengkel sekarang. Kalau dulu orang segera mencapai kata mufakat, sekarang semakin tampak sifat individualistis dan setiap orang memperhatikan kepentingannya masing-masing saja. Berubah sekali. Semakin bertambah orang yang tidak cocok tabiatnya. Saya merasa sepi kalau tidak ada Kakak Kikuyu. Dalam segala hal dialah yang menjadi pokok. Dan ia yang paling laku dan tidak pernah kurang dari enam ratus sehingga sangat dihargai di rumah induk semangnya."
Dikatakannya bahwa Kikuyu mau pulang ke kota kelahirannya setelah habis masa kontraknya, dan Shimamura bertanya apakah ia mau kawin ataukah meneruskan pekerjaannya atau semacamnya.
"Kakak itu patut dikasihani, ia pernah menikah tapi gagal, lalu datang kemari," kata Komako lalu ia menggumam, tapi kemudian berkata lagi sambil memandang ke ladang yang bertingkat-tingkat di bawah sinar bulan. "Di tengah jalan naik ada rumah yang baru dibangun, kan?"
"Ryoriya kecil yang bernama Kikumura?"
"Ya. Sebetulnya Kakaklah yang harus mengurusnya, tapi tidak jadi karena kekerasan tabiatnya. Betul-betul menjadi keributan, karena rumah itu sengaja dibangun untuknya, tetapi ketika saatnya tiba, ia menolak. Ada laki-laki lain yang sangat dia cintai dan dia bermaksud untuk kawan dengannya, tapi akhirnya ternyata dia ditipu. Kalau tergila-gila, orang memang menjadi begitu" Setelah dia ditinggalkan oleh laki-laki itu, dia segan untuk kembali mengurus ryoriya itu dan merasa sangat malu sehingga tidak mau terus tinggal di sini, maka ia bermaksud mencari uang lagi di tempat lain. Kami pun betul-betul tidak tahu, tapi rupanya ia punya macam-macam orang."
"Maksudmu laki-laki" Ada sampai lima orang?"
"Kira-kira begitu," kata Komako lalu senyum terkulum dan tiba-tiba saja ia berpaling. "Kakak juga seorang yang lemah. Lembek."
"Apa boleh buat."
"Bukankah betul begitu" Walaupun dicintai, seharusnya tidak usah ambil peduli."
Ia menggaruk kepalanya dengan kanzashi sambil menundukkan kepala.
"Saya merasa sangat pilu ketika mengantarkannya."
"Jadi bagaimana jadinya ryoriya itu?"
"Istri sah laki-laki itu datang dan mengurusnya."
"Lucu juga, ya, kalau istri sah datang mengurusnya."
"Karena semua sudah siap untuk dibuka, ryoriya itu. Bukankah tidak ada jalan lain" Istri sahnya pindah bersama semua anaknya."
"Jadi bagaimana dengan rumahnya sendiri?"
"Katanya ditinggali neneknya seorang diri. Suaminya petani, tetapi rupanya suka mengurus yang begitu. Memang dia orang yang menarik."
"Rupanya ia orang yang suka hidup bebas, tidak patuh pada pekerjaannya. Barangkali umurnya sudah lanjut, ya."
"Ia masih muda, kira-kira tiga puluh dua atau tiga puluh tiga tahun."
"Oh, ya" Kalau begitu ada kemungkinan gundiknya lebih tua daripada istrinya yang sah."
"Umur mereka sama. Dua puluh tujuh."
"Nama Kikumura barangkali diambil dari Kikuyu. Dan itu diurus oleh istrinya yang sah?"
"Mungkin papan reklame yang sudah diumumkan tidak bisa diganti."
Ketika Shimamura merapatkan kerah kimono-nya, Komako bangkit dan menutup jendela, lalu berkata,
"Kakak juga tahu dengan baik tentang kau. Hari ini juga dia bilang, "Tuan itu datang, ya?""
"Aku lihat dia ada di tempat penerimaan tamu untuk minta
diri." "Apakah ia mengatakan sesuatu kepadamu?"
"Tidak." "Engkau bisa mengerti perasaan saya?" kata Komako sambil membuka shoji yang bani ditutupnya lalu duduk seolah-olah mau merebahkan tubuhnya pada jendela. Beberapa lama kemudian Shimamura berkata,
"Cahaya bintang di sini sangat berlainan dengan di Tokyo. Betul-betul terapung di angkasa."
"Tidak begitu, karena malam ini terang bulan. Hebat sekali salju tahun ini."
"Saya dengar sering juga kereta api terhalang."
"Ya, menakutkan. Mobil baru boleh berjalan lagi satu bulan lebih lambat dari biasa, jadi baru bulan Mei. Kan, ada warung di tempat ski, suatu kali salju yang longsor menerobos tingkat kedua warung itu, tetapi orang-orang yang duduk di bawah tidak mengetahuinya dan ketika mendengar bunyi menggedebruk mereka mengira tikus ribut di dapur tapi ternyata tidak ada, lalu mereka naik ke tingkat dua yang ternyata sudah penuh dengan salju. Segala sesuatu termasuk amado terbawa oleh salju. Itu longsor salju lapisan atas dan hal itu disiarkan secara luas oleh radio, sehingga tidak ada pemain ski yang datang karena takut. Saya bermaksud tidak main ski lagi tahun ini dan pada akhir tahun yang lalu alat-alat ski sudah saya berikan kepada orang. Tapi pernah juga main ski dua-tiga kali. Apa saya tetap seperti dulu?"
"Bagaimana engkau setelah gurumu meninggal?"
"Jangan pikirkan perkara orang lain. Biar saja. Bulan Februari saya sudah di sini dan terus menunggumu."
"Kalau pulang ke kota pelabuhan, mengapa engkau tidak tulis surat memberitahukan hal itu?"
"Tidak mau. Hanya membuat nelangsa. Saya tidak mau tulis surat yang mungkin dibaca juga oleh istrimu. Hanya membuat nelangsa. Saya tidak mau berdusta hanya karena segan kepada istrimu."
Begitulah Komako berkata cepat-cepat dengan sengit seolah-olah mau memberondongkan kata-katanya. Shimamura hanya mengangguk-angguk.
"Engkau jangan duduk-duduk saja dikerumuni serangga, lebih baik matikan lampu."
Bulan begitu terang sehingga membuat bayangan nyata pada bagian-bagian telinga wanita itu yang melekuk atau menonjol. Begitu dalam masuknya, sehingga tatami terasa dingin dan berwarna biru.
Bibir Komako licin bagaikan lingkaran lintah yang indah.
"Jangan, biar saya pulang."
"Engkau tetap seperti dulu," kata Shimamura sambil agak mengangkat lehernya sedikit untuk melihat mukanya yang agak tinggi pada bagian tengahnya yang agak ganjil.
"Semua orang bilang saya tidak berubah sama sekali sejak saya datang ke sini waktu berumur tujuh belas tahun. Hidup saya juga selama ini tetap saja."
Masih nyata tertinggal kemerahan pada pipi yang biasa terdapat pada gadis-gadis di daerah utara. Pada kulitnya yang halus seperti geisha, sinar bulan itu berkilau seperti kerang.
"Tapi tahukah saya sudah pindah rumah?"
"Karena gurumu meninggal" Engkau tidak lagi tinggal di kamar ulat sutra itu, bukan" Rumah tempat tinggalmu sekarang betul-betul rumah geisha?"
"Betul-betul rumah geisha" Yah, ada juga dijual juadah dan rokok di situ. Dan hanya saya saja seorang. Saya betul-betul menerima upah dan kalau saya membaca buku malam hari, saya harus memasang lilin sendiri."
Shimamura tertawa sambil memeluk bahunya.
"Karena listriknya pakai meteran, saya tidak mau memakai listriknya secara sembarangan."
"Begitu?" "Tetapi orang-orang di rumah itu sangat menghargai saya, sehingga kadang-kadang saya berpikir apakah betul-betul saya ini mereka pekerjakan. Kalau anaknya menangis, ibunya segera menggendong anak itu ke luar karena segan pada saya. Saya tidak merasa kekurangan apa-apa, tapi yang saya tidak suka kalau mereka memasang futon tidak rapi. Kalau saya pulang lambat mereka sudah memasangnya. Futon yang bawah tidak rapi tertutup dan ada kalanya seprainya miring. Melihat hal itu saya suka sedih. Namun begitu, saya segan merapikannya karena saya berterima kasih atas kebaikan hatinya."
"Pasti engkau akan repot sekali kalau nanti berumah tangga." "Semua orang bilang begitu. Barangkali sudah menjadi tabiat saya. Di rumah ada empat orang anak kecil dan repot sekali, barang-barang selalu berantakan. Sepanjang hari saya tak berhenti mengaturnya. Saya tahu begitu selesai mengaturnya, akan segera berantakan lagi, tapi tak pula saya bisa membiarkannya. Saya mau hidup rapi sedapat mungkin, sejauh keadaan memberikan." "Ya, begitu."
"Engkau bisa mengerti perasaan saya?"
"Bisa." "Kalau bisa, coba katakan. Ayo, coba katakan," kata Komako tiba-tiba dengan suara yang terdorong karena mau menentang. "Lihat! Engkau tidak bisa bilang. Selalu berdusta. Engkau hidup mewah. Berlagak saja. Pasti tidak bisa mengerti," suaranya merendah dan meneruskan, "Saya sedih. Saya yang tolol. Engkau besok pulang saja."
"Walau engkau mendesakku, tidak dapat kukatakan dengan jelas."
"Mengapa tidak bisa" Itulah yang tidak baik dengan dirimu," kata Komako dengan suara tersumbat seakan bingung tapi lalu memejamkan mata diam-diam, lalu berkata dengan sikap seakan sudah mengerti bahwa Shimamura mungkin memahami dirinya.
"Datanglah setahun sekali, sudah cukup. Selama saya ada di sini, mesti datang setahun sekali."
Dia bilang bahwa ikatan kerjanya empat tahun.
"Ketika saya pulang ke rumah, mimpi pun tidak untuk bekeija lagi, dan alat ski juga sudah saya berikan kepada orang, tetapi yang dapat saya perbuat hanya menghentikan merokok saja."
"Ya, ya, saya ingat. Dulu engkau banyak merokok."
"Ya, karena saya masukkan ke dalam tamoto semua rokok yang diberikan oleh tamu-tamu, maka setiba di rumah banyak rokok saya peroleh dari dalam tamoto."
"Tapi empat tahun itu cukup lama, ya."
"Cepat juga berlalu."
"Hangat, ya?" kata Shimamura sambil memeluk Komako yang mendekatinya.
"Saya hangat sejak lahir."
"Hawa sudah dingin pada pagi dan malam, ya."
"Sudah lima tahun sejak saya datang di sini. Mula-mula saya sangat kesepian dan saya pikir saya mesti tinggal di tempat seperti ini. Sangat sepi juga sebelum ada kereta api. Sudah lewat tiga tahun sejak engkau datang ke sini."
Selama waktu kurang dari tiga tahun, ia sudah datang tiga kali dan Shimamura berpikir-pikir tentang bagaimana berubahnya situasi Komako setiap kali ia datang.
Kutsuwamushi tiba-tiba melengking berbunyi.
"Brengsek!" kata Komako sambil bangkit dari pangkuan Shimamura.
Bertiuplah angin utara dan serangga yang tadinya hinggap pada ram kawat sekaligus terbang semuanya.
Walaupun Shimamura sudah tahu bahwa mata Komako yang hitam dan kelihatan terbuka tipis itu sebetulnya adalah bulu mata tebal yang tertutup, ia tetap menatapnya dekat-dekat.
"Sejak berhenti merokok, saya agak gemuk."
Lemak perutnya sudah tebal.
Walaupun tidak terasa kalau hidup betjauhan, tetapi kalau sekali bergaul begini, maka segera timbul kembalilah kemesraan itu.
Komako berkata sambil menaruh tangannya pada dadanya perlahan-lahan.
"Hanya yang sebelah saja menjadi besar."
"Tolol! Mungkin orang biasanya hanya meraba yang sebelah saja."
"Oh! Brengsek. Bohong. Engkau memang selalu bikin jengkel," kata Komako yang tiba-tiba berubah. Shimamura teringat, inilah dia.
"Lain kali bilang supaya merata pada kedua-duanya."
"Merata" Aku mesti bilang merata?" kata Komako sambil mendekatkan wajahnya dengan lembut.
Kamar itu terletak di tingkat dua dan di sekitar rumah itu katak-katak besar merangkak sambil berbunyi. Bukan hanya seekor, tetapi rupanya dua-tiga ekor. Lama juga mereka berbunyi.
Ketika Shimamura naik sesudah mandi, Komako mulai mengisahkan riwayatnya sendiri dengan suara tenang dari hati yang betul-betul lega.
Ia pun mengisahkan tentang pengalamannya ketika pertama kali diadakan pemeriksaan badan ia hanya membuka bagian dada saja karena ia mengira sama halnya dengan ketika ia masih hangyoku, ia ditertawakan orang sehingga menangis. Ia berkata karena ditanya oleh Shimamura.
"Saya betul-betul selalu tepat. Setiap kali datang dua hari lebih cepat."
"Tapi untuk menghadiri perjamuan tidak ada soal, kan?"
"Tidak. Tapi engkau bisa tahu hal seperti itu?"
Ia setiap hari mandi di mata air panas yang termasyhur bisa membuat tubuh hangat. Dan kalau harus melayani di rumah penginapan mata air panas yang lama dan baru, terpaksa ia berjalan kira-kira empat kilometer, hidup di daerah pegunungan yang tidak usah bekeija sampai larut malam, sehingga ia menjadi gemuk tetapi kekar namun pinggangnya agak kecil seperti sering terdapat pada geisha. Ke samping kecil sekali, tetapi ke depan agak tebal. Namun demikian ia adalah wanita yang menarik bagi Shimamura, sehingga ia datang dari jauh dan hal itu menyebabkannya merasa pilu.
"Barangkali wanita seperti saya tidak bisa melahirkan anak," tanya Komako dengan sungguh-sungguh. Tapi ia berkata bukankah sama seperti suam-istri kalau bergaul tetap dengan seorang saja.
Shimamura baru tahu sekarang bahwa Komako punya orang seperti itu. Dikatakannya bahwa ia terus bergaul selama lima tahun sejak berumur tujuh belas. Sekarang nyatalah bagi Shimamura mengapa Komako bersikap acuh tak acuh dan tidak waspada yang diheraninya sejak dahulu.
Sesudah kematian orang yang memeliharanya ketika ia masih menjadi hangyoku, ia pulang ke kota pelabuhan, tetapi segera diminta oleh orang itu, mungkin karena itu Komako sejak dulu sampai sekarang tidak menyukai orang itu dan tidak bisa bersikap ramah kepadanya.
"Kalau bisa terus lima tahun, bukankah sudah cukup?"
"Sampai sekarang sudah ada dua kali kesempatan untuk berpisah dengan dia. Ketika saya menjadi geisha di sini, dan ketika saya pindah dari rumah guru ke rumah yang sekarang. Tapi saya tidak bertekad teguh. Saya betul-betul tidak punya tekad yang teguh."
Katanya orang itu ada di kota pelabuhan. Kalau Komako ditaruh di kota itu barangkali kurang baik, jadi ia dititipkan kepada guru yang pindah ke kampung itu. Katanya juga walaupun orang itu sangat baik hati kepadanya, namun ia satu kali pun tidak mau menyerahkan diri kepadanya, itu menyebabkannya merasa sedih. Katanya ia sangat jauh lebih tua daripadanya, sehingga jarang datang.
"Entah bagaimana caranya untuk memutuskan hubungan dengan dia, kadang-kadang saya berpikir akan berkelakuan tidak senonoh. Betul-betul saya berpikir begitu."
"Berkelakuan tidak senonoh itu tidak baik."
"Berkelakuan tidak senonoh, saya tidak bisa. Karena tabiat saya. Saya merasa sayang akan tubuh saya. Kalau mau saya bisa mempersingkat ikatan empat tahun itu menjadi dua tahun saja, tetapi saya tidak mau memaksa diri karena tubuh sayalah yang penting. Kalau saya memaksa diri bekerja berat, pasti akan banyak penghasilan saya. Karena sudah tetap masa ikatan kerjanya, asal tidak merugikan mereka. Berapa uang pokok yang dibagi oleh jumlah bulan, berapa bunganya, berapa pajaknya, dan berapa biaya hidup saya sendiri, maka sudah tetap uang yang saya perlukan setiap bulan, kau tahu, "kan" Saya tidak usah bekerja lebih dari itu. Kalau saya tidak suka karena pcijamuan itu sangat menjengkelkan, maka cepat saya pulang meninggalkannya atau kalau tidak ada telepon dari rumah penginapan, kalau tidak diminta oleh langganan yang baik, kalau sudah larut malam. Kalau saya mau, bisa hidup semewah-mewahnya, tetapi bisa hidup pas-pasan dengan penghasilan sekadarnya. Lebih dari setengah uang pokok itu sudah saya bayar. Belum lagi satu tahun. Namun demikian perlu juga tiga puluh yen sebulan untuk uang saku."
Katanya cukup juga kalau ia mendapat penghasilan seratus yen sebulan. Katanya geisha yang paling sedikit bulan lalu mendapat tiga ratus batang yang berarti enam puluh yen. Komako punya tempat peijamuan yang jumlahnya lebih dari sembilan puluh, yang berarti paling banyak dan karena ia bisa mendapat satu batang di setiap perjamuan, ia melayani berpindah-pindah, walaupun hal itu menyebabkan tuannya rugi. Katanya seorang pun tidak ada di tempat mata air panas itu yang menambah utang dan terpaksa bekeija lebih lama lagi dari ikatan kerjanya.
Keesokan paginya juga Komako bangun pagi-pagi.
"Saya terjaga ketika sedang bermimpi menyapu kamar guru merangkai bunga."
Di kaca rias yang dibawa ke dekat jendela terbayang gunung yang penuh dengan dedaunan yang menguning. Dalam cermin itu juga terang sinar matahari musim rontok.
Seorang anak perempuan warung juadah itu membawakan pakaian untuk salin Komako.
"Koma-chan" katanya, tapi itu bukanlah suara Yoko yang memanggil dari balik fusuma dengan suara yang begitu jernih sehingga menyedihkan.
"Bagaimana gadis itu jadinya?"
Komako sekilas melihat kepada Shimamura dan berkata,
"Kerjanya ziarah melulu. Di ujung kaki lapangan ski ada ladang soba yang berkembang putih. Di sebelah kirinya "kan ada kuburan?"
Setelah Komako pulang, Shimamura berjalan-jalan ke kampung.
Ada seorang gadis kecil yang memakai sanpaku yang terbuat dari kain flanel merah yang masih baru, sedang main bola-tepuk di bawah emper berdinding putih. Pemandangan betul-betul menimbulkan suasana seperti musim rontok.
Banyak rumah yang modelnya sudah kuno, mungkin dibangun pada masa Daimyo sering lewat di situ. Bagian atap yang menganjur dari dinding lebih panjang dari biasa. Jendela di tingkat dua tingginya hanya kira-kira tiga puluh sentimeter, tapi melebar. Pada ujung atap tergantung kerai yang terbuat dari kaya.
Ada pagar yang berupa dinding tanah yang di atasnya ditanami ito susuki. Tumbuhan itu sedang mekar berbunga yang berwarna kuning muda. Serumpun-serumpun daun-daunnya yang lancip berkembang indah seperti air mancur.
Orang yang memukul-mukul kacang merah di atas tikar yang terbentang di tepi jalan yang terkena sinar matahari adalah Yoko.
Biji kacang merah itu berloncatan keluar dari kulitnya yang kering bagaikan biji cahaya.
Barangkali ia tidak dapat melihat Shimamura karena memakai tudung handuk. Ia bersenandung dengan suara yang jernih, sehingga menyedihkan dan bergema sambil memukul-mukul kacang, duduk dengan lutut agak terbuka, memakai sanpaku.
"Kupu-kupu, capung, dan belalang
Cengkerik, riang-riang, gaang
berbunyi di gunung."
ADA SAJAK waka yang mengatakan bahwa besar sekali burung gagak yang terbang dari pohon sugi dalam angin petang, tetapi di depan hutan sugi yang tampak dari jendela ini, sekawanan capung terbang seperti arus. Semakin senja rupanya kecepatan renang terbangnya semakin meningkat.
Ketika berangkat, Shimamura membeli buku petunjuk tentang gunung-gunung di sekitar sini yang baru terbit. Ketika ia iseng-iseng membaca buku itu ditemukannya kalimat-kalimat yang mengatakan bahwa di dekat puncak salah sebuah gunung daerah perbatasan yang dapat dipandang dari kamar ini, ada lorong yang berliku-liku menyusuri kolam dan rawa yang indah, ada berbagai macam tumbuhan pegunungan tinggi yang berbunga di tanah lembab dan pada musim panas capung merah begitu asyik beterbangan dan begitu leluasa, sehingga hinggap pada topi, tangan orang, malah sampai pun pada bingkai kaca mata, berbeda jauh betul dengan capung-capung yang selalu dianiaya di kota-kota.
Tapi sekawanan capung di depannya tampak bagaikan dikejar-kejar. Kelihatan terburu-buru supaya jangan kehilangan tubuhnya ke dalam warna rimba pohon sugi yang semakin menjadi hitam mendahului datangnya senja.
Gunung-gunung di kejauhan kalau terkena sinar matahari petang jelas kelihatan menjadi menguning dari puncak.
"Manusia itu rapuh, ya. Hancur sama sekali dari kepala sampai tulang. Kalau beruang walaupun jatuh dari tempat yang lebih tinggi lagi, tubuhnya tidak terluka," demikian Shimamura teringat akan perkataan Komako tadi pagi. Komako berkata sambil menunjuk gunung tempat terjadi lagi kecelakaan, seseorang teijatuh dari dinding batu.
Kalau manusia kulitnya berbulu setebal dan sekeras beruang, mungkin nalurinya jauh berbeda. Manusia itu mencintai kulit yang tipis dan halus satu sama lain. Sementara Shimamura memandang gunung dalam cahaya matahari petang sambil berpikir begitu, ia merindukan kulit manusia secara sentimental.
Ada seorang geisha yang menyanyikan "Kupu-kupu, capung" itu diiringi petikan shamisen yang masih kaku pada waktu Shimamura makan malam yang agak lebih lekas dari biasa.
Dalam buku petunjuk tentang gunung itu terdapat karangan yang ringkas mengenai jalan naik dan perhitungan hari yang diperlukan, rumah-rumah penginapan dan ongkosnya, sehingga membuat pembacanya dapat membayangkan lebih bebas, dan perkenalan Shimamura dengan Komako yang pertama pun ialah tatkala ia turun ke kampung mata air panas ini sesudah beijalan-jalan di gunung yang penuh dengan daun-daun hijau yang baru pada kulit gunung yang di sana-sini masih bersalju, dan sementara ia memandang gunung-gunung yang pernah dijelajahinya, hatinya semakin tertarik kepada gunung karena sekarang sudah musim naik gunung musim rontok. Bagi Shimamura yang hidup tak terikat oleh pekeijaan itu, maka berjalan susah payah di gunung tanpa sesuatu tujuan merupakan contoh dari usaha yang sia-sia, tapi mungkin karena itu mempunyai daya tarik yang tidak nyata baginya.
Kalau sedang berjauhan sering pikirannya melayang kepada Komako, tetapi sekali datang ke dekatnya kerinduannya akan kulit manusia hasratnya mau naik gunung seolah-olah terasa sebagai mimpi yang sama, entah karena ia merasa leluasa entah karena sekarang sudah terlalu kenal akan tubuhnya. Atau mungkin karena Komako baru saja menginap tadi malam. Tapi kalau sedang duduk seorang diri dalam kesunyian ia tidak lain hanya berharap-harap dalam hati barangkali Komako akan datang meskipun tidak dipanggil, namun ia segera masuk futon untuk tidur ketika masih terdengar ribut suara belia para pelajar wanita yang berdarmawisata.
Rupanya tidak lama kemudian hujan shigure turun.
Keesokan paginya ketika terjaga ternyata Komako sudah duduk tegak di depan meja sambil membaca buku. Haori yang dikenakannya pakaian sehari-hari yang terbuat dari sejenis sutra.
"Sudah bangun?" katanya dengan tenang sambil melihat kepadanya.
"Di sini?" "Bangun?" Shimamura merasa sangsi, jangan-jangan dia menginap tanpa diketahuinya, dan sambil melihat berkeliling tempat tidurnya, ia mengambil arloji dan ternyata baru setengah tujuh. "Pagi-pagi sekali."
"Tapi pelayan wanita sudah datang mengantarkan api."
Ketel besi menyerubungkan uap seperti layaknya pada pagi
hari. "Bangunlah!" kata Komako sambil bangkit lalu duduk di dekat bantalnya. Tingkah lakunya tepat seperti seorang ibu rumah tangga. Shimamura menggeliat dan memegang tangan Komako yang terletak di atas lututnya lalu berkata sambil meraba-raba buku jarinya yang kapalan.
"Mengantuk. Bukankah fajar baru menyingsing?"
"Bisa tidur nyenyak sendirian?"
"H eh." "Engkau betul tidak membiarkan kumismu tumbuh."
"Ya, ya, aku ingat, engkau berkata begitu juga ketika kita berpisah dulu. Supaya kubiarkan kumis tumbuh."
"Tidak apa kau lupa. Engkau selalu bercukur bersih kebiruan." "Engkau juga kalau mencuci bedakmu bersih-bersih, wajahmu seperti baru dicukur."
"Saya kira pipinya menjadi agak gemuk. Kulitnya putih dan kalau dilihat sedang tidur agak janggal kalau tidak berkumis. Tampak bulat."
"Bukankah bagus karena halus dan lembut?"
"Tapi tidak gagah."
"Saya tidak suka. Kau memperhatikan saya selagi tidur?" "Betul," kata Komako sambil tersenyum dan tiba-tiba saja ia tertawa seperti api yang keluar dari senyumannya dan meneruskan perkataan seraya semakin kuat memegang jari Shimamura tanpa dia sadari. "Saya bersembunyi di dalam oshiire. Pelayan wanita itu tidak tahu sama sekali."
"Sejak kapan kau bersembunyi?"
"Baru saja, kan. Ketika pelayan mengantarkan api."
Rupanya ia tidak bisa menahan tawanya karena teringat akan perbuatannya tadi hingga menjadi merah padam sampai pangkal telinganya, dan berkata sambil mengibaskan ujung atas futon seperti mau menyembunyikan hal itu.
"Bangunlah! Saya minta, bangun!"
"Dingin," kata Shimamura sambil memeluk fiiton. "Orang-orang penginapan sudah bangun?"
"Tidak tahu. Saya naik dari belakang."
"Dari belakang?"
"Saya naik menempuh rimba pohon sugi."
"Ada jalan di situ?"
"Tidak ada, tapi lebih dekat."
Shimamura terperanjat dan melihat kepada Komako.
"Siapa pun tidak ada yang tahu bahwa saya ke sini. Kedengaran bunyi-bunyi di dapur, tetapi pintu genkan masih tertutup." "Engkau betul bangun pagi-pagi?"
"Tadi malam tidak bisa tidur."
"Tahukah ada hujan shigure turun?"
"Oh, ya. Karena itu daun bambu beruang di sana masih basah. Sekarang saya mau pulang. Tidurlah lagi."
"Aku bangun," kata Shimamura sambil memegang tangan wanita itu dan keluar dari tempat tidurnya dengan sigap. Terus mendekati jendela dan memandang ke bawah ke tempat yang katanya dia tempuh, tampak daun-daun bambu beruang yang memenuhi tanah di bawah naungan pohon-pohon rindang. Tempat itu merupakan lereng bukit yang menuju ke rimba pohon sugi dan di kebun tepat di bawah jendela penginapan ditanam sayur-sayuran seperti lobak, ubi jalar, bawang daun, talas, dan sebagainya yang tertimpa sinar matahari pagi dan menampakkan warna daunnya yang berbeda-beda dan hal itu menyebabkan Shimamura merasa baru pertama kali melihatnya.
Kepala Pelayan melemparkan makanan kepada ikan kancra yang merah di kolam dari gang yang menuju ke kamar mandi.
"Mereka kurang suka makan, mungkin karena sudah dingin," katanya kepada Shimamura dan untuk beberapa lama dia memandang makanan ikan yang berupa kepompong ulat kering yang dipotong-potong yang terapung-apung di atas air.
Komako duduk menanti, bersih dan rapi, lalu berkata kepada Shimamura yang baru kembali dari kamar mandi.


Daerah Salju Karya Yasunari Kawabata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Alangkah senangnya kalau saya menjahit di tempat setenang
ini." Kamar baru saja dibersihkan dan sinar matahari pagi musim rontok menerobos ke dalam ke atas tatami yang sudah agak usang.
"Bisa menjahit?"
"Brengsek! Saya yang paling prihatin di antara semua saudara saya. Sekarang saya tahu, kira-kira pada saat saya menjadi besar keadaan keluarga kami paling sengsara," katanya seolah-olah kepada dirinya sendiri tapi melanjutkan juga dengan suara yang tiba-tiba menjadi riang, "Pelayan wanita yang air mukanya aneh menanyakan "Kapan Koma-chan datang?" Susah juga, ya, karena saya tidak bisa menyembunyikan diri dua-tiga kali ke dalam oshiire. Saya mau pulang. Sibuk sekali. Karena tidak bisa tidur, sebetulnya saya mau mencuci rambut. Kalau tidak dicuci pagi-pagi benar, tidak akan sempat menghadiri perjamuan siang hari karena mesti menunggu rambut kering dan juga mesti pergi ke tukang andam rambut. Di sini juga akan ada perjamuan, tapi baru tadi malam saya diberi tahu. Saya sudah ada janji di tempat lain, jadi tidak bisa ke sini, dan sekarang hari Sabtu, sibuk sekali. Tidak bisa datang main-main."
Komako berkata begitu, namun tampaknya dia tidak mau bangkit.
Ia membatalkan rencana mencuci rambut dan mengajak Shimamura pergi ke halaman belakang. Di bawah lorong yang menghubungkan bilik dengan bilik terletak geta Komako dan tabi yang basah, mungkin dari situlah Komako tadi menyelinap.
Tampak tidak bisa dilalui rimbun daun-daun bambu beruang yang katanya tadi ditempuhnya, jadi mereka berjalan turun ke arah bunyi air menyusuri kebun dan ternyata tepi sungai itu merupakan tebing yang curam dan dalam dan terdengar suara anak-anak dari pohon saninten. Di atas rumput di bawah kaki mereka berserakan bola-bola buah saninten1. Komako menginjak bola buah saninten itu dengan geta, mengupas kulitnya. Ternyata bijinya kecil-kecil. Di lereng gunung yang curam di seberang sungai bergoyang-goyang bunga kaya yang mekar berkembang berwarna perak menyilaukan. Walaupun disebut menyilaukan, itu merupakan sesuatu yang hampa yang bening melayang dalam udara musim rontok. "Bagaimana kalau kita ke sana, melihat kuburan tunanganmu?"
Komako menegakkan tubuh dan menatap Shimamura lalu melemparkan biji saninten yang digenggamnya ke muka Shimamura. "Engkau menghina!"
Shimamura tidak sempat mengelak. Terdengar bunyi pada dahinya dan terasa sakit.
"Apa hubunganmu, maka engkau mau menonton kuburan itu?"
"Mengapa engkau marah?"
"Itu pun bagi saya merupakan hal yang sungguh-sungguh. Lain dengan orang yang hidup mewah seperti engkau!"
"Siapa yang hidup mewah?" gumamnya tidak berdaya.
"Kalau begitu, mengapa engkau menyebut "tunanganmu" Bukankah dulu sudah saya katakan bahwa kami tidak bertunangan" Sudah lupa?"
Shimamura bukannya lupa. "Mungkin ada saatnya guru tari saya itu menghendaki anak laki-lakinya menikah dengan saya. Tapi maksud itu hanya ada dalam hati saja, tidak pernah sekali pun diucapkan mulutnya. Maksudnya itu barangkali secara samar-samar diketahui juga oleh anaknya. Tapi di antara kami berdua tidak ada apa-apa. Kami hidup berpisah. Ketika saya dijual ke Tokyo, dia seorang saja yang mengantarkan saya."
Ia masih ingat akan ucapan Komako itu.
Ia menginap di tempat Shimamura, walaupun laki-laki itu sedang sekarat.
"Mengapa orang yang akan meninggal itu dapat menghalangi saya berbuat sesuka hati saya?" demikian pernah dikatakannya seolah-olah mau melontarkan dirinya.
Walaupun Yoko datang menjemput Komako ke stasiun untuk mengabarkan bahwa si sakit itu menjadi gawat keadaannya ketika Komako mengantarkan Shimamura, Komako tidak mau pulang dan karena itu agaknya dia tidak bisa menyaksikan orang itu meninggal, lebih-lebih karena itulah laki-laki yang bernama Yukio itu tidak bisa hilang dari ingatan Shimamura.
Komako selalu mau menghindar dari pembicaraan tentang Yukio. Walaupun mereka tidak bertunangan, ia menjadi geisha untuk menolong biaya perawatannya, jadi betul hal itu memang "sungguh-sungguh".
Meski dilempar dengan biji saninten, Shimamura tidak kelihatan marah, untuk beberapa lama Komako tampak sangsi, tiba-tiba berkata sambil menyandarkan diri pada Shimamura seolah-olah merobohkan diri.
"Engkau orang yang tulus ikhlas, ya. Mungkin engkau agak sedih."
"Ada anak-anak melihat dari atas pohon."
"Saya tidak bisa mengerti, orang Tokyo sangat rumit. Karena suasana ribut, maka perhatiannya terpecah-pecah."
"Segala sesuatu terpecah-pecah."
"Nanti jiwamu juga terpecah-pecah. Kita pergi melihat kuburan, ya."
"Baik juga." "Coba, engkau sama sekali tidak mau melihat kuburan, bukan?"
"Engkaulah yang selalu berprasangka."
"Sekali pun saya belum berziarah, karena itu saya berprasangka, betul, belum pernah. Sekarang sudah tertanam juga guru saya, maka saya merasa bersalah terhadap beliau, tetapi sudah begini mana bisa berziarah" Rasanya dibuat-buat."
"Engkaulah yang lebih rumit."
"Mengapa" Terhadap orang yang hidup saya tidak dapat bersikap tegas, jadi terhadap orang yang sudah meninggal saya mau bersikap tegas."
Melalui hutan sugi yang keheningannya seolah-olah menjadi tetesan dingin yang beijatuhan, mereka berjalan menyusuri jalan kereta api di ujung lapangan ski dan segera mencapai kuburan itu. Di sudut setumpuk tanah yang agak lebih tinggi dari pematang, tampak kira-kira sepuluh nisan yang sudah tua dan sebuah patung Bodisatwa terbuat dari batu. Patung itu telanjang dan kesepian. Tidak ada bunga.
Tetapi dari balik pohon di belakang patung itu tiba-tiba saja muncul Yoko. Ia memperlihatkan air muka begitu sungguh-sungguh bagaikan topeng seperti biasa dan menatap mereka seolah-olah menusuk dengan pandangan menyala. Ia mengangguk kaku kepada Shimamura lalu tertegun.
"Yoko-san sudah di sini" Ke tukang andam rambut saya...," tepat pada waktu itu tiba-tiba dia dan Shimamura mengerutkan tubuh seolah-olah diterjang angin kencang hitam yang datang mendadak.
Ternyata kereta api barang berlalu tepat di dekatnya.
"Kak!" teriakan itu keluar dari bunyi gemuruh itu. Seorang anak laki-laki melambaikan topi dari pintu gerbong barang yang hitam.
"Saichiro! Saichiro!" teriak Yoko.
Itu suaranya ketika memanggil Pak Sep di tempat sinyal dalam salju. Suara itu begitu indah sehingga menyedihkan seolah-olah memanggil orang di kapal di kejauhan yang tidak bisa tercapai.
Sesudah kereta api barang itu lewat, kelihatan jelas bunga soba di seberang jalan kereta api, seperti baru dibuka penutup matanya. Bunga itu sedang mekar berkembang di atas tangkai yang merah, tenang sekali.
Karena tanpa disangka-sangka bertemu dengan Yoko, mereka hampir tidak sadar akan kereta api yang mendekat itu, tapi kereta api itu lewat menderu menghembus segala sesuatu.
Dan sesudah itu terasa masih tinggal gaung suara Yoko, lebih daripada desah kereta api. Cinta yang murni rupanya akan kembali seperti gema.
Yoko berkata sesudah mengikuti kereta api dengan matanya.
"Saya mau ke stasiun karena adik saya naik kereta api itu."
"Tetapi kereta api itu tidak menunggu di stasiun," kata Komako sambil tertawa.
"Begitulah." "Saya tidak mau menziarahi kuburan Yukio-san."
Yoko mengangguk dan sebentar ia ragu tetapi berjongkok di depan kuburannya dan merangkapkan kedua belah tangan.
Komako terus tegak berdiri saja.
Shimamura berpaling dan melihat kepada patung itu. Patung itu bermuka tiga yang panjang dan selain sepasang lengan yang merangkapkan tangan di depan dada, masih mempunyai dua pasang tangan yang lain.
"Saya mau mcngandam rambut," kata Komako kepada Yoko, lalu berjalan di pematang menuju kampung.
Ada yang disebut hatte dalam bahasa setempat, yaitu alat untuk mengeringkan padi yang terbuat dari bambu seperti galah jemuran yang diikat pada batang pohon, beberapa tingkat dan kelihatan seperti sekatan padi yang tinggi, dan di tepi jalan yang mereka lalui, petani-petani sedang membikin hatte.
Seorang gadis yang mengenakan sanpaku melemparkan ikatan padi ke atas dengan sejenak memutarkan pinggangnya, lalu laki-laki yang memanjat tinggi di atas dengan cekatan menangkapnya, membagi dua ikatannya seperti menggosoknya dan menggantungkannya pada galah itu. Gerakan-gerakan yang rupanya sudah biasa itu terus diulanginya dengan teratur tanpa disadari.
Komako menating padi yang tergantung pada hatte itu di atas telapak tangannya, seolah-olah menimbang benda yang berharga dan berkata sambil menimang-nimangnya.
"Betul-betul bernas, hanya menjamahnya pun hati senang. Lain sekali dari tahun yang lalu." Lalu ia memicingkan mata seperti mau menikmati sentuhannya. Di udara sekawanan burung pipit terbang rendah berseliweran.
"Perjanjian tentang upah penanam padi. Sembilan puluh sen sehari dengan makan. Penanam wanita mendapat 60% dari upah itu."
Kertas pengumuman yang sudah tua masih menempel pada tembok di tepi jalan.
Di rumah Yoko juga ada hatte. Di tempat yang menjorok ke dalam dari kebun yang lebih rendah dari jalan, di bagian kiri pekarangan terpasang hatte yang tinggi tergantung pada deretan batang kesemek yang tumbuh sepanjang dinding rumah tetangga yang putih. Dan ada juga hatte di perbatasan kebun dengan pekarangan, membuat sudut siku-siku dengan hatte pada batang kesemek, dan ada tempat masuknya menyuruk di bawah hatte di ujung. Seperti pondok yang dindingnya terbuat dari hatte, bukan dari jerami seperti biasa. Di kebun ada bunga dahlia dan mawar yang sudah layu, dan di depannya daun talas mengembang dengan tegaknya. Kolam teratai tempat memelihara ikan kancra merah tidak kelihatan, terhalang oleh hatte itu.
Orang Orang Lapar 1 Wiro Sableng 162 Badai Laut Utara Dating With Dark 1

Cari Blog Ini