Ceritasilat Novel Online

Kolam Darah 3

Kolam Darah Karya Abdullah Harahap Bagian 3


Dan juga di dalam darahnya masih mengalir kekuatan
jahat dari para pendahulunya."
Anggadireja baru curiga setelah beberapa kali ia
mengalami mimpi buruk disanggamai oleh perempuan
renta berpenampilan liar dan menjijikkan. Tetapi
ketika ia membuka mata atau terjaga, yang dilihat
Anggadireja tengah menyetubuhi dirinya adalah sang
istri yang muda belia lagi cantik jeli?ta. Mimpi buruk
itu pernah sekali dua diutarakan Anggadireja pada
sang gundik. 176 9/25/2013 8:42:38 AM Dan jawaban Nyi Katon polos saja bahkan ceria,
"Namanya juga ? mimpi, bukan" Yang penting, kita
ber?dua sama-sama puas...!" Atau, yang bernada curiga,
"Jangan-jangan Akang salah memuja selagi bertapa!"
Tak mau dicurigai apalagi dibujuk supaya meng?
henti?kan tapa menyucikan diri, Anggadireja tak per?
nah lagi menyinggung mimpi buruknya pada Nyi
Ka?ton, meski sekali dua mimpi yang sama kembali
terulang. Dengan akhir yang sama pula: disanggamai
perempuan renta yang ketika terjaga ternyata yang
me?nyenggamai adalah sang istri muda jelita. Dan
entah mengapa, setiap ka?li mimpi itu ia pertanyakan
ke alam gaib selagi bertapa, yang muncul adalah ? ke?
gelapan yang sangat gulita serta terasa seperti me?
nyiksa. Disitulah Anggadireja mulai curiga.
Kecurigaannya kian bertambah setelah Nyi Katon
pada waktu-waktu tertentu sering meninggalkan ru?
mah tanpa pamit terutama setelah ia hamil. La?lu pu?
lang?nya, Nyi Katon tampak lebih cantik, lebih segar.
"Namanya juga habis menghirup udara segar,"
jawabnya jika ditanya. Dan kalau didesak ke mana ia
pergi mencari hawa segar yang ia sebutkan, Nyi
Katon akan marah-marah. "Yang menghendaki supaya
aku keluar, bukan diriku sendiri. Melainkan anakmu
di dalam kandunganku!"
Serta jawaban marah lainnya, yang sempat di?
anggap Anggadireja marahnya perempuan hamil.
i-Kolam Darah.indd 177 177 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 178 Belakangan, barulah Anggadireja menyadari bahwa
ia hanya memikirkan sang gundik seorang, lupa me?
mikirkan keberadaan penghuni lainnya di ru?mah
mereka. Yakni salah seorang dari sekian pelayan yang
mereka gaji, lelaki berusia renta dan dipanggil Ki
Martubi. Pelayan atau abdi paling setia Nyi Katon
Pemikat sebelum dan sesudah perempuan itu dijadi?kan
gundik sang Juragan Besar. Dari bisik-bisik pelayan
lainnya, Anggadireja akhirnya mengetahui bahwa pada
saat sang gundik menghilang tanpa pamit, Ki Martubi
diam-diam juga ikut pergi me?ninggalkan rumah.
Tak pelak lagi, abdi setia itu kemudian diinterogasi
oleh Anggadire?ja, tentu saja pada saat Nyi Katon
tidak di rumah. Mulanya si tua Martubi bungkam
seribu bahasa, dengan satu alasan kuat yang masuk
akal, "Tanpa se?izin atau sepengetahuan majikan saya,
saya tak akan berbicara!"
Lalu, terjadilah periatiwa kebetulan itu.
"Akulah majikanmu di sini!" teriak Anggadireja de?
ngan marah. Dan da?lam kemarahannya dengan kalap ia
menghunus keris Nagapati kesayangan yang selalu di?
bawa bertapa mensucikan diri. Maksudnya akan di?
tusukkan pada si tua Martubi yang tetap me?nolak untuk
berbicara malah sikapnya seperti mu?lai me?nantang.
Martubi menghindar bahkan suatu saat ber?hasil meng?
ambil alih keris dari tangan Juragan Besar-nya.
Siapa nyana, saat Nagapati berada dalam genggam?
an tangan Martubi, sepasang bintik mata putih me?
178 9/25/2013 8:42:38 AM nyerupai mata ular pada gagang keris itu tahu-tahu
me?nyala m?e?rah, semerah darah. Bukan hanya
Anggadireja saja yang dibuat terkejut, tetapi juga
Martubi. Yang selain terkejut, tampak seperti menda?
dak terpukau sewaktu menatap bintik mata merah
darah pada gagang keris yang ia genggam. Dan se?
belum Anggadireja me?nyadari apa yang terjadi, masih
seperti terpukau Martubi mengarahkan mata keris
berlekuk liukan ular itu ke lambung sendiri. Yang
terus ditusukkan begitu saja dengan cepat tapi dengan
sikap seperti ingin me?nolak namun tak mampu me?
lakukan penolakan itu. Lalu ketika si tua Martubi jatuh berlutut dengan
keris terhunjam masuk ke dalam lambungnya, abdi
setia Nyi Katon itu pun bertanya heran pada
Anggadireja, "Kekuatan apa yang ada dalam kerismu
ini"sehingga mampu mengalahkan bahkan menguasai
kekuatan gaib yang kumiliki?"
Kejutan kedua, "Kau memiliki kekuatan gaib?"
tanya Anggadireja sama herannya.
Lalu Ki Martubi yang mulai sekarat itu pun mem?
beritahu terputus-putus bahwa dirinya bukanlah se?
kadar abdi setia. Melainkan juga sebagai dukun yang
selama ini membantu agar kekuatan gaib yang
diwarisi Nyi Katon dari pada pendahulunya tetap ter?
jaga, sekaligus juga membantu agar kecan?tikan dan
ke?bugaran diri Nyi Katon ikut terjaga abadi pula.
"Karena pada saat-saat tertentu ilmu"terutama
i-Kolam Darah.indd 179 179 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 180 kecantikan dirinya, harus dipertahankan dari terus
ber?tambahnya umur..." Martubi memberitahu dengan
suara terbata-bata. "Dengan apa harus mempertahankannya?"
"Makhluk warisan leluhur. Udang pertapa?" jawab
Martubi seraya menjelaskan udang apa yang di?maksud,
di mana, kapan dan bagaimana cara me?manfaatkannya.
Termasuk rasa sakit yang menyiksa ke?tika kekuatan
gaib sang udang pertapa menyatu de?ngan kekuatan
gaib yang mengalir dalam darah Nyi Ka?ton. "Siksaan
hebat yang bisa membuatnya meng?alami keguguran
apabila kami berdua tidak bekerja?sama...!"
"Bekerjasama bagaimana?"
Bersetubuh. Itulah yang dilakukan oleh Nyi Katon
dan abdi setianya, untuk dua maksud. Sebagai imbal?
an atas bantuan Ki Martubi mencari dan menemukan
sang udang pertapa, sekaligus untuk mengambil alih
rasa sakit yang diderita oleh Nyi Katon sewaktu dan
selama mereka bersetubuh.
"Tetapi yakinlah, Juragan Besar," abdi setia itu ke?
mudian berkata memohon pada saat ajalnya datang
menjelang. "Jabang bayi dalam kandungan Nyi Katon
bu?kanlah anakku. Sesungguhnyalah, bayi itu adalah
anakmu." Mana pun yang benar, satu hal sudah pasti.
Pengakuan jelang ajal dari abdi setianya itu, di
mata Anggadireja tetaplah sebuah pengkhianatan.
180 9/25/2013 8:42:38 AM 20 DAN pengkhianatan itu..." Nyi Imas mengakhiri
" ceritanya dengan suara lelah. Sambil mengawasi Agus
yang memompa petromaks agar nyalanya tetap terang
benderang. "Berakibat, Ki Martubi harus menerima
hukumannya!" "Hukuman apa?" tanya Agus tertarik seraya men?
cicipi wedang jahe hangat dari mangkuk kedua yang
dihidangkan oleh tuan rumah.
"Sesuai kesepakatan mereka sebelumnya," jawab
Imas. Masih dengan mata menerawang. "Saat ajalnya
tiba, jasad Ki Martubi berubah menjadi makhluk hina
dina serta menjijikkan. Yang begitu berubah langsung
lenyap hilang. Sebagai pertanda, seperti itulah wujud
dari roh Ki Martubi setiba di alam gaib. Untuk
diperbudak oleh roh para pendahulu Nyi Katon...!"
"Dan seperti apakah wujudnya itu?"
i-Kolam Darah.indd 181 181 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 182 "Tidak ada yang tahu." Imas menggeleng. "Karena
se?kembali ke pertapaan dan menceritakan apa yang
ter?jadi pada teman setianya sesama pertapa, Ju?ragan
Besar hanya mengatakan itu saja. Makhluk hina dina
serta menjijik?kan...!"
"Kecuali mengenai udang pertapa yang tadi Nyai
ceritakan," sahut Agus merenung. "Yang kemudian
ter?paksa harus dicari sendiri oleh Nyi Katon. Tanpa
me?nyadari, diam-diam kakek buyut angkatku meng?
ikuti. Lalu melihat perubahan wujut Nyi Katon saat
tersiksa oleh menu alam gaib yang ia makan. Ter?
kadang memperlihatkan bayang-bayang perempuan
renta, di antara kejelitaan dan kemudaan pe?nampil?
annya!" "Benar," tuan rumah mengiyakan. "Yang berbuntut
musibah lalu ku?tuk mengerikan. Dan membuat
Juragan Besar memutuskan untuk mengisi sisa hidup?
nya hanya dengan bertapa dan bertapa. Mensucikan
diri. Tak mau dite?mui atau berbicara dengan siapa
pun juga termasuk sahabat setia dan temannya seper?
tapaan." "Lalu..." Agus ikut-ikutan menerawang. "Sebagai?
mana kudengar dari Juragan Papa. Tak pernah lagi
ter?lihat setelah itu. Bila masih hidup, tak tentu rimba.
Dan bila sudah mati, tak ada yang melihat mayat
atau pun tem?patnya terkubur!"
"Itu karena Juragan Besar melakukan moksa!" Tuan
rumah mengomentari. 182 9/25/2013 8:42:38 AM "Moksa?" Imas mengangguk. "Membuat raga sendiri hilang sirna dalam keadaan
te?tap suci. Sementara rohnya tetap hidup. Untuk ber?
kelana di tapal batas a?lam gaib dan alam nyata," kata?
nya, menjelaskan. "Oh ya" Lantas, untuk apa dia berkelana di tapal
batas yang Nyai sebutkan?"
"Konon, mencari tahu. Kapan dan melalui siapa
Nyi Katon akan melaksanakan kutukannya. Dan
bagai??mana harus menangkal kutuk itu!"
Larut tanpa sadar oleh dongeng aneh yang ia
dengar, Agus pun mendesakkan tanya, "Lalu?"
Dengan sepasang mata yang kembali tampak me?
nerawang, tuan rumah pun melanjutkan bab lain dari
ceritanya. Bab penutup dari perjalanan hidup masa
silam sosok pada lukisan tua di atas tungku pen?diang?
an rumah per?kebunan Anggadireja.
Sang Juragan Pertapa. Empu Daroji"pengrajin keris dan teman sepertapaan
Anggadireja, langsung mengetahui bahwa sahabatnya
sudah melakukan moksa manakala peng?rajin keris itu
melihat adanya sambaran petir di siang bolong yang
ce?rah. Dan lidah petir yang hanya terlihat sekilas itu
tampak menyambar ke arah dinding bukit di balik
mana sahabatnya bertapa. Begitu getaran yang ditimbulkan oleh lidah petir
i-Kolam Darah.indd 183 183 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 184 lenyap, dengan perasaan sedih Daroji cepat ber?gegas
menuju dinding bukit dimaksud. Sebelum memasuki
lubang gua di balik dinding, seperti biasa Daroji lebih
dulu merapal mantra untuk meyakinkan apa?kah ada
rapalan mantra balasan dari dalam atau tidak. Setelah
ternyata tidak ada, barulah Daroji masuk dan me?
nemukan lorong gua kosong me?lompong. Tidak
terlihat tanda-tanda keberadaan sang Juragan Besar,
kecuali keris Nagapati yang tersimpan begitu saja di
permukaan lempengan batu tempat di mana biasanya
sahabatnya itu duduk atau tidur ber?tapa semadi.
Sebagai pertanda, si pemilik keris ingin melakukan
kontak batin dengan Daroji.
Maka tanpa membuang tempo serta dengan ber?
susah payah membuang pera?saan sedihnya, Daroji
pun cepat duduk mengatur semadi menghadap lempe?
ngan batu tempat Nagapati tersimpan. Dengan segera
panggilan batinnya langsung terjawab. Dimulai
dengan getaran pada seantero dinding lorong gu?a.
Dan dinding-dinding itulah kemudian yang me?
ngeluar?kan suara lembut sahabatnya yang dengan sa?
ngat menyesal meminta maaf telah melakukan moksa
tanpa lebih dulu memberitahu Daroji.
"Keinginan itu, Daroji. Muncul dengan tiba-tiba.
Dan aku tidak mau berlama-lama menunggu pe?
laksanaannya?" demikian sang Juragan Besar men?
jelas?kan. Lantas memberitahu tujuannya mengadakan
kontak batin. "Nagapati buatanmu itu, Daroji. Selain
184 9/25/2013 8:42:38 AM telah mendatangkan kesedihan yang sangat padaku di


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

alam nyata, tidak lagi kuperlukan di alam gaib."
Suara yang muncul bersama getaran dinding-dinding
gua itu kemudian meminta Daroji untuk mengambil
dan menyimpan keris dimaksud. Dan supaya kelak
tidak disalahgunakan oleh orang yang tidak berhak,
kekuatan ma?gis Nagapati harus dihapus habis oleh
Daroji dan mengembalikan keris ? itu pada keadaannya
semula. "Keris biasa, yang tak ada apa-apanya!" kata suara
sang sahabat, memperjelas.
Lalu, setelah menyatakan penyesalannya sekali lagi,
suara maupun getaran di seantero dinding lorong gua
pun berhenti seketika. Kontak batin telah ber?akhir.
Dan dengan meneteskan air mata, Daroji pun me?
nyampaikan salam perpisahannya sendiri.
"Selamat berkelana, sahabatku. Dan maaf, tempat
kehormatanmu kupinjam. Agar kita se?lalu dapat ber?
dekatan." Lalu Daroji pun beralih duduk ke atas lempengan
batu. Keris Nagapati dihunus dari sarungnya, lalu
disimpan di haribaan. Baru kemudian Daroji duduk
diam bersemadi untuk menghapus kekuatan magis
yang tersimpan da?lam keris.
"Dia terus duduk seperti itu selama empat puluh hari
empat puluh malam, tanpa sekali pun beranjak dari
i-Kolam Darah.indd 185 185 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 186 lempengan batu tempatnya duduk," lanjut Imas de?
ngan suara yang semakin lelah namun dengan wajah
tampak tenang bahkan terke?san lembut. "Sampai
pesan sahabatnya terpenuhi. Menjadikan Nagapati se?
ba?gai keris biasa. Yang tak ada apa-apanya, kecuali
bentuk ukir?an gagangnya yang menarik. Karena persis
menye?rupai kepala atau moncong ular yang menganga
marah." Membuang pengaruh magis yang sempat ia rasakan
selama mendengar cerita tuan rumah, Agus kemudian
menghela napas dan berbicara mengomentari, "Hm.
Bagian cerita Nyai yang terakhir belum pernah ku?
dengar. Dan aku ya?kin. Juragan Papa maupun
anggota keluargaku lainnya, juga tidak tahu menahu
sama sekali!" "Wajar," desah tuan rumah disertai senyuman lem?
but. "Karena rahasia itu"dan boleh jadi juga banyak
rahasia lainnya, tetap disimpan te?guh oleh Empu
Daroji sampai akhir hayatnya."
"Lalu bagaimana Nyai bisa mengetahui rahasia
itu?" tanya Agus heran. Bahkan sempat meragukan
ke?benaran seluruh cerita Imas.
"Karena saya mendengar langsung dari mulut
Empu," jawab Imas tenang. "Pengrajin keris itu ada?
lah kakek kandung saya!"
"Oh?" desah Agus terkejut.
Tuan rumah masih tersenyum sesaat, sebelum ke?
186 9/25/2013 8:42:38 AM mudian wajahnya berubah murung saat memberitahu
hal lainnya. "Saya berada di samping Empu saat dia meng?
embuskan napas terakhir di usianya yang ke-430.
Persisnya, mati karena usia yang sudah sangat tua. Ke?
matian, yang tak mampu ia hin?dari meski de?ngan ke?
kuatan gaibnya yang paling hebat sekalipun...!"
"Dan?" "Saat menjelang ajal, Empu masih sempat men?
cerita?kan rahasia itu pada saya. Dengan maksud,
supaya saya tahu dan benar-benar menjaga agar keris
itu tidak jatuh ke tangan orang yang tidak berhak!"
"Tetapi Nyai kemudian memberikannya pada Pak
Ardi, ayah saya." Agus cepat menanggapi, setengah
me?nuduh. "Saya sudah bilang tadi, yang sebenarnya lebih
menginginkan keris itu bukan Pak Ardi."
"Oke. Misalkan benar yang menginginkannya
adalah Suherman. Lalu?"
"Dia suami Neng Rani, bukan?" jawab Nyi Imas
se?tengah membela diri. "Dengan sendirinya saya ber?
harap keris itu pada akhirnya toh jatuh ke tangan
yang berhak. Jika tidak Neng Rani atau Den Rudi,
ya siapa tahu Juragan Suharyadi juga melihatnya lan?
tas menaruh minat!" "Nyatanya," Agus berkata menyesali. "Ayah mau?
pun saudara angkatku jus?tru mati terbunuh karena?
nya!" i-Kolam Darah.indd 187 187 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 188 "Itulah. Yang semenjak awal sudah saya sesali."
jawab tuan rumah, semakin murung. "Karena begitu
saya dengar Nagapati lenyap, saya sudah mulai was?was.
Bahkan terus didatangi firasat buruk. Apalagi se?telah
menerima wangsit itu. Tengah malam tadi?"
"Wangsit?" "Dari almarhum kakek saya, Empu Daroji."
"Isi wangsitnya?"
"Ada beberapa. Salah satunya?" Imas mendadak
diam sambil tampak kuatir. Lalu bertanya sama kuatir?
nya pada Agus. "Pernah mendengar tentang Ki Soma.
Dukun yang nama lengkapnya, Somawinata?"
Cepat teringat pada tanya-jawab yang lebih menye?
rupai interogasi Inpektur Polisi Hindarto pada
Suherman, Agus pun mengangguk.
"Pernah. Dan kalau tak salah dengar, kepadanyalah
ayahku membawa keris itu untuk diisi."
"Yang justru mengakibatkan keris itu malah le?
nyap," angguk tuan rumah. Murung. "Tetapi konon
Ki Soma membantah telah bertemu dengan Pak Ardi.
Apalagi telah melihat atau memegang Nagapati."
Mengangguk membenarkan, Agus pun cepat ber?
tanya. Penasaran. "Apa yang ada dalam pikiranmu
sesungguhnya, Nyai?"
"Salah satu isi wangsit yang kuterima," jawab tuan
rumah. Lirih dan kaku, "Ki Soma adalah keturunan
langsung dari Ki Martubi. Dukun dan abdi setia Nyi
Katon Pemikat!" 188 9/25/2013 8:42:38 AM 21 N YALA obor tampak menerangi kegelapan malam
berkabut yang menyelimuti pepohonan di sekitar ping?
gir kali. Duduk bersila di tengah sejumlah o?bor yang ter?
pancang kuat ke tanah berpasir, Suherman diam men?
dengarkan Somawinata yang mengawasi kegelapan di
sekitar mereka sambil berbicara serius.
"Di tempat inilah"yang dahulunya merupakan
sungai besar, lelu?hurnya mati terbunuh. Maka di?
tempat ini pula dia akan menurunkan wangsit yang
kita tunggu sebelum kau melaksanakan tugas terakhir?
mu...!" Tugas terakhir, pikir Suherman murung. Dan itu
ber?arti satu-satunya ke?turunan Anggadireja yang masih
tersisa: Maharani. Sanggupkah dia" i-Kolam Darah.indd 189 189 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 190 "Kau harus!" terdengar bisikan tegas Somawinata
yang rupanya mengeta?hui jalan pikiran Suherman.
"Ja?ngan lupa, kau ini seorang pewaris. Dan se?bagai
pe?waris, kau wajib menyempurnakan sumpah yang
telah dicanangkan oleh leluhurmu."
Suherman diam tak mengomentari.
"Kau mencintainya?"
Diam termenung sejenak, barulah Suherman me?
nyahuti. "Mula pertama ber?temu lalu menikahinya,
ya!" "Dan, kini?" Masih, Suherman membatin murung.
Tetapi ada problem besar yang ia hadapi. Sepuluh
tahun sudah mereka menikah, keturunan yang mereka
tunggu-tunggu belum juga memberi pertanda akan
tiba. Padahal sejumlah dokter spesialis yang sudah
me?reka datangi sama menyatakan bahwa mereka ber?
dua sama subur?nya. "Bersabarlah," kata dokter-dokter itu menasihati.
"Mungkin karena be?lum waktunya saja."
Tetapi Maharani acapkali mengeluhkan hal yang
la?in, "Ada yang salah di antara kita."
Keluhan yang acap kali terlontar manakala mereka
berdua mempertengkarkan sesuatu bahkan yang tidak
ada ka?itannya sama sekali dengan ketidakberuntungan
mereka. Apalagi setelah Bam?bang Sujatmiko"pe?
nasihat hukum keluarganya, jelas-jelas memperlihatkan
perasaan tertariknya pada Maharani. Dan belakangan
190 9/25/2013 8:42:38 AM Maharani tampaknya mem?beri lampu hijau. Bu?kan
mustahil suatu hari kelak akan membuat Suher?man
tersingkir. "Kini, sama seperti ayahnya Suharyadi dan adiknya
Rudi." Suherman akhirnya membuka mulut juga. "Dia
tak lebih dari sampah busuk yang harus disingkir?
kan!" Somawinata mengangkat muka terkejut.
Karena yang terdengar keluar dari mulut Suherman
bukanlah suara laki-laki. Melainkan suara dingin dan
tajam dari seorang perempuan yang dikuasai oleh ke?
marahan serta kebencian. "Nyi Katon Pemikat," desah Somawinata. Tak per?
caya, "Kauhkah itu?"
Sepasang mata Suherman yang ketika berbicara tadi
mendelik ma?rah tampak mengerjap seperti tersadar.
Lalu Suherman"dengan suaranya sendiri, bertanya
heran. "Apa?" Diam mengawasi wajah Suherman sesaat,
Somawinata menghela napas lalu menjawab tegang,
"Le?luhurmu, Nyi Katon Pemikat sudah memberi
pertanda kedua!" "Pertanda kedua?"
Tanpa menyahuti, Somawinata cepat mengeluarkan
keris Negapati yang dengan cepat pula ditancapkan
ujung tajamnya ke tanah berpasir di depan lututnya.
De?ngan posisi gagang keris menghadap ke arah
rembu?lan di langit malam. Komat-kamit sebentar me?
i-Kolam Darah.indd 191 191 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 192 rapal mantra, Somawinota kemudian berujar tegang
pada Suherman. "Saatnya sudah hampir tiba. Bersiap-siaplah dan
ikuti rapalan mantra yang tadi sudah kubicarakan de?
ngan?mu!" Suherman masih ingin bertanya, "Tetapi..."
Tetapi Somawinata sudah mengatur posisi bersila?
nya ke posisi semadi. Kedua telapak tangan didekap?
kan menyilang pada dada. Dan setelah kelopak mata?
nya terpejam rapat, bibir tua Somawinata pun mulai
merapal mantra dengan suara yang terdengar tegang,
"Dedemit kali, dedemit sungai. Menyingkirlah, dan
berikan tempat pada junjungan kalian semua."
Diam mengawasi Somawinata lalu keris yang ter?
hunjam pada tanah ber?pasir di hadapannya, Suherman
cepat melupakan keinginannya untuk bertanya per?
tanda apa yang tadi dimaksudkan oleh Somawinata.
Lalu cepat pula mengatur semadi seperti halnya sang
dukun. Sambil bibir Suherman perlahan-lahan meng?
ikuti rapalan mantra yang diulangi oleh Somawinata,
"Dedemit kali, dedemit sungai. Menyingkirlah!"
Benar, pikir Suherman di tengah semadinya yang
belum sepenuhnya terkonsentrasi.
Bukan dirinyalah yang harus tersingkir.
Melainkan, Maharani. 192 9/25/2013 8:42:38 AM 22 M AHARANI menutup tirai jendela kamar tidur
Elisa dan sudah melangkah ke pintu untuk pergi ke
kamar?nya sendiri, manakala Elisa yang ia sangka
sudah pulas, menggeliat bangun dari rebahnya. Tanpa
kata pendahulu?an, langsung mengeluh dalam rintihan
sakit, "Dosa besar apa yang telah kuperbuat, Mbak
Rani?" "Ah. Kau belum tidur rupanya," desah Maharani
ter?senyum. Ia berjalan mendekat dan duduk di
pinggir ranjang Elisa seraya bertanya lembut. "Dosa
besar apa yang kau maksud, Lies?"
Pucat dan tampak lemas oleh pengaruh obat pe?
nenang, sepasang mata Elisa tampak membasah saat
menjawab, terbata-bata. "Andai saja aku tidak mem?
per?malukan suamiku di hadapan kalian semua.
Dia"tidak akan minggat dari rumah. Dan boleh jadi
sekarang ini dia"masih hidup!"


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

i-Kolam Darah.indd 193 193 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 194 "Aduh, Lies." Maharani cepat meraih lalu meng?
genggam lembut tangan Elisa. Sambil menerus?kan
sama lembutnya. "Berhentilah mempersalahkan diri?
mu. Apa yang terjadi sudah kehendak takdir."
"Tetapi"menamparnya!" rintih Elisa mulai ter?isak.
"Sudahlah, seperti kubilang sore tadi. Rudi patut
menerima tamparanmu itu!"
"Patut, Mbak?" Maharani kembali tersenyum. Kali ini, senyuman
getir. Lalu bertanya lem?but namun juga terdengar
getir, "Dia sudah menularimu, bukan?"
Tampak terkejut, Elisa diam mengawasi Maharani.
Dengan pandangan bertanya.
Sambil tersenyum, Maharani langsung menjawab
pertanyaan tak terucap itu. "Ketika kudengar kalian
berdua akan bercerai, aku langsung menelepon dan
menanyakan kebenaran kabar buruk itu pada Rudi.
Dan karena akulah satu-satunya orang selama ini tem?
pat dia mencurahkan hati, Rudi langsung menga?kui
bahwa dirinyalah yang salah. Atau tepatnya, bermasa?
lah..." "Dan?" desak Elisa. Dengan napas terengah.
Dengan senyuman yang lenyap dari bibirnya, tam?
pak murung sejenak Maharani kemudian meng?geram
setengah marah, "Kebiasaan buruknya itu! Main
sambar perempuan mana saja yang dia sukai! Dia se?
harus?nya mendengar na?sihatku selama ini. Tetapi..."
Balas menggenggam tangan Maharani, Elisa berkata
194 9/25/2013 8:42:38 AM gemetar disertai ge?nangan air mata. "Adikmu itu su?
dah meninggal, Mbak. Maafkanlah dia, sebagaimana
aku juga telah memafkannya..."
"Untuk virus mengerikan yang ia tularkan pada?
mu?" dengus Maharani, ma?sih marah. Sebelum kemu?
di?an tampak luruh, lantas merintih sakit. "HIV. Ya
Tuhan!" "Aku sudah terkontaminasi bukan?" desah Elisa
disertai senyuman pas?rah. "Jadi apa lagi yang dapat
ku?perbuat. Selain mencoba tabah?"
"Aku harap kau kuat menghadapinya, Lies," ucap
Maharani terharu. "Sambil kita sama-sama berdoa si?
apa tahu suatu hari kelak akan ditemukan obat pe?
nyembuh. Dan..." Harapan yang lebih menyerupai mimpi yang ter?nyata
sia-sia ketika kau terjaga, pikir Elisa sambil cepat
mengalihkan pembicaraan yang hanya akan meng?
hancurkan hati itu, terutama hati Elisa sendiri. "Oh ya.
Ke mana yang lain" Apakah mereka baik-baik saja?"
"Kita harap saja demikian, Lies," jawab Maharani.
Sam?bil wajahnya tampak berubah kuatir.
Elisa heran dan bertanya, "Kita ha?rap?"
"Usai pemakaman Papa, mereka berdua pergi entah
ke mana. Dan sampai de?tik ini belum kembali. Mem?
beri kabar pun tidak..." Maharani pun memberi?tahu
gelisah. "Sudah kutelepon ke sana-sini, tanpa hasil.
Tetapi aku sudah menyuruh Pak Ardi untuk pergi
men?cari..." i-Kolam Darah.indd 195 195 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 196 "Oh, oh," desah Elisa. Pucat dan terlihat takut.
"Apa?" "Rumah besar ini. Dengan bau kematian di dalam?
nya," jawab Elisa gemetar. "Aku mendadak takut,
Mbak Rani. Sangat takut..."
Sempat terpengaruh, Maharani kemudian ter?senyum
membujuk. "Tak ada yang harus ditakutkan, Lies. Lagi pula
aku ada di sini. Mendampingimu."
"Tetapi..." "Kau tunggulah di sini." Maharani cepat menyela
sambil bangkit dari duduknya. "Aku akan turun se?
bentar mengambil minuman untuk kita berdua. Sam?
bil melihat-lihat, siapa tahu salah seorang dari mereka
sudah kembali. Paling tidak, Pak Ardi..."
Elisa diam saja dan membiarkan Maharani berlalu
dari kamar. Namun se?saat kemudian, Elisa merasakan
adanya hawa dingin yang menerobos masuk ke kamar?
nya. Pasti dari pintu yang dibiarkan terbuka oleh
Maharani, pikir Elisa menghibur diri. Namun sia-sia,
ka?rena hawa dingin itu terasa semakin nyata. Semakin
keras pula, sampai tirai jendela berkibar-kibar dibuat?
nya. Yang sekaligus pula membuat Elisa terloncat du?
duk lalu mundur ke sudut ranjang. Duduk me?rung?
kut dengan pungggung merapat ke tembok, sambil
dengan tangan gemetar menarik selimut tebal yang ia
tutupkan sampai sebatas leher.
Di lantai bawah, Maharani juga merasakan sapuan
196 9/25/2013 8:42:38 AM hawa dingin itu pada saat menuruni tangga. Tetapi
lantas mengabaikannya setelah berpikir bahwa itu ha?
nya perasaannya saja karena terpengaruh oleh ketakut?
an Elisa. Namun ketika Maharani kembali dari dapur
membawa baki dengan dua cang?kir dan teko ber?isi
kopi panas pada baki dimaksud, Maharani kem?ba?li
marasakan sapuan angin dingin yang sama pada saat
akan menaiki tangga. Sempat tertegun, Maharani menyapukan pandang
ke seputar ruang duduk untuk meyakinkan bahwa
semua jendela tertutup dengan rapat. Dan memang
ya. Api di tungku pendiangan juga tampak menyala
karena telah dijejali kayu bakar tambahan oleh Ardi
sebelum pergi. Lalu dari mana datangnya ha?wa dingin
me?nusuk itu" Dan mengapa tadi hawa dingin yang
sama tidak ia rasakan saat menyeduh kopi di dapur"
Gelisah, entah bagaimana Maharani terdorong un?
tuk mengawasi lukisan tua di atas tungku pendiangan.
Sosok kakek buyutnya Angggdireja yang men?dekam
pada lukisan itu, tampak seperti balas mengawasi.
Untuk sesaat, sosok sang Juragan Besar bahkan tam?
pak seperti bergerak, dan bibirnya yang tersenyum
tipis menggeliat hidup dan berbicara dengan suara
yang terdengar sayup-sayup sampai, "Kau yang be?
rikut?nya, Maharani!"
Menatap terbelalak saking terkejut, Maharani cepat
memejamkan matanya. Ketika ia buka kembali untuk
melihat ke arah yang sama, yang ia lihat adalah sosok
i-Kolam Darah.indd 197 197 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 198 lukisan diri kakek buyutnya yang tak pernah beru?bah
dari masa ke masa. Tegak gagah, de?ngan sorot mata
menatap lembut tapi terkesan miste?rius. Seperti juga
senyuman tipis pada bibirnya. Yang terke?san lebih
misterius lagi. Namun toh Maharani sempat me?
mohon setengah tak sadar dalam bisikan gemetar,
"Tolong?lah, kakek buyut. Jangan ganggu kami!"
Lalu disertai perasaan takut yang aneh, Maharani
cepat memutar tubuh dan bergegas menaiki tangga.
Sam?bil membatin tegang, "Apakah yang kudengar
tadi sekadar ilusi?"
Atau memang benar-benar ada" Bahwa, Maharani
adalah yang berikutnya! Berikutnya apa" 198 9/25/2013 8:42:38 AM 23 DI kaki bukit, Imas gagal membujuk tamunya
untuk menginap karena ma?lam sudah sangat larut
dan juga sudah tidak ada ojek yang lewat.
"Dari sini ke rumah tidak terlalu jauh," kata Agus
yakin. "Dan aku masih ingat jalan pintas terdekat su?
paya tiba lebih cepat."
Berkat Juragan Papa?, tentu. Semasa Agus masih
bocah beliau sering membawa sang anak angkat ke?
sayangannya berkeliling menjelajahi seluruh wilayah
perkebunan. "Siapa tahu suatu hari kelak, semua ini akan men?
jadi milikmu." Demikian Suharyadi pernah berkata.
Sebuah pernyataan yang tak pernah ditanggapi serius
oleh Agus, karena menganggapnya tak lebih dari pem?
bicaraan sambil lalu belaka.
Imas pun menyerah dan mengantar Agus sampai
i-Kolam Darah.indd 199 199 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 200 ke jalan yang biasa di?lalui truk pengangkut pegawai
atau teh yang baru dipanen untuk dibawa ke pabrik.
Sempat saling berdiam diri oleh pikiran masingmasing selagi menelusuri jalan setapak yang diterangi
sinar rembulan, Agus kemudian men?desahkan apa
yang sangat mengganggu pikirannya.
"Nyi Katon Pemikat. Bagai?mana mungkin?"
Memahami apa yang dimaksud oleh Agus, Imas
cepat menanggapi, "Aden mau percaya, silakan. Ti?
dak, juga tak apa. Tetapi demikianlah bunyi wangsit?
nya. Bahwa dia akan kembali. Dan pertandanya su?
dah ada!" "Juragan Suharyadi. Lalu anaknya, Den Rudi..."
Dan berikutnya Maharani, Agus membatin gelisah.
Kegelisahan yang sedikit terkurangi manakala ia dan
Imas pas tiba di jalan, lampu mobil tam?pak muncul
dari belokan dan mobil yang dikenali Agus sebagai
milik Maha?rani kemudian berhenti di hadapan me?
reka. Sempat terkejut, Agus melihat ayahnya keluar
dari mobil sambil berbicara lega.
"Syukurlah dugaanku ti?dak keliru, Nak. Bahwa kau
pasti ada di sini." Lalu pada Imas. "Senang bertemu
lagi denganmu, Nyai!"
?"Sama, Pak Ardi." Imas menanggapi tersenyum
namun sambil tampak berpikir-pikir.
Sementara Ardi kembali berbicara pada Agus. "Apa
Den Suherman tidak bersamamu, Gus?"
"Tidak. Mengapa?"
200 9/25/2013 8:42:38 AM "Seperti kau, dia juga belum pulang ke rumah."
jawab Ardi. "Aku sudah mencari ke mana-mana. Te?
tapi..." "Sebentar, Pak Ardi." Imas menyela, serius, "Keris
Nagapati itu. Benarkah pernah kauperlihatkan pada
Ki Soma. Untuk diisi?"
"Benar, Nyai. Tetapi?" diam berpikir sesaat sambil
wa?jah?nya tampak berubah ketakutan, Ardi cepat meng?
ajak Agus masuk ke mobil sambil pamit pada Imas.
"Lain kali sajalah kita bicarakan, Nyai. Permisi...!"
"Mengapa itu kautanyakan, Nyai?" tanya Agus.
Yang tidak langsung mengikuti ayahnya masuk ke
mo?bil. "Karena, Den Agus?" jawab Imas serius. "Saya
ya?kin ayahmu berbica?ra benar dan Ki Soma-lah yang
berdusta!" "Dan keris itu kini ada di tangannya!"
"Atau di tangan orang lain. Yang bekerjasama de?
ngan Ki Soma." Imas menegaskan, "Maka saya nasi?
hat?kan. Kalian berdua, berhati-hatilah!"
Dan Imas pun berlalu untuk kembali ke rumahnya,
sementara di dalam mobil Agus diam termenung bebe?
rapa saat sebelum kemudian membuka mulut dan
bertanya serius pada ayahnya, "Apa jawabmu, Pak?"
"Tentang?" Ardi balik bertanya seraya mengemudi
dengan hati-hati di? jalan tanah berbatu dan rusak
berat. Mobil yang mereka naiki sese?kali terbantingbanting.
i-Kolam Darah.indd 201 201 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 202 "Pertanyaan Nyi Imas tadi," jawab Agus. "Me?
ngenai keris yang Bapak perlihatkan pada Ki Soma
untuk diisi..." Agak lama, barulah Ardi menyahuti, murung. "Kau
mungkin tidak akan memercayai apa yang ku?alami
saat itu, Nak." "Ceritakan sajalah!" kata Agus mendesak. Dalam
hati Agus berpikir, sudah sedemikian banyak hal yang
tak masuk akal yang terjadi. Mimpi buruk?nya yang
kemudian menjadi kenyataan. Kisah masa lalu kakek
buyut angkatnya yang diceritakan sedemikian jelas
oleh Nyi Imas. Lalu wangsit itu: Nyi Katon Pemikat
boleh jadi sudah bangkit dari kubur!
"Sesungguhnya, Nak..." Ardi akhirnya membuka
mulut juga. "Aku tidak berbohong pada polisi ketika
kukatakan keris itu sudah diambil kembali oleh sang
Juragan Besar." Agus ingin tertawa, tetapi cepat menahan diri.
"Oke. Lalu, diambil bagaimana?"
Ardi pun menceritakan apa yang ia sebut pengalam?
an mengerikan mana?kala ia mendatangi Ki Soma dan
dukun itu bersedia mengisi keris Nagapa?ti dengan
ajian pelindung dari gangguan roh menakutkan yang
sering dili?hat Ardi berkeliaran di rumah majikannya.
Roh sang Juragan besar Anggadi?reja.


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setiap detailnya masih diingat lalu diceritakan oleh
Ardi pada anak?nya. Termasuk rapalan mantra Ki
Soma saat akan mengisi keris di hadapan Ardi.
202 9/25/2013 8:42:38 AM Mantra yang di telinga Ardi terdengar menyeram?
kan. "Nagapati, naga geni..." demikian Ki Soma merapal
mantra di atas dupa kemenyan dengan suara ber?ge?
metar, "Jembar-jembur, darahmu menyembur, masuk,
masuk, masuklah naga pati. Gempur, gempurlah naga
geni!" Keris kemudian diangkat memutar di atas kepala Ki
Soma seraya meneruskan mantranya. "Isap. Isap?lah
darahnya. Satukan dengan keris ini. Satukan..."
Dan di akhir rapalan mantra itu bukan hanya
Ardi. Ki Soma juga dibuat terkejut oleh terdengarnya
suara membentak yang bergetar, "Haram jadah ter?
kutuk...!" Lalu tahu-tahu sosok sang Juragan Besar sudah
muncul di kamar tempat upacara berlangsung.
Dengan wajah memerah padam, bahkan juga sepasang
mata?nya yang semerah darah. Dengan marah?nya ia
langsung merampas keris dari tangan Somawinata.
Sambil menggeram gusar. "Mau kau apakan senjata
kesayanganku ini, eh?"
Sementara Ardi dibuat gemetar, Somawinata pun
menjawab pucat dan gugup. "Aku, aku..."
"Dasar manusia-manusia hina dina dan tak tahu
diri!" potong Anggadi?reja, berat bergetar. "Jembar-jem?
bur darah menyembur nenek moyang! Mantra yang
sungguh sangat menjijikkan..."
Mendengar pernyataan tamu tak diundang itu,
i-Kolam Darah.indd 203 203 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 204 Somawinata langsung ber?sujud di lantai. Menyembahnyembah Anggadireja, yang cepat diikuti oleh Ardi
yang ketakutan setengah mati.
"Ampuni kami Juragan Besar..." mohon Somawinata
gemetar sambil menyembah-nyembah. "Kami tidak
bermaksud jahat. Ambillah kembali senjata ini.
"Benar, Juragan Besar!" Ardi ikut memohon. Ke?
takutan. "Ambillah senjatamu kembali. Dan tolonglah
tidak mengganggu saya lagi..."
"Hm?" terdengar sahutan berat bergetar.
Lalu tahu-tahu saja sebuah tendangan keras telah
me?nerpa Somawinata yang tubuhnya langsung ter?
angkat melayang sebelum kemudian jatuh terem?pas di
lantai setelah membentur tembok di belakangnya.
Ardi yang sempat melihat, tentu saja dibuat semakin
ketakutan. Apalagi lewat ekor matanya ia lihat
Somawinata yang begitu terempas langsung diam tak
bergerak?-gerak. Entah pingsan atau sudah mati.
Merasa gilirannyalah yang berikut?nya ditendang,
Ardi pun kembali memohon-mohon ketakutan.
"Ampun, Juragan Besar. Tolonglah saya jangan di?
bunuh. Saya punya anak dan istri yang ma?sih harus
di?hidupi. Tolong dan kasihanilah saya Juragan
Besar..." Tak ada sahutan. Tak ada tendangan.
Ardi sudah sempat berpikir meski belum diapaapakan ia pasti sudah mati, ketika suara berat itu
kembali lagi terdengar. 204 9/25/2013 8:42:38 AM "Enyah kau, manusia kerdil. Enyah kubilang, se?
belum aku berubah pikiran...!"
Jadi aku masih hidup atau dibiarkan hidup, pikir
Ardi lega dalam ke?takutannya,
"Terima kasih, Juragan Besar. Terima kasih."
Lantas tanpa berani melihat sosok yang ditakutinya,
Ardi cepat bang?kit dan langsung melarikan diri tanpa
melihat lagi ke kiri-kanan. Bahkan sempat menginjak
tubuh Somawinata saat berlari ke pintu.
"Kalau tak salah..." Ardi mengakhiri ceritanya di?
sertai senyuman kecut. "Saat tubuhnya terinjak oleh?
ku, dukun itu kudengar mengaduh. Pertanda ia cuma
pingsan, bukan mati!"
"Dan nyatanya masih hidup," Agus mengomentari
sambil mencerna kisah yang diceritakan ayahnya.
"Sam?pai sekarang!"
"Tetapi pada polisi, membantah kami pernah ber?
temu." Ardi mengangguk, kem?bali murung.
"Tak pernah kaudatangi lagi?"
"Pernah. Langsung pagi hari esoknya. Untuk me?
yakin?kan bahwa dia juga dibiarkan tetap hidup?"
"Dan keris itu?"
"Menurut pengakuannya, lenyap. Bersama lenyap?
nya sosok Juragan Besar saat aku minggat dari rumah?
nya." "Bapak percaya itu" Bahwa dia langsung menyem?
bah memohon ampun. Malah kemudian ditendang
pula!" jawab Agus. "Bukannya"sebagai dukun sohor,
i-Kolam Darah.indd 205 205 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 206 balik menempur lalu mengusir roh yang mengganggu
kalian?" Ardi terdiam. Karena tak pernah teringat untuk
ber?pikir ke situ. "Masih ada lagi," Agus meneruskan. "Sosok Juragan
Besar yang Bapak li?hat waktu itu. Juga"seperti kata
Bapak, sering bahkan pernah kepergok di depan pintu
kamarmu. Matanya semerah darah, bukan?"
"Benar." Ardi mengangguk, masih ketakutan oleh
bayangan-bayangan yang pernah ia lihat.
"Dan di kantor polisi," Agus kembali angkat
bicara. Sambil berpi?kir keras. "Dia menemui Bapak
lagi. Meninggalkan pesan misterius tentang darah
yang harus disatukan ke sosoknya. Bapak bilang, se?
pasang mata yang bapak lihat, sama seperti dalam
lukisan. Lembut, seakan melindungi. Tidak semerah
darah, bukan?" Ardi kembali mengangguk dan mulai memahami
jalan berpikir anaknya. "Begitu pula suara yang ku?
dengar. Sejuk lembut. Bukan parau bergetar serta
me?nakutkan!" "Bukankah itu aneh?"
"Benar. Memang aneh. Sangat aneh." Ardi kembali
manggut-manggut. Yang justru membuat anaknya kesal.
"Tidakkah kau melihatnya, Pak?" tukas Agus tak
sabar. "Melihat apa?" 206 9/25/2013 8:42:38 AM "Ada dua sosok yang berperan di sini." jawab Agus
kesal. "Sosok asli, atau katakanlah roh kakek buyut
angkat?ku. Dan satunya lagi, sosok palsu. Yang boleh
jadi manusia adanya. Seperti kita-kita ini!"
"Dan dialah yang membunuh Juragan Papa serta
saudara angkatmu!" Ar?di membenarkan, terkejut oleh
jalan pikiran cemerlang yang bisa menyelamatkan diri?
nya dari ancaman hukuman penjara. "Tetapi pertanya?
annya, Nak. Siapa dia itu gerangan?"
Orang yang sangat berhasrat untuk memiliki keris
Nagapati, pikir Agus tanpa menjawab pertanyaan
ayahnya. Teringat pada apa yang diutarakan oleh cucu
si pembuat keris, Nyi Imas. "Saya jelas-jelas melihat
dia mem?bisiki ayahmu..."
Agus sudah terdorong bertanya pada ayahnya apa?
kah benar dugaan Nyi Imas bahwa Suherman pula
yang menyediakan uang ganti rugi untuk keris yang
diserahkan secara sukarela oleh cucu Empu Daroji itu.
Na?mun kemudian membatalkannya. Karena ada per?
tanya?an lainnya yang jauh lebih penting untuk di?
jawab. Yakni, mengapa Suherman"!
i-Kolam Darah.indd 207 207 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 208 24 SUHERMAN tersenyum di tengah semadinya yang
memang belum juga terkonsentrasi sepenuhnya.
Somawinata yang pada saat bersamaan berhenti me?
rapal mantra untuk mengawasi rembulan di langit
malam, rupanya melihat dan langsung bertanya.
Curiga. "Apa?" Membuka kelopak matanya lalu menatap diam ke
wajah Somawinata yang tengah mengawasi dirinya,
Suherman kembali tersenyum. Lalu menjawab geli.
"Cuma sekadar teringat saja. Aku nyaris tertawa ber?
gelak saat dia berlari ketakutan. Dan sempat meng?
injak tubuhmu." "Dia siapa?" Untuk sesaat, Suherman tampak akan menjawab.
Na?mun entah bagaimana, senyuman geli di bibir
Suherman mendadak sontak lenyap begitu saja, wajah?
nya pun seketika berubah keras dan kejam. Dan ke?
208 9/25/2013 8:42:38 AM tika membuka mulut untuk berbicara maka yang ke?
luar dari mulut itu bukanlah suara serak Suherman.
Terdengar suara dingin dan tajam seorang perempu?
an yang tak suka kesabarannya diuji, "Lupakan semua
tetek-bengek itu, Ki Soma!"
"Nyi Katon Pemikat," desah Somawinata. Terkejut.
"Kau lagi..." "Benar. Aku!" jawab yang ditanya, "Dan waktuku
sangat sedikit. Ter?masuk untuk menyelesaikan urusan
kita berdua!" "Urusan kita?" tanya Somawinata bingung di antara
keterkejutannya. "Urusan apa, Nyi Katon?"
"Jangan berlagak pilon kau, tua bangka!" terdengar
suara bentakan gusar Nyi Katon melalui mulut
Suherman yang tampak berubah pucat bergemetar.
"Kau pasti tahu apa yang telah diperbuat oleh Ki
Martubi. Pendahulumu!"
Membuka rahasia Nyi Katon pada suaminya, Jura?
gan Besar Anggadireja. Terutama menyangkut titik
lemah kekuatan gaib yang diwarisi Nyi Katon dari
le?lu?hur?nya: diserang pada saat darah udang pertapa
be?lum sempat menyatu dengan darah Nyi Katon. De?
ngan akibat Ki Martubi mati bukan dalam wujutdma?
nu?sia melainkan mati dalam wujud mahluk men?jijik?
kan. Teringat ke situ, Somawinata cepat menanggapi
dengan hati-hati, "Bu?kankah dia sudah menerima
akibat perbuatannya, Nyai?"
i-Kolam Darah.indd 209 209 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 210 Mendengar jawaban Somawinata, Suherman tertawa
meringkik. "Hihhi...! Masih berlagak lupa, eh?"
"Lupa apanya, Nyai?" tanya Somawinata tercekat.
Karena memang sudah tahu jawabannya.
"Kesepakatan yang sudah kami buat!" Lagi, ter?
dengar jawaban menyentak marah. "Bahwa apabila
kakek?mu melanggar atau berlaku khianat"apa pun
juga penyebabnya, dia harus menyerahkan darah mau
pun roh dirinya serta keturunannya padaku kapan
saja aku kehendaki. Dan aku menghendaki itu, se?
karang juga!" "Tetapi, Nyai?" ujar Somawinata dengan sekujur
tubuhnya terasa dingin membeku. Karena sadar, yang
dihadapi bukanlah apa yang tadi dilamunkan
Suherman saat mereka berdua mengambil alih
Nagapati dari tangan Ardi. Sebuah sandiwara yang
kalau diingat-ingat, sungguh menggelikan.
Sekarang ini, Somawinata benar-benar menghadapi
kenyataan yang tak terhindarkan. Dan kenyataan itu
adalah, ke?kuatan besar yang dimiliki Nyi Katon
semasa hidup dan setelah mati. Yang jelas tak akan
ter?tandingi oleh Somawinata.
Maka dengan jantung berdegup oleh kecemasan
yang sangat, ia cepat meneruskan. Setengah me?
mohon, "Telah sekian puluh tahun aku mengurus dan
mengabdikan diri pada cucu buyutmu"yang raganya
kini kautempati. Apakah tidak ada imbal jasa barang
se?dikit pun jua?" 210 9/25/2013 8:42:38 AM "Kau tahu aturan yang berlaku di alam gaib, Ki
Soma!" jawab Nyi Katon melalui mulut Suherman
yang tampak mengurai senyuman mengejek. "Sekali
sumpah sudah terucap, tak ada lagi ludah yang boleh
dijilat kembali!" Mendengar itu, harga diri Somawinata seketika ter?
usik. Lantas melam?piaskannya dalam geraman marah,
"Dasar penyihir. Maunya menang sendiri!"
Menggeram demikian, Ki Soma bergerak dengan
cepat. Sangat cepat. Kare?na sebelum kalimatnya ber?
akhir, keris Nagapati yang tertancap di tanah berpasir,
tahu-tahu saja sudah berpindah tempat. Sudah ter?
genggam di tangan Somawinata, yang tidak pula se?
kadar diacung-acungkan mengancam. Tetapi begitu
di?genggam, langsung ditusukkan ke lambung


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suherman. Dengan seketi?ka serta disertai dorongan
keras dan kuat tubuh Somawinata yang menyer?bu ke
depan saat menyerang. Aneh, Suherman tidak menghindar.
Dan tak pelak lagi, mata keris langsung menembus
lambung Suherman dengan tusukan mengarah ke
jantung. Tembus seluruhnya, hanya meninggalkan
gagang yang masih tergenggam di tangan Somawinata.
Yang seketika dibuat heran karena Suherman tidak
menghindar. Malah tersenyum. Mengejek. Dan se?
belum keheranan Somawinata berakhir, senyuman
meng?ejek di bibir Suher?man sudah berubah menjadi
i-Kolam Darah.indd 211 211 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 212 senyuman kejam. Disertai terdengarnya umpatan
marah Nyi Katon Pemikat, "Bodoh!"
Bersama umpatan marahnya, tangan Suherman pun
begerak cepat mendorong tubuh Somawinata yang
langsung terjungkal ke belakang.
Sambil melontarkan kutuk, "Jadilah kau sebagai?
mana harusnya jadi!"
Dan itulah memang yang kemudian terjadi.
Pada saat Somawinata merayap bangkit untuk
serang??an lanjutan"-?paling tidak mempertahankan
diri, tubuhnya sudah telanjur berubah wujud dengan
cepat dan seketika. Dari wujud manusia ke wujud
seekor ular yang tampak melingkar terkejut sejenak di
tanah berpasir, sebelum kemudian mengangkat leher
dan moncongnya untuk mengawasi Suherman dengan
pandang?an memelas. Tak percaya.
"Enyah dari hadapanku! Enyah...!" jerit Nyi Katon
Pemikat melalui mulut Suherman yang terlompat
bang?kit memandangi sang ular dengan muka mem?
perlihatkan perasaan jijik. "Dan berterima kasihlah,
karena aku masih bermurah hati mengabulkan yang
kau minta. Imbal jasa untuk tetap dibiar?kan hidup.
Hihihi...! Disertai ringkik mengerikan Suherman, sang ular
pun merayap pergi dan dalam tempo singkat lenyap
di antara pepohonan yang menggelap oleh gulitanya
ma?lam. Berdiri mengawasi kepergian sang ular bebe?
rapa saat dengan wajah gembira, Suherman yang
212 9/25/2013 8:42:38 AM lambungnya robek berdarah-darah cepat memungut
keris yang tadi terlempar sewaktu Somawinata ia do?
rong terlempar. "Senjata murahan...!" ucap Suherman dengan suara
dingin Nyi Ka?ton selagi mengamati keris di tangan?
nya disertai gelengan kepala melecehkan. "Tetapi
boleh?lah...!" Bersama keris yang tergenggam di tangannya,
Suherman kemudian melangkah keluar dari lingkaran
obor. Berjalan menuju kegelapan malam yang gumpal?
an kabutnya tampak bagai menyeruak untuk memberi
jalan. Sam?bil berbicara sendiri, gembira, "Tetapi mulai
sekarang, lupakan sosok pal?su Anggadireja yang me?
nyebalkan itu. Sudah tiba saatnya untuk tampil se?
bagai dirimu sendiri! Hihihi...!"
Suherman terus meringkik dan meringkik. Sambil
terus melangkah dan melangkah semakin jauh. De?
ngan luka robek pada lambungnya terus pula me?
ngalirkan darah merah segar pada setiap langkahnya.
Yang mulanya tampak jatuh membanjir. Tetapi lambat
laun jatuhnya darah ke tanah tampak sema?kin se?
dikit. Bahkan kemudian hanya tinggal tetes demi tetes.
Pertanda persediaan darah di tubuh Suherman su?
dah semakin habis. Semakin tak bersisa.
i-Kolam Darah.indd 213 213 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 214 25 MAHARANI serta Elisa sudah memutuskan untuk
tidur saja, ketika dentang bel pintu depan terdengar
me?mecah heningnya malam di dalam rumah. Yang
lang?sung membuat Maharani seketika terlonjak ba?
ngun dari rebahnya dengan gembira.
"Nah. Itu mereka sudah datang," katanya seraya
turun dari ranjang dan langsung pergi ke pintu. "Kau
tunggu?lah di sini. Nanti aku akan kembali menemani?
mu. Oke?" Elisa yang tak juga terpejam meski sudah me?
minum obat penenang yang diberikan Maharani se?
belumnya, hanya menjawab dengan anggukan lemah
meski sebenarnya ia ingin memberitahu bahwa ia ta?
kut ditinggalkan sendirian. Ketakutan Elisa kian men?
jadi manakala beberapa saat kemudian sapuan ha?wa
dingin yang tadi, merembes masuk lagi ke dalam
214 9/25/2013 8:42:38 AM kamar. Tidak terlalu keras. Namun sengatannya se?
demi?kian kuat dan tajam, membuat sekujur tubuh
Elisa menggigil gemetar dibalik selimut tebal yang ia
rapatkan ke tubuhnya. Hawa dingin yang sama juga dirasakan oleh
Maharani saat ia menjelang tiba di pintu depan dan
sempat membuat Maharani diam tertegun. Heran ber?
campur takut. Namun perasaan itu segera ia lupakan
setelah dari sebelah luar pintu di hadapannya ter?
dengar suara memanggil lembut, "Rani" Ayo?lah.
Sayang?ku, buka pintunya..."
"Kang Herman!" desah Maharani, kembali gem?
bira. Dan dengan gembira pula ia cepat memutar anak
kunci sekaligus membu?ka pintu lebar-lebar. Ternyata
benar, Suherman yang kemudian ia lihat tegak di
hadap?annya. Sambil tersenyum kaku melalui bibirnya
yang pucat membiru. Begitu pula kulit wajah. Juga
pucat membiru. Yang membuat kegem?biraan
Maharani seketika lenyap hilang.
Lantas bertanya terkejut. "As?taga, Kang Herman.
Kok wajahnya begitu pucat. Seperti mayat?""
Bibir pucat sang suami bergerak membuka untuk
menjawab. Gerakan kaku, seperti juga ucapannya ke?
mudian yang terdengar sangat kaku. Juga ter?putusputus, "Aku"kehabisan darah, Maharani. Tetapi aku
segera akan mendapatkan"darah pengganti. Dari?".
Diam sesaat sambil tersenyum menakutkan, Suherman
i-Kolam Darah.indd 215 215 9/25/2013 8:42:38 AM i-Kolam Darah.indd 216 pun mengangkat lengannya yang baru saat itu terli?hat
oleh Maharani menggenggam sesuatu. Yakni sebilah
keris berlekuk serta berlumur darah. Yang diarahkan
pada Maharani sambil mengakhiri kalimatnya.
"Kau...!" Maharani pun tegak terkesima.
Bukan hanya keris berlumur darah itu saja yang
membuatnya terkesima. Melainkan oleh sesuatu yang
lain yang kemudian juga dilihatnya. Yakni lambung
sang suami yang tampak berlubang menganga dengan
noda genangan darah yang mengering dan tampak
memerahi baju kemeja maupun celana panjang
Suherman. "Apa?" desah Maharani kelu, ngeri.
Desahan yang tidak berlanjut, karena sang suami
su?dah keburu menim?pali dengan seringai lebar, "Tak
usah takut, sayangku. Aku datang bersama cinta"un?
tuk menuntaskan perseteruan leluhur kita berdua!"
Ngeri sekaligus bingung, Maharani sudah berniat
untuk menutup pintu di hadapannya sekaligus berlari
menyelamatkan diri. Sayang, tangan maupun kakinya
tidak mau bekerjasama dengan perintah otak. Dan
selagi Maharani berpikir bahwa ia sebenarnya tengah
bermimpi buruk, sang suami sudah me?langkah
masuk. Suherman mencengkeram lengan Maharani
yang kemudian ditarik setengah diseret masuk ke
ruang tengah sambil berbicara dengan suara serak
terputus-putus. 216 9/25/2013 8:42:39 AM "Ayolah. Kita akan melakukannya di hadapan ka?
kek buyutmu"si terkutuk Anggadireja! Sebuah upa?
cara pentasbihan"atas nama leluhurku tercinta"Nyi
Katon Pemikat!" "Aduh. Kang Herman. Jangan!" Maharani me?
mohon ketakutan di antara ucapan yang lebih menye?
rupai umpatan-umpatan marah suaminya. "Lepaskan
aku! Lepaskan, Kang Herman. Lepaskan..."
Suara memohon Maharani terdengar sampai ke
lantai atas. Meski lebih takut daripada Maharani, Elisa yang
se?cara naluriah menyadari kakak i?parnya dalam
bahaya cepat melemparkan selimutnya dan langsung
menghambur bergegas keluar kamar tidurnya. Tetapi
ia hanya berlari sampai undakan atas tangga. Karena
langsung tertegun membeku ketika melihat apa yang
sedang berlangsung di lantai bawah.
Suherman yang penampilannya tampak mengerikan
dengan sebilah keris berlumur darah teracung pula di
tangannya tampak menyeret Maharani ke depan
tungku pendiangan yang apinya tinggal liukan-liukan
lemah saja, mendekati padam. Menendang kursi berat
dan besar yang menghalangi langkah?nya serta mem?
buat kursi itu langsung melayang membentur rak
yang kacanya seketika pecah berhamburan, adegan
me?nyeramkan itu pun berlangsunglah di depan mata
Elisa yang tertegak pucat di beranda lantai atas.
Dengan sebelah tangan menggenggam keris dan
i-Kolam Darah.indd 217 217 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 218 tangan lainnya setengah merangkul Maharani yang
me?ronta-ronta untuk melepaskan diri, Suherman se?
kali lagi menendang. Kali ini ke kursi dari kayu jati
di dekatnya. Yang langsung bergerak menggeser se?
belum diam berhenti. Persis di depan tungku. Di
sana sang Juragan Besar diam mengawasi dari kanvas
luki?san tua tempatnya mendekam. Mengawasi dengan
sorot matanya yang bersinar lembut, serta senyuman
tipisnya yang misterius. Hanya mengawasi! Dan ketika Suherman menyeret paksa lalu merebah?
kan tubuh sang istri melintang setengah tertekuk di
atas meja duduk, sang Juragan Besar tetap tidak ambil
peduli. Juga tidak terhadap kata-kata menakutkan
yang dilontarkan Suherman pada lukisan dirinya, sam?
bil lutut Suherman menjepit kuat kedua kaki
Maharani yang meronta bahkan kemudian menendang
sia-?sia. "Kini, Anggadireja!" begitulah Suherman berbicara
gembira ke arah lukisan tua di atas tungku pendiang?
an. "Akan kau lihat bagaimana aku me?nyedot habis
darah keturunanmu yang masih tersisa! Dan akulah
kelak yang berkuasa! Menguasai serta memperbudak
roh semua keturunanmu. Bahkan juga rohmu.
Hahaha...!" Bersama suara tertawanya yang membahana dan
terasa menggetarkan se?antero rumah serta lantai be?
randa atas tempat kaki Elisa berpi?jak, Suherman pun
218 9/25/2013 8:42:39 AM bersiap diri melaksanakan upacara ritual yang ia sebut?
kan. "Darahmu Maharani?" ia berbicara parau pada
sang istri yang re?bah tertekuk dan terperangkap di
meja duduk. "Akan membuatku hidup kemba?li, ke?
hidupan yang abadi. Dan keris leluhurmu ini,
Nagapati"-" Suherman mengangkat tinggi keris di
tangannya. Siap untuk dihunjamkan. "A?kan bertindak
sebagai algojo yang akan mencabut nyawamu dengan
sepenuh kasih!" "Tidak! Aduh, jangan Kang Herman. Tolonglah."
Maharani terus berjuang melepaskan diri dengan se?
genap tenaganya yang masih tersisa. "Aku istrimu.
Aku mencintaimu. Dan..."
"Perempuan bodoh!" bentak Suherman. "Berhenti?
lah menyiksa dan menangi?si diri. Semuanya akan
ber?langsung cepat. Bahkan kau akan sudah mati, se?
belum kau merasakan apa-apa!"
Saat itulah terdengar jeritan lain.
Yakni dari mulut Elisa yang akhirnya tersadar dari
ke?ter?pukauannya. "Tidak! Jangan lakukan itu, Mas
Herman!" Dan sambil menjerit demi?kian, Elisa pun meng?
hambur panik menuruni tangga tanpa memedulikan
ke?selamatan dirinya. Langsung menghambur ke arah
Suherman sambil menjerit?kan permohonannya. "Lepas?
kan dia, Mas. Kau pasti sudah kerasukan setan!"
Suherman seketika mengangkat muka. Tertegun.
i-Kolam Darah.indd 219 219 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 220 "Setan?" gumamnya. Berat dan marah seraya me?


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mandangi Elisa yang sudah tiba dan tegak dengan
wajah memohon di hadapannya. "Kau sebut apa tadi
leluhurku, eh" Setan?"
Elisa tidak menanggapi. Dalam ketakutan serta ke?
ngeriannya, Elisa hanya berpikir bagaimana ia harus
menyelamatkan Maharani dari maksud jahat sang
suami. Dan itulah yang memang dilakukan oleh Elisa.
Melangkah maju ke depan dengan nekat. Sekaligus
meraihkan tangannya ke arah keris yang tergenggam
di tangan Suherman. Sambil berbicara tanpa melihat
pada Maharani, "Lari, Mbak Rani! Lari dan selamat?
kanlah dirimu!" Keris gagal direbut oleh Elisa dan hanya mampu
memegang lalu mencengkeram pergelangan tangan
Suherman yang seketika dibuat marah alang kepa?lang.
Namun paling tidak, perbuatan nekat Elisa berhasil
mengalihkan perhatian Suherman yang tanpa sadar
melepaskan rangkulan tangan kiri dan jepitan kedua
lututnya pada tubuh sang istri. Sempat terbatukbatuk, Maharani yang merasa dirinya terbebas lang?
sung menggulingkan diri ke lantai. Dan secepat ter?
guling, secepat itu pula ia merangkak menjauh.
Sementara perebutan keris di tempat yang ia
tinggal?kan berakhir fatal.
"Kau, manusia hina dina!" pekik Suherman murka
pada Elisa. Sambil menjeritkan kemurkaannya, Suherman bu?
220 9/25/2013 8:42:39 AM kan?nya berusaha melepaskan cengkera?man tangan
Elisa pada pergelangannya. Ia menarik pergelangan
tangannya yang menggenggam keris sekaligus menarik
tangan yang mencengkeram ke ba?wah. Sebuah tarikan
cepat dan kuat. Lalu sebelum Elisa sempat menyadari apa yang di?
laku?kan oleh abang iparnya, Suherman sudah men?
dengus dengan seringai marah. "Hm, Bagus. Kau
bantulah aku menusuk jantungmu sendiri...!"
Itulah memang yang terjadi.
Bersama kedua tangan Elisa yang masih mencengke?
ram pergelangan ta?ngan Suherman yang menggenggam
keris, siku lengan Suherman untuk sesaat tampak me?
narik tertekuk ke belakang. Secepat tertekuk, secepat
itu melurus kem?bali ke depan. Yang disusul ter?dengar?
nya suara sesuatu yang terdengar le?mah bahkan
lembut. Suara kulit lambung kemudian daging-daging
Elisa yang tertembus oleh mata keris. Yang terus me?
nyerbu masuk lebih ke dalam, dengan ge?rakan me?
robek-robek. Dan bukan hanya dari lambung.
Akibat dari serbu?an keris yang merobek-robek itu,
darah merah segar bahkan juga sampai tersembur ke?
luar dari mulut Elisa yang terbuka mengejut. Sembur?
an darah yang muncrat seketika ke wajah pucat bagai
mayat yang merapat sangat de?kat di hadapan wajah
Elisa. Membuat wajah Suherman yang pucat membiru
seketika dibasahi genangan darah merah segar.
i-Kolam Darah.indd 221 221 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 222 Maharani yang sempat menyaksikan, sebenarnya
ingin menjerit. Namun jeritannya tertahan di teng?
gorok?an. Tak mampu keluar. Karena lutut Maharani
sudah keburu tertekuk. Lantas tubuh Maharani pun
ambruk seketika di lan?tai. Jatuh tak sadarkan diri.
Di depan tungku pendiangan, tubuh lainnya me?
nyusul ambruk. Yakni tubuh Elisa, yang sudah ke?
hilangan nyawa bahkan sebelum tubuh itu menghantam
lantai. Lantas menggeletak diam dan kaku, dengan
mulut dan mata terbuka lebar. Dilanda teror.
Menatap gembira ke mayat Elisa yang tergeletak di
depan kakinya, Suherman pun menggeleng-geleng.
Juga gelengan gembira, bukan prihatin.
"Bagus...! Bagus benar!" gumamnya serak dan
parau. "Makin banyak roh yang kurenggut, akan
mem?buatku semakin bertambah kuat. Sayang aku ter?
lupa menghir?up darahnya melalui keris di tanganku
ini sehingga..." Suherman tidak meneruskan.
Tampak teringat, Suherman kembali tersenyum.
Dan sambil tersenyum?-senyum genangan darah Elisa
yang membasahi bibirnya, cepat dijilati. Mungkin te?
rasa kurang, Suherman kemudian menjilati pula darah
Elisa yang masih menetes-netes pada mata bahkan
gagang keris di tangannya. Dijilati dengan sepenuh
rasa. Sepenuh nikmat. Sampai tiba-tiba, Suherman mengernyitkan dahi.
Tampak seperti terke?jut. Lalu heran.
222 9/25/2013 8:42:39 AM "Aneh. Mengapa aroma darahnya berbeda?"
Masih terheran-heran, Suherman kemudian men?
jatuh?kan keris di tangan?nya. Dan cepat mendekap
perut, juga dada. Berganti-ganti, sambil tubuhnya ter?
tekuk dengan wajah yang berubah menahan sakit.
"Tidak, aduh," erang Suherman bagai tersiksa. " Ini
tidak mungkin. Pasti ada yang salah!"
Apa pun itu, yang lebih jelas dan pasti adalah
tubuh Suherman kemudian ikut ambruk ke lantai. Di
sana tubuh itu kemudian menggeliat ribut setengah
melingkar-lingkar. Sambil di tengah geliat tersiksanya
itu, terde?ngar bukan erangan sakit lagi. Melainkan
umpatan marah seorang perempuan.
Umpatan marah siapa lagi, jika bukan Nyi Katon
Pemikat. "Sialan, Aku ha?rus keluar sekarang juga!"
Geliat tersiksa Suherman entah bagaimana langsung
berhenti diam. Dari tubuh yang tertekuk setengah melingkar dan
sudah mati itu, muncullah keluar bayang-bayang
sesosok tubuh yang dengan cepat menjelas. Dan pada
saat berikutnya, di sebelah tubuh Suherman sudah
berdiri tegak seorang perempuan muda jelita yang
me??ngenakan busana bangsawan tempo doeloe. Leng?
kap dengan hiasan-hiasan serba indah bergemerlap.
Baik di pergelangan lengan, kaki, maupun telinga
serta rambutnya yang hitam tebal, panjang terurai.
Ber?kilau-kilau. Dan wajahnya yang jelita, tetap saja tampak jelita
i-Kolam Darah.indd 223 223 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 224 ketika mengawasi lalu menggerutu kesal pada mayat
Suherman yang tergeletak di depan kaki?nya.
"Bodoh, Suherman. Bodoh...! Mestinya kau tidak
grasa-grusu begitu. Lihatlah akibatnya pada dirimu.
Benar-benar menyedihkan. Seharusnya kau masih bisa
kukaruniai kehidupan. Tetapi..."
"Tuhanku...!" Menghentikan gerutuan kesalnya, Nyi Katon
Pemikat seketika berpa?ling oleh tiga bisikan terkejut
tetapi dengan satu bisikan yang sama. Tu?hanku!
Dan tampaklah olehnya siapa saja yang telah men?
desahkan bisikan ter?kejut itu. Pertama, Sarijah yang
baru saja terjaga dari mimpi buruk lan?tas cepat berlari
ke rumah induk dari mana ia dengar suara-suara
aneh. Lalu kemudian melihat kenyataan yang jauh
lebih buruk dari mimpinya. Tiga sosok tubuh yang
orang?nya ia kenali, dan kini ia lihat terge?letak ber?
serak?an di lantai ruang duduk yang dibasahi
merahnya darah. Dua lainnya yang juga berbisik terkejut adalah
Agus serta ayahnya, Ardi. Seperti halnya Sarijah, be?
gitu turun dari mobil di halaman rumah, mereka
ber?dua juga mendengar suara-suara aneh yang mem?
buat Agus serta Ardi langsung menghambur masuk ke
dalam. Melalui pintu depan yang ketika mereka tiba,
tampak sudah terbuka menganga.
Pembisik-pembisik yang tidak hanya terkejut.
Tetapi juga tertegak pucat di tempat masing-masing
224 9/25/2013 8:42:39 AM setelah mereka menghambur masuk lantas tertegun
ngeri. Dan ketiga anak-beranak itu, seperti halnya se?
waktu mereka masuk, kemudian juga bagai di?
komando memandang ke arah yang sama. Sosok yang
tak dikenali baik oleh Sarijah maupun suaminya Ardi.
Tetapi secara naluriah langsung dikena?li oleh Agus,
yang kemudian bergumam menduga-duga.
"Nyi Katon Pemikat..."
Dan si jelita dari masa lalu itu pun tersenyum.
i-Kolam Darah.indd 225 225 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 226 26 KEJELITAAN serta senyuman manis Nyi Katon
seharusnya sangat menarik dan menghibur hati.
Tetapi baik Sarijah yang tertegak di pintu tembus
ke ruang belakang maupun Agus serta ayahnya yang
tertegak di arah ber?seberangan, sedikit pun tidak ter?
hibur. Simbahan darah merah segar di ha?dapan me?
reka ditambah tiga sosok tubuh berserakan yang me?
reka kira sudah mati, benar-benar merupakan sebuah
teror mengerikan. Dan kehadiran si jelita dari masa
silam itu di mata mereka justru malah semakin me?
nambah cekaman teror. "Bagus kau mengenali aku?" Nyi Katon berujar
manis pada Agus. Sam?bil tampak menaksir-naksir pe?
nampilan Agus. Dari ujung rambut sampai ke ujung
kaki. "Karena"-"
"Ah, uh, ah?" terdengar suara mengerang. Lirih.
226 9/25/2013 8:42:39 AM Ternyata Maharani, yang entah bagaimana tersadar
sendiri dari ping?sannya. Tetapi secepat ia menggeliat
tersadar, secepat itu pula tubuhnya ambruk lagi. Ka?
rena ketika mengangkat muka, yang pertama-tama
ter?lihat olehnya adalah wajah pucat membiru sang
suami dua tiga langkah di hada?pannya. Yang seakan
me?natap Maharani, dengan sorot mata putihnya yang
mem?belalak mati tampak seperti masih menyiratkan
keinginannya untuk membu?nuh lalu mengisap darah
Maharani. "Manusia lemah...!" Nyi Katon berkata tersenyum
seraya memandangi sosok Maharani dengan wajah
prihatin. "Aku paling benci darah ma?nusia lemah se?
perti dia. Tetapi..."
Hanya sampai di situ. Karena mendadak sontak, teror lainnya sudah da?
tang menyusul. Diawali oleh bibir sensual Nyi Katon
yang mendadak mengatup rapat seperti merasa adanya
sentakan mengejutkan pada lambungnya. Wajah jelita?
nya yang semula memperlihatkan ungkapan prihatin,
tampak berubah seperti orang yang ter?heran-heran.
Dan mulutnya baru saja membuka untuk menyatakan
keheranannya manakala asap hitam tebal tampak
merebak keluar dari sekujur tubuhnya.
Me?mandangi asap hitam yang terus merebak keluar
itu, Nyi Katon akhirnya mampu juga membuka mu?
lut untuk melontarkan keheranannya, "Tidak. Ini"
tidak mungkin terjadi! Aku..." Tanpa meneruskan
i-Kolam Darah.indd 227 227 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 228 kalimatnya, Nyi Katon tahu-tahu saja sudah ter?
dongak, lantas menjerit lengking penuh kemarahan
dengan sekujur tubuhnya tampak gemetar hebat,
"Tidaakkk...!" Bersama jeritan marahnya yang lengking panjang
itu, sekujur tubuh Nyi Katon dibalik sapuan asap
yang menyelimuti dirinya, tampak mengalami peru?
bahan wujud yang sangat cepat, drastis, serta me?
ngejutkan. Kulitnya yang pu?tih halus serta mulus,
berubah mengeriput kehitam-hitaman. Sebaliknya de?
ngan rambut indahnya yang hitam berkilauan. Justru
berubah menjadi putih, kering serta awut-awutan.
Lantas bersama semakin menipis lalu lenyapnya
kepulan asap yang berhenti merebak, jeritan panjang
Nyi Katon pun berakhir. Dan ketika lehernya dilurus?
kan untuk menatap liar ke sekitarnya, maka yang
me?natap itu bukanlah wajah atau sosok seorang wa?
nita muda jelita. Tetapi sudah berubah menjadi wajah
serta sosok menyedihkan seorang nenek renta. Yang
setelah memandangi kulit lengannya yang me?ngeriput
kering, bergumam-gumam antara campuran marah
dan ketidakpercayaan, "Mustahil... Mustahil aku juga
bisa terjangkiti... "
Dan selagi para penyaksinya masih dibuat terkesima
di tempat mereka masing-masing berdiri, Nyi Katon
cepat berbalik tubuh lalu menatap liar ke arah lukisan
tua di atas tungku pendiangan. Ke arah mana Nyi
Katon yang sudah berubah wujud jadi nenek renta
228 9/25/2013 8:42:39 AM itu berbicara memaki, "Kau. Pas?ti semua ini per?buat?
an?mu. Kau, suami dan juragan terkutuk!"
Lalu Nyi Katon menjambaki rambut sendiri seraya
melanjutkan sumpah serapahnya. "A?kan kubalas kau,


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di manapun kau berada! Akan kubalas kau!"
Karena sosok pada lukisan tua hanya diam mem?
bisu, Nyi Katon melompat?-lompat marah di tempat?
nya berdiri. "Kau dengar aku, Anggadireja" Jangan
ber?pura-pura diam. Jawablah! Jawablah! Jawablah...!"
Kesempatan bagus, Agus membatin di tengah
cekaman teror yang sempat membuat sekujur peredar?
an darahnya bagai berhenti mengalir lalu diam mem?
beku. Kesempatan bagus yang pantang dilewatkan. Ia
cepat berbicara sete?ngah berbisik pada ayahnya, "Bawa
Kak Rani serta Emak keluar dari sini, Pak. Cepat?
lah...!" Ardi yang juga dicekam teror hanya terpana ke?takut?
an mengawasi Nyi Katon yang terus mencaci maki
lukisan tua di atas tungku pendiangan. Lain hal?nya
de?ngan Sarijah yang kebetulan berada paling dekat de?
ngan tempat Maharani tergeletak pingsan. Sama halnya
seperti Agus, Sarijah cepat memanfaatkan ke?sempat?an
bagus yang terlintas begitu saja dalam pikir?an?nya. Pikir?
an atau otak seorang perempuan yang telah mengasuh
Maharani semenjak masih bayi. Yang sama halnya
dengan pikiran seorang ibu, "Selamatkan anak?mu!"
Dan dengan melupakan semua ketakutan serta
kengeriannya, Sarijah pun menghambur ke depan
i-Kolam Darah.indd 229 229 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 230 untuk membungkuk lalu menarik lengan Maharani
yang dengan cepat ia seret menjauh.
"Bantu ibu, Pak!" Agus kembali berbisik. Kali ini,
sambil menampar pantat ayahnya sampai Ardi tampak
mengerjap tersadar. "Aku akan tetap di sini. Untuk
mengalihkan perhatiannya!"
Masih terkesima, Ardi cepat berlari menuju istrinya
untuk bantu mengangkat lalu membopong Maharani.
Lantas sambil mundur ketakutan bersama istrinya,
Ardi melihat pada sang anak dengan mulut terkatup
rapat. Tak kuasa berbicara. Hanya sorot matanya yang
ketakutan sajalah yang berbi?cara, "Lari, Nak. Lari.
Se?lamatkan dirimu..."
Agus tidak lari. Ia sudah tahu siapa yang ia hadapi. Juga tahu, bah?
wa ia harus berbuat sesuatu.
Dalam mimpi buruknya di tengah amukan laut
ganas Selat Banda, Agus sempat meraih tangan lalu
me?narik Maharani dari sedotan gelombang kolam
darah. Lalu telepon yang mengabarkan kematian
Juragan Papa-nya, berdering. Mimpi buruk itu pun
ber?akhir tanpa jelas makna maupun buntutnya.
Kini makna mimpi itu jelas sudah. Suharyadi serta
Ru?di mati, sama seperti dalam mimpinya: terseret
masuk ke dalam gelombang darah. Tinggal ujung dari
mimpi itu yang harus ia buktikan. Selamatkah
Maharani" Atau Agus juga gagal menyelamatkan kakak
angkat yang disayangi serta menyayangi dirinya itu"
230 9/25/2013 8:42:39 AM Jawabannya cuma satu. Juga tanpa kepastian: tetap?
lah di tempatmu. Lalu lihat dan tunggu!
Agus pun diam menunggu. Seraya jantungnya dibuat semakin tercekam mana?
kala melihat Nyi Ka?ton renta dalam marahnya kem?
bali melompat tinggi ke atas tungku pendiangan. Dan
ketika turun lagi dengan cepat, lukisan tua yang
sudah tergantung selama seratus tahun pada tembok
di atas tungku itu langsung ia bantingkan ke lantai.
De?ngan keras dan kasar. Setelah mana Nyi Katon me?
lompat lalu meng?injak-injak lukisan penuh kemarah?
an. Disertai jeritan-jeritan lengking mengumpat, "Ke?
luarlah dari sosok lukisanmu, suami terkutuk! Keluar
dari peresembunyianmu dan hadapi aku sekarang
juga...!" Dan entah apa lagi umpatan lengking Nyi Katon,
satu hal sudah pas?ti. Ardi dibantu istrinya yang baru
saja merebahkan Maharani di ranjang kamar tidur
me?reka, seketika mengangkat muka. Sambil wajahnya
tampak berubah kaku membeku, Sarijah yang melihat
langsung mendesah, kuatir. "Apa, Pak" "
"Kau dengar yang barusan itu?" jawab Ardi. Lirih
ber??gemetar. "Mendengar apa?"
"Suara perempuan yang mengerikan itu..." jawab
sang suami. Lirih bergemetar. "Yang menuntut Juragan
Besar supaya keluar dari"sosok lukisannya!"
Belum juga Sarijah sempat mengomentari, tampak
i-Kolam Darah.indd 231 231 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 232 seperti tersadar Ardi cepat berlalu tanpa pamit dari
kamar mereka. Ia bergegas kembali ke rumah induk
sam?bil bergumam sendiri, gelisah. "Sosok, oke. Tetapi
darah...! Dari mana dan bagaimana aku harus
mendapatkan darah Juragan Besar?"
Terbingung-bingung bercampur takut mengawasi
kepergian suaminya, Sari?jah cepat menutupkan pintu.
Lantas menghambur ke dekat ranjang di atas mana
Maharani masih terbaring pingsan. Menjatuhkan diri
ke lantai di pinggir ranjang itu, Sarijah kemudian ber?
sujud mencium lantai. Lantas berdoa dengan bukan
hanya suara tetapi juga pundak, jantung, bahkan ulu
hati yang bergemetar. Sambil dari rumah induk terus terdengar hujatan
marah Nyi Katon pada mantan suaminya Anggadireja.
Yang terasa mengusik doa Sarijah. Dan kemu?dian mem?
buatnya nyaris menjerit manakala ranjang disam?ping?
nya terdengar berderit ribut. Menyangka Nyi Katon
sudah menyerbu masuk ke kamarnya un?tuk merampas
Maharani, Sarijah cepat mengangkat muka. Takut
bercampur ma?rah oleh keinginan untuk melindu?ngi.
Dan melihat Maharani kiranya lagi?-lagi terjaga sendiri
dari pingsannya. Menggeliat bangun dari rebah, sambil
matanya mengajukan seribu tanya kebingungan. Di
mana aku" Apa yang terjadi" Dan entah apa lagi.
Lalu pertanyaan terakhir.
"Siapa perempuan yang menjerit-jerit mengerikan
itu?" 232 9/25/2013 8:42:39 AM 27 PUAS menginjak-injak lukisan yang berada dalam
bingkai kayu jati berukir di bawah kakinya, Nyi
Katon kemudian berhenti dengan wajah yang sekali?
gus tampak kecewa berat. Karena sosok pada kanvas
lukisan yang sudah ia injak serta ia hujat habis-habis?
an, tetap diam membeku pada kanvas lukisan sebagai?
mana layaknya benda mati. Dengan rona wajah sang
Juragan Besar tetap pula sebagaimana terlihat selama
seratus tahun waktu yang sudah berlalu. Menatap lem?
but, disertai senyuman tipisnya yang terkesan miste?
rius. Lompatan-lompatan marah Nyi Katon bukan ber?
henti begitu saja. Namun berhenti secara mendadak.
Tepat pada saat Agus baru bergerak melangkah untuk
mengambil keris berlumur darah yang tergeletak tak
jauh di hada?pannya. Yang langsung ditanggapi Nyi
i-Kolam Darah.indd 233 233 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 234 Katon dengan bisikan dingin meng?hunjam, "Biarkan
keris busuk itu di tempatnya, anak muda!"
Agus langsung tertegun di tempatnya, sambil me?
nyesali diri terlambat menyadari keberadaan keris di?
maksud. Nagapati asli, kata Nyi lmas. Senjata
pamungkas kakek buyut angkat Agus. Yang diyakini
Nyi Imas pasti telah di?isi kembali oleh Somawinata,
entah dengan apa atau tujuan apa!
"Jangan kuatir, Nak"," terdengar bisikan lain di
telinga Agus. Bisi?kan lemah namun terdengar tegang
dari mulut Ardi. Yang diam-diam sudah kembali dan
langsung berdiri di sebelah anaknya. "Aku ada di sini.
Untuk membantumu...!"
"Memang harus begitu, ayah yang malang!" Nyi
Katon berkata menanggapi. Seraya melangkah keluar
dari lukisan yang diinjaknya. "Tetapi bagaimana kau
akan membantu anakmu, yang di dalam tubuhnya
mengalir darah seorang Anggadireja?"
Sementara Ardi dibuat terdiam pucat oleh kata-kata
Nyi Katon, Agus menggumam terkejut. "Apa maksud?
mu, Nyi Katon?" Nyi Katon pun meringkik gembira. "Hihihi...!
Belum tahu jugakah kau?"
"Tahu mengenai apa?"
"Bahwa kaulah anak haram itu," jawab yang di?
tanya. Dan cepat meneruskan sam?bil kembali me?
ringkik. Kali ini ditujukan pada Ardi. "Hihihi, hebat.
Hihihi...! Jadi kau tak pernah bercerita pada anakmu.
234 9/25/2013 8:42:39 AM Bahwa kau ini laki-laki mandul! Sepanjang hidupmu"
Hebat, hebat. Hihihi...!"
"Aku! Anak haram?" tanya Agus. Semakin terkejut.
"Anak haram siapa?"
Nyi Katon pun mendelik liar ke arah Ardi. Tampak
meng?ancam, seraya membentak nyaring, "Jawab per?
tanya?annya, orang tua bodoh dan hina!"
Agus seketika berpaling pada ayahnya. Dengan
pandangan bertanya. Yang membuat sang ayah justru
semakin pucat, lantas mencoba menghindarkan tu?
duhan Nyi Katon. Namun sorot mata tajam si pe?
rempuan renta dan juga tata?pan serius dari mata
anak?nya yang bertanya, membuat Ardi seketika me?
nyada?ri sudah terlambat untuk mengelak. Maka de?
ngan wajah pucat, Ardi pun mengga?gap gemetar,
"Kau, aduh...! Maksudku, ibumu"aduh!"
"Emak, Pak?" tanya Agus dengan sekujur tubuh
men?dadak terasa dingin. "Mengapa dengan Emak?"
"Diperkosa!" Nyi Katon-lah yang menjawab karena
Ardi hanya bisa menggagap dan menggagap tanpa
suara. "Kau dengar itu, anak cakep" Diper?kosa! Tiga
puluh tahun yang lalu. Persis di tempat di mana aku
sekarang ini berdiri. Oleh laki-laki hina. Yang kau
sebut Juragan Papa!"
"Benarkah itu Pak?" tanya Agus pada ayahnya. De?
ngan bulu roma pada berdiri tegak. Bukan lagi oleh
cekaman teror yang ditimbulkan oleh Nyi Ka?ton.
Melainkan, ngeri oleh apa yang ia dengar. Lebih-lebih
i-Kolam Darah.indd 235 235 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 236 lagi oleh sikap ayahnya yang tampak tidak berdaya.
Dan di mata Agus, jelas sudah adalah pengakuan tak
langsung. Yang memang kemudian diakui langsung oleh
Ardi. Dengan suara mengga?gap gemetar, "Aduh, Nak,
maaf?kan aku. Justru karena aku mandul maka aku
tak peduli"eh, maksudku Juragan Suharyadi tidak
me?nyadari dan tidak pernah ingat apa yang diperbuat?
nya. Dan, eh aduh"! Maksudku, ibumu hamil. Dan
kami berdua mendambakan keturunan. Lalu,
aduh...!" "Cukup!" Nyi Katon tiba-tiba menyela dengan
hardi?kan marah dan mengejutkan, "Agaknya kalian
seperti lupa. Bahwa aku masih di sini!"
Lupa" Jelas tidak. Karena pikiran kedua anak beranak itu
sedang teralih pada hal yang jauh lebih mengerikan
dibanding sekadar adanya dua mayat yang tergeletak
di dekat mereka. Bahkan dari keberadaan Nyi Katon
sendiri. Yakni, kasih sayang yang selama ini terjalin begitu
kuat. Dan kini teran?cam musnah!
Dan akibatnya langsung terlihat.
Dihantam sedemikian keras oleh palu godam
keluarga yang mengungkap rahasia kelahiran dirinya
yang begitu memalukan sekaligus menyakitkan, A?gus
pun berbalik tubuh dengan marah. Dan 1angsung
melampiaskan kemarahan?nya pada Nyi Katon dengan
236 9/25/2013 8:42:39 AM umpatan kasar, "Baiklah, perempan renta yang men?
jijikkan! Apa yang kaukehendaki dari anak haram ini,
eh?" Sempat terdiam karena terkejut oleh reaksi tak ter?
duga dari Agus, wajah Nyi Katon pun seketika tam?pak
me?merah padam. Yang membuat kulit wajah me?nge?
riput itu justru tampak semakin kering meng?hitam.
"Kau sebut apa aku barusan, cecunguk?"
Ardi yang kembali ketakutan, sudah membuka
mulut untuk memperingatkan anaknya agar menahan
diri. Tetapi emosi Agus sudah sampai di ubun-ubun.
Dan sebelum ayahnya sempat angkat suara, Agus
sudah mendahului. "Perempuan renta yang menjijikkan!" ulangnya de?
ngan suara meledak-ledak. Dan lang?sung menambah?
kan dengan apa yang ia dengar dari Nyi Imas serta
me?lintas begitu saja dalam ingatannya. "Yang ber?


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selingkuh dengan pembantu rumah? tangganya sen?
diri!" "Kau..." bisik Nyi Katon tersendat dan gemetar
oleh kemarahannya yang tiada terperi, "Entah dari
mana kau tahu, tetapi akan kuisap habis darahmu
sebagai imbalannya. Sampai ke tetes yang terakhir!"
Tanpa sempat dicegah oleh ayahnya yang putus
asa, Agus merangsek ma?ju ke depan. Tegak dengan
dada membusung nekat di hadapan Nyi Katon. Sam?
bil menanggapi tak peduli, "Ayo, silakan nenek sihir!
Isap habislah darahku sesuka hatimu. Aku lebih suka
i-Kolam Darah.indd 237 237 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 238 mati se?karang juga, ketimbang harus menanggung
peng?hinaan sepanjang sisa hidup?ku. Tunggu apa lagi"
Isap habislah! Semampu mulut busukmu mampu
meng?isap !" "Aduh, Nak, tolonglah. Jangan...!" Di tempatnya
berdiri Ardi memperi?ngatkan ngeri.
Nyi Katon mendengus gemetar.
Dan bersama dengusan gusarnya, tangan kanan
Nyi Katon pun terangkat membuka seakan menunggu
se?seorang meletakkan sesuatu ke telapak tangannya
itu. Apa yang terjadi ber?ikutnya adalah, keris ber?
lumur darah di dekat kakinya dengan cepat terangkat
naik ke udara dan tahu-tahu sudah hinggap begitu
saja di telapak ta?ngan Nyi Katon yang langsung meng?
genggam gagang keris erat-erat, seraya berkata meng?
ejek pada Agus. "Menjawab pertanyaanmu tadi, kau sangat cocok
untuk dijadikan budak pemuas nafsuku di alam gaib
nanti. Karena selain tampan gagah, kau masih perjaka
pula. Dan bukan rnulutku yang akan berlelah-lelah
meng?isap darahmu. Melainkan Nagapati, keris ke?
sayang?an kakek angkat buyutmu ini. Hihihi...!"
Agus diam membeku. Pasrah. Pasrah oleh kemarah?
an pada Juragan Papa yang ia hormati. Marah pada
ayah serta ibu kandungnya, juga marah pada diri?nya
sendiri. Dan hanya kematian yang dapat me?lenyapkan
semua kemarahan itu. Tak peduli bagai?mana caranya
kematian itu datang menjemput!
238 9/25/2013 8:42:39 AM Kepasrahan sang anak tercium oleh naluri Ardi.
Ingin menebus dosa sekaligus memperlihatkan kasih
sayangnya yang tak akan pernah putus oleh apa pun
juga, Ardi cepat menghambur ke depan. Meraih lalu
menarik Agus supaya mundur. Sambil sekaligus me?
nempatkan diri di hadapan Agus, untuk melindungi
sang anak dari amukan Nyi Katon.
Pada siapa Ardi berbicara de?ngan gagah berani.
"Tidak. Jangan kau sentuh anakku. Ambil nyawaku
se?bagai pengganti nyawanya!"
Untuk kedua kalinya Nyi Katon dibuat tertegun
oleh reaksi yang lagi?-lagi tak terduga olehnya itu. Se?
mentara di belakang punggung Ardi, Agus rnengerjap
tersadar lalu cepat memperingatkan ayahnya. "Pak"
Awas...!" Terlambat. Karena Nyi Katon sudah terlanjur murka. "Aku
tak ada urusan dengan?mu. Maka menyingkirlah!" kata?
nya membentak. Dan Ardi pun tersingkir dari hadapan Nyi Katon.
Bukan atas kemauan Ardi sendiri. Melainkan oleh
kuatnya pengaruh magis dalam bentakan pen?datang
dari masa silam itu. Yang langsung membuat tidak
hanya Ardi, tetapi sekaligus juga Agus yang tegak di
belakangnya terlempar mundur. Dengan kaki Ardi
sem?pat menyentuh lalu terkait pada bingkai lukisan
di lantai. Yang kemudian ikut terseret beberapa lang?
kah ke belakang sebelum akhir?nya jatuh terempas
i-Kolam Darah.indd 239 239 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 240 setelah lebih dulu membentur rak besar. Dengan ? kaca?
nya sudah pada pecah berserakan di lantai oleh ke?ma?
rah?an Suherman waktu akan membunuh Maharani.
Tegak gembira melihat anak beranak itu saling
jatuh berimpitan, Nyi Katon tidak membuang wak?tu.
Tangannya yang menggenggam keris diacungkan ke
atas, Nyi Katon berbicara lengking se?tengah merapal
mantra dengan tubuh serta suara gemetar. "Wahai
rembulan yang sudah berada di atas ubun-ubunku!
Melalui keris terkutuk di tanganku ini, jadikanlah
darah yang nanti kuhirup mengembali?kan kemudaan
dan kejelitaanku seperti sedia kala...!"
Dan entah apalagi"termasuk kekuatan magis yang
dahsyat untuk dapat menguasai roh mantan suaminya
Juragan Besar Anggadireja. Dengan bantuan roh-roh
keturunan Anggadireja yang katanya sudah lebih
dahulu ia kuasai. Tanpa mengetahui, di tempat mereka jatuh ter?
guling Ardi yang masih terkejut oleh akibat bentakan
Nyi Katon yang melanda dirinya maupun Agus,
mendadak diam tertegun mengawasi lukisan tua yang
ikut ter?seret dan kini tergeletak diam di depan mata?
nya. Seakan menunggu!"
"Sosoknya..." bisik Ardi tercekat sambil meraih le?
ngan Agus yang sedang berusaha bangkit dengan
kepala pusing karena terbentur ke kayu rak. "Harus
di?satukan dengan darahnya!"
"Apa, Pak?" tanya Agus heran. Sambil matanya tak
240 9/25/2013 8:42:39 AM lepas mengawasi Nyi Katon yang sudah menurunkan
tangan lalu menempatkan keris di depan wajah sambil
tampak merapal mantra tanpa bersuara.
"Mengapa aku begitu terlambat mikir?" bisik Ardi
dengan wajah mem?perlihatkan kaget bagai bocah
pemurung yang tiba-tiba memperoleh ha?diah ulang
tahun yang tak pernah ia terima. "Darahnya. Bukan?
kah itu juga berarti darah keturunannya?"
"Pak?" desah Agus tak mengerti, sambil mencemas?
kan apa yang ia li?hat dengan matanya. Yakni Nyi
Katon yang sudah berhenti merapal mantra dan kini
tengah mengawasi mereka berdua dengan pandangan
curiga. Dengan lirikan ekor mata, Ardi juga melihat hal
yang sama. Menahan perasaan ngeri, tanpa berbicara
Ardi cepat meraih pecahan kaca di dekat kakinya.
Dan masih tanpa berbicara, secepat itu pula tangan
Ardi satunya lagi meraih lalu mencengkeram per?
gelangan tangan Agus, begitu tangan sang anak tepat
berada di atas lambung lukisan diri Anggadireja.
Setelah itu Ardi berbisik gemetar, "Maafkan aku,
Nak." Lantas disertai bisikan penyesalannya, tahu-tahu
saja ujung tajam pecahan kaca sudah digoreskan de?
ngan cepat oleh Ardi ke urat nadi di pergelangan
Agus yang ia cengkeram. Yang tentu saja membuat
Agus terke?jut lantas terkesima menyaksikan darahnya
yang merembes keluar dari urat nadi, tampak me?
i-Kolam Darah.indd 241 241 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 242 ngalir jatuh lantas membasahi lambung lukisan dari
kakek buyutnya. "Sekarang, Nak. Mundur!" bisik Ardi kemudian.
"Dan robeklah bajuku untuk menutupi luka di per?
gelangan tanganmu!" Selagi Agus menurut tak mengerti, di tempatnya
berdiri mengawasi, Nyi Katon mendengus curiga, "Per?
mainan apa pula yang sedang kalian pertontonkan
padaku, eh?" Tak ada yang menyahuti. Karena Ardi sedang sibuk
merobek baju kemeja sendiri yang kemudian dengan
cepat dibalutkan serta diiikat kuat-kuat ke pergelangan
Agus yang terluka. Lalu diangkat dengan siku terlipat
dan lengan yang luka itu tegak vertikal dalam geng?
gaman Ardi, supaya darah di pergelangan itu berhenti
mengalir keluar. "Lho. Kok malah angkat tangan?" Nyi Katon sem?
pat bergumam keheranan. Sebelum tiba-tiba ia
menyadari adanya genangan darah pada kanvas luki?san
tua. Sekaligus menyadari apa maknanya. Yang se?ketika
membuat Nyi Katon berbisik gemetar, "Oh. Tidak.
Pasti bukan itu makna pesannya selama ini...!"
Kesadaran, yang juga terlambat.
Karena darah pada lambung lukisan diri Anggadireja
tampak sudah te?lanjur menyerap pada kanvas lukisan.
Menyerap hilang tak berbekas, seakan menyatu dengan
kanvas tersebut. Tanpa sedikit pun mengubah apalagi
merusak warna cat lukisan!
242 9/25/2013 8:42:39 AM Setelahnya, untuk sesaat tak terjadi atau ter?lihat
apa-apa. Ardi sudah mulai cemas bahkan mendekati putus
asa, sementara Agus berwaspada manakala melihat
Nyi Katon tampak mengangkangkan kedua kaki, me?
nempatkan bidang mata keris yang ia genggam di
depan mulut. Sambil bibirnya sibuk merapal mantra.
"Demat-demit, cekat-cekot...! Jepit dedemit, copot
dedeng?kot. Tahan dia supaya jangan keluar, sebelum
aku siap menghadapinya!"
Dan lukisan tua yang tergeletak menghampar pada
bingkainya di lan?tai, mendadak tampak bergetar. Dan
terus bergetar semakin kuat. Membuat lan?tai maupun
benda apa saja yang ada di ruang duduk itu"ter?masuk
mayat Suherman serta Elisa, tampak ikut bergetar.
Seakan ada penghuni perut bumi yang mendadak
terjaga dari tidur. Lalu bangkit dengan marah.
i-Kolam Darah.indd 243 243 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 244 28 B UKAN dari balik permukaan lantai, apalagi perut
bumi. Karena begitu getaran mengejutkan itu perlahanlahan melemah lantas mereda dan ganti meninggalkan
keheningan yang terasa sunyi menyentak, maka yang
terlihat menggeliat hidup lantas bangkit adalah
lukisan diri Anggadireja.
Bangkit dari tempatnya selama ini diam men?
dekam. Yakni kanvas lukisan, yang seketika tampak kosong
melompong dengan warnanya yang kuning tua. Setua
umur kanvas itu sendiri. Lalu, tanpa memperhatikan
Agus serta Ardi yang menatap terpana di dekatnya,
sang Juragan Besar langsung tegak mengawasi Nyi
Katon. Dengan cara menatapnya yang khas sebagai?
mana terlihat selama seratus tahun berjalan.
244 9/25/2013 8:42:39 AM Sorot mata lembut. Disertai senyuman tipisnya. Yang terkesan miste?
rius. Sementara di tempatnya tegak mengangkang, Nyi
Katon masih saja sibuk merapal mantra, "Jepit, jepit!
Copot, copot! Wahai para dedemit, para de?dengkot
roh. Datanglah, datang. Dan bergabunglah dengan?
ku..." Melangkah keluar meninggalkan kanvas serta
bingkai lukisan tempatnya sebelum?nya mendekam,
ter?dengarlah suara lembut Anggadireja. Selembut sorot
mata?nya, dan ditujukan pada Nyi Katon.
"Sudahlah Nyai. Percuma saja..."
Bagai tak mendengar, Nyi Katon terus saja ber?
konsentrasi. Konsentrasi yang jelas mulai buyar.
Dengar saja rapalan mantranya, "Cokot, demit. Eh,
roh deng?kot?" Lantas gugup bergemetar. "Aduh,
meng?apa aku jadi kacau begini" Demat-demit, cokot,
cekik, cekik"aduh!"
"Sudah kubilang, Nyai," Anggadireja mengingatkan.
Masih tetap lembut dan tampak sabar. "Semua ke?
kuatan gaibmu kini sudah semakin sirna. Oleh virus
duniawi masa kini, yang dahulu tidak kita kenal..."
Menggeleng prihatin sesaat, sang mantan suami
meneruskan, lebih rinci. "Virus HIV, kata mereka.
Yang karena kecerebohonmu dan kecerobohan cucu
buyutmu Suher?man, sekarang ikut menjangkitimu!"
Berhenti rnerapal mantra dan tampak berubah
i-Kolam Darah.indd 245 245 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 246 pucat, Nyi Katon renta berhenti merapal mantra.
Lantas menanggapi marah. "Tidak. Itu tidak be?nar!"
"Alaa, Nyai. Percayalah. Dan mari kita kembali
secara baik-baik. Ke tempat dari mana kita datang!"
Ajakan lembut serta sabar itu, langsung ditanggapi
oleh Nyi Katon dengan jeritan lengking. "Tidak! Aku
harus membalasmu, suami terkutuk!"
Berkata demikian, Nyi Katon komat-kamit tak


Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keru?an sesaat, lantas mengarahkan tangannya yang
tidak memegang keris dengan gerakan mendorong
dan telapak membuka ke depan, sambil menjerit leng?
king, "Hiaaa...!"
Untuk sesaat, lidah api berwarna merah kebiruan
tampak menyembur ke?luar dari telapak tangan Nyi
Katon. Menyambar dan menjilat liar ke arah
Anggadireja. Namun begitu menyembur, sinar api itu
langsung melemah lantas padam sendiri sebelum
kemudian lenyap hilang begitu saja.
"Lho, kok?" Nyi Katon tertegun heran. Lantas kem?
bali pasang kuda-kuda. Kembali pula sibuk berkon?
sentrasi. Kali ini sambil lebih dahulu meludahi keris
Nagapati yang masih ia genggam. Yang kemudian ia
beri rapalan mantra, "Demat-demit, cekat-cekot!
Jadikanlah ludah gaibku membusuk lalu meracuni
tubuh hina dan kotor pemilik keris di tanganku
ini!" Merasa dirinya disebut hina dan kotor, kesabaran
Anggadireja pun tam?pak lenyap seketika.
246 9/25/2013 8:42:39 AM "Jika itu maumu, baiklah!"
Lalu dengan gerakan tenang dan tak peduli sang
Juragan Besar pun melangkah cepat ke depan. Dan
dengan cepat pula merampas keris dari tangan Nyi
Katon yang tubuhnya sekaligus dirangkul paksa. Dan
mem?buat yang di?rangkul meronta-ronta dan me?
nendang-nendang marah. "Jangan sentuh aku dengan tanganmu yang men?
jijik?kan. Lepaskan aku, suami haram jadah. Lepas?
kan...!" "Cukup, Nyai!" bentak Anggadireja marah. "Ka?rena
inilah kehendakmu, tiba saatnya kau kukembali?kan
untuk membusuk di tengah api neraka!"
Hanya itu saja. Rangkulan paksa, cercaan marah dari Anggadireja
yang bertubuh kokoh perkasa, dan perlawanan sia-sia
dari mantan istrinya yang bertubuh tua renta. Tak
ada sinar-sinar gaib menakjubkan. Tak ada gerak?an
saling gempur yang dahsyat serta menghancurkan apa
saja yang terlanda. Yang terlihat, hanyalah sosok kokoh Anggadireja
yang dengan enteng mengangkat Nyi Katon bagai
mengangkat karung kapas saja layaknya. Lalu bersama
tubuh Nyi Katon yang terus menjerit serta merontaronta dengan sejuta sumpah serapah yang mengalir
deras dari bibir tuanya, Anggadireja tahu-tahu sudah
berdiri tegak di atas kanvas lukisan dari mana ia se?
mula mengge?liat bangkit.
i-Kolam Darah.indd 247 247 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 248 Bukan untuk kembali mendekam menjadi lukisan
dirinya sebagaimana sediakala. Melainkan untuk me?
lenyap hilang dan menyatu begitu saja denga kain
kanvas tempatnya berpijak dengan membawa serta
tubuh Nyi Katon yang meronta-ronta dalam rangkul?
an?nya. Dan begitu melenyap, kanvas kosong me?
lompong bersama bingkai kayunya tampak terangkat
naik dari lantai. Lantas bagai ada yang menyedot
dengan kuatnya, kanvas beserta bingkai lukisan itu
tampak terbang terbalik-balik menuju tungku pen?
diang?an. Yang apinya tahu-tahu saja berkobar marak
meski sebelumnya sudah nyaris padam dan boleh
dibilang sudah tidak ada lagi kayu bakar yang ter?
sisa. Tersedot masuk ke sebelah dalam tungku, bingkai
lukisan itu tampak berpatahan dengan suara berderakderak hingar bingar. Lalu menyatu dengan cepat ber?
sama lidah-lidah api yang kian berkobar dan semakin
berkobar. Membakar ha?bis patahan bingkai serta
kanvas lukisan, disertai terdengarnya jeritan putus asa
seorang perempuan renta yang menderita tersiksa.
"Aduh, jangan! Panas, aduh! Demat-demit, cekatcekot, lepaskan aku. Aduh...!"
Lalu suara lembut dan sabar sang Juragan Besar,
menimpali. "Ayolah Nyai, Sudahlah..."
Jeritan lengking tersiksa lagi, yang terdengar
semakin sayup sebelum kemudian lenyap hilang. Dan
bersamaan dengan itu, kobaran api di sebe?lah dalam
248 9/25/2013 8:42:39 AM tungku pendiangan pun tampak mengecil dan terus
mengecil sam?pai akhirnya padam. Meninggalkan
tumpukan abu yang teronggok diam sesaat. Se?belum
pada saat berikutnya, onggokan abu itu ter?angkat
naik. Lalu tersedot hilang memasuki cerobong asap.
Dan entah lenyap ke mana, setelahnya.
i-Kolam Darah.indd 249 249 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 250 PENUTUP BEnar, itulah kenyataannya. Tidak ada yang luar
biasa. Kalaupun ada, itu terjadi keesokan harinya ketika
Maharani mendatangi Agus yang duduk sendirian me?
renungi diri di depan tungku pendiangan yang apinya
tidak dinyalakan. Dan pada tembok di atasnya, tak
lagi terpampang lukisan tua yang sudah menghuni
tem?bok itu selama seratus tahun lamanya. Atau mung?
kin juga lebih. Mendekat lalu duduk diam sejenak di sebelah
Agus, barulah Maharani kemudian membuka mulut.
Lembut, "Ayah dan ibu kandungmu. Aku harap kau
bersedia memaafkan mereka, Gus..."
Agus diam saja. Tak menanggapi.
"Luka di lenganmu," Maharani dengan bijak meng?
alihkan pembicaraan. "Masih sakit?"
250 9/25/2013 8:42:39 AM Agus melirik ke pergelangan tangan kirinya yang
terbalut rapi oleh perban serta plester. Dan teringat
ucapan nekat ayahnya pada Nyi Katon. "Jangan
sentuh anakku." Menggigil haru, Agus pun menyahuti. Lirih, "Ti?
dak lagi, kak Rani."
Lantas diam lagi. Tetapi Maharani belum menyerah. "Aku juga sama
terkejutnya denganmu, Gus," ujarnya, tenang. "Meski
dengan setulus hati harus kuakui, bahwa aku merasa
ber?bahagia dengan apa-apa yang sempat kucuri
dengar. Tadi malam..."
"Bahagia, Kak Rani?" desah Agus tanpa mengalih?
kan perhatiannya dari sisa serpihan abu di tungku
pendiangan. "Karena aku ini, ternyata anak haram
Ju?ragan Papa" "
Cepat meraih lalu menggenggam lembut tangan
Agus, Maharani menggeleng lalu menyahuti sama lem?
butnya, "Aku berbahagia setelah tahu bahwa kau ini
adalah adik kandungku juga. Karena sudah semenjak
lama, betapa ingin?nya aku mengatakannya pada?
mu..." "Mengatakan apa?"
"Bahwa kau ini adalah"sang pewaris!"
Lagi, Agus terdiam. Sambil tanpa sengaja matanya
me?nangkap bias noda darah pada lapis dalam pem?
balut di pergelangan tangannya.
Kemudian ia teringat pada kolam darah yang meng?
i-Kolam Darah.indd 251 251 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 252 geliat hidup. Lalu, tangan Maha?rani yang sempat ia
raih. Mimpi buruk itu memang telah berakhir!
252 9/25/2013 8:42:39 AM GRAMEDIA i-Kolam Darah.indd 253 penerbit buku utama 253 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 254 9/25/2013 8:42:39 AM GRAMEDIA i-Kolam Darah.indd 255 penerbit buku utama 9/25/2013 8:42:39 AM i-Kolam Darah.indd 254 9/25/2013 8:42:39 AM KOLAM DARAH.pdf 1 10/16/13 1:53 PM Untuk sesaat dua tak terjadi atau terlihat
apa-apa. Ardi sudah mulai cemas bahkan mendekati
putus asa, sementara Agus waspada kala
melihat Nyi Katon tampak berdiri
mengangkang, menempatkan keris yang ia
genggam di depan mulut. Sambil bibirnya sibuk
merapal mantra. Lukisan tua yang tergeletak terhampar
pada bingkainya di lantai mendadak tampak
bergetar. Dan terus bergetar semakin kuat.
Membuat lantai maupun benda apa saja yang
ada di ruang duduk itu?"termasuk mayat
Suherman serta Elisa, tampak ikut bergetar.
Seakan ada penghuni perut bumi yang
mendadak terjaga dari tidur.
Lalu bangkit dengan marah...!
NOVEL DEWASA Misteri Rumah Mengkerut 1 Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter Tanah Warisan 4

Cari Blog Ini